PENAFSIRAN HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM MENGENAI

advertisement
1
PENAFSIRAN HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM MENGENAI
SYARAT SAHNYA PERKAWINAN
(Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr)
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
HANNY NUR AFIIFAH
E1A011020
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
2
3
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya,
Nama
: HANNY NUR AFIIFAH
NIM
: E1A011020
Judul Skripsi
: “PENAFSIRAN HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM
MENGENAI SYARAT SAHNYA PERKAWINAN (Studi
Terhadap Perkara Nomor 0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr)”
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data
serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto,
Februari 2015
HANNY NUR AFIIFAH
E1A011020
4
PENAFSIRAN HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM MENGENAI
SYARAT SAHNYA PERKAWINAN
(Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor : 0317/Pdt. G/2014/PA. Bjr)
OLEH:
HANNY NUR AFIIFAH
E1A011020
ABSTRAK
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Penafsiran sistematis tentang sahnya perkawinan
dapat difahami dengan menafsirkan Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 sampai dengan Pasal
12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi Hakim dalam pertimbangan
hukumnya hanya berdasarkan pada alasan tuntutan yang diajukan para pihak.
Seperti halnya dalam kasus Perkara Nomor : 0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr yang tidak
mengabulkan permohonan Pemohon. Metode pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penulisan hukum ini adalah yuridis normatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penafsiran yang digunakan oleh
Hakim adalah penafsiran sistematis, menurut Hakim tidak terbukti adanya
indikasi mengenai salah sangka atau penipuan berdasarkan Pasal 27 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 72 (2) Kompilasi Hukum Islam,
dan penafsiran gramatikal mengenai salah sangka dan penipuan mengenai status
Termohon. Bahwa status Termohon sebagai janda kemudian dituliskan sebagai
perawan tidak terbukti adanya penipuan atau salah sangka karena Pemohon yang
menyarankan status Termohon dituliskan sebagai perawan, sehingga tidak terjadi
obscure lible karena subyeknya sama tidak mengakibatkan terjadinya eror in
persona. Seharusnya Hakim dalam mempertimbangkan alasan-alasan pembatalan
tidak langsung pada pasal-pasal mengenai salah sangka atau penipuan mengenai
suami atau isteri saja, akan tetapi menafsirkan juga mengenai ketentuan syarat
sahnya perkawinan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai yang telah ditentukan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun
1974.
Kata Kunci : penafsiran hukum, syarat sahnya perkawinan
5
LAW INTERPRETATION USED BY JUDGE
IN THE TERM OF LEGITIMATE MARRIAGE
(Referenced byCase Verdict Number : 0317/Pdt. G/2014/PA. Bjr)
Published by:
HANNY NUR AFIIFAH
E1A011020
ABSTRACT
Article 2 paragraph 1 Law Number 1 Year 1974 explains that
marriage is legitimate, if conducted based on its religion and belief
regulation. Sistematyc interpretation of the legitimate marriage can be
interpreted by using Article 2 paragraph 1, Article 6 until Article 12 Law
Number 1 Year 1974, but the judge only considers the law based on the
charge reason proposed. As what happen on the Case Number :
0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr which was not granting the pleading of pleader.
The research method Metode is normative juridicial.
The result of research shows that the interpretation by the judge is
systematic interpretation. The judge believe that there is no indication of
misinterpretaion or fraud based on Article 27 paragraph 2 Law Number 1
Year 1974, Article 72 paragraph (2) Islamic Law Compilation, and
grammatical interpretation about misinterpretation of Defendant status.
The Defendant status as widow, later written as virgin is not proven as
fraud or misinterpretaion because of pleader‟s suggestion that the
defendant status written as virgin. There is no obscure lible because of the
precise subject that does not cause eror in persona. The judge in
considering of cancelling the pleadingactually should not directly to the
articles about the misinterpretation nor fraud of wife or husband, but the
judge should interprete the requirement of legitimate marriage that the
marriage should based on approval on brides which determined on Article
6 paragraph 1 Law Number 1 Year 1974.
Keywords : Law Interpretation, requirement of legitimate marriage
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul: PENAFSIRAN HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM MENGENAI
SYARAT SAHNYA PERKAWINAN (Studi Terhadap Perkara Nomor :
0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr). Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Bapak Agus Mardiyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
3. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum dan Ibu Haedah Faradz, S.H., M.H. selaku
Dosen Pembimbing skripsi penulis atas segala bimbingan, bantuan, dukungan dan
masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. Terima kasih atas
bimbingannya semoga suatu saat nanti penulis dapat membalas jasa yang telah
Bapak dan Ibu berikan. Walaupun penulis tahu, Bapak dan Ibu tidak
mengharapkan imbalan apapun dari penulis.
4. Ibu Hj. Siti Muflichah, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji skripsi penulis yang
telah bersedia menjadi penguji penulis.
5. Bapak Drs. Noor Asyik, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.
Terima kasih atas kebaikan serta kesediannya setiap kali penulis berkonsultasi
Kartu Rencana Studi (KRS).
6. Segenap dosen, karyawan, dan karyawati serta keluarga besar Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, yang telah berjasa kepada Penulis selama
menempuh kuliah.
7. Ibuku tercinta Hertiningsih, wanita paling hebat dan penuh kesabarannya tiada
batas yang telah melahirkan, menyayangi, membesarkan, mendoakan dan
memberikan motivasi kepada penulis.
7
8. Bapakku Dadang, S.H., lelaki yang telah mendidik, menyayangi, mendoakan dan
selalu memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi.
9. Adikku tercinta Hilman Shofiyudin yang telah mendoakan penulis.
10. Paman dan Tanteku tercinta Heryadi, Hetty Lestari, Herdis S.Ag dan Nila
Manilawati, S.H., M.H. yang telah membantu dan mendoakan penulis.
11. Teman Pesantrenku hingga dipertemukan kembali di Universitas yang sama
Muhammad Faizal Amin, terimakasih atas segala perhatian dan motivasinya
selama ini.
12. Teman-teman belajar dan bermain Devina Putri Amadea, Arifa Rachma Indira,
Rahmi Topan Insani, Wafa Huwaidah, Novita Merliana Savitri, Rizkianti
Yuniartika, Prilia Primawati, terimakasih sudah berteman dan setia mendengar
curhat penulis, memberikan semangat, motivasi dan doanya selama ini sehingga
penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
13. Teman „‟PLKH Perdata” Devina Putri Amadea, Arifa Rachma, Yogie Rahman,
Kevin Fazar, Uyunul Nasailil, Nurma rosiana, Rissa Putri, Ira Andini, Nadia
Karima, Marsel Daniel, Terimakasih untuk sukses prakteknya, kalian luar biasa.
14. Teman-teman “ KKN Desa Karanggedang Kecamatan Sumpiuh” Periode July
2014 Terimakasih untuk waktu satu bulan yang penuh pengalaman dan cerita.
Bersyukur bisa mengenal kalian yang menyenangkan.
15. Keluarga Besar FH Unsoed angkatan 2011 dan FH B Unsoed 2011 yang turut
membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
Purwokerto, Februari 2015
HANNY NUR AFIIFAH
E1A011020
8
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………… ……
i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………
ii
SURAT PERNYATAAN………………………………………………
iii
ABSTRAK………………………………………………………… .......
iv
ABSTRACT…………………………………………………………….
v
KATA PENGANTAR………………………………………………….
vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………
viii
BAB I
1
PENDAHULUAN………………………………………….
A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1
B.
Perumusan Masalah…………………………………….
9
C. Tujuan Penelitian………………………………………..
9
D.
BAB II
Kegunaan Penelitian………………………………….… 9
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………….
11
A. Perkawinan……………………………………………… 11
1.
Pengertian Perkawinan……………………………..
2.
Tujuan Perkawinan………………………………… 17
3.
Sahnya Perkawinan………………………………… 22
a. Menurut Undang-undang………………………
11
22
b. Menurut Hukum Islam…………………………. 31
c. Menurut KUHPerdata………………………….
46
B. Pembatalan Perkawinan………………………………… 53
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan………………… 53
2. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan
Perkawinan………………………………………….. 61
3. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan…………….. 64
4. Tata Cara Pembatalan Perkawinan………….………. 69
5. Akibat Pembatalan Perkawinan……………………... 72
9
C. Penafsiran Hukum………………………………………. 73
BAB III METODE PENELITIAN…………………………………..
79
A. Metode Pendekatan……………………………………..
79
B. Spesifikasi Penelitian…………………………………… 79
C. Lokasi Penelitian………………………………………..
79
D. Sumber Bahan Hukum………………………………….
80
E.
Metode Pengumpulan Bahan Hukum…………………...
81
F.
Metode Penyajian Bahan Hukum……………………….
81
G. Metode Analisis Bahan Hukum………………………… 81
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………
83
A. Hasil Penelitian………………………………………….
83
1. Subyek Hukum……………………………………… 83
2. Duduk Perkara………………………………………
83
3. Tentang Hukumnya…………………………………. 85
BAB V
B. Pembahasan……………………………………………..
96
1. Pertimbangan Hukum Hakim……………………….
96
2. Penafsiran Hukum…………………………………..
101
PENUTUP…………………………………………………..
108
A. Simpulan………………………………………………...
108
B. Saran…………………………………………………….
108
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya manusia akan mengalami tiga peristiwa penting,
yaitu berupa kelahiran, perkawinan dan kematian. Dari tiga peristiwa
tersebut, apabila dikaitkan dengan kedudukan manusia sebagai warga
negara, maka peristiwa yang terpenting adalah perkawinan. Perkawinan
adalah suatu perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar
kehidupan di alam dunia berkembang. Nikah atau kawin menurut arti asli
ialah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi (methaporik) atau arti
hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual
sebagai suami-isteri antara seorang pria dengan wanita1, dengan jalan
perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara
terhormat
sesuai
kedudukan
manusia
sebagai
mahluk
yang
berkehormatan2.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sesuai dengan
bunyi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas maka
perkawinan bagi orang Islam di Indonesia sah apabila telah dilakukan
sesuai dengan Rukun dan syarat sah perkawinan yang telah ditentukan
1
Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 1990, Hal. 1
2
11
dalam Undang-Undang Perkawinan. Mengenai perkawinan bagi orang
Islam juga diatur lebih lanjut dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, merumuskan pengertian
perkawinan yaitu:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.3
Rumusan Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adanya
pengertian dan tujuan perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri,
sedangkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan yang akan dilaksanakan harus memenuhi syarat
sebagaimana diatur dalam Bab II Undang Undang No. 1 Tahun 1974,
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam bagi orang Islam dan perkawinan bagi orang yang beragama
Islam adalah terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Rukun
perkawinan merupakan hakikat yang memang mutlak harus ada dalam satu
perkawinan, karena apabila salah satu saja tidak terpenuhi maka
perkawinan tidak dapat terlaksana. Begitu juga dengan syarat perkawinan
harus dipenuhi, karena apabila syarat tersebut tidak terpenuhi atau
3
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta,1986, hal.3
12
melanggar larangan perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat
dibatalkan.
Menurut Ahmad Azhar Basyir4 syarat-syarat sahnya perkawinan
adalah sebagai berikut:
a. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan
menjadi suaminya;
b. Dihadiri dua orang saksi laki-laki;
c. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad.
Rukun perkawinan merupakan hakekat dari perkawinan itu sendiri,
tanpa adanya salah satu rukun maka perkawinan tidak mungkin
dilaksanakan. Menurut Mohd Idris5 adapun yang termasuk dalam rukun
perkawinan yaitu :
a. Calon suami;
b. Calon istri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi, dan
e. Ijab dan qabul.
Syarat sahnya perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (syarat
materiil dan syarat formil).
4
5
Ahmad Azhar Basyri, Hukum Perkawinan Islam.op.cit. Hal. 27
Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam.op.cit, Hal. 72
13
Adapun syarat materiil dalam melangsungkan perkawinan terdiri
dari:6
1.
Adanya persetujuan kedua calon mempelai;
2.
Adanya izin dari kedua orangtua atau wali bagi calon
mempelai yang belum berusia 21 Tahun;
3.
Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 Tahun dan
calon mempelai wanita sudah mencapai 16 Tahun, kecuali
ada dispensasi dari Pengadilan;
4.
Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak
dalam hubungan keluarga atau darah yang tidak boleh kawin;
5.
Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan
dengan pihak lain dan calon mempelai pria juga tidak dalam
ikatan perkawinan dengan pihak lain, kecuali telah mendapat
izin dari pengadilan untuk poligami;
6.
Bagi suami istri yang telah bercerai, kemudian kawin lagi,
agama dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin
kembali (untuk ketiga kalinya);
7.
Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
berstatus janda.
Syarat formiil dalam melangsungkan perkawinan terdiri dari:
6
http://www.jurnalhukum.com/syarat-syarat-sahnya-suatu-perkawinan/, diakses hari rabu
tanggal 12 November 2014 pukul: 13.15
14
1.
Laporan, yaitu harus adanya laporan dahulu kepada pihak
yang berwenang, bahwa akan dilaksanakannya perkawinan;
2.
Pengumuman,
yaitu
harus
menginformasikan
kepada
masyarakat bahwa akan adanya perkawinan;
3.
Pelangsungan, perkawinan dapat berlangsung sekurangkurangnya disaksikan oleh dua orang saksi.
Sahnya perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
mengatur adanya syarat materiil dan syarat formil. Artinya tidak cukup
hanya terpenuhinya syarat materiil saja, tetapi harus terpenuhinya syarat
formil yang menjelaskan perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan
memenuhi tatacara perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No. 1 Tahun 1974. Seiring dengan perkembangan dan permasalahan yang
terjadi saat ini, banyak persoalan dalam ruang lingkup perkawinan. Salah
satunya tentang pembatalan perkawinan, apabila suatu perkawinan yang
ternyata tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
dapat diajukan pembatalan perkawinan ke pengadilan. Perkara pembatalan
perkawinan yang cukup ramai menjadi pemberitaan di berbagai media
cetak dan elektronik di Indonesia, yaitu tentang kasus pembatalan
perkawinan Asmirandah dengan Jonas Rifanno7, dalam kasus ini
Asmirandah sebagai pemohon mengajukan pembatalan perkawinannya
karena adanya cacat kehendak tentang agama Jonas Riffano sebagai
7
http://www.tempo.co/read/news/2013/12/18/219538445/Pernikahan-AsmirandahJonas-Resmi-Batal diakses pada hari jumat tanggal 10 oktober 2014 pukul 15.00. WIB
15
suaminya yang seorang mualaf, namun setelah perkawinan kembali ke
agama semula (non muslim). Putusan Pengadilan Agama Depok
mengabulkan permohonan untuk pembatalan perkawinan tersebut. Artinya
kasus tersebut di atas memberikan bukti adanya fakta dalam masyarakat
dan dalam praktik hukum di pengadilan mengenai peristiwa pembatalan
perkawinan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, dalam kasus
Asmirandah tersebut alasan pembatalan perkawinan yang digunakan
karena Jonas Rifano suaminya telah murtad dari agama Islam. Alasan
suami murtad dalam hal ini dapat digunakan sebagai alasan untuk
memutuskan perkawinan dengan jalan pembatalan perkawinan dengan
alasan cacat kehendak, atau cacat sepakat dilihat dari sudut pandang
perkawinan merupakan suatu perjanjian, atau dapat digunakan untuk
mengajukan gugat cerai. Kaitannya dengan pembatalan perkawinan
biasanya Pengadilan Agama mengabulkan permohonan pemohon baik dari
pihak istri/suami yang mengajukan pembatalan perkawinan dengan
disertai alasan-alasan, akan tetapi peneliti dalam hal ini menemukan
putusan Pengadilan Agama yang menolak pembatalan perkawinan dengan
Nomor perkara 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr di Pengadilan Agama Banjar
Jawa Barat yang berawal dari adanya perkawinan seorang pria yang
bernama Rinal ( nama samaran) dengan seorang wanita bernama Rina
(nama samaran), setelah perkawinannya berlangsung beberapa bulan, tibatiba pihak suami yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
dikarenakan adanya unsur penipuan keadaan diri dari status istri yang
16
sebelumnya mengaku perawan melainkan seorang janda dikarenakan
pihak suami menemukan identitas KTP istri yang berstatus sebagai janda.
