Pelindungan Cagar Budaya Bawah Air dalam Kajian Analisis Hukum

advertisement
Pelindungan Cagar Budaya Bawah Air
dalam Kajian Analisis Hukum
Asyhadi Mufsi Batubara
Prodi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari
Email : [email protected]
Abstrak : Hasil penelitian UNESCO menyebutkan bahwa terdapat ± 3000 situs kapal karam di perairan
Indonesia. Pernyataan ini juga diperkuat oleh posisi strategis negara kepulauan Indonesia yang berada
pada jalur persilangan dua benua dan dua samudera, sehingga sejak dahulu telah berperan sebagai jalur
perdagangan internasional yang ramai dilayari. Kondisi dan potensi ini merupakan berkah sekaligus
menjadi masalah. Kasus pencurian benda muatan kapal tenggelam (BMKT) di perairan Indonesia telah
berlangsung sejak awal perkembangan arkeologi bawah laut di era 70-an, dan masih berlangsung hingga
saat ini. Melihat potensi dan permasalahan cagar budaya bawah air yang semakin menghawatirkan, maka
sangat diperlukan landasan hukum yang kuat untuk melindunginya. Ketika hukum dan perundangan cagar
budaya bawah air tidak cukup kuat untuk melindunginya, maka Indonesia yang kaya benda cagar budaya
bawah air akan kehilangan banyak data sejarah. Tulisan ini akan mengulas undang-undang yang terkait
dengan cagar budaya bawah air dan menawarkan beberapa poin kritik yang dapat dijadikan acuan dalam
merevisi undang-undang tersebut.
Kata kunci: BMKT, perundangan, arkeologi, bawah laut.
Abstract : # TGUGCTEJ D[ 70'5%1 ſPFU VJCV VJGTG CTG v UJKRYTGEM UKVGU KP +PFQPGUKCP YCVGT
VGTTKVQT[6JKUſPFKPIYCUCNUQUWRRQTVGFD[VJGHCEVVJCV+PFQPGUKCKUNQECVGFDGVYGGPVJGETQUUKPIUQH
two oceans and continents. Hence, Indonesian water territory has become a strategic international trade
route for centuries. This condition is an advantage and a problem as well. Since the 70’s until now, a lot of
shipwreck sites robbery cases had happened. Considering those potentials and the threats on the Indonesian
underwater cultural heritage, the need for strong law enforcement is inevitable. Without the strong law
enforcement, Indonesian will lose most of its invaluable historical data. This writings will reviews the
laws regard to the underwater cultural heritage and then propose some critical points for future revisions.
Key words: Underwater cultural heritage, law, Archeology, underwater.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia memiliki wilayah laut yang lebih luas
dibandingkan wilayah daratan. Terbukti dari
keseluruhan luas wilayah Indonesia yang terbentang
sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan
5COWFTC 2CUKſM CFCNCJ NCWV 9KNC[CJ NCWV
yang mendominasi, serta posisi strategis yang berada
di antara jalur persilangan dua benua, menjadikan
wilayah perairan Indonesia pada masa lalu ramai
dilayari kapal-kapal asing. Kondisi ini tercatat di
berbagai sumber sejarah, baik catatan para penjelajah
Eropa maupun informasi dari utusan kekaisaran
China seperti Ma Huan, I Tsing, maupun Laksamana
Ceng Ho yang menyebutkan bahwa sejak abad ke-5
M perairan Nusantara merupakan jalur pelayaran
dagang internasional (Reid, 2011: 5). Kapal-kapal
berlayar dari wilayah Mediterania, India, dan Afrika
48
menuju bandar-bandar di perairan Nusantara untuk
mencari rempah-rempah, kapur barus maupun emas
di Pulau Sumatera. Wilayah Nusantara pada masa lalu
dikenal dengan istilah negeri di bawah angin. Istilah
ini juga merujuk pada suatu wilayah yang memiliki
jenis rempah yang paling mahal dan langka: cengkeh,
pala, dan bunga pala (Turner, 2011: 29).
Ahli sejarah lain seperti Reid dalam bukunya
Southeast Asia in the Age of Commerce (1450-1680),
memaparkan bahwa wilayah Indonesia pada kurun
niaga merupakan wilayah yang lalu lintasnya paling
sibuk. Banyak bandar-bandar yang ramai disinggahi
kapal-kapal asing mulai dari Aceh hingga Maluku
(Reid, 2011: 18). Para penjelajah dan pedagang
Arab juga banyak memberitakan dalam catatancatatan tentang ramainya perairan Nusantara dan
kekayaan alamnya yang luar biasa. Beberapa catatan
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, Hal 48-57
penjelajah Arab seperti yang dtuliskan oleh Masudi
(890-956 M) mengatakan bahwa, tidak ada kerajaan
lain yang memiliki lebih banyak sumber daya alam
dan komoditas ekspor dibanding wilayah ini. Harta
mereka antara lain adalah kapur barus, pohon gaharu,
cengkih, kayu cendana, buah pinang, bunga pala,
kemukus, dan sebangsanya. Terbukti dari catatan
para penjelajah bangsa Eropa, China, dan Arab ini,
perairan Nusantara memang benar pernah menjadi
jalur perdagangan internasional yang ramai pada masa
itu (Turner, 2011: 30).
