C. Penerapan pemikiran politik Hasan Al

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di sepanjang sejarah manusia, Islam telah banyak melahirkan peradabanperadaban yang tersebar di seluruh dunia. Namun semenjak runtuhnya khilafah
Utsmaniyah yang dipandang sebagai peristiwa internasional yang sangat penting,
karena peristiwa ini berakibat fatal bagi negara-negara yang menjadi anggota dan
tunduk di bawah bendera khilafah Islamiyah, perkembangan peradaban Islam
mengalami staknasi, bahkan Islam seperti kehilangan powernya. Kemudian
kekhilafahan digantikan beberapa raja dan pemimpin.
Sebagian besar umat Islam meyakini bahwa Islam akan mengalami masa
kejayaan kembali diatas nilai-nilai kenabian. Mereka meyakini bahwa Islam
disepanjang periodisasi sejarahnya
akan mengalami pasang surut peradaban,
karena dalam sebuah nubuwatnya Rosululloh pernah menengarai bahwa umat
Islam setidaknya akan melalui lima periode dalam perjalanannya hingga hari
kiamat nanti, kelima priode tersebut antara lain: Periode kenabian, Priode
kekholifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, Priode Mulkan ‘Aadhan atau
penguasa yang menggigit, Periode Mulakan Jabariyyan atau penguasa yang
menindas, dan yang terakhir umat Islam akan kembali berjaya dengan kembali
keperiode kekhilafahan yang tegak diatas nilai-nilai kenabian. (Muhammad bin
Husain 2005: 2).
Setelah peristiwa pengahapusan khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924,
para ulama melakukan berbagai pertemuan dan hasilnya mereka sepakat akan
mengadakan konferensi Islam tahunan yang diikuti wakil-wakil negara Islam,
yang bertempat di Kairo. Adapun tujuan dari pertemuan tersebut adalah
membahas permasalahan khilafah Islamiyah sampai menetapkan sebuah
keputusan tentang khilafah serta mengangkat sosok kholifah yang baru. Namun
setelah konferensi tersebut berhasil diselenggarakan, yakni pada bulan Mei 1926
di Mesir, yang saat itu masih dalam kekuasaan Inggris terjadi perselisihan
pendapat dan merekapun tidak menghasilkan sebuah kesepakatan tentang
1
2
siapakah yang akan menjadi kholifah bagi kaum muslimin, dan akhirnya
konferensi tersebut tidak dapat menghasilkan keputusan krusial. Bahkan
kemudian muncul ulama-ulama yang tidak menyetujui tentang masalah khilafah
Islamiyah. Pemikiran-pemikiran politik Islam muncul sebagai akibat tidak adanya
kesepakatan tentang hubungan antara agama dan negara.
Di lingkungan dunia Islam setidaknya dikenal tiga tipologi aliran
pemikiran politik antara lain:
Pertama, aliran pemikiran yang berpendirian bahwa Islam adalah
merupakan agama yang paripurna, yang mengatur semua aspek kehidupan
manusia, termasuk kehidupan bernegara, yang didalamnya juga terdapat sistem
ketatanegaraan. Karenanya, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali pada
sistem tatanegara Islam. Aliran ini juga berpandangan antara agama dan politik
ada konsep kemanunggalan yang tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga
merupakan wilayah politik (negara). Selain merupakan lembaga politik, negara
juga
merupakan
lembaga
keagamaan
sekaligus.
Pemerintahan
juga
diselenggarakan atas kedaulatan Ilahi. Pengikut aliran ini antara lain Muhammad
Rasyid Ridho, Abul A’la Al-Maududi, Hasan Al-Banna dan Muhammad Sayid
Qutb dengan Ikhwanul Musliminnya. Sayid Ridho misalnya mempunyai
keinginan untuk mengikat umat Islam lewat jama’ah umat Islam / Pan Islamisme.
Sementara Abdul A’la Al-Maududi mendasarkan pemikirannya pada tiga hal,
yaitu: (a) Islam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur
kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. (b) kekuasaan atau kedaulatan
tertinggi hanya di tangan Allah dan umat Islam hanyalah pelaksana kekuasaan
Allah atau kholifah Allah dibumi. (c) sistem politik Islam ialah sistem politik
yang universal.
Kedua, aliran pemikiran politik yang berpendirian Islam sebagai agama
yang tidak berhubungan dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini,
Muhammad hanyalah seorang Rosul biasa seperti halnya rosul-rosul sebelumnya,
dengan tugas tunggal yaitu mengajak manusia kepada kehidupan yang mulia
dengan menjunjung tinggi budi pekerti. Kehadiran Muhammad tidak pernah
dimaksudkan untuk mendirikan ataupun mengepalai suatu negara. Aliran ini
3
sering juga disebut sekulerisme, yaitu suatu paham yang berusaha untuk
memisahkan persoalan keagamaan dari persoalan kenegaraan atau politik.
Pengikut aliran ini antara lain adalah Thoha Husein dan Ali Abdul Ar-Raziq.
Dalam pandangan mereka, politik merupakan sesuatu dan agama adalah sesuatu
yang lain.
Ketiga, aliran pemikiran politik yang menolak pandangan Islam sebagai
agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem kenegaraan.
Aliran ini berpendirian bahwa dalam Alqur’an tidak terdapat sistem politik, tetapi
terdapat seperangkat nilai, etika bagi kehidupan dan keberlangsungan suatu sistem
politik. Aliran ini juga berpandangan bahwa antara agama dan negara terjadi
hubungan “simbiosis” dimana agama memerlukan negara dan sebaliknya negara
juga memerlukan agama.
Pengikuat aliran ini antara lain Muhammad Abduh dan Muhammad
Husain
Haikal.
sesungguhnya
Muhammad
tidak
terdapat
Abduh
berpendapat
kekuasaan
bahwa
keagamaan
selain
dalam
Islam
kewenangan
memberikan peringatan secara baik, mengajak orang kearah kebaikan, dan
menarik dari keburukan, tentunya dengan panduan dasar-dasar Islam. Sementara
Muhammad Husain Haikal berpandangan bahwa Islam tidaklah memberikan
petunjuk yang langsung dan terperinci tentang bagaimana umat Islam mengatur
urusan-urusan yang berkenaan dengan kehidupan bernegara atau berpolitik. Islam
hanya meletakan prinsip-prinsip dasar bagi peradaban manusia atau yang
mengatur perilaku manusia dalam pergaulan antar sesama, yang pada gilirannya
akan merambah dalam kehidupan berpolitik.
Salah satu diantara para ulama yang sepakat dengan sistim kekholifahan
dan politik adalah Hasan Al-Banna, karena Hasan Al-Banna beranggapan Islam
adalah agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia termasuk bidang
politik dan pemerintahan atau negara. Ketika Hasan masih sebagai mahasiswa di
Kairo, Hasan Al-Banna dan teman-temannya begitu khawatir dengan kekacauan
politik dan sosial di kota itu. Ketika itu, mayarakat Mesir tengah mengalami krisis
kepemimpinan, mereka sangat dingin dan apatis dengan kondisi bangsanya, hal
tersebut terjadi karena pemerintah yang telah terhegemoni oleh imperalis Inggris,
4
sangat represif terhadap rakyatnya. Ketika Hasan Al-Banna pertama kali mengajar
di Ismailiyyah di zona Terusan Suez, tempat Inggris bermarkas, Hasan
menyaksikkan perlakuan Inggris terhadap rakyat Mesir yang sewenang-sewenang.
Selain itu Hasan juga menyaksikan perbedaan yang mencolok antara rumah
mewah orang-orang Inggris dengan pondok kumuh pekerja Mesir, sehingga
Hasan Al-Banna merasakan ada sesuatu yang janggal dalam jiwanya yang
mendorongnya untuk ikut berjuang membela rakyat dan mendapatkan kebebasan
dari intervensi Inggris di Mesir. Bagi Hasan Al-Banna yang merupakan seorang
muslim yang sangat taat, hal ini bukan sekedar masalah politik. Kondisi umat,
komunitas Islam merupakan nilai Islam, sehingga akhirnya Hasan Al-Banna
bersama beberapa Ulama pada tahun 1927
berinisiatif untuk menggelar
konferensi Islam di Kairo yang menghasilkan berdirinya Jam’iyah Asy-Syuban AlMuslimun atau Organisasi Pemuda Muslim. Sebelum berdiri organisasi tersebut,
di Kairo telah terdapat Perhimpunan Pemuda Kristen yang berdiri pada tahun
1923. Kedua organisasi tersebut mempunyai persamaan gerak di bidang sosial
dan tidak mencampuri urusan politik. Kemudian di tahun berikutnya, tahun 1928
Hasan Al-Banna mendirikan Masyarakat persaudaraan muslim(Al-Ikhwan AlMuslimun)
yang
merupakan
perpanjangan
dari
perjuangan
Al-Afgani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho, Hasan Al-Banna mempunyai sasaran dari
awal harus membangun pergerakan Islam yang komprehensif untuk menggerakan
suatu generasi yang luas untuk mengisi dengan cita-cita yang diterapkan pada
politik, ekonomi, dan semua bidang sosial.
Sejak kemunculannya pertama kali, perjuangan Ikhwan telah dibingkai
oleh pemahamannya terhadap Islam yang baik. Misalnya dalam prinsip dua
puluhnya, yang terkenal dengan nama Ushul ‘isyrin, Hasan Al-Banna menegaskan
prinsip pertamanya, bahwa Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang
menyentuh seluruh segi kehidupan. Islam adalah agama dan tanah air, pemerintah
dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan
undang-undang, Ilmu dan peradilan, materi dan sumberdaya alam, penghasilan
dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah
akhidah yang lurus dan ibadah yang benar. Dalam berbagai pernyataannya Hasan
5
Al-Banna menyebut idiom syamil (universal), kamil (sempurna), dan mutakamil
(integral), untuk Islam nilai yang diperjuangkannya.
Jatuhnya Khilafah Islamiyah adalah motivasi penting bagi diri Hasan AlBanna, yang mendorongnya untuk bergerak membangkitkan umat dan
mengarahkannya untuk berusaha mengembalikannya kejayaan yang telah
terampas. Oleh karenanya, pengembalian khilafah Islamiyah memiliki posisi
penting dalam tujuan Ikhwan. Hasan Al-Banna mengungkapkan tentang
kedudukan khilafah Islamiyah dengan stetmenya, Al-Ikhwan Al-Muslimun
berkeyakinan bahwa khilafah adalah simbol persatuan umat Islam sekaligus
lambang persaudaraan antara berbagai negara Islam. Khilafah adalah sebuah
syi’ar Islam yang harus dipikirkan keadaanya serta diperhatikan oleh kaum
muslimin. Khilafah banyak berhubungan dengan hukum-hukum dalam ajaran
Islam. Hasan Al-Banna dan Ikhwanul Musliminnya berusaha untuk menancapkan
Panji Islam dihati para pengikutnya Hasan Al-Banna terus menyerukan kepada
kaum Muslimin sampai khilafah Islamiyah kembali menjadi harapan dan cita-cita
umat.
Hasan Al-Banna sampai pada pemikirannya bahwa masjid saja, tidaklah
cukup untuk menyebarkan akhidah diantara manusia dan menyadarkan umat dari
bahaya
yang mengelilingi mereka. Hasan Al-Banna mengorganisasikan
sekelompok mahasiswa Al-Azhar dan Darul Ulum untuk melakukan hubungan
langsung dengan manusia di tempat-tempat umum seperti warung kopi dan
tempat-tempat berkumpulnya para pemuda, sehingga sejak kemunculannya
pertama kali Ikhwanul Muslimin melakukan dakwah terhadap orang-orang awam.
Bahkan dakwahnya sampai pada akar rumput masyarakat, sehingga dakwah
Ikhwan kemudian tersebar keseluruh penjuru negeri Mesir, lalu ke negeri-negeri
Arab, kemudian ke negeri-negeri Islam pada umumnya, dan akhirnya menyentuh
seluruh penjuru negeri. Pola interaksi gerakan Ikhwan dengan pemerintahan di
banyak negara muncul dalam format yang berbeda-beda. Ada yang muncul dalam
bentuk organisasi massa, lembaga sosial, hingga ada yang lahir dalam bentuk
partai politik, dengan atau tanpa nama Ikhwanul Muslimin itu sendiri.
6
Hasan Al-Banna memberitahu para pendengarnya bahwa Islam adalah
cara hidup total dan jika dihayati sepenuh hati, akan mengembalikan dinamisme
dan energi yang pernah dimiliki kaum Muslimin pada masa silam, yaitu sebelum
mereka dijajah orang-orang Asing. Hasan Al-Banna juga senantiasa mengarahkan
pemikiran-pemkiran Politik Al-Ikhwan Al-Muslimin, baik dalam skala regional
maupun internasional, sehingga dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun mampu
mempersatukan bangsa-bangsa Arab dan dunia Islam. Ikhwanul Muslimin
menunjukan bahwa Ikhwan juga memasuki wilayah perpolitikan praktis, meski
banyak organisasi Islam lainnya menilai politik sangat tidak layak dicampuri oleh
organisasi-organisasi Islam. Ikhwan tidak hanya bicara tentang agama, mereka
tidak mengenal dikotomi agama dan dunia, tapi juga bicara tentang politik,
budaya, militer, dan hal keduniaan lainnya. Di dalam risalah dakwahnya Hasan
Al-Banna menjelaskan bahwa salah satu point penting karakter dakwah Ikhwan,
adalah Hai’ah Siyasiyah; karena secara internal mereka menuntut perbaikkan
pemerintahan, meluruskan persepsi yang terkait dengan hubungan umat Islam
terhadap bangsa-bangsa lain diluar negeri, mentarbiyah bangsa agar mempunyai
kebanggaan dan kemuliaan, serta menjaga nasionalisme sebisa mungkin.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pantas kiranya pemikiranpemikiran Hasan Al-Banna diangkat dalam suatu penelitian yang berjudul
Pengaruh Pemikiran Politik Hasan Al-Banna terhadap Pergerakan
Ikhwanul Muslimin di Mesir.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang kehidupan Hasan Al-Banna dalam bidang
pendidikan, sosial, keagamaan dan politik ?
2. Hal-hal apa sajakah yang mempengarui pemikiran politik Hasan Al-Banna ?
3. Bagaimana penerapan pemikiran politik Hasan Al-Banna dalam pergerakan
Ikhwanul Muslimin ?
7
4. Bagaimana pengaruh pemikiran Hasan Al-Banna terhadap Negara-negara
Islam ?
5. Bagaimana sikap Inggris terhadap pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mendiskripsikan:
1. Latar belakang kehidupan Hasan Al-Banna dalam bidang pendidikan, sosial,
keagamaan dan politik.
2. Hal-hal yang mempengarui pemikiran politik Hasan Al-Banna
3. Penerapan pemikiran politik Hasan Al-Banna dalam pergerakan Ikhwanul
Muslimin.
4. Pengaruh pemikiran Hasan Al-Banna terhadap Negara-negara Islam
5. Sikap Negara-negara barat (Inggris) terhadap pergerakan Ikhwanul Muslimin
di Mesir.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis:
 Memperkaya khasanah pengetahuan sejarah terutama dalam bidang sejarah
Islam dan khususnya sejarah Mesir(sejarah Ikhwanul Muslimin)
 Menambah wawasan dan Ilmu pengetahuan bagi penulis pada khususnya
dan pembaca pada umumnya.
2. Manfaat Teoritis:
 Menambah Khasanah penelitian pada Program Sejarah Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan.
 Memberikan sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan dibidang Sejarah,
khususnya sejarah pergerakan di Mesir.
8
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Landasan Teori
1. Politik
Kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan kebutuhan asasi
bagi umat manusia, di manapun. Manusia diciptakan dengan membawa karakter
dan fitroh sosial, dalam kehidupan bermasyarakat ini umat manusia dapat
menjalani kehidupannya dengan saling tolong menolong, hanya saja, sering dalam
kenyataan muncul praktek-praktek moral yang tidak terpuji, yang menjadikan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini tidak sebagaimana yang diharapkan.
Ada praktek perebutan kekuasaan, penindasan terhadap rakyat, persaingan antara
para pemimpin, dan kebijakan-kebijakan yang sering kali merugikan rakyat kecil.
Hal tersebut menyebabkan adanya sebagian masyarakat mempunyai
pandangan negatif dalam memaknai politik dan kehidupan bernegara. Ada
sekelompok masyarakat yang memaknai politik sebagai aktivitas yang menyentuh
berbagai sektor kehidupan untuk mengantarkan rakyat menju kekesejahteraan
hidup, sedangkan sebagian masyarakat yang lain melihat politik sebagai aktivitas
yang khusus berhubungan dengan kekuatan dan kekuasaan, dan ternyata makna
kedua lebih banyak dianut, setidaknya dalam praktek nyata berpolitik. Persaingan
elit politik dalam perebutan pengaruh dan kekuasaan jauh lebih banyak terlihat
dari pada usaha serius untuk mengurus rakyat yang telah mengamanahkan
kepemimpinannya kepada mereka. Sejalan dengan pembahasan tersebut, akan
dibahas lebih lanjut untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai apa
yang dimaksud politik.
a. Pengertian Politik
Politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau
kenegaraan, seperti tatacara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan
sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan),
siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara
lain. (W.J.S. Poerwadarminta, 1991: 763)
9
Politik berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berhubungan dengan
polis atau negara kota seperti politeia (konstitusi), polites (warga negara), dan
politicos (negarawan). Seluruh kata tersebut mengandung arti yang menyangkut
kepentingan umum dan berlawanan dengan kepentingan pribadi atau milik
pribadi. Dengan demikian, persoalan pokok dari politik adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan kepentingan umum (Sills, 1972: 319).
Syahrial Syarbaini, A. Rahman dan Monang Djihado (2002: 15)
memandang politik sebagai:
 Usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan
mewujudkan kebaikan bersama.
 Segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan
 Segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dan masyarakat
 Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum
 Konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang
dianggapnya penting.
Ramlan Surbakti dalam Syahrial Syarbaini, A. Rahman dan Monang
Djihado (2002: 15) mendefinisikan politik sebagai interaksi antara pemerinah dan
masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang
mengikat kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu.
Sedangkan menurut Maswadi Rauf, seorang Guru Besar FISIP UI
menyatakan kata politik mengacu kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan kedudukan yang dipegang oleh para
pejabat pemerintah. Lebih lanjut Maswadi Rauf menjelaskan titik perhatian politik
disini adalah pejabat pemerintah. Pejabat pemerintah adalah sekelompok orang
yang memegang kekuasaan untuk mengatur masyarakat secara keseluruhan dan
dalam usaha mengatur masyarakat, berhak menggunakan kekerasan fisik.
(Maswadi Rauf, 2001:20).
Malik bin Nabi mendeifinisikan politik sebagai aktivitas yang
terorganisir dan efektif yang dilakukan oleh umat secara keseluruhan yang sejalan
10
dengan idiologi mayoritas rakyatnya, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan
saling bantu antara pemerintah dengan individu dalam aspek sosial, ekonomi, dan
budaya agar politik memberikan pengaruh yang konkret pada realitas sosial, yang
membawa perubahan bingkai kultur dalam sebuah orientasi yang akan
menumbuhkan kecerdasan bangsa secara harmonis. Artinya, politik pada akhirnya
adalah “penciptaan kultur”. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, 2000: 71)
Abdul
Hamid
Al-Ghozali
mendefinisikan
Politik
sebagai
seni
pemerintahan dan pegendalian negara, atau kemampuan untuk mencapai apa yang
diinginkan, atau seni pergantian kepemimpinan dan kompromi. (Abdul Hamid AlGhozali, 2001: 187)
Ibnu Rajab menfinisikan Politik sebagai segala sesuatu yang secara
konkret sanggup mendekatkan manusia kepada kebajikan dan menjauhkannya
dari kerusakan, kendati hal tersebut tidak diajarkan Rosulullah, tidak ada wahyu
yang turun tentangnya. Pendeknya, jalan apapun yang dapat mewujudkan
keadilan, maka ia adalah bagian dari agama (Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, 2003: 39).
Nur Mahmudi Isma’il, seorang tokoh politik Indonesia yang membawa
isu moral dalam pentas politik maupun berpartai dalam pernyataannya
yang
dimuat dalam Forum keadilan, edisi 28 Desember 1998 menyatakan, dunia politik
sangat erat kaitannya dengan sistem kepartaian maupun sistem kekuasaan, ketika
membahas masalah politik Nur mahmudi Isma’il menekankan masalah moralitas
politik maupun kepartaian dalam mendapatkan pengaruh atau kekuasaan yang
dapat
dipertanggungjawabkan
secara
Illahi
maupun
manusiawi,
untuk
membangun moralitas politik tersebut, dia mengeluarkan semacam petunjuk
bagaimana seseorang harus berpolitik secara santun. Seruan tersebut dikeluarkan
pada tanggal 22 Agustus 1998 dan bernomor: D-01/DPP-PK/SE/VIII/’98 . Intinya
seruan tersebut berisi cara berpolitik yang dianggapnya santun dan selalu
bersandarkan ajaran-ajaran Islam, hal tersebut juga menggariskan beberapa
obsesi-obsesinya serta tantangan yang harus dihadapinya. Baginya obsesi itu tidak
lain adalah mewujudkan kepribadian muslim dan masyarakat muslim yang sesuai
dengan ajaran Islam.
11
Hal yang senada juga diungkap oleh
Didin Hafidhuddin ketika
diwawancari Tim Jurnal Politik “AKSES” Vol. 1, No. 2, Edisi Maret 2001
menyatakan: sebagai ajaran yang komprehensif dan universal, tentu saja ajaran
Islampun mencakup berbagai persoalan yang terkait dengan dunia politik. Politik
dalam pandangan Islam sebagai pengendali kehidupan. Bagaimana sistem
pemerintahan dan ketatanagaraan berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang
universal dan penuh rahmat serta kedamaian. Kalaupun dengan berpolitik kaum
muslimin meraih kekuasaan, maka kekuasaan dijadikan alat untuk mempermudah
serta memperkuat Islamisasi kehidupan. Oleh karena itu tujuan berpolitik dalam
Islam demikian mulia, maka para politisinyapun harus berperilaku yang sesuai
dengan ajaran Islam. Cara-cara yang fair, elegan, demokratis, mengedepankan
argumentasi dalam bermusyawarah, jauh dari kekerasan dan cara-cara kotor, harus
dimiliki para politisi Islam. (AKSES, 2001: 142).
Hasan Al-Banna (Mursyid ‘Am pertama yang sekaligus pendiri Ikhwanul
Muslimin) pernah memaparkan konsepsi politik ketika berbicara mengenai
hubungan antara Islam dengan politik dan sikap seorang muslim terhadapnya.
Hasan Al-Banna mendefinisikan pengertian politik dengan pernyataannya,
sebagai berikut: Politik adalah hal yang memikirkan tentang persoalan-persoalan
internal maupun eksternal umat, ia memiliki dua sisi intenal dan eksternal. Sisi
internal politik adalah: mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsifungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap
para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan
dikritik jika melakukan kekeliruaan. Sedang yang dimaksud sisi eksternal politik
adalah memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkannya
mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya ditengah-tengah bangsa
lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam
urusan-urusannya. Dengan jelas Hasan Al-Banna mengaitkan antara Aqidah dan
aktivitas politik. Selanjutnya Al-Banna berkata: sesungguhnya seorang muslim
belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politikus,
mempunyai pandangan jauh kedepan dan memberikan perhatian penuh kepada
persoalan bangsanya. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, 2000: 71-72).
12
b. Sistem Politik
Cheppy Haricahyono (1986: 104) mendefinisikan sitem sebagai sesuatu
yang berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu kesatuan, dalam
suatu sistem paling tidak menunjukkan tiga kondisi, yaitu: adanya faktor-faktor
yang dihubungkan, adanya hubungan yang tidak terpisah diantara faktor-faktor
tersebut, sehingga membentuk suatu kesatuan.
Dalam suatu sistem terkadang masih terdapat beberapa sistem lain yang
lebih kecil tetapi masih terdapat dalam lingkup sistem tersebut. Sistem-sitem yang
lebih kecil tersebut disebut secondary sistem atau sub-sistem.
Gabriel A. Almond dalam Cheppy Haricahyono (1986: 104) menyatakan
bahwa sistem politik pada hakikatnya adalah melaksanakan fungsi-fungsi
mempertahankan kesatuan masyarakat, menyesuaikan dan mengubah unsur
pertautan hubungan, agama, dan sistem ekonomi, melindungi sistem politik dari
ancaman luar dan mengembangkannya kemasyarakat lain.
David Easton dalam Cheppy Haricahyono (1986: 106) mengemukakan,
didalam suatu sistem politik setidaknya terdiri tiga unsur, yaitu:
 Fungsi integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat, baik kedalam maupun
keluar.
 Penempatan nilai-nilai dalam masyarakat berdasarkan kewenangan
 Penggunaan kewenagan atau kekuasaan, baik secara sah ataupun tidak.
David Easton juga mengungkapkan tentang ciri-ciri sistem politik, yang
terdiri:
 Adanya unit-unit yang membentuk sistem itu, sekaligus batas-batas
pengaruhnya.
 Adanya input dan output dalam sistem yang tercermin dalam keputusankeputusan yang dibuat (output) dan proses pembuatan keputusan (input)
 Adanya jenis dan tingkat diferensiasi dalam sistem
 Adanya tingkat integrasi sistem politik yang mencerminkan pula tingkat
efisiensinya.
13
Menurut Gabriel A. Almond Ciri-ciri sistem politik antara lain:
 Semua sistem politik, termasuk yang paling sederhana sekalipun, mempunyai
kebudayaan politik. ini berarti bahwa yang paling sederhana sekalipun akan
mempunyai struktur politik seperti yang ada di dalam masyarakat yang paling
kompleks.
 Semua sistem politik menjalankan fungsi yang sama walaupun tingkatannya
berbeda-beda karena adanya perbedaan struktur.
 Semua struktur politik, bagaimanapun akan dispesialisasikan, baik yang ada
dalam masyarakat primitif maupun masyarakat modern, lebih lagi dalam
rangka melaksanakan berbagai fungsi
 Semua sistem politik ditinjau dari segi kebudayaan adalah sistem campuran.
Cheppy Haricahyono (1986: 104)
Cheppy Haricahyono (1986: 1108) mengemukakan yang menjadi titik
berat suatu sistem politik adalah dalam aspek dinamikanya, dimana dinamika
politik disandarkan pada negara dalam keadaannya yang bergerak sebagai suatu
lembaga atau asosiasi yang mempengaruhi kehidupan politik, selain itu aspek
dinamika inipun melihat adanya pengaruh kekuatan-kekuatan sosial-politik dan
ekonomi yang dominan dalam kehidupan politik masyarakat.
c. Partisipasi Politik
Miriam Budiarjo (1981: 1) mendefinisikan Partisipasi politik sebagai
kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih kepemimpinan negara secara
langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu pertai atau
kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau
anggota parlemen dan sebagainya.
Herbert Mc Closky dalam Miriam Budiarjo (1981: 1) mendefinisikan
partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat
dengan cara mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa baik secara
langsung maupun tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
14
Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Miriam Budiarjo (1981: 1)
partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal dan sedikit
banyak langsung untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara atau
tindakan-tindakan yang diambil dari para penguasa tersebut.
Samuel P. Huntington dan joan M. Nelson dalam Miriam Budiarjo
(1981: 1) mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang
bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang bermaksud mempengaruhi pembuatan
keputusan pemerintah. Partisipasi tersebut bisa bersifat individual atau kolektif,
terorganisir atau spontan, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal,
efektif atau tidak efektif.
Menurut Myron Weiner yang dikutip Syahrial Syarbaini, A. Rahman dan
Monang Djihado terdapat lima penyebab timbulnya kearah partisipasi lebih luas
dalam proses politik yaitu sebagai berikut:
 Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat
makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik
 Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak
berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan
mengakibatkan perubahan dalam bidang pola partisipasi politik.
 Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. Ide demokratisasi
partisipasi
telah
menyebar
kebangsa-bangsa
baru
sebelum
mereka
mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
 Konflik antar kelompok politik. jika timbul konflik antar elit maka yang dicari
adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang kaum aristokrat
yang menarik kaum buruh dan membentu memperluas hak pilih rakyat.
 Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang
timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut
serta dalam pembuatan keputusan politik. (Syahrial Syarbaini, A. Rahman dan
Monang Djihado, 2002: 15)
Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep pertisipasi politik
mempunyai bermacam-macam bentuk dan intensitas. Biasanya diadakan
15
perbedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan itensitasnya. Menurut
pengamatan jumlah orang yang mengikuti kegiatan yang tidak intensif, yaitu
kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan tidak atas prakarsa sendiri, seperti
dalam memberikan suara dalam pemilu, besar sekali. Sebaliknya, kecil sekali
jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik.
Sahat
Simamora
mengemukakan
seseorang
berpeluang
untuk
berpartisipasi politik jika terdapat 6 kriteria, yaitu:
 Menghargai hasil yang harus dicapai
 Menganggap bahwa semua alternatifnya sangat penting.
 Yakin dapat bertindak untuk merubah keadaan
 Percaya hasilnya tidak akan memuaskan jika tidak bertindak
 Mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan masalah yang
dihadapinya
 Harus mengatasi masalah yang ada. (Sahat Simamora, 1985: 163).
2. Organisasi
a. Definisi Organisasi
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia W. J. S Poerwadarminto (1990:
803) mendefinidikan organisasi kesatuan/ susunan yang terdiri atas bagian-bagian
dalam perkumpulan dalam tujuan tertentu atau kelompok kerja sama antara orangorang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.
J. Winardi mengemukakan bahwa definisi organisasi dilandasi bebarapa
hal yang merupakan ciri umum semua organisasi, yaitu:
 Sebuah organisasi senantiasa mencakup sejumlah orang.
 Orang-orang tersebut terlibat satu sama yang lain dengan satu atau lain cara
(mereka semua berinteraksi).
 Interaksi tersebut selalu dapat diatur atau diterangkan dengan jenis struktur
tertentu.
 Masing-masing orang didalam suatu oraganisasi memiliki sasaran-sasaran
pribadi, dimana beberapa diantaranya merupakan alasan-alasan bagi tindakantindakan yang dilakukannya, dengan mengikuti organisasi maka akan lebih
mudah untuk mencapai sasaran-sasarannya.
16
J. Winardi mendefinisikan organisasi merupakan sebuah sistem yang
terdiri dari beraneka macam elemen atau subsistem, dimana manusia merupkan
subsistem terpenting dan masing-masing subsistem saling berinteraksi dalam
upaya mencapai sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan organisasi yang bersangkutan.
(J. Winardi, 2003: 15).
Gibson dalam J. Winardi mendefinisikan organisasi sebagai kesatuan
yang terdiri dari orang-orang atau kelompok dan memungkinkan masyarakat
mencapai hasil tertentu, yang tidak mungkin dilaksanakan oleh individu-individu
yang bertindak secara sendiri. (J. Winardi, 2003: 13).
Victor A. Thompson dalam Nicholas Hendry (1996: 71) mendefinisikan
organisasi sebagai integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah spesialis
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.