Pihak
istri
sebagai
termohon
mengaku
bahwa
suaminya
yang
menyarankan agar identitas termohon dicantumkan perawan di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar untuk menjaga wibawa
dikalangan teman-teman dan keluarga. Adapun hakim pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa identitas termohon yang tercatat dalam
kutipan akta nikah dengan status perawan/gadis (bukti P1), dan identitas
termohon yang tercatat dalam kutipan akta nikah (bukti T2) yang berstatus
janda tidak menjadikan sebab obscure lible karena subyeknya sama
sehingga tidak mengakibatkan terjadinya eror in persona.
Sahnya perkawinan secara formil-materiil menentukan sah tidaknya
suatu perkawinan, didasarkan pada penafsiran sistematis dari Undangundang No. 1 Tahun 1974. Secara sistematis ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebetulnya merupakan konsep dasar
untuk menentukan sahnya perkawinan dan dimuat dalam Bab I tentang
Dasar-dasar Perkawinan. Kemudian bahwa konsep sahnya perkawinan
tersebut secara sistematis harus dipenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam Bab II tentang syarat-syarat Perkawinan untuk bisa dilangsungkan
perkawinan tersebut. Penafsiran sistematis tentang sahnya perkawinan
tidaklah cukup difahami secara partial atas dasar Pasal 2 ayat (1) Undangundang No. 1 Tahun 1974 saja tetapi harus dihubungkan dengan
persyaratan perkawinan, ada syarat perkawinan secara materiil (Pasal 6
17
sampai dengan pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) dan syarat
perkawinan secara formil (Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974)8.
Perkawinan juga merupakan suatu perbuatan hukum perjanjian di
lapangan hukum keluarga. Persoalannya Hakim tidak menafsirkan
mengenai syarat sahnya perkawinan dari ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
19759. dan pada Pasal 1320 KUHPerdata juga yang mengatur tentang
perkawinan tersebut apakah memenuhi syarat sahnya perjanjian. Hakim
dalam pertimbangannya seharusnya melakukan penafsiran terhadap
sahnya perkawinan secara formil dan materiil.
Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji
permasalahan mengenai kasus tersebut, mengkaji lebih dalam mengenai
penafsiran terhadap sahnya perkawinan dan mengangkat masalah tersebut
menjadi skripsi untuk memenuhi tugas akhir dengan judul : “Penafsiran
Hukum
Yang
Perkawinan
digunakan
(Studi
Hakim
Terhadap
Mengenai
Putusan
Syarat
Perkara
Sahnya
Nomor:
0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr.
Penelitian atau studi yang mendalam mengenai penafsiran yang
digunakan
Hakim
dalam
menentukan
sahnya
perkawinan
dan
kemungkinan dapat berdampak pada kasus-kasus pembatalan perkawinan,
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia ilmu
8
Trusto Subekti,Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan .Universitas
Jenderal Soedirman ,Purwokerto, 2010, hal. 35
9
Trusto Subekti, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, 2012, hal. 6
18
hukum, maupun bagi pemahaman para praktisi hukum dan masyarakat
pada umumnya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penafsiran
hukum yang digunakan oleh Hakim dalam pertimbangan hukumnya
mengenai
syarat
sahnya
perkawinan
dalam
perkara
No.
0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui penafsiran hukum yang digunakan oleh Hakim dalam
pertimbangan hukumnya mengenai syarat sahnya perkawinan dalam
perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr.
D. Kegunaan Penelitian
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain:
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan ilmu hukum keluarga pada umumnya dan
hukum
perkawinan pada khususnya.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembaca maupun instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang terkait
dalam proses perbuatan hukum dalam masyarakat umumnya, khususnya
19
mengenai perkawinan serta menjadi pemikiran lebih lanjut kepada
masyarakat yang akan melakukan pembatalan perkawinan.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERKAWINAN
1. Pengertian Perkawinan
Nikah atau kawin arti asli ialah hubungan seksual, tetapi
menurut arti majazi (methaporik) atau arti hukum ialah akad
(perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suamiisteri antara seorang pria dengan seorang wanita)10.
Istilah yang digunakan dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974 yaitu perkawinan, perkawinan yang dalam istilah disebut “nikah”
ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu
kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara-cara yang diridoi oleh Allah11. Menurut
Anwar Haryono,12 perkawinan itu adalah suatu akad (perjanjian) yang
suci untuk hidup sebagai suami isteri yang sah, membentuk keluarga
bahagia dan kekal, yang unsur umumnya adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita
10
Mohd. Idris Ramulyo, op.cit. Hal. 1
Ibid hal. 8
12
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. hal. 45
11
21
2. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah,
mawaddah, dan rahmah)
3. Kebahagiaan yang kekal abadi penuh kesempurnaaan baik moral
materiil maupun spiritual.
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Rumusan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut dapat
dikemukakan adanya pengertian dan tujuan perkawinan. Pengertian
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan
adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai dari Pasal 1 adalah
pasal yang berisi tujuan yang diwujudkan dalam kenyataan sebagai
perkawinan yang dicita-citakan serta dijadikan pedoman bagi seluruh
warga negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan.
Substansi pasal tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa
perkawinan tidak semata-mata merupakan hubungan perdata saja,
tetapi perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga atau keluarga
yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau
22
berdasarkan hukum agama13, Jadi perkawinan menurut perundangan
bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani
juga mempunyai peranan yang penting.
Menurut Trusto Subekti, bahwa perkawinan dirumuskan dalam
kalimat “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri”, yang mengandung unsurunsur:14
a.
Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin
Perkawinan adalah suatu hubungan hukum perikatan yang
terjadi karena perjanjian dan di dasarkan atas kasih sayang (cinta),
artinya ikatan tersebut tidak cukup hanya bernilai “ikatan lahir” saja dan
bersifat “hubungan formil”, akan tetapi juga merupakan “ikatan bathin”
yang mendasari ikatan lahir tersebut supaya memiliki kekuatan (tidak
rapuh) atau hanya hubungan sesaat saja.
Perkawinan yang melahirkan suatu ikatan baik lahir maupun
bathin kedua-duanya harus berpadu kuat. Ikatan lahir merupakan
ikatan yang dapat dilihat dan diungkapkan kaitannya adanya suatu
hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama
sebagai suami-isteri. Jadi adanya suatu hubungan formal ini nyata,
yang terjadi dari pihak-pihak yang mengikatkan dirinya dalam sebuah
ikatan perkawinan. Sebaliknya ikatan batin hubungannya tidak formal,
13
Hilman Hadikusuma,.Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama. Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 7
14
Trusto Subekti, Op.cit Hal. 23
23
artinya ikatan batin bisa disebut suatu ikatan yang tidak nampak atau
tidak nyata hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Perkawinan bukan hanya sekedar menyangkut unsur lahir saja, akan
tetapi menyangkut unsur batiniah. Ikatan batin inilah yang dapat
menjadi suatu fondasi untuk membentuk dan membina keluarga yang
bahagia.
b.
Antara seorang pria dengan seorang wanita
Unsur-unsur perkawinan adalah seorang pria dengan seorang
wanita, dari kalimat tersebut terdapat 2 aspek penting, yaitu:
1). Pelaku perkawinan adalah berjenis kelamin pria dan wanita, berarti
hubungan antara sesama jenis wanita (lesbian) atau sesama pria (gay
atau homo sex) sebagaimana yang sering kita dengar dan terjadi diluar
negeri,
tidak
termasuk
yang
dimaksudkan
dalam
pengertian
perkawinan ini. Hubungan selain antara pria dan wanita tidaklah
mungkin terjadi, jadi antara seorang pria tidak boleh melakukan
perkawinan dengan seorang pria atau seorang wanita juga tidak boleh
melakukan perkawinan dengan seorang wanita.
2). Pelaku perkawinan dirumuskan dengan istilah seorang pria dengan
seorang wanita, istilah “seorang” berarti satu orang, artinya
perkawinan ini menunjuk pada bentuk perkawinan yang bersifat
monogami.
c. Sebagai suami-isteri
24
Digunakannya istilah “sebagai suami-isteri” menunjukkan bahwa
perkawinan merupakan perjanjian antara seorang pria dan wanita
dilapangan hukum keluarga, artinya perjanjian tersebut bukan
perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban (obligatoir)
dilapangan harta kekayaan, tetapi merupakan perjanjian yang
menimbulkan status, yaitu pria berstatus sebagai suami dan si wanita
berstatus sebagai isteri.
Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah:
Pernikahan yaitu akad sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan, menaati
perintah Allah dan melaksanakan perkawinan merupakan ibadah untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah.
Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam di
atas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya pergaulan suami-istri
hendaknya:
a. Pergaulan yang ma’aruf (pergaulan yang baik), yaitu saling
menjaga rahasia masing-masing);
b. Pergaulan sakinah, yaitu pergaulan yang aman dan tentram;
c. Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah, yaitu adanya rasa
saling mencintai terutama dimasa muda;
d. Pergaulan
yang
warahmah,
yaitu
menyantuni terutama setelah masa tua15.
15
Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal.4
adanya
rasa
santun
25
Asaf A.A Fyzee (dalam Nadimah Tanjung yang dikutif oleh Soemiyati)
dalam buku Out line of Muhammadan Law (pokok-pokok hukum Islam),
menerangkan bahwa perkawinan menurut pandangan Islam menganut 3
aspek, yaitu:16
a. Aspek Hukum;
b. Aspek Sosial;
c. Aspek Agama.
Ad a. Dari aspek hukum perkawinan merupakan suatu perjanjian,
perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai tiga karakter khusus yaitu:
1.
Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari
kedua belah pihak;
2. Kedua belah pihak yang mengikat perjanjian tersebut
mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan
ketentuan hukumnya;
3. Perjanjian perkawinan mengatur batas-batas hukum mengenai
hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Ad b. Dari aspek sosial, perkawinan mempunyai arti yaitu:
1. Pada umumnya orang yang melakukan perkawinan atau pernah
melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih
dihargai dari pada mereka yang belum kawin. Khusus bagi
kaum wanita dengan perkawinan akan memberikan kedudukan
social yang tinggi, karena ia sebagai istri dan wanita mendapat
16
Trusto subekti, op.cit.hal. 16
26
hak-hak tertentu dan dapat melakukan tindakan hukum dalam
berbagai lapangan mu’amalat. Ketika masih gadis tindakantindakannya masih terbatas, harus dengan persetujuan dan
pengawasan orang tuanya.
2. Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, dulu wanita
bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi
menurut Islam dalam perkawinan mengenai kawin poligami ini
hanya dibatasi paling banyak empat orang, itupun dengan
syarat-syarat tertentu pula.
Ad c. Dari aspek Agama, perkawinan mempunyai arti:
1. Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai
lembaga yang baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya
dipertalikan oleh ikatan lahir saja tetapi juga ikatan batin;
2. Menurut hukum Islam perkawinan bukanlah suatu persetujuan
biasa, melainkan merupakan suatu persetujuan suci dimana kedua
belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau
saling
meminta
menjadi
pasangan
hidupnya
dengan
mempergunakan nama Allah.17
2. Tujuan Perkawinan
Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila (yaitu
sila pertama), maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat
dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja
17
Ibid hal.16
27
mempunyai unsur lahir atau jasmani saja, akan tetapi unsur batin
atau rohani juga mempunyai peranan penting18.
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk
memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga
yang
harmonis,
sejahtera
dan
bahagia.
Harmonis
dalam
menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan
terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga
timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota
keluarga19.
Menurut Trusto Subekti dirumuskan dengan kalimat
“dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Unsurunsurnya dijelaskan sebagai berikut:20
a. Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
1). Keluarga
Konsep keluarga menunjuk pada suatu pengertian sebagai
suatu
kesatuan
kemasyarakatan
yang
terkecil
yang
organisasinya didasarkan atas perkawinan yang sah, idealnya
terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anaknya. Tanpa adanya
18
R. Suoetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2002, Hal.38
19
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat. Kencana, Jakarta, 2008, Hal. 22
20
Ibid hal. 24
28
anakpun keluarga sudah ada atau sudah terbentuk. Adanya
anak-anak menjadikan keluarga itu menjadi ideal, lengkap, atau
sempurna.
Keluarga sebagai suatu istilah bisa difahami dalam
pengertian keluarga inti (nucleus family), yaitu sebagai basic
dari suatu susunan masyarakat (basic social structure), bukan
dalam arti masyarakat genealogis yang sering dikenal sebagai
kekerabatan, kekeluargaan, saudara, atau marga.
2). Rumah tangga
Konsep rumah tangga dituliskan di dalam kurung setelah istilah
keluarga, artinya tujuan perkawinan tidak sekedar membentuk
keluarga begitu saja, akan tetapi secara nyata harus terbentuk suatu
rumah tangga, yaitu suatu keluarga dengan kehidupan mandiri yang
mengatur kehidupan ekonomi dan sosialnya (telah memiliki dapur
atau rumah sendiri).
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (ada pada penjelasan umum
angka 4 huruf d), bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak
jiwa raganya (aspek biologis maupun aspek psikologis) untuk
melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan
keturunan yang baik dan sehat.
b. Yang bahagia
29
Kehidupan bersama antara suami istri dalam suasana bahagia
merupakan tujuan dari pengertian perkawinan, untuk tercapainya
kebahagiaan ini maka pada Pasal 1 disyaratkan harus atas dasar
“ikatan lahir batin” yang didasarkan atas kesepakatan (consensus)
antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita.
Cinta menjadi fundamentum dari suatu perkawinan, karena
perkawinan memiliki arti pula sebagai bersatunya antara 2 orang
(seorang pria dengan seorang wanita) dengan disaksikan oleh Tuhan
dan masyarakat. Penyatuan ini harus dilandasi suatu penerimaan
baik keburukan maupun kebaikan masing-masing. Hal itu baru
dapat dicapai apabila didasari oleh cinta, dengan cinta masingmasing akan bisa berkorban dan pengabdian untuk yang lain
sebagai suatu fundamentum yang kokoh.
c. Dan kekal
Kekal
merupakan
gambaran
bahwa
perkawinan
tidak
dilakukan hanya untuk waktu sesaat saja akan tetapi diharapkan
berlangsung sampai waktu yang lama. Kekal juga menggambarkan
bahwa perkawinan itu bisa berlangsung seumur hidup, dengan kata
lain tidak terjadi perceraian dan hanya kematian yang memisahkan.
d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah
dijelaskan unsur-unsurnya diatas secara ideal maupun secara yuridis
harus dilakukan dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
30
artinya harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya yang dianut oleh calon pengantin pria maupun
wanita. Arti dari unsur yang terakhir ini sebenarnya merupakan dasar
fundamental dari suatu perkawinan atas dasar nilai-nilai yang
bersumber dan berdasar atas Pancasila dan UUD 1945. Falsafah
Pancasila telah memandang bahwa manusia Indonesia khususnya
dalam perkawinan harus dilandasi pada hukum agama dan
kepercayaan yang dianutnya.21
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dalam
Pasal
3
menyebutkan
bahwa
perkawinan
bertujuan
untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan
warahmah.
Ny. Soemiyati dalam bukunya menyebutkan bahwa:
tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang
bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat dengan berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah.22
Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai
berikut:
21
Trusto Subekti, op.cit.hal.24
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan.
Liberty,Yogyakarta, 1982, hal.12
22
31
a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusiaan;
b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih;
c. Memperoleh keturunan yang sah.
Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah
perkawinan kepada lima hal, yaitu sebagai berikut:23
a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan
keturunan
serta
memperkembangkan
suku-suku
bangsa
manusia;
b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan;
c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan;
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi dasar
pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan
kasih sayang;
e. Menumbuhkan
kesungguhan
berusaha
mencari
rezeki
penghidupan yang halal, dan memperbesar tanggung jawab.
3. Syarat Sahnya Perkawinan
a. Menurut Undang-undang
Syarat-syarat untuk sahnya perkawinan diatur dalam Bab II
dari pasal 6 sampai dengan pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974.
