Majalah Kedokteran Andalas

advertisement
38
Malaria serebral dan leptospirosis
ABSTRACT
Cerebral malaria is severe form of malaria with the decrease in consciousness
scored by Glasgow Coma Scale (GCS). Adult malaria patients have GCS < 15. Almost
all cerebral malaria is caused by plasmodium falsiparum infection. Leptospirosis as an
infectious disease caused by Leptospira sp. Severe cases is characterized by jaundice,
hemorrhage, anemia, azotemia, consciousness disorder, and continual fever.
A 34-year old man was hospitalized in Internal Department of M. Djamil
Hospital because continual fever since the previous 10 days. General status was bad,
and physical examination revealed jaundice, palmar eritem, flapping tremor, and
enlargement of the liver and spleen. Bilirubin I was 3,6g%, Bilirubin II was 13,6gr%,
natrium was 127 mol/L and ureum was 216,6 mg%. Leptospira was found in urinary
examination. The diagnose was cerebral malaria with Leptospirosis and hepatic
cirrhosis as differential diagnoses.
key words; malaria, leptospirosis
PENDAHULUAN
Malaria cerebral adalah malaria dengan
penurunan kesadaran yang di nilai dengan
skala dari Glasgow Coma Scale (GCS).
Nilai GCS untuk penderita malaria dewasa
<15. Hampir semua malaria cerebral
disebabkan Plasmodium falsiparum.(1.2)
Epidemilogi
Angka kejadian malaria cerebral pada
kasus malaria dewasa yang di rawat di
rumah sakit di beberapa daerah di Indonesia
3,18% - 14,8% dengan rata – rata 11% 12%. Menurut kelompok usia, malaria
cerebral menonjol pada kelompok usia
produktif 14 – 45 tahun. Menurut jenis
kelamin perbandingan laki – laki dan
perempuan (1,2 – 20) : 1. Menurut
pekerjaan 66,7% merupakan petani.(1)
Patogenesis dan Patologi
Nyamuk
anopheles
menghisap
sejumlah darah dari penderita malaria yang
mengandung gametosit yang matang, lalu
berlangsung siklus sporogoni (seksual) di
dalam tubuh nyamuk hingga mengeluarkan
sporozoid di kelenjar ludah nyamuk.
Nyamuk ini kemudian menggigit manusia
lainnya lalu berlangsung siklus skizogoni
(aseksual). Dalam tubuh manusia sporozoid
ini cepat menghilang dari darah dan mula –
mula menjadi skizon preeritrosit dalam
waktu 5-12 hari di dalam hati. Pada akhir
periode ini terbentuk merozoid yang akan
menembus dinding eritrosit dan terjadi
phase eritrosit. Parasit tumbuh dari
tropozoid menjadi skizon. Sebagian
merozoid akan berkembang menjadi
gamatosit yang akan melanjutkan siklus
manusia nyamuk.(2)
Ada empat hipotesis patofisiologi
malaria cerebral yaitu :
 Teori Permeabilitas;
 Koagulasi Intravaskular disseminata
(KID);
 Toksemia sistemik;
 Teori Imunologi.(3)
Gambaran patologi jaringan otak
penderita malaria cerebral sesuai dengan
patogenesisnya. Terjadi pendarahan dan
nekrosis sekitar Venule dan Kapiler.
Kapiler dipenuhi oleh lekosit dan
monosit, terjadi sumbatan pembuluh darah
oleh susunan roset eritrosit yang terinfeksi.
