distribusi sel insulin pankreas pada tikus hiperglikemia yang

advertisement
DISTRIBUSI SEL INSULIN PANKREAS
PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA
YANG DIBERI DIET TEMPE
EKA DENIK INDAH FUSPITA RUNIANA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Distribusi Sel Insulin
Pankreas pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Diet Tempe adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
Eka Denik Indah Fuspita Runiana
NRP B04052558
ABSTRACT
EKA DENIK INDAH FUSPITA RUNIANA. Distribution of Pancreatic
Endokrine Cells on Hypperglychaemic Rat After Treatment of Tempe Diet. Under
direction of EKOWATI HANDHARYANI and ADI WINARTO
The objective of this research is to understand the curative potential of
tempe diet on distribution of pancreatic endocrine cells on hypperglichaemic rat
after of streptozotocin (STZ). There were 12 male Sprague-Dawley rats which
were used in this study. The rats were divided into 4 groups that K1 (control
group); K2 (untreated diabetic group); T1 (diabetic tempe 1 treated group); T2
(diabetic tempe 2 treated group). On the day 7 after inducing STZ, tempe diet
were given to the treated diabetic groups up to day 21st. At the end of this
research all rats were sacrificed and pancreatic tissues were histopathologically
processed. In this research Hematoxylin and Eosin staining was used to evaluate
the pancreatic endocrine cell change and insulin cell population was studied by
immunostaining using antibody anti insulin. The results indicate that the
pancreatic endocrine cell degeneration and insulin cell population of tempe
treated groups were improved after tempe consumption.
Keywords: pancreas, insulin, hypperglychaemic, tempe.
RINGKASAN
EKA DENIK INDAH FUSPITA RUNIANA. Distribusi Sel Insulin Pankreas pada
Tikus Hiperglikemia yang Diberi Diet Tempe. Dibimbing oleh EKOWATI
HANDHARYANI and ADI WINARTO
Menurut data World Health Organization (WHO), Indonesia menempati
urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia. Pada tahun
2000 terdapat sekitar 5.6 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes.
Namun pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia
meningkat tajam menjadi 14 juta orang, dimana baru 50% yang sadar
mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30% yang datang berobat teratur.
Komplikasi diabetes melitus terjadi pada semua organ dalam tubuh yang dialiri
pembuluh darah kecil dan besar dengan penyebab kematian 50% akibat penyakit
jantung koroner dan 30% akibat gagal ginjal. Selain kematian, diabetes melitus
juga menyebabkan kecacatan. Sebanyak 30% penderita diabetes melitus
mengalami kebutaan akibat komplikasi retinopati dan 10% harus menjalani
amputasi tungkai kaki.
Pola hidup yang sehat dengan makanan yang terkontrol dapat menekan
munculnya penyakit diabetes melitus. Selain sayuran dan buah, tempe juga
merupakan makanan sumber protein nabati yang memiliki komposisi asam amino
yang tinggi. Badan kesehatan dunia (WHO) bahkan mengakui bahwa tempe
sebagai makanan berkhasiat yang dapat mencegah dan mengatasi berbagai
penyakit. Hal inilah yang menjadi dasar peneliti untuk mengetahui tentang
pengaruh diet tempe terhadap distribusi sel insulin pankreas pada tikus yang
menderita diabetes melitus setelah diinduksi dengan steptozotocin (STZ).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian diet tempe
terhadap distribusi sel insulin pankreas pada keadaan hiperglikemia dari tikus
model diabetes dengan induksi streptozotocin (STZ). Sebanyak 12 ekor tikus
jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley berumur 8 minggu digunakan
pada penelitian ini. Tikus dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu K1 (kontrol), K2
(diinduksi STZ), T1 (diinduksi STZ dan diberi diet tempe mengandung arginin
1.4%) dan T2 (diinduksi STZ dan diberi diet tempe mengandung arginin 1.6%).
Pada hari ke-7 pasca induksi STZ dilakukan pemberian diet tempe setiap hari
sampai hari ke-21. Pada hari ke 21 pasca pemberian STZ dilakukan nekropsi,
dilanjutkan dengan pembuatan preparat histopatatologi.
Evaluasi histopatologi dilakukan terhadap perubahan dan populasi sel
endokrin pankreas di dalam pulau Langerhans menggunakan pewarnaan
hematoksilin dan eosin (HE) serta pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi
anti insulin. Hasil pengamatan histopatologis pada K1 terlihat adanya keteraturan
susunan sel endokrin yang menyebar memenuhi pulau Langerhans dengan ukuran
sel yang seragam dan bentuk sitoplasma terlihat proporsional terhadap besar inti
serta tidak mengalami perubahan (normal). Sedangkan pada K2 menunjukkan
adanya lesio pada pulau Langerhans berupa degenerasi sel-sel endokrin, dan
beberapa sel menunjukkan nekrosa.
Gambaran histopatologis menunjukkan perubahan morfologi pankreas
pada T1 yang tidak berbeda nyata dengan K1. Perbedaan yang nyata terjadi pada
T1 terhadap K2 dan T2 terhadap K1, tetapi T2 tidak berbeda nyata dengan K2.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian diet tempe mampu memperbaiki lesio sel
endokrin khususnya sel beta akibat induksi STZ, sehingga sekresi insulin dapat
ditingkatkan.
Pengamatan dengan imunohistokimia dilakukan secara deskriptif dengan
melihat populasi dan tampilan kadar reaksi Ag dan Ab sel beta yang mengalami
perubahan. Reaksi positif keberadaan insulin pada sel-sel beta ditunjukkan dengan
perubahan yang berwarna coklat pada sel-sel tersebut. Distribusi sel beta pada K2
lebih sedikit jika dibandingkan dengan K1, sesuai dengan hasil pewarnaan HE
bahwa sebagian besar sel-sel beta mengalami degenerasi-nekrosa setelah
pemberian STZ. Perusakan STZ terhadap sel beta mengakibatkan sel mengalami
apoptosis bahkan sampai nekrosis, sehingga proses biosintesis dan sekresi insulin
terhambat.
Pemberian diet tempe T1 mampu meningkatkan persentase distribusi sel
beta yang aktif menghasilkan insulin. Jumlah sel beta yang menunjukkan reaksi
positif merupakan indikasi aktifitas sekresi insulin yang dihasilkan. Sekresi
insulin pada T1 meningkat mendekati K1, sedangkan pada T2 meningkat
mendekati K2. Penurunan jumlah sekresi insulin oleh sel beta bisa disebabkan
oleh degenerasi sel beta sehingga mengakibatkan penurunan fungsi dari sel beta
yang akan mempengaruhi produksi sekresi insulin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian diet tempe dapat
memperbaiki degenerasi dan nekrosa sel endokrin pankreas yang terjadi pada
tikus model diabetes. Evaluasi dengan metode imunohistokimia menunjukkan
bahwa pemberian diet tempe dapat meningkatkan populasi sel insulin pankreas.
Kata kunci : pankreas, insulin, hiperglikemia, tempe.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DISTRIBUSI SEL INSULIN PANKREAS
PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA
YANG DIBERI DIET TEMPE
EKA DENIK INDAH FUSPITA RUNIANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Skripsi
Nama
NRP
: Distribusi Sel Insulin Pankreas pada Tikus
Hiperglikemia yang Diberi Diet Tempe
: Eka Denik Indah Fuspita Runiana
: B04052558
Disetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Dr. drh. Ekowati Handharyani, MS.
NIP. 19591217 198601 2001
Pembimbing II
Dr. drh. Adi Winarto
NIP. 19580516 198601 1001
Diketahui
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Dr. Nastiti Kusumorini
19621205 1987032 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Tidak ada kata yang terucap selain alhamdulillahhirobbil’alamin
atas segala petunjuk dan kemudahan-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat
penulis selesaikan dengan baik. Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang
telah memberikan lindungan, bimbingan, dan kasih sayang serta limpahan
rahmat
dan
hidayah-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan
penyusunan skripsi ini yang berjudul ”Distribusi Sel Insulin Pankreas pada
Tikus Hiperglikemia yang Diberi diet Tempe” yang disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak dan Ibu tercinta Kasruni, SP dan Hartatik yang selalu
memberikan doa, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis.
2. Dr. drh. Ekowati Handharyani, MS. dan Dr. drh. Adi Winarto sebagai
dosen pembimbing yang telah dengan sabar meluangkan waktu
memberikan bimbingan, didikan dan perhatian kepada penulis hingga
terselesainya skripsi ini.
3. Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSc. sebagai dosen penguji yang
bersedia meluangkan waktu untuk menilai dan memberikan masukan
dalam skripsi ini.
4. Dr. drh. Dewi Ratih Agungpriyono sebagai dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan semangat, motivasi dan nasehat
selama penulis kuliah.
5. Pak Soleh, Pak Kasnadi, dan Pak Endang selaku staf di Laboratorium
Patologi yang telah banyak membantu selama penulis melakukan
penelitian.
6. Teman seperjuangan dalam penelitian ini, Mas Dian, Vita, Rista, Rezi
dan Destri atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penulis dapat
melakukan penelitian yang sangat bermanfaat ini.
7. Dek Novy, Dek Reka, Nadya, Mbah Kakung, Mbah Putri dan Om
Agus sebagai keluarga penulis yang sangat mendukung dan
memberikan semangat dan doanya.
8. Sabto Agung Kurniawan, S.KH atas iringan doa, bimbingan, motivasi
dan bantuannya baik secara moral maupun material.
9. Keluarga Cempaka 29 Rista, A’Tedi, Teh Fini, A’Keke, Ria dan
Excel.
10. Teman-teman Goblet 42, Ornith, IMPATA dan pihak-pihak yang
sudah banyak membantu penulis.
Penulis menyadari adanya kekurangan-kekurangan dalam tulisan
ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Eka Denik Indah Fuspita Runiana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Magetan pada tanggal 29 Mei 1986. Penulis
adalah putri pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Kasruni, SP
dan Ibu Hartatik. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah
Dasar Negeri Krowe 1 Lembeyan pada tahun 1993, kemudian melanjutkan
pendidikan di SLTP Negeri 1 Magetan dan lulus pada tahun 2002. Pada
tahun 2005 penulis menyelesaikan studi dari SMU Negeri 1 Magetan, dan
pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah lulus Tahap
Persiapan Bersama (TPB) penulis masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor dengan pilihan pertama.
Selama studi di IPB penulis aktif mengikuti beberapa organisasi
intra dan ekstra kampus antara lain: anggota Divisi Pendidikan Himpunan
Profesi Ornithologi dan Unggas tahun 2006-2007, Ketua Himpunan
Profesi Ornithologi dan Unggas periode 2007-2008, Forum Mahasiswa
Indonesia Tanggap Flu Burung (FMITFB) sebagai duta profesi, dan dalam
Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) IMPATA (Ikatan Mahasiswa,
Pelajar dan Alumni Magetan) sebagai Bendahara.
