BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan dengan terapi gen telah berkembang dengan pesat sejak clinical trial terapi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 (Roberts, 2004). Terapi gen adalah teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang bertanggung jawab terhadap suatu penyakit (Malik, 2005). Terapi gen merupakan strategi terapi baru yang menjanjikan untuk mengobati penyakit melalui produksi protein terapi dalam sel. Penggunaan plasmid DNA untuk menghasilkan protein terapi dalam jaringan host memberikan beberapa keuntungan daripada melalui pendekatan tradisional berbasis-protein (Martien et al., 2008). Konsep dasar dari terapi gen adalah pengobatan gangguan manusia dengan pengenalan materi genetik ke dalam sel target spesifik pasien, di mana produksi protein yang disandikan akan terjadi (Corsi et al., 2003). Dengan tujuan untuk memperbaiki gen-gen yang rusak atau digunakan dalam strategi vaksinasi (Martien et al., 2008). Berbagai vektor untuk memberikan gen terapeutik ke dalam sel target yang diinginkan telah dipelajari (Nishikawa dan Hashida, 2002). Terapi gen saat ini sedang diterapkan dalam berbagai masalah kesehatan yang berbeda salah satunya adalah kanker leher rahim atau disebut juga kanker serviks. 1 Kanker leher rahim atau disebut juga kanker serviks adalah sejenis kanker yang 99,7% disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang menyerang leher rahim (Canavan, 2000). Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks) adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina). Kanker leher rahim merupakan jenis penyakit kanker paling banyak kedua di dunia yang diderita wanita di atas usia 15 tahun. Sekitar 500.000 wanita di seluruh dunia didiagnosa menderita kanker leher rahim dan rata-rata 270.000 meninggal tiap tahunnya. Untuk Indonesia, kanker leher rahim merupakan jenis kanker paling banyak yang terjadi pada perempuan. Di Indonesia, kanker serviks menempati urutan pertama kanker pada wanita. Setiap tahun, terdapat 15 ribu kasus baru dan delapan ribu di antaranya meninggal dunia. Bahkan, satu perempuan meninggal setiap jam karena penyakit ini. Kanker ini dapat hadir dengan pendarahan vagina, tetapi gejala kanker ini tidak terlihat sampai kanker memasuki stadium yang lebih jauh, yang membuat kanker leher rahim fokus pengamatan menggunakan Pap smear. Di negara berkembang, penggunaan secara luas program pengamatan leher rahim mengurangi insiden kanker leher rahim yang invasif sebesar 50% atau lebih. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa infeksi human papillomavirus (HPV) bertanggung jawab untuk semua kasus kanker leher rahim. Perawatan termasuk operasi pada stadium awal, dan kemoterapi dan/atau radioterapi pada stadium akhir penyakit. Pada terapi biologis digunakan zat-zat untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh dalam melawan penyakit. Terapi biologis dilakukan pada kanker yang telah 2 menyebar ke bagian tubuh lainnya. Yang paling sering digunakan adalah interferon, yang bisa dikombinasikan dengan kemoterapi. Selain membunuh sel-sel kanker, pengobatan juga menyebabkan kerusakan pada sel-sel yang sehat sehingga seringkali menimbulkan efek samping yang tidak menyenangkan. Kadang timbul ruam, selain itu penderita juga bisa mudah memar dan mengalami perdarahan. Untuk itu diperlukan strategi baru pengobatan kanker leher rahim menggunakan terapi gen. Strategi baru tersebut di atas diantaranya menggunakan formulasi seperti nanopartikel, yang di bentuk dengan koaservasi antara polimer bermuatan positif dengan DNA yang bermuatan negatif. Salah satu sistem penghantaran gen non-virus yang menjanjikan adalah ikatan ion antara DNA dan polimer polikationik, seperti kitosan. Kitosan merupakan sebuah polimer kationik terdiri dari ikatan D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin yang berikatan β(14)-glikosidik, adalah polimer yang non-toksik, biokompabilitas, biodegradabilitas, larut di asam dan mempunyai muatan positif. Disamping itu kitosan juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan trans-seluler dan para-seluler melewati mukosa epitelium yang merupakan indikasi lebih lanjut untuk penghantar gen yang potensial dan respon imun mukosal yang protektif. Kitosan adalah produk turunan kitin. kitin dapat ditemukan pada kulit binatang jenis udang-udangan yang merupakan produk sisa dari industri pengolahan hasil laut. Ketertarikan penelitian didasari pula oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Martien et al. (2006) tentang penghantaran gen oleh kitosan yang