ABSTRAK Makhsis Sakhabi, DJ Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern Menurut Din Syamsuddin Gerakan dakwah Islam adalah serangkaian aktivitas, metode, strategi dakwah yang dilakukan berdasarkan perencanaan untuk mengajak manusia kepada jalan kebaikan, kemaslahatan, serta menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian masyarakat Islam beranggapan bahwa dakwah Islam adalah tugas pokok atau kewajiban ummat Islam secara individu dan sebagian lain menganggapnya sebagai kewajiban kolektif. Dakwah Islam kini tengah dihadapkan pada dua persoalan. Pertama, tafsir sosiologis masyarakat terhadap pengertian dakwah yang dianggap sebagai aktivitas mimbar, tabligh semata sehingga konteks sosiologisnya terabaikan dari dinamika kehidupan modern. Kedua, dakwah Islam membutuhkan tafsir ulang atas pengertian dan implementasinya dalam kehidupan masyarakat Islam maupun manusia secara keseluruhan. Sehingga dibutuhkan penyeragaman pengertian dan implementasi dakwah Islam sebagai titik penyebaran agama Islam dan pengamalan nilai-nilai kehidupan masyarakat di tengah arus modernisasi. Kajian ini mencoba mengulas gerakan dakwah Islam dalam konteks kemodernan serta mendalami pemahaman dakwah Islam modern menurut Din Syamsuddin, sebagai bagian dari upaya menyeragamkan implementasi dakwah Islam agar tercapai sasaran dakwah tepat pada medannya. Oleh karenanya, pertanyaan yang mendasari kajian ini adalah bagaimana dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern?, bagaimanakah gerakan dakwah Islam menjadi solusi bagi krisis spiritual, moral dan sosial bangsa?, serta bagaimana format ideal gerakan dakwah Islam modern?. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjelaskan secara akademis tentang dakwah Islam. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan upaya pendefinisian ulang terhadap pengertian dakwah Islam di masyarakat secara universal, serta ingin mengetahui bagaimana pandangan dakwah Islam modern dalam kacamata Din Syamsuddin, serta mengetahui format ideal gerakan dakwah Islam modern. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif melalui pendekatan sosio-historis yaitu, mengungkap latar belakang tokoh yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, guna mengetahui pokok-pokok pikiran tokoh tersebut tentang bagaimana gerakan dakwah Islam dalam konteks Islam modern. Pemahaman dakwah Islam merupakan aspek dasar yang harus dipahami setiap muslim secara universal dalam menjalankan kewajiban dakwah. Mengingat dakwah dipahami sebagian besar masyarakat sebagai aktifitas mimbar belaka. Begitu juga dengan frame dakwah modern yang harus dipahami seperti apa, kajian ini juga meliputi pandangan tokoh dakwah Islam modern Din Syamsuddin dalam pandangannya terhadap dakwah Islam. i 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam menjalankan ajaran Agama Islam. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, 16 :125, : ☺ ☺ ☺ ☺ “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16 : 125) Dari berbagai pandangan ulama-ulama Mufassir, tentang kewajiban dakwah yang tertuang dalam Al-Qur’an tersebut di atas, bahwa ayat tersebut memberikan pesan perintah, yaitu Ud’u, yang memiliki ciri kalimat perintah (Fi’lul Amri). Maka, ayat tersebut telah mewajibkan kaum muslimin untuk selalu melakukan aktivitas dakwah di kehidupan sehari-hari. Selain ayat tersebut di atas, ada ayat lain yang berisi tentang perintah dakwah, seperti pada surat Ali ‘Imran, 3:104, : 2 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali “Imran,3 : 104) Hal ini pulalah yang kemudian menyebabkan beberapa perbedaan pendapat tentang kewajiban dakwah. Sebagian ulama mengatakan perintah dakwah adalah kewajiban individu (fardhu ‘ain), sedangkan sebagian ulama lain mengatakan kewajiban dakwah merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Tentunya masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang kuat. Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, menjelaskan bahwa : “Perintah dakwah adalah ditujukan bagi setiap muslim. Tetapi, walaupun demikian harus ada sebagian golongan / kelompok ummat yang menekuni kegiatan dakwah secara profesional, baik individual maupun institusional”. 1 Sementara itu, permasalahan yang kerap muncul juga pada sisi aktivitas dakwah itu sendiri. Beberapa pandangan para pegiat dakwah telah meramaikan kondisi dan wacana dakwah baik dalam bidang keilmuan maupun pada tataran aktivitasnya. Pada aktivitasnya, dakwah hari ini tentu berbeda dengan dakwah yang terjadi di masa Nabi saw. Dimana Nabi saw. Memulai dakwahnya dengan jalan sembunyi-sembunyi (sirri) hingga dengan jalan terang-terangan. Dakwah pada masa Nabi saw. Dibagi dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan 1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. II, (Jakarta : Lentera Hati, 2002) 3 periode Madinah. Periode Makkah disebut juga sebagai periode pembinaan Kerajaan Allah dalam hati manusia, sedangkan periode Madinah disebut juga sebagai pembinaan Kerajaan Allah dalam masyarakat manusia 2 . Dewasa ini, khususnya di Indonesia terdapat banyak organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah. Mulai dari Islam garis keras (ekstrem), Islam fundamental sampai pada Islam liberal. Tentunya semua itu memiliki konsep dan pandangan yang berbeda-beda terhadap dakwah. Tetapi, satu yang penulis pahami dari perbedaan pandangan gerakan dakwah yang dimotori oleh beberapa organisasi yang bergerak di bidang dakwah adalah kesemuanya menginginkan agar masyarakat mengikuti kehendaknya, bukan kehendak Islam sebagai rahmat. 3 Jika pada awal prosesnya saja dakwah bertolak dari konsepsi iman dan amal shaleh, apakah kemudian dewasa ini yang kerap dikenal dengan periode modern, konsepsi dakwah Islam akan tetap berpangkal dengan dasar pokok keimanannya? ataukah akan menjadi berkotakkotak dakwah Islam di era modern ini? Diakui bahwa dewasa ini organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga dakwah sudah sangat banyak, tetapi harus diakui pula bahwa sebagian besar dari semua itu juga tidak membuahkan hasil yang signifikan bagi perkembangan gerakan dakwah Islam di era modern ini. Boleh jadi permasalahannya adalah kurangnya militansi lembaga-lembaga dakwah terhadap gerakan dakwah Islam secara kaffah (totalitas). 2 Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 281 3 Yaitu Islam sebagaimana diturunkannya untuk ummat manusia agar mengimani Allah SWT. yang mengedepankan kemaslahatan ummat, tanpa diskriminasi sepihak. 4 Sementara itu, tokoh muslim Indonesia yakni Prof. Dr. Din Syamsuddin memberikan pandangan yang berbeda tentunya mengenai aktivitas gerakan dakwah dalam konteks kemodernan. Istilah modern ini lebih banyak yang mengartikan kemajuan zaman. 4 Secara eksplisit dapat dipahami memang bahwa istilah modern ini ditujukan kepada perbedaan kurun waktu antara yang telah lalu dan yang sekarang atau yang akan datang. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S Poerwadarminta, kata modern memiliki arti “yang terbaru”. 5 Berarti konteks kemodernan di sini diistilahkan hal-hal yang bersifat baru dan memiliki kemajuan. Salah satu pandangan Islam mengenai gerakan dakwah yaitu proses penyampaian ajaran Allah yang menggunakan metode tertentu untuk kemaslahatan ummat. Kemudian, pemahaman tersebut telah banyak memberikan pengertian baru yang bermacam-macam pula. Sebagian orang memahami gerakan dakwah yang seharusnya dilakukan adalah dengan jalan jihad, yaitu menaklukkan orang-orang yang kufur terhadap Allah dengan jalan kekerasan sekalipun, maka tidak sedikit dari mereka yang memiliki pemahaman seperti itu berani melakukan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai tindakan provokatif serta terorisme. Selain itu, pandangan lain pun muncul bahwa gerakan dakwah seharusnya dilakukan dengan jalan damai, toleran, pluralis. Sehingga mereka lebih menjaga keharmonisan hubungan antaragama dan kepercayaan ketimbang dengan sesama kaum muslim yang berbeda dengannya. 4 Kemajuan zaman meliputi kemajuan berpikir, teknologi, budaya, sosial, politik dan ekonomi. 5 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Edisi III, Cet. 4, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) h. 773 5 Prof. Dr. Din Syamsuddin merupakan sosok tokoh dakwah Islam modern yang namanya tidak hanya terdengar di pelosok nusantara tetapi juga di mata Internasional. Aktivitasnya yang selalu tidak lepas dari kegiatan dakwah, membuat penulis ingin menelusuri pemikiran, pemahaman sekaligus penerapan konsep dakwah dalam konteks Islam modern. Dalam hal kemodernan yang beliau rumuskan dalam keberagamaan, yaitu tajdid (pembaharuan) pola pikir masyarakat telah digariskan bahwa Islam akan selalu relevan dengan situasi zaman apapun. Maka, memasuki zaman yang sudah terlalu canggih ini, bukan lagi dalam bidang teknologi tetapi juga dalam hal pemikiran Islam, dakwah nampaknya harus dapat menerapkan prinsip-prinsip serta pemahaman yang disesuaikan dengan karakter dan pengetahuan masyarakat muslim modern. Meminjam istilah Abdul Basit, M. Ag dalam bukunya yang berjudul Wacana Dakwah Kontemporer, dakwah di Indonesia antara kajian yang bersifat akademik dengan relitas dakwah yang ada di masyarakat belum menunjukkan hubungan yang sinergis dan fungsional. Di kalangan akademisi dan para pakar di bidang dakwah, mereka lebih banyak mengkaji dakwah melalui sumber-sumber normatif yaitu Al-Quran dan Hadits. Demikian juga dengan para aktivis dakwah yang ada di masyarakat yang selalu memberikan materi dakwah lebih banyak dengan metode ceramah atau mimbar. Pada lembaga-lembaga keagamaan yang bergerak di bidang dakwah juga belum memberikan arti penting secara substansial bagi kelangsungan Islam di era modern ini. Mereka lebih banyak mementingkan dari sisi kuantitasnya saja dari pada kualitas masyarakatnya. Perubahan yang begitu cepat pada masyarakat akan membawa dampak besar terhadap perubahan pola pikir, karakter, serta sikap masyarakat Islam. 6 Dalam beberapa kajian Islam modern, muncul pembahasan-pembahasan baru pula yang akan menjadi tanggung jawab aktivis dakwah Islam di zaman modern ini. Seperti pembahasan HAM, bagaimana Islam memandang dan menjawab permasalahan-permasalahan di dalamnya, juga masalah Demokrasi yang sampai hari ini para aktivis dakwah belum secara total memasukkan materi tersebut dalam aktivitas dakwah, kemudian persoalan Kesetaraan Gender, Pluralisme, Sekulerisme, Liberalisme, serta isu Terorisme yang belakangan ini menjadi perbincangan masyarakat luas. Oleh karena itu, diharapkan kajian ini akan memberikan arti penting bagi pemahaman gerakan dakwah Islam modern. Penulis tertarik dengan pemikiran-pemikiran yang digagas oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin tentang dakwah Islam. Maka, kemudian penulis mengangkat judul “GERAKAN DAKWAH DALAM KONTEKS ISLAM MODERN MENURUT PROF. DR. DIN SYAMSUDDIN” sebagai tugas skripsi di akhir studi S1 Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. B. Batasan dan Perumusan Masalah Dalam pembahasan ini, penulis hanya ingin memberikan gambaran pokok tentang pemikiran dan aktivitas tokoh Islam Modern yaitu Prof. Dr. Din Syamsuddin terhadap dinamika gerakan dakwah yang terjadi di era modern ini dalam konteks Islam modern. Oleh karenanya, penulis ingin membatasi kajian ini pada wilayah : - Pemikiran gerakan dakwah Islam dan kaitannya dengan isu-isu Islam modern menurut Din Syamsuddin - Aktivitas gerakan dakwah Islam modern Din Syamsuddin 7 Selebihnya adalah informasi-informasi yang bersumber dan sesuai dengan judul ini. Adapun masalah-masalah yang telah penulis rumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern menurut Din Syamsuddin? 2. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam modern menjadi solusi terhadap krisis spiritual, moral dan sosial bangsa menurut Din Syamsuddin? 3. Bagaimanakah format ideal gerakan dakwah Islam modern menurut Din Syamsuddin? Dari rumusan-rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis akan dapat menjelajah pengetahuan secara objektif tentang gerakan dakwah dalam konteks Islam modern. Beberapa hal yang tertulis tersebut di atas adalah acuan dasar penulisan skripsi ini. C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan kejelasan tentang gerakan dakwah dalam konteks Islam modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kepada dua aspek penting, yaitu : 1. Kegunaan Akademis - Menambah khazanah keilmuan dakwah dan komunikasi - Menambah referensi kepustakaan tentang gerakan dakwah - Mengembangkan pemikiran dakwah secara luas dan ilmiah 8 2. Kegunaan Praktis - Memberikan acuan bagi pegiat dakwah dalam berdakwah - Sebagai referensi bagi para aktivis dakwah - Memberikan pemahaman terkini tentang Gerakan Dakwah pada masyarakat Islam modern - Sebagai strategi berdakwah pada masyarakat modern D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan Sosio-Historis, yaitu mengetahui sejarah dan latar belakang tokoh yang kemudian dijadikan sebagai suatu analisa deskriptif dari pemikiran, aktivitas dan latar belakang tokoh tersebut. Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan sosio historis ini akan mengungkap sisi latar belakang tokoh dalam kehidupan sosial, pendidikan, karir dan keilmuan yang dimiliki sampai sekarang. Dengan melihat sosio-historis dari tokoh yang diamati, penelitian ini akan mengungkapkan fakta pemikiran dan aktivitas tokoh yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Oleh karenanya, penelitian ini melibatkan langsung tokoh tersebut dalam proses pengumpulan data. Hal tersebut sama dengan yang didefinisikan oleh Taylor tentang metode penelitian kualitatif yaitu “cara yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati”. 6 6 Ke-11 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda karya, 1989), cet. 9 Melalui pendekatan sosio-historis, metode dalam penelitian ini akan mengumpulkan data-data deskriptif yaitu pemaparan atau penjabaran pokok- pokok pikiran dari Prof. Din Syamsuddin tentang konsepsi gerakan dakwah Islam modern yang kemudian dilakukan observasi guna mengukur dan membandingkan atas teori-teori yang sudah muncul dan berlaku bagi penelitian kualitatif. Kemudian, data-data tersebut akan diolah dan dilakukan pengembangan untuk kemudian mengembangkan teori pada pengamatan yang dilakukan. 2. Subjek Dan Objek Penelitian Begitu juga dengan subjek dan objek penelitian, penulis mengemukakan bahwa subjek penelitian ini adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah gagasan dan pemikiran Din Syamsudin terhadap fenomena gerakan dakwah Islam modern yang terjadi di Indonesia. Karena penulis memandang bahwa Din Syamsuddin adalah salah satu tokoh Islam modern di Indonesia yang memiliki perhatian khusus terhadap dakwah Islam masa kini. 3. Data Dan Sumber Data Adapun data-data yang akan penulis kumpulkan antara lain adalah data deskriptif mengenai pemikiran Din Syamsudin tentang konsep gerakan dakwah dalam konteks Islam modern, data tentang isu-isu dalam Islam modern serta datadata pendukung lainnya yang memiliki keseragaman dan relevansi dengan penelitian ini. Sedangkan sumber data yang diambil dari penelitian ini meliputi : 10 a. Sumber data primer, antara lain : buku-buku tentang dakwah Islam kontemporer, tulisan-tulisan Din Syamsuddin, keterangan atau pendapat langsung Din Syamsuddin. b. Sumber data sekunder, antaralain : Majalah, surat kabar, internet dan buku-buku umum Islam yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Tekhnik Pengumpulan Data Tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah dengan cara: a. Observasi Observasi ini dilakukan di perpustakaan UIN Jakarta dan di kediaman Din Syamsuddin yang memuat tulisan-tulisan Din Syamsuddin dan tulisan-tulisan pendukung lainnya. Observasi ini dilakukan sebagai pencatatan dan pengamatan langsung dari fenomena dan perilaku yang diteliti. b. Wawancara Wawancara ini merupakan percakapan langsung antara peneliti dengan tokoh yang diwawancarai dengan disertai pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan oleh penulis sebelumnya. Wawancara ini ditujukan kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin. c. Dokumentasi Mengumpulkan data melalui dokumentasi seperti yang diambil dari buku-buku, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lainnya sebagai informasi tambahan guna melengkapi data-data yang diperoleh. 11 5. Tekhnik Analisis Data Dalam proses analisa data, penulis menggunakan analisa data deskriptif, yaitu mengungkapkan data dan fakta secara alamiah dan objektif. Data yang diteliti merupakan data yang dihasilkan dari observasi, wawancara dan dokumentasi. Ketiga perolehan data tersebut dipadukan dan kemudian dideskripsikan. 6. Pedoman Penulisan Tata cara penulisan skripsi ini menggunakan pedoman yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan mengacu pada buku Panduan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) terbitan CeQDA 2007. E. Tinjauan Pustaka Mengamati dari bebarapa skripsi yang memperbincangkan dakwah Islam, sampai saat ini belum didapatkan tema-tema yang mencakup studi perilaku dakwah era modern ini, terutama kaitannya dengan pemahaman Gerakan Dakwah Islam Modern. Tentu saja kajian ini sangat diperlukan di era sekarang ini, mengingat banyaknya pemahaman ajaran Islam yang melahirkan kegiatan atau aksi radikal dengan ideologi dakwahnya. Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern tidak hanya sebagai judul skripsi tetapi juga sebagai kajian konsisten yang tentu akan mengisi dan melengkapi kepustakaan seputar wacana dakwah kontemporer, yang tidak membatasi pada wilayah normatif saja tetapi lebih komprehensif dan universal. Adapun mengenai buku-buku ataupun penelitian yang pernah penulis tinjau dalam pra-penulisan skripsi ini antara lain : 12 1. “Wacana Dakwah Kontemporer” karangan Abdul Basith, M. Ag diterbitkan oleh STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2. “Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an” karangan Prof. Hasjmi, diterbitkan oleh Bulan Bintang Press, Jakarta. 3. “Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan yang Qur’ani” karangan Totok Jumantoro, diterbitkan oleh Amzah press, Jakarta. 4. “Banishing Violence from the World: Faiths and Cultures in Dialogue” Makalah Din Syamsuddin pada Pertemuan Internasional Tokoh Muslim Dunia untuk Perdamaian, Naplez, 21-23 Oktober 2007 Salah satu buku karya Abdul Basith, M. Ag yang berjudul “Wacana Dakwah Kontomporer” merupakan bagian dari kajian ini. Isinya yang melengkapi referensi kajian pemahaman dakwah secara modern begitu menjadikan pembacanya tahu bahwa dakwah Islam memiliki arti yang sangat luas, tidak sebatas kegiatan mimbar dari satu masjid ke masjid yang lain. Tetapi melahirkan ide dan gagasan baru dalam rangka menjalankan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh. Begitu penulis menginginkan Prof. Dr. Din Syamsuddin sebagai pemikir Dakwah Islam Modern, maka kajian ini akan melibatkan beliau dengan perannya sebagai pelaku dakwah yang memiliki wawasan kemodernan serta institusiinstitusi yang memiliki perhatian secara konsisten di bidang dakwah. Beberapa karya yang lain seperti Syaikh Ali Mahfudz dalam Hidayatul Mursyadin-nya, Prof. Hasjmi dalam Dutsur Dakwah Menurut Al-Quran, beliau memberikan pesan dalam kedua buku tersebut tentang fenomena gerakan dakwah yang berkembang 13 seiring zaman dan situasinya. Jadi, betapa pentingnya wawasan baru tentang gerakan dakwah Islam modern. Wacana ini juga merupakan apresiasi penulis sekaligus kritik atas apa yang dikemukakan oleh Abdul Basith dalam Wacana Dakwah Kontemporer. Beberapa pandangannya mengenai gerakan dakwah era modern telah memisahkan antara refleksi nyata akibat aktivitas dakwah dengan aktivitas dakwah dalam proses penyampaiannya. Jika refleksi nyata atas apa yang sedang terjadi, yaitu modernisasi pemikiran Islam dewasa ini dijadikan belenggu bagi proses perkembangan aktivitas dakwah maka dakwah itu sendiri akan hilang secara perlahan dari aktivitasnya. 