Selama studi di IPB penulis juga mendapatkan bantuan beasiswa
institusi, yaitu berupa beasiswa Gerakan Kakak Asuh (GAKA) tahun
2006, beasiswa Peningkatan Kesejahteraan Mahasiswa FKH tahun 20062008, beasiswa BBM tahun 2007-2009, dan beasiswa Penulisan Skripsi
tahun 2009.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................xiiii
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................... 1
Tujuan ....................................................................................... 2
Manfaat ..................................................................................... 2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes Melitus ........................................................................3
Penyebab Diabetes Melitus ............................................. 4
Macam Diabetes Melitus .................................................4
Gejala Klinis Diabetes Melitus .........................................6
Diagnosa Diabetikum ..................................................... 6
Komplikasi Diabetes Melitus ......................................... 7
Pengobatan Diabetes Melitus ....................................... 9
Kelenjar Pankreas ....................................................................11
Anatomi Fisiologis Kelenjar Pankreas ...........................11
Macam Sel Pulau Langerhans Pankreas ........................12
Insulin ............................................................................13
Streptozotosin (STZ) ...............................................................15
Tempe ......................................................................................16
Kandungan pada Tempe ................................................17
Khasiat dan Manfaat Mengkonsumsi Tempe ................19
III. MATERI DAN METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................21
Hewan Penelitian .....................................................................21
Materi Penelitian ..................................................................... 21
Metode Penelitian ....................................................................22
Pembuatan Tempe...........................................................22
Tikus Model Diabetes......................................................22
Metode Penelitian ...........................................................23
Pengukuran Kadar Gula Darah ......………....................24
Pengambilan Organ Pankreas ……………....................24
Pembuatan Preparat Histopatologi ………....................25
Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ………................25
Pewarnaan Imunohistokimia ……………….................26
Parameter Pengamatan ............................................................27
x
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Keberhasilan Pembuatan Model Diabetes……………28
Kadar Gula Darah ....................................................................29
Pengamatan Organ Pankreas dengan Pewarnaan
Hematoksilin Eosin ...................................................................31
Pengamatan Insulin dengan Pewarnaan Imonohistokimia .......35
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .............................................................................. 38
Saran .........................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 39
LAMPIRAN .................................................................................... 43
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Kriteria diagnostik gula darah pada manusia ..................................... 7
2
Tipe sel pada pulau Langerhans …………………………..………..12
3
Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 g bahan
segar dan 100 g bahan kering ........................................................... 18
4
Kelompok perlakuan tikus ............................................................... 23
5
Tingkat keberhasilan pembuatan model diabetes ............................ 28
6
Rataan kadar gula darah pada kelompok tikus ................................. 29
7
Pengamatan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia............ 34
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Penyuntikan STZ di peritoneum .......................................................23
2
Tikus dalam kandang metabolisme ....................... ........................... 24
3
Rataan kadar gula darah pada hari ke-7 dan 21
pascainduksi STZ ............................................................................ 30
4
Gambaran histopatologi pankreas .....................................................32
5
Gambaran histopatologi pankreas .................................................... 33
6
Gambaran histopatologi pankreas .....................................................35
7
Gambaran histopatologi pankreas ..................................................... 36
xiii
LAMPIRAN
Halaman
1
Skema prosedur pembuatan tempe ....................................................42
2
Proses preparasi jaringan .. ............................................................... 43
3
Proses pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) .....................................44
4
Pewarnaan imunohistokimia .............................................................45
5
Kadar gula darah pada hari ke-7 dan 21 pasca induksi STZ ...........46
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak orang yang masih mengganggap penyakit diabetes merupakan
penyakit orang tua atau penyakit yang hanya timbul karena faktor keturunan.
Padahal setiap orang dapat mengidap diabetes, baik tua maupun muda.
Menurut data World Health Organization (WHO), Indonesia menempati urutan
ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia. Pada tahun 2000
terdapat sekitar 5.6 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes. Namun
pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat
tajam menjadi 14 juta orang, dimana baru 50% yang sadar mengidapnya dan di
antara mereka baru sekitar 30% yang datang berobat teratur (Soegondo 2006).
Pada saat ini banyak penderita diabetes melitus yang tidak menyadari
dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit gula atau kencing
manis. Hal ini mungkin disebabkan minimnya informasi di masyarakat tentang
diabetes melitus terutama gejala-gejalanya. Mereka yang memiliki resiko tinggi
terkena diabetes adalah yang memiliki riwayat keluarga mengidap diabetes
melitus, memasuki usia di atas 40 tahun, kegemukan, tekanan darah tinggi, selain
tentu saja pola makan yang salah. Umumnya penderita diabetes melitus
mengetahui dirinya mengidap diabetes setelah terjadi komplikasi.
Ancaman diabetes melitus terus membayangi kehidupan masyarakat.
Sekitar 12–20% penduduk dunia diperkirakan mengidap penyakit ini dan setiap
10 detik di dunia orang meninggal akibat komplikasi yang ditimbulkan.
Komplikasi diabetes melitus terjadi pada semua organ dalam tubuh yang dialiri
pembuluh darah kecil dan besar dengan penyebab kematian 50% akibat penyakit
jantung koroner dan 30% akibat gagal ginjal. Selain kematian, diabetes melitus
juga menyebabkan kecacatan. Sebanyak 30% penderita diabetes melitus
mengalami kebutaan akibat komplikasi retinopati dan 10% harus menjalani
amputasi tungkai kaki. Bahkan diabetes melitus membunuh lebih banyak
dibandingkan dengan HIV/AIDS (Soegondo 2006).
2
Pada saat ini diabetes melitus merupakan masalah kesehatan dunia yang
menghinggapi hampir seluruh lapisan masyarakat dunia. Menurut Renold (1982)
tidak kurang dari 30 juta penduduk dunia mengidap penyakit ini dan makin
bertambah sesuai bertambahnya panjang harapan hidup. Di negara maju diabetes
melitus merupakan problem utama. Penyakit ini seperti rayap, bekerja diam-diam
merusak organ di dalam tubuh sehingga sering disebut sebagai “The Silent Killer”.
Gejala diabetes melitus tidak menakutkan, seperti banyak makan (polifagi),
banyak minum (polidipsi), dan kencing banyak (poliuri) sehingga dengan gejala
seperti itu orang tidak pergi ke dokter. Sebaliknya jika tidak mau makan dan susah
kencing, baru orang pergi ke dokter.
Pola hidup yang sehat dengan makanan yang terkontrol dapat menekan
munculnya penyakit diabetes melitus. Selain sayur-sayuran dan buah-buahan,
tempe juga merupakan makanan sumber protein nabati yang memiliki komposisi
asam amino yang tinggi. Bahkan World Health Organization (WHO) mengakui
bahwa tempe sebagai makanan berkhasiat yang dapat mencegah dan mengatasi
berbagai penyakit (Avidra 2008).
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian diet tempe
terhadap distribusi sel insulin pankreas pada tikus hiperglikemia setelah diinduksi
dengan streptozotocin (STZ).
1.3 Manfaat
Memberikan wawasan pada masyarakat tentang manfaat tempe yang
mengandung asam amino sebagai alternatif makan obat yang berkasiat mengatasi
kejadian hiperglikemia, sehinggga diharapkan dengan banyak masyarakat yang
mengonsumsi makanan yang memiliki protein tinggi ini, ancaman risiko penyakit
diabetes melitus dapat diatasi dengan biaya yang terjangkau.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus berasal dari kata Yunani diabainein, "tembus" atau
"pancuran air", dan kata Latin mellitus, "rasa manis" yang umum dikenal sebagai
kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglisemia (peningkatan
kadar gula darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan
(Anonim 2007). Menurut Tim FKUI (1999) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron.
Diabetes melitus terjadi jika tubuh tidak menghasilkan insulin yang cukup
untuk mempertahankan kadar gula darah yang normal atau jika sel tidak
memberikan respon yang tepat terhadap insulin (Soegondo 2006; Irianto 2004).
Diabetes melitus yaitu keadaan hiperglikemia menahun yang akan mengenai
seluruh sistem, dan merupakan hasil interaksi antara lingkungan dan benih.
Keadaan ini disebabkan adanya faktor yang menghambat kerja insulin atau jumlah
insulin menurun.
Banyak faktor penyebab diabetes melitus, diantaranya faktor genetik, faktor
infeksi, faktor toksisitas, faktor nutrisi, faktor stres, faktor obat dan hormon, faktor
penyakit pankreas dan faktor kemalasan (Ranakusuma 1992). Sedangkan menurut
Guyton (1997) faktor herediter sering juga menyebabkan timbulnya diabetes
melalui peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus
atau mempermudah perkembangan antibodi autoimun melalui sel-sel beta,
sehingga mengarah pada penghancuran sel-sel beta. Selain itu obesitas juga
merupakan salah satu penyebab terjadinya diabetes melitus karena obesitas dapat
menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam sel target insulin di seluruh tubuh,
sehingga membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam
meningkatkan efek metabolik insulin yang biasa.
4
2.1.1 Penyebab Diabetes Melitus
Diabetes
melitus
disebabkan
oleh
gangguan
metabolisme
yang
menghambat aktivitas insulin, antara lain pada kasus peningkatan aktivitas
glukagon atau produksi insulin yang kurang. Kekurangan insulin disebabkan oleh
perubahan degeneratif dari sel-sel beta, penurunan efektifitas hormon dan tumor
endokrin yang menyebabkan penurunan sekresi hormon. Perubahan degeneratif
dari sel beta pankreas sering merupakan akibat sekunder adanya peradangan pada
bagian eksokrin. Lesio degeneratif seperti vakuolisasi sitoplasma akibat akumulasi
glikogen dalam sel, sering ditemukan pada kasus resistensi insulin.
Menurut Misnadiarty (2006) berpendapat bahwa dengan meningkatnya
umur, maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada
usia lanjut berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya
massa otot, penyakit penyerta dan penggunaan obat-obatan sehingga terjadi
penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Penyebab diabetes lainnya
adalah: kadar kortikosteroid yang tinggi, kehamilan (diabetes gestasional) yang
akan hilang setelah melahirkan, obat-obatan yang dapat merusak pankreas dan
racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin (Anonim 2007).
2.1.2 Macam Diabetes Melitus
Menurut Misnadiarty (2006), diabetes melitus diklasifikasikan menjadi
dua tipe yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe 1
disebut dengan insulin-dependent diabetes (IDDM, "diabetes yang bergantung
pada insulin"), atau diabetes anak-anak dimana penderita menghasilkan insulin
sedikit atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. Hal ini dicirikan dengan
hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas
sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes tipe 1 memiliki
karakteristik mudah terjadi ketoasidosis, pengobatanya harus dengan insulin,
onset kuat, penderita biasanya kurus, terjadi pada umur muda, didapat antibodi sel
insulin, 10% ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% terjadi pada kembar
identik.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah
kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi
5
autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh. Hampir 90%
sel penghasil insulin atau sel beta mengalami kerusakan permanen. Akibatnya
terjadi kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan
insulin secara teratur. Diabetes melitus Tipe 1 umumnya terjadi sebelum usia
30 tahun, yaitu anak-anak dan remaja. Para ilmuwan percaya bahwa faktor
lingkungan (berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau
dewasa awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil
insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik
dan keluarga (Anonim 2007).
Diabetes melitus tipe 2 disebut non-insulin-dependent diabetes melitus
(NIDDM, "diabetes yang tidak bergantung pada insulin") terjadi karena
kombinasi dari kecacatan dalam produksi insulin dan resistensi terhadap insulin
atau berkurangnya sensitifitas terhadap insulin (adanya defek respon jaringan
terhadap insulin) yang melibatkan gangguan reseptor insulin di membran sel,
maka transpor glukosa ke dalam sel terganggu. Akibatnya kadar gula darah akan
terus
meningkat,
keadaan
ini
yang
disebut
resisten
terhadap
insulin
(Dalimunthe 2004).
Diabetes melitus tipe 2 bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi
biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor risiko untuk diabetes tipe 2 adalah
obesitas dimana sekitar 80-90% penderita mengalami obesitas. Diabetes melitus
tipe 2 juga cenderung diturunkan secara genetik dalam keluarga. Karakteristik dari
diabetes melitus tipe 2 yaitu sukar terjadi ketoasidosis, pengobatan tidak harus
menggunakan insulin, onsetnya lambat, penderita gemuk atau tidak gemuk,
biasanya terjadi pada umur tua, tidak ada antibodi sel insulin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui tiga bentuk diabetes
melitus, yaitu tipe 1, tipe 2, dan diabetes gestasional yang terjadi selama
kehamilan. Pembentukan diabetes melitus yang penting adalah dikarenakan
kurangnya produksi insulin (diabetes melitus tipe 1, yang pertama dikenal), atau
kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (diabetes melitus tipe 2, bentuk
yang lebih umum).
Terdapat jenis diabetes melitus yang juga disebabkan oleh resistansi
insulin yang terjadi pada wanita hamil (Anonim 2007). Keadaan diabetes ini dapat
6
terjadi selama kehamilan karena asupan makanan yang masuk bertambah dan
akhirnya menjadi gemuk. Pada suatu saat tentu tubuh tidak mampu lagi mengolah
glukosa
yang
beredar
dan
menyebabkan
munculnya
diabetes
melitus
(Ranakusuma 1992). Diabetes melitus pada kehamilan umumnya sembuh dengan
sendirinya setelah persalinan. Tetapi tetap diperlukan pengawasan medis secara
hati-hati sepanjang kehamilan.
2.1.3 Gejala Klinis Diabetes Melitus
Gejala klinis dari penderita diabetes melitus adalah poliuri, polidipsi,
polifagi, badan lemas, mata kabur, kesemutan dan gangren (Ranakusuma 1992).
