BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lupus Eritematosus
Sistemik
(SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks
ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ
dalam tubuh (Suarjana, 2014). Manifestasi klinik SLE bermacam-macam, sekitar 10%
memiliki lesi kulit, baik yang spesifik (malar rash, butterfly rash), maupun tidak spesifik
(papulomatous, anular), 25% menunjukkan lesi discoid, 60-100% fotosensitivitas, 53-95%
mengalami keluhan musculoskleletal, 40-70% terjadi gangguan ginjal, 20-30% disfungsi
kognitif, dan 7-10% kejadian neurologis (kejang), kurang dari 1% terjadi demielinisasi,
chorea, 25% perikarditis, dan 45-60% nyeri pluritik, serta 3-13% komplikasi penyakit paru
intertitial (Bertsias, 2012).
Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang
cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan
dalam patofisiologi SLE (Perhimpunan Rematologi Indonesia, 2011).
Komponen imunologi multipel berperan dalam patogenesis SLE. Kelainan imunologi
yang bervariasi telah dijelaskan pada SLE, dan mencakup kemampuan untuk menghasilkan
autoantibodi patogen, kurangnya regulasi limfosit T dan B, dan gangguan pembersihan
autoantigen dan kompleks imun (Khisnamurthy dan Mahadevan, 2011).
Lupus Eritematosus Sistemik ditandai adanya gangguan dalam sistem imun yang
meliputi sel B, sel T, dan turunan dari sel-sel monositik, yang mengakibatkan aktivasi sel
B poliklonal, peningkatan jumlah sel yang memproduksi antibodi, hiper gamaglobulinemia,
produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun. Bantuan sel T yang berlebihan
dan tidak terkontrol terhadap diferensiasi dan aktivasi sel B pembentuk autoantibodi adalah
hasil akhir dari jalur ini. Aktivasi sel T dan sel B memerlukan stimulasi gen yang spesifik.
Bahan kimia yang iritatif seperti pristane, NA bakteri, dan fosfolipid dinding sel, serta
antigen virus dapat menginduksi antibodi anti-DNA
kompleks
pada tikus. Self antigen
seperti
protein-DNA dan protein-RNA dapat menginduksi produksi autoantibodi
(Suarjana, 2014).
Interleukin 6 (IL-6) merupakan sitokin pleitropik, dimana kadar abnormalnya
ditemukan pada tikus model lupus maupun pada serum dan jaringan lokal pada pasien lupus.
Kadar IL-6 meningkat secara signifikan dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit dan kadar
anti dsDNA (Su et al., 2012).
Angka harapan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun ,82
sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai 75% setelah 20
tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun) dikaitkan dengan
ditemukannya kadar kreatinin serum yang tinggi (>124 μmol/l atau >1,4 mgdl), hipertensi,
sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia (hemoglobin <124 g/l atau
<12,4 g/dl), hipoalbuminemia, hipokomplemenemia, dan aPL pada saat diagnosis
(Bhattacharya et al., 2011).
Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas penyakit
sistemik, gagal ginjal, dan infeksi. Kejadian tromboemboli semakin sering menjadi penyebab
mortalitas (Bertsias et al., 2012).
Tujuan pengobatan SLE adalah meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien
SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan
SLE adalah mendapatkan masa remisi yang panjang, menurunkan aktivitas penyakit seringan
mungkin, mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian
tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal (Perhimpunan Rematologi Indonesia,
2011).
Kemajuan besar terjadi dalam pengobatan SLE pada dekade terakhir. Dosis rendah
rezim siklofosfamid dan agen biologi sekarang berkembang. Terapi biologi spesifik
dikembangkan dengan menargetkan kelainan imunologis pada SLE dengan menggunakan
rekombinan sitokin, memblokir antibodi, dan reseptor terlarut. Terapi gen merupakan cara
yang efisien dan menguntungkan, memberikan imunomodulator dan mediator anti inflamasi,
baik secara alami atau rekayasa genetika, membentuk inhibitor sitokin inflamasi
(anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi yang poten seperti TGF-β. Transplantasi sel punca
telah diteliti dalam pengelolaan lupus berat dalam hubungannya dengan morbiditas dan
mortalitas terkait pengobatan SLE (Khisnamurthy dan Mahadevan, 2011).