Sedangkan E. Wight Bakke menyatakan organisasi adalah suatu sistem
yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang bermacam-macam dan
terorganisasi berupa pemanfaatan, perubahan, dan penyatuan segenap sumbersumber manusia, materi, modal, gagasan, dan sumber alam untuk memenuhi suatu
kebutuhan manusia tertentu dalam interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan
manusia dan sumber-sumber yang lain, dalam lingkungan tertentu. (Nicholas
Hendry, 1996: 71).
Veithzal Rivai mendefinisikan organisasi sebagai suatu wadah yang
memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat
dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri. Organisasi merupakan suatu unit yang
terkoordinasi yang terdiri setidaknya dua orang, berfungsi mencapai suatu sasaran
tertentu atau serangkaian sasaran. ( Veithzal Rivai, 2002: 188).
Kartini kartono (2005: 12) mendefinisikan organisasi sebagai sistem
kegiatan yang terokoordinasi dari kelompok yang bekerja sama mengarah pada
tujuan bersama dibawah kewenangan dan kepemimpinan.
Kartini kartono juga membedakan organisasi menjadi dua yaitu
organisasi formal dan organisasi informal. Organisasi formal adalah organisasi
yang ada diatas kertas dengan relasi-relasi logis berdasarkan peraturan, konvensi
dan kebijakan atau policy dari organisasi, dengan pembagian tugas perjalanan dan
17
hirarki kerja. Organisasi formal juga disebut pula sebagai kelompok sekunder,
merupakan bentuk hirarki resmi atau telah ditentukan diatas ketas. Maka menjadi
kewajiban para pemimpin ialah untuk memahami bagaimana fungsi dan
beroperasinya organisasi formal tersebut dalam kenyataan dan prakteknya.
Organisasi informal ( kelompok primer atau faca to face group) ialah sistem
interelasi manusiawi berdasarkan rasa suka dan tidak suka dengan alam psikis
yang intim, kontak muka, berhadapan muka serta moral tinggi. ( Kartini kartono,
2005: 120-122).
Ciri-ciri khas organisasi formal antara lain:
 Bersifat impersonal dan zakelik-objektif.
 Kedudukan setiap individu berdasarkan fungsi masing-masing didalam suatu
sistem hirarki, dengan tugas pekerjaan masing-masing.
 Ada relasi formal berlandaskan alasan-alasan idiil dan konvensi atau status
resmi dalam organisasi.
 Suasana kerja dan komunikasi berlandaskan pada kompetisi atau persaingan
dan efisiensi.
Pada organisasi formal orang melakukan usaha kooperatif mencapai
tujuan atau sasaran bersama, dibantu macam-macam sumber dan sarana.
Berlangsunglah suatu kerjasama disertai kegiatam memimpin-dipimpin, ketertiban
pengaturan, atau regulasi, pembagian tugas pekerjaan dan tatakerja yang teratur.
Maka usaha mengatur dan mengurus semua sumber materiil dan sumber daya
manusia itu disebut manajemen.
Manajemen dan pengorganisasian bisa berdaya guna dan sukses dalam
mencapai sasarannya, perlu dikelola secara makro lewat kepemimpinan. Maka
pengorganisasian itu dapat dijabarkan menjadi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
 Pengurusan semua sumber dan tenaga manusia
 Berlandaskan pada konsepsi dan tata kerja yang jelas.
 Disertai
penentuan
fungsi
masing-masing
individu,
tanggungjawab, antar komunikasi, superfisi dan sanksi.
berupa:
tugas,
18
 Integritas dari fungsi-fungsi menjadi satu unit sistem, yaitu bagian yang satu
menunjang dan bergandengan dengan bagian yang lainnya. ( Kartini kartono,
2005: 120).
Cirri-ciri khas organisasi informal anatara lain ialah:
 Terintegrasi dengan baik
 Diluar kelompok primer atau informal ini ini terdapat kelompok yang lebih
besar, yaitu kelompok formal atau sekunder, dimana kelompok primer atau
informal menjadi bagian dari padanya.
 Setiap anggota secara individual mengadakan interelasi berupa jaringan
perikatan pribadi dan personal disertai komuikasi yang akrap.
 Terdapat iklim praktis “suka tidak suka” atau “acuh dan tak acuh”.
 Sedikit atau banyak, setiap anggota mempunyai sikap yang pasti terhadap
anggota-aggota lainnya, dan dimuati afeksi serta emosi-emosi tertentu. (
Kartini kartono, 2005:122).
G. March dan Herbert A. Simon dalam Nicholas Hendry (1996: 71)
menyebutkan beberapa karekteristik yang pasti dari suatu organisasi adalah bahwa
organisasi:
 Punya maksud tertentu, dan merupakan kumpulan berbagai macam manusia
 Punya hubungan sekunder (impersonal)
 Punya tujuan yang khusus dan terbatas
 Punya kegiatan kerjasama pendukung
 Terintegrasi dalam sistem sosial yang lebih luas
 Menghasilkan barang atau jasa untuk lingkungannya
 Sangat terpengaruh atas perubahan lingkungan
b. Dasar-dasar struktur organisasi
Perkembangan dalam berbagai bidang pada zaman modern menjadikan
organisasi-organisasi mengadakan perubahan ataupun pembaharuan
terhadap
bentuk struktur organisasinya. Berbagai desain struktur organisasi yang
dimaksudkan
untuk
memberikan
solusi
yang
paling
mendukung
dan
19
mempermudah secara efekif dan efisien bagi anggotanya untuk melakukan
kegiatan organisasinya dalam mencapai sasaran organisasinya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia. yang dimaksud struktur adalah:
cara sesuatu yang disusun atau dibangun berdasarkan pola tertentu. (W. J. S
Poerwadarminto,1990: 1092).
Veithzal Rivai mendefinisikan struktur organisasi sebagai pola interaksi
yang ditetapkan dalam suatu organisasi dan mengkoordinasikan teknologi dan
manusia dalam organisasi atau pola formal mengelompokkan orang dan
pekerjaan, pola formal aktivitas dan hubungan antara berbagai subunit organisasi
yang sering digambarkan melalui bagan organisasi. (Veithzal Rivai, 2002: 408).
Struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas pekerjaan dibagi,
dikelompokkan dan dikoordinasikan secara formal. Ada enam hal yang perlu
diperhatikan dalam merancang struktur organisasi, yaitu:
 Spesifikasi kerja
Hakikat spesifikasi kerja adalah dilakukan oleh satu individu, lebih baik
seluruh pekerjaan itu dipilah-pilah menjadi sejumlah langkah, dengan tiap
langkah diselesaikan oleh seorang individu yang berlainan. Pada hakikatnya
individu-individu berspesifikasi dalam mengerjakan bagian dari suatu kegiatan.
 Departementaliisasi
Pengelompokan pekerjaan berdasarkan fungsi yang dijalankannya. Keunggulan
tipe ini adalah memperoleh efisiensi dengan mengumpulkan spesialis yang
sama. Cara lain untuk melakkan depertementaliisasi adalah didasarkan tipe
produk yang dihasilkan.
 Rantai komando
Rantai komando adalah garis tidak putus dari wewenang yang menjulur dari
puncak organisasi ke eselon bawah dan memperjelas pertanggung jawaban.
 Rentang kendali
Bawahan dapat diarahkan secara efektif dan efisien seorang pemimpin, hal ini
mempunyai arti penting bagi sebuah organisasi karena rentang kendali
menentukan banyaknya tingkat dan pemimpin yang harus dimiliki oleh suatu
organisasi.
20
 Sentralisasi dan Desentralisasi
Dalam beberapa organisasi pemimpin puncak mengambil semua keputusan.
Pemimpin tingkat bawah (bidang) semata-mata hanya melaksanakan petunjukpetunjuk pemimpin pusat. Pada keadaan yang lain ada organisasi dimana
pengambilan keputusan ditekakan pada pemimpin tingkat bawah (bidang).
Dalam suatu organisasi pola desentralisasi tindakkan dapat diambil lebih cepat
untuk memecahkan masalah, lebih banyak orang yang mau memberikan
masukan dan makin kecil kemungkinan bawahan merasa diasingkan dari
pemimpin.
 Formalisasi
Mengacu kepada sampai tingkat mana pekerjaan dalam organisasi itu
dibakukan. Jika suatu pekerjaan sangat diformalkan, maka pelaksanaan
pekerjaan itu akan mempunyai kuantitas keleluasaan yang minimum mengenai
apa
yang
harus
dikerjakan,
dan
bagaimana
seharusnya
ia
harus
mengerjakannya. (Veithzal Rivai, 2002: 418).
3. Kepemimpinan
a. Definisi Kepemimpinan
Dalam bahasa Inggris pemimpin disebut juga leader. Kegiatannya
disebut kepemimpinan atau leadership. Perkataan khilafah serupa dengan makna
dari kata Amir yang dalam bentuk jamaknya umara, yang disebut juga penguasa.
Kedua kata tersebut didalam Bahasa Indonesia disebut pemimpin, yang cenderung
berkonotasi sebagai pemimpin formal. Konotasi tersebut terlihat pada bidang yang
dijelajahi didalam tugas pokoknya yang menyentuh tidak saja aspek-aspek
keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat, tapi juga aspek-aspek pemerintahan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sedangkan kepemimpinan secara etimilogi (asal kata) menurut kamus
besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar “pimpin”, dengan mendapat
awalan me- menjadi “memimpin” maka berarti menuntun, menunjukkan jalan dan
membimbing. Perkataan lain yang disamakan pengertiannya adalah mengetuai
atau mengepalai, memandu, dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari
21
supaya dapat mengerjakannya sendiri. Dari segi etimologis kepemimpinan dapat
diidentifikasi adanya beberapa gejala, antara lain:
1. Dalam kepemimpinan selalu berhadapan dua belah pihak. Pihak yang pertama
disebut pemimpin dan pihak lainnya adalah orang-orang yang dipimpin.
Jumlah pemimpin selalu lebih sedikit dari pada jumlah orang-orang yang
dipimpinnya.
2. Kepemimpinan merupakan gejala sosial, yang berlangsung sebagai interaksi
antar manusia didalam kelompoknya, baik berupa kelompok besar yang
melibatkan jumlah orang banyak, maupun kelompok kecil dengan jumlah
orang yang terlibat didalamnya sedikit.
3. Kepemimpinan sebagai perihal memimpin berisi kegiatan menuntun,
membimbing, memandu, menunjukan jalan, mengepalai, dan melatih.
Beberapa pakar telah memberikan definisi yang berbeda tentang
kepemimpinan, antara lain:
Kepemimpinan adalah: kegiatan untuk mempengarui orang-orang agar
supaya bekerja dengan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama (Terry, 1954)
Veithzal
Rivai
mendefinisikan
kepemimpinan
dengan
proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku
pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok
dan budayanya atau sering diartikan pula sebagai kekuatan untuk menggerakan
dan mempengaruhi orang. (Veithzal Rivai, 2002: 2).
Menurut Imad Abdurrahim Az-Zaghul, definisi kepemimpinan adalah:
1. Seni memeberi pengaruh dalam perilaku manusia guna merealisasikan tugas
dan sasaran tugas dengan cara yang diinginkan oleh pemimpin.
2. Perilaku kolektif yang dipraktekkan oleh pemimpin suatu kelompok dan yang
memberi efek balik sisi-sisi interaksi pada situasi memegang kepemimpinan,
dan tujuan mendorong individu-individu untuk merealisasikan sasaran yang
dibebankan kepada kelompok dengan efektifitas yang lebih besar diikuti
dengan menjaga kerelaan dan keutuhan individu dalam kelompok.
22
3. Usaha
kolektif
yang
dikerahkan
seorang
pemimpin
dalam
rangka
mempengaruhi orang-orang untuk mendorong mereka bekerja sama demi
merealisasikan sasaran yang mereka inginkan.
4. Sarana dan teknik kolektif yang bertugas memberi kepuasan, keyakinan dan
kerjasama, atau bersandar kepada kekuasaan dan memegang pemerintahan,
serta anjuran untuk mendorong sekelompok individu merealisasikan sasaransasaran penting dengan cara yang efektif. (Imad Abdurrahim Az-Zaghul, 2004:
42)
Sedangkan Ralph M. Stogdill menghimpun sebelas kelompok dari kata
kepemimpinan, yaitu sebagai berikut:
1. Kepemimpinan sebagai pusat proses kelompok.
2. Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berakibat.
3. Kepemimpinan sebagai seni menciptakan kesepakatan.
4. Kepemimpinan sebagai kemampuan mempengarui.
5. Kepemimpinan sebagai tindakan perilaku.
6. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk bujukan.
7. Kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuasaan.
8. Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan.
9. Kepemimpinan sebagai hasil interaksi.
10. Kepemimpinan sebagai pemahaman peranan.
11. Kepemimpinan sebagai awal struktur
b. Ciri dan karakter Kepemimpinan
Banyak para pemikir, filosof, dan pengamat yang memperhatikan
masalah kepemimpinan dari segi penjelasan karakter yang harus dimiliki oleh
pemimpin dan norma-norma yang harus dipegang. Beberapa pakar yang telah
memperhatikan masalah kepemimpinan dari segi penjelasan karakter, antara lain:
Hadari Nawawi menjelaskan mengenai kepribadian yang seharusnya
dimiliki oleh seorang pemimpin antara lain :
1. Mencintai kebenaran dan hanya takut kepada Allah.
2. Dapat dipercaya, bersedia dan mampu mempercayai orang lain.
23
3. Memiliki kemampuan dalam bidangnya dan berpandangan luas didasari
kecerdasan ( Intelegensi) yang memadai.
4. Senang bergaul, ramah tamah, suka menolong, dan memberi petunjuk serta
terbuka pada kritik orang lain.
5. Memiliki semangat untuk maju, semangat pengabdian dan kesetiakawanan
serta kreaktif dan penuh inisiatif.
6. Bertanggung jawab dalam mengambil keputusan dan konsekwen, disiplin seta
bijaksana dalam melaksanakannya.
7. Aktif memelihara kesehatan jasmani dan rohani.
Menurut Imad Abdurrahim Az-Zaghul yang mengutip pendapat AlFarabi berpendapat dalam kitabnya yang terkenal “Pendapat Penduduk Madinah
yang mulia” pentingnya terpenuhi sejumlah karakter ciri-ciri berikut pada
pemimpin, atau yang memegang kekuasaan dan kepemimpinan. Ciri-ciri tersebut
adalah:
1. Sehat seluruh anggota badan
2. Memiliki kemampuan memahami, menghafal dan menyusun konsep
3. Cerdik dan pandai
4. Baik tutur bahasa dan fasih dalam menyampaikan yang diinginkannya
5. Mempunyai kemauan dan keinginan untuk belajar
6. Jujur, amanah, dan istiqomah
7. Tidak berlebihan dalam kesenangan
8. Menghormati diri sendiri dan menjaga kehormatan
9. Bersikap adil dan menjauhi kedzoliman
10. Seimbang dalam menjalankan teknik kepemimpinan
11. Mempenyai tekat dan kemauan yang kuat
12. Berani dan ulet
c. Klasifikasi pemimpin berdasar teknik kepemimpinannya
Imad Abdurrahim Az-Zaghul mengklasifikasikan pemimpin yang
didasarkan pada teknik kepeimpinanya menjadi tiga corak, yaitu:
1. Kepemimpinan Demokrasi
24
Kepemimpinan seperti ini bersandar pada prinsip musyawarah dan membuat
orang lain percaya. Caranya yaitu degan menarik mereka melalui penyebaran
suatu ide dan membuat mereka percaya pada hasil akhir dari apa yang akan
dilaksanakan adalah untuk kepentingan mereka. Pemimpin yang menggunakan
teknik kepemimpinan seperti ini mewajibkan bawahannya tidak dengan
intruksi atau keputusan kecuali setelah didiskusikan dengan anggota kelompok.
Corak kepemimpinan seperti ini mempunyai beberapa keistimewaan, antara
lain:
 Senang bermusyawarah, memiliki kemampuan meyakinkan orang lain,
selalu memberikan motivasi, dan menerima masukan.
 Memfokuskan kekuasaan ditangan kelompok
 Kelompok dapat menerima dan percaya terhadap apa yang disampaikan
pemimpin.
 Mengambil keputusan dengan menyertakan partisipasi kelompok.
 Setiap anggota merasakan pentingnya eksistensi pemimpin tersebut dalam
kelompok.
 Memotivasi kebebasan mengungkapkan pendapat dan selalu bekerja dengan
segenap kemampuan dan keahlian.
 Bekerja merealisasikan sasaran-sasaran yang dicanangkan dengan usaha
yang maksimal.
 Anggota merasakan bahwa perealisasian sasaran umum akan membantu
mereka dalam merealisasikan sasaran khusus.
 Fleksibel dalam mengambil keputusan dan kembali merumuskan serta
merevisinya kembali.
 Berusaha menguatkan hubungan antara pemimpin dengan pengikut dan
antar pengikut itu sendiri.
 Bekerja untuk menghilangkan atau mengurangi tajamnya persetruan antar
unit-unit dan bagian-bagian.
 Meningkatkan loyalitas individu kepada kelompoknya dan bersikeras untuk
mempertahankan keberadaan dan kesinambungannya.
25
 Meninggikan standar spirit individu dan mendorong mereka untuk selalu
bekerja dan berproduksi.
2. Kepemimpinan Diktator
Gaya kepemimpinan ini adalah absolut, menekan dan sentralistik. Sebab,
biasanya pemimpin tipe ini suka menakut-nakuti pengikutnya dengan cara
mengancam akan menggunakan hal-hal yang mencelakakanmereka. Misalnya,
menjatuhkan denda, menyita harta kekayaan, dan pencekalan. Pemimpin
seperti ini biasanya juga menggunakan cara yang menarik simpati namun
penuh muslihat. Misalnya; dengan memberikan bonus, memberi janji-janji
kosong, menyuap, propaganda, pemutarbalikan fakta, dan penipuan. Jadi,
pemimpin tipe demikian biasanya memonopoli kekuasaan pengambilan
keputusan berdasarkan siasat yang mengedepankan kekuatan, kontainmen
(mencegah penyebaran oposisi), dan memutarbalikan fakta, dimana para
pengikutnya bahwa pemimpin mereka dipihak mereka dalam mengambil
keputusan. Padahal, sebelumnya pemimpin mereka telah merencanakan
keputusan tersebut terlebih dahulu.
Kepemimpinan tipe ini mempunyai sejumlah karakteristik sebagai berikut:
 Kekuasaan terpusat ditangan pemimpin
 Pemimpin mengandalkan kekuatannya dari kekuasaan yang diserahkan
kepadanya, bukan dari kelompok
 Pemimpin mengambil keputusan sendiri tanpa mempedulikan kelompok
 Membuat ketergantungan kelompok kepada pemimpin
 Seluruh perhatian hanya tertuju pada kepribadian pemimpin
 Mengenyampingkan peranan kelompok
 Melemahkan semangat kerja sama dan kesatuan antar anggota kelompok
 Lemahnya spirit dan suport anggota kelompok
 Munculnya persetruan antar bidang yang bermacam-macam
 Mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum
3. Kepemimpinan Apatis
26
Ciri-ciri pemimpin bertipe demikian, ketika ia menyerahkan tanggungjawab
pengambilan keputusan dan pelaksanaanya kepada para pengikutnya tanpa ada
intervensi dari dirinya, baik berupa masukan maupun nasihat. Karakteristik
paling menonjol dari pemimpin jenis ini adalah sikapnya yang lamban, suka
meremehkan, mempermudah, dan tidak peduli.
Hal ini tentu memberi efek balik pada sikap anggota kelompok. Loyalitas
mereka pada tugasnya akan menurun, spiritnya berkurang, lari dari
tanggungjawab, dan tingkat produktifitasnya merosot baik dari segi kwalitas
maupun kwantitas. Pada macam kepemimpinan seperti ini, pemimpin tidak
melakukan kerja keras yang dilakukan pada manejeman diskusi pengaturan
jalannya pekerjaan. Kepemimpinan seperti ini akan memacu pemikiran
dangkal anggota dan menciptakan rasa permusuhan serta kebencian diantara
mereka. kepemimpinan seperti ini dikenal dengan kepemimpinan tanpa
intervensi. (Imad Abdurrahim Az-Zaghul, 2004: 58-62).
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi dipilihnya seorang pemimpin
Dalam memilih seorang pemimpin dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya ada yang berkaitan dengan kepribadian dan pengikut atau anggota
serta situasi lingkunagan sekitar. Berikut ini adalah pemaparan tentang faktorfaktor tersebut:
Pertama; Faktor-faktor yang berkenaan dengan pemimpin, yang
mencakup:
a. Tingkat kepercayaan diri terhadap dirinya sendiri dan orang lain; jika seorang
pemimpin telah percaya terhadap kemampuannya dalam mengemban
tanggungjawab dan telah memiliki rasa percaya terhadap orang lain, maka hal
ini akan mendorongnya menjadi seorang pemimpin yang menerapkan sistem
demokratis. Dilain pihak, apabila seorang pemimpin kurang percaya kepada
orang
lain
dan
bimbang
akan
kemampuannya
dalam
mengemban
tanggungjawabnya maka hal ini akan mendorongnya menerapkan sisten
kepemimpinan absolut.
b. Adanya nilai-nilai positif pada diri pengikut yang dipercaya oleh pemimpin;
keyakinan seorang pemimpin akan pentingnya mengikut sertakan para
27
pengikut dalam membuat dan mengambil keputusan, akan mendorongnya
untuk selalu meminta masukan terhadap orang lain dan mendiskusikan serta
merapatkan masalah-masalah yang penting bagi kelompok, hal ini akan
membuatnya menggunakan cara-cara yang demokratis dalam mengatur dan
mengarahkan anggota. Sebaliknya, pemimpin yang percaya kepada orang lain,
umumnya mengenyampingkan mereka dalam proses pengambilan keputuan
dan cenderung menggunakan cara absolut dalam memimpin.
c. Kecendrungan filosofis pemimpin; cara kepemimpinan yang dijalankan oleh
pemimpin bersandar kepada kecendrungan pemimpin terhadap corak
kepemimpinan yang merealisasikan ketenangan dan keridhoan bagi dirinya.
Maka, pemimpin
yang cenderung apada
filsafat absolut, umumnya
menggunakan corak pemaksaaan dalam memimpin. Sedangkan pemimpin yang
senang bekerja sama secara kelompok akan menggunakan cara-cara demokrasi.
d. Keseimbangan emosi; pemimpin yang emosi dan pembawaanya stabil,
umumnya konsisten dalam mengikuti cara kepemimpinan tertentu. Sementara
itu, seorang pemimpin yang memiliki temperamen umumnya mempunyai ciri
peragu dan tidak stabil, akibatnya ia tidak akan konsisten pada cara memimpin
yang tetap.
Kedua; Faktor-faktor yang berkaitan dengan anggota atau pengikut
Karakter para anggota atau pegikut memberi pengaruh besar dalam
menentukan corak kepemimpinan yang dipilih oleh pemimpin dalam siasat dan
menejemen mereka. Kecendrungan kepada kebebasan dan pengembanan
tanggung jawab dalam mengambil keputusan pada para pengikut akan mendorong
pemimpin merujuk kepada mereka untuk mendiskusikan keputusan-keputusan
dan mengikut sertakan mereka dalam membuatnya. Sebaliknya meragukan dan
meremehkan para pengikut/ anggota serta kecenderungan mengandalkannya
terkadang akan memperkuat penggunan-penggunan cara absolut. Perkiraan para
pengikut juga memainkan peran yang menonjol dalam menentukan corak
kepemimpinan, dimana biasanya pemimpin berusaha merevisi kembali corak
perilakunya berdasarkan perkiraan para pengikut seputar apa yang mungkin dapat
dikerjakan oleh pemimpin.
28
Ketiga; Faktor-faktor yang berhubungan degan kondisi lingkungan
Faktor ini berhubungan dengan lingkungan kerja, peraturan yang terdapat
pada lembaga atau kelompok serta budaya yang terdapat didalamnya. Seorang
pemimpin tidak dapat menyimpang dari metode kepemimpinan yang telah
dianggap baik oleh masyarakat, sebab hal tersebut akan menimbulkan banyak
masalah, demikian pula dengan karakter sistem, ia akan berpengaruh pada cara
memimpin, cara pembagian peran, pemabagian kerja, pengambilan keputusan,
dan penyerahan kekuasaan. Jadi, pada sistem vertikal umumnya kekuasaan
terpusat ditangan sejumlah orang yang terbatas, dimana mereka mengendalikan
kekuasaan tersebut terpusat. Sedangkan pada sistem horizontal terdapat standar
yang lebih rendah. Tentusaja hal ini akan mendorong terjadinya pembgian
kekuasaan kepada para pengikut dan penggunaan cara-cara yang demokratis
dalam menejemen kepemimpinan.
Besar atau kecilnya posisi lembaga secara geografis juga berperan dalam
menentukan cara memimpin. Jadi setiap kali bertambah besar lembaga dan
bertambah luas posisi geografisnya, maka bertambahpula kesempatan penyerahan
kekuasaan kepada para pengikut dan memungkinkan mereka utuk ikut serta dalam
pengambilan kputusan.
Keempat; Faktor-faktor lain
 Situasi dan kondisi yang dihadapi pemimpin; jarang pemimpin yang mengikut
sertakan pengikutnya dalam kondisi yang sangat sulit dan berada diluar
jangkauan kapasitas mereka.
 Faktor masa; terkadang seorang pemimpin harus mengambil keputusan secara
cepat dan tegas disebabkan adanya beberapa tekanan dan kondisi darurat,
dimana ia tidak mungkin megikut sertakan anak buahnya dalam mengambil
keputusan.
Faktor budaya, kondisi ekonomi, dan teknologi; faktor-faktor tersebut
mempegaruhi
kepemimpinan
karena
akan
membentuk
tekanan
yang
mendorong penggunaan cara yang sesuai dengan tabiat budaya dan sejalan
dengan kondisi ekonomi serta perkembangan teknologi. (Imad Abdurrahim
Az-Zaghul, 2004: 62-65).
29
e. Beberapa cara menjadi pemimpin
Ada banyak cara yang dapat mengantarkan seseorang untuk samapai
kepada pusat kekuasaan (kepemimpinan). Diantara cara-cara tersebut, yaitu:
1. Adanya sifat-sifat menonjol pada pribadi sesorang
Sifat yang menonjol yang dimiliki sesorang tersbut seperti; pandai, cerdas,
berkemampuan untuk mempengaruhi, kemampuan membuat oranglain
percaya, kecendrungan pada kekuasaan, berjiwa petualang, dan pesona pribadi
pada saat lingkungan mendukung dan memungkinkan untuk dipimpinnya.
Intinya, pemimpin menyandarkan kekuatannya dari karakter pribadinya dan
kemampuan dalam mempengaruhi.
2. Melaui cara diangkkat
Seseorang yang mempunyai sifat-sifat dan keahlian tertentu dipilih oleh elit
kekuasaan untuk menduduki suatu jabatan kepemimpinan. Kekuatan pemimpin
seperti ini terletak pada penguasa yang memberikan jabatan kepadanya, dan
hubungan-hubungan yang ada anatara pemimpin dan yang dipimpin.
3. Melalui cara pemilihan
Seseorang berhasil mencapai tingkat kepemimpinan setelah ia mencalonkan
diri dan dipilih oleh anggota kelompok. dalam kondisi normal yang tidak ada
pengaruh apaun terhadap angota, umumnya akan terpilih orang-orang yang
memliki karakter dan keahlian tertentu yag menempatkan mereka pada posisi
tersebut. Dan ini yang terjadi pada pemilihan umum yang demokratis seperti
pemilihan kepala negara atau dewan.
4. Dengan cara merebut kekuasaan atau kudeta.
Hal ini dapat terjadi jika sebagian orang menggunakan kekuatannya yang
mengandalakan dukungan masa atau dukungan harta, atau sumber kekuatan
lain yang dapat mempengaruhi masa agar memilihnya untuk menjadi
pemimpin atau memegang jabatan tertentu. Cara mencari pengaruh itu sendiri
bentuknya bermacam-macam. Ada yang melalui bujuk rayu, suap, ancaman
ataupun dengan cara pemalsuan suara. (Imad Abdurrahim Az-Zaghul, 2004:
53-54).
30
4. Teori Konflik
a. Pengertian konflik
Pengalaman umum yang diteguhkan oleh kesaksian sejarah menunjukan
bahwa relasi sosial yang ditandai dengan kompetisi yang tidak dikendalikan dapat
berkembang menjadi oposisi atau penentangan. Jika oposisi menegang tajam
maka akan terjadi konflik.
Kata konflik beraal dari kata latin confligere yang berarti “saling
memukul”. Dalam pengertian sosiologis konflik dapat didefinisikan sebagai suatu
proses sosial dimana dua orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. (Hendropuspito,
1989: 247).
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia W. J. S Poerwadarminto (1990:
45) mendefinisikan konflik dengan percekcokan, perselisihan, pertentangan yang
terjadi pada satu tokoh atau lebih. Konflik dapat terjadi karena ketidak sesuaian
ide atau ketidak cocokan suatu paham atau kepentingan. Bila konflik terjadi
masing-masing pihak berusaha memenangkannya.
Menurut K.J Veeger (1989: 211) yang mengutip pendapat Lewis A.
Coser
konflik adalah: perseliihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan
berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediannya
tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya
bermaksud memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojolkan,
merugikan, atau menghancurkan lawan mereka. Lebih lanjut Coser menyatakan
bahwa konflik atau perselisihan dapat berlangsung antara individu-individu,
kumpulan-kumpulan (collectivities), atau antara individu dengan kumpulan.
Abu Ahmadi mendefinisikan konflik sebagai usaha yang disengaja untuk
menentang, melawan atau memaksa kehendak terhadap orang lain. (Abu Ahmadi,
1975: 93).
Coser dalam Astrid S. Susanto Sunario mendefiisikan konflik sebagai;
Bentuk sosialisasi dalam masyarakat dengan asumsi bahwa tidak ada kelompok
yang selalu dalam keadaan harmoni, atau selalu terdapat faktor-faktor positif dan
negatif yang membangun relasi kelompok. pada drajat tertentu konflik sangat
31
esensial dalam membentuk kelompok dan mempertahankan eksistensi kelompok.
(Astrid S. Susanto Sunario,1999: 9).
Sedangkan menurut Clinton F. Fink dalam Kartini kartono (1989: 17)
mendefinisikan konflik dengan:
1. Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonitis berkaitan dengan
tujuan-tuujuan yang tidak bisa disesuaikan, interes-interes ekslusif dan tidak
bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan strukturstruktur nilai yang berbeda.
2. Konflik adalah interaksi yang antagonistis, mencakup tingkahlaku lahiriyah
yang nampak jelas, mulai dari bentuk perlawanan terbuka, kekerasan,
perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru-hara, makar,
gerilya, perang dan lain-lain. (Kartini kartono, 1989: 17).
b. Sebab-sebab konflik
Menurut Soerjana Soekanto penyebab terjadinya konflik antara lain :
1. Perbedaan antara individu-individu atau kelompok
perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan suatu konflik
diantara mereka.
