Dalam risalah biografisnya Al-Munqidz min Al-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan), dengan bersemangat dikemukakannya bahwa baik falsafah maupun kalam tidakTuhan bisaPara memuaskan seseorang yang tengah Filosof berada dalam bahaya hilangnya keimanan. Dia sendiri pernah jatuh ke dalam jurang skeptisisme (safsafah) ketika disadarinya bahwa sama sekali tak mungkin untuk membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Realitas yang kita sebut "Tuhan" berada di luar persepsi indra dan pemikiran logis sehingga sains dan metafisika tidak bisa membuktikan maupun menolak bukti wujud Allah. Bagi mereka yang tidak dikaruniai bakat mistikal atau kenabian khusus, Al-Ghazali telah merancang suatu disiplin yang memampukan seorang Muslim menumbuhkan kesadaran tentang realitas Tuhan dalam setiap perincian kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali telah membuat kesan yang tak terhapuskan di dalam Islam. Takkan pernah lagi kaum Muslim membuat asumsi ceroboh bahwa Tuhan adalah sama seperti wujud lain yang eksistensinya dapat didemonstrasikan secara ilmiah atau filosofis. Sejak saat itu filsafat Muslim menjadi tak terpisahkan dari spiritualitas dan pembahasan yang lebih mistikal tentang Tuhan. Al-Ghazali juga berpengaruh terhadap Yudaisme. Filosof Spanyol Joseph ibn Saddiq (w. 1143) menggunakan dalil Ibn Sina tentang eksistensi Tuhan, tetapi secara hati-hati menyimpulkan bahwa Tuhan bukan sekadar wujud yang lain—satu dari sekian banyak hal yang "ada" dalam pengertian lazim kita atas kata tersebut. Kalau kita mengklaim memahami Tuhan, maka berarti Tuhan itu terbatas dan tidak sempurna. Pernyataan paling tepat yang bisa kita buat tentang Tuhan adalah bahwa dia tidak bisa dipahami, sangat jauh dari jangkauan daya intelektual alamiah kita. Kita bisa saja berbicara tentang aktivitas Tuhan di dunia dalam terma-terma positif namun tidak mengenai esensi Tuhan (Al-Dzaf), yang akan senantiasa luput dari kita. Ahli kedokteran dari Toledo, Judah Halevi (1085-1141), menjadi pengikut setia Al-Ghazali. Tuhan tidak bisa dibuktikan secara rasional; ini tidak berarti bahwa keimanan kepada Tuhan menjadi tidak rasional melainkan bahwa demonstrasi logis tentang eksistensi Tuhan tidak memiliki nilai keagamaan. Bukti logis itu menyampaikan informasi yang sangat sedikit: tak ada cara untuk memastikan tanpa ragu Sejarah Tuhan akal, mereka telah menipu diri mereka sendiri. Satu-satunya kelompok manusia yang mempunyai pengetahuan langsung tentang Tuhan adalah para nabi, yang tak memiliki kaitan apa-apa dengan falsafah. Halevi tidak memahami filsafat sebaik Al-Ghazali, namun dia sepakat bahwa pengetahuan yang terandalkan tentang Tuhan adalah melalui pengalaman keagamaan. Seperti Al-Ghazali, dia juga mempostulatkan adanya daya religius khusus, tetapi mengklaim bahwa kemampuan itu hanya dimiliki oleh orang Yahudi. Dia mencoba memperlunak ini dengan menyatakan bahwa goyim (orang bukan Yahudi) dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan melalui hukum alam, tetapi tujuan karya filosofis terbesarnya, The Kuzari, adalah untuk menjustifikasi keunikan posisi Israel di antara bangsa-bangsa lain. Seperti para Rabi Talmud, Halevi percaya bahwa setiap orang Yahudi dapat memperoleh ruh kenabian melalui penunaian mitzvot secara saksama. Tuhan yang ditemukannya bukanlah sebuah fakta objektif yang eksistensinya bisa didemonstrasikan secara ilmiah, tetapi merupakan pengalaman yang secara esensial bersifat