1 Regulasi Quality of Service (QoS) Pada Lingkungan Next Generation Network (NGN) dan Usulan di Indonesia Yudistira Adi Pradana Teknik Telekomunikasi, Sekolah Teknik Elektro Informatika (STEI), Institut Teknologi Bandung Makalah ini dibuat untuk memberikan gambaran mengenai regulasi di era Next Generation Network (NGN) yang berhubungan dengan Quality of service (QoS) dengan mempertimbangkan potensi permasalahan yang mungkin terjadi. Regulasi QoS yang dikenal saat ini merupakan suatu sistem pengukuran dan pengawasan parameter kinerja layanan telekomunikasi. Sistem tersebut akan tetap diperlukan ketika jaringan saat ini bermigrasi menuju NGN. Akan tetapi permasalahan pokok mengenai QoS yang memerlukan perhatian regulasi terletak pada kedudukan suatu operator dengan kekuatan pasar (significant market power) yang mempengaruhi QoS suatu layanan. Permasalahan lain adalah kemungkinan adanya suatu sistem perbedaan (diferensiasi) kualitas berdasarkan prioritas pada paket layanan NGN. Dengan memperhatikan skenario pasar yang mungkin terjadi di awal terbentuknya NGN di Indonesia, maka akan diberikan usulan penerapan regulasi yang umumnya menggunakan intervensi ex ante secara minimum. Kata Kunci—intervensi ex ante, pengawasan parameter, significant market power (SMP), sistem perbedaan kualitas, Quality of Service I. PENDAHULUAN N ext generation network (NGN) atau konvergensi merupakan konsep jaringan berbasis paket internet protocol (IP) yang mampu menyediakan berbagai layanan telekomunikasi di dalam platform jaringan yang sama, dengan teknologi transport yang memungkinkan adanya Quality of Service (QoS). Lahirnya konsep jaringan ini dilatar belakangi oleh kecenderungan adanya kebutuhan layanan triple play (voice, data, video) yang memberikan kesempatan kepada operator telekomunikasi untuk memperluas bisnisnya dengan memberikan jenis layanan baru. Perkembangan jaringan menuju era NGN telah terjadi di beberapa negara yang berfokus pada dua hal yaitu jaringan inti dan jaringan akses. Pada tahun 2004, operator British Telecom (BT) melakukan migrasi seluruh jaringan yang ada menuju IP based Next Generation Network, yang disebut 21stCentury Network (21CN). Awal ketika diluncurkan, 21 CN merupakan program jaringan inti berbasis IP-Multi Protocol Labe Switching (MPLS)-Wave length Division Multiplexing (WDM) yang akan membawa layanan voice dan data dengan QoS yang baik. Perkembangan pada jaringan akses dapat ditemui di Belanda dan Jerman dimana terjadi penggantian setahap demi setahap jaringan akses yang ada menuju Very high speed digital subscriber lines (VDSL) / fibre to the curb (FTTC). Jepang merupakan contoh lain negara dengan penetrasi pelanggan fibre to the home (FTTH) yang tinggi, yaitu 40 % dari jumlah total pelanggan broadbandnya (akhir Desember 2007). Hal tersebut diakibatkan adanya migrasi dari waktu ke waktu pengguna broadband tradisional (DSL) menuju FTTH. Migrasi jaringan saat ini menuju era NGN mengakibatkan beberapa perubahan dan dampak. Masalah transisi antara jaringan PSTN menuju NGN mengakibatkan sejumlah ketidaknyamanan pengguna layanan yang harus diantisipasi oleh operator. Masalah keamanan jaringan, jaringan NGN yang berbasis IP akan mendapatkan potensi masalah keamanan yang hampir sama dengan internet publik. Penomoran, NGN mengkombinasikan sejumlah jaringan yang berbeda, maka ada harapan untuk melakukan sistem penomoran baru. Kompetisi, NGN seharusnya merupakan suatu pendorong adanya kompetisi baru di industri telekomunikasi. Quality of Service (QoS), perubahan jaringan inti berbasis IP harus menjamin bahwa layanan seperti voice akan memiliki kualitas yang sama seperti layanan PSTN. Untuk menjamin layanan seperti voice dan layanan bersifat real time lainnya