2. Perbedaan kebudayaan
Perbedaan kepribadian dari orang-perorang yang dipengarui kebuyaan yang
menjadi latar belakang pembentukan serta kepribadian tersebut. Orang secara
sadar atau tidak sadar, sedikit ataupun banyak akan terpengaruh pola-pola
pemikiran dan pola-pola pendirian kelompoknya, selanjutnya keadaan tersebut
akan memicu terjadinya pertentangan.
3. Perbedaan kepentingan
Perbedaan kepentingan antar individu atau antar kelompok baik itu berwujud
kepentingan politik, ekoomi, sosial dan yang lainnya dapat pula menjadi
sumber konflik.
4. Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang berlangsung akan mengubah nilai-nilai yang terdapat
dalam masyarakat. Hal ini juga akan memicu terjadinya konflik, karena
32
perubahan sosial tersebut akan mengakibatkan perbedaan pendirian. (Soerjana
Soekanto, 1982: 107-108).
Sedangkan menurut Veithzal Rivai sumber-sumber terjadinya konflik
dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
1. Biososial
Para pakar menejemen menempatkan frustrsi-agresi sebagai sumber komflik.
Berdasarkan pendekatan ini frustrasi sering menghasilkan agresi yang
mengarah pada terjadinya konflik frustasi juga dihasilkan dari kecenderungan
ekspektasi pencapaian yang lebih dari yang seharusnya.
2. Keprbadian dan interaksi
Kepribadian yang suka menghasud (abrasif), gangguan psikologis, kemiskinan,
ketrampilan interpersonal, kejengkelan, persaingan (rivalitas), perbedaan gaya
interaksi, dan ketidaksederajatan hubungan.
3. Struktural
Kekuasaan, status, dan kelas sosial merupakan hal-hal yang berpotensi menjadi
konflik.
4. Budaya dan idiologi
Intensitas konflik dari sumber ini sering disebabkan dari perbedaan politik,
sosial, agama, dan budaya. Konflik ini juga timbul diantara masyarakat karena
perbedaan sistem nilai.
5. Konvergensi (gabungan)
Dalam situasi tertentu sumber-sumber konflik itu menjadi satu, sehingga
menimbulkan kompleksitas konflik. (Veithzal Rivai, 2002: 165).
c. Cara menyelesaikan konflik
Cara penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yaitu: konsolidasi,
mediasi, arbitrasi, koersi atau paksaan, dan detente. Urutan tersebut berdasarkan
kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni dengan cara yang
lebih mudah atau tidak formal lebih dahulu, kemudian cara resmi atau formal jika
cara yang pertama tidak membawa hasil.
33
1. Kosolidasi
Konsolidasi baerasal dari kata latin Conciliatio atau perdamaian, yaitu suatu
cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai
persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses ini pihak-pihak yang
berkepentingan dapat meminta bantuan terhadap pihak ketiga, dalam hal ini
pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas, ia hanya memberi
pertimabangan-pertimbangan yang dianggapnya baik oleh kedua belah pihak
yang berselisih untuk menghentikan sengketannya. Langkah-langkah untuk
berdamai diberikan oleh pihak ketiga, tetapi yang harus mengambil keputusan
untuk berdamai adalah pihak-pihak yang bersengketa.
2. Mediasi
Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan
konflik degan menggunakan seorang perantara (mediator). Fungsi mediator
hampir sama dengan seorang konsiliator. Pihak-pihak yang bersengketa
sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk mneghentikan perselisihan.
3. Arbitrasi
Arbitrasi dari bahasa Latin arbitrium, artinya melalui pengadilan dengan
seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Seorang arbiter memberi
keputusan yang mengikat antara dua pihak yang bersengketa, artinya keputusan
seorang hakim harus ditaati. Apabila ada salah satu pihak yang tidak menerima
keputusan maka ia dapat naik banding kepengadilan yang lebih tinggi sampai
instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara
dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi
internasional seperti PBB.
4. Paksaan (coercion)
Paksaan ialah suatu cara penyelesaian pertikaian dengan menggunakan paksaan
fisik ataupun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah
paksaan fisik. Pihak yang bisa menggunakan paksaan adalah piak yang kuat,
pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan musuh.
Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah atau damai yang
harus diterima pihak yang lemah.
34
5. Detente
Detente berasal dari bahasa Prancis yang berarti mengendorkan. Pengertian
yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang
antara kedua belah pihak yang bersengketa. Cara ini hanya merupakan
persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang
langkah-langkah mencapai perdamaian, jadi dalam hal ini belum ada
penyelesaian definitive, belum ada pihak yang menyatakan kalah atau menang.
Dalam praktek detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri
masing-masing, perang fisik diganti dengan perang syaraf. (Hendropuspito,
1989: 250-252).
35
B. Kerangka berfikir
Pemikiran politik
Hasan Al-Banna

Negara Mesir
Intervensi Inggris
Ikhwanul Muslimin
Internal
Ikhwan
Pemikiran
/fikroh dakwah
Ikhwan
Kewajiban dan
Syarat anggota
/ kaderisasi
Struktur
Organisasi
Dalam
negeri
Luar
negeri
Sikap terhadap
UUD Konvensional
Sikap terhadap
penjajahan Inggris
Konsepsi
Nasionalisme
Sikap terhadap
Zionisme
Konsepsi negara
dan pemerintahan
Pembelaan terhadap
negara Islam yang
terjajah
Sistim kekuasaan
Persatuan Arab
Rukun ba’iat
kepartaian dan
pemilihan umum
Pembekuan
gerakkan Ikhwan
Keterangan:
Hasan Al-Banna dilahirkan di desa Mahmudiyah, kawasan Buhairoh,
Mesir pada tahun 1906, ia mempunyai bakat akademik dan leadership yang
cemerlang. Semenjak masa mudanya Hasan Al-Banna sering terpilih untuk
36
menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Pada usia 21 tahun, Hasan
menamatkan studinya di Darul ‘ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma’iliyah.
Hasan Al-Banna sangat prihatin dengan kelakuan Inggris yang
memperbudak bangsanya. Masa itu adalah sebuah masa dimana umat Islam
mengalami keguncangan hebat, kekhilafahan Utsmaniyah (di Turki) sebagai
pengayom umat Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan, umat Islam
mengalami kebingungan. Sementara itu kaum penjajah mulai menanamkan
pengaruh dan kekuasaannya atas negara-negara yang dahulunya merupakan
negara fasal kekhilafahan Utsmani.
Pada saat itu pula, Mesir ditetapkan termasuk dalam wilayah kekuasaan
imperium Inggris. Maka sejak saat itu Inggris menancapkan kekuasaannya pada
Negeri Mesir, menguasai setiap sistem kehidupan masyarakat Mesir. Kekuasaan
Inggris atas Mesir makin bertambah kuat dengan adanya dukungan sebagian
pemimpin.
Tentara Mesir dibawah pengaruh militer Inggris, demikian pula dengan
kepolisian Mesir. Inggris juga menguasai Terusan Suez dan Bank Nasional yang
dikenal dengan monopoli ekonomi. Bahkan Inggris juga mempumpunyai hak
mengintervensi dalam penetapan hukum Mesir.
Melihat kondisi tersebut tokoh-tokoh Islam dan para ulama berjuang
untuk mengembalikan khilafah Islamiyah kedalam kehidupan, meskipun pada
akhirnya dari para ulama sendiri terjadi perbedaan pendapat mengenai keberadaan
khilafah dan politik Islam. Ada golongan ulama yang menganggap bahwa
menegakkan sistem khilafah dan mengangkat imam dikalangan umat adalah
perkara yang diwajibkan agama dan berpandangan bahwa kondisi umat Islam
tidak akan baik tanpa kepemimpinan. Namun ada juga ulama yang tidak
menyetujuinya.
Hasan Al-Banna adalah salah satu dari ulama-ulama yang setuju dengan
adanya kekhilafahan dan politik Islam, Hasan Al-Banna bependapat bahwa Islam
adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur kehidupan
manusia, termasuk kehidupan politik sedangkan kekuasaan atau kedaulatan
tertinggi hanya ditangan Allah dan umat Islam hanyalah pelaksana kekuasaan
37
Allah atau kholifah (wakil) Allah dibumi, serta sistem politik Islam ialah sistem
politik yang universal.
Hasan Al-Banna juga berpendapat bahwa keberadaan khilafah sangat
penting bagi kaum muslimin, hal tersebut diungkapkan dengan stetmennya, “AlIkhwan Al-Muslimun berkeyakinan bahwa khilafah adalah simbol persatuan
Islam sekaligus lambang persaudaraan antara berbagai negara Islam. Khilafah
adalah sebuah syi’ar Islam yang harus dipikirkan keadannya serta diperhatikan
oleh kaum muslimin. Khilafah banyak sekali berhubungan dengan hukum-hukum
dalam ajaran Islam.
Ditahun 1928 bersama enam orang temannya, yaitu: Hafidz Abdul
Hamid, Ahmad Al-Hashari, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz,
dan Zaki Al-Maghribi. Hasan Al-Banna mendirikan Organisasi perasaudaraan
muslim dengan nama Ikhwanul Muslimin atau persaudaraan Muslim di kota
Isma’iliyah kemudian Hasan Al-Banna menjadi mursyid Ikhwanul Muslimin yang
pertama.
Organisasi Ikhwanul Muslimain diawali dengan aktivitas yang dilakukan
Hasan Al-Banna dengan berkunjung dikedai-kedai kopi untuk menyampaikan
ceramah-ceramah keislaman, yang lama kelamaan menarik minat banyak orang,
hingga akhirnya datang enam orang yang disebut diatas menemui Hasan AlBanna dan kemudian bersama-sama membentuk Ikhwanul Muslimin, adapun
tujuan didirikannya organisasi Ikhwan antara lain adalah untuk membangun
pribadi, keluarga, dan masyarakat yang bermoral dan berpegang teguh pada ajaran
Islam, memperbaiki negara, memerdekakan negara dari penjajahan asing,
mengembalikan eksistensi umat Islam, dan menyebarluaskan ajaran Islam
keseluruh penjuru dunia.
Dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi maka didalam organisasi
Ikhwan diterapkan kebijakan-kebijakan. Diantara kebijakan tersebut antara lain:
kebijakan yang berlakukan di kalangan internal Ikhwan, terdiri dari; struktur
organisasi Ikhwan, rukun ba’iat, kewajiban dan syarat keanggotaan. Kebijakan
yang berhubungan dengan kepentingan didalam negeri, antara lain; sikap Ikhwan
terhadap Undang-Undang konvensional, konsepsi nasionalis, konsepsi negara dan
38
pemerintahan menurut Ikhwan, sikap Ikhwan terhadap sistem kekuasaan,
kepartaian dan pemilihan umum. Kebijakan yang berhubungan dengan
kepentingan diluar negeri, antara lain; sikap terhadap Yahudi, dan pembelaan
Ikhwan terhadap negara-negara Islam yang terjajah.
Pada tahun 1932 Hasan Al-Banna pindah ke Kairo yang diikuti oleh
perpindahan pusat pergerakan Ikhwanul Muslimin dari Ismailiyah ke Kairo.
Ikhwanul Muslimin kemudian mengalami perkembangan yang sangat pesat di
bidang pendidikan, ekonomi, militer, dan politik. Di tahun 1946-1947 Ikhwanul
Muslimin
bersama-sama
elemen-elemen
nasionalis
melalui
gerakan
mahasiswanya melakukan gerakan-gerakan aktif untuk menentang penjajahan
Inggris atas Mesir, baik itu melalui demo-demo mahasiswa, menyurati para tokoh
masyarakat, pemerintahan dan raja, bahkan sampai mengirim utusan yang
berbicara di dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Aktivitas
Ikhwanul
Muslimin
tersebut
ternyata
menimbulkan
pertentangan yang tajam antara pemerintah dengan organisasi tersebut.
Pertentangan ini terjadi terutama disebabkan sikap Ikhwan yang menentang
penjajahan Inggris dan menuntut pemerintah untuk segera memerdekakan diri,
tetapi hal tersebut ditolak pemerintah Mesir yang saat itu masih berbentuk
kerajaan.
Pertentangan itu berlanjut dengan dibekukannya Ikwanul Muslimin oleh
pemerintahan Muhammad Fahmi Naqrasyi dengan persetujuan raja Faruq dan
penyitaan seluruh harta kekayaan serta penangkapan terhadap tokoh-tokohnya.
Hal ini terjadi mulai tanggal 8 November 1948. Rangkaian pertentangan tersebut
berlanjut dengan terbunuhnya Fahmi Naqrasyi pada bulan Desember 1948. Dan
Hasan Al-Banna terbunuh secara misterius pada tanggal 12 Februari 1949.
39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan teknis studi pustaka. Untuk memperoleh
data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti melakukan studi tentang bukubuku, literatur, dan majalah-majalah adapun tempat-tempat yang digunakan untuk
meneliti antara lain:
1. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret
2. Perpustakaan Fakultas Universitas Sebelas Maret
3. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret
4. Perpustakaan Fakultas Sastra jurusan Sejarah Universitas Sebelas Maret
5. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret
6. Perpustakaan Jamaah Nurul Huda Unit Kegiatan Mahasiswa Islam
Universitas Sebelas Maret ( JN UKMI UNS ).
7. Perpustakaan Islam Surakarta
8. Perpustakaan Muhammadiyah Surakarta
9. Perpustakaan masjid Al-Hudha Baturetno, Wonogiri
10. Buku-buku koleksi pribadi /perpustakaan pribadi
2. Waktu penelitian
Waktu penelitian selama 6 bulan, sejak bulan Mei 2006, yaitu sejak
mengajukan proposal hingga bulan Oktober 2006, yaitu selesainya skripsi ini
untuk layak diujikan.
B. Metode Penelitian
Penelitian ilmiah, metode memegang peranan yang sangat penting
terhadap keberhasilan penelitian yang dilaksanakan sebab berhasil tidaknya tujuan
yang akan dicapai dari penelitian tersebut tergantung dari penggunaan metodenya.
Pemilihan penggunaan metode dalam penelitian perlu disesuaikan dengan objek
dan tujuan yang diteliti.
40
Kamus Besar Bahasa Indonesia W. J. S Poerwadarminto (1990: 740)
menjelaskan bahwa metode adalah cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuatu sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang yang ditentukan.
Metode menyangkut masalah-masalah kerja untuk memahami obyek
yang menjadi sasaran ilmiah yang bersangkutan. Dalam usaha mendapatkan data
yang diperlukan pada suatu penelitian, maka harus menggunakan metode yang
tepat dengan sifat dan tujuan penelitian itu sendiri. Dalam penelitian ilmiah,
peranan metode penelitian sangat penting karena yang akan dicapai tergantung
dari penggunaan metode yang tepat. Metode harus disesuaikan dengan obyek
yang akan diteliti. Dalam hal ini metode yang dipilih dengan mempertahankan
kesesuaian
dengan
obyek
yang
diteliti,
bukan
sebaliknya
(Koentjaraningrat,1986:7). Menurut Isjwara (1982: 16) yang dimaksud dengan
metode adalah prosedur yang melalui beberapa tingkatan penyelidikan untuk
membantu ilmu mendapatkan kebenaran yang objektif.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa metode
adalah suatu prosedur, teknik atau cara yang sistematis dalam penyelidikan suatu
ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek atau bahan-bahan yang diteliti. Dalam
pengertian tersebut terkandung urutan langkah sebelum penelitian dilaksanakan.
Menurt Gilbert J. Garraghan (dalam Dudung Abdurrahman, 1993 : 43)
metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis,
dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Senada dengan pengertian ini, Louis Gottchalk (1983: 32) menjelaskan metode
sejarah sebagai proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan
peninggalan
masa
lampau.
Sedangkan
(Sartono
kartodirjo,
1982:
19)
mendefinisikan metode sejarah adalah: suatu tulisan yang tidak terlalu bebas
dalam mengekspresikan diri, terikat pada fakta-fakta dan bagaimana fakta-fakta
itu sebenarnya terjadi sehingga untuk merangkai fakta-fakta itu diperlukan
kemampuan yang logis dan imajinatif.
41
Dari beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa metode
sejarah adalah kegiatan yang dilakukan seorang sejarawan untuk menyajikan
suatu sajian historiografi. Kegiatan tersebut berupa pengumpulan data, menguji
data secara kritis hingga penyajian dalam bentuk historiografi.
Berdasarkan penjelasan tentang metode sejarah diatas, maka peneliti
menggunakan metode sejarah dengan alasan bahwa penelitian ini bertujuan untuk
merekunstruksi peristiwa masa lampau yang terjadi di Mesir yaitu tentang
pemikiran politik Hasan Al-Banna dan hal-hal yang melatar belakangi pemikiran
tersebut, sedangkan objek penelitian dan waktu terjadinya fenomena yang diteliti
yaitu kondisi Mesir ketika dipengaruhi pemikiran politik Hasan Al-Banna yang
terjadi pada masa hidup Hasan Al-Banna(1906-1949).
C. Sumber data
Pemahaman mengenai berbagai macam sumber data merupakan bagian
yang sangat penting bagi penelitian karena ketepatan memilih dan menentukan
jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi
yang diperoleh. Data tidak akan bisa diperoleh tanpa adanya sumber data.
Betapapun menariknya suatu permasalahan atau topik penelitian, bila sumber
datanya tidak tersedia maka ia tidak akan punya arti karena tidak akan diteliti dan
dipahami.
Sumber data yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai bahan
penulisan.Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana
data dapat diperoleh (Suharsimi Arikunto,1986:102)
Sumber sejarah seringkali disebut juga “data sejarah”. Perkataan “data”
merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “datum” (bahasa latin) yang berarti
“pemberitaan” (Kuntowijoyo, 1995: 94).
Menurut Louis Gotschalk (1985) sumber dibagi menjadi dua yaitu
sumber tertulis dan tidak tertulis. Sumber tertulis dibagi lagi menjadi dua yaitu
sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Sumber tertulis primer adalah
kesaksian dari seseorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan
pancaindera yang lain hadir pada peristiwa yang di ceritakan. Sedangkan sumber
42
tertulis sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan kesaksian
pandangan mata yaitu seorang yang tidak hadir dalam peristiwa sejarah yang
dikisahkan. Dengan demikian sumber primer harus dihasilkan oleh seorang yang
sejaman dengan peristiwa yang dikisahkan. Sumber tidak tertulis yaitu sumber
sejarah yang berupa benda-banda peninggalan sejarah, pelaku sejarah dan tradisi
masyarakat yang merupakan peninggalan dari masa lampau.
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sekunder
saja kumpulan surat, makalah, transkrip pidato Hasan Al-Banna yang telah
dibukukan, catatan pengalaman Abas Asisi dan beberapa ulama lain ketika
bergabung dalam Ikhwanul Muslimin yang telah ditranslit ke dalam Bahasa
Indonesia, berupa buku-buku yang relevan yang ditulis oleh beberapa sarjana
barat, tentang pendapat mereka mengenai pergerakan Ikhwanul Muslimim dan
beberapa karya ilmiyah yang telah ditulis beberapa mahasiswa dan yang telah
dibukukan.
D.Teknik pengumpulan data
Kegiatan pengumpulan data merupakan bagian yang sangat penting
dalam setiap bentuk penelitian. Menurut Moh. Nazir (1988: 211) pengumpulan
data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang
diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan
masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah memberi arah dan
mempengaruhi metode pengumpulan data.
Berdasarkan sumber sejarah yang dipergunakan ini, maka dalam
melakukan pengumpulan data dipergunakan studi pustaka, yaitu melakukan
pengumpulan data tertulis dengan membaca buku-buku literatur, majalah-majalah,
surat kabar, dokumen, dan artikel-artikel dari internet.
Adapun teknik studi pustaka dilaksanakan dengan sistem katalog. Louis
Gottchalk (1985: 46) menyatakan laboratorium yang lazim bagi seorang
sejarawan adalah perpustakaan dan alat yang paling bermanfaat bagi seorang
sejarawan adalah katalogus. Sistem ini mencatat beberapa aspek yang merupakan
43
hal terpenting dan berkaitan erat dengan sebuah buku ataupun artikel yang
digunakan oleh seorang sejarawan antara lain mencakup: nama pengarang, tahun
terbit, judul buku atau artikel, kota buku tersebut terbit, dan penerbit dari buku
tersebut, sehingga nantinya seoarang sejarawan yang menggunakan sebuah buku,
majalah ataupun artikel tidak akan mengalami kesulitan ketika harus
mencantumkan daftar referensinya.
Dudung Abdurahman (1999: 56) yang mengutip pendapat Florence MA.
Hilbish, mengemukakan bahwa catatan dalam pengumpulan data ada tiga bentuk,
yaitu 1). Quation (kutipan langsung), 2). Citation atau Inderect quation (kutipan
tidak langsung), 3) Summary (ringkasan) dan comment (komentar).
Sedangkan menurut Koetjaraningrat (1986) ada empat keuntungan yang
diperoleh jika proses pengumpulan data dilakukan degan menggunakan teknik
studi pustaka yaitu: (1) merupakan kerangka teoritis yang digunakan sebagai
landasan teori, (2) memperdalam pengetahuan tentang masalah yang akan diteliti,
(3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga akan mempermudah dalam
perumusan (4) menghimpun dari pengulangan dalam penelitian.
Untuk memperlancar membuat catatan maka langkah awal yang
dilakukan yaitu dengan mengetahui tempat dokumen berada, memahami
bibliografi karya terdahulu yang relevan, menguasai bahasa dokumen. Langkah
selanjutnya yaitu mengadakan pencatatan dengan cara:
1. Pencatatan dengan menggunakan catatan kecil atau memo.
Hal ini akan
membantu dalam mengumpulkan sumber tanpa harus membaca semua isi buku
yang digunakan. Teknik ini dilakukan dengan sistem pengkodean pengarang
buku dengan urutan permasalahan, konsep, teori dari data yang ditulis.
2. Pencatatan dengan menggunakan buku. Dalam kegiatan ini dilakukan dengan
mengumpulkan buku-buku dan literatur yang sesuai dengan tema penelitian,
kemudian diklasifikasikan menurut data yang diperlukan sampai terkumpul
menjadi bahan analisa penelitan yang disajikan dalam historiografi.
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan
pencatatan yang menggunakan langkah kedua yaitu pencatatan dengan
menggunakan buku-buku, literatur, dan majalah.
44
E. Teknik Analisis Data
Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis sejarah yang
objektif, sehingga unsur-unsur subjektifitas dalam menganalisis data sejarah dapat
terkurangi. Dalam proses analisis data harus selalu memperhatikan unsur-unsur
yang relevan dalam sumber data sejarah dan kredibelitas data. Suatu unsur dapat
disebut kredibel apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa yang benarbenar terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelitasnya berdasarkan
penyelidikan kritis terhadap sumber data sejarah yang ada. (Louis Gottschalk,
1986: 95).
Adapun analisis data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah analisis data historis, yaitu suatu analisis yang menggunakan ketajaman
dalam melakukan kritik dan interprestasi data sejarah untuk mencari kepastian
sebab akibat bagi kejadian-kejadian dimasa lampau dan perkembangannya.
Sartono Kartodirjo (1982:239).
F. Prosedur Penelitian
Penelitian merupakan suatu proses, jadi harus ada tahapan-tahapan atau
langkah-langkah yang harus dilakukan dari awal sampai akhir penelitian. Adapun
proses dalam penelitian ini terdiri empat langkah, sesuai dengan metode yang
digunakan penulis yaitu metode sejarah. yang dimaksud empat tahapan tersebut
adalah sebagai berikut:
Heuristik
Kritik sumber
Interpretasi
Historiograf
i
Fakta sejarah
Keterangan:
1. Heuristik
Tahapan pertama yang harus dilakukan dalam penulisan sejarah yaitu
heuristik. Heuristik adalah kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa lampau
45
yang merupakan peristiwa sejarah. Dalam penelitian ini pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis baik
itu sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber primer berupa Al-Qur’an,
Hadits, risalah, makalah serta transkrip pidato Hasan Al-Banna yang sudah di
kumpumpulkan atau di bukukan dan ditranslit dalam bahasa Indonesia, serta
keterangan beberapa ulama yang pernah bergabung dalam organisasi Ikhwanul
Muslimin pada masa Al-Banna. Sedangkan sumber sekunder berupa buku-buku
literatur yang diperoleh dari beberapa perpustakaan diantaranya Perpustakaan
Program Sejarah Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Universitas
Sebelas Maret, Perpustakaan FISIP Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan
Sastra Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret.
2. Kritik
Setelah data tersebut terkumpul, tahapan yang kedua adalah kritik, yaitu
dengan memeriksa keaslian sumber (Otentisitas) dan kesahihan sumber
(kredibilitas). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kritik sumber secara
intern dan ekstern. Adapun yang dimaksud dengan kritik intern dan ekstern adalah
sebagai berikut:
a. Kritik Intern
yaitu Kritik yang dilakukan untuk mengevaluasi sumber yang digunakan dari
“dalam” reliabilitas dan kredibilitas isi sumber-sumber sejarah (Hellius
Sjamsudin, 1996: 118). Dalam kritik intern, hal yang dilakukan adalah
menyelidiki isi dari sumber sejarah. Kritik intern dilakukan untuk mencari
kesahihan. Kritik ini digunakan untuk membuktikan apakah kesaksian yang
diberikan oleh sumber dapat dipercaya atau tidak. Hal ini bisa dibuktikan
apabila pemberi kesaksian mampu dan berkeinginan menceritakan kebenaran
atau dengan akurat melaporkan secara terperinci mengenai hal yang diteliti
untuk mendapatkan pendukung terhadap suatu fakta (Louis Gootschalk, 1975:
102). Ktitik intern dugunakan untuk menilai dan menguji kredibilitas suatu
sumber dari segi isi fakta dan ceritanya.
Tahapan-tahapan kritik interen yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah
sebagai berikut:
46
 Menentukan sifat-sifat sumber. Sebagai contoh keterangan resmi Mursyid
‘Am Ikhwanul Muslimin atau tokoh Ikhwan lain mengenai sejarah dan
perjalanan Ikhwan.
 Studi komparatif berbagai sumber. Langkah ini ditempuh untuk menyoroti
pengarang atau pembuat sumber, yang memberikan informasi mengenai
masa lampau yang ingin diketahui dan harus ada kepastian bahwa
kesaksiannya dapat dipercaya.
b. Kritik Ekstern
Kritik ekstern atau kritik luar yaitu dengan cara melakukan pengujian terhadap
aspek-aspek luar dari sebuah sumber sejarah. Fungsi kritik ekstern adalah
untuk memeriksa sumber sejarah dan menjaga sebisa mungkin otentitas
(keaslian suatu sumber) dan intergitas (keutuhan) sumber itu. Dalam kritik
ekstern dilakukan pengujian sumber dari aspek luarnya seperti pengarang dan
asal sumber. Dalam penelitian ini, kririk ekstern dilakukan dengan menyeleksi
bentuk sumber data tertulis berupa buku-buku literatur dan ensiklopedia. Aspek
fisik kedua sumber dilihat dari pengarang, tahun, dan tempat penerbitan
sumber, gaya bahasa dan ejaan yang digunakan.
Tahapan-tahapan kritik eksteren yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah
sebagai berikut:
1 Membandingkan antara buku atau literatur satu dengan yang lain sehingga
keotentikan atau kemurnian sumber dapat dipertanggungjawabkan.
2 Mencari keaslian dan keutuhan sumber yakni dengan menggunakan sumber
yang berupa kumpulan surat, makalah, transkrip pidato Hasan Al-Banna,
catatan pengalaman Abas Asisi dan beberapa tokoh Ikhwan lain ketika
bergabung dalam Ikhwanul Muslimin yang telah dibukukan oleh tokohtokoh Ikhwan masa kini.
3. Interpretasi
Setelah data terseleksi dan memenuhi syarat kevaliditasannya, maka
langkah selanjutnya yaitu interpretasi data yang dilakukan dengan menafsirkan,
memberikan makna dari fakta yang diperoleh serta menghubungkannya di antara
sumber satu dengan sumber lainnya, yang dikaitkan dengan teori maupun konsep
47
yang mendukungnya sehingga muncul fakta sejarah. Penafsiran fakta harus
bersifat logis terhadap keseluruhan konteks peristiwa, sehingga berbagai fakta
yang lepas satu sama lainnya dapat disusun dan dihubungkan menjadi satu
kesatuan yang masuk akal.
Interpretasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah kegiatan
dalam metode sejarah untuk menghubungkan antara fakta yang satu dengan fakta
yang lain, sehingga dapat diketahui mengenai hal-hal yang melatarbelakangi ide
atau gagasan-gagasan Hasan Al-Banna tentang politik, sebab akibat berdirinya
Ikhwanul Muslimin, serta pengruh gagasan Hasan Al-Banna tersebut terhadap
kiprah pergerakan Ikhwan. Fakta - fakta tersebut kemudian ditafsirkan, diberi
makna, dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami dan sesuai
dengan pemikiran yang relevan, logis dan berdasarkan obyek penelitian yang
dikaji.
4. Historiografi
Historiografi merupakan bagian terakhir dan klimaks dari serangkkaian
kegiatan penelitian sejarah. Langkah ini dapat ditempuh sesudah menentukan
masalah apa yang diteliti, dan diusahakan sumber-sumber yang lolos dari seleksi
(lolos kritik), serta ditafsirkan dengan pertimbangan-pertimbangan logis. Dari
data-data yang telah diperoleh kemudian dikisahkan secara harmonis. Dalam
rangka mengisahkan atau menulis sejarah dalam metodologi sejarah disebut
“langkah Historiografi”.
Dalam penelitian ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah
berupa skripsi dengan judul “Pengaruh Pemikiran Politik Hasan Al-Banna Dalam
Pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir”.
48
BAB. IV
PEMBAHASAN MASALAH
A. Latar belakang Kehidupan Hasan Al-Banna
1. Latar belakang Pendidikan Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna dilahirkan pada bulan Oktober 1906 di Mahmudiyah,
sebuah kota kecil di Propinsi Buhairah, kira-kira 9 mil dari arah barat daya kota
Kairo. Ayahnya, Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna As-Sa’atiy, gelar Sa’atiy
didapat lantaran pekerjaannya sebagai tukang reparasi jam. Ia adalah seorang
muadzin (juru Adzan), imam dan guru mengaji di masjid kampung, alumnus AlAzhar, belajar di Al-Azhar masa Syaikh Muhammad Abduh.
Ibunda Hasan Al-Banna bernama Ummu Sa’ad Ibrahim Shaqar. Orang
tua Hasan menginginkan anaknya tumbuh berkembang secara Islami dan benar,
serta tekun menghafal Al-Qur’an. Sehingga Hasan Al-Banna telah menguasai
berbagai macam ilmu pengetahuan Islam dalam usia dini. Orang tua Hasan
mempercayakan kepada Syaikh Muhammad Zahran yang buta sebagai Syaikhnya
pertama. (Muhammad Yusuf Khan 1991:181). Adapun jenjang pendidikan yang
ditempuh Hasan Al-Banna adalah sebagai berikut:
a. Madrasah Ar-Rasyad
Hasan Al-Banna, anak tertua dari lima bersaudara, memulai pendidikan
formal pada usia delapan tahun di sekolah Madrasah Ar-Rasyad dan menjalaninya
dalam waktu empat tahun. Gurunya Syaikh Muhammad Zahran termasuk orang
pertama setelah Ayahnya yang banyak mempengarui pemikiran Hasan Al-Banna.
(Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 180).
Hasan Al-Banna pernah bercerita tentang Gurunya, Syaikh Muhammad
Zahran mempunyai teknik mengajar dan mendidik yang efektif dan produktif.
Beliau lebih banyak bersandar pada kebersamaan hati nurani antara dirinya
dengan Murid-muridnya. Beliau selalu mengevaluasi semua aktivitas Muridmuridnya secara detail dan memuaskan, dengan menaruh kepercayaan kepada
mereka dan memberikan balasan (hukuman) atas tindakan buruk mereka, sebagai
balasan yang mendidik dan akan membangkitkan didalam diri mereka kesenangan
49
dan kegembiraan yang meluap-luap terhadap segala kebaikan, sebagaimana
mereka akan menderita dan merasakan kesedihan terhadap segala keburukan.
Seringkali, hal ini beliau sampaikan dalam bentuk anekdot sindiran, ajakan yang
baik dan bait-bait sya’ir. Hasan Al-Banna pernah dihadiahi sebuah Sya’ir Syaikh
Zahran, ketika bliau merasa puas dengan pekerjaannya, yang berbunyi:
Hasan telah memberi jawaban yang demikian bagus
Kepadanya semoga Allah memberikkan keridhoan dan bimbingan
Sedangkan sya’ir yang dihadiahkan untuk seorang teman Al-Banna yang
jawabanya kurang memuaskan, Syaikh Muhammad Zahran menyuruhnya
menuliskan dibawah nilai pelajarannya, yang berbunyi:
Wahai kuda Allah, percepatlah lagi langkahmu
Untuk mengambil pemuda ini, wahai kuda Allah
Hasan Al-Banna dan teman-temannya merasakan adanya hubungan
rukhiyah dan keterpautan antara seorang murid dengan gurunya, sehingga Siswa
Madrasah Ar-Rasyad sangat mencintai Syaikh Zahran, meskipun beliau memberi
bayak tugas yang melelahkan.
Materi pelajaran yang diberikan di Madrasah Ar-Rasyad mempunyai
kelebihan tersendiri jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah ataupun madrasah
lain, disamping materi-materi pelajaran yang sudah ada saat itu juga diajarkan
Hadits-hadits Nabi dengan target hafalan dan pemahaman. Setip pekan tepatnya
pada hari Kamis, diakhir jam pelajaran para murid diharuskan mempelajari sebuah
Hadits baru yang dijelaskan kepada mereka sampai memahaminya dan harus
mengulang-ulangnya sampai hafal. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 181-182).
b. Madrasah I’dadiyah
Kondisi Madrasah Ar-Rasyad mengalami perubahan setelah ditinggalkan
oleh pendirinya, Syaikh Muhammad Zahran. Madrasah itu diserahkan
pengelolaannya kepada ustadz-ustadz lain yang kurang setara dengan Syaikh
Muhammad Zahran dalam aspek kepribadian dan kapasitas keilmuannya. Hal
tersebut yang menyebabkan Hasan Al-Banna berkata terusterang kepada ayahnya
bahwa ia tidak mau lagi meneruskan pelajarannya di Madrasah Ar-Rasyad dan
harus melanjutkan ke Madrasah I’dadiyah. Akhirnya Ayahnyapun menyetujuinya
50
dengan catatan ia harus tetap menghafal Hadits dan Al-Qur’an di rumah. (Jum’ah
Amin Abdul Aziz 2005: 183)
Di sela-sela belajarnya di Madrasah I’dadiyah ini, Hasan Al-Banna ikut
bergabung dengan organisasi anti kemaksiatan. Disamping itu ia juga menjadi
ketua organisasi sekolah yang bernama Perhimpunan Akhlak Mulia (Jam’iyah AlAkhlak Al-Adabiyah), yang tujuannya untuk menghukum anggota-anggotanya atas
setiap pelanggaran moral yang mereka lakukan, suatu denda pun diterapkan pada
seluruh anggota yang mencaci maki saudara dan keluarga mereka, atau bersalah
menurut agama, organisasi ini berada di bawah pengawasan salah seorang guru
Madrasah. Hasan Al-Banna meneruskan di Madrasah ini selama dua tahun.
(Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 184)
c. Madrsah Mu’alimin Awwaliyah
Hasan
Al-Banna
melanjutkan
studinya
di
Madrsah
Mu’alimin
Awwaliyah, pada masa itu, Hasan Al-Banna memiliki agenda rutin yang hampir
tidak pernah berubah kecuali ada halangan yang amat mendesak. Ia menghabiskan
hari-hari sekolah di Damanhur pulang ke Mahmudiyah pada waktu Dhuhur hari
kamis dan menghabiskan hari jum’at serta malam sabtu di rumah, lalu kembali
lagi ke Madrasah di hari sabtu pagi untuk mengikuti pelajaran pertama tepat
waktu, ia juga bekerja di pabrik jam dan perusahan penjilidan buku. Hasan AlBanna menghabiskan waktu siang di toko untuk bekerja sebagai karyawan, sedang
malamnya dihabiskan untuk berdzikir bersama para Ikwan Hashafiyah. (Jum’ah
Amin Abdul Aziz 2005: 185).
Ada dua hal yang sangat urgen dalam proses transformasi keilmuwan dan
intelektual yang berpengaruh pada diri Hasan Al-Banna, kedua hal tersebut yaitu:
Pertama, perpustakaan ayahnya, dorongan untuk gemar membaca dan ayahnya
sering memberi hadiah kitab-kitab yang banyak berpengaruh pada dirinya,
diantara kitab tersebut adalah Al-Manar Al-Muhammadiyah, karya Imam AnNabahani, Mukhtasar Al-Mawahib Ad-Diniyah, karya Imam Al-Qasthalani, da n
Nur Al-Yaqin Fi Sirah Sayid Al-Mursalin, karya Imam Syaikh Al-Khudri.
Sehingga Hasan Al-Banna ketika remaja telah memiliki perpustakaan pribadi.
Kedua, Adanya motivasi dari para Ustadz, seperti Uastadz Abdul Aziz ‘Athiyah,
51
yang kala itu menjabat sebagai kepala Madrasah Mu’alimin, Ustadz Farhad Salim,
Syaikh Abdul Fathah Abu Alam, Ustadz Haj Ali Sulaiman dan beberapa Ustadz
lain. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 186).
d. Universitas Darul Ulum
Setelah selesai studinya di Madrsah Mu’alimin Awwaliyah Hasan AlBanna mendapat tawaran dari Dewan Pimpinan wilayah Buhairah untuk menjabat
sebagai guru di Kharbata Awwaliyah, tapi Hasan Al-Banna akhirnya memutuskan
untuk melanjutkan studinya di Unversitas Darul Ulum.
Pembentukan wawasan intelektual Hasan Al-Banna melewati dua fase;
fase pertama adalah wawasan intelektual keagamaan yang murni dan ilmu-ilmu
bahasa. Ini adalah fase sebelum masuk Darul Ulum, Wawasan intelektual
agamanya mencakup Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya, juga
sunnah-sunnah dan ilmu yang berhubungan dengannya. Sumber wawasannya
berkembang, sehingga meliputi semua cabang ilmu, baik ilmu sejarah, geografi,
politik, ilmu ekonomi, sastra, metode-metode pendidikan teoritis dan ilmu-ilmu
lainnya dan itu masuk fase kedua, yaitu setelah Hasan Al-Banna masuk ke Darul
Ulum. Dari semua cang ilmu tersebut Hasan tidak hanya mengambil dari satu sisi
saja, tetapi Hasan Al-Banna juga mempelajari orang yang menentangnya dari
berbagai sisi dan masalah khilafiyah. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 198).
Awal mula kecintaan Hasan Al-Banna untuk mempelajari dan membaca
buku-buku agama adalah melalui Syaikh Zahran. Sering kali Syaikh Zahran
meminta Hasan Al-Banna untuk menemaninya pergi ke perpustakaan pribadinya.
Hasan Al-Banna diminta Syaikh Zahran untuk membacakan beberapa persoalan
dan mengevaluasinya. Ia juga sering menghadiri pertemuan-pertemuan Syaikh
dengan para ulama untuk membahas dan mendiskusikan berbagai persoalan.
(Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 198).
Pada tahun terakhir studinya di Darul Ulum, kelas Al-Banna diberi tugas
untuk menulis esai tentang cita-cita terbesar anda setelah menyelesaikan studi dan
tunjukkan bagaimana anda akan mempersiapkan diri anda untuk mewujudkannya.
Pada kesempatan itu Hasan Al-Banna menuliskan “Saya berkeyakinan bahwa
sebaik-baik manusia adalah mereka yang meraih kebahagian mereka dengan
52
membuat orang lain bahagia dan memberi bimbingan kepada mereka”. Untuk
meraih tujuan ini Hasan Al-Banna menyimpulkan, dapat ditempuh melalui dua
cara. Pertama, jalan sufisme yang lurus, keikhlasan dan aksi untuk kepentingan
kemanusiaan. Kedua, jalan pendidikan dan penyuluhan, yang mirip dengan jalan
yang pertama dalam hal keikhlasan dan aksi, namun berbeda dengan yang
pertama karena ia menuntut interaksi dengan orang lain. (Richard Paul Mitchell
2005: 9).
Akhirnya Hasan memilih pada pilihan kedua, ia memilih menjadi
seorang penyuluh dan pendidik, mengabdikan dirinya. Siang hari untuk mengajar
generasi muda dan malam hari untuk mengajar orang tua mereka tentang tujuan
dan sumber-sumber kehidupan serta kebahagiaan mereka di dunia. (Richard Paul
Mitchell 2005: 9).
Hasan Al-Banna menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1927
dalam umur 21 tahun, kemdian Hasan Al-Banna mendapat tugas baru, yaitu
mengajar bahasa Arab disebuah sekolah dasar zona Terusan Suez dikota
Isma’iliyah.
2. Latar belakang sosial Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna semakin tertarik mengamati fenomena sosial politik
yang terjadi di masa itu, hal tersebut meningkatkan kesadaran beliau tentang
kesan faham sekuler dan Barat yang telah mempengaruhi masyarakat Islam. Inilah
yang menyebabkan Al-Banna begitu prihatin dengan keadaan pemuda-pemudi
Islam yang semakin jauh dari ajaran Islam. Al-Banna meyakini perang peradaban
dan pemikiran yang banyak mempengaruhi pemuda-pemudi adalah begitu penting
untuk menyelamatkan pemuda dan masa depan bangsa dari pada serangan hebat
Barat.
Semasa belajar di Unversitas Darul Ulum Al-Banna menyelami hasil
penulisan beberapa reformis Islam termasuk Muhammad ‘Abduh (1849-1905),
yang merupakan guru ayahnya semasa di Al-Azhar. Tetapi yang paling banyak
mempengaruhi pemikiran Al-Banna adalah Rashid Rida (1965-1935) yang
merupakan murid Muhammad ‘Abduh. Al-Banna merupakan pembaca tetap AlManar, majalah yang diterbitkan oleh Rashid Rida dari 1898 hingga 1935.
53
Al-Banna sependapat dengan Rashid Rida mengenai semakin jauhnya
nilai-nilai Islam dari masyarakat Mesir akibat intervensi barat terhadap masalahmasalah dalam negeri Mesir. Al-Banna juga percaya bahwa fenomena kejayaan
Islam dapat dikembalikan dengan kembali kepada ajaran Islam yang sejati, bebas
dari segala kekotoran yang melemahkan kaum muslimin. (Richard Paul Mitchell
2005: 8).
Tahun 1927, saat berusia 21 tahun ia menyelesaikan studi di Unversitas
Darul Ulum, kemudian ia menjadi guru bahasa Arab di sebuah sekolah rendah di
Isma’iliyyah. Pada masa itu, Isma’iliyyah merupakan pusat pemerintahan Canal
Zone dan menjadi pusat pejabat Suez Canal Company (SCC). Pemerintah telah
menempatkan kem tentera dan kediaman bagi pekerja barat pada tempat spesial
dan menjadikan pekerja serta penduduk Mesir sebagai kelas kedua. Pekerja serta
penduduk Mesir mayoritas menjadi buruh kasar di perusahaan-perusahaan yang
telah dikuasai Inggris. Al-Banna melihat kehadiran kuffar ke Isma’iliyyah sebagai
pendudukan tentera, pengeksploitasian ekonomi dan pencemaran budaya, hal ini
meningkatkan semangatnya untuk mengusir Inggris dari Mesir dan pengaruh
Barat. (Muhammad Yusuf Khan 1991:85).
Kondisi sosial bangsa Mesir pada awal Abad 20 bercirikan strata sosial
dengan perbedaan yang mencolok diantara para warganya. (Jum’ah Amin Abdul
Aziz 2005: 70-78). Terdapat tiga strata sosial di Mesir, yaitu:
a. Strata sosial atas
Strata ini terdiri dari para tuan tanah dan perkebunan, pemilik perusahaan
dan industri, pemilik bank dan lembaga-lembaga keuangan. Kelompok ini
menjalani kehidupan sosialnya dengan kesenangan dan bermegah-megahan.
Meraka memiliki hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya lewat jalur
perkawinan dan keturunan. Mereka terpengaruhi kebudayaan barat akibat
seringnya berinteraksi dengan masyarakat Eropa, baik lewat delegasi negara yang
dikirim ke Eropa maupun lewat penyebaran metode-metode pengajaran di
sekolah-sekolah yang meniru sistem pendidikan dan kebudayaan yang ada di
Eropa.
54
Kelompok strata ini terdiri beberapa golongan sosial, yaitu: Para tuan
tanah, Mereka adalah kumpulan orang yang kebanyakan membentuk partai-partai
politik dan dewan konstitusi. Mereka sering menggunakan berbagai cara demi
meningkatkan kepemilikan tanah ladang. Salah satu cara yang dipakai adalah
dengan mencabut hak kepemilikan para petani kecil dengan memberikan harga
yang tinggi, dan terkadang mereka juga menggunakan cara teror. Sehingga 0,5%
dari mayoritas tuan tanah dapat menguasai antara 33,9% sampai 35,2% tanah
persawahan dan ladang, dalam rentang waktu antara tahun 1919 hingga 1952.
Para penguasa tanah ini kemudian meninggalkan pedesaan, lalu
melakukan urbanisasi ke daerah perkotaan. Fenomena seperti ini menimbulkan
dampak buruk bagi perkembangan kehidupan masyarakat dipedesaan, dimana hal
tersebut berimbas kepada kebutuhan hidup para petani kecil. Mereka tidak dapat
mengolah harta kekayaan para tuan tanah tersebut menjadi tanah yang produktif.
Akibat dari praktik politik para tuan tanah dalam memperoleh tanahtanah dengan mengabaikan kepentingan para petani
kecil
ini
adalah
mengorbankan pendapatan nasional yang amat besar, sebab para tuan tanah tadi
mengeluarkan harta untuk bermewah-mewahan. Demikian kelompok strata ini
menjadi faktor penghambat bagi lajunya perekonomian bangsa.
Bangsa Asing, Mereka adalah orang-orang yang sebagian besar bekerja
di industri-industri besar, penukaran valuta asing dan pegawai tinggi adminstrasi.
Kebanyakan
mereka
terpisah
dari
penduduk
Mesir,
pemerintah
juga
memperlakukan mereka secara khusus, karena mereka memiliki kekuatan modal
dan hukum. Mereka juga memiliki sekolah-sekolah khusus.
b. Strata sosial menengah
Strata ini terdiri dari orang-orang yang memiliki lahan skala menengah,
para pedagang skala menengah, sejumlah besar cendekiawan dan para pejabat
pemerintahan. Kaum sosialis menyebut mereka dengan sebutan kelompok “
borjuis kecil”. Strata ini memiliki peran kepemimpinan dalam pergerakan nasional
dan pergerakan kebangkitan politik dan sosial.
Kaum pelajar dan mahasiswa dari kelompok ini lebih memperhatikan
permasalahan-permasalahan politik dari pada kondisi sosial mereka, kebanyakan
55
mereka berasal dari keluarga miskin yang sering mengalami kesulitan untuk
menyelesaikan studi. Bahkan setelah luluspun, mereka tidak terjamin akan
mendapatkan pekerjaan yang layak, hal ini disebabkan banyaknya pekerja asing
diberbagai bidang pekerjaan.
c.
Strata sosial bawah
Strata ini terdiri dari para petani dan pegawai rendah. Kehidupan strata
ini begitu menyedihkan akibat ulah tuan tanah yang merampas tanah petani
supaya mereka menjadi petani upahan para tuan tanah. Kehidupan miskin yang
dialami strata ini merupakan gambaran mayoritas masyarakat Mesir. (Jum’ah
Amin Abdul Aziz 2005: 70-78).
3. Latar belakang keagamaan Hasan Al-Banna
a. Hasan Al-Banna Da’I sejak kecil
Semenjak kecil Hasan Al-Banna telah bergabung dalam beberapa
organisasi keagamaan sekolah yang memberikan banyak pengalaman dan semakin
menumbuh suburkan jiwa kepemimpinan yang ada pada diri Al-Banna.
Organisasi-organisasi tersebut antara lain:
 Perhimpunan Akhlak Mulia
Perhimpunan Akhlak Mulia diikuti Hasan Al-Banna pada masa ia masuk
Madrasah I’dadiyah, semula Hasan Al-Banna menjadi salah satu anggota aktif
dalam organisasi tersebut tapi tak berselang lama ia menjadi ketuanya karena
prestasi dan keaktifannya. Tata tertip perhimpunan ini adalah menyerukan akhlaq
mulia dan memberikan saksi kepada siapa saja yang menganiaya orang lain.
(Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 206).
 Perhimpunan anti kemungkaran
Aktivitas Hasan Al-Banna dan teman-temannya dalam berorganisasi
yang mempunyai tujuan utama dakwah tidak hanya terbatas pada lingkungan
sekolah atau Madrasah saja tapi juga bergerak diluar Sekolah. Hasan Al-Banna
dan teman-temannya mendirikan Perhimpunan anti kemungkaran. Perhimpunan
ini menyerukan untuk mengerjakan syari’ah Islam dan menjauhi semua
larangannya dengan cara mengirimkan surat kepada setiap orang yang melakukan
kemungkaran. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 206).
56
Tugas dari Perhimpunan tersebut dibagi-bagi diantara anggotanya,
diantaranya ada yang bertugas menyiapkan teks-teks, ada yang bertugas mencetak
dan menyebarkan kepada orang-orag, yang dituju dalam surat-surat ini adalah
orang-orang yang sampai beritanya kepada perhimpunan bahwa mereka
melakukan kemungkaran.
Hasan Al-Banna pernah mengisahkan dalam bukunya yang berjudul
“Muadzakirat Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah” bahwa mereka telah bersepakat untuk
mendirikan perhimpunan Islamiyah yang diberinya nama Jam’iyah Mani’I AlMuharomat (Perhimpunan Anti Kemungkaran). (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005:
206).
b. Bergabung dengan Tarekat Hashafiyah
Tarekat ini berpengaruh besar dalam kehidupan Hasan Al-Banna. AlBanna biasa menghadiri pengajian yang diadakan Ikhwan Hashafiyah diantaranya
adalah Hasan Hizbik yang mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin setiap sebelum
sholat Fajar. Hasan Al-Banna menganggab bahwa kitab Ihya adalah sebuah buku
ensiklopedi Islam. Dikemudian hari Hasan Al-Banna menjelaskan isi kitab
tersebut kepada anggota-anggota organisasi Ikhwan.
Melalui tarekat Al-Hashafiyah ini Al-Banna bertemu dengan Ahmad
Sukri yang mendirikan organisasi sosial Hashafiyah, hubungan keduanya sangat
erat. Disini Hasan juga bertemu dengan Abdul Wahab Al-Hashafi yang selalu
menasihati agar menjauhi perdebatan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat.
(Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 221).
Hasan Al-Banna terwarnai oleh metode Hashafiyah dalam melakukan
tarbiyah ruhiyah. Selain mengajarkan dzikir, wirid, kajian kitab Ihya, shalat
berjama’ah, puasa Senin dan Kamis serta kunjungan persaudaraan salah seorang
pendidik di tarekat tersebut juga mengajak ke kuburan. Mereka berziarah kubur
lalu membaca doa-doa lalu diceritakannya tentang keadaan orang-orang sholeh
dengan metode yang sangat berkesan dihati. Penddik Hashafiyah tersebut juga
memperlihatkan liang kubur yang tebuka dan mengingatkan bahwa kelak mereka
pasti mengahiri hidupnya disana. Al-Banna mengambil manfaat dari kegiatan
57
tersebut untuk selalu berusaha mensucikan jiwa. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005:
223).
Al-Banna berada dalam tarekat Hashafiyah sejak usia 13 ½ sampai 21
tahun, saat mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin. Penggemblengan ini
berpengaruh besar dalam kepribadian spiritual dan dakwahnya yang ia jadikan
salah satu aspek fundamental dakwah Ikhwan yaitu hakikat sufiyah disamping
tarekat suniyah, dakwah salafiyah dan institusi politik. (Utsman Abdul Mu’iz
Ruslan 2000: 181).
c. Dakwah di kedai-kedai kopi
Salah satu keunikan yang dilakukan oleh Hasan Al-Banna ialah beliau
memulai dakwahnya bukan di masjid kerana takut disalah artikan oleh masyarakat
Isma’iliyyah sebagai gerakan tasawuf baru, tetapi ia memulai dakwah di kedai
kopi. Alasan yang dikemukakan Hasan Al-Banna kepada Ikhwannya yang kurang
setuju dengan cara yang ditempuhnya itu adalah karena di kedai kopi orang-orang
sedang rileks dari kesibukan hariannya, mereka fresh untuk mendengar nasihat
orang lain, sehingga sangat sesuai kalau berdakwah kepada mereka di saat seperti
itu. (Karen Armstrong 2001: 348).
Pada permulaannya, sudah pasti pemilik kafe merasa terganggu, para
pengunjung kedai kopi pun merasa heran., tetapi kerena Al-Banna menyampaikan
dakwahnya tidak pernah melebihi 15 menit, pada hari-hari berikutnya para
pemilik kafe meminta Al-Banna supaya datang lagi, memberikan siraman rohani
kepada para pengunjung kedai. Dalam 1 hari tak kurang dari 10 kedai dikunjungi
Al-Banna secara bergiliran padahal jarak antara kedai satu dengan yang lain
berjauhan. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 211).
4. Latar belakang Politik Hasan Al-Banna
a. Tumbuhnya seruan untuk kebebasan dan kemerdekaan
Mesir jatuh ketangan Inggris pada tahun 1882 M. Inggris membatasi
kebudayaan, pemerintahan, sistem dan Undang-Undang, serta Adat Bangsa Mesir
yang membuat bangsa Mesir kehilangan jatidirinya. (Jum’ah Amin Abdul Aziz
2005: 31). Pada awal abad 20 munculah beberapa seruan nasionalisme yang
58
menyerukan untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan yang diawali dari
seorang pemimpin bernama Musthofa Kamal hingga pada revolusi tahun 1919 M.
Pendudukan ini menjadi faktor yang berpengaruh dalam pendidikan
politik bangsa Mesir. Karena adanya penindasan imperalis terhadap orang-orang
Mesir terbentuklah jiwa patriotik dan emosi politik anti Inggris.
Pada suasana yang tidak kondusif bangsa Mesir tersebut tumbuhlah
Hasan Al-Banna hingga ia tahu bahwa negeri dan umatnya pada waktu itu telah
dikuasai musuh yang berlaku sewenang-wenang terhadap bangsanya.
Pada saat itu, Mesir adalah bangsa yang harus terus bejuang dengan
segenap kemampuan untuk mengembalikan hak mereka yang terampas,
kebebasan yang sirna dan kemuliaan yang lenyap. Tidak mengherankan bila
Hasan Al-Banna turut serta dalam revolusi terhadap penjajahan Inggris pada tahun
1919 M, pada saat umurnya baru berusia 13 tahun saat ia masih menjadi seorang
murid di Madrasah Al-I’dadiyah (setingkat dengan SMP) dikota Mahmudiyah.
(Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 5).
b. Komite Lord Milner dan Demonstrasi Anti Komite
Menyusul gelombang amarah dan amukan masal penduduk Mesir yang
berwujud aksi-aksi demo yang penuh dengan aroma emosional, pemerintah
Inggris berfikir untuk segera mengatasi dampak-dampak yang mungkin
ditimbulkan oleh revolusi tersebut. Pemerintah Inggris berinisiatif untuk
mengirimkan komite besar ke Mesir untuk menginvestigasi semua penyebab
terjadinya revolusi dan mencari semua sarana dan media yang dapat
menghentikan terjadinya revolusi tersebut. Inggris akhirnya berhasil membentuk
sebuah komite yang dipimpin oleh Lord Alfered Milner, Menteri kolonial Inggris
saat itu. Pembentukan komite ini terjadi pada 22 September 1919. Setelah
pembentukan komite ini diumumkan, maka banyak sekali aksi demo yang terjadi
hampir diseluruh kota Mesir.
Di Alexsandriya terjadi pertikaian sengit antara penduduk yang
mengamuk melawan polisi dalam negeri yang didukung pasukan Inggris yang
menembakkan peluru kearah pendemo. Akibatnya, banyak orang yang tewas dan
terluka. Pemandangan seperti ini seringkali terjadi, dimana masyarakat mengamuk
59
menginginkan kemerdekaan dan dihapuskannya penjajahan. Mereka berhadapan
dengan tentara Inggris yang melepaskan peluru-peluru kearah para demonstran,
sehingga banyak sekali warga yang tewas dan terluka.
Aksi demo penentangan ini terus berlangsung hingga komite tersebut tiba
di Mesir pada 7 Desember 1919, sejak saat itu aksi demonstrasi terus merebak dan
banyak aksi mogok yang terjadi, para pelajar tidak mau pergi kesekolah-sekolah,
sebagai bentuk aksi protes atas kedatangan komite tersebut. Para pedagangpun
ikut menyambut aksi yang dilakukan para pelajar, mereka tidak mau membuka
toko-toko mereka. Para pengacara dan ahli hukum juga melakukan aksi mogok
menentang komite tersebut selama satu minggu yang dimulai sejak 17 Desember.
(Perlu dicatat di sini bahwa tanggal 18 Desember adalah hari diumumkannya
perlindungan atas Mesir pada tahun 1914).
Komite Milner menghabiskan waktu kira-kira 3 minggu di Mesir untuk
mempelajari keadaan negeri secara umum dan khususnya mempelajari penyebab
yang melatar belakangi terjadinya revolusi. Komisi ini juga bertugas untuk
mencari solusi yang paling efektif untuk melawan gelombang revolusi, juga
menacari beberapa alternatif usulan yang akan disampaikan kepada pemerintah
Inggris tentang masalah ini. Lord Milner akhirnya meninggalkan Ibu kota Mesir
pada 6 Maret 1920, menuju Yerusalem dalam sebuah perjalannya ke Palestina
kemudian pada tanggal 18 Maret menuju Inggris. (Jum’ah Amin Abdul Aziz
2005: 35-38).
Sepanjang dua tahun berlangsungnya perundingan, pada akhirnya Inggris
mengumumkan bahwa bangsa Mesir akan mendapatkan kebebasan dan
kemerdekaannya. Inggris menyatakan berakhirnya perlindungan Inggris terhadap
Mesir dan menyatakan Mesir telah merdeka dan hal tersebut dikenal sebagai
deklarasi 28 Februari 1922. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 144).
Pernyataan tersebut berisikan berakhirnya perlindungan Inggris terhadap
Mesir, dan Mesir dinyatakan sebagai sebuah negara yang mempunyai kedaulatan
penuh kecuali pada empat hal yang masih dikuasai Inggris. Dengan demikian
berarti Inggris masih memegang kekuasaannya atas bangsa Mesir. (Utsman Abdul
Mu’iz Ruslan 2000: 144).
60
Sa’ad Zaglul Basya menganggap pernyataan tersebut sebagai bencana
terbesar bagi Bangsa Mesir, dan itu dianggapnya sebagai sebuah strategi dan tipu
daya, yang bertujuan untuk mendapatkan justifikasi atas kamp-kamp Inggris di
Mesir. (Abbas As-Sisi 2005: 40).
Dr.Abdul Azhim Ramadhan berpendapat bahawa apa yang diperoleh
bangsa Mesir seperti yang tertera dalam deklarasi tersebut tidak seimbang dengan
pengorbanan bangsa Mesir, juga tidak sebanding dengan cita-cita bangsa Mesir,
yang berjuang untuk mendapatkan kemerdekaannya sejak pasca perang dunia I.
Kejadian-kejadian tersebut dianggap sebagai kelanjutan dari peristiwa
revolusi 1919. partisipasi aktif Hasan Al-Banna dalam semua peristiwa ini terus
berlangsung. Dengan semangat dan perasaan kebangsaan Hasan Al-Banna turut
serta dalam aksi menentang dan memboikot komite Milner. (Jum’ah Amin Abdul
Aziz 2005: 38).
c. Di terbitkannya Undang-undang 1923
Pada tanggal 15 Maret 1922 Sultan Fuad mengumumkan dirinya sebagai
Raja Fuad I. Sejak saat itu , Mesir menjadi kerajaan otonom yang tidak ada
kaitannya dengan kekhilafahan Utsmaniyah, Bangsa Mesir juga berusaha
membuat Undang-undang yang sesuai dengan kondisi bangsa Mesir yang baru
saja merdeka. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 38).
Terjadi perdebatan antara Raja yang didukung oleh kekuatan politis
dengan golongan Nasionalis yang dipimpin oleh Sa’at Zaghlul. Perdebatan itu
mengenai pembuatan Undang-undang yang akan menetapkan prinsip kedaulatan
rakyat dan membatasi kekuasaan raja serta seputar undang-undang yang
mengakomodasi kepentingan rakyat banyak. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005:
38).
Dalam proses merealisasikan kedua jalan ini terjadi pencopotan beberapa
orang menteri, kemudian digantikan oleh orang lain dan dibuat beberapa komite
untuk membuat Undang-undang. Dibawah tekanan rakyat pihak Istana segera
mengajukan draf undang-undang kepada komisi penasihat konstitusi yang
bertugas membentuk undang-undang, kemudian raja Fuad mengeluarkan undangundang tersebut pada 19 April 1923. Undang-undang tersebut memberikan
61
kekuasaan yang absolut terhadap raja. Ada beberapa periode dimana undangundang tersebut tidak digunakan, yaitu:
Periode pertama, terjadi pada tanggal 23 Maret 1925 dan berlangsung
hingga Mei 1926 dimana sistem parlementer telah dikembalikan pada pemilihan
umum legislatif telah dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 1926. (Jum’ah Amin
Abdul Aziz 2005: 39).
Periode kedua, pada tanggal 19 juli 1928 Raja Fuad mengeluarkan
keputusan kerajaan tentang pemberhentian dewan legislatif dan konggres serta
mengembalikan sistim parlementer selama tiga tahun untuk melakukan reformasi.