subjektif. Dia bahkan bisa dipandang sebagai perluasan diri "alamiah" orang Yahudi: Keilahian menanti orang yang sesuai untuk menjadi tempat bersemayamnya, untuk menjadi Tuhan baginya, sebagaimana dalam kasus para nabi dan orang suci... Seperti halnya jiwa yang menanti untuk masuk ke dalam janin hingga kekuatan hidupnya disempurnakan untuk memampukannya menerima keadaan yang lebih tinggi ini. Dengan cara yang sama, Alam menanti tibanya iklim yang baik agar dia dapat menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman.16 Dengan demikian, Tuhan bukanlah realitas yang asing, orang Yahudi bukanlah wujud autonom yang terjauhkan dari yang ilahi. Tuhan, menurut Halevi, bisa dilihat sebagai penyempurnaan manusia, pemenuhan potensi manusia; lebih jauh lagi, "Tuhan" yang dijumpainya secara unik adalah miliknya sendiri, suatu gagasan yang akan kita telaah lebih dalam pada bab mendatang. Halevi dengan hatihati membedakan antara Tuhan yang dapat dialami oleh orang Yahudi dari esensi Tuhan itu sendiri. Tatkala para nabi dan orang suci mengklaim pernah mengalami "Tuhan", yang mereka alami bukanlah zatnya melainkan hanya aktivitas ilahi melalui semacam berkas kilasan cahaya dari realitas transenden yang tak bisa dijangkau. Akan tetapi, falsafah tidak sepenuhnya mati akibat polemik yang diangkat oleh Al-Ghazali. Di Kordoba, seorang filosof Muslim terkenal 260 mencoba menghidupkannya kembali dan mempertahankannya sebagai bentuk tertinggi agama. Abu Al-Walid ibn Ahmad ibn Rusyd Tuhan Para Filosof (1126-1198), yang di Eropa dikenal sebagai Averroes, menjadi autoritas di Barat bagi kalangan Yahudi maupun Kristen. Selama abad ketiga belas, karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan Latin, dan komentar-komentarnya tentang Aristoteles menimbulkan pengaruh besar terhadap teolog-teolog terkemuka, seperti Maimonides, Thomas Aquinas, dan Albert yang Agung. Pada abad kesembilan belas, Ernest Renan menghormatinya sebagai pribadi yang merdeka dan pelopor rasionalisme menentang kepercayaan buta. Namun, di Dunia Islam sendiri, Ibn Rusyd hanya menjadi figur marjinal. Melalui karya dan pengaruh yang ditimbulkan Ibn Rusyd setelah wafatnya, kita bisa melihat perbedaan cara pendekatan dan konsepsi antara Timur dan Barat tentang Tuhan. Ibn Rusyd dengan bersemangat menolak kritik Al-Ghazali terhadap falsafah dan cara Al-Ghazali raendiskusikan persoalan-persoalan esoterik ini secara terbuka. Berbeda dari pendahulunya, Al-Farabi dan Ibn Sina, Ibn Rusyd adalah seorang qadi, hakim agama, sekaligus pula seorang filosof. Kaum ulama selalu menaruh kecurigaan terhadap falsafah dan konsepsi ketuhanannya yang sangat berbeda, tetapi Ibn Rusyd berhasil menyatukan Aristoteles dengan ajaran Islam yang lebih tradisional. Dia yakin bahwa tidak ada pertentangan apa pun antara agama dan rasionalisme. Keduanya mengekspresikan kebenaran yang sama melalui cara yang berbeda; keduanya juga mengarah kepada Tuhan yang sama. Namun, tidak semua orang mampu memahami pemikiran filosofis sehingga falsafah hanya untuk kalangan elit intelektual. Falsafah akan membingungkan orang awam dan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan yang membahayakan keselamatan abadi mereka. Di sinilah letak pentingnya tradisi esoterik, yang menjaga doktrin-doktrin berbahaya ini dari mereka yang tidak layak menerimanya. Sebagaimana halnya dengan Sufisme dan telaah batini Syiah Ismailiyah; jika orang yang tidak pantas mengupayakan latihan-latihan mental