1 PENAFSIRAN HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM MENGENAI SYARAT SAHNYA PERKAWINAN (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr) SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh: HANNY NUR AFIIFAH E1A011020 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 2 3 SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Dengan ini saya, Nama : HANNY NUR AFIIFAH NIM : E1A011020 Judul Skripsi : “PENAFSIRAN HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM MENGENAI SYARAT SAHNYA PERKAWINAN (Studi Terhadap Perkara Nomor 0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr)” Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh. Purwokerto, Februari 2015 HANNY NUR AFIIFAH E1A011020 4 PENAFSIRAN HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM MENGENAI SYARAT SAHNYA PERKAWINAN (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor : 0317/Pdt. G/2014/PA. Bjr) OLEH: HANNY NUR AFIIFAH E1A011020 ABSTRAK Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Penafsiran sistematis tentang sahnya perkawinan dapat difahami dengan menafsirkan Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi Hakim dalam pertimbangan hukumnya hanya berdasarkan pada alasan tuntutan yang diajukan para pihak. Seperti halnya dalam kasus Perkara Nomor : 0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr yang tidak mengabulkan permohonan Pemohon. Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa penafsiran yang digunakan oleh Hakim adalah penafsiran sistematis, menurut Hakim tidak terbukti adanya indikasi mengenai salah sangka atau penipuan berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 72 (2) Kompilasi Hukum Islam, dan penafsiran gramatikal mengenai salah sangka dan penipuan mengenai status Termohon. Bahwa status Termohon sebagai janda kemudian dituliskan sebagai perawan tidak terbukti adanya penipuan atau salah sangka karena Pemohon yang menyarankan status Termohon dituliskan sebagai perawan, sehingga tidak terjadi obscure lible karena subyeknya sama tidak mengakibatkan terjadinya eror in persona. Seharusnya Hakim dalam mempertimbangkan alasan-alasan pembatalan tidak langsung pada pasal-pasal mengenai salah sangka atau penipuan mengenai suami atau isteri saja, akan tetapi menafsirkan juga mengenai ketentuan syarat sahnya perkawinan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang telah ditentukan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Kata Kunci : penafsiran hukum, syarat sahnya perkawinan 5 LAW INTERPRETATION USED BY JUDGE IN THE TERM OF LEGITIMATE MARRIAGE (Referenced byCase Verdict Number : 0317/Pdt. G/2014/PA. Bjr) Published by: HANNY NUR AFIIFAH E1A011020 ABSTRACT Article 2 paragraph 1 Law Number 1 Year 1974 explains that marriage is legitimate, if conducted based on its religion and belief regulation. Sistematyc interpretation of the legitimate marriage can be interpreted by using Article 2 paragraph 1, Article 6 until Article 12 Law Number 1 Year 1974, but the judge only considers the law based on the charge reason proposed. As what happen on the Case Number : 0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr which was not granting the pleading of pleader. The research method Metode is normative juridicial. The result of research shows that the interpretation by the judge is systematic interpretation. The judge believe that there is no indication of misinterpretaion or fraud based on Article 27 paragraph 2 Law Number 1 Year 1974, Article 72 paragraph (2) Islamic Law Compilation, and grammatical interpretation about misinterpretation of Defendant status. The Defendant status as widow, later written as virgin is not proven as fraud or misinterpretaion because of pleader‟s suggestion that the defendant status written as virgin. There is no obscure lible because of the precise subject that does not cause eror in persona. The judge in considering of cancelling the pleadingactually should not directly to the articles about the misinterpretation nor fraud of wife or husband, but the judge should interprete the requirement of legitimate marriage that the marriage should based on approval on brides which determined on Article 6 paragraph 1 Law Number 1 Year 1974. Keywords : Law Interpretation, requirement of legitimate marriage 6 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: PENAFSIRAN HUKUM YANG DIGUNAKAN HAKIM MENGENAI SYARAT SAHNYA PERKAWINAN (Studi Terhadap Perkara Nomor : 0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr). Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada: 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak Agus Mardiyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 3. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum dan Ibu Haedah Faradz, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis atas segala bimbingan, bantuan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingannya semoga suatu saat nanti penulis dapat membalas jasa yang telah Bapak dan Ibu berikan. Walaupun penulis tahu, Bapak dan Ibu tidak mengharapkan imbalan apapun dari penulis. 4. Ibu Hj. Siti Muflichah, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji skripsi penulis yang telah bersedia menjadi penguji penulis. 5. Bapak Drs. Noor Asyik, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis. Terima kasih atas kebaikan serta kesediannya setiap kali penulis berkonsultasi Kartu Rencana Studi (KRS). 6. Segenap dosen, karyawan, dan karyawati serta keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah berjasa kepada Penulis selama menempuh kuliah. 7. Ibuku tercinta Hertiningsih, wanita paling hebat dan penuh kesabarannya tiada batas yang telah melahirkan, menyayangi, membesarkan, mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis. 7 8. Bapakku Dadang, S.H., lelaki yang telah mendidik, menyayangi, mendoakan dan selalu memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. 9. Adikku tercinta Hilman Shofiyudin yang telah mendoakan penulis. 10. Paman dan Tanteku tercinta Heryadi, Hetty Lestari, Herdis S.Ag dan Nila Manilawati, S.H., M.H. yang telah membantu dan mendoakan penulis. 11. Teman Pesantrenku hingga dipertemukan kembali di Universitas yang sama Muhammad Faizal Amin, terimakasih atas segala perhatian dan motivasinya selama ini. 12. Teman-teman belajar dan bermain Devina Putri Amadea, Arifa Rachma Indira, Rahmi Topan Insani, Wafa Huwaidah, Novita Merliana Savitri, Rizkianti Yuniartika, Prilia Primawati, terimakasih sudah berteman dan setia mendengar curhat penulis, memberikan semangat, motivasi dan doanya selama ini sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 13. Teman „‟PLKH Perdata” Devina Putri Amadea, Arifa Rachma, Yogie Rahman, Kevin Fazar, Uyunul Nasailil, Nurma rosiana, Rissa Putri, Ira Andini, Nadia Karima, Marsel Daniel, Terimakasih untuk sukses prakteknya, kalian luar biasa. 14. Teman-teman “ KKN Desa Karanggedang Kecamatan Sumpiuh” Periode July 2014 Terimakasih untuk waktu satu bulan yang penuh pengalaman dan cerita. Bersyukur bisa mengenal kalian yang menyenangkan. 15. Keluarga Besar FH Unsoed angkatan 2011 dan FH B Unsoed 2011 yang turut membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. Purwokerto, Februari 2015 HANNY NUR AFIIFAH E1A011020 8 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………… …… i LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………… ii SURAT PERNYATAAN……………………………………………… iii ABSTRAK………………………………………………………… ....... iv ABSTRACT……………………………………………………………. v KATA PENGANTAR…………………………………………………. vi DAFTAR ISI…………………………………………………………… viii BAB I 1 PENDAHULUAN…………………………………………. A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1 B. Perumusan Masalah……………………………………. 9 C. Tujuan Penelitian……………………………………….. 9 D. BAB II Kegunaan Penelitian………………………………….… 9 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………. 11 A. Perkawinan……………………………………………… 11 1. Pengertian Perkawinan…………………………….. 2. Tujuan Perkawinan………………………………… 17 3. Sahnya Perkawinan………………………………… 22 a. Menurut Undang-undang……………………… 11 22 b. Menurut Hukum Islam…………………………. 31 c. Menurut KUHPerdata…………………………. 46 B. Pembatalan Perkawinan………………………………… 53 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan………………… 53 2. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan………………………………………….. 61 3. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan…………….. 64 4. Tata Cara Pembatalan Perkawinan………….………. 69 5. Akibat Pembatalan Perkawinan……………………... 72 9 C. Penafsiran Hukum………………………………………. 73 BAB III METODE PENELITIAN………………………………….. 79 A. Metode Pendekatan…………………………………….. 79 B. Spesifikasi Penelitian…………………………………… 79 C. Lokasi Penelitian……………………………………….. 79 D. Sumber Bahan Hukum…………………………………. 80 E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum…………………... 81 F. Metode Penyajian Bahan Hukum………………………. 81 G. Metode Analisis Bahan Hukum………………………… 81 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………… 83 A. Hasil Penelitian…………………………………………. 83 1. Subyek Hukum……………………………………… 83 2. Duduk Perkara……………………………………… 83 3. Tentang Hukumnya…………………………………. 85 BAB V B. Pembahasan…………………………………………….. 96 1. Pertimbangan Hukum Hakim………………………. 96 2. Penafsiran Hukum………………………………….. 101 PENUTUP………………………………………………….. 108 A. Simpulan………………………………………………... 108 B. Saran……………………………………………………. 108 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya manusia akan mengalami tiga peristiwa penting, yaitu berupa kelahiran, perkawinan dan kematian. Dari tiga peristiwa tersebut, apabila dikaitkan dengan kedudukan manusia sebagai warga negara, maka peristiwa yang terpenting adalah perkawinan. Perkawinan adalah suatu perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang. Nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi (methaporik) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami-isteri antara seorang pria dengan wanita1, dengan jalan perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahluk yang berkehormatan2. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sesuai dengan bunyi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas maka perkawinan bagi orang Islam di Indonesia sah apabila telah dilakukan sesuai dengan Rukun dan syarat sah perkawinan yang telah ditentukan 1 Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 1 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1990, Hal. 1 2 11 dalam Undang-Undang Perkawinan. Mengenai perkawinan bagi orang Islam juga diatur lebih lanjut dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, merumuskan pengertian perkawinan yaitu: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Rumusan Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adanya pengertian dan tujuan perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri, sedangkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang akan dilaksanakan harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Bab II Undang Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam bagi orang Islam dan perkawinan bagi orang yang beragama Islam adalah terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan merupakan hakikat yang memang mutlak harus ada dalam satu perkawinan, karena apabila salah satu saja tidak terpenuhi maka perkawinan tidak dapat terlaksana. Begitu juga dengan syarat perkawinan harus dipenuhi, karena apabila syarat tersebut tidak terpenuhi atau 3 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,1986, hal.3 12 melanggar larangan perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Menurut Ahmad Azhar Basyir4 syarat-syarat sahnya perkawinan adalah sebagai berikut: a. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya; b. Dihadiri dua orang saksi laki-laki; c. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Rukun perkawinan merupakan hakekat dari perkawinan itu sendiri, tanpa adanya salah satu rukun maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Menurut Mohd Idris5 adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan yaitu : a. Calon suami; b. Calon istri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi, dan e. Ijab dan qabul. Syarat sahnya perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (syarat materiil dan syarat formil). 4 5 Ahmad Azhar Basyri, Hukum Perkawinan Islam.op.cit. Hal. 27 Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam.op.cit, Hal. 72 13 Adapun syarat materiil dalam melangsungkan perkawinan terdiri dari:6 1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai; 2. Adanya izin dari kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 Tahun; 3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 Tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 Tahun, kecuali ada dispensasi dari Pengadilan; 4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan keluarga atau darah yang tidak boleh kawin; 5. Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain dan calon mempelai pria juga tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain, kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk poligami; 6. Bagi suami istri yang telah bercerai, kemudian kawin lagi, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin kembali (untuk ketiga kalinya); 7. Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang berstatus janda. Syarat formiil dalam melangsungkan perkawinan terdiri dari: 6 http://www.jurnalhukum.com/syarat-syarat-sahnya-suatu-perkawinan/, diakses hari rabu tanggal 12 November 2014 pukul: 13.15 14 1. Laporan, yaitu harus adanya laporan dahulu kepada pihak yang berwenang, bahwa akan dilaksanakannya perkawinan; 2. Pengumuman, yaitu harus menginformasikan kepada masyarakat bahwa akan adanya perkawinan; 3. Pelangsungan, perkawinan dapat berlangsung sekurangkurangnya disaksikan oleh dua orang saksi. Sahnya perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur adanya syarat materiil dan syarat formil. Artinya tidak cukup hanya terpenuhinya syarat materiil saja, tetapi harus terpenuhinya syarat formil yang menjelaskan perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan memenuhi tatacara perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Seiring dengan perkembangan dan permasalahan yang terjadi saat ini, banyak persoalan dalam ruang lingkup perkawinan. Salah satunya tentang pembatalan perkawinan, apabila suatu perkawinan yang ternyata tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dapat diajukan pembatalan perkawinan ke pengadilan. Perkara pembatalan perkawinan yang cukup ramai menjadi pemberitaan di berbagai media cetak dan elektronik di Indonesia, yaitu tentang kasus pembatalan perkawinan Asmirandah dengan Jonas Rifanno7, dalam kasus ini Asmirandah sebagai pemohon mengajukan pembatalan perkawinannya karena adanya cacat kehendak tentang agama Jonas Riffano sebagai 7 http://www.tempo.co/read/news/2013/12/18/219538445/Pernikahan-AsmirandahJonas-Resmi-Batal diakses pada hari jumat tanggal 10 oktober 2014 pukul 15.00. WIB 15 suaminya yang seorang mualaf, namun setelah perkawinan kembali ke agama semula (non muslim). Putusan Pengadilan Agama Depok mengabulkan permohonan untuk pembatalan perkawinan tersebut. Artinya kasus tersebut di atas memberikan bukti adanya fakta dalam masyarakat dan dalam praktik hukum di pengadilan mengenai peristiwa pembatalan perkawinan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, dalam kasus Asmirandah tersebut alasan pembatalan perkawinan yang digunakan karena Jonas Rifano suaminya telah murtad dari agama Islam. Alasan suami murtad dalam hal ini dapat digunakan sebagai alasan untuk memutuskan perkawinan dengan jalan pembatalan perkawinan dengan alasan cacat kehendak, atau cacat sepakat dilihat dari sudut pandang perkawinan merupakan suatu perjanjian, atau dapat digunakan untuk mengajukan gugat cerai. Kaitannya dengan pembatalan perkawinan biasanya Pengadilan Agama mengabulkan permohonan pemohon baik dari pihak istri/suami yang mengajukan pembatalan perkawinan dengan disertai alasan-alasan, akan tetapi peneliti dalam hal ini menemukan putusan Pengadilan Agama yang menolak pembatalan perkawinan dengan Nomor perkara 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr di Pengadilan Agama Banjar Jawa Barat yang berawal dari adanya perkawinan seorang pria yang bernama Rinal ( nama samaran) dengan seorang wanita bernama Rina (nama samaran), setelah perkawinannya berlangsung beberapa bulan, tibatiba pihak suami yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dikarenakan adanya unsur penipuan keadaan diri dari status istri yang 16 sebelumnya mengaku perawan melainkan seorang janda dikarenakan pihak suami menemukan identitas KTP istri yang berstatus sebagai janda. Pihak istri sebagai termohon mengaku bahwa suaminya yang menyarankan agar identitas termohon dicantumkan perawan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar untuk menjaga wibawa dikalangan teman-teman dan keluarga. Adapun hakim pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa identitas termohon yang tercatat dalam kutipan akta nikah dengan status perawan/gadis (bukti P1), dan identitas termohon yang tercatat dalam kutipan akta nikah (bukti T2) yang berstatus janda tidak menjadikan sebab obscure lible karena subyeknya sama sehingga tidak mengakibatkan terjadinya eror in persona. Sahnya perkawinan secara formil-materiil menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, didasarkan pada penafsiran sistematis dari Undangundang No. 1 Tahun 1974. Secara sistematis ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebetulnya merupakan konsep dasar untuk menentukan sahnya perkawinan dan dimuat dalam Bab I tentang Dasar-dasar Perkawinan. Kemudian bahwa konsep sahnya perkawinan tersebut secara sistematis harus dipenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Bab II tentang syarat-syarat Perkawinan untuk bisa dilangsungkan perkawinan tersebut. Penafsiran sistematis tentang sahnya perkawinan tidaklah cukup difahami secara partial atas dasar Pasal 2 ayat (1) Undangundang No. 1 Tahun 1974 saja tetapi harus dihubungkan dengan persyaratan perkawinan, ada syarat perkawinan secara materiil (Pasal 6 17 sampai dengan pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) dan syarat perkawinan secara formil (Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974)8. Perkawinan juga merupakan suatu perbuatan hukum perjanjian di lapangan hukum keluarga. Persoalannya Hakim tidak menafsirkan mengenai syarat sahnya perkawinan dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 19759. dan pada Pasal 1320 KUHPerdata juga yang mengatur tentang perkawinan tersebut apakah memenuhi syarat sahnya perjanjian. Hakim dalam pertimbangannya seharusnya melakukan penafsiran terhadap sahnya perkawinan secara formil dan materiil. Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji permasalahan mengenai kasus tersebut, mengkaji lebih dalam mengenai penafsiran terhadap sahnya perkawinan dan mengangkat masalah tersebut menjadi skripsi untuk memenuhi tugas akhir dengan judul : “Penafsiran Hukum Yang Perkawinan digunakan (Studi Hakim Terhadap Mengenai Putusan Syarat Perkara Sahnya Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr. Penelitian atau studi yang mendalam mengenai penafsiran yang digunakan Hakim dalam menentukan sahnya perkawinan dan kemungkinan dapat berdampak pada kasus-kasus pembatalan perkawinan, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia ilmu 8 Trusto Subekti,Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan .Universitas Jenderal Soedirman ,Purwokerto, 2010, hal. 35 9 Trusto Subekti, Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hal. 6 18 hukum, maupun bagi pemahaman para praktisi hukum dan masyarakat pada umumnya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penafsiran hukum yang digunakan oleh Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengenai syarat sahnya perkawinan dalam perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui penafsiran hukum yang digunakan oleh Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengenai syarat sahnya perkawinan dalam perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr. D. Kegunaan Penelitian Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain: 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum keluarga pada umumnya dan hukum perkawinan pada khususnya. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca maupun instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang terkait dalam proses perbuatan hukum dalam masyarakat umumnya, khususnya 19 mengenai perkawinan serta menjadi pemikiran lebih lanjut kepada masyarakat yang akan melakukan pembatalan perkawinan. 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Nikah atau kawin arti asli ialah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi (methaporik) atau arti hukum ialah akad (perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suamiisteri antara seorang pria dengan seorang wanita)10. Istilah yang digunakan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu perkawinan, perkawinan yang dalam istilah disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridoi oleh Allah11. Menurut Anwar Haryono,12 perkawinan itu adalah suatu akad (perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suami isteri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang unsur umumnya adalah sebagai berikut: 1. Perjanjian yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita 10 Mohd. Idris Ramulyo, op.cit. Hal. 1 Ibid hal. 8 12 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. hal. 45 11 21 2. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah, mawaddah, dan rahmah) 3. Kebahagiaan yang kekal abadi penuh kesempurnaaan baik moral materiil maupun spiritual. Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut dapat dikemukakan adanya pengertian dan tujuan perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai dari Pasal 1 adalah pasal yang berisi tujuan yang diwujudkan dalam kenyataan sebagai perkawinan yang dicita-citakan serta dijadikan pedoman bagi seluruh warga negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan. Substansi pasal tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa perkawinan tidak semata-mata merupakan hubungan perdata saja, tetapi perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga atau keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau 22 berdasarkan hukum agama13, Jadi perkawinan menurut perundangan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Menurut Trusto Subekti, bahwa perkawinan dirumuskan dalam kalimat “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri”, yang mengandung unsurunsur:14 a. Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin Perkawinan adalah suatu hubungan hukum perikatan yang terjadi karena perjanjian dan di dasarkan atas kasih sayang (cinta), artinya ikatan tersebut tidak cukup hanya bernilai “ikatan lahir” saja dan bersifat “hubungan formil”, akan tetapi juga merupakan “ikatan bathin” yang mendasari ikatan lahir tersebut supaya memiliki kekuatan (tidak rapuh) atau hanya hubungan sesaat saja. Perkawinan yang melahirkan suatu ikatan baik lahir maupun bathin kedua-duanya harus berpadu kuat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan diungkapkan kaitannya adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami-isteri. Jadi adanya suatu hubungan formal ini nyata, yang terjadi dari pihak-pihak yang mengikatkan dirinya dalam sebuah ikatan perkawinan. Sebaliknya ikatan batin hubungannya tidak formal, 13 Hilman Hadikusuma,.Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 7 14 Trusto Subekti, Op.cit Hal. 23 23 artinya ikatan batin bisa disebut suatu ikatan yang tidak nampak atau tidak nyata hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Perkawinan bukan hanya sekedar menyangkut unsur lahir saja, akan tetapi menyangkut unsur batiniah. Ikatan batin inilah yang dapat menjadi suatu fondasi untuk membentuk dan membina keluarga yang bahagia. b. Antara seorang pria dengan seorang wanita Unsur-unsur perkawinan adalah seorang pria dengan seorang wanita, dari kalimat tersebut terdapat 2 aspek penting, yaitu: 1). Pelaku perkawinan adalah berjenis kelamin pria dan wanita, berarti hubungan antara sesama jenis wanita (lesbian) atau sesama pria (gay atau homo sex) sebagaimana yang sering kita dengar dan terjadi diluar negeri, tidak termasuk yang dimaksudkan dalam pengertian perkawinan ini. Hubungan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi, jadi antara seorang pria tidak boleh melakukan perkawinan dengan seorang pria atau seorang wanita juga tidak boleh melakukan perkawinan dengan seorang wanita. 2). Pelaku perkawinan dirumuskan dengan istilah seorang pria dengan seorang wanita, istilah “seorang” berarti satu orang, artinya perkawinan ini menunjuk pada bentuk perkawinan yang bersifat monogami. c. Sebagai suami-isteri 24 Digunakannya istilah “sebagai suami-isteri” menunjukkan bahwa perkawinan merupakan perjanjian antara seorang pria dan wanita dilapangan hukum keluarga, artinya perjanjian tersebut bukan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban (obligatoir) dilapangan harta kekayaan, tetapi merupakan perjanjian yang menimbulkan status, yaitu pria berstatus sebagai suami dan si wanita berstatus sebagai isteri. Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah: Pernikahan yaitu akad sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan, menaati perintah Allah dan melaksanakan perkawinan merupakan ibadah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam di atas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya pergaulan suami-istri hendaknya: a. Pergaulan yang ma’aruf (pergaulan yang baik), yaitu saling menjaga rahasia masing-masing); b. Pergaulan sakinah, yaitu pergaulan yang aman dan tentram; c. Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah, yaitu adanya rasa saling mencintai terutama dimasa muda; d. Pergaulan yang warahmah, yaitu menyantuni terutama setelah masa tua15. 15 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal.4 adanya rasa santun 25 Asaf A.A Fyzee (dalam Nadimah Tanjung yang dikutif oleh Soemiyati) dalam buku Out line of Muhammadan Law (pokok-pokok hukum Islam), menerangkan bahwa perkawinan menurut pandangan Islam menganut 3 aspek, yaitu:16 a. Aspek Hukum; b. Aspek Sosial; c. Aspek Agama. Ad a. Dari aspek hukum perkawinan merupakan suatu perjanjian, perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai tiga karakter khusus yaitu: 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak; 2. Kedua belah pihak yang mengikat perjanjian tersebut mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan hukumnya; 3. Perjanjian perkawinan mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Ad b. Dari aspek sosial, perkawinan mempunyai arti yaitu: 1. Pada umumnya orang yang melakukan perkawinan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari pada mereka yang belum kawin. Khusus bagi kaum wanita dengan perkawinan akan memberikan kedudukan social yang tinggi, karena ia sebagai istri dan wanita mendapat 16 Trusto subekti, op.cit.hal. 16 26 hak-hak tertentu dan dapat melakukan tindakan hukum dalam berbagai lapangan mu’amalat. Ketika masih gadis tindakantindakannya masih terbatas, harus dengan persetujuan dan pengawasan orang tuanya. 2. Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, dulu wanita bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi menurut Islam dalam perkawinan mengenai kawin poligami ini hanya dibatasi paling banyak empat orang, itupun dengan syarat-syarat tertentu pula. Ad c. Dari aspek Agama, perkawinan mempunyai arti: 1. Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai lembaga yang baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja tetapi juga ikatan batin; 2. Menurut hukum Islam perkawinan bukanlah suatu persetujuan biasa, melainkan merupakan suatu persetujuan suci dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.17 2. Tujuan Perkawinan Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila (yaitu sila pertama), maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja 17 Ibid hal.16 27 mempunyai unsur lahir atau jasmani saja, akan tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting18. Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga19. Menurut Trusto Subekti dirumuskan dengan kalimat “dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Unsurunsurnya dijelaskan sebagai berikut:20 a. Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) 1). Keluarga Konsep keluarga menunjuk pada suatu pengertian sebagai suatu kesatuan kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan atas perkawinan yang sah, idealnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anaknya. Tanpa adanya 18 R. Suoetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2002, Hal.38 19 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat. Kencana, Jakarta, 2008, Hal. 22 20 Ibid hal. 24 28 anakpun keluarga sudah ada atau sudah terbentuk. Adanya anak-anak menjadikan keluarga itu menjadi ideal, lengkap, atau sempurna. Keluarga sebagai suatu istilah bisa difahami dalam pengertian keluarga inti (nucleus family), yaitu sebagai basic dari suatu susunan masyarakat (basic social structure), bukan dalam arti masyarakat genealogis yang sering dikenal sebagai kekerabatan, kekeluargaan, saudara, atau marga. 2). Rumah tangga Konsep rumah tangga dituliskan di dalam kurung setelah istilah keluarga, artinya tujuan perkawinan tidak sekedar membentuk keluarga begitu saja, akan tetapi secara nyata harus terbentuk suatu rumah tangga, yaitu suatu keluarga dengan kehidupan mandiri yang mengatur kehidupan ekonomi dan sosialnya (telah memiliki dapur atau rumah sendiri). Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (ada pada penjelasan umum angka 4 huruf d), bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya (aspek biologis maupun aspek psikologis) untuk melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. b. Yang bahagia 29 Kehidupan bersama antara suami istri dalam suasana bahagia merupakan tujuan dari pengertian perkawinan, untuk tercapainya kebahagiaan ini maka pada Pasal 1 disyaratkan harus atas dasar “ikatan lahir batin” yang didasarkan atas kesepakatan (consensus) antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Cinta menjadi fundamentum dari suatu perkawinan, karena perkawinan memiliki arti pula sebagai bersatunya antara 2 orang (seorang pria dengan seorang wanita) dengan disaksikan oleh Tuhan dan masyarakat. Penyatuan ini harus dilandasi suatu penerimaan baik keburukan maupun kebaikan masing-masing. Hal itu baru dapat dicapai apabila didasari oleh cinta, dengan cinta masingmasing akan bisa berkorban dan pengabdian untuk yang lain sebagai suatu fundamentum yang kokoh. c. Dan kekal Kekal merupakan gambaran bahwa perkawinan tidak dilakukan hanya untuk waktu sesaat saja akan tetapi diharapkan berlangsung sampai waktu yang lama. Kekal juga menggambarkan bahwa perkawinan itu bisa berlangsung seumur hidup, dengan kata lain tidak terjadi perceraian dan hanya kematian yang memisahkan. d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah dijelaskan unsur-unsurnya diatas secara ideal maupun secara yuridis harus dilakukan dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, 30 artinya harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yang dianut oleh calon pengantin pria maupun wanita. Arti dari unsur yang terakhir ini sebenarnya merupakan dasar fundamental dari suatu perkawinan atas dasar nilai-nilai yang bersumber dan berdasar atas Pancasila dan UUD 1945. Falsafah Pancasila telah memandang bahwa manusia Indonesia khususnya dalam perkawinan harus dilandasi pada hukum agama dan kepercayaan yang dianutnya.21 Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Ny. Soemiyati dalam bukunya menyebutkan bahwa: tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah.22 Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut: 21 Trusto Subekti, op.cit.hal.24 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan. Liberty,Yogyakarta, 1982, hal.12 22 31 a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan; b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih; c. Memperoleh keturunan yang sah. Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, yaitu sebagai berikut:23 a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia; b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan; c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan; d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi dasar pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang; e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar tanggung jawab. 3. Syarat Sahnya Perkawinan a. Menurut Undang-undang Syarat-syarat untuk sahnya perkawinan diatur dalam Bab II dari pasal 6 sampai dengan pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974. Syarat berarti memenuhi ketentuan yang telah ditentukan, sah berarti menurut hukum yang berlaku. Apabila perkawinan tidak 23 Soemiyati, Loc.cit. Hal. 13 32 sesuai dengan tata tertib hukum yang ditentukan maka perkawinan itu menjadi tidak sah. Jadi yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, apabila ada salah satu dari syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah. Syarat perkawinan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: a. Syarat materiil Syarat yang melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga syarat subyektif. b. Syarat formil Tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga syarat obyektif. Ad. 1. Syarat Materiil Syarat-syarat materiil menurut Trusto Subekti, diatur pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:24 1). Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1); 2). Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2); 24 Trusto subekti, Op.cit. Hal. 35 33 3).Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari Pengadilan (Pasal 7); 4). Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan keluarga atau darah yang tidak boleh kawin (Pasal 8); 5). Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain dan calon mempelai pria juga tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk poligami (Pasal 9); 6). Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin kembali (untuk ketiga kalinya) (Pasal 10); 7). Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang berstatus janda (Pasal 11); Syarat-syarat tersebut dapat dirumuskan sebagai keadaan yang harus ada, atau keadaan yang menghalangi untuk dilangsungkannya perkawinan. Apabila syarat-syarat perkawinan tersebut dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan. Syarat yang telah diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilangsungkannya perkawinan. Syarat-syarat perkawinan ini ditentukan secara limitatif dan dirumuskan dengan menggunakan kalimat “harus”, 34 “hanya”, “larangan”, “tidak boleh” dijelaskan meliputi aspek sebagai berikut:25 1. Perkawinan harus didasarkan Persetujuan kedua mempelai Perkawinan harus didasarkan pada kehendak bebas calon mempelai pria ataupun wanita untuk melaksanakan perkawinan. Persetujuan atau kerelaan kedua belah pihak untuk melaksanakan perkawinan merupakan syarat penting (bersifat fundamental) sebagai pembentuk “ikatan lahir bathin” atau persetujuan yang didasarkan atas kehendak bebas dan didasari oleh saling cinta diantara calon mempelai, untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan disini adalah perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan kehendak bebas dari calon mempelai pria dan wanita tanpa paksaan, jadi calon pengantin itu memilih pasangannya dengan kehendaknya sendiri sehingga tujuan dari perkawinan yang bahagia dan kekal bisa terwujud. Hendaknya persetujuan untuk melangsungkan perkawinan itu adalah sesuatu yang murni, yang betul-betul tercetus dari hati para calon mempelai itu sendiri, bukan secara berpura-pura atau hasil dari suatu paksaan.26 25 Trusto subekti, Loc.cit. hal. 43 K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal.25 26 35 2. Seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Orang tua oleh pembentuk Undang-undang No. 1 Tahun 1974 diberikan tanggung jawab dan sebagai faktor penting dalam proses perkawinan, calon mempelai dinilai oleh orang tua, karena nantinya mereka harus bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya (rumah tangganya). Apabila salah seorang dari mereka sudah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya. Ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang siapa-siapa yang memberikan izin perkawinan jika orangtua dari mempelai telah meninggal dunia. 3. Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Pihak yang hendak melangsungkan perkawinan diharapkan sudah dalam keadaan “matang” jiwa raganya (lahir batin) dan bagi mereka yang masih sangat muda apabila akan melangsungkan perkawinan akan banyak mendapat persoalan 36 dalam rumah tangganya dan juga anak-anak yang dilahirkannya merupakan anak yang dilahirkan dari orang tua yang belum “matang”. Penyimpangan terhadap pasal ini dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan oleh orang tua pihak pria maupun wanita (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974). 4. Larangan Kawin (Pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) disebutkan: Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah maupun ke atas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri; d. Berhubungan sesusuan, yaitu antara orangtua susuan, anak sususan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 37 5. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9 Undang-undang No. 1 Tahun 1974). 6. Apabila suami-isteri telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Pasal ini menjelaskan perkawinan itu mempunyai maksud agar suami-isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, apabila adanya suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan, harus dipertimbangkan dan dipikirkan segala akibatnya. Ketentuan ini guna untuk mencegah tindakan kawin cerai berulangkali, sehingga kedua pihak (suami-isteri) saling menghargai satu sama lain. 7. Wanita yang putus perkawinannya, berlaku waktu tunggu (Pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari; 38 b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan, ditetapkan 3 kali suci sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari; c. Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan; d. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tunggu. Ad.2 Syarat Formal Syarat formal merupakan syarat yang berhubungan dengan tata cara perkawinan, dalam Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan Perundang-undangan sendiri. Syarat formal yang berhubungan dengan tata cara perkawinan adalah sebagai berikut: a. Pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan; b. Pengumuman untuk melangsungkan perkawinan; c. Calon suami isteri harus memerlihatkan akta kelahiran; d. Akta yang memuat izin atau akta dimana telah ada penetapan dari Pengadilan; e. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus memperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau dalam hal ini 39 memperlihatkan surat kuasa yang disahkan pegawai pencatat nikah; f. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung tanpa pencegahan; g. Dispensasi untuk kawin, dalam hal dispensasi diperlakukan. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Untuk syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundangundangan yang berlaku Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dari bunyi Pasal 2 ayat (1) beserta dengan penjelasannya itu, maka suatu perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing- 40 masing agamanya dan kepercayaannya itu, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah27. b. Menurut Hukum Islam Syarat sahnya Perkawinan menurut Hukum Islam adanya syarat dan rukun yang harus terpenuhi. Rukun perkawinan merupakan hakekat dari perkawinan itu sendiri, tanpa adanya salah satu rukun maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan dan apabila ada salah satu syarat tidak dipenuhi maka perkawinan menjadi tidak sah. Menurut Mohd Idris28 adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan yaitu : a. Pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan yaitu calon suami dan calon isteri; b. Wali nikah; c. Dua orang saksi, dan d. Ijab dan qabul. Ad.a Pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan yaitu calon suami dan calon isteri, kedua calon mempelai harus memenuhi syarat tertentu, yaitu: 1. Telah baligh dan mempunyai kecakapan yang sempurna; 2. Berakal sehat; 27 28 K. Wantjik Saleh, op.cit. Hal. 16 Mohd Idris Ramulyo,Op.cit. Hal. 72 41 3. Tidak karena paksaan, artinya berdasarkan kesukarelaan kedua calon suami isteri; 4. Wanita yang hendak dikawini oleh seorang pria bukan termasuk salah satu macam wanita yang haram dikawini; Ad.b Wali nikah Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain, dalam perkawinan wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Wali dalam perkawinan merupakan rukun, tanpa adanya wali perkawinan dianggap tidak sah. Syarat-syarat untuk menjadi wali yaitu: 1. Orang mukalaf atau baligh, karena orang mukalaf adalah orang yang dibebani hukum dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya; 2. Seorang muslim; 3. Berakal sehat; 4. Laki-laki; 5. Adil. Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi wali di atas, dapat dibedakan menjadi tiga (tiga) macam wali, yaitu:29 1. Wali Mujbir atau wali nasab adalah wali yang mempunyai hak memaksa itu disebut wali mujbir. Wali disini hanya terdiri dari 29 Ahmad Azhar Basyir, Op.cit. .hal. 38 42 ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan di bawah perwaliannya. Selain mereka tidak berhak ijbar. 2. Wali hakim, wali yang lebih jauh hanya berhak menjadi wali apabila wali yang lebih dekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat-syarat wali. Apabila wali yang lebih dekat sedang berpergian atau tidak di tempat, wali yang lebih jauh hanya dapat menjadi wali apabila mendapat kuasa dari wali yang lebih dekat itu; apabila pemberian kuasa tidak ada, maka perwalian pindah kepada sultan (Kepala Negara) atau yang diberi kuasa oleh Kepala Negara. Di Indonesia, Kepala Negara adalah Presiden yang telah memberi kuasa kepada pembantunya, yaitu Menteri Agama yang juga telah memberi kuasa kepada para Pegawai Pencatat Nikah untuk bertindak sebagai wali hakim. Hanya dalam hal yang benar-benar dipandang tidak beralasan, orang tua tidak menyetujui perkawinan anaknya dan menolak menjadi wali, misalnya orang tua menolak atas pertimbangan materiil, pangkat dan sifat-sifat lahiriah calon suami, bukan atas pertimbangan agama dan akhlak, perwalian dapat dimintakan kepada sultan, Kepala Negara yang disebut juga hakim. 43 3. Wali muhakam, dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak dapat bertindak sebagai wali karena tidak memenuhi syarat atau menolak, tetapi wali hakim pun tidak dapat bertindak sebagai pengganti wali nasab karena berbagai macam sebab, maka untuk memenuhi syarat sahnya nikah bagi yang mengharuskan ada wali, mempelai yang bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi walinya. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan itu disebut “wali muhakam”. Misalnya apabila seorang laki-laki beragama Islam kawin dengan seorang beragama Kristen tanpa persetujuan orang tuanya. Biasanya yang berwenang bertindak sebagai wali hakim dikalangan umat Islam tidak bersedia menjadi wali apabila orang tua mempelai perempuan tidak memberi kuasa. Agar perkawinan dapat dipandang sah menurut Hukum Islam, mempelai perempuan dapat mengangkat wali muhakam. Ad.c. Dua orang saksi Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi adalah: 1). Mukallaf atau dewasa, karena orang yang sudah dewasalah yang dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya dalam persaksiannya; 2). Muslim, orang yang bukan muslim tidak boleh menjadi saksi; hal 44 3). Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang diucapkan pada waktu akad-nikah dilaksanakan. Orang-orang bisu dan tuli boleh juga diangkat menjadi saksi asal dapat memahami dan mengerti apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berakad; 4). Adil, yaitu orang yang taat beragama. Orang yang menjalankan perintah Allah dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Agama. 5). Saksi yang hadir minimum dua orang, saksi itu harus laki-laki tetapi apabila tidak ada dua orang saksi laki-laki maka boleh dihadiri satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita. Berdasarkan Firman Allah: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki; maka (boleh) seorang laki-laki dengan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, jika yang seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.( Q.S. al-Baqarah : 282). Ad. d. Ijab dan Qabul Ijab adalah pernyataan yang dikatakan oleh wali mempelai perempuan atau walinya. Kabul adalah pernyataan menerima dari pihak mempelai laki-laki atau walinya, dengan adanya pelaksanaan ijab dan Kabul ini berarti bahwa kedua belah pihak telah rela dan sepakat untuk melangsungkan perkawinan serta bersedia mengikuti ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan perkawinan. 45 Perkawinan yang akan dilaksanakan harus memenuhi syarat yang diatur dalam Bab II Undang Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan bagi orang yang beragama Islam harus mengikuti juga ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Syarat perkawinan adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun atau syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing unsur perkawinan. Menurut Pasal 14 KHI (Kompilasi Hukum Islam) untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami; b. Calon isteri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi dan; e. Ijab dan Kabul Adapun syarat untuk calon suami yaitu: 1. Agama Islam; 2. Bukan mahram calon istri, artinya orang perempuan atau lakilaki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. 