Demikian pula kekuasaan legislatif dialihkan dari para wakil rakyat kepada raja,
tetapi atas desakan rakyat Mesir yang menuntut dikembalikannya Undang-undang
sistim parlementer, maka pada tanggal 21 Oktober 1929 raja mengeluarkan
keputusan kembali pada undang-undang 1923. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005:
40). Hal tersebut dilakukan karena adanya tekanan yang sangat kuat dari massa
dalam bentuk demonstrasi besar-besaran hingga jatuhnya korban jiwa. (Abbas AsSisi 2005: 14).
Periode ketiga, penghapusan undang-undang dan pembuatan undangundang baru pada tahun 1930, yang terkenal dengan undang-undang 30, undangundang ini semakin memperkuat kekuasaan raja, mengurangi kekuasaan dewan
legislatif, dan melemahkan kekuasaan parlemen serta konggres. (Jum’ah Amin
Abdul Aziz 2005: 41).
Undang-undang 1930 digunakan selama 5 tahun, sementara bangsa
Mesir terus menerus menuntut kembali berlakunya undang-undang 1923 dan
akhirnya dikeluarkan keputusan raja pada tanggal 12 desember 1935 tentang
pembatalan undang-undang 1930 dan kembali ke undang-undang 1923. (Abbas
As-Sisi 2005: 14).
Undang-undang 1923 digunakan selama lebih dari 17 tahun sampai
terjadinya revolusi 23 Juli. Undang-undang 1923 akhirnya dihapuskan pada
tanggal 10 Desember 1952 ketika dikeluarkannya pengumuman penggunaan
undang-undang revolusioner yang lebih selaras dengan kondisi bangsa mesir
setelah terjadinya revolusi militer yang didukung rakyat untuk menentang raja,
62
hingga dikeluarkannya keputusan digantikannya undang-undang 1923 dengan
undang-undang revolusioner. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 41).
B. Hal-hal yang mempengaruhi pemikiran politik Hasan Al-Banna
1. Runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 yang memberikan dampak
terhadap Mesir
Jatuhnya pemerintahan Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 merupakan
satu tamparan hebat terhadap setiap individu Muslim. Sejak dari saat itu, dunia
Islam telah terbagi-bagi sebagaimana makanan dibagi-bagikan, hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW bahawa umat Islam akhir zaman diibaratkan
makanan yang dikerumuni oleh musuh-musuhnya.
Bersamaan dengan meletusnya perang dunia I pada tahun 1914 Turki
sebagai negera khilafah mengumumkan perang terhadap Inggris. Khalifah
Utsmani yang bernama Sultan Muhammad V memerintahkan kaum muslimin
untuk berperang memerangi musuh-musuh negara Khilafah yang melakukan
perlawanan. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 41).
Ketika Perang dunia I selesai pada November 1918, Turki berada di
pihak yang kalah dan mengalami banyak sekali kerugian. Musthofa Kemal Pasya,
seorang perwira tinggi Turki dengan didukung oleh beberapa perwira Turki dan
para pejuang Turki yang tersisa kembali menyusun dan memimpin pasukan
melawan Inggris dan Yunani.
Pada tahun 1922 Inggris memberi dukungan kepada Yunani untuk
kembali berperang melawan Turki, namun pasukan Turki dibawah kepemimpinan
Musthofa Kemal Pasya berhasil menghalau pasukan Yunani yang bersekutu
dengan Inggris. Tersiarlah berita kemenangan tersebut keseluruh penjuru dunia
Islam sehingga munculah harapan kaum muslimin saat itu, yang mengharapkan
munculnya seorang pemimpin baru, tersiar juga berita bahwa Musthofa Kemal
Pasya adalah seorang pembaharu masa penakhlukan, bahkan ia mendapatkan
julukan “Kholid At-Turk” (Khalidnya bangsa Turki) hal tersebut menunjukkan
betapa besarnya harapan kaum muslimin akan kemunculan seorang pemimpin
yang baik, seorang pemimpin yang mampu menyatukan kaum muslimin dibawah
satu kepemimpinan Islam dan melanjutkan hukum-hukum Islam yang telah ada.
63
Sehingga ia di juluki sebagai Kholid At-Turk, yang mana Kholid bin Walid
adalah seorang sahabat Rosulullah yang pernah menjadi paglima perangnya.
Kemenangan Musthofa Kemal terus berlangsung sehingga ia berhasil
mengusir kekuatan penjajah dari negerinya. Sehingga banyak kaum muslimin
yang simpati dengannya dan mengecilkan sosok khalifah, kebencian terhadap
khalifah semakin bertambah dengan adanya berita di media masa bahwa khalifah
telah menghalalkan darah Musthofa Kemal Pasya dan menganggapnya sebagai
pembangkang serta pemberontak. Pada hal bagi mereka, Musthofa Kemal Pasya
adalah sosok pahlawan dan pejuang yang berusaha mengembalikan kehormatan
khalifah yang dalam anggapan mereka khalifah telah kalah dan tunduk kepada
penjajah.
Musthofa Kemal Pasya memimpin pasukan untuk melakukan kudeta
terhadap Sultan Wahiduddin dan akhirnya memetik kesuksesan. Sulatan berhasil
dilengserkan dan Musthofa Kemal mengumumkan berdirinya negara republik.
Pada awal Maret 1924 Musthofa mengumumkan dihapuskannya kekhilafahan dari
Turki dan mengusir kholifah terakhir yang masih ada pada saat itu, meskipun
khilafah tersebut adalah khalifah boneka Inggris, yaitu Sultan Abdul Majid II dan
menghapuskan era kekhilafahan yang telah menaungi kaum muslimin semenjak
khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq hingga khalifah Utsmani terakhir yang bernama
Sultan abdul Majid II. Maka musnalah harapan umat Islam setelah penghianatan
Musthofa Kemal dan umat Islam hanya dapat meratapi berita runtuhnya
kekhilafahan.
Setelah peristiwa ini umat Islam tidak hanya diam mereka tetap berusaha
untuk menegakkan kembali sistem kekhilafahan atau kepemimpinan Islam yang
dulu pernah ada. Para Ulama yang simpati terhadap nasib umat Islam melakukan
pertemuan-pertemuan dan hasilnya mereka sepakat akan pentingnya diadakan
Konferensi Islam tahunan yang diikuti oleh wakil-wakil negara Islam
diselenggarakan di Kairo, namun kemudian perteman ini tidak menghasilkan
keputusan yang krusial bagi kepemimpinan Islam. (Jum’ah Amin Abdul Aziz
2005: 42-45).
64
Hasan Al-Banna mengakui bahwa keputusan menubuhkan Jamaah
Ikhwanul Muslimin adalah keprihatinannya terhadap kejahilan Ummat Islam
terhadap Agama mereka.
2. Pendudukan Inggris
Sejak menduduki Mesir pada 4 September 1882, Inggris telah melakukan
dominasi terhadap segala sistem masyarakat dan mengokohkan kedudukannya. Itu
dilakukan dengan cara menghadirkan militer dan melakukan pendudukan
ekonomi, politik, budaya, serta pendidikan. Tahun 1919 terjadi revolusi untuk
meraih kemerdekaan politik seutuhnya yang menghasilkan beberapa hal yang
positif, seperti pengumuman telah berakhirnya proteksi Inggris terhadap Mesir
dan Mesir menjadi negara merdeka yang mempunyai supremasi berdasarkan
proklamasi 28 Februari 1922 meskipun Inggris menuntut syarat untuk menguasai
empat hal secara mutlak. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 144).
Keempat hal tersebut ialah: jaminan yang melegitimasi mereka untuk
melakukan intervensi dalam segala persoalan internal Mesir, jaminan tentara
mereka tetap berada di Mesir (yang menjadikan kemerdekaan itu hanya sekedar
formalitas), penguasaan mereka terhadap tentara dan polisi Mesir, dan penguasaan
ekonomi atas Terusan Suez serta Bank negara. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan
2000: 144).
Inggris terus menerus melakukan intervensi dalam segala persoalan
internal Mesir, seperti yang dilakukan oleh E.Lloyd Komisaris Tinggi Inggris,
terhadap kabinet Nuhas pada tahun 1928 untuk memaksanya agar menerima
kesepakatan dengan mereka. Hal inilah yang menyebabkan deposisi Kabinetnya.
Intervensi Inggris juga sangat kelihatan pada masa pemerintahan Husain Siri
tahun 1933, Deklarasi Hour bahwa pemerintahannya menentang dikembalikannya
Undang-undang 1923.
Inggris menguatkan legalitas kependudukannya atas Mesir dengan
melakukan perjanjian 1936 dengan Nuhas yang sebgai konsekwensinya adalah
seluruh pelabuhan Mesir berada dibawah kekuasaan Inggris. Intervensi Inggris
mencapai puncaknya pada Februari 1942 ketika Inggris mengepung Istana Faruq
65
dengan panser-panser untuk memaksanya membentuk kabinet dibawah pimpinan
Nuhas. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 144).
Kenyataan-kenyataan sejarah tersebut menunjukkan bahwa Mesir belum
menjadi Negara merdeka yang mempunyai kedaulatan. Kekuatan yang
sesungguhnya masih berada ditangan delegasi Inggris. Imperalisme Inggris dan
segala kondisi yang dilahirkannya merupakan salah satu faktor didirikannya
organisasi Ikhwan, disamping itu penjajahan Inggris juga mempengaruhi tujuantujuan Ikhwan sebab mereka berpendapat mustahil ditegakannya pemerintahan
yang baik selama penjajahan masih ada dan menjerat pemerintah Mesir.
Ikhwan memasukkan usaha melawan imperalis dan pembebasan tanah air
dari segala hal yang merusaknya dalam program mereka agar dengan kebebasan
itu umat dan pemerintah dapat meraih kajayaan. Imperalisme juga berpengaruh
terhadap cara-cara mereka terutama dalam pembentukan pasukan khusus untuk
berjihad melawan Inggris. Intervensi Inggris juga berpengaruh terhadap pemikiran
mereka. Keberadaannya di Mesir merupakan faktor langsung yang menyebabkan
Ikhwan
secara
intelektual
mendiskusikan
makna
imperalisme,
makna
kemerdekaan sekaligus sarana-sarananya.
3. Kekuasaan Raja
Raja dianggap sebagai sebuah kekuatan kedua yang dapat menggerakan
dan berpengaruh terhadap kehidupan politik Mesir pada masa itu. Hal itu di
karenakan raja mempunyai kekuasan hukum penuh yang dapat membuat
keputusan final, meskipun parlemen masih eksis yang didukung undang-undang
yang diberlakukan raja. Raja Fuad kemudian digantikan anaknya yang bernama
Faruq, yang mempraktekkan kediktatoran yang absolut di Mesir, yang didukung
oleh dua faktor:
Faktor pertama, UU tahun 1923 yang memberi hak kepada raja untuk
megganti parlemen secara mutlak dan menunda pengangkatan anggota parlemen.
Sebagaimana Raja memeiliki kekuasaan untuk menunjuk perdana menteri, hak
untuk mengeluarkan undang-undang, raja juga mempunyai hak untuk menunjuk 5
orang anggota konggres. Kekuasaan raja ini semakin luas pada saat undang-
66
undang tidak berlaku. Pada saat pembentukan undang-undang 1930 kekuasaan
raja semakin luas.
Faktor kedua, Beberapa partai minoritas yang bergantung secara penuh
kepada raja untuk mendapatka kekuasaan, maka rajapun memanfaatkan partaipartai tersebut untuk membuat sistem parlementer dan membatalkan undangundang. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 146).
4. Partai-partai politik
Partai-partai politik Mesir dianggap sebagai kekuatan politik ketiga
setelah Inggris dan Raja. Dibawah keberadaan penjajah, Raja dan Undang-undang
, maka partai politik mulai memainkan peranannya yang berhubungan dengan
kehidupan dalam negeri dan beberapa perundingan dengan penjajah. Partai-partai
politik yang terdapat di Mesir saat itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
 Partai-partai Istana seperti partai Al-Itihad dan As-Sya’b
 Al-Hizb Al-Wathaniy Al-Qadim (Partai Nasionalis Lama) yang didirikan oleh
Musthofa Kamil Basya
 Partai rakyat mayoritas ‘Al-Wafd’, dan beberapa partai minoritas, seperti AlAhrar Ad-Dusturiyun, As-Sa’diyun dan Al-Katlah As-Sa’diyah
Partai-partai tersebut selain partai Al-Wathaniy memiliki karakteristik
sebagai berikut:
 Didominasi oleh pejabat negara dan hartawan. Ini terlihat pada partaipartai kecil dan juga pada partai ‘Al-Wafd’ setelah tahun 1936, dimana keluarga
pengusaha mulai aktif di dalam partai-partai ini. Tujuan mereka hanya untuk
memenuhi ambisi kekuasaan.
 Adanya tekanan dari pihak penjajah pada semua partai tersebut selain
partai Al-Wathaniy, dimana mereka bersedia mendukung undang-undang
konvensional dan sistem liberal yang berpijak pada kekaguman pemikiran barat
dengan gaya hidup sekulernya, sehingga dapat dikatakan bahwa partai-partai ini
merupakan representasi pemikiran asing.
Paratai-partai tersebut menerima semua perundangan dengan pihak
penjajah untuk mendapat dukungan memperoleh kekuasaan, mereka juga tidak
mempunyai program kerja yang jelas untuk mereka laksanakan, banyak diatara
67
mereka
yang
melakukan
kecurangan-kecurangan
saat
pemilihan
mum
berlangsung. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 148).
C. Penerapan pemikiran politik Hasan Al-Banna dalam pergerakan
Ikhwanul Muslimin
Khilafah Islamiyah telah tumbang sejak tahun 1924 dan pemerintahan
Islam terpecah-pecah manjadi negara-negara kecil. Lalu datanglah penjajah barat
untuk memerangi dan menjajah negara-negara bekas wilayah kekhilafahan baik
secara pemikiran, sosial, militer maupun politik, dengan memanfaatkan
kelemahan dan kegoncangan umat Islam setelah runtuhnya daulah Islamiyah.
Negara-negara kecil itupun saling berseteru dan bermusuhan antara satu dengan
yang lain. Negara-negara penjajah juga mengganti Undang-undang Islam dengan
Undang-undang buatan mereka.
Dalam situasi yang seperti itu munculah sosok Hasan Al-Banna yang
menyerukan “Kebangkitan dan Penyelamatan” yang kemudian mendirikan
organisasi Ikhwanul Muslimin pada April 1928. Hasan Al-Banna tidak berniat
menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi radikal dan penuh kekeasan.(
Muhammad Abdullah Khataib 2006: 53).
Hasan Al-Banna menginginkan reformasi fundamental masyarakat Islam
yang selama ini telah dijajah kolonialisme. Hasan Al-Banna bercita-cita untuk
menumbuhkan satu harokah Islam yang syumul yang akan membimbing seluruh
generasi dengan prinsip-prinsip Islam yang menyentuh semua aspek kehidupan,
seperti kehidupan politik, pendidikan, sosial budaya dan ekonomi. (Muhammad
Yusuf Khan 1991:185).
Orang-orang Mesir pada masa itu telah terbiasa menganggap diri mereka
imferior dihadapan kaum Eropa padahal itu tidak perlu. Mereka sebenarnya telah
memiliki tradisi tinggi yang tidak akan kalah jika dibandingakan dengan idiologi
manapun, namun hal pertama yang harus dilakukan oleh Ikhwan (panggilan untuk
anggota laki-laki) dan Akhwat (panggilan untuk anggota perempuan ) harus
terlebih dahulu mengenal Islam secara lebih dekat. Tidak ada jalan pintas menuju
kebebasan dan harga diri melainkan kaum muslimin harus membangun diri dan
masyarakat mereka kembali dari dasar. Untuk mencapai hal tersebut selama
68
bertahun-tahun Al-Banna mengembangkan sistem modern yang terus menerus
dikaji. (Karen Armstrong 2001: 351).
Hasan Al-Banna dalam risalah “Muktamar Kelima” menuliskan bahwa
ada tiga tahapan dalam perpolitikan dakwah Ikhwan, ketiga tahapan tersebut
antara lain:
1. Tahapan Ta’rif (Pengenalan)
Tahapan ini berupa pengenalan dengan tujuan-tujuan dakwah Ikhwan dan
sarana-sarana organisasi serta mengajak masyarakat untuk mengikuti
pemikiran Islam tentang program perubahan seperti yang diserukan Ikhwanul
Muslimn. Aksi dalam tahapan ini adalah:
 Menjelaskan pemikiran secara benar kepada orang lain
 Mengenalkan secara detail hakikat Ikhwanul Muslimin
 Revitalisasi peranan ulama dalam politik
 Meletakan politik sebagai pengendali aktivitas dalam tahapan ini.
2. Tahapan Takwin (Pembentukkan)
Tahapan ini berupa pemilihan kader-kader yang memiliki kesanggupan untuk
berbuat dan menulai kehidupan Islam serta berjuang mendirikan negara Islam.
Kader-kader ini dididik dengan pendidikan yang saling melengkapi baik secara
spiritual, akal maupun fisik sehingga mereka menjadi kader-kader yang
bertanggung jawab terhadap Islam dan berjuang untuk menegakkannya. Aksi
yang dilakukan dalam tahapan ini antara lain:
 Membentuk Panitia Konstitusi
 Membentuk tim perumus peraturan/ perundangan
 Mempersiapkan program perbaikan yang integral
 Menganalisis secara sistematis realitas yang ada.
3. Tahapan Tanfidz (Pelaksanaan)
Maksud tahapan ini adalah perjuangan dakwah meletakkan program-program
yang dapat diaplikasikan. Tahapan ini adalah langkah praktis yang akan
menghasilkan buah bagi perjuangan Ikhwanul Muslimin. Aksi dalam tahapan
ini adalah:
 Berusaha untuk masuk dalam Majelis Parlemen
69
 Mobilisasi masa
 Meningkatkan tuntutan. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 206).
Titik awal dari akar pandangan metode perjuangan Hasan Al-Banna
adalah mengenali hukum alam atau sunatullah terhadap makhluk-Nya, yaitu
hukum-hukum yang dibuat oleh Allah untuk setiap makhluk-Nya, bahwa syarat
pertama dari perubahan problematika yang terjadi pada suatu umat adalah dengan
mengubah yang terjadi pada diri mereka sendiri, sehingga Allah akan
memperbaiki masalah yang terdapat pada mereka.
Hasan Al-Banna dalam pesan muktamarnya yang kelima mengatakan: “
Jangan melawan hukum-hukum alam, sesungguhnya ia akan menang akan tetapi
tundukkan, fungsikan, arahkan arusnya dan gunakan sebagiannya untuk sebagian
yang lain”. Hal ini dimaksudkan bahwa cara berinteraksi dengan hukum-hukum
alam dari segi pengenalan, penyelesaian dan pengunaannya harus dipandang
sebagai suatu ilmu tersendiri dan segala proses perubahan serta perkembangan
sosial harus berdasarkan pada hal tersebut. (Fathi Yakan 1993: 49).
Fondasi pandangan tentang hukum-hukum alam Hasan Al-Banna adalah
akhidah dan keimanan agama maka, berangkat dari fondasi inilah Hasan AlBanna menekankan pemikirannya tentang urgensitas peran agama dalam proses
perubahan yang pokok. Dengan kata lain, bahwa dengan sisi pandang yang
bersifat teoritis inilah Hasan Al-Banna bisa menemukan tonggak-tonggak metode
perjuangan dan dengan tonggak-tonggak inilah Hasan Al-Banna memulai secara
sungguh-sungguh proyek pembaharuan dan perjuangannya.
Hasan Al-Banna telah meyakini bahwa sesungguhnya perubahan sosial
dan perbaikannya harus dimulai dengan apa yang terdapat dalam diri, dan sering
kali Hasan Al-Banna memberikan argumen dalam hal ini dengan firman Allah
dalam Qs. Ar-Ra’d: 11.
Tidak ada perbedaan pendapat antara Al-Banna dengan tokoh-tokoh
pembaharuan dengan gerakan islah Islam yang lain. Semuanya sepakat bahwa
perubahan yang dimulai dari dalam diri merupakan proses perubahan dan islah
yang komprehensif.
70
Hasan Al-Banna adalah pemikir terbesar organisasi Ikhwanul Muslimin
maka, pemikiran atau gagasan-gagasannyapun banyak mempengaruhi organisasi
tersebut baik skala internal Ikhwan maupun kebijakan-kebijakan Ikhwan yang
terkait dengan kondisi dalam negeri maupun luar negeri Mesir pada masa itu.
Kebijakan-kebijakan yang diambil Hasan Al-Banna dan telah disepakati dalam
organisasi Ikhwan tersebut antara lain:
1. Kebijakan internal Ikhwan, yang terdiri:
a) Pemikiran /fikroh dakwah Ikhwan
Pembahasan mengenai pemikiran atau fikroh dakwah Ikhwan
disamapaikan
pada
muktamar
kelima
Ikhwanul
Muslimin
yang
diselenggarakan pada tanggal 13 Dzulhijjah tahun 1357 H yang bertepatan
dengan akhir Desembar 1938 M. Risalah ini merupakan dokumen organisasi
Ikhwan yang paling penting, apa yang tertuang didalamnya merupakan tulisan
Hasan Al-Banna yang paling lengkap jika dibandingkan dengan risalah pada
muktamar sebelumnya. (Hasan Al-Banna 2005: 170).
Saat itu Ikhwanul Muslimin telah berusia 10 tahun dan wilayah
garapnya semakin luas dan respon umat Islam juga semakin bertambah.
Risalah yang disampaikan Hasan Al-Banna pada muktamar tesebut dijadikan
landasan organisasi Ikhwan dalam merespon berbagai perubahan. Risalah
muktamar Ikhwan kelima selain membahas menegenai pemikiran atau fikroh
dakwah Ikhwan dalam risalah tersebut juga dibahas mengenai sejarah singkat
mengenai berdirinya organisasi Ikhwannul Muslimin.
Penjelasan bahwa fikroh Ikhwan mencapai berbagai aspek perbaikan,
yaitu:
1) Dakwah Salafiyah, karena mereka mengajak kembali bersama Islam kepada
sumbernya yang jernih dari kitab Allah dan Sunah Rosul-Nya.
2) Thariqah Sunniyah; karena mereka membawa jiwanya untuk mengamalkan
sunnah yang suci dalam segala hal, khususnya dalam masalah akhidah dan
ibadah selama ada kemampuan.
3) Haqiqah Shufiyah, karena mereka memahami bahwa asas kebaikan adalah
kesucian
jiwa,
kejernihan
hati,
kontinuitas
amal,
berpaling
dari
71
ketergantungan kepada makhluk, cinta karena Allah dan keterikatan kepada
kebaikkan.
4) Hai’ah Siyasiyah, karena secara internal mereka menuntut perbaikan
pemerintahan, meluruskan persepsi yang terkait dengan hubungan umat
Islam terhadap bangsa-bangsa lain diluar negeri, mentarbiyah bangsa agar
memiliki kebanggaan dan kemuliaan, serta menjaga nasionalisme sebisa
mungkin.
5) Jama’ah Riyadhiyah; karena mereka sangat memperhatikan fisik dan
memahami benar bahwa seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dari pada
seorang mukmin yang lemah. Mereka juga memperhatikan struktur dan
klab-klab olahraga.
6) Rabithah ‘ilmiyah Tsaqofiyah; karena Islam menjadikan tholabul ilmi
sebagai kewajiban bagi setiap muslim dan majelis-majelis Ikhwan pada
dasarnya adalah tempat pengajaran dan peningkatan wawasan, sedangkan
lembaga-lembaganya adalah tempat untuk mentarbiyah fisik, akal, dan ruh.
7) Syirkah Iqtishadiah; karena Islam sangat memperhatikan pengelolaan dan
pendapatan kekayaan sebagaimana mestinya.
8) Fikroh Ijtima’iyah: karena mereka sangat menaruh perhatian kepada segala
“penyakit” yang ada dalam masyarakat Islam, berusaha menemukan cara
pengobatan dan mengupayakan penyembuhan umat darinya. (Hasan AlBanna 2005: 170).
b) Kewajiban dan Syarat anggota / kaderisasi
Kewajiban dan syarat-syarat anggota dalam oraganisasi Ikhwanul
Muslimin berbeda-beda sesuai dengan tingkat anggota mereka, kewajiban dan
syarat-syarat tersebut sebagian besar terkait dengan amal individu sehari-hari,
seriap minggu, setiap bulan dan setiap tahun. (Husain bin Muhammad Ali Jabir
2001: 366-375).
1) Bagian-bagian keanggotaan
Keanggotaan dalam organisasi Ikhwanul Muslimin terbagi dalam tiga
tingkatan, yaitu:
a. Anggota nashir, tingkat pertama dalam organisasi Ikhwan
72
b. Anggota Munaffid, tingkat kedua keanggotaan ini juga disebut Mujahid
c. Anggota Naqib, yaitu anggota yang telah menyelesaikan tarbiyah Ikhwan
pada dua tingkat terdahulu, telah diambil bai’at dan turut serta dalam
kepemimpinan dalam mengambil keputusan.
2) Syarat-syarat keanggotaan
a. Syarat anggota Nashir
 Mengkaji materi yang telah ditetapkan dan selalu mengamalkan
aspek-aspek amaliyahnya.
 Memberi kesetiaan pada organisasi, tidak memiliki keterikatan apapun
dengan lembaga atau partai manapun tanpa ijin
 Melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam dan menjauhi laranganlarangannya
 Memberi infak terhadap organisasi secara sukarela
 Menghadiri pertemuan-pertemuan, pelajaran dan ceramah yang
diselenggarakan jika diundang secara resmi dan tidak terlambat
kecuali ada halangan.
 Berlangganan buku, majalah, maupun surat kabar terbitan Ikhwan
 Selalu melaksanakan wirit harian dari Al-Qur’an dan dzikir ma’stur
 Selalu membela Islam dan mendukung Ikhwan
b. Syarat anggota Munaffidz:
 Memenuhi seluruh syarat keanggotaan tingkat pertama
 Mengikuti pertemuan-pertemuan yang telah ditetapkan (halaqoh,
usroh, dan firaq) kecuali ada uzur.
 Turut serta dalam “kotak Haji” jika ada, jika tidak dia harus menabung
sendiri.
 Mengoreksi pemimpin yang telah diberi amanah, rumahnya harus
bersih dari kebiasaan dan pengaruh jahiliyah dan senantiasa
menerapkan prinsip-prinsip Ikhwan dalam rumah tangga.
 Bergabung dengan kelompok-kelompok rihlah jika diundang
73
 Menjauhi tempat-tempat maksiat seperti: bioskop, cafe dan klub
malam.
 Turut serta dalam kegiatan ekonomi Ikhwan
 Mengenal orang-orang yang berada di lingkungan cabangnya
 Bersedia menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
c. Syarat anggota Naqib, antara lain:
 Memenuhi seluruh syarat anggota tingkat pertama dan kedua
 Layak menjadi pemimpin dengan tolak ukur kemampuannya dalam
memimpin anggota keluarganya sesuai dengan syari’ah Islam
 Mampu bersabar dalam setiap perjuangan
 Dapat dipercaya, mampu mendapatkan kepercayaan dari anggota
Ikhwan yang lain.
74
c) Struktur Organisasi Ikwan:
1) Struktur Organisasi Ikhwanul Muslimin
Dewan Pendiri
Al-Mursyid Al-‘am
Maktab al-Irsyad al-‘am
Wakil Umum
Wk. Mursyid Al-‘am
Unit Pelaksana dan Divisi Utama
Sekjen
Komite-komite
 Keuangan
 Politik
 Hukum
 Statistik
 Pelayanan
 Fatwa
 Pers dan
 Terjemahan
Unit Pelaksana
 Kantor
Administrasi
 Wilayah
 Bangsa
 Keluarga
Divisi Utama
Dewan Administrasi
 Div.
Penyebaran
dakwah
 Div. Buruh
dan Petani
 Div. Travel
 Div. Keluarga
 Div.
Mahasiswa
 Div.
Pendidikan
jasmani
 Div. Hub.
Luar negeri
 Div. Profesi&
Cabangnya
 Div. akhwat
 Peg. Sekretariat
Mursyid
 Sekertaris Umum
 Supervisor dan
Pemb. Pusat
 Pegawai Gudang
 BagianBarang
dan Perpustakaan
 Bagian Pembantu
Umum
 Dokter
 Teknisi
 Ahli Hukum
 Guru
 Pegang
 Pekerja Sosial
 Petani
 Karyawan
75
d) Penjelasan Struktur Organisasi
1) Penjelasan Struktur Organisasi Ikhwanul Muslimin
a) Hai’ah Ta’sisiyah (Dewan Pendiri)
Dewan pendiri ini adalah dewan pemegang kekuasaan tertinggi dalam
organisasi Ikhwan yang merupakan Dewan Syura Umum Ikhwan.
Dewan ini terdiri atas anggota Ikhwanul Muslimin yang telah lama
berjuang dalam dakwah. Tugasnya mengawasi secara umum
perjalanan dakwah, memiliki anggota Maktab Al-Irsyad, memilih
pengawas keuangan dan lain-lain.
Pertemuan dewan secara berkala diadakan untuk mendengarkan dan
mendiskusikan laporan Maktab Al-Irsyad tentang aktifitas dakwah,
memilih anggota baru, mendiskusikan laporan tutup buku pengawas
keuangan
tahun
lalu
dan
rencana
tahun
mendatang
serta
mendiskusikan aktivitas dan usulan lain yang dikemukakan pada
dewan. Dewan juga mengadakan pertemuan luar biasa atas undangan
Mursyid ‘Am jika ada hal-hal yang mendesak atau atas permintaan
Maktab Al-Irsyad atau atas permintaan 20 orang anggota.
Pemimpin dalam pertemuan tersebut adalah Mursyid ‘Am dan
pertemuan dianggap sah apabila dihadiri mayoritas mutlak (setengah
lebih satu).
Syarat anggota dewan adalah:
 Anggota tetap Ikhwan
 Usia minimal 25 tahun
 Telah tergabung dengan Ikhwan sekurang-kurangnya 5 tahun
 Memiliki akhlak yang baik, pendidikan dan keahlian yang
memadai. Jumlah mereka yang dipilih menjadi anggota dewan
adalah
10
orang
setiap
tahun,
serta
sedaapat
mungkin
mempertimbangkan keterwakilan daerah.
b) Mursyid ‘Am (Pemimpin Umum)
Mursyid ‘Am dipilih oleh dewan pendiri yang dihadiri 4/5
anggotannya, dengan persetujuan ¾ yang hadir. Jika tidak memenuhi
76
kuorum ditangguhkan minmal 2 minggu dan maksimal 4 minggu dari
pertemuan pertama, bila masih belum mencapai kuorum, pertemuan
ditangguhkan
dengan
syarat
yang
sama.
Pertemuan
yang
ditangguhkan tersebut beserta tujuannya harus di umumkan.
Pemilihan Mursyid ‘Am dapat dilakukan dalam pertemuan tersebut
hanya dengan ¾ yang hadir, berapapun jumlah mereka.
