ABSTRAK Makhsis Sakhabi, DJ Gerakan Dakwah Dalam Konteks

advertisement
ABSTRAK
Makhsis Sakhabi, DJ
Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern Menurut Din Syamsuddin
Gerakan dakwah Islam adalah serangkaian aktivitas, metode, strategi dakwah yang
dilakukan berdasarkan perencanaan untuk mengajak manusia kepada jalan kebaikan,
kemaslahatan, serta menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian masyarakat Islam
beranggapan bahwa dakwah Islam adalah tugas pokok atau kewajiban ummat Islam secara
individu dan sebagian lain menganggapnya sebagai kewajiban kolektif. Dakwah Islam kini
tengah dihadapkan pada dua persoalan. Pertama, tafsir sosiologis masyarakat terhadap
pengertian dakwah yang dianggap sebagai aktivitas mimbar, tabligh semata sehingga
konteks sosiologisnya terabaikan dari dinamika kehidupan modern. Kedua, dakwah Islam
membutuhkan tafsir ulang atas pengertian dan implementasinya dalam kehidupan
masyarakat Islam maupun manusia secara keseluruhan. Sehingga dibutuhkan
penyeragaman pengertian dan implementasi dakwah Islam sebagai titik penyebaran agama
Islam dan pengamalan nilai-nilai kehidupan masyarakat di tengah arus modernisasi.
Kajian ini mencoba mengulas gerakan dakwah Islam dalam konteks kemodernan
serta mendalami pemahaman dakwah Islam modern menurut Din Syamsuddin, sebagai
bagian dari upaya menyeragamkan implementasi dakwah Islam agar tercapai sasaran
dakwah tepat pada medannya. Oleh karenanya, pertanyaan yang mendasari kajian ini
adalah bagaimana dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern?, bagaimanakah
gerakan dakwah Islam menjadi solusi bagi krisis spiritual, moral dan sosial bangsa?, serta
bagaimana format ideal gerakan dakwah Islam modern?. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan
tersebut akan menjelaskan secara akademis tentang dakwah Islam.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan upaya pendefinisian ulang terhadap
pengertian dakwah Islam di masyarakat secara universal, serta ingin mengetahui
bagaimana pandangan dakwah Islam modern dalam kacamata Din Syamsuddin, serta
mengetahui format ideal gerakan dakwah Islam modern.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif
melalui pendekatan sosio-historis yaitu, mengungkap latar belakang tokoh yang dijadikan
sebagai subjek dalam penelitian ini, guna mengetahui pokok-pokok pikiran tokoh tersebut
tentang bagaimana gerakan dakwah Islam dalam konteks Islam modern.
Pemahaman dakwah Islam merupakan aspek dasar yang harus dipahami setiap
muslim secara universal dalam menjalankan kewajiban dakwah. Mengingat dakwah
dipahami sebagian besar masyarakat sebagai aktifitas mimbar belaka. Begitu juga dengan
frame dakwah modern yang harus dipahami seperti apa, kajian ini juga meliputi pandangan
tokoh dakwah Islam modern Din Syamsuddin dalam pandangannya terhadap dakwah
Islam.
i
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam menjalankan
ajaran Agama Islam. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, 16 :125, :
☺
☺
☺
☺
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk.”
(QS. An-Nahl, 16 : 125)
Dari berbagai pandangan ulama-ulama Mufassir, tentang kewajiban
dakwah yang tertuang dalam Al-Qur’an tersebut di atas, bahwa ayat tersebut
memberikan pesan perintah, yaitu Ud’u, yang memiliki ciri kalimat perintah
(Fi’lul Amri). Maka, ayat tersebut telah mewajibkan kaum muslimin untuk selalu
melakukan aktivitas dakwah di kehidupan sehari-hari. Selain ayat tersebut di atas,
ada ayat lain yang berisi tentang perintah dakwah, seperti pada surat Ali ‘Imran,
3:104, :
2
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali “Imran,3 : 104)
Hal ini pulalah yang kemudian menyebabkan beberapa perbedaan
pendapat tentang kewajiban dakwah. Sebagian
ulama mengatakan perintah
dakwah adalah kewajiban individu (fardhu ‘ain), sedangkan sebagian ulama lain
mengatakan kewajiban dakwah merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah).
Tentunya masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang kuat.
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah,
menjelaskan bahwa : “Perintah dakwah adalah ditujukan bagi setiap muslim.
Tetapi, walaupun demikian harus ada sebagian golongan / kelompok ummat yang
menekuni kegiatan dakwah secara profesional, baik individual maupun
institusional”. 1
Sementara itu, permasalahan yang kerap muncul juga pada sisi aktivitas
dakwah itu sendiri. Beberapa pandangan para pegiat dakwah telah meramaikan
kondisi dan wacana dakwah baik dalam bidang keilmuan maupun pada tataran
aktivitasnya. Pada aktivitasnya, dakwah hari ini tentu berbeda dengan dakwah
yang terjadi di masa Nabi saw. Dimana Nabi saw. Memulai dakwahnya dengan
jalan sembunyi-sembunyi (sirri) hingga dengan jalan terang-terangan. Dakwah
pada masa Nabi saw. Dibagi dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan
1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. II, (Jakarta : Lentera Hati, 2002)
3
periode Madinah. Periode Makkah disebut juga sebagai periode pembinaan
Kerajaan Allah dalam hati manusia, sedangkan periode Madinah disebut juga
sebagai pembinaan Kerajaan Allah dalam masyarakat manusia 2 .
Dewasa ini, khususnya di Indonesia terdapat banyak organisasi-organisasi
yang bergerak dalam bidang dakwah. Mulai dari Islam garis keras (ekstrem),
Islam fundamental sampai pada Islam liberal. Tentunya semua itu memiliki
konsep dan pandangan yang berbeda-beda terhadap dakwah.
Tetapi, satu yang penulis pahami dari perbedaan pandangan gerakan
dakwah yang dimotori oleh beberapa organisasi yang bergerak di bidang dakwah
adalah kesemuanya menginginkan agar masyarakat mengikuti kehendaknya,
bukan kehendak Islam sebagai rahmat. 3 Jika pada awal prosesnya saja dakwah
bertolak dari konsepsi iman dan amal shaleh, apakah kemudian dewasa ini yang
kerap dikenal dengan periode modern, konsepsi dakwah Islam akan tetap
berpangkal dengan dasar pokok keimanannya? ataukah akan menjadi berkotakkotak dakwah Islam di era modern ini?
Diakui bahwa dewasa ini organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga
dakwah sudah sangat banyak, tetapi harus diakui pula bahwa sebagian besar dari
semua itu juga tidak membuahkan hasil yang signifikan bagi perkembangan
gerakan dakwah Islam di era modern ini. Boleh jadi permasalahannya adalah
kurangnya militansi lembaga-lembaga dakwah terhadap gerakan dakwah Islam
secara kaffah (totalitas).
2
Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h.
281
3
Yaitu Islam sebagaimana diturunkannya untuk ummat manusia agar mengimani Allah
SWT. yang mengedepankan kemaslahatan ummat, tanpa diskriminasi sepihak.
4
Sementara itu, tokoh muslim Indonesia yakni Prof. Dr. Din Syamsuddin
memberikan pandangan yang berbeda tentunya mengenai aktivitas gerakan
dakwah dalam konteks kemodernan. Istilah modern ini lebih banyak yang
mengartikan kemajuan zaman. 4 Secara eksplisit dapat dipahami memang bahwa
istilah modern ini ditujukan kepada perbedaan kurun waktu antara yang telah lalu
dan yang sekarang atau yang akan datang.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S
Poerwadarminta, kata modern memiliki arti “yang terbaru”. 5 Berarti konteks
kemodernan di sini diistilahkan hal-hal yang bersifat baru dan memiliki kemajuan.
Salah satu pandangan Islam mengenai gerakan dakwah yaitu proses
penyampaian
ajaran
Allah
yang
menggunakan
metode
tertentu
untuk
kemaslahatan ummat. Kemudian, pemahaman tersebut telah banyak memberikan
pengertian baru yang bermacam-macam pula. Sebagian orang memahami gerakan
dakwah yang seharusnya dilakukan adalah dengan jalan jihad, yaitu menaklukkan
orang-orang yang kufur terhadap Allah dengan jalan kekerasan sekalipun, maka
tidak sedikit dari mereka yang memiliki pemahaman seperti itu berani melakukan
tindakan-tindakan yang dinilai sebagai tindakan provokatif serta terorisme. Selain
itu, pandangan lain pun muncul bahwa gerakan dakwah seharusnya dilakukan
dengan jalan damai, toleran, pluralis. Sehingga mereka lebih menjaga
keharmonisan hubungan antaragama dan kepercayaan ketimbang dengan sesama
kaum muslim yang berbeda dengannya.
4
Kemajuan zaman meliputi kemajuan berpikir, teknologi, budaya, sosial, politik dan
ekonomi.
5
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Edisi III, Cet. 4, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) h. 773
5
Prof. Dr. Din Syamsuddin merupakan sosok tokoh dakwah Islam modern
yang namanya tidak hanya terdengar di pelosok nusantara tetapi juga di mata
Internasional. Aktivitasnya yang selalu tidak lepas dari kegiatan dakwah,
membuat penulis ingin menelusuri pemikiran, pemahaman sekaligus penerapan
konsep dakwah dalam konteks Islam modern. Dalam hal kemodernan yang beliau
rumuskan dalam keberagamaan, yaitu tajdid (pembaharuan) pola pikir masyarakat
telah digariskan bahwa Islam akan selalu relevan dengan situasi zaman apapun.
Maka, memasuki zaman yang sudah terlalu canggih ini, bukan lagi dalam bidang
teknologi tetapi juga dalam hal pemikiran Islam, dakwah nampaknya harus dapat
menerapkan prinsip-prinsip serta pemahaman yang disesuaikan dengan karakter
dan pengetahuan masyarakat muslim modern.
Meminjam istilah Abdul Basit, M. Ag dalam bukunya yang berjudul
Wacana Dakwah Kontemporer, dakwah di Indonesia antara kajian yang bersifat
akademik dengan relitas dakwah yang ada di masyarakat belum menunjukkan
hubungan yang sinergis dan fungsional. Di kalangan akademisi dan para pakar di
bidang dakwah, mereka lebih banyak mengkaji dakwah melalui sumber-sumber
normatif yaitu Al-Quran dan Hadits. Demikian juga dengan para aktivis dakwah
yang ada di masyarakat yang selalu memberikan materi dakwah lebih banyak
dengan metode ceramah atau mimbar. Pada lembaga-lembaga keagamaan yang
bergerak di bidang dakwah juga belum memberikan arti penting secara substansial
bagi kelangsungan Islam di era modern ini. Mereka lebih banyak mementingkan
dari sisi kuantitasnya saja dari pada kualitas masyarakatnya.
Perubahan yang begitu cepat pada masyarakat akan membawa dampak
besar terhadap perubahan pola pikir, karakter, serta sikap masyarakat Islam.
6
Dalam beberapa kajian Islam modern, muncul pembahasan-pembahasan baru pula
yang akan menjadi tanggung jawab aktivis dakwah Islam di zaman modern ini.
Seperti pembahasan HAM, bagaimana Islam memandang dan menjawab
permasalahan-permasalahan di dalamnya, juga masalah Demokrasi yang sampai
hari ini para aktivis dakwah belum secara total memasukkan materi tersebut dalam
aktivitas
dakwah,
kemudian
persoalan
Kesetaraan
Gender,
Pluralisme,
Sekulerisme, Liberalisme, serta isu Terorisme yang belakangan ini menjadi
perbincangan masyarakat luas. Oleh karena itu, diharapkan kajian ini akan
memberikan arti penting bagi pemahaman gerakan dakwah Islam modern. Penulis
tertarik dengan pemikiran-pemikiran yang digagas oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin
tentang dakwah Islam. Maka, kemudian penulis mengangkat judul “GERAKAN
DAKWAH DALAM KONTEKS ISLAM MODERN MENURUT PROF. DR.
DIN SYAMSUDDIN” sebagai tugas skripsi di akhir studi S1 Fakultas Ilmu
Dakwah Dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Dalam pembahasan ini, penulis hanya ingin memberikan gambaran pokok
tentang pemikiran dan aktivitas tokoh Islam Modern yaitu Prof. Dr. Din
Syamsuddin terhadap dinamika gerakan dakwah yang terjadi di era modern ini
dalam konteks Islam modern.
Oleh karenanya, penulis ingin membatasi kajian ini pada wilayah :
-
Pemikiran gerakan dakwah Islam dan kaitannya dengan isu-isu Islam
modern menurut Din Syamsuddin
-
Aktivitas gerakan dakwah Islam modern Din Syamsuddin
7
Selebihnya adalah informasi-informasi yang bersumber dan sesuai dengan judul
ini.
Adapun masalah-masalah yang telah penulis rumuskan adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern
menurut Din Syamsuddin?
2. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam modern menjadi solusi terhadap
krisis spiritual, moral dan sosial bangsa menurut Din Syamsuddin?
3. Bagaimanakah format ideal gerakan dakwah Islam modern menurut Din
Syamsuddin?
Dari rumusan-rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis akan dapat
menjelajah pengetahuan secara objektif tentang gerakan dakwah dalam konteks
Islam modern. Beberapa hal yang tertulis tersebut di atas adalah acuan dasar
penulisan skripsi ini.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk memberikan kejelasan tentang gerakan dakwah dalam konteks Islam
modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA.
Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kepada dua aspek penting,
yaitu :
1. Kegunaan Akademis
-
Menambah khazanah keilmuan dakwah dan komunikasi
-
Menambah referensi kepustakaan tentang gerakan dakwah
-
Mengembangkan pemikiran dakwah secara luas dan ilmiah
8
2. Kegunaan Praktis
-
Memberikan acuan bagi pegiat dakwah dalam berdakwah
-
Sebagai referensi bagi para aktivis dakwah
-
Memberikan pemahaman terkini tentang Gerakan Dakwah pada
masyarakat Islam modern
-
Sebagai strategi berdakwah pada masyarakat modern
D. Metodologi Penelitian
1.
Metode Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan Sosio-Historis, yaitu mengetahui sejarah
dan latar belakang tokoh yang kemudian dijadikan sebagai suatu analisa deskriptif
dari pemikiran, aktivitas dan latar belakang tokoh tersebut.
Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan sosio historis ini akan
mengungkap sisi latar belakang tokoh dalam kehidupan sosial, pendidikan, karir
dan keilmuan yang dimiliki sampai sekarang. Dengan melihat sosio-historis dari
tokoh yang diamati, penelitian ini akan mengungkapkan fakta pemikiran dan
aktivitas tokoh yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Oleh karenanya,
penelitian ini melibatkan langsung tokoh tersebut dalam proses pengumpulan
data. Hal tersebut sama dengan yang didefinisikan oleh Taylor tentang metode
penelitian kualitatif yaitu “cara yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati”. 6
6
Ke-11
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda karya, 1989), cet.
9
Melalui pendekatan sosio-historis, metode dalam penelitian ini akan
mengumpulkan data-data deskriptif
yaitu pemaparan atau penjabaran pokok-
pokok pikiran dari Prof. Din Syamsuddin tentang konsepsi gerakan dakwah Islam
modern yang kemudian dilakukan observasi guna mengukur dan membandingkan
atas teori-teori yang sudah muncul dan berlaku bagi penelitian kualitatif.
Kemudian, data-data tersebut akan diolah dan dilakukan pengembangan untuk
kemudian mengembangkan teori pada pengamatan yang dilakukan.
2.
Subjek Dan Objek Penelitian
Begitu juga dengan subjek dan objek penelitian, penulis mengemukakan
bahwa subjek penelitian ini adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, sedangkan yang
menjadi objek penelitian ini adalah gagasan dan pemikiran Din Syamsudin
terhadap fenomena gerakan dakwah Islam modern yang terjadi di Indonesia.
Karena penulis memandang bahwa Din Syamsuddin adalah salah satu tokoh Islam
modern di Indonesia yang memiliki perhatian khusus terhadap dakwah Islam
masa kini.
3.
Data Dan Sumber Data
Adapun data-data yang akan penulis kumpulkan antara lain adalah data
deskriptif mengenai pemikiran Din Syamsudin tentang konsep gerakan dakwah
dalam konteks Islam modern, data tentang isu-isu dalam Islam modern serta datadata pendukung lainnya yang memiliki keseragaman dan relevansi dengan
penelitian ini.
Sedangkan sumber data yang diambil dari penelitian ini meliputi :
10
a. Sumber data primer, antara lain : buku-buku tentang dakwah Islam
kontemporer, tulisan-tulisan Din Syamsuddin, keterangan atau pendapat
langsung Din Syamsuddin.
b. Sumber data sekunder, antaralain : Majalah, surat kabar, internet dan
buku-buku umum Islam yang berkaitan dengan penelitian ini.
4.
Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah dengan cara:
a. Observasi
Observasi ini dilakukan di perpustakaan UIN Jakarta dan di
kediaman Din Syamsuddin yang memuat tulisan-tulisan Din Syamsuddin
dan tulisan-tulisan pendukung lainnya.
Observasi ini dilakukan sebagai pencatatan dan pengamatan
langsung dari fenomena dan perilaku yang diteliti.
b. Wawancara
Wawancara ini merupakan percakapan langsung antara peneliti
dengan tokoh yang diwawancarai dengan disertai pertanyaan-pertanyaan
yang telah disiapkan oleh penulis sebelumnya. Wawancara ini ditujukan
kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin.
c.
Dokumentasi
Mengumpulkan data melalui dokumentasi seperti yang diambil
dari buku-buku, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lainnya sebagai
informasi tambahan guna melengkapi data-data yang diperoleh.
11
5.
Tekhnik Analisis Data
Dalam proses analisa data, penulis menggunakan analisa data deskriptif,
yaitu mengungkapkan data dan fakta secara alamiah dan objektif. Data yang
diteliti merupakan data yang dihasilkan dari observasi, wawancara dan
dokumentasi. Ketiga perolehan data tersebut dipadukan dan kemudian
dideskripsikan.
6.
Pedoman Penulisan
Tata cara penulisan skripsi ini menggunakan pedoman yang berlaku di
lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan mengacu pada buku
Panduan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) terbitan CeQDA
2007.
E. Tinjauan Pustaka
Mengamati dari bebarapa skripsi yang memperbincangkan dakwah Islam,
sampai saat ini belum didapatkan tema-tema yang mencakup studi perilaku
dakwah era modern ini, terutama kaitannya dengan pemahaman Gerakan Dakwah
Islam Modern. Tentu saja kajian ini sangat diperlukan di era sekarang ini,
mengingat banyaknya pemahaman ajaran Islam yang melahirkan kegiatan atau
aksi radikal dengan ideologi dakwahnya. Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam
Modern tidak hanya sebagai judul skripsi tetapi juga sebagai kajian konsisten
yang tentu akan mengisi dan melengkapi kepustakaan seputar wacana dakwah
kontemporer, yang tidak membatasi pada wilayah normatif saja tetapi lebih
komprehensif dan universal.
Adapun mengenai buku-buku ataupun penelitian yang pernah penulis
tinjau dalam pra-penulisan skripsi ini antara lain :
12
1. “Wacana Dakwah Kontemporer” karangan Abdul Basith, M. Ag
diterbitkan oleh STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
2. “Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an” karangan Prof. Hasjmi, diterbitkan
oleh Bulan Bintang Press, Jakarta.
3. “Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan yang Qur’ani”
karangan Totok Jumantoro, diterbitkan oleh Amzah press, Jakarta.
4. “Banishing Violence from the World: Faiths and Cultures in Dialogue”
Makalah Din Syamsuddin pada Pertemuan Internasional Tokoh Muslim
Dunia untuk Perdamaian, Naplez, 21-23 Oktober 2007
Salah satu buku karya Abdul Basith, M. Ag yang berjudul “Wacana
Dakwah Kontomporer” merupakan bagian dari kajian ini. Isinya yang melengkapi
referensi kajian pemahaman dakwah secara modern begitu menjadikan
pembacanya tahu bahwa dakwah Islam memiliki arti yang sangat luas, tidak
sebatas kegiatan mimbar dari satu masjid ke masjid yang lain. Tetapi melahirkan
ide dan gagasan baru dalam rangka menjalankan tugas manusia sebagai khalifah
fil ardh. Begitu penulis menginginkan Prof. Dr. Din Syamsuddin sebagai pemikir
Dakwah Islam Modern, maka kajian ini akan melibatkan beliau dengan perannya
sebagai pelaku dakwah yang memiliki wawasan kemodernan serta institusiinstitusi yang memiliki perhatian secara konsisten di bidang dakwah. Beberapa
karya yang lain seperti Syaikh Ali Mahfudz dalam Hidayatul Mursyadin-nya,
Prof. Hasjmi dalam Dutsur Dakwah Menurut Al-Quran, beliau memberikan pesan
dalam kedua buku tersebut tentang fenomena gerakan dakwah yang berkembang
13
seiring zaman dan situasinya. Jadi, betapa pentingnya wawasan baru tentang
gerakan dakwah Islam modern.
Wacana ini juga merupakan apresiasi penulis sekaligus kritik atas apa
yang dikemukakan oleh Abdul Basith dalam Wacana Dakwah Kontemporer.
Beberapa pandangannya mengenai gerakan dakwah era modern telah memisahkan
antara refleksi nyata akibat aktivitas dakwah dengan aktivitas dakwah dalam
proses penyampaiannya. Jika refleksi nyata atas apa yang sedang terjadi, yaitu
modernisasi pemikiran Islam dewasa ini dijadikan belenggu bagi proses
perkembangan aktivitas dakwah maka dakwah itu sendiri akan hilang secara
perlahan dari aktivitasnya. 7 Sedangkan secara garis besar, Islam telah
menggariskan kewajiban dakwah ini bagi umat Islam selama ia menjalankan
kehidupannya. Nampaknya aneh memang, jika konteks dakwah selalu
dikonotasikan dengan aktivitas mimbar atau rutinitas yang syarat akan kegiatan
hari besar Islam atau lebih dikenal dengan istilah PHBI (Peringatan Hari Besar
Islam) saja, maka sesungguhnya dakwah telah diberi arti yang sangat sempit.
Sesungguhnya dakwah merupakan aktivitas mengajak untuk berbenah diri
(sebagai insan) menuju kepada sesuatu yang baik dan lebih baik, bahkan secara
luas lagi dakwah diartikan sebagai transfomasi nilai-nilai sosial.
Meskipun demikian, Abdul Basith dengan sistematis telah menjabarkan
kelemahan-kelemahan da’i yang menyampaikan ajaran Islam dengan tidak
melihat aspek keberhasilan seta hambatannya. Tentu saja hal ini akan memberikan
makna positif bagi kelangsungan kajian dakwah baik dari segi teoritis maupun
7
Lih. Abdul Basith, M. Ag dalam Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta : STAIN
Purwokerto Press dan Pustaka Pelajar, 2005), cet. 1
14
praktisnya. Jika saja pesan itu tidak ada, maka para da’i akan merasa lepas-lalu
saja setelah memberikan materi dakwah di hadapan mad’u-nya.
Selain itu, ia juga telah memaparkan bagaimana menyusun strategi
dakwah agar tepat sasaran kepada masyarakat modern. Sepeti yang ia kutip dari
Larry Poston, bahwa terdapat dua bentuk strategi dakwah dalam gerakannya di
masyarakat, yaitu strategi Internal-Personal dan strategi External-Institutional.
Pada strategi pertama, fokus pembangunan atau pengembangannya adalah
individu. Seperti pada masyarakat modern yang selalu mengisi waktunya dengan
kesibukan urusan pekerjaan sehingga sangat minim waktu yang diluangkan untuk
memberikan perhatiannya kepada dakwah Islam. Sedangkan strategi yang kedua
memfokuskan pada institusi atau lembaga yang memiliki kapasitas untuk bidang
dakwah. Di Indonesia telah banyak berdirinya lembaga-lembaga dakwah Islam
dengan corak dan bentuk yang bermacam-macam, tetapi semuanya memiliki satu
tujuan yaitu membentuk pribadi dan masyarakat muslim yang baik. Walaupun
demikian, sering didapati gejolak perbedaan pendapat akan konsepsi dakwah yang
disampaikan, dank arena ini pulalah sering terjadi kesenjangan ideologi atau cara
pandang mereka masing-masing dalam hal dakwah.
Kemunculan paham-paham pemikiran Islam secara modern tentu saja akan
menjadikan dakwah Islam harus semakin luas dan memasuki ruang rasio
masyarakat modern. Di kalangan cendekiawan, beberapa pandangan dan
pemikiran Islam seperti Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender
sudah menjadi kajian Islam secara komprehensif dan berimbang dalam kegiatan
dakwah, baik pada lembaga maupun individu. Kajian dan wawasan Islam modern
seperti itu tidaklah mudah didapati pada masyarakat tradisional yang masih
15
melanjutkan kajian-kajian Islam yang menurut mereka merupakan tradisi belajar
ulama-ulama klasik.
