Anas Versus KPK Iding R. Hasan* (Pikiran Rakyat, 13 Januari 2014) Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, akhirnya memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jum’at (10/01) kemarin. Sempat mangkir pada dua pemanggilan sebelumnya, tetapi Anas kemudian hadir di KPK sekalipun para penasihat hukumnya menyarankan untuk tidak hadir. Diketahui kemudian bahwa kedatangan Anas memang atas inisiatifnya sendiri seperti diungkapkan Juru Bicara KPK, Johan Budi. Anas tampaknya menyadari bahwa menolak panggilan KPK tidak menguntungkan karena boleh jadi ia akan dianggap melakukan pembangkangan terhadap institusi penegak hukum. Dari perspektif opini public, jelas Anas akan kian terpojokkan pasalnya sampai saat ini publik masih memberikan kepercayaan pada KPK sebagai lembaga yang otoritatif untuk melakukan pemberantasan korupsi. Dalam konteks inilah agaknya Anas kemudian memutuskan untuk hadir di KPK sekalipun mengetahui bahwa ia akan ditahan. Aroma Politik Sejak Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Pebruari 2013 terkait kasus proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor, wacana pengaitan penetapan tersebut dengan politik kerap digaungkan terutama oleh para pendukung Anas dan tentu saja oleh Anas sendiri. Menurut mereka, KPK tidak independen dari intervensi partai berkuasa yang notabene dibawah genggaman Cikeas (SBY) untuk menyingkirkan Anas dari Demokrat. Bahkan dengan tegas mereka menyebut Anas sebagai “tumbal politik” Cikeas. Kubu Anas tampaknya terus melakukan perang opini ke tengah publik bahwa kasus Anas memang kental dengan aroma politik. Anas sendiri dengan gaya dan retorika politiknya yang khas kerap melancarkan wacana yang menyindir Cikeas baik melalui media sosial seperti twitter maupun dalam sejumlah wawancara dengan media massa. Kondisi ini terus berlangsung secara leluasa karena proses penyidikan Anas berlangsung cukup lama sejak ditetapkan sebagai tersangka. Dalam pernyataannya jelang dibawa ke Rutan KPK Anas masih terus melancarkan sindirannya pada SBY meskipun dibungkus dalam bahasa yang halus kasih. Meskipun sindiran Anas juga ditujukan pada pimpinan dan penyidik KPK, tetapi terhadap SBY tampak sangat jelas. Anas, misalnya, mengatakan, “…di atas segalanya saya terima kasih besar pada Pak SBY. Semoga peristiwa ini mempunyai arti dan makna dan menjadi hadiah tahun baru SBY.” Pernyataan Anas di atas jelas merupakan sindiran yang tajam pada SBY. Ungkapan “di atas segalanya” dapat ditafsirkan bahwa semua yang terjadi pada dirinya sampai ia ditahan oleh KPK merupakan sebuah skenario di mana penulis dan sutradaranya adalah SBY sendiri. Memang ungkapan Anas tersebut dikemas dalam bentuk ucapan terima kasih, tetapi jelas itu merupakan ungkapan satiris yang menohok SBY. Sebagai sesama orang Jawa tentu SBY juga akan merasakan nada sindiran tajam dari kalimat Anas tersebut. Menjadi Martir? Kini Anas sudah secara resmi ditahan di KPK. Anas tentu tidak bisa lagi melakukan perlawanan politik secara leluasa seperti yang biasa dilakukannya selama ini. Oleh karena itu, satu-satunya cara yang dapat dilakukan Anas adalah melakukan perlawanan secara hukum melalui proses pengadilan. Artinya, Anas mau tidak mau harus menggunakan mekanisme hukum untuk membela dirinya jika benar-benar ia merasa tidak bersalah. Apalagi dalam salah satu pernyataannya kemarin Anas mengatakan bahwa ini adalah peristiwa bersejarah untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan. Dan pada akhir kalimatnya, ia menegaskan bahwa kebenaran akan menang. Tentu pernyataan tersebut hanya akan dianggap oleh publik sebagai retorika politik belaka jika pada akhirnya Anas tidak membuktikannya dengan mengungkapkan sejumlah informasi dan fakta terkait kasus yang membelitnya. Dalam konteks ini, Anas tidak perlu ragu lagi untuk mengungkapkan “kebenaran” yang dimilikinya untuk dibawa ke dalam proses pengadilan. Selama ini banyak pihak menduga sebagai mantan ketua umum Anas tentu banyak mengetahui rahasia dapur Demokrat, seperti berbagai aliran dana di dalamnya. Termasuk jika mengetahui keterlibatan keluarga Cikeas, seperti Edie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang namanya kerap disebut-sebut ikut menerima dana Hambalang, atau bahkan SBY sendiri, Anas harus berani mengungkapkannya secara jelas. Pengungkapan informasi dan fakta terkait kasus yang membelit Anas menjadi sangat penting terutama bagi kepentingan opini publik. Selama ini publik, meskipun banyak yang sudah menjatuhkan persepsi negatif pada Anas, tetapi tidak sedikit pula yang masih bersimpati. Hal ini jelas karena belum jelasnya duduk persoalan yang berkaitan dengan proses tersebut, apakah benar-benar murni hukum ataupun ada kental aroma politik seperti dituduhkan para pendukung Anas. Boleh jadi bagi Anas ada resiko besar ketika ia berbicara blak-blakan di depan pengadilan, misalnya ia akan mendapatkan hukuman berat. Karena ketika misalnya ia berani mengungkapkan pihak-pihak lain di Demokrat menerima uang haram, maka ia tentu akan kena. Apalagi dalam perspektif hukum pidana, korupsi sulit terlepas dari kekuasan atau siapa yang memegang kekuasaan dan hampir mustahil dilakukan sendirian. Tetapi dari sudut kebenaran, jika Anas berani melakukan hal tersebut jelas akan menjadi peristiwa besar. Mungkin saja Anas dipandang sebagai orang yang bersedia menjadikan dirinya sebagai “martir” dengan mengungkapkan kebenaran dari proses hukum yang sedang berjalan ini. *Penulis, Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute