BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah mencatat bahwa konflik yang dilandasi oleh perbedaan identitas
sering kali terjadi di belahan dunia. Perang salib di Yerusalem, gerakan reformasi
yang dimotori oleh Martin Luther memecah kelompok Katolik dan Protestan di
Jerman, kerusuhan antara kelompok Muslim dan Kristen di Poso, pertikaian
antara kelompok etnis Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, dan
masih banyak lagi yang lain. Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan
kerugian materil tetapi juga menyebabkan banyak kehilangan nyawa.
Konflik antar identitas juga masuk ke ranah politik. Memang, wujud konflik
di ranah politik tidak selalu terbuka atau memakan korban jiwa tetapi identitas
seringkali dijadikan sebagai komoditas politik oleh para politisi. Mereka
menggunakan identitas sebagai alat untuk mendapatkan dukungan suara yang
menjadi prasyarat untuk meraih jabatan politik. Penggunaan identitas untuk
memperoleh suara sangat fungsional sebab identitas memiliki segmen pasar
tersendiri. Status sosial dan ekonomi, domisili, dan agama dipercaya menentukan
pilihan partai politik atau kandidat para pemilih (Ambardi, 2011: 253). Mereka
cenderung memilih kandidat atau partai politik berdasarkan kesamaan identitas
mereka.
Secara operasional, pemilih menentukan pilihan politik mereka di pemilihan,
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) misalnya. Dalam Pilkada, semua kandidat
memiliki peluang yang sama untuk menang karena kemenangan ditentukan oleh
jumlah perolehan suara tertinggi. Di Jakarta, Pilkada untuk memilih gubernur dan
wakil gubernur digelar pada tahun 2012. Pilkada 2012 adalah Pilkada ke dua yang
digelar secara langsung di Ibu Kota setelah Pilkada tahun 2007 yang dimenangkan
oleh pasangan Fauzi Bowo dan Priyanto. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 diikuti
oleh enam pasangan kandidat. Mereka adalah Foke-Nara, Hendardji-Riza,
Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, dan Alex-Nono. Mereka bersaing
untuk memperebutkan kursi 01 dan 02 di Ibu Kota Negara.
1
Pilkada DKI Jakarta 2012 digelar dua putaran karena pada putaran pertama
yang digelar pada tanggal 11 Juli 2012 tidak memunculkan satu pasangan
kandidat yang mampu memperoleh suara mayoritas, minimal 50% + 1. Oleh
karena itu, empat pasangan harus tersingkir di putaran pertama, masing-masing
adalah Hendardji-Riza, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, dan Alex-Nono sementara
dua pasangan lain yang memiliki perolehan suara tertinggi satu dan dua di putaran
pertama berhak melaju ke putaran kedua yang digelar tanggal 20 September 2012.
Mereka adalah pasangan Foke-Nara dan pasangan Jokowi-Ahok.
Persaingan antara Foke-Nara dan Jokowi-Ahok untuk merebut kursi 01 DKI
menjadi menarik tidak hanya karena keduanya diusung oleh partai yang memiliki
basis massa yang kuat tetapi juga karena latar belakang identitas kedua pasangan
tersebut berbeda secara mendasar. Foke-Nara diusung oleh Partai Demokrat,
PAN, PPP, Hanura, dan PKB serta di putaran kedua mereka mendapat tambahan
dukungan dari Partai Golkar dan PKS yang calon-nya tersingkir di putaran
pertama. Jokowi-Ahok diusung oleh Partai PDIP dan Partai Gerindra.
Perbedaan latar belakang identitas antara Foke-Nara dan Jokowi-Ahok paling
mendasar dapat terlihat dari dua hal yaitu: perbedaan etnis dan agama. Foke dan
Nara berasal dari etnis Betawi dan keduanya penganut ajaran agama Islam. Etnis
Betawi adalah etnis asli yang mendiami DKI Jakarta dan penduduk DKI Jakarta
mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, pasangan ini seringkali mengklaim
diri sebagai kandidat yang paling mengetahui dan paling mampu menyelesaikan
persoalan di Jakarta, terlebih saat ini Foke masih menjabat sebagai incumbent atau
gubernur patahanna.
Berbeda halnya dengan Jokowi-Ahok, pasangan ini berlatar belakang
campuran antara etnis Jawa dan Tionghoa. Jokowi berasal dari etnis Jawa
sementara Ahok dari etnis Tionghoa. Agama mereka juga berbeda, Jokowi
beragama Islam sementara Ahok beragama Kristen Protestan. Latar belakang
identitas pasangan ini menjadi penyebab mereka seringkali dianggap tidak
mewakili kepentingan rakyat DKI Jakarta. Selain itu, mereka juga diidentifikasi
sebagai “orang lain” atau pendatang karena keduanya berasal dari luar Jakarta.
Jokowi berasal dari Kota Solo sementara Ahok berasal dari Belitung.
2
Kedua pasangan tersebut dapat menggunakan identitas sebagai alat untuk
menggaet suara serta dapat menggunakannya untuk menyerang kandidat lawan.
Pasangan Foke-Nara dapat memanfaatkan identitas sebagai alat untuk meraih
dukungan dari pemilih yang beretnis Betawi atau beragama Islam sementara
pasangan Jokowi-Ahok dapat memanfaatkan identitas untuk meraih dukungan
dari pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau etnis lain yang juga banyak
mendiami Ibu Kota. Pasangan Jokowi-Ahok juga berpotensi untuk merebut suara
dari pemilih yang beragama non-muslim di Jakarta. Di sisi lain, pasangan JokowiAhok bisa diserang sebagai representasi “orang lain” karena mereka berasal dari
luar Jakarta.
Konsekuensi dari penggunaan identitas dalam arena politik adalah munculnya
kontestasi identitas. Hal ini nampak dalam iklan politik para kandidat. Baik FokeNara maupun Jokowi-Ahok menggunakan iklan politik sebagai sarana kampanye.
Penanda-penanda identitas (seperti: etnis, agama, dan gender) ditampilkan
menonjol dalam iklan politik mereka. Penanda-penanda identitas dalam iklan
politik itu digunakan untuk mempengaruhi pilihan politik pemilih. Sasarannya
adalah pemilih yang identitas-nya sama dengan penanda identitas yang
ditampilkan di iklan.
Mereka beriklan di media massa cetak dan elektronik. Iklan politik digunakan
karena mereka memiliki keterbatasan ruang dan waktu untuk bertemu langsung
dengan pemilih. Dengan bantuan iklan politik mereka berharap pesan-pesan
politik-nya sampai kepada pemilih tanpa mereka harus bertemu secara langsung.