Aktivitas dakwah yang selalu menelusuri problematika masyarakat, tentu
saja harus memiliki integritas keilmuan yang matang untuk menjawab
permasalahan-permasalahan masyarakat muslim modern serta menjaga bagaimana
perbedaan cara berdakwah agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara sesama
muslim. Secara historis, dakwah yang dilakukan oleh Nabi saw. Selalu mengikuti
perkembangan dan situasi masyarakat. Beliau tidak penah mengikuti atas
kehendak serta kemampuannya untuk membumikan Islam. Padahal, baginya
sangatlah mudah untuk bisa menanamkan nilai-nilai aqidah pada masyarakat
Quraisy pada waktu itu. Tetapi beliau tetap melakukannya dengan penyesuaian
situasi dan kondisi serta kompetensi masyarakat yang diberikan dakwahnya.
Seyogyanya demikian, agenda dakwah pada masyarakat Indonesia,
khususnya dan ummat Islam pada umumnya harus disesuaikan dengan
kompetensi dan perilaku yang ada pada masyarakatnya. Jika melihat fenomena
yang terjadi hari ini adalah dakwah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
maupun individu nampak terlihat dengan jelas arah dan tujuannya hanya
bersandar pada apa yang dipahaminya sebagai suatu kebenaran. Maka disini,
dilihat sudut pandang dan pengertian terhadap kajian komprehensif gerakan
dakwah yang selama ini dilakukan oleh masing-masing lembaga maupun
individu.
Maka, dengan demikian bentuk apapun yang dilakukan dan dirumuskan
pada setiap lembaga dakwah sebetulnya merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu
Al-Qur’an dan Hadits, hanya saja perspektif memandang dan memahaminya yang
16
berbeda-beda. Dan, akibat dari perbedaan itu timbullah perelisihan paham yang
kerap menimbulkan perselisihan ideologi, bahkan sampai pada tingkat kekerasan
fisik. Oleh karena itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah sangat
diperlukan guna meminimalisir konflik perbedaan yang muncul.
Melihat sejenak karakter yang ditunjukkan oleh lembaga-lembaga dakwah
di Indonesia yang beragam dan komprehensif, menambah lengkap khazanah dan
pemikiran terhadap kajian dakwah. Perkuliahan yang memuat Ilmu Dakwah
sangat efektif jika kajian ini terus diberlanjutkan sampai terbentuk pandangan
masyarakat klasik maupun modern bahwa aktivitas dan gerakan dakwah
merupakan kewajiban kolektif sebagai tugas dan tanggung jawab ummat Islam.
Selain itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah pun menjadi bagian
penting dari sisi keagamaan dan kebudayaan masyarakat Islam Indonesia.
Selain itu, Totok Jumantoro juga telah memberikan kontribusi penting
dalam kajian dakwah dewasa ini. Ia memaparkan aktivitas dakwah dari sudut
psikologinya. Dalam bukunya Psikologi Dakwah Dengan Aspek-aspek Kejiwaan
yang Qur’ani, ia menulis : “Aktivitas dakwah hakikatnya tidak jauh berbeda
dengan
proses
komunikasi.
Sebab,
pada
dasarnya
dakwah
merupakan
penyampaian informasi agama atau penyebaran ajaran Islam melalui proses
komunikasi baik dengan personal approach, family approach, ataupun social
approach”. 8
8
Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani,
(Jakarta : Amzah, 2001), cet. 1
17
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini mengikuti sistematika sebagai berikut :
BAB I
: Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metodologi penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II
: Membahas tentang tinjauan teoritis dari dakwah Islam
yang meliputi pengertian gerakan dakwah Islam modern dan
Isu-isu Islam
modern.
BAB III
: Membahas tentang riwayat hidup Din Syamsuddin,
meliputi latar belakang keluarga, pendidikan, serta aktivitasnya di bidang dakwah
yang meliputi pandangannya tentang dakwah Islam dan kemodernan.
BAB IV
: Merupakan pembahasan tentang Gerakan Dakwah Dalam
Konteks Islam Modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, yang meliputi tentang
dakwah Islam menghadapi isu-isu aktual, dakwah sebagai solusi krisis spiritual,
moral dan sosial bangsa, dakwah kultural dan struktural, serta format ideal
gerakan dakwah Islam modern.
BAB V
: Merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dan
saran-saran yang juga disertai daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
18
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Gerakan Dakwah Islam
1.
Pengertian Gerakan Dakwah Islam
Memahami arti dari pada gerakan dakwah tidaklah cukup mengetahui kata
per kata saja melainkan dibutuhkan pula konteks pemahaman gerakan dakwah
secara partikular. Hal tersebut meliputi konteks zaman dan keilmuan. Secara
terpisah, kata gerakan dakwah tersusun dari dua kata yang masing-masing
memiliki arti berbeda. Kata gerakan memiliki arti perbuatan atau keadaan
bergerak 1 . Dalam istilah dakwah, gerakan dapat diartikan sebagai aktivitas
tindakan, berbuat menuju ke arah sesuatu yang memiliki nilai baik. Istilah ini
seringkali muncul pada suatu fenomena yang dianggap memiliki pengaruh kuat
bagi situasi ataupun lingkungan sekelilingnya. Sedangkan kata dakwah terambil
dari bahasa Arab, yaitu bentuk mashdar dari da’a-yad’u-da’watan yang berarti
seruan, panggilan 2 . Kata dakwah seringkali diistilahkan sebagai suatu ajakan
kepada manusia untuk menuju kepada kebaikan dan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Syaikh Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin menjelaskan
bahwa dakwah memiliki arti :
‫ﺣﺚ اﻟﻨﺎس ﻋﻠﻰ اﻟﺨﻴﺮ واﻟﻬﺪى واﻻﻣﺮ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف واﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ‬
‫اﻟﻤﻨﻜﺮ ﻟﻴﻔﻮز ﺑﺴﻌﺎدة اﻟﻌﺎﺟﻞ واﻻﺟﻞ‬
1
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007)
2
Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990)
Cet. 4
Cet.8
19
Artinya : Mendorong (memotivasi) manusia untuk melakukan kebaikan
dan mengikuti petunjuk, memerintahkan mereka berbuat ma’ruf dan
mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. 3
Dakwah dalam Islam juga memiliki arti mengajak, mendorong dan
memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah serta
berjuang bersama meninggikan agama-Nya. Dikatakan bahwa ajakan ataupun
seruan yang dimaksud dari pengertian dakwah Islam ini merupakan suatu
tindakan komunikasi antara yang mengajak (da’i) dengan yang diajak (mad’u).
Dan tentu saja isi materi ajakannya adalah jalan menuju Allah serta kebaikankebaikan yang diajarkan-Nya melalui kitab suci Al-Quran. Meskipun demikian,
telah banyak pengertian dakwah Islam yang semuanya akan menjadikan
pengertian tersebut di atas kuat dan memiliki kesamaan maksud, diantaranya
adalah :
- Prof. Hasjmi (1974) menjelaskan bahwa “dakwah Islamiyah itu mengajak
orang untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariah Islamiyah
yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah
sendiri”. 4
- Prof. Dr. Abu Bakar Aceh (1971) menulis : “Dakwah ialah perintah
mengadakan seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup
sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan
dan nasihat yang baik”. 5
3
Syaikh Ali MAhfudz, Hidayatul Mursyidin, (Kairo: Daarul Qutub al-Arabiyah, 1952)
4
Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
5
Abu Bakar Aceh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam, (Solo: Ramadhani, 1971)
20
- Toha Yahya Oemar (1976) mengatkan bahwa “dakwah adalah mengajak
manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan
perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan
akhirat”. 6
- Drs. H.M. Arifin, M. Ed (1977) memberi batasan dakwah dengan
pengertian :
“sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan,
tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar
dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara
individual maupun secara kelompok agar supaya timbul dalam
dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta
pengamalan terhadap ajakan agama sebagai message yang
disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur
paksaan.” 7
Pengertian-pengertian tersebut di atas senantiasa mengisyaratkan suatu ajakan
kepada manusia untuk menuju kepada jalan yang dikehendaki Allah SWT. Maka,
dapat diambil pengertian dakwah Islam secara istilah yaitu mengajak, menyeru,
memotivasi manusia untuk menuju ke jalan yang dikehendaki Allah SWT. Serta
menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar agar tercapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Pada tahun 1873, Max Muller, seorang intelektual Barat telah
memperkenalkan sistem klasifikasi agama, yaitu agama terbagi menjadi dua
kategori : agama dakwah (missionary) dan agama non-dakwah (non-missionary). 8
Klasifikasi tersebut telah memberikan arti dakwah sebagai tabligh dan juga
sebagai pengelolaan dan pengajaran ajaran Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa
6
Thoha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1971)
7
Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang Qur’ani,
(Jakarta : Amzah press, 2001), cet.1, h.18
8
Larry Poston, Islamic Da’wa in the West, Muslim : Missionary Activity and the
Dynamics Convertion to Islam, (New York: Oxford University Press, 1992), h.3-4
21
dalam konteks keagamaan, dakwah memiliki makna sebagai tabligh, tatbiq, dan
juga tandhim. Tabligh berarti penyampaian, tatbiq berarti pengamalan dan
tandhim berarti pengelolaan. 9 Ketiga anashir tersebut haruslah berjalan seirama
agar dapat memenuhi kelengkapan dan kesempurnaan gerakan dakwah Islam.
Setelah melakukan penelaahan terhadap pengertian-pengertian dakwah
Islam, maka istilah gerakan dakwah memiliki posisi yang sangat penting dengan
pengertian dasar dakwah Islam. Gerakan dakwah Islam diartikan sebagai aktivitas
dakwah Islam seseorang atau kelompok yang dilakukan melalui individu maupun
institusi kepada ummat untuk mencapai keberhasilan menyampaiakan ajaran
Allah SWT.
2.
Pola-pola Gerakan Dakwah Islam
Seringkali kita melihat fenomena dakwah di masyarakat yang selalu
mengkaitkan kegiatan dakwah dengan ceramah tabligh melalui mimbar. Ceramah
tabligh merupakan salah satu dari bentuk-bentuk aktivitas dakwah Islam, namun
bukanlah satu-satunya bentuk dakwah yang ada di dalam kegiatan dakwah.
Persepsi yang telah sekian lama melekat di masyarakat tersebut tidaklah salah,
akan tetapi perlu adanya evaluasi terhadap masyarakat untuk tidak selalu
mengkonotasikan kegiatan dakwah sebagai ceramah tabligh.
Selain dari pada itu, gerakan dakwah Islam memiliki pola-pola yang
mengemas aktivitas dakwah menjadi teratur, terencana dan tercapai. Dr. Yusuf
Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Retorika Islam, menjelaskan :
“Dakwah kepada Allah dapat dilakukan dengan menulis bukubuku, mempresentasikan ceramah-ceramah di perguruan tinggi atau pusat
9
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
22
keilmuan, atau menyampaikan khutbah Jumat, pengajian dan pengajaran
agama, di masjid dan tempat-tempat lain. Dan, ada juga yang melakukan
dakwah dengan kalimat Thayibah, pergaulan yang baik dan keteladanan.
Dan ada lagi, orang yang berdakwah dengan menyediakan fasilitasfasilitas material demi kemaslahatan dakwah; memberi infak untuk para
dai, atau menyebarkan produktivitas dakwah, atau membangun pusat
aktivitasnya.” 10
Begitu banyak bentuk-bentuk dakwah yang bisa dilakukan oleh setiap
orang ataupun kelompok. Dan tidak juga harus menjadi pelaku dakwah tetapi
pendorong dan penyedia sarana dakwah pun bisa dikatakan berdakwah. Dalam
ceramahnya pada penyelenggaraan Muktamar ke-VI menteri-menteri wakaf dan
urusan Islam di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1997, Abdullah Ibn Abdul
Muhsin Atturki 11 mengungkapkan prinsip-prinsip serta pola dalam berdakwah,
antara lain :
- Hanya menyembah Allah semata
Ia percaya bahwa berdakwah dengan mengikuti pola-pola Nabi Muhammad
SAW. maka akan tersyiar kebaktian kepada Allah SWT. semata. Tidak ada
yang lain selain diri-Nya. Dengan hanya karena Allah SWT, maka dakwah
Islam dimanapun, kapanpun, dalam situasi apapun akan berjalan dengan
harapan dan kejayaan.
- Percaya dengan teguh kepada Al-Qur’an.
Selain ikhlas berdakwah karena Allah SWT. semata, Abdullah Ibn Abdul
Muhsin Atturki juga menegaskan untuk selalu percaya teguh pada AlQur’an, kemudian Sunnah serta tata hukum yang dihasilkan para imam dan
10
Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridho, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2004)
11
Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki adalah Menteri Urusan Islam, Zakat, Dakwah dan
Bimbingan Kerajaan Arab Saudi dan delegasi Kerajaan Arab Saudi pada Muktamar VI Menterimenteri Wakaf dan Urusan Islam pada tanggal 29 Oktober-01 November 1997, di Jakarta.
23
mujtahid terdahulu. Menurutnya, ini akan menjadikan dakwah Islam
memiliki kekuatan hukum dan sumber materi dakwah yang jelas dan tidak
ada keraguan.
- Ketulusan, kerendahan hati dan kehalusan budi.
Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. ketika beliau berdakwah
senantiasa menunjukkan sikap ketulusan dan kerendahan hati serta
kehalusan budi. Dengan demikian, dakwah Islam akan menjadi santun dan
dengan mudah diterima oleh masyarakat. 12
Berdasarkan pola-polanya, gerakan dakwah Islam memiliki macammacam bentuk dalam pelaksanaannya, antara lain :
a. Dakwah Bil Hal
Sejalan dengan yang disampaikan Allah SWT. dalam QS. An-Nahl (16) :
125 bahwa dakwah dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan Hikmah,
Ketauladanan serta Berdialog (Mujadalah). Beberapa peristiwa penting dalam
sejarah dakwah Nabi Muhammad saw. telah menggariskan bahwa pencapaian
dakwah memiliki tugas dan fungsi dalam pembinaan ummatnya atau yang disebut
dengan mad’u. Salah satu tugas dan fungsi pencapaian dakwah yang telah
Rasulullah saw. contohkan adalah penegakan persatuan dan kesatuan ummat.
Pembentukan kesatuan ummat telah menjadi tujuan dakwah, dan hal ini telah
terjadi sejak zamannya dakwah Rasulullah saw. sampai sekarang. Rasulullah saw.
sebagai seorang Nabi juga sebagai seorang kepala negara. Beliau membangun
pemerintahan di kota Yatsrib sesudah beliau meninggalkan kota tersebut dan
12
Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki, Da’wah Islam dan Rencana Kerja Untuk
Meningkatkan Dai dalam Draft Muktamar VI Menteri-Menteri Wakaf dan Urusan Islam di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober – 01 November 1997.
24
berpindah menuju kota yang hendak disampaikannya ajaran Islam. Di kota
Yatsrib Rasulullah saw. telah membentuk suatu pemerintahan yang memiliki
tentara, perwakilan diplomatik, peraturan-peraturan, serta dutsur dan majelis
syura’. Dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. tidaklah menggunakan cara-cara
kekerasan ataupun paksaan melainkan dengan halus dan mengutamakan
kesantunan. Orientasi dakwah Rasulullah adalah untuk menyatukan ummat dari
perpecahan dan memeluk agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Dengan demikian, setiap orang akan memperoleh kemerdekaan penuh untuk
memeluk agama yang diinginkannya. Oleh karena itu, Allah SWT. berfirman di
dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah,2:256 :
☺
⌧
☺
⌧
¸
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut 13 dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2:256)
Rasulullah saw. selalu menganjurkan dakwah Islam dilakukan dengan
jalan damai dan penuh toleransi sesama ummat manusia. Nampaknya, anjuran
beliau kini sudah banyak yang telah melupakannya sehingga yang ada hanyalah
egoisme kelompok dan tidak jarang kita menemukan aksi dakwah yang cenderung
13
Thagut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah.
25
provokatif dan mengadu domba. Sebagai ummat nabi Muhammad SAW. kita
harus senantiasa menjaga dan melestarikan cara berdakwah yang dicontohkan
nabi. Dakwah-dakwah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad saw. sangatlah
dekat dengan ummat dan mengutamakan perdamaian sehingga Islam tumbuh di
hati para pemeluknya sebagai agama yang ramah, damai, selamat, serta saling
menghargai.
Dakwah bil hal disebut juga sebagai dakwah dengan memberikan contoh
suri tauladan (mau’idzoh) yang baik kepada masyarakat. Pada hakekatnya,
dakwah bil hal merupakan pola singkat, tidak sulit dan mudah dilakukan di mana
saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Pada prinsipnya dakwah bil hal adalah suatu
keharusan yang dilakukan oleh setiap dai. Karena dalam setiap menyampaikan
dakwah Islam kepada masyarakat, seorang dai harus lebih dulu mengamalkan dan
mencontohkannya kepada masyarakat yang didakwahinya. 14 Meminjam istilah
Abdul Basith, dakwah bil hal juga merupakan kajian utama dari pengembangan
masyarakat Islam. 15 Maka di perguruan tinggi Islam terdapat studi Pengembangan
Masyarakat Islam (PMI) pada fakultas dakwah dan komunikasi sebagai agenda
pengembangan pola dakwah Islam dalam bentuk bil hal. Selain itu ia merupakan
pola gerakan dakwah yang menonjolkan amal saleh.
b. Dakwah Bil Qalam
Pola gerakan dakwah Islam yang termuat dalam bentuk dakwah bil qolam
memiliki kriteria yang berbeda dengan pola-pola lainnya. Pertama, dakwah bil
14 Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang
Qur’ani, (Jakarta : Amzah press, 2001)
15
Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN
Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2006) cet.1, hal. 20
26
qolam tidak bisa dilakukan oleh semua kalangan. Hanya kalangan tertentu saja
yang dapat melakukannya, seperti akademisi, guru, penulis buku, cendekiawan,
ulama, serta orang-orang yang memiliki kemampuan dalam berbahasa tulisan.
Karena caranya menggunakan tulisan, dakwah bil qolam pun tidak bisa didapat
oleh semua kalangan, apalagi pada masyarakat pedesaan yang jauh dari
perkembangan teknologi informasi.
Pola gerakan dakwah bil qolam biasanya lebih banyak dilakukan pada
masyarakat urban, di kota-kota besar dan pada masyarakat modern, yang sudah
dimasuki perkembangan teknologi dan informasi. Bentuk dan jenisnya bisa
bermacam-macam, antara lain ; buku, majalah, surat kabar, internet, dan
semacamnya.
Kedua, dakwah bil qolam tidak memiliki dampak ke semua lini. Hal ini
disebabkan tidak lain adalah karena dakwah bil qolam lebih beredar dan
dilakukan oleh masyarakat terbatas saja. Seperti pada masyarakat kota,
perumahan, dan semacamnya. Dan, sebaliknya ia tidak beredar di masyarakat
tradisional, pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh dari perkembangan teknologi
informasi. Ketiga, pola ini memiliki struktur penerima (mad’u). Tidak semua
masyarakat kota memiliki akses informasi yang cepat meskipun faktor
teknologinya sangat mendukung. Hal ini bisa saja terjadi karena faktor kemauan
dan kesadaran individu yang rendah untuk membaca dan menggali informasi.
Dan, masyarakat kota semacam ini lebih suka mendengarkan dari pada membaca,
seperti halnya masyarakat tradisional.
Di zaman Rasulullah saw. dakwah dengan model seperti ini seringkali
digunakan untuk mengajak para raja memeluk agama Islam diantaranya adalah
27
Kaisar Romawi Herkules, Qubaz kisro Persia dan Negus kaisar Etiopia. Itu
artinya, Rasulullah saw. menggunakan pola dakwah seperti ini hanya untuk
kalangan tertentu saja, tidak semua masyarakat diberikan dakwah dengan cara ini.
Melalui cara demikian, Rasulullah saw. bisa berhasil meluluhkan hati para raja
untuk memeluk agama Islam. 16
Meskipun sangat terasa dampak positifnya bagi masyarakat kota (red.
modern), dakwah bil qolam justeru tidak memiliki tempat di masyarakat pedesaan
(tradisional). Hal ini pulalah yang menjadikan perbedaan masyarakat kota dan
masyarakat desa dalam berdakwah sehingga pada masyarakat desa cenderung
memahami dakwah sebagai aktivitas ceramah tabligh, karena itulah dakwah bil
qolam tidak memiliki pengaruh secara merata bagi semua kalangan.
c. Dakwah Bil Lisan
Dakwah bil lisan disebut juga sebagai dakwah bil qaul. Aktivitasnya yang
selalu menggunakan komunikasi lisan, dakwah semacam ini sering kali ada di
majelis taklim, masjid-masjid, khutbah hari raya, khutbah Jumat, dan
semacamnya.
Dakwah bil lisan ini merupakan pola yang sering digunakan untuk
berdakwah di tengah kehidupan masyarakat. dakwah bil lisan memang bisa
dilakukan di semua kalangan masyarakat. baik masyarakat kota maupun
masyarakat desa, modern maupun tradisional. Akan tetapi, dakwah semacam ini
pun
tidak
bisa
dilakukan
dengan
sembarang
bicara.
Rasulullah
saw.
menyampaikannya dalam sebuah hadits shahih :
16
Prof. Muhamad Mustafa Atha’, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie
Syukur, Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982) cet.1, h.138
28
‫ﺧﺎﻃﺒﻮا اﻟﻨﺎس ﻋﻠﻰ ﻗﺪر ﻋﻘﻮﳍﻢ‬
“Ajaklah manusia berbicara sesuai dengan tingkat pemahamannya”
Dari sabda Nabi Muhammad saw. tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan
yaitu setiap masyarakat memiliki kadar pemahaman atas sesuatu. Hal ini akan
berpengaruh pada pola dakwah Islam yang menggunakan metode ceramah. Maka
dari itu, penyesuaian terhadap masyarakat (mad’u) sangatlah penting guna
mencapai tujuan dakwah secara baik dan merata. Dalam kaitannya, Allah SWT.
berfirman dalam Qur’an surat Ibrahim, : 4 :
Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan
bahasa kaumnya 17 , supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang
kepada mereka” (QS. Ibrahim, 14:4)
Dari keterangan-keterangan Rasulullah saw. serta firman Allah SWT. di dalam
Al-Qur’an memberitahukan kepada siapa saja yang melakukan dakwah Islam
haruslah menyesuaikan dengan kemampuan si penerima dakwahnya (mad’u).
Sehingga pencapaian dakwah dapat berjalan dan terlaksana sesuai dengan
tujuannya.
Pola gerakan dakwah Islam seperti ini telah banyak dilakukan oleh
berbagai kalangan. Dari mulai guru, politisi, pengusaha, akademisi dan juga
profesional. Mereka semua menggunakan pola dakwah ini dalam keseharian dan
aktivitas mereka. Melalui penyampaian lisan, seorang da’i dapat dengan langsung
berdialog dengan para jamaahnya. Sehingga para jamaahnya pun dapat secara
langsung menerima pesan dari da’i nya, dan jika ada sesuatu yang tidak dipahami
17
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab itu bukanlah berarti bahwa A-Qur’an
diperuntukkan bagi bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh ummat manusia.
29
mad’u, maka mad’u dapat dengan langsung bertanya kepada da’i nya. Pola ini
banyak digunakan oleh para da’i dalam menyampaikan ajaran Islam.
3.
Gerakan Dakwah Islam Klasik dan Islam Modern
a. Gerakan Dakwah Islam Klasik
Periode dakwah Islam klasik dimulai sejak abad ke-18 sampai abad ke-19.
Pada waktu itu, pesantren merupakan pusat kegiatan dakwah yang sering
digunakan sebagai media dakwah oleh masyarakat Islam. Selain sebagai pusat
transformasi ilmu-ilmu agama, pesantren juga sebagai tempat dakwah dan
musyawarah bagi masyarakat.
Dari lingkungan terbatas di pesantren, orang dapat melihat perkembangan
Islam di Indonesia dalam bentuk gerakan yang terorganisasi dan terlembagakan
yang mendasari munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang lebih besar lagi di
awal abad ke-20. Di akhir abad ke-19, gerakan-gerakan keagamaan yang lahir dari
pesantren maupun dengan perkembangan literatur Islam, maka Islam Indonesia
menjadi lebih baik dan berada pada tahap menuju kemurniannya, sebagaimana
yang diajarkan oleh sumber-sumber doktrin yang asli.
Gerakan dakwah Islam klasik tidak serta merta menempatkan pesantren
sebagai pusat dakwah. Selain itu, kesenian dalam tradisi masyarakat jawa seperti
wayang golek, syair-syair jawa, serta adat istiadat masyarakat Indonesia juga
dijadikan sebagai media dakwah Islam pada saat itu.
b. Gerakan Dakwah Islam Modern
Seiring dengan pekembangan zaman dan pola pikir masyarakat muslim di
abad ke-20 ini telah melahirkan suatu peradaban baru, zaman baru di dunia Islam
yaitu pembaharuan Islam di Indonesia. Pembaharuan Islam di Indonesia ditandai
30
dengan kompleksitas literatur-literatur Islam yang tidak hanya mengkaji Islam
dari sisi syariat dan ibadah saja tetapi juga teologi, filsafat, tasawuf, moralitas, dan
lain-lainnya.
