7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1 Letak Geografis

advertisement
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2. 1 Letak Geografis Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbentuk berdasarkan Undang-Undang
No.54 Tahun 1999, Undang-Undang No. 14 Tahun 2000, yang mempunyai luas
5.445 Km2 atau 10,2 % dari luas wilayah provinsi Jambi, namun sejalan dengan
berlakunya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur
termasuk perairan dan 30 pulau kecil menjadi 13.102,25 Km2. Disamping itu
Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki panjang pantai sekitar 191 Km2 atau 90,5
% dari panjang pantai provinsi Jambi (Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung
Timur, 2011: 2).
Menurut data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung Timur Tahun
(2012:4), Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara geografis terletak pada 0°53ā€Ÿ 1°41ā€Ÿ LS dan 103°23 - 104°31 BT dengan luas 5.445 Km² dengan ketinggian
Ibukota-Ibukota Kecamatan dalam Kabupaten Tanjung Jabung Timur berkisar antara
1-5 m dpl. Kabupaten Tanjung Jabung Timur mempunyai luas wilayah 5.445 Km²,
dengan batas-batas sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina
Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi dan Provinsi
Sumatera Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat
dan Kabupaten Muaro Jambi, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina
Selatan.
7
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang berada di pantai timur Sumatera
berbatasan langsung dengan Provinsi Kepulauan Riau dan merupakan daerah
hiterland segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Batam-Johor (SIBAJO). Wilayah
perairan laut kabupaten ini merupakan bagian dari alur pelayaran kapal nasional dan
internasional (ALKI I) dari utara keselatan atauapun sebaliknya, sehingga dari sisi
geografis daerah ini sangat potensial untuk dapat berkembang.
Gambar 2.1. Letak Geografis Kabupaten Tanjung Jabung Timur
(Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung Timur)
2.2
Biokonservasi
Biologi konservasi merupakan suatu sintesa berbagai disiplin ilmiah yang
berhubungan dengan krisis luar biasa dalam keanekaragaman hayati saat ini. Ilmu ini
menggabungkan penelitian dasar dan praktik pelaksanaan untuk mencegah
hilangnya keanekaragaman hayati, khususnya kepunahan spesies, hilangnya variasi
8
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
genetik, dan kerusakan komunitas biologi. Keanekaragaman hayati bumi mencakup
keseluruhan spesies makhluk hidup, variasi genetik di antara individu dalam satu
spesies, komunitas biologi tempat spesies hidup, dan interaksi tingkat ekosistem dari
komunitas dengan lingkungan fisik dan kimianya (Indrawan, dkk.2012:81-82).
Cara yang paling efektif dalam melindungi komunitas hayati adalah dengan
menjaga komunitas yang utuh agar dapat melestarikan seluruh keanekaragaman
hayati (Yahner, 2012:5). Kawasan yang dilindungi atau kawasan konservasi
merupakan wilayah darat maupun laut yang dicanangkan dan diwujudkan untuk
melindungi keanekaragaman hayati dan budaya terkait, serta dikelola secara legal
dan efektif (Supriharyono.2009:289).
Menurut Indrawan, dkk (2012:294-295), Klasifikasi kawasan konservasi terdiri
atas 6 kelompok, yaitu : (1) Cagar Alam Murni (strict nature reserves) beserta
daerah habitat alami (wilderness areans); (2) Taman Nasional; (3) Monumenmonumen nasional dan bentukan-bentukan alam (landmarks); (4) Suaka alam dan
cagar alam yang dikelola; (5) Bentang alam darat dan laut yang dilindungi; (6)
Kawasan yang dilindungi dengan sumber daya alam yang dikelola.
Jambi kaya akan keanekaragaman ekosistem. Salah satunya adalah kawasan
konservasi yang ada di Provinsi Jambi. Kawasan ini adalah kawasan konservasi
dengan fungsi sebagai Cagar Alam yang membentang dari Kabupaten Tanjung
Jabung Barat sampai Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Menurut Supriharyono
(2009:290) Cagar Alam yang terletak di kawasan pesisir pantai timur Jambi adalah
suatu kawasan yang masih diperbolehkan campur tangan manusia, untuk
mempertahankan ciri-ciri komunitas yang khas dan mendukung spesies tertentu.
