Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I F. Kebijakan Harga, Perdagangan dan Investasi Bila dibandingkan dengan komoditas tanaman hortikultura atau perkebunan rakyat lainnya, nilai jual komoditas tanaman obat sampai saat ini tergolong sangat rendah. Petani sebagai pelaku usaha pertanian primer, sangat dirugikan dengan tidak adanya kepastian pasar dan kepastian harga jual komoditas yang dihasilkannya. Hal ini terjadi karena belum adanya kebijakan harga dari pemerintah didalam perdagangan komoditas tanaman obat. Akibatnya, minat investasi dalam usaha pertanian primer tanaman obat menjadi rendah. Rendahnya peran tanaman obat khususnya dan industri obat tradisional umumnya dalam menghasilkan devisa dan PDB di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) belum adanya dukungan dan kemauan politik yang cukup dari pemerintah untuk menjadikan industri tanaman obat Indonesia sebagai salah satu sumber kesejahteraan rakyat dan prime mover perekonomian nasional; (2) belum adanya program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan tanaman obat; (3) kurangnya koordinasi dan sinkronisasi program dari instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien; dan (4) peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup kondusif bagi pengembangan tanaman obat. 11 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat III. PROSPEK, POTENSI, DAN ARAH PENGEMBANGAN A. Prospek Pasar dan Pesaing Kecenderungan back to nature masyarakat Indonesia maupun mancanegara saat ini, merupakan suatu peluang yang cukup besar bagi obat bahan alam untuk menggantikan obat modern walaupun belum secara penuh. Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai permintaan jamu secara nasional maupun ekspor. Menurut data yang ada, omset industri jamu nasional mencapai Rp. 3,2-3,5 triliun pada tahun 2004, naik sekitar 15-20% dari tahun 2003. Data lain menyatakan, walaupun pangsa pasar obat bahan alam belum sebesar obat modern tetapi potensi peningkatannya cukup besar (Tabel 6). Meskipun kontribusi obat tradisional pada saat ini hanya mencapai 10,5%, namun nilainya cukup berarti (Rp. 2 triliun). Diperkirakan untuk tahun 2010 jumlahnya akan meningkat menjadi 16% dengan nilai Rp. 7,2 triliun. Selain permintaan domestik, permintaan mancanegara akan produk jamu terus meningkat walaupun data yang akurat belum tersedia. Tabel 6. Perbandingan permintaan obat modern dan obat bahan alam Tahun 2003 2010 Obat Modern Permintaan Pangsa (Rp. 000.000) pasar (%) 17.000.000 37.000.000 89,5 84,0 Obat bahan Alam Permintaan Pangsa pasar (Rp. 000.000) (%) 2.000.000 7.200.000 10,5 16,0 Sumber: LIPI (2003). B. Potensi Lahan Selain sumberdaya hayati, sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia merupakan modal dasar yang penting dalam pengembangan komoditas pertanian. Pada tahun 2002, luas lahan pengembangan temulawak, kunyit, dan kencur di Pulau Jawa, masing-masing mencapai 6.733 ha, 8.816 ha dan 12.900 ha. Sedangkan jahe yang dikembangkan di Pulau Jawa dan Sumatera Utara, luas areal pengembangannya pada tahun 2002 mencapai 22.542 ha (Gambar 4). 12 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Temulawak Jahe Gambar 4. Kunyit A GRO INOVAS I Kencur Purwoceng Peta areal penanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng di Pulau Jawa dan Sumatera Utara Potensi lahan untuk pengembangan temulawak dan kunyit di Pulau Jawa masih terbuka luas dengan memanfaatkan areal dibawah tegakan, pada ketinggian 50–800 m dpl., curah hujan 1.500–4.000 mm per tahun, di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan untuk kencur, potensi lahan pengembangan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, terbatas pada areal terbuka atau sedikit ternaungi (30%) pada ketinggian 50–600 m dpl., tipe iklim A dan B (Schmidt & Ferguson). Pengembangan 13 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat jahe dalam kurun waktu 5 tahun kedepan masih memungkinkan untuk dilakukan di Pulau Jawa. Pengembangan tersebut dilakukan dengan memilih lahan baru yang bebas penyakit layu bakteri, pada ketinggian 300900 m dpl., temperatur rata-rata tahunan 25-30º C, jumlah bulan basah (> 100 mm per bln) 7-9 bulan per tahun, curah hujan per tahun 2.500–4.000 mm, intensitas cahaya matahari 70-100% atau agak ternaungi sampai terbuka, drainase tanah baik, tekstur tanah lempung sampai lempung liat berpasir, pH tanah 6,8–7,4. Pada lahan dengan pH rendah dapat diberikan kapur pertanian (kaptan) 1-3 ton/ha atau dolomit 0,5-2 ton/ha. Kesesuaian agroekosistem untuk masing-masing tanaman obat unggulan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kesesuaian agroekosistem untuk temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng di Indonesia Komoditas Jenis tanah Tipe iklim Elevasi (m. dpl.) Jumlah curah hujan/thn (mm) Jumlah bulan basah/ tahun Temulawak Latosol, Andosol, Podsolik Latosol, Aluvial, Regosol Latosol, Andosol, Regosol Latosol, Andosol, Regosol Andosol A,B,C 100 -1.500 1.500 -4.000 5-9 A,B,C 240 -1.200 2.000 -4.000 6-9 25 -30 0 - 30 A,B,C 50 -600 2.500 -4.000 5-9 26 -30 0 - 30 A,B,C 300 -900 2.500 -4.000 6-9 25 -30 0 - 30 > 4.000 7-9 15 -21 30 - 40 Kunyit Kencur Jahe Purwoceng A,B 1.800-2.100 Suhu Tingkat udara naungan (ºC) (%) 26 -30 0 - 30 Akibat berkembangnya penyakit layu bakteri tular tanah ataupun yang terbawa bibit di Pulau Jawa, maka perluasan areal pengembangan jahe diarahkan keluar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi dengan kondisi agroklimat yang sesuai. Selain itu, meluasnya penyebaran penyakit layu bakteri yang masih dicari teknik pengendaliannya, perlu dipacu dengan dukungan penelitian untuk memperoleh bahan tanaman unggul tahan penyakit layu bakteri. 