Modul Filsafat Ilmu dan Logika [TM11]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
FILSAFAT
ILMU DAN
LOGIKA
PENGETAHUAN DAN KEBENARAN III
Fakultas
Fakultas
Psikologi
Program
Studi
Tatap
Muka
11
Abstract
Nalar tidak dapat berkembang tanpa ajaran yang
berdasarkan pendengaran (al-Kitab), seperti juga
ajaran yang berdasarkan pendengaran tidak dapat
berkembang tanpa nalar
Kode MK
Disusun Oleh
Kode MK
Masyhar, MA
Kompetensi
Mengerti
dan
memahami
tentang
pengetahuan dan kebenaran yang
disertai dengan cara berpikir logis
Mampu berpikir reflektif terhadap
masalah-masalah psikologi
A. Hakikat Kebenaran
Kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang kongkrit maupun
abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Proposisi
maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statemen. Apabila
subjek mengatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas sifat
atau karakteristik, hubungan hal yang demikian itu sarana kebenaran tidak dapat begitu saja
terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.
Kebenaran dapat didefinisikan pula sebagai kesetiaan pada realitas objektif, yaitu
suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi.
Kebenaran adalah persesuaian (Agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta
dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement)
dengan situasi seputar
(environmental situation) yang diberi interpretasi.
Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan manusia, sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia, artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan
selalu berusaha memeluk suatu kebenaran. Sedangkan menurut Russel kebenaran adalah
suatu sifat kepercayaan dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan
tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan antara suatu kepercayaan dan fakta.
Menurut Djaelani (dalam Sofyan, 2010: 425) kebenaran adalah persesuaian antara
pernyataan dengan fakta-fakta itu sendiri atau pertimbangan (judgment) dan situasi yang
dipertimbangkan itu berusaha melukiskannya.
Kebenaran adalah soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang dijadikan
objeknya, yaitu apabila terdapat persesuaian dalam hubungan antara objek dan
pengetahuan kita tentang objek itu (Gazalba dalam Sofyan, 2010: 426). Menurut adalah
kesesuaian dengan fakta. Kebenaran adalah perwujudan dari pemahaman subjek tentang
sesuatu, terutama yang bersumber dari sesuatu yang di luar subjek, yaitu fakta, peristiwa,
nilai-nilai (norma hukum) yang bersifat umum. Kebenaran itu tampaknya bersifat relatif
sebab apa yang dianggap benar oleh suatu masyarakat atau bangsa, belum tentu akan
dinilai sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat atau bangsa lain.
Menurut Plato Kebenaran sebagai suatu ketakter tersembunyi yang adanya itu tidak
dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini. Pengertian kebenaran seperti ini sama
dengan pendapat Thomas Aquinas sebagai kebenaran ontologis. Aritoteles dapat
memahami kebenaran lebih memusatkan perhatiannya pada kualitas pernyataan yang
dibuat oleh subjek penahu ketika ia menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau
negatif itu tergantung pada apakah putusan yang bersangkutan sebagai pengetahuan dalam
diri subjek penahu itu sesuai atau tidak dengan kenyataannya. Di sini kebenaran dimengerti
sebagai persesuaian antara subjek sipenahu dengan objek yang diketahui.
2016
2
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pengertian kebenaran dapat dibedakan antara kebenaran faktual dan kebenaran
nalar. Kebenaran faktual adalah kebenaran tentang ada tidaknya secara faktual didunia
nyata, sebagaimana di alam manusia ( biasanya dengan dapat – tidaknya dia nanti secara
indrawi apa yang dinyatakannya. Misalnya apakah pernyataan bumi itu bulat, merupakan
suatu pernyataan yang memiliki kebenaran. Kebenaran faktual adalah kebenaran yang
menambah khazanah pengetahuan tentang alam semesta. Sejauh dapat kita alami secara
indrawi. Kebenaran nalar adalah kebenaran yang bersifat tautologis dan tidak menambah
pengetahuan baru mengenai dunia ini, tetapi dapat merupakan sarana berdaya guna untuk
memperoleh pengetahuan yang berarti tentang dunia ini. Dengan kata lain dapat membantu
untuk memperoleh pengetahuan yang memiliki kebenaran faktual. Kebenaran nalar adalah
kebenaran yang terdapat dalam logika dan matematika kebenaran di sini bedasarkan atas
suatu penyimpulan terdeteksi sehingga berbeda dengan kebenaran faktual yang bersifat
nisbi dan mentak, kebenaran, ‘nalar bersifat mutlak.
