BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Percepatan pertumbuhan jumlah penduduk lasia (Population Aging) di Indonesia bukan hanya menjadi fenomena di Indonesia, namun merupakan suatu fenomena di berbagai negara di dunia. Era lanjut uisa pada abad ke-21 akan terjadi diIndonesia yang mana Indonesia akan terjadi pertumbuhan penduduk lansia tercepat jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Fenomena tersebut diatas sangat menarik dan mendesak untuk memperoleh penanganan secepat mungkin. Masalah yang dapat timbul akibat fenomena tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain aspek fisik-biologis, aspek mental psikologis maupun aspek sosio ekonomis. Dengan demikian maka perlu mengantisipasi berbagai masalah yang nantinya akan ditimbulkan sedini mungkin (Prihastuti, 2001). Menurut data dari 11th Asean Gerontologi Course yang dipresentasikan oleh Yenny, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 9,77% dimana 50% populasi lansia adalah wanita. Dari data tersebut maka Indonesia bukan lagi dikategorikan sebagai penduduk muda, namun sudah tergolong penduduk intermediate. Selain itu, postwar baby boom di Indonesia yang terjadi pada decade 1960 – 1970an diperkirakan akan mengakibatkan aged-population boom pada dua decade permulaan abad ke-21. Jika kita melihat flash back pertumbbuhan penduduk sejak sensus penduduk pada tahun 1990, populasi lansia di Indonesia terus meningkat. Pada sensus tahun 1990 jumlah penduduk sebesar 179 juta jiwa, meningkat menjadi 203 juta jiwa pada tahun 2000. Jika dibagi menurut jenis kelamin, maka jumlah penduduk perempuan sedikit lebih banyak dibanding jumlah penduduk laki-laki. Pada tahun 1990 jumlah penduduk perempuan sebanyak 89,8 juta sedangkan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 89,3 juta. Pada tahun 2000, jumlah penduduk perempuan meningkat menjadi 101, 8 juta dan jumlah penduduk laki-laki menjadi 101,6 juta. 1 Angka tersebut diatas dapat membantu kita dalam memprediksi masalah apa saja yang akan timbul sehubungan dengan kondisi lansia di Indonesia, terutama pada lansia perempuan dalam kaitannya dengan disfungsi seksual. Secara teoripun perempuan lebih cepat mengalami masalah seksual pada usia senja, seperti yang dilaporkan oleh Meston, 1997 bahwa pada usia 60 tahun, lebih sedikit wanita yang masih sexual active yaitu hanya 56% dibanding laki-laki sebesar 75%; sedangkan pada usia 80 – 102 tahun tahun hanya 30% wanita yang masih seksual aktif sedangkan lebih banyak laki-laki yang masih sexual active sebesar 63%. Selain itu bukti ilmiah yang dilaporkan oleh Lauman et al,2008 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kesehatan mental yang rendah pada wanita dengan masalah seksual. Masalah yang akan dikupas dalam makalah ini lebih difokuskan pada masalah seksual lansia perempuan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa terjadi peningkatan masalah seksual pada perempuan, seiring dengan kejadian menopause yang merupakan suatu keadaan fisiologis yang akan dialami oleh setiap perempuan. Masalah – masalah tersebut dapat berupa penurunan hasrat untuk berhubungan seksual, masalah lubrikasi vagina, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai orgasme bahkan terjadi anorgasme, dispareunia, dan berbagai keluhan lainnya (Gregersen, 2006). Faktor – faktor lain yang dilaporkan berhubunan dengan masalah seksual pada lansia perempuan antara lain tindakan pengobatan baik kimiawi maupun operatif seperti terapi antidepresan, operasi histerektomi maupun operasi urologi lainnya (Salonia et al, 2006). Untuk lebih jelasnnya masalah seksual pada lansia perempuan ini akan dibahas dengan lebih detail baik tinjauan teoritisnya maupun evidence yang ada pada studi studi yang telah dilaporkan. 1.2 Tujuan Dengan melihat kesenjangan yang ada pada lansia khususnya lansia perempuan terkait dengan masalah seksual; maka sebagai tenaga kesehatan masyarakat diharapkan mampu melihat secara menyeluruh masalah – masalah seksual pada 2 lansia perempuan. Dengan demikian asuhan yang diberikan dapat ditangani secara komprehensif, baik itu faktor fisik, psikologis, sosial dan emosional. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Berbagai Definisi 2.1.1 Proses Penuaan Proses penuaan merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Untuk dapat mendefinisikan penduduk lanjut usia, maka perlu memperhatikan berbagai aspek yaitu aspek biologi, ekonomi, social, dan batasan usia (BKKBN, 1998 dalam Prihastuti, 2001). Secara biologis, penduduk lansia adalah penduduk yang telah menjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yan dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan karena dengan bertambah tua usia seseorang, maka terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta system organ. Dari sudut pandang ekonomi¸penduduk lansia secara umum dipandang lebih sebagai beban daripada potensi sumberdaya bagi pembangunan. Bagi para lansia yang masih bekerja, produktivitasnya dianggap sudah menurun sehingga pendapatannyapun lebih rendah dibanding dengan penduduk usia produktif. Tetapi sebaliknya, kenyataan dilapangan tidak semua lansia memiliki kualitas dan produktivitas yang menurun. Pada sebagian kaum lansia, tidak sedikit pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dimana potensi tersebut tidak dimiliki oleh kaum muda. Jika ditinjau dari aspek sosial, penduduk lansia merupakan suatu kelompok sosial tersendiri. Di Asia khususnya di masyarakat tradisional, termasuk Indonesia, penduduk lansia menduduki kelas sosial yang tinggi dimana penduduk dengan usia yang lebih muda harus menghormati meraka yang berusia lebih tua. Namun lain halnya dengan di negara Barat misalnya, penduduk lansia menduduki kelas sosial dibawah kaum muda sehingga pengaruh mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial semakin menurun. 