65 PELATIHAN ALTERNATE BOUNDING WITH SINGLE ARM ACTION DALAM MENINGKATKAN KECEPATAN LARI 100 METER Johni. M. Tahapary Dosen Universitas Pattimura Ambon Abstract: Pliometrik training has a very dominant influence to improve the physical condition, particularly increasing the speed on a 100 meter-sprint. The purpose of this study was to determine how much improvement of the alternate bounding with single arm action training for speed of 100 meter-sprint. This research used experimental method. The design study used in this study is a randomized control group pretest-posttest design. Subjects in this study were 30 male students of Physical, Health and Recreation education program of Pattimura University of Ambon. Measurement tools used in this research study were Stopwatch, to measure the speed of 100 meter-sprint, and a gauge, to measure the running distance. The results of this study are based on the pretest and posttest speed on100 meter-sprint. To determine the speed increase on 100 meter-sprint was carried out by using analytical and statistical test description namely test of homogeneity and normality data from the dependent variable (the speed of the 100 meter-sprint), then followed by having the mean of initial and final-test and the delta (difference between the final test with the initial test scores). After having known the results of such training, it can be viewed how much the influence of the alternate bounding with single arm action training for speed increase of 100 meter-sprint. The results of this research explained that the group of the alternate bounding with single arm action training produced a better effect for the speed increase of 100 metersprint. Key Words: Pliometrik training, running/sprint speed Abstrak: Pelatihan pliometrik memiliki pengaruh yang sangat dominan untuk meningkatkan kondisi fisik khususnya peningkatan kecepatan dalam nomor lari cepat jarak pendek 100 meter. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar peningkatan pelatihan Alternate Bounding With Single Arm Action terhadap kecepatan lari jarak pendek 100 meter. Metode penelitian ini yang dipakai adalah metode eksperimen. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah randomized control group pretestposttest disain. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa putra Program studi Pendiddikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Universitas Pattimura Ambon yang berjumlah 30 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Stopwatch, untuk mengukur kecepatan lari 100 meter dan meteran untuk mengukur jarak tempuh dalam berlari. Hasil penelitian ini didasarkan pada pretes dan posttest kecepatan lari 100 meter. Untuk mengetahui peningkatan kecepatan lari 100 meter, perhitungan hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis dan uji statistik deskriptif yang akan disajikan adalah uji homogenitas dan normalitas data dari variabel terikat yaitu kecepatan lari 100 meter, kemudian dilanjutkan dengan rerata (mean) tes awal-tes akhir dan delta (selisih skor tes akhir dengan tes awal), setelah diketahui hasil pelatihan tersebut maka bisa dilihat seberapa besar peningkatan pelatihan Alternate Bounding With Single Arm Action terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter. Dari hasil penelitian ini diketahui 66 bahwa kelompok pelatihan Alternate Bounding With Single Arm Action menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter. Kata Kunci: Pelatihan pliometrik, kecepatan lari. PENDAHULUAN Olahraga adalah suatu aktifitas yang dilakukan untuk meningkatkan kebugaran tubuh, menjaga kesehatan sekaligus meningkatkan prestasi. Disamping itu, olahraga merupakan salah satu wadah untuk membentuk mental dan membangun karakter, suatu bangsa atau masyarakat. Prestasi olahraga dapat dicapai melalui proses pelatihan secara baik dan benar, yang bertujuan untuk meningkatkan fisik secara umum dan nantinya mencapai fisik secara khusus sesuai dengan cabang olahraga yang digelutinya (Bompa, 1983). Pembinaan yang terprogram diarahkan pada pencapaian prestasi puncak pada suatu cabang olahraga yang harus diraih dengan usaha yang sistematik dan terencana. Ini berarti bahwa prestasi