Perkembangan Islam di abad ke-20 ini telah banyak melahirkan paradigma
baru yang bekaitan dengan gerakan pemurnian agama atau yang disebut sebagai
purifikasi Islam. Maka kemudian, cita-cita dakwah Islam pun harus mampu
menjadi pelopor dalam rangka purifikasi Islam tersebut.
Di Indonesia, gerakan dakwah Islam modern ditandai dengan agenda
sosial politik yang oleh kalangan modernis diakui sebagai suatu jalan menuju
masyarakat yang berkeadilan, sejahtera, pluralis, demokratis, rasionalis, inklusive
dan toleran. 18 Ada tiga agenda penting dalam gerakan dakwah Islam modern,
yaitu :
1. Membentuk Masyarakat Madani
Prof. Dr. Azyumardi azra menyebut masyarakat madani atau “civil
society” sebagai agenda penting pasca orde baru. Bahwa kondisi Islam saat ini
tengah berada pada kemajuan juga sekaligus kemunduran. Masyarakat Islam di
Indonesia hari ini mengalami kemajuan dalam hal berpikir, berperadaban dan
berkemanusiaan tetapi sedang mengalami kemunduran pada sisi ekonomi, politik
dan sosial. Setelah kurang lebih selama 32 tahun gerakan-gerakan Islam di
Indonesia merasa terkunci dalam lubang kekuasaan orde baru, maka setelahnya
Islam kembali muncul dengan berbagai macam bentuk wajahnya. Hal ini
18
1983).
Amrullah, Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta,
31
disebabkan akibat dari tekanan penguasa orde baru terhadap gerakan-gerakan
Islam. Dalam hal ini Prof. Dr. Azyumardi Azra menjelaskan :
“The Soeharto new order regime at least in the period of 1970’s
and 1980’s was not on good terms with muslims political forces in
general. In fact, there was a lot of mutual suspicion and hostilities between
the two sides, president Soeharto took very harsh measures against any
expression of Islamic extremism. But at the same time, it is widely
believed that certain military generals such as Ali Murtopo and Benny
Murdani recruited ex DI/TII to form “Komando Jihad” (Jihad Command),
conducting subversive activities, in order to discredit Islam and
Muslims.” 19
(Rezim Orde Baru Soeharto di akhir masa 1970 dan 1980 secara umum
telah berada pada kondisi kekuatan politik ummat Islam yang tidak baik.
Sebenarnya terdapat banyak saling kecurigaan dan permusuhan diantara
kedua pihak, Presiden Soeharto mengambil langkah keras melawan
ekspresi Islam garis keras. Tetapi pada saat yang sama, Presiden Soeharto
mempercayai penuh bahwa jenderal militer yang dapat dipercaya seperti
Ali Murtopo dan Benny Murdani telah direkrut mantan DI/TII untuk
membentuk Komando Jihad, melaksanakan aktivitas gerakan bawah tanah,
dengan maksud mendiskreditkan Islam dan masyarakatnya.)
Sangat terlihat tajam pada kekuasaan orde baru pada saat itu gerakan Islam yang
kerap dianggap menghalau jalannya kekuasaan maka spontanitas dilakukan
penghentian oleh kekuatan Soeharto. Jadi, aktivitas dakwah Islam pun menjadi
rapuh dan tidak memiliki ruang bebas di hadapan publik.
Konsep masyarakat madani tentu saja dekat dengan historikal intelektual
dan sosial Eropa Barat. Wacana ini di Indonesia kemudian disebut sebagai
masyarakat madani, yang menekankan pada penolakan terhadap segala jenis
otoritarianisme dan totalitarianisme. 20 Pada era orde baru, di Indonesia memang
dikenal sebagai era pengekangan terhadap gerakan-gerakan sosial politik
19
Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militant Movements In Indonesia, makalah
Simposium Internasional, Institute Of Asian Culture Studies, Tokyo, 2005.
20
Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society; Pandangan Muslim di Indonesia,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)
32
masyarakat yang dilakukan oleh penguasa. Dan tentu saja berpengaruh pada
proses pembentukan masyarakat madani sebagai bagian dari upaya kalangan
modernis untuk menunjukkan kearifan dan keragaman kerukunan beragama dan
berbangsa di Indonesia ini.
Pergumulan wacana civil society di Indonesia menjadikan masyarakat
muslim sangat penting untuk dipertimbangkan, karena ia adalah salah satu
kelompok agama mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, upaya pengembangan
civil society di Indonesia tidak lepas dari peranan ummat Islam. Ummat Islam
merupakan basis perubahan politik dan sosial di Indonesia, dan ia pun memiliki
potensi sangat besar dalam menentukan format dan kehidupan politik di
Indonesia. Apalagi melalui jalur lembaga-lembaga dakwah yang dianggap sebagai
kendaraan pilihan masyarakat Indonesia dalam membentuk kesejahteraan
masyarakat selain partai politik.
Civil society merupakan agenda dakwah Islam dikarenakan untuk
menekan angka kemajuan dan kesejahteraan masyarakat muslim khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini tidak lepas dari peranan para da’i
sebagai bagian dari unsur pelaksanaan dakwah. Dengan memasukkan materi
tersebut sebagai bahan informasi menuju masyarakat berkeadilan, sejahtera,
pluralis, demokratis, rasionalis, dan sebagainya.
Gerakan civil society yang terus diwacanakan ini telah menadapatkan
perhatian banyak kalangan, diantaranya adalah Nucholish Madjid, M. Dawam
Rahardjo, Amien Rais, Kuntowijoyo, Abdurrahman Wahid, Din Syamsuddin serta
tokoh-tokoh lainnya. Lalu kemudian, mereka merumuskannya kembali dalam
istilah masyarakat madani. Di awal tahun 1990-an, tokoh-tokoh tersebut terus
33
mengupayakan untuk menyebarkan visi dari masyarakat madani tersebut
diantaranya adalah membentuk masyarakat muslim menjadi modern, rasional,
cerdas.
2. Melembagakan kegiatan dakwah (Institutionalized)
Bahwa dakwah yang dilakukan kalangan muslim abad 20 ini telah
memasuki dinamika kehidupan yang kompleks dan syarat akan nilai-nilai agama
dan budaya. Jika pada periode klasik pesantren dijadikan sebagai pusat kegiatan
dakwah, maka hari ini dakwah Islam telah mendapatkan banyak tempat untuk
mengembangkan dan menyebarluaskan aktivitasnya. Tidak hanya melalui
pesantren tradisional saja tetapi juga pada pesantren-pesantren modern, atau
bahkan pada lembaga-lembaga yang dengan sengaja dikhususkan sebagai pusat
kegiatan dakwah Islam. Seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),
Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama
(LDNU), Majelis Tarjih Muhamadiyah, dan organisasi-organisasi lainnya yang
memiliki visi-misi dakwah Islam.
Selain dari pada itu, dakwah Islam kini tengah memasuki pada aspek
kajian akademik. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya Fakultas Dakwah di
berbagai perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta. Upaya untuk
melembagakan kegiatan dakwah Islam merupakan aplikasi dari Al-Qur’an Surat
Al-Mudatsir (74) ayat 1-7 :
☺
☺
34
Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah
peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah!. Dan pakaianmu bersihkanlah.
Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”(QS. Al-Mudatsir, 74:1-7)
Ayat tersebut di atas merupakan bekal dakwah Rasulullah saw. untuk yang
pertama kalinya. Dakwah Rasulullah saw. pertama kali diawali dengan cara
sembunyi-sembunyi kurang lebih selama tiga tahun. 21 Setelah itu, baru kemudian
Rasulullah mendapat wahyu berikutnya untuk menjalankan dakwah Islam dengan
terang-terangan :
☺
☺
Artinya : “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa
yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang
musyrik.” (QS. Al-Hijr, 15:94)
Perintah dakwah Islam tersebut selanjutnya diemban oleh Rasulullah saw. selama
dua puluh tahun. 22
Oleh karena itu, dakwah Islam harus sudah berada pada tingkat
profesionalitas. 23 Surat Al-Mudatsir dan surat Al-Hijr tersebut memberikan pesan
bahwa dakwah Islam harus mengalami kemajuan seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan perkembangan zaman. Mula-mula Allah memerintahkan dakwah
kepada Nabi Muhammad saw. dengan sembunyi-sembunyi lalu kemudian
memerintahkannya dengan terang-terangan. Artinya, bahwa kegiatan dakwah
21
Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayanuni, Al Madkhal Ila ‘Ilm Ad Da’wah, (Beirut:
Muassasah Ar-Risalah, 1991), h. 76
22
Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN
Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2005), h. 34
23
Abdul Basith, M. Ag, Ibid., h. 33-54
35
dewasa ini akan lebih terarah dan tercapai tujuannya melalui lembaga dakwah
yang terorganisasi. Dengan demikian, kegiatan dakwah di era modern ini akan
lebih sempurna dan terencana jika ada lembaga yang secara konsisten
mengarahkan dakwah Islam.
3. Transformasi Sosial (social transformation)
Selanjutnya adalah dakwah Islam sebagai transformasi kehidupan sosial.
Dakwah Islam memang tidak lepas dari perundingan sosial, dimana setiap
gerakan yang digelontorkan akan membentuk suatu pola dan tatanan kehidupan
masyarakat. Ini merupakan agenda khusus lembaga-lembaga dakwah dalam
upayanya menjadikan masyarakat sejahtera, adil dan takwa kepada Allah SWT.
Sisi lain dakwah sebagai transformasi sosial adalah dapat membentuk
etika dan moral masyarakat menjadi baik dan saling menjadi tauladan. Di dalam
suatu masyarakat terdapat beberapa orang yang dipandang sebagai “public
opinion” atau sebagai tokoh masyarakat. Seseorang yang dipandang berpengaruh
di masyarakat memiliki potensi untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Maka,
kebanyakan orang menyebutnya sebagai ustadz, kiyai atau yang lebih umum lagi
adalah tokoh masyarakat.
Dakwah sebagai transformasi nilai-nilai sosial dikarenakan materi dakwah
sangat dekat dengan problematika umat dan bangsa. Proyeksi kemudian adalah
terbentuknya pribadi muslim yang taat beragama dan selalu menjalankan perintah
Allah SWT. melalui aktivitas dakwah inilah kemudian terpancar energi positif
yang membentuk sifat, karakter dan kebiasaan masyarakat yang baik, dan akan
saling menjadi bagian satu sama lainnya di masyarakat. Jika ini sudah terlaksana
maka konsep “manusia bermanfaat” akan terasa di masyarakat. Hal ini memang
36
telah digariskan dalam khittah dakwah nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits
yang menyatakan :
‫ﺧﲑ اﻟﻨﺎس أﻧﻔﻌﻬﻢ ﻟﻠﻨﺎس‬
“Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.
B. Islam Modern Dan Isu-Isunya
1.
Pengertian Islam Modern dan Cita-citanya
Kemunculan kaum modernis dalam Islam sebenarnya merujuk pada
polarisasi model keberagamaan dalam Islam yang mengemuka pada pergantian
abad ke-19. Islam modern ini berasal dari gerakan sosial-politik dan keagamaan
yang diprakarsai oleh Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid
Ridha di Mesir. Mereka melakukan modernisasi terhadap Islam disebabkan
karena mereka ingin membebaskan ummat Islam dari penjajahan Barat 24 .
Kemudian, untuk meneruskan cita-cita gerakan Jamaludin Al-Afghani, maka
Abduh melakukan reformasi terhadap paham keagamaan yang telah dipraktikkan
oleh sebagian besar masyarakat muslim. Sedangkan Rasyid Ridha yang juga
sebagai murid dari Muhammad Abduh menjabarkan ide-ide kedua pendahulunya
itu kedalam sesuatu yang lebih bersifat praktis. Seperti pendidikan, ekonomi,
kesehatan dan sebagainya.
Modernisasi yang telah dilakukan oleh al-Afghani, M. Abduh dan Rasyid
Ridha tersebut sebenarnya bukanlah suatu gerakan baru. Dua nama besar yakni
Taqiyuddin dan Ibn Taimiyyah juga telah melakukan reformasi Islam
sebelumnya. Kedua tokoh ini telah merevisi paham keagamaan yang dipraktikkan
24
Nikkie. R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious
Writing of Sayyid jamal ad-Din al-Afghani (Los Angles, University of California Press, 1983)
37
oleh sebagian besar masyarakat muslim pada masanya. Gerakan pembaharuan
(tajdid) yang mereka lakukan itu terletak pada upaya mengevaluasi paham
keagamaan yang ada dalam rangka menemukan titik-titik kelemahan, baik berupa
penyimpangan, ketidaksesuaian serta pencampuradukan dengan unsur-unsur dari
luar Islam, kemudian ditetapkannya sebagai bentuk islah agama yang berada pada
garis yang benar. Berangkat dari pemikiran kedua tokoh tersebut, kritik dan
sangkalan-sangkalan pun muncul sebagai gerakan purifikasi Islam. Gerakan ini
dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Ia menilai kerangka modernisasi
Islam yang dilakukan oleh kalangan tersebut di atas adalah bentuk penyimpanganpenyimpangan baru sepanjang sejarah Islam. Gerakan yang diprakarsai oleh
Wahhab ini kemudian dikenal sebagai gerakan Wahhabiah, atau masyarakat
Indonesia menyebutnya sebagai kaum Wahhabi. Abdul Wahhab menyerang
praktik-praktik keagamaan popular seperti pemujaan terhadap guru-guru sufi,
taqlid atau tawassul. Menurut gerakan dan konsep yang dibangunnya praktik
keagamaan semacam itu telah melenceng dan patut dikatakan bid’ah, karena telah
menyebabkan degradasi moral. Maka, pendapatnya menganjurkan kepada ummat
Islam pada waktu itu untuk tidak tenggelam dalam suasana tahayyul dan khurafat.
Gerakan yang dibawa oleh Abdul Wahhab ini telah mendapatkan dukungan politis
dari penguasa Dariyah, Saudi Arabia yakni Muhammad ibn Saud. Maka, Abdul
Wahhab menyebarkan gagasan-gagasannya dengan keras, bahkan keduanya tidak
segan-segan mengerahkan kekuatan militer untuk melawan mereka yang dianggap
musuh-musuh dakwahnya. Secara riil, gerakan dakwah yang dibawa oleh Abdul
38
Wahhab tersebut berhasil menguasai sebagian besar Jazirah Arab, bahkan gerakan
ini telah menjadi aliran keagamaan yang resmi di kerajaan Arab Saudi 25 .
Sementara, yang terjadi di Indonesia bahwa Islam modern tumbuh dan
berkembang tidak jauh akibat dari pergulatan wacana Islam di Timur Tengah.
Akan tetapi tidaklah sepenuhnya sama pemikiran Islam modern di Indonesia
dengan para tokoh modernis di Timur tengah. Pada awal abad ke-19 khazanah
Wahhabiah dan Ibnu Taimiyah telah memasuki Indonesia, dan akibat dari
munculnya beberapa paham keagamaan modern ini, muncul pergolakan sosialpolitik di Indonesia. Hal tersebut didasarkan atas pemahaman masyarakat muslim
di Indonesia yang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya. Sebagian masyarakat
menilai bahwa Islam yang digariskan oleh pemikiran Wahhabiah dan Ibnu
Taimiyah adalah bentuk pergeseran budaya bangsa serta arabisasi Islam di
Indonesia. Sedangkan yang berbeda dengan kelompok tradisional tersebut
memandang Islam modern Wahhabi dan Ibnu Taimiyah adalah bentuk pemurnian
ajaran Islam dalam perihal ibadah, syari’ah dan muamalah.
Di tengah semakin derasnya arus pemikiran Islam modern di kalangan
intelektual muslim di Indonesia, melahirkan beberapa pandangan baru terhadap
modernisasi Islam dengan tidak mengusik tradisi dan budaya bangsa. Salah satu
contoh adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1912, Muhammadiyah, telah
menggariskan secara komprehensif bahwa Islam modern pada prinsipnya
memiliki cara beragama dengan mengutamakan akal, menentang taqlid,
menganjurkan Ijtihad, kembali pada Qur’an dan Hadits, anti tahayyul, bid’ah dan
khurafat. Ciri-ciri tersebut juga merupakan cara pandang Islam modern menurut
25
James P. Piscatori, Islam in the Political Process, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989)
39
Muhammad Abduh, tetapi dalam perbandingannya kaum Muhammadiyah lebih
senada dengan kaum Wahhabi ketimbang M. Abduh. Sebagai organisasi Islam
modern terbesar di Indonesia, Muhammadiyah memiliki Majlis Tarjih, yang
secara khusus menangani persoalan keagamaan 26 .
Selain sebagai paham keagamaan, istilah tradisionalis-modernis juga
dipandang sebagai identitas budaya. Tentu saja ini merupakan dimensi nonkeagamaan, dan nampaknya lebih penting diperhitungkan dalam polarisasi
tradisionalis-modernis 27 . Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern
terbesar di Indonesia memulai aktivitasnya bukan pada sisi keagamaan, melainkan
sosial, pendidikan, dan ekonomi. Hal ini telah dibuktikan dengan hasil karyanya
seperti panti asuhan, sekolah-sekolah, rumah sakit, poliklinik, universitas dan
koperasi masyarakat. 28 Munculnya paradigma Islam modern ini diukur dari
keadaan ummat Islam yang pernah terjajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Apalagi
bagi mereka yang pernah merasakan kejayaan Islam, maka akan merasa seperti
diinjak-injak bahkan hilang harga dirinya karena ummat Islam tengah dijajah oleh
bangsa Eropa.
Islam modern yang dibangun atas dasar perkembangan, kemajuan dan
peradaban manusia bukanlah suatu tujuan akhir dalam menciptakan masyarakat
beragama, namun pada komposisinya, Islam modern mengajak masyarakat untuk
berpikir maju dan mengamalkan ajaran-ajaran pokok Islam dalam kehidupan
26
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,
1995)
27
Hendro Prasetyo, dkk. Islam dan Civil Society; pandangan muslim di Indonesia,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)
28
Ibid., h. 44
40
sehari-hari. Fazlur Rahman berpendapat bahwa Islam modern merupakan sebuah
tuntutan beragama dengan melibatkan unsur fikriyah sebagai interpretasi AlQur’an dan Hadits. Lebih lanjut ia mengatakan “Islam modern mengarah pada
cara-cara berpikir baru pada umat Islam yang terbelakang (jumud) dengan
merombak cara Islam diinterpretasikan” 29
Modernisme kini sudah menjadi sebuah paham dalam dimensi sosial yang
mensyaratkan pada peranan akal yang dominan. Ini berarti mengharuskan cita-cita
sosial kepada arah kemajuan dan peradaban baru. Adalah benar bahwa
kemodernan memiliki kapasitas berpikir yang panjang dan luas. Oleh karenanya,
karakter-karakter yang terbentuk pun tidak jauh dari rasionalitas akal pikiran
seseorang atau cara berpikirnya. Berkaitan dengan hal ini, Dr. Yusuf Qardhawi
menjelaskan karakteristik kemodernan, diantaranya adalah :
-
Rasional Ilmiah
Dalam dimensi sosial, kehidupan masyarakat modern telah disandarkan pada cara
berpikir dalam menilai dan menentukan sesuatu. Segala sesuatu harus disandarkan
kepada ilmu dan dipertimbangkan melalui logika. Di era modern, masyarakat
Islam harus mampu menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam
maupun yang berkaitan dengan kehidupan sosial melalui nalar rasional-ilmiah.
Pendapat-pendapat yang tidak dilandasi dengan cara berpikir ilmiah tidak akan
dapat diterima oleh masyarakat modern. Islam pun senada dengan cara berpikir
demikian. Karena pada dasarnya, Islam tidak menerima prinsip-prinsip mistisisme
yang kerap dilakukan oleh paranormal dan Islam mengkategorikan tindakan ini
sebagai tindakan kufur dan syirik yaitu menyekutukan kekuatan Allah SWT.
29
Mohamed Imran Mohamed Thaib, Fazlur Rahman: Perintis Tafsir Kontekstual,
Makalah Diskusi Yayasan Mendaki.
41
Dengan demikian, karakter masyarakat Islam modern merubah pola
pikirnya dengan mengedepankan rasional-ilmiah. Selain itu, Al-Qur’an juga
mendeklarasikan peperangan melawan kejumudan dan taklid kepada nenek
moyang, pembesar-pembesar kaum serta kepada masyarakat awam. 30
-
Pembaruan (tajdid)
Karakteristik kemodernan yang kedua adalah pembaruan (tajdid).
Pembaruan ini merupakan bentuk kondisi masyarakat modern. Umumnya,
masyarakat muslim modern selalu berpikir menatap ke arah masa depan. Mereka
tidak tinggal diam menghadapi problematika baru dengan penyelesaian dari
pendapat-pendapat lama yang cenderung membeku. Islam melarang adanya
pembekuan dalam kehidupan, pemikiran, keilmuan, dan ijtihad. Dan sebaliknya,
Islam menghendaki seseorang untuk terus mengupayakan adanya regenerasi dan
perubahan-perubahan peradaban manusia, serta untuk melakukan ijtihad terkait
dengan persoalan-persoalan baru yang dihadapi dalam kemodernan.
Pembaruan yang dimaksud dalam modernisme Islam adalah pembaruan
dalam hal cara berpikir masyarakat yang menyertakan pada prinsip rasionalilmiah, serta gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Lebih lanjut, Dr.
Yusuf Qardhawi mengingatkan kepada masyarakat modern bahwa pembaruan
bukan berarti memungkiri yang lama.
“Ingat, bahwa pembaruan yang dimaksudkan tidak berarti
menginterupsi hubungan dengan turats, dan mengingkari yang lama.
Karena tidak semua yang lama adalah buruk, sebagaimana tidak semua
yang baru adalah baik. Berapa banyak hal yang lama dan terus bermanfaat
secara signifikan, dan membawa berkah secara melimpah. Dan berapa
banyak hal yang baru tidak membuahkan kebaikan bahkan mengandung
bahaya laten dan nyata. Permasalahan baru dan lama adalah relatif, yang
30
Dr. Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridlo, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2007) cet. 2
42
dianggap lama pada hari ini sebenarnya adalah baru pada waktu lalu, dan
yang dianggap baru hari ini ia menjadi lama esok lusa. ” 31
Begitu pun dengan apa yang telah diprinsipkan oleh Nahdlatul Ulama
(NU) bahwa menjaga sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang
baru yang benar adalah perbuatan terpuji 32 . Dengan demikian, prinsip pembaruan
tidak akan mengacak-acak pendapat lama. Inilah yang kemudian dimaksud
dengan pembaruan (tajdid).
2.
Pengertian Isu dan Isu Islam Modern
Sebelum lebih jauh membicarakan isu-isu Islam modern. terlebih dahulu
kita memahami isu sebagai apa, dari siapa dan untuk siapa. Dalam kamus umum
Bahasa Indonesia, kata isu memiliki arti “kabar yang tidak jelas asal usulnya dan
tidak terjamin kebenarannya” atau dalam arti lainnya adalah kabar angin, desasdesus. 33 Dalam konteks isu Islam modern, isu diistilahkan sebagai suatu fenomena
problematika Islam yang menimpa masyarakat. Dengan demikian, isu merupakan
fenomena masalah yang terjadi di permukaan masyarakat. Sifatnya belum
dikatakan sebagai keputusan tetapi ia adalah pergeseran wacana. Isu datang dari
persoalan masyarakat yang mengalami pergeseran wacana dari semula. Seperti
Islam Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai Islam yang ramah, santun,
bijaksana, arif dan toleran akan berubah menjadi keras, kasar, teroris disebabkan
oleh
aksi
31
radikal
yang
dilakukan
oleh
segelintir
masyarakat
yang
Yusuf Qardhawi, Ibid., h. 169-170
32
Aceng Abdul Aziz, dkk., Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Ma’arif NU, 2006)
33
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007)
43
mengatasnamakan Islam. Sehingga kemudian munculah isu Islam Indonesia tidak
lagi seperti yang tergambarkan dahulu melainkan radikal, teroris.
Dikarenakan sifatnya sebagai pergeseran wacana, maka isu dapat juga
dijadikan sebagai momentum politik bagi sekelompok golongan yang hendak
mencapai tujuan dan cita-citanya. Dengan demikian isu sangat rentan dengan
wacana kajian dan dialog. Jadi, dakwah Islam mesti turut serta dalam menghadapi
isu-isu Islam modern. berikut ini adalah isu-isu Islam modern yang melahirkan
dialog dan literatur. Dengan demikian, dapat disederhanakan pengertian isu yang
berarti gejala sosial yang menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan Isu Islam modern adalah gejala-gejala sosial masyarakat yang
menjadi fenomena agama dan berkembang menjadi pengetahuan. Isu Islam
modern bagian dari pergeseran wacana klasik ke dalam wacana modern. Ada
banyak macam isu-isu Islam modern, diantaranya adalah Isu pluralisme,
liberalisme, sekularisme, hak asasi manusia, kesetaraan gender, krisis sosial,
moral, spiritual, dan isu terorisme, radikalisme, fundamentalisme.
3.