Jika bagian tubuh luar terluka membutuhkan waktu penyembuhan yang cukup
lama karena efek dari penyakit gulanya. Jika sudah parah penglihatan menjadi
terganggu (Soenarto 2005). Ketika kadar glukosa meninggi ke tingkat pada saat
jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan
reabsorbsi,
glukosa
akan
timbul
di
urin
sehingga
terjadi
glukosuri
(Sherwood 2001).
Menurut Guyton (1994) gejala poliuri disebabkan oleh efek diuresis
osmotik dari glukosa dalam tubulus ginjal. Sebaliknya gejala polidipsi
disebabkan oleh keadaan dehidrasi akibat dari gejala poliuri. Gagalnya pemakaian
glukosa dan protein oleh tubuh menyebabkan berkurangnya berat badan dan
timbul gejala polipagi. Gejala astenia (kurang energi) disebabkan oleh hilangnya
protein tubuh.
Gejala awal diabetes melitus berhubungan dengan efek langsung dari
kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai di atas 160-180
mg/dL, maka glukosa akan dikeluarkan melalui urin. Gejala-gejala kronik yang
sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia, kesemutan, mata kabur, mialgria,
artralgia, kemampuan seksual berkurang dan lain-lain (Sherwood 2001).
2.1.4 Diagnosa Diabetikum
Diagnosis diabetes pada manusia ditegakkan berdasarkan gejalanya yaitu
3P (polidipsi, polifagi, poliuri) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan
kadar gula darah yang tinggi. Pengukuran kadar gula darah, biasanya darah
7
diambil 8 jam sesudah makan yang terakhir. Kriteria mendiagnosis gula darah
dapat dilihat pada Tabel 1, menjelaskan bahwa kadar gula darah pada saat puasa
normalnya < 110 mg/dL, terkena penyakit diabetes kurang lebih kadar gula darah
> 126 mg/dL. Sedangkan kadar gula darah setelah makan normalnya < 110 mg/dL
dan kisaran terkena diabetes > 200 mg/dL (Anonim 2007).
Tabel 1 Kriteria Diagnostik Gula Darah pada Manusia (Anonim 2007)
Kriteria Diagnostik Gula darah (mg/dL)
Kondisi
Non Diabetes
Pra Diabetes
Diabetes
Puasa
< 110
110-125
> 126
Setelah makan
< 110
110-199
> 200
Selain itu menurut Guyton (1997) cara yang umum digunakan untuk
mendiagnosa penyakit diabetes didasarkan pada berbagai uji kimiawi terhadap
urin dan darah. Pemeriksaan glukosa urin melalui uji sederhana atau uji kuantitatif
laboratorium yang lebih rumit yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan
jumlah glukosa yang hilang dalam urin. Pada umumnya jumlah glukosa yang
dikeluarkan dalam urin orang normal sukar dihitung, sedangkan pada kasus
diabetes, glukosa yang dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali
sesuai dengan berat penyakitnya atau asupan karbohidrat.
Pemeriksaan darah lainnya yang bisa dilakukan adalah uji toleransi
glukosa. Dilakukan dengan percobaan bila orang normal yang puasa memakan
1 gram gula darahnya akan meningkat dari kadar kira-kira 90 mg/dL menjadi
120 mg/dL sampai 140 mg/dL dan dalam waktu kira-kira dua jam kadar ini akan
menurun lagi kembali ke nilai normal lagi.
2.1.5 Komplikasi Diabetes Melitus
Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi yang paling
banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus-menerus,
8
sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, syaraf dan struktur internal lainnya.
Menurut Anderson (1994) komplikasi dari penyakit diabetes melitus dapat
dibedakan menjadi komplikasi akut, komplikasi jangka pendek, dan komplikasi
jangka panjang. Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetika, koma,
hiperglikemia, dan hipoglikemia; komplikasi jangka pendek meliputi disfungsi
syaraf dan lensa mata, aterosklerosis, dan perubahan pada dinding pembulu darah;
sedangkan komplikasi jangka panjang adalah retinopati, nefropati, dan neuropati.
Efek jangka panjang diabetes melitus melibatkan gangguan-gangguan
degeneratif pada sistem vaskuler dan syaraf. Lesi kardiovaskuler merupakan
penyebab terserang kematian pada pengidap diabetes. Kejadian penyakit jantung
dan stroke pada pengidap diabetes lebih tinggi daripada kasus serupa pada pasien
nondiabetes. Lesio vaskuler juga sering timbul di ginjal menyebabkan gagal ginjal
dan retina mata menyebabkan kebutaan. Ekstremitas juga dapat mengalami
gangren akibat gangguan penyaluran darah ke jaringan tersebut, sehingga kadangkadang jari kaki atau bahkan tungkai keseluruhan harus diamputasi. Selain
masalah yang berkaitan dengan sistem sirkulasi, lesi-lesi degeneratif di syaraf
menyebabkan neuropati multipel yang menimbulkan disfungsi otak, korda
spinalis, dan syaraf perifer (Sherwood 2001).
Menurut
Ganong
(1995)
komplikasi diabetes
melitus
mencakup
proliferatif retina (retinopati diabetes), penyakit ginjal (nefropati diabetes),
kehilangan fungsi syaraf, khususnya dalam susunan syaraf otonom (neuropati
diabetes) dan aterosklerosis dipercepat. Aterosklerosis menyebabkan insufisiensi
sirkulasi pada tungkai dengan ulserasi menahun dan gangren serta menyebabkan
peningkatan kajadian stroke dan infark miokardium.
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan
kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya
aterosklerosis (penimbunan plak lemak pada dinding pembuluh darah).
Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi
darah yang buruk ini melalui pembuluh darah besar (makro) bisa melukai otak,
jantung, dan pembuluh darah kaki (makroangiopati), sedangkan pembuluh darah
kecil (mikro) bisa melukai mata, ginjal, syaraf dan kulit serta memperlambat
penyembuhan luka.
9
Penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang
jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik. Komplikasi yang lebih sering terjadi
dan mematikan adalah serangan jantung dan stroke (Anonim 2007). Menurut
Spector (1993) penderita diabetes juga memiliki peningkatan risiko infeksi
terutama dari tuberculosis atau saluran kencing serta mengalami degenerasi nonateromatosa pada arteriol dan kapiler, terutama di ginjal dan retina yang mengarah
pada kegagalan ginjal dan kebutaan.
2.1.6 Pengobatan Diabetes Melitus
Pengobatan diabetes bergantung pada penyuntikan insulin, penataan
makanan, kontrol berat badan, dan olah raga (Sherwood 2001). Jika pengendalian
berat badan dan berolahraga tidak berhasil maka dokter kemudian memberikan
obat yang dapat diminum (obat hipoglikemik oral) atau menggunakan insulin
dengan terapi sulih insulin. Diabetes tipe 1 hanya bisa diobati dengan insulin
tetapi tipe 2 dapat diobati dengan obat oral (Anonim 2007).
Obat yang ditujukan untuk mendapatkan efek hipoglikemik per oral
(Laurence 1992) yaitu obat hipoglikemik oral (OHO) terbagi menjadi dua
kelompok yaitu pada kelompok pertama adalah obat yang memperbaiki kerja
insulin (seperti metformin, glitazone, dan akarbose), obat ini bekerja pada tempat
dimana terdapat insulin yang mengatur gula darah seperti di hati, usus, otot dan
jaringan lemak. Obat metformin tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi
meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri. Sedangkan akarbose
bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam usus.
Kelompok kedua adalah obat yang meningkatkan produksi insulin (seperti
sulfonil, repaglinid dan natelinid yang bekerja meningkatkan pelepasan insulin ke
sirkulasi sedangkan insulin yang disuntikkan menambah kadar insulin di sirkulasi
darah (Ganiswarna 1995). Obat golongan sulfonilurea yang dapat menurunkan
kadar gula darah secara kuat dengan merangsang keluarnya insulin dari sel beta
pankreas, pemberiannya efektif pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif
pada diabetes tipe I. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan
klorpropamid. Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat mengontrol kadar gula
darah dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin (Anonim 2007).
10
Menurut Guyton (1994) secara teoritis pengobatan diabetes melitus
dengan memberikan insulin secukupnya sehingga metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein pada penderita mendekati metabolisme normal. Insulin sering
digunakan oleh penderita diabetes tipe 1, sedangkan pada penderita diabetes tipe 2
digunakan apabila pemberian obat sudah tidak efektif (Ganiswarna 1995). Pada
diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus
diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui
suntikan karena insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat
diberikan per-oral (ditelan). Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan
lemak, biasanya di lengan, paha atau dinding perut (Anonim 2007).
Menurut Ranakusuma (1992) ditinjau dari cara kerja insulin, terdapat 3
jenis insulin, masing-masing memiliki kecepatan dan lama kerja yang berbeda
yaitu insulin kerja cepat, insulin kerja sedang, dan insulin kerja lambat. Contoh
insulin kerja cepat adalah insulin reguler yang bekerja paling cepat dan paling
sebentar dengan lama durasi kerja 3-8 jam (Guyton 1994). Insulin ini seringkali
mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit, mencapai puncaknya dalam
waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam (Ranakusuma 1992). Insulin kerja
cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani beberapa kali suntikan
setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum makan.
Contoh insulin kerja sedang adalah insulin suspensi seng atau suspensi
insulin isofan yang diabsorpsi secara lambat dari tempat injeksinya (Guyton
1994). Mulai bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam
waktu
6-10 jam dan bekerja selama 18-26 jam (Ranakusuma 1992). Insulin ini
bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan
dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
Sedangkan contoh insulin kerja lambat adalah insulin suspensi seng yang telah
dikembangkan. Masa kerja insulin 18-24 jam. Efeknya baru timbul setelah 6 jam
dan bekerja selama 28-36 jam (Ranakusuma 1992).
Beberapa penderita mengalami resistensi terhadap insulin. Insulin tidak
sepenuhnya sama dengan insulin yang dihasilkan oleh tubuh, karena itu tubuh bisa
membentuk antibodi terhadap insulin pengganti. Antibodi ini mempengaruhi
aktivitas insulin sehingga penderita dengan resistensi terhadap insulin harus
11
meningkatkan dosisnya. Selain itu, pengaturan diet sangat penting. Biasanya
penderita tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis dan harus makan
dalam jadwal yang teratur.
Penderita diabetes cenderung memiliki kadar kolesterol yang tinggi,
karena itu dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya.
Tetapi cara terbaik untuk menurunkan kadar kolesterol adalah mengontrol kadar
gula darah dan berat badan (Anonim 2007).
2.2 Kelenjar Pankreas
2.2.1 Anatomi Fisiologis Kelenjar Pankreas
Menurut Sherwood (2001) pankreas adalah suatu organ yang terdiri dari
jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin pankreas mengeluarkan larutan
basa encer dan enzim-enzim pencernaan melalui duktus pankreatikus ke dalam
lumen saluran pencernaan. Diantara sel-sel eksokrin pankreas tersebar kelompokkelompok, atau ”pulau-pulau”, sel endokrin yang juga dikenal sebagai pulaupulau Langerhans.
Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada duodenum dan
terdapat kurang lebih 200000-1800000 pulau Langerhans (Braunstern 1987).
Dalam pulau Langerhans normal manusia dewasa, jumlah sel beta berkisar antara
75%-80% dari populasi sel pulau Lagerhans (Pebroot 1979). Pankreas terdiri dari
dua jenis jaringan utama, yakni: asini yang mensekresikan getah pencernaan ke
dalam duodenum, dan pulau Langerhans yang tidak mengeluarkan getahnya ke
luar namun mensekresikan insulin dan glukagon langsung ke dalam darah
(Guyton 1994).
Pankreas menghasilkan insulin melalui sel beta, kemudian disalurkan ke
pembuluh darah untuk diedarkan menuju sel-sel. Sewaktu molekul-molekul
nutrien memasuki darah selama keadaan absorbtif, insulin meningkatkan
penyerapan karbohidrat, lemak, dan protein oleh sel dan konversi, masing-masing
menjadi glikogen, trigleserida dan protein. Insulin menjalankan efeknya yang
beragam dengan mengubah transportasi nutrisi yang spesifik dari darah ke dalam
sel atau dengan mengubah aktifitas enzim-enzim yang terlibat dalam jalur
metabolik tertentu ( Sherwood 2001).
