ISSN 1907 - 3046 Volume 9, Nomor 2 September - Desember 2014 Mutu Organoleptik Cider Jambu Biji (Psidium guajava) pada Varietas yang Berbeda Ida Nurhayati Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Peningkatan Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru dalam Kepatuhan Berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan Netty Panjaitan, Risma Dumiri, Tiurlan Indeks Plak Antara Gigi Berjejal dengan Gigi Tidak Berjejal Setelah Menyikat Gigi pada Siswa-Siswi SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014 Asmawati, Adriana Hamsar, Nurhamidah Hubungan Kebiasaan Menyikat Gigi Sebelum Tidur dengan Terjadinya Karies Gigi pada Siswa-Siswi SMP Swasta Darussalam Medan Tahun 2014 Ety Sofia Ramadhan Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Penggunaan Antibiotik di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo Rini Andarwati Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Presentasi Bokong pada Ibu Hamil di Rumah Sakit Umum Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 Setiawaty Suluhbara Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat dalam Upaya Peningkatan Kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2014 Adelima C. R. Simamora, Doni Simatupang, Agustina Boru Gultom Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Hipertensi pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Anak dan Balita Binjai dan Medan Tahun 2014 Abdul Hanif Siregar, Syarif Zen Yahya, Surita Ginting Manfaat Mengunyah Permen Karet yang Mengandung Xylitol dan Non Xylitol dalam Menurunkan Indeks Plak pada Siswa-Siswi Kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 Yetti Lusiani, Etty M. Marthias, Hasny Efektifitas Pemberian Soyghurt Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol dalam Darahmencit (Mus musculus) dengan Jumlah Bakteri Asam Laktat dan Suhu Inkubasi yang Optimum Rosmayani Hasibuan Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Terhadap Terjadinya Karies Gigi Molar 1 pada Siswa/i Kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua Tahun 2014 Rina Budiman Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan Terhadap Karies Gigi pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Ngena Ria, Susy Adrianelly Simaremare Pengaruh Berkumur dengan Larutan Teh Hijau Terhadap pH Saliva pada Siswa-Siswi SD Negeri 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014 Manta Rosma, Netty Jojor Aritonang Gambaran Tingkat Kecemasan Anak Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Siswa/i Kelas V-B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan Tahun 2014 Nelly Katharina Manurung Motivasi Anak dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi pada Siswa/i Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua Tahun 2014 Rosdiana T. Simaremare, Asnita Bungaria Simaremare Efektifitas Penyuluhan dengan Media Poster Terhadap Peningkatan Pengetahuan Tentang Kebersihan Gigi pada Siswa/i Kelas III dan IV di SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 Rawati Siregar, Sondang Gambaran Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Tentang Menyikat Gigi Terhadap def-t dan DMF-T pada Siswa-Siswi SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 Aminah Br. Saragih, Herlinawati Hubungan Frekuensi Minum Soft Drink Terhadap pH Saliva dan Angka DMF-T pada Siswa/i Kelas XI IPA MAN 2 Model Jalan Williem Iskandar No. 7A Kec. Medan Tembung Tahun 2014 Intan Aritonang Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan Intensitas Nyeri Persalinan Kala I Fase Laten di Klinik Delima Medan Tahun 2014 Dina Indarsita, Sri Utami, Rina Sari Uji Efek Penyembuhan Luka Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia Amygdalina.Del) pada Mencit Jantan Ernawaty, Tri Bintarti, Maya Handayani Kharakteristik Balita dan Sosio Demografi Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal Tahun 2014 Rina Doriana Pasaribu ISSN 1907-3046 JURNAL ILMIAH PANNMED (Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist) VOL. 9, NO. 2, SEPTEMBER-DESEMBER 2014 TERBIT TIGA KALI SETAHUN (PERIODE JANUARI, MEI, SEPTEMBER) Penanggung Jawab: Dra. Ida Nurhayati, M.Kes. Redaktur: Drg. Herlinawati, M.Kes. Penyunting Editor: Soep, SKp., M.Kes. Nelson Tanjung, SKM., M.Kes. Desain Grafis & Fotografer: Ir. Zuraidah, M.Kes. Dra. Ernawaty, M.Si., Apt. Yusrawati Hasibuan, SKM., M.Kes. Sekretariat: Sri Utami, SST, M.Kes. Elizawardah, SKM., M.Kes. Rina Doriana, SKM., M.Kes. Sumarni, SST. Hafniati Alamat Redaksi:P Jl. Let Jend Jamin Ginting KM 13.5 Kelurahan Laucih Kec. Medan Tuntungan Telp: 061-8368633 Fax: 061-8368644 DAFTAR ISI Editorial Mutu Organoleptik Cider Jambu Biji (Psidium guajava) pada Varietas yang Berbeda oleh Ida Nurhayati..........................................................90-92 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Peningkatan Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru dalam Kepatuhan Berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan oleh Netty Panjaitan, Risma Dumiri, Tiurlan…………..…...............................93-102 Indeks Plak Antara Gigi Berjejal dengan Gigi Tidak Berjejal Setelah Menyikat Gigi pada Siswa-Siswi SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014 oleh Asmawati, Adriana Hamsar, Nurhamidah..........................................103-106 Hubungan Kebiasaan Menyikat Gigi Sebelum Tidur dengan Terjadinya Karies Gigi pada Siswa-Siswi SMP Swasta Darussalam Medan Tahun 2014 oleh Ety Sofia Ramadhan.............................................................107-110 Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Penggunaan Antibiotik di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo oleh Rini Andarwati.............................................................111-118 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Presentasi Bokong pada Ibu Hamil di Rumah Sakit Umum Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 oleh Setiawaty Suluhbara…………............................................119-122 Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat dalam Upaya Peningkatan Kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2014 oleh Adelima C. R. Simamora, Doni Simatupang, Agustina Boru Gultom.………................................…...............123-127 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Hipertensi pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Anak dan Balita Binjai dan Medan Tahun 2014 oleh Abdul Hanif Siregar, Syarif Zen Yahya, Surita Ginting...........................................................128-133 Manfaat Mengunyah Permen Karet yang Mengandung Xylitol dan Non Xylitol dalam Menurunkan Indeks Plak pada Siswa-Siswi Kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 oleh Yetti Lusiani, Etty M. Marthias, Hasny.............134-137 Efektifitas Pemberian Soyghurt Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol dalam Darahmencit (Mus musculus) dengan Jumlah Bakteri Asam Laktat dan Suhu Inkubasi yang Optimum oleh Rosmayani Hasibuan...............................................................138-145 Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Terhadap Terjadinya Karies Gigi Molar 1 pada Siswa/i Kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua Tahun 2014 oleh Rina Budiman.........................146-149 Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan Terhadap Karies Gigi pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan oleh Ngena Ria, Susy Adrianelly Simaremare..150-152 Pengaruh Berkumur dengan Larutan Teh Hijau Terhadap pH Saliva pada Siswa-Siswi SD Negeri 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014 oleh Manta Rosma, Netty Jojor Aritonang................153-156 Gambaran Tingkat Kecemasan Anak Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Siswa/i Kelas V-B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan Tahun 2014 oleh Nelly Katharina Manurung....157-161 Motivasi Anak dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi pada Siswa/i Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua Tahun 2014 oleh Rosdiana T. Simaremare, Asnita Bungaria Simaremare..........................................................162-165 Efektifitas Penyuluhan dengan Media Poster Terhadap Peningkatan Pengetahuan Tentang Kebersihan Gigi pada Siswa/i Kelas III dan IV di SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 oleh Rawati Siregar, Sondang...........…...................................166-169 Gambaran Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Tentang Menyikat Gigi Terhadap def-t dan DMF-T pada SiswaSiswi SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 oleh Aminah Br. Saragih, Herlinawati...........................................................170-173 Hubungan Frekuensi Minum Soft Drink Terhadap pH Saliva dan Angka DMF-T pada Siswa/i Kelas XI IPA MAN 2 Model Jalan Williem Iskandar No. 7A Kec. Medan Tembung Tahun 2014 oleh Intan Aritonang..............................................................174-177 Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan Intensitas Nyeri Persalinan Kala I Fase Laten di Klinik Delima Medan Tahun 2014 oleh Dina Indarsita, Sri Utami, Rina Sari...............................................................178-183 Uji Efek Penyembuhan Luka Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia Amygdalina.Del) pada Mencit Jantan oleh Ernawaty, Tri Bintarti, Maya Handayani............................................................184-187 Kharakteristik Balita dan Sosio Demografi Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal Tahun 2014 oleh Rina Doriana Pasaribu......188-194 Diterbitkan oleh : POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN Jl. Jamin Ginting KM. 13,5 Kel. Lau Cih Medan Tuntungan Kode Pos : 20136 PENGANTAR REDAKSI Jurnal PANNMED merupakan salah satu wadah untuk menampung hasil penelitian Dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan. Jurnal PANNMED Edisi September-Desember 2014 Vol. 9 No.2 yang terbit kali ini menerbitkan sebanyak 21 Judul Penelitian. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Direktur atas supportnya sehingga Jurnal ini dapat terbit 2. Dosen-dosen yang telah mengirimkan tulisan hasil penelitiannya dan semoga dengan terbitnya jurnal ini dapat memberi semangat kepada dosen yang lain untuk berkreasi menulis hasil penelitian sehingga bisa diterbitkan ke Jurnal Pannmed ini. Akhir kata, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar jurnal ini dapat menjadi jurnal yang berkualitas seperti harapan kita bersama. Redaksi MUTU ORGANOLEPTIK CIDER JAMBU BIJI (Psidium guajava) PADA VARIETAS YANG BERBEDA Ida Nurhayati Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Indonesia termasuk negara penghasil buah-buahan. Dengan berlimpahnya buah-buahan maka dilakukan pengawetan. Cider (Anggur buah) merupakan salah satu cara pengawetan untuk menambah nilai ekonomis buah, selain itu cider merupakan salah satu minuman beralkhohol yang rasanya manis, mempunyai aroma harum dan khas dibuat melalui fermentasi khamir jenis Sacharomyces cerevisiae. Buah jambu biji mempunyai kadar vitamin C tinggi yaitu 87% dan vitamin A 25% serta kandungan karbohidrat 12,2%, selain itu juga mengandung zat mineral, besi, fosfat dan kapur.(Rismunandar,1997).Cider telah lama dikenal sejak berabad-abad yang lalu sebagai minuman tradisional Negara Timur Tengah dan Eropa. Adanya kemajuan teknologi kini minuman anggur tidak hanya dibuat dari beras atau buah anggur namun buah buahan yang rasanya manis juga dapat dibuat cider. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu organoleptik cider jambu biji dengan varietas yang berbeda (yaitu cider dari jambu biji biasa dibandingkan dengan cider dari jambu biji bangkok). Penilaian mutu organoleptik dilakukan dengan cara menilai warna, rasa, aroma dan konsistensi cider jambu biji. Selanjutnya dilakukan penghitungan kadar alkohol yang dihasilkan oleh cider tersebut. Penelitian ini bersifat eksperimen yang dilakukan pada tanggal 10-17 Maret 2003 di laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Gizi Poltekkes Medan. Pembuatan cider jambu biji biasa dan jambu biji bangkok masing-masing dilakukan dengan ulangan sebanyak dua kali. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) perlakuan dan 2 (dua) ulangan sehingga terdapat 4 (empat) unit percobaan. Terdapat perbedaan nyata rasa (F hitung 8,82 > F tabel 3,34) dan aroma (F hitung 10,44 > F tabel 3,34) antara cider jambu biji biasa dengan jambu biji bangkok. Namun warna (F hitung 2,24 > F tabel 4,20) dan kekentalan (F hitung 2,64 < F tabel 3,34) tidak menunjukkkan perbedaan nyata. Mutu organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma dan kekentalan cider jambu biji biasa lebih disukai dari pada jambu biji bangkok. Mutu organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma dan kekentalan cider jambu biji biasa lebih disukai dari pada jambu biji bangkok. Kandungan alkohol cider jambu biji biasa setelah fermentasi 7 hari adalah 13% sedangkan kandungan alkohol cider jambu biji bangkok 13,6%. Kata kunci: Mutu organoleptik, cider jambu biji PENDAHULUAN Pengawetan buah-buahan dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara antara lain dengan fermentasi. Cider (Anggur buah) merupakan salah satu minuman beralkhohol yang rasanya manis. Mempunyai aroma yang harum dan khas dibuat melalui fermentasi khamir jenis Sacharomyces cerevisiae. Buah jambu biji mempunyai kadar vitamin C tinggi yaitu 87% dan vitamin A 25% serta kandungan karbohidrat 12,2%, selain itu juga mengandung zat mineral, besi, fosfat dan kapur. Rismunandar (1997) mengatakan buah jambu biji umumnya digunakan oleh masyarakat untuk mencegah penyakit sariawan dan untuk meningkatkan daya tahan terhadap infeksi. Cider telah lama dikenal sejak berabad-abad yang lalu sebagai minuman tradisional Negara Timur Tengah dan Eropa. Adanya kemajuan teknologi kini minuman anggur tidak hanya dibuat dari beras atau buah anggur namun buah -buahan yang rasanya manis juga dapat dibuat cider. Jambu biji banyak dijumpai di pasaran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara tahun 2000 bahwa rata –rata produksi tanaman jambu biji adalah 16,43 ton meningkat dari tahun sebelumnya. Dengan demikian salah satu upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis jambu biji adalah dengan pembuatan cider atau anggur buah. Dari hal tersebut penulis mencoba meneliti pembuatan cider dari jambu biji dengan varietas yang berbeda, yaitu dengan menggunakan jambu biji biasa dibandingkan dengan jambu biji bangkok yang selanjutnya akan dinilai mutu organoleptiknya. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu organoleptik cider jambu biji dengan varietas yang berbeda (yaitu cider dari jambu biji biasa 90 dibandingkan dengan cider dari jambu biji bangkok). Penilaian mutu organoleptik dilakukan dengan cara menilai warna, rasa, aroma dan konsistensi cider jambu biji. Selanjutnya dilakukan penghitungan kadar alkohol yang dihasilkan oleh cider tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Warna merupakan daya tarik suatu produk makanan. Konsumen dalam memilih makanan pertama kali sangat dipengaruhi oleh warna. Warna cider jambu biji secara umum adalah hijau muda sampai dengan hijau tua. METODE TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN Penelitian ini bersifat eksperimen yang dilakukan pada tanggal 10-17 Maret 2003 di laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Gizi Poltekkes Medan. Pembuatan cider jambu biji biasa dan jambu biji bangkok masing-masing dilakukan dengan ulangan sebanyak dua kali. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) perlakuan dan 2 (dua) ulangan sehingga terdapat 4 (empat) unit percobaan. Bahan : Jambu biji bangkok dan biasa masing-masing 2 kg, gula pasir 1200 gr, ragi Sacharomyces cereviciae sebanyak 60 gr dan Aquadesh 2 ltr. Alat : Pisau, wakskom, timbangan duduk, blender, kain saring, gelas ukur, Erlenmeyer, inkubator, beaker glass, thermometer, autoclave, hot plate, spatula, selang fermentasi. Prosedur : Pembuatan starter dan sari buah 1) Jambu biji dikupas, dicuci dan dihancurkan dengan blender hingga menjadi bubur jambu biji. 2) Ditambahkan aquadesh 1:1 dari volume bubur jambu biji. 3) Disaring untuk diambil sarinya dan diukur volumenya. 4) Ditambahkan gula pasir 20% dari volume sari buah. 5) Diambil 100 ml sari buah kemudian ditambahkan ragi Sacharomyces cereviciae 1%. 6) Diaduk hingga rata dan dimasukkan kedalam inkubator selama 24 jam dengan suhu 30oC hingga timbul gas. 7) Sari buah selebihnya setelah diambil untuk pembuatan starter dipanteurisasi selama 1 jam dalam autoclave. Peragian/Fermentasi 1) Larutan starter yang sudah jadi dimasukkan ke dalam sari buah yang sudah dipasteurisasi dalam erlemmeyer. 2) Erlenmeyer ditutup menggunakan gabus yang tengahnya sudah diberi selang, kemudian ujung selang yang lain dicelupkan ke dalam beaker glass yang berisi air. 3) Diinkubasikan dalaminkubator selama 7 hari dengan suhu 30oC. Pemeraman1) Setelah fermentasi 7 hari, dilakukan pasteurisasi selama 1 jam dengan suhu 70oC. 2) Cider dipindahkan ke dalam botol yang sudah disterilkan. 3) Disimpan lagi ke dalam inkubator pada suhu 30oC selama 7 hari. Perhitungan kadar alkohol (UI, 1997) ta = t cider sebelum fermentasi– t aquadesh sebelum fermentasi tb = t cider sesudah fermentasi– t aquadesh sesudah fermentasi ∆t = tb – ta Dikonversikan dalam tabel Steinkrous t = titik didih Tingkat kesukaan konsumen yang meliputi warna, rasa, aroma dan kekentalan diujikan ke 30 orang panelis terlatih. Adapun skala pengukuran yang digunakan skala sebagai berikut : 1 = Tidak suka, 2 = Agak suka, 3 = Suka, 4 = Amat suka, 5 = Amat sangat suka. 91 2.63 KEKENTALAN 2.66 AROMA 1.93 2.43 RASA 2.06 2.7 2.43 WARNA 0 JAMBU BIJI BIASA JAMBU BIJI BANGKOK 2.76 2 4 6 Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara warna cider jambu biji biasa dan warna cider jambu biji bangkok (F hitung 2,24 < F tabel 4,20). Rasa cider jambu biji dalam penelitian ini terdapat perbedaan nyata antara rasa cider jambu biji biasa dan jambu biji bangkok ( F hitung 8,82 > F tabel 3,34). Rasa cider adalah manis disertai asam dan adanya rasa segar pada waktu diminum, hal ini disebabkan adanya proses fermentasi dalam pembuatan cider jambu biji. Bahan dasar cider ini adalah karbohidrat sehingga setelah difermentasikan dapat menghasilkan alkohol dan CO2 yang menyebabkan rasa segar dalam cider. Aroma merupakan bagian penting dan sangat menentukan kualitas minuman cider. Dalam penelitian ini terdapat perbedaan nyata antara aroma jambu biji biasa dengan jambu biji bangkok (F hitung 10,44 > F tabel 3,34) Aroma cider dalam penelitian ini adalah spesifik aroma jambu biji. Kekentalan cider jambu biji biasa dan jambu biji bangkok tidak menunjukkan perbedaan nyata (F hitung 2,64 < F tabel 3,34). Kekentalan cider dipengaruhi oleh bahan-bahan untuk pembuatan cider Yaitu jambu biji, ragi dan gula. SIMPULAN 1. 2. 3. 4. Warna cider jambu biji biasa tidak menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan dengan cider dari jamu biji bangkok dalam taraf agak suka dan suka. Rasa cider jambu biji biasa menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan dengan rasa cider dari jamu biji bangkok dalam taraf suka dan agak suka. Aroma cider jambu biji biasa menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan dengan cider dari jamu biji bangkok yaitu pada taraf agak suka. Kekentalan cider jambu biji biasa tidak menunjukkan perbedaan nyata dibanding dengan 5. 6. cider dari jamu biji bangkok yaitu pada taraf suka. Mutu organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma dan kekentalan cider jambu biji biasa lebih disukai dari pada jambu biji bangkok. Kandungan alkohol cider jambu biji biasa setelah fermentasi 7 hari adalah 13% sedangkan kandungan alkohol cider jambu biji bangkok 13,6%. RUJUKAN Ansori Rahman, 1999, Pengantar Teknologi Fermentasi, Depdikbud Dirjen Dikti PAU Pangan dan Gizi , IPB Bogor. Astawan, Made Wahyuni, Mia, 1991, Teknologi Tepat Guna. Akademika Presindo. Jakarta. Biro Pusat Statistik , 2000, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Bukle, K.A, 1978. Technology in Preservation, In a Course Manual in Food Science, Australian Vice Chancellors Committe. Daulay, Rahman Djunjun Ansori, 1992. Teknologi Fermentasi Sayur dan buah-buahan. Dep. P dan K, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Desrosier, Norman.W, 1988. Teknologi Pengawetan Pangan, UI, Jakarta. Fardiaz, Srikandi, 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjutan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kapti Rahayu dan Slamet Sudarmadji, 1988. Prosesproses Mikrobiologi Pangan, PAU Pangan dan Gizi UGM Yogyakarta. Rismunandar, 1997, Tanaman Jambu Biji, Sinar Baru Bandung. Santoso, Hieronymus Budi, 1996. Teknologi Tepat Guna Anggur Pisang, Kanisius, Yogyakarta. Winarno, F.G, 1995, Kimia Pangan dan Gizi, Gramedia, Jakarta Winarno, F.G, 1999, Sterilisasi Komersial Produk Pangan, Gramedia, Jakarta Winarno, F.G, 2000. Kerusakan bahan Pangan dan Cara Pencegahannya, Ghalia Indonesia Jakarta 92 PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENINGKATAN PERILAKU PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DALAM KEPATUHAN BEROBAT DI RINDU A3 RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Netty Panjaitan, Risma Dumiri, Tiurlan Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorang secara dinamis, yang didalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap, maupun praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu dan masyarakat (Notoatmodjo, 2010). Pendidikan kesehatan mendidik individu atau masyarakat supaya mereka dapat memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapi. Adapun tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap peningkatan perilaku penderita TB Paru dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan. Jenis penelitian quasi eksperimen dengan rancangan one group pre-post test. Populasi penelitian penderita yang dirawat di Rindu A3 RSUP Haji Adam Malik Medan dengan BTA (+) dengan besar sampel 40 responden dan tehnik pengambilan sampel secara accidental sampling. Metode pengumpulan data menggunakan kuisioner melalui pre-test dan post-test sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan. Analisa data dilakukan dengan uji t berpasangan dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan secara signifikan mengalami peningkatan dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai p=0.001 (α<0,05), sikap responden diperoleh nilai rata-rata dari 7,68 menjadi 8,02 dengan nilai p=0,006 yang secara uji statistik tidak terdapat perubahan secara signifikan sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan sedangkan tindakan responden secara signifikan menunjukkan peningkatan dari 2,78 menjadi 5,00 dengan nilai p= 0,001 (α<0,05). Disarankan petugas kesehatan terutama perawat ruang Rindu A3 RSUP H Adam Malik Medan memberikan penyuluhan kesehatan tentang TB Paru secara terprogram dan berkesinambungan untuk meningkatkan perilaku penderita dalam menjalankan regimen terapi secara maksimal dan mencegah penularan penyakit kepada anggota keluarga maupun orang lain. Kata kunci : Pendidikan Kesehatan, Perilaku, TB Paru PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyakit infeksi menular dan Indonesia menduduki urutan ketiga terbesar menderita Tuberkulosis Paru (William,G. 2008). Di negara-negara berkembang kematian TB Paru merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah dan diperkirakan 95% penderita TB Paru berada di negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif antara 15-50 tahun. (Depkes RI, 2008). Bakteri Mycobacterium Tuberculosis merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu pengobatan yang lama sekitar 6 sampai 8 bulan, dengan keberhasilan dapat di evaluasi dari hasil laboratorium Bakteri Tahan Asam/ BTA (+) menjadi BTA (-) pada akhir bulan ke-2 pengobatan (Depkes RI, 2008). Estimasi angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) untuk kota Medan sebesar 89.4 %. Berdasarkan wilayah administratif di Indonesia, sebaran angka temuan kasus tahun 2007, untuk 93 DKI Jakarta (88,14%), Sulawesi Utara (81,36%), Banten (74,62%), Jawa Barat (67,57%), Sumatera Utara (65,48%), Gorontalo (62,15%), Bali (61,39%), Jawa Timur (59,83%), DI Yokyakarta (53,23%), Sumatera Barat (51,36%) (Depkes RI, 2007). Cakupan penemuan penderita di beberapa Rumah Sakit pada bulan Januari s/d Maret 2011, di RSUD Dr Pirngadi Medan dari 422 suspek TB Paru, ditemukan BTA (+) 164 orang dan di RSUP H. Adam Malik Medan dari suspek 1031 orang, ditemukan BTA(+) sebanyak 124 orang (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2011). Meningkatnya beban masalah Tuberkulosis Paru disebabkan kurang memadainya tatalaksana TB paru, termasuk kegagalan menyembuhkan kasus yang telah di diagnosis (Depkes RI, 2008). Kegagalan keberhasilan tersebut menurut Amin (2006) akibat banyak faktor, diantaranya paduan obat yang tidak adekuat, dosis obat yang tidak cukup, tidak teratur minum obat, jangka waktu pengobatan yang kurang dari semestinya dan terjadinya resistensi obat, sedangkan faktor penyakit biasanya oleh karena disebabkan lesi yang terlalu luas, adanya penyakit lain yang mengikuti, adanya gangguan imunologis dan faktor penderitanya sendiri, seperti kurangnya pengetahuan mengenai TB Paru, kekurangan biaya, malas berobat dan merasa sudah sembuh. Sujayanto (2000), mengatakan pengobatan yang tidak teratur akan menyebabkan kekebalan terhadap obat. Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu, menimbulkan kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap obat Anti–tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR), yang pengobatanya menjadi sangat mahal, dengan lama pengobatan 18-24 bulan, dengan efek samping yang lebih berat (Depkes RI, 2008). Hasil penelitian Asmariani S (2012), mengatakan pengetahuan yang baik mempunyai peluang sebesar 23,22 kali patuh menelan Obat Anti TB (OAT) secara baik dan secara signifikan mempunyai peluang sebesar 13,00 kali patuh menelan OAT. Sejalan dengan penelitian Lumban Tobing T (2008) menyatakan pengetahuan yang kurang berpotensi 2,5 kali lebih besar dan sikap yang kurang 3,1 kali lebih besar terhadap penularan Tuberkulosis Paru. Penanggulangan Tuberkulosis Paru salah satunya dilaksanakan melalui promosi atau pendidikan kesehatan (Depkes, 2008). Pendidikan kesehatan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat, berfungsi sebagai media atau sarana untuk menyediakan kondisi sosio-psikologis sedemikian rupa sehingga individu atau masyarakat berperilaku sesuai dengan norma-norma hidup sehat. Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan bertujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan tindakan individu atau masyarakat sehingga sesuai dengan norma norma hidup sehat. Pendidikan kesehatan akan berpengaruh pada perilaku kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Jika penderita dan keluarga tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang pengobatan dan pencegahan penularan Tuberkulosis paru, maka akan sulit untuk menentukan sikap serta mewujudkannya dalam suatu perbuatan/tindakan. Pengetahuan dan sikap menentukan perilaku atau tindakan seseorang. Pengetahuan seseorang tentang TB Paru yang mencakup pengertian, penyebab, cara penularan, manfaat makan obat secara teratur serta cara pencegahan suatu penyakit. Pengetahuan merupakan domain terbentuknya suatu perilaku (Notoatmodjo, 2010). Pendidikan kesehatan secara langsung perorangan sangat penting, artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Pendidikan ditujukan kepada suspek TB Paru, penderita TB Paru dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur dan sampai sembuh serta tidak menularkan penyakitnya pada orang lain. (Depkes, 2005). Berdasarkan paparan diatas, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan B. Perumusan Masalah Bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Menganalisis pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan 2. Tujuan Khusus : a. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat sebelum diberikan pendidikan kesehatan di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan b. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat setelah diberikan pendidikan kesehatan di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan c. Untuk mengetahui peningkatan Perilaku penderita Tuberkulosis Paru sebelum dan setelah pendidikan kesehatan dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan. D. Hipotesis Ho : Ada pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan Ha : Tidak ada pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut : 1. Bagi Pihak Rumah Sakit secara khusus petugas kesehatan di ruang Rindu A3 RSUP. H. Adam Malik Medan agar melakukan secara kontiniu pendidikan kesehatan sebagai salah satu metode dalam promosi kesehatan untuk meningkatkan perilaku penderita TB Paru dalam menjalani pengobatan dan pencegahan bagi anggota keluarga dan orang lain 2. Bagi penderita : untuk meningkatkan perilaku penderita dalam menjalani pengobatan sampai sembuh 3. Bagi Peneliti : untuk meningkatkan pengetahuan tentang gambaran perilaku penderita dalam kepatuhan berobat sehingga membantu dalam program penanggulangan Tuberkulosis Paru 94 TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri seseorang yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu, dan masyarakat. Pendidikan kesehatan sesungguhnya merupakan suatu proses perkembangan yang berubah secara dinamis, yang didalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap, maupun praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat (Suliha, dkk., 2002). Pendidikan kesehatan pada dasarnya mendidik individu atau masyarakat supaya mereka dapat memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi. Pendidikan kesehatan berperan cukup penting dalam perubahan pengetahuan setiap individu (Sarwono, 2003). 2. Teori Perubahan Perilaku Batasan perilaku menurut Notoatmodjo (2007) dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah aktifitas dari manusia itu sendiri. Menurut Sarwono (2004) perilaku manusia merupakan hasil dari berbagai macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengalaman, sikap dan tindakan. Pengetahuan dan sikap merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang masih bersifat terselubung, yang disebut covert behaviour, sedangkan tindakan nyata seseorang sebagai respon terhadap stimulus adalah merupakan over behaviour. Menurut Sarwono (2004) batasan perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat sedangkan perilaku pasif tidak tampak, misalnya pengetahuan, persepsi atau motivasi. Beberapa ahli membedakan perilaku dalam tiga domain yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni melalui mata dan telinga. Ada 6 tingkatan pengetahuan yang tercakup dalam ranah kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu : Tahu (know), Memahami (comprehension), Aplikasi (application), Analisis, Sintesis dan Evaluasi (Notoatmodjo, 2007). Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2005). Notoatmodjo (2007), yang mengutip pendapat Achmadi, menjelaskan jenis sikap, yaitu : (a) sikap positif, yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima, 95 menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu beda; (b) Sikap negatif, menunjukkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma yang berlaku dimana individu itu berbeda. Tindakan adalah mekanisme dari suatu pengamatan yang muncul setelah seseorang mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian atau persepsi terhadap apa yang telah di ketahui untuk mewujudkan dalam suatu tindakan atau praktek. Suatu sikap belum otomatis tewujud dalam suatu tindakan. Agar terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung berupa fasilitas dan dukungan dari pihak lain. (Notoatmodjo, 2007). Ada 3 faktor penyebab mengapa seseorang melakukan perilaku tertentu, yaitu (a). faktor pemungkin, (b). Faktor pemudah, (c) faktor penguat. Ketiga faktor ini dipengaruhi oleh faktor penyuluhan serta organisasi. 3. Tuberkulosis Paru a. Pengertian Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang paru, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain. Basil penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37˚C (Depkes, 2007). b. Cara Penularan Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007). c. Resiko Penularan Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang di antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi atau gizi buruk. (Depkes RI, 2007). d. Gejala Klinis TB Paru Gejala utama penderita TB Paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007). e. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Depkes RI, 2007). f. Pemeriksaan Dahak Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga spesimen “Sewaktu Pagi Sewaktu” (SPS) dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan. B. Kerangka Teori Berikut kerangka teori pada gambar 1. dibawah ini: B. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan selama kurang lebih 5 bulan mulai bulan Juni sampai dengan bulan Nopember 2013 C. Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen (eksperimen semu) dengan rancangan one group pre-post test (Arikunto, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan D. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah semua penderita yang dirawat di Rindu A3 RSUP Haji Adam Malik Medan dengan BTA (+) sebanyak 157 orang yang dirawat pada bulan Juli - Agustus 2013. Tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling yaitu berdasarkan kebetulan siapa saja yang ditemui dan sesuai persyaratan data yang diinginkan. Menurut Arikunto (2002), bila terdapat populasi lebih dari 100 orang maka pengambilan sampel berkisar antara 10-15% atau 20-25% dari total populasi. Maka sampel penelitian ini adalah: 25/100 x 157 = 39,25. Jadi besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 40 responden. Pemilihan sampel penelitian didasarkan atas kriteria sebagai berikut : a. Kriteria inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : - Penderita TB Paru yang dirawat di Ruang Rindu A3 selama bulan Juli – Agustus 2013 - Dapat berkomunikasi secara verbal, dapat membaca dan menulis. - Usia diatas 17 tahun atau telah dewasa. - Tidak ada penyakit penyerta b. Kriteria ekslusi Kriteria ekslusi pada penelitian ini antara lain : - Penderita yang saat dilakukan penelitian sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan dilakukan penelitian, misalnya dalam kondisi lemah - Tidak bersedia menjadi responden. E. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner dimana data primer diperoleh melalui pre-test dan post-test. Data sekunder di peroleh melalui data medikal rekord RSUP H. Adam Malik Medan. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi dalam penelitian ini di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan di ruang Rindu A3 Medan. F. Metode Pengukuran Metode pengukuran variabel dalam penelitian ini menggunakan skala ordinal untuk mengukur pengetahuan, sikap dan tindakan responden. 1. Mengukur Pengetahuan didasarkan atas hasil pre test dan post test dengan 20 pertanyaan dengan kategori jawaban benar diberi skor 1, dan salah diberi skor 0. Selanjutnya jumlah 96 2. 3. skor tersebut dikonversi atas 3 kategori sesuai dengan Arikunto (2006), maka skor tertinggi 20, skor terendah adalah 0 dengan pengkategorian pengetahuan sbb : Pengetahuan Baik, jika total skor >76,7% atau skor benar ≥ 15 Pengetahuan Cukup, jika total skor 56,6% s/d 75% atau benar 11-14 Pengetahuan Kurang, jika total skor ≤ 55% atau skor benar ≤ 10 Untuk penilaian Sikap didasarkan atas hasil pre test dan post test dengan 10 pertanyaan, dengan 2 kategori jawaban yaitu Setuju diberi skor 1, dan Tidak Setuju skor 0 dengan pengkategorian sebagai berikut : Sikap Baik, jika total skor ≥ 50 % Sikap Tidak Baik, jika total skor < 50 % Untuk penilaian Tindakan didasarkan atas hasil pre test dan post test dengan 5 pertanyaan, dengan 2 kategori jawaban yaitu tindakan Baik diberi skor 1, dan Tidak Baik skor 0 dengan pengkategorian berikut : Tindakan Baik, jika total skor 5 Tindakan Tidak Baik, jika total skor < 5 G. Tehnik Pengolahan dan Analisa Data Tehnik pengolahan data menggunakan komputerisasi dengan cara terlebih dahulu pengecekan data yang sudah dikumpulkan, melakukan penilaian (skor), melakukan editing dan pengkodean pada data yang ada dan dibuat dalam bentuk tabel, distribusi frekuensi selanjutnya dianalisa menggunakan analisis univariat dan bivariat. Analisis Univariat menggunakan distribusi frekuensi dan statistik deskriptif untuk melihat karakteristik responden yang meliputi : jenis kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, Jenis bangunan rumah, Luas ventilasi, pendapatan, kategori pasien, sumber pencahayaan dan kondisi kamar. Analisis Bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan meilputi: pengetahuan, sikap dan tindakan responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan dengan menggunakan uji pair t-test dengan taraf kepercayaan 95% dan hasil analisa dikatakan bermakna (signifikan) jika nilai p value < 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Tempat Penelitian Rumah Sakit Haji Umum Pusat Adam Malik Medan adalah Rumah Sakit kelas A sesuai SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII 1990, juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai SK Menkes No. 502/Menkes/SK/-/1990. Rumah Sakit Haji Umum Pusat Adam Malik Medan memiliki 10 Poliklinik rawat jalan dan 2 instalasi ruang rawat inap : Rindu A unit rawat inap yaitu RA1, RA2, RA3, RA4 neurologi, RA4 bedah saraf, RA5 dan Rindu B yaitu RB1, RB2, RB3, RB4 anak. 2. Analisis Univariat Analisis univariat terhadap responden disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis bangunan rumah, luas ventilasi, pendapatan, kategori pasien, sumber pencahayaan dan kondisi kamar a. Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden yang dirawat Di Ruang Rindu A3 Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan No Karakteristik Responden n % 1 Jenis kelamin 25 66,7 - Laki-laki 15 33,3 - Perempuan 2 Umur (tahun) 11 27,5 - 24 - 34 9 22,5 25,0 - 35 – 45 10 22,5 - 46 – 56 9 2,5 - 57 – 67 1 - 68 – 78 3 Pendidikan 7 17,5 - SD 5 12,5 - SLTP 20 50,0 - SLTA 8 20,0 - Akademi/Sarjana 4 Status Perkawinan 9 22,5 - Tidak kawin 27 67,5 - Kawin 4 10,0 - Janda/duda 97 5 6 7 8 9 10 11 Pekerjaan - Wiraswasta - Petani - PNS/TNI/POLRI/Pensiunan - Tidak bekerja Jenis Bangunan Rumah - Permanen - Semi permanen - Darurat Luas Ventilasi - < 10% - 10 – 20% - >20% Pendapatan - < 1,4 jt - 1,4 – 2 jt - 2 – 3 jt - 3 – 5 jt - >5 jt Kategori pasien - Baru - Kambuh - Gagal - Pindahan - Defaulter Sumber Pencahayaan - Ya - Tidak Kondisi kamar - Kering - Lembab - Basah Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan jenis kelamin, responden penderita Tuberkulosis Paru mayoritas laki-laki sebesar 66,7% dan perempuan sebesar 33,3%. Berdasarkan kategori umur terbanyak responden pada rentang usia 24-34 tahun sebesar 27,5% diikuti responden rentang usia 46-56 tahun sebesar 25%. Berdasarkan jenjang pendidikan mayoritas responden berpendidikan SLTA yaitu sebesar 50%, sedangkan berdasarkan status perkawinan mayoritas responden kawin sebesar 67,5%. Berdasarkan tabel diatas juga dapat diketahui bahwa pekerjaan responden mayoritas wiraswasta yaitu sebesar 47,5%, sedangkan berdasarkan kondisi rumah mayoritas responden memiliki bangunan rumah permanen sebesar 85%. Berdasarkan luas ventilasi rumah, mayoritas (80%) luas ventilasi berkisar antara 10-20% luas bangunan, berdasarkan besarnya pendapatan responden, mayoritas (52,5%) berpenghasilan antara 1,4 juta – 2 juta per bulan. Berdasarkan kategori pasien : responden pasien baru sebesar 40%, responden kambuh dan gagal masing-masing sebesar 30%. Berdasarkan sumber pencahayaan, terdapat 60% rumah/kamar responden mendapatkan sinar matahari langsung dan berdasarkan kondisi rumah/kamar, kering sebanyak 62,5% dan lembab sebanyak 37,5%. b. 19 10 2 9 47,5 25,0 5,0 22,5 34 5 1 85,0 12,5 2,5 8 32 0 20,0 80,0 0 0 21 16 2 1 0 52,5 40,0 5,0 2,5 16 12 12 0 0 40,0 30,0 30,0 0 0 24 16 60,0 40,0 25 15 0 62,5 37,5 0 Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan Kesehatan dalam Peningkatan Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kategori Pengetahuan Responden sebelum dan Setelah Pendidikan Kesehatan di Ruang Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan Sebelum Setelah Kategori Pengetahuan N % n % Baik 0 0 40 100 Cukup 17 42,5 0 0 Kurang Baik 23 57,5 0 0 Total 40 100 40 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pengetahuan responden sebelum pemberian pendidikan kesehatan 57,5% berada pada tingkat pengetahuan Kurang Baik dan 42,5% berpengetahuan cukup, sedangkan pengetahuan responden setelah pendidikan kesehatan 100% berpengetahuan baik. 98 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kategori Sikap Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan Kesehatan di Ruang Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan Sebelum Setelah Kategori Sikap N % N % Baik 40 100 40 100 Tidak Baik 0 0 0 0 Total 40 100 40 100 Dari tabel 3 diatas untuk kategori sikap responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan 100% mempunyai sikap yang baik. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kategori Tindakan Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan Kesehatan di Ruang Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan Sebelum Setelah Kategori Tindakan n % N % Baik 5 12,5 40 100 Tidak Baik 35 87,5 0 0 Total 40 100 40 100 Dari tabel 4. diatas dapat dilihat bahwa tindakan responden sebelum pendidikan kesehatan 87,5% mempunyai tindakan yang tidak baik, setelah pemberian pendidikan kesehatan 100% responden memiliki tindakan yang baik. 3. Analisa Bivariat Analisis bivariat dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh sebelum dan setelah pendidikan kesehatan terhadap peningkatan Perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat di ruang Rindu A3 RSUP H Adam Malik Medan. Uji statistik yang digunakan adalah uji t berpasangan dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berikut ini sebaran data tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan Kesehatan dalam tabel dibawah ini. Tabel 5. Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan Kesehatan tentang Tuberkulosis Paru dalam Kepatuhan Berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H Adam Malik Medan Uji Statistik Kategori Nilai Pengetahuan Nilai t Nilai p rerata Sebelum 9,32 -19,626 ,000 Setelah 19,10 Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan yaitu dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai t = -19,62. Hasil uji t berpasangan diperoleh nilai p=0,001 (α<0,05) yang secara statistik menunjukkan terdapat perbedaan secara signifikan pengetahuan 99 responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan tentang Tuberkulosis Paru. Tabel 6. Sikap Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan Kesehatan tentang Tuberkulosisi Paru dalam Kepatuhan Berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H Adam Malik Medan Uji Statistik Kategori Sikap Nilai Nilai t Nilai p rerata Sebelum 7,68 -2,876 ,006 Setelah 8,02 Berdasarkan tabel 6 diatas, diketahui bahwa variabel sikap pada responden menunjukkan, terdapat perbedaan rata-rata nilai sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan yaitu dari 7,68 menjadi 8,02 dengan nilai t = -2,876 dan nilai p=0,006 (α > 0,05) yang berarti tidak terdapat perubahan sikap responden secara signifikan sebelum dan setelah pendidikan kesehatan. Tabel 7. Tindakan Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan Kesehatan tentang Tuberkulosisi Paru dalam Kepatuhan Berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H Adam Malik Medan Uji Statistik Kategori Tindakan Nilai rerata Nilai t Nilai p Sebelum 2,78 -10,738 .000 Setelah 5,00 Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa tindakan responden menunjukkan, terdapat perbedaan ratarata nilai sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan yaitu dari 2,78 menjadi 5,00 pada nilai t = 10,738 dan nilai p=0,001 yang berarti terdapat perbedaan secara signifikan tindakan responden sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan. Pembahasan 1. Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan kesehatan Dari data hasil penelitian tabel 2 pengetahuan responden sebelum pemberian pendidikan kesehatan mayoritas pengetahuannya kurang baik (57,5%), setelah diberi pendidikan kesehatan seluruh responden pengetahuannya menjadi baik (100%). Hasil uji t berpasangan pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05), untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan responden tentang Tuberkulosis Paru dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan yaitu dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai t = -19,626 dan nilai p= 0,001 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (tabel 7). Keadaan ini memberikan gambaran bahwa pemberian pendidikan kesehatan bermanfaat dalam peningkatan pengetahuan responden. Peranan pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat sangat penting karena ketidakteraturan berobat, putus berobat atau karena kombinasi obat anti tuberkulosis tidak adekuat menyebabkan timbulnya masalah resistensi obat anti tuberkulosis yang membutuhkan waktu pengobatan yang lebih lama , yaitu 18-24 bulan, biaya yang lebih besar dan efek samping obat yang lebih berat (Taufan, 2008). Keberhasilan pengobatan Tuberkulosis juga tergantung pada keadaan sosial ekonomi serta dukungan dari keluarga, sehingga adanya keinginan, dan upaya dari penderita serta dan dukungan keluarga sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses kesembuhan. Petugas kesehatan mempunyai peran bukan hanya memberi obat tetapi juga memberikan pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya, untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang resiko-resiko bila putus berobat, manfaatnya bila menelan obat secara teratur akan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara tuntas (Sari, 2005). William G (2008) menyatakan faktor terbesar untuk kesembuhan penderita adalah kepatuhan terhadap pengobatan, yang juga berdampak menurunkan resiko penyakit berkembang menjadi MDR Tuberkulosis, merupakan alasan utama menggunakan strategi DOTS yang dilaksanakan di pelayanan primer, yang salah satu dari lima elemen tersebut adalah menelan OAT tidak boleh terputus. Sesuai dengan teori bahwa pendidikan kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui tekhnik praktek belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau memengaruhi perilaku manusia secara individu, kelompok maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat. (Notoatmodjo, 2007). Sejalan dengan hasil penelitian Asmarani (2012) yang mengatakan bahwa pengetahuan yang baik mempunyai peluang sebesar 23,22 kali patuh menelan OAT secara baik dan secara signifikan mempunyai peluang sebesar 13,00 kali patuh menelan OAT. Penelitian lain yang dilakukan Lumban Tobing T (2008) di Kabupaten Tapanuli Utara menyatakan bahwa potensi penularan TB Paru 2,5 kali lebih besar pada yang berpengetahuan kurang dan 3,1 kali lebih besar pada yang bersikap kurang dalam pencegahan TB Paru. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori perilaku kesehatan, bahwa pengetahuan dapat mendasari seseorang untuk bertindak termasuk untuk bertindak melakukan pencegahan TB Paru. Upaya dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap pencegahan penularan TB Paru dilakukan melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan pada penderita TB Paru adalah suatu proses perubahan pada diri penderita yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu, yang didalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap, maupun praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat (Suliha, dkk., 2002). 2. Sikap Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan kesehatan Hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan bahwa sikap responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan 100% baik. Hasil uji t berpasangan pada taraf kepercayaan 95% diperoleh nilai rerata sikap responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan dari 7,68 menjadi 8,02 dengan nilai t = -2,876 dan p=0,006. Secara uji statistik tidak terdapat perubahan sikap responden secara signifikan sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap simulus. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu dengan kata lain fungsi sikap belum merupakan tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan prodisposisi perilaku atau tindakan. Allport (1954), dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu kepercayaan, ide dan konsep, evaluasi terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak Dengan perkataan lain fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan), atau reaksi tertutup. Seseorang yang diberi stimulus dalam hal ini pendidikan kesehatan, selanjutnya orang tersebut akan bersikap terhadap stimulus. Oleh sebab itu indikator untuk sikap kesehatan sejalan dengan pengetahuan kesehatan, yakni sikap terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana pendapat seseorang terhadap gejala, penyebab, cara pencegahan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Penderita TB Paru yang diberi pendidikan kesehatan, pengetahuannya akan meningkat, diikuti perubahan sikap menjadi baik, dan menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab untuk mematuhi program pengobatan. 3. Tindakan Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan kesehatan Berdasarkan tabel 4 mayoritas (87,5%) tindakan responden tidak baik sebelum diberikan pendidikan kesehatan dan 100% tindakan responden baik setelah pendidikan kesehatan. Hasil uji statistik pada tabel 7 terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum dan setelah pendidikan kesehatan yaitu dari 2,78 menjadi 5,00 dengan nilai t = -10,738 dan nilai p= 0,001 yang secara statistik menunjukkan terjadi peningkatan secara signifikan tindakan responden sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang TB Paru. Pendidikan kesehatan sebagai stimulus, menyebabkan seseorang mengadakan penilaian dan pendapat terhadap apa yang diketahuinya atau disikapinya dan selanjutnya diharapkan akan melaksanakan praktik atau tindakan kesehatan atau dikatakan perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan pada penderita TB Paru mencakup: menggunakan masker, menutup mulut pada waktu batuk, tindakan terhadap penutup mulut, membuang dahak ditempat tertutup dan diberi desinfektan dan alat 100 makan/minum untuk pasien dibuat tersendiri. Pendidikan kesehatan yang diberikan, meningkatkan pengetahuan, sikap yang baik, dan memerlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas (pemberian leaflet, masker) disertai advokasi berdampak meningkatkan perilaku berupa tindakan yang baik (100%). Menurut Green perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama (Notoadmodjo, 2010) yaitu : faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat (reinforcing factors). faktor predisposisi (predisposing factor) merupakan faktor utama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku dan disebut juga faktor pemudah. Peningkatan perilaku yang diharapkan adalah perilaku yang langgeng, adalah yang berdasarkan pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo, (2010) mengungkapkan bahwa sesorang mengadopsi perilaku baru melalui suatu proses yaitu awareness, interest, evaluation, trial dan adoption. awareness (kesadaran) diperoleh seseorang harus lebih dahulu mengetahui stimulus/objek, dan ketika objek diketahui, diupayakan objek tersebut menarik, sehingga sampai kepada tahap interest. Setelah tahap interest ini dilalui, seseorang itu akan mulai menimbang-nimbang baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, yang berarti sikapnya lebih baik. Sikap yang baik, membuat dirinya ingin mencoba perilaku baru, setelah dicoba dan ternyata dirasa menguntungkan, subjek/ penderita TB Paru telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan yang didapatnya, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Perilaku yang melalui proses ini, sifatnya berlangsung lama, karena perilaku ini sudah menjadi miliknya atau diadopsi. Peningkatan perilaku dalam bentuk tindakan pada penderita TB Paru, yaitu tindakan yang tadinya tidak menggunakan masker, batuk tidak menutup mulut, setelah mendapat pendidikan kesehatan, seluruh responden menggunakan masker, dan tissu yang digunakan untuk menutup mulut dikumpulkan di plastik dan dibuang ditempat sampah medik yang disediakan atau dibakar. Peningkatan stimulus ini juga disertai penyediaan fasilitas, yaitu dengan tersedianya masker . 2. 3. B. 1. 2. SIMPULAN DAN SARAN A. 1. 101 Simpulan Tingkat pengetahuan responden terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai t – 19,626. Hasil uji t berpasanagan pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) didapat nilai p = 0,001 yang berarti secara signifikan mengalami peningkatan pengetahuan responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan tentang TB Paru. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa upaya peningkatan pengetahuan dan sikap dalam pencegahan penularan TB Paru yang dilakukan melalui pendidikan kesehatan bermanfaat dalam peningkatan pengetahuan responden hal ini sesuai dengan teori perilaku kesehatan, bahwa pengetahuan 3. 4. dapat mendasari seseorang untuk bertindak termasuk untuk bertindak melakukan pencegahan TB Paru. Sikap responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan 100% baik. Hasil uji t berpasangan diperoleh nilai rata-rata sikap responden sebelum 7,68 dan setelah pendidikan kesehatan 8,02 dengan nilai t = -2,876 dan nilai p=0,006 yang secara uji statistik tidak terdapat perubahan sikap responden secara bermakna sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan. Mayoritas (87,5%) tindakan responden tidak baik sebelum diberikan pendidikan kesehatan dan 100% tindakan responden baik setelah pendidikan kesehatan. Hasil uji statistik terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum dan setelah pendidikan kesehatan yaitu 2,78 menjadi 5,00 dengan nilai t = -10,738 dan nilai p= 0,001 yang secara statistik menunjukkan terjadi peningkatan secara bermakna tindakan responden sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang TB Paru. Pendidikan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan perilaku kesehatan pada penderita TB Paru mencakup: menggunakan masker, menutup mulut pada waktu batuk, tindakan terhadap penutup mulut, membuang dahak ditempat tertutup dan diberi desinfektan dan alat makan/minum untuk pasien dibuat tersendiri. Saran Kepada RSUP H. Adam Malik Medan, diharapkan dapat memberikan penyuluhan kesehatan tentang TB Paru secara terprogram dan berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan pasien dalam menjalankan regimen terapi untuk memaksimalkan penyembuhan penyakit secara maksimal dalam waktu yang lebih singkat sehingga dapat menurunkan bahkan mencegah penularan penyakit kepada anggota keluarga. Kepada pasien, untuk dapat mewujudkan pengetahuan yang telah diberikan kedalam bentuk tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari, untuk mempercepat proses penyembuhan, mencegah keparahan penyakit dan penularan terhadap anggota keluarga dan orang lain Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan kelompok intervensi dan kelompok kontrol untuk lebih mengetahui efektifitas pemberian pendidikan kesehatan dalam peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan penderita TB Paru dalam kepatuhannya menjalankan regimen terapi Bagi Jurusan Keperawatan, sebagai referensi sumber bacaan tentang pengetahuan, sikap dan tindakan penderita Tuberkulosis Paru, untuk memperluas wawasan dan pengetahuan baik untuk pembelajaran pribadi maupun untuk khalayak umum. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S.2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta, Rineka Cipta Amin. 2006. Di dalam Asmariani , S. 2012. FaktorFaktor Yang Menyebabkan Ketidakpatuhan Penderita TB Paru Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Wilayah Kerja Puskesmas Gajah Mada Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir. Skripsi. PSIK Univeritas Riau. Aditama, T. 2002. Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Edisi ke empat. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta Asmariani, S. 2012. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Ketidakpatuhan Penderita TB Paru Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Wilayah Kerja Puskesmas Gajah Mada Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir. Skripsi. PSIK Univeritas Riau. Crofton, J. 2002. Tuberkulosis Klinis. Edisi Kedua. Widya Medika. Jakarta Depkes RI, 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Cetakan I, Edisi ke II, Jakarta. _________ 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis.Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.2012.Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2011. Medan Green, L.W. 1991 dalan Notoatmodjo 2007. Perencanaan Pendidikan Kesehatan Sebuah Pendekatan Diagnostik. Edisi terjemahan.Proyek Pengembangan FKM.Dep P dan K. Jakarta Hopewell Philip.C., 2006, Standard Internasional untuk Pelayanan Tuberculosis, Diagnosis, Pengobatan Kesehatan Masyarakat, alih bahasa Yusuf.A dkk, The Global Fund, Jakarta. Lumban Tobing, T. 2008. Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga Di Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis. Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara. Nursalam. 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Notoatmodjo, S. 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta ____________. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta. Rineka Cipta ____________. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta Rineka Cipta Sarwono S. 2004. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Jogyakarta : Gajah Mada University Pers. Sari (2005). Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap PMO Dengan Pencegahan Penyakit TB Paru Paru Di Puskesmas Pandanaran Kota Semarang. Semarang: UNIMUS. Siswanto. (2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan penderita TB Paru. Dikutip dari http://www.google.co.id/ pada tanggal 20 Agustus 2013 Taufan, S, 2006, Pengobatan Tuberculosis Paru Masih Menjadi Masalah. www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi, Senin 24/03/2008 Williams G, (2008) TB Guidelines for Nurses in the Care and Control of Tuberculosis and Multidrug Resistant Tuberculosis, ICN - International Council of Nurses 1201 Geneva (Switzerland). 102 INDEKS PLAK ANTARA GIGI BERJEJAL DENGAN GIGI TIDAK BERJEJAL SETELAH MENYIKAT GIGI PADA SISWA-SISWI SMP PAB 5 PATUMBAK TAHUN 2014 Asmawati1, Adriana Hamsar2, Nurhamidah3 Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Penyebab utama penyakit periodontal adalah plak. Plak gigi adalah deposit lunak yang melekat pada permukaan gigi dan terdiri atas mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak. Jenis penelitian ini dilakukan adalah analitik dengan metode eksperimen semu dan rancangan yang digunakan adalah “pre test and post test only group design”. Penelitian ini dilakukan dengan jumlah populasi 140 orang dan pengambilan sampel dilakukan pada siswa kelas 1 dan kelas 2 berjumlah 28 orang, yaitu 14 orang siswa/i yang memiliki gigi berjejal dan 14 orang siswa/i dengan gigi tidak berjejal. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh indeks plak rata-rata sampel gigi berjejal dan gigi tidak berjejal sebelum menyikat gigi dengan kategori baik yaitu (0,74) dan (0,87). Setelah dilakukan kegiatan menyikat gigi, rata-rata indeks plak siswa/i yang memiliki gigi berjejal maupun yang memiliki gigi tidak berjejal sama-sama dikategorikan baik yaitu 0,29 dan 0,36. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak. Kata kunci: Indeks plak, gigi berjejal, gigi tidak berjejal PENDAHULUAN WHO bekerja sama dengan Federation of National Dental Assosiation (FDI) dan International Assosiation of Dental Research (IADR) membuat tujuan globalnya dengan slogan „Global Goals for Oral Health 2020„.Tujuannya adalah untuk mengurangi penyakit gigi dan mengurangi dampaknya terhadap kesehatan dan perkembangan psikososial, dengan menekankan pentingnya kesehatan rongga mulut. Selain itu, mengurangi dampak manifestasi penyakit sistemik di rongga mulut pada seseorang dan memanfaatkan manifestasi ini untuk melakukan deteksi dini dan pencegahan serta penatalaksanaan penyakit sistemik. (WHO, 2003). Plak merupakan penyebab lokal dan utama terbentuknya penyakit gigi dan mulut yang lain seperti karies gigi (lubang gigi), kalkulus (karang gigi), gingivitis (radang pada gusi), periodontitis atau radang pada jaringan penyangga ggi. (Megananda, dkk. 2009). Gigi berjejal disebabkan oleh banyak faktor seperti gigi susu yang terlambat dicabut padahal gigi tetapnya sudah tumbuh. Bisa juga karena gigi susu dicabut sebelum waktunya, adanya gigi gigi berlebihan sehingga dapat menghalangi terjadinya oklusi normal. Kondisi dimana gigi berjejal merupakan salah satu faktor terjadinya penumpukan plak pada gigi. Sisa makanan yang menyangkut pada gigi yang berjejal mengakibatkan sulitnya saliva membersihkan sisa makanan tersebut. Apabila penyikatan gigi tidak 103 dilakukan dengan baik dan benar maka sisa makanan tersebut mengakibatkan terjadinya penumpukan plak. (Yowono, L., 2010) Setelah mengetahui bahwa gigi berjejal dapat menyebabkan penumpukan plak pada gigi sulit dibersihkan karena tidak terjangkau ketika menyikat gigi. Hasil survey awal diketahui bahwa pada siswa/i SMP PAB 5 Patumbak sebanyak 20% ditemukan siswa yang mempunyai gigi berjejal. Sehingga, peneliti tertarik untuk melihat perbedaan indeks plak antara siswa/i yang mempunyai gigi yang berjejal dengan gigi yang tidak berjejal setelah menyikat gigi. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi. Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan pengetahuan siswa-siswi bahwa gigi berjejal menyebabkan tumpukan plak yang sulit dibersihkan karena ada bagian gigi yang sulit dijangkau oleh sikat gigi 2. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi pihak sekolah tentang bahwa gigi berjejal lebih sulit dibersihkan daripada gigi yang tidak berjejal sehingga perlu ketelitian yang lebih untuk membersihkannya dan sebisa mungkin dirawat jika sudah parah. 3. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di perpustakaan Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan. Hipotesis Ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi. METODE PENELITIAN Jenis Dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang di gunakan adalah eksperimen dengan rancangan pre test and post test only group design, yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dan gigi tidak berjejal pada siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak. Populasi dan sampel penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa – siswi SMP PAB 5 Patumbak tahun 2014. Jumlah populasi dalam penelitian ini berjumlah 140 orang. Sampel penelitian ini adalah berjumlah 28 orang, siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak (20% dari populasi). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1.1. Analisa Univariat Analisa data secara univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden. Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran masing-masing Variabel independent (bebas) yaitu ratarata indeks plak gigi berjejal sebelum menyikat gigi. Tabel 1 Distribusi frekuensi indeks plak gigi berjejal sebelum menyikat gigi pada siswa-siwi SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014. Kriteria Jumlah siswa Jumlah indeks plak Baik 11 7,11 Sedang 3 3,24 Buruk 0 0 Jumlah 14 10,35 Rata-rata indeks plak 0,74 Dari tabel distribusi frekuensi diatas, dapat diketahui bahwa bahwa rata-rata skor indeks plak siswa/i gigi berjejal sebelum menyikat gigi di SMP PAB 5 Patumbak adalah 0,74 (Kriteria baik). Tabel 2 Distribusi frekuensi indeks plak gigi berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siwi SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014 Kriteria Jumlah Siswa Jumlah Indeks Plak Baik 14 4,06 Sedang 0 0 Buruk 0 0 Jumlah 14 4,06 Rata-rata indeks plak 0,29 Berdasarkan tabel distribusi frekuensi diatas, dapat diketahui bahwa dari 14 siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak tahun 2014 rata-rata indeks plak gigi berjejal setelah menyikat gigi adalah 0,29 (kriteria baik) Tabel 3. Distribusi frekuensi indeks plak gigi tidak berjejal sebelum menyikat gigi pada siswa-siwi SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014. Kriteria Jumlah siswa Jumlah indeks plak Baik Sedang Buruk Jumlah Rata-rata indeks plak 10 4 0 14 7,05 5,2 0 12,25 0,87 Dari tabel distribusi frekuensi diatas, dapat diketahui bahwa bahwa rata-rata skor indeks plak siswasiswi gigi tidak berjejal sebelum menyikat gigi di SMP PAB 5 Patumbak adalah 0,87 (Kriteria baik). Tabel 4 Distribusi frekuensi indeks plak gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siwi SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014 Kriteria Jumlah Siswa Jumlah Indeks Plak Baik 13 3,84 Sedang 1 1,1 Buruk 0 0 Jumlah 14 4,94 Rata-rata indeks plak 0,36 Berdasarkan tabel distribusi frekuensi diatas, dapat diketahui bahwa dari 14 siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak tahun 2014 rata-rata indeks plak gigi berjejal setelah menyikat gigi adalah 0,36 (kriteria baik) 1.2. Analisa Bivariat Analisa bivariat berguna untuk mengetahui perbedaan indeks plak gigi berjejal dan tidak berjejal sebelum dan sesudah menyikat gigi tahun 2014 dengan menggunakan uji t. Tabel 5 Perbedaan Indeks Plak Gigi Berjejal Sebelum dan Sesudah Menyikat Gigi pada siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014 Mean Indeks Karies Plak (Sebelum- Ada TOTAL Sig p tidak ada Setelah) F F % F % % Melakukan 5 12,5 11 27,5 16 40 0,00 Tidak 23 57,5 1 2,5 24 60 melakukan Total 28 70 12 30 40 100 Mean Indeks Plak N (SebelumSetelah) 0,21 14 t Std Sig (2Tailed) 95% 1,88 0,42 0,08 (-0,03-0,46) 104 Berdasarkan tabel diatas menunjukkan hasil Pired Sample Test untuk gigi berjejal sebelum dan setelah menyikat gigi bahwa dari 28 orang siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak terdapat rata-rata 0,21 dengan nilai t hitung sebesar 1,88. Standart Deviasi yang diperoleh adalah 0,42 dengan signifikan (p) 0,08 dan menggunakan tingkat kepercayaan 95%. Dari hasil diatas terlihat bahwa t hitung adalah 1,88 dengan nilai p 0,08. Oleh karena itu nilai p > 0,05 artinya tidak ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal sebelum dan setelah menyikat gigi. Tabel.6. Perbedaan Indeks Plak Gigi Tidak Berjejal Sebelum dan Setelah Menyikat Gigi Pada Siswa/i SMP PAB 5 Patumbak Mean Indeks N t Std p 95% Plak (SebelumSetelah) 0,21 14 1,88 0,42 0,08 (-0,03-0,46) Dari diatas menunjukkan hasil Pired Sample Test untuk gigi berjejal sebelum dan setelah menyikat gigi yaitu mean indeks plak sebelum dan setelah menyikat gigi pada gigi berjejal adalah 0,21 dengan jumlah sampel 28 orang dan menghasilkan nilai t hitung sebesar 1,88. Standart Deviasi yang diperoleh adalah 0,42 dengan signifikan (p) 0,08 dengan nilai p 0,08 (p > 0,05) maka tidak ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal sebelum dan setelah menyikat gigi. Pembahasan Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat ada tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak. Penelitian ini mengambil sampel siswa-siswi yang mempunyai gigi berjejal sebanyak 14 orang dan siswa-siswi yang mempunyai gigi tidak berjejal sebanyak 14 orang yang dipilih mulai dari kelas 1 sampai kelas 2 SMP PAB 5 Patumbak. Penyebab utama penyakit Periodontal adalah plak. Plak gigi adalah deposit lunak yang melekat pada permukaan gigi, terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak dalam suatu matrik interseluler jika seseorang melalaikan kebersihan gigi dan mulutnya. (Pintauli,dkk) Gigi berjejal atau crowded disebabkan banyak faktor. Gigi berjejal bisa terjadi akibat gigi susu yang terlambat dicabut padahal gigi tetapnya sudah tumbuh. Bisa juga karena gigi susu dicabut sebelum waktunya. Akibatnya rahang kurang berkembang dan gigi tetap yang tumbuh kemudian kekurangan tempat untuk tumbuh dalam posisi normal. Dari hasil penelitian ini program komputer dengan menggunakan uji t Dependent yang mencari ada tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi diperoleh hasil t hitung adalah 1,88 dengan nilai p 0,08. Oleh karena itu nilai p > 0,05 maka H0 diterima artinya “tidak ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal sebelum dan setelah menyikat gigi”. 105 Tidak adanya perbedaan indeks plak antar gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi terjadi dikarenakan oleh tidak semua counfonding variabel (variabel pengganggu) dikendalikan. Variabel pengganggu yang dikendalikan hanya jenis sikat gigi dan pasta gigi sedangkan tehnik menyikat gigi dan lama menyikat gigi tidak dikendalikan. Teori ini yang mendukung peneliti untuk tidak mengendalikan tehnik menyikat gigi dalam mencari ada tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa/i SMP PAB 5 Patumbak. Hasil yang didapat dengan uji t Dependent dihasilkan bahwa tidak adanya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa/i SMP PAB 5 Patumbak. Walaupun hasil yang diperoleh tidak ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal, bagi yang memiliki gigi berjejal harus lebih teliti untuk membersihkan giginya karena bagi gigi berjejal mempunyai peluang yang lebih besar untuk terjadinya penumpukan plak dikarenakan ada bagian-bagian gigi yang sulit dijangkau oleh sikat gigi. Dan bagi yang memiliki gigi tidak berjejal agar tidak mengabaikan kebersihan gigi dan mulutnya. Untuk memperoleh hasil pembersihan plak gigi yang optimal diharapkan agar menyikat gigi dengan cara yang baik dan benar. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa bagi yang memiliki gigi normal (tidak berjejal) untuk tidak mengabaikan kebersihan gigi dan mulutnya. Walaupun gigi tidak berjejal lebih mudah dibersihkan daripada gigi yang berjejal namun jika mengerti atau terampil dalam membersihkannya, maka tidak ada perbedaan dengan gigi berjejal yang memang terdapat kesulitan dalam membersihkannya karena ada bagian-bagian gigi yang tidak terjangkau oleh sikat gigi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Rata-rata indeks plak sebelum menyikat gigi pada gigi berjejal 0,74 (Baik) dan rata-rata indeks plak pada gigi tidak berjejal 0,87 (Baik). Setelah dilakukannya kegiatan menyikat gigi rata-rata indeks plak pada gigi berjejal sama-sama baik. Rata-rata indeks plak gigi berjejal 0,29 dan gigi tidak berjejal 0,36. 2. Hasil Dependent Sample Test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak. Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi disarankan: 1. 2. Gigi yang berjejal menyebabkan tumpukan plak yang ada sulit dibersihkan karena ada bagianbagian gigi yang sulit terjangkau oleh sikat gigi, oleh karena itu perlu ketelitian yang lebih dalam membersihkannya dan sebisa mungkin dirawat jika parah. Menyikat gigi dengan cara yang baik dan benar agar memperoleh kebersihan gigi dan mulut yang optimal. DAFTAR PUSTAKA Nurjannah N, 2012. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Oral Health Promotion through Schools. WHO Information Series on School Health. Document 8. Geneva: WHO; 2003. H P Megananda, Herijulianti E, Nurjanah N. 2009. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Buku Ajar. Poltekkes Depkes. JKG Bandung. Erwin N, 2013. Seputar Kesehatan Gigi dan Mulut, Penerbit Rapha Publishing, Yogyakarta. M. Sopiyudin Dahlan 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika Pintauli, S., 2007. Menuju Gigi dan Mulut Sehat. USU Press. Medan. Yuwono, L., 2007. Plak Gigi sumber penyakit Gigi dan Mulut, http://Lilliana Yuwono.wordpress.com/plak gigi/ diakses tanggal 20 desember. 106 HUBUNGAN KEBIASAAN MENYIKAT GIGI SEBELUM TIDUR DENGAN TERJADINYA KARIES GIGI PADA SISWA-SISWI SMP SWASTA DARUSSALAM MEDAN TAHUN 2014 Ety Sofia Ramadhan Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Menyikat gigi termasuk bagian perawatan gigi dan mulut yang harus dilakukan secara personal, menyikat gigi adalah persoalan yang sangat relatif mudah dilakukan sehingga hal ini perlu ditumbuhkan menjadi suatu kebiasaan. Sebagai kebiasaan yang perlu di wajibkan, kegiatan menyikat gigi seharusnya dilakukan minimal 2 kali sehari yaitu pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau membuktikan apakah ada hubungan menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi pada siswa-siswi SMP swasta Darussalam Medan. Penelitian ini menggunkan uji chi-square, data primer didapat melalui kuesioner dan pemeriksaan langsung ke rongga mulut siswa, sampel penelitian sebanyak 40 orang siswa – siswi SMP Swasta Darussalam Medan. Dari hasil penelitian yang ditemukan mayoritas responden yang menyikat gigi sebelum tidur frekuensi terjadinya karies sebanyak 12,5 %, responden yang tidak melakukan menyikat gigi sebelum tidur frekuensi terjadinya karies 57,5%, nilai p (0,00) ; p < 0,05, secara statistik ada hubungan yang bermakna. disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi. Kata kunci: Kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur, karies gigi PENDAHULUAN Masalah kesehatan gigi dan mulut menjadi perhatian yang penting dalam pembangunan kesehatan yang salah satunya disebabkan oleh rentannya kelompok anak usia sekolah dari gangguan kesehatan gigi. Usia sekolah merupakan masa untuk meletakkan landasan kokoh bagi terwujudnya manusia berkualitas dan kesehatan merupakan faktor penting yang menentukan kualitas sumber daya manusia ( Warni, 2009 ). Tujuan dari sikat gigi adalah untuk memelihara kebersihan dan kesehatan mulut terutama gigi serta jaringan sekitarnya. Menurut Boediharjo tujuan pembersihan gigi adalah untuk menghilangkan plak dari seluruh permukaan gigi. Menyikat gigi dianjurkan untuk membersihkan seluruh deposit lunak dan plak pada permukaan gigi dan gusi. Menyikat gigi yang tepat pada waktunya ialah pagi sesudah sarapan dan malam sebelum tidur. Gangguan kesehatan yang sangat khas dan sering terjadi pada anak-anak adalah penyakit gigi berlubang atau yang dikenal dengan karies gigi (Sudarmoko, 2011). Gigi berlubang atau karies adalah penyakit jaringan keras gigi akibat aktivitas bakteri yang menyebabkan terjadinya pelunakan dan selanjutnya lubang pada gigi (Poltekkes Kemenkes Jakarta, 2012 ). 107 Usia anak 12 tahun adalah usia penting untuk diperiksa karena umumnya anak-anak meninggalkan bangku sekolah dasar pada umur 12 tahun. Selain itu, semua gigi permanen diperkirakan sudah erupsi pada kelompok umur ini kecuali gigi molar tiga. Berdasarkan ini, umur 12 tahun ditetapkan sebagai umur pemantauan global untuk karies ( Karjati, 2010). Hasil Depkes RI (2002) dalam Warni (2009) menyimpulkan bahwa masalah kesehatan gigi dan mulut yang paling dikeluhkan adalah penyakit karies gigi. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 disebutkan pula bahwa prevalensi karies gigi aktif pada umur 10 tahun ke atas sebesar 52% dan akan terus meningkatkan seiring dengan bertambahnya umur hingga mencapai 63% pada golongan umur 45-54 tahun, khusus pada kelompok umur anak usia sekolah dasar sebesar 66,8%-69,9% (Depkes RI, 2004). Sampai saat ini karies masih merupakan problem dalam ilmu kedokteran gigi dan ini prevalensinya cukup tinggi. Karena itu penanggualangannya, terutama pencegahannya tetap memerlukan perhatian, apalagi dengan perubahan pola makan seperti yang terjadi di Indoneisa sekarang ini . makanan yang lebih praktis dan cepat saji lebih disukai, makanan kecil yang sangat mudah diperoleh dalam kemasan menarik, tetapi umumnya bersifat kariogenik, dipromosikan dengan bantuan iklan yang menggoda, yang menyebabkan anak-anak lebih tertarik (Sundoro, 2007). Menyikat gigi sangat penting dalam mencegah terjadinya karies. Karena salah satu faktor yang dapat menurunkan frekuensi karies gigi yaitu menyikat gigi sesudah makan dan sebelum tidur selain itu waktu yang dianjurkan dalam menyikat gigi maksimal 5 menit, menyikat gigi pada waktu pagi hari sesudah sarapan bertujuan untuk membersihkan sisasisa makanan yang melekat di permukaan gigi, sedangkan menyikat gigi pada waktu malam hari bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang melekat pada permukaan gigi, dan begitu pentingnya menyikat gigi sebelum tidur karena kuman-kuman yang di dalam mulut beraktifitas, dan aktifitas kuman di malam hari biasanya akan meningkat 2 kali lipat di bandingkan pada siang hari karena saat tidur di mana mulut tidak melakukan aktifitas seperti makan minum, atau berbicara. kemampuan saliva yang berfungsi untuk menetralisir kuman-kuman dalam mulut juga berkurang dan sebanyak apapun kuman dalam mulut, bila kita sudah menyikat gigi dan kondisi mulut sudah bersih dapat di pastikan tidak akan terjadi karies atau peradangan pada gusi yang mengakibatkan terjadinya pembentukan karang gigi (miamiauculz, 2009). Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti maka peneliti melakukan penelitian untuk melihat hubungan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. Penelitian ini dilakukan pada siswa SMP swasta Darussalam Medan. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies. Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan pengetahuan siswa-siswi dalam menerapkan ilmu tentang waktu menyikat gigi 2. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi pihak sekolah tentang kejadian karies gigi pada siswasiswi SMP Swasta Darussalam Medan. 3. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di perpustakaan Jurusan Keperawatan Gigi politehnik kesehatan Medan. Hipotesis Adanya pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dengan terjadinya karies gigi. METODE PENELITIAN Jenis Dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang di gunakan adalah analitik dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan menyikat gigi sebelum tidur (independent) dengan karies gigi (dependent) pada siswa – siswi SMP Swasta Darussalam medan. Populasi dan sampel penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karateristik tentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Setiawan, 2010). Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi ( Saryono, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa – siswi SMP swasta Darussalam Medan tahun 2014. Jumlah Populasi dalam penelitian ini berjumlah 471 orang. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan diteliti yang dianggap mewakili seluruh populasi (Arikunto ; 2006), sampel penelitian adalah berjumlah 40 orang, siswa-siswi SMP Swasta Darussalam Medan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1.2. Analisa Univariat Analisa data secara univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden. Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran masing-masing Variabel independent (bebas) yaitu menyikat gigi sebelum tidur dan variabel dependent yaitu karies gigi. Tabel 1 Distribusi frekuensi menyikat gigi sebelum tidur malam pada siswa-siswi SMP Swasta Darussalam Medan Tahun 2014. Menyikat gigi frekuensi Proporsi (%) sebelum tidur Melakukan 16 40 Tidak dilakukan 24 60 Jumlah 40 100 Dari tabel distribusi frekuensi diatas, dapat diketahui bahwa yang menyikat gigi sebelum tidur sebanyak 16 orang (40%) dan yang tidak menyikat gigi sebelum tidur sebanyak 24 orang (60%). Tabel 2 Distribusi frekuensi karies gigi siswa-siswi swasta Darussalam Medan Tahun 2014 Karies Frekuensi Proporsi (%) Ada 28 70 Tidak ada 12 30 Jumlah 40 100 Berdasarkan tabel distribusi frekuensi diatas, dapat diketahui bahwa dari 40 siswa-siswi Swasta Darussalam Medan tahun 2013 karies gigi sebanyak 28 orang (70%) dan tidak karies gigi sebanyak 12 orang (30%). 1.2. Analisa Bivariat Analisa bivariat berguna untuk mengetahui hubungan menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi pada siswa-siswi SMP swasta Darussalam Medan tahun 2014 dengan menggunakan uji chi-square. 108 Tabel 3 Distribusi frekuensi hubungan kebiasan menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadi karies pada siswa-siswi SMP Swasta Darussalam Medan Tahun 2014 Menyikat gigi sebelum tidur Ada Karies tidak ada TOTAL F 5 % 12,5 F 11 % 27,5 F 16 % 40 Tidak melakukan 23 Total 28 57,5 70 1 12 2,5 30 24 40 60 100 Melakukan Sig p 0,00 Berdasarkan tabel tabulasi silang diatas, diketahui bahwa dari 40 orang siswa-siswi SMP yang melakukan sikat gigi sebelum tidur 16 orang (40%) dimana yang menderita karies gigi sebanyak 5 orang (12,5%) dan yang tidak mengalami karies gigi 11 orang (27,5%), yang tidak melakukan sikat gigi sebelum tidur sebanyak 24 orang (60%) dimana yang menderita karies gigi 23 orang (57,5%) dan yang tidak menderita karies gigi sebanyak 1 orang (2,5%). Untuk menganalisa hubungan menyikat gigi sebelum tidur dengan karies gigi sig α (0,05), dari nilai signifikasinya probabilitas menyikat gigi sebelum tidur dengan karies adalah sig p (0,00)< nilai sig α (0,05). Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan menyikat gigi sebelum tidur dengan karies. Pembahasan Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang tidak menyikat gigi sebelum tidur sebanyak 24 orang (60%) yang menyikat gigi sebelum tidur sebanyak 16 orang (40%). Hal ini menunjukan bahwa lebih banyak siswa SMP Swasta Darussalam yang tidak menyikat gigi gigi sebelum tidur malam, sementara waktu yang terbaik untuk menyikat gigi salah satunya adalah sebelum tidur. Sesuai pendapat Sudarmoko (2011), waktu yang terbaik untuk menyikat gigi adalah setelah makan dan sebelum tidur Menyikat gigi setelah makan bertujuan mengangkat sisa – sisa makan yang menempel di permukaan ataupun disela – sela gigi dan gusi. Sedangkan menyikat gigi sebelum tidur berguna untuk menahan perkembangbiakan bakteri dalam mulut karena dalam keadaan tidur tidak diproduksi ludah yang berpungsi membersihkan gigi dan mulut secara alami, untuk itu gigi harus dalam kondisi bersih selama tidur. Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang memiliki karies gigi sebanyak 28 orang (70%) dan yang tidak memiliki karies gigi sebanyak 12 orang (30%). Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar siswa-siswi SMP swasta Darussalam Medan menderita karies gigi. Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian yang terintegrasi dari kesehatan secara keseluruhan, sehingga perihal kesehatan gigi dan mulut perlu dibudayakan di seluruh lingkungan keluarga dan masyarakat. Data terbaru riset kesehatan tahun 2007 oleh Depertemen Kesehatan RI menunnjukan bahwa 72,1% penduduk mempunyai pengalaman karies (gigi berlubang). Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang melakukan sikat gigi sebelum tidur 24 orang (60%) menderita karies gigi sebanyak 5 orang (12,5%) dan yang 109 tidak karies sebayak 11 orang (27,5%), yang tidak melakukan sikat gigi sebelum tidur 16 orang (40%) yang menderita karies 23 orang (57,5%) dan tidak karies 1 orang (2,5%) Setelah dilakukan uji statistik chi-square dengan tindakan kepercayaan 95% dengan sig α (0,05) bahwa nilai signifikasi propabilitasnya menyikat gigi sebelum tidur dengan karies gigi adalah sig p (0,00) < nilai sig α (0,05). Hal ini membuktikan bahwa “ Ada hubungan menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi pada siswa-siswi SMP swasta Darussalam Medan”. Hasil ini sesuai dengan penelitian Bedi Oktrianda (2011) karies menjadi salah satu bukti tidak terawatnya kondisi gigi dan mulut masyarakat Indonesia. Menyikat gigi merupakan masalah yang sering diabaikan oleh masyarakat. Penyebab karies gigi salah satunya karena sisa makanan yang menempel pada permukaan gigi. Upaya preventif yang paling efektif adalah menjaga kebersihan gigi dan mulut dari sisa-sisa makanan yang menempel pada gigi. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya dengan menyikat gigi secara teratur dan benar, antara lain dilakukan setelah makan atau saat akan tidur malam. Mengingat pentingnya fungsi gigi maka sejak dini kesehatan gigi anak-anak perlu diperhatikan dalam rangka tindakan pencegahan karies gigi. Walaupun kegiatan menyikat gigi merupakan kegiatan yang sudah umum namun masih ada kekeliruan baik dalam pengertiannya maupun dalam pelaksanaannya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang tidak menyikat gigi sebelum tidur sebanyak 24 orang (60%) yang menyikat gigi sebelum tidur sebanyak 16 orang (40%).. 2. Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang memiliki karies gigi sebanyak 28 orang (70%) dan yang tidak memiliki karies gigi sebanyak 12 orang (30%). 3. Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang melakukan sikat gigi sebelum tidur 24 orang (60%) menderita karies gigi sebanyak 5 orang (12,5%) dan yang tidak mengalami karies sebayak 11 orang (27,5%), Siswa yang tidak melakukan sikat gigi sebelum tidur 16 orang (40%) menderita karies 23 orang (57,5%) dan tidak menderita karies 1 orang (2,5%) 4. Hasil uji statistik chi-square dengan tindakan kepercayaan 95% dengan sig α (0,05) bahwa nilai signifikasi propabilitasnya menyikat gigi sebelum tidur dengan karies gigi adalah sig p (0,00) < nilai sig α (0,05). Hal ini membuktikan bahwa Ada hubungan menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi. Saran 1. Diharapkan bagi pihak-pihak terkait untuk selalu menumbuhkan kebiasaan menyikat gigi 2. sebelum tidur malam, dengan mengingatkan melalui media-media informasi yang tersedia. Diharapkan guru dan staf pendidik perlu memberikan informasi tentang kesehatan gigi dan mulut terutama tentang pentingnya menyikat gigi sehinga pelajar tidak hanya sekedar mengetahui tentang kesehatan gigi dan mulut tetapi diharapkan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA M. Sopiyudin Dahlan 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta : Salemba Medika Machfoedz, ireham. 2008. Menjaga kesehatan gigi dan mulut anak-anak Ibu Hamil Yogyakarta: Fitramaya Miamiauculz, 2009. Pentingnya Melakukan Hal Ini Sebelum Tidur, diakses 2 (http://miamiauculz.wordpress.com/2009/11/28/pe ntingnya-melakukan- hal-ini-sebelum-tidur/) Notoatmodjo, soekidjo. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Panjaitan M. Ilmu pencegahan karies gigi. Ed ke-1. Medan : Universitas Sumatera Utara Press, 1997:11-22. Pintauli S., Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat. Medan : USU Press, 2008: 10-15 Ramadhan, Ardyan Gilang. 2010. Serba – serbi Kesehatan Gigi dan mulut, Jakarta. Shinta Margareta. 2012 101 Tips Dan terapi alami agar Gigi Putih dan Sehat Yogyakarta: pustaka cerdas Tarigan R. Karies gigi. Hipokrates, Jakarta,1999 : 1-2. Tim Poltekkes kemenkes Jakarta, 2012. Kesehatan remaja problem dan solusinya. Jakarta, Salemba Medika. 110 GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA TERHADAP PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI DESA KUTA MBELIN KECAMATAN LAU BALENG KABUPATEN KARO Rini Andarwati Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Penggunaan antibiotik, yang sesuai atau tidak sesuai, telah dijelaskan sebagai pendorong utama bagi munculnya peningkatan dan penyebaran resisten antibiotik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketepatan penggunaan antibiotik pada masyarakat khususnya ibu rumah tangga. Salah satu faktor yang penting adalah tingkat pengetahuan ibu rumah tangga itu sendiri mengenai antibiotik. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan tersebut, seperti tingkat pendidikan dari ibu rumah tangga, penjelasan oleh dokter, serta anggapan-anggapan lain yang menimbulkan adanya kesalahan saat mengkonsumsi antibiotik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Metode penelitian ini adalah penelitian survei deskriptif dan tenik pengambilan sampel digunakan adalah teknik simple random sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah 250 ibu rumah tangga dan jumlah sampel 130 .Hasil penelitian menunjukkankan bahwa pengetahuan ibu rumah tangga berada dalam kategori baik (41,54%),pada kategori cukup (50%) dan pada kategori kurang (8,46%). Sikap ibu rumah tangga berada dalam kategori baik (65,38%), pada kategori cukup (33,84%), dan pada kategori kurang (0,78%). Kata kunci : Pengetahuan, sikap, penggunaan antibiotik LATAR BELAKANG Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketepatan penggunaan antibiotik pada masyarakat khususnya ibu rumah tangga. Salah satu faktor yang penting adalah tingkat pengetahuan ibu rumah tangga itu sendiri mengenai antibiotik. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan tersebut, seperti tingkat pendidikan dari ibu rumah tangga, penjelasan oleh dokter, serta anggapan-anggapan lain yang menimbulkan adanya kesalahan saat mengkonsumsi antibiotik. Tingkat pengetahuan masyarakat tetang antibiotik telah diteliti diberbagai daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Lim dan Teh (2012) di Putrajaya, Malaysia, menyebutkan bahwa 83% responden tidak mengetahui bahwa antibiotik tidak bekerja untuk melawan infeksi virus dan 82% responden tidak mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat mengobati batuk dan flu, sementara 82,5% responden terlihat sangat berhati-hati dengan penggunaan antibiotik yang dapat menyebabkan alergi. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa sekitar setengah dari mereka (52,1%) tidak mengetahui bahwa antibiotik dapat menimbulkan banyak efek samping. Beberapa pernyataan dari responden diantaranya adalah tidak masalah menghentikan pemakaian antibiotik ketika gejala telah membaik dan mengkonsumsi sedikit 111 antibiotik dari yang diresepkan dokter akan lebih sehat daripada mengkonsumsi seluruh antibiotik yang diresepkan (Pratama, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Pulungan (2011) di kota Medan mengenai hubungan tingkat pengetahuan tentang antibiotik dan penggunaannya di kalangan mahasiswa non medis Universitas Sumatera Utara mendapatkan bahwa 77% mahasiswa non medis USU memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap antibiotik, 18% mahasiswa non medis USU memiliki tingkat pengetahuan sedang dan hanya hampir 5% mahasiswa non medis USU yang memiliki pengetahuan yang rendah terhadap penggunaan antibiotik. Menurut survei awal penulis, tingkat pendidikan di daerah tersebut masih rendah, sehingga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan terhadap antibiotik. Pernyatan-pernyataan yang sering penulis dengar mengenai penggunaan antibiotik antara lain mereka berhenti menggunakan antibiotik setelah tidak merasa sakit lagi atau mereka membeli obat antibiotik sendiri tanpa resep dari dokter karena malas untuk pergi ke dokter. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, bagaimana gambaran pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik di desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Tujuan Penelitian Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik. 2. Untuk mengetahui sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik. METODE PENELITIAN Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian survei deskriptif (Notoatmodjo 2010) yaitu mendiskripsikan pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan Antibiotik di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kababupaten Karo. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Penelitian dilakukan dari bulan Juni sampai bulan Juli 2014. Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini seluruh ibu rumah tangga di Desa Kuta Mbelin Kecamaten Lau Baleng Kabupaten Karo. Jumlah populasinya sebanyak 250 orang. Sampel penelitian ini adalah sebagian dari seluruh ibu rumah tangga yang menjadi target populasi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara acak sederhana (Simple Random Sampling). Berdasarkan tabel penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu yang dikembangkan dari Isaac dan Michael (Sugiyono, 2012), yaitu untuk populasi 250, untuk taraf kesalahan 10 % jumlah sampelnya adalah 130. Cara pengumpulan data 1. Data primer Data primer diperoleh secara langsung dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden yang telah berisi daftar pertanyaan serta pilihan jawaban yang telah disiapkan. 2. Data sekunder Data sekunder dapat diperoleh dari kantor kepala desa di Desa Kuta Mbelin kecamatan Lau Baleng kab Karo. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan melakukan tahapan sebagai berikut: a. Editing Langkah ini bertujuan untuk memperoleh data yang baik agar diperoleh informasi yang benar. Kegiatan yang dilakukan dengan melihat dan memeriksa apakah semua jawaban telah terisi. b. Coding Pemberian kode agar proses pengolahan lebih mudah, pengkodean didasari pada jawaban yang diberi skor atau nilai tertentu. c. Tabulasi Untuk melihat persentase dari setiap table, data bersifat deskriptif Analisa data dilakukan dengan melihat jumlah responden dan persentase dari setiap jawaban, analisa bersifat deskriptif. Cara mengukur variabel 1. Pengetahuan Pengetahuan dapat diukur dengan menggunakan Skala Guttman (Sugiyono, 2012). Nilai tertinggi tiap satu pertanyaan dalah 1, jumlah pertanyaan 10, maka nilai tertinggi setiap dari seluruh pertanyaan adalah 10, pengetahuan dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu 1. 76%-100% jawaban benar :pengetahuan baik 2. 56%-75% jawaban benar : pengetahuan cukup 3. <56% jawaban benar : pengetahuan kurang 2. Sikap Sikap diukur berdasarkan skala Likert. (Sugiyono, 2012). Nilai tertinggi tiap satu pertanyaan adalah 4, jumlah pertanyaan 10, nilai tertinggi seluruh pertanyaan adalah 40. Sikap dapat dibagi 3 tingkat, yaitu: 1. 76%-100% jawaban benar : sikap baik 2. 56%-75% jawaban benar : sikap cukup 3. <56% jawaban benar : sikap kurang Bobot setiap pertanyaan adalah sebagai berikut : Sangat setuju bobot 4, Setuju bobot 3, Tidak setuju bobot 2, Sangat tidak setuju bobot 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Profil Lahan Desa Kuta Mbelin berada di Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Batas-batas wilayahnya yaitu : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Cerumbu 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kuta Kendit 3. Sebelah Timur berbatasab dengan Desa Pola Tebu 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kuta Pengkih Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Kepala Desa Kuta Mbelin, penduduk desa ini berjumlah 112 956 orang yang terdiri dari laki-laki 453 orang dan perempuan 503 orang . Dan jumlah ibu rumah tangga yang berumur 20-50 tahun yaitu 250 orang. Pada umumnya Mata pencaharian penduduk di desa ini adalah petani dan wiraswasta. Luas Desa Kuta Mbelin adalah 5 hektar Karakteristik Responden Karakteristik responden yang diperoleh dari hasil wawancara meliputi umur, pendidikan dan pekerjaan. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Umur Jumlah Umur % (orang) 20-25 31 23,8 26-30 30 23,1 31-35 21 16,2 36-40 23 17,7 41-45 15 11,5 46-50 10 7,7 Total 130 100,0 Dari tabel 4.1 distribusi frekuensi karakteristik responden menurut umur responden yang paling banyak adalah 20-25 tahun 31 orang (23,8%) dan paling sedikit adalah umur 46-50 tahun 10 orang (7,7%). Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Pendidikan Jumlah Pendidikan % (orang) SD 11 8,5 SMP 33 25,4 SMA 70 53,8 D3 12 9,2 S1 4 3,1 Total 130 100,0 Dari tabel 4.2 dapat dilihat distribusi frekuensi karekteristik responden menurut pendidikan responden yang paling banyak adalah SMA 70 orang ( 53,8%) dan paling sedikit adalah S1 4 orang (3,1%). Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Pekerjaan Pekerjaan Jumlah % Ibu Rumah Tangga 41 31,5 Petani 53 40,8 Wiraswasta 30 23,2 Guru/PNS 6 4,6 Total 130 100,0 Dari tabel 4.3 dilihat dari distribusi frekuensi karakteristik responden menurut pekerjaan responden yang paling banyak adalah petani 53 orang (40,8%) dan ibu rumah tangga 41 orang (31,5%) dan paling sedikit adalah Guru/PNS 6 orang (4,6%). Pengetahuan Responden Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Terhadap Penggunaan Antibiotik Responden No. Pertanyaan Jumlah % Menurut ibu antibiotik merupakan obat yang dapat mengobati infeksi yang 1 disebabkan oleh bakteri Ya 116 89,20 Tidak 14 10,80 2 3 4 5 113 Menurut ibu penggunaan antibiotik harus sesuai dengan petunjuk dokter Ya Tidak 127 3 97,70 2,30 Menurut ibu, penggunaan antibiotik yang diresepkan dokter harus dikonsumsi sampai habis walaupun gejala infeksi sudah sembuh Ya Tidak 84 46 64.60 35,40 50 80 38,50 61,50 64 66 49,20 50,80 Menurut ibu penyakit influenza tidak dapat diobati dengan menggunakan antibiotik Ya Tidak Menurut ibu antibiotik merupakan obat yang tidak dapat mengobati infeksi yang disebabkan virus Ya Tidak 6 Menurut ibu antibiotik dapat menimbulkan efek samping Ya Tidak 7 Menurut ibu antibiotik tidak dapat digunakan bersama kerabat mempunyai penyakit yang sama Ya Tidak 8 9 10 86 44 66,20 33,80 68 62 52,30 47,70 Menurut ibu bahaya dari penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan kuman kebal terhadap antibibiotik Ya Tidak 112 18 86,15 13,84 Menurut ibu antibiotik dapat menyebabkan keracunan jika digunakan melebihi dosis yang diberikan dokter Ya Tidak 121 9 93,07 6,92 Menurut ibu penyimpanan antibiotik yang baik harus terhindar dari sinar matahari Ya Tidak 124 6 95,38 4,61 Dari tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa responden mengetahui bahwa antibiotik merupakan obat yang dapat mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri sebesar 116 orang yang menjawab ya (89,20%). Responden juga mengetahui bahwa penggunaan antibiotik harus sesuai dengan petujuk dokter (97,70%). Sebanyak 84 responden (64,60%) menjawab ya tentang penggunaan antibiotik yang diresepkan dokter harus dikonsumsi sampai habis walaupun gejala infeksi sudah sembuh. Namun pengetahuan responden tentang penyakit influenza tidak dapat diobati dengan menggunakan antibiotik masih kurang yaitu 50 responden menjawab ya (38,50%) dan 80 responden menjawab tidak (61,50%). Responden juga kurang mengetahui bahwa antibiotik merupakan obat yang tidak dapat mengobati infeksi yang disebabkan virus dapat dilihat dari sedikitnya responden yang menjawab ya yaitu 64 orang (49,20%) dan yang menjawab tidak 66 orang (50,80%). Responden juga mengetahui bahwa antibiotik dapat menimbulkan efek samping (66,20%), responden juga mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat digunakan bersama kerabat sendiri yang mempunyai penyakit yang sama (52,30%). Sebanyak 112 (86,15%) responden sendiri yang mengetahui bahwa bahaya dari penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan kuman kebal terhadap antibibiotik. sebanyak 121 (93,07%) responden mengetahui bahwa antibiotik dapat menyebabkan keracunan jika digunakan melebihi dosis yang diberikan dokter. Responden juga mengetahui bahwa penyimpanan antibiotik yang baik harus terhindar dari sinar matahari. Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan ibu rumah tangga terhadap penggunaan Antibiotik Pengetahuan Frekuensi (n) Persen (%) Baik 54 41,54 Cukup 65 50 Kurang 11 8,46 Berdasarkan tabel di atas, didapati pengetahuan responden pada kategori baik sebesar 41,54%, pada kategori cukup sebesar 50% sedangkan kategori kurang sebesar 8,46%. 114 Sikap Responden Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Penggunaan Antibiotik No 1 2 3 Pertanyaan Responden Jumlah % Menurut ibu penggunaan antibiotik tidak boleh secara sembarangan tanpa resep dokter Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 64 63 1 2 49,23 48,50 0.76 1,50 Menurut ibu antibiotik tidak diperlukan untuk semua penyakit Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 18 70 34 8 13,80 53,80 26,20 6,20 Menurut ibu pemakaian obat antibiotik harus dihentikan apabila terjadi reaksi alergi Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 43 79 7 1 33,08 60,76 5,38 0,76 56 71 1 2 43,08 54,61 0.80 1,50 4 Menurut ibu wanita yang sedang hamil, menyusui, atau alergi terhadap antibiotik tertentu harus laporkan kepada dokter yang memeriksa Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 5 Menurut ibu dosis dan lama penggunaan antibiotik yang di tetapkan oleh dokter harus dipatuhi walaupun telah merasa sehat Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 32 59 28 11 24,60 45,40 21,50 8,50 Menurut ibu apabila penggunaan antibiotik menimbulkan gejala alergi atau infeksi yang diobati tidak berkurang, maka perlu berkonsultasi kedokter lagi Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 64 62 3 1 49,20 47.70 2,30 0,80 Menurut ibu antibiotik harus dihabiskan sesuai jumlah dalam resep dokter (umumnya minimal 3-4 hari) Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 40 78 12 0 30,80 60 9,20 0 Menurut ibu penggunaan antibiotik harus sesuai dengan mengikuti petunjuk takarannya, jangan mengurangi atau menambahnya Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 61 67 2 0 46,92 51,53 1,53 0 6 7 8 115 9 10 Menurut ibu penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menimbulkan efek samping Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 43 83 3 1 33,08 63,80 2,30 0,80 Menurut ibu antibiotik tidak boleh di simpan untuk penggunaan penyakit lain pada masa yang akan datang Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju 47 63 10 10 36,15 48,46 7,69 7,69 Dari tabel 4.6 responden memiliki sikap baik dilihat dari pernyataan responden sangat setuju (49,20%) dan bahwa penggunaan antibiotik tidak boleh secara sembarangan tanpa resep dokter. Responden setuju sebanyak 70 orang (53,80%) bahwa antibiotik tidak diperlukan untuk semua penyakit. Sikap responden baik juga terhadap pemakaian obat antibiotik harus dihentikan apabila terjadi reaksi alergi yaitu setuju (60,76%) sebanyak 79 responden. 71 responden setuju (54,61%) bahwa wanita yang sedang hamil, menyusui, atau alergi terhadap antibiotik tertentu harus laporkan kepada dokter yang memeriksa. Sebesar 59 responden setuju (45,40) bahwa dosis dan lama penggunaan antibiotik yang ditetapkan oleh dokter harus dipatuhi walaupun telah merasa sehat. Dari 130 responden 64 responden sangat setuju (49,20%) bahwa apabila penggunaan antibiotik menimbulkan gejala alergi atau infeksi yang diobati tidak berkurang, maka perlu berkonsultasi kedokter lagi dan 78 responden setuju (60%) bahwa antibiotik harus dihabiskan sesuai jumlah dalam resep dokter (umumnya minimal 3-4 hari. Sikap baik yang ditunjukkan oleh responden terhadap penggunaan antibiotik harus sesuai dengan mengikuti petunjuk takarannya, jangan mengurangi atau menambahnya setuju (51,53%) sebesar 67 orang. Sebanyak 83 responden setuju (63,84%) bahwa penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menimbulkan efek samping. 67 responden juga setuju (48,46%) bahwa antibiotik tidak boleh disimpan untuk penggunaan penyakit lain pada masa yang akan datang. Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik Sikap Frekuensi (n) Persen (%) Baik 85 65,38 Cukup 44 33,84 Kurang 1 0,78 Berdasarkan tabel diatas, didapati sikap responden baik yang mempunyai persentasi sebesar 65,38% sedangkan sikap dengan kategori cukup sebesar 33,84% dan 0,78% tergolong dalam kategori sikap kurang Pembahasan Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa responden (89,20%) mengetahui bahwa antibiotik merupakan obat yang dapat mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Responden juga mengetahui (86,15%) bahwa bahaya penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan kuman kebal terhadap antibiotik. Pengetahuan responden (64,60%) cukup baik tentang penggunaan antibiotik yang diresepkan dokter harus dikonsumsi sampai habis walaupun gejala infeksi sudah sembuh. Sedangkan pengetahuan responden (38,5%) tidak baik tentang penyakit influenza tidak dapat diobati dengan menggunakan antibiotik. Berdasarkan hasil distribusi frekuensi pengetahuan ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik maka dapat disajikan hasil penelitian dalam tabel 4.5. Dimana responden yang memiliki pengetahuan baik sebesar (41,54%), responden yang memiliki pengetahuan cukup sebesar (50%) dan responden yang memiliki pengetahuan kurang sebesar (8,46%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan cukup lebih banyak daripada responden yang memiliki pengetahuan baik. Hal ini sama dengan penelitian lain dengan judul Karekteristik Masyarakat dan Penggunaan Antibiotik secara bebas di Kecamatan Medan Timur Kota Medan menunjukkan bahwa 50,5% responden memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang antibiotik dan terdapat hubungan bermakna antara penggunaan antibiotik secara bebas dengan tingkat pendidikan (Larasati, 2013). Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa 49,23% responden sangat setuju dan 50% setuju bahwa penggunaan antibiotik tidak boleh secara sembarangan tanpa resep dokter. Sikap responden baik terhadap antibiotik juga ditunjukkan dengan (30,8%) responden sangat setuju dan 80% setuju bahwa antibiotik harus dihentikan sesuai jumlah dalam resep dokter (umumnya minimal 3-4 hari). Responden 43,08% sangat setuju 54,61% setuju bahwa ibu yang sedang hamil, menyusui atau alergi terhadap antibiotik tertentu harus melaporkan kepada dokter yang memeriksa. Berdasarkan hasil distribusi sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik maka dapat disajikan hasil penelitian dalam tabel 4.7 dimana responden yang memiliki sikap yang baik sebanyak 85 116 orang (65,38%) responden yang memiliki sikap cukup sebanyak 44 orang (33,84%) dan responden yang memiliki sikap kurang 1 orang (0,78%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa responden yang memiliki sikap baik lebih banyak daripada responden yang memiliki pengetahuan cukup. Hal ini sama dengan penelitian lain dengn judul penelitian Tingkat pengetahuan dan sikap Mahasiswa Universiti Sains Malaysia kampus Kejuruteraan, Ibong Tebal, Pulau Pinang tentang Penggunaan Antibiotik menyatakan bahwa sebanyak 57% mempunyai sikap yang baik (Harahap, 2011). Walaupun pengetahuan pada penelitian ini dalam kategori cukup sedangkan sikap baik hal ini bisa saja terjadi, karena sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Faktor lainnya adalah pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya individu cenderung memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap yang dianggap penting. Kecendrungan ini dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting, faktor lainnya yaitu media massa. Dalam pemberitaansurat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya factual disampaikan secara obyektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumen (Azwar,2005). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Tingkat pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo terhadap penggunaan antibiotik, berada pada kategori baik sebanyak 54 orang (41,54%), sedangkan pada kategori cukup sebanyak 65 orang (50%) dan pada kategori kurang sebanyak 11 orang (8,46%). Jadi pengetahuan ibu rumah tangga paling banyak berada pada kategori cukup. 2. Sikap ibu rumah tangga di Desa Kuta Mbelin kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo terhadap penggunaan antibiotik, berada pada kategori baik sebanyak 85 orang (65,38%), sedangkan pada kategori cukup sebanyak 44 orang (33,84%) dan pada kategori kurang sebanyak 1 orang (0,78%). Jadi Sikap ibu rumah tangga paling banyak berada pada kategori baik. Saran 1. 117 Untuk meningkatkan pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau 2. 3. Baleng Kabupaten Karo terhadap penggunaan antibiotik. Diharapkan instansi kesehatan dapat melakukan sosialisasi dan penyuluhan di Desa Kuta Mbelin Kecematan Lau Baleng Kabupaten Karo. Kepada peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian ke desa-desa lain tentang penggunaan antibiotik. DAFTAR PUSTAKA Azwar., S. Sikap Manusia Teori dan Pengukuran. Liberty:Yogyakarta.,2005 Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hardiana., 2011. Tingkat Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Universiti Sains Malaysia Kampus Kejuruteraan, Ibong Tebal, Pulau Pinang Tentang Penggunaan Antibiotik pada Tahun 2011 <http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31 332>[diakses tanggal 20 juli 2014] Larassati, H., 2013. Karekteristik Masyarakat dan Penggunaan Antibiotik Secara Bebas di Kecamatan Medan Timur Kota Medan <http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/38 6937>[diakses tanggal 20 juli 2014] Moorthy ,Y.T., 2013. Gambaran Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penggunaan Atibiotika di Puskesmas Padang Bulan Medan. <http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/40 566>[diakses tanggal 5 Juli 2014] Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Pratama, M.A., Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pengugunaan Antibiotik di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Medan Johor, Kota Madya Medan, <http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/39 872>[diakses tanggal 5 Juli 2014] Pulungan, Sahara., 2011. Tingkat Pengetahuan Tentang Antibiotika di Kalangan Mahasiswa Non Medis Universitas Sumatra Utara. <http://repository.usu.ac.id./bitstream/123456789 /3133215>[diakses tanggal 5 Juli 2014] Sugiyono, 2012., Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kulitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2002. Obat-obat Penting.Edisi V. Jakarta: Elex Media Komputindo. Utami,R.E., 2012. Antibiotika, Resisten RasionalitasTerapi Wawan., Dewi ., 2011. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia, Yogyakarta. Muha Medika. Werner, David.,Thuman, Carol., Maxwell, Jane., 2007. Ketika Tidak Ada Dokter Buku Panduan Perawatan Kesehatan Desa. Bogor. General Art. Widodo,R.S.Si., 2004. Panduan Keluarga Memilih Dan Menggunakan Obat.Yogyakarta: Kreasi Wacana Widjajanti N., 2002. Obat-obatan. Yogyakarta: Kanisius 118 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESENTASI BOKONG PADA IBU HAMIL DI RUMAH SAKIT UMUM KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHUN 2013 Setiawaty Suluhbara Prodi Kebidanan Padangsidimpuan Poltekkes Kemenkes Medan Abstra k Pengawasan Antenatal Care penting bagi wanita hamil mulai dari trimester I sampai trimester III agar komplikasi dalam kehamilan seperti Presentasi Bokong dapat dikenali secara dini, dalam 11% kematian perinatal disebabkan oleh Presentasi Bokong. Diketahuinya faktor-faktor presentasi bokong pada ibu hamil di rumah sakit umum daerah kota padangsidimpuan. Metode Penelitian Kuantitatif dengan menggunakan data sekunder dari Medical Record di RSUD Kota Padangsidimpuan dengan sampel total 43 ibu hamil. Jumlah Presentasi Bokong 43 dari 1081 ibu hamil pada tahun 2013,berdasarkan paritas mayoritas pada multipara sebanyak 24 ibu hamil (55,81%).Berdasarkan Faktor Ibu Presentasi Bokong mayoritas dengan keadaan panggul sempit sebanyak 30 ibu hamil (69,77%),berdasarkan Faktor Janin Presentasi Bokong mayoritas pada keadaan Hidramnion atau Oligohidramnion sebanyak 18 ibu hamil (41,86%),berdasarkan lilitan tali pusat sebanyak 23 ibu hamil (53,49%),berdasarkan kelainan uterus sebanyak 9 ibu hamil (20,93%) dan berdasarkan Kunjungan ANC mayoritas pada kunjungan 2 kali sebanyak 13 ibu hamil (30,23%). Terdapat kesenjangan karakteristik variabel paritas, ibu hamil dengan Multipara lebih besar kemungkinan terjadinya Presentasi Bokong. Kata kunci : Presentasi bokong, Ibu hamil PENDAHULUAN Menurut World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun 2007 angka kematian ibu lebih dari 300 hingga 400/100.000 kelahiran hidup dengan penyebab kematian adalah perdarahan 28%,eklamsi 24%,infeksi 11%,abortus 5%,partus lama/macet 5%,emboli obstetri 3%,komplikasi puerperium 8%,lain-lain 16%.Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) Tahun 2009 cenderung meningkat dari tahun 2008 yaitu 17,5 per 1000 kelahiran hidup menjadi 20,1 per 1000 kelahiran hidup. Kematian bayi tersebut disebabkan oleh 28,9% karena IUFD (Intra Uteri Fetal Death),asfiksia 12,2%, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) 20,4%,Malpresentasi 11% cacat bawaan 4,8%, sepsis 8,9% dan lain-lain 13,8%. Angka kematian ibu (AKI) yang merupakan salah satu indikator terhadap kesehatan sebuah negara saat ini masih sangat tinggi di Indonesia.Menurut hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012 AKI per 100.000 kelahiran hidup adalah adalah Brunai Darussalam 13,Singapura 14,Malaysia 62,Thailand 110,Vietnam 150,Philipina 230 dan Indonesia 359.Dari data tersebut ternyata AKI Indonesia tertinggi dari ketujuh Negara tersebut yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup,sementara AKI yang terendah adalah Brunai Darussalam.Berdasarkan survei demografi kesehatan indonesia (SDKI),AKI per 100.000 kelahiran hidup menurun secara bertahap.Dari 390 per 100.0000 kelahiran hidup (Tahun 1991) menjadi 334 (Tahun 1997),307 119 (Tahun 2003) dan 228 (Tahun 2007),Tahun 2012 meningkat menjadi 359 (INFID,2012). Adapun penyebab kematian bayi salah satunya adalah Malpresentasi yaitu Presentasi Dahi,Presentasi Muka ,Presentasi Majemuk,dan Presentasi Bokong.Namun demikian dikarenakan Jenis Malpresentasi yang sangat beragam,Peneliti memfokuskan pada Presentasi Bokong.Presentasi Bokong terjadi disebabkan oleh Paritas,Faktor Ibu,Faktor Janin,Lilitan Tali Pusat,Kelainan Uterus,Kunjungan ANC yang kurang.Faktor Ibu meliputi Plasenta Previa dan panggul sempit sedangkan Faktor Janin meliputi Hidrosefalus atau anensefalus,Gemelli,Hidramnion atau Oligohidramnion dan Prematuritas.Oleh karena itu Presentasi Bokong memerlukan intervensi dan tindakan yang tepat untuk meminimalkan terjadinya kematian bayi yaitu dengan cara melaksanakan kunjungan ANC pada masa kehamilan. Berdasarkan hasil dari study pendahuluan yang dilakukan di RSUD Kota Padangsidimpuan, diperoleh data Ibu Hamil Januari 2013 - Desember 2013, Jumlah semua Ibu Hamil sebanyak 1081 Orang. Sedangkan Ibu Hamil yang mengalami Presentasi Bokong sebanyak 43 orang. TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi Presentasi Bokong Pada Ibu Hamil di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2013. MANFAAT PENELITIAN 1. 2. Secara Teoritis Meningkatkan pengetahuan dalam upaya pemeliharaan, peningkatan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan yang tersedia. Secara Praktik Data atau informasi hasil penelitian ini dapat menjadi dimanfaatkan Petugas Rumah Sakit Kota Padangsidimpuan terutama petugas dibagian bersalin dalam mengantisipasi terjadinya resiko dalam menangani masalah Presentasi Bokong. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, dengan untuk melihat kejadian presentasi bokong pada ibu hamil dengan variabl paritas, faktor ibu, faktor janin, lilitan tali pusat, kelainan uterus dan kunjungan ANC yang kurang. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Kota Padangsidimpuan berdasarkan asumsi penulis bahwa : Rumah sakit tersebut juga merupakan Rumah Sakit Rujukan sehingga data tentang ibu Bersalin Partus Lama yang disebabkan Presentasi Bokong cukup lengkap untuk mewakili seluruh penderita lainnya. Populasi dan Sampel Populasi : semua ibu Hamil yang diagnosanya adalah terjadinya Presentasi Bokong pada Ibu Hamil di Rumah Sakit Umum Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 dengan jumlah 43 orang. Sampel: semua populasi dijadikan sampel Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilaksanakan dengan menggunakan metode dokumentasi yang diperoleh dari Medical Record RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2013. Analisa Data Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan melihat presentase data yang telah dikumpul dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi. HASIL PENELITIAN Hasil Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong Terhadap jumlah pasien di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 Tahun Jumlah Ibu Jumlah Ibu Hamil % Hamil dengan Presentasi Bokong 2013 1081 43 3,98 Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong Berdasarkan Paritas di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 No Paritas Jumlah % 1 Primipara 11 25,59 2 Sekundipara 8 18,60 3 Multipara 24 55,81 Total 43 100 Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian tertinggi ditemukan pada paritas Multipara sebanyak 24 orang (55,81%). Hal ini sesuai dengan teori Winkjosastro (2007) bahwa hampir semua ibu hamil dengan Multipara lebih besar kemungkinan terjadinya Malpresentasi khususnya Presentasi Bokong.Karena otototot dalam kehamilan umumnya mengalami peregangan dan kelonggaran karena adanya penyesuaian dengan perkembangan janin,diantaranya adalah otot abdomen, dasar pelvis, dan uterus, dimana ketiga otot tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dan berperan dalam terjadinya presentasi bokong.Untuk mencegah terjadinya Malpresentasi pada Ibu Hamil dianjurkan untuk melaksanakan Program KB yaitu 2 anak lebih baik. Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong Berdasarkan Faktor Ibu di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 No Faktor Ibu Jumlah % 1 Plasenta Previa 2 Panggul sempit Total 13 30 30,23 69,77 43 100 Dari hasil penelitian di atas ditemukan angka kejadian pada perlekatan plasenta yaitu plasenta previa sebanyak 13 orang (30,23%). Hal ini sesuai dengan teori Winkjosastro (2007) bahwa Plasenta previa sangat mempengaruhi terjadinya Malpresentasi.Hal tersebut dikarenakan letak plasenta yang rendah sehingga mengubah posisi janin menjadi posisi yang abnormal. Sedangkan kejadian panggul sempit ditemukan angka kejadian tertinggi pada ukuran panggul luar yaitu < 80 cm sebanyak 30 orang (69,77%). Hal ini sesuai dengan teori Manuaba (2008) bahwa hampir semua Ibu Hamil dengan Panggul Sempit akan mengalami Malpresentasi.Panggul sempit dapat mengganggu fiksasi dari kepala janin. Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong Berdasarkan Faktor Janin di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 No Faktor Janin Jumlah % 1 Hidrosefalus atau 5 11,63 2 anensefalus 12 27,91 3 Gemelli 18 41,86 4 Hidramnion atau 8 18,60 Oligohidramnion Prematuritas Total 43 100 120 Dari hasil penelitian tabel diatas ditemukan angka kejadian pada Bentuk Kepala Janin (Hidrosefalus/Anensefalus) sebanyak 5 orang (11,63%). Hal ini sesuai dengan teori Winkjosastro (2007) bahwa ibu hamil dengan Hidrosefalus/Anensefalus sangat mempengaruhi terjadinya Malpresentasi dikarenakan Bentuk kepala Janin yang mengganggu fiksasi dari kepala janin. Sedangkan gemelli sebanyak 12 orang (27,91%). Hal ini sesuai dengan teori Manuaba (2008) bahwa Ibu hamil dengan Gemelli sangat mempengaruhi Letak Janin. Umumnya pada kehamilan kembar, janin menyesuaikan dirinya dalam rahim. Angka kejadian Hidramnion dan ditemukan angka kejadian tertinggi pada Jumlah air Ketuban dengan > 2000 cc (Hidramnion) dan < 500 cc (Oligohidramnion) sebanyak 18 orang (41,86%). Dikarenakan banyaknya air ketuban pada janin sehingga menyebabkan janin lebih leluasa melakukan pergerakan. Prematuritas juga mempengaruhi kejadian presentasi bokong dalam kehamilan, angka kejadiannya sebesar (18,60%). Hal tersebut terjadi karenakan ukuran janin yang kecil menyebabkan janin leluasa melakukan pergerakan di dalam rahim dan pada bayi premature ukuran kepala masih kecil sehingga fiksasi kepala tidak sempurna. Oleh karena itu untuk mencegah hal tersebut terjadi perlu dilakukan kunjungan ANC yang sesuai standar untuk memantau keadaan atau kondisi janin didalam kandungan. Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong Berdasarkan Lilitan Tali Pusat di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 No Tali Pusat Jumlah % 1 Lilitan Tali Pusat 2 Tali Pusat Normal Total 23 20 53,49 46,51 43 100 Dari hasil penelitian tabel diatas ditemukan angka kejadian tertinggi pada Lilitan Tali Pusat sebanyak 23 orang (53,49%). Hal ini sesuai dengan teori Winkjosastro (2007) bahwa hampir semua Ibu Hamil dengan lilitan tali pusat sangat mempengaruhi Letak janin.Hal tersebut dikarenakan tali pusat yang terlalu panjang sehingga memungkinkan janin terlilit tali pusat dan menyulitkan janin melakukan pergerakan. Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong Berdasarkan Kelainan Uterus di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 No Uterus Jumlah % 1 Kelainan Uterus 9 20,93 2 Uterus Normal 34 79,07 Total 43 tejadinya Malpresentasi pada janin.Tumor dari uterus yang mendesak uterus dan kelainan bawaan uterus, seperti uterus arkuatus yang dapat mengubah letak janin. Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong Terhadap Kunjungan ANC di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 No Kunjungan ANC (kali) Jumlah % 1 1 7 16,28 2 2 13 30,23 3 3 11 25,58 4 4 12 27,91 Total SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Presentasi Bokong memerlukan penanganan yang serius tepat dan cepat berdasarkan kebutuhan Ibu Hamil baik dengan melakukan Kunjungan ANC sesuai dengan standart yang berlaku untuk menghindari terjadinya persalinan dengan Presentasi Bokong serta kematian bagi Ibu dan Bayi. 2. Jumlah Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong di RSUD Kota Padangsidimpuan termasuk rendah jika dibanding dengan insiden di beberapa Rumah Sakit di Indonesia juga menurut literatur Saran 1. 2. 3. 4. 121 100 Dari hasil penelitian tabel di atas ditemukan angka kejadian tertinggi pada 2 kali kunjungan ANC selama Ibu hamil sebanyak 13 orang (30,23%). Hal ini sesuai dengan teori Manuaba (2008) bahwa Ibu hamil dengan kunjungan ANC yang kurang sangat mempengaruhi terjadinya kelainan letak pada janin.Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya Kelainan Letak pada janin dengan melaksanakan Kunjungan ANC sesuai standart yang berlaku. 100 Dari hasil penelitian tabel di atas ditemukan angka kejadian Kelainan Uterus sebanyak 9 orang (20,93%). Hal ini sesuai dengan teori Sarwono (2005) bahwa Ibu hamil dengan kelainan uterus mempengaruhi 43 Disarankan kepada ibu agar melakukan pemeriksaan ANC (Ante Natal Care) secara teratur paling sedikit 4 kali yaitu 1 kali pada trimester I,1 kali pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Disarankan kepada ibu agar mengatur jarak kehamilan dengan mengikuti program KB,untuk kesehatan serta keselamatan ibu dan bayi. Disarankan kepada petugas kesehatan untuk lebih mengenali masalah yang terjadi pada ibu hamil sehingga lebih mudah mendeteksi komplikasi kehamilan. Dianjurkan kepada bidan yang bertugas di rumah sakit supaya mendapatkan kesempatan training dalam penanganan seluruh kasuskasus kebidanan agar terwujud bidan yang benar mampu dalam menangani kasus-kasus kebidanan Bokong. khususnya kasus Presentasi DAFTAR PUSTAKA Anonim. Presentasi Bokong. (Dikutip dari http://medlinux.blogspot.com/. Diakses Tanggal 28 November 2010. Pukul 13. 35 WIB) Benson dan Pernoll. 2009. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC. Fachrudin, Amir. 2009. Presentasi Bokong. (di kutip dari http://i8.photobucket.com/albums/a46/ef med2001/emirbannerfix.gif. Diakses tanggal 20oktober 2010. Pukul 13.25) Hidayat, A.A. 2007. Metodologi Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Imade. 2008. Penanganan untuk Kehamilan dan persalinan letak sungsang. (Dikutip dari http://imadeharyoga.com/2008/10/penangananuntuk-kehamilan-dan-persalinan-letak-sungsang/. Diakses tanggal 19 November 2010. Pukul 14.00 WIB) Liu, David. 2008. Manual Persalinan. Jakarta : EGC Manuaba, Ida Bagus Gde. 2008. Gawat Darurat Obstetri dan Obstetri Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC Rohani, Dkk. 2010. Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan. Jakarta: Salemba Medika. Rukiyah dan yulianti. 2010. Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). Jakarta: Buku Kesehatan. Sukarsa, Rizkar. 2007. Letak Sungsang. (Dikutip dari http://immahamtaro.wordpress.com/category. Diakses tanggal 29 November 2010. Pukul 19.35 WIB). Sulistyawati, Ari. 2010. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta: Salemba Medika. Varney. 2010. Buku Asuhan Kebidanan. Jakarta:EGC Winkjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo. Yatinem. Asuhan Kebidanan pada Multigravida Letak Sungsang. (Dikutip dari http://yatinem.wordpress.com/2009/02/22/asuhan -kebidanan-dengan-multigravida-letak sungsang/. Diakses Tanggal 17 Oktober 2010. Pukul 11.25 WIB) 122 PENGARUH BPJS TERHADAP MINAT MASYARAKAT DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN DI RSUD DOLOKSANGGUL KECAMATAN DOLOKSANGGUL KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN TAHUN 2014 Adelima C. R. Simamora, Doni Simatupang, Agustina Boru Gultom Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Sehingga dengan adanya jaminan sosial ini resiko keuangan yang dihadapi oleh seseorang diambil alih oleh lembaga yang menyelenggarakan jaminan sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat Deskriptif analitikdengan pendekatan Retrospektif. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan melakukan wawancara. Menggunakan analisis bivariat dengan uji chi-square. Jumlah sampel 84 orang responden. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas menerima BPJS dengan minat baik sebanyak 35 responden (83,3%), berpendidikan SMA 22 responden (75,9%), bekerja sebagai petani 23 responden (59,0%), sumber informasi dari petugas kesehatan 40 responden (83,3%).. Selain itu mayoritas yang berminat baik mengatakan program BPJS akan meningkatkan kesehatan masyarakat sebanyak 38 responden (90,5%), berpendidikan SMA 26 responden (89,7%), bekerja sebagai petani 30 responden (76,9%), sumber informasi dari petugas kesehatan 42 responden (87,5%). Berdasarkan hasil penelitian dapatdisarankan hendaknya masyarakat lebih meningkatkan kesehatan dengan ikut serta dalam memanfaatkan program BPJS. Kata kunci : BPJS, Minat, Kesehatan Masyarakat PENDAHULUAN Menurut WHO (World Health Organization) kesehatan adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, dengan tujuan guna meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Pembangunan kesehatan pada saat ini masih dihadapkan pada permasalahan belum optimalnya akses, keterjangkauan, dan mutu pelayanan kesehatan antara lain disebabkan oleh sarana pelayanan kesehatan Rumah Sakit, Puskesmas, dan jaringannya belum sepenuhnya dijangkau oleh masyarakat, terutama bagi penduduk miskin terkait dengan adanya permasalahan dalam hal biaya dan juga jarak pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau. (BPJS Kesehatan, diakses 18/03/2014). Ada hal yang berubah pada awal Januari 2014, terutama di sektor kesehatan. Sesuai UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengamanatkan PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. (BPJS, diakses 18/03/2014). 123 Seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS, termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. Program ini diharapkan dapat menaungi seluruh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat dilindungi dengan asuransi kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, perintis kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dahulu bernama Jamsostek merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2015. TINJAUAN TEORITIS 1. Pengertian Minat merupakan perhatian, kesukaan, ataupun kecenderungan hati. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Minat adalah kecenderungan yang menetap/kesukaan terhadap suatu kegiatan melebihi kegiatan lainnya serta berfungsi untuk daya penggerak yang mengarahkan seseorang melakukan kegiatan tertentu yang spesifik 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi minat a. Pendidikan Pendidikan adalah sebuah proses atau kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan pembelajaran atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Demikian juga jika pendidikan SD, SMP, SMA, dan DIII/Sarjana hendak digabungkan kedalam satu variabel bernama tingkat pendidikan (Notoadmodjho, 2010). b. Pekerjaan Pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktivitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pekerja/karyawan adalah mereka yang bekerja pada orang lain atau institusi, kantor, perusahaan dengan menerima upah dan gaji baik berupa uang atau barang, sedangkan lapangan pekerjaan/jabatan adalah macam pekerjaan yang dilakukan atau ditugaskan pada seseorang (Notoatmodjho, 2010). c. Sumber Informasi Sumber informasi merupakan data yang diperoleh dalam suatu bentuk yang mempunyai arti bagi sipenerima dan mempunyai nilai nyata yang terasa bagi keputusan mendatang (Notoatmodjho, 2010). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No 24 tahun 2011). Fungsi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) UU BPJS (Badan penyelenggara Jaminan Sosial) menentukan bahwa BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan menurut UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Tugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut diatas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bertugas untuk : 1. Melakukan dan menerima pendaftaran peserta 2. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja 3. Menerima bantuan iuran dari pemerintah 4. Mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta 5. Mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial 6. Membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial 7. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada peserta atau masyarakat Wewenang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berwenang untuk : 1. Menagih pembayaran iuran. Kewenangan menagih pembayaran iuran dalam arti meminta pembayaran dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau kekurangan pembayaran. 2. Menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. 3. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional. 4. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh pemerintah. 5. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan. 6. Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya 7. Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program jaminan sosial. Hak dan Kewajiban Peserta .a. Hak Peserta 1. Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk memperoleh pelayanan kesehatan 2. Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku 3. Mendapatkan pelayanan kesehatan pertama, yaitu Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) 4. Mendapatkan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) dan Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) 5. Mendapatkan pelayanan persalinan 124 6. 7. Mendapatkan pelayanan gawat darurat Mendapatkan pelayanan ambulan bagi pasien rujukan dengan kondisi tertentu antar fasilitas kesehatan 8. Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis ke kantor BPJS Kesehatan b. Kewajiban Peserta 1. Mendaftarkan dirinya sebagi peserta serta membayar iuran yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat atau pindah fasilitas kesehatan tingkat I. 3. Menjaga kartu peserta agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak. 4. Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan. Iuran Wajib Peserta BPJS Besar iuran untuk peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja berdasarkan nominal bukan presentase yaitu untuk rawat inap perorang perbulan yaitu : a. Kelas 1 sebesar Rp 59.500,b. Kelas 2 sebesar Rp 42.500,c. Kelas 3 sebesar Rp 25.500,- distribusi frekuensi meliputi distribusi frekuensi berdasarkan minat, pendidikan, pekerjaan, dan sumber informasi tentang program BPJS dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Minat, Pendidikan, Pekerjaan, dan Sumber Informasi tentang BPJS Dalam Upaya Peningkatan Kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014. No 1 2 3 4 METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah Deskriptif Analitik dengan pendekatan Retrospektif. Deskriptif analitik adalah penelitian yang mendeskripsikan suatu objek yang diteliti melalui sampel atau data yang terkumpul dan membuat kesimpulan yang berlaku secara umum, sedangkan pendekatan retrospektif adalah penelitian yang bersifat melihat ke belakang (Notoatmodjo, 2010). Bertujuan untuk mengetahui “Pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2014”. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan. Fasilitas yang dimiliki oleh RSUD Doloksanggul adalah tempat tidur 75 unit, UGD, ICU, Rontgen, Laboratorium, UTDRS, Kamar bedah dan unit penunjang lainnya. Adapun hasil penelitian yang dilakukan berjudul “Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat Dalam Upaya Peningkatan Kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2014” adalah sebagai berikut Analisa Univariat Analisa univariat dilakukan untuk menggambarkan penyajian data dari beberapa variabel dalam bentuk tabel 125 5 6 Variabel Minat Baik Cukup Kurang Total Pendidikan SD SMP SMA PT Total Pekerjaan Petani IRT PNS Wiraswasta Total Sumber Informasi Petugas Kesehatan Media Elektronik Media Cetak Lingkungan Total BPJS Menerima Menolak Total Kesehatan Masyarakat Meningkat Tidak meningkat Total Jumlah Persentase (%) 43 27 14 84 51,2 32,1 16,7 100 14 24 29 17 84 16,7 28,6 34,5 20,2 100 39 8 14 23 84 46,4 9,5 16,7 27,4 100 48 13 6 17 84 57,1 15,5 7,1 20,2 100 60 24 84 71,4 28,6 100 71 13 84 84,5 15,5 100 Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 84 responden mayoritas responden memiliki minat yang baik terhadap program BPJS sebanyak 43 responden (51,2%) dan minoritas memiliki minat yang kurang sebanyak 14 responden (16,7%). Analisa Bivariat Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat Dalam Upaya Peningkatan Kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2014 No. Minat 1. Baik 2. Cukup 3. Kurang TOTAL Menerima n % 35 83,3 16 57,1 9 64,3 60 71,4 BPJS Menolak n % 7 16,7 12 42,9 5 35,7 24 28,6 df Total N % 42 100 28 100 14 100 84 100 X2 2 6,067 Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 2 responden yang berminat baik mayoritas menerima BPJS sebanyak 35 responden (83,3%), minoritas menolak BPJS sebanyak 7 responden (16,7%). Dari 28 responden yang berminat cukup mayoritas menerima BPJS sebanyak 16 responden (57,1%), minoritas menolak BPJS sebanyak 12 responden (42,9%). Dari 14 responden yang kurang berminat mayoritas menerima BPJS sebanyak 9 responden (64,3%), minoritas menolak BPJS sebanyak 5 responden (35,7%). Tabel 3 Distribusi Frekuensi Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat Dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Berdasarkan Pendidikan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2014 No. Pendidikan 1. 2. 3. 4 SD SMP SMA PT TOTAL Menerima n % 7 50,0 16 66,7 22 75,9 15 88,2 60 71,4 BPJS Menolak n % 7 50,0 8 33,3 7 24,1 2 11,8 24 28,6 df Total N % 14 100 24 100 29 100 17 100 84 100 3 6,049 Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Berdasarkan Pekerjaan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2014 1. 2. 3. 4 Menerima n % Petani 23 59,0 IRT 7 87,5 PNS 14 100 Wiraswasta 16 69,6 TOTAL 60 71,4 BPJS Menolak n % 16 41,0 1 12,5 0 0 7 30,4 24 28,6 df Total N % 39 100 8 100 14 100 23 100 84 100 SIMPULAN X2 Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa dari 14 responden berpendidikan SD yang menerima BPJS sebanyak 7 responden (50%), menolak sebanyak 7 responden (50%). Dari 24 responden berpendidikan SMP mayoritas menerima BPJS sebanyak 16 responden (66,7%), minoritas menolak sebanyak 8 responden (33,3%). Dari 29 responden yang berpendidikan SMA mayoritas menerima BPJS sebanyak 22 responden (75,9%), minoritas menolak sebanyak 7 responden (24,1%). Dari 17 responden yang berpendidikan perguruan tinggi mayoritas menerima BPJS sebanyak 15 responden (88,2%), minoritas menolak sebanyak 2 responden (11,8%). No. Pekerjaan Dari 14 responden yang bekerja sebagai PNS mayoritas menerima BPJS sebanyak 14 responden (100%) dan minoritas menolak BPJS tidak ada. Dari 23 responden yang bekerja sebagai wiraswasta mayoritas menerima BPJS sebanyak 16 responden (69,6%) dan minoritas menolak BPJS sebanyak 7 responden (30,4%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara pekerjaan terhadap kesehatan masyarakat dengan program BPJS di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014. Menurut asumsi peneliti, pekerjaan tidak terlalu berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, ini mungkin disebabkan oleh variabel lain dalam penelitian seperti pendidikan. X2 3 9,616 Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa dari 39 responden yang bekerja sebagai petani mayoritas menerima BPJS sebanyak 23 responden (59,0%) dan minoritas menolak BPJS sebanyak 16 responden (41,0%). Dari 8 responden yang bekerja sebagai IRT mayoritas menerima BPJS sebanyak 7 responden (87,5%) dan minoritas menolak BPJS sebanyak 1 responden (12,5%). Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan tentang pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten humbang Hasundutan tahun 2014, pada 84 responden maka diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014 2. Tidak ada pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan berdasarkan pendidikan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014 3. Ada pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehtaan berdasarkan pekerjaan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014 4. Ada pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan berdasarkan sumber informasi di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014 5. Tidak ada pengaruh kesehatan masyarakat terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014 6. Ada pengaruh kesehatan masyarakat terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehtan berdasarkan pendidikan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014 7. Tidak ada pengaruh kesehatan masyarakat terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan berdasarkan pekerjaan di RSUD Doloksanggul Kecamatan 126 8. 9. Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014 Tidak ada pengaruh kesehatan masyarakat terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan berdasarkan sumber informasi di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014 Ada pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat berdasarkan peningkatan kesehatan masyarakat di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014 Saran Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Kepada petugas kesehatan yang bekerja di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan agar lebih meningkatkan pengetahuan pasien tentang program BPJS dan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang menggunakan BPJS. 2. Kepada responden agar lebih meningkatkan pengetahuan mengenai program BPJS dalam kesehatan. 3. Kepada peneliti selanjutnya agar meneliti dan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi minat masyarakat terhadap BPJS dalam upaya peningkatan kesehatan. 127 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta Fachmi idris. Sistem Rujukan Berjenjang. Download 15/03/2014 Idris, Fachmi. 2013. Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Idris, Fachmi. 2013. Panduan Layanan Bagi Peserta BPJS. Jakarta: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Idris, Fachmi. 2013. Administrasi Klaim Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan. Jakarta: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat. 2014. http://www.menkokesra.go.id/ada-pihak-taksetuju-bpjs Notoatmodjo, soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Prasetyawati, Arsita. 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika Sembiring, Yustinus. 2013. Humbang Hasundutan dalam Angka. Doloksanggul: BPS Kabupaten Humbang Hasundutan Simanjuntak, Budiman. 2013. Profil Kesehatan Humbang Hasundutan Tahun 2012. Doloksanggul: Dinas Kesehatan Humbang Hasundutan Syafrudin. 2009. Ilmu Kesehatan masyarakat. Jakarta: Trans Info Media Thabrany, Hasbullah FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA HIPERTENSI PADA LANSIA DI UPT PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA ANAK DAN BALITA BINJAI DAN MEDAN TAHUN 2014 Abdul Hanif Siregar, Syarif Zen Yahya, Surita Ginting Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi tekanan darah seseorang berada diatas angka normal yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistol diatas 140 mmHg dan diastole diatas 90 mmHg.Prevalensi angka kejadian hipertensi di dunia cukup tinggi yaitu 10% dari populasi dunia, sedangkan di Indonesia sebesar 6-15% dari jumlah penduduk Indonesia.Dan prevalensi yang menderita hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan sebanyak 105 orang (65,6%). Faktor-faktor penyebab terjadinya hipertensi yaitu faktor genetik, riwayat merokok terdahulu dan kurangnya olahraga. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif dengan desain cross sectional yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian yang dilakukan pada 51 Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan yang diambil secara Random Sampling. Mayoritas Lansia yang menderita Hipertensi mempunyai riwayat Hipertensi pada anggota keluarganya sebanyak 29 orang (56,9%), dan riwayat merokok sebanyak 24 orang (47,1%), yang memiliki kebiasaan olahraga sebanyak 35 oran (68,6%). Faktor kurangnya olahraga tidak menjadi mayoritas penyebab terjadinya Hipertensi pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia & Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. Oleh karena itu, diharapkan kepada Lansia yang menderita Hipertensi agar memeriksakan tekanan darah secara berkala dan menjaga pola hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari. Kata kunci: Hipertensi, Lansia PENDAHULUAN Lansia adalah periode dimana semua sistem tubuh, ukuran dan fungsi tubuh telah mengalami kemunduran sejalan dengan waktu (Dalimartha, 2008). Salah satu penyakit yang sering muncul dengan berjalannya waktu adalah tekanan darah atau hipertensi. Secara visual penyakit ini memang tidak nampak mengerikan. Namun ia bisa membuat penderita terancam jiwanya atau paling tidak menurunkan kualitas hidupnya (Bangun A.P, 2002). Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk oto jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, diperkira menjadi 1,15 miliar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Boedhi Darmojo, 2007). Hipertensi mulai terjadi seiring bertambahnya umur. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau primer yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial meliputi kurang lebih 90% dari seluruh penderita hipertensi dan 10% sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder (Soeparman, 2002). Pada populasi umum, pria lebih banyak yang menderita penyakit ini dari pada wanita (39% pria dan 31% wanita). Prevalensi hipertensi primer pada wanita sebesar 22%-39% yang dimulai dari umur 50 sampai lebih 80 tahun, sedangkan pada wanita berumur kurang dari 85 tahun prevalensinya sebesar 22% dan meningkat sampai 52% pada wanita berumur lebih dari 85 tahun. Sekitar 60% lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun. Usia 40 sampai 55 tahun banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan terintegrasi (Dalimartha, 2008). Dilihat dari beberapa faktor dominan penyebab hipertensi, faktor kelebihan berat badan dapat meningkatkan resiko seseorang terserang penyakit hipertensi. Semakin besar massa tubuh, maka semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk masuk oksigen dan makanan kejaringan tubuh. Berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah meningkat, sehingga akan membkeeri tekanan lebih besar kedinding arteri. Selain itu, kelebihan berat badan dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dan mengakibatkan meningkatnya tekanan 128 darah. Faktor keturunan menunjukan, jika kedua orang tua kita menderita hipertensi, kemungkinan terkena penyakit ini sebesar 60%. Peneliti ini menunjukan ada faktor gen keturunan yang berperan. Dari faktor penambahan usia ditemukan adanya adanya perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Faktor kebiasaan minum kopi di dapatkan dari satu cangkir kopi mengandung 75200mg kafein, dimana dalam satu cangkir tersebut berpotensi meningkatkan tekanan darah 5-10mmHg. Dari faktor kebiasaan merokok terdapat zat kimia dalam tembakau yang dapat merusak dinding arteri sehingga lebih rentan terdapat penumpukan plak. Zat nikotin dalam tembakau dapat membuat kerja jantung lebih keras karena terjadi penyempitan pembuluh darah sementara yang dapat meningkatakn tekanan darah (Yulianti, 2006). Menurut organisasi Kesehatan Dunia (WHO) angka kejadian hipertensi di dunia cukup tinggi yaitu 10% dari populasi dunia. Data Hypertansion League Brochure 2009 menyebutkan bahwa hipertensi diderita lebih dari 1,5 miliar jiwa diseluruh dunia dan garam yang berlebihan adalah faktor utama dalam meningkatkan tekanan darah. “Hipertensi dianggap hal yang biasa karena gaya hidup kehidupan modern. Asupan garam yang tinggi merupakan penyebab hipertensi yang banyak ditemukan dari tahun ketahun”, papar dokter yang praktek di Rumah Sakit Harapan Kita. Secara global menurut data yayasan jantung Indonesia, tujuh juta jiwa meninggal tiap tahunnya akibat menderita tekanan darah tinggi (Gusti, KTI 2010). Di Indonesia, sampai saat ini belum terdapat penyelidikan yang bersifat nasional, yang dapat menggambarkan prevalensi hipertensi secara tepat. Banyak penelitian dilakukan secara terpisah dengan metidologi yang belum baku, namun menurut Soeparman pada tahun 2005, memperkirakan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 6-15% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia (Gunawan, 2005). Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2011, hipertensi menduduki peringkat kedua dari sepuluh penyakit terbesar di Kota Medan dengan jumlah penderita sebanyak 60.629 orang. Hal ini menunjukan bahwa hipertensi selalu menduduki peringkat lima teratas dalam hal penyakit terbesar di Kota Medan. Jumlah lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Anak dan Balita Wilayah Binjai dan Medan pada tahun 2012 adalah 160 orang yang terdiri dari 88 orang laki-laki dan 72 orang perempuan. Jumlah usia lansia yang menderita hipertensi 105 orang terdiri dari 46 perempuan dan 59 laki-laki. Melihat dari uraian diatas, penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya hipertensi pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Anak dan Balita Wilayah Binjai dan Medan. 129 Defenisi Operasional No. Variabel 1. Variabel Independen a. Umur Defenisi Operasional Lamanya hidup lansia dalam hitung waktu Alat ukur Hasil ukur Kuesioner>50tahun b. Genetik Garis keturunan yang Kuesioner- Ada mempunyai riwayat garis - Tidak ada keturunan yang sama c. Obesitas Berat Badan lebih pada Observasi- Kurus 10% saat penelitian atau ada - Ideal 20% riwayat obesitas sebelum - Gemuk 30% penelitian d. Merokok Skala ukur Interval Nominal Nominal Ordinal Jumlah rokok yang dikonsumsi responden dalam satu hari e. Kurang Olahraga Kurangnya pergerakan tubuh diluar aktifitas sehari- hari Kuesioner- Berat 2-3 bungkus/ hari - Sedang 1 bungkus/ hari Kuesioner- Ringan <1bungkus/hari Ordinal - 1kali/ minggu - 2kali/ minggu - Tidak pernah berolahraga METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif dengan menggunakan desain cross sectional, yaitu suatu metode yang merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian dilaksanaan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. Pelaksanaan penelitian ini dimulai bulan Desember 2012 sampai bulan Juli 2013. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua Lansia penderita hipertensi yang dirawat inap di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan tahun 2012 yang berjumlah 105 orang. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah pun teknik penh sebagian dari pada populasi yang terjangkau diambil. Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Systemic random sampling atau pengambilan sampel secara acak sistematis dengan membagi jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah sampel yang diinginkan, hasilnya adalah interval sampel (Notoadmodjo, 2010). Dimana interval yang digunakan adalah 105 : 51 = 2, maka pengambilan sampel adalah setiap kelipatan 2 dari urutan daftar nama populasi. Dengan tingkat kepercayaan 90% dan ketentuan hubungan yang dikatakan bermakna bila P value <0,1 dan hubungan dikatakan tidak bermakna bila value >0,1. Rumus besar sampel yang dipakai adalah sebagai berikut : N 1 N (d2) n= Keterangan : N = Besar populasi n = Besar Sampel d = Nilai Kesenjangan/nilai Ketidakpercayaan (Notoatmodjo, 2005) Maka dalam sampel penelitian ini adalah : n n n n n n n N 1 N (d2) 105 = 1 105 (0,12 ) 105 = 1 105 (0,01) 105 = 1 1,05 105 = 2,05 = = 51,21 = 51 orang Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Primer Data pada penelitian ini adalah data yang diperoleh dari responden sebanyak 51 orang dengan membagikan kuesioner dan terlebih dahulu menjelaskan tujuan penelitian. 2. Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari data UPT PS Lanjut Usia & Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden, peneliti membuat kuesioner dengan memberikan 20 pertanyaan (Ya/Tidak) dengan memberi tanda silang (X), dn menggunakan kriteria jawaban jika benar skor 1 dan jika salah diberi skor 0. Dimana ketentuan dari hasil penelitian sebagai berikut : 1. Jika nilai : <56 % maka dikatakan kurang 2. Jika nilai : 56-78% maka dikatakan cukup 3. Jika nilai : 79-100% maka dikatakan baik (Wawan, 2011). Data yang diperoleh akan diolah melalui langkahlangkah berikut ; a. Editing Data Dilakukan pengecekan pada suatu data yang terkumpul, bila terdapat kesalahan dalam pengumpulan data maka akan diperbaiki dan penelitian diulang. b. Coding c. Pemberian kode atau tanda pada setiap data yang telah terkumpul untuk memperoleh, memasukkan data ke dalam tabel. Tabulating Mengelolah data ke dalam bentuk tabel distribusi frekuensi untuk mempermudah analisa data, pengolahan data serta pengambilan kesimpulan. Analisa Data Analisa Data yang digunakan adalah analisa univariat (analisa deskriptif). Bertujuan untuk menggambarkan menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik variabel penelitian. Pada umumnya dalm analisa ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi. Kemudian presentase diperoleh proporsi untuk tiap-tiap kategori. Dengan menggunakan rumus : n x100% P= N Keterangan : P : Proporsi n : Banyak subjek dalam kelompok N : Banyaknya subjeknya seluruhnya (Arikunto, 2007) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan yang dilakukan pada bulan Juni tahun 2013. Jumlah lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Anak dan Balita sebanyak 160 orang yang terdiri dari 88 orang laki-laki dan 72 orang permpuan. Jumlah usia lansia yang menderita hipertensi 105 orang yang terdiri 46 perempuan dan 59 laki-laki. Di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan berlokasi dijalan Perintis Kemerdekaan, dengan petugas sebanyak 24 orang yang terdiri dari 1 orang golongan IV A, 14 orang golongan III, 9 orang golongan II, dengan tenaga kesehatan sebanyak 4 orang yaitu 2 orang dokter, 2 orang perawat, serta 8 orang tenaga honor. UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan pada mulanya bernama Panti Sosial Tresna Werdha Abdi Binjai pada tanggal 20 Desember 1980 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial RI No.32/HUK/KEP/IV/1982 tentang penbentukan Panti Sosial Tresna Werdha di Indonesia. UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan suatu unit dilingkungan Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, Perda provinsi Sumatera Utara No. 3 tahun 2001 sebagai lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan pelayanan dan bimbingan terhadap orang tua atau lansia yang kurang mampu/terlantar karena suatu sebab fungsi sosialnya tidak berjalan secara wajar didalam lingkungan masyarakat. Luas bangunan wisma yaitu 2.120 m3 terdiri dari 33 unit. 130 UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan merupakan tempat tinggal lansia yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Setiap lansia yang ingin tinggal di UPT tersebut harus mempunyai kebijakan yang telah ditentukan pihak panti yaitu mempunyai surat kesehatan dari puskesmas, klinik maupun Rumah Sakit yang menyatakan lansia tersebut dalam keadaan sehat. Kebijakan ini diambil dikarenakan lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan melakukan semua kegiatan dengan mandiri tanpa bantuan orang lain, namun apabila ada lansia yang setelah beberapa bulan tinggal di panti kemudian jatuh sakit dan tidak bias melakukan kegiatan secara mandiri maka petugas panti akan menugaskan salah satu lansia yang masih sehat untuk menjaga dan mengasuh lansia tersebut dengan diberi upah yang telah ditetapkan sesuai kesepakatan kedua belah pihak (antara yang sehat dan yang sakit). Para lansia yang tinggal di panti mengisi waktu luang dengan mengikuti keterampilan berkebun, membuat anyaman bambu dan hasilnya untuk uang jajan. Setiap satu kali seminggu lansia mengadakan olahraga yaitu senam lansia yang diadakan didalam Panti yang di pandu oleh petugas /staf pekerja sosial. Di UPT Pelayanan Lanjut Usia dan Anak Balita Wilyah Binjai dan Medan para lansia yang tinggal dipanti tidak dipungut biaya apapun karena seluruh biaya ditanggung oleh Pemerintah. Tabel 3 No 1 2 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Obesitas di UPT Pelayanan Sosial Usia Lanjut danAnak Balita Wilayah Binjai dan Medan Tahun 2014 Indeks Masa F Persentase(%) Tubuh <18,5 15 29,41 18,5-22,9 15 29,41 >23 21 41,17 Total 51 100 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa lansia yang menderita hipertensi mayoritas memiliki Indeks Masa Tubuh >23 yaitu 21 responden (41,17%). Tabel 4 No 1. 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Merokok di UPT Pelayanan Sosial Usia Lanjut danAnak Balita Wilayah Binjai dan Medan Tahun 2014 Riwayat Merokok F % Merokok 24 47,1 Tidak Merokok 27 52,9 Total 51 100 Hasil Penelitian Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa lansia yang menderita Hipertensi mayoritas tidak mempunyai riwayat merokok terdahulu sebanyak 27 orang (52,9%). Tabel 1 Tabel 5 Distribusi Rekuensi Responden Berdasarkan Usia di UPT Pelayanan Sosial Usia Lanjut dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan Tahun 2014 No Usia Frekuensi Persentase (%) 1 45-54 Tahun 4 7,84 2 55-64 Tahun 12 23,52 3 65 tahun keatas 35 68,62 51 100 No 1. 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Olahraga di UPT Pelayanan Sosial Usia Lanjut danAnak Balita Wilayah Binjai dan Medan Tahun 2014 Olahraga F % Olahraga 35 68,6 Tidak berolahraga 16 31,4 Total 51 100 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa lansia yang menderita hipertensi mayoritas usia 65 tahun keatas dengan jumlah 35 (68,62%). Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa lansia yang menderita Hipertensi mayoritas kebiasaan olahraga sebanyak 35 orang (68,6%). Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Genetik di UPT Pelayanan Sosial Usia Lanjut danAnak Balita Wilayah Binjai dan Medan Tahun 2014 No Genetik/ Keturunan F % 1. Genetik 29 56,9 2. Tidak Genetik 22 43,1 Total 51 100 Pembahasan 1. Usia Pertambahan usia akan meningkatkan resiko hipertensi pada seseorang. Kejadian hipertensi lebih sering terjadi pada kelompok lansia (lanjut usia). Resiko hipertensi meningkat seiring ddengan bertambahnya usia, terutama pada pria diatas usia 45 tahun atau wanita berusia diatas 55 tahun. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat dari usia pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan mayoritas memiliki usia 65 tahun keatas dengan jumlah 35 responden (68,62%). Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa lansia yang menderita Hipertensi mayoritas memiliki keturunan hipertensi pada garis keturunannya sebanyak 29 orang (56,9%). 131 2. Genetik Menurut Andi, 2010 obesitas cenderung diturunkan atau diwariskan secara genetik. Meski demikian, anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan atau gaya hidup yang berpotensi mendorong terjadinya obesitas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang. Menurut Garnadi, 2012 keluarga dengan riwayat hipertensi memiliki kemungkinan lebih besar mengidap hipertensi pada keturunannya. Anggota riwayat hipertensi pada ayah atau ibunya memiliki “bakat” untuk mengidap hipertensi. Faktor genetik memiliki pengaruh besar terhadap timbulnya hipertensi. Menurut Susilo, 2010 adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga tersebut akan menyebabkan keluarga tersebut mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk menderita hioertensi daripada individu yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Menurut Mahammadun, 2010 para pakar juga menemukan hubungan antara riwayat keluarga penderita hipertensi (genetik) dengan resiko bagi orang yang menderita penyakit ini. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat dari Genetik/garis keturunan pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan mayoritas memiliki keturunan hipertensi sebanyak 29 orang (56,9%). Menurut peneliti seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika memiliki genetik hipertensi. Ada baiknya mulai sekarang kita memeriksa riwayat kesehatan keluarga sehingga kita dapat melakukan antisipasi dan pencegahan. Ini tidak hanya berlaku untuk penyakit hipertensi tetapi juga untuk penyakit-penyakit lain. Bagaimana pun melakukan pencegahan dan antisipasi terhadap penyakit jauh lebih baik daripada melakukan pengobatan. 3. Obesitas Kegemukan dan obesitas akan memperberat kerja jantung untuk memperberat kerja jantung untuk memompa darah. Organ-organ lain juga mendapatkan beban berat banyaknya timbunan lemak didalam tubuh. Akhirnya semua kondisi tersebut saling terkait menimbulkan hipertensi dan sebagai penyakit (Gamadi, 2012). Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat dari berat badan berdasarkan indeks masa tubuh pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan mayoritas memiliki Indeks Masa Tubuh >23 yaitu 21 responden (41,17%). 4. Riwayat Merokok Menurut Lili, 2010 zat terdapat dalam rokok dapat merusak lapisan dinding arteri berupa plak. Ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri yang meningkatkan tekanan darah. Kandungan nikotinnya bias meningkatkan hormone efrinefrin yang bias menyempitkan pembuluh darah arteri. Karbon monoksidanya dapat menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk menggantikan oksigen pada jaringan tubuh. Berbagai penelitian membuktikan roakok beresiko terhadap jantung dan pembuluh darah. Disamping meningkatkan pelepasan adrenalin, rokok memberika pengaruh lain yang merusak. Zat-zat kimia yang diserap dari asap rokok dapat mempengaruhi dinding arteri sehingga lebih peka terhadap penumpukan lemak yang mengandung kolesterol (plak) yang menyebabkan arteri menjadi lebih sempit. Rokok juga memicu dilepas nya hormon yang menyebabkan tubuh menahan cairan. Kedua faktor ini yaitu penyempitan arteri dan penimbunan cairan dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah. Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat dari riwayat merokok pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan mayoritas memiliki riwayat merokok terdahulu sebanyak 27 orang (52,9%). Menurut peneliti rokok merupakan menjadi salah satu faktor resiko hipertensi yang dapat di modifikasi. Merokok akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri yang meningkatkan tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi. Namun demikian, merokok merupakan faktor resiko yang potensial untuk dihilangkan dalam upaya mencegah terjadinya hipertensi dan penyakit kardiovaskuler. 5. Olahraga Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat dari faktor olahraga pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan mayoritas kebiasaan olahraga sebanyak 35 orang (68,6%). Menurut Susilo, 2010 adanya kesibukan luar biasa, manusia pun merasa tidak punya waktu lagi untuk berolahraga. Akibatnya, kita menjadi kurang gerak dan kurang olahraga. Kondisi inilah yang memicu kolesterol tinggi dan juga adanya tekanan darah yang terus menguat sehingga munculnya hipertensi. Hal ini tidak sejalan dengan lansia yang mengalami hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan karena lansia setiap satu kali seminggu melakukan olahraga. Menurut peneliti kurang olahraga akan menjadi pemicu terjadinya hipertensi. Dalam hal ini, kurang olahraga pada lansia disebabkan oleh faktor usia. Mungkin lansia lebih banyak duduk, 132 kurang gerak, dan gaya hidup santai. Ini akan mengakibatkan kurangnya aktifitas fisik sehingga jantung tidak terlatih, pembuluh darah kaku, sirkulasi darah tidak mengalir dengan lancer, dan menyebabkan kegemukan. Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya hipertensi 3. 4. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya hipertensi pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan 2014 dengan jumlah responden 51 orang dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Mayoritas Lansia yang menderita hipertensi berdasarkan faktor usia mayoritas usia diatas 65 tahun dengan 35 responden (68,62%) dan minoritas responden berusia 45-54 tahun dengan jumlah 4 responden (7,84%). 2. Mayoritas Lansia yang menderita Hipertensi memiliki riwayat keturunan/genetik pada keluarganya sebanyak 29 orang (56,9%), dan minoritas lansia yang tidak memiliki riwayat keturunan hipertensi sebanyak 22 orang (43,1%). 3. Mayoritas lansia yang menderita hipertensi berdasarkan faktor obesitas memiliki Indeks Masa Tubuh >23 yaitu 21 responden (41,17%) dan minoritas 4. Mayoritas Lansia yang menderita Hipertensi memiliki riwayat merokok terdahulu sebanyak 24 orang (47,1%), dan minoritas lansia yang tidak memiliki riwayat merokok sebanyak 27 orang (52,9%). 5. Mayoritas Lansia yang menderita Hipertensi memilki kebiasaan olahraga sebanyak 35 orang (68,6%), dan minoritas lansia yang tidak memiliki kebiasaan olahraga sebanyak 16 orang (31,4%) . Saran Setelah melakukan penelitian terhadap faktorfaktor penyebab terjadinya hipertensi pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan tahun 2014 yaitu: 1. Diharapkan kepada Lansia yang menderita Hipertensi dan mempunyai riwayat hipertensi pada garis keturunannya di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan agar melakukan pola hidup sehat dengan menjaga makanan. 2. Diharapkan kepada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan 133 agar meninggalkan kebiasaan merokok untuk mencegah peningkatan tekanan darah. Diharapkan kepada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan agar terus mempertahankan pola hidup sehat dengan olahraga teratur. Untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan tekanan darah diharapkan seluruh lansia untuk rutin memeriksakan tekanan darahnya ke Poliklinik di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. DAFTAR PUSTAKA Martha, Karnia, 2012. Panduan cerdas mengatasi hipertensi. Jogyakarta : Araska Notoadmojo, soekidjo 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta ______________________. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta ______________________. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Alimul, A. 2007 Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah . Surabaya: Salemba Medika. Susilo, Yekti,2011. Cara Jitu Mengatasi Hipertensi. Yogyakarta: Andi Bandiyah, Siti.2009. Lanjut Usia & Keperawatan Gerontik.Yogyakarta : Nuha Medika Nugroho,wahjudi 2006. Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Muhammadun. 2010. Hidup Bersama Hipertensi. Jakarta : in-Book. Rizema Putra, Sitiatava,2012. Panduan Riset Keperawatan dan Penulisan Ilmiah. Jakarta: D-Medika Ardika, 2012, Tekanan Darah Tinggi. Jakarta : Erlangga Arikunto, 2011. Prosedur Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta Nursalam, 2003 Konsep dan Penerapan Metodeologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika Setiadi, 2007, Konsep & Penulisan Riset Keperawatan, Graha Ilmu Jakarta Tara, Elizabet,2008 prevalesi Hipertensi dan Determinannya Di Indonesia, Jakarta : Departemen Kesehatan RI Bangun A.P 2008 Terapi Jus dan Ramuan Tradisonal Untuk Hipertensi, Jakarta Agromedia Pustaka. Fahrur, 2012 Lima Tugas Kesehatan Keluarga Untuk Mengenal Hipertensi Digilib. Urinus .ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-fahrur021-5182-1bab1.pdf diakses pada tanggal 17 April 2012. MANFAAT MENGUNYAH PERMEN KARET YANG MENGANDUNG XYLITOL DAN NON XYLITOL DALAM MENURUNKAN INDEKS PLAK PADA SISWA-SISWI KELAS VI-A SDN 060930 TITI KUNING KECAMATAN MEDAN JOHOR TAHUN 2014 Yetti Lusiani, Etty M. Marthias, Hasny Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Masalah gigi dan mulut di Indonesia sampai saat ini masih memerlukan perhatian yang cukup besar. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, penyakit karies gigi dan periodontal telah dialami oleh sekitar 90% masyarakat. Penyakit tersebut memiliki hubungan yang erat dengan keadaan kebersihan mulut yang terabaikan, sehingga terbentuk lapisan yang melekat erat pada permukaan gigi yang mengandung bakteri, yang disebut sebagai plak. Plak inilah yang merupakan penyebab utama dari karies gigi dan penyakit periodontal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dan non xylitol dalam menurunkan indeks plak pada siswa-siswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor. Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian deskriptif dengan metode survey. Dari hasil penelitian diperoleh rata-rata indeks plak pada sampel sebelum mengunyah permen karet xylitol adalah 1,24 dengan kriteria baik sebanyak 1 siswa dan kriteria sedang sebanyak 17 siswa. Indeks plak pada sampel yang mengunyah permen karet non xylitol adalah 1,09 dengan kriteria baik sebanyak 1 siswa dan kriteria sedang sebanyak 16 siswa. Setelah dilakukan pengunyahan didapat penurunan indeks plak sebesar 1,03 pada sampel mengunyah permen karet xylitol dengan kriteria seluruhnya baik dan 0,65 pada sampel yang mengunyah permen karet non xylitol dengan kriteria seluruhnya baik. Dari hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa mengunyah permen karet yang mengandung xylitol lebih efektif dalam menurunkan indeks plak. Kata kunci : xylitol, non xylitol dan indeks plak PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diusahakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.Upaya-upaya kesehatan tersebut sesuai dengan bab IV pasal 47 undangundang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan meliputi pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan (promotif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) (Depkes RI, 2010). Masalah gigi dan mulut di Indonesia sampai saat ini masih memerlukan perhatian yang cukup besar. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, dewasa ini penyakit karies gigi dan periodontal telah dialami oleh sekitar 90% masyarakat. Penyakit periodontal dan karies gigi mempunyai sifat progresif yang bila tidak dirawat atau tidak diobati akan semakin parah, dan bersifat irreversible yaitu jaringan yang rusak dan tidak dapat utuh kembali atau pulih seperti semula. Penyakit tersebut memiliki hubungan yang erat dengan keadaan kebersihan mulut yang terabaikan, sehingga terbentuk lapisan yang melekat erat pada permukaan gigi yang mengandung bakteri, yang disebut sebagai plak. Plak gigi dapat didefinisikan sebagai deposit lunak yang membentuk biofilm dan melekat pada permukaan gigi atau permukaan keras lain pada rongga mulut. Plak gigi terdiri dari berbagai macam mikroorganisme. Istilah “biofilm” digunakan untuk menggambarkan komunitas mikroorganisme yang melekat pada permukaan gigi. Karies gigi dan penyakit periodontal merupakan dua penyakit gigi dan mulut yang memiliki insidensi tinggi di masyarakat. Penyebab utama kedua penyakit tersebut adalah kumpulan bakteri yang terikat dalam plak. Upaya pengendalian perjalanan penyakit tersebut dapat dilakukan dengan cara menghilangkan plak secara mekanik dan kimiawi. Plak yang tidak dibersihkan akan termineralisasi menjadi kalkulus atau karang gigi. Plak dan karang gigi inilah yang akan mengiritasi gusi dan menyebabkan gusi berdarah, bengkak (gingivitis). Perkembangan selanjutnya menjadi periodontitis jika kerusakan sudah mengenai tulang pendukungnya. Untuk itu diperlukan upaya pencegahan terhadap akumulasi plak. Saat ini di dalam dunia kedokteran gigi 134 telah ditemukan inovasi terbaru yang menyempurnakan perawatan gigi, yaitu dengan mengkonsumsi xylitol, karena xylitol merupakan pemanis yang aman dan bermanfaat untuk kesehatan gigi dan mulut. Xylitol adalah gula alternatif golongan polialkohol yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk plak. Xylithol juga mampu mengurangi sintesa polisakarida ekstra seluler yang dapat mengakibatkan perlekatan bakteri plak. Mengunyah permen karet yang mengandung xylitol mulai banyak dilakukan di beberapa negara untuk melindungi gigi. Pada survey awal di SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor banyak ditemukan plak pada gigi siswa-siswi disekolah tersebut. Sebelumnya sekolah tersebut belum pernah mendapat pelayanan asuhan kesehatan gigi, jadi perilaku siswa-siswi terhadap kesehatan gigi dan mulut masih kurang sehingga menyebabkan kebersihan gigi dan mulut siswa-siswi juga masih kurang baik. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti ingin meneliti bagaimana manfaat mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dan non xylitol terhadap penurunan indeks plak pada siswa-siswi kelas VI-A SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor. Tujuan penelitian untuk mengetahui manfaat menguyah permen karet yang mengandung xylitol dan non xylitol dalam menurunkan indeks plak pada siswasiswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak Sebelum Mengunyah Permen Karet yang Mengandung Xylitol pada Siswa-siswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 Indeks plak Perlakuan Total Baik Sedang Buruk N (%) Sebelum n % n % n % Mengunyah permen karet 1 5,6 17 94,4 0 0 18 100 xylitol METODE PENELITIAN Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kriteria indeks plak pada siswa-siswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol seluruhnya adalah baik yaitu berjumlah 18 siswa (100%). Dan tidak ada siswa dengan kriteria indeks plak sedang dan buruk. Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survey. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswasiswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor yang berjumlah 35 siswa. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010), apabila kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitian ini merupakan penelitian populasi (Arikunto,2006). Dalam penelitian ini sampel merupakan keseluruhan dari populasi yaitu sebanyak 35 siswa. HASIL Dari 35 sampel yang diteliti pada siswa-siswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor setelah diberi perlakuan mengunyah permen karet yang mengandung xylitol terjadi penurunan indeks plak dibandingkan dengan yang mengunyah permen karet yang non xylitol. 135 Tabel 1 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa indeks plak sebelum mengunyah permen karet xylitol sebagian besar adalah berkriteria sedang yang berjumlah 17 siswa (94,4%). Sedangkan untuk indeks plak dengan kriteria baik berjumlah 1 siswa (5,6%). Tabel 2 Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak Sesudah Mengunyah Permen Karet yang Mengandung Xylitol pada Siswa-siswi Kelas VIA SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor. Indeks plak Perlakuan Total Baik Sedang Buruk N (%) Sesudah n % n % n % Mengunyah permen karet 18 100 0 0 0 0 18 100 xylitol Tabel 3 Distribusi Frekuensi Penurunan Indeks Plak Sebelum Dan Sesudah Mengunyah Permen Karet Yang Mengandung Xylitol. Rata-rata indeks plak Perlakuan Penurunan Sebelum Sesudah Mengunyah permen karet 1,24 0,21 1,03 xylitol Berdasarkan tabel diatas dapat dlihat bahwa terjadi penurunan indeks plak sebesar 1,03 pada perlakuan mengunyah permen karet dengan xylitol. Indeks plak sebelum mengunyah permen karet xylitol sebesar 1,24 dan sesudah mengunyah permen karet xylitol 0,21. Tabel 4 Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak Sebelum Mengunyah Permen Karet Non Xylitol pada Siswa-siswi Kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 Indeks plak Perlakuan Total Baik sedang Buruk N ( %) Sebelum n % n % n % Mengunyah permen 1 5,9 16 94,1 0 0 17 100 karet non xylitol Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa indeks plak sebelum mengunyah permen karet non xylitol sebagian besar adalah berkriteria sedang yang berjumlah 16 siswa (94,1%). Sedangkan untuk indeks plak dengan kriteria baik berjumlah 1 siswa (5,9%). Tabel 5 Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak Sesudah Mengunyah Permen Karet Non Xylitol pada Siswa-siswi Kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor. Indeks plak Perlakuan Total Baik sedang buruk N ( %) Sebelum n % n % n % Mengunyah permen 17 100 0 0 0 0 17 100 karet non xylitol Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa kriteria indeks plak pada siswa/i kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor sesudah mengunyah permen karet non xylitol seluruhnya adalah baik yaitu berjumlah 17 siswa (100%). Tidak ada siswa dengan kriteria indeks plak sedang dan buruk. Tabel 6. Distribusi Frekuensi Penurunan Indeks Plak Sebelum dan Sesudah Mengunyah Permen Karet Non Xylitol. Rata-rata indeks plak Perlakuan Penurunan Sebelum Sesudah Mengunyah permen karet 1,09 0,44 0,65 non xylitol Berdasarkan tabel diatas dapat dlihat bahwa penurunan indeks plak pada sampel setelah mengunyah permen karet non xylitol sebesar 0,65. Indeks plak sebelum mengunyah permen karet non xylitol sebesar 1,09 dan sesudah mengunyah permen karet non xylitol sebesar 0,44. PEMBAHASAN Dari tabel 1, 2 dan 3 dapat dilihat bahwa persentase kriteria indeks plak sebelum mengunyah permen karet xylitol pada siswa-siswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 dengan kriteria baik sebanyak 1 siswa (5,6%), kriteria sedang sebanyak 17 siswa (94,4%), tidak ada siswa dengan kriteria buruk (0%). Sesudah mengunyah permen karet xylitol seluruh sampel memiliki kriteria indeks plak baik sebanyak 18 siswa (100%). Terjadi penurunan indeks plak sebesar 1,03 setelah mengunyah permen karet xylitol, dimana indeks plak sebelum mengunyah permen karet yang mengandung xylitol sebesar 1,24 dan sesudah mengunyah permen karet xylitol sebesar 0,21. Dari tabel 4,5 dan 6 dapat dilihat bahwa persentase kriteria indeks plak sebelum mengunyah permen karet non xylitol pada siswa-siswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 dengan kriteria baik dijumpai 1 siswa (5,9%), kriteria sedang sebayak 16 siswa (94,1%), dan tidak ada siswa dengan kriteria buruk, sedangkan sesudah mengunyah permen karet non xylitol dengan kriteria baik sebanyak 17 siswa (100%). Terjadi penurunan indeks plak sebesar 0,65 setelah mengunyah permen karet non xylitol, dimana indeks plak sebelum mengunyah permen karet non xylitol sebesar 1,09 dan sesudah mengunyah permen karet non xylitol sebesar 0,44. Permen karet yang mengandung xylitol dapat digunakan sebaga alat pembersih gigi dan gusi. Konsumsi karbohidrat yang tinggi pada anak-anak menyebabkan bakteri berkembang biak lebih cepat di dalam mulut. Bakteri menyebabkan suasana asam dalam mulut dan mempermudah terjadinya karies. Mengunyah permen karet yang mengandung xylitol akan mengurangi terjadinya demineralisasi akibat karbohidrat. (Susanto,2011). Xylitol adalah gula alternatif golongan polialkohol yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk plak. Xylithol juga mampu mengurangi sintesa polisakarida ekstra seluler yang dapat mengakibatkan perlengketan bakteri plak. Mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dilakukan untuk mengurangi plak. Efeknya dalam mulut dapat mengurangi jumlah plak yang dilihat berdasarkan kerja bakteri terhadap xylitol untuk memproduksi asam, tidak seperti pada jenis gula lainnya (Donna Pratiwi,2009). Xylitol tidak menghasilkan asam sama sekali pada plak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa xylitol meningkatkan pH dan karenanya gula jenis ini dianggap sangat aman bagi gigi, meskipun adaptasi bakteri pada plak tetap masih mungkin terjadi. Kandungan xylitol dalam permen sangat bermanfaat bagi orang yang mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut. Xylitol dapat mengurangi gigi berlubang, plak, dan dengan sendirinya akan menghambat perkembangan bakteri streptococcus mutans. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang manfaat mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dan non xylitol terhadap penurunan indeks plak pada siswasiswi kelas IV-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan 136 Medan Johor Tahun 2014 maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Persentase indeks plak sebelum mengunyah permen karet xylitol adalah 1 orang (5,6%) berkategori baik dan 17 orang (94,4%) kategori sedang. Sedangkan sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol kategori baik yaitu 18 siswa (100%), kategori sedang dan buruk tidak ada. 2. Persentase indeks plak sebelum mengunyah permen karet non xylitol adalah kategori baik yaitu 1 siswa (5,9%), kategori sedang sebanyak 16 siswa (94,1%) dan kategori buruk tidak ada. Sedangkan sesudah mengunyah permen non xylitol kategori baik yaitu 17 siswa (100%), kategori sedang dan buruk tidak ada. 3. Indeks plak rata-rata sebelum mengunyah permen karet yang mengandung xylitol sebesar 1,24, sedangkan sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol sebesar 0,21. 4. Indeks plak rata-rata sebelum mengunyah permen karet non xylitol sebesar 1,09, sedangkan sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol sebesar 0,44. 5. Mengunyah permen karet yang mengandung xylitol lebih efektif menurunkan indeks plak dibandingkan dengan mengunyah permen karet non xylitol. Terjadi penurunan indeks plak sebesar 1,03 pada sampel sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol, sedangkan yang mengunyah permen karet non xylitol sebesar 0,65. B. 137 Saran 1. Diharapkan kepada siswa-siswi SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor agar dapat menambah pengetahuan dalam 2. 3. menjaga kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut. Kepada siswa-siswi SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor agar dapat memilih jajanan yang dapat menjaga kesehatan gigi dan mulut dan tidak merusak kesehatan gigi dan mulut salah satunya adalah permen karet yang mengandung xylitol. Orang tua siswa agar dapat lebih mengontrol kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut anak. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S., 2006. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. Boedihardjo, 1985. Pemeliharaan Kesehatan Gigi Keluarga, Lembaga Penerbitan Universitas Airlangga, Surabaya. Budiman A. Johan, dkk, 1996. Mengenal Gigi Anda, Penerbit Arca, Jakarta. Dalimunthe., 2008. Periodontia. Penerbit USU Press. Medan. Notoatmodjo S, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta. Panjaitan M,1995. Etiologi Karies Gigi dan Penyakit Periodontal, Edisi Pertama, Penerbit Universitas Sumatera Utara Press. Pintauli S,dkk,2010. Menuju Gigi dan Mulut Sehat Pencegahan dan Pemeliharaan, penerbit USU Press. Pratiwi D, 2009. Gigi Sehat Dan Cantik, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta Susanto G, 2011. Terapi Untuk Kesehatan dan Kecantikan Gusi, Penerbit Erlangga. EFEKTIFITAS PEMBERIAN SOYGHURT TERHADAP PENURUNAN KADAR KOLESTEROL DALAM DARAHMENCIT (Mus musculus) DENGAN JUMLAH BAKTERI ASAM LAKTAT DAN SUHU INKUBASI YANG OPTIMUM Rosmayani Hasibuan Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Penelitian tentang pembuatan soyghurt dengan menggunakan bakteri asam laktat, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas soyghurt dalam menurunkan kadar kolesterol dalam darah mencit dengan jumlah bakteri asam laktat dan suhu inkubasi yang optimum. Perlakuan suhu inkubasi pada pembuatan soyghurt adalah 30⁰, 35⁰, dan 40⁰C. Analisa jumlah bakteri asam laktat berdasarkan Standar PlateCount.Identifikasi jenis bakteri dilakukan dengan pengamatan karakteristik morfologi dan uji biokimia.Karakteristik morfologi dilakukan dengan pewarnaan Gram, sedangkan uji biokimia dilakukan dengan uji katalase, fermentasi karbohidrat, motilitas, reduktase nitrat, dan uji ketahanan suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu yang optimal pada pembuatan soyghurt adalah 40⁰C dengan jumlah koloni sebesar 1,63 x 109 CFU/ml. Pemberian soyghurt dengan konsentrasi 0,25, 0,50 dan 1% kepada hewan uji (mencit) menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap penurunan kadar kolesterol dalam darah mencit, masing-masing 18,43, 22,18 dan 35,75%. Pemberian soyghurt dengan konsentrasi 1% menunjukkan penurunan kadar kolesterol yang paling significan yaitu 35,75%. Kata kunci : Suhu inkubasi, Bakteri asam laktat, Soyghurt, Kolesterol PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sejak abad II sebelum Masehi susu kedelai sudah dibuat di negara Cina, dan kemudian berkembang ke Jepang. Setelah Perang Dunia II baru berkembang ke Asia Tenggara. Sampai saat ini perkembangan susu kedelai di Indonesia masih jauh tertinggal dengan Singapura, Malaysia dan Philipina (Koswara, 2006). Susu kedelai baru beberapa tahun terakhir dikenal dan dikembangkan di Indonesia. Seperti halnya susu sapi, susu kedelai ternyata dapat dibuat menjadi yoghurt susu kedelai yang dikenal dengan nama “Soyghurt”, yang merupakan salah satu produk susu fermentasi yang dibuat dengan melibatkan bakteri asam laktat seperti penambahan bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus (Heller, 2001). Produk soyghurt yang berkualitas memerlukan kombinasi dua atau lebih bakteri yang digunakan sebagai starter. Kombinasi kedua bakteri asam laktat tersebut bersifat sinergis, Pada awal pertumbuhan S. thermophilus akan menghasilkan kadar asam laktat 0,8-1,0%, dan kondisi ini dimanfaatkan oleh L. bulgaricus hingga mencapai kadar asam laktat 1,5-2,0%. (Soeharsono, 2010). Tingkat penambahan dan kondisi starter berpengaruh terhadap aktifitas bakteri dan produk asam yang dihasilkan (Buckle et al., 1987), selain itu harus diperhatikan penggunaan suhu inkubasi agar aktifitas bakteri starter berlangsung secara optimal (Soeharsono, 2010). Kesadaran konsumen untuk mengkonsumsi makanan sehat (pangan fungsional) semakin meningkat sehingga produk hasil fermentasi yang aman dikonsumsi juga cenderung meningkat. Produk-produk fermentasi telah lama diketahui mempunyai berbagai keunggulan ditinjau dari aspek gizi dan kesehatan. Peningkatan pendapatan masyarakat dan kebutuhan makanan sehat yang terus berkembang menunjukkan besarnya peluang untuk malakukan penelitian tentang pangan fungsional diantaranya adalah susu fermentasi (Kurana, 2007). Dalam pembuatan soyghurt digunakan 2 spesies bakteri yang tumbuh secara simbiotik yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Kedua spesies bakteri ini jika ditumbuhkan bersama sama akan memproduksi asam lebih banyak dibandingkan jika tumbuh secara terpisah. L. bulgaricus dan S. thermophillus merupakan bakteri asam laktat homofermentatif yang terutama merubah laktosa menjadi asam laktat. Suhu inkubasi biasanya diantara 40-45⁰C, 32⁰C atau pada suhu ruang (sekitar 29⁰C) dengan waktu yang berbeda. Pada mulanya Lactobacilli tumbuh dominan dan menghasilkan asam amino glisin dan histidin, kedua senyawa ini akan merangsang pertumbuhan Streptococci (Hidayat,dkk, 2006) 138 Pengaruh suhu inkubasi dengan modifikasi beberapa tingkatan suhu pada proses pembuatan soyghurt sangat menentukan populasi bakteri asam laktat dan komponen metabolit skunder yang dihasilkan sehingga perlu dilakukan penelitian tentang perbedaan suhu inkubasi terhadap jumlah koloni bakteri starter terutama L. bulgaricus dan S. thermophilus pada pembuatan soyghurt dan efektifitasnya terhadap penurunan kadar kolesterol di dalam darah. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian tentang pengaruh suhu inkubasi terhadap jumlah koloni bakteri asam laktat yang digunakan sebagai starter sangat menentukan keberadaan bakteri L. bulgaricusdanS. thermophilus yangdidasarkan pada pertimbangan bahwa keduabakteri tersebut merupakan masalah utama padaproses pembuatan soyghurt. Suhu inkubasi yang sesuai akan memberikan pertumbuhan bakteri tersebut lebih optimum dan dapat efektif untuk menurunkan kadar koleterol di dalam darah.Bakteri asam laktat memiliki kemampuan menurunkan kolesterol di dalam darah sebagai salah satu unsur utama pada proses pembuatan soyghurt.Berdasarkan uraian di atas dapatdirumuskan beberapa permasalahan yaitu 1. Apakah perbedaan suhu inkubasi pada proses pembuatan soyghurt dapat menghasilkan jumlah koloni bakteri asam laktat yang bervariasi. 2. Apakah bakteri asam laktat pada soyghurt memiliki potensi dalam menurunkan kadar kolesterol dalam darah Kerangka Pemikiran Bakteri asam laktat L. bulgaricus dan S. thermophilus sebagai starter yang ditambahkan pada pembuatan soyghurt akan mampu mengikat atau memasukkan kolesterol ke dalam membran sitoplasmanya sehingga kadar kolesterol berada sesuai dengan kebutuhan metabolisme dalam tubuh. (Danielson et al., 1989) Pertumbuhan bakteri asam laktat pada fermentasi soyghurt sangat dipengaruhi oleh suhu inkubasi, sehingga perlu dilakukan penggunaan suhu inkubasi yang berbeda untuk melihat seberapa banyak jumlah koloni L. bulgaricus dan S. thermophillus pada pembuatan soyghurt sehingga penurunan kadar kolesterol dapat terlihat nyata. Pengaruh suhu inkubasi terhadap jumlah koloni bakteri asam laktat pada pembuatan soyghurt belum banyak dilaporkan, berdasarkan hal tersebut akan dilakukan penelitian tentang efektifitas pemberian soyghurt terhadap penurunan kadar kolesterol dalam darah dengan jumlah koloni BAL dan suhu inkubasi yang optimum. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan suhu inkubasi yang optimum bagi pertumbuhan L. bulgaricus dan S. thermophillus pada pembuatan soyghurt. 2. Menentukan jumlah koloni yang optimum dari L. bulgaricus dan S. thermophillus sebagai bakteri asam laktat pada pembuatan soyghurt. 139 3. Mengevaluasi kemampuan bakteri L. bulgaricus dan S. thermophillus dalam menurunkan kadar kolesterol di dalam darah secara in Vivo. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh suhu inkubasi pada pembuatan soyghurt terhadap jumlah koloni bakteri starter L. bulgaricus dan S. thermophillus yang memiliki kemampuan dalam menurunkan kadar koleterol di dalam darah sehingga dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat dan industri yang bergerak di bidang pangan fungsional. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Dihasilkan suhu inkubasi yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi pada pembuatan soyghurt. 2. Diperoleh jumlah bakteri asam laktat yang optimum untuk pembuatan soyghurt. 3. Bakteri asam laktat L. bulgaricus dan S. thermophillus mampu menurunkan kadar kolesterol di dalam darah. BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Kimia Klinik Balai Laboratorium Kesehatan Medan, Laboratorium Struktur Hewan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Populasi dan Sampel Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus) Sampel Sampel penelitian terdiri dari 40 ekor mencit berusia 2-3 bulan dengan berat 20 – 35 gram yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi Hewan FMIPA USU Medan. Alat dan Bahan Alat Alat yang digunakan adalah kandang mencit, tempat makanan dan minuman, gavage, dissecting set, neraca balance, oven (Memmert), tabung reaksi, pipet takar, cawan petri, object glass, labu Erlenmeyer, lampu Bunsen, incubator (Memmert), autoklaf (Memmert), mikroskop (Olympus), dandang, blender (Miyako), kain saring, thermometer, gelas kimia, spuit, water bath (Memmert), sentrifuge (Memmert), Microlab 300 (EMerk). Bahan Bahan yang digunakan untuk makanan mencit adalah ransum makanan mencit (B103) yang diproduksi oleh PT.Mabar Feed Indonesia. Bahan yang digunakan untuk pakan kolesterol adalah ransum makanan mencit (B 103) yang mengandung minyak makan, kuning telur dan lemak kambing. Bahan yang digunakan untuk pembuatan soyghurt adalah kedelai, susu skim, gula pasir, natrium bikarbonat, yoghurt plain (Biokul) yang mengandung bakteri L. bulgaricus dan S. thermophillus‟ Bahan yang digunakan untuk pembiakan dan identifikasi Bakteri asam laktat adalah MRS Agar, NaCl fisiologis, alkohol, iodine, safranin, glukosa, laktosa ,maltosa, mannose, perhidrol. Bahan yang digunakan untuk analisa kadar kolesterol adalah serum mencit, Kit Cholesterol (CE. Dialab) ), heparin (E.Merck). Pembuatan Kultur Starter (Koswara, 2006) Kultur starter dibuat dari susu bubuk yang ditambah air masak hingga mencapai total solid 16% , kemudian dipanaskan 80°C selama 30 menit, dan ditambahkan gula pasir 2% kemudian diinokulasi dengan kultur starter dari Biokul sebanyak 5% , kocok dan diinkubasi pada suhu 37 sampai 40°C selama 6 sampai 8 jam (Koswara, 2006). Pembuatan Susu Kedelai (Yudhi, 2008) 1. Pembersihan dan Pencucian Biji kedelai dibersihkan dari kotoran (pasir), biji hitam dan berkapang, kemudian dicuci sampai bersih, kotoran dan biji yang mengapung dibuang. Pencucian dilakukan sampai air bilasan tampak jernih. 2. Perendaman Biji kedelai yang telah dicuci direndam selama 8 jam dalam air yang mengandung NaHCO3 0.5% .Air diganti setiap 2-3 jam, setelah itu ditiriskan. 3. Perebusan Biji kedelai dimasukkan kedalam air mendidih. Besar api diatur sehingga suhu bertahan antara 85-90°C. Perendaman dalam air panas ini berlangsung selama 30 menit, setelah itu kedelai diangkat dan ditiriskan,kemudian kupas kulit kacang kedelai. 4. Persiapan Air Panas Air bersih dipanaskan sampai suhu 90°C.Jumlah air 6 kali berat kedelai kering.Suhu air dipertahankan selama pekerjaan berlangsung. 5. Penggilingan Biji kedelai diblender sampai menjadi bubur kedelai.Penggilingan dilakukan sambil ditambah air panas.Jika air panas yang disediakan tidak habis untuk 6. menggiling kedelai, sisa air dicampurkan kedalam bubur kedelai kemudian diaduk selama 3 menit. Penyaringan Bubur kedelai disaring dan diperas dengan kain saring rangkap dua,filtrat ditampung dan ampasnya dibuang. Filtrat dipanaskan 80-90°C selama 30 menit, kemudian dinginkan sampai 40°C Pembuatan Soyghurt (Koswara, 2006) Susu kedelai hangat (40°C) dicampur dengan susu bubuk hingga mencapai total solid 16%, ditambahkan gula pasir 2%, dan diinokulasikan dengan kultur starter 2-3% (Yudhi, 2008). Kemudian dilakukan pengadukan sampai gumpalan starter larut semua dan dimasukkan kedalam wadah tertutup yang berpori, dibagi 3 tempat kemudian masing-masing wadah diinkubasi pada suhu 30°C (wadah I), 35°C (wadah II) dan 40°C (wadah III) selama 5 jam. Diagram alir pembuatan soyghurt dapat dilihat pada Lampiran E. Pemeliharaan Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan mencit (Mus musculus. L) jantan yang sehat sebanyak 40 ekor serta berumur 8-11 minggu dengan berat 20-35 gram. Mencit tersebut diperoleh dari Laboratorium Fisiologi Hewan FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan dan dibagi dalam kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan.Mencit diberi makan dan minum secara oral. Kandang mencit dijaga kebersihannya dan cahaya ruangan dikontrol dan diatur 12 jam terang dan 12 jam gelap, sedangkan suhu dan kelembapan ruangan dibiarkan berada pada keadaan alamiah (Kusumawati, 2008). Perhitungan Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat (Suriawiria, 2006) Perhitungan jumlah koloni bakteri starter dengan metoda Total Plate Count dan seri pengenceran. Dipipet 1 ml soyghurt (dari masing-masing wadah) dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 9 ml larutan NaCl fisiologis.Larutan ini merupakan larutan pengenceran 10-1.Dikocok sampai homogen, dilakukan pengenceran berikutnya hingga 10-10. Dari setiap pengenceran dipipet 1 ml dimasukkan kedalam cawan petri yang sudah berisi media MRS Agar (Zahoor et al., 2003).. Disebarkan inokulum diatas permukaan media hingga merata. Inkubasi media MRS Agar yang sudah berisi suspensi soyghurt pada 37°C selama 72 jam dalam suasana fakultatif anaerob. Dihitung jumlah koloni dengan metode Total Plate Count.Cara pengenceran seri dapat dilihat pada Gambar 3.1. Identifikasi Bakteri Asam laktat (Soeharsono. 