Tujuan akhir dari penggunaan iklan politik oleh para kandidat agar mereka
dikenal dan dipilih saat pemilihan berlangsung sebab perolehan suara mayoritas
dalam pemilihanlah yang dapat mengantarkannya memenangkan Pilkada DKI
Jakarta 2012.
B. Rumusan Masalah
Dari gambaran permasalahan penelitian tersebut memunculkan rumusan
masalah yang kemudian diangkat menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah
bagaimana politik identitas yang dilakukan oleh Foke-Nara dan Jokowi-Ahok
3
dalam iklan politik mereka periode tanggal 24 Juni 2012 – 7 Juli 2012 dan periode
14-16 September 2012 di Pilkada DKI Jakarta 2012?
C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan atau mengungkap fakta-fakta tentang
politik identitas yang dilakukan oleh Foke-Nara dan Jokowi-Ahok di iklan politik
mereka dalam keikutsertaan-nya di Pilkada DKI Jakarta 2012.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan dua manfaat, yaitu: manfaat secara teoritis
dan manfaat secara praktis:
1.
Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pada perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya komunikasi politik.
2.
Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi
dan rujukan para politisi dalam menggunakan iklan politik untuk tujuan
politik, yaitu memperebutkan jabatan politik seperti: bupati, wali kota,
gubernur, presiden, atau anggota legislatif. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi materi pendidikan politik masyarakat luas.
E. Kerangka Pemikiran
Pilkada DKI Jakarta yang berhasil mengantarkan pasangan Jokowi-Ahok
menduduki kursi 01 di DKI Jakarta menyita perhatian masyarakat luas.
Kedudukan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara menjadikan proses Pilkada DKI
Jakarta selalu dinantikan oleh rakyat di seluruh penjuru negeri. Mereka bukan
hanya yang memiliki hak pilih atau penduduk Jakarta melainkan juga publik yang
tinggal di pelosok negeri ikut memerhatikan pesta demokrasi rakyat ibu kota.
Proses Pilkada DKI Jakarta yang digelar dua putaran senantiasa menjadi isu
hangat di media massa. Baik media cetak maupun media elektronik menyoroti
beragam informasi seputar Pilkada DKI Jakarta. Mereka memberitakan tahapan
pendaftaran calon, aktivitas kampanye, debat kandidat, pemilihan, perhitungan
suara, penetapan pemenang, sampai pelantikan gubernur dan wakil gubernur
4
terpilih tidak luput dari pemberitaan. Oleh karena itu, melalui media massa, publik
dapat mengikuti perkembangan Pilkada DKI Jakarta di manapun mereka berada.
Aktor utama dalam komunikasi politik di Pilkada DKI Jakarta yaitu aktor
politik, media massa, dan publik berhasil memaksimalkan perannya masingmasing. Aktor politik, baik Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok, menggunakan
media massa untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat luas.
Beriklan, misalnya, di media massa. Secara sederhana iklan politik adalah
penggunaan ruang iklan secara komersial untuk menyampaikan pesan politik
kepada khalayak massa (McNair, 1999: 94). Tujuan aktor politik beriklan di
media massa adalah untuk mempengaruhi pilihan politik pemilih.
Media massa, selain menjalankan fungsi bisnis melalui iklan, juga
menjalankan fungsi sebagai bank informasi. Hal ini sejalan dengan pendapat
McQuail (2010: 54) yang berpandangan bahwa media massa bisa menjadi
kekuatan ampuh untuk mencerahkan publik. Dalam hal ini, media massa
mencerahkan publik dengan pelayanan informasi seputar Pilkada DKI Jakarta.
Berjalannya fungsi informasi oleh media massa memungkinkan terpilihnya
pemimpin yang berkualitas.
Hubungan saling menguntungkan antara aktor politik, media massa, dan
publik pada gilirannya akan meningkatkan kualitas demokrasi. Publik dapat
memilih pemimpin yang berkualitas karena mereka memilih berdasarkan pilihan
rasional. Hal ini dimungkinkan karena mereka memperoleh informasi yang
memadai melalui media massa tentang calon pemimpin yang mereka akan pilih.
Lain halnya dengan iklan politik, meskipun mengandung informasi tetapi pesan
yang dimuat dalam iklan politik sepenuhnya dikendalikan oleh aktor politik. Oleh
karena itu, publik tidak mendapatkan informasi yang lebih komprehensif.
Aktor politik dan tim-nya menentukan dan memformat materi iklan mereka
sendiri. Setelah itu, mereka membeli ruang iklan di media massa untuk
dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Iklan tersebut bertujuan untuk
mempengaruhi dan membujuk pemilih agar mereka memilih-nya di bilik suara.
Olehnya, materi iklan tidak hanya memuat visi misi kandidat atau tawaran solusi
atas permasalahan yang terjadi di masyarakat tetapi juga materi iklan yang bisa
5
menyentuh hubungan emosional para pemilih. Di sinilah pentingnya identitas
menjadi bagian dari materi iklan politik.
Tujuan penggunaan identitas sebagai materi iklan politik tidak lain adalah
untuk memperoleh suara dari pemilih yang memiliki kesamaan identitas dengan
kandidat. Hal ini terjadi karena sebagian pemilih menggunakan pendekatan
sosiologis untuk memilih pemimpin. Pendekatan ini menolak pendekatan
individualistik baik model pilihan rasional maupun identifikasi partai tetapi lebih
menekankan pada pendekatan kelompok (Martin Harrop dan William L. Miller,
1987:157). Pemilih diyakini akan memilih pemimpin berdasarkan kesamaan
kelompok identitas antara mereka dan calon pemimpin-nya, seperti: kesamaan
etnis, agama, gender, kelas sosial, dan sebagainya.
1. Konsep Identitas
Konsep identitas menjadi perbincangan hangat dalam kajian ilmu sosial
beberapa dekade terakhir ini. Pusat perdebatannya terletak pada dua gagasan
yang saling bertentangan. Kedua gagasan tersebut adalah esensialisme dan
anti-esensialisme (Barker, 2011: 174). Gagasan esensialisme berpandangan
bahwa identitas bersifat universal, stabil, dan melekat pada diri setiap
individu. Sejak lahir, mereka telah membawa identitas masing-masing. Oleh
karena itu, deskripsi tentang diri kita mencerminkan identitas yang esensial.
Sebagai konsekuensi dari gagasan ini, konsep tentang feminitas, maskulinitas,
religiusitas, etnisitas, nasionalitas, dan kategori identitas lainnya adalah esensi
yang melekat pada individu yang tidak akan berubah.