12
2.2.2 Macam Sel Pulau Langerhans Pankreas
Pulau Langerhans mempunyai 4 macam sel yaitu: sel alfa yang mensekresi
glukagon, sel beta yang mensekresi hormon insulin, sel delta yang mensekresi
somatostatin untuk menghambat sekresi insulin dan glukagon dan sel pankreatik
polipeptida yang fungsinya belum diketahui secara pasti (Underwood 1992). Jenis
sel endokrin pankreas paling banyak dijumpai adalah sel beta (Sherwood 2001).
Tabel 2 Tipe sel pada pulau Langerhans (Underwood 1992)
Tipe sel
Hormon yang dihasilkan
Rata-tata (%)
Beta
Insulin
70
Alfa
Glukagon
20
Delta
Somatostatin
8
PP
Pankreatik polipeptida
2
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel yang terdapat dalam pulau
Langerhans menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi berbagai
jenis hormon oleh hormon lain (Guyton 1994). Terdapat hubungan umpan balik
negatif langsung antara konsentrasi gula darah dan kecepatan sekresi sel alfa,
tetapi hubungan tersebut berlawanan arah dengan efek gula darah pada sel beta.
Peningkatan kadar gula darah menghambat sekresi glukagon tetapi merangsang
sekresi insulin, sedangkan penurunan gula darah menyebabkan peningkatan
sekresi glukagon dan penurunan sekresi insulin (Sherwood 2001).
Kadar gula darah dipertahankan oleh peran antagonis dari glukagon dan
insulin, sedangkan somatostatin menghambat sekresi keduanya. Hormon insulin
akan mengendalikan kadar gula darah tubuh. Bila kadarnya berlebihan akan
menyebabkan hipoglikemia (Ranakusuma 1992). Hipoglikemia yang ditimbulkan
oleh insulin akan merangsang sekresi glukagon dan berperan sebaliknya jika
dalam keadaan hiperglikemia. Sedangkan pada keadaan kekurangan insulin atau
jumlah cukup tetapi tidak efektif akan menyebabkan hiperglikemia menahun yang
dikenal sebagai diabetes melitus.
13
2.2.3 Insulin
Insulin (bahasa Latin insula, "pulau", karena diproduksi di pulau-pulau
Langerhans di pankreas) adalah sebuah hormon polipeptida yang mengatur
metabolisme karbohidrat. Insulin merupakan komponen protein yang struktur
molekulnya terdiri dari 2 rantai polipeptida, yaitu rantai A (acidic) yang
mengandung 21 asam amino dengan glysine sebagai N-terminal dan sebuah rantai
B (bacic) yang mengandung 30 asam amino dengan phenylalanine sebagai N
terminal asam amino. Dua rantai dihubungkan oleh ikatan disulfida pada posisi
7 dan 20 di rantai A dan posisi 7 dan 19 di rantai B (Turner et al. 1969;
Turner 1960).
Pelepasan insulin oleh sel beta distimulasi oleh tingginya kadar glukosa
disertai sejumlah kecil ion kalsium. Stimulasi sel beta oleh glukosa menghasilkan
pengikatan bentuk proinsulin ke dalam retikulum endoplasma. Bentuk terbaru
proinsulin ditranspor oleh mekanisme kebutuhan energi ke badan Golgi. Dalam
kantung Golgi granul yang pucat dapat diobservasi sebagai beta granul yang
belum matang. Beta granul dikemas dalam badan Golgi dan dibebaskan ke dalam
sitoplasma, kemudian zink ditranspor ke dalam beta granul. Insulin dalam beta
granul ditranspor ke dalam bentuk kristal dan menjadi bentuk beta granul yang
matang.
Proses sederhana dari pelepasan beta granul disebut emiocytosis (Pebroot
1979). Insulin dilepaskan ketika kadar gula darah tinggi sehingga dapat
meningkatkan rata-rata pemasukan glukosa dan metabolisme oleh sel tubuh.
Hiposekresi insulin akan menghasilkan diabetes melitus yang secara umum dapat
mengganggu metabolisme tubuh (Marieb 1988).
Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam amino
dalam darah serta mendorong penyimpanan nutrisi tersebut. Sewaktu molekulmolekul nutrisi ini memasuki darah selama keadaan absorbtif, insulin
meningkatkan penyerapan mereka oleh sel dan konversi, masing-masing menjadi
glikogen, trigliserida, dan protein. Insulin menjalankan efeknya yang beragam
dengan mengubah transportasi nutrisi spesifik dari darah ke dalam sel atau dengan
mengubah aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam jalur metabolik tertentu
14
(Sherwood 2001). Insulin mempunyai sel target yang luas meliputi banyak sel dan
jaringan seperti otot skelet, otot jantung, lemak, fibroblast, sel hati, leukosit,
kelenjar mamari, tulang, tulang rawan, kulit, aorta, kelenjar hipofise, dan syaraf
perifer. Tetapi sel target yang paling utama adalah hati, sel lemak, dan otot.
Menurut Sherwood (2001) berdasarkan efek insulin pada karbohidrat,
insulin memiliki empat efek yang dapat menurunkan kadar gula darah dan
meningkatkan penyimpanan karbohidrat sebagai berikut: insulin mempermudah
masuknya glukosa ke dalam sebagian besar sel, karena molekul glukosa tidak
mudah menembus membran sel tanpa adanya insulin. Beberapa jaringan tidak
tergantung pada insulin untuk menyerap glukosa yaitu otak, otot yang aktif, dan
hati.
Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa,
baik di otot maupun hati. Insulin menghambat glikogenolisis atau menghambat
perubahan glikogen menjadi glukosa. Dengan menghambat penguraian glikogen,
insulin meningkatkan penyimpanan karbohidrat dan menurunkan pengeluaran
glukosa oleh hati. Insulin menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan
menghambat glukoneogenesis, juga menghambat perubahan asam amino menjadi
glukosa di hati.
Berdasarkan efek insulin pada lemak, insulin memiliki banyak efek untuk
menurunkan kadar asam lemak darah dan mendorong pembentukan simpanan
trigliserida sebagai berikut: insulin meningkatkan transportasi glukosa ke dalam
sel jaringan adiposa, seperti yang dilakukannya pada kebanyakan sel tubuh.
Insulin mengaktifkan enzim-enzim yang mengkatalisasi pembentukan asam lemak
dari turunan glukosa, insulin meningkatkan pemasukan asam-asam lemak dari
darah ke dalam sel jaringan adiposa, insulin menghambat lipolisis (penguraian
lemak), sehingga terjadi penurunan pengeluaran asam lemak dari jaringan adiposa
ke dalam darah.
Berdasarkan efek insulin pada protein, insulin menurunkan kadar asam
amino darah dan meningkatkan sintesis protein sebagai berikut: insulin
mendorong transportasi aktif asam-asam amino dari darah ke dalam otot dan
jaringan lain, insulin meningkatkan kecepatan penggabungan asam amino ke
dalam protein dengan merangsang pembuatan protein di dalam sel, insulin
15
menghambat penguraian protein. Akibat kolektif efek ini adalah efek anabolik
protein. Karena itu, insulin esensial bagi pertumbuhan normal.
Dalam sel hati, insulin meningkatkan perubahan glukosa ke dalam
glikogen dan lemak karena glukosa penting sebagai prekursor asam lemak Insulin
melawan pemecahan glikogen dan pelepasan glukosa dari sel hati ke darah
(Spince et al. 1987). Insulin memudahkan lipogenesis melalui peningkatan
pemasukan dan penggunaan metabolik glukosa oleh sel adiposa dan juga
mengurangi perombakan dan mobilitas penyimpanan lemak (antilipolisis)
(Turner et al. 1969).
Faktor utama yang mengatur sekresi glukagon adalah efek langsung
kosentrasi gula darah pada pankreas endokrin. Dalam hal ini, sel-sel alfa pankreas
meningkatkan sekresi glukagon sebagai respon terhadap penurunan gula darah.
Glukagon akan mengaktifkan tempat-tempat penyimpanan energi dengan
melakukan proses glikogenolisis, glukoneogenesis dan lipolisis, sehingga akan
meningkatkan kadar gula darah. Stimulasi terjadi di hati untuk melepaskan
glukosa (Marieb 1988).
Efek hiperglikemia hormon ini cenderung memulihkan kosentrasi glukosa
ke normal. Sebaliknya, peningkatan kosentrasi gula darah, seperti yang terjadi
setelah makan, menghambat sekresi glukagon, yang juga cenderung memulihkan
kadar gula darah ke normal. Dengan demikian, terdapat hubungan umpan balik
negatif langsung antara kosentrasi gula darah dan kecepatan sekreesi sel alfa,
tetapi hubungan tersebut berlawanan arah dengan efek gula darah pada sel beta.
Dengan kata lain, peningkatan kadar gula darah menghambat sekresi glukagon
tetapi merangsang sekresi insulin, sedangkan penurunan gula darah menyebabkan
peningkatan sekresi glukagon dan penurunan sekresi insulin.
Menurut Sherwood (2001) karena glukagon meningkatkan gula darah dan
insulin menurunkan gula darah, perubahan sekresi hormon-hormon pankreas
sebagai respon terhadap penyimpanan glukosa ini bekerja sama secara
homeostasis untuk memulihkan kadar gula darah ke normal.
2.3 Streptozotosin (STZ)
Streptozotosin (streptozosin, STZ, Zanosar) merupakan senyawa hasil
sintesis dari Streptomycetes achromogenes yang berfungsi sebagai antibakteri
16
spektrum luas, antitumor, bahan karsinogenik dan secara selektif menghancurkan
sel beta pada pulau Langerhans (Cooperstein 1981). Pada hewan diabetes melitus
dapat ditimbulkan oleh pankreatektomi oleh pemberian aloksan, streptozosin atau
toksin lain yang dalam dosis tepat menyebabkan perusakan selektif sel beta pulau
Langerhans pankreas, oleh bahan yang menghambat sekresi insulin dan oleh
pemberian antibodi anti-insulin (Ganong 1995).
Menurut Gordon (1991), tikus yang diberi STZ akan mengalami kerusakan
pada sel beta pankreas yang menyebabkan perubahan yang nyata dalam
metabolisme hati. Pemberian STZ 50 mg/kg BB secara intra peritoneal pada tikus
dapat meningkatkan kadar gula darah sampai sekitar 270 mg/dL setelah 2 minggu
(Szkuldeski 2001). STZ dapat menghambat siklus Krebs dan akibatnya konsumsi
oksigen berkurang. Hal ini menyebabkan pembatasan produk ATP dalam
mitokondria yang menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel beta pankreas.
Penggunaan STZ dapat menimbulkan efek samping, diantaranya yaitu anorexia,
nausea, vomit, pembengkakan pada kaki dan alopesia. Selain itu STZ juga dapat
menimbulkan kerusakan pada ginjal, hati, sel darah putih, keping-keping darah
dan sel penghasil insulin (Anonim 2006).
2.4 Tempe
Tempe adalah hasil fermentasi kacang kedelai dengan kapang Rhizopus
atau biasa dikenal sebagai ragi tempe, yaitu kapang yang dapat menguraikan
protein di dalam kacang kedelai menjadi asam amino, sehingga lebih mudah
dicerna tubuh. Artinya, kandungan protein tempe berbeda dengan kandungan
protein dalam kacang kedelai (sumber bahan bakunya), terutama dalam proses
penyerapan. Tempe terbukti mempunyai nilai gizi tinggi dan dapat digunakan
sebagai sumber protein yang murah (Syafrina et al. 1997).
Banyak perubahan yang terjadi selama proses fermentasi tempe, seperti
aroma, rasa, tekstur, dan kandungan gizi (Hermana et al. 2001). Fermentasi yang
terjadi pada saat pembuatan tempe mengakibatkan peningkatan daya cerna
sehingga zat gizi yang ada lebih mudah terserap. Kualitas protein dan lemak yang
terkandung juga semakin baik (Syafrina et al. 1997).
17
Tempe telah melalui proses fermentasi (oleh jamur Rhizopus oligosporus)
sehingga protein yang terkandung di dalamnya telah mengalami proses degradasi
oleh kapang hingga memudahkan penyerapannya di dalam tubuh. (Anonim 2008a).
Jenis lain dari kapang Rhizopus yang digunakan sebagai sediaan fermentasi, seperti Rhizopus
oryzae yang memproduksi enzim amilase, dan Rhizopus. stolonifer (kapang roti),
atau Rhizopus Arrhizu yang memproduksi enzim pektinase (Yee et al. 1999).
