38 Malaria serebral dan leptospirosis ABSTRACT Cerebral malaria is severe form of malaria with the decrease in consciousness scored by Glasgow Coma Scale (GCS). Adult malaria patients have GCS < 15. Almost all cerebral malaria is caused by plasmodium falsiparum infection. Leptospirosis as an infectious disease caused by Leptospira sp. Severe cases is characterized by jaundice, hemorrhage, anemia, azotemia, consciousness disorder, and continual fever. A 34-year old man was hospitalized in Internal Department of M. Djamil Hospital because continual fever since the previous 10 days. General status was bad, and physical examination revealed jaundice, palmar eritem, flapping tremor, and enlargement of the liver and spleen. Bilirubin I was 3,6g%, Bilirubin II was 13,6gr%, natrium was 127 mol/L and ureum was 216,6 mg%. Leptospira was found in urinary examination. The diagnose was cerebral malaria with Leptospirosis and hepatic cirrhosis as differential diagnoses. key words; malaria, leptospirosis PENDAHULUAN Malaria cerebral adalah malaria dengan penurunan kesadaran yang di nilai dengan skala dari Glasgow Coma Scale (GCS). Nilai GCS untuk penderita malaria dewasa <15. Hampir semua malaria cerebral disebabkan Plasmodium falsiparum.(1.2) Epidemilogi Angka kejadian malaria cerebral pada kasus malaria dewasa yang di rawat di rumah sakit di beberapa daerah di Indonesia 3,18% - 14,8% dengan rata – rata 11% 12%. Menurut kelompok usia, malaria cerebral menonjol pada kelompok usia produktif 14 – 45 tahun. Menurut jenis kelamin perbandingan laki – laki dan perempuan (1,2 – 20) : 1. Menurut pekerjaan 66,7% merupakan petani.(1) Patogenesis dan Patologi Nyamuk anopheles menghisap sejumlah darah dari penderita malaria yang mengandung gametosit yang matang, lalu berlangsung siklus sporogoni (seksual) di dalam tubuh nyamuk hingga mengeluarkan sporozoid di kelenjar ludah nyamuk. Nyamuk ini kemudian menggigit manusia lainnya lalu berlangsung siklus skizogoni (aseksual). Dalam tubuh manusia sporozoid ini cepat menghilang dari darah dan mula – mula menjadi skizon preeritrosit dalam waktu 5-12 hari di dalam hati. Pada akhir periode ini terbentuk merozoid yang akan menembus dinding eritrosit dan terjadi phase eritrosit. Parasit tumbuh dari tropozoid menjadi skizon. Sebagian merozoid akan berkembang menjadi gamatosit yang akan melanjutkan siklus manusia nyamuk.(2) Ada empat hipotesis patofisiologi malaria cerebral yaitu : Teori Permeabilitas; Koagulasi Intravaskular disseminata (KID); Toksemia sistemik; Teori Imunologi.(3) Gambaran patologi jaringan otak penderita malaria cerebral sesuai dengan patogenesisnya. Terjadi pendarahan dan nekrosis sekitar Venule dan Kapiler. Kapiler dipenuhi oleh lekosit dan monosit, terjadi sumbatan pembuluh darah oleh susunan roset eritrosit yang terinfeksi. Ada juga Fibrin dan trombus dalam kapiler sebagai pertanda adanya KID. Proses – Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000 39 Malaria serebral dan leptospirosis proses ini akan menimbulkan anoksia otak.(3.4) Gejala Klinis Manifestasi klinis disertai bentuk malaria berat lainnya seperti edema paru, anemia berat dan gagal ginjal. Terjadi demam yang terus-menerus, menggigil dan berkeringat, nyeri kepala yang hebat, mialgia, badan letih dan lesu, mual muntah dan diare. Gejala lain yang di dapat, yaitu: penurunan kesadaran, kelainan pada ginjal, hipoglikemia, kelainan pada hepar, anemia, demam kencing hitam.(5) Prognosis menjadi buruk bila ditemukan : o Skor koma menurut Glasgow = 0 o Hipoglikemia; o Hiperparasitemia (>5% eritrosit terinfeksi ); o Leukositosis [>15.000/mm3]; o Ada bukti gangguan ginjal.