Transplantasi sel punca (SCT) telah dikembangkan selama 20 tahun terakhir sebagai
terapi untuk penyakit rheumatologi autoimun refrakter, yang dapat mengendalikan proses
penyakit autoimun dan mencapai remisi yang berkelanjutan. Konsensus pertama pada tahun
1997, sekitar 200 kasus terapi sel punca sumsum tulang autologus atau hematopoietik telah
dilaporkan di seluruh dunia untuk pasien dengan SLE refrakter yang parah dan tidak
membaik dengan pengobatan imunosupresif konvensional, dan menurut hasil penelitian
transplantasi sel punca hematopoietik dapat mencapai remisi klinis berkelanjutan (mulai dari
50% sampai 70%, kelangsungan hidup 5 tahun) terkait dengan perubahan imunologi yang
tidak terlihat dengan bentuk-bentuk terapi lainnya lain (Yan et al., 2013).
Sel punca atau dikenal stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang
mempunyai 2 sifat, yaitu kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel lain (differentiate).
Penelitian yang telah dilakukan, sel punca mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel
matur, misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas, dan lain-lain. Sel
punca memiliki kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri (selfregenerate/self-renew), sehingga sel punca dapat membuat salinan sel yang persis sama
dengan dirinya melalui pembelahan sel (Watt dan Ryan, 2010).
Keberhasilan terapi sel punca pada SLE telah dikaitkan ulang dengan sebuah sistem
kekebalan tubuh menyimpang baik secara langsung mengganti kekebalan tubuh dengan sel
punca hematopoietik atau melalui immunomodulasi dengan sel punca mesenkimal (MSC),
sehingga terjadi pergeseran sistem kekebalan tubuh dari lingkungan yang sangat proinflamasi menjadi kurang inflamasi (Yan et al., 2013).
Sel punca mesenkimal (MSC) adalah sel progenitor multipoten dengan potensi
multilineage untuk berdiferensiasi menjadi jenis sel asal mesoderm, seperti adiposit, osteosit,
dan kondrosit. Dikembangkan kriteria minimal untuk mendefinisikan secara universal MSC
manusia. Kriteria meliputi plastisitas, mengekspresikan antigen permukaan spesifik (CD73+
CD90+ CD105+ CD34- CD45- CD11b- CD14- CD19- CD79a- HLA-DR-) serta potensial
diferensial multipoten dalam kondisi diferensiasi vitro yang standar (Kim dan Cho, 2013).
Tidak seperti sel punca hematopoietik, imunogenisitas MSC tanpa MHC-II dan menstimulasi
ekspresi molekul. Sel punca mesenkimal berada di sumsum tulang, otot rangka, jaringan
adiposa, jaringan ikat, tali pusar darah, dan produk plasenta (Yan et al., 2013).
Konsep MSC telah diperluas untuk mencakup sekresi molekul biologis aktif yang
memberi efek menguntungkan pada sel-sel lain. Konsep ini menggeser sebuah paradigma
lama yang berpusat pada diferensiasi, di mana MSC bisa menjadi terapi bahkan jika MSC
tidak ditanam atau berdiferensiasi menjadi jaringan sel spesifik, yang secara signifikan
meningkatkan jangkauan aplikasi terapi MSC. Efek parakrin MSC dapat dibagi menjadi
trofik (memelihara), imunomodulator, anti-scaring dan chemoattractant. Efek trofik MSC
dapat lebih dibagi lagi menjadi anti-apoptosis, mendukung (stimulasi mitosis, proliferasi dan
diferensiasi prekursor organ-intrinsik atau sel induk) dan angiogenik (da Silva et al., 2009).
Sel punca mesenkimal menghasilkan media terkondisi, yang disebut secretome, yang
terdiri dari sitokin, kemokin atau faktor pertumbuhan, yang memediasi beragam fungsi
melalui hubungan antara jenis sel yang berbeda Dalam lingkungan sumsum tulang, MSC dan
osteoblas merupakan fraksi stroma dalam jaringan yang kompleks yang dibentuk oleh sel-sel
induk hematopoietik (HSCS), sel induk endotel dan keturunan mereka. Lingkungan yang
mendukung, MSC mengontrol kelangsungan hidup, proliferasi dan diferensiasi sel punca. Sel
punca mesenkimal berperan juga dalam regenerasi jaringan baik secara lokal atau lebih luas
melalui sekresi faktor trofik. Larutan ini merupakan mediator yang dapat bertindak secara
langsung, memicu mekanisme intraseluler sel yang terluka, atau tidak langsung, merangsang
sekresi fungsional aktif mediator oleh sel di sekitarnya. Sel punca mesenkimal menipiskan
kerusakan jaringan, menghambat renovasi fibrosis dan apoptosis, mempromosikan
angiogenesis, menstimulasi perekrutan sel punca endogen dan proliferasi, dan mengurangi
respon imun (Maumus et al., 2013).
Mekanisme dominan pada MSC untuk perbaikan jaringan adalah melalui fungsi
parakrin. Melalui produksi dari banyak faktor trofik, MSC dapat mengurangi cedera jaringan,
melindungi jaringan dari degradasi lebih lanjut dan/atau meningkatkan perbaikan jaringan.
