Ikhwanul Muslimin Kita melihat para penggagas dan orang-orang yang berada di sekitar Ikhwanul Muslimin kita akan temukan bahwa sesungguhnya mereka adalah ahli bid’ah yang telah dibantah. Pembesar mereka berakidah asy’ariyah dan Hasan AlBanna adalah seorang yang berakidah asy ‘ari. Dalam kitabnya “Al’Aqa’id” ia menetapkan 13 sifat bagi Allah yang terbagi menjadi: sifat tujuh yang merupakan sifat ma’ani, sifat lima yang disebut dengan sifat nafsiyah dan sifat wujud. Inilah rumusan akidah asma’ wash shifat dari Asy ‘ari. Dalam memahami sifat dzatiyah Allah seperti tangan, dua mata, wajah, kaki, telapak kaki, kedatangan dan tertawa, mazhab Asy ‘ari memiliki dua prinsip: kalau tidak mentakwil pasti membiarkan maknanya (tafwidh). Mentakwil adalah memaknakan dengan makna yang tidak ditunjukkan lafazhnya, seperti “tangan” diartikan dengan “memberi kenikmatan” atau sifat “marah’ diartikan dengan “pahala.” Adapun membiarkan sifat (tafwidh) adalah tidak mau memberi makna. Misalnya tentang sifat “wajah” dikatakan,”Aku tidak menetapkan sifat wajah”. Lantas, apa maksud firman Allah, “Dan tetap kekal wajah Rabbmu.” (Ar-Rahman :27) Sebenarnya mereka meniadakan sifat ini. Sisi pertama dengan mentakwil dan sisi kedua dengan diam tidak mentakwil, dengan meyakini tidak ada maknanya. Hasan Al-Banna termasuk golongan asy ‘ari di mana ia menetapkan sifat yang tujuh, sifat-sifat negatif yang lima dan sifat nafsiyah. Setelah itu dia memilih jalan yang berbeda dari jalan asy’ari, yaitu jalan membiarkan (tafwidh), serta menggabungkan prinsipnya dengan manhaj salaf. Sebelumnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membantah prinsip tafwidh dengan mantap dan panjang lebar dalam kitabnya “Majmu’Fatawa.” Maka Hasan Al-Banna adalah seorang yang berakidah asy ‘ari yang sesat dan juga seorang sufi sebagaimana dia akui sendiri dalam kitabnya Mudzakirat Da’iyah. Dia Sering menghadiri pertemuan-pertemuan sufi, menghadiri wirid-wirid dan dzikir-dzikir shufiyah, membai’at tarekat Al-Hashafiyah Asy-Syadziliyah. Ia kagum pada kitab-kitab sufi dan la sebutkan dalam bukunya beberapa judul kitab-kitab sufi tersebut, antara lain kitab “Al-Mawahib Al-Laduniyah” (Pemberian Pemberian Langsung dari Allah) karya Al-Qisthilani. Orang-orang yang bergabung bersamanya mengikuti prinsipnya. Ia membentuk Yayasan Al-Hashafiyah yang kemudian diketuai oleh Ahmad ‘Askari atau As-Sukri. Di dalam buku “Mudzakirat” di atas, Hasan Al-banna menyebutkan bahwa Yayasan Al-Hashatiyah yang dibentuknya berubah ke bentuk yang baru iaitu menjadi Ikhwanul Muslimin. Ketika membentuk jama’ah baru ia masih dalam akidah sebelumnya. Setelah itu ia menulis dzikir-dzikir, wirid-wirid dan lain sebagainya supaya Ikhwanul Muslimin punya dzikir khusus sebagaimana tarekat-tarekat yang lain. Ia juga membuka kesempatan bagi tarekat-tarekat sufi yang lain untuk bergabung dan membai’at Ikhwanul Muslimin. Di dalam kitab “Mudzakarat Da’iyah” Hasan AlBanna memuji kalangan shufiyah, pertemuan-pertemuan mereka, dzikir berjama’ah, maulud Nabi, sima’ (mendengar) nyanyian. Pada akhir hayatnya ia sempat membagi-bagikan Kitab-kitab sufi kepada teman temannya. Demikian juga dalam risalah-risalahnya ia membahas asma’wash shifat. Hasan Al-Banna telah menerangkan akidahnya dan menulis untuk pengikut-pengikutnya. Prinsip Pertama: Persatuan Batil Dalam perjalanan hidupnya, Hasan Al-Banna bermukim di negara Mesir yang memiliki banyak partai. Ada partai sekuler, sosialis, dan nasionalis. Ia hendak menyatukan golongan-golongan itu ke dalam wadah Ikhwanul Muslimin. Golongan yang dia ketuai ini hendak mengumpulkan semua golongan dalam satu nama. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya itu adalah suatu “trik politik” Dengan semboyan persatuan ia bermaksud mengumpulkan lawan-lawan dalam akidahnya tersebut. Ia mengikat mereka dengan nama Islam yang umum tanpa melihat pemahaman Islam yang benar dan kewajiban berpegang teguh dengannya. Secara factual ia mempraktekkan prinsip, “Kami sepakat dengan apa yang kita sepakati dan saling memaafkan pada perkara yang kita perselisihkan.” Itulah prinsip pertama Hasan Al-Banna yang merupakan prinsip politik: prinsip persatuan. Umar At Tilmisani dalam bukunya “Dzikriyat Ia Muzdakarat” menyebutkan bahwa manhaj Ikhwanul Muslimin sudah semangkin jauh menyimpang, misalnya saja sampai pada tingkat berupaya menjalin kerja sama dengan Syiah. Ketika ia bertanya kepada Hasan Al-Banna tentang apa sikap kita terhadap Syi’ah, Hasan Al-Banna menjawab, “Syiah seperti empat mazhab yang ada.” Hasan Al-banna menyatukan semua orang yang mengaku Islam apakah mereka berakidah sufi, wihdatul wujud, syi’ah dan rafidhah. Kalau kita melihat hizb yang dia bentuk, tampak seolah penggagasnya hendak membuat sebuah daulah (negara). Dan kita ketahui negara demokrasi di masa kini memberi kebebasan kepada warganya untuk menganut akidah mana saja. Siapapun akan tetap diakui sebagai warga negara selama ia patuh terhadap UU negara. Hasan Al-Banna telah membuat aturan-aturan, organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, kewajiban-kewajiban, bai’at dan larangan-larangan bagi jama ah Ikhwanul Muslimin yang harus dipegang oleh setiap orang yang bergabung di dalamnya. Adapun akidah yang dia inginkan adalah akidah shufiyah, asy’ariyah, atau akidah ta’thil (meniadakan sifat Allah), atau akidah syi’ah. Dia mengharuskan pengikutnya berbai’at dan itu termasuk bagian dari sepuluh rukun (ushul ‘isyrin) yang dia sebutkan dalam risalah-risalahnya. Seolah-olah ia hendak mendirikan negara. Bahkan kita pernah menjumpai sebagian anggota Ikhwanul Muslimin tidak melaksanakan shalat seperti disebutkan oleh Abbas As-Sisi. Konon ia pernah mendatangi sekelompok anggota Ikhwanul Muslimin dalam satu pertempuran, la berkata, “Kami hendak shalat asar akan tetapi tidak ada satu pun dan mereka yang mengerjakan shalat. Adalah Shalah Syadi sedang berpergian dan banyak orang membuat kerusuhan dengan bom dan mereka melakukannya di atas kapal, la berkata, “salah seorang di antara mereka tidak shalat.” Dalam bukunya “Dzikriyat La Mudzakkarat? At Tilmisani berkata, “Seorang saudagar kaya yang masih minum arak minta bai’at kepada Hasan Al-Banna dan ia dibai’at serta dimasukkan ke dalam keanggotaan Ikhwanul Muslimin! Mencukur jenggot, menjulurkan pakaian di bawah mata kaki dan mendengarkan musik adalah tidak apa-apa menurut Ikhwanul Muslimin. Bahkan boleh saja hal itu dilakukan terang-terangan. Mereka mempunyai persediaan dana yang banyak untuk membeli alat musik yang baru sebagaimana disebutkan dalam kitab “Dzikriyat Laa Mudzakkarat.” Jadi para pengikutnya boleh melakukan apa saja, asal tetap patuh pada