BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah mencatat bahwa konflik yang dilandasi oleh perbedaan identitas sering kali terjadi di belahan dunia. Perang salib di Yerusalem, gerakan reformasi yang dimotori oleh Martin Luther memecah kelompok Katolik dan Protestan di Jerman, kerusuhan antara kelompok Muslim dan Kristen di Poso, pertikaian antara kelompok etnis Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, dan masih banyak lagi yang lain. Konflik-konflik tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materil tetapi juga menyebabkan banyak kehilangan nyawa. Konflik antar identitas juga masuk ke ranah politik. Memang, wujud konflik di ranah politik tidak selalu terbuka atau memakan korban jiwa tetapi identitas seringkali dijadikan sebagai komoditas politik oleh para politisi. Mereka menggunakan identitas sebagai alat untuk mendapatkan dukungan suara yang menjadi prasyarat untuk meraih jabatan politik. Penggunaan identitas untuk memperoleh suara sangat fungsional sebab identitas memiliki segmen pasar tersendiri. Status sosial dan ekonomi, domisili, dan agama dipercaya menentukan pilihan partai politik atau kandidat para pemilih (Ambardi, 2011: 253). Mereka cenderung memilih kandidat atau partai politik berdasarkan kesamaan identitas mereka. Secara operasional, pemilih menentukan pilihan politik mereka di pemilihan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) misalnya. Dalam Pilkada, semua kandidat memiliki peluang yang sama untuk menang karena kemenangan ditentukan oleh jumlah perolehan suara tertinggi. Di Jakarta, Pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur digelar pada tahun 2012. Pilkada 2012 adalah Pilkada ke dua yang digelar secara langsung di Ibu Kota setelah Pilkada tahun 2007 yang dimenangkan oleh pasangan Fauzi Bowo dan Priyanto. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 diikuti oleh enam pasangan kandidat. Mereka adalah Foke-Nara, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, dan Alex-Nono. Mereka bersaing untuk memperebutkan kursi 01 dan 02 di Ibu Kota Negara. 1 Pilkada DKI Jakarta 2012 digelar dua putaran karena pada putaran pertama yang digelar pada tanggal 11 Juli 2012 tidak memunculkan satu pasangan kandidat yang mampu memperoleh suara mayoritas, minimal 50% + 1. Oleh karena itu, empat pasangan harus tersingkir di putaran pertama, masing-masing adalah Hendardji-Riza, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, dan Alex-Nono sementara dua pasangan lain yang memiliki perolehan suara tertinggi satu dan dua di putaran pertama berhak melaju ke putaran kedua yang digelar tanggal 20 September 2012. Mereka adalah pasangan Foke-Nara dan pasangan Jokowi-Ahok. Persaingan antara Foke-Nara dan Jokowi-Ahok untuk merebut kursi 01 DKI menjadi menarik tidak hanya karena keduanya diusung oleh partai yang memiliki basis massa yang kuat tetapi juga karena latar belakang identitas kedua pasangan tersebut berbeda secara mendasar. Foke-Nara diusung oleh Partai Demokrat, PAN, PPP, Hanura, dan PKB serta di putaran kedua mereka mendapat tambahan dukungan dari Partai Golkar dan PKS yang calon-nya tersingkir di putaran pertama. Jokowi-Ahok diusung oleh Partai PDIP dan Partai Gerindra. Perbedaan latar belakang identitas antara Foke-Nara dan Jokowi-Ahok paling mendasar dapat terlihat dari dua hal yaitu: perbedaan etnis dan agama. Foke dan Nara berasal dari etnis Betawi dan keduanya penganut ajaran agama Islam. Etnis Betawi adalah etnis asli yang mendiami DKI Jakarta dan penduduk DKI Jakarta mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, pasangan ini seringkali mengklaim diri sebagai kandidat yang paling mengetahui dan paling mampu menyelesaikan persoalan di Jakarta, terlebih saat ini Foke masih menjabat sebagai incumbent atau gubernur patahanna. Berbeda halnya dengan Jokowi-Ahok, pasangan ini berlatar belakang campuran antara etnis Jawa dan Tionghoa. Jokowi berasal dari etnis Jawa sementara Ahok dari etnis Tionghoa. Agama mereka juga berbeda, Jokowi beragama Islam sementara Ahok beragama Kristen Protestan. Latar belakang identitas pasangan ini menjadi penyebab mereka seringkali dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat DKI Jakarta. Selain itu, mereka juga diidentifikasi sebagai “orang lain” atau pendatang karena keduanya berasal dari luar Jakarta. Jokowi berasal dari Kota Solo sementara Ahok berasal dari Belitung. 2 Kedua pasangan tersebut dapat menggunakan identitas sebagai alat untuk menggaet suara serta dapat menggunakannya untuk menyerang kandidat lawan. Pasangan Foke-Nara dapat memanfaatkan identitas sebagai alat untuk meraih dukungan dari pemilih yang beretnis Betawi atau beragama Islam sementara pasangan Jokowi-Ahok dapat memanfaatkan identitas untuk meraih dukungan dari pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau etnis lain yang juga banyak mendiami Ibu Kota. Pasangan Jokowi-Ahok juga berpotensi untuk merebut suara dari pemilih yang beragama non-muslim di Jakarta. Di sisi lain, pasangan JokowiAhok bisa diserang sebagai representasi “orang lain” karena mereka berasal dari luar Jakarta. Konsekuensi dari penggunaan identitas dalam arena politik adalah munculnya kontestasi identitas. Hal ini nampak dalam iklan politik para kandidat. Baik FokeNara maupun Jokowi-Ahok menggunakan iklan politik sebagai sarana kampanye. Penanda-penanda identitas (seperti: etnis, agama, dan gender) ditampilkan menonjol dalam iklan politik mereka. Penanda-penanda identitas dalam iklan politik itu digunakan untuk mempengaruhi pilihan politik pemilih. Sasarannya adalah pemilih yang identitas-nya sama dengan penanda identitas yang ditampilkan di iklan. Mereka beriklan di media massa cetak dan elektronik. Iklan politik digunakan karena mereka memiliki keterbatasan ruang dan waktu untuk bertemu langsung dengan pemilih. Dengan bantuan iklan politik mereka berharap pesan-pesan politik-nya sampai kepada pemilih tanpa mereka harus bertemu secara langsung. Tujuan akhir dari penggunaan iklan politik oleh para kandidat agar mereka dikenal dan dipilih saat pemilihan berlangsung sebab perolehan suara mayoritas dalam pemilihanlah yang dapat mengantarkannya memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2012. B. Rumusan Masalah Dari gambaran permasalahan penelitian tersebut memunculkan rumusan masalah yang kemudian diangkat menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana politik identitas yang dilakukan oleh Foke-Nara dan Jokowi-Ahok 3 dalam iklan politik mereka periode tanggal 24 Juni 2012 – 7 Juli 2012 dan periode 14-16 September 2012 di Pilkada DKI Jakarta 2012? C. Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan atau mengungkap fakta-fakta tentang politik identitas yang dilakukan oleh Foke-Nara dan Jokowi-Ahok di iklan politik mereka dalam keikutsertaan-nya di Pilkada DKI Jakarta 2012. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan dua manfaat, yaitu: manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya komunikasi politik. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan rujukan para politisi dalam menggunakan iklan politik untuk tujuan politik, yaitu memperebutkan jabatan politik seperti: bupati, wali kota, gubernur, presiden, atau anggota legislatif. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi materi pendidikan politik masyarakat luas. E. Kerangka Pemikiran Pilkada DKI Jakarta yang berhasil mengantarkan pasangan Jokowi-Ahok menduduki kursi 01 di DKI Jakarta menyita perhatian masyarakat luas. Kedudukan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara menjadikan proses Pilkada DKI Jakarta selalu dinantikan oleh rakyat di seluruh penjuru negeri. Mereka bukan hanya yang memiliki hak pilih atau penduduk Jakarta melainkan juga publik yang tinggal di pelosok negeri ikut memerhatikan pesta demokrasi rakyat ibu kota. Proses Pilkada DKI Jakarta yang digelar dua putaran senantiasa menjadi isu hangat di media massa. Baik media cetak maupun media elektronik menyoroti beragam informasi seputar Pilkada DKI Jakarta. Mereka memberitakan tahapan pendaftaran calon, aktivitas kampanye, debat kandidat, pemilihan, perhitungan suara, penetapan pemenang, sampai pelantikan gubernur dan wakil gubernur 4 terpilih tidak luput dari pemberitaan. Oleh karena itu, melalui media massa, publik dapat mengikuti perkembangan Pilkada DKI Jakarta di manapun mereka berada. Aktor utama dalam komunikasi politik di Pilkada DKI Jakarta yaitu aktor politik, media massa, dan publik berhasil memaksimalkan perannya masingmasing. Aktor politik, baik Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok, menggunakan media massa untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat luas. Beriklan, misalnya, di media massa. Secara sederhana iklan politik adalah penggunaan ruang iklan secara komersial untuk menyampaikan pesan politik kepada khalayak massa (McNair, 1999: 94). Tujuan aktor politik beriklan di media massa adalah untuk mempengaruhi pilihan politik pemilih. Media massa, selain menjalankan fungsi bisnis melalui iklan, juga menjalankan fungsi sebagai bank informasi. Hal ini sejalan dengan pendapat McQuail (2010: 54) yang berpandangan bahwa media massa bisa menjadi kekuatan ampuh untuk mencerahkan publik. Dalam hal ini, media massa mencerahkan publik dengan pelayanan informasi seputar Pilkada DKI Jakarta. Berjalannya fungsi informasi oleh media massa memungkinkan terpilihnya pemimpin yang berkualitas. Hubungan saling menguntungkan antara aktor politik, media massa, dan publik pada gilirannya akan meningkatkan kualitas demokrasi. Publik dapat memilih pemimpin yang berkualitas karena mereka memilih berdasarkan pilihan rasional. Hal ini dimungkinkan karena mereka memperoleh informasi yang memadai melalui media massa tentang calon pemimpin yang mereka akan pilih. Lain halnya dengan iklan politik, meskipun mengandung informasi tetapi pesan yang dimuat dalam iklan politik sepenuhnya dikendalikan oleh aktor politik. Oleh karena itu, publik tidak mendapatkan informasi yang lebih komprehensif. Aktor politik dan tim-nya menentukan dan memformat materi iklan mereka sendiri. Setelah itu, mereka membeli ruang iklan di media massa untuk dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Iklan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi dan membujuk pemilih agar mereka memilih-nya di bilik suara. Olehnya, materi iklan tidak hanya memuat visi misi kandidat atau tawaran solusi atas permasalahan yang terjadi di masyarakat tetapi juga materi iklan yang bisa 5 menyentuh hubungan emosional para pemilih. Di sinilah pentingnya identitas menjadi bagian dari materi iklan politik. Tujuan penggunaan identitas sebagai materi iklan politik tidak lain adalah untuk memperoleh suara dari pemilih yang memiliki kesamaan identitas dengan kandidat. Hal ini terjadi karena sebagian pemilih menggunakan pendekatan sosiologis untuk memilih pemimpin. Pendekatan ini menolak pendekatan individualistik baik model pilihan rasional maupun identifikasi partai tetapi lebih menekankan pada pendekatan kelompok (Martin Harrop dan William L. Miller, 1987:157). Pemilih diyakini akan memilih pemimpin berdasarkan kesamaan kelompok identitas antara mereka dan calon pemimpin-nya, seperti: kesamaan etnis, agama, gender, kelas sosial, dan sebagainya. 1. Konsep Identitas Konsep identitas menjadi perbincangan hangat dalam kajian ilmu sosial beberapa dekade terakhir ini. Pusat perdebatannya terletak pada dua gagasan yang saling bertentangan. Kedua gagasan tersebut adalah esensialisme dan anti-esensialisme (Barker, 2011: 174). Gagasan esensialisme berpandangan bahwa identitas bersifat universal, stabil, dan melekat pada diri setiap individu. Sejak lahir, mereka telah membawa identitas masing-masing. Oleh karena itu, deskripsi tentang diri kita mencerminkan identitas yang esensial. Sebagai konsekuensi dari gagasan ini, konsep tentang feminitas, maskulinitas, religiusitas, etnisitas, nasionalitas, dan kategori identitas lainnya adalah esensi yang melekat pada individu yang tidak akan berubah. Gagasan anti-esensialisme berbanding terbalik dengan gagasan esensialisme. Anti-esensialisme menolak pandangan yang menganggap bahwa identitas bersifat esensial atau universal. Sebaliknya, ia justru memandang identitas sebagai konstruksi sosial yang keberadaannya terikat oleh ruang dan waktu. Anti-esensialisme berpandangan bahwa identitas adalah proses menjadi (proses of becoming) yang dilandasi oleh kemiripan dan perbedaan (Barker dan Galasinski, 2001: 30). Stuart Hall dalam salah satu artikel-nya, bahkan, berpandangan bahwa identitas akan terus-menerus mengalami perubahan dan bertransformasi. 