Gagasan
anti-esensialisme
berbanding
terbalik
dengan
gagasan
esensialisme. Anti-esensialisme menolak pandangan yang menganggap
bahwa identitas bersifat esensial atau universal. Sebaliknya, ia justru
memandang identitas sebagai konstruksi sosial yang keberadaannya terikat
oleh ruang dan waktu. Anti-esensialisme berpandangan bahwa identitas
adalah proses menjadi (proses of becoming) yang dilandasi oleh kemiripan
dan perbedaan (Barker dan Galasinski, 2001: 30). Stuart Hall dalam salah
satu artikel-nya, bahkan, berpandangan bahwa identitas akan terus-menerus
mengalami perubahan dan bertransformasi.
6
It accepts that identities are never unified and, in late modern times,
increasingly fragmented and fractured; never singular but multiply
constructed across different, often intersecting and antagonistic,
discourses, practices and positions. They are subject to a radical
historicization, and are constantly in the process of change and
transformation. (Hall, 2005: 17).
Identitas tidak tunggal melainkan beragam yang didasari oleh perbedaan.
Perbedaan tersebut akan membedakan identitas satu dengan lainnya, semisal
identitas yang bersifat komunal seperti: agama, etnis, nasionalitas, kelas
sosial, dan afiliasi politik dan identitas lain yang bersifat personal yang akan
membedakan antara individu satu dengan lainnya. Keberadaan mereka dapat
berubah mengikuti perubahan ruang dan waktu dimana mereka berada.
Terlepas dari kedua gagasan tersebut, Hall (1992: 275) dalam artikel lain
menawarkan tiga konsep identitas yang berbeda, yaitu: subjek pencerahan,
subjek sosiologis, dan subjek pasca-modern. Subjek pencerahan atau
enlightenment subject menekankan peranan individu sebagai yang utama.
Konsep ini didasarkan oleh pemahaman dimana manusia sebagai individu
sepenuhnya terpusat dan terpadu yang didukung oleh kapasitas rasio,
kesadaran, dan tindakan yang ada sejak lahir. Pusat esensi diri terletak pada
identitas pribadi.
Louise Althusser menyebut individu sebagai “knowing subject” dimana
individu dipahami sebagai penguasa penuh, rasional, kesadaran yang menyatu
dalam kontrol bahasa dan makna (Althusser dalam Chris Weedon, 2004: 5).
Kekuatan Individu berpusat oleh subjek dan untuk subjek. Althusser
menggambarkan proses individu menjadi subjek dengan sebuah ilustrasi
dimana seorang polisi memanggil pejalan kaki “Hey, You There”. Pejalan
kaki tersebut merasa menjadi subjek karena dia tahu bahwa orang yang
dipanggil adalah dirinya, bukan yang lain.
I have imagined takes places in the street, the hailed individual will turn
round. By this more one-hundred-and-eighty-degree physical conversion,
he becomes a subject. Why? Because he has recognized that the hail was
7
„really‟ addressed to him, and that „it was really him who was hailed‟
(and not someone else). (Althusser, 2005: 33).
Individu sebagai subjek tidak berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan
individu yang lain atau masyarakat. Dengan demikian, identitas terbentuk dari
proses interaksi sosial. Interaksi sosial inilah yang oleh Hall sebut sebagai
subjek sosiologis atau sociological subject.
The notion of sociological subject reflected the growing complexity of the
modern world and the awareness that this inner core of the subject was
not autonomous and self-sufficient, but was formed in relation to
„significant others‟, who mediated to the subject the values, meaning, and
symbols – the culture – of the worlds he/she inhabited. (Hall, 1992: 275).
Subjek sosiologis berpandangan bahwa orang lain atau lingkungan
sekitar memiliki peranan penting dalam membentuk identitas. Individu yang
meskipun memiliki esensi sebagai subjek yang otonom tetapi mereka tetap
akan dibentuk oleh lingkungannya. Subjek sosiologis akan mempertemukan
antara individu yang otonom dan masyarakat melalui proses interaksi sosial.
Pandangan ini merujuk kepada teori interaksi simbolik oleh George Herbert
Mead. Teori interaksi simbolik berpandangan bahwa makna sebagai produksi
sosial dibentuk melalui interaksi antar manusia (West dan Turner, 2010: 80).
Keluarga adalah lingkungan terkecil yang paling banyak mempengaruhi
identitas kita.
Pandangan subjek sosiologis yang diungkap oleh Hall sejalan dengan
pandangan identity negotiation theory atau teori negosiasi identitas. Baik
subjek sosiologis maupun teori negosiasi identitas menekankan interaksi
sebagai titik yang sentral. Teori negosiasi identitas berpandangan bahwa
domain identitas tertentu mempengaruhi interaksi keseharian kita (TingToomey, 2005: 217). Identitas dalam perspektif negosiasi merupakan proses
interaksi transaksional dimana individu membangkitkan, mendefinisikan,
memodifikasi, atau menonjolkan identitas diri dan di saat yang sama mereka
juga dapat menantang, mendukung, atau mempengaruhi identitas orang lain.
8
Subjek pasca-modern atau post-modern subject. Konsep subjek pascamodern berpandangan bahwa tidak ada identitas permanen melainkan akan
mengalami perubahan terus-menerus. Individu sebagai subjek memiliki ruang
gerak yang luang untuk menentukan posisi kultural mereka. Mereka tidak
terikat oleh kekuatan yang mengharuskannya pasif dalam posisi kultural.
Hall, bahkan, berpendapat bahwa mereka dapat memiliki identitas yang
berbeda dalam kurun waktu yang berbeda dan tidak menutup kemungkinan
saling kontradiktif karena identitas yang beragam.
The subject assumes different identities at different time, identity which
are not unified around a coherent „self‟. Within us are contradictory
identities, pulling in different directions, so that our identifications are
continuously being shifted about. If we feel we have a unified identity
from birth to death, it is only because we construct a comforting story or
„narrative of the self‟ about ourselves. (Hall, 1992: 277).
Dari berbagai pandangan tentang identitas sebagaimana yang telah
diungkap oleh para ahli, penelitian ini memfokuskan pada pandangan yang
menganggap bahwa identitas itu tidak esensial atau tidak stabil melainkan
selalu berubah. Identitas terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu,
penelitian ini menempatkan identitas Foke-Nara dan Jokowi-Ahok tidak
esensial. Mereka dapat memperlakukan identitas sesuai kepentingan-nya
yaitu ingin mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.
