KAMIS, 18 DESEMBER 2014 SM/ Maulana M Fahmi PICU ABRASI : Reklamasi di kawasan pantai Maroon memperparah terjadinya abrasi di daerah sekitar. (72) KOTA Semarang yang memiliki panjang garis pantai 36,60 kilometer sudah mengalami peningkatan dari sebelumnya yang hanya sekitar 22,71 kilometer. Garis pantai yang terus mengalami perubahan itu mengancam rusaknya kawasan mangrove yang sebagian besar terdapat di sepanjang garis pantai. Perubahan geomorfologis (garis pantai) itu diiringi dengan adanya perubahan luasan kawasan pesisir akibat terjadinya abrasi maupun akresi. Meningkatnya abrasi pantai mengakibatkan Pulau Tapak Kuda hilang dan menurunnya keanekaragaman dan volume hasil tangkapan nelayan pesisir. Kecamatan Tugu merupakan salah satu kecamatan di Kota Semarang yang berbatasan dengan laut dan memiliki luasan mangrove paling besar dibandingkan kawasan lain di Kota Semarang. Luasan pantai di Kecamatan Tugu yang terkena erosi pun terus meningkat hingga sepanjang 1,7 kilometer. Luas mangrove di Kecamatan Tugu 42,20 hektare, Semarang Barat 22,20 hektare, Genuk 19,30 hektare. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, Johannes Hutabarat menjelaskan, kemunduran garis pantai tertinggi terja- di di Sayung, Demak, yaitu 175 meter sejak 2010 hingga pertengahan 2014. Bahkan, sebuah desa tenggelam akibat abrasi. Angka kemunduran garis pantai yang tinggi juga terjadi di Pemalang, yakni 107 meter, dalam kurun waktu sama. Di daerah lain, garis pantai rata-rata mundur 50 - 80 meter. Ekosistem Kerusakan pesisir memengaruhi ekosistem laut. Luasan ekosistem terumbu karang di Jateng turun dari 1.377,18 hektare pada 2011 menjadi 987,62 hektare pada 2012. Dari jumlah itu, terumbu karang yang dalam kondisi baik hanya 404 hektare dan luasan yang rusak 577 hektare. Sisanya dalam kondisi sedang. Menurut Johannes, kerusakan akibat pembangunan yang mengabaikan lingkungan. Reklamasi di Kota Semarang, misalnya, berdampak besar terhadap abrasi di pesisir Demak. Karena itu, perlu penanganan darurat dengan melibatkan Garis Pantai Semarang Terus Mundur perusahaan yang telanjur punya kawasan pesisir. ”Yang bisa dilakukan adalah membangun alat pemecah ombak dari ranting mangrove,” ujarnya. Pemetaan yang dilakukan oleh Yayasan Bintari dengan FoE Jepang terhadap masalah lingkungan dan dampak perubahan iklim di Tapak Kelurahan Tugurejo Semarang ditemukan beberapa isu penting seperti telah terjadi perubahan lahan menjadi kawasan industri dan perumahan serta eksploitasi air bawah tanah yang berdampak pada penurunan tanah dan memicu intrusi air laut serta salinitas tinggi pada air sungai dan air tanah. Kondisi tersebut menyebabkan banyak sumber air tanah yang tidak bisa dimanfaatkan lagi untuk minum. Sebagian masyarakat harus membeli air kemasan untuk memenuhi kebutuhan air minumnya. Permasalahan lain yang muncul adalah pembukaan tambak untuk kehidupan ekonomi masyarakat pada masa dulu (1970 - 1980) telah mengorbankan keberadaan hutan mangrove. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya gelombang laut yang besar akibat cuaca ekstrim dan perubahan arus laut akibat reklamasi yang menyebabkan semakin besarnya abrasi. Pencemaran sungai akibat limbah industri maupun rumah tangga mengakibatkan terjadi penurunan kualitas air sungai yang digunakan untuk perairan tambak, akibatnya produktivitas tambak menurun. Meskipun masyarakat belum memahami secara pasti tentang perubahan iklim, tetapi dampaknya telah dapat dirasakan oleh mereka. Peningkatan suhu, peningkatan