ORGANISASI SEBAGAI TEMPAT BELAJAR (DI TENGAH KRISIS MUTU PENDIDIKAN) Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 16 April 2004) Rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berakibat pada rendahnya produktivitas dan daya saing kita sebagai bangsa, masih sangat memprihatinkan. Lebih-lebih lagi di era perdagangan bebas yang sekarang ini sudah mulai kita masuki, yang berarti kita sebagai bangsa akan bersaing secara langsung dengan bangsa-bangsa lain dalam perekonomian global, tidak lagi aman terlindungi oleh kebijakan tarif maupun non-tarif yang dibuat pemerintah. Perusahaan-perusahaan domestik kita akan berhadap- hadapan face to face dengan pemain-pemain asing yang dapat dipastikan memiliki competitiveness yang jauh lebih tinggi. Salah satu sebab utama rendahnya mutu SDM adalah rendahnya mutu pendidikan kita. Sekarang ini, meskipun jumlah institusi pendidikan dan jumlah peserta didik terus meningkat, namun kualitasnya semakin tertinggal dibanding negara-negara lain. Kualitas pendidikan kita kini lebih rendah dari Malaysia, bahkan dari Vietnam! Hal itu jelas berakibat langsung pada rendahnya kualitas angkatan kerja. Diperparah lagi, nilai-nilai budaya masyarakat kita masih begitu banyak yang bersifat counter-productive terhadap pembangunan kualitas manusia Indonesia. Perilaku budaya suka menerabas -- ingin meraih kesuksesan tanpa kesediaan menjalani proses yang benar, mengejar formalitas tanpa terlalu mempedulikan kualitas isi -- marak menjadi perilaku keseharian bangsa. Namun demikian, ada fenomena yang sering mengherankan sementara orang, yaitu mengapa manusia Indonesia ternyata dapat menunjukkan kemampuan kerja yang produktif dan kreatif manakala mereka bekerja di perusahaan-perusahaan asing. Ambil contoh konkret, para insinyur kita, meskipun berasal dari perguruan tinggi yang sama, namun nyata sekali perbedaan kinerja mereka yang bekerja di perusahaan minyak Caltex dengan mereka yang bekerja di Pertamina. Kinerja karyawan Caltex jauh lebih tinggi dibanding karyawan Pertamina. Mengapa bisa demikian? Ini pertanyaan yang harus dicari jawabannya agar upaya peningkatan produktivitas bangsa dapat dicari sumber-sumber masalahnya, bukan saja dari krisis dunia pendidikan dan budaya masyarakat kita, namun juga dari buruknya proses-proses manajemen dan budaya di level mikro, yakni di perusahaan-perusahaan kita, termasuk di organisasi nirlaba atau pelayanan publik seperti instansi pemerintahan. Pembelajaran di perusahaan Pembelajaran di dunia pendidikan memang penting, tetapi proses pembelajaran sebenarnya tidak berhenti di situ, tetapi terus berlangsung sepanjang hidup manusia, termasuk di dunia kerja atau di perusahaan. Perusahaan, di samping sebagai tempat bekerja (locus of working) untuk mencari nafkah, juga merupakan tempat belajar (locus of learning) untuk mengembangkan diri. Perusahaan yang bagus pengelolaannya, yang handal dan arif gaya kepemimpinan para eksekutifnya, adalah tempat belajar atau “persekolahan” yang hebat bagi para karyawan. Mereka dapat belajar mengembangkan sikap mental positif dan konstruktif, mengolah kecerdasan emosi, menimba pengetahuan, dan mengasah macam-macam ketrampilan. Sebaliknya, perusahaan yang dikelola secara buruk, yang mempraktikkan manajemen yang culas, membiarkan perilaku budaya kerja mediokrit bahkan destruktif, menerapkan gaya kepemimpinan yang bossy dan sewenang-wenang, tentu merupakan tempat belajar yang juga buruk bagi para karyawan. Kalau karyawan dalam bekerja sering mengalami kekecewaan karena ide-idenya tidak dihargai oleh atasannya, maka mungkin ia akan belajar dan menyimpulkan bahwa tidak ada gunanya berpikir kreatif dan berinovasi. Kalau karyawan merasa bahwa atasannya lebih sering bertindak sebagai boss yang harus dilayani dan bukan sebagai pensuport bawahan agar bawahan dapat lebih berkemampuan melayani konsumen, maka bagaimana mungkin karyawan akan terdorong untuk melayani konsumen dengan baik? Kalau kemajuan karir karyawan lebih tergantung pada ketrampilan berpolitik dan bukan pada profesionalisme, maka mereka tidak akan melihat perlunya berkonsentrasi untuk bekerja produktif kalau ingin maju. Demikian juga, kalau karyawan bahwa merasa pihak manajemen tidak bersikap fair dan sering mengandalkan kekuasaan untuk menekan karyawan, mengandalkan maka karyawan akan belajar untuk kekuatan dalam usaha mencapai tujuan, dengan mogok, misalnya. Benar bahwa cara-cara orang dalam belajar dan merespons keadaan bisa