4 Jika dilihat dari beberapa aspek diatas, batasan lansia menurut usialah yang paling memungkinkan untuk digunakan. Para ahli demografi mendefinisikan lansia dengan batasan umur 65 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan batasan umur 60 tahun. Di Indonesia digunakan batasan umur 60 tahun (Kantor Menteri Negara Kependudukan /BKKBN, 1998). 2.1.2 Seksualitas Seksualitas adalah cinta, kehangatan, saling berbagi, sentuhan maupun hal yang menyentuh antara manusia, bukan hanya tindakan fisik berupa hubungan seksual (Ebersole & Hess, 1981). Seksualitas pada lansia menjadi isu yang penting sejak dahulu hingga sekarang, dan telah diakui oleh para pemberi layanan kesehatan. Secara teori telah diakui bahwa seksualitas adalah hal yang penting, namun tidak diikuti dengan tindakan dalam kesehariannya (Kass, 1979 dalam Ebersole & Hess, 1981). Bagi lansia wanita, sentuhan pada malam hari, mendengar irama jantung pasangan, dan percakapan terbuka yang terjadi ditempat tidur pada malam hari merupakan hal yang sangat penting (The Hite Report dalam Ebersole & Hess, 1981). Seksualitas dapat mengandung arti apa saja yang dapat memberikan kenikmatan seksual atau kesenangan emosional, kegembiraan dan kenyamanan. 2.1.3 Kesehatan Seksual Kesehatan Seksual menurut WHO adalah integrasi dari somatic (badan), emosional, intelektual, dan aspek sosial yang dapat memperkaya dan meningkatkan personalitas kepribadian, komunikasi dan cinta (Woods, 1979 dalam Ebersole & Hess, 1981). Maddocks dalam Ebersole & Hess, 1981, kesehatan seksual mempunyai empat komponen yaitu: 5 Prilaku personal maupun sosial dalam kesepakatan terhadap identitas individual gender. Kenyamanan dalam berprilaku seksual dan hubungan interpersonal yang efektif, serta komitmen untuk hidup bersama antara pria dan wanita sepanjang hidupnya. Respon terhadap stimulasi erotis yang dapat membangkitkan aktivitas seksual yang menyenangkan. Keamampuan untuk dapat mewujudkan prilaku seksual yang harmonis terhadap seseorang beserta nilainya. Dibawah ini merupakan piramida Maslow yang dihubungkan dengan pertumbuhan keadaan seksual selama hidup manusia oleh Solnick dalam Ebersole & Hess, 1981. Progression of Sexual Emphasis Through Life Actuali zati on Self Esteem Belonging Security Biologic Integrity Culmination the development of the previous levels, with or without coitus Assurance of masculine and feminine identity Loving, Sharing, Pleasure seeking, Recognition of physical cange changes Loving, Sharing Trusting relationship Procreation Male initiated (most of time) 6 2.1.4 Disfungsi Seksual Disfungsi/gangguan seksual diartikan sebagai kondisi multifaktorial, baik itu anatomis, fisiologis, medical, psikologis, dan komponen sosial. Sedangkan kesulitan dalam melakukan hubungan seksual/ sexual difficulties merupakan suatu keadaan yang lazim terjadi pada wanita, namun masalah ini akan menjadi gangguan seksual jika disebabkan oleh distress yang disebabkan oleh respon yang berlawanan terhadap keadaan karena implikasi dari proses penuaan. 2.2 Etiologi Masalah Seksual Pada Lansia Perempuan Pokok permasalahan disfungsi seksual pada lansia perempuan disebabkan oleh penurunan hormone estrogen pada masa klimakterium hingga berhenti diproduksinya hormone estrogen pada masa postmenopause. Selain estrogen, hormone progesterone dan androgen juga berperan terhadap masalah seksual pada lansia perempuan. Untuk lebih jelasnya penulis akan membahas lebih dulu tentang menopause. Menopause merupakan suatu bagian dari proses menua yang irreversible yang melibatkan system reproduksi wanita. Menopause adalah masa berhentinya haid pada perempuan, dimana batasan ini ditetapkan secara retrospektif sebagai tidak adanya siklus menstruasi terhitung sejak 12 bulan kebelakang. Wanita menghabiskan 1/3 masa hidupnya dalam masa menopause. WHO membagi masa menopause menjadi dua bagian yaitu menopause awal (Perimenopause) dan menopause akhir (Pasca Menopause). Perimenopause adalah interval yang mendahului berhentinya siklus menstruasi sampai pada masa satu tahun setelah siklus menstruasi berakhir. Menurut temuan Massachusetts Women’s Health Study, jangka waktunya berkisar tiga setengah tahun. Pascamenopause merupakan masa yang terjadi setelah terhentinya siklus menstruasi pada wanita hingga akhir hidupnya. Masa ini ditandai dengan berlanjutnya gejala vasomotor dan gejala urogenital seperti keringnya vagina dan dispareunia. Perempuan pada masa yunani kuno mengalami masa menopause sama seperti perempuan modern sekarang ini yakni sekitar 50 – 51 tahun. Fakta ini telah dilaporkan sejak jaman dahulu sebelum Masehi oleh Aristoteltes dalam Histonia 7 Animaloium (Burger dan Boulet, 1991). Faktor – faktor yang mempengaruhi terjainya masa menopause sangat sedikit seperti merokok, histerektomi dan tinggal di tempat yang tinggi atau pegunungan. Berdasarkan survey Perkumpulan Menopause Indonesia, usia menopause rata – rata wanita Indonesia sekitar 49 ± 0,20 tahun. Dewasa ini seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka akan semakin banyak perempuan yang menghabiskan sebagian besar sisa hidupnya dalam keadaan hipoestrogenik. Pada sebagian besar wanita yakni sekitar 70%, mereka menjalani masa ini tanpa keluhan yang berarti. Jika dilihat dari