M.Sastrositojo adalah pemilik dan pengelola

advertisement
SEJARAH PERIKLANAN INDONESIA
Harus diakui, bahwa tokoh periklanan pertama di Indonesia adalah Jan Pieterzoon Coen, orang
Belanda yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1619-1629. Toko ini bukan
hanya bertindak sebagai pemrakarsa iklan pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai pengiklan
dan perusahaan periklanan. Bahkan dia pun menjadi penerbit dari Bataviasche Nouvelle,
suratkabar pertama di Indonesia yang terbit tahun 1744, satu abad setelah J.P. Coen meninggal.
Iklan pertama yang diprakarsainya berupa pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia
Belanda berkaitan dengan perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah. Namun dengan
penerbitan suratkabar pertama yang memuat iklan itu, Jan Pieterzoon Coen membuktikan, bahwa
pada hakekatnya untuk produk-produk baru, antara berita dan iklan tidak ada bedanya. Atau,
bahwa berita pun dapat disampaikan dengan metode dan teknik periklanan. Kenyataan itu
membuktikan pula, bahwa iklan dan penerbitan pers di Indonesia, sebenarnya lahir tepat
bersamaan waktunya, dan keduanya saling membutuhkan atau memiliki saling ketergantungan.
DOMINASI EROPA
Lepas dari kenyataan itu, karena orang-orang Eropa yang pertama memiliki suratkabar di masa
Hindia Belanda, maka dengan sendirinya bahasan mengenai tokoh-tokoh periklanan di Indonesia
pun akan bertolak dari para warga negara asing ini. Lebih lagi, karena di masa Hindia Belanda,
memang belum ada pemisahan yang jelas antara fungsi-fungsi penerbit, percetakan dan
perusahaan periklanan. Antara tahun 1868-1912, di Batavia saja, orang-orang Eropa ini telah
memiliki 14 penerbitan pers.
Karena di masa itu setiap percetakan hanya mencetak satu penerbitan pers, maka berarti terdapat
jumlah yang sama percetakan pers yang dimiliki oleh orang-orang Eropa atau keturunan Eropa.
Penerbitan-penerbitan ini bervariasi dari yang berkala harian, mingguan, dwimingguan maupun
bulanan.
Di luar Batavia, tercata 6 suratkabar yang terbit di Surabaya dan satu di Jawa Tengah. Ini pun
semuanya dimiliki dan dikelola oleh orang-orang Eropa. Pada perusahaan-perusahaan periklanan
milik orang-orang Eropa itu, memang banyak juga dipekerjakan orang-orang Cina atau pribumi.
Tetapi dua kelompok terakhir ini hanya sebagai copywriter (penulis naskah) untuk perusahaan
periklanannya, atau tenaga keredaksian di penerbitan pers mereka. Setelah orang-orang Eropa,
orang-orang Cina atau keturunan Cina menjadi kelompok yang paling dominan menguasai
periklanan. Sedangkan kelompok pribumi umumnya tidak memiliki sendiri percetakan atau
penerbitan pers, ataupun hanya mengelola perusahaan-perusahaan periklanan yang relatif kecil.
TIGA SERANGKAI
Praktisi periklanan sebagai tenaga spesialis yang khusus didatangkan dari Belanda yang terkenal
di zamannya adalah “tiga-serangkai”; F. Van Bemmel, Is. Van Mens dan Cor van Deutekom.
Mereka ini didatangkan atas biaya BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) dan General
Motors yang perlu mempromosikan produk-produk mereka. Ketiga orang ini bergabung dalam
Aneta, perusahaan periklanan terbesar saat itu. Pada tahun 1901 salah satu dari anggota tigaserangkai ini, Bemmel, diminta oleh redaktur suratkabar De Locomotief untuk mengelola
perusahaan periklanan milik suratkabar tersebut, yang juga bernama De Locomotief. Suratkabar
De Locomotief sendiri terbit sejak tahin 1870 di Semarang. Tahun 1902, hanya satu tahun sejak
kedatangannya ke Batavia, Bemmel hengkang untuk mendirikan perusahaan periklanan sendiri.