14 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I C. Arah Pengembangan Tanaman Obat Arah pengembangan tanaman obat ditujukan untuk pemenuhan industri dalam negeri (IOT dan IKOT), farmasi, kosmetika, industri rumah tangga, jamu gendong, dan ekspor. Pengembangan tersebut juga memperhatikan peluang pasar, potensi areal pengembangan, teknologi yang tersedia, kondisi saat ini dan permasalahan yang ada. Peluang pasar masih cukup luas baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Kebutuhan dalam negeri setiap tahunnya meningkat sebagaimana tercermin dari pertumbuhan jumlah IOT dan IKOT di Indonesia. Hal tersebut belum termasuk kebutuhan industri rumah tangga dan jamu gendong yang tidak diwajibkan melapor ke Badan POM. Survei menunjukkan bahwa keuntungan bersih yang diperoleh seorang bakul jamu gendong berkisar Rp. 50.000–Rp. 75.000,- per hari. Adalah fakta bahwa sebagian besar IOT memperoleh bahan baku selain berasal dari dalam negeri juga berasal dari impor. Alasannya adalah bahan baku domestik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya tidak terjamin, terutama simplisia impor untuk formulasi obat ekstrak dan nutraceutical. Oleh karena itu salah satu arah pengembangan tanaman obat adalah untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku dan peningkatan nilai tambah seperti terlihat pada pohon industri temu-temuan dan purwoceng yang disajikan pada Gambar 5 dan 6 pada halaman berikut. 1. Usaha pertanian primer Areal pengembangan tanaman obat sampai tahun 2010 masih diarahkan ke lokasi dimana industri obat tradisional berkembang, yaitu di Pulau Jawa, dengan target luas areal 1.276 ha untuk temulawak, kunyit 1.527 ha, kencur 3.270 ha, jahe 7.124 ha dan purwoceng 154 ha. Target produksi sampai tahun 2010 dengan asumsi produktivitas per tahun ratarata 7–8 ton/ha, maka produksi temulawak diperkirakan mencapai 14.020 ton, kunyit 15.426 ton, kencur 26.290 ton, jahe 63.967 ton dan purwoceng 850 ton. Kecuali ada permintaan khusus, setelah 2010 areal pengembangan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng dapat diperluas ke luar Pulau Jawa yang ketersediaan lahannya lebih luas. 15 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Nama Komoditas Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe Usaha Agribisnis Hulu Industri Benih Usaha Pertanian Primer Budidaya/On-Farm Rimpang Usaha Agribisnis Hilir/ Diversifikasi Produk Segar Produk 1/2 jadi Pati* Produk jadi Makanan/ Minuman Jenis Produk Jadi Sirup* Simplisia Minyak* Makanan* Padat Instan* Ekstrak* Kosmetika Bedak* Lulur* Farmasi, IKOT, IOT Tablet** Sirup** Kapsul** Gambar 5. Pohon industri temulawak, kunyit, kencur dan jahe Keterangan : * : Teknologi tersedia, dapat dilakukan ditingkat IKOT & IOT ** : Potensial & prospektif, fitofarmaka, memerlukan investasi alih teknologi & biaya riset 16 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Nama Komoditas A GRO INOVAS I Purwoceng Industri Benih Budidaya/On-Farm Herba Bagian yang digunakan Simplisia Produk 1/2 jadi Ekstrak IKOT Industri Produk jadi Jamu* Seduh Pil* IOT Sirup* FARMASI Tablet/** Kapsul Sirup** Gambar 6. Pohon industri purwoceng Keterangan : * ** : Teknologi tersedia, dapat dilakukan ditingkat IKOT & IOT : Potensial & prospektif, fitofarmaka, memerlukan investasi alih teknologi & biaya riset Walaupun teknologi budidaya dan pascapanen temulawak, kencur, kunyit, jahe dan purwoceng, telah tersedia, namun teknologi tersebut belum semuanya diadopsi oleh petani, mengingat proses didalam pengalihan teknologi kepada petani, memerlukan investasi yang cukup tinggi. Karena keterbatasan modal, petani belum mampu mengadopsi teknologi tersebut. Oleh karena itu, arah pengembangan industri tanaman obat temulawak, kunyit, kencur difokuskan pada pemanfaatan varietas/klon unggul, sosialisasi dan pelatihan teknologi serta bantuan investasi permodalan. Sedangkan untuk jahe arah pengembangan industri di sektor hulu, difokuskan kepada investasi dibidang penelitian untuk menghasilkan varietas unggul tahan penyakit. 17 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Klaim industri obat tradisional atas ketidaksesuaian standar kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku, merupakan implikasi dari lemahnya adopsi teknologi dan permodalan di tingkat petani, serta lemahnya kelembagaan petani tanaman obat. Oleh karena itu, pengembangan diarahkan untuk pemecahan masalah tersebut, melalui investasi dalam alih teknologi. Arahan lainnya dengan melakukan pelatihan dan pendidikan terhadap petani tanaman obat dan IKOT yang terlibat dalam proses pascapanen primer di sektor hulu. 2. Usaha agribisnis hulu Produksi rata-rata yang dicapai oleh petani untuk komoditas temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng hanya mencapai 60% dari usaha pertanian primer yang mengacu kepada SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang dibakukan. Di lain pihak, untuk mencapai keberlanjutan produksi diperlukan jaminan akan ketersediaan bahan baku. Dengan mengacu kepada SOP budidaya yang dibakukan, telah dihasilkan teknologi hulu berupa bahan tanaman unggul hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Rata-rata produktivitas varietas unggul temulawak 20-40 ton per ha, dan kadar minyak atsiri 6,2-10,6%, kadar kurkumin 2,0-3,3%; kunyit 7-20 ton per ha, kadar kurkumin 8-11%; kencur 12-16 ton per ha, dan kadar minyak atsiri 2,6-6,2%, kadar sari larut dalam air 16-23%, kadar sari larut dalam etanol 5-9,5%; dan potensi produksi jahe putih besar 20-40 ton per ha. Teknologi budidaya yang tersedia meliputi jarak tanam, pemupukan dan pola tanam, pascapanen primer (teknik pemanenan, pengirisan, pengeringan dan ekstraksi), serta pascapanen sekunder (teknik pembuatan sirup, kapsul dan minuman kesehatan). Sesuai dengan arah pengembangan tanaman obat dan target yang akan dicapai, pada tahun 2010 kebutuhan bibit dan luas areal yang dibutuhkan untuk pengadaan bibit temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng seperti disajikan pada Tabel 8. 