Sea network atau jaringan lalulintas laut perairan
Nusantara terbentuk atas kebutuhan terhadap
komoditas-komoditas yang paling dicari di masa itu,
yakni rempah, emas dan hasil hutan yang unik dan
langka. Perdagangan merupakan proses pertukaran
komoditas yang beragam antar satu bangsa dengan
bangsa lain yang memiliki kebudayaan berbeda-beda.
Wilayah Nusantara hadir sebagai surga hasil hutan dan
rempah-rempah yang paling dicari di seluruh dunia,
dan hal inilah yang kemudian melayarkan ribuan
kapal di atas perairan Nusantara. Kondisi ini juga
berdampak pada tumbuh dan berkembangnya kotakota pelabuhan seperti Sriwjiaya, Batavia, maupun
Makassar pada kurun waktu yang berbeda-beda. Pada
abad ke-7 M muncul Kerajaan Sriwijaya yang terkenal
memiliki armada laut raksasa yang sengaja dibentuk
untuk menguasai jalur pelayaran strategis di sepanjang
perairan Sumatera. Ramainya arus lalulintas laut
menjadikan Kerajaan Sriwijaya lebih tergantung dari
pola perdagangan dan pembayaran pajak pelabuhan
dari pada pertanian dan hasil hutan (Pusat Kajian
Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara, 2003:
69). Sedangkan pada abad ke-16 M muncul Batavia
yang juga mengandalkan posisi strategisnya sebagai
sentral dan pusat transit perdagangan. Di sana
gudang-gudang rempah, galangan perbaikan kapal
dan pelabuhan-pelabuhan besar dibangun untuk
memenuhi kebutuhan perdagangan dan pelayaran
(Knaap, 1996: 87).
Beberapa arsip di negara-negara Eropa dan
China mencatat bahwa proses kurun niaga ini
berlangsung selama ratusan tahun. Selain itu pada
laporan-laporan arsip tersebut juga tercatat bahwa
banyak kapal dagang yang tenggelam di sepanjang
wilayah perairan Indonesia. Penyebab tenggelamnya
kapal bisa diakibatkan oleh berbagai macam faktor,
seperti misalnya badai, perang, maupun karena
kelalaian awak kapal (Utomo, 2008: 18). Pernyataan
ini semakin kuat dengan data Kementerian Kelautan
dan Perikanan yang menyebutkan bahwa terdapat
sekitar 493 titik kapal karam di sepanjang perairan
Indonesia yang berisi benda muatan kapal tenggelam
(selanjutnya disebut dengan BMKT). Titik-titik
ini tersebar dari Sabang hingga Merauke. Akan
tetapi berdasarkan data yang dikumpulkan oleh
UNESCO menyebutkan bahwa ada lebih dari 3.000
titik kapal tenggelam yang berisi BMKT di perairan
Indonesia. Dari jumlah titik kapal karam yang diduga
mengandung BMKT yang begitu melimpah, tentu
akan mengundang berbagai macam persoalan, baik
pencurian maupun perusakan. Beberapa contoh
kasus pengangkatan BMKT terjadi pada tahun 1985,
yakni pengangkatan pada kapal Geldermalsen milik
VOC yang tenggelam di perairan Haliputan, Tanjung
Pinang, serta kasus pengangkatan BMKT di perairan
Cirebon pada April 2004 sampai Agustus 2005
(Utomo, 2008: 30).
Dari hasil pengangkatan BMKT di perairan
Cirebon yang dilakukan P.T. Paradigma Putra
Sejahtera bekerja sama dengan seorang kolektor
asing bernama Michaele Hatcher, maka pada 5
Mei 2010 telah berhasil dilelang ± 271.381 benda
muatan kapal tenggelam. Akibat dari pelelangan ini
banyak bermunculan protes dari publik, terutama
kalangan pecinta budaya dan arkeolog. Kasus-kasus
serupa sebenarnya telah banyak terjadi diperairan
Nusantara, namun banyak yang tidak diketahui oleh
publik. Misalnya saja pengangkatan kapal Tek Sing
pada tahun 1999 oleh Hatcher yang juga dianggap
ilegal oleh sebagian besar pemerhati hukum dan cagar
budaya, namun bisa lepas dari jeratan hukum. Melihat
kasus-kasus tersebut, maka muncul satu pertanyaan
besar, ada apa dengan undang-undang kita? Apakah
kita belum mempunyai hukum yang mengatur
serta melindungi persoalan pengangkatan ataupun
RGOCPHCCVCP $/-6 UGECTC URGUKUſM! 1NGJ MCTGPC
itu tulisan ilmiah ini mencoba menguak sekelumit
persoalan tinggalan cagar budaya bawah air dalam
analisis hukum. Kiranya kajian sederhana ini bisa
49
Batubara, Pelindungan Cagar Budaya Bawah Air dalam Kajian Analisis Hukum
memberikan pemahaman dan pembuka pemikiran
masyarakat yang masih awam mengenai perundangan
dan perlindungan cagar budaya bawah air.