Selanjutnya, berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran
itu menjadi empat tingkatan diantaranya :
1) Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan
pertama yang dialami manusia
2) Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui
indara, diolah pula dengan rasio
3) Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah
kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4) Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha
Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan
kepercayaan . Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan
memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan
kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran,
tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan
batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang
dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang
dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
B. Kriteria Kebenaran
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa
yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan
berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria
kebenenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya, karena sifat
dan watak pengetahuan itu berbeda.
2016
3
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan itu adalah untuk mencapai
kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja, problem kebenaran inilah
yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi (teori tentang hakikat dan ruang
lingkup pengetahuan). Telaah epistemologi terhadap kebenaran, membawa orang kepada
suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran
epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantic. Kebenaran epistimologis
adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti
ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu
yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantic adalah kebenaran yang terdapat
serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.
Dalam studi Filsafat Ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’
tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoretis yang dijadikan pijakannya.
itu sangat
Ada tujuh
teori kebenaran yang paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya, yaitu:
1.
Teori Korespondensi (Bertand Russel 1872-1970)
Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi adalah “teori kebenaran yang
menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung
dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh
pernyataan tersebut.”
Maksudnya jika ada yang mengatakan bahwa “monas ada di Jakarta ,” maka
pernyataan itu benar karena memang secara bangunan monas ada di Jakarta.
Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran
yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini
menganggap bawa “suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu
mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya”,
Contoh, ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian
(correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian kebenaran
epistemologis adalah kemanunggalan/keselarasan antara pengetahuan yang ada pada
subjek dengan apa yang ada pada objek, atau pernyataan yang sesuai dengan fakta, yang
berselaras dengan realitas, yang sesuai dengan situasi aktual.
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di antara
pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, russel, Ramsey dan Tarski. Mengenai
teori korenspondensi tentang kebenaran, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan itu
sendiri.
2.
Teori Koherensi tentang kebenaran (konsistensi)
2016
4
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley.
Suatu pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah “bila suatu proposisi itu
mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar”.
Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau
melalui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu
sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan
fakta atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan kata lain
kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan
lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih dahulu.
Teori ini menganggap bahwa “Suatu pernyataan dapat dikatakan benar apabila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang di anggap benar. “
Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “semua hewan akan mati” adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam adalah hewan, dan ayam akan
mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan
yang pertama.
Jadi menurut teori ini, “putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling
berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Maka lahirlah rumusan kebenaran
adalah konsistensi, kecocokan.”
3.
Teori Pragmatis (Charles S 1839-1914)
Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey.
Suatu pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah “bila proposisi itu
mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang
terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka menurut teori ini, tidak ada
kebenaran mutlak, universal, bediri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan
tergantung serta dapat diroreksi oleh pengamalan berikutnya.
Untuk pertama kalinya teori ini tertuang dalam dalam sebuah makalah tahun 1878 yang
berjudul “ How To Make Our Ideas Clear”, lalu kemudian di kembangkan oleh beberapa ahli
filsafat yang kebanyakan orang
berkebangsaan Amerika, dan menyebabkan filsafat ini
sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli filsafat ini antara lain William James (18421910), John Dewey (1859-1952), Geore Herbart Mead (1863-1931). “Kebanaran bagi aliran
ini diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis
atau tidak?.”
Jika seseorang menyatakan teori x dalam pendidikan, lalu dari teori itu
dikembangkan teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap
benar karena fungsional.