Perusahaan periklanan ini diberinya nama NV Overzeesche Handelsvereeniging. Perusahaan
periklanan ini utamanya menangani produk-produk impor, seperti mobil dan sepeda.
Pada tahun 1910 Bemmel kembali ke negeri Belanda. Tidak diketahui alasan kepindahannya itu,
namun di negeri Belanda ia kemudian berganti profesi. Uang yang dihimpunnya selama
memiliki perusahaan periklanan di Hindia Belanda rupanya cukup untuk mendirikan sebuah
bank. (65)
(65) Short History of Journalism in the Dutch East Indies, G. Koff & Co., Sourabaya-Java,
hlm. 118-119
DARI AHLI PEMASARAN
Tokoh bangsa Belanda lain yang juga banyak disebut dalam sejarah periklanan adalah CA
Kruseman, seorang ahli Pemasaran lulusan sekolah dagang Osnabruck, Rotterdam. Orang iklan
ini penglola perusahaan periklanan HM van Dorp yang sekaligus juga pemilik percetakan
suratkabar Java-Bode. Sebagaimana Bemmel, Kruseman juga didatangkan langsung dari negeri
Belanda.
Sebagai seorang ahli pemasaran, tentu saja tidak sulit bagi Kruseman untuk memajukan
perusahaan periklanan van Dorp. Produk-produk yang ditanganinya antara lain adalah jasa
transportasi, perhotelan, arloji serta olahraga pacuan kuda. Selama memimpin van Dorp, ia
berhasil menjual iklan senilai f. 100.000. jumlah tersebut sudah dianggap sangat besar, untuk
masa itu.
Selesai bertugas di Hindia Belanda, Kruseman sempat kembali ke Rotterdam tahun 1906. Tetapi
kemudian dia diangkat kembali untuk memimpin van Dorp di Hindia Belanda, hingga saat
meninggalnya tahun 1909 di Batavia.
AWAL TOKOH CINA KETURUNAN
Menjelang akhir abad ke-19 perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki dan dikelola oleh
Cina keturunan mulai bermunculan. Resesi ekonomi yang melanda dunia tahun 1890 rupanya
berdampak sangat buruk bagi dunia usaha. Termasuk banyak percetakan pers milik orang-orang
Belanda. Peluang inilah yang ternyata mampu dimanfaatkan oleh kelompok Cina keturunan.
Pelopor periklanan dari kelompok ini adalah Yap Goan Ho, yang memiliki perusahaan
periklanan sendiri di Batavia. Yap Goan Ho sebelumnya adalah seorang copywriter di
perusahaan periklanan De Locomotief. Perusahaan periklanannya diberi nama Yap Goan Ho,
mulanya dikontrak olah suratkabar berbahasa Melayu, Sinar Terang (terbit 1888-1891).
Perusahaan periklanan ini hanya bertahan tiga tahun, akibat bangkrutnya suratkabar Sinar
Terang.
Iklan-iklan yang ditangani Yap Goan ho kebanyakan untuk produk buku. Khususnya yang
diterbitkan untuk masyarakat Cina. Setelah ditutupnya Sinar Terang, Yap Goan Ho kembali
berusaha mengembangkan sendiri perusahaan periklanannya. Untuk itu dia mengumpulkan
modal dari bekerja mencari iklan bagi beberapa suratkabar. Dia mengkhususkan diri pada iklaniklan pelelangan barang milik para pejabat Belanda. Kebanyakan barang-barang milik para
pejabat yang akan mengakhiri masa jabatannya di Hindia Belanda. Iklan-iklan pelelangan ini
utamanya ditujukan pada khalayak pribumi, dan sebagian besar dimuat di suratkabar De
Locomotief.