1. Analisis Hukum Cagar Budaya Bawah Air
Sebagai Negara kepulauan dengan wilayah laut
seluas 5,8 juta Km2 yang di dalamnya terkandung
sumber daya laut hayati dan non hayati yang
berlimpah, maka dibutuhkan undang-undang yang
memayungi dan melindungi wilayah maritim
Indonesia berikut sumber daya di dalamnya. Adapun
dasar hukum yang
pertama dibentuk setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya
adalah Undang-Undang Dasar 1945. Namun hukum
[CPI UGECTC URGUKſM OGP[CPIMWV DKFCPI MGNCWVCP
khususnya cagar budaya bawah air baru muncul
ketika Deklarasi Juanda ditandatangani Perdana
Menteri Juanda pada 13 Desember 1957. Deklarasi
Juanda dicetuskan untuk memperjuangkan hak-hak
kelautan Indonesia di mata hukum internasional.
Perjuangan panjang itu akhirnya terwujud dengan
ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut PBB
(UNCLOS) pada 10 Desember tahun 1982 (Djalal,
2010: 17).
Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS)
berperan sangat penting dalam pelindungan wilayah
Indonesia yang berbentuk kepulauan. Berdasarkan
pengakuan internasioanl tersebut, Indonesia telah
diberikan kewenangan wilayah laut seluas 12 mil
dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 200 mil (Djalal,
Tabel 1. Perbandingan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 terkait Tingalan
Bawah Laut/Air.
50
Undang-Undang No. 5 Tahun 1992
Pasal 1ayat (2). Situs adalah lokasi yang mengandung
atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk
lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010
Pasal 1 ayat (5). Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang
berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya sebagai hasil
kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
Pasal 6 ayat (1). Benda Cagar Budaya dapat dimiliki
atau dapat dikuasai oleh setiap orang dengan tetap
memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini
Pasal 12 ayat (1). Setiap orang dapat memiliki dan/atau
menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan
tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan undang-undang ini.
Pasal 6 ayat (2). a. Dimiliki atau dikuasai secara turun
temurun atau merupakan warisan.,b. jumlah untuk setiap
jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh
negara.
Pasal 12 ayat (2). Setiap orang dapat memiliki dan/atau
menguasai Cagar Budaya apabila jumlah dan jenis Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya dan/atau Situs Cagar
Budaya telah memenuhi kebutuhan negara.
Pasal 6 ayat (4). Warga negara asing, yang dapat
memiliki atau dikuasai adalah hanya benda cagar budaya
sebagaimana pada pasal 6 ayat (2) dikuasai secara turun
temurun dan jumlahnya banyak dan sebagian telah dikuasai
Negara
Pasal 14 ayat (1). Warga negara asing dan/atau badan
hukum asing tidak dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar
Budaya, kecuali warga negara asing dan/atau badan hukum
asing yang tinggal menetap di wilayah Negara kesatuan RI
Pasal 7 ayat (3). Ketentuan mengenai tata cara pengalihan
dan pemberian imbalan sebagaimana dimaksud, ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 17 ayat (1). Setiap orang dilarang mengalihkan
kepemilikan Cagar Budaya peringkat nasional, provinsi,
atau kabupaten kecuali dengan izin Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota.
Pasal 12 ayat (1). Setiap orang dilarang mencari benda cagar
budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya
dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau
dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari pemerintah.
Pasal 26 ayat (4). Setiap orang dilarang melakukan
pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya
dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan
di darat dan/atau di air kecuali dengan izin pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 15 ayat (2). Tanpa izin pemerintah setiap orang
dilarang; membawa benda cagar budaya ke luar wilayah
Republik Indonesia.
Pasal 68 ayat (1). Cagar Budaya, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya, hanya dapat dibawa ke luar wilayah
RI untuk kepentingan penelitian, promosi budaya dan/atau
pameran.
Pasal 26 ayat (1). Barang siapa sengaja merusak, membawa,
memindahkan tanpa izin pemerintah dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan denda setingitingginya 100 juta.
Pasal 109 ayat (1). Setiap orang tanpa izin menteri,
membawa Cagar Budaya ke luar wilayah RI sebagaimana
dimaksud pasal 68, dipidana penjara minimal enam bulan dan
denda paling sedikit 200 juta.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, Hal 48-57
2010: 25). Kewenangan ini sangat memungkinkan
bagi Indonesia untuk mengelola serta melindungi
ruang-ruang laut, dasar laut (bawah laut), dan ruang
di atas lautnya. Ruang laut Indonesia, baik di atas
maupun bawah laut mempunyai nilai yang sangat
strategis. Misalnya pada ruang di bawah laut terdapat
ribuan kapal karam dengan BMKT yang bernilai
histori dan ekonomis. Namun prospek pengelolaan
dan pelindungan benda berharga dasar laut Indonesia
belum banyak diselidiki dan dimanfaatkan (Djalal,
2010: 39).