Ada juga Fibrin dan trombus dalam kapiler
sebagai pertanda adanya KID. Proses –
Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000
39
Malaria serebral dan leptospirosis
proses ini akan menimbulkan anoksia
otak.(3.4)
Gejala Klinis
Manifestasi klinis disertai bentuk
malaria berat lainnya seperti edema paru,
anemia berat dan gagal ginjal. Terjadi
demam yang terus-menerus, menggigil dan
berkeringat, nyeri kepala yang hebat,
mialgia, badan letih dan lesu, mual muntah
dan diare. Gejala lain yang di dapat, yaitu:
penurunan kesadaran, kelainan pada ginjal,
hipoglikemia, kelainan pada hepar, anemia,
demam kencing hitam.(5)
Prognosis
menjadi
buruk
bila
ditemukan :
o Skor koma menurut Glasgow = 0
o Hipoglikemia;
o Hiperparasitemia
(>5%
eritrosit
terinfeksi );
o Leukositosis [>15.000/mm3];
o Ada bukti gangguan ginjal.(3)
Diagnosis
Penurunan kesadaran dan parasitemia
merupakan hal yang patognomonis dalam
diagnosa malaria cerebral. Meskipun
demikian, kemungkinan penyebab lain
penurunan kesadaran harus disingkirkan.
Ada empat pemeriksaan yang sering
digunakan dalam diagnosa penurunan
kesadaran yaitu :
 Analisa kimia / toksikologi darah dan
urine;
 CT scanning / MRI;
 Pemeriksaan Elektro Ensefalo Grafi
(EEG);
 Pemeriksaan cairan serebrospinal.(6)
Penatalaksanaan
Prinsip
penatalaksanaan
malaria
cerebral meliputi :
 Menghilangkan parasitemia;
 Mencegah mengurangi udem otak;
 Keseimbangan cairan dan elektrolit;

Mengatasi kelainan penyerta seperti
kejang, hipoglikemia, gagal ginjal,
sembab paru.(1)
Pemberian obat anti malaria cerebral
harus sedini mungkin dengan dosis yang
adekuat. Obat malaria yang diberikan yaitu
klorokuin basa 200 – 300 mg intra vena,
intra muskular atau cairan infus yang dapat
di ulangi tiap 8 – 12 jam sampai pemberian
oral dapat dilaksanakan. Pemberian oral
saat penderita sadar diberikan dengan dosis
300 mg klorokuin tiap 6 jam. Sebaiknya
pemberian klorokuin basa tidak melebihi
800 mg dalam 24 jam. Obat – obat lain
yang dapat digunakan yaitu kuinin,
primakuin dan artemisin. Pemberian
kortikosteroid
masih
kontroversial.
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi tidak
berguna, malahan dapat memberikan
komplikasi perdarahan lambung dan infeksi
sekunder.(3.7)
LEPTOSPIROSIS IKTERIK
(SINDROMA WEIL)
Pendahuluan
Leptospirosis yang berat yang di tandai
dengan ikterus, kadang – kadang di sertai
perdarahan, anemi, azotemia gangguan
kesadaran dan demam dengan tipe febris
kontinua.(8)
Nama lain lepatospirosis adalah
sindroma weil. Ditemukan pertama kali
oleh Weil pada tahun 1886.(9)
Etiologi
Genus leptospira yang patogen adalah
Leptospira interrogans, yaitu leptospira
patogen yang terdapat pada hewan dan
manusia. Kelompok yang patogen terdiri
atas subgrup yang masing – masing terbagi
lagi atas berbagai sero tipe yang jumlahnya
sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240
sero tipe yang tergabung dalam 23 serogrup.
Sero tipe yang menyebabkan penyakit
Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000
40
Malaria serebral dan leptospirosis
dengan gejala yang berat, bahkan dapat
berakibat
fatal
adalah
L.
ikterohemorhagika. Menurut beberapa
penelitian yang paling sering menginfeksi
manusia adalah L. ikterohemorhagika
dengan reservoir tikus.(10-12)
Patogenesis
Awal munculnya gejala demam
(demam, dll) dan phase I tak berbeda
dengan serangan letospira biasa. Phase
imun berlangsung lebih lama, demam dapat
berlangsung berminggu – minggu dengan
suhu yang tinggi. Gejala khas sindroma
Weil timbul pada hari kelima – kesembilan ,
ataupun lebih cepat pada hari ketiga –
keenam dan mencapai puncak dalam empat
atau lima hari kemudian yang dapat terusmenerus selama satu bulan.(8)
Gejala Klinik
Manifestasi klinik oleh gangguan hati
berupa :
 Peningkatan bilirubin sampai 40%,
terutama bilirubin direk, karena
adanya hambatan ekskresi bilirubin;
 Peningkatan SGOT, jarang melebihi
lima kali normal;
 Hepatomegali dengan nyeri tekan;
 Alkali phospatase meningkat.
