BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap perusahaan dituntut untuk siap dalam menghadapi berbagai macam masalah, krisis dan resiko yang sewaktu-waktu bisa menerpa perusahaan. Dalam keadaan krisis, perusahaan dipaksa untuk melakukan revaluasi terhadap strategi pengelolaan krisis yang telah perusahaan siapkan sebelumnya. Di tengah persaingan industri ini tidak ada satu pun perusahaan yang menunggu atau dengan sengaja membuat masalah agar krisis datang menghampiri. Seyogianya, setiap perusahaan sangat meminimalisir masalah yang dapat memicu datangnya krisis. Walaupun pada kenyataannya setiap perusahaan berpotensi untuk mengalami krisis. Seperti krisis yang terjadi pada PT Newmont Minahasa Raya yang wilayah operasinya mayoritas di Nusa Tenggara Barat. Kasus dampak limbah tailing untuk aktivitas pertambangan emasnya, PT Newmont yang diduga melanggar peraturan kadar limbah pertambangan sehingga mencemari wilayah itu dengan bahan berbahaya dan menyebabkan penyakit minamata bagi masyarakat sekitar Teluk Buyat. Akibat dari permasalahan ini, perusahaan dirugikan dengan ditutupnya sementara lokasi penambangan serta penyelesaian lewat jalur hukum dengan membayar denda dan menjalani hukuman penjarah kepada eksekutif tinggi Newmont Indonesia. Begitu juga hal nya yang harus dihadapi oleh PT Lapindo Brantas Inc. Kecelakaan saat melakukan pengeboran di wilayah Jawa Timur berdampak luas. Munculnya semburan gas panas dari sumur eksplorasi mengakibatkan semakin meluasnya wilayah semburan lumpur di wilayah Sidoarjo sampai menenggelamkan rumah-rumah penduduk setempat. Akibatnya, perusahaan harus mengganti rugi yang jumlahnya tidak sedikit dan perusahaan juga harus melewati jalur hukum serta tuntutan sosial lainnya. Bagi Barton (1993:2), sebuah krisis adalah peristiwa besar 1 yang tidak terduga yang secara potensial berdampak negatif terhadap organisasi dan publiknya. Krisis merupakan suatu kondisi yang bisa dialami oleh siapa saja. Tidak peduli perusahaan atau industri besar atau kecil, pemerintahan, organisasi non profit dan keluarga sekalipun. Tidak ada organisasi yang kebal terhadap krisis (Coombs, 1999:1). Hal ini berlaku juga pada sebuah perusahaan. Dikarenakan krisis yang terjadi pada perusahaan datangnya tidak terduga, penyebabnya pun bukan hanya muncul dari human error, tetapi bisa terjadi karena bencana alam atau faktor teknologi dalam kegagalan operasi. Demikian juga yang dialami oleh PT Pertamina Eksplorasi & Produksi (PEP) empat tahun terakhir, mengenai kasus penjarahan minyak yang terus meningkat. Pada tahun 2010 jumlah minyak mentah yang dijarah mencapai 8.120 barel, dengan memperhitungkan harga ICP dan kurs pada saat itu maka kerugian mencapai Rp5,8 miliar. Pada 2011 harga minyak melonjak, akibatnya jumlah minyak mentah yang dijarah juga melonjak lebih dari sepuluh kali lipat menjadi 94.592 barel atau senilai Rp92,5 miliar. Pada 2012 penjarahan semakin memperihatinkan, sudah 265.510 barel minyak mentah yang dijarah atau senilai Rp285 miliar. Angka ini masih memungkinkan untuk terus bertambah sampai akhir tahun (Vivanews, 02 Juli 2012). Aksi pencurian minyak ini melibatkan banyak orang, diperkirakan mencapai 3.500 orang lebih yang terlibat dan tidak hanya warga sekitar yang dekat dengan wilayah operasi tetapi melibatkan banyak orang luar wilayah (Detikcom, 02 Oktober 2012). Kasus ini bukan lagi kasus pencurian tetapi kasus penjarahan karena dilakukan secara masif dan telah merugikan Negara, karena hilangnya potensi pendapatan Negara dari sisi produksi minyak mentah yang diamanatkan oleh Pemerintah melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang telah berganti menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas dan Gas Bumi (SKK Migas). Wilayah Kerja PT Pertamina EP di Sumatera Selatan menjadi lokasi tertinggi untuk kasus pencurian minyak dan tiap tahunnya mengalami angka peningkatan. 2 Khususnya di Jalur Pipa Tempino-Plaju Desa Simpang Bayat yang merupakan wilayah titik rawan aksi penjarahan. Jalur Pipa Tempino-Plaju berada di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin yang menghubungkan antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi. Sebagian besar aksi penjarahan minyak mentah ini dilakukan dengan menggunakan modus melubangi pipa dan memasang keran (illegal tapping), namun banyak cara lagi yang sering dilakukan oleh para penjarah minyak ini. Pada tahun 2012 catatan angka penjarahan minyak yang bermoduskan illegal tapping semakin tinggi, lebih dari 75% dari total kejadian di Musi Banyuasin. Pertamina mencatat 158 kasus terjadi pada tahun 2011 dan hingga September 2012 meningkat menjadi 373 kasus. Ini terjadi karena aparat keamanan dan pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin tidak terlalu peduli dengan kasus pencurian minyak yang dialami oleh PT Pertamina EP, alasannya karena adanya keterlibatan petinggi aparat keamanan yang berada dibelakang aksi kriminal tersebut. Sebab, minyak curian tersebut bisa sampai dengan ‘mulus’ tanpa harus berhadapan dengan pihak yang bisa mempersulit penyaluran ke wilayah lain seperti Batam, Tanggerang maupun Bangka Belitung. Puncaknya, di tanggal 03 Oktober 2012 terjadi ledakan dan kebakaran yang mengakibatkan lima orang meninggal serta l8 korban lainnya mengalami luka bakar yang cukup serius. Peristiwa ini menjadi trigger dari kasus-kasus penjarahan minyak yang sebelumnya sering terjadi. Dalam peristiwa penjarahan minyak di kilometer 219 Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin terjadi kebakaran yang diakibatkan oleh api yang berasal dari pelaku penjarahan (Bisnis-KTI.com, 03 Oktober 2012). Saat itu, arus informasi yang beredar di media sangat tinggi. PT Pertamina EP merasa ‘kecolongan’ dengan kembali terjadinya peristiwa ini di wilayah Sumatera Selatan khususnya jalur pipa di Tempino-Plaju, dimana wilayah tersebut menjadi langganan pencurian minyak dengan cara illegal taping. Kasus penjarahan minyak menjadi salah satu ancaman penghambat PT Pertamina EP untuk mencapai visinya yakni sebagai No 1 oil & Gas Producer in Indonesia. 