Syarat-syarat Mursyid ‘Am adalah:
 Masa keanggotaannya dalam dewan pendiri tidak kurang dari 5
tahun
 Harus alim, berakhlak mulia, mempunyai kompetensi mengurus
organisasi
Mursyid ‘Am menempati posisi seumur hidup, apabila Mursyid ‘Am
wafat atau tidak mampu melaksanakan tugasnya wakil melaksanakan
tugas-tugas Mursyid sampai dewan pendiri mengadakan sidang dan
memilih Mursyid yang baru.
c) Maktab Irsyad (Dewan Pimpinan Pusat)
Maktab Irsyad/ Dewan Pemimpin Pusat dipilih oleh dewan pendiri,
terdiri 12 orang anggota. Dipilih diantara para anggota dewan kecuali
Mursyid ‘Am. Dalam pemilihan tersebut dipilih 9 anggota dari
Ikhwan Kairo dan tiga sisanya Ikhwan dari daerah lain.
Syarat-syarat anggota Maktab Irsyad adalah sebagai berikut:
 Berasal dari anggota dewan pendiri dan telah menjadi anggota
dewan sekurang-kurangnya 3 tahun
 Mempunyai kompetensi untuk menjadi anggota Maktab Irsyad baik
secara Akhlak, ilmu dan praktis
 Usia tidak kurang dari 30 tahun. (Abul Hasan Ali Husni An Nadwi
1983: 334-338).
e) Rukun ba’iat
Dahulu Rosulullah mengambil berbagai model bai’at dari para
sahabatnya. Bai’at masuk Islam yang mangharuskan seseorang untuk selalu
tunduk kepada berbagai hukum Islam, ada lagi bai’at yang diambil dari para
77
sahabat seperti, bai’at Aqobah, ketika itu bliau mengambil bai’at dari kaum
Anshor dalam rangka melindunginya. Bai’atur Ridwan para sahabat
memberikan bai’atnya untuk tidak lari dalam medan pertempuran. Setelah
masa Rosulullah munculah bai’at yang diberikan pada Amirul Mu’minin untuk
mendengar dan ta’at kepada nya dalam rangka mendengar dan taat pada AlQur’an dan Sunnah Rosulullah.
Selanjutnya dalam masyarakat Islam dikenal dua jenis bai’at yaitu:
bai’at kepada penguasa muslim untuk mendengar dan ta’at. Dan bai’at kepada
syaikh untuk bertaqwa, pada ujungnya bai’at bentuk ini banyak dilakukan oleh
kaum sufi, bahkan menjadi ciri khasnya, demikianlah dikalangan masyarakat
Islam terdapat bai’at kepada sosok tertentu yang pada asalnya diberikan kepada
khalifah.
Bai’at ini menuntut konsekwensi hukum individu yang diinginkan
oleh sosok yang menerima bai’at juga konsekwensi kerja yang ditentukan
dalam bai’atnya, jika untuk suatu amal maka amal itulah yang wajib, jika untuk
suatu amal yang pada dasarnya fardhu maka bai’at itu menambah kadar
hukumnya. Jika untuk suatu amal yang pada dasarnya sunnah, maka ikatanya
bersifat hukum janji, adapun jika bai’at diberikan pada sosok tertentu untuk
taat secara mutlak atau taat pada urusan yang baik saja, maka selama orang
yang menerima bai’at itu bukan amirul mukminin, bai’at itu tidak mengikat
secara wajib.
Dizaman sekarang tahta khilafah telah tiada. Para fuqoha madzab
Syafi’I telah menulis bahwa dalam keadaan seperti itu hukum khilafah
diberikan kepada orang yang paling alim dizamannya, semenetara Madzab
Hanafi berprinsip bahwa seseorang tidak dianggap sebagai kholifah kecuali
seluruh pemerintahanya dipatuhi, yakni setelah kekuasaan eksekutif, dimiliki.
Sebelum itu terwujud maka bai’at yang diakui hanyalah bai’at amal.
Masa Hasan Al-Banna banyak syaikh yang mengambil bai’at amal
dari masyarakat. Setiap syeikh memiliki tarikat tertentu yang diberikan
dibai’atkan kepada para pengikutnya. Dimana mereka memberikan bai’at
kepada para syaikh berupa bai’at yang diberikan kepada Amirul mukminin.
78
Maka lahirlah ditengah masyarakat ribuan Amirul mukminin. (Isham Ahmad
Al-Basyir 2005: 44-47).
Ada dua masalah yang penting yang harus dipecahkan oleh Hasan AlBanna dalam hal tersebut, yaitu:
 Apa saja nilai-nilai yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk gerakan
mereka dimasa yang memiliki ciri khas karakter, yakni banyaknya
kerancuan
 Bagaimana kaum muslimin dapat berjalan diatas jalan yang dibangun oleh
kepemimpinan yang benar dan tunggal, yang mengambil bai’at dari kaum
muslimin secara benar pula.
Untuk menjawab kedua masalah tersebut Hasan Al-Banna mendirikan
organisasi Ikhwanul Muslimin dan menjadikan rukun bai’atnya menjadi
sepuluh. Rukun Ba’iat dan tahapan-tahapan dakwah Ikhwan ditulis oleh Hasan
Al-Banna dalam risalah Ta’lim tahun 1943 M, di dalam Risalah ta’lim tersebut
Hasan Al-Banna menyebutkan sepuluh rukun ba’iat yang harus dipenuhi
seorang kader Ikhwan ( Hasan Al-Banna 2005: 287). Sepuluh rukun ba’iat
tersebut, yaitu:
1) Al-Fahm / Pemahaman
Hasan Al-Banna meletakan Al-Fahm atau pemahaman menjadi rukun
bai’atnya yang pertama karena pemahaman merupakan fondasi utama yang
mendasari seluruh perjuangan Ikhwan. Hasan Al-Banna kemudian memperinci
ruku bai’at yang pertama ini dalam dua puluh prinsip yang kemudian disebut
sebagai Ushul ‘isyirin, terdiri dari:
1. Islam adalah sistem yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah
negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih
sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan
peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan,
jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah
akhidah yang lurus dan ibadah yang benar.
79
2. Al Qur’an dan sunnah Rosul adalah tempat kembali setiap muslim
untuk memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-Qur’an
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
3. Iman yang tulus, ibadah yang benar dan kesungguhan dalam beribadah
adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah dihati hambaNya yang dikehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, dan mimpi
bukanlah bagian dari hukum-hukum syari’at.
4. Jimat, mantra, guna-guna, ramalan, perdukunan, penyimpangan perkara
ghoib dan semisalnya merupakan sebuah penyimpangan yang harus
diperangi, kecuali mantera dari Al-Qur’an atau ada riwayat dari
Rosulullah.
5. Pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks
hukumnya tentang sesuatu yang mengandung ragam interprestasi dan
tentang sesuatu yang membawa kemaslahatan umum bisa diamalkan
sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syariat. Hal
tersebut mungkin berubah seiring dengan perubahan situasi, kondisi,
dan tradisi setempat, yang prinsip ibadah itu diamalkan dengan
keihlasan tanpa mempertimbangkan makna, sedangkan dalam urusan
selain ibadah maka harus mempertimbangkan maksud dan tujuan.
6. Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali
Rosulullah Al-Ma’shum. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan
sesuai dengan Kitab dan Sunnah Ikhwan terima, jika tidak sesuai
dengannya maka Kitab Allah dan Sunnah Rosul-Nya lebih utama untuk
diikuti. Kita tidak boleh melontarkan kepada orang-orang karena
sesuatu yang diperselisihkan dengan nya dengan kata-kata caci maki.
7. Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan menelaah terhadap
dalil-dalil hukum furu’ (cabang), hendaklah mengikuti pemimpin
agama.
8. Perselisihan fiqh dalam perkara cabang tidak sepatutnya menjadi sebab
perpecahan dalam agama dan tidak seharusnya membawa permusuhan.
Setiap orang yang berijtihad ada pahalanya. Walau bagaimanapun tidak
80
ada penghalang bagi melakukan tahqiq ilmu / penjelasan ilmiah dalam
masalah-masalah yang diperselisihkan dalam suasana kasih sayang
kerana Allah SWT untuk menuju kebenaran. Semua itu tanpa
melahirkan sikap egois dan fanatik.
9. Memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benarbenar terjadi adalah kegiatan yang dilarang syari’at.
10. Mengenal Allah SWT, mentauhid dan menyucikan-Nya adalah setinggitinggi aqidah Islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan haditshadits shahih tentangnya maka kita mengimaninya apa adanya tanpa
memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama.
11. Setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi
dianggap baik oleh hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan
ataupun pengurangan adalah kesesatan yang wajib diperangi dan
dihancurkan dengan sarana yang sebaik-baiknya, sehingga tidak justru
menimbulkan bid’ah lain yang lebih parah.
12. Perbedaan pendapat dalam masalah bid’ah baik cara maupun waktunya
adalah perbedaan dalam masalah fiqih. Setiap orang memiliki
pendapatnya sendiri, tapi tidak apa-apa melakukan penelitian untuk
mendapatkan hakikatnya dengan dalil dan bukti-bukti.
13. Mencintai orang-orang yang saleh, menghormati dan memberi pujian
terhadap amalan-amalan baik yang mereka lakukan adalah jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wali-wali Allah ialah mereka
yang disebut oleh Allah di dalam Al-Quran yaitu orang-orang yang
beriman dan bertaqwa dan mereka tidak memiliki mudharat dan
manfaat bagi dirinya maupun orang lain setelah ia mati.
14. Ziarah kubur adalah sunnah yang disyari’atkan dengan cara-cara yang
diajarkan oleh Rosulullah akan tetapi meminta pertolongan kepada ahli
kubur adalah bid’ah.
15. Doa apabila diiringi dengan tawasul kepada Allah degan salah satu
makhluk-Nya adalah permasalahan furu’ menyangkut tatacara berdo’a,
bukan termasuk masalah akhidah.
81
16. Istilah-istilah keliru yang sudah mentradisi tidak akan mengubah hukum
syari’atnya.
17. Aqidah merupakan asas setiap amalan. Amalan hati lebih penting dari
amalan anggota badan. Mencari kesempurnaan pada kedua-duanya
adalah tuntutan syri’ah walaupun drajat tuntutan pada kedua-duanya
berbeda.
18. Islam itu membebaskan akal pikiran, menggunakannya untuk
merenungi penciptaan alam, menuntut ilmu dan menggunakannya
dalam hal yang memberikan manfaat.
19. Pandangan syar’i dan pandangan logika memiliki wilayah masingmasing yang tidak dapat memasuki secara sempurna, namun demikian
keduanya tidak pernah berbeda atau saling beririsan.
20. Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim yang telah mengikrarkan
dua kalimat syahadat, mengamalkan kandungannya dan menunaikan
kewajiban-kewajibannya.
2) Al-Ikhlash / Keikhlasan
Hasan Al-Banna menyatakan, yang dimaksud dengan ikhlas adalah
bahwa seorang Al-Akh muslim dalam setiap kata-kata, aktivitas dan jihadnya
semua semata-mata untuk mencari ridho Allah dan pahala-Nya, tanpa
mempertimbangkan
aspek
penampilan,
pangkat,
kemajuan
atau
keterbelakangan. dengan itulah ia menjadi fikrah dan aqidah bukan tentara
kepentingan dan ambisi pribadi, hal ini berkaitan erat dengan firman Allah
dalam Qur’an surat Al-An’am: 162-163. Katakanlah, ‘sesungguhnya sholatku,
ibadahku, hidup dan matiku, adalah karena Allah Tuhan semesta alam. Tidak
ada sekutu baginya dan demikian itulah yang diperintahkan kepada ku (Qs. AlAn’am: 162-163).
3) Al-‘Amal
Hasan Al-Banna dalam risalahnya menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan amal atau aktivitas adalah buah dari ilmu dan keikhlasan. Hal ini sesuai
dengan Qur’an, surat At-Taubah: 105. Katakanlah, bekerjalah kamu, maka
Allah dan Rosul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjan
82
mu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang
ghoib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan. (At-Taubah: 105).
Adapun tingkatan amal yang dituntut dari seorang anggota Ikhwan
adalah:
 Perbaikan diri sendiri sehingga ia menjdi seorang yang mempunyai
kebagusan akhlak, ilmu pengetahuan, ibadah serta secara fisik.
 Pembentukkan keluarga muslim
 Pembimbingan masyarakat dengan jalan menyebarkan dakwah dan beramar
ma’ruf.
 Pembebasan tanah air dari setiap penguasa asing baik secara politik,
ekonomi maupun moral.
 Memperbaiki keadaan pemerintah sehingga menjadi pemerintah Islam yang
baik. Pemerintah Islam adalah pemerintah yang anggotanya terdiri dari
kaum muslimin yang menunaikan kewajiban-kewajiban Islam dan konsisten
menegakan hukum-hukum dan ajaran Islam.
 Mempersiapkan seluruh aset negeri di dunia ini untuk kemaslahatan Islam.
Hal ini dapat dilakukan dengan jalan membebaskan seluruh negeri dari
kekuasaan asing dan menegakan kembali kekhilafahan yang telah hilang.
 Penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah Islam
diseluruh negeri.
4) Al-Jihad
Ikwan menempatkan jihad dalam rukun bai’atnya karena jihad
dianggap sebagai sebuah kewajiban bagi seorang muslim, hal ini sesuai dengan
sabda Rosul: “ barang siapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau
berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.
5) At-Tadlhiyah/ pengorbanan
Pengorbanan jiwa, harta, waktu dan segala sesuatu yang dimiliki
seseorang untuk menegakkan Islam, karena tidak ada perjuangan kecuali
dengan pengorbanan. Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
beriman diri dan harta mereka. (Qs. At-Taubah: 111).
83
Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri,
kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian ushakan, perniagaan yang
kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal adalah lebih
kalian cintai dari pada Allah, Rosul-Nya dan dari berjihad dijalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. At-Taubah: 24).
6) At-Thoat/ Ta’at
Menjalankan perintah dan merealisasikannya baik dalam keadaan
bagaimana pun.
7) Tsabat/ Keteguhan
Tsabat atau keteguhan artinya setiap anggota dituntut untuk selalu
berjuang dijalan Allah sampai saat yang dijanjikan, hal ini didasarkan firman
Allah dalam Qs. Al-Ahzab: 23. Diantara orang-orang yang beriman itu ada
orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjkan kepada Allah, maka
diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada pula yang
menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah janjinya.
8) Tajarud/ totalitas
Totalitas yang dimaksud adalah membersihkan pola pikir dan prinsip
nilai dan pengaruh individu yang lain karena Islam adalah setinggi-tinggi
fikroh, hal ini didasarkan pada Qs. Al-Baqoroh: 138. Celupan Allah. Celupan
siapakah yang lebih baik dari pada celupan Allah.
9) Al-Ukhuwah/ persaudaraan
Ukhuwah yang dimaksud adalah keterikatan hati dan ruhani yang
didasarkan pada aqidah.
10) Tsiqah/ kepercayaan
Tsiqoh yang dimaksud adalah keta’atan dan rasa percaya dari seorang
anggota terhadap pemimpinnya, kecuali jika seorang pemimpin telah
melanggar Qur’an dan Sunah. (Sa’id Hawwa 2002: 135-229).
84
2. Kebijakan Ikhwan terkait dengan dalam negeri Mesir
Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa Islam adalah agama universal yang
meliputi semua unsur kehidupan. Hasan Al-Banna mengkritik pemisahan antara
agama dan politik. Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa setiap gerakan Islam yang
menjauhkan politik dari cita-citanya tidak dapat dikatakan sebagai gerakan Islam
dengan pemahaman yang universal terhadap ajaran agama ini.
Ikhwan memandang politik adalah upaya meikirkan persoalan internal
dan eksternal umat memberikan perhatian kepadanya dan bekerja demi kebaikan
seluruhnya. Politik juga berkaitan dengan akhidah dan akhlak serta bertujuan
untuk melakukan perubahan. Hal tersebut sesuai dengan realitas Mesir khususnya
pada masa-masa pendudukan asing, karena memberikan motivasi internal kepada
individu untuk melakukan aktivitas politik dalam bentuk pemikiran, perhatian dan
usaha yang dapat mengubah kondisi umat serta menjadikan politik sebagai
masalah yang diharus diperhatikan oleh setiap muslim. (Utsman Abdul Mu’iz
Ruslan 2000: 72).
Dalam
sebuah
konferensi
pelajar
Ikhwanul
Muslimin
yang
diselenggarakan pada tahun 1938 M, Hasan Al-Banna mengatakan: Seorang
muslim tidak akan sempurna agamanya kecuali jika menjadi seorang politikus,
memiliki pandangan yang jauh tentang problema umatnya, memperhatikan
urusan-urusan mereka dan bersedia untuk membantu mencari jalan keluarnya.
(Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 188).
a) Sikap terhadap UUD Konvensional
Hasan Al-Banna berpendapat bahwa Undang-undag konvensional yang
menyelisihi hukum-hukum syari’at adalah Undang-undang yang batal dan
tidak boleh bagi seorang muslim untuk menerimanya. Tidak boleh bagi
seorang muslim untuk berlindung padanya atau untuk melaksanakan ketetapanketetapannya, dalam hal ini Hasan Al-Banna pernah memperi pernyataan, tidak
masuk akal apabila Undang-undang yang mangatur umat Islam bertentangan
dengan ajaran-ajaran agamanya, bertentagan dengan hukum-hukum Qur’an dan
Sunnah atau bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah dan Rosulullah.
(Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 53).
85
Hasan Al-Banna juga menjelaskan sikapnya terhadap lembaga-lembaga
peradilan yang menetapkan Undang-undang konvensional yang bertentangan
dengan ajaran Islam untuk membikot lembaga-lembaga tersebut.
b) Konsepsi Nasionalisme
Dalam risalah “Da’watuna” (Dakwah kami) Hasan Al-Banna
membahas tentang prinsip nasionalisme dan menjelaskan seg-segi positif yang
dari prinsip tersebut, setelah itu Hasan Al-Banna memberikan kesimpulan
tentang prinsip nasionalisme sesuai dengan pemehaman politik Islam.
(Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 114).
Hasan Al-Banna menekankan kewajiban menekankan kewajiban umat
Islam untuk mencintai tanah airnya dan mempetahankannya. Didalam kitabkitab fiqih atau hadits selalu disebutkan sebuah bab tentang kewajiban untuk
membela tanah air, melindungi penduduk, harta benda maupun kehormatan
mereka.
Hasan Al-Banna menjadikan rasa cinta Rosulullah terhadap kota Mekah
sebagai dasar bagi pendapatnya ini. Ketika Rosulullah mendengar kondisi kota
Mekah dari Ushail maka air mata Rosulullah mengalir karena merasa sangat
rindu kepadanya. Diriwayatkan dalam kitab shohih Bukhori bahwasanya
Rosulullah bersabda: Demi Allah sesungguhnya engkau (kota Mekah) adalah
sebaik-baik tanah Allah yang paling aku cintai, kalaulah aku tidak diusir dari
mu (Mekah) niscaya aku tidak akan keluar.
Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa menguatkan ikatan diantara
penduduk satu negara dengan ikatan taqwa dan ikatan tujuan untuk mencapai
kepentingan-kepentingan bersama baik kepentingan dunia maupun kepentingan
akhirat merupakan salah satu dari kewajiban agama Islam. Dalalilnya adalah
sabda Rosulullah: “ Hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang
bersaudara”. Juga firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar
kalanganmu karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudhorotan
kepada mu. Mereka menyukai apa-apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata
kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka
86
lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepada mu ayat-ayat kami jika
kamu memahaminya (Qs. Ali Imron: 118). (Muhammad Abdul Qadir Abu
Faris 2003: 115).
Hasan Al-Banna juga menjelaskan bahwa perluasan kedaulatan Islam
dan perluasan wilayah yang diatur oleh aqidah Islam dan hukum-hukum syri’at
dilakukan dengan jalan jihad. Ini adalah salah satu kewajiban Islam, karena
Islam telah memberikan kewajiban kepada umatnya untuk berjihad sehingga
dapat menaklukan negara-negara diseluruh dunia kemudian negara-negara
tersebut diatur oleh hukum-hukum syari’at. Hasan Al-Banna menjadikan dasar
firman Allah dalam Qs. Al-Baqoroh: 193. Dan perangilah mereka itu, sehingga
tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.
c) Konsepsi negara dan pemerintahan
Negara adalah institusi yang memiliki kewenangan konstitusional untuk
mempergunakan kekuatan dan kedaulatan atau Negara adalah institusi politik
independen untuk mengatur kehidupan secara umum. Kedaulatan adalah
kekuatan yang konstitusional. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 188).
Sejak awal Ikhwan menolak ide pemisahan antara agama dengan Negara
atau dengan politik. Semua pemikir mereka menyebutnya sebagai konsepsi
yang seakan-akan sudah menjadi aksioma atau urusan besar agama yang harus
benar-benar dipahami. Konsepsi itu tersimpul dalam ungkapan bahwa Islam
adalah aqidah dan sistem, agama dan Negara, sehingga penegakan
pemerintahan Islam adalah salah satu prinsip aqidah atau kewajiban Islam.
(Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 286).
Ikhwan berpendapat bahwa tegaknya pemerintahan Islam adalah wajib.
Karena Islam adalah agama dan Negara. Artinya, Islam datang dengan
membawa nash-nash yang mengatur berbagai hubungan individu dengan
pemerintah dan pemerintah dengan individu, perang dan damai, perjanjian dan
perdamaian, menentukan hukum semua urusan pribadi maupun sosial, tolong
menolong dan saling menanggung. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 287).
Negara Islam menurut Hasan Al-Banna merupakan pilar utama proyek
kebangkitan. Menurut Al-Banna Negara tegak diatas bingkai referensi, adapun
87
Negara Islam ( Daulah Islamiyah) bingkai referensinya adalah Islam itu
sendiri. Hasan Al-Banna berpendapat harus ada usaha untuk membebaskan
berbagai negeri, mendekatkan berbagai ragam kebudayaan, menghimpun
kalimat sehingga dapat mengembalikan tegaknya khilafah. Hasan Al-Banna
mengatakan:
“ Harus ada kerja sama anatara seluruh bangsa muslim dalam masalah
kebudayaan, sosial dan ekonomi. Setelah itu membentuk persekutuan dan
koalisi diantara mereka, mendirikan lembaga bersama dan mengadakan
konferensi-konferensi setelah itu membentuk persekutuan bangsa-bangsa
muslim dan jika hal itu bisa terwujudkan dengan seutuhnya dapat dibuat
sebuah kesepakatan untuk mengangkat seorang imam yang menjadi
penengah dan pemersatu”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 191).
Hasan Al-Banna menekankan model Islami yang integral sebagai asas
bagi perwujudan kebangkitan diseluruh dunia. Hasan Al-Banna berkata: “
Penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah Islam diseluruh
negari”. Hasan Al-Banna menegaskan bahwa penerapan Islam sebagai sistem
yang integral
hanya
dapat
diwujudkan
melalui
perwujudan
Negara
Islam(Daulah Islamiyah). Selanjutnya Hasan Al-Banna mengatakan:
“ Negara merupakan representasi dari fikroh, tegak dalam rangka
memeliharanya, bertanggung jawab mewujudkan cita-citanya dalam
masyarakat khusus dan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia.
Negara Islam adalah Negara merdeka yang tegak diatas syari’ah Islam,
bekerja dalam rangka menerapkan sistem sosialnya, memproklamasikan
prinsip-prinsipnya yang lurus dan menyampaikan dakwahnya yang bijak
ke segenap umat manusia”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 255).
Tentang kedudukan Negara Hasan Al-Banna berpendapat bahwa Islam
mewajibkan terwujudnya pemerintahan yang tegak diatas kaidah sistem sosial
yang telah digariskan untuk umat manusia. Islam tidak menghendaki
kekacauan dan tidak membiarkan umat Islam hidup tanpa pemimpin, karena
Rosulullah pernah bersabda, “ Jika engkau berada di sebuah negeri sedangkan
negeri itu tidak berpemmpin maka tinggalkan”. (Muhammad Abdul Qadir Abu
Faris 2003: 153).
Daulah Islamiyah tidak tegak kecuali diatas fondasi dakwah, sehinga
daulah Islamiyah adalah penegak misi, bukan sekedar bagan struktur, bukan
88
pula pemerintahan yang materialistis dan gersang tanpa ruh didalamnya.
Dakwah juga tidak mungkin tegak kecuali jika ada jaminan perlindungan, yang
menjaga, menyebarkan dan mengukuhkannya.
d) Sistim kekuasaan
Ikhwan sesuai pemikiran Hasan Al-Banna berpendapat keharusan
pemisahan antara berbagai fungsi pemerintahan menjadi tiga. Hasan Al-Banna
menegaskan:
“ Menghimpun kekuasaan dan membebankannya kepada individu atau
pihak tertentu, sangat berpotensi menumbuhkan sikap otoriterisme yang
dapat merusak negara dan masyarakat secara bersamaan,
menghancurkan bangunan dan pilar-pilarnya sekaligus. Karena itu
kekuasaan dibagi dalam tiga bagian: legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pemisahan tiga hal itu merupakan hal darurat yang dituntut oleh sistem
politik untuk menghindari kesewenang-wenangan dan tegaknya
keadilan”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 250).
Hasan
Al-Banna
menguraikan
pengelompokan
kekuasaan
sebagaiberikut:
 Kekuasaan Legislatif
Hasan Al-Banna menjelaskan tanggungjawab dewan legislatif kedalam
poin-poin sebagai berikut:
1. Pemilihan umum secara berkala yang bebas dan reformasi yang
mendasar undang-undang pemilu.
2. Pengawasan dan penyusunan Undang-Undang.
3. Evaluasi pelaksanaan pemeritahan.
4. Pembuatan perangkat skill menejemen dan informasi yang terpercaya.
5. Hubungan yang efektif antara Parlemen dan Masyarakat.
6. Tegaknya demokrasi dan sistem musyawarah secara mengakar.
7. Penyempurnaan kodifikasi Undang-Undang syari’ah Islam.
 Kekuasaan
Dewan
Eksekutif
(
Pengelolaan,
kementrian
dan
pemerintahan)
Hasan Al-Banna berpendapat bahwa Dewan Eksekutif mempunyai tugastugas sebagai berikut:
1. Pemilihan pemimpin yang sistematis dan terprogram
89
2. Strukturisasi
pemerintahan
sesuai
dengan
kaidah-kaidah
yang
konstitusional
3. Pengaturan penggunaan harta Negara
4. Pengaturan organisasi dan manajemen yang benar.
 Tugas-tugas Dewan Yudikatif:
1. Tegaknya prinsip kemandirian peradilan
2. Tegasnya aturan untuk menetapkan ketua majelis peradilan dan
kejaksaan tinggi
3. Kemandirian Peradilan Militer
4. Keterbukaan pengawasan peradilan
5. Pengaturan lembaga kehakiman
6. Penghindaran peradilan dari partai
7. Pembentukan mahkamah tinggi konstitusi
8. Pembentukan perwakilan kontrol manajemen
9. Pemilihan para pemimpin atas dasar kapasitas dan keahlian.
10. Jamian keamanan untuk para hakim. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001:
250-251).
Hasan Al-Banna meliat untuk melakukan reformasi lembaga-lemabaga
negara harus diambil prinsip-prinsip berikut:
1. Membangkitkan semangat keIslaman dikantor-kantor pemerintah
sehingga seluruh pegawai merasa dituntut untuk itu.
2. Mendahulukan pemenuhan tugas-tugas di kantor kapan pun, sehingga
membantu penyelesaian berbagai kewajiban dan menghindarkan
banyak begadang.
3. Menghapuskan suap, komisi, hanya berpegang pada kapabilitas
pegawai dan peraturan yang ada.
4. Menimbang setiap aktivitas pemerintah dengan pertimbangan hukum
dan ajaran Islam. Penyelenggaraan pesta, pertemuan resmi, sistem
lembaga pemasyarakatan, pengelolaan rumah sakit dan lain-lain
hendaknya tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Kegiatan-
90
kegiatan hendaklah diatur sedemikian rupa sehingga tidak berbenturan
dengan waktu sholat. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 251).
e) kepartaian dan pemilihan umum
Dinamika perubahan yang digunakan Hasan Al-Banna pada fase
pengenalan dan pembentukan berada dalam konteks metode damai dalam
rangka mengadakan perubahan pada mentalitas dan visi pemikiran yang
dikombinasikan dengan prinsip-prinsip dan tujuan Islam. Adapun perubahan
dalam prioritas pembangunan materiil pada masyarakat dia jadikan perhatian
utama bagi organisasi untuk fase ketiga dari pergerakan yang disebutnya
dengan fase pelaksanaan (marhalah at-tanfidz ). Contoh dinamika perubahan
pada fase ketiga antara lain partisipasi dalam pemilihan umum wakil rakyat
sebagai metode perubahan damai dalam kerangka kenegaraan. (Fathi Yakan
1993: 39).
Membahas tentang pemilihan umum Hasan Al-Banna mengatakan
sebagai berikut:
“ Sistem parlemen modern telah melapangkan jalan kearah pembentukan
Ahlul halli wal ‘aqdi dengan sistem pemilu (dengan segala variasinya)
yang telah dirumuskan oleh para pakar perundang-undangan. Islam
tidak menolak sistem ini selama benar-benar mengarah kepada
pemilihan Ahlul halli wal ‘aqdi . pemilihan tersebut akan mudah
dilakukan jika dalam undang-undang pemilu ditetapkan secara tegas
kriteria Ahlul halli wal ‘aqdi dan tidak memperkenankan selain mereka
untuk menduduki kursi parlemen yang mewakili rakyat”. (Abdul Hamid
Al-Ghazali 2001: 263).
Hasan Al-Banna menjelaskan untuk merealisasikan prinsip pemilu
secara bebas, bersih harus mengikuti sayarat-syarat berikut, antara lain:
1. Merumuskan sifat-sifat yang spesifik untuk para calon anggota
dewan.
2. Menetapkan kode etik kampanye
3. Perbaikan jadwal pemilu
4. Menetapkan sanksi yang keras kepada praktik pemalsuan dan suap
dalam berbagai bentuknya
91
5. Membebaskan para calon dari tekanan pihak pemilih, mengutamakan
kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. (Abdul Hamid AlGhazali 2001: 263).
Beberapa anggota Ikhwan telah mengajukan diri dalam pencalonan
pemilihan anggota parlemen (termasuk diantaranya adalah Mursyid ‘Am,
Hasan Al-Banna) pada dua kesempatan, yang pertama pada tahun 1942 dan
kedua tahun 1945. (Fathi Yakan 1993: 39).