Manifestasi klinik oleh gangguan ginjal
berupa :
 Azotemia / peninggian BUN yang
hebat dapat terjadi pada hari kelima
– ketujuh;
 Proteinuria.
Karena terjadi disfungsi pembuluh darah ;
 Oliguria, anuria.
Penurunan perfusi ginjal akibat
hipovolemia akan menimbulkan
nekrosis tabular akut.
Manifestasi pendarahan :
Purpura, ptekie, ekimosis, epistaksis,
pendarahan
gusi,
hemoptisis,
perdarahan saluran cerna, perdarahan
konjungtiva, perdarahan sub arachnoid.
Perdarahan ini timbul akibat proses
vaskulitis yang difus pada dinding
kapiler, di sertai hipoprotrombinemia
dan trombositopenia.
Gambaran laboratorium :
- Jumlah lekosit meningkat : 15.000 –
30.000/mm3;
- Anemia;
- Trombositopenia <30.000/mm2;
- Bilirubin meningkat, terutama bilirubin
direk;
- Ureum meningkat;
- Kreatinin meningkat;
- Mikroskopik : pemeriksaan lapangan
gelap dengan tinta dari pemusingan air
kemih dapat ditemukan letospira yang
positip.(10.11)
Morfologi :
Ciri khas organisme : spiroketa sangat
berbelit, tipis, fleksibel, panjang 5 - 15 mm,
dengan spiral sangat halus yang lebarnya
0,1 – 0,2 mm. Salah satu ujung organisme
sering bengkok, membentuk kait. Terdapat
gerak rotasi aktif tapi tidak ditemukan
flagella. Dengan mikroskop elektron dapat
terlihat filamen aksial tipis dan selaput yang
halus. Spiroketa ini sangat halus sehingga
dalam lapangan gelap hanya dapat di lihat
sebagai rantai kokus kecil. Organisme ini
tidak mudah di warnai tapi dapat di
impregnasi dengan perak.(13.14)
Kultur leptospira ikterohemorhagika
pada media fletcher’s (x1500).(14)
Penatalaksanaan
Pengobatan suportif
Pengobatan suportif sangat penting
pada kasus leptospirosis yang berat.
Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000
41
Malaria serebral dan leptospirosis
Tindakan yang diberikan sesuai dengan
keparahan penyakit dan komplikasi yang
timbul.
o Keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pemberian cairan, elektrolit penting
sehingga
perfusi
yang
adekuat
mencegah terjadi gagal ginjal.
o Diit
Kalau terjadi gangguan fungsi hati,
diberikan diit dan perawatan untuk
penyakit hati, sedangkan kalau terjadi
gangguan fungsi ginjal maka protein
dalam diit disesuaikan dengan bersihan
kreatinin.
o Dialisa
Kalau terjadi azotemia / uremia berat
sebaiknya dilakukan dialisa.
o Tranfusi
Di lakukan bila terjadi perdarahan
hebat yang menyebabkan hipovolemia
yang akan memperburuk keadaan
perfusi ginjal.
o Vitamin K
Diberikan bila ada pemanjangan waktu
protrombin.