(3) Diagnosis Penurunan kesadaran dan parasitemia merupakan hal yang patognomonis dalam diagnosa malaria cerebral. Meskipun demikian, kemungkinan penyebab lain penurunan kesadaran harus disingkirkan. Ada empat pemeriksaan yang sering digunakan dalam diagnosa penurunan kesadaran yaitu : Analisa kimia / toksikologi darah dan urine; CT scanning / MRI; Pemeriksaan Elektro Ensefalo Grafi (EEG); Pemeriksaan cairan serebrospinal.(6) Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan malaria cerebral meliputi : Menghilangkan parasitemia; Mencegah mengurangi udem otak; Keseimbangan cairan dan elektrolit; Mengatasi kelainan penyerta seperti kejang, hipoglikemia, gagal ginjal, sembab paru.(1) Pemberian obat anti malaria cerebral harus sedini mungkin dengan dosis yang adekuat. Obat malaria yang diberikan yaitu klorokuin basa 200 – 300 mg intra vena, intra muskular atau cairan infus yang dapat di ulangi tiap 8 – 12 jam sampai pemberian oral dapat dilaksanakan. Pemberian oral saat penderita sadar diberikan dengan dosis 300 mg klorokuin tiap 6 jam. Sebaiknya pemberian klorokuin basa tidak melebihi 800 mg dalam 24 jam. Obat – obat lain yang dapat digunakan yaitu kuinin, primakuin dan artemisin. Pemberian kortikosteroid masih kontroversial. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi tidak berguna, malahan dapat memberikan komplikasi perdarahan lambung dan infeksi sekunder.(3.7) LEPTOSPIROSIS IKTERIK (SINDROMA WEIL) Pendahuluan Leptospirosis yang berat yang di tandai dengan ikterus, kadang – kadang di sertai perdarahan, anemi, azotemia gangguan kesadaran dan demam dengan tipe febris kontinua.(8) Nama lain lepatospirosis adalah sindroma weil. Ditemukan pertama kali oleh Weil pada tahun 1886.(9) Etiologi Genus leptospira yang patogen adalah Leptospira interrogans, yaitu leptospira patogen yang terdapat pada hewan dan manusia. Kelompok yang patogen terdiri atas subgrup yang masing – masing terbagi lagi atas berbagai sero tipe yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240 sero tipe yang tergabung dalam 23 serogrup. Sero tipe yang menyebabkan penyakit Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000 40 Malaria serebral dan leptospirosis dengan gejala yang berat, bahkan dapat berakibat fatal adalah L. ikterohemorhagika. Menurut beberapa penelitian yang paling sering menginfeksi manusia adalah L. ikterohemorhagika dengan reservoir tikus.(10-12) Patogenesis Awal munculnya gejala demam (demam, dll) dan phase I tak berbeda dengan serangan letospira biasa. Phase imun berlangsung lebih lama, demam dapat berlangsung berminggu – minggu dengan suhu yang tinggi. Gejala khas sindroma Weil timbul pada hari kelima – kesembilan , ataupun lebih cepat pada hari ketiga – keenam dan mencapai puncak dalam empat atau lima hari kemudian yang dapat terusmenerus selama satu bulan.(8) Gejala Klinik Manifestasi klinik oleh gangguan hati berupa : Peningkatan bilirubin sampai 40%, terutama bilirubin direk, karena adanya hambatan ekskresi bilirubin; Peningkatan SGOT, jarang melebihi lima kali normal; Hepatomegali dengan nyeri tekan; Alkali phospatase meningkat. Manifestasi klinik oleh gangguan ginjal berupa : Azotemia / peninggian BUN yang hebat dapat terjadi pada hari kelima – ketujuh; Proteinuria. Karena terjadi disfungsi pembuluh darah ; Oliguria, anuria. Penurunan perfusi ginjal akibat hipovolemia akan menimbulkan nekrosis tabular akut. Manifestasi pendarahan : Purpura, ptekie, ekimosis, epistaksis, pendarahan gusi, hemoptisis, perdarahan saluran cerna, perdarahan konjungtiva, perdarahan sub arachnoid. Perdarahan ini timbul akibat proses vaskulitis yang difus pada dinding kapiler, di sertai hipoprotrombinemia dan trombositopenia. Gambaran laboratorium : - Jumlah lekosit meningkat : 15.000 – 30.000/mm3; - Anemia; - Trombositopenia <30.000/mm2; - Bilirubin meningkat, terutama bilirubin direk; - Ureum meningkat; - Kreatinin meningkat; - Mikroskopik : pemeriksaan lapangan gelap dengan tinta dari pemusingan air kemih dapat ditemukan letospira yang positip.