DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) Skripsi Diajukan pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos) Oleh Eko Prasetyo NIM: 107033203181 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434H/ 2013M LEMBAR PERNYATAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 10 Juni 2013 Eko Prasetyo PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa: Nama : Eko Prasetyo NIM : 1070 3320 3181 Program Studi : Ilmu Politik Telah menyelesaikan Skripsi dengan judul: DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) dan telah memenuhi syarat untuk diuji. Jakarta, 16 September 2013 Mengetahui Ketua Program Studi Menyetujui Pembimbing Ali Munhanif Ph.D. NIP 196512121992031004 M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008 PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) Oleh Eko Prasetyo 107033203181 Telah dipertahankan dalam ujian Skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program Ilmu Politik. Ketua, Sekretaris, Ali Munhanif Ph.D. NIP. 196512121992031004 M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008 Penguji I, Penguji II Drs. Armein Daulay M.Si. NIP. 130892961 Agus Nugraha M.A. NIP. 196808012000031001 Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 29 Oktober 2013. Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta Ali Munhanif Ph.D. NIP. 196512121992031004 ABSTRAK EKO PRASETYO Demokrasi dan Problem Kepemimpinan Politik di Indonesia (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) Skripsi ini menganalisa pemikiran politik empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik kaum muda di Indonesia. Penelitian skripsi dilakukan secara kualitatif, dengan metode pengumpulan data perpustakaan dan wawancara, sedangkan untuk kerangka teori penulis menggunakan teori demokrasi dan teori kepemimpinan politik. Penulis menemukan, bahwa demokrasi kita semenjak merdeka sampai sekarang masih mengalami transisi dan dievaluasi serelevan mungkin agar sesuai dengan karakter bangsa yang Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana tujuan pokok ke depannya, demokrasi tidak sekedar dalam basis politik, melainkan berkehidupan sehari-hari. Meskipun diakui proses pendewasaan demokrasi di Indonesia diwarnai kecurangan, dari yang berwatak otoriter, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan dalam kepemimpinan politik kaum muda, Indonesia terhenti sampai era Soeharto, ia dengan kekuasaannya membuat regenerasi suram, konsekuensinya pasca pelengserannya sampai sekarang pemimpin politik kalangan muda tidak terealisasikan, pos-pos strategis politik masih diisi pemimpin tua, sedangkan pemuda Reformasi setia menunggu giliran. Padahal tujuan terbesar munculnya pemuda dalam kepemimpinan politik tidak didasari regenerasi semata, tetapi dengan bergantinya pemimpin tua pada yang muda, dipastikan akan melahirkan ide segar dan baru, serta normalisasi kepemimpinan politik di Indonesia, karena pemimpin politik ideal adalah kurun usia 35 tahun sampai 55 tahun, selebihnya cukup jadi negarawan dan tidak perlu di parlement. Empat politis muda menghendaki itu, pemuda memiliki semangat dan stamina lebih panjang dari yang tua, pemuda tidak kenal kompromi dan sanggup melawan resiko, meskipun dibalik watak mulia tersebut pemuda memiliki watak negatif, seperti pragmatisme politik dan menjadi politisi kutu loncat. Keywords: demokrasi, pemuda, pemimpin, politik i KATA PENGANTAR Alḥamdulillāh dengan raḥmat Allāh yang Esa pada akhirnya skripsi tentang problem demokrasi dan masalah kepemimpinan di Indonesia selesai dibuat. Karya akademik selain sebagai syarat untuk menyelesaikan program S-1, juga merupakan ujian bagi penulis tentang sejauh mana pemahaman penulis tentang ruang lingkup politik selama menempuh kuliah pada Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari, dari sekian lama menempuh perkuliahan hingga dapat menyelesaikan program S1 ini tidak mungkin berhasil tanpa adanya kontribusikontribusi dari pihak lain baik materi maupun dukungan moral. Untuk itu dengan tidak mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua Jurusan Ilmu Politik bapak Ali Munhanif, Ph.D. dan sekretaris jurusan Ilmu Politik sekaligus pembimbing bapak M. Zaki Mubarak M.Si. yang banyak memberikan kritik dan saran juga dukungan moral pada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. 3. Bapak, ibu, dan saudara di kampung, mereka dengan sabar memberikan motifasi kepada penulis untuk menyelesaikan sekolah yang sangat panjang, ii dan tidak sedikit penulis dengan mereka melakukan perdebatan-perdebatan tentang berakhirnya perjalanan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Seluruh staf akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Jajaran staf perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Kawan-kawan Ilmu Politik angkatan 2005, 2006, 2007, 2008. Kalian semua adalah bukti sejarah keberadaan penulis di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada semua yang tidak penulis sebutkan, penulis banyak mengucapkan terimakasih. Ciputat, 10 Juni 2013 Eko Prasetyo iii DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................................. i KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii DAFTAR ISI .............................................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Pernyataan Masalah ............................................................................ 1 B. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 9 C. Tujuan dan Manfaat ........................................................................... 10 D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 11 E. Metode Penelitian ............................................................................... 13 F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 15 BAB II TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN .............. 17 A. Teori Demokrasi ................................................................................. 17 1. Demokrasi ............................................................................... 17 2. Model-model dan Jenis Demokrasi ....................................... 19 3. Demokrasi Negatif ................................................................. 22 B. Teori Kepemimpinan Politik ............................................................. 24 BAB III 1. Definisi Kepemimpinan ......................................................... 24 2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan ..................................... 25 3. Model Kepemimpinan Demokrasi ........................................ 27 DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA ................................... 29 A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia .............................. 29 1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959 ........................ 30 2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965 ......................................... 33 3. Demokrasi Pancasila 1965-1998 ........................................... 36 iv 4. Demokrasi Pasca Reformasi ................................................. 40 B. Biografi Empat Tokoh Politisi Muda ................................................ 43 1. Yuddy Chrisnandi .................................................................... 43 2. M. Fadjroel Rachman .............................................................. 46 3. Budiman Sudjatmiko ............................................................... 49 4. Fadli Zon .................................................................................. 53 BAB IV PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPIAN POLITIK KAUM MUDA ................................................................................................. 58 A. Problem Demokrasi ............................................................................ 58 1. Problem Demokrasi Orde Baru dan Pasca Reformasi .......... 58 2. Argumentasi Rekonstruksi Demokrasi.................................... 66 B. Kepemimpinan Politik Kaum Muda ................................................. 73 1. Gerakan Kepemudaan dan Investasi Kepemimpinan Politik . 73 2. Program Kepemimpinan Politik Kaum Muda ....................... 83 3. Problem Kepemimpinan Politik Kaum Muda ....................... 88 BAB V PENUTUP ................................................................................................. 92 A. Kesimpulan ......................................................................................... 92 B. Saran-Saran ......................................................................................... 94 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 95 LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................... 104 1. Lampiran Pernyataan Wawancara ................................................... 107 2. Lampiran Teks Wawancara ............................................................... 112 3. Lampiran Foto Wawancara ............................................................... 132 v BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah Kata “demokrasi” sangat familiar dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya menjadi bahan perbincangan bagi para sarjana-sarjana dan elite politik bangsa, frasa kata “demokrasi” juga asyik diperbincangkan bagi mereka yang duduk sambil minum kopi di pasar-pasar tradisional dan di pos kampling sambil main kartu. Demokrasi sebagai sebuah kata yang memiliki arti melalui pemikiran panjang dan kuno, seringkali penerapan katanya sangat tidak seimbang dengan arti seharusnya. Mereka memahami demokrasi secara sederhana, demokrasi diartikan segala sesuatu di tangan rakyat, rakyat dan keputusannya adalah hal mutlak sebagai sebuah pemenang dan pemegang kekuasaan, sehingga demokrasi selalu diartikan dalam ranah politik.1 Indonesia sebagai sebuah bangsa besar sejak merdeka telah mengenal demokrasi, merdeka dan besar dengan demokrasi seharusnya menjadikan bangsa Indonesia syarat pengalaman terhadap demokrasi, tapi praktiknya bisa kita lihat, bahwa perjalanan bangsa dan negara Indonesia pasti masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara?, memang belum sepenuhnya hak-hak kewarga negaraan terpenuhi, tapi setidaknya sedikit demi sedikit bangsa ini telah melakukan transisi dari berbagai model demokrasi, yang terhitung ada empat fase 1 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 109. 1 model demokrasi pada negara Indonesia dengan berbagai macam problem di dalamnya; pasca awal kemerdekaan periode demokrasi Parlementer 1945-1959, demokrasi Terpimpin periode 1959-1965, demokrasi Pancasila periode 19651998, dan demokrasi periode 1998 (Reformasi) hingga sekarang.2 Sederhananya demokrasi Parlementer dan Terpimpin ada pada era Soekarno, demokrasi Pancasila pada era Soeharto – baik keduanya dengan problem otoritarianisme dan kediktatoran – dan terakhir model demokrasi Reformasi, 3 adalah periode pasca runtuhnya Soeharto yang di dalamnya diisi secara bergantian pemimpin negara dari B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarno Putri, dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono. Demokrasi sampai sekarang – pasca Reformasi – masih menjadi topik dan sangat digemari, dipastikan orang yang mendukung demokrasi jumlahnya lebih besar daripada yang menolak demokrasi. Karena dalam prinsip demokrasi merupakan sistem yang konstruktif dan mampu menjadikan keberbedaan bersuku, beragama, dan berfikir ke arah yang sama, tanpa membedakan faktor-faktor dan identitas sebagai pemisah, ini yang dicita-citakan masyarakat.4 Namun faktanya, lain istilah lain cara mempraktikkannya, praktik demokrasi belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, banyak dijanjikan dipimpin secara demokratis tapi merasa dirinya korban dari demokrasi, 2 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 61. 3 Lihat perbedaan problem masa Soekarno dan Soeharto pada M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 76. 4 Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 71. 2 sebab demokrasi hanya milik kalangan elite politik di Senayan dan golongan yang dekat dengan itu. Problem Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tetap menjadi tradisi sebagai kelanjutan masa Soeharto. Fadli Zon sampai memberikan kredit lebih atas permasalahan demokrasi, jumlah mereka yang KKN pasca Reformasi lebih banyak dibandingkan era Soeharto, KKN tidak lagi dilakukan kalangan elite politik, bahkan sampai pada tahap masyarakat biasa. Soeharto sebagai presiden telah mati, sedangkan politik demokrasi “Soehartois” bersemayam di Senayan.5 Dampaknya masyarakat di daerah seperti diabaikan, melihat begitu banyaknya permasalahan konflik horisontal di daerah seperti seakan-akan dibiarkan dan tidak ada tanggung jawab dari pemerintah pusat. Hal semacam di atas membuat kecewa dan melahirkan kelompokkelompok baru mengatasnamakan dirinya perubahan dan pembaharuan. Eksistensinya justru membuat posisi demokrasi di Indonesia dipertanyakan, karena gerakan-gerakan itu cenderung separatis bertujuan untuk membentuk negara baru, ini bisa dilihat atas berdirinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka), Separatis Bintang Kejora atau OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan masih banyak lagi bentuk makar atas kekecewaannya terhadap iming-iming demokrasi. Selain organisasi makar, belakangan banyak ormas keagamaan dan organisasi politik bersekala nasional ataupun internasional tumbuh subur di Indonesia, baik organisasi politik fundamental dan kolot ataupun organisasi-organisasi radikal atas nama gerakan stabilisator nilai beragama. Mereka menginginkan negara 5 A. Sonny Keraf “Tanggapan untuk Fadjroel Rachman: Demokrasi Butuh Kaum Demokrat,” [artikel online]; tersedia di http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2657 &coid=3&caid=22&gid=2: Internet: diunduh pada 19 Februari 2013. 3 Indonesia tidak lagi menjadi negara bangsa dan meniadakan demokrasi sebagai asas berbangsa. 6 Problem seperti di atas telah menarik perhatian politisi Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan terlebih Fadli Zon untuk menggagas tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Empat tokoh tersebut memfokuskan argumentasinya tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Bangsa ini sangat besar dan dihuni beribu-ribu suku dan corak orang di dalamnya, demokrasi adalah jalan penting terselenggaranya kenegaraan yang kondusif dan damai, melihat Bhineka Tunggal Ika sebagai kunci bernegara. Masa transisi dari presiden lama ke presiden baru dianggap sebagai revisi demokrasi, dan hasilnya penempatan dan relevansi dari substansi demokrasi di Indonesia semakin menjadi baik.7 Namun di lain pihak, kendornya pemerintah menjamin dan membangun ketegasan hukum yang kuat terhadap keberlangsungan korupsi, kolusi, nepotisme, dan radikalisme telah menciderai demokrasi. Masyarakat banyak mengagungkan kemerdekaan moral, ekonomi, dan sosial yang tanpa disadari mereka terjebak dalam tindakan main hakim sendiri, sehingga hal itu seperti bentuk teror baru yang mengganggu hak-hak demokrasi bagi individu dan golongan lain, belum lagi 6 MMI (Majelis Mujahiddin Indonesia) dan Hizbut Tahrir Indonesia adalah contoh, sebuah ormas dan partai politik Internasional pemuja negara agama yang berhasil dan besar di negara berasas demokrasi, tapi justru mengingkari demokrasi karena dianggap sebagai sistem kafir. Hizbut Tahrir didirikan di al-Quds Jerusalem pada akhir 1952 dan awal 1953. Taqī al-Dīn alNabhānī sebagai pendiri sekaligus ketua partai [artikel online] tersedia di http://hizbuttahrir.or.id/tentang-kami/; Internet; diunduh pada 10 Desember 2012. 7 Yuddy Chrisnandi, “Kemelut Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 51. 4 akibat konflik tersebut memicu ketidak setabilan di daerah. Konsekuensinya mereka di daerah semakin miskin dan berlarut-larut dalam perang saudara.8 Runtuhnya otoritarianisme presiden Soeharto melalui gelombang demonstrasi membawa perubahan. Meskipun disadari bahwa saat itu belum difikirkan siapa yang berhak menggantikan Soeharto sebagai pemimpin, yang jelas Soeharto harus turun dari jabatannya.9 Faktanya model demokrasi justru digemari dan menjadi simbol besar terhadap perubahan bangsa. Transisi negara justru lahir dari gerakan demokrasi yang ingin menempatkan dirinya serelevan mungkin, selain yang perlu digaris bawahi mulai munculnya tokoh-tokoh baru dalam politik bangsa Indonesia. Pembatasan sarana informasi oleh periode Orde Baru mulai muncul dengan berbagai visi dan misinya, mulanya sekedar sebagai sarana pencitraan nama baik pemerintah, sekarang menjadi alat kontrol bagi kebijakan pemerintah dengan berbagai tayangan kritis dan kritiknya.10 Reformasi dengan bendera demokrasi telah melahirkan Individu-individu kritis menjadi tokoh nasional, di antaranya nama-nama seperti Amien Rais dan Abdurrahman Wahid sangat akrab saat Indonesia menjalani transisi dari negara tidur menjadi negara yang mudah untuk berteriak. Meskipun diakui menjadi garda depan perubahan masa Reformasi penuh resiko, termasuk menghadapi 8 “Fadli Zon: ‘Demokrasi Kriminal’ Akibat Lemahnya Desain Politik,” [berita online]; tersedia di http://www.antaranews.com/berita/356807/fadli-zon-demokrasi-kriminal-akibatlemahnya-desain-politik; Internet; diunduh pada 20 Februari 2013. 9 David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 102. 10 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), 43 5 pembunuhan sangat terorganisir dan rapi.11 Keberadaan mereka tidak dapat dilupakan, dari masa-masa kritis kepemimpinan Presiden B.J. Habiebie, Gus Dur, dan Megawati.12 Masa telah berubah, timbul wacana kepemimpinan ideal untuk Indonesia, melihat fakta kepemimpinan dari Reformasi sampai saat ini permasalahan bangsa masih tetap sama, tidak jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun dibilang tidak setransparan masa Orde Baru, tapi sudah menjadi rahasia umum praktik tersebut tetap ada hingga sekarang. Perdebatan menarik pemimpin ideal mengkerucut pada dua hal, antara pemimpin golongan tua dan pemimpin golongan muda. Sebagaimana ketetapan WHO manusia di atas usia enam puluh tahun sudah dikatakan tua, sebab hormon dan daya tahan tubuh akan semakin berkurang secara signifikan pada usia itu, namun permulaan mulai adanya penurunan pada hormon sejak manusia menginjak umur lima puluh lima tahun.13 Sedangkan 11 Louwise Wiliams, “Amin Rais: Garis Depan Adalah Tempat Beresiko,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 329. 12 Masa kepemimpinan yang kritis di antaranya bisa dibaca pada Hal Hill, “Habiebie Tidak Akan Mampu Bertahan Lama,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LKiS, 2000), 312. 13 Manusia yang mulai menjadi tua secara alamiah akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya. Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut usia, menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai 6 disebut muda menurut salah satu teori dalam konteks biologis dibatasi oleh umur, dari 13 sampai 40 tahun, ada pula yang menyatakan konteks kepemudaan adalah antara umur 20 sampai 40 tahun.14 Sedangkan pada UU No. 40 Tahun 2009 konteks pemuda dimulai umur enam belas tahun sampai tiga puluh tahun, dan itu yang menjadi pedoman KNPI, meskipun praktiknya ternyata pengurus KNPI banyak berumur di atas tiga puluh tahun.15 Namun riset oleh Office of National Statistics Inggris yang melibatkan 2.200 responden menyimpulkan, bahwa banyak responden berpendapat usia muda dimulai sejak umur empat puluh satu tahun dan berakhir pada usia lima puluh sembilan tahun.16 Dari penjelasan itu sederhananya bisa disimpulkan, mereka seperti Megawati Soekarno Putri (65 tahun), Susilo Bambang Yudhoyono (63 tahun), Jusuf Kalla (70 tahun), Wiranto (65 tahun), Sutiyoso (67 tahun), Sultan Hamengku Buwono X (66 tahun) sudah bisa disebut tua dan dianggap cukup dalam urusan birokrasi, selain dilatar belakangi masalah kesehatan dan daya tahan tubuh yang berpengaruh pada cara berfikir untuk memutuskan masalah dan beban keluarga dan masyarakat. Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda. Wijayanti, “Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman: Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia Terhadap Kondisi Sosial Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegalsari Kecamatan Candisari” [artikel online]; tersedi di http://eprints.undip.ac.id/20145/; internet; diunduh pada 12 November 2013. 14 Aziz Syamsuddin, Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2008), 8. 15 Ralian Jawalsen Manurung “Syarat Usia 16-30 Tahun Berat, KNPI Gugat UU Kepemudaan ke MK,” [berita online]; tersedi http://jaringnews.com/politik-peristiwa/ umum/30369/syarat-usia---tahun-berat-knpi-gugat-uu-kepemudaan-ke-mk; internet; diunduh pada 12 November 2013. 16 “Batasan Usia Disebut Muda dan Tua,” [berita online]; tersedi http://www.berita satu.com/fashion/25895-batasan-usia-disebut-muda-dan-tua.html; internet; diunduh pada 12 November 2013. 7 memimpin sebuah bangsa, namun juga harus dipertimbangkan sudah saatnya dilakukan regenerasi kepemimpinan politik, untuk itu kelanjutannya biarkan para pemuda (kurang dari lima puluh tahun) menjadi garda depan bangsa Indonesia. Bukan berarti mengesampingkan kaum tua, tapi yang muda diharapakan dengan kesegaran ide bisa menjadi trobosan untuk merubah negara menjadi lebih baik. 17 Alasan mengangkat tokoh Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, dan Budiman Sudjatmiko dalam isu kepemimpinan kaum muda bukan tanpa alasan, seperti Budiman dan Yuddy misalnya, selain mereka telah menjadi dari bagian konstitusi Indonesia sejak muda, mereka juga sering menulis tentang kepemimpinan politik kaum muda. Pada tahun 2009 Yuddy ikut aktif dalam Dewan Integritas Bangsa, ia sendiri maju dalam bursa capres independen dari kongres DIB (Dewan Integritas Bangsa).18 Sedangkan M. Fadjroel Rachman justru lebih gencar mempromosikan kepemimpinan politik kaum muda, ia menyuarakan capres independen, tujuannya agar kalangan muda bisa menjadi capres dari jalur independen tanpa terbentur aturan-aturan internal partai politik. Namun karena terhalang peraturan konstitusi ia mengambil jalan berdasarkan konstitusi pula, dari pergerakannya melalui konstitusi M. Fadjroel Rachman dan 17 M. Fadjroel Rachman, “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online]; tersedi di http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg34376.html; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. 18 Bersama Marwah Daud Ibrahim, Bambang Sulistomo, dan Rizal Ramli. Mereka bersepakat dalam Dewan Integritas Bangsa untuk mencalonkan salah satu dari tokoh tersebut menjadi alternatif presiden Indonesia. Dewan Integritas Bangsa didirikan oleh delapan organisasi masyarakat, diantaranya Himpunan Pemuda Nahdatul Ulama, Pemuda Muhammadiyah, Gabungan Masyarakat Kristen Katolik, Generasi Muda Budha Indonesia, Komunitas Tiong Hoa Anti Korupsi. Konvensi DIB (Dewan Integritas Bangsa) dilaksanakan di delapan kota besar; yakni Yogyakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makasar, Pontianak, Bandung dan Jakarta. Selengkapnya bisa dilihat pada “Tim 8 Dewan Integritas Bangsa Akan Turuti Keputusan Tim 45”, [berita online] tersedia di http://nasional.kompas.com/read/2009/03/07/22505697/Tim.8. Dewan.Integritas. Bangsa.Akan.Turuti. Keputusan.Tim.45: internet; diunduh pada 12 November 2013. 8 kawan-kawan lain berhasil mendapat restu calon independen dari MK (Mahkamah Konstitusi) yang saat itu dipimpin Mahfud M.D., namun keberhasilan itu bukan pada tingkat nasional, hanya pada sekala pemimpin daerah semata.19 Kepemudaan bukan menjadi hal asing bagi bangsa Indonesia, sejarah bangsa Indonesia adalah milik kaum muda kata pengamat politik nasional Ben Andreson. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Proklamator kemerdekaan adalah bukti, dengan umur sangat muda kurang dari tiga puluh tahun mampu membawa Indonesia menjadi bangsa berdaulat dan diakui oleh negara lain.20 Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dengan ditandai berdirinya organisasi Budi Utomo, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah fakta lain, bahwa negara ini cukup kuat dengan pengalaman kaum muda, ini tidak menutup kemungkinan pemuda akan kembali memimpin bangsa Indonesia.21 B. Pertanyaan Penelitian Dalam pembahasan selanjutnya, tulisan ini hanya membahas dua hal dari pemikiran empat tokoh politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon), pertama problem demokrasi di Indonesia, kedua kepemimpinan politik yang ideal untuk Indonesia. 19 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman, Jakarta 10 Mei 2013. “Budiman Desak Generasi Muda Diberi Kesempatan Maju,” [berita online]; tersedia di http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/03/120211/Budiman-DesakGenerasi-Muda-Diberi-Kesempatan-Maju; internet; diunduh pada 29 Februari 2013. 21 Yuddy Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 99. 20 9 Untuk itu pertanyaan penelitiannya adalah; 1. Bagaimana problem demokrasi di Indonesia dari Orde Baru sampai sekarang menurut empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)? 2. Bagaimana kepemimpinan politik yang ideal dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia menurut empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon?. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini adalah: Menganalisa gagasan dan mendeskripsikan ide empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) terhadap eksistensi dan relevansi demokrasi di Indonesia, serta kepemimpinan politik yang ideal dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Manfaat penelitian skripsi ini adalah: Merupakan karya ilmiah dalam ilmu pengetahuan yang memberikan wawasan terhadap pembaca, serta mempermudah memetakan masalah demokrasi, dan kepemimpinan pemuda dalam dunia politik di Indonesia. 