o Anti biotika
Obat pilihan pertama adalah Penisilin G
1,5 juta unit setiap 6 jam selama 5 – 7
hari. Beberapa anti biotika yang dapat
digunakan
adalah
:
eritromisin,tetrasiklin, kloramfenikol,
doksisiklin, juga sefalosporin da
quinolon. Pemberian anti biotika
mempercepat hilang keluhan dan
mencegah timbulnya leptospiromia dan
mencegah terjadinya disfungsi ginjal
yang berat. Anti biotika tersebut efektif
pada pemberian hari 1 – 3, namun
kurang bermanfaat bila diberikan pada
phase ke 2 (fase imun) dan tidak efektif
jika telah di jumpai ikterus, gagal ginjal
mau pun meningitis.(10.11)
KASUS
Seorang pasien laki – laki, 34 tahun,
Padang, Polisi, di rawat di bangsal penyakit
dalam pria RSUP Dr. M. Djamil Padang
sejak tanggal 30 Juni 1999 dengan :
Keluhan Utama
Demam sejak 10 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Demam sejak 10 hari yang lalu, terus
menerus, demam tinggi, menggigil dan
berkeringat; Mata kuning sejak 4 hari yang
lalu; Pasien merasa gelisah, bingung dan
sulit di panggil sejak 1 hari yang lalu;
Buang air kecil berwarna kuning tua seperti
teh pekat. Buang air kecil satu kali sejak
pagi tadi, +/- 150cc; Nafsu makan menurun
sejak sakit; Kejang tidak ada; Buang air
besar normal ; Pasien pindah rawat dari
rumah sakit polisi atas permintaan sendiri;
Pasien di diagnosa ikterus obstruksi,
dan telah diberikan infus D 5% : NaCl,
ranitidin, hepatoprotektor.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak ada riwayat sakit malaria.
Tidak ada riwayat sakit kuning.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang sakit
seperti ini
Riwayat Pekerjaan
Polisi (pangkat Serka), Tiga minggu
yang lalu pergi ke Mentawai untuk menjaga
keamanan;
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum : buruk, kesadaran
apatis, tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi :
10x/menit; Kulit : kering, spider naevi (-),
ginecomastia (-), kelenjar getah bening :
tidak membesar; mata konjungtiva tak
anemis, sklera ikterik, injeksi silier (+);
Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000
42
Malaria serebral dan leptospirosis
THT tidak ada kelainan; Leher : JVP 5 – 2
Cm H2O.
Paru; Simetris kanan = kiri (statis,
dinamis), stem premitus normal, kanan =
kiri, sonor, batas paru hati RIC VI,
Vesikular normal, ronki (-), wheezing (-).
Jantung ; Iktus tak terlihat, Iktus teraba
1 jari medial LMCS RIC V, batas jantung
atas : RIC II, kanan : linea sternalis kanan,
kiri : 1 jari medial LMCS, Suara jantung
murni, teratur, M1>M2, P2>A2, bising (-).
Perut, tak membuncit, kolateral (-),
perkusi timpani, bising usus (+) normal.
Hepar teraba 2 jari bawah arcus costae,
tajam, rata, kenyal, nyeri tekan (+);
Lien : S1, ballotement ginjal (-);
Punggung : nyeri tekan/nyeri ketok
Angulus Costo Vertebrae (-), alat kelamin /
anus tidak ada kelainan. Anggota gerak
Reflek fisiologis +/+ normal; Reflek
patologis : babinski (-), chaddock (-),
openheim (-) ; Nyeri gastrocnemeus +/+;
Udem (-), Eritem palmaris (+), flapping
tremor (+).
Laboratorium tanggal 30 Juni 1999 :
Hb : 15,2 g%, lekosit 6700/ mm3, LED
: 50 /jam I, DC : 0/2/2/72/23/1,
Total bilirubim : 15,2 mg/ dl, bilirubin I
3,6 mg/ dl, bilirubin II 11,6 mg/ dl, SGOT
132 u/l, SGPT : 75 u/l (labkesda).
Malaria falciparum (bentuk cincin) (+)
Na : 127 mmol/l, K : 4,8 mmol/l
Ureum 216,6 mg %, gula darah random
: 64 mg%.
Urine : warna teh pekat, Albumin (+),
Reduksi (-),
Sedimen : eritrosit (-), leukosit (-),
silinder (-), Bilirubin (+), Urobilin (+).
Diagnosa Banding
 Leptospirosis.
 Sirosis hepatis post nekrotik stadium
dekompensata + prekoma hepatikum.
Terapi :
 Istirahat / makan cair TKTP.
 IVFD Na Cl 0,9% 6 jam/ kolf.
 Pasang maag slang;
 Kloroquin 3x150 mg basa IM, sampai
sadar, setelah sadar di ganti dengan
oral.
 Primaquin 1x15 mg tablet (lima hari).
