BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di sepanjang sejarah manusia, Islam telah banyak melahirkan peradabanperadaban yang tersebar di seluruh dunia. Namun semenjak runtuhnya khilafah Utsmaniyah yang dipandang sebagai peristiwa internasional yang sangat penting, karena peristiwa ini berakibat fatal bagi negara-negara yang menjadi anggota dan tunduk di bawah bendera khilafah Islamiyah, perkembangan peradaban Islam mengalami staknasi, bahkan Islam seperti kehilangan powernya. Kemudian kekhilafahan digantikan beberapa raja dan pemimpin. Sebagian besar umat Islam meyakini bahwa Islam akan mengalami masa kejayaan kembali diatas nilai-nilai kenabian. Mereka meyakini bahwa Islam disepanjang periodisasi sejarahnya akan mengalami pasang surut peradaban, karena dalam sebuah nubuwatnya Rosululloh pernah menengarai bahwa umat Islam setidaknya akan melalui lima periode dalam perjalanannya hingga hari kiamat nanti, kelima priode tersebut antara lain: Periode kenabian, Priode kekholifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, Priode Mulkan ‘Aadhan atau penguasa yang menggigit, Periode Mulakan Jabariyyan atau penguasa yang menindas, dan yang terakhir umat Islam akan kembali berjaya dengan kembali keperiode kekhilafahan yang tegak diatas nilai-nilai kenabian. (Muhammad bin Husain 2005: 2). Setelah peristiwa pengahapusan khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924, para ulama melakukan berbagai pertemuan dan hasilnya mereka sepakat akan mengadakan konferensi Islam tahunan yang diikuti wakil-wakil negara Islam, yang bertempat di Kairo. Adapun tujuan dari pertemuan tersebut adalah membahas permasalahan khilafah Islamiyah sampai menetapkan sebuah keputusan tentang khilafah serta mengangkat sosok kholifah yang baru. Namun setelah konferensi tersebut berhasil diselenggarakan, yakni pada bulan Mei 1926 di Mesir, yang saat itu masih dalam kekuasaan Inggris terjadi perselisihan pendapat dan merekapun tidak menghasilkan sebuah kesepakatan tentang 1 2 siapakah yang akan menjadi kholifah bagi kaum muslimin, dan akhirnya konferensi tersebut tidak dapat menghasilkan keputusan krusial. Bahkan kemudian muncul ulama-ulama yang tidak menyetujui tentang masalah khilafah Islamiyah. Pemikiran-pemikiran politik Islam muncul sebagai akibat tidak adanya kesepakatan tentang hubungan antara agama dan negara. Di lingkungan dunia Islam setidaknya dikenal tiga tipologi aliran pemikiran politik antara lain: Pertama, aliran pemikiran yang berpendirian bahwa Islam adalah merupakan agama yang paripurna, yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara, yang didalamnya juga terdapat sistem ketatanegaraan. Karenanya, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali pada sistem tatanegara Islam. Aliran ini juga berpandangan antara agama dan politik ada konsep kemanunggalan yang tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga merupakan wilayah politik (negara). Selain merupakan lembaga politik, negara juga merupakan lembaga keagamaan sekaligus. Pemerintahan juga diselenggarakan atas kedaulatan Ilahi. Pengikut aliran ini antara lain Muhammad Rasyid Ridho, Abul A’la Al-Maududi, Hasan Al-Banna dan Muhammad Sayid Qutb dengan Ikhwanul Musliminnya. Sayid Ridho misalnya mempunyai keinginan untuk mengikat umat Islam lewat jama’ah umat Islam / Pan Islamisme. Sementara Abdul A’la Al-Maududi mendasarkan pemikirannya pada tiga hal, yaitu: (a) Islam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. (b) kekuasaan atau kedaulatan tertinggi hanya di tangan Allah dan umat Islam hanyalah pelaksana kekuasaan Allah atau kholifah Allah dibumi. (c) sistem politik Islam ialah sistem politik yang universal. Kedua, aliran pemikiran politik yang berpendirian Islam sebagai agama yang tidak berhubungan dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Muhammad hanyalah seorang Rosul biasa seperti halnya rosul-rosul sebelumnya, dengan tugas tunggal yaitu mengajak manusia kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti. Kehadiran Muhammad tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan ataupun mengepalai suatu negara. Aliran ini 3 sering juga disebut sekulerisme, yaitu suatu paham yang berusaha untuk memisahkan persoalan keagamaan dari persoalan kenegaraan atau politik. Pengikut aliran ini antara lain adalah Thoha Husein dan Ali Abdul Ar-Raziq. Dalam pandangan mereka, politik merupakan sesuatu dan agama adalah sesuatu yang lain. Ketiga, aliran pemikiran politik yang menolak pandangan Islam sebagai agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem kenegaraan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Alqur’an tidak terdapat sistem politik, tetapi terdapat seperangkat nilai, etika bagi kehidupan dan keberlangsungan suatu sistem politik. Aliran ini juga berpandangan bahwa antara agama dan negara terjadi hubungan “simbiosis” dimana agama memerlukan negara dan sebaliknya negara juga memerlukan agama. Pengikuat aliran ini antara lain Muhammad Abduh dan Muhammad Husain Haikal. sesungguhnya Muhammad tidak terdapat Abduh berpendapat kekuasaan bahwa keagamaan selain dalam Islam kewenangan memberikan peringatan secara baik, mengajak orang kearah kebaikan, dan menarik dari keburukan, tentunya dengan panduan dasar-dasar Islam. Sementara Muhammad Husain Haikal berpandangan bahwa Islam tidaklah memberikan petunjuk yang langsung dan terperinci tentang bagaimana umat Islam mengatur urusan-urusan yang berkenaan dengan kehidupan bernegara atau berpolitik. Islam hanya meletakan prinsip-prinsip dasar bagi peradaban manusia atau yang mengatur perilaku manusia dalam pergaulan antar sesama, yang pada gilirannya akan merambah dalam kehidupan berpolitik. Salah satu diantara para ulama yang sepakat dengan sistim kekholifahan dan politik adalah Hasan Al-Banna, karena Hasan Al-Banna beranggapan Islam adalah agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia termasuk bidang politik dan pemerintahan atau negara. Ketika Hasan masih sebagai mahasiswa di Kairo, Hasan Al-Banna dan teman-temannya begitu khawatir dengan kekacauan politik dan sosial di kota itu. Ketika itu, mayarakat Mesir tengah mengalami krisis kepemimpinan, mereka sangat dingin dan apatis dengan kondisi bangsanya, hal tersebut terjadi karena pemerintah yang telah terhegemoni oleh imperalis Inggris, 4 sangat represif terhadap rakyatnya. Ketika Hasan Al-Banna pertama kali mengajar di Ismailiyyah di zona Terusan Suez, tempat Inggris bermarkas, Hasan menyaksikkan perlakuan Inggris terhadap rakyat Mesir yang sewenang-sewenang. Selain itu Hasan juga menyaksikan perbedaan yang mencolok antara rumah mewah orang-orang Inggris dengan pondok kumuh pekerja Mesir, sehingga Hasan Al-Banna merasakan ada sesuatu yang janggal dalam jiwanya yang mendorongnya untuk ikut berjuang membela rakyat dan mendapatkan kebebasan dari intervensi Inggris di Mesir. Bagi Hasan Al-Banna yang merupakan seorang muslim yang sangat taat, hal ini bukan sekedar masalah politik. Kondisi umat, komunitas Islam merupakan nilai Islam, sehingga akhirnya Hasan Al-Banna bersama beberapa Ulama pada tahun 1927 berinisiatif untuk menggelar konferensi Islam di Kairo yang menghasilkan berdirinya Jam’iyah Asy-Syuban AlMuslimun atau Organisasi Pemuda Muslim. Sebelum berdiri organisasi tersebut, di Kairo telah terdapat Perhimpunan Pemuda Kristen yang berdiri pada tahun 1923. Kedua organisasi tersebut mempunyai persamaan gerak di bidang sosial dan tidak mencampuri urusan politik. Kemudian di tahun berikutnya, tahun 1928 Hasan Al-Banna mendirikan Masyarakat persaudaraan muslim(Al-Ikhwan AlMuslimun) yang merupakan perpanjangan dari perjuangan Al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho, Hasan Al-Banna mempunyai sasaran dari awal harus membangun pergerakan Islam yang komprehensif untuk menggerakan suatu generasi yang luas untuk mengisi dengan cita-cita yang diterapkan pada politik, ekonomi, dan semua bidang sosial. Sejak kemunculannya pertama kali, perjuangan Ikhwan telah dibingkai oleh pemahamannya terhadap Islam yang baik. Misalnya dalam prinsip dua puluhnya, yang terkenal dengan nama Ushul ‘isyrin, Hasan Al-Banna menegaskan prinsip pertamanya, bahwa Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Islam adalah agama dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, Ilmu dan peradilan, materi dan sumberdaya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah akhidah yang lurus dan ibadah yang benar. Dalam berbagai pernyataannya Hasan 5 Al-Banna menyebut idiom syamil (universal), kamil (sempurna), dan mutakamil (integral), untuk Islam nilai yang diperjuangkannya. Jatuhnya Khilafah Islamiyah adalah motivasi penting bagi diri Hasan AlBanna, yang mendorongnya untuk bergerak membangkitkan umat dan mengarahkannya untuk berusaha mengembalikannya kejayaan yang telah terampas. Oleh karenanya, pengembalian khilafah Islamiyah memiliki posisi penting dalam tujuan Ikhwan. Hasan Al-Banna mengungkapkan tentang kedudukan khilafah Islamiyah dengan stetmenya, Al-Ikhwan Al-Muslimun berkeyakinan bahwa khilafah adalah simbol persatuan umat Islam sekaligus lambang persaudaraan antara berbagai negara Islam. Khilafah adalah sebuah syi’ar Islam yang harus dipikirkan keadaanya serta diperhatikan oleh kaum muslimin. Khilafah banyak berhubungan dengan hukum-hukum dalam ajaran Islam. Hasan Al-Banna dan Ikhwanul Musliminnya berusaha untuk menancapkan Panji Islam dihati para pengikutnya Hasan Al-Banna terus menyerukan kepada kaum Muslimin sampai khilafah Islamiyah kembali menjadi harapan dan cita-cita umat. Hasan Al-Banna sampai pada pemikirannya bahwa masjid saja, tidaklah cukup untuk menyebarkan akhidah diantara manusia dan menyadarkan umat dari bahaya yang mengelilingi mereka. Hasan Al-Banna mengorganisasikan sekelompok mahasiswa Al-Azhar dan Darul Ulum untuk melakukan hubungan langsung dengan manusia di tempat-tempat umum seperti warung kopi dan tempat-tempat berkumpulnya para pemuda, sehingga sejak kemunculannya pertama kali Ikhwanul Muslimin melakukan dakwah terhadap orang-orang awam. Bahkan dakwahnya sampai pada akar rumput masyarakat, sehingga dakwah Ikhwan kemudian tersebar keseluruh penjuru negeri Mesir, lalu ke negeri-negeri Arab, kemudian ke negeri-negeri Islam pada umumnya, dan akhirnya menyentuh seluruh penjuru negeri. Pola interaksi gerakan Ikhwan dengan pemerintahan di banyak negara muncul dalam format yang berbeda-beda. Ada yang muncul dalam bentuk organisasi massa, lembaga sosial, hingga ada yang lahir dalam bentuk partai politik, dengan atau tanpa nama Ikhwanul Muslimin itu sendiri. 6 Hasan Al-Banna memberitahu para pendengarnya bahwa Islam adalah cara hidup total dan jika dihayati sepenuh hati, akan mengembalikan dinamisme dan energi yang pernah dimiliki kaum Muslimin pada masa silam, yaitu sebelum mereka dijajah orang-orang Asing. Hasan Al-Banna juga senantiasa mengarahkan pemikiran-pemkiran Politik Al-Ikhwan Al-Muslimin, baik dalam skala regional maupun internasional, sehingga dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun mampu mempersatukan bangsa-bangsa Arab dan dunia Islam. Ikhwanul Muslimin menunjukan bahwa Ikhwan juga memasuki wilayah perpolitikan praktis, meski banyak organisasi Islam lainnya menilai politik sangat tidak layak dicampuri oleh organisasi-organisasi Islam. Ikhwan tidak hanya bicara tentang agama, mereka tidak mengenal dikotomi agama dan dunia, tapi juga bicara tentang politik, budaya, militer, dan hal keduniaan lainnya. Di dalam risalah dakwahnya Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa salah satu point penting karakter dakwah Ikhwan, adalah Hai’ah Siyasiyah; karena secara internal mereka menuntut perbaikkan pemerintahan, meluruskan persepsi yang terkait dengan hubungan umat Islam terhadap bangsa-bangsa lain diluar negeri, mentarbiyah bangsa agar mempunyai kebanggaan dan kemuliaan, serta menjaga nasionalisme sebisa mungkin. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pantas kiranya pemikiranpemikiran Hasan Al-Banna diangkat dalam suatu penelitian yang berjudul Pengaruh Pemikiran Politik Hasan Al-Banna terhadap Pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. B.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang kehidupan Hasan Al-Banna dalam bidang pendidikan, sosial, keagamaan dan politik ? 2. Hal-hal apa sajakah yang mempengarui pemikiran politik Hasan Al-Banna ? 3. Bagaimana penerapan pemikiran politik Hasan Al-Banna dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin ? 7 4. Bagaimana pengaruh pemikiran Hasan Al-Banna terhadap Negara-negara Islam ? 5. Bagaimana sikap Inggris terhadap pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mendiskripsikan: 1. Latar belakang kehidupan Hasan Al-Banna dalam bidang pendidikan, sosial, keagamaan dan politik. 2. Hal-hal yang mempengarui pemikiran politik Hasan Al-Banna 3. Penerapan pemikiran politik Hasan Al-Banna dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. 4. Pengaruh pemikiran Hasan Al-Banna terhadap Negara-negara Islam 5. Sikap Negara-negara barat (Inggris) terhadap pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis: Memperkaya khasanah pengetahuan sejarah terutama dalam bidang sejarah Islam dan khususnya sejarah Mesir(sejarah Ikhwanul Muslimin) Menambah wawasan dan Ilmu pengetahuan bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. 2. Manfaat Teoritis: Menambah Khasanah penelitian pada Program Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Memberikan sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan dibidang Sejarah, khususnya sejarah pergerakan di Mesir. 8 BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR A. Landasan Teori 1. Politik Kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan kebutuhan asasi bagi umat manusia, di manapun. Manusia diciptakan dengan membawa karakter dan fitroh sosial, dalam kehidupan bermasyarakat ini umat manusia dapat menjalani kehidupannya dengan saling tolong menolong, hanya saja, sering dalam kenyataan muncul praktek-praktek moral yang tidak terpuji, yang menjadikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini tidak sebagaimana yang diharapkan. Ada praktek perebutan kekuasaan, penindasan terhadap rakyat, persaingan antara para pemimpin, dan kebijakan-kebijakan yang sering kali merugikan rakyat kecil. Hal tersebut menyebabkan adanya sebagian masyarakat mempunyai pandangan negatif dalam memaknai politik dan kehidupan bernegara. Ada sekelompok masyarakat yang memaknai politik sebagai aktivitas yang menyentuh berbagai sektor kehidupan untuk mengantarkan rakyat menju kekesejahteraan hidup, sedangkan sebagian masyarakat yang lain melihat politik sebagai aktivitas yang khusus berhubungan dengan kekuatan dan kekuasaan, dan ternyata makna kedua lebih banyak dianut, setidaknya dalam praktek nyata berpolitik. Persaingan elit politik dalam perebutan pengaruh dan kekuasaan jauh lebih banyak terlihat dari pada usaha serius untuk mengurus rakyat yang telah mengamanahkan kepemimpinannya kepada mereka. Sejalan dengan pembahasan tersebut, akan dibahas lebih lanjut untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai apa yang dimaksud politik. a. Pengertian Politik Politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tatacara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain. (W.J.S. Poerwadarminta, 1991: 763) 9 Politik berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berhubungan dengan polis atau negara kota seperti politeia (konstitusi), polites (warga negara), dan politicos (negarawan). Seluruh kata tersebut mengandung arti yang menyangkut kepentingan umum dan berlawanan dengan kepentingan pribadi atau milik pribadi. Dengan demikian, persoalan pokok dari politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum (Sills, 1972: 319). Syahrial Syarbaini, A. Rahman dan Monang Djihado (2002: 15) memandang politik sebagai: Usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan Segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dan masyarakat Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum Konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggapnya penting. Ramlan Surbakti dalam Syahrial Syarbaini, A. Rahman dan Monang Djihado (2002: 15) mendefinisikan politik sebagai interaksi antara pemerinah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Sedangkan menurut Maswadi Rauf, seorang Guru Besar FISIP UI menyatakan kata politik mengacu kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan kedudukan yang dipegang oleh para pejabat pemerintah. Lebih lanjut Maswadi Rauf menjelaskan titik perhatian politik disini adalah pejabat pemerintah. Pejabat pemerintah adalah sekelompok orang yang memegang kekuasaan untuk mengatur masyarakat secara keseluruhan dan dalam usaha mengatur masyarakat, berhak menggunakan kekerasan fisik. (Maswadi Rauf, 2001:20). Malik bin Nabi mendeifinisikan politik sebagai aktivitas yang terorganisir dan efektif yang dilakukan oleh umat secara keseluruhan yang sejalan 10 dengan idiologi mayoritas rakyatnya, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan saling bantu antara pemerintah dengan individu dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya agar politik memberikan pengaruh yang konkret pada realitas sosial, yang membawa perubahan bingkai kultur dalam sebuah orientasi yang akan menumbuhkan kecerdasan bangsa secara harmonis. Artinya, politik pada akhirnya adalah “penciptaan kultur”. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, 2000: 71) Abdul Hamid Al-Ghozali mendefinisikan Politik sebagai seni pemerintahan dan pegendalian negara, atau kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan, atau seni pergantian kepemimpinan dan kompromi. (Abdul Hamid AlGhozali, 2001: 187) Ibnu Rajab menfinisikan Politik sebagai segala sesuatu yang secara konkret sanggup mendekatkan manusia kepada kebajikan dan menjauhkannya dari kerusakan, kendati hal tersebut tidak diajarkan Rosulullah, tidak ada wahyu yang turun tentangnya. Pendeknya, jalan apapun yang dapat mewujudkan keadilan, maka ia adalah bagian dari agama (Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, 2003: 39). Nur Mahmudi Isma’il, seorang tokoh politik Indonesia yang membawa isu moral dalam pentas politik maupun berpartai dalam pernyataannya yang dimuat dalam Forum keadilan, edisi 28 Desember 1998 menyatakan, dunia politik sangat erat kaitannya dengan sistem kepartaian maupun sistem kekuasaan, ketika membahas masalah politik Nur mahmudi Isma’il menekankan masalah moralitas politik maupun kepartaian dalam mendapatkan pengaruh atau kekuasaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara Illahi maupun manusiawi, untuk membangun moralitas politik tersebut, dia mengeluarkan semacam petunjuk bagaimana seseorang harus berpolitik secara santun. Seruan tersebut dikeluarkan pada tanggal 22 Agustus 1998 dan bernomor: D-01/DPP-PK/SE/VIII/’98 . Intinya seruan tersebut berisi cara berpolitik yang dianggapnya santun dan selalu bersandarkan ajaran-ajaran Islam, hal tersebut juga menggariskan beberapa obsesi-obsesinya serta tantangan yang harus dihadapinya. Baginya obsesi itu tidak lain adalah mewujudkan kepribadian muslim dan masyarakat muslim yang sesuai dengan ajaran Islam. 11 Hal yang senada juga diungkap oleh Didin Hafidhuddin ketika diwawancari Tim Jurnal Politik “AKSES” Vol. 1, No. 2, Edisi Maret 2001 menyatakan: sebagai ajaran yang komprehensif dan universal, tentu saja ajaran Islampun mencakup berbagai persoalan yang terkait dengan dunia politik. Politik dalam pandangan Islam sebagai pengendali kehidupan. Bagaimana sistem pemerintahan dan ketatanagaraan berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang universal dan penuh rahmat serta kedamaian. Kalaupun dengan berpolitik kaum muslimin meraih kekuasaan, maka kekuasaan dijadikan alat untuk mempermudah serta memperkuat Islamisasi kehidupan. Oleh karena itu tujuan berpolitik dalam Islam demikian mulia, maka para politisinyapun harus berperilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Cara-cara yang fair, elegan, demokratis, mengedepankan argumentasi dalam bermusyawarah, jauh dari kekerasan dan cara-cara kotor, harus dimiliki para politisi Islam. (AKSES, 2001: 142). Hasan Al-Banna (Mursyid ‘Am pertama yang sekaligus pendiri Ikhwanul Muslimin) pernah memaparkan konsepsi politik ketika berbicara mengenai hubungan antara Islam dengan politik dan sikap seorang muslim terhadapnya. Hasan Al-Banna mendefinisikan pengertian politik dengan pernyataannya, sebagai berikut: Politik adalah hal yang memikirkan tentang persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat, ia memiliki dua sisi intenal dan eksternal. Sisi internal politik adalah: mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsifungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritik jika melakukan kekeliruaan. Sedang yang dimaksud sisi eksternal politik adalah memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya ditengah-tengah bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya. Dengan jelas Hasan Al-Banna mengaitkan antara Aqidah dan aktivitas politik. Selanjutnya Al-Banna berkata: sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politikus, mempunyai pandangan jauh kedepan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, 2000: 71-72). 12 b. Sistem Politik Cheppy Haricahyono (1986: 104) mendefinisikan sitem sebagai sesuatu yang berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu kesatuan, dalam suatu sistem paling tidak menunjukkan tiga kondisi, yaitu: adanya faktor-faktor yang dihubungkan, adanya hubungan yang tidak terpisah diantara faktor-faktor tersebut, sehingga membentuk suatu kesatuan. Dalam suatu sistem terkadang masih terdapat beberapa sistem lain yang lebih kecil tetapi masih terdapat dalam lingkup sistem tersebut. Sistem-sitem yang lebih kecil tersebut disebut secondary sistem atau sub-sistem. Gabriel A. Almond dalam Cheppy Haricahyono (1986: 104) menyatakan bahwa sistem politik pada hakikatnya adalah melaksanakan fungsi-fungsi mempertahankan kesatuan masyarakat, menyesuaikan dan mengubah unsur pertautan hubungan, agama, dan sistem ekonomi, melindungi sistem politik dari ancaman luar dan mengembangkannya kemasyarakat lain. David Easton dalam Cheppy Haricahyono (1986: 106) mengemukakan, didalam suatu sistem politik setidaknya terdiri tiga unsur, yaitu: Fungsi integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat, baik kedalam maupun keluar. Penempatan nilai-nilai dalam masyarakat berdasarkan kewenangan Penggunaan kewenagan atau kekuasaan, baik secara sah ataupun tidak. David Easton juga mengungkapkan tentang ciri-ciri sistem politik, yang terdiri: Adanya unit-unit yang membentuk sistem itu, sekaligus batas-batas pengaruhnya. Adanya input dan output dalam sistem yang tercermin dalam keputusankeputusan yang dibuat (output) dan proses pembuatan keputusan (input) Adanya jenis dan tingkat diferensiasi dalam sistem Adanya tingkat integrasi sistem politik yang mencerminkan pula tingkat efisiensinya. 13 Menurut Gabriel A. Almond Ciri-ciri sistem politik antara lain: Semua sistem politik, termasuk yang paling sederhana sekalipun, mempunyai kebudayaan politik. ini berarti bahwa yang paling sederhana sekalipun akan mempunyai struktur politik seperti yang ada di dalam masyarakat yang paling kompleks. Semua sistem politik menjalankan fungsi yang sama walaupun tingkatannya berbeda-beda karena adanya perbedaan struktur. Semua struktur politik, bagaimanapun akan dispesialisasikan, baik yang ada dalam masyarakat primitif maupun masyarakat modern, lebih lagi dalam rangka melaksanakan berbagai fungsi Semua sistem politik ditinjau dari segi kebudayaan adalah sistem campuran. Cheppy Haricahyono (1986: 104) Cheppy Haricahyono (1986: 1108) mengemukakan yang menjadi titik berat suatu sistem politik adalah dalam aspek dinamikanya, dimana dinamika politik disandarkan pada negara dalam keadaannya yang bergerak sebagai suatu lembaga atau asosiasi yang mempengaruhi kehidupan politik, selain itu aspek dinamika inipun melihat adanya pengaruh kekuatan-kekuatan sosial-politik dan ekonomi yang dominan dalam kehidupan politik masyarakat. c. Partisipasi Politik Miriam Budiarjo (1981: 1) mendefinisikan Partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih kepemimpinan negara secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu pertai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Herbert Mc Closky dalam Miriam Budiarjo (1981: 1) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat dengan cara mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. 14 Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Miriam Budiarjo (1981: 1) partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal dan sedikit banyak langsung untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara atau tindakan-tindakan yang diambil dari para penguasa tersebut. Samuel P. Huntington dan joan M. Nelson dalam Miriam Budiarjo (1981: 1) mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang bermaksud mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah. Partisipasi tersebut bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Menurut Myron Weiner yang dikutip Syahrial Syarbaini, A. Rahman dan Monang Djihado terdapat lima penyebab timbulnya kearah partisipasi lebih luas dalam proses politik yaitu sebagai berikut: Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam bidang pola partisipasi politik. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar kebangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang. Konflik antar kelompok politik. jika timbul konflik antar elit maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membentu memperluas hak pilih rakyat. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. (Syahrial Syarbaini, A. Rahman dan Monang Djihado, 2002: 15) Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep pertisipasi politik mempunyai bermacam-macam bentuk dan intensitas. Biasanya diadakan 15 perbedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan itensitasnya. Menurut pengamatan jumlah orang yang mengikuti kegiatan yang tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan tidak atas prakarsa sendiri, seperti dalam memberikan suara dalam pemilu, besar sekali. Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Sahat Simamora mengemukakan seseorang berpeluang untuk berpartisipasi politik jika terdapat 6 kriteria, yaitu: Menghargai hasil yang harus dicapai Menganggap bahwa semua alternatifnya sangat penting. Yakin dapat bertindak untuk merubah keadaan Percaya hasilnya tidak akan memuaskan jika tidak bertindak Mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan masalah yang dihadapinya Harus mengatasi masalah yang ada. (Sahat Simamora, 1985: 163). 