9
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
Cagar Alam umumnya berukuran kecil, habitat rapuh yang tidak terganggu
dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, keunikan alam, habitat spesies langka
tertentu, dan lain-lain. Kawasan ini memerlukan perlindungan mutlak. Pada cagar
alam hanya dapat dilakukan kegiatan-kegiatan terbatas untuk kepentingan penelitian,
pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, dan kegiatan yang menunjang
budidaya. Pengambilan secara terkendali pada kawasan ini masih diizinkan
(Indrawan, dkk:512).
2.3
Ekosistem Mangrove
Provinsi Jambi memiliki hutan mangrove yang terletak di wilayah pesisir pantai
di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Hutan mangrove yang terletak di wilayah pesisir pantai timur ini diberi nama Cagar
Alam Hutan Bakau Pantai Timur. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Kabupaten Tanjung Jabung Timur (2009:4) Hutan
bakau di pantai timur memiliki luas 64.749 ha. Kabupaten Tanjung Jabung Timur
memiliki Kawasan Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur yang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor : 507/Kpts-Um/6/1981
tanggal 14 Juni 1981 dengan luas 6.500 Hektar. Setelah dilakukan tata batas pada
tahun 1986 kawasan Hutan Bakau Pantai Timur ditetapkan sebagai Cagar Alam
melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor : 14/Kpts-II/2003 tanggal 7
Januari 2003 dengan luas 4.126,60 hektar dan panjang batas 109,331 km.
Cagar Alam ini mempunyai tipe iklim tropis yang lembab dan hangat karena
terletak pada permukan laut di sekitar garis katulistiwa. Suhu harian sekitar 32ºC
10
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
sampai 35ºC dan jarang turun dibawah 27ºC pada malam hari. Kelembaban
mencapai sekitar 80% dan rata-rata curah hujan sekitar 2.200 mm pertahun (Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2009:2).
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau
yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini
tumbuh khususnya di tempat-tempat yang terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan
organik, baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar
muara sungai yang airnya melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari
hulu (Supriharyono, 2009:25).
Hutan mangove merupakan formasi hutan khas daerah tropik yang terdapat di
pantai rendah dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta mendapat pengaruh
pasang surut air laut (Arief, 2003:10). Bengen (1999:47) menambahkan bahwa hutan
mangove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk dangkal, estuaria, delta dan daerah
pantai yang terlindung. Komunitas vegetasi pantai tropis pada kawasan hutan
mangove didominasi oleh beberapa spesies pohon yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Pada perairan dengan salinitas tinggi di tepi pantai dijumpai komunitas
Rhizophora apiculata, R. mucronata, Soneratia alba, dan Bruguiera gymnorrhiza.
Pada perairan dengan salinitas yang lebih rendah di tepi sungai dijumpai Nypa
fruticans, R. apiculata, dan Lumnitzera littorea sebagai vegetasi utama, serta
Heritiera littoralis, Excoecaria agallocha, Aegiceras corniculatum, Acrostichum
aureum, dan Hibiscus tileaceus sebagai vegetasi pendukung dan asosiasinya
(Gunarto, 2004:3).
11
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
Tinggi rendahnya produktivitas ekosistem mangrove dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Supriharyono (2009:49-50), mengemukakan bahwa ada tujuh faktor
penting yang menentukan produktivitas tumbuhan mangrove. Ketujuh faktor tersebut
dibagi ke dalam dua kelompok utama, yaitu fluktuasi pasang dan kimia air.
Menurut Supriharyono
(2009:67-68), Ada empat faktor utama yang
mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu, yaitu: (1) Salinitas tanah
tinggi; (2) Arus pasang surut, menyebabkan banyak terkumpulnya sampah dan
organik terlarut; (3) Meintasi daratan, run off, badai pasang, dan gelombang
menyebabkan sitasi atau erosi; (4) Badai bisa menghancurkan sistem di daerah
mangrove.
Secara ekologis ekosistem mangrove sangat berperan bagi hewan yang hidup
di dalamnya. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati
dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting dari Famili Sesarmidae, kemudian
didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang hidup di mangrove dan secara
bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh
hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti Bivalvia, Gastropoda,
berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting (Gunarto, 2004:16).
