- Lumbung Pustaka UNY

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konseling Individual
1. Pengertian Konseling Individual
Pemberian layanan konseling bisa dilakukan kepada seorang
konseli atau lebih. Berdasarkan jumlah konseli, proses pemberian layanan
konseling dibedakan menjadi 2 macam yaitu, konseling kelompok dan
konseling individual. Konseling kelompok menghadirkan 5-10 orang
konseli, kemudian dalam pelaksanaanya memanfaatkan dinamika interaksi
sosial yang terjadi diantara anggota kelompok. Sedangkan dalam
konseling individual, hanya menghadirkan satu orang konseli dan
keberhasilan prosesnya tergantung pada interaksi antar konselor dan
konseli itu sendiri. Fungsi konselor di sini mempunyai pengaruh besar
terhadap terselesaikannya problem konseli, karena hanya konselorlah yang
bisa memberikan masukan dan bimbingan sebagai bahan pertimbangan
konseli.
Kegiatan konseling memang berbeda dengan kegiatan bimbingan.
Di dalam kegiatan konseling mengandung banyak tujuan, mulai dari
pencegahan hingga penyembuhan, sehingga konselor dituntut untuk
menguasai keterampilan tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh Gibson dan
Mitchell (2011:205) ”Konseling sebagai keterampilan dan proses yang
harus dibedakan dari sekedar memberi nasihat, memberi pengarahan,
bahkan mungkin mendengarkan secara simpatik”. Sama halnya dengan
14
pendapat Gibson dan Mitchael, Mc. Leod (2007:21) menjelaskan bahwa
konseling tidak hanya sekedar memberi nasihat, melainkan adalah tentang
bekerja sama dengan seseorang untuk memahami dan menyelesaikan
masalah.Selain itu, konseling juga merupakan sebuah proses yang tidak
hanya
melihat
bimbingantetapi
orang
sebagai
merupakan
penerima
sebuah
pasif
informasi
yang
keberhasilannya
proses
atau
tergantung pada keterlibatan aktif antara konselor dan konseli. Mc. Leod
(2007:132) juga menjelaskan ada beberapa prinsip dalam konseling yang
membedakan
hubungan dalam konseling dengan hubungan-hubungan
yang lain yaitu,
a. Being there for the person,dalam hal ini konselor tidak menggunakan
sesi konseling untuk kebutuhan pribadi, atau berdasarkan keinginan
konselor.
b. Being trustworthy, konselor harus bisa menjadi seseorang yang bisa
dipercaya oleh konseli.
c. Caring
konselor
memberikan
kepedulian
yangtulus
terhadap
kebutuhan konseli.
d. Belief that change is possible , Konselor meyakinkan kepada konseli
bahwa segala perubahan adalah mungkin, semua akan seperti apa yang
diharapkan.
e. Reflexivity , konselor mampu mengendalikan segala macam reaksi
terhadap tingkah laku konseli dan mampu memanfaatkan informasi
yang didapat untuk kepentingan konseling agar lebih efektif.
15
f. Collaborative Stance, apapun yang terjadi dalam proses konseling
tergantung dari upaya dan tindakan antar akonselor dan konseli
Pengertian dari kata konseling menurut Latipun (2008:3) adalah
konseling (counseling) berasal dari kata counsel yang diambil dari bahasa
latin yaitu counselium, artinya “bersama” atau “bicara bersama”. Dalam
hal ini adalah pembicaraan konselor dengan seorang atau beberapa
konseli. Dapat diartikan bahwa counselium adalah “People coming
together to gain an understanding of problem that beset them were
evident”.Dilihat dari banyak proses, konseling biasanya berawal dari
kebingungan konseli dalam memahami masalah yang sedang dihadapinya
dan mereka bingung untuk mengambil sikap.
Berbeda dengan Latipun, Bimo Walgito (2004:7)menjelaskan,
”Konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam
memecahkan masalah kehidupannya dengan wawancara dan dengan cara
yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi individu untuk mencapai
kesejahteraan hidupnya”.Lebih lanjut Bimo juga menjelaskan bahwa pada
akhirnya konseli dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi
dengan kemampuannya sendiri. Dengan demikian maka konseli akan
selalu aktif dan mempunyai kesanggupan dalam memecahkan masalah lain
yang mungkin akan dihadapi dalam kehidupannya. Sama halnya dengan
Bimo Walgito, Ahmad J. Nurihsan (2009:10) jugamenjelaskan bahwa
konseling adalah :
16
”Upaya membantu individumelalui proses interaksi yang bersifat
pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami
diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan
menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga
konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya”.
Gibson dan Mitchael (2011:205) menambahkan, konseling
individual sebagai sebuah hubungan yang melibatkan seorang konselor
terlatih dan berfokus ke sejumlah aspek penyesuaian diri konseli,
perkembangan atau kebutuhanya dalam pengambilan keputusan. Konselor
yang melakukan proses konseling merupakan orang yang sudah terlatih,
sehingga kebutuhan konseli akan terpenuhi secara maksimal.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ahli,
dapatdisimpulkan pengertian dari konseling individual adalah proses
bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli, terkait pemahaman
dan solusi dari masalah yang sedang dialami, dengan memaksimalkan
potensi dalam diri konseli.
2. Tujuan Konseling Individual
Pemberian layanan konseling yang dilakukan oleh konselor
terhadap konseli tentunya mempunyai tujuan tertentu. Tujuan tersebut bisa
muncul dari pihak konselor ataupun dari konseli itu sendiri. Pada dasarnya
tujuan konseling adalah membantu mengentaskan konseli dari masalahnya
dengan memaksimalkan potensi yang ada pada konseli.Secara garis besar
tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling biasanya terdiri dari
tujuan jangka pendek (immediate goal), tujuan ini merupakan tujuan yang
17
dilakukan sepanjang proses eksplorasi, yaitu kesediaan konseli untuk
membuka diri. Tujuan jangka menengah (mediate goal), merupakan tujuan
yang lebih spesifik yang mencoba mengembangkan potensi individu.