maka sebaiknya NGN menggunakan teknologi dan mekanisme QoS pada jaringan IP yang dapat menjamin layanan tertentu mendapatkan performansi yang lebih baik dari pada layanan lain. Fokus utama pada makalah ini, adalah pada QoS dan masalah lain yang mempengaruhi QoS. II. QUALITY OF SERVICE (QOS) A. Konsep Quality of Service Quality of Service (QoS) adalah kumpulan dampak dari kinerja layanan yang menentukan tingkat kepuasan pengguna layanan. Elemen dari kinerja jaringan yang termasuk kedalam lingkup QoS antara lain availability, bandwidth, latency (delay), delay variation, information loss, dll. Tujuan QoS adalah untuk menyediakan jaminan pada jaringan dengan mekanisme yang ada untuk mendapatkan hasil yang diinginkan oleh pengguna layanan. Untuk mengelompokan parameter-parameter QoS ke dalam kelompok kelas layanan tertentu, ITU-T mengkategorikan dua jenis kelas, yaitu network QoS class dan application QoS Class. Untuk NGN, ITU-T memberikan network QoS Class dengan rekomendasi Y.1541 Network performance objective for IP-based service dan application QoS class dengan rekomendasi G.1010 end user multimedia QoS categories. B. Mekanisme Quality of Service Jaringan berbasisi internet protocol (IP) alaminya merupakan jaringan yang bekerja dengan prinsip best effort sehingga level QoS relatif tidak terjamin untuk jenis layanan 2 tertentu. Untuk menjawab permasalahan tersebut diberikan mekanisme yang dapat digunakan untuk menyediakan QoS dalam jaringan IP. Secara umum dikenal tiga jenis mekanisme QoS yang didefinisikan oleh IETF (Internet Engineering Task Force) yaitu Integrated Services (IntServ), Differentiated Services (DiffServ), label Switching (Multi Protocol Label Switching-MPLS). 1) Integrated Services Mekanisme IntServ terinspirasi oleh jaringan telkom dan ATM yang mana dibutuhkan pensinyalan sebelum sesi komunikasi terbangun. Intserv menyediakan solusi end-to-end QoS dengan cara signalling dan admission cotrol di setiap elemen jaringan. Resource Reservation Protocol (RSVP) merupakan protokol signalling yang digunakan oleh aplikasi untuk melakukan permintaan (request) QoS ke dalam jaringan. Karena perlunya reservasi resource pada setiap aliran aplikasi, maka mekanisme ini mengalami permasalahan dalam hal skalabilitas. 2) Differentiated Services DiffServ untuk memecahkan permasalahan skalabilitas dan tidak fleksibelnya mekanisme IntServ dengan menggunakan pendekatan class-based untuk memperlakukan paket secara berbeda di jaringan. Semua trafik yang masuk digabungkan kedalam Class of Service (CoS) yang masingmasing berhubungan dengan persyaratan kualitas tertentu. Semua elemen jaringan sepanjang jalur mempelajari nilai dari Differentiated Service Code point (DSCP) dan menentukan QoS yang diberikan pada paket. Setiap elemen jaringan memiliki tabel yang memetakan nilai dari DSCP ke per hop behaviour (PHB) yang menetukan bagaimana sebuah paket diperlakukan.Karena perlunya reservasi resource pada setiap aliran aplikasi, maka mekanisme ini mengalami permasalahan dalam hal skalabilitas. 3) Label Switching Multi Protocol Label Switching (MPLS) merupakan konsep pemberian label pada paket yang digunakan untuk mengurangi kerja di setiap router, sehingga jaringan lebih efisien dan pengiriman paket menjadi lebih cepat. Label digunakan untuk menentukan jalanya paket menuju router pada hop berikutnya. Sehingga router melakukan proses forward paket bergantung hanya pada label yang diberikan, tidak pada alamat tujuan pada paket. MPLS dan DiffServ, keduanya merupakan teknologi saling melengkapi yang digunakan untuk mengimplementasikan sistem perbedaan QoS di dalam NGN. Pemberian mekanisme QoS DiffServ pada MPLS adalah dengan memanfaatkan bagian header paket MPLS. III. REGULASI