2. 4 Biologi Ketam (Parathelphusa spp.)
2.4.1 Morfologi Ketam (Parathelphusa spp.)
Menurut
Purba
(2008:44),
berdasarkan
ukuran
tubuhnya
krustacea
dikelompokkan menjadi 2 subkelas, yaitu: Entomostraca dan Malakostraca.
Entomostraca (udang tingkat rendah) dikelompokkan menjadi empat ordo, yaitu:
12
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
Branchiopoda, Ostracoda, Copecoda, dan Cirripedia. Sedangkan Malakostraca
(udang tingkat tinggi) dikelompokkan menjadi tiga ordo, yaitu: Isopoda,
Stomatopoda, dan Decapoda.
Decapoda adalah salah satu jenis dari krustacea makrokopis. krustacea
makroskopis merupakan kelas dari Arthropoda yang hidupnya terutama menempati
perairan baik air tawar maupun laut. Tubuhnya terbagi menjadi: kepala (cephalo),
dada (thorax) dan perut (abdomen) atau kadang-kadang kepala dan dada bersatu
(cephalotorax ). Kepala biasanya terdiri dari empat segmen yang bersatu, pada bagian
kepala itu terdapat dua pasang antena, satu pasang mandibula (rahang pertama) dan
dua pasang maxilla (rahang kedua) (Rusyana, 2011:23).
Parathelphusa adalah genus kepiting dataran rendah umum di Semenanjung
Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau yang berdekatan,
dan 26 spesies dan subspesies diakui saat ini (Ng, 1990: 241). Ketam (Parathelphusa
spp.) adalah
salah satu genus dari ordo Decapoda (arthropoda dengan sepuluh
anggota badan). Mereka berasal ordo yang sama seperti udang, lobster, dan umangumang, tetapi ditandai dengan singkat, perut yang dilipat di bawah tubuh utama,
kehadiran empat pasang kaki berjalan dan sepasang penjepit. Karapas luar
sebenarnya adalah piring menyatu terdiri dari kepala (cephalic) dan segmen toraks,
dan memberikan bentuk khas mereka. Seperti kebanyakan krustasea lainnya,
eksoskeleton mereka terdiri dari protein. Permukaan dorsal karapas yang dapat dibagi
menjadi beberapa daerah, yaitu lambung, bagian otak, hati, jantung, dan daerah usus
(Ng, 1988:11-12).
13
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
Parathelphusa merupakan krustacea yang memiliki sifat eurihalin, sehingga
Parathelphusa dapat hidup di air tawar dan payau, sehingga dikatakan oleh beberapa
penelitian Parathelphusa dapat digolongkan dalam kepiting air tawar. Kepiting air
tawar memiliki 5 pasang kaki, sepasang kaki depan berfungsi sebagai pencapit, dan 4
pasang lainnya berfungsi untuk berjalan. Kepiting air tawar memiliki ukuran panjang
karapaksnya sampai dengan 7 cm. Karapaks atau cangkang memiliki tanda garis
berubang yang cukup jelas yang terdapat di tengah-tengah karapaknya di antara
mata (tanda sentring). Karapak bagian bawah terdapat cetakan berupa trapesium
(tanda trapesium). Berbeda dengan kepiting laut yang memiliki kaki paling belakang
berbentuk pipih, pada jenis ini semua kaki jalan berbentuk lancip. Pada bagian
abdomennya tidak tampak karena melipat kebagian dadanya. Tubuhnya berwarna
coklat hingga keunguan pada bagian dorsalnya serta memiliki rostrum yang datar dan
bergerigi (Oliver dan Peter, 2006:385).
Kepiting air tawar mempunyai distribusi habitat yang luas sehingga dapat
ditemukan pada berbagai bentuk perairan mulai dari perairan yang berarus seperti
aliran air di pegunungan, sungai dan pesisir laut, hingga kondisi perairan yang relatif
tenang seperti danau, kolam, rawa, kanal dan parit. Hingga saat ini belum banyak
eksplorasi dilakukan pada tipe ekosistem ini, sehingga potensi untuk ditemukannya
spesies baru sangat besar (Riady dkk, 2014:472).