Sejauh ini terdapat beberapa landasan hukum
yang digunakan dalam melindungi dan memanfaatkan
cagar budaya bawah air, namun seperti permasalahan
yang diajukan pada tulisan ini, apakah landasan
hukum cagar budaya bawah air tersebut cukup kuat
dan sesuai? Selanjutnya persoalan tersebut dapat kita
lihat dari analisis hukum cagar budaya bawah air di
bawah ini.
1. 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 dan
Nomor 11 Tahun 2010
Sebelum Undang-Undang No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya dikeluarkan, perundangan
yang mengatur perihal Benda Cagar Budaya
adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1992. Antara
kedua perundangan ini terdapat perbedaan yang
EWMWR UKIPKſMCP FKOCPC 7PFCPI7PFCPI 0Q
11 Tahun 2010 lebih mengangkat pembahasan
pelindungan cagar budaya bawah air dibanding
Undang-Undang No. 5 Tahun 1992. Adapun
pemaparan perbedaan keduanya dalam hal
pelindungan tinggalan bawah laut tersaji di Tabel 1.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 dalam
pasal-pasalnya telah jelas menyebutkan tentang cagar
budaya bawah air. Hal ini terlihat pada penjelasan
mengenai situs dan benda cagar budaya pada pasal 1.
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1992
dalam penjelasannya mengenai situs belum begitu
menekankan perhatiannya pada cagar budaya bawah
air. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun
1992 mengenai pencarian disebutkan, “setiap orang
dilarang mencari benda cagar budaya atau benda
berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan
cara pengalihan, penyelaman, pengangkatan, atau
dengan cara lainnya, tanpa seizin dari pemerintah”.
Barulah pada pasal 12 Undang-Undang No. 5 Tahun
1992 mulai disinggung mengenai cagar budaya bawah
air baik berupa shipwreck ataupun BMKT-nya,
dengan menyebut kata ‘penyelaman’, sedangkan
dalam pasal-pasal sebelumnya terkait cagar budaya
bawah air sama sekali tidak disebutkan. Berbeda
dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 yang
sejak pasal-pasal awalnya telah menjelaskan mengenai
keberadaan dan posisi cagar budaya bawah air dalam
pelindungan hukum.
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun
1992 mengenai pencarian menegaskan, bahwa
pengangkatan tanpa seizin pemerintah akan dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya 100 juta. Apabila
dibandingkan dengan Undang-Undang No.11 Tahun
2010, sanksi (efek jera) yang diberikan tidak jauh
berbeda, penjara selama-lamanya 10 tahun dan denda
setingi-tingginya 1,5 miliar. Ketentuan lain UndangUndang No. 5 Tahun 1992 tidak memaparkan pasal
lain terkait cagar budaya bawah air, walaupun pada
masa-masa sebelumnya telah banyak terjadi kasus
pencurian BMKT di perairan Indonesia.
Pada pasal 14 ayat (1) menegaskan bahwa warga
negara asing dilarang memindahkan atau membawa
benda cagar budaya termasuk tinggalan cagar budaya
bawah air keluar dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Namun pada pasal 17, dan 67
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 ditambahkan
kalimat “kecuali dengan izin menteri, gubernur,
bupati/walikota”. Pasal-pasal sebelumnya jelas telah
melarang pengangkatan, penguasaan, pencurian dan
membawa, namun pada pasal 17 diberikan ruang abuabu untuk penguasaan dan membawa cagar budaya
bawah laut apabila ada surat izin dari menteri,
gubernur, bupati/walikota. Tidak mengherankan
apabila Hatcher dalam beberapa wawancara bersama
media tidak merasa melakukan pencurian, walaupun
seluruh publik Indonesia telah menghujatnya sebagai
pencuri.
Michael Hatcher menyebut dirinya sebagai
arkeolog maritim yang suka bisnis barang antik.
#MVKſVCURGPECTKCPJCTVCMCTWP[CPIFKCNCMWMCPVGNCJ
51
Batubara, Pelindungan Cagar Budaya Bawah Air dalam Kajian Analisis Hukum
50% (lima puluh persen) dari hasil kotor/bruto,
sisanya merupakan hak perusahaan.
Merujuk pada Keppres No. 43 Tahun 1983
di atas, kemungkinan perdagangan BMKT dalam
bentuk pelelangan sudah dimuali sejak tahun 1983.
Cukup jelas bahwa benda cagar budaya bawah air
masih dijadikan lahan pencarian keuntungan dan
masih diangap sebagai harta karun yang menggiurkan,
bukan dianggap sebagai benda warisan budaya
yang bernilai sejarah dan ilmu pengetahuan. Lantas
bagaimana dengan Keppres sejenis yang dikelurkan
pada waktu kemudian, yakni Keppres No. 12 Tahun
2009. Apakah lebih tegas dan memihak kepada
pelindungan cagar budaya bawah air?
1. 2. Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1992
Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2009
merupakan perubahan atas Keputusan Presiden
No. 19 Tahun 2007 mengenai Panitia Nasional
Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT. Peraturan
ini mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945
pasal 4 ayat (1) dan undang-undang No. 17 Tahun
1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut
Internasional Tahun 1982 (UNCLOS), dan masih
mengacu pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1992.