olahraga dewasa ini sangat ditentukan oleh pola pembinaan yang terarah, terprogram serta sistematis dalam perencanaannya. Hal ini berlaku juga pada cabang atletik khusus nomor sprint jarak 100 meter. Berdasarkan pengamatan di lapangan terkait dengan waktu penampilan para sprinter putera Maluku jarak 100 meter, rata-rata waktu mereka adalah 11.03, dan waktu ini masih dibawah standar bila dibandingkan dengan waktu nasional untuk senior putera (10,13 detik), dan waktu nasional untuk junior putera (10,40 detik). Hal ini disebabkan oleh keberadaan sumber daya para pelatih atletik yang belum mengikuti perkembangan IPTEK kepelatihan olahraga prestasi, mengakibatkan pembinaan prestasi atlet tidak seimbang dengan potensi atlet itu sendiri. Sebagai contoh, program pelatihan yang diberikan tidak didasarkan pada kemampuan individu, umur biologis, dan umur pelatihan. Selain itu, pemilihan bentuk-bentuk pelatihan kondisi fisik belum terarah pada otot yang dominan dan otot pendukung berdasarkan karakteristik dan kebutuhan dari nomor sprint yang dilatihkan. Akibat dari proses seperti ini membuat atlet usia muda yang tergolong atlet junior dengan memiliki dasar kebugaran yang alamiah secara baik, dapat berprestasi secara cepat, namun prestasinya tidak dapat bertahan dalam waktu yang lama. Akibat lain adalah banyak atlet junior dan senior yang mengalami cidera karena tingkat kebugaran atlet belum siap menjalankan program pelatihan yang mengarah pada pencapaian prestasi optimal. Ada juga proses pelatihan yang tidak teratur mengakibatkan dalam proses perlombaan terlihat kecepatan berlari atlet mengalami penurunan sebelum mencapai garis finish. Penurunan kecepatan berlari atlet menjelang garis finish disebabkan karena koordinasi gerak ayun lengan dan tungkai tidak lagi optimal. Koordinasi gerak ayun lengan dan tungkai tidak lagi optimal disebabkan karena kondisi fisik mereka telah mengalami penurunan. Selain masalah pelatihan fisik juga dalam melatih teknik masih terdapat banyak kekurangan khususnya aplikasi mekanik sprint. Mekanik sprint yang dimaksudkan adalah aplikasi kecepatan langkah pada fase start dan fase percepatan, dan panjang langkah pada fase kecepatan maksimal sampai melewati 67 garis finish. Tentang Hal ini Gambetta (1991), menyatakan bahwa fase-fase perlombaan sprint terdiri dari fase start, fase percepatan (acceleration), fase kecepatan maksimal (maximum speed) dan daya tahan kecepatan (speed endurance). Untuk mengoptimalkan mekanik sprint di atas, membutuhkan kontribusi kondisi fisik yang baik. Kondisi fisik dapat dibentuk melalui berbagai macam bentuk pelatihan. Salah satu metode pelatihan yang dikenal sekarang ini adalah pelatihan pliometrik. Pada tahun yang silam pelatihan ini hanya dikenal sebagai pelatihan lompat-lompat dan hanya digunakan pada cabang olahraga atletik saja. Namun sekarang dengan berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan diadakan penelitian – penelitian yang berhubungan dengan pelatihan pliometrik, pelatihan ini dapat di gunakan pada setiap cabang olahraga. Berdasarkan penjelasan tentang fakta empiris dan kajian teoretis di atas, maka terdapat kesenjangan dalam pelatihan fisik yang dominan pada nomor sprint jarak 100 meter putra untuk mencapai prestasi optimal. Kesenjangan yang dimaksud terfokus pada pelatihan biomotor ability yaitu kecepatan, kekuatan dan power. Untuk itu, dalam penelitian ini dipilih pelatihan Alternate Bounding With Single Arm Action sebagai upaya untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter. BAHASAN UTAMA Pelatihan Menuju Pembentukan Sprinter Proses Pelatihan Upaya dalam mempersiapkan atlet untuk mengikuti suatu kejuaraan, perlu melalui suatu perencanaan yang matang, hal ini dimaksudkan agar tujuan yang di inginkan dapat dicapai secara optimal. Walaupun di lapangan pelatih sudah melakukan persiapan-persiapan yang berkaitan dengan pelaksanaan pelatihan tetapi belum sepenuhnya bisa di jalankan dengan baik, karena pemahaman tentang hal-hal yang mendasar tentang proses pelatihan masih belum di kuasai. Dari kurangnya pemahaman tersebut pelaksanaan pelatihan cenderung bersifat konvensional yang berorientasi pada pengalaman pelatih. Tentu hal