DARI LUAR JAWA
Tokoh Cina keturunan lain adalah Liem Bie Goan. Seperti juga Yap Goan Ho, perusahaan
periklanan Liem Bie Goan juga dikontrak oleh suratkabar. Suratkabar yang mengontraknya
adalah Pertja Barat yang terbit di Padang tahun 1890-1912. Iklan yang menonjol dari perusahaan
periklanan ini adalah produk pecah belah. Khalayak sasarannya adalah penduduk Eropa yang
tinggal di Hindia Belanda.
Dari luar Jawa tercata juga nama Kadhool sebagai tokoh lain periklanan. Seperti Yap Goan Ho,
dia juga mantan penulis naskah di perusahaan periklanan De Locomotief. Kadhool sekolah di
Hwee Koan, Cina. Perusahan periklanannya bernama Firma Tie Ping Goan, namun dikelola dan
dimiliki sendiri oleh Kadhool. Tidak ada catatan mengapa nama perusahaan periklanan ini tidak
menggunakan namanya. Di duga, Tie Ping Goan adalah nama lain dari Kadhool. Iklan-iklan Tie
Ping Goan umumnya dipesan oleh suratkabar Tjaja Sumatra yang terbit dari tahun 1899-1933 di
Sumatera Timur (sekarang Riau).
Produk-produk yang ditangani perusahaan periklanan Kadhool kebanyakan hotel-hotel di sekitar
Bandung. Bagi masyarakat Belanda masa itu, daerah Bandung dikenal sebagai Parisj van Java
(Paris-nya Pulau Jawa), sehingga menjadi tempat peristirahatan sangat bergengsi bagi para
pengusaha perkebunan Eropa yang tinggal di Sumatera.
Tie Ping Goan bertahan hingga terjadinya depresi ekonomi tahun 1930. Rintisan yang banyak
dilakukan oleh kelompok Cina keturunan ini, menurut F. Wiggeres yang menulis dalam
Pemberita Betawi, 1909, karena merekalah yang sangat mementingkan perdagangan. Untuk
dapat lebih berhasil, kata Wiggeres pula, perdagangan tidak bisa lepas dari kebutuhan
periklanan.
PRAKTISI PRIBUMI
Orang pribumi yang memiliki percetakan dan suratkabar, baru pada tahun 1906 dengan
munculnya NV Medan Prijaji. Tiras suratkabar yang dipimpin oleh RM Tirto Adisoerjo ini
utamanya beredar di Batavia, Bogor dan Bandung. Suratkabar ini sebenarnya punya misi politik,
karena banyak memuat berita-berita tentang kebobrokan sistem kolonial. Dia sekaligus memberi
juga perlindungan hukum bagi kaum pribumi. Namun untuk menjaga kelangsungan hidupnya, ia
memerlukan juga perusahaan periklanan. Orang yang mengelola perusahaan periklanan Medan
Prijaji adalah Raden Goenawan.
Raden Goenawan, lulusan HIS (Holland Inlandsche School), Batavia, menjadi teman dekat Tirto
Adisoerjo sejak di sekolah itu. Selain dalam jabatan tersebut, Adisoerjo dan Raden Goenawan
juga merangkap bersama-sama menangani bidang percetakan Medan Prijaji. Suratkabar ini
mereka
beri
nama
kecil
Surat
Kabar
Minggoean
dan
Advertentie.
Raden Goenawan juga pernah bekerja di perusahaan periklanan NV Soesman’s yang
berkedudukan di Batavia. NV Soesman’s banyak mengiklankan penyediaan tenaga kerja
pendatang dari Jawa ke Sumatera Timur.
Raden Goenawan mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji sejak berdirinya tahun 1906.
Meskipun hanya mampu bertahan hingga tahun 1912, Medan Prijaji tercatat memperoleh
keuntungan sebesar f.75.000 pada tahun terakhir hidupnya.