10 D. Tinjauan Pustaka Kajian mengenai demokrasi dan kepemimpinan politik bukan hal baru di Indonesia, di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur karya ilmiyah yang pernah membahas tentang demokrasi dan kepemimpinan politik, di antaranya: Buku Pemikiran Politik Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 dengan editor David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (2006), penerbit Grafiti Pers dan Freedom Institute, Jakarta. Buku tersebut membahas tentang problem demokrasi yang ditulis oleh beberapa tokoh nasional seperti ‘Abdurrahman Wahid dan Amin Rais, tepatnya adalah kumpulan tulisan beberapa tokoh politik Indonesia tentang demokrasi dan kenegaraan periode 1965-1999. Dari semua penulis yang berkontribusi pada buku tersebut tidak menampilkan sosok pemuda sebagai penyumbang ide tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik kaum muda di Indonesia, sehingga pembahasan secara komprehensif tentang problem demokrasi dari kaca mata kaum muda dan gagasan kepemimpinan kaum muda tidak tersentuh. Buku yang membahas tentang demokrasi lainnya adalah karya doctoral Syaiful Mujani (2007), penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dengan judul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Pada buku Syaiful Mujani hanya fokus dalam masalah Islam dan budaya demokrasi di kalangan kelompok agamawan Muslim, terutama di NU dan Muhammadiyah. Pada karya ini menyimpulkan adanya 11 keselarasan antara kebudayaan Muslim di Indonesia dengan asas demokrasi, sedangkan pembahasan tentang problem demokrasi dan ide-ide demokrasi kaum muda tidak tersentuh. Karya ilmiyah lain yang membahas demokrasi adalah skripsi Agus Dwiyono (2007) berjudul, “Pemikiran Bung Hatta Tentang Demokrasi.” Dalam tulisan skripsi tersebut sangat banyak merujuk pada buku biografi Bung Hatta. Meskipun secara nasional tulisan biografi Bung Hatta diterbitkan tahun 1979, namun isinya ditulis sendiri oleh Hatta kira-kira semenjak ia umur dua puluh dua tahun. Fokus dari penulisan tersebut dengan membahas nilai-nilai dan asas demokrasi di Indonesia dari pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan. Jadi pembahasan dalam tulisan tersebut lebih pada demokrasi tidak sekedar asas berkehidupan, melainkan telah sengaja dipersiapkan sebagai landasan berbangsa semenjak pra kemerdekaan dan untuk dipergunakan sebagai identitas bangsa sampai kapanpun. Buku kepemimpinan politik adalah tulisan M. Alfan Alfian (2012), penerbit Kubah Ilmu, Jakarta. Dengan judul Bagaimana Menjadi Pemimpin Politik?: Kekuatan Kepemimpinan. Pada buku tersebut ia mendeskripsikan tentang keberhasilan kepemimpinan politik dari tokoh-tokoh nasional sampai internasional, baik tokoh politik yang berbicara kepemimpinan politik ataupun tokoh sastra seperti Rumi dan Ibn Taymiya dalam kalangan agamawan yang berbicara kepemimpinan politik. Buku tersebut lebih berbicara pada proses untuk menjadi pemimpin politik yang tidak didasarkan atas kriteria tua ataupun muda, 12 melainkan pemikiran-pemikiran tokoh dalam memperoleh dan cara mempertahankan posisi tertinggi dalam kepemimpinan politik. Dari riwayat kepustakaan di atas memberikan gambaran, bahwa sudah banyak yang mengupas masalah demokrasi dan kepemimpinan politik di Indonesia, namun untuk dinamika masadepan demokrasi pasca Reformasi dan problem kepemimpian politik nasional yang ideal khususnya pemimpin muda belum tersentuh. Oleh karena itu penulis meyakini bahwa kajian yang penulis tawarkan untuk diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah aktual dan belum secara komprehensif diteliti dan dijadikan karya ilmiyah di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Metode Penelitian Untuk menelaah sekripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif: adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam, peneliti terjun langsung dan berinteraksi dengan obyek di lapangan serta menggambarkan kondisi atau hasil temuan masalah daripada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi. 22 Jadi tujuan dari metodologi kualitatif bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman secara teliti terhadap suatu masalah yang kemudian data temuannya dideskripsikan.23 22 Septiawan Santana, Menulis Ilmiyah Moetode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007). 27. 23 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), 5. 13 Sedangkan teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua cara, yaitu pengumpulan data perpustakaan (library research) dan pengumpulan data lapangan/ field research (wawancara). Untuk pengumpulan data perpustakaan, yaitu menelaah buku ataupun tulisan (sumber primer) berkaitan dengan tema tersebut, seperti Yuddy Chrisnandi buku Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. M. Fadjroel Rachman seperti buku Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Budiman Sudjatmiko seperti tulisannya tentang “Kepemimpinan Baru Indonesia Melintasi 'New Frontier'” dan “Mengusir Macan Tua” yang ada dalam website resminya www.budimansudjatmiko.com. Fadli Zon dengan bukunya “Politik Huru-Hara Mei 1988“ yang menerangkan sebab turunnya Soeharto. Untuk itu buku dan tulisan tersebut di atas adalah refrensi primer dalam penelitian ini. Sedangkan teknik pengumpulan data lapangan/ field research, dilaksanakan dengan wawancara empat tokoh (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) berkenaan dengan pemikirannya sesuai rumusan masalah yang telah disebutkan di atas. Wawancara ini dilakukan karena keempat tokoh tersebut masih hidup. Mengenai teknik penulisan skripsi, penulis berpedoman pada buku Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis 14 oleh Tim Penyusun Panduan Akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012. F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, penjabarannya adalah sebagai berikut : Pada bab satu atau pendahuluan, dikemukakan latar pernyataan masalah, pertanyaan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian serta sistematika penulisan. Pada bab dua membahas tentang teori demokrasi dan teori kepemimpinan politik. Pada bab tiga membahas demokrasi di Indonesia, meliputi corak dan adopsi demokrasi di Indonesia sebagai periodisasi sejak Orde Lama sampai pasca Reformasi. Serta membahas biografi empat tokoh politisi muda Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon. Pada bab empat membahas probelmatik demokrasi di Indonesia masa Orde Baru dan pasca Reformasi, serta argumentasi rekonstruksi demokrasi. Selain itu membahas pemimpin politik kaum muda, meliputi gerakan kepemudan dan investasi kepemimpinan politik, program kepemimpinan politik kaum muda, dan problem mewujudkan kepemimpinan politik kaum muda. 15 Pada bab lima atau terakhir adalah penutup sekaligus kesimpulan dan saran. 16 BAB II TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN A. Teori Demokrasi 1. Demokrasi Demokrasi berasal dari bahasa Yunani Demos (rakyat) dan Cratos (kekuasaan),1 telah menjadi praktik politik bangsa Yunani sekitar (300-400 SM.) Demokrasi dalam istilah adalah; keadaan negara di mana sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, keputusan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat.2 Demokrasi secara modern dirumuskan sebagai sebuah sistem pemerintahan dengan didasarkan atas prinsip kedaulatan dari, oleh, dan untuk rakyat, seperti dikatakan Presiden Amerika ke-16 Abraman Lincoln (1808-1865) 1 Demokrasi dikenal sejak abad ke-5 SM., dilandasi atas dasar pengalaman buruk negara Kota di Yunani akibat sering peralihan sistem negara dari monarki ke aristokrasi, dari aristokrasi ke tirani, sehingga membuat para pemikir besar Yunani bekerja keras menentukan sistem ideal kenegaraan untuk bangsa Yunani, sehingga muncullah dari tirani ke demokrasi. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71. Lihat pula pada Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & Pernada Media, 2003), 110. Lihat pula pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka: 2007), 28. 2 Ada tiga peradaban besar dalam membentuk demokrasi; Yunani-Romawi, JudeoKristiani, dan Islam. Ketiga kebudayaan tersebut dengan segala pengalaman berpolitik di dalamnya membantu revisi demokrasi dari masa ke masa. Hal yang dewasa ini menjadikan demokrasi dengan banyak model, seperti demokrasi terpimpin, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan masih banyak lagi model-model demokrasi hasil asimilasi antar peradaban besar dunia. Banyak bersinggungan dengan berbagai macam peradaban tidak berarti perjalanan demokrasi damai, damai dalam artian tidak ada benturan-benturan pemikiran yang kontra terhadap demokrasi, contoh sederhana bisa dilihat dari kebencian Sokrates atas demokrasi. Demokrasi adalah sistem bertele-tele, dan mengesampingkan nilai moralitas karena ia hanya berlandaskan pada sistem vooting. Mayoritas bukan ukuran kebenaran, karena seringkali kebenaran bisa dimanipulasi melalui opini publik untuk mempengaruhi moralitas masyarakat. Masyarakat bisa ‘dibeli’ sebanyak-banyaknya untuk mendukung kepentingan yang dikehendaki oleh penguasa. Di titik ini sedikit memberikan celah bahwa terdapat sisi lemah pada sistem demokrasi. Suhelmi, PEMIKIRAN POLITIK BARAT; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 3. 17 “democracy is government of the people, by the people and for people”.3 Melalui sistem pemilihan tertentu, transformasi kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam proses pemberian suara untuk meraih jabatan politik tertentu. Dalam kekuasaannya, aspirasi masyarakat akan diperjuangkan melalui mekanisme yang telah disepakati.4 Banyak pakar yang menjelaskan tentang praktik demokrasi, Thomas Meyer dalam buku Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan menyebutkan ada empat praktik teori demokrasi, yaitu; teori demokrasi ekonomis, teori demokrasi langsung, teori demokrasi media populistik, dan teori demokrasi partisipasi partai.5 Sedangkan pemerintahan dikatakan mampu mewujudkan prinsip demokrasi bila memenuhui tujuh syarat: kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan berpendapat tanpa ada ancaman, kebebasan mengakses informasi, dan kebebasan berserikat.6 Poin pentingnya, asas utama dalam demokrasi adalah posisi rakyat sebagai penguasa, kontrol, sekaligus kebebasannya menyuarakan pendapat dan mengkritik kebijakan yang mewakilinya di parlemen. Sehingga hakikat demokrasi adalah: 3 Dedy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatra, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 119. 4 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 111. 5 Selengkapnya bisa dibaca pada Thomas Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, (Jakarta: Friedrich-Erbert-Stiftung, 2003), 6-11. 6 Selengkapnya bisa dibaca pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 122. 18 pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat.7 2. Model-model dan Jenis Demokrasi Model dan jenis demokrasi sangat banyak, di antaranya:8 a. Demokrasi Liberal: yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undangundang dan pemilihan umum bebas diselenggarakan dalam waktu rutin. Banyak negara-negara di Afrika mencoba menerapkan model ini, tetapi hanya sedikit yang bisa bertahan. Sedangkan dalam pandangan hidup, demokrasi Liberal ditujukan memberikan kebebasan bagi individu untuk melakukan kegiatan sosial, agama, dan bernegara tanpa dituntun dan dicampuri oleh urusan negara, selama ekspresi hidupnya tidak bertentangan dengan pandangan hidup masyarakat lain dan pokok-pokok ideologi bangsa yang didiami. Dampak terebesarnya dalam sistem ini adalah sektor ekonomi, yaitu negara menghormati segala bentuk aktifitas ekonomi dan kepemilikan barang/jasa atas nama pribadi/individu.9 b. Demokrasi Terpimpin: para pemimpin percaya bahwa tindakan mereka dipercayai rakyat, tetapi menolak persaingan dalam pemilihan 7 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Penerjemah I. Made Krisna, Tadjuddin Noer Effendi, ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 38. 8 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121. 9 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, 5. 19 umum untuk menduduki kekuasaan. Sederhananya demokrasi Terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana setiap keputusan berpusat pada pemimpin negara, tidak melalui kesepakatan referendum anggota konstitusi. Sedangkan menurut demokrasi Terpimpin dikutip dari pembukaan Soekarno UUD 1945 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. 10 c. Demokrasi Sosial: yaitu menaruh kepedulian pada keadaan sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik. Demokrasi Sosial menjunjung tinggi derajat kemanusiaan tanpa membedakan kelas, karenanya sosialisme dalam demokrasi mencita-citakan persamaan derajat setiap manusia dari orang perorang.11 d. Demokrasi Partisipasi: yaitu menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai. Komitmennya adalah bahwa manusia dapat hidup bersama dalam semangat kemanusiaannya, selain isu tentang keadilan, kesejahteraan, 10 kebebasan, kerakyatan, M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 71. 11 M. Fadjroel Rachman, “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 258. 20 kesetaraan, dan solidaritas, sehingga memerlukan hubungan timbal balik yang sangat erat antara sumber dan muara.12 e. Demokrasi Consociational: yaitu menekankan pada proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya dan menekankan kerja sama yang erat di antara elite yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.13 f. Demokrasi Deliberatif: menurut istilah “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio, kemudain diserap dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti “konstitusi” atau “menimbangnimbang”. Sedangkan penyatuan kata “demokrasi dan deliberatif” memiliki arti formasi opini dan aspirasi politis yang diolah dengan proseduralisme atau kedaulatan rakyat menjadi inti dari berdemokrasi. Jadi demokrasi deliberatif di mana legitimitas hukum tercapai karena hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil, sehingga dengan ditetapkannya peraturan-peraturan dalam demokrasi akan mudah diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat.14 Demokrasi dalam penerapannya dibagi dalam dua hal, yaitu demokrasi secara langsung dan demokrasi tidak langsung:15 12 M. Fadjroel Rachman, “Demokrasi Partisipatif dan Kepemimpinan Politik Baru”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 302. 13 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121. 14 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 128-130. 15 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 122. 21 a. Demokrasi Langsung: adalah rakyat melakukan kedaulatannya secara langsung. Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya mengawasi jalannya pemerintahan. Sedangkan pemilihan pejabat eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota) dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, bigitu pula pemilihan pejabat legislatif (DPR, DPD, DPRD). b. Demokrasi Tidak dilaksanakan Langsung: adalah paham demokrasi melalui sistem perwakilan. yang Corak pemerintahan demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat, dan dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab terhadap rakyat. 3. Demokrasi Negatif Demokrasi hanyalah salah satu sistem bernegara, hal yang ditawarkan bukan merupakan bentuk final sebuah sistem bernegara. Oleh karena itu sangat memungkinkan terdapat sisi-sisi negatif dari yang ditawarkan, di antaranya: a. Demokrasi Oligarkis atau Demokrasi Terbatas; adalah demokrasi yang didominasi oleh kelompok dan kalangan tertentu. Mereka menggunakan demokrasi sebagai tujuan mempergemuk kepentingan politik, yang konsensusnya tidak saja berhubungan dengan materi, melainkan juga bersifat non materi. Seperti membangun pengaruh dalam masyarakat untuk mencari jabatan tertentu. Legalitas kepemimpinan mereka dibentuk melalui badan-badan peradilan, 22 legislatif, dan eksekutif yang sebelumnya telah dipersiapkan dan diisi oleh aktor-aktor oligarkis, sederhananya kelompok elite tersebut memiliki hak untuk mengintervensi proses lajunya demokrasi.16 Kesimpulannya dominasi elite tertentu sangat merusak keberlangsungan demokrasi.17 b. Demokrasi yang Didominasi Massa; adalah sistem dengan aktor massa yang memiliki kekuatan kolektifitas dan berkuasa di atas penguasa tradisional. Mereka menggerakkan reformasi dari bawah untuk menyerang kekuatan-kekuatan para elite ploitik. Proses penyampaian aspirasi terkadang terlalu berlebihan dan cenderung anarkis karena merasa menang secara jumlah kolektifitas, hasilnya konfrontrasi-konfrontrasi antara dominasi massa dan elite politik malah menghancurkan demokrasi.18 c. Demokrasi Totalitersime; adalah bentuk berdemokrasi yang di dalamnya rakyat tidak bisa bebas berkehendak, karena urusan individu dan pribadi rakyat tidak terlalu penting. Sebaliknya setiap rakyat harus menjunjung tinggi cita-cita yang digariskan dalam sistem politik 16 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang Berubah, 83. 17 Tim Penulis Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan Indonesia (Jakarta: Demos, 2005), 93. 18 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang Berubah,153-155. 23 negara. Contoh sederhananya adalah porblem Jerman dengan ideologi Nazi pada masanya.19 d. Otoritarianisme Demokrasi; adalah faham demokrasi yang di dalamnya dipimpin oleh penguasa otoriter, fungsi parlemen hanya syarat berdemokrasi, kerjanya hanya berbasa-basi bermusayawarah untuk mufakat, padahal bentuk final suatu keputusan tetap berada pada tangan penguasa yang otoriter. Rakyat berada pada jalur terlemah, rakyat tidak diberikan ruang untuk menuntaskan keinginannya apabila bertentangan dengan pengusa. Ciri-ciri sistem politik model demikian biasanya didukung oleh kekuatan bersenjata dari pihak militer. Praktik demokrasi yang otoriter banyak diterapkan di negara-negara Afrika, pada masyarakat internasional mengatakan negaranya menjunjung demokratisasi, namun dipraktikkan dengan cara otoritarianisme.20 B. Teori Kepemimpinan Politik 1. Defenisi Kepemimpinan Pemimpin, kepemimpinan, dan kekuasaan adalah tiga hal yang memiliki defenisi masing-masing, tapi ketiganya berhubungan erat. Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya bertujuan mengarahkan orang 19 Miriam Budiarjo, ed. Masalah Kenegaraan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1982), 92. Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang Berubah, 91. 20 24 lain yang memiliki posisi di bawahnya, baik tingkatan posisi yang disepakati dalam struktural ataupun proses pengakuan pemimpin tanpa kesepakatan (proses alami).21 Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (kelompok) untuk mempengaruhi orang (kelompok) lain sesuai kehendak dan tujuan yang disepakati bersama, wujudnya bisa motivasi dan menginspirasi.22 Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi (memerintah lebih memaksa) orang lain dalam menjalankan hal yang dikehendaki pihak lain (pemilik kekuasaan).23 Karenanya kekuasaan memiliki beberapa karakteristik, pertama kekuasaan meruapakan sesuatu yang abstrak, kedua kekuasaan milik interaksi sosial, ketiga pemegang kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunkan kekuasaan.24 Sedangkan arti sebutan ketua atau raja yang dapat ditemukan dalam beberapa bahasa hanyalah untuk menunjukan adanya pembedaan anatara pemimpin dan yang dipimpin. 2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan Manusia sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya dengan makhluk yang lain, semua saling terikat dan membutuhkan, dari faktor saling ketergantungan tersebut menjadikan manusia hidup secara kelompok, baik dalam suku, ras, agama, ataupun dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Dalam komunitas 21 Selengkapnya bisa dibaca pada M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2007), 18. Sebagai tambahan tentang perbedaan antara pemimpin, kepemimpinan dan kekuasaan bisa dibaca pada Veithzal Rivai dan Dedy Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 341. 22 Eko Maulana Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan. Nugraha, ed. (Jakarta: Multi Cerdas Publishing, 2012), 67. 23 Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, 342. 24 Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 230. 25 tersebut, pasti memunculkan individu-individu unggulan yang melebihi mayoritas lainnya dan cenderung berpengaruh terhadap lingkungannya, sehingga berpotensi sebagai pemimpin sebuah kelompok. Peradaban manusia yang sering berubah merupakan salah satu faktor alamiah munculnya pemimpin-pemimpin dalam kelompok manusia, baik politik maupun keagamaan, tidak hanya berlandaskan kekuatan seperti hukum rimba, melainkan seleksi seorang pemimpin dalam kehidupan manusia terjadi karena banyak faktor, hasilnya teori terjadinya kepemimpinan sangat beragam. Para ahli sejarah dan filsafat sejak masa lalu telah menawarkan kurang lebih tiga ratus lima puluh definisi tentang kepemimpinan, di antaranya:25 Teori Greath Man dari 1869-1930: Kepemimpinan terbentuk karena pengakuan masyarakat sekelilingnya. Teori Trait sekitar tahun 1940: Pembedaan antara pemimpin dengan pengikutnya, sebab pemimpin memiliki kualitas tinggi daripada pengikutnya. Kualitas ini bisa berupa kecerdasan, kekuatan, dan ketangkasan di atas mayoritas. Teori Charismatic sekitar tahun 1950: Penekanan perilaku pemimpin dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya, dalam teori ini didukung oleh dua pendekatan: 1. Koneiderasi; kecenderungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahannya, seperti kedekatan emosional dan 25 Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan. 59. 26 sering memberikan masukan terhadap bawahan, serta selalu terbuka berkonsultasi dengan bawahan. 2. Struktur Inisiasi; pemimpin yang memberikan batasan terhadap bawahannya, dan cenderung memberikan instruksi terhadap bawahan dengan target, waktu, dan cara pelaksanaanya. Sehingga dalam teori ini pemimpin baik adalah yang memiliki loyalitas terhadap bawahan dan memiliki target terhadap suatu pekerjaan.26 3. Model Kepemimpinan Demokrasi Banyak tokoh yang mencetuskan tentang model-model kepemimpinan, baik kepemimpinan yang bersifat politik ataupun administratif, di antaranya model kepemimpinan demokrasi: kepemimpinan model ini mau mendengarkan dan menerima masukan dari pengikut, karena penekanan model demokrasi ada pada mutu yang dihasilkan sesuai kesepakatan bersama. Berikut ciri dari gaya kepemimpinan demokrasi:27 a. Memiliki pandangan, betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi. 26 27 Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan, 60. Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 205. 27 b. Dalam kehidupan organisasi tidak mungkin, tidak perlu, bahkan tidak boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pemimpin, oleh karena itu selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan realistis tanpa kehilangan kendali organisasi nasional. c. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan. d. Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan bawahan sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi dan makhluk sosial sebagai individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas mempunyai kebutuhan kompleks. Seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan, namun yang lebih penting adalah pengakuan setatus sebagai anggota sebuah organisasi. 28 BAB III DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia Demokrasi memang lahir pada masa peradaban Yunani,1 tapi penerimaan besar-besaran terhadap demokrasi terhitung sejak berakhirnya perang dunia ke-II. Karena periodisasi ini adalah tidak hanya sebagai pertarungan perebutan kedikdayaan dan pengakuan internasional siapa yang superior di dunia, melainkan juga perang ideologi antara Fasisme, Komunisme, dan Demokrasi, hasilnya demokrasi dan komunisme adalah ideologi paling diminati atas bencana perang terbesar sepanjang sejarah.2 Perlahan pasca perang dunia ke-II negara-negara mulai berbenah dan memperkenalkan demokrasi untuk negerinya, Jerman, Itali, dan Jepang yang dulunya dikuasai oleh Barat mulai terbiasa dan berusaha menerapkan demokrasi Liberal. 3 Indonesia adalah satu-satunya negara sejak merdeka sampai sekarang mampu mengadopsi demokrasi di kawasan Asia Tenggara, meskipun seiring pergantian dan periodisasi kepemimpinan politik bangsa turut andil dalam merubah model-model demokrasi di dalamnya, terhitung setelah terjadinya 1 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71. 2 Ideologi Fasisme merupakan sebuah paham politik penjunjung kekuasaan absolut dan kontra dengan demokrasi. Ideologi Fasisme juga diartikan memandang rendah bangsa lain dan menjujung tinggi negeri sendiri, sedrehananya Fasisme merupakan nasionalisme yang sangat fanatik dan otoriter. Lihat pada Evriza, Ilmu Politik (Depok: ALFABETA Bandung, 2008), 106. 3 Hal demikian juga terjadi pada negara-negara di kawasan Asia Selatan (India-Pakistan), dan Asia Tenggara (Filipia, India, Indonesia, dan Malaysia). Usaha penerapan demokrasi tidak selamanya sesuai, ada di antara negara-negara tersebut berhasil, bahkan ada juga sampai sekarang tidak menemukan pangkal dan ujung dari demokrasi. Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokorasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 70. 29 perdebatan antara demokrasi Liberal atau demokrasi sesuai identitas bangsa pra kemerdekaan, Indonesia mengalami empat fase model demokrasi;4 1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959. Masa awal kemerdekaan belum sepenuhnya ditentukan Indonesia akan menggunakan demokrasi model apa sebagai sistem bernegara, apakah demokrasi Liberal seperti banyak dilakukan di negara Barat, sebagaimana banyaknya sarjana-sarjana Indonesia belajar di Belanda dengan doktrinnya tentang demokrasi Liberal?, atau akan menggunakan demokrasi-nya sendiri sesuai dengan kepribadian bangsa?. Mulailah tersusun agenda-agenda politik dan birokrasi pemerintahan pada masa awal kemerdekaan untuk menyusun identitas demokrasi Indonesia. 5 Gagasan tentang demokrasi telah banyak disampaikan para tokoh nasional jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengemukakan “Demokrasi Sosial”, itu pula diterapkan sebagai landasan PNI (Partai Nasional Indonesia), yaitu demokrasi kontra Liberal, tetapi juga demokrasi yang memberikan hak-hak ekonomi. Soekarno mempertegas dengan panitia perancangan UUD dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 mengatakan, “Apabila kita ingin mengadopsi demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawarahan yang memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial”. Muhammad Hatta telah menulis tentang demokrasi sejak 4 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 111. 