7 Sedangkan secara garis besar, Islam telah menggariskan kewajiban dakwah ini bagi umat Islam selama ia menjalankan kehidupannya. Nampaknya aneh memang, jika konteks dakwah selalu dikonotasikan dengan aktivitas mimbar atau rutinitas yang syarat akan kegiatan hari besar Islam atau lebih dikenal dengan istilah PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) saja, maka sesungguhnya dakwah telah diberi arti yang sangat sempit. Sesungguhnya dakwah merupakan aktivitas mengajak untuk berbenah diri (sebagai insan) menuju kepada sesuatu yang baik dan lebih baik, bahkan secara luas lagi dakwah diartikan sebagai transfomasi nilai-nilai sosial. Meskipun demikian, Abdul Basith dengan sistematis telah menjabarkan kelemahan-kelemahan da’i yang menyampaikan ajaran Islam dengan tidak melihat aspek keberhasilan seta hambatannya. Tentu saja hal ini akan memberikan makna positif bagi kelangsungan kajian dakwah baik dari segi teoritis maupun 7 Lih. Abdul Basith, M. Ag dalam Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta : STAIN Purwokerto Press dan Pustaka Pelajar, 2005), cet. 1 14 praktisnya. Jika saja pesan itu tidak ada, maka para da’i akan merasa lepas-lalu saja setelah memberikan materi dakwah di hadapan mad’u-nya. Selain itu, ia juga telah memaparkan bagaimana menyusun strategi dakwah agar tepat sasaran kepada masyarakat modern. Sepeti yang ia kutip dari Larry Poston, bahwa terdapat dua bentuk strategi dakwah dalam gerakannya di masyarakat, yaitu strategi Internal-Personal dan strategi External-Institutional. Pada strategi pertama, fokus pembangunan atau pengembangannya adalah individu. Seperti pada masyarakat modern yang selalu mengisi waktunya dengan kesibukan urusan pekerjaan sehingga sangat minim waktu yang diluangkan untuk memberikan perhatiannya kepada dakwah Islam. Sedangkan strategi yang kedua memfokuskan pada institusi atau lembaga yang memiliki kapasitas untuk bidang dakwah. Di Indonesia telah banyak berdirinya lembaga-lembaga dakwah Islam dengan corak dan bentuk yang bermacam-macam, tetapi semuanya memiliki satu tujuan yaitu membentuk pribadi dan masyarakat muslim yang baik. Walaupun demikian, sering didapati gejolak perbedaan pendapat akan konsepsi dakwah yang disampaikan, dank arena ini pulalah sering terjadi kesenjangan ideologi atau cara pandang mereka masing-masing dalam hal dakwah. Kemunculan paham-paham pemikiran Islam secara modern tentu saja akan menjadikan dakwah Islam harus semakin luas dan memasuki ruang rasio masyarakat modern. Di kalangan cendekiawan, beberapa pandangan dan pemikiran Islam seperti Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender sudah menjadi kajian Islam secara komprehensif dan berimbang dalam kegiatan dakwah, baik pada lembaga maupun individu. Kajian dan wawasan Islam modern seperti itu tidaklah mudah didapati pada masyarakat tradisional yang masih 15 melanjutkan kajian-kajian Islam yang menurut mereka merupakan tradisi belajar ulama-ulama klasik. Aktivitas dakwah yang selalu menelusuri problematika masyarakat, tentu saja harus memiliki integritas keilmuan yang matang untuk menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat muslim modern serta menjaga bagaimana perbedaan cara berdakwah agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara sesama muslim. Secara historis, dakwah yang dilakukan oleh Nabi saw. Selalu mengikuti perkembangan dan situasi masyarakat. Beliau tidak penah mengikuti atas kehendak serta kemampuannya untuk membumikan Islam. Padahal, baginya sangatlah mudah untuk bisa menanamkan nilai-nilai aqidah pada masyarakat Quraisy pada waktu itu. Tetapi beliau tetap melakukannya dengan penyesuaian situasi dan kondisi serta kompetensi masyarakat yang diberikan dakwahnya. Seyogyanya demikian, agenda dakwah pada masyarakat Indonesia, khususnya dan ummat Islam pada umumnya harus disesuaikan dengan kompetensi dan perilaku yang ada pada masyarakatnya. Jika melihat fenomena yang terjadi hari ini adalah dakwah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga maupun individu nampak terlihat dengan jelas arah dan tujuannya hanya bersandar pada apa yang dipahaminya sebagai suatu kebenaran. Maka disini, dilihat sudut pandang dan pengertian terhadap kajian komprehensif gerakan dakwah yang selama ini dilakukan oleh masing-masing lembaga maupun individu. Maka, dengan demikian bentuk apapun yang dilakukan dan dirumuskan pada setiap lembaga dakwah sebetulnya merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits, hanya saja perspektif memandang dan memahaminya yang 16 berbeda-beda. Dan, akibat dari perbedaan itu timbullah perelisihan paham yang kerap menimbulkan perselisihan ideologi, bahkan sampai pada tingkat kekerasan fisik. Oleh karena itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah sangat diperlukan guna meminimalisir konflik perbedaan yang muncul. Melihat sejenak karakter yang ditunjukkan oleh lembaga-lembaga dakwah di Indonesia yang beragam dan komprehensif, menambah lengkap khazanah dan pemikiran terhadap kajian dakwah. Perkuliahan yang memuat Ilmu Dakwah sangat efektif jika kajian ini terus diberlanjutkan sampai terbentuk pandangan masyarakat klasik maupun modern bahwa aktivitas dan gerakan dakwah merupakan kewajiban kolektif sebagai tugas dan tanggung jawab ummat Islam. Selain itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah pun menjadi bagian penting dari sisi keagamaan dan kebudayaan masyarakat Islam Indonesia. Selain itu, Totok Jumantoro juga telah memberikan kontribusi penting dalam kajian dakwah dewasa ini. Ia memaparkan aktivitas dakwah dari sudut psikologinya. Dalam bukunya Psikologi Dakwah Dengan Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani, ia menulis : “Aktivitas dakwah hakikatnya tidak jauh berbeda dengan proses komunikasi. Sebab, pada dasarnya dakwah merupakan penyampaian informasi agama atau penyebaran ajaran Islam melalui proses komunikasi baik dengan personal approach, family approach, ataupun social approach”. 8 8 Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani, (Jakarta : Amzah, 2001), cet. 1 17 F. Sistematika Penulisan Penelitian ini mengikuti sistematika sebagai berikut : BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan. BAB II : Membahas tentang tinjauan teoritis dari dakwah Islam yang meliputi pengertian gerakan dakwah Islam modern dan Isu-isu Islam modern. BAB III : Membahas tentang riwayat hidup Din Syamsuddin, meliputi latar belakang keluarga, pendidikan, serta aktivitasnya di bidang dakwah yang meliputi pandangannya tentang dakwah Islam dan kemodernan. BAB IV : Merupakan pembahasan tentang Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, yang meliputi tentang dakwah Islam menghadapi isu-isu aktual, dakwah sebagai solusi krisis spiritual, moral dan sosial bangsa, dakwah kultural dan struktural, serta format ideal gerakan dakwah Islam modern. BAB V : Merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dan saran-saran yang juga disertai daftar pustaka dan lampiran-lampiran. 18 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Gerakan Dakwah Islam 1. Pengertian Gerakan Dakwah Islam Memahami arti dari pada gerakan dakwah tidaklah cukup mengetahui kata per kata saja melainkan dibutuhkan pula konteks pemahaman gerakan dakwah secara partikular. Hal tersebut meliputi konteks zaman dan keilmuan. Secara terpisah, kata gerakan dakwah tersusun dari dua kata yang masing-masing memiliki arti berbeda. Kata gerakan memiliki arti perbuatan atau keadaan bergerak 1 . Dalam istilah dakwah, gerakan dapat diartikan sebagai aktivitas tindakan, berbuat menuju ke arah sesuatu yang memiliki nilai baik. Istilah ini seringkali muncul pada suatu fenomena yang dianggap memiliki pengaruh kuat bagi situasi ataupun lingkungan sekelilingnya. Sedangkan kata dakwah terambil dari bahasa Arab, yaitu bentuk mashdar dari da’a-yad’u-da’watan yang berarti seruan, panggilan 2 . Kata dakwah seringkali diistilahkan sebagai suatu ajakan kepada manusia untuk menuju kepada kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Syaikh Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin menjelaskan bahwa dakwah memiliki arti : ﺣﺚ اﻟﻨﺎس ﻋﻠﻰ اﻟﺨﻴﺮ واﻟﻬﺪى واﻻﻣﺮ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف واﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ اﻟﻤﻨﻜﺮ ﻟﻴﻔﻮز ﺑﺴﻌﺎدة اﻟﻌﺎﺟﻞ واﻻﺟﻞ 1 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) 2 Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) Cet. 4 Cet.8 19 Artinya : Mendorong (memotivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, memerintahkan mereka berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. 3 Dakwah dalam Islam juga memiliki arti mengajak, mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah serta berjuang bersama meninggikan agama-Nya. Dikatakan bahwa ajakan ataupun seruan yang dimaksud dari pengertian dakwah Islam ini merupakan suatu tindakan komunikasi antara yang mengajak (da’i) dengan yang diajak (mad’u). Dan tentu saja isi materi ajakannya adalah jalan menuju Allah serta kebaikankebaikan yang diajarkan-Nya melalui kitab suci Al-Quran. Meskipun demikian, telah banyak pengertian dakwah Islam yang semuanya akan menjadikan pengertian tersebut di atas kuat dan memiliki kesamaan maksud, diantaranya adalah : - Prof. Hasjmi (1974) menjelaskan bahwa “dakwah Islamiyah itu mengajak orang untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariah Islamiyah yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri”. 4 - Prof. Dr. Abu Bakar Aceh (1971) menulis : “Dakwah ialah perintah mengadakan seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik”. 5 3 Syaikh Ali MAhfudz, Hidayatul Mursyidin, (Kairo: Daarul Qutub al-Arabiyah, 1952) 4 Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) 5 Abu Bakar Aceh, Beberapa Catatan Mengenai Dakwah Islam, (Solo: Ramadhani, 1971) 20 - Toha Yahya Oemar (1976) mengatkan bahwa “dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat”. 6 - Drs. H.M. Arifin, M. Ed (1977) memberi batasan dakwah dengan pengertian : “sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun secara kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajakan agama sebagai message yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.” 7 Pengertian-pengertian tersebut di atas senantiasa mengisyaratkan suatu ajakan kepada manusia untuk menuju kepada jalan yang dikehendaki Allah SWT. Maka, dapat diambil pengertian dakwah Islam secara istilah yaitu mengajak, menyeru, memotivasi manusia untuk menuju ke jalan yang dikehendaki Allah SWT. Serta menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar agar tercapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Pada tahun 1873, Max Muller, seorang intelektual Barat telah memperkenalkan sistem klasifikasi agama, yaitu agama terbagi menjadi dua kategori : agama dakwah (missionary) dan agama non-dakwah (non-missionary). 8 Klasifikasi tersebut telah memberikan arti dakwah sebagai tabligh dan juga sebagai pengelolaan dan pengajaran ajaran Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa 6 Thoha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1971) 7 Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang Qur’ani, (Jakarta : Amzah press, 2001), cet.1, h.18 8 Larry Poston, Islamic Da’wa in the West, Muslim : Missionary Activity and the Dynamics Convertion to Islam, (New York: Oxford University Press, 1992), h.3-4 21 dalam konteks keagamaan, dakwah memiliki makna sebagai tabligh, tatbiq, dan juga tandhim. Tabligh berarti penyampaian, tatbiq berarti pengamalan dan tandhim berarti pengelolaan. 9 Ketiga anashir tersebut haruslah berjalan seirama agar dapat memenuhi kelengkapan dan kesempurnaan gerakan dakwah Islam. Setelah melakukan penelaahan terhadap pengertian-pengertian dakwah Islam, maka istilah gerakan dakwah memiliki posisi yang sangat penting dengan pengertian dasar dakwah Islam. Gerakan dakwah Islam diartikan sebagai aktivitas dakwah Islam seseorang atau kelompok yang dilakukan melalui individu maupun institusi kepada ummat untuk mencapai keberhasilan menyampaiakan ajaran Allah SWT. 2. Pola-pola Gerakan Dakwah Islam Seringkali kita melihat fenomena dakwah di masyarakat yang selalu mengkaitkan kegiatan dakwah dengan ceramah tabligh melalui mimbar. Ceramah tabligh merupakan salah satu dari bentuk-bentuk aktivitas dakwah Islam, namun bukanlah satu-satunya bentuk dakwah yang ada di dalam kegiatan dakwah. Persepsi yang telah sekian lama melekat di masyarakat tersebut tidaklah salah, akan tetapi perlu adanya evaluasi terhadap masyarakat untuk tidak selalu mengkonotasikan kegiatan dakwah sebagai ceramah tabligh. Selain dari pada itu, gerakan dakwah Islam memiliki pola-pola yang mengemas aktivitas dakwah menjadi teratur, terencana dan tercapai. Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Retorika Islam, menjelaskan : “Dakwah kepada Allah dapat dilakukan dengan menulis bukubuku, mempresentasikan ceramah-ceramah di perguruan tinggi atau pusat 9 Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) 22 keilmuan, atau menyampaikan khutbah Jumat, pengajian dan pengajaran agama, di masjid dan tempat-tempat lain. Dan, ada juga yang melakukan dakwah dengan kalimat Thayibah, pergaulan yang baik dan keteladanan. Dan ada lagi, orang yang berdakwah dengan menyediakan fasilitasfasilitas material demi kemaslahatan dakwah; memberi infak untuk para dai, atau menyebarkan produktivitas dakwah, atau membangun pusat aktivitasnya.” 10 Begitu banyak bentuk-bentuk dakwah yang bisa dilakukan oleh setiap orang ataupun kelompok. Dan tidak juga harus menjadi pelaku dakwah tetapi pendorong dan penyedia sarana dakwah pun bisa dikatakan berdakwah. Dalam ceramahnya pada penyelenggaraan Muktamar ke-VI menteri-menteri wakaf dan urusan Islam di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1997, Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki 11 mengungkapkan prinsip-prinsip serta pola dalam berdakwah, antara lain : - Hanya menyembah Allah semata Ia percaya bahwa berdakwah dengan mengikuti pola-pola Nabi Muhammad SAW. maka akan tersyiar kebaktian kepada Allah SWT. semata. Tidak ada yang lain selain diri-Nya. Dengan hanya karena Allah SWT, maka dakwah Islam dimanapun, kapanpun, dalam situasi apapun akan berjalan dengan harapan dan kejayaan. - Percaya dengan teguh kepada Al-Qur’an. Selain ikhlas berdakwah karena Allah SWT. semata, Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki juga menegaskan untuk selalu percaya teguh pada AlQur’an, kemudian Sunnah serta tata hukum yang dihasilkan para imam dan 10 Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridho, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2004) 11 Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki adalah Menteri Urusan Islam, Zakat, Dakwah dan Bimbingan Kerajaan Arab Saudi dan delegasi Kerajaan Arab Saudi pada Muktamar VI Menterimenteri Wakaf dan Urusan Islam pada tanggal 29 Oktober-01 November 1997, di Jakarta. 23 mujtahid terdahulu. Menurutnya, ini akan menjadikan dakwah Islam memiliki kekuatan hukum dan sumber materi dakwah yang jelas dan tidak ada keraguan. - Ketulusan, kerendahan hati dan kehalusan budi. Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. ketika beliau berdakwah senantiasa menunjukkan sikap ketulusan dan kerendahan hati serta kehalusan budi. Dengan demikian, dakwah Islam akan menjadi santun dan dengan mudah diterima oleh masyarakat. 12 Berdasarkan pola-polanya, gerakan dakwah Islam memiliki macammacam bentuk dalam pelaksanaannya, antara lain : a. Dakwah Bil Hal Sejalan dengan yang disampaikan Allah SWT. dalam QS. An-Nahl (16) : 125 bahwa dakwah dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan Hikmah, Ketauladanan serta Berdialog (Mujadalah). Beberapa peristiwa penting dalam sejarah dakwah Nabi Muhammad saw. telah menggariskan bahwa pencapaian dakwah memiliki tugas dan fungsi dalam pembinaan ummatnya atau yang disebut dengan mad’u. Salah satu tugas dan fungsi pencapaian dakwah yang telah Rasulullah saw. contohkan adalah penegakan persatuan dan kesatuan ummat. Pembentukan kesatuan ummat telah menjadi tujuan dakwah, dan hal ini telah terjadi sejak zamannya dakwah Rasulullah saw. sampai sekarang. Rasulullah saw. sebagai seorang Nabi juga sebagai seorang kepala negara. Beliau membangun pemerintahan di kota Yatsrib sesudah beliau meninggalkan kota tersebut dan 12 Abdullah Ibn Abdul Muhsin Atturki, Da’wah Islam dan Rencana Kerja Untuk Meningkatkan Dai dalam Draft Muktamar VI Menteri-Menteri Wakaf dan Urusan Islam di Jakarta pada tanggal 29 Oktober – 01 November 1997. 24 berpindah menuju kota yang hendak disampaikannya ajaran Islam. Di kota Yatsrib Rasulullah saw. telah membentuk suatu pemerintahan yang memiliki tentara, perwakilan diplomatik, peraturan-peraturan, serta dutsur dan majelis syura’. Dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. tidaklah menggunakan cara-cara kekerasan ataupun paksaan melainkan dengan halus dan mengutamakan kesantunan. Orientasi dakwah Rasulullah adalah untuk menyatukan ummat dari perpecahan dan memeluk agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Dengan demikian, setiap orang akan memperoleh kemerdekaan penuh untuk memeluk agama yang diinginkannya. Oleh karena itu, Allah SWT. berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah,2:256 : ☺ ⌧ ☺ ⌧ ¸ Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut 13 dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2:256) Rasulullah saw. selalu menganjurkan dakwah Islam dilakukan dengan jalan damai dan penuh toleransi sesama ummat manusia. Nampaknya, anjuran beliau kini sudah banyak yang telah melupakannya sehingga yang ada hanyalah egoisme kelompok dan tidak jarang kita menemukan aksi dakwah yang cenderung 13 Thagut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah. 25 provokatif dan mengadu domba. Sebagai ummat nabi Muhammad SAW. kita harus senantiasa menjaga dan melestarikan cara berdakwah yang dicontohkan nabi. Dakwah-dakwah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad saw. sangatlah dekat dengan ummat dan mengutamakan perdamaian sehingga Islam tumbuh di hati para pemeluknya sebagai agama yang ramah, damai, selamat, serta saling menghargai. Dakwah bil hal disebut juga sebagai dakwah dengan memberikan contoh suri tauladan (mau’idzoh) yang baik kepada masyarakat. Pada hakekatnya, dakwah bil hal merupakan pola singkat, tidak sulit dan mudah dilakukan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Pada prinsipnya dakwah bil hal adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh setiap dai. Karena dalam setiap menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat, seorang dai harus lebih dulu mengamalkan dan mencontohkannya kepada masyarakat yang didakwahinya. 14 Meminjam istilah Abdul Basith, dakwah bil hal juga merupakan kajian utama dari pengembangan masyarakat Islam. 15 Maka di perguruan tinggi Islam terdapat studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) pada fakultas dakwah dan komunikasi sebagai agenda pengembangan pola dakwah Islam dalam bentuk bil hal. Selain itu ia merupakan pola gerakan dakwah yang menonjolkan amal saleh. b. Dakwah Bil Qalam Pola gerakan dakwah Islam yang termuat dalam bentuk dakwah bil qolam memiliki kriteria yang berbeda dengan pola-pola lainnya. Pertama, dakwah bil 14 Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang Qur’ani, (Jakarta : Amzah press, 2001) 15 Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2006) cet.1, hal. 20 26 qolam tidak bisa dilakukan oleh semua kalangan. Hanya kalangan tertentu saja yang dapat melakukannya, seperti akademisi, guru, penulis buku, cendekiawan, ulama, serta orang-orang yang memiliki kemampuan dalam berbahasa tulisan. Karena caranya menggunakan tulisan, dakwah bil qolam pun tidak bisa didapat oleh semua kalangan, apalagi pada masyarakat pedesaan yang jauh dari perkembangan teknologi informasi. Pola gerakan dakwah bil qolam biasanya lebih banyak dilakukan pada masyarakat urban, di kota-kota besar dan pada masyarakat modern, yang sudah dimasuki perkembangan teknologi dan informasi. Bentuk dan jenisnya bisa bermacam-macam, antara lain ; buku, majalah, surat kabar, internet, dan semacamnya. Kedua, dakwah bil qolam tidak memiliki dampak ke semua lini. Hal ini disebabkan tidak lain adalah karena dakwah bil qolam lebih beredar dan dilakukan oleh masyarakat terbatas saja. Seperti pada masyarakat kota, perumahan, dan semacamnya. Dan, sebaliknya ia tidak beredar di masyarakat tradisional, pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh dari perkembangan teknologi informasi. Ketiga, pola ini memiliki struktur penerima (mad’u). Tidak semua masyarakat kota memiliki akses informasi yang cepat meskipun faktor teknologinya sangat mendukung. Hal ini bisa saja terjadi karena faktor kemauan dan kesadaran individu yang rendah untuk membaca dan menggali informasi. Dan, masyarakat kota semacam ini lebih suka mendengarkan dari pada membaca, seperti halnya masyarakat tradisional. Di zaman Rasulullah saw. dakwah dengan model seperti ini seringkali digunakan untuk mengajak para raja memeluk agama Islam diantaranya adalah 27 Kaisar Romawi Herkules, Qubaz kisro Persia dan Negus kaisar Etiopia. Itu artinya, Rasulullah saw. menggunakan pola dakwah seperti ini hanya untuk kalangan tertentu saja, tidak semua masyarakat diberikan dakwah dengan cara ini. Melalui cara demikian, Rasulullah saw. bisa berhasil meluluhkan hati para raja untuk memeluk agama Islam. 16 Meskipun sangat terasa dampak positifnya bagi masyarakat kota (red. modern), dakwah bil qolam justeru tidak memiliki tempat di masyarakat pedesaan (tradisional). Hal ini pulalah yang menjadikan perbedaan masyarakat kota dan masyarakat desa dalam berdakwah sehingga pada masyarakat desa cenderung memahami dakwah sebagai aktivitas ceramah tabligh, karena itulah dakwah bil qolam tidak memiliki pengaruh secara merata bagi semua kalangan. c. Dakwah Bil Lisan Dakwah bil lisan disebut juga sebagai dakwah bil qaul. Aktivitasnya yang selalu menggunakan komunikasi lisan, dakwah semacam ini sering kali ada di majelis taklim, masjid-masjid, khutbah hari raya, khutbah Jumat, dan semacamnya. Dakwah bil lisan ini merupakan pola yang sering digunakan untuk berdakwah di tengah kehidupan masyarakat. dakwah bil lisan memang bisa dilakukan di semua kalangan masyarakat. baik masyarakat kota maupun masyarakat desa, modern maupun tradisional. Akan tetapi, dakwah semacam ini pun tidak bisa dilakukan dengan sembarang bicara. Rasulullah saw. menyampaikannya dalam sebuah hadits shahih : 16 Prof. Muhamad Mustafa Atha’, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie Syukur, Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982) cet.1, h.138 28 ﺧﺎﻃﺒﻮا اﻟﻨﺎس ﻋﻠﻰ ﻗﺪر ﻋﻘﻮﳍﻢ “Ajaklah manusia berbicara sesuai dengan tingkat pemahamannya” Dari sabda Nabi Muhammad saw. tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu setiap masyarakat memiliki kadar pemahaman atas sesuatu. Hal ini akan berpengaruh pada pola dakwah Islam yang menggunakan metode ceramah. Maka dari itu, penyesuaian terhadap masyarakat (mad’u) sangatlah penting guna mencapai tujuan dakwah secara baik dan merata. Dalam kaitannya, Allah SWT. berfirman dalam Qur’an surat Ibrahim, : 4 : Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya 17 , supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (QS. Ibrahim, 14:4) Dari keterangan-keterangan Rasulullah saw. serta firman Allah SWT. di dalam Al-Qur’an memberitahukan kepada siapa saja yang melakukan dakwah Islam haruslah menyesuaikan dengan kemampuan si penerima dakwahnya (mad’u). Sehingga pencapaian dakwah dapat berjalan dan terlaksana sesuai dengan tujuannya. Pola gerakan dakwah Islam seperti ini telah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Dari mulai guru, politisi, pengusaha, akademisi dan juga profesional. Mereka semua menggunakan pola dakwah ini dalam keseharian dan aktivitas mereka. Melalui penyampaian lisan, seorang da’i dapat dengan langsung berdialog dengan para jamaahnya. Sehingga para jamaahnya pun dapat secara langsung menerima pesan dari da’i nya, dan jika ada sesuatu yang tidak dipahami 17 Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab itu bukanlah berarti bahwa A-Qur’an diperuntukkan bagi bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh ummat manusia. 29 mad’u, maka mad’u dapat dengan langsung bertanya kepada da’i nya. Pola ini banyak digunakan oleh para da’i dalam menyampaikan ajaran Islam. 