MERAMBAH DUNIA TOKOH-TOKOH PRIBUMI
Tokoh periklanan pribumi yang sangat patut diperhitungkan adalah Tjokroamidjojo. Dia
memimpin NV Handel Maatschppij dan Drukkerij “Serikat Dagng Islam”, Semarang, yang
menerbitkan suratkabar Sinar Djawa. Suratkabar ini merupakan suratkabar pribumi yang dapat
bertahan agak lama (1914-1924).
Karir Tjokroamidjojo dimulai dengan bekerja sebagai pembantu redaksi di suratkabar De
locomotief pada tahun 1906. Kemudian menjadi penulis naskah iklan di suratkabar Pemberita
Betawi. Pada tahun 1908 dia mendirikan perusahaan batik di Pekalongan. Dari hasil perusahaan
batik ini, dia membeli perusahaan penerbitan dan percetakan di Semarang.
Perusahaan periklanan Sinar Djawa tercatat sebagai satu-satunya perusahaan periklanan di
Hindia Belanda yang mempunyai “agen besar” (perwakilan) untuk benua Eropa dan Amerika.
Perwakilan ini berkedudukan di Societie Europeenne de Publicitie, 10 Rue de la Victoire, Paris.
Fungsi perwakilan ini pun cukup efektif dan bersifat timbal-balik. Yang utama adalah untuk
menangani komoditas impor dari Eropa dan Amerika. Namun juga untuk mengiklankan tour
keliling Jawa dengan kereta api, ataupun hotel-hotel Eropa di Hindia Belanda.
Laba usaha Sinar Djawa mengalami pasang surut. Merosot pada tahun 1915-1916, akibat terkena
dampak Perang Dunia I, sehingga hanya mencapai f. 25.000 pada periode ini. Padahal pada
tahun sebelumnya telah mencapai f. 45.000. Sepanjang kepemimpinan Tjokroamidjojo hingga
tahun 1924, Sinar Djawa berhasil menggaet total keuntungan senilai f. 200.000,-.
SPESIALIS IKLAN BUKU JAWA
M.Sastrositojo adalah pemilik dan pengelola perusahaan periklanan NV Medan Moeslimin.
Perusahaan periklanan ini mengkhususkan diri pada iklan-iklan produk buku, terutama bukubuku yang dicetak oleh Albert Rusche & Co.. Buku-buku yang diiklankannya pun khusus
beraksara Jawa. Kebijaksanaan mengkhususkan pada iklan-iklan buku ini dilakukan, untuk
menyesuaikan diri dengan suratkabar Medan Moeslimin yang memang dikhususkan untuk
pembaca orang Jawa yang baru melek huruf. Itu pun terbatas pada bacaan yang menggunakan
aksara Jawa.
Misi yang diemban Medan Moeslimin tampaknya tidak dapat sepenuhnya ditunjang dari
penghasilan usaha periklanan. Karena tercatat adanya dukungan keuangan dari beberapa
perusahaan batik di Solo. Salah satu pendukung utama keuangannya adalah perusahaan batik
milik Hadji Misbach. M. Sastrositojo adalah lulusan HIS, yang kemudian magang selama 2
tahun di perusahaan periklanan NV Doenia Bergerak, sebagai penulis naskah iklan.
PENGELOLA IKLAN ASOSIASI
Pemilik dan pengelola lain perusahaan periklanan dari kelompok pribumi adalah Abdoel Moeis.
Ia memimpin perusahaan periklanan NV Neratja yang terutama mengiklankan perusahaanperusahaan gula. Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat (asosiasi pabrik gula)
Hindia Belanda.
Hasil usaha Neratja digunakan juga untuk mendirikan perusahaan periklanan dan perusahaan
penerbitan di Sumatera Timur. Tetapi dampak depresi ekonomi tahun 1930 kemudian juga ikut
membunuh kedua perusahaan ini.
Abdoel Moeis memulai karir di dunia cetak-mencetak sejak tahun 1915 pada suratkabar
Oetoesan Hindia, sebagai tenaga pembantu redaksi. Ia adalah lulusan HBS (Hollandsche Burger
School) dan menjadi pimpinan Neratja sejak tahun 1917.