ini bisa berpengaruh terhadap prestasi yang akan di capai oleh atlet itu sendiri. Pelaksanaan pelatihan yang mengabaikan karakteristik subyek yang di latih dapat diduga akan berdampak hasil yang bisa dicapai serta kemungkinan terjadinya cedera. Untuk itu lewat penulisan ini, disajikan alur berfikir dalam melakukan proses pelatihan. Sebelum melakukan suatu proses pelatihan, seorang pelatih perlu menyusun program pelatihan, serta mengetahui dan memahami tentang: Pengertian Pelatihan Pelatihan adalah suatu proses yang sistematis yang dilakukan secara berulang-ulang dan kian hari jumlah beban kian bertambah (Harsono, 1988). Dikatakan sistimatis dalam pengertian bahwa pelatihan dilakukan secara teratur, berencana, menurut jadwal. Berulang-ulang berarti, gerakan yang dilatih harus dilakukan secara berulang-ulang agar gerakan yang semula sukar dilakukan dan koordinasi gerakan yang masih kaku kian mudah, otomatis, dan refleksi dilakukan. 68 Pelatihan adalah suatu proses yang sistematis pada kegiatan atau kerja secara kontinyu dilakukan secara berulang-ulang dengan beban semakin bertambah secara bertahap atau bergelombang (Astrand and Rodahl. 1977). Menurut Nossek (1982) yang paling utama dari pelatihan adalah gerakan yang dilakukan secara berulang-ulang serta meningkatkan tahanan untuk meningkatkan kekuatan otot yang diperlukan untuk kerja. Bompa (1983) menjelaskan bahwa pelatihan merupakan aktifitas olahraga secara sistematis dalam waktu lama, ditingkatkan secara progresif dan individual yang mengarah kepada ciri-ciri fungsi fisiologis manusia untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Sehingga adapat disimpulkan bahwa, pelatihan adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sistematis, berulang-ulang dengan meningkatkan beban atau kerja secara progresif dan bersifat indifidual yang mengarah pada ciriciri fungsi fisiologis manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan Pelatihan Tujuan utama pelatihan adalah untuk membantu atlet dalam meningkatkan ketrampilan dan prestasi semaksimal mungkin (Harsono, 1988). Menurut Bompa (1983) untuk mencapai tujuan utama pelatihan, yakni peningkatan ketrampilan dan penampilan seseorang, maka atlet yang dituntun oleh pelatih harus memenuhi tujuan umum pelatihan. Dalam mendefinisikan tujuan pelatihan dapat dibagi dalam dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pelatihan adalah untuk menjuarai satu kompetisi sebagai sasaran akhir berdasarkan kalender kompetisi yang di tetapkan. Tujuan khusus pelatihan adalah untuk membentuk, meningkatkan dan mempertahankan kondisi biomotor ability, fisiologis, psikologis dan ketrampilan motorik dalam teknik dan taktik berdasarkan fase-fase yang telah ditetapkan, yang tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip pelatihan. Prinsip Pelatihan Pelatihan harus berpedoman pada teori dan prinsip pelatihan yang benar dan sudah diterima secara universal. Tanpa berpedoman pada teori dan prinsip pelatihan, maka sering kali pelatihan menjurus ke Mal-praktek dan pelatihan tidak sistematis-metodis sehingga peningkatan prestasi tidak tercapai. Berikut ini adalah beberapa prinsip pelatihan yang dikemukakan. Menurut Tohar (2002) prinsip-prinsip pelatihan yang paling penting untuk dijadikan pedoman dalam meningkatkan prestasi dan performa dalam olahraga adalah: a) Pemanasan tubuh (Warming Up), b) Metode pelatihan, c) Berfikir positif, d) Prinsip beban lebih, e) Intensitas pelatihan. Nala (1998) menambahkan bahwa dasar pelatihan mengandung tujuh prinsip, yakni: a) Prinsip aktif dan bersungguh-sungguh dalam pelatihan, b) Prinsip pengembangan lateral, c) Prinsip spesialisasi, d) Prinsip Individualisasi, e) Prinsip Variasi atau keserbaragaman, f) Prinsip menggunakan model, g) Prinsip peningkatan beban progesif dalam pelatihan. Konsep pelatihan di atas merupakan pengetahuan dasar bagi setiap pelatih dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, konsep pelatihan di atas merupakan dasar dalam proses pembinaan untuk semua cabang olahraga, diantaranya cabang atletik 69 pada nomor sprint. Penampilan atlet sprint di tentukan oleh factor fisik, teknik dan mental. Untuk mengoptimalkan proses pembinaan pada