Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1 Letak Geografis Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbentuk berdasarkan Undang-Undang No.54 Tahun 1999, Undang-Undang No. 14 Tahun 2000, yang mempunyai luas 5.445 Km2 atau 10,2 % dari luas wilayah provinsi Jambi, namun sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk perairan dan 30 pulau kecil menjadi 13.102,25 Km2. Disamping itu Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki panjang pantai sekitar 191 Km2 atau 90,5 % dari panjang pantai provinsi Jambi (Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung Timur, 2011: 2). Menurut data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung Timur Tahun (2012:4), Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara geografis terletak pada 0°53ā 1°41ā LS dan 103°23 - 104°31 BT dengan luas 5.445 Km² dengan ketinggian Ibukota-Ibukota Kecamatan dalam Kabupaten Tanjung Jabung Timur berkisar antara 1-5 m dpl. Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai luas wilayah 5.445 Km², dengan batas-batas sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan. 7 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang berada di pantai timur Sumatera berbatasan langsung dengan Provinsi Kepulauan Riau dan merupakan daerah hiterland segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Batam-Johor (SIBAJO). Wilayah perairan laut kabupaten ini merupakan bagian dari alur pelayaran kapal nasional dan internasional (ALKI I) dari utara keselatan atauapun sebaliknya, sehingga dari sisi geografis daerah ini sangat potensial untuk dapat berkembang. Gambar 2.1. Letak Geografis Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung Timur) 2.2 Biokonservasi Biologi konservasi merupakan suatu sintesa berbagai disiplin ilmiah yang berhubungan dengan krisis luar biasa dalam keanekaragaman hayati saat ini. Ilmu ini menggabungkan penelitian dasar dan praktik pelaksanaan untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, khususnya kepunahan spesies, hilangnya variasi 8 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 genetik, dan kerusakan komunitas biologi. Keanekaragaman hayati bumi mencakup keseluruhan spesies makhluk hidup, variasi genetik di antara individu dalam satu spesies, komunitas biologi tempat spesies hidup, dan interaksi tingkat ekosistem dari komunitas dengan lingkungan fisik dan kimianya (Indrawan, dkk.2012:81-82). Cara yang paling efektif dalam melindungi komunitas hayati adalah dengan menjaga komunitas yang utuh agar dapat melestarikan seluruh keanekaragaman hayati (Yahner, 2012:5). Kawasan yang dilindungi atau kawasan konservasi merupakan wilayah darat maupun laut yang dicanangkan dan diwujudkan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan budaya terkait, serta dikelola secara legal dan efektif (Supriharyono.2009:289). Menurut Indrawan, dkk (2012:294-295), Klasifikasi kawasan konservasi terdiri atas 6 kelompok, yaitu : (1) Cagar Alam Murni (strict nature reserves) beserta daerah habitat alami (wilderness areans); (2) Taman Nasional; (3) Monumenmonumen nasional dan bentukan-bentukan alam (landmarks); (4) Suaka alam dan cagar alam yang dikelola; (5) Bentang alam darat dan laut yang dilindungi; (6) Kawasan yang dilindungi dengan sumber daya alam yang dikelola. Jambi kaya akan keanekaragaman ekosistem. Salah satunya adalah kawasan konservasi yang ada di Provinsi Jambi. Kawasan ini adalah kawasan konservasi dengan fungsi sebagai Cagar Alam yang membentang dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat sampai Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Menurut Supriharyono (2009:290) Cagar Alam yang terletak di kawasan pesisir pantai timur Jambi adalah suatu kawasan yang masih diperbolehkan campur tangan manusia, untuk mempertahankan ciri-ciri komunitas yang khas dan mendukung spesies tertentu. 9 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 Cagar Alam umumnya berukuran kecil, habitat rapuh yang tidak terganggu dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, keunikan alam, habitat spesies langka tertentu, dan lain-lain. Kawasan ini memerlukan perlindungan mutlak. Pada cagar alam hanya dapat dilakukan kegiatan-kegiatan terbatas untuk kepentingan penelitian, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, dan kegiatan yang menunjang budidaya. Pengambilan secara terkendali pada kawasan ini masih diizinkan (Indrawan, dkk:512). 