6 It accepts that identities are never unified and, in late modern times, increasingly fragmented and fractured; never singular but multiply constructed across different, often intersecting and antagonistic, discourses, practices and positions. They are subject to a radical historicization, and are constantly in the process of change and transformation. (Hall, 2005: 17). Identitas tidak tunggal melainkan beragam yang didasari oleh perbedaan. Perbedaan tersebut akan membedakan identitas satu dengan lainnya, semisal identitas yang bersifat komunal seperti: agama, etnis, nasionalitas, kelas sosial, dan afiliasi politik dan identitas lain yang bersifat personal yang akan membedakan antara individu satu dengan lainnya. Keberadaan mereka dapat berubah mengikuti perubahan ruang dan waktu dimana mereka berada. Terlepas dari kedua gagasan tersebut, Hall (1992: 275) dalam artikel lain menawarkan tiga konsep identitas yang berbeda, yaitu: subjek pencerahan, subjek sosiologis, dan subjek pasca-modern. Subjek pencerahan atau enlightenment subject menekankan peranan individu sebagai yang utama. Konsep ini didasarkan oleh pemahaman dimana manusia sebagai individu sepenuhnya terpusat dan terpadu yang didukung oleh kapasitas rasio, kesadaran, dan tindakan yang ada sejak lahir. Pusat esensi diri terletak pada identitas pribadi. Louise Althusser menyebut individu sebagai “knowing subject” dimana individu dipahami sebagai penguasa penuh, rasional, kesadaran yang menyatu dalam kontrol bahasa dan makna (Althusser dalam Chris Weedon, 2004: 5). Kekuatan Individu berpusat oleh subjek dan untuk subjek. Althusser menggambarkan proses individu menjadi subjek dengan sebuah ilustrasi dimana seorang polisi memanggil pejalan kaki “Hey, You There”. Pejalan kaki tersebut merasa menjadi subjek karena dia tahu bahwa orang yang dipanggil adalah dirinya, bukan yang lain. I have imagined takes places in the street, the hailed individual will turn round. By this more one-hundred-and-eighty-degree physical conversion, he becomes a subject. Why? Because he has recognized that the hail was 7 „really‟ addressed to him, and that „it was really him who was hailed‟ (and not someone else). (Althusser, 2005: 33). Individu sebagai subjek tidak berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan individu yang lain atau masyarakat. Dengan demikian, identitas terbentuk dari proses interaksi sosial. Interaksi sosial inilah yang oleh Hall sebut sebagai subjek sosiologis atau sociological subject. The notion of sociological subject reflected the growing complexity of the modern world and the awareness that this inner core of the subject was not autonomous and self-sufficient, but was formed in relation to „significant others‟, who mediated to the subject the values, meaning, and symbols – the culture – of the worlds he/she inhabited. (Hall, 1992: 275). Subjek sosiologis berpandangan bahwa orang lain atau lingkungan sekitar memiliki peranan penting dalam membentuk identitas. Individu yang meskipun memiliki esensi sebagai subjek yang otonom tetapi mereka tetap akan dibentuk oleh lingkungannya. Subjek sosiologis akan mempertemukan antara individu yang otonom dan masyarakat melalui proses interaksi sosial. Pandangan ini merujuk kepada teori interaksi simbolik oleh George Herbert Mead. Teori interaksi simbolik berpandangan bahwa makna sebagai produksi sosial dibentuk melalui interaksi antar manusia (West dan Turner, 2010: 80). Keluarga adalah lingkungan terkecil yang paling banyak mempengaruhi identitas kita. Pandangan subjek sosiologis yang diungkap oleh Hall sejalan dengan pandangan identity negotiation theory atau teori negosiasi identitas. Baik subjek sosiologis maupun teori negosiasi identitas menekankan interaksi sebagai titik yang sentral. Teori negosiasi identitas berpandangan bahwa domain identitas tertentu mempengaruhi interaksi keseharian kita (TingToomey, 2005: 217). Identitas dalam perspektif negosiasi merupakan proses interaksi transaksional dimana individu membangkitkan, mendefinisikan, memodifikasi, atau menonjolkan identitas diri dan di saat yang sama mereka juga dapat menantang, mendukung, atau mempengaruhi identitas orang lain. 8 Subjek pasca-modern atau post-modern subject. Konsep subjek pascamodern berpandangan bahwa tidak ada identitas permanen melainkan akan mengalami perubahan terus-menerus. Individu sebagai subjek memiliki ruang gerak yang luang untuk menentukan posisi kultural mereka. Mereka tidak terikat oleh kekuatan yang mengharuskannya pasif dalam posisi kultural. Hall, bahkan, berpendapat bahwa mereka dapat memiliki identitas yang berbeda dalam kurun waktu yang berbeda dan tidak menutup kemungkinan saling kontradiktif karena identitas yang beragam. The subject assumes different identities at different time, identity which are not unified around a coherent „self‟. Within us are contradictory identities, pulling in different directions, so that our identifications are continuously being shifted about. If we feel we have a unified identity from birth to death, it is only because we construct a comforting story or „narrative of the self‟ about ourselves. (Hall, 1992: 277). Dari berbagai pandangan tentang identitas sebagaimana yang telah diungkap oleh para ahli, penelitian ini memfokuskan pada pandangan yang menganggap bahwa identitas itu tidak esensial atau tidak stabil melainkan selalu berubah. Identitas terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, penelitian ini menempatkan identitas Foke-Nara dan Jokowi-Ahok tidak esensial. Mereka dapat memperlakukan identitas sesuai kepentingan-nya yaitu ingin mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. 