Tujuan jangka panjang (ultimate goal) lebih bersifat universal, misalnya
aktualisasi diri, realisasi diri dan peningkatan diri
Beberapa ahli menjelaskan tujuan dari konseling secara rinci,
seperti yang di paparkan oleh Prayitno dan Erman Amti (2004:112) tujuan
dari konseling antara lain adalah :
a. Membantu konseli mendapatkan dukungan untuk mengatasi masalah
yang sedang dihadapi
b. Membantu konseli memperoleh wawasan yang lebih luas tentang
berbagai alternatif, pandangan dan pemahaman-pemahaman, serta
keterampilan baru.
c. Membantu konseli menghadapi ketakutan-ketakutannya, sehingga dia
bisa mengambil keputusan dan mempunyai keberanian untuk
menjalankannya.
Berbeda dengan Erman Amti, Gibson dan Mitchell (2011:236)
menjelaskan tujuan dari proses konseling antara lain:
a. Tujuan perkembangan,klien dibantu untuk memenuhi atau
meningkatkan potensinya mengantisipasi pertumbuhan dan
perkembangan dirinya (secara sosial, personal, emosi, kognitif,
kesejahteraan fisik dan lain-lain).
b. Tujuan preventif, konselor membantu klien menghindari sejumlah
hasil yang tidak diinginkan.
c. Tujuan perbaikan, membantu klien mengatasi dan/atau menangani
perkembangan yang tidak diinginkan.
d. Tujuan penguatan. Penguatan digunakan ketika klien memerlukan
bantuan untuk mengenali apa yang sedang mereka kerjakan, pikirkan
dan/atau rasa sudah baik-baik saja.
Secara lebih umum Latipun (2008:45) juga memaparkan tujuan
konseling dalam tiga kelompok, pertama mengubah perilaku konseli yang
salah penyesuaian menjadi perilaku yang tepat penyesuaian.Perilaku yang
18
salah penyesuaian adalah perilaku yang tidak tepat dan dapat mengarahkan
konseli kepada hal-hal yang tidak diinginkan.Biasanya ini terjadi pada
siswa yang mendapatkan masalah, tetapi tidak mendapatkan perhatian dan
bimbingan dari orang yang lebih tahu, sehingga dia memilih untuk
mencari jalan pelarian.Perilaku tersebut harus diubah menjadi perilaku
yang tepat penyesuaian, yaitu perilaku yang sehat dan tidak ada indikasi
adanya hambatan atau kesulitan mental.Kedua, Belajar membuat
keputusan.Banyak konseli yang datang ke konselor karena tidak dapat
membuat keputusan. Mereka merasa bimbang terhadap keputusan yang
akan
dibuat
karena
takut
menanggung
konsekuensi
yang
akan
didapatnya.Di sinilah konselor memberikan bantuan berupa penguatan
kepada konseli, sehingga dia dapat membuat keputusan sesuai dengan
yang
diharapkan.Konselor
memberikan
bimbingan
dan
alternatif
pemecahan yang terbaik bagi konseli.Ketiga,mencegah munculnya
masalah lain. Ketika masalah yang sedang dihadapi konseli tidak langsung
ditangani, biasanya akan memunculkan masalah-masalah baru. Konseling
diselenggarakan tidak hanya untuk mencegah agar tidak mengalami
hambatan dikemudian hari, melainkan juga mencegah agar masalah yang
sedang dihadapi konseli tidak menimbulkan gangguan yang lebih
luas.Oleh sebab itu masalah yang sedang dialami konseli harus secepatnya
diselesaikan.
Berdasarkan pemaparan beberapa ahli terkait tujuan proses
konseling, peneliticenderung mengikuti tujuan yang dipaparkan oleh
19
Latipun. Tujuan tersebut sudah mencakup aspek yang lebih luas, mulai
dari preventif atau pencegahan hingga penyembuhan. Dalam proses
konseling, konselor harus mengubah perilaku konseli yang salah
penyesuaian menjadi perilaku yang tepat penyesuaian. Selain itu juga
konseli dibimbing untuk belajar membuat keputusan terkait masalah yang
sedang dihadapinya, sehingga dia akan lebih mandiri dan mempunyai
kesanggupan untuk memecahkan masalah lain yang mungkin akan
dihadapi dalam kehidupannya. Konselor juga harus segera menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapi konseli agar tidak menimbulkan masalah
lain.
3.
Proses konseling Individual
Untuk mencapai tujuan yang maksimal, tentunya dalam pelaksanaan
konseling harus melalui berbagai tahapan.Langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam proses konseling menurut Gibson dan Mitchell (2011:239245) adalah:
a. Membangun hubungan
Langkah awal yang harus ditempuh konselor dalam proses
konseling adalah membangun hubungan yang baik dengan konseli. Hal ini
bertujuan agar tercipta sebuah kepercayaan, sehingga akan mudah
menciptakan penghargaan timbal–balikdan komunikasi terbuka antar
keduanya. Dalam proses inikeahlian komunikasi seorang konselor sangat
dibutuhkan, seperti mendengarkan dengan penuh perhatian dan memahami
20
apa yang dirasakan konseli, dengan begitu maka masalah konseli akan
tereksplor dengan maksimal.Faktor terpenting dalam tahap ini adalah
penghargaan, empati dan penerimaan positif, sehingga konseli tidak segan
untuk mengeluarkan semua permasalahan yang sedang dihadapinya.
b. Pengidentifikasian dan pengeksplorasian problem
Setelah hubungan sudah berhasil dibangun, maka konseli
akanmempunyai respon positif terhadap diskusi dan eksplorasi yang
mendalam mengenai problem yang sedang mereka alami. Disini Konselor
terus menampilkan perilaku pendampingan dengan terus memberikan
berbagai klarifikasi, pemeriksaan persepsi ataupun yang lain guna menarik
konseli agar terus melontarkan problemnya.Hal yang harus dihindari
dalam tahap eksplorasi problem adalah melontarkan pertanyaan yang
sifatnya
menantang,
mempermalukan
dan
menekan
konseli.Ketikamengidentifikasi problem, konselor perlu memperhatikan
pemahaman
konseli
terhadap
masalah
yang
sedang
dialaminya.