Syarat berarti memenuhi ketentuan yang telah ditentukan, sah
berarti menurut hukum yang berlaku. Apabila perkawinan tidak
23
Soemiyati, Loc.cit. Hal. 13
32
sesuai dengan tata tertib hukum yang ditentukan maka
perkawinan itu menjadi tidak sah. Jadi yang dimaksud dengan
syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam
perkawinan, apabila ada salah satu dari syarat yang telah
ditentukan tidak dipenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak
sah.
Syarat perkawinan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a.
Syarat materiil
Syarat
yang
melekat
pada
diri
pihak-pihak
yang
melangsungkan perkawinan, disebut juga syarat subyektif.
b.
Syarat formil
Tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan
menurut agama dan undang-undang, disebut juga syarat
obyektif.
Ad. 1. Syarat Materiil
Syarat-syarat materiil menurut Trusto Subekti, diatur pada Pasal
6 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagai
berikut:24
1). Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);
2). Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai
yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);
24
Trusto subekti, Op.cit. Hal. 35
33
3).Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan calon mempelai
wanita sudah mencapai 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari
Pengadilan (Pasal 7);
4). Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak
dalam hubungan keluarga atau darah yang tidak boleh kawin
(Pasal 8);
5). Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan
pihak lain dan calon mempelai pria juga tidak dalam ikatan
perkawinan dengan pihak lain kecuali telah mendapat izin dari
pengadilan untuk poligami (Pasal 9);
6). Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi, agama
dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin kembali (untuk
ketiga kalinya) (Pasal 10);
7). Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
berstatus janda (Pasal 11);
Syarat-syarat tersebut dapat dirumuskan sebagai keadaan yang
harus ada, atau keadaan yang menghalangi untuk dilangsungkannya
perkawinan. Apabila syarat-syarat perkawinan tersebut dilanggar berarti
proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan. Syarat yang telah diatur
dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun
1974
merupakan
syarat
yang
harus
dipenuhi
untuk
dapat
dilangsungkannya perkawinan. Syarat-syarat perkawinan ini ditentukan
secara limitatif dan dirumuskan dengan menggunakan kalimat “harus”,
34
“hanya”, “larangan”, “tidak boleh” dijelaskan meliputi aspek sebagai
berikut:25
1. Perkawinan harus didasarkan Persetujuan kedua mempelai
Perkawinan harus didasarkan pada kehendak bebas
calon mempelai pria ataupun wanita untuk melaksanakan
perkawinan. Persetujuan atau kerelaan kedua belah pihak untuk
melaksanakan perkawinan merupakan syarat penting (bersifat
fundamental) sebagai pembentuk “ikatan lahir bathin” atau
persetujuan yang didasarkan atas kehendak bebas dan didasari
oleh saling cinta diantara calon mempelai, untuk membentuk
keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, sesuai dengan
tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan disini adalah
perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan kehendak bebas
dari calon mempelai pria dan wanita tanpa paksaan, jadi calon
pengantin itu memilih pasangannya dengan kehendaknya
sendiri sehingga tujuan dari perkawinan yang bahagia dan
kekal bisa terwujud.
Hendaknya
persetujuan
untuk
melangsungkan
perkawinan itu adalah sesuatu yang murni, yang betul-betul
tercetus dari hati para calon mempelai itu sendiri, bukan secara
berpura-pura atau hasil dari suatu paksaan.26
25
Trusto subekti, Loc.cit. hal. 43
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1987, hal.25
26
35
2. Seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
izin kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 1
Tahun 1974).
Orang tua oleh pembentuk Undang-undang No. 1
Tahun 1974 diberikan tanggung jawab dan sebagai faktor
penting dalam proses perkawinan, calon mempelai dinilai oleh
orang tua, karena nantinya mereka harus bertanggung jawab
atas kehidupan keluarganya (rumah tangganya). Apabila salah
seorang dari mereka sudah meninggal dunia atau tidak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin cukup diperoleh dari
orang tua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan
kehendaknya.
Ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang siapa-siapa yang
memberikan izin perkawinan jika orangtua dari mempelai
telah meninggal dunia.
3. Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat
(1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974).
Pihak
yang
hendak
melangsungkan
perkawinan
diharapkan sudah dalam keadaan “matang” jiwa raganya (lahir
batin) dan bagi mereka yang masih sangat muda apabila akan
melangsungkan perkawinan akan banyak mendapat persoalan
36
dalam
rumah
tangganya
dan
juga
anak-anak
yang
dilahirkannya merupakan anak yang dilahirkan dari orang tua
yang belum “matang”. Penyimpangan terhadap pasal ini dapat
dimintakan dispensasi kepada Pengadilan oleh orang tua pihak
pria maupun wanita (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 1
Tahun 1974).
4. Larangan Kawin (Pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974)
disebutkan:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah
maupun ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu atau bapak tiri;
d. Berhubungan sesusuan, yaitu antara orangtua susuan, anak
sususan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari
seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku dilarang kawin.
37
5.
Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9
Undang-undang No. 1 Tahun 1974).
6.
Apabila suami-isteri telah cerai, kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka
tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang
No. 1 Tahun 1974). Pasal ini menjelaskan perkawinan itu
mempunyai maksud agar suami-isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal, apabila adanya suatu tindakan yang
mengakibatkan
putusnya
suatu
perkawinan,
harus
dipertimbangkan dan dipikirkan segala akibatnya. Ketentuan
ini guna untuk mencegah tindakan kawin cerai berulangkali,
sehingga kedua pihak (suami-isteri) saling menghargai satu
sama lain.
7. Wanita yang putus perkawinannya, berlaku waktu tunggu (Pasal
11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) dan Pasal 39 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 hari;
38
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
bagi yang masih datang bulan, ditetapkan 3 kali suci
sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak datang bulan
ditetapkan 90 hari;
c. Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan
hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan
antara janda dengan bekas suaminya belum pernah terjadi
hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.
Ad.2 Syarat Formal
Syarat formal merupakan syarat yang berhubungan dengan
tata cara perkawinan, dalam Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan diatur
dalam peraturan Perundang-undangan sendiri. Syarat formal yang
berhubungan dengan tata cara perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan;
b. Pengumuman untuk melangsungkan perkawinan;
c. Calon suami isteri harus memerlihatkan akta kelahiran;
d. Akta yang memuat izin atau akta dimana telah ada penetapan
dari Pengadilan;
e. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus memperlihatkan
akta
perceraian,
akta
kematian
atau
dalam
hal
ini
39
memperlihatkan surat kuasa yang disahkan pegawai pencatat
nikah;
f. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung tanpa
pencegahan;
g. Dispensasi untuk kawin, dalam hal dispensasi diperlakukan.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974
dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Untuk syarat sahnya
perkawinan menurut Undang-undang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundangundangan yang berlaku
Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)
sebagai berikut:
Perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan
diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Dari bunyi Pasal 2 ayat (1) beserta dengan penjelasannya itu, maka
suatu perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing-
40
masing agamanya dan kepercayaannya itu, kalau tidak maka
perkawinan itu tidak sah27.
b. Menurut Hukum Islam
Syarat sahnya Perkawinan menurut Hukum Islam adanya syarat
dan rukun yang harus terpenuhi. Rukun perkawinan merupakan
hakekat dari perkawinan itu sendiri, tanpa adanya salah satu rukun
maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Syarat perkawinan
adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan dan apabila ada salah
satu syarat tidak dipenuhi maka perkawinan menjadi tidak sah.
Menurut Mohd Idris28 adapun yang termasuk dalam rukun
perkawinan yaitu :
a. Pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan yaitu calon
suami dan calon isteri;
b. Wali nikah;
c. Dua orang saksi, dan
d. Ijab dan qabul.
Ad.a Pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan yaitu calon
suami dan calon isteri, kedua calon mempelai harus memenuhi syarat
tertentu, yaitu:
1. Telah baligh dan mempunyai kecakapan yang sempurna;
2. Berakal sehat;
27
28
K. Wantjik Saleh, op.cit. Hal. 16
Mohd Idris Ramulyo,Op.cit. Hal. 72
41
3. Tidak karena paksaan, artinya berdasarkan kesukarelaan kedua
calon suami isteri;
4. Wanita yang hendak dikawini oleh seorang pria bukan termasuk
salah satu macam wanita yang haram dikawini;
Ad.b Wali nikah
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya
berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain, dalam
perkawinan wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah. Wali dalam perkawinan merupakan
rukun, tanpa adanya wali perkawinan dianggap tidak sah.
Syarat-syarat untuk menjadi wali yaitu:
1. Orang mukalaf atau baligh, karena orang mukalaf adalah orang
yang dibebani hukum dan dapat mempertanggung jawabkan
perbuatannya;
2. Seorang muslim;
3. Berakal sehat;
4. Laki-laki;
5. Adil.
Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi wali
di atas, dapat dibedakan menjadi tiga (tiga) macam wali, yaitu:29
1. Wali Mujbir atau wali nasab adalah wali yang mempunyai hak
memaksa itu disebut wali mujbir. Wali disini hanya terdiri dari
29
Ahmad Azhar Basyir, Op.cit. .hal. 38
42
ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang
paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan di bawah
perwaliannya. Selain mereka tidak berhak ijbar.
2. Wali hakim, wali yang lebih jauh hanya berhak menjadi wali
apabila wali yang lebih dekat tidak ada atau tidak memenuhi
syarat-syarat wali. Apabila wali yang lebih dekat sedang
berpergian atau tidak di tempat, wali yang lebih jauh hanya
dapat menjadi wali apabila mendapat kuasa dari wali yang
lebih dekat itu; apabila pemberian kuasa tidak ada, maka
perwalian pindah kepada sultan (Kepala Negara) atau yang
diberi kuasa oleh Kepala Negara. Di Indonesia, Kepala Negara
adalah
Presiden
yang
telah
memberi
kuasa
kepada
pembantunya, yaitu Menteri Agama yang juga telah memberi
kuasa kepada para Pegawai Pencatat Nikah untuk bertindak
sebagai wali hakim.
Hanya dalam hal yang benar-benar dipandang tidak
beralasan, orang tua tidak menyetujui perkawinan anaknya dan
menolak menjadi wali, misalnya orang tua menolak atas
pertimbangan materiil, pangkat dan sifat-sifat lahiriah calon
suami, bukan atas pertimbangan agama dan akhlak, perwalian
dapat dimintakan kepada sultan, Kepala Negara yang disebut
juga hakim.
43
3. Wali muhakam, dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab
tidak dapat bertindak sebagai wali karena tidak memenuhi
syarat atau menolak, tetapi wali hakim pun tidak dapat
bertindak sebagai pengganti wali nasab karena berbagai macam
sebab, maka untuk memenuhi syarat sahnya nikah bagi yang
mengharuskan ada wali, mempelai yang bersangkutan dapat
mengangkat seseorang menjadi walinya. Wali yang diangkat
oleh mempelai bersangkutan itu disebut “wali muhakam”.
Misalnya apabila seorang laki-laki beragama Islam kawin
dengan seorang beragama Kristen tanpa persetujuan orang
tuanya. Biasanya yang berwenang bertindak sebagai wali
hakim dikalangan umat Islam tidak bersedia menjadi wali
apabila orang tua mempelai perempuan tidak memberi kuasa.
Agar perkawinan dapat dipandang sah menurut Hukum Islam,
mempelai perempuan dapat mengangkat wali muhakam.
Ad.c. Dua orang saksi
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi
adalah:
1). Mukallaf atau dewasa, karena orang yang sudah dewasalah yang
dapat
mempertanggung-jawabkan
perbuatannya
dalam
persaksiannya;
2). Muslim, orang yang bukan muslim tidak boleh menjadi saksi;
hal
44
3). Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang
diucapkan pada waktu akad-nikah dilaksanakan. Orang-orang bisu
dan tuli boleh juga diangkat menjadi saksi asal dapat memahami
dan mengerti apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berakad;
4). Adil, yaitu orang yang taat beragama. Orang yang menjalankan
perintah Allah dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh
Agama.
5). Saksi yang hadir minimum dua orang, saksi itu harus laki-laki
tetapi apabila tidak ada dua orang saksi laki-laki maka boleh
dihadiri satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita.
Berdasarkan Firman Allah:
“ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki;
maka (boleh) seorang laki-laki dengan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhoi, jika yang seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya”.( Q.S. al-Baqarah : 282).
Ad. d. Ijab dan Qabul
Ijab adalah pernyataan yang dikatakan oleh wali mempelai
perempuan atau walinya. Kabul adalah pernyataan menerima dari pihak
mempelai laki-laki atau walinya, dengan adanya pelaksanaan ijab dan
Kabul ini berarti bahwa kedua belah pihak telah rela dan sepakat untuk
melangsungkan perkawinan serta bersedia mengikuti ketentuan-ketentuan
agama yang berhubungan dengan perkawinan.
45
Perkawinan yang akan dilaksanakan harus memenuhi syarat yang
diatur dalam Bab II Undang Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan bagi orang yang beragama Islam harus
mengikuti juga ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Syarat
perkawinan adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun atau syarat
yang harus dipenuhi oleh masing-masing unsur perkawinan.
Menurut Pasal 14 KHI (Kompilasi Hukum Islam) untuk
melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami;
b. Calon isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul
Adapun syarat untuk calon suami yaitu:
1. Agama Islam;
2. Bukan mahram calon istri, artinya orang perempuan atau lakilaki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena
keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak
boleh menikah di antara keduanya.
3. Tidak terpaksa;
4. Laki-laki normal;
5. Tidak mempunyai empat atau lebih istri;
6. Tidak dalam ihram;
46
7. Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi;
8. Cakap hukum dan layak berumah tangga;
9. Tidak ada halangan perkawinan.
Syarat untuk calon istri:
1. Beragama Islam;
2. Perempuan normal (bukan bencong atau lesbi);
3. Bukan mahram calon suami;
4. Mengizinkan wali untuk menikahkannya;
5. Tidak dalam ikatan perkawinan dengn laki-laki lain;
6. Tidak sedang dalam masa iddah;
7. Jelas orangnya;
8. Tidak sedang berihram.
Syarat untuk wali:
1. Laki-laki;
2. Baligh;
3. Sehat
4. Adil;
5. Tidak dalam ihram.
Syarat untuk saksi:
1. Laki-laki;
2. Baligh;
3. Akalnya sehat;
4. Dapat mendengar dan melihat;
47
5. Tidak terpaksa;
6. Tidak sedang berihram;
7. Memahami bahasa dipergunakan dalam ijab qabul.
Menurut Ahmad Azhar Basyir syarat sahnya perkawinan
adalah:30
1. Calon Mempelai wanita halal dinikahi untuk laki-laki yang
hendak menjadi suaminya;
2. Dihadiri oleh dua orang saksi;
3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad.
Berdasarkan pendapat di atas maka seorang wanita yang akan
menikah merupakan wanita yang halal untuk dinikahi oleh seorang lakilaki, dan bukan merupakan istri dari laki-laki lain. Firman Allah telah
menegaskan dalam Al-Qur‟an Surat An-Nissa Ayat 22 yang artinya
yaitu:
“Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau.Sesunguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Al-Qur‟an Surat An-Nissa Ayat 23 yang artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu; saudara-saudaramu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
yang sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu
yang dlaam pemeliharaanmu dan istri yang telah kamu campur,
tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (Dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
30
Azhar Basyir, Op.Cit, hal.27
48
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungghnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang”.
Al-Qur‟an Surat An-Nissa Ayat 24 yang artinya:
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kau miliki (Allah menetapkan hukum
itu) sebagai ketetapann-Nya atas kamu.Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu
untuk diakwini, bukan untuk berzina.Maka, istri-istri yang telah
kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah
saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu.Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ayat-ayat Al-Qur‟an di atas menjelaskan bahwa wanita-wanita
yang haram untuk dikawini dibagi menjadi dua bagian dari sifat
berlakunya, macam-macam penghalang perkawinan ada penghalang
perkawinan selamanya atau haram dinikahi untuk selama-lamanya dan
pengahalang perkawinan sementara atau haram dinikahi untuk
sementara waktu.