5 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 71. 30 tahun 1933 dengan judul, ”Ke arah Indonesia Merdeka”.6 Hatta memiliki peran besar setelah kemerdekaan dalam mendidik masyarakat Indonesia mengenal tentang demokrasi Moderen. Hatta dalam gagasannya tentang fungsi parlemen dalam berdemokrasi didasari atas dua hal, kemudian dua hal ini menjadi perdebatan pemimpin-pemimpin bangsa sebelum kemerdekan pada dua dekade pertama abad ini, pertama adalah hak berserikat dan berkumpul secara politik, kedua adalah tentang perwakilan rakyat dalam parlemen.7 Hatta menyatakan tidak mudah mengembangkan gagasan demokrasi atas dasar dua poin tersebut, tapi hal itu juga bukan semacam angan-angan dan keniscayaan, karena semua bisa dilaksanakan meskipun syaratnya sangat berat. Kewajiban rakyat pertamakalinya harus insyaf sekaligus faham antara posisi hak dan kewajibannya. Seorang pemimpin tidaklah seperti dewa dengan apapun kehendaknya seolah-olah itu sebagai sebuah kebenaran, posisi pemimpin sama dengan rakyat, berdampingan. Kemudian pertanyaan muncul, apakah ada dasar sistem pemerintahan sesuai dengan kebudayaan kita? Hatta dengan jelas menyatakan ada, kemudian Hatta menganalogikan dengan kehidupan di desa, itu setidaknya memenuhi syarat demokrasi dengan menekankan tiga hal, yaitu; citacita rapat untuk mufakat, cita-cita protes masa dan berwatak kritis untuk memonitor setiap keputusan konstitusi, dan terakhir adalah dasar kolektifitas, 6 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no. 3 (Desember 2007), 66. 7 Dua poin politik tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia, keduanya sama sekali tidak mendapatkan toleransi ke permukaan, karena kekawatiran pemerintah Hindia-Belanda atas posisinya di Indonesia, meskipun belakangan pemerintah HindiaBelanda melunakkan diri dan membiarkan dua poin politik di atas berkembang, namun dengan pengawasan sangat ketat. lihat pada Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72. 31 wujudnya bisa bentuk tolong-menolong dalam berbagai sektor, termasuk sosial dan ekonomi koperasi (cikal bakal bahwa Hatta adalah pencetus sekaligus bapak koperasi di Indonesia). Cita-cita demokrasi dalam bentuk miniatur masyarakat desa menurut Hatta bisa diperjuangkan ke level dan sekala lebih besar, seperti konstitusi ditingkat nasional. Oleh karena itu kenapa Soekarno dan Hatta sepakat mengatakan bahwa demokrasi Indonesia tidak sama dengan demokrasi di Barat, mereka menyatakan bahwa demokrasi Barat hanya pada sektor politik, tidak dijumpai demokrasi pada sektor ekonomi dan sosial, karenanya mengakibatkan perebutan hak milik secara individu dan pengakuan umum atas dasar kekuasaan politik meningkat di Barat.8 Selanjutnya Hatta menandatangani maklumat No/ X pada 3 November 1945, dalam maklumat tersebut Hatta menyatakan pemerintah mengharuskan pentingnya membentuk partai politik sebagai ornament demokrasi, pemerintah berharap partai-partai peserta pemilu telah tersusun sebelum pemilu badan perwakilan rakyat pada Januari 1946. 9 Maklumat tersebut direspon sangat positif dan ditandai banyak lahirnya partai politik sebagai peserta pemilu, akan tetapi rencana awal pemilu pada tahun 1948 harus tertunda akibat banyak kendala, di antaranya agresi militer Belanda II dan pembrontakan PKI di Madiun 1948.10 Perkembangan terpenting dan peralihan sistem politik pada periode ini adalah tahun 1950. RIS (Republik Indonesia Serikat) dirubah dalam bentuk 8 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72 dan 75. Hatta, Untuk Negeriku (Jakarta: Kompas, 2011). 115-116. 10 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 9 67. 32 kesatuan baru, yaitu sistem Parlementer yang kemudian dipimpin Perdana Menteri Natsir, penunjukkan Natsir sebagai Perdana Menteri hasil kesepakatan koalisi kabinet saat itu – tercatat empat pergantian Perdana Menteri dari Natsir, Sukiman, Wilopo, dan Ali Sastroamidjoyo – dari keempat Perdana Menteri tersebut pada era Wilopo pemilu Indonesia untuk pertama kalinya berhasil dilaksanakan dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953, yaitu tepat pada 29 September 1955 (pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (anggota konstituante) untuk pertama kalinya pemilu berhasil dilaksanakan,11 dengan diikuti seratus tanda gambar peserta pemilu ditambah dua puluh satu partai serta wakil tidak berkoalisi, sehingga terdapat dua puluh delapan partai termasuk partai perseorangan.12 Gagasan tersebut menandakan demokrasi pada periode awal kemerdekaan 19451959 kemudian dikenal dengan istilah demokrasi Parlementer.13 2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Seperti disinggung di awal, Soekarno menyatakan bahwa generasi kepemimpinan berikutnya disebut sebagai demokrasi Terpimpin, apa maksud dari pernyataan ini? Dalam catatan sejarah peralihan antara demokrasi Parlementer ke demokrasi Terpimpin dituliskan sejak tahun 1959, namun istilah demokrasi 11 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 12 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004). 66. 432. 13 Demokrasi Parlementer 1945-1959 hancur disebabkan banyak faktor, namun catatan khususnya adalah ketidak mampuan anggota-anggota partai politik di parlemen dan konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara dan undang-undang dasar baru, kemudian mendorong Ir. Soekarno sebagai Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli dengan pernyataan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai dasar negara, ini menandai berakhirnya demokrasi Parlementer. Lihat pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131. 33 Terpimpin sudah dinyatakan oleh Presiden Soekarno sejak tahun 1957 ketika banyak tokoh mulai gelisah tentang warna demokrasi Indonesia.14 Dalam pidatonya dengan judul “Respublika Sekali Lagi Respublika” pada sidang pleno konstituante di Bandung 22 April 1959, Soekarno menyerang konstituante karena mempraktikkan cara-cara demokrasi Liberal, sambil menawarkan solusi mengembalikan demokrai Indonesia pada bentuk demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin menurut Soekarno adalah bentuk relevan untuk Indonesia, dan bukan sebagai kamuflase kediktatoran dan sentralisme seperti faham Komunis, dan berbeda pula dengan demokrasi Liberal. Pondasinya sesuai pembukaan UUD 1945 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”, seperti rapat suku yang dipimpin ketua adat, jadi tidak sekedar dalam bidang politik, melainkan dalam sosial, dan ekonomi.15 Demokrasi Terpimpin mendapat tentangan banyak kalangan, seperti Deliar Noer mengatakan bahwa demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam keluarga besar bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya.16 Karena menganggap dirinya sebagai ayah dalam konteks bernegara, sehingga Soekarno memiliki kebijakan sendiri sebagai orang yang tidak akan berpihak pada siapapun. Sikap demikian 14 15 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 71. 16 Dengan demikian kekeliruan sangat besar dalam demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai penting dalam demokrasi, yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif. Lihat Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131. 34 diterapkannya dalam berpolitik tanpa partai, dengan tujuan independensi tanpa adanya unsur-unsur mendiktenya. Perinsip ini kemudian membuat Soekarno banyak ditentang oleh banyak lawan-lawan politiknya, entah lupa atau tidak sadar, jelasnya dengan menerapkan politik tanpa partai mengakibatkan dirinya masuk dalam lingkaran pencidera demokrasi. Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kesepakatan dari konstituante ditegaskan oleh Hatta bahwa anjuran untuk bergabung dengan partai politik bagi penghuni konstitusi negara (3 November 1946). Kritikan Hatta mendapat dukungan dari M. Natsir dan Ki Hadjar Dewantara – pemimpin Taman Siswa – secara pedas menyatakan demokrasi Terpimpin tidak ada bedanya dengan “liederschap” (kepemimpinan). Hatta pada tahun 1961 menulis dalam bentuk brosur dengan judul, “Demokrasi Kita” isinya menentang ketetapan Presiden Soekarno tentang demokrasi Terpimpin, di dalamnya sangat banyak bertentangan dengan asas-asas kesepakatan berdemokrasi. 17 Di antara hal-hal yang dianggap janggal dalam periode demokrasi Terpimpin adalah:18 1. Penyimpangan terhadap UUD 1945, di antaranya tentang ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, padahal undang-undang sebelumnya sangat jelas, jika periode Presiden menjabat adalah lima tahun. 17 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131. 18 35 2. Tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Presiden telah membubarkan DPR hasil pemilu 1955, padahal dalam UUD 1945 ditentukan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.19 3. Presiden boleh ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan legislatif, sesuai peraturan Presiden No. 14/1960. Presiden juga diperbolehkan ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan yudikatif, sesuai UU No. 19/1964. Selain itu terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial. 4. Pers dan lembaga publik banyak dibredel, saluran-saluran aspirasi rakyat diawasi sangat luar biasa ketat, sehingga teks dan naskah pidato harus disortir sebelum dibacakan di depan umum. 3. Demokrasi Pancasila 1965-1998. Orde Baru berhasil memperoleh simpati sangat besar dari masyarakat Indonesia, keberhasilan figur perwira tentara Soeharto menumpas habis ideologi Komunis di Indonesia sampai anak cucunya hingga ke akar-akarnya dianggap prestasi luar biasa, 20 termasuk di dalamnya Soeharto mampu menjinakkan usaha kudeta oleh Partai Komunis Indonesia tahun 1965.21 Berbondong-bondong masyarakat menumpukan harapan besar atas koreksi total tidak hanya dalam segi politik, tapi juga sosial terlebih kembalinya kondusif hidup beragama, berbangsa, 19 Alasan pembubarannya karena DPR menolak anggran belanja rancangan pemerintah eksekutif saat itu. Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 83. 20 Penumpasan ideologi Komunis di Indonesia memakan korban kurang lebih lima ratus ribu jiwa. Selengkapnya lihat David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 103. 21 Edward Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 2. 36 dan bernegara.22 Semua lapisan masyarakat menyambut era baru demokrasi, terkecuali segelintir orang Komunis yang terancam kehidupannya karena agenda politik Soeharto menghabisi ideologi Komunis di Indonesia.23 Gebrakan mulainya Orde Baru terjadi dalam banyak sektor, paling menjadi sorotan adalah mengembalikan fungsi UUD akibat penyelewengan masa Soekarno, di antaranya ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah dibatalkan, dan jabatan pemimpin negara kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Selain itu kebijakan-kebijakan hasil ketentuan masa Orde Lama kembali mengalami koreksi dengan ditetapkannya MPRS No. XIX/1966 untuk peninjauan kembali produk legislatif demokrasi Terpimpin. 24 Semangat mengembalikan fungsi UUD pada tempatnya dan kembali menempatkan Pancasila sebagai asas tertinggi dan tunggal bagi semua golongan dalam bernegara menjadikan sistem pemerintahan pada periode ini adalah demokrasi Pancasila, sesuai UUD 1945, dan Ketetapan-ketetapan MPRS.25 Berikut beberapa rumusan tentang Demokrasi Pancasila:26 22 Inu Kencana dkk., Sistem Politik Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), 115. Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 85. 24 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 133. 25 S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang Politik dan Pemerintahan (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 8. 26 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 134. 23 37 a. Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum. b. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara. c. Demokrasi dalam bidang hukum pada hakekatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia), peradilan yang bebas dan tidak memihak. Suatu semangat dan pembenahan sangat signifikan jika kita membaca rumusan di atas, tapi jika ada pertanyaan apakah demokrasi kita sama dengan rumusan di atas? Jawabannya bermacam-macam, tapi dari sekian jawaban, sebagain besar akan mengatakan tidak.27 Demokrasi Pancasila adalah nama dan hanya awal dari periodisasinya, Pancasila hanyalah retorika dan sekedar gagasan tidak sampai pada tataran parktik bermasyarakat dan bernegara. Pancasila diagungkan bahkan sangat sakral masa itu, tapi nilai-nilai di dalamnya tidak menjadi landasan dan jaminan hidup. Kepemimpinan Orde Baru lebih menyedihkan berkali lipat dibandingkan Orde Lama, bahkan kekuasaan Presiden 27 Demokrasi Pancasila seharusnya menanamkan nilai-nilai Pancasila, tetapi Orde Baru menggunakan nama itu tidak untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila, melainkan Pancasila hanya sebagai simbol dan tidak menyentuh pada tataran praktik bernegara. Untuk itu bagaimanakah seharusnya demokrasi Pancasila diterapkan di Indonesia bisa dibaca secara jelas pada Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila (Jakarta: Aksara Baru, 1978), 48. 38 Soeharto sampai diberikan gelar “rezim,” satu kata tapi maknanya luar biasa kejinya.28 Peran dalam struktural yang tadinya dikoreksi total dari kecerobohan birokrasi masa Soekarno kembali diterapkan pada masa kepemimpinan Soeharto, M. Rusli Karim menandai setidaknya ada tujuh sektor yang dianggap menyakiti hati rakyat Indonesia. 1. Dominannya peranan ABRI, tidak hanya dalam masalah keamanan, tapi juga dalam birokrasi kenegaraan, bahkan menjadi alat politik,29 2. Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, 3. Pembatasan fungsi dan jumlah partai politik jadi tiga, 4. Campur tangan pemerintah dalam urusan internal partai politik, 5. Massa mengambang, artinya partai politik hanya diperbolehkan membuka cabangnya sebatas sampai tingkat kecamatan, kecuali Golkar yang memiliki perwakilan di desa melalui lurah, 6. Monolitisasi ideologi negara, 7. Inkorporisasi lembaga pemerintah.30 Dengan demikian bisa disimpulkan, nilai-nilai demokrasi tidak sepenuhnya diterapkan pada masa pemerintahan Soeharto.31 28 Tentang apa saja prestasi dan kegagalan tentang periode Orde baru bisa dibaca pada S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang politik dan Pemerintahan,85-89. 29 Selengkapnya tentang fungsi ABRI masa Orde Baru bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “TNI dalam Arus Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 269. 30 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 135. 31 “Secara ekonomi Soeharto memiliki sisi keunggulan dengan menerapkan Trilogi pembangunan, Soeharto memperkenalkan ekonomi pasar, merancang pemerataan pembangunan, dan mengharuskan stabilitas politik sebagai dasar pertumbuhan ekonomi. Namun di balik itu semua demokrasi hancur,” praktik koruspi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur, tidak hanya dalam kawasan elit nasional, tapi sudah masuk ke segala bidang, termasuk plosok-plosok pedesaan. Lihat sepenuhnya dalam Yuddy Chrisnandi, “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 28. 39 Anarkisme penggulingan rezim Soeharto sudah dimulai tahun 1997, ketegangan sosial luar biasa hingga mengakhiri karir politiknya sebagai pemimpin bangsa. Pemicu terbesar adalah mulai terjadinya krisis ekonomi di Asia, negara Asia Tenggara sebelum Indonesia adalah Thailand terlebih dahulu merasakan dampak krisis moneter, hingga merembet ke Indonesia dan kesetabilan ekonomi benar-benar terguncang, akibatnya kerusuhan di berbagai daerah tidak dapat dihentikan.32 Puncaknya terjadi unjuk rasa besar-besaran oleh para pemuda pembaharu, para mahasiswa yang berhasil menduduki DPR RI di Senayan pada akhir Mei 1998M.33 4. Demokrasi Pasca Reformasi. Tahun 1998 adalah babak baru, demokrasi Indonesia tidak lagi dipaksa dengan satu asas tunggal Pancasila, melainkan reformasi total, semangat timbul bukan lagi koreksi total, tetapi penggantian total terhadap apapun berbau dan beraliran rezim Orde Baru. Tumpuan besar setelah krisis moneter mencekik masyarakat diharapkan ada solusi untuk itu. Masa ini adalah masa terberat dalam 32 Himpitan ekonomi memaksa Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan hutang dengan IMF – International Monetery Fund – (15 Januari 1998 disaksikan oleh direktur IMF Michel Camdessus dengan melipat tangan), akibat terus merosotnya nilai tukar rupiah dan mulai melambungnya harga di pasaran. Pemerintah juga mengambil langkah menutup beberapa aktifitas perbankkan, dan mulai berfikir ulang untuk membatalkan mega proyek besar yang direncanakan sebelumnya. Lihat Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” 9. 33 Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti (Elang Mulyana, Hery Hartanto, Hendriawan, Hafidhin Royan, Sofyan Rahman, Tammu Abraham Alexander Bulo, Fero Prasetya) pada tanggal 12 Mei 1998 seluruh elemen masyarakat Indonesia murka. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13-14 Mei 1998, selengkapnya lihat Keith B. Richburg, “Syuhada Tak Disengaja: Penembakan Empat Mahasiswa Yang Menggubah Sebuah Bangsa”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 138. 40 sejarah, transisi tidak hanya dalam bidang politik, namun pemimpin baru diharapkan mampu menyelesaikan problem ekonomi dan berbuat menghidupkan lembaga hukum untuk mengadili Soeharto, keluarga, dan kaki tangannya.34 Tapi lagi-lagi rakyat dibuat kecewa, penggantian total atas rezim berbau Soeharto hanya sekedar wacan dan omong kosong. Banyak elite politik berkepribadian ganda, tadinya sangat tunduk dengan Soeharto tiba-tiba menentang Soeharto. Sistem demokrasi Reformasi memang berbeda dengan rezim demokrasi Soeharto, tapi pelaku di dalamnya tetap orang-orang Soehartois. Pidato Soeharto tentang pengunduran dirinya 21 Mei 1998 adalah hari kebangkitan nasional kedua bagi masyarakat Indonesia, kepemimpinan tertinggi kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Ing B.J. Habibie sesuai aturan tertulis pada Pasal 7 UUD 1945 yang menjelaskan apabila Presiden berhenti atau tidak dapat menjalankan kewajiban dalam masa jabatannya, maka digantikan oleh wakilnya.35 Reformasi berhasil merombak beberapa keputusan konstitusi Orde Baru menjadi lebih demokratis, di antaranya mengembalikan sistem pemilu pada multi partai, yang tadinya Orde Baru menggebiri partai peserta pemilu dengan tiga partai politik, masa Reformasi diikuti lebih dari tiga puluh partai, yang dimulai 34 Sampai sekarang tidak ada penjelasan tentang setatus hukum Soeharto dan harta korupsinya, lembaga hukum seolah-olah digiring untuk tidak mempopulerkan dan memperkarakan kejahatan Soeharto, dan rakyat secara perlahan dibuat amnesia. M. Fadjroel Rachman, “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 120. 35 Detik-detik prosesi pelantikan Habibie sebagai Presiden menggantikan Soeharto bisa dibaca pada Peter Waldman, dkk., “Perubahan Yang Menempatkan Soeharto di Luar Arena”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 227. 41 dari pemilu tahun 1999, 2004, dan tahun 2009. Adanya keputusan pencabutan Dwi fungsi ABRI, ABRI semula ikut dalam percaturan politik dan ikut duduk dalam parlement dikembalikan pada tugas pokoknya, yaitu menjaga keamanan negara dan dilarang ikut aktif dalam politik praktis berada dalam konstitusi.36 Pasca Reformasi mengalami pergantian empat Presiden, dimulai Prof. Dr. Ing B.J. Habibie,37 KH. ‘Abdurrahman Wahid,38 Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudoyono.39 Keempat pemimpin negara pasca Reformasi tidak sesibuk Soekarno dan Soeharto yang memberikan lebel demokrasi pada masa kepemimpinannya. Demokrasi Reformasi tetap menjadi identitas hingga sekarang, hal ini menandakan bahwa Reformasi tidak sekedar momentum peralihan sebuah kekuasaan, melainkan juga transisi kebangsaan yang sangat memiliki nilai-nilai nasionalisme, karena tidak sedikit nyawa dan kerugian materi untuk memperjuangkan Reformasi, untuk itu sampai sekarang belum ada kata yang pantas menggantikan nama demokrasi Reformasi kebentuk lain.40 36 Selengkapnya tentang Dwi fungsi ABRI bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “10 Tahun Reformasi TNI”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 181. 37 Kepemimpinan Habibie berakhir akibat kebijakannya kontroversial, yaitu mengizinkan Timor-Timur mengadakan referendum dengan kesimpulan lepasnya Timor-Timur dari Indonesia. 38 KH.‘Abdurrahman Wahid mulai kehilangan dukungan politik ketika adanya wacana pembubaran DPR dan MPR-RI. Pelengseran Gus dur dengan isu pembubaran DPR dan MPR-RI tidak berjalan mulus. Lawan politiknya bekerja keras hingga akhirnya terdapat temuan pansus tentang kasus Bulogate/Brunei Gate, karena kasus ini Gus Dur lengser. Catatan khusus, bahwa sampai sekarang kasus Bulogate/Brunei Gate yang menjadi alasan lengsernya Gus Dur tidak terbukti. Lihat pada Kencana dkk., Sistem Politik Indonesia, 128. 39 Dua nama terakhir sukses memimpin negara Indonesia, sukses dalam artian masa kepemimpinanya tidak sampai dilengserkan secara paksa oleh rakyat, bahkan presiden Susilo Bambang Yudoyono berhasil memimpin Indonesia dua periode. 40 Cita-cita demokrasi Reformasi sangat besar, peralihan kepemimpian diharapkan mampu menunjang sektor-sektor setrategis dalam negara, sehingga rakyat tidak lagi dikorbankan dalam kepentingan golongan. Kini lebih dari sepuluh tahun Reformasi, banyak cita-cita Reformasi yang belum terealisasikan, selain semakin berangsur-angsur baik nama-nama politisi masa Orde Baru 42 B. Biografi Empat Tokoh Politisi Muda 1. Yuddy Chrisnandi Yuddy Chrisnandi lahir di Bandung 29 Mei 1968, putra pertama dari pasangan Yees Chrisman Tisnaamidjaya (almarhum) dan Tintin Yuniartien. Masa kecil hingga remajanya dilalui di kota Cirebon – Jawa Barat, pendidikan dasarnya di SDN Panitran III Cirebon tahun 1980, pendidikan SLTP di SMPN I Cirebon tahun 1983, dan SLTA di SMA 1 Cirebon tahun 1986. Pendidikan jenjang S-1 di kota Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Padjajaran tahun 1991, berlanjut S-2 meraih gelar Magister Ekonomi bidang Manajemen Keuangan dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1997, di Universitas yang sama Yuddy Chrisnandi manamatkan pendidikan Doktor di Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia tahun 2004, dengan disertasi “Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia”. Buah pernikahannya dengan Velly Elvira dikaruniai anak bernama Ayesha Fatma Nandira.41 Yuddy aktif sebagai pengajar tetap dengan pangkat akademik Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional di Jakarta, ia juga aktif mengajar/memberikan ceramah di berbagai kegiatan pelatihan kepemimpinan organisasi kemahasiswaan atau pemuda, menjadi pembicara di berbagai forum seminar atau diskusi, serta kegiatan akademis lainnya, baik dalam maupun luar yang dahulu menodai demokrasi, rakyat juga sedikit demi sedikit dibuat amnesia tentang semangat Reformasi untuk tegaknya keadilan bagi pelaku-pelaku KKN masa Soeharto. Tentang kaburnya cita-cita Reformasi bisa dibaca pada Dede Mariana dan Karoline Puskara, Demokrasi dan Politik Desentralisasi (Bandung: Graha Ilmu, 2008), 17-23. 41 Yuddy Chrisnandi: “Profil Yuddy Chrisnandi” [website resmi]; tersedia di http://yuddychrisnandi.com/about/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 43 negeri sejak tahun 1991, saat ini tinggal di Jalan Tebet Barat X No. 21 Jakarta Selatan 12810.42 Hidup Yuddy tidak hanya dihabiskan dalam bidang politik, kesehariannya juga dipenuhi oleh agenda pendidikan sebagai dosen dan guru di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, di antaranya; penasehat Ahli KAPOLRI Bidang Politik dan Kepemudaan 1999-2001. Staf khusus Wakil Presiden RI Bidang Politik dan Keamanan 2001-2002. Anggota DPR RI Komisi I periode 2004-2009. Dosen Kehormatan/ Dewan Penyantun STIE Satya Darma Singaraja Bali. Dosen dan Dewan Pendiri Program S-2 STIE Latifah Al Mubarokah, Suryalaya, Tasikmalaya. Dosen PPS Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia tahun 2005. Dosen FE Jurusan Manajemen, Universitas Trisakti dari 1997-2001.43 Yuddy termasuk aktifis dalam berorganisasi, baik dalam bidang pendidikan, sosial ataupun politik, di antaranya adalah; Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (BAPPILU) DPP Partai HANURA periode 2010-2015. Ketua Departemen Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi DPP Partai GOLKAR periode 20042009. Calon Ketua Umum Partai GOLKAR pada tahun 2009. Pengurus DPP Partai GOLKAR. Departemen Hukum dan Perundangan tahun 2001-2004. Pengurus DPP Partai GOLKAR. Departemen Pemuda periode 1998-2001. Direktur Institute of Society & Democracy’s Development periode 2001-2004. 42 Dini Novitasari: “Dr. H. Yuddy Chrisnandi, ME. Profil Anggota DPR RI 2004-2009 FPG Dapil Jawa Barat 7 ” [berita online]; tersedia di http://politik.news.viva.co.id/news/read/2728dr_h_yuddy_chrisnandi_me_; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 43 Yuddy Chrisnandi: “Profil Yuddy Chrisnandi” [website resmi]; tersedia di http://yuddychrisnandi.com/about/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 44 Anggota Forum Democratic Young Leaders - Asia Pacific (FDL-AP) tahun 2000.44 Sangat banyak karya tulis Yuddy dalam politik, di antaranya; Penulis buku KPP HAM Bukan Pengadilan HAM (Yayasan Kebangsaan Bersatu, 1999), buku Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (LP3ES, 2005), buku Kesaksian Para Jenderal ( LP3ES, 2007), buku Military Reform Post Suharto Era Orde Baru (RSIS-Singapore, 2008), buku Beyond Parlemen (Transwacana, 2008), buku Visi Misi Dr. H. Yuddy Chrisnandi, ME. Mengembalikan Kepercayaan Rakyat Kebangkitan Kembali Partai GOLKAR Untuk Mencapai Kemenangan Partai GOLKAR 2014, buku Strategi Kebangsaan Satrio Piningit 2014 (Indohill, 2010), dan beberapa editor buku seperti buku Membangun Kemandirian Indonesia (Forum Dialog Indonesia, 1995), dan buku Orang Berkata Tentang Wiranto (Yayasan Kebangsaan Bersatu, 2001).45 Sedangkan penghargaan yang pernah diraih oleh Yuddy dalam politik antara lain; Calon Presiden Alternatif hasil seleksi Dewan Integritas Bangsa, Maret 2009. News Making Politicians of The Years, Biografi Politik, 2009. Tokoh Muda Inspiratif pilihan KOMPAS, Oktober 2009. Juru Bicara Calon Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014 (H. Jusuf Kalla dan H.Wiranto). Peserta Aktif pada Seminar Senior Inter-Agency Advisory Panel & Process (SIAPP) on National and Transnational Threats, Departemen Pertahanan RI, Mei 2006. Juru Kampanye 44 Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), terletak pada sampul belakang. 