2. Organisasi a. Definisi Organisasi Dalam kamus besar Bahasa Indonesia W. J. S Poerwadarminto (1990: 803) mendefinidikan organisasi kesatuan/ susunan yang terdiri atas bagian-bagian dalam perkumpulan dalam tujuan tertentu atau kelompok kerja sama antara orangorang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. J. Winardi mengemukakan bahwa definisi organisasi dilandasi bebarapa hal yang merupakan ciri umum semua organisasi, yaitu: Sebuah organisasi senantiasa mencakup sejumlah orang. Orang-orang tersebut terlibat satu sama yang lain dengan satu atau lain cara (mereka semua berinteraksi). Interaksi tersebut selalu dapat diatur atau diterangkan dengan jenis struktur tertentu. Masing-masing orang didalam suatu oraganisasi memiliki sasaran-sasaran pribadi, dimana beberapa diantaranya merupakan alasan-alasan bagi tindakantindakan yang dilakukannya, dengan mengikuti organisasi maka akan lebih mudah untuk mencapai sasaran-sasarannya. 16 J. Winardi mendefinisikan organisasi merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beraneka macam elemen atau subsistem, dimana manusia merupkan subsistem terpenting dan masing-masing subsistem saling berinteraksi dalam upaya mencapai sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan organisasi yang bersangkutan. (J. Winardi, 2003: 15). Gibson dalam J. Winardi mendefinisikan organisasi sebagai kesatuan yang terdiri dari orang-orang atau kelompok dan memungkinkan masyarakat mencapai hasil tertentu, yang tidak mungkin dilaksanakan oleh individu-individu yang bertindak secara sendiri. (J. Winardi, 2003: 13). Victor A. Thompson dalam Nicholas Hendry (1996: 71) mendefinisikan organisasi sebagai integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah spesialis yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Sedangkan E. Wight Bakke menyatakan organisasi adalah suatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang bermacam-macam dan terorganisasi berupa pemanfaatan, perubahan, dan penyatuan segenap sumbersumber manusia, materi, modal, gagasan, dan sumber alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan manusia dan sumber-sumber yang lain, dalam lingkungan tertentu. (Nicholas Hendry, 1996: 71). Veithzal Rivai mendefinisikan organisasi sebagai suatu wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri. Organisasi merupakan suatu unit yang terkoordinasi yang terdiri setidaknya dua orang, berfungsi mencapai suatu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran. ( Veithzal Rivai, 2002: 188). Kartini kartono (2005: 12) mendefinisikan organisasi sebagai sistem kegiatan yang terokoordinasi dari kelompok yang bekerja sama mengarah pada tujuan bersama dibawah kewenangan dan kepemimpinan. Kartini kartono juga membedakan organisasi menjadi dua yaitu organisasi formal dan organisasi informal. Organisasi formal adalah organisasi yang ada diatas kertas dengan relasi-relasi logis berdasarkan peraturan, konvensi dan kebijakan atau policy dari organisasi, dengan pembagian tugas perjalanan dan 17 hirarki kerja. Organisasi formal juga disebut pula sebagai kelompok sekunder, merupakan bentuk hirarki resmi atau telah ditentukan diatas ketas. Maka menjadi kewajiban para pemimpin ialah untuk memahami bagaimana fungsi dan beroperasinya organisasi formal tersebut dalam kenyataan dan prakteknya. Organisasi informal ( kelompok primer atau faca to face group) ialah sistem interelasi manusiawi berdasarkan rasa suka dan tidak suka dengan alam psikis yang intim, kontak muka, berhadapan muka serta moral tinggi. ( Kartini kartono, 2005: 120-122). Ciri-ciri khas organisasi formal antara lain: Bersifat impersonal dan zakelik-objektif. Kedudukan setiap individu berdasarkan fungsi masing-masing didalam suatu sistem hirarki, dengan tugas pekerjaan masing-masing. Ada relasi formal berlandaskan alasan-alasan idiil dan konvensi atau status resmi dalam organisasi. Suasana kerja dan komunikasi berlandaskan pada kompetisi atau persaingan dan efisiensi. Pada organisasi formal orang melakukan usaha kooperatif mencapai tujuan atau sasaran bersama, dibantu macam-macam sumber dan sarana. Berlangsunglah suatu kerjasama disertai kegiatam memimpin-dipimpin, ketertiban pengaturan, atau regulasi, pembagian tugas pekerjaan dan tatakerja yang teratur. Maka usaha mengatur dan mengurus semua sumber materiil dan sumber daya manusia itu disebut manajemen. Manajemen dan pengorganisasian bisa berdaya guna dan sukses dalam mencapai sasarannya, perlu dikelola secara makro lewat kepemimpinan. Maka pengorganisasian itu dapat dijabarkan menjadi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: Pengurusan semua sumber dan tenaga manusia Berlandaskan pada konsepsi dan tata kerja yang jelas. Disertai penentuan fungsi masing-masing individu, tanggungjawab, antar komunikasi, superfisi dan sanksi. berupa: tugas, 18 Integritas dari fungsi-fungsi menjadi satu unit sistem, yaitu bagian yang satu menunjang dan bergandengan dengan bagian yang lainnya. ( Kartini kartono, 2005: 120). Cirri-ciri khas organisasi informal anatara lain ialah: Terintegrasi dengan baik Diluar kelompok primer atau informal ini ini terdapat kelompok yang lebih besar, yaitu kelompok formal atau sekunder, dimana kelompok primer atau informal menjadi bagian dari padanya. Setiap anggota secara individual mengadakan interelasi berupa jaringan perikatan pribadi dan personal disertai komuikasi yang akrap. Terdapat iklim praktis “suka tidak suka” atau “acuh dan tak acuh”. Sedikit atau banyak, setiap anggota mempunyai sikap yang pasti terhadap anggota-aggota lainnya, dan dimuati afeksi serta emosi-emosi tertentu. ( Kartini kartono, 2005:122). G. March dan Herbert A. Simon dalam Nicholas Hendry (1996: 71) menyebutkan beberapa karekteristik yang pasti dari suatu organisasi adalah bahwa organisasi: Punya maksud tertentu, dan merupakan kumpulan berbagai macam manusia Punya hubungan sekunder (impersonal) Punya tujuan yang khusus dan terbatas Punya kegiatan kerjasama pendukung Terintegrasi dalam sistem sosial yang lebih luas Menghasilkan barang atau jasa untuk lingkungannya Sangat terpengaruh atas perubahan lingkungan b. Dasar-dasar struktur organisasi Perkembangan dalam berbagai bidang pada zaman modern menjadikan organisasi-organisasi mengadakan perubahan ataupun pembaharuan terhadap bentuk struktur organisasinya. Berbagai desain struktur organisasi yang dimaksudkan untuk memberikan solusi yang paling mendukung dan 19 mempermudah secara efekif dan efisien bagi anggotanya untuk melakukan kegiatan organisasinya dalam mencapai sasaran organisasinya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia. yang dimaksud struktur adalah: cara sesuatu yang disusun atau dibangun berdasarkan pola tertentu. (W. J. S Poerwadarminto,1990: 1092). Veithzal Rivai mendefinisikan struktur organisasi sebagai pola interaksi yang ditetapkan dalam suatu organisasi dan mengkoordinasikan teknologi dan manusia dalam organisasi atau pola formal mengelompokkan orang dan pekerjaan, pola formal aktivitas dan hubungan antara berbagai subunit organisasi yang sering digambarkan melalui bagan organisasi. (Veithzal Rivai, 2002: 408). Struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan secara formal. Ada enam hal yang perlu diperhatikan dalam merancang struktur organisasi, yaitu: Spesifikasi kerja Hakikat spesifikasi kerja adalah dilakukan oleh satu individu, lebih baik seluruh pekerjaan itu dipilah-pilah menjadi sejumlah langkah, dengan tiap langkah diselesaikan oleh seorang individu yang berlainan. Pada hakikatnya individu-individu berspesifikasi dalam mengerjakan bagian dari suatu kegiatan. Departementaliisasi Pengelompokan pekerjaan berdasarkan fungsi yang dijalankannya. Keunggulan tipe ini adalah memperoleh efisiensi dengan mengumpulkan spesialis yang sama. Cara lain untuk melakkan depertementaliisasi adalah didasarkan tipe produk yang dihasilkan. Rantai komando Rantai komando adalah garis tidak putus dari wewenang yang menjulur dari puncak organisasi ke eselon bawah dan memperjelas pertanggung jawaban. Rentang kendali Bawahan dapat diarahkan secara efektif dan efisien seorang pemimpin, hal ini mempunyai arti penting bagi sebuah organisasi karena rentang kendali menentukan banyaknya tingkat dan pemimpin yang harus dimiliki oleh suatu organisasi. 20 Sentralisasi dan Desentralisasi Dalam beberapa organisasi pemimpin puncak mengambil semua keputusan. Pemimpin tingkat bawah (bidang) semata-mata hanya melaksanakan petunjukpetunjuk pemimpin pusat. Pada keadaan yang lain ada organisasi dimana pengambilan keputusan ditekakan pada pemimpin tingkat bawah (bidang). Dalam suatu organisasi pola desentralisasi tindakkan dapat diambil lebih cepat untuk memecahkan masalah, lebih banyak orang yang mau memberikan masukan dan makin kecil kemungkinan bawahan merasa diasingkan dari pemimpin. Formalisasi Mengacu kepada sampai tingkat mana pekerjaan dalam organisasi itu dibakukan. Jika suatu pekerjaan sangat diformalkan, maka pelaksanaan pekerjaan itu akan mempunyai kuantitas keleluasaan yang minimum mengenai apa yang harus dikerjakan, dan bagaimana seharusnya ia harus mengerjakannya. (Veithzal Rivai, 2002: 418). 3. Kepemimpinan a. Definisi Kepemimpinan Dalam bahasa Inggris pemimpin disebut juga leader. Kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadership. Perkataan khilafah serupa dengan makna dari kata Amir yang dalam bentuk jamaknya umara, yang disebut juga penguasa. Kedua kata tersebut didalam Bahasa Indonesia disebut pemimpin, yang cenderung berkonotasi sebagai pemimpin formal. Konotasi tersebut terlihat pada bidang yang dijelajahi didalam tugas pokoknya yang menyentuh tidak saja aspek-aspek keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat, tapi juga aspek-aspek pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan kepemimpinan secara etimilogi (asal kata) menurut kamus besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar “pimpin”, dengan mendapat awalan me- menjadi “memimpin” maka berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang disamakan pengertiannya adalah mengetuai atau mengepalai, memandu, dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari 21 supaya dapat mengerjakannya sendiri. Dari segi etimologis kepemimpinan dapat diidentifikasi adanya beberapa gejala, antara lain: 1. Dalam kepemimpinan selalu berhadapan dua belah pihak. Pihak yang pertama disebut pemimpin dan pihak lainnya adalah orang-orang yang dipimpin. Jumlah pemimpin selalu lebih sedikit dari pada jumlah orang-orang yang dipimpinnya. 2. Kepemimpinan merupakan gejala sosial, yang berlangsung sebagai interaksi antar manusia didalam kelompoknya, baik berupa kelompok besar yang melibatkan jumlah orang banyak, maupun kelompok kecil dengan jumlah orang yang terlibat didalamnya sedikit. 3. Kepemimpinan sebagai perihal memimpin berisi kegiatan menuntun, membimbing, memandu, menunjukan jalan, mengepalai, dan melatih. Beberapa pakar telah memberikan definisi yang berbeda tentang kepemimpinan, antara lain: Kepemimpinan adalah: kegiatan untuk mempengarui orang-orang agar supaya bekerja dengan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama (Terry, 1954) Veithzal Rivai mendefinisikan kepemimpinan dengan proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya atau sering diartikan pula sebagai kekuatan untuk menggerakan dan mempengaruhi orang. (Veithzal Rivai, 2002: 2). Menurut Imad Abdurrahim Az-Zaghul, definisi kepemimpinan adalah: 1. Seni memeberi pengaruh dalam perilaku manusia guna merealisasikan tugas dan sasaran tugas dengan cara yang diinginkan oleh pemimpin. 2. Perilaku kolektif yang dipraktekkan oleh pemimpin suatu kelompok dan yang memberi efek balik sisi-sisi interaksi pada situasi memegang kepemimpinan, dan tujuan mendorong individu-individu untuk merealisasikan sasaran yang dibebankan kepada kelompok dengan efektifitas yang lebih besar diikuti dengan menjaga kerelaan dan keutuhan individu dalam kelompok. 22 3. Usaha kolektif yang dikerahkan seorang pemimpin dalam rangka mempengaruhi orang-orang untuk mendorong mereka bekerja sama demi merealisasikan sasaran yang mereka inginkan. 4. Sarana dan teknik kolektif yang bertugas memberi kepuasan, keyakinan dan kerjasama, atau bersandar kepada kekuasaan dan memegang pemerintahan, serta anjuran untuk mendorong sekelompok individu merealisasikan sasaransasaran penting dengan cara yang efektif. (Imad Abdurrahim Az-Zaghul, 2004: 42) Sedangkan Ralph M. Stogdill menghimpun sebelas kelompok dari kata kepemimpinan, yaitu sebagai berikut: 1. Kepemimpinan sebagai pusat proses kelompok. 2. Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berakibat. 3. Kepemimpinan sebagai seni menciptakan kesepakatan. 4. Kepemimpinan sebagai kemampuan mempengarui. 5. Kepemimpinan sebagai tindakan perilaku. 6. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk bujukan. 7. Kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuasaan. 8. Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan. 9. Kepemimpinan sebagai hasil interaksi. 10. Kepemimpinan sebagai pemahaman peranan. 11. Kepemimpinan sebagai awal struktur b. Ciri dan karakter Kepemimpinan Banyak para pemikir, filosof, dan pengamat yang memperhatikan masalah kepemimpinan dari segi penjelasan karakter yang harus dimiliki oleh pemimpin dan norma-norma yang harus dipegang. Beberapa pakar yang telah memperhatikan masalah kepemimpinan dari segi penjelasan karakter, antara lain: Hadari Nawawi menjelaskan mengenai kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin antara lain : 1. Mencintai kebenaran dan hanya takut kepada Allah. 2. Dapat dipercaya, bersedia dan mampu mempercayai orang lain. 23 3. Memiliki kemampuan dalam bidangnya dan berpandangan luas didasari kecerdasan ( Intelegensi) yang memadai. 4. Senang bergaul, ramah tamah, suka menolong, dan memberi petunjuk serta terbuka pada kritik orang lain. 5. Memiliki semangat untuk maju, semangat pengabdian dan kesetiakawanan serta kreaktif dan penuh inisiatif. 6. Bertanggung jawab dalam mengambil keputusan dan konsekwen, disiplin seta bijaksana dalam melaksanakannya. 7. Aktif memelihara kesehatan jasmani dan rohani. Menurut Imad Abdurrahim Az-Zaghul yang mengutip pendapat AlFarabi berpendapat dalam kitabnya yang terkenal “Pendapat Penduduk Madinah yang mulia” pentingnya terpenuhi sejumlah karakter ciri-ciri berikut pada pemimpin, atau yang memegang kekuasaan dan kepemimpinan. Ciri-ciri tersebut adalah: 1. Sehat seluruh anggota badan 2. Memiliki kemampuan memahami, menghafal dan menyusun konsep 3. Cerdik dan pandai 4. Baik tutur bahasa dan fasih dalam menyampaikan yang diinginkannya 5. Mempunyai kemauan dan keinginan untuk belajar 6. Jujur, amanah, dan istiqomah 7. Tidak berlebihan dalam kesenangan 8. Menghormati diri sendiri dan menjaga kehormatan 9. Bersikap adil dan menjauhi kedzoliman 10. Seimbang dalam menjalankan teknik kepemimpinan 11. Mempenyai tekat dan kemauan yang kuat 12. Berani dan ulet c. Klasifikasi pemimpin berdasar teknik kepemimpinannya Imad Abdurrahim Az-Zaghul mengklasifikasikan pemimpin yang didasarkan pada teknik kepeimpinanya menjadi tiga corak, yaitu: 1. Kepemimpinan Demokrasi 24 Kepemimpinan seperti ini bersandar pada prinsip musyawarah dan membuat orang lain percaya. Caranya yaitu degan menarik mereka melalui penyebaran suatu ide dan membuat mereka percaya pada hasil akhir dari apa yang akan dilaksanakan adalah untuk kepentingan mereka. Pemimpin yang menggunakan teknik kepemimpinan seperti ini mewajibkan bawahannya tidak dengan intruksi atau keputusan kecuali setelah didiskusikan dengan anggota kelompok. Corak kepemimpinan seperti ini mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain: Senang bermusyawarah, memiliki kemampuan meyakinkan orang lain, selalu memberikan motivasi, dan menerima masukan. Memfokuskan kekuasaan ditangan kelompok Kelompok dapat menerima dan percaya terhadap apa yang disampaikan pemimpin. Mengambil keputusan dengan menyertakan partisipasi kelompok. Setiap anggota merasakan pentingnya eksistensi pemimpin tersebut dalam kelompok. Memotivasi kebebasan mengungkapkan pendapat dan selalu bekerja dengan segenap kemampuan dan keahlian. Bekerja merealisasikan sasaran-sasaran yang dicanangkan dengan usaha yang maksimal. Anggota merasakan bahwa perealisasian sasaran umum akan membantu mereka dalam merealisasikan sasaran khusus. Fleksibel dalam mengambil keputusan dan kembali merumuskan serta merevisinya kembali. Berusaha menguatkan hubungan antara pemimpin dengan pengikut dan antar pengikut itu sendiri. Bekerja untuk menghilangkan atau mengurangi tajamnya persetruan antar unit-unit dan bagian-bagian. Meningkatkan loyalitas individu kepada kelompoknya dan bersikeras untuk mempertahankan keberadaan dan kesinambungannya. 25 Meninggikan standar spirit individu dan mendorong mereka untuk selalu bekerja dan berproduksi. 2. Kepemimpinan Diktator Gaya kepemimpinan ini adalah absolut, menekan dan sentralistik. Sebab, biasanya pemimpin tipe ini suka menakut-nakuti pengikutnya dengan cara mengancam akan menggunakan hal-hal yang mencelakakanmereka. Misalnya, menjatuhkan denda, menyita harta kekayaan, dan pencekalan. Pemimpin seperti ini biasanya juga menggunakan cara yang menarik simpati namun penuh muslihat. Misalnya; dengan memberikan bonus, memberi janji-janji kosong, menyuap, propaganda, pemutarbalikan fakta, dan penipuan. Jadi, pemimpin tipe demikian biasanya memonopoli kekuasaan pengambilan keputusan berdasarkan siasat yang mengedepankan kekuatan, kontainmen (mencegah penyebaran oposisi), dan memutarbalikan fakta, dimana para pengikutnya bahwa pemimpin mereka dipihak mereka dalam mengambil keputusan. Padahal, sebelumnya pemimpin mereka telah merencanakan keputusan tersebut terlebih dahulu. Kepemimpinan tipe ini mempunyai sejumlah karakteristik sebagai berikut: Kekuasaan terpusat ditangan pemimpin Pemimpin mengandalkan kekuatannya dari kekuasaan yang diserahkan kepadanya, bukan dari kelompok Pemimpin mengambil keputusan sendiri tanpa mempedulikan kelompok Membuat ketergantungan kelompok kepada pemimpin Seluruh perhatian hanya tertuju pada kepribadian pemimpin Mengenyampingkan peranan kelompok Melemahkan semangat kerja sama dan kesatuan antar anggota kelompok Lemahnya spirit dan suport anggota kelompok Munculnya persetruan antar bidang yang bermacam-macam Mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum 3. Kepemimpinan Apatis 26 Ciri-ciri pemimpin bertipe demikian, ketika ia menyerahkan tanggungjawab pengambilan keputusan dan pelaksanaanya kepada para pengikutnya tanpa ada intervensi dari dirinya, baik berupa masukan maupun nasihat. Karakteristik paling menonjol dari pemimpin jenis ini adalah sikapnya yang lamban, suka meremehkan, mempermudah, dan tidak peduli. Hal ini tentu memberi efek balik pada sikap anggota kelompok. Loyalitas mereka pada tugasnya akan menurun, spiritnya berkurang, lari dari tanggungjawab, dan tingkat produktifitasnya merosot baik dari segi kwalitas maupun kwantitas. Pada macam kepemimpinan seperti ini, pemimpin tidak melakukan kerja keras yang dilakukan pada manejeman diskusi pengaturan jalannya pekerjaan. Kepemimpinan seperti ini akan memacu pemikiran dangkal anggota dan menciptakan rasa permusuhan serta kebencian diantara mereka. kepemimpinan seperti ini dikenal dengan kepemimpinan tanpa intervensi. (Imad Abdurrahim Az-Zaghul, 2004: 58-62). d. Faktor-faktor yang mempengaruhi dipilihnya seorang pemimpin Dalam memilih seorang pemimpin dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ada yang berkaitan dengan kepribadian dan pengikut atau anggota serta situasi lingkunagan sekitar. Berikut ini adalah pemaparan tentang faktorfaktor tersebut: Pertama; Faktor-faktor yang berkenaan dengan pemimpin, yang mencakup: a. Tingkat kepercayaan diri terhadap dirinya sendiri dan orang lain; jika seorang pemimpin telah percaya terhadap kemampuannya dalam mengemban tanggungjawab dan telah memiliki rasa percaya terhadap orang lain, maka hal ini akan mendorongnya menjadi seorang pemimpin yang menerapkan sistem demokratis. Dilain pihak, apabila seorang pemimpin kurang percaya kepada orang lain dan bimbang akan kemampuannya dalam mengemban tanggungjawabnya maka hal ini akan mendorongnya menerapkan sisten kepemimpinan absolut. b. Adanya nilai-nilai positif pada diri pengikut yang dipercaya oleh pemimpin; keyakinan seorang pemimpin akan pentingnya mengikut sertakan para 27 pengikut dalam membuat dan mengambil keputusan, akan mendorongnya untuk selalu meminta masukan terhadap orang lain dan mendiskusikan serta merapatkan masalah-masalah yang penting bagi kelompok, hal ini akan membuatnya menggunakan cara-cara yang demokratis dalam mengatur dan mengarahkan anggota. Sebaliknya, pemimpin yang percaya kepada orang lain, umumnya mengenyampingkan mereka dalam proses pengambilan keputuan dan cenderung menggunakan cara absolut dalam memimpin. c. Kecendrungan filosofis pemimpin; cara kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin bersandar kepada kecendrungan pemimpin terhadap corak kepemimpinan yang merealisasikan ketenangan dan keridhoan bagi dirinya. Maka, pemimpin yang cenderung apada filsafat absolut, umumnya menggunakan corak pemaksaaan dalam memimpin. Sedangkan pemimpin yang senang bekerja sama secara kelompok akan menggunakan cara-cara demokrasi. d. Keseimbangan emosi; pemimpin yang emosi dan pembawaanya stabil, umumnya konsisten dalam mengikuti cara kepemimpinan tertentu. Sementara itu, seorang pemimpin yang memiliki temperamen umumnya mempunyai ciri peragu dan tidak stabil, akibatnya ia tidak akan konsisten pada cara memimpin yang tetap. Kedua; Faktor-faktor yang berkaitan dengan anggota atau pengikut Karakter para anggota atau pegikut memberi pengaruh besar dalam menentukan corak kepemimpinan yang dipilih oleh pemimpin dalam siasat dan menejemen mereka. Kecendrungan kepada kebebasan dan pengembanan tanggung jawab dalam mengambil keputusan pada para pengikut akan mendorong pemimpin merujuk kepada mereka untuk mendiskusikan keputusan-keputusan dan mengikut sertakan mereka dalam membuatnya. Sebaliknya meragukan dan meremehkan para pengikut/ anggota serta kecenderungan mengandalkannya terkadang akan memperkuat penggunan-penggunan cara absolut. Perkiraan para pengikut juga memainkan peran yang menonjol dalam menentukan corak kepemimpinan, dimana biasanya pemimpin berusaha merevisi kembali corak perilakunya berdasarkan perkiraan para pengikut seputar apa yang mungkin dapat dikerjakan oleh pemimpin. 28 Ketiga; Faktor-faktor yang berhubungan degan kondisi lingkungan Faktor ini berhubungan dengan lingkungan kerja, peraturan yang terdapat pada lembaga atau kelompok serta budaya yang terdapat didalamnya. Seorang pemimpin tidak dapat menyimpang dari metode kepemimpinan yang telah dianggap baik oleh masyarakat, sebab hal tersebut akan menimbulkan banyak masalah, demikian pula dengan karakter sistem, ia akan berpengaruh pada cara memimpin, cara pembagian peran, pemabagian kerja, pengambilan keputusan, dan penyerahan kekuasaan. Jadi, pada sistem vertikal umumnya kekuasaan terpusat ditangan sejumlah orang yang terbatas, dimana mereka mengendalikan kekuasaan tersebut terpusat. Sedangkan pada sistem horizontal terdapat standar yang lebih rendah. Tentusaja hal ini akan mendorong terjadinya pembgian kekuasaan kepada para pengikut dan penggunaan cara-cara yang demokratis dalam menejemen kepemimpinan. Besar atau kecilnya posisi lembaga secara geografis juga berperan dalam menentukan cara memimpin. Jadi setiap kali bertambah besar lembaga dan bertambah luas posisi geografisnya, maka bertambahpula kesempatan penyerahan kekuasaan kepada para pengikut dan memungkinkan mereka utuk ikut serta dalam pengambilan kputusan. Keempat; Faktor-faktor lain Situasi dan kondisi yang dihadapi pemimpin; jarang pemimpin yang mengikut sertakan pengikutnya dalam kondisi yang sangat sulit dan berada diluar jangkauan kapasitas mereka. Faktor masa; terkadang seorang pemimpin harus mengambil keputusan secara cepat dan tegas disebabkan adanya beberapa tekanan dan kondisi darurat, dimana ia tidak mungkin megikut sertakan anak buahnya dalam mengambil keputusan. Faktor budaya, kondisi ekonomi, dan teknologi; faktor-faktor tersebut mempegaruhi kepemimpinan karena akan membentuk tekanan yang mendorong penggunaan cara yang sesuai dengan tabiat budaya dan sejalan dengan kondisi ekonomi serta perkembangan teknologi. (Imad Abdurrahim Az-Zaghul, 2004: 62-65). 29 e. Beberapa cara menjadi pemimpin Ada banyak cara yang dapat mengantarkan seseorang untuk samapai kepada pusat kekuasaan (kepemimpinan). Diantara cara-cara tersebut, yaitu: 1. Adanya sifat-sifat menonjol pada pribadi sesorang Sifat yang menonjol yang dimiliki sesorang tersbut seperti; pandai, cerdas, berkemampuan untuk mempengaruhi, kemampuan membuat oranglain percaya, kecendrungan pada kekuasaan, berjiwa petualang, dan pesona pribadi pada saat lingkungan mendukung dan memungkinkan untuk dipimpinnya. Intinya, pemimpin menyandarkan kekuatannya dari karakter pribadinya dan kemampuan dalam mempengaruhi. 2. Melaui cara diangkkat Seseorang yang mempunyai sifat-sifat dan keahlian tertentu dipilih oleh elit kekuasaan untuk menduduki suatu jabatan kepemimpinan. Kekuatan pemimpin seperti ini terletak pada penguasa yang memberikan jabatan kepadanya, dan hubungan-hubungan yang ada anatara pemimpin dan yang dipimpin. 3. Melalui cara pemilihan Seseorang berhasil mencapai tingkat kepemimpinan setelah ia mencalonkan diri dan dipilih oleh anggota kelompok. dalam kondisi normal yang tidak ada pengaruh apaun terhadap angota, umumnya akan terpilih orang-orang yang memliki karakter dan keahlian tertentu yag menempatkan mereka pada posisi tersebut. Dan ini yang terjadi pada pemilihan umum yang demokratis seperti pemilihan kepala negara atau dewan. 4. Dengan cara merebut kekuasaan atau kudeta. Hal ini dapat terjadi jika sebagian orang menggunakan kekuatannya yang mengandalakan dukungan masa atau dukungan harta, atau sumber kekuatan lain yang dapat mempengaruhi masa agar memilihnya untuk menjadi pemimpin atau memegang jabatan tertentu. Cara mencari pengaruh itu sendiri bentuknya bermacam-macam. Ada yang melalui bujuk rayu, suap, ancaman ataupun dengan cara pemalsuan suara. (Imad Abdurrahim Az-Zaghul, 2004: 53-54). 