berbagai kultur misalnya wanita Asia dibanding wanita Eropa atau Amerika, lebih banyak keluhan pada wanita Amerika dan Eropa dibanding wanita Asia. Di Jepang 65% wanita Jepang yang sudah menopause, berpandangan bahwa menopause bukanlah hal yang penting bagi mereka. Bahkan tidak ada istilah Hot Flushes untuk menggambarkan perubahan yang terjadi. Sementara di Eropa, wanita dari kalangan Sosial Ekonomi yang rendah, lebih banyak bermasalah dengan menopause dibanding wanita dari kalangan social ekonomi menengah keatas. Dengan demikian dapat dilihat bahwa faktor pendidikan mempunyai hubungan dengan keluhan menopause (Burger dan Boulet, 1991). Pada menopause, ovarium tidak lagi berespon terhadap FSH dan LH yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Rata – rata menopause terjadi pada usia 40 – 50 tahun dan dapat berlangsung selama 8 – 10 tahun. Ovum hanya tinggal beberapa ribu saja hingga turun diambang batasnya yaitu 1000. Pada wanita normal, terdapat 400.000 sel telur selama masa hidupnya, yang mana akan berkurang seiring dengan proses reproduksi melalui siklus menstruasi setiap bulannya. Hingga saat ini belum ditemukan tanda biokimia yang dapat diandalkan untuk dijadikan sebagai pertanda onset terjadinya menopause. Namun kadar serum FSH seringkali meningkat pada perempuan yang masih memiliki siklus menstruasi yang teratur pada masa menopause akhir. Defisiensi estrogen secara tradisional merupakan suatu tanda yang penting pada wanita menopause. Pemeriksaan laboratorium FSH dan LH dan E merupakan cara yang tepat untuk mendiagnosis menopause, namun hingga kini tidak dianjurkan karena belum didapatkan marker yang jelas untuk mendiagnosa kapan terjadinya menopause. 8 Sebelum seorang wanita tiba ke masa menopause, dia akan mengalami klimakterium. Klimakterium merupakan istilah umum pada siklus reproduksi perempuan untuk menunjukan rentang waktu mulai dari proses transisi sampai pada masa postmenopuse awal atau perimenopause. Pada masa klimakterium fungsi ovarium mulai menurun dalam memproduksi estrogen dan progesterone dan keadaan ini terjadi secara fluktuatif. Akibatnya akan menimbulkan berbagai gejala. Gejala – gejala tersebut antara lain: Payudara tegang Siklus haid yang tidak teratur Kualitas tidur yang buruk dan keletihan Kemerahan pada kulit (hot flushes) Tidak Berdaya Peningkatan suhu tubuh yang tiba-tiba (hot flashes) Sensasi dispnea (sulit bernapas) Kadang – kadang iritabilitas atau mudah emosi Elastisitas kulit berkurang sehingga terlihat kering dan kendur Terjadi atrofia dan kekeringan vagina sehingga menyebabkan nyeri saat intercourse. Penurunan kadar estrogen menyebabkan perlindungan terhadap system kardiovaskuler lenyap sehingga memicu terjadinya CVD. Disamping itu dapat menimbulkan osteoporosis disertai peningkatan resiko patah tulang, serta berpengaruh pada fungsi kognitif sehingga dapat menimbulkan penurunan ingatan and bahkan kemungkinan terjadinya Alzheimer (Corwin, 2008). 2.3 Perubahan Hormonal Yang terjadi Pada Lansia Wanita 2.3.1 Hormon Estrogen dan Progesteron Seiring dengan berkurangnya berat dan ukuran ovarium, maka produksi hormone estrogen dan progesterone mulai berkurang, sementara siklus menstruasi mulai tidak teratur dan sering anovulatoir. Selama masa menjelang menopause ± 2-3 9 tahun darah haid dan lamanya haid mulai berkurang. Peningkatan kadar FSH lebih besar daripada LH sebagai umpan balik dari estrogen yang dihasilkan oleh sel-sel teka interna folikel. Sebagai respon dari peningkatan LH, folikel ternyata lebih banyak menghasilkan androstendion dari pada estrogen. Hal ini sebagai tanda bahwa ovarium mengalami fungsi enzimatik yang diperlukan untuk mengkonversi androstendion menjadi hormone-hormon estrogen. Kadar progesterone fase folikuler tinggal 30% yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Pada siklus yang anovulatoir ovarium tidak menghasilkan progesterone. Dengan demikian fase folikuler yang memanjang akan menghasilkan estrogen yang cukup untuk membuat endometrium menebal/hyperplasia yang kemudian akan menimbulkan perdarahan haid. Bila kadar estrogen yang dihasilkan sudah demikian rendahnya, maka haid tidak akan terjadi dan wanita memasuki masa menopause. Androstendion yang dihasilkan oleh ovarium akan diubah menjadi esteron diluar ovarium dan esteron diubah menjadi estradiol sebagai komponen utama estrogen. Estrogen sendiri terdiri dari estron, estradiol dan estriol (Corwin, 2008). Pada fase pascamenopause, produksi androstendion ovarium juga akan menurun sehingga kadar estradiol akan lebih menurun lagi. 2.3.2 Hormon Androgen Hormon androgen merupakan hormone seks yang diproduksi oleh testis, tetapi pada wanita diproduksi oleh kelenjar adrenalin dalam jumlah kecil. Kadar normal hormone androgen normal dalam darah sebesar 0,5 mg/liter darah. Penurunan kadar androgen berperan dalam penurunan gairah seksual/libido. Sedangkan kelebihan hormone androgen dalam darah wanita akan menyebabkan : Masalah pada kulit dan rambut seperti tumbuhnya kumis dan janggut serta peningkatan jumlah rambut di daerah dada, pungung, bagian dalam paha dan pungung kaki. Selain itu terjadinya peningkatan aktivitas kelenjar sebum seperti timbulnya jerawat, komedo dan ketombe. Keadaan ini menimbulkan gangguan body image pada perempuan. 10 Masalah ginekologis seperti gangguan siklus haid, PCOS (Polycystic Ovarian Syndrome) yang dapat menyebabkan infertile, obesitas dan abnormalitas metabolisme tubuh. 