45 Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional, pada sampul belakang. 45 Tingkat Nasional Partai GOLKAR, 2004. Juru Kampanye Tingkat Nasional Partai GOLKAR, 1999.46 2. M. Fadjroel Rachman M. Fadjroel Rachman lahir di Banjarmasin pada tanggal 17 Januari 1964, setelah tamat SMA pergi ke Jawa Barat untuk kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Kimia. Selesai menamatkan jenjang Sarjana, Fadjroel melanjutkan studinya ke Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Di sana ia menyelesaikan S-2 dan program S-3 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bidang Manajemen Keuangan dan Moneter, sangat berbeda dengan study S-1 nya yang berkonsentrasi pada jurusan kimia.47 Muhammad Fadjroel Rachman dikenal sebagai seorang peneliti, penulis, dan pengamat politik. Kritis dan berfikir tajam adalah ciri khasnya, terkadang komentarnya kerap membuat gelisah telinga pejabat di pemerintahan. Sikap dan identitas kritikus Fadjroel telah dimulai sejak aktif sebagai aktivis kampus tahun 1980-an, semasa kuliah di ITB.48 Karir politik dibangun semenjak jadi mahasiswa, perjalanannya pernah dihadiahi kurungan penjara oleh generasi pemerintahan Orde Baru, karena gagasan dan pemikirannya dianggap mengancam posisi penguasa saat itu. 46 Yuddy Chrisnandi: “Profil Yuddy Chrisnandi” [website resmi]; tersedia di http://yuddychrisnandi.com/about/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 47 Fathimatuz Zahroh “M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di http://profil.merdeka.com/indonesia /f/M. Fadjroel-rachman/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 48 “M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di http://republikmemanggil.org/tokoh/ tokoh-45/42-M. Fadjroel-rachman.html; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 46 Tercatat Fadjroel bersama dengan para aktivis mahasiswa lainnya melakukan aksi advokasi untuk petani Kacapiring dan Badega pada masa Orde Baru. Fadjroel menjadi komandan lapangan dalam aksi long march sejauh 60 kilometer dari kampus ITB menuju Cicalengka. Aksi itu sendiri kemudian dibubarkan oleh polisi dengan menghujani peserta aksi dengan peluru karet. Aktifitas politik lain Fadjroel yang membuat pemerintah gelisah adalah ketika ia bersama aktifis kampus menggelar aksi penolakan kedatangan Rudini (Menteri Dalam Negeri masa Orde Baru) di ITB, karena tercium oleh aparat bahwa penggerak atas penolakan itu adalah Fadjroel, maka ia bersama lima rekan lainnya lagi-lagi harus menginap di tahanan Bakorstranasda selama satu tahun, sampai pada saat persidangan ia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Fadjroel juga terlibat Gerakan Lima Agustus ITB (1989) menuntut penurunan Soeharto. Akibat aksinya ia kembali ditangkap sebagai tahanan politik, terhitung enam penjara pernah ia singgahi, termasuk Sukamiskin dan Nusakambangan. Di antara enam penjara tersebut, adalah empat penjara yang membuat Fadjroel mulai menulis puisi, kemudian diterbitkan dalam kumpulan puisi dengan judul, “Catatan Bawah Tanah.”49 Aktifitasnya sebagai penggerak perubahan tidak berhenti setelah ia dari penjara, meskipun pernah sebentar rehat dan aktif dalam grup Bukaka, pada tahun 1998 dia kembali turun ke jalan untuk menyuarakan penuruan Presiden Soeharto.50 49 M. Fadjroel Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Jakarta: Koekoesan, 2008), 364. 50 Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan, 364. 47 Fadjroel sekarang aktif pada lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (PEDOMAN Indonesia), sebagai ketua PEDOMAN Indonesia, mantan koordinator Konfederasi Pemuda dan Mahasiswa Sosialis Indonesia (KPMSI), ketua Masyarakat Sosialis Indonesia (MSI), kerja sama internasional di jaringan Southeast Asian Forum for Democracy, dan Asia Pacific Youth Forum (Tokyo). Kandidat (42 besar) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).51 Fadjroel Rachman termasuk salah satu orang yang gemar berpolitik tidak sekedar melalui demonstrasi di jalan-jalan semata, melainkan juga salah satu dari yang pernah ada di Indonesia berjuang dalam politik melalui organisasi sastra dan puisi, berikut di antaranya; Presiden Grup Apresiasi Sastra (GAS) di ITB bandung. KODIM Sabtu (Kelompok Diskusi Mahasiswa Sabtu). Badan Koordinasi Unit Aktivitas (BKUA) ITB. Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) ITB. Majalah Ganesha ITB (Pendiri dan Ketua Dewan Redaksi). Kelompok Sepuluh Bandung. Pada tanggal 28 Oktober 2007, bertempat di Gedung Arsip Nasional, Jl. Gajah Mada, Jakarta Barat, Fadjroel bersama dengan temantemannya mendeklarasikan Ikrar Kaum Muda Indonesia dengan tema sentral "Saatnya Kaum Muda Memimpin."52 Karya tulis Fadjroel dalam politik sangat banyak, baik dalam bentuk narasi ataupun pusi-pusinya, semuanya ditulis untuk mempermudah masyarakat menerima dan mencerna dengan baik, di antaranya adalah; buku Democracy 51 Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan, 363. 52 Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan, 363. 48 Without The Democrats (Friedrich Ebert Stiftung), buku Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat - May Revolution and Mass Media (Penerbit Gramedia, 2001), buku antologi puisi Dongeng untuk Poppy (Penerbit Bentang, 2007), buku antologi puisi Sejarah Lari Tergesa (Penerbit GPU 2004), buku Catatan Bawah Tanah (Penerbit YOI, 1993), buku Soetan Sahrir Guru Bangsa (Penerbit PDP Guntur 49 1999), buku Pesta Sastra Indonesia (Kelompok Sepuluh, Bandung, 1985), buku Dunia Tanpa Peta (Novel, proses penerbitan), dan buku Republik Tanpa Publik (Pledoi, proses penerbitan).53 Penghargaan Fadjroel dalam sastra dan politik antara lain; Antologi puisi Dongeng Untuk Poppy menjadi finalis Khatulistiwa Literary Award 2007, dan dianugerahi 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008. Antologi Puisi Sejarah Lari Tergesa dinominasikan pada Khatulistiwa Literary Award 2005.54 3. Budiman Sudjatmiko Budiman Sudjatmiko dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1970,55 dari pasangan Warsono dan Sri Sulastri di Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Budiman adalah anak pertama dari empat bersaudara, ia tumbuh 53 Zahroh “M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di http://profil.merdeka.com /indonesia /f/M. Fadjroel-rachman/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 54 Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan, 363. 55 Budiman Sudjatmiko “Profil Budiman Sudjatmiko” [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/profil; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 49 besar di Cilacap, Bogor, dan Yogyakarta di tengah keluarga yang menanamkan nilai-nilai keagamaan, nasionalisme dan semangat gotong royong.56 Budiman aktif dalam berbagai kegiatan diskusi dan organisasi sejak memasuki sekolah setingkat SLTP. Pada awal masa perkuliahan di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, ia terjun sebagai community organizer yang melakukan proses pemberdayaan politik, organisasi, dan ekonomi di kalangan petani dan buruh perkebunan di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena aktifitas itu sempat membuat kuliahnya berantakan.57 Aktifitas politik Budiman dimulai sejak kuliah di Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Gerakan militansi Budiman dari masyarakat bawah adalah antisipasi sebagai bentuk tingginya resistensi dari pihak militer dan pemerintah akibat sepak terjangnya terlalu kritis terhadap pemerintahan. Pada tahun 1996 Budiman mendeklarasikan PRD (Partai Rakyat Demokratik), karena posisinya membahayakan pemerintah, Budiman dianggap sebagai "the most dangerous person in this country" dan memperoleh stigma sebagai "the public enemy number one". Tanggal 22 Juli 1996 PRD mengeluarkan manifesto perlawanan terhadap kekuatan Orde Baru. Manifesto perlawanan 22 Juli 1996 tersebut di antaranya secara tajam menyerang dan mengkritik kondisi politik dan kondisi sosial-ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. 56 “Profil Budiman Sudjatmiko” [majalah tokoh online]; tersedia di http://www.tokoh indonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545--tumbal-orde-baru: internet: diunduh pada 27 Maret 2013. 57 “Profil Budiman Sudjatmiko” [berita online]; tersedia di http://profil.merdeka.com /indonesia/b/budiman-sudjatmiko/: internet: diunduh pada 27 Maret 2013. 50 Sejak saat itu, banyak anggota PRD dan orang-orang yang berafiliasi dengannya menerima teror dan tekanan. Tidak sedikit pula dari mereka ditahan tanpa alasan jelas, bahkan sebagian diculik dan disiksa secara fisik dan diteror secara mental. Karena gerakan dan aktifitas PRD membuat Budiman dipenjara oleh pemerintah Orde Baru dengan vonis tiga belas tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Di penjara ia berjumpa dengan tahanan politik lain seperti Xanana Gusmao, pemimpin gerakan pro-kemerdekaan Timor-Timur yang menjadi presiden Timor Leste dan Perdana Menteri Timor Leste. Budiman hanya menjalani hukuman selama 3,5 tahun setelah diberi amnesti oleh presiden ‘Abdurrahman Wahid (almarhum) pada tanggal 10 Desember 1999.58 Perkenalan Budiman dengan PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dimulai saat peristiwa perebutan paksa kantor DPP PDI di jalan Imam Bonjol, Jakarta pada 27 Juli 1996 antara kubu PDI Pro Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi. Akibat peristiwa itu nama Budiman Sudjatmiko sebagai ketua PRD ikut terseret. Ia merupakan orang pertama yang dicari pemerintah atas tuduhan sebagai aktor intelektual di balik peristiwa berdarah 27 Juli 1996. PRD dan Budiman juga dihujat berbagai organisasi sebagai dalang kerusuhan dan dituduh menerapkan cara-cara PKI. Setahun berikutnya 1997 karena popularitas PRD semakin meningkat, dan juga kondisi sosial-ekonomi serta politik mulai tidak stabil, rezim Soeharto mulai melakukan penindasan terhadap berbagai gerakan politis yang dianggap subversif, 58 Setelah keluar dari penjara, Budiman meneruskan studi mengambil Ilmu Politik di Universitas London dan Master Hubungan Internasional di Universitas Cambridge, Inggris. Bisa di baca pada Budiman Sudjatmiko “Profil Budiman Sudjatmiko” [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/profil; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 51 apalagi dianggap ke kiri-kirian atau Komunis, salah satu korbannya termasuk PRD.59 Dalam perjalanan politik Budiman semakin dekat dengan PDI-Perjuangan. Kedekatan Budiman dengan PDI-Perjuangan dilanjutkan ketika dia bersama lima puluh dua aktivis mendeklarasikan Relawan Pejuang Demokrasi (REPDEM) 3 Februari 2004. Budiman memiliki alasan mengapa dirinya memilih bergabung dengan PDI-Perjuangan. Menurutnya, selain adanya kesamaan platform dan ideologi antara PDI-Perjuangan dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yaitu sama-sama membela masyarakat kecil, Budiman juga memandang bahwa sudah saatnya dirinya berjuang di jalur partai besar agar kehendaknya memperjuangkan rakyat mudah direalisasikan.60 Budiman menjabat sebagai Ketua Departemen Pemuda PDI-Perjuangan, kemudian dicalonkan sebagai anggota legislatif untuk Daerah Pemilihan (DAPIL) Jawa Tengah VIII. Dalam pemilu legislatif tersebut, Budiman memperoleh suara terbanyak melebihi ambang batas Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yang disyaratkan KPU, sehingga ia terpilih mewakili PDI-Perjuangan untuk dapil tersebut.61 59 “Profil Budiman Sudjatmiko” [majalah tokoh online]; tersedia di http://www.tokoh indonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545--tumbal-orde-baru: internet: diunduh pada 27 Maret 2013. 60 “Profil Budiman Sudjatmiko” [majalah tokoh online]; tersedia di http://www.tokoh indonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545--tumbal-orde-baru: internet: diunduh pada 27 Maret 2013. 61 “Budiman Sudjatmiko, MSc., M.Phil.” [website resmi]; tersedia di http:// www.moncongputihonlinebook.net/profile.php?user=BUDIMAN&v=friends&search=&m=0&p= 2: internet: diunduh pada 27 Maret 2013. 52 Organisasi politik terbesar yang dibangun oleh Budiman adalah; PRD (Partai Rakyat Demokratik) pada tahun 1996. Budiman termasuk salah satu dari lima puluh dua aktivis mendeklarasikan Relawan Pejuang Demokrasi (REPDEM), 3 Februari 2004. Pengurus Steering Committee dari Social Democracy Network in Asia (Jaringan Sosial Demokrasi Asia). Pembina utama di Dewan Pimpinan Nasional organisasi PARADE NUSANTARA, yaitu organisasi yang menghimpun para kepala desa dan seluruh perangkat desa di seluruh Indonesia. Sekarang aktif sebagai Ketua Kepemudaan dalam PDI-P.62 4. Fadli Zon Fadli Zon lahir di Jakarta 1 Juni 1971, dibesarkan di desa Cisarua - Bogor, putera pertama dari tiga bersaudara. Ayah dan ibunya adalah orang Minangkabau dari Payakumbuh, Sumatera Barat.63 Pendidikan dasar diselesaikan di SDN Cibeureum III, Cisarua, Bogor tahun 1984. Melanjutkan SMP di Gadog, Bogor tahun 1984-1986, dan Jakarta 1986-1987. SLTA selama dua tahun di SMA Negeri 31 Jakarta Timur tahun 1987-1989. Ia mendapat beasiswa dari AFS (American Field Service) ke San Antonio, Texas, Amerika Serikat dan lulus dari sekolah itu dengan predikat summa cum laude tahun 1989-1990. Sarjana S-1 diselesaikan di Universitas Indonesia Program Studi Rusia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia lulus tahun 1997. Tahun 1994 Fadli terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi 62 Budiman Sudjatmiko “Profil Budiman Sudjatmiko” [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/profil; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 63 Fadli Zon “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/profil-fadlizon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 53 (MAWAPRES) I Universitas Indonesia dan Mahasiswa Berprestasi III tingkat Nasional. Menjadi visiting student di departemen politik National University of Singapore tahun 1995, dan memimpin delegasi mahasiswa Indonesia dalam ASEAN Varsities Debate IV (1994) di Malaysia. Sekolah Pasca Sarjana diselesaikan di Development Studies, London School of Economics and Political Science (LSE) di London Inggris dengan pembimbing Prof. John Harriss, Ph.D (Director of Development Studies Institute, LSE) dan Prof. Robert Wade, Ph.D selesai tahun 2003. Kini sedang menempuh S-3 di Program Studi Sejarah FIB UI.64 Fadli Zon termasuk orang yang memiliki kecerdasaan di atas rata-rata, atas hal itu ia pernah mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat, sehingga sangat pantas apabila Fadli memiliki relasi saangat banyak dan mengikuti berbagai macam organisasi baik dalam ataupun luar negeri. Fadli termasuk orang yang aktif berpolitik sejak periode Orde Baru, di antaranya; Direktur Eksekutif Center for Policy and Development Studies (CPDS) pada 1995-1997, sebuah lembaga think tank dan penelitian. Ia juga pernah menjadi anggota MPR RI (1997-1999) dan aktif sebagai asisten Badan Pekerja Panitia Adhoc I yang membuat GBHN. Pada 1998 ikut mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) dan menjadi salah satu ketua hingga 2001 (mundur). Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya 64 “Profil Fadli Zon” [berita online]; tersedia di http://www.antarasumbar.com /id/ads/fadlizon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 54 (GERINDRA) sejak 2008 dan Ketua Badan Komunikasi Partai GERINDRA (sejak 2010).65 Fadli aktif sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) periode 2010-2015, sebelumnya Ketua DPN HKTI (2004-2010). Anggota Globalise Resistance di London. Wakil Ketua Tim Pengawas Pengadaan Beras Bulog, Anggota Oversight Committee Impor Beras (2005). Anggota Dewan Gula (2005-2009). Wakil Ketua ADIPBI (Asosiasi Distributor dan Pengecer Barang Bersubsidi Indonesia) (2006-2009). Observer Gencatan senjata antara Filipina dan tentara Moro di Filipina (Januari 1995). Delegasi Indonesia dalam Pameran Perlengkapan Militer COPEX, di Yordania, 27-29 April 1998. Delegasi Partai-partai Islam ke Republik Rakyat China atas undangan Partai Komunis China di Beijing, Ningxia-Hui dan Shanghai, 10-18 Juni 2000. Dialog dengan para pemimpin Partai Komunis China dan kunjungan ke daerah minoritas Muslim Ningxia-Hui serta tempat-tempat bersejarah di China. Delegasi Kunjungan Ketua MPR RI Prof. Dr. Amien Rais ke Republik Sosialis Libya, Saudi Arabia, Iran, dan Yordania pada 6-18 September 2000. Pertemuan informal dengan Pemimpin Moammar Khadafy dan Supreme Leader Ayatollah Ali Khamenei. Delegasi RI dalam Konferensi tingkat Menteri VI, World Trade Organization (WTO), Hongkong 13-18 Desember 2005. Tim negosiasi masalah pertanian.66 65 Fadli Zon “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/profil-fadlizon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 66 “Profil Fadli Zon” [berita online]; tersedia di http://www.antarasumbar.com /id/ads/fadlizon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 55 Fadli Zon telah aktif dalam dunia jurnalisme sejak SMA kelas dua, hal ini pula yang banyak memperkenalkan Fadli dalam dunia politik, terhitung sejak SMA sudah sangat banyak Fadli bergabung dalam lembaga jurnalistik, di antaranya adalah; Wartawan Tabloid IQRA dan Majalah Suara Hidayatullah (1990-1991). Wartawan Harian Terbit (1991). Redaktur Majalah Gema, DHN Angkatan 45 (1992-1994). Redaktur Majalah Tajuk (1994-1996). CPDS (Center for Policy and Development Studies), sebagai Direktur Eksekutif (1995-1997) Sebuah lembaga think tank dan kajian politik dan militer Indonesia. Pemimpin Redaksi Harian Berita Yudha (1997).67 Dalam karirnya berpolitik, Fadli pernah menulis beberapa buku, di antaranya adalah; buku Gerakan Etnonasionalis: Bubarnya Imperium Uni Soviet (Sinar Harapan, 2002), buku The IMF Game: The Role of the IMF in Bringing down the Soeharto Regime (IPS, 2004), buku Politik Huru Hara Mei 1998 (buku best seller 2004, diterbitkan oleh IPS), buku Politics of May Riots 1998 (Solstice, 2004), buku Mimpi-Mimpi Yang Kupelihara: Kumpulan Puisi 1983- 1991 (Horison, 2010). Fadli juga aktif dalam editorial buku, seperti buku Timor Timur, Indonesia dan Dunia: Mitos dan Kenyataan karya Bilveer Singh (IPS, 1998), buku Tanjung Priok Berdarah (Gema Insani Press, 1998), buku Kembalikan Indonesia! Haluan Baru Keluar dari Kemelut Bangsa karya Prabowo Subianto (Sinar Harapan, 2004) buku Konflik dan Integrasi TNI-AD karya Mayjen TNI Purn. Kivlan Zen (IPS, 67 Fadli Zon “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/profil-fadlizon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 56 2004), buku Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948. (Komite Waspada Komunisme, 2005), buku Lakon Politik “Che Guevara Melayu”: Dokumentasi Teror PKI 1955-1960 karya Ridwan Saidi (IPS, 2006), buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif LEKRA/PKI Dkk., karya DS Moeljanto dan Taufiq Ismail (IPS, 2008), dan buku Setelah Politik Bukan Panglima Sastra: Polemik Hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer (IPS, 2009).68 68 Fadli Zon “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/profil-fadlizon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 57 BAB IV PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN POLITIK KAUM MUDA A. Problem Demokrasi 1. Problem Demokrasi Orde Baru dan Pasca Reformasi Politisi muda era Reformasi, mereka sebagian adalah para mahasiswa yang ikut andil dalam gerakan Mahasiswa 98, kemunculannya adalah reaksi kesewenang-wenangan pemerintah saat itu, kelahiran mereka bukan sebuah sepontanitas, melainkan kesinambungan dan kesengajaan pemikiran matang dari gerakan-gerakan protes jauh sebelum era Reformasi. 1 Posisi mereka tidak memperbarui, melainkan meneruskan perjuangan dari mereka yang diculik dan diintimidasi karena mempermasalahkan otoritas dan kebijakan penguasa, baik kebijakan kesewenang-wenangan ataupun praktik-praktik penodaan atas asas demokrasi.2 Orde Baru tidak hanya pelanggaran asas demokrasi, HAM, praktik korupsi, dan semangat gotong royong “hanya” sesama saudara dan orang-orang terdekat (nepotisme),3 Orde Baru adalah era Fasisme di Indonesia, Daniel 1 Budiman Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, dalam Tim Penerbit Buku Kompas Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi: Merangsang Pemikiran Ulang Keindonesiaan (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001), 149. 2 Konsep pembaharuan politik mengandung dua hal: pertama adanya sistem politik yang ideal dan ingin dicapai, kedua penilaian bahwa sistem politik yang telah ada masih banyak memiliki kekurangan meskipun formatnya sudah pas sesuai identitas bangsa. Lihat pada Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1978), 234. 3 Terlihat seperti anak kecil yang takut dengan gelap, itulah gambaran terhadap aparat pemerintah menghadapi tuntutan hukum Soeharto dan kroninya. Kejahatan korupsi Soeharto sangat besar, permasalahan Super Semar tercium indikasi korupsi Rp, 3,7 treliun tidak sampai pada tahap persidangan, alasannya sama seperti Pinocet yang sakit permanen, sehingga ada ruang maaf untuk itu. Padahal korupsi Super Semar tergolong kecil, jika dibandingkan harta bermasalah 58 Dhakide mengemukakan Orde Baru adalah rezim Neo-Fasisme Militer, GOLKAR adalah ABRI dalam wajah sipil, dan ABRI adalah GOLKAR dalam wajah militer, argumentasi Daniel di-iya-kan oleh M. Fadjroel Rachman, meskipun Fadjroel juga mengatakan Orde Baru adalah periode fasis, tetapi fasis Orde Baru adalah totaliterisme dan korporatis.4 Fasisme adalah faham yang menolak demokrasi, rasionalisme, dan parlementarisme. M. Fadjroel Rachman sependapat dengan Carl Friedrich, bahwa totaliterisme korporatisme Fasisme Orde Baru ditandai oleh enam hal: “Pertama, sebuah ideologi dominan, menyeluruh, dan tertutup. Tidak disangsikan lagi Pancasila versi Soeharto, pada 1980-an dijadikan asas tunggal bagi seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan. Kedua, satu partai yang menganut ideologi totaliter tersebut GOLKAR (sekarang Partai Golongan Karya) sebagai the ruling party dan kedua partai marginal PDI dan PPP adalah penganut ideologi Pancasila versi Soeharto yang tertutup dan totaliter tersebut. Ketiga, sistem intelijen militer maupun sipil yang mengawasi dan menteror kehidupan masyarakat. Rezim Orde Baru memiliki lembaga ekstra konstitusional dan ekstra yudisial seperti KOPKAMTIB (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), lalu berganti nama menjadi BAKORSTANAS (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional). Di perguruan tinggi, melalui resimen mahasiswa (MENWA) memiliki seksi intelijennya sendiri. Keempat, kontrol tunggal semua aktivitas masyarakat sipil, seperti media massa dengan lembaga SIUPP, dan semua organisasi sosial politik dibawah UU Partai Politik dan GOLKAR, Ormas, dan Referendum. Kelima, watak teknokratis dalam menjalankan pembangunan dan sistem kapitalisme monopoli yang menghantam kebebasan buruh untuk berserikat, melakukan depolitisasi massa (floating mass) dan bekerja sama dengan kapitalisme internasional (modal, portofolio, dan TNC/MNC). Keenam, bersifat korporatis, rezim memecah masyarakat menjadi golongan fungsional, sehingga tidak perlu berhubungan dengan masyarakat secara Soeharto mencapai 35-60 miliar dolar AS yang menempatkan Soeharto sebagai pemimpin negara paling korup di dunia. Selain maslah korupsi, Soeharto juga dinanti hukuman atas kejahatan HAM, tapi justru kejahatan HAM Soeharto tidak disentuh sedikitpun. Selengkapnya tentang kaburnya proses hukum Soeharto bisa dibaca pada M. Fadjroel Rachman, “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 119. 4 M. Fadjroel Rachman, “Indonesia Ke Arah Demokrasi dan Emansipasi Sosial”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 15. 59 langsung, hanya berhubungan dengan perwakilan dari golongan/kelompok korporatis itu. Adapun perwakilannya harus direstui atau sesuai dengan 5 keinginan rezim Orde Baru.” Ada beberapa kesamaan antara yang dikemukakan oleh Fadjroel dan dijelaskan oleh Yuddy Chrisnandi, Yuddy mengapresiasi Soeharto, ia mampu membangun ekonomi dengan Trilogi ekonomi, tetapi disaat itupula Soeharto membunuh demokrasi.6 Menggaris bawahi pemikiran Yuddy, setidaknya selain kasus KKN, otoriter, dan pemaksaan ideologi,7 Orde Baru juga mengajarkan semacam doktrinasi terhadap masyarakat antara pemimpin Jawa dan bukan Jawa,8 serta meluasnya konflik komunal,9 dan kedua problem tersebut terakhir bahkan 5 M. Fadjroel Rachman, “Fasisme dan Korporatisme Orde Baru”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 47-48. 6 Yuddy Chrisnandi, “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 27. 7 Politik otoriter Soeharto memaksa Pancasila yang seharusnya menjadi ideologi negara berubah haluan menjadi ideologi politik, sehingga yang berhak menafsirkan Pancasila hanyalah pemerintah. Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 9. 8 Problem Jawa dan bukan Jawa dibangun atas dominasi Jawa dalam segala bidang, selain pemimpin negara diidentikkan memiliki watak raja-raja Jawa, fakta lain mengatakan elit politik di Indonesia juga didominasi oleh orang Jawa, sebab populasi masyarakat Jawa memang di atas suku-suku lain, selain faktor geografis bahwa pusat pemerintahan berada di Jawa. Hasilnya apa?, ternyata dengan identiknya Jawa membuat suku-suku lain selalu menyesuaikan diri dengan masyarakat Jawa, nilai-nilai ke-jawen dipelajari sebagai basis persepsi politik suku lain. Di antara watak masyarakat Jawa dalam aplikasi politik adalah konsep “halus”, masyarakat Jawa cenderung untuk menghindari konflik, tapi di sisi lain juga mudah tersinggung. Kedua “ketenangan bersikap”, orang Jawa memiliki kecenderungan – kewibawaan – orang yang berwibawa dan dihormati bukan orang yang aktif dan selalu berbicara, selalu ada dan menyelesaikan masalah di setiap keputusan, melainkan orang berwibawa bagi masyarakat Jawa adalah yang memiliki ketenangan bersikap. Ketiga adalah konsep “kebersamaan”, kebersamaan bagi masyarakat Jawa tidak hanya pada sektor fisik, melainkan juga pada sektor non fisik, seperti kebersamaan secara moral dan kekeluargaan. Lihat pada Yuddy Chrisnandi, “Problem Jawa-Non Jawa dalam Demokrasi di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 39. 9 Kegagalan penerapan demokrasi akan berakibat fatal dalam bernegara, tidak hanya praktik KKN sebagai penyakit utama, tapi akan melahirkan konflik yang berkelanjutan. Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, 16. 60 sampai pada Reformasi tetap menjadi isu hangat berdemokrasi di Indonesia selain isu banyaknya reformis gadungan.10 Budiman Sudjatmiko lebih sepakat bahwa Orde Baru pemicu gerakan politik kaum muda dimulai dari otoritarian kekuasaan di segala bidang kemasyarakatan serta kapitalisme militeristik tuntutan penguasa, karena ini pemicu adanya KKN di tubuh-tubuh birokrasi baik negara atau swasta. Sistem pengekangan yang mempersempit gerakan kebebasan tidak akan bisa dirubah jika perubahan itu hanya dimulai dari sektor lebih kecil, seperti tuntutan terhadap regional kampus dan institusi daerah. Oleh karena itu perubahan harus dari inti permasalahan, yaitu me-Reformasi kepemimpinan negara yang otoriter, karena kebobrokan dimulai dari penguasa sekaligus induk dari semua otoritarianisme Orde Baru.11 Fadli Zon menyoroti problem demokrasi Orde Baru cenderung dari sistem yang dipergunakan dan bukan kesalahan individu Soeharto, karena tidak mungkin Soeharto berjalan sendiri tanpa ditopang orang-orang yang menginginkan kursi strategis di pemerintahan. Negara Indonesia memiliki komitmen bahwa demokrasi tidak hanya dalam sektor politik, melainkan juga dalam tatanan berkehidupan bermasyarakat kesehariannya. Demokrasi era Orde Baru adalah demokrasi Pancasila, ini merupakan hal baik karena Pancasila merupakan asas yang mampu menyikapi 10 11 Wawancara dengan Yuddy Chrisnandi. Jakarta, 6 Mei 2013. Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, 155. 61 toleransi terhadap masyarakat Indonesia, tetapi praktiknya tidak demikian, karena bagi Fadli Pancasila itu hanya nama bagi sebuah peralihan kekuasaan, sedangkan praktiknya masih terdapat nilai-nilai otoriter dan kediktatoran yang tentunya diiyakan pula oleh penjilat kekuasaan masa Orde Baru. Karena jajaran konstitusi era Soeharto tidak bisa dikatakan takut terhadap Soeharto, melainkan karena mereka yang duduk di pemerintahanlah menciptakan sistem dan pencitraan Soeharto sebagai poros utama dan harus ditakuti, karena dengan itu kapanpun sistem bernegara dirubah untuk kepentingan tertentu bisa saja terjadi dengan mengatasnamakan Soeharto.12 Munculnya kediktatoran saat Orde Baru tidak terlepas dari Soeharto adalah panglima tentara, sehingga watak kediktatoran terbawa sampai pada praktik dan karakter berpolitik. Bukan sebuah kesalahan memiliki gaya berpolitik diktator asalkan pada sektor lain berimbang, dan itu pernah ditunjukkan pada periode Soeharto.13 Orde Baru tidak bisa dilihat dari praktik korupsinya saja, perbandingannya bahwa korupsi Orde Baru dan Reformasi hingga sekarang, justru praktiknya lebih besar korupsi saat ini. Di sisi lain disepakati terdapat banyak pelanggaran-pelanggaran dalam masa itu, tetapi dalam sisi pembangunan ekonomi periode Orde Baru dikatakan berhasil dengan semboyan trilogi 12 13 Wawancara dengan Fadli Zon. Jakarta, 7 Mei 2013. Wawancara dengan Fadli Zon. 62 pembangunan, sampai negara kita tergabung dalam OPEC dan pengimpor beras terbesar se-Asia.14 Masa Reformasi adalah awal dari harapan baru tentang tegaknya demokrasi, tapi seperti peristiwa-peristiwa transisi politik di Indonesia sebelumsebelumnya, semangat dan cita-cita kembali menguap, meskipun Reformasi sudah dari sepuluh tahun berlalu, problem demokrasi tidak berkurang, melainkan justru semakin kompleks. Pendapat empat tokoh politisi muda menyikapi problem demokrasi masa Reformasi sama seperti diungkapkan Adrianof A. Chaniago, permasalahan demokrasi pasca Reformasi digolongkan dalam tiga hal: Pertama anarkisme sosial, baik dilakukan individu, kelomok komunal, etnis, dan agama. Kedua re-sentralisasi dan elitisme dalam sistem politik. Ketiga tokoh-tokoh sipil yang terjebak dan dipenjara layaknya tahanan kota.15 Peristiwa kekerasan dan radikalisme di Indonesia akhir-akhir ini meningkat dan dilakukan oleh multi kelompok. Seperti mengatasnamakan agama, atas nama suku, dan atas nama primordial.16 Praktik terbesar radikalisme agama tidak sekedar berbentuk riel perusakan atas tempat peribadatan agama tertentu, bahkan pemeluk agama yang sama sering terjadi gesekan fisik, belum lagi jika kita lihat peristiwa terorisme di Indonesia, semuanya peristiwa terorisme 14 Wawancara dengan Fadli Zon. Adrianof A. Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, dalam Maruto MD., dan Anwari WMK., ed., Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2002), 27. 16 Untuk permasalahan konflik bisa dibaca pada Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, 12. 15 63 terungkap sebagai tafsir atas gerakan dakwah dalam agama.17 Agama dan suku hanya merupakan latar belakang identitas individu, kemudian mengelompok, dan itu bersifat sangat sensitiv, melebarnya konflik dan fanatisme berlebihan banyak dimanfaatkan gerakan partai politik, akhirnya tidak heran apabila banyak partai politik berakar dan menjual simbol-simbol agama, keberadaan partai-partai agama (atau berdasar suku) bisa memunculkan fanatisme yang menolak aturan main demokrasi apabila partai atau suku yang dianggap wakil Tuhan kalah dalam peta pemilu.18 Jika radikalisme dan praktik separatis terus terjadi sampai sekarang, apa sebenarnya penyebabnya dan apa konsekuensinya?19 Penyebab terbesar adalah tidak meratanya asas demokrasi sampai ke pelosok daerah-daerah, sehingga asas demokrasi berbangsa dan berkehidupan hanya dinikmati oleh orang-orang di Senayan. Bagi Imam Prasojo kekhawatiran bangsa Indonesia akibat konflik tersebut adalah disintegrasi sosial, bila ini terjadi akan menimbulkan iklim tidak saling mempercayai di antara kelompok-kelompok masyarakat, konsekuensinya 17 Munculnya gerakan radikal dalam agama bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “Islam dan Gerakan Radikalisme di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 290. Contoh radikalisme dalam agama bisa dilihat seperti peristiwa bom bali A. Wisnubrata, “Air Mata Tumpah di Monumen Bom Bali” [berita online]; tersedia di http://regional.kompas.com /read/2012/10/12/10243665/ Air.Mata.Tumpah.di.Monumen.Bom.Bali; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 18 Budiman Sudjatmiko, “Beri Kesempatan Demokrasi Bernafas”, [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/83; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 19 Yuddy Chrisnandi, “Menangkal Separatisme Papua”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 75. Baca juga pada M. Fadjroel Rachman, “Luka Papua, Luka Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 185. 64 adalah antara kelompok masyarakat satu dan lainnya saling curiga, saling bermusuhan, dan akibat paling fatal adalah saling meniadakan.20 Konflik-konflik di daerah pertanda tumbuh suburnya re-sentralisasi politik dan perekonomian. Secara konstituen semua induk pemikiran dan gerakan politik menempatkan wakil-wakilnya hingga pelosok daerah, tujuannya secara hukum terjadinya dan tertampungnya banyak aspirasi dari masyarakat, tetapi tujuan secara pribadi dan kepentingan organisasi politik itu hanya salah satu cara menggurita-kan atas kekuasaan. Wakil di daerah selalu menyalahkan pemerintahan pusat karena tidak tanggap terhadap peristiwa di daerah, sedangkan mereka yang di pusat hanya memberikan janji –seolah-olah telah menyalurkan aspirasi rakyat–, padahal secara diam-diam baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah bermesraan, karena konflik pasti akan diselesaikan, hanya saja menunggu momentum yang tepat untuk mengangkat nama baik dan popularitas organisasi politik (pencitraan).21 Sedangkan terjadinya penjara kota bagi tokoh sipil bisa kita telusuri di Ibu Kota, banyak masyarakat berfikir nikmatnya menjalankan perekonomian di Ibu Kota, sehingga banyak mengundang masyarakat dari daerah berbondong-bondong ke Ibu Kota. Perpindahan yang tergolong terburu-buru merupakan satu masalah besar, tanpa dukungan SDM yang brilian, banyak membuat mereka yang susah payah datang ke Ibu Kota harus terlantar dengan ketat dan kerasnya persaingan, 20 Diantara peristiwa-peristiwa radikalisme yang ada, nampaknya gerakan-gerakan separatis adalah gerakan radikalisme yang paling perlu menjadi perhatian. Sebab gerakan tersebut secara jelas dan terang-terangan ingin memiskahkan diri dari negara kesatuan Indonesia. Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, 14. 21 Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, 24. 65 sehingga cita-cita awal mereka agar menjadi orang kaya tidak terealisasikan, wujudnyapun bisa kita lihat, mereka adalah tahanan kota, yaitu orang-orang miskin yang hidup di kota besar. Siapa yang diuntungkan?, tidak lain adalah mereka elite politik yang oportunis dan pragmatis, karena kecerdikannya memanfaatkan keluguan meraka –tahanan kota– sebagai alat politik, mereka dipelihara dan diperjuangkan aspirasinya, yang tidak lain hanya batu loncatan untuk bisa duduk di kursi parlemen.22 2. Argumentasi Rekonstruksi Demokrasi Empat tokoh muda menyatakan komitmennya bahwa demokrasi harus tetap menjadi identitas bernegara dan berbangsa di Indonesia. Meskipun format ideal tentang demokrasi Indonesia terus mendapatkan ujian, tetapi eksistensinya harus tetap dipertahankan. Lantas apa cara yang ideal untuk meneruskan perjuangan demokrasi yang menjadi semangat dan cita-cita Reformasi?, Budiman Sudjatmiko memberikan dua opsi agar demokrasi yang menjadi semangat Reformasi di Indonesia akan terlaksana. Pertama dominasi kekuatan-kekuatan Orde Baru harus dilemahkan, baik mereka yang berada di konstitusi, di tubuh militer, maupun di tubuh parleman dari pusat sampai daerah. Kenapa demikian?, karena orang-orang Orde Baru semakin cerdas, mereka hari demi hari selalu melakukan penciteraan untuk membersihkan nama mereka, tujuannya agar citacita politiknya tidak kandas. Kesempatan kekuatan otoriter lama untuk berkuasa kembali sangat terbuka, salah satunya disebabkan proses demokratisasi terus 22 Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, 30. 66 memberi kesempatan untuk diinterupsi, dan ini bukan sekedar karena daya tahan Soehartois, namun sering karena sikap pragmatisme mereka yang mengawal Reformasi. Tepatnya, otoriterisme lama bisa berkuasa karena di satu sisi tertolong pragmatisme sebagian kalangan menengah, utamanya di perkotaan yang mengontrol modal atau opini.23 Kesimpulannya yang diinginkan masyarakat Indonesia adalah pengusutan tuntas kejahatan KKN era Orde Baru, bagaimana bisa kejahatan Orde Baru tuntas jika yang menyelidiki adalah pelaku kejahatan.24 Kedua agar cita-cita Reformasi terlaksana adalah dengan menyingkirkan reformis gadungan, reformis gadungan merupakan mereka yang menyuarakan dan menyatakan pejuang Reformasi. Tapi karena keberadaannya ditumpangi kekuatan politik tertentu, sehingga untuk melancarkan agenda-agenda politiknya tidak segan-segan bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru.25 Poin kedua dari apa yang dikemukakan oleh Budiman pada “reformis gadungan” memiliki kesamaan dengan argumentasi Yuddy Chrisnandi tentang “pemenang pertama”, mereka adalah yang berhasil merebut kekuasaan demokratis dari rezim otoriter, setelah cita-cita politiknya tercapai dan punya posisi dalam politik, maka agenda-agenda Reformasi perlahan dibelokkan untuk kepentingan 23 Pragmatisme sebagian dari mereka menimbulkan rasa khawatir "instabilitas" yang disebabkan demokratisasi, misalnya menyebabkan proses integrasi mereka dengan perekonomian global terhambat. Namun di sisi lain, konsentrasi kita dalam proses transisi ini juga bisa terpecah karena pernyataan impulsif dari orang-orang idealis yang tidak sabar, meskipun sering dengan maksud baik. Sudjatmiko, “Beri Kesempatan Demokrasi Bernafas”. 24 Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, 156. 25 Contoh kongkrit reformis gadungan ketika Presiden ‘Abdurrahman Wahid tentang pencabutan Tap MPRS No XXV/MPRS/1996, kemudian dimanipulasi oleh reformis gadungan dengan membelokkan pada isu suku, agama, dan ras. Mereka juga yang akomodatif terhadap Dwi fungsi ABRI, serta tidak punya keberanian untuk menghancurkan sisa-sisa Orde Baru. Lihat pada Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, 157. 67 dirinya dan golongannya. Mereka ini pemenang diawal Reformasi, namun diakhir mereka mengikuti sistem yang dahulu pernah ditentang.26 Yuddy mengatakan bahwa diperlukan orang-orang yang tepat agar tidak terdapat reformis gadungan, konsolidasi ini hanya bisa diterapkan bagi mereka yang memilki kecakapan memikul mandat rakyat, mereka yang patuh dalam konsensus politik, terbangunnya etika baik dalam berpolitik, sistem kontrol yang baik tanpa ada intervensi pemerintah, hukum tidak dimanipulasi, ini adalah jalan yang harus ditempuh untuk menjaga kesetabilan demokrasi. Sebab ada dua hal menurut Yuddy dari akibat penerapan demokrasi, pertama apabila demokrasi dikawal baik maka konsolidasi demokrasi tertata rapi, kedua apabila prosesnya cidera, maka akan tumbuh lagi otoritarianisme dalam pemerintahan.27 Selain penyingkiran “reformis gadungan” atau “pemenang pertama”, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk membangkitkan cita-cita demokrasi Indonesia: Pertama, Menghilangkan patron feodlistik dalam pos-pos politik, feodlistik dalam kepemimpinan pengaruhnya luar biasa terhadap kehidupan sosial, ada perasaan sebagai golongan priyayi sehingga menutup terhadap yang lain untuk maju dan lebih menonjol, sehingga terdapat asumsi urusan rakyat bukan urusan pemimpin. 26 Yuddy Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 33. 27 Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, 33. 68 Kedua, Memiliki persiapan matang atas kembalinya neo kolonialisme yang telah dipersiapkan oleh negara adikuasa untuk tidak menginginkan negara Indonesia besar di segala bidang, baik ekonomi, pertahanan, dan berkebangsaan, (ini seperti arguementasi Fadli Zon pada pembahasan berikutnya). Ketiga, Membangun kepemimpinan yang kuat, visioner, dan kaya ide, karena kepemimpinan lemah adalah cermin dari karakter yang mudah tunduk atas tekanan.28 M. Fadjroel Rachman lebih keras menyikapi hal-hal yang akan menopang tatanan demokrasi Indonesia. Jika Budiman menginginkan ada pelemahan kekuatan Orde Baru, Fadjroel justru menginginkan kekuatan Orde Baru dihancurkan dan dilarang di Indonesia, seperti apa yang terjadi pada partai Nazi di Jerman yang dilarang sesuai perundang-undangan konstitusi sampai sekarang.29 Fadjroel menyatakan masa depan demokrasi Indonesia hanya bisa diselesaikan apabila runtutan untuk membangunnya dilaksanakan dengan baik: Pertama tahap otoriter totaliter anti demokrasi dibinasakan dari sistem politik di Indonesia. Tahap transisi demokrasi mensyaratkan keterputusan terhadap elemen otoriter-totaliter yang anti demokrasi, di sini adalah mereka yang disebut sebagai Soehartois, baik individu ataupun lembaga pendukung dan dipergunakan untuk memperlancar cita-cita politik Soeharto pada masa berkuasa, dalam perspektif ini seperti GOLKAR dan lembaga korporatis Orde Baru lainnya 28 Yuddy Chrisnandi, “Refleksi dan Rekonsiliasi Menatap Masa Depan”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 62. 29 Rachman, “Fasisme dan Koropratisme Orde Baru”, 49. 69 tidak mungkin menjadi prasyarat tumbuh kembangnya apalagi mempertahankan dan memimpin tahap transisi demokrasi, tujuannya tidak mungkin membangun demokrasi dengan elemen-elemen otoriter-totaliter yang justru anti demokrasi. 30 Kedua tahap transisi demokrasi. Tahap transisi demokrasi tidak bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu atau yang hanya terlibat dalam politik, melainkan ada lima unsur element masyarakat yang harus terpenuhi dalam masa transisi, yaitu; 1. Masyarakat sipil ‘civil society’, 2. Masyarakat politik ‘political society’, 3. Supremasi hukum ‘rule of law’, 4. Aparatus negara ‘state apparatus’, 5. Masyarakat ekonomi (economic society). Kelima arena masyarakat tersebut tidak boleh cacat satupun, karena apabila salah satu bermasalah, maka tidak akan ada kesetabilan dalam transisi demokrasi. Seperti dikatakan oleh Fadjroel: “Bahwa kepentingan (interest), gagasan (ideas), dan nilai-nilai (values) dari masyarakat sipil adalah penggerak utama (major generators) masyarakat politik, juga terhadap masyarakat ekonomi, aparatus negara, dan supremasi hukum. Tetapi, masyarakat sipil tidak bisa menggantikan semua fungsi modern masyarakat politik seperti "merancang" dan menjalankan konstitusi dan perundangan negara yang menentukan maju mundurnya keempat arena konsolidasi demokrasi lainnya, mengelola aparatus negara, menegakkan supremasi hukum, dan lainnya. Masyarakat politik dalam melaksanakan semua fungsi memerlukan legitimasi masyarakat sipil. Masyarakat sipil juga memerlukan dukungan yang niscaya dari adanya supremasi hukum konstitusional yang memberikan jaminan hukum atas hak-haknya (sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya), dan aparat negara yang melindungi atau menegakkan hak-hak tersebut bila dilanggar. Juga dukungan masyarakat ekonomi yang niscaya untuk menjamin kebebasan dan kehidupan masyarakat sipil. Tanpa masyarakat ekonomi yang menumbuhkan dan memeratakan kesejahteraan 30 M. Fadjroel Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati Soekarno Putri, Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 10. 70 ekonomi, melalui pasar yang terlembaga dan dilindungi regulasi dan deregulasi optimal rancangan masyarakat politik, dihormati masyarakat sipil dan ditegakkan aparat negara, konsolidasi demokrasi tidak akan pernah terjadi.” 31 Ketiga tahap sistem demokrasi dan diperluas ke segala bidang, apabila kedua unsur awal terpenuhi, maka tahap terakhir adalah memperluas dan memperdalam demokrasi. Demokrasi tidak hanya di bidang politik, melainkan dikembangkan ke dalam berkehidupan dan berbangsa kesehariannya. Orang-orang yang tahu, mengenal, dan meyakini demokrasi dengan kepala dan hati mereka, memberi demokrasi kehidupan dengan komitmen mereka, maka mereka pantas disebut sebagai kaum demokrat.32 Konsistensi demokrasi di Indonesia menurut Fadli Zon tidak seperti argumentasi tiga tokoh di atas, menyalahkan Orde Baru adalah kesalahan besar. Bangsa ini harus dimulai dari apa yang ada saat ini, apabila proyek pembangunan sebuah negara harus menyalahkan Orde Baru, negara Indonesia tidak akan terbentuk. Contoh sederhana siapa pemimpin dan politis saat ini yang bukan produk Orde Baru, Budiman, Fadjroel, atau Yuddy? Semua produk Orde Baru kecuali orang yang terlahir setelah tahun 98, yang paling urgen dari itu semua bagi Fadli adalah sistem dan penerapan cita-cita Reformasi. 33 Demokrasi akan terus terjaga apabila terdapat pertanggung jawaban atas pelaksanaannya, konflik dan metode kekerasan untuk menyampaikan pendapat 31 Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati Soekarno Putri, Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, 12. 32 Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati Soekarno Putri, Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, 13. 33 Wawancara dengan Fadli Zon. 71 bukan cara berdemokrasi dalam politik. Demokrasi memang memberikan kebebasan dalam bersuara, berkumpul, dan berserikat, tetapi kebebasan yang tidak mengganggu hak-hak masyarakat lain. Seperti keterangan sebelumnya, bahwa demokrasi Indonesia tidak sekedar politik, tetapi di segala bidang termasuk ekonomi. Saat ini demokrasi Indonesia cenderung ke neo liberalisme ekonomi, yang sangat tidak cocok dan merugikan demokrasi Indonesia.34 Demokrasi Indonesia benar dikatakan Muhammad Hatta adalah demokrasi yang menggabungkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, maka menjadi demokrasi sosial dan kebersamaan, seperti asas budaya kita dengan simbol gotong royong. Hal terpenting dalam demokrasi bagi Fadli selama ini gagal difahami pada masa Reformasi, sehingga demokrasi yang dianggap Reformasi justru mengarah pada neo liberalisme politik dan neo liberalisme ekonomi.35 Dampaknya bukan sedikit, tapi luar biasa menyengsarakan rakyat, aset yang merupakan warisan moyang justru setelah masa Reformasi dinikmati bangsa asing, padahal itu kekayaan kita.36 Bagi Fadli kemelut Reformasi di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat dalam negeri, gerakan-gerakan 98 hanya eksekutor, sedangkan sponsor utama adalah IMF (International Monetery Fund). IMF ikut campur dalam penggulingan Orde Baru, apa tujuan IMF di sini?. Kata Michel Camdessus, “Kami menciptakan krisis untuk Indonesia agar Soeharto turun”. Faktanya bagaimana?, fakta terbesar ikut campur IMF dalam Reformasi adalah dari ketidak 34 Wawancara dengan Fadli Zon. Wawancara dengan Fadli Zon. 36 Wawancara dengan Fadli Zon. 35 72 efektifan idenya menyeleseikan krisis di Indonesia, kenapa IMF yang seharusnya memberikan dana talangan di Indonesia justru ide-idenya malah menghancurkan Indonesia?, pertanyaan tersebut merupakan jawaban atas bukti keterlibatan IMF masa Reformasi. Proyek terbesar IMF saat semua lini ekonomi Indonesia lemah, IMF meminta Indonesia untuk melepas aset-aset setrategis dalam ekonomi dan menjual pada pihak asing, padahal pihak pembeli merupakan kroni dan telah dipersiapkan oleh IMF,37 dan ini awal masuknya neo liberalisme di Indonesia.38 B. Kepemimpinan Politik Kaum Muda 1. Gerakan Kepemudaan dan Investasi Kepemimpinan Politik Ada pernyataan menarik, pemimpin masa depan ditentukan kualitas pendidikan saat ini, dan pemimpin saat ini ditentukan kualitas pendidikan masa kemarin. Begitupula dalam munculnya tokoh-tokoh politik, mereka tidak tumbuh secara instan tanpa ada persiapan dan sejarah yang memotifasi mereka untuk muncul. Karena saat ini berbicara tentang pemuda sebagai pendobrak gerakan politik, maka akan kita diskusikan awal mula gerakan-gerakan kepemudaan yang menjadi investasi gerakan politik kaum muda di masa berikutnya. Gerakan kepemudaan sangat banyak di Indonesia, tapi yang tercatat sebagai gerakan pembaharu dan berdirinya mampu menunjang semangat nasionalisme 37 Fadli Zon, Politik Huru-Hara Mei 1998 (Jakarta: Institude for Policy Study, 2004), 14. IMF tergiur menikmati keberhasilan era Soeharto, Indonesia dulu dalam sektor energi anggota OPEC, dalam pangan Indonesia raja beras se-Asia. Tapi pasca Reformasi ekonomi kita hancur, Indonesia didepak dari keanggotaannya OPEC, Indonesia tidak berdaulat dalam pangan, segala sesuatu harus ekspor dari luar, sampai saat ini bawang, garam, dan sapi didatangkan dari asing. Wawancara dengan Fadli Zon. 38 73 pemuda adalah berdirinya gerakan Budi Utomo 1908,39 gerakan tersebut berdiri sebagai akomodasi para pemuda dalam politik untuk menentukan sikap terhadap para penjajah. Sehingga gerakan Budi Utomo dilambangkan sebagai gerakan kebangkitan nasional.40 Gerakan kebangsaan berafiliasi pemuda kemudian dipertegas dengan gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, di situ terdapat kesepakatan dari para pemuda dengan pengakuan: bertumpah darah satu Indonesia, berbangsa satu Indonesia, dan berbahasa satu Indonesia.41 Dalam sekala mikro gerakan kepemudaan pasca kemerdekaan cenderung dilakukan oleh para mahasiswa, terhitung lebih dari dua kali gerakan mahasiswa menjadi peristiwa terbesar sepanjang sejarah gerakan kemahasiswaan, dimulai dari tahun 1966 sampai terakhir peristiwa 1998, saat penurunan rezim pemerintahan Soeharto dengan berbagai kejahatan yang telah dibahas pada bab sebelumnya.42 Gerakan tersebut di atas adalah rangkaian yang secara terus menerus muncul dengan adanya ketidak beresan situasi bernegara di Indonesia, dipelopori oleh mereka yang muda dan dari situ pula adalah investasi pemuda dalam politik. Keberadaan pemuda dalam mengawal proses berdemokrasi berbangsa dan berkehidupan tidak sebatas keikutsertaannya turun ke jalan dan melakukan 39 Henny Warsilah dkk., Kesiapan Generasi Muda Indonesia Menyongsong Perubahan Kepemimpinan di Tahun 2015 Mendatang, Henny Warsilah, ed., (Jakarta: LIPI, 2010), 1. 40 Abdul Syukur, Perekat Bangsa: Pengakuan Sejarah Kepemudaan Indonesia, Zusiyansah Samosir, ed., (Tangerang: PT. Nusantaralestari Ceriapratama, 2008), 3. 41 Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 9. 42 Gerakan Mahasiswa dengan agenda penurunan Soeharto telah dilakukan dari berbagai periode, 1974, 1978, 1989, dan puncaknya tahun 1998, lihat pada M. Fadjroel Rachman, “Gerakan Mahasiswa Gerakan Politik Nilai”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 218. 74 demonstrasi, melainkan tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya lolos dari seleksi dan muncul sebagai tokoh-tokoh politik baru di Indonesia, dengan semangat kepemudaan. Berbicara kepemudaan dalam konteks biologis dibatasi oleh umur, dari 13 sampai 40 tahun, ada pula yang menyatakan konteks kepemudaan adalah antara umur 20 sampai 40 tahun.43 Menurut Yuddy Latif, pemuda lebih dari sekedar kriteria usia, kaum muda merefleksikan sikap kejiwaan, suatu kebaruan cara pandang yang memutus hubungan dengan tradisi, dengan keberanian memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan. Pendapat lain dari sosiolog terkemuka Talcott Parsons, bahwa pemuda tidak bisa ditafsirkan sebagai kategori biologis dengan memeberikan batasan umur, melainkan suatu konstruksi sosial yang muncul dalam kurun periode tertentu.44 Dalam politik apakah konsep pemuda juga akan disamakan dan dibatasi dalam konteks usia?, 45 atau dalam politik konteks pemuda akan disamakan dengan sekema sosiologis bahwa tidak ada batas umur dalam kepemudaan?46 Berbicara 43 Aziz Syamsuddin, Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2008), 8. 44 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, tanpa penerjemah (Yogyakarta: Kreasi Wacana), 334. 45 Menurut Anies Baswedan pemimpin muda dalam konteks politik berdasarkan umur sangat rasional, cita-cita bangsa Indonesia adalah memperjuangkan demokrasi, demokrasi adalah proyek jangka panjang, memerlukan stamina lintas generasi untuk membuat cita-cita demokrasi berbangsa dan bernegara. Meskipun harus diakui tidak ada rumusan tentang umur dalam sosiopolitik, tapi upaya tersebut sangat rasional. Warsilah dkk., Kesiapan Generasi Muda Indonesia Menyongsong Perubahan Kepemimpinan di Tahun 2015 Mendatang, 2. 