dimodifikasi dengan penambahan asam thioglikolat (TGA) dikoaservasikan dengan 3 pDNA yang menghasilkan nanopartikel kitosan-pDNA dengan rentang ukuran 100200 nm, penelitian yang dilakukan oleh Indrawati (2010) membuat formulasi nanopartikel dengan menggunakan kitosan rantai pendek dan uji transfeksi pada sel SP-C1. Hasil penelitian nanopartikel kitosan rantai pendek-pEGFP menunjukkan kemampuan transfeksi pada sel SP-C1 dengan ukuran partikel rata-rata 220,0 nm – 623 nm dengan bentuk partikelnya sferik, serta penelitian yang dilakukan oleh Mutmainnah (2010) membuat formulasi nanopartikel dengan menggunakan kitosan rantai sedang dan uji transfeksi pada sel SP-C1. Hasil penelitian nanopartikel kitosan rantai sedang-pEGFP menunjukkan kemampuan transfeksi pada sel SP-C1 dengan ukuran partikel rata-rata 290,2-708 nm dengan bentuk partikelnya sferik. Dari uraian diatas maka peneliti tertarik melakukan kajian apakah formulasi nanopartikel kitosan rantai pendek pada pH 4,0 dan pH 5,0 yang dikonjugasikan dengan plasmid Enhanced Green Fluororescence Protein (pEGFP-C1) mempunyai toksisitas rendah dan mampu mentransfeksikan pEGFP-C1 pada sel kultur HeLa secara in vitro. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu: 1. Apakah kitosan rantai pendek yang dikoaversikan dengan plasmid pEGFP-C1 dapat membentuk ukuran nanopartikel? 2. Apakah nanopartikel kitosan rantai pendek-pEGFP-C1 yang telah diformulasikan mampu tetap stabil melalui uji in vitro yaitu DNase I dan serum darah? 4 3. Bagaimanakah level toksisitas nanopartikel kitosan rantai pendek-pGFP-C1 dalam kultur sel HeLa? 4. Apakah nanopartikel kitosan rantai pendek-pEGFP-C1 dapat ditransfeksikan pada kultur sel HeLa secara in vitro? 2. Keaslian Penelitian Berdasarkan studi pustaka, beberapa penelitian terkait penghantaran gen menggunakan nanopartikel kitosan yang telah dilakukan antara lain : 1. Zhao et al. (2006) meneliti Transfeksi pada primary chondrocytes menggunakan nanopartikel kitosan-pEGFP. Penelitian ini membahas nanopartikel kitosanpEGFP yang disintesis melalui kompleks koaservasi antara polimer kationik dengan pEGFP, dimana potensi kitosan diteliti sebagai vektor pengiriman gen non viral untuk mentransfer gen eksogen ke primary chondrocytes untuk pengobatan radang sendi. Hasil analisis menunjukkan bahwa efisiensi transfeksi bisa mencapai lebih 50% jika dibandingkan memberikan gen langsung ke dalam sendi. 2. Martien et al. (2006) melakukan penelitian evaluasi stabilitas kitosan rantai pendek yang dikonjugasikan dengan inhibitor enzim asam durintricarboxylic (ATA). Nanopartikel kitosan-ATA dihasilkan melalui kompleks koaservasi dari kitosan-ATA dan pEGFP, yang kemudian ditransfeksikan pada sel caco-2 yang memberikan peningkatan hasil 2,6 kali lebih tinggi jika dibandingkan transfeksi nanopartikel kitosan-pDNA pada sel caco-2. 5 3. Indrawati (2010) melakukan formulasi nanopartikel dengan menggunakan kitosan rantai pendek dan uji transfeksi pada sel SP-C1. Hasil penelitian nanopartikel kitosan rantai pendek-pEGFP menunjukkan kemampuan transfeksi pada sel SP-C1 dengan ukuran partikel rata-rata 220,0 nm – 623 nm dengan bentuk partikelnya sferik. 4. Mutmainnah (2010) melakukan formulasi nanopartikel dengan menggunakan kitosan rantai sedang dan uji transfeksi pada sel SP-C1. Hasil penelitian nanopartikel kitosan rantai sedang-pEGFP menunjukkan kemampuan transfeksi pada sel SP-C1 dengan ukuran partikel rata-rata 290,2-708 nm dengan bentuk partikelnya sferik. Berdasarkan studi pustaka dapat diketahui bahwa penelitian mengenai formulasi nanopartikel kitosan rantai pendek- pEGFP-C1 dan diuji kemampuan transfeksi pada sel HeLa secara in vitro untuk saat ini belum pernah dilakukan . 3. Urgensi (kepentingan) Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pengembangan formulasi nanopartikel dengan penggunaan kitosan yang umumnya sebagai penghantar materi genetik yang efektif dan pada khususnya untuk terapi kaker leher rahim (sel HeLa). Disamping itu pula pengembangan nanopartikel ini diharapkan sebagai penghantar gen atau obat yang efektif, aman, ekonomis dan stabil untuk terapi. 6 B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mendapatkan bentuk kompleks nanopartikel kitosan rantai pendek-pGFPC1 yang dapat ditransfeksikan ke sel HeLa. 2. Untuk mengetahui stabilitas nanopartikel di dalam DNase dan serum darah. 3. Untuk mengetahui level toksisitas nanopartikel kitosan rantai pendek-pEGFP-C1 dalam kultur sel kanker HeLa. 4. Untuk mengetahui kemampuan nanopartikel kitosan dalam penghantaran gen secara in vitro pada Sel HeLa. 7