30 4. Teori Konflik a. Pengertian konflik Pengalaman umum yang diteguhkan oleh kesaksian sejarah menunjukan bahwa relasi sosial yang ditandai dengan kompetisi yang tidak dikendalikan dapat berkembang menjadi oposisi atau penentangan. Jika oposisi menegang tajam maka akan terjadi konflik. Kata konflik beraal dari kata latin confligere yang berarti “saling memukul”. Dalam pengertian sosiologis konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial dimana dua orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. (Hendropuspito, 1989: 247). Dalam kamus besar Bahasa Indonesia W. J. S Poerwadarminto (1990: 45) mendefinisikan konflik dengan percekcokan, perselisihan, pertentangan yang terjadi pada satu tokoh atau lebih. Konflik dapat terjadi karena ketidak sesuaian ide atau ketidak cocokan suatu paham atau kepentingan. Bila konflik terjadi masing-masing pihak berusaha memenangkannya. Menurut K.J Veeger (1989: 211) yang mengutip pendapat Lewis A. Coser konflik adalah: perseliihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojolkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka. Lebih lanjut Coser menyatakan bahwa konflik atau perselisihan dapat berlangsung antara individu-individu, kumpulan-kumpulan (collectivities), atau antara individu dengan kumpulan. Abu Ahmadi mendefinisikan konflik sebagai usaha yang disengaja untuk menentang, melawan atau memaksa kehendak terhadap orang lain. (Abu Ahmadi, 1975: 93). Coser dalam Astrid S. Susanto Sunario mendefiisikan konflik sebagai; Bentuk sosialisasi dalam masyarakat dengan asumsi bahwa tidak ada kelompok yang selalu dalam keadaan harmoni, atau selalu terdapat faktor-faktor positif dan negatif yang membangun relasi kelompok. pada drajat tertentu konflik sangat 31 esensial dalam membentuk kelompok dan mempertahankan eksistensi kelompok. (Astrid S. Susanto Sunario,1999: 9). Sedangkan menurut Clinton F. Fink dalam Kartini kartono (1989: 17) mendefinisikan konflik dengan: 1. Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonitis berkaitan dengan tujuan-tuujuan yang tidak bisa disesuaikan, interes-interes ekslusif dan tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan strukturstruktur nilai yang berbeda. 2. Konflik adalah interaksi yang antagonistis, mencakup tingkahlaku lahiriyah yang nampak jelas, mulai dari bentuk perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru-hara, makar, gerilya, perang dan lain-lain. (Kartini kartono, 1989: 17). b. Sebab-sebab konflik Menurut Soerjana Soekanto penyebab terjadinya konflik antara lain : 1. Perbedaan antara individu-individu atau kelompok perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan suatu konflik diantara mereka. 2. Perbedaan kebudayaan Perbedaan kepribadian dari orang-perorang yang dipengarui kebuyaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta kepribadian tersebut. Orang secara sadar atau tidak sadar, sedikit ataupun banyak akan terpengaruh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian kelompoknya, selanjutnya keadaan tersebut akan memicu terjadinya pertentangan. 3. Perbedaan kepentingan Perbedaan kepentingan antar individu atau antar kelompok baik itu berwujud kepentingan politik, ekoomi, sosial dan yang lainnya dapat pula menjadi sumber konflik. 4. Perubahan Sosial Perubahan sosial yang berlangsung akan mengubah nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Hal ini juga akan memicu terjadinya konflik, karena 32 perubahan sosial tersebut akan mengakibatkan perbedaan pendirian. (Soerjana Soekanto, 1982: 107-108). Sedangkan menurut Veithzal Rivai sumber-sumber terjadinya konflik dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu: 1. Biososial Para pakar menejemen menempatkan frustrsi-agresi sebagai sumber komflik. Berdasarkan pendekatan ini frustrasi sering menghasilkan agresi yang mengarah pada terjadinya konflik frustasi juga dihasilkan dari kecenderungan ekspektasi pencapaian yang lebih dari yang seharusnya. 2. Keprbadian dan interaksi Kepribadian yang suka menghasud (abrasif), gangguan psikologis, kemiskinan, ketrampilan interpersonal, kejengkelan, persaingan (rivalitas), perbedaan gaya interaksi, dan ketidaksederajatan hubungan. 3. Struktural Kekuasaan, status, dan kelas sosial merupakan hal-hal yang berpotensi menjadi konflik. 4. Budaya dan idiologi Intensitas konflik dari sumber ini sering disebabkan dari perbedaan politik, sosial, agama, dan budaya. Konflik ini juga timbul diantara masyarakat karena perbedaan sistem nilai. 5. Konvergensi (gabungan) Dalam situasi tertentu sumber-sumber konflik itu menjadi satu, sehingga menimbulkan kompleksitas konflik. (Veithzal Rivai, 2002: 165). c. Cara menyelesaikan konflik Cara penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yaitu: konsolidasi, mediasi, arbitrasi, koersi atau paksaan, dan detente. Urutan tersebut berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni dengan cara yang lebih mudah atau tidak formal lebih dahulu, kemudian cara resmi atau formal jika cara yang pertama tidak membawa hasil. 33 1. Kosolidasi Konsolidasi baerasal dari kata latin Conciliatio atau perdamaian, yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses ini pihak-pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan terhadap pihak ketiga, dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas, ia hanya memberi pertimabangan-pertimbangan yang dianggapnya baik oleh kedua belah pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketannya. Langkah-langkah untuk berdamai diberikan oleh pihak ketiga, tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak-pihak yang bersengketa. 2. Mediasi Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan konflik degan menggunakan seorang perantara (mediator). Fungsi mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk mneghentikan perselisihan. 3. Arbitrasi Arbitrasi dari bahasa Latin arbitrium, artinya melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat antara dua pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila ada salah satu pihak yang tidak menerima keputusan maka ia dapat naik banding kepengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi internasional seperti PBB. 4. Paksaan (coercion) Paksaan ialah suatu cara penyelesaian pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik ataupun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang bisa menggunakan paksaan adalah piak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah atau damai yang harus diterima pihak yang lemah. 34 5. Detente Detente berasal dari bahasa Prancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang antara kedua belah pihak yang bersengketa. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkah-langkah mencapai perdamaian, jadi dalam hal ini belum ada penyelesaian definitive, belum ada pihak yang menyatakan kalah atau menang. Dalam praktek detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-masing, perang fisik diganti dengan perang syaraf. (Hendropuspito, 1989: 250-252). 35 B. Kerangka berfikir Pemikiran politik Hasan Al-Banna Negara Mesir Intervensi Inggris Ikhwanul Muslimin Internal Ikhwan Pemikiran /fikroh dakwah Ikhwan Kewajiban dan Syarat anggota / kaderisasi Struktur Organisasi Dalam negeri Luar negeri Sikap terhadap UUD Konvensional Sikap terhadap penjajahan Inggris Konsepsi Nasionalisme Sikap terhadap Zionisme Konsepsi negara dan pemerintahan Pembelaan terhadap negara Islam yang terjajah Sistim kekuasaan Persatuan Arab Rukun ba’iat kepartaian dan pemilihan umum Pembekuan gerakkan Ikhwan Keterangan: Hasan Al-Banna dilahirkan di desa Mahmudiyah, kawasan Buhairoh, Mesir pada tahun 1906, ia mempunyai bakat akademik dan leadership yang cemerlang. Semenjak masa mudanya Hasan Al-Banna sering terpilih untuk 36 menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Pada usia 21 tahun, Hasan menamatkan studinya di Darul ‘ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma’iliyah. Hasan Al-Banna sangat prihatin dengan kelakuan Inggris yang memperbudak bangsanya. Masa itu adalah sebuah masa dimana umat Islam mengalami keguncangan hebat, kekhilafahan Utsmaniyah (di Turki) sebagai pengayom umat Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan, umat Islam mengalami kebingungan. Sementara itu kaum penjajah mulai menanamkan pengaruh dan kekuasaannya atas negara-negara yang dahulunya merupakan negara fasal kekhilafahan Utsmani. Pada saat itu pula, Mesir ditetapkan termasuk dalam wilayah kekuasaan imperium Inggris. Maka sejak saat itu Inggris menancapkan kekuasaannya pada Negeri Mesir, menguasai setiap sistem kehidupan masyarakat Mesir. Kekuasaan Inggris atas Mesir makin bertambah kuat dengan adanya dukungan sebagian pemimpin. Tentara Mesir dibawah pengaruh militer Inggris, demikian pula dengan kepolisian Mesir. Inggris juga menguasai Terusan Suez dan Bank Nasional yang dikenal dengan monopoli ekonomi. Bahkan Inggris juga mempumpunyai hak mengintervensi dalam penetapan hukum Mesir. Melihat kondisi tersebut tokoh-tokoh Islam dan para ulama berjuang untuk mengembalikan khilafah Islamiyah kedalam kehidupan, meskipun pada akhirnya dari para ulama sendiri terjadi perbedaan pendapat mengenai keberadaan khilafah dan politik Islam. Ada golongan ulama yang menganggap bahwa menegakkan sistem khilafah dan mengangkat imam dikalangan umat adalah perkara yang diwajibkan agama dan berpandangan bahwa kondisi umat Islam tidak akan baik tanpa kepemimpinan. Namun ada juga ulama yang tidak menyetujuinya. Hasan Al-Banna adalah salah satu dari ulama-ulama yang setuju dengan adanya kekhilafahan dan politik Islam, Hasan Al-Banna bependapat bahwa Islam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik sedangkan kekuasaan atau kedaulatan tertinggi hanya ditangan Allah dan umat Islam hanyalah pelaksana kekuasaan 37 Allah atau kholifah (wakil) Allah dibumi, serta sistem politik Islam ialah sistem politik yang universal. Hasan Al-Banna juga berpendapat bahwa keberadaan khilafah sangat penting bagi kaum muslimin, hal tersebut diungkapkan dengan stetmennya, “AlIkhwan Al-Muslimun berkeyakinan bahwa khilafah adalah simbol persatuan Islam sekaligus lambang persaudaraan antara berbagai negara Islam. Khilafah adalah sebuah syi’ar Islam yang harus dipikirkan keadannya serta diperhatikan oleh kaum muslimin. Khilafah banyak sekali berhubungan dengan hukum-hukum dalam ajaran Islam. Ditahun 1928 bersama enam orang temannya, yaitu: Hafidz Abdul Hamid, Ahmad Al-Hashari, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz, dan Zaki Al-Maghribi. Hasan Al-Banna mendirikan Organisasi perasaudaraan muslim dengan nama Ikhwanul Muslimin atau persaudaraan Muslim di kota Isma’iliyah kemudian Hasan Al-Banna menjadi mursyid Ikhwanul Muslimin yang pertama. Organisasi Ikhwanul Muslimain diawali dengan aktivitas yang dilakukan Hasan Al-Banna dengan berkunjung dikedai-kedai kopi untuk menyampaikan ceramah-ceramah keislaman, yang lama kelamaan menarik minat banyak orang, hingga akhirnya datang enam orang yang disebut diatas menemui Hasan AlBanna dan kemudian bersama-sama membentuk Ikhwanul Muslimin, adapun tujuan didirikannya organisasi Ikhwan antara lain adalah untuk membangun pribadi, keluarga, dan masyarakat yang bermoral dan berpegang teguh pada ajaran Islam, memperbaiki negara, memerdekakan negara dari penjajahan asing, mengembalikan eksistensi umat Islam, dan menyebarluaskan ajaran Islam keseluruh penjuru dunia. Dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi maka didalam organisasi Ikhwan diterapkan kebijakan-kebijakan. Diantara kebijakan tersebut antara lain: kebijakan yang berlakukan di kalangan internal Ikhwan, terdiri dari; struktur organisasi Ikhwan, rukun ba’iat, kewajiban dan syarat keanggotaan. Kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan didalam negeri, antara lain; sikap Ikhwan terhadap Undang-Undang konvensional, konsepsi nasionalis, konsepsi negara dan 38 pemerintahan menurut Ikhwan, sikap Ikhwan terhadap sistem kekuasaan, kepartaian dan pemilihan umum. Kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan diluar negeri, antara lain; sikap terhadap Yahudi, dan pembelaan Ikhwan terhadap negara-negara Islam yang terjajah. Pada tahun 1932 Hasan Al-Banna pindah ke Kairo yang diikuti oleh perpindahan pusat pergerakan Ikhwanul Muslimin dari Ismailiyah ke Kairo. Ikhwanul Muslimin kemudian mengalami perkembangan yang sangat pesat di bidang pendidikan, ekonomi, militer, dan politik. Di tahun 1946-1947 Ikhwanul Muslimin bersama-sama elemen-elemen nasionalis melalui gerakan mahasiswanya melakukan gerakan-gerakan aktif untuk menentang penjajahan Inggris atas Mesir, baik itu melalui demo-demo mahasiswa, menyurati para tokoh masyarakat, pemerintahan dan raja, bahkan sampai mengirim utusan yang berbicara di dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Aktivitas Ikhwanul Muslimin tersebut ternyata menimbulkan pertentangan yang tajam antara pemerintah dengan organisasi tersebut. Pertentangan ini terjadi terutama disebabkan sikap Ikhwan yang menentang penjajahan Inggris dan menuntut pemerintah untuk segera memerdekakan diri, tetapi hal tersebut ditolak pemerintah Mesir yang saat itu masih berbentuk kerajaan. Pertentangan itu berlanjut dengan dibekukannya Ikwanul Muslimin oleh pemerintahan Muhammad Fahmi Naqrasyi dengan persetujuan raja Faruq dan penyitaan seluruh harta kekayaan serta penangkapan terhadap tokoh-tokohnya. Hal ini terjadi mulai tanggal 8 November 1948. Rangkaian pertentangan tersebut berlanjut dengan terbunuhnya Fahmi Naqrasyi pada bulan Desember 1948. Dan Hasan Al-Banna terbunuh secara misterius pada tanggal 12 Februari 1949. 39 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan teknis studi pustaka. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti melakukan studi tentang bukubuku, literatur, dan majalah-majalah adapun tempat-tempat yang digunakan untuk meneliti antara lain: 1. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret 2. Perpustakaan Fakultas Universitas Sebelas Maret 3. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret 4. Perpustakaan Fakultas Sastra jurusan Sejarah Universitas Sebelas Maret 5. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret 6. Perpustakaan Jamaah Nurul Huda Unit Kegiatan Mahasiswa Islam Universitas Sebelas Maret ( JN UKMI UNS ). 7. Perpustakaan Islam Surakarta 8. Perpustakaan Muhammadiyah Surakarta 9. Perpustakaan masjid Al-Hudha Baturetno, Wonogiri 10. Buku-buku koleksi pribadi /perpustakaan pribadi 2. Waktu penelitian Waktu penelitian selama 6 bulan, sejak bulan Mei 2006, yaitu sejak mengajukan proposal hingga bulan Oktober 2006, yaitu selesainya skripsi ini untuk layak diujikan. B. Metode Penelitian Penelitian ilmiah, metode memegang peranan yang sangat penting terhadap keberhasilan penelitian yang dilaksanakan sebab berhasil tidaknya tujuan yang akan dicapai dari penelitian tersebut tergantung dari penggunaan metodenya. Pemilihan penggunaan metode dalam penelitian perlu disesuaikan dengan objek dan tujuan yang diteliti. 40 Kamus Besar Bahasa Indonesia W. J. S Poerwadarminto (1990: 740) menjelaskan bahwa metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuatu sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang yang ditentukan. Metode menyangkut masalah-masalah kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmiah yang bersangkutan. Dalam usaha mendapatkan data yang diperlukan pada suatu penelitian, maka harus menggunakan metode yang tepat dengan sifat dan tujuan penelitian itu sendiri. Dalam penelitian ilmiah, peranan metode penelitian sangat penting karena yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Metode harus disesuaikan dengan obyek yang akan diteliti. Dalam hal ini metode yang dipilih dengan mempertahankan kesesuaian dengan obyek yang diteliti, bukan sebaliknya (Koentjaraningrat,1986:7). Menurut Isjwara (1982: 16) yang dimaksud dengan metode adalah prosedur yang melalui beberapa tingkatan penyelidikan untuk membantu ilmu mendapatkan kebenaran yang objektif. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa metode adalah suatu prosedur, teknik atau cara yang sistematis dalam penyelidikan suatu ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek atau bahan-bahan yang diteliti. Dalam pengertian tersebut terkandung urutan langkah sebelum penelitian dilaksanakan. Menurt Gilbert J. Garraghan (dalam Dudung Abdurrahman, 1993 : 43) metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Senada dengan pengertian ini, Louis Gottchalk (1983: 32) menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Sedangkan (Sartono kartodirjo, 1982: 19) mendefinisikan metode sejarah adalah: suatu tulisan yang tidak terlalu bebas dalam mengekspresikan diri, terikat pada fakta-fakta dan bagaimana fakta-fakta itu sebenarnya terjadi sehingga untuk merangkai fakta-fakta itu diperlukan kemampuan yang logis dan imajinatif. 41 Dari beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa metode sejarah adalah kegiatan yang dilakukan seorang sejarawan untuk menyajikan suatu sajian historiografi. Kegiatan tersebut berupa pengumpulan data, menguji data secara kritis hingga penyajian dalam bentuk historiografi. Berdasarkan penjelasan tentang metode sejarah diatas, maka peneliti menggunakan metode sejarah dengan alasan bahwa penelitian ini bertujuan untuk merekunstruksi peristiwa masa lampau yang terjadi di Mesir yaitu tentang pemikiran politik Hasan Al-Banna dan hal-hal yang melatar belakangi pemikiran tersebut, sedangkan objek penelitian dan waktu terjadinya fenomena yang diteliti yaitu kondisi Mesir ketika dipengaruhi pemikiran politik Hasan Al-Banna yang terjadi pada masa hidup Hasan Al-Banna(1906-1949). C. Sumber data Pemahaman mengenai berbagai macam sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi penelitian karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh. Data tidak akan bisa diperoleh tanpa adanya sumber data. Betapapun menariknya suatu permasalahan atau topik penelitian, bila sumber datanya tidak tersedia maka ia tidak akan punya arti karena tidak akan diteliti dan dipahami. Sumber data yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai bahan penulisan.Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh (Suharsimi Arikunto,1986:102) Sumber sejarah seringkali disebut juga “data sejarah”. Perkataan “data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “datum” (bahasa latin) yang berarti “pemberitaan” (Kuntowijoyo, 1995: 94). Menurut Louis Gotschalk (1985) sumber dibagi menjadi dua yaitu sumber tertulis dan tidak tertulis. Sumber tertulis dibagi lagi menjadi dua yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seseorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan pancaindera yang lain hadir pada peristiwa yang di ceritakan. Sedangkan sumber 42 tertulis sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan kesaksian pandangan mata yaitu seorang yang tidak hadir dalam peristiwa sejarah yang dikisahkan. Dengan demikian sumber primer harus dihasilkan oleh seorang yang sejaman dengan peristiwa yang dikisahkan. Sumber tidak tertulis yaitu sumber sejarah yang berupa benda-banda peninggalan sejarah, pelaku sejarah dan tradisi masyarakat yang merupakan peninggalan dari masa lampau. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sekunder saja kumpulan surat, makalah, transkrip pidato Hasan Al-Banna yang telah dibukukan, catatan pengalaman Abas Asisi dan beberapa ulama lain ketika bergabung dalam Ikhwanul Muslimin yang telah ditranslit ke dalam Bahasa Indonesia, berupa buku-buku yang relevan yang ditulis oleh beberapa sarjana barat, tentang pendapat mereka mengenai pergerakan Ikhwanul Muslimim dan beberapa karya ilmiyah yang telah ditulis beberapa mahasiswa dan yang telah dibukukan. D.Teknik pengumpulan data Kegiatan pengumpulan data merupakan bagian yang sangat penting dalam setiap bentuk penelitian. Menurut Moh. Nazir (1988: 211) pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data. Berdasarkan sumber sejarah yang dipergunakan ini, maka dalam melakukan pengumpulan data dipergunakan studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca buku-buku literatur, majalah-majalah, surat kabar, dokumen, dan artikel-artikel dari internet. Adapun teknik studi pustaka dilaksanakan dengan sistem katalog. Louis Gottchalk (1985: 46) menyatakan laboratorium yang lazim bagi seorang sejarawan adalah perpustakaan dan alat yang paling bermanfaat bagi seorang sejarawan adalah katalogus. Sistem ini mencatat beberapa aspek yang merupakan 43 hal terpenting dan berkaitan erat dengan sebuah buku ataupun artikel yang digunakan oleh seorang sejarawan antara lain mencakup: nama pengarang, tahun terbit, judul buku atau artikel, kota buku tersebut terbit, dan penerbit dari buku tersebut, sehingga nantinya seoarang sejarawan yang menggunakan sebuah buku, majalah ataupun artikel tidak akan mengalami kesulitan ketika harus mencantumkan daftar referensinya. Dudung Abdurahman (1999: 56) yang mengutip pendapat Florence MA. Hilbish, mengemukakan bahwa catatan dalam pengumpulan data ada tiga bentuk, yaitu 1). Quation (kutipan langsung), 2). Citation atau Inderect quation (kutipan tidak langsung), 3) Summary (ringkasan) dan comment (komentar). Sedangkan menurut Koetjaraningrat (1986) ada empat keuntungan yang diperoleh jika proses pengumpulan data dilakukan degan menggunakan teknik studi pustaka yaitu: (1) merupakan kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan teori, (2) memperdalam pengetahuan tentang masalah yang akan diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga akan mempermudah dalam perumusan (4) menghimpun dari pengulangan dalam penelitian. Untuk memperlancar membuat catatan maka langkah awal yang dilakukan yaitu dengan mengetahui tempat dokumen berada, memahami bibliografi karya terdahulu yang relevan, menguasai bahasa dokumen. Langkah selanjutnya yaitu mengadakan pencatatan dengan cara: 1. Pencatatan dengan menggunakan catatan kecil atau memo. Hal ini akan membantu dalam mengumpulkan sumber tanpa harus membaca semua isi buku yang digunakan. Teknik ini dilakukan dengan sistem pengkodean pengarang buku dengan urutan permasalahan, konsep, teori dari data yang ditulis. 2. Pencatatan dengan menggunakan buku. Dalam kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang sesuai dengan tema penelitian, kemudian diklasifikasikan menurut data yang diperlukan sampai terkumpul menjadi bahan analisa penelitan yang disajikan dalam historiografi. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan pencatatan yang menggunakan langkah kedua yaitu pencatatan dengan menggunakan buku-buku, literatur, dan majalah. 44 E. Teknik Analisis Data Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis sejarah yang objektif, sehingga unsur-unsur subjektifitas dalam menganalisis data sejarah dapat terkurangi. Dalam proses analisis data harus selalu memperhatikan unsur-unsur yang relevan dalam sumber data sejarah dan kredibelitas data. Suatu unsur dapat disebut kredibel apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa yang benarbenar terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelitasnya berdasarkan penyelidikan kritis terhadap sumber data sejarah yang ada. (Louis Gottschalk, 1986: 95). Adapun analisis data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah analisis data historis, yaitu suatu analisis yang menggunakan ketajaman dalam melakukan kritik dan interprestasi data sejarah untuk mencari kepastian sebab akibat bagi kejadian-kejadian dimasa lampau dan perkembangannya. Sartono Kartodirjo (1982:239). F. Prosedur Penelitian Penelitian merupakan suatu proses, jadi harus ada tahapan-tahapan atau langkah-langkah yang harus dilakukan dari awal sampai akhir penelitian. Adapun proses dalam penelitian ini terdiri empat langkah, sesuai dengan metode yang digunakan penulis yaitu metode sejarah. yang dimaksud empat tahapan tersebut adalah sebagai berikut: Heuristik Kritik sumber Interpretasi Historiograf i Fakta sejarah Keterangan: 1. Heuristik Tahapan pertama yang harus dilakukan dalam penulisan sejarah yaitu heuristik. Heuristik adalah kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa lampau 45 yang merupakan peristiwa sejarah. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis baik itu sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber primer berupa Al-Qur’an, Hadits, risalah, makalah serta transkrip pidato Hasan Al-Banna yang sudah di kumpumpulkan atau di bukukan dan ditranslit dalam bahasa Indonesia, serta keterangan beberapa ulama yang pernah bergabung dalam organisasi Ikhwanul Muslimin pada masa Al-Banna. Sedangkan sumber sekunder berupa buku-buku literatur yang diperoleh dari beberapa perpustakaan diantaranya Perpustakaan Program Sejarah Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan FISIP Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Sastra Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret. 2. Kritik Setelah data tersebut terkumpul, tahapan yang kedua adalah kritik, yaitu dengan memeriksa keaslian sumber (Otentisitas) dan kesahihan sumber (kredibilitas). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kritik sumber secara intern dan ekstern. Adapun yang dimaksud dengan kritik intern dan ekstern adalah sebagai berikut: a. Kritik Intern yaitu Kritik yang dilakukan untuk mengevaluasi sumber yang digunakan dari “dalam” reliabilitas dan kredibilitas isi sumber-sumber sejarah (Hellius Sjamsudin, 1996: 118). Dalam kritik intern, hal yang dilakukan adalah menyelidiki isi dari sumber sejarah. Kritik intern dilakukan untuk mencari kesahihan. Kritik ini digunakan untuk membuktikan apakah kesaksian yang diberikan oleh sumber dapat dipercaya atau tidak. Hal ini bisa dibuktikan apabila pemberi kesaksian mampu dan berkeinginan menceritakan kebenaran atau dengan akurat melaporkan secara terperinci mengenai hal yang diteliti untuk mendapatkan pendukung terhadap suatu fakta (Louis Gootschalk, 1975: 102). Ktitik intern dugunakan untuk menilai dan menguji kredibilitas suatu sumber dari segi isi fakta dan ceritanya. Tahapan-tahapan kritik interen yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 46 Menentukan sifat-sifat sumber. Sebagai contoh keterangan resmi Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin atau tokoh Ikhwan lain mengenai sejarah dan perjalanan Ikhwan. Studi komparatif berbagai sumber. Langkah ini ditempuh untuk menyoroti pengarang atau pembuat sumber, yang memberikan informasi mengenai masa lampau yang ingin diketahui dan harus ada kepastian bahwa kesaksiannya dapat dipercaya. b. Kritik Ekstern Kritik ekstern atau kritik luar yaitu dengan cara melakukan pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sebuah sumber sejarah. Fungsi kritik ekstern adalah untuk memeriksa sumber sejarah dan menjaga sebisa mungkin otentitas (keaslian suatu sumber) dan intergitas (keutuhan) sumber itu. Dalam kritik ekstern dilakukan pengujian sumber dari aspek luarnya seperti pengarang dan asal sumber. Dalam penelitian ini, kririk ekstern dilakukan dengan menyeleksi bentuk sumber data tertulis berupa buku-buku literatur dan ensiklopedia. Aspek fisik kedua sumber dilihat dari pengarang, tahun, dan tempat penerbitan sumber, gaya bahasa dan ejaan yang digunakan. Tahapan-tahapan kritik eksteren yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1 Membandingkan antara buku atau literatur satu dengan yang lain sehingga keotentikan atau kemurnian sumber dapat dipertanggungjawabkan. 