2010) Isolat yang diperoleh dilakukan identifikasi berdasarkan karakteristik morfologi koloni dan reaksi biokimia. Uji yang digunakan adalah total bakteri asam laktat pewarnaan gram, uji katalase, uji motilitas, uji ketahanan suhu, uji reduktase nitrat dan fermentasi gula 140 yang terdiri dari glukosa, laktosa, galaktosa dan mannosa (Soeharsono, 2010 ). Pewarnaan gram menurut Hadioetomo (1985), dilakukan dengan membuat preparat ulas pada gelas benda, difiksasi di atas api bunsen. Setelah diberi pewarnaan preparat diamati dengan mikroskop, uji gram positif jika sel berwarna ungu dan negative jika sel berwarna merah. Uji katalase menurut Lay (1994), dilakukan dengan mengambil isolat dari agar miring satu ose, kemudian dioleskan pada gelas benda yang telah diberi alkohol. Gelas benda ditetesi dengan larutan H2O2 3%.Diamati terbentuknya gelembung gas pada preparat. Jika terdapat gelembung gas berarti uji katalase tersebut positif Uji fermentasi gula yang terdiri dari media glukosa, laktosa, galaktosa dan mannosa dilakukan dengan mengambil isolat dari agar miring dan dimasukkan kedalam masing-masing karbohidrat yang sebelumnya ditambahkan BCP (Brom Cresol Purple) sebagai indikator asam, kemudian diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 48 jam (Hadioetomo.1985). Diamati perubahan warnanya, positif jika larutan berwarna kuning menandakan terjadinya proses fermentasi dan negatif jika larutan tetap berwarna ungu. (Garner dan Muriana, 1993). Uji motilitas menurut Barrow dan Kromosom (1993) dilakukan dengan mengambil isolat dari agar miring dan ditusukkan pada agar tegak smi solid SIMA (Sulfit Indol Motility Agar), kemudian diinkubasi pada suhu 30⁰C selama 48 jam. Uji motilitas positif, jika pertumbuhan koloni menyebar luas pada agar dan negative jika pertumbuhan koloni tidak menyebar ( Hasan, 2006 ). Uji ketahanan suhu (Stamer, 1979). Isolat dari agar miring dilarutkan ke dalam dua media MRS Broth dan diinkubasi pada suhu 10⁰C dan 45⁰C selama 48 jam. Jika media keruh menandakan adanya pertumbuhan bakteri. Uji reduktase nitrat (Hadioetomo, 1993). Isolat dari agar miring dimasukkan ke dalam media Nitrat Broth, kemudian diinkubasikan pada suhu 37⁰C selam 48 jam,lalu ditetesi dengan 1 ml Reagensia A (asam sulfanilat 0,8 gram dan 5 N asam asetat 100 ml) dan 1 ml Reagensia B (dimethyl-α-naphtylamin 0,5 gram dan 5 N asam asetat 100 ml).Uji reduktase positif jika terbentuk warna merah, dan negatif jika tidak terjadi perubahan warna. Tahap Evaluasi Efek Bakteri Asam Laktat Secara In Vivo (Djide, 2006) Soyghurt yang mengandung jumlah bakteri asam laktat paling banyak dari ketiga perlakuan suhu inkubasi (40 ⁰C) diberikan kepada hewan uji mencit putih jantan.Mencit jantan sebagai bahan percobaan terdiri atas 5 kelompok perlakuan yaitu: 1. Kelompok kontrol negatif terdiri dari 8 ekor mencit jantan yang diberi makanan dan minuman biasa secara oral selama 2 minggu. 141 2. 3. 4. 5. Kelompok kontrol positif terdiri dari 8 ekor mencit jantan yang diberi makanan biasa dan pakan kolesterol secara oral selama 2 minggu. Kelompok perlakuan 1 terdiri dari 8 ekor mencit jantan yang diberi makanan biasa ditambah pakan kolesterol secara oral selama 2 minggu, kemudian diberikan soyghurt 0,25% secara oral selama 2 minggu. Kelompok perlakuan 2 terdiri 8 ekor mencit jantan yang diberi makanan biasa ditambah pakan kolesterol secara oral selama 2 minggu, kemudian diberi kan soyghurt 0,5% secara oral selama 2 minggu. Kelompok perlakuan 3 terdiri dari 8 ekor mencit jantan yang diberi makanan biasa ditambah pakan kolesterol secara oral selama 2 minggu, kemudian diberikan soyghurt 1% secara oral selama 2 minggu. Waktu Pengambilan Darah dan Pengukuran Kadar Kolesterol Pengambilan darah mencit untuk pengukuran kadar kolesterol adalah sebagai berikut : 1. Diukur kadar kolesterol total awal untuk mencit kontrol yang sebelumnya dipuasakan selama 18 jam. 2. Setelah 2 minggu, diukur kadar kolesterol dari kelompok kontrol positif yang sebelumnya dipuasakan selama 18 jam. 3. Setelah 4 minggu diukur kadar kolesterol dari kelompok perlakuan I,II dan III yang sebelumnya dipuasakan selama 18 jam. Cara Memperoleh Serum (Animal Research, 2002) Serum diperoleh dari darah mencit yang diambil melalui jantung menggunakan spuit sebanyak 1 ml yang sudah mengandung heparin. Cara Pengukuran Kadar Kolesterol Metode CHOD.PAP (CE. Dialab) Kadar kolesterol diukur menggunakan Kit kolesterol dari CE.Dialab (Dialab Production Und Vertrieb Von Chemich-Technischen Produkten undLaborinstrumenten Geselsschaft m.b.H) metode CHOD.PAP menggunakan Microlab 300 (E-Merk) dengan cara kerja sbb : 1. Standar Kedalam cuvet dipipet 10 μl larutan standar kolesterol, kemudian ditambahkan reagensia kolesterol 1000 μl, dicampur dan diinkubasi pada suhu 370C selam 5 menit. 2. Sampel Kedalam cuvet dipipet 10 μl serum kemudian ditambah reagensia kolesterol 1000 μl, dicampur dan diinkubasikan pada suhu 370C selama 5 menit. 3. Blanko Kedalam cuvet dipipet 1000 μl reagensia kolesterol dan diinkubasikan pada 370C selama 5 menit. Absorbans standar dan sampel diukur terhadap blanko panjang gelombang 546 nm. dengan HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat (BAL) Pada Soyghurt Jumlah koloni BAL menunjukkan angka yang bervariasi pada ketiga suhu inkubasi yang berbeda, yaitu pada suhu 30°, 35°C dan 400C seperti yang ditampilkan pada Tabel 4.1 Tabel 4.1. Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat pada Soyghurt SuhuInkubasi 300, 350 dan 400C Suhu 300C 350C 400C 10-1 148 263 ~ 10-2 102 160 ~ 10-3 95 121 ~ 10-4 50 94 ~ 10-5 27 54 ~ 10-6 9 20 ~ 10-7 10-8 10-9 10-10 1 8 163 64 18 3 BAL yang optimal yaitu sebesar 163 koloni pada pengenceran 10-7. Pada kondisi yang sama koloni BAL tidak dapat dihitung dari pengenceran10-1s/d10-6. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan koloni Streptococcus thermophillus yang sangat mendominasi dan tumbuh hampir diseluruh permukaan di dalam cawan petri. S. thermophillus berkembang lebih cepat mengawali pembentukan asam laktat melalui fermentasi laktosa. Pertumbuhan ini terus berlangsung sampai mencapai pH 5,5 ( Lyn et al., 2010). Kondisi ini memberikan lingkungan yang sangat baik untuk pertumbuhan L. bulgaricus (Sneath et al., 1986). Jumlah koloni kedua bakteri ini pada pengenceran 10-7 dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Jumlah Koloni Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus pada Pengenceran 10-7 Jenis Koloni Lactobacillus bulgaricus Streptococcus thermophillus Jumlah koloni (CFU/ml) tiap ulangan 1 2 3 Rata-rata 35 33 37 35 128 125 128 127 Malaka (2005) melaporkan bahwa pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus optimum pada suhu 37⁰C pada waktu inkubasi 14 jam, menghasilkan jumlah koloni sebesar 4,9 x 109 CFU/ml, sedangkan pada suhu 250C dan 300C selama 6 jam masih menunjukkan fase pertumbuhan adaptasi (fase lag) . Pertumbuhan yang thermofilik tersebut ternyata dapat pula dirangsang oleh natrium format yang dibebaskan dari laktosa selama pemanasan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Herawati dan Andang (2009) bahwa format dan CO2 yang dihasilkan akan menstimulasi Lactobacillus bulgaricus, disamping itu aktifitas proteolitik dari L. bulgaricus ternyata menghasilkan peptide dan asam amino yang digunakan untuk pertumbuhan Streprococcus thermophillus. Pette dan Lolkema dalam Soeharsono (2010), menyatakan bahwa jumlah sel dari kultur campuran Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus pada suhu inkubasi 450C selama 3 jam menghasilkan jumlah Streptococcus thermophillus yang lebih besar yaitu 88 x 107 CFU/ml, sedangkan Lactobacillus bulgaricus sebesar 17 x 107CFU/ml. Demikan juga dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Lyn et al (2010), dengan menggunakan campuran Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus pada suhu 370, 420 dan 450C, Streptococcus thermophillus tumbuh 93% lebih banyak pada masing masing suhu tersebut dibandingkan dengan Lactobacillus bulgaricus, sedangkan pada penelitian ini dengan menggunakan suhu 40⁰C menunjukkan jumlah S. thermophillus 38% lebih banyak dari L. bulgaricus. Berdasarkan dari hasil perhitungan jumlah koloni BAL pada penelitian ini diperoleh bahwa soyghurt dengan suhu inkubasi 400C mengandung BAL sebesar 1,63 x 109 CFU/ml. Hasil ini sesuai dengan jumlah BAL dalam usus yang dibutuhkan untuk penurunan kadar kolesterol yaitu sebesar 108 - 1011 CFU/ml (Jawetz, 1980), dan menurut Wood (2002) jumlah minimal sel aktif dalam bahan pangan probiotik adalah 106 CFU/ml. Pierre et al. (2000) juga melaporkan bahwa jumlah bakteri probiotik > 1 x 108 CFU/g dalam makanan yang dikonsumsi akan memberikan pengaruh proses metabolisme di dalam usus , antara lain mengubah pH lambung dan meningkatkan populasi bakteri. Identifikasi Bakteri Asam Laktat Identifikasi BAL dilakukan dengan uji karakteristik dan morfologi serta uji biokimia antara lain adalah uji katalase, reduktase nitrat, motilitas, ketahanan suhu dan uji fermentasi karbohidrat. Hasil identifikasi BAL dapat dilihat pada Tabel 4.3 Tabel 4.3. Karakteristik Morfologi Sel dan Uji Biokimia BAL Karakteristik BAL 1 Bentuk sel Batang Pemetaan Rantai pendek Pewarnaan gram Positif Katalase Negatif Fermentasi Mampu memfermentasi Karbohidrat Motilitas Negatif Reduktase nitrat Negatif Ketahanan suhu Tidak tumbuh pada suhu 100C, tumbuh pada 450C BAL 2 Coccus Rantai panjang Positif negatif Mampumemfermentas karbohidrat Negatif Negatif Tidak tumbuh pada suhu 100C,tumbuh pada 450C 142 Pengukuran Berat Badan Mencit Berat badan hewan uji (mencit) diukur pada 0 hari, 15 hari dan 30 hari pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok 0 hari mencit hanya diberikan pakan standar selama aklimatisasi. Selanjutnya pada hari 0 s/d hari ke 15, kepada 4 kelompok lainnya (Kontrol positif, P1, P2 dan P3) diberikan pakan kolesterol tinggi yang mengandung lemak kambing 10%, kuning telur 5%, dan minyak makan 1% selama 2 minggu. Tabel 4. 4. Persentase Penambahan Berat Badan Mencit pada Hari Ke 15 Masing Masing Perlakuan Perlakuan Berat Berat Penambahan Penambahan Badan Badan Berat BadanBerat Badan Awal Hari Ke(g) (%) Pada 015 Hari (g) (g) Kontrol 31,11 32,75 1,64 5,27a Kontrol + 33,07 35,05 1,98 5,99b Perlakuan 1 32,72 35,85 3,13 9,57c Perlakuan 2 32,76 35,62 2,86 8,73c Perlakuan 3 32,65 35,33 2,68 8,21bc Keterangan : notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Kelompok Kontrol positif menunjukkan persentase penambahan berat badan yang berbeda nyata dengan kelompok perlakuan P1, P2 dan P3. Kelompok P1 memberikan persentase penambahan berat badan yang berbeda tidak nyata terhadap kelompok P2 dan P3, demikian juga kelompok perlakuan P2 memberikan persentase penambahan berat badan yang berbeda tidak nyata terhadap kelompok P3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian pakan kolesterol 2,5 gr/hari selama 2 minggu pada perlakuan (Kontrol positif, P1, P2, P3) memberikan persentase penambahan berat badan mencit yang terendah sebesar 5,99% dan yang tertinggi sebesar 9,57%. Selanjutnya pada hari ke 15 s/d hari ke 30, kepada hewan uji kelompok P1diberikan soyghurt sebanyak 0,25%, kelompok P2 0,5%, dan untuk kelompok P3 sebanyak 1%. Pada kelompok hari ke 30 ini, tidak terjadi penurunan berat badan mencit pada kelompok kontol negatif dan kontrol positif, akan tetapi terjadi penurunan berat badan hewan uji terhadap kelompok Perlakuan P1, P2, dan P3. Berdasarkan uji statistik persentase penurunan berat badan mencit pada hari ke 30, kelompok P1 menunjukkan persentase penurunan berat badan yang berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok P2 dan P3. Kelompok P2 menunjukkan persentase penurunan berat badan yang berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok P3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.5. 143 Tabel 4.5. Persentase Penurunan Berat Badan Mencit pada Hari ke 30 Masing-Masing Kelompok Perlakuan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Berat Badan Hari Ke 15 (g) 32,75 Berat Badan Hari Ke 30 (g) 33,39 Penurunan Berat Badan (g) Penurunan Berat Badan (%) - - 35,05 38,00 - - 35,85 35,62 35,33 33,43 32,27 31,11 2,42 3,35 4,22 6,75±0,53a 9,40±0,73b 11,94±0,98c Keterangan : notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf % Pemberian soyghurt terhadap kelompok perlakuan (P1, P2, P3) menunjukkan persentase penurunan berat badan yang terendah sebesar 6,75±0,53% dan yang tertinggi sebesar 11,94±0,98%. Penurunan berat badan ini disebabkan karena mencit diberikan soyghurt yang mengandung kedelai dengan kadar serat tinggi, sesuai dengan pernyataan Bell et al. (1990) yang melaporkan bahwa tingginya kandungan serat dalam makanan dapat mengurangi berat badan. bahwa kalsium dapat mengurangi kemampuan hormon kalsitriol yyang berfungsi untuk memberi tanda pada sel untuk menyimpan lemak. Makanan yang kaya akan kalisum akan mengurangi hormon kalsitriol dan mendorong penurunan berat badan. Pengukuran Kadar Kolesterol Waktu dan kelompok perlakuan untuk pengukuran kadar kolesterol seperti yang telah ditampilkan pada metode penelitian. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap kadar kolesterol darah hewan uji (mencit) menunjukkan perbedaan kadar kolestrol p Perbedaan kadar kolesterol darah hewan uji terhadap masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Kadar Kolesterol Darah Mencit (mg/dl) Masing-Masing Kelompok Perlakuan Kelompok Rataan Notasi Perlakuan Kontrol negatif 57,74±4,24 a Kontrol positif 107,50±2,24 b Perlakuan 1 86,20±3,1 c Perlakuan 2 76,40±5,42 d Perlakuan 3 63,70±3,11 a Keterangan : notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Kelompok kontrol negatif menunjukkan kadar kolesterol yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap kelompok kontrol positif, P1, dan P2, dan berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kelompok perlakuan P3. Hewan uji kelompok kontrol positif menunjukkan perbedaan kadar kolesterol yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap kelompok perlakuan P1, P2, dan P3, sedangkan kelompok perlakuan P1 menunjukkan perbedaan kadar kolesterol yang berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok P2 dan P3, demikian juga dengan kelompok perlakuan P2 menunjukkan perbedaan kadar kolesterol yang berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok P3. Dari hasil kadar kolesterol rata-rata antara kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol positif, menunjukkan persentase peningkatan kadar kolesterol pada kelompok kontrol positif sebesar 86,18%. Persentase peningkatan kadar kolesterol hewan uji (mencit) pada kelompok kontrol positif dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Persentase Peningkatan Kadar Kolesterol Darah Mencit pada Kelompok Kontrol Positif Pada Hari ke 15 Kelompok Kadar Peningkatan Peningkatan Perlakuan kolesterol (mg/dl) (%) (mg/dl) Kontrol 57,74 Negatif Kontrol 107,50 57,76 86,18 Positif Peningkatan kadar kolestrol pada hewan uji (mencit) kelompok kontrol positif, karena diberi pakan kolesterol tinggi selama 2 minggu. Pemberian pakan kolesterol tinggi, menyebabkan peningkatan jumlah jaringan lemak pada otot (adiposa) yang dapat menghasilkan jumlah kalori yang tinggi. Meningkatnya jumlah kalori yang tersimpan dalam jaringan lemak dan otot, akan meningkatkan kadar kolestrol dalam darah. (Pierre et al., 2000). 1% menunjukkan persentase penurunan kadar kolesterol sebesar 35,75%. Penurunan yang significan dari ke 3 kelompok perlakuan, ditunjukkan pada kelompok P3 yaitu pemberian soyghurt sebanyak 1% dengan penurunan kadar kolesterol sebasar 35,75%. Penurunan kadar kolesterol tersebut karena soyghurt merupakan produk susu fermentasi. Sisa kolesterol dikeluarkan bersama feses (Poerwosoedamo dan Soedioetama, 1977), juga BAL memproduksi enzim Bile Salt Hydrolase (BSH) yang dapat mengurangi konjugasi garam empedu sehingga akan meningkatkan asam empedu bebas yang tidak mudah diserap oleh usus halus. Untuk menyetimbangkan jumlah asam empedu, dibutuhkan kolesterol dari dalam darah sehingga kadar kolesterol dapat diturunkan secara total (Lee dan Salminen, 2009). Hasil pada penelitian ini membuktikan bahwa pemberian soyghurt yang dibuat dengan suhu inkubasi yang optimal (40⁰C) dan jumlah koloni BAL yang optimal (163 CFU/ml), efektip menurunkan kadar kolesterol darah hewan uji (mencit) hingga 40,74%dengan konsentrasi soyghurt 1%. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan : 1. Dihasilkan suhu inkubasi yang optimal pada pembuatan soyghurt yaitu suhu 40⁰C. 2. Diperoleh jumlah bakteri asam laktat pada suhu optimal sebesar 1,63 x 109 CFU/ml. 3. Ditemukan 2 isolat pada soyghurt yang diidentifikasi sebagai Lactobacillusbugaricus dan Streptococcus thermophillus. 4. Bakteri asam laktat yang ditambahkan sebagai stater pada pembuatan soyghurt mampu menurunkan kadar kolesterol dalam darah mencit. 5. Konsentrasi soyghurt 1% menunjukkan persentase penurunan kadar kolesterol paling tinggi yaitu 35,75%. Saran Tabel 4.8. Persentase Penurunan Kadar Kolesterol Darah Mencit Hari ke 30 Masing-Masing Kelompok Perlakuan Kelompok Kadar Penurunan Penurunan Perlakuan Kolestrol (mg/dl) (%) (mg/dl) Kontrol 58,67 negatif Kontrol 107,83 positif Perlakuan 1 87,83 20,00 18,43a Perlakuan 2 81,17 26,66 22,18a Perlakuan 3 69.17 38,66 35,75a Kelompok P1 yang diberi soyghurt 0,25% menunjukkan persentase penurunan kadar kolesterol sebesar 18,43%, kelompok P2 yang diberi soyghurt 0,5% menunjukkan persentase penurunan kadar kolesterol sebesar 22,18%, dan kelompok P3 yang diberi soyghurt Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap jumlah starter yang diberikan dalam pembuatan soyghurt untuk melihat seberapa besar efektifitasnya dalam menurunkan kadar kolesterol dalam darah, serta penambahan rasa dengan tidak mengurangi kemampuan bakteri asam laktat tersebut dalam menurunkan kadar kolesterol DAFTAR KEPUSTAKAAN Akalin, A.S., Gonc, S., and Duzel, S. 1997. Influence of yoghurt and Acidophillus yoghurt on serum cholesterol level in mice. Journal Dairy Science 80: 2721-2725 Animal Research. 2002. Blood collection and administration of fluids and drug (mouse). Institutional Animal Care and use Comitte the University of Towa. 144 Barrow, G.I. and Kromosom, A. F. 1993. Cowan and steels manual for the indification of medical bacteria. Cambridge University Press, Great Britain. Bell, L.P.K., Hectom., Reynolds,H., Hunninghake, D. 1990. Cholesterol-lowering effects of soluble-fiber as part a prudent diet for patients with mild to moderate hypercholesterolemia. Am.J. Clin. Nurt. 52(6): 1020-1026 Danielson, A.D., Peo, E.R., Jr., Shahani, K.M., Lewis, A.J., Whilen, P.J., and Amer, M.A. 1989. Anticholesteremic property of Lactobacillus acidophilus yoghurt fed to masture boars. Journal of Animal Science. 67 (46): 966-974. Djide, N. 2006. Efek hipokolesterolemia kulturt bakteri asam laktat dalam soyghurt terhadap tikus putih. J. Sains & Teknologi. 6 (1): 13-18. Hasan, Z.H. 2006. Isolasi Lactobacillus, Bakteri asam laktat dari feses dan organ saluran pencernaa ayam. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Heller, J. K. 2001 Probiotic bacteria in fermented foods : Product characteristic and starter. American Journal of Clinical Nutrition 73 (2): 3748-3795. Hidayat, N., M.C. Padaga, dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Idustri. Andi, Yogyakarta. 145 Jawetz, E. 1980. Review of Medical Microbiology. 11th Edition, Lange Medical Publication, Los Altos Koswara, S. 2006. Susu kedelai tak kalah dengan susu sapi. e book pangan.com Kurana, H.K. 2007. Resent trends in development of fermented milks. Current Nutrition & Food Science 3: 91-108 Lay, B.W. 1994. Analisis Mikrobiologi di Laboratorium . Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ooi, Lay-Gaik., Ling, and Min-Tze. 2010. Cholesterol lowering effect of probiotics and prebiotics : A Review of in Vivo and in Vitro fnding. Int. Mol.Sci 11 : 2499-2522. Poerwosoedamo dan Sediaoetama, A.D. 1977. Ilmu Gizi. Penerbit. Dian Rakyat Jakarta. Hal 254. Soeharsono. 2010. Probiotik. Basis Ilmiah Aplikasi Dan Aspek Praktis. Widya Padjadjaran. Bandung. Suriawiria, U. 2005. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Papas Sinar Sakti. Jakarta.. Yudhi, 2008. Penelitian Soyghurt. File:///g:/penelitian soyghurt.htm. (Diakses tanggal 15 Maret 2011). Zahoor, T., S.U., Rahman., Umar, F., and Farooq. 2003. Viability of Lactobacillus bulgaricus on yoghurt culture under different preservation methods. Departemen of food Technologi and Veterenary Microbiology. 5 (1): 38-43. GAMBARAN TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT TERHADAP TERJADINYA KARIES GIGI MOLAR 1 PADA SISWA/I KELAS VIIA SMP SWASTA CERDAS BANGSA DELI TUA TAHUN 2014 Rina Budiman Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Gigi Molar 1 merupakan gigi permanen yang pertama erupsi pada umur 6-7 tahun, sehingga Molar 1 permanen sangat rentan terjadi karies dan Menurut Depkes RI (2000) usia produktif (10-24 tahun) paling banyak mengalami karies sebesar 66,8%. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa/i Terhadap Terjadinya Karies Gigi Molar 1 pada Siswa/i Kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua Tahun 2014, yang dilaksanakan dari Maret sampai dengan Mei 2014. Sampel dalam penelitian ini Siswa/i Kelas VIIA dengan jumlah 40 siswa. Hasil penelitian didapat 30 siswa yang terkena karies pada gigi M1, didapat 3 siswa yang memiliki OHI-S dengan kriteria baik, 19 siswa yang memiliki OHI-S dengan kriteria sedang, dan 8 siswa yang memiliki OHI-S dengan kriteria buruk. Sedangkan dari 10 siswa yang tidak terdapat karis pada gigi M1, didapat 5 siswa yang memiliki OHI-S dengan kriteria baik dan 5 siswa yang memiliki OHI-S dengan kriteria Sedang.Kesimpulan dari penelitian ini sebanyak 30 siswa (75%) mengalami karies pada gigi M1 dengan OHI-S Kriteria sedang, disebabkan karena siswa kurang menjaga kebersihan gigi dan mulut dan seringnya siswa mengkonsumsi makanan yang manis seperti permen dan coklat. Kata kunci : OHI-S, Karies Gigi Molar 1 Pendahuluan Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Depkes RI, 2009). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menjelaskan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan kesehatan (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (berkelanjutan). Menjaga kesehatan gigi sangat penting, karena gigi merupakan bagian dari alat pengunyahan pada sistem pencernaan dalam tubuh manusia. Status kebersihan gigi dan mulut merupakan keadaan yang menggambarkan kebersihan gigi dan mulut seseorang. Penilaiannya dengan menggunakan suatu indeks kebersihan gigi dan mulut atau Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) yang merupakan indeks gabungan antara debris indeks dengan kalkulus indeks. Untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut, dapat di ukur dengan menggunakan Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) dari Green dan Vermillion. kriteria penilaannya adalah 0,0 – 1,2 (Baik), 1,3 – 3,0 (Sedang), 3,1 – 6,0 (Jelek). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan tahun 2007, 10% orang Indonesia menggosok gigi dengan cara yang baik dan benar, bahkan 22% diantaranya menggosok gigi hanya kadang-kadang saja sehingga angka karies gigi di Indonesia sangat meningkat. Penyakit gigi yang sering diderita oleh hampir semua penduduk Indonesia adalah karies gigi. Karies gigi merupakan penyakit yang sering ditemukan pada setiap strata sosial masyarakat Indonesia baik pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan serta anakanak dan dewasa. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (Depkes RI., 2004) menyatakan bahwa 63,5% penduduk Indonesia menderita karies aktif. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004, menunjukkan bahwa sebesar 90,05 % penduduk Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. Berdasarkan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan di tahun 2007 menunjukkan 72,1% penduduk mengalami karies gigi. 146 Gigi molar satu permanen atau gigi geraham besar merupakan gigi yang pertama erupsi atau tumbuh pada anak usia 6 - 7 tahun. Kebanyakan masyarakat berpendapat bahwa gigi molar satu permanen adalah gigi susu yang mana nantinya dapat digantikan dan banyak masyarakat yang mengabaikan kebersihan gigi molar satu permanen, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada gigi molar satu permanen. Dilihat dari kelompok umur, golongan umur muda lebih banyak menderita karies gigi aktif dibandingkan umur 45 tahun ke atas, di mana umur 10-24 tahun karies gigi aktif adalah 66,8%- 69,5%, umur 45 tahun ke atas 53,3% dan pada umur 65 tahun ke atas 43,8%. Keadaan ini menunjukkan karies gigi aktif banyak terjadi pada golongan usia produktif (Depkes RI, 2000). Pada survey awal yang dilakukan di SMP Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning-Namorambe, Link VI Sidorejo Deli Tua Tahun 2014 banyak ditemukan karies pada gigi siswa/I dan dari data yang didapat dari sekolah bahhwa belum pernah dilakukan upaya kesehatan berupa promiotif, preventif dan kuratif. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin meneliti tentang Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa/i terhadap Terjadinya Karies Pada Gigi Molar 1 pada Siswa/i kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning-Namorambe, Link VI Sidorejo Deli Tua Tahun 2014. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa/i terhadap Terjadinya Karies Pada Gigi Molar 1 pada Siswa/i kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua Tahun 2014. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian dapat menambah wawasan dan pengetahuan siswa/i dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut terhadap kerusakan gigi molar. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak sekolah dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. 3. Hasil penelitian dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi peneliti lebih lanjut. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan metode survei, dimana penelitian bertujuan untuk mengetahui Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa/i Terhadap Terjadinya Karies pada Gigi Molar 1 pada Siswa/i Kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning-Namorambe, Link VI Sidorejo Deli Tua Tahun 2014. Penentuan Sampel Dengan menggunakan teknik random non sampling yaitu purposive sampling maka peneliti ingin meneliti seluruh siswa/i kelas VIIA SMP Swasta Cerdas 147 Bangsa Jl. Titi Kuning-Namorambe, Link VI Sidorejo Deli Tua yang berjumlah 40 siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap siswa/i kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua Tahun 2014. Pengumpulan data Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa/i Terhadap Terjadinya Karies pada Gigi M1 maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel A.1 Distribusi Frekuensi Debris Indeks Rata-rata pada siswa siswi kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa No Kriteria DI Jumlah Nilai DI Siswa DI Ratarata 1 Baik 4 2,2 0,05 2 Sedang 36 38,1 0,95 3 Buruk 4 8,4 0,21 Jumlah 40 48,7 1,21 Dari tabel diatas dapat diperoleh bahwa dari 40 siswa yang telah diteliti ditemukan 4 siswa (0,05) yang memiliki debris indeks dengan kriteria baik, 36 siswa (0,95) yang memiliki debris indeks dengan kriteria sedang, dan 4 siswa (0,21) yang memiliki debris indeks dengan riteria buruk. Sehingga secara keseluruhan debris indeks rata-rata sebesar 1,21 dengan katagori sedang. Tabel A.2 Distribusi Frekuensi Kalkulus Indeks Rata-rata pada siswa/I kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa No Kriteria CI Jumlah Nilai CI CI RataSiswa rata 1 Baik 28 11,0 0,27 2 Sedang 12 13,9 0,35 3 Buruk 0 0 0 Jumlah 40 24,9 0,62 Dari tabel diatas dapat diperoleh bahwa dari 40 siswa yang telah diteliti ditemukan 28 siswa (0,27) yang memiliki kalkulus indeks dengan kriteria baik, 12 siswa (0,35) yang memiliki kalkulus indeks dengan kriteria sedang, dan 0 siswa yang memiliki kalkulus indeks dengan kriteria buruk. Sehingga secara keseluruhan kalkulus indeks rata-rata sebesar 0,62 dengan katagori baik. Tabel A.3 Distribusi Frekuensi OHI-S Indeks Rata-rata pada siswa siswi kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa No Kriteria Jumlah Nilai DI OHI-S Siswa OHI-S Ratarata 1 Baik 8 7,3 0,18 2 Sedang 24 39,7 0,99 3 Buruk 8 25,8 0,64 Jumlah 40 72,8 1,81 Dari tabel diatas dapat diperoleh bahwa dari 40 siswa yang telah diteliti ditemukan 8 siswa (0,18) yang memiliki OHI-S indeks dengan kriteria baik, 24 siswa (0,99) yang memiliki OHI-S indeks dengan kriteria sedang, dan 8 siswa (0,64) yang memiliki OHI-S indeks dengan kriteria buruk. Sehingga secara keseluruhan OHIS indeks rata-rata sebesar 1,81 dengan katagori sedang. Tabel A.4 Persentase Hubungan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Terhadap Terjadinya Karies Gigi M1 Permanen pada siswa/I kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Jumlah Kriteria Siswa Persentase Siswa Persentase Siswa OHI-S Yang (%) Yang (%) Terkena Tidak Karies Terkena M1 Karies M1 40 Baik 3 7,5 % 5 12,5 % Sedang 19 47,5 % 5 12,5% Buruk 8 20 % 0 0% Jumlah 30 75% 10 25% Dari tabel diatas dapat diperoleh bahwa dari 40 siswa yang telah diteliti ditemukan 30 siswa yang mengalami karies pada gigi M1 dimana 3 siswa (7,5 %) yang memiliki OHI-S dengan kriteria baik, 19 siswa (47,5%) yang memiliki OHI-S dengan kriteria sedang, dan 8 siswa (20%) yang memiliki OHI-S dengan kriteria buruk. Sedangkan 10 siswa tidak terkena karies gigi dimana ditemukan 5 siswa (12,5 %) yang memiliki OHI-S dengan kriteria baik, 5 siswa (12,5%) yang memiliki OHIS dengan kriteria sedang, dan 0 siswa yang memiliki OHIS dengan kriteria buruk. Pembahasan Dari tabel A.2 kalkulus indeks rata-rata kelas VII A sebesar 0,62 dengan katagori baik. Meskipun dalam kategori baik, sisa makanan dan bakteri mudah menempel dan berkembang biak pada permukaan kasar kalkulus, sehingga apabila kalkulus tidak dibersihkan akan menimbulkan berbagai penyakit. Menurut Nio (1989) karang gigi juga tempat yang baik untuk pertumbuhan plak. Karang gigi yang tidak dirawat akan mengakibatkan gingivitis, bau mulut karies gigi dan gigi goyang. Dari tabel A.3 diperoleh hasil secara keseluruhan OHI-S indeks rata-rata sebesar 1,81 dengan katagori sedang. Hal ini disebabkan. karena kurangnya perhatian siswa untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya. OHI-S ini dapat meningkat menjadi buruk dan dapat merusak gigi apabila siswa masih mengabaikan kebersihan gigi dan mulutnya. Menurut Lena (2011) pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi berperan sangat besar, karena dapat mencegah supaya plak tidak menumpuk dan menimbulkan kerusakan jaringan penyangga gigi. Dari tabel A.4 diperoleh bahwa dari 40 siswa yang telah diteliti ditemukan 30 siswa (75%) yang mengalami karies pada gigi M1, dengan 19 siswa (47,5%) yang memiliki OHI-S dengan kriteria sedang. Hal ini dikarenakan siswa kurang menjaga kebersihan gigi dan mulut, sehingga 75% siswa mengalami karies pada gigi M1 permanen. Menurut Ali, T (2010) kesehatan mulut berkaitan pada kebersihan gigi, banyaknya kuman dan bakteri penyakit yang berada didalam sisa makanan dan menempel di sela-sela gigi. Sisa makanan akan membusuk dan berubah menjadi sarang kuman sehingga bila mengabaikan kebersihan gigi akan membuat gigi berlubang dan keropos. Faktor lain yang menyebabkan siswa mengalami karies adalah seringnya siswa mengkonsumsi makanan yang manis seperti permen dan coklat. Makanan yang manis merupakan salah satu penyebab gigi berlubang, sehingga apabila mengkonsumsi makanan yang manis dan tidak menjaga kebersihan gigi dan mulut akan menyebabkan gigi menjadi berlubang. Menurut Tarigan, R (1990) makanan yang lunak dan melekat seperti coklat, biskuit, dan lain sebagainya, bisa menyebabkan gigi menjadi berlubang. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut : 1. Kriteria debris indeks rata-rata 1,217 dalam kategori sedang. 2. Kriteria kalkulus indeks rata-rata 0,62 dalam kategori baik. 3. Kriteria OHI-S rata-rata 1,82 dalam kategori sedang. 4. Dari sampel yang diperiksa 40 Siswa, yang terkena karies pada gigi M1 sebanyak 30 siswa (75%) , dengan 19 siswa yang memiliki OHI-S dengan kriteria sedang, sedangkan yang tidak terkena karies pada gigi M1 sebanyak 10 siswa (25%), dengan 5 siswa yang memiliki OHI-S dengan kriteria Sedang. Saran 1. Diharapkan pada pihak sekolah agar dapat melaksanakan pelayanan kesehatan gigi melalui Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) yang berkoordinasi dengan petugas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Pustu. 2. Diharapkan kepada siswa/i agar tetap menjaga dan memelihara kesehatan gigi dan mulut, terutama pada gigi Molar 1 yang tidak akan berganti lagi bila rusak. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S., 2006. Prosedur penelitian,Rineka Cipta. Jakarta. Bakar, A., 2012. Kedokteran Gigi Klinis, Quantum Sinergis Media. Yogyakarta Boedihardjo., 1985. Pemeliharaan Kesehatan Gigi Keluarga, Airlangga University Press. Surabaya. Harshanur, W.I., 1991. Anatomi Gigi, EGC. Jakarta. 148 Herijulianti, E., Tati S.I dan S Artini., 2001. Pendidikan Kesehatan Gigi. EGC. Jakarta Kidd, Edwina A.M., 1991. Dasar-dasar Karies Penyakit dan Penanggulangan, EGC. Jakarta. Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta. Putri, H.M., E Herijulianti, N Nurjannah., 2010. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi, EGC.Jakarta. Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan., 2012. Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah. Ramadhan, A.G., 2010. Serba-serbi Kesehatan Gigi & Mulut, Bukune. Jakarta. Zaluchu, 2011, Praktis Penelitian Kesehatan, Perdana Publishing, Medan. Amelya, S., 2013 Pentingnya Kesehatan Mulut dan Gigi pada Anak <suciamelya.blogspot.com/2013-01-01archive.html?m=1>[diakses tanggal 20 Maret 2013] Anthonie. A, 2012. Kejadian Rampan Karies Pada Anak Ditinjau Dari Faktor Perilaku Ibu Di Tk It Mon Kuta Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh Tahun 2012 <Http://Akbaranthonie.Blogspot.Com/2013/02/KejadianRampan-Karies-Pada-Anak.Html> [diakses tanggal 19 Maret 2013] 149 Farida, I., 2012. Cara Mengukur Kebersihan Mulut (OHI_S) <idafarida73.blogspot.com/2012/09/cara-mengukurkebersihan-mulut-ohis.html?m=1>[diakses tanggal 19 Maret 2013] Lena, 2011, Sikat Gigi <lenacute65.blogspot.com/2011-1201.archive.html?=1>[diakses tanggal 21 Maret 2013] Nur, N., 2011. Pengaruh Kebersihan Gigidan Mulut <senja-kecil.blogspot.com/2011/02/pengaruh-kebersihangigi-dan–mulut.html?m=1>[diakses tanggal 20 April 2013] Pdgi, 2013. Kesehatan Gigi Sebagai Bagian Intergral dari Kesehatan Umum pada Hari Kesehatan Gigi Se-Dunia 2013 <www.pdgi.or.id/news/detail/kesehatan-gigi-sebagaibagian-intergral-dari-kesehatan-umum-pada-harikesehatan-gigi-se-dunia-2013>[diakses tanggal 19 Maret 2013] Unud, 2013, bab i new prop bab I < www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf/unud-3952069848976-bab i new prop bab I>[ diakses tanggal Senin, 15 April 2013] GAMBARAN PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG DIET MAKANAN TERHADAP KARIES GIGI PADA SISWA/I KELAS IV SD NEGERI NO. 060891 JL. JAMIN GINTING 303 MEDAN Ngena Ria, Susy Adrianelly Simaremare Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Makanan atau subrat merupakan unsur penting untuk terjadinya karies. Proses karies ditentukan oleh jenis karbohidrat dalam bentuk tepung atau cairan yang bersifat lengket serta hancur didalam mulut yang memudahkan terjadinya karies. Hampir semua anak menyukai makanan yang bersifat kariogenik yang merupakan salah satu penyebab terjadinya karies. Penelitian bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan Terhadap Karies Gigi Pada Siswa/I SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014 yang dilaksanakan pada September sampai Nopember 2014. Jumlah sampel sebanyak 30 orang. Hasil penelitian Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan terhadap karies Gigi diperoleh data sebanyak 24 orang (80%)memiliki pengetahuan baik, 6 orang (20%) memiliki pengetahuan sedang dan tidak terdapat siswa yang berpengetahuan buruk. Hasil pengetahuan untuk karies gigi susu diperoleh jumlah def-t adalah 47 dan def-t rata-rata 1,56. Hasil penelitian untuk karies Gigi tetap diperoleh jumlah DMF-T adalah 41 dan DMF-T rata-rata 1,36. Berdasarkan hasil yang dapat disimpulkan bahwa Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan Terhadap Karies Gigi Pada siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014 diperoleh hampir semua anak menyukai makanan dan minuman yang bersifat kariogenik yang merupakan faktor resiko terjadinya karies. Dari data hasil penelitian menunjukkan hampir seluruh siswa/I memiliki karies gigi (83,4%). Karies gigi susu diperoleh data def-t adalah 47 dengan rata-rata def-t 1,56. Karies gigi tetap diperoleh jumlah DMF-T adalah 41 dan rata-rata DMF-T 1,36. Diharapkan terutama kepada siswa/i agar memilih makanan yang menyehatkan gigi untuk menghindari terjadinya karies gigi. Kata kunci : Pengetahuan orang tua, diet makanan, karies gigi Latar Belakang Untuk mewujudkan tujuan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, telah banyak upaya dan program yang dilaksanakan secara menyeluruh oleh pemerintah bersama masyarakat, baik program yang bersifat promotif, preventif dan kuratif. Kesehatan merupakan faktor penting yang dapat menentukan kualitas sumber daya masyarakat, kesehatan gigi dan mulut merupakan suatu bagian dari kesehatan umum yang mempunyai peran penting dalam fungsi pengunyahan dan estetika. Menurut Undang-undang No.23 tahun 1992 Bab 1 pasal 3 tentang kesehatan menyebutkan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kesehatan gigi dan mulut akan mempengaruhi kesehatan tubuh keseluruhan. Gigi merupakan salah satu bagian tubuh yang berfungsi untuk mengunyah, berbicara dan mempertahankan bentuk muka. Berdasarkan fungsi gigi, maka setiap individu dapat melaksanakan pemeliharaan kesehatan gigi sedini mungkin agar dapat bertahan lama dalam rongga mulut. Penyakit gigi dan mulut di Indonesia yang paling banyak dijumpai adalah karies. Karies atau gigi berlubang adalah kerusakan pada struktur jaringan keras gigi (email, dentin) yang diakibatkan oleh asam yang dihasilkan oleh bakteri yang terdapat pada plak gigi. Penyakit karies masih banyak terjadi pada anakanak. Kesehatan gigi anak kurang mendapat perhatian dari orang tua, karena adanya anggapan bahwa gigi susu pada anak akan diganti oleh gigi tetap. Orang tua kurang menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan sebenarnya akan sangat besar bila tidak dilakukan perawatan. Akibat yang dapat terjadi bila sejak awal gigi telah mengalami karies terganggunya fungsi gigi sebagai pengunyah, yang mengakibatkan terjadinya malnutrisi sehingga mempengaruhi kecerdasan anak. Makanan atau substrat merupakan salah satu unsur penting untuk terjadinya karies. Makanan pokok manusia adalah karbohidrat. Jenis karbohidrat yang paling dapat merusak gigi adalah sukrosa. Proses karies ditentukan oleh jenis karbohidrat dalam bentuk tepung atau cairan yang bersifat lengket serta mudah hancur didalam 150 mulut lebih memudahkan timbulnya karies. Hampir semua anak mempunyai faktor risiko terhadap karies yang bila dimakan dan diminum yang bersifat kariogenik yang merupakan faktor risiko terhadap karies yang bila dimakan diantara jam makan. Berdasarkan latar belakang, maka peneliti ingin mengetahui Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan Terhadap Karies Gigi Pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian bertujuan untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Orang Tua tentang Diet Makanan terhadap Karies Gigi Pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat : 1. Untuk menambah wawasan orang tua tentang diet makanan dalam mencegah karies gigi pada siswa/i SD Negeri No 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014. 2. Sebagai bahan masukan pada pihak sekolah agar melakukan kerja sama dengan pihak puskesmas dalam pelaksanaan UKGS untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. 3. Untuk informasi data bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di perpustakaan jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Medan. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan metode survey yang bertujuan untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan orang Tua tentang Diet Makanan terhadap Karies Gigi pada Siswa/i SD Negeri No 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014. Populasi Penelitian Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi adalah Siswa/i SD Negeri No 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014. Sampel Penelitian Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Dalam penelitian ini sampel adalah Siswa/I kelas IV SD Negeri No 060891 Jl. Jamin Ginting 303 yang berjumlah 30 orang. Hasil Penelitian Setelah melakukan penelitian Gambaran Pengetahuan Orang Tua tentang Diet Makanan terhadap Karies Gigi pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014 diperoleh hasil sebagai berikut : 151 Tabel 1 Gambaran Pengetahuan Orang Tua tentang Diet Makanan terhadap Karies Gigi pada Siswa/i kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014 Kriteria Jumlah siswa Persentase Pengetahuan (n) (%) 24 80 Baik 6 20 Sedang 0 0 Buruk 30 100 Jumlah Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 30 siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014, yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 24 orang (80%), pengetahuan sedang 6 orang (20%), dan tidak ada siawa/i yang berpengetahuan buruk. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Karies Gigi Susu pada siswa/i kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin ginting 303 Medan Tahun 2014 Jumlah Karies Jumlah def-t Siswa d E F def-t Ratarata 42 4 0 47 1,56 30 Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 30 siswa/i, jumlah def-t adalah 47 dan def-t rata-rata 1,56. Tabel 3 Distribusi Frekuensi Karies Gigi Tetap pada siswa/i kelas IV SD Negeri No.060891 Jl. Jamin ginting 303 Medan Tahun 2014. Jumlah Karies Jumlah DMF-T Siswa D M F DMF-T Ratarata 38 3 0 41 1, 36 30 Berdasarkan tabel 3 diperoleh data dari 30 siswa/i, jumlah DMF-T adalah 41 dan DMF-T rata-rata adalah 1,36. Pembahasan Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kesehatan gigi dan mulut akan mempengaruhi kesehatan tubuh keseluruhan. Gigi merupakan salah satu bagian tubuh yang berfungsi untuk mengunyah, berbicara dan mempertahankan bentuk muka. Berdasarkan fungsi gigi, maka setiap individu dapat melaksanakan pemeliharaan kesehatan gigi sedini mungkin agar dapat bertahan lama dalam rongga mulut. Penyakit gigi dan mulut di Indonesia yang paling banyak dijumpai adalah karies. Karies atau lubang adalah kerusakan pada struktur jaringan keras gigi ( email, dentin) yang diakibatkan oleh asam yang dihasilkan oleh bakteri yang terdapat pada plak gigi. Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi apabila seseorang telah melakukan penginderaan rerhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melaluai pancaindra, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Diet makanan sehat adalah makanan yang mengandung zat-zat yang di butuhkan oleh tubuh kita. Diet yang baik untuk kesehatan umum, juga baik untuk kesehatan gigi. Susunan makanan sehari-hari sebaiknya mengikuti anjuran empat sehat lima sempurna. Diet dalam kesehatan gigi dapat dilihat dalam beberapa segi, pertama efek makanan didalan rongga mulut yaitu efek lokal pada waktu makanan dikunyah sebagai tahap awal pencernaan. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan Terhadap Karies Gigi Pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014 diperoleh sebagai berikut: 1. Pengetahuan terutama kriteria baik yaitu sebanyak 24 orang (80%). 2. Karies gigi pada siswa/i diperoleh data jumlah deft adalah 47 dan rata-tara def-t 1,56. Dan jumlah DMF-T adalah 41 dengan rata-rata DMF-T 1,36. 3. Dari hasil diketahui DMF-T lebih kecil dari target nasional (≤ 2). Saran 1. Diharapkan kepada orang tua agar memperhatikan anak dalam memilih lebih jenis 2. 3. 4. makanan yang baik dikonsumsi, seperti memakan makanan yang banyak mengandung serat. Kepada anak agar memilih jenis makanan yang menyehatkan gigi. Diharapkan kepada orang tua agar lebih memperhatikan anak dalam memilih jenis makanan yang baik dikonsumsi, seperti memakan makanan yang banyak mengandung serat. Kepada anak agar memilih jenis makanan yang menyehatkan gigi. DAFTAR PUSTAKA Boediharjo., 1985. Pemeliharaan Kesehatan Gigi Keluarga. Airlangga: Surabaya. Ibrahim, Kasir., 1992. Kamus Pintar Amanah: Surabaya. kidd,M,A.,2002.Dasar-Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya. Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Mary E.Beck., 1992. Ilmu Gizi dan Diet. Andi: Jakarta. Tarigan, A., 1990. Karies Gigi. Hipokrates: Jakarta. Politeknik Kesehatan Medan, 2012 Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, USU. Medan. Putri, M.H.,E Herijulianti dan N Nurjannah, 2012. Ilmu Pencegahan Penyakit Karies dan Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta:EGC Pintauli,s dan T Hamada,2008. Menuju Gigi dan Mulut Sehat Pencegahan dan Pemeliharaan. Medan: USU Press. Pratiwi, D., 2009. Gigi sehat dan cantik. PT Kompas Media: Jakarta. Rakyat, Dian., 2010. Perawatan Gigi Anak. Dian Rakyat: Jakarta. 152 PENGARUH BERKUMUR DENGAN LARUTAN TEH HIJAU TERHADAP pH SALIVA PADA SISWA-SISWI SD NEGERI 024761 KECAMATAN BINJAI UTARA TAHUN 2014 Manta Rosma, Netty Jojor Aritonang Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Teh hijau mengandung polyphenol, theofilin, tannin, katekin , serta sejumlah mineral seperti Zn, Se, Mo, fluoride. Kandungan polyphenol dan katekin yang tekandung dalam teh mengurangi plak dan produksi asam oleh bakteri Streptococcus Mutans yang menyebabkan gigi berlubang dan penyakit gusi. Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva pada siswa/i SD Negeri 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik. Metode yang digunakan quaisi experiment, rancangan dalam penelitian ini adalah pre-test and post-test. Adapun cara pengambilan sampel dengan Purposive Sampling, menggunakan siswa/i kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara sebanyak 30 orang siswa/i, dengan menggunakan test Paper Dental Saliva pH Indikator Untuk mengetahui kriteria asam. Penelitian ini menggunakan uji Wilcon Signed Rank Test Hasil penelitian dikutahui terjadi perubahan kriteria pH saliva yaitu asam dari 80% menjadi 0%, netral dari 20% menjadi 43,33% dan basa dari 0% menjadi 56,66%. Menunjukkan bahwa ada pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva. Hasil uji statistik dengan mengunakan Wilcoxon Signed Rank Test dihasilkan nilai signifikasi 000 (2-tailed) <0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima .Disarankan kepada siswa untuk berkumur menggunakan larutan teh hijau sebagai alternatif tindakan pencegahan terjadinya karies. Kata kunci : Larutan teh hijau, pH Saliva Latar Belakang Kesehatan menurut WHO merupakan keadaan sejahtera secara menyeluruh baik fisik, mental, sosial serta tidak hanya terbatas dari penyakit dan hilangnya kebugaran tubuh. Tujuan pembangunan kesehatan yaitu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial ekonomi (Depkes, 2009). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 diketahui bahwa prevalensi karies aktif pada penduduk Indonesia mencapai 72,1%. Di pulau jawa persentase penduduk karies aktif tertinggi pada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu 52,3%.Karies gigi merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai di rongga mulut bersama-sama dengan penyakit periodontal, sehingga merupakan masalah utama kesehatan gigi dan mulut. Proses karies dan penyakit periodontal disebabkan karena adanya interaksi antara tiga faktor yaitu host (gigi, gingiva, saliva), penjamu (bakteri/plak) dan makanan kariogenik (sukrose). Beragam manfaat teh tidak lepas dari keberadaan senyawa-senyawa bermanfaat seperti polyphenol, theofilin, tannin, katekin, serta sejumlah 153 mineral seperti Zn, Se, Mo, fluoride, suatu mineral yang dapat mencegah radang gusi dan gigi berlubang. Polyphenol yang tekandung dalam teh mungkin mengurangi plak dan produksi asam oleh bakteri mulut yang menyebabkan gigi berlubang dan penyakit gusi (Christine D. Wu). Berdasarkan hasil penelitian satu cangkir teh hijau sehari sudah cukup untuk menanggulangi gigi keropos bagi anak-anak sekolah hingga 50%. Bahkan meskipun hanya berkumur saja dengan teh hijau setelah makan merupakan cara yang efektif untuk mencegah gigi kropos. Kadar flouride alami yang terkandung dalam teh hijau sangat efektif mengatasi gigi keropos. Campuran anti bakteri tambahan juga efektif mencegah bakteri yang menyebabkan gigi keropos, streptococcus muttan. Dalam setiap mililiter air ludah dijumpai 10-200 juta bakteri, salah satunya Streptococcus Mutans (Tarigan Rasinta 2013). Bakteri Streptococcus mutans yang berkembang biak akan menyebabkan terbentuknya plak pada lapisan email gigi dan akan menyebabkan derajat keasaman rongga mulut semakin menurun sehingga menyebabkan pH menjadi asam, sebaliknya berkurangnya bakteri Streptococcus mutans di dalam rongga mulut menyebabkan pH menjadi basa bahkan bisa menjadi netral. Semakin rendah nilai pH saliva, makin banyak asam dalam larutan. Sebaliknya meningkatnya nilai pH saliva berdasarkan latar belakang teh hijau yang mengandung senyawa katekin, dimana zat ini berperan menghambat pertumbuhan streptococcus mutans. Bakteri ini mampu menghasilkan asam. Penggunaan air teh seperti yang telah dibuktikan oleh Depkes, yang ternyata juga dapat mengakibatkan remineralisasi lempeng email yang telah di demineralisasi. Salah satu upaya pencegahan penyakit gigi dan mulut adalah dengan menjaga kebersihan gigi dan mulut agar bakteri tidak tumbuh dan mencegah timbulnya plak lebih lama. Upaya kesehatan gigi pada anak-anak harus dilakukan sedini mungkin, Karena gigi anak-anak usia sekolah dasar mudah terkena karies.Pada umumnya keadaan kebersihan mulut anak lebih jelek dibandingkan dengan orang dewasa karena pola makan anak yang sering makan makanan dan minuman yang bersifat kariogenik. Anak usia sekolah dasar memiliki periode gigi bercampur yaitu terdapatnya gigi sulung dan gigi permanen. Pada masa ini diperlukan pencegahan sedini mungkin. Dari Latar belakang, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva pada siswa/i SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva pada siswa/i di SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara. Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan masyarakat khususnya siswa/i SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara mengetahui pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva. 2. Sebagai sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut. 3. Menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya dan sebagi bahan referensi di perpustakaan Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Hipotesis Ho : Tidak ada pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva. Ha : Ada pengaruh berkumur dengan dengan larutan teh hijau pH saliva Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah quaisi eskperimen atau sering disebut dengan eksperimen semu yaitu suatu penelitian dengan adanya suatu perlakuan terhadap kelompok sampel tetapi tidak ada kelompok kontrol (semua sampel mendapat perlakuan). (Notoatmodjo 2005) Peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional yang merupakan penelitian sesaat, dimana pengambilan data variabel pengaruh dan variabel terpengaruh dilakukan pada waktu yang bersamaan. Rancangan dalam penelitian ini menggunakan rancangan pre-test and post-test (Arikuntoro 2006). Didalam desain ini observasi dilakukan sebanyak 2 kali yaitu : pH saliva diukur sebelum dan sesudah berkumur dengan larutan teh hijau. Rancangan penelitian ini secara sistematis dapat ditulis sebagai berikut : O1---------------x---------------O2 Keterangan: O1 : Mengukur pH saliva sebelum berkumur larutan teh hijau. X : Perlakuan berkumur dengan larutan teh hijau O2 : Mengukur pH saliva setelah berkumur larutan teh hijau Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/i SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara yang berjumlah 254 orang. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Pengambilan sample secara purposive sampling diambil berdasarkan tujuan tertentu. Sampel penelitian adalah siswa kelas V yang berjumlah 30 orang. Hasil Penelitian Hasil penelitian yang telah dikumpulkan terhadap siswa/i kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014. Setelah seluruh data terkumpul, membuat analisa data dengan cara membuat tabel distribusi frekuesi untuk masing-masing sampel. Kemudian dilakukan pengolahan data secara statistik, yaitu menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Ranks Test. Tabel 4.1 Distribusi pH Saliva Sebelum Berkumur Larutan Teh Hijau Pada Siswa/i Kelas V DN 024761Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014 Kriteria pH saliva Sebelum Berkumur Jumlah Persentase Asam 24 80% Netral 6 20% Basa 0 0% Tabel 1 terlihat bahwa dari penelitian sebelum berkumur larutan teh hijau Frekuensi pH saliva terbesar adalah kriteria asam dengan persentase 24 orang (80%), kemudian netral dengan persentase 6 (20%). Sedangkan Frekuensi pH saliva paling sedikit adalah basa dengan persentase 0 orang (0%). 154 Sebelum Berkumur uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test untuk menguji distribusi data. Tabel 4.3 Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test pH saliva sebelum dan sesudah berkumur dengan larutan teh hijau pada siswa/i SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014 pH sesudah berkumur – pH sebelum 25 20 15 10 5 0 Asam Netral Basa berkumur Asymp. Sig. (2-tailed) 000 Grafik 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan jumlah pH saliva sebelum berkumur larutan teh hijau pada sisiwa/i kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014. Tabel 4.2 Distribusi pH Saliva Sesudah Berkumur Dengan Larutan Teh Hijau Pada Siswa/I Kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014. Kriteria pH saliva Sesudah Berkumur Jumlah Pesentase Asam 0 0% Netral 13 43,33% Basa 17 56,66% Tabel 2 terlihat bahwa ,kriteria pH saliva setelah berkumur dengan larutan teh hijau terjadi penurunan jumlah asam dari 24 orang (80%) menjadi 0 orang (0%). Kriteria pH saliva netral terjadi kenaikan dari 6 orang (20%) menjadi 13 orang (43,33%).Kriteria basa dari 0 orang menjadi 17 orang (56,66%). Sesudah Berkumur 20 15 10 5 0 Asam Netral Basa Grafik 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jumlah pH saliva sesudah berkumur dengan larutan teh hijau pada siswa/i SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan bantuan program statistika pada komputer menggunakan 155 Dari tabel 3. Dapat dilihat bahwa uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test nilai signifikasi (2-tailed) 000. Nilai ini <0,05, karena nilai signifikasi (2-tailed) <0,05 maka Ho ditolak dan Ha di terima. 25 20 15 Sebelum 10 Sesudah 5 0 Asam Netral Basa Grafik 5,2 Distribusi frekuensin berdasarkan jumlah pH saliva sebelum dan sesudah berkumur dengan larutan teh hijau pada siswa/i kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014. Grafis di atas terlihat bahwa, kriteria pH setelah berkumur dengan larutan teh hijau terjadi penurunan jumlah asam dari 24 orang (80%) menjadi 0 orang (0%). Kriteria pH saliva netral terjadi kenaikan dari 6 orang (20%) menjadi 13 orang (43,33%). Kriteria basa dari 0 orang (0%) menjadi 17 orang ( 56,66%) Pembahasan Hasil penelitian tentang pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva di peroleh data perubahan responden yang memiliki kriteria pH saliva asam yang mengalami penurunan sebanyak 0%, kriteria pH saliva netral mengalami peningkatan menjadi 43,33% dan kriteria pH saliva basa menglami peningkatan menjadi 56,66%. Dari data tersebut diketahui bahwa dengan berkumur larutan teh hijau tarjadi perubahan kriteria pH saliva, hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor yang terdapat di rongga mulut yang mempengaruhi pH saliva. Menurur pendapat Amrogen (1991) yang menyatakan bahwa pH saliva tergantung dari perbandingan asam dan basa. pH saliva dan kapasitas buffer saliva selalu dipengaruhi oleh perubahan – perubahan diantaranya urama siang dan malam, perangsang kecepatan sekresi, sifat dan kekuatan rangsangan, diet, kadar hormon dan gerakan mulut. Saliva juga dapat bertindak sebagai buffer menetralkan kembali keadaan asam dan mulut (Afrilina dan Gracinia, 2006) Hal ini sesuai juga dengan penelitian Ajisaka (2012) dengan menyelidiki 36 sampel geraham yang direndam dalam cairan yang berbeda-beda dan di analisa lebih dari 20 minggu hasilnya menunjukkan bahwa teh tidak memiliki efek erosi terhadap lapisan gigi. Para ahli tersebut menganjurkan bahwa meminum teh hijau per hari dapat mencegah pengikisan lapisan email gigi dan kesehtan gigi tetap terjaga. Hasil pengolahan statistik pada penelitian ini, menggunakan uji Wilcixon Signed Ranks Test menunjukkan hasil signifikasi dari analisa pada data pH saliva sebelum dan sesudah berkumur dengan larutan teh hijau diperoleh nilai signifikasi (2-tailed 000 <0,05). Diketahui hipotesis penelitian bahwa, hipotesa nol (Ho) ditolak dan hipotesa alternatif (Ha) diterima. Yang berarti ada pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva pada siswa/i SDN kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara tahun 2014. Saliva membantu pertahanan email terhadap asam dengan cara menarik ion flouride dan kalsium kedalam email (Afrilina dan Gracinia,2006). Pendapat Pratiwi (2007) saliva berfungsi sebagai pembersih dalam mulut sehingga dibutuhkan dalam jumlah yang cukup, tetapi kekurangan saliva akan membuat tingginya jumlah plak dalam mulut. Tingkat keasaman saliva juga berpengaruh terhadap timbulnya karies pada gigi, emakin asam suatu pH saliva seseorang maka,semakin mudah terkena karies (Pratiwi, 2007). Pada umumnya, normal pH saliva sedikit asam yaitu 6,5. pH saliva totalnya yang tidak dirangsang biasanya agak asam, bervariasi dari 6,4 sampai 6,9. pH saliva setelah berkumur cendrung menjadi basa, sehingga terjadi kenaikan dengan kriteria basa. pH saliva bergantung pada kecepatan sekresi, dan kecepata sekresi dipengaruhi oleh sifat rangsangan. Kenaikan pH saliva setelah berkumur dikarenakan rangsangan kimiawi dan mekanis yang didapatkan saat berkumur dengan teh hijau. Simpulan Berdasarkan dari hasil penelitian Pengaruh Berkumur dengan Larutan Teh Hijau terhadap pH saliva Pada Siswa/i kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Frekuensi pH saliva terbesar sebelum berkumur dengan larutan teh hijau adalah kriteria asam dengan jumlah persentase 80%. 2. Frekuensi pH saliva terbesar sesudah berkumur dengan larutan teh hijau adalah kriteria basa dengan jumlah persentase 56,66%. 3. Dari hasil uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test diperoleh nilai signifikasi 0,00 karena (2-tailed) <0,05 berarti terdapat pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva cendrung kriteria basa. 1. Bagi siswa/i kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara untuk berkumur dengan obat kumur yaitu menggunakan larutan teh hijau yang berfungsi untuk menetralkan atau meningkatkan pH saliva sehingga menghambat proses gigi berlubang. Berkumur dilakukan sebanyak 2 kali sehari selama 30 detik. 2. Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat berguna sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya sehingga akan membantu para peneliti lain dalam melakukan penelitian. Menambah wawasan bagi penulis tentang pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva, sehingga dapat mengaplikasikan pada diri sendiri dan lingkungan akan pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut, salah satu caranya ialah berkumur dengan larutan teh hijau. DAFTAR PUSTAKA Arikuntoro, S, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT RinekaCipta :Jakarta. Amerogen, A.Van Niew. Ludah dan Kelenjar Ludah Arti bagi Kesehatan Gigi. Gajah Mada University Press: Yogyakarta, 1992 Edwin, A. M. Kidd,1991,Dasar Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya, EGC : Jakarta. Fulder, Stephen, Dr. 2004, Khasiat Teh Hijau, PT Prestasi Pustaka raya : Jakarta. Listiani, Amelia, S.S.Teh untuk Meningkatkan Kesehatan, INTERAKSA :Tangerang. Notoamodjo, Soekidjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT RinekaCipta :Jakarta. Rossi, Ara, 2010, 1001 The, C.V ANDI OFFSET (PenerbitAndi) : Yogyakarta. Sundoro, E. Hartini, 2005, Serba-Serbi Ilmu Konservasi Gigi, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) : Jakarta. Tarigan, Rasinta Dr, Drg. 2013, Karies Gigi, EGC : Jakarta. http://www.scribd.com/mobile/doc/51624087 http://www.tanyadok.com/kesehatan/manfaat-teh-bagikesehatan-gigi http://bahankuliahmu.blogspot.com/2011/08/ pengertiansaliva-fungsi-saliva-danph.html#sthash.B3JdOXas.dpuf http://wisnuvegetarianorganic.wordpress.com/2013/12/03/ 5-manfaat-teh-hijau-untuk-kesehatan-mulut-dangigi/ http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-sehatmenurut-ahli-who.html http://grey.litbang.depkes.go.id/gdl.php?mod=browse&op =read&id=jkpkbppk-gdl-res-2009-lellyanday3171&newtheme=gray http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21672/4/C hapter%20II.pdf http://potooloodental.blog.com/?p=498 Saran Berkaitan dengan hasil penelitian diatas, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut : 156 GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN ANAK TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT PADA SISWA/I KELAS V-B SD ST. ANTONIUS JL. SRIWIJAYA NO.7 MEDAN TAHUN 2014 Nelly Katharina Manurung Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Rasa cemas terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut sering dialami oleh setiap kalangan terutama pada anak – anak. Hal ini bisa disebabkan oleh trauma pada perawatan gigi sewaktu masa anak – anak dan bisa juga disebabkan oleh lingkungan sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat kecemasan yang dimiliki anak pada pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survey. Sampel penelitian ini adalah seluruh siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014 yang berjumlah 42 anak. Data tentang kecemasan siswa/i diperoleh dari kuesioner yang dibagikan kepada seluruh sampel. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah 11,9% tidak cemas terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut, 26,2% memiliki tingkat kecemasan sedang, 33,3% memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dan 28,6% sangat cemas terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Penyebab kecemasan tertinggi adalah luka atau trauma pada rongga mulut (52,4%) dan jenis pelayanan yang paling dicemaskan adalah pencabutan gigi (47,2%). Kata kunci : Kecemasan anak, Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut Latar Belakang Kecemasan merupakan reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman (Cattell dan Scheiler dalam Izzaty, 2005). Kecemasan atau anxietas dapat pula diartikan sebagai rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang sering kali berlangsung lama. Kecemasan atau ketakutan mempunyai pola reaksi yang sama, yaitu menghindari objek. Kecemasan pada anak dapat juga diakibatkan oleh beberapa hal, seperti orang tua yang terlalu melindungi (over protective), orang tua yang tidak konsisten, aturan atau disiplin yang terlalu berlebihan, kritikan yang terlalu berlebihan dari orang tua atau lingkungan sekitar, kurangnya sosialisasi anak terhadap orang lain dan adanya kegagalan atau frustasi yang terus menerus. Salah satunya adalah rasa cemas pada perawatan gigi. Pada umumnya rasa takut timbul akibat pengalaman perawatan gigi yang buruk semasa kanak – kanak, oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa pencegahan timbulnya rasa takut harus dimulai pada usia dini . Selain karena pengalaman buruk sewaktu perawatan gigi sebelumnya, rasa takut pada perawatan gigi juga bisa diakibatkan oleh pengaruh lingkungan misalnya keluarga (Mashar R, 2011). Banyak orang tua yang memberikan pandangan bahwa unit pelayanan kesehatan gigi merupakan hukuman bagi anak, misalnya apabila anak malas untuk menyikat gigi anak akan dibawa ke dokter gigi lalu disuntik atau 157 dicabut giginya. Hal ini tentu saja dapat merubah pola pikir anak yang menganggap mereka tidak perlu pergi ke unit pelayanan kesehatan gigi apabila mereka tidak membuat suatu kesalahan (Ramadhan A, 2010). Rasa takut atau cemas terhadap perawatan gigi merupakan hambatan bagi tenaga kesehatan gigi dalam usaha peningkatan kesehatan gigi masyarakat yang sesuai dengan visi “Indonesia Sehat 2015”. Oleh sebab itu sangat diharapkan tenaga kesehatan khususnya dalam bidang kesehatan gigi dan mulut perlu memahami sikap, sifat dan perilaku pasien anak pada setiap kelompok usia yang berguna untuk dokter gigi melakukan perawatan sehingga menunjang kelancaran dan keberhasilan perawatan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Astrid Anisa Amrullah , Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2012, tingkat kecemasan anak usia 6, 9 dan 12 tahun berdasarkan CFSS – DS (Children Fear Survey Schedule – Dental Subscale) di Kecamatan yang mengalami rasa cemas tinggi sebanyak 37 anak (11,6%). Dari beberapa literature ditemukan bahwa insiden rasa takut terhadap perawatan kesehatan gigi terjadi kurang lebih 5% dari populasi dan diantaranya 16% pada anak – anak usia sekolah. Hasil penelitian di Puskesmas Denpasar Barat menunjukkan gambaran rasa takut terhadap perawatan gigi pada anak usia sekolah yang berobat ke puskesmas, dari 91 anak yang berobat 5,49% menyatakan tidak takut terhadap semua perawatan gigi, kemudian 8,79% menyatakan takut terhadap semua tindakan peraatan gigi dan 85,73% menyatakan takut terhadap beberapa tindakan perawatan gigi. Penelitian ini dilakukan pada siswa/i kelas V SD (usia 10 – 11 tahun ) yang pada saat ini berada dalam Fase atau Masa Anak Sekolah atau disebut juga masa laten. Menurut Stone dan Church (1975) masa ini adalah masa kehilangan gigi, masa perubahan fisik yang cepat, masa meraih identitas yang tidak bergantung pada orang lain, masa untuk mengalami kelakuan dan berfikir realitik. Ini adalah masa terbaik untuk mengenalkan dan mengajarkan anak tentang kesehatan gigi (Parkin S.F , 1991). Waktu Penelitian Peneltian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan Oktober 2014 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan anak terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut pada siswa/i kelas V – B SD St. Antonius, Medan Tahun 2014. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 42 siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014, data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi dan selanjutnya dilakukan analisa data. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan khususnya dalam bidang kesehatan gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut pada pasien anak. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan bacaan diperpustakaan bagi mahasiswa Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survey yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kecemasan anak terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut di SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No. 7, Medan. Lokasi Penelitian Peneltian ini dilakukan di SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No. 7 Medan. Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah siswa/i kelas V – B SD St. Antonius, Jl. Sriwijaya No.7, Medan. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Dalam penelitian ini sampel yang di ambil sebanyak 42 siswa/i kelas V – B SD St. Antonius, Jl. Sriwijaya No.7, Medan. Tabel A.1 Persentase Tingkat Kecemasan Anak Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi Dan Mulut Pada Siswa/I Kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan Tahun 2014 No. Tingkat Kecemasan n Persentase 1. Tidak cemas 5 11,9% 2. Sedang 11 26,2% 3. Tinggi 14 33,3% 4. Sangat Cemas 12 28,6% Jumlah 42 100% Dari tabel di atas dapat di lihat bahwa 33,3% (14 orang) siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijayan No. 7 Medan tahun 2014 memiliki tingkat kecemasan yang tinggi terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut dan hanya 11,9% (5 orang) yang tidak cemas sama sekali terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut. 158 Tabel A.2 Distribusi Frekuensi Penyebab Kecemasan Anak Kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan Tahun 2014 Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi Dan Mulut Tingkat Kecemasan Jenis Kecemasan 1 2 3 4 Tidak Cemas Cemas Sangat Cemas Tidak Tahu Suara atau getaran bur 17 20 5 0 Suntikan untuk dibius 8 14 20 0 Belum merasakan efek bius ( belum merasa kebas ) 11 19 12 0 Perasaan kebas pada saat dibius 10 14 18 0 Pengukuran kedalaman gusi 14 22 6 0 Suara atau perasaan ngilu pada saat membersihkan 22 14 6 0 gigi Tersedak atau mual pada saat perawatan 8 24 10 0 Rontgen foto 41 0 1 0 Alat untuk isolasi kerja, seperti kapas atau 38 4 0 0 penghisap ludah Mulut yang lelah karena terus terbuka 27 13 2 0 Semprotan udara yang membuat gigi sakit 14 21 7 0 Informasi tentang tindakan yang dilakukan tidak 13 20 9 0 tepat Perawatan saluran akar 3 22 17 0 Pencabutan gigi 13 9 20 0 Takut terluka / trauma 10 10 22 0 Merasa cemas secara tiba – tiba 17 17 8 0 Tidak dapat menghentikan dokter gigi ketika 20 16 6 0 perawatan Merasa tidak bebas untuk bertanya 25 12 5 0 Tidak dapat mendengarkan penjelasan dokter 28 9 5 0 dengan focus Di kritik, di ejek dan dinasehati oleh orang tua 35 4 3 0 Aroma pada ruangan perawatan 25 15 2 0 Mendapatkan perawatan gigi yang membutuhkan 14 18 10 0 waktu lama Biaya perawatan gigi yang dibutuhkan 32 7 3 0 Pada saat menunggu nomor antrian sebelum 29 8 5 0 perawatan dan lamanya waktu perawatan Malu akan kondisi mulut 28 10 4 0 Merasa dibatasi dan tidak dapat mengontrol diri 24 14 4 0 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 52,4% (22 orang) siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014 sangat cemas akan terjadi luka pada rongga mulut, 47,5% (20 orang) sangat cemas terhadap tindakan pencabutan gigi dan penyuntikan. Sedangkan 97,6% (41 orang) tidak cemas pada tindakan foto rontgen, 90,4% (38 orang) tidak cemas pada isolasi kerja pada saat mendapatkan perawatan dan 83,3% (35orang) yang merasa tidak cemas mendengarkan kritik pada saat mendapatkan perawatan. 159 Tabel A.3 Distribusi Frekuensi Jenis Pelayanan Kesehatan Gigi Dan Mulut Yang Paling Ditakuti Oleh Siswa/I Kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No. 7 Medan Tahun 2014 Jenis Kecemasan 1 Tidak Cemas Pengukuran kedalaman gusi 14 Suara atau perasaan ngilu 22 pada saat membersihkan gigi Suara atau getaran bur 17 (pada saat penambalan ) Perawatan saluran akar 3 Pencabutan gigi 13 Tingkat Kecemasan 2 3 Cemas Sangat Cemas 22 6 14 6 4 Tidak Tahu 0 0 20 5 0 22 9 17 20 0 0 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 47,2% ( 20 orang ) siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014 sangat cemas pada tindakan pencabutan gigi dan hanya 52,3% (22 orang) siswa/i kelas V – B yang tidak cemas pada tindakan pembersihan gigi. 2. PEMBAHASAN Sebagian besar siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No. 7 Medan tahun 2014 memiliki tingkat kecemasan yang tinggi terhadap pelayanan kesehatan gigi yaitu 33,3% (14 orang). Hanya 11,9% (5 orang) yang tidak merasa cemas. Hasil yang diperoleh ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan penelitian sebelumnya tentang rasa takut anak terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas Bali Barat. Dari 91 orang yang menjadi sampel diperoleh hasil 8,79% takut terhadap semua tindakan perawatan gigi, 85,73% menyatakan takut terhadap beberapa tindakan perawatan gigi dan hanya 5,49% yang tidak takut terhadap perawatan gigi. Penyebab kecemasan paling tinggi yang ditemukan pada siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan adalah terjadi luka pada rongga mulut yaitu 52,4% (22 orang) dan 97,6% (41 orang) merasa tidak cemas pada saat melakukan foto rontgen. Luka atau trauma pada rongga mulut anak dapat menjadi peristiwa yang sangat menjengkelkan dan menakutkan bagi anak dan orang tuanya. Cedera yang melibatkan fraktur atau kehilangan gigi depan dapat mengakibatkan efek emosional yang tidak sebanding dengan keseriusan cedera. Anak-anak yang sebelumnya ekstrovert dapat menjadi rendah diri karena penampilan mereka dan enggan untuk tersenyum (Parkin, S 1991). Dari berbagai jenis pelayanan kesehatan gigi dan mulut (promotif, preventif dan kuratif) yang paling dicemaskan oleh siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan adalah tindakan pencabutan gigi dan penyuntikan yaitu 47,6% (20 orang) dan 52,3% (22 orang) tidak merasa cemas pada saat pembersihan gigi. Hal ini dapat terjadi karena banyak orang tua yang memberikan pandangan bahwa unit pelayanan kesehatan gigi dan mulut merupakan hukuman bagi anak. Misalnya apabila anak malas untuk menyikat gigi maka anak di ancam akan dibawa ke dokter gigi untuk di suntik atau di cabut giginya. Pandangan ini yang dapat membentuk pola pikir anak yang menganggap mereka tidak perlu ke unit pelayanan kesehatan gigi dan mulut apabila tidak membuat suatu kesalahan (Ramadhan A, 2010). Simpulan Dari penelitian yang telah dilakukan pada siswa/i kelas V–B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No. 7 Medan tahun 2014 tentang gambaran tingkat kecemasan anak terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut dapat disimpulkan : 1. Sebanyak 33,3% ( 14 orang ) siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No. 7 Medan tahun 2014 memiliki tingkat kecemasan yang tinggi terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut dan hanya 11,9% (5 orang) yang tidak cemas sama 3. sekali terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Hal–hal yang menjadi faktor penyebab kecemasan pada siswa/i kelas V–B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014 terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah 52,4% (22 orang) sangat cemas terhadap luka yang terjadi dalam rongga mulut, 47,5% (20 orang) sangat cemas terhadap tindakan pencabutan gigi dan penyuntikan. Sedangkan 97,6% (41 orang) tidak cemas pada tindakan foto rontgen, 90,4% (38 orang) tidak cemas pada isolasi kerja pada saat mendapatkan perawatan dan 83,3% (35 orang) yang merasa tidak cemas mendengarkan kritik pada saat mendapatkan perawatan. Jenis pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang paling dicemaskan oleh siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014 adalah pencabutan gigi yaitu 47,2% (20 orang) dan yang paling sedikit menimbulkan kecemasan adalah tindakan pembersihan gigi (52,4%) Saran 1. Kepada Pihak Sekolah SD St. Jl. Sriwijaya No.7 Medan Diharapkan agar pihak sekolah memperkenalkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada siswa/i disekolah tersebut dalam program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) ataupun program lainnya. Dengan demikian siswa/i tidak menganggap bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut sebagai suatu hal yang perlu dicemaskan atau ditakuti. Dapat mendatangkan tenaga kesehatan gigi dan mulut ke sekolah minimal satu kali dalam setahun untuk melakukan pendekatan langsung dengan cara memberikan penyuluhan dan pemeriksaan gigi siswa/i. 2. Kepada Jurusan Keperawatan Gigi Diharapkan agar lebih giat memberikan penyuluhan tentang pentingnya kesehatan gigi dan mulut dan menjelaskan jenis pelayanan yang dapat dilakukan untuk dapat merubah pola pikir dan menarik minat anak terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut. DAFTAR PUSTAKA Andlaw, R.J. , 1992. Perawatan Gigi Anak. Widya Medika : Jakarta Anonim.http://dentistlove.blogspot.com/ Anonim.2010.http://repository.usu.ac.id/bistream/1234567 89/23642/3/Chapter%20ll.pdf Anonim.2010.http://repository.usu.ac.id/bistream/1234 56789/23642/4Chapter%20l.pdf Anonim.2011.http://tugaskuliah.wordpress.com/2011/12/1 1/kti-kesehatan-gigi-perasaan-takut-pada-anaksiswa-sd-dalam-melakukan-perawatan-gigi/ Clarke,J.H.,1998.http://UniversitySchoolOfDentistry/Clark e,J.H.1998/Oregon HealthSciences/ Corah,N.http://www.scribd.com/doc/61745765/NormanCorah. 160 Gani, A.H. , 2012. Dental Hypnosis. Widya Medika : Yogyakarta Keneddy, D.B. , 1992. Konservasi Gigi Anak. EGC : Jakarta Mashar, R. , 2011. Emosi Anak Usia Dini Dan Strategi Pengembangannya. Kencana : Jakarta Notoadmodjo, S. , 2005. Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi. Rineka Cipta : Jakarta _______________ , 2010. Metodologi Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta 161 Parkin, S.F., 1991. Notes In Paediatric Dentistry. Wright : Oxford Ramadhan, A.G. , 2010. Serba Serbi Kesehatan Gigi Dan Mulut. Bukune : Jakarta Rumpak, J.C. , dkk., 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Jakarta Saleh,N.,2013.http://nuraminsaleh.blogspot.com/2013/ 01/pengertian-kecemasan-menurut-para-ahli.html. MOTIVASI ANAK DALAM PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI TERHADAP STATUS KESEHATAN GIGI PADA SISWA/I KELAS III-A SD SWASTA CERDAS BANGSA JL. TITI KUNING NAMORAMBE LINGK. VI SIDOREJO DELI TUA TAHUN 2014 Rosdiana T. Simaremare, Asnita Bungaria Simaremare Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Motivasi kesehatan adalah segala dorongan atau keinginan seseorang, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan upaya peningkatan kesehatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran motivasi anak dalam pemeliharaan kesehatan gigi terhadap status kesehatan gigi pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Cara pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuisioner pada siswa yang berjumlah 38 orang untuk mengetahui gambaran motivasi siswa dalam pemeliharaan kesehatan gigi terhadap status def-t , DMF-T dan OHIS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut : tingkat motivasi siswa kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua dimana kriteria baik sebanyak 14 siswa (36%), kriteria sedang sebanyak 22 siswa (57%) dan kriteria buruk sebanyak 2 siswa (5%). Status def-t pada siswa kelasa III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua cenderung cukup tinggi dimana terdapat status angka def-t dengan rata-rata 4,52. Status DMF-T cenderung rendah dimana terdapat angka status DMF-T dengan ratarata 1, sedangkan status OHIS cenderung sedang dimana angka status OHIS 1,51. Kata kunci : Pengetahuan dan tindakan mahasiswa, alat-alat pencabutan gigi PENDAHULUAN Latar Belakang Undang-undang kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyuluruh dalam bentuk upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Timbulnya masalah kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat salah satunya adalah karena mengabaikan kesehatan gigi dan mulut. Hal tersebut dilandasi oleh kurangnya motivasi akan pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Peningkatan kesehatan dalam kesehatan gigi dan mulut dapat dilakukan dengan memberikan motivasi. Motivasi dilakukan untuk menunjang tercapainya hidup sehat. Motivasi kesehatan merupakan dorongan yang dilakukan dengan menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak hanya sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang dapat disebabkan seseorang mempunyai keinginan untuk dapat menggapai sesuatu yang diharapkannya. Motivasi anak dalam pemeliharaan kesehatan gigi dapat dilakukan dengan menyikat gigi yang baik dan benar, sehingga selain untuk menjaga kebersihan gigi juga dapat mencegah terjadinya karies gigi. Pemeliharaan kesehatan gigi ini dapat dilakukan sejak dini pada anak sekolah dasar, agar anak termotivasi untuk meningkatkan kebersihan dan kesehatan giginya. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik melakukan penelitian pada Siswa/I kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh bagaimana Gambaran Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi pada Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraiankan di atas, penulis ingin mengetahui bagaimana “Gambaran Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi” pada Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. 162 Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui Gambaran Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi pada Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui motivasi anak terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. 2. Untuk mengetahui motivasi anak terhadap status kebersihan gigi (OHI-S) pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. 3. Untuk mengetahui motivasi anak terhadap status kesehatan gigi susu (def-t) dan status kesehatan gigi permanen (DMF-T) pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. Manfaat Penelitian Data yang diperoleh dari penelitian diharapkan dapat digunakan : 1. Sebagai masukan atau informasi bagi siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. 2. Menjadi masukan bagi pihak sekolah dalam melaksanakan program Upaya Kesehatan Gigi Sekolah. 3. Sebagai bahan dan masukan bagi peneliti selanjutnya. Jenis Dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survey dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Gambaran Motivasi Anak Terhadap Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan Oktober 2014. Populasi Penelitian Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua yang berjumlah 38 orang. 163 Sampel Penelitian Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi yang diteliti. Apabila subjek kurang dari 100 maka lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi (Arikunto, 2002). Maka dari itu, sampel diambil dari total populasi siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua yang berjumlah 38 orang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan pemeriksaan secara langsung. Data langsung diambil oleh peneliti dan tim ke lokasi penelitian di SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua yang terdiri dari dua orang. 1. Orang pertama bertugas untuk memberikan kuisioner. Kuisioner terdiri dari 10 pertanyaan tentang motivasi pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Mengambil kembali hasil kuisioner yang telah dijawab, juga memeriksa kebersihan gigi dan mulut siswa. 2. Orang kedua bertugas untuk memanggil siswa satu persatu berdasarkan nomor urut pada absensi dan mencatat hasil pemeriksaan. Kuisioner yang terdiri dari 10 pertanyaan masingmasing bagian dibagi dalam 3 kategori penilain yaitu kategori baik, sedang, buruk. Sehingga didapat skor dengan rentang tiga setiap kategori sebagai berikut : Skor 8 – 10 : kategori baik Skor 4 – 7 : kategori sedang Skor 0 – 3 : kategori buruk Selanjutnya dilakukan pengumpulan data status kesehatan gigi dengan melakukan pemeriksaan gigi responden (siswa/i) untuk mengetahui indeks karies gigi susu (def-t) dan indeks karies gigi permanen (DMF-T) serta status kebersihan gigi (OHI-S). Dalam pemeriksaan gigi ini digunakan alat dan bahan yaitu : 1. Alat yang terdiri dari : Kaca mulut Sonde Pinset Nier bekken Excavator Handuk steril Format pemeriksaan gigi geligi Lembaran kuisioner 2. Bahan terdiri dari : Kapas Sabun cair detol Setiap siswa/I diperiksa giginya dan hasil pemeriksaan dicatat pada format pemeriksaan status gigi geligi. Hasil pemeriksaan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi. Sebelum melakukan pemeriksaan peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden. Pengolahan dan Analisa Data Setelah data dikumpulkan dan kuisioner dikelompokkan berdasarkan pertanyaan tentang motivasi anak terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut ke dalam tabel distribusi frekuensi. Pemeriksaan status kesehatan gigi dibagi dalam tiga bagian yaitu OHIS, indeks karies gigi susu (def-t) dan indeks karies gigi permanen (DMF-T) yang dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi. Pengolahan data meliputi 3 langkah, yaitu : 1. Editing (Memeriksa) Hal ini dilakukan setelah semua data yang dikumpulkan melalui pemeriksaan langsung terhadap anak-anak. Kegiatan yang dilakukan adalah mengecek kelengkapan data kuisioner dan status kesehatan gigi. 2. Coding (Pengkodean) Memberikan tanda terhadap pemeriksaan OHI-S dan karies gigi yang telah dilakukan terhadap anak-anak. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah waktu mengadakan tebulasi data dan analisa data. 3. Tabulasi Data Pekerjaan tabulasi data dilakukan, jika semua masalah editing dan koding sudah selesai. Artinya sudah tidak ada lagi permasalahan yang timbul dalam editing dan koding. Sehingga data dapat dimasukkan ke dalam tabel frekuensi. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa angka OHI-S siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua adalah 57,4 dengan rata-rata 1,51. Hasil Penelitian Hasil penelitian motivasi anak dalam pemeliharaan kesehatan gigi terhadap status kesehatan gigi pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian tentang motivasi anak dalam pemeliharaan kesehatan gigi terhadap status kesehatan gigi pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua, maka dari 38 responden diperoleh 14 orang (36%) dengan kriteria baik, 22 orang (57%) dengan kriteria sedang dan 2 orang (5%) dengan kriteria buruk. Motivasi anak dengan kategori sedang terlihat lebih banyak yaitu 22 orang (57%), ini menunjukkan bahwa belum semua siswa mempunyai motivasi dalam pemeliharaan kesehatan giginya. Menurut Prawira (2012) motivasi pada dasarnya adalah suatu usaha untuk meningkatkan kegiatan dalam mencapai suatu tujuan tertentu, termasuk di dalamnya bagian belajar. Berdasarkan tabel di atas pemeriksaan gigi yang dilakukan pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua diketahui bahwa angka OHI-S adalah 57,4 dengan rata-rata 1,51. Menurut Green dan Vermillioon dalam penilaian OHI-S ini termasuk dalam kriteria sedang. Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa sebagian besar siswa/i mengalami kebersihan gigi (OHI-S) kriteria sedang. Hal ini disebabkan karena belum seluruhnya siswa mempunyai kesadaran akan kebersihan giginya. Anak cenderung menyukai makanan lunak dan manis apalagi orang tua tidak mengarahkan pada jenis makanan yang lebih beragam dan bergizi. Orang tua memegang peranan di dalam menerapkan disiplin dalam melaksanakan tanggung jawab akan kebersihan gigi anak. Oleh karena itu anak lebih dapat diajarkan cara memelihara kesehatan gigi dan mulut secara lebih dini. Tabel A.1. Distribusi Frekuensi Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi Pada Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua No Kriteria Motivasi Sampel (n) Persentase 1 Baik 14 36% 2 Sedang 22 57% 3 Buruk 2 5% Jumlah 38 100% Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa responden yang memiliki motivasi dalam pemeliharaan kesehatan gigi dengan kriteria baik sebanyak 14 orang (36%), kriteria sedang sebanyak 22 orang (57%) dan kriteria buruk sebanyak 2 orang (5%). Tabel A.2. Distribusi Frekuensi Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kebersihan Gigi Pada Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua Jumlah RataStatus DI CI OHIS Siswa Rata Kebersihan Gigi (OHIS) 39,5 17,9 57,4 38 1,51 Tabel A.3. Distribusi Frekuensi Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi Pada Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua Status d e Kesehatan Gigi Susu(def-T) 136 36 Status D M Kesehatan Gigi Permanen 36 0 (DMF-T) f def-t 0 172 F DMF-T 2 38 Jumlah Siswa 38 Ratarata 4,52 38 1 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa status angka def-t siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua adalah 172 dengan rata-rata 4,52. Sedangkan status angka DMF-T siswa kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua adalah 38 dengan rata-rata 1. 164 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa angka def-t dengan rata-rata 4,52 yang artinya ada 4 sampai 5 gigi yang mengalami karies pada setiap siswa. Hal ini disebabkan karena motivasi siswa masih kurang dalam pemeliharaan kesehatan giginya. Menurut Latipah (2012) seseorang dapat termotivasi oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Angka karies yang tinggi disebabkan karena seseorang tidak termotivasi/terdorong untuk mengarahkan dan melakukan usaha mempertahankan kesehatan giginya sehingga tidak terjadi karies. Status angka DMF-T dengan rata-rata 1 ini disebabkankan keadaan gigi siswa/i yang masih bercampur dan baru sebagian gigi permanen yang mulai tumbuh. Kesehatan rongga mulut anak-anak dibawah usia 2 tahun sepenuhnya di bawah pengawasan orang tua. Hingga usia 12 tahun sampai selesainya pergantian gigi susu menjadi permanen, orang tua harus tetap memantau. Menurut Latipah (2012) peranan kelompok dimana individu bergabung dapat membantu individu mendapatkan kebutuhan. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan kesimpulan, yaitu : 1. Tingkat motivasi siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua dimana kriteria baik sebanyak 14 siswa (36%), kriteria sedang sebanyak 22 siswa (51%), sedangkan kriteria buruk sebanyak 2 siswa (5%) yang dilakukan pada 38 siswa. 2. Status OHIS pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua cenderung sedang dimana terdapat status angka OHIS rata-rata 1,51. 3. Status def-t pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua cenderung cukup tinggi dimana terdapat status angka def-t dengan ratarata 4,52. 4. Status DMF-T pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua cenderung rendah dimana terdapat status angka DMF-T rata-rata 1. Saran 1. Diharapkan kepada siswa/i SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI 165 2. 3. Sidorejo Deli Tua dapat melakukan perawatan giginya pada dokter gigi atau tenaga kesehatan gigi (Puskesmas, Klinik Gigi dan Rumah Sakit) secara berkala. Untuk pihak sekolah diharapkan dapat melaksanakan pelayanan kesehatan gigi melalui Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) yang bekerja sama dengan pihak Puskesmas. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti, untuk menerapkan ilmu yang diperoleh serta sebagai masukan kepada peneliti yang lain. DAFTAR PUSTAKA Anggriana, D., 2005. Faktor pendorong motivasi orang tua merawatkan gigi anak di klinik Fakultas Kedokteran Gigi Unair [pdf] Surabaya: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga <http://duniapsikologi.dagdigdug.com/files/2006/ 12/konsep-diri.pdf> [diakses Des 2006] Arikunto, S., 2002, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta.Jakarta Asmani, J.M., 2012. Kiat Mengatasi Kenakalan Remaja di sekolah, Jogjakarta.Buku Biru Boedihardjo, 1985, Pemeliharaan Kesehatan Gigi Keluarga, Airlangga University press. Surabaya Eka, I.N., 2007. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Gigi Terhadap Pengetahuan dan Sikap Anak Usia Sekolah di SD Boto Kembang Kulonprogo [pdf] yokyakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Pekalongan <http://www.psychologymania.com/2008/08/pen gertian-dukungan-keluarga.html> [diakses agustus 2008] Latipah, E., 2012. Pengantar Psikologi Pendidikan, Pedagogia. Yokyakarta Prawira, P.A., 2012. Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru, Ar-Ruzz Media. Jogjakarta Putri, M.H., Eliza, H., Neneng, N., 2010. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras Dan Jaringan Pendukung Gigi, EGC. Jakarta Ramadhan, A.G., 2010. Serba-Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut, Bukune. Jakarta. EFEKTIFITAS PENYULUHAN DENGAN MEDIA POSTER TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG KEBERSIHAN GIGI PADA SISWA/I KELAS III DAN IV DI SDN 104186 TANJUNG SELAMAT KECAMATAN SUNGGAL TAHUN 2014 Rawati Siregar, Sondang Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Umumnya pendidikan kesehatan gigi dan mulut diperoleh melalui penyuluhan. Kelompok masyarakat yang sering dituju adalah anak-anak sekolah dasar, karena usia 6-14 tahun merupakan usia transisi atau pergantian gigi permanen (masa gigi bercampur) . Penyuluhan yang diberikan adalah penyuluhan dengan media poster yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kebersihan gigi pada sisiwa/i kelas III dan IV di SDN 104186 Tanjung Selamat kecamatan Sunggal.Penelitian ini besifat deskriptif, sampel adalah seluruh siswa/i kelas III dan IV SDN 104186 tanjung Selamat Kecamatan Sunggal yang berjumlah 50 orang.Dari hasil penelitian yang didapatkan dengan cara pengisian kuisioner maka hasilnya adalah sebagai berikut : yang berpengetahuan baik pada kelas III sesudah penyuluhan berjumlah 19 orang (76%), dan yang berpengetahuan baik pada kelas IV berjumlah 22 orang (88%).Dapat ditarik kesimpulan bahwa penyuluhan yang diberikan dengan media poster dapat meningkatkan pengetahuan siswa/i tentang kebersihan gigi. Kata kunci: penyuluhan, Media Poster, Kebersihan Gigi PENDAHULUAN Dalam undang-undang kesehatan No.36 tahun 2009 memberikan batasan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Batasan yang diangkat dari batasan kesehatan menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yang paling baru ini memang lebih luas dan dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat. Pada batasan yang terdahulu, kesehatan itu hanya mencakup tiga aspek, yakni : fisik, mental, dan sosial tetapi menurut undang-undang No.23/1992, disempurnakan dengan UU No.36 tahun 2009 kemudian kesehatan itu mencakup lima aspek yakni fisik (badan), mental (jiwa), sosial, spritual dan ekonomi(Notoatmojo,2012) Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Sedangkan istilah sehat dalam kehidupan sehari-hari sering di pakai untuk menyatakan bahwa sesuatu dapat bekerja secara normal. Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Prevalensi penduduk yang mempunyai masalah kesehatan gigi dan mulut adalah 23% dan 1,6% penduduk telah kehilangan gigi aslinya. Dari jumlah yang menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga kesehatan adalah 29,6% (Riskesdas,2007) Gigi merupakan salah satu elemen yang tak boleh terlupakan sebagai satu kesatuan pendukung penampilan yang sempurna. Namun, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang melupakan pentingnya kebersihan dan kesehatan gigi. Dan, tak hanya orang dewasa saja yang terbilang malas menjaga kesehatan dan kebersihan giginya dengan cara menyikat gigi. Menurut penelitian yang dilakukan di singapura dan di indonesia pada tahun 2007, 8 dari 10 anak sekolah dasar sudah mengalami masalah gigi berlubang. Yang lebih memprihatinkan lagi, penelitian ini mengungkapkan bahwa anak-anak indonesia di usia lima tahun sudah mengalami gigi berlubang pada tiga giginya. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk menjaga kesehatan dan kebersihan gigi di indonesia masih tergolong rendah. Padahal sebenarnya gigi bisa menjadi indikasi tingkat kesehatan masyarakat secara umum disuatu tempat. Kesehatan gigi dan mulut sangat penting sekali dan harus dijaga semenjak masih kecil. Gigi adalah suatu alat bantu pencernaan kita yang mempunyai fungsi amat penting. Dengan gigi, maka proses mengunyah makanan menjadi lebih mudah. Dengan gigi pula kita dapat menggigit atau pun menyobek apa-apa yang dimakan. Promosi kesehatan di sekolah merupakan suatu upaya untuk menciptakan sekolah menjadi suatu komunitas yang mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sekolah melalui kegiatan utama, yaitu : (a) pen ciptaan lingkungan sekolah yang sehat, (b) pemeliharaan dan pelayanan di sekolah, dan (c) upaya pendidikan yang berkesinambungan. Ketiga kegiatan tersebut dikenal dengan istilah TRIAS UKS (Kholid, 2012) 166 Pendidikan kesehatan gigi (PKG) di sekolah melalui TotalQualityManagement (TQM) merupakan suatu sistem pendidikan nonformal bagi masyarakat sekolah dengan cara belajar sambil berbuat (learning by doing) untuk mengubah perilaku mereka dari yang kurang menguntungkan menjadi menguntungkan terhadap kesehatan gigi dan mulutnya. Melalui kegiatan ini diharapkan mereka menjadi tahu, mau, dan mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi, baik secara sendiri maupun bersama, guna terus meningkatkan kesehatan gigi dan mulutnya sendiri serta keluarganya. Pengertian PKG di sekolah melalui TQM adalah suatu sistem pendidikan nonformal bagi masyarakat sekolah yang berorientasi pada kebutuhan serta memberi kesempatan pada mereka untuk berpartisipasi aktif dalam merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program kesehatan gigi(Astoeti, 2006) Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan, yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan (Azwar,1983). Survey awal yang telah dilakukan di SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 peneliti banyak menemukan permasalahan banyaknya gigi siswa/i yang kotor, disebabkan karena mereka tidak menjaga kebersihan giginya. Berdasarkan latar belakang diatas dan dengan melihat survey awal di SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 maka peneliti tertarik untuk mengetahui apakah efektifitas penyuluhan dengan media poster dapat meningkatkan pengetahuan siswa/i tentang kebersihan gigi di SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui efektifitas penyuluhan dengan media poster terhadap peningkatan pengetahuan tentang kebersihan gigi pada siswa/i kelas III dan IV di SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan dalam perencanaan UKGS dan pelayanan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut di SDN 104186 Tanjung selamat Kecamatan Sunggal. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran siswa/i di SDN 104186 Tanjung selamat Kecamatan Sunggal terhadap kebersihan gigi dan mulut. 