TELEKOMUNIKASI Regulasi telekomunikasi adalah kumpulan dari peraturan, hukum, norma dan prosedur yang mengatur perilaku ekonomi pelaku industri telekomunikasi. Dalam membuat regulasi dan aturan di dalam industri telekomunikasi terdapat dua model yang digunakan antara lain : • Intervensi Ex Ante. Jenis intervensi yang dilakukan untuk mengantisipasi adanya suatu masalah • Intervensi Ex Post. Jenis intervensi yang dilakukan setelah terjadinya penyalahgunaan kekuatan pasar di dalam industri telekomunikasi. IV. REGULASI QOS TELEKOMUNIKASI Regulasi QoS yang ada selama ini adalah sistem pengawasan (monitoring) dan pengukuran terhadap suatu parameter nilai (distandardkan atau tidak distandardkan) yang berkaitan dengan kualitas layanan telekomunikasi. Dalam melakukan kebijakan monitoring harus diperhatikan beberapa langkah diantaranya: • Diskusi stakeholder telekomunikasi • Mendefinisikan pengukuran • Menentukan target • Melakukan pengukuran • Pemeriksaan pengukuran • Publikasi pengukuran • Memeriksa pencapaian kebijakan Dari langkah tersebut, langkah kedua merupakan bagian terpenting yang harus diperhatikan. Langkah tersebut berisi deskripsi pengukuran dan metode pengukuran. Informasi mengenai hal tersebut secara lengkap dapat mengacu pada panduan European Telecommunications Standards Institute (ETSI). Beberapa deskripsi pengukuran yang diterapkan di setiap negara merupakan hal yang berbeda bergantung kepada fokus utama layanan telekomunikasi di setiap negara. Dalam menerapkan regulasi tersebut, terdapat dua model pendekatan yang ada yaitu encouragement dan enforcement. Model enforcement merupakan model yang berasal dari Amerika yang diterapkan dengan menyertakan sejumlah penalti apabila terdapat bentuk kegagalan operator dalam memenuhi target parameter yang diberikan oleh regulator. Sedangkan encouragement yang dipakai oleh sejumlah negara eropa adalah model yang tidak menyertakan sejumlah penalti, hanya regulator mensyaratkan publikasi hasil pengukuran kualitas di dalam bentuk yang memudahkan pelanggan untuk membandingkan kinerja layanan. V. REGULASI QOS NGN A. Kedudukan Operator Regulasi QoS dalam lingkungan NGN tidak lagi dapat difokuskan pada sistem pengawasan terhadap parameter layanan telekomunikasi, namun lebih luas dari itu. QoS suatu layanan akan sangat bergantung kepada posisi pasar operator jaringan. Operator memiliki peran penting dalam hal QoS suatu layanan karena operator memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengontrol QoS layanan yang berjalan di jaringannya, operator khususnya yang berhubungan langsung dengan akses merupakan kanal distribusi utama layanan kepada pengguna yang disediakan penyedia konten. Kedudukan dan kemampuan operator akan signifikan dengan model bisnis yang terjadi pada masa NGN, yaitu model bisinis yang tidak lagi terintegrasi melainkan model bisnis yang terbagi ke dalam beberapa layer. Operator yang bekerja hanya pada layer jaringan atau transmisi diharuskan melakukan interkoneksi ke operator lain atau dengan pihak ketiga seperti penyedia layanan. Posisi kekuatan pasar besar (significant market power) SMP dari operator dapat 3 mengancam kualitas layanan yang diberikan oleh penyedia layanan independen terlebih dengan kecenderungan bisnis terintegrasi operator sampai dengan level konten. Regulasi yang ada seharusnya menjamin keberlangsungan penyedia layanan independen dalam hubunganya dengan SMP operator. B. Sistem Perbedaan QoS Dengan adanya migrasi jaringan menuju NGN, tuntutan akan sistem perbedaan QoS semakin besar, dengan menggunakan DiffServ dan MPLS seperti telah disebutkan sebelumnya. Dengan adanya sistem ini akan memudahkan pengguna untuk menentukan, memprioritaskan, dan memilih satu jenis layanan terhadap layanan