Undang-Undang terkait lainnya adalah UndangUndang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan dan
Kelautan, Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi
Daerah). Beberapa pasal dalam Keppres No. 12
Tahun 2009 yang patut kita analisa antara lain sebagai
berikut:
x Pasal 2 ayat (1), BMKT merupakan benda yang
dikuasai Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan dikelola oleh Pernerintah.
x Pasal 2 ayat (2), BMKT memenuhi unsur-unsur:
a) Nilainya sangat penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayan bangsa Indonesia.
b) Sifatnya memberikan corak khas dan unik. c)
Jumlah dan jenisnya sangat terbatas dan langka.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di
bidang benda cagar budaya, BMKT dinyatakan
menjadi milik negara.
Sebelum kita beranjak pada Keppres No. 12
Tahun 2009 terkait pengangkatan dan pemanfaatan
BMKT ada baiknya terlebih dahulu kita merujuk pada
Keppres pendahulunya yakni Keppres No. 25 Tahun
1992. Keppres No. 25 Tahun 1992 adalah peraturan
pemerintah yang dikeluarkan mengenai pembagian
hasil pengangkatan BMKT antara pemerintah dengan
perusahaan (P.T.) terkait. Pada pasal 1 Keppres No.
25 Tahun 1992 disebutkan, bahwa benda muatan
kapal tenggelam dianggap sebagai benda cagar
budaya yang dilarang diperjualbelikan dan harus
diserahkan kepada Negara. Kemudian pada pasal
2, berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Undang-Undang No. 5
Tahun 1992) diperbolehkan dijual asal dimuka umum
dan dengan perantara kantor lelang Negara atau balai
lelang internasional setelah memperoleh persetujuan
panitia nasional (selanjutnya disebut PANNAS)
sebagaimana dimaksud dalam Keppres No. 43 Tahun
1983. Selanjutnya hasil penjualan benda berharga
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibagi antara
pemerintah dengan perusahaan (P.T.) terkait dengan
bentuk perhitungan sebagai berikut:
x 50% (lima puluh persen) dari hasil kotor/bruto,
diperuntukkan bagi Pemerintah dan harus
disetor ke Kas Negara.
52
x
banyak diberitakan di berbagai media internasional.
Misalnya pada percetakan Inggris, Hamish Hamilton
Ltd., yang mempublikasikan kisah petualangan dan
temuan Hatcher bertajuk “The Nanking Cargo”,
sebutan untuk kargo kapal VOC Geldermalsen
yang berisi barang-barang berharga hasil transaksi
perdagangan VOC di Nanking, China (Kompas,
4 September 2009). Berdasarkan analisis UndangUndang No. 5 Tahun 1992 dan Undang-Undang No.
11 Tahun 2010, serta dikaitkan dengan beberapa kasus
pengangkatan BMKT di perairan Indonesia, maka
muncul sebuah pertanyaan besar yang patut kita
renungkan, apakah Undang-Undang No. 11 Tahun
2010 cukup kuat untuk melindungi cagar budaya
bawah air kita? Atau jangan-jangan tidak ada bedanya
dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992?
1. 3. Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2009
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, Hal 48-57
Adapun PANNAS adalah panitia nasional
yang dalam hal ini bertugas dalam pengangkatan dan
pemanfaatan BMKT yang selanjutnya diatur pada
pasal 4;
x Ayat (1), PANNAS BMKT mempunyai tugas:
a) Mengkoordinasikan kegiatan departemen
dan instansi lain yang berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan BMKT, b) Menyiapkan peraturan
perundang-undangan dan penyempurnaan
kelembagaan di bidang pengelolaan BMKT,
c) Memberikan rekomendasi mengenai izin
survei, pengangkatan, dan pemanfaatan BMKT
kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan,
d) Menyelenggarakan koordinasi kegiatan
pemantauan, pengawasan, dan pengendalian atas
proses survei, pengangkatan dan pemanfaatan
BMKT, e) Menyampaikan laporan tertulis
pelaksanaan tugas paling sedikit 1 (satu) tahun
sekali kepada presiden.
x Ayat (2), PANNAS BMKT memanfaatkan
BMKT yang tidak dinyatakan sebagai milik
negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
x Ayat
(3), Dalam melaksanakan tugasnya,
PANNAS BMKT dapat mengundang dan/
atau meminta pendapat dan instansi pemerintah
dan/atau pihak lain.
Dari uraian peraturan perundangan di atas
jelas terlihat apa yang dimaksud dengan BMKT
berikut kriterianya dan juga disebutkan mengenai
pembentukan
PANNAS
yang
menangani
sekaligus bertanggung jawab pada pengangkatan
dan pemanfaatan BMKT. Namun dalam kasus
pengangkatan kapal Cirebon yang dimulai dari
tahun 2004 sampai 2005, dan kemudian hasilnya
dilelang di Balai Lelang Christie, Belanda pada
tahun 2010, kemungkinan besar PANNAS ikut
serta di dalamnya. Demikian juga dengan kasus
sebelumnya, yakni pengangkatan kapal Tek Sing
Cargo yang juga dipimpin Hatcher pada tahun 19971998 di Selat Galasa Bangka-Belitung, PANNAS juga
kemungkinan terlibat dengan mengeluarkan surat
izin pengangkatan (Utomo, 2008: 22).