Isu Fundamentalisme, Radikalisme, Terorisme
a. Fundamentalisme
Pasca peristiwa pengeboman gedung World Trade Center (WTC), 11
September 2001 di Amerika Serikat, posisi umat Islam semakin tersudutkan
lantaran diketahui bahwa pelaku pemboman tersebut adalah kelompok jaringan
Al-Qaeda, yaitu kelompok Islam yang berbasis ideologi keras (ekstrem). Terlebih
lagi, di Indonesia menyusul serangan-serangan teroris yang diketahui pelakunya
adalah dari kalangan muslim. Semakin menguatkan dunia internasional bahwa
44
Islam memiliki doktrin membunuh, menyerang dan melakukan tindakan
terorisme.
Pada mulanya, kelompok Islam yang tergolong radikal ini memiliki
konsep ideologi yang menekankan kepada ajaran berbakti kepada agama. Melalui
pemahamannya terhadap Al-Qur’an dan Hadits ia tidak berusaha menjabarkan
kandungan-kandungan ayat Al-Qur’an serta memberikannya tafsiran secara
kontekstual dalam perilaku hidupnya, sehingga apa-apa yang tertulis di dalam teks
Al-Qur’an dipandang sebagai keputusan mutlak dan tidak dapat boleh diberikan
tempat untuk diadakan tafsir, pemaknaan secara kontekstual, dan semacamnya.
Maka, dalam tindakan dan pengamalannya pun cenderung mutlak mengikuti teks
Al-Qur’an tersebut. Seperti dalam Al-Qur’an :
☺
Artinya : “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah), ..........”
(QS. Al-Baqarah,2:191)
Ayat tersebut jika dipahami berdasarkan teksnya saja tanpa mengetahui asbabun
nuzulnya, konteksnya dalam hal apa, jelas akan memberikan pengertian bahwa
umat Islam diperintahkan membunuh serta mengusir mereka (musuh-musuh
Islam) dengan cara kekerasan. Kemudian ayat lain yang mendasari pemahaman
kelompok fundamentalis-radikal, yaitu Surat Al-Baqarah (2) ayat 120 :
☺
⌧
45
Artinya : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada
kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya
petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika
kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu,
Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. AlBaqarah,2:120)
Ayat tersebut kemudian dijadikan sebagai patokan oleh kaum fundamentalis
sebagai legitimasi permusuhan Islam dan Yahudi serta Nashrani.
Dalam hal ini William M. Watt mendefinisikan bahwa “fundamentalisme
Islam adalah kelompok muslim yang secara sepenuhnya menerima pandangan
dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh”.34
Sepertinya ada perbedaan pandangan diantara ulama-ulama modern dalam
memberikan pengertian fundamentalisme Islam ini. Dalam kaitannya, Fazlur
Rahman justeru tidak memiliki ketertarikan untuk menggunakan istilah
fundamentalisme ini sebagai sebutan bagi kelompok muslim yang terbelakang,
memiliki pemikiran jumud, baku. 35 Ia lebih memilih menggunakan istilah
revivalis Islam. Revivalis ini diartikannya sebagai “kelompok muslim yang
cenderung memiliki arah terhadap gerakan purifikasi Islam, ajarannya untuk
mengembalikan persoalan kepada Al-Qur’an dan Hadits”. 36
Namun demikian, gerakan kaum fundamentalis cenderung konservative
dan tidak mau menerima pendapat-pendapat hasil dari penafsiran terhadap Al-
34
William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, (Jakarta:
Grafindo Persada, 1997), h. 3-4
35
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme
Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009)
36
Ibid.
46
Qur’an yang disandarkan pada hermeneutika Al-Qur’an antar teks (inter-textual).
Menurut Fazlur Rahman, Fundamentalis sejati adalah orang yang memiliki
komitmen terhadap proyeksi rekonstruksi atau rethinking. 37 Pemikirannya yang
baku terhadap satu pengertian menjadikan kelompok ini sebagai kelompok yang
tidak memiliki sikap keberanian menelaah dan menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits
dalam menentukan hukum.
Prof.
Dr.
Azyumardi
Azra
mengkategorikan
prinsip
dasar
fundamentalisme dalam agama sebagai berikut :
1. Oposisionalisme ; yaitu pemikiran yang mengharuskan perlawanan
terhadap arus perubahan yang mengancam kemapanan ajaran agama.
2. Penolakan terhadap hermeneutika ; pada titik ini teks suci serta merta
menjadi ruang yang kedap kritik.
3. Penentangan akan pluralisme sosial ; yaitu menghendaki agar masyarakat
tidak boleh berbeda-beda dan diharuskan untuk seragam.
4. Pengingkaran terhadap perkembangan historis dan sosiologis umat
manusia. 38
b. Radikalisme
Di awal abad ke-20 hingga kini gerakan radikalisme Islam semakin
menampakkan diri ke dalam arus perubahan modernisme, karenanya gerakan
dakwah Islam harus mampu menjadi penyeimbang atas lahirnya gerakan-gerakan
Islam yang memiliki sikap radikal dalam dakwahnya agar dakwah Islam tetap
dalam pandangan santun dan bijaksana.
37
38
Fazlur Rahman, Ibid., h. 14
Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militants Movement in Indonesia, Makalah
Simposium Internasional, CIU, Tokyo, 2005
47
Beberapa pengalaman telah mengukir sejarah Islam radikal yang
kemudian dijadikan komoditas politik negara-negara yang berkepentingan dalam
persoalan ini. Imam Khatami, seorang mantan Presiden Iran pernah mengkritik
kelompok fundamentalis Islam di Iran yang dengan kaku mereka memahami
prinsip-prinsip agama sebagai ramuan masa lalu. menurut Imam Khatami bahwa
prinsip-prinsip agama telah terjadi sesuai dengan sosio-historis sendiri. Historissosiologis membentuk doktrin agama dengan menyesuaikan karakteristik konteks
sosiologis yang melingkupinya. 39 Sedangkan kelompok fundamentalis tidak
menyadari hal tersebut. Dalm orasinya, Imam Khatami mengatakan bahwa
fundamentalisme itu terbagi menjadi dua macam, yaitu :
-
Ushuliyyah Mutharrifah (Fundamentalis yang berlebihan)
Fundamentalis seperti ini memiliki kapasitas memahami teks yang
berlebihan tidak disertai pemaknaan secara kontekstual. Aksi-aksi yang
dilakukannya cenderung menggunakan prinsip “ketegasan tanpa batas” dan pada
akhirnya melahirkan aksi kekerasan (radikal).
-
Ushuliyyah Mathlubah (Fundamentalis yang dikehendaki)
Dalam hal ini Islam memberikan apresiasi terhadap fundamentalis yang
mengupayakan masyarakat untuk kembali kepada ajaran Islam yang terdapat di
dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika memberikan fatwa atau hendak
menghasilkan produk hukum fikih, merujuk kepada sumber utama ajaran Islam
(Al-Qur’an) adalah sesuatu yang dinilai baik dan memiliki keutamaan dalam
berpendapat. 40
39
Imam Khatami, petikan wawancara Harian al-Fagr, Edisi Sabtu, 31 Maret 2007
40
Lih. Harian al-Fagr, Edisi Sabtu, 31 Maret 2007.
48
c. Terorisme
Terorisme merupakan isu yang hangat diperbincangkan di masyarakat
sekarang ini. Aksi-aksinya sungguh sangat meresahkan masyarakat. Terorisme
merupakan sebuah paham yang berlebihan terhadap konsep Jihad di dalam Islam.
Pada dasarnya pandangan terorisme ini bersumber dari sebuah racikan
ideologi yang belebihan dalam memaknai konsep bejuang di jalan Allah SWT.
Tindakan yang dilakukannya tersebut diyakini sebagai jalan jihad menuju ridha
Allah SWT. Selain karena pemahamannya yang rigid terhadap teks kitab suci,
kelompok teroris ini juga mendapatkan doktrin Jihad yang menurutnya dengan
memerangi oang-orang kafir dengan cara-cara keras sekalipun 41 .
Selain itu, kelompok teroris juga menghendaki adanya pembaharuan
(renewal) 42 ajaran Islam yang menurutnya sudah melenceng jauh dari yang
sebenarnya. Maka dengan demkian, mereka meyakini bahwa aksi-aksi yang
dilakukannya adalah demi menegakkan ajaran Islam.
Gerakan terorisme ini akan sangat mengganggu hubungan Islam dengan
agama-agama lainnya lantaran belakangan ini mereka (kelompok teroris)
menamakan diri sebagai aksi Jihad di jalan Allah SWT. dalam memerangi orangorang kafir.
4. Isu Pluralisme, Liberalisme, Sekularisme
a. Pluralisme
41
Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militan Movements in Indonesia, makalah
simposium internasional, IACS, Tokyo, 2005
42
Ibid., h. 5
49
Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang layaknya agamaagama lain. Ia tidak sekedar menghendaki kerukunan bagi umat Islam saja tetapi
bagi semua makhluk di dunia ini. Dan, Islam juga membenci kekerasan dan
kemunafikan. Tak ada jaminan yang lebih jelas untuk menghindari kedua hal
buruk tersebut kecuali ajakan Al-Qur’an kepada ummat manusia untuk
menghormati keyakinan-keyakinan agama di dunia ini. Keragaman yang terjadi di
dunia ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh siapapun dan
kapanpun serta dimanapun. Nabi Muhammad saw. telah menggariskan perbedaan
sebagai rahmat Allah SWT. untuk makhluk hidup di bumi.
Harold Coward dalam bukunya Pluralisme Tantangan Bagi AgamaAgama, menginventarisasi tantangan atas isu pluralisme keagamaan yang
menghasilkan beberapa prinsip umum, diantaranya; pertama, pluralisme dapat
dipahami dengan baik dan logis, jika dapat memahami al-Ahad berwujud dalam
yang banyak. Hal ini memang bisa dimengerti bahwa Tuhan hanya Satu dan sama
bagi semua agama. Maka hidup berdampingan dengan tanpa memperbandingkan
secara timbal balik, masih dimungkinkan. Dan hambatan teologis dalam berbagai
dialog keagamaan relatif tidak tampak. Kedua, adanya pengalaman bersama
mengenal kualitas pengalaman agama partikular sebagai alat. Di sini dapat
dimengerti bahwa agama sebagai alat kompetisi sehat, alat pengendali kehidupan
manusia, dan sebagai alat untuk mencapai Tuhan yang sama. Dalam hal ini tentu
juga harus diwaspadai soal kemungkinan munculnya faham relativisme 43 dan
liberalisme beragama. Karena pada dasarnya, sejauh mana pun seorang pluralis
43
Menurut WJS. Poerwadarminta, Relative itu sesuatu yang dapat berubah-ubah dan
tidak mutlak.
50
harus tetap bersandar pada satu agama yang diyakininya dengan penuh konsisten
serta harus mampu bersikap bijaksana terhadap agama lain. 44
Menanggapi berbagai macam kondisi tersebut di atas bahwa keberagaman
(pluralitas) sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Islam, maka
kalangan agamawan pun turut bicara tentang pluralitas tersebut. Dan, kini ia
menjadi isu dalam kajian Islam modern. Pluralitas adalah bentuk kemajemukan
yang terdapat dalam kehidupan beragama dan tidak bisa dihindari. Namun, di satu
sisi nilai pluralitas ini kerap menimbulkan konflik agama yang berkepanjangan. Ia
juga bisa menjadikan suatu penganut agama menjadi radikal untuk mencegah nilai
pluralitas ini. Dan, di sisi lain ada tugas dan tanggung jawab sebagai manusia
yang harus menjaga nilai-nilai pluralitas ini menjadi karakter baik, saling
menghormati dan saling menghargai. 45
Pada dasarnya pengertian pluralisme tidak berada pada satu kesepakatan
umum yang menggariskan bahwa pluralisme sebagai suatu paham yang mengcover perbedaan menjadi persatuan dan persamaan. Namun diskursus kajian Islam
tentang pluralisme telah mendapat perhatian banyak kalangan dan terutama pada
dekade 1980-an. Tema ini juga telah menjadi isu bagi bangsa Indonesia yang
memiliki kemajemukan. Bertolak dari pandangan bahwa Islam adalah agama
fithrah, yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan
universal, Islam juga dikenal sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. 46
44
Harold Coward, Pluralisme Tantangan bagi Agama-agama, terj. Basco Carvallo,
(Yogyakarta: Kanisius, 1992)
45
46
Ibid.
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992)
51
Nurcholish Madjid (alm.) berpendapat bahwa cita-cita masyarakat Islam di
Indonesia sejajar dengan cita-cita masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh
karenanya, ia meyakini pluralisme sebagai bagian penting dari pandangan hidup
keberagamaan masyarakat Indonesia. 47 Kesadaran masyarakat Indonesia tentang
keberadaan bangsanya yang sangat pluralistik, baik dari segi etnis, adat istiadat
maupun agama membuat Islam di Indonesia menjawab realitas itu sebagai nilai
positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam
menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat
berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Dalam hal ini
Nucholish Madjid menyatakan :
“Kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam
disebut sebagai dukungan, karena Islam adalah agama yang
pengalamannya dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme adalah unik
dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih
tampak jelas dan nyata pada berbagai masyarakat dunia: dimana agama
Islam merupakan anutan mayoritas, agama-agama lain tidak mengalami
kesulitan berarti; tapi sebaliknya di mana mayoritas bukan Islam dan kaum
Muslim menjadi minoritas, mereka ini selalu mengalami kesulitan yang
tidak kecil, kecuali di Negara-negara demokratis Barat. Di sana sejauh ini
umat Islam masih memperoleh kebebasan beragama yang menjadi hak
mereka.” 48
Cita-cita Islam di Indonesia nampak terlihat mengarah kepada esensi
pluralisme sebagai gambaran kemajemukan bangsa Indonesia. Terlebih lagi M.
Syafi’i Anwar juga menegaskan bahwa universalitas Islam juga mengandung
pengertian teologis, yaitu perkataan àl-Islam yang berarti “sikap pasrah kepada
Tuhan.” Dengan pengertian tersebut Nucholish Madjid berpendapat semua
47
M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina,
1995). Cet. 1, h. 229
48
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992).
52
agama yang benar pasti bersifat àl-Islam karena mengajarkan kepasrahan kepada
Tuhan. Syafi’i Anwar melanjutkan pandangannya jika tafsir àl-Islam seperti ini
akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan
kemanusiaan (the unity of humanity). 49 Kedua konsep tersebut merupakan
kelanjutan dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (the unity of God) atau lebih
jelasnya adalah konsep Tauhid. Semua konsepsi kesatuan ini menjadikan Islam
bersifat kosmopolit dan menjadi rahmat seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Posisi seperti ini menjadikan Islam sebagai penengah (al-wasith) dan saksi
diantara sesama manusia.
Sikap pluralisme yang ditunjukkan oleh Nurcholish Madjid ini merupakan
bagian dari teologi inklusif yakni memberikan formulasi bahwa Islam itu
merupakan agama terbuka (open religion) dan sebaliknya tidak menghendaki
adanya penyempitan tafsir terhadap Islam sebagai agama yang diperuntukkan bagi
umat manusia. Sebagai konsekuensi dari paham kemajemukan beragama ini, umat
Islam di Indonesia harus menjadi mediator sekaligus moderator di tengah
pluralitas agama-agama di Indonesia. Problem umat Islam di era moden ini
adalah bagaimana menyikapi pemahaman pluralisme ini. Maka dengan demikian,
hendaknya setiap para da’i memuatkan materi pluralisme pada aktivitas
dakwahnya. Hal ini diperuntukkan agar masyarakat mampu memahami pluralisme
dengan objektif mengingat pluralisme bagian dari isu-isu Islam modern.
Dengan demikian, pluralisme merupakan topik terkini untuk dakwah
dalam rangka membina masyarakat Islam agar terhindar dari hal-hal yang
menyebabkan terjadinya kesalahpahaman dalam mengartikan pluralisme.
49
M. Syafi’i Anwar, Ibid.
53
Berbicara pluralisme sebagai isu atas Islam modern, juga memberikan
pandangan khusus bagi kaum liberal. Masyarakat muslim Indonesia dihadapkan
pada isu-isu agama yaitu Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme. Wacana
tersebut telah menjadi diskursus kajian pada lembaga-lembaga Islam yang
memiliki tajuk modernisme. Jika pluralisme telah menempatkan manusia sebagai
satu kesatuan (unity of humanism), maka liberalisme hadir sebagai penyambung
atas berkembangnya paham pluralisme.
b. Liberalisme
Liberalisme
sejatinya
ingin
membebaskan
pemikiran-pemikiran
masyarakat tentang doktrin baku ulama-ulama terdahulu dengan tidak
meninggalkan keabsahan pendapat para ulama terdahulu itu. Ia mencoba
mengubah pola pikir masyarakat modern untuk terbuka luas dalam berijtihad.
Pada dasarnya, isu Islam liberal ini menghendaki adanya kebangkitan kesadaran
kaum muslimin, di mana umat Islam bebas mengartikulasikan kesadaran budaya
dan peradaban manusia. Kebebasan dalam format liberalisme merupakan faktor
utama dalam memberikan kemajuan bangsa dan negara. Dan, sebaliknya,
hilangnya kebebasan berfikir berarti hilangnya kebebasan berijtihad dalam Islam.
Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak
terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan dan ucapan. Oleh
kelompok liberal prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk terbukanya Islam secara
maknawi bukan secara harfi. Isu ini menjadi perdebatan hangat ketika tidak semua
masyarakat menerimanya dengan lapang. Tidak jarang masyarakat Islam yang
menolak paham liberalisme dalam Islam ini memboikot pemikiran-pemikiran
54
liberal dari dunia Islam. Menurut mereka yang kontradikitif terhadap isu
liberalisme Islam ini adalah penistaan sekaligus dusta dalam agama Islam.
Dalam kajian akademik, isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme
memang tidak pernah mendapatkan kesepakatan umum terhadap pengertian
maupun pemahamannya. Melalui Musyawarah Nasional (MUNAS) VII Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan pengertian yang membedakan antara
pluralisme dengan pluralitas, yaitu pluralisme dipahami sebagai “suatu paham
yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain
salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan
masuk dan hidup berdampingan di surga.” Sedangkan pluralitas memiliki
pengertian bahwa “di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk
agama yang hidup secara berdampingan.” 50
c. Sekularisme
Atas dasar larangan MUI tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme
itu maka masyarakat Islam Indonesia secara umum menolak paham-paham
tersebut sebagai bagian dari Islam. Terlepas dari pro-kontra, isu pluralisme,
liberalisme, sekularisme tengah menjadi tantangan besar dakwah Islam modern
hari ini. terlebih lagi jika isu tersebut sampai pada wacana sekularisme, yang
mendapat tentangan lebih keras lagi dari kalangan umat Islam. MUI memberikan
penjelasan mengenai sekularisme ini sebagai “suatu paham yang memisahkan
urusan dunia dari agama, agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan
50
Draft Himpunan Fatwa MUI
55
pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan
berdasarkan kesepakatan sosial”. 51
Sekularisme menjadi perdebatan di kalangan umat Islam semenjak ada isu
pemisahan urusan agama dan negara. Sejumlah ormas-ormas Islam di berbagai
daerah pun menyiapkan diri untuk menghadang paham tersebut jika menyebarluas
di daerah-daerah Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah isu sekularisme ini hanya
sampai pada permukaan masyarakat kota saja tidak sampai ke pelosok nusantara.
Bagi sebagian kalangan akademisi seperti Dawam Raharjo, Nurcholish Madjid
yang menganggap sekularisme sebagai pembenahan sistem beragama 52 memang
diperlukan adanya untuk menegaskan kepada umat Islam bahwa urusan ibadah
syar’iyah tidak boleh dikaitkan dan dicampuradukan dengan urusan dunia atau
negara. Namun oleh sebagaian lagi perjuangan Nurcholish dan teman-temannya
itu dianggap sebagai provokasi untuk membalikan pikiran umat Islam tentang
negara dan agama.
Kini dakwah Islam dihadapkan pada tantangan isu tersebut. Selain
diperlukan pendalaman pemahaman terhadap isu tersebut, lembaga dakwah Islam
harus mampu menjadi penengah atas pro-kontra isu pluralisme, liberalisme,
sekularisme di kalangan umat Islam. Prof. Dr. Din Syamsuddin memandang
bahwa isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme hanya berpengaruh pada
masyarakat kota atau modern saja 53 karena sikap dan perilaku kelompok pluralis,
liberalis, sekularis tidak diterima oleh kalangan masyarakat muslim di pedesaan
51
Ibid.
52
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995)
53
Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010
56
atau tradisional. Dengan demikian, isu-isu tersebut menjadi tantangan bagi
dakwah Islam yang berada di kota-kota besar dan di kalangan akademisi dan
cendekiawan.
5. Isu HAM, Demokrasi, Kesetaraan Gender
Kendatipun bukan merupakan hal yang baru dalam Islam, persoalan
HAM, Demokrasi dan Gender terus mengalami perkembangan sehingga berbagai
problematika baru bermunculan di tengah masyarakat modern. Sehingga dakwah
Islam juga bertanggung jawab atas masalah-masalah kontemporer yang kian
muncul di tengah kehidupan manusia.
Secara sosiologis Islam modern merupakan konteks sekaligus determinasi
sosiologis relevansi internalisasi dan pelembagaan prinsip-prinsip moral hak asasi
manusia baik yang berpijak pada piagam HAM maupun yang merujuk pada
tradisi Islam. Yang menjadi perhatian dakwah Islam atas permasalahan krusial
HAM fundamental adalah hak-hak ekonomi, sosial, budaya, keterbelakangan
pendidikan, gizi buruk, kelaparan, kemiskinan, pengangguran dan rendahnya
apresiasi terhadap kemajemukan identitas (etnis, ideologi, agama). ini tentu saja
akan menjadi peluang sekaligus tantangan besar bagi gerakan dakwah Islam.
Dalam sejarah Islam isu HAM sebenarnya merujuk pada deklarasi hukukul
insaniyah (hak-hak kemanusiaan) yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw.
dalam dua kesempatan. Pertama, dalam Piagam Madinah yang merupakan
tindakan politis untuk mengatur masyarakat Madinah pada dasarnya mengandung
nilai-nilai perlindungan terhadap hak-hak masyarakat Madinah. Dari sisi ini
kemudian dipahami bahwa Islam sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip
keadilan dan perlindungan hak-hak kemanusiaan. Kedua, khutbah Haji Wada’
57
yang disampaikan Nabi Muhammad saw. pada tanggal 9 Dzulhijjah di Padang
Arafah. Berikut petikan pidato Nabi saw. dalam peristiwa Haji Wada’ :
“Wahai manusia! Dengarkan kata-kataku. Wahai manusia, harta dan darah
kamu adalah tabu (haram) di antara kamu seperti haramnya hari ini di tempat
kamu ini. Begitu sampai kamu bertemu dengan Tuhanmu, ketika Tuhan kamu
meminta pertanggung jawaban kamu. Maka, hendaklah yang diberi amanat segera
menyampaikan amanat itu.” 54 Dalam Islam, harta dan darah adalah hak dasar
Hukukul Insaniyah (hak-hak kemanusiaan) yaitu sebagai hak hidup. Begitulah
sekiranya Islam memandang hak kemanusiaan sebagai bagian dari prinsip hidup
serta berujung pada penanaman nilai-nilai demokrasi.
Selain itu, permasalahan gender merupakan bagian dari agenda Islam
modern, yaitu mendudukan isu gender/perempuan sejajar dengan lai-laki. Ada
hak-hak perempuan yang dirasakan tertutupi atau terhalang oleh laki-laki seperti
kebebasan berkarya, kebebasan berek0spresi dan bekerja. Islam sangat
menjunjung nilai-nilai kebebasan berkarya yang dilakukan oleh perempuan
dengan syarat kewajiban-kewajibannya terhadap identitasnya sebagai perempuan
tetap terpenuhi, seperti mengurus suami (bagi yang sudah bersuami), mengurus
anak-anak, mengurus rumah tangga, serta selalu menampilkan dirinya sebagai
perempuan.
Dari sanalah telah dimengerti bahwa kewajiban dakwah Islam tidak hanya
berpijak pada ajakan dan dorongan semata. Terlebih dari itu, kompleksitas
permaslahan kaum modern sangat membutuhkan peranan dakwah Islam sebagai
54
Syu’bah Asa, HAM dalam Kajian Khutbah Haji Wada’, dalam Islam, HAM,
Keindonesiaan; Refleksi dan Agenda Aksi Untuk Pendidikan Agama, (Jakarta: Ma’arif Institute,
2007)
58
bagian dari dinamika pergeseran pemikiran Islam modern. Isu HAM, Demokrasi
dan kesetaraan gender memang tengah menjadi perbincangan akademik seperti
halnya isu pluralisme, liberalsme, sekularisme. Namun, isu ini cukup dekat
dengan masyarakat muslim, tidak saja di kalangan akademisi, profesi, masyarakat
modern tetapi juga sampai pada masyarakat tradisional, pedesaan.
Falsafah dasar HAM di dalam ajaran Islam berasal dari pemahaman
terhadap tauhid. Tauhid mengajarkan kepada manusia bahwa yang memiliki
kehidupan ini adalah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Makhluk-makhluk nya
(manusia, tumbuhan, hewan, dll) adalah dari Allah Yang Maha Esa. Oleh
karenanya keberadaan manusia adalah sejajar (egaliter) dan kemudian timbulah
konsep persamaan hak dan kewajiban dasar sesama manusia lainnya.