semacam ini, mereka bisa jatuh sakit dan mengalami berbagai bentuk gangguan psikologis. Kalam juga sama bahayanya. Kalam hampir serupa dengan falsafah sejati dan memberi kesan menyesatkan bahwa seseorang terlibat dalam diskusi rasional yang wajar padahal sebenarnya tidak demikian. Akibatnya, kalam hanya menimbulkan perdebatan-perdebatan doktrinal yang tidak berfaedah, yang hanya akan melemahkan Sejarah Tuhan Ibn Rusyd berkeyakinan bahwa penerimaan kebenaran-kebenaran tertentu merupakan hal yang esensial bagi keselamatan di akhirat. Ini adalah pandangan baru dalam Dunia Islam. Para faylasuf merupakan autoritas utama dalam doktrin: hanya merekalah yang mampu menafsirkan kitab suci dan merupakan orang-orang yang digambarkan oleh Al-Quran sebagai golongan yang "mengakar kuat pada ilmu." 17 Semua orang lain wajib membaca Al-Quran secara harfiah, tetapi kaum faylasuf mampu mengupayakan penafsiran simbolis. Namun demikian, para faylasuf pun mesti menaati "kredo" doktrin-doktrin wajib, yang disusun Ibn Rusyd sebagai berikut: 1. 2. 3- 4. 5. 6. 7. 8. Eksistensi Tuhan sebagai Pencipta dan Pelindung alam semesta. Keesaan Tuhan. Sifat-sifat mengetahui, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan berkata-kata di dalam Al-Quran telah dinisbahkan kepada Allah. Keunikan dan ketiadaan sekutu bagi Tuhan, yang secara jelas telah ditegaskan di dalam Al-Quran (QS Al-Syura [42]: 9): "Tak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya." Penciptaan alam oleh Tuhan. Keabsahan kenabian. Keadilan Tuhan. Kebangkitan jasmani di Hari Akhir.18 Doktrin-doktrin tentang Tuhan harus diterima in toto, karena AlQuran menyatakannya dengan teramat gamblang. Falsafah tidak selalu berkenaan dengan kepercayaan pada penciptaan alam, misalnya, sehingga tidak jelas bagaimana seharusnya memahami doktrin Al-Quran mengenai hal itu. Walaupun Al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam, tetapi tidak dijelaskan bagaimana Tuhan melakukannya atau apakah alam diciptakan pada saat tertentu. Ini membuat para faylasuf bebas mengadopsi keyakinan kaum rasionalis. Di samping itu, Al-Quran menyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti mengetahui, tetapi kita tidak tahu pasti apa arti sifat itu karena konsepsi kita tentang pengetahuan bersifat manusiawi dan tidak sempurna. Oleh karena itu, pernyataan Al-Quran bahwa Tuhan mengetahui segala apa yang kita kerjakan tidak secara mutlak bertentangan dengan keyakinan para filosof. 262 Dalam Dunia Islam, mistisisme sangatlah penting sehingga konsepsi ketuhanan Ibn Rusyd, yang didasarkan sepenuhnya pada teologi kaum rasionalis, tak Tuhanbanyak Para Filosofberpengaruh. Ibn Rusyd adalah tokoh yang terhormat dengan kedudukan sekunder di dalam Islam, tetapi dia justru menjadi sangat penting di dunia Barat. Sebab, melalui dirinyalah dunia Barat menemukan Aristoteles dan mengembangkan konsepsi yang lebih rasionalistik tentang Tuhan. Kebanyakan orang Barat memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang kebudayaan Islam dan tidak mengetahui perkembangan filsafat sesudah Ibn Rusyd. Karenanya sering muncul dugaan bahwa karier Ibn Rusyd menandai akhir filsafat Islam. Sebenarnya pada masa kehidupan Ibn Rusyd, dua filosof besar yang sangat berpengaruh di Dunia Islam mulai menuliskan karya mereka di Irak dan Iran. Yahya Suhrawardi dan Muhyiddin Ibn Al-Arabi, yang lebih mengikuti jejak Ibn Sina daripada Ibn Rusyd, berupaya menyandingkan filsafat dengan spiritualitas. Kita