3 Tidak hanya itu, PT Pertamina EP sebagai perusahaan yang tumbuh, berkembang, dan dianggap sebagai entitas bisnis yang menjalin hubungan dengan banyak pihak serta tanggung jawab terhadap Negara, memiliki banyak kerjasama dengan berbagai pihak yang menjadi pendukung kerja dituntut untuk bisa segera menganggulangi kasus penjarahan minyak yang menimpa perusahaan dan meyakinkan pada publik (stakeholders) bahwa semuanya baik-baik saja. Hal ini merupakan sebuah krisis yang skalanya tidak kecil dan butuh penanganan segera. Krisis menjadi sebuah ancaman, dimana legitimasi dan persepsi terhadap perusahaan adalah hal terpenting yang harus diperhatikan fungsi manajemen perusahaan sehingga ancaman tersebut bisa berdampak baik bagi perusahaan. Ancaman ini yang selalu dihindari oleh setiap perusahaan pada saat dihadapkan dengan kondisi krisis. Pinsdorf (dikutip dalam Putra, 2008:9.6) yang beranggapan bahwa “no company is immune from crisis, but with careful research, planning, and training, crisis usually can be managed and mitigated”. Kejadian penjarahan minyak yang dialami oleh PT Pertamina EP merupakan salah satu kasus yang mengakibatkan krisis di perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh Pearson & Mitroff (seperti dikutip Stephens, Patty and Christine, 2005:329) bahwa krisis adalah insiden yang mengancam reputasi serta kemampuan organisasi untuk menjalankan fungsinya. Masalah dapat dikatakan krisis jika memenuhi lima dimensi yaitu : (a) Highly visible (Nampak jelas kejadiannnya), (b) Require immediate attention (membutuhkan perhatian segera), (c) Contain an element of surprise (adanya kejutan; kemunculan krisis tidak diprediksi sebelumnya), (d) Have a need for action (membutuhkan tindakan), (e) Are outside control the organization’s complete control (terjadi diluar kendali organisasi). Melihat kasus penjarahan minyak mentah di jalur pipa Tempino-Plaju yang dialami oleh PT Pertamina EP yang terjadi pada tanggal 03 Oktober 2012 dan mengakibatkan kebakaran serta korban meninggal dan luka-luka, menarik peneliti untuk melakukan penelitian mengenai strategi komunikasi krisis yang dilakukan Fungsi Public Relations PT Pertamina EP dalam menangani krisis tersebut. 4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah : Bagaimana strategi komunikasi krisis Public Relations PT Pertamina Eksplorasi & Produksi (EP) dalam kasus penjarahan minyak mentah di jalur pipa Tempino-Plaju Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan strategi komunikasi krisis Public Relations PT Pertamina Eksplorasi & Produksi (EP) dalam kasus penjarahan minyak mentah di Jalur Pipa Tempino-Plaju Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan kritik yang membangun terhadap praktisi public relations untuk menerapkan atau mengadaptasi strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh Fungsi Public Relations PT Pertamina EP dalam kasus penjarahan minyak yang terjadi pada tanggal 03 Oktober 2012 2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pembelajaran baru terkait peran public relations disaat harus menghadapi situasi krisis dalam perusahaan/organisasi dan langkah-langkah yang harus dilakukan saat simtomsimtom krisis mulai terlihat. 5 E. Kerangka Pemikiran 1. Pengertian Krisis dan Jenis Krisis Krisis merupakan kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap organisasi atau perusahaan yang mau bertahan didalam era globalisasi dengan penuh perubahan dan persaingan. Krisis bisa menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Seperti pendapat Barton mengenai krisis (dalam Putra, 2008:9.6), “It strikes corporations, non-profit organizations, government agencies, house of worship, utilities, cooperatives, and families. Barton beranggapan bawasanya, setiap organisasi apapun bentuknya sangat memliki peluang untuk mengalami krisis. Krisis merupakan kejutan tidak ada yang pernah mengira kapan datangnya. Tetapi butuh kecepatan dalam menanggapi krisis tersebut sehingga tidak menjadikan krisis berkepanjangan yang bisa merugikan perusahaan. Holsti (seperti dikutip dalam Putra, 1999:84) melihat krisis sebagai “situations characterized by surprise, high threat to important value, and a short decision time”. Ketidakpastian dapat dikategorikan sebagai karakteristik utama krisis. Seperti halnya dengan Coombs dalam The Handbook of Crisis Communication (2010:18) mendefinisikan krisis “an event that is an unpredictable, major threat that can have a negative effect on the organization, industry, or stakeholders if handled improperly”. Krisis merupakan ancaman yang tidak bisa diduga kapan akan terjadi dan memiliki efek negatif terhadap organisasi, industri atau stakeholders jika tidak ditangani dengan baik tentunya. Menurut Doorley dan Garcia dalam Reputation Management (2007:328), “A crisis is not necessarily acatastrophic event, but rather an event that, left to usual business processes andvelocities, causes significant reputational, operational, or financial harm”. Selain itu, menurut Steven Fink (seperti dikutip Doorley dan Garcia, 2007:329), “Acrisis is a nonroutine event that risks undesired visibility that in turn threatenssignificant reputational damage”. Baik Doorley, Garcia maupun Steven Fink mendefinisikan sebuah krisis sebagai suatu ancaman yang bisa datang tanpa diduga, meninggalkan ‘cacat’ yang tidak diinginkan perusahaan dan sangat 6 berpengaruh pada reputasi perusahaan. Bahkan Doorley dan Garcia menambahkan bahwa perusahaan yang mengalami krisis tidak hanya reputasi perusahaannya saja yang terancam namun juga akan mengalami kerusakan operasional dan finansial. Umumnya krisis memang membawa dampak negatif. Disaat krisis terjadi maka kegiatan operasional suatu organisasi atau perusahaan pasti akan terganggu, terlebih apabila krisis yang dihadapi merupakan krisis yang cukup besar. Berbagai macam penyebab datangnya krisis. Seperti krisis yang disebabkan oleh faktor kelalaian manusia atau human error. Faktor ini sebenarnya dapat dicegah oleh manajemen dengan penanganan yang tepat sehingga mengurangi potensi terjadinya krisis yang lebih besar dan merugikan perusahaan. Krisis tidak hanya datang dari faktor kelalaian manusia ataupun bencana alam saja. Otto Lerbinger (White, 1998) mengkategorikan kemungkinan terjadinya krisis dalam suatu perusahaan yakni sebagai berikut : 1. Krisis teknologi (technological crisis). Kita hidup dalam dunia yang sangat bergantung pada teknologi. Ketika teknologi perusahaan yang digunakan sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan, konsekuensi yang mungkin ditimbulkan akan fatal. 2. Krisis konfrontasi (Confrontation Crisis).Krisis ini terjadi ketika ada golongan yang mengkritik bahkan menolak aksi-aksi perusahaan. Aksi ini bisa berkembang menjadi satu gerakan oposisi. 3. Krisis tindak kejahatan (Crisis of Malevolence).Krisis ini terjadi ketika segolongan orang atau grup yang terorganisir melakukan tindakan yang sengaja ditujukan untuk mengganggu jalannya satu perusahaan. 