2. Politik Identitas and Perbedaan
Gagasan esensialisme dan anti-esensialisme berbeda secara mendasar
tetapi mereka sepakat bahwa keberadaan identitas didasarkan oleh adanya
perbedaan atau difference. Identitas adalah kepemilikan, yaitu apa yang kamu
miliki yang umum dimiliki orang lain dan apa yang membedakannya dengan
orang lain (Weeks, 1990: 88). Dengan demikian, identitas diri hadir karena
ada yang berbeda dengan yang lain atau others.
Perbedaan tersebut bisa sebatas tersirat tetapi tidak tertutup kemungkinan
terjadi kontradiksi antara satu dengan yang lainnya. Weedon membenarkan
adanya kontradiksi identitas. Dia (2004: 19) berpandangan bahwa semua
identitas memiliki bentuk tersendiri yang membuatnya berbeda dengan yang
9
lain. Kontradiksi dalam identitas bisa terlihat, misalnya; antara laki-laki dan
perempuan, maskulin dan feminin, Jawa dan Bugis, Islam dan Kristen, kulit
hitam dan kulit putih, dan Indonesia dan Jepang. Dalam politik praktis pun
ditemukan perbedaan mendasar, misalnya: antara Partai Golkar dan Partai
PDIP atau antara Jokowi-Ahok dan Foke-Nara dalam Pilkada DKI Jakarta.
Castells (2010: 8) membedakan tiga bentuk konstruksi identitas kolektif
yang berbeda. Pertama, legitimizing identity. Identitas model ini menekankan
peranan institusi-institusi publik dalam pembentukan identitas. Negara/bangsa
dan agama adalah dua institusi publik yang paling dominan dalam
membentuk identitas. Mereka menciptakan aturan dan cara sesuai dengan
kehendak yang ideal menurut mereka. Anggota dari institusi dominan
tersebut akan hidup sebagai suatu identitas meski anggota mereka tidak saling
mengenal dan tidak pernah bertemu. Anderson (2008: 8) menyebut komunitas
ini sebagai komunitas terbayang.
Kedua, resistance identity. Jenis identitas ini adalah oposan dari
legitimizing identity. Resistance identity atau identitas perlawanan dibangun
oleh mereka yang tidak terlibat dalam institusi dominan atau legal. Resistance
identity biasanya berasal dari kelompok masyarakat yang oleh sejarah tidak
memihak kepadanya. Oleh karena itu, mereka secara kolektif membentuk
identitas sebagai bentuk perlawanan atas identitas dominan yang didukung
oleh institusi publik.
Terakhir, project identity. Konstruksi project identity atau identitas
proyek terjadi dimana aktor sosial membentuk identitas baru yang bertujuan
untuk mendefinisikan ulang posisi mereka dalam masyarakat. Pembentukan
identitas sebagai proyek dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap
dominasi identitas tertentu. Gerakan feminisme misalnya, gerakan feminisme
menantang dominasi laki-laki dalam keluarga patrinial. Konstruksi identitas
menimbulkan konsekuensi politik. Aktor-aktor sosial yang berbeda berusaha
mempertahankan dominasi mereka. Oleh karenanya, politik identitas marak
terjadi.
10
Politik identitas berawal dari gerakan sosial atas kesadaran masyarakat
yang menginginkan perubahan. Gerakan sosial tersebut diantaranya adalah
gerakan feminisme, lesbian, kaum kulit hitam, kaum buruh, dan lain
sebagainya. Mereka memperjuangkan kesetaraan perlakuan. Di Amerika
misalnya, gerakan kaum kulit hitam yang dimotori oleh Martin Luther King
berjuang untuk menjadi bagian integral identitas Amerika dimana
sebelumnya identitas Amerika hanya menjadi milik kaum kulit putih yang
mengakibatkan kaum kulit hitam selalu mendapatkan perlakuan diskriminasi
di Amerika (Spencer, 1994: 553).
Dalam konteks politik terkini, identitas tidak lagi hanya dipergunakan
sebagai alat mobilisasi gerakan sosial untuk mencapai perubahan melainkan
banyak dipergunakan sebagai alat untuk meraih jabatan politik. Di
Kalimantan Barat misalnya, politik identitas etnis dimanfaatkan oleh elit etnis
sebagai upaya untuk mendapatkan perwakilan mereka di bidang eksekutif dan
legislatif (Tanasaldy, 2007: 461-462). Dua kelompok etnis, Melayu dan
Dayak, memiliki peranan penting dalam perpolitikan di Kalimantan Barat.
Tidak jarang power sharing antara kedua kelompok menjadi alternatif dalam
pemilihan kepada daerah.
3. Iklan Politik dalam Pemilihan
Pemilihan atau election adalah arena pertarungan untuk memperebutkan
jabatan politik secara legal. Pilpres atau Pilkada misalnya, ajang tersebut
merupakan ajang resmi untuk mengganti presiden atau kepala daerah yang
baru. Dalam pemilihan semua aktor politik atau kandidat memiliki peluang
yang sama untuk menang, menjadi: presiden, gubernur, wali kota, atau bupati.
Oleh karena itu, mereka harus melakukan berbagai upaya untuk merebut
suara mayoritas sebagai prasyarat untuk menang di pemilihan.
Mereka harus berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat: turun
ke bawah, bertatap muka, mendengarkan keluhan, dan memberikan solusi
atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Selain itu, mereka juga
harus memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk menjangkau publik
secara massif karena mereka memiliki keterbatasan ruang dan waktu untuk
11
berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat. Kini peran media massa
dalam
kehidupan
politik
sudah
semakin
besar.
Castells,
bahkan,
berpandangan bahwa hanya mereka yang memanfaatkan media massa yang
mampu mempengaruhi pilihan publik.
Messages, organizations, and leaders who do not have a presence in the
media do not exist in the public mind. Therefore, only those who can
convey their messages to the citizens at large have the chance to
influence their decisions in ways that lead to their own access to power
positions in the state and/or maintain their hold over political
institutions. (Castells, 2009: 194).
Pemanfaatan media massa oleh aktor politik untuk tujuan politik bisa
beragam bentuk: propaganda, spin doctoring atau hubungan masyarakat
politik, dan iklan politik. Kajian disini akan fokus membahas iklan politik.
Secara umum iklan didefinisikan sebagai bentuk komunikasi massa dari
sponsor
yang
menggunakan
media
massa
untuk
membujuk
atau
mempengaruhi masyarakat (Wells dkk, 1992: 10). Danesi (2004: 256)
mendefinisikan iklan sebagai jenis pengumuman publik yang bertujuan untuk
mempromosikan penjualan komoditas atau jasa atau menyebarkan pesan
sosial dan politik.