PAKAR IKLAN PASCA DEPRESI
Pulihnya kembali usaha periklanan didorong oleh prakarsa perusahaan-perusahaan Belanda.
Mereka memberi beberapa kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan percetakan untuk
mempromosikan produk-produk impor dari Eropa maupun yang diproduksi di Hindia Belanda
sendiri. Yang pertama mampu memanfaatkan peluang ini adalah Liem Kha Tong. Dia sekaligus
menjadi pelopor bangkitnya kembali periklanan pasca depresi di Hindia Belanda. Liem Kha
Tong mendirikan perusahaan periklanan Handels & Credietbescher-Ming Bureau yang berkantor
di Batavia. Untuk menggugah bangkitnya kembali minat masyarakat untuk beriklan,
perusahaannya sendiri kemudian memasang iklan. Naskah iklannya sangat terkenal, berbunyi:
Toekang
iklan
bikin
reclame
Toekang
sajoer
bikin
reclame
perloe
reclame
Post
kantoor
Kantoor
Bank-bank
telefon
perloe
perloe
reclame
djoega
reclame
Apa toean sadja tidak perloe?
Sebagai seorang pakar pemasaran saat itu, Liem Kha Tong juga memanfaatkan penerbitanpenerbitan untuk memuat tulisan-tulisannya mengenai periklanan. Berikut ini adalah bagian dari
salah satu tulisannya. Di bawah judul “Advertentie (periklanan) dan Perdagangan”. Dia antara
lain menyatakan:
Advertentie
poenja
kaperloean
soedah
kentara,
kerna advertentie perloenja boeat perkenalken barang-barang dagangan kita pada publiek.
Kaloe barang jang kita dagangken tidak dikenal, bagaimana bisa dapatken pembeli?
Liem Kha Tong juga mengajarkan, bahwa pemilihan media yang digunakan harus sejalan
dengan pesan iklan yang akan dimuat. Dia menjelaskan teori Ekonomi; Permintaan dan
Penawaran, dan juga masalah-masalah distribusi suatu produk. Dia tampaknya merupakan tokoh
yang juga banyak membaca. Tulisan-tulisannya selalu mengacu kepada tokoh-tokoh Pemasaran
zaman itu. Termasuk dari Mr. AR. Zoccol, Direktur Parker Pen Company yang perusahaannya
tetap
mampu
bertahan
dalam
amukan
depresi
tahun
1930.
Tahun 1933, perusahaan periklanan Ming yang dipimpin Liem Kha Tong berhasil meraih laba
senilai f. 50.000.
YANG SUKSES DI BANDUNG
Joedoprajitno tercatat sebagai tokoh periklanan yang menonjol di Bandung. Karier pemilik dan
pengelola perusahaan periklanan Jupiter ini dimulai ketika ia berusia 15 tahun di Mathew Rose,
sebuah perusahaan batik dai Pekalongan. Perusahaan batik ini ditutup pada tahun 1930 karena
bangkrut. Pada tahun yang sama Joedoprajitno mengambil ahli perusahaan tersebut beserta
seluruh persediaan barangnya senilai f.40.000. Dua tahun kemudian baru ia mendirikan Jupiter.
Kiat sukses bisnisnya yang terkenal dimuat di harian Sipatahoenan edisi 3 Juni 1936, yaitu:
Sikap
Haroes
sombong
poenjaken
diboewang
Kesabaran
dalem
dan Dengan apa kaoe aken bisa naek di tangga doenia.
Laba usaha yang berhasil diraihnya pada tahun 1935 tercatat f. 100.000.
djaoe-djaoe;
segala
hal;
MEMBERI KIAT DI MASA RESESI
Tokoh periklanan yang juga menonjol adalah S. Soemodihardjo yang memimpin perusahaan
periklanan Economie Blad. Karirnya dimulai tahun 1921, sebagai pimpinan bidang Pemasaran
pada perusahaan batik ayahnya di Solo. Delapan tahun kemudian pindah ke Batavia menjadi
penulis naskah iklan pada suratkabar Keng Po.