3. Gerakan Dakwah Islam Klasik dan Islam Modern a. Gerakan Dakwah Islam Klasik Periode dakwah Islam klasik dimulai sejak abad ke-18 sampai abad ke-19. Pada waktu itu, pesantren merupakan pusat kegiatan dakwah yang sering digunakan sebagai media dakwah oleh masyarakat Islam. Selain sebagai pusat transformasi ilmu-ilmu agama, pesantren juga sebagai tempat dakwah dan musyawarah bagi masyarakat. Dari lingkungan terbatas di pesantren, orang dapat melihat perkembangan Islam di Indonesia dalam bentuk gerakan yang terorganisasi dan terlembagakan yang mendasari munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang lebih besar lagi di awal abad ke-20. Di akhir abad ke-19, gerakan-gerakan keagamaan yang lahir dari pesantren maupun dengan perkembangan literatur Islam, maka Islam Indonesia menjadi lebih baik dan berada pada tahap menuju kemurniannya, sebagaimana yang diajarkan oleh sumber-sumber doktrin yang asli. Gerakan dakwah Islam klasik tidak serta merta menempatkan pesantren sebagai pusat dakwah. Selain itu, kesenian dalam tradisi masyarakat jawa seperti wayang golek, syair-syair jawa, serta adat istiadat masyarakat Indonesia juga dijadikan sebagai media dakwah Islam pada saat itu. b. Gerakan Dakwah Islam Modern Seiring dengan pekembangan zaman dan pola pikir masyarakat muslim di abad ke-20 ini telah melahirkan suatu peradaban baru, zaman baru di dunia Islam yaitu pembaharuan Islam di Indonesia. Pembaharuan Islam di Indonesia ditandai 30 dengan kompleksitas literatur-literatur Islam yang tidak hanya mengkaji Islam dari sisi syariat dan ibadah saja tetapi juga teologi, filsafat, tasawuf, moralitas, dan lain-lainnya. Perkembangan Islam di abad ke-20 ini telah banyak melahirkan paradigma baru yang bekaitan dengan gerakan pemurnian agama atau yang disebut sebagai purifikasi Islam. Maka kemudian, cita-cita dakwah Islam pun harus mampu menjadi pelopor dalam rangka purifikasi Islam tersebut. Di Indonesia, gerakan dakwah Islam modern ditandai dengan agenda sosial politik yang oleh kalangan modernis diakui sebagai suatu jalan menuju masyarakat yang berkeadilan, sejahtera, pluralis, demokratis, rasionalis, inklusive dan toleran. 18 Ada tiga agenda penting dalam gerakan dakwah Islam modern, yaitu : 1. Membentuk Masyarakat Madani Prof. Dr. Azyumardi azra menyebut masyarakat madani atau “civil society” sebagai agenda penting pasca orde baru. Bahwa kondisi Islam saat ini tengah berada pada kemajuan juga sekaligus kemunduran. Masyarakat Islam di Indonesia hari ini mengalami kemajuan dalam hal berpikir, berperadaban dan berkemanusiaan tetapi sedang mengalami kemunduran pada sisi ekonomi, politik dan sosial. Setelah kurang lebih selama 32 tahun gerakan-gerakan Islam di Indonesia merasa terkunci dalam lubang kekuasaan orde baru, maka setelahnya Islam kembali muncul dengan berbagai macam bentuk wajahnya. Hal ini 18 1983). Amrullah, Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta, 31 disebabkan akibat dari tekanan penguasa orde baru terhadap gerakan-gerakan Islam. Dalam hal ini Prof. Dr. Azyumardi Azra menjelaskan : “The Soeharto new order regime at least in the period of 1970’s and 1980’s was not on good terms with muslims political forces in general. In fact, there was a lot of mutual suspicion and hostilities between the two sides, president Soeharto took very harsh measures against any expression of Islamic extremism. But at the same time, it is widely believed that certain military generals such as Ali Murtopo and Benny Murdani recruited ex DI/TII to form “Komando Jihad” (Jihad Command), conducting subversive activities, in order to discredit Islam and Muslims.” 19 (Rezim Orde Baru Soeharto di akhir masa 1970 dan 1980 secara umum telah berada pada kondisi kekuatan politik ummat Islam yang tidak baik. Sebenarnya terdapat banyak saling kecurigaan dan permusuhan diantara kedua pihak, Presiden Soeharto mengambil langkah keras melawan ekspresi Islam garis keras. Tetapi pada saat yang sama, Presiden Soeharto mempercayai penuh bahwa jenderal militer yang dapat dipercaya seperti Ali Murtopo dan Benny Murdani telah direkrut mantan DI/TII untuk membentuk Komando Jihad, melaksanakan aktivitas gerakan bawah tanah, dengan maksud mendiskreditkan Islam dan masyarakatnya.) Sangat terlihat tajam pada kekuasaan orde baru pada saat itu gerakan Islam yang kerap dianggap menghalau jalannya kekuasaan maka spontanitas dilakukan penghentian oleh kekuatan Soeharto. Jadi, aktivitas dakwah Islam pun menjadi rapuh dan tidak memiliki ruang bebas di hadapan publik. Konsep masyarakat madani tentu saja dekat dengan historikal intelektual dan sosial Eropa Barat. Wacana ini di Indonesia kemudian disebut sebagai masyarakat madani, yang menekankan pada penolakan terhadap segala jenis otoritarianisme dan totalitarianisme. 20 Pada era orde baru, di Indonesia memang dikenal sebagai era pengekangan terhadap gerakan-gerakan sosial politik 19 Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militant Movements In Indonesia, makalah Simposium Internasional, Institute Of Asian Culture Studies, Tokyo, 2005. 20 Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society; Pandangan Muslim di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002) 32 masyarakat yang dilakukan oleh penguasa. Dan tentu saja berpengaruh pada proses pembentukan masyarakat madani sebagai bagian dari upaya kalangan modernis untuk menunjukkan kearifan dan keragaman kerukunan beragama dan berbangsa di Indonesia ini. Pergumulan wacana civil society di Indonesia menjadikan masyarakat muslim sangat penting untuk dipertimbangkan, karena ia adalah salah satu kelompok agama mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, upaya pengembangan civil society di Indonesia tidak lepas dari peranan ummat Islam. Ummat Islam merupakan basis perubahan politik dan sosial di Indonesia, dan ia pun memiliki potensi sangat besar dalam menentukan format dan kehidupan politik di Indonesia. Apalagi melalui jalur lembaga-lembaga dakwah yang dianggap sebagai kendaraan pilihan masyarakat Indonesia dalam membentuk kesejahteraan masyarakat selain partai politik. Civil society merupakan agenda dakwah Islam dikarenakan untuk menekan angka kemajuan dan kesejahteraan masyarakat muslim khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini tidak lepas dari peranan para da’i sebagai bagian dari unsur pelaksanaan dakwah. Dengan memasukkan materi tersebut sebagai bahan informasi menuju masyarakat berkeadilan, sejahtera, pluralis, demokratis, rasionalis, dan sebagainya. Gerakan civil society yang terus diwacanakan ini telah menadapatkan perhatian banyak kalangan, diantaranya adalah Nucholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Amien Rais, Kuntowijoyo, Abdurrahman Wahid, Din Syamsuddin serta tokoh-tokoh lainnya. Lalu kemudian, mereka merumuskannya kembali dalam istilah masyarakat madani. Di awal tahun 1990-an, tokoh-tokoh tersebut terus 33 mengupayakan untuk menyebarkan visi dari masyarakat madani tersebut diantaranya adalah membentuk masyarakat muslim menjadi modern, rasional, cerdas. 2. Melembagakan kegiatan dakwah (Institutionalized) Bahwa dakwah yang dilakukan kalangan muslim abad 20 ini telah memasuki dinamika kehidupan yang kompleks dan syarat akan nilai-nilai agama dan budaya. Jika pada periode klasik pesantren dijadikan sebagai pusat kegiatan dakwah, maka hari ini dakwah Islam telah mendapatkan banyak tempat untuk mengembangkan dan menyebarluaskan aktivitasnya. Tidak hanya melalui pesantren tradisional saja tetapi juga pada pesantren-pesantren modern, atau bahkan pada lembaga-lembaga yang dengan sengaja dikhususkan sebagai pusat kegiatan dakwah Islam. Seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Majelis Tarjih Muhamadiyah, dan organisasi-organisasi lainnya yang memiliki visi-misi dakwah Islam. Selain dari pada itu, dakwah Islam kini tengah memasuki pada aspek kajian akademik. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya Fakultas Dakwah di berbagai perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta. Upaya untuk melembagakan kegiatan dakwah Islam merupakan aplikasi dari Al-Qur’an Surat Al-Mudatsir (74) ayat 1-7 : ☺ ☺ 34 Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah!. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”(QS. Al-Mudatsir, 74:1-7) Ayat tersebut di atas merupakan bekal dakwah Rasulullah saw. untuk yang pertama kalinya. Dakwah Rasulullah saw. pertama kali diawali dengan cara sembunyi-sembunyi kurang lebih selama tiga tahun. 21 Setelah itu, baru kemudian Rasulullah mendapat wahyu berikutnya untuk menjalankan dakwah Islam dengan terang-terangan : ☺ ☺ Artinya : “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr, 15:94) Perintah dakwah Islam tersebut selanjutnya diemban oleh Rasulullah saw. selama dua puluh tahun. 22 Oleh karena itu, dakwah Islam harus sudah berada pada tingkat profesionalitas. 23 Surat Al-Mudatsir dan surat Al-Hijr tersebut memberikan pesan bahwa dakwah Islam harus mengalami kemajuan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman. Mula-mula Allah memerintahkan dakwah kepada Nabi Muhammad saw. dengan sembunyi-sembunyi lalu kemudian memerintahkannya dengan terang-terangan. Artinya, bahwa kegiatan dakwah 21 Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayanuni, Al Madkhal Ila ‘Ilm Ad Da’wah, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1991), h. 76 22 Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2005), h. 34 23 Abdul Basith, M. Ag, Ibid., h. 33-54 35 dewasa ini akan lebih terarah dan tercapai tujuannya melalui lembaga dakwah yang terorganisasi. Dengan demikian, kegiatan dakwah di era modern ini akan lebih sempurna dan terencana jika ada lembaga yang secara konsisten mengarahkan dakwah Islam. 3. Transformasi Sosial (social transformation) Selanjutnya adalah dakwah Islam sebagai transformasi kehidupan sosial. Dakwah Islam memang tidak lepas dari perundingan sosial, dimana setiap gerakan yang digelontorkan akan membentuk suatu pola dan tatanan kehidupan masyarakat. Ini merupakan agenda khusus lembaga-lembaga dakwah dalam upayanya menjadikan masyarakat sejahtera, adil dan takwa kepada Allah SWT. Sisi lain dakwah sebagai transformasi sosial adalah dapat membentuk etika dan moral masyarakat menjadi baik dan saling menjadi tauladan. Di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa orang yang dipandang sebagai “public opinion” atau sebagai tokoh masyarakat. Seseorang yang dipandang berpengaruh di masyarakat memiliki potensi untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Maka, kebanyakan orang menyebutnya sebagai ustadz, kiyai atau yang lebih umum lagi adalah tokoh masyarakat. Dakwah sebagai transformasi nilai-nilai sosial dikarenakan materi dakwah sangat dekat dengan problematika umat dan bangsa. Proyeksi kemudian adalah terbentuknya pribadi muslim yang taat beragama dan selalu menjalankan perintah Allah SWT. melalui aktivitas dakwah inilah kemudian terpancar energi positif yang membentuk sifat, karakter dan kebiasaan masyarakat yang baik, dan akan saling menjadi bagian satu sama lainnya di masyarakat. Jika ini sudah terlaksana maka konsep “manusia bermanfaat” akan terasa di masyarakat. Hal ini memang 36 telah digariskan dalam khittah dakwah nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits yang menyatakan : ﺧﲑ اﻟﻨﺎس أﻧﻔﻌﻬﻢ ﻟﻠﻨﺎس “Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”. B. Islam Modern Dan Isu-Isunya 1. Pengertian Islam Modern dan Cita-citanya Kemunculan kaum modernis dalam Islam sebenarnya merujuk pada polarisasi model keberagamaan dalam Islam yang mengemuka pada pergantian abad ke-19. Islam modern ini berasal dari gerakan sosial-politik dan keagamaan yang diprakarsai oleh Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha di Mesir. Mereka melakukan modernisasi terhadap Islam disebabkan karena mereka ingin membebaskan ummat Islam dari penjajahan Barat 24 . Kemudian, untuk meneruskan cita-cita gerakan Jamaludin Al-Afghani, maka Abduh melakukan reformasi terhadap paham keagamaan yang telah dipraktikkan oleh sebagian besar masyarakat muslim. Sedangkan Rasyid Ridha yang juga sebagai murid dari Muhammad Abduh menjabarkan ide-ide kedua pendahulunya itu kedalam sesuatu yang lebih bersifat praktis. Seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sebagainya. Modernisasi yang telah dilakukan oleh al-Afghani, M. Abduh dan Rasyid Ridha tersebut sebenarnya bukanlah suatu gerakan baru. Dua nama besar yakni Taqiyuddin dan Ibn Taimiyyah juga telah melakukan reformasi Islam sebelumnya. Kedua tokoh ini telah merevisi paham keagamaan yang dipraktikkan 24 Nikkie. R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writing of Sayyid jamal ad-Din al-Afghani (Los Angles, University of California Press, 1983) 37 oleh sebagian besar masyarakat muslim pada masanya. Gerakan pembaharuan (tajdid) yang mereka lakukan itu terletak pada upaya mengevaluasi paham keagamaan yang ada dalam rangka menemukan titik-titik kelemahan, baik berupa penyimpangan, ketidaksesuaian serta pencampuradukan dengan unsur-unsur dari luar Islam, kemudian ditetapkannya sebagai bentuk islah agama yang berada pada garis yang benar. Berangkat dari pemikiran kedua tokoh tersebut, kritik dan sangkalan-sangkalan pun muncul sebagai gerakan purifikasi Islam. Gerakan ini dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Ia menilai kerangka modernisasi Islam yang dilakukan oleh kalangan tersebut di atas adalah bentuk penyimpanganpenyimpangan baru sepanjang sejarah Islam. Gerakan yang diprakarsai oleh Wahhab ini kemudian dikenal sebagai gerakan Wahhabiah, atau masyarakat Indonesia menyebutnya sebagai kaum Wahhabi. Abdul Wahhab menyerang praktik-praktik keagamaan popular seperti pemujaan terhadap guru-guru sufi, taqlid atau tawassul. Menurut gerakan dan konsep yang dibangunnya praktik keagamaan semacam itu telah melenceng dan patut dikatakan bid’ah, karena telah menyebabkan degradasi moral. Maka, pendapatnya menganjurkan kepada ummat Islam pada waktu itu untuk tidak tenggelam dalam suasana tahayyul dan khurafat. Gerakan yang dibawa oleh Abdul Wahhab ini telah mendapatkan dukungan politis dari penguasa Dariyah, Saudi Arabia yakni Muhammad ibn Saud. Maka, Abdul Wahhab menyebarkan gagasan-gagasannya dengan keras, bahkan keduanya tidak segan-segan mengerahkan kekuatan militer untuk melawan mereka yang dianggap musuh-musuh dakwahnya. Secara riil, gerakan dakwah yang dibawa oleh Abdul 38 Wahhab tersebut berhasil menguasai sebagian besar Jazirah Arab, bahkan gerakan ini telah menjadi aliran keagamaan yang resmi di kerajaan Arab Saudi 25 . Sementara, yang terjadi di Indonesia bahwa Islam modern tumbuh dan berkembang tidak jauh akibat dari pergulatan wacana Islam di Timur Tengah. Akan tetapi tidaklah sepenuhnya sama pemikiran Islam modern di Indonesia dengan para tokoh modernis di Timur tengah. Pada awal abad ke-19 khazanah Wahhabiah dan Ibnu Taimiyah telah memasuki Indonesia, dan akibat dari munculnya beberapa paham keagamaan modern ini, muncul pergolakan sosialpolitik di Indonesia. Hal tersebut didasarkan atas pemahaman masyarakat muslim di Indonesia yang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya. Sebagian masyarakat menilai bahwa Islam yang digariskan oleh pemikiran Wahhabiah dan Ibnu Taimiyah adalah bentuk pergeseran budaya bangsa serta arabisasi Islam di Indonesia. Sedangkan yang berbeda dengan kelompok tradisional tersebut memandang Islam modern Wahhabi dan Ibnu Taimiyah adalah bentuk pemurnian ajaran Islam dalam perihal ibadah, syari’ah dan muamalah. Di tengah semakin derasnya arus pemikiran Islam modern di kalangan intelektual muslim di Indonesia, melahirkan beberapa pandangan baru terhadap modernisasi Islam dengan tidak mengusik tradisi dan budaya bangsa. Salah satu contoh adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1912, Muhammadiyah, telah menggariskan secara komprehensif bahwa Islam modern pada prinsipnya memiliki cara beragama dengan mengutamakan akal, menentang taqlid, menganjurkan Ijtihad, kembali pada Qur’an dan Hadits, anti tahayyul, bid’ah dan khurafat. Ciri-ciri tersebut juga merupakan cara pandang Islam modern menurut 25 James P. Piscatori, Islam in the Political Process, (Cambridge: Cambridge University Press, 1989) 39 Muhammad Abduh, tetapi dalam perbandingannya kaum Muhammadiyah lebih senada dengan kaum Wahhabi ketimbang M. Abduh. Sebagai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia, Muhammadiyah memiliki Majlis Tarjih, yang secara khusus menangani persoalan keagamaan 26 . Selain sebagai paham keagamaan, istilah tradisionalis-modernis juga dipandang sebagai identitas budaya. Tentu saja ini merupakan dimensi nonkeagamaan, dan nampaknya lebih penting diperhitungkan dalam polarisasi tradisionalis-modernis 27 . Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia memulai aktivitasnya bukan pada sisi keagamaan, melainkan sosial, pendidikan, dan ekonomi. Hal ini telah dibuktikan dengan hasil karyanya seperti panti asuhan, sekolah-sekolah, rumah sakit, poliklinik, universitas dan koperasi masyarakat. 28 Munculnya paradigma Islam modern ini diukur dari keadaan ummat Islam yang pernah terjajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Apalagi bagi mereka yang pernah merasakan kejayaan Islam, maka akan merasa seperti diinjak-injak bahkan hilang harga dirinya karena ummat Islam tengah dijajah oleh bangsa Eropa. Islam modern yang dibangun atas dasar perkembangan, kemajuan dan peradaban manusia bukanlah suatu tujuan akhir dalam menciptakan masyarakat beragama, namun pada komposisinya, Islam modern mengajak masyarakat untuk berpikir maju dan mengamalkan ajaran-ajaran pokok Islam dalam kehidupan 26 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995) 27 Hendro Prasetyo, dkk. Islam dan Civil Society; pandangan muslim di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002) 28 Ibid., h. 44 40 sehari-hari. Fazlur Rahman berpendapat bahwa Islam modern merupakan sebuah tuntutan beragama dengan melibatkan unsur fikriyah sebagai interpretasi AlQur’an dan Hadits. Lebih lanjut ia mengatakan “Islam modern mengarah pada cara-cara berpikir baru pada umat Islam yang terbelakang (jumud) dengan merombak cara Islam diinterpretasikan” 29 Modernisme kini sudah menjadi sebuah paham dalam dimensi sosial yang mensyaratkan pada peranan akal yang dominan. Ini berarti mengharuskan cita-cita sosial kepada arah kemajuan dan peradaban baru. Adalah benar bahwa kemodernan memiliki kapasitas berpikir yang panjang dan luas. Oleh karenanya, karakter-karakter yang terbentuk pun tidak jauh dari rasionalitas akal pikiran seseorang atau cara berpikirnya. Berkaitan dengan hal ini, Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan karakteristik kemodernan, diantaranya adalah : - Rasional Ilmiah Dalam dimensi sosial, kehidupan masyarakat modern telah disandarkan pada cara berpikir dalam menilai dan menentukan sesuatu. Segala sesuatu harus disandarkan kepada ilmu dan dipertimbangkan melalui logika. Di era modern, masyarakat Islam harus mampu menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam maupun yang berkaitan dengan kehidupan sosial melalui nalar rasional-ilmiah. Pendapat-pendapat yang tidak dilandasi dengan cara berpikir ilmiah tidak akan dapat diterima oleh masyarakat modern. Islam pun senada dengan cara berpikir demikian. Karena pada dasarnya, Islam tidak menerima prinsip-prinsip mistisisme yang kerap dilakukan oleh paranormal dan Islam mengkategorikan tindakan ini sebagai tindakan kufur dan syirik yaitu menyekutukan kekuatan Allah SWT. 29 Mohamed Imran Mohamed Thaib, Fazlur Rahman: Perintis Tafsir Kontekstual, Makalah Diskusi Yayasan Mendaki. 41 Dengan demikian, karakter masyarakat Islam modern merubah pola pikirnya dengan mengedepankan rasional-ilmiah. Selain itu, Al-Qur’an juga mendeklarasikan peperangan melawan kejumudan dan taklid kepada nenek moyang, pembesar-pembesar kaum serta kepada masyarakat awam. 30 - Pembaruan (tajdid) Karakteristik kemodernan yang kedua adalah pembaruan (tajdid). Pembaruan ini merupakan bentuk kondisi masyarakat modern. Umumnya, masyarakat muslim modern selalu berpikir menatap ke arah masa depan. Mereka tidak tinggal diam menghadapi problematika baru dengan penyelesaian dari pendapat-pendapat lama yang cenderung membeku. Islam melarang adanya pembekuan dalam kehidupan, pemikiran, keilmuan, dan ijtihad. Dan sebaliknya, Islam menghendaki seseorang untuk terus mengupayakan adanya regenerasi dan perubahan-perubahan peradaban manusia, serta untuk melakukan ijtihad terkait dengan persoalan-persoalan baru yang dihadapi dalam kemodernan. Pembaruan yang dimaksud dalam modernisme Islam adalah pembaruan dalam hal cara berpikir masyarakat yang menyertakan pada prinsip rasionalilmiah, serta gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Lebih lanjut, Dr. Yusuf Qardhawi mengingatkan kepada masyarakat modern bahwa pembaruan bukan berarti memungkiri yang lama. “Ingat, bahwa pembaruan yang dimaksudkan tidak berarti menginterupsi hubungan dengan turats, dan mengingkari yang lama. Karena tidak semua yang lama adalah buruk, sebagaimana tidak semua yang baru adalah baik. Berapa banyak hal yang lama dan terus bermanfaat secara signifikan, dan membawa berkah secara melimpah. Dan berapa banyak hal yang baru tidak membuahkan kebaikan bahkan mengandung bahaya laten dan nyata. Permasalahan baru dan lama adalah relatif, yang 30 Dr. Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridlo, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2007) cet. 2 42 dianggap lama pada hari ini sebenarnya adalah baru pada waktu lalu, dan yang dianggap baru hari ini ia menjadi lama esok lusa. ” 31 Begitu pun dengan apa yang telah diprinsipkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) bahwa menjaga sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang benar adalah perbuatan terpuji 32 . Dengan demikian, prinsip pembaruan tidak akan mengacak-acak pendapat lama. Inilah yang kemudian dimaksud dengan pembaruan (tajdid). 2. Pengertian Isu dan Isu Islam Modern Sebelum lebih jauh membicarakan isu-isu Islam modern. terlebih dahulu kita memahami isu sebagai apa, dari siapa dan untuk siapa. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata isu memiliki arti “kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya” atau dalam arti lainnya adalah kabar angin, desasdesus. 33 Dalam konteks isu Islam modern, isu diistilahkan sebagai suatu fenomena problematika Islam yang menimpa masyarakat. Dengan demikian, isu merupakan fenomena masalah yang terjadi di permukaan masyarakat. Sifatnya belum dikatakan sebagai keputusan tetapi ia adalah pergeseran wacana. Isu datang dari persoalan masyarakat yang mengalami pergeseran wacana dari semula. Seperti Islam Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai Islam yang ramah, santun, bijaksana, arif dan toleran akan berubah menjadi keras, kasar, teroris disebabkan oleh aksi 31 radikal yang dilakukan oleh segelintir masyarakat yang Yusuf Qardhawi, Ibid., h. 169-170 32 Aceng Abdul Aziz, dkk., Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2006) 33 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) 43 mengatasnamakan Islam. Sehingga kemudian munculah isu Islam Indonesia tidak lagi seperti yang tergambarkan dahulu melainkan radikal, teroris. Dikarenakan sifatnya sebagai pergeseran wacana, maka isu dapat juga dijadikan sebagai momentum politik bagi sekelompok golongan yang hendak mencapai tujuan dan cita-citanya. Dengan demikian isu sangat rentan dengan wacana kajian dan dialog. Jadi, dakwah Islam mesti turut serta dalam menghadapi isu-isu Islam modern. berikut ini adalah isu-isu Islam modern yang melahirkan dialog dan literatur. Dengan demikian, dapat disederhanakan pengertian isu yang berarti gejala sosial yang menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Isu Islam modern adalah gejala-gejala sosial masyarakat yang menjadi fenomena agama dan berkembang menjadi pengetahuan. Isu Islam modern bagian dari pergeseran wacana klasik ke dalam wacana modern. Ada banyak macam isu-isu Islam modern, diantaranya adalah Isu pluralisme, liberalisme, sekularisme, hak asasi manusia, kesetaraan gender, krisis sosial, moral, spiritual, dan isu terorisme, radikalisme, fundamentalisme. 