Haram dinikahi untuk selama-lamanya, sebab-sebab wanita
haram dinikahi untuk selama-lamanya ada 4 (empat) macam, yaitu:
1. Perempuan haram dinikah karena hubungan nasab
Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan nasab ialah:
a. Ibu; yang dimaksud adalah perempuan yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas, yaitu
ibu, nenek dari garis ayah atau ibu dan seterusnya ke atas;
49
b. Anak perempuan; yang dimaksud adalah perempuan yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah, yaitu anak perempuan, cucu perempuan (dari anak
laki-laki maupun perempuan);
c. Saudara perempuan kandung (seayah dan seibu), saudara
perempuan seayah maupun seibu;
d. Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, sekandung,
seayah maupun seibu, seterusnya ke atas, yaitu saudara
nenek atau kakek;
e. Kemenakan perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara
laki-laki maupun saudara perempuan dan seterusnya ke
bawah.
2. Karena hubungan sepersusuan
Haram untuk dinikahi karena sepersusuan itu ialah:
a. Ibu susuan yaitu ibu yang menyusui seorang anak
dipandang sebagai ibu anak yang disusuinya;
b. Nenek susuan (yaitu ibu dari ibu susuan dan ibu dari
ayah susuan) seterusnya ke atas;
c. Kemenakan perempuan susuan, yaitu cucu-cucu dari
ibu susuan;
d. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan
maupun
saudara
seterusnya ke atas;
perempuan
dari
ayah
susuan,
50
e. Saudara perempuan sesusuan baik sekandung, seayah,
maupun seibu. Saudara perempuan sesusuan sekandung
ialah saudara perempuan dari ibu susuan dan ayah
susuan, sedangkan saudara perepuan susuan seayah
ialah anak-anak perempuan ayah susuan dengan wanita
lain. Saudara perempuan sesusuan seibu ialah anak
perempuan ibu susuan dengan laki-laki lain.
3. Karena hubungan semenda
Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan semenda:
a. Mertua, yaitu ibu kandung si istri demikian pula nenek istri
dari garis ibu atau ayah dan seterusnya ke atas;
b.Anak tiri, dengan syarat telah terjadi persetubuhan antara
suami dengan ibu anak tersebut;
c. Menantu,
yaitu
istri-istri,
cucu-cucunya
demikian
seterusnya ke bawah tanpa syarat apapun;
d. Ibu tiri, yaitu janda ayah tanpa syarat pernah terjadi
persetubuhan suami istri. Dengan terjadinya akad nikah
antara ayah dengan seorang perempuan menjadikan haram
nikah antara anak dan ibu tirinya.
4. Karena sumpah Li’an, yaitu apabila seorang suami menuduh
istri berbuat zina tanpa ada saksi yang cukup, maka sebagai
gantinya suami mengucapkan persaksian pada Allah bahwa ia
dipihak yang benar dan tuduhannya itu sampai 4 (empat) kali
51
dan yang ke 5 (limanya) ia menyatakan ia bersedia di laknat
Allah apabila ternyata ia berdusta dalam tuduhannya itu.
Sedangkan istri dituduh akan bebas dari hukuman zina apabila
ia pun menyatakan persaksian pada Allah bahwa suaminya
berdusta sampai 4 (empat) kali, yang ke 5 (limanya)
menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila suaminya
benar, maka perempuan yang sudah di li’an oleh suaminya
diharamkan untuk bersama-sama lagi dengan suaminya.
Haram dinikahi untuk sementara waktu, sebab-sebab wanita
haram dinikahi untuk sementara waktu dikarenakan:
1. Mengawini wanita musyrik, para fuqaha sepakat bahwa lakilaki muslim haram mengawini perempuan musyrik sesuai
ketentuan Al-Qur‟an Surat Al Baqarah ayat 221 yang pada
intinya melarang wali menikahkan perempuan beragama Islam
dengan laki-laki musyrik. Begitupun dengan ketentuam AlQur‟an Surat Al Muntahanah ayat 10, menegaskan bahwa
perempuan muslimah tidak halal kawin dengan laki-laki kafir;
2. Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara,
baik saudara sekandung maupun saudara sepersusuan. Kecuali
secara bergantian, misalnya kawin dengan kakaknya kemudian
di cerai, dan nanti mengambil adiknya, atau salah satu
meninggal, kemudian mengambil yang satunya lagi sebagai
istri;
52
3. Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain
sebagaimana ditentukan dalam Al-Qur‟an Surat An Nissa ayat
24;
4. Perempuan yang sedang menjalankan masa iddah, baik iddah
kematian maupun iddah talak;
5. Perempuan yang telah ditalak 3 (tiga) kali tidak halal kawin
lagi dengan bekas suaminya yang mentalaknya kecuali
perempuan itu kawin lagi dengan laki-laki lain dan kemudian
bercerai lalu habis masa iddahnya;
6. Perkawinan orang yang sedang dalam ihram, baik yang
melakukan akad untuk diri sendiri maupun wakil orang lain;
7. Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dengan
perempuan pelacur atau perempuan baik-baik dengan laki-laki
pezina tidak dihalalkan, kecuali masing-masing menyatakan
bertaubat;
8. Kawin dengan lebih dari 4 (empat) istri, hal tersebut terdapat
dalam Surat An Nissa ayat 3 yang pada intinya memberi
kelonggaran laki-laki kawin dengan memiliki lebih dari satu
istri dan hanya dibatasi 4 (empat) istri saja.
Larangan Perkawinan juga diatur dalam KHI (Kompilasi
Hukum Islam) pada Pasal 39 sampai Pasal 44.
Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam
53
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya;
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau
bekas isterinya;
b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya;
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas
isterinya, kecuali putusannya hubungan perkawinan
dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3. Karena pertalian sesusuan:
a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut
garis lurus ke atas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut
garis lurus ke bawah;
c. Dengan
seorang
wanita
saudara
kemenakan sesusuan ke bawah;
sesusuan,
dan
54
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi
sesusuan ke atas;
e. Dengan
anak
yang
disusui
oleh
isterinya
dan
keturunannya.
Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41
(1). Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan
seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian
nasab atau sesusuan dengan isterinya:
a.
saudara
kandung,
seayah,
atau
seibu
serta
keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2). Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun
isteri-isterinya telah ditalak raj‟i, tetapi masih dalam
masa iddah.
Pasal 42 Kompilasi Hukum Islam
55
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang
mempunyai (empat) orang isteri yang keempat-empatnya
masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah
talak raj‟i ataupun salah seorang diantara mereka masih
terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa
iddah talak raj‟i.
Pasal 43
(1). Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga
kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili‟an.
(2). Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau
bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian
perkawinan tersebut putus ba‟da dukhul dan telah habis
masa iddahnya.
Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam
Seorang
wanita
Islam
dilarang
melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
c.
Menurut KUHPerdata
Perkawinan merupakan kontruksi perjanjian (transaksi) di
lapangan hukum keluarga. Keluarga dilihat dari system social
56
merupakan dasar susunan masyarakat nasional (Basic Social
Structure), oleh karena itu dalam ruang lingkup hukum keluarga
dan perkawinan perlu adanya bentuk dan suatu system yang
nantinya akan memberi perkembangan di kemudian hari. Menurut
Trusto Subekti, keluarga merupakan istilah (terminology) yang
menggambarkan suatu kesatuan kemasyarakatan yang terkecil
yang organisasinya didasarkan atas suatu perkawinan yang sah dan
idealnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anaknya (nucleus
family)31. Jadi keluarga dalam hal ini menggambarkan sebagai
keluarga inti, bisa dikatakan bahwa perkawinan membentuk suatu
perkumpulan yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak yang
dilahirkan.
Perkawinan membentuk suatu perkumpulan yang menjadikan
adanya sebuah ikatan, maka perkawinan merupakan hubungan
hukum yang lahir dari perjanjian, dan harus memenuhi syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1. Kesepakatan;
2. Kecakapan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab (kausa) yang halal.
Ad. 1. Kesepakatan
31
Hal.1
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, 2010, Op.cit.
57
Menurut
Nurwakhid
menjelaskan
“sepakat”
terkandung
petunjuk bahwa setidak-tidaknya ada dua pihak yang saling
memberikan
persetujuan.
Dikatakan
saling
memberikan
persetujuannya kalau memang menghendaki apa yang disepakatinya
secara timbal balik32. Jadi, sepakat merupakan pertemuan dua
kehendak dan ada salah satu pihak yang mengambil inisiatif untuk
menyatakan kehendak tersebut harus saling dinyatakan.
Berhubungan dengan kesepakatan yang merupakan salah satu
syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, apabila
dikaitkan dengan sahnya perkawinan menurut Undang-undang No. 1
Tahun 1974 perkawinan harus memenuhi persyaratan adanya
kesepakatan antar calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974), kemudian seorang perempuan dan laki-laki
sepakat untuk melakukan perkawinan antara keduanya juga saling
sepakat untuk taat kepada peraturan-peraturan hukum yang berlaku
mengenai hak dan kewajiban selama hidup bersama. Adanya
Persetujuan kedua calon mempelai yaitu persetujuan bebas, tanpa
adanya paksaan lahir dan bathin dari pihak manapun untuk
melaksanakan perkawinan.
Ad.2. Kecakapan
32
Nur wakhid, Hukum Perjanjian. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto, 2012, Hal. 38
58
Cakap maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap
menurut hukum untuk bertindak sendiri. Perjanjian yang dibuat sah,
maka salah satu syaratnya adalah pihak-pihaknya haruslah cakap
bertindak. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata pada asasnya semua
orang itu dianggap cakap membuat perjanjian kecuali oleh undangundang dinyatakan tidak cakap. Maka prinsip disini bukanlah siapa
saja yang cakap akan tetapi siapa saja yang oleh Undang-undang
dinyatakan tak cakap sehingga dapat dikatakan tidak sah bila mereka
membuat perjanjian.
Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa mereka yang tidak
cakap sehingga tidak sah membuat perjanjian, yaitu:
1.
Orang-orang yang belum dewasa;
2.
Mereka yang dibawah pengampuan;
3.
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
Undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Apabila disimpulkan dari kedua pasal tersebut, maka seseorang
dinyatakan cakap bertindak apabila seseorang itu sudah dewasa, tidak
ditaruh dibawah pengampuan dan tidak sedang berstatus sebagai istri.
Masalah kedewasaan dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tidak secara tegas mengatur masalah kedewasaan, tetapi secara
59
tidak langsung melalui penafsiran pasal-pasal yang mengatur masalah
lain, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang perkawinan menganut
asas yang berbeda dengan KUHPerdata mengenai kriteria dewasa.
Dewasa menurut Undang-undang Perkawinan tahun 1974 adalah 19
tahun laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, artinya suami istri
tersebut sudah dewasa dan cakap hukum untuk melakukan perbuatan
hukum.
Menurut
J.
Satrio
menegaskan
bahwa
cakap
“membuat”perikatan dan perjanjian harus didasarkan pada unsur “niat”
(sengaja) dan cocok untuk “perjanjian” yang merupakan tindakan
hukum33. Ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 47 Undangundang No. 1 Tahun 1974 yaitu ketika berumur 18 tahun. Seseorang
yang cakap adalah seseorang yang tidak lagi di bawah kekuasaan orang
tua, sehingga dapat membuat suatu perjanjian dikarenakan adanya suatu
niat dan oleh hukum dianggap mampu bertanggung jawab.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat-syarat yang
menyangkut subyek yang membuat perjanjian, karena biasa disebut
syarat subyektif, artinya jika subyeknya dilanggar maka perjanjian
dapat dibatalkan. Syarat sahnya perkawinan menurut KUHPerdata
apabila dikaitkan dengan adanya syarat kesepakatan maka harus adanya
persetujuan (kesepakatan) antara calon mempelai, kemudian untuk
33
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari perjanjian. Penerbit citra Aditya
Bakti, Bandung, 1995, Hal. 1
60
mengikat
perjanjian
atau untuk
memberikan persetujuan
atau
kesepakatan harus memenuhi syarat cakap untuk membuat perjanjian,
artinya kemampuan bertanggungjawab. Bahwa perjanjian yang dibuat
oleh orang yang tidak cakap maka perjanjiannya tidak sah dalam arti
perjanjian tersebut dapat dibatalkan, diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa calon mempelai wanita sudah
berumur 16 tahun dan calon mempelai pria 19 tahun, kemudian mereka
yang belum berumur 21 tahun masih harus ada izin dari orang tua yang
telah ditentukan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun
1974.
Ad. 3. Hal Tertentu
Syarat sahnya perjanjian apabila tidak terpenuhi akan berakibat
perjanjian tersebut batal demi hukum adalah syarat “hal tertentu”. Untuk
memahami syarat tersebut haruslah diketahui mengenai apa yang
dimaksud “hal” dan apa arti “tertentu”. Nurwakhid berpendapat kata “hal”
maksudnya adalah pokok suatu perjanjian maka dalam kenyataannya tidak
semua perjanjian mempunyai pokok perjanjian. Akan tetapi pada
umumnya, kata “hal-tertentu” ditafsirkan sebagai obyek perjanjian yaitu isi
dari prestasi yang menjadi pokok perjanjian tersebut. Prestasi merupakan
suatu perilaku (handeling) tertentu yang bisa berupa memberikan sesuatu,
melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu34. Dengan demikian kata
34
Nurwakhid, op.cit hal. 91
61
“tertentu” dalam konteks ini memiliki makna sebagai tertentu secara
individual yaitu tertuju pada isi prestasi tertentu.
Obyek dari perjanjiannya menurut pasal 1320 KUHPerdata halnya
harus tertentu, dalam hal ini obyeknya adalah perkawinan dan menurut
hukum keluarga perjanjian ini menimbulkan status, yaitu status sebagai
suami dan istri. Obyek perjanjian adalah isi dan prestasi yang menjadi
pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu
perilaku (handeling) tertentu, dalam hal ini adalah perilaku sebagai suami
dan sebagai istri35. Jadi untuk suatu hal tertentu jika dilihat dari konteks
hukum keluarga adalah menimbulkan status untuk keduanya (suami-isteri)
dan suatu hubungan antara suami dan isteri menimbulkan suatu perilaku
sebagai suami dan isteri yang dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
menimbulkan suatu hak dan kewajiban sebagai suami-isteri.
Ad. 4. Kausa yang halal
Menurut Hamaker bahwa kausa perjanjian adalah akibat yang
sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang
menjadi “tujuan mereka” (para pihak bersama) untuk menutup perjanjian,
dan karenanya disebut “tujuan obyektif”, untuk membedakannya dari
tujuan subyektif, yang olehnya dianggap sebagai motif36. Jadi apabila
seseorang mengadakan perjanjian, maka masing-masing mempunyai tujuan
sendiri. Tujuan masing-masing pihak dalam mengadakan perjanjian
merupakan tujuan subyektif. Di samping itu, secara bersama-sama
35
Trusto Subekti, Op.cit. hal. 8
Trusto subekti, Loc.cit .hal. 9
36
62
perbuatan mereka juga tertuju pada timbulnya akibat hukum tertentu
sebagai tujuan bersama atau tujuan obyektif.
Dilihat dari kausa yang halal dari sebuah perjanjian (ikatan
perkawinan) dapat dilakukan apabila tidak ada hal yang menghalangi untuk
melangsungkan perkawinan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 Undangundang No. 1 Tahun 1974). Dengan demikian terhadap calon mempelai
yang telah memenuhi syarat, maka oleh hukum dianggap telah memenuhi
syarat obyektif dari sahnya perjanjian. Sebaliknya apabila bagi calon
mempelai yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, berarti bagi
mereka oleh hukum dianggap tidak memenuhi syarat obyektif dari sahnya
perjanjian. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat-syarat yang
menyangkut obyeknya sehingga disebut syarat obyektif dan apabila dalam
suatu ikatan perkawinan tidak memenuhi maka batal demi hukum
(dianggap
perjanjian
tidak
lahir)
atau
perkawinan
tidak
dapat
dilangsungkan.
B.