Pemahaman terhadap masalah antara konselor dan konseli harus sama agar
mempermudah dalam menentukan langkah-langkah berikutnya. Ketika
konseli belum mempunyai kesamaan pemahaman dengan konselor, maka
dia akan cenderung menolak apapun yang disarankan konselor, karena
konseli mempunyai perspektif yang berbeda terhadap masalahnya.
Pemberian sugesti di tahap ini juga diperlukan untuk membantu proses
menyamakan persepsi konseli. Selain itu juga perlu ada eksplorasi
perubahan yang dibutuhkan dari penghalang yang mungkin muncul.
21
c. Merencanakan pemecahan problem
Setelah semua informasi terkait problem konseli didapat, maka
langkah selanjutnya adalah membuat rencana untuk memecahkan problem.
Langkah yang ditentukan nantinya harus benar-benar sesuai dengan
apayang dibutuhkan konseli. Kekeliruan menetapkan tujuan bisa mengarah
kepada prosedur yang tidak produktif dan hilangnya kepercayaan konseli
pada proses konseling.
Pada tahap ini konseli dilibatkan secara aktif dalam pembahasan
alternatif-alternatif solusi yang akan diambil. Harapannya ketika solusi
tersebut muncul dari konseli itu sendiri maka dia akan mengetahui
langkah-langkah apa yang harus dia lakukan. Penentuan langkah tesebut
masih dalam bimbingan konselor, jika ada langkah-langkah yang dianggap
terlalu kompleks maka mustahil diterapkan dan dicarikan alternatif lain.
Solusi yang dipilih nantinya adalah yang paling tepat dan disepakati oleh
konselor dan konseli.
d. Pengaplikasian solusi dan penutupan konseling.
Di tahap terakhir ini, tanggung jawab menjadisalah satu syarat
utama keberhasilan.Konselor harus membimbing konseli agar dia mau
berkomitmen dan bertanggung jawab untuk mengaplikasikan solusi yang
sudah disepakati.Konselor menentukan titik awal dan titik akhir
pengaplikasian. Diawali dengan pemberian penguatan terhadap konseli
agar yakin dengan langkah yang akan ditempuh,kemudian terus
22
mengontrol segala perubahan yang dialami konseli sebagai bagian dari
upaya follow up.
Selain tahapan-tahapan di atas, secara umum Bimo Walgito
(2004:187) membagi pelaksanaan konseling menjadi 3 tahap, pertamatahap
persiapan, keduatahap konseling dan yang ketiga tahap follow up. Tahap
persiapan, konselor melakukan pencarian data. Data tersebut berkaitan
dengan masalah yang sedang dialami konseli, kemudian diolah dan
disimpulkan (diagnosis). Data hasil dari diagnosis dijadiakan sebagai dasar
untuk menentukan langkah yang akan dilakukan ketika konseling. Tahap
berikutnya adalah konseling, di sini konselor menjalankan langkah-langkah
yang telah dibuatnya di tahap persiapan. Biasanya lebih cenderung ke arah
pencegahan dan penyembuhan. Dalam tahap konseling, biasanya muncul
berbagai macam teknik. Teknik yang digunakan tentunya adalah teknik yang
paling cocok dengan kebutuhan konseli. Tahap terakhir adalah follow up,
konselor melakukan kontrol apakah hal-hal yang telah disepakati dalam
proses konseling betul-betul dijalankan. Pada tahap ini juga konselor
melakukan kontrol terkait tepat atau tidaknya solusi yang yang telah diambil,
jika tidak tepat maka harus segera diambil langkah baru.
Berdasarkan beberapa pemaparan tahapan konseling menurut para
ahli, dapat disimpulkan bahwa tahap pelaksanaan konseling terdiri dari
beberapa tahap. Hal yang paling utama harus dilakukan konselor adalah
persiapan. Di dalam persiapan ini konselor mencari data-data dari hasil
eksplorasi terhadap konseli. Untuk mendapatkan data tersebut tentunya
23
konselor harus terlebih dahulu membangun hubungan dengan konseli, agar
dalam pengeksplorasian masalah konseli bisa memberikan respon positif.
Tahap berikutnya adalah konseling. Pada tahap ini konselor sudah
mendapatkan diagnosa permasalahan konseli, kemudian hasil diagnosa
tersebut dijadikan pertimbangan konselor dalam memilih teknik yang akan
digunakan untuk proses pencegahan atau penyembuhan masalah konseli.
Tahap yang terakhir adalah follow up. Konselor terus memantau
perkembangan konseli. Hal ini bertujuan untuk mengukur tingkat keefektifan
layanan yang sudah diberikan. Jika ada solusi yang dirasa tidak optimal maka
harus segera diambil langkah baru.
Penguasaan dan pemahaman konselor tehadap proses maupun tujuan
konseling dirasa belum cukup untuk mendukung keberhasilan konseling
(Corey, 2007:6). Konselor harus memiliki pengetahuan yang luas akan teori
konseling dan teknik konseling, dengan demikian proses konseling akan
efektif dan maksimal.
B. Teori Rational Emotive Behavior
1. Kedudukan Teori dalam Proses Konseling
Dalam proses konseling terdapat beberapa dimensi yang masingmasing memberikan kontribusi terhadap jalannya proses konseling
tersebut (Juntika, 2009:82). Dimensi yang pertama adalah kondisi yang
mendasari adanya bantuan, dimensi yang kedua adalah prakondisi yang
mengarahkan konseli untuk mencari bantuan dan konselor untuk
24
memberikan bantuan, dimensi yang ketiga adalah hasil dari interaksi
diantara konselor dan konseli. Kemampuan konselor dalam memberikan
layanan bantuan merupakan bagian yang terdapat dalam dimensi kedua.