46 Apabila dipandang secara umur, Indonesia telah banyak melahirkan para pemimpin politik dari kaum muda, kita bisa baca masa awal kemerdekaan berderet pemuda yang secara umur dibawah 45 tahun menjadi tokoh-tokoh politik, jangkauannyapun tidak sekedar tingkat nasional, bahkan sampai Internasional seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lain sebagainya. Pasca Reformasi kita juga menjumpai para pemimpin dalam politik berusia muda, meskipun hanya dalam regional daerah, tapi perjuangan dan persaingan mereka dengan pemimpin berumur tua 75 kepemudaan dalam sosio-politik tidak berbicara klasifikasi umur, pemuda merupakan keperkasaan, kekuasaan, vitalitas, enerjik, progresif, dan pendobrak. 47 Indra J. Piliang memaparkan empat tipe kaum muda pasca Reformasi: Pertama, pemuda yang bergabung dalam partai politik, banyak pemuda yang menempati posisi struktural partai dan tergolong posisi setrategis. Kedua, mereka yang masih konsisten dalam agenda Reformasi lalu memilih bergabung dalam lapisan masyarakat sipil, mereka berpolitik tanpa partai namun tetap mengakomodasi pemikiran rakyat. Tidak jarang dari mereka justru memperoleh pendidikan tinggi dari luar negeri. Ketiga, mereka para pemuda yang lebih memilih memperjuangkan Reformasi melalui jalur profesional, namun kedudukannya berbeda dengan kaum profesional biasa yang cenderung tunduk dalam peraturan pemerintah, profesional dalam katetgori ini satu tingkat di atas level kaum profesional biasa, mereka tidak sekedar tunduk dalam peraturan pemerintah, melainkan ikut mengkritisi sertiap kebijkan pemerintah. Orang-orang semacam ini nantinya disebut sebagai kelompok menengah kritis yang bisa mengimbangi kepentingan negara dan pasar. tidak mudah, karena masyarakat opininya terbentuk bahwa orang tua dianggap lebih bisa mengayomi. Di antara pemimpin daerah berusia dibawah 35 tahun adalah Airin Rachmy Diany (walikota Tangerang Selatan), Mardani H. Maming (Bupati Tanah Bambu), Yopi Arianto (Bupati Indragiri Hulu), Neneng (Bupati Bekasi). Dalam tingkat Provinsi M. Zainul Majdi (Gubernur Nusa Tenggara Barat) dan Joko Widodo (sebagai Gubernur DKI Jakarta) yang keduanya masih berumur 40-an tahun. 47 Miftahuddin, Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani (Depok: Desantara, 2004), 4. 76 Keempat, adalah golongan pemuda pragmatis, mereka pernah hidup dan berjuang di masa Reformasi, tetapi karena kekurangan ide dan tidak tau apa tindakan selanjutnya, mereka hanya singgah dari kelompok satu ke kelompok lain dengan memanfaatkan identitasnya sebagai alumni penggerak Reformasi untuk membangun pengaruh di masyarakat, tipe ini jelas bertujuan uang. Dari sekian yang telah dibahas tentang teori kepemudaan baik secara biologis dan sosio-politik, empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) memiliki pandangan berbedabeda. Fadli Zon sepakat pada teori sosio-politik, berbicara politik tidak berbicara umur, tidak berbicara tua ataupun muda. Ada pepatah mengatakan, “bukan berapa lama umur kita, melainkan apa yang sudah kita perbuat dalam umur kita”. Dalam kehidupan kita temui orang berumur seratus tahun tanpa hasil dan tanpa peninggalan sejarah, tapi ada yang umurnya dua puluh tahun sudah berbuat banyak dan tertulis dalam sejarah. Berbicara politik berbicara kualitas, bukan kuantitas. Masyarakat kita cenderung membalik hal itu, politik berbicara sistem, bukan berbicara pelaku. Pemimpin politik katakan dipimpin oleh orang muda secara umur, tetapi sistem yang dipergunakan adalah sistem lama, dalam konteks ini tidak akan ada perubahan, akan berbeda apabila muda secara sistem, silahkan Indonesia dipimpin oleh mereka yang tergolong tua, akan tetapi sistem bernegaranya muda – original dan pembaharu – maka akan terdapat perubahan. 77 Meskipun harus diakui bahwa pemuda lebih bersemangat, lebih dinamis, dan mudah mengambil keputusan, karena pemuda tidak takut dengan resiko.48 M. Fadjroel Rachman pernah membuat tulisan berjudul, “Republik Muda: Republik Harapan”, di dalamnya Fadjroel menyebutkan bahwa Megawati Soekarno Putri (65 tahun), Susilo Bambang Yudhoyono (63 tahun), Jusuf Kalla (70 tahun), Wiranto (65 tahun), Sutiyoso (67 tahun), Sultan Hamengku Buwono X (66 tahun), kampanye kepemimpinan tersebut terdapat penekanan dan menyoroti “usia” bagi mereka yang sekarang masih agresif mencalonkan diri sebagai bagian dari kepemimpinan politik di Indonesia.49 Bagi Fadjroel menyatakan dan menggaris bawahi tentang masalah usia hanyalah manufer politik, ia sepakat seperti pernyataan Fadli Zon, bahwa berbicara sosio-politik tidak berbicara usia, melainkan kualitas kepemimpinan.50 Kampanye kepemimpinan politik pemuda saat itu sebenarnya dilaksanakan hanya merujuk pada regenerasi dan normalisasi kepemimpinan politik seperti negara berkembang di Eropa,51 sederhananya contoh di Eropa ada Tony Blair, ia berada di parlemen pada usia 43 tahun, selama sepuluh tahun di parlemen dan menjadi Perdana Menteri Inggris, kemudian berhenti pada usia 53 tahun, setelah 48 Wawancara dengan Fadli Zon. M. Fadjroel Rachman, “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online]; tersedi di http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg34376.html; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. 50 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. Jakarta 10 Mei 2013. 51 Kita tidak boleh lupa dengan mereka yang mati diusia muda karena perjuangan Reformasi, para pemuda menjadi garda depan perjuangan bangsa, jadi sangat layak apabila pemuda lebih diberikan ruang dalam meneruskan perjuangan Reformasi. Lihat pada M. Fadjroel Rachman, “Empat Tahun Reformasi: Kepemimpinan Politik Kaum Muda”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 185. 49 78 itu ia menjadi negarawan karena dianggap sudah tua. Obama juga demikian, ia menjadi Presiden Amerika usia 47 tahun, menjabat kepemimpinan politik selama delapan tahun, hitungannya 47 tahun ditambah delapan tahun memimpin, berarti berhenti diusia 55 tahun, setelah itu ia akan menjadi negarawan karena dianggap sudah tua. Bagi Fadjroel secara normatif kepemimpinan politik dimulai umur 40an dan berhenti diusia 55 tahun, ini sebenarnya keidealan menjadi pemimpin nasional.52 Karena normalisasi kepemimpinan terlalu sulit dicerna oleh masyarakat, makanya Fadjroel melakukan manufer opini politik tentang kepemimpinan berdasarkan usia melalui media, antara pemimpin tua dan pemimpin muda. Metro TV sempat termakan oleh manufer opini Fadjroel, di dalam forum diskusi yang diselenggarakan Metro TV tahun 2009 dikumpulkan mereka dari golongan tua seperti Jusuf Kalla dan orang segenerasi dengannya, dalam diskusi tersebut Fadjroel dikritik habis-habisan karena kampanye politik antara pemimpin tua dan pemimpin muda ditafsirkan dari segi usia.53 Kampanye regenerasi politik dan normalisasi kepemimpinan ternyata tidak berhasil, sampai pada akhirnya Fadjroel memilih alternatif lain melalui konstitusional dengan deklarasi kepemimpinan independen, dan ini berhasil, bahkan sudah banyak Pemilukada dengan tokoh-tokoh independen. Keberhasilan calon independen diteruskan pada tingkat nasional dengan mengangkat capres independen, tetapi gagasan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dan gagal 52 53 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. 79 hingga sekarang. Tujuan terbesar memilih jalur secara konstitusi untuk memberikan pembelajaran dan pemahaman kepada semua masyarakat bahwa semua orang bisa menjadi Presiden tanpa melalui partai politik. Diakui ataupun tidak partai politik selama ini cenderung oligarki, siapa yang ditunjuk sebagai calon Presiden pasti adalah orang-orang yang memiliki hubungan kuat dengan pemilik dan figur dalam partai.54 Yuddy Chrisnandi memiliki pandangan lain atas kepemimpinan politik kaum muda, Yuddy sepakat bahwa kepemimpinan politik harus dilihat secara biologis/usia, apabila kita disodorkan contoh Soekarno dan Hatta menjadi pemimpin politik dibawah umur 45 tahun, di luar negeri ada Bill Clinton dan Obama yang menempati posisi sebagai pemimpin politik kurang dari 45 tahun. Indikasinya adalah; kepemudaan secara usia akan lebih berani memberi trobosantrobosan ide segar dan tanpa ada kompromi, seperti tipikal pemuda yang tidak terlalu berfikir panjang dalam membuat keputusan. Munculnya kaum muda pasti akan memunculkan sistem baru dan pendobrak, karena isu kebangsaan yang timbul sekarang adalah permasalahan politik kontemporer, yang membutuhkan rekonstruksi sesuai pelaku dan tantangan zaman. 55 Sejarah Indonesia membuktikan, bahwa prestasi mereka yang muda secara umur dalam kepemimpinan politik lebih unggul daripada mereka yang sudah tua, 54 Sampai saat ini Fadjroel belum menyadari dan tidak menyangka, bahwa apa yang diperjuangkan tentang pemimpin politik dari jalur independen benar-benar telah berhasil dan ada orang yang mampu menang melalui jalur independen, meskipun tingkatannya baru di daerah. Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. 55 Yuddy Chrisnandi, “Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 108. 80 bandingkan saja masa kepemimpinan Orde Lama, Orde Baru dan mereka pemimpin tua pasca Reformasi. Harus diakui masa Orde Lama dan Orde Baru memiliki sisi negatif, tapi di lain sektor dia memiliki keunggulan luar biasa, sedangkan pasca Reformasi apa yang diunggulkan?. Jumlah korupsi justru lebih besar saat ini dibanding rezim Soeharto dan rezim Soekarno, pelanggaran HAM saat ini bukan lagi kejahatan kelompok, melainkan problem setiap individu. 56 Jadi kepemimpinan kaum tua dianggap gagal dan tidak sukses mengelola berbagai sumber daya politik, bahkan mereka yang tua pura-pura tuli dengan agenda Reformasi seperti: pemberantasan korupsi, penindasan, diskriminasi, kemiskinan, dan pengangguran.57 Perbedaan terbesar antara kaum muda dan kaum tua sangat fundamental, kaum muda selalu melawan, dan kaum tua cenderung berkompromi,58 penempatan kepemimpinan kaum muda tidak selalu pada sektor pemimpin negara, tetapi lebih ada ruang untuk pemuda memimpin dalam bidang politik, tempat setrategis selama ini disinggasanahi mereka yang tua harus mulai direlakan ditempati yang muda, termasuk pos setrategis dalam partai politik yang cenderung oligarki. 59 56 Yuddy Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 102. 57 Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, 101. 58 Seperti peristiwa pendudukan Jepang di Indonesia, masa itu Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia setelah situasi politik di Jepang setabil – pasca bom Hirosima dan Nagasaki –, tapi para pemuda menolak, kemudian memaksa Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Chrisnandi, “Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda”, 106. 59 Yuddy Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 36. 81 Siapakah sebenarnya anak muda bangsa Indonesia? Pertanyaan tersebut diungkapkan oleh Budiman Sudjatmiko. Mereka adalah “anda” sendiri –semangat kepemudaan meskipun tergolong usia tua–, sedangkan dalam kepemimpinan politik siapakah anak muda bangsa Indonesia? Mereka adalah pemuda secara usia dan pemilik masadepan yang menolak dijadikan sandera oleh masa lalu, baik itu asumsi-asumsi kadaluwarsa maupun labirin konflik masa lalu yang menciutkan cakrawala dan semangat untuk membuat perubahan. Tapi bukan berarti anak-anak muda semacam ini meninggalkan sejarah dan keberakarannya yang menggagas realita hari ini, justru mereka adalah anak-anak muda yang sadar akan jalannya sejarah dari realita yang mereka jadikan zaman untuk hidup sekarang.60 Dari pernyataan Budiman di atas dapat ditarik kesimpulan, pertama mengangkat isu kepemimpinan politik pemuda memang sudah saatnya terdapat regenerasi kepemimpinan politik dan pasti berbicara usia, kedua secara sistem harus ada dan mampu memunculkan kebijakan-kebijakan alternatif dan inofatif. Kedua hal tersebut harus berjalan bersamaan, tidak bisa hanya kebijakan yang inofatif dan kreatif tetapi pelakunya generasi tua, karena tujuannya adalah regenerasi, dan tidak bisa pula dilakukan dan dipimpin golongan muda tetapi secara sistem Orde Baru, karena sangat tidak pro kerakyatan dan tidak sesui dengan cita-cita awal, bahwa munculnya figur pemuda diharapkan melahirkan kebijakan alternatif dan inofatif. 61 60 Budiman Sudjatmiko, “Kepemimpinan Baru Indonesia Melintasi -New Frontier”[website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/90; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. 61 Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko. Jakarta 17 Mei 2013. 82 Dalam masa regenerasi kepemimpinan politik Indonesia akan dihadapkan dua hal, pertama Indonesia harus mengambil pola kepemimpinan lain yang kuat untuk menyingkirkan warisan dari pemimpin lama, inilah yang terjadi pada kepemimpinan Presiden Soeharto sejak 1966-1998, secara berdarah-darah membersihkan warisan politik Orde Lama. Kedua, melahirkan transisi berlarutlarut ketika sistem terbuka, seperti saat sekarang banyaknya transisi kepemimpinan tetapi isinya hanya orang-orang Orde Baru. Permasalahan dan konsekuensi atas masalah tersebut adalah generasi kepemimpinan kaum muda saat ini harus menanggung beban kesalahan pemimpin tua masa kini, mereka pemimpin tua sekarang dieranya tidak berani menggugat secara serius kekuasaan otoriter Soeharto yang berlangsung lama, sehingga hak-hak pemuda saat ini direbut golongan tua.62 2. Program Kepemimpinan Politik Kaum Muda Bagi Fadli Zon, tujuan hidup itu sama dengan tujuan berpolitik, konteks bahagia dalam politik sama dengan konteks bahagia dalam hidup. Falsafah demokrasi bangsa Indonesia tidak sekedar dalam politik, tetapi juga dalam berkehidupan. Tujuan berpolitik bagi Fadli Zon sama seperti tujuan politik Hatta dalam sektor ekonomi, dalam demokrasi ekonomi terdapat kekuatan rakyat, ini membedakan dengan ekonomi liberal, pasca Reformasi ekonomi Indonesia sedikit demi sedikit digiring ke arah ekonomi neo liberalisme dengan ikut campurnya IMF – seperti dibahas di muka “negara kaya, tapi rakyat miskin” – 62 Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko. Bisa dibaca pada Budiman Sudjatmiko, “Mengusir Macan Tua” [berita online]; tersedi di http://www.rumahpemilu.org/read /1508/Mengusir-Macan-Tua-oleh-Budiman-Sudjatmiko; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. 83 dalam aturan ekonomi di Indonesia. Pertanyaannya, negara Indonesia mencitacitakan demokrasi di segala bidang, apakah mungkin berpolitik secara demokrasi tetapi secara ekonomi neo liberalisme?. Praktik dalam pemikiran Hatta jelas dengan ekonomi koprasinya, terdapat semangat dan cita-cita gotong royong sesuai jati diri bangsa Indonesia. Hasil dalam demokrasi ekonomi adalah kesejahteraan dan kebahagiaan, bahagia karena sektor primer; sandang, pangan, papan dan sektor kesehatan terpenuhi, dari situ akan timbul kesejahteraan.63 Ekonomi menjadi faktor terpenting dibenahi bukan tanpa alasan, bangsa Indonesia hanya berdaulat secara konstitusi, tetapi secara kebutuhan hidup terlebih pangan, Indonesia belum berdaulat, contoh: beras, daging sapi,64 dan terakhir bawang semua harus impor dari luar negeri. 65 Sependapat dengan Fadli Zon, program kepemimpinan ideal menurut Fadjroel sama seperti gagasan Hatta tentang negara ekonomi demokrasi, tapi Fadjroel menambahkan tentang negara sosialis demokrasi atau negara kesejahteraan seperti gagasan Sutan Sjahrir66 – Pendiri Partai Sosialis Indonesia – yang telah direalisasikan di negara Skandinavia, karena rasa sosial dan rasa 63 Wawancara dengan Fadli Zon. Sastra Wijaya “Menteri Australia ke Jakarta Bicarakan Impor Daging Sapi” [berita online]; tersedia di http://internasional.kompas.com/read/2013/05/12/11422657/Menteri.Australia .ke.Jakarta.Bicarakan.Impor.Sapi; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 65 Wawancara dengan Fadli Zon. 66 Partai Sosialis Indonesia dilarang oleh Presiden Soekarno, karena saat itu Soekarno sedang berbulan madu dengan Komunis. Lihat pada M. Fadjroel Rachman, “The Thrid Way “Giddens” dan Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 254. 64 84 kebersamaan sangat cocok dengan kepribadian bangsa yang saat ini benih-benih keindividuan mulai muncul, dan sindrom ketidak percayaan terhadap orang lain. 67 Sosisalisme tanpa demokrasi adalah kediktatoran, demokrasi tanpa sosialisme adalah ketidakadilan. Keadilan, kebebasan, kemanusiaan, kerakyatan, kesetaraan, kesejahteraan, dan solidaritas adalah nilai fundamental kaum sosialis. Kaum sosialis meyakini bahwa sosialisme hanya bisa diwujudkan melalui jalan demokrasi, dan demokrasi hanya bisa disempurnakan melalui sosialisme, jadi Fadjroel sangat sependapat dengan hal ini.68 Yuddy Chrisnandi memiliki pandangan keterlibatan konflik antar elit politik di Indonesia dengan dampak dan problem di Indonesia saat ini. Konflik antara elit politik di sektor eksekutif maupun yudikatif menyeret kehidupan bangsa dalam kekalutan, ketegangan, dan krisis berkepanjangan, hasilnya dari semua itu bagi Yuddy ada tiga hal, pertama modal berpolitik hancur akibat konflik, kedua modal ekonomi berantakan dari sedikitnya waktu untuk berfirkir jernih akibat kecenderungan berlama-lama dalam konflik, ketiga modal sosial habis akibat krisis kepercayaan dari kepemimpinan politik yang ada.69 Konsekuensi atas tiga hal di atas adalah terjadinya lima “K” dalam berbangsa di Indoensia, yaitu; kemiskinan, kebodohan, korupsi, ketidak adilan, dan ketergantungan pada asing, lima “K” tersebut harus diprioritaskan sebagai 67 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. M. Fadjroel Rachman, “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 257. 69 Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, 15. 68 85 gerakan kebangkitan nasional oleh para pemimpin, dengan tujuan Indonesia lebih baik. 70 Bagaimana lima “K” itu bisa direalisasikan?, pemimpin harus mulai percaya dengan hasil bumi Indonesia, sesuai amanah demokrasi tentang ekonomi kerakyatan, membanggakan barang dalam negeri pada pasar-pasar internasional, bukan malah sebaliknya masyarakat Indonesia membanggakan produk luar negeri.71 Bangsa Indonesia kaya dari segi apapun, tambang, pangan, hasil laut, dan energi, pemimpin Indonesia harus berani bersaing dengan masyarakat Internasional, karena dengan menciptakan iklim keunggulan produksi bangsa Indonesia atas masyarakat Internasional, maka kepercayaan masyarakat bertambah tinggi, tujuannya kompetisi yang ada tidak lagi sesama masyarakat Indonesia, melainkan sudah naik satu level bersaing dengan dunia Internasional. Dari situ akan terpupuk rasa kebersamaan antara masyarakat yang saling memiliki tanpa melihat suku, agama, dan latar belakang politik, hasilnya lima “K” yang saat ini menghantui Indonesia bisa diatasi, jadi kesejahteraan rakyat terletak dari kebijaksanaan dan keberanian kepemimpinan politik, dan agresifitas pendobrak hanya milik kaum muda.72 Bagi Budiman Sudjatmiko, siapapun pemuda yang menjadi pemimpin Indonesia, dia harus menuntaskan tiga hal permasalahan bangsa, pertama harus berani memberikan ide dan trobosan alternativ ekonomi kerakyatan, sebab 70 Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, 16. Yuddy Chrisnandi, “Kehendak Pemuda Menuntaskan Krisis Kepemimpinan Bangsa”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 127. 72 Yuddy Chrisnandi, “Pengantar: Untukmu Tumpah Darahku Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), vii. 71 86 permasalahan ekonomi sangat kompleks, seperti ketidakmampuan untuk merumuskan setrategi dan meyakinkan rakyat atas pembangunan ekonomi berorientasi rakyat dalam persaingan global. Kedua harus mampu menggagas kedaulatan secara politik dan melemahkan campur tangan kepentingan asing, karena selama ini sikap non-progresif pemerintah tercermin dari masih banyaknya wajah-wajah lama peninggalan Orde Baru cukup berpengaruh dalam pemerintahan, serta sikap “tebang pilih” dalam penanggulangan KKN, termasuk kepada Soeharto dan para kroninya pelan-pelan hilang. Konsekuensinya rakyat harus bertanggung jawab atas beban korupsi Soeharto, serta kondisi ini diperparah ikut campurnya politik asing dalam konstitusi Indonesia untuk menghabisi kebijakan-kebijakan penting, terlebih sektor ekonomi. Ketiga berkepribadian secara budaya dan bangga menjadi Indonesia. Pemerintahan sekarang tidak memiliki visi yang jelas untuk melindungi dan menghasilkan sinergi dari keragaman budaya nusantara, khususnya dalam pengimplementasiannya pada program-program pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Pemerintah sering bersikap “cari aman” di hadapan kelompok mayoritas, dari segi implementasi pemerintah tidak tegas menghadapi sikap vandalisme kelompok-kelompok yang anti pada kebhinekaan dan menciderai hak berdemokrasi bagi golongan lain.73 73 Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko. Bisa dibaca pada Budiman Sudjatmiko, “Agenda Perubahan Nasional Berdasarkan MATRIX TRISAKTI” [website resmi]; tersedi di http://budimansudjatmiko.net/node/93; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. 87 3. Problem Kepemimpinan Politik Kaum Muda. Fadli Zon seperti gagasannya, bahwa berbicara kepemudaan dalam politik tidak bisa berbicara umur, namun berbicara sistem. Kolerasinya bahwa saat ini tidak sedang ada hambatan untuk memunculkan dan meremajakan ide-ide kepemimpinan kaum muda. Demokrasi kita sedang mengalami masa transisi hebat dan mencari format idealnya, rangkaian ini sedang berjalan meskipun harus diakui apabila IMF masih ikut campur dalam urusan di Indonesia, ekonomi dan cita-cita politik masih susah. Kita diperbudak di rumah sendiri, sedangkan hasil dari jerih payah bangsa harus direlakan untuk menggaji bangsa lain. Kesimpulan sederhananya, memang harus dibutuhkan pemimpin yang revolusioner dan bertanggung jawab atas keadaan bangsa, sehingga hutang dan sistem neoliberlisme pasca Reformasi benar-benar bisa ditangani melalui sistem-sistem yang baru.74 Bagi M. Fadjroel Rachman normalisasi dan regenerasi dalam politik tidak berjalan akibat hebatnya kekuatan dalam partai politik yang belum siap dan belum mau menghendaki munculnya tokoh dari golongan pemuda, selain faktor oligarki dan feodalistik dalam tubuh partai politik dari masa Orde Baru sampai sekarang masih terjadi, apabila itu masih tetap ada sampai kapanpun akan susah melakukan normalisasi dalam kepemimpinan politik, buktinya apa?, kecenderungan mengambil sikap tidak bisa secara independen, melainkan harus ijin dengan sesepuh atau figur partai, apalagi kalau kita lihat yang jadi Presiden pasti masih 74 Wawancara dengan Fadli Zon. 88 ada embel-embel Wahid, Yudhoyono, Soeharto, dan Soekarno, itu baru contoh kecil, belum lagi apabila kita menyebutkan problem semacam ini di daerah.75 Bagi Yuddy Chrisnandi problem terbesar penghambat munculnya generasi muda ke puncak kepemimpinan tertingga adalah sikap kepribadian pemuda dan sistem feodalistik dalam partai politik. Argumentasi pertama adalah teori yang dibangun atas dasar bahwa kepemimpinan pemuda berhubungan dengan usia, usia muda dianggap sebagai periode pencarian jati diri, sehingga belum adanya kemantapan untuk fokus pada titik politik tertentu, seperti contoh kongkrit “pemenang pertama”, mereka aktifis 98 yang muda secara umur, namun di era Reformasi banyak yang melakukan manufer politik dan masuk dalam golongangolongan yang dahulu pernah dianggap musuh Reformasi. 76 Kendala kedua terdapat pada sistem pada partai politik, oligarki adalah ajaran Orde Baru, tapi dinikmati hingga sekarang. Sistem oligarki menjadi penghambat munculnya kaum muda karena di situ pemuda tidak diberikan ruang untuk menyalurkan aspirasi politiknya, pemuda cenderung sebagai pendukung, bukan sebagi aktor utama, terlebih apabila tidak memiliki darah dengan pendiri ataupun figur partai politik.77 Demokrasi tidak akan berjalan jika partisipasi dibatasi, sedangkan fungsi partai politik hanya cenderung sebagai calo kepemimpinan nasional. Partai politik mengabaikan aspirasi dan figur dari luar, partai politik tidak benar-benar menjaring aspirasi yang diinginkan rakyat, 75 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, 35. 77 Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, 103. 76 89 melainkan hanya bertujuan menguntungkan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dalam partai politik.78 Yuddy sepakat dengan argumentasi Sukardi Rinakit dalam memposisikan kaum muda, pertama pasangan Presiden dan Wakil Presiden dipimpin oleh golongan tua, sedangkan kabinet diisi oleh kaum muda, kedua Presiden diisi oleh golongan tua, dan Wakil Presiden diisi oleh golongan muda, dan kabinet diisi oleh golongan muda, ketiga baik Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri diisi oleh kaum muda. Pilihan pertama dan kedua adalah yang paling relevan untuk saat ini, sebab dengan itu paling sedikit terjadinya konflik antara kaum muda dan golongan tua. Konsekuensi dari konflik apabila kaum tua sama-sekali dihilangkan dari panggung politik, justru akan menjadi penghambat kepemimpinan kaum muda karena merasa disingkirkan.79 Budiman memiliki gagasan bahwa eksistensi politisi tua yang dulu pernah menikmati kejayaan Soeharto adalah penghambat nyata munculnya regenerasi kepemimpinan nasional, pemilu yang akan datang masih diisi oleh barisan yang sama seperti pemilu 2009, peran pemuda sebagai regenerasi dan kaderisasi hanya paling jauh sampai tingkat pimpinan partai politik. Pemuda tidak diperkenankan keluar dari ruang lingkup organisasi partai politik dan diberi kesempatan mencalonkan diri sebagai Presiden, selain pertimbangan lain warisan Orde Baru 78 Yuddy Chrisnandi, “Oligarki Parpol dan Orang Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 114. 79 Chrisnandi, “Oligarki Parpol dan Orang Muda”, 116. 90 berpartai secara oligarki lebih membunuh pemuda dalam karir kepemimpinan nasional.80 Dari uraian dan dekripsi di atas sangat jelas, bahwa demokrasi dan eksistensi kepemimpinan politik di Indonesia saat ini masih jauh dari kata ideal. Tambal sulam sistem politik masih harus dilakukan untuk menempatkan ide-ide demokrasi dalam kehidupan dan melahirkan kepemimpinan politik yang pro rakyat, sehingga tujuan didirikannya Indonesia bisa terealisasikan sebagai bangsa yang berdaulat secara sandang, pangan, papan, dan politik. 80 Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko. 91 TABEL PERBEDAAN PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN POLITIK M. Fadjroel Rachman Budiman Sudjatmiko Yuddy Chrisnandi Fadli Zon Problem Demokrasi Orde Baru 1. Otoritarianisme 1. Otoritariansime.3 1. Otoritarianisme. 1. Sistem bernegara salah.4 2. Fasisme: 2. KKN dan HAM. a. Korporatisme.1 3. Pemaksaan Ideologi. 2 b. Totaliterisme. 