2.4.1 Kandungan pada Tempe
Menurut Avidra (2008) tempe seberat hanya kira-kira 100 g mampu
mencukupi kebutuhan harian protein dan asam amino sebesar 37%. Jenis protein
dan asam amino yang terkandung dalam tempe sangat lengkap. Kandungan asam
amino terbanyak secara berurutan adalah glutamic acid, aspartic acid, leucine,
arginine, proline, serine, alanine, valine, lysine, phenylalanine, isoleucine,
threonine, gycine dan tyrosine. Pada proses fermentasi tempe terjadi peningkatan
level ketidakjenuhan lemak sehingga kandungan asam lemak tak jenuh (PUFA)
dalam tempe cukup baik. Bahkan 100 g tempe mengandung 220 mg asam lemak
Omega 3 dan 3590 mg asam lemak Omega 6.
Omega 3 dapat mencegah penyakit jantung koroner dan arteroklerosis
(Yee et al. 1999). Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat baik. Bahkan
tempe merupakan satu-satunya sumber vitamin B12 (sianokobalamin) dari bahan
pangan nabati (umumnya vitamin B12 hanya terkandung pada bahan pangan
hewani). Vitamin lain yang terkandung dalam tempe adalah vitamin B2
(riboflavin), B6 (piridoksin), B1 (thiamin), niasin (asam nikotinat), asam folat,
dan asam pantotenat serta vitamin yang larut lemak (vitamin A, D, E dan K)
(Anonim 2008a).
18
Tabel 3 Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 g bahan segar dan 100 g
bahan kering
Zat Gizi
Berat Basah
Kedelai
Berat Kering
Tempe
Kedelai
Tempe
5.30
1.60
6.10
3.60
Protein (g)
40.30
20.70
46.20
46.50
Lemak (g)
16.70
8.80
19.10
19.70
Karbohidrat (g)
24.90
13.50
28.20
30.20
3.20
3.20
3.70
7.20
Kalsium (mg)
222
155
254
347
Fosfor (mg)
682
324
781
724
10
4
11
9
Tiamin (mg)
0.42
0.12
0.48
0.28
Riboflavin (mg)
0.13
0.29
0.15
0.65
Piridoksin (mg)
157.00
45.00
180.00
100.00
0.13
1.70
0.20
3.90
30.60
23.70
35.00
53.00
Asam pentotenat (mg)
375
232.00
430.00
520.00
Niasin (mg)
0.58
1.13
0.67
2.52
Asam amino esensial (g)
15.50
8.40
17.70
18.90
Asam amino non-esensial (g)
22.10
11.30
26.50
25.40
Abu (g)
Serat (g)
Mineral :
Besi (mg)
Vitamin :
Sianokobalamin (mg)
Biotin (mg)
Sumber : Agranoff (2001)
Yee et al. (1999) menyebutkan bahwa kenaikan kadar vitamin B12 paling
mencolok pada pembuatan tempe. Aktivitas vitamin B12 meningkat sampai
33 kali selama fermentasi dari kedelai, riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin
4-14 kali, niasin 2-5 kali, biotin 2-3 kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat
2 kali lipat. Vitamin ini tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh bakteri
kontaminan seperti Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter freundii. Selain itu
tempe juga mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup.
19
Jumlah mineral besi, tembaga, dan zink berturut-turut adalah 9.39, 2.87, dan
8.05 mg setiap 100 g tempe.
2.4.2 Khasiat dan Manfaat Mengonsumsi Tempe
Menurut Sugano (2005) kedelai mengandung tiga jenis isoflavon, yaitu
daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe juga ditemukan suatu zat
antioksidan dalam bentuk isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid,
isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk
menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas.
Tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga dapat
menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif
(aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain). Selain
itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol
darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain (Anonim 2008c).
Menurut Alberts (2000) konsumsi tempe dapat menurunkan pertumbuhan sel-sel
kanker dan sangat efektif dalam menurunkan kadar kolesterol dalam darah, juga
menurunkan resiko keropos tulang atau yang disebut sebagai osteoporosis dan
osteoarthritis.
Kedelai
mengandung
dua
asam
amino
yang
bersifat
menjaga
keseimbangan hormon insulin, yakni asam amino glisin dan asam amino arginin.
Dengan melimpahnya jumlah insulin dalam darah, bukan hanya penyakit kencing
manis
(diabetes
melitus)
bahkan
penyakit
jantung
pun
dapat
diatasi
(Apriadji 2009). Kedelai merupakan sumber protein, lemak, vitamin, mineral, dan
serat paling baik. Kandungan protein dan lemak nabati berperan dalam
menghambat pembentukan kolesterol. Kedelai juga mampu membantu menjaga
kesehatan ginjal, jantung, diabetes, rematik, anemia, hipertensi, diare, dan
hepatitis.
Senyawa dalam tempe diduga memiliki aktivitas antipenyakit degeneratif,
antara lain vitamin E, karotenoid, superoksida, deismutase dan isoflavon
(Anonim 2008b). Tetapi konsumsi tempe tidak boleh berlebihan. Anderson et al.
(1998) mengatakan bahwa penderita diabetes dengan komplikasi penyakit ginjal
harus membatasi konsumsi protein dalam diet hariannya. Hal ini dikarenakan
20
konsumsi protein yang tinggi akan mengakibatkan hiperfiltrasi dan hipertensi
glomerulus.
Isoflavon dalam tempe memiliki efek antidiabetik. Lu et al. (2007)
menyatakan bahwa pemberian diet tinggi isoflavon protein kedelai (genestein
equivalen 0.222 g/100 g diet) secara signifikan menurunkan kadar glukosa serum,
meningkatkan kadar serum insulin pada tikus diabetes sedang. Selain itu,
isoflavon juga terbukti melindungi sisa-sisa sel beta pankreas dari efek toksik
STZ. Pemberian diet genestein dan isolat protein kedelai masing-masing 0.06 g
dan 20 g/100 g diet menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim glukokinase
yang dihubungkan dengan penurunan kadar gula darah dalam keadaan diabetes.
Kekurangan insulin pada keadaan hiperglikemik diasosiasikan juga dengan
peningkatan enzim glukosa-6-fosfatase di hati. Pemberian diet genestein dan
isolat protein kedelai secara signifikan telah menurunkan kedua aktifitas tersebut,
meskipun isolat protein kedelai diketahui lebih potensial dibandingkan genestein.
Hal ini diduga karena isolat protein kedelai mengandung komponen aktif lain
yang dapat meningkatkan bioavaibilitas genestein.
BAB III
MATERI DAN METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2008 sampai dengan Mei 2009.
Pembuatan diet tempe dilakukan di Departemen Gizi Masyarakat dan Kesehatan
Konsumen (GMSK) Fakultas Ekologi Manusia, pemeliharaan dan perlakuan
hewan coba dilakukan di Laboratorium Hewan SEAFAST center. Sedangkan
pembuatan dan pengamatan preparat histopatologi dilakukan di Bagian Patologi
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
3.2 Hewan Penelitian
Penelitian untuk melihat populasi sel beta menggunakan 12 ekor tikus
jantan dengan galur Sprague-Dawley (Rattus norvegicus) yang berumur 8 minggu
dengan kisaran berat badan 200±10 g.
3.3 Materi Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain spoit, kandang
metabolik tikus, peralatan bedah, tissue cassette, inkubator, tissue processor,
mikrotom, object glass, cover glass, digital blood glucose meter dan mikroskop.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain streptozotocin
(STZ), tempe freeze dry (kedelai varietas Americana, kapang Rhizopus
ologosporus strain-ITBCC L-46), ketamin, xylazin, larutan buffer neutral
formalin (BNF) 10%, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%,
alkohol absolut, xilol, parafin, aquades, pewarna hematoksilin-eosin (HE),
pewarna imunohistokimia, phosphat buffer saline (PBS) pH 7.4, Dako-pen
marker, antibodi terhadap Insulin dan 1-3, diaminobenzidin (DAB).
22
3.4 Metode Penelitian
3.4.1 Pembuatan Tempe
Kedelai yang digunakan dalam pembuatan tempe berasal dari 3 varietas
berbeda yaitu Americana, Baluran dan Cikuray (kedelai hitam). Masing-masing
kedelai tersebut ditimbang, lalu dicuci dan direbus selama 30 menit pada suhu
99.5 0C. Setelah masak, kedelai direndam selama 28 jam menggunakan air bekas
perebusannya. Kemudian dilakukan pembersihan kedelai dari kulitnya sebanyak
2 kali, pencucian pertama menggunakan air bekas rendaman dan pencucian kedua
menggunakan air bersih. Setelah bersih, kedelai ditiriskan dan diberi inokulum
Rhizopus oligosporus strain ITBCC L-46 (CC: Collection Cultur ITB, L: Lapuk /
fungi, 46: daftar koleksi) sebesar 0.3 gram/100 gram kedelai yang telah direbus.
Selanjutnya kedelai tersebut dibungkus dan dilakukan fermentasi selama 48 jam
(Lampiran 1).
Sebagai hasil fermentasi, tempe kemudian dikeringbekukan (freeze
drying). Pengeringan beku dilakukan dengan cara tempe dibekukan terlebih
dahulu, kemudian es dikeluarkan melalui proses sublimisasi pada kondisi vakum
pada suhu dibawah 0 0C dengan tekanan 10-3 sampai 10-6 atm selama 48 jam
hingga 50 jam. Pembuatan tempe dilakukan di Departemen Gizi Masyarakat oleh
Dian Setian Ghozali.
3.4.2 Tikus Model Diabetes
Tikus model diabetes disiapkan dengan menginduksikan Streptozotocin
(STZ) dengan dosis tunggal sebesar 40 mg/kg BB yang diinjeksikan secara
intraperitoneal. Keberhasilan induksi ditentukan dengan mengukur gula darah
pada hari ke-7 setelah pemberian STZ. Sedangkan tikus nondiabetes sebagai
kontrol diinjeksi dengan phosphat buffer saline (PBS) dengan pH 7.4.
23
Gambar 1 Penyuntikan STZ di peritoneum (Dokumentasi pribadi 2008).
3.4.3 Metode Penelitan
Sejumlah 12 ekor tikus jantan diletakkan di kandang metabolisme
(stainless steel) dan dikelompokkan menjadi 4 kelompok perlakuan dengan
masing-masing kelompok perlakuan diwakili oleh 3 ekor tikus. Semua tikus
diadaptasikan selama 1 minggu dengan diberi diet standar sebelum dilakukan
penelitian. Kelompok perlakuan tikus lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kelompok Perlakuan Tikus
Kelompok tikus
K1
K2
T1
T2
STZ
-
+
+
+
Pakan
Diet standar
Keterangan
Tikus non diabetes
(kontrol negatif)
Diet standar
Tikus diabetes
(kontrol positif)
Diet arginin
Tikus diabetes
1.4%
Diet arginin
Tikus diabetes
1.6%
Pada hari ke-7 pascainduksi STZ, tikus kelompok T1 dan T2 mulai
diberikan diet tempe setiap harinya selama 14 hari. Tempe diberikan dalam
24
bentuk bubuk yang berasal dari tempe freeze dry. Diet tempe pada T1 dan T2
didasarkan pada AIN 93M (American Institute of Nutrition) yang dibuat
mendekati isokalori, sedangkan pada K1 dan K2 diberi diet standar sesuai dengan
komposisi pakan AIN-93M.
Gambar 2 Tikus dalam kandang metabolisme (Dokumentasi pribadi 2008).
3.4.4 Pengukuran Kadar Gula Darah
Pengukuran
kadar
gula
darah
dengan
menggunakan
glukometer
(accu check) dilakukan pada hari ke-7 dan ke-21 pascainduksi STZ. Pengukuran
dilakukan pada pagi hari sebelum pemberian pakan, sampel darah didapat dari
ujung ekor. Pengukuran gula darah dilakukan pada semua tikus dari setiap
kelompok. Hasil yang didapat dirata-ratakan untuk menggambarkan nilai kadar
gula darah kelompok dengan satuan mg/dL.
3.4.5 Pengambilan Organ Pankreas
Pada akhir penelitian (hari ke-21 pasca induksi STZ) semua tikus
dianastesi general dengan ketamin dan xylazine dengan dosis 35 mg/kg BB.
Nekropsi dilakukan dengan menyayat kulit dan otot abdominal hingga rongga
perut terbuka. Darah dikeluarkan hingga detak jantung terhenti dan selanjutnya
dilakukan pengambilan organ pankreas. Organ pankreas difiksasi dengan buffer
neutral
formalin
histopatologi.