Konselor harus menguasai berbagai keterampilan untuk memperlancar
jalannya proses bantuan. Selain itu, konselor juga harus menguasai
berbagai teori sebagai acuan dalam melaksanakan proses konseling
Konselor dituntut untuk cerdas membaca akar permasalahan yang
sebenarnya dialami oleh konseli, agar tidak terjadi kesalahan dalam
penentuan langkah-langkah penyembuhan dan perbaikan.Usaha yang bisa
dilakukan untuk menghindari kesalahan tersebut adalah, mengaplikasikan
teori dalam pengidentifikasian problem.Teori di sini berfungsi sebagai
pemandu dalam menyusun kerangka kerja, sehingga bisa memprediksi
hasil-hasil yang memungkinkan sesuai kondisi yang sedang dialami
konseli. Boeree (2008:10) memposisikan teori sebagai model dalam
praktek
konseling
menjelaskan,
yang
membantu
memperkirakan
dan
konselor
mengontrol
dalam
memahami,
realitas
masalah
konseli.Bisa diibaratkan teori adalah sebuah peta. Peta sama sekali tidak
menjelaskan secara detail kondisi wilayah tertentu, namun peta dapat
membantu seseorang dalam melakukan pencarian jalan agar tidak tersesat.
Jika seseorang sudah tersesat, maka peta bisa mengarahkan agar orang
tersebut menemukan jalan yang benar.
Secara detail, Gladding (2005:5) menjelaskan 6 fungsi dari teori
konseling,
25
1. Theory helps counselors find unity and relatedness within the
diversity of experience.
2. Theory Compels counselors to examine relationships they would
otherwise overlook
3. Theory gives counselors operational guidelines by which to work
and helps them evaluate their development as professionals.
4. Theory helps counselors focus on relevant data
5. Theory enables counselors to assist client in effective behavior
modification.
6. Theory assist counselors in evaluating old and constructing new
approaches to the process of counseling.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak teori yang
berkembang.Semuanya bisa dijadikan sebagai panduan dalam penanganan
masalah konseli, tergantung konteks permasalahan yang dihadapi.
Pendekatan yang berbeda akan memfokuskan konselor pada aspek teori
yang berbeda pula. Jika sebuah gagasan dipandang cocok dan bermanfaat
maka tidak ada salahnya diterapkan dan mengesampingkan unsur
pemahaman.
Berdasarkan latar belakang, masalah yang muncul pada kehidupan
remaja lebih banyak disebabkan oleh pemikiran irrasional yang kemudian
berkembang lebih jauh ke arah perilaku negatif.Untuk menyelesaikan
masalah yang bersumber dari pemikiran irrasional, lebih tepat jika
menggunakan teori Rational Emotive Behaviordalam pelaksanaan
konseling,meskipun salah satu teori saja mungkin tidak cukup memadai
untuk menangani masalah konseli dalam jangka waktu tertentu, sehingga
memerlukan adanya kombinasi antar teori.
2. Konsep Dasar Rational Emotive Behavior
26
Sesuai dengan latar belakang, penelitian ini difokuskan pada teori
Rational Emotive Behavior. Teori Rational Emotive Behavior merupakan
teori yang dicetuskan oleh Albert Ellis. Ellis menjelaskan bahwa,
pemikiran irrasional konseli merupakan awal dari munculnya pemahaman
yang salah dan berlanjut menjadi sebuah masalah.Pada dasarnya manusia
dilahirkan dengan 2 dasar biologis yaitu potensi untuk berfikir atau
berperilaku irrasional dan berfikir atau berperilaku rasional (Kevin, Jan
Minner& Andre Marquis 2004:300). Seperti halnya yang dijelaskan oleh
Gibson dan Mitchel (2011 : 220)
“Teori REBT didasarkan pada asumsi kalau manusia memiliki
kapasitas untuk bertindak dengan cara-cara yang rasional maupun
irrasional.Perilaku rasional dianggap efektif dan produktif sedangkan
perilaku irrasional dianggap menghasilkan ketidakbahagiaan dan
ketidakproduktifan.”
Latipun (2008:110) menambahkan, Ellis menyusun Rational
Emotive Behavior berdasarkan hasil pengamatannya bahwa banyak anak
yang tidak mencapai kemajuan karena dia tidak memiliki pemahaman
yang tepat dalam hubungannya dengan peristiwa–peristiwa yang
dialami.Teori Rational Emotive Behavior mengasumsikan bahwa semua
manusia terlahir dengan pemikiran yang rasional, irrasional, masuk akal
dan tidak masuk akal.
Perilaku tersebut memang pada dasarnya merupakan bawaan
biologis. Bahkan ketika seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang
penuh dengan pemikiran dan perilaku rasionalpun, tetap mempunyai
potensi untuk berfikir dan bertindak secara irrasional terhadap diri, orang
27
lain danlingkungannya.Selain itu, orang yang selalu mempunyai pemikiran
rasionalakan dengan mudah mengubah pemikiran irrasional menjadi lebih
rasional. Hal ini dikarenakan kapasitas biologi yang kuat, sehingga dia
memiliki kekuasaan dan tangung jawab terhadap perubahan diri (Kevin,
Jan Minner & Andre Marquis 2004:302).
3. Pandangan teori Rational Emotive Behavior tentang sifat manusia
Cara pandang teori Rational Emotive Behavior terhadap sikap
manusia adalah setiap manusia mempunyai sikap yang absolut berupa
keharusan-keharusan. Menurut Kevin, Jan Minner & Andre Marquis
(2004:305) sikap absolut tersebut terdiri dari 3 keharusan :
a. Keharusan terhadap diri sendiri
Keyakinan yang mengharuskan dirinya sukses dan tanpa cela. Ketika
dia tidak mencapai kesuksesan tersebut maka dia akan merasa malu,
bersalah dan memandang bahwa dirinya mempunyai prestasi yang
rendah.
b. Keharusan terhadap orang lain
Pemberian tuntutan kepada perilaku orang lain. Sebagai contoh,
menuntut orang lain untuktidak boleh marah padanya, jika orang lain
marah padanya berarti dia adalah orang yang tidak dicintai. Perilaku
irrasional yang timbul adalah kemarahan, kebencian, kecemburuan,
perilaku agresif bahkan hingga tindakan kekerasan.
c. Keharusan terhadap kehidupan
28
Tuntutan kepada kehidupan dirinya.Seseorang yang menuntut agar
hidupnya selalu bahagia, ketika hidupnya tidak bahagia maka dia
menganggap
dirinya
padanya.Perilaku
adalah
irrasional
berdayaan,keputusasaan,
korban
yang
penundaan
dan
dunia
muncul
dan
tidak
adalah
menganggap
adil
ketidak
semua
kemungkinan adalah hal yang mustahil dicapai.
