Laporan ini sesungguhnya sudah agak basi memang, karena uda lewat hampir 2 minggu sejak peristiwa dimulai. Di akhir November kemarin gw jalan-jalan ke Kuala Lumpur untuk ikut festival musik kontemporer di sana. Jadi waktu itu gw ikut ngirim karya gw untuk kompetisi komponis muda Asia Tenggara. Ternyata karya gw dan beberapa teman dari Indonesia nggak lolos seleksi ke babak final, namun kami cukup beruntung karena para pengirim karya tetap diundang untuk ikutan ke sana selama festival berlangsung, panitia menyediakan ongkos pengganti transportasi dan juga penginapan. Singkat kata gw berangkatlah ke sana sehari sebelum festival berlangsung, tepatnya Rabu 25 November 2009, untuk melihat sekitar kota KL dan bertemu muka dengan budaya (yang ada di) kota itu. Kemajuan teknologi dan sistem pengangkutan massa yang diberlakukan di kota itu sesungguhnya bukanlah hal yang terlalu mutakhir, dalam arti, sesungguhnya Jakarta pun bisa ditata seperti itu. Ah, ngomongin Jakarta dan permasalahannya emang gak akan ada abisnya, tapi seberapa kita peduli akan kota ini akan bisa terukur bukan cuma dari ngomongin doang, tapi seberapa kita mau memberi bagi lingkungan masyarakat di mana kita berada. suasana terminal di KL yang lebih seperti mal yah :P Nah, hubungannya apa dengan festival musik itu? Bentar cuy, lagi menuju sana nih. Oke, di festival pertama kalinya di lingkungan Asia Tenggara ini, komponis-komponis muda dipertemukan tidak hanya dengan para komponis seniornya untuk memberi mereka berbagai masukan akan kemungkinan-kemungkinan lain dalam menyampaikan komposisinya, tapi juga yang sama pentingnya adalah perjumpaan dengan para pemain yang memang amat sangat mumpuni di bidangnya, yakni memainkan karya-karya musik baru dengan penguasaan teknik-teknik baru yang amat handal dan kemampuan interpretasi yang tinggi pula. Dengan demikian, bahkan karya yang paling sederhana sekalipun dapat diwujudkan dengan amat baik oleh para pemain top Jerman tersebut. Ensemble Mosaik sedang berlatih karya si pemenang kompetisi komponis muda Asia Tenggara, Juro Kim Feliz asal Filipina Selama 3 hari festival (dan makan malam pembukaan di sebelum malam pertama festival) kami berinteraksi dan menonton segala proses latihan masing-masing karya yang masuk final untuk kemudian dikonserkan pada malam terakhirnya. Sementara itu di tiap malam kami disuguhi persembahan konser karya para komponis Asia Tenggara, juga karya beberapa komponis juri dari Jerman. Di setiap sore ada diskusi dan kuliah terbuka oleh para komponis senior seperti Slamet Abdul Sjukur (Indonesia), Jonas Baes (Filipina), Anothai Nitibhon (Thailand), Moritz Eggert (Jerman), Dieter Mack (juga Jerman), Johan Othman (Malaysia), Saidah Rastam (Malaysia), Yii Kah Hoe (juga Malaysia) yang masing-masing mengangkat tema seputar identitas kekaryaan komponis Asia, hubungan antara kebudayaan Barat-Timur, juga masalah kepekaan masyarakat perkotaan akan lingkungan di sekitarnya. Dalam beberapa karya yang dipentaskan pun kami dihadapkan dengan berbagai kemungkinan kolaborasi alat musik Barat dan Timur (dalam hal ini baru menggunakan beberapa instrumen musik Cina) yang bisa terwujud dengan baik walau terus menyisakan ruang untuk argumen, baik antar instrumen yang dikolaborasikan maupun antar budaya yang 'ditubrukkan' tersebut. Intinya, bekal untuk berjuang dan berkarya sebagai komponis ataupun hanya sekadar sebagai pengamat seni (musik) kontemporer sudah sangat mencukupi sepanjang festival itu. Dan ada satu hal yang amat sangat gw sadari dari hasil pengamatan dan obrolan dengan sesama komponis muda di sana: Bila kita ingin menciptakan suatu karya yang baik, yang akan ditampilkan dengan baik, maka kita harus berani menulis untuk para pemain yang baik pula. Gimana caranya ketemu pemain yang baik? Ada beberapa cara, di antaranya adalah: 1. Menyewa pemain profesional. 