2.4 Klasifikasi Disfungsi Seksual Berdasarkan dua definisi diatas yakni Disfungsi/gangguan seksual dan kesulitan seksual/ sexual difficulties, maka American Foundation of Urological Disease membagi gangguan seksual ini menjadi beberapa kategori yaitu: Sexual desire/interest disorder Subjective sexual arousal disorder (SAD) Genital arousal disorder Combined SAD with either reduce or impaired genital sexual arousalvulva swelling, lubrication Persistent SAD Orgasmic disorder Vaginismus Dyspareunia Semua gangguan diatas diasosiasikan antara transisi menopause, usia, dan meningkatnya prevalensi FSD (Female Sexual Dysfunction). Namun bagaimanapun, hal tersebut masih belum jelas dimana faktor – faktor yang berhubungan dengan menopause, mempunyai kontribusi terhadap berbagai gangguan diatas (Gregersen, et al, 2006). Sedangkan Master dan Johnson dalam Buku Ajar Ilmu PEnyakit Dalam membagi masalah seksual usia lanjut pada wanita usia 51 – 78 tahun antara lain: 11 Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk timbulnya respon terhadap rangsang seksual Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya lubrikasi genital dan biasanya kurang efektif Elastisitas dan kemampuan ekspansi vagina berkurang Setelah usia 60 tahun, klitoris mengecil tetapi masih responsive terhadap rangsangan Orgasme kurang kuat danberlangsung lebih singkat. 2.5 Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Masalah Seksual Pada Lansia Perempuan Andre Ludovic Phanjoo dalam tulisannya Sexual dysfunction in old age menyatakan bahwa ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap disfungsi seksual pada lansia. Faktor – faktor tersebut antar lain perubahan biologis karena faktor usia, ekspektasi yang negatif dari budaya setempat, masalah medis dan bedah, efek samping obat-obatan dan gangguan mental seperti depresi, psikosis dan demensia. Dibawah ini akan dibahas faktor – faktor yang melatarbelakangi masalah seksual pada lansia perempuan yang disintesis dari beberapa sumber. Faktor – faktor tersebut antara lain fisiologi, psikologi, penyakit dan operasi, obat – obatan serta faktor lingkungan. 2.5.1 Faktor Fisiologi Terjadinya menopause menyebabkan penurunan bahkan terhentinya produksi hormone estrogen, progesterone maupun androgen, sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah seperti yang telah disebutkan diatas. Faktor fisiologi yang mempengaruhi masalah seksual pada lansia perempuan berbasis pada masalah penurunan kadar hormone. Ketika kadar estrogen menurun, maka bagian tubuh yang mendapat suplai estrogen akan bereaksi sehingga otak akan terus memerintahkan hipofisis untuk meningkatkan FSH dan LH dalam rangka memproduksi estrogen agar dapat mencukupi kebutuhan organ yang membutuhkan. Oleh karena itu pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan kenaikan kadar FSH dan LH pada wanita perimenopause hingga pasca menopause. Penurunan 12 estrogen yang drastis pada wanita menopause menyebabkan berbagai masalah kesehatan termasuk masalah seksual. Berbagai perubahan fisik yang dapat ditimbulkan karena penurunan kadar hormonal dalam tubuh pada wanita lansia antara lain: Berkurangnya rambut pubis Berkurangnya lemak dan jaringan subkutan di mons veneris Atrofi labia mayora Berkurangnya sampai hilangnya elastisitas vagina Elastisitas vagina yang menurun bahkan hilang sangat berpengaruh terhadap kenikmatan saat melakukan hubungan seksual. Atrofi kelenjar bartolini Atrofi kelenjar bartolini berkurangnya sekresi kelenjar bartolini yang diperlukan sebagai pelumas pada saat sanggama. Kelenjar ini bertanggung jawab terhadap dengan lubrikasi vagina, sehingga tidak menimbulkan rasa sakit saat melakukan hubungan seksual. Menurunnya jumlah dan maturitas sel-sel vagina Epitel vagina sangat tergantung pada estrogen sehingga menjadi tipis atau datar dan kekurangan glikogen. Hal ini akan menyebabkan kekurangan laktobasilus yang berpengaruh terhadap peningkatan asam laktat sehingga terjadi peningkatan Ph vagina. Akibatnya lansia wanita akan rentan terhadap berbagai infeksi saluran reproduksi. Ukuran uterus mengecil 30 – 50% Atrofi serviks uterus Ukuran dan berat ovarium menjadi berkurang, fibrotic dan sclerotic Betanggung jawab terhadap produksi estrogen sebagai derivate ekslusif selain progesteron, sebagai penyebab utama berbagai gangguan seksual pada lansia wanita. 13 Dibawah ini adalah tabel yang mengambarkan perubahan fisiologis dalam respon seksual pada lansia perempuan. Jenis perubahan Excitation Phase Plateau Phase Efek peruahan Berkurangnya lubrikasi vagina (perlu waktu 1-3 menit untuk sekresi vagina yang adekuat Berkurangnya kemampuan labia untuk mendatar dan terpisah Kehilangan kemampuan elevasi labia mayora Menurunnya vasokongesti labia mayora Menurunnya elastisitas vagina Uterus lebih lama berelevasi Berkurangnya tekanan otot Menurunnya kapasitas vasokongesti Menurunnya engorgement areola Perubahan warna labia lebih sedikit Bekurangnya intens orgasme Berkurangnya sekresi kelenjar bartolini Berkurangnya kontraksi saat orgasme (saat muda 23 kali, lansia hanya 1 kali) Kontraksi rectal spihinter hanya terjadi dengan tekanan yang kuat Ereksi puting susu membutuhkan waktu yang yang lama Orgasmic Phase Fase Resolusi Vasokongesti klitoris dan berlangsung cepat. Disadur dari Wood, N.F, 1979 dalam Ebersole dan Hess, 1981 orgasme yang 14 2.5.2 Faktor Psikologi Faktor psikologi merupakan faktor yang selalu mempengaruhi kehidupan manusia, tidak hanya dalam masalah seksual, tetapi masalah lain dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal masalah seksual, tidak ada perbedaan yang bermakna antara usia muda maupun usia senja. Masalah – masalah psikologis yang dapat mempengaruhi kehidupan seksual seseorang atau pasangan antara lain: Konflik pernikahan Ketidakseimbangan hubungan/relationship Isu terhadap komitmen Intimasi and masalah komunikasi Kurang kepercayaan Ketidaksesuaian hasrat seksual Kebosanan Tekhnik seksual yang kurang Penyebab yang lebih sering ditemukan pada wanita usia lanjut antara lain stress psikologis seperti kematian pasangan, hilangnya pekerjaan atau status sosial, masalah keuangan dan widower syndrome. Menurut Meston1997, lebih banyak wanita lansia yang mengalami frustasi secara seksual karena ketiadaan pasangannya. Meskipun masturbasi merupakan salah satu pilihan, namun pada lansia memiliki paham bahwa mastrubasi bukanlah hal yang wajar dan tidak sehat. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan kebudayaan. Hal lain yang umum ditemukan adalah fals expectation tentang efek dari penuaan terhadap seksualitas. Kecemasan terhadap kemampuan seksual dan ketidaksempurnaan dalam seksualitas dapat menyesatkan atau merusak kesenangan dan kegembiraan seksual. Dilain pihak, pandangan orang muda terhadap kebutuhan seksual pada lansia, dimana lansia tidak perlu lagi berpikir atau memenuhi kebutuhan seksual, semakin memperparah keadaan lansia. Para lansia akan merasa kecil hati, malu dan berbagai emosi negative lainnya akan timbul, dengan demikian akan menambah lebih banyak masalah pada lansia. 15 2.5.3 Faktor Penyakit dan Operasi Selain faktor fisiologis dan psikologis, hal lain yang mempengaruhi seksualitas pada lansia wanita adalah penyakit maupun tindakan bedah. Penyakit jasmani secara langsung dapat mempengaruhi fungsi seksual melalui system endokrin, saraf, dan vaskuler. Penyakit yang secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi fungsi seksual adalah penyakit yang menyebabkan kelemahan, nyeri dan secara psikologi menyebabkan gangguan gambaran diri maupun self esteem yang rendah. Dalam beberapa artikel kesehatan, dilaporkan bahwa penyakit Diabetes Melitus berkontribusi terhadap disfungsi seksual dengan prevalensi berkisar antara 20– 80%. Sedangkan studi yang dilakukan di Jordania, dilaporkan bahwa wanita dengan usia 50 tahun atau lebih yang menderita diabetes, lebih banyak mengalami disfungsi seksual yaitu sebesar 59,6% (Abu Ali, 2008). Masalah seksual yang dapat timbul oleh karena penyakit diabetes antara lain masalah lubrikasi vagina, penurunan libido dan orgasme. Disamping itu penyakit sistemik seperti gagal ginjal, penyumbatan pulmonary kronis, sirosis dan distropika myotonia, dapat menyebabkan melemahnya orgasme hingga anorgasme, penurunan libido dan mengurangi lubrikasi vagina. Sedangkan gangguan system endokrin dan metabolisme lainnya, berhubungan dengan masalah ereksi yaitu hipotiroidisme, hipertiroidisme, hipogonadisme, hiperprolaktinemia, dan penyakit Cushing (Meston,1997). Penyakit hipertensi dapat berpengaruh juga terhadap masalah seksual, karena terapi hipertensi sendiri dapat menyebabkan disfungsi seksual. Tindakan bedah yang berhubungan dengan masalah seksual pada lansia seperti operasi histerektomi, mastektomi dan bedah urologi lainnya misalnya radical cystectomy pada keganasan saluran kemih, bedah panggul pada kanker rektum dan lain sebagainya. Hal ini berhubungan dengan masalah psikologi seperti body image dan self esteem yang rendah. Meskipun tindakan bedah vulvovaginal tidak diragukan lagi merupakan penyebab gangguan bodi image dan self esteem yang rendah pada semua usia, pada wanita lansia akan terasa semakin berat karena gangguan bodi image telah terjadi seiring dengan bertambahnya usia. Kejadian inkontinentia uri terjadi pada saat intercourse sekitar 25% pada lansia, dimana hal tersebut 16 menggangu hubungan seksual karena ketidakpuasan dan memberikan rasa malu karena keadaan tersebut. Histerektomi merupakan operasi yang terbanyak dialami pada wanita. Di Amerika lebih dari satu diantara tiga wanita dioperasi histerektomi pada usia 60 tahun. Wanita lain merasa terganggu dalam hal kepuasan seksual. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kontraksi uterus saat orgasme berlangsung. Pada wanita dengan paham feminis akan merasa kehilangan kefeminimannya, karena ketiadaan uterus sehingga terjadi gangguan body image dan self esteem yang rendah. Sebaliknya wanita lain yang merasa tertolong dengan diangkatnya uterus mereka, akan menikmati hubungan seksual karena hilangnya nyeri pada perut, hilangnya perdarahan yang abnormal atau kram perut. 2.5.4 Faktor Obat – Obatan Ada beberapa jenis golongan obat yang berpengaruh terhadap masalah seksual baik pada lansia maupun golongan umur lainnya. Diantaranya adalah golongan antihistamin, sympatomimmetic amines, antikonvulsan, metronidazole, metoclopramide, antihipertensi (Diuretic, Adrenergic antiagonists (terazosin, doxazosin, ß-Blokers, Calcium Channel Blockers), antiandrogens (cimetidine, Spironolactone), Alkylating agents (Cyclophosphamide), oral contraceptives, antidepresan, Hipnotik, sedative, alcohol, karena dapat menyebabkan kegagalan ereksi dan penurunan libido . Berikut ini adalah table obat-obatan yang dapat mempengaruhi perilaku seksual. Golongan Obat Antidepresan Adrenergic Inhibiting Guanethamine Sulfate (Ismelin) Reserpin (Serpasil) Antikolinergik Ganglion Blocking Guanethamine Sulfate Mecamylamine hydrochloride (Inversine) Trimethaphan camcylate (Arfonad) Spironalactone (Aldactone) 17 Antidepresan Tricyclics Impiramine hydrochloride (Tofranil) Desipramine (Norpramin, Pertofrane) Amitriptyline hydrochloride (Aventyl hydrochloride) Protriplyline