perintah jama’ah. Ini mirip negara, mereka tidak menyerukan Islam, mereka menyeru untuk membentuk negara. Orang-orang yang menyerukan Islam haruslah menyeru kepada satu akidah yang benar, kepada satu peribadatan, sesuai dengan dalil. Adapun mereka tidak demikian. Tata cara shalat anggota Ikhwanul Muslimin berbeda-beda. Ada yang mencukur jenggot, ada yang tidak. Ada yang shalat berjamaah dan ada yang tidak. Ada yang berakidah asy ‘ari, ada yang syiah dan lainnya, semuanya masuk ke dalam Ikhwanul Muslimin, persis seperti negara demokrasi. Urusan yang paling penting adalah bai’at kepada Hasan Al-banna, patuh loyal kepada bendera Ikhwanul Muslimin, patuh kepada keluarga besar Ikhwanul Muslimin, taat, melaksanakan tugas ang dirancang oleh jama’ah dan imam. Dengan demikian tujuan yang paling besar adalah agar setiap orang menjadi Ikhwanul Muslimin. Prinsip Kedua: Bai at Bai’at Ikhwanul Muslimin adalah bai’at shufiyah dan bai’at kemiliteran, sebagaimana yang telah ditetapkan Hasan Al-Banna ketika menerangkan rukun bai’at yang sepuluh. Ia menerangkan bahwa bai’at ini adalah bai’at shufiyah dan militer. Ikrarnya berbunyi, “Mendengar, taat, tidak merasa berat, ragu dan bimbang.” Sebelum membentuk jama’ah Ikhwanul Muslimin ia telah membai’at dengan cara sufi yang ia sebutkan dalam kitabnya “Mudzakarat Da’iyah” la telah membai’at Syaikh Hashafiyah, setelah itu ia membentuk Ikhwanul Muslimin dan mengadopsi manhajnya ke dalam jama’ahnya. Bahkan istilah “mursyid ‘am” yang menjadi gelar Al-Banna diambil dan istilah sufi, yang berarti “wali yang sempurna.” Sebagian orang memang menggelarinya ‘mursyid” dalam kitab-kitab shufiyah. Semua kitab itu ada pada saya dan telah saya teliti. Dan ternyata memang sebutan “mursyid” berasal dari istilah orang-orang sufi. Hasan Al-Banna telah memilih sebutan ini untuk dirinya, demikian pula para penggantinya menggunakan gelar yang sama. Bai’at mereka dibagi menjadi dua macam: Pertama, bai’at shufiyah yang mengharuskan taat seratus persen kepada guru dan pemimpin. Umar At Tilmisani berkata dalam bukunya ‘”Dzikriyat La Mudzakkarat” “Seorang di hadapan Hasan Al Banna harus seperti mayat di depan orang yang memandikannya.” Ini termasuk syiar shufiyah yang berbunyi, “Mendengar dengan pendengaran Al-Banna dan melihat dengan penglihatan Al-Banna.” Yang berarti mengharuskan taat, tidak boleh melanggar. Kedua, bai’at militer. Bai’at ini mengharuskan seseorang ta’at kepada pemimpin dalam jihad, peperangan dan yang berkaitan dengannya sebagaimana yang telah disebutkan di muka bahwa Jama’ah Ikhwanul Muslimin adalah jama’ah shufiyah dan militer. Gejala militerismenya nampak jelas kerika pada tahun 1940 M. Hasan Al-Banna membentuk tanzhim (organisasi sayap) khusus bagi Ikhwanul Muslimin. Anggotanya dibai’at (sumpah setia) kepada pemimpin (Hasan Al-Banna) dengan mushaf Al-Qur’an. Bila pemimpin memberikan instruksi untuk membuat keributan atau melakukan pembunuhan, maka harus dilaksanakan. Demikianlah hari-hari yang mereka lalui. Mereka membunuh dan membantai manusia. Hal ini disebutkan oleh Mahmud Ash-Shabagh dalam bukunya “Tanzhim Khash.” Mahmud menyebut beberapa contoh gerakan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin seperti kerusuhan, pembunuhan, demonstrasi, pembunuhan polisi/tentara pemerintah dan rakyat jelata, serta cerita-cerita