3. Tidak terpaksa; 4. Laki-laki normal; 5. Tidak mempunyai empat atau lebih istri; 6. Tidak dalam ihram; 46 7. Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi; 8. Cakap hukum dan layak berumah tangga; 9. Tidak ada halangan perkawinan. Syarat untuk calon istri: 1. Beragama Islam; 2. Perempuan normal (bukan bencong atau lesbi); 3. Bukan mahram calon suami; 4. Mengizinkan wali untuk menikahkannya; 5. Tidak dalam ikatan perkawinan dengn laki-laki lain; 6. Tidak sedang dalam masa iddah; 7. Jelas orangnya; 8. Tidak sedang berihram. Syarat untuk wali: 1. Laki-laki; 2. Baligh; 3. Sehat 4. Adil; 5. Tidak dalam ihram. Syarat untuk saksi: 1. Laki-laki; 2. Baligh; 3. Akalnya sehat; 4. Dapat mendengar dan melihat; 47 5. Tidak terpaksa; 6. Tidak sedang berihram; 7. Memahami bahasa dipergunakan dalam ijab qabul. Menurut Ahmad Azhar Basyir syarat sahnya perkawinan adalah:30 1. Calon Mempelai wanita halal dinikahi untuk laki-laki yang hendak menjadi suaminya; 2. Dihadiri oleh dua orang saksi; 3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Berdasarkan pendapat di atas maka seorang wanita yang akan menikah merupakan wanita yang halal untuk dinikahi oleh seorang lakilaki, dan bukan merupakan istri dari laki-laki lain. Firman Allah telah menegaskan dalam Al-Qur‟an Surat An-Nissa Ayat 22 yang artinya yaitu: “Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.Sesunguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” Al-Qur‟an Surat An-Nissa Ayat 23 yang artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu; saudara-saudaramu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan yang sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dlaam pemeliharaanmu dan istri yang telah kamu campur, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (Dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang 30 Azhar Basyir, Op.Cit, hal.27 48 bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungghnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang”. Al-Qur‟an Surat An-Nissa Ayat 24 yang artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kau miliki (Allah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapann-Nya atas kamu.Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk diakwini, bukan untuk berzina.Maka, istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Ayat-ayat Al-Qur‟an di atas menjelaskan bahwa wanita-wanita yang haram untuk dikawini dibagi menjadi dua bagian dari sifat berlakunya, macam-macam penghalang perkawinan ada penghalang perkawinan selamanya atau haram dinikahi untuk selama-lamanya dan pengahalang perkawinan sementara atau haram dinikahi untuk sementara waktu. Haram dinikahi untuk selama-lamanya, sebab-sebab wanita haram dinikahi untuk selama-lamanya ada 4 (empat) macam, yaitu: 1. Perempuan haram dinikah karena hubungan nasab Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan nasab ialah: a. Ibu; yang dimaksud adalah perempuan yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas, yaitu ibu, nenek dari garis ayah atau ibu dan seterusnya ke atas; 49 b. Anak perempuan; yang dimaksud adalah perempuan yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, yaitu anak perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki maupun perempuan); c. Saudara perempuan kandung (seayah dan seibu), saudara perempuan seayah maupun seibu; d. Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, sekandung, seayah maupun seibu, seterusnya ke atas, yaitu saudara nenek atau kakek; e. Kemenakan perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan dan seterusnya ke bawah. 2. Karena hubungan sepersusuan Haram untuk dinikahi karena sepersusuan itu ialah: a. Ibu susuan yaitu ibu yang menyusui seorang anak dipandang sebagai ibu anak yang disusuinya; b. Nenek susuan (yaitu ibu dari ibu susuan dan ibu dari ayah susuan) seterusnya ke atas; c. Kemenakan perempuan susuan, yaitu cucu-cucu dari ibu susuan; d. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan maupun saudara seterusnya ke atas; perempuan dari ayah susuan, 50 e. Saudara perempuan sesusuan baik sekandung, seayah, maupun seibu. Saudara perempuan sesusuan sekandung ialah saudara perempuan dari ibu susuan dan ayah susuan, sedangkan saudara perepuan susuan seayah ialah anak-anak perempuan ayah susuan dengan wanita lain. Saudara perempuan sesusuan seibu ialah anak perempuan ibu susuan dengan laki-laki lain. 3. Karena hubungan semenda Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan semenda: a. Mertua, yaitu ibu kandung si istri demikian pula nenek istri dari garis ibu atau ayah dan seterusnya ke atas; b.Anak tiri, dengan syarat telah terjadi persetubuhan antara suami dengan ibu anak tersebut; c. Menantu, yaitu istri-istri, cucu-cucunya demikian seterusnya ke bawah tanpa syarat apapun; d. Ibu tiri, yaitu janda ayah tanpa syarat pernah terjadi persetubuhan suami istri. Dengan terjadinya akad nikah antara ayah dengan seorang perempuan menjadikan haram nikah antara anak dan ibu tirinya. 4. Karena sumpah Li’an, yaitu apabila seorang suami menuduh istri berbuat zina tanpa ada saksi yang cukup, maka sebagai gantinya suami mengucapkan persaksian pada Allah bahwa ia dipihak yang benar dan tuduhannya itu sampai 4 (empat) kali 51 dan yang ke 5 (limanya) ia menyatakan ia bersedia di laknat Allah apabila ternyata ia berdusta dalam tuduhannya itu. Sedangkan istri dituduh akan bebas dari hukuman zina apabila ia pun menyatakan persaksian pada Allah bahwa suaminya berdusta sampai 4 (empat) kali, yang ke 5 (limanya) menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila suaminya benar, maka perempuan yang sudah di li’an oleh suaminya diharamkan untuk bersama-sama lagi dengan suaminya. Haram dinikahi untuk sementara waktu, sebab-sebab wanita haram dinikahi untuk sementara waktu dikarenakan: 1. Mengawini wanita musyrik, para fuqaha sepakat bahwa lakilaki muslim haram mengawini perempuan musyrik sesuai ketentuan Al-Qur‟an Surat Al Baqarah ayat 221 yang pada intinya melarang wali menikahkan perempuan beragama Islam dengan laki-laki musyrik. Begitupun dengan ketentuam AlQur‟an Surat Al Muntahanah ayat 10, menegaskan bahwa perempuan muslimah tidak halal kawin dengan laki-laki kafir; 2. Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara, baik saudara sekandung maupun saudara sepersusuan. Kecuali secara bergantian, misalnya kawin dengan kakaknya kemudian di cerai, dan nanti mengambil adiknya, atau salah satu meninggal, kemudian mengambil yang satunya lagi sebagai istri; 52 3. Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain sebagaimana ditentukan dalam Al-Qur‟an Surat An Nissa ayat 24; 4. Perempuan yang sedang menjalankan masa iddah, baik iddah kematian maupun iddah talak; 5. Perempuan yang telah ditalak 3 (tiga) kali tidak halal kawin lagi dengan bekas suaminya yang mentalaknya kecuali perempuan itu kawin lagi dengan laki-laki lain dan kemudian bercerai lalu habis masa iddahnya; 6. Perkawinan orang yang sedang dalam ihram, baik yang melakukan akad untuk diri sendiri maupun wakil orang lain; 7. Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dengan perempuan pelacur atau perempuan baik-baik dengan laki-laki pezina tidak dihalalkan, kecuali masing-masing menyatakan bertaubat; 8. Kawin dengan lebih dari 4 (empat) istri, hal tersebut terdapat dalam Surat An Nissa ayat 3 yang pada intinya memberi kelonggaran laki-laki kawin dengan memiliki lebih dari satu istri dan hanya dibatasi 4 (empat) istri saja. Larangan Perkawinan juga diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Pasal 39 sampai Pasal 44. Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam 53 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan: 1. Karena pertalian nasab: a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 2. Karena pertalian kerabat semenda: a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusannya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. 3. Karena pertalian sesusuan: a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; c. Dengan seorang wanita saudara kemenakan sesusuan ke bawah; sesusuan, dan 54 d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 41 (1). Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya: a. saudara kandung, seayah, atau seibu serta keturunannya; b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya. (2). Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj‟i, tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 42 Kompilasi Hukum Islam 55 Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj‟i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj‟i. Pasal 43 (1). Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria: a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali; b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili‟an. (2). Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba‟da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. c. Menurut KUHPerdata Perkawinan merupakan kontruksi perjanjian (transaksi) di lapangan hukum keluarga. Keluarga dilihat dari system social 56 merupakan dasar susunan masyarakat nasional (Basic Social Structure), oleh karena itu dalam ruang lingkup hukum keluarga dan perkawinan perlu adanya bentuk dan suatu system yang nantinya akan memberi perkembangan di kemudian hari. Menurut Trusto Subekti, keluarga merupakan istilah (terminology) yang menggambarkan suatu kesatuan kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan atas suatu perkawinan yang sah dan idealnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anaknya (nucleus family)31. Jadi keluarga dalam hal ini menggambarkan sebagai keluarga inti, bisa dikatakan bahwa perkawinan membentuk suatu perkumpulan yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak yang dilahirkan. Perkawinan membentuk suatu perkumpulan yang menjadikan adanya sebuah ikatan, maka perkawinan merupakan hubungan hukum yang lahir dari perjanjian, dan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: 1. Kesepakatan; 2. Kecakapan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab (kausa) yang halal. Ad. 1. Kesepakatan 31 Hal.1 Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, 2010, Op.cit. 57 Menurut Nurwakhid menjelaskan “sepakat” terkandung petunjuk bahwa setidak-tidaknya ada dua pihak yang saling memberikan persetujuan. Dikatakan saling memberikan persetujuannya kalau memang menghendaki apa yang disepakatinya secara timbal balik32. Jadi, sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dan ada salah satu pihak yang mengambil inisiatif untuk menyatakan kehendak tersebut harus saling dinyatakan. Berhubungan dengan kesepakatan yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, apabila dikaitkan dengan sahnya perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan harus memenuhi persyaratan adanya kesepakatan antar calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974), kemudian seorang perempuan dan laki-laki sepakat untuk melakukan perkawinan antara keduanya juga saling sepakat untuk taat kepada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak dan kewajiban selama hidup bersama. Adanya Persetujuan kedua calon mempelai yaitu persetujuan bebas, tanpa adanya paksaan lahir dan bathin dari pihak manapun untuk melaksanakan perkawinan. Ad.2. Kecakapan 32 Nur wakhid, Hukum Perjanjian. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, Hal. 38 58 Cakap maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Perjanjian yang dibuat sah, maka salah satu syaratnya adalah pihak-pihaknya haruslah cakap bertindak. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata pada asasnya semua orang itu dianggap cakap membuat perjanjian kecuali oleh undangundang dinyatakan tidak cakap. Maka prinsip disini bukanlah siapa saja yang cakap akan tetapi siapa saja yang oleh Undang-undang dinyatakan tak cakap sehingga dapat dikatakan tidak sah bila mereka membuat perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa mereka yang tidak cakap sehingga tidak sah membuat perjanjian, yaitu: 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang dibawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Apabila disimpulkan dari kedua pasal tersebut, maka seseorang dinyatakan cakap bertindak apabila seseorang itu sudah dewasa, tidak ditaruh dibawah pengampuan dan tidak sedang berstatus sebagai istri. Masalah kedewasaan dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur masalah kedewasaan, tetapi secara 59 tidak langsung melalui penafsiran pasal-pasal yang mengatur masalah lain, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang perkawinan menganut asas yang berbeda dengan KUHPerdata mengenai kriteria dewasa. Dewasa menurut Undang-undang Perkawinan tahun 1974 adalah 19 tahun laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, artinya suami istri tersebut sudah dewasa dan cakap hukum untuk melakukan perbuatan hukum. Menurut J. Satrio menegaskan bahwa cakap “membuat”perikatan dan perjanjian harus didasarkan pada unsur “niat” (sengaja) dan cocok untuk “perjanjian” yang merupakan tindakan hukum33. Ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 47 Undangundang No. 1 Tahun 1974 yaitu ketika berumur 18 tahun. Seseorang yang cakap adalah seseorang yang tidak lagi di bawah kekuasaan orang tua, sehingga dapat membuat suatu perjanjian dikarenakan adanya suatu niat dan oleh hukum dianggap mampu bertanggung jawab. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat-syarat yang menyangkut subyek yang membuat perjanjian, karena biasa disebut syarat subyektif, artinya jika subyeknya dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan. Syarat sahnya perkawinan menurut KUHPerdata apabila dikaitkan dengan adanya syarat kesepakatan maka harus adanya persetujuan (kesepakatan) antara calon mempelai, kemudian untuk 33 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari perjanjian. Penerbit citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, Hal. 1 60 mengikat perjanjian atau untuk memberikan persetujuan atau kesepakatan harus memenuhi syarat cakap untuk membuat perjanjian, artinya kemampuan bertanggungjawab. Bahwa perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap maka perjanjiannya tidak sah dalam arti perjanjian tersebut dapat dibatalkan, diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa calon mempelai wanita sudah berumur 16 tahun dan calon mempelai pria 19 tahun, kemudian mereka yang belum berumur 21 tahun masih harus ada izin dari orang tua yang telah ditentukan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Ad. 3. Hal Tertentu Syarat sahnya perjanjian apabila tidak terpenuhi akan berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum adalah syarat “hal tertentu”. Untuk memahami syarat tersebut haruslah diketahui mengenai apa yang dimaksud “hal” dan apa arti “tertentu”. Nurwakhid berpendapat kata “hal” maksudnya adalah pokok suatu perjanjian maka dalam kenyataannya tidak semua perjanjian mempunyai pokok perjanjian. Akan tetapi pada umumnya, kata “hal-tertentu” ditafsirkan sebagai obyek perjanjian yaitu isi dari prestasi yang menjadi pokok perjanjian tersebut. Prestasi merupakan suatu perilaku (handeling) tertentu yang bisa berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu34. Dengan demikian kata 34 Nurwakhid, op.cit hal. 91 61 “tertentu” dalam konteks ini memiliki makna sebagai tertentu secara individual yaitu tertuju pada isi prestasi tertentu. Obyek dari perjanjiannya menurut pasal 1320 KUHPerdata halnya harus tertentu, dalam hal ini obyeknya adalah perkawinan dan menurut hukum keluarga perjanjian ini menimbulkan status, yaitu status sebagai suami dan istri. Obyek perjanjian adalah isi dan prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu perilaku (handeling) tertentu, dalam hal ini adalah perilaku sebagai suami dan sebagai istri35. Jadi untuk suatu hal tertentu jika dilihat dari konteks hukum keluarga adalah menimbulkan status untuk keduanya (suami-isteri) dan suatu hubungan antara suami dan isteri menimbulkan suatu perilaku sebagai suami dan isteri yang dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menimbulkan suatu hak dan kewajiban sebagai suami-isteri. Ad. 4. Kausa yang halal Menurut Hamaker bahwa kausa perjanjian adalah akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi “tujuan mereka” (para pihak bersama) untuk menutup perjanjian, dan karenanya disebut “tujuan obyektif”, untuk membedakannya dari tujuan subyektif, yang olehnya dianggap sebagai motif36. Jadi apabila seseorang mengadakan perjanjian, maka masing-masing mempunyai tujuan sendiri. Tujuan masing-masing pihak dalam mengadakan perjanjian merupakan tujuan subyektif. Di samping itu, secara bersama-sama 35 Trusto Subekti, Op.cit. hal. 8 Trusto subekti, Loc.cit .hal. 9 36 62 perbuatan mereka juga tertuju pada timbulnya akibat hukum tertentu sebagai tujuan bersama atau tujuan obyektif. Dilihat dari kausa yang halal dari sebuah perjanjian (ikatan perkawinan) dapat dilakukan apabila tidak ada hal yang menghalangi untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 Undangundang No. 1 Tahun 1974). Dengan demikian terhadap calon mempelai yang telah memenuhi syarat, maka oleh hukum dianggap telah memenuhi syarat obyektif dari sahnya perjanjian. Sebaliknya apabila bagi calon mempelai yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, berarti bagi mereka oleh hukum dianggap tidak memenuhi syarat obyektif dari sahnya perjanjian. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat-syarat yang menyangkut obyeknya sehingga disebut syarat obyektif dan apabila dalam suatu ikatan perkawinan tidak memenuhi maka batal demi hukum (dianggap perjanjian tidak lahir) atau perkawinan tidak dapat dilangsungkan. B. PEMBATALAN PERKAWINAN 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut M. Yahya Harahap, arti Pembatalan Perkawinan adalah: Tindakan Pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (no legal force or declared void). Sesuatu yang dinyatakan no legal force maka keadaan itu dianggap tidak pernah ada (never existed) oleh karena itu si laki- 63 laki dan si perempuan yang di batalkan perkawinannya dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri37. Pengertian pembatalan perkawinan tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu: a. Perkawinan dianggap tidak sah (no legal force) b. Dengan sendirinya perkawinan dianggap tidak pernah ada (never existed). c. Oleh karena itu, antara laki-laki dan perempuan yang dibatalkan, perkawinannya dianggap tidak pernah sebagai suami-isteri. Pengertian pembatalan perkawinan tidak dirinci dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974, namun dalam Pasal 22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, apabila ada syarat dari sahnya suatu perkawinan tidak terpenuhi maka dapat dibatalkan perkawinan tersebut. Kompilasi Hukum Islam pun tidak merumuskan definisi mengenai pembatalan perkawinan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia pengertian batal yaitu tidak berlaku atau tidak sah. Sedangkan kata pembatalan memiliki arti proses, cara, perbuatan batal atau merupakan pernyataan batal. Pengertian perkawinan sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, 37 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Indonesia,CV Zahir Tranding Co,Medan , 1978. hal. 142 64 dapat ditelaah bahwa pembatalan perkawinan merupakan proses atau cara untuk menyatakan tidak sah atau tidak berlaku ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Tujuan dari adanya pembatalan perkawinan dapat ditinjau dalam Pasal 22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyiratkan bahwa tujuan dari pembatalan perkawinan dapat dilakukan apabila para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syarat perkawinan. Dapat dikatakan bahwa bila para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syarat perkawinan dan pada saat itu perkawinan telah dilangsungkan maka dapat dilakukan pembatalan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat perkawinan belum terpenuhi dan perkawinan belum dilaksanakan maka dapat dilakukan pencegahan perkawinan. Hukum islam telah mengatur mengenai pembatalan perkawinan. Kata fasakh atau fasid dalam Bahasa Arab diartikan merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh merupakan imbangan dari talak sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung. Fasakh dapat terjadi karena terdapat hal-hal yang membatalakan akad nikah yang dilakukan dan dapat pula terjadi karena sesuatu hal yang baru dialami sesudah akad nikah dilakukan dan setelah perkawinan berlangsung38. 38 Ahmad Azhar Basyir. Op.cit,.hal. 85 65 Pembatalan perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu dikarenakan Nikahul Fasid dan Nikahul Bathil. Nikahul fasid terdiri dari dua perkataan yaitu “nikah” dan “fasid”. Pengertian nikah secara harfiah sebagaimana yang tersebut dalam fiqh Syafi’i adalah “berkumpul atau bercampur” tetapi menurut pengertian fuqaha adalah “wathi” sedangkan arti majazi adalah “aqad”. Pengertian fasid adalah “yang rusak”. Dengan demikian nikah fasid adalah “pernikahan yang rusak”. Para fuqaha juga membedakan nikah fasid dengan nikah bathil. Menurut Al Jaziri yang dimaksud dengan nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya untuk melaksanakan pernikahan, sedangkan nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah ditetapkan oleh syara. Hukum nikah kedua bentuk pernikahan itu adalah sama saja yaitu tidak sah.39 Fasakh ialah suatu lembaga pemutusan hubungan perkawinan bahwa isteri yang telah dinikahinya itu ada cacat celanya.40 Menurut hukum Islam, akad perkawinan suatu perbuatan hukum yang sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta konsekuensi-konsekuensinya tentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Oleh karena itu pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam adalah perbuatan yang sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum 39 yang wajib dicegah oleh siapapun yang Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama. Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 40-41 40 Mohd Idris Ramulyo. Op.cit. hal. 141 66 mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila pernikahan itu telah dilaksanakan. Hukum Islam menganjurkan agar sebelum pernikahan dibatalkan perlu terlebih dahulu diadakan penelitian yang mendalam untuk memperoleh keyakinan bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam telah terpenuhi41. Pasal 22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pada penjelasan disebutkan pengertian “dapat” dalam pasal ini adalah dapat dibatalkan apabila menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain. Dengan demikian dapat difahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh seseorang memiliki dan kemungkinan akibat hukum yaitu batal demi hukum atau dapat dibatalkan apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Masalah pembatalan perkawinan berkaitan dengan berbagai pasal dan ketentuan yaitu: a. Pembatalan perkawinan terkait dengan syarat dan rukun nikah; b. Pembatalan perkawinan terkait dengan masalah larangan perkawinan; 41 Abdul Manan. Op,cit. hal. 42-43 67 c. Menyangkut masalah perkawinan poligami; d. Bahkan ada sangkut pautnya dengan pencatatan perkawinan yang diatur dalam Bab II serta taat cara perkawinan yang terdapat dalam ketentuan Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 197542. Ad. 1. Perkawinan terkait dengan masalah syarat dan rukun nikah, karena perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan seperti: a. Tidak ada kesepakatan nikah antara calon suami dan calon istri; b. Pernikahan tersebut dilangsungkan tanpa adanya wali, baik itu wali hakim maupun wali yang ditunjuk oleh pihak calon istri; c. Tidak dihadiri oleh dua orang saksi; d. Tidak ada ijab Qabul. Ad. 2. Pembatalan terkait dengan masalah larangan perkawinan Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, larangan perkawinan diatur dalam pasal 8, yaitu: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara; c. Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu atau bapak tiri; 42 Yahya Harahap, op.cit. hal.142. 68 d. Hubungan sepersusuan yaitu orangtua susuan, anak, sudara, bibi atau paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang melangsungkan perkawinan. Larangan-larangan perkawinan yang dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah larangan yang bersifat selama-lamanya, sedangkan larangan perkawinan yang bersifat sementara atau berlaku hanya sepihak saja, diatur dalam Pasal-pasal: a. Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berisikan tentang poligami; b. Pasal 9 dan pasal 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berisikan tentang seorang wanita yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, maka tidak dapat kawin lagi. Ad.3. Pembatalan perkawinan yang menyangkut masalah perkawinan poligami Menurut Hukum Islam mengawini wanita lebih dari seorang diperbolehkan dengan dibatasi paling banyak 4 (empat) orang. Perbolehan ini diberikan dengan batasan-batasan, yaitu: a. Jumlah wanita yang boleh dinikahi tidak lebih dari 4 (empat) orang; b. Sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya; 69 c. Wanita yang akan dinikahkan lagi seyogyanya adalah wanita yang mempunyai anak yatim supaya anak yatim tersebut berada dibawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami tersebut; d. Wanita yang hendak dinikahi itu tidak boleh ada hubungan saudara baik sedarah maupun sepersusuan. Ad. 4. Pembatalan perkawinan ada hubungan dengan pencatatan perkawinan dan tata cara perkawinan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pencatatan perkawinan diatur dalam Bab II Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975, yang intinya mengatakan bahwa pencatatan perkawinan dapat dilakukan di: a. Kantor Pegawai Pencatat Nikah bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam; b. Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam. Tata cara perkawinan diatur dalam Bab III Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu: a. Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke 10 (sepuluh) sejak pengumuman; b. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu; 70 c. Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi; Apabila ada pelanggaran terhadap pencatatan dan tata cara perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Istri yang diceraikan Pengadilan dengan fasakh atau pembatalan perkawinan tidak dapat dirujuk oleh suaminya. Jadi, apabila keduanya ingin kembali hidup bersuami istri maka harus dengan perkawinan yang baru, yaitu melaksanakan akad nikah baru lagi.43 2. Pihak-pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan Pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: 2. Para keluarga dalam keturunan garis lurus keatas dari suami atau istri; 3. Suami atau istri; 4. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 5. Pejabat yang ditujuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. 43 Soemiyati, Op.Cit, hal.114. 71 M. Yahya Harahap berpendapat mengenai pejabat yang berwenang mengajukan pembatalan selama perkawinan belum diputuskan, diartikan bahwa apabila telah ada putusan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang yang disebut pada sub a, yaitu para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau istri dan sub b, yaitu dari suami atau istri dalam Pasal 23 UndangUndang No. 1 Tahun 1974, maka pejabat yang berwenang tersebut tidak boleh mengajukan pembatalan perkawinan. Pembatalan juga dapat dimintakan oleh Jaksa sesuai Pasal 26 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 dalam hal perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali tidak sah atau tidak dihadiri oleh dua orang saksi44. Hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan ini terdapat dua hal yang diberikan penekanan, yaitu seperti yang ditentukan dalam Pasal 24 dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagaimana disebutkan dibawah ini: Pasal 24 Undang-undang No. 1 Tahun 1974: Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. 44 M. Yahya Harahap, op.cit. hal.73. 72 Dasar pijakan dari Pasal 24 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, lebih mengenal pada prinsip monogami. Suami atau isteri memiliki hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan yang baru karena salah satu dari kedua belah pihak masih terikat perkawinan. Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974: (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suamiisteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 suami atau istri melaksanakan perkawinan di bawah ancaman yang melanggar hukum, kemudian apabila terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri maka para pihak (suami atau isteri) dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. 73 Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 73, yaitu yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami atau istri dari suami atau istri; b. Suami atau istri; c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang; d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67. 3. Alasan-alasan Pembatalan Perkawinan Alasan pembatalan perkawinan diatur dalam beberapa pasal, perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan (pasal 22 Undang-Undang Perkawinan). Alasan pembatalan perkawinan juga diatur dalam Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 24 Undang-undang No. 1 Tahun 1974: Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang 74 baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 26 Undang-undang No. 1 Tahun 1974: (1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri. (2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami-isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974: (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. 