hydrochloride (Vivactil) MAO (Monoamine Oxidase)inhibitors Derivat Hydrazyne derivates Phenalzine Sulfate (Nardil) Tranylcypromine Sulfate (Parnate) Pargyline (Eutonyl) Derivat Nonhydrazine Antihistamin (Antiemetik, sedative sedang, alergi dan obat pilek Dyphenhidramine hydrochloride (Benadryl hydrochloride) Promethazine hydrochloride (Phenergan) Chorpheniramine Maleat (Chlor Trimetron Maleate) Antispasmodic Methantelene bromide (Banthine) Glycopyrrolate (Robinul –PH) Hexocyclium Methylsulfate (Tral) Poldine methylsulfate (Nacton) Sedative dan Tranqulizer Phenothiazides Chlorpromazine (Thorazine, Megaphen) Prochlorperazine (Compazine) Thioridazine (Mellaril) Mesoridazine (Serentil) Benzodiazepines Chlordiazeproxide hydrochloride (Libirium) Diazepam (Valium) Ethyl Alcohol Efek narkotika danadiktif pada otak di SSP Barbiturate Hypnotic dan Sedativ Mendepresi System saraf pusat Amorbital (Amytal) Pentobarbital sodium (Nembutal) Secobarbital sodium (Seconal sodium) Thiopental sodium (Penthotal sodium) Disadur dari Butler, R.V dan Lewis, M.I, 1976 dalam Ebersole dan Hess, 1981 2.5.5 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang dimaksud adalah masih kurangnya ketersediaan privacy bagi para lansia. Kondisi ini akan mengakibatkan para lansia akan hidup dan tinggal bersama orang dewasa. Di Indonesia mereka akan tinggal bersama dengan anakanak dan cucu mereka, dimana mereka berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap pengasuhan cucu mereka. 18 Hal diatas secara ekonomi menguntungkan karena keluarga anak-anaknya tidak mengeluarkan biaya untuk tenaga pengasuh bagi anak mereka jika ayah dan ibu dari cucu tersebut harus bekerja diluar rumah. Namun kekurangannya para kakek dan nenek ini tidak mempunyai privacy bagi diri mereka. Apalagi jika mereka akan melakukan aktivitas seksual, tentunya menjadi masalah bagi mereka. Kadangkala para pemberi layanan kesehatan misalnya di rumah sakit, para perawat melakukan provokasi terhadap para lansia, dimana tindakan ini mereka lakukan tanpa disadari. Contohnya komentar tentang ketampanan atau kecantikan seseorang, atau kalimat seperti “apakan anda mau berkencan dengan saya? Kelihatannya seperti sangat manis dan tidak berbahaya tetapi sebenarnya bagi para lansia yang masih memiliki hasrat seksual tetapi hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengekspresikannya, mungkin akan merupakan suatu tindakan offensive dan cercaan atau bahan guyonan belaka (Ebersole dan Hess, 1981). Dari paparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang dibahas adalah social budaya. Melihat dari sudut pandang yang lain, faktor lingkungan yang dimaksud adalah indikator sosial demografi yaitu umur, etnis, status perkawinan, dan pendidikan. Namun jika dilihat dari berbagai hasil penelitian, berbagai karakteristik tersebut masih menjadi kontoversi. 2.6 Penatalaksanaan Terhadap Masalah Seksual Pada Lansia Wanita 2.6.1 Faktor Fisiologi Yang dapat dilakukan pada lansia wanita dengan masalah seksual yaitu dengan merekomendasikan menggunakan cream estrogen. Terapi ini terbukti efektif dan tidak mempunyai efek negative sehingga mengganggu organ sekitar. Review dari Cochrane tahun 2003 melaporkan bahwa terapi estrogen local mempunyai efek positif terhadap kekeringan vagina dan dyspaurenia (Gregersen, 2006). Sedangkan terapi sulih hormone masih harus didiskusikan lebih lanjut karena masih ada pro dan kontra. Intinya HRT (Hormone Replacement Therapy) atau terapi sulih hormone lebih diutamakan pada klien yang sangat memerlukan seperti osteoporosis. Hal ini disebabkan karena efek samping yang akan ditimbulkan sangat berbahaya karena 19 berujung pada kematian, yaitu dapat meningkatkan kejadia kanker payudara dan kanker endometrium. 2.6.2 Faktor Psikologi Penanganan pada lansia wanita dengan masalah seksual karena faktor psikologi dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik itu dokter, bidan perawat maupun tenaga kesehatan lain yang berinteraksi dengan para lansia. Tenaga kesehatan dapat memberikan informasi tentang keadaan fisiologis yang terjadi sehubungan dengan bertambahnya usia, dan perubahan – perubahan yang terjadi. Selain itu hendaknya diberikan dorongan dan advice agar para lansia memahami bagaimana membuat hubungan seksual diantara lansia lebih bermakna. Dengan demikian para lansia akan memasuki tahap akhir dari periode kehidupan dengan sukses, yakni bahagia dan sehat. 2.6.3 Faktor Penyakit dan Operasi Penyakit maupun operasi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu petugas kesehatan seyogyanya memberikan pendidikan kesehatan dan konseling yang mendalam tentang masalah seksual yang terjadi karena penyakit maupun tindakan bedah yang dialami oleh para lansia. Dengan informasi yang diberikan akan membantu mereka untuk dapat mengerti keadaan mereka sehingga dapat membantu meringankan penderitaan. 2.6.4 Faktor Obat-obatan Faktor obat – obatan biasanya diperhitungkan azas manfaatnya. Jika manfaatnya lebih kecil dari efek samping, sebaiknya dihindari. Begitupula sebaliknya. 2.6.5 Faktor Lingkungan Hal lain yang dapat dilakukan adalah mencinpatakan linkungan yang kondusif sehingga para lansia dapat menikmati kehidupan mereka tanpa merasa tertekan. Misalnya prilaku – prilaku tenaga kesehatan baik 20 itu verbal maupun tindakan fisik yang membuat lansia merasa ofensif, hendaklah perlu dihindari. 