MASALAH KESEHATAN PADA LANSIA WANITA

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Percepatan pertumbuhan jumlah penduduk lasia (Population Aging) di Indonesia
bukan hanya menjadi fenomena di Indonesia, namun merupakan suatu fenomena di
berbagai negara di dunia. Era lanjut uisa pada abad ke-21 akan terjadi diIndonesia
yang mana Indonesia akan terjadi pertumbuhan penduduk lansia tercepat jika
dibandingkan dengan negara lain di dunia.
Fenomena tersebut diatas sangat menarik dan mendesak untuk memperoleh
penanganan secepat mungkin. Masalah yang dapat timbul akibat fenomena tersebut
dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain aspek fisik-biologis, aspek mental
psikologis maupun aspek sosio ekonomis. Dengan demikian maka perlu
mengantisipasi berbagai masalah yang nantinya akan ditimbulkan sedini mungkin
(Prihastuti, 2001).
Menurut data dari 11th Asean Gerontologi Course yang dipresentasikan oleh
Yenny, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 9,77% dimana 50% populasi lansia
adalah wanita. Dari data tersebut maka Indonesia bukan lagi dikategorikan sebagai
penduduk muda, namun sudah tergolong penduduk intermediate. Selain itu, postwar baby boom di Indonesia yang terjadi pada decade 1960 – 1970an diperkirakan
akan mengakibatkan aged-population boom pada dua decade permulaan abad ke-21.
Jika kita melihat flash back pertumbbuhan penduduk sejak sensus penduduk
pada tahun 1990, populasi lansia di Indonesia terus meningkat. Pada sensus tahun
1990 jumlah penduduk sebesar 179 juta jiwa, meningkat menjadi 203 juta jiwa pada
tahun 2000. Jika dibagi menurut jenis kelamin, maka jumlah penduduk perempuan
sedikit lebih banyak dibanding jumlah penduduk laki-laki. Pada tahun 1990 jumlah
penduduk perempuan sebanyak 89,8 juta sedangkan jumlah penduduk laki-laki
sebanyak 89,3 juta. Pada tahun 2000, jumlah penduduk perempuan meningkat
menjadi 101, 8 juta dan jumlah penduduk laki-laki menjadi 101,6 juta.
1
Angka tersebut diatas dapat membantu kita dalam memprediksi masalah apa saja
yang akan timbul sehubungan dengan kondisi lansia di Indonesia, terutama pada
lansia perempuan dalam kaitannya dengan disfungsi seksual.
Secara teoripun perempuan lebih cepat mengalami masalah seksual pada usia
senja, seperti yang dilaporkan oleh Meston, 1997 bahwa pada usia 60 tahun, lebih
sedikit wanita yang masih sexual active yaitu
hanya 56% dibanding laki-laki
sebesar 75%; sedangkan pada usia 80 – 102 tahun tahun hanya 30% wanita yang
masih seksual aktif sedangkan lebih banyak laki-laki yang masih sexual active
sebesar 63%. Selain itu bukti ilmiah yang dilaporkan oleh Lauman et al,2008
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kesehatan mental yang
rendah pada wanita dengan masalah seksual.
Masalah yang akan dikupas dalam makalah ini lebih difokuskan pada masalah
seksual lansia perempuan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa terjadi
peningkatan masalah seksual pada perempuan, seiring dengan kejadian menopause
yang merupakan suatu keadaan fisiologis yang akan dialami oleh setiap perempuan.
Masalah – masalah tersebut dapat berupa penurunan hasrat untuk berhubungan
seksual, masalah lubrikasi vagina, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
orgasme bahkan terjadi anorgasme, dispareunia, dan berbagai keluhan lainnya
(Gregersen, 2006).
Faktor – faktor lain yang dilaporkan berhubunan dengan masalah seksual pada
lansia perempuan antara lain tindakan pengobatan baik kimiawi maupun operatif
seperti terapi antidepresan, operasi histerektomi maupun operasi urologi lainnya
(Salonia et al, 2006).
Untuk lebih jelasnnya masalah seksual pada lansia perempuan ini akan dibahas
dengan lebih detail baik tinjauan teoritisnya maupun evidence yang ada pada studi studi yang telah dilaporkan.
1.2 Tujuan
Dengan melihat kesenjangan yang ada pada lansia khususnya lansia perempuan
terkait dengan masalah seksual; maka sebagai tenaga kesehatan masyarakat
diharapkan mampu melihat secara menyeluruh masalah – masalah seksual pada
2
lansia perempuan. Dengan demikian asuhan yang diberikan dapat ditangani secara
komprehensif, baik itu faktor fisik, psikologis, sosial dan emosional.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Berbagai Definisi
2.1.1
Proses Penuaan
Proses penuaan merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Untuk dapat
mendefinisikan penduduk lanjut usia, maka perlu memperhatikan berbagai aspek
yaitu aspek biologi, ekonomi, social, dan batasan usia (BKKBN, 1998 dalam
Prihastuti, 2001).
Secara biologis, penduduk lansia adalah penduduk yang telah menjalani proses
penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yan dapat menyebabkan
kematian. Hal ini disebabkan karena dengan bertambah tua usia seseorang, maka
terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta system organ.
Dari sudut pandang ekonomi¸penduduk lansia secara umum dipandang lebih
sebagai beban daripada potensi sumberdaya bagi pembangunan. Bagi para lansia
yang masih bekerja, produktivitasnya dianggap sudah menurun sehingga
pendapatannyapun lebih rendah dibanding dengan penduduk usia produktif. Tetapi
sebaliknya, kenyataan dilapangan
tidak semua lansia
memiliki kualitas dan
produktivitas yang menurun. Pada sebagian kaum lansia, tidak sedikit pengetahuan
dan pengalaman yang mereka miliki dimana potensi tersebut tidak dimiliki oleh
kaum muda.
Jika ditinjau dari aspek sosial, penduduk lansia merupakan suatu kelompok
sosial tersendiri. Di Asia khususnya di masyarakat tradisional, termasuk Indonesia,
penduduk lansia menduduki kelas sosial yang tinggi dimana penduduk dengan usia
yang lebih muda harus menghormati meraka yang berusia lebih tua. Namun lain
halnya dengan di negara Barat misalnya, penduduk lansia menduduki kelas sosial
dibawah kaum muda sehingga pengaruh mereka terhadap sumber daya ekonomi,
pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial semakin menurun.
4
Jika dilihat dari beberapa aspek diatas, batasan lansia menurut usialah yang
paling memungkinkan untuk digunakan. Para ahli demografi mendefinisikan lansia
dengan batasan umur 65 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan
batasan umur 60 tahun. Di Indonesia digunakan batasan umur 60 tahun (Kantor
Menteri Negara Kependudukan /BKKBN, 1998).
2.1.2
Seksualitas
Seksualitas adalah cinta, kehangatan, saling berbagi, sentuhan maupun hal yang
menyentuh antara manusia, bukan hanya tindakan fisik berupa hubungan seksual
(Ebersole & Hess, 1981).
Seksualitas pada lansia menjadi isu yang penting sejak dahulu hingga sekarang,
dan telah diakui oleh para pemberi layanan kesehatan. Secara teori telah diakui
bahwa seksualitas adalah hal yang penting, namun tidak diikuti dengan tindakan
dalam kesehariannya (Kass, 1979 dalam Ebersole & Hess, 1981). Bagi lansia
wanita, sentuhan pada malam hari, mendengar irama jantung pasangan, dan
percakapan terbuka yang terjadi ditempat tidur pada malam hari merupakan hal yang
sangat penting (The Hite Report dalam Ebersole & Hess, 1981).
Seksualitas dapat mengandung arti apa saja yang dapat memberikan kenikmatan
seksual atau kesenangan emosional, kegembiraan dan kenyamanan.
2.1.3
Kesehatan Seksual
Kesehatan Seksual menurut WHO adalah integrasi dari somatic (badan),
emosional, intelektual, dan aspek sosial yang dapat memperkaya dan meningkatkan
personalitas kepribadian, komunikasi dan cinta (Woods, 1979 dalam Ebersole &
Hess, 1981).
Maddocks dalam Ebersole & Hess, 1981, kesehatan seksual mempunyai empat
komponen yaitu:
5