Iklan politik seringkali diasosiasikan dengan makna iklan komersial, yaitu
sebagai proses komunikasi untuk mempromosikan produk atau jasa melalui
media massa, dalam iklan politik yaitu mempromosikan kandidat atau
gagasan. Kaid (2004: 156) menjelaskan bahwa iklan politik merupakan
proses komunikasi dari sumber (biasanya kandidat atau partai politik) untuk
menyampaikan pesan-pesan politik melalui media massa dengan tujuan untuk
mempengaruhi perilaku, keyakinan, dan sikap politik publik.
Para kandidat atau partai politik menjadikan iklan politik sebagai sarana
untuk memperkenalkan diri dan menawarkan gagasan atau program kerja
dengan maksud agar mereka dipilih oleh publik saat pemilihan berlangsung.
Mereka menggunakan iklan politik di berbagai media massa, baik cetak
maupun elektronik. Dengan demikian, pesan-pesan politik mereka dapat
12
diketahui oleh masyarakat tanpa mereka harus bertemu secara langsung. Hal
ini karena media massa mampu menembus ruang-ruang privat keluarga.
Iklan politik di media cetak seperti poster, baliho, atau koran
mengandalkan kemampuan visual sementara iklan di media elektronik
memadukan kemampuan audio dan visual. Iklan politik, sebagaimana iklan
secara umum, menjual produk melalui gambar atau image, retorika, slogan,
dan tata artistik yang luar biasa (Kellner, 1995: 251). Dalam hal ini, kandidat
atau partai politik berusaha mempengaruhi pilihan masyarakat dengan
menciptakan asosiasi dirinya dengan apa yang ditampilkan dalam iklan
politik mereka.
Iklan politik dapat membantu pengiklan atau politisi lebih dikenal secara
personal oleh masyarakat luas, termasuk program-program yang mereka
tawarkan. Lebih dari itu, Matheson (2005: 50) menjelaskan bahwa iklan
dikatakan sukses bila keberadaan iklan tersebut mampu mengubah perilaku
dan kebiasaan masyarakat sesuai dengan yang diinginkan oleh pengiklan
dalam iklan tersebut. Dalam hal ini, iklan politik dianggap sukses bila ia
mampu merubah pilihan politik masyarakat dan mempengaruhi mereka untuk
memilih kandidat atau partai politik pengiklan.
4. Politik Identitas dalam Iklan Politik
Marcel Danesi, dalam bukunya yang berjudul Understanding Media
Semiotic, memaparkan dua teknik utama yang sering dipakai oleh para
pengiklan untuk menanamkan iklan ke dalam pola pikir masyarakat. Kedua
teknik yang dimaksud adalah positioning dan image-creation (Danesi, 2002:
183). Positioning adalah penempatan atau penargetan produk kepada orang
yang tepat. Iklan Gudang Garam misalnya, produk rokok asal Jawa Timur itu
mengambil positioning sebagai produk kaum laki-laki. Oleh karena itu, iklan
Gudang Garam sengaja mengasosiasikan diri sebagai produk kaum laki-laki
dengan slogannya yang terkenal Pria Punya Selera.
Gagasan image-creating dalam iklan menyasar individu tertentu. Kellner
(1995: 248) menjelaskan bahwa symbolic image atau citra simbolik dalam
iklan menciptakan asosiasi antara produk yang ditawarkan dan individu
13
tertentu yang diinginkan secara sosial. Oleh karena itu, individu yang
mengonsumsi produk yang ditawarkan oleh iklan tertentu secara tidak
langsung telah mendefinisikan diri sebagai bagian dari image yang diciptakan
dalam
iklan
tersebut.
Iklan
Rokok
Gudang
Garam,
misalnya,
mengasosiasikan diri dengan citra para kaum pria. Oleh karena itu, orang
yang mengonsumsi Rokok Gudang Garam secara tidak langsung telah
mendefinisikan diri sebagai Pria Sejati sebagaimana dalam iklan Gudang
Garam.
Dalam iklan politik, strategi positioning dan image-creating “memaksa”
aktor politik untuk memetakan kelompok-kelompok identitas di dalam
masyarakat. Mereka mengidentifikasi dan memisahkan kelompok agama,
suku, gender, dan kelas sosial secara berbeda antara yang satu dengan
lainnya. Kemudian, mereka menjadikan kelompok-kelompok yang telah
teridentifikasi secara berbeda itu sebagai segmentasi tersendiri dalam
menyampaikan iklan politik.
Kandidat memformat iklan politik selain memuat gagasan yang akan
ditawarkan juga memuat citra simbolik identitas tertentu yang didasari oleh
segmentasi identitas yang diinginkan. Mereka menggunakan citra simbolik
dalam iklan politik sebagai asosiasi diri dengan kelompok identitas tertentu.
Dengan cara ini, mereka berharap dapat memperoleh suara dari kelompok
identitas tertentu karena mereka dicitrakan sebagai representasi dari
kelompok identitas tersebut.
5. Politik Identitas dalam Iklan Politik di Pilkada DKI Jakarta
Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 diikuti oleh enam pasangan kandidat.
Mereka
bersaing
untuk
memperebutkan
kursi
01
DKI
Jakarta.
Pelaksanaannya digelar dua putaran karena pada putaran pertama tidak satu
pun pasangan kandidat yang mampu memperoleh suara mayoritas. Semua
pasangan kandidat menggunakan iklan politik untuk meraih dukungan
mayoritas pemilih, baik di putaran pertama maupun di putaran kedua. Mereka
menyampaikan beragam isu melalui iklan politik, di dalamnya termasuk isu
identitas.
14
Isu identitas paling dominan yang menjadi “jualan” dalam iklan politik di
Pilkada DKI Jakarta adalah agama, etnis, dan gender. Di satu sisi, kandidat
mengungkap isu identitas sebagai alat untuk meraih simpati pemilih tetapi di
sisi lain juga digunakan sebagai alat untuk menyerang kandidat lawan. Isu
agama mempertentangkan agama Islam dan non Islam, isu etnis
mempertentangkan antara etnis Betawi dan etnis non-Betawi. Etnis Betawi
diidentifikasi sebagai etnis penduduk asli Jakarta dipertentangkan dengan
etnis non-Betawi yang dianggap sebagai etnis pendatang. Isu gender terkait
dengan peran laki-laki dan perempuan.
Pasangan Jokowi-Ahok adalah kandidat yang paling banyak mendapatkan
serangan politik identitas. Hal ini disebabkan oleh setidaknya dua hal, yaitu:
pasangan ini dianggap sebagai pendatang dan tidak mewakili kepentingan
kelompok agama mayoritas di Jakarta. Mereka dianggap bukan representasi
penduduk etnis lokal “Betawi” Jakarta karena keduanya berasal dari luar,
Jokowi berasal dari Solo sementara Ahok berasal dari Belitung. Pasangan ini
juga dianggap tidak mewakili kelompok agama mayoritas karena Ahok yang
beretnis Tionghoa dan beragama Kristen Protestan sedangkan mayoritas
penduduk DKI Jakarta beragama Islam.