☯
⌧
¸¸¸
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya 55 Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain 56 , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim...” (QS. AnNisa’,4:1)
55
maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang
rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang
menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s.
diciptakan.
56
menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya
kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : as aluka billah artinya saya bertanya
atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
59
⌧
º
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hijr,49:13)
Isu tentang HAM adalah bahwa setiap pemerintah demokrasi, agama harus
memperhatikan sisi dalam dan sisi luar agama supaya tetap selaras dengan
landasannya. Pada dasarnya, para masyarakat Islam pendukung HAM tidak bisa
juga mengklaim atas monopoli keadilan dan kebenaran. Kendati demikian,
masyarakat Islam karena sifat keislamannya harus benar-benar terlibat dalam
perbincangan isu-isu yang diajukannya. Menjalankan HAM bukan saja menjamin
terhadap karakter demokrasi suatu pemerintahan melainkan juga karakter
keislamannya.
Dalam konteks Islam modern, HAM, Demokrasi dan Gender adalah
serangkaian isu yang menjadi latar belakang pemikiran masyarakat muslim
modern. Dengannya masyarakat akan dapat memahami nilai-nilai kemanusiaan
yang sudah semakin menipis dan individualis masyarakat kota. Selain itu,
masyarakat Islam modern dikehendaki untuk mengimplementasikan demokrasi di
tengah kehidupan yang begitu kompleks dan urban. Serta menjunjung tinggi
konsep persamaan (egaliterianisme) antara perempuan dan laki-laki.
60
Dalam kaitannya, demokrasi juga bisa dijadikan sebagai pendidikan bagi
warga negara, mengingat ini adalah upaya pendalaman tentang implementasi
demokrasi di negara mayoritas muslim seperti Indonesia ini. Menurut Prof. Dr.
Azyumardi Azra postulat yang berada di balik penerapan pendidikan demokrasi
ini tidak diwariskan begitu saja oleh orang-orang terdahulu tetapi sebaliknya,
harus diajarkan terlebih dahulu baik melalui institusi maupun perorangan. 57 Hal
tersebut telah mendudukan isu demokrasi sebagai muatan materi dalam dakwah
Islam dalam rangka mengajarkan pendidikan demokrasi bagi setiap warga negara
muslim.
Pada dasarnya Islam dan Demokrasi merupakan dua sistem politik yang
berbeda. Memang, Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi tetapi
Islam merupakan sistem politik
self-sufficient. Hubungan keduanya bersifat
mutually exclusive, yaitu saling berbarengan dalam menerapkan dua sistem yang
berbeda tersebut. Islam sebagai sistem nilai yang membenarkan dan mendukung
sistem politik demokrasi, dan demokrasi dalam pengertian negara-negara Barat
sebagai sistem politik yang mengatur kedaulatan berada di tangan rakyat. 58
Begitu juga dengan isu kesetaraan gender. Pada dasarnya ini juga
merupakan kelanjutan dari sistem penegakan HAM dan demokrasi. Di mana
prinsip egaliterianisme dijunjung tinggi sebagai upaya pemecahan tafsir yang
mendiskreditkan perempuan dalam masyarakat madani. Isu gender bukanlah hal
baru di dunia Islam, ini pernah menghebohkan zaman nabi Musa as. ketika itu,
57
Azyumardi Azra, kata pengantar pada Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani, (Jakarta:
Prenada Media, 2005) Cet. 2
58
Dede Rosyada, dkk., HAM, Demokrasi dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada
Media, 2005) Cet. 2, h. 142
61
perempuan tidak boleh hidup lantaran dianggap sebagai penghancur kerajaan
sekaligus tidak memiliki kegunaan dalam berperang. 59 Tentu saja jalan pikiran
tersebut mengundang Islam untuk menjawab sekaligus menampik pola pikir
jumud masyarakat pada saat itu. Islam secara tegas mendudukan posisi
perempuan sejajar dengan laki-laki.
⌧
º
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hijr,49:13)
Bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya dua makhluk Allah SWT. yang
diciptakan untuk melengkapi kekurangan diantara keduanya. Lebih lanjut Allah
SWT. dengan tegas menyatakan bahwa pembedaan keduanya adalah tingkat
ketakwaannya terhadap Allah SWT.
Menurut Mansour Fakih, analisa yang digunakan masyarakat Islam yang
berpikiran partilineal ini diakibatkan karena memahami teks kitab suci yang hanya
pada sisi literalnya saja. 60 Ketika analisa gender ditemukan pada ilmu-ilmu sosial
59
Muhamad Mustafa Atha’, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie Syukur,
Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982)
60
Mansour Fakih, Kekerasan Gender dalam Pembangunan, (makalah halaqah P3M,
Jakarta, 1996)
62
barulah terasa ada yang tidak beres, sehingga terkadang Islam mendapat kecaman
dari dunia moden bahwa Islam sangat merendahkan kaum perempuan, Islam tidak
adil dalam mendudukan perempuan, Islam menindas kaum perempuan dan
berbagai macam tudingan lainnya yang ditujukan terhadap Islam. Di sini arti
penting dakwah Islam dalam menghadapi konteks kemodernan.
Padahal, Islam menggunakan nama perempuan (an-Nisa’) sebagai salah
satu nama surat di dalam Al-Qur’an. Betapa itu menunjukkan bahwa Islam
mendudukan perempuan kepada posisi yang sangat terhormat. Segala macam
persoalan terdapat di dalam surat tersebut. Kesetaraan gender bagi kaum
perempuan adalah kemerdekaan baginya yang selama ini dilegitimasikan kaum
lelaki sebagai nomor dua. Persoalan ini akan beranggapan bahwa Islam yang
mendudukan laki-laki sebagai imamnya perempuan jika dipahami sebatas literal
saja akan membawa dampak historis dan ketakutan dunia modern terhadap Islam.
Dimana perempuan kini telah berdiri sejajar dengan kaum laki-laki. Namun jika
tidak dilakukan penafsiran yang relevan, Islam akan menjadi kandas dan
dipandang masyarakat modern sebagai belenggu kaum perempuan.
6. Isu Krisis Spiritual, Moral dan Sosial Bangsa
Gejala krisis kemanusiaan yang terjadi di dunia sejak paruh kedua abad
kedua puluh merupakan pangkal dari kerusakan global yang bersifat akumulatif
dalam bentuk krisis multidimensional, baik dari segi spiritual, moral dan sosial
bangsa. Hal ini terjadi atas dasar perubahan iklim manusia yang semakin berpikir
maju dan modern serta tidak dibendung dengan peningkatan pemahaman agama
dan spiritualitas.
63
Selanjutnya, dakwah Islam akan bermuara pada pembentukan karakter
masyarakat dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Mengingat era modernisasi belakangan ini akan membawa dampak
yang cukup krusial bagi perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Gejalagejala sosial yang terkena pengaruh arus modernisasi membentuk sikap dan watak
masyarakat modern yang cenderung diperlakukan sebagai budak dari arus
modernisasi tersebut. Paling tidak, dapat dikatakan bahwa arus modernisasi dalam
kaitannya mempengaruhi krisis spiritual, moral dan sosial bangsa bisa dibuktikan
dengan realitas empiris yang terjadi di masyarakat.
Tidak saja positivisme yang dihasilkan dari arus modernisme tetapi juga di
satu sisi ia membelenggu sebagian masyarakat modern yang terlalu jauh
mengarungi kehidupan modern dan tidak disertai dengan nilai dan prinsip
berbangsa dan bernegara. Seperti halnya kelakuan generasi muda yang terinfeksi
virus modernisasi mengakibatkan tindakan-tindakan yang menjadi penyakit
masyarakat, minum-minuman keras, berzinah, membunuh, dan lain-lain yang
tidak mencirikan sikap dan watak kemanusiaannya. Dalam taraf tertentu, gejala
demikian bahkan telah menjadi realitas yang konkrit dalam level kehidupan
masyarakat seperti kriminalisasi, disorganisasi sosial, pengasingan, alienasi dan
kesenjangan sosial lainnya.
Di sini peranan dakwah Islam tidak hanya sebagai penolong melainkan
ada kewajiban bagi lembaga dakwah beserta perangkat-perangkatnya untuk
meniadakan pikiran-pikiran negatif yang ditimbulkan akibat derasnya arus
modernisme. Gejala paradoks modernisasi dan antagonistik seperti tersebut di atas
adalah akibat tidak disertainya mentalitas-spiritualitas serta pendalaman dan
64
peningkatan kualitas keberagamaan masyarakat dalam menghadapi modernisme.
Seperti pada pembicaraan sebelumnya, bukan saja tindakan dan perilaku manusia
yang bisa berubah bahkan pola pikir beragama pun menjadi sasaran arus
modernisme.
Tetapi, di sini tidaklah mencecar bagaimana modernisme menyebabkan
gejolak paradoks-antagonistik modernisme tadi. Selain itu, ia juga merupakan
suatu kemajuan besar yang ada dalam sejarah peradaban manusia. Hanya saja
masyarakat yang harus lebih pintar memahami dan menyiasati perkembangan
modernisasi yang tak terbendung lagi ini. hal ini pernah diramalkan sebelumnya
oleh seorang pengamat sosial, Alvin Toffler, ia menyebutkan bahwa akibat dari
derasnya arus modernisasi, masyarakat akan banyak yang berteriak histeris dan
meminta dikembalikan kepada dunia yang sebenarnya, yaitu dunia yang
dianggapnya sebagai teman ketika ia dilahirkan di bumi secara alamiah melalui
rahim ibunya. 61
Meskipun tindakan-tindakan yang tergambarkan di atas menjalar dalam
dinamika kehidupan sosial, ada nilai penting yang sedikit dilupakan oleh
masyarakat modern yaitu Islam. Pada dasarnya Islam jauh-jauh hari sebelum
Alvin Toffler meramalkannya, Islam sudah terlebih dahulu memberi peringatan
kepada manusia tentang kehidupan manusia yang akan menjadi tipu dayanya.
Pengalaman krisis moral yang terjadi pada masyarakat Indonesia ini
memiliki dampak universal sebagai bangsa yang utuh. Moralitas manusia dalam
berkehidupan bangsa sangat ditentukan oleh watak dan karakter individunya.
Moral dengan agama adalah dua terminologi yang erat kaitannya dalam
61
Alvin Toffler, Future Shock, diakses di http://203.130.198.30//artikel/59929.shtml
65
membentuk watak dan perilaku. Islam mengandung suatu ajaran moral yang
menjadi pegangan bagi perilaku penganutnya. Jika umat Islam dewasa ini
mengalami degradasi moral nampak terlihat jelas akibatnya yaitu dangkalnya
pengetahuan agama yang diiringi derasnya pengaruh modernisme. Maka, dalam
hal ini kondisi masyarakat Islam khususnya tengah berada pada ancaman
degradasi moral yang mengakibatkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa.
Problematika spiritual, moral dan sosial berakar pada lemahnya
pengetahuan yang dimiliki masyarakat. sederhananya adalah kebodohan
merupakan penyebab terkikisnya nilai-nilai spiritual, moral, sosial. Maka dari itu,
kandungan ajaran Islam sangat berpengaruh pada pembentukan karakter dan
watak masyarakat. Merosotnya nilai spiritual, moral sosial bangsa adalah
kepanjangan dari merosotnya nilai spiritual, moral, sosial yang ada pada masingmasing individunya. Kemudian terus menjalar dalam skala yang sangat besar dan
menjadi genderang bagi bangsa.
Islam memberikan perhatian lebih terhadap aspek kehidupan sosial
masyarakat lantaran ia menghendaki adanya kesejahteraan dan kemakmuran
umatnya. Hal tersebut dibentuk melalui penanaman nilai-nilai moral, akhlak, budi
pekerti dan sikap sosial yang tinggi dalam kehidupan berbangsa yang dilakukan
oleh masyarakatnya. Dalam hal ini Sayyid Qutub memberikan pandangan bahwa
masa depan kejayaan dan kesejahteraan umat manusia ada di tangan Islam.
Artinya, ia menyadari akan besarnya perhatian Islam terhadap kesejahteraan
umatnya. 62 Apabila terbukti bahwa Islam yang sanggup menyelamatkan manusia
daripada bahaya yang disebabkan oleh pengaruh kebudayaan materialisme yang
62
Sayyid Qutub, Masa Depan di Tangan Islam, (International Islamic Federation of
Student Organization, 1981)
66
amat meluas, maka Islam dapat memberi manusia suatu sistem yang sesuai
dengan kejadian dan keperluan hakikinya, serta dapat menyelaraskan langkahlangkah penciptaan kebendaannya dengan langkah-langkah kemuliaan rohaninya
(spiritual).
Dalam konsep tasawuf, manusia terbentuk dari dua prinsip yang berbeda,
yaitu jasmani dan rohani. Oleh karenanya ia mempunyai dua dimensi kehidupan,
dimensi samawi dan dimensi bumi. Dimensi kehidupan yang pertama bersifat
kekal dan dimensi lainnya bersifat fana’. Secara umum pada masyarakat modern
tidak adanya keseimbangan antara dua konsep tersebut dikarenakan ada
kecenderungan untuk memilih titik ekstrem antara kedua konsep tersebut apakah
titik lahiriyah ataukah spiritual. Sayyed Hossen Nasr dalam bukunya Sufi Essays
menjelaskan soal kejumudan kemunduran umat Islam sesungguhnya tidak
ditopang oleh kehidupan tasawuf (spiritualitas) 63 . Di Arab gerakan wahabisme
yang menolak tasawuf dalam Islam ternyata membuat agama Islam tereduksi
sampai tinggal doktrin fiqihnya saja yang mengalami kekeringan dan kaku
sehingga tidak bisa menghadapi gempuran kebudayaan Barat.
Melalui ajaran tasawuf yang bersifat metafisis dan ma’rifat, dimensi
spiritual sangat dibutuhkan manusia yang sedang mencari Tuhannya. Era modern
hari ini adalah era keabsahan kaca mata ilmiah dan apabila tidak diimbangi
dengan kekayaan spiritual dan moral tentu akan menghilangkan mata hati manusia
dalam melihat dunia yang bersifat sementara ini.
Menurut Sayyed Nasr sesungguhnya solusi krisis spiritual ini adalah
fithrah (perenial) manusia sebagai makhluk Allah SWT. Islam mengidentikkan
63
Sayyed Hossen Nasr, Suffi Essays, (Chicago: ABC International Group, 1999)
67
perenialisme dengan fithrah. Al-Qur’an menggunakan kata fithrah untuk
menunjukkan nilai kemanusiaan yang berpangkal pada kejadian manusia yang
suci. 64
64
Ibid.
67
BAB III
SEKILAS TENTANG DIN SYAMSUDDIN
A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan Dan Karir
Syirajuddin Syamsuddin adalah nama lengkap dari Prof. Dr. Din
Syamsuddin yang selama ini dikenal oleh banyak kalangan. Ia adalah
cendekiawan muslim Indonesia yang sudah memberikan berbagai macam dakwah
terhadap masyarakat Indonesia, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga sampai ke
luar negeri. Prof. Dr. Din Syamsuddin lahir dari keluarga sederhana. Ia dilahirkan
di Sumbawa Besar pada tanggal 31 Agustus 1958.
Semasa kecilnya ia sudah menjadi sosok yang mandiri sehingga orangorang seusianya banyak yang menyeganinya. Di samping itu masa kecil Din juga
dipandang sebagai anak yang cerdas dan pintar, di usianya yang ke-13 ia sudah
hafal Qur’an 5 Juz. Selain mengenyam pendidikan formal di MI dan MTs NU
Sumbawa Besar, Din juga belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah di tempatnya
tinggal. Di sana ia belajar ilmu-ilmu agama sejak kecil. Setelah lulus dari
pendidikan formalnya, ia melanjutkan pendidikannya di KMI (Kulliyatul
Muallimin Al-Islamiyah) Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Di sana ia dikenal
sebagai anak yang suka membaca buku. Pemikirannya tentang Islam telah
muncul ketika ia duduk di kelas empat KMI Gontor. Ia sering berdiskusi dengan
teman-temannya tentang Islam dalam literasi. Terkadang ia pun diskusi dengan
seniornya yaitu Nurcholish Madjid, dan lain-lain sewaktu ia di Gontor. 1
1
Wawancara pribdai dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010
68
Setelah tamat dari Pondok Modern Gontor pada tahun 1975, Din
melanjutkan pendidikan formalnya ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada
saat itu kebanyakan alumni Pondok Modern Gontor lebih memilih IAIN Jakarta
sebagai perguruan tinggi yang dipilihnya. Din pun memilih kuliah di IAIN
Jakarta seperti kebanyakan para seniornya. Selama kuliah di IAIN ia pun
tergolong sebagai mahasiswa berprestasi dan aktif dalam oganisasi. Setelah Din
tamat dari IAIN Jakarta pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama
tahun 1980, ia juga menempuh pendidikan S2 nya di University Of Califonia, Los
Angles (UCLA) dan tamat pada tahun 1988 dengan konsentrasi studi
Interdepartemental Programme in Islamic Studies.
Setelah menamatkan S2 di UCLA, Amerika Serikat Din kembali ke
Indonesia dan ia mengabdikan dirinya pada dunia gerakan Muhamadiyah. Ia
sempat menjadi ketua DPP sementara Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM)
pada tahun 1985. Keaktifannya di organisasi Muhamadiyah menjadikannya
dikenal oleh kalangan petinggi-petinggi Muhamadiyah. Sampai kemudian ia
menjadi ketua umum PP Pemuda Muhamadiyah pada tahun 1989-1993. 2
Lahir dari organisasi Muhamadiyah, Din menjadi aktif dalam gerakan
dakwah dan tajdid (pembaharuan) Islam yang dibawa organisasi Muhamadiyah.
Pemikiran-pemikirannya tentang dakwah Islam muncul melalui berbagai aktifitas
kajian dan seminar-seminar tentang upaya pembaharuan Islam di Indonesia. Pada
suatu kesempatan ia pernah berdiskusi dengan Nurcholish Madjid membicarakan
proyeksi pembaharuan Islam di Indonesia. Sejak itu Din mulai dikenal sebagai
2
www.m-dinsyamsuddin.com, artikel diakses pada hari Sabtu, 23 Januari 2010
69
tokoh gerakan pembaharuan Islam dari kalangan Muhamadiyah. Seringkali ia
diundang sebagai narasumber pada acara-acara seminar dan diskusi kalangan
mahasiswa. Sampai kini, pemikiran Islamnya syarat dengan kemodernan.
Dalam perjalanan karirnya di Muhamadiyah, Din mendapatkan prestasi
yang cukup membanggakan Muhamadiyah. Ia secara khusus dipilih oleh
Muhamadiyah untuk dibina menjadi icon Muhamadiyah di masa depan, dan
sampai hari ini terbukti dengan kegigihannya berjuang ia menjadi icon di
Muhamadiyah bahkan di Indonesia. 3
Sebelum ia menjadi wakil ketua PP Muhamadiyah, Din kembali ke
UCLA, Amerika Serikat guna melanjutkan pendidikannya dan meraih gelar
doktor. Dan, ia menamatkan pendidikan doktornya pada tahun 1996. Pada tahun
2000 barulah ia menjadi wakil ketua PP Muhamadiyah. Din terpilih secara
aklamasi menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dalam
sidang 13 tim formatur di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, 7
Juli 2005. 4 Dalam pemilihan 13 orang Pimpinan Pusat Muhammadiyah
sebelumnya, ia meraih suara terbanyak. Din menggantikan Ahmad Syafi'i
Ma'arif.
Selain aktif pada organisasi Muhamadiyah, Din juga menduduki jabatanjabatan penting di berbagai organisasi dan juga pemerintahan. Ia pernah menjadi
Dirjen Binapenta Departemen Tenaga Kerja RI, Ketua Litbang Golongan Karya,
dan Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). 5
3
Wawancara Pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Januari 2010
4
www.m-dinsyamsuddin.com
5
Ibid.
70
B. Aktivitas Di Bidang Dakwah
Bukanlah Din Syamsuddin jika kegiatannya lepas dari dakwah Islam. Din
adalah seorang da’i yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang tidak
diragukan lagi baik oleh kalangan cendekiawan, pedagang, petani maupun
masyarakat umum. Din sebagai sosok da’i yang memiliki perhatian secara khusus
dalam mengembangkan kegiatan dakwah.
Di sela-sela kesibukannya sebagai ketua umum PP Muhamadiyah, Din
adalah sosok da’i yang dekat dengan birokrasi (pemerintah) dan masyarakat.
Baginya, dakwah Islam harus dilakukan kapanpun dan dimanapun, dengan dan
oleh siapapun. Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim yang mengerti,
memahami, dan mengamalkan ajaran Islam.
Pandangannya
tentang
dakwah
Islam
telah
merubah
paradigma
masyarakat tentang aktivitas dakwah yang selalu dikaitkan dengan aktivitas
mimbar. Dakwah adalah kegiatan menyeru kepada manusia untuk mengenal
Allah SWT. jika manusia sudah mengenal Tuhannya maka dirinya akan
memandang rendah dan pasrah dihadapan Tuhannya. Maka selanjutnya adalah ia
akan mentaati apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan akan menjauhi apa-apa
yang dilarangNya. 6
Din juga merupakan sosok pribadi muslim yang selalu mengedepankan
nilai-nilai perdamaian. Ia sangat menyadari betul betapa pentingnya arti
perdamaian bagi kemaslahatan kehidupan beragama. 7 Pemikirannya tentang
6
7
Wawancara pribadi
Din Syamsuddin, “Banishing Violence from the World: Faiths and Cultures in
Dialogue” Makalah International Meeting for Peace, Naples, 21-23 October 2007.
71
dakwah berpijak pada salah satu ayat Al-Qur’an yang sering dijadikan sebagai
referensi dakwah oleh kebanyakan da’i, yaitu Qur’an Surat An-Nahl ayat 125.
☺
☺
¸¸¸
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik... “
(QS. An-Nahl,16:125)
Menurut Din, ayat tersebut telah memberikan garis dakwah melalui tiga bentuk,
yaitu dengan cara bil hikmah, mau’idzoh hasanah dan mujadalah. 8 Yang
semuanya merujuk pada satu sumber yaitu Al-Qur’an. Namun pada
kenyataannya, dakwah Islam kerap dijadikan sebagai doktrin pembangkit
militansi kiri oleh sekelompok muslim yang memberikan pengertian dakwah
sebagai proses Islamisasi. Dalam satu kesempatan wawancara, Din menjelaskan
bahwa dakwah sebagai proses Islamisasi dan dakwah sebagai proses penyebaran
Islam tentu memiliki perbedaan historikal, walaupun dalam praktiknya ada
kesamaan. 9
Bagi kalangan muslim yang mengorientasikan dakwah sebagai proses
Islamisasi tak ubahnya seperti Kristen menggelontorkan isu Kristenisasi, atau
Barat dengan westernisasi-nya. Pola yang digunakan mereka adalah memberikan
doktrin yang tidak sampai pada epistemologi. Tentu saja berbahaya bagi umat
Islam yang diberikan doktrin Islam tetapi tidak sampai pada epistemologi Islam.
8
Ibid.
9
Wawancara pribadi
72
Maka, lebih banyak dari aktivitas dakwah seperti ini menceritakan bagaimana
orang Islam mendapat nikmat surga dan orang non-Islam mendapat siksa neraka,
lalu diceritakan lagi tentang siapa yang tidak melaksanakan shalat akan
dimasukan ke dalam neraka, dan seterusnya.
Walaupun memang ada unsur
materi keislamannya namun tidak harus selalu dijadikan materi sepanjang hayat
dakwah Islam.
Bagi Din, bentuk Islamisasi tidak berbeda jauh dengan politisasi. 10
Karena yang digunakan oleh para da’i yang mementingkan kuantitas dari pada
kualitas hanya memiliki kepentingan mengumpulkan angka-angka besar untuk
ummat Islam. Sehingga terkabarkan pada dunia internasional bahwa penduduk
Indonesia adalah mayoritas Islam. Tentu, tidak sekedar itu. Mendakwahkan Islam
adalah bagaimana seorang da’i memberikan masyarakat tentang pemahaman
Islam secara utuh. Baik dari segi Ibadah, Muamalah dan Syariah.
Jika dakwah Islam dilakukan sebagai proses penyebaran ajaran Islam,
maka Islam akan dipahami secara epistemologi. Umat Islam menjalankan ajaran
Islam tidak sekedar mengamalkan ibadah mahdah-nya saja tetapi juga semua
yang mengandung unsur kebaikan dalam Islam itu juga disebut sebagai ibadah.
Betapa pentingnya Din memandang dakwah sebagai proses penyebaran ajaran
Islam, karena ia melihat kehidupan masyarakat tradisional yang cenderung
menjalankan Islam hanya sebatas ibadah mahdah saja seperti shalat, puasa, haji
sedangkan yang ghaira mahdah-nya terkadang dilupakan. Sehingga ia tidak
peduli dengan syariat Islam tentang pentingnya perdamaian, hidup rukun, saling
menghormati dan saling menghargai.
10
Ibid.