3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada pihak sekolah SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal. 4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data dan informasi bagi peneliti yang sejenisnya 167 METODE PENELITIAN Jenis Dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survey untuk mengetahui efektifitas penyuluhan dengan media poster terhadap peningkatan pengetahuan tentang kebersihan gigi.pada siswa/i SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014. Populasi dan Sampel Penelitian Menurut Notoadmojo bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa/i kelas III dan IV di SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014. Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 50 orang siswa. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan diteliti di anggap mewakili seluruh populasi. Dalam pengambilan sampel dalam hal ini peneliti mengacu kepada pendapat Arikunto, 2006 yaitu apabila subjek kurang dari 100 ,lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, maka sampel penelitian ini adalah seluruh populasi yaitu 50 orang siswa/i kelas III dan IV SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 karena kurang dari 100 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Data yang dikumpulkan adalah data hasil penelitian yang dilakukan terhadap siswa/i SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014. Penelitian langsung di lakukan kepada siswa/i dengan memberikan dua kali kuesioner sebelum penyuluhan dan sesudah penyuluhan dengan media poster. Dari penelitian yang dilakukan maka, skor pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan dengan media poster ada perbedaan. Setelah data terkumpul, maka dilakukan analisa data dengan membuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut : Tabel A.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Kebersihan GigiSebelum Penyuluhan Dengan Media Poster Kepada Siswa/i Kelas III SDN 104186 Tahun 2014 NO Kriteria N % 1 Baik 8 32 2 Sedang 17 68 3 Buruk 0 0 Jumlah 25 100 Dari tabel diatas menunjukkan tingkat pengetahuan siswa/i sebelum dilakukan penyuluhan dengan media poster menunjukkan yang berpengetahuan baik sebanyak 8 orang ( 32% ) , yang memiliki pengetahuan sedang sebanyak 17 orang (68%), dan tidak ada yang berpengetahuan buruk. Tabel A.2 Distribusi FrekuensiPengetahuan Tentang Kebersihan Gigi SesudaPenyuluhan Dengan Media Poster Kepada Siswa/i Kelas III SDN 104186 Tahun 2014 NO Kriteria N % 1 Baik 19 76 2 Sedang 6 24 3 Buruk 0 0 Jumlah 25 100 Tabel A.5 Distribusi Frekuensi Perbedaan Pengetahuan Tentang Kebersihan Gigi Sebelum Dan Sesudah Penyuluhan Dengan Media Poster Pada Siswa /I Kelas III Dan IV Di SDN 104186 Tahun 2014 Sebelum S Sesudah Perbedaan Kelas Penyuluhan P Penyuluhan III 8 19 11 IV 10 22 12 Dari tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan sesudah penyuluhan dengan media poster, menunjukkan yang berpengetahuan baik naik menjadi 19 orang (76%) yang berpengetahuan sedang turun menjadi 6 orang (24%) dan tidak ada yang berpengetahuan buruk. Dari tabel diatas kita ketahui perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster. Pada kelas III didapat perbedaannya yaitu 11 atau 1 : 2 dan perbedaan pada kelas IV yaitu 12 atau 1 : 2. Seperti terlihat pada tabel diatas terdapat peningkatan angka pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster. Tabel A.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Kebersihan GigiSebelum Penyuluhan Kepada Siswa/i Kelas IV SDN 104186 Tahun 2014 NO Kriteria N % 1 Baik 10 40 2 Sedang 15 60 3 Buruk 0 0 Jumlah 25 100 Dari tabel diatas menunjukkan tingkat pengetahuan sebelum penyuluhan dengan media poster, menunjukkan yang berpengetahuan baik sebanyak 10 orang (40%) sedangkan berpengetahuan sedang sebanyak 15 orang (60%) dan tidak ada yang berpengetahuan buruk. Tabel A.4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Kebersihan GigiSesudah Penyuluhan Dengan Media Poster Kepada Siswa/i kelas IV SDN 104186 Tahun 2014 NO Kriteria N % 1 Baik 22 88 2 Sedang 3 12 3 Buruk 0 0 Jumlah 25 100 Dari tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan siswa/i sesudah penyuluhan dengan media poster, menunjukkan yang berpengetahuan baik meningkat menjadi menjadi 22 orang (88%), yang berpengetahuan sedang turun menjadi 3 orang (12 %), dan tidak ada yang berpengetahuan buruk. PEMBAHASAN Pada siswa/i kelas III SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal, Tingkat pengetahuan sebelum dilakukan penyuluhan tentang kebersihan gigi dengan media poster pada kelas III adalah berpengetahuan baik sebanyak 8 orang, yang memiliki pengetahuan sedang sebanyak 17 orang, dan tidak ada yang berpengetahuan buruk. Dan sesudah dilakukan penyuluhan tentang kebersihan gigi dengan media poster menunjukkan yang berpengetahuan baik naik menjadi 19 orang, yang berpengetahuan sedang turun menjadi 6 orang dan tidak ada yang berpengetahuan buruk. Perbedaan sesudah dan sebelum penyuluhan adalah Pada siswa/i kelas IV SDN 104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal tingkat pengetahuan sebelum dilakukan penyuluhan tentang kebersihan gigi dengan media poster adalah menunjukkan yang berpengetahuan baik sebanyak 10 orang sedangkan berpengetahuan sedang sebanyak 15 orang dan tidak ada yang berpengetahuan buruk. Dan sesudah dilakukan penyuluhan tentang kebersihan gigi dengan media poster adalah menunjukkan yang berpengetahuan baik meningkat menjadi menjadi 22 orang , yang berpengetahuan sedang turun menjadi 3 orang , dan tidak ada yang berpengetahuan buruk. Perbedaannya pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan tentang kebersihan gigi dengan media poster yaitu 8 meningkat menjadi 19 atau 1 : 2 dan perbedaan pada kelas IV yaitu 12 meningkat menjadi 22 atau 1 : 2. terdapat peningkatan angka pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster. 168 Menurut Maulana (2009) faktor-faktor yang sangat mempengaruhi dalam penyuluhan kesehatan adalah dalam aspek pemilihan metode, alat bantu/media, dan jumlah kelompok sasaran, artinya untuk mendapatkan hasil penyuluhan dengan maksimal ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi. Media yang digunakan ditentukan oleh intensitas media tersebut dalam memberikan pengalaman belajar kepada siswa, poster sarat dengan tampilan visual gambar, sehingga lebih melibatkan indera ketika menerima materi penyuluhan, maka tingkat siswa dalam menangkap pesan atau materi penyuluhan akan semangkin efektif. (Depkes RI, 2008) Media poster dapat lebih efektif sebagai media penyuluhan karena lebih membatu menstimulasi indera penglihatan siswa, aspek visual pada gambar-gambar poster lebih memudahkan penerimaaan informasi atau materi pendidikan (Notoadmojo, 2004) Hasil penelitian ini membuktikan bahwa penyuluhan kesehatan gigi pada anak-anak lebih baik dilakukan dengan media poster Hal senada dikemukakan oleh Saptarini (2005) bahwa pesan visual berupa gambar lebih mudah tertanam dalam pikiran audience dibandingkan dengan kata-kata, sehingga penyuluhan kesehatan gigi tentang cara memelihara kesehatan gigi dapat lebih efektif jika menggunakan media yang lebih banyak menanmpilkan gambar, terlebih pada sasaran audience siswa sekolah dasar. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian yang telah di lakukan,diperoleh maka simpulannya sebagai berikut : 1. Tingkat pengetahuan siswa/i kelas III SDN 104186 Tanjung selamat Kecamatan Sunggal, setelah dilakukan penyuluhan dengan menggunakan media poster tentang pengetahuan kebersihan gigi yang berpengetahuan baik adalah 19 siswa (76%) , sedangkan yang berpengetahuah sedang adalah 6 siswa (24%) . Ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang kebersihan gigi pada siswa/i sudah baik. 2. Tingkat pengetahun siswa/i kelas IV SDN 104186 Tanjung selamat Kecamatan Sunggal, setelah dilakukan penyuluhan dengan menggunakan media poster tentang pengetahuan kebersihan gigi yang berpengetahuan baik adalah 22 siswa (88%) , sedangkan yang berpengetahuan sedang adalah 3 siswa (12%) . ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang kebersihan gigi pada siswa/i sudah baik. 169 3. Perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan tentang kebersihan gigi dengan media poster yaitu Pada kelas III meningkat lebih baik yaitu dari 8 menjadi 19. Dan pada kelas IV juga meningkat lebih baik yaitu dari 10 menjadi 22. Saran 1. Disarankan agar penyuluhan kesehatan gigi dan mulut pada anak-anak lebih baik dilakukan dengan media poster karena dengan melihat gambar membuat proses belajar mengajar menjadi mudah dimengerti dan menjadi lebih aktif juga menyenangkan sehingga cocok digunakan pada anak-anak. 2. Diharapkan adanya dukungan dari pihak sekolah untuk membuat Program Usaha kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) sehingga dokter atau perawat gigi dapat berperan aktif dalam mengedukasikan dan mengontrol kesehatan gigi dan mulut pada siswa/i dan akhirnya menimbulkan kebiasaan yang lebih baik dalam merawat gigi dan mulutnya. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S.,2006,ProsedurPenelitian Suatu pendekatan Praktik, PT. Rineka, Cipta. Jakarta. Astoeti.,2006, Pendidikan Kesehatan Gigi Di Sekolah, Rajawali Pers, Jakarta Herjulianti., dkk, 2006, Pendidikan Kesehatan Gigi, Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Kholid, A.,2012, Promosi Kesehatan, Rajawali Pers: Jakarta. Machfoedz, I., dkk. 2009. Pendidikan Promosi Kesehatan, Fitramaya: Yogyakarta. Notoadmojo, S., 2012, Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan, Bineka Cipta: Jakarta. ., 2010, Metode Penelitian Kesehatan, Bineka Cipta: Jakarta Budiharto., 2008, Ilmu Perilaku Kesehatan dan Pendidikan Kesehatan Gigi. Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Suiraoka, P., dkk, 2012, Media Pendidikan Kesehatan, Graha Ilmu: Yogyakarta. Richahardiyanti22.blogspot.com 2013. http://www.sarjanaku.kompas.com.://female.kompas.com/r ead/2012/05/10/17022744/3.penyebab.utama.g igi.berlubang. http://buahuntukdiet.com http://.pengertianahli.com/2013/12/pengertian-poster-apaitu-poster.html http://ibnuabihurairah.blogspot.com/2011/04/pen yuluhan-kesehatan-gigi-andi.html. GAMBARAN PENGETAHUAN IBU RUMAH TANGGA TENTANG MENYIKAT GIGI TERHADAP def-t DAN DMF-T PADA SISWA-SISWI SD NEGERI 060930 TITI KUNING KECAMATAN MEDAN JOHOR TAHUN 2014 Aminah Br. Saragih1, Herlinawati2 Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Menyikat gigi sangat penting untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. Tindakan membersihkan gigi dari plak dan sisa makanan yang biasanya menumpuk pada permukaan gigi maupun disela-sela gigi, dengan menggunakan alat sikat gigi dan dilakukan sehari-hari. Penelitian yang digunakan adalah penelitian diskriptif dengan metode survei yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang menyikat gigi terhadap def-t dan DMF-T pada Siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan JohorTahun 2014. Sampel penelitian adalah total populasi yaitu (40 orang). Kuesioner di isi langsung oleh ibu rumah tangga. Hasil penelitian tentang ibu yang memiliki pengetahuan dengan kriteria baik 35 orang (87,5), kriteria sedang 5 orang (12,5) dan tidak ada yang memiliki kriteria buruk dalam tingkat pengetahuan ibu. Status karies gigi (def-t) memiliki jumlah decay (d) 192 dari 40 siswa (4,8%), extrakcition (e), filling (f) tidak ada ditemukan. Status karies gigi (DMF-T) memiliki jumlah jumlah Decay (D) 32 dari 40 siswa (0,8), Missing (M) dan Filling (F) tidak ada ditemukan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan baik adalah 35 orang (87,5%), decay (d) 192 dari 40 siswa (4,8) dan Decay (D) 32 dari 40 siswa (0,8). kepada ibu siswa agar lebih baik mengawasi dan memperhatikan anak saat menyikat gigi dan hendaknya ibu memilih sikat gigi yang dan tepat. Kata kunci: Pengetahuan ibu rumah tangga, def-t, DMF-T PENDAHULUAN Menurut Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 93 ayat 1 dan 2 yaitu pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan penyakit gigi yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat dan dapat juga dilakukan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, sekolah dan masyarakat. Pembangun kesehatan bertujuan meningkakan kesadaran kemauan, serta kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar berwujud derajat kesehatan yang optimal. Oleh karena itu perlu perwujudan paradigma sehat yang mengutamakan pencegahan (preventive), meningkatkan kesehatan (promotif) serta upaya peningkatan (kurative) dan pemulihan kesehatan (rehabilitative). Tubuh yang sehat tidak lepas dari keadaan rongga mulut yang sehat, kesehatan rongga mulut merupakan bagian integral dari kesehatan manusia setuhnya juga dalam meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia. Walaupun demikian banyak juga yang tidak tahu bahwa rongga mulut yang berperan penting dalam kesehatan tubuh. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 menyebutkan penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit tertinggi keenam yang dialami masyarakat. Data tersebut juga menyebutkan bahwa sebanyak 61,5% masyarakat tidak menyikat gigi sesuai dengan anjuran dan 16,6% bahkan tidak pernah menyikat giginya sama sekali. Data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004 yang dilakukan Departemen Kesehatan menyebutkan prevalensi karies (berlubang) gigi di Indonesia adalah 90,05%. Sedangkan prevalensi penyakit periodontal 96,58%. Menurut Notoatmojo (2007), pengetahuan orang tua sangat penting untuk mendasari terbentuknya perilaku yang mendukung kebersihan gigi dan mulut anak. Pengetahuan melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu untuk terbentuknya suatu tindakan. Pengetahuan juga dapat diperoleh secara alami maupun secara terencana yaitu melalui proses pendidikan. Peran orang tua, khususnya ibu sangat diperlukan didalam bimbingan, memberikan pengertian, menyediakan fasilitas kesehatan gigi dalam keluarga agar dapat memelihara kebersihan gigi dan mulut serta menghindari terbentuknya lubang gigi serta menyikat gigi. 170 Indikator karies gigi dapat berupa prevalensi karies gigi dan dapat skor dari indeks karies. Indeks karies gigi yaitu angka yang menunjukkan jumlah gigi karies seseorang atau sekelompok orang. Indeks karies gigi sulung disebut def-t (d=decayed=gigi yang karies, e=extracted=gigi yang telah tercabut dan harus dicabut, f=filled=gigi yang sudah ditambal), def-t pertama kali diperkenalkan oleh Gruebbel pada tahun 1944 (James dan Beal, 1981). Indeks karies gigi (def-t) adalah jumlah karies gigi yang masih ditambal (d, untuk gigi sulung), ditambah dengan gigi karies yang tidak dapat di tambal lagi atau gigi dicabut (e, untuk gigi sulung) dan jumlah gigi karies yang sudah ditambal (f,untuk gigi sulung). Indeks DMF-T diperkenalkan oleh klein H, Palmer CE, Knutson JW pada tahun 1938 untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap karies gigi. Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan pada gigi (DMF-T). Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena gigi molar tiga biasanya tidak tumbuh, sudah dicabut atau kurang berfungsi. Indeks ini tidak menggunakan skor; pada kolom yang tersedia langsung diisi kode D (gigi yang karies), M (gigi yang hilang) dan F (gigi yang di tumpat) dan kemudian dijumlahkan sesuai kode. Rerata DMF-T adalah jumlah seluruh nilai DMF dibagi atas jumlah orang diperiksa. Berdasarkan alasan di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian di SD Negeri 060930 titi kuning Kec. Medan johor 2014 untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang menyikat gigi terhadap def-t dan DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang menyikat gigi terhadap def-t dan DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor 2014. Manfaat Penelitian Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman bagi penulis. 1. Menambah wawasan dan pengetahuan ibu tentang menyikat gigi pada anak. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sumber pengetahuan bagi peneliti selanjutnya. METODE PENELITIAN Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriftif, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang menyikat gigi terhadap def-t dan DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah keseluruhan subjek peneliti. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah peneliti, maka penelitinya adalah penelitian populasi (arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian adalah ibu-ibu yang memiliki anak bersekolah di SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor dengan jumlah populasi adalah 421 orang. Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi, (Notoatmojo). Aplikasi subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga menelitinya merupakan penelitian populasi. Tetapi, jika jumlah subjeknya besar, penelitian dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih. Peneliti mengambil sampel 10% dari 100% populasi. Sampel pada penelitian ini berjumlah 40 orang. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s/d Desember 2014 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penelitian tentang gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang menyikat gigi terhadap def-t dan DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014, diperoleh sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi Frekuensi DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor 2014 Pengetahuan Kriteria Baik Sedang Kurang Jumlah Sampel (n) 35 5 40 persentase (%) 87,5 12,5 100 Dari tabel 2 di atas, terlihat bahwa DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930 dengan jumlah Decay (D) 32 dari 40 siswa (0,8), Missing dan Filling tidak ada ditemukan. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Gambaran Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Tentang Menyikat Gigi. Status Karies Gigi def-t Jumlah decay (d) 192 extraction (e) filling (f) - Sampel (n) 40 40 - Ratarata 4,8 40 Dari table 1 dapat dilihat bahwa ibu yang memiliki pengetahuan dengan kriteria baik ada 35 orang (87,5%), kriteria sedang ada 5 orang (12,5%) dan tidak ada 171 yang memiliki kriteria buruk pada tingkat pengetahuan ibu rumah tangga. Tabel 2. Distribusi Frekuensi def-t pada siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 Status Karies Gigi DMF-T Jumlah Sampel (n) Decay (D) 32 40 Missing (M) 40 Filling (F) 40 Rata–rata 0,8 - Dari table 2 di atas, terlihat bahwa def-t pada Siswa/i SD Negeri 060930 dengan jumlah decay (d) 192 dari 40 siswa (4,8), extraction (e) dan filling (f) tidak ada ditemukan. Pembahasan Dari table 1 dapat dilihat bahwa ibu yang memiliki pengetahuan dengan kriteria baik ada 35 orang (87,5%), kriteria sedang ada 5 orang (12,5) dan tidak ada yang memiliki kriteria buruk dalam tingkat pengetahuan ibu rumah tangga. Berdasarkan data yang diperoleh dari jawaban kuesioner 40 ibu rumah tangga (100%) yang telah mengetahui pentingnya menyikat gigi, 34 ibu rumah tangga (85%) sudah mengetahui tentang menyikat gigi dari media massa, karena banyak yang diiklankan atau dipromosikan tentang kesehatan gigi dan mulut di televisi. Menurut Ramadhan, AG (2010) berpendapat bahwa dalam menyikat gigi tidak perlu tekanan yang kuat karena sisa makanan masih memiliki kosistensi yang lunak sehingga mudah dibersihkan. 24 ibu rumah tangga (60%) yang menjawab kuesioner dengan benar waktu menyikat gigi yang baik adalah 2-5 menit. Menurut Ramadhan AG (2010) bahwa menyikat gigi dua kali sehari pagi sesudah sarapan dan malam sebelum tidur, lama menyikat gigi dua sampai lima menit. Terdapat hanya 14 ibu ibu rumah tangga (35%) yang menjawab benar tentang permukaan sikat gigi yang baik adalah bulu sikat gigi yang rata atau datar. Menurut Ramadhan,AG (2010) hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sikat gigi yang baik yaitu: 1. Bulu sikat gigi yang lembut agar tidak melukai gusi dn mudah masuk ke sela-sela gigi. 2. Kepala sikat gigi yang berukuran kecil lebih bagus, karena bisa menjangkau seluruh bagian gigi dengan baik termasuk yang paling sulit dijangkau yaitu giigi yang paling belakang. 3. Model sikat gigi, sikat gigi yang baik adalah sikat gigi yang fit atau pas dengan mulut serta terasa nyaman saat digunakan. 4. Gagang sikat gigi, pilih sikat gigi yang tidak licin agar sikat gigi tetap bisa digunakan dengan baik walaupun dengan keadaan basah. Terdapat 22 orang (55%) yang mengetahui bahwa cara menyikat gigi geraham. Menurut Ginandjar. R (2012) cara menyikat gigi yang baik adalah menggosokan sikat gigi mulai dari belakang kanan atau kiri di gerakan kearah depan dan akhirnya pada gigi belakang kanan atau kiri dan untuk gigi geraham dataran pengunyahan (oklusal) dengan gerakan maju mundur. Dari tabel 2 di atas, terlihat bahwa def-t pada siswa/i sd Negeri 060930 dengan jumlah decay (d) 192 dari 40 anak (4,8) termasuk tinggi dalam prioritas masalah, menurut WHO prioritas yang baik adalah ≤ 2. Menurut Tarigan (2012) faktor yang mempengaruhi terjadinya karies gigi yaitu: Keturunan, Ras (suku), Jenis kelamin, Usia, Makanan, Vitamin, Unsur kimia, Air ludah, Plak. Dalam penelitian ini extraction (e), filling (f) tidak ada di temukan. Dari tabel 3 di atas, terlihat bahwa DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930 dengan jumlah Decay (D) 32 dari 40 siswa (0,8) dalam prioritas masalah ini baik karena menurut WHO dalam prioritas masalah yang baik ≤ 2. Menurut Srigupta (2004) proses karies berkembang berdasarkan tiga tahap yaitu: 1. Berbagai bakteri yang ada dalam mulut membentuk asam, dari gula yang terkandung dalam makanan, yang melekat pada permukaan gigi. 2. Asam ini melarutkan email pelapis gigi berwarna putih yang menghancurkan susunan gigi. Proses ini dikenal dengan karies gigi dan menyebabkan gigi berlubang. 3. Lebih jauh lagi asam tersebut menyebabkan penetrasi karies dari Email ke gigi bagian dalam di bawah gigi kepala. Missing (M) dan Filling (F) tidak ada ditemukan dalam penelitian ini. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang menyikat gigi terhadap def-t dan DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamtan Medan Johor Tahun 2014 dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Menyikat Gigi. Baik berjumlah 35 orang (87,5%) Sedang berjumlah 5 orang (12,5%) dan Tidak ada yang memiliki kategori Kurang 2. def-t pada Siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning decay (d)=40 siswa (4,8) memiliki decay berjumlah 192, dalam prioritas masalah ini buruk karena ≥ 2. Sedangkan menurut WHO prioritas masalah yang baik ≤ 2 Dalam penelitian ini tidak ditemukan sampel extraction (e) dan filling 3. DMF-T pada Siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Decay (D)= 40 siswa/i (0,8) memiliki Decay berjumlah 32 termasuk prioritas masalah yang baik karena ≤2. 172 Dalam penelitian ini tidak ditemukan sampel Missing (M) dan Filling (F). A.5.2 Saran 1. Kepada ibu siswa/i agar mengawasi dan memperhatikan anak saat menyikat gigi dan hendanya ibu memilih sikat gigi yang tepat. 2. Kepada pihak sekolah diharapkan untuk bekerja sama dengan PUSKESMAS setempat kesehatan gigi dan mulut melaksanakan program UKGS. 3. Pada siswa/i agar menyikat gigi secara rutin. DAFTAR PUSTAKA Edwana dan Joyston, S. 1991, dasar-dasar karies, EGC , Jakarta Machfoedz, I. 2008, menjaga kesehatan gigi dan mulut anak-anak dan Ibu Hamil, fitramaya, Yogyakarta Machfoedz, I. 2009,metodologi penelitian, fitramaya, Yogyakarta 173 Notoatmodjo, S. 2007, promosi kesehatan dan ilmu perilaku, rineka cipta, Jakarta. Notoatmodjo, S.2010, metode penelitian kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta Pantauli, S dan Hamada,T. 2008, menuju gigi dan mulut sehat pencegahan dan pemeliharan, KDT, Medan Rahmadhan,AG. 2010, serba serbi kesehatan gigi dan mulut, bukune, Jakarta Srigupta,AA. 2004, perawatan gigi dan mulut, EGC, Jakarta Tarigan, S. 2012, karies gigi EGC, Jakarta http://iimzizah.wordprees.com http://yohandrie.blogspot.com./2012/04/gambaranpengetahua-murid--sd-kelas-ii.html http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-395758510795-bab%20ii.docx20new%20prop.pdf http://basmarosandi.blogspot.com/1013/07/mekanismeterjadinya-lubang-gigi.html HUBUNGAN FREKUENSI MINUM SOFT DRINK TERHADAP pH SALIVA DAN ANGKA DMF-T PADA SISWA/I KELAS XI IPA MAN 2 MODEL JALAN WILLIEM ISKANDAR NO. 7A KEC. MEDAN TEMBUNG TAHUN 2014 Intan Aritonang Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Soft drink adalah minuman ringan yang mengandung karbonasi yang dapat menurunkan pH saliva,yaitu keadaan saliva menjadi asam, dan hal ini dapat membuat gigi jadi lebih rentan menjadi karies, dan jika frekuensi minum tinggi maka keadaan saliva lebih sering dalam keadaan asam. Jenis penelitian adalah penelitian analitik dengan uji korelasi persen suatu penelitian untuk mengetahui hubungan antara frekuensi meminum soft drink terhadap pH saliva dan hubungan antara frekuensi soft drink dengan angka DMF-T. dengan cara pemeriksaan terhadap pH saliva dan angka DMF-T. penelitia ingin mengetahui pengaruh frekuensi minum soft drink terhadap pH saliva dan angka DMFT pada siswa/I kelas XI ipa Man 2 Model Medan. Dari 32 siswa yang memiliki pH 4 ada 7 orang, 5 ada 19 orang dan 6 ada 6 orang, dan frekuensi minum dalam 1 minggu 0 dalam 1 minggu 3 orang, 1 kali seminggu 3 orang, 2 kali seminggu 11 orang, 3 kali seminggu 2 orang, 4 kali seminggu 1 orang, 5 kali seminggu 6 orang , 6 kali seminggu 2 orang, 8 kali seminggu 2 0rang, 9 kali seminggu 2 orang. Penelitian tentang pengaruh mengkonsumsi soft drink terhadap pH saliva dan angka DMF-T pada siswa/I kelas XI IPA MAN 2 Model Medan adalah semakin banyak frekuensi minum soft drink maka semakin rendah angka pH saliva dan semakin tinggi frekuensi minum soft drink maka semakin rendah angka DMF-T di dukung dengan kebiasaan siswa/I yang meminum soft drink pada istirahat atau bersantai, dan tidak berkumur-kumur setelah minum soft drink tersebut. Kata kunci: Soft drink, pH Saliva, DMF-T PENDAHULUAN Pengertian kesehatan Kesehatan Dunia WHO pada Piagam Ottawa yang didedikasikan untuk promosi kesehatan pada tahun 1986.Pada saat itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebut menyatakan bahwa kesehatan bukan tujuan dari hidup melainkan sumber daya untuk hidup sehari-hari.Selain itu, kesehatan dikatakan juga sebagai suatu konsep yang positif dan terfokus pada kemampuan fisik.Kemudian pengertian kesehatan juga merupakan suatu keadaan atau kondisi dari jiwa dan raga serta juga sosial yang dapat menjadikan seseorang dengan kehidupannya yang produktif baik dari segi ekonomi maupun dari segi kehidupan sosialnya. Pepkins mendefinisikan sehat sebagai keadaan keseimbangan yang dinamis dari badan dan fungsifungsinya sebagai hasil penyesuaian yang dinamis terhadap kekuatan-kekuatan yang cenderung menggangunya.Badan seseorang bekerja secara aktif untuk mempertahankan diri agar tetap sehat sehingga kesehatan selalu harus dipertahankan. Kesehatan gigi dan mulut merupakan komponen dari kesehatan umum yang berperan penting dalam fungsi pengunyahan, fungsi bicara, dan fungsi kecantikan.Ketiga fungsi tersebut sangat penting dalam menunjang tumbuh kembang anak. Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) tahun 2007 menyebutkan bahwa 23,4% penduduk Indonesia mempunyai masalah kesehatan gigi dan mulut dan hanya 29,6% penduduk diantaranya yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga kesehatan gigi. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat masyarakat yang belum menyadari pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Penyakit gigi dan mulut yang ditemukan di masyarakat masih berkisar penyakit yang menyerang jaringan keras gigi (karies) dengan Indeks DMF-T nasional sebesar 4,85 (Dep. Kes. RI., 2008). Menurut Undang-undang RI No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Program ini dilaksanakan secara terencana, menyeluruh, 174 terpadu dan berkesinambungan, ditujukan pada kelompok tertentu yang dapat diikuti dalam suatu kurun waktu tertentu, untuk mencapai tujuan “kesehatan gigi dan mulut yang optimal” (UU RI., 2009). Konsumsi per kapita tahun 2011 hanya 2,4 liter per tahun," kata Sekretaris Jenderal ASRIM, Suroso Natakusuma, dalam konferensi pers di gedung World Trade Center, Senin, 17 Desember 2012. Ia mengatakan tingkat konsumsi tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara lain. Konsumsi di Filipina mencapai 34,1 liter per kapita dan Malaysia sebanyak 19 liter per kapita per tahun. Salah satu faktor penyebab karies Keadaan gigi Untuk tejadinya karies gigi antara lain dibutuh tuan rumah (gigi) yang rentan, lapisan keras gigi terdiri dari enamel dan dentin, di mana enamel adalah lapisan yang paling luar dan seperti diketahui karies selalu di mulai dari lapisan luar.Keadaan salivaSaliva sangat mempengaruhi proses terjadinya karies, karena saliva selalu membasahi rongga mulut yang dapat mempengaruhi rongga mulut. Dimana makin rendah pH saliva maka karies cenderung semakin tinggi. Masa remaja menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Menurut hokum di Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun dan bukan 21 tahun seperti ketentuan sebelumnya (Hurlock, 1991). Pada usia ini umum nya anak sedang duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Istilah pH merupakan symbol yang digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu larutan.Semua jenis larutan mengandung ion hidrogen dan hidroksil.Semakin banyak ion hydrogen, semakin asam larutan tersebut. Jika ion hidroksil melebihi ion hydrogen, larutan tersebut bersifat basa, namun bila jumlah kedua ion tersebut sama, larutan tersebut bersifat netral.(Purwiyatno, 2009). Saliva atau ludah adalah cairan kental yang diproduksi oleh kelenjar ludah. Kelenjar-kelenjar ludah tersebut terletak dibawah lidah, daerah otot pipi dan daerah dekat langit-langit, air ludah 99% terdiri dari air, sisanya bermacam-macam, ada zat-zat seperti kalsium (zat kapur), fosfor, natrium, magnesium dll, dan disamping itu terdapat enzim-enzim bahkan golongan darah, lemak, zat tepung, vitamin dan sebagainya.(Ircham Machfoedz,2008). Tujuan Penelitian Untuk mengetahui tentang hubungan frekuensi minum soft drink terhadap pH saliva dan angka DMF-T. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan 175 1. 2. Dapat menambah informasi tentang hubungan frekuensi minum soft drink dengan angka DMF-T. Dapat menyediakan data dan informasi bagi peneliti yang sejenis selanjutnya. HIPOTESIS Ho : Tidak ada pengaruh minum soft drink dengan perubahan pH saliva dan angka DMF-T pada siswa/I Man 2 Model Medan Ha : ada pengaruh minum soft drink dengan perubahan pH saliva dan angka DMF-T pada siswa/I Man 2 Model Medan METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian analitik dengan uji korelasi persen suatu penelitian untuk mengetahui hubungan antara frekuensi meminum soft drink terhadap pH saliva dan hubungan antara frekuensi soft drink dengan angka DMF-T. dengan cara pemeriksaan terhadap pH saliva dan angka DMF-T. penelitia ingin mengetahui pengaruh frekuensi minum soft drink terhadap pH saliva dan angka DMF-T pada siswa/I kelas XI ipa Man 2 Model Medan Jl.Williem Iskandar No 7A Kelurahan Siderejo KEC. Medan Tembung. Populasi dan Sampel penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari subjek/objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang di tetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya(Sugiyono, 2009), siswa/i kelas XI IPA MAN 2 Model Medan.Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa/I kelas XI ipa MAN 2 Model Medan sebanyak 212 siswa/i Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi atau keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mampu mewakili seluruh populasi Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan September – Desember 2014 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian ini di lakukan pada 32 orang siswa/I kelas XI Ipa MAN 2 Model Medan Tahun 2014. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara pemeriksaan subjektif dengan wawancara pada siswa, dan pemeriksaan objektif atau pemeriksaan langsung ke rongga mulut siswa. Setelah data terkumpul, dimasukan ke dalam tabel distribusi frekuensi kemudian dilakukan analisa data dengan menggunakan program SPSS. Maka di dapat hasil sebagai berikut. TABEL A.1 Distribusi Frekuensi Siswa yang Meninum Soft Drink Di MAN 2 Model Medan Tahun 2014 No Frekuensi minum soft Jumlah Persentase drink dalam 1 minggu siswa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 8 9 Jumlah 3 3 11 2 1 6 2 2 2 32 9,4 9,4 34,4 6,3 3,1 18,8 6,3 6,3 6,3 100 Dari tabel di atas dapat di lihat bahwa dari 32 orang siswa yang di teliti ada 3 orang (9,4%) yang tidak pernah meminum soft drink, 3 orang(9,4%) yang minum 1 kali seminggu, ada 11 orang (34,4%) yang meminum soft drink 2 kali dalam seminggu, 2 orang (6,3%) meminum soft drink 3 kali dalam seminggu, ada juga yang meminum soft drink 4 kali dalam seminggu sebanyak 1 orang (3,1%), 6 orang (18,8%) meminum soft drink 5 kali dalam seminggu, dan 2 orang meminum soft drink 6, 8 dan 9 kali dalam seminggu. TABEL A.2 Distribusi Frekuensi pH Siswa yang Meninum Soft Drink Di MAN 2 Model Medan Tahun 2014 No pH Jumlah Siswa Persentase 4 7 21,9 1 5 19 59,4 2 6 6 18,8 3 Jumlah 32 100 Dari tabel diatas dapat dilihat dari 32 siswa yang diteliti bahwa setelah meminum soft drink ada 7 orang (21,9%) yang memiliki pH 4, 19 orang (59,4%) memiliki pH 5, dan 6 orang (18,8%) yang memiliki pH 6. TABEL A.3 Distribusi Frekuensi DMF-T Siswa yang Meminum Soft Drink Di MAN 2 Model Medan Tahun 2014 No DMF-T Jumlah siswa Persentase 0 1 3,1 1 1 2 6,3 2 2 3 9,4 3 3 2 6,3 4 4 6 18,8 5 5 6 18,8 6 6 1 3,1 7 7 2 6,3 8 8 2 6,3 9 9 2 6,3 10 10 1 3,1 11 11 4 12,5 12 Jumlah 32 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 32 orang siswa yang diteliti ada 1 orang dengan DMF-T 0 atau bebas karies, 2 orang dengan DMF-T 1, 3 orang dengan DMF-T 2, 2 orang dengan DMF-T 3, 6 orang dengan DMF-T 4, 6 orang dengan DMF-T 5, 1 orang dengan DMF-T 6, 2 orang dengan DMF-T 7, 2 orang dengan DMF-T 8, 2 orang dengan DMF-T 9, 1 orang dengan DMF-T 10, dan 4 orang dengan DMF-T 11. Dari data diatas maka didapat korelasi antara frekuensi minum soft drink terhadap pH saliva dan korelasi anatara frekuensi terhadap angka DMF-T. TABEL A.4 Distribusi pengaruh Frekuensi pH Siswa yang Meninum Soft Drink tehadap pH Di MAN 2 Model Medan Tahun 2014 No pH Frekuensi minum Jumlah siswa dalam satu minggu 1 2 3 4 5 6 3-9 kali 2-5 kali 0-1 kali 7 19 6 32 TABEL A.5 Distribusi Frekuensi Hubungan DMF-T Ternadap Frekuensi Meminum Soft Drink Di MAN 2 Model Medan Tahun 2014 No DMF-T Jumlah siswa Frekuensi minum dalam satu minggu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jumlah 1 2 3 2 6 6 1 2 2 2 1 4 32 0 kali 0 kali 1 kali 2 kali 2-5 kali 2-5 kali 5 kali 5 kali 2-5 kali 6 kali 8 kali 8-9 kali PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada 32 orang siswa/I kelas XI IPA MAN 2 Model Medan Tahun 2014 dan dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan subjektif dan objektif atau dengan melakukan wawancara dan pemeriksaan langsung ke rongga mulut siswa. Dari tabel A.1. dapat diperoleh dari 23 orang siswa/I MAN 2 Medan terdapat 3 orang (9,4%) yang tidak pernah meminum soft drink, 3 orang(9,4%) yang minum 1 kali seminggu, ada 11 orang (34,4%) yang meminum soft drink 2 kali dalam seminggu, 2 orang 176 (6,3%) meminum soft drink 3 kali dalam seminggu, ada juga yang meminum soft drink 4 kali dalam seminggu sebanyak 1 orang (3,1%), 6 orang (18,8%) meminum soft drink 5 kali dalam seminggu, dan 2 orang meminum soft drink 6, 8 dan 9 kali dalam seminggu. Dari tabel A.2 juga dapat dilihat bahwa setelah meminum soft drink ada 7 orang (21,9%) yang memiliki pH 4, 19 orang (59,4%) memiliki pH 5, dan 6 orang (18,8%) yang memiliki pH 6. Maka semakin besar frekuensi atau sering meminum soft drink maka pH saliva semakin asam atau rendah. Dengan melalui uji korelasi maka didapat data yang signifikan, dengan korelasi yang kuat yaitu 0,91.Penurunan pH saliva ini dikarenakan minuman ringan bersifat asam dan memiliki pH 3.0 atau lebih rendah yang dapat menyebabkan demineralisasi pada jaringan keras gigi.pH saliva akan kembali pada keadaan normal dalam waktu 30 detik setelah terpapar oleh minuman ringan.Konsumsi minuman ringan pada remaja (usia 8-17 tahun) dapat menyebabkan resiko yang tinggi terhadap terjadinya karies dan erosi gigi karena enamel gigi pada anak remaja belum terlalu matang dan struktur enamelnya cenderung poreus, konsistensinya seperti kapur dan mudah dipenetrasi dan dilarutkan oleh asam yang terkandung dalam minuman ringan.Minuman ringan dapat mengakibatkan erosi gigi pada waktu kritis yaitu pada menit pertama setelah terpaparnya rongga mulut denganminuman ringan. Proses erosi yang terjadi pada gigi diakibatkan oleh pH minuman ringanyang asam. Kondisi yang tidak menguntungkan ini, akan dikompensasi oleh protein saliva yang akan mengurangi kesempatan terjadinya erosi gigi. Dari tabel A.3 ada 1 orang dengan DMF-T 0 atau bebas karies, 2 orang dengan DMF-T 1, 3 orang dengan DMF-T 2, 2 orang dengan DMF-T 3, 6 orang dengan DMF-T 4, 6 orang dengan DMF-T 5, 1 orang dengan DMF-T 6, 2 orang dengan DMF-T 7, 2 orang dengan DMF-T 8, 2 orang dengan DMF-T 9, 1 orang dengan DMF-T 10, dan 4 orang dengan DMF-T 11. Maka semakin rendah pH saliva maka semakin tinggi angka DMF-T. Derajat keasaman (pH) pada minuman-minuman bersoda seperti Pepsi Cola dan Coca Cola mencapai 3-4 (sangat asam), yang dengan pH tersebut, cukup untuk meluruhkan gigi dan tulang bersamaan dengan berjalannya waktu. Tubuh kita berhenti membangun tulang setelah usia 30 tahun, dan mulai luluh dengan persentasi 8-18% tiap tahunnya sesuai dengan tingkat keasaman yang kita konsumsi (persentasi keasaman tidak didasarkan pada rasa makanan, tetapi pada persentasi kandungan Potassium, Chlor, Magnesium dan senyawa-senyawa fosfor yang lain). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian tentang pengaruh mengkonsumsi soft drink terhadap pH saliva dan angka 177 DMF-T pada siswa/I kelas XI IPA MAN 2 Model Medan adalah semakin banyak frekuensi minum soft drink maka semakin rendah angka pH saliva dan semakin tinggi frekuensi minum soft drink maka semakin rendah angka DMF-T di dukung dengan kebiasaan siswa/I yang meminum soft drink pada istirahat atau bersantai, dan tidak berkumur-kumur setelah minum soft drink tersebut. Dari 32 orang siswa/I yang diteliti maka terdapat 6 orang siswa/I yang tidak terlalu sering mengkonsumsi soft drink dan dilihat dari persentase DMF-T yaitu 18,8% maka dikategorikan baik. Adapun kategori buruk dilihat dari 26 siswa/I yang sering meminum soft drink dengan persentase DMF-T 81,3% . Saran Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan maka peneliti memberikan saran sebagai berikut : 1. Kepada siswa/I diharapkan dapat mengurangi minum coca cola agar tingkat terjadinya karies itu lebih sedikit. 2. Kepada siswa/I diharapkan agar setelah meminum coca cola agar berkumur-kumur atau banyak minum air putih, dan disarankan agar menganti coca cola dengan minuman ringan lain yang tidak mengandung karbonasi. 3. Kepada siswa/I di harapkan melakukan kontrol rutin ke balai pengobatan gigi DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad., 2004. Psikologi Remaja.Bumi Aksara.Jakarta. KIDD, Edwina A. M., 1991. Dasar – dasar karies .EGC. Jakarta. Hariyadi,Purwiyatno., 2009. Memproduksi pangan yang aman. Dian rakyat.Jakarta Sukarjo., 2004.kimia fisika.Rineka cipta. Jakarta Halim, Deddy Kurniawan., 2008. Psikologi Lingkungan Perkotaan.Bumi Aksara.Jakarta. Machfoedz, ircham., 2008. Menjaga kesehatan gigi dan mulut anak – anak dan ibu hamil .Fitramaya.Yogyakarta. Sastrohamidjojo, Hardjono., 2010.Kimia Dasar.Gadjah mada. Yogyakarta. http://www.medicalera.com/3/16355?thread=16355 http://m13ke.wordpress.com/2008/11/25/pengertiandan-fungsi-saliva/ http://klikdokter.com/minuman-mengandung-kafeinlebih-disukai-remaja# http://www.tempo.com/Konsumsi-MinumanBerkarbonasi-di-Indonesia-Rendah PENGARUH KOMUNIKASI TERAUPETIK DENGAN INTENSITAS NYERI PERSALINAN KALA I FASE LATEN DI KLINIK DELIMA MEDAN TAHUN 2014 Dina Indarsita, Sri Utami, Rina Sari Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Persalinan suatu proses membuka dan menipisnya serviks serta terjadinya kontraksi uterus sehingga menyebabkan nyeri pada proses persalinan. Nyeri pada persalinan merupakan suatu proses yang fisiologis tetapi menimbulkan ketakutan dan kecemasan yang dapat menganggu kelancaran proses persalinan. Manajemen nyeri pada persalinan dapat diterapkan secara nonfarmakologis, salah satunya adalah komunikasi terapeutik yang bertujuan untuk membantu mengurangi nyeri, kecemasan, dan waktu persalinan lebih pendek secara bermakna. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komunikasi terapeutik dengan intensitas nyeri persalinan kala I fase laten di klinik Delima Medan tahun 2014. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasyeksperimen yang bersifat one group pretest-postest. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ibu inpartu kala I fase laten sebanyak 42 orang dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara accidental sampling. Analisis data menggunakan uji t-dependent. Dari Hasil penelitian diperoleh data bahwa mayoritas berusia 20-35 tahun sebanyak 33 responden (78,6%), paritas primigravida sebanyak 15 responden (35,7%), pendidikan SMA sebanyak 21 responden (50,0%), dan pekerjaan IRT sebanyak 23 responden (54,8%). Rata-rata intensitas nyeri sebelum dilakukan komunikasi terapeutik adalah 2,71 dengan standart deviasi 0,673, dan rata-rata intensitas nyeri sesudah dilakukan komunikasi 2,05 dengan standart deviasi 0,764. Hasil uji t-dependent menunjukkan ada pengaruh komunikasi teraupetik yang diberikan terhadap intensitas nyeri persalinan pada ibu inpartu kala I fase laten dengan nilai p value = 0,000. Penelitian ini membuktikan bahwa komunikasi terapeutik yang dilakukan dapat mengurangi intensitas nyeri persalinan pada ibu inpartu kala I fase laten. Oleh karena itu diharapkan agar bidan mampu menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik dan benar sebagai salah satu intervensi untuk mengurangi intensitas nyeri dalam asuhan ibu bersalin normal. Kata kunci: Komunikasi Terapeutik, Nyeri Persalinan, Kala I Fase Laten PENDAHULUAN Latar Belakang Persalinan sering kali menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian perempuan hamil. Kekhawatiran terhadap rasa nyeri yang akan mereka alami saat melahirkan dan bagaimana mereka akan bereaksi untuk mengatasi nyeri tersebut. Untuk itu menjadi kewajiban seorang bidan untuk membantu ibu mengatasi rasa tidak nyaman dalam persalinan (Farer, 1999, dalam Adriana, 2012, hal. 1). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan diketahui jumlah ibu bersalin pada tahun 2011 sebanyak 51,015 orang (95,23%), tahun 2012 sebanyak 44,757 orang (84,18%) dan tahun 2013 sebanyak 33,354 orang (62,1%). Setiap tahun lebih dari 200 juta ibu bersalin, di mana didapatkan kelahiran berakhir dengan bayi hidup pada ibu yang sehat. Walaupun demikian pada beberapa kasus, kelahiran bukanlah peristiwa membahagiakan tetapi menjadi suatu masa penuh dengan rasa nyeri, rasa takut, penderitaan bahkan kematian (WHO, 2003, dalam Febrina, 2011, hal. 2). Association for the study of pain mendefinisikan bahwa nyeri dalam persalinan merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan jaringan secara aktual atau potensional yang menunjukkan adanya nyeri protektif bagi tubuh yang merupakan mekanisme protektif bagi tubuh dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri tersebut (Judha, 2012, hal.73). Nyeri adalah proses alamiah dalam persalinan. Apabila tidak diatasi dengan baik akan menimbulkan masalah lain. Rasa takut dan cemas yang dirasakan ibu dapat menganggu kelancaran proses persalinan. Manajemen nyeri persalinan dapat diterapkan secara farmakologis dan nonfarmakologis. Pendekatan secara non farmakologis tanpa penggunaan obat-obatan, sedangkan secara farmakologis melalui penggunaan obat-obatan. Manajemen nyeri non farmakologis lebih aman, sederhana dan tidak menimbulkan efek 178 merugikan serta mengacu kepada asuhan sayang ibu, dibandingkan dengan metode farmakologi yang berpotensi mempunyai efek yang merugikan (Reeder, 2011, hal. 654). Rasa nyeri persalinan dapat dikurangi, baik itu menggunakan metode farmakologi maupun non farmakologi yang terkait dengan tiga tujuan dasar pengurangan nyeri dalam persalinan yaitu mengurangi perasaan nyeri dan tegang, sementara pasien dalam keadaan terjaga seperti yang dikehendakinya menjaga agar pasien dan janinnya sedapat mungkin tetap terbebas dari efek depresif yang ditimbulkan oeh obat tanpa menganggu kontraksi otot rahim (Farer, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Niven dan Gijsbers (1984) bertujuan untuk melihat perbandingan intensitas nyeri persalinan dengan nyeri lain diperoleh hasil bahwa nyeri persalinan melebihi sindrom nyeri lain yaitu, 88% dari 73 penderita nyeri tungkai menerima intervensi farmakologis, 76% dari sampel (n=200) mengalami nyeri punggung selama kehamilan dengan insiden puncak pada usia kehamilan 24-28 minggu yang mengganggu aktivitas normal ibu, maka nyeri harus diberi intervensi metode pengendali nyeri demi kenyamanan dan keringanan si penderita (Mander, 2003, hal. 140). Penelitian Indrawati (2011), di BPS Uut Maschon yang bertujuan untuk melihat metode nonfarmakologi yang digunakan bidan dalam mengurangi intensitas nyeri persalinan dan efeknya dengan 4 metode nonfarmakologi yang dilakukan pada 30 orang sampel diperolah hasil bahwa teknik pernapasan yaitu efek yang ditimbulkannya adalah nyeri ringan sebesar 20 (66,7%) orang. Teknik pengaturan posisi yaitu efek yang ditimbulkan nyeri sedang sebesar 17 ( 56,7%) orang, selanjutnya teknik message yaitu efek yang ditimbulkan nyeri ringan sebesar 25 (83,3%) orang. Teknik konseling dengan efek yang ditimbulkan yaitu sebesar 17 (56,7%) orang mengalami nyeri ringan. Dalam menghadapi proses persalinan tidak semua pasien bisa dengan tenang menghadapinya, oleh karena itu bidan harus bisa tanggap dalam memberikan asuhannya, untuk itu komunikasi sangat dibutuhkan. Komunikasi dalam kebidanan diketahui mengandung nilai pengobatan atau teraupetik yang tujuannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien, teknik komunikasi ini dikenal dengan komunikasi teraupetik. Komunikasi Teraupetik didefinisikan sebagai komunikasi yang direncanakan secara sadar, dimana tujuan utamanya adalah untuk kesembuhan pasien. Komunikasi teraupetik memiliki peranan yang penting dalam membantu seorang klien dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan memiliki keterampilan dalam berkomunikasi teraupetik, bidan diharapkan akan lebih mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien sehingga akan lebih efektif dalam mencapai tujuan asuhan kebidanan yang diterapkan (Taufik, 2010, hal. 25). Komunikasi teraupetik dapat memberikan dampak teraupetik dengan mempercepat proses kesembuhan pasien. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam komunikasi dengan ibu bersalin antara lain : menjalin hubungan yang mengenakkan dengan 179 klien (rapport), hadir mendampingi klien selama persalinan, mendengarkan keluhan-keluhan pesien selama proses persalinan, memberikan sentuhan dalam pendampingan klien, memberikan informasi tentang kemajuan persalinan, memandu persalinan, mengadakan kontak fisik dengan pasien, memberi pujian kepada pasien atas usaha yang telah dilakukannya dan memberi ucapan selamat atas kelahiran bayinya (Wulandari, 2009, dalam Adriana, 2012, hal. 3). Pentingnya komunikasi terapeutik dalam menurunkan rasa nyeri yang ditimbulkan oleh persalinan sangat diperlukan, oleh karena itu bidan dalam persalinan harus bisa membantu menimbulkan rasa percaya diri, karena bila klien gugup dalam persalinannya maka timbul rasa takut sehingga rasa nyeri akan semakin bertambah (Kartono, 1992). Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh komunikasi terapeutik dengan intensitas nyeri persalinan kala 1 fase laten di Klinik Delima Medan tahun 2014. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh komunikasi teraupetik dengan intensitas nyeri persalinan kala I fase laten di tahun 2014. 2. Untuk mengetahui intensitas nyeri sebelum dilakukan komunikasi teraupetik pada ibu inpartu kala I fase laten. 3. Untuk mengetahui intensitas nyeri sesudah dilakukan komunikasi teraupetik pada ibu inpartu kala I fase laten. Manfaat Penelitian 1. Sebagai salah satu intervensi untuk mengurangi intensitas nyeri ibu selama proses persalinan. 