6. Iklan Politik dan Analisis Semiotika
Iklan politik, sebagaimana iklan pada umumnya, merupakan aktivitas
penandaan. Teks, image visual, dan bunyi dalam iklan menjadi penanda.
Petanda-petanda dalam pesan iklan dibentuk oleh atribut-atribut khas dalam
produk tersebut (Barthes, 2010: 20). Kajian ini merupakan ranah semiotika
yaitu ilmu yang mempelajari tanda. Istilah semiotika berasal dari bahasa
Yunani yaitu semeion, yang berarti tanda. Kajian semiotika dikembangkan
oleh Charles S. Pierce di Amerika sementara di dataran Eropa dikembangkan
oleh Ferdinand de Saussure. Meski demikian, Saussure tidak memakai istilah
semiotika sebagaimana Pierce melainkan lebih mempopulerkan istilah
semiologi.
Dalam
kajian
semiologi,
Barthes
mengamini
terminologi
yang
dipopulerkan oleh Saussure yaitu sign, signifier, dan signified. Sign (tanda)
15
adalah perpaduan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier
merupakan aspek material atau benda, yaitu obyek yang berupa: tulisan,
bunyi, dan gambar. Petanda bukan aspek material melainkan gambaran
mental atau konsep dari penanda. Petanda adalah apa yang dipikirkan tentang
benda, semisal petanda dari sapi bukan hewan sapi melainkan citra atau
konsep yang dipikirkan tentang sapi itu.
Pijakan semiologi Saussure adalah kajian linguistik yang meletakkan
bahasa sebagai konvensi sosial yang mutlak diterima sebagai prasyarat dalam
berkomunikasi. Bahasa merupakan institusi sosial sekaligus sebagai sistem
nilai. Bahasa bersifat otonom dan memiliki aturan tersendiri. Lain halnya
dengan tuturan, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa.
Tuturan adalah tindakan seleksi atau aktualisasi individual yaitu aktivitas
yang memadukan kode-kode bahasa. Dengan demikian, tuturan dapat terjadi
bila penutur dapat memadukan kode-kode bahasa yang bertujuan untuk
mengungkapkan pikiran personal-nya (Barthes, 1981: 15).
Barthes,
kemudian,
mengembangkan
semiologi
Saussure
dengan
menawarkan dua bentuk penandaan yaitu denotasi dan konotasi. Kedua
bentuk penandaan ala Barthes adalah bentuk penandaan bertingkat yaitu
denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan penandaan tingkat pertama
sementara konotasi merupakan penandaan tingkat kedua. Sistem penandaan
tingkat pertama atau denotasi adalah relasi antara petanda dan penanda di
dalam tanda, atau dalam hal ini relasi aspek material dan gambaran mental
atau konsep. Sistem penandaan tingkat dua atau konotasi yaitu penanda
konotasi dibentuk oleh tanda, yaitu gabungan penanda dan petanda (Barthes,
1981: 91).
F. Kerangka Konseptual
Merujuk kepada kerangka pemikiran yang telah dibahas sebelumnya, penulis
menarik kerangka konseptual sebagai berikut:
1. Politik Identitas
Politik identitas adalah penggunaan isu identitas, utamanya identitas:
etnis, agama, dan gender oleh aktor politik sebagai upaya untuk memperoleh
16
jabatan politik. Dalam hal ini, aktor politik adalah pasangan calon gubernur
dan calon wakil gubernur DKI Jakarta yang bertarung dalam Pilkada DKI
Jakarta 2012. Mereka memanfaatkan identitas untuk memperoleh dukungan
masyarakat sebagai prasyarat untuk menang dalam Pilkada DKI Jakarta dan
menjadikan mereka menduduki jabatan gubernur dan wakil gubernur di Ibu
Kota Indonesia periode 2012-2017.
Sesuai amanat Undang-Undang, Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) DKI Jakarta mensyaratkan seorang kandidat harus memperoleh
suara mayoritas terbatas untuk dapat dinyatakan sebagai pemenang dalam
Pilkada DKI Jakarta. Oleh karena itu, kandidat berusaha menggunakan segala
cara untuk meraih dukungan suara minimal 50 % + 1. Penggunaan isu
identitas untuk tujuan politik karena aktor politik menyasar masyarakat yang
memilih pemimpin berdasarkan faktor sosiologis, bukan karena faktor pilihan
rasional. Faktor sosiologis menekankan alasan kesamaan identitas dalam
memilih pemimpin.
2. Iklan Politik
Iklan politik adalah proses pengumuman publik oleh aktor politik melalui
media massa yang bertujuan untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat.
Aktor politik, kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta,
menggunakan iklan politik untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya
kepada masyarakat. Melalui iklan politik, mereka ingin mempengaruhi
masyarakat agar mereka memilihnya saat pemilihan berlangsung.
Iklan politik digunakan agar pesan politik oleh aktor-aktor politik dapat
menjangkau masyarakat yang lebih besar. Hal ini dilakukan karena mereka
memiliki keterbatasan ruang dan waktu untuk menyampaikan pesan politik
secara langsung. Aktor politik menyampaikan iklan melalui media cetak dan
elektronik. Di media cetak misalnya: poster, baliho, spanduk, dan koran
sementara di media elektronik seperti radio dan televisi.
3. Pilkada DKI Jakarta 2012
Pemilihan Kepada Daerah atau Pilkada DKI Jakarta 2012 merupakan
ajang pesta demokrasi yang bertujuan untuk mengganti pemimpin di DKI
17
Jakarta secara legal. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 digelar untuk memilih
gubernur dan wakil gubernur yang akan memimpin DKI Jakarta periode
2012-2017. Dalam Pilkada, rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk memilih
pemimpin karena Pilkada digelar secara langsung, bebas, dan rahasia. Oleh
karena itu, mereka dapat memilih pemimpin yang berkualitas yang bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan yang melanda Ibu Kota. Pilkada DKI
2012 adalah Pilkada DKI ke dua yang digelar secara langsung setelah Pilkada
tahun 2007.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, jenis penelitian yang
sering kali dianggap sebagai antitesis dari penelitian kuantitatif. Berbeda
dengan penelitian kuantitatif yang lebih menekankan pada analisis data-data
statistik, penelitian kualitatif menekankan gagasan yaitu makna dikonstruksi
secara sosial oleh individu dalam interaksi dengan dunianya (Merriam, 2002:
3). Konstruksi makna dalam penelitian kualitatif tidak tunggal melainkan
beragam dan terus berubah mengikuti perkembangan zaman.