73
Pandangan Din tentang dakwah tersebut melahirkan banyak gagasan bagi
Islam di dunia, salah satunya adalah berbagai perundingan perdamaian agamaagama yang terjadi di sejumlah negara konflik seperti Irak, Afghanistan, Filipina,
dan lain-lain. Din seringkali dijadikan sebagai narasumber pada acara-acara besar
dunia Islam dalam memberikan pandangan Islam terhadap perdamaian dunia.
Inilah yang kemudian menurut Din dakwah Islam modern dilakukan bisa
menembus dunia 11 dan tidak dilakukan pada sisi kultural saja melainkan isu-isu
dunia, isu-isu modern juga menjadi medan dakwah di abad 20 ini dan seterusnya.
Sebagai pimpinan Muhammadiyah, yang juga sebagai lembaga dakwah,
Din begitu aktif dalam berperan mengantarkan masyarakat Islam kepada
kesejahteraan. Tidak hanya yang bersifat teori, Din juga berdakwah dengan cara
memberikan tauladan Muhammadiyah sebagai lembaga dakwah memiliki
beberapa perhatian tentang kemasyarakatan, seperti pendidikan wirausaha, Din
membangun koperasi bagi masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup dan ekonomi masyarakat. juga di bidang pendidikan, Din
Syamsuddin membuat sekolah-sekolah Islam Muhammadiyah di pelosok-pelosok
nusantara, seperti di NTB, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya. Karena ia
memahami dakwah tidak hanya sebagai aktifitas pengajian saja, maka Din sangat
aktif dalam pembinaan pelajar dalam meraih ilmu sampai mengharuskannya
memberikan beasiswa bagi pelajar-pelajar berprestasi.
Aktivitas dakwah Din tidak hanya dilakukan di dalam negeri. Sampai hari
ini ia aktif berkunjung ke luar negeri dengan membawa misi dakwah Islam.
Seperti ia menjadi pembicara di Yale University, New Heaven, Connecticut, ia
11
Wawancara pribadi
74
selalu memberikan pesan dakwah dalam ceramah-ceramahnya di luar negeri.
Salah satu pesan dakwah Din Syamsuddin saat ini adalah menyebarkan
pemahaman teologi kemiskinan, dengan tujuan agar tercipta pandangan kitis
dunia akan penanggulangan kemiskinan. Menurutnya selama ini prinsip ekonomi
yang dianut oleh dunia adalah ekonomi yang tidak berkeadilan, lebih
mengutamakan prinsip neoliberal, kapitalis. Saat ini ia dipercaya sebagai ketua
Indonesia Commite on Religions for Peace (IComRP) juga sebagai Chairman of
Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC). Melalui
aktifitas dakwahnya yang sampai ke luar negeri, membuat ia masuk dalam daftar
500 tokoh Islam berpengaruh di dunia versi The Royal Islamic Strategic Studies
Jodania dengan peringkat ke-35. 12
1. Dakwah Bil Hal, Bil Lisan dan Bil Qaul
Din Syamsuddin termasuk sebagai tokoh muslim yang mengemban tugas
dakwah dengan cara memberikan suri tauladan kepada masyarakat muslim
lainnya. Di antara kegiatan dakwah Din Syamsuddin yang termasuk kepada pola
dakwah bil hal adalah sebagai berikut :
-
Mendirikan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA)
-
Mendirikan Badan Amil Zakat
-
Mendirikan rumah sakit
-
Membangun koperasi
-
Mendirikan sarana pendidikan / sekolah / universitas
Adapun dakwah Din Syamsuddin yang tergolong pada dakwah bil lisan adalah :
12
Ceramah ilmiah di Yale University, New Heaven, Connecticut.
The Royal Islamic Strategic Studies, Jurnal Jordania
75
-
Ceramah ilmiah di International Meeting for Peace, Naplez.
-
Ceramah ilmiah King Abdullah’s Initiative for Interfaith and
Intercultural Dialogue, Saudi Arabia.
-
dan
ceramah-ceramah
lainnya
baik
tingkat
lokal
maupun
internasional. 13
sedangkan yang termasuk pada dakwah bil qalam Din Syamsuddin adalah
sebagai berikut :
-
Its Significance and Implications for International Relations, makalah
seminar di Kerajaan Arab Saudi
-
Banishing Violence from the World: Faiths and Cultures in Dialogue,
makalah International Meeting for Peace, Naplez.
-
Love, Religion, and World Poverty, makalah ceramah di Connecticut.
-
Prinsip Modernisme dalam Islam, makalah seminar di UMY, 2009.
2. Dakwah Kultural dan Struktural
Din Syamsuddin juga terlibat aktif dalam kegiatan dakwah yang bersifat
kultural, diantaranya adalah ceramah agama pada acara-acara halaqah, pengajianpengajian baik di kalangan masyarakat Muhamamdiyah maupun masyarakat
umum. Selain itu, ia juga terlibat aktif mengemban misi dakwahnya melalui jalur
struktural seperti melalui partai politik, diplomasi pemerintah serta sebagai duta
negara-negara muslim dunia. 14
13
www.m-dinsyamsuddin.com
14
Biografi Politik, Satu Tahun Kebangkitan Nasional, (Jakarta, TP, 2008)
76
C. Pandangannya Terhadap Islam dan Kemodernan
Din Syamsuddin dikenal sebagai tokoh Islam yang bercorak pemikiran
modern. Disamping organisasi yang ia pimpin berlatar belakang sebagai wakil
dari kaum modenis Islam, ia juga memiliki karakter sendiri dalam mengartikan
Islam modern. Menurut Din, Islam modern bukanlah sebagai Islam baru. Istilah
modern seringkali diidentikkan dengan sesuatu yang baru. Dalam Islam perlu
dipahami modernisme sebagai kemajuan, dan tidak meninggalkan prinsip-prinsip
hakiki. 15
Din Syamsuddin memahami Islam modern sebagai arah perjuangan
menggulingkan sifat-sifat tradisional yang merasuk kepada ajaran Islam yang
melahirkan bid’ah, khurafat, dan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran pokok
Islam. Menurutnya, Islam harus dipahami sebagai sistem dan peraturan
disamping sebagai kepercayaan terhadap Allah SWT. manakala zaman sudah
berkolaborasi antara tradisi lokal, nilai (ajaran Islam), dan budaya modernisme
bercampur menjadi satu tempat yang kemudian banyak melahirkan pemikiranpemikiran baru maka di situlah harus ada gerakan pembaruan (tajdid) yang
mengajak manusia untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah.
Din memberikan penjelasan bahwa kemodernan adalah bentuk kemajuan.
Dimensinya sangat luas sehingga mencakup kepada aspek politik, ekonomi,
sosial, agama dan budaya. 16 Namun, pada aspek agama kemodernan harus
dipandang sebagai sesuatu yang positif. Adalah kejayaan dan kemenangan bagi
Islam manakala masyaraktnya dapat besaing secara sehat di dalam era globalisasi
15
Wawancara pribadi
16
Ibid.
77
ini serta menjaga keyakinan dan keberagamaan setiap individu sesuai dengan
ajaran Islam. Berkaitan dengan isu-isu Islam modern, Din hanya beranggapan
bahwa semua itu merupakan produk berpikir masyarakat modern yang
dipengaruhi oleh modernisasi agama.
Din juga menekankan unsur relativisme dalam memberikan pengertian
Islam modern. 17 Ia bukanlah tokoh muslim yang otoriter dalam berbicara. Din
menghargai jika adanya perbedaan-perbedaan pandangan dalam memaknai Islam
dan kemodernan. Sikap itu adalah bagian dari moderatisme seorang Din
Syamsuddin. Dalam kesehariannya, Din selalu memberikan pelajaran penting
tentang arti keislaman, baik untuk lingkungan organisasinya, keluarga dan
bahkan masyarakat umum yang hendak berdiskusi dengannya. Ia sama sekali
tidak mendudukan Islam modern sebagai penghapusan doktrin-doktrin yang
sudah ada sebelumnya, apalagi jika sumbernya diketahui jelas berdasarkan AlQur’an dan Sunnah. Namun sikap kewaspadaan selalu harus dimiliki bagi setiap
masyarakat modern mengingat kemajuan zaman telah menghimpit dunia menjadi
sempit dan mudah dijangkau oleh siapapun dan kapanpun.
17
Relativisme yang dimaksud adalah ukuran tingkat keabsahan pendapat yang didasarkan
atas pemahaman seseorang dan tidak bersifat mutlak
78
BAB IV
GERAKAN DAKWAH ISLAM MODERN MENURUT DIN SYAMSUDDIN
A. Gerakan Dakwah Islam Modern Menghadapi Isu-isu Aktual
Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dakwah Islamiyah
selalu menunjukkan adanya suatu dorongan, seruan, ajakan yang dimulai dari diri
pendakwah yang kemudian disampaikan kepada orang lain melalui cara-cara yang
telah diajarkan oleh Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa dakwah Islam tidak
dapat dilakukan manakala yang mendakwahkannya itu tidaklah lebih dahulu
mengamalkannya dalam kehidupan pribadinya. Dalam hal ini Al-Qur’an sendiri
menyinggung atas apa-apa yang dikatakan oleh seseorang tetapi tidak dilakukan
oleh sendirinya.
º
¸
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (AshShaff, 61 : 2-3)
Tidak hanya akan merugikan bagi diri sendiri, tetapi Allah juga sangat membenci
perilaku yang demikian itu. Nampak jelas ayat tersebut diatas mengisyaratkan jika
materi-materi dakwah yang disampaikan tidak dilaksanakan oleh yang
menyampaikannya kebencian Allah ada padanya. Seperti yang dikatakan oleh
79
Prof. Hasjmi (1974) bahwa para da’i harus terlebih dahulu meyakini dan
mengamalkan ajaran Islam sebelum kemudian disampaikan kepada masyarakat. 1
Dengan demikian, akan terlihat baik jika dakwah dilakukan dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab besar dari setiap unsur masyarakat Islam. Dakwah
Islam memiliki sifat yang dinamis, ia merupakan kebutuhan masyarakat sesuai
dengan zamannya. Pada zaman Rasulullah saw. dakwah Islam lebih bermuatan
materi pengenalan terhadap Dzat Allah, ke-Maha Esaan Allah, ke-Maha Besaran
Allah, Keagungan Allah, karena kondisi umat
pada saat itu membutuhkan
pengetahuan tauhid sehingga akan muncul dalam diri mereka yaitu keimanan
kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw. 2
Memasuki era modern, dakwah Islam berada di tengah ancaman
kebudayaan yang berpeluang meruntuhkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Maka dari itu, gerakan dakwah Islam
diupayakan agar dapat berjalan dalam menghadapi isu-isu Islam modern yang
hadir sebagai bagian dari pergerakan wacana keislaman. Persoalan yang muncul
seperti adanya isu fundamentalisme, radikalisme, terorisme, pluralisme,
liberalisme dan sekularisme merupakan serangkaian isu yang menjadi pilar kajian
Islam di era modern ini. Dalam hal ini, Prof. Dr. Din Syamsuddin memandang isu
1
Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h.
281
2
Prof. Muhamad Mustafa, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie Syukur,
Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982)
80
tersebut sebagai bagian dari tantangan dakwah Islam modern dalam pergerakan
dan penyebarannya. 3
Oleh karena keadaan berpikir masyarakat modern yang cenderung
mengedepankan rasional ilmiah 4 , memperbarui pemahaman agama 5 serta
membebaskan cara akal berpikir 6 tentang suatu penyelesaian masalah, maka
dakwah Islam harus menunjukkan kemampuannya sebagai materi yang bisa
menjelaskan, merumuskan dan mengamalkan persoalan-persoalan kehidupan
masyarakat modern.
1. Fundamentalisme, radikalisme dan terorisme
Isu fundamentalisme, radikalisme dan terorisme adalah serangkaian
pergerakan wacana keislaman yang bisa menjadi doktrin masyarakat Islam dalam
mengamalkan ajaran Islam. Banyak macam dan ragamnya, diantaranya adalah
ummat Islam menjadi lebih berani menafsirkan Al-Qur’an dengan kehendak
sendirinya tanpa disertai keilmuan yang cukup dan pendapat para ahli terdahulu 7 ,
Selanjutnya, diperlukan adanya upaya pendefinisian ulang terhadap
pengertian dakwah. Ia tidak sebatas amar ma’ruf nahi munkar. Dalam konteks
kemodernan, dakwah Islam adalah pemersatu umat. Di
sini,
harus
dipahami
bahwa modernisasi yang oleh Din Syamsuddin dikategorikan sebagai agenda
3
Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010
4
Dr. Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridho, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2007)
5
Mohamed Imran Mohamed Thaib, Fazlur Rahman; perintis tafsir kontekstual, Makalah
Diskusi Yayasan Mendaki
6
Leonard Binder, Islamic Liberal; A Critic of Development Ideologies, (Chicago: The
University of Chicago Press, 1988)
7
M. Ali Taher Parasong, Dakwah ala Din Syamsuddin, catatan pribadi Ali Taher
Parasong, belum diterbitkan.
81
pembaruan, yang dalam pengertiannya adalah berpindah dari pemikiranpemikiran baku, konservativ, rigid menuju ke alam pikiran yang modern,
membangun, kritis, serta dapat merasionalisasikan apa-apa yang menjadi
keyakinannya. 8 Tentu saja, Islam adalah agama yang rasional. Jika umat Islam
abad modern ini tidak bisa merasionalisasikan keyakinannya terhadap Islam maka
akan dianggap sebagai taklid al-a’ma. 9
Pendefinisian ulang terhadap gerakan dakwah Islam dimaksudkan untuk
menyeragamkan pemahaman dakwah Islam di kalangan para aktivis dakwah. Jika
kita kembali pada persoalan cara berpikir masyarakat modern yang juga
ditentukan oleh rasional-ilmiah, maka konteks pemahaman dakwah Islam
hendaknya disatukan dan dipadukan, yaitu sebagai tabligh, tatbiq, dan juga
tandhim. 10 Tabligh berarti penyampaian, tatbiq berarti pengamalan dan tandzhim
berarti pengelolaan. Dengan demikian, tabligh, tatbiq dan tandzhim menjadi
rangkaian fomulasi yang memadukan pemahaman dakwah Islam sebagai
penyampaian, pengamalan juga pengelolaan.
Serangkaian isu-isu yang muncul sebagai wajah baru Islam juga harus
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi kelangsungan aktivitas gerakan
dakwah Islam. Pertama, Isu fundamentalisme, radikalisme dan terorisme
merupakan bagian penting dalam persoalan dakwah Islam hari ini. Din
Syamsuddin dalam petikan wawancara penulis, ia menjelaskan bahwa
“fundamentalisme, radikalisme dan terorisme lahir dengan membawa misi Islam
8
Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010
9
Din Syamsuddin, Prinsip Modenisme dalam Islam, makalah seminar UMY, 2009
10
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
82
orthodok. Cakupan-cakupannya akan selalu mengupayakan bahwa Islam terbebas
dari kesombongan akal pikiran manusia, sehingga pada gilirannya isu-isu tersebut
diyakini sebagai doktrin murni Islam yang satu-satunya dikehendaki Allah
SWT”. 11 Pada dasarnya, Din Syamsuddin mengemukakan pendapat demikian
karena ia menilai ada serangkaian agenda khusus dibalik bergulirnya isu tersebut.
Seperti kita ketahui bahwa kelompok fundamentalis yang terus konsistensi dengan
pemikirannya telah banyak memberikan pandangan kepada dunia bahwa gerakan
radikalisme dan terorisme berpangkal pada doktrin pemikirannya. Tentu saja ini
yang akan mengganggu jalannya gerakan dakwah Islam modern.
Din Syamsuddin menilai serangkaian agenda tersebut tentu ada yang
mengagendakan dan memiliki saluran kepentingan politik internasional. Peranan
agama (dakwah Islam) menurutnya bagian penting untuk dapat menyelaraskan
pemikiran-penikiran kaum fundamentalis yang terbakar dengan api doktrin jihad
menyesatkan. 12
Terlepas dari pada muatan dakwahnya, bahwa radikalisme dan terorisme
adalah aktivitas yang dilarang dalam Islam. Jadi, dakwah Islam modern
hendaknya menjadi fasilitator bagi kaum fundamentalis yang telah mendapatkan
doktrin radikal dan menghalalkan kekerasan.
Medan dakwah sama halnya seperti medan perang. Jika musuh yang
berhadapan dengan kita memakai persenjataan yang begitu lengkap dan modern,
maka tidak mungkin dilawan dengan persenjataan yang masih tradisional. Begitu
pun dengan dakwah Islam, pada masyarakat modern tentu materi dakwahnya pun
11
Wawancara Pribadi, 16 Februari 2010
12
Ibid.
83
harus disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya serta harus sesuai dengan yang
dibutuhkannya. Dengan demikian dakwah Islam akan teratur dan tepat
sasarannya. Karena dakwah Islam sebagai transformasi sosial jadi harus
disesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat. Jangan sampai dakwah Islam
bermuatan materi-materi yang sejak dulu tidak berubah-ubah, serta tidak
mengenal kondisi dan kebutuhan masyarakatnya.
Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan
bahasa kaumnya, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang
kepada mereka” (QS. Ibrahim, 14:4)
Dalam tulisan singkatnya, Din syamsuddin juga menganjurkan kepada
para pelaku dakwah untuk membawakan pesan agama dengan cara santun dan
bijaksana. 13 Seperti pada ayat di bawah ini:
☺
☺
☺
☺
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk.”
(QS. An-Nahl, 16 : 125)
13
Din Syamsuddin, Its Significance and Implications for International Relations,
Makalah pada King Abdullah’s Initiative for Interfaith and Intercultural Dialogue, Saudi Arabia,
2005
84
Lebih lanjut Din menjelaskan bahwa dakwah Islam dilakukan dengan
cara-cara yang baik, yang mengedepankan prinsip kemanusiaan (humanisme). 14
Bagi mereka yang berpandangan bahwa dakwah Islam dengan jalan kekerasan
(Jihad) adalah dibenarkan dalam Al-Qur’an sungguh sangat keliru, kemungkinan
besar mereka memahami Al-Qur’an sebatas tekstual dan rigid. 15 Pada
pembahasan bab-bab sebelumnya dikatakan kelompok radikal yang mengartikan
Al-Qur’an secara skriptural semata dinamakan sebagai kelompok fundamentalis
mutha’arrifah. 16
Pentingnya memahami Islam sebagai sistem nilai kehidupan menjadikan
identitas moral muslim menjadi terangkat dan berada pada tingkat ketakwaan.
Selanjutnya, nilai ketakwaan akan menjadikan seseorang menjadi mulia di mata
Allah SWT. seperti dalam firman-Nya:
Artinya : “sesungguhnya diantara kamu yang paling mulia di sisi Allah
ialah yang bertakwa diantara kamu” (QS.Al-Hijr,49:13)
Dengan demikian, dakwah Islam juga bertujuan untuk membina masyarakat agar
benar-benar bertakwa kepada Allah SWT.
2. Pluralisme, liberalisme dan sekularisme
14
Ibid.
15
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme
Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009)
16
Fundamentalis yang berlebihan, fundamentalis sepeti ini tidak menempatkan teks pada
makna kontekstual. untuk lebih lengkapnya lihat Imam Khatami dalam petikan Pidato Kritik
Presiden Iran terhadap Islam fundamental di Iran, Harian al-Fagr, edisi Sabtu, 31 Maret 2007
85
Kemudian, Isu Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme juga merupakan
isu yang begitu menjadi perhatian masyarakat Islam. Dewasa ini, terdapat banyak
lembaga-lembaga kajian Islam yang secara konsisten meng-kampanyekan
pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Berbeda dengan pandangan Din, bahwa
isu tersebut hanya menjadikan Islam sebagai agama yang bebas. Pada hakikatnya,
menurut Din, pluralisme dibangun bukan atas landasan kesatuan yang dipaksakan.
Banyak para tokoh Islam yang menempatkan pluralisme sebagai produk
demokrasi dalam beragama. Jika Islam menetapkan pluralisme, liberalisme dan
sekularisme sebagai sesuatu yang bersifat linear dengan kehendak tuhan, maka
Islam akan menjadi agama yang tak berpintu, semua aliran akan masuk
kedalamnya. 17
Dalam wawancaranya dengan hidayatullah.com, Din Syamsuddin juga
mengatakan bahwa “liberalisasi dan sekularisasi merupakan sebuah paham yang
merasuki ruh agama yang tidak menganggap kehidupan ini sebagai ujian dari
Allah SWT. sehingga liberalisasi dan sekularisasi akan selalu berpangkal pada
kebebasan berpikir dan menuhankan akal pikiran manusia”. 18 Dengan demikian,
Din berpandangan bahwa sekularisasi dan liberalisasi adalah tantangan berat
dakwah Islam modern.
3. HAM, demokrasi dan gender
Selanjutnya, isu HAM, Demokrasi dan Gender juga bagian dari topik
Islam modern. Bahwa Hak Asasi Manusia (HAM), Demokrasi dan Gender
menjadi diskursus kajian Islam lantaran isu tersebut telah merasuk dalam
17
Wawancara Pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010
18
Hidayatullah.com, edisi 29 Agustus 2005
86
dinamika dakwah Islam modern. Isu HAM, demokrasi dan gender seringkali
dijadikan legitimasi formal oleh kalangan modernis sebagai perekat hubungan
manusia di seluruh alam raya ini. Tetapi, pada aspek religius isu tersebut kini
tengah dijadikan proyek desakralisasi agama dalam pandangan penganutnya. Din
Syamsuddin menegaskan bahwa isu HAM, demokrasi dan gender tengah menjadi
tantangan berat dakwah Islam. Di beberapa kelompok Islam modernis isu ini
tengah menjadi bahan kajian penting guna mereduksi pola pikir mereka agar
terbebas dari eksploitasi doktrin ulama klasik (terdahulu). Sehingga mereka (kaum
modernis) akan cenderung berpikir menggunakan akalnya sendiri dari pada
melibatkan pendapat-pendapat para ulama/mujtahid terdahulu.
Oleh karenanya, dalam petikan wawancara penulis, Din Syamsuddin
menghimbau kepada umat Islam umumnya dan para aktivis dakwah khususnya
untuk tetap meningkatkan pengetahuan agama sesuai dengan perkembangan
zaman, agar suatu isu tidak dijadikan sebagai proyek penggelapan agama. 19
Di sini, ditegaskan bahwa dakwah Islam harus relevan dengan topik-topik
yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Maka dakwah Islam akan terlihat
rapi dan dapat terukur melalui evaluasi-evaluasi yang dilakukan da’i sebelum ia
terjun ke masyarakat. Dalam menghadapi isu-isu pluralisme, liberalisme,
sekularisme, HAM, Demokrasi, Gender, dan lain-lain. Dakwah Islam modern
adalah upaya pencegahan bercampurnya pengaruh-pengaruh modernisasi yang
mengakibatkan krisis sosial, moral dan spiritual masyarakat Islam. Oleh
karenanya dibutuhkan ketekunan para da’i dalam mendalami materi dakwah yang
19
Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin
87
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. sehingga dakwah tidak memberikan kesan
“asal-asalan” dalam menyampaikan pesan agama kepada masyarakat.
Problematika kontemporer yang menyebabkan beragamnya pandangan
masyarakat atas masalah-masalah keagamaan semakin mengharuskan dakwah
Islam untuk tampil dalam satu format yaitu membendung arus modernisme
menjadi nilai kemajuan berpikir umat Islam. 20 Seyogyanya dakwah Islam
memberikan
perubahan
bagi
kemajuan
berpikir
umat
Islam
melalui
pendalamannya terhadap isu-isu Islam modern.
B. Gerakan Dakwah Islam Modern Sebagai Solusi Krisis Spiritual, Moral
dan Sosial Bangsa
Dalam peranannya sebagai gerakan sosial yang menyadarkan masyarakat
akan pentingnya nilai moral dan spiritual dalam diri masing-masing, dakwah
memberikan arti penting bagi pembentukan karakter manusia. 21 Dakwah Islam
memuat persoalan moral manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. kesadaran
dirinya sebagai manusia yang diberi tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, ia
merupakan makhluk yang istimewa. Batasan tingkah laku manusia dalam kajian
dakwah dapat dianalisa melalui interaksi, interelasi dan interkomunikasinya
dengan manusia 22 , baik dalam kondisi perorangan maupun dalam kehidupan
kelompok. Dengan memperhatikan aspek perilaku manusia yang menerima
persuasi dakwah, akan dapat memperlihatkan suatu aktivitas dakwah Islam yang
20
Din Syamsuddin, Prinsip Modenisme dalam Islam, makalah seminar UMY, 2009
21
Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah dengan Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani,
(Jakarta: Amzah, 2001)
22
Ibid.
88
urgensinya adalah membina akhlak masyarakat untuk menjaga stabilitas
kenyamanan dalam kehidupan.
Krisis yang terjadi selama ini melanda bangsa Indonesia disebabkan oleh
keringnya mentalitas dan moralitas masyarakat, 23 sehingga ia tidak mampu
menghadapi tantangan-tantangan global yang semakin mengujinya pada taraf
kemanusiaan. Pendidikan moral bagi masyarakat Islam sangatlah diperlukan
dalam proses kedewasaan beragama.