Prilaku personal maupun sosial dalam kesepakatan terhadap identitas
individual gender.

Kenyamanan dalam berprilaku seksual dan hubungan interpersonal yang
efektif, serta komitmen untuk hidup bersama antara pria dan wanita
sepanjang hidupnya.

Respon terhadap stimulasi erotis yang dapat membangkitkan aktivitas
seksual yang menyenangkan.

Keamampuan untuk dapat mewujudkan prilaku seksual yang harmonis
terhadap seseorang beserta nilainya.
Dibawah ini merupakan piramida Maslow yang dihubungkan dengan
pertumbuhan keadaan seksual selama hidup manusia oleh Solnick dalam
Ebersole & Hess, 1981.
Progression of Sexual Emphasis Through Life
Actuali
zati
on
Self
Esteem
Belonging
Security
Biologic Integrity
Culmination the development of the previous levels,
with or without coitus
Assurance of masculine and feminine identity
Loving, Sharing, Pleasure seeking, Recognition of physical cange
changes
Loving, Sharing
Trusting relationship
Procreation
Male initiated (most of time)
6
2.1.4
Disfungsi Seksual
Disfungsi/gangguan seksual diartikan sebagai kondisi multifaktorial, baik itu
anatomis, fisiologis, medical, psikologis, dan komponen sosial.
Sedangkan kesulitan dalam melakukan hubungan seksual/ sexual difficulties
merupakan suatu keadaan yang lazim terjadi pada wanita, namun masalah ini akan
menjadi gangguan seksual jika disebabkan oleh distress yang disebabkan oleh
respon yang berlawanan terhadap keadaan karena implikasi dari proses penuaan.
2.2 Etiologi Masalah Seksual Pada Lansia Perempuan
Pokok permasalahan disfungsi seksual pada lansia perempuan disebabkan oleh
penurunan
hormone
estrogen
pada
masa
klimakterium
hingga
berhenti
diproduksinya hormone estrogen pada masa postmenopause. Selain estrogen,
hormone progesterone dan androgen juga berperan terhadap masalah seksual pada
lansia perempuan.
Untuk lebih jelasnya penulis akan membahas lebih dulu tentang menopause.
Menopause merupakan suatu bagian dari proses menua yang irreversible yang
melibatkan system reproduksi wanita. Menopause adalah masa berhentinya haid
pada perempuan, dimana batasan ini ditetapkan secara retrospektif sebagai tidak
adanya siklus menstruasi terhitung sejak 12 bulan kebelakang. Wanita
menghabiskan 1/3 masa hidupnya dalam masa menopause.
WHO membagi masa menopause menjadi dua bagian yaitu menopause awal
(Perimenopause) dan menopause akhir (Pasca Menopause). Perimenopause adalah
interval yang mendahului berhentinya siklus menstruasi sampai pada masa satu
tahun setelah siklus menstruasi berakhir. Menurut temuan Massachusetts Women’s
Health Study, jangka waktunya berkisar tiga setengah tahun. Pascamenopause
merupakan masa yang terjadi setelah terhentinya siklus menstruasi pada wanita
hingga akhir hidupnya. Masa ini ditandai dengan berlanjutnya gejala vasomotor dan
gejala urogenital seperti keringnya vagina dan dispareunia.
Perempuan pada masa yunani kuno mengalami masa menopause sama seperti
perempuan modern sekarang ini yakni sekitar 50 – 51 tahun. Fakta ini telah
dilaporkan sejak jaman dahulu sebelum Masehi oleh Aristoteltes dalam Histonia
7
Animaloium (Burger dan Boulet, 1991). Faktor – faktor yang mempengaruhi
terjainya masa menopause sangat sedikit seperti merokok, histerektomi dan tinggal
di tempat yang tinggi atau pegunungan.
Berdasarkan survey Perkumpulan Menopause Indonesia, usia menopause rata –
rata wanita Indonesia sekitar 49 ± 0,20 tahun. Dewasa ini seiring dengan
meningkatnya usia harapan hidup, maka akan semakin banyak perempuan yang
menghabiskan sebagian besar sisa hidupnya dalam keadaan hipoestrogenik.
Pada sebagian besar wanita yakni sekitar 70%, mereka menjalani masa ini tanpa
keluhan yang berarti. Jika dilihat dari berbagai kultur misalnya wanita Asia
dibanding wanita Eropa atau Amerika, lebih banyak keluhan pada wanita Amerika
dan Eropa dibanding wanita Asia. Di Jepang 65% wanita Jepang yang sudah
menopause, berpandangan bahwa menopause bukanlah hal yang penting bagi
mereka. Bahkan tidak ada istilah Hot Flushes untuk menggambarkan perubahan
yang terjadi. Sementara di Eropa, wanita dari kalangan Sosial Ekonomi yang rendah,
lebih banyak bermasalah dengan menopause dibanding wanita dari kalangan social
ekonomi menengah keatas. Dengan demikian dapat dilihat bahwa faktor pendidikan
mempunyai hubungan dengan keluhan menopause (Burger dan Boulet, 1991).
Pada menopause, ovarium tidak lagi berespon terhadap FSH dan LH yang
dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Rata – rata menopause terjadi pada usia 40 – 50
tahun dan dapat berlangsung selama 8 – 10 tahun. Ovum hanya tinggal beberapa
ribu saja hingga turun diambang batasnya yaitu 1000. Pada wanita normal, terdapat
400.000 sel telur selama masa hidupnya, yang mana akan berkurang seiring dengan
proses reproduksi melalui siklus menstruasi setiap bulannya.
Hingga saat ini belum ditemukan tanda biokimia yang dapat diandalkan untuk
dijadikan sebagai pertanda onset terjadinya menopause. Namun kadar serum FSH
seringkali meningkat pada perempuan yang masih memiliki siklus menstruasi yang
teratur pada masa menopause akhir. Defisiensi estrogen secara tradisional
merupakan suatu tanda yang penting pada wanita menopause. Pemeriksaan
laboratorium FSH dan LH dan E merupakan cara yang tepat untuk mendiagnosis
menopause, namun hingga kini tidak dianjurkan karena belum didapatkan marker
yang jelas untuk mendiagnosa kapan terjadinya menopause.
8
Sebelum seorang wanita tiba ke masa menopause, dia akan mengalami
klimakterium. Klimakterium merupakan istilah umum pada siklus reproduksi
perempuan untuk menunjukan rentang waktu mulai dari proses transisi sampai pada
masa postmenopuse awal atau perimenopause. Pada masa klimakterium fungsi
ovarium mulai menurun dalam memproduksi estrogen dan progesterone dan
keadaan ini terjadi secara fluktuatif. Akibatnya akan menimbulkan berbagai gejala.
Gejala – gejala tersebut antara lain:

Payudara tegang

Siklus haid yang tidak teratur

Kualitas tidur yang buruk dan keletihan

Kemerahan pada kulit (hot flushes)

Tidak Berdaya

Peningkatan suhu tubuh yang tiba-tiba (hot flashes)

Sensasi dispnea (sulit bernapas)

Kadang – kadang iritabilitas atau mudah emosi

Elastisitas kulit berkurang sehingga terlihat kering dan kendur

Terjadi atrofia dan kekeringan vagina sehingga menyebabkan nyeri saat
intercourse.

Penurunan kadar estrogen menyebabkan perlindungan terhadap system
kardiovaskuler lenyap sehingga memicu terjadinya CVD. Disamping itu
dapat menimbulkan osteoporosis disertai peningkatan resiko patah
tulang,
serta berpengaruh pada fungsi kognitif sehingga dapat
menimbulkan penurunan ingatan and bahkan kemungkinan terjadinya
Alzheimer (Corwin, 2008).
2.3 Perubahan Hormonal Yang terjadi Pada Lansia Wanita
2.3.1
Hormon Estrogen dan Progesteron
Seiring dengan berkurangnya berat dan ukuran ovarium, maka produksi
hormone estrogen dan progesterone mulai berkurang, sementara siklus menstruasi
mulai tidak teratur dan sering anovulatoir. Selama masa menjelang menopause ± 2-3
9
tahun darah haid dan lamanya haid mulai berkurang. Peningkatan kadar FSH lebih
besar daripada LH sebagai umpan balik dari estrogen yang dihasilkan oleh sel-sel
teka interna folikel.
Sebagai respon dari peningkatan LH, folikel ternyata lebih banyak menghasilkan
androstendion dari pada estrogen. Hal ini sebagai tanda bahwa ovarium mengalami
fungsi enzimatik yang diperlukan untuk mengkonversi androstendion menjadi
hormone-hormon estrogen. Kadar progesterone fase folikuler tinggal 30% yang
dihasilkan oleh korteks adrenal. Pada siklus yang anovulatoir ovarium tidak
menghasilkan progesterone. Dengan demikian fase folikuler yang memanjang akan
menghasilkan
estrogen
yang
cukup
untuk
membuat
endometrium
menebal/hyperplasia yang kemudian akan menimbulkan perdarahan haid.
Bila kadar estrogen yang dihasilkan sudah demikian rendahnya, maka haid tidak
akan terjadi dan wanita memasuki masa menopause. Androstendion yang dihasilkan
oleh ovarium akan diubah menjadi esteron diluar ovarium dan esteron diubah
menjadi estradiol sebagai komponen utama estrogen. Estrogen sendiri terdiri dari
estron, estradiol dan estriol (Corwin, 2008). Pada fase pascamenopause, produksi
androstendion ovarium juga akan menurun sehingga kadar estradiol akan lebih
menurun lagi.
2.3.2
Hormon Androgen
Hormon androgen merupakan hormone seks yang diproduksi oleh testis, tetapi
pada wanita diproduksi oleh kelenjar adrenalin dalam jumlah kecil. Kadar normal
hormone androgen normal dalam darah sebesar 0,5 mg/liter darah. Penurunan kadar
androgen berperan dalam penurunan gairah seksual/libido. Sedangkan kelebihan
hormone androgen dalam darah wanita akan menyebabkan :

Masalah pada kulit dan rambut seperti tumbuhnya kumis dan janggut
serta peningkatan jumlah rambut di daerah dada, pungung, bagian dalam
paha dan pungung kaki. Selain itu terjadinya peningkatan aktivitas
kelenjar sebum seperti timbulnya jerawat, komedo dan ketombe.
Keadaan ini menimbulkan gangguan body image pada perempuan.
10

Masalah ginekologis seperti gangguan siklus haid, PCOS (Polycystic
Ovarian Syndrome) yang dapat menyebabkan infertile, obesitas dan
abnormalitas metabolisme tubuh.
2.4 Klasifikasi Disfungsi Seksual
Berdasarkan dua definisi diatas yakni Disfungsi/gangguan seksual dan kesulitan
seksual/ sexual difficulties, maka American Foundation of Urological Disease
membagi gangguan seksual ini menjadi beberapa kategori yaitu:

Sexual desire/interest disorder

Subjective sexual arousal disorder (SAD)

Genital arousal disorder

Combined SAD with either reduce or impaired genital sexual arousalvulva swelling, lubrication

Persistent SAD

Orgasmic disorder

Vaginismus

Dyspareunia
Semua gangguan diatas diasosiasikan antara transisi menopause, usia, dan
meningkatnya prevalensi FSD (Female Sexual Dysfunction). Namun bagaimanapun,
hal tersebut masih belum jelas dimana faktor – faktor yang berhubungan dengan
menopause, mempunyai kontribusi terhadap berbagai gangguan diatas (Gregersen,
et al, 2006).
Sedangkan Master dan Johnson dalam Buku
Ajar Ilmu PEnyakit Dalam
membagi masalah seksual usia lanjut pada wanita usia 51 – 78 tahun antara lain:
11

Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk timbulnya respon terhadap
rangsang seksual

Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya lubrikasi
genital dan biasanya kurang efektif

Elastisitas dan kemampuan ekspansi vagina berkurang

Setelah usia 60 tahun, klitoris mengecil tetapi masih responsive terhadap
rangsangan

Orgasme kurang kuat danberlangsung lebih singkat.
2.5 Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Masalah Seksual Pada Lansia
Perempuan
Andre Ludovic Phanjoo dalam tulisannya Sexual dysfunction in old age
menyatakan bahwa ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap disfungsi seksual
pada lansia. Faktor – faktor tersebut antar lain perubahan biologis karena faktor usia,
ekspektasi yang negatif dari budaya setempat, masalah medis dan bedah, efek
samping obat-obatan dan gangguan mental seperti depresi, psikosis dan demensia.
Dibawah ini akan dibahas faktor – faktor yang melatarbelakangi masalah seksual
pada lansia perempuan yang disintesis dari beberapa sumber. Faktor – faktor
tersebut antara lain fisiologi, psikologi, penyakit dan operasi, obat – obatan serta
faktor lingkungan.
2.5.1
Faktor Fisiologi
Terjadinya menopause menyebabkan penurunan bahkan terhentinya produksi
hormone estrogen, progesterone maupun androgen, sehingga dapat menimbulkan
berbagai masalah seperti yang telah disebutkan diatas. Faktor fisiologi yang
mempengaruhi masalah seksual pada lansia perempuan berbasis pada masalah
penurunan kadar hormone. Ketika kadar estrogen menurun, maka bagian tubuh yang
mendapat suplai estrogen akan bereaksi sehingga otak akan terus memerintahkan
hipofisis untuk meningkatkan FSH dan LH dalam rangka memproduksi estrogen
agar dapat mencukupi kebutuhan organ yang membutuhkan.
Oleh karena itu pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan kenaikan kadar
FSH dan LH pada wanita perimenopause hingga pasca menopause. Penurunan
12
estrogen yang drastis pada wanita menopause menyebabkan berbagai masalah
kesehatan termasuk masalah seksual.
Berbagai perubahan fisik yang dapat ditimbulkan karena penurunan kadar
hormonal dalam tubuh pada wanita lansia antara lain:

Berkurangnya rambut pubis

Berkurangnya lemak dan jaringan subkutan di mons veneris

Atrofi labia mayora

Berkurangnya sampai hilangnya elastisitas vagina
Elastisitas vagina yang menurun bahkan hilang sangat berpengaruh
terhadap kenikmatan saat melakukan hubungan seksual.

Atrofi kelenjar bartolini
Atrofi kelenjar bartolini berkurangnya sekresi kelenjar bartolini yang
diperlukan sebagai pelumas pada saat sanggama. Kelenjar ini
bertanggung jawab terhadap dengan lubrikasi vagina, sehingga tidak
menimbulkan rasa sakit saat melakukan hubungan seksual.

Menurunnya jumlah dan maturitas sel-sel vagina
Epitel vagina sangat tergantung pada estrogen sehingga menjadi tipis
atau datar dan kekurangan glikogen. Hal ini akan menyebabkan
kekurangan laktobasilus yang berpengaruh terhadap peningkatan asam
laktat sehingga terjadi peningkatan Ph vagina. Akibatnya lansia wanita
akan rentan terhadap berbagai infeksi saluran reproduksi.

Ukuran uterus mengecil 30 – 50%

Atrofi serviks uterus

Ukuran dan berat ovarium menjadi berkurang, fibrotic dan sclerotic
Betanggung jawab terhadap produksi estrogen sebagai derivate ekslusif
selain progesteron, sebagai penyebab utama berbagai gangguan seksual
pada lansia wanita.
13
Dibawah ini adalah tabel yang mengambarkan perubahan fisiologis dalam
respon seksual pada lansia perempuan.
Jenis perubahan
Excitation Phase
Plateau Phase
Efek peruahan

Berkurangnya lubrikasi vagina (perlu waktu 1-3
menit untuk sekresi vagina yang adekuat

Berkurangnya kemampuan labia untuk mendatar
dan terpisah

Kehilangan kemampuan elevasi labia mayora

Menurunnya vasokongesti labia mayora

Menurunnya elastisitas vagina

Uterus lebih lama berelevasi

Berkurangnya tekanan otot

Menurunnya kapasitas vasokongesti

Menurunnya engorgement areola

Perubahan warna labia lebih sedikit

Bekurangnya intens orgasme

Berkurangnya sekresi kelenjar bartolini

Berkurangnya kontraksi saat orgasme (saat muda 23 kali, lansia hanya 1 kali)

Kontraksi rectal spihinter hanya terjadi dengan
tekanan yang kuat

Ereksi puting susu membutuhkan waktu yang yang
lama
Orgasmic Phase
Fase Resolusi

Vasokongesti
klitoris
dan
berlangsung cepat.
Disadur dari Wood, N.F, 1979 dalam Ebersole dan Hess, 1981
orgasme
yang
14
2.5.2
Faktor Psikologi
Faktor psikologi merupakan faktor yang selalu mempengaruhi kehidupan
manusia, tidak hanya dalam masalah seksual, tetapi masalah lain dalam berbagai
aspek kehidupan. Dalam hal masalah seksual, tidak ada perbedaan yang bermakna
antara usia muda maupun usia senja.
Masalah – masalah psikologis yang dapat mempengaruhi kehidupan seksual
seseorang atau pasangan antara lain:

Konflik pernikahan

Ketidakseimbangan hubungan/relationship

Isu terhadap komitmen

Intimasi and masalah komunikasi

Kurang kepercayaan

Ketidaksesuaian hasrat seksual

Kebosanan

Tekhnik seksual yang kurang
Penyebab yang lebih sering ditemukan pada wanita usia lanjut antara lain stress
psikologis seperti kematian pasangan, hilangnya pekerjaan atau status sosial,
masalah keuangan dan widower syndrome. Menurut Meston1997, lebih banyak
wanita lansia yang mengalami frustasi secara seksual karena ketiadaan pasangannya.
Meskipun masturbasi merupakan salah satu pilihan, namun pada lansia memiliki
paham bahwa mastrubasi bukanlah hal yang wajar dan tidak sehat. Tentunya hal ini
dipengaruhi oleh pengetahuan dan kebudayaan. Hal lain yang umum ditemukan
adalah fals expectation tentang efek dari penuaan terhadap seksualitas. Kecemasan
terhadap kemampuan seksual dan ketidaksempurnaan dalam seksualitas dapat
menyesatkan atau merusak kesenangan dan kegembiraan seksual.
Dilain pihak, pandangan orang muda terhadap kebutuhan seksual pada lansia,
dimana lansia tidak perlu lagi berpikir atau memenuhi kebutuhan seksual, semakin
memperparah keadaan lansia. Para lansia akan merasa kecil hati, malu dan berbagai
emosi negative lainnya akan timbul, dengan demikian akan menambah lebih banyak
masalah pada lansia.
15
2.5.3
Faktor Penyakit dan Operasi
Selain faktor fisiologis dan psikologis, hal lain yang mempengaruhi seksualitas
pada lansia wanita adalah penyakit maupun tindakan bedah. Penyakit jasmani secara
langsung dapat mempengaruhi fungsi seksual melalui system endokrin, saraf, dan
vaskuler. Penyakit yang secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi fungsi
seksual adalah penyakit yang menyebabkan kelemahan, nyeri dan secara psikologi
menyebabkan gangguan gambaran diri maupun self esteem yang rendah.
Dalam beberapa artikel kesehatan, dilaporkan bahwa penyakit Diabetes Melitus
berkontribusi terhadap disfungsi seksual dengan prevalensi berkisar antara 20– 80%.
Sedangkan studi yang dilakukan di Jordania, dilaporkan bahwa wanita dengan usia
50 tahun atau lebih yang menderita diabetes, lebih banyak mengalami disfungsi
seksual yaitu sebesar 59,6% (Abu Ali, 2008). Masalah seksual yang dapat timbul
oleh karena penyakit diabetes antara lain masalah lubrikasi vagina, penurunan libido
dan orgasme. Disamping itu penyakit sistemik seperti gagal ginjal, penyumbatan
pulmonary kronis,
sirosis dan distropika myotonia, dapat menyebabkan
melemahnya orgasme hingga anorgasme, penurunan libido dan mengurangi
lubrikasi vagina.
Sedangkan gangguan system endokrin dan metabolisme lainnya, berhubungan
dengan masalah ereksi yaitu hipotiroidisme, hipertiroidisme, hipogonadisme,
hiperprolaktinemia, dan penyakit Cushing (Meston,1997). Penyakit hipertensi dapat
berpengaruh juga terhadap masalah seksual, karena terapi hipertensi sendiri dapat
menyebabkan disfungsi seksual.
Tindakan bedah yang berhubungan dengan masalah seksual pada lansia seperti
operasi histerektomi, mastektomi dan bedah urologi lainnya misalnya radical
cystectomy pada keganasan saluran kemih, bedah panggul pada kanker rektum dan
lain sebagainya. Hal ini berhubungan dengan masalah psikologi seperti body image
dan self esteem yang rendah. Meskipun tindakan bedah vulvovaginal tidak diragukan
lagi merupakan penyebab gangguan bodi image dan self esteem yang rendah pada
semua usia, pada wanita lansia akan terasa semakin berat karena gangguan bodi
image telah terjadi seiring dengan bertambahnya usia. Kejadian inkontinentia uri
terjadi pada saat intercourse sekitar 25% pada lansia, dimana hal tersebut
16
menggangu hubungan seksual karena ketidakpuasan dan memberikan rasa malu
karena keadaan tersebut.
Histerektomi merupakan operasi yang terbanyak dialami pada wanita. Di
Amerika lebih dari satu diantara tiga wanita dioperasi histerektomi pada usia 60
tahun. Wanita lain merasa terganggu dalam hal kepuasan seksual. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya kontraksi uterus saat orgasme berlangsung. Pada wanita dengan
paham feminis akan merasa kehilangan kefeminimannya, karena ketiadaan uterus
sehingga terjadi gangguan body image dan self esteem yang rendah. Sebaliknya
wanita lain yang merasa tertolong dengan diangkatnya uterus mereka, akan
menikmati hubungan seksual karena hilangnya nyeri pada perut, hilangnya
perdarahan yang abnormal atau kram perut.
2.5.4
Faktor Obat – Obatan
Ada beberapa jenis golongan obat yang berpengaruh terhadap masalah seksual
baik pada lansia maupun golongan umur lainnya. Diantaranya adalah golongan
antihistamin,
sympatomimmetic
amines,
antikonvulsan,
metronidazole,
metoclopramide, antihipertensi (Diuretic, Adrenergic antiagonists (terazosin,
doxazosin, ß-Blokers, Calcium Channel Blockers), antiandrogens (cimetidine,
Spironolactone), Alkylating agents (Cyclophosphamide), oral contraceptives,
antidepresan, Hipnotik, sedative, alcohol, karena dapat menyebabkan kegagalan
ereksi dan penurunan libido .
Berikut ini adalah table obat-obatan yang dapat mempengaruhi perilaku seksual.
Golongan Obat
Antidepresan
Adrenergic Inhibiting
Guanethamine Sulfate
(Ismelin)
Reserpin (Serpasil)
Antikolinergik
Ganglion
Blocking
Guanethamine Sulfate
Mecamylamine hydrochloride (Inversine)
Trimethaphan camcylate (Arfonad)
Spironalactone (Aldactone)
17
Antidepresan
Tricyclics
Impiramine hydrochloride (Tofranil)
Desipramine (Norpramin, Pertofrane)
Amitriptyline hydrochloride (Aventyl
hydrochloride)
Protriplyline hydrochloride (Vivactil)
MAO (Monoamine
Oxidase)inhibitors
Derivat Hydrazyne
derivates
Phenalzine Sulfate (Nardil)
Tranylcypromine Sulfate (Parnate)
Pargyline (Eutonyl)
Derivat Nonhydrazine
Antihistamin
(Antiemetik, sedative
sedang, alergi dan obat
pilek
Dyphenhidramine hydrochloride
(Benadryl hydrochloride)
Promethazine hydrochloride