2.7 Terapi Sulih Hormon Terapi sulih hormone hingga kini masih pro dan kontra. Perlu diperhitungkan antara manfaat dan efek yang ditimbulkan. Ada dua jenis Terapi Sulih Hormon / HRT (Hormone Replacement Therapy) yaitu hormonal dan nonhormonal : Hormonal Terapi sulih hormone dengan kandungan hormonal dapat berupa komposisinya hanya estrogen (Estrogen Replacement Therapy), kombinasi estrogen dan progesterone, estrogen dan testosterone serta tibolone. Tibolone merupakan sintesis steroid yang dapat mempunyai efek yang minimal terhadap endometrium, dan bekerja pada jaringan yang spesifik. Efek samping dari HRT yang hormonal (CEE/MPA , ERT, tibolone dll). dapat berupa perdarahan pervagina (spotting), dan keganasan pada payudara maupun endometrium. Non Hormonal Golongan terapi sulih hormone yang nonhormonal adalah sildenafil.sildenafil adalah phosphodiesterase 5 inhibitor (PDE5-inhibitor) yang dapat merelaksasi sel otot melalui nitrit oxide/cyclic guanosine monophosphatec (GMP). Sildenafil dpat meningkatkan suplai darah kevagina yang dapat membantu meningkatkan lubrikasi vagina. Dengan demikian maka sildenafil dapat membantu mengatasi masalah seksual pada wanita karena kekurangan lubrikasi vagina (Gregersen, 2006). 21 BAB III PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini, penulis akan mengupas tentang hasil penelitian dengan judul “Comparing the Effects of Continuous Hormone Replacement Therapy and Tibolone on the Genital Tract of Menopausal Women; A randomized Control Trial”. 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Tehran, Iran oleh dua orang bidan dan seorang ahli biostatistik. 3.2 Sampel Sample adalah para lansia perempuan sebanyak 150 orang. Eligible sample adalah lansia perempuan yang sehat, usia 45 – 60 tahun, mempunyai kadar ßestradiol plasma <35 pg/ml. Semua sample diperoleh dari Rumah Sakit Fadjr setelah diperiksa kadar ß-estradiolnya. Selain itu dilakukan investigasi tentang riwayat medis, serta pemeriksaan fisik dan ginekologik. Sample diambil secara blind, dirandom kemudian dibagi menjadi tiga kelompok dengan menggunakan computer dari daftar sample. 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah RCT (Randomized Control Trial) yang dilakukan selama 6 bulan. Masing –masing kelompok sample terdiri dari Kelompok pertama: 50 orang dimana 50 orang mendapat 2,5 mg tibolone ditambah dengan satu tablet kalsium 500mg dan vitamin D 200 IU perhari. Kelompok kedua: 50 orang mendapat 0,625 conjugated equine estrogen ditambah dengan medroxyprogesterone acetate 2,5 mg (CEE/MPA) ditambah dengan kalsium 500mg dan vitamin D 200 IU perhari. Kelompok ketiga / control : 50 orang mendapat hanya kalsium 500mg dan vitamin D 200 IU perhari. 22 Instrument yang digunakan adalah kuesioner yang berisi data tentang perdarahan pervagina atau Spotting, kekeringan vagina dan intensitas dalam meneruskan pengobatan. Data ini dikumpulkan 3 bulan sebelum dan enam bulan setelah dilakukan intervensi. Variabel yang diteliti adalah umur, umur saat menopause, graviditas, BMI dan VMV (Vaginal Maturation Value). Estrogenisasi vagina dilakukan sebelum dan setelah intervensi dengan cara mengambil apusan vagina yang difiksasi dengan ethyl alcohol 95%. Vaginal Maturation Value (VMV) dilihat dari persentasi penggandaan tipe sel. Semua prosedur ini dilakukan oleh ahli patologi yang trampil. Pemeriksaan kimia darah juga dilakukan untuk melihat SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) dan estradiol bebas/FEI (Free Estradiol Index) menggunakan Elisa. Analisa dilakukan secara triplicate untuk mereduksi bias dan interassay variation. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dilakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk menilai tebalnya endometrium. Jika ditemukan penebalan endometrium lebih dari 5 mm, maka dilakukan biopsy. Analisa statistic menggunakan Chi Square, Kruskal Wallis dan Wilcoxon untuk data nonparametric, dan Uji ANOVA dengan nilai alpha <0,05 dengan derajat kepercayaan 95%. 3.4 Hasil Penelitian Dari 150 orang sample yang diperoleh, 4 orang diantaranya tidak berpartisipasi hingga akhir karena terjadinya perubahan pada payudara, dan tiga orang karena ketakutan akan mengalami kanker payudara. Selama studi berangsung 2 orang dari kelompok tibolone/pertama, 6 orang dari kelompok HRT/kedua, dan 1 orang dari kelompok control diinterupsi oleh karena terjadinya perdarahan pervaginam pada bulan ketiga, sehingga akhirnya 47 orang dari kelompok pertama, 42 orang dari kelompok kedua, dan 48 orang dari kelompok control berhasil diintervensi hingga 6 bulan. Dari 137 sampel yang tersisa, tidak ditemukan adanya spotting maupun hyperplasia endometrium dari hasil biopsy endometrium. Jika dilihat dari variabel demografi yang diteliti, tidak satupun ditemukan mempunyai hubungan yang signifikan. Pada kelompok HRT (CEE/MPA) atau 23 kelompok kedua ditemukan lebih banyak kejadian perdarahan pervagina/spotting dibanding kelompok tibolone (kelompok 1) dan kelompok control. Sementara pada efek terapi pada kelompok tibolone, VMV dan FEI ditemukan meningkat sementara kekeringan vagina dan SHBG menurun. Pada kelompok CEE/MPA didapati VMV dan SHBG meningkat dan jumlah sample dengan kekeringan vagina menurun. Jika dibandingkan antara tibolone dengan CEE/MPA maka sampel pada kelompok tibolone lebih banyak yang mengiinginkan kelanjutan terapi dibanting dengan sample pada kelompok CEE/MPA. 3.5 Perbandingan antara Teori dan Evidence Based dari penelitian ini Pada hasil penemuan yang telah dibahas diatas, berbagai hormone yang digunakan sebagai terapi sulih hormone, hanya dapat mengurangi gejala dari implikasi proses penuaan, tetapi tidak dapat mengobati gejala penuaan itu sendiri terutama pada masalah