akan menelaah karya mereka di dalam bab mendatang. Pengikut Ibn Rusyd yang terkemuka di dunia Yahudi adalah seorang Talmudis dan filosof, Rabi Musa ibn Maimun (1135-1204), yang biasa dikenal sebagai Maimonides. Seperti Ibn Rusyd, Maimonides asli kelahiran Kordoba, ibu kota Spanyol Islam. Di kota ini terdapat konsensus bahwa ada jenis filsafat yang sangat esensial untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam tentang Tuhan. Namun, Maimonides mesti meninggalkan Spanyol ketika nyawanya terancam oleh sekte Berber fanatik, Al-Morawi, yang memerangi masyarakat Yahudi. Benturan menyakitkan dengan fundamentalisme abad pertengahan ini tidak membuat Maimonides memusuhi Islam secara keseluruhan. Bersama orangtuanya, dia menetap di Mesir. Di sini dia mendapat jabatan tinggi dalam pemerintahan dan bahkan menjadi dokter bagi sultan. Di kota ini pula dia menulis risalahnya yang populer The Guide for the Perplexed, yang mengetengahkan argumen bahwa keyakinan Yahudi bukan merupakan seperangkat doktrin yang arbitrer, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip yang rasional. Seperti Ibn Rusyd, Maimonides percaya bahwa falsafah, sebagai bentuk pengetahuan agama yang paling maju dan membentangkan jalan menuju Tuhan, tidak boleh diungkapkan kepada orang awam tetapi harus disimpan oleh para elit. Namun, berbeda dengan Ibn Rusyd, dia berkeyakinan bahwa orang awam bisa diajar untuk menafsirkan kitab suci secara simbolis, agar mereka terhindar dari pandangan antropomorfis tentang Tuhan. Dia juga percaya bahwa ada beberapa doktrin yang penting bagi penyelamatan dan mengusulkan tiga belas kredo yang sangat mirip dengan yang disusun Ibn Rusyd: . Sejarah Tuhan 1. Eksistensi Tuhan. 2. Keesaan Tuhan. 3. Tuhan bukan materi. 4. Keabadian Tuhan. 5. Larangan menyembah berhala. 6. Keabsahan kenabian. 7. Musa adalah yang paling utama di antara pada nabi. 8. Kebenaran berasal dari Tuhan. 9. Keabsahan abadi Taurat. 10. Tuhan mengetahui perbuatan manusia. 11. Dia akan menghakimi dengan adil. 12. Dia akan mengutus seorang Al-Mahdi. 13. Kebangkitan orang yang telah mati.19 Ajaran ini dianggap bid'ah dalam Yudaisme dan tidak penah diterima sepenuhnya. Sebagaimana dalam Islam, ortodoksi (sebagai lawan dari ortopraksi) tidak dikenal dalam pengalaman keagamaan Yahudi. Kredo Ibn Rusyd dan Maimonides menyarankan bahwa pendekatan rasionalistik dan intelektualistik terhadap agama akan mengarah kepada dogmatisme dan identifikasi "iman" sebagai "kepercayaan yang benar". Sungguhpun demikian, Maimonides dengan hati-hati menyatakan bahwa Tuhan secara esensial tidak bisa dipahami dan tak dapat dijangkau oleh akal manusia. Dia membuktikan eksistensi Tuhan dengan menggunakan argumen-argumen Aristoteles dan Ibn Sina tetapi bersiteguh bahwa Tuhan tetap tidak bisa dijangkau atau dijelaskan karena simplisitas absolutnya. Nabi-nabi pun menggunakan kiasan dan mengajarkan kepada kita bahwa pembicaraan yang bermakna tentang Tuhan hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan bahasa simbolis dan perumpamaan. Kita tahu bahwa Tuhan tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun yang ada. Oleh karena itu, lebih baik kita menggunakan terminologi negatif ketika berupaya menguraikannya. Daripada mengatakan bahwa "dia ada" lebih baik kita menyangkal ketiadaannya, dan seterusnya. Sebagaimana kaum Ismaili, penggunaan bahasa negatif dipandang sebagai latihan yang dapat meningkatkan apresiasi kita terhadap transendensi Tuhan, 264