(BNF)
10%
dilanjutkan
dengan
pembuatan
preparat
25
3.4.6 Pembuatan Preparat Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi pada organ pankreas dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut (Lampiran 2):
Fiksasi
Sediaan organ pankreas direndam dalam larutan buffer neutral formalin
(BNF) 10%. Kemudian dilakukan pemotongan (trimming) dengan ketebalan
± 3 mm dan dimasukkan ke dalam kaset.
Dehidrasi
Jaringan yang berada di dalam kaset dimasukkan ke dalam tissue
processor untuk dilakukan dehidrasi. Proses dehidrasi dilakukan menggunakan
alkohol dengan konsentrasi bertingkat yang terdiri dari alkohol 70%, 80%, 90%,
95%, alkohol absolut I, alkohol absolut II dan alkohol absolut III. Selanjutnya
dijernihkan (clearing) dengan memasukkan sediaan ke dalam xylol I, xylol II dan
xylol III.
Perendaman (Embedding) dan Pencetakan (Blocking)
Sediaan yang telah didehidrasi ditanam dalam cetakan yang telah diisi
parafin cair setengah-setengah dari volumenya dan sebelum membeku
ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh lalu didinginkan pada cold
plate. Hasil cetakan yang sudah mengeras dikeluarkan dari cetakan dan blok yang
diperoleh dapat disimpan dalam refrigerator sampai siap untuk dipotong dengan
mikrotom.
Pemotongan
Sediaan dalam blok parafin dipotong menggunakan mikrotom dengan
ketebalan 5 μm hingga berbentuk seperti pita dan diletakkan di atas permukaan air
hangat untuk mencegah terjadinya lipatan pada pita. Sediaan selanjutnya
diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan pada suhu ruang. Sediaan
kemudian diwarnai dengan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia.
3.4.7 Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) termasuk dalam jenis pewarnaan
ganda (double straining) karena menggunakan dua jenis zat warna untuk
mengamati struktur umum jaringan. Pada pewarnaan ganda umumnya pewarna
26
yang digunakan satu bersifat asam dan yang lain bersifat basa. Paduan sifat
tersebut menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik dapat
ditonjolkan sehingga terjadi kekontrasan dan pengenalan bagian tertentu dapat
lebih cepat dan lebih jelas terlihat.
Tahapan yang dilakukan dalam pewarnaan HE dimulai dengan proses
deparafinisasi, yaitu penghilangan parafin dengan memasukkan preparat ke dalam
seri larutan xylol III, xylol II, dan xylol I. Kemudian dilanjutkan dengan proses
rehidrasi, yaitu dengan memasukkan preparat ke dalam seri larutan alkohol
absolut sampai alkohol 70% secara berurutan. Preparat direndam dalam air kran,
kemudian dalam aquadest. Preparat diwarnai dengan pewarna hematoksilin
dilanjutkan dengan perendaman dalam aquadest. Setelah itu preparat diwarnai
menggunakan eosin dan diikuti perendaman kembali dalam aquadest. Kemudian
dilakukan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat serta penjernihan (clearing)
dengan menggunakan xylol. Sediaan ditutup dengan cover glass (mounting) dan
siap untuk dilakukan pengamatan di bawah mikroskop (Lampiran 3).
3.4.8 Pewarnaan Imunohistokimia
Pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk mengamati sebaran sel beta
penghasil insulin pada pulau Langerhans pankreas. Langkah awal pewarnaan ini
adalah deparafinisasi dan rehidrasi selama 30 menit. Preparat dicelupkan ke
larutan xylol I, II, III, absolut I, II, III, dan alkohol 95%, 90%, 80%, 70%.
Kemudian preparat dicuci dengan destilted water (DW) dan dibilas dengan larutan
phosphat buffer saline (PBS) sebanyak 3 kali serta diberi pembatas dengan
dakopen marker.
Tahap selanjutnya, preparat diinkubasi dengan normal serum selama 30
menit dan dibilas dengan larutan PBS sebanyak 3 kali. Kemudian preparat
diinkubasi dengan antibodi anti-Insulin dalam refrigerator selama satu malam dan
dibilas dengan larutan PBS sebanyak 3 kali. Preparat selanjutnya direaksikan
dengan Envision Kit selama 30 menit dan dibilas dengan larutan PBS sebanyak 3
kali. Selanjutnya divisualisasi dengan menggunakan 1,3-diaminobenzidin (DAB)
dan dibilas dengan destilled water (DW). Langkah terakhir pewarnaan ini adalah
dehidrasi, clearing dan mounting (Lampiran 4).
27
3.5 Parameter Pengamatan
Hasil pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) pada potongan jaringan
pankreas tikus semua kelompok diamati terhadap morfologi umum sel dan
jaringan pankreas termasuk kerusakan sel dan jaringan pankreas. Pengamatan
terhadap potongan jaringan pankreas khususnya pada sel beta yang diwarnai
dengan imunohistokimia dilakukan dengan melihat populasi sel beta yang
terwarnai dan terlihat berwarna coklat.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tingkat Keberhasilan Pembuatan Model Diabetes
Hasil pemberian streptozotocin (STZ) dengan dosis tunggal sebanyak
40 mg/kg BB secara intraperitoneal pada tikus menunjukkan bahwa STZ mampu
meningkatkan kadar gula darah. Hasil pengukuran gula darah pada hari ke-7
setelah pemberian STZ menunjukkan peningkatan yang sangat bermakna
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Semua tikus yang diinduksi dengan STZ
mengalami peningkatan kadar gula darah hingga di atas 250 mg/dl (Tabel 5).
Tikus dinyatakan hiperglikemia dengan kadar gula darah > 250 mg/dL
(Doxey et al. 1995). Data ini mengindikasikan bahwa pembuatan hewan model
diabetes dengan menggunakan STZ yang memiliki efek diabetogenik telah
berhasil membuat tikus mengalami hiperglikemia.
Pemberian STZ dapat merusak sel beta pankreas (Gordon 1991), sehingga
menghambat sekresi insulin dalam pembuluh darah (Cooperstein 1981). Melalui
aktivitas alkalisasi DNA pankreas, STZ akan merusak DNA yang mengakibatkan
penurunan fungsi ATP (adenosin trifosfat) sebagai energi sel. STZ akan
menghambat siklus Krebs yang dapat mengurangi konsumsi oksigen dan
membatasi produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan deplesi
nukleotida dalam sel beta pankreas. Kerusakan tersebut akan menghambat
biosintesis dan sekresi insulin (Elsner 2000). Kekurangan insulin akan
menurunkan glukoneogenesis (Murray et al 2000) dan menyebabkan keadaan
hiperglikemia.
Tabel 5 Tingkat keberhasilan pembuatan model diabetes
Kelompok
Jumlah tikus yang
7 hari pasca induksi
peningkatan gula
perlakuan
diinduksi STZ
STZ (mg/dL)
darah (%)
K1
-
126.5
-
K2
3
557.67
77.32
T1
3
281.5
55.51
T2
3
469.5
73.06
29
44.2 Kadar Gula Darah
Pengukuran kadar gula darah dilakukan pada hari ke-7 dan 21 pasca
induksi STZ. Hasil pengukuran gula darah secara rinci dapat dilihat pada tabel di
bawah (Tabel 6).
Tabel 6 Rataan kadar gula darah pada kelompok tikus (Pratidina 2009)
Kelompok 7 hari pasca induksi 21 hari pasca induksi
Penurunan gula darah
perlakuan
STZ (mg/dL)
STZ (mg/dL)
(%)
K1
126.5
143.33a
-
K2
557.67
489.33b
12.25
T1
281.5
161.5a
42.63
T2
469.5
250ab
46.75
Huruf superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5% dengan uji BNJ
(Tukey test).
Hasil pengukuran kadar gula darah disajikan pada Gambar 3. Pada awal
pengukuran kadar gula darah terdapat perbedaan tingkat hiperglikemia dari
masing-masing kelompok perlakuan. Pengukuran kadar gula darah pada hari ke-7
pasca induksi STZ, diperoleh rataan kadar gula darah pada K2, T1 dan T2 seperti
yang terlihat pada Gambar 3 yakni 557.67 mg/dL, 281.5 mg/dL dan 469.5 mg/dL,
nilai tersebut menunjukkan kelompok tikus dalam keadaan hiperglikemia.
Sedangkan rataan kadar gula darah pada K1 yang digunakan sebagai kontrol
nondiabetes menunjukkan nilai yang normal yakni 126.5 mg/dL. Kadar gula darah
normal pada tikus antara 50-135 mg/dL (Malole 1989).
30
557.67
489.33b
600
469.50
500
281.50
400
Kadar gula darah
300
(mg/dL)
250.00ab
161.50a
143.33a
126.50
200
100
Hari ke-7
Hari ke-21
0
K1
K2
T1
T2
Kelompok Perlakuan
Gambar 3 Rataan kadar gula darah pada hari ke 7 dan 21 pasca induksi STZ.
Keterangan : K1 (kontrol negatif)= tidak diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, K2 (kontrol
positif)= diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, T1= diinduksi STZ dan diberi
tempe mengandung arginin 1.4%, T2= diinduksi STZ dan diberi tempe
mengandung arginin 1.6%.
Huruf superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5%
dengan uji BNJ (Tukey test).
Pengukuran kadar gula darah pada hari ke-21 pascainduksi STZ (hari
ke-14 pascapemberian diet tempe) terjadi penurunan kadar gula darah yang sangat
besar yaitu menjadi 161.5 mg/dL pada T1 dan 250 mg/dL pada T2 dengan
persentase penurunan kadar gula darah sebesar 43% untuk T1 dan 47% untuk T2.
Uji Tukey menunjukkan bahwa nilai kadar gula darah pada T1 dan T2
tidak berbeda nyata dengan K1. Perbedaan yang nyata terjadi pada T1 terhadap
K2, sedangkan T2 tidak berbeda nyata dengan K2 tetapi persentase penurunan
kadar gula darah pada T2 lebih besar daripada K2. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian diet tempe pada kelompok tikus yang diinduksi STZ berpengaruh
terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita hiperglikemia. Penurunan
kadar gula darah ini antara lain terjadi karena pengaruh kandungan isoflavon
dalam tempe.
Efek isoflavon dapat merangsang sekresi insulin oleh sel beta, mengontrol
metabolisme gula dan insulin serta sebagai antioksidan (Lu-MP et al. 2008).
Isoflavon genestein dan daidzein berperan dalam pengaturan gula darah
(Jonas 1995).
31
Lu et al. (2007) menyatakan bahwa pemberian diet tinggi isoflavon protein
kedelai (genestein equivalen 0.222 g/100 g diet) secara signifikan menurunkan
kadar gula serum, meningkatkan kadar serum insulin pada tikus diabetes.
Kandungan asam amino bebas tempe lebih tinggi 24 kali lipat. Nilai serat, vitamin
B kompleks, efisiensi protein, dan nilai asam lemak bebasnya juga lebih baik
sehingga
dapat
membantu
mencegah
terjadinya
diabetes
dengan
cara
meningkatkan kerja hormon insulin dalam mengatur gula darah di dalam tubuh.
Kandungan tinggi seratnya berfungsi mengendalikan kadar gula darah. Hal ini
yang menyebabkan tempe berperan sebagai sumber protein sempurna bagi
penderita diabetes (Alexis 2007).
4.3 Pengamatan Organ Pankreas dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin
Hasil pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) pada potongan jaringan
pankreas semua kelompok diamati terhadap morfologi sel-sel jaringan pankreas.
Pada pewarnaan HE bagian endokrin (pulau Langerhans) mengambil warna lebih
muda (merah muda) daripada bagian eksokrin dan di dalamnya ditemukan
pembuluh-pembuluh darah kapier (Wheater 1979). Pengamatan histopatologi
pankreas dilakukan dengan mengamati bentuk morfologi struktur jaringan
pankreas tikus yang diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE).
Hasil pengamaan histopatologis disajikan pada Gambar 4. Gambar 4
menunjukkan bahwa pada K1 terlihat adanya keteraturan susunan sel endokrin
yang menyebar di pulau Langerhans dengan bentuk sel yang seragam dan ukuran
sitoplasma terlihat proporsional terhadap besar inti serta tidak mengalami
perubahan (normal), sedangkan pada K2 menunjukkan adanya lesio pada jaringan
pankreas berupa degenerasi sel endokrin yang menuju nekrosa sel, degenerasi
protein dan lemak.