yang lain. Saat ini sistem perbedaan QoS sudah lazim diimplementasikan di dalam satu lingkup jaringan. Akan tetapi secara nyata, sistem ini tidak berkembang karena pengembanganya tidak meluas hingga lingkup antar jaringan. Permasalahan tersebut contoh dari efek jaringan (network externality), maksudnya sistem merupakan fungsi dari jumlah pihak yang berpartisipasi. Semakin banyak jaringan yang menggunakan sistem ini, keuntungan yang didapat dari sistem perbedaan QoS akan semakin besar. Oleh karena itu dibutuhkan keadaan kompetisi terbuka tanpa adanya regulasi berlebih agar sistem ini berkembang sesuai dengan mekanisme pasar yang ada. Dengan pasar yang memiliki efek jaringan yang kuat diharapkan interkoneksi antar jaringan dengan sistem perbedaan QoS mudah terbangun, karena setiap operator menginginkan interoperabilitas penuh terhadap sistem tersebut. Sistem perbedaan QoS berdasarkan prioritas ini merupakan contoh kasus dari permaslahan network neutrality di jaringan internet publik saat ini. network neutrality adalah apakah jaringan internet yang ada seharusnya bersifat terbuka, netral, nondiskriminatif dan dapat diakses oleh siapa saja. Terdapat tiga tingkatan di dalam net neutrality yaitu blocking (penutupan akses kepada konten tertentu), degradasi kualitas, prioritas. Sistem perbedaan QoS berdasarkan prioritas merupakan contoh dari net neutrality dengan tingkatan tertinggi. Contoh kebijakan yang diambil di Amerika adalah dengan memperbaiki undang-undang telekomunikasi AS 1996, salah satunya dengan Internet Freedom and Preservation Act, yang melarang operator jaringan melakukan blocking, degrading, prioritisation hanya kepada penyedia konten tertentu. C. Pengawasan QoS Layanan NGN Proses pengawasan QoS pada layanan NGN memiliki langkah kerja yang sama dengan masa sekarang, yang membedakan adalah bahwa semua layanan dikategorikan kedalam parameter yang sama seperti delay, jitter, packet loss. Untuk itu sangat penting bagi otoritas regulasi untuk menerapkan minimum standard kualitas (QoS) yang akan diterima oleh pengguna layanan. Sebagai acuan untuk mendapatkan nilai parameter QoS end-to-end (UNI-UNI) untuk beberapa layanan tertentu, ITU-T telah menstandardkan nilai dari parameter QoS menurut rekomendasi Y.1541. Hal lain yang penting adalah proses pengawasan pada titik interkoneksi antara operator. Karena keberhasilan end-to-end QoS dipengaruhi oleh QoS diantara operator (inter-provider QoS). Sejauh ini belum adanya standard yang menjamin end to end QoS pada jaringan IP/MPLS yang saling berinterkoneksi. Hanya perjanjian bilateral antara operator yang memfasilitasi QoS antara operator. Secara teknis masalah ini dapat diselesaikan dengan sejumlah penelitian yang telah dilakukan, namun hambatan yang terjadi terletak pada kedudukan operator SMP yang telah dibahas sebelumnya. VI. USULAN REGULASI QOS DI INDONESIA Dengan melihat fakta yang ada bahwa Indonesia saat ini belum memiliki regulasi QoS yaitu sebuah sistem pengawasan akan layanan telekomunikasinya. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang merupakan salah satu stakeholder berkewajiban menetapkan parameter-parameter kualitas layanan. Parameter-parameter yang ada dapat mengacu kepada beberapa standard telekomunikasi yang ada, salah satunya European Telecommunication Standard Institute (ETSI). Di dalam proses mendefinisikan pengukuran, dianjurkan untuk melibatkan kelompok industri (operator telekomunikasi) agar jenis parameter serta metode pengukuran yang digunakan dapat diseragamkan, sehingga memudahkan dalam proses perbandingan. Untuk jenis pendekatan dianjurkan menggunakan model enforcement dengan menyertakan sejumlah penalti (bentuk law enforcement). Penerapan sistem penalti diberikan pada indikator