Keharusan yang absolut tersebut merupakan sifat bawaan
manusia.Semua manusia memiliki ketiga keharusan tersebut, tetapi
tergantung bagaimana orang tersebut menyikapinya. Jika pemikiran
rasional lebih dominan dalam dirinya, maka sifat absolut tersebut tidak
akan menjadi perilaku negatif yang lebih jauh. Jika sifat irrasional yang
lebih dominan, ketika keharusan tersebut tidak tercapai maka akan muncul
perilaku yang negatif. Sama halnya dengan Kevin dkk, Gladding
(2005:141)mengatur keyakinan absolut manusia ke dalam 3 bagian yaitu :
a. Saya harus melakukan tugas dengan baik sehingga bisa diakui oleh
oranglain, jika dia tidak mengakuinya maka saya adalah orang yang
tidak berharga.
b. Orang lain terutama teman-temanku harus memperlakukanku dengan
baik dan adil, jika tidak demikian maka mereka adalah orang-orang
yang busuk dan sangat terkutuk.
c. Saya harus hidup dengan kondisi yang nyaman, menyenangkan dan
selalu ada kemudahan, jika tidak demikian maka itu semua adalah
mengerikan, saya tidak akan bisa hidup, hidup saya akan tidak layak.
29
Hasil dari ketiga pemikiran tersebut kemudian menimbulkan
perasaan dengan toleransi frustasi yang rendah, sehingga menimbulkan
keterpaksaan
dan
selalu
menghindar
dari
keramaian
umum.
Kemudianakanmenjadi latar belakang seseorang untuk menjadi orang
yang tertutup dan depresi karena pemikiran-pemikiran irrasionalnya.
Berbeda dengan pendapat Gladding, Palmer (2011:502-504)
menjelaskan keyakinan absolut konseli merupakan pemikiran irrasional
yang biasa ditemukan pada inti gangguan emosi, yaitu :
a. Pemburukan
Konseli mendefinisikan sebuah peristiwa negatif menjadi begitu
buruk, sehingga berpotensi memunculkan perilaku–perilaku buruk
yang lain sebagai konsekuensi pemikiran tersebut. Sebagai contoh
ketika ada siswa dikritik terkait penampilannya yang tidak mengikuti
tren.Kritikan tersebut dianggap sebagi sesuatu yang buruk, sehingga
menyebabkan dia menutup diri dan terus mencela keadaan dirinya.
b. Toleransi frustasi yang rendah
Ketidakmampuan konseli untuk mengemban ketidaksenangan atau
peristiwa buruk. Hal ini yang biasanya menimbulkan efek putus asa
dan lain sebagainya. Sebagai contoh ketika seorang siswa dengan
keluarga broken home.Dia tidak mampu mengemban keadaan
tersebut, kemudian memilih untuk melakukan kegiatan-kegiatan
negatif sebagai pelarian atas peristiwa buruk yang menimpanya dalam
hubungan keluarga.
30
c. Pengutukan diri sendiri / orang lain
Konseli memberikan label negatif pada diri sendiri ataupun orang lain
berdasarkan tindakan atau peristiwa buruk yang telah menimpanya.
Sebagai contoh siswa yang membenci guru mata pelajaran tertentu,
dikarenakan dia selalu mendapat nilai buruk dalam setiap tes pelajaran
tersebut.
Berdasarkan ketiga keyakinan absolut tersebut, lebih lanjut Palmer
(2011:505) menjelaskan alternatif keyakinan yang lebih positif dan
membangun agar perilaku negatif konseli bisa diminimalisir. Alternatif
keyakinan tersebut adalah:
a. Anti pemburukan
Peristiwa negatif atau yang tidak menyenangkan harus dinilai
berdasarkan skala keburukan yang ada dalam pemahaman manusia,
sehingga akan muncul sebuah pemikiran alternatif yang membangun.
Fungsi bimbingan dari guru BK sangat berperan penting dalam
perubahan pemahaman konseli.Guru BK mengarahkan pemikiran
konseli kearah yang lebih positif.Kritikan terhadap penampilan
merupakan sesuatu yang wajar.Konselor harus menguatkan konseli
terkait pemikiran mengenai penampilan yang ideal menurut dirinya.
b. Toleransi frustasi yang tinggi.
Pada dasarnya manusia mempunyai keinginan untuk bertahan hidup,
merasakan kebahagiaan dan mencapai aktuaisasi diri.Kemampuan
untuk
bertahan
atau
bertoleransi
31
terhadap
kesulitan
dan
ketidaknyamanan dalam kehidupan seseorang akan memacu seseorang
berfikir rasional. Ketika ada siswa yang mengambil jalan pelarian dari
masalah keluarganya, konselor bertanggung jawab untuk membawa
siswa
tersebut
dalam
kehidupan
nyata
yang
sedang
dialaminya.Memberikan pemahaman terkait tanggung jawab yang
diemban siswa tersebut dalam hubungan sebuah keluarga, sehingga dia
memiliki motivasi untuk bertahan dan bertoleransi dengan keadaan
yang sebenarnya.
c. Penerimaan diri dan orang lain
Konseli harus mempunyai pemikiran kalau manusia dipandang tidak
sempurna dan selalu berubah, sehingga segala keburukan yang terjadi
merupakan konsekuensi dari ketidaksempurnaan itu, dan konseli harus
menerimanya.Jika ada konseli yang terus mengutuk salah satu guru
pelajaran karena nilainya yang selalu buruk, maka konselor harus
memberikan bimbingan dan arahan terkait pemikirannya yang sempit.