2016
5
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil,
atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat bagi
kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia mambawa kepada
akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia mempunyai nilai
praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat
praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
4.
Teori Kebenaran Sintaksis
Di dalam teori ini dibedakan antara arti dalam bentuk sintaksis atau menurut struktur
sintaksis atau tata bahasa atau gramatika. Artinya, bahwa proposisi itu memiliki arti dan
bahkan memiliki kebenaran dalam hubungannya dengan syarat tata bahasa. Jadi apabila
pernyataan itu tak mengikuti dan memenuhi syarat gramatika atau bahkan ke luar dari hal
yang di syaratkan tata bahasa maka proposisi itu tak memiliki arti dan makna sama sekali.
Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal pada keteraturan sintaksis atau
gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu
tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki
arti. Teori ini berkembang di antara para filusuf analitika bahasa terutama yang begitu ketat
terhadap pemakaian gramatika seperti Freiederich Schleiermacher (1768-1834) Menurut
Schleiermacher sebagaimana dikemukakan oleh Poespoprojo (1987) bahwa pemahaman
adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus
kembali kesuasana kejiwaan dimana ekspresi itu diung-kapkan. Disini terdapat dua momen
yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.
5.
Teori Kebenaran Semantis
Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi itu mempunyai nilai
kebenaran dan memiliki arti apabila proposisi itu menunjukkan makna yang sesung-guhnya
dengan menunjuk pada referensi atau mengacu pada kenyataan (fakta atau data). Juga, arti
yang dikemukakan itu adalah arti yang sifatnya definitif atau bahkan esoterik yaitu arti yang
sungguh-sungguh melekat pada term yang digunakan dalam pernyataan itu dengan
mengacu dan menunjuk pada ciri yang khas. Teori kebenaran ini dianut oleh para filusuf
analitika bahasa. Filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca Bertrand Russell dan
G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat analitika bahasa.
Teori kebenaran semantik sebenarnya berpangkal pada pendapat Aristoteles yang
bertolak bahwa pengetahuan selalu bertolak pada objek yang common sensible. White
(1970) menyatakan “..... To say of what is that it is or of what is not, is true” atau bahkan
mengacu pada teori kebenaran tradisional korrespondensi yang menyatakan bahwa “ .....
2016
6
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
that truth consists in correspondence of what is said and what is fact” Dengan demikian,
teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila
proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukan kenyataan sebagai acuan (referensi)
yaitu objek konkret yang common sensible.
Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan
apakah proposisi itu memiliki arti esoterik, arbitrer, atau hanya manakala berfungsi secara
praktis. Arti yang terkandung dalam pernyataan amat tergantung pada sikap pemakai makna
pernyataan itu. Sikap itu antara lain adalah sikap episte-mologis skeptis, sikap ini adalah
kebimbangan taktis atau sikap ragu untuk mencapai kepastian (certainty) dalam
memperoleh pengetahuan. Dengan sikap ini dimaksudkan agar dicapai makna yang esoterik
yaitu makna yang benar-benar pasti tak lagi mengandung keraguan di dalamnya. Sikap lain
adalah sikap epistemologik yakin dan ideologik. Di dalam sikap ini dikandung makna bahwa
proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer atau sewenang-wenang atau kabur,
dan tidak memiliki sifat pasti. Jika diandaikan mencapai kepastian sebatas pada
kepercayaan yang ada pada dirinya. Serta, sikap epistemologi pragmatik. Sikap ini
menghasilkan makna pernyataan amat terikat pada nilai praktis pada pemakai proposisi.
Akibat sematiknya adalah kepastian terletak pada subjek yang menggunakan pernyataan
itu. Artinya apakah pernyataan berakibat praktis atau konsekuensi praktis bagi pengguna
pernyataan itu.
6.