nomor sprint, terlebih dahulu dipahami ruang lingkup nomor sprint itu sendiri. Ruang lingkup nomor sprint dapat di pahami pada sub pokok bahasan hakekat lari jarak pendek berikut ini. Hakikat Lari Jarak Pendek Gambeta (1991) menjelaskan, nomor sprint dalam jarak 100 meter terdiri dari beberapa fase yaitu fase kecepatan reaksi dan kecepatan langkah serta kecepatan maksimal yang di sertai dengan panjang langkah. Pada fase kecepatan reaksi dapat dilihat posisi tubuh dan mekanik lari saat atlet keluar dari start block terlihat condong ke depan ketika berlari dalam jarak 10 meter. Kemudian dilanjutkan ke fase kecepatan percepatan dengan jumlah langkah yang banyak sebagai akibat dari pengaruh gravitasi bumi terhadap pergerakan tubuh dalam posisi condong, yang dilakukan dalam jarak 20-30 meter. Sehingga total jarak yang ditempuh untuk mekanik kecepatan langkah adalah 30-40 meter. Fase berikutnya adalah kecepatan maksimal yang disertai dengan panjang langkah, hal ini dapat dilihat dari perubahan pergerakan tubuh atlet dari kecepatan percepatan ke kecepatan maksimal dalam posisi condong ke posisi sedikit tegak yang berpengaruh pada kecepatan gerak langkah, jarak langkah yang optimal serta berlaku konstan selama berlari, dan mempertahankan kecepatan geraknya sampai melewati garis finish dalam jarak 60-70 meter. Sehingga dapat di simpulkan bahwa fase kecepatan reaksi dan fase kecepatan percepatan serta kecepatan maksimal yang disertai dengan panjang langkah sangat berperan penting dalam lari sprint 100 meter. Mengacu pada tujuan di atas, maka kecepatan merupakan sifat biomotor bagi atlet sprint yang dijelaskan sebagai suatu kemampuan untuk melakukan gerakan khusus dalam waktu yang paling singkat. Sprint juga merupakan keterampilan gerak yang didapat melalui pemahaman atau aturan-aturan pada prinsip motor-learning (belajar gerak) seperti gerak ayun lengan dan gerak langkah kaki pada saat berlari. Banyak pertimbangan ilmu pengetahuan yang harus dipahami sebelum melaksanakan tugas sebagai seorang pelatih yaitu biomekanika, anatomi, fisiologi, biomotorik, tes dan pengukuran, psikologi, pengetahuan proses melatih dan pengetahuan tentang penyusunan program pelatihan. Tugas utama pelatih dari segi teknis adalah merencanakan program pelatihan, melaksanakan proses pelatihan dan mengevaluasi hasil pelatihan. Kecepatan, Kekuatan dan Daya (Power) Kecepatan Kecepatan adalah komponen biomotor ability yang memegang peranan penting dalam pencapaian prestasi. Menurut Suharno (1991) kecepatan adalah kemampuan atlet untuk melakukan gerakan sejenis secara berturut-turut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kecepatan adalah laju gerak sebagian atau seluruh tubuh dan diukur waktu yang terpendek untuk mencapai suatu jarak tempuh (Raldianto, 1990). Kecepatan dibagi menjadi kecepatan reaksi, kecepatan sprint dan kecepatan bergerak. Kecepatan reaksi adalah waktu antara rangsangan dan gerak pertama. 70 Kecepatan sprint adalah kemampuan atlet untuk menempuh suatu jarak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kecepatan bergerak adalah kemampuan atlet bergerak secepat mungkin dalam satu gerak yang ditandai waktu antara gerak permulaan dan gerak akhir. Selain itu pengertian kecepatan juga dijelaskan oleh Bompa (1999) bahwa speed (kecepatan) adalah kemampuan untuk bergerak atau berpindah dengan cepat. Secara mekanis, kecepatan merupakan rasio antara jarak dan waktu. Nossek (1982) menjelaskan kecepatan merupakan kualitas kondisional yang memungkinkan seorang olahragawan untuk beraksi secara cepat bila dirangsang untuk melakukan gerakan secepat mungkin. Selanjutnya dijelaskan gerakangerakan yang cepat dapat dilakukan dengan beban (berat badan, berat besi, air dan sebagainya) dengan efek bahwa pengaruh kekuatan juga menjadi faktor penunjang utama. Karena gerakan-gerakan yang cepat dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin, kecepatan secara langsung bergantung pada waktu yang ada dengan pengaruh dari kekuatan dan daya tahan. Ada dua jenis kecepatan menurut Ozolin (dalam Bompa, 1999) yakni: general speed (kecepatan umum) dan specific speed (kecepatan khusus). Kecepatan umum adalah kemampuan untuk menunjukkan