PEMBATALAN PERKAWINAN
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Menurut M. Yahya Harahap, arti Pembatalan Perkawinan adalah:
Tindakan Pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan
perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (no legal force or
declared void). Sesuatu yang dinyatakan no legal force maka keadaan
itu dianggap tidak pernah ada (never existed) oleh karena itu si laki-
63
laki dan si perempuan yang di batalkan perkawinannya dianggap tidak
pernah kawin sebagai suami isteri37.
Pengertian pembatalan perkawinan tersebut dapat ditarik
kesimpulan yaitu:
a. Perkawinan dianggap tidak sah (no legal force)
b. Dengan sendirinya perkawinan dianggap tidak pernah ada (never
existed).
c. Oleh karena itu, antara laki-laki dan perempuan yang dibatalkan,
perkawinannya dianggap tidak pernah sebagai suami-isteri.
Pengertian pembatalan perkawinan tidak dirinci dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974, namun dalam Pasal 22 Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan,
apabila
para
pihak
tidak
memenuhi
syarat-syarat
untuk
melangsungkan perkawinan.
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, apabila ada syarat
dari sahnya suatu perkawinan tidak terpenuhi maka dapat dibatalkan
perkawinan tersebut. Kompilasi Hukum Islam pun tidak merumuskan
definisi mengenai pembatalan perkawinan. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia pengertian batal yaitu tidak berlaku atau tidak sah.
Sedangkan kata pembatalan memiliki arti proses, cara, perbuatan batal
atau merupakan pernyataan batal. Pengertian perkawinan sebagaimana
telah dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
37
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Indonesia,CV Zahir Tranding Co,Medan ,
1978. hal. 142
64
dapat ditelaah bahwa pembatalan perkawinan merupakan proses atau
cara untuk menyatakan tidak sah atau tidak berlaku ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
Tujuan dari adanya pembatalan perkawinan dapat ditinjau dalam
Pasal 22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyiratkan bahwa
tujuan dari pembatalan perkawinan dapat dilakukan apabila para pihak
tidak dapat memenuhi syarat-syarat perkawinan. Dapat dikatakan
bahwa bila para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syarat perkawinan
dan pada saat itu perkawinan telah dilangsungkan maka dapat
dilakukan
pembatalan
perkawinan.
Sedangkan
syarat-syarat
perkawinan belum terpenuhi dan perkawinan belum dilaksanakan
maka dapat dilakukan pencegahan perkawinan. Hukum islam telah
mengatur mengenai pembatalan perkawinan.
Kata fasakh atau fasid dalam Bahasa Arab diartikan
merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh merupakan imbangan dari
talak sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan
atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.
Fasakh dapat terjadi karena terdapat hal-hal yang membatalakan akad
nikah yang dilakukan dan dapat pula terjadi karena sesuatu hal yang
baru dialami sesudah akad nikah dilakukan dan setelah perkawinan
berlangsung38.
38
Ahmad Azhar Basyir. Op.cit,.hal. 85
65
Pembatalan perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu
dikarenakan Nikahul Fasid dan Nikahul Bathil. Nikahul fasid terdiri
dari dua perkataan yaitu “nikah” dan “fasid”. Pengertian nikah secara
harfiah sebagaimana yang tersebut dalam fiqh Syafi’i adalah
“berkumpul atau bercampur” tetapi menurut pengertian fuqaha adalah
“wathi” sedangkan arti majazi adalah “aqad”. Pengertian fasid adalah
“yang rusak”. Dengan demikian nikah fasid adalah “pernikahan yang
rusak”. Para fuqaha juga membedakan nikah fasid
dengan nikah
bathil. Menurut Al Jaziri yang dimaksud dengan nikah fasid adalah
nikah yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya untuk melaksanakan
pernikahan, sedangkan nikah bathil adalah nikah yang tidak
memenuhi rukun nikah yang telah ditetapkan oleh syara. Hukum
nikah kedua bentuk pernikahan itu adalah sama saja yaitu tidak sah.39
Fasakh ialah suatu lembaga pemutusan hubungan perkawinan bahwa
isteri yang telah dinikahinya itu ada cacat celanya.40
Menurut hukum Islam, akad perkawinan suatu perbuatan
hukum yang sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta
konsekuensi-konsekuensinya tentu sebagaimana yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam. Oleh karena itu pelaksanaan akad pernikahan yang
tidak sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam adalah
perbuatan yang sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang
melanggar hukum
39
yang wajib dicegah oleh siapapun yang
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan
Agama. Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 40-41
40
Mohd Idris Ramulyo. Op.cit. hal. 141
66
mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila pernikahan itu
telah dilaksanakan. Hukum Islam menganjurkan agar sebelum
pernikahan dibatalkan perlu terlebih dahulu diadakan penelitian yang
mendalam untuk memperoleh keyakinan bahwa semua ketentuan yang
telah ditetapkan oleh syariat Islam telah terpenuhi41.
Pasal 22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 No. 1 tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pada
penjelasan disebutkan pengertian “dapat” dalam pasal ini adalah dapat
dibatalkan apabila menurut ketentuan hukum agamanya tidak
menentukan lain. Dengan demikian dapat difahami bahwa suatu
perkawinan yang dilaksanakan oleh seseorang memiliki dan
kemungkinan akibat hukum yaitu batal demi hukum atau dapat
dibatalkan apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan
Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan
pihak-pihak yang berkepentingan.
Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974. Masalah pembatalan perkawinan berkaitan dengan
berbagai pasal dan ketentuan yaitu:
a. Pembatalan perkawinan terkait dengan syarat dan rukun nikah;
b. Pembatalan perkawinan terkait dengan masalah larangan
perkawinan;
41
Abdul Manan. Op,cit. hal. 42-43
67
c. Menyangkut masalah perkawinan poligami;
d. Bahkan ada sangkut pautnya dengan pencatatan perkawinan
yang diatur dalam Bab II serta taat cara perkawinan yang
terdapat dalam ketentuan Bab III Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 197542.
Ad. 1. Perkawinan terkait dengan masalah syarat dan rukun nikah,
karena perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun
perkawinan seperti:
a. Tidak ada kesepakatan nikah antara calon suami dan calon istri;
b. Pernikahan tersebut dilangsungkan tanpa adanya wali, baik itu
wali hakim maupun wali yang ditunjuk oleh pihak calon istri;
c. Tidak dihadiri oleh dua orang saksi;
d. Tidak ada ijab Qabul.
Ad. 2. Pembatalan terkait dengan masalah larangan perkawinan
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, larangan perkawinan
diatur dalam pasal 8, yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas dan
kebawah;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara;
c. Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu
atau bapak tiri;
42
Yahya Harahap, op.cit. hal.142.
68
d. Hubungan sepersusuan yaitu orangtua susuan, anak, sudara,
bibi atau paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan istri dalam hal seorang suami
beristri lebih dari seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain
yang berlaku dilarang melangsungkan perkawinan.
Larangan-larangan perkawinan yang dirumuskan dalam Pasal 8
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah larangan yang bersifat
selama-lamanya, sedangkan larangan perkawinan yang bersifat
sementara atau berlaku hanya sepihak saja, diatur dalam Pasal-pasal:
a. Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 yang berisikan tentang poligami;
b. Pasal 9 dan pasal 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang
berisikan
tentang
seorang
wanita
yang
masih
terikat
perkawinan dengan orang lain, maka tidak dapat kawin lagi.
Ad.3. Pembatalan perkawinan yang menyangkut masalah perkawinan
poligami
Menurut Hukum Islam mengawini wanita lebih dari seorang
diperbolehkan dengan dibatasi paling banyak 4 (empat) orang.
Perbolehan ini diberikan dengan batasan-batasan, yaitu:
a. Jumlah wanita yang boleh dinikahi tidak lebih dari 4 (empat)
orang;
b. Sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya;
69
c. Wanita yang akan dinikahkan lagi seyogyanya adalah wanita
yang mempunyai anak yatim supaya anak yatim tersebut
berada dibawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami
tersebut;
d. Wanita yang hendak dinikahi itu tidak boleh ada hubungan
saudara baik sedarah maupun sepersusuan.
Ad. 4. Pembatalan perkawinan ada hubungan dengan pencatatan
perkawinan dan tata cara perkawinan yang terdapat dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Pencatatan perkawinan diatur dalam Bab II Pasal 2 PP No. 9 Tahun
1975, yang intinya mengatakan bahwa pencatatan perkawinan dapat
dilakukan di:
a. Kantor
Pegawai
Pencatat
Nikah
bagi
mereka
yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam;
b. Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain
agama Islam.
Tata cara perkawinan diatur dalam Bab III Pasal 10 PP No. 9
Tahun 1975, yaitu:
a. Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke 10 (sepuluh) sejak
pengumuman;
b. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu;
70
c. Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah
dan dihadiri oleh dua orang saksi;
Apabila ada pelanggaran terhadap pencatatan dan tata cara
perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Istri yang diceraikan Pengadilan dengan fasakh atau pembatalan
perkawinan tidak dapat dirujuk oleh suaminya. Jadi, apabila keduanya
ingin kembali hidup bersuami istri maka harus dengan perkawinan yang
baru, yaitu melaksanakan akad nikah baru lagi.43
2.
Pihak-pihak
yang
Berhak
Mengajukan
Pembatalan
Perkawinan
Pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan
diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
2. Para keluarga dalam keturunan garis lurus keatas dari suami
atau istri;
3. Suami atau istri;
4. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
5. Pejabat yang ditujuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang
ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum
secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus.
43
Soemiyati, Op.Cit, hal.114.
71
M. Yahya Harahap berpendapat mengenai pejabat yang
berwenang mengajukan pembatalan selama perkawinan belum
diputuskan, diartikan bahwa apabila telah ada putusan tentang
permohonan pembatalan dari orang-orang yang disebut pada sub a,
yaitu para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau istri
dan sub b, yaitu dari suami atau istri dalam Pasal 23 UndangUndang No. 1 Tahun 1974, maka pejabat yang berwenang tersebut
tidak boleh mengajukan pembatalan perkawinan. Pembatalan juga
dapat dimintakan oleh Jaksa sesuai Pasal 26 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 dalam hal perkawinan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali tidak sah atau
tidak dihadiri oleh dua orang saksi44. Hak untuk mengajukan
pembatalan perkawinan ini terdapat dua hal yang diberikan
penekanan, yaitu seperti yang ditentukan dalam Pasal 24 dan Pasal
27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagaimana disebutkan
dibawah ini:
Pasal 24 Undang-undang No. 1 Tahun 1974:
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang
baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini.
44
M. Yahya Harahap, op.cit. hal.73.
72
Dasar pijakan dari Pasal 24 Undang-undang No. 1 Tahun
1974, lebih mengenal pada prinsip monogami. Suami atau isteri
memiliki hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan yang baru
karena salah satu dari kedua belah pihak masih terikat perkawinan.
Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974:
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah
ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka
itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suamiisteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 suami atau istri
melaksanakan perkawinan di bawah ancaman yang melanggar
hukum, kemudian apabila terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau isteri maka para pihak (suami atau isteri) dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.
73
Pihak-pihak
yang
dapat
mengajukan
pembatalan
perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal
73, yaitu yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan adalah:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan
kebawah dari suami atau istri dari suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat
yang
berwenang
mengawasi
pelaksanaan
perkawinan menurut Undang-Undang;
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya
cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum
Islam dan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 67.
3. Alasan-alasan Pembatalan Perkawinan
Alasan pembatalan perkawinan diatur dalam beberapa pasal,
perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat
yang sudah ditentukan (pasal 22 Undang-Undang Perkawinan).
Alasan pembatalan perkawinan juga diatur dalam Pasal 24, Pasal 26,
dan Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 24 Undang-undang No. 1 Tahun 1974:
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang
74
baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 26 Undang-undang No. 1 Tahun 1974:
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak
sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau
isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan
alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah
hidup
bersama
sebagai
suami-isteri
dan
dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan
harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974:
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah
ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.
75
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka
itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suamiisteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Menurut Yahya Harahap pengertian ancaman yang melanggar
hukum adalah pada hakekatnya untuk menghilangkan kehendak bebas
(vrijwillig) dari salah seorang calon mempelai. Pengertian lebih
luasnya adalah merupakan ancaman kekerasan yang bersifat tindak
pidana yang dapat menghilangkan hakekat bebas seorang calon
mempelai. Kemudian salah sangka yang dimaksud dalam hal ini
adalah salah sangka (dwaling) mengenai diri suami diri suami atau
istri, jadi orangnya atau personnya, sehingga salah sangka itu tidak
mengenai
keadaan
orangnya
yang
menyangkut
status
sosial
ekonominya45.
Pembatalan perkawinan diatur juga di dalam Kompilasi Hukum
Islam, yaitu Pasal 70 sampai dengan Pasal 76, tentang alasan
pembatalan perkawinan disebutkan dalam Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal
72.
Pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan batal (batal demi hukum)
apabila:
45
Yahya Harahap, ibid. hal.75
76
1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak
melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang
isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam
iddah talak raj’i;
2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;
3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga talak
olehnya, kecuali apabila bekas istrinya tersebut pernah menikah
dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari
pria terserbut dan telah habis masa iddahnya;
4. Perkawinan di lakukan antara dua orang yang yang mempunyai
hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu
yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UndangUndang Perkawinan, yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke
atas.
b. Berhubungan
darah
dalam
garis
lurus
keturunan
menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan
saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu,
dan ibu dan ayah tiri.
d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
77
e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan
Agama;
b. Perempuan yang dikawini ternyata dikemudian diketahui masih
menjadi istri pria yang mafqud;
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari
suami lain;
d. Perkawinan
yang
melanggar
batas
umur
perkawinan,
sebagaimana ditetapkan pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun
1974;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh
wali yang tidak berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam:
1). Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di
bawah ancaman yang melanggar hukum;
2). Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya
78
perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri
suami dan istri;
3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan
tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan
pembatalan maka haknya akan gugur.
Sahnya perkawinan ditinjau dari syarat sahnya perjanjian
mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata ada 4 (empat) unsur, adanya
unsur kesepakatan dan cakap yang merupakan syarat subyektif apabila
subyeknya dilanggar maka hanya mempunyai arti dapat dibatalkan.
Pembatalan ini hanya dapat dibatalkan apabila ada pihak yang
mengajukan. Perkawinan dianggap sah, selama tidak ada pihak yang
mengajukan pembatalan. Sedangkan unsur hal tertentu dan kausa halal
merupakan obyek dari perjanjian disebut dengan syarat obyektif.
Apabila obyeknya dilanggar maka perjanjian batal demi hukum atau
tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan oleh hukum dianggap tidak
memenuhi syarat obyektif dari sahnya perjanjian.
4.
Tata Cara Pembatalan Perkawinan
Tata cara permohonan pembatalan perkawinan menurut Trusto
Subekti, dengan mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke
Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan
atau ditempat tinggal kedua suami-isteri (Pasal 25 Undang-undang No.
79
1 Tahun 1974). Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pencegahan
perkawinan, tata cara permohonan pembatalan perkawinan telah diatur
dalam Pasal 38 PP. No. 9 Tahun 1975 yang menyebutkan:
1.
Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh
pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat belangsungnya
perkawinan atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami
atau istri;
2.
Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan
dilaksanakan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan
perceraian;
3.
Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan
pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan
sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan
Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini;
Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan
dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian,
dalam memeriksa permohonan pembatalan perkawinan haruslah
memberlakukan ketentuan-ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal
28 Undang-undang No. 1 Tahun 197446. Menurut Pasal 1 huruf (b)
PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa Pengadilan adalah
46
Trusto Subekti, op.cit. Hal. 63
80
Pengadilan Agama yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri
bagi yang beragama non Islam.
Pasal 20 PP No. 9 Tahun 1975 menyebutkan:
1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau
kuasanya kepada Pengadilan di daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Tergugat;
2. Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak
diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap,
gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman
Penggugat;
3. Dalam hal Tergugat berkediaman diluar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman
Penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan
tersebut kepada Penggugat melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat.