18 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Tabel 8. A GRO INOVAS I Kebutuhan bibit dan luas lahan pengusahan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng pada tahun 2005-2010 Komoditas Te m u l aw a k Kunyit Kencur Jahe Purwoceng* 2005 3.390 (240) 4.080 (290) 5.800 (580) 18.900 (1.350) 10,4 (1,50) Bibit yang dibutuhkan (ton)/ Luas lahan (ha) 2006 2007 2008 2009 3.570 (255) 4.170 (300) 5.940 (594) 19.380 (1.380) 10,8 (1,55) 3.594 (260) 4.284 (310) 6.090 (609) 19.845 (1.415) 11,2 (1,60) 3.645 (266) 4.380 (318) 6.240 (624) 20.340 (1.450) 11,6 (1,65) 3.735 (273) 4.470 (326) 6.380 (624) 20.850 (1.486) 12,0 (1,70) 2010 3.828 (280) 4.580 (334) 6.540 (656) 21.372 (1.523) 12,3 (1,75) *Juta tanaman 3. Usaha agribisnis hilir Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Badan POM RI telah mengelompokkan obat bahan alam Indonesia menjadi tiga kelompok, yaitu: a) jamu (khasiat dibuktikan secara empiris), b) obat herbal terstandar (khasiat dibuktikan dengan uji pra-klinik, c) fitofarmaka (khasiat dibuktikan dengan uji klinik). Sampai dengan tahun 2005, baru terdaftar dua merek produk komersial fitofarmaka yang mengandung kunyit, satu produk mengandung temulawak, dan satu produk mengandung jahe. Sedangkan produk herbal terstandar yang mengandung kunyit tercatat enam merek, temulawak satu merek, kencur dua merek dan jahe dua merek. Selain pengembangan produk turunan berupa produk jadi, pengembangan industri hilir temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng dapat dilakukan dengan diversifikasi produk dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu simplisia atau ekstrak. Berdasar manfaat, kandungan fitokimia dan khasiatnya terhadap penyakit yang dewasa ini menjadi tren masyarakat modern seperti penyakit degeneratif, penurunan imunitas dan vitalitas tubuh, kelima tanaman obat tersebut mempunyai prospek besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat unggulan nasional. Penyakit degeneratif merupakan penyebab kematian manusia tertinggi (penyakit jantung, hipertensi, kanker). Pengobatan secara modern cukup mahal namun belum menjamin kesembuhan. Selain itu juga banyak pengaruh sampingnya. Oleh karena itu, tanaman obat menjadi alternatif pengobatan yang potensial. 19 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Temulawak, kunyit, kencur dan jahe adalah kelompok tanaman rimpang-rimpangan (Zingiberaceae), yang digunakan dalam hampir semua produk obat tradisional (jamu) serta paling banyak diklaim sebagai penyembuh berbagai penyakit. Untuk meningkatkan nilai tambah dari keempat komoditas tersebut, diperlukan terobosan di dalam pengembangan produk (product diversification and development). Dari produk primer (rimpang segar) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak, minyak) maupun produk tertier (produk jadi hasil formulasi) berupa suplemen makanan dan minuman dalam bentuk cair (sirup), padat (pil, kapsul) dan formula obat herbal terstandar, fitofarmaka dan kosmetika. Dengan demikian prospek pasar dan peluang pengembangan keempat jenis tanaman tersebut masih terbuka. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) yang saat ini dicanangkan sebagai minuman kesehatan nasional, tergolong komoditas multifungsi. Kandungan minyak atsiri, kurkuminoid, xanthorrizol dan pati dalam rimpang temulawak dimungkinkan penggunaannya secara luas untuk penyembuhan berbagai penyakit (anti kolesterol, antioksidan, penanggulangan penyakit hati, gangguan pencernaan). Sebagai obat anti kolesterol dan penanggulangan penyakit hati (Hepato-protector), rimpang temulawak bisa dibuat menjadi berbagai jenis produk dalam bentuk kapsul, tablet dan minuman penyegar. Meskipun di pasaran beredar obat kimia dengan bahan aktif sintetis laktulosa, fosfolipid dan chelidonin yang bersifat koleritikum, namun karena harganya yang mahal dan adanya efek samping dari obat-obatan tersebut, maka peluang pasar untuk produk industri farmasi/minuman kesehatan dan produk IOT/IKOT berbahan baku temulawak terbuka lebar (Gambar 5). Produk fitofarmaka berupa bahan jadi berbentuk tablet/kaplet untuk menanggulangi gangguan hati diproduksi dengan bahan baku utama ekstrak temulawak dengan bahan tambahan Amprotab, Mg-stearat, Nepagin, Aerasil dan Kolidon 90. 20 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I Kunyit (Curcuma domestica), dengan kandungan utama kurkumin dan minyak atsiri, berfungsi untuk pengobatan berbagai penyakit seperti hepatitis, antioksidan, gangguan pencernaan, anti mikroba (broad spectrum), anti kolesterol, anti HIV, ataupun anti tumor (menginduksi apostosis). Selain itu dapat menghambat perkembangan sel tumor payudara (hormone dependent and independent), menghambat ploriferasi sel tumor pada usus besar (dose-dependent), anti invasi, anti rheumatoid arthritis (rematik). Kunyit pun mempunyai prospek yang cerah pada sektor industri hilir (Gambar 5) dalam berbagai bentuk, seperti ekstrak, minyak, pati, makanan/minuman, kosmetika, produk farmasi dan IKOT/IOT. Produk farmasi berbahan baku kunyit, mampu bersaing dengan berbagai obat paten, misalnya obat untuk peradangan sendi (arthritis-rheumatoid) atau osteo-arthritis berbahan aktif natrium deklofenak, piroksikam, dan fenil butason yang harganya relatif mahal. Bahkan dapat juga bersaing dengan suplemen makanan (Vitaminplus) dalam bentuk kapsul. Produk bahan jadi dari ekstrak kunyit berupa suplemen makanan dalam bentuk kapsul (Vitamin-plus) kini pasar dan industrinya sudah berkembang. Suplemen makanan dibuat dari bahan baku ekstrak kunyit dengan bahan tambahan Vitamin B1, B2, B6, B12, Vitamin E, Lesitin, Amprotab, Mg-stearat, Nepagin dan Kolidon 90. Kencur (Kaempferia galanga) di dunia kesehatan digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan, saluran pernafasan dan campuran ramuan afrodisiak. Selain itu digunakan pula untuk industri kosmetika berbasis bahan alam, sehingga sangat potensial dikembangkan di sektor hilir dalam bentuk ekstrak, minyak dan suplemen makanan/minuman (Gambar 5). Dewasa ini perusahaan kosmetika, berlomba-lomba m e m p ro d u k s i j e n i s produk perawatan wajah dan kulit berbahan baku alami. Bahan sintetis untuk pemutih kulit seper ti AHA (Alpha Hydroxy Acid), banyak menimbulkan efek samping (iritasi dan bersifat karsinogenik), membuka peluang penggunaan bahan alami. Turunan minyak atsiri dari rimpang kencur etil-para metoksi sinamat (EPMS) merupakan sumber bahan baku potensial untuk pemutih dan tabir surya pada kosmetika. 