kinerja layanan, yaitu permasalahan-permasalahan seperti permintaan layanan, jumlah kegagalan (fault) jaringan, lamanya perbaikan fault, penanganan aduan, dll. Proses pengukuran tanpa adanya penalti diberikan kepada indikator kinerja teknis seperti network coverage, delay, dll. Setiap hasil pengukuran dipublikasikan di media seperti website agar pengguna dapat membandingkan kinerja operator Sebelum memberikan usulan mengenai bentuk regulasi yang cocok diterapkan di Indonesia pada masa NGN, terlebih dahulu diasumsikan skenario pasar yang mungkin terjadi. Dengan melihat pasar industri telekomunikasi saat ini, bahwa sebagian besar pasar industri telekomunikasi merupakan bentuk monopoli dan duopoli, dimana terdapat satu atau dua operator besar berskala nasional. Skenario pasar cukup terlihat pada industri layanan seluler. fixed wireline 1% Telkom 99% BBT 4 fixed wireless 24% Telkom 5% 71% Indosat Bakrie tel seluler 16% 3% Telkomsel 25% 56% Indosat Excel ini, regulator menilai dampak dari sistem prioritas ini apakah terjadi persaingan yang anti kompetitif atau justru sistem ini memberikan dampak yang baik kepada pengguna. Selanjutnya regulator menentukan apakah diperlukan regulasi yang lebih ketat atau tidak (berjalan menurut kinerja pasar). Model pengawasan dan pengukuran terhadap parameter layanan NGN juga tetap dilakukan. Sebagai bagian dari sistem tersebut, diusulkan di dalam proses mendefinisikan pengukuran dan menetapkan target mengacu pada rekomendasi ITU-T Y.1541 diantara user network interface. Hal lain yang tidak dapat dikesampingkan adalah indikator kinerja layanan. Karena kecenderungan yang ada pengguna jasa telekomunikasi akan tetap memfokuskan diri pada indikator kinerja layanan disamping indikator teknis. Model pendekatan yang digunakan adalah model encouragement dengan harapan di Indonesia terjadi transisi menuju skenario pasar kompetisi penuh. TABEL I REKOMENDASI ITU-T Y.1541 NETWORK PERFORMANCE OBJECTIVES FOR IP BASED SERVICE lain Gambar 1. Penetrasi telekomunikasi Indonesia Desember 2006 (Sumber: Dirjen Postel) Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa skenario awal pasar NGN di Indonesia adalah skenario monopoli dengan adanya satu atau dua operator berskala nasional. Skenario awal monopoli setahap demi setahap diharapkan berubah menuju skenario pasar dengan tetap melihat kemungkinan adanya operator SMP. Dengan kecenderungan pasar yang ada dan potensi permasalahan yang akan muncul maka fokus utama regulasi yang ada berhubungan dengan kekuatan pasar dari operator dalam hubungannya pada interkoneksi dengan sesama operator dan penyedia layanan. Bentuk regulasi ex ante yang mensyaratkan kewajiban anti diskriminasi dalam hal kualitas termasuk block atau penutupan akses terlihat cukup memadai untuk diterapkan di awal. Intervensi ex post dapat dipertimbangkan jika adanya pelanggaran terhadap komitmen sikap anti kompetitif dan diskriminatif yang dilakukan oleh operator. Dalam aspek hukum, kebijakan pro persaingan yang melandasi UU No.36 tahun 1999, selain berfokus pada hubungan interkoneksi antar operator juga pada hubungan antara operator dan penyedia layanan. Masalah sistem perbedaan QoS dengan prioritas sebaiknya menjadi hal penting lain bagi regulator di Indonesia untuk dipertimbangkan. Kebijakan yang ada sebaiknya bersifat minimum dengan harapan sistem ini berkembang sesuai mekanisme pasar yang ada menuju skenario kompetisi. Sebagai tahap awal sebaiknya regulasi yang diberikan mengarah kepada transparansi informasi mengenai sistem perbedaan QoS berdasarkan prioritas ini. Setelah mekanisme pasar terbentuk, yang mana diasumsikan bahwa semakin banyak operator yang mengimplementasikan sistem prioritas TABEL 2 PEMBAGIAN LAYANAN NGN BERDASARKAN