Para pihak yang hendak membatalkan perkawinannya harus
mengajukan surat yang berisi pemberitahuan bahwa para pihak
bermaksud untuk membatalkan perkawinan kepada Pengadilan
ditempat tinggal suami atau istri dengan disertai alasan-alasan,
serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk
untuk keperluan pembatalan perkawinan tersebut. Pengadilan
kemudian mempelajari isi surat yang dimaksud dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
81
5. Akibat Pembatalan Perkawinan
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah Putusan
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak
berlangsungnya perkawinan. Adanya putusan Pengadilan tersebut
berarti perkawinan dianggap tidak sah dan dengan sendirinya dianggap
tidak pernah kawin. Mohd Idris berpendapat batalnya suatu perkawinan
tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya47. Sesuai dengan adanya ketentuan pada Pasal 28 ayat (2)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 75 dan Pasal 76 Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan keputusan tidak berlaku surut terhadap
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, dan bagi pihak ketiga
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini
dimaksudkan untuk melindungi anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut agar mempunyai status hukum yang jelas dan
resmi sebagai anak dari orangtua mereka;
47
Mohd Idris, Op.cit. Hal.88
82
b. Suami atau istri yang beritikad baik kecuali terhadap harta
bersama, apabila pembatalan perkawinan berdasarkan adanya
perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Pihak ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak
dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Segala perikatan hukum
dibidang keperdataan yang dibuat oleh suami istri sebelum
pembatalan perkawinan adalah perikatan yang sah dan dapat
dilaksanakan kepada harta perkawinan atau dipikul bersama oleh
suami istri yang telah dibatalkan perkawinanya secara tanggung
menanggung, baik terhadap harta bersama maupun terhadap harta
kekayaan masing-masing
C.
PENAFSIRAN HUKUM
Penafsiran merupakan proses, cara, perbuatan menafsirkan
upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yg kurang jelas (Kamus
Besar Bahasa Indonesia). Secara istilah (terminology) upaya
mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum
dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang
dimaksud oleh pembuat Undang-undang dan berhubungan erat
dengan soal bahasa, yang terpakai untuk mewujudkan dalam katakata beberapa pengertian hukum, dalam membicarakan hal-hal
yang mengenai hukum, di antara orang-orang yang saling
memperdebatkan suatu hal pengertian hukum, harus ada kata
83
sepakat tentang arti kata-kata yang dipergunakan48. Maka perlulah
adanya istilah hukum yang tertentu dan mendapat pengesahan dari
masyarakat umum dari dunia pengetahuan ilmu hukum khususnya.
Istilah hukum yang akan disusun selalu ada perbedaan faham di
antara para ahli hukum dalam mengartikan sesuatu atau beberapa
peraturan hukum, oleh karena peraturan hukum pada umumnya
dapat dimengertikan benar-benar, tidak cukup ditinjau dari sudut
arti kata-kata yang dipakai saja, melainkan membutuhkan
pengetahuan tentang beberapa hal, di antaranya yang terpenting
ialah soal maksud dan soal tujuan dari peraturan hukum itu.
Mengenai Penafsiran hukum Trusto Subekti menjelaskan
bahwa
setiap
penafsiran
hukum
pada
hakekatnya
hanya
menafsirkan apa yang dikehendaki oleh para pembentuk Undangundang, oleh karena itu suatu penafsiran dibatasi sendiri oleh
Undang-undang itu sendiri, yaitu oleh materi peraturan perundangundangan yang bersangkutan, tempat perkara diajukan dan
menurut jamannnya49. Ketentuan Undang-undang tidak dapat
diharapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa. Apabila
ketentuan Undang-undang yang bersifat abstrak dan umum harus
diberi arti, harus dijelaskan atau harus ditafsirkan, termasuk
48
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata. sumur Bandung, Bandung, 1983,
49
Trusto Subekti, Op.cit. Hal, 131
hal. 14
84
memberikan penafsiran terhadap sahnya perkawinan. Seperti
diketahui bahwa ada beberapa macam-macam penafsiran hukum.
Soedikno Mertokususmo50 menjelaskan ada beberapa macam
metode penafsiran hukum adalah sebagai berikut:
1.
Interpretasi bahasa
Interpretasi gramatikal ini merupakan metode interpretasi
paling sederhana menurut dengan mengetahui makna menurut
bahasa, susun kata atau bunyinya.
2. Interpretasi teleologis/sosiologis
Interpretasi teleologis atau sosiologis yaitu menafsirkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan dengan kemungkinan
adanya perkembangan dalam masyarakat dan disesuaikan
dengan situasi social yang baru.
3. Interpretasi sistematis
Metode penafsiran dengan cara menghubungkan satu Undangundang dilihat sebagai bagian dari keseluruhan system
perundang-undangan.
4. Interpretasi historis
Metode penafsiran dengan menggunakan sejarah Undangundang yang bersangkutan (sejarah terjadinya), dan ada dua
macam penafsiran historis, yaitu penafsiran menurut sejarah
undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum
50
Trusto Subekti, Ibid. hal. 131
85
5. Interpretasi komparatif
Metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan atau
penjelasan berdasarkan perbandingan hukum.
6. Interpretasi futuristis
Metode penafsiran yang bersifat antisipasi dengan berpedoman
pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
7. Interpretasi restriktif dan ekstensif
Metode penafsiran ini merupakan penafsiran yang bersifat
membatasi (restriktif) dan yang bersifat memperluas (ekstensif)
sebagaimana yang disebutkan secara gramatikal.
8. Metode argumentasi
Metode penafsiran yang dilakukan apabila peraturannya tidak
jelas (kekosongan hukum) dengan penemuan hukum.
9. Argumenteum per analogiam
Metode penafsiran dengan menggunakan analogi, maka suatu
peristiwa serupa dengan yang diatur dalam undang-undang
diperlakukan sama.
10. Penyempitan hukum
Metode
penafsiran
dengan
membentuk
pengecualian-
pengecualian dari peraturan yang bersifat umum kemudian
diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang
khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi
ciri-ciri.
86
11. Argumentum a contrario
Metode penafsiran dengan berdasarkan pada perlawanan
pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa
yang diatur dalam undang-undang (metode kebalikannya).
12. Penemuan hukum bebas
Penemuan hukum bebas ini sebetulnya tidak termasuk dalam
interpretasi, tetapi merupakan metode penemuan hukum
dengan menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa
konkrit dan tidak berdasarkan atas suatu undang-undang
(kekosongan hukum).
Menafsirkan sahnya perkawinan dengan menggunakan
penafsiran sistematis yaitu penafsiran dengan cara menghubunghubungkan satu undang-undang dilihat merupakan bagian dari
keseluruhan system perundang-undangan, dan penafsiran secara
gramatikal mengenai definisi salah sangka dan penipuan. Suatu
peraturan hukum pada umumnya tidak boleh berdiri sendiri,
melainkan ada hubungan dengan peraturan hukum lain. Beberapa
peraturan hukum bersama-sama merupakan suatu rangkaian
dengan peraturan antara satu dengan yang lainnya, dan saling
menambah dan menyempurnakan masing-masing. Maka dalam hal
ini peraturan-peraturan hukum itu sebagai suatu rangkaian.
Peraturan hukum baru dapat dimengerti benar-benar, apabila lainlain peraturan hukum yang ada hubungan, ditinjau dan dipelajari
87
juga. Penafsiran hukum seperti ini dapat disebut sebagai penafsiran
secara “systematic.”51
Penafsiran sahnya perkawinan secara formil-materiil
menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, dasar pada penafsiran
sistematis yaitu dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Secara
sistematis ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun
1974 merupakan konsep dasar untuk menentukan sahnya
perkawinan harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan tersebut.
Penafsiran sistematis tentang sahnya perkawinan tidaklah cukup
berdasarkan Pasal 2 ayat (1), karena adanya syarat-syatar
perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974. Mengenai sahnya perkawinan ditinjau dari Pasal 1320
KUHPerdata disini adanya unsur suatu kesepakatan dimana
sepakat disini merupakan syarat subyektif apabila dilanggar maka
dapat dibatalkan.
51
Wirjono Prodjodikoro, op.cit. hal. 14
88
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam
hukum positif52. Beberapa pendekatan masalah yang digunakan oleh
peneliti adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan analisis (analytical approach).
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah spesifikasi penelitian hukum normatif
yang bersifat menemukan hukum in abstracto dalam perkara in concreto,
maka tipe penelitiannya adalah penerapan hukum yang dalam hal ini
adalah penerapan sistem hukum perkawinan. Suatu putusan Hakim
merupakan hukum in concreto (hukum subyektif) sebagai bentuk
penerapan hukum in abstracto (hukum obyektif atau sistem hukum
perkawinan) terhadap perkara in concreto (duduk perkaranya dalam
Putusan Pengadilan Agama Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr ).
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Banjar untuk mengambil
berkas putusan perkara pembatalan perkawinan, Pusat Informasi Ilmiah
52
Johny Ibrahim.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Banyumedia
Publishing, Malang, 2005, Hal. 295
89
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, peraturan perUndangundangan yang mengatur syarat syahnya perkawinan dan artikel atau
pustaka yang dapat dipergunakan untuk analisa data dan pembahasan, dan
selanjutnya melalui situs-situs di internet dapat dilakukan browsing bahanbahan hukum primer, bahan sekunder dan bahan tersier.
D. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:53
1). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
terdiri dari:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
c. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam;
d.
Putusan
Pengadilan
Agama
Banjar
Nomor
0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr.
2). Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu buku buku teks
(textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh;
53
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. CV. Rajawali,
Jakarta, 1985, Hal. 14
90
3). Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum.
E. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, data sekunder diperoleh dengan cara studi
kepustakaan terhadap data dan bahan hukum seperti tersebut diatas,
dikumpulkan dengan menggunakan metode Recording (pencatatan).
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Pengolahan data dalam penelitian hukum normatif berwujud
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Data yang diperoleh berupa bahan hukum kemudian dilakukan
pengolahan data dengan cara substansi pertimbangan hukum dalam
Putusan Pengadilan Agama Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr
direduksi sesuai pokok hal yang dipertimbangkan dan kemudian
dikualifikasi dan disusun secara sistematis, selanjutnya disajikan dalam
bentuk teks naratif yaitu uraian-uraian yang disusun secara sistematis
dengan cara mengikuti alur sistematika pembahasan. Keseluruhan data
yang diperoleh dihubungkan satu dengan lainya, dan dituangkan dalam
suatu sistematika hasil Penelitian dan pembahasan.
G. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara
kualitatif, yaitu dengan cara berpikir deduktif maksudnya adalah cara
berpikir yang berpangkal pada pernyataan yang bersifat umum untuk
91
mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus. Melalui analisa hubungan
koherensi antara kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai syarat
syahnya perkawinan dan, dihubungkan dengan fakta-fakta hukum
sebagaimana dideskripsikan pada duduk perkara dalam
Putusan
Pengadilan Agama Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr selanjutnya
dapat diperoleh kesimpulan mengenai penafsiran hukum dan hasil studi
akademisnya dalam penafsiran terhadap sahnya perkawinan.
92
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan salinan putusan Nomor : 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr
Pengadilan Agama di Kota Banjar yang mengadili perkara tertentu dalam
peradilan tingkat pertama, dalam persidangan Majelis Hakim telah
menjatuhkan putusan dalam perkara pembatalan nikah antara :
1. Subyek Hukum
a. Nama samaran Rinal, umur 40 tahun, agama Islam, pekerjaan
Karyawan Swasta, bertempat tinggal di Jalan Bendi Raya B II/34 Rt. 008
Rw. 010 Kelurahan Kebayoran Lama Utara Kecamatan Kebayoran Lama
Jakarta Selatan. Dalam hal ini dikuasakan kepada Edis Gunawan, S.H,
Anang Fitriana, S.H, Dafiq Sayahal Manshur, S.H, M.H. selaku advokat
dan Pengacara yang beralamat kantor di Jln. Jend Sudirman No. 133
Ciamis, berdasarkan surat tanggal 27 Maret 2014 dan sesuai dengan surat
kuasa No. 429/K/IV/2014/PA.Bjr., sebagai Pemohon;
b. Nama samaran Rina, umur 23 tahun, agama Islam, pekerjaan
Mengurus rumah tangga, bertempat tinggal di Jalan Dusun Cigadung Rt.
009 Rw. 004 Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar,
sebagai Termohon;
2. Duduk Perkara
93
Pengadilan Agama Kota Banjar menimbang bahwa berdasarkan surat
permohonan Pemohon tanggal 2 April 2014 yang telah terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Kota Banjar dengan Nomor register
0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr tertanggal 14 April 2014.
Pada tanggal 29 oktober 2013, Pemohon dengan Termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar Kutipan Akta
Nikah Nomor 590/116/X/2013 tanggal 29 oktober 2013. Kemudian setelah
menikah Pemohon dan Termohon tinggal di Jakarta, ditempat kediaman
Pemohon. Bahwa dalam Kutipan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013
tanggal 29 Oktober 2013 tercatat status istri sebagai perawan.
Pada tanggal 31 oktober 2013 di hotel Sami Rasa Bandung
diketemukan Kartu Tanda Penduduk milik istri (Termohon) dengan status
perkawinannya sebagai janda. Kemudian setelah orang tua dari Pemohon
mengetahui status termohon sebagai janda pada tanggal 16 November
2013 Termohon pulang ke Banjar. Status janda Termohon tercantum
dalam Kartu tanda penduduk milik Termohon diperkuat oleh salinan
Putusan
Pengadilan
Agama
Ciamis
dengan
Nomor
1336/Pdt.G/2011/PA.Cms. Selama kenalan sebelum menikah dengan
Pemohon, Termohon mengaku berstatus sebagai perawan. Berhubungan
dengan diketahuinya status Termohon sebagai janda tersebut, Pemohon
merasa tertipu, oleh karena itu pernikahan antara Pemohon dengan
Termohon telah melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-undang No. 1
94
Tahun 1974 jo Pasal 72 ayat (2) KHI, yaitu adanya unsur-unsur penipuan
keadaan diri Termohon. Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan
ini masih dalam batas waktu yang diamanatkan Pasal 27 ayat (3) KHI.
Adapun alasan-alasan dari Permohonan Pembatalan Perkawinan
tersebut adalah :
1). Pemohon mengira Termohon berstatus perawan dengan adanya
Kutipan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 tanggal 29 oktober
2013 tercatat status istri sebagai perawan.
2). Diketemukannya Kartu Tanda Penduduk milik istri (Termohon)
dengan status perkawinannya sebagai janda, Pemohon merasa
tertipu.
3. Tentang Hukumnya
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon
adalah sebagaimana tersebut diatas:
a.
Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perkara, Pemohon
memohon perkawinannya dengan Termohon dibatalkan dengan alasanalasan bahwa semula Pemohon mengira atau menyangka identitas
Termohon yang tercatat dalam kutipan akta nikah (bukti P.1) dengan status
perawan/gadis, sedangkan identitas Termohon yang tercatat dalam kutipan
akta nikah (bukti T.2) berstatus janda. Permasalahan dalam perkara ini
adalah Pemohon sebagai suami merasa tertipu oleh Termohon sebagai
isteri karena ketika menikah dengan Pemohon dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar
95
Termohon berstatus sebagai perawan, tapi ternyata diketahui Termohon
berstatus janda cerai bukan berstatus perawan. Permohonan Pemohon
semuanya dalam hal ini dibantah dan ditolak oleh Termohon sebagaimana
dalam berita acara persidangan, kecuali dalil Permohonan point satu yaitu
antara Pemohon dan Termohon melangsungkan perkawinan diterima dan
dibenarkan oleh Termohon.
Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa perkawinan antara
Pemohon dan Termohon harus dibatalkan apabila adanya salah sangka
atau penipuan.
b. Menimbang, bahwa atas dalil permohonan Pemohon, Termohon
memberikan jawaban dalam persidangan pada pokoknya dibantah dan
ditolak oleh Termohon, kecuali dalil permohonan Pemohon mengenai
telah berlangsungnya perkawinan antara Pemohon dengan Termohon pada
tanggal 29 Oktober 2013 secara sah di Gedung GBI Banjar dengan Akta
Nikah Nomor 590/116/X/2013 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan
Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar tanggal 29 Oktober 2013.