21 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Produk herbal terstandar dari rimpang segar kencur yang berpotensi pasar luas adalah minuman kesehatan beras kencur. Produk jadi minuman ini terbuat dari bahan utama rimpang segar kencur dengan bahan tambahan berupa pati/tepung beras, gula kelapa, asam jawa, asam benzoat. Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu jenis komoditas tanaman obat yang tergolong tinggi permintaannya, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagian besar rimpang jahe digunakan untuk bahan baku makanan (asinan jahe, permen jahe) dan minuman (instan jahe). Fungsi utama jahe dalam pengobatan tradisional adalah untuk mengeluarkan angin, pengobatan rematik, menghangatkan tenggorokan dan campuran ramuan afrodisiak. Hampir tidak ada obat fitofarmaka yang diproduksi di dalam negeri menggunakan bahan baku utamanya jahe, kecuali sebagai bahan tambahan untuk produk obat tertentu. Sebagian besar simplisia jahe digunakan oleh IOT dan IKOT sebagai bahan baku jamu. Jenis produk jadi yang prospektif dikembangkan dengan bahan baku utama jahe adalah herbal terstandar untuk obat batuk dan minuman kesehatan (instan jahe). Selain itu, kandungan gingerol dan shogaol yang tinggi, terutama pada jahe merah, berpotensi dikembangkan sebagai obat fitofarmaka untuk penyembuhan kanker namun perlu didukung dengan penelitian yang kuat. Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) sangat prospektif untuk dijadikan sumber bahan baku industri suplemen minuman yang berfungsi untuk meningkatkan vitalitas tubuh (steroid). Selain itu, kandungan vitamin E di dalam herba pur woceng, dapat dimanfaatkan sebagai bahan kosmetika yang berfungsi untuk peremajaan sel-sel tubuh dan memperbaiki kesuburan wanita. Namun, karena status kelangkaan (endangered species) tanaman ini di habitat endemiknya di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, purwoceng tidak dapat didaftarkan sebagai bahan baku obat. Pengembangan industri di sektor hilir (produksi simplisia, ekstrak, suplemen minuman), perlu didukung dengan pengembangan sektor hulu dan tengah (industri benih, teknologi budidaya dan pasca panen primer), sehingga status kelangkaan tanaman ini bisa dihapus. Selain itu 22 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I pembangunan di sektor hilir (industri simplisia, ekstrak, dan obat herbal terstandar) pun perlu ditingkatkan agar tercapai untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani dan komoditas tersebut (Gambar 6). Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika menunjukkan, akar dan daun purwoceng mengandung steroid (stigmasterol dan sitosterol), turunan kumarin (psoralen dan scopoletin) serta vitamin E. Ini menunjukkan purwoceng, tanaman obat asli Indonesia yang berpotensi sebagai komplemen untuk afrodisiak dan substitusi ginseng Korea serta Viagra. Sebagaimana yang telah diketahui, ginseng sebagai suplemen minuman untuk meningkatkan vitalitas tubuh (afrodisiak) dan berprospek pasar tinggi, diimpor dari Korea, dengan harga bahan baku cukup tinggi (Rp. 190.000,per kg). Sedangkan obat paten impor “Viagra” berbahan aktif Sildenafil Sitrat, dengan harga sangat mahal dan berefek negatif terhadap jantung (hipertensi), kehilangan penglihatan sementara dan mata bengkak. Produk jadi ramuan afrodisiak dalam bentuk minuman kesehatan dari purwoceng, terbuat dari bahan utama simplisia kering purwoceng dengan bahan tambahan simplisia kering jahe, secang dan bahan adirif. Dengan mengembangkan lima komoditas tersebut, harapan Indonesia menjadi eksportir kelas dunia untuk produk obat berbasis bahan alam dapat terpenuhi. Pada akhirnya dapat menekan impor obat dan bahan baku obat konvensional yang mencapai US$ 160 juta per tahun. 23 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat IV. TUJUAN DAN SASARAN A. Tujuan 1. Membangun infrastruktur, kelembagaan, dan dukungan kebijakan; 2. Mengoptimalkan agroindustri hulu berupa intensifikasi dan ekstensifikasi areal penanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng; 3. Meningkatkan nilai tambah dan menyediakan bahan baku terstandar temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng; 4. Meningkatkan pendapatan petani dari nilai tambah produk temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng; 5. Menambah dan menghasilkan devisa. B. Sasaran 1. Terbangunnya infrastruktur yang baik dengan dukungan kebijakan yang kondusif di sentra-sentra agribisnis tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng; 2. Terbangunnya agroindustri berbasis tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng; 3. Terpenuhinya 60% kebutuhan bahan baku terstandar tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk industri obat berbahan baku alami di dalam negeri; 4. Tercapainya peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan nilai tambah produk olahan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng sebesar 50%; 5. Terwujudnya penghematan devisa negara untuk impor obat-obatan sebesar 50%, dan pemasukan devisa sebesar US$ 20 Miliar pada tahun 2010. 