A. Aktor-Aktor Dalam Konflik Mindanao Aktor-aktor dalam konflik Mindanao terdiri dari beberapa aktor konflik yang bersifat permanen dan beberapa di antara merupakan aktor konflik yang baru muncul setelah periode perjanjian antara pemerintah Filipina dengan masyarakat Mindanao: E.1. MNLF (Moro National Liberation Front) MNLF merupakan gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Prof. Nur Misuari, seorang akademisi dari Universitas Filipina dalam upaya memisahkan diri dari Filipina semenjak dekade 1970-an sebagai respon terhadap upaya pemarginalan terhadap bangsa Moro baik oleh etnik Ilaga ataupun pemerintah Fiipina. Dalam perkembangannya, MNLF kemudian menjadi organisasi yang secara resmi menjadi perwakilan masyarakat Mindanao dalam proses negosiasi dengan pemerintah Filipina di dalam beberapa Accord ataupun Agreement di 1976 dan 1996. Dalam dinamika hubungan dengan pemerintah, MNLF cenderung melakukan politik yang dinamis dibandingkan dengan organisasi perlawanan yang lain. MNLF sebelumnya menyerukan upaya pemisahan diri masyarakat Mindanao dari pemerintah Fiipinan, namun kemudian menurunkan tuntutan pembentukan Negara Mindanao Merdeka menjadi pemerintahan otonom Muslim Mindanao (Autonomous Region for Mindanano Muslim/ARMM) di dekade 1990an. Namun berseiring dengan semakin terjepitnya legitimasi MNLF dalam ARMM pada tahun 2001, Nur Misuari kembali menyerukan perlawanan terhadap pemerintah Filipina yang kemudian berakibat penangkapan terhadapnya. Bahkan dalam situs resmi MNLF, aspirasi untuk mendirikan Negara Mindanao merdeka kembali diartikulasikan setelah sebelumnya sempat dipetieskan oleh para elitnya pasca Final Peace Agreement 1996.1 Dalam konteks idiologisasi organisasi, MNLF mengidentifikasi diri dengan idiologisasi nasionalis-sekuler dibandingkan dengan idiologisasi Islam. Pilihan politik MNLF tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Nur Misuari sebagai aktivis gerakan sosialisme Islam selama masih mahasiswa. Bahkan Salamat Hashim menuduh bahwa Misuari telah berusaha merubah arah gerakan MNLF menjadi gerakan yang beridiologi komunis.2 Karena alasan inilah kemudian Salamat Hashim memilih memisahkan diri dari MNLF. Elit politik dan anggota MNLF cenderung berasal dari etnis Tausug, termasuk di dalamnya adalah Nur Misuari yang merupakan salah satu anak bangsawan dari Kasultanan Sulu. Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya konflik antara MNLF dengan organisasi perlawanan Mindanao lainnya, seperti MILF yang lebih didominasi oleh etnis Maguindanao. Jaringan internasional MNLF cenderung dibangun oleh Misuari melalui keterdekatan pribadi dengan Muamar Khadafi. Dari Khadafi inilah, Misuari akhirnya memiliki akses kepada Organisasi Konferensi Islam untuk melakukan internasionalisasi konflik di Mindanao. Dengan kemampuan akademik yang tinggi, Misuari mampu untuk mengartikulasikan kepentingan masyarakat Mindanao secara baik dalam forum-forum internasional dan domestik, sehingga pada akhirnya MNLF menjadi wakil resmi masyarakat Mindanao. E.2. MILF (Moro Islamic Liberation Front) 1 2 Lihat dalam http://mnlf.net/index.htm Cesar Adib Majul, op.cit. MILF3 merupakan organisasi perlawanan Moro yang didirikan oleh Salamat Hashim, seorang akademisi lulusan Al-Azhar Mesir yang sebelumnya menjadi wakil Nur Misuari dalam MNLF. Akibat beragam kekecewaan terhadap kepemimpinan Nur Misuari dalam memperjuangkan berdirinya Negara Mindanao merdeka, terutama pasca Tripoli Agreement 1976, maka Salamat Hashim memproklamasikan berdirinya MILF, sebuah organisasi perlawanan Moro yang tetap mengusung aspirasi berdiri Negara Mindanao merdeka setelah MNLF menerima opsi pembentukan pemerintah otonomi.4 Alasan lain yang menyebabkan Salamat Hashim memisahkan diri