2. Politik Identitas and Perbedaan Gagasan esensialisme dan anti-esensialisme berbeda secara mendasar tetapi mereka sepakat bahwa keberadaan identitas didasarkan oleh adanya perbedaan atau difference. Identitas adalah kepemilikan, yaitu apa yang kamu miliki yang umum dimiliki orang lain dan apa yang membedakannya dengan orang lain (Weeks, 1990: 88). Dengan demikian, identitas diri hadir karena ada yang berbeda dengan yang lain atau others. Perbedaan tersebut bisa sebatas tersirat tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadi kontradiksi antara satu dengan yang lainnya. Weedon membenarkan adanya kontradiksi identitas. Dia (2004: 19) berpandangan bahwa semua identitas memiliki bentuk tersendiri yang membuatnya berbeda dengan yang 9 lain. Kontradiksi dalam identitas bisa terlihat, misalnya; antara laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminin, Jawa dan Bugis, Islam dan Kristen, kulit hitam dan kulit putih, dan Indonesia dan Jepang. Dalam politik praktis pun ditemukan perbedaan mendasar, misalnya: antara Partai Golkar dan Partai PDIP atau antara Jokowi-Ahok dan Foke-Nara dalam Pilkada DKI Jakarta. Castells (2010: 8) membedakan tiga bentuk konstruksi identitas kolektif yang berbeda. Pertama, legitimizing identity. Identitas model ini menekankan peranan institusi-institusi publik dalam pembentukan identitas. Negara/bangsa dan agama adalah dua institusi publik yang paling dominan dalam membentuk identitas. Mereka menciptakan aturan dan cara sesuai dengan kehendak yang ideal menurut mereka. Anggota dari institusi dominan tersebut akan hidup sebagai suatu identitas meski anggota mereka tidak saling mengenal dan tidak pernah bertemu. Anderson (2008: 8) menyebut komunitas ini sebagai komunitas terbayang. Kedua, resistance identity. Jenis identitas ini adalah oposan dari legitimizing identity. Resistance identity atau identitas perlawanan dibangun oleh mereka yang tidak terlibat dalam institusi dominan atau legal. Resistance identity biasanya berasal dari kelompok masyarakat yang oleh sejarah tidak memihak kepadanya. Oleh karena itu, mereka secara kolektif membentuk identitas sebagai bentuk perlawanan atas identitas dominan yang didukung oleh institusi publik. Terakhir, project identity. Konstruksi project identity atau identitas proyek terjadi dimana aktor sosial membentuk identitas baru yang bertujuan untuk mendefinisikan ulang posisi mereka dalam masyarakat. Pembentukan identitas sebagai proyek dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap dominasi identitas tertentu. Gerakan feminisme misalnya, gerakan feminisme menantang dominasi laki-laki dalam keluarga patrinial. Konstruksi identitas menimbulkan konsekuensi politik. Aktor-aktor sosial yang berbeda berusaha mempertahankan dominasi mereka. Oleh karenanya, politik identitas marak terjadi. 10 Politik identitas berawal dari gerakan sosial atas kesadaran masyarakat yang menginginkan perubahan. Gerakan sosial tersebut diantaranya adalah gerakan feminisme, lesbian, kaum kulit hitam, kaum buruh, dan lain sebagainya. Mereka memperjuangkan kesetaraan perlakuan. Di Amerika misalnya, gerakan kaum kulit hitam yang dimotori oleh Martin Luther King berjuang untuk menjadi bagian integral identitas Amerika dimana sebelumnya identitas Amerika hanya menjadi milik kaum kulit putih yang mengakibatkan kaum kulit hitam selalu mendapatkan perlakuan diskriminasi di Amerika (Spencer, 1994: 553). Dalam konteks politik terkini, identitas tidak lagi hanya dipergunakan sebagai alat mobilisasi gerakan sosial untuk mencapai perubahan melainkan banyak dipergunakan sebagai alat untuk meraih jabatan politik. Di Kalimantan Barat misalnya, politik identitas etnis dimanfaatkan oleh elit etnis sebagai upaya untuk mendapatkan perwakilan mereka di bidang eksekutif dan legislatif (Tanasaldy, 2007: 461-462). Dua kelompok etnis, Melayu dan Dayak, memiliki peranan penting dalam perpolitikan di Kalimantan Barat. Tidak jarang power sharing antara kedua kelompok menjadi alternatif dalam pemilihan kepada daerah. 3. Iklan Politik dalam Pemilihan Pemilihan atau election adalah arena pertarungan untuk memperebutkan jabatan politik secara legal. Pilpres atau Pilkada misalnya, ajang tersebut merupakan ajang resmi untuk mengganti presiden atau kepala daerah yang baru. Dalam pemilihan semua aktor politik atau kandidat memiliki peluang yang sama untuk menang, menjadi: presiden, gubernur, wali kota, atau bupati. Oleh karena itu, mereka harus melakukan berbagai upaya untuk merebut suara mayoritas sebagai prasyarat untuk menang di pemilihan. Mereka harus berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat: turun ke bawah, bertatap muka, mendengarkan keluhan, dan memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Selain itu, mereka juga harus memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk menjangkau publik secara massif karena mereka memiliki keterbatasan ruang dan waktu untuk 11 berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat. Kini peran media massa dalam kehidupan politik sudah semakin besar. Castells, bahkan, berpandangan bahwa hanya mereka yang memanfaatkan media massa yang mampu mempengaruhi pilihan publik. Messages, organizations, and leaders who do not have a presence in the media do not exist in the public mind. Therefore, only those who can convey their messages to the citizens at large have the chance to influence their decisions in ways that lead to their own access to power positions in the state and/or maintain their hold over political institutions. (Castells, 2009: 194). Pemanfaatan media massa oleh aktor politik untuk tujuan politik bisa beragam bentuk: propaganda, spin doctoring atau hubungan masyarakat politik, dan iklan politik. Kajian disini akan fokus membahas iklan politik. Secara umum iklan didefinisikan sebagai bentuk komunikasi massa dari sponsor yang menggunakan media massa untuk membujuk atau mempengaruhi masyarakat (Wells dkk, 1992: 10). Danesi (2004: 256) mendefinisikan