(10.11) Morfologi : Ciri khas organisme : spiroketa sangat berbelit, tipis, fleksibel, panjang 5 - 15 mm, dengan spiral sangat halus yang lebarnya 0,1 – 0,2 mm. Salah satu ujung organisme sering bengkok, membentuk kait. Terdapat gerak rotasi aktif tapi tidak ditemukan flagella. Dengan mikroskop elektron dapat terlihat filamen aksial tipis dan selaput yang halus. Spiroketa ini sangat halus sehingga dalam lapangan gelap hanya dapat di lihat sebagai rantai kokus kecil. Organisme ini tidak mudah di warnai tapi dapat di impregnasi dengan perak.(13.14) Kultur leptospira ikterohemorhagika pada media fletcher’s (x1500).(14) Penatalaksanaan Pengobatan suportif Pengobatan suportif sangat penting pada kasus leptospirosis yang berat. Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000 41 Malaria serebral dan leptospirosis Tindakan yang diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. o Keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemberian cairan, elektrolit penting sehingga perfusi yang adekuat mencegah terjadi gagal ginjal. o Diit Kalau terjadi gangguan fungsi hati, diberikan diit dan perawatan untuk penyakit hati, sedangkan kalau terjadi gangguan fungsi ginjal maka protein dalam diit disesuaikan dengan bersihan kreatinin. o Dialisa Kalau terjadi azotemia / uremia berat sebaiknya dilakukan dialisa. o Tranfusi Di lakukan bila terjadi perdarahan hebat yang menyebabkan hipovolemia yang akan memperburuk keadaan perfusi ginjal. o Vitamin K Diberikan bila ada pemanjangan waktu protrombin. o Anti biotika Obat pilihan pertama adalah Penisilin G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 5 – 7 hari. Beberapa anti biotika yang dapat digunakan adalah : eritromisin,tetrasiklin, kloramfenikol, doksisiklin, juga sefalosporin da quinolon. Pemberian anti biotika mempercepat hilang keluhan dan mencegah timbulnya leptospiromia dan mencegah terjadinya disfungsi ginjal yang berat. Anti biotika tersebut efektif pada pemberian hari 1 – 3, namun kurang bermanfaat bila diberikan pada phase ke 2 (fase imun) dan tidak efektif jika telah di jumpai ikterus, gagal ginjal mau pun meningitis.(10.11) KASUS Seorang pasien laki – laki, 34 tahun, Padang, Polisi, di rawat di bangsal penyakit dalam pria RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 30 Juni 1999 dengan : Keluhan Utama Demam sejak 10 hari yang lalu. Riwayat Penyakit Sekarang Demam sejak 10 hari yang lalu, terus menerus, demam tinggi, menggigil dan berkeringat; Mata kuning sejak 4 hari yang lalu; Pasien merasa gelisah, bingung dan sulit di panggil sejak 1 hari yang lalu; Buang air kecil berwarna kuning tua seperti teh pekat. Buang air kecil satu kali sejak pagi tadi, +/- 150cc; Nafsu makan menurun sejak sakit; Kejang tidak ada; Buang air besar normal ; Pasien pindah rawat dari rumah sakit polisi atas permintaan sendiri; Pasien di diagnosa ikterus obstruksi, dan telah diberikan infus D 5% : NaCl, ranitidin, hepatoprotektor. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada riwayat sakit malaria. Tidak ada riwayat sakit kuning. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini Riwayat Pekerjaan Polisi (pangkat Serka), Tiga minggu yang lalu pergi ke Mentawai untuk menjaga keamanan; Pemeriksaan Fisik : Keadaan Umum : buruk, kesadaran apatis, tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 10x/menit; Kulit : kering, spider naevi (-), ginecomastia (-), kelenjar getah bening : tidak membesar; mata konjungtiva tak anemis, sklera ikterik, injeksi silier (+); Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000 42 Malaria serebral dan leptospirosis THT tidak ada kelainan; Leher : JVP 5 – 2 Cm H2O. Paru; Simetris kanan = kiri (statis, dinamis), stem premitus normal, kanan = kiri, sonor, batas paru hati RIC VI, Vesikular normal, ronki (-), wheezing (-). Jantung ; Iktus tak terlihat, Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V, batas jantung atas : RIC II, kanan : linea sternalis kanan, kiri : 1 jari medial LMCS, Suara jantung murni, teratur, M1>M2, P2>A2, bising (-). Perut, tak membuncit, kolateral (-), perkusi timpani, bising usus (+) normal. Hepar teraba 2 jari bawah arcus costae, tajam, rata, kenyal, nyeri tekan (+); Lien : S1, ballotement ginjal (-); Punggung : nyeri tekan/nyeri ketok Angulus Costo Vertebrae (-), alat kelamin / anus tidak ada kelainan. Anggota gerak Reflek fisiologis +/+ normal; Reflek patologis : babinski (-), chaddock (-), openheim (-) ; Nyeri gastrocnemeus +/+; Udem (-), Eritem palmaris (+), flapping tremor (+). Laboratorium tanggal 30 Juni 1999 : Hb : 15,2 g%, lekosit 6700/ mm3, LED : 50 /jam I, DC : 0/2/2/72/23/1, Total bilirubim : 15,2 mg/ dl, bilirubin I 3,6 mg/ dl, bilirubin II 11,6 mg/ dl, SGOT 132 u/l, SGPT : 75 u/l (labkesda). Malaria falciparum (bentuk cincin) (+) Na : 127 mmol/l, K : 4,8 mmol/l Ureum 216,6 mg %, gula darah random : 64 mg%. Urine : warna teh pekat, Albumin (+), Reduksi (-), Sedimen : eritrosit (-), leukosit (-), silinder (-), Bilirubin (+), Urobilin (+). Diagnosa Banding Leptospirosis. Sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata + prekoma hepatikum. Terapi : Istirahat / makan cair TKTP. IVFD Na Cl 0,9% 6 jam/ kolf. Pasang maag slang; Kloroquin 3x150 mg basa IM, sampai sadar, setelah sadar di ganti dengan oral. Primaquin 1x15 mg tablet (lima hari). Vitamin B Komplek 3x1 tablet; Kalmethason 4x10 mg IV. Parasetamol, bila perlu. Rencana Pemeriksaan : Darah, urin, feces rutin; Slide perifer malaria (tebal dan tipis); Leptospira urine; Ureum, kreatinin; Elektrolit; Gula darah sewaktu; Faal hepar (albumin, globulin, bilirubin total, bilirubin I, bilirubin II, SGOT, SGPT, alkali phospatase); USG hepar; Gastroskopi; Faal hemostatik : CT, BT, trombosit, PT, APTT. FOLLOW UP 30 Juni 1999 Kesadaran menurun, demam, BAK 600cc; KU jelek, kesadaran : apatis, TD 120/70 mmHg, N : 100 x/menit, suhu 380C, nafas 24x/ menit. Konsul sub.bagian Petri : Rawat sebagai malaria serebral; Diagnosa Kerja 1. Malaria cerebral. 2. Hiponatremia. Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000 43 Malaria serebral dan leptospirosis Saran Konsul ke Sub bagian Gastrohepatologis, kemungkinan prekoma hepatikum. Sikap IVFD NaCl 0,9% : D5% = 1:1 12jam/kolf. Kloroquin 3x1 ampul IM. Primaquin 1x15 mg. Kalmetason 4x10 mg IV. Vitamin B komplek 3x1 tablet. 1 Juli 1999 : Demam, gelisah, BAB encer, PF : KU jelek, kesadaran apatis, intake : 2120cc, output 1200cc. Laboratorium. Hb 9,9 g%, leukosit 11.400/mm3, LED 86/jam I, Ht : 29%, DC 0/2/2/70/25/1, gambaran darah tepi : normositik, normokrom, protein 8,1 g%, Albumin 3,6 g%, Globulin 4,5 g%, total bilirubin : 13,10 mg%, bilirubin II 10,89 mg%, Urine : ditemukan kuman berbentuk spiral dengan hook (kait). Konsul Sub bagian Gastrohepatologis : Rawat sebagai prekoma hepatikum ec sirosis hati. Kesan Leptospirosis. Anemia normokrom normositer ec hemolitik ec malaria. Prekoma hepatikum. Malaria cerebral. Sikap Diet DH I cair; Pasang foley catheter; Penicilin procain 2 x 1,2 juta unit (rencana 10 hari). IVFD aminoleban : martos 10%=2 : 1 8 jam/kolf. Madopar 3x1 tablet. Neomisin 4 x 500 mg tablet. Dulcolactol syrup 3 x30 cc. Kloroquin 