Ketam (Parathelphusa spp.) mempunyai adaptasi yang sesuai dengan habitat
khususnya. Mereka lebih toleran terhadap air asin. Mereka memiliki larva yang tidak
dapat berenang bebas seperti spesies ordo Decapoda lainnya. Genus Parathelphusa
14
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
mempunyai ukuran telur yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran tubuh mereka,
biasanya berukuran satu millimeter (Waterman.1999:21).
Tidak banyak yang diketahui tentang makanan genus Parathelphusa, tetapi
informasi yang tersedia menunjukkan bahwa mereka didominasi omnivora. Di alam
liar, beberapa penelitian menunjukkan mereka memakan serasah daun dan siput air.
Genus Parathelphusa mempunyai manfaat bagi kesehatan manusia. Sup dari genus
Parathelphusa diyakini efektif untuk mengobati flu dan batuk (Ng, 1988:15).
Gambar 2.2. Morfologi Ketam (Parathelphusa spp.), keterangan: 1) kaki jalan ke-4, 2) kaki jalan ke3, 3) kaki jalan ke-2, 4) kaki jalan ke-1, 5) capit, 6)karapaks, 7)mata, 8)mulut, 9) abdomen betina
lebar, 10) abdomen jantan kecil dan memanjang, 11) propondus/capit jantan lebih besar
15
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
2.4.2 Klasifikasi Ketam (Parathelphusa spp.)
Klasifikasi adalah pembatasan, penyusunan dan penjenjangan taksa berdasarkan
urutan kategori dalam suatu populasi. Tujuan utama klasifikasi adalah membantu
dalam kunci identifikasi. Dalam klasifikasi hewan dikenal 7 kategori yaitu kingdom,
filum, kelas, ordo, famili, genus, spesies ( Mayr, 1971:45).
Klasifikasi ketam (Parathelphusa spp.) menurut Peter (1988:97) adalah :
Kingdom
Phylum
Sub Phylum
Class
Ordo
Superfamily
Family
Genus
Species
: Animalia
: Arthropoda
: Crustacea
: Malacostaca
: Decapoda
: Gecarcinucoidea
: Parathelphusidae
: Parathelphusa
: Parathelphusa sp
Kepiting air tawar terbagi menjadi lima famili antara lain, Pseoudothelphusidae,
Tricodactylidae, Potamonautidae, Potamidae dan Gecarcinucidae. Dua dari lima
famili kepiting air tawar terdapat di Asia tenggara yaitu Potamidae dan Gecarcinudae
(Cumberlidge dan Ng, 2009:231). Cumberlidge dan Ng (2009:234) menyatakan
bahwa di Indonesia terdapat 83 spesies kepiting air tawar yang telah berhasil
diidentifikasi.
Secara umum terdapat 26 jenis ketam (Parathelphusa spp.) yang tersebar
diseluruh wilayah Indonesia. Untuk setiap ketam (Parathelphusa spp.) memiliki
bentuk karapas dan capit yang berbeda. Variasi bentuk karapas dan capit ini dijadikan
karakter utama sebagai kunci identifikasi untuk menentukan nama spesies hingga
subspecies (Ng, 1990:241-242).
16
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
2.4.3
Habitat Ketam (Parathelphusa spp.)
Ketam (Parathelphusa spp.) mempunyai adaptasi yang sesuai dengan habitat
khususnya. Mereka lebih toleran terhadap air asin. Ketam menggali liang relatif
dalam di tepi sungai maupun daerah pesisir. Mereka juga dapat ditemukan di bawah
daun, kayu dan batu di dalam air lambat mengalir. spesimen yang lebih kecil tidak
menggali liang tapi bersembunyi di antara vegetasi dan lumpur. Mereka sebagian
besar adalah omnivora, makan pada daun-daun kering, akar, biji, buah-buahan dll,
tetapi juga akan menyerang kerang, cacing dan binatang kecil ketika diberi
kesempatan. Parathelphusa adalah spesies yang sangat mudah beradaptasi, dan
merupakan salah satu krustacea yang kembali ke daerah yang tercemar, asalkan ada
tempat untuk menggali, beberapa naungan dan air bersih (Ng, 1990:245).