3. Isu Fundamentalisme, Radikalisme, Terorisme a. Fundamentalisme Pasca peristiwa pengeboman gedung World Trade Center (WTC), 11 September 2001 di Amerika Serikat, posisi umat Islam semakin tersudutkan lantaran diketahui bahwa pelaku pemboman tersebut adalah kelompok jaringan Al-Qaeda, yaitu kelompok Islam yang berbasis ideologi keras (ekstrem). Terlebih lagi, di Indonesia menyusul serangan-serangan teroris yang diketahui pelakunya adalah dari kalangan muslim. Semakin menguatkan dunia internasional bahwa 44 Islam memiliki doktrin membunuh, menyerang dan melakukan tindakan terorisme. Pada mulanya, kelompok Islam yang tergolong radikal ini memiliki konsep ideologi yang menekankan kepada ajaran berbakti kepada agama. Melalui pemahamannya terhadap Al-Qur’an dan Hadits ia tidak berusaha menjabarkan kandungan-kandungan ayat Al-Qur’an serta memberikannya tafsiran secara kontekstual dalam perilaku hidupnya, sehingga apa-apa yang tertulis di dalam teks Al-Qur’an dipandang sebagai keputusan mutlak dan tidak dapat boleh diberikan tempat untuk diadakan tafsir, pemaknaan secara kontekstual, dan semacamnya. Maka, dalam tindakan dan pengamalannya pun cenderung mutlak mengikuti teks Al-Qur’an tersebut. Seperti dalam Al-Qur’an : ☺ Artinya : “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah), ..........” (QS. Al-Baqarah,2:191) Ayat tersebut jika dipahami berdasarkan teksnya saja tanpa mengetahui asbabun nuzulnya, konteksnya dalam hal apa, jelas akan memberikan pengertian bahwa umat Islam diperintahkan membunuh serta mengusir mereka (musuh-musuh Islam) dengan cara kekerasan. Kemudian ayat lain yang mendasari pemahaman kelompok fundamentalis-radikal, yaitu Surat Al-Baqarah (2) ayat 120 : ☺ ⌧ 45 Artinya : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. AlBaqarah,2:120) Ayat tersebut kemudian dijadikan sebagai patokan oleh kaum fundamentalis sebagai legitimasi permusuhan Islam dan Yahudi serta Nashrani. Dalam hal ini William M. Watt mendefinisikan bahwa “fundamentalisme Islam adalah kelompok muslim yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh”.34 Sepertinya ada perbedaan pandangan diantara ulama-ulama modern dalam memberikan pengertian fundamentalisme Islam ini. Dalam kaitannya, Fazlur Rahman justeru tidak memiliki ketertarikan untuk menggunakan istilah fundamentalisme ini sebagai sebutan bagi kelompok muslim yang terbelakang, memiliki pemikiran jumud, baku. 35 Ia lebih memilih menggunakan istilah revivalis Islam. Revivalis ini diartikannya sebagai “kelompok muslim yang cenderung memiliki arah terhadap gerakan purifikasi Islam, ajarannya untuk mengembalikan persoalan kepada Al-Qur’an dan Hadits”. 36 Namun demikian, gerakan kaum fundamentalis cenderung konservative dan tidak mau menerima pendapat-pendapat hasil dari penafsiran terhadap Al- 34 William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), h. 3-4 35 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) 36 Ibid. 46 Qur’an yang disandarkan pada hermeneutika Al-Qur’an antar teks (inter-textual). Menurut Fazlur Rahman, Fundamentalis sejati adalah orang yang memiliki komitmen terhadap proyeksi rekonstruksi atau rethinking. 37 Pemikirannya yang baku terhadap satu pengertian menjadikan kelompok ini sebagai kelompok yang tidak memiliki sikap keberanian menelaah dan menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits dalam menentukan hukum. Prof. Dr. Azyumardi Azra mengkategorikan prinsip dasar fundamentalisme dalam agama sebagai berikut : 1. Oposisionalisme ; yaitu pemikiran yang mengharuskan perlawanan terhadap arus perubahan yang mengancam kemapanan ajaran agama. 2. Penolakan terhadap hermeneutika ; pada titik ini teks suci serta merta menjadi ruang yang kedap kritik. 3. Penentangan akan pluralisme sosial ; yaitu menghendaki agar masyarakat tidak boleh berbeda-beda dan diharuskan untuk seragam. 4. Pengingkaran terhadap perkembangan historis dan sosiologis umat manusia. 38 b. Radikalisme Di awal abad ke-20 hingga kini gerakan radikalisme Islam semakin menampakkan diri ke dalam arus perubahan modernisme, karenanya gerakan dakwah Islam harus mampu menjadi penyeimbang atas lahirnya gerakan-gerakan Islam yang memiliki sikap radikal dalam dakwahnya agar dakwah Islam tetap dalam pandangan santun dan bijaksana. 37 38 Fazlur Rahman, Ibid., h. 14 Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militants Movement in Indonesia, Makalah Simposium Internasional, CIU, Tokyo, 2005 47 Beberapa pengalaman telah mengukir sejarah Islam radikal yang kemudian dijadikan komoditas politik negara-negara yang berkepentingan dalam persoalan ini. Imam Khatami, seorang mantan Presiden Iran pernah mengkritik kelompok fundamentalis Islam di Iran yang dengan kaku mereka memahami prinsip-prinsip agama sebagai ramuan masa lalu. menurut Imam Khatami bahwa prinsip-prinsip agama telah terjadi sesuai dengan sosio-historis sendiri. Historissosiologis membentuk doktrin agama dengan menyesuaikan karakteristik konteks sosiologis yang melingkupinya. 39 Sedangkan kelompok fundamentalis tidak menyadari hal tersebut. Dalm orasinya, Imam Khatami mengatakan bahwa fundamentalisme itu terbagi menjadi dua macam, yaitu : - Ushuliyyah Mutharrifah (Fundamentalis yang berlebihan) Fundamentalis seperti ini memiliki kapasitas memahami teks yang berlebihan tidak disertai pemaknaan secara kontekstual. Aksi-aksi yang dilakukannya cenderung menggunakan prinsip “ketegasan tanpa batas” dan pada akhirnya melahirkan aksi kekerasan (radikal). - Ushuliyyah Mathlubah (Fundamentalis yang dikehendaki) Dalam hal ini Islam memberikan apresiasi terhadap fundamentalis yang mengupayakan masyarakat untuk kembali kepada ajaran Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika memberikan fatwa atau hendak menghasilkan produk hukum fikih, merujuk kepada sumber utama ajaran Islam (Al-Qur’an) adalah sesuatu yang dinilai baik dan memiliki keutamaan dalam berpendapat. 40 39 Imam Khatami, petikan wawancara Harian al-Fagr, Edisi Sabtu, 31 Maret 2007 40 Lih. Harian al-Fagr, Edisi Sabtu, 31 Maret 2007. 48 c. Terorisme Terorisme merupakan isu yang hangat diperbincangkan di masyarakat sekarang ini. Aksi-aksinya sungguh sangat meresahkan masyarakat. Terorisme merupakan sebuah paham yang berlebihan terhadap konsep Jihad di dalam Islam. Pada dasarnya pandangan terorisme ini bersumber dari sebuah racikan ideologi yang belebihan dalam memaknai konsep bejuang di jalan Allah SWT. Tindakan yang dilakukannya tersebut diyakini sebagai jalan jihad menuju ridha Allah SWT. Selain karena pemahamannya yang rigid terhadap teks kitab suci, kelompok teroris ini juga mendapatkan doktrin Jihad yang menurutnya dengan memerangi oang-orang kafir dengan cara-cara keras sekalipun 41 . Selain itu, kelompok teroris juga menghendaki adanya pembaharuan (renewal) 42 ajaran Islam yang menurutnya sudah melenceng jauh dari yang sebenarnya. Maka dengan demkian, mereka meyakini bahwa aksi-aksi yang dilakukannya adalah demi menegakkan ajaran Islam. Gerakan terorisme ini akan sangat mengganggu hubungan Islam dengan agama-agama lainnya lantaran belakangan ini mereka (kelompok teroris) menamakan diri sebagai aksi Jihad di jalan Allah SWT. dalam memerangi orangorang kafir. 4. Isu Pluralisme, Liberalisme, Sekularisme a. Pluralisme 41 Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militan Movements in Indonesia, makalah simposium internasional, IACS, Tokyo, 2005 42 Ibid., h. 5 49 Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang layaknya agamaagama lain. Ia tidak sekedar menghendaki kerukunan bagi umat Islam saja tetapi bagi semua makhluk di dunia ini. Dan, Islam juga membenci kekerasan dan kemunafikan. Tak ada jaminan yang lebih jelas untuk menghindari kedua hal buruk tersebut kecuali ajakan Al-Qur’an kepada ummat manusia untuk menghormati keyakinan-keyakinan agama di dunia ini. Keragaman yang terjadi di dunia ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh siapapun dan kapanpun serta dimanapun. Nabi Muhammad saw. telah menggariskan perbedaan sebagai rahmat Allah SWT. untuk makhluk hidup di bumi. Harold Coward dalam bukunya Pluralisme Tantangan Bagi AgamaAgama, menginventarisasi tantangan atas isu pluralisme keagamaan yang menghasilkan beberapa prinsip umum, diantaranya; pertama, pluralisme dapat dipahami dengan baik dan logis, jika dapat memahami al-Ahad berwujud dalam yang banyak. Hal ini memang bisa dimengerti bahwa Tuhan hanya Satu dan sama bagi semua agama. Maka hidup berdampingan dengan tanpa memperbandingkan secara timbal balik, masih dimungkinkan. Dan hambatan teologis dalam berbagai dialog keagamaan relatif tidak tampak. Kedua, adanya pengalaman bersama mengenal kualitas pengalaman agama partikular sebagai alat. Di sini dapat dimengerti bahwa agama sebagai alat kompetisi sehat, alat pengendali kehidupan manusia, dan sebagai alat untuk mencapai Tuhan yang sama. Dalam hal ini tentu juga harus diwaspadai soal kemungkinan munculnya faham relativisme 43 dan liberalisme beragama. Karena pada dasarnya, sejauh mana pun seorang pluralis 43 Menurut WJS. Poerwadarminta, Relative itu sesuatu yang dapat berubah-ubah dan tidak mutlak. 50 harus tetap bersandar pada satu agama yang diyakininya dengan penuh konsisten serta harus mampu bersikap bijaksana terhadap agama lain. 44 Menanggapi berbagai macam kondisi tersebut di atas bahwa keberagaman (pluralitas) sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Islam, maka kalangan agamawan pun turut bicara tentang pluralitas tersebut. Dan, kini ia menjadi isu dalam kajian Islam modern. Pluralitas adalah bentuk kemajemukan yang terdapat dalam kehidupan beragama dan tidak bisa dihindari. Namun, di satu sisi nilai pluralitas ini kerap menimbulkan konflik agama yang berkepanjangan. Ia juga bisa menjadikan suatu penganut agama menjadi radikal untuk mencegah nilai pluralitas ini. Dan, di sisi lain ada tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang harus menjaga nilai-nilai pluralitas ini menjadi karakter baik, saling menghormati dan saling menghargai. 45 Pada dasarnya pengertian pluralisme tidak berada pada satu kesepakatan umum yang menggariskan bahwa pluralisme sebagai suatu paham yang mengcover perbedaan menjadi persatuan dan persamaan. Namun diskursus kajian Islam tentang pluralisme telah mendapat perhatian banyak kalangan dan terutama pada dekade 1980-an. Tema ini juga telah menjadi isu bagi bangsa Indonesia yang memiliki kemajemukan. Bertolak dari pandangan bahwa Islam adalah agama fithrah, yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal, Islam juga dikenal sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. 46 44 Harold Coward, Pluralisme Tantangan bagi Agama-agama, terj. Basco Carvallo, (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 45 46 Ibid. Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) 51 Nurcholish Madjid (alm.) berpendapat bahwa cita-cita masyarakat Islam di Indonesia sejajar dengan cita-cita masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karenanya, ia meyakini pluralisme sebagai bagian penting dari pandangan hidup keberagamaan masyarakat Indonesia. 47 Kesadaran masyarakat Indonesia tentang keberadaan bangsanya yang sangat pluralistik, baik dari segi etnis, adat istiadat maupun agama membuat Islam di Indonesia menjawab realitas itu sebagai nilai positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Dalam hal ini Nucholish Madjid menyatakan : “Kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam disebut sebagai dukungan, karena Islam adalah agama yang pengalamannya dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme adalah unik dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih tampak jelas dan nyata pada berbagai masyarakat dunia: dimana agama Islam merupakan anutan mayoritas, agama-agama lain tidak mengalami kesulitan berarti; tapi sebaliknya di mana mayoritas bukan Islam dan kaum Muslim menjadi minoritas, mereka ini selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di Negara-negara demokratis Barat. Di sana sejauh ini umat Islam masih memperoleh kebebasan beragama yang menjadi hak mereka.” 48 Cita-cita Islam di Indonesia nampak terlihat mengarah kepada esensi pluralisme sebagai gambaran kemajemukan bangsa Indonesia. Terlebih lagi M. Syafi’i Anwar juga menegaskan bahwa universalitas Islam juga mengandung pengertian teologis, yaitu perkataan àl-Islam yang berarti “sikap pasrah kepada Tuhan.” Dengan pengertian tersebut Nucholish Madjid berpendapat semua 47 M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995). Cet. 1, h. 229 48 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). 52 agama yang benar pasti bersifat àl-Islam karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Syafi’i Anwar melanjutkan pandangannya jika tafsir àl-Islam seperti ini akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity). 49 Kedua konsep tersebut merupakan kelanjutan dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (the unity of God) atau lebih jelasnya adalah konsep Tauhid. Semua konsepsi kesatuan ini menjadikan Islam bersifat kosmopolit dan menjadi rahmat seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Posisi seperti ini menjadikan Islam sebagai penengah (al-wasith) dan saksi diantara sesama manusia. Sikap pluralisme yang ditunjukkan oleh Nurcholish Madjid ini merupakan bagian dari teologi inklusif yakni memberikan formulasi bahwa Islam itu merupakan agama terbuka (open religion) dan sebaliknya tidak menghendaki adanya penyempitan tafsir terhadap Islam sebagai agama yang diperuntukkan bagi umat manusia. Sebagai konsekuensi dari paham kemajemukan beragama ini, umat Islam di Indonesia harus menjadi mediator sekaligus moderator di tengah pluralitas agama-agama di Indonesia. Problem umat Islam di era moden ini adalah bagaimana menyikapi pemahaman pluralisme ini. Maka dengan demikian, hendaknya setiap para da’i memuatkan materi pluralisme pada aktivitas dakwahnya. Hal ini diperuntukkan agar masyarakat mampu memahami pluralisme dengan objektif mengingat pluralisme bagian dari isu-isu Islam modern. Dengan demikian, pluralisme merupakan topik terkini untuk dakwah dalam rangka membina masyarakat Islam agar terhindar dari hal-hal yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman dalam mengartikan pluralisme. 49 M. Syafi’i Anwar, Ibid. 53 Berbicara pluralisme sebagai isu atas Islam modern, juga memberikan pandangan khusus bagi kaum liberal. Masyarakat muslim Indonesia dihadapkan pada isu-isu agama yaitu Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme. Wacana tersebut telah menjadi diskursus kajian pada lembaga-lembaga Islam yang memiliki tajuk modernisme. Jika pluralisme telah menempatkan manusia sebagai satu kesatuan (unity of humanism), maka liberalisme hadir sebagai penyambung atas berkembangnya paham pluralisme. b. Liberalisme Liberalisme sejatinya ingin membebaskan pemikiran-pemikiran masyarakat tentang doktrin baku ulama-ulama terdahulu dengan tidak meninggalkan keabsahan pendapat para ulama terdahulu itu. Ia mencoba mengubah pola pikir masyarakat modern untuk terbuka luas dalam berijtihad. Pada dasarnya, isu Islam liberal ini menghendaki adanya kebangkitan kesadaran kaum muslimin, di mana umat Islam bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban manusia. Kebebasan dalam format liberalisme merupakan faktor utama dalam memberikan kemajuan bangsa dan negara. Dan, sebaliknya, hilangnya kebebasan berfikir berarti hilangnya kebebasan berijtihad dalam Islam. Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan dan ucapan. Oleh kelompok liberal prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk terbukanya Islam secara maknawi bukan secara harfi. Isu ini menjadi perdebatan hangat ketika tidak semua masyarakat menerimanya dengan lapang. Tidak jarang masyarakat Islam yang menolak paham liberalisme dalam Islam ini memboikot pemikiran-pemikiran 54 liberal dari dunia Islam. Menurut mereka yang kontradikitif terhadap isu liberalisme Islam ini adalah penistaan sekaligus dusta dalam agama Islam. Dalam kajian akademik, isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme memang tidak pernah mendapatkan kesepakatan umum terhadap pengertian maupun pemahamannya. Melalui Musyawarah Nasional (MUNAS) VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan pengertian yang membedakan antara pluralisme dengan pluralitas, yaitu pluralisme dipahami sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Sedangkan pluralitas memiliki pengertian bahwa “di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.” 50 c. Sekularisme Atas dasar larangan MUI tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme itu maka masyarakat Islam Indonesia secara umum menolak paham-paham tersebut sebagai bagian dari Islam. Terlepas dari pro-kontra, isu pluralisme, liberalisme, sekularisme tengah menjadi tantangan besar dakwah Islam modern hari ini. terlebih lagi jika isu tersebut sampai pada wacana sekularisme, yang mendapat tentangan lebih keras lagi dari kalangan umat Islam. MUI memberikan penjelasan mengenai sekularisme ini sebagai “suatu paham yang memisahkan urusan dunia dari agama, agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan 50 Draft Himpunan Fatwa MUI 55 pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial”. 51 Sekularisme menjadi perdebatan di kalangan umat Islam semenjak ada isu pemisahan urusan agama dan negara. Sejumlah ormas-ormas Islam di berbagai daerah pun menyiapkan diri untuk menghadang paham tersebut jika menyebarluas di daerah-daerah Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah isu sekularisme ini hanya sampai pada permukaan masyarakat kota saja tidak sampai ke pelosok nusantara. Bagi sebagian kalangan akademisi seperti Dawam Raharjo, Nurcholish Madjid yang menganggap sekularisme sebagai pembenahan sistem beragama 52 memang diperlukan adanya untuk menegaskan kepada umat Islam bahwa urusan ibadah syar’iyah tidak boleh dikaitkan dan dicampuradukan dengan urusan dunia atau negara. Namun oleh sebagaian lagi perjuangan Nurcholish dan teman-temannya itu dianggap sebagai provokasi untuk membalikan pikiran umat Islam tentang negara dan agama. Kini dakwah Islam dihadapkan pada tantangan isu tersebut. Selain diperlukan pendalaman pemahaman terhadap isu tersebut, lembaga dakwah Islam harus mampu menjadi penengah atas pro-kontra isu pluralisme, liberalisme, sekularisme di kalangan umat Islam. Prof. Dr. Din Syamsuddin memandang bahwa isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme hanya berpengaruh pada masyarakat kota atau modern saja 53 karena sikap dan perilaku kelompok pluralis, liberalis, sekularis tidak diterima oleh kalangan masyarakat muslim di pedesaan 51 Ibid. 52 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995) 53 Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010 56 atau tradisional. Dengan demikian, isu-isu tersebut menjadi tantangan bagi dakwah Islam yang berada di kota-kota besar dan di kalangan akademisi dan cendekiawan. 5. Isu HAM, Demokrasi, Kesetaraan Gender Kendatipun bukan merupakan hal yang baru dalam Islam, persoalan HAM, Demokrasi dan Gender terus mengalami perkembangan sehingga berbagai problematika baru bermunculan di tengah masyarakat modern. Sehingga dakwah Islam juga bertanggung jawab atas masalah-masalah kontemporer yang kian muncul di tengah kehidupan manusia. Secara sosiologis Islam modern merupakan konteks sekaligus determinasi sosiologis relevansi internalisasi dan pelembagaan prinsip-prinsip moral hak asasi manusia baik yang berpijak pada piagam HAM maupun yang merujuk pada tradisi Islam. Yang menjadi perhatian dakwah Islam atas permasalahan krusial HAM fundamental adalah hak-hak ekonomi, sosial, budaya, keterbelakangan pendidikan, gizi buruk, kelaparan, kemiskinan, pengangguran dan rendahnya apresiasi terhadap kemajemukan identitas (etnis, ideologi, agama). ini tentu saja akan menjadi peluang sekaligus tantangan besar bagi gerakan dakwah Islam. Dalam sejarah Islam isu HAM sebenarnya merujuk pada deklarasi hukukul insaniyah (hak-hak kemanusiaan) yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam dua kesempatan. Pertama, dalam Piagam Madinah yang merupakan tindakan politis untuk mengatur masyarakat Madinah pada dasarnya mengandung nilai-nilai perlindungan terhadap hak-hak masyarakat Madinah. Dari sisi ini kemudian dipahami bahwa Islam sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak-hak kemanusiaan. Kedua, khutbah Haji Wada’ 57 yang disampaikan Nabi Muhammad saw. pada tanggal 9 Dzulhijjah di Padang Arafah. Berikut petikan pidato Nabi saw. dalam peristiwa Haji Wada’ : “Wahai manusia! Dengarkan kata-kataku. Wahai manusia, harta dan darah kamu adalah tabu (haram) di antara kamu seperti haramnya hari ini di tempat kamu ini. Begitu sampai kamu bertemu dengan Tuhanmu, ketika Tuhan kamu meminta pertanggung jawaban kamu. Maka, hendaklah yang diberi amanat segera menyampaikan amanat itu.” 54 Dalam Islam, harta dan darah adalah hak dasar Hukukul Insaniyah (hak-hak kemanusiaan) yaitu sebagai hak hidup. Begitulah sekiranya Islam memandang hak kemanusiaan sebagai bagian dari prinsip hidup serta berujung pada penanaman nilai-nilai demokrasi. Selain itu, permasalahan gender merupakan bagian dari agenda Islam modern, yaitu mendudukan isu gender/perempuan sejajar dengan lai-laki. Ada hak-hak perempuan yang dirasakan tertutupi atau terhalang oleh laki-laki seperti kebebasan berkarya, kebebasan berek0spresi dan bekerja. Islam sangat menjunjung nilai-nilai kebebasan berkarya yang dilakukan oleh perempuan dengan syarat kewajiban-kewajibannya terhadap identitasnya sebagai perempuan tetap terpenuhi, seperti mengurus suami (bagi yang sudah bersuami), mengurus anak-anak, mengurus rumah tangga, serta selalu menampilkan dirinya sebagai perempuan. Dari sanalah telah dimengerti bahwa kewajiban dakwah Islam tidak hanya berpijak pada ajakan dan dorongan semata. Terlebih dari itu, kompleksitas permaslahan kaum modern sangat membutuhkan peranan dakwah Islam sebagai 54 Syu’bah Asa, HAM dalam Kajian Khutbah Haji Wada’, dalam Islam, HAM, Keindonesiaan; Refleksi dan Agenda Aksi Untuk Pendidikan Agama, (Jakarta: Ma’arif Institute, 2007) 58 bagian dari dinamika pergeseran pemikiran Islam modern. Isu HAM, Demokrasi dan kesetaraan gender memang tengah menjadi perbincangan akademik seperti halnya isu pluralisme, liberalsme, sekularisme. Namun, isu ini cukup dekat dengan masyarakat muslim, tidak saja di kalangan akademisi, profesi, masyarakat modern tetapi juga sampai pada masyarakat tradisional, pedesaan. Falsafah dasar HAM di dalam ajaran Islam berasal dari pemahaman terhadap tauhid. Tauhid mengajarkan kepada manusia bahwa yang memiliki kehidupan ini adalah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Makhluk-makhluk nya (manusia, tumbuhan, hewan, dll) adalah dari Allah Yang Maha Esa. Oleh karenanya keberadaan manusia adalah sejajar (egaliter) dan kemudian timbulah konsep persamaan hak dan kewajiban dasar sesama manusia lainnya. ☯ ⌧ ¸¸¸ Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya 55 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain 56 , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim...” (QS. AnNisa’,4:1) 55 maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan. 56 menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : as aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah. 59 ⌧ º Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hijr,49:13) Isu tentang HAM adalah bahwa setiap pemerintah demokrasi, agama harus memperhatikan sisi dalam dan sisi luar agama supaya tetap selaras dengan landasannya. Pada dasarnya, para masyarakat Islam pendukung HAM tidak bisa juga mengklaim atas monopoli keadilan dan kebenaran. Kendati demikian, masyarakat Islam karena sifat keislamannya harus benar-benar terlibat dalam perbincangan isu-isu yang diajukannya. Menjalankan HAM bukan saja menjamin terhadap karakter demokrasi suatu pemerintahan melainkan juga karakter keislamannya. Dalam konteks Islam modern, HAM, Demokrasi dan Gender adalah serangkaian isu yang menjadi latar belakang pemikiran masyarakat muslim modern. Dengannya masyarakat akan dapat memahami nilai-nilai kemanusiaan yang sudah semakin menipis dan individualis masyarakat kota. Selain itu, masyarakat Islam modern dikehendaki untuk mengimplementasikan demokrasi di tengah kehidupan yang begitu kompleks dan urban. Serta menjunjung tinggi konsep persamaan (egaliterianisme) antara perempuan dan laki-laki. 60 Dalam kaitannya, demokrasi juga bisa dijadikan sebagai pendidikan bagi warga negara, mengingat ini adalah upaya pendalaman tentang implementasi demokrasi di negara mayoritas muslim seperti Indonesia ini. Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra postulat yang berada di balik penerapan pendidikan demokrasi ini tidak diwariskan begitu saja oleh orang-orang terdahulu tetapi sebaliknya, harus diajarkan terlebih dahulu baik melalui institusi maupun perorangan. 57 Hal tersebut telah mendudukan isu demokrasi sebagai muatan materi dalam dakwah Islam dalam rangka mengajarkan pendidikan demokrasi bagi setiap warga negara muslim. Pada dasarnya Islam dan Demokrasi merupakan dua sistem politik yang berbeda. Memang, Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi tetapi Islam merupakan sistem politik self-sufficient. Hubungan keduanya bersifat mutually exclusive, yaitu saling berbarengan dalam menerapkan dua sistem yang berbeda tersebut. Islam sebagai sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi, dan demokrasi dalam pengertian negara-negara Barat sebagai sistem politik yang mengatur kedaulatan berada di tangan rakyat. 58 Begitu juga dengan isu kesetaraan gender. Pada dasarnya ini juga merupakan kelanjutan dari sistem penegakan HAM dan demokrasi. Di mana prinsip egaliterianisme dijunjung tinggi sebagai upaya pemecahan tafsir yang mendiskreditkan perempuan dalam masyarakat madani. Isu gender bukanlah hal baru di dunia Islam, ini pernah menghebohkan zaman nabi Musa as. ketika itu, 57 Azyumardi Azra, kata pengantar pada Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2005) Cet. 2 58 Dede Rosyada, dkk., HAM, Demokrasi dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2005) Cet. 2, h. 142 61 perempuan tidak boleh hidup lantaran dianggap sebagai penghancur kerajaan sekaligus tidak memiliki kegunaan dalam berperang. 59 Tentu saja jalan pikiran tersebut mengundang Islam untuk menjawab sekaligus menampik pola pikir jumud masyarakat pada saat itu. Islam secara tegas mendudukan posisi perempuan sejajar dengan laki-laki. ⌧ º Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hijr,49:13) Bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya dua makhluk Allah SWT. yang diciptakan untuk melengkapi kekurangan diantara keduanya. Lebih lanjut Allah SWT. dengan tegas menyatakan bahwa pembedaan keduanya adalah tingkat ketakwaannya terhadap Allah SWT. Menurut Mansour Fakih, analisa yang digunakan masyarakat Islam yang berpikiran partilineal ini diakibatkan karena memahami teks kitab suci yang hanya pada sisi literalnya saja. 60 Ketika analisa gender ditemukan pada ilmu-ilmu sosial 59 Muhamad Mustafa Atha’, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie Syukur, Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982) 60 Mansour Fakih, Kekerasan Gender dalam Pembangunan, (makalah halaqah P3M, Jakarta, 1996) 62 barulah terasa ada yang tidak beres, sehingga terkadang Islam mendapat kecaman dari dunia moden bahwa Islam sangat merendahkan kaum perempuan, Islam tidak adil dalam mendudukan perempuan, Islam menindas kaum perempuan dan berbagai macam tudingan lainnya yang ditujukan terhadap Islam. Di sini arti penting dakwah Islam dalam menghadapi konteks kemodernan. Padahal, Islam menggunakan nama perempuan (an-Nisa’) sebagai salah satu nama surat di dalam Al-Qur’an. Betapa itu menunjukkan bahwa Islam mendudukan perempuan kepada posisi yang sangat terhormat. Segala macam persoalan terdapat di dalam surat tersebut. Kesetaraan gender bagi kaum perempuan adalah kemerdekaan baginya yang selama ini dilegitimasikan kaum lelaki sebagai nomor dua. Persoalan ini akan beranggapan bahwa Islam yang mendudukan laki-laki sebagai imamnya perempuan jika dipahami sebatas literal saja akan membawa dampak historis dan ketakutan dunia modern terhadap Islam. Dimana perempuan kini telah berdiri sejajar dengan kaum laki-laki. Namun jika tidak dilakukan penafsiran yang relevan, Islam akan menjadi kandas dan dipandang masyarakat modern sebagai belenggu kaum perempuan. 6. Isu Krisis Spiritual, Moral dan Sosial Bangsa Gejala krisis kemanusiaan yang terjadi di dunia sejak paruh kedua abad kedua puluh merupakan pangkal dari kerusakan global yang bersifat akumulatif dalam bentuk krisis multidimensional, baik dari segi spiritual, moral dan sosial bangsa. Hal ini terjadi atas dasar perubahan iklim manusia yang semakin berpikir maju dan modern serta tidak dibendung dengan peningkatan pemahaman agama dan spiritualitas. 63 Selanjutnya, dakwah Islam akan bermuara pada pembentukan karakter masyarakat dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mengingat era modernisasi belakangan ini akan membawa dampak yang cukup krusial bagi perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Gejalagejala sosial yang terkena pengaruh arus modernisasi membentuk sikap dan watak masyarakat modern yang cenderung diperlakukan sebagai budak dari arus modernisasi tersebut. Paling tidak, dapat dikatakan bahwa arus modernisasi dalam kaitannya mempengaruhi krisis spiritual, moral dan sosial bangsa bisa dibuktikan dengan realitas empiris yang terjadi di masyarakat. Tidak saja positivisme yang dihasilkan dari arus modernisme tetapi juga di satu sisi ia membelenggu sebagian masyarakat modern yang terlalu jauh mengarungi kehidupan modern dan tidak disertai dengan nilai dan prinsip berbangsa dan bernegara. Seperti halnya kelakuan generasi muda yang terinfeksi virus modernisasi mengakibatkan tindakan-tindakan yang menjadi penyakit masyarakat, minum-minuman keras, berzinah, membunuh, dan lain-lain yang tidak mencirikan sikap dan watak kemanusiaannya. Dalam taraf tertentu, gejala demikian bahkan telah menjadi realitas yang konkrit dalam level kehidupan masyarakat seperti kriminalisasi, disorganisasi sosial, pengasingan, alienasi dan kesenjangan sosial lainnya. Di sini peranan dakwah Islam tidak hanya sebagai penolong melainkan ada kewajiban bagi lembaga dakwah beserta perangkat-perangkatnya untuk meniadakan pikiran-pikiran negatif yang ditimbulkan akibat derasnya arus modernisme. Gejala paradoks modernisasi dan antagonistik seperti tersebut di atas adalah akibat tidak disertainya mentalitas-spiritualitas serta pendalaman dan 64 peningkatan kualitas keberagamaan masyarakat dalam menghadapi modernisme. Seperti pada pembicaraan sebelumnya, bukan saja tindakan dan perilaku manusia yang bisa berubah bahkan pola pikir beragama pun menjadi sasaran arus modernisme. Tetapi, di sini tidaklah mencecar bagaimana modernisme menyebabkan gejolak paradoks-antagonistik modernisme tadi. Selain itu, ia juga merupakan suatu kemajuan besar yang ada dalam sejarah peradaban manusia. Hanya saja masyarakat yang harus lebih pintar memahami dan menyiasati perkembangan modernisasi yang tak terbendung lagi ini. hal ini pernah diramalkan sebelumnya oleh seorang pengamat sosial, Alvin Toffler, ia menyebutkan bahwa akibat dari derasnya arus modernisasi, masyarakat akan banyak yang berteriak histeris dan meminta dikembalikan kepada dunia yang sebenarnya, yaitu dunia yang dianggapnya sebagai teman ketika ia dilahirkan di bumi secara alamiah melalui rahim ibunya. 61 Meskipun tindakan-tindakan yang tergambarkan di atas menjalar dalam dinamika kehidupan sosial, ada nilai penting yang sedikit dilupakan oleh masyarakat modern yaitu Islam. Pada dasarnya Islam jauh-jauh hari sebelum Alvin Toffler meramalkannya, Islam sudah terlebih dahulu memberi peringatan kepada manusia tentang kehidupan manusia yang akan menjadi tipu dayanya. Pengalaman krisis moral yang terjadi pada masyarakat Indonesia ini memiliki dampak universal sebagai bangsa yang utuh. Moralitas manusia dalam berkehidupan bangsa sangat ditentukan oleh watak dan karakter individunya. Moral dengan agama adalah dua terminologi yang erat kaitannya dalam 61 Alvin Toffler, Future Shock, diakses di http://203.130.198.30//artikel/59929.shtml 65 membentuk watak dan perilaku. Islam mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku penganutnya. Jika umat Islam dewasa ini mengalami degradasi moral nampak terlihat jelas akibatnya yaitu dangkalnya pengetahuan agama yang diiringi derasnya pengaruh modernisme. Maka, dalam hal ini kondisi masyarakat Islam khususnya tengah berada pada ancaman degradasi moral yang mengakibatkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa. Problematika spiritual, moral dan sosial berakar pada lemahnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat. sederhananya adalah kebodohan merupakan penyebab terkikisnya nilai-nilai spiritual, moral, sosial. Maka dari itu, kandungan ajaran Islam sangat berpengaruh pada pembentukan karakter dan watak masyarakat. Merosotnya nilai spiritual, moral sosial bangsa adalah kepanjangan dari merosotnya nilai spiritual, moral, sosial yang ada pada masingmasing individunya. Kemudian terus menjalar dalam skala yang sangat besar dan menjadi genderang bagi bangsa. Islam memberikan perhatian lebih terhadap aspek kehidupan sosial masyarakat lantaran ia menghendaki adanya kesejahteraan dan kemakmuran umatnya. Hal tersebut dibentuk melalui penanaman nilai-nilai moral, akhlak, budi pekerti dan sikap sosial yang tinggi dalam kehidupan berbangsa yang dilakukan oleh masyarakatnya. Dalam hal ini Sayyid Qutub memberikan pandangan bahwa masa depan kejayaan dan kesejahteraan umat manusia ada di tangan Islam. Artinya, ia menyadari akan besarnya perhatian Islam terhadap kesejahteraan umatnya. 62 Apabila terbukti bahwa Islam yang sanggup menyelamatkan manusia daripada bahaya yang disebabkan oleh pengaruh kebudayaan materialisme yang 62 Sayyid Qutub, Masa Depan di Tangan Islam, (International Islamic Federation of Student Organization, 1981) 66 amat meluas, maka Islam dapat memberi manusia suatu sistem yang sesuai dengan kejadian dan keperluan hakikinya, serta dapat menyelaraskan langkahlangkah penciptaan kebendaannya dengan langkah-langkah kemuliaan rohaninya (spiritual). Dalam konsep tasawuf, manusia terbentuk dari dua prinsip yang berbeda, yaitu jasmani dan rohani. Oleh karenanya ia mempunyai dua dimensi kehidupan, dimensi samawi dan dimensi bumi. Dimensi kehidupan yang pertama bersifat kekal dan dimensi lainnya bersifat fana’. Secara umum pada masyarakat modern tidak adanya keseimbangan antara dua konsep tersebut dikarenakan ada kecenderungan untuk memilih titik ekstrem antara kedua konsep tersebut apakah titik lahiriyah ataukah spiritual. Sayyed Hossen Nasr dalam bukunya Sufi Essays menjelaskan soal kejumudan kemunduran umat Islam sesungguhnya tidak ditopang oleh kehidupan tasawuf (spiritualitas) 63 . Di Arab gerakan wahabisme yang menolak tasawuf dalam Islam ternyata membuat agama Islam tereduksi sampai tinggal doktrin fiqihnya saja yang mengalami kekeringan dan kaku sehingga tidak bisa menghadapi gempuran kebudayaan Barat. Melalui ajaran tasawuf yang bersifat metafisis dan ma’rifat, dimensi spiritual sangat dibutuhkan manusia yang sedang mencari Tuhannya. Era modern hari ini adalah era keabsahan kaca mata ilmiah dan apabila tidak diimbangi dengan kekayaan spiritual dan moral tentu akan menghilangkan mata hati manusia dalam melihat dunia yang bersifat sementara ini. Menurut Sayyed Nasr sesungguhnya solusi krisis spiritual ini adalah fithrah (perenial) manusia sebagai makhluk Allah SWT. Islam mengidentikkan 63 Sayyed Hossen Nasr, Suffi Essays, (Chicago: ABC International Group, 1999) 67 perenialisme dengan fithrah. Al-Qur’an menggunakan kata fithrah untuk menunjukkan nilai kemanusiaan yang berpangkal pada kejadian manusia yang suci. 64 64 Ibid. 67 BAB III SEKILAS TENTANG DIN SYAMSUDDIN A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan Dan Karir Syirajuddin Syamsuddin adalah nama lengkap dari Prof. Dr. Din Syamsuddin yang selama ini dikenal oleh banyak kalangan. Ia adalah cendekiawan muslim Indonesia yang sudah memberikan berbagai macam dakwah terhadap masyarakat Indonesia, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga sampai ke luar negeri. Prof. Dr. Din Syamsuddin lahir dari keluarga sederhana. Ia dilahirkan di Sumbawa Besar pada tanggal 31 Agustus 1958. Semasa kecilnya ia sudah menjadi sosok yang mandiri sehingga orangorang seusianya banyak yang menyeganinya. Di samping itu masa kecil Din juga dipandang sebagai anak yang cerdas dan pintar, di usianya yang ke-13 ia sudah hafal Qur’an 5 Juz. Selain mengenyam pendidikan formal di MI dan MTs NU Sumbawa Besar, Din juga belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah di tempatnya tinggal. Di sana ia belajar ilmu-ilmu agama sejak kecil. Setelah lulus dari pendidikan formalnya, ia melanjutkan pendidikannya di KMI (Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah) Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Di sana ia dikenal sebagai anak yang suka membaca buku. Pemikirannya tentang Islam telah muncul ketika ia duduk di kelas empat KMI Gontor. Ia sering berdiskusi dengan teman-temannya tentang Islam dalam literasi. Terkadang ia pun diskusi dengan seniornya yaitu Nurcholish Madjid, dan lain-lain sewaktu ia di Gontor. 1 1 Wawancara pribdai dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010 68 Setelah tamat dari Pondok Modern Gontor pada tahun 1975, Din melanjutkan pendidikan formalnya ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada saat itu kebanyakan alumni Pondok Modern Gontor lebih memilih IAIN Jakarta sebagai perguruan tinggi yang dipilihnya. Din pun memilih kuliah di IAIN Jakarta seperti kebanyakan para seniornya. Selama kuliah di IAIN ia pun tergolong sebagai mahasiswa berprestasi dan aktif dalam oganisasi. Setelah Din tamat dari IAIN Jakarta pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama tahun 1980, ia juga menempuh pendidikan S2 nya di University Of Califonia, Los Angles (UCLA) dan tamat pada tahun 1988 dengan konsentrasi studi Interdepartemental Programme in Islamic Studies. Setelah menamatkan S2 di UCLA, Amerika Serikat Din kembali ke Indonesia dan ia mengabdikan dirinya pada dunia gerakan Muhamadiyah. Ia sempat menjadi ketua DPP sementara Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM) pada tahun 1985. Keaktifannya di organisasi Muhamadiyah menjadikannya dikenal oleh kalangan petinggi-petinggi Muhamadiyah. Sampai kemudian ia menjadi ketua umum PP Pemuda Muhamadiyah pada tahun 1989-1993. 2 Lahir dari organisasi Muhamadiyah, Din menjadi aktif dalam gerakan dakwah dan tajdid (pembaharuan) Islam yang dibawa organisasi Muhamadiyah. Pemikiran-pemikirannya tentang dakwah Islam muncul melalui berbagai aktifitas kajian dan seminar-seminar tentang upaya pembaharuan Islam di Indonesia. Pada suatu kesempatan ia pernah berdiskusi dengan Nurcholish Madjid membicarakan proyeksi pembaharuan Islam di Indonesia. Sejak itu Din mulai dikenal sebagai 2 www.m-dinsyamsuddin.com, artikel diakses pada hari Sabtu, 23 Januari 2010 69 tokoh gerakan pembaharuan Islam dari kalangan Muhamadiyah. Seringkali ia diundang sebagai narasumber pada acara-acara seminar dan diskusi kalangan mahasiswa. Sampai kini, pemikiran Islamnya syarat dengan kemodernan. Dalam perjalanan karirnya di Muhamadiyah, Din mendapatkan prestasi yang cukup membanggakan Muhamadiyah. Ia secara khusus dipilih oleh Muhamadiyah untuk dibina menjadi icon Muhamadiyah di masa depan, dan sampai hari ini terbukti dengan kegigihannya berjuang ia menjadi icon di Muhamadiyah bahkan di Indonesia. 3 Sebelum ia menjadi wakil ketua PP Muhamadiyah, Din kembali ke UCLA, Amerika Serikat guna melanjutkan pendidikannya dan meraih gelar doktor. Dan, ia menamatkan pendidikan doktornya pada tahun 1996. Pada tahun 2000 barulah ia menjadi wakil ketua PP Muhamadiyah. Din terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dalam sidang 13 tim formatur di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, 7 Juli 2005. 4 Dalam pemilihan 13 orang Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebelumnya, ia meraih suara terbanyak. Din menggantikan Ahmad Syafi'i Ma'arif. Selain aktif pada organisasi Muhamadiyah, Din juga menduduki jabatanjabatan penting di berbagai organisasi dan juga pemerintahan. Ia pernah menjadi Dirjen Binapenta Departemen Tenaga Kerja RI, Ketua Litbang Golongan Karya, dan Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). 5 3 Wawancara Pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Januari 2010 4 www.m-dinsyamsuddin.com 5 Ibid. 70 B. Aktivitas Di Bidang Dakwah Bukanlah Din Syamsuddin jika kegiatannya lepas dari dakwah Islam. Din adalah seorang da’i yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang tidak diragukan lagi baik oleh kalangan cendekiawan, pedagang, petani maupun masyarakat umum. Din sebagai sosok da’i yang memiliki perhatian secara khusus dalam mengembangkan kegiatan dakwah. Di sela-sela kesibukannya sebagai ketua umum PP Muhamadiyah, Din adalah sosok da’i yang dekat dengan birokrasi (pemerintah) dan masyarakat. Baginya, dakwah Islam harus dilakukan kapanpun dan dimanapun, dengan dan oleh siapapun. Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim yang mengerti, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam. Pandangannya tentang dakwah Islam telah merubah paradigma masyarakat tentang aktivitas dakwah yang selalu dikaitkan dengan aktivitas mimbar. Dakwah adalah kegiatan menyeru kepada manusia untuk mengenal Allah SWT. jika manusia sudah mengenal Tuhannya maka dirinya akan memandang rendah dan pasrah dihadapan Tuhannya. Maka selanjutnya adalah ia akan mentaati apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan akan menjauhi apa-apa yang dilarangNya. 6 Din juga merupakan sosok pribadi muslim yang selalu mengedepankan nilai-nilai perdamaian. Ia sangat menyadari betul betapa pentingnya arti perdamaian bagi kemaslahatan kehidupan beragama. 7 Pemikirannya tentang 6 7 Wawancara pribadi Din Syamsuddin, “Banishing Violence from the World: Faiths and Cultures in Dialogue” Makalah International Meeting for Peace, Naples, 21-23 October 2007. 71 dakwah berpijak pada salah satu ayat Al-Qur’an yang sering dijadikan sebagai referensi dakwah oleh kebanyakan da’i, yaitu Qur’an Surat An-Nahl ayat 125. ☺ ☺ ¸¸¸ Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik... “ (QS. An-Nahl,16:125) Menurut Din, ayat tersebut telah memberikan garis dakwah melalui tiga bentuk, yaitu dengan cara bil hikmah, mau’idzoh hasanah dan mujadalah. 8 Yang semuanya merujuk pada satu sumber yaitu Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya, dakwah Islam kerap dijadikan sebagai doktrin pembangkit militansi kiri oleh sekelompok muslim yang memberikan pengertian dakwah sebagai proses Islamisasi. Dalam satu kesempatan wawancara, Din menjelaskan bahwa dakwah sebagai proses Islamisasi dan dakwah sebagai proses penyebaran Islam tentu memiliki perbedaan historikal, walaupun dalam praktiknya ada kesamaan. 9 Bagi kalangan muslim yang mengorientasikan dakwah sebagai proses Islamisasi tak ubahnya seperti Kristen menggelontorkan isu Kristenisasi, atau Barat dengan westernisasi-nya. Pola yang digunakan mereka adalah memberikan doktrin yang tidak sampai pada epistemologi. Tentu saja berbahaya bagi umat Islam yang diberikan doktrin Islam tetapi tidak sampai pada epistemologi Islam. 8 Ibid. 9 Wawancara pribadi 72 Maka, lebih banyak dari aktivitas dakwah seperti ini menceritakan bagaimana orang Islam mendapat nikmat surga dan orang non-Islam mendapat siksa neraka, lalu diceritakan lagi tentang siapa yang tidak melaksanakan shalat akan dimasukan ke dalam neraka, dan seterusnya. Walaupun memang ada unsur materi keislamannya namun tidak harus selalu dijadikan materi sepanjang hayat dakwah Islam. Bagi Din, bentuk Islamisasi tidak berbeda jauh dengan politisasi. 10 Karena yang digunakan oleh para da’i yang mementingkan kuantitas dari pada kualitas hanya memiliki kepentingan mengumpulkan angka-angka besar untuk ummat Islam. Sehingga terkabarkan pada dunia internasional bahwa penduduk Indonesia adalah mayoritas Islam. Tentu, tidak sekedar itu. Mendakwahkan Islam adalah bagaimana seorang da’i memberikan masyarakat tentang pemahaman Islam secara utuh. Baik dari segi Ibadah, Muamalah dan Syariah. Jika dakwah Islam dilakukan sebagai proses penyebaran ajaran Islam, maka Islam akan dipahami secara epistemologi. Umat Islam menjalankan ajaran Islam tidak sekedar mengamalkan ibadah mahdah-nya saja tetapi juga semua yang mengandung unsur kebaikan dalam Islam itu juga disebut sebagai ibadah. Betapa pentingnya Din memandang dakwah sebagai proses penyebaran ajaran Islam, karena ia melihat kehidupan masyarakat tradisional yang cenderung menjalankan Islam hanya sebatas ibadah mahdah saja seperti shalat, puasa, haji sedangkan yang ghaira mahdah-nya terkadang dilupakan. Sehingga ia tidak peduli dengan syariat Islam tentang pentingnya perdamaian, hidup rukun, saling menghormati dan saling menghargai. 