Teori Kebenaran Non- Deskripsi
Teori
kebenaran
non-deskripsi
dikembangkan
oleh
para
penganut
filsafat
fungsionalisme. Menurut paham ini pada dasarnya suatu pernyataan akan memiliki nilai
benar amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. White (1970) menyatakan
bahwa “..... to say, it is true that not many people are likely to do that, is a way of agreeing
with the opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the
sentence used to express the opinion”. Menilik pernyataan ini, pengetahuan akan memiliki
nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan
keseharian. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya
secara praktis dalam kehidupan keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan bahwa
“The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of “true”
and “false”, but not an analysis of their meaning”.
Sebagai contoh di dalam budaya Indonesia dan Budaya Jawa terdapat beberapa
istilah yang maknanya diketahui secara umum sehingga kadang-kadang tak diperlukan
deskripsi arti yang dikandungnya. Sebagai contoh istilah “kiri”, memiliki banyak arti tetapi arti
itu pada umumnya tak perlu lagi ditunjukkan maknanya. Contoh lain, istilah “bulan”.
7.
2016
Teori Kebenaran Logik
7
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori ini dikembangkan atau dianut oleh kaum logika positivistik yang di awali oleh
Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya
merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan, karena
pada dasarnya pernyataan atau proposisi yang hendak dibuktikan kebenarannya telah
memiliki derajat logik yang dapat dipertanggungjawabkan, dan, bahasa yang digunakan
mengandung kebenaran logis yang di dalamnya telah saling melingkupinya (atau tanpa di
jelaskan maknanya telah ditunjukkan oleh eksistensi objek, objek adalah object given (yang
sifatnya actual being), dengan demikian, sesungguhnya semua orang telah memberikan
informasi yang maknanya telah disepakati bersama. Dan apabila, akan dibuktikan lagi
kebenarannya itulah suatu perbuatan yang sifatnya logis berlebihan.
Sebagai contoh, pernyataan “salju putih” pernyataan ini tak perlu dibuktikan secara
logis karena semua orang sepakat demikian. Atau, pernyataan “orang gundul tak berambut”
semua orang sepakat bahwa orang gundul mesti tak berambut, sehingga apabila dibuktikan
lagi kandungan kebenarannya maka itu tindakan logis berlebihan. Hal demikian,
sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya itu telah
mengacu pada fakta yang actual being atau data yang telah memiliki evidensi, artinya
bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri
(Gallagher, 1971).
8.
Agama sebagai teori kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan
jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam,
manusia maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih
mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, maka dalam teori ini lebih
mengedepankan wahyu yang bersumber dari tuhan.
Penalaran dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah
melakukan penyelidikan dan pengalaman. Sedangkan manusia mencari dan menentukan
kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau mencari jawaban
tentang masalah asasi dari atau kepada kitab suci, dengan demikian suatu hal itu dianggap
benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
9. Teori Kebenaran Konsensus
Teori ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Kriteria kebenaran menurut teori ini
adalah persepakatan atau persetujuan yang dianggap rasional dari suatu perbincangan
tertentu. Oleh karena itu, kebenaran yang berdasarkan konsensus tidak dapat berlaku
mutlak satu kali perbincangan untuk selamanya, sebab hasil perbincangan mana pun harus
terbuka untuk diperbincangkan kembali.
2016
8
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Untuk dapat sampai pada suatu kebenaran yang bersifat kesepakatan atau
konsensus harus dipenuhi syarat-syarat situasi perbincangan yang ideal. Untuk menghindarkan kesulitan yang mungkin timbul peserta perbin-cangan harus mengandaikan bahwa
yang diperbincangkan situasi empirik yang aktual (dalam bahasa Aristoteles yang actual
being/factual). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah (1) Semua peserta
perbincangan harus diberi kesempatan yang sama untuk bicara seperti apa yang
diinginkannya. (2) Peserta diberi kesempatan yang sama untuk menafsirkan, menganjurkan,
membenarkan, dan juga mempersoalkannya, (3) Semua peserta dituntut agar mengambil
sikap komunikatif yang wajar yakni mengutarakan apa yang dipikirkannya dan betul-betul
bermaksud menyampaikan pikiran-pikirannya kepada peserta lain; Dan, (4) Di antara
peserta perbincangan tidak dibolehkan ada perbedaan wewenang atau kekuasaan yang
dapat mempengaruhi jalannya perbincangan.