2. Membina pemain-pemain muda. 3. Menulis untuk para pemain musik tradisi yang memang sudah di bidangnya. Nah, poin pertama membutuhkan dana yang tidak sedikit, poin kedua membutuhkan waktu yang tidak sedikit, dan poin ketiga sebenarnya adalah yang paling menarik, namun membutuhkan pergaulan yang juga tidak sempit untuk membuka keterbukaan para pemain akan kemungkinan-kemungkinan ekspresi baru dalam musiknya, juga keterbukaan kita sendiri untuk menyelami permainan musik mereka. Ya, itu hal yang gw sendiri sadari harus gw lakukan, dan gw menyadari bahwa gw makin membutuhkan hal itu, yaitu menyelami musik yang sudah ada di dalam masyarakat. Belajar musik kontemporer mungkin berawal dari penelusuran sejarah musik Barat hingga ujung perkembangannya di masa kini, namun jangan lupakan bahwa musik, kesenian, kebudayaan, terus berkembang dengan cara mengambil dari budaya-budaya lain yang dijumpainya, termasuk dalam hal ini adalah musik-musik yang selain dari "Barat" tersebut. Sepulang dari Kuala Lumpur, gw pun langsung dihadapkan dengan berbagai pentas, termasuk salah satunya adalah dengan 426 Big Band, kelas ensembel yang kebetulan gw pegang di UPH. 426 Big Band telah mengalami berbagai pergantian formasi pemain, sesuai dengan tingkat generasinya sebagai mahasiswa musik di UPH, dan kebetulan yang terakhir ini hampir seluruhnya adalah anggota yang baru bergabung di semester lalu. Namun dapat amat sangat dirasakan perkembangan masing-masing anggota dari segi kemampuan perorangan maupun secara grup yang makin kompak dan solid. Dan di pentas ITB Big Band Concert, suatu festival musik big band bergengsi tahunan di Bandung (iya lah, namanya juga ITB), ternyata kami mampu bermain dengan cara yang berbeda dari big band lainnya. Ternyata apa yang kami mainkan mampu menyentuh masyarakat yang menonton kami saat itu melalui aksi panggung kami yang memang kami usahakan untuk sekomunikatif dan semenarik mungkin. suasana ITB Big Band Concert tahun lalu (yang kemaren gak tau ada di mana fotonya. Kalo ada yang punya minta dung!!) Apa tujuannya kami melakukan itu? Tidak lain dan tidak bukan hanyalah supaya kami dapat memberikan perasaan puas yang sama yang kami rasakan saat memainkan musik kepada mereka semua. Kami menyadari bahwa bermain musik bukanlah sekadar untuk konsumsi kami sebagai musisinya, tapi lebih terutama musisi akan punya makna dalam keberadaannya sebagai seniman jika ia bisa menyentuh hati para pendengarnya melalui permainannya itu. Lalu apa hubungannya dengan musik kontemporer tadi? Sama halnya dengan jenis musik apapun, musisi (termasuk komponis) harus melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar bermain musik ataupun menulis suatu komposisi yang apik dan unik. Musisi harus terjun ke masyarakatnya dan bukan sekadar merilis album rekaman dan menikmati uang dari hasil penjualan album dan hasil manggung di sana-sini, musisi haruslah memberi makna bagi kehidupan masyarakat di mana ia tinggal. Dan ruang untuk itu amat sangat terbuka lebar di bumi pertiwi ini. Kita bisa menilik peran musisi-musisi tradisi di pedesaan. Bahkan mereka bermain musik