gerakan apapun dengan sangat cepat, sedangkan kecepatan khusus adalah kemampuan yang menunjukkan suatu bentuk pelatihan atau keterampilan pada kecepatan tertentu. Dalam nomor sprint, kecepatan yang berlaku adalah kecepatan reaksi (speed reaction), kecepatan percepatan (acceleration speed) dan kecepatan maksimal (maximum speed). Kecepatan reaksi dapat dilihat pada fase start dalam jarak 10 meter, kecepatan percepatan dapat dilihat pada fase akselerasi dalam jarak 20 – 30 meter dan kecepatan maksimal pada fase maintenance sampai finish dalam jarak 60 – 70 meter. Kecepatan dalam sprint tidak berdiri sendiri, namun ditunjang dengan komponen biomotor yang lain berdasarkan pengkajian fase-fase dan pengkajian mekanik dalam sprint. Pada fase start dan akselerasi tidak hanya dibutuhkan kecepatan tetapi juga kekuatan. Kekuatan Kekuatan maksimal dapat ditingkatkan dengan melakukan bentuk pelatihan yang melibatkan jumlah repetisi sedikit dan bentuk tahanan besar atau beban yang berat. Kekuatan elastis ditingkatkan melalui repetisi yang cepat dengan menggunakan pembebanan sedang, sedangkan untuk daya tahan kekuatan ditingkatkan dengan menggunakan repetisi cepat dengan bentuk tahanan rendah. Pada pelatihan kekuatan, aturan tahanan, repetisi dan set sangat memegang peranan penting. Tahanan (resistance) adalah pembebanan pada suatu otot atau sekelompok otot yang ditugasi untuk melakukan gerakan. Repetisi adalah jumlah berapa kali pelatihan tersebut dilakukan tanpa ada jeda waktu berhenti. Set adalah jumlah tertentu dari suatu repetisi dalam satu set. Pelatihan kekuatan untuk organ tubuh dapat dilihat pengaruhnya pada volume, intensitas otot dan frekuensi otot yang ditandai dengan membesarnya otot. Metode yang dapat dipakai untuk pelatihan kekuatan adalah metode set dan repetisi, yang berfungsi menentukan unjuk kerja otot lokal, dan metode denyut nadi yang berfungsi melihat kemampuan otot fungsional atlet dalam berlatih. 71 Bentuk-bentuk pelatihan yang dapat diterapkan adalah bentuk pelatihan berbeban. Pelatihan berbeban dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pelatihan dengan menggunakan beban dalam yakni berat badan, dan pelatihan dengan menggunakan beban luar yakni dengan menggunakan medicine ball, dumble, barbell dan lain-lain. Pola pelatihan yang dapat digunakan adalah dengan pola sirkuit training dan pola piramida, serta memperhatihan struktur pelatihan yang harus dilakukan secara berurutan. Contohnya jika dimulai dari kelompok otot lengan dan bahu bagian depan, dilanjutkan ke kelompok otot tungkai bagian depan, dan kembali ke kelompok otot perut. Setelah melatih kelompok otot bagian depan, diteruskan ke kelompok otot bagian belakang dengan memperhatikan urutan pelatihan di atas. Kekuatan memberikan dukungan yang sangat besar seperti halnya kecepatan pada mekanik dalam fase-fase sprint. Namun, peranan kedua komponen biomotor ini lebih menonjol pada fase start dan akselerasi. Hal ini karena pada fase start dan akselerasi, berlaku mekanik sprint yakni stride frequency yang merupakan pendukung pada stride length untuk mencapai fase kecepatan maksimal dan mempertahankannya sampai melewati finish. Di sisi lain, saat melakukan stride frequency, posisi tubuh atlet condong ke depan. Kecondongan tersebut akan dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi, sehingga untuk mempertahankan posisi tubuh terhadap gaya gravitasi bumi, gerakan berlari saat start sampai akselerasi membutuhkan koordinasi gerakan tungkai dan lengan secara cepat. Saat mempertahankan dan meningkatkan gerakan tubuh pada kedua fase ini membutuhkan kecepatan koordinasi dari gerak ayun tungkai dan lengan yang ditunjang oleh kekuatan kontraksi otot yang elastis untuk mendorong tubuh ke depan dan juga melawan gaya gravitasi tersebut. Penampilan gerak tubuh pada kedua fase ini berlaku mekanik stride frequency yang ditunjang oleh komponen biomotor ability yaitu kecepatan dalam syarat kekuatan. Di samping kekuatan elastis, juga berlaku kekuatan maksimal yang dikombinasikan dengan kecepatan reaksi saat langkah pertama meninggalkan balok start. Untuk membentuk kondisi fisik dalam menunjang mekanik tersebut dibutuhkan pelatihan yang mengarah pada