4. Krisis kegagalan manajemen (Crisis of Management Failure). Krisis seperti ini disebabkan oleh suatu grup dalam satu organisasi yang gagal dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka. 5. Krisis yang berhubungan dengan ancaman lain terhadap organisasi (Crisis invoving other threats to the organization). 7 Mengenali jenis krisis merupakan salah satu langkah dalam menentukan cara yang harus dilakukan perusahaan melalui manajemen dalam menangani krisis. Dalam kaitannya mengenali jenis krisis, Putra (1999:90) menjelaskan, mengambil pendapat Sen&Egelhoff dan Coombs bahwa mengenali jenis atau tipe krisis dirasa cukup penting, karena hal ini berkaitan dengan masalah penentuan siapa yang bersalah dan respon apa yang harus dibuat perusahaan yang sedang mengalami krisis. Cutlip, Center, dan Broom (1994:366) membagi krisis menjadi tiga yaitu, immediate crises, emerging crises, dan sustainined crises. Immediate crises adalah krisis yang paling menakutkan karena datangnya mendadak, sangat tidak diharapkan, bahkan perusahaan belum sempat mengadakan penelitian atau perencanaan apapun. Contohnya saja seperti kebakaran atau kematian tokoh kunci. Krisis kedua yaitu emerging crises memberikan kesempatan kepada organisasi untuk melakukan riset dan perencanaan, tapi krisis bisa meletus sesudah mengendap selama beberapa waktu. Contohnya saja seperti yang berhubungan dengan ketidaknyamanan karyawan di tempat kerja. Sedangkan krisis ketiga adalah sustained crises, yaitu krisis yang sudah ada pencetusnya, kemudian berlanjut selama beberapa bulan atau tahun. Contohnya adalah peredaran isu terhadap perusahaan atau produk yang dihasilkan. Maka dari itu, adalah hal yang sulit ketika harus membuat keputusan di tengahtengah krisis. Keputusan yang diambil harus benar-benar matang supaya membawa perubahan ke arah yang diharapkan serta menjadikan perusahaan lebih baik lagi pasca krisis. Secara garis besar dalam penanganan krisis ada dua tindakan khas yang menjadi tuntutan, yaitu: 1. Tindakan-tindakan yang bercirikan keterlibatan manajemen langsung dalam merespon krisis, yaitu segi apa yang harus dilakukan organisasi pada saat krisis 2. Tindakan komunikasi, yakni apa yang harus dikatakan oleh organisasi yang sedang menghadapi krisis. Dalam merespon krisis, pemenuhan akan 8 informasi yang terkontrol dengan baik dan informasi yang cepat dan tepat merupakan prioritas utama. Dikarenakan krisis adalah suatu peristiwa yang tidak biasa dan bisa datang kapan pun, maka akan menimbulkan dampak-dampak dan perubahan yang cukup signifikan bagi kelangsungan hidup perusahaan. Krisis yang dihadapi dengan baik akan membawa perubahan pada perusahaan ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, apabila penanganannya kurang baik, maka perusahaan akan terkena imbasnya. Kehancuran atau kejayaan perusahaan tergantung pada pandangan, sikap dan tindakan yang diambil perusahaan saat terjadinya krisis. Pandangan dan sikap serta tindakan yang diambil oleh perusahaan itu merupakan tugas dari manajemen perusahaan dalam merespon dan mengatasi krisis. Pihak manajemen perusahaan seharusnya mampu mengantisipasi terjadinya krisis dengan meramalkan peristiwaperistiwa, arah kecenderungan dan isu-isu yang berkembang mengganggu hubungan penting. Kegiatan seperti ini dikenal sebagai keahlian memikirkan hal-hal yang tidak terpikirkan dari manajemen krisis. Wisenblit (dalam Putra, 2008:9.5) menyatakan : Too often successful companies are complacent. Can’t management reads about other companies disaster with an it-can’t-happen-here-attitude. They simply do not see the risk potensial. Part of this because people are generally reluctant to think about crisis. But, thinking negatively - thinking of the worst possible disaster that could befall the company and planning for them – is the basis for crisis management planning. Manajemen krisis mempunyai kendali cukup besar untuk menyelesaikan permasalahan atau krisis yang terjadi di perusahaan. Penting adanya bagi manajemen untuk mengetahui jenis krisis, tipe krisis dan tahapan-tahapan krisis serta kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa mengancam kredibilitas perusahaan. Hal ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam merespon krisis dan menentukan sejauh mana tanggungjawab perusahaan pada saat terjadinya krisis. Tujuan adanya manajemen krisis itu sendiri adalah untuk menekan faktor-faktor resiko yang mungkin ada dan faktor ketidakpastian seminimal mungkin. Selain itu, manajemen 9 krisis yang ada pada perusahaan berguna untuk mendeteksi krisis sebelum terjadi dan membuat organisasi lebih responsif dan waspada terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan perusahaan. Steven Fink (dalam Kasali, 2003:225-230) seorang konsultan krisis terkemuka dari Amerika mengembangkan konsep anatomi krisis yang tertuang dalam gambar di bawah ini : Bagan 1.1 Konsep Anatomi Krisis Krisis Prodromal Krisis Resolusi Krisis Akut Krisis Kronik Pada umumnya sebuah krisis mengalami sebuah tahapan-tahapan yang tentunya memiliki tahapan penanganan atau tindakan yang berbeda pula. Mengacu pada tahap pertumbuhan krisis yang dikembangkan Fink (dikutip dalam Putra, 2008:9.11), tahapan-tahapan krisis ini disebut juga sebagai anatomi krisis. Tahapan perkembangan ini dibagi menjadi empat fase. Pertama, fase Prodromal merupakan tahap dimana gejala krisis sudah mulai muncul atau dengan kata lain peringatan awal bagi suatu perusahaan akan potensi adanya krisis. Kedua, fase Akut merupakan tahapan dimana telah terjadi kejadian yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Ketiga, fase Kronis sering juga disebut sebagai tahap transisi atau “clean up stage” dimana organisasi berusaha untuk menangani krisis. Keempat, fase Resolusi merupakan tahap penyelesaian akhir yang menandakan bahwa krisis sudah mulai mereda. 10 Keempat tahapan ini merupakan fase krisis dari awal hingga akhirnya dapat terselesaikan, namun hal ini tidak menjamin bahwa krisis tidak akan muncul lagi. Selain itu, perpindahan tahapan krisis ini diawali dengan ketidakberhasilan mengatasi tahap sebelumnya. Tahap kedua, contohnya, tidak akan terjadi apabila pengelolaan krisis menyadari adanya tanda-tanda atau gejala datangnya krisis (tahap pertama). Hal ini sangat tergantung pada bagaimana pengelola krisis menyadari, mengelola dan merespon krisis, proses ini dapat diawali dengan mengenali jenis dan penyebab krisis karena dengan demikian akan lebih mudah melakukan persiapan penanganan krisis. Dalam melakukan proses manajemen krisis perlu adanya sikap cepat, tanggap dan inisiatif dalam memberikan respon atas krisis yang terjadi kepada publik. Komunikasi krisis menjadi bagian yang sangat penting untuk menjawab keraguan, mengurangi kepanikan, dan menghilangkan ketidakpastian. 