Sarbanes-Oxley, Corporate Reporting Supply Chain dan Filantrop: Sebuah Perenungan Etika Sosial dalam dunia Manajemen ---Josua Tarigan, Staf Pengajar FE UK PETRA--Anda masih ingatkah kita akan film “Catch Me if You Can” yang diperankan oleh Tom Hanks (FBI) dan Leonardo DiCaprio (penjahat)? Saya pikir jika kita sedikit menyukai film action maka film tersebut tidak sulit kita temukan kembali dalam memori kita. Film tersebut merupakan salah film yang bercerita mengenai peperangan antara kejahatan dengan kebaikan, antara hitam dan putih atau antara Tom Hanks dengan Leonardo DiCaprio. Survei yang dilakukan oleh PriceWaterhouseCoopers terhadap investorinvestor internasional di Asia, menunjukkan bahwa Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk dalam bidang standar-standar akuntansi dan pertanggungjawaban terhadap pemegang saham, standarstandar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengurusan. Hal senada dalam kajian yang berbeda menunjukkan bahwa tingkat perlindungan investor di Indonesia merupakan yang terendah di Asia Tenggara (FCGI). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal di indonesia masih rendah. Kendalan dan ketepatan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan (termasuk disklosur), merupakan hal yang penting untuk mendapatkan kepercayaan dari investor di pasar modal (josua, eii: 2006). Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-117/MMBU/2002 secara resmi memerintahkan seluruh BUMN untuk menerapkan prinsip-prisip Good Corporate Governance (GCG) secara konsisten dalam day-to-day operasional organisasi BUMN. Tragedi runtuhnya perusahan-perusahaan raksasa seperti Enron dan WorldCom di Amerika membuat dikeluarkannya undang-undang (Sarbanex-Oxley Act) yang diprakarsai oleh senator Paul Sarbanes (Maryland) dan wakil rakyat Michael Oxley (Ohio), dan telah ditandatangani oleh presiden George W. Bush. Dalam Sarbanex-Oxley Act diatur tentang Akuntansi, pengungkapan & pembaharuan tatakelola, yang mensyaratkan adanya pengungkapan yang lebih banyak mengenai informasi keuangan, keterangan tentang hasil-hasil yang dicapai manajemen, kode etik bagi pejabat di bidang keuangan, pembatasan kompensasi ekskutif dan pembentukan komite audit yang independen. Memang tidak dapat dipungkiri, apa yang dilakukan oleh pasar modal di Amerika, belum sepenuhnya terjadi di Indonesia. Namun sebenarnya prinsip-prinsip dasar dari Sarbanes-Oxley act sebenarnya relevan untuk diterapkan di Indonesia, sesuai dengan semangat GCG, yakni peningkatan transparansi, peningkatan tanggung jawab untuk terus menerus menyempurnakan sistem internal control perusahaan dan peningkatan efektifitas dan indepedensi auditor eksternal merupakan hal yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Pada saat ini di Indonesia, memang tidak memiliki undang-undang yang mengatur industri audit sekomprehensif Sarbanes-Oxley, namun beberapa peraturan yang secara terpisah dikeluarkan IAI, Bank Indonesia dan BAPEPAM memiliki beberapa kesamaan dengan komponen dari Sarbanes-Oxley, walaupun terkesan terpisah-pisah (Muntoro: 2006). THE CORPORATE REPORTING SUPPLY CHAIN Preparing Fin. Statements Company Executives Approved Fin. Statements Boards of Directors Attesting Fin. Statements Broadcasting Fin. Statements Independent Auditors Analysing Fin. Statements Information Distributors Standard Setters Market Regulators Enabling Technologies Third Party Analysts Making decisions Investors and Other Stakeholders Dengan adanya Sarbanes-Oxley ini akan mengefektifkan dari pelaksanaan corporate reporting supply chain. Konsep dari “the corporate reporting supply chain” (perhatikan gambar ), sebuah model yang menggambarkan proses pembuatan laporan keuangan, hingga penggunaan laporan tersebut untuk pengambilan keputusan. Dalam proses pembuatan laporan keuangan, manajemen dan pucuk pimpinan dari perusahaan berada di awal dari seluruh rangkaian proses sistem pelaporan tersebut, yakni pihak yang berada di urutan pertama dari keseluruhan proses penyampaian laporan keuangan kepada masyarakat, sekaligus merupakan pihak yang berada pada posisi paling dominan dalam menentukan hitam-putih atau abu-abunya segala bentuk laporan keuangan yang akan disampaikan kepada masyarakat, dengan kata lain pihak yang cukup dominan dalam menentukan tata kelola yang baik (good corporate governance). Terciptanya tatakelola yang baik (good corporate governance) merupakan impian kaum “Tom Hanks” yang berusaha untuk mewujudkannya dengan menggagas Sarbanes-Oxley, Corporate Reporting Supply Chain ataupun “Sarbanes-Oxley“ yang lain yang akan muncul seiring dengan waktu. Kita sebagai sebagi alumni memiliki peranan dalam setiap organisasi dimana kita berada, sebagai “Tom Hanks“ atau sebagai “Leonardo DiCaprio“ (tentu saja ketika sebelum bertobat)? Ada yang menarik dari edisi majalah SWA bulan ini (6-19 April), membahas mengenai pengusaha dan eksekutif filantrop, yakni sifat dari para pengusaha dan eksekutif yang masih dapat memikirkan orang lain (sosial) walaupun terkadang bisnis atau pekerjaan para pengusaha tersebut juga dalam keadaan yang tidak terlalu baik. Dalam kondisi ini, sebenarnya bukan berbicara lagi mengenai benar atau salah namun bagaimana dalam menjalankan usaha dengan cara yang benar, namun masih tetap memikirkan orang lain, yakni aspek sosial. Inilah yang ternyata membuat kaum filantropi lebih “kaya“, ketika hidup mereka dapat lebih bermakna dengan memperhatikan sesama. Selamat menjalani hidup sebagai “Tom Hanks“ ala Filantrop.