Denzin dan Lincoln (2000: 3) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif
merupakan penggunaan kajian dan pengumpulan berbagai data empiris –
studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, cerita hidup, wawancara,
artifak-artifak, produksi dan teks-teks budaya, pengamatan, historis,
interaksional, dan teks visual – yang menggambarkan makna dan momenmomen problematik keseharian dalam kehidupan individu. Dalam bahasa
yang lebih sederhana, Maleong (2006: 6) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah melalui deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini yaitu iklan politik oleh pasangan Foke-Nara dan
Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Iklan politik yang
18
dimaksud adalah iklan politik yang pernah dipublikasikan di media cetak,
khususnya koran yaitu: Koran Kompas dan Koran Sindo. Fokus penelitian ini
mengarah kepada iklan politik yang di dalamnya memuat pesan identitas
yaitu identitas etnis, agama, dan gender.
Publisitas iklan politik kedua kandidat melalui koran cukup intens, tidak
hanya di koran lokal dengan wilayah sirkulasi DKI Jakarta tetapi juga di
koran nasional. Hal inilah yang mendasari koran dipilih sebagai objek
penelitian ini. Selain itu, koran dapat memberikan ruang informasi yang lebih
banyak dibanding jenis media massa lain semisal televisi atau radio. Koran
Kompas dan Koran Sindo dipilih karena kedua koran tersebut dianggap
sebagai koran yang memiliki basis pembaca dengan jumlah yang besar.
Pemilihan iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, meskipun empat
kandidat lain juga memanfaatkan iklan politik untuk meraih dukungan
pemilih, karena kedua kandidat inilah yang berhasil lolos ke putaran kedua
sementara pasangan lain tersingkir di putaran pertama. Jokowi-Ahok dan
Foke-Nara berhak melaju ke putaran ke dua karena mereka berhasil meraih
dukungan suara tertinggi pertama dan kedua di putaran pertama. Sesuai hasil
rekapitulasi hasil perhitungan suara pada putaran pertama yang dikeluarkan
oleh KPU DKI Jakarta, Jokowi-Ahok berhasil memperoleh suara tertinggi,
sebanyak 1.847.157 (42,60 %), dan Foke-Nara meraih suara tertinggi kedua,
sebanyak 1.476.648 (34,05 %).
3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian studi pustaka, yaitu penelitian yang
sumber datanya berasal dari teks, baik teks verbal maupun teks visual.
Peneliti membagi dua jenis data dalam penelitian ini. Kedua jenis data
tersebut adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama
yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Data primer diperoleh dari iklan politik pasangan Foke-Nara dan JokowiAhok yang pernah dipublikasikan di dua media cetak, yaitu koran: Kompas
dan Sindo. Periode publikasi iklan yang dimaksud adalah antara tanggal 24
Juni 2012 – 7 Juli 2012 dan periode 14-16 September 2012. Iklan-iklan
19
tersebut dipetakan menjadi dua elemen yaitu verbal dan visual. Elemen verbal
berupa teks-teks sedangkan elemen visual adalah gambar atau image dalam
iklan tersebut. Elemen verbal dan visual iklan merupakan penanda.
Sebanyak tujuh iklan, masing-masing empat iklan Foke-Nara dan tiga
iklan Jokowi-Ahok, dipilih untuk dijadikan sebagai objek analisis dalam
penelitian ini. Empat Iklan Foke-Nara masing-masing tiga edisi di Koran
Sindo dan satu edisi di Koran Kompas. Mereka adalah edisi tanggal 25 Juni
2012 Hal. Jaket 3, 26 Juni 2012 Hal. 5, dan 27 Juni 2012 Hal. 3 di Koran
Sindo serta edisi 7 Juli 2012 Hal. 1 di Koran Kompas. Tiga iklan JokowiAhok masing-masing dua edisi di Koran Kompas, yaitu 14 September 2012
Hal. 41 dan 16 September 2012 Hal. 5 serta satu edisi di Koran Sindo, edisi
27 Juni 2012 Hal. 9. Ke tujuh iklan tersebut dipilih karena mereka dianggap
relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.
Data pendukung atau data sekunder diambil dari data-data dokumentasi
berupa: buku, jurnal, koran, laporan hasil penelitian, atau data-data
dokumentasi lainnya yang berelasi langsung dengan data primer. Data primer
dan data sekunder tersebut menjadi satu-kesatuan yang akan dijadikan
sebagai bahan analisis dalam penelitian ini.
4. Metode dan Analisa Data
Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis teks. Oleh karena itu, untuk
menganalisisnya digunakan metode dan analisa semiotika Roland Barthes.
Metode ini dianggap tepat karena ia mampu mengungkap makna yang
tersembunyi dibalik teks. Selain itu, ketersediaan data menjadi pertimbangan
lain untuk memilih metode ini. Teks mudah diakses karena bentuknya
terekam. Data dalam penelitian ini terekam dalam bentuk media iklan, yaitu
iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok.
Semiotika atau dalam bahasa Barthes dan Saussure dikenal sebagai
semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda. Barthes terinspirasi oleh
konsep semiologi Saussure yang mempopulerkan istilah sign, signifier, dan
signified. Selain itu, Barthes mengembangkan semiologi Saussure dengan
memperkenalkan sistem penandaan bertingkat, yaitu makna denotasi dan
20
makna konotasi. Denotasi merupakan sistem penandaan tingkat pertama dan
konotasi merupakan sistem penandaan tingkat kedua.
Dengan metode dan analisis semiotika Barthes, penelitian ini akan
mengungkap sistem penandaan, yaitu penanda-penanda yang memuat
identitas agama, identitas etnis, dan identitas gender dalam iklan politik
Jokowi-Ahok dan iklan politik Foke-Nara. Penanda iklan baik penanda verbal
atau teks maupun penanda visual atau image. Untuk menjelaskan penanda
teks, penelitian ini mengacu kepada makna denotasi dan makna konotasi.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, makna denotasi adalah makna yang
terlihat atau nyata dalam teks sedangkan makna konotasi adalah makna yang
tersirat atau tersembunyi di balik teks. Makna denotasi dan konotasi yang
dimaksud adalah makna denotasi-konotasi dalam teks iklan politik JokowiAhok dan iklan politik Foke-Nara yang relevan dengan materi atau isu politik
identitas.