2. Peran Public Relations dalam Komunikasi Krisis Salah satu peran Public Relations dalam suatu perusahaan yakni menjadi jembatan penghubung antara perusahaan dan publiknya agar terjalin suatu hubungan komunikasi yang baik. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Cutlip, Center dan Broom (2006:260) yang menyatakan bahwa Public Relations adalah sebuah fungsi manajemen yang penting, bukan hanya sekedar fungsi teknis yang bertugas mengimplementasikan strategi komunikasi yang diputuskan oleh orang lain. Selain itu public relations juga memiliki peranan dalam manajemen organisasi, karena keberhasilan atau kegagalan organisasi tergantung dari bagaimana hubungan organisasi dan publiknya, public relations sebagai jembatan di antara keduanya. Penting bagi perusahaan untuk membangun dan menjaga hubungan baik dengan publik eksternal perusahaan. Hal ini tentu saja karena posisi mereka dalam perusahaan begitu penting bagi keberlangsungan perusahaan secara berkelanjutan. Dalam hal ini publik eksternal yakni masyarakat, pemerintah dan media. Menjaga hubungan dengan publik eksternal dapat diwujudkan dengan komunikasi dua arah 11 yang saling terbuka antara semua pihak yang tercangkup dalam publik eksternal perusahaan, sehingga dapat terjalin keharmonisan dalam kerjasama dan tidak saling merugikan satu sama lain. Salah satu permasalahan yang mungkin sering kali muncul akibat tidak terjaganya hubungan antara perusahaan dan publik nya adalah tuntutan atau pencurian alat kerja milik perusahaan oleh masyarakat sekitar operasi. Melihat hal tersebut maka penting bagi suatu perusahaan untuk memiliki bagian pengelolaan khusus dalam menghadapi dan menangani masalah yang mungkin muncul dan menjadi suatu krisis bagi perusahaan. Krisis yang ada harus direspon dengan baik oleh pihak perusahaan yakni melalui bagian Humas yang memiliki fungsi penghubung antara organisasi dan publiknya. Public Relations merupakan jawaban untuk pemecahan masalah yang berhubungan dengan krisis, yakni : 1. Public relations menerapkan praktek pro-aktif anticipatory dan dapat membantu dalam perencanaan penanggulangan krisis, usaha-usaha yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengantisipasi krisis. 2. Public relations memainkan peran yang penting dalam sistem penanggulangan krisis secara menyeluruh. 3. Public relations akan memberikan masukan tentang evaluasi penanggulangan krisis dan setelah krisis berakhir (Amaboerseya, 1998:10). Public relations harus berperan dalam memberitahukan publik tentang apa yang terjadi, apa yang sedang dan akan dilakukan perusahaan dan apa yang harus dilakukan oleh publik. Ini merupakan pendekatan simbolik yang harus ditempuh organisasi (Gould & Kelly, dalam Putra, 1999:96). Dalam menjalankan program dan strategi public relations, praktisi public relations memainkan beberapa peran. Menurut Dozier, peran yang dimainan oleh praktisi public relations dapat dilihat dari dua hal (Putra, 2008:1.17). a. Public relations manager Praktisi public relations memiliki peran dalam bidang menejerial dan terlibat dalam kebijakan organisasi. Dalam hal ini organisasi memberikan wewenang penuh 12 bagi praktisi public relations untuk mengelola sendiri kegitan public relations. Public relations manager terdiri dari beberapa peran, yaitu: 1. Expert Prescriber, dimana praktisi public relations berperan dalam membantu manajemen dengan pengalaman dan keterampilan mereka untuk mencari solusi bagi penyelesaian masalah public relations yang dihadapi oleh perusahaan. Contoh, ketika muncul masalah yang berkaitan dengan banyaknya berita negatif yang tidak berdasar di suatu media massa, maka seorang expert prescriber dapat memberi masukan bagaimana cara mengurangi liputan-liputan negatif tersebut. 2. Communication Facilitator, dimana praktis public relations berperan sebagai mediator informasi antara perusahaan dengan publiknya. Fungsi utama yang dijalankan yakni membantu manajemen dengan menciptakan kesempatankesempatan untuk ‘mendengar’ apa kata publik dan demikian pula sebaliknya. 3. Problem-solving Process Facilitator, dimana praktisi public relations membantu manajemen melalui kerjasama dengan bagian lain dalam perusahaan untuk menemukan pemecahan masalah yang terbaik bagi masalah public relations secara rasional. b. Communication Technician Pada peran ini public relations tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, mereka hanya menjalankan keputusan dan tidak ikut merencanakan atau mengevaluasi program tersebut. Dimana praktisi public relations hanya menyediakan layanan teknis komunikasi untuk organisasi. Sedangkan keputusan untuk teknis komunikasi yang harus dijalankan, ditentukan oleh orang atau bagian lain dalam organisasi. Salah satu momen yang membuat peran Public Relations di Indonesia menonjol adalah masa krisis (Wisesa, 2005:1). Saat terjadi krisis Public relations juga menjadi bagian penting dari pembuat keputusan pada tingkat korporat terkait dengan peran 13 public relations sebagai problem solver, yang ikut membantu manajemen menciptakan kondisi agar dapat membawa perubahan lebih baik lagi pada organisasi atau perusahaan. Praktisi public relations sebagai ahli dalam komunikasi krisis tentunya diharapkan memiliki fungsi khusus dalam mengatasi krisis. Komunikasi krisis adalah terkait dengan penggunaan semua peralatan public relations yang ada dalam rangka memelihara dan memperkuat reputasi organisasi dalam jangka panjang serta pada waktu ketika organisasi berada dalam kondisi bahaya. Dawar and Pillutl (seperti dikutip oleh Dominique, 2006:50-55) menjelaskan efektif atau tidaknya sebuah komunikasi dalam suatu krisis pada jam-jam pertama atau bahkan menit memiliki implikasi besar bagi kredibilitas perusahaan. Menurut Strugess dkk (dalam Putra, 2008:9.24) komunikasi selama krisis punya dua fungsi dasar, yakni : 1. Untuk menetralisir intervensi pihak ketiga yang mungkin dapat memperparah krisis yang sedang dihadapi oleh sebuah organisasi 2. Untuk menjaga agar karyawan tetap memperoleh informasi yang tepat tentang organisasi tempat mereka bekerja, sehingga mereka menjadi tim yang memperkuat posisi organisasi dalam menghadapi krisis. Pada perusahaan yang tidak siap menghadapi krisis umumnya sering melakukan kesalahan dalam berkomunikasi. Bentuk kesalahan dalam berkomunikasi ini misalnya berbohong, berspekulasi, berdalih, dan menolak memberikan informasi yang jujur dan komplit. Kekurangakuratan dalam komunikasi justru menyebabkan semakin terpuruknya perusahaan yang sedang menghadapi krisis. Saat krisis terjadi, organisasi dituntut untuk melakukan komunikasi dengan berbagai pihak dalam waktu singkat, cepat namun juga baik dan akurat. Oleh karenanya komunikasi berkembang menjadi bagian penting dari tahap penanggulangan krisis dan dimana sebuah organisasi atau perusahaan lebih memperhatikan faktor komunikasi sebagai bagian penting dari penyelesaian masalah. 