2 Mencari keaslian dan keutuhan sumber yakni dengan menggunakan sumber yang berupa kumpulan surat, makalah, transkrip pidato Hasan Al-Banna, catatan pengalaman Abas Asisi dan beberapa tokoh Ikhwan lain ketika bergabung dalam Ikhwanul Muslimin yang telah dibukukan oleh tokohtokoh Ikhwan masa kini. 3. Interpretasi Setelah data terseleksi dan memenuhi syarat kevaliditasannya, maka langkah selanjutnya yaitu interpretasi data yang dilakukan dengan menafsirkan, memberikan makna dari fakta yang diperoleh serta menghubungkannya di antara sumber satu dengan sumber lainnya, yang dikaitkan dengan teori maupun konsep 47 yang mendukungnya sehingga muncul fakta sejarah. Penafsiran fakta harus bersifat logis terhadap keseluruhan konteks peristiwa, sehingga berbagai fakta yang lepas satu sama lainnya dapat disusun dan dihubungkan menjadi satu kesatuan yang masuk akal. Interpretasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah kegiatan dalam metode sejarah untuk menghubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga dapat diketahui mengenai hal-hal yang melatarbelakangi ide atau gagasan-gagasan Hasan Al-Banna tentang politik, sebab akibat berdirinya Ikhwanul Muslimin, serta pengruh gagasan Hasan Al-Banna tersebut terhadap kiprah pergerakan Ikhwan. Fakta - fakta tersebut kemudian ditafsirkan, diberi makna, dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami dan sesuai dengan pemikiran yang relevan, logis dan berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. 4. Historiografi Historiografi merupakan bagian terakhir dan klimaks dari serangkkaian kegiatan penelitian sejarah. Langkah ini dapat ditempuh sesudah menentukan masalah apa yang diteliti, dan diusahakan sumber-sumber yang lolos dari seleksi (lolos kritik), serta ditafsirkan dengan pertimbangan-pertimbangan logis. Dari data-data yang telah diperoleh kemudian dikisahkan secara harmonis. Dalam rangka mengisahkan atau menulis sejarah dalam metodologi sejarah disebut “langkah Historiografi”. Dalam penelitian ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul “Pengaruh Pemikiran Politik Hasan Al-Banna Dalam Pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir”. 48 BAB. IV PEMBAHASAN MASALAH A. Latar belakang Kehidupan Hasan Al-Banna 1. Latar belakang Pendidikan Hasan Al-Banna Hasan Al-Banna dilahirkan pada bulan Oktober 1906 di Mahmudiyah, sebuah kota kecil di Propinsi Buhairah, kira-kira 9 mil dari arah barat daya kota Kairo. Ayahnya, Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna As-Sa’atiy, gelar Sa’atiy didapat lantaran pekerjaannya sebagai tukang reparasi jam. Ia adalah seorang muadzin (juru Adzan), imam dan guru mengaji di masjid kampung, alumnus AlAzhar, belajar di Al-Azhar masa Syaikh Muhammad Abduh. Ibunda Hasan Al-Banna bernama Ummu Sa’ad Ibrahim Shaqar. Orang tua Hasan menginginkan anaknya tumbuh berkembang secara Islami dan benar, serta tekun menghafal Al-Qur’an. Sehingga Hasan Al-Banna telah menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan Islam dalam usia dini. Orang tua Hasan mempercayakan kepada Syaikh Muhammad Zahran yang buta sebagai Syaikhnya pertama. (Muhammad Yusuf Khan 1991:181). Adapun jenjang pendidikan yang ditempuh Hasan Al-Banna adalah sebagai berikut: a. Madrasah Ar-Rasyad Hasan Al-Banna, anak tertua dari lima bersaudara, memulai pendidikan formal pada usia delapan tahun di sekolah Madrasah Ar-Rasyad dan menjalaninya dalam waktu empat tahun. Gurunya Syaikh Muhammad Zahran termasuk orang pertama setelah Ayahnya yang banyak mempengarui pemikiran Hasan Al-Banna. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 180). Hasan Al-Banna pernah bercerita tentang Gurunya, Syaikh Muhammad Zahran mempunyai teknik mengajar dan mendidik yang efektif dan produktif. Beliau lebih banyak bersandar pada kebersamaan hati nurani antara dirinya dengan Murid-muridnya. Beliau selalu mengevaluasi semua aktivitas Muridmuridnya secara detail dan memuaskan, dengan menaruh kepercayaan kepada mereka dan memberikan balasan (hukuman) atas tindakan buruk mereka, sebagai balasan yang mendidik dan akan membangkitkan didalam diri mereka kesenangan 49 dan kegembiraan yang meluap-luap terhadap segala kebaikan, sebagaimana mereka akan menderita dan merasakan kesedihan terhadap segala keburukan. Seringkali, hal ini beliau sampaikan dalam bentuk anekdot sindiran, ajakan yang baik dan bait-bait sya’ir. Hasan Al-Banna pernah dihadiahi sebuah Sya’ir Syaikh Zahran, ketika bliau merasa puas dengan pekerjaannya, yang berbunyi: Hasan telah memberi jawaban yang demikian bagus Kepadanya semoga Allah memberikkan keridhoan dan bimbingan Sedangkan sya’ir yang dihadiahkan untuk seorang teman Al-Banna yang jawabanya kurang memuaskan, Syaikh Muhammad Zahran menyuruhnya menuliskan dibawah nilai pelajarannya, yang berbunyi: Wahai kuda Allah, percepatlah lagi langkahmu Untuk mengambil pemuda ini, wahai kuda Allah Hasan Al-Banna dan teman-temannya merasakan adanya hubungan rukhiyah dan keterpautan antara seorang murid dengan gurunya, sehingga Siswa Madrasah Ar-Rasyad sangat mencintai Syaikh Zahran, meskipun beliau memberi bayak tugas yang melelahkan. Materi pelajaran yang diberikan di Madrasah Ar-Rasyad mempunyai kelebihan tersendiri jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah ataupun madrasah lain, disamping materi-materi pelajaran yang sudah ada saat itu juga diajarkan Hadits-hadits Nabi dengan target hafalan dan pemahaman. Setip pekan tepatnya pada hari Kamis, diakhir jam pelajaran para murid diharuskan mempelajari sebuah Hadits baru yang dijelaskan kepada mereka sampai memahaminya dan harus mengulang-ulangnya sampai hafal. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 181-182). b. Madrasah I’dadiyah Kondisi Madrasah Ar-Rasyad mengalami perubahan setelah ditinggalkan oleh pendirinya, Syaikh Muhammad Zahran. Madrasah itu diserahkan pengelolaannya kepada ustadz-ustadz lain yang kurang setara dengan Syaikh Muhammad Zahran dalam aspek kepribadian dan kapasitas keilmuannya. Hal tersebut yang menyebabkan Hasan Al-Banna berkata terusterang kepada ayahnya bahwa ia tidak mau lagi meneruskan pelajarannya di Madrasah Ar-Rasyad dan harus melanjutkan ke Madrasah I’dadiyah. Akhirnya Ayahnyapun menyetujuinya 50 dengan catatan ia harus tetap menghafal Hadits dan Al-Qur’an di rumah. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 183) Di sela-sela belajarnya di Madrasah I’dadiyah ini, Hasan Al-Banna ikut bergabung dengan organisasi anti kemaksiatan. Disamping itu ia juga menjadi ketua organisasi sekolah yang bernama Perhimpunan Akhlak Mulia (Jam’iyah AlAkhlak Al-Adabiyah), yang tujuannya untuk menghukum anggota-anggotanya atas setiap pelanggaran moral yang mereka lakukan, suatu denda pun diterapkan pada seluruh anggota yang mencaci maki saudara dan keluarga mereka, atau bersalah menurut agama, organisasi ini berada di bawah pengawasan salah seorang guru Madrasah. Hasan Al-Banna meneruskan di Madrasah ini selama dua tahun. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 184) c. Madrsah Mu’alimin Awwaliyah Hasan Al-Banna melanjutkan studinya di Madrsah Mu’alimin Awwaliyah, pada masa itu, Hasan Al-Banna memiliki agenda rutin yang hampir tidak pernah berubah kecuali ada halangan yang amat mendesak. Ia menghabiskan hari-hari sekolah di Damanhur pulang ke Mahmudiyah pada waktu Dhuhur hari kamis dan menghabiskan hari jum’at serta malam sabtu di rumah, lalu kembali lagi ke Madrasah di hari sabtu pagi untuk mengikuti pelajaran pertama tepat waktu, ia juga bekerja di pabrik jam dan perusahan penjilidan buku. Hasan AlBanna menghabiskan waktu siang di toko untuk bekerja sebagai karyawan, sedang malamnya dihabiskan untuk berdzikir bersama para Ikwan Hashafiyah. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 185). Ada dua hal yang sangat urgen dalam proses transformasi keilmuwan dan intelektual yang berpengaruh pada diri Hasan Al-Banna, kedua hal tersebut yaitu: Pertama, perpustakaan ayahnya, dorongan untuk gemar membaca dan ayahnya sering memberi hadiah kitab-kitab yang banyak berpengaruh pada dirinya, diantara kitab tersebut adalah Al-Manar Al-Muhammadiyah, karya Imam AnNabahani, Mukhtasar Al-Mawahib Ad-Diniyah, karya Imam Al-Qasthalani, da n Nur Al-Yaqin Fi Sirah Sayid Al-Mursalin, karya Imam Syaikh Al-Khudri. Sehingga Hasan Al-Banna ketika remaja telah memiliki perpustakaan pribadi. Kedua, Adanya motivasi dari para Ustadz, seperti Uastadz Abdul Aziz ‘Athiyah, 51 yang kala itu menjabat sebagai kepala Madrasah Mu’alimin, Ustadz Farhad Salim, Syaikh Abdul Fathah Abu Alam, Ustadz Haj Ali Sulaiman dan beberapa Ustadz lain. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 186). d. Universitas Darul Ulum Setelah selesai studinya di Madrsah Mu’alimin Awwaliyah Hasan AlBanna mendapat tawaran dari Dewan Pimpinan wilayah Buhairah untuk menjabat sebagai guru di Kharbata Awwaliyah, tapi Hasan Al-Banna akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya di Unversitas Darul Ulum. Pembentukan wawasan intelektual Hasan Al-Banna melewati dua fase; fase pertama adalah wawasan intelektual keagamaan yang murni dan ilmu-ilmu bahasa. Ini adalah fase sebelum masuk Darul Ulum, Wawasan intelektual agamanya mencakup Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya, juga sunnah-sunnah dan ilmu yang berhubungan dengannya. Sumber wawasannya berkembang, sehingga meliputi semua cabang ilmu, baik ilmu sejarah, geografi, politik, ilmu ekonomi, sastra, metode-metode pendidikan teoritis dan ilmu-ilmu lainnya dan itu masuk fase kedua, yaitu setelah Hasan Al-Banna masuk ke Darul Ulum. Dari semua cang ilmu tersebut Hasan tidak hanya mengambil dari satu sisi saja, tetapi Hasan Al-Banna juga mempelajari orang yang menentangnya dari berbagai sisi dan masalah khilafiyah. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 198). Awal mula kecintaan Hasan Al-Banna untuk mempelajari dan membaca buku-buku agama adalah melalui Syaikh Zahran. Sering kali Syaikh Zahran meminta Hasan Al-Banna untuk menemaninya pergi ke perpustakaan pribadinya. Hasan Al-Banna diminta Syaikh Zahran untuk membacakan beberapa persoalan dan mengevaluasinya. Ia juga sering menghadiri pertemuan-pertemuan Syaikh dengan para ulama untuk membahas dan mendiskusikan berbagai persoalan. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 198). Pada tahun terakhir studinya di Darul Ulum, kelas Al-Banna diberi tugas untuk menulis esai tentang cita-cita terbesar anda setelah menyelesaikan studi dan tunjukkan bagaimana anda akan mempersiapkan diri anda untuk mewujudkannya. Pada kesempatan itu Hasan Al-Banna menuliskan “Saya berkeyakinan bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang meraih kebahagian mereka dengan 52 membuat orang lain bahagia dan memberi bimbingan kepada mereka”. Untuk meraih tujuan ini Hasan Al-Banna menyimpulkan, dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, jalan sufisme yang lurus, keikhlasan dan aksi untuk kepentingan kemanusiaan. Kedua, jalan pendidikan dan penyuluhan, yang mirip dengan jalan yang pertama dalam hal keikhlasan dan aksi, namun berbeda dengan yang pertama karena ia menuntut interaksi dengan orang lain. (Richard Paul Mitchell 2005: 9). Akhirnya Hasan memilih pada pilihan kedua, ia memilih menjadi seorang penyuluh dan pendidik, mengabdikan dirinya. Siang hari untuk mengajar generasi muda dan malam hari untuk mengajar orang tua mereka tentang tujuan dan sumber-sumber kehidupan serta kebahagiaan mereka di dunia. (Richard Paul Mitchell 2005: 9). Hasan Al-Banna menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1927 dalam umur 21 tahun, kemdian Hasan Al-Banna mendapat tugas baru, yaitu mengajar bahasa Arab disebuah sekolah dasar zona Terusan Suez dikota Isma’iliyah. 2. Latar belakang sosial Hasan Al-Banna Hasan Al-Banna semakin tertarik mengamati fenomena sosial politik yang terjadi di masa itu, hal tersebut meningkatkan kesadaran beliau tentang kesan faham sekuler dan Barat yang telah mempengaruhi masyarakat Islam. Inilah yang menyebabkan Al-Banna begitu prihatin dengan keadaan pemuda-pemudi Islam yang semakin jauh dari ajaran Islam. Al-Banna meyakini perang peradaban dan pemikiran yang banyak mempengaruhi pemuda-pemudi adalah begitu penting untuk menyelamatkan pemuda dan masa depan bangsa dari pada serangan hebat Barat. Semasa belajar di Unversitas Darul Ulum Al-Banna menyelami hasil penulisan beberapa reformis Islam termasuk Muhammad ‘Abduh (1849-1905), yang merupakan guru ayahnya semasa di Al-Azhar. Tetapi yang paling banyak mempengaruhi pemikiran Al-Banna adalah Rashid Rida (1965-1935) yang merupakan murid Muhammad ‘Abduh. Al-Banna merupakan pembaca tetap AlManar, majalah yang diterbitkan oleh Rashid Rida dari 1898 hingga 1935. 53 Al-Banna sependapat dengan Rashid Rida mengenai semakin jauhnya nilai-nilai Islam dari masyarakat Mesir akibat intervensi barat terhadap masalahmasalah dalam negeri Mesir. Al-Banna juga percaya bahwa fenomena kejayaan Islam dapat dikembalikan dengan kembali kepada ajaran Islam yang sejati, bebas dari segala kekotoran yang melemahkan kaum muslimin. (Richard Paul Mitchell 2005: 8). Tahun 1927, saat berusia 21 tahun ia menyelesaikan studi di Unversitas Darul Ulum, kemudian ia menjadi guru bahasa Arab di sebuah sekolah rendah di Isma’iliyyah. Pada masa itu, Isma’iliyyah merupakan pusat pemerintahan Canal Zone dan menjadi pusat pejabat Suez Canal Company (SCC). Pemerintah telah menempatkan kem tentera dan kediaman bagi pekerja barat pada tempat spesial dan menjadikan pekerja serta penduduk Mesir sebagai kelas kedua. Pekerja serta penduduk Mesir mayoritas menjadi buruh kasar di perusahaan-perusahaan yang telah dikuasai Inggris. Al-Banna melihat kehadiran kuffar ke Isma’iliyyah sebagai pendudukan tentera, pengeksploitasian ekonomi dan pencemaran budaya, hal ini meningkatkan semangatnya untuk mengusir Inggris dari Mesir dan pengaruh Barat. (Muhammad Yusuf Khan 1991:85). Kondisi sosial bangsa Mesir pada awal Abad 20 bercirikan strata sosial dengan perbedaan yang mencolok diantara para warganya. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 70-78). Terdapat tiga strata sosial di Mesir, yaitu: a. Strata sosial atas Strata ini terdiri dari para tuan tanah dan perkebunan, pemilik perusahaan dan industri, pemilik bank dan lembaga-lembaga keuangan. Kelompok ini menjalani kehidupan sosialnya dengan kesenangan dan bermegah-megahan. Meraka memiliki hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya lewat jalur perkawinan dan keturunan. Mereka terpengaruhi kebudayaan barat akibat seringnya berinteraksi dengan masyarakat Eropa, baik lewat delegasi negara yang dikirim ke Eropa maupun lewat penyebaran metode-metode pengajaran di sekolah-sekolah yang meniru sistem pendidikan dan kebudayaan yang ada di Eropa. 54 Kelompok strata ini terdiri beberapa golongan sosial, yaitu: Para tuan tanah, Mereka adalah kumpulan orang yang kebanyakan membentuk partai-partai politik dan dewan konstitusi. Mereka sering menggunakan berbagai cara demi meningkatkan kepemilikan tanah ladang. Salah satu cara yang dipakai adalah dengan mencabut hak kepemilikan para petani kecil dengan memberikan harga yang tinggi, dan terkadang mereka juga menggunakan cara teror. Sehingga 0,5% dari mayoritas tuan tanah dapat menguasai antara 33,9% sampai 35,2% tanah persawahan dan ladang, dalam rentang waktu antara tahun 1919 hingga 1952. Para penguasa tanah ini kemudian meninggalkan pedesaan, lalu melakukan urbanisasi ke daerah perkotaan. Fenomena seperti ini menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan kehidupan masyarakat dipedesaan, dimana hal tersebut berimbas kepada kebutuhan hidup para petani kecil. Mereka tidak dapat mengolah harta kekayaan para tuan tanah tersebut menjadi tanah yang produktif. Akibat dari praktik politik para tuan tanah dalam memperoleh tanahtanah dengan mengabaikan kepentingan para petani kecil ini adalah mengorbankan pendapatan nasional yang amat besar, sebab para tuan tanah tadi mengeluarkan harta untuk bermewah-mewahan. Demikian kelompok strata ini menjadi faktor penghambat bagi lajunya perekonomian bangsa. Bangsa Asing, Mereka adalah orang-orang yang sebagian besar bekerja di industri-industri besar, penukaran valuta asing dan pegawai tinggi adminstrasi. Kebanyakan mereka terpisah dari penduduk Mesir, pemerintah juga memperlakukan mereka secara khusus, karena mereka memiliki kekuatan modal dan hukum. Mereka juga memiliki sekolah-sekolah khusus. b. Strata sosial menengah Strata ini terdiri dari orang-orang yang memiliki lahan skala menengah, para pedagang skala menengah, sejumlah besar cendekiawan dan para pejabat pemerintahan. Kaum sosialis menyebut mereka dengan sebutan kelompok “ borjuis kecil”. Strata ini memiliki peran kepemimpinan dalam pergerakan nasional dan pergerakan kebangkitan politik dan sosial. Kaum pelajar dan mahasiswa dari kelompok ini lebih memperhatikan permasalahan-permasalahan politik dari pada kondisi sosial mereka, kebanyakan 55 mereka berasal dari keluarga miskin yang sering mengalami kesulitan untuk menyelesaikan studi. Bahkan setelah luluspun, mereka tidak terjamin akan mendapatkan pekerjaan yang layak, hal ini disebabkan banyaknya pekerja asing diberbagai bidang pekerjaan. c. Strata sosial bawah Strata ini terdiri dari para petani dan pegawai rendah. Kehidupan strata ini begitu menyedihkan akibat ulah tuan tanah yang merampas tanah petani supaya mereka menjadi petani upahan para tuan tanah. Kehidupan miskin yang dialami strata ini merupakan gambaran mayoritas masyarakat Mesir. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 70-78). 3. Latar belakang keagamaan Hasan Al-Banna a. Hasan Al-Banna Da’I sejak kecil Semenjak kecil Hasan Al-Banna telah bergabung dalam beberapa organisasi keagamaan sekolah yang memberikan banyak pengalaman dan semakin menumbuh suburkan jiwa kepemimpinan yang ada pada diri Al-Banna. Organisasi-organisasi tersebut antara lain: Perhimpunan Akhlak Mulia Perhimpunan Akhlak Mulia diikuti Hasan Al-Banna pada masa ia masuk Madrasah I’dadiyah, semula Hasan Al-Banna menjadi salah satu anggota aktif dalam organisasi tersebut tapi tak berselang lama ia menjadi ketuanya karena prestasi dan keaktifannya. Tata tertip perhimpunan ini adalah menyerukan akhlaq mulia dan memberikan saksi kepada siapa saja yang menganiaya orang lain. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 206). Perhimpunan anti kemungkaran Aktivitas Hasan Al-Banna dan teman-temannya dalam berorganisasi yang mempunyai tujuan utama dakwah tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah atau Madrasah saja tapi juga bergerak diluar Sekolah. Hasan Al-Banna dan teman-temannya mendirikan Perhimpunan anti kemungkaran. Perhimpunan ini menyerukan untuk mengerjakan syari’ah Islam dan menjauhi semua larangannya dengan cara mengirimkan surat kepada setiap orang yang melakukan kemungkaran. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 206). 56 Tugas dari Perhimpunan tersebut dibagi-bagi diantara anggotanya, diantaranya ada yang bertugas menyiapkan teks-teks, ada yang bertugas mencetak dan menyebarkan kepada orang-orag, yang dituju dalam surat-surat ini adalah orang-orang yang sampai beritanya kepada perhimpunan bahwa mereka melakukan kemungkaran. Hasan Al-Banna pernah mengisahkan dalam bukunya yang berjudul “Muadzakirat Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah” bahwa mereka telah bersepakat untuk mendirikan perhimpunan Islamiyah yang diberinya nama Jam’iyah Mani’I AlMuharomat (Perhimpunan Anti Kemungkaran). (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 206). b. Bergabung dengan Tarekat Hashafiyah Tarekat ini berpengaruh besar dalam kehidupan Hasan Al-Banna. AlBanna biasa menghadiri pengajian yang diadakan Ikhwan Hashafiyah diantaranya adalah Hasan Hizbik yang mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin setiap sebelum sholat Fajar. Hasan Al-Banna menganggab bahwa kitab Ihya adalah sebuah buku ensiklopedi Islam. Dikemudian hari Hasan Al-Banna menjelaskan isi kitab tersebut kepada anggota-anggota organisasi Ikhwan. Melalui tarekat Al-Hashafiyah ini Al-Banna bertemu dengan Ahmad Sukri yang mendirikan organisasi sosial Hashafiyah, hubungan keduanya sangat erat. Disini Hasan juga bertemu dengan Abdul Wahab Al-Hashafi yang selalu menasihati agar menjauhi perdebatan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 221). Hasan Al-Banna terwarnai oleh metode Hashafiyah dalam melakukan tarbiyah ruhiyah. Selain mengajarkan dzikir, wirid, kajian kitab Ihya, shalat berjama’ah, puasa Senin dan Kamis serta kunjungan persaudaraan salah seorang pendidik di tarekat tersebut juga mengajak ke kuburan. Mereka berziarah kubur lalu membaca doa-doa lalu diceritakannya tentang keadaan orang-orang sholeh dengan metode yang sangat berkesan dihati. Penddik Hashafiyah tersebut juga memperlihatkan liang kubur yang tebuka dan mengingatkan bahwa kelak mereka pasti mengahiri hidupnya disana. Al-Banna mengambil manfaat dari kegiatan 57 tersebut untuk selalu berusaha mensucikan jiwa. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 223). Al-Banna berada dalam tarekat Hashafiyah sejak usia 13 ½ sampai 21 tahun, saat mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin. Penggemblengan ini berpengaruh besar dalam kepribadian spiritual dan dakwahnya yang ia jadikan salah satu aspek fundamental dakwah Ikhwan yaitu hakikat sufiyah disamping tarekat suniyah, dakwah salafiyah dan institusi politik. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 181). c. Dakwah di kedai-kedai kopi Salah satu keunikan yang dilakukan oleh Hasan Al-Banna ialah beliau memulai dakwahnya bukan di masjid kerana takut disalah artikan oleh masyarakat Isma’iliyyah sebagai gerakan tasawuf baru, tetapi ia memulai dakwah di kedai kopi. Alasan yang dikemukakan Hasan Al-Banna kepada Ikhwannya yang kurang setuju dengan cara yang ditempuhnya itu adalah karena di kedai kopi orang-orang sedang rileks dari kesibukan hariannya, mereka fresh untuk mendengar nasihat orang lain, sehingga sangat sesuai kalau berdakwah kepada mereka di saat seperti itu. (Karen Armstrong 2001: 348). Pada permulaannya, sudah pasti pemilik kafe merasa terganggu, para pengunjung kedai kopi pun merasa heran., tetapi kerena Al-Banna menyampaikan dakwahnya tidak pernah melebihi 15 menit, pada hari-hari berikutnya para pemilik kafe meminta Al-Banna supaya datang lagi, memberikan siraman rohani kepada para pengunjung kedai. Dalam 1 hari tak kurang dari 10 kedai dikunjungi Al-Banna secara bergiliran padahal jarak antara kedai satu dengan yang lain berjauhan. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 211). 4. Latar belakang Politik Hasan Al-Banna a. Tumbuhnya seruan untuk kebebasan dan kemerdekaan Mesir jatuh ketangan Inggris pada tahun 1882 M. Inggris membatasi kebudayaan, pemerintahan, sistem dan Undang-Undang, serta Adat Bangsa Mesir yang membuat bangsa Mesir kehilangan jatidirinya. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 31). Pada awal abad 20 munculah beberapa seruan nasionalisme yang 58 menyerukan untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan yang diawali dari seorang pemimpin bernama Musthofa Kamal hingga pada revolusi tahun 1919 M. Pendudukan ini menjadi faktor yang berpengaruh dalam pendidikan politik bangsa Mesir. Karena adanya penindasan imperalis terhadap orang-orang Mesir terbentuklah jiwa patriotik dan emosi politik anti Inggris. Pada suasana yang tidak kondusif bangsa Mesir tersebut tumbuhlah Hasan Al-Banna hingga ia tahu bahwa negeri dan umatnya pada waktu itu telah dikuasai musuh yang berlaku sewenang-wenang terhadap bangsanya. Pada saat itu, Mesir adalah bangsa yang harus terus bejuang dengan segenap kemampuan untuk mengembalikan hak mereka yang terampas, kebebasan yang sirna dan kemuliaan yang lenyap. Tidak mengherankan bila Hasan Al-Banna turut serta dalam revolusi terhadap penjajahan Inggris pada tahun 1919 M, pada saat umurnya baru berusia 13 tahun saat ia masih menjadi seorang murid di Madrasah Al-I’dadiyah (setingkat dengan SMP) dikota Mahmudiyah. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 5). b. Komite Lord Milner dan Demonstrasi Anti Komite Menyusul gelombang amarah dan amukan masal penduduk Mesir yang berwujud aksi-aksi demo yang penuh dengan aroma emosional, pemerintah Inggris berfikir untuk segera mengatasi dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan oleh revolusi tersebut. Pemerintah Inggris berinisiatif untuk mengirimkan komite besar ke Mesir untuk menginvestigasi semua penyebab terjadinya revolusi dan mencari semua sarana dan media yang dapat menghentikan terjadinya revolusi tersebut. Inggris akhirnya berhasil membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Lord Alfered Milner, Menteri kolonial Inggris saat itu. Pembentukan komite ini terjadi pada 22 September 1919. Setelah pembentukan komite ini diumumkan, maka banyak sekali aksi demo yang terjadi hampir diseluruh kota Mesir. Di Alexsandriya terjadi pertikaian sengit antara penduduk yang mengamuk melawan polisi dalam negeri yang didukung pasukan Inggris yang menembakkan peluru kearah pendemo. Akibatnya, banyak orang yang tewas dan terluka. Pemandangan seperti ini seringkali terjadi, dimana masyarakat mengamuk 59 menginginkan kemerdekaan dan dihapuskannya penjajahan. Mereka berhadapan dengan tentara Inggris yang melepaskan peluru-peluru kearah para demonstran, sehingga banyak sekali warga yang tewas dan terluka. Aksi demo penentangan ini terus berlangsung hingga komite tersebut tiba di Mesir pada 7 Desember 1919, sejak saat itu aksi demonstrasi terus merebak dan banyak aksi mogok yang terjadi, para pelajar tidak mau pergi kesekolah-sekolah, sebagai bentuk aksi protes atas kedatangan komite tersebut. Para pedagangpun ikut menyambut aksi yang dilakukan para pelajar, mereka tidak mau membuka toko-toko mereka. Para pengacara dan ahli hukum juga melakukan aksi mogok menentang komite tersebut selama satu minggu yang dimulai sejak 17 Desember. (Perlu dicatat di sini bahwa tanggal 18 Desember adalah hari diumumkannya perlindungan atas Mesir pada tahun 1914). Komite Milner menghabiskan waktu kira-kira 3 minggu di Mesir untuk mempelajari keadaan negeri secara umum dan khususnya mempelajari penyebab yang melatar belakangi terjadinya revolusi. Komisi ini juga bertugas untuk mencari solusi yang paling efektif untuk melawan gelombang revolusi, juga menacari beberapa alternatif usulan yang akan disampaikan kepada pemerintah Inggris tentang masalah ini. Lord Milner akhirnya meninggalkan Ibu kota Mesir pada 6 Maret 1920, menuju Yerusalem dalam sebuah perjalannya ke Palestina kemudian pada tanggal 18 Maret menuju Inggris. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 35-38). Sepanjang dua tahun berlangsungnya perundingan, pada akhirnya Inggris mengumumkan bahwa bangsa Mesir akan mendapatkan kebebasan dan kemerdekaannya. Inggris menyatakan berakhirnya perlindungan Inggris terhadap Mesir dan menyatakan Mesir telah merdeka dan hal tersebut dikenal sebagai deklarasi 28 Februari 1922. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 144). Pernyataan tersebut berisikan berakhirnya perlindungan Inggris terhadap Mesir, dan Mesir dinyatakan sebagai sebuah negara yang mempunyai kedaulatan penuh kecuali pada empat hal yang masih dikuasai Inggris. Dengan demikian berarti Inggris masih memegang kekuasaannya atas bangsa Mesir. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 144). 60 Sa’ad Zaglul Basya menganggap pernyataan tersebut sebagai bencana terbesar bagi Bangsa Mesir, dan itu dianggapnya sebagai sebuah strategi dan tipu daya, yang bertujuan untuk mendapatkan justifikasi atas kamp-kamp Inggris di Mesir. (Abbas As-Sisi 2005: 40). Dr.Abdul Azhim Ramadhan berpendapat bahawa apa yang diperoleh bangsa Mesir seperti yang tertera dalam deklarasi tersebut tidak seimbang dengan pengorbanan bangsa Mesir, juga tidak sebanding dengan cita-cita bangsa Mesir, yang berjuang untuk mendapatkan kemerdekaannya sejak pasca perang dunia I. Kejadian-kejadian tersebut dianggap sebagai kelanjutan dari peristiwa revolusi 1919. partisipasi aktif Hasan Al-Banna dalam semua peristiwa ini terus berlangsung. Dengan semangat dan perasaan kebangsaan Hasan Al-Banna turut serta dalam aksi menentang dan memboikot komite Milner. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 38). c. Di terbitkannya Undang-undang 1923 Pada tanggal 15 Maret 1922 Sultan Fuad mengumumkan dirinya sebagai Raja Fuad I. Sejak saat itu , Mesir menjadi kerajaan otonom yang tidak ada kaitannya dengan kekhilafahan Utsmaniyah, Bangsa Mesir juga berusaha membuat Undang-undang yang sesuai dengan kondisi bangsa Mesir yang baru saja merdeka. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 38). Terjadi perdebatan antara Raja yang didukung oleh kekuatan politis dengan golongan Nasionalis yang dipimpin oleh Sa’at Zaghlul. Perdebatan itu mengenai pembuatan Undang-undang yang akan menetapkan prinsip kedaulatan rakyat dan membatasi kekuasaan raja serta seputar undang-undang yang mengakomodasi kepentingan rakyat banyak. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 38). Dalam proses merealisasikan kedua jalan ini terjadi pencopotan beberapa orang menteri, kemudian digantikan oleh orang lain dan dibuat beberapa komite untuk membuat Undang-undang. Dibawah tekanan rakyat pihak Istana segera mengajukan draf undang-undang kepada komisi penasihat konstitusi yang bertugas membentuk undang-undang, kemudian raja Fuad mengeluarkan undangundang tersebut pada 19 April 1923. Undang-undang tersebut memberikan 61 kekuasaan yang absolut terhadap raja. Ada beberapa periode dimana undangundang tersebut tidak digunakan, yaitu: Periode pertama, terjadi pada tanggal 23 Maret 1925 dan berlangsung hingga Mei 1926 dimana sistem parlementer telah dikembalikan pada pemilihan umum legislatif telah dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 1926. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 39). Periode kedua, pada tanggal 19 juli 1928 Raja Fuad mengeluarkan keputusan kerajaan tentang pemberhentian dewan legislatif dan konggres serta mengembalikan sistim parlementer selama tiga tahun untuk melakukan reformasi. Demikian pula kekuasaan legislatif dialihkan dari para wakil rakyat kepada raja, tetapi atas desakan rakyat Mesir yang menuntut dikembalikannya Undang-undang sistim parlementer, maka pada tanggal 21 Oktober 1929 raja mengeluarkan keputusan kembali pada undang-undang 1923. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 40). Hal tersebut dilakukan karena adanya tekanan yang sangat kuat dari massa dalam bentuk demonstrasi besar-besaran hingga jatuhnya korban jiwa. (Abbas AsSisi 2005: 14). Periode ketiga, penghapusan undang-undang dan pembuatan undangundang baru pada tahun 1930, yang terkenal dengan undang-undang 30, undangundang ini semakin memperkuat kekuasaan raja, mengurangi kekuasaan dewan legislatif, dan melemahkan kekuasaan parlemen serta konggres. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 41). Undang-undang 1930 digunakan selama 5 tahun, sementara bangsa Mesir terus menerus menuntut kembali berlakunya undang-undang 1923 dan akhirnya dikeluarkan keputusan raja pada tanggal 12 desember 1935 tentang pembatalan undang-undang 1930 dan kembali ke undang-undang 1923. (Abbas As-Sisi 2005: 14). Undang-undang 1923 digunakan selama lebih dari 17 tahun sampai terjadinya revolusi 23 Juli. Undang-undang 1923 akhirnya dihapuskan pada tanggal 10 Desember 1952 ketika dikeluarkannya pengumuman penggunaan undang-undang revolusioner yang lebih selaras dengan kondisi bangsa mesir setelah terjadinya revolusi militer yang didukung rakyat untuk menentang raja, 62 hingga dikeluarkannya keputusan digantikannya undang-undang 1923 dengan undang-undang revolusioner. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 41). B. Hal-hal yang mempengaruhi pemikiran politik Hasan Al-Banna 1. Runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 yang memberikan dampak terhadap Mesir Jatuhnya pemerintahan Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 merupakan satu tamparan hebat terhadap setiap individu Muslim. Sejak dari saat itu, dunia Islam telah terbagi-bagi sebagaimana makanan dibagi-bagikan, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW bahawa umat Islam akhir zaman diibaratkan makanan yang dikerumuni oleh musuh-musuhnya. Bersamaan dengan meletusnya perang dunia I pada tahun 1914 Turki sebagai negera khilafah mengumumkan perang terhadap Inggris. Khalifah Utsmani yang bernama Sultan Muhammad V memerintahkan kaum muslimin untuk berperang memerangi musuh-musuh negara Khilafah yang melakukan perlawanan. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 41). Ketika Perang dunia I selesai pada November 1918, Turki berada di pihak yang kalah dan mengalami banyak sekali kerugian. Musthofa Kemal Pasya, seorang perwira tinggi Turki dengan didukung oleh beberapa perwira Turki dan para pejuang Turki yang tersisa kembali menyusun dan memimpin pasukan melawan Inggris dan Yunani. Pada tahun 1922 Inggris memberi dukungan kepada Yunani untuk kembali berperang melawan Turki, namun pasukan Turki dibawah kepemimpinan Musthofa Kemal Pasya berhasil menghalau pasukan Yunani yang bersekutu dengan Inggris. Tersiarlah berita kemenangan tersebut keseluruh penjuru dunia Islam sehingga munculah harapan kaum muslimin saat itu, yang mengharapkan munculnya seorang pemimpin baru, tersiar juga berita bahwa Musthofa Kemal Pasya adalah seorang pembaharu masa penakhlukan, bahkan ia mendapatkan julukan “Kholid At-Turk” (Khalidnya bangsa Turki) hal tersebut menunjukkan betapa besarnya harapan kaum muslimin akan kemunculan seorang pemimpin yang baik, seorang pemimpin yang mampu menyatukan kaum muslimin dibawah satu kepemimpinan Islam dan melanjutkan hukum-hukum Islam yang telah ada. 63 Sehingga ia di juluki sebagai Kholid At-Turk, yang mana Kholid bin Walid adalah seorang sahabat Rosulullah yang pernah menjadi paglima perangnya. Kemenangan Musthofa Kemal terus berlangsung sehingga ia berhasil mengusir kekuatan penjajah dari negerinya. Sehingga banyak kaum muslimin yang simpati dengannya dan mengecilkan sosok khalifah, kebencian terhadap khalifah semakin bertambah dengan adanya berita di media masa bahwa khalifah telah menghalalkan darah Musthofa Kemal Pasya dan menganggapnya sebagai pembangkang serta pemberontak. Pada hal bagi mereka, Musthofa Kemal Pasya adalah sosok pahlawan dan pejuang yang berusaha mengembalikan kehormatan khalifah yang dalam anggapan mereka khalifah telah kalah dan tunduk kepada penjajah. Musthofa Kemal Pasya memimpin pasukan untuk melakukan kudeta terhadap Sultan Wahiduddin dan akhirnya memetik kesuksesan. Sulatan berhasil dilengserkan dan Musthofa Kemal mengumumkan berdirinya negara republik. Pada awal Maret 1924 Musthofa mengumumkan dihapuskannya kekhilafahan dari Turki dan mengusir kholifah terakhir yang masih ada pada saat itu, meskipun khilafah tersebut adalah khalifah boneka Inggris, yaitu Sultan Abdul Majid II dan menghapuskan era kekhilafahan yang telah menaungi kaum muslimin semenjak khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq hingga khalifah Utsmani terakhir yang bernama Sultan abdul Majid II. Maka musnalah harapan umat Islam setelah penghianatan Musthofa Kemal dan umat Islam hanya dapat meratapi berita runtuhnya kekhilafahan. Setelah peristiwa ini umat Islam tidak hanya diam mereka tetap berusaha untuk menegakkan kembali sistem kekhilafahan atau kepemimpinan Islam yang dulu pernah ada. Para Ulama yang simpati terhadap nasib umat Islam melakukan pertemuan-pertemuan dan hasilnya mereka sepakat akan pentingnya diadakan Konferensi Islam tahunan yang diikuti oleh wakil-wakil negara Islam diselenggarakan di Kairo, namun kemudian perteman ini tidak menghasilkan keputusan yang krusial bagi kepemimpinan Islam. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 42-45). 64 Hasan Al-Banna mengakui bahwa keputusan menubuhkan Jamaah Ikhwanul Muslimin adalah keprihatinannya terhadap kejahilan Ummat Islam terhadap Agama mereka. 2. Pendudukan Inggris Sejak menduduki Mesir pada 4 September 1882, Inggris telah melakukan dominasi terhadap segala sistem masyarakat dan mengokohkan kedudukannya. Itu dilakukan dengan cara menghadirkan militer dan melakukan pendudukan ekonomi, politik, budaya, serta pendidikan. Tahun 1919 terjadi revolusi untuk meraih kemerdekaan politik seutuhnya yang menghasilkan beberapa hal yang positif, seperti pengumuman telah berakhirnya proteksi Inggris terhadap Mesir dan Mesir menjadi negara merdeka yang mempunyai supremasi berdasarkan proklamasi 28 Februari 1922 meskipun Inggris menuntut syarat untuk menguasai empat hal secara mutlak. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 144). Keempat hal tersebut ialah: jaminan yang melegitimasi mereka untuk melakukan intervensi dalam segala persoalan internal Mesir, jaminan tentara mereka tetap berada di Mesir (yang menjadikan kemerdekaan itu hanya sekedar formalitas), penguasaan mereka terhadap tentara dan polisi Mesir, dan penguasaan ekonomi atas Terusan Suez serta Bank negara. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 144). Inggris terus menerus melakukan intervensi dalam segala persoalan internal Mesir, seperti yang dilakukan oleh E.Lloyd Komisaris Tinggi Inggris, terhadap kabinet Nuhas pada tahun 1928 untuk memaksanya agar menerima kesepakatan dengan mereka. Hal inilah yang menyebabkan deposisi Kabinetnya. Intervensi Inggris juga sangat kelihatan pada masa pemerintahan Husain Siri tahun 1933, Deklarasi Hour bahwa pemerintahannya menentang dikembalikannya Undang-undang 1923. Inggris menguatkan legalitas kependudukannya atas Mesir dengan melakukan perjanjian 1936 dengan Nuhas yang sebgai konsekwensinya adalah seluruh pelabuhan Mesir berada dibawah kekuasaan Inggris. Intervensi Inggris mencapai puncaknya pada Februari 1942 ketika Inggris mengepung Istana Faruq 65 dengan panser-panser untuk memaksanya membentuk kabinet dibawah pimpinan Nuhas. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 144). Kenyataan-kenyataan sejarah tersebut menunjukkan bahwa Mesir belum menjadi Negara merdeka yang mempunyai kedaulatan. Kekuatan yang sesungguhnya masih berada ditangan delegasi Inggris. Imperalisme Inggris dan segala kondisi yang dilahirkannya merupakan salah satu faktor didirikannya organisasi Ikhwan, disamping itu penjajahan Inggris juga mempengaruhi tujuantujuan Ikhwan sebab mereka berpendapat mustahil ditegakannya pemerintahan yang baik selama penjajahan masih ada dan menjerat pemerintah Mesir. Ikhwan memasukkan usaha melawan imperalis dan pembebasan tanah air dari segala hal yang merusaknya dalam program mereka agar dengan kebebasan itu umat dan pemerintah dapat meraih kajayaan. Imperalisme juga berpengaruh terhadap cara-cara mereka terutama dalam pembentukan pasukan khusus untuk berjihad melawan Inggris. Intervensi Inggris juga berpengaruh terhadap pemikiran mereka. Keberadaannya di Mesir merupakan faktor langsung yang menyebabkan Ikhwan secara intelektual mendiskusikan makna imperalisme, makna kemerdekaan sekaligus sarana-sarananya. 3. Kekuasaan Raja Raja dianggap sebagai sebuah kekuatan kedua yang dapat menggerakan dan berpengaruh terhadap kehidupan politik Mesir pada masa itu. Hal itu di karenakan raja mempunyai kekuasan hukum penuh yang dapat membuat keputusan final, meskipun parlemen masih eksis yang didukung undang-undang yang diberlakukan raja. Raja Fuad kemudian digantikan anaknya yang bernama Faruq, yang mempraktekkan kediktatoran yang absolut di Mesir, yang didukung oleh dua faktor: Faktor pertama, UU tahun 1923 yang memberi hak kepada raja untuk megganti parlemen secara mutlak dan menunda pengangkatan anggota parlemen. Sebagaimana Raja memeiliki kekuasaan untuk menunjuk perdana menteri, hak untuk mengeluarkan undang-undang, raja juga mempunyai hak untuk menunjuk 5 orang anggota konggres. Kekuasaan raja ini semakin luas pada saat undang- 66 undang tidak berlaku. Pada saat pembentukan undang-undang 1930 kekuasaan raja semakin luas. Faktor kedua, Beberapa partai minoritas yang bergantung secara penuh kepada raja untuk mendapatka kekuasaan, maka rajapun memanfaatkan partaipartai tersebut untuk membuat sistem parlementer dan membatalkan undangundang. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 146). 4. Partai-partai politik Partai-partai politik Mesir dianggap sebagai kekuatan politik ketiga setelah Inggris dan Raja. Dibawah keberadaan penjajah, Raja dan Undang-undang , maka partai politik mulai memainkan peranannya yang berhubungan dengan kehidupan dalam negeri dan beberapa perundingan dengan penjajah. Partai-partai politik yang terdapat di Mesir saat itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: Partai-partai Istana seperti partai Al-Itihad dan As-Sya’b Al-Hizb Al-Wathaniy Al-Qadim (Partai Nasionalis Lama) yang didirikan oleh Musthofa Kamil Basya Partai rakyat mayoritas ‘Al-Wafd’, dan beberapa partai minoritas, seperti AlAhrar Ad-Dusturiyun, As-Sa’diyun dan Al-Katlah As-Sa’diyah Partai-partai tersebut selain partai Al-Wathaniy memiliki karakteristik sebagai berikut: Didominasi oleh pejabat negara dan hartawan. Ini terlihat pada partaipartai kecil dan juga pada partai ‘Al-Wafd’ setelah tahun 1936, dimana keluarga pengusaha mulai aktif di dalam partai-partai ini. Tujuan mereka hanya untuk memenuhi ambisi kekuasaan. Adanya tekanan dari pihak penjajah pada semua partai tersebut selain partai Al-Wathaniy, dimana mereka bersedia mendukung undang-undang konvensional dan sistem liberal yang berpijak pada kekaguman pemikiran barat dengan gaya hidup sekulernya, sehingga dapat dikatakan bahwa partai-partai ini merupakan representasi pemikiran asing. Paratai-partai tersebut menerima semua perundangan dengan pihak penjajah untuk mendapat dukungan memperoleh kekuasaan, mereka juga tidak mempunyai program kerja yang jelas untuk mereka laksanakan, banyak diatara 67 mereka yang melakukan kecurangan-kecurangan saat pemilihan mum berlangsung. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 148). C. Penerapan pemikiran politik Hasan Al-Banna dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin Khilafah Islamiyah telah tumbang sejak tahun 1924 dan pemerintahan Islam terpecah-pecah manjadi negara-negara kecil. Lalu datanglah penjajah barat untuk memerangi dan menjajah negara-negara bekas wilayah kekhilafahan baik secara pemikiran, sosial, militer maupun politik, dengan memanfaatkan kelemahan dan kegoncangan umat Islam setelah runtuhnya daulah Islamiyah. Negara-negara kecil itupun saling berseteru dan bermusuhan antara satu dengan yang lain. Negara-negara penjajah juga mengganti Undang-undang Islam dengan Undang-undang buatan mereka. Dalam situasi yang seperti itu munculah sosok Hasan Al-Banna yang menyerukan “Kebangkitan dan Penyelamatan” yang kemudian mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin pada April 1928. Hasan Al-Banna tidak berniat menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi radikal dan penuh kekeasan.( Muhammad Abdullah Khataib 2006: 53). Hasan Al-Banna menginginkan reformasi fundamental masyarakat Islam yang selama ini telah dijajah kolonialisme. Hasan Al-Banna bercita-cita untuk menumbuhkan satu harokah Islam yang syumul yang akan membimbing seluruh generasi dengan prinsip-prinsip Islam yang menyentuh semua aspek kehidupan, seperti kehidupan politik, pendidikan, sosial budaya dan ekonomi. (Muhammad Yusuf Khan 1991:185). Orang-orang Mesir pada masa itu telah terbiasa menganggap diri mereka imferior dihadapan kaum Eropa padahal itu tidak perlu. Mereka sebenarnya telah memiliki tradisi tinggi yang tidak akan kalah jika dibandingakan dengan idiologi manapun, namun hal pertama yang harus dilakukan oleh Ikhwan (panggilan untuk anggota laki-laki) dan Akhwat (panggilan untuk anggota perempuan ) harus terlebih dahulu mengenal Islam secara lebih dekat. Tidak ada jalan pintas menuju kebebasan dan harga diri melainkan kaum muslimin harus membangun diri dan masyarakat mereka kembali dari dasar. Untuk mencapai hal tersebut selama 68 bertahun-tahun Al-Banna mengembangkan sistem modern yang terus menerus dikaji. (Karen Armstrong 2001: 351). Hasan Al-Banna dalam risalah “Muktamar Kelima” menuliskan bahwa ada tiga tahapan dalam perpolitikan dakwah Ikhwan, ketiga tahapan tersebut antara lain: 1. Tahapan Ta’rif (Pengenalan) Tahapan ini berupa pengenalan dengan tujuan-tujuan dakwah Ikhwan dan sarana-sarana organisasi serta mengajak masyarakat untuk mengikuti pemikiran Islam tentang program perubahan seperti yang diserukan Ikhwanul Muslimn. Aksi dalam tahapan ini adalah: Menjelaskan pemikiran secara benar kepada orang lain Mengenalkan secara detail hakikat Ikhwanul Muslimin Revitalisasi peranan ulama dalam politik Meletakan politik sebagai pengendali aktivitas dalam tahapan ini. 2. Tahapan Takwin (Pembentukkan) Tahapan ini berupa pemilihan kader-kader yang memiliki kesanggupan untuk berbuat dan menulai kehidupan Islam serta berjuang mendirikan negara Islam. Kader-kader ini dididik dengan pendidikan yang saling melengkapi baik secara spiritual, akal maupun fisik sehingga mereka menjadi kader-kader yang bertanggung jawab terhadap Islam dan berjuang untuk menegakkannya. Aksi yang dilakukan dalam tahapan ini antara lain: Membentuk Panitia Konstitusi Membentuk tim perumus peraturan/ perundangan Mempersiapkan program perbaikan yang integral Menganalisis secara sistematis realitas yang ada. 3. Tahapan Tanfidz (Pelaksanaan) Maksud tahapan ini adalah perjuangan dakwah meletakkan program-program yang dapat diaplikasikan. Tahapan ini adalah langkah praktis yang akan menghasilkan buah bagi perjuangan Ikhwanul Muslimin. Aksi dalam tahapan ini adalah: Berusaha untuk masuk dalam Majelis Parlemen 69 Mobilisasi masa Meningkatkan tuntutan. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 206). Titik awal dari akar pandangan metode perjuangan Hasan Al-Banna adalah mengenali hukum alam atau sunatullah terhadap makhluk-Nya, yaitu hukum-hukum yang dibuat oleh Allah untuk setiap makhluk-Nya, bahwa syarat pertama dari perubahan problematika yang terjadi pada suatu umat adalah dengan mengubah yang terjadi pada diri mereka sendiri, sehingga Allah akan memperbaiki masalah yang terdapat pada mereka. Hasan Al-Banna dalam pesan muktamarnya yang kelima mengatakan: “ Jangan melawan hukum-hukum alam, sesungguhnya ia akan menang akan tetapi tundukkan, fungsikan, arahkan arusnya dan gunakan sebagiannya untuk sebagian yang lain”. Hal ini dimaksudkan bahwa cara berinteraksi dengan hukum-hukum alam dari segi pengenalan, penyelesaian dan pengunaannya harus dipandang sebagai suatu ilmu tersendiri dan segala proses perubahan serta perkembangan sosial harus berdasarkan pada hal tersebut. (Fathi Yakan 1993: 49). Fondasi pandangan tentang hukum-hukum alam Hasan Al-Banna adalah akhidah dan keimanan agama maka, berangkat dari fondasi inilah Hasan AlBanna menekankan pemikirannya tentang urgensitas peran agama dalam proses perubahan yang pokok. Dengan kata lain, bahwa dengan sisi pandang yang bersifat teoritis inilah Hasan Al-Banna bisa menemukan tonggak-tonggak metode perjuangan dan dengan tonggak-tonggak inilah Hasan Al-Banna memulai secara sungguh-sungguh proyek pembaharuan dan perjuangannya. Hasan Al-Banna telah meyakini bahwa sesungguhnya perubahan sosial dan perbaikannya harus dimulai dengan apa yang terdapat dalam diri, dan sering kali Hasan Al-Banna memberikan argumen dalam hal ini dengan firman Allah dalam Qs. Ar-Ra’d: 11. Tidak ada perbedaan pendapat antara Al-Banna dengan tokoh-tokoh pembaharuan dengan gerakan islah Islam yang lain. Semuanya sepakat bahwa perubahan yang dimulai dari dalam diri merupakan proses perubahan dan islah yang komprehensif. 70 Hasan Al-Banna adalah pemikir terbesar organisasi Ikhwanul Muslimin maka, pemikiran atau gagasan-gagasannyapun banyak mempengaruhi organisasi tersebut baik skala internal Ikhwan maupun kebijakan-kebijakan Ikhwan yang terkait dengan kondisi dalam negeri maupun luar negeri Mesir pada masa itu. Kebijakan-kebijakan yang diambil Hasan Al-Banna dan telah disepakati dalam organisasi Ikhwan tersebut antara lain: 1. Kebijakan internal Ikhwan, yang terdiri: a) Pemikiran /fikroh dakwah Ikhwan Pembahasan mengenai pemikiran atau fikroh dakwah Ikhwan disamapaikan pada muktamar kelima Ikhwanul Muslimin yang diselenggarakan pada tanggal 13 Dzulhijjah tahun 1357 H yang bertepatan dengan akhir Desembar 1938 M. Risalah ini merupakan dokumen organisasi Ikhwan yang paling penting, apa yang tertuang didalamnya merupakan tulisan Hasan Al-Banna yang paling lengkap jika dibandingkan dengan risalah pada muktamar sebelumnya. (Hasan Al-Banna 2005: 170). Saat itu Ikhwanul Muslimin telah berusia 10 tahun dan wilayah garapnya semakin luas dan respon umat Islam juga semakin bertambah. Risalah yang disampaikan Hasan Al-Banna pada muktamar tesebut dijadikan landasan organisasi Ikhwan dalam merespon berbagai perubahan. Risalah muktamar Ikhwan kelima selain membahas menegenai pemikiran atau fikroh dakwah Ikhwan dalam risalah tersebut juga dibahas mengenai sejarah singkat mengenai berdirinya organisasi Ikhwannul Muslimin. Penjelasan bahwa fikroh Ikhwan mencapai berbagai aspek perbaikan, yaitu: 1) Dakwah Salafiyah, karena mereka mengajak kembali bersama Islam kepada sumbernya yang jernih dari kitab Allah dan Sunah Rosul-Nya. 2) Thariqah Sunniyah; karena mereka membawa jiwanya untuk mengamalkan sunnah yang suci dalam segala hal, khususnya dalam masalah akhidah dan ibadah selama ada kemampuan. 3) Haqiqah Shufiyah, karena mereka memahami bahwa asas kebaikan adalah kesucian jiwa, kejernihan hati, kontinuitas amal, berpaling dari 71 ketergantungan kepada makhluk, cinta karena Allah dan keterikatan kepada kebaikkan. 4) Hai’ah Siyasiyah, karena secara internal mereka menuntut perbaikan pemerintahan, meluruskan persepsi yang terkait dengan hubungan umat Islam terhadap bangsa-bangsa lain diluar negeri, mentarbiyah bangsa agar memiliki kebanggaan dan kemuliaan, serta menjaga nasionalisme sebisa mungkin. 5) Jama’ah Riyadhiyah; karena mereka sangat memperhatikan fisik dan memahami benar bahwa seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang lemah. Mereka juga memperhatikan struktur dan klab-klab olahraga. 6) Rabithah ‘ilmiyah Tsaqofiyah; karena Islam menjadikan tholabul ilmi sebagai kewajiban bagi setiap muslim dan majelis-majelis Ikhwan pada dasarnya adalah tempat pengajaran dan peningkatan wawasan, sedangkan lembaga-lembaganya adalah tempat untuk mentarbiyah fisik, akal, dan ruh. 7) Syirkah Iqtishadiah; karena Islam sangat memperhatikan pengelolaan dan pendapatan kekayaan sebagaimana mestinya. 8) Fikroh Ijtima’iyah: karena mereka sangat menaruh perhatian kepada segala “penyakit” yang ada dalam masyarakat Islam, berusaha menemukan cara pengobatan dan mengupayakan penyembuhan umat darinya. (Hasan AlBanna 2005: 170). b) Kewajiban dan Syarat anggota / kaderisasi Kewajiban dan syarat-syarat anggota dalam oraganisasi Ikhwanul Muslimin berbeda-beda sesuai dengan tingkat anggota mereka, kewajiban dan syarat-syarat tersebut sebagian besar terkait dengan amal individu sehari-hari, seriap minggu, setiap bulan dan setiap tahun. (Husain bin Muhammad Ali Jabir 2001: 366-375). 1) Bagian-bagian keanggotaan Keanggotaan dalam organisasi Ikhwanul Muslimin terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu: a. Anggota nashir, tingkat pertama dalam organisasi Ikhwan 72 b. Anggota Munaffid, tingkat kedua keanggotaan ini juga disebut Mujahid c. Anggota Naqib, yaitu anggota yang telah menyelesaikan tarbiyah Ikhwan pada dua tingkat terdahulu, telah diambil bai’at dan turut serta dalam kepemimpinan dalam mengambil keputusan. 