(Phenergan)
Chorpheniramine Maleat (Chlor
Trimetron Maleate)
Antispasmodic
Methantelene bromide (Banthine)
Glycopyrrolate (Robinul –PH)
Hexocyclium Methylsulfate (Tral)
Poldine methylsulfate (Nacton)
Sedative dan Tranqulizer
Phenothiazides
Chlorpromazine (Thorazine, Megaphen)
Prochlorperazine (Compazine)
Thioridazine (Mellaril)
Mesoridazine (Serentil)
Benzodiazepines
Chlordiazeproxide hydrochloride (Libirium)
Diazepam (Valium)
Ethyl Alcohol
Efek narkotika danadiktif pada otak di SSP
Barbiturate
Hypnotic dan Sedativ
Mendepresi System saraf pusat
Amorbital (Amytal)
Pentobarbital sodium (Nembutal)
Secobarbital sodium (Seconal sodium)
Thiopental sodium (Penthotal sodium)
Disadur dari Butler, R.V dan Lewis, M.I, 1976 dalam Ebersole dan Hess, 1981
2.5.5
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah masih kurangnya ketersediaan privacy
bagi para lansia. Kondisi ini akan mengakibatkan para lansia akan hidup dan tinggal
bersama orang dewasa. Di Indonesia mereka akan tinggal bersama dengan anakanak dan cucu mereka, dimana mereka berpartisipasi dan bertanggung jawab
terhadap pengasuhan cucu mereka.
18
Hal diatas secara ekonomi menguntungkan karena keluarga anak-anaknya tidak
mengeluarkan biaya untuk tenaga pengasuh bagi anak mereka jika ayah dan ibu dari
cucu tersebut harus bekerja diluar rumah. Namun kekurangannya para kakek dan
nenek ini tidak mempunyai privacy bagi diri mereka. Apalagi jika mereka akan
melakukan aktivitas seksual, tentunya menjadi masalah bagi mereka. Kadangkala
para pemberi layanan kesehatan misalnya di rumah sakit, para perawat melakukan
provokasi terhadap para lansia, dimana tindakan ini mereka lakukan tanpa disadari.
Contohnya komentar tentang ketampanan atau kecantikan seseorang, atau kalimat
seperti “apakan anda mau berkencan dengan saya? Kelihatannya seperti sangat
manis dan tidak berbahaya tetapi sebenarnya bagi para lansia yang masih memiliki
hasrat seksual tetapi hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengekspresikannya,
mungkin akan merupakan suatu tindakan offensive dan cercaan atau bahan guyonan
belaka (Ebersole dan Hess, 1981). Dari paparan tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa lingkungan yang dibahas adalah social budaya.
Melihat dari sudut pandang yang lain, faktor lingkungan yang dimaksud adalah
indikator sosial demografi yaitu umur, etnis, status perkawinan, dan pendidikan.
Namun jika dilihat dari berbagai hasil penelitian, berbagai karakteristik tersebut
masih menjadi kontoversi.
2.6 Penatalaksanaan Terhadap Masalah Seksual Pada Lansia Wanita
2.6.1
Faktor Fisiologi
Yang dapat dilakukan pada lansia wanita dengan masalah seksual
yaitu dengan merekomendasikan menggunakan cream estrogen. Terapi
ini terbukti efektif dan tidak mempunyai efek negative sehingga
mengganggu organ sekitar. Review dari Cochrane tahun 2003
melaporkan bahwa terapi estrogen local mempunyai efek positif terhadap
kekeringan vagina dan dyspaurenia (Gregersen, 2006).
Sedangkan terapi sulih hormone masih harus didiskusikan lebih
lanjut karena masih ada pro dan kontra. Intinya HRT (Hormone
Replacement Therapy) atau terapi sulih hormone lebih diutamakan pada
klien yang sangat memerlukan seperti osteoporosis. Hal ini disebabkan
karena efek samping yang akan ditimbulkan sangat berbahaya karena
19
berujung pada kematian, yaitu dapat meningkatkan kejadia kanker
payudara dan kanker endometrium.
2.6.2
Faktor Psikologi
Penanganan pada lansia wanita dengan masalah seksual karena
faktor psikologi dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik itu dokter,
bidan perawat maupun tenaga kesehatan lain yang berinteraksi dengan
para lansia. Tenaga kesehatan dapat memberikan informasi tentang
keadaan fisiologis yang terjadi sehubungan dengan bertambahnya usia,
dan perubahan – perubahan yang terjadi.
Selain itu hendaknya diberikan dorongan dan advice agar para
lansia memahami bagaimana membuat hubungan seksual diantara lansia
lebih bermakna. Dengan demikian para lansia akan memasuki tahap
akhir dari periode kehidupan dengan sukses, yakni bahagia dan sehat.
2.6.3
Faktor Penyakit dan Operasi
Penyakit maupun operasi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu
petugas kesehatan seyogyanya memberikan pendidikan kesehatan dan
konseling yang mendalam tentang masalah seksual yang terjadi karena
penyakit maupun tindakan bedah yang dialami oleh para lansia. Dengan
informasi yang diberikan akan membantu mereka untuk dapat mengerti
keadaan mereka sehingga dapat membantu meringankan penderitaan.
2.6.4
Faktor Obat-obatan
Faktor obat – obatan biasanya diperhitungkan azas manfaatnya.
Jika manfaatnya lebih kecil dari efek samping, sebaiknya dihindari.
Begitupula sebaliknya.
2.6.5
Faktor Lingkungan
Hal lain yang dapat dilakukan adalah mencinpatakan linkungan
yang kondusif sehingga para lansia dapat menikmati kehidupan mereka
tanpa merasa tertekan. Misalnya prilaku – prilaku tenaga kesehatan baik
20
itu verbal maupun tindakan fisik yang membuat lansia merasa ofensif,
hendaklah perlu dihindari.
2.7 Terapi Sulih Hormon
Terapi sulih hormone hingga kini masih pro dan kontra. Perlu
diperhitungkan antara manfaat dan efek yang ditimbulkan. Ada dua jenis Terapi
Sulih Hormon / HRT (Hormone Replacement Therapy) yaitu hormonal dan
nonhormonal :

Hormonal
Terapi sulih hormone dengan kandungan hormonal dapat berupa
komposisinya hanya estrogen (Estrogen Replacement Therapy), kombinasi
estrogen dan progesterone, estrogen dan testosterone serta tibolone. Tibolone
merupakan sintesis steroid yang dapat mempunyai efek yang minimal terhadap
endometrium, dan bekerja pada jaringan yang spesifik. Efek samping dari HRT
yang hormonal (CEE/MPA , ERT, tibolone dll). dapat berupa perdarahan
pervagina (spotting), dan keganasan pada payudara maupun endometrium.