Ikhwan juga berencana untuk mengambil sikap terhadap pemilihan
umum yang akan dilaksanakan pada tahun 1950 dimana pada saat itu badan
legislatif Ikhwanul Muslimin dalam sebuah rapat luar biasa tanggal 7 Agustus
1948 sudah mengusulkan pengambilan kebijakan untuk masalah ini, akan
tetapi keluarnya ketetapan pemerintah tentang pembubaran organisasi
Ikhwanul Muslimin beberapa bulan setelah rapat tersebut membuat masalah itu
terhenti.
a. Pemilu tahun 1942
Pada masa pemerintahan Partai Al-Wafd keluar dekrit pembubaran
Parlemen pada tanggal 7 Februari 1942 dan seruan untuk melaksanakan Pemilu
yang baru. Majulah organisasi Ikhwanul Muslimin dalam pencalonan di
pemilihan umum dengan mengajukan dua orang dari mereka yaitu Mursyid
‘Am (Hasan Al-Banna) dari daerah pemilihan Ismailiyah dan Muhammad
Naser di daerah pemilihan Benha. Langkah ini didasari salah satu keputusan
dari
keputusan-keputusan
muktamar
ke-6
Ikhwanul
Muslimin
yang
diselenggarakan pada bulan Januari 1941 yang bunyi ringkasnya adalah
sebagai berikut:
“Mengizinkan kepada Kantor Pusat Pemilihan Umum Ikhwanul
Muslimin untuk mencalonkan anggota-anggota Ikhwan yang memenuhi
syarat pada lembaga-lemaga perwakilan rakyat untuk meninggikan suara
organisasi dakwah pergerakan Ikhwan dan menyampaikan aspirasi
organisasi demi kepentingan agama dan bangsa”. (Fathi Yakan 1993:
40).
Diambilnya keputusan ini disebabkan oleh situasi yang menimpa
organisasi Ikhwanul Muslimin masa pemerintahan Sirry Phasya (10 November
1940 / 4 Februari 1942) dimana ia mengambil kebijakan-kebijakan yang sangat
92
ketat karena adanya tekanan dari kedutaan Inggris untuk memberlakukan
hukum-hukum konvensional dengan tujuan menghambat aktivitas organisasi
Ikhwan. Karenanya, surat-surat kabar Ikhwan dibredel, perkumpulanperkumpulannya dilarang, percetakannya ditutup, bahkan Mursyid ‘Am dan
wakilnya ditahan untuk beberapa waktu yang cukup lama.
Hasan Al-Banna memandang bahwa hal tersebut merupakan rintangan
bagi pelaksanaan periode pergerakan kedua (marhalah at-takwini) yang telah
diumumkanya pada tahun 1938. Hal tersebut yang mendorong Hasan Al-Banna
berinisiatif bahwa parlemen adalah satu-satunya jalan keluar untuk
mengemukakan pendapat dan sebagai mimbar pengaduan bagi orang-orang
yang tetap konssten dalam kebenaran pada saat itu.
Ikhwanul Muslimin memutuskan untuk terun kekancah pemilu tahun
1942. Al-Banna mengatakan bahwa Ikhwan sangat berpegang teguh atas diri
mereka dalam melaksanakan prinsip tahapannya. Al-Banna akhirnya
mengundurkan diri dari bursa pencalonan tersebut atas perundingan yang
terjadi antara dirinya dengan Perdana Menteri Nuhas Pasya yang telah
memberikan keuntungan-keuntungan bagi Ikhwan dalam perundingan itu,
seperti diperbolehkannya penggunaan segala macam metode bagi didalam
menyebarkan misi dakwah pergerakkan mereka dimanapun seantero Mesir
tanpa ada rintangan dari pemerintah, demikian juga diizinkan kembali bagi
Ikhwan untuk menerbitkan surat kabar dan majalah serta membuka cabang dan
ranting baru diseluruh pelosok negeri.
Majunya Ikhwan dalam pemilu 1942 merupakan jawaban atas kebutuhan
praktis pergerakan demi kepentingan dakwah, tetapi langkah ini tidak bertitik
tolak dari keyakinan terhadap kerja keparlemenan dalam situasi yang tengah
berlangsung, kecuali semata-mata sebagai mimbar dakwah dibawah kondisi
yang kritis pada masa itu.
Hal tersebut diperjelas dengan mundurnya Hasan Al-Banna dari bursa
pencalonan dan tidak menggunakan hukumnya, walau mendapat tentangan
keras dari anggota Ikhwanul Muslimin. Al-Banna berpendapat bahwa apabila
tujuan-tujuan yang diharapkan dapat dicapai tanpa masuk parlemen maka tidak
93
ada alasan bagi Ikhwan untuk terus memaksakan diri mengikuti pemilu,
terutama jika hal tersebut akan membuat konfrontasi dengan pemerintahan
Mesir kala itu, yaitu Partai Al-Wafd yang seringkali mendapat hasutan dari
Inggris.
b. Pemilu 1944-1945
Keputusan untuk mengikuti pemilu pada masa ini mendapatkan perhatian
yang sangat besar dari anggota-anggota Ikhwanul Muslimin sehingga
menimbulkan berbagai pertanyaan tentang tujuan keikut sertaan Ikhwan dalam
pemilu. Al-Banna memberikan jawaban atas hal tersebut dan mengulangi
penekanannya terhadap kebutuhan-kebutuhan praktis dakwah untuk disebarkan
di masyarakat. Hasan Al-Banna menyatakan dalam rapat badan legislatif
Ikhwanul Muslimin untuk terjun dengan para da’I dan oratornya kemimbar
wakil rakyat.
Dalam sebuah artikelnya yang ditulis pada tahun 1944 Hasan Al-Banna
menyatakan konstitusi Mesir dilihat dari aspek syura (musyawarah) pengakuan
atas kedaulatan rakyat dan penjaminan terhadap kebebasan tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan tidak melanggar prinsip-prinsip serta ajaran-ajarannya,
apalagi telah ditegaskan bahwa agama resmi negara adalah Islam. Jika ada
beberapa pasal yang perlu direvisi itu adalah hak dari wakil rakyat untuk
mengubahnya melalui perundang-undangan yang telah digariskan karenanya
lembaga parlemen ketika itu mejadi sarana ideal untuk mengejawantahkan
syiar Ikhwan.
Ungkapan diatas adalah pertanda yang sangat jelas tentang keyakinan AlBanna tehadap kemungkinan melakukan perubahan dengan berpegang pada
prinsip-prinsip kerja keparlemenan, demokrasi dan perbaikan konstitusi.
Umumnya masalah parlemen menjadi sangat vital yang menjamin proses
perubahan menuju kearah yang diharapkan. Meskipun Ikhwan mengakui hal
ini, tetapi itu tidak membuatnya melanggar “prinsip tahapan”. Pada pemilu
tahun 1944-1945 Ikhwan mengajukan 6 orang calon.
94
Pemilu pada tahun 1944-1945 gagal diikuti Ikhwan karena adanya
pelarangan pemerintah Mesir yang didukung oleh Inggris yang saat itu masih
menguasai Mesir.
c. Persiapan Pemilu 1950
Pada rapat luar bisa Badan Legislatif Ikhwanul Muslimin yang diadakan
pada 8 Agustus 1948 dilangsungkan sebuah diskusi tentang kedudukan Ikhwan
pada pemilihan anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada tahun 1950.
pada rapat ini Hasan Al-Banna memberikan pembahasan yang lengkap
berkaitan dengan percobaan-percobaan Ikhwan periode yang lalu dan usahausahanya untuk sampai kekursi parlemen.
Perhatian Ikhwan pada rapat luar biasa tersebut menunjukan sikap
permusuhan yang dilakukan rezim penguasa dan kalangan partai yang ada di
parlemen terhadap usaha-usaha Ikhwanul Muslimin yang ingin berpartisipasi
dalam proses keparlemenan tersebut. Pada sisi yang lain diletakkan juga
program pengajuan anggota Ikhwan untuk berpartisipasi dalam pemilu baik
pencalonan maupun pemberian suara.
Al-Banna juga menyinggung uraian tentang pemilu yang akan di
selenggarakan
tahun 1950 artinya ia membicarakan masalah itu setahun
sebelum pemilu dilaksanakan. Dalam uraiannya itu ia menjelaskan alasanalasan yang mendukung Ikhwanul Muslimin dalam pemilu dan yang
menentangnya.
Hal yang penting dalam masalah ini adalah usul yang dilontarkan Hasan
Al-Banna untuk mengadakan jejak pendapat bagi setiap anggota Ikhwan.
Hasan Al-Banna menugaskan panitia politik Ikhwan untuk melakukan jejak
pendapat, memeriksa bebagai reaksi dan membuat laporan yang lengkap
mengenai hasilnya kemudian dibacakan didepan badan-badan Ikhwanul
Muslimin, setelah itu dikeluarkanlah keputusan tentang sikap Ikhwanul
Muslimin terhadap pemilu. (Fathi Yakan 1993: 40-47).
f) Aktivitas Politik Ikhwan yang lain
Dalam aktivitas politik Ikhwanul Muslimin mempunyai peran yang
cukup menonjol pada masa itu, aktivitas tersebut antara lain:
95
 Mengangkat masalah Palestina sejak konflik palestina meletus pada tahun
1936, dengan perlawanan rakyat terhadap Inggris dan Yahudi. Mereka ikut
memberikan andil pemikiran dan tindakan dalam membela Palestina dengan
mempublikasikan berita-berita yang berkaitan dengannya disurat-surat
kabar Ikhwan, mengadakan muktamar-muktamar dan kunjungan-kunjungan
serta membentuk berbagai kepanitiaan untuk mengumpulkan bantuan.
 Ikhwan mengingatkan kepada Negara-negara yang mereka pandang kurang
peduli terhadap permasalahan Palestina. Mereka juga menentang perjanjian
1936 yang ditandangani An-Nuhas, ketika An-Nuhas menyatakan
kekagumannya kepada Ataturk, Al-Banna menyanggahnya dengan surat
yang berisiskan kritikan terhadap Atarturk dan mengajak An-Nuhas untuk
mengembalikan kepemimpinan Islam.
 Mengirim surat kepada Faruq, An-Nuhas, Muhammad Mahmud, Menteri
kehakiman dan Syaikh Al-Azhar yang berisi beberapa point tentang
reformasi politik, ekonomi, kebudayaan dan sosial.
 Ikhwan menganggap bahwa imperalisme, perusahaan-perusahaan asing dan
tradisi barat termasuk dalam sepuluh pembawa bencana yang harus mereka
tentang.
 Mengadakan muktamar politik untuk mahasiswa-mahasiswa mereka
digedung Pemuda, dalam rapat ini Hasan Al-Banna menyampaikan orasi
tentang sikap Islam terhadap politik dan partai. Para peserta muktamar
memutuskan:
“
Menuntut
pembubaran
semua
partai
politik
dan
menggantinya dengan sebuah forum bersama yang menggunakan konsep
Islam dalam sebuah aspek kebangkitan”.
 Mengadakan muktamar ke-V pada tahun 1939 yang oleh Hasan Al-Banna
dianggap sebagai “kesempatan pertama mengahdapi masyarakat Mesir dan
dunia internasional dengan dakwahnya”. Pidato dalam muktamar tersebut
membahas tentang sikap Ikhwan terhadap hukum, kekuatan, patriotisme,
nasionalisme Arab, masalah Palestina dan konspirasi Inggris. Hal ini
menunjukkan pidato tersebut merupakan sikap politik Ikhwan. Setelah
muktamar tersebut Ikhwan menerbitkan selebaran yang menegaskan seruan
96
untuk
membela
Palestina
dan
himbauan
kepada
rakyat
untuk
mengumpulkan dana bagi Palestina.
 Memasuki lapagan ekonomi dengan mendirikan peusahaan percatakan
Ikhwan pada tahun 1934, perusahaan muamalah Islam, perusahaan pintal
dan tenun, semua itu merupakan perusahaan perseroan. (Utsman Abdul
Mu’iz Ruslan 2000: 193-195).
Pada tahun 1945 Ikhwan mengadakan tujuh muktamar rakyat di Kairo,
Iskandaria dan Ibu Kota-Ibu Kota Provinsi dengan tujuan menjelaskan hak-hak
rakyat secara memadai, pemberantasan buta huruf secara nasional dan
memberikan penyuluhan kepada warga negara tentang hak-hak dan kewajibankewajiban mereka. Mereka juga mengadakan pertemuan dengan pemimpinpemimpin wilayah, markas-markas masjid dan pemimpin cabang-cabang pada
tahun 1945 dan 1946. muktamar-muktamar dan pertemuan-pertemuan tersebut
menghasilkan beberapa keputusan yang berkisar pada hal-hal berikut:
1. Menuntut pemerintah Mesir untuk segera mengumumkan pemutusan segala
perundingan dengan pemerintah Inggris, membatalkan perjanjian tahun
1936 dan menuntut pemerintah Inggris untuk menarik kekuatan militernya
dari lembah Nil tanpa ikatan dan syrat apapun.
2. Melakukan negosiasi dengan Inggris sebelum dimulainya efakuasi militer
Inggris dan penetapan batas akhirnya, adalah tindakan yang tidak serius.
3. Menghimbau rakyat untuk menyiapkan diri dalam rangka mempersiapkan
jihad.
4. Setiap pemerintah yang tidak memenuhi tuntutan ini adalah alat imperalis
dan tidak mempresentasikan sebuah negara, karenanya gugurlah kewajiban
untuk taat kepadanya. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 201).
Dewan pendiri Ikhwan mengadakan pertemuan luar biasa untuk
mendiskusikan upaya merebut hak-hak negara. Mereka mengeluarkan
pernyataan tanggal 5 Februari 1946 yang ditujukan kepada pemerintahan
Naqrasyi dan rakyat yang menegaskan tuntutan-tuntutan terdahulu khususnya
penarikan penuh tentara Inggris dari bumi Mesir.
97
Mahasiswa juga mengadakan long march menuju istana Abidin untuk
menuntut hak-hak yang sama dan terjadilah pembantaian Kaubari Abbas 9
Februari 1946, kemudian muncul demonstrasi yang dipimpin Musthofa
Mukmin pimpinan mahasiswa Ikhwan dari Universitas ke Istana Abidin pada
tanggal 11 Februari 1946 yang akhirnya menjatuhkan pemerintahan Perdana
Menteri Naqrasyi pada tangal 14 Februari 1946.
Tampuk pemerintahan digantikan oleh Isma’il Shidqi. Ia mengadakan
kesepakatan dengan Ikhwan untuk saling memahami dan kerja sama
dengannya berdasarkan prinsip-prinsip yang mereka sepakati. Mereka
menyetujui pemerintahannya dengan syarat bahwa batas minimal hak negara
adalah evakuasi militer Inggris dan keamanan di Mesir jika itu tidak dipenuhi
mereka akan menarik dukungan terhadap pemerintahannya. Aktivitas Ikhwan
masa Perdana Menteri Isma’il Shidqi antara lain:
1. Mengadakan demonstrasi-demonstrasi periodik untuk mengingatkan Isma’il
Shidqi tentang janjinya kepada rakyat. Mereka juga mengadakan
pertemuan-pertemua periodik untuk mengkaji sikap politik yang akan
diambil setiap kali berakhir satu tahapan dari rangkaian pembicaraan Isma’il
Shidqi-Beven.
2. Pemerintahan Isma’il Shidqi Mengkoordinir dua kali pemogokan dalam dua
tahun untuk menegaskan tuntutan-tuntutan terdahulu pada 10 Mei 1946 dan
8 Juni 1946 atas undangan komite politik Ikhwan. Mereka juga
mengeluarkan beberapa manifest yang ditujukan kepada rakyat Mesir yang
mengajak mereka menolak setiap solusi yang tidak mewujudkan persatuan
terhadap rakyat Mesir, menolak perjanjian apapun dibawah kekuasaan
imperalisme. Mereka meminta rakyat untuk memboikot Inggris baik secara
ekonomi, budaya maupun sosial. (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 202205).
3. Kebijakan Ikhwan terkait dengan luar negeri Mesir
a) Sikap terhadap penjajahan Inggris
Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat seruan
untuk membina hubungan yang baik antara kaum Muslimin dengan ahlul kitab.
98
Al-Qur’an menerangkan bahwa makanan mereka dihalalkan, dan wanitawanita ahlul kitab boleh dinikahi oleh kaum muslimin, tetapi perlakuan
tersebut tidak berlaku terhadap orang-orang musrik.
Hasan Al-Banna juga menjelaskan pandangan Ikhwan dalam kaitannya
dengan orang-orang asing. Tidak dapat diingkari bahwa Mesir saat itu telah
mengadobsi peraturan dan ilmu pengetahuan dari barat, tapi Ikhwan tidak
mungkin membiarkan orang-orang Eropa terutama Inggris menguras habis
potensi-potensi Mesir karena masyarakat Mesir sangat membutuhkannya.
Ikhwan hanya menghendaki bangsa Mesir bisa menguasai hak milik mereka
sendiri secara utuh. ( Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 105).
b) Sikap Ikhwan terhadap Zionisme
Eksistensi zionisme adalah musuh yang di back up penuh oleh Amerika
dan bekerja untuk menghapuskan negeri Palestina lalu melebar ke timur, utara
dan selatan. Satu-satunya jalan untuk mendongkel permusuhan ini adalah jihad
dengan harta dan jiwa dalam rangka melenyapkan eksistensi Zionisme dan
mengembalikan tanah yang telah dirampas. (Taufiq Yusuf Al-Wa’iy 2003:
185).
Ikhwan berpandangan tidak perlu ada perundingan damai, tolak
normalisasi hubungan dan putus komunikasi, itulah beberapa langkah pokok
untuk reformasi total yang mungkin dilakukan diberbagai sektor kehidupan
baik politik, hukum, sosial, ekonomi dan budaya yang merupakan batas
minimal yang bisa diharapkan untuk mewujudkan keberlangsungan masyarakat
kita dan menumbuhkan ekonomi serta kebudayaan berkesadaran pada generasi
kita.
c) Pembelaan terhadap negara Islam yang terjajah
Hasan Al-Banna berusaha untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat dan menyadarkan mereka terhadap banyaknya konspirasi terhadap
Negara-negara Islam, salah satunya adalah konspirasi terhadap Palestina.
Hasan Al-Banna sangat berharap agar setiap umat Islam menyadari bahwa
Inggris telah menjajah Bangsa Palestina. Mereka sedang melakukan langkahlangkah awal untuk mendirikan Negara Yahudi di tempat itu dan mengusir
99
penduduk muslim. Melatih orang-orang Yahudi dengan latihan militer dan
memberikan hukuman mati kepada penduduk Palestina yang diketahui sedang
latihan militer. Hasan Al-Banna telah melakukan kegiatan-kegiatan yang
bermacam-macam
seperti
menyelenggarakan
diskusi-diskusi,
ceramah-
ceramah dan pengajian-pengajian untuk menyadarkan penduduk Mesir
terhadap apa yang seharusnya mereka lakukan terhadap bangsa muslim yang
sedang terjajah. ( Muhammad Abdul Qadir Abu Faris 2003: 128).
Pada konferensi Ikhwanul Muslimin yang kelima Hasan Al-Banna
menyatakan bahwa tanah Islam adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan. Setiap pelanggaran terhadap sebagian tanah Islam sama dengan
pelanggran
terhadap
terhadap
seluruh
dunia
Islam.
Setiap
muslim
berkewajiaban untuk membantu Negara yang sedang dianiaya tersebut. Hasan
Al-Banna berkata:
“ Kami mengingatkan kepada para delagasi muslim terhadap tipu daya
Negara-negara barat yang telah melakukan penjajahan dan terhadap
kewajiban untuk menegakkan hak-hak bangsa Arab secara sempurna dan
tidak dikurangi. Setelah itu kita memiliki perhitungan dengan Negaranegara barat di wilayah-wilayah muslim yang telah didudukinya dengan
cara yang tidak benar. Islam telah mewajibkan kepada para penduduk
Negara-negara tersebut dan juga kepada kita bersama agar kita dapat
berbuat untuk menyelamatkan dan membebaskannya” (Abdul Hamid AlGhazali 2001: 275).
d) Persatuan Arab
Pemikiran nasionalisme Arab di Mesir tersebar luas karena berbagai
faktor diantaranya:
 Adanya tantangan imperalisme, munculnya persoalan Palestina dan
zionisme
 Terbentuknya beberapa oraganisasi yang mempropagandakan pemikiran
Arabisme dan berusaha mendekatkan antara sesama bangsa Arab.
 Para pembela arus keagamaan mengadobsi konsebsi Arabisme dalam
menghadapi propaganda Mesirisme Firaunisme.
100
 Masuknya Mesir secara resmi kemedan gerakan Arab ditengah Perang
Dunia II dan berdirinya konfederasi negara-negara Arab yang menjadikan
Kairo sebagai markasnya. . (Utsman Abdul Mu’iz Ruslan 2000: 368).
Arus ini mendapatkan gema yang menonjol dalam organisasi Ikhwan.
Mereka menyatakan bahwa kesatuan Arab merupakan sesuatu yang harus ada,
wajib dibela dan berusaha untuk diwujudkan. Ikhwan juga membahas konsepsi
Arabisme, juga melakukan kerja konkret yang membela konfederasi Arab dan
persoalan-persoalannya.
Hasan Al-Banna menjelaskan tentang dasar hubungan antar negara Arab.
Ia berkata:
“ Ikhwanul Muslimin memandang manusia dalam konteks hubungan
mereka dengannya, terbagi menjadi dua golongan: pertama, golongan
manusia yang meyakini sebagaimana apa yang kami yakini, yaitu
beriman kepada Allah dan kitab-Nya serta beriman kepada Rosulullah
dengan segenap ajaran yang dibawanya. Mereka dan kami dijalin oleh
sesuci-sucinya ikatan, yakni ikatan akhidah. Ikatan ini jauh lebih suci
dari pada ikatan darah dan tanah air. Mereka adalah kaum kerabat kami
yang kami perhatikan, kami berjuang untuk mereka, melindungi mereka
dan menebus kehormatan mereka dengan darah dan harta kami. Kedua,
golongan manusia yang lain yang tidak ada jalinan yang mengikat
dengan kami. Dengan mereka kami tetap berdamai selama mereka
berdamai dengan kami, kami menginginkan kebaikan bagi mereka
selama mereka tidak memusuhi kami. Kami meyakini bahwa antara kami
dan mereka dijalin suatu ikatan yaitu ikatan dakwah. Kami harus
mengajak kepada mereka kepada misi yang kami emban, karena ini
adalah kebaikan bagi seluruh umat manusia. Ingat firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah anatara kedua saudara kalian....(Qs. Al-Hujurat: 10).
Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangi mu karena agama dan tidak pula
mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang
kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi
kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian dan
membantu oran lain untuk mengusir kalian. (Qs. Al-Muhammad: 8-9).”.
(Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 273).
Tentang persatuan Arab Hasan Al-Banna menjelaskan sebagai berikut:
“ Ikhwanul Muslimin memaknai istilah Al-‘Urubah (Arabisme)
sebagaimana yang dikenalkan Rosulullah dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Mu’adz bin Jabal, Ingatlah
101
sesungguhnya Arab itu adalah bahasa. Ingatlah sesungguhnya Arab itu
adalah bahasa. Karena itu, wujud persatuan Arab adalah keniscayaan
demi mengembalikan kejayaan Islam, tegaknya daulah dan kehormatan
kekuasaannya. Maka dari itu, setiap muslim harus bekerja dalam rangka
memperjuangkan tegaknya. Inilah sikap Ikhwanul Muslimin terhadap
prinsip persatuan Arab”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 273).
Tentang kedudukan arab dalam dakwah Ikhwan Hasan Al-Banna
menjelaskan sebagai berikut:
“ Al-‘Urubah (Arabisme) atau federasi Arab juga memiliki tempat
tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah kami. Karena bangsa
Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima Islam dan bangsa yang
terpelih. Rosulullah bersabda: Jika Bangsa Arab dihina, hina pulalah
Islam. Islam tidak mungkin bangkit tanpa kesatuan kata Bangsa Arab dan
kabangkitannya”. (Abdul Hamid Al-Ghazali 2001: 274).
D. Pengaruh pemikiran Hasan Al-Banna terhadap Negara-negara
Islam
Ikhwanul Muslimin dianggap sebagian orang sebagai organisasi terbesar
dizaman modern ini, karena ia mampu menyebar kebanyak negara, dimanapun ia
berada maka Ikhwan bukan sekedar tersebar sebagai sebuah organisasi Islam
semata, Ikhwan diadopsi dan dipakai oleh sangat banyak tokoh dan organisasi
Islam lain. Dihampir semua tempat organisasi ini mengalami penindasan dari
penguasa setempat, tapi Ikhwan terus berkembang dan terus mengalami evolusi
serta penyesuaian dengan lingkungan barunya. (Aga Sekamdo 2004: 13).
Mesir merupakan saat pertama kalinya berbagai konsep yang dimiliki
Ikhwan berkembang, mulai dari kehidupan yang sangat normal karena baru dalam
perkembangan awal, sampai terlibat dalam perang dengan kaum penjajah lalu
terkena pelarangan dan penangkapan juga mengalami masa sekarang.
Gerakan Ikhwan dimulai di Isma'iliyyah kemudian beralih ke Kairo. Dari
Kairo tersebar ke berbagai pelosok dan kota di Mesir. Akhir tahun 40-an, cabang
Ikhwan di Mesir sudah mencapai 3000. Tiap cabang memiliki anggota yang
cukup banyak. Gerakan tersebut kemudian meluas ke negara-negara Arab. Ia
berdiri kukuh di Suriah, Palestina, Yordania, Libanon, Iraq, Yaman dan lain-lain.
(Mahmud Jami’ 2005: 36). Dewasa ini anggota dan simpatisannya tersebar di
102
berbagai penjuru dunia. Diantaranya juga telah menyebar di Asia seperti Malaysia
dan Indonesia.
Terdapat beberapa hal yang dianggap sebagai sebab utama organisasi
tersebut menginternasional, yaitu:
 Tarbiyah, yang dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pendidikan.
Konsep
ini
merupakan
faktor
utama
yang
mengantarkan
Ikhwan
menginternasional. Pendidikan khas gaya Ikhwan ini memberikan pengaruh
begitu besar bahkan dominan terhadap kemmpuan Ikhwan menginternasional.
 Konsep menerima perbedaan atau dalam bentuk lain dikenal dengan Fiqh
Ikhtilaf (Fiqih perbedaan).
 Konsep sistem. Organisasi ini sangat dikenal dengan kemampuannya membuat
sistem dan melepaskan diri dari ketaatan atau ketergantungan yang berlebihan
terhadap tokoh ataupun kondisi dan lingkungan tertentu. (Aga Sekamdo 2004:
26).
Penyebaran Ikhwanul muslimin sangat rapi, dilakukan dengan
terorganisir dan sistematis. Gerakan Ikhwan yang tersebar ke seluruh dunia
kadang-kadang tidak menyebutkan dirinya sebagai Ikhwanul muslimin tetapi
menggunakan nama lain. Pada dasarnya tujuan mereka sama yaitu mengajak
manusia ke dalam sistem Islam yang kaffah (meyeluruh) dan memukul mundur
gerakan sekulerisasi.
Untuk memudahkan pembahasan tentang persebaran Ikhwan, ada
beberapa nama tokoh Ikhwan yang sebaiknya diketahui, antara lain:
1) Hasan Al-Banna: Mursyid ‘Am pertama
2) Hasan Al-Hudhaibi: Mursyid ‘Am kedua
3) Umar Al-Tilmisani: Mursyid ‘Am ketiga
4) Muhammad Hamid Abu Nassr: Mursyid ‘Am keempat
5) Musthofa Mansyhur: Mursyid ‘Am kelima
6) Musthofa As-Siba’I: Muraqib ‘Am pertama Ikhwan di Syiria
7) Sa’id Hawwa: Pemimpin Ikhwan Syiria
8) Abdullah Azzam: Dosen penyeru jihad Afganistan
9) Syaikh Ahmad Yasin: Tokoh spiritual HAMAS Palestina
103
10) Fathi Yakan: tokoh Ikhwan Pakistan
11) Mahmudz An-Nahnah: Presiden HAMAS Aljazair
12) Syaikh Abdullah Al-Ahmar: Ketua Majelis Syuro’ Ikhwan di Yaman
13) Abdullah Al-Ali Muthawwi: Pemimpin Jam’iyyatul Ishlah Al-Ijtima’I, di
Kuwait yang bayak mengadopsi Ikhwan
14) Faishal Maulawi: tokoh Ikhwan di Libanon
Tokoh-tokoh ini disebutkan sebagai cermin kebesaran organisasi ini,
karena tokoh-tokoh ini dikenal sebagai tokoh-tokoh Islam internasional yang
sudah menjadi rujukan bagi banyak organisasi Islam lainnya. (Aga Sekamdo
2004:32-33).
a. Perkembangan Ikhwan di Palestina
Problematika politik yang paling mendapatkan perhatian Ikhwanul
Muslimin adalah konspirasi terhadap tempat yang suci bagi umat Islam yaitu
Palestina. Palestina adalah kiblat pertama umat Islam dan masjid ketiga yag
diusahakan untuk dikunjungi. Keterlibatan Ikhwaunul Muslimin tampak jelas
sekali dalam perang pembebasan Al-Quds (Palestina). Di masa Ikhwan telah
mengirimkan 10.000 pasukan. (Aga Sekamdo 2004: 44).
Hamas yang merupakan salah satu organisasi gerakan perlawanan Islam
di Palestina, juga merupakan salah satu bentuk dari perjuangan Ikhwan dalam
peranan usahanya membebaskan Palestina. Hamas “Harokah Al-Muqowamah AlIslamiyah” (Gerakan Perlawanan Islam) menyebarkan manifesto pendiriannya
pada tanggal 15 Desember 1987, meskipun kemunculannnya berakar mulai sejak
dekade 40-an. Hamas merupakan perpanjangan dari gerakan Ikhwanul Muslimin,
yang sebelum pendeklarasian Hamas, Ikhwan menggunakan nama-nama lain
untuk mengungkapkan sikap politik mereka berkenaan dengan masalah Palestina,
di antaranya: al-Murabithun fi Ardhil Isra’ (Para Pejuang yang Bertahan di Bumi
Isra’), Harakah al Kifah al-Islamy (Gerakan Perjuangan Islam) dan lain-lain. (
www.ummah.org.uk/ikhwan/)
Hamas lahir sebagai hasil dari akumulasi berbagai faktor yang dialami
oleh rayat Palestina, sejak tragedi (nakbah) pertama tahun 1948 secara umum dan
kekalahan perang tahun 1967 secara khusus. Dari bebagai faktor tersebut muncul
104
dua faktor utama yaitu: (1) perkembangan politik masalah Palestina dan akibatakibatnya hingga akhir tahun 1987 (2) dan kebangkitan Islam di Palestina serta
hasil-
hasil
yang
dicapai
hingga
pertengahan
dekade
80-an.
(
www.ummah.org.uk/ikhwan/)
b. Perkembangan Ikhwan di Sudan
National Islamic Front ( NIF) di Sudan didirikan oleh DR. Hasan
Abdullah at-Turabi, salah seorang ulama Ikwanul Muslimin terkemuka yang
pernah menamatkan pendidikannya di Oxford University dan University of
Sorbonne. At-Turabi sendiri menolak menjadi pemimpin Sudan tapi lebih
memilih menjadi Ketua Parlemen Sudan setelah terpilih secara demokratis dalam
Pemilu Sudan. Islamisasi Sudan disambut antusias oleh masyarakat yang sudah
bosan dengan kapitalisme dan sosialisme yang ternyata tidak pernah
menghasilkan
apa-apa
dalam
pembangunan
bangsa.