Konsep dan pengalamannya tentang periklanan dan pemasaran kerap dimasyarakatkannya. Ia
menjadi tokoh pelawan arus, banyak menentang kecenderungan yang terjadi di antara para
praktisi pemasaran dan periklanan. Dalam hal periklanan, ia sering berbicara tentang
“periklanan” sebagai suatu ilmu pengetahuan yang “baru” untuk mencapai ekonomisasi yang
tinggi. Dalam hal pemasaran, dia mengingatkan para pemasar (marketer), bahwa menurunkan
harga tidak selalu merupakan tindakan yang benar dalam pemasaran. Alasannya, karena
menurunkan harga dapat menimbulkan persepsi di antara calon konsumen akan turunnya pula
mutu produk, dan sangat membahayakan tujuan pemasaran dalam jangka panjang.
Pada saat itu memang terjadi kecenderungan dari banyak produk untuk menurunkan harga, dan
berhenti atau mengurangi anggaran periklanan, karena melesunya pasar sebagai dampak dari
awal depresi yang terjadi.
PENCIPTA SLOGAN PERJUANGAN
Tokoh periklanan di tahun 1930-an adalah Hendromartono pemilik dan pengelola perusahaan
periklanan Mardi Hoetomo di Semarang. Di daerahnya, ia terkenal sebagai praktisi yang merintis
terciptanya iklan-iklan yang memberi nilai tambah pada produknya.
Hendromartono banyak belajar dari periklanan di luar negeri dan termasuk pakar periklanan
yang aktif menulis di media cetak. Dia memulai karirnya tahun 1928, dan dua tahun kemudian
menjadi staf ahli di perusahaan periklanan De Locomotief. Dia mendirikan perusahaan
periklanan Mardi Hoetomo tahun 1933.
Hendromartono tampaknya menjadi praktisi periklanan yang juga aktif dalam perjuangan
kemerdekaan. Dia yang menciptakan slogan “Boeng, Ayo Boeng’ pada tahun 1942. Mungkin
karena hal tersebut dia harus menutup perusahaan periklanannya pada tahun 1942, ketika terjadi
penyerbuan tentara Jepang. Slogan tersebut kemudian (tahun 1950) digunakan oleh salah satu
perusahaan rokok di Jawa Timur.
KETUA PBRI PERTAMA
Muhammad Napis. Tokoh ini adalah Ketua PBRI (Persatuan Biro Reklame Indonesia) sejak
1956 hingga 1972. Dia memegang jabatan tersebut untuk melanjutkan tugas yang sejak tahun
1949 masih dijabat oleh orang Belanda.
Selain sebagai aktivis asosiasi, dia juga adalah praktisi sejati. Pada tahun 1952, di usia 27 tahun,
dia sudah mendirikan perusahaan periklanan CV Bhinneka Advertising Services, sekaligus
memegang jabatan Direktur Utama hingga tahun 1972. Situasi makro saat itu memaksanya untuk
menutup “firma” ini. Sebagai gantinya dia mendirikan sebuah perseroan terbatas yang diberinya
nama Advertising Inter Media (AIM), dan tetap sebagai Direktur Utama hingga tahun 1978.
Seperti juga kebanyakan tokoh periklanan lama, dia juga tidak mempunyai pendidikan formal di
bidang periklanan. Meskipun demikian dia sempat memperoleh kursus periklanan dari Stichting
voor Reclame (yayasan periklanan) Jakarta tahun 1956 dan mengikuti program pendidikan
tertulis Marketing and Advertising dari Alexander Hamilton Institue, New York, tahun 1971.
Hingga sekarang, tokoh yang lahir tanggal 7 Juli 1925 ini masih memegang beberapa jabatan
penting di dalam asosiasi masyarakat periklanan. Antara lain, Direktur Eksekutif PPPI
(Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), tahun 1980-1983; General Manager BPPP (Badan
Penyalur dan Pemerataan Periklanan) Pusat, sejak 1981; Sekretaris Tetap Komisi Tata-Krama
dan Tata-Cara Periklanan Indonesia, sejak 1981; dan Ketua Pelaksana Harian Badan pengawas
Tata-Krama dan Tata-Cara Periklanan PPPI, sejak 1992.