Teori kebenaran konsensus ini pada tataran filsafat politik menjadi basis bagi teori
demokrasi pada saat melakukan perbincangan politik. Dengan demikian, tak ada jarak di
anatara peserta perbincangan dean hasilnya dapat dikoreksi atau disaksikan bersama
dengan tidak memper-hatikan sekat ideologi, jabatan, atau lainnya, karena setiap hasil
perbincangan disampaikan secara terbuka kepada publik pada ruang publik yang terbuka.
10. Teori Kebenaran Otoritarianis
Bertumpu pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, kita dapat memilahkan bahwa
masing-masing pernyataan memiliki nilai benar dengan bertumpu pada kewibawaan yang
dimiliki oleh pembicara. Dalam pernyataan (1) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang
saya peroleh dari Prof. X adalah benar”, (2) “saya percaya bahwa informasi yang
disampaikan oleh pejabat Q adalah benar, serta (3) “Saya percaya bahwa pengetahuan
yang disampaikan oleh Ketua Suku saya adalah benar”. Ketiga pernyataan itu disampaikan
kepada subjek, dan subjek menerimanya begitu saja tanpa kritis atau menggunakan logika
yang rumit, karena pada dasarnya subjek menerima ke-3 informasi itu bertumpu pada
kewibawaan yang melekat pada masing-masing subjek yang menyampaikan informasi
kepada subjek mengetahui lain. Subjek pertama (1) adalah pemegang otoritas karena
subjek memiliki kewibawaan material atau bahkan kharismatik. Orang yang menerima
informasi dari subjek pemegang otoritas material pada umumnya diterima karena subjek
percaya pada kemampuan material yang melekat pada dirinya. Atau subjek menge-tahui; (2)
mendapat informasi pengetahuan dari mereka pemegang otoritas formal apakah ia pejabat
formal atau subjek pemegang jabatan formal (struktural), dan
(3) subjek memperoleh
pengetahuan sebagaimana disampaikan oleh mereka yang secara fungsional memiliki
kekuasaan untuk membina kelompok (suku) atau umatnya. Dengan demikian terdapat 3
2016
9
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
macam otoritas yang ada di dalam masyarakat yaitu (1) otoritas kharismatik, contohnya
Bung Karno, atau mungkin Obama, dan para Guru Besar di bidang Ilmunya. (2) otoritas
formal, contoh, para guru, pejabat pemerintahan, dan (3) otoritas fungsional, contoh, tetua
suku, atau key person di dusun (tradisional). Subjek yang memperoleh pengetahuan
demikian dipercaya telah terdapat kebenaran di dalamnya —walaupun mungkin subjek ragu
terhadap informasi yang disampaikannya itu, namun pada umumnya subjek penerima berita
dari salah satu atau ketiganya pemegang kewibawaan baik material, formal maupun
fungsional
2016
10
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Alex lanur OFM. Logika Selayang Pandang. Kanisius. Jogjakarta. 1983
Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia
Farâbî, Abû Nashr al-, 1968. Ihshâ al-‘Ulûm, Kairo: Maktabah al-Anjalû al-Mishriyah,
Ghazali, Abû Hâmid al, 2000 Mi‘yâr al-‘Ilm, Kairo: Maktabah al-Jundi,
Ibrâhîmî, Muhammad Nûr, ‘Ilm al-Manthiq, Surabaya: Sa‘ad Ibn Nâshr Nabhân,
Katsoff, Louis O, 2000 Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana
Mehra, Partap Sing &Jazir Burhan, 1996, Pengantar Logika Tradisional, Bandung: Bina
Cipta,
Nasoetion, Andi Hakim, 2008 Pengantar ke Filsafat Sains, Bogor, Litera Antar Nusa,
Poespoprodjo,1999 Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, Bandung: Pustaka
grafika
Soekardjo, 2001, Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia
Pustaka
Sumaryono, E. 1998, Dasar-Dasar Logika, Yogyakarta: Kanisius
2016
11
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download