Pemahaman akan ketidaksempurnaan manusia perlu ditekankan agar
konseli bisa menerima konsekuensi dari ketidaksempurnaan itu.
4. Teori A-B-C-D dalam Rational Emotive Behavior
Teori Rational EmotiveBehaviormemaparkan bahwa sebagianbesar
problem konseli melibatkan pikiran–pikiran tidak realistis, tidak logis dan
merusak diri, kemudian harus diberikanpengaruh berupa ide-ide yang
lebih positif seperti pikiran–pikiran logis dan membangun, sehingga
32
konseli akan mulai merubah pola pikirnya yang irrasional menjadi lebih
rasional. Teori Rational Emotive Behavior memperlihatkan bagaimana
seseorang mempersepsikan suatu kejadian dan akan berdampak pada
bagaimana orang itu berfikir. Kejadian atau peristiwa (A= Activating
event) pada hidup seseorang memberikan kontribusi pada perilaku
seseorang. Sebagai contoh, ketika guru membagikan hasil ujian kepada
seluruh siswa dengan nilai di atas 80.Hal itu bukanlah sebuahpenyebab
langsung dari konsekuensi emosi yang terjadi (C= Consequence) yaitu
salah satu siswa justru merasa terpuruk dengan nilai 85 dan merasa tidak
pantas untuk melanjutkan ke perguruan tinggi favorit. Ada juga siswa
yang menganggap nilai itu tidak adil bagi dirinya, tetapi ada juga siswa
yang justru merasa sangat bahagia dengan nilai 85.Konsekuensi tersebut
baru muncul ketika konseli mempunyai keyakinan terhadap peristiwa yang
dialaminya (B= Believe), siswa pertama menganggap nilai 85 buruk
karena biasanya dia mendapat nilai 100, sedangkan siswa kedua
menganggap nilai 85 terlalui rendah bagi dirinya, karena menganggap itu
semua adalah salah guru yang tidak bisa memberikan materi pelajaran
dengan baik sehingga ujian ini dianggap tidak adil. Kedua keyakinan salah
tersebut kemudian perlu dihadapkan pada sebuah perdebatan (D=
Disputing) sehingga keyakinan irrasional perlahan berubah menjadi lebih
rasional. Proses disputing sebetulnya tidak hanya terfokus pada keyakinan
konseli saja, tetapi ada tiga aspek yang bisa di dispute dengan cara yang
berbeda pula. Seperti yang diungkapkan oleh Ellis, Johnson & Nielsen
33
(2001:11) bahwa dalam proses dispute tidak hanya menggunakan metode
mengubah kognitif saja, melainkan juga menggunakan metode mengubah
emotif dan metode mengubah tingkah laku. Dalam proses disputing,
terdapat tiga tahapan (Ellis, 2002:62-65) yaitu debating, discriminating
dan detecting. Ketiga langkah tersebut bertujuan untuk membantu konseli
menyingkirkan idiologi yang merusak diri.Dalam bukunya yang lain, Ellis
(2002:52) juga membahas cara yang lebih detail mengenai bagaimana
mendispute keyakinan irrasional, yaitu dengan teknik zig-zag. Teknik ini
adalah dimana konseli secara aktif melawan keyakinannya sendiri dengan
bantuan konfrontasi dari konselor. Selain itu, Ellis juga memberikan
alternative cara yang lebih santai dibandingkan teknik konfrontasi yang
dianggap tegang, yaitu dengan teknik humor. Teknik humor bisa
dilakukan dengan berbagai macam nyanyian yang sudah diubah liriknya
menjadi lebih humoris yang mengajak konseli untuk mengubah keyakinan
irrasionalnya (Ellis 2002:76-80).Setelah pikiran konseli berubah menjadi
lebih rasional maka akan muncul pandangan rasional efektif (E= Efective)
yang diikuti oleh perubahan emosi dan perilaku.
Berdasarkan hasil studi awal, konsekuensi negatif akibat pemikiran
irrasional yang sering muncul pada siswa SMA khususnya kelas X adalah
mereka menjauh dari pergaulan karena merasa tidak mampu beradaptasi
dengan yang lain, merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk bergabung
dengan orang lain. Bahkan ada yang berujung pada perilaku malas untuk
bersekolah dan membolos.Selain itu, peristiwa yang sering terjadi adalah
34
penarikan diri siswa yang tidak masuk dalam kelompok atau gank.Mereka
beranggapan bahwa dirinya ternyata tidak diterima oleh kelompok
tersebut, berarti dirinya adalah seorang yang tidak menarik dan tidak
pantas bergabung dengan mereka.
Penelitian terkait perilaku irrasional siswa pernah dilakukan oleh
Suparjo (2009:56), dalam penelitiannya ditemukan beberapa faktor yang
melatarbelakangi perilaku membolos siswa SMA, salah satunya adalah
siswa merasa tidak mampu mengikuti mata pelajaran tertentu. Ketika
waktunya menempuh mata pelajaran tersebut, maka mereka memilih
untuk tidak mengikutinya. Irational believe siswa adalah menganggap
mengikuti pelajaran tersebut adalah hal yang percuma, pada akhirnya dia
juga
tidak
akanbisamenguasai
pelajaran
tersebut.
Hal
tersebut
menggambarkan pemikiran siswa yang irrasional terhadap kemampuan
dirinya sendiri. Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Agga
Tamimi Oesman (2010:67) tentang fenomena tawuran pada siswa SMA,
ditemukan beberapa alasan keterlibatan mereka dalam tawuran. Salah
satunya adalah menganggaptindakan tawuran sebagai ajang unjuk diri agar
diterima dalam kelompoknya, mereka beranggapan jika tidak diterima
dalam suatu kelompok maka mereka termasuk dalam siswa yang payah
dan tidak mempunyai kekuatan (irational believe). Mereka mengharapkan
pengakuan akan keberadaan dirinya, karena dengan melakukan tawuran
maka mereka akan mendapatkan perhatian lebih dan dianggap sebagai
siswa yang berbeda dari siswa lain.Pemikiran irrasional tersebut terus
35
mendorong siswa untuk masuk ke dalam kegitan-kegiatan negatif, dengan
motif agar dia tetap bisa diterima dalam kelompoknya. Faktor keluarga
juga berpengaruh terhadap perilaku irrasional, siwa dengan keadaan
keluarga yang kurang harmonis akan cenderung melakukan hal yang
negatif karena ingin diperhatikan dan diakui oleh keluarganya. Ellis dan
Bernard (2006:74-79) membahas tentang cakupan permasalahan yang
biasa terjadi pada siswa dan cenderung disebabkan oleh keyakinan
irrasional.