 Vitamin B Komplek 3x1 tablet;
 Kalmethason 4x10 mg IV.
 Parasetamol, bila perlu.
Rencana Pemeriksaan :
Darah, urin, feces rutin;
Slide perifer malaria (tebal dan tipis);
Leptospira urine;
Ureum, kreatinin;
Elektrolit;
Gula darah sewaktu;
Faal hepar (albumin, globulin, bilirubin
total, bilirubin I, bilirubin II, SGOT,
SGPT, alkali phospatase);
USG hepar;
Gastroskopi;
Faal hemostatik : CT, BT, trombosit, PT,
APTT.
FOLLOW UP
30 Juni 1999
Kesadaran menurun, demam, BAK
600cc; KU jelek, kesadaran : apatis, TD
120/70 mmHg, N : 100 x/menit, suhu 380C,
nafas 24x/ menit.
Konsul sub.bagian Petri :
Rawat sebagai malaria serebral;
Diagnosa Kerja
1. Malaria cerebral.
2. Hiponatremia.
Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000
43
Malaria serebral dan leptospirosis
Saran
Konsul
ke
Sub
bagian
Gastrohepatologis, kemungkinan prekoma
hepatikum.
Sikap
 IVFD NaCl 0,9% : D5% = 1:1
12jam/kolf.
 Kloroquin 3x1 ampul IM.
 Primaquin 1x15 mg.
 Kalmetason 4x10 mg IV.
 Vitamin B komplek 3x1 tablet.
1 Juli 1999 :
Demam, gelisah, BAB encer, PF : KU
jelek, kesadaran apatis, intake : 2120cc,
output 1200cc.
Laboratorium.
Hb 9,9 g%, leukosit 11.400/mm3,
LED 86/jam I, Ht : 29%, DC 0/2/2/70/25/1,
gambaran darah tepi : normositik,
normokrom, protein 8,1 g%, Albumin 3,6
g%, Globulin 4,5 g%, total bilirubin : 13,10
mg%, bilirubin II 10,89 mg%,
Urine : ditemukan kuman berbentuk
spiral dengan hook (kait).
Konsul Sub bagian Gastrohepatologis :
Rawat sebagai prekoma hepatikum ec
sirosis hati.
Kesan
 Leptospirosis.
 Anemia normokrom normositer ec
hemolitik ec malaria.
 Prekoma hepatikum.
 Malaria cerebral.
Sikap
 Diet DH I cair;
 Pasang foley catheter;
 Penicilin procain 2 x 1,2 juta unit
(rencana 10 hari).






IVFD aminoleban : martos 10%=2 :
1 8 jam/kolf.
Madopar 3x1 tablet.
Neomisin 4 x 500 mg tablet.
Dulcolactol syrup 3 x30 cc.
Kloroquin 3 x 1 ampul.
Primaquin 1 x 15 mg, vit B
Komplek 3 x 1 tablet;
2 Juli 1999 :
Demam (-), BAK kehitaman, KU jelek,
apatis, TD 110/70 mm Hg N : 96/menit,
nafas 20 x menit, suhu 36,20C. Intake : 2700
cc, output 1000 cc.
Saran Sub bagian Nefrologi : beri Lasix
1x1 ampul IV.
Visite Konsulen : infus Aminolebam 1
kolf/hari.
Sikap : teruskan terapi
Lasix 1x1 amp IV.
DISKUSI
Telah dilaporkan suatu kasus seorang
laki – laki usia 34 tahun di rawat di bangsal
penyakit dalam pria dengan diagnosa kerja
malaria cerebral dan diagnosa banding
leptospirosis dan sirosis hepatis post
nekronik stadium dekompensata + prekoma
hepatikum.
Dasar diagnosa malaria cerebral, dari
anamnesa :
- Penurunan kesadaran;
- Demam menggigil;
- Mata kuning;
- Riwayat pergi ke daerah endemis
(Mentawai).
Dari pemeriksaan fisik, ditemukan :
- Ikterik;
- Febris;
- Hepatosplenomegali.