2.3 Ekosistem Mangrove Provinsi Jambi memiliki hutan mangrove yang terletak di wilayah pesisir pantai di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Hutan mangrove yang terletak di wilayah pesisir pantai timur ini diberi nama Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kabupaten Tanjung Jabung Timur (2009:4) Hutan bakau di pantai timur memiliki luas 64.749 ha. Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki Kawasan Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor : 507/Kpts-Um/6/1981 tanggal 14 Juni 1981 dengan luas 6.500 Hektar. Setelah dilakukan tata batas pada tahun 1986 kawasan Hutan Bakau Pantai Timur ditetapkan sebagai Cagar Alam melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor : 14/Kpts-II/2003 tanggal 7 Januari 2003 dengan luas 4.126,60 hektar dan panjang batas 109,331 km. Cagar Alam ini mempunyai tipe iklim tropis yang lembab dan hangat karena terletak pada permukan laut di sekitar garis katulistiwa. Suhu harian sekitar 32ºC 10 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 sampai 35ºC dan jarang turun dibawah 27ºC pada malam hari. Kelembaban mencapai sekitar 80% dan rata-rata curah hujan sekitar 2.200 mm pertahun (Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2009:2). Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat yang terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik, baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai yang airnya melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu (Supriharyono, 2009:25). Hutan mangove merupakan formasi hutan khas daerah tropik yang terdapat di pantai rendah dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta mendapat pengaruh pasang surut air laut (Arief, 2003:10). Bengen (1999:47) menambahkan bahwa hutan mangove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Komunitas vegetasi pantai tropis pada kawasan hutan mangove didominasi oleh beberapa spesies pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Pada perairan dengan salinitas tinggi di tepi pantai dijumpai komunitas Rhizophora apiculata, R. mucronata, Soneratia alba, dan Bruguiera gymnorrhiza. Pada perairan dengan salinitas yang lebih rendah di tepi sungai dijumpai Nypa fruticans, R. apiculata, dan Lumnitzera littorea sebagai vegetasi utama, serta Heritiera littoralis, Excoecaria agallocha, Aegiceras corniculatum, Acrostichum aureum, dan Hibiscus tileaceus sebagai vegetasi pendukung dan asosiasinya (Gunarto, 2004:3). 11 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 Tinggi rendahnya produktivitas ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor. Supriharyono (2009:49-50), mengemukakan bahwa ada tujuh faktor penting yang menentukan produktivitas tumbuhan mangrove. Ketujuh faktor tersebut dibagi ke dalam dua kelompok utama, yaitu fluktuasi pasang dan kimia air. Menurut Supriharyono (2009:67-68), Ada empat faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu, yaitu: (1) Salinitas tanah tinggi; (2) Arus pasang surut, menyebabkan banyak terkumpulnya sampah dan organik terlarut; (3) Meintasi daratan, run off, badai pasang, dan gelombang menyebabkan sitasi atau erosi; (4) Badai bisa menghancurkan sistem di daerah mangrove. Secara ekologis ekosistem mangrove sangat berperan bagi hewan yang hidup di dalamnya. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting dari Famili Sesarmidae, kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang hidup di mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti Bivalvia, Gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting (Gunarto, 2004:16). 2. 4 Biologi Ketam (Parathelphusa spp.) 2.4.1 Morfologi Ketam (Parathelphusa spp.) Menurut Purba (2008:44), berdasarkan ukuran tubuhnya krustacea dikelompokkan menjadi 2 subkelas, yaitu: Entomostraca dan Malakostraca. Entomostraca (udang tingkat rendah) dikelompokkan menjadi empat ordo, yaitu: 12 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 Branchiopoda, Ostracoda, Copecoda, dan Cirripedia. Sedangkan Malakostraca (udang tingkat tinggi) dikelompokkan menjadi tiga ordo, yaitu: Isopoda, Stomatopoda, dan Decapoda. Decapoda adalah salah satu jenis dari krustacea makrokopis. krustacea makroskopis merupakan kelas dari Arthropoda yang hidupnya terutama menempati perairan baik air tawar maupun laut. Tubuhnya terbagi menjadi: kepala (cephalo), dada (thorax) dan perut (abdomen) atau kadang-kadang kepala