Dalam petikan wawancara penulis, Din Syamsuddin menyatakan tiga hal
penting yang dapat membendung arus modernisasi yang menyebabkan krisis
moral di masyarakat. antara lain : pertama, hendaknya masyarakat memahami
modernisasi sebagai bentuk kemajuan. Kemajuan berpikir, kemajuan bertindak,
kemajuan pembangunan. Bukan dengan sebaliknya modernisasi diartikan sebagai
westernisasi. Menerima dan menggunakan cara-cara kehidupan Barat, sehingga
banyak kultur atau budaya bangsa yang tergadaikan dan tergantikan dengan
kultur-kultur Barat. Tentu saja ini bukan dalam pengertian sebenarnya tentang
modernisasi. Kedua, masyarakat Islam di Indonesia harus mengoptimalkan dan
meningkatkan kualitas pengetahuan keagamaannya. Karena tidak menutup
kemungkinan, menurut Din Syamsuddin masalah ini akan sedikit demi sedikit
mengkikis ideologi masyarakat Islam dan perilaku kesehariannya. Sehingga wajar
jika seringkali ditemukan aneka ragam cara hidup beragama yang terlalu jauh dari
ajaran Islam.
Ketiga, yaitu peranan lembaga dakwah Islam harus melibatkan semua
unsur masyarakat untuk mengenal Islam secara murni, dengan tidak disertai
23
Wawancara pibadi denga Din Syamsuddin
89
fraksi-golongannya yang hanya ingin mendapatkan perhatian lebih dari
masyarakat. Lembaga dakwah dapat mengkoordinasikan secara terstruktur
komunikasi masyarakat Islam dalam menjaga nilai-nilai moralitasnya.24
Krisis yang dihadapi umat Islam dewasa ini yang meliputi krisis spiritual,
moral dan sosial adalah bagian dari pengaruh sistem dakwah Islam yang tidak
terorganisir secara baik. 25 Dewasa ini, masih kita dapati cara dakwah yang
cenderung provokatif, mengadu domba antargolongan, serta membawa isu-isu
rasial. Padahal, yang demikian itu akan membuat masyarakat merasa dijadikan
komoditas atas pelecehan agama. Karena ia hanya bicara agama kami adalah
benar dan agama mereka adalah salah. Tentu persoalannya bukan itu. Ada nilai
moral yang kemudian menjadi kekuatan kita dalam menjalankan ajaran agama
Islam.
Menghadapi problematika Islam kontemporer yang begitu kompleks dan
terkadang mengakibatkan runtuhnya kekuatan spiritual membuat peranan dakwah
Islam semakin diharapkan melakukan aksi yang mendukung pembenahan spiritual
bagi masyarakat Islam. Di kota-kota besar yang masyarakatnya cenderung
berpikiran maju, aktivitas mereka sering disibukkan dengan kegiatan-kegiatan
dunia serta pekerjaan-pekerjaan yang setiap saat menuntutnya untuk menyediakan
waktu banyak, sehingga pada gilirannya kebutuhan spiritualitas sering terlupakan
dalam suasana yang dekat dengan keduniaan. Di sini, dakwah berperan sebagai
penghilang dahaga spiritual masyarakat sebagai makhluk yang bertuhan.
24
25
Wawancara Pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Januari 2010
Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN
Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2005)
90
Pandangan semacam ini akan melahirkan sikap kesalehan sebagai manusia
yang mengabdikan dirinya kepada Allah SWT. kekayaan spiritualitas masyarakat
akan melahirkan kesalehan sosial, yang pada gilirannya akan tercipta suasana
masyarakat yang saling memahami satu sama lainnya. Mereka akan saling
melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada pada lingkungannya. Kesalehan
sosial juga membentuk karakter bangsa yang kokoh dan terjaga dari perbuatanperbuatan yang keluar dari rambu-rambu syariat. Sehingga masyarakat akan
menjunjung tinggi norma agama yang juga akan membantu setiap individu untuk
menghindari perbuatan-perbuatan cela seperti korupsi, menipu, dzalim terhadap
diri sendiri dan orang lain, menganiaya, dan penyakit masyarakat lainnya.
Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah mengatakan bahwa “seorang mukmin
senantiasa memiliki niat yang baik dan lurus di dalam setiap perilakunya. Dia
tidak bekerja di dunia ini demi urusan dunia semata. Dia membangun di dunia
demi akhirat.” 26 Petuahnya merupakan gambaran perilaku orang yang shaleh,
bekerja di dunia demi membangun masa depannya di akhirat. Meskpiun demikian,
Islam tidak melarang manusia untuk mencari kenikmatan dunia. Islam juga
menganjurkan kepada manusia agar tetap mencari kebahagiaan di dunia. Firman
Allah SWT. di dalam Al-Qur’an :
☺
☯
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi...” (QS. Al-Qashass,28:77)
26
Syaikh Abdul Qadir Jailani, al-Fathu Rabbani wal Faidhurrahmani, terj. Arief B.
Iskandar, Percikan Cahaya Ilahi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005) h. 98
91
Berangkat dari kesalehan individu, setiap orang akan saling menjaga dan
menebar kebaikan diantara sesamanya sehingga terciptalah kesalehan sosial yang
pada akhirnya akan menghidupkan kondisi masyarakat yang bermoral dan
bersosial tinggi.
Dakwah Islam akan menjadi solusi atas krisis spiritual jika dilakukan
dengan metode yang relevan dengan kebutuhan para jamaahnya. Peranan dakwah
di sini, tidak sekedar sebagai transformasi sosial, lebih dari itu ia merupakan
media pengantar manusia untuk bertemu dengan kekuatan immateri, sehingga
muncul perasaan rendah, pasrah dan tunduk dihadapan tuhannya. Kondisi ini yang
kemudian akan melahirkan semangat spiritual yang berpusat pada jiwa manusia.
Dimulai dari dakwah Islam sebagai bagian dari media meraih semangat spiritual
seseorang.
Ketika semangat spiritual bersarang pada jiwa manusia, maka dirinya akan
menyadari bahwa kehidupannya di dunia hanya untuk mempersiapkan diri untuk
menghadapi hari esok, yaitu kehidupan yang kekal di akhirat. Dakwah Islam harus
mampu menjelaskan secara objektif bagaimana sisi-sisi kehidupan itu terjadi.
Mentalitas muslim seperti ini tentu akan terlihat pandai dalam bergaul dengan
masyarakat lainnya. Moralitas dan etika selalu dijadikan sebagai modal
pergaulannya di masyarakat. Ia tidak menempatkan materi dunia sebagai modal
pergaulan, melainkan budi pekerti dan akhlak mulia yang menjadikan seorang
muslim bernilai di hadapan manusia lainnya, tanpa ia meninggikan kedudukannya
sendiri. Jika moralitas sudah terbentuk dalam etika pergaulan masyarakat maka
kebersahajaan sesama manusia akan mengindahkan kehidupannya setiap saat 27 .
27
Syaikh Abdul Qadir Jailani, Ibid.
92
Sikap hidup seperti tersebut di atas adalah bagian dari esensi dakwah Islam
yang sebenarnya, ia mengutamakan moral, kemanusiaan, persaudaraan,
persamaan, serta penghormatan sesama manusia lainnya. Tidak hanya sesama
masyarakat yang satu agama tetapi semua agama bisa hidup rukun saling
berdampingan dengan mengedepankan norma-norma agama. Begitulah bentuk
dakwah Islam sebagai solusi krisis moral, spiritual dan sosial bangsa yang dewasa
ini semakin menantang masyarakat Islam untuk menunjukkan bahwa Islam
mampu mendamaikan bangsa indonesia dan keluar dari konflik yang
mengatasnamakan
agama.
Kemanusiaan
(humanisme),
persamaan
(egaliterianisme) dan keragaman (pluralisme) adalah bagian dari prinsip dakwah
Islam.
Sifat dakwah yang kolaboratif, progressif, dan visioner akan sangat
membantu kehidupan berbangsa dan berbernegara dengan baik. Di mana setiap
masyarakat merasa bahwa dirinya adalah bagian dari anggota masyarakat yang
juga sekaligus mempengaruhi karakter bangsa yang didiaminya. Mentalitas yang
terbentuk adalah satu dalam kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, seperti
yang termaktub dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedikitnya ada lima jenis gerakan dakwah Islam berdasarkan kebutuhan
masyarakat modern 28 :
a. Dakwah Sosial
Persoalan sosial yang berada dalam kehidupan masyarakat khususnya di
Indonesia merupakan aspek paling penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sepanjang tahun 2009, kita dapat merilis persoalan-persoalan yang
28
Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010
93
mempengaruhi dampak sosial, diantaranya adalah meluapnya ideologi radikal
kelompok jaringan teroris di Indonesia, persoalan korupsi pemimpin-pemimpin
negara, pelemahan institusi hukum, demokrasi, dan bencana alam yang sering
melanda tanah air. Semua itu adalah masalah-masalah sosial yang berdampak jera
terhadap kondisi masyarakat bangsa. Di sini, perlu ada serangkaian aktivitas
dakwah yang membantu memulihkan persoalan-persoalan tersebut menjadi baik
dan kembali pada asalnya.
Mengakarnya ideologi radikal kelompok jaringan teroris disebabkan
karena dangkalnya pemahaman agama yang menimbulkan kesalahan tafsir
sehingga
pada
gilirannya
mereka
terprovokasi
oleh
orang-orang
yang
mengganggu kehidupan masyarakat dengan memberikan doktrin jihad kepada
sasarannya untuk melakukan aksi-aksi teror yang ditujukan kepada kelompok
non-muslim. Jika sudah terjadi tentu pandangan dunia pun miring kepada Islam.
Padahal, mereka tidak tahu soal siapa yang melakukan aksi teror tersebut. Islam
menjadi sasaran masyarakat pro perdamaian dunia sehingga dianggapnya sebagai
pemicu doktrin radikal. Tentu persoalan ini harus mendapatkan perhatian dari
gerakan dakwah Islam. Lembaga-lembaga dakwah harus bertanggung jawab atas
ummat yang mengalami depresi akidah, ia harus berada pada posisi tengah dalam
memperbaiki pemahaman-pemahaman radikal sehingga tidak akan mengganggu
ketentraman kehidupan masyarakat.
Selain itu juga masalah korupsi yang dilakukan para pemimpin bangsa ini
mengakibatkan krisis kepercayaan publik terhadap pemimpinnya (umara).
Bagaimana mungkin masyarakat mempercayai ‘umara yang dipilihnya jika
kemudian mereka mengkhianati kepercayaan itu. Di sinilah kemudian dakwah
94
Islam memiliki peran dan tanggung jawab untuk meluruskan moralitas para
pemimpin bangsa ini agar tetap menjalankan amanahnya sesuai dengan ajaran
Islam. Pun dengan persoalan bencana alam, kita tidak boleh sepenuhnya
menyerahkan persoalan ini atas dasar kehendak Tuhan. Manusia yang diberi
amanah untuk menjaga keutuhan bumi juga bertanggung jawab atas segala yang
terjadi di bumi. Akibat kurangnya kesadaran manusia sebagai khalifah fil ardh,
menyebabkan
ia
melakukan
tindakan
eksploitasi
bumi
dengan
tidak
memperhatikan dampak-dampak lingkungan sosialnya 29 . Sehingga sering terjadi
bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan lain-lainnya. Islam melarang
perbuatan merusak bumi.
⌧
¸¸¸
º
☺
Artinya: “......dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS. Al-Qashass,28:77)
Dengan demikian, persoalan yang menyangkut sosial masyarakat membutuhkan
perhatian dakwah Islam untuk menjaga nilai-nilai agama Islam agar tidak runtuh
bersama dengan keruntuhan sosial yang terjadi. Dakwah Islam memiliki peran
penting dalam menghidupkan sosialisme di kalangan masyarakat.
b. Dakwah keluarga
Lingkungan keluarga juga rentan terjadi kerusakan sebagaimana yang
terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat yang lebih besar. Keluarga merupakan
bentuk masyarakat yang paling kecil dalam berbangsa. Dinamika kehidupan
keluarga tidak selamanya mengalami keindahan dan keselarasan. Ada kalanya di
29
Lih. QS. Al-Baqarah,2:24-25 dan QS. Al-Baqarah,2:30
95
lingkungan keluarga mengalami pertikaian atau yag disebut dengan konflik
keluarga. Beragam bentuk masalahnya seperti konflik suami isteri, pertengkaran
anak terhadap orang tua, atau anak terhadap anak yang lainnya, serta masalahmasalah lainnya yang bisa menimbulkan konflik keluarga.
Peranan agama sangatlah membantu dalam mengharmoniskan hubungan
rumah tangga seseorang. Apalagi dalam Islam hubungan keluarga dikonsepsikan
dengan “sakinah, mawaddah, rahmah” 30 . Keharmonisan dalam rumah tangga
membentuk karakter keluarga menjadi bermoral, mulia dan terpandang. Nilai-nilai
ajaran Islam menjaga prioritas hubungan kesejahteraan keluarga. Karena dari
lingkungan keluarga seseorang akan memahami kehidupan masyarakat yang lebih
luas. Atau dengan kata lain keluarga adalah cerminan kehidupan masyarakat. jika
di masyarakatnya tergolong sebagai orang yang saleh maka di lingkungan
keluarganya pun sudah sepatutnya menjadi baik dan shaleh. Firman Allah dalam
Al-Qur’an:
☯
☺
°
⌧
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ArRum,30:21)
30
Lih. QS. Ar-Rum,30:21
96
Dengan demikian, konsep Islam dalam keluarga sangat memberikan arti
kedamaian, dengan kasih sayang, ketentraman, dan kesejahteraan dalam keluarga.
Mengingat hal ini adalah pelajaran dini untuk berbaur dengan masyarakat lainnya.
Dakwah Islam memiliki peranan penting dalam pembinaan keluarga sakinah,
mawaddah warahmah.
c. Dakwah ekonomi
Persoalan ekonomi menjadi bagian vital dalam kehidupan masyarakat. ia
tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga sebagai
kekuatan ekonomi masyarakat dalam menjadikan dakwah Islam sebagai kekuatan
Islam. Persoalan ekonomi yang timbul di masyarakat sangatlah beragam
bentuknya. Di satu sisi ekonomi masyarakat tergolong cukup dan di sisi lain
tergolong tidak cukup atau masih berada dalam hidup miskin.
Kemiskinan adalah musuh bersama. Setiap agama tidak menghendaki
ummatnya miskin. Karena kemiskinan bisa menjerumuskan seseorang kepada
kekufuran. Untuk itu, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk mencari
kenikmatan hidup serta memanfaatkan kekayaan alam bumi ini. hal ini demi
terciptanya kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. tidak saja dalam kehidupan
beragama melainkan juga dalam kehidupan bernegara, prinsip ekonomi menjadi
vital dalam membangun kehidupan.
Dengan demikian, dakwah Islam harus dapat menjadi pemicu masyarakat
untuk bergeliat mencari kehidupan yang layak dan sejahtera lahir dan bathin.
d. Dakwah pembangunan
Dakwah pembangunan patut kita artikan sebagai proses implementasi
dakwah Islam secara umum dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan ini memiliki
97
dampak yang sangat luas cakupannya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
peran dakwah Islam dapat membantu upaya pemerintah (ulil amri) untuk
mensejahterakan masyarakatnya. 31 Implementasi dakwah Islam secara umum
dapat diklasifikasikan dalam bidang pembangunan, hal ini mencakup berbagai
macam aspek seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kelautan, pertanian
dan lain-lain. Selain dari pada itu, dakwah Islam juga harus mampu menjadi
bagian dari solusi atas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Inilah bentuk kemajuan dakwah Islam dalam implementasi pembangunan.
Cita-cita tersebut harus terus diupayakan dalam jangka waktu yang panjang.
Dengan demikian, dakwah Islam menjadi mudah melihat dan mengukur
kebutuhan masyarakatnya. Serta tidak monoton berbicara dalam lingkup yang
sangat sempit. Adakalanya dakwah disampaikan dengan lisan dan adakalanya
juga dakwah disampaikan dengan aksi atau perbuatan nyata 32 .
e. Dakwah perempuan
Yang terakhir adalah dakwah perempuan. Seperti halnya Al-Qur’an
menggunakan nama perempuan (an-Nisa’) sebagai nama surat di dalam AlQur’an, dakwah Islam pun memiliki perhatian yang secara khusus menangani
masalah perempuan. Disamping perempuan sebagai objek dakwah yang memiliki
berbagai masalah kehidupan. Mulai dari kedudukannya di abad modern ini, yang
sering dijadikan bahan diskusi di kalangan akademis.
31
Achmad Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta,
1983)
32
Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN
Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2005)
98
Persoalan gender adalah persoalan yang mengangkat dan menurunkan
martabat perempuan. Banyak silang pendapat masyarakat Islam tentang
kedudukan perempuan atas laki-laki. Hal itu diakibatkan adanya perbedaan
memahami ayat-ayat gender di dalam Al-Qur’an 33 . Pada dasarnya, kedudukan
perempuan dalam Islam mendapat tempat penting dan pada level tertentu ia
sebagai tiang negara.
Persoalan gender memang krusial dan harus didudukkan dalam prospek
dakwah modern. Jika masyarakat dibiarkan dalam kondisi ketidaktahuannya maka
akan mengancam generasi perempuan masa depan nanti. Seyogyanya, dakwah
Islam dapat menjadi perekat bagi masyarakat dalam memahami perempuan dalam
Islam. Pada bab dua, dituliskan bahwa dalam memahami ayat-ayat gender di
dalam Al-Qur’an harus melihat kontekstualnya, tidak sebatas teksnya saja. Karena
dengan demikian akan terbuka pengertian yang sebenarnya yang dihasilkan
melalui ilmu pengetahuan tafsir Al-Qur’an.
Dalam hal ini Nasarudin Umar angkat bicara soal gender. Menurutnya
persoalan kedudukan perempuan telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
tetapi kemudian Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada masyarakat
akan kedudukan perempuan dan laki-laki yang keduanya adalah sama. Tidak ada
perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
“Islam mendudukan perempuan pada posisi sejajar dengan laki-laki. Berdasarkan
penciptaan makhluk-makhluk Allah SWT. dengan bermacam-macam bentuk dan
33
Mansour Fakih, Kekerasan Gender dalam Pembangunan, (makalah halaqah P3M,
Jakarta, 1996)
99
perbedaan, serta yang dapat membedakan keduanya hanyalah tingkat ketakwaan
kepada Allah SWT. sebagai hamba yang mengabdi kepada-Nya” 34 .
Dengan demikian, dakwah Islam harus mampu melakukan pendalaman
materi dalam rangka menengahi perbedaan pendapat di kalangan masyarakat soal
kedudukan perempuan. yang seharusnya ditonjolkan adalah bagaimana sikap
masyarakat memahami perbedaan terseut bukan justeru menonjolkan silang
pendapatnya yang berujung konflik internal umat Islam. Di sisi lain persoalan ini
juga akan berdampak pada kondisi sosial perempuan.
C. Format Ideal Gerakan Dakwah Islam Modern
Menjawab persoalan-persoalan umat Islam di tengah modernisme ini
dakwah Islam tetap berpijak pada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits.
Karena keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam yang senantiasa memiliki
relevansi terhadap dinamika kehidupan manusia sepanjang zaman dan sepanjang
sejarah. Dakwah Islam di era modern ini tentu berbeda dengan dakwah yang
dilakukan pada zaman Nabi Muhammad SAW. atau bahkan sebelum-sebelumnya.
Konteks zaman sangat mempengaruhi gerakan dakwah. Di abad modern ini
kondisi umat manusia secara perlahan ditentukan oleh kekuatan modernisme 35 .
Sehingga pada saatnya nanti manusia tidak lagi mengenal siapa dirinya, untuk apa
dan mengapa ia hidup di bumi. Tentu juga modernisme bukanah makhluk seperti
monster yang kerap membuat orang takut dan berusaha bersembunyi agar
terhindar dari kejahatannya. Tetapi modernisme adalah fase kehidupan dimana
34
35
Prof. Dr. Nasarudin Umar, Praktek Gender Pada Masa Nabi, Makalah seminar, 2008
Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto
press dan Pustaka Pelajar, 2006)
100
manusia menemukan kemajuan-kemajuan yang dapat menimbulkan efek positif
dan negatif 36 .
Kondisi manusia tidak ditentukan oleh modernisme tetapi modernisme
bisa mempengaruhi pola pikir dan perilaku manusia. Sedangkan manusia hidup
ditentukan oleh dirinya sendiri. Kemana ia hendak berbuat, untuk apa dan
mengapa. Semua jenis pertanyaan itu dapat dijawab melalui pola pemikirannya.
Jika pola pikir manusia dapat terpengaruh akibat iklim modernisme maka
seyogyanya perilaku hidup manusia akan bergantung pada kebiasaannya.
Berbagai aktivitas yang biasa dilakukan manusia kini berangsur-angsur digantikan
oleh kekuatan daya mesin yang dihasilkan dari kemajuam zaman tersebut.
Dakwah Islam secara hakiki akan tetap berpangkal pada Al-Qur’an dan
Hadits, namun pada aktivitasnya tentu ia harus berusaha mengimbangi peredaran
arus modernisasi yang semakin mengancam kehidupan manusia. Tidak menutup
kemungkinan, kondisi masyarakat modern akan lepas dari kultur agama jika tidak
disertai dengan dakwah Islam sebagai penyeimbang tradisi agama dengan tradisi
modern yang bercampur di dalam kehidupan manusia. Aktifitas dakwah Islam
menunjukkan adanya semangat masyarakat Islam untuk tetap hidup sesuai dengan
aturan norma-norma agama. Jika ia ada sebagai pendamping manusia maka
kehadirannya juga sebagai penengah atas lahirnya gerakan-gerakan sosial modern.
Sebagaimana peranannya, dakwah Islam adalah dinamika gerakan Islam untuk
tetap mempertahankan keadaan masyarakat tetap berpangkal pada aturan-aturan
agama.
36
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987)
101
Di sisi lain, aktifitas dakwah Islam bergeser menjadi kegiatan-kegiatan
sampingan 37 , yang tidak memiliki porsi yang cukup diharapkan oleh kebanyakan
masyarakat modern. Hal ini dibuktikan dengan adanya persaingan aktifitas
manusia yang super sibuk sehingga sulit untuk menyediakan waktu guna
membangun aktifitas dakwah Islam. Padahal, dakwah Islam merupakan kewajiban
bagi setiap muslim, di manapun dan kapanpun. Untuk mencapai efektifitas
dakwah
Islam
di
era
modern
ini
diperlukan
strategi
khusus
dalam
mengembangkan dan mendawamkan aktifitasnya sebagai bagian dari ibadah
kepada Allah SWT. dakwah, dalam konteks Islam modern tersusun dalam
beberapa cara, diantaranya adalah :
1. Dakwah bil qalam
Dalam bahasa lainnya dakwah bil qalam berarti dakwah melalui tulisan,
karya tulis baik di media massa, buku, majalah, internet atau menggunakan media
lainnya yang tersedia di era modern ini. dakwah bil qalam ini adalah bagian dari
pemanfaatan media teknologi modern yang sering dikonsumsi oleh masyarakat
pada umumnya. Oleh karenanya, dakwah Islam harus memasuki dunia itu.
Melalui tulisan-tulisan yang memuat agenda dakwah, para dai tidak dilibatkan
langsung bertatap muka dengan para jamaahnya. Ia cukup menuangkan
pikirannya melalui media tulisan yang kemudian disebarluaskan kepada
masyarakat.
Prof. Dr. Din Syamsuddin menilai dakwah bil qalam merupakan strategi
untuk mengimbangi masyarakat yang tidak cukup banyak memiliki waktu
37
Abdul Basith, Wacana Dakwah Kontemporer
102
mendengarkan ceramah-ceramah agama 38 . Dengan tulisan-tulisan yang bermuatan
dakwah Islam, masyarakat juga menyerap informasi-informasi keagamaan terkini
dengan tulisan-tulisan yang disajikan oleh para dai tersebut. Dalam hal ini tulisan
mempunyai dua fungi, pertama, sebagai alat komunikasi atau komunikasi ide
yang produknya sebagai ilmu pengetahuan. Kedua, sebagai alat komunikasi
ekspresi yang produknya berupa karya seni atau jurnalistik. 39 Akan tetapi, pada
raealitasnya, yang juga sebagai tantangan berat dalam dakwah bil qalam ini yaitu
persaingan yang cukup ketat dengan adanya media-media tulisan yang memuat
budaya, ideologi, yang berasal dari luar. Isinya yang bersifat menghibur,
menginformasi, dan menginspirasi bisa menjadikan media tulisan dakwah
tersingkirkan dengan adanya hal itu.
Maka dari itu, perlu ada pembedaan terhadap dakwah bil qalam yang
selama ini digunakan oleh kalangan dai modern. Di sini, ditemukan persoalan
yang menyebabkan ketidakefektifan dakwah tulisan yang ada di tengah kehidupan
masyarakat. Media dakwah berupa buku, jurnal, surat kabar, internet, dan lain-lain
merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang hidup di
abad modern ini. Ia sekedar media informasi yang bermuatan pikiran-pikiran
penulis yang disuguhkan kepada pembaca. Lalu, posisi dakwah Islam tersudutkan
lantaran isinya yang tetap pada gaya lama dan tidak menumbuhkan inspirasi bagi
kehidupan modern. Sehingga wajar jika masyarakat masih rendah perhatiannya
kepada isi dakwah yang demikian itu dan dianggapnya sebagai bagian dari
ceramah agama yang biasa dilakukan.
38
39
Wawancara Pribadi
Suf Kasman, Jurnalisme Universal; Menelusuri Prinsip-prinsip Dakwah bil Qalam
dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2004), cet.1, h. 219
103
Ada persoalan krusial dalam dakwah bil qalam ini. ketika para da’i
menuliskan pokok-pokok materi dakwah yang tidak memperhatikan bentuk
tulisan dan isinya malah justeru akan membawa dampak yang tidak menarik
perhatian publik. Seperti pada aktifitas shalat jumat, biasanya dakwah bil qalam
pun turut menjadi bagian dari khutbah jumatnya sang khatib. Karena isinya yang
terlalu monoton dan tidak berimbang, oleh sebagian masyarakat dianggapnya
sebagai rutinitas lembaga dakwah semata yang mengeluarkan buletin setiap
jumatnya. Tentu dakwah yang seperti ini tidak diharapkan oleh masyarakat
modern.
Persoalan dakwah dilakukan dengan tulisan itu tidak menjadi masalah.
Dan bahkan sejak zaman Rasulullah pun hal itu sudah dilakukan. Seperti memberi
surat kepada raja-raja untuk memeluk Islam 40 . Hal terpenting dari ini adalah
bagaimana bahasa seorang dai dalam mengajak, mempersuasi jamaah agar dapat
mengikuti apa yang disampaikan dalam isi pesannya itu. Bahasa memiliki nilai
tersendiri bagi komunikasi manusia. Kenapa kita tidak belajar dari bahasa para
jurnalis yang dengan indah mempersuasi, menginformasi dan mempengaruhi
pembacanya sehingga setiap para pembacanya merasakan kenikmatan dalam
menyantap informasi yang tertulis dalam tulisan atau buku itu.
Pada dasarnya Al-Qur’an adalah contoh paling sempurna dalam
menggunakan bahasa dakwah. Gaya bahasanya yang santun, puitis, tidak
provokatif, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan membuat siapa yang
membacanya menjadi tahu dan interested dengan isi tulisannya. Jika hal ini juga
dilakukan dalam aktivitas dakwah tulisan, maka akan membawa dampak yang
40
Prof. Muhamad Mustafa Atha’, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie
Syukur, Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982)
104
luar biasa. Kemudian, para da’i harus memperhatikan klasifikasi pembaca. Tidak
semua kalangan mengerti dengan satu gaya bahasa. Masyarakat profesional,
petani, buruh, mahasiswa tentu saja memiliki pengalaman yang berbeda-beda
dalam memahami tulisan seseorang. Untuk itu, dakwah bil qalam harus
disesuaikan pula jenis tulisannya, medan pembacanya, dan retorikanya. Din
Syamsuddin bahkan mengakui betapa para dai dewasa ini harus mampu menulis
karena manusia modern memiliki kegemaran terhadap informasi berupa tulisan. 41
2. Dakwah bil lisan
Dakwah bil lisan ini merupakan dakwah yang sering banyak dilakukan
oleh para da’i. Di samping sebagai kesempatan silaturahmi tatap muka, dakwah
bil lisan juga memberikan kesempatan adanya dialog antara mad’u dengan dai.
Klasifikasi dakwah bil lisan ini memiliki berbagai macam bentuk dan polanya,
diantaranya adalah : metode diskusi, ceramah, seminar, dan debat 42 .
Masyarakat modern yang hidup di kota-kota besar lebih sedikit
menyediakan waktu untuk mendengarkan ceramah-ceramah agama secara
langsung. Paling sedikit, mereka mendengarkannya melalui media teknologi
modern seprti televisi, radio dan kaset-kaset dakwah. Sebagian kalangan seperti
akademisi dan mahasiswa justeru lebih menyukai jenis dakwah yang disampaikan
melalui lisan. Artinya ia lebih gemar melakukan diskusi, seminar, workshop
pelatihan dan semacamnya guna membicarakan suatu pokok masalah.
Melihat
kondisi
masyarakat
modern
yang
memiliki
keragaman
pemahaman agama, budaya dan politik, membuat dakwah bil lisan ini melahirkan
41
42
Wawancara Pribadi dengan Din Syamsuddin.
Toto Asmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1957)
105
ide-ide baru dalam penyampaiannya. Dakwah bil lisan juga terkadang dijadikan
sebagai agenda provokasi, karena dakwah bil lisan memiliki gaya bahasa yang
bebas dalam menyampaikan pesan agama kepada khalayak. Tetapi, tidak semua
betuk bicara di depan masyarakat dikehendaki oleh Islam. Kita semua tahu bahwa
Islam adalah agama yang mengajarkan etika, sopan santun, dan tidak
menghendaki adanya intimidasi kelompok/golongan dalam berdakwah.
Artinya: “Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar)........” (QS. AlIsra’,17:53)
Maka, dakwah bil lisan yang kerap digunakan sebagai media provokasi
massa tidak dibenarkan adanya.
Oleh karenanya, dalam berdakwah para da’i dituntut untuk berpikir
objektif, protektif, kolaboratif dan persuasif. Prinsip-prinsip dakwah Islam yang
mencirikan sebagai masyarakat Islam modern adalah : mendahulukan kepentingan
umum (universal), mengedepankan nilai kemausiaan, membina persatuan dan
kesatuan umat, meninggalkan bentuk provokasi, serta melakukan ijtihad sesuai
dengan ajaran Islam 43 . Jadi dakwah Islam bil lisan harus dilakukan reformasi total
yaitu dengan menanamkan prinsip-prinsip kemanusiaan, toleransi, akhlak mulia
dan ketakwaan terhadap Allah SWT.
3. Dakwah bil hal
43
Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin
106
Dakwah bil hal merupakan keteladanan dari seorang seorang muslim yang
dijadikan sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat. dakwah bil hal
diorientasikan kepada kebutuhan masyarakat yang bersifat fisik. Seperti
pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, pangan, dan sebagainya.
Termasuk kedalam ruang dakwah bil hal. Sifatnya yang memberikan tauladan
kepada masyarakat, dakwah bil hal juga merupakan metode yang menaruh
perhatian besar kepada segala aspek kehidupan, seperti kemiskinan, kebodohan,
ketertinggalan, dan menjadi bentuk amal nyata bagi kehidupan masyarakat
modern.
Mengamati permasalahan yang terjadi di abad modern ini, dakwah bil hal
sangat dinantikan aksinya oleh masyarakat. Mengingat kondisi masyarakat yang
sedang dalam krisis multidimensional ini, peran serta dakwah bil hal menjadi
penting posisinya. Menurut Din Syamsuddin dakwah bil hal kaitannya dengan
kehidupan modern adalah serangkaian proses pembenahan dan pembaruan
masyarakat Islam 44 . Seperti pada konflik-konflik sosial dunia, peperangan
antaragama, suku, bangsa. Semua masalah tersebut dapat diatasi dengan dakwah
yang dilakukan bil hal dalam bentuk tindakan nyata selain juga dengan materimateri lainnya.
Dakwah Islam bil hal memiliki konsep yang tidak jauh dari bentuk
advokasi atau pendampingan. Seperti yang dilakukan oleh beberapa lembaga
dakwah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mereka melakukan
upaya penanganan dan penanggulangan kemiskinan, pengobatan gratis bagi
44
Ibid.
107
masyarakat miskin, layanan puskesmas keliling serta pemberian beasiswa di
bidang pendidikan. Itu adalah contoh kecil dari dakwah bil hal.
Dalam kondisi masyarakat yang krisis kepercayaan kepada pemerintah
(ulil amri), dakwah bil hal juga menjadi pemicu pulihnya psikologis masyarakat
yang terkena dampak perkataan yang terkadang tidak sesuai dengan perbuatannya,
seperti janji politik, janji kandidat legislatif dan semacamnya. Masyarakat akan
mengalami trauma sehingga mereka tidak menaruh kepercayaan kepadanya untuk
selanjutnya. Tentu saja itu bukan persoalan kecil. Terlihat sederhana namun akan
membawa dampak yang cukup besar. Masyarakat akan berpikiran sempit dan
tidak mau mendengarkan kata-kata ulil amri sebagai pemimpinnya. Maka, sebagai
penyeimbangnya aktifitas dakwah Islam sangat memiliki partisipasi yang bagus
dalam rangka menanggulangi krisis yang terjadi di masyarakat ini.
Segala bentuk tauladan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dakwah
yang terjadi dewasa ini dapat membantu kegiatan masyarakat modern yang masih
hidup dalam arus kemiskinan. Dalam kapasitasnya, dakwah bil hal dapat
diimplementasikan dalam perbuatan nyata. 45 Karena segala aksinya adalah
tauladan bagi masyarakat.
4. Dakwah kultural dan struktural
a. Dakwah Kultural
Gerakan dakwah Islam lahir sebagai pelindung kehidupan sosial
masyarakat dari ancaman kebudayaan yang telah sekian lama menelanjangi ajaran
agama satu demi satu. Dalam konteks modern, gerakan dakwah kultural
merupakan formulasi lama atau yang sudah baku. Sehingga pada masyarakat
45
M. Yunan Yusuf, Dakwah bil hal, (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal Kajian
Dakwah dan Kemasyarakatan, 2001), Vol. 3 No. 2
108
modern yang tinggal di kota-kota besar gerakan dakwah kultural tidak menjadi
bagian penting dalam implementasi dakwah Islam secara umum.
Secara historis, perjalanan dakwah kultural ini dimotori oleh ulama-ulama
pesantren, yang dalam istilah pesantren kemudian disebut sebagai “pengajian”.
Bentuknya sangat sederhana, dengan menghadirkan seorang ulama atau kiyai lalu
berceramah di depan jamaah pengajiannya yang cenderung membentuk konsep
talk-listen (yang bicara dan yang mendengar), sehingga sedikit sekali kesempatan
bagi jamaah untuk bertanya jawab. Dakwah kultural dilakukan melalui konsepkonsep sosial, budaya seperti pengajian, pentas seni maupun aktivitas sosial
lainnya. 46
Meskipun cara dakwah demikian itu dianggap baku oleh sebagian
masyarakat modern, tetapi ia masih memiliki pengaruh yang cukup besar di
tengah masyarakat, bahkan masyarakat modern pun ada sebagian darinya masih
melestarikan cara-cara dakwah dengan menitikberatkan pada nilai kultural.
Mengingat dakwah merupakan usaha peningkatan pemahaman keagamaan untuk
mengubah pandangan hidup, sikap bathin dan perilaku umat yang tidak sesuai
menjadi sesuai dengan aturan syariat untuk memperoleh kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Oleh karenanya, dakwah harus dilakukan berdasarkan
kebutuhan masyarakatnya. Secara konvensional, dakwah Islam harus memenuhi
unsur-unsur diantaranya adalah materi dakwah, mengetahui psikologis objek
46
1992)
Anwar Masy’ari, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah, (Surabaya: Bina Ilmu,
109
dakwah, metode yang representatif, menggunakan bahasa yang bijaksana 47 dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Dakwah kultural adalah dakwah Islam dengan pendekatan kultural, yaitu
dakwah yang memiliki sifat akomodatif terhadap nilai-nilai budaya tertentu secara
inovatif dan kreatif dengan tidak menghilangkan aspek substansi keagamaannya.
Kemudian, dakwah kultural juga menekankan pentingnya kearifan dalam
memahami kebudayaan komunitas tertentu sebagai sasaran dakwah. Dengan
demikian, dakwah kultural adalah dakwah yang bersifat buttom-up, dengan
melakukan pemberdayaan kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai spesifik
yang dimiliki oleh sasaran dakwah.
Dalam melakukan dakwah kultural, para dai harus menawarkan pemikiran
dan aplikasi syariat Islam yang kaffah dan kreatif. Materi-materi dakwah perlu
disistematiskan
dalam
suatu
rancangan
silabus
dakwah
berdasarkan
kecenderungan dan kebutuhan mad’u-nya 48 . Para dai yang menyampaikan
dakwah melalui dakwah kultural, tidak boleh menghakimi dan memutuskan
tentang keadaan yang sedang terjadi di masyarakat. Maka, dakwah kultural ini
tidak semata-mata bermuatan materi fiqih centris saja tetapi juga dilengkapi
dengan isu-isu aktual yang sifatnya informatif dan inspiratif bagi masyarakat.
Pada sebagian masyarakat modern terutama yang tinggal di kota yang
masih kental dengan budaya daerahnya, dakwah kultural adalah cara yang paling
mendapatkan perhatian bagi masyarakatnya, masyarakat memilih dakwah kultural
47
Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang
Qur’ani, (Jakarta : Amzah press, 2001)
48
Anwar Masy’ari, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah, (Surabaya: Bina Ilmu,
1992)
110
sebagai jenis dakwah yang efekktif mengingat semakin meluasnya isu dakwah
modern yang tidak berujung pada penyelesaian masalah.
b. Dakwah Struktural
Berbeda dengan dakwah kultural, dakwah struktural merupakan gerakan
dakwah Islam yang bersifat top-down, yaitu menjadikan kekuasaan, birokrasi,
politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam. 49 Dakwah struktural memiliki
konsep yang bertitik pada politik dan kekuasaan. Salah satu contohnya adalah
partai politik. Bagi sebagian masyarakat modern yang melakukan dakwah Islam
melalui jalur politik. Ia mengaggap dengan jalan birokrasi seseorang bisa
memperjuangkan Islam dan mengimplementasikannya kedalam tindakan nyata.
Di parlemen, ada sejumlah tokoh muslim yang memiliki konsentrasi menyuarakan
aspirasi masyarakat muslim, seperti adanya UU pornografi yang berkaitan erat
dengan dakwah Islam. Dari sanalah mereka menggunakan cara kekuasaan atau
politik sebagai jalan dakwah Islam.
Dan, cara seperti ini memiliki efektifitas yang cukup mapan bagi
kelangsungan kehidupan masyarakat, hanya saja efeknya tidak disadari oleh
kebanyakan masyarakat. kemapanan dalam dakwah struktural tidak hanya dalam
aspek kebijakan penguasa, ia juga berhak mengatur sistem masyarakat dalam
suatu aturan yang berbentuk undang-undang. Dalam hal ini ditegaskan oleh Din
Syamsuddin bahwa dakwah struktural adalah upaya melegitimasi agama sebagai
bagian dari kekuasaan. 50 Dan ini positif guna mengakomodir aspirasi masyarakat
49
M. Noer, Dakwah Untuk Umat, makalah dalam workshop Program Studi Pendidikan
Islam DEPAG RI, 2007
50
Din Syamsuddin, Tantangan Dakwah Masa Depan, Makalah Seminar satu Abad
Muhammadiyah, UMS, 2009
111
Islam. Hanya saja, yang perlu diingat adalah jika kita hidup di negara layaknya
Indonesia dengan beraneka ragam agama dan budaya, dakwah struktural tidak
boleh melebihi batas etika politik. Ia harus tetap menyuarakan aspirasi
kepentingan seluruh umat.
Pada dasarnya, kedudukan dakwah struktural dan dakwah kultural harus
seirama, keduanya akan saling membutuhkan. Keberadaan dakwah kultural
memberikan penekanan kepada masyarakat secara langsung melalui aktifitas,
mimbar, tulisan, dan tauladan. Sedangkan dakwah struktural mendorong
kemaslahatan
umat
dari
birokrasi
atau
kebijakan
pemerintah
dalam
mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Sinergitas keduanya akan dapat
menjadi bagian penting yang akan dirasakan oleh masyarakat. Dengan begitu,
dakwah Islam menjadi terencana dan tepat sasarannya. Bagi kalangan politisi,
seperti Adhyaksa Dault dakwah struktural merupakan jembatan penghubung
masyarakat dengan birokrasi, sehingga dalam aspek kehidupan berbangsa,
masyarakat dapat menyampaikan keinginannya kepada ulil amri untuk mencari
kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya. 51
Dakwah Islam modern adalah bentuk pembaruan cara memandang
gerakan dakwah sebagai aktifitas Islam yang memiliki kompetensi di bidangnya
masing-masing. Mengingat kondisi masyarakat Islam dewasa ini semakin maju
dan plural memahami Islam sebagai agama dan sebagai sistem politik. Maka,
dibutuhkan cara pandang baru masyarakat dalam memahami dakwah sebagai
51
Bioghrafi Politik, Satu Tahun Kebangkitan Nasional, (Jakarta: TP, 2008)
112
pokok prinsipal dalam membangun kesejahteraan masyarakat atau yang oleh
Azyumardi Azra disebut sebagai masyarakat madani 52 .
Beberapa pandangan yang membedakan dakwah kultural dan dakwah
struktural dalam gerakan modern terlihat pada platform yang dibawa oleh
organisasinya. Pada partai politik yang dikatakan sebagai alat untuk mencapai
kekuasaan tidak selamanya berada pada garis struktural. Pada saat tertentu citacita dakwahnya terhalang oleh kepentingan, sehingga tidak menutup kemungkinan
akan mengorbankan platformnya sebagai partai yang membawa misi dakwah
Islam. Memang, dalam partai politik terdapat tantangan-tantangan besar dalam
membawa misi dakwahnya, begitu juga keberhasilannya dapat terukur dengan
jelas melalui apa yang diperjuangkannya melalui birokrasi.
Adapun dalam dakwah kultural dinamika politiknya tidak begitu
mempengaruhi kondisi dakwah. Walaupun terkadang sebagian ormas Islam
memiliki hubungan struktural dengan partai politik tetapi sebatas dalam kapasitas
kepentingan tertentu saja dan tidak mempengaruhi misi dakwah Islamnya.
Dalam pelaksanaannya, dakwah Islam tidaklah memisahkan semua aspek
pelaksanaannya, baik meliputi unsur dakwah, metode serta pola-pola yang
dilakukan. Hal ini juga dibenarkan oleh Syahrin Harahap bahwa dalam
pelaksanaannya
dakwah
Islam
mengalami
kemajemukan
otonom. 53
Kemajemukan yang terjadi dalam dakwah Islam merupakan hubungan yang
bersifat sistemik, yang masing-masing unsur merupakan bagian yang tak
52
Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militant Movements In Indonesia, makalah
Simposium Internasional, Institute Of Asian Culture Studies, Tokyo, 2005
53
Syahin Harahap, Islam; Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1999)
113
terpisahkan dari sistem. Atau juga bersifat simbiotik, yaitu masing-masing saling
memerlukan. Dakwah kultural, dakwah struktural, dakwah bil lisan, dakwah bil
hal, dakwah bil qalam semuanya akan saling bergantung satu sama lainnya.
Terlebih lagi dalam menghadapi masyarakat modern yang majemuk ini.
Pada bab II, dijelaskan bahwa agenda penting gerakan dakwah Islam
modern ini meliputi pembentukan masyarakat madani (gerakan civil society),
melembagakan kegiatan dakwah (institutionalized) dan transfomasi nilai-nilai
sosial. Ketiga rumusan tersebut adalah bentuk pencapaian gerakan dakwah Islam.
Dengan demikian, gerakan dakwah Islam mampu menghadapi berbagai
macam tantangan apapun. Dinamisasi pengalaman dan ilmu pengetahuan akan
membantu gerakan dakwah yang substansif dan bersifat memperdayakan
masyarakat dalam kondisinya. Sepanjang yang dapat diamati oleh kebanyakan
orang bahwa salah satu problematika masyarakat modern adalah masalah
kemiskinan. Untuk itu, Din Syamsuddin berpendapat bahwa gerakan dakwah
Islam harus mampu menjabarkan teologi kemiskinan,54 yang memiliki intrik
untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan keterbelakangan.
Dalam teologi kemiskinan ini Islam memiliki konsep etos kerja. Melalui
peningkatan etos kerja yang dilakukan oleh setiap muslim, maka akan tercapai
pencapaian kebutuhan ekonomi guna menunjang kehidupan masyarakat. Selain
itu, Allah SWT. menjanjikan dengan tegas bagi siapa yang bekerja keras akan
dibalas-Nya sesuatu yang membuat dia bahagia. Berikut Firman Allah SWT.
54
Din Syamsuddin, Tantangan Dakwah Masa Depan, makalah seminar satu abad
Muhamamdiyah, UMS, 2009
114
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)
kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.
dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik.” (QS. Al-Ankabut,29:69)
Kita harus memahami keja keras sebagai bagian dari jihad seseoang dalam
mencari kehidupan. Dengan mengacu kepada teologi kemiskinan, etos kerja keras
merupakan salah satu acuan untuk membeantas kemiskinan yang ada pada
masyarakat.
114
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Gerakan dakwah Islam dalam menghadapi isu-isu Islam modern harus
dilakukan secara terpadu dan tepat sasaran. Serta harus menggunakan prinsip
tabligh (menyampaikan), tatbiq (mengamalkan) dan tandzhim (mengelola).
Isu yang berkembang dalam khazanah Islam dewasa ini harus menjadi
muatan materi dakwah Islam masa kini. Oleh karenanya, ketiga pinsip
tersebut hendaknya menjadi pilar dalam dakwah di era modern.
2.
Gerakan dakwah Islam modern sebagai solusi terhadap krisis spiritual, sosial
dan moral bangsa harus memiliki orientasi terhadap pembentukan karakter
jamaah. Hal ini bisa dilakukan dengan mengoptimalkan materi dakwah yang
sesuai dengan kebutuhan jamaah.
3.
Format ideal gerakan dakwah Islam modern harus dilakukan dengan
mengupayakan kebutuhan jamaah. Selain dengan cara kultural dan struktural,
dakwah Islam juga dilakukan dengan aplikasi/pengamalan ilmu secara
langsung, seperti; membangun rumah sakit, balai pendidikan, lapangan kerja,
dan semacamnya.
4.
Para pegiat dakwah hendaknya selalu meningkatkan dan mengembangkan
wawasan keilmuan dakwahnya guna mengetahui medan dakwah secara tepat
dan jelas, khususnya dalam penguasaan materi isu Islam modern seperti; isu
115
fundamentalisme, radikalisme dan terorisme, isu pluralisme, liberalisme dan
sekularisme, isu HAM, demokrasi dan gender, serta isu-isu Islam modern
lainnya.
5.
Gerakan dakwah Islam akan lebih baik terorganisir melalui organisasi yang
memiliki peranan dan konsentrasi di bidang dakwah.
6.
Gerakan dakwah Islam modern harus menunjukkan sikap santun, ramah, adil
dan bijaksana.
Secara garis besar kajian gerakan dakwah Islam modern ini adalah bentuk
kemajuan masyarakat Islam dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada
umatnya. Ia juga merupakan sarana pendorong bagi masyarakat dan pemerintah
dalam melaksanakan pembangunan demi kepentingan kesejahteraan masyarakat
banyak. Dengan demikian, gerakan dakwah Islam modern sangat menentukan
masa depan dakwah Islam menjadi dakwah yang berpilar pada aspek kemanusiaan
(humanisme), kebijaksanaan, kemandirian, keberagaman, keadilan, kebebasan,
toleransi, santun dan saling menghargai dan menghormati sesama manusia.
B. Saran
Dalam proses penelitian yang cukup panjang, penulis menegaskan bahwa
dakwah Islam modern adalah upaya reformasi gerakan dakwah Islam dalam
menghadapi kemajuan zaman dan arus modernisme yang sudah tidak terbendung
lagi ini. Banyak pengetahuan-pengetahuan baru yang penulis dapatkan dalam
studi ini, yang semuanya telah dijelaskan dalam pemaparan tulisan ini serta pada
analisa yang cukup membuat kita semakin merasa kekurangan pengetahuan.
Oleh karenanya, penulis memberikan saran dan masukan kepada segenap
civitas akademia UIN Syarif Hidayatullah, khususnya kepada Fakultas Ilmu
116
Dakwah dan Ilmu Komunikasi sebagai bagian dari keseriusan pendalaman studi
dakwah guna terus dilakukan pendalaman pengetahuan tentang ilmu dakwah,
yang meliputi aspek epistemologi, ontologi dan aksiologi. Secara singkat, dapat
penulis berikan saran untuk perkembangan gerakan dakwah Islam selanjutnya,
yaitu:
1.
Gerakan dakwah Islam harus dimengerti secara luas mencakup kontekstual
dan tekstual Al-Qur’an oleh masyarakat Islam
2.
Hendaknya para da’i menghentikan pemuatan materi dakwah yang tidak
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya, agar tidak terjadi pemakzulan
dakwah Islam pada masyarakat
3.
Gerakan dakwah Islam modern adalah upaya bersama dalam rangka
memurnikan pemahaman masyarakat terhadap dakwah Islam, baik dalam
aktifitasnya maupun pada materi substansinya
4.
Gerakan dakwah Islam adalah upaya memberikan solusi bagi permasalahan
bangsa dan masyarakat
5.
Hendaknya kalangan akademis memberitahukan kepada masyarakat umum
bahwa dakwah Islam memiliki relevansi dengan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat, dan tidak sekedar ceramah mimbar belaka.
Sekiranya demikian saran yang disampaikan penulis sebagai wujud
ekspresi dari fenomena yang terjadi di masyarakat tentang gerakan dakwah Islam
modern.
Download