14 Pendapat ini dikuatkan oleh W. Timoth Coombs (1999:122-123) yang menyatakan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh public relations sebagai perwakilan sikap perusahaan pada saat krisis diperlukan sebuah pemilihan strategi yang tepat dalam menjalankan komunikasi tersebut. Satu hal yang harus ditanamkan demi berhasilnya menangani krisis dalam menyelamatkan reputasi perusahaan adalah kecepatan atau public relations yang tepat waktu dalam merespon sebuah krisis. Komunikasi krisis yang efektif membutuhkan kedisiplinan dan fleksibilitas, serta fokus pada hasil komunikasi yang diinginkan. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh para praktisis public relations adalah (Doorley & Gracia, 2007:350) a. Mengetahui kapan waktu untuk suspend bisnis : memiliki kepekaan atas sebuah krisis, dan bagaimana memobilisasi energi dan sumber daya dengan cepat. b. Mempunyai respon cepat dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang datang dari pihak media. c. Selalu berpegang teguh pada waktu emas dalam merespon krisis: penundaan panjang akan berpengaruh besar terhadap reputasi. d. Mengontrol agenda: tidak membiarkan media, pesaing atau rumor menggambarkan situasi perusahaan tanpa konfirmasi atau informasi dari pihak public relations. e. Mengembangkan pesan dan rencana serta taktik dengan tujuan sebagai hasil akhirnya. f. Penuh perhatian atas rumor-rumor yang ada dan berusaha untuk membasmi rumor-rumor tersebut secepat mungkin. g. Selalu sadar bahwa sentiasa ada titik buruk dalam situasi krisis di masa public relations tetap memiliki kemampuan untuk mengontrol hasil akhirnya. Di dalam penanganan krisis, komunikasi krisis menjadi bagian yang sangat penting, yakni untuk menjawab keraguan, mengurangi kepanikan, menghilangkan 15 ketidakpastian perlu dilakukan penyebaran informasi kepada publik. Dengan komunikasi yang baik, benar, dan terencana memungkinkan turning point (titik balik) yang dapat menuju pada kemenangan (for better). Untuk tetap menjaga citra positif pada perusahaan, maka praktisi public relations selayaknya telah mempersiapkan strategi yang akan dilakukan pada masa krisis, hal ini diharapkan dapat mengubah krisis menjadi peluang dalam meningkatkan citra dan kredibilitas perusahaan dimata publik. 3. Strategi Komunikasi Krisis Kesalahan umum yang paling sering dilakukan oleh pimpinan organisasi yang tidak siap menghadapi krisis adalah dalam bidang komunikasi. Adapun Bentuk kesalahan yang seharusnya dihindari dan tidak dilakukan perusahaan pada saat krisis terjadi misalnya melakukan penolakan telah terjadi krisis, berbohong, spekulasi dan menolak untuk memberikan informasi yang jujur dan komplit. Menurut Fearn-Banks, Gaggart, Stubbart (dikutip Putra, 1999) komunikasi pada saat organisasi menghadapi krisis menjadi sangat penting disebabkan antara lain karena krisis dicirikan oleh adanya ketidakpastian (uncertainty), konflik kepentingan (conflict of interest), kompleksitas dan keterlibatan emosional. Pada saat sebuah krisis terjadi, kebutuhan akan sebuah informasi biasanya begitu tinggi. Informasi yang cepat dan tepat akan mengurangi ketidakpastian. Komuniksi krisis merupakan strategi penanganan krisis yang memfokuskan pada apa-apa saja yang harus organisasi katakan dan lakukan dalam kondisi krisis (Coombs, 1999:7). Pada saat keadaan krisis terjadi beberapa tujuan yang tetap ingin dicapai, tentunya keluar dari masa-masa krisis dan menjadi perusahaan yang lebih baik lagi. Memperbaiki reputasi perusahaan juga menjadi bagian dari hal yang harus dipikirkan oleh pihak manjemen. Dalam buku Peter. F Anthonissen (2008:28) yang berjudul Crisis Communication, ia mengungkapkan ketika perusahaan dihadapkan dengan situasi krisis maka perusahaan harus memiliki pedoman yakni strategi atau rencana 16 komunikasi krisis, elemen yang harus menjadi perhatian dalam strategi komunikasi krisis yakni : the right message (pesan yang tepat) to whom that message should be told (kepada siapa pesan itu harus disampaikan) who should tell it (Siapa yang harus mengatakannya) To right time to tell it (Waktu yang tepat untuk menceritakannya). Sebagai bagian dari rencana, perusahaan dalam hal ini adalah public relations harus mengerti bagaimana akan berkomunikasi secara internal dan memutuskan dengan cepat terkait dengan elemen-elemen stretagi komunikasi krisis. Karena strategi yang baik dan matang serta isi pesan yang benar dan tepat dengan waktu yang benar serta pemilihan orang yang tepat (key speaker), akan membantu perusahaan keluar dari masa-masa krisis. Tidak hanya itu, pemilihan media sebagai salah satu tools dalam penyampaian pesan pun menjadi perhatian dalam pelaksanaan strategi komunikasi krisis. Seperti yang diungkapkan Ronald D. Smith dalam Strategic Planning for Public Relations (2005:24), “actually, however, strategic communication is the concept and public relations is its primary example. In earlier days, much public relations activity was haphazard and reactive. But most current public relations activity is strategic, and most practitioners see themselves as strategic communicators”. Barton (1993:122) membagi beberapa elemen pada komunikasi sebagai strategi yang juga perlu diperhatikan, seperti : a. Publik. Dalam krisis, pengelola krisis harus mengenali siapa saja publiknya, karena dengan mengenali publik sebelum adanya krisis akan memudahkan pengelola krisis untuk membentuk crisis management plan dengan merujuk pada publik yang lebih spesifik. Dengan mengenal publiknya, maka akan mempermudah perusahaan untuk menangani krisis 17 dan mempertimbangkan kepentingan publik sebagai langkah yang akan dilakukan kedepannya. b. Tujuan. Untuk menciptakan proses komunikasi yang efektif pada saat krisis, pengelola krisis harus memiliki tujuan yang jelas agar dapat disampaikan pada publik sasaran secara tepat. Merujuk pada masingmasing publik, organisasi memiliki tujuan komunikasi yang berbeda. c. Pesan. Dalam mempersiapkan suatu pesan, kepada para stakeholders atau media, ada baiknya mempertimbangkan tiga variable utama dalam proses menyampaikan pesan yaitu Tone, Content, dan