frekuensi cuaca ekstrim, dan kenaikan air laut merupakan fakta yang telah dirasakan dan memberi dampak bagi kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut meningkatkan faktor kerentanan wilayah terhadap resiko bencana banjir dan abrasi. Kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim yang telah dirasakan masyarakat terse- Kendal dan Demak pun Kena Imbas KERUSAKAN dan reklamasi pesisir Kota Semarang, ternyata juga berdampak pada wilayah sekitar. Apalagi keberadaan bangunan yang menjorok ke laut, berdampak tujuh kali lipat di sekitar bangunan. Bahkan menurut data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Tengah, di sisi kanan dari bangunan itu pasti akan mengalami abrasi terparah. Di Kabupaten Demak misalnya, mengakibatkan sejumlah dusun hilang. Warga pun terpaksa pindah ke lokasi lain yang lebih aman. Abrasi di pesisir Demak terus mengancam warga yang tinggal di kawasan pesisir itu. Salah satu contoh di Kecamatan Sayung yang kini jauh berbeda dibanding 20 tahun lalu. Hamparan sawah dan hutan man- grove yang cukup asri dan dilestarikan baik oleh masyarakat sebelum tahun 1980-an, habis tergerus ombak. Tanaman mangrove yang tersisa pada saat itu pun bisa dihitung jari. Pesisir desa sepanjang 4,5 kilometer berikut tambak udang dan bandeng serta sebuah dusun terkena dampak abrasi. Bahkan berdasarkan citra satelit, 200 hektar wilayah Desa Bedono terkikis empasan ombak. Menurut Ali Mahmud (34), Koordinator LSM OISCA Jepang di Demak, dampak dari kerusakan mangrove itu disebabkan oleh faktor alam dan campur tangan manusia. Kerusakan hutan mangrove sejak akhir 1980-an menjadi titik awal permasalahan lingkungan yang terjadi di Kecamatan Sayung. SM/ Maulana M Fahmi HUTAN MANGROVE : Hutan Mangrove yang mulai dikembangkan di daerah Morosari yang merupakan bagian dari Desa Bedono, Sayung, Demak. (72) Adanya investor dari luar daerah yang mempengaruhi para pemilik lahan yang umumnya seorang nelayan, dan pemilik tambak untuk menjual lahan mangrove tersebut semakin memperparah proses degradasi lingkungan. Mereka menjual lahan mangrove tersebut untuk dijadikaan tambak demi mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya. Dampak Negatif ”Akibat booming udang windu, muncul banyak jutawan di daerah pesisir Demak. Tanaman bakau dirambah dan ditebang untuk perluasan tambak udang,” katanya. Padahal keuntungan tersebut tidak dapat dirasakan lama oleh masyarakat. Sebab dalam beberapa tahun kemudian baru terasa dampak negatif dari pembabatan habis lahan mangrove. Hilangnya kawasan mangrove sebagai penahan gelombang dan angin serta aliran air laut, menimbulkan abrasi serta intrusi yang lebih cepat ke daratan. Tidak ada lagi ekosistem yang menahan laju abrasi, tidak ada lagi habitat untuk ikan-ikan kecil yang biasa dimanfaatkan nelayan setempat. Hilangnya ekosistem mangrove di pesisir Demak ini memberikan dampak cukup signifikan bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat. Tambaktambak udang yang terkikis menjadi hilang dan berubah kondisinya menjadi laut. Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak, Hari Adhi Soesilo melalui Kabid Kelautan Suharto menyatakan, kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Demak mencapai 1.162 hektare atau sekitar 23,11 persen dari total luasan. Dari empat kecamatan pesisir, kerusakan hutan mangrove terparah terjadi di Sayung (748 hektare) dan disusul Wedung (291 hektare). Adapun luasan hutan bakau di pesisir Demak yang telah tertanami mencapai 5.207 hektare. ”Yang kondisinya masih bagus seluas 2.849 hektare, selebihnya 1.196 hektare terancam rusak dan 1.162 hektare rusak,” bebernya. Kerusakan hutan mangrove ini mendorong laju abrasi pantai hingga mencapai 495,8 hektare. Kecamatan Sayung dan Wedung masih menjadi dua wilayah pesisir yang mengalami tingkat abrasi terparah pada tahun ini. Pada kedua kecamatan itu abrasi telah menggerus pantai masing-masing sepanjang 370,04 km dan 101,57 km. Adapun luasan hutan mangrove yang ada di dua kecamatan itu masingmasing mencapai 2.945 hektare dan 1.734 hektare. Sementara dari Kabupaten Kendal, juga mengalami dampak persoalan kerusakan pesisir. Dengan panjang pantai mencapai 42,4 kilometer, kerusakan yang terjadi disebabkan karena abrasi. Terdapat empat wilayah dengan kondisi kerusakan cukup parah, yakni di Desa Mororejo (Kaliwungu), Kartikajaya (Patebon), Desa Korowelanganyar (Cepiring), dan Sendangsikucing (Rowosari). (Hartatik, Rosyid Ridho, Lanang Wibisono-72) but memberikan ancaman terhadap kegiatan budidaya tambak dan perikanan laut. Sebagai bentuk adaptasi masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan hidup meskipun dengan konsekuensi ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan dan di sisi lain penghasilan mereka menurun. Apalagi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga mencatan, tingkat abrasi pantai utara Jawa Tengah mencapai 6.115,39 hektare dan sedimentasinya mencapai 12.58,19 hektare. Manajer Program Walhi Jateng, Arief Zayyn mengatakan, kerusakan pesisir pantai itu berada di wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah, mulai dari Kabupaten Rembang hingga Kabupaten Brebes. Kerusakan pesisir itu semuanya akibat ulah manusia yang tidak mau ramah terhadap lingkungan. Menurut Arief, luas kerusakan pantai itu menurutnya sudah sedemikian memprihatinkan. Ia memperkirakan setiap tahun luas kerusakan akan terus meluas kalau tidak antisipasi. Terkait ihwal pemicu kerusakan, lanjut Arif, di antaranya kebiasaan masyarakat membuang sampah di sungai. Selain itu, pembuangan limbah, reklamasi besar-besaran, alihfungsi lahan, dan minimnya reboisasi. Analisis Arief, laut saat ini seakan menjadi muara dalam pembuangan sampah. ”Padahal, laut merupakan sumber penghidupan banyak orang, mulai dari nelayan, masyarakat umum yang memutuhkan asupan ikan, dan masih banyak lainnya,” katanya. Mengenai kondisi ini semua, Arief menyayangkan peran dan kepedulian masyarakat maupun pemerintah. Masyarakat maupun pemerintah seakan membiarkan biota laut itu menjadi rusak. ”Buktinya, membuang sampah di laut masih terus dilakukan, reklamasi pantai masih terus dijalankan untuk kepentingan korporasi,” kata Ariem bernada geram. (Muhammad Syukron-72) Reklamasi dan Kerusakan Pesisir KERUSAKAN pesisir Kota Semarang semakin kompleks dan mendesak untuk segera mendapatkan penanganan. Reklamasi yang terdapat di sebagian wilayah pesisir di Kota Semarang, seperti kawasan Pantai Marina dan Pelabuhan Tanjung Emas, semakin memperparah terjadinya abrasi di pesisir Semarang bagian timur. Selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, kondisi ini mengancam sumber pencarian penduduk setempat. Lahan reklamasi ini dituding banyak kalangan membuat arah arus laut berubah sehingga akhirnya memicu kerusakan lingkungan di lokasi lainnya. Lokasi yang terkena abrasi umumnya berada di sebelah kanan lahan reklamasi sedangkan akresi berada di sebelah kirinya. Reklamasi di kawasan Pantai Marina dan Pelabuhan Tanjung Emas diperkirakan menjadi penyebab terjadinya