lainnya dari liku-liku mereka yang panjang. Saya akan sebutkan satu kasus yang menunjukkan aktivitas kemiliteran dari Ikhwanul Muslimin. Pernah ditemukan lembaran-lembaran dokumen yang berisi rencana menggulingkan pemerintahan Faruq dalam aksi Tanzhim Rahasia Ikhwanul Muslimin. Tak disangka dokumen ini terbuka dalam mobil jip. Lalu pihak pemerintah menciduk orang-orang yang namanya tersebut dalam tanzhim rahasia itu. Mendengar anak buahnya diciduk, Hasan Al-Banna mengutus seseorang melalui As-Sindi –As-Sindi adalah pemimpin “tanzhim khusus” yang melaksanakan perintah-perintah langsung dari Hasan Al-Banna. Kepemimpinan Hasan Al-Banna dalam organisasi adalah langkah politik praktis yang diketahui kebanyakan orang, sedangkan “Tanzhim Khusus” adalah sayap militer yang melakukan manuver-manuver yang diperintahkan ketua umum. Jadi menurut Al-Banna, dialah yang memberi tugas-tugas kepada As-Sindi dalam kedudukannya sebagai ketua umum. Ia sendiri pernah mengutus seseorang untuk menggoyang pemerintah yang menyimpan dokumen rahasia milik Ikhwanul Muslimin. Caranya dengan meletakkan sebuah tas koper berisi bom di sisi lemari yang menyimpan dokumen tersebut. Ia (utusan Al-Banna) meletakkan kopernya dan pergi. Lalu seorang lelaki kini melihat tas itu dan mengambilnya. Maka si utusan mengikuti orang ini untuk meminta kopernya kembali (supaya disangka bahwa ia lupa membawa kopernya sendiri). Ketika lelaki itu melihat utusan Hasan Al-Banna ia terus berjalan. Kemudian utusan Al-Banna berlari di belakangnya dan berteriak, “Lemparkan koper itu, ada bom di dalamnya!” Maka lelaki itu melemparkan koper tersebut, dan meledaklah bom. Seketika itu juga lelaki itu mati karena terkena ledakan bom. Publik bertanya-tanya tentang kejadian tersebut –karena sudah diketahui bahwa yang ingin diambil adalah dokumen yang terdapat dalam lemari rahasia. Sementara utusan Al-Banna mengingkari kalau ia punya hubungan dengan Ikhwanul Muslimin. Beberapa media menuduh bahwa kejadian itu didalangi oleh Ikhwanul Muslimin. Dalam Koran Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna membuat siaran pers bahwa ia berlepas diri dan kejadian itu dan menyatakan bahwa perbuatan itu bukan dari Islam. Mahmud Ash-Shabagh berkata, utusan Al-Banna tadi ketika diperlihatkan kepadanya Koran yang memberitakan Ikhwanul Muslimin menyatakan bahwa disebabkan perbuatanmu kamu bukan orang Islam lagi. Ia pun mengaku dan berkata, “Mereka telah menipuku, merekalah yang mengutusku agar meledakkan bom, sekarang mereka mengkafirkanku.” Akan tetapi lelaki itu tidak mengerti maksud Hasan Al-Banna, karena ucapan Hasan Al-Banna tidak seperti yang dipahaminya. Ucapan itu dimaksudkan Al-Banna sebagai ucapan dalam kondisi perang, sedangkan perang adalah tipu daya, kata Mahmud Ash-Shabagh. Yakni Hasan Al-Banna berdusta dalam siarannya. Ia berkeyakinan hidup dalam negeri perang dan dengan begitu ia telah mengkafirkan negeri yang la tempati. Jadi orang pertama yang mencetuskan masalah mengkafirkan daulah/negara adalah Hasan AlBanna, bukan Sayyid Quthub. Dialah yang mengorganisir “tanzhim khusus’ setelah mengkafirkan rnegara dan berusaha menggulingkan kepala negara. Mahmud AshShabagh mengabarkan kepada kita bahwa Hasan Al-Banna memandang peperangan adalah tipu daya dan peperangan hanyalah dilancarkan kepada orang-orang kafir……….