dan dada bersatu (cephalotorax ). Kepala biasanya terdiri dari empat segmen yang bersatu, pada bagian kepala itu terdapat dua pasang antena, satu pasang mandibula (rahang pertama) dan dua pasang maxilla (rahang kedua) (Rusyana, 2011:23). Parathelphusa adalah genus kepiting dataran rendah umum di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau yang berdekatan, dan 26 spesies dan subspesies diakui saat ini (Ng, 1990: 241). Ketam (Parathelphusa spp.) adalah salah satu genus dari ordo Decapoda (arthropoda dengan sepuluh anggota badan). Mereka berasal ordo yang sama seperti udang, lobster, dan umangumang, tetapi ditandai dengan singkat, perut yang dilipat di bawah tubuh utama, kehadiran empat pasang kaki berjalan dan sepasang penjepit. Karapas luar sebenarnya adalah piring menyatu terdiri dari kepala (cephalic) dan segmen toraks, dan memberikan bentuk khas mereka. Seperti kebanyakan krustasea lainnya, eksoskeleton mereka terdiri dari protein. Permukaan dorsal karapas yang dapat dibagi menjadi beberapa daerah, yaitu lambung, bagian otak, hati, jantung, dan daerah usus (Ng, 1988:11-12). 13 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 Parathelphusa merupakan krustacea yang memiliki sifat eurihalin, sehingga Parathelphusa dapat hidup di air tawar dan payau, sehingga dikatakan oleh beberapa penelitian Parathelphusa dapat digolongkan dalam kepiting air tawar. Kepiting air tawar memiliki 5 pasang kaki, sepasang kaki depan berfungsi sebagai pencapit, dan 4 pasang lainnya berfungsi untuk berjalan. Kepiting air tawar memiliki ukuran panjang karapaksnya sampai dengan 7 cm. Karapaks atau cangkang memiliki tanda garis berubang yang cukup jelas yang terdapat di tengah-tengah karapaknya di antara mata (tanda sentring). Karapak bagian bawah terdapat cetakan berupa trapesium (tanda trapesium). Berbeda dengan kepiting laut yang memiliki kaki paling belakang berbentuk pipih, pada jenis ini semua kaki jalan berbentuk lancip. Pada bagian abdomennya tidak tampak karena melipat kebagian dadanya. Tubuhnya berwarna coklat hingga keunguan pada bagian dorsalnya serta memiliki rostrum yang datar dan bergerigi (Oliver dan Peter, 2006:385). Kepiting air tawar mempunyai distribusi habitat yang luas sehingga dapat ditemukan pada berbagai bentuk perairan mulai dari perairan yang berarus seperti aliran air di pegunungan, sungai dan pesisir laut, hingga kondisi perairan yang relatif tenang seperti danau, kolam, rawa, kanal dan parit. Hingga saat ini belum banyak eksplorasi dilakukan pada tipe ekosistem ini, sehingga potensi untuk ditemukannya spesies baru sangat besar (Riady dkk, 2014:472). Ketam (Parathelphusa spp.) mempunyai adaptasi yang sesuai dengan habitat khususnya. Mereka lebih toleran terhadap air asin. Mereka memiliki larva yang tidak dapat berenang bebas seperti spesies ordo Decapoda lainnya. Genus Parathelphusa 14 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 mempunyai ukuran telur yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran tubuh mereka, biasanya berukuran satu millimeter (Waterman.1999:21). Tidak banyak yang diketahui tentang makanan genus Parathelphusa, tetapi informasi yang tersedia menunjukkan bahwa mereka didominasi omnivora. Di alam liar, beberapa penelitian menunjukkan mereka memakan serasah daun dan siput air. Genus Parathelphusa mempunyai manfaat bagi kesehatan manusia. Sup dari genus Parathelphusa diyakini efektif untuk mengobati flu dan batuk (Ng, 1988:15). Gambar 2.2. Morfologi Ketam (Parathelphusa spp.), keterangan: 1) kaki jalan ke-4, 2) kaki jalan ke3, 3) kaki jalan ke-2, 4) kaki jalan ke-1, 5) capit, 6)karapaks, 7)mata, 8)mulut, 9) abdomen betina lebar, 10) abdomen jantan kecil dan memanjang, 11) propondus/capit jantan lebih besar 15 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 2.4.2 Klasifikasi Ketam (Parathelphusa spp.) Klasifikasi adalah pembatasan, penyusunan dan penjenjangan taksa berdasarkan urutan kategori dalam suatu populasi. Tujuan utama klasifikasi adalah membantu dalam kunci identifikasi. Dalam klasifikasi hewan dikenal 7 kategori yaitu kingdom, filum, kelas, ordo, famili, genus, spesies ( Mayr, 1971:45). Klasifikasi ketam (Parathelphusa spp.) menurut Peter (1988:97) adalah : Kingdom Phylum Sub Phylum Class Ordo Superfamily Family Genus Species : Animalia : Arthropoda : Crustacea : Malacostaca : Decapoda : Gecarcinucoidea : Parathelphusidae : Parathelphusa : Parathelphusa sp Kepiting air tawar terbagi menjadi lima famili antara lain, Pseoudothelphusidae, Tricodactylidae, Potamonautidae, Potamidae dan Gecarcinucidae. Dua dari lima famili kepiting air tawar terdapat di Asia tenggara yaitu Potamidae dan Gecarcinudae (Cumberlidge dan Ng, 2009:231). Cumberlidge dan Ng (2009:234) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 83 spesies kepiting air tawar yang telah berhasil diidentifikasi. Secara umum terdapat 26 jenis ketam (Parathelphusa spp.) yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Untuk setiap ketam (Parathelphusa spp.) memiliki bentuk karapas dan capit yang berbeda. Variasi bentuk karapas dan capit ini dijadikan karakter utama sebagai kunci identifikasi untuk menentukan nama spesies hingga subspecies (Ng, 1990:241-242). 16 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 2.4.3 Habitat Ketam (Parathelphusa spp.) Ketam (Parathelphusa spp.) mempunyai adaptasi yang sesuai dengan habitat khususnya. Mereka lebih toleran terhadap air asin. Ketam menggali liang relatif dalam di tepi sungai maupun daerah pesisir. Mereka juga dapat ditemukan di bawah daun, kayu dan batu di dalam air lambat mengalir. spesimen yang lebih kecil tidak menggali liang tapi bersembunyi di antara vegetasi dan lumpur. Mereka sebagian besar adalah omnivora, makan pada daun-daun kering, akar, biji, buah-buahan dll, tetapi juga akan menyerang kerang, cacing dan binatang kecil ketika diberi kesempatan. Parathelphusa adalah spesies yang sangat mudah beradaptasi, dan merupakan salah satu krustacea yang kembali ke daerah yang tercemar, asalkan ada tempat untuk menggali, beberapa naungan dan air bersih (Ng, 1990:245). Parathelphusa gemar membuat lubang dan hidup di dalamnya. Lubang yang dibuat antara lain berbentuk lurus, huruf „Jā dan lebarnya dapat mencapai 4-8 cm. Seekor ketam membutuhkan waktu beberapa hari untuk membuat lubang yang dapat bertahan lama. Setiap lubang akan dihuni oleh satu ekor ketam, kecuali saat musim kawin. Ketika pasang tinggi menutupi habitat ketam, maka ketam akan segera masuk ke dalam liang dan menutupi mulut liang dengan lumpur (Susilo, 2013:13). Menangkap ketam (Parathelphusa spp.) mempunyai banyak kendala, hal ini disebabkan kebiasaan nocturnal mereka. Kebanyakan spesies genus Parathelphusa bersembunyi di bawah batu, lobang tanah (terutama yang datar) dan diantara vegetasi tanaman. Untuk spesies genus Parathelphusa yang berhabitat didaerah berair waktu terbaik untuk menangkap spesies genus Parathelphusa adalah pada malam hari dengan menggunakan perangkap, sebab pada malam hari mereka mencari makan. 17 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 Sedangkan untuk spesies genus Parathelphusa yang berhabitat didaerah berlumpur menggunakan sekop atau bambu adalah cara yang efektif (Oliver dan Peter, 2006: 406). 2. 5 Tabulasi Data Ketam (Parathelphusa spp.) yang ada di Indonesia Tabel 1.1 Tabulasi Data Jenis Ketam di Indonesia No 1. Gambar Nama Ilmiah Distribusi Parathelphusa convexa Jawa dan Sumatra bagian selatan 2. Parathelphusa sabari Kalimantan 3. Parathelphusa maculata Jawa, Sulawesi, Sumatra, Malaysia, dan Singapura 18 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 4. Parathelphusa tritentata Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan 5. Parathelphusa pantherina Sulawesi 6. Parathelphusa sarasinorum Sulawesi 7. Parathelphusa lokaensis Loka (sulawesi) 19 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 8. Parathelphusa ceophallus Buton (sulawesi) 9. Parathelphusa celebensis Sulawesi 10. Parathelphusa pallida Sulawesi Selatan 11. Parathelphusa tenuipes Sulawesi 20 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 12. Parathelphusa possoensis Poso (sulawesi) 13. Parathelphusa pareparensis Sulawesi 14. Parathelphusa crocea Sulawesi Selatan 15. Parathelphusa sorella Sulawesi 21 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 16. Parathelphusa ferruginea Sulawesi 17. Parathelphusa batamensis Sumatra dan Singapura 18. Parathelphusa baweanensis Sulawesi 19. Parathelphusa bogorensis Jawa 22 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 20. Parathelphusa linduensis Sulawesi 21. Parathelphusa lombokensis Lombok 22. Parathelphusa maindroni Sumatra, Malaysia, dan Singapura 23. Parathelphusa modigliani 23 Sumatra Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 24. Parathelphusa nitida Kalimantan 25. Parathelphusa quadrata Sulawesi 26. Parathelphusa undulata Kalimantan 2. 