Namun, pemeriksaan vivo menyeluruh dalam menghasilkan secretome dan strategi untuk
memodulasi masih kurang (Maumus et al., 2013).
Ma (2012) meneliti peran MSC pada nefritis lupus, meneliti efek alogenik MSC
(sumsum tulang yang diturunkan sel mesenkimal induk) dan mempelajari mekanisme pada
tikus BMR/lpr, hewan model SLE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengobatan dengan
MSCT selama 8 minggu secara signifikan dapat memperpanjang kelangsungan hidup dari
tikus BMR/lpr, mengurangi ukuran spleen dan kadar
proteinuria 24 jam, meringankan
glomerulonefritis dan deposisi autoantibodi patologis di ginjal, menurunkan persentase sel
zona B, sel 1/2 B Transisi, sel B aktif dan sel plasma, menurunkan kadar serum BAFF, IL-10
dan autoantibodi anti dsDNA, meningkatkan kadar serum TGF-β. MSC juga bisa menekan
kadar faktor mengaktifkan sel-B (BAFF) yang disekresikan oleh sel dendritik in vitro (Ma et
al., 2012).
Terapi sel punca mesenkimal dilaporkan telah berhasil mengurangi gangguan ginjal
pada SLE, walaupun penelitian ini menggunakan metode yang belum terkontrol baik (Tögel
dan Westenfelder et al., 2010; Lee et al., 2010).
Sel mesenkimal yang berasal dari tali pusat (UC-MSC) juga menunjukkan efek
terapeutik yang signifikan pada hewan percobaan model lupus. Untuk mengetahui efektivitas
UC-MSC pada manusia, Wu et al. (2010) meneliti 16 pasien SLE refrakter yang menerima
transplantasi UC-MSC. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa UC-MSCs sukses
dalam mengurangi keparahan penyakit SLE dengan meningkatnya skor aktivitas penyakit.
Perbaikan yang signifikan terhadap titer serum ANA dan anti-dsDNA, meningkatnya serum
albumin, dan meningkatnya C3. Pasien juga mengalami peningkatan Tregs perifer bersama
dengan pemulihan keseimbangan sitokin Th1/Th2 (Collin dan Gilkesson, 2013).
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa perlu penelitian lebih lanjut tentang sel
punca mesenkimal baik tentang mekanisme aksi dan pengembangan protokol klinik yang
aman (Singer dan Caplan, 2011). Namun uji klinis tentang penggunaan terapi media sekresi
kultur sel punca mesenkimal dalam medium terkondisi pada lupus belum ada data.
Berdasarkan uraian di atas telah diketahui banyak manfaat dari sekresi sel punca
mesenkimal pada Lupus Erimatosus Sistemik, namun belum ada penelitian sebelumnya yang
menggunakan media sekresi dari sel punca mesenkimal ini sehingga peneliti berkeinginan
meneliti tentang pengaruh sekresi sel punca mesenkimal pada kultur medium terkondisi
hipoksia terhadap kadar IL-6 dan mikroalbuminuria pada mencit model lupus dengan induksi
pristan.
B. Rumusan Masalah
1. Adakah pengaruh secretome sel punca mesenkimal terhadap ekspresi IL-6 pada
mencit model lupus dengan induksi pristan.
2. Adakah pengaruh secretome sel punca mesenkimal terhadap kadar mikroalbuminuria
pada mencit model lupus dengan induksi pristan.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Membuktikan pengaruh secretome sel punca mesenkimal terhadap ekspresi IL-6 dan
2.
kadar mikroalbuminuria pada mencit model lupus dengan induksi pristan..
Tujuan Khusus
a. Membuktikan pengaruh secretome sel punca mesenkimal terhadap ekspresi IL-6
pada mencit model lupus dengan induksi pristan.
b. Membuktikan pengaruh secretome sel punca mesenkimal terhadap kadar
mikroalbuminuria pada mencit model lupus dengan induksi pristan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan bukti ilmiah mengenai pengaruh secretome sel punca mesenkimal
terhadap ekspresi IL-6 pada mencit model lupus dengan induksi pristan.
b. Memberikan bukti ilmiah mengenai pengaruh secretome sel punca mesenkimal
terhadap kadar mikroalbuminuria pada mencit model lupus dengan induksi
pristan.
2. Manfaat Terapan
a. Menjadikan secretome sel punca mesenkimal sebagai salah satu terapi dalam
b.
penatalaksanaan lupus erimatosus sistemik.
Efek secretome sel punca mesenkimal pada peningkatan outcome pasien lupus.
Download