Kasus-kasus penggangkatan atau pencurian
BMKT yang terjadi di perairan Indonesia cukup
sering menghebohkan dunia Internasional dan
banyak dikecam publik. Bagaimana mungkin benda
bersejarah sebanyak ±450.000 buah tiba-tiba sudah
diangkat ke Australia oleh Hatcher tanpa diketahui
oleh pihak instansi yang bertanggung jawab.
Akhirnya sejumlah ±450.000 buah benda bersejarah
lalu dipaketkan ke dalam 43 kontainer untuk
diangkat ke Balai Lelang Negel Auction di Stuttgart,
Jerman (Utomo, 2008: 22). Publik Indonesia untuk
kesekian kalinya hanya bisa mengecam melihat
kasus pencurian BMKT yang benilai sejarah dan
ilmu pengetahuan. Kasus pencurian dan pelelangan
BMKT seperti ini masih terus berlangsung, bahkan
menjadi tren tersendiri bagi para pencari harta karun
seperti Hatcher, dimana perairan Nusantara sering
diibaratkan bagai toko tanpa penjaga.
1.4. Peraturan
PMK.06/2009
Menteri
Keuangan
No.184/
Peraturan yang dikeluarkan oleh menteri
keuangan ini menyangkut tentang tata cara penetapan
status penggunaan dan penjualan benda berharga
asal muatan kapal tenggelam yang merujuk pada
perundangan: Undang-Undang No. 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya. Keputusan Presiden No.
19 Tahun 2007 juga termasuk tentang pembentukan
PANNAS BMKT sebagaimana termuat dalam pasalpasal Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2009, sebagai
berikut:
Pasal 1, ayat:
x (2) Benda Berharga Asal Muatan Kapal
Yang Tenggelam, yang selanjutnya
disebut BMKT, adalah benda berharga
yang memiliki nilai sejarah, budaya,
ilmu pengetahuan, dan ekonomi, yang
tenggelam di wilayah perairan Indonesia,
zona ekonomi eksklusif Indonesia dan
landas kontinen Indonesia, paling singkat
berumur 50 (lima puluh) tahun.
x (3) Barang Milik Negara, selanjutnya
disebut BMN, adalah semua barang yang
dibeli dari APBN atau berasal dan perolehan
lain yang sah.
53
Batubara, Pelindungan Cagar Budaya Bawah Air dalam Kajian Analisis Hukum
Pasal 2
Maksud dan tujuan diterbitkannya Peraturan
Menteri Keuangan ini adalah untuk mewujudkan
kepastian hukum dalam penetapan status
penggunaan dan penjualan BMKT secara tertib,
terarah, dan akuntabel untuk meningkatkan
penerimaan negara dan/atau sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.
Pasal 4, ayat:
x (1) Menteri Keuangan, Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata, dan Menteri Kelautan dan
Perikanan melakukan penanganan hasil
pengangkatan BMKT sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
x (2)
Pelaksanaan
penanganan
hasil
pengangkatan BMKT
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dapat
dikoordinasikan dengan Kementerian
Negara/Lembaga, PANNAS BMKT,
Pemerintah
Provinsi,
Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan/atau pihak terkait
lainnya.
Pasal 5, ayat:
x (1) Dalam rangka penanganan hasil
pengangkatan
BMKT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Menteri
Keuangan memiliki kewenangan sebagai
berikut: a) Menetapkan status penggunaan
BMKT berstatus BMN, b) Memberikan
persetujuan pelaksanaan penjualan BMKT
berstatus BMN non koleksi negara, c)
Memberikan persetujuan pelaksanaan
penjualan BMKT berstatus selain BMN.
x (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara fungsional dilaksanakan
oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
Pasal 7;
Persetujuan pelaksanaan penjualan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
b diberikan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 8;
Persetujuan pelaksanaan penjualan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c
diberikan berdasarkan permohonan dari
54
Menteri Kelautan dan Perikanan.
Berdasarkan pemaparan pasal-pasal yang
dikeluarkan Kementrian Keuangan terkait posisi
BMKT dan proses penjualannya, jelas tidak memihak
kepada pelestarian dan pelindungan, namun justru
lebih pada pencarian keuntungan ekonomi. Peraturan
Menteri Keuangan ini juga masih berpatokan pada
Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang sangat
sedikit mengangkat dan memperhatikan cagar
budaya bawah air. Pada sisi lain, dapat juga dilihat
bahwa antara Undang-Undang
Cagar Budaya,
Keppres No. 25 dan Keppres No. 12 terkait BMKT,
dan Peraturan Menteri Keuangan justru terkesan
tumpang tindih. Peraturan yang tumpang tindih ini
dapat menimbulkan kerancuan dan kekacauan di
lapangan, alhasil tidak dapat melindungi cagar budaya
bawah air.