Receiver. Tidak ada format pasti dalam setiap penggunaan tiga variabel tersebut. Penggunaan variable tersebut berbeda untuk setiap krisis dan organisasi, butuh penyesuaian isi pesan untuk dapat mencapai tujuan yang ingin dituju. Selama itu, pesan yang diberikan kepada publik juga tergantung pada segmentasinya. d. Sumber. Elemen ini adalah bagian untuk menentukan siapa yang akan menjadi juru bicara atau sumber informasi untuk menyampaikan pesan kepada para publik dalam masa krisis. Menentukan keputusan siapa yang akan berbicara atau menjadi sumber informasi dalam krisis disamping PR merupakan sesuatu yang harus diputuskan secara matang, hal ini berkaitan pula dengan citra dari perusahaan yang terwakilkan oleh sumber informasi perusahaan. Dalam beberapa kasus, posisi ini dilakukan oleh CEO perusahaan karena hal ini terkait dengan rasa bertanggungjawab atas krisis dan ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap perusahaan. e. Dukungan dan informasi. Bagian ini menentukan dari mana saja dukungan dan informasi didapatkan dan juga dari segi internal maupun eksternal. f. Feedback. Setelah terjadi krisis, pengelolaan krisis tahu dalam hal ini manajemen harus melakukan analisis lanjutan tentang penanganan krisis yang teah dilakukan, seperti efektivitas dalam berkomunikasi dengan publik yang telah disasar. Hal ini sebagai bahan pembelajaran untuk membantu mencegah krisis di kemudian hari. 18 Pengenalan terhadap publik sasaran merupakan hal yang penting dalam komunikasi krisis dengan pemahaman yang detail terhadap publik, dapat ditentukan cara komunikasi yang paling efektif dan cara mencapai mereka. Komunikasi krisis sendiri menurut Fearn-Banks (seperti dikutip Putra, 2008:9.23) adalah komunikasi antara organisasi dengan berbagai publiknya sebelum, selama, sesudah kejadian negatif menimpa organisasi. Maka bisa disimpulkan bahwa sebenarnya hampir setiap perusahaan seharusnya sudah melakukan komunikasi krisis walaupun krisis belum terjadi. Adapun kategori publik yang dibagi oleh Fearn-Banks (dalam Putra, 2008:9.25) : 1. Enabling public, yakni publik yang punya kekuasaan untuk memutuskan suatu persoalan. Termasuk di dalamnya anatara lain Dewan Direktur, Pemegang Saham, Komisaris Perusahaan, dan Pemerintah. 2. Functional public, yakni kelompok orang yang menjadikan sebuah organisasi dapat berputar. Termasuk di dalamnya antara lain para karyawan, konsumen, dll. 3. Normative public, yakni kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dengan organisasi. Termasuk di dalamnya adalah para anggota asosiasi atau perkumpulan perusahaan-perusahaan sejenis. 4. Diffused public, yakni kelompok orang yang secara tidak langsung berhubungan dengan organisasi dalam suatu krisis. Yang tergolong dalam kategori ini antara lain media dan kelompok-kelompok komunitas. Dapat dengan cepat mengidentifikasi publik akan memudahkan dalam menjalani proses komunikasi krisis untuk membangun pesan yang ingin disampaikan dan menentukan strategi yang paling efektif dalam menyampaikan pesan. Strategi komunikasi oleh Effendy (2009:29) didefinisikan sebagai panduan perencanaan komunikasi (communication planning) dengan manjemen komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Strategi komunikasi harus mampu menunjukkan bagaimana operasional 19 praktisinya harus dilakukan. Coombs (1999:121) menyatakan bahwa the crisis communication strategies represent the actual responses the organization uses to address the crisis. Komunikasi tidak hanya dilakukan sebatas verbal saja tetapi tindakan nyata dari perusahaan lebih dibutuhkan pada saat situasi krisis. Hal ini diperkuat oleh Allen & Caollouet (seperti dalam Coombs, 1999) crisis communication strategies involve the words (verbal aspects) and actions (nonverbal aspects) the organization directs toward the crisis. Tidak semua perusahaan merespon krisis dengan cara yang serupa. Akan tetapi, W. Timothy Coombs (1999:122-123) memiliki beberapa pilihan strategi komunikasi krisis yang dapat digunakan oleh perusahaan, yakni : (a) Attack the accuser (menyerang pihak penuduh); (b) Denial (penyanggahan atas krisis); (c) Excuse (Pemakluman atas terjadinya krisis); (d) Justification (pembenaran atas krisis); (e) Ingratiation (aksi “menjilat’ untuk menenangkan publik); (f) Corrective action (aksi nyata menghadapi krisis); (g) Full apology (permintaan maaf atas krisis yang terjadi). Ia juga menambahkan bahwa perusahaan atau organisasi dapat lebih fokus pada accommodative strategies (ingratiation, corrective action, full apology) apabila defensive strategies (attack accuser, denial, excuse) tidak efektif. Fakor lain yang perlu dipertimbangkan dalam suatu strategi komunikasi dalam menghadapi krisis, adalah pemanfaatan pihak ketiga sebagai pendukung posisi organisasi. Dalam berbagai kasus, dukungan dari pihak ketiga sangat efektif digunakan untuk memperkuat posisi organisasi atau memulihkan reputasi organisasi. Kebanyakan dari praktisi Public relations memlih media sebagai tools dalam membantu kinerja mereka. Media dianggap bisa menjadi pihak penengah dan membantu kinerja public relations, khususnya pada saat perusahaan dihadapkan dengan situasi bahaya. Wasesa (2005:70) beranggapan disaat kondisi berbahaya public relations tak sungkan memasukkan media sebagai bagian dari strategi komunikasi krisis dengan harapan informasi yang beredar diluar bisa terkontrol dengan pemberitaan yang ada 20 di media dan tentunya dapat mengubah persepsi publik mengenai perusahaan. Media juga bisa membantu perusahaan untuk mencapai goals pada saat krisis yakni memperpendek masa krisis. Bagan 1.2 Wasesa, Silih Agung (2005:70) INPUT OUTPUT OUTCOMES Strategi, Taktik atau Aktifitas PR Liputan Media, Kesuksesan penyelenggaraan even, atau banyaknya jumlah pengunjung Perubahan sikap target audiens atau publik Kunci untuk mengantisipasi dan menghindari krisis adalah dengan menilai apa yang bisa terjadi dan apa yang dapat mempengaruhi orang atau lingkungan, dan apa yang akan menciptakan jarak penglihatan (Cutlip, Center dan Broom, 2005:309). F. Kerangka Konsep Penelitian ini fokus pada strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh praktisi public relations dalam menghadapi situasi krisis. Pada umumnya praktisi public relations mempunyai peranan yang cukup besar dalam mengambil keputusan untuk merancang dan mengimplementasikan strategi komunikasi saat menghadapi krisis, karena salah satu tuntutan bagi praktisi public relations yakni mampu menyelesaikan masalah ataupun krisis dalam perusahannya karena krisis tidak bisa menjadi pilihan yang dapat