iklan sebagai jenis pengumuman publik yang bertujuan untuk mempromosikan penjualan komoditas atau jasa atau menyebarkan pesan sosial dan politik. Iklan politik seringkali diasosiasikan dengan makna iklan komersial, yaitu sebagai proses komunikasi untuk mempromosikan produk atau jasa melalui media massa, dalam iklan politik yaitu mempromosikan kandidat atau gagasan. Kaid (2004: 156) menjelaskan bahwa iklan politik merupakan proses komunikasi dari sumber (biasanya kandidat atau partai politik) untuk menyampaikan pesan-pesan politik melalui media massa dengan tujuan untuk mempengaruhi perilaku, keyakinan, dan sikap politik publik. Para kandidat atau partai politik menjadikan iklan politik sebagai sarana untuk memperkenalkan diri dan menawarkan gagasan atau program kerja dengan maksud agar mereka dipilih oleh publik saat pemilihan berlangsung. Mereka menggunakan iklan politik di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Dengan demikian, pesan-pesan politik mereka dapat 12 diketahui oleh masyarakat tanpa mereka harus bertemu secara langsung. Hal ini karena media massa mampu menembus ruang-ruang privat keluarga. Iklan politik di media cetak seperti poster, baliho, atau koran mengandalkan kemampuan visual sementara iklan di media elektronik memadukan kemampuan audio dan visual. Iklan politik, sebagaimana iklan secara umum, menjual produk melalui gambar atau image, retorika, slogan, dan tata artistik yang luar biasa (Kellner, 1995: 251). Dalam hal ini, kandidat atau partai politik berusaha mempengaruhi pilihan masyarakat dengan menciptakan asosiasi dirinya dengan apa yang ditampilkan dalam iklan politik mereka. Iklan politik dapat membantu pengiklan atau politisi lebih dikenal secara personal oleh masyarakat luas, termasuk program-program yang mereka tawarkan. Lebih dari itu, Matheson (2005: 50) menjelaskan bahwa iklan dikatakan sukses bila keberadaan iklan tersebut mampu mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat sesuai dengan yang diinginkan oleh pengiklan dalam iklan tersebut. Dalam hal ini, iklan politik dianggap sukses bila ia mampu merubah pilihan politik masyarakat dan mempengaruhi mereka untuk memilih kandidat atau partai politik pengiklan. 4. Politik Identitas dalam Iklan Politik Marcel Danesi, dalam bukunya yang berjudul Understanding Media Semiotic, memaparkan dua teknik utama yang sering dipakai oleh para pengiklan untuk menanamkan iklan ke dalam pola pikir masyarakat. Kedua teknik yang dimaksud adalah positioning dan image-creation (Danesi, 2002: 183). Positioning adalah penempatan atau penargetan produk kepada orang yang tepat. Iklan Gudang Garam misalnya, produk rokok asal Jawa Timur itu mengambil positioning sebagai produk kaum laki-laki. Oleh karena itu, iklan Gudang Garam sengaja mengasosiasikan diri sebagai produk kaum laki-laki dengan slogannya yang terkenal Pria Punya Selera. Gagasan image-creating dalam iklan menyasar individu tertentu. Kellner (1995: 248) menjelaskan bahwa symbolic image atau citra simbolik dalam iklan menciptakan asosiasi antara produk yang ditawarkan dan individu 13 tertentu yang diinginkan secara sosial. Oleh karena itu, individu yang mengonsumsi produk yang ditawarkan oleh iklan tertentu secara tidak langsung telah mendefinisikan diri sebagai bagian dari image yang diciptakan dalam iklan tersebut. Iklan Rokok Gudang Garam, misalnya, mengasosiasikan diri dengan citra para kaum pria. Oleh karena itu, orang yang mengonsumsi Rokok Gudang Garam secara tidak langsung telah mendefinisikan diri sebagai Pria Sejati sebagaimana dalam iklan Gudang Garam. Dalam iklan politik, strategi positioning dan image-creating “memaksa” aktor politik untuk memetakan kelompok-kelompok identitas di dalam masyarakat. Mereka mengidentifikasi dan memisahkan kelompok agama, suku, gender, dan kelas sosial secara berbeda antara yang satu dengan lainnya. Kemudian, mereka menjadikan kelompok-kelompok yang telah teridentifikasi secara berbeda itu sebagai segmentasi tersendiri dalam menyampaikan iklan politik. Kandidat memformat iklan politik selain memuat gagasan yang akan ditawarkan juga memuat citra simbolik identitas tertentu yang didasari oleh segmentasi identitas yang diinginkan. Mereka menggunakan citra simbolik dalam iklan politik sebagai asosiasi diri dengan kelompok identitas tertentu. Dengan cara ini, mereka berharap dapat memperoleh suara dari kelompok identitas tertentu karena mereka dicitrakan sebagai representasi dari kelompok identitas tersebut. 5. Politik Identitas dalam Iklan Politik di Pilkada DKI Jakarta Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 diikuti oleh enam pasangan kandidat. Mereka bersaing untuk memperebutkan kursi 01 DKI Jakarta. Pelaksanaannya digelar dua putaran karena pada putaran pertama tidak satu pun pasangan kandidat yang mampu memperoleh suara mayoritas. Semua pasangan kandidat menggunakan iklan politik untuk meraih dukungan mayoritas pemilih, baik di putaran pertama maupun di putaran kedua. Mereka menyampaikan beragam isu melalui iklan politik, di dalamnya termasuk isu identitas. 14 Isu identitas paling dominan yang menjadi “jualan” dalam iklan politik di Pilkada DKI Jakarta adalah agama, etnis, dan gender. Di satu sisi, kandidat mengungkap isu identitas sebagai alat untuk meraih simpati pemilih tetapi di sisi lain juga digunakan sebagai alat untuk menyerang kandidat lawan. Isu agama mempertentangkan agama Islam dan non Islam, isu etnis mempertentangkan antara etnis Betawi dan etnis non-Betawi. Etnis Betawi diidentifikasi sebagai etnis penduduk asli Jakarta dipertentangkan dengan etnis non-Betawi yang dianggap sebagai etnis pendatang. Isu gender terkait dengan peran laki-laki dan perempuan. Pasangan Jokowi-Ahok adalah kandidat yang paling banyak mendapatkan serangan politik identitas. Hal ini disebabkan oleh setidaknya dua hal, yaitu: pasangan ini dianggap sebagai pendatang dan tidak mewakili kepentingan kelompok agama mayoritas di Jakarta. Mereka dianggap bukan representasi penduduk etnis lokal “Betawi” Jakarta karena keduanya berasal dari luar, Jokowi berasal dari Solo sementara Ahok berasal dari Belitung. Pasangan ini juga dianggap tidak mewakili kelompok agama mayoritas karena Ahok yang beretnis Tionghoa dan beragama Kristen Protestan sedangkan mayoritas penduduk DKI Jakarta beragama Islam. 