6 Faktor Fisik dan Kimia Menurut Supriharyono (2009:73-74), faktor fisik dan kimia lingkungan perairan mangrove, yaitu: (1) Frekuensi arus pasang; (2) Salinitas tanah; (3) Air tanah; (4) Suhu air; (5) Derajat keasaman atau pH. Tinggi dan waktu penggenangan air pasang yang cukup lama akan sangat menentukan salinitas tanah. Selanjutnya salinitas tanah akan menetukan kehidupan 24 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 tumbuhan mangrove. Selain salinitas, suhu air adalah faktor yang menentukan kehidupan tumbuhan mangrove. Suhu pembatas kehidupan mangrove adlah suhu yang rendah dan kisaran suhu musiman Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi krustacea termasuk ketam (Parathelphusa spp). Suhu yang terdapat di kawasan hutan mangrove berkisar antara 20º-40ºC sedangkan krustacea makroskopis seperti ketam (Parathelphusa spp) akan bertahan hidup pada suhu air 24ºC. Substrat tanah diketahui juga menentukan kehidupan komunitas mangrove. Tipe substrat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak, yang mengandung silt, clay dan bahan-bahan organik yang lembut. Sedangkan pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju aliran air. Selain itu organisme akuatik lainnya hidup pada pH antara 7-8,5. pH berkisar dari 0 sampai dengan 14. Nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang asam, nilai di atas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalis). Dan pH = 7 disebut sebagai netral. Oksigen terlarut adalah salah satu faktor penting dalam setiap sistem perairan. Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar bagi organisme akuatik, termasuk ketam (Parathelphusa spp) karena digunakan untuk respirasi. Kehidupan air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimal sebanyak 4 mg/l, selebihnya tergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya. Jumlah oksigen terlarut meningkat sejalan dengan menurunnya suhu dan naiknya salinitas (Supriharyono, 2009:75). 25 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 a. Penelitian Relevan Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh : 1. Rikhi Riady, Radith Mahatma, dan Windarti (2014) yang berjudul “Inventarisasi Kepiting Air Tawar Di Kecamatan Kampar Utara Kabupaten Kampar Provinsi Riau”. Pengambilan sampel menggunakan bubu dan jaring di 14 stasiun yang tersebar di Desa Sawah, Sendayan dan Sungai Jalau. Didapatkan sebanyak 178 sampel. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa semua kepiting tersebut termasuk dalam Famili Gecarcinucidae dan genus Parathelphusa. Jumlah spesimen terbanyak diperoleh pada stasiun dengan tipe habitat anak sungai yang bervegetasi akuatik padat dan tidak didapatkan pada tipe habitat sungai. Dari hasil penelitian ini Parathelphusa di Riau memiliki habitat pada perairan yang dangkal dengan vegetasi akuatik yang padat 2. Vendi Eko Susilo dan Ahmad Farajalallah (2013) yang berjudul “Keanekaragaman Kepiting Air Tawar (Ordo Decapoda:Brachyura) di Kabupaten Batanghari dan Sarolongun Provinsi Jambi”. Teknik pengumpulan data menggunakan secara Purposive di delapan tipe habitat meggunakan bubu dan handnet. Hasil penelitian didapatkan 2 Genus (Parathelphusa dan Geosesarma) yang terdiri atas Parathelphusa tridentata, Parathelphusa batamensis, Parathlephusa maindroni, Parathlephusa maculata dan Geosesarma sp. Hasil penelitian mendapatkan indeks Keanekaragaman yang tertinggi pada habitat Jungle rubber sebesar 1,4 dan terendah pada oil palm campur dengan jungle rubber sebesar 0,5. 26 Dicetak pada tanggal 2017-07-19 Id Doc: 589c97bf81944d4912494159 3. Oliver K. S. Chia and Peter K. L. Ng (2006) yang berjudul “The Freshwater Crabs Of Sulawesi, With Descriptions Of Two New Genera And Four New Species (Krustacea: Decapoda: Brachyura: Parathelphusidae”). Hasil penelitian di dapatkan 13 spesies yaitu Parathelphusa pantherina (Schenkel, 1902), Parathelphusa sarasinorum (Schenkel, 1902), Parathelphusa lokaensis (De Man, 1892), Parathelphusa pallida (Schenkel, 1902), Parathelphusa celebensis (De Man, 1892), Parathelphusa ceophallus, Parathelphusa crocea (Schenkel 1902), Parathelphusa pareparensis (De Man, 1892), Parathelphusa possoensis (Roux, 1904), Parathelphusa tenuipes (Roux, 1904), Parathelphusa linduensis (Roux, 1904), Parathelphusa ferruginea, dan Parathelphusa matannensis H. Milne Edwards, 1853. 27