75 (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suamiisteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Menurut Yahya Harahap pengertian ancaman yang melanggar hukum adalah pada hakekatnya untuk menghilangkan kehendak bebas (vrijwillig) dari salah seorang calon mempelai. Pengertian lebih luasnya adalah merupakan ancaman kekerasan yang bersifat tindak pidana yang dapat menghilangkan hakekat bebas seorang calon mempelai. Kemudian salah sangka yang dimaksud dalam hal ini adalah salah sangka (dwaling) mengenai diri suami diri suami atau istri, jadi orangnya atau personnya, sehingga salah sangka itu tidak mengenai keadaan orangnya yang menyangkut status sosial ekonominya45. Pembatalan perkawinan diatur juga di dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu Pasal 70 sampai dengan Pasal 76, tentang alasan pembatalan perkawinan disebutkan dalam Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72. Pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan batal (batal demi hukum) apabila: 45 Yahya Harahap, ibid. hal.75 76 1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i; 2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya; 3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga talak olehnya, kecuali apabila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria terserbut dan telah habis masa iddahnya; 4. Perkawinan di lakukan antara dua orang yang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UndangUndang Perkawinan, yaitu: a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu dan ayah tiri. d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. 77 e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya. Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata dikemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud; c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam: 1). Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum; 2). Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya 78 perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami dan istri; 3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan maka haknya akan gugur. Sahnya perkawinan ditinjau dari syarat sahnya perjanjian mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata ada 4 (empat) unsur, adanya unsur kesepakatan dan cakap yang merupakan syarat subyektif apabila subyeknya dilanggar maka hanya mempunyai arti dapat dibatalkan. Pembatalan ini hanya dapat dibatalkan apabila ada pihak yang mengajukan. Perkawinan dianggap sah, selama tidak ada pihak yang mengajukan pembatalan. Sedangkan unsur hal tertentu dan kausa halal merupakan obyek dari perjanjian disebut dengan syarat obyektif. Apabila obyeknya dilanggar maka perjanjian batal demi hukum atau tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan oleh hukum dianggap tidak memenuhi syarat obyektif dari sahnya perjanjian. 4. Tata Cara Pembatalan Perkawinan Tata cara permohonan pembatalan perkawinan menurut Trusto Subekti, dengan mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami-isteri (Pasal 25 Undang-undang No. 79 1 Tahun 1974). Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pencegahan perkawinan, tata cara permohonan pembatalan perkawinan telah diatur dalam Pasal 38 PP. No. 9 Tahun 1975 yang menyebutkan: 1. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat belangsungnya perkawinan atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri; 2. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilaksanakan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian; 3. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini; Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian, dalam memeriksa permohonan pembatalan perkawinan haruslah memberlakukan ketentuan-ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 Undang-undang No. 1 Tahun 197446. Menurut Pasal 1 huruf (b) PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa Pengadilan adalah 46 Trusto Subekti, op.cit. Hal. 63 80 Pengadilan Agama yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama non Islam. Pasal 20 PP No. 9 Tahun 1975 menyebutkan: 1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat; 2. Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman Penggugat; 3. Dalam hal Tergugat berkediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman Penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada Penggugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Para pihak yang hendak membatalkan perkawinannya harus mengajukan surat yang berisi pemberitahuan bahwa para pihak bermaksud untuk membatalkan perkawinan kepada Pengadilan ditempat tinggal suami atau istri dengan disertai alasan-alasan, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk untuk keperluan pembatalan perkawinan tersebut. Pengadilan kemudian mempelajari isi surat yang dimaksud dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari. 81 5. Akibat Pembatalan Perkawinan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. Adanya putusan Pengadilan tersebut berarti perkawinan dianggap tidak sah dan dengan sendirinya dianggap tidak pernah kawin. Mohd Idris berpendapat batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya47. Sesuai dengan adanya ketentuan pada Pasal 28 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 75 dan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan keputusan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, dan bagi pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut agar mempunyai status hukum yang jelas dan resmi sebagai anak dari orangtua mereka; 47 Mohd Idris, Op.cit. Hal.88 82 b. Suami atau istri yang beritikad baik kecuali terhadap harta bersama, apabila pembatalan perkawinan berdasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c. Pihak ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Segala perikatan hukum dibidang keperdataan yang dibuat oleh suami istri sebelum pembatalan perkawinan adalah perikatan yang sah dan dapat dilaksanakan kepada harta perkawinan atau dipikul bersama oleh suami istri yang telah dibatalkan perkawinanya secara tanggung menanggung, baik terhadap harta bersama maupun terhadap harta kekayaan masing-masing C. PENAFSIRAN HUKUM Penafsiran merupakan proses, cara, perbuatan menafsirkan upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yg kurang jelas (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Secara istilah (terminology) upaya mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-undang dan berhubungan erat dengan soal bahasa, yang terpakai untuk mewujudkan dalam katakata beberapa pengertian hukum, dalam membicarakan hal-hal yang mengenai hukum, di antara orang-orang yang saling memperdebatkan suatu hal pengertian hukum, harus ada kata 83 sepakat tentang arti kata-kata yang dipergunakan48. Maka perlulah adanya istilah hukum yang tertentu dan mendapat pengesahan dari masyarakat umum dari dunia pengetahuan ilmu hukum khususnya. Istilah hukum yang akan disusun selalu ada perbedaan faham di antara para ahli hukum dalam mengartikan sesuatu atau beberapa peraturan hukum, oleh karena peraturan hukum pada umumnya dapat dimengertikan benar-benar, tidak cukup ditinjau dari sudut arti kata-kata yang dipakai saja, melainkan membutuhkan pengetahuan tentang beberapa hal, di antaranya yang terpenting ialah soal maksud dan soal tujuan dari peraturan hukum itu. Mengenai Penafsiran hukum Trusto Subekti menjelaskan bahwa setiap penafsiran hukum pada hakekatnya hanya menafsirkan apa yang dikehendaki oleh para pembentuk Undangundang, oleh karena itu suatu penafsiran dibatasi sendiri oleh Undang-undang itu sendiri, yaitu oleh materi peraturan perundangundangan yang bersangkutan, tempat perkara diajukan dan menurut jamannnya49. Ketentuan Undang-undang tidak dapat diharapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa. Apabila ketentuan Undang-undang yang bersifat abstrak dan umum harus diberi arti, harus dijelaskan atau harus ditafsirkan, termasuk 48 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata. sumur Bandung, Bandung, 1983, 49 Trusto Subekti, Op.cit. Hal, 131 hal. 14 84 memberikan penafsiran terhadap sahnya perkawinan. Seperti diketahui bahwa ada beberapa macam-macam penafsiran hukum. Soedikno Mertokususmo50 menjelaskan ada beberapa macam metode penafsiran hukum adalah sebagai berikut: 1. Interpretasi bahasa Interpretasi gramatikal ini merupakan metode interpretasi paling sederhana menurut dengan mengetahui makna menurut bahasa, susun kata atau bunyinya. 2. Interpretasi teleologis/sosiologis Interpretasi teleologis atau sosiologis yaitu menafsirkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan dengan kemungkinan adanya perkembangan dalam masyarakat dan disesuaikan dengan situasi social yang baru. 3. Interpretasi sistematis Metode penafsiran dengan cara menghubungkan satu Undangundang dilihat sebagai bagian dari keseluruhan system perundang-undangan. 4. Interpretasi historis Metode penafsiran dengan menggunakan sejarah Undangundang yang bersangkutan (sejarah terjadinya), dan ada dua macam penafsiran historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum 50 Trusto Subekti, Ibid. hal. 131 85 5. Interpretasi komparatif Metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan atau penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. 6. Interpretasi futuristis Metode penafsiran yang bersifat antisipasi dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. 7. Interpretasi restriktif dan ekstensif Metode penafsiran ini merupakan penafsiran yang bersifat membatasi (restriktif) dan yang bersifat memperluas (ekstensif) sebagaimana yang disebutkan secara gramatikal. 8. Metode argumentasi Metode penafsiran yang dilakukan apabila peraturannya tidak jelas (kekosongan hukum) dengan penemuan hukum. 9. Argumenteum per analogiam Metode penafsiran dengan menggunakan analogi, maka suatu peristiwa serupa dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. 10. Penyempitan hukum Metode penafsiran dengan membentuk pengecualian- pengecualian dari peraturan yang bersifat umum kemudian diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. 86 11. Argumentum a contrario Metode penafsiran dengan berdasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang (metode kebalikannya). 12. Penemuan hukum bebas Penemuan hukum bebas ini sebetulnya tidak termasuk dalam interpretasi, tetapi merupakan metode penemuan hukum dengan menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkrit dan tidak berdasarkan atas suatu undang-undang (kekosongan hukum). Menafsirkan sahnya perkawinan dengan menggunakan penafsiran sistematis yaitu penafsiran dengan cara menghubunghubungkan satu undang-undang dilihat merupakan bagian dari keseluruhan system perundang-undangan, dan penafsiran secara gramatikal mengenai definisi salah sangka dan penipuan. Suatu peraturan hukum pada umumnya tidak boleh berdiri sendiri, melainkan ada hubungan dengan peraturan hukum lain. Beberapa peraturan hukum bersama-sama merupakan suatu rangkaian dengan peraturan antara satu dengan yang lainnya, dan saling menambah dan menyempurnakan masing-masing. Maka dalam hal ini peraturan-peraturan hukum itu sebagai suatu rangkaian. Peraturan hukum baru dapat dimengerti benar-benar, apabila lainlain peraturan hukum yang ada hubungan, ditinjau dan dipelajari 87 juga. Penafsiran hukum seperti ini dapat disebut sebagai penafsiran secara “systematic.”51 Penafsiran sahnya perkawinan secara formil-materiil menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, dasar pada penafsiran sistematis yaitu dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Secara sistematis ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan konsep dasar untuk menentukan sahnya perkawinan harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan tersebut. Penafsiran sistematis tentang sahnya perkawinan tidaklah cukup berdasarkan Pasal 2 ayat (1), karena adanya syarat-syatar perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Mengenai sahnya perkawinan ditinjau dari Pasal 1320 KUHPerdata disini adanya unsur suatu kesepakatan dimana sepakat disini merupakan syarat subyektif apabila dilanggar maka dapat dibatalkan. 51 Wirjono Prodjodikoro, op.cit. hal. 14 88 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif52. Beberapa pendekatan masalah yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analisis (analytical approach). B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah spesifikasi penelitian hukum normatif yang bersifat menemukan hukum in abstracto dalam perkara in concreto, maka tipe penelitiannya adalah penerapan hukum yang dalam hal ini adalah penerapan sistem hukum perkawinan. Suatu putusan Hakim merupakan hukum in concreto (hukum subyektif) sebagai bentuk penerapan hukum in abstracto (hukum obyektif atau sistem hukum perkawinan) terhadap perkara in concreto (duduk perkaranya dalam Putusan Pengadilan Agama Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr ). C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Banjar untuk mengambil berkas putusan perkara pembatalan perkawinan, Pusat Informasi Ilmiah 52 Johny Ibrahim.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Banyumedia Publishing, Malang, 2005, Hal. 295 89 Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, peraturan perUndangundangan yang mengatur syarat syahnya perkawinan dan artikel atau pustaka yang dapat dipergunakan untuk analisa data dan pembahasan, dan selanjutnya melalui situs-situs di internet dapat dilakukan browsing bahanbahan hukum primer, bahan sekunder dan bahan tersier. D. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:53 1). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; b. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; c. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam; d. Putusan Pengadilan Agama Banjar Nomor 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr. 2). Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu buku buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh; 53 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. CV. Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 14 90 3). Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum. E. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan terhadap data dan bahan hukum seperti tersebut diatas, dikumpulkan dengan menggunakan metode Recording (pencatatan). F. Metode Penyajian Bahan Hukum Pengolahan data dalam penelitian hukum normatif berwujud kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Data yang diperoleh berupa bahan hukum kemudian dilakukan pengolahan data dengan cara substansi pertimbangan hukum dalam Putusan Pengadilan Agama Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr direduksi sesuai pokok hal yang dipertimbangkan dan kemudian dikualifikasi dan disusun secara sistematis, selanjutnya disajikan dalam bentuk teks naratif yaitu uraian-uraian yang disusun secara sistematis dengan cara mengikuti alur sistematika pembahasan. Keseluruhan data yang diperoleh dihubungkan satu dengan lainya, dan dituangkan dalam suatu sistematika hasil Penelitian dan pembahasan. G. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara berpikir deduktif maksudnya adalah cara berpikir yang berpangkal pada pernyataan yang bersifat umum untuk 91 mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus. Melalui analisa hubungan koherensi antara kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai syarat syahnya perkawinan dan, dihubungkan dengan fakta-fakta hukum sebagaimana dideskripsikan pada duduk perkara dalam Putusan Pengadilan Agama Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr selanjutnya dapat diperoleh kesimpulan mengenai penafsiran hukum dan hasil studi akademisnya dalam penafsiran terhadap sahnya perkawinan. 92 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan salinan putusan Nomor : 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr Pengadilan Agama di Kota Banjar yang mengadili perkara tertentu dalam peradilan tingkat pertama, dalam persidangan Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan dalam perkara pembatalan nikah antara : 1. Subyek Hukum a. Nama samaran Rinal, umur 40 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, bertempat tinggal di Jalan Bendi Raya B II/34 Rt. 008 Rw. 010 Kelurahan Kebayoran Lama Utara Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Dalam hal ini dikuasakan kepada Edis Gunawan, S.H, Anang Fitriana, S.H, Dafiq Sayahal Manshur, S.H, M.H. selaku advokat dan Pengacara yang beralamat kantor di Jln. Jend Sudirman No. 133 Ciamis, berdasarkan surat tanggal 27 Maret 2014 dan sesuai dengan surat kuasa No. 429/K/IV/2014/PA.Bjr., sebagai Pemohon; b. Nama samaran Rina, umur 23 tahun, agama Islam, pekerjaan Mengurus rumah tangga, bertempat tinggal di Jalan Dusun Cigadung Rt. 009 Rw. 004 Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar, sebagai Termohon; 2. Duduk Perkara 93 Pengadilan Agama Kota Banjar menimbang bahwa berdasarkan surat permohonan Pemohon tanggal 2 April 2014 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Kota Banjar dengan Nomor register 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr tertanggal 14 April 2014. Pada tanggal 29 oktober 2013, Pemohon dengan Termohon melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar Kutipan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 tanggal 29 oktober 2013. Kemudian setelah menikah Pemohon dan Termohon tinggal di Jakarta, ditempat kediaman Pemohon. Bahwa dalam Kutipan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 tanggal 29 Oktober 2013 tercatat status istri sebagai perawan. Pada tanggal 31 oktober 2013 di hotel Sami Rasa Bandung diketemukan Kartu Tanda Penduduk milik istri (Termohon) dengan status perkawinannya sebagai janda. Kemudian setelah orang tua dari Pemohon mengetahui status termohon sebagai janda pada tanggal 16 November 2013 Termohon pulang ke Banjar. Status janda Termohon tercantum dalam Kartu tanda penduduk milik Termohon diperkuat oleh salinan Putusan Pengadilan Agama Ciamis dengan Nomor 1336/Pdt.G/2011/PA.Cms. Selama kenalan sebelum menikah dengan Pemohon, Termohon mengaku berstatus sebagai perawan. Berhubungan dengan diketahuinya status Termohon sebagai janda tersebut, Pemohon merasa tertipu, oleh karena itu pernikahan antara Pemohon dengan Termohon telah melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-undang No. 1 94 Tahun 1974 jo Pasal 72 ayat (2) KHI, yaitu adanya unsur-unsur penipuan keadaan diri Termohon. Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan ini masih dalam batas waktu yang diamanatkan Pasal 27 ayat (3) KHI. Adapun alasan-alasan dari Permohonan Pembatalan Perkawinan tersebut adalah : 1). Pemohon mengira Termohon berstatus perawan dengan adanya Kutipan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 tanggal 29 oktober 2013 tercatat status istri sebagai perawan. 2). Diketemukannya Kartu Tanda Penduduk milik istri (Termohon) dengan status perkawinannya sebagai janda, Pemohon merasa tertipu. 3. Tentang Hukumnya Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut diatas: a. Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perkara, Pemohon memohon perkawinannya dengan Termohon dibatalkan dengan alasanalasan bahwa semula Pemohon mengira atau menyangka identitas Termohon yang tercatat dalam kutipan akta nikah (bukti P.1) dengan status perawan/gadis, sedangkan identitas Termohon yang tercatat dalam kutipan akta nikah (bukti T.2) berstatus janda. Permasalahan dalam perkara ini adalah Pemohon sebagai suami merasa tertipu oleh Termohon sebagai isteri karena ketika menikah dengan Pemohon dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar 95 Termohon berstatus sebagai perawan, tapi ternyata diketahui Termohon berstatus janda cerai bukan berstatus perawan. Permohonan Pemohon semuanya dalam hal ini dibantah dan ditolak oleh Termohon sebagaimana dalam berita acara persidangan, kecuali dalil Permohonan point satu yaitu antara Pemohon dan Termohon melangsungkan perkawinan diterima dan dibenarkan oleh Termohon. Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa perkawinan antara Pemohon dan Termohon harus dibatalkan apabila adanya salah sangka atau penipuan. b. Menimbang, bahwa atas dalil permohonan Pemohon, Termohon memberikan jawaban dalam persidangan pada pokoknya dibantah dan ditolak oleh Termohon, kecuali dalil permohonan Pemohon mengenai telah berlangsungnya perkawinan antara Pemohon dengan Termohon pada tanggal 29 Oktober 2013 secara sah di Gedung GBI Banjar dengan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar tanggal 29 Oktober 2013. Majelis hakim berpendapat bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon yang telah dibenarkan oleh Termohon merupakan suatu pengakuan, nilai pembuktiannya mengikat dan menentukan sehingga pihak yang mendalilkannya telah terbebas dari beban pembuktian hal ini sesuai dengan Pasal 174 HIR. Berdasarkan data hasil penelitian di atas bahwa Termohon membantah dan tidak membenarkan dalili-dalil permohonan mengenai 96 adanya penipuan identitas Termohon, maka hal ini akan di uji lebih lanjut dengan alat bukti yang sah di persidangan, dan pembuktiannya dibebankan kepada Pemohon sebagai pihak yang mendalilkannya, sebagaimana ketentuan Pasal 163 HIR jo Pasal 283 R.Bg. c. Menimbang, bahwa di persidangan Pemohon telah memberikan alat bukti surat sebagai bukti (P.1, 2, 3, dan 4), akan tetapi tidak ada satu pun alat bukti surat dari Pemohon yang berkaitan dengan bukti penipuan Termohon kepada Pemohon yang mengakibatkan Pemohon merasa tertipu oleh Termohon, atau yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya penipuan yang sengaja dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon, melainkan alat bukti tersebut hanya menunjukkan pada status Termohon sebelum menikah dengan Pemohon, sehingga alat bukti (P. 1, 2, 3, dan 4) tidak menguatkan dalil-dalil pokok permohonan Pemohon dan serta 3 (tiga) orang saksi yang masing-masing bernama Wildan Sjoekri, Eko Kusumo Amay Yuono, dan Gatot Ali Basyah ditolak oleh Termohon, karena ketiga orang saksi tersebut disamping tinggal di Jakarta, juga tidak mengenal Termohon lebih jauh, dan para saksi Pemohon tersebut tidak mengetahui persis tentang pokok masalah antara Pemohon dengan Termohon; Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa untuk menangani perkara bukti-bukti dan kehadiran saksi sangat penting. Tujuannya adalah untuk menguatkan dalil-dalil permohonan. Siapapun yang mendalilkan maka dalam hal ini harus membuktikan. 97 d. Menimbang, bahwa Majelis Hakim berkesimpulan, ternyata Pemohon tidak bisa membuktikan dalil-dalil permohonannya secara jelas dan tegas dipersidangan, baik berupa surat maupun saksi-saksi sesuai dengan ketentuan Pasal 144, 163 HIR jo Pasal 283 R.Bg, melainkan Pemohon hanya bisa berhasil membuktikan sebagian dalil permohonannya, sebagaimana bukti (P. 2) tentang bukti telah terjadinya pernikahan antara Pemohon dengan Termohon; Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa bukti P. 1, P.2, P. 3 dan P. 4 bukti yang tidak dibantah oleh Termohon yaitu bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan perkawinan, terkait bukti penipuan atas status perawan/gadis dibantah oleh Termohon. e. Menimbang, bahwa begitu juga Termohon di persidangan telah memberikan alat bukti surat, sebagaimana bukti (T.1) yang berkaitan dengan identitas Termohon berstatus sebagai janda, bukan perawan yang sebelumnya dituduhkan oleh Pemohon, bahwa Termohon telah menipu Pemohon: Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa bukti T. 1 berkaitan dengan identitas Termohon berstatus sebagai janda. f. Menimbang, bahwa disamping itu Termohon juga telah menghadirkan 2 (dua) orang saksi di persidangan, masing-masing bernama Nana Sumarna bin Oyon dan Itoh Masitoh binti Nana Sumarna, yang telah disumpah dan diperiksa secara terpisah di persidangan dan telah memberikan keterangan sebagaimana tersebut diatas, yang pada pokoknya dinilai oleh Majelis Hakim telah mengetahui substansi pokok perkara 98 Pemohon dengan Termohon, dan mengetahui juga asal usul identitas Termohon yang tercatat dalam Kutipan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar sebagai perawan, yang pada pokoknya kedua saksi Termohon tersebut menyatakan tidak ada unsur atau indikasi Termohon telah menipu Pemohon, Justru Pemohonlah yang meminta dan menyarankan kepada Termohon juga kepada orang tua Termohon agar pada waktu akad nikah Termohon harus mengaku berstatus sebagai perawan dan dicatat pada Kutipan Akta Nikah, karena demi wibawa Pemohon di depan temantemannya dan agar tidak banyak pertanyaan dari orang tua Pemohon, dengan demikian keterangan kedua saksi tersebut telah mendukung pengakuan Termohon tersebut di persidangan, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan keterangan saksi tersebut dapat menguatkan dalil bantahan Termohon. g. Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon dan Termohon yang di dukung oleh keterangan para saksi Pemohon dan Termohon di persidangan serta bukti surat (P.1, 2, 3 dan 4) dan bukti surat (T.1, 2, dan 3), Maka ditemukan fakta-fakta sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan perkawinan pada tanggal 29 oktober 2013; 2. Bahwa perkawinan antara Pemohon dan Termohon atas dasar suka sama suka tanpa ada paksaan dari siapapun juga; 99 3. Bahwa sebelum pernikahan berlangsung antara Pemohon dan Termohon sudah saling mengenal satu sama lain, selama lebih kurang 11 bulan serta Pemohon telah mengakui bahwa status Termohon adalah janda; 4. Bahwa pencantuman identitas Termohon berstatus perawan pada Kutipan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 tanggal 29 Oktober 2013 yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar adalah atas saran dan permintaan Pemohon sendiri kepada Termohon, dan setelah bermusyawah dengan orang tua Termohon, demi menjaga wibawa Pemohon di depan teman-temannya dan agar tidak ada pertanyaan dari orang tua Pemohon; 5. Bahwa ternyata sebelum menikah dengan Termohon, Pemohon pernah menikah dibawah tangan dengan perempuan lain, dan telah dikarunia 1 orang anak; 6. Bahwa tidak terbukti adanya unsur atau indikasi Termohon menipu Pemohon, dengan memalsukan identitas dan mengaku sebagai berstatus perawan, justru Pemohon sendiri yang meminta dan menyarankan agar identitas Termohon waktu akad nikah dan dicatat dalam Kutipan Akta Nikah berstatus perawan; Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa berdasarkan bukti P.1 sampai dengan P.4 hanya sebagian yang terbukti, sehingga dengan adanya kesaksian 2 orang dari pihak Termohon jika dihubungkan dengan dalil-dalil permohonan Pemohon tidak menguatkan permohonan yang diajukan oleh Pemohon. 100 h. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa dalil permohonan Pemohon tidak memenuhi maksud ketentuan Pasal 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, karena tidak ada unsur atau indikasi kearah penipuan yang sengaja dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalil permohonannya. Oleh karena itu permohonan Pemohon yang terdapat pada petitum pokok perkara point 2 dan 3, agar membatalkan perkawinan antara Pemohon dengan Termohon yang dilangsungkan pada tanggal 29 oktober 2013 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar dan menyatakan Kutipan Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar tidak berkekuatan hukum serta dianggap batal demi hukum adalah harus ditolak; Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa dalam perkara ini Pemohon (suami) mempunyai hak untuk melakukan pembatalan perkawinan apabila pada saat berlangsungnya perkawinan terjadinya penipuan atau salah sangka pada diri Termohon (istri) yaitu status janda sebagai seorang istri akan tetapi mengaku sebagai perawan yang dalam hal ini merupakan keadaan diri istri, yang menjadi permasalahan dalam hal ini adanya suatu persetujuan di awal sebelum adanya perkawinan antara calon mempelai wanita dan laki-laki untuk memalsukan identitas status sebagai seorang istri yaitu sebagai perawan. 101 i. Menimbang, bahwa Pemohon melalui kuasa hukumnya dalam kesimpulannya telah menyampaikan keberatan atas kedua orang saksi Termohon di persidangan dengan alasan kedua orang saksi tersebut masih terikat kekeluargaan dengan Termohon, yaitu sebagai kakak dan ayah kandung Termohon, dengan merujuk Pasal 145 HIR, 172 ayat (1) R.Bg dan Pasal 1910 KUH Perdata; Berdasarkan data hasil penelitian di atas saksi dalam perkara ini menguatkan bantahan dari Termohon. j. Menimbang bahwa mengenai keberatan Pemohon tentang kesaksian kedua orang saksi Termohon dengan merujuk Pasal 145 HIR, 172 ayat (1) R.Bg dan Pasal 1910 KUH Perdata tersebut adalah tidak tepat, karena perkara pembatalan perkawinan adalah termasuk ruang lingkup perkawinan yang termasuk kepada katagori perkara perdata tertentu atau khusus sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 145 ayat (2) HIR jo Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 perubahan kesatu Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa keluarga dalam perkara perkawinan bisa dihadirkan sebagai saksi, karena perkara pembatalan perkawinan termasuk ruang lingkup perkawinan. k. menimbang, bahwa begitu juga mengenai tuntutan Pemohon yang terdapat dalam petitum pokok perkara point 4 yang menuntut Majelis Hakim agar memerintahkan Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar untuk mencoret Kutipan Akta Nikah 102 Nomor 590/116/X/2013 tanggal 29 oktober 2013 dari Daftar Register Pencatatan Nikah adalah tidak beralasan hukum, karena disamping Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar bukan bawahan Kantor Pengadilan Agama Kota Banjar, di lain pihak Pengadilan Agama Kota Banjar juga tidak bisa memerintah dan mengatur instansi lain. Oleh karena itu Majelis Hakim harus menetapkan menolak; Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa untuk mencoret Kutipan Akta Nikah maka harus adanya pembatalan perkawinan terlebih dahulu dari Pengadilan Agama yang berwenang, apabila permohonannya dikabulkan maka Kutipan Akta Nikah tersebut tidak berkekuatan hukum. l. menimbang, bahwa pembatalan nikah termasuk bidang perkawinan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-undang No, 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua oleh Undang-undang No. 50 Tahun 2009, biaya yang timbul akibat perkara ini dibebankan kepada Pemohon. Berdasarkan data hasil penelitian di atas, bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Peradilan Agama sebagaimana telah telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006, dan perubahan kedua Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka Pemohon dibebankan untuk membayar biaya perkara sebagaimana yang jumlahnya telah ditentukan. 