komponen biomotor ability seperti yang telah dijelaskan di atas. Durasi interval istirahat antar set harus lima menit untuk memastikan bahwa proses pemulihan dari rasa lelah telah selesai. Interval waktu istirahat harus dikontrol karena daya tahan 30% dari kekuatan maksimal sekalipun dalam satu set bisa menyebabkan kelelahan yang mengakibatkan menurunnya kecepatan. Pada pembebanan 50% dari kekuatan maksimal atlet ada penurunan kecepatan 15-20% selama repetisi yang ke-5 (Nala, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas atlet bekerja secara berirama. Dengan 10 kali repetisi, penurunan seperti itu akan meningkat dan tidak sesuai dengan tujuan pelatihan kecepatan dalam syarat kekuatan (speed-strength). Lari cepat, lompat dan drill keseimbangan melawan tahanan sedang ke rendah, merupakan bentuk pelatihan kecepatan dalam syarat kekuatan dengan menggunakan metode repetisi, kompetisi dan kontrol. Tujuan dari bentuk pelatihan dengan menggunakan metode di atas adalah memberikan kekuatan awal yang tinggi pada kaki depan dan memeberikan kekuatan ledakan yang tinggi pada kedua kaki dan lengan dalam fase start dan akselerasi (IAAF, 1999). 72 Daya Ledak (Power) Salah satu unsur kondisi fisik yang memiliki peranan penting dalam kegiatan olahraga, baik sebagai unsur pendukung dalam suatu gerak tertentu maupun unsur utama dalam upaya pencapaian teknik gerak yang sempurna adalah daya ledak. Daya ledak di dalam olahraga yang dimaksud adalah kekuatan otot untuk menggerahkan tenaga maksimal dalam waktu yang sangat cepat (Harsono, 1988), daya ledak terdiri atas dua kelompok biomotorik, yakni unsur kekuatan (strength) dan kecepatan (speed). Bila pelatihan ditekankan pada komponen kekuatannya, maka menjadi daya ledak kekuatan (strength power), kalau penekanannya pada pelatihan kecepatan, maka hasilnya berupa daya ledak kecepatan (speed power). Jika penekanan pelatihan pada daya tahannya, maka akan dihasilkan daya ledak daya tahan (endurance power). Pengertian lain tentaang daya ledak menurut Krikendall adalah hasil usaha dalam satuan unit waktu yang disebabkan ketika kontraksi otot memindahkan benda pada ruang atau jarak tertentu Pendapat lain yang dikemukakan oleh Soebroto bahwa tenaga ledak otot (power) adalah kualitas yang memungkinkan otot atau sekelompok otot untuk menghasilkan kerja fisik secara eksplosive. Berdasarkan pendapat di atas disebutkan dua unsur penting dalam daya ledak yaitu : (a) kekuatan otot dan (b) kecepatan, dalam mengerahkan tenaga maksimal untuk mengatasi tahanan. Seperti yang diungkapkan Harsono (1988), bahwa dalam power atau daya ledak, selain unsur kekuatan terdapat unsur kecepatan. Pendapat lain yang menguatkan pendapat di atas adalah pendapat Sajoto (1988), yang mengatakan daya ledak atau power adalah suatu kekuatan yang dipengaruhi oleh kekuatan dan kecepatan. Dari uraian nampak bahwa daya ledak merupakan satu komponen kondisi fisik yang dapat menentukan hasil/prestasi seseorang dalam keterampilan gerak. Sedangkan besar kecilnya daya ledak dipengaruhi oleh otot yang melekat dan membungkus tungkai tersebut. Tungkai adalah bagian bawah tubuh manusia yang berfungsi untuk menggerakkan tubuh, seperti berjalan, berlari dan melompat. Terjadinya gerakan pada tungkai tersebut disebabkan adanya otot-otot dan tulang, otot sebagai alat gerak aktif dan tulang alat gerak pasif. Bentuk pelatihan untuk meningkatkan otot tungkai, daya ledak dan daya tahan otot adalah pelatihan-pelatihan yang membentuk kontraksi isotonik, kontraksi isometrik dan kontraksi isokinetik. Selain itu ada beberapa prinsip pelatihan yang meningkatkan otot tungkai, seperti berjalan dan berlari sedangkan daya ledak dan daya tahan otot yaitu penambahan beban, berulang-ulang, frekuensi pelatihan dan lama pelatihan.Dengan demikian faktor utama yang ditingkatkan dalam pelatihan daya ledak ini adalah: 1) Intensitas, kecepatan gerakan yang tinggi (berupa gerakan per menit), 2) Volume, jumlah repetisi, waktu Interval Istirahat selama dua sampai tiga menit bila beban di bawah 85 % dari kemampuan maksimal, dan tiga sampai lima menit jika beban lebih besar dari 85 %, 3) Frekuensi pelatihan sebanyak tiga sampai empat kali per minggu (Nala, 