2. Konvensi Internasional Pelindungan Tinggalan
Bawah Laut/Air Tahun 2001
Konferensi
PBB tentang hukum laut
(UNCLOSS) Tahun 1982, mewajibkan Negara
-pihak yang memiliki warisan budaya bawah lautuntuk melindunginya walaupun tidak disebutkan
UGECTCURGUKſM/CTCMP[CRGEWTKCP$/-6FKDGTDCICK
belahan dunia memaksa PBB untuk mengeluarkan
konvensi internasional terkait aturan mendasar dalam
rangka pelestarian terhadap cagar budaya bawah air.
Konvensi diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun
2001 di Paris (UNESCO, 2001).
Adapun prinsip-prinsip umumnya antara lain
adalah:
1. Negara
pihak konvensi berjanji untuk
melindungi warian budaya bawah air dan
dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia.
2. Cagar budaya bawah air dilarang untuk
dieksploitasi secara komersil untuk perdagangan
dan spekulasi.
Prinsip-prinsip pelestarian in situ diatur
pada bagian tertentu yang disebut “ANNEX”
berisi peraturan mengenai kegiatan-kegiatan yang
diarahkan pada cagar budaya bawah air, yaitu skema
operasi untuk intervensi bawah air yang diakui secara
internasional sebagai dokumen acuan dalam disiplin
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, Hal 48-57
Foto 1. Gambaran potensi dan permasalahan cagar budaya bawah air di Indonesia
(Sumber: http://divetowreck.blogspot.com).
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan
jumlah situs kapal karam terbanyak, justru belum
OGTCVKſMCUK MQPXGPUK 70'5%1 #RCDKNC
meninjau peraturan yang dikemukakan dalam
konvensi, secara umum tidak ada yang merugikan,
namun justru sangat menguntungkan Indonesia
arkeologi bawah air (UNESCO, 2001).
Konvensi pelindungan cagar budaya bawah air
2001 menetapkan standar pelindungan cagar budaya
DCYCJCKTDCIKUGOWCPGICTC[CPIVGNCJOGTCVKſMCUK
sekaligus secara otomatis hanya berlaku pada negaraPGICTC [CPI VGNCJ OGTCVKſMCUK MQPXGPUK +PFQPGUKC
Tabel 2. Hasil pengangkatan BMKT kapal Cirebon. Sumber: Utomo, 2008: 35.
No
Bahan
1
Logam
2
Batuan
3
Tanah Liat
4
5
6
Kaca
Kayu
Lain-lain
Jumlah
Jenis
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
Emas
Perunggu
Besi
Tembaga
Timah
Perak
Koin
Batu
Manik-manik
Pipisan
Ruby
Sapphire
Manik Coral
Manil Lapoz Lazuli
Lapiz Lazuli
Tembikar
Keramik
Artefak berbahan kaca
Frg. Kapal
Gading
Tulang/gigi
Tanduk
Rempah-rempah
Bongkahan
8QLGHQWL¿HOG
Jumlah
¾ 2
¾ 252
¾ 16
¾ 51
¾ 9.926
¾ 18
¾ 4.950
¾ 50
¾ 970
¾ 21
¾ 103
¾ 127
¾ 503
¾ 110
¾ 723
¾ 35.819
¾ 256.943
¾ 3.067
¾ 19
¾ 59
¾ 281
¾ 10
¾ 28
¾ 39
¾ 76
314.171
55
Batubara, Pelindungan Cagar Budaya Bawah Air dalam Kajian Analisis Hukum
Foto 2. Benda Cagar Budaya hasil pengangkatan kapal Cirebon
(Sumber: http://penjelajahbahari.blogspot.com).
sebagai negara yang memiliki banyak sumber BMKT.
Sanksi hukum yang ditetapkan sangat melindungi,
sehingga akan mampu membuat pencari harta karun
seperti Hatcher berpikir dua kali sebelum melakukan
pengangkatan. Disamping itu, konvensi juga akan
mendorong sumber daya manusia Indonesia lebih giat
dan serius mengurusi BMKT-nya. Namun mengapa
+PFQPGUKC DGNWO OGTCVKſMCUK MQPXGPUK KPVGTPCUQPCN
perlindungan bawah air tahun 2001?
3. Studi Kasus: Pengangkatan BMKT Kapal
Cirebon
Pada surat kabar Jakarta Pos tertanggal 30
april 2010 halaman 2, disebutkan bahwa Menteri
Kelautan Fadel Muhammad akan melelang artefak
dari BMKT yang tenggelam di perairan Cirebon
senilai 10 jt dolar AS berupa 271 keping artefak
berharga. Pengangkatan bekerja sama dengan seorang
bandit laut bernama Michael Hatcher yang diduga
telah melakukan pencurian serupa pada 2.306 BMKT
dan menjualnya ke pasar gelap dan investor asing.