berbeda-beda. Namun, dinamika belajar seperti yang banyak dicontohkan di atas agaknya yang lebih umum terjadi. Membenahi proses-proses manajemen Proses-proses manajemen pada perusahaan nasional maupun lokal kita umumnya masih jauh dari profesional. Lebih-lebih lagi pada organisasi public service, yaitu birokrasi pemerintahan, di pusat maupun daerah. Apa yang dinamakan good corporate governance masih jauh dari kenyataan. Dalam keadaan demikian, sungguh sulit diharapkan terbangunnya kualitas dan kinerja SDM yang tinggi. Bagaimana mungkin organisasi akan mendapatkan SDM yang berpotensi bagus kalau praktik rekruitmen dan seleksinya tidak benar-benar objektif dan valid? Bagaimana mungkin karyawan akan meningkat kemampuan kerjanya, kalau sistem trainingnya tidak berkualitas? Kalau training hanyalah sebuah rutinitas program tahunan, apalagi sekedar untuk menghabiskan anggaran (seperti yang biasa terjadi di instansi pemerintahan), tanpa ditinjau secara ketat relevansi materi training dan kualifikasi trainer dengan kebutuhan peningkatan kinerja karyawan, sudah barang tentu training tersebut hanyalah pemborosan dan pembodohan. Bagaimana mungkin karyawan akan terpacu benar-benar bekerja secara produktif dan kreatif kalau pengukuran kinerja karyawan tidak dilakukan dengan cara-cara yang meyakinkan karyawan menyangkut objektivitas dan validitasnya? Lebih-lebih lagi kalau ternyata hasil penilaian itu tidak tampak nyata pengaruhnya terhadap reward maupun punishment atas diri karyawan. Bagaimana mungkin karyawan dapat belajar menegakkan nilai-nilai mulia dalam kehidupan kerja jika mereka menyaksikan betapa perusahaan biasa melakukan keculasan, baik terhadap internal customer maupun external customer-nya? Harus diakui, proses-proses manajemen dan budaya organisasi di perusahaan-perusahaan asing pada umumnya jauh lebih baik daripada di perusahaan domestik. Di sana, karyawan dituntut bekerja produktif. Dan itu dilakukan dengan menjagai benar-benar rasa keadilan: siapa yang produktif mendapatkan reward yang signifikan, siapa berbuat counter-productive mendapatkan punishment yang juga signifikan bobotnya. Demikian pula produktivitas itu didorong oleh penerapan gaya kepemimpinan yang kondusif, penegakan nilai-nilai fair-play, dan sasaran kerja serta visi perusahaan yang jelas dan menantang. Hal-hal itulah yang sangat penting mempengaruhi perilaku kerja karyawan, sehingga meskipun mereka adalah manusia Indonesia yang berasal dari budaya masyarakat yang kurang menghasung profesionalisme, namun mereka terdorong dan terbukti dapat bekerja produktif oleh pengaruh budaya perusahaan tempat mereka bekerja. Baiklah, karena di atas tadi sudah disebut Pertamina dalam konotasi miring, maka di sini juga perlu disebutkan bahwa perusahaan negara tersebut sekarang telah mencanangkan visi 2010 untuk menjadi perusahaan yang unggul, maju, dan terpandang. Dalam road map restrukturisasi organisasinya tahun 2000 – 2010, di samping disebutkan perubahan status perusahaannya menjadi persero, juga dicanangkan program pembangunan citra baru (image building) dan pembangunan budaya organisasinya (corporate culture) menuju customer & quality oriented. Disebutkan pula di situ tekad untuk tumbuh dan berkembang. Kita berharap perubahan scenario planning Pertamina di tingkat korporat itu dapat sungguh-sungguh diimplementasikan pada tingkat strategic business unit dalam seluruh proses-proses manajemennya, sehingga benar-benar dapat membawa perubahan perilaku organisasionalnya menjadi produktif dan kompetitif. Kalau Pertamina berhasil merekayasa ulang dirinya, demikian juga beribu-ribu organisasi lain (baik organisasi bisnis maupun pelayanan publik) bersegera bersungguh-sungguh memperbaiki proses-proses manajemennya, terutama yang menyangkut manajemen sumber daya manusia dan budaya organisasinya, maka organisasi-organisasi tersebut di samping akan meningkat produktivitasnya dan menguat daya saingnya, juga berfungsi sebagai “persekolahan” atau tempat pembelajaran yang luar biasa kontributif bagi peningkatan kualitas SDM Indonesia. Begitulah, jika organisasi dapat membangun dirinya menjadi organisasi pembelajar (learning organization) dalam segenap aspek pembelajaran karyawannya, ya intelektualitasnya, emosinya, dan lebih-lebih karakternya, maka organisasi tersebut dapat menjadi tempat yang mencerdaskan kemanusiaan -- suatu hal yang justru dunia pendidikan formal kita masih sangat mengecewakan dalam kesungguhan dan kemampuan menggarapnya.