4. Pemimpin Jawa non Jawa. Problematik Demokrasi Pasca Orde Baru Keempat tokoh muda tersebut memiliki kesamaan argumentasi, masalah demokrasi pasca Reformasi adalah kelanjutan dari kebobrokan demokrasi Orde Baru. Meskipun masalahnya lebih banyak dan kompleks, demokrasi pasca Reformasi bisa disimpulan 3 hal: 1. Anarkisme sosial (baik dilakukan atas nama agama, etnis, kelompok, suku, dan lainnya). 2. Resentralisasi dan elitisme dalam sistem politik.5 3. Tokoh-tokoh sipil yang terjebak dan dipenjara layaknya tahanan kota.6 Empat tokoh di atas sepakat bahwa masa depan Indonesia harus tetap menggunakan demokrasi Program Rekonstruksi Demokrasi di Indonesia Menurut Empat Tokoh; Ada 3 hal; Ada 2 hal; Ada 4 hal; 1. Tahap otoriter totaliter anti 1. Melemahkan kekuatan 1. Mewaspadai dan demokrasi ORBA dibinasakan ORBA, baik di politik menyingkirkan “Pemenang dari sistem politik di Indonesia. ataupun militer. Pertama” – sama seperti 2. Transisi demokrasi: 2. Mewaspadai dan gagasan Budiman tentang Ada 5 hal penopang transisi menyingkirkan “Reformis “Reformis Gadungan”. demokrasi (1). Masyarakat sipil Gadungan” – Orang yang 2. Menghilangkan patron (civil society), 2). Masyarakat mendukung Soeharto, tapi feodlistik dalam pos-pos Ada 2 hal; 1. Demokrasi akan terus terjaga apabila terdapat pertanggung jawaban atas pelaksanaannya. 2. Menyingkirkan neoliberalisme ekonomi; dengan cara 1 Aspirasi rakyat dibuat secara terlembaga, seperti HKTI untuk petani. KORPRI untuk PNS, apabila menyalurkan aspirasi tidak sesuai itu, maka akan diabaikan. Apa-apa harus berpusat dari Soeharto, rakyat tidak boleh melakukan hal yang bertentangan dengan Soeharto. 3 Sama seperti ungkapan Fadjroel, otoritarianisme adalah penyakit utama ORBA, karena cara ini yang mengakibatkan banyaknya KKN dan pelanggaran HAM. 4 Kesalahan ORBA tidak bisa dilihat Soeharto semata, melainkan juga salah orang-orang di sekelilingnya, mereka juga harus bertanggung jawab karena menikmati kekuasaan dengan menggunakan nama Soeharto sebagai figur kejam dan ditakuti. 5 Sistem politik hanya bersentral di elite politik, sedangkan perwakilan di daerah bukan untuk mempermudah menangkap aspirasi rakyat, melainkan hanya mengguritakan kekuasaannya sampai ke daerah. 6 Mereka ini adalah masyarakat desa yang tergiur untuk berjuang di kota-kota besar, tetapi karena tidak siap berkompetisi dan lemahnya SDM, maka mereka tidak menemukan harapannya untuk kaya, jadinya mereka seperti tokoh sipil yang terpenjara kota, orang-orang miskin yang terjebak di kota besar dan tidak bisa berbuat apa-apa. 2 92 TABEL PERBEDAAN PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN POLITIK politik (political society), 3). ketika Soeharto lengser politik. menggabungkan antara Supremasi hukum (rule of law), berubah total ikut memusuhi 3. Memiliki persiapan matang demokrasi politik dan 4). Aparatus negara (state Soeharto agar bisa masuk atas kembalinya demokrasi ekonomi, maka apparatus), 5). Masyarakat kembali di pemerintahan. neokolonialisme. menjadi demokrasi sosial ekonomi (economic society). 4. Membangun kepemimpinan dan kebersamaan seperti 3. Tahap sistem demokrasi yang kuat, visioner, dan kaya gagasan Hatta. diperluas ke segala bidang. ide. Keterangan Perdebatan pemimpin muda secara usia atau sistem politik Tujuan Fadjroel Rachman Pemuda dalam politk; 1. Usia. 2. Sistem.7 Budiman Sudjatmiko Pemuda dalam politik; 1. Usia. Satu Paket 2. Sistem. 1. Regenerasi.9 2. Normalisasi.10 1. Regenerasi.11 Program 1. Secara ekonmi sama seperti Fadli Zon Kepemimpinan Yuddi Chrisnandi Pemuda dalam politik; 1. Usia. Pemuda memimpin 2. Sistem.8 1. Regenerasi. (Dipimpin pemuda, sistem / ide-ide pembaharu mengikuti).12 1. Harus berani memberikan ide 1. Modal berpolitik hancur akibat dan trobosan alternativ lama dengan konflik. Fadli Zon Pemuda dalam politik; 1. Sistem. 1. Sistem; Berbicara politik berbicara kualitas, bukan kuantitas.13 1. Mengembalikan sistem ekonomi Indonesia 7 Fadjroel menggunakan isu usia dalam kepemimpin politik sebenarnya hanya untuk mempermudah masyarakat menerima dan menangkap kampanye kepemimpinan kaum muda. 8 Intinya saat ini harus dipimpin oleh pemuda, sistem bernegara bisa megikuti, sebab tidak mungkin kita memotong sistem yang ada, karena masih adanya orang-orang ORBA, kecuali orang-orang ORBA tidak ada, maka pemuda bisa merealisasikan semua program-programnya. 9 Saatnya regenerasi kepemimpinan politik, sekarang masa Reformasi harus eranya Reformasi, bukan lagi eranya generasi dan orang-orang ORBA. 10 Normalisasi seperti di Eropa, normalnya mereka jadi presiden umur 40-an tahun dan berhenti umur 50-an tahun, makanya bagi yang umur 59 tahun keatas adalah pemimpin tua. 11 Pertama mengangkat isu kepemimpinan politik pemuda memang sudah saatnya, tujuannya regenerasi kepemimpinan politik dan pasti berbicara usia, kedua secara sistem harus ada dan mampu memunculkan kebijakan-kebijakan alternatif dan inofatif. Kedua hal tersebut harus berjalan bersamaan, tidak bisa hanya kebijakan yang inofatif dan kreatif tetapi pelakunya generasi tua, karena tujuannya adalah regenerasi, dan tidak bisa pula dilakukan dan dipimpin golongan muda tetapi secara sistem ORBA. 12 Munculnya kaum muda pasti akan memunculkan sistem baru dan pendobrak. Intinya pemuda harus diberikan kesempatan memimpin, sedangkan sistem pendobrak dan pembaharu pasti mengikuti, karena tidak mungkin harus dirubah seiring munculnya pemimpin muda, karena akan membuat konflik antara generasi tua dan muda. 13 Pemimpin politik katakan dipimpin oleh orang muda secara umur, tetapi sistem yang dipergunakan adalah sistem lama, dalam konteks ini tidak akan ada perubahan, akan berbeda apabila muda secara sistem, silahkan Indonesia dipimpin oleh mereka yang tergolong tua, akan tetapi sistem bernegaranya muda – original dan pembaharu – maka akan terdapat perubahan. 93 Politik Politisi Muda TABEL PERBEDAAN PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN POLITIK tentang ekonomi ekonomi kerakyatan. 2. Modal ekonomi berantakan demokrasi Hatta. 2. Harus mampu menggagas dari sedikitnya waktu untuk 2. Secara bernegara kedaulatan secara politik dan berfirkir jernih akibat demokrasi sosialis melemahkan campur tangan kecenderungan berlama-lama seperti gagasan Sutan kepentingan asing. dalam konflik. Sjahrir, ini diparktikan 3. Berkepribadian secara budaya 3. Modal sosial habis akibat krisis di Skandinavia. 14 dan bangga menjadi kepercayaan dari pemimpin Indonesia politik15 seperti rancangan Hatta, yaitu ekonomi demokrasi untuk mewujudkan ekonomi sosial. Sebab pasca Reformasi ekonomi Indonesia cenderung neoliberalisme.16 Problem Kepemimpinan Politik Kaum Muda Faktor penghambat kepemimpinan politik kaum muda 1. Masih adanya sifat oligarki dan feodalistik di partai politik. 2. Belum siapnya partai politik memberikan kepercayaan terhadap pemuda memimpin bangsa. 3. Tertutupnya secara konstitusi capres dari jalur independen. 1. Oligarki pada partai politik. 2. Pemuda cenderung pragmatis; mereka masih muda secara umur makanya mereka belum bisa konsisten pada pos politik tertentu. 1. Oligarki pada partai politik. 2. Masih adanya sisa-sisa Orde Baru yang menduduki pos strategis dalam politik, sehingga regenerasi terhambat. Sebenarnya kita sedang tidak ada kendala untuk memunculkan peremajaan sistem politik dan bernegara di Indonesia, karena dari hari kehari pemerintah selalu membuat inovasi sistem bernegara, meskipun praktiknya masih terjadi kecurangan-kecurangan. 17 14 Karena rasa sosial dan rasa kebersamaan sangat cocok dengan kepribadian bangsa yang saat ini tumbuh benih-benih keindividuan. Akibat tiga itu maka mengakibatkan 5 “K” sebagai permasalah bangsa, maka apabila 3 hal tersebut terealisasikan maka lima”K” akan dapat diatasi. 16 Ekonomi menjadi faktor terpenting dibenahi bukan tanpa alasan, bangsa Indonesia hanya berdaulat secara konstitusi, tetapi secara kebutuhan hidup terlebih pangan, Indonesia belum berdaulat. Contoh: beras dan daging sapi masih impor. 17 Program ini tidak berjalan karena salah satunya ada faktor neoliberalisme, seunggul apapun produk bangsa Indonesia kalau IMF masih mengakar dan menyelundupkan program neoliberalisme di Indonesia, maka program regenerasi selalu terbentur. 15 94 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Problem demokrasi masa Orde Baru adalah otoritarianisme pada individu Soeharto yang diterapkan pada gaya kepemimpinan, selain ada perbedaan antara empat tokoh menyoroti problem demokrasi era Soeharto. Seperti Fadjroel “fasisme yang totaliterisme dan korporatis anti demokrasi.” Yuddy “maraknya kasus KKN, dan pemaksaan ideologi, Orde Baru juga mengajarkan doktrinasi terhadap masyarakat antara pemimpin Jawa dan bukan Jawa, selain isu paling populer banyaknya reformis gadungan.” Reformis gadungan ini memiliki kesamaan dengan pandangan Budiman Sudjatmiko yang disebut sebagai “pemenang pertama,” yaitu mereka yang dulunya pro Soeharto saat reformasi jadi pro rakyat. Fadli paling berbeda melihat demokrasi era Soeharto, kebobrokan demokrasi Orde Baru bukan dosa individu Soeharto, melainkan secara sistem, dan itu terbukti dinikmati semua yang duduk di pemerintahan Soeharto. Sedangkan problem demokrasi pasca Reformasi adalah anarkisme sosial baik dilakukan individu atau kelompok komunal, re-sentralisasi dan elitisme dalam sistem politik, dan tokoh-tokoh sipil yang terjebak yang dipenjara layaknya tahanan kota. Dalam problem kepemimpinan terdapat dua perdebatan, antara pemuda secara umur atau muda secara sistem politik. Fadli Zon; berbicara pemuda dalam politik tidak berbicara umur, melainkan berbicara sistem, untuk apa muda secara umur tapi sistem politiknya tua/kuno, karena politik berbicara kualitas, bukan 95 kuantitas. Bagi Fadjroel, Yuddy, dan Budiman berbicara pemuda dalam kepemimpinan politik harus dilihat secara biologis/umur, sebab ada fungsi yang akan dicita-citakan tehadap muda secara biologis, seperti Fadjroel yang menghendaki untuk normalisasi dan regenerasi kepemimpinan, seperti terjadi di negara Eropa yang rata-rata pemimpin negara dimulai saat berusia empat puluhan tahun, dan berhenti diusia lima puluhan. Yuddy mencita-citakan kepemimpinan politik muda secara usia tujuannya bahwa pemuda akan berangsur-angsur membawa gagasan bernegara yang baru. Yuddy bercermin terhadap Soekarno dan Soeharto muda di era kepemimpinannya mampu memunculkan ide-ide pembaharu. Sedangkan Budiman menggagas kepemimpinan politik kaum muda berdasarkan usia tujuannya akan ada perubahan sistem bernegara yang dibarengi tumbuh dan munculnya pemimpin muda. Penghambat kepemimpinan politik kaum muda bagi Fadjroel, Budiman, dan Yuddy di antaranya adalah partai politik belum siap menghendaki munculnya tokoh dari golongan pemuda, selain faktor sistem oligarki dan feodalistik dalam partai politik sampai sekarang. Selain itu Yuddy menambahkan; sikap kepribadian pemuda pragmatis. Sedangkan Budiman; eksistensi politisi tua Soehartois adalah penghambat munculnya regenerasi kepemimpinan. Fadli Zon paling berbeda; berbicara kepemudaan dalam politik tidak bisa berbicara umur, namun berbicara sistem. Kolerasinya bahwa saat ini tidak ada hambatan untuk meremajakan ide-ide kepemimpinan, semua berbondong-bondong menawarkan konsep politik yang semakin beragam, meskipun keefektifannya belum diuji. 96 B. Saran Skripsi ini memiliki keterbatasan, baik materi ataupun anlisanya, selain penulis menerima saran dan kritik yang membangun, penulis juga mengharap akan lebih banyak lagi karya-karya akademik yang meneliti masalah demokrasi dan kepemimpinan politik kaum muda dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia secara mendalam, sebab sampai saat ini masih banyak yang harus diuraikan dan diteliti dalam bidang demokrasi dan kepemimpinan pemuda dalam politik di Indonesia. 97 DAFTAR PUSTAKA BUKU: Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Alfian, M. Alfan. Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia, 2007. Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru .Bandung: Mizan, 1986. Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktik, tanpa penerjemah. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bourchier, David dan Vedi R. Hadiz, Pemikiran Politik Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999. Jakarta: Grafiti kerjasama Freedom Institute, 2006. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Budiarjo, Miriam, ed. Masalah Kenegaraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1982. Chaniago, Adrianof A. “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, dalam Maruto MD., dan Anwari WMK., ed., Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2002. Chrisnandi, Yuddy. “Islam dan Gerakan Radikalisme di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir ed, Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Kebangkitan Nasional dan masa Depan Demokrasi Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Kehendak Pemuda Menuntaskan Krisis Kepemimpinan Bangsa”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. 98 ______. “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Menangkal Separatisme Papua”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Oligarki Parpol dan Orang Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Pengantar: Untukmu Tumpah Darahku Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Problem Jawa-Non Jawa dalam Demokrasi di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Refleksi dan Rekonsiliasi Menatap Masa Depan”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______. “TNI dalam Arus Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. ______ . Reformasi TNI; Persepektif Baru Hubungan TNI-Militer Di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2005. 99 ______ . “10 Tahun Reformasi TNI”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007. Evriza, Ilmu Politik. Depok: ALFABETA Bandung, 2008. Hardiman, F. Budi. Demokrasi Dileberatif. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Haricahyono, Cheppy. Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999. Hatta, Untuk Negeriku. Jakarta: Kompas, 2011. Hill, Hal. “Habiebie Tidak Akan Mampu Bertahan Lama,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000. Hikam, Muhammad A.S. Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga, 2000. Ismatullah, Dedy dan Asep A. Sahid Gatra, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif. Bandung: Pustaka Setia, 2007. Jankins, David. “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000. Kencana, Inu. dkk. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2006. Mariana, Dede., dan Karoline Puskara, Demokrasi dan Politik Desentralisasi. Bandung: Graha Ilmu, 2008. Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997. Meyer, Thomas. Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan. Jakarta: Friedrich-Erbert-Stiftung, November 2003. Miftahuddin, Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani. Depok: Desantara, 2004. Mubarak, M. Zaki. ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 61-88. 100 Mudzakar, ‘Abdul Qahhar. Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi Pemerintahan Politik Soekarno. Jakarta: Darul Falah, 1999 Mujani, Syaiful. MUSLIM DEMOKRAT: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2004. Noer, Delia. “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokorasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES, 1986. Pamudji, S. Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang politik dan Pemerintahan. Jakarta: Bina Aksara, 1985. Rachman, M. Fadjroel. “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati Soekarno Putri, Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007. _______. “Demokrasi Partisipatif dan Kepemimpinan Politik Baru”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007. _______. “Empat Tahun Reformasi: Kepemimpinan Politik Kaum Muda”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007. ______. “Fasisme dan Koropratisme Orde Baru”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007. ______. “Gerakan Mahasiswa Gerakan Politik Nilai”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007. ______. “Indonesia Ke Arah Demokrasi dan Emansipasi Sosial”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007. ______. “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang 101 Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007. ______. “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan .Depok: Koekoesan, 2007. ______. “Luka Papua, Luka Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan .Depok: Koekoesan, 2007. ______. “The Thrid Way “Giddens”, dan Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007. Richburg, Keith B. “Syuhada Tak Disengaja: Penembakan Empat Mahasiswa Yang Menggubah Sebuah Bangsa”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000. Rivai, Veithzal dan Dedy Mulyadi. Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Rosyada, Dede., dkk. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Abdul Rozak, dkk., ed. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003. Santana, Septiawan. Menulis Ilmiyah Moetode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007. Sorensen, Georg. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Penerjemah I. Made Krisna, Tadjuddin Noer Effendi, ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Sudjatmiko, Budiman. “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, dalam Tim Penerbit Buku Kompas Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi: Merangsang Pemikiran Ulang Keindonesiaan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001. Suhelmi, Ahmad. PEMIKIRAN POLITIK BARAT; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka: 2007. 102 Sunny, Ismail. Mekanisme Demokrasi Pancasila. Jakarta: Aksara Baru, 1978. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, 1999. Syamsuddin, Aziz. Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2008. Syukur, Abdul. Perekat Bangsa: Pengakuan Sejarah Kepemudaan Indonesia, dalam Zusiyansah Samosir ed., Tangerang: PT. Nusantaralestari Ceriapratama, 2008. Tim Penulis Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan Indonesia. Jakarta: Demos, 2005. Waldman, Peter dkk. “Perubahan Yang Menempatkan Soeharto di Luar Arena”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000. Wiliams, Louwise. “Amin Rais: Garis Depan Adalah Tempat Beresiko,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000. Zon, Fadli. Politik Huru-hara Mei 1998. Jakarta: Institude for Policy Study, 2004. INTERNET: Chrisnandi, Yuddy. “Profil Yuddy Chrisnandi” [website resmi]; tersedia di http://yuddychrisnandi.com/about/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. Keraf, A. Sonny. “Tanggapan untuk M. Fadjroel Rachman: Demokrasi Butuh Kaum Demokrat,” [artikel online]; tersedia di http://www.unisosdem.org/ articledetail.php?aid=2657&coid=3&caid=22&gid=2: Internet: diunduh pada 19 Februari 2013. Novitasari, Dini: “Dr. H. Yuddy Chrisnandi, ME. Profil Anggota DPR RI 20042009 F-PG Dapil Jawa Barat 7” [berita online]; tersedia di http://politik.news.viva.co.id/news/read/2728-dr_h_yuddy_chrisnandi_me; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. Ralian Jawalsen Manurung “Syarat Usia 16-30 Tahun Berat, KNPI Gugat UU Kepemudaan ke MK,” [berita online]; tersedi http://jaringnews.com/ politik103 peristiwa umum/30369/syarat-usia---tahun-berat-knpi-gugat-uukepemudaan-ke-mk; internet; diunduh pada 12 November 2013. Ranchman, M. M. Fadjroel. “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online]; tersedi di http://mM. Fadjroelrachman.multiply.com/reviews/item/45; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. Sudjatmiko, Budiman. “Agenda Perubahan Nasional Berdasarkan MATRIX TRISAKTI” [website resmi]; tersedi di http://budimansudjatmiko.net /node/93; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. ________. “Asal-usul Kepemimpinan Politik,” [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/139; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. ________. “Beri Kesempatan Demokrasi Bernafas”, [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/83; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. _______. “Budiman Sudjatmiko, MSc., M.Phil.” [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/profil; internet: diunduh pada 27 Maret 2013. ________. “Kepemimpinan Baru Indonesia Melintasi New Frontier,” [website resmitersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/90; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. _______. “Mengusir Macan Tua” [website resmi]; tersedi di http://www.rumah pemilu.org/read/1508/Mengusir-Macan-Tua-oleh-Budiman-Sudjatmiko; internet; diunduh pada 19 Februari 2013. ________. “Profil Budiman Sudjatmiko” [website resmi]; tersedia di http://budiman sudjatmiko.net/profil; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. Wijaya, Sastra. “Menteri Australia ke Jakarta Bicarakan Impor Daging Sapi” [berita online]; tersedia di http://internasional.kompas.com/read/2013/05 /12/11422657/Menteri.Australi.ke.Jakarta.Bicarakan.Impor.Sapi; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. Wijayanti, “Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman: Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia Terhadap Kondisi Sosial Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegalsari Kecamatan Candisari” [artikel online]; tersedi di http://eprints.undip.ac.id/20145/; internet; diunduh pada 12 November 2013. Zon, Fadli. “Demokrasi Kriminal; Akibat Lemahnya Desain Politik,” [artikel online]; tersedia di http://www.antaranews.com/berita/356807/fadli-zon104 demokrasi-kriminal-akibat-lemahnya-desain-politik; internet; diunduh pada 19 Februai 2013. _______, “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/ profil-fadli-zon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. “Banyak Tokoh Muda Terjebak Pragmatisme Politik,” [berita online]; tersedia di http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/19/357023/284/1/TokohMuda-Banyak-Terjebak-Pragmatisme; Internet; diunduh pada 19 November 2012. “Batasan Usia Disebut Muda dan Tua,” [berita online]; tersedi http://www.beritasatu.com/fashion/25895-batasan-usia-disebut-muda-dantua.html; internet; diunduh pada 12 November 2013. “Budiman Desak Generasi Muda Diberi Kesempatan Maju,” [berita online]; tersedia di http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012 /06/03/12021 /Budiman-Desak-Generasi-Muda-Diberi-Kesempatan-Maju; internet; diunduh pada 29 Februari 2013. “M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di http://profil.merdeka.com/ indonesia /f/M. Fadjroel-rachman/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. “M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di http://republikmemanggil.org/ tokoh/ tokoh-45/42-M. Fadjroel-rachman.html; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. “Fadli Zon: ‘demokrasi kriminal’ akibat lemahnya desain politik,” [berita online]; tersedia di http://www.antaranews.com/berita/356807/fadli-zon-demokrasi kriminal-akibat-lemahnya-desain-politik; Internet; diunduh pada 20 Februari 2013. “Profil Budiman Sudjatmiko” [majalah tokoh online]; tersedia http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545-tumbal-orde-baru: internet: diunduh pada 27 Maret 2013. di “Profil Budiman Sudjatmiko” [berita online]; tersedia di http://www.profil. merdeka.com/indonesia/b/budiman-sudjatmiko/; internet: diunduh pada 27 Maret 2013. “Tentang kami,” [artikel online]; tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id/tentangkami/; Internet; diunduh pada 10 Desember 2012. 105 WAWANCARA: Wawancara dengan Yuddy Chrisnandi, Jakarta 6 Mei 2013. Wawancara dengan Fadli Zon, Jakarta 7 Mei 2013. Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman, Jakarta 10 Mei 2013. Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko, Jakarta 14 Mei 2013. 