seksual. Bukti ilmiah menunjukan bahwa terjadi penurunan gejala pada masalah kesehatan reproduksi karena penggunaan terapi sulih hormone, tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa terjadi efek samping yang nyata pada beberapa sample lansia wanita pada bulan pertama karena perubahan terjadi pada payudara maupun perdarahan pervaginam. Pada penelitian diatas menunjukan bahwa terdapat 4,7% (7 orang dari 150 sampel) lansia wanita yang mengalami efek samping yaitu perubahan pada payudara dan perdarahan pervaginam. Hal ini menunjukan bahwa sejalan dengan teori, terapi sulih hormone haruslah diperhitungkan antara kegunaan dan efek yang ditimbulkan pada lansia. Studi ini dilakukan pada 150 wanita lansia dalam jangka wakatu 6 bulan, untuk mendapatkan hasil yang lebih signifikan antara kejadian ca mammae dan ca endometrium terhadap pemakaian terapi sulih hormone, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sample dan jangka waktu yang lebih banyak. 24 BAB IV KESIMPULAN Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa proses penuaan tidak dapat dihindar dan implikasinya pada lansia, maka berbagai penelitian dilakukan untuk memperolah penemuaan baru yang dapat membantu para lansia dapat menjalani hidupnya dengan tenang, bebas dari kecemasan yang akan menimbulkan lebih banyak masalah. Agar para lansia dapat memasuki periode akhir dari kehidupannya dengan sukses terutama dalam hal kesehatan seksual, maka perlu dukungan dari berbagai pihak terutama dalam memberikan pelayanan kesehatan. Aspek – aspek yang berhubungan dengan masalah seksual pada lansia baik itu fisiologis, psikologis, penyakit dan bedah, obat-obatan maupun lingkungan hendaklah diperhatikan dalam memberikan asuhan pada lansia. Sekalipun ilmu dan pengetahuan sedah sedemikian majunya, namun tidak ada satupun terapi yang dapat menunda, atau mengobati implikasi dari proses penuaan. Terapi yang ada hanya dapat mengurangi gejala, namun tentunya mempunyai efek samping baik itu ringan bahkan kematian. Oleh karena itu, penggunaan terapi sulih hormone masih merupakan pilihan yang kontroversi, harus diperhitungkan manfaat dan masalah yang dapat ditimbulkan. 25 Daftar Pustaka Ali, R.M.A, et al, Sexual Dysfunction in Jordanian Diabetic Women, 2008, American Diabetes Association Biro Pusat Statistik, 1997. Laporan Sosial Indonesia (Lanjut Usia/Lansia), Jakarta Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006, Jilid III Edisi IV, Editor Aruw Sudoyo dkk, Pusat Penerbitan Departemen Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Burger, H, dan Boulet, M, 1991, A Portrait of The Menopause, Expert Report on Medical and Therapeutic Strategies fot The 1990s, The Parthenon Publishing Group, Casterton Hall, Carnfoth, Lancs, LA6 2LA, UK Corwin, E.J, 2008, Buku Saku Patofisiologi, alih bahasa Nike Budhi Subekti, Editor Edisi Bahasa Indonesia Egi Komara Yudha dkk, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Dewi Prihastuti, 2001. Sebaran Penduduk Lansia di Indonesia, Saat ini dan Masa Depan. Kajian Perspektif Demografi multiregional¸Warta Demografi FEUI, Tahun-3 No.1, Jakarta Ebersole, P. dan Hess. P, 1981, Toward Healthy Aging, Human Needs and Nursing Response¸The C.V Mosby Company, ST Lois, Toronto, London Fajewonyomi, B.A, Orji, E.O, Adeyemo, A.O, 2007, Sexual Dysfunction among Female Patients of Reproductive Age in A Hospital Setting in Nigeria, J Health Popul Nutr, International Centre for Diarrhoeal Research, Bangladesh Gregersen, N. et al, 2006, Sexual Dysfunctionin the Peri-and Postmenopause, Status of incidence, pharmacological treatment and possible risks A secondary publication, Danish Medical Bulletin Vol. 53 no 3 H.M Djauhari Widjayakusuma, 1992, Perubahan Fisiologi Pada Usia Lanjut dan Berbagai Masalahnya, Majalah Kedokteran Indonesia, Jakarta Hoehl, J.J, Robert, L, Salant, Koval, K.J, 1998, Sexual Dysfunction and the Elderly, American Academic of Orthopaedic Surgeons Lightner, D.J, 2002, Female Sexual Dysfunction, Concise Review for Clinical, Mayo Foundation for Medical Education and Research Laumann, E.O, Das, A, Waite, L.J, 2008, Sexual Dysfunction among Older Adults : Prevalence and Risk Factors from a Nationally Representative U.S Probability Sample of Men and Women 57-85 Years of Age, Journal of Sex Medication, 26 Department of Sociology and Population Research Centre, University of Chicago, Chicago, IL, USA Meston, C.M, 1997, Successful Aging, Aging and Sexuality, West J Med, University of Washington School of Medicine, Seattle Meurer, L.N, and Lena, S, 2002, Cancer Recurrence and Mortality in Women Using Hormone Replacement Therapy after Breast Cancer : Meta Analysis, The Journal of Family Practice, Milwaukee, Winconsin Neurologic, Bladder, Bowel and Sexual Dysfunction, Neurogenic Sexual Dysfunction in Men and Women Nicolosi, et al, 2004, Sexual Behavior and Sexual Dysfunction After Age 40: The Global Study of Sexual Attitudes And Behaviors, Journal OF Urology, Elsevier INC Phanjoo, A.L, 2000, Sexual Dysfunction in Old Age, Advances in Psychiatric Treatment, Edinburg Saeideh,Z, Raziyeh, M, Soghrat, F, 2010, Comparing the Effects of Continuous Hormone Replacement Therapy and Tibolone on the Genital Tract of Menopausal Women; A randomized Control Trial, Journal of Reprod Infertil Salonia, A. et al, 2006, Women’s Sexual Dysfunction: A review of the Surgical Landscape, Departement of Urology, Scientific Institute H, San Raffaele, Milan, Italy, Elsevier B.V. on behalf of European Association of Urology Yenny, 2010, 11TH Asean Gerontologi Course 27