(
www.pas.org/sisters/zaynab.html)
c. Perkembangan Ikhwan di Syiria
DR. Muthofa As-Siba’i (1915-1964 M), mendeklarasikan Ikhwanul
Muslimin diSyiria pada tahun 1945 dan menjadi pengawas pertama Ikhwan
diSyiria. galar doktornya diperoleh dari Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar,
hahun 1949. memimpin babarapa divisi pasukan Ikhwan ke Palestina pada tahun
1948. pernah dicalonkan sebagai wakil Ikhwan diDamaskus tahun 1949 selain itu
ia
juga
terkenal
sebagai
seorang
kataib
dan
orator
ulung.
(
www.pas.org/sisters/zaynab.html)
Hasil nyata dari gerakan Ikhwan di Syiria dalam bidang politik adalah
ketika mereka berhasil mendesak Parlemen untuk mengamandemen UndangUndang Dasar Syiria berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Hal itu dilakukannya
dengan mosi pada tanggal 8 Februari 1950. Dalam pernyataannya Mushthafa AsSiba'I menyatakan perlunya konstitusi yang menegaskan bahwa agama negara
adalah Islam.
Dalam bidang pendidikan DR. Musthofa As-Siba’i berhasil mendirikan
Fakultas Syari'ah pada tahun 1954 di Damaskus dan As-Siba'I menjadi dekan
pertamanya. Karya-karyanya antara lain Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-
105
Islami, Al-Mar'ah baina Al-Fiqh Wa Al-Qanun, Al-Qanun Al-Ahwal AlSyakhshiyyah.
Dalam bidang Militer, pada tahun 1956 ketika terjadi penyerbuan
Inggris, Prancis dan Israel ke Mesir, sehubungan dengan nasionalisasi Terusan
Suez, DR. Musthofa As-Siba’i mengubah Universitas Syria tempatnya mengajar
menjadi kamp pelatihan jihad dan mengirimkan banyak sukarelawan ke Mesir.
(Aga Sekamdo. 2004: 41).
d. Perkembangan Ikhwan di Suriyah
Syaikh Said Hawa bin Muhammad Dib Hawwa lahir di kota Hamah,
Suriah, tahun 1935. Ia berusia 2 tahun ketika ibunya meninggal dunia. Said Hawa
pindah ke rumah neneknya di bawah asuhan sang ayah, seorang pejuang
pemberani yang berjihad melawan perancis. Pada masa mudanya berkembang
pemikiran sosialis, nasional dan Ikhwanul Muslimin. Said Hawa bergabung ke
dalam Jama’ah Ikhwanul Muslimin, tahun 1952, saat itu ia masih belajar di SMU.
Aktivitas dakwah Said Hawa anatara lain dengan memberi kuliah,
khutbah, dan ceramah di Suriah, Arab Saudi, Kuwait, Emirat, Irak, Yordania,
Mesir, Qatar, Palestina, Amerika dan Jerman. Said Hawa juga berperan bahkan
mengoordinir demonstrasi menentang Undang-Undang Suriah tahun 1973.
Kemudian dia dijebloskan penjara selama 5 tahun. Dipenjara dia menulis buku
tafsir Al-Asas Fit Tafsir (dua belas jilid) dan sejumlah buku dakwah lain. Ia
memimpin di Jama’ah Ikhwanul Muslimin dilingkup nasional dan internasional.
Said Hawa juga berperan aktif dalam aktifitas dakwah, politik dan jihad.
Said Hawwa punya andil besar dibidang pendidikan. Said Hawa bekerja sebagai
pengajar diluar Suriah. Ia mengajar di Arab Saudi selama 5 tahun, Madinah
selama tiga tahun dan di Kuwait.
Said Hawwa mempunyai karya tulis seputar dakwah da gerakan yang
diminati para pemuda Islam di berbagai negeri sehingga tulisannya banyak
diterjemahkan kedalam bahasa lain. Karangannya yang telah diterbitkan antara
lain: Allah Jalla Jalaluhu, Ar-Rosul Shalallahu Alaihi Wassallam, Al-Islam. (
www.pas.org/sisters/zaynab.html)
e. Perkembangan Ikhwan di Yordania
106
Gerakan Ikhwan Yordania bardiri pada tanggal 13 Ramadhan 1364H / 19
November 1945M. pimpinan pertamanya ialah Syaikh Abdulatif Abu Qurrah. ia
pernah memimpin sejumlah pasukan Ikhwan Yordania kePalestina tahun 1948.
selanjutnya pada tanggal 26 November 1953 Muhammad Abdurrahman Khalifah
(lahir pada 1919) terpilih menjadi ketua umum Ikhwan diYordania, pada tahun itu
juga Ikhwan Yordan mengirim pasukan untuk ikut berjuang diPalestina. (Aga
Sekamdo. 2004: 42).
Ikhwan Yordania juga mendirikan Islamic Collage di Amman ( yang
diakui sebagai lembaga pendidikan terbaik di Yordania). Untuk bidang muamalah
Ikhwan juga mendirikan Bank Islam dan rumah sakit.
Pada tahun 1999 pemerintah Yordan mencapai kesepakatan dengan
pemerintah Syiria, bahwa mereka memperbaiki hubungan mereka dengan syarat
Syiria tidak lagi meminta anggota Ikhwan Syiria diekstradisi ke Syiria. Ini artinya
ada pembelaan dari Pemerintah Yordan terhadap Ikhwanul Muslimin yang
terdapat dinegara tersebut. (www.bicara.muslim.co.uk/mb/).
f. Perkembangan Ikhwan di Aljazair
Ikhwan Aljazair menggunakan nama HAMAS (Harokah Mujtama’ Silm/
Gerakan masyarakat damai), tapi dengan arti dan cara yang berbeda dengan
HAMAS yang ada di Palestina.
HAMAS Aljazair berbentuk partai politik yang lebih mengedepankan
pendekatan damai dari pada pendekatan kekerasan. Pendiri partai ini adalah
Syaikh Mahfuzh Nahnah yang saat ini menjabat sebagai Presiden partai. Saat ini,
partai HAMAS memiliki 71 wakil di Parlemen, 3 Menteri di Kabinet dan lebih
dari 1300 anggota parlemen di wilayah-wilayah. (Mahmud Jami’ 2005: 38).
Berbeda dengan kebanyakan Ikhwan di Timur Tengah, HAMAS ini
cenderung untuk memilih dialog sebagai metode utama gerakan mereka.
g. Perkembangan Ikhwan di Tunisia (Hizb an-Nahdhah).
Dipimpin oleh Dr. Rsyid al-Ghanusyi, ia adalah salah seorang nasionalis
yang kemudian berpaling pada pemikiran Ikhwanul Muslimin. an-Nahdhah
menjadi gerakan oposan bagi sekularisasi pemerintahan Tunisia dibawah
kepemimpinan Habib Borguiba yang mengubah dari bahasa Arab menjadi bahasa
107
Prancis, menghapus peradilan Agama, menghapus peraturan berjilbab, bahkan
menontonkan keberaniannya makan siang pada bulan Romadhon didepan
rakyatnya. Setelah kematiannya, Habib Borguiba digantikan Ben Ali yang
kemudian membubarkan Hizb an-Nahdhah dan memenjarakan 300 tokoh
aktivisnya dengan tuduhan ingin menggulingkan pemerintahan dan mendirikan
Negara Islam, untuk meredam protes dunia internasional, maka Ben Ali
menyatakan bahwa ia sedang memerangi munculnya fundamentalisme Islam.
(www.bicara.muslim.co.uk/mb/).
h. Perkembangan Ikhwan di Afganistan
Tokoh Ikhwan dari afgan yang sangat dikenal adalah Abdullah Azzam, ia
lahir dan besar di negeri penuh konflik, Palestina. Sejak kecil sudah dikenal
sebagai anak yang pintar dan tegas. Sebelum usia akil baliq, ia sudah bergabung
dengan Ikwanul Muslimin. Pada usia 20-an, bersama para pemuda Palestina ia
sudah berani melawan Israel yang memiliki persenjataan canggih. Keterlibatannya
langsung bertempur melawan zionis Israel, membangitkan semangatnya untuk
belajar berbagai hal tentang perang.
Tidak hanya melawan Israel, tokoh kelahiran tahun l941 ini juga
bertempur membantu pejuang Mujahiddin Afghanistan ketika mengusir tentara
Uni Sofyet. Itu dilakukan setelah ia menyelesaikan program doktor di Universitas
Al Azhar Mesir. Mulanya ia mengajar di Universitas Islam Antar bangsa di
Islamabad Pakistan. Akhirnya ia memutuskan bergabung dengan para pejuang
Mujahiddin yang berjuang melawan Tentara Merah. Abdullah Azzam menjadi
seorang yang disegani di arena jihad Afghanistan. (Aga Sekamdo. 2004: 45).
Pada tahun 1980 ia pindah ke Peshawar. Di sana ia mendirikan Baitul
Anshar, sebuah lembaga yang menghimpun bantuan untuk para mujahid Afghan.
Ia juga menerbitkan sebuah media Ummat Islam. Lewat majalah inilah ia
menggedor kesadaran ummat tentang jihad. Katanya, jihad di Afghan adalah
tuntutan Islam dan menjadi tanggung jawab ummat Islam di seluruh dunia.
Seruannya itu tidak sia-sia. Jihad di Afghan berubah menjadi jihad universal yang
diikuti oleh seluruh umat Islam di pelosok dunia. Pemuda-pemuda Islam dari
108
seluruh dunia yang terpanggil oleh fatwa-fatwa Abdullah Azzam, bergabung
dengan para mujahidin Afghan. (www.bicara.muslim.co.uk/mb/).
Jihad di Afghanistan telah menjadikan Abdullah Azzam sebagai tokoh
pergerakan jihad. Peranannya mengubah pemikiran umat Islam akan pentingnya
jihad di Afghanistan telah membuahkan hasil yang sangat mengagumkan.
Abdullah Azzam telah berhasil meletakkan pondasi jihad di hati kaum muslimin.
Komitmen Abdullah Azzam terhadap Islam sangat tinggi. Jihad sudah menjadi
filosifi hidupnya. Sampai akhir hayatnya, ia tetap menolak tawaran mengajar di
beberapa universitas. Ia berjanji terus berjihad sampai titik darah penghabisan.
Mati sebagai mujahid itulah cita-citanya. Wajar kalau kemudian pada masa
hidupnya dialah tokoh rujukan umat dalam hal jihad. Fatwa-fatwanya tentang
jihad selalu dinanti-nantikan kaum muslimin. (www.bicara.muslim.co.uk/mb/).
Tentu saja komitmen yang begitu besar itu telah menimbulkan keresahan
di kalangan musuh-musuh Islam. Beberapa kali Abdullah Azzam menerima
cobaan pembunuhan. Sampai akhirnya pada Jum'at, 24 November 1989. Tiga
buah bom yang sengaja dipasang di gang yang biasa di lewati Abdullah Azzam,
meledak ketika ia memarkir kendaraan untuk shalat jum'at. Syaikh Abdullah
bersama dua orang anak lelakinya, Muhammad dan Ibrahim, meninggal seketika.
Kendaraan Abdullah Azzam hancur berantakan. Anaknya, Ibrahim, terlempar 100
meter; begitu juga dengan lainnya. Tubuh mereka juga hancur. Namun keanehan
terjadi pada Sheikh Abdullah Azzam. Tubuhnya masih utuh bersandar pada
sebuah tembok. Hanya sedikit darah yang mengalir dari bibirnya. (Aga Sekamdo.
2004: 45).
E. Sikap Inggris terhadap pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir
Sejak gerakan dakwah Ikhwan mulai dikenal dalam bentuk menyerukan
ajaran Islam dalam segala bidag kehidupan, semua kekuatan yang ada di Mesir
saat itu mulai cemas. Partai, pemerintah maupun pihak kolonial Inggris, dari
semua kekuatan penentang Ikhwan, secara umum Inggris yang pertama kali
menaruh perhatian terhadap gerakan Ikhwan hal itu nampak jelas ketika Ikhwan
semakin berperan dalam perjuangan pembebasan Palestina. Semua kekuatan
tersebut berkolaborasi untuk melawan gerakan Ikhwanul Muslimin. Berbagai
109
usaha pun dilakukan, diantaranya dengan mencegah semakin meluasnya pengaruh
Ikhwan. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain:
1. Usaha Mempengaruhi Ikhwan
Usaha Inggris untuk mempengaruhi Ikhwan diakukan melalui Jendral
Kleiton dan seorang orientalis bernama Hurt, berbagai usaha dilakukan untuk
mempengaruhi Ikhwanul Muslimin agar mau menerima sejumlah uang dengan
syarat agar mereka membujuk dan meyakinkan setiap elemen bangsa bahwa ideide dan konsep-kosep Jerman dan Italia akan sangat berbahaya bagi perjalanan
kehidupan bangsa Mesir.
Semua bukti-bukti mengindikasikan, tidak beberapa lama setelah
penolakan Hasan Al-Banna atas tawaran tersebut, mulailah terjadi tindakantindakan pemaksaan, penindasan dan penahanan, ekstradisi ke Qana dan
pencabutan lisensi penerbitan majalah yang semua itu terjadi masa kabinet Husain
Sirri sampai akhirnya jatuh dan diganti kabinet Partai Delegasi pada tanggal 4
Februari 1942.
Terjalinnya komunikasi dan eliensi dengan Partai Delegasi atas prakarsa
beberapa Ikhwanyang Al-Sukari dan beberapa orang diberi tugas untuk
melakukan negosiasi dengan Hasan Al-Banna. Negeosiasi tersebut menghasilkan
pencabutan embargo dan pembebasan Hasan AL-Banna untuk aktif kembali
dalam pergerakan. (Richard Paul Mitchell 2005: 92-96).
2. Rencana Pembunuhan Hasan Al-Banna.
Inggris telah melakukan berbagai strategi untuk menumpas organisasi
Ikhwan, diantaranya dengan mempengauhi pemerintah Mesir untuk mengeluarkan
kebijakan untuk membekukan Ikhwanul Muslimin, dan usaha untuk membunuh
Hasan Al-Banna karena mereka memandang bahwa Hasan Al-Banna adalah kunci
utama Ikhwan. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 309).
Pada tahun 1941 M Jendral Claiton yang menjabat sebagai Direktur
Pusat Agen Rahasia Pemerintah Inggris untuk daerah Timur Tengah meminta
untuk bertemu dengan Hasan Al-Banna, dalam pertemuan itu Hasan Al-Banna
memaparkan kehancuran dan kerusakan yang dialami bangsa Mesir dan bangsa
arab akaibat politik penjajahan yang dilancarkan Inggris. Hasan Al-Banna juga
110
menolak kerjasama yang ditawarkan Jendral Claiton juga bantuan-bantuan untuk
Ikhwan jika Hasan Al-Banna mau berkerjasama dengan Inggris. (Jum’ah Amin
Abdul Aziz 2005: 312).
Pemerintah Inggris kemudian merencanakan untuk membunuh Hasan AlBana dengan cara menabrakkan mobil tentara Inggris dengan mobil yang
ditumpangi Hasan Al-Banna sampai tewas, agar nampak seperti kecelakaan biasa.
Konspirasi Inggris tersebut diketahui oleh salah satu anggota Ikhwan (Abdul Latif
Sayid Ahmad) yang bekerja pada salah seorang pejabat Inggris. Abdul Latif Sayid
Ahmad segera memberikan informasi tentang hal tersebut kepada Abdul Hakim
Abidin dan Abdul Hakim Abidin segera menyebarkan berita tersebut kepada
anggota Ikwanul Muslimin yang lain, sehingga pemerintah Inggris tidak jadi
melaksanakan apa yang telah mereka rencanakan tersebut. (Jum’ah Amin Abdul
Aziz 2005: 315).
Pemerintah Inggris kemudian meminta kepada perdana menteri yang
sekaligus Panglima tertinggi Angkatan bersenjata, Husein Sirri Pasya, untuk
memindahkan Hasan Al-Banna ke Qina. Husein Sirri Pasya kemudian mengutus
Menteri Pendidikan yang saat itu dijabat oleh Muhammad Husein Haikal, untuk
memutasikan Hasan Al-Banna. Dr. Muhammad Husein Haikal, dalam bukunya
yang berjudul Mudzakirat fi As-Siyasah Al-Mishriyah, mengakui bahwa mutasi
Hasan Al-Banna ke Propisi Qina berdasarka permintaan pemerintah Inggris.
Keputusa mutasi tersebut tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan pihak
Inggris, yaitu agar Hasan Al-Banna terhenti dan aktivitas organisasi Ikhwan mati,
maka Husein Sirri Pasya menerima tekanan dari wakil partai koalisi, setelah
Abdurrahman Nashir menyatakan menyampaikan pernyataan Menteri Pendidikan
yang isinya bahwa mutasi Hasan Al-Banna itu atas dorongan pihak luar dan tidak
ada hubungan nya
dengan kepentingan pendidikan, maka segera setelah
pernyataan itu keluar Hasan Al-Banna dikembalikan ke Kairo. (Utsman Abdul
Mu’iz Ruslan 2000: 200).
Pemerintahan An-Nuhas dibawah ancaman Pemerintah Inggris pada 4
Februari 1942. An-Nuhas mengeluarkan keputusan untuk menutup seluruh cabang
Al-Ikhwan Al-Muslimun kecuali kantor pusat, keputusan tersebut juga
111
dikeluarkan berdasarkan permintaan pemerintah Inggris. Keputusan tersebut baru
dicabut setelah adanya negosasi atara Hasan Al-Banna dengan An-Nuhas
mengenai pengunduran diri Hasan Al-Banna dari pencalonan anggota parlemen
dengan syarat seluruh kantor cabang Ikhwanul Muslimn dibuka kembali dan
aktivitas organisasi Ikhwan tidak diganggu lagi. Pihak yang sebenarnya melarang
pencalonan Hasan Al-Banna adalah Pemerintah Inggris. (Farid Nu’man 2003:
22).
Pemerintah
telah
melakukan
berbagai
macam
langkah
untuk
melancarkan rencana pembunuhan Hasan Al-Banna. Berdasarkan cerita Abdul
Karim Manshur Langkah-langkah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Menangkap semua anggota Ikhwanul Muslimin kecuali Hasan Al-Banna lalu
memasukkan mereka semua kedalam pejara.
b. Mencabut ijin kepemilikan senjata pribadi yang dimiliki Hasan Al-Banna.
c. Memutuskan saluran telphon Hasan Al-Banna hingga tidak dapat menghubungi
siapapun diluar rumah.
d. Menangkap saudara kandung Hasan Al-Banna, Letnan Abdul Basith, yang
sudah curiga akan adanya rencana pembunuhan terhadap Hasan Al-Banna.
e. Menangkap siapa saja yang mengunjungi Hasan Al-Banna.
f. Menyita kendaraan pribadi yang dipakai Hasan Al-Banna.
g. Menyibukkan dengan negosiasi dan perdamaian antara pihak Hasan Al-Banna
dengan pihak pemerintah.
3. TragediPembunuhan Hasa Al-Banna
Peristiwa pembunuhan Hasan Al-Banna terjadi pada pukul 20. 15 hari
Sabtu malam tanggal 12 Februari 1949. Abdul Karim Manshur yang saat itu
bersama Hasan Al-Banna berangkat ke sekretariat Syubanul Muslimin dengan
maksud untuk menghadiri undangan pemerintah, adapun tujuannya adalah
bernegosiasi antara Ikhwan dengan pemerintah. Hasan Al-Banna dan Abdul
Karim Manshur menunggu di sekretariat Syubanul Muslimin sampai waktu Isya
tapi utusan pemerintah juga belum juga dating, lalu Hasan Al-Banna dan beberapa
orang yang ada mendirikan sholat Isya’, selesai shalat mereka menunggu lagi
112
untukbeberapa lama, utusan itu juga belum dating. (Jum’ah Amin Abdul Aziz
2005: 321).
Hasan Al-Banna kemudian memerintahkan Muhammad Al-Laitsi untuk
memanggil taksi, kemudian mereka keluar dari kantor sekretariat Syubanul
Muslimin menuju jalan Ramsis, waktu menunjukkan pukul 20.15, setelah taksi
datang Hasan Al-Banna dan Abdul Karim Manshur masuk kedalamnya. Tiba-tiba
berdiri dua orang pria didepan mobil, membuka paksa pintu mobil lalu
menembaki Hasan Al-Banna dan Abdul Karim Manshur. Hasan Al-Banna
memanggil Muhammad Al-Laitsi dan mengatakan padanya bahwa nomer polisi
mobil yang dipakai pelaku penembakan adalah 9979. Hasan Al-Banna dan Abdul
Karim Manshur dibawa kerumah sakit Qashrul Aini, mereka ditempatkan dalam
satu kamar ketika mereka sedang menunggu kadatangan dokter tiba-tiba masuklah
Admiral Muhammad Washfi utusan dari kerajaan. Admiral Muhammad Washfi
mengatakan pada dokter yang bertugas kedatangannya adalah sebagai utusan
kerajaan dengan tujuan melihat kondisi Hasan Al-Banna kemudian ia menyuruh
dokter memisahkan antara kamar Hasan Al-Banna dengan Abdul Karim Manshur,
ia juga melarang dokter untuk merawat Hasan Al-Banna sehingga darah nya terus
mengalir hingga ia meninggal dunia. (Jum’ah Amin Abdul Aziz 2005: 323).
113
BAB. V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian di atas, maka diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Awal kehidupan Hasan Al-Banna dibangun atas pemahaman Islam yang
mendalam yang membuatnya berpandangan Islam adalah agama syamil
(universal), kamil (sempurna), dan muatakamil (integral), Islam adalah sistem
yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Hasan Al-Banna
selalu bergaul dan banyak bertanya pada para ulama seputar hakikat pandangan
Islam terhadap persoalan-persoalan yang berkembang dalam kehidupan
masyarakat. Bersamaan dengan itu watak kepemimpinannya juga mulai
kelihatan melalui organisasi-organisasi yang diikutinya disekolah. Rasa
kepedulian, sosial yang tinngi dan rasa cinta tanah air juga dimilikinya.
2. Runtuhnya kekhilafahan Islamiyah tahun 1924 dan kehidupan politik
masyarakat Mesir yang terjadi pada masa remaja Hasan Al-Banna merupakan
faktor yang melatar belakangi pemikiran politik Hasan Al-Banna, sehingga ia
beserta enam temannya berinisiatif untuk mendirikan organisasi Ikhwanul
Muslimin yang berjuang mengembalikan kekhilafahan Islam serta berusaha
mengembalikan kondisi perpolitikan Mesir dalam kondisi yang kondusif.
3. Hasan Al-Banna adalah pemikir terbesar organisasi Ikhwanul Muslimin maka,
pemikiran atau gagasan-gagasannyapun banyak mempengaruhi organisasi
tersebut baik skala internal Ikhwan maupun kebijakan-kebijakan Ikhwan yang
terkait dengan kondisi dalam negeri maupun luar negeri Mesir pada masa itu.
Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Hasan Al-Banna didasarkan pada ajaranajaran Islam.
4. Mesir menjadi titik sentral persebaran Ikhwanul Muslimin karena di Negara
tersebut Ikhwan dilahirkan, kemudian Ikhwan tersebar diberbagai tempat dan
dalam banyak bentuk. Hal ini sesuai dengan konsep tarbiyah Ikhwan yang
tidak membatasi cara tarbiyah itu berlangsung. Diawal persebarannya
mahasiswa dari berbagai penjuru dunia yang belajar di Mesir, terutama di Al-
114
Azar dan Darul Ulum menjadi prioritas utama proses kaderisasi yang
dijalankan oleh Ikhwan sehingga ketika para mahasiswa itu lulus dan kemudian
kembali kenegara masing-masing mereka membawa pengaruh Ikhwan ke
Negara asal mereka. Lalu para mahasiswa tersebut melakukan kaderisasi
lanjutan di Negara mereka.
5. Pengaruh organisasi Ikhwanul Muslimin mulai meluas, rakyat Mesir mulai
percaya dan mendukung tindakan-tindakan yang diambil organisasi tersebut.
Hal itu mengakibatkan kekhawatiran semua kekuatan yang ada di Mesir saat
itu, terutama kolonialis Inggris dan pihak-pihak yang berada dibawah
pengaruhnya terhadap eksistensi Ikhwan. Hal tersebut yang mendorong Inggris
dan anthek-antheknya berusaha membunuh Hasan Al-Banna dengan harapan
dengan terbunuhnya Hasan Al-Banna yang saat itu menjabat sebagai Mursyid
‘Am oraganisasi Ikhwan akan bubar dengan sendirinya. Kaki tangan kolonialis
Inggris pada tanggal 12 Februari 1949 berhasil membunuh Hasan Al-Banna
namun dengan terbunuhnya Hasan Al-Banna tidak menyebabkan oragnisasi
Ikhwan bubar bahkan semangat juangnya dalam memerangi kolonialis semakin
bertambah dan organisasi Ikhwanpun semakin meluas sampai kepenjuru dunia.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat dikemukakan
implikasi secara metodologis, teoretis dan praktis.
1. Implikasi Metodologis
Dalam penelitian ini peneliti mengunakan metode historis yang bertujuan
untuk mengungkap kembali fakta-fakta yang terjadi pada masa lampau (masa
Hasan Al-Banna). Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah teknik
kepustakaan atau studi pustaka. Pada tahap pengumpulan data terutama saat
membahas mengenai perkembangan Ikhwanul Muslimin dinegara-negara Islam
peneliti mengalami kesulitan karena terbatasnya buku-buku Ikhwan yang telah
ditranslit dalam bahasa Indonesia yang membahas mengenai masalah tersebut.
115
2. Implikasi Teoritis
Akhidah dan keimanan agama merupakan titik permulaan metode
perubahan Hasan Al-Banna. Berangkat dari fondasi inlah Al-Banna menekankan
pemikirannya tentang urgensitas peran agama didalam proses perubahan dan
penentuan bidang serta sarana-sarana perubahan yang pokok. Fondasi perubahan
tersebut telah dirangkum oleh Hasan Al-Banna dalam tiga babak perubahan, yaitu:
menyeru pemusatan perubahan dan perbaikan pada pribadi, memusatkan
perubahan dan perbaikan pada keluarga sebagai kelanjutan dari yang pertama,
perbaikan yang mencakup seluruh masyarakat. Setiap babak perubahan itu
mempunyai agenda tertentu dan strategi yang jelas dalam proses perbaikan dan
pembaharuan menuju kearah yang diharapkan sebagaimana yang telah
diimplementasikan dalam lingkaran organisasi Ikhwanul Muslimin sebagai
komponen untuk melakukan proyek perbaikan masyarakat secara keseluruhan
hingga akhirnya dapat ditegakkan pemerintahan yang tegak diatas kaidah Islam.
Dan dikembalikannya sistem kekhilafahan. Untuk menciptakan itu semua maka
sebuah Negara harus bebas dari praktek imperalisme dan kolonialisme barat,
sehingga Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Muslminnya sangat anti pati terhadap
penjajahan dan penindasan yang pada masa itu banyak dilakukan oleh bangsabangsa barat.
3. Implikasi Praktis
Organisasi Ikhwanul Muslimin yang dipelopori Hasan Al-Banna
memandang Islam sebagai sistem hidup paripurna yang mengatur seluruh
kehidupan manusia, termasuk didalamnya mencakup bidang sosial, ekonomi,
pendidikan maupun bidang politik. Dalam prakteknya jelas sekali terliahat
pengaruh ciri khas “Universalisme Islam” (syumul al-Islam) yang diyakini dan
diserukan oleh Hasan Al-Banna dalam metode berpikirnya mengenai perubahan,
baik dari segi bidang maupun dari segi cara-caranya. Sementara itu sifat
keinklusifan dakwah pergerakan dan keanekaragaman permasalahan konkret
waktu itu serta kerumitan dan ketumpangtindihan permasalahan senantiasa
mendorongnya menggunakan baragam cara guna memenuhi sifat inlkusivitas ini
sedapat mungkin. Al-Banna memang mempergunakan cara-cara damai dalam
116
proses perubahan, namun dari segi prinsip tidak menutup kemungkinan
menggunakan kekuatan bersenjata, dalam mengahadapi pejajahan Inggris sebagi
permulaan yang lazim untuk suatu perubahan serta memberikan perlindungan
terhadap konsep perubahan dalam kerangka akhlak yang akan menjauhkannya
secara paksa dari kejerumusan dalam faham oportunistik.
Hasan Al-Banna beserta Ikhwanul Musliminnya juga mengutamakan
aspek tarbiyah (pendidikan) dalam proses pengkaderannya dan hal tersebut
merupakan salah satu kunci keberhasilan pengkaderan Ikhwan. salah satu
karakteristik tarbiyah yang dipahami dan dipraktikkan Ikhwan adalah integral
(takamul) dan holistik (syumul), tarbiyah tidak terbatas pada salah satu apek
kehidupan manusia yang biasanya setiap aspek tersebut menjadi fokus perhatian
para pakar pendidikan.
C. Saran
Dari hasil penelitian di atas, maka peneliti memberikan saran sebagai
berikut:
1. Pada tahap pengumpulan data terutama saat membahas perkembangan
Ikhwanul Muslimin di Negara-negara Arab penulis mengalami kesulitan maka
mohon penerbit dan penerjemah hendaknya menerjemahkan sumber-sumber
sejarah yang masih menggunakan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia
khususnya tentang persebaran Ikhwanul Muslimin dinegara-negara Arab ke
dalam bahasa Indonesia sehingga pembaca di Indonesia mudah memahami
dan mengetahui tentang masalah tersebut.
2. Setiap Muslim hendaknya tidak hanya memperhatikan masalah ibadah saja
namun seorang muslim sebaiknya juga memperhatikan masalah-masalah yang
lain seperti pendidikan, perekonomian, sosial, kebudayaan, politik dan
kenegaraan, sehingga seorang muslim akan memiliki ahidah, pendidikan,
pengaruh sosial (baik di lingkungan sekitar maupun kenegaraan dan
mancanegara) dan fisik yang kuat.
117
3. Pemuda adalah generasi penerus bangsa ia menjadi penentu masa depan bangsa
maka hendaknya setiap pemuda, khususnya pemuda Islam perlu memiliki
bekal pendidikan untuk senantiasa komitmen terhadap nilai-nilai Islam dan
bersemagat untuk mencapai cita-citanya. Pendidikan yang berkesinambungan
dengan norma-norma dan tujuan yang jelas, akan mempersiapkan pemuda
Islam dalam berbagai aspek kehidupan termasuk kesiapan rukhiyah (jiwa),
fikriyah ( pemikiran) dan jasadiyah (fisik). manakala aspek tersebut berjalan
seimbang maka akan tercipta kehidupan yang aman dan sejahtera.
4. Pendidik sebaiknya dalam proses belajar mengajar tidak hanya memfokuskan
perhatiannya pada aspek intelektual saja namun juga pada aspek yang lainnya
seperti aspek moral, sosial dan pemikiran atau rasional karena sesungguhnya
keberhasilan proses terbiyah atau pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
seluruh aspek tersebut.
Download