Majelis hakim berpendapat bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon
yang telah dibenarkan oleh Termohon merupakan suatu pengakuan, nilai
pembuktiannya
mengikat
dan
menentukan
sehingga
pihak
yang
mendalilkannya telah terbebas dari beban pembuktian hal ini sesuai
dengan Pasal 174 HIR.
Berdasarkan data hasil penelitian di atas bahwa Termohon
membantah dan tidak membenarkan dalili-dalil permohonan mengenai
96
adanya penipuan identitas Termohon, maka hal ini akan di uji lebih lanjut
dengan alat bukti yang sah di persidangan, dan pembuktiannya dibebankan
kepada Pemohon sebagai pihak yang mendalilkannya, sebagaimana
ketentuan Pasal 163 HIR jo Pasal 283 R.Bg.
c.
Menimbang, bahwa di persidangan Pemohon telah memberikan
alat bukti surat sebagai bukti (P.1, 2, 3, dan 4), akan tetapi tidak ada satu
pun alat bukti surat dari Pemohon yang berkaitan dengan bukti penipuan
Termohon kepada Pemohon yang mengakibatkan Pemohon merasa tertipu
oleh Termohon, atau yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya
penipuan yang sengaja dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon,
melainkan alat bukti tersebut hanya menunjukkan pada status Termohon
sebelum menikah dengan Pemohon, sehingga alat bukti (P. 1, 2, 3, dan 4)
tidak menguatkan dalil-dalil pokok permohonan Pemohon dan serta 3
(tiga) orang saksi yang masing-masing bernama Wildan Sjoekri, Eko
Kusumo Amay Yuono, dan Gatot Ali Basyah ditolak oleh Termohon,
karena ketiga orang saksi tersebut disamping tinggal di Jakarta, juga tidak
mengenal Termohon lebih jauh, dan para saksi Pemohon tersebut tidak
mengetahui persis tentang pokok masalah antara Pemohon dengan
Termohon;
Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa untuk menangani
perkara bukti-bukti dan kehadiran saksi sangat penting. Tujuannya adalah
untuk menguatkan dalil-dalil permohonan. Siapapun yang mendalilkan
maka dalam hal ini harus membuktikan.
97
d.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berkesimpulan, ternyata
Pemohon tidak bisa membuktikan dalil-dalil permohonannya secara jelas
dan tegas dipersidangan, baik berupa surat maupun saksi-saksi sesuai
dengan ketentuan Pasal 144, 163 HIR jo Pasal 283 R.Bg, melainkan
Pemohon
hanya
bisa
berhasil
membuktikan
sebagian
dalil
permohonannya, sebagaimana bukti (P. 2) tentang bukti telah terjadinya
pernikahan antara Pemohon dengan Termohon;
Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa bukti P. 1, P.2, P. 3
dan P. 4 bukti yang tidak dibantah oleh Termohon yaitu bahwa Pemohon
dan Termohon telah melangsungkan perkawinan, terkait bukti penipuan
atas status perawan/gadis dibantah oleh Termohon.
e. Menimbang, bahwa begitu juga Termohon di persidangan telah
memberikan alat bukti surat, sebagaimana bukti (T.1) yang berkaitan dengan
identitas Termohon berstatus sebagai janda, bukan perawan yang sebelumnya
dituduhkan oleh Pemohon, bahwa Termohon telah menipu Pemohon:
Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa bukti T. 1 berkaitan
dengan identitas Termohon berstatus sebagai janda.
f.
Menimbang, bahwa disamping itu Termohon juga telah
menghadirkan 2 (dua) orang saksi di persidangan, masing-masing bernama
Nana Sumarna bin Oyon dan Itoh Masitoh binti Nana Sumarna, yang telah
disumpah dan diperiksa secara terpisah di persidangan dan telah
memberikan keterangan sebagaimana tersebut diatas, yang pada pokoknya
dinilai oleh Majelis Hakim telah mengetahui substansi pokok perkara
98
Pemohon dengan Termohon, dan mengetahui juga asal usul identitas
Termohon yang tercatat dalam Kutipan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013
yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota
Banjar sebagai perawan, yang pada pokoknya kedua saksi Termohon
tersebut menyatakan tidak ada unsur atau indikasi Termohon telah menipu
Pemohon, Justru Pemohonlah yang meminta dan menyarankan kepada
Termohon juga kepada orang tua Termohon agar pada waktu akad nikah
Termohon harus mengaku berstatus sebagai perawan dan dicatat pada
Kutipan Akta Nikah, karena demi wibawa Pemohon di depan temantemannya dan agar tidak banyak pertanyaan dari orang tua Pemohon, dengan
demikian keterangan kedua saksi tersebut telah mendukung pengakuan
Termohon tersebut di persidangan, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan
keterangan saksi tersebut dapat menguatkan dalil bantahan Termohon.
g. Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon dan Termohon yang
di dukung oleh keterangan para saksi Pemohon dan Termohon di persidangan
serta bukti surat (P.1, 2, 3 dan 4) dan bukti surat (T.1, 2, dan 3), Maka ditemukan
fakta-fakta sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan perkawinan pada
tanggal 29 oktober 2013;
2. Bahwa perkawinan antara Pemohon dan Termohon atas dasar suka sama
suka tanpa ada paksaan dari siapapun juga;
99
3. Bahwa sebelum pernikahan berlangsung antara Pemohon dan Termohon
sudah saling mengenal satu sama lain, selama lebih kurang 11 bulan serta
Pemohon telah mengakui bahwa status Termohon adalah janda;
4. Bahwa pencantuman identitas Termohon berstatus perawan pada Kutipan
Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 tanggal 29 Oktober 2013 yang
dikeluarkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar
adalah atas saran dan permintaan Pemohon sendiri kepada Termohon, dan
setelah bermusyawah dengan orang tua Termohon, demi menjaga wibawa
Pemohon di depan teman-temannya dan agar tidak ada pertanyaan dari
orang tua Pemohon;
5. Bahwa ternyata sebelum menikah dengan Termohon, Pemohon pernah
menikah dibawah tangan dengan perempuan lain, dan telah dikarunia 1
orang anak;
6. Bahwa tidak terbukti adanya unsur atau indikasi Termohon menipu
Pemohon, dengan memalsukan identitas dan mengaku sebagai berstatus
perawan, justru Pemohon sendiri yang meminta dan menyarankan agar
identitas Termohon waktu akad nikah dan dicatat dalam Kutipan Akta
Nikah berstatus perawan;
Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa berdasarkan bukti P.1
sampai dengan P.4 hanya sebagian yang terbukti, sehingga dengan adanya
kesaksian 2 orang dari pihak Termohon jika dihubungkan dengan dalil-dalil
permohonan Pemohon tidak menguatkan permohonan yang diajukan oleh
Pemohon.
100
h. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dan pertimbangan tersebut di atas,
Majelis Hakim berpendapat bahwa dalil permohonan Pemohon tidak
memenuhi maksud ketentuan Pasal 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, karena tidak ada
unsur atau indikasi kearah penipuan yang sengaja dilakukan oleh Termohon
kepada Pemohon, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Pemohon
tidak berhasil membuktikan dalil-dalil permohonannya. Oleh karena itu
permohonan Pemohon yang terdapat pada petitum pokok perkara point 2 dan
3, agar membatalkan perkawinan antara Pemohon dengan Termohon yang
dilangsungkan pada tanggal 29 oktober 2013 di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Pataruman Kota Banjar dan menyatakan Kutipan Akta Nikah
Nomor 590/116/X/2013 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Pataruman Kota Banjar tidak berkekuatan hukum serta dianggap
batal demi hukum adalah harus ditolak;
Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa dalam perkara ini
Pemohon (suami) mempunyai hak untuk melakukan pembatalan perkawinan
apabila pada saat berlangsungnya perkawinan terjadinya penipuan atau salah
sangka pada diri Termohon (istri) yaitu status janda sebagai seorang istri akan
tetapi mengaku sebagai perawan yang dalam hal ini merupakan keadaan diri
istri, yang menjadi permasalahan dalam hal ini adanya suatu persetujuan di
awal sebelum adanya perkawinan antara calon mempelai wanita dan laki-laki
untuk memalsukan identitas status sebagai seorang istri yaitu sebagai perawan.
101
i.
Menimbang,
bahwa
Pemohon
melalui
kuasa
hukumnya
dalam
kesimpulannya telah menyampaikan keberatan atas kedua orang saksi
Termohon di persidangan dengan alasan kedua orang saksi tersebut masih
terikat kekeluargaan dengan Termohon, yaitu sebagai kakak dan ayah kandung
Termohon, dengan merujuk Pasal 145 HIR, 172 ayat (1) R.Bg dan Pasal 1910
KUH Perdata;
Berdasarkan data hasil penelitian di atas saksi dalam perkara ini
menguatkan bantahan dari Termohon.
j. Menimbang bahwa mengenai keberatan Pemohon tentang kesaksian kedua
orang saksi Termohon dengan merujuk Pasal 145 HIR, 172 ayat (1) R.Bg dan
Pasal 1910 KUH Perdata tersebut adalah tidak tepat, karena perkara
pembatalan perkawinan adalah termasuk ruang lingkup perkawinan yang
termasuk kepada katagori perkara perdata tertentu atau khusus sebagaimana
dimaksud ketentuan Pasal 145 ayat (2) HIR jo Pasal 2 Undang-undang No. 3
Tahun 2006 perubahan kesatu Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa keluarga dalam perkara
perkawinan bisa dihadirkan sebagai saksi, karena perkara pembatalan
perkawinan termasuk ruang lingkup perkawinan.
k. menimbang, bahwa begitu juga mengenai tuntutan Pemohon yang
terdapat dalam petitum pokok perkara point 4 yang menuntut Majelis Hakim
agar memerintahkan Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Pataruman Kota Banjar untuk mencoret Kutipan Akta Nikah
102
Nomor 590/116/X/2013 tanggal 29 oktober 2013 dari Daftar Register
Pencatatan Nikah adalah tidak beralasan hukum, karena disamping Pegawai
Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar
bukan bawahan Kantor Pengadilan Agama Kota Banjar, di lain pihak
Pengadilan Agama Kota Banjar juga tidak bisa memerintah dan mengatur
instansi lain. Oleh karena itu Majelis Hakim harus menetapkan menolak;
Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa untuk mencoret
Kutipan Akta Nikah maka harus adanya pembatalan perkawinan terlebih
dahulu dari Pengadilan Agama yang berwenang, apabila permohonannya
dikabulkan maka Kutipan Akta Nikah tersebut tidak berkekuatan hukum.
l. menimbang, bahwa pembatalan nikah termasuk bidang perkawinan, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989
yang telah diubah oleh Undang-undang No, 3 Tahun 2006 dan perubahan
kedua oleh Undang-undang No. 50 Tahun 2009, biaya yang timbul akibat
perkara ini dibebankan kepada Pemohon.
Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa berdasarkan Pasal 89
ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Peradilan Agama sebagaimana
telah telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006,
dan perubahan kedua Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama, maka Pemohon dibebankan untuk membayar biaya perkara
sebagaimana yang jumlahnya telah ditentukan.
1. Jadi, dari data diatas alasan pembatalan perkawinan adalah:
103
a. Pemohon mengira Termohon berstatus sebagai perawan, akan
tetapi diketemukan fakta bahwa status istri sebagai janda.
b. Diketemukannya Kartu Tanda Penduduk Termohon yang
menunjukan status sebagai janda, sehingga Pemohon merasa
tertipu atas identitas Termohon.
2. Perkawinan dan situasinya sebagai berikut:
a.
Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami istri;
b.
Bahwa perkawinan Pemohon dan Termohon dilaksanakan pada
tanggal 29 Oktober 2013 dihadapan Pejabat yang berwenang;
c.
Bahwa pada saat perkawinan formal Termohon mengaku
sebagai perawan/gadis;
d.
Bahwa Pemohon dan Termohon sudah hidup pisah rumah
setelah Pemohon mengetahui Termohon sebagai janda ;
e.
Bahwa selama kenalan sebelum menikah Termohon mengaku
berstatus sebagai perawan dan Pemohon sebagai jejaka;
f.
Bahwa Pencantuman identitas Termohon berstatus perawan
adalah atas saran dan permintaan Pemohon sendiri kepada
Termohon, dan setelah musyawarah dengan orang tua
Termohon, demi menjaga wibawa Pemohon di depan temantemannya;
g.
Bahwa Pemohon merasa tertipu dengan diketahuinya status
Termohon sebagai janda. Sehingga adanya unsur indikasi
penipuan keadaan diri Termohon;
104
3. Landasan hukum pembatalan perkawinan:
a.
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 72 ayat (2) Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan
bahwa:
“Seorang
suami
atau
istri
dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah
sangka mengenai diri suami atau istri.”
b.
Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak
memenuhi maksud ketentuan Pasal 27 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Pasal 72 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam karena tidak ada unsur dan
indikasi ke arah penipuan yang sengaja dilakukan oleh
Termohon
terhadap
Pemohon,
sehingga
Majelis
Hakim
berkesimpulan bahwa Pemohon tidak berhasil membuktikan
dalil-dalil
permohonanya.
Oleh
karena
itu
permohonan
Pemohon agar perkawinannya dengan Termohon dibatalkan,
tidak dapat dikabulkan.
c.
Bahwa dengan tidak dibatalkannya perkawinan Pemohon
dengan
Termohon
maka
bukti
Akta
Nikah
Nomor
590/116/X/2013 tertanggal 29 Oktober 2013 berikut kutipannya
atau duplikatnya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum serta dianggap batal demi hukum adalah harus ditolak.
105
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Agama
Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2013/PA.Bjr, serta dilengkapi dengan studi
yang
berhubungan
dengan
permasalahan
maka
dapat
dilakukan
pembahasan sebagai berikut:
1.
Pertimbangan Hukum Hakim tidak mengabulkan permohonan
pembatalan perkawinan dalam memutus perkara Nomor
0317/Pdt.G/2013/PA.Bjr.
Setelah peneliti membaca putusan Nomor 0317/Pdt.G/2013/PA.Bjr
terutama
pada
pertimbangan
hukumnya,
bahwa
sebelum
mempertimbangkan mengenai pokok perkara hakim dalam hal ini terlebih
dahulu mempertimbangkan apakah Pemohon mempunyai kwalitas ataupun
legal standing mengajukan pembatalan nikah perkara a quo, ternyata
pengakuan Pemohon dan Termohon serta keterangan para saksi di
persidangan yang telah dicatat sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal 2 sebagaimana bukti (P.1) Pemohon dan
Termohon adalah masih terikat perkawinan yang sah dinilai oleh majelis
hakim sebagai pihak yang berkualitas dan berkepentingan dalam perkara
ini (sebagai persona standi in judicio). Hakim berpendapat identitas
Termohon yang tercatat dalam kutipan akta nikah dengan tertulis status
perawan/gadis dan dengan tertulis berstatus janda, dianggap tidak
mengakibatkan terjadinya obscure lible, karena menurut pendapat hakim
106
subjeknya sama yaitu Rinal dan Rina, sehingga tidak mengakibatkan
terjadinya error in persona.
Hakim dalam hal ini tidak berpendapat berdasarkan pada Pasal 6
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terbukti ada
atau tidaknya ketentuan pasal tersebut yang dilanggar yang menjadi alasan
batalnya suatu perkawinan. Hakim hanya menyoroti yang menjadi pokok
permasalahan dalam perkara ini adalah Pemohon sebagai suami merasa
tertipu oleh Termohon sebagai istri karena ketika menikah dengan
Pemohon di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Pataruman Kota Banjar Termohon mengaku berstatus sebagai
gadis, tapi ternyata diketahui Termohon berstatus janda cerai bukan
berstatus gadis.
Menurut
pendapat
peneliti
bahwa
yang
menjadi
dasar
pertimbangan hakim dalam menolak permohonan pembatalan nikah yang
diajukan oleh Pemohon tidaklah tepat apabila hanya mengacu kepada
alasan tuntutan Pemohon, yang menyatakan bahwa Termohon telah
melakukan penipuan identitas dengan mengaku sebagai gadis, karena
sebelum berlangsung perkawinan adanya suatu kesepakatan antara
Pemohon dan Termohon untuk status Termohon yang mengaku sebagai
perawan/gadis dan hakim menganggap dalil permohonan Pemohon tidak
memenuhi maksud ketentuan pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan jo pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, karena
107
tidak ada unsur dan indikasi ke arah penipuan yang sengaja dilakukan oleh
Termohon terhadap Pemohon.