Gambaran histopatologi memperlihatkan bahwa pada K1 tidak mengalami
perubahan struktur morfologi pankreas. Dengan tehnik pewarnaan HE dapat
terlihat inti sel endokrin berwarna biru dengan bentuk lebih bulat dan nukleolus
tampak jelas, serta sitoplasma berwarna merah muda.
32
K1
K2
Gambar 4 Gambaran histopatologi pankreas.
Keterangan: K1 (kontrol negatif)= tidak diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, K2 (kontrol
positif)= diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, (
) menunjukkan distribusi sel
beta menyebar di sentral pulau Langerhans dengan ukuran sel yang sama besar,
(
) menunjukkan perubahan bentuk inti sel beta akibat degenerasi sel beta.
(Pewarnaan HE, Perbesaran objektif 40x)
Perubahan terlihat pada K2 yang diinduksi dengan STZ yaitu adanya
degenerasi sel endokrin. Degenerasi sel endokrin terlihat pada intinya yang
berubah bentuk menjadi polimorf (tidak seragam). Perubahan yang terjadi
digambarkan dalam bentuk perubahan inti sel endokrin menjadi lebih kecil
(piknosis) bahkan mulai menghilang hanya terlihat sitoplasma yang kosong berisi
deposit glikogen dan membesar tanpa inti serta bentuk sitoplasma yang
mengalami hiperkromatik. Selain itu juga terlihat adanya sitoplasma yang
menggumpal menunjukkan adanya denaturasi protein. Hal ini menjelaskan bahwa
pemberian STZ dapat merusak sel endokrin pankreas khususnya sel beta sehingga
sekresi insulin ke dalam pembuluh darah menurun.
Pada diabetes muda, umumnya beberapa sel beta menunjukkan
degranulasi lengkap dan sitoplasma yang kosong (Cooperstein 1981). Diantara
sitoplasma sel-sel beta yang kosong ditemukan adanya vakuola yang berisi
deposit glikogen. Perubahan vakuolar dalam sel beta dapat berasal dari deposit
glikogen dalam sitoplasma atau lesio degeneratif sebenarnya (ballooning
degeneration) (Goren et a.l 1988). Menurut Ressang (1963) perubahan-perubahan
pada sel-sel yang ditimbulkan oleh zat-zat yang mempunyai efek sitotoksik yakni
pengecilan pulau-pulau pankreas, pengurangan jumlah sel beta dan degranulasi,
vakuolisasi daripada sel-sel tersebut.
33
`
T1
T2
Gambar 5 Gambaran histopatologi pankreas.
Keterangan:
T1= diinduksi STZ dan diberi tempe mengandung arginin 1.4%, T2= diinduksi STZ
dan diberi tempe mengandung arginin 1.6%, (
) menunjukkan distribusi sel
beta mulai menyebar di sentral pulau Langerhans dengan ukuran sel hampir sama
besar, (
) menunjukkan perubahan bentuk inti sel beta akibat degenerasi sel
beta masih terjadi. (Pewarnaan HE, Perbesaran objektif 40x)
Pengamatan dengan teknik pewarnaan HE pada T1 dapat menunjukkan
adanya perubahan pada sel-sel pankreasnya (Gambar 5). Perubahan-perubahan
tersebut meliputi sel endokrin yang mulai melakukan regenerasi menuju bentuk
normal, walaupun masih ditemukan beberapa sel endokrin yang mengalami
degenerasi tetapi jumlahnya tidak lebih banyak dari T2. Gambar 5 menunjukkan
bahwa pada T2 memperlihatkan adanya proses regenerasi dari sejumlah sel
endokrin tetapi jumlahnya tidak lebih banyak dari T1. Sejumlah besar sel
endokrin pada T2 masih mengalami degenerasi yang hampir mendekati K2.
Gambaran histopatologi menunjukkan perubahan struktur morfologi
pankreas pada T1 yang tidak berbeda nyata dengan K1. Perbedaan yang nyata
terjadi pada T1 terhadap K2 dan T2 terhadap K1, tetapi T2 tidak berbeda nyata
terhadap K2. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian diet tempe mampu
memperbaiki lesio sel endokrin akibat induksi STZ sehingga sekresi insulin dapat
ditingkatkan. Tempe merupakan sumber protein kedelai dan isoflavon (genestain
dan daidzein), sehingga peran isoflavon genestain dan daidzein dalam pengaturan
gula darah antara lain dengan meningkatkan sekresi insulin oleh pulau Langerhans
pankreas (Jonas 1995).
34
Tabel 7 Pengamatan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia
Kelompok
Hematoksilin-eosin
Persentase distribusi sel endokrin
yang menyebar memenuhi pulau
Langerhans sebesar 90-100%.
K1
(Kontrol)
Ukuran sel endokrin seragam
dengan bentuk sitoplasma
proporsional terhadap besar inti sel.
Tidak ditemukan adanya perubahan
(lesio) pada sel endokrin.
K2
(kontrol
STZ)
T1
(STZ dan
tempe
arginin
1.4 %)
T2
(STZ dan
tempe
arginin
1.6%)
Terjadi degenerasi dan nekrosa sel
endokrin sehingga jumlah sel
endokrin yang normal adalah
20-30%.
Imunohistokimia
Populasi sel beta pada pulau
Langerhans menunjukkan reaksi
positif Ag terhadap Ab insulin
pada sel beta yang berwarna
coklat dengan persentase
90-100%.
Sel beta mensekresikan insulin
dalam jumlah banyak.
Populasi sel beta yang
menghasilkan insulin sangat
sedikit sekitar 20-30%, dengan
intensitas warna coklat ringan.
Ditemukan lesio pada sel endokrin
yang ditunjukkan pada sel yang
berukuran besar dan ukuran
sitoplasma yang tidak beraturan.
Persentase distribusi sel endokrin
pada pulau Langerhans yang normal
berkisar 70-80%.
Ditemukan degenerasi sel endokrin
dalam jumlah sedikit.
Persentase distribusi sel endokrin
normal pada pulau Langerhans
sebesar 30-40%.
Sel-sel beta yang menunjukkan
reaksi positif Ag terhadap Ab
insulin sel beta menghasilkan
insulin berjumlah 60-70% dari
populasi.
Distribusi populasi sel beta pada
pulau Langerhans yang
menghasilkan insulin adalah
sebesar 30-40%
Terjadi degenerasi- nekrosa sel
endokrin dalam jumlah yang cukup
besar.
Proses regenerasi sel endokrin terlihat pada T1 dan T2 yang ditunjukkan
dari hasil persentase distribusi sel endokrin. Hasil persentase distribusi sel
endokrin disajikan pada Tabel 7, yang menunjukkan bahwa persentase distribusi
sel endokrin pada T1 meningkat yaitu 60-70% dan mendekati K1 yaitu 90-100%,
sedangkan persentase distribusi sel endokrin pada T2 juga meningkat yaitu
30-40% dan peningkatannya tidak lebih tinggi dari T1 tetapi mendekati K2 yaitu
20-30%.
35
Perbedaan hasil persentase distribusi sel endokrin pada T1 dan T2 sangat
mungkin terkait dengan perbedaan tingkat keparahan hiperglikemia yang dialami
kedua kelompok tersebut yang pada awalnya kadar gula darah T2 lebih tinggi
daripada T1.
4.4.2 Pengamatan Insulin dengan Pewarnaan Imunohistokimia
Pengamatan terhadap potongan jaringan pankreas khususnya pada sel beta
yang diwarnai dengan imunohistokimia dilakukan secara deskriptif dengan
melihat populasi dan tampilan kadar reaksi Ag dan Ab sel beta yang mengalami
perubahan. Pengamatan dengan teknik pewarnaan imunohistokimia dapat terlihat
distribusi dari sel beta yang menghasilkan insulin dalam pulau Langerhans yang
ditunjukkan dengan sel yang berwarna coklat. Pulau Langerhans didominasi oleh
sel beta.
K1
K2
Gambar 6 Gambaran histopatologi pankreas.
Keterangan: K1 (kontrol negatif)= tidak diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, K2 (kontrol
positif)= diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, (
) menunjukkan reaksi positif
Ag terhadap Ab insulin pada sel beta yang berwarna coklat. (Pewarnaan
Imunohistokimia, Perbesaran objektif 40x)
Gambaran histopatologi dengan pewarnaan imunohistokimia terlihat pada
Gambar 6 yaitu pada K1 menunjukkan bahwa distribusi sel beta lebih
mendominasi dibandingkan K2. Pada K2 terlihat distribusi sel beta dalam pulau
Langerhans lebih sedikit sehingga jumlah hormon insulin yang dihasilkannya juga
lebih sedikit.
36
Kekurangan insulin pada anjing disebabkan oleh kekurangan pulau-pulau
Langerhans atau oleh struktur anormal daripada pulau ini (atrofi, degenerasi
hidropik, hialinisasi dan fibrosis pulau) (Ressang 1963). Hampir seluruh kasus
penderita diabetes melitus disebabkan oleh berkurangnya kecepatan sekresi
insulin oleh sel-sel beta pulau Langerhans (Guyton 1994).
T1
T2
Gambar 7 Gambaran histopatologi pankreas.
Keterangan : T1= diinduksi STZ dan diberi tempe mengandung arginin 1.4%, T2= diinduksi STZ
dan diberi tempe mengandung arginin 1.6%, (
) menunjukkan reaksi positif
Ag terhadap Ab insulin pada sel beta yang berwarna coklat. (Pewarnaan
Imunohistokimia, Perbesaran objektif 40x)
Gambaran histopatologi dengan teknik pewarnaan imunohistokimia pada
T1 dan T2 disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada T1 dan
T2 mulai mengalami pertambahan distribusi jumlah sel beta yang ditampilkan
pada sel yang berwarna coklat. Pertambahan jumlah sel beta pada T1 sangat
signifikan jika dibandingkan dengan T2.
Tampilan kadar reaksi positif Ag terhadap Ab insulin pada sel beta
diindikasikan pada sel yang berwarna coklat. Kadar reaksi positif dapat
ditunjukkan melalui nilai persentase distribusi populasi sel beta pada pulau
Langerhans. Nilai persentase distribusi populasi sel beta pada pulau Langerhans
disajikan pada Tabel 7. Distribusi sel beta pada K2 lebih sedikit jika dibandingkan
dengan K1. Hal ini disebabkan oleh pemberian STZ pada kelompok diabetes yang
dapat merusak sel beta sehingga menurunkan sekresi insulin ke dalam pembuluh
darah.
37
Persentase distribusi sel beta pada T1 meningkat yaitu 60-70% mendekati
nilai K1 yaitu 90-100%, sedangkan persentase distribusi pada T2 meningkat
sedikit yaitu 30-40% tetapi masih mendekati nilai K2 yaitu 20-30%. Nilai
distribusi sel beta akan berdampak pada sekresi insulin yang dihasilkan oleh sel
beta. Sekresi insulin pada T1 meningkat mendekati K1, sedangkan pada T2
meningkat mendekati K2. Peningkatan sekresi insulin mengindikasikan bahwa
pemberian diet tempe dapat memperbaiki distribusi sel beta penghasil insulin pada
pulau Langerhans.
Hasil
pengamatan
hematoksilin-eosin
(HE)
dan
imunohistokimia
menunjukkan bahwa pemberian diet tempe dapat memperbaiki gambaran
distribusi sel endokrin dan sel beta penghasil insulin pankreas pulau Langerhans
pada tikus model diabetes melitus. Kelompok T1 merupakan kelompok tikus
diabetes yang diberi diet tempe dengan kandungan arginin 1.4% menunjukkan
hasil yang lebih bagus jika dibandingkan dengan T2 yaitu kelompok tikus diabetes
yang diberi diet tempe dengan kandungan arginin 1.6%.
Perbedaan hasil ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya perbedaan
tingkat keparahan hiperglikemia yang dialami kedua kelompok tersebut yang pada
awalnya kadar gula darah T2 lebih tinggi daripada T1, kemudian adanya hukum
Hormesis dimana dalam obat herbal (dalam hal ini tempe) dengan pemberian
dosis yang ditingkatkan belum tentu menghasilkan hasil yang lebih baik.
Terkadang dengan dosis yang lebih sedikit dapat memberikan dampak yang lebih
baik.