Laboratorium : malaria bentuk cincin (+)
Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000
44
Malaria serebral dan leptospirosis
Pada mulanya pasien ini diagnosa
banding
dengan
leptospirosis,
jenis
leptospirosis ikterik dengan dasar diagnosis,
dari anamnesa :
- Penurunan kesadaran;
- Demam;
- Mata kuning;
Dari pemeriksaan fisik, ditemukan :
- Ikterik;
- Febris;
- Hepatosplenomegali;
- Injeksi silier;
- Nyeri gastroknemeus.
Dipikirkan pula penurunan kesadaran
oleh sebab lain yaitu prekoma hepatikum
karena gangguan di hati dengan dasar
diagnosis, dari anamnesa :
- Penurunan kesadaran;
- Mata kuning dan demam;
Dari pemeriksaan fisik, ditemukan :
- Ikterik;
- Hepatosplenomegali;
- Eritem palmaris;
- Flappin tremor.
Pasien datang telah ada hasil
laboratorium kimia darah dengan faal hepar
terganggu.
Kemungkinan
penyebab
penurunan kesadaran yang lain pada pasien
ini yang masih perlu dipikirkan adalah:
hiponatremia, uremia. Tapi dari hasil Na :
127 mmol/l maka penurunan kesadaran
karena hiponatremia dapat disingkirkan.
Hasil ureum 216,6 mg%, penurunan
kesadaran karena uremia belum dapat
disingkirkan karena tidak ada hasil
kreatinin.
Sesuai dengan kepustakaan, untuk
mendiagnosis pasien dengan penurunan
kesadaran, seharusnya di periksa : analisa
toksilogi, pemeriksaan cairan serebrospinal,
CT scan, MRI, EEG tapi karena berbagai
kendala tidak dapat dilaksanakan.
Hari kedua di rawat, pada pemeriksaan
laboratorium urin ditemukan kuman
leptospira(+). Sehingga terjadi koinsiden
penyakit : malaria dan leptospirosis.
Dugaan diagnosis sirois hepatis post
nekronik stadium dekompensata + prekoma
hepatikum pada pasien ini tidak di dukung
oleh data yang kuat. Hanya terdapat 3
gejala (Formulasi Suharyono Soebandri)
Yaitu :
- Splenomegali.
- Eritem palmaris.
- Sedikit penurunan albumin (3,6 gr%).
Untuk menyokong diagnosa sirosis
tersebut, pasien seharusnya dilakukan USG
tapi belum sempat dilakukan karena
keadaan makin memburuk.
Hasil laboratorium darah : hiper
bilirubinemia, dengan bilirubin II dominan
lebih meningkat dari bilirubin I. Pada
malaria cerebral yang telah terjadi
hemolisis, bilirubin I lebih meningkat dari
bilirubin II. Pada leptospirosis, bilirubin II
dominan meningkat dari bilirubin I. Pada
pasien ini, kemungkinan terjadi dominasi
pengaruh leptospira pada gangguan fungsi
hepar.
Uremia pada pasien ini dapat
disebabkan karena komplikasi dari malaria
cerebral dan laptospirosis. Hanya pada
pasien ini tidak di periksa kadar kreatinin,
sehingga belum bisa menentukan tingkat
keparahan ginjal. Kemungkinan terjadi akut
tubular nekrosis pada pasien ini dapat
disingkirkan, dengan produksi urine yang
masih >400 cc/hari.
Pemeriksaan darah rutin : Hb : 15,2 g%
(30/6/99), Hb : 9,9 g% (1/7/99). Perbedaan
kadar Hb yang cukup besar selang 1 hari,
dapat disebabkan oleh karena proses
hemolisis atau dapat juga disebabkan oleh
bias kesalahan pemeriksaan oleh pemeriksa.
Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000
45
Malaria serebral dan leptospirosis
Kadar lekosit 6700/mm3 (1/6/99) dan
11400/mm3 (1/7/99), tidak sesuai dengan
kepustakaan yaitu seharusnya terjadi
lekositosis yang tinggi.
Penderita datang sudah dalam keadaan
yang lanjut, yang sebelumnya di duga
ikterus obstruksi. Koinsiden penyakit
malaria dan leptospira saling memperberat.