dari MNLF adalah perbedaan idiologisasi perjuangan. Hashim cenderung menggunakan Islam sebagai common platform idiologi perlawanan Moro5, sedangkan Nur Misuari tetap konsisten untuk menggunakan idiologi nasionalisme. Bahkan dalam beberapa pertemuan ICFM, Salamat Hashim berusaha mendelegitimasi kepemimpinan Nur Misuari dengan mengggunakan issue-issue sensitive seperti tuduhan bahwa Nur Misuaru sedang menjalankan agenda tersembunyi dengan idiologi dasar komunis. Dalam dinamika konflik dengan pemerintah Filipina, MILF cenderung melakukan politik konfrontatif dibandingkan dengan akomodatif. Pilihan politik ini menyebabkan pemerintah Filipina cenderung menempatkan MILF sebagai faksi perlawanan yang tidak mendapatkan kesempatan sebagai perwakilan bangsa Moro dalam upaya penyelesaian konflik Mindanao. Faksi MILF senantiasa mengembangkan klaim memiliki jumlah anggota combatant dan simpatisan yang lebih banyak dibandingkan dengan MNLF, sehingga MILF juga mengklaim lebih pantas mewakili masyarakat Muslim Mindanao. 3 Untuk alamat web MILF ada dalam http://luwaran.com Ibid., 5 Ibid., 4 MILF juga membangun diri sebagai representasi dari Mindanao, karena didasarkan pandangan bahwa basis utama MILF berasal dari suku terbesar di Mindanao.6 Basis dukungan internasional MILF cenderung berbeda dengan MNLF. MILF banyak mendapatkan dukungan dari networking Salamat Hashim di Timur Tengah. Basis ini dibangun Hashim tatkala menjadi salah seorang mahasiswa yang berpengaruh di Mesir.7 Koneksi MILF juga sering dikaitkan dengan jaringan al-Qaeda, terutama jaringan ini banyak terbangun tatkala MILF menyediakan camp-camp dan pelatihan bagi kelompok mujahidin Afhanistan yang berasal dari Asia Tenggara sebelum dikirim ke Afghanistan.8 Jaringan Hashim juga mendapatkan dukungan cukup signifikan dari Malaysia, sebagaimana diketahui Malaysia menjadi aktor mediator yang sangat berperan dalam menfasilitasi negosiasi dengan pemerintah semenjak 2001.9 E.3. Pemerintah Filipina Dalam dinamika konflik Mindanao telah terjadi pergantian 5 regim besar, yang ada kecenderungan regim satu dengan regim lainnya mengembangkan kebijakan yang relatif berbeda. Namun yang tak bisa dihindari bahwa regim di Filipina senantiasa diidentikkan dengan konsep “Filipino” yang senantiasa dekat dengan makna Katolik. Sehingga tak bisa dihindari bahwa setiap regim di Filipina difahami oleh masyarakat Mindanao sebagai cerminan Katolik. 6 Lihat dalam thesis Asep Chaerudin, Countering Transnational Terrorism in Southeast Asia With Respect to Terrorism in Indonesia and the Philippines, Naval Postgraduate School, Monterey California, December 2003 7 Ibid. 8 Lihat tulisan Rommel C. Banloi “ Radical Muslim Terrorism” in the Philippines dalam Andrew Tan (ed), Handbook on Terrorism and Insurgency in Southeast Asia, London, Edward Elgar Publishing, Limited, 2006 9 Solimon M. Santos, Jr, “Evolution of The Armed Conflict on The Moro Front, “ A Background paper submitted to the Human- Development Network Foundation, Inc for the Philippine Human Development Report 2005. hal. 17-19 Regim Marcos yang berkuasa semenjak 1970 cenderung menerapkan kebijakan represif kepada setiap bentuk perlawanan masyarakat Mindanao kepada pemerintah, baik yang dilakukan oleh kelompok Mindanao muslim ataupun kelompok komunis. Kebijakan represif ini tercerminkan dalam kebijakan Martial Law, sebuah kebijakan yang memberikan ruang yang besar bagi tentara Filipina dan penduduk Katolik melakukan tindakan kekerasan kepada komunitas muslim. Meskipun demikian, pada akhirnya regim Marcos pada tahun 1976 juga mulai menunjukkan sikap akomodatifnya terhadap gerakan perlawanan Moro. Sikap akomodatif regim Marcos tidak bisa dilepaskan dari tekanan masyarakat internasional dan dunia