bukan untuk mencari nafkah, namun musik memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat (misal, Gamelan bagi masyarakat Jawa, Bali, Sunda; Gondang bagi masyarakat Batak; Keroncong; Dangdut, dsb). Musik menjadi roh yang mengisi keseharian hidup masyarakatnya. Komunitas Keroncong Agawe Santosa tampil di UPH, 24 Februari 2009 Lalu bagaimana dengan musik Barat yang telah masuk ke kebudayaan kita? Sama seperti peran para musisi Barat di Eropa maupun Amerika sana (juga sudah mulai dilakukan di negara-negara Asia), aktifitas yang mereka lakukan adalah memberi pembinaan mengenai fungsi musik bagi perkembangan kognitif manusia, pembinaan mengenai apresiasi musik klasik maupun kontemporer, juga bagaimana mengembangkan kemampuan mendengarkan dan menganalisa suatu karya melalui pengalaman mendengarkan itu sendiri. Karenanya, itulah yang bisa para musisi musik Barat (klasik maupun non klasik) lakukan di sini, bukan sekadar hanya menjual atau mempertontonkan pertunjukan musik di gedung-gedung pertunjukan saja. Musik, apapun jenis dan bentuk dan formasi alat yang digunakannya, harus selalu menginspirasikan para penikmatnya untuk sesuatu yang makin berkembang dari sebelumnya. Oh ya? Seperti apa contohnya? Gini nih, musik yang kita dengarkan bisa saja memberi rasa bersemangat, bisa saja membuat kita ingin menuliskan sesuatu, membuat kita sanggup berimajinasi tanpa batas, bisa membuat kita berkarya, dan di atas semua itu, mengapresiasi musik bisa membuat kita makin menghargai perbedaan-perbedaan dalam hidup. Nah, kemudian timbul pertanyaan, gimana caranya suatu musik yang musisinya tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat bisa berperan sejauh itu, gimana caranya kalo bahkan untuk nonton konsernya aja harga tiket nggak terjangkau sama masyarakatnya? Nggak ada jalan lain selain terjun ke dalam masyarakatnya, berkarya langsung di tengah mereka. Konser-konser bukanlah tujuan utama dari suatu aktivitas musikal, melainkan proses yang berlangsung itulah yang bisa memungkinkan hal itu terjadi. Ada suatu kebiasaan yang menarik di negara-negara di mana musik klasik uda jadi budaya yang hidup di masyarakatnya, yaitu setiap kali ada suatu konser ataupun resital, maka gladi resiknya akan bisa dihadiri oleh masyarakat, sehingga mereka bisa mengetahui selukbeluk di belakang layar, di balik dapur pementasan musiknya, dengan tujuan untuk makin meningkatkan apresiasi terhadap musik itu dan berperan bagi masyarakatnya. contoh suasana latihan yang ditonton umum (open rehearsal) Jadi kalo di sini pembaca ada yang tertarik untuk menjadi musisi, sebaiknya kubur keinginan itu dalam-dalam jika keinginan itu hanya atas dasar suka main musik. Kenapa? Karena sesungguhnya pilihan untuk menjadi musisi seharusnya disadari sebagai pilihan untuk mendedikasikan hidup untuk menjadi orang yang berguna bagi masyarakat melalui bidang musik. Dan buat yang uda terlanjur jadi musisi, semoga kita bisa sama-sama jadi orang yang mau terjun langsung ke tengah masyarakat (bisa di mana pun kita berada, lingkungan masyarakat terdekat mana pun di mana kita tinggal) dan menyentuh orangorang di sekitar kita melalui musik kita, melalui peran yang kita jalankan langsung sebagai anggota masyarakat itu sendiri, dan bukan sebaliknya autis dan terlepas dari lingkungannya, tanpa peduli apakah suatu karyanya punya signifikansi bagi lingkungannya atau tidak. Kaji kembali hidupmu, apapun profesimu, baik sebagai musisi ataupun bukan. hmm,,,ngutip Socrates yah?