3 x 1 ampul. Primaquin 1 x 15 mg, vit B Komplek 3 x 1 tablet; 2 Juli 1999 : Demam (-), BAK kehitaman, KU jelek, apatis, TD 110/70 mm Hg N : 96/menit, nafas 20 x menit, suhu 36,20C. Intake : 2700 cc, output 1000 cc. Saran Sub bagian Nefrologi : beri Lasix 1x1 ampul IV. Visite Konsulen : infus Aminolebam 1 kolf/hari. Sikap : teruskan terapi Lasix 1x1 amp IV. DISKUSI Telah dilaporkan suatu kasus seorang laki – laki usia 34 tahun di rawat di bangsal penyakit dalam pria dengan diagnosa kerja malaria cerebral dan diagnosa banding leptospirosis dan sirosis hepatis post nekronik stadium dekompensata + prekoma hepatikum. Dasar diagnosa malaria cerebral, dari anamnesa : - Penurunan kesadaran; - Demam menggigil; - Mata kuning; - Riwayat pergi ke daerah endemis (Mentawai). Dari pemeriksaan fisik, ditemukan : - Ikterik; - Febris; - Hepatosplenomegali. Laboratorium : malaria bentuk cincin (+) Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000 44 Malaria serebral dan leptospirosis Pada mulanya pasien ini diagnosa banding dengan leptospirosis, jenis leptospirosis ikterik dengan dasar diagnosis, dari anamnesa : - Penurunan kesadaran; - Demam; - Mata kuning; Dari pemeriksaan fisik, ditemukan : - Ikterik; - Febris; - Hepatosplenomegali; - Injeksi silier; - Nyeri gastroknemeus. Dipikirkan pula penurunan kesadaran oleh sebab lain yaitu prekoma hepatikum karena gangguan di hati dengan dasar diagnosis, dari anamnesa : - Penurunan kesadaran; - Mata kuning dan demam; Dari pemeriksaan fisik, ditemukan : - Ikterik; - Hepatosplenomegali; - Eritem palmaris; - Flappin tremor. Pasien datang telah ada hasil laboratorium kimia darah dengan faal hepar terganggu. Kemungkinan penyebab penurunan kesadaran yang lain pada pasien ini yang masih perlu dipikirkan adalah: hiponatremia, uremia. Tapi dari hasil Na : 127 mmol/l maka penurunan kesadaran karena hiponatremia dapat disingkirkan. Hasil ureum 216,6 mg%, penurunan kesadaran karena uremia belum dapat disingkirkan karena tidak ada hasil kreatinin. Sesuai dengan kepustakaan, untuk mendiagnosis pasien dengan penurunan kesadaran, seharusnya di periksa : analisa toksilogi, pemeriksaan cairan serebrospinal, CT scan, MRI, EEG tapi karena berbagai kendala tidak dapat dilaksanakan. Hari kedua di rawat, pada pemeriksaan laboratorium urin ditemukan kuman leptospira(+). Sehingga terjadi koinsiden penyakit : malaria dan leptospirosis. Dugaan diagnosis sirois hepatis post nekronik stadium dekompensata + prekoma hepatikum pada pasien ini tidak di dukung oleh data yang kuat. Hanya terdapat 3 gejala (Formulasi Suharyono Soebandri) Yaitu : - Splenomegali. - Eritem palmaris. - Sedikit penurunan albumin (3,6 gr%). Untuk menyokong diagnosa sirosis tersebut, pasien seharusnya dilakukan USG tapi belum sempat dilakukan karena keadaan makin memburuk. Hasil laboratorium darah : hiper bilirubinemia, dengan bilirubin II dominan lebih meningkat dari bilirubin I. Pada malaria cerebral yang telah terjadi hemolisis, bilirubin I lebih meningkat dari bilirubin II. Pada leptospirosis, bilirubin II dominan meningkat dari bilirubin I. Pada pasien ini, kemungkinan terjadi dominasi pengaruh leptospira pada gangguan fungsi hepar. Uremia pada pasien ini dapat disebabkan karena komplikasi dari malaria cerebral dan laptospirosis. Hanya pada pasien ini tidak di periksa kadar kreatinin, sehingga belum bisa menentukan tingkat keparahan ginjal. Kemungkinan terjadi akut tubular nekrosis pada pasien ini dapat disingkirkan, dengan produksi urine yang masih >400 cc/hari. Pemeriksaan darah rutin : Hb : 15,2 g% (30/6/99), Hb : 9,9 g% (1/7/99). Perbedaan kadar Hb yang cukup besar selang 1 hari, dapat disebabkan oleh karena proses hemolisis atau dapat juga disebabkan oleh bias kesalahan pemeriksaan oleh pemeriksa. Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000 45 Malaria serebral dan leptospirosis Kadar lekosit 6700/mm3 (1/6/99) dan 11400/mm3 (1/7/99), tidak sesuai dengan kepustakaan yaitu seharusnya terjadi lekositosis yang tinggi. Penderita datang sudah dalam keadaan yang lanjut, yang sebelumnya di duga ikterus obstruksi. Koinsiden penyakit malaria dan leptospira saling memperberat. Selama di rawat kesadaran penderita tidak membaik, malah cendrung memburuk, ini dapat disebabkan oleh parasit malaria yang telah berada pada kapiler alat – alat dalam. Pada kepustakaan terapi leptospirosis diberikan penisilin prokain 4x1,5 juta unit selama 1 minggu. Pemberian 4 x sesuai dengan waktu paruh penisilin yaitu selam 6 jam. Pada pasien ini pemberian dosis terapi Penisilin perlu di tingkatkan. Pemberian kostikosteroid masih kontroversi. Pada kepustakaan di sebut pemberian kostikosteroid dosis tinggi tidak berguna, malahan dapat memberikan komplikasi pendarahan lambung dan infeksi skunder. Pasien ini sempat di tatalaksana sebagai prekoma hepatikum, namun dasar diagnosis prekoma hepatikum dan sirosis hati kurang menunjang. Pada kepustakaan kematian pada leptospira dapat disebabkan karena perdarahan sub arachnoid atau gagal ginjal. Manifestasi perdarahan pada pasien ini tidak menonjol dan produksi urin masih normal. Koinsiden penyakit saling memperberat, di duga penyebab kematian pasien ini adalah karena disfungsi serebral. KEPUSTAKAAN 1. 2. Wibisono BH : Aspek Klinis Malaria Otak Pada Orang Dewasa. AMI, vol. XXVII, Nomor Gabungan, 1995, 189 – 215. Wita Pribadi, saleha Sungkar : Malaria : Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1994. 3. Zulkarnaen I. : Malaria : Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, Edisi III, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1996 4. Cohen S : Malaria : Hunter’s Tropical Medicine Stricland GT (Eds), 7 th edition, WB Sounders Company Tokyo, 1993, 586 – 613. 5. White NJ, Plorde J.J : Malaria : Harrison’s Principles Of Internal Medicine, 12 th. Edition , Braunwald et all, Mc Grawhill Inc. 1991, 782 – 788. 6. Rooper A. H : Coma and Other Disoders Of Consciousness : Harrison’s Principles Of Internal Medicine, 12 th. Edition , Braunwald et all, Mc Grawhill Inc. 1991, 114 – 120. 7. Kariman S. : Leptospirosis : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi III, Syaifullah Noer ( Ed), Balai Penerbit Fk UI, Jakarta, 1996, 477 – 482 8. Datau E.A : Perkembangan Baru Pengobatan Malaria, Acta Medica Indonesiana, Vol XXIX, 1997, 191 – 199. 9. Zinsser : Leptospira : Microbiology II, 20 th edition, Prentice Hall International Inc. 1992, 671 – 675. 10. Sanford JP : Leptospirosis : Harrison’s Principles Of Internal Medicine, 12 th. Edition , Braunwald et all, Mc Grawhill Inc. 1991, 663 – 666. 11. Brook GF, Butel SJ.,Ursnston LN : Leptospira : Medical Microbiology, 2 th edition, penerbit Buku Kedokteran EGC 1996, 322 – 324. 12. Bell JC. Palmar SR. Payne JM : Zoonis : Infectious Transmitted from animal to man, Penerbit Buku Kedokteran EGC 1995, 167– 170. Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000 Malaria serebral dan leptospirosis 13. Citra E : Manisfestasi Klinis dan Pengobatan Malaria. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Dep. Kesehatan RI, Cermin Dunia Kedokteran No. 94, Jakarta, 1994, 5 – 11. 14. Gupte S : Spirochaetes : Basic Microbiology, 3rd edition, Binarupa Aksara, Jakarta, 1990, 308 – 311. 15. Watt G : Leptospirosis : Hunter’s Tropical Medicine Stricland GT (Eds), 7 th edition, WB Sounders Company Tokyo, 1993, 371 – 323. Majalah Kedokteran Andalas Vol.24. No. 1. Januari-Juni 2000 46