2) Syarat-syarat keanggotaan a. Syarat anggota Nashir Mengkaji materi yang telah ditetapkan dan selalu mengamalkan aspek-aspek amaliyahnya. Memberi kesetiaan pada organisasi, tidak memiliki keterikatan apapun dengan lembaga atau partai manapun tanpa ijin Melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam dan menjauhi laranganlarangannya Memberi infak terhadap organisasi secara sukarela Menghadiri pertemuan-pertemuan, pelajaran dan ceramah yang diselenggarakan jika diundang secara resmi dan tidak terlambat kecuali ada halangan. Berlangganan buku, majalah, maupun surat kabar terbitan Ikhwan Selalu melaksanakan wirit harian dari Al-Qur’an dan dzikir ma’stur Selalu membela Islam dan mendukung Ikhwan b. Syarat anggota Munaffidz: Memenuhi seluruh syarat keanggotaan tingkat pertama Mengikuti pertemuan-pertemuan yang telah ditetapkan (halaqoh, usroh, dan firaq) kecuali ada uzur. Turut serta dalam “kotak Haji” jika ada, jika tidak dia harus menabung sendiri. Mengoreksi pemimpin yang telah diberi amanah, rumahnya harus bersih dari kebiasaan dan pengaruh jahiliyah dan senantiasa menerapkan prinsip-prinsip Ikhwan dalam rumah tangga. Bergabung dengan kelompok-kelompok rihlah jika diundang 73 Menjauhi tempat-tempat maksiat seperti: bioskop, cafe dan klub malam. Turut serta dalam kegiatan ekonomi Ikhwan Mengenal orang-orang yang berada di lingkungan cabangnya Bersedia menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya c. Syarat anggota Naqib, antara lain: Memenuhi seluruh syarat anggota tingkat pertama dan kedua Layak menjadi pemimpin dengan tolak ukur kemampuannya dalam memimpin anggota keluarganya sesuai dengan syari’ah Islam Mampu bersabar dalam setiap perjuangan Dapat dipercaya, mampu mendapatkan kepercayaan dari anggota Ikhwan yang lain. 74 c) Struktur Organisasi Ikwan: 1) Struktur Organisasi Ikhwanul Muslimin Dewan Pendiri Al-Mursyid Al-‘am Maktab al-Irsyad al-‘am Wakil Umum Wk. Mursyid Al-‘am Unit Pelaksana dan Divisi Utama Sekjen Komite-komite Keuangan Politik Hukum Statistik Pelayanan Fatwa Pers dan Terjemahan Unit Pelaksana Kantor Administrasi Wilayah Bangsa Keluarga Divisi Utama Dewan Administrasi Div. Penyebaran dakwah Div. Buruh dan Petani Div. Travel Div. Keluarga Div. Mahasiswa Div. Pendidikan jasmani Div. Hub. Luar negeri Div. Profesi& Cabangnya Div. akhwat Peg. Sekretariat Mursyid Sekertaris Umum Supervisor dan Pemb. Pusat Pegawai Gudang BagianBarang dan Perpustakaan Bagian Pembantu Umum Dokter Teknisi Ahli Hukum Guru Pegang Pekerja Sosial Petani Karyawan 75 d) Penjelasan Struktur Organisasi 1) Penjelasan Struktur Organisasi Ikhwanul Muslimin a) Hai’ah Ta’sisiyah (Dewan Pendiri) Dewan pendiri ini adalah dewan pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi Ikhwan yang merupakan Dewan Syura Umum Ikhwan. Dewan ini terdiri atas anggota Ikhwanul Muslimin yang telah lama berjuang dalam dakwah. Tugasnya mengawasi secara umum perjalanan dakwah, memiliki anggota Maktab Al-Irsyad, memilih pengawas keuangan dan lain-lain. Pertemuan dewan secara berkala diadakan untuk mendengarkan dan mendiskusikan laporan Maktab Al-Irsyad tentang aktifitas dakwah, memilih anggota baru, mendiskusikan laporan tutup buku pengawas keuangan tahun lalu dan rencana tahun mendatang serta mendiskusikan aktivitas dan usulan lain yang dikemukakan pada dewan. Dewan juga mengadakan pertemuan luar biasa atas undangan Mursyid ‘Am jika ada hal-hal yang mendesak atau atas permintaan Maktab Al-Irsyad atau atas permintaan 20 orang anggota. Pemimpin dalam pertemuan tersebut adalah Mursyid ‘Am dan pertemuan dianggap sah apabila dihadiri mayoritas mutlak (setengah lebih satu). Syarat anggota dewan adalah: Anggota tetap Ikhwan Usia minimal 25 tahun Telah tergabung dengan Ikhwan sekurang-kurangnya 5 tahun Memiliki akhlak yang baik, pendidikan dan keahlian yang memadai. Jumlah mereka yang dipilih menjadi anggota dewan adalah 10 orang setiap tahun, serta sedaapat mungkin mempertimbangkan keterwakilan daerah. b) Mursyid ‘Am (Pemimpin Umum) Mursyid ‘Am dipilih oleh dewan pendiri yang dihadiri 4/5 anggotannya, dengan persetujuan ¾ yang hadir. Jika tidak memenuhi 76 kuorum ditangguhkan minmal 2 minggu dan maksimal 4 minggu dari pertemuan pertama, bila masih belum mencapai kuorum, pertemuan ditangguhkan dengan syarat yang sama. Pertemuan yang ditangguhkan tersebut beserta tujuannya harus di umumkan. Pemilihan Mursyid ‘Am dapat dilakukan dalam pertemuan tersebut hanya dengan ¾ yang hadir, berapapun jumlah mereka. Syarat-syarat Mursyid ‘Am adalah: Masa keanggotaannya dalam dewan pendiri tidak kurang dari 5 tahun Harus alim, berakhlak mulia, mempunyai kompetensi mengurus organisasi Mursyid ‘Am menempati posisi seumur hidup, apabila Mursyid ‘Am wafat atau tidak mampu melaksanakan tugasnya wakil melaksanakan tugas-tugas Mursyid sampai dewan pendiri mengadakan sidang dan memilih Mursyid yang baru. c) Maktab Irsyad (Dewan Pimpinan Pusat) Maktab Irsyad/ Dewan Pemimpin Pusat dipilih oleh dewan pendiri, terdiri 12 orang anggota. Dipilih diantara para anggota dewan kecuali Mursyid ‘Am. Dalam pemilihan tersebut dipilih 9 anggota dari Ikhwan Kairo dan tiga sisanya Ikhwan dari daerah lain. Syarat-syarat anggota Maktab Irsyad adalah sebagai berikut: Berasal dari anggota dewan pendiri dan telah menjadi anggota dewan sekurang-kurangnya 3 tahun Mempunyai kompetensi untuk menjadi anggota Maktab Irsyad baik secara Akhlak, ilmu dan praktis Usia tidak kurang dari 30 tahun. (Abul Hasan Ali Husni An Nadwi 1983: 334-338). e) Rukun ba’iat Dahulu Rosulullah mengambil berbagai model bai’at dari para sahabatnya. Bai’at masuk Islam yang mangharuskan seseorang untuk selalu tunduk kepada berbagai hukum Islam, ada lagi bai’at yang diambil dari para 77 sahabat seperti, bai’at Aqobah, ketika itu bliau mengambil bai’at dari kaum Anshor dalam rangka melindunginya. Bai’atur Ridwan para sahabat memberikan bai’atnya untuk tidak lari dalam medan pertempuran. Setelah masa Rosulullah munculah bai’at yang diberikan pada Amirul Mu’minin untuk mendengar dan ta’at kepada nya dalam rangka mendengar dan taat pada AlQur’an dan Sunnah Rosulullah. Selanjutnya dalam masyarakat Islam dikenal dua jenis bai’at yaitu: bai’at kepada penguasa muslim untuk mendengar dan ta’at. Dan bai’at kepada syaikh untuk bertaqwa, pada ujungnya bai’at bentuk ini banyak dilakukan oleh kaum sufi, bahkan menjadi ciri khasnya, demikianlah dikalangan masyarakat Islam terdapat bai’at kepada sosok tertentu yang pada asalnya diberikan kepada khalifah. Bai’at ini menuntut konsekwensi hukum individu yang diinginkan oleh sosok yang menerima bai’at juga konsekwensi kerja yang ditentukan dalam bai’atnya, jika untuk suatu amal maka amal itulah yang wajib, jika untuk suatu amal yang pada dasarnya fardhu maka bai’at itu menambah kadar hukumnya. Jika untuk suatu amal yang pada dasarnya sunnah, maka ikatanya bersifat hukum janji, adapun jika bai’at diberikan pada sosok tertentu untuk taat secara mutlak atau taat pada urusan yang baik saja, maka selama orang yang menerima bai’at itu bukan amirul mukminin, bai’at itu tidak mengikat secara wajib. Dizaman sekarang tahta khilafah telah tiada. Para fuqoha madzab Syafi’I telah menulis bahwa dalam keadaan seperti itu hukum khilafah diberikan kepada orang yang paling alim dizamannya, semenetara Madzab Hanafi berprinsip bahwa seseorang tidak dianggap sebagai kholifah kecuali seluruh pemerintahanya dipatuhi, yakni setelah kekuasaan eksekutif, dimiliki. Sebelum itu terwujud maka bai’at yang diakui hanyalah bai’at amal. Masa Hasan Al-Banna banyak syaikh yang mengambil bai’at amal dari masyarakat. Setiap syeikh memiliki tarikat tertentu yang diberikan dibai’atkan kepada para pengikutnya. Dimana mereka memberikan bai’at kepada para syaikh berupa bai’at yang diberikan kepada Amirul mukminin. 78 Maka lahirlah ditengah masyarakat ribuan Amirul mukminin. (Isham Ahmad Al-Basyir 2005: 44-47). Ada dua masalah yang penting yang harus dipecahkan oleh Hasan AlBanna dalam hal tersebut, yaitu: Apa saja nilai-nilai yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk gerakan mereka dimasa yang memiliki ciri khas karakter, yakni banyaknya kerancuan Bagaimana kaum muslimin dapat berjalan diatas jalan yang dibangun oleh kepemimpinan yang benar dan tunggal, yang mengambil bai’at dari kaum muslimin secara benar pula. Untuk menjawab kedua masalah tersebut Hasan Al-Banna mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin dan menjadikan rukun bai’atnya menjadi sepuluh. Rukun Ba’iat dan tahapan-tahapan dakwah Ikhwan ditulis oleh Hasan Al-Banna dalam risalah Ta’lim tahun 1943 M, di dalam Risalah ta’lim tersebut Hasan Al-Banna menyebutkan sepuluh rukun ba’iat yang harus dipenuhi seorang kader Ikhwan ( Hasan Al-Banna 2005: 287). Sepuluh rukun ba’iat tersebut, yaitu: 1) Al-Fahm / Pemahaman Hasan Al-Banna meletakan Al-Fahm atau pemahaman menjadi rukun bai’atnya yang pertama karena pemahaman merupakan fondasi utama yang mendasari seluruh perjuangan Ikhwan. Hasan Al-Banna kemudian memperinci ruku bai’at yang pertama ini dalam dua puluh prinsip yang kemudian disebut sebagai Ushul ‘isyirin, terdiri dari: 1. Islam adalah sistem yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah akhidah yang lurus dan ibadah yang benar. 79 2. Al Qur’an dan sunnah Rosul adalah tempat kembali setiap muslim untuk memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. 3. Iman yang tulus, ibadah yang benar dan kesungguhan dalam beribadah adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah dihati hambaNya yang dikehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, dan mimpi bukanlah bagian dari hukum-hukum syari’at. 4. Jimat, mantra, guna-guna, ramalan, perdukunan, penyimpangan perkara ghoib dan semisalnya merupakan sebuah penyimpangan yang harus diperangi, kecuali mantera dari Al-Qur’an atau ada riwayat dari Rosulullah. 5. Pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks hukumnya tentang sesuatu yang mengandung ragam interprestasi dan tentang sesuatu yang membawa kemaslahatan umum bisa diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syariat. Hal tersebut mungkin berubah seiring dengan perubahan situasi, kondisi, dan tradisi setempat, yang prinsip ibadah itu diamalkan dengan keihlasan tanpa mempertimbangkan makna, sedangkan dalam urusan selain ibadah maka harus mempertimbangkan maksud dan tujuan. 6. Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali Rosulullah Al-Ma’shum. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan Kitab dan Sunnah Ikhwan terima, jika tidak sesuai dengannya maka Kitab Allah dan Sunnah Rosul-Nya lebih utama untuk diikuti. Kita tidak boleh melontarkan kepada orang-orang karena sesuatu yang diperselisihkan dengan nya dengan kata-kata caci maki. 7. Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan menelaah terhadap dalil-dalil hukum furu’ (cabang), hendaklah mengikuti pemimpin agama. 8. Perselisihan fiqh dalam perkara cabang tidak sepatutnya menjadi sebab perpecahan dalam agama dan tidak seharusnya membawa permusuhan. Setiap orang yang berijtihad ada pahalanya. Walau bagaimanapun tidak 80 ada penghalang bagi melakukan tahqiq ilmu / penjelasan ilmiah dalam masalah-masalah yang diperselisihkan dalam suasana kasih sayang kerana Allah SWT untuk menuju kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik. 9. Memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benarbenar terjadi adalah kegiatan yang dilarang syari’at. 10. Mengenal Allah SWT, mentauhid dan menyucikan-Nya adalah setinggitinggi aqidah Islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan haditshadits shahih tentangnya maka kita mengimaninya apa adanya tanpa memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. 11. Setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi dianggap baik oleh hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan ataupun pengurangan adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan dengan sarana yang sebaik-baiknya, sehingga tidak justru menimbulkan bid’ah lain yang lebih parah. 12. Perbedaan pendapat dalam masalah bid’ah baik cara maupun waktunya adalah perbedaan dalam masalah fiqih. Setiap orang memiliki pendapatnya sendiri, tapi tidak apa-apa melakukan penelitian untuk mendapatkan hakikatnya dengan dalil dan bukti-bukti. 13. Mencintai orang-orang yang saleh, menghormati dan memberi pujian terhadap amalan-amalan baik yang mereka lakukan adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wali-wali Allah ialah mereka yang disebut oleh Allah di dalam Al-Quran yaitu orang-orang yang beriman dan bertaqwa dan mereka tidak memiliki mudharat dan manfaat bagi dirinya maupun orang lain setelah ia mati. 14. Ziarah kubur adalah sunnah yang disyari’atkan dengan cara-cara yang diajarkan oleh Rosulullah akan tetapi meminta pertolongan kepada ahli kubur adalah bid’ah. 15. Doa apabila diiringi dengan tawasul kepada Allah degan salah satu makhluk-Nya adalah permasalahan furu’ menyangkut tatacara berdo’a, bukan termasuk masalah akhidah. 81 16. Istilah-istilah keliru yang sudah mentradisi tidak akan mengubah hukum syari’atnya. 17. Aqidah merupakan asas setiap amalan. Amalan hati lebih penting dari amalan anggota badan. Mencari kesempurnaan pada kedua-duanya adalah tuntutan syri’ah walaupun drajat tuntutan pada kedua-duanya berbeda. 18. Islam itu membebaskan akal pikiran, menggunakannya untuk merenungi penciptaan alam, menuntut ilmu dan menggunakannya dalam hal yang memberikan manfaat. 19. Pandangan syar’i dan pandangan logika memiliki wilayah masingmasing yang tidak dapat memasuki secara sempurna, namun demikian keduanya tidak pernah berbeda atau saling beririsan. 20. Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan kandungannya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya. 2) Al-Ikhlash / Keikhlasan Hasan Al-Banna menyatakan, yang dimaksud dengan ikhlas adalah bahwa seorang Al-Akh muslim dalam setiap kata-kata, aktivitas dan jihadnya semua semata-mata untuk mencari ridho Allah dan pahala-Nya, tanpa mempertimbangkan aspek penampilan, pangkat, kemajuan atau keterbelakangan. dengan itulah ia menjadi fikrah dan aqidah bukan tentara kepentingan dan ambisi pribadi, hal ini berkaitan erat dengan firman Allah dalam Qur’an surat Al-An’am: 162-163. Katakanlah, ‘sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, adalah karena Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu baginya dan demikian itulah yang diperintahkan kepada ku (Qs. AlAn’am: 162-163). 3) Al-‘Amal Hasan Al-Banna dalam risalahnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan amal atau aktivitas adalah buah dari ilmu dan keikhlasan. Hal ini sesuai dengan Qur’an, surat At-Taubah: 105. Katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rosul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjan 82 mu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghoib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (At-Taubah: 105). Adapun tingkatan amal yang dituntut dari seorang anggota Ikhwan adalah: Perbaikan diri sendiri sehingga ia menjdi seorang yang mempunyai kebagusan akhlak, ilmu pengetahuan, ibadah serta secara fisik. Pembentukkan keluarga muslim Pembimbingan masyarakat dengan jalan menyebarkan dakwah dan beramar ma’ruf. Pembebasan tanah air dari setiap penguasa asing baik secara politik, ekonomi maupun moral. Memperbaiki keadaan pemerintah sehingga menjadi pemerintah Islam yang baik. Pemerintah Islam adalah pemerintah yang anggotanya terdiri dari kaum muslimin yang menunaikan kewajiban-kewajiban Islam dan konsisten menegakan hukum-hukum dan ajaran Islam. Mempersiapkan seluruh aset negeri di dunia ini untuk kemaslahatan Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan membebaskan seluruh negeri dari kekuasaan asing dan menegakan kembali kekhilafahan yang telah hilang. Penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah Islam diseluruh negeri. 4) Al-Jihad Ikwan menempatkan jihad dalam rukun bai’atnya karena jihad dianggap sebagai sebuah kewajiban bagi seorang muslim, hal ini sesuai dengan sabda Rosul: “ barang siapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”. 5) At-Tadlhiyah/ pengorbanan Pengorbanan jiwa, harta, waktu dan segala sesuatu yang dimiliki seseorang untuk menegakkan Islam, karena tidak ada perjuangan kecuali dengan pengorbanan. Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka. (Qs. At-Taubah: 111). 83 Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian ushakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal adalah lebih kalian cintai dari pada Allah, Rosul-Nya dan dari berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. At-Taubah: 24). 6) At-Thoat/ Ta’at Menjalankan perintah dan merealisasikannya baik dalam keadaan bagaimana pun. 7) Tsabat/ Keteguhan Tsabat atau keteguhan artinya setiap anggota dituntut untuk selalu berjuang dijalan Allah sampai saat yang dijanjikan, hal ini didasarkan firman Allah dalam Qs. Al-Ahzab: 23. Diantara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjkan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah janjinya. 8) Tajarud/ totalitas Totalitas yang dimaksud adalah membersihkan pola pikir dan prinsip nilai dan pengaruh individu yang lain karena Islam adalah setinggi-tinggi fikroh, hal ini didasarkan pada Qs. Al-Baqoroh: 138. Celupan Allah. Celupan siapakah yang lebih baik dari pada celupan Allah. 9) Al-Ukhuwah/ persaudaraan Ukhuwah yang dimaksud adalah keterikatan hati dan ruhani yang didasarkan pada aqidah. 10) Tsiqah/ kepercayaan Tsiqoh yang dimaksud adalah keta’atan dan rasa percaya dari seorang anggota terhadap pemimpinnya, kecuali jika seorang pemimpin telah melanggar Qur’an dan Sunah. (Sa’id Hawwa 2002: 135-229). 84 2. Kebijakan Ikhwan terkait dengan dalam negeri Mesir Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa Islam adalah agama universal yang meliputi semua unsur kehidupan. Hasan Al-Banna mengkritik pemisahan antara agama dan politik. Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa setiap gerakan Islam yang menjauhkan politik dari cita-citanya tidak dapat dikatakan sebagai gerakan Islam dengan pemahaman yang universal terhadap ajaran agama ini. Ikhwan memandang politik adalah upaya meikirkan persoalan internal dan eksternal umat memberikan perhatian kepadanya dan bekerja demi kebaikan seluruhnya. Politik juga berkaitan dengan akhidah dan akhlak serta bertujuan untuk melakukan perubahan. Hal tersebut sesuai dengan realitas Mesir khususnya pada masa-masa pendudukan asing, karena memberikan motivasi internal kepada individu untuk melakukan aktivitas politik dalam bentuk pemikiran, perhatian dan usaha yang dapat mengubah kondisi umat serta menjadikan politik sebagai masalah yang diharus diperhatikan oleh setiap muslim. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 72). Dalam sebuah konferensi pelajar Ikhwanul Muslimin yang diselenggarakan pada tahun 1938 M, Hasan Al-Banna mengatakan: Seorang muslim tidak akan sempurna agamanya kecuali jika menjadi seorang politikus, memiliki pandangan yang jauh tentang problema umatnya, memperhatikan urusan-urusan mereka dan bersedia untuk membantu mencari jalan keluarnya. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 188). a) Sikap terhadap UUD Konvensional Hasan Al-Banna berpendapat bahwa Undang-undag konvensional yang menyelisihi hukum-hukum syari’at adalah Undang-undang yang batal dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk menerimanya. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlindung padanya atau untuk melaksanakan ketetapanketetapannya, dalam hal ini Hasan Al-Banna pernah memperi pernyataan, tidak masuk akal apabila Undang-undang yang mangatur umat Islam bertentangan dengan ajaran-ajaran agamanya, bertentagan dengan hukum-hukum Qur’an dan Sunnah atau bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah dan Rosulullah. (Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 53). 85 Hasan Al-Banna juga menjelaskan sikapnya terhadap lembaga-lembaga peradilan yang menetapkan Undang-undang konvensional yang bertentangan dengan ajaran Islam untuk membikot lembaga-lembaga tersebut. b) Konsepsi Nasionalisme Dalam risalah “Da’watuna” (Dakwah kami) Hasan Al-Banna membahas tentang prinsip nasionalisme dan menjelaskan seg-segi positif yang dari prinsip tersebut, setelah itu Hasan Al-Banna memberikan kesimpulan tentang prinsip nasionalisme sesuai dengan pemehaman politik Islam. (Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 114). Hasan Al-Banna menekankan kewajiban menekankan kewajiban umat Islam untuk mencintai tanah airnya dan mempetahankannya. Didalam kitabkitab fiqih atau hadits selalu disebutkan sebuah bab tentang kewajiban untuk membela tanah air, melindungi penduduk, harta benda maupun kehormatan mereka. Hasan Al-Banna menjadikan rasa cinta Rosulullah terhadap kota Mekah sebagai dasar bagi pendapatnya ini. Ketika Rosulullah mendengar kondisi kota Mekah dari Ushail maka air mata Rosulullah mengalir karena merasa sangat rindu kepadanya. Diriwayatkan dalam kitab shohih Bukhori bahwasanya Rosulullah bersabda: Demi Allah sesungguhnya engkau (kota Mekah) adalah sebaik-baik tanah Allah yang paling aku cintai, kalaulah aku tidak diusir dari mu (Mekah) niscaya aku tidak akan keluar. Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa menguatkan ikatan diantara penduduk satu negara dengan ikatan taqwa dan ikatan tujuan untuk mencapai kepentingan-kepentingan bersama baik kepentingan dunia maupun kepentingan akhirat merupakan salah satu dari kewajiban agama Islam. Dalalilnya adalah sabda Rosulullah: “ Hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara”. Juga firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudhorotan kepada mu. Mereka menyukai apa-apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka 86 lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepada mu ayat-ayat kami jika kamu memahaminya (Qs. Ali Imron: 118). (Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 115). Hasan Al-Banna juga menjelaskan bahwa perluasan kedaulatan Islam dan perluasan wilayah yang diatur oleh aqidah Islam dan hukum-hukum syri’at dilakukan dengan jalan jihad. Ini adalah salah satu kewajiban Islam, karena Islam telah memberikan kewajiban kepada umatnya untuk berjihad sehingga dapat menaklukan negara-negara diseluruh dunia kemudian negara-negara tersebut diatur oleh hukum-hukum syari’at. Hasan Al-Banna menjadikan dasar firman Allah dalam Qs. Al-Baqoroh: 193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. c) Konsepsi negara dan pemerintahan Negara adalah institusi yang memiliki kewenangan konstitusional untuk mempergunakan kekuatan dan kedaulatan atau Negara adalah institusi politik independen untuk mengatur kehidupan secara umum. Kedaulatan adalah kekuatan yang konstitusional. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 188). Sejak awal Ikhwan menolak ide pemisahan antara agama dengan Negara atau dengan politik. Semua pemikir mereka menyebutnya sebagai konsepsi yang seakan-akan sudah menjadi aksioma atau urusan besar agama yang harus benar-benar dipahami. Konsepsi itu tersimpul dalam ungkapan bahwa Islam adalah aqidah dan sistem, agama dan Negara, sehingga penegakan pemerintahan Islam adalah salah satu prinsip aqidah atau kewajiban Islam. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 286). Ikhwan berpendapat bahwa tegaknya pemerintahan Islam adalah wajib. Karena Islam adalah agama dan Negara. Artinya, Islam datang dengan membawa nash-nash yang mengatur berbagai hubungan individu dengan pemerintah dan pemerintah dengan individu, perang dan damai, perjanjian dan perdamaian, menentukan hukum semua urusan pribadi maupun sosial, tolong menolong dan saling menanggung. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 287). Negara Islam menurut Hasan Al-Banna merupakan pilar utama proyek kebangkitan. Menurut Al-Banna Negara tegak diatas bingkai referensi, adapun 87 Negara Islam ( Daulah Islamiyah) bingkai referensinya adalah Islam itu sendiri. Hasan Al-Banna berpendapat harus ada usaha untuk membebaskan berbagai negeri, mendekatkan berbagai ragam kebudayaan, menghimpun kalimat sehingga dapat mengembalikan tegaknya khilafah. Hasan Al-Banna mengatakan: “ Harus ada kerja sama anatara seluruh bangsa muslim dalam masalah kebudayaan, sosial dan ekonomi. Setelah itu membentuk persekutuan dan koalisi diantara mereka, mendirikan lembaga bersama dan mengadakan konferensi-konferensi setelah itu membentuk persekutuan bangsa-bangsa muslim dan jika hal itu bisa terwujudkan dengan seutuhnya dapat dibuat sebuah kesepakatan untuk mengangkat seorang imam yang menjadi penengah dan pemersatu”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 191). Hasan Al-Banna menekankan model Islami yang integral sebagai asas bagi perwujudan kebangkitan diseluruh dunia. Hasan Al-Banna berkata: “ Penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah Islam diseluruh negari”. Hasan Al-Banna menegaskan bahwa penerapan Islam sebagai sistem yang integral hanya dapat diwujudkan melalui perwujudan Negara Islam(Daulah Islamiyah). Selanjutnya Hasan Al-Banna mengatakan: “ Negara merupakan representasi dari fikroh, tegak dalam rangka memeliharanya, bertanggung jawab mewujudkan cita-citanya dalam masyarakat khusus dan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Negara Islam adalah Negara merdeka yang tegak diatas syari’ah Islam, bekerja dalam rangka menerapkan sistem sosialnya, memproklamasikan prinsip-prinsipnya yang lurus dan menyampaikan dakwahnya yang bijak ke segenap umat manusia”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 255). Tentang kedudukan Negara Hasan Al-Banna berpendapat bahwa Islam mewajibkan terwujudnya pemerintahan yang tegak diatas kaidah sistem sosial yang telah digariskan untuk umat manusia. Islam tidak menghendaki kekacauan dan tidak membiarkan umat Islam hidup tanpa pemimpin, karena Rosulullah pernah bersabda, “ Jika engkau berada di sebuah negeri sedangkan negeri itu tidak berpemmpin maka tinggalkan”. (Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 153). Daulah Islamiyah tidak tegak kecuali diatas fondasi dakwah, sehinga daulah Islamiyah adalah penegak misi, bukan sekedar bagan struktur, bukan 88 pula pemerintahan yang materialistis dan gersang tanpa ruh didalamnya. Dakwah juga tidak mungkin tegak kecuali jika ada jaminan perlindungan, yang menjaga, menyebarkan dan mengukuhkannya. d) Sistim kekuasaan Ikhwan sesuai pemikiran Hasan Al-Banna berpendapat keharusan pemisahan antara berbagai fungsi pemerintahan menjadi tiga. Hasan Al-Banna menegaskan: “ Menghimpun kekuasaan dan membebankannya kepada individu atau pihak tertentu, sangat berpotensi menumbuhkan sikap otoriterisme yang dapat merusak negara dan masyarakat secara bersamaan, menghancurkan bangunan dan pilar-pilarnya sekaligus. Karena itu kekuasaan dibagi dalam tiga bagian: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan tiga hal itu merupakan hal darurat yang dituntut oleh sistem politik untuk menghindari kesewenang-wenangan dan tegaknya keadilan”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 250). Hasan Al-Banna menguraikan pengelompokan kekuasaan sebagaiberikut: Kekuasaan Legislatif Hasan Al-Banna menjelaskan tanggungjawab dewan legislatif kedalam poin-poin sebagai berikut: 1. Pemilihan umum secara berkala yang bebas dan reformasi yang mendasar undang-undang pemilu. 2. Pengawasan dan penyusunan Undang-Undang. 3. Evaluasi pelaksanaan pemeritahan. 4. Pembuatan perangkat skill menejemen dan informasi yang terpercaya. 5. Hubungan yang efektif antara Parlemen dan Masyarakat. 6. Tegaknya demokrasi dan sistem musyawarah secara mengakar. 7. Penyempurnaan kodifikasi Undang-Undang syari’ah Islam. Kekuasaan Dewan Eksekutif ( Pengelolaan, kementrian dan pemerintahan) Hasan Al-Banna berpendapat bahwa Dewan Eksekutif mempunyai tugastugas sebagai berikut: 1. Pemilihan pemimpin yang sistematis dan terprogram 89 2. Strukturisasi pemerintahan sesuai dengan kaidah-kaidah yang konstitusional 3. Pengaturan penggunaan harta Negara 4. Pengaturan organisasi dan manajemen yang benar. Tugas-tugas Dewan Yudikatif: 1. Tegaknya prinsip kemandirian peradilan 2. Tegasnya aturan untuk menetapkan ketua majelis peradilan dan kejaksaan tinggi 3. Kemandirian Peradilan Militer 4. Keterbukaan pengawasan peradilan 5. Pengaturan lembaga kehakiman 6. Penghindaran peradilan dari partai 7. Pembentukan mahkamah tinggi konstitusi 8. Pembentukan perwakilan kontrol manajemen 9. Pemilihan para pemimpin atas dasar kapasitas dan keahlian. 10. Jamian keamanan untuk para hakim. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 250-251). Hasan Al-Banna meliat untuk melakukan reformasi lembaga-lemabaga negara harus diambil prinsip-prinsip berikut: 1. Membangkitkan semangat keIslaman dikantor-kantor pemerintah sehingga seluruh pegawai merasa dituntut untuk itu. 2. Mendahulukan pemenuhan tugas-tugas di kantor kapan pun, sehingga membantu penyelesaian berbagai kewajiban dan menghindarkan banyak begadang. 3. Menghapuskan suap, komisi, hanya berpegang pada kapabilitas pegawai dan peraturan yang ada. 4. Menimbang setiap aktivitas pemerintah dengan pertimbangan hukum dan ajaran Islam. Penyelenggaraan pesta, pertemuan resmi, sistem lembaga pemasyarakatan, pengelolaan rumah sakit dan lain-lain hendaknya tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Kegiatan- 90 kegiatan hendaklah diatur sedemikian rupa sehingga tidak berbenturan dengan waktu sholat. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 251). e) kepartaian dan pemilihan umum Dinamika perubahan yang digunakan Hasan Al-Banna pada fase pengenalan dan pembentukan berada dalam konteks metode damai dalam rangka mengadakan perubahan pada mentalitas dan visi pemikiran yang dikombinasikan dengan prinsip-prinsip dan tujuan Islam. Adapun perubahan dalam prioritas pembangunan materiil pada masyarakat dia jadikan perhatian utama bagi organisasi untuk fase ketiga dari pergerakan yang disebutnya dengan fase pelaksanaan (marhalah at-tanfidz ). Contoh dinamika perubahan pada fase ketiga antara lain partisipasi dalam pemilihan umum wakil rakyat sebagai metode perubahan damai dalam kerangka kenegaraan. (Fathi Yakan 1993: 39). Membahas tentang pemilihan umum Hasan Al-Banna mengatakan sebagai berikut: “ Sistem parlemen modern telah melapangkan jalan kearah pembentukan Ahlul halli wal ‘aqdi dengan sistem pemilu (dengan segala variasinya) yang telah dirumuskan oleh para pakar perundang-undangan. Islam tidak menolak sistem ini selama benar-benar mengarah kepada pemilihan Ahlul halli wal ‘aqdi . pemilihan tersebut akan mudah dilakukan jika dalam undang-undang pemilu ditetapkan secara tegas kriteria Ahlul halli wal ‘aqdi dan tidak memperkenankan selain mereka untuk menduduki kursi parlemen yang mewakili rakyat”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 263). Hasan Al-Banna menjelaskan untuk merealisasikan prinsip pemilu secara bebas, bersih harus mengikuti sayarat-syarat berikut, antara lain: 1. Merumuskan sifat-sifat yang spesifik untuk para calon anggota dewan. 2. Menetapkan kode etik kampanye 3. Perbaikan jadwal pemilu 4. Menetapkan sanksi yang keras kepada praktik pemalsuan dan suap dalam berbagai bentuknya 91 5. Membebaskan para calon dari tekanan pihak pemilih, mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. (Abdul Hamid AlGhazali 2001: 263). Beberapa anggota Ikhwan telah mengajukan diri dalam pencalonan pemilihan anggota parlemen (termasuk diantaranya adalah Mursyid ‘Am, Hasan Al-Banna) pada dua kesempatan, yang pertama pada tahun 1942 dan kedua tahun 1945. (Fathi Yakan 1993: 39). Ikhwan juga berencana untuk mengambil sikap terhadap pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada tahun 1950 dimana pada saat itu badan legislatif Ikhwanul Muslimin dalam sebuah rapat luar biasa tanggal 7 Agustus 1948 sudah mengusulkan pengambilan kebijakan untuk masalah ini, akan tetapi keluarnya ketetapan pemerintah tentang pembubaran organisasi Ikhwanul Muslimin beberapa bulan setelah rapat tersebut membuat masalah itu terhenti. a. Pemilu tahun 1942 Pada masa pemerintahan Partai Al-Wafd keluar dekrit pembubaran Parlemen pada tanggal 7 Februari 1942 dan seruan untuk melaksanakan Pemilu yang baru. Majulah organisasi Ikhwanul Muslimin dalam pencalonan di pemilihan umum dengan mengajukan dua orang dari mereka yaitu Mursyid ‘Am (Hasan Al-Banna) dari daerah pemilihan Ismailiyah dan Muhammad Naser di daerah pemilihan Benha. Langkah ini didasari salah satu keputusan dari keputusan-keputusan muktamar ke-6 Ikhwanul Muslimin yang diselenggarakan pada bulan Januari 1941 yang bunyi ringkasnya adalah sebagai berikut: “Mengizinkan kepada Kantor Pusat Pemilihan Umum Ikhwanul Muslimin untuk mencalonkan anggota-anggota Ikhwan yang memenuhi syarat pada lembaga-lemaga perwakilan rakyat untuk meninggikan suara organisasi dakwah pergerakan Ikhwan dan menyampaikan aspirasi organisasi demi kepentingan agama dan bangsa”. (Fathi Yakan 1993: 40). Diambilnya keputusan ini disebabkan oleh situasi yang menimpa organisasi Ikhwanul Muslimin masa pemerintahan Sirry Phasya (10 November 1940 / 4 Februari 1942) dimana ia mengambil kebijakan-kebijakan yang sangat 92 ketat karena adanya tekanan dari kedutaan Inggris untuk memberlakukan hukum-hukum konvensional dengan tujuan menghambat aktivitas organisasi Ikhwan. Karenanya, surat-surat kabar Ikhwan dibredel, perkumpulanperkumpulannya dilarang, percetakannya ditutup, bahkan Mursyid ‘Am dan wakilnya ditahan untuk beberapa waktu yang cukup lama. Hasan Al-Banna memandang bahwa hal tersebut merupakan rintangan bagi pelaksanaan periode pergerakan kedua (marhalah at-takwini) yang telah diumumkanya pada tahun 1938. Hal tersebut yang mendorong Hasan Al-Banna berinisiatif bahwa parlemen adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengemukakan pendapat dan sebagai mimbar pengaduan bagi orang-orang yang tetap konssten dalam kebenaran pada saat itu. Ikhwanul Muslimin memutuskan untuk terun kekancah pemilu tahun 1942. Al-Banna mengatakan bahwa Ikhwan sangat berpegang teguh atas diri mereka dalam melaksanakan prinsip tahapannya. Al-Banna akhirnya mengundurkan diri dari bursa pencalonan tersebut atas perundingan yang terjadi antara dirinya dengan Perdana Menteri Nuhas Pasya yang telah memberikan keuntungan-keuntungan bagi Ikhwan dalam perundingan itu, seperti diperbolehkannya penggunaan segala macam metode bagi didalam menyebarkan misi dakwah pergerakkan mereka dimanapun seantero Mesir tanpa ada rintangan dari pemerintah, demikian juga diizinkan kembali bagi Ikhwan untuk menerbitkan surat kabar dan majalah serta membuka cabang dan ranting baru diseluruh pelosok negeri. Majunya Ikhwan dalam pemilu 1942 merupakan jawaban atas kebutuhan praktis pergerakan demi kepentingan dakwah, tetapi langkah ini tidak bertitik tolak dari keyakinan terhadap kerja keparlemenan dalam situasi yang tengah berlangsung, kecuali semata-mata sebagai mimbar dakwah dibawah kondisi yang kritis pada masa itu. Hal tersebut diperjelas dengan mundurnya Hasan Al-Banna dari bursa pencalonan dan tidak menggunakan hukumnya, walau mendapat tentangan keras dari anggota Ikhwanul Muslimin. Al-Banna berpendapat bahwa apabila tujuan-tujuan yang diharapkan dapat dicapai tanpa masuk parlemen maka tidak 93 ada alasan bagi Ikhwan untuk terus memaksakan diri mengikuti pemilu, terutama jika hal tersebut akan membuat konfrontasi dengan pemerintahan Mesir kala itu, yaitu Partai Al-Wafd yang seringkali mendapat hasutan dari Inggris. b. Pemilu 1944-1945 Keputusan untuk mengikuti pemilu pada masa ini mendapatkan perhatian yang sangat besar dari anggota-anggota Ikhwanul Muslimin sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan tentang tujuan keikut sertaan Ikhwan dalam pemilu. Al-Banna memberikan jawaban atas hal tersebut dan mengulangi penekanannya terhadap kebutuhan-kebutuhan praktis dakwah untuk disebarkan di masyarakat. Hasan Al-Banna menyatakan dalam rapat badan legislatif Ikhwanul Muslimin untuk terjun dengan para da’I dan oratornya kemimbar wakil rakyat. Dalam sebuah artikelnya yang ditulis pada tahun 1944 Hasan Al-Banna menyatakan konstitusi Mesir dilihat dari aspek syura (musyawarah) pengakuan atas kedaulatan rakyat dan penjaminan terhadap kebebasan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan tidak melanggar prinsip-prinsip serta ajaran-ajarannya, apalagi telah ditegaskan bahwa agama resmi negara adalah Islam. Jika ada beberapa pasal yang perlu direvisi itu adalah hak dari wakil rakyat untuk mengubahnya melalui perundang-undangan yang telah digariskan karenanya lembaga parlemen ketika itu mejadi sarana ideal untuk mengejawantahkan syiar Ikhwan. Ungkapan diatas adalah pertanda yang sangat jelas tentang keyakinan AlBanna tehadap kemungkinan melakukan perubahan dengan berpegang pada prinsip-prinsip kerja keparlemenan, demokrasi dan perbaikan konstitusi. Umumnya masalah parlemen menjadi sangat vital yang menjamin proses perubahan menuju kearah yang diharapkan. Meskipun Ikhwan mengakui hal ini, tetapi itu tidak membuatnya melanggar “prinsip tahapan”. Pada pemilu tahun 1944-1945 Ikhwan mengajukan 6 orang calon. 94 Pemilu pada tahun 1944-1945 gagal diikuti Ikhwan karena adanya pelarangan pemerintah Mesir yang didukung oleh Inggris yang saat itu masih menguasai Mesir. c. Persiapan Pemilu 1950 Pada rapat luar bisa Badan Legislatif Ikhwanul Muslimin yang diadakan pada 8 Agustus 1948 dilangsungkan sebuah diskusi tentang kedudukan Ikhwan pada pemilihan anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada tahun 1950. pada rapat ini Hasan Al-Banna memberikan pembahasan yang lengkap berkaitan dengan percobaan-percobaan Ikhwan periode yang lalu dan usahausahanya untuk sampai kekursi parlemen. Perhatian Ikhwan pada rapat luar biasa tersebut menunjukan sikap permusuhan yang dilakukan rezim penguasa dan kalangan partai yang ada di parlemen terhadap usaha-usaha Ikhwanul Muslimin yang ingin berpartisipasi dalam proses keparlemenan tersebut. Pada sisi yang lain diletakkan juga program pengajuan anggota Ikhwan untuk berpartisipasi dalam pemilu baik pencalonan maupun pemberian suara. Al-Banna juga menyinggung uraian tentang pemilu yang akan di selenggarakan tahun 1950 artinya ia membicarakan masalah itu setahun sebelum pemilu dilaksanakan. Dalam uraiannya itu ia menjelaskan alasanalasan yang mendukung Ikhwanul Muslimin dalam pemilu dan yang menentangnya. Hal yang penting dalam masalah ini adalah usul yang dilontarkan Hasan Al-Banna untuk mengadakan jejak pendapat bagi setiap anggota Ikhwan. Hasan Al-Banna menugaskan panitia politik Ikhwan untuk melakukan jejak pendapat, memeriksa bebagai reaksi dan membuat laporan yang lengkap mengenai hasilnya kemudian dibacakan didepan badan-badan Ikhwanul Muslimin, setelah itu dikeluarkanlah keputusan tentang sikap Ikhwanul Muslimin terhadap pemilu. (Fathi Yakan 1993: 40-47). f) Aktivitas Politik Ikhwan yang lain Dalam aktivitas politik Ikhwanul Muslimin mempunyai peran yang cukup menonjol pada masa itu, aktivitas tersebut antara lain: 95 Mengangkat masalah Palestina sejak konflik palestina meletus pada tahun 1936, dengan perlawanan rakyat terhadap Inggris dan Yahudi. Mereka ikut memberikan andil pemikiran dan tindakan dalam membela Palestina dengan mempublikasikan berita-berita yang berkaitan dengannya disurat-surat kabar Ikhwan, mengadakan muktamar-muktamar dan kunjungan-kunjungan serta membentuk berbagai kepanitiaan untuk mengumpulkan bantuan. Ikhwan mengingatkan kepada Negara-negara yang mereka pandang kurang peduli terhadap permasalahan Palestina. Mereka juga menentang perjanjian 1936 yang ditandangani An-Nuhas, ketika An-Nuhas menyatakan kekagumannya kepada Ataturk, Al-Banna menyanggahnya dengan surat yang berisiskan kritikan terhadap Atarturk dan mengajak An-Nuhas untuk mengembalikan kepemimpinan Islam. Mengirim surat kepada Faruq, An-Nuhas, Muhammad Mahmud, Menteri kehakiman dan Syaikh Al-Azhar yang berisi beberapa point tentang reformasi politik, ekonomi, kebudayaan dan sosial. Ikhwan menganggap bahwa imperalisme, perusahaan-perusahaan asing dan tradisi barat termasuk dalam sepuluh pembawa bencana yang harus mereka tentang. Mengadakan muktamar politik untuk mahasiswa-mahasiswa mereka digedung Pemuda, dalam rapat ini Hasan Al-Banna menyampaikan orasi tentang sikap Islam terhadap politik dan partai. Para peserta muktamar memutuskan: “ Menuntut pembubaran semua partai politik dan menggantinya dengan sebuah forum bersama yang menggunakan konsep Islam dalam sebuah aspek kebangkitan”. Mengadakan muktamar ke-V pada tahun 1939 yang oleh Hasan Al-Banna dianggap sebagai “kesempatan pertama mengahdapi masyarakat Mesir dan dunia internasional dengan dakwahnya”. Pidato dalam muktamar tersebut membahas tentang sikap Ikhwan terhadap hukum, kekuatan, patriotisme, nasionalisme Arab, masalah Palestina dan konspirasi Inggris. Hal ini menunjukkan pidato tersebut merupakan sikap politik Ikhwan. Setelah muktamar tersebut Ikhwan menerbitkan selebaran yang menegaskan seruan 96 untuk membela Palestina dan himbauan kepada rakyat untuk mengumpulkan dana bagi Palestina. Memasuki lapagan ekonomi dengan mendirikan peusahaan percatakan Ikhwan pada tahun 1934, perusahaan muamalah Islam, perusahaan pintal dan tenun, semua itu merupakan perusahaan perseroan. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 193-195). Pada tahun 1945 Ikhwan mengadakan tujuh muktamar rakyat di Kairo, Iskandaria dan Ibu Kota-Ibu Kota Provinsi dengan tujuan menjelaskan hak-hak rakyat secara memadai, pemberantasan buta huruf secara nasional dan memberikan penyuluhan kepada warga negara tentang hak-hak dan kewajibankewajiban mereka. Mereka juga mengadakan pertemuan dengan pemimpinpemimpin wilayah, markas-markas masjid dan pemimpin cabang-cabang pada tahun 1945 dan 1946. muktamar-muktamar dan pertemuan-pertemuan tersebut menghasilkan beberapa keputusan yang berkisar pada hal-hal berikut: 1. Menuntut pemerintah Mesir untuk segera mengumumkan pemutusan segala perundingan dengan pemerintah Inggris, membatalkan perjanjian tahun 1936 dan menuntut pemerintah Inggris untuk menarik kekuatan militernya dari lembah Nil tanpa ikatan dan syrat apapun. 2. Melakukan negosiasi dengan Inggris sebelum dimulainya efakuasi militer Inggris dan penetapan batas akhirnya, adalah tindakan yang tidak serius. 3. Menghimbau rakyat untuk menyiapkan diri dalam rangka mempersiapkan jihad. 4. Setiap pemerintah yang tidak memenuhi tuntutan ini adalah alat imperalis dan tidak mempresentasikan sebuah negara, karenanya gugurlah kewajiban untuk taat kepadanya. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 201). Dewan pendiri Ikhwan mengadakan pertemuan luar biasa untuk mendiskusikan upaya merebut hak-hak negara. Mereka mengeluarkan pernyataan tanggal 5 Februari 1946 yang ditujukan kepada pemerintahan Naqrasyi dan rakyat yang menegaskan tuntutan-tuntutan terdahulu khususnya penarikan penuh tentara Inggris dari bumi Mesir. 97 Mahasiswa juga mengadakan long march menuju istana Abidin untuk menuntut hak-hak yang sama dan terjadilah pembantaian Kaubari Abbas 9 Februari 1946, kemudian muncul demonstrasi yang dipimpin Musthofa Mukmin pimpinan mahasiswa Ikhwan dari Universitas ke Istana Abidin pada tanggal 11 Februari 1946 yang akhirnya menjatuhkan pemerintahan Perdana Menteri Naqrasyi pada tangal 14 Februari 1946. Tampuk pemerintahan digantikan oleh Isma’il Shidqi. Ia mengadakan kesepakatan dengan Ikhwan untuk saling memahami dan kerja sama dengannya berdasarkan prinsip-prinsip yang mereka sepakati. Mereka menyetujui pemerintahannya dengan syarat bahwa batas minimal hak negara adalah evakuasi militer Inggris dan keamanan di Mesir jika itu tidak dipenuhi mereka akan menarik dukungan terhadap pemerintahannya. Aktivitas Ikhwan masa Perdana Menteri Isma’il Shidqi antara lain: 1. Mengadakan demonstrasi-demonstrasi periodik untuk mengingatkan Isma’il Shidqi tentang janjinya kepada rakyat. Mereka juga mengadakan pertemuan-pertemua periodik untuk mengkaji sikap politik yang akan diambil setiap kali berakhir satu tahapan dari rangkaian pembicaraan Isma’il Shidqi-Beven. 2. Pemerintahan Isma’il Shidqi Mengkoordinir dua kali pemogokan dalam dua tahun untuk menegaskan tuntutan-tuntutan terdahulu pada 10 Mei 1946 dan 8 Juni 1946 atas undangan komite politik Ikhwan. Mereka juga mengeluarkan beberapa manifest yang ditujukan kepada rakyat Mesir yang mengajak mereka menolak setiap solusi yang tidak mewujudkan persatuan terhadap rakyat Mesir, menolak perjanjian apapun dibawah kekuasaan imperalisme. Mereka meminta rakyat untuk memboikot Inggris baik secara ekonomi, budaya maupun sosial. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 202205). 3. Kebijakan Ikhwan terkait dengan luar negeri Mesir a) Sikap terhadap penjajahan Inggris Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat seruan untuk membina hubungan yang baik antara kaum Muslimin dengan ahlul kitab. 98 Al-Qur’an menerangkan bahwa makanan mereka dihalalkan, dan wanitawanita ahlul kitab boleh dinikahi oleh kaum muslimin, tetapi perlakuan tersebut tidak berlaku terhadap orang-orang musrik. Hasan Al-Banna juga menjelaskan pandangan Ikhwan dalam kaitannya dengan orang-orang asing. Tidak dapat diingkari bahwa Mesir saat itu telah mengadobsi peraturan dan ilmu pengetahuan dari barat, tapi Ikhwan tidak mungkin membiarkan orang-orang Eropa terutama Inggris menguras habis potensi-potensi Mesir karena masyarakat Mesir sangat membutuhkannya. Ikhwan hanya menghendaki bangsa Mesir bisa menguasai hak milik mereka sendiri secara utuh. ( Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 105). b) Sikap Ikhwan terhadap Zionisme Eksistensi zionisme adalah musuh yang di back up penuh oleh Amerika dan bekerja untuk menghapuskan negeri Palestina lalu melebar ke timur, utara dan selatan. Satu-satunya jalan untuk mendongkel permusuhan ini adalah jihad dengan harta dan jiwa dalam rangka melenyapkan eksistensi Zionisme dan mengembalikan tanah yang telah dirampas. (Taufiq Yusuf Al-Wa’iy 2003: 185). Ikhwan berpandangan tidak perlu ada perundingan damai, tolak normalisasi hubungan dan putus komunikasi, itulah beberapa langkah pokok untuk reformasi total yang mungkin dilakukan diberbagai sektor kehidupan baik politik, hukum, sosial, ekonomi dan budaya yang merupakan batas minimal yang bisa diharapkan untuk mewujudkan keberlangsungan masyarakat kita dan menumbuhkan ekonomi serta kebudayaan berkesadaran pada generasi kita. c) Pembelaan terhadap negara Islam yang terjajah Hasan Al-Banna berusaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dan menyadarkan mereka terhadap banyaknya konspirasi terhadap Negara-negara Islam, salah satunya adalah konspirasi terhadap Palestina. Hasan Al-Banna sangat berharap agar setiap umat Islam menyadari bahwa Inggris telah menjajah Bangsa Palestina. Mereka sedang melakukan langkahlangkah awal untuk mendirikan Negara Yahudi di tempat itu dan mengusir 99 penduduk muslim. Melatih orang-orang Yahudi dengan latihan militer dan memberikan hukuman mati kepada penduduk Palestina yang diketahui sedang latihan militer. Hasan Al-Banna telah melakukan kegiatan-kegiatan yang bermacam-macam seperti menyelenggarakan diskusi-diskusi, ceramah- ceramah dan pengajian-pengajian untuk menyadarkan penduduk Mesir terhadap apa yang seharusnya mereka lakukan terhadap bangsa muslim yang sedang terjajah. ( Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 128). Pada konferensi Ikhwanul Muslimin yang kelima Hasan Al-Banna menyatakan bahwa tanah Islam adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan. Setiap pelanggaran terhadap sebagian tanah Islam sama dengan pelanggran terhadap terhadap seluruh dunia Islam. Setiap muslim berkewajiaban untuk membantu Negara yang sedang dianiaya tersebut. Hasan Al-Banna berkata: “ Kami mengingatkan kepada para delagasi muslim terhadap tipu daya Negara-negara barat yang telah melakukan penjajahan dan terhadap kewajiban untuk menegakkan hak-hak bangsa Arab secara sempurna dan tidak dikurangi. Setelah itu kita memiliki perhitungan dengan Negaranegara barat di wilayah-wilayah muslim yang telah didudukinya dengan cara yang tidak benar. Islam telah mewajibkan kepada para penduduk Negara-negara tersebut dan juga kepada kita bersama agar kita dapat berbuat untuk menyelamatkan dan membebaskannya” (Abdul Hamid AlGhazali 2001: 275). d) Persatuan Arab Pemikiran nasionalisme Arab di Mesir tersebar luas karena berbagai faktor diantaranya: Adanya tantangan imperalisme, munculnya persoalan Palestina dan zionisme Terbentuknya beberapa oraganisasi yang mempropagandakan pemikiran Arabisme dan berusaha mendekatkan antara sesama bangsa Arab. Para pembela arus keagamaan mengadobsi konsebsi Arabisme dalam menghadapi propaganda Mesirisme Firaunisme. 100 Masuknya Mesir secara resmi kemedan gerakan Arab ditengah Perang Dunia II dan berdirinya konfederasi negara-negara Arab yang menjadikan Kairo sebagai markasnya. . (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 368). Arus ini mendapatkan gema yang menonjol dalam organisasi Ikhwan. Mereka menyatakan bahwa kesatuan Arab merupakan sesuatu yang harus ada, wajib dibela dan berusaha untuk diwujudkan. Ikhwan juga membahas konsepsi Arabisme, juga melakukan kerja konkret yang membela konfederasi Arab dan persoalan-persoalannya. Hasan Al-Banna menjelaskan tentang dasar hubungan antar negara Arab. Ia berkata: “ Ikhwanul Muslimin memandang manusia dalam konteks hubungan mereka dengannya, terbagi menjadi dua golongan: pertama, golongan manusia yang meyakini sebagaimana apa yang kami yakini, yaitu beriman kepada Allah dan kitab-Nya serta beriman kepada Rosulullah dengan segenap ajaran yang dibawanya. Mereka dan kami dijalin oleh sesuci-sucinya ikatan, yakni ikatan akhidah. Ikatan ini jauh lebih suci dari pada ikatan darah dan tanah air. Mereka adalah kaum kerabat kami yang kami perhatikan, kami berjuang untuk mereka, melindungi mereka dan menebus kehormatan mereka dengan darah dan harta kami. Kedua, golongan manusia yang lain yang tidak ada jalinan yang mengikat dengan kami. Dengan mereka kami tetap berdamai selama mereka berdamai dengan kami, kami menginginkan kebaikan bagi mereka selama mereka tidak memusuhi kami. Kami meyakini bahwa antara kami dan mereka dijalin suatu ikatan yaitu ikatan dakwah. Kami harus mengajak kepada mereka kepada misi yang kami emban, karena ini adalah kebaikan bagi seluruh umat manusia. Ingat firman Allah: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah anatara kedua saudara kalian....(Qs. Al-Hujurat: 10). Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi mu karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian dan membantu oran lain untuk mengusir kalian. (Qs. Al-Muhammad: 8-9).”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 273). Tentang persatuan Arab Hasan Al-Banna menjelaskan sebagai berikut: “ Ikhwanul Muslimin memaknai istilah Al-‘Urubah (Arabisme) sebagaimana yang dikenalkan Rosulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Mu’adz bin Jabal, Ingatlah 101 sesungguhnya Arab itu adalah bahasa. Ingatlah sesungguhnya Arab itu adalah bahasa. Karena itu, wujud persatuan Arab adalah keniscayaan demi mengembalikan kejayaan Islam, tegaknya daulah dan kehormatan kekuasaannya. Maka dari itu, setiap muslim harus bekerja dalam rangka memperjuangkan tegaknya. Inilah sikap Ikhwanul Muslimin terhadap prinsip persatuan Arab”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 273). Tentang kedudukan arab dalam dakwah Ikhwan Hasan Al-Banna menjelaskan sebagai berikut: “ Al-‘Urubah (Arabisme) atau federasi Arab juga memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah kami. Karena bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima Islam dan bangsa yang terpelih. Rosulullah bersabda: Jika Bangsa Arab dihina, hina pulalah Islam. Islam tidak mungkin bangkit tanpa kesatuan kata Bangsa Arab dan kabangkitannya”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 274). D. Pengaruh pemikiran Hasan Al-Banna terhadap Negara-negara Islam Ikhwanul Muslimin dianggap sebagian orang sebagai organisasi terbesar dizaman modern ini, karena ia mampu menyebar kebanyak negara, dimanapun ia berada maka Ikhwan bukan sekedar tersebar sebagai sebuah organisasi Islam semata, Ikhwan diadopsi dan dipakai oleh sangat banyak tokoh dan organisasi Islam lain. Dihampir semua tempat organisasi ini mengalami penindasan dari penguasa setempat, tapi Ikhwan terus berkembang dan terus mengalami evolusi serta penyesuaian dengan lingkungan barunya. (Aga Sekamdo 2004: 13). Mesir merupakan saat pertama kalinya berbagai konsep yang dimiliki Ikhwan berkembang, mulai dari kehidupan yang sangat normal karena baru dalam perkembangan awal, sampai terlibat dalam perang dengan kaum penjajah lalu terkena pelarangan dan penangkapan juga mengalami masa sekarang. Gerakan Ikhwan dimulai di Isma'iliyyah kemudian beralih ke Kairo. Dari Kairo tersebar ke berbagai pelosok dan kota di Mesir. Akhir tahun 40-an, cabang Ikhwan di Mesir sudah mencapai 3000. Tiap cabang memiliki anggota yang cukup banyak. Gerakan tersebut kemudian meluas ke negara-negara Arab. Ia berdiri kukuh di Suriah, Palestina, Yordania, Libanon, Iraq, Yaman dan lain-lain. (Mahmud Jami’ 2005: 36). Dewasa ini anggota dan simpatisannya tersebar di 102 berbagai penjuru dunia. Diantaranya juga telah menyebar di Asia seperti Malaysia dan Indonesia. Terdapat beberapa hal yang dianggap sebagai sebab utama organisasi tersebut menginternasional, yaitu: Tarbiyah, yang dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pendidikan. Konsep ini merupakan faktor utama yang mengantarkan Ikhwan menginternasional. Pendidikan khas gaya Ikhwan ini memberikan pengaruh begitu besar bahkan dominan terhadap kemmpuan Ikhwan menginternasional. Konsep menerima perbedaan atau dalam bentuk lain dikenal dengan Fiqh Ikhtilaf (Fiqih perbedaan). Konsep sistem. Organisasi ini sangat dikenal dengan kemampuannya membuat sistem dan melepaskan diri dari ketaatan atau ketergantungan yang berlebihan terhadap tokoh ataupun kondisi dan lingkungan tertentu. (Aga Sekamdo 2004: 26). Penyebaran Ikhwanul muslimin sangat rapi, dilakukan dengan terorganisir dan sistematis. Gerakan Ikhwan yang tersebar ke seluruh dunia kadang-kadang tidak menyebutkan dirinya sebagai Ikhwanul muslimin tetapi menggunakan nama lain. Pada dasarnya tujuan mereka sama yaitu mengajak manusia ke dalam sistem Islam yang kaffah (meyeluruh) dan memukul mundur gerakan sekulerisasi. Untuk memudahkan pembahasan tentang persebaran Ikhwan, ada beberapa nama tokoh Ikhwan yang sebaiknya diketahui, antara lain: 1) Hasan Al-Banna: Mursyid ‘Am pertama 2) Hasan Al-Hudhaibi: Mursyid ‘Am kedua 3) Umar Al-Tilmisani: Mursyid ‘Am ketiga 4) Muhammad Hamid Abu Nassr: Mursyid ‘Am keempat 5) Musthofa Mansyhur: Mursyid ‘Am kelima 6) Musthofa As-Siba’I: Muraqib ‘Am pertama Ikhwan di Syiria 7) Sa’id Hawwa: Pemimpin Ikhwan Syiria 8) Abdullah Azzam: Dosen penyeru jihad Afganistan 9) Syaikh Ahmad Yasin: Tokoh spiritual HAMAS Palestina 103 10) Fathi Yakan: tokoh Ikhwan Pakistan 11) Mahmudz An-Nahnah: Presiden HAMAS Aljazair 12) Syaikh Abdullah Al-Ahmar: Ketua Majelis Syuro’ Ikhwan di Yaman 13) Abdullah Al-Ali Muthawwi: Pemimpin Jam’iyyatul Ishlah Al-Ijtima’I, di Kuwait yang bayak mengadopsi Ikhwan 14) Faishal Maulawi: tokoh Ikhwan di Libanon Tokoh-tokoh ini disebutkan sebagai cermin kebesaran organisasi ini, karena tokoh-tokoh ini dikenal sebagai tokoh-tokoh Islam internasional yang sudah menjadi rujukan bagi banyak organisasi Islam lainnya. (Aga Sekamdo 2004:32-33). a. Perkembangan Ikhwan di Palestina Problematika politik yang paling mendapatkan perhatian Ikhwanul Muslimin adalah konspirasi terhadap tempat yang suci bagi umat Islam yaitu Palestina. Palestina adalah kiblat pertama umat Islam dan masjid ketiga yag diusahakan untuk dikunjungi. Keterlibatan Ikhwaunul Muslimin tampak jelas sekali dalam perang pembebasan Al-Quds (Palestina). Di masa Ikhwan telah mengirimkan 10.000 pasukan. (Aga Sekamdo 2004: 44). Hamas yang merupakan salah satu organisasi gerakan perlawanan Islam di Palestina, juga merupakan salah satu bentuk dari perjuangan Ikhwan dalam peranan usahanya membebaskan Palestina. Hamas “Harokah Al-Muqowamah AlIslamiyah” (Gerakan Perlawanan Islam) menyebarkan manifesto pendiriannya pada tanggal 15 Desember 1987, meskipun kemunculannnya berakar mulai sejak dekade 40-an. Hamas merupakan perpanjangan dari gerakan Ikhwanul Muslimin, yang sebelum pendeklarasian Hamas, Ikhwan menggunakan nama-nama lain untuk mengungkapkan sikap politik mereka berkenaan dengan masalah Palestina, di antaranya: al-Murabithun fi Ardhil Isra’ (Para Pejuang yang Bertahan di Bumi Isra’), Harakah al Kifah al-Islamy (Gerakan Perjuangan Islam) dan lain-lain. ( www.ummah.org.uk/ikhwan/) Hamas lahir sebagai hasil dari akumulasi berbagai faktor yang dialami oleh rayat Palestina, sejak tragedi (nakbah) pertama tahun 1948 secara umum dan kekalahan perang tahun 1967 secara khusus. Dari bebagai faktor tersebut muncul 104 dua faktor utama yaitu: (1) perkembangan politik masalah Palestina dan akibatakibatnya hingga akhir tahun 1987 (2) dan kebangkitan Islam di Palestina serta hasil- hasil yang dicapai hingga pertengahan dekade 80-an. ( www.ummah.org.uk/ikhwan/) b. Perkembangan Ikhwan di Sudan National Islamic Front ( NIF) di Sudan didirikan oleh DR. Hasan Abdullah at-Turabi, salah seorang ulama Ikwanul Muslimin terkemuka yang pernah menamatkan pendidikannya di Oxford University dan University of Sorbonne. At-Turabi sendiri menolak menjadi pemimpin Sudan tapi lebih memilih menjadi Ketua Parlemen Sudan setelah terpilih secara demokratis dalam Pemilu Sudan. Islamisasi Sudan disambut antusias oleh masyarakat yang sudah bosan dengan kapitalisme dan sosialisme yang ternyata tidak pernah menghasilkan apa-apa dalam pembangunan bangsa. ( www.pas.org/sisters/zaynab.html) c. Perkembangan Ikhwan di Syiria DR. Muthofa As-Siba’i (1915-1964 M), mendeklarasikan Ikhwanul Muslimin diSyiria pada tahun 1945 dan menjadi pengawas pertama Ikhwan diSyiria. galar doktornya diperoleh dari Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, hahun 1949. memimpin babarapa divisi pasukan Ikhwan ke Palestina pada tahun 1948. pernah dicalonkan sebagai wakil Ikhwan diDamaskus tahun 1949 selain itu ia juga terkenal sebagai seorang kataib dan orator ulung. ( www.pas.org/sisters/zaynab.html) Hasil nyata dari gerakan Ikhwan di Syiria dalam bidang politik adalah ketika mereka berhasil mendesak Parlemen untuk mengamandemen UndangUndang Dasar Syiria berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Hal itu dilakukannya dengan mosi pada tanggal 8 Februari 1950. Dalam pernyataannya Mushthafa AsSiba'I menyatakan perlunya konstitusi yang menegaskan bahwa agama negara adalah Islam. Dalam bidang pendidikan DR. Musthofa As-Siba’i berhasil mendirikan Fakultas Syari'ah pada tahun 1954 di Damaskus dan As-Siba'I menjadi dekan pertamanya. Karya-karyanya antara lain Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al- 105 Islami, Al-Mar'ah baina Al-Fiqh Wa Al-Qanun, Al-Qanun Al-Ahwal AlSyakhshiyyah. Dalam bidang Militer, pada tahun 1956 ketika terjadi penyerbuan Inggris, Prancis dan Israel ke Mesir, sehubungan dengan nasionalisasi Terusan Suez, DR. Musthofa As-Siba’i mengubah Universitas Syria tempatnya mengajar menjadi kamp pelatihan jihad dan mengirimkan banyak sukarelawan ke Mesir. (Aga Sekamdo. 