Permasalahan
tersebut
bisa
ditangani
dengan
konsep
ABCDEFG. Permasalahan tersebut antara lain disebut dengan istilah
ABC’s of Anger untuk mas lah kemarahan siswa, ABC’s of Bullying untuk
masalah bullying, ABC’s of Cheating untuk masalah kecurangan siswa,
ABC’s
of
Feeling
Downuntuk
masalah
rendah
diri,
ABCs
of
Procrastinationuntuk masalah penundaan, ABCs of Perfectionism untuk
masalah tuntutan perfeksionis, ABCs of Social Anxiety untuk masalah
kecemasan social, ABCs of Performance Anxiety untuk masalah
kecemasan kinerja, ABCs of School Phobia untuk masalah pobia sekolah,
ABCs of Secondary Emotional Distress untuk masalah distress emosional
sekunder.
5. Prosedur konseling dengan pendekatan REB
Secara umum, konseling Rational Emotive Behavior diawali oleh
pandangan konseli yang irrasional terhadap peristiwa yang sedang
dialaminya, tetapi dalam kerjanya proses ini menggunakan teknik
penyembuhan kognitif, emotif dan behavioral.Langkah yang ditempuh
36
dalam proses konseling Rational Emotive Behavior menurut Corey
(2007:246-247) adalah:
a. First step, to show clients how they have incorporated manyirrational
”should”, “oughts” and “must”. Memberikan pemahaman terhadap
konseli bahwa masalah yang dihadapinya sekarang berkaitan dengan
keyakinan irrasional yaitu tututan keharusan.
b. Second step, to demonstrate how clients are keeping their emotional
disturbances
active
by
continuing
to
think
illogically
and
unrealistically. Membawa konseli agar sadar bahwa dia sekarang
mempertahankan keyakinan yang salah, sehingga dia akan mudah
bekerjasama mencari solusi untuk keluar dari masalahnya.
c. Third step, helping clients modify their thinking and minimize their
irrational ideas, berusaha membantu konseli untuk memperbaiki
pikiran-pikirannya dan meninggalkan gagasan irrasional. Keyakinan
yang tidak logis itu berakar sangat dalam, sehingga untuk
mengubahnya konseli harus mempunyai kemauan dari dalam dirinya.
Corey (2009:280) menambahkan langkah keempat yaitu “…to challenge
clients to develop rational philosophy of life so that in the future they can
avoid becoming the victim other irrational beliefs…”.Lebih lanjut Corey
juga menjelaskan dalam tahap men-dispute pemikiran konseli, konselor
bisa
menggunakan
teknik
confrontation,
interpreting dan explaining.
37
debating,
challenging,
6. Tujuan teori Rational Emotive Behavior
Tujuan
mengurangi
dari
atau
konseling
Rationel
meminimalisir
Emotive
perilaku-perilaku
Behavior
adalah
irrasional.Untuk
mengubahnya, konseli harus mengenali pikiran dan emosi yang negatif,
kemudian diarahkan menuju pemikiran yang lebih logis, rasional dan
konstruktif dengan bantuan konselor.Ellis mengidentifikasikan 11 nilai
atau ide yang dapat mengarahkan siapa saja kepada pemikiran yang
irrasional, dan harus diubah menjadi ide yang lebih rasional agar tujuan
dari REB tercapai, yaitu :
1. Saya harus dicintai atau disetujui oleh hampir setiap orang di mana
saya menjalin kontak.
2. Saya mestinya harus benar-benar kompeten, adekuat dan mencapai
satu tingkat penghargaan yang diakui seutuhnya.
3. Beberapa orang berwatak buruk, jahat dan kejam, karena itu mereka
layak disalahkan dan dihukum.
4. Menjadi sebuah bencana besar ketika suatu hal terjadi seperti yang
tidak pernah saya inginkan.
5. Ketidakbahagiaan disebabkan oleh situasi tertentu yang berada di luar
kemampuan saya mengendalikannya.
6. Hal-hal berbahaya atau menakutkan adalah sumber terbesar
kekhawatiran, dan saya harus mewaspadai potensi destruktifnya.
7. Lebih mudah menghindari kesulitan dan tanggung jawab tertentu
ketimbang menghadapinya.
8. Saya mestinya bergantung pada beberapa hal dan orang lain, dan
mestinya memiliki orang-orang yang sungguh bisa diandalkan untuk
memperhatikan saya.
9. Pengalaman dan kejadian di masa lalu menentukan perilaku saya saat
ini, pengaruh masa lalu menentukan perilaku saya saat ini, pengaruh
masa lalu tidak bisa dihapus.
10. Saya mestinya cukup kesal terhadap problem dan gangguan yang
ditimbulkan orang lain.
11. Selalu terdapat solusi benar atau sempurna untuk setiap problem, dan
itu mestinya bisa ditemukan, atau problemnya tidak akan pernah
selesai hingga tuntas.
(Gibson dan Mitchell2011:221)
38
Seperti yang diungkapkan oleh Corey (2007:241) jika ingin
menyembuhkan orang dari perilaku neurotik, maka harus menghentikan
penyalahan diri dan penyalahan terhadap orang lain. Konseli harus belajar
menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangannya.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkandalam teori
Rational Enmotive Behavior menekankan bahwa sebagian problem konseli
yang melibatkan perilaku neurotis bukan disebabkan oleh peristiwa yang
mereka hadapi, melainkan karena pemikiran-pemikiran irrasional terhadap
peristiwa tersebut. Pemikiran yang irrasional tersebut akan memunculkan
konsekuensi-konsekuensi
emosi.