abrasi di pesisir Semarang bagian timur, seperti Kecamatan Genuk dan Semarang Timur, bahkan hingga ke Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Di Kelurahan Trimulyo, Genuk, misalnya, abrasi telah membuat garis pantai bergeser sekitar satu kilometer ke arah daratan. Daerah yang kini tergenang itu kini dimanfaatkan warga sebagai tambak bandeng. ”Sekitar sepuluh tahun lalu, tambak ini kebanyakan masih berupa sawah dan tanah lapang,” kata Agus, salah satu petambak di Trimulyo. Dirinya khawatir abrasi yang terus bertambah tiap tahunnya ini dapat membuat tambaknya dan warga lainnya terendam sehingga dia kehilangan mata pencarian. ”Sekarang saja rumah saya sering terendam rob hingga setinggi lutut karena jarak dengan laut semakin dekat,” ucapnya. Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Agung Budi Margono mengatakan, saat ini Pemkot Semarang sedang menyiapkan Perda Pesisir guna upaya penyelamatan wilayah pesisir kota. Sebagai kota pesisir, Kota Semarang tidak banyak memiliki lahan untuk areal konservasi. Contohnya di Tapak Kelurahan Tugurejo Kecamatan Tugu. Kepemilikan lahan 200 ha di sana masih didominasi swasta dan pribadi. ”Melalui raperda ini, kami ingin menekankan pemanfaatan zonasi kawasan pesisir. Bisa dikembangkan dari pariwisata atau ekonomi kerakyatannya,” ujarnya. Menurutnya, pesisir merupakan salah satu fungsi strategis untuk kepentingan konservasi. Konservasi sendiri, bukan berarti tidak ada kegiatan. Karena itu pihaknya mendorong Pemkot mengkaji serius tentang pengembangan pesisir. Kendala yang dihadapi Pemkot selama ini adalah keterbatasan ketersediaan lahan. ”Dengan kepemilikan (lahan) langsung dari pemerintah memungkinkan terjadi aktivitas konservasi. Pasalnya, penanaman di kawasan pantai baik yang dilakukan masyarakat ataupun swasta tidak terkontrol. Sudah saatnya, Kota Semarang memiliki Perda Pesisir,” tegasnya. Dikuasai Swasta Untuk mencegah meluasnya abrasi di pesisir pantai Semarang, jajaran pemerintah kota (pemkot) Semarang bersama elemen masyarakat terus mendorong rehabilitasi lahan mangrove. Langkah rehabilitasi lingkungan pantai ini sekaligus diarahkan untuk mengembalikan ekosistem pesisir dalam rangka mendorong peningkatan perekonomian masyarakat pesisir. Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, saat ini laju kerusakan ekosistem pantai, di pesisir Kota Semarang cukup cepat. Ia mencontohkan di kawasan pantai Maron, areal pertambakan warga di kawasan pantai ini terus masuk ke daratan, hingga 100 meter. Di wilayah pesisir pantai lainnya di Semarang pun terjadi kerusakan ekosistem pantai akibat penebangan liar mangrove. Kepedulian seluruh pihak dalam konservasi juga sangat diharapkan, untuk mendorong upaya konservasi pesisir yang telah mengalami kerusakan seluas 4.200 m2 sejak tahun 1991 lalu. Tapi pemkot tidak bisa turun sendiri menangani masalah lingkungan tersebut. Dibutuhkan sinergi dengan semua pihak, termasuk pemerintah pusat dan provinsi serta masyarakat luas. Sementara, sebagian lahan di garis pantai di Kota Semarang, 60 persen di antaranya kini sudah bukan milik publik lagi, melainkan sudah dikuasai para pemilik modal atau investor. Mereka mengalihfungsikan pantai untuk pembangunan permukiman, kawasan wisata, industri, hingga real estate. Akibatnya, para nelayan masyarakat pesisir tersingkir untuk mengakses sumber daya pesisir dan perikanan. Hampir tak ada ruang bagi nelayan serta masyarakat untuk mengakses sumber daya pesisir dan kelautan.(Lanang Wibisono, Adhitia Armitrianto-72)