1998). Pengertian power otot tungkai menurut Furqon dan Doewes (2002) dijelaskan bahwa power diartikan sebagai kekuatan dan frekuensi atau kekuatan 73 yang dibagi dengan waktu, maka beban lebih resistif dan temporal harus diberikan. Pada pelatihan-pelatihan peningkatan power dengan pliometrik, beban lebih resistifnya berupa perubahan arah yang cepat pada suatu anggota tubuh atau seluruh tubuh, seperti mengatasi gaya akibat terjatuh, naik anak tangga, terpental, meloncat, melangkah lebar atau melompat. Beban lebih temporal dapat dilakukan dengan berkonsentrasi pada pelaksanaan gerakan secepat dan seintensif mungkin. Sehingga dalam melaksanakan pelatihan guna meningkatkan daya ledak otot maka banyak pelatih lebih memilih menggunakan bentuk-bentuk pelatihan Pliometrik yang dianggap paling tepat. Pelatihan Pliometrik Pliometrik merupakan suatu istilah yang sekarang di terapkan pada pelatihan – pelatihan yang bersumber dari Eropa. Pada mulanya pliometrik di kenal sebagai pelatihan lompatan. Pliometrik berasal dari bahasa latin yaitu plio dan metric yang berarti peningkatan dan ukuran, maksudnya adalah tindakan atau ukuran yang berangsur-angsur semakin meningkat (Chu, 1992). Kemudian pada tahun 1975, seorang yang bernama Fred Will dengan segala kemampuannya menciptakan suatu metode pelatihan kondisi fisik yang sekarang di kenal dengan nama Plyometric. Mula-mula pliometrik ini hanya di gunakan pada cabang olahraga atletik saja, namun sekarang meluas hampir pada semua cabang olahraga memprogramkan pelatihan dengan pliometrik terutama untuk meningkatkan kekuatan, kecepatan dan daya ledak (power) Chu (1992). Radeliffe dan Farentinos (1985) menyatakan pliometrik adalah suatu pelatihan yang memiliki ciri khusus , yaitu kontraksi otot yang sangat kuat yang merupakan respons dari pembebanan dinamika atau regangan yang cepat dari otot-otot yang terlibat. Hal yang sama juga di ungkapkan oleh Arnheim (1985) bahwa pliometrik merupakan suatu tipe pelatihan isometric berbeban lebih yang menggunakan reflek regangan yaitu kontraksi eksentrik (memanjang), yang pada saat itu otot benar-benar teregang secara cepat sebelum kontraksi kosentrik (memendek). Berdasarkan beberapa definisi di atas menampakan bahwa pliometrik sebenarnya adalah suatu bentuk pelatihan gabungan antara kontraksi isometric dengan isotonic dengan menggunakan pembebanan secara dinamik. Di samping itu Chu (1992) menyebutkan bentuk-bentuk pelatihan pliometrik dapat dilakukan dengan cara ; 1) Jump in place, 2) Standing jump, 3) Multiple jump, 4) Bounding, 5) Box drill, 6) Dept jump, dll. Alternate Bounding With Single Arm Action Pelaksanaan garakan pelatihan Alternate Bounding With Single Arm Action dimulai dengan mengambil posisi berdiri dengan bertumpu pada dua kaki yang salah satu kaki berada di depan dan kaki yang lain berada di belakang, kedua lengan berada tepat disisi kiri dan kana badan, selanjutnya bersiap untuk melakukan gerakan berlari. Adapun gerakan selanjutnya berlari dengan ayun lengan dan bersamaan dengan gerakan kaki, gerakan kaki dimulai dengan dorong dari kaki depan sehingga lutut kaki belakang terangkat kedepan paha sejajar, ayunan lengan dilakukan seperti ayunan pada saat berlari. Kemudian kaki yang 74 terangkat kedepan dijadikan tumpuan sekaligus persiapan untuk kembali mendorong sedangkan kaki yang semula di depan sudah berada di belakang dalam posisi lurus sehingga kaki diusahakan terbuka selebar mungkin dan kaki belakang dipersiapkan untuk dinaikkan ke depan sehingga gerakan ini dilakukan secara berulang dengan jarak tempuh 40 meter, Lakukan dua sampai empat set, dengan jumlah ulangan setiap set 10 – 12 kali dan waktu istirahat antara satu sampai dua menit diantara set. Lebih jelasnya lihat gambar 2.1 Gambar 2.1. Alternate Bounding With Single Arm Action (Chu. 1992) Dengan melihat bentuk pelatihan Alternate Bounding With Single Arm Action dengan perlakuan yang terprogram di atas maka pelatihan Alternate Bounding With Single Arm Action bertujuan untuk menguatkan otot tungkai dan fleksibilitas tungkai untuk mendapatkan panjang langkah serta kecepatan gerak lari sekaligus koordinasi ayunan lengan pada saat melakukan gerakan. Sehingga diharapkan