Dari data penelitian mengenai permohonan pembatalan perkawinan
tersebut bila menelaah dari pertimbangan hukum hakim terhadap perkara
No. 0317/Pdt.G/2013/PA. Bjr lebih mengarah pada Pasal 27 Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam,
mengenai salah sangka atau penipuan.
Mengenai
salah sangka atau penipuan pada perkara No.
0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr
terdapat
pada
Pasal
27
ayat
(2)
yang
menerangkan bahwa seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri, dan pada
Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menerangkan bahwa seorang
suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau
salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber hukum melalui Pasal 72
ayat (2) telah mengantisipasi kekurangan hal yang tersebut dalam Pasal 27
ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa perkawinan dapat dibatalkan tidak hanya salah sangka mengenai
diri suami atau isteri tetapi juga termasuk “penipuan”. Penipuan disini
tidak hanya dilakukan oleh pihak laki-laki saja, akan tetapi pihak
perempuan. Pihak laki-laki biasanya penipuan dilakukan dalam bentuk
108
pemalsuan identitas, misalnya pria tersebut sudah pernah kawin tetapi
dikatakannya masih jejaka atau bentuk perbuatan licik lainnya sehingga
perkawinan dapat berlangsung penipuan yang dilakukan oleh pihak
perempuan biasanya menyembunyikan kekurangan yang ada padanya,
misalnya adanya cacat fisik, namun bisa juga melakukan penipuan
terhadap pemalsuan identitas.
Menurut Abdul Manan Perkawinan dapat dibatalkan apabila: 54
1. Seorang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
isteri pria lain secara sah;
3. Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan;
4. Perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinan
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi;
5. Perkawinan dilaksanakan dengan paksaan;
6. Perkawinan dilaksanakan dengan ancaman melanggar hukum;
7. Perkawinan dilaksanakan dengan penipuan, penipuan di sini seperti
seorang pria yang mengaku sebagai jejaka, padahal telah mempunyai
seorang isteri ketika pernikahan dilangsungkan, sedangkan ia
melanggar karena poligami tanpa izin Pengadilan Agama atau
penipuan atas identitas diri.
54
Abdul Manan, Op.cit. hal. 46-47
109
Pembatalan
perkawinan
berdasarkan
Pasal
37
Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 di mana dikatakan bahwa batalnya suatu
perkawinan hanya dapat diputus oleh Pengadilan,55 karena suatu
perkawinan sudah dilaksanakan melalui yuridis formal, maka untuk
menghilangkan legalitas yuridis itu haruslah melalui putusan pengadilan.
Pembatalan perkawinan atas dasar putusan pengadilan itu diperlukan agar
adanya kepastian hukum terutama bagi pihak yang bersangkutan, pihak
ketiga dan masyarakat yang sudah terlanjur mengetahui adanya
perkawinan tersebut. Jadi legalitas pembatalan perkawinan yang diatur
oleh
peraturan
perundangan-undangan
yang
berlaku
lebih
luas
jangkauannya dari nikahul bathil dan nikahul fasid sebagaimana yang
tersebut dalam kitab-kitab fiqh tradisional.
Dalam
praktek
Peradilan
Agama,
lazimnya
pembatalan
perkawinan dapat dilaksanakan terhadap perkawinan yang kurang syarat
dan rukunnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syari‟at Islam.
Selain itu pembatalan perkawinan didasarkan Pasal 26 dan Pasal 27
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Pasal 70 dan
Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dapat diperluas pengertiannya, tidak hanya
kekeliruan mengenai diri orangnya tetapi juga menyangkut keadaan
orangnya sehingga hal tersebut dapat dijadikan alasan pembatalan
perkawinan.
55
Abdul Manan, ibid. Hal. 47
110
2. Penafsiran Hukum
Penafsiran mengenai sahnya perkawinan tidak hanya berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, akan tetapi
adanya ketentuan mengenai syarat sahnya perkawinan menurut Undangundang diatur pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No.
1 Tahun 1974.
Perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr mengenai syarat sahnya
perkawinan dilihat dari syarat materiilnya yaitu pada ketentuan Pasal 6
ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan Perkawinan
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, kemudian apabila
secara formil bahwa perkawinan dibatalkan apabila adanya salah sangka
atau penipuan baik dilakukan oleh suami atau isteri seperti yang
tercantum pada Pasal 27 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan
Pasal 72 ayat (2) Kompilasi hukum Islam. Pelanggaran terhadap
persetujuan tersebut, seperti dinyatakan dalam Pasal 27 Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 yaitu berupa adanya kemungkinan suatu ancaman
melanggar hukum dan penipuan atau salah sangka mengenai diri suami
atau isteri, dalam hal ini memberi kemungkinan kepada suami atau isteri
untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.
Definisi mengenai salah sangka dan penipuan secara gramatikal
mempunyai pengertian yang berbeda. Pengertian salah sangka tidak
terdapat penjelasan secara resmi oleh karena itu harus diartikan seluas
mungkin. Salah sangka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
111
diartikan salah mengerti atau salah faham. Berhubungan dengan perkara
pembatalan perkawinan salah sangka bukan saja berpangkal dari calon itu
sendiri tetapi juga bisa berasal dari orang lain, misalnya saja tipuan. Pasal
27 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ditegaskan salah sangka
mengenai “diri”. Jadi mengenai orangnya atau personnya. Kekeliruan
yang dimaksudkan dalam hal ini tidak mengenai “keadaan” orangnya
yang menyangkut status sosial ekonomi. Sedangkan, definisi mengenai
penipuan secara istilah merupakan proses, cara, perbuatan menipu,
perkara menipu (mengecoh) atau merupakan suatu usaha yang dilakukan
dengan sengaja oleh pihak yang satu dengan cara tipu muslihat guna
menimbulkan kehendak pada pihak lainnya untuk menutup perjanjian56.
Yahya Harahap berpendapat bahwa salah sangka dengan penipuan
hampir
bersamaan
dalam
perwujudannya.
Sangat
sulit
untuk
membedakan keduanya. Perbedaan keduanya hanya dapat diketahui pada
unsur “kesengajaan”. Penipuan, pada diri yang melakukan penipuan
terdapat unsur “sengaja” yaitu sengaja mengatur kebohongan yang teratur
dan rapih, sehingga memberikan kesan yang benar bagi pihak lain.
Adapun salah sangka tidak ada unsur kesengajaan untuk memberi
tanggapan salah sangka pada pihak lain. Berkaitan dengan hal ini, para
hakim harus berhati-hati dalam menentukan tentang penipuan dan tipu
muslihat ini, sebab apabila salah dalam menilai tentang wujud dari
56
Nur Wakhid Op.cit. Hal. 75
112
penipuan ini, maka salah pula dalam menetapkan hukum57. Jadi dapat
disimpulkan
bahwa adanya salah sangka dengan penipuan ada atau
tidaknya unsur kesengajaan.
Mengenai penipuan dapat dijelaskan, adanya tipu muslihat dan
bertujuan menimbulkan kehendak. Untuk dikualifisir sebagai penipuan,
maka sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1328 KUHPerdata
tidaklah cukup apabila usaha yang dilakukan hanya bohong belaka
melainkan harus ada lebih dari satu kebohongan yang membentuk
rangkaian kebohongan. Bertujuan menimbulkan kehendak pihak yang
tertipu
memang
memberikan
pernyataan
yang
didasarkan
pada
kehendaknya akan tetapi kehendaknya muncul karena adanya daya tipu
(rangkaian kebohongan) yang sengaja diarahkan ke sesuatu yang
bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya58.
Salah sangka dengan penipuan terkait erat satu sama lain,
rangkaian fakta yang sama tidak jarang menjadi dasar mengajukan
gugatan yang dilandasi adanya penipuan atau salah sangka. Perbedaan
mengenai lainnya mengenai salah sangka atau penipuan, apabila salah
sangka masih terbuka untuk mengubah perjanjian. Tidak demikian halnya
dengan penipuan59. Jadi salah sangka bersifat persepsi internal terhadap
obyek yang mempengaruhi persepsi internal yaitu dari diri individu
57
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian. PT..Alumni, Bandung, 1996.
Hal.26
58
Nur Wakhid, Op.cit. Hal. 77
Herlien Budiono, Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapannya di bidang
kenotariatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Hal. 100
59
113
terhadap suatu obyek, sedangkan penipuan berorientasi eksternal dengan
maksud mengelabui yaitu adanya suatu karakterisitik dari lingkungan dan
obyek-obyek yang terlibat di dalamnya. Penipuan akan menimbulkan
salah sangka atau bisa juga diartikan salah sangka sebagai salah satu
akibat penipuan.
Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak hanya merumuskan
arti perkawinan, melainkan terdapat pula tujuan perkawinan. Menurut J.
Satrio, bahwa menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 suatu
perkawinan bukanlah sekedar merupakan perjanjian antara suami isteri,
melainkan ikatan lahir batin yang suci dengan tujuan untuk membentuk
rumah tangga/keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Rumusan pengertian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dapat dinyatakan bahwa suatu
perkawinan merupakan suatu perjanjian yang terjadi karena adanya
kesepakatan60. Implementasi syarat sahnya perkawinan telah tertuang
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, namun syarat sahnya
perkawinan juga dapat ditinjau dari syarat sahnya perjanjian artinya bahwa
suatu perkawinan merupakan suatu konsep yang lahir dari perjanjian.
Keempat syarat yang telah ditentukan pada Pasal 1320 KUHPerdata dapat
dikelompokan menjadi dua syarat yaitu subyektif dan obyektif.
Pengelompokan kedua syarat itu penting, karena berkenaan dengan akibat
apabila terjadi persyaratan itu tidak dipenuhi. Suatu perjanjian apabila
60
Trusto Subekti, Op.cit. Hal. 7
114
syarat-syarat subyektifnya tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat
dimintakan pembatalannya. Hal ini berarti selama tidak ada pembatalan
dari salah satu pihak maka perjanjian itu tetap berlaku dan wajib
dilaksanakan, sedangkan jika syarat-syarat obyektifnya tidak dipenuhi,
maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum. Hal ini berarti
bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak semula.
Konsep yang digunakan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.
1 Tahun 1974 adalah “persetujuan” dengan demikian untuk memahaminya
secara sistematis ada hubungan dengan kesepakatan yang telah ditentukan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun
1974 kualifikasi persetujuan adalah dari calon mempelai laki-laki dan
calon
mempelai
perempuan.
Perbedaannya
kesepakatan apabila tidak sesuai kehendaknya
dalam
KUHPerdata
mengenal suatu cacat
sepakat yang telah ditentukan pada Pasal 1321 KUHPerdata. Cacat
kehendak atau cacat sepakat yaitu karena kekhilafan, ancaman, dan
penipuan.
Herlien Budiono berpendapat suatu cacat kehendak terjadi
bilamana seseorang telah melakukan suatu perbuatan hukum, padahal
kehendaknya terbentuk secara tidak sempurna.61 Jadi perbuatan hukum
tersebut adanya kehendak yang tertuju meskipun kehendak terbentuk
secara tidak sempurna, meskipun adanya kehendak dan pernyataan yang
tidak sesuai. Sehingga apabila terdapat cacat kehendak dapat dibatalkan.
61
Herlien Budiono, Ibid. Hal. 98
115
Kesepakatan apabila dikaitkan dengan perkawinan, bahwa suatu
perkawinan juga harus adanya kesepakatan atau didasarkan persetujuan
dari kedua calon mempelai sesuai tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) Undangundang No. 1 Tahun 1974, dengan demikian bahwa suatu perkawinan juga
harus dilihat syarat sahnya yang telah diatur dengan ketentuan Undangundang No. 1 Tahun 1974. Mengingat masyarakat Indonesia masih
bertumpu bahwa suatu perkawinan sah apabila sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
Implementasi
penafsiran
pada
perkara
No.
0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr mengenai ketentuan syarat sahnya perkawinan
yang telah ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun
1974 dengan kesepakatan yang telah ditentukan dalam KUHPerdata, maka
dapat diuraikan :
a. Perkawinan didasarkan adanya persetujuan kedua calon mempelai;
b. Kesepakatan dalam KUHPerdata melibatkan kedua pihak antara
pihak yang menawarkan dan pihak yang menerima (akseptasi)
untuk sepakat dengan suatu hal yang sudah dikehendaki.
c. Persetujuan antara Pemohon (suami) dan Termohon (istri) pada
perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr secara materiil mengenai diri
Termohon (isteri) berstatus sebagai janda cerai sudah diketahui oleh
Pemohon (suami). Hakim dalam putusan perkara ini tidak
mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan karena tidak
terbukti salah sangka atau penipuan mengenai diri Termohon (isteri)
yang berstatus janda, sedangkan secara formil mengenai status
116
janda cerai Termohon (isteri) kemudian dicatatkan sebagai
gadis/perawan merupakan hal yang tidak tepat.
117
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat diketahui penafsiran hukum yang
digunakan Hakim mengenai syarat sahnya perkawinan dalam
perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr adalah penafsiran sistematis,
menurut Hakim tidak terbukti indikasi mengenai salah sangka atau
penipuan berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo Pasal 72 (2) Kompilasi Hukum Islam, dan
penafsiran gramatikal mengenai salah sangka dan penipuan yang
berkaitan dengan status Termohon. Bahwa status Termohon
sebagai janda kemudian dituliskan sebagai perawan tidak terbukti
adanya penipuan atau salah sangka karena Pemohon yang
menyarankan status Termohon dituliskan sebagai perawan,
sehingga tidak terjadi obscure lible karena subyeknya sama tidak
mengakibatkan terjadinya eror in persona.
2.
Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat diberikan
saran bahwa seharusnya Hakim dalam mempertimbangkan alasanalasan pembatalan tidak langsung pada pasal-pasal mengenai salah
sangka atau penipuan mengenai suami atau isteri saja, akan tetapi
menafsirkan juga mengenai ketentuan syarat sahnya perkawinan
118
bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai yang telah ditentukan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974.
119
DAFTAR PUSTAKA
Basyir, Ahmad Azhar. 1990. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta : UII Press.
Budiono, Herlien. 2011. Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti.
Ghazali, Abdul Rahman. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana.
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung : Mandar Maju.
Harahap, Yahya. 1978. Hukum Perkawinan Indonesia. Medan: CV Zahir
Tranding Co.
Harahap, Yahya. 1996. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung : PT. Alumni.
Ibrahim, Johny. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Banyumedia Publishing.
Idris Ramulyo, Mohd. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Idris Ramulyo, Mohd. 2006. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Manan, Abdul. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan
Agama. Jakarta : Pustaka Bangsa.
Prakoso Djoko, dan I Ketut Murtika. 1986. Azas-azas Hukum Perkawinan
Indonesia. Jakarta : Bina Aksara.
Prawirohamidjojo, Suoetojo. 2002. Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press.
Prodjodikoro, Wirjono. 1983. Azas-Azas Hukum Perdata. Bandung : Sumur
Bandung.
Saleh, K. Wantjik. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari perjanjian. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Soekanto Soerjono, dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta
: CV Rajawali.
120
Soemiyati, 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.
Yogyakarta: Liberty.
Subekti, Trusto. 2012. Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan,
Purwokerto : Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Subekti, Trusto. 2012. Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum.
Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Wakhid, Nur. 2012. Materi Kuliah Hukum Perjanjian. Purwokerto : Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Peraturan Perundang-undangan yang digunakan:
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1).
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22) jo Undang-Undang No. 50 Tahun
2009 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 159).
PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Putusan Pengadilan :
Putusan Pengadilan Agama Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr.
Sumber Lain:
http://www.jurnalhukum.com/syarat-syarat-sahnya-suatu-perkawinan/,diakses
hari rabu tanggal 12 November 2014 pukul: 13.15.
121
http://www.tempo.co/read/news/2013/12/18/219538445/Pernikahan-AsmirandahJonas-Resmi-Batal diakses pada hari jumat tanggal 10 Oktober 2014 pukul 15.00.
WIB.
Download