Non Hormonal
Golongan
terapi
sulih
hormone
yang
nonhormonal
adalah
sildenafil.sildenafil adalah phosphodiesterase 5 inhibitor (PDE5-inhibitor) yang
dapat merelaksasi sel otot melalui nitrit oxide/cyclic guanosine monophosphatec
(GMP). Sildenafil dpat meningkatkan suplai darah kevagina yang dapat
membantu meningkatkan lubrikasi vagina. Dengan demikian maka sildenafil
dapat membantu mengatasi masalah seksual pada wanita karena kekurangan
lubrikasi vagina (Gregersen, 2006).
21
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini, penulis akan mengupas tentang hasil penelitian dengan
judul “Comparing the Effects of Continuous Hormone Replacement Therapy and
Tibolone on the Genital Tract of Menopausal Women; A randomized Control Trial”.
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Tehran, Iran oleh dua orang bidan dan seorang ahli
biostatistik.
3.2 Sampel
Sample adalah para lansia perempuan sebanyak 150 orang. Eligible sample
adalah lansia perempuan yang sehat, usia 45 – 60 tahun, mempunyai kadar ßestradiol plasma <35 pg/ml. Semua sample diperoleh dari Rumah Sakit Fadjr
setelah diperiksa kadar ß-estradiolnya. Selain itu dilakukan investigasi tentang
riwayat medis, serta pemeriksaan fisik dan ginekologik.
Sample diambil secara blind, dirandom kemudian dibagi menjadi tiga
kelompok dengan menggunakan computer dari daftar sample.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah RCT (Randomized Control Trial) yang
dilakukan selama 6 bulan. Masing –masing kelompok sample terdiri dari

Kelompok pertama: 50 orang dimana 50 orang mendapat 2,5 mg
tibolone ditambah dengan satu tablet kalsium 500mg dan vitamin D
200 IU perhari.

Kelompok kedua: 50 orang mendapat 0,625 conjugated equine
estrogen ditambah dengan medroxyprogesterone acetate 2,5 mg
(CEE/MPA) ditambah dengan kalsium 500mg dan vitamin D 200 IU
perhari.