Parathelphusa gemar membuat lubang dan hidup di dalamnya. Lubang yang
dibuat antara lain berbentuk lurus, huruf „Jā€Ÿ dan lebarnya dapat mencapai 4-8 cm.
Seekor ketam membutuhkan waktu beberapa hari untuk membuat lubang yang dapat
bertahan lama. Setiap lubang akan dihuni oleh satu ekor ketam, kecuali saat musim
kawin. Ketika pasang tinggi menutupi habitat ketam, maka ketam akan segera masuk
ke dalam liang dan menutupi mulut liang dengan lumpur (Susilo, 2013:13).
Menangkap ketam (Parathelphusa spp.) mempunyai banyak kendala, hal ini
disebabkan kebiasaan nocturnal mereka. Kebanyakan spesies genus Parathelphusa
bersembunyi di bawah batu, lobang tanah (terutama yang datar) dan diantara vegetasi
tanaman. Untuk spesies genus Parathelphusa yang berhabitat didaerah berair waktu
terbaik untuk menangkap spesies genus Parathelphusa adalah pada malam hari
dengan menggunakan perangkap, sebab pada malam hari mereka mencari makan.
17
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
Sedangkan untuk spesies genus Parathelphusa yang berhabitat didaerah berlumpur
menggunakan sekop atau bambu adalah cara yang efektif (Oliver dan Peter, 2006:
406).
2. 5 Tabulasi Data Ketam (Parathelphusa spp.) yang ada di Indonesia
Tabel 1.1 Tabulasi Data Jenis Ketam di Indonesia
No
1.
Gambar
Nama Ilmiah
Distribusi
Parathelphusa
convexa
Jawa dan Sumatra
bagian selatan
2.
Parathelphusa
sabari
Kalimantan
3.
Parathelphusa
maculata
Jawa, Sulawesi,
Sumatra, Malaysia,
dan Singapura
18
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
4.
Parathelphusa
tritentata
Sumatra, Jawa,
Sulawesi,
Kalimantan
5.
Parathelphusa
pantherina
Sulawesi
6.
Parathelphusa
sarasinorum
Sulawesi
7.
Parathelphusa
lokaensis
Loka (sulawesi)
19
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
8.
Parathelphusa
ceophallus
Buton (sulawesi)
9.
Parathelphusa
celebensis
Sulawesi
10.
Parathelphusa
pallida
Sulawesi Selatan
11.
Parathelphusa
tenuipes
Sulawesi
20
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
12.
Parathelphusa
possoensis
Poso (sulawesi)
13.
Parathelphusa
pareparensis
Sulawesi
14.
Parathelphusa
crocea
Sulawesi Selatan
15.
Parathelphusa
sorella
Sulawesi
21
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
16.
Parathelphusa
ferruginea
Sulawesi
17.
Parathelphusa
batamensis
Sumatra dan
Singapura
18.
Parathelphusa
baweanensis
Sulawesi
19.
Parathelphusa
bogorensis
Jawa
22
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
20.
Parathelphusa
linduensis
Sulawesi
21.
Parathelphusa
lombokensis
Lombok
22.
Parathelphusa
maindroni
Sumatra, Malaysia,
dan Singapura
23.
Parathelphusa
modigliani
23
Sumatra
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
24.
Parathelphusa
nitida
Kalimantan
25.
Parathelphusa
quadrata
Sulawesi
26.
Parathelphusa
undulata
Kalimantan
2. 6 Faktor Fisik dan Kimia
Menurut Supriharyono (2009:73-74), faktor fisik dan kimia lingkungan perairan
mangrove, yaitu: (1) Frekuensi arus pasang; (2) Salinitas tanah; (3) Air tanah; (4)
Suhu air; (5) Derajat keasaman atau pH.
Tinggi dan waktu penggenangan air pasang yang cukup lama akan sangat
menentukan salinitas tanah. Selanjutnya salinitas tanah akan menetukan kehidupan
24
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
tumbuhan mangrove. Selain salinitas, suhu air adalah faktor yang menentukan
kehidupan tumbuhan mangrove. Suhu pembatas kehidupan mangrove adlah suhu
yang rendah dan kisaran suhu musiman Suhu merupakan faktor pembatas bagi
pertumbuhan dan distribusi krustacea termasuk ketam (Parathelphusa spp). Suhu
yang terdapat di kawasan hutan mangrove berkisar antara 20º-40ºC sedangkan
krustacea makroskopis seperti ketam (Parathelphusa spp) akan bertahan hidup pada
suhu air 24ºC.