10 Ibid. 73 Pandangan Din tentang dakwah tersebut melahirkan banyak gagasan bagi Islam di dunia, salah satunya adalah berbagai perundingan perdamaian agamaagama yang terjadi di sejumlah negara konflik seperti Irak, Afghanistan, Filipina, dan lain-lain. Din seringkali dijadikan sebagai narasumber pada acara-acara besar dunia Islam dalam memberikan pandangan Islam terhadap perdamaian dunia. Inilah yang kemudian menurut Din dakwah Islam modern dilakukan bisa menembus dunia 11 dan tidak dilakukan pada sisi kultural saja melainkan isu-isu dunia, isu-isu modern juga menjadi medan dakwah di abad 20 ini dan seterusnya. Sebagai pimpinan Muhammadiyah, yang juga sebagai lembaga dakwah, Din begitu aktif dalam berperan mengantarkan masyarakat Islam kepada kesejahteraan. Tidak hanya yang bersifat teori, Din juga berdakwah dengan cara memberikan tauladan Muhammadiyah sebagai lembaga dakwah memiliki beberapa perhatian tentang kemasyarakatan, seperti pendidikan wirausaha, Din membangun koperasi bagi masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan ekonomi masyarakat. juga di bidang pendidikan, Din Syamsuddin membuat sekolah-sekolah Islam Muhammadiyah di pelosok-pelosok nusantara, seperti di NTB, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya. Karena ia memahami dakwah tidak hanya sebagai aktifitas pengajian saja, maka Din sangat aktif dalam pembinaan pelajar dalam meraih ilmu sampai mengharuskannya memberikan beasiswa bagi pelajar-pelajar berprestasi. Aktivitas dakwah Din tidak hanya dilakukan di dalam negeri. Sampai hari ini ia aktif berkunjung ke luar negeri dengan membawa misi dakwah Islam. Seperti ia menjadi pembicara di Yale University, New Heaven, Connecticut, ia 11 Wawancara pribadi 74 selalu memberikan pesan dakwah dalam ceramah-ceramahnya di luar negeri. Salah satu pesan dakwah Din Syamsuddin saat ini adalah menyebarkan pemahaman teologi kemiskinan, dengan tujuan agar tercipta pandangan kitis dunia akan penanggulangan kemiskinan. Menurutnya selama ini prinsip ekonomi yang dianut oleh dunia adalah ekonomi yang tidak berkeadilan, lebih mengutamakan prinsip neoliberal, kapitalis. Saat ini ia dipercaya sebagai ketua Indonesia Commite on Religions for Peace (IComRP) juga sebagai Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC). Melalui aktifitas dakwahnya yang sampai ke luar negeri, membuat ia masuk dalam daftar 500 tokoh Islam berpengaruh di dunia versi The Royal Islamic Strategic Studies Jodania dengan peringkat ke-35. 12 1. Dakwah Bil Hal, Bil Lisan dan Bil Qaul Din Syamsuddin termasuk sebagai tokoh muslim yang mengemban tugas dakwah dengan cara memberikan suri tauladan kepada masyarakat muslim lainnya. Di antara kegiatan dakwah Din Syamsuddin yang termasuk kepada pola dakwah bil hal adalah sebagai berikut : - Mendirikan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) - Mendirikan Badan Amil Zakat - Mendirikan rumah sakit - Membangun koperasi - Mendirikan sarana pendidikan / sekolah / universitas Adapun dakwah Din Syamsuddin yang tergolong pada dakwah bil lisan adalah : 12 Ceramah ilmiah di Yale University, New Heaven, Connecticut. The Royal Islamic Strategic Studies, Jurnal Jordania 75 - Ceramah ilmiah di International Meeting for Peace, Naplez. - Ceramah ilmiah King Abdullah’s Initiative for Interfaith and Intercultural Dialogue, Saudi Arabia. - dan ceramah-ceramah lainnya baik tingkat lokal maupun internasional. 13 sedangkan yang termasuk pada dakwah bil qalam Din Syamsuddin adalah sebagai berikut : - Its Significance and Implications for International Relations, makalah seminar di Kerajaan Arab Saudi - Banishing Violence from the World: Faiths and Cultures in Dialogue, makalah International Meeting for Peace, Naplez. - Love, Religion, and World Poverty, makalah ceramah di Connecticut. - Prinsip Modernisme dalam Islam, makalah seminar di UMY, 2009. 2. Dakwah Kultural dan Struktural Din Syamsuddin juga terlibat aktif dalam kegiatan dakwah yang bersifat kultural, diantaranya adalah ceramah agama pada acara-acara halaqah, pengajianpengajian baik di kalangan masyarakat Muhamamdiyah maupun masyarakat umum. Selain itu, ia juga terlibat aktif mengemban misi dakwahnya melalui jalur struktural seperti melalui partai politik, diplomasi pemerintah serta sebagai duta negara-negara muslim dunia. 14 13 www.m-dinsyamsuddin.com 14 Biografi Politik, Satu Tahun Kebangkitan Nasional, (Jakarta, TP, 2008) 76 C. Pandangannya Terhadap Islam dan Kemodernan Din Syamsuddin dikenal sebagai tokoh Islam yang bercorak pemikiran modern. Disamping organisasi yang ia pimpin berlatar belakang sebagai wakil dari kaum modenis Islam, ia juga memiliki karakter sendiri dalam mengartikan Islam modern. Menurut Din, Islam modern bukanlah sebagai Islam baru. Istilah modern seringkali diidentikkan dengan sesuatu yang baru. Dalam Islam perlu dipahami modernisme sebagai kemajuan, dan tidak meninggalkan prinsip-prinsip hakiki. 15 Din Syamsuddin memahami Islam modern sebagai arah perjuangan menggulingkan sifat-sifat tradisional yang merasuk kepada ajaran Islam yang melahirkan bid’ah, khurafat, dan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran pokok Islam. Menurutnya, Islam harus dipahami sebagai sistem dan peraturan disamping sebagai kepercayaan terhadap Allah SWT. manakala zaman sudah berkolaborasi antara tradisi lokal, nilai (ajaran Islam), dan budaya modernisme bercampur menjadi satu tempat yang kemudian banyak melahirkan pemikiranpemikiran baru maka di situlah harus ada gerakan pembaruan (tajdid) yang mengajak manusia untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Din memberikan penjelasan bahwa kemodernan adalah bentuk kemajuan. Dimensinya sangat luas sehingga mencakup kepada aspek politik, ekonomi, sosial, agama dan budaya. 16 Namun, pada aspek agama kemodernan harus dipandang sebagai sesuatu yang positif. Adalah kejayaan dan kemenangan bagi Islam manakala masyaraktnya dapat besaing secara sehat di dalam era globalisasi 15 Wawancara pribadi 16 Ibid. 77 ini serta menjaga keyakinan dan keberagamaan setiap individu sesuai dengan ajaran Islam. Berkaitan dengan isu-isu Islam modern, Din hanya beranggapan bahwa semua itu merupakan produk berpikir masyarakat modern yang dipengaruhi oleh modernisasi agama. Din juga menekankan unsur relativisme dalam memberikan pengertian Islam modern. 17 Ia bukanlah tokoh muslim yang otoriter dalam berbicara. Din menghargai jika adanya perbedaan-perbedaan pandangan dalam memaknai Islam dan kemodernan. Sikap itu adalah bagian dari moderatisme seorang Din Syamsuddin. Dalam kesehariannya, Din selalu memberikan pelajaran penting tentang arti keislaman, baik untuk lingkungan organisasinya, keluarga dan bahkan masyarakat umum yang hendak berdiskusi dengannya. Ia sama sekali tidak mendudukan Islam modern sebagai penghapusan doktrin-doktrin yang sudah ada sebelumnya, apalagi jika sumbernya diketahui jelas berdasarkan AlQur’an dan Sunnah. Namun sikap kewaspadaan selalu harus dimiliki bagi setiap masyarakat modern mengingat kemajuan zaman telah menghimpit dunia menjadi sempit dan mudah dijangkau oleh siapapun dan kapanpun. 17 Relativisme yang dimaksud adalah ukuran tingkat keabsahan pendapat yang didasarkan atas pemahaman seseorang dan tidak bersifat mutlak 78 BAB IV GERAKAN DAKWAH ISLAM MODERN MENURUT DIN SYAMSUDDIN A. Gerakan Dakwah Islam Modern Menghadapi Isu-isu Aktual Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dakwah Islamiyah selalu menunjukkan adanya suatu dorongan, seruan, ajakan yang dimulai dari diri pendakwah yang kemudian disampaikan kepada orang lain melalui cara-cara yang telah diajarkan oleh Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa dakwah Islam tidak dapat dilakukan manakala yang mendakwahkannya itu tidaklah lebih dahulu mengamalkannya dalam kehidupan pribadinya. Dalam hal ini Al-Qur’an sendiri menyinggung atas apa-apa yang dikatakan oleh seseorang tetapi tidak dilakukan oleh sendirinya. º ¸ Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (AshShaff, 61 : 2-3) Tidak hanya akan merugikan bagi diri sendiri, tetapi Allah juga sangat membenci perilaku yang demikian itu. Nampak jelas ayat tersebut diatas mengisyaratkan jika materi-materi dakwah yang disampaikan tidak dilaksanakan oleh yang menyampaikannya kebencian Allah ada padanya. Seperti yang dikatakan oleh 79 Prof. Hasjmi (1974) bahwa para da’i harus terlebih dahulu meyakini dan mengamalkan ajaran Islam sebelum kemudian disampaikan kepada masyarakat. 1 Dengan demikian, akan terlihat baik jika dakwah dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab besar dari setiap unsur masyarakat Islam. Dakwah Islam memiliki sifat yang dinamis, ia merupakan kebutuhan masyarakat sesuai dengan zamannya. Pada zaman Rasulullah saw. dakwah Islam lebih bermuatan materi pengenalan terhadap Dzat Allah, ke-Maha Esaan Allah, ke-Maha Besaran Allah, Keagungan Allah, karena kondisi umat pada saat itu membutuhkan pengetahuan tauhid sehingga akan muncul dalam diri mereka yaitu keimanan kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw. 2 Memasuki era modern, dakwah Islam berada di tengah ancaman kebudayaan yang berpeluang meruntuhkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Maka dari itu, gerakan dakwah Islam diupayakan agar dapat berjalan dalam menghadapi isu-isu Islam modern yang hadir sebagai bagian dari pergerakan wacana keislaman. Persoalan yang muncul seperti adanya isu fundamentalisme, radikalisme, terorisme, pluralisme, liberalisme dan sekularisme merupakan serangkaian isu yang menjadi pilar kajian Islam di era modern ini. Dalam hal ini, Prof. Dr. Din Syamsuddin memandang isu 1 Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 281 2 Prof. Muhamad Mustafa, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie Syukur, Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982) 80 tersebut sebagai bagian dari tantangan dakwah Islam modern dalam pergerakan dan penyebarannya. 3 Oleh karena keadaan berpikir masyarakat modern yang cenderung mengedepankan rasional ilmiah 4 , memperbarui pemahaman agama 5 serta membebaskan cara akal berpikir 6 tentang suatu penyelesaian masalah, maka dakwah Islam harus menunjukkan kemampuannya sebagai materi yang bisa menjelaskan, merumuskan dan mengamalkan persoalan-persoalan kehidupan masyarakat modern. 1. Fundamentalisme, radikalisme dan terorisme Isu fundamentalisme, radikalisme dan terorisme adalah serangkaian pergerakan wacana keislaman yang bisa menjadi doktrin masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran Islam. Banyak macam dan ragamnya, diantaranya adalah ummat Islam menjadi lebih berani menafsirkan Al-Qur’an dengan kehendak sendirinya tanpa disertai keilmuan yang cukup dan pendapat para ahli terdahulu 7 , Selanjutnya, diperlukan adanya upaya pendefinisian ulang terhadap pengertian dakwah. Ia tidak sebatas amar ma’ruf nahi munkar. Dalam konteks kemodernan, dakwah Islam adalah pemersatu umat. Di sini, harus dipahami bahwa modernisasi yang oleh Din Syamsuddin dikategorikan sebagai agenda 3 Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010 4 Dr. Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridho, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2007) 5 Mohamed Imran Mohamed Thaib, Fazlur Rahman; perintis tafsir kontekstual, Makalah Diskusi Yayasan Mendaki 6 Leonard Binder, Islamic Liberal; A Critic of Development Ideologies, (Chicago: The University of Chicago Press, 1988) 7 M. Ali Taher Parasong, Dakwah ala Din Syamsuddin, catatan pribadi Ali Taher Parasong, belum diterbitkan. 81 pembaruan, yang dalam pengertiannya adalah berpindah dari pemikiranpemikiran baku, konservativ, rigid menuju ke alam pikiran yang modern, membangun, kritis, serta dapat merasionalisasikan apa-apa yang menjadi keyakinannya. 8 Tentu saja, Islam adalah agama yang rasional. Jika umat Islam abad modern ini tidak bisa merasionalisasikan keyakinannya terhadap Islam maka akan dianggap sebagai taklid al-a’ma. 9 Pendefinisian ulang terhadap gerakan dakwah Islam dimaksudkan untuk menyeragamkan pemahaman dakwah Islam di kalangan para aktivis dakwah. Jika kita kembali pada persoalan cara berpikir masyarakat modern yang juga ditentukan oleh rasional-ilmiah, maka konteks pemahaman dakwah Islam hendaknya disatukan dan dipadukan, yaitu sebagai tabligh, tatbiq, dan juga tandhim. 10 Tabligh berarti penyampaian, tatbiq berarti pengamalan dan tandzhim berarti pengelolaan. Dengan demikian, tabligh, tatbiq dan tandzhim menjadi rangkaian fomulasi yang memadukan pemahaman dakwah Islam sebagai penyampaian, pengamalan juga pengelolaan. Serangkaian isu-isu yang muncul sebagai wajah baru Islam juga harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi kelangsungan aktivitas gerakan dakwah Islam. Pertama, Isu fundamentalisme, radikalisme dan terorisme merupakan bagian penting dalam persoalan dakwah Islam hari ini. Din Syamsuddin dalam petikan wawancara penulis, ia menjelaskan bahwa “fundamentalisme, radikalisme dan terorisme lahir dengan membawa misi Islam 8 Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010 9 Din Syamsuddin, Prinsip Modenisme dalam Islam, makalah seminar UMY, 2009 10 Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) 82 orthodok. Cakupan-cakupannya akan selalu mengupayakan bahwa Islam terbebas dari kesombongan akal pikiran manusia, sehingga pada gilirannya isu-isu tersebut diyakini sebagai doktrin murni Islam yang satu-satunya dikehendaki Allah SWT”. 11 Pada dasarnya, Din Syamsuddin mengemukakan pendapat demikian karena ia menilai ada serangkaian agenda khusus dibalik bergulirnya isu tersebut. Seperti kita ketahui bahwa kelompok fundamentalis yang terus konsistensi dengan pemikirannya telah banyak memberikan pandangan kepada dunia bahwa gerakan radikalisme dan terorisme berpangkal pada doktrin pemikirannya. Tentu saja ini yang akan mengganggu jalannya gerakan dakwah Islam modern. Din Syamsuddin menilai serangkaian agenda tersebut tentu ada yang mengagendakan dan memiliki saluran kepentingan politik internasional. Peranan agama (dakwah Islam) menurutnya bagian penting untuk dapat menyelaraskan pemikiran-penikiran kaum fundamentalis yang terbakar dengan api doktrin jihad menyesatkan. 12 Terlepas dari pada muatan dakwahnya, bahwa radikalisme dan terorisme adalah aktivitas yang dilarang dalam Islam. Jadi, dakwah Islam modern hendaknya menjadi fasilitator bagi kaum fundamentalis yang telah mendapatkan doktrin radikal dan menghalalkan kekerasan. Medan dakwah sama halnya seperti medan perang. Jika musuh yang berhadapan dengan kita memakai persenjataan yang begitu lengkap dan modern, maka tidak mungkin dilawan dengan persenjataan yang masih tradisional. Begitu pun dengan dakwah Islam, pada masyarakat modern tentu materi dakwahnya pun 11 Wawancara Pribadi, 16 Februari 2010 12 Ibid. 83 harus disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya serta harus sesuai dengan yang dibutuhkannya. Dengan demikian dakwah Islam akan teratur dan tepat sasarannya. Karena dakwah Islam sebagai transformasi sosial jadi harus disesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat. Jangan sampai dakwah Islam bermuatan materi-materi yang sejak dulu tidak berubah-ubah, serta tidak mengenal kondisi dan kebutuhan masyarakatnya. Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (QS. Ibrahim, 14:4) Dalam tulisan singkatnya, Din syamsuddin juga menganjurkan kepada para pelaku dakwah untuk membawakan pesan agama dengan cara santun dan bijaksana. 13 Seperti pada ayat di bawah ini: ☺ ☺ ☺ ☺ “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16 : 125) 13 Din Syamsuddin, Its Significance and Implications for International Relations, Makalah pada King Abdullah’s Initiative for Interfaith and Intercultural Dialogue, Saudi Arabia, 2005 84 Lebih lanjut Din menjelaskan bahwa dakwah Islam dilakukan dengan cara-cara yang baik, yang mengedepankan prinsip kemanusiaan (humanisme). 14 Bagi mereka yang berpandangan bahwa dakwah Islam dengan jalan kekerasan (Jihad) adalah dibenarkan dalam Al-Qur’an sungguh sangat keliru, kemungkinan besar mereka memahami Al-Qur’an sebatas tekstual dan rigid. 15 Pada pembahasan bab-bab sebelumnya dikatakan kelompok radikal yang mengartikan Al-Qur’an secara skriptural semata dinamakan sebagai kelompok fundamentalis mutha’arrifah. 16 Pentingnya memahami Islam sebagai sistem nilai kehidupan menjadikan identitas moral muslim menjadi terangkat dan berada pada tingkat ketakwaan. Selanjutnya, nilai ketakwaan akan menjadikan seseorang menjadi mulia di mata Allah SWT. seperti dalam firman-Nya: Artinya : “sesungguhnya diantara kamu yang paling mulia di sisi Allah ialah yang bertakwa diantara kamu” (QS.Al-Hijr,49:13) Dengan demikian, dakwah Islam juga bertujuan untuk membina masyarakat agar benar-benar bertakwa kepada Allah SWT. 2. Pluralisme, liberalisme dan sekularisme 14 Ibid. 15 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) 16 Fundamentalis yang berlebihan, fundamentalis sepeti ini tidak menempatkan teks pada makna kontekstual. untuk lebih lengkapnya lihat Imam Khatami dalam petikan Pidato Kritik Presiden Iran terhadap Islam fundamental di Iran, Harian al-Fagr, edisi Sabtu, 31 Maret 2007 85 Kemudian, Isu Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme juga merupakan isu yang begitu menjadi perhatian masyarakat Islam. Dewasa ini, terdapat banyak lembaga-lembaga kajian Islam yang secara konsisten meng-kampanyekan pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Berbeda dengan pandangan Din, bahwa isu tersebut hanya menjadikan Islam sebagai agama yang bebas. Pada hakikatnya, menurut Din, pluralisme dibangun bukan atas landasan kesatuan yang dipaksakan. Banyak para tokoh Islam yang menempatkan pluralisme sebagai produk demokrasi dalam beragama. Jika Islam menetapkan pluralisme, liberalisme dan sekularisme sebagai sesuatu yang bersifat linear dengan kehendak tuhan, maka Islam akan menjadi agama yang tak berpintu, semua aliran akan masuk kedalamnya. 17 Dalam wawancaranya dengan hidayatullah.com, Din Syamsuddin juga mengatakan bahwa “liberalisasi dan sekularisasi merupakan sebuah paham yang merasuki ruh agama yang tidak menganggap kehidupan ini sebagai ujian dari Allah SWT. sehingga liberalisasi dan sekularisasi akan selalu berpangkal pada kebebasan berpikir dan menuhankan akal pikiran manusia”. 18 Dengan demikian, Din berpandangan bahwa sekularisasi dan liberalisasi adalah tantangan berat dakwah Islam modern. 3. HAM, demokrasi dan gender Selanjutnya, isu HAM, Demokrasi dan Gender juga bagian dari topik Islam modern. Bahwa Hak Asasi Manusia (HAM), Demokrasi dan Gender menjadi diskursus kajian Islam lantaran isu tersebut telah merasuk dalam 17 Wawancara Pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010 18 Hidayatullah.com, edisi 29 Agustus 2005 86 dinamika dakwah Islam modern. Isu HAM, demokrasi dan gender seringkali dijadikan legitimasi formal oleh kalangan modernis sebagai perekat hubungan manusia di seluruh alam raya ini. Tetapi, pada aspek religius isu tersebut kini tengah dijadikan proyek desakralisasi agama dalam pandangan penganutnya. Din Syamsuddin menegaskan bahwa isu HAM, demokrasi dan gender tengah menjadi tantangan berat dakwah Islam. Di beberapa kelompok Islam modernis isu ini tengah menjadi bahan kajian penting guna mereduksi pola pikir mereka agar terbebas dari eksploitasi doktrin ulama klasik (terdahulu). Sehingga mereka (kaum modernis) akan cenderung berpikir menggunakan akalnya sendiri dari pada melibatkan pendapat-pendapat para ulama/mujtahid terdahulu. Oleh karenanya, dalam petikan wawancara penulis, Din Syamsuddin menghimbau kepada umat Islam umumnya dan para aktivis dakwah khususnya untuk tetap meningkatkan pengetahuan agama sesuai dengan perkembangan zaman, agar suatu isu tidak dijadikan sebagai proyek penggelapan agama. 19 Di sini, ditegaskan bahwa dakwah Islam harus relevan dengan topik-topik yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Maka dakwah Islam akan terlihat rapi dan dapat terukur melalui evaluasi-evaluasi yang dilakukan da’i sebelum ia terjun ke masyarakat. Dalam menghadapi isu-isu pluralisme, liberalisme, sekularisme, HAM, Demokrasi, Gender, dan lain-lain. Dakwah Islam modern adalah upaya pencegahan bercampurnya pengaruh-pengaruh modernisasi yang mengakibatkan krisis sosial, moral dan spiritual masyarakat Islam. Oleh karenanya dibutuhkan ketekunan para da’i dalam mendalami materi dakwah yang 19 Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin 87 sesuai dengan kebutuhan masyarakat. sehingga dakwah tidak memberikan kesan “asal-asalan” dalam menyampaikan pesan agama kepada masyarakat. Problematika kontemporer yang menyebabkan beragamnya pandangan masyarakat atas masalah-masalah keagamaan semakin mengharuskan dakwah Islam untuk tampil dalam satu format yaitu membendung arus modernisme menjadi nilai kemajuan berpikir umat Islam. 20 Seyogyanya dakwah Islam memberikan perubahan bagi kemajuan berpikir umat Islam melalui pendalamannya terhadap isu-isu Islam modern. B. Gerakan Dakwah Islam Modern Sebagai Solusi Krisis Spiritual, Moral dan Sosial Bangsa Dalam peranannya sebagai gerakan sosial yang menyadarkan masyarakat akan pentingnya nilai moral dan spiritual dalam diri masing-masing, dakwah memberikan arti penting bagi pembentukan karakter manusia. 