2004: 41). d. Perkembangan Ikhwan di Suriyah Syaikh Said Hawa bin Muhammad Dib Hawwa lahir di kota Hamah, Suriah, tahun 1935. Ia berusia 2 tahun ketika ibunya meninggal dunia. Said Hawa pindah ke rumah neneknya di bawah asuhan sang ayah, seorang pejuang pemberani yang berjihad melawan perancis. Pada masa mudanya berkembang pemikiran sosialis, nasional dan Ikhwanul Muslimin. Said Hawa bergabung ke dalam Jama’ah Ikhwanul Muslimin, tahun 1952, saat itu ia masih belajar di SMU. Aktivitas dakwah Said Hawa anatara lain dengan memberi kuliah, khutbah, dan ceramah di Suriah, Arab Saudi, Kuwait, Emirat, Irak, Yordania, Mesir, Qatar, Palestina, Amerika dan Jerman. Said Hawa juga berperan bahkan mengoordinir demonstrasi menentang Undang-Undang Suriah tahun 1973. Kemudian dia dijebloskan penjara selama 5 tahun. Dipenjara dia menulis buku tafsir Al-Asas Fit Tafsir (dua belas jilid) dan sejumlah buku dakwah lain. Ia memimpin di Jama’ah Ikhwanul Muslimin dilingkup nasional dan internasional. Said Hawa juga berperan aktif dalam aktifitas dakwah, politik dan jihad. Said Hawwa punya andil besar dibidang pendidikan. Said Hawa bekerja sebagai pengajar diluar Suriah. Ia mengajar di Arab Saudi selama 5 tahun, Madinah selama tiga tahun dan di Kuwait. Said Hawwa mempunyai karya tulis seputar dakwah da gerakan yang diminati para pemuda Islam di berbagai negeri sehingga tulisannya banyak diterjemahkan kedalam bahasa lain. Karangannya yang telah diterbitkan antara lain: Allah Jalla Jalaluhu, Ar-Rosul Shalallahu Alaihi Wassallam, Al-Islam. ( www.pas.org/sisters/zaynab.html) e. Perkembangan Ikhwan di Yordania 106 Gerakan Ikhwan Yordania bardiri pada tanggal 13 Ramadhan 1364H / 19 November 1945M. pimpinan pertamanya ialah Syaikh Abdulatif Abu Qurrah. ia pernah memimpin sejumlah pasukan Ikhwan Yordania kePalestina tahun 1948. selanjutnya pada tanggal 26 November 1953 Muhammad Abdurrahman Khalifah (lahir pada 1919) terpilih menjadi ketua umum Ikhwan diYordania, pada tahun itu juga Ikhwan Yordan mengirim pasukan untuk ikut berjuang diPalestina. (Aga Sekamdo. 2004: 42). Ikhwan Yordania juga mendirikan Islamic Collage di Amman ( yang diakui sebagai lembaga pendidikan terbaik di Yordania). Untuk bidang muamalah Ikhwan juga mendirikan Bank Islam dan rumah sakit. Pada tahun 1999 pemerintah Yordan mencapai kesepakatan dengan pemerintah Syiria, bahwa mereka memperbaiki hubungan mereka dengan syarat Syiria tidak lagi meminta anggota Ikhwan Syiria diekstradisi ke Syiria. Ini artinya ada pembelaan dari Pemerintah Yordan terhadap Ikhwanul Muslimin yang terdapat dinegara tersebut. (www.bicara.muslim.co.uk/mb/). f. Perkembangan Ikhwan di Aljazair Ikhwan Aljazair menggunakan nama HAMAS (Harokah Mujtama’ Silm/ Gerakan masyarakat damai), tapi dengan arti dan cara yang berbeda dengan HAMAS yang ada di Palestina. HAMAS Aljazair berbentuk partai politik yang lebih mengedepankan pendekatan damai dari pada pendekatan kekerasan. Pendiri partai ini adalah Syaikh Mahfuzh Nahnah yang saat ini menjabat sebagai Presiden partai. Saat ini, partai HAMAS memiliki 71 wakil di Parlemen, 3 Menteri di Kabinet dan lebih dari 1300 anggota parlemen di wilayah-wilayah. (Mahmud Jami’ 2005: 38). Berbeda dengan kebanyakan Ikhwan di Timur Tengah, HAMAS ini cenderung untuk memilih dialog sebagai metode utama gerakan mereka. g. Perkembangan Ikhwan di Tunisia (Hizb an-Nahdhah). Dipimpin oleh Dr. Rsyid al-Ghanusyi, ia adalah salah seorang nasionalis yang kemudian berpaling pada pemikiran Ikhwanul Muslimin. an-Nahdhah menjadi gerakan oposan bagi sekularisasi pemerintahan Tunisia dibawah kepemimpinan Habib Borguiba yang mengubah dari bahasa Arab menjadi bahasa 107 Prancis, menghapus peradilan Agama, menghapus peraturan berjilbab, bahkan menontonkan keberaniannya makan siang pada bulan Romadhon didepan rakyatnya. Setelah kematiannya, Habib Borguiba digantikan Ben Ali yang kemudian membubarkan Hizb an-Nahdhah dan memenjarakan 300 tokoh aktivisnya dengan tuduhan ingin menggulingkan pemerintahan dan mendirikan Negara Islam, untuk meredam protes dunia internasional, maka Ben Ali menyatakan bahwa ia sedang memerangi munculnya fundamentalisme Islam. (www.bicara.muslim.co.uk/mb/). h. Perkembangan Ikhwan di Afganistan Tokoh Ikhwan dari afgan yang sangat dikenal adalah Abdullah Azzam, ia lahir dan besar di negeri penuh konflik, Palestina. Sejak kecil sudah dikenal sebagai anak yang pintar dan tegas. Sebelum usia akil baliq, ia sudah bergabung dengan Ikwanul Muslimin. Pada usia 20-an, bersama para pemuda Palestina ia sudah berani melawan Israel yang memiliki persenjataan canggih. Keterlibatannya langsung bertempur melawan zionis Israel, membangitkan semangatnya untuk belajar berbagai hal tentang perang. Tidak hanya melawan Israel, tokoh kelahiran tahun l941 ini juga bertempur membantu pejuang Mujahiddin Afghanistan ketika mengusir tentara Uni Sofyet. Itu dilakukan setelah ia menyelesaikan program doktor di Universitas Al Azhar Mesir. Mulanya ia mengajar di Universitas Islam Antar bangsa di Islamabad Pakistan. Akhirnya ia memutuskan bergabung dengan para pejuang Mujahiddin yang berjuang melawan Tentara Merah. Abdullah Azzam menjadi seorang yang disegani di arena jihad Afghanistan. (Aga Sekamdo. 2004: 45). Pada tahun 1980 ia pindah ke Peshawar. Di sana ia mendirikan Baitul Anshar, sebuah lembaga yang menghimpun bantuan untuk para mujahid Afghan. Ia juga menerbitkan sebuah media Ummat Islam. Lewat majalah inilah ia menggedor kesadaran ummat tentang jihad. Katanya, jihad di Afghan adalah tuntutan Islam dan menjadi tanggung jawab ummat Islam di seluruh dunia. Seruannya itu tidak sia-sia. Jihad di Afghan berubah menjadi jihad universal yang diikuti oleh seluruh umat Islam di pelosok dunia. Pemuda-pemuda Islam dari 108 seluruh dunia yang terpanggil oleh fatwa-fatwa Abdullah Azzam, bergabung dengan para mujahidin Afghan. (www.bicara.muslim.co.uk/mb/). Jihad di Afghanistan telah menjadikan Abdullah Azzam sebagai tokoh pergerakan jihad. Peranannya mengubah pemikiran umat Islam akan pentingnya jihad di Afghanistan telah membuahkan hasil yang sangat mengagumkan. Abdullah Azzam telah berhasil meletakkan pondasi jihad di hati kaum muslimin. Komitmen Abdullah Azzam terhadap Islam sangat tinggi. Jihad sudah menjadi filosifi hidupnya. Sampai akhir hayatnya, ia tetap menolak tawaran mengajar di beberapa universitas. Ia berjanji terus berjihad sampai titik darah penghabisan. Mati sebagai mujahid itulah cita-citanya. Wajar kalau kemudian pada masa hidupnya dialah tokoh rujukan umat dalam hal jihad. Fatwa-fatwanya tentang jihad selalu dinanti-nantikan kaum muslimin. (www.bicara.muslim.co.uk/mb/). Tentu saja komitmen yang begitu besar itu telah menimbulkan keresahan di kalangan musuh-musuh Islam. Beberapa kali Abdullah Azzam menerima cobaan pembunuhan. Sampai akhirnya pada Jum'at, 24 November 1989. Tiga buah bom yang sengaja dipasang di gang yang biasa di lewati Abdullah Azzam, meledak ketika ia memarkir kendaraan untuk shalat jum'at. Syaikh Abdullah bersama dua orang anak lelakinya, Muhammad dan Ibrahim, meninggal seketika. Kendaraan Abdullah Azzam hancur berantakan. Anaknya, Ibrahim, terlempar 100 meter; begitu juga dengan lainnya. Tubuh mereka juga hancur. Namun keanehan terjadi pada Sheikh Abdullah Azzam. Tubuhnya masih utuh bersandar pada sebuah tembok. Hanya sedikit darah yang mengalir dari bibirnya. (Aga Sekamdo. 2004: 45). E. Sikap Inggris terhadap pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir Sejak gerakan dakwah Ikhwan mulai dikenal dalam bentuk menyerukan ajaran Islam dalam segala bidag kehidupan, semua kekuatan yang ada di Mesir saat itu mulai cemas. Partai, pemerintah maupun pihak kolonial Inggris, dari semua kekuatan penentang Ikhwan, secara umum Inggris yang pertama kali menaruh perhatian terhadap gerakan Ikhwan hal itu nampak jelas ketika Ikhwan semakin berperan dalam perjuangan pembebasan Palestina. Semua kekuatan tersebut berkolaborasi untuk melawan gerakan Ikhwanul Muslimin. Berbagai 109 usaha pun dilakukan, diantaranya dengan mencegah semakin meluasnya pengaruh Ikhwan. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain: 1. Usaha Mempengaruhi Ikhwan Usaha Inggris untuk mempengaruhi Ikhwan diakukan melalui Jendral Kleiton dan seorang orientalis bernama Hurt, berbagai usaha dilakukan untuk mempengaruhi Ikhwanul Muslimin agar mau menerima sejumlah uang dengan syarat agar mereka membujuk dan meyakinkan setiap elemen bangsa bahwa ideide dan konsep-kosep Jerman dan Italia akan sangat berbahaya bagi perjalanan kehidupan bangsa Mesir. Semua bukti-bukti mengindikasikan, tidak beberapa lama setelah penolakan Hasan Al-Banna atas tawaran tersebut, mulailah terjadi tindakantindakan pemaksaan, penindasan dan penahanan, ekstradisi ke Qana dan pencabutan lisensi penerbitan majalah yang semua itu terjadi masa kabinet Husain Sirri sampai akhirnya jatuh dan diganti kabinet Partai Delegasi pada tanggal 4 Februari 1942. Terjalinnya komunikasi dan eliensi dengan Partai Delegasi atas prakarsa beberapa Ikhwanyang Al-Sukari dan beberapa orang diberi tugas untuk melakukan negosiasi dengan Hasan Al-Banna. Negeosiasi tersebut menghasilkan pencabutan embargo dan pembebasan Hasan AL-Banna untuk aktif kembali dalam pergerakan. (Richard Paul Mitchell 2005: 92-96). 2. Rencana Pembunuhan Hasan Al-Banna. Inggris telah melakukan berbagai strategi untuk menumpas organisasi Ikhwan, diantaranya dengan mempengauhi pemerintah Mesir untuk mengeluarkan kebijakan untuk membekukan Ikhwanul Muslimin, dan usaha untuk membunuh Hasan Al-Banna karena mereka memandang bahwa Hasan Al-Banna adalah kunci utama Ikhwan. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 309). Pada tahun 1941 M Jendral Claiton yang menjabat sebagai Direktur Pusat Agen Rahasia Pemerintah Inggris untuk daerah Timur Tengah meminta untuk bertemu dengan Hasan Al-Banna, dalam pertemuan itu Hasan Al-Banna memaparkan kehancuran dan kerusakan yang dialami bangsa Mesir dan bangsa arab akaibat politik penjajahan yang dilancarkan Inggris. Hasan Al-Banna juga 110 menolak kerjasama yang ditawarkan Jendral Claiton juga bantuan-bantuan untuk Ikhwan jika Hasan Al-Banna mau berkerjasama dengan Inggris. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 312). Pemerintah Inggris kemudian merencanakan untuk membunuh Hasan AlBana dengan cara menabrakkan mobil tentara Inggris dengan mobil yang ditumpangi Hasan Al-Banna sampai tewas, agar nampak seperti kecelakaan biasa. Konspirasi Inggris tersebut diketahui oleh salah satu anggota Ikhwan (Abdul Latif Sayid Ahmad) yang bekerja pada salah seorang pejabat Inggris. Abdul Latif Sayid Ahmad segera memberikan informasi tentang hal tersebut kepada Abdul Hakim Abidin dan Abdul Hakim Abidin segera menyebarkan berita tersebut kepada anggota Ikwanul Muslimin yang lain, sehingga pemerintah Inggris tidak jadi melaksanakan apa yang telah mereka rencanakan tersebut. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 315). Pemerintah Inggris kemudian meminta kepada perdana menteri yang sekaligus Panglima tertinggi Angkatan bersenjata, Husein Sirri Pasya, untuk memindahkan Hasan Al-Banna ke Qina. Husein Sirri Pasya kemudian mengutus Menteri Pendidikan yang saat itu dijabat oleh Muhammad Husein Haikal, untuk memutasikan Hasan Al-Banna. Dr. Muhammad Husein Haikal, dalam bukunya yang berjudul Mudzakirat fi As-Siyasah Al-Mishriyah, mengakui bahwa mutasi Hasan Al-Banna ke Propisi Qina berdasarka permintaan pemerintah Inggris. Keputusa mutasi tersebut tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan pihak Inggris, yaitu agar Hasan Al-Banna terhenti dan aktivitas organisasi Ikhwan mati, maka Husein Sirri Pasya menerima tekanan dari wakil partai koalisi, setelah Abdurrahman Nashir menyatakan menyampaikan pernyataan Menteri Pendidikan yang isinya bahwa mutasi Hasan Al-Banna itu atas dorongan pihak luar dan tidak ada hubungan nya dengan kepentingan pendidikan, maka segera setelah pernyataan itu keluar Hasan Al-Banna dikembalikan ke Kairo. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 200). Pemerintahan An-Nuhas dibawah ancaman Pemerintah Inggris pada 4 Februari 1942. An-Nuhas mengeluarkan keputusan untuk menutup seluruh cabang Al-Ikhwan Al-Muslimun kecuali kantor pusat, keputusan tersebut juga 111 dikeluarkan berdasarkan permintaan pemerintah Inggris. Keputusan tersebut baru dicabut setelah adanya negosasi atara Hasan Al-Banna dengan An-Nuhas mengenai pengunduran diri Hasan Al-Banna dari pencalonan anggota parlemen dengan syarat seluruh kantor cabang Ikhwanul Muslimn dibuka kembali dan aktivitas organisasi Ikhwan tidak diganggu lagi. Pihak yang sebenarnya melarang pencalonan Hasan Al-Banna adalah Pemerintah Inggris. (Farid Nu’man 2003: 22). Pemerintah telah melakukan berbagai macam langkah untuk melancarkan rencana pembunuhan Hasan Al-Banna. Berdasarkan cerita Abdul Karim Manshur Langkah-langkah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Menangkap semua anggota Ikhwanul Muslimin kecuali Hasan Al-Banna lalu memasukkan mereka semua kedalam pejara. b. Mencabut ijin kepemilikan senjata pribadi yang dimiliki Hasan Al-Banna. c. Memutuskan saluran telphon Hasan Al-Banna hingga tidak dapat menghubungi siapapun diluar rumah. d. Menangkap saudara kandung Hasan Al-Banna, Letnan Abdul Basith, yang sudah curiga akan adanya rencana pembunuhan terhadap Hasan Al-Banna. e. Menangkap siapa saja yang mengunjungi Hasan Al-Banna. f. Menyita kendaraan pribadi yang dipakai Hasan Al-Banna. g. Menyibukkan dengan negosiasi dan perdamaian antara pihak Hasan Al-Banna dengan pihak pemerintah. 3. TragediPembunuhan Hasa Al-Banna Peristiwa pembunuhan Hasan Al-Banna terjadi pada pukul 20. 15 hari Sabtu malam tanggal 12 Februari 1949. Abdul Karim Manshur yang saat itu bersama Hasan Al-Banna berangkat ke sekretariat Syubanul Muslimin dengan maksud untuk menghadiri undangan pemerintah, adapun tujuannya adalah bernegosiasi antara Ikhwan dengan pemerintah. Hasan Al-Banna dan Abdul Karim Manshur menunggu di sekretariat Syubanul Muslimin sampai waktu Isya tapi utusan pemerintah juga belum juga dating, lalu Hasan Al-Banna dan beberapa orang yang ada mendirikan sholat Isya’, selesai shalat mereka menunggu lagi 112 untukbeberapa lama, utusan itu juga belum dating. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 321). Hasan Al-Banna kemudian memerintahkan Muhammad Al-Laitsi untuk memanggil taksi, kemudian mereka keluar dari kantor sekretariat Syubanul Muslimin menuju jalan Ramsis, waktu menunjukkan pukul 20.15, setelah taksi datang Hasan Al-Banna dan Abdul Karim Manshur masuk kedalamnya. Tiba-tiba berdiri dua orang pria didepan mobil, membuka paksa pintu mobil lalu menembaki Hasan Al-Banna dan Abdul Karim Manshur. Hasan Al-Banna memanggil Muhammad Al-Laitsi dan mengatakan padanya bahwa nomer polisi mobil yang dipakai pelaku penembakan adalah 9979. Hasan Al-Banna dan Abdul Karim Manshur dibawa kerumah sakit Qashrul Aini, mereka ditempatkan dalam satu kamar ketika mereka sedang menunggu kadatangan dokter tiba-tiba masuklah Admiral Muhammad Washfi utusan dari kerajaan. Admiral Muhammad Washfi mengatakan pada dokter yang bertugas kedatangannya adalah sebagai utusan kerajaan dengan tujuan melihat kondisi Hasan Al-Banna kemudian ia menyuruh dokter memisahkan antara kamar Hasan Al-Banna dengan Abdul Karim Manshur, ia juga melarang dokter untuk merawat Hasan Al-Banna sehingga darah nya terus mengalir hingga ia meninggal dunia. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 323). 113 BAB. V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian di atas, maka diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Awal kehidupan Hasan Al-Banna dibangun atas pemahaman Islam yang mendalam yang membuatnya berpandangan Islam adalah agama syamil (universal), kamil (sempurna), dan muatakamil (integral), Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Hasan Al-Banna selalu bergaul dan banyak bertanya pada para ulama seputar hakikat pandangan Islam terhadap persoalan-persoalan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan itu watak kepemimpinannya juga mulai kelihatan melalui organisasi-organisasi yang diikutinya disekolah. Rasa kepedulian, sosial yang tinngi dan rasa cinta tanah air juga dimilikinya. 2. Runtuhnya kekhilafahan Islamiyah tahun 1924 dan kehidupan politik masyarakat Mesir yang terjadi pada masa remaja Hasan Al-Banna merupakan faktor yang melatar belakangi pemikiran politik Hasan Al-Banna, sehingga ia beserta enam temannya berinisiatif untuk mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin yang berjuang mengembalikan kekhilafahan Islam serta berusaha mengembalikan kondisi perpolitikan Mesir dalam kondisi yang kondusif. 3. Hasan Al-Banna adalah pemikir terbesar organisasi Ikhwanul Muslimin maka, pemikiran atau gagasan-gagasannyapun banyak mempengaruhi organisasi tersebut baik skala internal Ikhwan maupun kebijakan-kebijakan Ikhwan yang terkait dengan kondisi dalam negeri maupun luar negeri Mesir pada masa itu. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Hasan Al-Banna didasarkan pada ajaranajaran Islam. 4. Mesir menjadi titik sentral persebaran Ikhwanul Muslimin karena di Negara tersebut Ikhwan dilahirkan, kemudian Ikhwan tersebar diberbagai tempat dan dalam banyak bentuk. Hal ini sesuai dengan konsep tarbiyah Ikhwan yang tidak membatasi cara tarbiyah itu berlangsung. Diawal persebarannya mahasiswa dari berbagai penjuru dunia yang belajar di Mesir, terutama di Al- 114 Azar dan Darul Ulum menjadi prioritas utama proses kaderisasi yang dijalankan oleh Ikhwan sehingga ketika para mahasiswa itu lulus dan kemudian kembali kenegara masing-masing mereka membawa pengaruh Ikhwan ke Negara asal mereka. Lalu para mahasiswa tersebut melakukan kaderisasi lanjutan di Negara mereka. 5. Pengaruh organisasi Ikhwanul Muslimin mulai meluas, rakyat Mesir mulai percaya dan mendukung tindakan-tindakan yang diambil organisasi tersebut. Hal itu mengakibatkan kekhawatiran semua kekuatan yang ada di Mesir saat itu, terutama kolonialis Inggris dan pihak-pihak yang berada dibawah pengaruhnya terhadap eksistensi Ikhwan. Hal tersebut yang mendorong Inggris dan anthek-antheknya berusaha membunuh Hasan Al-Banna dengan harapan dengan terbunuhnya Hasan Al-Banna yang saat itu menjabat sebagai Mursyid ‘Am oraganisasi Ikhwan akan bubar dengan sendirinya. Kaki tangan kolonialis Inggris pada tanggal 12 Februari 1949 berhasil membunuh Hasan Al-Banna namun dengan terbunuhnya Hasan Al-Banna tidak menyebabkan oragnisasi Ikhwan bubar bahkan semangat juangnya dalam memerangi kolonialis semakin bertambah dan organisasi Ikhwanpun semakin meluas sampai kepenjuru dunia. B. Implikasi Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat dikemukakan implikasi secara metodologis, teoretis dan praktis. 1. Implikasi Metodologis Dalam penelitian ini peneliti mengunakan metode historis yang bertujuan untuk mengungkap kembali fakta-fakta yang terjadi pada masa lampau (masa Hasan Al-Banna). Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah teknik kepustakaan atau studi pustaka. Pada tahap pengumpulan data terutama saat membahas mengenai perkembangan Ikhwanul Muslimin dinegara-negara Islam peneliti mengalami kesulitan karena terbatasnya buku-buku Ikhwan yang telah ditranslit dalam bahasa Indonesia yang membahas mengenai masalah tersebut. 115 2. Implikasi Teoritis Akhidah dan keimanan agama merupakan titik permulaan metode perubahan Hasan Al-Banna. Berangkat dari fondasi inlah Al-Banna menekankan pemikirannya tentang urgensitas peran agama didalam proses perubahan dan penentuan bidang serta sarana-sarana perubahan yang pokok. Fondasi perubahan tersebut telah dirangkum oleh Hasan Al-Banna dalam tiga babak perubahan, yaitu: menyeru pemusatan perubahan dan perbaikan pada pribadi, memusatkan perubahan dan perbaikan pada keluarga sebagai kelanjutan dari yang pertama, perbaikan yang mencakup seluruh masyarakat. Setiap babak perubahan itu mempunyai agenda tertentu dan strategi yang jelas dalam proses perbaikan dan pembaharuan menuju kearah yang diharapkan sebagaimana yang telah diimplementasikan dalam lingkaran organisasi Ikhwanul Muslimin sebagai komponen untuk melakukan proyek perbaikan masyarakat secara keseluruhan hingga akhirnya dapat ditegakkan pemerintahan yang tegak diatas kaidah Islam. Dan dikembalikannya sistem kekhilafahan. Untuk menciptakan itu semua maka sebuah Negara harus bebas dari praktek imperalisme dan kolonialisme barat, sehingga Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Muslminnya sangat anti pati terhadap penjajahan dan penindasan yang pada masa itu banyak dilakukan oleh bangsabangsa barat. 3. Implikasi Praktis Organisasi Ikhwanul Muslimin yang dipelopori Hasan Al-Banna memandang Islam sebagai sistem hidup paripurna yang mengatur seluruh kehidupan manusia, termasuk didalamnya mencakup bidang sosial, ekonomi, pendidikan maupun bidang politik. Dalam prakteknya jelas sekali terliahat pengaruh ciri khas “Universalisme Islam” (syumul al-Islam) yang diyakini dan diserukan oleh Hasan Al-Banna dalam metode berpikirnya mengenai perubahan, baik dari segi bidang maupun dari segi cara-caranya. Sementara itu sifat keinklusifan dakwah pergerakan dan keanekaragaman permasalahan konkret waktu itu serta kerumitan dan ketumpangtindihan permasalahan senantiasa mendorongnya menggunakan baragam cara guna memenuhi sifat inlkusivitas ini sedapat mungkin. Al-Banna memang mempergunakan cara-cara damai dalam 116 proses perubahan, namun dari segi prinsip tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan bersenjata, dalam mengahadapi pejajahan Inggris sebagi permulaan yang lazim untuk suatu perubahan serta memberikan perlindungan terhadap konsep perubahan dalam kerangka akhlak yang akan menjauhkannya secara paksa dari kejerumusan dalam faham oportunistik. Hasan Al-Banna beserta Ikhwanul Musliminnya juga mengutamakan aspek tarbiyah (pendidikan) dalam proses pengkaderannya dan hal tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan pengkaderan Ikhwan. salah satu karakteristik tarbiyah yang dipahami dan dipraktikkan Ikhwan adalah integral (takamul) dan holistik (syumul), tarbiyah tidak terbatas pada salah satu apek kehidupan manusia yang biasanya setiap aspek tersebut menjadi fokus perhatian para pakar pendidikan. C. Saran Dari hasil penelitian di atas, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Pada tahap pengumpulan data terutama saat membahas perkembangan Ikhwanul Muslimin di Negara-negara Arab penulis mengalami kesulitan maka mohon penerbit dan penerjemah hendaknya menerjemahkan sumber-sumber sejarah yang masih menggunakan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia khususnya tentang persebaran Ikhwanul Muslimin dinegara-negara Arab ke dalam bahasa Indonesia sehingga pembaca di Indonesia mudah memahami dan mengetahui tentang masalah tersebut. 2. Setiap Muslim hendaknya tidak hanya memperhatikan masalah ibadah saja namun seorang muslim sebaiknya juga memperhatikan masalah-masalah yang lain seperti pendidikan, perekonomian, sosial, kebudayaan, politik dan kenegaraan, sehingga seorang muslim akan memiliki ahidah, pendidikan, pengaruh sosial (baik di lingkungan sekitar maupun kenegaraan dan mancanegara) dan fisik yang kuat. 117 3. Pemuda adalah generasi penerus bangsa ia menjadi penentu masa depan bangsa maka hendaknya setiap pemuda, khususnya pemuda Islam perlu memiliki bekal pendidikan untuk senantiasa komitmen terhadap nilai-nilai Islam dan bersemagat untuk mencapai cita-citanya. Pendidikan yang berkesinambungan dengan norma-norma dan tujuan yang jelas, akan mempersiapkan pemuda Islam dalam berbagai aspek kehidupan termasuk kesiapan rukhiyah (jiwa), fikriyah ( pemikiran) dan jasadiyah (fisik). manakala aspek tersebut berjalan seimbang maka akan tercipta kehidupan yang aman dan sejahtera. 4. Pendidik sebaiknya dalam proses belajar mengajar tidak hanya memfokuskan perhatiannya pada aspek intelektual saja namun juga pada aspek yang lainnya seperti aspek moral, sosial dan pemikiran atau rasional karena sesungguhnya keberhasilan proses terbiyah atau pendidikan tidak dapat dilepaskan dari seluruh aspek tersebut.