Islam terhadap kebijakan represifnya. Regim Aquino yang menggantikan regim Marcos di 1992 cenderung mengembangkan kebijakan akomodatif terhadap kelompok perlawanan Mindanao daripada kebijakan represif. Pilihan kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari spectrum politik di Filipina dan dukungan internasional untuk menyelesaikan konflik Mindanao di meja perundingan. Langkah-langkah yang dilakukan Aquino adalah dengan melakukan pertemuan informal dan formal dengan elit-elit MNLF dan beberapa Negara Timur tengah sebagai fasilitator negosiasi. Sedangkan regim Fidel Ramos sebagai penerus regim Aquino cenderung untuk meneruskan gaya kepemimpinan Aquino untuk bersikap akomodatif terhadap kelompok perlawanan di Mindanao. Sebagai mantan wakil presiden pada regim Aquino, Ramos telah merintis jalan perdamaian dengan kelompok perlawanan. Sikap pro peace regim Ramos, membuat MNLF yang sebelumnya memilih sikap konfrontatif pasca Tripoli Agreement 1976, mulai menunjukkan sikap akomodatif dan menerima tawaran negosiasi dalam konteks Final Peace Agreement 1996. Berbeda dengan regim Aquino dan Ramos yang cenderung mengembangkan kebijakan akomodatif atau all-out peaces terhadap kelompok perlawanan Moro, regim Estrada cenderung memilih kebijakan represif (all-out wars). Kebijakan Estrada keras Estrada melakukan penyerangan langsung dan menghancurkan camp-camp serta markas MILF, Abu Sayyaf dan MNLF yang dianggap sebagai kelompok teroris yang harus ditumpas. Sikap represif Estrada cenderung juga dilanjutkan oleh Arroyo dalam menyelesaikan konflik Mindanao, untuk mendukung kebijakan tersebut regim Arroyo melakukan mengembangkan kembali kebijakan kerjasama militer dengan Amerika Serikat terutama kerjasama perang terhadap jaringan terorisme internasiona. E.4. Lumads Lumads merupakan etnis asli Mindanao yang tidak melakukan konversi adat dan keberagamaan meskipun telah bersentuhan tradisi baru, baik tradisi Katolik-Spanyol ataupun tradisi Islam. Masyarakat Lumads masih memegang teguh tradisi lama dalam keberagamaan di mana masih mengembangkan tradisi paganism. Meskipun secara politik dan ekonomi, masyarakat Lumads mengalami marginalisasi sebagaimana dialami oleh masyarakat Muslim Mindanao, namun ada kecenderungan masyarakat Lumads tidak melakukan perlawanan ataupun pemberontakan seperti yang dilakukan masyarakat Muslim di Mindanao. Namun pasca Final Peace Agreement 1996, masyarakat Lumads sebagai bagian tak terpisahkan dalam komunitas penduduk Mindanao mulai menuntut diberikan ruang yang besar dalam konteks ekonomi dan politik. D.5. NPA (National People Army) NPA merupakan sekelompok masyarakat di bagian tenggara Mindanao yang melakukan aksi perlawanan terhadap kebijakan Manila yang cenderung memarginalkan Mindanao. Namun ada kecenderungan pula bahwa munculnya NPA sebenarnya sebagai respon terhadap gejolak politik yang ada di Manila. Pilihan Mindanao sebagai basis utama gerakan NPA tidak bisa dilepaskan untuk membangun independensi terhadap berbagai penetrasi yang dilakukan oleh regim Manila sekaligus melakukan perang gerilya untuk mendestruksi legitimasi pemerintah Filipina. NPA merupakan organisasi perlawanan Mindanao yang didirikan oleh Jose Sison tahun 1968, seorang aktivis mahasiswa kiri dari Universitas Filipina dan satu generasi dengan Nur Misuari, menggunakan idiologi komunis dalam proses perjuangannya. Keanggotaan NPA ada kecenderungan berasal dari kelompok politik yang terpinggirkan dalam politik di Manila, termasuk di antaranya adalah kalangan militer yang mengalami disersi. Pasca Final Peace Agreement 1996, NPA mulai mengidentifikasi diri sebagai representasi dari masyarakat miskin Mindanao, terutama kaum Lumads yang tidak mendapatkan posisi signifikan dalam ARMM.