6. Iklan Politik dan Analisis Semiotika Iklan politik, sebagaimana iklan pada umumnya, merupakan aktivitas penandaan. Teks, image visual, dan bunyi dalam iklan menjadi penanda. Petanda-petanda dalam pesan iklan dibentuk oleh atribut-atribut khas dalam produk tersebut (Barthes, 2010: 20). Kajian ini merupakan ranah semiotika yaitu ilmu yang mempelajari tanda. Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion, yang berarti tanda. Kajian semiotika dikembangkan oleh Charles S. Pierce di Amerika sementara di dataran Eropa dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Meski demikian, Saussure tidak memakai istilah semiotika sebagaimana Pierce melainkan lebih mempopulerkan istilah semiologi. Dalam kajian semiologi, Barthes mengamini terminologi yang dipopulerkan oleh Saussure yaitu sign, signifier, dan signified. Sign (tanda) 15 adalah perpaduan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier merupakan aspek material atau benda, yaitu obyek yang berupa: tulisan, bunyi, dan gambar. Petanda bukan aspek material melainkan gambaran mental atau konsep dari penanda. Petanda adalah apa yang dipikirkan tentang benda, semisal petanda dari sapi bukan hewan sapi melainkan citra atau konsep yang dipikirkan tentang sapi itu. Pijakan semiologi Saussure adalah kajian linguistik yang meletakkan bahasa sebagai konvensi sosial yang mutlak diterima sebagai prasyarat dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan institusi sosial sekaligus sebagai sistem nilai. Bahasa bersifat otonom dan memiliki aturan tersendiri. Lain halnya dengan tuturan, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa. Tuturan adalah tindakan seleksi atau aktualisasi individual yaitu aktivitas yang memadukan kode-kode bahasa. Dengan demikian, tuturan dapat terjadi bila penutur dapat memadukan kode-kode bahasa yang bertujuan untuk mengungkapkan pikiran personal-nya (Barthes, 1981: 15). Barthes, kemudian, mengembangkan semiologi Saussure dengan menawarkan dua bentuk penandaan yaitu denotasi dan konotasi. Kedua bentuk penandaan ala Barthes adalah bentuk penandaan bertingkat yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan penandaan tingkat pertama sementara konotasi merupakan penandaan tingkat kedua. Sistem penandaan tingkat pertama atau denotasi adalah relasi antara petanda dan penanda di dalam tanda, atau dalam hal ini relasi aspek material dan gambaran mental atau konsep. Sistem penandaan tingkat dua atau konotasi yaitu penanda konotasi dibentuk oleh tanda, yaitu gabungan penanda dan petanda (Barthes, 1981: 91). F. Kerangka Konseptual Merujuk kepada kerangka pemikiran yang telah dibahas sebelumnya, penulis menarik kerangka konseptual sebagai berikut: 1. Politik Identitas Politik identitas adalah penggunaan isu identitas, utamanya identitas: etnis, agama, dan gender oleh aktor politik sebagai upaya untuk memperoleh 16 jabatan politik. Dalam hal ini, aktor politik adalah pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta yang bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Mereka memanfaatkan identitas untuk memperoleh dukungan masyarakat sebagai prasyarat untuk menang dalam Pilkada DKI Jakarta dan menjadikan mereka menduduki jabatan gubernur dan wakil gubernur di Ibu Kota Indonesia periode 2012-2017. Sesuai amanat Undang-Undang, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta mensyaratkan seorang kandidat harus memperoleh suara mayoritas terbatas untuk dapat dinyatakan sebagai pemenang dalam Pilkada DKI Jakarta. Oleh karena itu, kandidat berusaha menggunakan segala cara untuk meraih dukungan suara minimal 50 % + 1. Penggunaan isu identitas untuk tujuan politik karena aktor politik menyasar masyarakat yang memilih pemimpin berdasarkan faktor sosiologis, bukan karena faktor pilihan rasional. Faktor sosiologis menekankan alasan kesamaan identitas dalam memilih pemimpin. 2. Iklan Politik Iklan politik adalah proses pengumuman publik oleh aktor politik melalui media massa yang bertujuan untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat. Aktor politik, kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, menggunakan iklan politik untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya kepada masyarakat. Melalui iklan politik, mereka ingin mempengaruhi masyarakat agar mereka memilihnya saat pemilihan berlangsung. Iklan politik digunakan agar pesan politik oleh aktor-aktor politik dapat menjangkau masyarakat yang lebih besar. Hal ini dilakukan karena mereka memiliki keterbatasan ruang dan waktu untuk menyampaikan pesan politik secara langsung. Aktor politik menyampaikan iklan melalui media cetak dan elektronik. Di media cetak misalnya: poster, baliho, spanduk, dan koran sementara di media elektronik seperti radio dan televisi. 3. Pilkada DKI Jakarta 2012 Pemilihan Kepada Daerah atau Pilkada DKI Jakarta 2012 merupakan ajang pesta demokrasi yang bertujuan untuk mengganti pemimpin di DKI 17 Jakarta secara legal. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 digelar untuk memilih gubernur dan wakil gubernur yang akan memimpin DKI Jakarta periode 2012-2017. Dalam Pilkada, rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk memilih pemimpin karena Pilkada digelar secara langsung, bebas, dan rahasia. Oleh karena itu, mereka dapat memilih pemimpin yang berkualitas yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang melanda Ibu Kota. Pilkada DKI 2012 adalah Pilkada DKI ke dua yang digelar secara langsung setelah Pilkada tahun 2007. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, jenis penelitian yang sering kali dianggap sebagai antitesis dari penelitian kuantitatif. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang lebih menekankan pada analisis data-data statistik, penelitian kualitatif menekankan gagasan yaitu makna dikonstruksi secara sosial oleh individu dalam interaksi dengan dunianya (Merriam, 2002: 3). Konstruksi makna dalam penelitian kualitatif tidak tunggal melainkan beragam dan terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Denzin dan Lincoln (2000: 3) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penggunaan kajian dan pengumpulan berbagai data empiris – studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, cerita hidup, wawancara, artifak-artifak, produksi dan teks-teks budaya, pengamatan, historis, interaksional, dan teks visual – yang menggambarkan makna dan momenmomen problematik keseharian dalam kehidupan individu. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Maleong (2006: 6) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah melalui deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini yaitu iklan politik oleh pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Iklan politik yang 18 dimaksud adalah iklan politik yang pernah dipublikasikan di media cetak, khususnya koran yaitu: Koran Kompas dan Koran Sindo. Fokus penelitian ini mengarah kepada iklan politik yang di dalamnya memuat pesan identitas yaitu identitas etnis, agama, dan gender. Publisitas iklan politik kedua kandidat melalui koran cukup intens, tidak hanya di koran lokal dengan wilayah sirkulasi DKI Jakarta tetapi juga di koran nasional. Hal inilah yang mendasari koran dipilih sebagai objek penelitian ini. Selain itu, koran dapat memberikan ruang informasi yang lebih banyak dibanding jenis media massa lain semisal televisi atau radio. Koran Kompas dan Koran Sindo dipilih karena kedua koran tersebut dianggap sebagai koran yang memiliki basis pembaca dengan jumlah yang besar. Pemilihan iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, meskipun empat kandidat lain juga memanfaatkan iklan politik untuk meraih dukungan pemilih, karena kedua kandidat inilah yang berhasil lolos ke putaran kedua sementara pasangan lain tersingkir di putaran pertama. Jokowi-Ahok dan Foke-Nara berhak melaju ke putaran ke dua karena mereka berhasil meraih dukungan suara tertinggi pertama dan kedua di putaran pertama. Sesuai hasil rekapitulasi hasil perhitungan suara pada putaran pertama yang dikeluarkan oleh KPU DKI Jakarta, Jokowi-Ahok berhasil memperoleh suara tertinggi, sebanyak 1.847.157 (42,60 %), dan Foke-Nara meraih suara tertinggi kedua, sebanyak 1.476.648 (34,05 %). 3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini adalah penelitian studi pustaka, yaitu penelitian yang sumber datanya berasal dari teks, baik teks verbal maupun teks visual. Peneliti membagi dua jenis data dalam penelitian ini. Kedua jenis data tersebut adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Data primer diperoleh dari iklan politik pasangan Foke-Nara dan JokowiAhok yang pernah dipublikasikan di dua media cetak, yaitu koran: Kompas dan Sindo. Periode publikasi iklan yang dimaksud adalah antara tanggal 24 Juni 2012 – 7 Juli 2012 dan periode 14-16 September 2012. Iklan-iklan 19 tersebut dipetakan menjadi dua elemen yaitu verbal dan visual. Elemen verbal berupa teks-teks sedangkan elemen visual adalah gambar atau image dalam iklan tersebut. Elemen verbal dan visual iklan merupakan penanda. Sebanyak tujuh iklan, masing-masing empat iklan Foke-Nara dan tiga iklan Jokowi-Ahok, dipilih untuk dijadikan sebagai objek analisis dalam penelitian ini. Empat Iklan Foke-Nara masing-masing tiga edisi di Koran Sindo dan satu edisi di Koran Kompas. Mereka adalah edisi tanggal 25 Juni 2012 Hal. Jaket 3, 26 Juni 2012 Hal. 5, dan 27 Juni 2012 Hal. 3 di Koran Sindo serta edisi 7 Juli 2012 Hal. 1 di Koran Kompas. Tiga iklan JokowiAhok masing-masing dua edisi di Koran Kompas, yaitu 14 September 2012 Hal. 41 dan 16 September 2012 Hal. 5 serta satu edisi di Koran Sindo, edisi 27 Juni 2012 Hal. 9. Ke tujuh iklan tersebut dipilih karena mereka dianggap relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Data pendukung atau data sekunder diambil dari data-data dokumentasi berupa: buku, jurnal, koran, laporan hasil penelitian, atau data-data dokumentasi lainnya yang berelasi langsung dengan data primer. Data primer dan data sekunder tersebut menjadi satu-kesatuan yang akan dijadikan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini. 4. Metode dan Analisa Data Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis teks. Oleh karena itu, untuk menganalisisnya digunakan metode dan analisa semiotika Roland Barthes. Metode ini dianggap tepat karena ia mampu mengungkap makna yang tersembunyi dibalik teks. Selain itu, ketersediaan data menjadi pertimbangan lain untuk memilih metode ini. Teks mudah diakses karena bentuknya terekam. Data dalam penelitian ini terekam dalam bentuk media iklan, yaitu iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Semiotika atau dalam bahasa Barthes dan Saussure dikenal sebagai semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda. Barthes terinspirasi oleh konsep semiologi Saussure yang mempopulerkan istilah sign, signifier, dan signified. Selain itu, Barthes mengembangkan semiologi Saussure dengan memperkenalkan sistem penandaan bertingkat, yaitu makna denotasi dan 20 makna konotasi. Denotasi merupakan sistem penandaan tingkat pertama dan konotasi merupakan sistem penandaan tingkat kedua. Dengan metode dan analisis semiotika Barthes, penelitian ini akan mengungkap sistem penandaan, yaitu penanda-penanda yang memuat identitas agama, identitas etnis, dan identitas gender dalam iklan politik Jokowi-Ahok dan iklan politik Foke-Nara. Penanda iklan baik penanda verbal atau teks maupun penanda visual atau image. Untuk menjelaskan penanda teks, penelitian ini mengacu kepada makna denotasi dan makna konotasi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, makna denotasi adalah makna yang terlihat atau nyata dalam teks sedangkan makna konotasi adalah makna yang tersirat atau tersembunyi di balik teks. Makna denotasi dan konotasi yang dimaksud adalah makna denotasi-konotasi dalam teks iklan politik JokowiAhok dan iklan politik Foke-Nara yang relevan dengan materi atau