ditolak oleh perusahaan. Demikian juga, ketika praktisi public relations mempunyai peran yang penting dalam suatu perusahaan untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah khususnya, maka dapat dilihat juga kredibilitas praktisi public relations dari kemampuannya merancang dan mengaplikasikan strategi 21 komunikasi yang efektif, tepat dan benar untuk membawa perusahaan dari zona bahaya. Dalam penelitian ini peneliti juga akan melihat seberapa jauh peran public relations dapat mempengaruhi pembuatan dan pengimplementasian strategi komunikasi krisis, karena ketepatan dalam pemilihan strategi komunikasi yang dilakukan oleh praktisi public relations disaat krisis juga akan mempengaruhi lama waktu dan keberhasilan dalam penyelesaian krisis. Krisis tidak datang begitu saja, ada pemicu awal yang melandasi krisis itu terjadi. Identifikasi masalah menjadi tahapan yang penting dalam menentukan strategi komunikasi yang akan dilakukan. Pengidentifikasian terhadap masalah yang terjadi di perusahaan merupakan langkah awal yang baik untuk mencegah terjadi nya krisis. Karena krisis yang menimpa suatu perusahaan tidak selalu datang dari kelalaian manusia, berikut lima kategori kemungkinan terjadinya krisis dalam suatu perusahaan: Krisis teknologi (technological crisis), krisis konfrontasi (confrontation crisis), krisis tindak kejahatan (crisis of malevolence), krisis kegagalan manajemen (crisis of management failure), dan krisis yang berhubungan dengan ancaman lain terhadap organisasi (crisis involving other threats to the organization). Krisis hidup dan terus berkembang seiring dengan lajunya perusahaan dan komunikasi yang dilakukan perusahaan. Ketika tidak berhasil dalam mengidentifikasi masalah dan tidak cepat menanggapinya maka tahapan demi tahapan krisis akan menyerang. Adapun tahapan-tahapan krisis yang tentunya memiliki treatment yang berbeda dalam menghadapinya, yakni Tahapan Prodromal, Tahapan Akut, Tahapan Kronis, dan Tahapan Resolusi. Memperpendek tahapan krisis adalah langkah yang harus dilakukan oleh praktisi public relations. Public relations hadir sebagai bagian dalam perusahaan yang menjembatani antara perusahaan dengan publiknya. Namun, tidak semua perusahaan memberikan tugas dan melibatkan praktisi public relations dalam proses penyelesaian krisis dan pembuatan strategi komunikasinya. Dalam konsep peranan public relations, praktisi public relations dapat memainkan beberapa peran yaitu : Public relations manager 22 dan Public relations technician. Ketika praktisi public relations mempunyai peranan sebagai public relations manager maka ia memiliki peran dalam bidang menejerial dan keterlibatan dalam perusahaan. Dalam hal ini perusahaan memberikan wewenang penuh bagi praktisi public relations untuk mengelolah sendiri kegiatan public relations. Sedangkan public relations technician tidak, ia hanya menjalankan keputusan yang telah dibuat oleh fungsi manajemen perusahaan. Peran public relations juga sangat mempengaruhi implementasi strategi komunikasi yang akan digunakaan oleh perusahaan saat menghadapi krisis. Secara garis besar dalam penanganan krisis terdapat dua tindakan khas yakni tindakan-tindakan yang bercirikan keterlibatan manajemen atau bisa dikatakan tindakan secara langsung (non-media) dan tindakan komunikasi yang lebih banyak melibatkan media dalam proses penyelesaian. Di saat krisis, arus informasi yang berkembang di media akan tinggi. Ketika tidak segera dimenej maka hal ini akan memperkeruh situasi dan bertintegrasi dengan reputasi perusahaan yang akan memperparah keadaan perusahaan. Strategi komunikasi yang tepat dan efisien dalam menyampaikan informasi terkait dengan keadaan yang menimpa perusahaan sangat dibutuhkan. Namun, dalam penyampaian informasi kepada publik saat krisis perlu diperhatikan empat prinsip, yakni: the right message, to whom that message should be told, who should tell it, dan to right time to tell it. Efektif atau tidaknya sebuah komunikasi pada saat krisis sangat bergantung pada pemilihan saluran atau media yang digunakan, karena setiap saluran komunikasi mempunyai tingkat keefektifan yang berbeda-beda. Terdapat beberapa strategi komunikasi krisis yang dapat digunakan oleh public relations pada masa-masa krisis seperti yang diungkapkan Coombs (1999) yakni, full apology (permintaan maaf atas krisis yang terjadi), corrective action (aksi nyata menghadapi krisis), ingratiation (aksi “menjilat” untuk menenangkan publik), justification (pembenaran atas krisis), excuse (pemakluman atas terjadinya krisis), denial (penyanggahan atas krisis), attack the accuser (menyerang pihak penuduh). 23 Dalam strategi komunikasi metode yang paling efektif dalam berkomunikasi dengan publik yang luas dan beragam adalah melalui media massa, seperti : Koran, majalah, publikasi, radio, dan televisi. Sehingga dengan beragamnya stakeholders sebagai target dari strategi komunikasi yang dilakukan akan menjadikan efektivitas komunikasi lebih mudah dicapai jika perusahaan menggunakan media yang beragam pula. Pada sisi publik, hal ini tentunya akan menjamin ketersediaan informasi. Adapun kategori publik yang diungkapkan Fearn-Banks (dalam Putra, 2008) yakni : enabling public, functional public, normative public, dan diffused public. Konsep strategi komunikasi krisis inilah yang diterapkan pada PT Pertamina EP sebagai salah satu perusahaan migas terbesar dan mempunyai andil yang penting dalam ketersediaan energi di Indonesia. Bagaimana PT Pertamina EP menghadapi krisis dalam kasus penjarahan minyak di jalur pipa Tempino-Plaju dan meyakinkan public khususnya masyarakat di sekitar wilayah operasi, akan bahaya tindakan pencurian minyak dan pentingnya menjaga objek vital nasional. Tentunya banyak faktor yang dapat mempengaruhi implementasi strategi komunikasi krisis tersebut. 