Penjelasan tentang penanda image mengacu kepada tahap konotasi dalam
produksi foto. Barthes (2010: 7-11) menjelaskan enam tahap konotasi atau
pelapisan makna kedua dalam foto. Ke enam tahap itu dikelompokkan dalam
dua tahap yaitu tahap pertama dan tahap kedua. Tahap pertama mencakup
tiga hal yaitu efek tiruan, sikap atau pose, dan objek. Konotasi pada tiga tahap
pertama dihasilkan melalui proses modifikasi terhadap realitas itu sendiri atau
modifikasi terhadap pesan denotatif. Efek tiruan merupakan manipulasi
gambar secara artifisial, pose atau sikap mengarah kepada gaya objek foto,
sementara objek terkait dengan pengaturan sikap atau posisi objek.
Konotasi tahap kedua berkaitan dengan wilayah estetis foto. Tahap ini
juga mencakup tiga hal yaitu fotogenia, estetisisme, dan sintaksis. Fotogenia
yaitu berkaitan dengan aspek-aspek teknis dalam produksi atau pengambilan
gambar seperti pencahayaan, pengaburan, atau pencetakan hasil. Estetisisme
merupakan imitasi atau perubahan komposisi gambar secara keseluruhan dan
sintaksis adalah rangkaian cerita yang terbentuk dari foto atau gambar. Makna
konotasi dalam tahap sintaksis tidak terbentuk dari satu foto melainkan
beberapa foto dalam artian cerita bergambar. Secara prinsip ke enam tahap itu
21
dijadikan sebagai rujukan analisis namun dalam tataran praktis ke enam tahap
tidak digunakan secara menyeluruh melainkan hanya yang relevan dengan
penelitian.
5. Limitasi Penelitian
Penulis memberikan batasan penelitian agar pembahasan tidak meluas.
Pertama, Pilkada DKI Jakarta 2012 diikuti oleh enam pasangan kandidat dan
ke-enam pasangan tersebut menggunakan iklan politik untuk mempengaruhi
pemilih. Oleh karena itu, penulis membatasinya yaitu memilih iklan politik
pasangan Jokowi-Ahok dan iklan politik pasangan Foke-Nara dan
mengeliminasi iklan politik empat pasangan yang lain. Pemilihan iklan politik
Jokowi-Ahok dan iklan politik Foke-Nara karena kedua pasangan ini berhasil
melaju ke putaran kedua sementara pasangan lainnya tersingkir di putaran
pertama.
Kedua, iklan politik yang dipilih adalah iklan politik yang legal dan
pernah dipublikasikan di media massa cetak, yaitu Koran Harian Kompas dan
Koran Harian Sindo. Ketiga, periode publikasi iklan yang dimaksud adalah
antara tanggal 24 Juni 2012 – 7 Juli 2012 dan periode 14-16 September 2012.
Periode tersebut dipilih karena periode itu adalah jadwal kampanye resmi
pada Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran pertama dan kedua. Terakhir, materi
iklan yang dipilih adalah iklan politik yang memuat isu identitas, yaitu:
agama, etnis, dan gender.
6. Tahapan Penelitian
Tahapan analisis data merupakan serangkaian aktivitas atau proses yang
berkelanjutan terhadap data, meliputi: pengumpulan data, pencatatan,
penafsiran, hingga pelaporan hasil penelitian. Secara operasional tahapan
analisis penelitian ini merujuk kepada pendapat Miles dan Huberman (dalam
Nicholas Walliman, 2006:132) yang mengungkapkan tiga langkah utama
analisis data penelitian kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan.
Banyak data yang terkumpul namun tidak semua data relevan untuk
dianalisis. Oleh karena itu, data perlu direduksi sesuai kebutuhan. Reduksi
22
data diawali pada pengklasifikasian data. Iklan kedua pasangan kandidat
diklasifikasi berdasarkan kebutuhan penelitian. Hanya iklan yang memuat
unsur identitas (etnis, agama, dan gender) diambil untuk dianalisis. Hal ini
didasarkan pada elemen verbal dan visual iklan. elemen-elemen tersebut yang
akan dijadikan sebagai unit analisis menggunakan metode semiotika.
Langkah selanjutnya adalah penyajian data. Proses ini merupakan tindak
lanjut dari reduksi data. Data-data yang telah diklasifikasi sebelumnya
dideskripsikan dalam bentuk narasi yang terorganisir. Kemudian, data-data
tersebut diinterpretasikan secara semiotika. Pemaknaan denotasi dan konotasi
terhadap iklan kedua pasangan kandidat berdasarkan pada elemen verbal dan
visual iklan mereka. Proses ini sepenuhnya untuk menemukan politik
identitas dalam iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok.
Terakhir, penarikan kesimpulan. Tahap ini merupakan tindak lanjut dari
penyajian data sekaligus sebagai tahap akhir dalam proses analisis penelitian.
Bagian ini ditulis di bagian kesimpulan. Narasinya didasarkan pada
interpretasi sajian data yang kesemuanya untuk menjawab pertanyaan
penelitian yaitu bagaimana politik identitas yang dilakukan oleh Foke-Nara
dan Jokowi-Ahok dalam iklan politik mereka di Pilkada DKI Jakarta 2012.
H. Sistematika Penulisan atau Pelaporan
Pelaporan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab I: Bab ini adalah bab pendahuluan yang di dalamnya memuat desain
penelitian secara menyeluruh meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat, kerangka pemikiran, kerangka konseptual, metode penelitian, dan
sistematika penulisan atau pelaporan.
Bab II: Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang mengungkap beberapa
hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Bab ini juga
merupakan pengembangan atau tindak lanjut pembahasan dari kerangka
pemikiran di bab pendahuluan. Poin-poin yang menjadi fokus bab ini adalah
politik identitas, Pilkada, dan Iklan Politik.
Bab III: Bab ini mengulas tentang deskripsi objek penelitian. Beberapa hal
yang menjadi fokus ulasan pada bab ini adalah DKI Jakarta, Pilkada DKI Jakarta,
23
profil kandidat gubernur dan wakil gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan
iklan politik kontestan Pilkada DKI Jakarta 2012.
Bab IV: Bab ini adalah bab analisis atau pembahasan yaitu analisis terhadap
data-data yang terkumpul dalam penelitian ini. Data yang dimaksud berupa teks
iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok yang memuat isu identitas di Pilkada
DKI Jakarta 2012. Metode analisis yang digunakan adalah metode semiotika
Roland Barthes.
Bab V: Ini adalah bab terakhir yang merupakan penutup pelaporan penelitian.
Bab ini merupakan kesimpulan dari bab analisis dan merupakan jawaban atas
rumusan masalah sebagaimana yang tertera di desain penelitian.
24
Download