Selama di rawat kesadaran penderita tidak
membaik, malah cendrung memburuk, ini
dapat disebabkan oleh parasit malaria yang
telah berada pada kapiler alat – alat dalam.
Pada kepustakaan terapi leptospirosis
diberikan penisilin prokain 4x1,5 juta unit
selama 1 minggu. Pemberian 4 x sesuai
dengan waktu paruh penisilin yaitu selam 6
jam. Pada pasien ini pemberian dosis terapi
Penisilin perlu di tingkatkan.
Pemberian
kostikosteroid
masih
kontroversi. Pada kepustakaan di sebut
pemberian kostikosteroid dosis tinggi tidak
berguna, malahan dapat memberikan
komplikasi pendarahan lambung dan infeksi
skunder.
Pasien ini sempat di tatalaksana sebagai
prekoma hepatikum, namun dasar diagnosis
prekoma hepatikum dan sirosis hati kurang
menunjang.
Pada kepustakaan kematian pada
leptospira
dapat
disebabkan
karena
perdarahan sub arachnoid atau gagal ginjal.
Manifestasi perdarahan pada pasien ini
tidak menonjol dan produksi urin masih
normal.
Koinsiden
penyakit
saling
memperberat, di duga penyebab kematian
pasien ini adalah karena disfungsi serebral.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
Wibisono BH : Aspek Klinis Malaria Otak
Pada Orang Dewasa. AMI, vol. XXVII,
Nomor Gabungan, 1995, 189 – 215.
Wita Pribadi, saleha Sungkar : Malaria :
Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1994.
3.
Zulkarnaen I. : Malaria : Ilmu Penyakit
Dalam, jilid I, Edisi III, Balai Penerbit FK
UI, Jakarta, 1996
4.
Cohen S : Malaria : Hunter’s Tropical
Medicine Stricland GT (Eds), 7 th edition,
WB Sounders Company Tokyo, 1993, 586
– 613.
5.
White NJ, Plorde J.J : Malaria : Harrison’s
Principles Of Internal Medicine, 12 th.
Edition , Braunwald et all, Mc Grawhill
Inc. 1991, 782 – 788.
6.
Rooper A. H : Coma and Other Disoders
Of Consciousness : Harrison’s Principles
Of Internal Medicine, 12 th. Edition ,
Braunwald et all, Mc Grawhill Inc. 1991,
114 – 120.
7.
Kariman S. : Leptospirosis : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi III,
Syaifullah Noer ( Ed), Balai Penerbit Fk
UI, Jakarta, 1996, 477 – 482
8.
Datau E.A : Perkembangan Baru
Pengobatan
Malaria,
Acta
Medica
Indonesiana, Vol XXIX, 1997, 191 – 199.
9.
Zinsser : Leptospira : Microbiology II, 20
th edition, Prentice Hall International Inc.
1992, 671 – 675.
10. Sanford JP : Leptospirosis : Harrison’s
Principles Of Internal Medicine, 12 th.
Edition , Braunwald et all, Mc Grawhill
Inc. 1991, 663 – 666.
11. Brook GF, Butel SJ.,Ursnston LN :
Leptospira : Medical Microbiology, 2 th
edition, penerbit Buku Kedokteran EGC
1996, 322 – 324.
12. Bell JC. Palmar SR. Payne JM : Zoonis :
Infectious Transmitted from animal to man,
Penerbit Buku Kedokteran EGC 1995,
167– 170.
Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000
Malaria serebral dan leptospirosis
13. Citra E : Manisfestasi Klinis dan
Pengobatan Malaria. Pusat Penelitian
Penyakit Menular, Dep. Kesehatan RI,
Cermin Dunia Kedokteran No. 94, Jakarta,
1994, 5 – 11.
14. Gupte S : Spirochaetes : Basic
Microbiology, 3rd edition, Binarupa
Aksara, Jakarta, 1990, 308 – 311.
15. Watt G : Leptospirosis : Hunter’s Tropical
Medicine Stricland GT (Eds), 7 th edition,
WB Sounders Company Tokyo, 1993, 371
– 323.
Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000
46
Download