21 Dakwah Islam memuat persoalan moral manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. kesadaran dirinya sebagai manusia yang diberi tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, ia merupakan makhluk yang istimewa. Batasan tingkah laku manusia dalam kajian dakwah dapat dianalisa melalui interaksi, interelasi dan interkomunikasinya dengan manusia 22 , baik dalam kondisi perorangan maupun dalam kehidupan kelompok. Dengan memperhatikan aspek perilaku manusia yang menerima persuasi dakwah, akan dapat memperlihatkan suatu aktivitas dakwah Islam yang 20 Din Syamsuddin, Prinsip Modenisme dalam Islam, makalah seminar UMY, 2009 21 Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah dengan Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani, (Jakarta: Amzah, 2001) 22 Ibid. 88 urgensinya adalah membina akhlak masyarakat untuk menjaga stabilitas kenyamanan dalam kehidupan. Krisis yang terjadi selama ini melanda bangsa Indonesia disebabkan oleh keringnya mentalitas dan moralitas masyarakat, 23 sehingga ia tidak mampu menghadapi tantangan-tantangan global yang semakin mengujinya pada taraf kemanusiaan. Pendidikan moral bagi masyarakat Islam sangatlah diperlukan dalam proses kedewasaan beragama. Dalam petikan wawancara penulis, Din Syamsuddin menyatakan tiga hal penting yang dapat membendung arus modernisasi yang menyebabkan krisis moral di masyarakat. antara lain : pertama, hendaknya masyarakat memahami modernisasi sebagai bentuk kemajuan. Kemajuan berpikir, kemajuan bertindak, kemajuan pembangunan. Bukan dengan sebaliknya modernisasi diartikan sebagai westernisasi. Menerima dan menggunakan cara-cara kehidupan Barat, sehingga banyak kultur atau budaya bangsa yang tergadaikan dan tergantikan dengan kultur-kultur Barat. Tentu saja ini bukan dalam pengertian sebenarnya tentang modernisasi. Kedua, masyarakat Islam di Indonesia harus mengoptimalkan dan meningkatkan kualitas pengetahuan keagamaannya. Karena tidak menutup kemungkinan, menurut Din Syamsuddin masalah ini akan sedikit demi sedikit mengkikis ideologi masyarakat Islam dan perilaku kesehariannya. Sehingga wajar jika seringkali ditemukan aneka ragam cara hidup beragama yang terlalu jauh dari ajaran Islam. Ketiga, yaitu peranan lembaga dakwah Islam harus melibatkan semua unsur masyarakat untuk mengenal Islam secara murni, dengan tidak disertai 23 Wawancara pibadi denga Din Syamsuddin 89 fraksi-golongannya yang hanya ingin mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Lembaga dakwah dapat mengkoordinasikan secara terstruktur komunikasi masyarakat Islam dalam menjaga nilai-nilai moralitasnya.24 Krisis yang dihadapi umat Islam dewasa ini yang meliputi krisis spiritual, moral dan sosial adalah bagian dari pengaruh sistem dakwah Islam yang tidak terorganisir secara baik. 25 Dewasa ini, masih kita dapati cara dakwah yang cenderung provokatif, mengadu domba antargolongan, serta membawa isu-isu rasial. Padahal, yang demikian itu akan membuat masyarakat merasa dijadikan komoditas atas pelecehan agama. Karena ia hanya bicara agama kami adalah benar dan agama mereka adalah salah. Tentu persoalannya bukan itu. Ada nilai moral yang kemudian menjadi kekuatan kita dalam menjalankan ajaran agama Islam. Menghadapi problematika Islam kontemporer yang begitu kompleks dan terkadang mengakibatkan runtuhnya kekuatan spiritual membuat peranan dakwah Islam semakin diharapkan melakukan aksi yang mendukung pembenahan spiritual bagi masyarakat Islam. Di kota-kota besar yang masyarakatnya cenderung berpikiran maju, aktivitas mereka sering disibukkan dengan kegiatan-kegiatan dunia serta pekerjaan-pekerjaan yang setiap saat menuntutnya untuk menyediakan waktu banyak, sehingga pada gilirannya kebutuhan spiritualitas sering terlupakan dalam suasana yang dekat dengan keduniaan. Di sini, dakwah berperan sebagai penghilang dahaga spiritual masyarakat sebagai makhluk yang bertuhan. 24 25 Wawancara Pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Januari 2010 Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2005) 90 Pandangan semacam ini akan melahirkan sikap kesalehan sebagai manusia yang mengabdikan dirinya kepada Allah SWT. kekayaan spiritualitas masyarakat akan melahirkan kesalehan sosial, yang pada gilirannya akan tercipta suasana masyarakat yang saling memahami satu sama lainnya. Mereka akan saling melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada pada lingkungannya. Kesalehan sosial juga membentuk karakter bangsa yang kokoh dan terjaga dari perbuatanperbuatan yang keluar dari rambu-rambu syariat. Sehingga masyarakat akan menjunjung tinggi norma agama yang juga akan membantu setiap individu untuk menghindari perbuatan-perbuatan cela seperti korupsi, menipu, dzalim terhadap diri sendiri dan orang lain, menganiaya, dan penyakit masyarakat lainnya. Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah mengatakan bahwa “seorang mukmin senantiasa memiliki niat yang baik dan lurus di dalam setiap perilakunya. Dia tidak bekerja di dunia ini demi urusan dunia semata. Dia membangun di dunia demi akhirat.” 26 Petuahnya merupakan gambaran perilaku orang yang shaleh, bekerja di dunia demi membangun masa depannya di akhirat. Meskpiun demikian, Islam tidak melarang manusia untuk mencari kenikmatan dunia. Islam juga menganjurkan kepada manusia agar tetap mencari kebahagiaan di dunia. Firman Allah SWT. di dalam Al-Qur’an : ☺ ☯ Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi...” (QS. Al-Qashass,28:77) 26 Syaikh Abdul Qadir Jailani, al-Fathu Rabbani wal Faidhurrahmani, terj. Arief B. Iskandar, Percikan Cahaya Ilahi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005) h. 98 91 Berangkat dari kesalehan individu, setiap orang akan saling menjaga dan menebar kebaikan diantara sesamanya sehingga terciptalah kesalehan sosial yang pada akhirnya akan menghidupkan kondisi masyarakat yang bermoral dan bersosial tinggi. Dakwah Islam akan menjadi solusi atas krisis spiritual jika dilakukan dengan metode yang relevan dengan kebutuhan para jamaahnya. Peranan dakwah di sini, tidak sekedar sebagai transformasi sosial, lebih dari itu ia merupakan media pengantar manusia untuk bertemu dengan kekuatan immateri, sehingga muncul perasaan rendah, pasrah dan tunduk dihadapan tuhannya. Kondisi ini yang kemudian akan melahirkan semangat spiritual yang berpusat pada jiwa manusia. Dimulai dari dakwah Islam sebagai bagian dari media meraih semangat spiritual seseorang. Ketika semangat spiritual bersarang pada jiwa manusia, maka dirinya akan menyadari bahwa kehidupannya di dunia hanya untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi hari esok, yaitu kehidupan yang kekal di akhirat. Dakwah Islam harus mampu menjelaskan secara objektif bagaimana sisi-sisi kehidupan itu terjadi. Mentalitas muslim seperti ini tentu akan terlihat pandai dalam bergaul dengan masyarakat lainnya. Moralitas dan etika selalu dijadikan sebagai modal pergaulannya di masyarakat. Ia tidak menempatkan materi dunia sebagai modal pergaulan, melainkan budi pekerti dan akhlak mulia yang menjadikan seorang muslim bernilai di hadapan manusia lainnya, tanpa ia meninggikan kedudukannya sendiri. Jika moralitas sudah terbentuk dalam etika pergaulan masyarakat maka kebersahajaan sesama manusia akan mengindahkan kehidupannya setiap saat 27 . 27 Syaikh Abdul Qadir Jailani, Ibid. 92 Sikap hidup seperti tersebut di atas adalah bagian dari esensi dakwah Islam yang sebenarnya, ia mengutamakan moral, kemanusiaan, persaudaraan, persamaan, serta penghormatan sesama manusia lainnya. Tidak hanya sesama masyarakat yang satu agama tetapi semua agama bisa hidup rukun saling berdampingan dengan mengedepankan norma-norma agama. Begitulah bentuk dakwah Islam sebagai solusi krisis moral, spiritual dan sosial bangsa yang dewasa ini semakin menantang masyarakat Islam untuk menunjukkan bahwa Islam mampu mendamaikan bangsa indonesia dan keluar dari konflik yang mengatasnamakan agama. Kemanusiaan (humanisme), persamaan (egaliterianisme) dan keragaman (pluralisme) adalah bagian dari prinsip dakwah Islam. Sifat dakwah yang kolaboratif, progressif, dan visioner akan sangat membantu kehidupan berbangsa dan berbernegara dengan baik. Di mana setiap masyarakat merasa bahwa dirinya adalah bagian dari anggota masyarakat yang juga sekaligus mempengaruhi karakter bangsa yang didiaminya. Mentalitas yang terbentuk adalah satu dalam kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, seperti yang termaktub dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedikitnya ada lima jenis gerakan dakwah Islam berdasarkan kebutuhan masyarakat modern 28 : a. Dakwah Sosial Persoalan sosial yang berada dalam kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia merupakan aspek paling penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sepanjang tahun 2009, kita dapat merilis persoalan-persoalan yang 28 Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin, Jakarta, 16 Februari 2010 93 mempengaruhi dampak sosial, diantaranya adalah meluapnya ideologi radikal kelompok jaringan teroris di Indonesia, persoalan korupsi pemimpin-pemimpin negara, pelemahan institusi hukum, demokrasi, dan bencana alam yang sering melanda tanah air. Semua itu adalah masalah-masalah sosial yang berdampak jera terhadap kondisi masyarakat bangsa. Di sini, perlu ada serangkaian aktivitas dakwah yang membantu memulihkan persoalan-persoalan tersebut menjadi baik dan kembali pada asalnya. Mengakarnya ideologi radikal kelompok jaringan teroris disebabkan karena dangkalnya pemahaman agama yang menimbulkan kesalahan tafsir sehingga pada gilirannya mereka terprovokasi oleh orang-orang yang mengganggu kehidupan masyarakat dengan memberikan doktrin jihad kepada sasarannya untuk melakukan aksi-aksi teror yang ditujukan kepada kelompok non-muslim. Jika sudah terjadi tentu pandangan dunia pun miring kepada Islam. Padahal, mereka tidak tahu soal siapa yang melakukan aksi teror tersebut. Islam menjadi sasaran masyarakat pro perdamaian dunia sehingga dianggapnya sebagai pemicu doktrin radikal. Tentu persoalan ini harus mendapatkan perhatian dari gerakan dakwah Islam. Lembaga-lembaga dakwah harus bertanggung jawab atas ummat yang mengalami depresi akidah, ia harus berada pada posisi tengah dalam memperbaiki pemahaman-pemahaman radikal sehingga tidak akan mengganggu ketentraman kehidupan masyarakat. Selain itu juga masalah korupsi yang dilakukan para pemimpin bangsa ini mengakibatkan krisis kepercayaan publik terhadap pemimpinnya (umara). Bagaimana mungkin masyarakat mempercayai ‘umara yang dipilihnya jika kemudian mereka mengkhianati kepercayaan itu. Di sinilah kemudian dakwah 94 Islam memiliki peran dan tanggung jawab untuk meluruskan moralitas para pemimpin bangsa ini agar tetap menjalankan amanahnya sesuai dengan ajaran Islam. Pun dengan persoalan bencana alam, kita tidak boleh sepenuhnya menyerahkan persoalan ini atas dasar kehendak Tuhan. Manusia yang diberi amanah untuk menjaga keutuhan bumi juga bertanggung jawab atas segala yang terjadi di bumi. Akibat kurangnya kesadaran manusia sebagai khalifah fil ardh, menyebabkan ia melakukan tindakan eksploitasi bumi dengan tidak memperhatikan dampak-dampak lingkungan sosialnya 29 . Sehingga sering terjadi bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan lain-lainnya. Islam melarang perbuatan merusak bumi. ⌧ ¸¸¸ º ☺ Artinya: “......dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashass,28:77) Dengan demikian, persoalan yang menyangkut sosial masyarakat membutuhkan perhatian dakwah Islam untuk menjaga nilai-nilai agama Islam agar tidak runtuh bersama dengan keruntuhan sosial yang terjadi. Dakwah Islam memiliki peran penting dalam menghidupkan sosialisme di kalangan masyarakat. b. Dakwah keluarga Lingkungan keluarga juga rentan terjadi kerusakan sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat yang lebih besar. Keluarga merupakan bentuk masyarakat yang paling kecil dalam berbangsa. Dinamika kehidupan keluarga tidak selamanya mengalami keindahan dan keselarasan. Ada kalanya di 29 Lih. QS. Al-Baqarah,2:24-25 dan QS. Al-Baqarah,2:30 95 lingkungan keluarga mengalami pertikaian atau yag disebut dengan konflik keluarga. Beragam bentuk masalahnya seperti konflik suami isteri, pertengkaran anak terhadap orang tua, atau anak terhadap anak yang lainnya, serta masalahmasalah lainnya yang bisa menimbulkan konflik keluarga. Peranan agama sangatlah membantu dalam mengharmoniskan hubungan rumah tangga seseorang. Apalagi dalam Islam hubungan keluarga dikonsepsikan dengan “sakinah, mawaddah, rahmah” 30 . Keharmonisan dalam rumah tangga membentuk karakter keluarga menjadi bermoral, mulia dan terpandang. Nilai-nilai ajaran Islam menjaga prioritas hubungan kesejahteraan keluarga. Karena dari lingkungan keluarga seseorang akan memahami kehidupan masyarakat yang lebih luas. Atau dengan kata lain keluarga adalah cerminan kehidupan masyarakat. jika di masyarakatnya tergolong sebagai orang yang saleh maka di lingkungan keluarganya pun sudah sepatutnya menjadi baik dan shaleh. Firman Allah dalam Al-Qur’an: ☯ ☺ ° ⌧ Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ArRum,30:21) 30 Lih. QS. Ar-Rum,30:21 96 Dengan demikian, konsep Islam dalam keluarga sangat memberikan arti kedamaian, dengan kasih sayang, ketentraman, dan kesejahteraan dalam keluarga. Mengingat hal ini adalah pelajaran dini untuk berbaur dengan masyarakat lainnya. Dakwah Islam memiliki peranan penting dalam pembinaan keluarga sakinah, mawaddah warahmah. c. Dakwah ekonomi Persoalan ekonomi menjadi bagian vital dalam kehidupan masyarakat. ia tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga sebagai kekuatan ekonomi masyarakat dalam menjadikan dakwah Islam sebagai kekuatan Islam. Persoalan ekonomi yang timbul di masyarakat sangatlah beragam bentuknya. Di satu sisi ekonomi masyarakat tergolong cukup dan di sisi lain tergolong tidak cukup atau masih berada dalam hidup miskin. Kemiskinan adalah musuh bersama. Setiap agama tidak menghendaki ummatnya miskin. Karena kemiskinan bisa menjerumuskan seseorang kepada kekufuran. Untuk itu, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk mencari kenikmatan hidup serta memanfaatkan kekayaan alam bumi ini. hal ini demi terciptanya kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. tidak saja dalam kehidupan beragama melainkan juga dalam kehidupan bernegara, prinsip ekonomi menjadi vital dalam membangun kehidupan. Dengan demikian, dakwah Islam harus dapat menjadi pemicu masyarakat untuk bergeliat mencari kehidupan yang layak dan sejahtera lahir dan bathin. d. Dakwah pembangunan Dakwah pembangunan patut kita artikan sebagai proses implementasi dakwah Islam secara umum dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan ini memiliki 97 dampak yang sangat luas cakupannya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, peran dakwah Islam dapat membantu upaya pemerintah (ulil amri) untuk mensejahterakan masyarakatnya. 31 Implementasi dakwah Islam secara umum dapat diklasifikasikan dalam bidang pembangunan, hal ini mencakup berbagai macam aspek seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kelautan, pertanian dan lain-lain. Selain dari pada itu, dakwah Islam juga harus mampu menjadi bagian dari solusi atas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Inilah bentuk kemajuan dakwah Islam dalam implementasi pembangunan. Cita-cita tersebut harus terus diupayakan dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian, dakwah Islam menjadi mudah melihat dan mengukur kebutuhan masyarakatnya. Serta tidak monoton berbicara dalam lingkup yang sangat sempit. Adakalanya dakwah disampaikan dengan lisan dan adakalanya juga dakwah disampaikan dengan aksi atau perbuatan nyata 32 . e. Dakwah perempuan Yang terakhir adalah dakwah perempuan. Seperti halnya Al-Qur’an menggunakan nama perempuan (an-Nisa’) sebagai nama surat di dalam AlQur’an, dakwah Islam pun memiliki perhatian yang secara khusus menangani masalah perempuan. Disamping perempuan sebagai objek dakwah yang memiliki berbagai masalah kehidupan. Mulai dari kedudukannya di abad modern ini, yang sering dijadikan bahan diskusi di kalangan akademis. 31 Achmad Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Prima Duta, 1983) 32 Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2005) 98 Persoalan gender adalah persoalan yang mengangkat dan menurunkan martabat perempuan. Banyak silang pendapat masyarakat Islam tentang kedudukan perempuan atas laki-laki. Hal itu diakibatkan adanya perbedaan memahami ayat-ayat gender di dalam Al-Qur’an 33 . Pada dasarnya, kedudukan perempuan dalam Islam mendapat tempat penting dan pada level tertentu ia sebagai tiang negara. Persoalan gender memang krusial dan harus didudukkan dalam prospek dakwah modern. Jika masyarakat dibiarkan dalam kondisi ketidaktahuannya maka akan mengancam generasi perempuan masa depan nanti. Seyogyanya, dakwah Islam dapat menjadi perekat bagi masyarakat dalam memahami perempuan dalam Islam. Pada bab dua, dituliskan bahwa dalam memahami ayat-ayat gender di dalam Al-Qur’an harus melihat kontekstualnya, tidak sebatas teksnya saja. Karena dengan demikian akan terbuka pengertian yang sebenarnya yang dihasilkan melalui ilmu pengetahuan tafsir Al-Qur’an. Dalam hal ini Nasarudin Umar angkat bicara soal gender. Menurutnya persoalan kedudukan perempuan telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. tetapi kemudian Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada masyarakat akan kedudukan perempuan dan laki-laki yang keduanya adalah sama. Tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa “Islam mendudukan perempuan pada posisi sejajar dengan laki-laki. Berdasarkan penciptaan makhluk-makhluk Allah SWT. dengan bermacam-macam bentuk dan 33 Mansour Fakih, Kekerasan Gender dalam Pembangunan, (makalah halaqah P3M, Jakarta, 1996) 99 perbedaan, serta yang dapat membedakan keduanya hanyalah tingkat ketakwaan kepada Allah SWT. sebagai hamba yang mengabdi kepada-Nya” 34 . Dengan demikian, dakwah Islam harus mampu melakukan pendalaman materi dalam rangka menengahi perbedaan pendapat di kalangan masyarakat soal kedudukan perempuan. yang seharusnya ditonjolkan adalah bagaimana sikap masyarakat memahami perbedaan terseut bukan justeru menonjolkan silang pendapatnya yang berujung konflik internal umat Islam. Di sisi lain persoalan ini juga akan berdampak pada kondisi sosial perempuan. C. Format Ideal Gerakan Dakwah Islam Modern Menjawab persoalan-persoalan umat Islam di tengah modernisme ini dakwah Islam tetap berpijak pada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Karena keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam yang senantiasa memiliki relevansi terhadap dinamika kehidupan manusia sepanjang zaman dan sepanjang sejarah. Dakwah Islam di era modern ini tentu berbeda dengan dakwah yang dilakukan pada zaman Nabi Muhammad SAW. atau bahkan sebelum-sebelumnya. Konteks zaman sangat mempengaruhi gerakan dakwah. Di abad modern ini kondisi umat manusia secara perlahan ditentukan oleh kekuatan modernisme 35 . Sehingga pada saatnya nanti manusia tidak lagi mengenal siapa dirinya, untuk apa dan mengapa ia hidup di bumi. Tentu juga modernisme bukanah makhluk seperti monster yang kerap membuat orang takut dan berusaha bersembunyi agar terhindar dari kejahatannya. Tetapi modernisme adalah fase kehidupan dimana 34 35 Prof. Dr. Nasarudin Umar, Praktek Gender Pada Masa Nabi, Makalah seminar, 2008 Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2006) 100 manusia menemukan kemajuan-kemajuan yang dapat menimbulkan efek positif dan negatif 36 . Kondisi manusia tidak ditentukan oleh modernisme tetapi modernisme bisa mempengaruhi pola pikir dan perilaku manusia. Sedangkan manusia hidup ditentukan oleh dirinya sendiri. Kemana ia hendak berbuat, untuk apa dan mengapa. Semua jenis pertanyaan itu dapat dijawab melalui pola pemikirannya. Jika pola pikir manusia dapat terpengaruh akibat iklim modernisme maka seyogyanya perilaku hidup manusia akan bergantung pada kebiasaannya. Berbagai aktivitas yang biasa dilakukan manusia kini berangsur-angsur digantikan oleh kekuatan daya mesin yang dihasilkan dari kemajuam zaman tersebut. Dakwah Islam secara hakiki akan tetap berpangkal pada Al-Qur’an dan Hadits, namun pada aktivitasnya tentu ia harus berusaha mengimbangi peredaran arus modernisasi yang semakin mengancam kehidupan manusia. Tidak menutup kemungkinan, kondisi masyarakat modern akan lepas dari kultur agama jika tidak disertai dengan dakwah Islam sebagai penyeimbang tradisi agama dengan tradisi modern yang bercampur di dalam kehidupan manusia. Aktifitas dakwah Islam menunjukkan adanya semangat masyarakat Islam untuk tetap hidup sesuai dengan aturan norma-norma agama. Jika ia ada sebagai pendamping manusia maka kehadirannya juga sebagai penengah atas lahirnya gerakan-gerakan sosial modern. Sebagaimana peranannya, dakwah Islam adalah dinamika gerakan Islam untuk tetap mempertahankan keadaan masyarakat tetap berpangkal pada aturan-aturan agama. 36 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987) 101 Di sisi lain, aktifitas dakwah Islam bergeser menjadi kegiatan-kegiatan sampingan 37 , yang tidak memiliki porsi yang cukup diharapkan oleh kebanyakan masyarakat modern. Hal ini dibuktikan dengan adanya persaingan aktifitas manusia yang super sibuk sehingga sulit untuk menyediakan waktu guna membangun aktifitas dakwah Islam. Padahal, dakwah Islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim, di manapun dan kapanpun. Untuk mencapai efektifitas dakwah Islam di era modern ini diperlukan strategi khusus dalam mengembangkan dan mendawamkan aktifitasnya sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT. dakwah, dalam konteks Islam modern tersusun dalam beberapa cara, diantaranya adalah : 1. Dakwah bil qalam Dalam bahasa lainnya dakwah bil qalam berarti dakwah melalui tulisan, karya tulis baik di media massa, buku, majalah, internet atau menggunakan media lainnya yang tersedia di era modern ini. dakwah bil qalam ini adalah bagian dari pemanfaatan media teknologi modern yang sering dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya. Oleh karenanya, dakwah Islam harus memasuki dunia itu. Melalui tulisan-tulisan yang memuat agenda dakwah, para dai tidak dilibatkan langsung bertatap muka dengan para jamaahnya. Ia cukup menuangkan pikirannya melalui media tulisan yang kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Prof. Dr. Din Syamsuddin menilai dakwah bil qalam merupakan strategi untuk mengimbangi masyarakat yang tidak cukup banyak memiliki waktu 37 Abdul Basith, Wacana Dakwah Kontemporer 102 mendengarkan ceramah-ceramah agama 38 . Dengan tulisan-tulisan yang bermuatan dakwah Islam, masyarakat juga menyerap informasi-informasi keagamaan terkini dengan tulisan-tulisan yang disajikan oleh para dai tersebut. Dalam hal ini tulisan mempunyai dua fungi, pertama, sebagai alat komunikasi atau komunikasi ide yang produknya sebagai ilmu pengetahuan. Kedua, sebagai alat komunikasi ekspresi yang produknya berupa karya seni atau jurnalistik. 39 Akan tetapi, pada raealitasnya, yang juga sebagai tantangan berat dalam dakwah bil qalam ini yaitu persaingan yang cukup ketat dengan adanya media-media tulisan yang memuat budaya, ideologi, yang berasal dari luar. Isinya yang bersifat menghibur, menginformasi, dan menginspirasi bisa menjadikan media tulisan dakwah tersingkirkan dengan adanya hal itu. Maka dari itu, perlu ada pembedaan terhadap dakwah bil qalam yang selama ini digunakan oleh kalangan dai modern. Di sini, ditemukan persoalan yang menyebabkan ketidakefektifan dakwah tulisan yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Media dakwah berupa buku, jurnal, surat kabar, internet, dan lain-lain merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang hidup di abad modern ini. Ia sekedar media informasi yang bermuatan pikiran-pikiran penulis yang disuguhkan kepada pembaca. Lalu, posisi dakwah Islam tersudutkan lantaran isinya yang tetap pada gaya lama dan tidak menumbuhkan inspirasi bagi kehidupan modern. Sehingga wajar jika masyarakat masih rendah perhatiannya kepada isi dakwah yang demikian itu dan dianggapnya sebagai bagian dari ceramah agama yang biasa dilakukan. 