isu politik identitas. Penjelasan tentang penanda image mengacu kepada tahap konotasi dalam produksi foto. Barthes (2010: 7-11) menjelaskan enam tahap konotasi atau pelapisan makna kedua dalam foto. Ke enam tahap itu dikelompokkan dalam dua tahap yaitu tahap pertama dan tahap kedua. Tahap pertama mencakup tiga hal yaitu efek tiruan, sikap atau pose, dan objek. Konotasi pada tiga tahap pertama dihasilkan melalui proses modifikasi terhadap realitas itu sendiri atau modifikasi terhadap pesan denotatif. Efek tiruan merupakan manipulasi gambar secara artifisial, pose atau sikap mengarah kepada gaya objek foto, sementara objek terkait dengan pengaturan sikap atau posisi objek. Konotasi tahap kedua berkaitan dengan wilayah estetis foto. Tahap ini juga mencakup tiga hal yaitu fotogenia, estetisisme, dan sintaksis. Fotogenia yaitu berkaitan dengan aspek-aspek teknis dalam produksi atau pengambilan gambar seperti pencahayaan, pengaburan, atau pencetakan hasil. Estetisisme merupakan imitasi atau perubahan komposisi gambar secara keseluruhan dan sintaksis adalah rangkaian cerita yang terbentuk dari foto atau gambar. Makna konotasi dalam tahap sintaksis tidak terbentuk dari satu foto melainkan beberapa foto dalam artian cerita bergambar. Secara prinsip ke enam tahap itu 21 dijadikan sebagai rujukan analisis namun dalam tataran praktis ke enam tahap tidak digunakan secara menyeluruh melainkan hanya yang relevan dengan penelitian. 5. Limitasi Penelitian Penulis memberikan batasan penelitian agar pembahasan tidak meluas. Pertama, Pilkada DKI Jakarta 2012 diikuti oleh enam pasangan kandidat dan ke-enam pasangan tersebut menggunakan iklan politik untuk mempengaruhi pemilih. Oleh karena itu, penulis membatasinya yaitu memilih iklan politik pasangan Jokowi-Ahok dan iklan politik pasangan Foke-Nara dan mengeliminasi iklan politik empat pasangan yang lain. Pemilihan iklan politik Jokowi-Ahok dan iklan politik Foke-Nara karena kedua pasangan ini berhasil melaju ke putaran kedua sementara pasangan lainnya tersingkir di putaran pertama. Kedua, iklan politik yang dipilih adalah iklan politik yang legal dan pernah dipublikasikan di media massa cetak, yaitu Koran Harian Kompas dan Koran Harian Sindo. Ketiga, periode publikasi iklan yang dimaksud adalah antara tanggal 24 Juni 2012 – 7 Juli 2012 dan periode 14-16 September 2012. Periode tersebut dipilih karena periode itu adalah jadwal kampanye resmi pada Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran pertama dan kedua. Terakhir, materi iklan yang dipilih adalah iklan politik yang memuat isu identitas, yaitu: agama, etnis, dan gender. 6. Tahapan Penelitian Tahapan analisis data merupakan serangkaian aktivitas atau proses yang berkelanjutan terhadap data, meliputi: pengumpulan data, pencatatan, penafsiran, hingga pelaporan hasil penelitian. Secara operasional tahapan analisis penelitian ini merujuk kepada pendapat Miles dan Huberman (dalam Nicholas Walliman, 2006:132) yang mengungkapkan tiga langkah utama analisis data penelitian kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Banyak data yang terkumpul namun tidak semua data relevan untuk dianalisis. Oleh karena itu, data perlu direduksi sesuai kebutuhan. Reduksi 22 data diawali pada pengklasifikasian data. Iklan kedua pasangan kandidat diklasifikasi berdasarkan kebutuhan penelitian. Hanya iklan yang memuat unsur identitas (etnis, agama, dan gender) diambil untuk dianalisis. Hal ini didasarkan pada elemen verbal dan visual iklan. elemen-elemen tersebut yang akan dijadikan sebagai unit analisis menggunakan metode semiotika. Langkah selanjutnya adalah penyajian data. Proses ini merupakan tindak lanjut dari reduksi data. Data-data yang telah diklasifikasi sebelumnya dideskripsikan dalam bentuk narasi yang terorganisir. Kemudian, data-data tersebut diinterpretasikan secara semiotika. Pemaknaan denotasi dan konotasi terhadap iklan kedua pasangan kandidat berdasarkan pada elemen verbal dan visual iklan mereka. Proses ini sepenuhnya untuk menemukan politik identitas dalam iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Terakhir, penarikan kesimpulan. Tahap ini merupakan tindak lanjut dari penyajian data sekaligus sebagai tahap akhir dalam proses analisis penelitian. Bagian ini ditulis di bagian kesimpulan. Narasinya didasarkan pada interpretasi sajian data yang kesemuanya untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu bagaimana politik identitas yang dilakukan oleh Foke-Nara dan Jokowi-Ahok dalam iklan politik mereka di Pilkada DKI Jakarta 2012. H. Sistematika Penulisan atau Pelaporan Pelaporan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu: Bab I: Bab ini adalah bab pendahuluan yang di dalamnya memuat desain penelitian secara menyeluruh meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, kerangka pemikiran, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan atau pelaporan. Bab II: Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang mengungkap beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Bab ini juga merupakan pengembangan atau tindak lanjut pembahasan dari kerangka pemikiran di bab pendahuluan. Poin-poin yang menjadi fokus bab ini adalah politik identitas, Pilkada, dan Iklan Politik. Bab III: Bab ini mengulas tentang deskripsi objek penelitian. Beberapa hal yang menjadi fokus ulasan pada bab ini adalah DKI Jakarta, Pilkada DKI Jakarta, 23 profil kandidat gubernur dan wakil gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan iklan politik kontestan Pilkada DKI Jakarta 2012. Bab IV: Bab ini adalah bab analisis atau pembahasan yaitu analisis terhadap data-data yang terkumpul dalam penelitian ini. Data yang dimaksud berupa teks iklan politik Foke-Nara dan Jokowi-Ahok yang memuat isu identitas di Pilkada DKI Jakarta 2012. Metode analisis yang digunakan adalah metode semiotika Roland Barthes. Bab V: Ini adalah bab terakhir yang merupakan penutup pelaporan penelitian. Bab ini merupakan kesimpulan dari bab analisis dan merupakan jawaban atas rumusan masalah sebagaimana yang tertera di desain penelitian. 24