TOKOH PERIKLANAN MODERN
Perintis periklanan ini bernama Nuradi. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei
1926. Seperti juga banyak pelaku periklanan modern, Nuradi pun tidak
memperoleh pendidikan formal di bidang periklanan. Tahun 1946-1948 ia
masuk Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (darurat). Kemudian
masuk Akademi Dinas Luar Negeri Republik Indonesia (1949-1950).
Tahun-tahun berikutnya dia banyak mengenyam pendidikan di Amerika
Serikat. Dia menjadi orang Indonesia pertama
yang diterima di Foreign Service Institute, US State Department, Washington DC. Selanjutnya
belajar penelitian sosial di New School, New York (1952-1954) dan menyelesaikan studi bidang
administrasi publik di Harvard University, Cambridge, Massachusetts. Kemudian selama setahun
belajar bahasa di Universitas Sorbone dan Universitas Besancon, Perancis.Tahun 1945, dia juga
dikenal sebagai orang pertama diangkat sebagai pegawai negeri di Departemen Luar Negeri dan
di Departemen Penerangan. Yang terakhir ini, karena ia juga menjadi penyiar siaran Bahasa
Inggris di Radio Republik Indonesia. Antara tahun 1946-1950, dia menjadi juru bahasa pribadi
untuk Bung Karno, Bung Hatta dan Ir. Juanda dan tahun 1949 sempat menjadi kepala bagian
penerjemah pada delegasi Indonesia ke Konperensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda.
Tahun 1950 dia ditunjuk untuk menjalankan misi khusus ke Uni Soviet dan menjadi anggota
perwakilan tetap Indonesia di markas PBB, New York. Karier sebagai pegawai negeri telah
membawanya terlibat dalam banyak lagi tugas sebagai anggota delegasi, baik untuk kepentingan
nasional, maupun internasional. Dia mengundurkan diri dari Dinas Luar Negeri pada tahun 1957,
untuk bergabung dengan Perwakilan PRRI Sementara untuk Singapura dan Hongkong.
Perjalanan hidup Nuradi di dunia periklanan dimulai ketika tahun 1961-1962 mengikuti
Management Training Course di SH Benson Ltd., London, perusahaan periklanan terbesar di
Eropa saat itu. Sedangkan pengalaman praktek periklanan diperolehnya melalui cabang
perusahaan tersebut di Singapura. Sekembalinya ke Jakarta (1963) dia mendirikan perusahaan
periklanannya sendiri, InterVista Advertising Ltd..
MERINTIS PERIKLANAN DI TV
Keberadaan TV sebagai media baru di Indonesia sejak bulan Agustus 1962, telah merangsang
Nuradi untuk juga menjadikannya wahan periklanan. InterVisa tercatat sebagai perintis
masuknya iklan-iklan komersial di TVRI. Tahun 1963, tiga iklan pertama (yang masih berbentuk
telop) di media ini, adalah untuk klien-klien berikut:

Hotel Tjipajung, yang kebetulan milik ayahnya sendiri.

PT Masayu, produsen alat-alat berat dan truk.

PT Arschoob Ramasita, yang dimiliki oleh Judith Roworuntu, sekaligus menjadi pembuat
gambar untuk iklan-iklan InterVista.
Setahun setelah itu, muncul iklan skuter Lambretta. Tetapi kali ini, sudah digunakan bentuk
slide, yang juga merupakan rintisan saat itu. Iklan Lambretta pun merupakan iklan pertama yang
diproduksi untuk dapat ditampilkan di bioskop-bioskop. Ini merupakan prestasi tersendiri pula
bagi InterVista.