2. Sebagai referensi dan memberikan informasi tambahan sehingga dapat meningkatkan pengetahuan tentang komunikasi terapeutik dan nyeri persalinan. METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasy- eksperimen yang bersifat one group pretest-postest yaitu intervensi untuk mengidentifikasi pengaruh komunikasi terapeutik dengan nyeri persalinan kala I fase laten pada ibu inpartu sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik. Bentuk desain ini dapat digambarkan sebagai berikut : Skema 1 Desain Penelitian Pretest Perlakuan Postest 01 X 02 Keterangan : 01 : Pretest dilakukan pada kelompok intervensi yang mengalami nyeri persalinan sebelum dilakukan komuniksai terapeutik 02 X : Postest dilakukan pada kelompok intervensi yang mengalami nyeri persalinan sesudah dilakukan komuniksai terapeutik : Intervensi (tindakan komunikasi terapeutik) Populasi dan Sampel Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu inpartu kala I fase laten yang fisiologis yang mempunyai keluhan nyeri persalinan dengan partus pervaginam di klinik bersalin Delima Medan. Dari survei pendahuluan, data ibu yang melahirkan di klinik bersalin Delima Medan dari Februari sampai Mei tahun 2014 sebanyak 56 orang.ibu bersalin yang berada di klinik Delima Medan. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang dianggap mewakili seluruh populasi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara accidental sampling yaitu sampel yang dipilih hanya berdasarkan ketersediaannya yaitu sampel yang berada di tempat yang tepat dan di waktu yang tepat sesuai dengan tujuan peneliti. Pengambilan sampel sesuai dengan criteria inklusi yang telah ditentukan oleh peneliti. Kriteria inklusinya meliputi: a. Ibu inpartu tanpa perlakuan induksi b. Ibu inpartu dengan fase laten (0 - 3cm) c. Ibu inpartu dengan dukungan suami d. Ibu inpartu presentasi kepala dan tanpa penyulit e. Ibu inpartu dan bersedia menjadi responden. Menentukan sampel dengan menggunakan ketetapan absolut dan menggunakan rumus : N n= 1 + N (d)2 Keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi d = Ketetapan relatif yang ditetapkan oleh peneliti (0,05) Diketahui : N = 56 𝑁 1 + 𝑁 (𝑑)2 56 𝑛= 1 + 56(0,05)2 56 𝑛= 1,14 n = 49 𝑛= dari rumus diatas maka di peroleh besar jumlah sampel dalam penelitiann ini adalah sebanyak 49 orang. Tempat dan waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Delima Medan. mulai bulan Februari - Mei Tahun 2014 Analisis Data Dalam melakukan analisis data, setelah semua data terkumpul, diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi Selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat. 1. Univariat Data yang bersifat kategorik dicari frekuensi dan persentasenya yakni data demografi ibu inpartu meliputi usia, status kehamilan (gravida), pendidikan, dan pekerjaan. Sedangkan data yang bersifat numerik dicari mean dan standart deviasinya yakni skala nyeri persalinan melalui statistik deskriptif. Hasil data dibuat dalam bentuk tabel. 2. Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk menguji pengaruh komunikasi terapeutik dengan nyeri persalinan kala I fase laten (0-3cm). Dalam menganalisis data secara bivariat, pengujian data dilakukan dengan uji statistik uji t-dependen yaitu uji statistik Paired sample t-test untuk mengukur skala nyeri sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi teraupetik pada kelompok intervensi dan diperoleh mean perbedaan sebelum dengan sesudah pada kelompok intervensi. Taraf signifikan (α = 0.05), pedoman dalam menerima hipotesis : jika data probabilitas (p) < 0.05 maka H0 ditolak dan apabila nilai (p) > 0,05 maka H0 gagal ditolak. Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan FebruariMei 2014 di Klinik Delima Medan. Data diperoleh dengan mengkaji intensitas nyeri, dengan jumlah responden adalah sebanyak 42 orang. Berdasarkan penelitian yang berjudul “Pengaruh Komunikasi Teraupetik Dengan Intensitas Nyeri Persalinan Kala I Fase Laten di Klinik Delima Medan Tahun 2014” disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan dijelaskan sesuai dengan tabel sebagai berikut : 1. a. Analisis Univariat Karakteristik Responden Tabel .1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Data Demografi Ibu Inpartu di Klinik Delima Medan Tahun 2014 Karakteristik Persentase (%) 1 Umur <20 tahun 20-35 tahun >35 tahun Jumlah 2 Gravida Primi gravida Secundi gravida Multi gravida Grande gravida Jumlah 3 Pendidikan SD SMP SMA PT Jumlah 4 Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Total Frekuensi 2 33 7 42 4,8 78,6 16,7 100 15 10 14 3 42 35,7 23,8 33,3 7,1 100 6 13 21 2 42 14,3 31,0 50,0 4,8 100 19 23 42 54,8 45,2 100 180 Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa usia responden mayoritas berada pada rentang usia 20-35 tahun sebanyak 33 orang (78,6%), status kehamilan responden mayoritas primi gravida sebanyak 15 orang (35,7%), tingkat pendidikan responden mayoritas SMA sebanyak 21 orang (50,0%), dan pekerjaan responden mayoritas tidak bekerja sebanyak 23 orang (54,8%). b. Intensitas Nyeri Responden Sebelum diberikan Intervensi Tabel .2 Distribusi Responden Berdasarkan Intensitas Nyeri Sebelum diberikan Intervensi Kepada Ibu Inpartu kala I Fase Laten di Klinik Delima Tahun 2014 Karakteristik Frekuensi % Sebelum diberikan komunikasi teraupetik Tidak ada nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang 17 40,5 Nyeri berat 20 47,6 Nyeri sangat berat 5 11,9 Jumlah 42 100 Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa intensitas nyeri responden sebelum dilakukan komunikasi teraupetik mayoritas berada pada tingkatan nyeri berat sebanyak 20 orang (47,6). c. Intensitas Nyeri Responden Sesudah diberikan Intervensi Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Intensitas Nyeri Sesudah diberikan Intervensi Kepada Ibu Inpartu Kala I Fase Laten di Klinik Delima Tahun 2014 Karakteristik Frekuensi % Sesudah diberikan komunikasi teraupetik Tidak ada nyeri Nyeri ringan 9 21,4 Nyeri sedang 24 57,1 Nyeri berat 7 16,7 Nyeri sangat berat 2 4,8 Jumlah 42 100 Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa intensitas nyeri responden sesudah dilakukan komunikasi teraupetik mayoritas berada pada tingkatan nyeri sedang sebanyak 24 orang (57,1) 2. Analisis Bivariat Dalam menganalisis data secara bivariat, pengujian data dilakukan dengan uji statistik uji tdependent paired t-test yaitu mengetahui adanya pengaruh komunikasi teraupetuk dengan intensitas nyeri persalinan ibu inpartu kala I fase laten. 181 a. Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan Intensitas Nyeri Tabel.5 Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan Intensitas Nyeri Ibu Inpartu Kala I Fase Laten di Klinik Delima Medan Tahun 2014 Variabel Mean Pvalue N Intensitas nyeri sesudah dilakukan komunikasi 2,05 0,000 42 teraupetik Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa dengan uji paired sample t-test diperoleh nilai p value 0,000 maka didapatkan p < α (0,000 < 0,05) sehingga Ha dalam penelitian ini diterima yang berarti ada pengaruh komunikasi terapeutik terhadap intensitas nyeri persalinan kala I fase laten di klinik Delima Medan. Pembahasan 1. Intensitas Nyeri ibu inpartu sebelum diberikan intervensi di Klinik Delima Medan Berdasarkan tabel 2 intensitas nyeri ibu inpartu sebelum diberikan intervensi di Klinik Delima Medan adalah ada 20 responden (47,6) yang mengatakan nyeri berada pada tingkatan nyeri berat. Hal ini dikarenakan bahwa responden yang mengatakan nyeri berat memiliki rasa ketakutan dan kecemasan yang tinggi terhadap proses persalinan yang akan dilaluinya, serta kurangnya dukungan yang diberikan terhadap ibu. Ibu yang akan bersalin biasanya mempunyai emosi berlebihan yang dapat menimbulkan suatu kecemasan. Kecemasan yang timbul dapat disebabkan karena dua faktor yaitu antara kesenangan dan rasa nyeri yang sedang dirasakan. Salah satu bentuk kecemasannya adalah berupa ansietas primer yang timbul karena tauma kelahiran (birth trauma), Salah satu bentuk kecemasan adalah freefloating anxiety yaitu suatu keadaan cemas dimana individu selalu memikirkan sesuatu hal yang buruk yang mungkin terjadi. Akibatnya ia akan selalu berada dalam keadaan cemas karena takut menghadapinya (Varney, 2001). Nyeri persalinan menjadi lebih ringan seiring dengan makin sering dan efektifnya pengendalian nyeri. Bonica 1990 mengatakan bahwa menyiagakan wanita terhadap persalinan yang akan dihadapi akan dapat mengurangi nyeri. Ketegangan emosi akibat rasa cemas sampai rasa takut dapat memperberat presepsi nyeri selama persalinan. Nyeri atau kemungkinan nyeri dapat menginduksi ketakutan sehingga timbul kecemasan yang berakhir dengan kepanikan, keletihan dan kurang tidur yang dapat memperberat nyeri (metode dick-read). Menurut teori bobak (2000) bahwa pengalaman melahirkan sebelumnya juga dapat mempengaruhi respon ibu terhadap nyeri. Bagi ibu yang belum mempunyai pengalaman melahirkan atau Ibu yang pertama melahirkan akan merasa cemas dan takut dalam menghadapi persalinan. Stres atau rasa takut secara fisiologis dapat menyebabkan kontraksi uterus menjadi terasa semakin nyeri dan sakit dirasakan. Maryunani (2010) menjelaskan bahwa kecemasan yang dialami oleh ibu pada awal persalinan berhubungan dengan berbagai macam faktor yang terkait dengan proses persalinan. Dimana cara-cara untuk mengurangi kecemasan antara lain: memberikan informasi untuk mengetahui ketakutan yang jelas, membuat hubungan kerjasama dengan pendamping, menjadi pendengar yang baik, menunjukkan sikap simpatik, membantu dan komunikatif terhadap ibu yang akan bersalin. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrawati (2011) di BPS Uut Maschon, juga melakukan penelitian yang serupa tentang metode konseling dalam pengurangan rasa nyeri persalinan dan didapatkan hasil dari 30 (100%) responden, ada sebanyak 17 (56,7) responden mengalami nyeri ringan. 2. Intensitas Nyeri ibu inpartu sesudah diberikan intervensi di Klinik Delima Medan Berdasarkan table 3 intensitas nyeri ibu inpartu sesudah diberikan intervensi di Klinik Delima Medan adalah ada 24 responden (57,1) yang mengatakan nyeri berada pada tingkatan nyeri sedang. Hal ini dikarenakan bahwa responden yang mengatakan nyeri sedang sudah lebih siap secara psikologis dalam menghadapi proses persalinan sehingga ibu lebih percaya diri dan tidak takut dalam menghadapi proses persalinannya. Sesuai yang dikemukan Fraklin (2000), bahwa jika ibu diperhatikan dan diberi dukungan selama persalinan dan kelahiran bayi serta mengetahui dengan baik mengenai proses persalinan dan asuhan yang akan mereka terima, maka akan mendapatkan rasa aman dan keluaran yang baik. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam melakukan komunikasi antara lain: menjalin hubungan yang mengenakkan dengan klien, hadir mendampingi klien, mendengarkan keluhan-keluhan klien, memberikan sentuhan dalam pendampingan klien, memberikan informasi kepada klien, mengadakan kontak fisik dengan klien, memberi pujian kepada klien atas usaha yang telah dilakukannya. Pentingnya komunikasi terapeutik dalam menurunkan rasa nyeri yang ditimbulkan oleh persalinan sangat diperlukan, oleh karena itu bidan dalam persalinan harus bisa membantu menimbulkan rasa percaya diri, karena bila klien itu sendiri merasa gugup dalam menghadapi persalinannya baik fisik ataupun mental belum siap maka timbul rasa ketakutan sehingga rasa nyeri akan semakin bertambah (Kartono, 1992). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Adriana (2012) terkait dengan pengaruh komunikasi teraupetik bidan terhadap intensitas nyeri persalinan, didapatkan hasil bahwa setelah diberikan komunikasi teraupetik terjadi perubahan atau penurunan tingkat nyeri yang sangat berarti dimana p value= 0,000 yang berarti (P<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh signifikan dalam menurunkan nyeri persalinan. yang 3. Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan Intensitas Nyeri Pesalinan Kala I Fase Laten di klinik Delima Medan Pada penelitian ini berdasarkan uji statistik tdependent pada tingkat signifikan α = 0,05 (95%), ), maka didapatkan p < α (0,000 < 0,05). Berarti Hο ditolak, maka secara statistik menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara komunikasi teraupetik dengan pengurangan intensitas nyeri persalinan pada ibu inpartu kala I fase laten di klinik Delima Medan. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yusnita (2012), juga melakukan penelitian yang serupa tentang komunikasi teraupetik dan diperoleh hasil ada pengaruh komunikasi teraupetik terhadap nyeri persalinan pada ibu inpartu diruang kebidanan dan bersalin Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Pidie berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p < 0,05 (0.004) sehingga hipotesa alternatif dalam penelitian ini diterima. Pengaruh yang signifikan ini dipengaruhi banyak hal antara lain bersangkutan dengan Sikap, perilaku dan komunikasi bidan dalam berinteraksi dianggap berpengaruh terhadap kondisi yang dialami ibu. Penjelasan dari bidan dalam berinteraksi akan menurunkan ketakutan dan stres psikis ibu. Komunikasi merupakan salah satu bentuk kewajiban penolong terhadap hak pasien untuk memperoleh informasi objektif dan lengkap tentang apa yang dialaminya. Komunikasi yang baik akan sangat membantu terbinanya hubungan antar manusia yang serasi diantara pasien dan penolong, keserasian hubungan sangat diperlukan dalam memperoleh rasa saling percaya (Safuddin, 2004 dalam yusnita, 2012.Hal.1). Menurut Suryani (2008) komunikasi terapeutik pada ibu melahirkan merupakan pemberian bantuan pada ibu yang akan melahirkan dengan kegiatan bimbingan proses persalinan. Komunikasi dilaksanakan oleh bidan dengan memberikan penguatan kepada ibu bersalin. Menurut beberapa teori yang ada bahwa nyeri persalinan yang timbul karena adanya rasa kecemasan, ketakutan dan kepanikan, yang dapat memperberat nyeri persalinan akan mampu diatasi dengan pemberian komunikasi terapeutik, dimana terlihat bahwa tujuan dari komunikasi terapeutik itu sendiri adalah mengurangi beban pikiran rasa takut dan cemas yang dihadapi oleh pasien, mengurangi keraguan yang ada pada diri sendiri dan mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri (Damaiyanti, 2008). Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian disini adalah pada pengukuran intensitas nyeri tidak sama pada setiap responden, ini disebabkan kedatangan pasien yang berbeda, dimana pasien datang pembukaannya tidak semua sama antara responden yang satu dan responden yang lainnya. Dan keterbatasan lainnya adalah pada responden yang primigravida sering terjadi perlakuan komunikasi 182 yang terputus-putus. Hal ini dikarenakan pada primigravida banyak responden yang minta untuk pulang kerumahnya dulu dan akan kembali keklinik jika nyeri yang ia rasakan sudah sangat tak terhanakan lagi Kesimpulan 1. Ada pengaruh yang signifikan terhadap intensitas nyeri sesudah dilakukan komunikasi teraupetik dengan α = 0,05 (95%) Nilai p (0,000), maka didapatkan p < α (0,000 < 0,05) 2. Ada 20 responden (47,6) yang mengatakan mengalami nyeri berat sebelum dilakukan intervensi komunikasi teraupetik 3. Ada 24 responden (57,1) yang mengatakan mengalami nyeri sedang sesudah dilakukan intervensi komunikasi teraupetik Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas maka peneliti memberikan sedikit saran berdasarkan pemikiran serta pengetahuan sederhana sebagai berikut : 1. Diharapkan agar petugas kesehatan di klinik maupun rumah sakit bersalin untuk dapat meningkatkan pelayanan kesehatan pada ibu bersalin dengan penerapan metode komunikasi terapeutik yang baik sebagai salah satu intervensi dalam mengurangi nyeri persalinan 2. Diharapkan agar institusi pendidikan untuk lebih meningkatkan perkembangan ilmu kebidanan sehingga dapat meningkatakn pengetahuan peserta didik terutama mengenai asuhan pada ibu dalam masa persalinan 3. Diharapkan agar peneliti selanjutnya untuk dapat lebih memperluas penelitian ini guna mendapatkan hasil yang dapat memberikan pembaharuan dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dalam masa persalinan. DAFTAR PUSTAKA Ancheta. R, & Simkin. P. (2005). Buku Saku Persalinan. Jakarta : EGC Bangun, Adriana. (2012). Pengaruh Komunikasi Teraupetik Terhadapa Intensitas Nyeri Persalinan Kala I Fase aktif di Klinik Santi Medan. Skripsi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Diambil pada tanggal 18 November 2013 http://www.repository.usu.ac.id Bare, B. G., dan Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC 183 Bari Saifudin, A (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Sarwono Prawirohardjo Bobak, I. M., at all. (2004). Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC Farrer, Hellen. (2001). Perawatan Maternitas (Terjemahan). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Indrawati. (2011). Metode Konseling Dalam Pengurangan Rasa Nyeri Persalinan di BPS Uut Maschon. Diambil pada tanggal 18 November 2013 dari http://www.dinamikakebidanan.com Indrawati. T, Sujianto. U, & Uripni. C. L. (2002). Komunikasi Kebidanan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Jones – Lewellyn, D. (2002). Dasar-Dasar Obstetri Dan Ginekologi Edisi 6 (Terjemahan). Jakarta : Hiprokates. Leveno, K., J. (2009). Obstetri Williams. Ed-21. Jakarta : EGC Mander, R. (2003). Nyeri Persalinan. Jakarta : EGC Meiliasari, M., dan Danuatmaja, B. (2004). Persalinan Normal Tanpa Rasa Sakit. Jakarta : Puspa Swara Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : SalembaMedika Prawirohardjo, S. (2005). Ilmu Kebidanan. Yogyakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo Purwanto, H (1994). Komunikasi Untuk Perawat. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Administrasi. Jakarta : Cv Alfabeta Suryani. (2005). Komunikasi Terapeutik Teori dan Praktek. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Varney, H. (2002). Buku Saku Bidan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Walsh, L. V. (2007). Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta : EGC Yusnita, R. (2012). Pengaruh komunikasi teurapetik bidan terhadap nyeri persalinan pada ibu bersalin di ruang kebidanan dan bersalin Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Pidie. Diambil pada tanggal 18 November 2013 dari http://www. Journal.cpp//indexd/html Yuswanto. T. J. A, dan Yulifah. R. (2009) Komunikasi dan Konseling dalam Kebidanan. Jakarta : Penerbit Salemba Medik. UJI EFEK PENYEMBUHAN LUKA SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (VERNONIA AMYGDALINA.DEL) PADA MENCIT JANTAN Ernawaty, Tri Bintarti, Maya Handayani Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Medan [email protected] ` Abstract African leaf (Vernonia amygdalina) is one of the potent plants as antidiabetic, antibacterial, antifungal, analgesic and antioxidant. The aims of this study was to determine the wound healing effect of ethanolic extract of african leaves gel and obtain an effective formula. It was an experimental research. Injuries were made by cutting the back of mice’s skin with diameter ± 1 cm. Fourty eight mice were divided into 8 groups, one group as control, EEDA 1%, EEDA 3% , EEDA 5%, EEDA 7%, EEDA 9% , Bioplacenton as positif control and base gel group. The observation was done by measured the diameter of wound visually. The mice declared cure and marked growth of new skin and hair around the wound. At the end of the test performed histophatological test. This study concluded the ethanol extract of Africa leaves have wound healing effect in mice and EEDA 9% have wound healing effect at 15th daya. Keywords: ethanol extract of africa leaves, wound METODE PENELITIAN Daun afrika dikumpulkan dari lingkungan Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, dan diidentifikasi di Herbarium Medanense (MEDA,) Universitas Sumatera Utara. Formula Gel Ekstrak Etanol Daun Afrika EEDA 1% 1g 200 mg 180 mg Daun Afrika (Vernonia amygdalina) Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi: Angiospermae Klas : Dicotyledoneae Ordo : Asteraceae Genus : Vernonia Spesies : Vernonia amygdalina Del. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan efek penyembuhan luka gel ekstrak etanol daun afrika dan menetukan formula efektif gel. EEDA Na CMC Metyl Paraben Air Suling 2 mL Glyserin ad 100 Formula EEDA 3% EEDA 5% 3g 5g 200 mg 200 mg 180 mg 180 mg EEDA 7% 7g 200 mg 180 mg EEDA 9% 9g 200 mg 180 mg 2 mL 100 2 mL 100 2 mL 100 2 mL 100 EEDA = Ekstrak Etanol Daun Afrika Evaluasi Gel. Uji organoleptik, homogenitas dan pH selama 35 hari (Hari ke 0, 7, 14, 28 dan 35). Uji Penyembuhan Luka Luka dibuat dengan menyayat punggung belakang mencit dengan diameter luka ± 1 cm. Empat puluh delapan mencit dibagi menjadi 8 kelompok, satu sebagai kelompok kontrol, EEDA 1%, EEDA 3% , EEDA 5%, EEDA 7%, EEDA 9% , Bioplacenton sebagai kontrol positif dan kelompok dengan dasar gel. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter luka secara visual, tingkat kesembuhan dan pertumbuhan rambut disekitar luka. Pada akhir pengujian, dilakukan uji histopatologi.. 184 HASIL Tabel 1. Uji Organoleptis Gel Ektrak Etanol Daun Afrika Pengamatan Formula Bentuk F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 Warna Bau 0 - Hari ke14 - 7 - 28 - 35 - Tabel 2. Uji Homogenitas Gel Ekstrak Etanol Daun Afrika Pengamatan Formula Homogenitas F1 F2 F3 F4 F5 F6 0 - Hari ke14 - 7 - 28 - 35 - Tabel 3. Uji pH Gel Ekstrak Etanol Daun Afrika Formula pH F1 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 F2 F3 F4 F5 F6 185 0 6,2 6,3 6,3 6,2 6,2 6,3 6,2 6,3 6,3 6,2 6,3 6,2 6,3 6,3 6,3 6,2 6,3 6,3 7 6,2 6,2 6,3 6,2 6,2 6,2 6,1 6,1 6,1 6,2 6,2 6,2 6,3 6,3 6,3 6,2 6,3 6,2 Hari ke14 6,2 6,1 6,1 6,2 6,1 6,1 6,2 6,1 6,1 6,1 6,1 6,1 6,2 6,1 6,2 6,2 6,2 6,2 28 6,2 6,2 6,1 6,1 6,1 6,0 6,0 6,1 6,0 6,1 6,1 6,2 6,1 6,1 6,1 6,1 6,1 6,1 35 6,1 6,2 6,1 6,1 6,0 6,1 6,0 6,0 6,1 6,0 6,1 6,1 6,1 6,2 6,1 6,0 6,1 6,1 Tabel 4. Data Diameter Penyembuhan Luka No Group Diameter rata-rata penyembuhan luka (mm) ± SD pada hari Diameter rata-rata (N=6) kepenyembuhan luka (mm) ± SD 1 3 5 7 14 1 Blanko 8,67 8,15 8,14 7,45 6,71 2,32 ± ± ± ± ± ± 1,24 1,18 0,34 0,91 1,32 0,80 2 Dasar Gel 8,89 8,66 8,52 7,32 6,58 2,04 ± ± ± ± ± ± 1,26 1,48 0,86 1,13 0,51 0,42 3 EEDA Gel 8,88 8,53 7,63 7,13 6,43 1,69 1% ± ± ± ± ± ± 1,13 1,16 0,73 0,95 0,40 0,54 4 EEDA Gel 9,37 9,06 7,14 6,97 6,28 1,67 3% ± ± ± ± ± ± 0,84 0,94 0,79 0,54 0,96 0,42 5 EEDA Gel 8,54 8,05 6,98 6,35 5,85 1,36 5% ± ± ± ± ± ± 1,17 1,21 0,41 0,40 1,22 0,78 6 EEDA Gel 8,39 8,02 6,13 5,86 5,21 1,21 7% ± ± ± ± ± ± 1,12 1,19 0,48 1,37 1,04 0,38 7 EEDA Gel 8,81 8,46 5,73 4,75 4,21 0,39 9% ± ± ± ± ± ± 0,80 0,67 0,57 0,56 0,99 0,45 8 Bioplacenton® 9,10 8,44 5,67 4,95 4,11 0,60 ± ± ± ± ± ± 0,79 0,75 0,55 0,55 0,61 0,49 Hari 5 Hari 1 Hari 3 Hari 5 Hari 7 Hari 7 Hari 14 Hari 14 Gambar 1. Diameter1. Penyembuhan Luka Tanpa Gel Gambar Diameter Penyembuhan Luka Tanpa Gel Gambar 2. Diameter Penyembuhan Luka dengan EEDA 9 % Gambar 2. Diameter Penyembuhan Luka dengan EEDA 9 % 186 Hari 1 Hari 5 Hari 3 Hari 7 Hari 14 Gambar 3. Diameter PenyembuhanLuka dengan Bioplacenton SIMPULAN Penelelitian menunjukan bahwa ekstrak etanol daun afrika mempunyai efek menyembuhkan luka dengan formula efektif pada EEDA 9%. DAFTAR PUSTAKA Barku , V. Y. A., A. Boye and S. Ayaba. (2013). Phytochemical Screening and Assessment of Wound Healing Activity of The Leaves of 187 Anogeissus Leiocarpus. European Journal of Experimental Biology. 3 (4), page. 25. Ejoh, R.A., Nkonga, D.V., Inocent, G., dan Moses, M.C. (2007). Nutritional Components of Some NonConventional Leafy Vegetables Consumed in Cameroon. Pak. J. Nutr. 6(1): 712-717. Erasto, P., Grierson, D.S., dan Afolayan, A.J. (2008). Bioactive Sesquiterpene Lactones from The Leaves of Vernonia amygdalina. Int. J. Environ. Res. Public Health. 5(5): 342-348. Ijeh, I.L., dan Ejike, C.E.C.C. (2010). Current Perspectives on The Medicinal Potentials of Vernonia amygdalina Del. Journal of Medicinal Plant Research. 5(7): 1051-1061. Njan, A.A, Adza, B., Agaba, A.G., Byamgaba, D., Diaz, S., dan Bansberg, D.R. (2008). The Analgesic and Antiplasmodial Activities and Toxicology of Vernonia amygdalina. J. Med. Food. 11: 574581. Nwanjo, H.U. (2005). Efficacy Of Aqueous Leaf Extract Of Vernonia amygdalina On Plasma Lipoprotein And Oxidative Status In Diabetic Rat Models. Nigerian Journal Of Physiological Sciences. 20(1-2): 39-42. Nwanjo, H.U. dan Nwokoro, E.A. (2004). Antidiabetic And Biochemical Effects Of Aqueous Extract Of Vernonia amygdalina Leaf In Normoglycaemic And Diabetic Rats. J. Innov. Life Sci. (7): 6-10. Oyugi, D.A., Luo, X., Lee, K.S., Hill, B., dan Izevbigie, E.B. (2009). Activity Markers of The Anti-Breast Carcinoma Cell Growth Fractions of Vernonia amygdalina Extracts. Exp. Biol. Medicine. 234(4): 410-417 KHARAKTERISTIK BALITA DAN SOSIO DEMOGRAFI BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MENCIRIM KECAMATAN SUNGGAL TAHUN 2014 Rina Doriana Pasaribu Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Fenomena kurang gizi disebabkan kombinasi faktor, kemiskinan, lingkungan,buruknya pelayanan kesehatan balita khususnya promosi pemberian ASI Eksklusif pada bayi, pemberian MP-ASI tidak benar dan kurangnya pengetahuan ibu mengenai pedoman umum gizi seimbang. Berdasarkan permasalahan tersebut maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal. Penelitian ini bersifat survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki balita dengan sampel 102 orang ibu balita. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner. Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square untuk mencari hubungan antara variabel independen dan dependen. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara status imunisasi dengan status gizi balita p=0,001, ada hubungan antara status ASI Eksklusif dengan statu gizi balita p=0,017, ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan status gizi balita p=0,000, ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita p=0,006, ada hubungan antara status pekerjaan ibu dengan status gizi balita p=0,010, tidak ada hubungan antara jumlah anak dengan status gizi balita p=0,587. Di saran kepada Puskesmas Mencirim agar dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan status gizi balita, bagi ibu-ibu agar memperhatikan pola kebutuhan anaknya selama masa pertumbuhannya dengan memenuhi kebutuhan gizi pada seribu hari kehidupan pertama. Kata kunci: Status gizi, balita Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini ditentukan oleh status gizi yang baik. Oleh karena itu masalah gizi kurang dan buruk yang dalam model unicef (1990) di indentifikasi dipengaruhi langsung oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi budaya politik, dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional (Dinkes, 2006). Di Indonesia persoalan gizi anak usia balita menjadi masalah serius pada sebagian besar kabupaten/kota. Menurut Profil kesehatan Indonesia tahun 2007 terdapat 18,4% anak balita yang kekurangan gizi, terdiri dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 5,4%. Fenomena kurang gizi disebabkan kombinasi faktor, kemiskinan, lingkungan,buruknya pelayanan kesehatan balita khususnya promosi pemberian ASI Eksklusif pada bayi, pemberian MP-ASI tidak benar dan kurangnya pengetahuan ibu mengenai pedoman umum gizi seimbang (Adisasmito,2010). Gizi kurang dan gizi buruk pada balita dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada balita apabila dibiarkan tentunya mengakibatkan balita sulit berkembang (Syarief, 2004). Masalah gizi semula dianggap sebagai masalah kesehatan yang hanya dapat ditanggulangi dengan pengobatan medis atau kedokteran, namun, disadari bahwa gejala klinis gizi kurang yang banyak ditemukan dokter ternyata adalah tingkatan akhir yang sudah kritis dari serangkaian proses lain yang sudah mendahuluinya, sekarang telah diketahui bahwa gejala klinis gizi kurang adalah akibat ketidak seimbangan yang lama antara manusia dan lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup ini mencakup lingkungan alam, biologis, sosial budaya maupun ekonomi, masing-masing faktor tersebut mempunyai peran yang kompleks dan berperan penting dalam etiologi penyakit gizi kurang (Susanto, 2004). Kasus gizi buruk saat ini menjadi sorotan utama pada masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, berbagai upaya sudah dilakukan bahkan salah satu tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005– 2009 bidang kesehatan adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20%, termasuk prevalensi gizi buruk menjadi setinggi-tingginya 5% pada 2009 (Sholihin, 2007). Indonesia sebenarnya 188 sudah banyak membuat kemajuan dalam menekan angka gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita, sebanyak 37,5% (1989), 35,5% (1992), 31,6% (1995), 29,5% (1998), 26,4% (1999), dan 24,6% (2000). Namun sejak tahun 2000, angka gizi buruk dan gizi kurang kembali meningkat, menjadi 26,1% (2001), 27,3% (2002), 27,5% (2003),dan 29% (2005). Sementara pada awal tahun 2005, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang berturut-turut 8,8 % dan 19,20 %. Jumlah balita yang menderita gizi kurang dikatakan menurun menjadi 4,6 juta balita. Demikian pula balita yang menderita gizi buruk menurun menjadi 1,2 juta balita, dan balita yang menderita gizi buruk tingkat berat (busung lapar) menurun menjadi 120.000 balita (Sholihin, 2007). Gizi buruk (severe malnutrion) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai kalangan gizi. Menurut Depertement Kesehatan( 2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi),3,5juta anak (19,2%)dalam tingkat gizi kurang dam 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevelensi gizi kurang kedalam 4 kelompok yaitu:rendah( < 10%), sedang ( 10- 19%), tinggi (20 – 29%) dan sangat tinggi (=> 30%) (WHO,2008). Jumlah balita penderita gizi buruk di Medan saat ini sekitar 124 orang dan 1.896 anak mengalami gizi kurang yang terdapat di 14 kelurahan yang dikategorikan rawan pangan dengan jumlah keluarga miskin mencapai 2.599 kepala keluarga. Hal ini menumbuhkan perhatian serius semua pihak(Pemko Medan,2012).Menurut Hasil Survey FKM USU 2008 kasus gizi buruk mencapai 4,4% dan gizi kurang 18,8% masih cukup tinggi. Buktinya jumlah desa terbanyak dengan kasus gizi buruk terjadi di Kabupaten Nias selatan sebanyak 89 desa, Mandailing natal (78 desa),Deli serdang (67 desa), Humbahas( 58 desa) (Ramadhan,2010). Peran tenaga kesehatan dalam penanganan gizi buruk di puskesmas hanya pemberian makanan tambahan dan tidak ada pemantauan tindak lanjut pada penderita gizi buruk. Salah faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita diantaranya adalah pendapatan keluarga. Pendapatan yang rendah menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sholihin, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andarwati (2007) di desa Purwojati kabupaten Wonosobo mendapatkan ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita, 75% balita berstatus gizi baik berasal dari masyarakat berpenghasilan tinggi. Dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti tentang “Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal”. Perumusan Masalah Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2007) menunjukkan bahwa responden yang memiliki status gizi kurang berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah, sedangkan yang memiliki status gizi baik berasal dari keluarga yang berpenghasilan tinggi. Penelitian oleh Arif (2006) 189 menunjukkan ada hubungan antara Ibu yang bekerja dengan status gizi balita. Balita yang menderita kurang gizi lebih banyak ditemukan pada Ibu yang bekerja. Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah faktor apa saja yang berhubungan dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal tahun 2014. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal tahun 2014. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik balita (status imunisasi, status ASI Eksklusif) dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal. 2. Untuk mengetahui hubungan sosio demografi (tingkat pendidikan ibu, penghasilan keluarga, pekerjaan ibu, jumlah anak) dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara karakteristik balita (status imunisasi, status ASI Eksklusif) dengan status gizi balita. 2. Ada hubungan antara sosio demografi (tingkat pendidikan ibu, penghasilan keluarga, status pekerjaan ibu, jumlah anak) dengan status gizi balita. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional yaitu penelitian untuk menentukan faktorfaktor yang berhubungan dengan status gizi balita. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal pada bulan Juni sampai November 2014. Populasi dan Sampel Populasi Populasi penelitian adalah semua ibu yang memiliki balita berumur 12-59 bulan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal yang berjumlah 4189 balita. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi ibu yang memiliki balita di wilayah kerja Puskesmas Rantang Kecamatan Medan Petisah yang berjumlah 102 Orang. Berikut cara pengambilan sampel: N= ukuran populasi n= ukuran sampel d= tingkat kepercayaan yaitu 0,1/10% n= N 1+N(d2) = 4189 1+4189 (0,12) = 4189 1+42,8 = 4180 43,8 = 101,66 = 102 Metode Pengumpulan Data Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh dari responden secara langsung dengan metode wawancara yang menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara manual dengan bantuan komputer dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Analisa Data Analisa Univariat Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan distribusi frekwensi dan persentase dari variabel independen dan variabel dependen. Analisa Bivariat Analisa bivariat dilakukan untuk mencari hubungan kedua variabel independen dan variable dependen. Analisa dilakukan dengan uji chi-square dengan derajat kepercayaan 95% (=5%), dan hasil uji statistik akan diperoleh nilai p. Untuk nilai p < maka hipotesis diterima Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari Puskemas Mencirim Kecamatan Sunggal meliputi gambaran wilayah dan data jumlah balita di Puskesmas tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Identitas Responden Tabel 1. Distribusi Frekuensi Identitas Responden di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Tahun 2014 Responden No Identitas Responden f % 1. Kelompok Umur Ibu (Tahun) < 20 6 5,9 20-35 83 81,4 > 35 13 12,7 Total 102 100 2. Kelompok Umur Balita (bulan) ≤ 29 53 52 > 29 49 48 Total 102 100 3. Jenis Kelamin Balita Laki-laki 56 54,9 Perempuan 46 45,1 Total 102 100 Karakteristik Balita Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Balita Terhadap Status Gizi di wilayah kerja Pukesmas Mencirim Tahun 2014 Responden No Karakteristik Balita f % 1. Status Imunisasi Lengkap 84 82,4 Tidak Lengkap 18 17,6 Total 102 100 2 Status ASI Ekskluif ASI Eksklusif 15 14,7 Tidak ASI Eksklusif 87 85,3 Total 102 100 190 Sosio demografi Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sosio demografi Terhadap Status Gizi di wilayah kerja Pukesmas Mencirim Tahun 2014 Responden No Sosio demografi Frekuensi Persentase 1. Tingkat Pendidikan Tinggi 74 72,5 Rendah 28 27,5 Total 102 100 2. Pendapatan Keluarga Tinggi 47 46,1 Rendah 55 53,9 Total 102 100 3. Status Pekerjaan Bekerja 42 41,2 Tidak bekerja 60 58,8 Total 102 100 4. Jumlah Anak < 3 anak 53 52 ≥ 3 anak 49 48 Total 102 100 Status Gizi Balita No 1. 2. Tabel 4. Distribusi Status Gizi Balita di wilayah kerja Pukesmas Mencirim 2014 Responden Status Gizi Frekuensi Persentase Baik 70 68,6 Kurang 32 31,4 Total 102 100 Analisa Bivariat Karakteristik Balita Tabel 5. Tabulasi Silang Status Imunisasi Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Rantang 2010 Status Gizi Balita Jumlah No Status Imunisasi Baik Kurang P f % f % f % 1. Lengkap 64 65,1 20 17,3 84 82,4 0,001 2. Tidak lengkap 6 6,1 12 11,5 18 17,6 Total 70 71,2 32 28,8 102 100 X2= 13,159 df= 1 Tabel 6. Tabulasi Silang Status ASI Eksklusif Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Rantang 2010 Status Gizi Balita Jumlah No Status ASI Eksklusif Baik Kurang P f % f % f % 1. ASI Eksklusif 15 14,7 0 0 15 14,7 0,017 2. Tidak ASI Eksklusif 55 48.5 32 36,8 87 85,3 Total 70 63,2 32 38,8 102 100 X2= 5,470 df= 1 Sosio demografi Tabel 7. Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Tahun 2014 Status Gizi Balita Jumlah No Tingkat Pendidikan Ibu Baik Kurang P f % f % f % 1. Tinggi 63 64,2 11 8,3 74 72,5 0,000 2. Rendah 7 7,0 21 20,5 28 27,5 Total 70 71,2 32 28,6 102 100 X2= 37,809 df= 1 191 Tabel 8. Tabulasi Silang Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim 2014 Status Gizi Balita Jumlah No Pendapatan Keluarga Baik Kurang P f % f % F % 1. Tinggi 38 54,2 9 6,1 47 46,1 0,006 2. Rendah 32 45,7 23 22,4 55 53,9 Total 70 73,4 32 28,5 102 100 X2= 8,728 df= 1 Tabel 9. Tabulasi Silang Status Pekerjaan Ibu Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Tahun 2014 Status Gizi Balita Jumlah Baik Kurang No Status Pekerjaan Ibu P f % F % F % 1. Bekerja 34 34,7 8 6,5 42 41,2 0,010 2. Tidak bekerja 36 36,7 24 22,1 60 58,8 Total 70 71,4 32 28,6 102 100 X2= 7,875 df= 1 Tabel 10. Tabulasi Silang Jumlah Anak Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim tahun 2014 Status Gizi Balita Jumlah No Jumlah Anak Baik Kurang P f % F % F % 1. < 3 anak 34 34,7 19 15,3 53 52 0,587 2. ≥ 3 anak 36 36,7 13 12,2 49 48 Total X2= 0,588 70 71,4 32 27,5 102 100 df= 1 Pembahasan Hasil analisa statistik dengan uji chi square diperoleh p (fisher’s exact)= 0,001 menunjukkan bahwa ada hubungan antara status imunisasi dengan status gizi balita. Anak yang diimunisasi berarti diberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu, jadi tujuan imunisasi adalah untuk mencegah penyakit dan kematian balita yang disebabkan oleh wabah yang sering berjangkit. Beberapa data menunjukkan bahwa penyebab utama dari penyakit, kematian dan terhambatnya pertumbuhan anak merupakan kompleksitas hubungan timbal balik antara status gizi dan infeksi (Karjati, 2001). Balita yang diberi imunisasi lengkap mempunyai daya tahan tubuh lebih tinggi dari pada balita yang tidak mendapat imunisasi lengkap. Balita dengan status imunisasi tidak lengkap lebih mudah terserang penyakit, jika status imunisasi balita tidak lengkap maka balita dapat mudah terserang penyakit yang akan mempengaruhi keadaan tubuh serta pola makan balita tersebut. Pada anak yang menderita penyakit infeksi terjadi gangguan pada pertahanan tubuh dan sebagai akibatnya akan terjadi penurunan berat badan dalam waktu yang singkat sehingga dapat menyebabkan kekurangan gizi. Tidak menutup kemungkinan balita dengan status imunisasi tidak lengkap berstatus gizi baik, hal ini bisa disebabkan konsumsi makanan dengan gizi baik yang diberikan ibu balita. hasil analisa dengan uji chi square antara pemberian Asi Eksklusif dengan status gizi balita diperoleh p (fisher’s exact) = 0,017 yang berarti ada hubungan antara status ASI eksklusif dengan status gizi balita. Menurut penelitian Ginting (2005) bahwa pemberian ASI eksklusif pada bayi berhubungan dengan status gizi pada balita. Balita yang tidak mendapat ASI Eksklusif kemungkinan 2,5 kali lebih besar kemungkinan menderita gangguan gizi dibanding dengan anak yang pernah memperoleh ASI Eksklusif. Balita dengan ASI Eksklusif tidak mudah terserang penyakit-penyakit infeksi yang sering menyerang balita yang nantinya akan mempengaruhi status gizi balita. Akan tetapi tidak semua balita yang tidak ASI Eksklusif berstatus gizi kurang ada juga balita dengan status gizi baik, hal ini juga bisa dipengaruhi faktor lain, seperti asupan gizi yang baik, pola asuh yang baik dari ibu balita tersebut. Sementara hasil analisa dengan uji chi square antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita menunjukkan hubungan yang sangat signifikan pada p = 0,000. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Untuk kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003). 192 Pendidikan ibu berpengaruh terhadap pengetahuan ibu tentang cara mengasuh anak yang akan membentuk pola asuh. Semakin tinggi pendidikan ibu, diharapkan pola asuh terhadap anak semakin baik (Oktarina, 2008). Semakin tinggi pendidikan ibu maka akan semakin baik pengetahuan ibu untuk menentukan konsumsi makanan yang baik yang dibutuhkan balita dimasa pertumbuhan balita. Meskipun pendidikan ibu tinggi tidak menutup kemungkinan balita menderita gangguan gizi. Hal ini di duga disebabkan karena pendidikan ibu yang tinggi bukan satu-satunya faktor yang menjadikan balita terhindar dari kejadian gizi buruk, tetapi ada beberapa faktor lain seperti salah satunya adalah penyakit infeksi. Adanya penyakit infeksi seperti ISPA maupun diare pada balita menyebabkan makanan yang dikonsumsi balita akan terhambat penyerapannya dan energi didapatkan dari makanan akan habis atau berkurang. Berdasarkan hasil analisa dengan uji chi square diperoleh p = 0,006 yang berarti ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita, yang berarti semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga, maka semakin baik kondisi kesehatan balita. Pendapatan keluarga sangat mempengaruhi konsumsi makan sehari-hari. Apabila pendapatan rendah maka makanan yang dikonsumsi tidak mempertimbangkan nilai gizi, tetapi nilai materi lebih menjadi pertimbangan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa keluarga yang berpenghasilan rendah dapat mengkonsumsi makanan yang mempunyai nilai gizi baik (Yulius, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Andarwati (2007) didesa Purwojati kecamatan Kertek Wonosobo, dimana terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita (p = 0,002). Tingkat pendapatan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan adanya tambahan uang. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur dan berbagai jenis bahan pangan lainnya (Andarwati, 2003). Keluarga dengan pendapatan tinggi akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya. Tapi tidak menutup kemungkinan balita dengan pendapatan keluarga tinggi menderita gangguan gizi. Keluarga dengan pendapatan rendah menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan kurang memperhatikan nilai gizi. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa keluarga yang berpenghasilan rendah dapat mengkonsumsi makanan yang mempunyai nilai gizi baik. Hasil uji statistik dengan uji chi square antara status pekerjaan ibu dengan status gizi balita diperoleh p = 0,010 yang berarti ada hubungan antara status pekerjaan ibu dengan status gizi balita. Menurut Solihin (2003) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kurang gizi adalah para ibu yang menerima pekerjaan tetap sehingga harus meninggalkan balitanya dari pagi sampai sore, anak-anak terpaksa ditinggalkan dirumah sehingga jatuh sakit dan tidak mendapatkan perhatian, dan pemberian makanan tidak dilakukan dengan semestinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Arif (2006) di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang 193 yang menemukan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan status pekerjaan ibu (p = 0,000). Salah satu dampak negatif yang dikhawatirkan timbul sebagai akibat dari keikutsertaan ibu-ibu pada kegiatan di luar rumah adalah keterlantaran anak terutama anak balita, padahal masa depan kesehatan anak dipengaruhi oleh pengasuhan dan keadaan gizi sejak usia bayi sampai anak berusia 5 tahun merupakan usia penting, karena pada umur tersebut anak belum dapat melayani kebutuhan sendiri dan bergantung pada pengasuhnya. Oleh karena itu alangkah baiknya balita yang ditinggalkan dapat dipercayakan kepada pengasuh atau anggota keluarga yang lain untuk dirawat dan diberi konsumsi makanan yang baik. Ibu yang bekerja akan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk memperhatikan kondisi dan pola makan balitanya. Ibu lebih mempercayakan segala sesuatunya pada pengasuhnya karena dia tidak memiliki cukup waktu untuk mengurusi anaknya seharian. Sebaliknya ibu yang tidak bekerja memiliki waktu lebih untuk memperhatikan kondisi dan pola makan anaknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anak tidak ada hubungan antara jumlah anak dengan status gizi balita yaitu p = 0,587. Hal ini sejalan dengan penelitian Marlina (2008) di Kelurahan Sicanang Belawan dimana tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi balita dengan jumlah anak dalam keluarga (p = 0,842).Menurut Lidia (2003) status gizi balita bukan semata-mata disebabkan oleh faktor jumlah anak dalam keluarga melainkan banyak faktor. Salah satunya pola asuh keluarga terhadap balita, dimana kemungkinan pola asuh yang kurang baik mempengaruhi status gizi balita sehingga walaupun jumlah tanggungan keluarga sedikit, kondisi status gizi balita dapat terancam pula. Selain itu status imunisasi balita, dimana kelengkapan imunisasi sangat berpengaruh terhadap kesehatan balita sehingga walaupun balita pada keluarga dengan jumlah anak yang cukup banyak tidak terancam mengalami gizi kurang. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Berdasarkan variabel karakteristik balita. a. Ada hubungan antara status imunisasi dengan status gizi balita b. Ada hubungan antara status ASI Eksklusif dengan statu gizi balita 2. Berdasarkan variabel sosio demografi a. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan status gizi balita. b. Ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita. c. Ada hubungan antara status pekerjaan ibu dengan status gizi balita. d. Tidak ada hubungan antara jumlah anak dengan status gizi balita. Saran Bagi Puskesmas Mencirim untuk mengadakan penyuluhan bagi ibu balita mengenai peningkatan gizi yang baik untuk balita. 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang Perilaku dan motivasi ibu dalam pemenuhan gizi anak balita. DAFTAR PUSTAKA Adisasmito.2010.Sistem Kesehatan.PT Rajagrafindo Persana:Jakarta Administrator.2009.Gizi Buruk Ancaman Generasi Yang Hilang Arisman.2007.Gizi Dalam Daur Kehidupan.Cetakan IIEGC.Jakarta Balit-bankes Depkes RI.2008.Upaya Perbaikan Masalah Gizi Bambang.2011.Super Baby Directory. Flash Books: Jogjakarta Budiasih.2008.Hand Book Ibu Menyusui.PT Karya Kita:Bandung Hadi, Haman.2005.Beban Gnda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional http://www.Profil Depkes Sumatera Utara.com/2011 Krisnatuti,dkk.2000.Menyiapkan Makanan Pendamping ASI.Puspa Swara:Jakarta Mawaddah.2009.Pengertian Gizi Buruk. Notoatmodjo.,2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta Pemko Medan.2012.Jumlah Balita Penderita Gizi Buruk Prasetyono.2009.Buku Pintar ASI Eksklusif.Diva Press:Jogjakarta Profil Kesehatan Kabupaten Pakpak Bharat.2010 Ramadhan.2010.Bahaya Gizi Buruk. Riksani.2012.Keajaiban ASI.Niaga Swadaya:Jakarta Timur Roesli,U.2008.Mengenal ASI Eksklusif.Pustaka Bunda:Jakarta Sholin.2009.Ancaman Generasi yang Hilang. Soekatri,M.2011.Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan.PT Gramedia Pustaka Utama:Jakarta Suwandi MS.2009.Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 194 UNDANGAN MENULIS DI JURNAL POLTEKKES MEDAN Redaktur Jurnal Poltekkes Medan mengundang para pembaca untuk menulis di jurnal ini. Tulisan ilmiah yang dimuat adalah berupa hasil penelitian atau pemikiran konseptual dalam lingkup kesehatan. Persyaratan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Tulisan adalah naskah asli yang belum pernah dipublikasikan. 2. Tulisan disertai abstrak, ditulis satu spasi dengan bahasa Indonesia atau Inggris, maksimal 200 kata. 3. Kata kunci (keywords) minimal dua kata, ditulis di bawah abstrak. 4. Setiap naskah memiliki sistematika sub judul pendahuluan, diikuti oleh beberapa sub judul lain dan berakhir dengan sub judul penutup atau simpulan. 5. Naskah diketik rapi dua spasi dalam bahasa Indonesia atau Inggris, font: Times New Roman, size: 11, format: A4 justify. 6. Panjang naskah minimal empat dan maksimal 18 halaman, termasuk rujukan. 7. Sistem rujukan adalah yang lazim digunakan dalam tulisan ilmiah, dengan konsistensinya. 8. Sumber rujukan/kutipan dimasukkan dalam tulisan (tanpa footnote) 9. Tulisan dikirim dalam CD, disertai print out-nya satu eksemplar, atau dikirim lewat E-mail. 10. Redaktur berhak mengedit dengan tidak merubah isi dan maksud tulisan. 11. Redaksi memberikan hasil cetak sebanyak satu eksemplar bagi penulis. 12. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan bila dalam pengirimannya disertakan perangko pengembalian, atau diambil langsung dari redaktur. 195