KELAS JARINGAN Kelas jaringan Layanan Kelas 0 Layanan interaktif (voice, video teleconferencing) Kelas 1 Layanan interaktif (voice, video teleconferencing) Kelas 2 Transaksi data sangat interaktif (pensinyalan) Kelas 3 Transaksi data, interaktif Kelas 4 Video streaming, bulk data Kelas 5 Aplikasi standard jaringan IP VII. KESIMPULAN Migrasi jaringan menuju NGN harus diantisipasi dengan regulasi yang mengakomodasi segala kemungkinan yang ada. Berkaitan dengan QoS, regulasi tidak lagi hanya berfokus 5 pada sistem pengawasan parameter kualitas layanan telekomunikasi, namun mencakup aspek kedudukan operator di pasar dan sistem perbedaan QoS. Sistem perbedaan QoS dapat menjadi ciri NGN, karena dengan adanya sistem ini akan memudahkan pengguna untuk menentukan, dan memprioritaskan satu jenis layanan terhadap layanan yang lain. Sebelum memasuki era NGN sudah seharusnya Indonesia memiliki sistem pengukuran dan pengawasan kualitas layanan telekomunikasinya dengan model pendekatan enforcement. Secara umum bentuk bentuk regulasi dengan intervensi bersifat preventif atau ex ante cocok untuk diterapkan di Indonesia pada awal terbentuknya lingkungan NGN. VIII. REKOMENDASI Makalah ini membutuhkan perbaikan kedepannya dalam hal pengukuran dan pengawasan QoS di titik interkoneksi antara operator. Sejauh ini sudah ada penelitian teknis yang membahas mengenai interprovider QoS, tetapi diyakini sebelumnya bahwa permasalahan QoS sangat berhubungan dengan kedudukan dominan salah satu operator yang dapat memberikan keterbatasan pada sistem pengawasan yang akan diterapkan. Penelitian sebaiknya mempertimbangkan metode pengukuran QoS pada titik interkoneksi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan kedudukan operator. IX. REFERENSI [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] J.S.Marcus, D.Elixmann, “Regulatory Approaches to Next Generation Networks (NGNs) : An International Comparison, Wik-Consult,”. R. Milne, “ICT Quality of Service Regulation: practices and proposals,” diberikan pada seminar Global Seminar on Quality of Service and Consumer Protection Geneva 31 Agustus 2006- 1 Spetember 2006. J.G. Williams, “Quality of Service Measurements, Standards and Consequences,” M. Chiesa, M. Frank, “QoS Regulation in a Converged IP/NGN Environment,” diberikan pada ITU-D Workshop for the Arab region on Interconnection and Next Generation Networks Bahrain 2-3 Mei 2007. Quality of Service Working Group MIT CFP “Inter-provider Quality of Service,” November 2006 R. Stevens, “Quality of Service and Consumer Protection in an NGN World,” diberikan pada Global Symposium for Regulators Dubai 5-7 Febuari 2007. J.S. Marcus, D. Elixmann, “The Future of IP Interconnection : Technical, Economic, and Public Policy Aspect,” WIK-Consult final report 29 Januari 2008. T. Onali, “Quality of Service Technologies for Multimedia Applications in Next Generation Network,” disertasi Ph.D., University of Cagliari. L. Hou, P. Valcke, D. Stevens, E. Kosta, “Network Neutrality in Europe: innovation thanks to or in spite of the law?,” ICRI K.U. Leuven-IBBT 31 Maret 2008-1 April 2008. Jung-Eun Ku, Sun-Me, Choi, Sang-Woo, Lee, Tchanghee, Hyun, “Interconnection Sceanario and Regulation under NGN Environment in The Case of Korea,” diberikan saat Third International Conference on Networking and Services 2007. A. Dame, J.H. Guettler, K. Leeson, M. Schultz, T.B. Jensen, “Regulatory Implications of The Introduction of Next Generation Networks and Other New Developments in Electronic Communications,” Devoteam Siticom 16 Mei 2003. Judhariksawan, “Pengantar Hukum Telekomunikasi,” Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Network performance objectives for IP based service, Rekomendasi ITU-T Y.1541.