Menurut Nuradi, kekuatan InterVista terletak justru pada akar budidaya Indonesianya. Pendapat
ini mungkin benar, kalau kita perhatikan beberapa slogan yang diciptakan InterVista, seperti:

Produk susu kental manis; Indomilk …. sedaaap.

Produk bir; Bir Anker. Ini Bir Baru, Ini Baru Bir.

Produk rokok putih; Makin mesra dengan Mascot.

Produk skuter; Lebih baik naik Vespa.
Periode tahun 1963-1967 InterVista juga tercatat sebagai perusahaan periklanan pertama yang
melakukan adaptasi terhadap film iklan yang berbahasa Inggris, meskipun proses produksi
akhirnya masih dikerjakan di Singapura. Bahkan pada periode ini, InterVista sudah memiliki
sendiri sutradara untuk membuat film-film iklan para kliennya. Salah satu film iklan yang sangat
sukses saat itu adalah iklan Ardath.
KERJASAMA DENGAN ASING
Meskipun InterVista dianggap sebagai perusahaan periklanan modern pertama di Indonesia,
namun ia ternyata bukanlah yang pertama melakukan kerjasama dengan perusahaan periklanan
asing. Karena tahun 1960, Franklyn, perusahaan periklanan milik orang Belanda yang kemudian
berganti nama menjadi Bhineka, sudah bekerjasama dengan Young & Rubicam, salah satu
perusahaan periklanan raksasa dari Amerika.
Mengenai kerjasama dengan asing ini Nuradi merupakan salah satu tokoh yang sangat kuat
mempertahankan ke-Indonesia-annya. “Ini bisa mengantjam pertumbuhan pers nasional”,
katanya, dan “biro-biro iklan internasional yang berkeliaran di Jakarta dalam waktu dekat bisa
memaksa pers di Indonesia mendjadi sematjam djuru-bitjara kaum industrialis besar”,
lanjutnya.*( Majalah Tempo, 25 Maret 1972. )
Pada saat itu, memang terjadi semacam gelombang “anti biro iklan asing” pada banyak
perusahaan periklanan nasional. Peraturan Pemerintah yang melarang masuknya modal asing
dalam industri periklanan pun sudah ada. Namun penggunaan tenaga asing masih dimungkinkan,
meskipun terbatas pada tiga jabatan saja. Jabatan-jabatan yang dianggap belum sepenuhnya
dapat diisi oleh tenaga-tenaga Indonesia ini adalah Advertising Consultant (konsultan periklanan
di perusahaan periklanan), Advertising Technical Adviser (penasehat teknis di perusahaan
periklanan), dan Advertising Manager (manajer periklanan di perusahaan pengiklan).
Ironisnya, pada era-globalisasi dan meredanya “gelombang anti perusahaan periklanan asing”
saat ini, justru jabatan Technical Adviser merupakan satu-satunya jabatan yang masih diijinkan.
Mungkin suatu indikasi terjadinya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia dalam
industri periklanan nasional.
Selain Bhineka, perusahaan periklanan Fadjar Kamil juga menjalin kerjasama dengan Mc CannErickson, perusahaan periklanan raksasa lain, yang juga dari Amerika Serikat. Namun sulitnya
memperoleh tenaga terlatih, kemudian telah memaksa pula Nuradi dengan InterVisa-nya
melunakkan sikap untuk bekerjasama dengan perusahaan asing. Kebetulan, dia memilih Mc
Cann-Erickson juga sebagai mitranya. Sukses Nuradi, membawa InterVisa nyaris ke puncaknya,
meskipun bukan dalam hal omset*. Nuradi patut merasa bangga, bahwa InterVista tercatat
sebagai perusahaan periklanan yang sangat disegani, dan unggul dalam hal mutu karya-karyanya.
Nuradi menduga, hingga awal tahun 1970, urutan peningkat omset perusahaan-perusahaan
periklanan
adalah;
Lintas,
(Sumber: http://www.pppi.or.id )
indo-Ad,
Matari
dan
InterVista
sendiri.
Download