Penggunaan dosis arginin 1.4% dan 1.6% dalam diet tempe belum
merupakan dosis yang optimum karena masih ada kemungkinan dosis yang lebih
kecil atau lebih besar dari 1.4% yang dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Sehingga perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk menentukan dosis kadar
asam amino arginin optimum yang dapat menurunkan kadar gula darah dan dapat
meningkatkan distribusi sel beta penghasil insulin pada penderita diabetes melitus.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Merujuk pada hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pemberian diet tempe terbukti dapat menurunkan kadar gula darah pada tikus
model diabetes melitus.
2. Secara histopatologi pemberian diet tempe dapat memperbaiki gambaran
distribusi sel endokrin pankreas pulau Langerhans pada tikus model diabetes
melitus.
3. Pemberian diet tempe dapat memperbaiki distribusi sel beta penghasil insulin
pulau Langerhans pada tikus model diabetes melitus.
5.2 Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan uji untuk mengetahui pengaruh
tingkat keparahan diabetes terhadap kerja tempe sebagai makanan obat. Perlu
dilakukan uji lebih lanjut untuk mengetahui kadar asam amino arginin optimum
yang dapat menurunkan kadar gula darah dan dapat meningkatkan distribusi sel
beta penghasil insulin pada penderita diabetes melitus.
DAFTAR PUSTAKA
Agranoff J, editor. 2001. The Complete Handbook of Tempe. Ed ke-2. Singapore:
American Soybean Association Southest Asia Regional Office.
Alberts J. 2000. What Does Research Say About Effectiveness of Glucosamine
and Chondroitin Sulfate Use in Osteoarthritis Sufferers. Di dalam:
Esther Ho, Leigh Anne Rice, editor. University of California.
Alexis.
2007.
Info
Diabetes :
Keunggulan
Konsumsi Tempe.
http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-14418.html [25 Juli
2009].
Anderson J, Blake JE, Turner J, Smith BM. 1998. Effect of soy protein on renal
function and proteinurea in patient with type 2 diabetes. American
Journal of Clinical Nutrition 68: 1347S-53S.
Anderson JW, Patti BG. 1994. Modern Nutrition in Health and Disease. Edisi
ke-8. California: Lea and Febiger.
[Anonim].
2003.
Regulation
of
blood
glocose
http://images.google.co.id/imgres. [10 April 2009].
level.
[Anonim]. 2006. Streptozotocin. http://answer.com/streptozotocin. [1 April 2009].
[Anonim]. 2007. Diabetes mellitus. http://pensilwarna.blogspot.com/2007/04/
diabetes-mellitus 16.html. [16 Februari 2009].
[Anonim].
2008a.
Tempe
makanan
rakyat
http://www.sportindo.com. [23 Februari 2009].
yang
[Anonim].
2008b.
Kedelai
dari
tempe
sampai
http://ads.kompas.com/www/delivery/ck. [15 Februari 2009].
[Anonim].
2008c.
Khasiat
tempe.
http://satubintang.wordpress.com/2008/01/21/ayo-makan-tempe/.
[19 Februari 2009].
Apriadji
H. 2009. Kedele dan Tempe Masih
http://www.docudesk.com. [ 24 Februari 2009].
Avidra.
2008.
Tempe
Besar
Manfaatnya
untuk
Perempuan.
http://avidra.multiply.com/journal/item/37. [16 Februari 2009].
Dianggap
mendunia.
susu.
Sepele.
Braunstern H. 1987. Endocrine Pathology. Ed ke-2. Washington DC: Mosby.
40
Cooperstein SJ, Dudley W. 1981. The Islets of Langerhans. New York :
Academic.
Dalimunthe D. 2004. Diabetes Mellitus : Peranan Insulin, Reseptor Insulin dan
Penanganannya. Medan : Universitas Sumatra Utara.
Doxey et al. 1995. Platelet-derived growth factor levels in wounds of diabetic rat.
Life Sciences. 57: 1111-1123.
Elsner M et al. 2000. Relative importance of transport and alkylation for
pancreatic betha-cell toxicity of streptozocin. Diabetologia. 43: 25281533.
Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Diterjemahkan oleh Rianto
Setiabudy, dkk. Jakarta : FKUI.
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-14. Jakarta : EGC.
Gordon GG, Skett. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Diterjemahkan oleh Iis
Aisyah B. Jakarta : UI-Press.
Goren HJ, Horllenberg MD, Roncari DAK. 1988. Insulin Action and Diabetes.
New York: Ravel Press. Page 272.
Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical Physiology).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Guyton AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Irawati
Setiawan. Jakarta : EGC.
Hermana, Mahmud M, Karyadi D. 2001. Composition and Nutritional Value of
Tempe : its role in the improvement of the nutritional value of food. Di
dalam : Agranof J, editor. The Complete Handbook of Tempe. Ed ke-2.
Jakarta : American soybean association
Irianto K. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung :
Irama Widya
Jonas JP et al. 1995. Multiple effects and stimulation of insulin secretion by the
tyrosine kinase inhibit organistein in normal mouse islets. British
Journal Pharmacological : 114:872-80
Laurence DR, Bennet PN. 1992. Clinical Pharmacology. Ed ke-7. Edinburgh,
London, Madrid, Melbourne, New York, Tokyo: Churcil livingstone.
Lu MP, Rui W, Song X, Wang X, Qing H, Wu ML. 2007. Modulation of
methylglyoxal and glutathione by soyben isoflavones in mild
streptozotocin-induced diabetic rats. Journal biochemistry :1-7.
41
Malole MBM dan Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi.
Bogor : Institut Pertanian Bogor
Marieb E.N. 1988. Essentials of Human Anatomy and Physiology. Ed ke-2.
California : Benyamin Cumming Publishing.
Misnadiarty. 2006. Diabetes Mellitus : Gangren, Ulcer, Infeksi, Mengenal Gejala,
Menanggulangi dan Mencegah Komplikasi. Jakarta : Pustaka Populer
Obor.
Murray RK, Granner DK, Mayesa PA, Rodwell VW. 2000. Harpers
Biochemistry. Ed ke-25. Stanford: Appletonan Lange.
Norman J. 1997. The important roles of insulin and glucagon : diabetes dan
hypoglycemia. http://images.google.co.id/imgres. [9 April 2009]
Pebroot, L.J. 1979. Endocrinology Vol 2. New York : Brune dan Stratton.
Pratidina VS. 2009. Pengaruh Diet Tempe terhadap Persembuhan Luka pada Kulit
Tikus Model Diabetes Melitus [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bbogor.
Ranakusuma A.B. 1992. Metabolit Endokrinologi Rongga Mulut. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Renold FA. 1982. Introduction : The Global Problem of Diabetes. Dalam
Diabetes Mellitus, Toumilehto, dkk. Naerobi : IDF
Ressang AA. 1963. Patologi Khusus Veteriner. Denpasar : Bali Cattle Desease
Investigation Unit.
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Alih bahasa:
Brahn U, editor: Beatricia IS. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Soegondo S. 2007. Diabetes, the sillent killer. http://medicastore.com/diabetes/..
[16 Februari 2009].
Soenarto H. 2005. Musnahkan Penyakit dengan Tanaman Obat : gangguan sistem
endokrin (hormon). Jakarta : Puspa Swara.
Spector W.G. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Spince AP, Mason EB. 1987. Human Anatomy and Physiology. Ed ke-3. Canada :
The Benyamin Cumming Publishing.
42
Sugano M. 2005. Soy in Health and Disease Prevention. New York : Tailor 7
Francis Group
Syafrina M, Sibarina S, Julita V, Pawiroharsono S. 1997. Pengaruh Jenis
Inokulum Terhadap Kandungan Senyawa Isoflavon pada Tempe
Kedelai. Media gizi dan Keluarga tahun XXI..
Szkudelski T. 2001. The mecanism of alloxan and streptozotocin action in betha
cell oft ratp. Physiology. 50 : 536-546.
[Tim FK UI]. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
Turner C.D. 1960. General Endokrinology. Ed ke-3. Philadelphia : W. B. Sauders.
Turner C.D and Bognara, J. 1969. General Endocrinology, Ed ke-6. London :
WB. Squnders.
Wheater PR, Burkitt HG, Daniels VG. 1979. Functional Histology. London :
Lonh Grup Limited
Underwood JCE. 1992. General and Systemic Pathology. Edinburgh London
Madrid Melbourne New York and Tokyo : Churchill Livingstone.
Yee YB, Basry AA, Purjhita A, Supriyono. 1999. Wacana Tempe Indonesia.
Surabaya : Universitas Mandala.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Skema Prosedur Pembuatan Tempe (Saono et. al. 1986, diacu dalam
Ghozali 2008)
Kedelai
↓
Ditimbang dan dicuci
↓
Direbus (1/2 jam, T : 99.5 0C)
↓
Direndam (kedelai masak) 28 jam
↓
Ditiriskan
↓
Pemberian inokulum Rhizopus oligosporus (strain ITBCC L-46) 4% dari berat
kedelai godok
↓
Fermentasi (48 jam)
↓
Tempe
44
Lampiran 2 Proses Preparasi Jaringan
Pankreas
↓
Fiksasi dalam buffer neutral formalin (BNF) 10% (24 jam)
↓
Stopping point alkohol 70%
↓
Dehidrasi dalam alkohol bertingkat
↓
Clearing dengan xylol
↓
Embedding dan block dalam parafin
↓
Pemotongan dengan mikrotom
45
Lampiran 3 Proses Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Sediaan pankreas
↓
Deparafinisasi → xylol III, II, I ( @ 2 – 3 menit )
↓
Rehidrasi → Alkohol absolut III, II, I → alkohol 95%, 90%, 80%, 70%
(@ 2 – 3 menit )
↓
Dicuci air mengalir (5 menit)
↓
Aquadest (5 menit)
↓
Pewarna Hematoxylin (8 menit)
↓
Dicuci air mengalir (5 menit)
↓
Aquadest (5 menit)
↓
Pewarna Eosin (3 menit)
↓
Aquadest (5 menit)
↓
Dehidrasi → Alkohol 70%, 80%, 90%, 95% → alkohol absolut I, II, III
↓
Clearing → Xylol I, II, III
↓
Tutup cover glass (mounting)
↓
Amati di mikroskop
46
Lampiran 4 Pewarnaan Imunohistokimia
Sediaan pankreas
↓
Deparafinisasi → xylol III, II, I ( @ 3 menit )
↓
Rehidrasi → Alkohol absolut III, II, I → alkohol 95%, 90%, 80%, 70% (@ 3
menit)
↓
Rendam dalam destiled water (DW)
↓
Bilas dengan larutan phosphat buffer saline (PBS) sebanyak 3 kali (@ 5 menit)
↓
Diberi pembatas dako-pen marker
↓
Inkubasi dengan normal serum (30 menit)
↓
Bilas dengan larutan phosphat buffer saline (PBS) sebanyak 3 kali (@ 5 menit)
↓
Inkubasi dengan Anti-Insulin di refrigerator (1 malam)
↓
Bilas dengan larutan phosphat buffer saline (PBS) sebanyak 3 kali (@ 5 menit)
↓
Reaksikan dengan Invision
↓
Bilas dengan larutan phosphat buffer saline (PBS) sebanyak 3 kali (@ 5 menit)
↓
visualisasi dengan Diaminobenzidin (DAB)
↓
Dicuci dengan destiled water (DW)
↓
Dehidrasi → Alkohol 70%, 80%, 90%, 95% → alkohol absolut I, II, III
↓
Clearing → xylol I, II, III
↓
Penutupan cover glass (mounting)
↓
Pengamatan di mikroskop
47
Lampiran 5. Kadar gula darah pada hari ke-7 dan 21 pasca induksi STZ
Kelompok tikus kontrol non diabetes (K1)
No. perlakuan
1
2
3
Hari ke-7 (mg/dL)
104
126
149
Hari ke-21 mg/dL)
117
167
146
Kelompok tikus kontrol diabetes (K2)
No. perlakuan
4
5
6
Hari ke-7 (mg/dL)
600
484
589
Hari ke-21 mg/dL)
552
320
596
Kelompok tikus diabetes diberi diet tempe mengandung arginin 1.4% (T1)
No. perlakuan
7
8
9
Hari ke-7 (mg/dL)
251
281
312
Hari ke-21 mg/dL)
152
159
171
Kelompok tikus diabetes diberi diet tempe mengandung arginin 1.6% (T2)
No. perlakuan
10
11
12
Hari ke-7 (mg/dL)
469
442
497
Hari ke-21 mg/dL)
250
182
318
Download