Substrat tanah diketahui juga menentukan kehidupan komunitas mangrove.
Tipe substrat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak, yang
mengandung silt, clay dan bahan-bahan organik yang lembut. Sedangkan pH sangat
penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju aliran air.
Selain itu organisme akuatik lainnya hidup pada pH antara 7-8,5. pH berkisar dari 0
sampai dengan 14. Nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang asam, nilai
di atas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalis). Dan pH = 7 disebut sebagai
netral. Oksigen terlarut adalah salah satu faktor penting dalam setiap sistem perairan.
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar bagi organisme akuatik, termasuk
ketam (Parathelphusa spp) karena digunakan untuk respirasi. Kehidupan air dapat
bertahan jika ada oksigen terlarut minimal sebanyak 4 mg/l, selebihnya tergantung
pada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan
sebagainya. Jumlah oksigen terlarut meningkat sejalan dengan menurunnya suhu dan
naiknya salinitas (Supriharyono, 2009:75).
25
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
a.
Penelitian Relevan
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh :
1. Rikhi Riady, Radith Mahatma, dan Windarti (2014) yang berjudul “Inventarisasi
Kepiting Air Tawar Di Kecamatan Kampar Utara Kabupaten Kampar Provinsi
Riau”. Pengambilan sampel menggunakan bubu dan jaring di 14 stasiun yang
tersebar di Desa Sawah, Sendayan dan Sungai Jalau. Didapatkan sebanyak 178
sampel. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa semua kepiting tersebut termasuk
dalam Famili Gecarcinucidae dan genus Parathelphusa. Jumlah spesimen
terbanyak diperoleh pada stasiun dengan tipe habitat anak sungai yang
bervegetasi akuatik padat dan tidak didapatkan pada tipe habitat sungai. Dari hasil
penelitian ini Parathelphusa di Riau memiliki habitat pada perairan yang dangkal
dengan vegetasi akuatik yang padat
2. Vendi
Eko
Susilo
dan
Ahmad
Farajalallah
(2013)
yang
berjudul
“Keanekaragaman Kepiting Air Tawar (Ordo Decapoda:Brachyura) di
Kabupaten Batanghari dan Sarolongun Provinsi Jambi”. Teknik pengumpulan
data menggunakan secara Purposive di delapan tipe habitat meggunakan bubu
dan handnet. Hasil penelitian didapatkan 2 Genus (Parathelphusa dan
Geosesarma) yang terdiri atas Parathelphusa tridentata, Parathelphusa
batamensis, Parathlephusa maindroni, Parathlephusa maculata dan Geosesarma
sp. Hasil penelitian mendapatkan indeks Keanekaragaman yang tertinggi pada
habitat Jungle rubber sebesar 1,4 dan terendah pada oil palm campur dengan
jungle rubber sebesar 0,5.
26
Dicetak pada tanggal 2017-07-19
Id Doc: 589c97bf81944d4912494159
3. Oliver K. S. Chia and Peter K. L. Ng (2006) yang berjudul “The Freshwater
Crabs Of Sulawesi, With Descriptions Of Two New Genera And Four New
Species (Krustacea: Decapoda: Brachyura: Parathelphusidae”). Hasil penelitian
di dapatkan 13 spesies yaitu Parathelphusa pantherina (Schenkel, 1902),
Parathelphusa sarasinorum (Schenkel, 1902), Parathelphusa lokaensis (De
Man, 1892), Parathelphusa pallida (Schenkel, 1902), Parathelphusa celebensis
(De Man, 1892), Parathelphusa ceophallus, Parathelphusa crocea (Schenkel
1902), Parathelphusa pareparensis (De Man, 1892), Parathelphusa possoensis
(Roux, 1904), Parathelphusa tenuipes (Roux, 1904), Parathelphusa linduensis
(Roux, 1904), Parathelphusa ferruginea, dan Parathelphusa matannensis H.
Milne Edwards, 1853.
27
Download