Jika
konsekuensidari
keyakinan
irrasional tersebut tidak segera di-dispute maka akan terus menciptakan
situasi buruk dalam diri konseli tersebut. Tugas guru BK adalah
mengarahkan konseli tersebut agar pemikiran irrasionalnya berubah
menjadi pemikiran yang rasional. Dengan demikian maka perilaku emosi
yang negatif akan terminimalisir. Langkah yang bisa ditempuh guru BK
dalam mencapai tujuan tersebut antara lain adalah dengan membawa
konseli agar sadar bahwa dia sekarang mempertahankan keyakinan yang
salah. Sehingga konseli akan mudah untuk mengubah pemikiran
irrasionalnya menjadi pemikiran yang lebih rasional.
C. Buku Panduan
1. Pengertian Buku Panduan
Pemahaman guru BK terhadap berbagai proses konseling beserta
teorinya, akan lebih terbantu dengan adanya media. Media tersebut bisa
39
berupa media audio, visual bahkan audio-visual.Sesuai dengan kebutuhan
guru BK yang sudah dibahas sebelumnya, mereka membutuhkan sebuah
panduan konseling Rational Emotive Behavior.Panduan di sini berupa
buku yang berisikan berbagai materi terkait pelaksanaan konseling dengan
REBT.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, panduan berasal dari kata
"pandu" yang berarti petunjuk. Petunjuk sendiri mempunyai pengertian
sebagai“ketentuan yang memberi arahan atau bimbingan bagaimana
sesuatu harus dilakukan”.Sedangkan pengertian dari petunjuk pelaksanaan
adalah “ketentuan yang patut diturut dalam melaksanakan (menjalankan)
sesuatu”.Bisa diartikan, buku panduan adalah seperangkat pengalaman
belajar yang dimaksudkan untuk mempermudah seseorang dalam
mencapai seperangkat tujuan yang ditentukan.
2. Aspek dalam Buku Panduan
Dalam pembuatan buku panduan, ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan agar sesuai dengan kondisi dan keperluan untuk dapat
membantu
meningkatkan
taraf
kehidupan
masyarakat
(MulyatiArifin1995:191). Lebih lanjut juga dijelaskan ada 11 aspek
golongan kriteria penilaian kualitas buku petunjuk, yaitu :
a. Aspek penulisan dan organisasi buku petunjuk
40
Organisasi buku petunjuk merupakan sistematika penulisan yang
sesuai dan runtut.Bertujuan agar setiap tahap kegiatan tidak ada yang
terlewatkan.
b. Aspek kebenaran konsep
Konsep yang dituliskan dalam buku panduan harus dijamin
kebenarannya, karena ketika konsep tersebut salah, maka akan banyak
pengguna buku panduan tersebut berjalan dengan salah. Hal ini akan
sangat membahayakan subjek yang menjadi pelaku percobaan bahkan
bisa berakibat fatal.
c. Aspek keleluasaan konsep
Keleluasaan konsep yang diterapkan dalam buku panduan bertujuan
agar pembaca nantinya bisa mengembangkan lebih luas dari yang
tertulis, selama masih dalam batasan-batasan konsep yang sebenarnya.
d. Aspek kedalama konsep
Jika konsep yang dijelaskan dalam buku panduan kurang mendalam,
maka pengguna buku panduan akan merasa kebingungan. Idealnya
dalam buku panduan dijelaskan konsep yang mendalam agar tidak
terjadi kesalahpahaman penggunaan aturan yang tercantum dalam
buku panduan.
e. Aspek kejelasan kalimat dan tingkat keterbacaan
Semakin jelas kalimat yang dituliskan dalam buku panduan, maka
pembaca akan lebih mudah memahami isinya, sehingga akan terhindar
dari
kesalahpahaman
pengertian
41
petunjuk.
Selain
itu
juga
akanmemudahkan subjek untuk melakukan apa yang dituliskan dalam
panduan tersebut.
f. Aspek kejelasan kegiatan
Kegiatan yang digambarkan dalam buku panduan harus jelas agar
pembaca mengetahui arahan dari tujuan panduan tersebut.
g. Aspek muatan kurikulum.
Jika ada kurikulum yang harus diikuti dalam pembuatan buku
panduan, maka rincian petunjuk yang dituliskan juga harus sesuai
dengan kurikulum tersebut, agar sesuai dengan secara umum.
h. Aspek tingkat keterlaksanaan kegiatan.
Tingkat
keterlaksanaan
kegiatan
dimaksudkan
agar
pembaca
memahami dengan jelas kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan
panduan yang tertulis.
i. Aspek evaluasi
Aspek evaluasi ditujukan agar pembaca bisa menilai sejauh mana
keberhasilan yang sudah dicapai setelah melakukan kegiatan sesuai
dengan yang dijelaskan dalam buku panduan.
j. Aspek tampilan fisik buku petunjuk.
Tampilan fisik buku panduan harus dibuat semenarik mungkin agar
pembaca juga tertarik untuk terus membacanya.Selain itu, dengan
tampilan yang menarik maka pembaca tidak cepat bosan.
42
3. Tujuan buku panduan
Tujuan dari penyusunan buku panduan menurut Mulyati Arifin
(1995:201) adalah untuk memudahkan seseorang belajar dan membantu
dalam menerapkan metode yang akan digunakan, sehingga apapun yang
dilakukan akan lebih terarah. Isinya sebatas mengajarkan sebagian materi
dari seluruh materi pokok yang bertujuan untuk mengajarkan sebuah
konsep.
Dapat disimpulkan, buku panduan merupakan media yang bisa
digunakan sebagai pemandu yang sistematis dalam sebuah kegiatan. Berisi
arahan terkait apa yang harus dilakukan dalam melakukan sesuatu. Tujuan
dari buku panduan sendiri adalah untuk memudahkan seseorang
melakukan suatu kegiatan dengan menerapkan metode tertentu sehingga
semua lebih terarah.
43
Download