Pernyataan ini diungkapkan oleh Dirjen Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Sularso.
pada Kamis 29 April 2010 Kasus pengangkatan BMKT
di Cirebon yang dilakukan oleh P.T. Paradigma
Putra Sejahtera (PPS) bekerjasama dengan Hatcher,
dinilai sebagai kegiatan ilegal. Namun dalam proses
hukum ternyata P.T. Paradigma Putra Sejahtera
mampu menunjukkan surat izin melalui SK Menteri
Kelautan dan Perikanan No.Kep.B.59/MENKP/
II/2004, tertanggal 19 Februari 2004. Menteri
Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi (ketika
56
itu) yang sekaligus menjabat sebagai Ketua PANNAS
BMKT, menilai kegiatan P.T. PPS dan Hatcher di
perairan Cirebon adalah sah dan sesuai dengan aturan
main yang ditetapkan PANNAS BMKT. Namun di
sisi lain, pihak kepolisian tetap menganggap kegiatan
tersebut melanggar hukum dengan merujuk pada
Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya (ketika itu) dan PP No. 10 Tahun
1993. Perbedaan persepsi masing-masing instansi
justru semakin menimbulkan kebingungan dalam
perlindungan cagar budaya bawah air. Daftar jenis
barang muatan kapal Cirebon yang telah diangkat
dan terdata, tersaji di Tabel 2.
Kesimpulan dan Catatan
Meskipun PANNAS BMKT sudah dibentuk
cukup lama, serta telah tersedia payung hukum
yang melindungi serta mengatur pengangkatan dan
pemanfaatan cagar budaya bawah air, namun masih
sering terjadi ketidaksesuaian pengangkatan BMKT
di Indonesia, serta banyak dipengaruhi kepentingan
ekonomi pribadi. Berikut beberapa persoalan yang
dipandang perlu untuk segera dibenahi oleh semua
stakeholder termasuk pihak pengusaha/investor:
1.
Belum terciptanya harmonisasi dan sinkronisasi
peraturan perundangan terkait cagar budaya
bawah air, sehingga sering saling tumpang
tindih.
2.
Belum tersedianya data yang lengkap dan akurat
terkait lokasi koordinat situs kapal karam
beserta BMKT-nya yang terdapat di perairan
Indonesia.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, Hal 48-57
3.
4.
5.
6.
Belum terlaksananya tindakan monitoring dan
evaluasi pasca pengangkatan dan pemanfaatan
cagar budaya bawah air yang sesuai dengan
kaidah arkeologi.
Belum
tegasnya
peraturan
perundangundangan dalam hal pelindungan dan prosedur
pemanfaatan cagar budaya bawah air, termasuk
tata cara pelaksanaan pelelangan yang sesuai
konvensi internasional.
Sanksi hukum yang kurang tegas pada peraturan
perundangan terkait cagar budaya bawah air.
Undang-Undang Cagar Budaya No.11 Tahun
2010 kiranya segera mengeluarkan PP terkait
dengan pasal-pasal di dalamnya, khususnya
pelindungan cagara budaya bawah air.
7.
8.
9.
10.
Minimnya kuantitas dan kualitas arkeolog,
mahasiwa arkeologi dan pihak terkait lainnnya
dalam kajian maritim dan bawah air (menyelam,
keahlian ekskavasi, dan konservasi bawah air).
Minimnya kegiatan sosialisasi perundangan
terkait tinggalan cagar budaya bawah air kepada
masyarakat umum, khususnya pada masyarakat
pesisir.
Belum dikeluarkannya undang-undang kelautan.
$GNWO FKNCMWMCPP[C TCVKſMCUK MQPXGPUK
internasional pelindungan cagar budaya bawah
air tahun 2001.
Daftar Pustaka.
Anwar, Chairul. 1989. Hukum
Internasional. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Bowens, Amanda. 2009. The NAS Guide to Pinciples:
Under WaterArcheology. Porthsmouth.
Djalal, Hasjim. 2010. Negara Kepulauan Menuju
Negara Maritim. Lembaga Laut Indonesia.
Jakarta.
Knaap, J Gerrit. 1996. Shallow Waters, Rising Tide.
KITLV Press. Leiden.
Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia
Tenggara. 2003. Sejarah Maritim Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Reid, Anthony. 1993. Southeast Asia in the Age of
Commerce, 1450 1680. Vol.11. Expansion
and Crisis. New Haven. Yale University
Press.
Turner, Jack. 2011. Sejarah Rempah: Dari Erotisme
Sampai Imprealisme. Komunitas Bambu.
Depok.
Utomo, Bambang Budi. 2008. Kapal Karam Abad
Ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon. Panitia
Nasional Pengangkatan BMKT. Jakarta.
Perundangan dan Hukum Internasional
Hukum Laut Internasional Tahun 1982 (UNCLOS)
Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1992
Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2009
Konvensi Internasional Perlindungan Cagar Budaya
Bawah Air Tahun 2001
Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK. 06/2009.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya
Anonim, Majelis umum PBB sesi 53 Dokumen
456/Samudera dan Hukum Laut - Laporan
Sekretaris Jenderal, Hal-61. 1998
Harian Kompas edisi 4 Sepetember 2009
http://formalcbc.wordpress.corn/2008/04/07/bcb-diperairan-cirebon/
www.budpar. go. id
www.jakartapos .com
http;//divetowreck.blogspot.com
http;//penjelajahbahari.blogspot.com
57
Download