Kelompok ketiga / control : 50 orang mendapat hanya kalsium
500mg dan vitamin D 200 IU perhari.
22
Instrument yang digunakan adalah kuesioner yang berisi data tentang
perdarahan pervagina atau Spotting, kekeringan vagina dan intensitas dalam
meneruskan pengobatan. Data ini dikumpulkan 3 bulan sebelum dan enam bulan
setelah dilakukan intervensi.
Variabel yang diteliti adalah umur, umur saat
menopause, graviditas, BMI dan VMV (Vaginal Maturation Value).
Estrogenisasi vagina dilakukan sebelum dan setelah intervensi dengan cara
mengambil apusan vagina yang difiksasi dengan ethyl alcohol 95%. Vaginal
Maturation Value (VMV) dilihat dari persentasi penggandaan tipe sel. Semua
prosedur ini dilakukan oleh ahli patologi yang trampil. Pemeriksaan kimia darah
juga dilakukan untuk melihat SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) dan
estradiol bebas/FEI (Free Estradiol Index) menggunakan Elisa.
Analisa dilakukan secara triplicate untuk mereduksi bias dan interassay
variation. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi untuk menilai tebalnya endometrium. Jika ditemukan penebalan
endometrium lebih dari 5 mm, maka dilakukan biopsy.
Analisa statistic menggunakan Chi Square, Kruskal Wallis dan Wilcoxon
untuk data nonparametric, dan Uji ANOVA dengan nilai alpha <0,05 dengan
derajat kepercayaan 95%.
3.4 Hasil Penelitian
Dari 150 orang sample yang diperoleh, 4 orang diantaranya tidak
berpartisipasi hingga akhir karena terjadinya perubahan pada payudara, dan tiga
orang karena ketakutan akan mengalami kanker payudara. Selama studi
berangsung 2 orang dari kelompok tibolone/pertama, 6 orang dari kelompok
HRT/kedua, dan 1 orang dari kelompok control diinterupsi oleh karena
terjadinya perdarahan pervaginam pada bulan ketiga, sehingga akhirnya 47
orang dari kelompok pertama, 42 orang dari kelompok kedua, dan 48 orang dari
kelompok control berhasil diintervensi hingga 6 bulan. Dari 137 sampel yang
tersisa, tidak ditemukan adanya spotting maupun hyperplasia endometrium dari
hasil biopsy endometrium.
Jika dilihat dari variabel demografi yang diteliti, tidak satupun ditemukan
mempunyai hubungan yang signifikan. Pada kelompok HRT (CEE/MPA) atau
23
kelompok kedua ditemukan lebih banyak kejadian perdarahan pervagina/spotting
dibanding kelompok tibolone (kelompok 1) dan kelompok control. Sementara
pada efek terapi pada kelompok tibolone, VMV dan FEI ditemukan meningkat
sementara kekeringan vagina dan SHBG menurun. Pada kelompok CEE/MPA
didapati VMV dan SHBG meningkat dan jumlah sample dengan kekeringan
vagina menurun. Jika dibandingkan antara tibolone dengan CEE/MPA maka
sampel pada kelompok tibolone lebih banyak yang mengiinginkan kelanjutan
terapi dibanting dengan sample pada kelompok CEE/MPA.
3.5 Perbandingan antara Teori dan Evidence Based dari penelitian ini
Pada hasil penemuan yang telah dibahas diatas, berbagai hormone yang
digunakan sebagai terapi sulih hormone, hanya dapat mengurangi gejala dari
implikasi proses penuaan, tetapi tidak dapat mengobati gejala penuaan itu sendiri
terutama pada masalah seksual.
Bukti ilmiah menunjukan bahwa terjadi penurunan gejala pada masalah
kesehatan reproduksi karena penggunaan terapi sulih hormone, tetapi tidak dapat
dipungkiri juga bahwa terjadi efek samping yang nyata pada beberapa sample
lansia wanita pada bulan pertama karena perubahan terjadi pada payudara
maupun perdarahan pervaginam. Pada penelitian diatas menunjukan bahwa
terdapat 4,7% (7 orang dari 150 sampel) lansia wanita yang mengalami efek
samping yaitu perubahan pada payudara dan perdarahan pervaginam. Hal ini
menunjukan bahwa sejalan dengan teori, terapi sulih hormone haruslah
diperhitungkan antara kegunaan dan efek yang ditimbulkan pada lansia.
Studi ini dilakukan pada 150 wanita lansia dalam jangka wakatu 6 bulan,
untuk mendapatkan hasil yang lebih signifikan antara kejadian ca mammae dan
ca endometrium terhadap pemakaian terapi sulih hormone, perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut dengan sample dan jangka waktu yang lebih banyak.
24
BAB IV
KESIMPULAN
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa proses penuaan tidak dapat
dihindar dan implikasinya pada lansia, maka berbagai penelitian dilakukan untuk
memperolah penemuaan baru yang dapat membantu para lansia dapat menjalani
hidupnya dengan tenang, bebas dari kecemasan yang akan menimbulkan lebih
banyak masalah.
Agar para lansia dapat memasuki periode akhir dari kehidupannya
dengan sukses terutama dalam hal kesehatan seksual, maka perlu dukungan dari
berbagai pihak terutama dalam memberikan pelayanan kesehatan. Aspek – aspek
yang berhubungan dengan masalah seksual pada lansia baik itu fisiologis,
psikologis, penyakit dan bedah, obat-obatan maupun lingkungan hendaklah
diperhatikan dalam memberikan asuhan pada lansia.
Sekalipun ilmu dan pengetahuan sedah sedemikian majunya, namun
tidak ada satupun terapi yang dapat menunda, atau mengobati implikasi dari
proses penuaan. Terapi yang ada hanya dapat mengurangi gejala, namun
tentunya mempunyai efek samping baik itu ringan bahkan kematian. Oleh karena
itu, penggunaan terapi sulih hormone masih merupakan pilihan yang kontroversi,
harus diperhitungkan manfaat dan masalah yang dapat ditimbulkan.
25
Daftar Pustaka
Ali, R.M.A, et al, Sexual Dysfunction in Jordanian Diabetic Women, 2008, American
Diabetes Association
Biro Pusat Statistik, 1997. Laporan Sosial Indonesia (Lanjut Usia/Lansia), Jakarta
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006, Jilid III Edisi IV, Editor Aruw Sudoyo dkk,
Pusat Penerbitan Departemen Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Burger, H, dan Boulet, M, 1991, A Portrait of The Menopause, Expert Report on
Medical and Therapeutic Strategies fot The 1990s, The Parthenon Publishing
Group, Casterton Hall, Carnfoth, Lancs, LA6 2LA, UK
Corwin, E.J, 2008, Buku Saku Patofisiologi, alih bahasa Nike Budhi Subekti, Editor
Edisi Bahasa Indonesia Egi Komara Yudha dkk, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
Dewi Prihastuti, 2001. Sebaran Penduduk Lansia di Indonesia, Saat ini dan Masa
Depan. Kajian Perspektif Demografi multiregional¸Warta Demografi FEUI,
Tahun-3 No.1, Jakarta
Ebersole, P. dan Hess. P, 1981, Toward Healthy Aging, Human Needs and Nursing
Response¸The C.V Mosby Company, ST Lois, Toronto, London
Fajewonyomi, B.A, Orji, E.O, Adeyemo, A.O, 2007, Sexual Dysfunction among
Female Patients of Reproductive Age in A Hospital Setting in Nigeria, J Health
Popul Nutr, International Centre for Diarrhoeal Research, Bangladesh
Gregersen, N. et al, 2006, Sexual Dysfunctionin the Peri-and Postmenopause, Status
of incidence, pharmacological treatment and possible risks A secondary
publication, Danish Medical Bulletin Vol. 53 no 3
H.M Djauhari Widjayakusuma, 1992, Perubahan Fisiologi Pada Usia Lanjut dan
Berbagai Masalahnya, Majalah Kedokteran Indonesia, Jakarta
Hoehl, J.J, Robert, L, Salant, Koval, K.J, 1998, Sexual Dysfunction and the Elderly,
American Academic of Orthopaedic Surgeons
Lightner, D.J, 2002, Female Sexual Dysfunction, Concise Review for Clinical, Mayo
Foundation for Medical Education and Research
Laumann, E.O, Das, A, Waite, L.J, 2008, Sexual Dysfunction among Older Adults :
Prevalence and Risk Factors from a Nationally Representative U.S Probability
Sample of Men and Women 57-85 Years of Age, Journal of Sex Medication,
26
Department of Sociology and Population Research Centre, University of
Chicago, Chicago, IL, USA
Meston, C.M, 1997, Successful Aging, Aging and Sexuality, West J Med, University
of Washington School of Medicine, Seattle
Meurer, L.N, and Lena, S, 2002, Cancer Recurrence and Mortality in Women Using
Hormone Replacement Therapy after Breast Cancer : Meta Analysis, The
Journal of Family Practice, Milwaukee, Winconsin
Neurologic, Bladder, Bowel and Sexual Dysfunction, Neurogenic Sexual Dysfunction
in Men and Women
Nicolosi, et al, 2004, Sexual Behavior and Sexual Dysfunction After Age 40: The
Global Study of Sexual Attitudes And Behaviors, Journal OF Urology, Elsevier
INC
Phanjoo, A.L, 2000, Sexual Dysfunction in Old Age, Advances in Psychiatric
Treatment, Edinburg
Saeideh,Z, Raziyeh, M, Soghrat, F, 2010, Comparing the Effects of Continuous
Hormone Replacement Therapy and Tibolone on the Genital Tract of
Menopausal Women; A randomized Control Trial, Journal of Reprod Infertil
Salonia, A. et al, 2006, Women’s Sexual Dysfunction: A review of the Surgical
Landscape, Departement of Urology, Scientific Institute H, San Raffaele, Milan,
Italy, Elsevier B.V. on behalf of European Association of Urology
Yenny, 2010, 11TH Asean Gerontologi Course
27
Download