pelatihan Alternate Bounding With Single Arm Action dapat meningkatkan kecepatan lari. Pedoman Khusus Pelatihan Pliometrik Seperti apa yang telah di paparkan bahwa pliometrik merupakan gerakan yang kuat dan cepat serta gerakan yang di lakukan pada saat pelatihan adalah eksplosif, sehingga membutuhkan energi yang dapat digunakan secara cepat. Dalam keadaan seperti ini hanya sistem energi ATP PC lah yang menjadi sumber energi yang dapat di gunakan secara cepat. Sistem energi ini sangat berperan dalam pengerahan tenaga secara cepat, karena sistem ini mempunyai daya terbesar dibandingkan dengan sistem energi yang lain. Kekhususan yang lain pada pelatihan pliometrik adalah pengklasifikasian berdasarkan kelompok otot bagian mana yang akan dikembangkan. Ada tiga kelompok otot yaitu : 1) kelompok otot anggota gerak bagian bawah, 2) kelompok otot bagian tengah, 3) kelompok otot anggota gerak bagian atas. Sebagian besar adalah kelompok otot bagian bawah, karena sebagian besar gerakan dalam otot ini secara nyata merupakan pusat daya dan keterlibatannya besar sekali di semua garakan dalam cabang olahraga. Walau demikian tidak boleh diabaikan sebab ketiga kelompok otot tersebut secara fungsional saling berhubungan satu dengan yang lain, sehingga proses pelatihan harus disusun secara tepat. 75 Otot yang Dominan Dalam Sprint Klaus.W and Gunter T (1995) menjelaskan otot-otot pada tungkai yang dominan untuk aktivitas pinggul dan pengangkatan lutut saat sprint adalah Gluteus, Adductor, hamstrings dan vastus. Pengelompokan otot yang dijelaskan oleh Klaus dan Gunter merupakan penjelasan secara garis besar, akan tetapi bagi seorang pelatih diharapkan dapat mengetahui secara detail kumpulan otot ditiap segmen tubuh yang mendukung unjuk kerja atlet. Untuk itu diperlukan pemilahan berdasarkan segmen tubuh dalam unjuk kerja sprint yaitu: Pertama, pergerakan lengan dan bahu. Otot yang dominan saat lengan di ayunkan ke depan adalah otot deltoid depan dan biceps brachii yang berkontraksi secara bersamaan dengan otot pactoralis major, sedangkan otot lengan yang dominan saat lengan diayun ke belakang adalah deltoid bagian belakang dan triceps brachii yang berkontraksi secara bersamaan dengan latisimus dorsi, teres major infraspinatus dan teres minor. Kedua, otot penyokong togok yang dominan agar tetap tegak selama berlari adalah seratus anterior, external oblique dan rectus abdominis. Ketiga, otot yang dominan dalam tungkai ketika melakukan dorongan dan mendarat saat berlari adalah gluteus, hamstrings (semitendinous, semimembranosus, Sartorius, adductor longus, gracilis, biceps femoris), quadriceps (rectus femoris, vastus medialis, vastus lateralis, biceps femoris), gastronomies, tibialis anterior, extensor hallucis longus, extensor digitorum, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan flexor digitorum longus (Rolf Wirhed, 1994). PENUTUP Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan bahwa Pelatihan Alternate Bounding With Single Arm Action dapat meningkatkan kecepatan lari. Selain itu adapun saran yang dapat di sampaikan berdasarkan hasil kajian diatas maka dalam melatih atlet sprint pemula, hendaklah memperhatikan umur biologis, umur latihan dan kemampuan atlet agar puncak prestasi dari atlet yang dilatih dapat dicapai secara optimal, Program pelatihan yang direncanakan pada atlet sprint haruslah istematis, terukur dan bersifat individu, Dalam melatih atlet sprint, dibutuhkan kreasi pelatih dalam memilih bentuk pelatihan supaya tidak bergantung pada fasilitas latihan yang ada, sekaligus dapat mengatasi kejenuhan sehingga peluang terjadi cedera dapat diminimalkan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, 2002 Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Bompa, T. O. 1983. Theory and Methodology of Training. IOWA : Kendall Hunt Publishing Company. Chu. A. Donald. 1992. Jumping Into Plyometrics. Human Kinetics 76 Fox, E. L., Bowers, R. W, Foss M. L, 1988. The Physiology Basis of Physical Education and Athletics. Philadelphia: WB. Saunders Company. Gambetta, V. 1991. Essential Considerations for the Development of a Teacing Model for the 100 Meters Sprint. Jounarl of New Studies in Athletics.