106 LAMPIRAN-LAMPIRAN SURAT PERNYATAAN WAWANCARA LAMPIRAN WAWANCARA FADJROEL RACHMAN PROBLEMATIKA DEMOKRAS: Penulis : Problematika demokrasi Orde Baru dan Reformasi perbedaanya apa? Fadjroel Rachman : Sebenarnya problem demokrasi pasca Reformasi itu menurut aku masih ada kesinambungannya dengan Orde Baru. Owh saya ada buku yang membahas itu, sebentar. Penulis : Buku apa? Fadjroel Rachman : Sebentar saya ambilkan, buku ini “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat” membahas itu semua, fokusnya memang bukan problem demokrasi, melainkan kumpulan tulisan saya di kompas, ada semua kok disini, lengkap. Penulis : Di pasaran masih ada buku ini? Fadjroel Rachman : Wah ini untuk anda saja, tidak bakalan ketemu anda nyari ini, kecuali fersi ingggrisnya yang sudah diterjemahkan oleh sahabat saya dari belanda. Ya saya kira sudah cukup mewakili semuanya di sini. Penulia : Kalo masalah kepemimpinannya saya lihat di daftar isinya sedikit? Fadjroel Rachman : Owh iyah, karena waktu itu cenderung lewat tv, bukan yang tulisan sedikit. Penulis : Kalau begitu wawancaranya langsung pada masalah kepemimpinan saja yah, karena sudah banyak membahas problem demokrasi pada buku ini? Fadjroel Rachman : Silahkan, apap-apa pertanyaannya? KEPEMIMPINAN Penulis : Diantara pemimpin tua dan muda anda lebih memilih yang mana? Fadjroel Rachman : Jelas yang muda, dalam pemahaman aku sebenarnya dulu mengambil kampanye tentang tua dan muda bukan dalam pengertian usia, aku sebenarnya lebih ketitik untuk melakukan regenerasi kepemimpinan nasional, karena menurut aku regenerasi nasional dan juga normalisasi kepemimpinan nasional. Kenapa? kalau yang sudah normal seperti di Eropa itu umumnya sampai ditingkat nasional, misalnya ambil saja Tony Blayr itu duduk di parlemen usianya 43, kemudian ketika dia jadi Perdana Mentri 10 tahun, dia berhenti di usia 53, kemudian dia sudah dianggap pemimpin tua. Kemudian Bill Clinton dia masuk diusia 47, kemudian dia dua kali menjabat, ditambah delapan jadi 55 tahun. Barac Obama juga masuk diusia 47, dua kali menjabat di tambah 8 jadi 55 tahun. Jadi secara normative diusia 40-an orang sudah menjadi pemimpin nasional kemudian berhenti diusia 55-an, jadi itu yang menurut aku normalnya orang menjadi pemimpin di tingkat nasional. Jadi dua promblemnya itu adalah; pertama regenerasi kepemimpinan nasional, kedua normalisasi kepemimpinan nasional, dan untuk lebih mudah media massa menangkapnya aku keluarkan isu “tua dan muda”, tapi memang banyak yang salah tangkap, dan ketika aku melontarkan isu tersebut tiba-tiba aku diundang di Metro tv tahun 2009, di situ ada Jusuf Kalla, ada semualah yang tuatua tiba-tiba meraka marah-marah, dan sebenarnya ini bukan persoalan tua dan muda, tapi aku menjelaskannya agak ruwet, dan mereka menyimpulkan seolah-olah ini tua dan muda, mereka tidak mau mengambil isu normalisasi kepemimpinan nasional dan regenerasi kepemimpinan nasional. Mereka hanya mengambil ujungnya bahwa aku sedang mempertentangkan tua dan muda, padahal yang dimaksud bukan itu, itu hanya ujungnya saja, meskipun pada akhirnya ketika bicara regenerasi berarti ada yang harus dikalahkan yaitu yang tua, terhadap yang muda. Kemudian karena semua itu tidak berjalan, mereka yang tua tetap maju terus melalui partai, aku dengan teman-teman masuk untuk merombak yang legal konsstitusionalnya yaitu masuk lewat capres independent, jadi capres idependent itu sebenarnya ingin merombak peraturan politk kita secara legal dan konstitusional, mengenai bahwa semua orang bisa jadi pemimpin, maju tidak harus melalui partai, dan itu sudah kami mulai dari tahun 2007 melalui pemilukada independent dan waktu itu menang 23 Juli 2007 di Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian kami ingin teruskan lagi menjadi soal capres independent, jadi kami mulai dulu melalu pemilukada independent ini juga untuk regenerasi kepemimpinnan nasional dan juga normalisasi kepemimpinan nasional ternyata di kabulkan oleh (MK), makanya sekarang aku lihat sudah bukannya hanya bisa melalui partai akan tetapi melalui jalur independent juga bias. Sekarang ada 20 bupati dan walikota melalui jalur independent, waktu aku masuk tahun 2007 aku tidak pernah membayangkan banwa problem legal konstitusional yang kami perjuangkan itu bakal ada orang yang bisa lolos lewat jalur independent, karena partai itu begitu kuatnya untuk mempengaruhi pikiran orang, sehingga ada kemungkinan akan menang, sampai hari ini, baru bulan lalu di Kalimantan Tengah. Aku pikir dulu yang kita perjuangkan akhirnya bisa juga dan ini dalam bentuk real, padahal aku tidak pernah membayangkan kalau mereka yang melalui jalur independent bisa lolos, ketika itu aku hanya berfikir, bersama Efendi Ghazali, Pak Tamrin, Yuddy, Yuddy Latif, Bambang Sulistomo, dan temen-temen yang lainnya terutama dari UI, kemudian masuk juga Saiful Mujani yang ketika itu ikut membantu dan ketika itu kami hanya berfikir bagaimana caranya membongkar UU Politik ini supaya bukan hanya partai, tetapi melalui independent juga bisa, sehingga kalau orang partai ini tua-tua karena mereka di tentukan oleh secara oligarkis, nah kalau independent yang muda-muda bisa masuk lewat sini. Pemilukadanya sukses, tetapi untuk capres independentnya kalah 54. Jadi kami memulainya program regenerasi dan normalisasi itu. Kami menginginkan partai melakukan konvensi, mereka tetap tidak mau. Pada tahun 2009 kami bilang bolehlah lakukan konvensi, aku bilang tidak mungkin obama bisa menjadi presiden kalau di Amerika tidak ada konvensi, dalam 5 kali putaran pertama saja dia kalah, tapi karena ada konvensi dia berhasil mengalahkan Hillery Klinton. Oligarki ini tidak mau konvensi juga menolak independent jadi yang muncul akhirnya yang tua-tua. Dulu SBY-JK, SBY-BUDIONO, dan sekarang barisan keduanya mau muncul lagi sudah 70-an tahun ini, makanya kemarin aku sempat bercanda ''gila ya Fergie saja sudah mundur padahal prestasinya dunia, sedangkan anda-anda ini kok tidak mundur padahal prestasinya nasional pun tidak jelas. Penulis : Menurut anda pemimpin muda itu seperti apa?” Fadjroel Rachman : Pemimpin muda berarti kategorinya kalau ini memang betul terjadi projec regenerasi dan projec normalisasi terjadi berarti seperti perjalanan di Amerika itu. Obama nanti usia 55 tahun selesai, nah itu yang saya maksud dengan regenerasi dan normalisasi kepemimpinan di Indonesia. Penulis : Kalau tokoh pemuda di era pasca reformasi yang anda kagumi itu siapa?” Fadjroel Rachman : Aku sebenarnya tidak pernah menunjuk ya, aku melihat regenerasinya sebenarnya. Aku kalau menyebut Klinton, Tony Blai, Obama, aku melihat itu generasinya. Kebetulan si Obama itu menonjol pada titik ini. Kalau saja ini masih ya artinya partai tidak mau konvensi, capres independent tidak bisa, aku tadinya mendukung Anas lo. Karena ketika Anas terpilih di Bandung, malamnya itu aku bicara dengan Anas. Aku bilang, aku digagalkan dari capres independent, sulit sekali aku untuk maju sekarang ini, dan peluang paling besar terdapat pada Anas, dia punya partai politik. Tapi aku tidak menduga, dia berteman sama Nazaruddin itu, mungkin dia salah berteman. Anas itu kaya, dia orang baik, mungkin dia salah berteman, ya sudah mau diapain lagi. Jadi aku tidak pernah menonjolkan orangnya, tapi lebih menonjolkan regenerasi, karena aku lebih tertarik pada proses normalisasi dan regenerasinya. Penulis : Program apa yang tepat menurut anda untuk sosok pemimpin muda?” Fadjroel Rachman : Kalau aku, orangkan pada tahu kalau aku dekat dengan gagasan Hatta, gagasannya Sutan Syahrir, akui lebih cenderung ke arah kepemimpinan sosial demokrasi, lebih mempriotaskan kesejahteraan. Karena aku lebih dekat ke grupnya iedeologi Hatta, Sutan Syahrir, jadi aku bergaul bukan hanya dengan pemikiran, tapi bergaul dengan orangorangnya, dan guru aku langsung kan Pak Sudjadmiko, Pak Subadyo, Prof. Sarbini, dan itu adalah orang-orang yang dekat dengan aku, dan aku mengambil kesimpulan kalau aku lebih cenderung ingin negara kesejahteraan seperti di Scandinavia. Penulis : Kira-kira yang menghambat pemuda untuk naik ke jenjang karir politik itu apa?” Fadjroel Rachman : Ya itu tadi, yang pasti hambatan sistem politiknya. Karena partai dan Orde Baru dikuasai oleh oligarki, dan kemudian kalau naik ke atasnya harus ijin. Harus ijin om Taufik Kemas, Mbah Mega, kalau bercandanya Obama datang ke sini kalau nama belakangnya bukan Soekarno Putra atau nama belakangnya wahid, nama belakangnya Yudhoyono, tidak akan bisa. Dia harus mengikuti oligarki. Hambatan di sini adalah sifat oligarki partai dan sifat feodalistik partai. Nah,cara penerobosannya sebenarya kalau mau cara regulatif adalah melakukan konvensi, tapi mereka tidak mau, semua partai tidak mau. Kalau partai demokrat bukan karena setuju dengan konvensi, tapi karena sudah hancur lebur. Jadi seolah-olah kalau orang pada masuk ke sana, lumayan ini partai disukai banyak orang. Makanya aku bersyukur salah satunya capres demokrat adalah Eyang Subur, jadi makin hancur. Penulis : Soekarno dulu kan adalah termasuk yang muda dalam memimpin. Penulisnya pada saat naik posisi tertinggi politik itu semena-mena, tidak mau turun. Apakah nanti sama pemimpin pemuda sekarang dengan yang dulu?” Fadjroel Rachman : Tidak mungkin, kalau amandemen UU yang sekarang dipakai pada masa Soekarno, berarti 12 tahun, selama dipakai pada masa Soeharto, berarti 22 tahun. Berarti kita punya 34 tahun diambil secara sewenang-wenang, oleh Soeharto, itu berarti tiga generasi kepemimpinan. Tiga generasi pemimpin dicuri oleh orang yang mengaku pemimpin itu. Berarti kesalahan terbesar kenapa tidak ada pemimpin-pemimpin muda yang mencalonka. Karena dua orang ini mengambil tiga generasi kepemimpinan nasional, dan lucunya orang-orang yang sekarang, yang dicuri, sekarang mencuri lagi kepemimpinan nasional yang berikutnya. Makanya saya sebut generasi Maghribi yang seharusnya tidak menjabat masih menjabat. Di Amerika saja kepemimpinan umur 53, 55 saja sudah selesai, lha ini umur 60 tahun, 70 tahun masih saja memimpin. Jadi menurut aku harus ada yang dikerjakan, yaitu merombak problem feodalistik dan juga oligarki dalam tubuh partai, atau melakukan perombakan secara regulasi, yaitu memaksakan. Misalnya, di UU pilpres diharuskan ada konvensi di dalam masing-masing partai. Atau yang ke tiga betul-betul ada perubahan seperti tahun 98 lagi. Malah mereka itu semua dilarang masuk. Jadi menurut aku untuk merubah oligarki harus bersifat moralistik. LAMPIRAN WAWANCARA YUDDY CHRISNANDY PROBLEM DEMOKRASI Yuddy Chrisnandy : Silahkan, darimana dan ada keperluan apa sudah jauhjauh ke sini? Penulis : Saya Eko Prasetyo dari UIN Jakarta, ingin melakukan wawancara Skrispi dalam bidang politik. Yuddy Chrisnandy : Oh iyah silahkan, dengan tema apa?, sebelumnya saya minta maaf karena saya sangat sibuk untuk akhir-akhir ini, dan wawancarakan waktunya tidak sebentar, membutuhkan waktu satu jam lebih, dan terimakasih sudah mau menunggu saya rapat dari jam tiga sore sampai maghrib. Karena selepas sholat maghrib saya ada tamu, jadi apabila waktu kita wawancara sangat terbatas sekali lagi saya minta maaf. Penulis : Oh iyah tidak apa-apa, tema dan judul skripsi saya tentang “Problematika demokrasi dan kepemimpinan politik di Indonesia”. Yuddy Chrisnandy : Ow Oh iyah, sudah baca buku saya yang mana? Penulis : Biyon Parlement Yuddy Chrisnandy : Begini aja, sekali lagi saya minta maaf, tamu saya sudah menunggu ternyata, bagaimana kalo anda saya kasih buku saya tentang apa yang ingin saudara bahas, karena buku saya yang “satrio piningit” itu membahas semua yang anda butuhkan dalam skripsi, karena saya sedikit telah membaca proposal sekripsi anda, nanti apabila wawancara tidak selesai malah informasinya terputus. Penulis : Kalau misalkan saya cari waktu yang luang besok-besok lagi bagaimana? Yuddy Chrisnandy : Wah takutnya nanti tetap sama seperti hari ini, kan tamu yang datang seperti anda ini sangat banyak, bahkan yang nanti ketemu habis maghrib ini dari Papua yang sudah nunggu dari jam 9 pagi, dan pekerjaan saya setiap hari seperti ini, setelah dari kampus sudah dituntut untuk stay di DPP Hanura, jadi alternatif paling bagus yah dengan saya kasih buku saya itu, nanti anda bisa datang ke rumah saya, di situ sudah ada staff saya, anda bilang disuruh mas Yuddy ambil buku, gitu aja. Sudah saya hubungi orangnya yang di rumah, jadi silahkan diambil di sana aja, nanti apabila ada pertanyaan atau yang mau ditulis di skripsi tidak ditemukan dalam tulisan saya, bisa telfon saya dan bisa saya jawab. Atau dengan alternatif lain lewat twitter. Penulis : Sebenarnya saya ingin bertanya tentang problem demokrasi dan kepemimpinan Indonesia, dimulai dari problem Orde Baru sampai Masa Reformasi, dan pemimpin muda dan tua? Yuddy Chrisnandi : Sudah baca buku sayakan, saya pernah menuliskan di situ bahwa penyakit Orde Baru itu pemaksaan kehendak, dan wujudnya banyak, tidak hanya pemaksaan kehendak secara politik, melainkan bernegara dan berkehidupan. Maksudnya apa? Pancasila inikan bentuknya sacral dan harus ditafsirkan secara bersama, masa Orde Baru tidak demikian, Pancasila ini ya miliknya pemerintah, rakyat tidak boleh m,engutak atiknya. Sehingga apa dampaknya? Ya KKN tanpa ada control, karena manamungkin akan dikontrol sedangkan sistem kontrolnya saja takut sama Soeharto. Penulis : Sedangkan saya pernah baca antara problem Jawa non Jawa? Yuddy Chrisnandi : Owh iyah, Soeharto inikan memposisikan dirinya layaknya raja Jawa, kalo disitu terdapat kesenjangan luar biasa antara jawa dan bukan Jawa sangat wajar. Terlebih untuk kepemimpinan nasional, yang tidak berdarah priyayi ya sampai kapanpun tidak akan masuk. Penulis : Dampak itu apa? Yuddy Chrisnandi : loh secara fisik mungkin tidak terlihat seperti sekarang terjadi bentrok fisik, tapi dalam masalah kesejahteraan antara yang di Jawa dan di luar Jawa sangat luar biasa menyakitkan. Tidak herankan saat itu sampai orang Jawa ini mampu menguasai daerah Kalimantan, Suamatra, sampai Plosok-plosok daerah. Ya mau bagaimana lagi sampai sekarang politik rasial itu tetap digunakan untuk menggembosi isu pemilihan Presiden. KEPEMIMPINAN Penulis : Pemimpin Ideal menurut anda seperti apa? Yuddy Chrisnandi : Bisa anda telusuri jawaban pertanyaan anda dalam tulisan saya, pemimpin itu harus muda, energik, dan mampu menyeleseikan kalo saya bilang 5 “K”. yaitu kemiskinan, kebodohan, ketergantungan pada asing, korupsi, ketidak adilan. Penulis : Berarti 5 “K” adalah tujuan anda? Yuddy Chrisnandi : Owh bukan, 5 “K” itu problem yang harus diselesaikan, itu penyakit terbesar bangsa kita, dan harus sesegera mungkin harus diatasi. Lima itu saja benar, maka akan benar semua dan Indonesia akan sejahtera. Ada kok itu dibuku saya penjelasannya. Penulis : Antara muda dan tuanya mas? Yuddy Chrisnandi : Owh ya harus muda seharusnya yang ideal, tapi mau bagaimana lagi kalo generasi tua yang merasa memiliki partai politik dan sisa-sisa orde kemarin, kalau pun ini dipotong sekaligus pasti akan terjadi permasalahan besar dan konflik politik besar. Owh di buku Bayeond Parlement saya menyisihkan satu bab tentang pemuda dan tua dalam kepemimpinan silahkan di baca lagi, begitu saja yah saya mau siap-siap untuk ke Cirebon. LAMPIRAN WAWANCARA BUDIMAN SUDJATMIKO PROBLEM DEMOKRASI Penulis : Selamat siang bang, saya Eko Prasetyo dari UIN Jakarta mau wawancara tentang probelamatika demokrasi dan kepemimpinan Indonesia. Budiman Sudjatmiko : Owh iyah siang, wawancara untuk apa? Penulis : Skripsi Budiman Sudjatmiko : Tapi waktu saya terbatas, mau sidang Paripurna soalnya, tidak apa-apa yah? Karena biasa sekarang lebih sering di Cilacap, di dapil saya. Penulis : Owh yah tidak apa-apa. Budiman Sudjatmiko : Ya apa permasalahan anda? Penulis : Menurut saudara apa problem demokrasi masa Soeharto dan pasca Reformasi. Budiman Sudjatmiko : Jadi begini, Soeharto itu masalah terbesarnya adalah sentralisasi Negara hanya pada dirinya sendiri, undangundang dan segala macamnya harus menurut dia, apabila tidak dia ya tidak bisa jadi undang-undang, hal inilah yang kemudian tidak cocok dengan kemauan rakyat, dan disebut sebagi kediktatoran dan tindakan otoriter, sangat tidak mencerminkan keindonesiaan. Penulis : Yang pasca Reformasi? Budiman Sudjatmiko : Pasca Reformasi masih merupakan kelanjutan Soeharto, karena apa? Orang-orang Soeharto ini masih saja diberi kesempatan untuk duduk di parlemen. Karena yang selama ini berubahkan hanya periodenya, darai Orde Baru ke Reformasi, tapi orang-orangnya tetap sama. Makanya kenapa saya selalu bilang, Reformis-reformis gadungan ini adalah orang-orang yang paling bahaya. Dia bermuka ganda, kadang-kadang Soeharto dan bisa berubah Reformasi. Untuk itu apa? Ya menurut saya orang-orang ini harunsnya tidak lagi ikut campur dalam urusan Negara, dan biarkan reformasi ini dinikmati dan duteruskan oleh pejuang Reformasi. KEPEMIMPINAN: Penulis : Menurut anda apasih yang dimaksud kepemimpinan politik kaum muda? Budiman Sudjatmiko : Ya memberikan kepemimpinan terhadap anak muda. Penulis : muda secara umur apa sistem? Budiman Sudjatmiko : Dulu saya pernah nulis, owh bisa anda cek di website resmi saya budimansudjatmiko.com di situ ada. Penulis : Inti dari tulisan itu? Budiman Sudjatmiko : Siapa anaka muda itu? Dan siapa pemuda dalam politik? Terkadang ini artinya berbeda, boleh berumur tua tapi berjiwa muda, tapi ketika berbicara politik, muda ya harus secara usia dengan batasan tertentu, untuk apa? Kesegaran ide pemuda sangat dibutuhkan untuk negeri ini. Penulis : Itu sudah cukup untuk modal menjadi pemimpin? Budiman Sudjatmiko : Bukan dikatakan cukup atau tidak cukup, melainkan pemuda secara umur dan memiliki kecerdasan dan ide brilliant untuk memecah kebuntuan polemic di Indonesia, ya sebagai regenerasi. Jadi gak Cuma muda umur tapi tidak puny aide mandiri, dan tidak bisa juga puny aide mandiri tapi dia tua. Penulis : Berbicara ide, menurut anda program kerja pemuda untuk Indonesia itu seperti apa? Budiman Sudjatmiko : Maksudnya? Penulis : Program kepemimpinan pemuda itu seperti apa, misalnya anda seorang pemuda dan menjadi pemimpin bangsa, nah program kepemudaan untuk Indonesia itu apa? Budiman Sudjatmiko : Sekiranya sama seperti yang saat ini saya kerjakan untuk daerah pilihan saya. Ada masalah Negara, masalah ekonomi, masalah pendidikan, masalah kesehatan, dan hal-hal lain yang telah saya rumuskan. Penulis : Seperti apa rumusannya? Budiman Sudjatmiko : Nah silahkan anda lihat ini, dikertas ini adalah program yang selama ini saya kerjakan dan ingin saya terapkan pada Inodonesia, inilah permasalahan bangsa kita, dan inilah cara yang akan saya jadikan landasan untuk menyeleseikannya. Penulis : Sebelah kiri adalah problem sekarang dan sebelah kiri adalah cara penyeleseiannya? Budiman Sudjatmiko : Tepat. Itu bisa anda bawa, dan hal-hal lain bisa anda lihat pada websites resmi saya. Ohyah maaf sekiranya cukup yah, saya akan rapay Paripurna sampai jam 4 sore, jadi hanya itu yang bisa saya sampaikan, anda bisa lihat di kompas, di internet. Banyak sekali kok tulisan saya tentang masalah yang anda tulis ini. Penulis : Satu lagi bang, sebelum jalan. Menurut anada apa penghambat munculnya pemimpin politik kaum muda? Budiman Sudjatmiko : Ya masih eksisnya orang-orang Orde baru, mereka ini sekarang sudah tambah tua, tapi tambah tidak mau pergi dari politik dan parlemen di Indonesia. Selama mereka masih ada, maka Indonesia ya akan seperti ini. Apalagai partai politik kita masih oligarki, tambah ruwet saja negeri kita. LAMPIRAN WAWANCARA FADLI ZON DEMOKRASI Penulis : Menurut Anda apa Problematika pada masa Orde Baru dan Pasca Reformasi? Fadli Zon : Begini, demokrasi itu kan konsep dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, jadi rakyat yang berkuasa atau orang banyak yang berkuasa. Beda dengan oligarki, oligarki adalah yang berkuasa segelintir orang. Biasanya orang yang punya atau orang kaya. Nah, demokrasi kita itu kan mengalami berbagai macam proses yang bebeda – beda penarapnnya sejak kita merdeka. Pernah kita megalami demokrasi liberal di tahun 50an, tahun 59 kemudian Bung Karno dengan dekrit presiden menjadi demokrasi terpimpin sampai tahun 65, 66. Kemudian di jaman orde baru kita di doktrin dengan istilah demokrasi pancasila, sebenarnya praktinya sama dengan demokrasi terpimpin, itu dari tahun 66 sampai tahun 98. Dari tahun 98 sampai sekarang kita mengalami demokrasi yang menurut saya adalah demokrasi liberal, tapi yang beda variannya dengan demokrasi ditahun 50-an. Demokrasi itu bukan tujuan, tapi hanya sekedar jalan, adakalanya jalan ini cocok, adakalanya tidak cocok, dan jalan demokrasi di Indonesia itu jalannya berbeda-beda, seperti yang saya katakana tadi, setiap era atau Order Lama, Order Baru praktiknya berdeda-beda. Kalau membandingkan didemokrasi terpimin, itu adalah kediktatoran, tetapi dalam hal kediktatoran politik sebagai panglima. Segala sesuatu harus tunduk kepada kepentingan politik. Pada era Orde Baru semuanya atas nama pembangunan, dengan stabilitas yang sangat penting, dengan trilogi pembangunan itu, yaitu stabilitas pertumbuhan dan pemerataan. Rezim Orde Baru memerlukan kondisi yang aman, stabil sehingga pembangunan bisa berjalan, dan itu sah, dan kalau kita lihat pembangunan itu sudah jalan, karena semuanya ada kepastian. Penulis : Belakangan kita lihat ada Hizbut Tahrir, ada kekerasan antar golongan, kemudian ada organisasi makar, apakah perbuatan mereka itu sebenarnya simbol berdemokrasi di Indonesia? Padahal mereka seperti Hizbut Tahrir jelas ingin merubah asas demokrasi Indonesia, sedangkan golongan radikal adalah cermin ketidak puasan atas asas demokrasi yang tidak merata. Nah dengan adanya mereka ini apakah bisa dikategorikan ya inilah sebenarnya proses demokrasi, ataukah justru mengancam demokrasi? Fadli Zon : Jadi gini, demokrasin kita itu harus kembali pada jati diri bangsa. Apa demokrai kita yang sesungguhnya? Menurut saya, demokrasi kita sesungguhnya itu bukan hanya demokrasi politik, yang anda sebut tadi itukan demokrasi politik, tapi demokrasi kita itu juga demokrasi ekonomi, yaitu mengusung persamaan, namun sesugguhnya seperti yang dikatakana Bung Hatta, demokrasi kita itu adalah demokrasi yang menggabungkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi menjadi demokrasi sosial. Apa itu demokrasi sosial? yaitu demokrasi yang berakar kepada budaya kita yang gotong royong. Kalau yang disebut tadi organisasi-organisasi bebas, itu hanya salah satu peragkat dari demokrasi politik. Adanya kebebasan bersikap, kebebasan berkumpul, kebebasan berpendapat, kebebasan menyuarakan pandangan kita, itu hanya sebagian kecil organisasi politik. dan itupun harus kita kaji lagi. Menurut saya demokrasi itu kan harus ada toleransi terhadap yang lain. Komunisme sulit diterima di dalam demokrasi, karena dia meniadakan yang lain. Di dalam komunisme ya hanya satu tunggal ideologi yang bisa di akui, yaitu komunisme. Jadi harus ada toleransi, kalau ada organisasiorganisasi semacam itu, yang tidak mentolerir organisasi lain, itu tidak demokratis, dan sebetulnya bisa di tolak.” Penulis : Kemudian, dengan berbagai macam perbedaan itu, bagaimana nasib demokrasi di Indonesia kedepannya? Fadli Zon : Demokrasi itu harus bertanggung jawab, Demokrasi akan menuju anarki kalau tidak ada suatu tanggung jawab dari pelaku demokrasi, terutama dari para pemimpin. Ada keteladanan, ada moral, ada tanggung jawab. Karena demokrasi tanpa tanggung jawab akan terjadi anarki, aanarki dalam bentuk politik uang, anarki dalam bentuk kekerasan. Kalian lihat kekerasan-kekerasan dalam pilkada, dan akhirnya demokrasi ini akan semakin mahal. Ketika demokrasi ini semakin mahal, demokrasi hanya akan dikuasai oleh orang-orang yang punya uang, yang kuat.” Penulis : Berarti masih sepakat, kalau masa depan Indonesia masih menggunakan demokrasi? Fadli Zon : Ya demokrasi itu saudah menjadi jalan yang kita pilih, tetapi kita harus mengoreksi demokrasi itu semacam apa? Apakah ini jalan demokrasi yang kita inginkan? Apakah ini praktik demokrasi yang benar?.” Penulis : Kalau demokrasi itu bertahan, bagaimana kaum muda ini cara mempertahankan demokrasi tersebut? Fadli Zon : Di dalam demokrasi itu orang harus ada kedewasaan. Artinya siap beda pendapat, siap berbeda pandangan, siap berbeda ideology, yang kedua demokrasi itu bisa jalan kalau perut kita kenyang. Kalau kita lapar, itu tidak ada demokrasi. Jadi kita harus ada ksejahteraan, baru ada demokrasi. Ketika tidak ada kesejahteraan, orang lapar, itu tidak ada yang demokrasi.” KEPEMIMPINAN Penulis : Antara pemimpin muda dan tua, anda cenderung bagaimana?” Fadli Zon : Jadi gini, kepemimpinan itu tidak mengenal tua atau muda. Ada pepatah yang mengatakan, bukan berapa banyak umur kita, tetapi dalam umur kita itu apa yang sudah kita lakukan? Ada umurnya 100 tahun tapi tidak berbuat apa-apa, ada umurnya yang 17 tahun tapi sudah berbuat banyak. Jadi bukan kuantitas umur, tapi kualitas umur yang menentukan. Coba lihat Jenderal Sudirman umur 29 tahun sudah jadi jenderal, Sutan Syahrir 36 tahun sudah menjadi perdana menteri, Soeharto 45 ahun sudah menjadi presiden. Bung Karno 44 tahun presiden, jadi itu kualitas umur bukan kuantitas umur. Sekarang ini kalau kita bicara umur selalu dalam kontes kuantitas bukan kualitas, dan itu tidak ada artinya. Petanyaan : Untuk Tokoh muda di Indonesia, siapa yang paling anda kagumi? Fadli Zon : Saya menokohkan Bung Hatta. Alasannya Bung Hatta itu pemikir hebat, dan Bung Hatta itu satu kata dengan perbuatan, dan seorang visioner ,seorang yang tangguh. Walaupun saya suka dengan Bung Karno, tapi kalau di suruh memilih saya lebih suka dengan Bung Hatta. Petanyaan : Kalau tokoh Pasca Reformasi? Fadli Zon : Menurut saya yang saya kagumi itu Imam Prasojo, dia itu konsisten, dia seorang intelektual tapi intelektual yang terlibat, dan dia juga lebih banyak bersosial, ia melakukan itu semua dengan penuh penjiwaan.” Petanyaan : kontrol yang bagaimmana untuk pemuda yang memimpin Indonesia?” Fadli Zon : Sebenarnya seperti yang saya katakan tadi, orang itu bukan kita ukur dengan kuantitas umur tapi kualitas umurnya dan kualitas kepemimpinannya. Jadi tua muda itu menjadi relative, walaupun orang muda itu akan lebih dinamis, karena dia lebih berani mengambil resiko, lebih cepat mengambil keputusan. Jadi kalau saya lihat, bagaimana cara mengontrolnya? Kontrol jaman sekarang itu dapat dilakukan dari berbbagai macam media. Mediamedia resmi, seperti melalui tv, radio, surat kabar, sosial media. Apalagi masyarakat sekarng kan semakin cerdas, tidak lagi orang selalu bisa karna patron dia akan di pilih. Jadi menurut saya sekarang itu yang mengontrol masyarakat, tapi melalui berbagai macam media. Penulis : Program kepemimpinan kaum muda yang ideal dan potensial saat ini apa? Fadli Zon : Ya salah satunya bagaimana membuat Indonesia ini menjadi bangsa yang bermartabat,N egara yang besar, sesuai dengan pembukaan UUD dasar yang memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan .Jadi kita harus menghilangkan berbagai macam kendala yang ada di dalam masyarakat. Seperti sekarag ini, negara kita kaya tapi rakyat kita miskin. Kemudian kesejahteraan itu saja tidak cukup, tapi kebahagiaan juga penting. Bahkan kebahagiaan itu sekarang sudah tidak pernah diotak atik, padahal itu juga penting. Apa sih yang dimaksud kebahagiaan di sini? Kebahagiaan itu ketika orang cukup pangan, cukup sandang, cukup papan, ketika sakit bisa berobat, ketika kita tua ada jaminan di hari tua, hidup kita tidak di siasiakan. Itulah yang dimaksud dengan kebahagiaan.” Penulis : Berarti masalah demokrasi tadi yang dikatakan ada gerakan-gerakaan radikal, dan semacamnya itu memang tidak bisa di katakan sebagai ya inilah demokrasi itu seperti ini?. Fadli Zon : Terlalu picik orang melihat demokrasi seperti itu, itu hanya sebagai satu kelengkapan demokrasi politik. Orang bebas berorganisasi,tapi kalau ornganisasi itu mau membrangus kemerdekaan orang lain, itu kan melawan demokrasi, contohnya ada organisasi Nazi yang ingin mendirikan ormas, secara demokrasi itu dipersilakan, padahal Nazi ini mau membrangus demokrasi itu. Apakah kita mau membiarkan orgganisasi itu hidup dan tumbuh? Karena dia sendiri sudah anti demokrasi." Penulis : Hambatan untuk mewujudkan cita-cita kepemimpinan kaum muda apa? Fadli Zon : Kalau menurut saya, perubahan itu bisa lebih baik dengan cepat. Kalau kita punya kepemimpinan yang benar dan pemerintahan yang baik. Haluan juga akan lebih jelas, kalau haluannya neoliberalisme kita akan mengarah pada krisis, kalau haluannya ekonomi kerakyatan, pasti rakyat akan lebih makmur. Di mana letak perbedaannya? Kalau haluan neoliberalisme itu tergantung kepada harga artinya siapa yang kuat dia yang menang. Kalau ekonomi kerakyatan, sejak awal sudah berpihak, mana yang menjadi mayoritas rakyat kita. Petani, buruh, nelayan, pedagang pasar, itu yang harus di bela diberikan semacam informative action, anggarannya diperbesar. LAMPIRAN FOTO WAWANCARA DENGAN YUDDY CHRISNANDI WAWANCARA DENGAN FADLI ZON WAWANCARA DENGAN FADJROEL RACHMAN WAWANCARA DENGAN BUDIMAN SUDJATMIKO