38 39 Wawancara Pribadi Suf Kasman, Jurnalisme Universal; Menelusuri Prinsip-prinsip Dakwah bil Qalam dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2004), cet.1, h. 219 103 Ada persoalan krusial dalam dakwah bil qalam ini. ketika para da’i menuliskan pokok-pokok materi dakwah yang tidak memperhatikan bentuk tulisan dan isinya malah justeru akan membawa dampak yang tidak menarik perhatian publik. Seperti pada aktifitas shalat jumat, biasanya dakwah bil qalam pun turut menjadi bagian dari khutbah jumatnya sang khatib. Karena isinya yang terlalu monoton dan tidak berimbang, oleh sebagian masyarakat dianggapnya sebagai rutinitas lembaga dakwah semata yang mengeluarkan buletin setiap jumatnya. Tentu dakwah yang seperti ini tidak diharapkan oleh masyarakat modern. Persoalan dakwah dilakukan dengan tulisan itu tidak menjadi masalah. Dan bahkan sejak zaman Rasulullah pun hal itu sudah dilakukan. Seperti memberi surat kepada raja-raja untuk memeluk Islam 40 . Hal terpenting dari ini adalah bagaimana bahasa seorang dai dalam mengajak, mempersuasi jamaah agar dapat mengikuti apa yang disampaikan dalam isi pesannya itu. Bahasa memiliki nilai tersendiri bagi komunikasi manusia. Kenapa kita tidak belajar dari bahasa para jurnalis yang dengan indah mempersuasi, menginformasi dan mempengaruhi pembacanya sehingga setiap para pembacanya merasakan kenikmatan dalam menyantap informasi yang tertulis dalam tulisan atau buku itu. Pada dasarnya Al-Qur’an adalah contoh paling sempurna dalam menggunakan bahasa dakwah. Gaya bahasanya yang santun, puitis, tidak provokatif, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan membuat siapa yang membacanya menjadi tahu dan interested dengan isi tulisannya. Jika hal ini juga dilakukan dalam aktivitas dakwah tulisan, maka akan membawa dampak yang 40 Prof. Muhamad Mustafa Atha’, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie Syukur, Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982) 104 luar biasa. Kemudian, para da’i harus memperhatikan klasifikasi pembaca. Tidak semua kalangan mengerti dengan satu gaya bahasa. Masyarakat profesional, petani, buruh, mahasiswa tentu saja memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam memahami tulisan seseorang. Untuk itu, dakwah bil qalam harus disesuaikan pula jenis tulisannya, medan pembacanya, dan retorikanya. Din Syamsuddin bahkan mengakui betapa para dai dewasa ini harus mampu menulis karena manusia modern memiliki kegemaran terhadap informasi berupa tulisan. 41 2. Dakwah bil lisan Dakwah bil lisan ini merupakan dakwah yang sering banyak dilakukan oleh para da’i. Di samping sebagai kesempatan silaturahmi tatap muka, dakwah bil lisan juga memberikan kesempatan adanya dialog antara mad’u dengan dai. Klasifikasi dakwah bil lisan ini memiliki berbagai macam bentuk dan polanya, diantaranya adalah : metode diskusi, ceramah, seminar, dan debat 42 . Masyarakat modern yang hidup di kota-kota besar lebih sedikit menyediakan waktu untuk mendengarkan ceramah-ceramah agama secara langsung. Paling sedikit, mereka mendengarkannya melalui media teknologi modern seprti televisi, radio dan kaset-kaset dakwah. Sebagian kalangan seperti akademisi dan mahasiswa justeru lebih menyukai jenis dakwah yang disampaikan melalui lisan. Artinya ia lebih gemar melakukan diskusi, seminar, workshop pelatihan dan semacamnya guna membicarakan suatu pokok masalah. Melihat kondisi masyarakat modern yang memiliki keragaman pemahaman agama, budaya dan politik, membuat dakwah bil lisan ini melahirkan 41 42 Wawancara Pribadi dengan Din Syamsuddin. Toto Asmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1957) 105 ide-ide baru dalam penyampaiannya. Dakwah bil lisan juga terkadang dijadikan sebagai agenda provokasi, karena dakwah bil lisan memiliki gaya bahasa yang bebas dalam menyampaikan pesan agama kepada khalayak. Tetapi, tidak semua betuk bicara di depan masyarakat dikehendaki oleh Islam. Kita semua tahu bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan etika, sopan santun, dan tidak menghendaki adanya intimidasi kelompok/golongan dalam berdakwah. Artinya: “Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar)........” (QS. AlIsra’,17:53) Maka, dakwah bil lisan yang kerap digunakan sebagai media provokasi massa tidak dibenarkan adanya. Oleh karenanya, dalam berdakwah para da’i dituntut untuk berpikir objektif, protektif, kolaboratif dan persuasif. Prinsip-prinsip dakwah Islam yang mencirikan sebagai masyarakat Islam modern adalah : mendahulukan kepentingan umum (universal), mengedepankan nilai kemausiaan, membina persatuan dan kesatuan umat, meninggalkan bentuk provokasi, serta melakukan ijtihad sesuai dengan ajaran Islam 43 . Jadi dakwah Islam bil lisan harus dilakukan reformasi total yaitu dengan menanamkan prinsip-prinsip kemanusiaan, toleransi, akhlak mulia dan ketakwaan terhadap Allah SWT. 3. Dakwah bil hal 43 Wawancara pribadi dengan Din Syamsuddin 106 Dakwah bil hal merupakan keteladanan dari seorang seorang muslim yang dijadikan sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat. dakwah bil hal diorientasikan kepada kebutuhan masyarakat yang bersifat fisik. Seperti pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, pangan, dan sebagainya. Termasuk kedalam ruang dakwah bil hal. Sifatnya yang memberikan tauladan kepada masyarakat, dakwah bil hal juga merupakan metode yang menaruh perhatian besar kepada segala aspek kehidupan, seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan menjadi bentuk amal nyata bagi kehidupan masyarakat modern. Mengamati permasalahan yang terjadi di abad modern ini, dakwah bil hal sangat dinantikan aksinya oleh masyarakat. Mengingat kondisi masyarakat yang sedang dalam krisis multidimensional ini, peran serta dakwah bil hal menjadi penting posisinya. Menurut Din Syamsuddin dakwah bil hal kaitannya dengan kehidupan modern adalah serangkaian proses pembenahan dan pembaruan masyarakat Islam 44 . Seperti pada konflik-konflik sosial dunia, peperangan antaragama, suku, bangsa. Semua masalah tersebut dapat diatasi dengan dakwah yang dilakukan bil hal dalam bentuk tindakan nyata selain juga dengan materimateri lainnya. Dakwah Islam bil hal memiliki konsep yang tidak jauh dari bentuk advokasi atau pendampingan. Seperti yang dilakukan oleh beberapa lembaga dakwah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mereka melakukan upaya penanganan dan penanggulangan kemiskinan, pengobatan gratis bagi 44 Ibid. 107 masyarakat miskin, layanan puskesmas keliling serta pemberian beasiswa di bidang pendidikan. Itu adalah contoh kecil dari dakwah bil hal. Dalam kondisi masyarakat yang krisis kepercayaan kepada pemerintah (ulil amri), dakwah bil hal juga menjadi pemicu pulihnya psikologis masyarakat yang terkena dampak perkataan yang terkadang tidak sesuai dengan perbuatannya, seperti janji politik, janji kandidat legislatif dan semacamnya. Masyarakat akan mengalami trauma sehingga mereka tidak menaruh kepercayaan kepadanya untuk selanjutnya. Tentu saja itu bukan persoalan kecil. Terlihat sederhana namun akan membawa dampak yang cukup besar. Masyarakat akan berpikiran sempit dan tidak mau mendengarkan kata-kata ulil amri sebagai pemimpinnya. Maka, sebagai penyeimbangnya aktifitas dakwah Islam sangat memiliki partisipasi yang bagus dalam rangka menanggulangi krisis yang terjadi di masyarakat ini. Segala bentuk tauladan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dakwah yang terjadi dewasa ini dapat membantu kegiatan masyarakat modern yang masih hidup dalam arus kemiskinan. Dalam kapasitasnya, dakwah bil hal dapat diimplementasikan dalam perbuatan nyata. 45 Karena segala aksinya adalah tauladan bagi masyarakat. 4. Dakwah kultural dan struktural a. Dakwah Kultural Gerakan dakwah Islam lahir sebagai pelindung kehidupan sosial masyarakat dari ancaman kebudayaan yang telah sekian lama menelanjangi ajaran agama satu demi satu. Dalam konteks modern, gerakan dakwah kultural merupakan formulasi lama atau yang sudah baku. Sehingga pada masyarakat 45 M. Yunan Yusuf, Dakwah bil hal, (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, 2001), Vol. 3 No. 2 108 modern yang tinggal di kota-kota besar gerakan dakwah kultural tidak menjadi bagian penting dalam implementasi dakwah Islam secara umum. Secara historis, perjalanan dakwah kultural ini dimotori oleh ulama-ulama pesantren, yang dalam istilah pesantren kemudian disebut sebagai “pengajian”. Bentuknya sangat sederhana, dengan menghadirkan seorang ulama atau kiyai lalu berceramah di depan jamaah pengajiannya yang cenderung membentuk konsep talk-listen (yang bicara dan yang mendengar), sehingga sedikit sekali kesempatan bagi jamaah untuk bertanya jawab. Dakwah kultural dilakukan melalui konsepkonsep sosial, budaya seperti pengajian, pentas seni maupun aktivitas sosial lainnya. 46 Meskipun cara dakwah demikian itu dianggap baku oleh sebagian masyarakat modern, tetapi ia masih memiliki pengaruh yang cukup besar di tengah masyarakat, bahkan masyarakat modern pun ada sebagian darinya masih melestarikan cara-cara dakwah dengan menitikberatkan pada nilai kultural. Mengingat dakwah merupakan usaha peningkatan pemahaman keagamaan untuk mengubah pandangan hidup, sikap bathin dan perilaku umat yang tidak sesuai menjadi sesuai dengan aturan syariat untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, dakwah harus dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakatnya. Secara konvensional, dakwah Islam harus memenuhi unsur-unsur diantaranya adalah materi dakwah, mengetahui psikologis objek 46 1992) Anwar Masy’ari, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah, (Surabaya: Bina Ilmu, 109 dakwah, metode yang representatif, menggunakan bahasa yang bijaksana 47 dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Dakwah kultural adalah dakwah Islam dengan pendekatan kultural, yaitu dakwah yang memiliki sifat akomodatif terhadap nilai-nilai budaya tertentu secara inovatif dan kreatif dengan tidak menghilangkan aspek substansi keagamaannya. Kemudian, dakwah kultural juga menekankan pentingnya kearifan dalam memahami kebudayaan komunitas tertentu sebagai sasaran dakwah. Dengan demikian, dakwah kultural adalah dakwah yang bersifat buttom-up, dengan melakukan pemberdayaan kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai spesifik yang dimiliki oleh sasaran dakwah. Dalam melakukan dakwah kultural, para dai harus menawarkan pemikiran dan aplikasi syariat Islam yang kaffah dan kreatif. Materi-materi dakwah perlu disistematiskan dalam suatu rancangan silabus dakwah berdasarkan kecenderungan dan kebutuhan mad’u-nya 48 . Para dai yang menyampaikan dakwah melalui dakwah kultural, tidak boleh menghakimi dan memutuskan tentang keadaan yang sedang terjadi di masyarakat. Maka, dakwah kultural ini tidak semata-mata bermuatan materi fiqih centris saja tetapi juga dilengkapi dengan isu-isu aktual yang sifatnya informatif dan inspiratif bagi masyarakat. Pada sebagian masyarakat modern terutama yang tinggal di kota yang masih kental dengan budaya daerahnya, dakwah kultural adalah cara yang paling mendapatkan perhatian bagi masyarakatnya, masyarakat memilih dakwah kultural 47 Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang Qur’ani, (Jakarta : Amzah press, 2001) 48 Anwar Masy’ari, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1992) 110 sebagai jenis dakwah yang efekktif mengingat semakin meluasnya isu dakwah modern yang tidak berujung pada penyelesaian masalah. b. Dakwah Struktural Berbeda dengan dakwah kultural, dakwah struktural merupakan gerakan dakwah Islam yang bersifat top-down, yaitu menjadikan kekuasaan, birokrasi, politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam. 49 Dakwah struktural memiliki konsep yang bertitik pada politik dan kekuasaan. Salah satu contohnya adalah partai politik. Bagi sebagian masyarakat modern yang melakukan dakwah Islam melalui jalur politik. Ia mengaggap dengan jalan birokrasi seseorang bisa memperjuangkan Islam dan mengimplementasikannya kedalam tindakan nyata. Di parlemen, ada sejumlah tokoh muslim yang memiliki konsentrasi menyuarakan aspirasi masyarakat muslim, seperti adanya UU pornografi yang berkaitan erat dengan dakwah Islam. Dari sanalah mereka menggunakan cara kekuasaan atau politik sebagai jalan dakwah Islam. Dan, cara seperti ini memiliki efektifitas yang cukup mapan bagi kelangsungan kehidupan masyarakat, hanya saja efeknya tidak disadari oleh kebanyakan masyarakat. kemapanan dalam dakwah struktural tidak hanya dalam aspek kebijakan penguasa, ia juga berhak mengatur sistem masyarakat dalam suatu aturan yang berbentuk undang-undang. Dalam hal ini ditegaskan oleh Din Syamsuddin bahwa dakwah struktural adalah upaya melegitimasi agama sebagai bagian dari kekuasaan. 50 Dan ini positif guna mengakomodir aspirasi masyarakat 49 M. Noer, Dakwah Untuk Umat, makalah dalam workshop Program Studi Pendidikan Islam DEPAG RI, 2007 50 Din Syamsuddin, Tantangan Dakwah Masa Depan, Makalah Seminar satu Abad Muhammadiyah, UMS, 2009 111 Islam. Hanya saja, yang perlu diingat adalah jika kita hidup di negara layaknya Indonesia dengan beraneka ragam agama dan budaya, dakwah struktural tidak boleh melebihi batas etika politik. Ia harus tetap menyuarakan aspirasi kepentingan seluruh umat. Pada dasarnya, kedudukan dakwah struktural dan dakwah kultural harus seirama, keduanya akan saling membutuhkan. Keberadaan dakwah kultural memberikan penekanan kepada masyarakat secara langsung melalui aktifitas, mimbar, tulisan, dan tauladan. Sedangkan dakwah struktural mendorong kemaslahatan umat dari birokrasi atau kebijakan pemerintah dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Sinergitas keduanya akan dapat menjadi bagian penting yang akan dirasakan oleh masyarakat. Dengan begitu, dakwah Islam menjadi terencana dan tepat sasarannya. Bagi kalangan politisi, seperti Adhyaksa Dault dakwah struktural merupakan jembatan penghubung masyarakat dengan birokrasi, sehingga dalam aspek kehidupan berbangsa, masyarakat dapat menyampaikan keinginannya kepada ulil amri untuk mencari kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya. 51 Dakwah Islam modern adalah bentuk pembaruan cara memandang gerakan dakwah sebagai aktifitas Islam yang memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing. Mengingat kondisi masyarakat Islam dewasa ini semakin maju dan plural memahami Islam sebagai agama dan sebagai sistem politik. Maka, dibutuhkan cara pandang baru masyarakat dalam memahami dakwah sebagai 51 Bioghrafi Politik, Satu Tahun Kebangkitan Nasional, (Jakarta: TP, 2008) 112 pokok prinsipal dalam membangun kesejahteraan masyarakat atau yang oleh Azyumardi Azra disebut sebagai masyarakat madani 52 . Beberapa pandangan yang membedakan dakwah kultural dan dakwah struktural dalam gerakan modern terlihat pada platform yang dibawa oleh organisasinya. Pada partai politik yang dikatakan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan tidak selamanya berada pada garis struktural. Pada saat tertentu citacita dakwahnya terhalang oleh kepentingan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan mengorbankan platformnya sebagai partai yang membawa misi dakwah Islam. Memang, dalam partai politik terdapat tantangan-tantangan besar dalam membawa misi dakwahnya, begitu juga keberhasilannya dapat terukur dengan jelas melalui apa yang diperjuangkannya melalui birokrasi. Adapun dalam dakwah kultural dinamika politiknya tidak begitu mempengaruhi kondisi dakwah. Walaupun terkadang sebagian ormas Islam memiliki hubungan struktural dengan partai politik tetapi sebatas dalam kapasitas kepentingan tertentu saja dan tidak mempengaruhi misi dakwah Islamnya. Dalam pelaksanaannya, dakwah Islam tidaklah memisahkan semua aspek pelaksanaannya, baik meliputi unsur dakwah, metode serta pola-pola yang dilakukan. Hal ini juga dibenarkan oleh Syahrin Harahap bahwa dalam pelaksanaannya dakwah Islam mengalami kemajemukan otonom. 53 Kemajemukan yang terjadi dalam dakwah Islam merupakan hubungan yang bersifat sistemik, yang masing-masing unsur merupakan bagian yang tak 52 Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militant Movements In Indonesia, makalah Simposium Internasional, Institute Of Asian Culture Studies, Tokyo, 2005 53 Syahin Harahap, Islam; Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999) 113 terpisahkan dari sistem. Atau juga bersifat simbiotik, yaitu masing-masing saling memerlukan. Dakwah kultural, dakwah struktural, dakwah bil lisan, dakwah bil hal, dakwah bil qalam semuanya akan saling bergantung satu sama lainnya. Terlebih lagi dalam menghadapi masyarakat modern yang majemuk ini. Pada bab II, dijelaskan bahwa agenda penting gerakan dakwah Islam modern ini meliputi pembentukan masyarakat madani (gerakan civil society), melembagakan kegiatan dakwah (institutionalized) dan transfomasi nilai-nilai sosial. Ketiga rumusan tersebut adalah bentuk pencapaian gerakan dakwah Islam. Dengan demikian, gerakan dakwah Islam mampu menghadapi berbagai macam tantangan apapun. Dinamisasi pengalaman dan ilmu pengetahuan akan membantu gerakan dakwah yang substansif dan bersifat memperdayakan masyarakat dalam kondisinya. Sepanjang yang dapat diamati oleh kebanyakan orang bahwa salah satu problematika masyarakat modern adalah masalah kemiskinan. Untuk itu, Din Syamsuddin berpendapat bahwa gerakan dakwah Islam harus mampu menjabarkan teologi kemiskinan,54 yang memiliki intrik untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam teologi kemiskinan ini Islam memiliki konsep etos kerja. Melalui peningkatan etos kerja yang dilakukan oleh setiap muslim, maka akan tercapai pencapaian kebutuhan ekonomi guna menunjang kehidupan masyarakat. Selain itu, Allah SWT. menjanjikan dengan tegas bagi siapa yang bekerja keras akan dibalas-Nya sesuatu yang membuat dia bahagia. Berikut Firman Allah SWT. 54 Din Syamsuddin, Tantangan Dakwah Masa Depan, makalah seminar satu abad Muhamamdiyah, UMS, 2009 114 Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut,29:69) Kita harus memahami keja keras sebagai bagian dari jihad seseoang dalam mencari kehidupan. Dengan mengacu kepada teologi kemiskinan, etos kerja keras merupakan salah satu acuan untuk membeantas kemiskinan yang ada pada masyarakat. 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Gerakan dakwah Islam dalam menghadapi isu-isu Islam modern harus dilakukan secara terpadu dan tepat sasaran. Serta harus menggunakan prinsip tabligh (menyampaikan), tatbiq (mengamalkan) dan tandzhim (mengelola). Isu yang berkembang dalam khazanah Islam dewasa ini harus menjadi muatan materi dakwah Islam masa kini. Oleh karenanya, ketiga pinsip tersebut hendaknya menjadi pilar dalam dakwah di era modern. 2. Gerakan dakwah Islam modern sebagai solusi terhadap krisis spiritual, sosial dan moral bangsa harus memiliki orientasi terhadap pembentukan karakter jamaah. Hal ini bisa dilakukan dengan mengoptimalkan materi dakwah yang sesuai dengan kebutuhan jamaah. 3. Format ideal gerakan dakwah Islam modern harus dilakukan dengan mengupayakan kebutuhan jamaah. Selain dengan cara kultural dan struktural, dakwah Islam juga dilakukan dengan aplikasi/pengamalan ilmu secara langsung, seperti; membangun rumah sakit, balai pendidikan, lapangan kerja, dan semacamnya. 4. Para pegiat dakwah hendaknya selalu meningkatkan dan mengembangkan wawasan keilmuan dakwahnya guna mengetahui medan dakwah secara tepat dan jelas, khususnya dalam penguasaan materi isu Islam modern seperti; isu 115 fundamentalisme, radikalisme dan terorisme, isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme, isu HAM, demokrasi dan gender, serta isu-isu Islam modern lainnya. 5. Gerakan dakwah Islam akan lebih baik terorganisir melalui organisasi yang memiliki peranan dan konsentrasi di bidang dakwah. 6. Gerakan dakwah Islam modern harus menunjukkan sikap santun, ramah, adil dan bijaksana. Secara garis besar kajian gerakan dakwah Islam modern ini adalah bentuk kemajuan masyarakat Islam dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada umatnya. Ia juga merupakan sarana pendorong bagi masyarakat dan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan demi kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Dengan demikian, gerakan dakwah Islam modern sangat menentukan masa depan dakwah Islam menjadi dakwah yang berpilar pada aspek kemanusiaan (humanisme), kebijaksanaan, kemandirian, keberagaman, keadilan, kebebasan, toleransi, santun dan saling menghargai dan menghormati sesama manusia. B. Saran Dalam proses penelitian yang cukup panjang, penulis menegaskan bahwa dakwah Islam modern adalah upaya reformasi gerakan dakwah Islam dalam menghadapi kemajuan zaman dan arus modernisme yang sudah tidak terbendung lagi ini. Banyak pengetahuan-pengetahuan baru yang penulis dapatkan dalam studi ini, yang semuanya telah dijelaskan dalam pemaparan tulisan ini serta pada analisa yang cukup membuat kita semakin merasa kekurangan pengetahuan. Oleh karenanya, penulis memberikan saran dan masukan kepada segenap civitas akademia UIN Syarif Hidayatullah, khususnya kepada Fakultas Ilmu 116 Dakwah dan Ilmu Komunikasi sebagai bagian dari keseriusan pendalaman studi dakwah guna terus dilakukan pendalaman pengetahuan tentang ilmu dakwah, yang meliputi aspek epistemologi, ontologi dan aksiologi. Secara singkat, dapat penulis berikan saran untuk perkembangan gerakan dakwah Islam selanjutnya, yaitu: 1. Gerakan dakwah Islam harus dimengerti secara luas mencakup kontekstual dan tekstual Al-Qur’an oleh masyarakat Islam 2. Hendaknya para da’i menghentikan pemuatan materi dakwah yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya, agar tidak terjadi pemakzulan dakwah Islam pada masyarakat 3. Gerakan dakwah Islam modern adalah upaya bersama dalam rangka memurnikan pemahaman masyarakat terhadap dakwah Islam, baik dalam aktifitasnya maupun pada materi substansinya 4. Gerakan dakwah Islam adalah upaya memberikan solusi bagi permasalahan bangsa dan masyarakat 5. Hendaknya kalangan akademis memberitahukan kepada masyarakat umum bahwa dakwah Islam memiliki relevansi dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, dan tidak sekedar ceramah mimbar belaka. Sekiranya demikian saran yang disampaikan penulis sebagai wujud ekspresi dari fenomena yang terjadi di masyarakat tentang gerakan dakwah Islam modern.