24 Bagan 1.3 Bagan Konsep Strategi Komunikasi Krisis Peran Public Relations a. Public relations managerial - Expert Prescriber - Communication Facilitator - Problem-solving Process Facilitator b. Communication Technician Krisis : - Krisis Teknologi Krisis Konfrontasi Krisis Kejahatan Krisis Kegagalan Krisis yang berhubungan dengan acaman lain terhadap organisasi Respon atau Tindakan dalam Penanganan Krisis Tahapan Krisis : - Krisis Prodromal Krisis Akut Krisis Kronik Krisis Resolusi - Tindakan-tindakan yang bercirikan keterlibatan langsung (non-media) - Tindakan komunikasi (media) Strategi Komunikasi Krisis - Full Apology Corrective Action Ingratiation Justification Excuse Denial Attack the Accuser Public yang akan dijangkau - Enabling public Functional public Normative public Diffused public 25 G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini berbentuk studi kasus untuk memusatkan perhatian pada kasus secara intensif dan mendetail, yaitu pada kasus penjarahan minyak mentah di Jalur Pipa Tempino-Plaju yang terjadi pada PT Pertamina EP. Namun penelitian ini lebih memusatkan pada implementasi strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh Public Relations PT Pertamina EP pada kasus tersebut. Robert K. Yin (2002:18) mendefinsikan studi kasus sebagai suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan jelas dan dimana multi sumber dapat dimanfaatkan. Maka, berdasarkan pernyataan Yin tersebut, penelitian ini dirasa layak menggunakan studi kasus. Penelitian ini menggunakan studi kasus deskriptif, yang dapat diartikan sebagai pengembangan dari studi kasus yang bertujuan untuk memaparkan atau mendeskripsikan suatu situasi. Dalam penelitian ini juga akan dihasilkan deskripsi mengenai strategi komunikasi krisis public relations PT Pertamina EP dalam kasus penjarahan minyak di Tempino-Plaju khususnya kebakaran yang terjadi pada tanggal 03 Oktober 2012. 2. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi : 27th Floor Standard Chartered Tower, Jl. Prof Dr. Satrio No. 164 Jakarta Selatan. Waktu : 09 April – 12 Juli 2013 3. Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini, untuk memperkecil permasalahan mengenai validitas maka digunakan dua jenis sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dapat diartikan sebagai sumber data yang diperoleh secara langsung, sedangkan data sekunder adalah sumber data yang diperoleh melalui pihak lain. 26 a. Data Primer Wawancara Mendalam Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan secara langsung kepada fungsi Public Relations PT Pertamina EP yang memahami dan berkompeten terhadap objek penelitian. Wawancara merupakan sumber informasi yang esensial bagi studi kasus. Pada tahap wawancara kepada informan peneliti dibantu dengan interview guide agar membuat fokus lebih jelas dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kebutuhan data terkait dengan tema yang ada. Wawancara mendalam ini akan dilakukan pada Tim Public Relations PT Pertamina EPdengan melibatkan : 1. Public Relations Manager PT Pertamina EP 2. Media Relations Analyst Senior PT Pertamina EP Pusat (Sekarang Legal & Relations Manager Asset Cepu) 3. Public Relations Coordinator CSR Region Sumatera Field Prabumulih (Sekarang Media Relations Analyst Senior PT Pertamina EP Pusat) 4. Public Relations Field Rimau (Sekarang Analyst Senior Eksternal Relations PT Pertamina EP). Proses wawancara dalam penelitian ini akan dilakukan dengan bentuk tanyajawab langsung (individu ke individu) antara pewawancara dengan informan. Observasi Observasi yang dilakukan peneliti bertujuan untuk lebih mendekatkan diri antara peneliti dengan objek penelitian atau kasus yang sedang dikaji. Dengan demikian, peneliti dapat secara langsung mengetahui tentang segala hal yang terjadi dan aspek-aspek yang telah mempengaruhi permasalahan tersebut. Dengan begitu peneliti dapat secara objektif melihat fenomena yang terjadi di 27 PT Pertamina EP terkait kasus penjarahan minyak mentah yang terjadi di Pipa Tempino-Plaju, bahkan peneliti dapat langsung mendapatkan sumber informasi lain sebagai tambahan informasi dan pengetahuan untuk mendukung keperluan data penelitian. b. Data Sekunder Studi Pustaka Untuk studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain (Yin, 2002:104). Dalam penelitian ini studi dokumen yang akan digunakan adalah annual report PT Pertamina EP sebagai bahan evaluasi mengenai segala kejadian yang terjadi di perusahaan dan beberapa dokumen atau arsip interal PT Pertamina EP yang resmi. Selain itu, data juga dikumpulkan dari data kepustakaan seperti buku, jurnal dan majalah. 4. Teknik Analisis Data Analisis data terdiri atas pengujian, pengkategorian, penstabulasian, ataupun pengkombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu penelitian (Yin, 2002:133). Dalam penelitian ini teknik analisis data yang akan digunakan adalah penjodohan pola (pattern matching). Dengan menggunakan teknik analisis data penjodohan pola, data yang telah dikategorikan akan dicari kesesuaian pola antara data yang terkumpul dengan kerangka teori dan proposisi penelitian yang telah dibuat. Kemudian dipaparkan penjelasan mengenai permasalahan yang diteliti. Data yang diperoleh dan hasil analisis akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis guna memudahkan pemahaman hasil penelitian. Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan setelah mendapatkan data dari hasil wawancara kepada Fungsi Public Relations yakni Public Relations Manager, Analyst Media Relations, Public Relations Manager Field Cepu, dan Analyst Eksternal Relations, observasi yang dilakukan oleh peneliti, dan beberapa dokumen. 28 Setelah mendapatkan data dari empat sumber tersebut maka akan dilakukan kesesuaian data dengan teori yang telah dijelaskan pada kerangka teori dan bab II. Setelah dilakukan penyesuaian tersebut, maka akan dihasilkan sebuah deskripsi mengenai strategi komunikasi krisis humas (public relations) PT Pertamina EP dalam kasus penjarahan minyak di jalur pipa tempino-plaju (krisis) yang disusun secara sistematis agar dapat dipahami dengan mudah. 5. Teknik Validasi Data Dalam penelitian studi kasus, uji validitas yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan teknik triangulasi data yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Untuk melakukan triangulasi data terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. Kedua, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. Ketiga, membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. Keempat, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang. Kelima, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Merujuk pada langkah-langkah tersebut, maka uji validitas dalam penelitian ini akan dilakukan dengan membandingkan hasil pengamatan penelitian mengenai strategi komunikasi krisis humas PT Pertamina EP dalam kasus penjarahan minyak di pipa Tempino-Plaju. Selain membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara, uji validitas dalam penelitian ini juga dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara kepada Tim Public Relations PT Pertamina EP dengan dokumen berkaitan yang didapatkan selama penelitian. Dokumen yang dimaksud disini adalah laporan dari masing-masing analis dan beberapa dokumentasi mengenai strategi komunikasi krisis pada situasi krisis. 29