24 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I V. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROGRAM A. Kebijakan Guna membangun agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat yang kuat, mandiri dan berdaya saing untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia dibutuhkan kebijakan nasional dan keputusan politik pemerintah pada level paling atas yaitu presiden RI dan jajaran birokrasi dibawahnya. Kebijakan tersebut harus didukung penuh oleh DPR dan seluruh masyarakat. Kebijakan pemerintah tersebut diwujudkan dengan menyusun Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, yang ditindaklanjuti oleh masingmasing pihak terkait, seperti: Badan POM, Depkes, Deptan, Dephut, Deperin, Depdag, Depdagri, Depag, Kementrian Ristek/BPPT, LIPI, Pemda, Perguruan Tinggi, dunia usaha, petani maupun berbagai organisasi yang terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat lainnya. Target program tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (world first class herbal medicine country) pada tahun 2020. B. Strategi Guna mencapai target yang telah ditetapkan di dalam Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, maka perlu disusun Grand Strategy Pengembangan Tanaman Obat Indonesia yang merupakan bagian dari Program Nasional tersebut. Grand Stretegy tersebut, meliputi: 1) penetapan komoditas tanaman obat unggulan, 2) penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan, 3) peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan, 4) penetapan produk turunan dari tanaman obat unggulan dan bentuk industri pengolahannya, 5) peningkatan kompetensi sumberdaya manusia, 6) Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan, 7) peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran, dan 8) penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat. 25 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat C. Program Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan tren investasi ke depan, maka disarankan untuk dipilih lima komoditas tanaman obat potensial yaitu temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng. Program yang dibutuhkan untuk pengembangan tanaman obat unggulan tersebut adalah: 1. Penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan berdasarkan potensi, kesesuaian lahan dan agroklimat, sumberdaya manusia dan potensi serapan pasar. 2. Peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan melalui: a) peningkatan produktivitas dan mutu dengan penerapan praktek pertanian yang baik sesuai GAP (Good Agricultural Practices) dan didasarkan atas SOP (Standard Operational Procedures) untuk masing-masing komoditas; serta b) panen dan pengolahan produk sesuai dengan GMP (Good Manufacturing Practices). 3. Peningkatan produksi produk turunan dari tanaman obat unggulan serta bentuk industri pengolahannya yang dapat memacu ekonomi rakyat dan pedesaan. 4. Peningkatan kompetensi sumberdaya manusia melalui: a) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan untuk menyediakan SDM yang kompeten baik dalam penyediaan bahan baku obat bahan alam dari hulu sampai hilir, maupun yang akan terlibat dalam sistem pelayanan kesehatan berbasis obat bahan alam; dan b) demplot teknologi produksi bahan tanaman. 5. Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan melalui: a) pembangunan sarana dan prasarana penunjang transportasi, telekomunikasi ke daerah sentra produksi tanaman obat; dan b) pengembangan kemitraan antara petani dengan industri dan pemerintah. 6. Peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran melalui: a) pengembangan website, publikasi di media masa dan forum-forum terkait; serta b) pembentukan jejaring kerja dan sistem informasi pasar. 7. Penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat melalui: a) deregulasi peraturan yang tidak sesuai; dan b) menciptakan lingkungan usaha agribisnis dan agroindustri yang kondusif. 26 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I 8. Pembentukan database tanaman obat yang valid, meliputi jenis tanaman, luas areal, produksi, jumlah petani yang terlibat, serapan, jumlah industri yang terlibat, ekspor, impor, yang akan digunakan sebagai acuan dalam perencanaan program nasional pengembangan tanaman obat. 27 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat VI. KEBUTUHAN INVESTASI Efek pengganda dari kontribusi pembangunan pertanian terhadap pembangunan ekonomi secara keseluruhan, salah satu diantaranya adalah yang berkaitan dengan investasi. Efek ganda investasi relatif besar sehingga sektor pertanian layak dijadikan sektor andalan. Salah satu diantara komoditas tanaman yang mendukung investasi sektor pertanian adalah tanaman obat, termasuk rimpang dan herbal. Selain mendukung kontribusi pembangunan pertanian juga menunjang devisa, kesempatan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Selain itu dapat mendorong masyarakat hidup sehat dengan semakin tingginya kesadaran untuk mengkonsumsi obat berbahan baku alami. Kecenderungan animo masyarakat terhadap permintaan tanaman obat, termasuk rimpang dan herbal, akan memicu peningkatan produksi dan mutu produk, baik dalam bentuk segar maupun kering atau ekstrak. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutannya diperlukan upaya penambahan investasi baik dari sisi hulu maupun hilir yang termasuk dalam komponen agribisnis. A. Usaha Pertanian Primer Jumlah IOT/IKOT di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 1.023. Dengan asumsi laju pertumbuhan IOT 6,4% per tahun dan IKOT 1,8% per tahun, maka hingga 2010 diperkirakan kebutuhan bahan baku terus meningkat untuk masing-masing komoditas. Untuk mendukung kebutuhan pasokan bahan baku industri obat (IOT/IKOT/farmasi) hingga 2010, dibutuhkan pengembangan usaha pertanian primer dari tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng yang mengacu kepada GAP dengan menerapkan SOP budidaya yang dibakukan. Profil usaha pertanian primer untuk temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng disajikan pada Tabel 9. Investasi yang diperlukan untuk pengembangan luas areal untuk pengadaan bahan baku temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng pada tahun 2005-2010, disajikan pada Tabel 10. 28 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Tabel 9. Input dan output usaha pertanian primer untuk varietas unggul Jahe Putih Besar, Kencur, Kunyit, Temulawak dan Purwoceng per hektar per tahun Komoditas Jahe Putih Besar Kencur Kunyit Temulawak Purwoceng A GRO INOVAS I Uraian Tenaga Kerja Penyediaan Benih (2 ton x Rp. 4 500,-/kg) Sarana Produksi (Pupuk kandang, Pupuk buatan, Kaptan, Pestisida, Bahan Pembantu) Total Biaya Penerimanaan usahatani (20 ton x Rp. 4.500,-/kg) Pendapatan usahatani B/C rasio Tenaga Kerja Penyediaan Benih (2 ton x Rp. 7000,-/kg) Sarana Produksi (Pupuk kandang, Pupuk buatan, Pestisida, Bahan Pembantu) Total Biaya Penerimaan usahatani (16 ton x Rp. 7.000,-/kg) Pendapatan usahatani B/C rasio Tenaga Kerja Penyediaan Benih (2 ton x Rp. 3000,-/kg) Sarana Produksi (Pupuk kandang, Pupuk buatan, Pestisida, Bahan Pembantu) Total Biaya Penerimaan usahatani (20 ton x Rp. 3.000,-/kg) Pendapatan usahatani B/C rasio Tenaga Kerja Penyediaan Benih (2 ton x Rp. 3.500,-/kg) Sarana Produksi (Pupuk kandang, Pupuk buatan, Pestisida, Bahan Pembantu) Total Biaya Penerimaan usahatani (20 ton x Rp. 3.500,-/kg) Pendapatan usahatani B/C rasio Tenaga Kerja Penyediaan Benih (80 000 tanaman x Rp. 500,-/polibag) Sarana Produksi (Pupuk kandang, Pupuk buatan, Kaptan, Pestisida, Bahan Pembantu) Total Biaya Penerimaan usahatani (5,8 ton x Rp. 50 000,-/kg) Pendapatan usahatani B/C rasio Jml Biaya (Rp.) 16.436.000 9.000.000 5.695.000 31.131.000 90.000.000 58.869.000 2,89 7.950.000 14.000.000 4.450.000 26.400.000 112.000.000 85.600.000 4,24 9.950.000 6.000.000 6.312.500 22.262.500 60.000.000 37.737.500 2,70 9.950.000 7.000.000 4.000.000 20.950.000 70.000.000 49.050.000 3,34 6.000.000 40.000.000 48.000.000 94.000.000 290.000.000 196.000.000 3,09 Keterangan: Hasil penjualan benih merupakan 80% dari hasil panen, 20% sebagai penyusutan di gudang. 29 30 56.580 130,832 (6.300) Jahe JUMLAH Purwoceng 23.270 Kencur 198,308 - 71512,262 (130) 65,902 (2.900) 25,870 (1.360) 13.650 Kunyit 23,466 (1.113) 12.400 Temulawak Komoditas 2005 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 67,493 (2.970) 26,516 (1.390) 24,127 (1.190) 253,123 - 74512,733 (135) 58.080 134,154 (6.460) 23.850 13.990 12.700 2006 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 69,197 (3.045) 27,179 (1.428) 24,730 (1.198) 271,684 - 76013,205 (140) 59.400 137,373 (6.615) 24.430 14.330 13.020 2007 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 70,902 (3.120) 27,859 (1.460) 25,348 (1.215) 278,586 - 80013,677 (145) 60.885 140,800 (6.780) 25.040 14.680 13.345 2008 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 285,427 - 82514,018 (150) 62.407 144,380 (6.950) 25.650 72,492 (3.190) 15.050 28,555 (1.490) 13.680 25,982 (1.245) 2009 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 26,631 (1.276) 74,310 (3.270) 292,523 - 85014,369 (154) 63.967 147,944 (7.124) 16.290 15.426 29,269 (1.527) 14.020 2010 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) Tabel 10. Kebutuhan investasi untuk pengembangan usaha pertanian primer temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng pada tahun 2005-2010 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I B. Usaha Agribisnis Hulu Untuk mendukung kebutuhan pasokan bahan baku industri hingga tahun 2010, dibutuhkan pengembangan usaha pertanian dari tanaman temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng yang mengacu kepada GAP dengan menerapkan SOP budidaya yang dibakukan. Salah satu komponen budidaya yang penting di dalam agribisnis hulu adalah penyediaan benih bermutu. Untuk memenuhi kebutuhan benih kelima komoditas tanaman obat unggulan tersebut dibutuhkan investasi berupa benih yang berasal dari varietas unggul dan lahan untuk produksi benih. Profil investasi agribisnis hulu dalam pengadaan benih temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng seperti terlihat pada Tabel 11. C. Usaha Agribisnis Hilir Temulawak, kunyit, kencur dan jahe sebagian besar hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri jamu, farmasi ataupun industri kosmetika bersama komoditas lainnya. Meningkatnya kebutuhan bahan baku, sebagai akibat peningkatan jumlah industri. Tanaman obat dicirikan oleh produk turunan yang beragam dan nilai tambah yang tinggi. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6 (pohon industri), bahwa produk tanaman temulawak, kunyit, kencur dan jahe adalah produk setengah jadi (simplisia, pati, minyak, ekstrak), produk jadi (makanan/minuman, kosmetika, sirup, instan, bedak, tablet dan kapsul). Sedangkan untuk purwoceng, produk setengah jadi berupa simplisia dan ekstrak, produk jadi dalam bentuk jamu seduh, minuman kesehatan (IKOT/IOT), pil atau tablet/kapsul (Farmasi). 31 32 5.800,0 13,180 (580) Kencur JUMLAH Purwoceng 51,622- 0,141 10,4 (1,50) 18.900,0 28,045 (1.350) 4.080,0 5,390 (290) Kunyit Jahe 3.390,0 4,866 (240) Temulawak Komoditas 2005 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 5,556 (300) 5,170 (255) 19.380,0 53,028 - 10,80,146 (1,55) 28,658 (1.380) 5.940,0 13,498 (594) 4.170,0 3.570,0 2006 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 54,411- 0,150 11,2 (1,60) 19.845,0 29,385 (1.425) 6.090,0 13,839 (609) 4.284,0 5,762 (310) 3.594,0 5,271 (260) 2007 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 55,036- 0,155 11,6 (1,65) 20.340,0 29,398 (1.450) 6.240,0 14,180 (624) 4.380,0 5,910 (318) 3.645,0 5,393 (266) 2008 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 57,157- 0,160 12,0 (1,70) 20.850,0 30,859 (1.486) 6.380,0 14,544 (640) 4.470,0 6,059 (326) 3.735,0 5,535 (273) 2009 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) 58,094- 12,30,15 (1,75) 21,372,0 31,628 (1.523) 6.540,0 14,907 (656) 4.580,0 6,208 (334) 3.828,0 5,677 (280) 2010 Investasi (Rp. Volume Miliar)/ (ton) Luas (ha) Tabel 11. Kebutuhan investasi untuk pengembangan usaha agribisnis hulu (pengadaan benih) temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng pada tahun 2005-2010 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I Kebutuhan bahan baku (produk primer) adalah kebutuhan turunan dari produk-produk berbagai tanaman obat tersebut. Atas dasar produk-produk turunan yang ada saat ini dengan asumsi laju pertambahan kebutuhan obat tersebut sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk (2,5%/tahun) dapat dihitung jumlah produksi/serapan produk turunan tanaman tersebut mulai dari usaha simplisia, ekstrak sampai produk jadi dari tahun 2005 sampai 2010 seperti disajikan pada Tabel 12-14. Untuk meningkatkan nilai tambah dari temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng, pengembangan usaha hilir berpeluang untuk dilakukan. Usaha tersebut mencakup industri pengolahan simplisia, ekstrak dan produk jadi. Nilai investasi agribisnis hilir (pembuatan simplisia) tahun 2005-2010 untuk temulawak mencapai Rp. 178,92 Miliar, kunyit Rp. 151,098 Miliar, kencur Rp. 721,975 Miliar, jahe Rp. 1.119 Miliar dan purwoceng Rp. 35,366 Miliar (Tabel 12). Sedangkan nilai investasi untuk produksi ekstrak temulawak mencapai Rp. 345,857 Miliar, kunyit Rp. 448,436 Miliar, kencur Rp. 1.364,72 Miliar, jahe Rp. 10.091,18 Miliar serta purwoceng Rp. 194,277 Miliar (Tabel 13). Nilai investasi produk turunan temulawak tahun 2005-2010, mencapai Rp. 380,902 Miliar, kunyit Rp. 657,282 Miliar, kencur Rp. 2.791,11 Miliar, jahe Rp. 913,868 Miliar dan purwoceng Rp. 108,532 (Tabel 14). D. Investasi Pemerintah Untuk mendukung agribisnis dan agroindustri komoditas tanaman obat unggulan (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng), diperlukan dukungan investasi yang memadai dari pemerintah diantaranya melalui dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan, pendididikan dan latihan. Penelitian dan pengembangan meliputi semua segmen dalam sistem agribisnis yang mencakup usaha hulu, primer, pengolahan (pasca panen) dan pemasaran. Demikian pula untuk pendidikan dan pelatihan untuk instansi terkait dan petani mencakup semua segmen sistem agribisnis. Perkiraan investasi yang dibutuhkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan berbahan baku lima tanaman obat unggulan (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) diuraikan seperti pada Tabel 15. 33 34 4.654,58 Kencur - 42,49 366,847 5,537 175,197 134,459 23,654 28,000 Nilai (Rp. Miliar) - 43,55 11.028,66 4.770,90 2.802,96 2.568,24 Volume (t) 376,019 5,675 179,577 137,821 24,246 28,700 Nilai (Rp. Miliar) 2006 - 44,64 11.304,38 4.890,17 2.873,04 2.632,50 Volume (t) 385,420 5,817 184,067 141,266 24,852 29,418 Nilai (Rp. Miliar) - 45,76 11.587,00 5.012,42 2.944,87 2.698,30 Volume (t) 395,054 5,962 188,668 144,798 25,473 30,153 Nilai (Rp. Miliar) 2008 Kebutuhan Investasi per Tahun 2007 - 46,90 11.876,67 5.137,73 3.018,50 2.765,76 Volume (t) 2009 404,962 6,111 193,385 148,418 26,110 30,938 Nilai (Rp. Miliar) - 48,07 12.173,59 5.266,17 3.094,00 2.834,90 Volume (t) 278,171 6,264 198,220 15,213 26,763 31,711 Nilai (Rp. Miliar) 2010 930.915,0 Kencur JUMLAH Purwoceng - 17.220,0 1.114.655,0 547.260,0 Jahe 501.117,0 Kunyit Volume (kg) 2005 Temulawak Komoditas 1.718,466 30,414 1.400,911 213,595 70,203 54,144 Nilai (Rp. Miliar) - 17.650,5 1.142,527 954.187,8 560.941,5 513.644,9 Volume (kg) 1.812,526 31,174 1.435,934 218,935 71,958 55,497 Nilai (Rp. Miliar) 2006 - 18.091,8 1.176.086,0 978.042,5 574.965,0 526.486,0 Volume (kg) 1.838,917 31,954 1.471,833 224,488 73,757 56,885 Nilai (Rp. Miliar) 2007 - 18.544,0 1.200.365,2 1.002.493,6 589.339,2 539.648,2 Volume (kg) 1.904,765 32,753 1.508,628 230,100 75,600 58,307 Nilai (Rp. Miliar) 2008 Kebutuhan Investasi per Tahun - 19.007,6 1.230.377,1 1.027.555,9 604.072,6 553.139,4 Volume (kg) 2009 1.953,008 33,571 1.546,344 235,853 77,490 59,765 Nilai (Rp. Miliar) - 19.482,8 1.261.164,5 1.053.244,8 619.174,5 566.967,9 Volume (kg) 2.001,881 34,411 1.585,003 241,749 79,428 61,259 Nilai (Rp. Miliar) 2010 Tabel 13. Kebutuhan investasi usaha agribisnis hilir (pembuatan ekstrak) temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng tahun 2005-2010. JUMLAH Purwoceng 10.759,67 2.734,60 Jahe 2.505,60 Kunyit Volume (t) 2005 Temulawak Komoditas Tabel 12. Kebutuhan investasi usaha agribisnis hilir (produksi simplisia) temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng tahun 2005-2010. A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat JUMLAH 772,252 - 16,992 143,062 586.556.250 572.250.000 Jahe (Sirup instan Rp. 475,-/sachet) 8.496.000 437,105 289.053.305 282.003.225 Kencur (Beras kencur Rp. 1.550,-/botol) Purwoceng (Obat kuat Rp. 2.000/tea bag) 102,896 762.195.000 Kunyit (Vit plus Rp. 135,-/cap) 8.708.400 781.249.875 618.975.604 72,465 603.881.565 Temulawak (hepatoprotektor Rp. 120,-/tab) Volume produk jadi 2006 Nilai (Rp. Miliar) 2005 634.453.069 Volume produk jadi 791,836 - 17,420 146,639 811,627- 17,85 150,305 459,233 108,105 76,134 Nilai (Rp. Miliar) 8.926.110 601.220.156 448,032 296.279.638 105,468 800.781.122 74,277 Nilai (Rp. Miliar) 2007 831,921- 18,300 154,062 470,714 110,808 78,037 Nilai (Rp. Miliar) 9.149.262 616.250.660 303.686.629 820.800.650 630.314.396 Volume produk jadi 2008 Kebutuhan Investasi per Tahun 852,708 - 18,75 157,910 482,482 113,578 79,988 Nilai (Rp. Miliar) 9.377.944 691.659.926 311.178.795 841.320.666 666.572.225 Volume produk jadi 2009 874,069- 19,220 161,890 494,544 116,427 81,988 Nilai (Rp. Miliar) 6.612.444 647.448.350 319.060.765 862.353.683 683.236.562 Volume produk jadi 2010 Kebutuhan investasi agribisnis hilir (produk turunan) temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng tahun 2005-2010. Volume produk jadi Komoditas Tabel 14. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I 35 A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Tabel 15. Perkiraan investasi penelitian dan pengembangan, pendidikan serta pelatihan tanaman obat unggulan Komoditas Kebutuhan investasi* (Rp. 000,-) 2005 2006 Temulawak 900.000 1.000.000 Kunyit 900.000 1.000.000 Kencur 900.000 1.000.000 Jahe 1.800.000 2.000.000 Purwoceng 900.000 1.000.000 Jumlah 2007 2008 2009 2010 1.100.000 1.100.000 1.100.000 2.200.000 1.100.000 1.210.000 1.210.000 1.210.000 2.420.000 1.210.000 1.331.000 1.331.000 1.331.000 2.662.000 1.331.000 1.464.100 1.464.100 1.464.100 2.928.000 1.464.100 5.400.000 6.000.000 6.600.000 7.260.000 7.986.000 78.784.600 * Penelitian dan pengembangan bibit, budidaya, pengolahan dan pemasaran. E. Infrastruktur Sentra produksi tanaman obat (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) umumnya terdapat di pedesaan. Sebagian besar tanaman obat dibudidayakan sebagai tanaman sela dan tanaman pekarangan, maka infrastrukturnya sudah menyatu dengan infrastruktur desa. Sehingga infrastruktur untuk usaha tanaman obat dan produk turunannya tidak dibuat secara eksplisit. Untuk melihat kontribusi tanaman obat terhadap perekonomian nasional dengan tolok ukur nilai investasi, maka sampai tahun 2010, terbuka peluang investasi sebesar Rp. 21,745 triliun rupiah (Tabel 16). Atas dasar efek ganda yang ditimbulkan oleh investasi akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, disamping dampak penyerapan tenaga kerja di hulu dan di hilir serta sumbangannya kepada perbaikan kesehatan masyarakat. 36 Temulawak Agribisnis Hulu Pertanian Primer Agribisnis Hilir Pemerintah Sub-total Kunyit Agribisnis Hulu Pertanian Primer Agribisnis Hilir Pemerintah Sub-total Kencur Agribisnis Hulu Pertanian Primer Agribisnis Hilir Pemerintah Sub-total Jahe Agribisnis Hulu Pertanian Primer Agribisnis Hilir Pemerintah Sub-total Komoditas/Jenis Investasi 24,127 51,700 189,665 1,000 266,492 5,556 26,516 201,662 1,000 234,734 67,493 136,980 804,788 1,000 1.010,261 28,658 134,154 1.762,090 2,000 1.926,902 5,390 25,870 106,753 0,900 138,913 65,902 134,800 785,159 0,900 986,761 28,045 130,832 1.719,170 1,800 1.879,847 2006 23,466 48,660 185,840 0,900 258,866 2005 29,385 137,373 1.806,205 2,200 1.975,163 69,197 138,390 824,987 1,100 1.033,674 5,762 27,179 206,714 1,100 240,755 29,398 140,800 1.851,358 2,420 2.023,976 70,902 141,800 845,612 1,210 1.059,524 5,910 27,859 211,881 1,210 246,860 25,348 53,930 194,470 1,210 274,958 Investasi/ Tahun (Rp. MilIar) 2008 24,730 52,710 194,408 1,100 272,948 2007 30,859 144,380 1.897,639 2,662 2.075,540 72,492 145,440 866,753 1,331 1.086,016 6,059 28,555 217,178 1,331 253,123 25,982 53,350 204,281 1,331 284,944 2009 31,628 147,944 1.940,113 2,928 2.122,613 74,310 149,070 886,506 1,464 1.111,350 6,208 29,269 222,618 1,464 259,559 26,631 56,770 209,397 1,464 294,262 2010 Tabel 16. Rekapitulasi kebutuhan investasi temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng 2005-2010 177,973 835,483 10.976,580 14,010 12.004,040 420,296 846,480 5.013,805 7,005 6.287,586 34,885 165,248 1.166,806 7,005 1.373.944 150,284 317,120 1.178,061 7,005 1.652,470 Total Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I 37 38 TOTAL Purwoceng Agribisnis Hulu Pertanian Primer Agribisnis Hilir Pemerintah Sub-total Komoditas/Jenis Investasi Tabel 16. Lanjutan 3.330,633 0,141 12,262 52,943 0,900 66,246 2005 3.507,103 0,146 12,733 54,835 1,000 68,714 2006 3.592,615 3.677,375 0,155 13,677 57,015 1,210 72,057 Investasi/ Tahun (Rp. MilIar) 2008 0,150 13,205 55,620 1,100 70,075 2007 3.773,564 0,160 14,018 58,432 1,331 73,941 2009 3.863,632 0,165 14,369 59,850 1,464 75,848 2010 21.744,92 0,917 80,265 338,695 7,005 345,700 Total A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat A GRO INOVAS I VII. DUKUNGAN KEBIJAKAN 1. Keputusan politik pemerintah untuk menetapkan penggunaan obat bahan alami yang bahan bakunya antara lain tanaman obat sebagai bagian dari pelayanan kesehatan formal. 2. Amandemen dan revisi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang belum sejalan dengan keputusan politik sebagaimana tersebut pada butir 1. 3. Penyusunan program nasional pengembangan obat bahan alam berbasis tanaman obat asli Indonesia (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) secara terpadu, yang melibatkan semua pihak terkait dari hulu sampai hilir. 4. Mendirikan Badan atau Institusi khusus yang memiliki otoritas memadai yang akan merencanakan, mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan program nasional sebagaimana tersebut pada butir 3. 5. Membangun dan melengkapi sarana dan prasarana pendukung: a). Universitas yang akan mendidik tenaga medis untuk pelayanan kesehatan dengan obat bahan alami, b) Rumah Sakit dan Apotek yang melayani masyarakat dengan obat bahan alami, c) Jalan, transportasi dan telekomunikasi ke daerah-daerah sentra produksi tanaman obat, d) Bantuan modal untuk petani dan pengusaha yang akan berusaha dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) baik di hulu maupun di hilir. 6. Fasilitasi munculnya iklim usaha dan kemitraan yang sinergis dengan prinsip win-win diantara para pelaku agribisnis dan agroindustri berbasis obat bahan alam di Indonesia. 39