1. Jadi, dari data diatas alasan pembatalan perkawinan adalah: 103 a. Pemohon mengira Termohon berstatus sebagai perawan, akan tetapi diketemukan fakta bahwa status istri sebagai janda. b. Diketemukannya Kartu Tanda Penduduk Termohon yang menunjukan status sebagai janda, sehingga Pemohon merasa tertipu atas identitas Termohon. 2. Perkawinan dan situasinya sebagai berikut: a. Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami istri; b. Bahwa perkawinan Pemohon dan Termohon dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2013 dihadapan Pejabat yang berwenang; c. Bahwa pada saat perkawinan formal Termohon mengaku sebagai perawan/gadis; d. Bahwa Pemohon dan Termohon sudah hidup pisah rumah setelah Pemohon mengetahui Termohon sebagai janda ; e. Bahwa selama kenalan sebelum menikah Termohon mengaku berstatus sebagai perawan dan Pemohon sebagai jejaka; f. Bahwa Pencantuman identitas Termohon berstatus perawan adalah atas saran dan permintaan Pemohon sendiri kepada Termohon, dan setelah musyawarah dengan orang tua Termohon, demi menjaga wibawa Pemohon di depan temantemannya; g. Bahwa Pemohon merasa tertipu dengan diketahuinya status Termohon sebagai janda. Sehingga adanya unsur indikasi penipuan keadaan diri Termohon; 104 3. Landasan hukum pembatalan perkawinan: a. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 72 ayat (2) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa: “Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.” b. Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak memenuhi maksud ketentuan Pasal 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 72 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam karena tidak ada unsur dan indikasi ke arah penipuan yang sengaja dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalil permohonanya. Oleh karena itu permohonan Pemohon agar perkawinannya dengan Termohon dibatalkan, tidak dapat dikabulkan. c. Bahwa dengan tidak dibatalkannya perkawinan Pemohon dengan Termohon maka bukti Akta Nikah Nomor 590/116/X/2013 tertanggal 29 Oktober 2013 berikut kutipannya atau duplikatnya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum serta dianggap batal demi hukum adalah harus ditolak. 105 B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Agama Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2013/PA.Bjr, serta dilengkapi dengan studi yang berhubungan dengan permasalahan maka dapat dilakukan pembahasan sebagai berikut: 1. Pertimbangan Hukum Hakim tidak mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan dalam memutus perkara Nomor 0317/Pdt.G/2013/PA.Bjr. Setelah peneliti membaca putusan Nomor 0317/Pdt.G/2013/PA.Bjr terutama pada pertimbangan hukumnya, bahwa sebelum mempertimbangkan mengenai pokok perkara hakim dalam hal ini terlebih dahulu mempertimbangkan apakah Pemohon mempunyai kwalitas ataupun legal standing mengajukan pembatalan nikah perkara a quo, ternyata pengakuan Pemohon dan Termohon serta keterangan para saksi di persidangan yang telah dicatat sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal 2 sebagaimana bukti (P.1) Pemohon dan Termohon adalah masih terikat perkawinan yang sah dinilai oleh majelis hakim sebagai pihak yang berkualitas dan berkepentingan dalam perkara ini (sebagai persona standi in judicio). Hakim berpendapat identitas Termohon yang tercatat dalam kutipan akta nikah dengan tertulis status perawan/gadis dan dengan tertulis berstatus janda, dianggap tidak mengakibatkan terjadinya obscure lible, karena menurut pendapat hakim 106 subjeknya sama yaitu Rinal dan Rina, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya error in persona. Hakim dalam hal ini tidak berpendapat berdasarkan pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terbukti ada atau tidaknya ketentuan pasal tersebut yang dilanggar yang menjadi alasan batalnya suatu perkawinan. Hakim hanya menyoroti yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini adalah Pemohon sebagai suami merasa tertipu oleh Termohon sebagai istri karena ketika menikah dengan Pemohon di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pataruman Kota Banjar Termohon mengaku berstatus sebagai gadis, tapi ternyata diketahui Termohon berstatus janda cerai bukan berstatus gadis. Menurut pendapat peneliti bahwa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menolak permohonan pembatalan nikah yang diajukan oleh Pemohon tidaklah tepat apabila hanya mengacu kepada alasan tuntutan Pemohon, yang menyatakan bahwa Termohon telah melakukan penipuan identitas dengan mengaku sebagai gadis, karena sebelum berlangsung perkawinan adanya suatu kesepakatan antara Pemohon dan Termohon untuk status Termohon yang mengaku sebagai perawan/gadis dan hakim menganggap dalil permohonan Pemohon tidak memenuhi maksud ketentuan pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, karena 107 tidak ada unsur dan indikasi ke arah penipuan yang sengaja dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon. Dari data penelitian mengenai permohonan pembatalan perkawinan tersebut bila menelaah dari pertimbangan hukum hakim terhadap perkara No. 0317/Pdt.G/2013/PA. Bjr lebih mengarah pada Pasal 27 Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, mengenai salah sangka atau penipuan. Mengenai salah sangka atau penipuan pada perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr terdapat pada Pasal 27 ayat (2) yang menerangkan bahwa seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri, dan pada Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menerangkan bahwa seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber hukum melalui Pasal 72 ayat (2) telah mengantisipasi kekurangan hal yang tersebut dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan tidak hanya salah sangka mengenai diri suami atau isteri tetapi juga termasuk “penipuan”. Penipuan disini tidak hanya dilakukan oleh pihak laki-laki saja, akan tetapi pihak perempuan. Pihak laki-laki biasanya penipuan dilakukan dalam bentuk 108 pemalsuan identitas, misalnya pria tersebut sudah pernah kawin tetapi dikatakannya masih jejaka atau bentuk perbuatan licik lainnya sehingga perkawinan dapat berlangsung penipuan yang dilakukan oleh pihak perempuan biasanya menyembunyikan kekurangan yang ada padanya, misalnya adanya cacat fisik, namun bisa juga melakukan penipuan terhadap pemalsuan identitas. Menurut Abdul Manan Perkawinan dapat dibatalkan apabila: 54 1. Seorang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; 2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain secara sah; 3. Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan; 4. Perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi; 5. Perkawinan dilaksanakan dengan paksaan; 6. Perkawinan dilaksanakan dengan ancaman melanggar hukum; 7. Perkawinan dilaksanakan dengan penipuan, penipuan di sini seperti seorang pria yang mengaku sebagai jejaka, padahal telah mempunyai seorang isteri ketika pernikahan dilangsungkan, sedangkan ia melanggar karena poligami tanpa izin Pengadilan Agama atau penipuan atas identitas diri. 54 Abdul Manan, Op.cit. hal. 46-47 109 Pembatalan perkawinan berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 di mana dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh Pengadilan,55 karena suatu perkawinan sudah dilaksanakan melalui yuridis formal, maka untuk menghilangkan legalitas yuridis itu haruslah melalui putusan pengadilan. Pembatalan perkawinan atas dasar putusan pengadilan itu diperlukan agar adanya kepastian hukum terutama bagi pihak yang bersangkutan, pihak ketiga dan masyarakat yang sudah terlanjur mengetahui adanya perkawinan tersebut. Jadi legalitas pembatalan perkawinan yang diatur oleh peraturan perundangan-undangan yang berlaku lebih luas jangkauannya dari nikahul bathil dan nikahul fasid sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh tradisional. Dalam praktek Peradilan Agama, lazimnya pembatalan perkawinan dapat dilaksanakan terhadap perkawinan yang kurang syarat dan rukunnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syari‟at Islam. Selain itu pembatalan perkawinan didasarkan Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Pasal 70 dan Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dapat diperluas pengertiannya, tidak hanya kekeliruan mengenai diri orangnya tetapi juga menyangkut keadaan orangnya sehingga hal tersebut dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan. 55 Abdul Manan, ibid. Hal. 47 110 2. Penafsiran Hukum Penafsiran mengenai sahnya perkawinan tidak hanya berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, akan tetapi adanya ketentuan mengenai syarat sahnya perkawinan menurut Undangundang diatur pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr mengenai syarat sahnya perkawinan dilihat dari syarat materiilnya yaitu pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, kemudian apabila secara formil bahwa perkawinan dibatalkan apabila adanya salah sangka atau penipuan baik dilakukan oleh suami atau isteri seperti yang tercantum pada Pasal 27 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi hukum Islam. Pelanggaran terhadap persetujuan tersebut, seperti dinyatakan dalam Pasal 27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu berupa adanya kemungkinan suatu ancaman melanggar hukum dan penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri, dalam hal ini memberi kemungkinan kepada suami atau isteri untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Definisi mengenai salah sangka dan penipuan secara gramatikal mempunyai pengertian yang berbeda. Pengertian salah sangka tidak terdapat penjelasan secara resmi oleh karena itu harus diartikan seluas mungkin. Salah sangka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 111 diartikan salah mengerti atau salah faham. Berhubungan dengan perkara pembatalan perkawinan salah sangka bukan saja berpangkal dari calon itu sendiri tetapi juga bisa berasal dari orang lain, misalnya saja tipuan. Pasal 27 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ditegaskan salah sangka mengenai “diri”. Jadi mengenai orangnya atau personnya. Kekeliruan yang dimaksudkan dalam hal ini tidak mengenai “keadaan” orangnya yang menyangkut status sosial ekonomi. Sedangkan, definisi mengenai penipuan secara istilah merupakan proses, cara, perbuatan menipu, perkara menipu (mengecoh) atau merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja oleh pihak yang satu dengan cara tipu muslihat guna menimbulkan kehendak pada pihak lainnya untuk menutup perjanjian56. Yahya Harahap berpendapat bahwa salah sangka dengan penipuan hampir bersamaan dalam perwujudannya. Sangat sulit untuk membedakan keduanya. Perbedaan keduanya hanya dapat diketahui pada unsur “kesengajaan”. Penipuan, pada diri yang melakukan penipuan terdapat unsur “sengaja” yaitu sengaja mengatur kebohongan yang teratur dan rapih, sehingga memberikan kesan yang benar bagi pihak lain. Adapun salah sangka tidak ada unsur kesengajaan untuk memberi tanggapan salah sangka pada pihak lain. Berkaitan dengan hal ini, para hakim harus berhati-hati dalam menentukan tentang penipuan dan tipu muslihat ini, sebab apabila salah dalam menilai tentang wujud dari 56 Nur Wakhid Op.cit. Hal. 75 112 penipuan ini, maka salah pula dalam menetapkan hukum57. Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya salah sangka dengan penipuan ada atau tidaknya unsur kesengajaan. Mengenai penipuan dapat dijelaskan, adanya tipu muslihat dan bertujuan menimbulkan kehendak. Untuk dikualifisir sebagai penipuan, maka sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1328 KUHPerdata tidaklah cukup apabila usaha yang dilakukan hanya bohong belaka melainkan harus ada lebih dari satu kebohongan yang membentuk rangkaian kebohongan. Bertujuan menimbulkan kehendak pihak yang tertipu memang memberikan pernyataan yang didasarkan pada kehendaknya akan tetapi kehendaknya muncul karena adanya daya tipu (rangkaian kebohongan) yang sengaja diarahkan ke sesuatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya58. Salah sangka dengan penipuan terkait erat satu sama lain, rangkaian fakta yang sama tidak jarang menjadi dasar mengajukan gugatan yang dilandasi adanya penipuan atau salah sangka. Perbedaan mengenai lainnya mengenai salah sangka atau penipuan, apabila salah sangka masih terbuka untuk mengubah perjanjian. Tidak demikian halnya dengan penipuan59. Jadi salah sangka bersifat persepsi internal terhadap obyek yang mempengaruhi persepsi internal yaitu dari diri individu 57 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian. PT..Alumni, Bandung, 1996. Hal.26 58 Nur Wakhid, Op.cit. Hal. 77 Herlien Budiono, Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapannya di bidang kenotariatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Hal. 100 59 113 terhadap suatu obyek, sedangkan penipuan berorientasi eksternal dengan maksud mengelabui yaitu adanya suatu karakterisitik dari lingkungan dan obyek-obyek yang terlibat di dalamnya. Penipuan akan menimbulkan salah sangka atau bisa juga diartikan salah sangka sebagai salah satu akibat penipuan. Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak hanya merumuskan arti perkawinan, melainkan terdapat pula tujuan perkawinan. Menurut J. Satrio, bahwa menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 suatu perkawinan bukanlah sekedar merupakan perjanjian antara suami isteri, melainkan ikatan lahir batin yang suci dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga/keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan pengertian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dapat dinyatakan bahwa suatu perkawinan merupakan suatu perjanjian yang terjadi karena adanya kesepakatan60. Implementasi syarat sahnya perkawinan telah tertuang dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, namun syarat sahnya perkawinan juga dapat ditinjau dari syarat sahnya perjanjian artinya bahwa suatu perkawinan merupakan suatu konsep yang lahir dari perjanjian. Keempat syarat yang telah ditentukan pada Pasal 1320 KUHPerdata dapat dikelompokan menjadi dua syarat yaitu subyektif dan obyektif. Pengelompokan kedua syarat itu penting, karena berkenaan dengan akibat apabila terjadi persyaratan itu tidak dipenuhi. Suatu perjanjian apabila 60 Trusto Subekti, Op.cit. Hal. 7 114 syarat-syarat subyektifnya tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalannya. Hal ini berarti selama tidak ada pembatalan dari salah satu pihak maka perjanjian itu tetap berlaku dan wajib dilaksanakan, sedangkan jika syarat-syarat obyektifnya tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum. Hal ini berarti bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak semula. Konsep yang digunakan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah “persetujuan” dengan demikian untuk memahaminya secara sistematis ada hubungan dengan kesepakatan yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 kualifikasi persetujuan adalah dari calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Perbedaannya kesepakatan apabila tidak sesuai kehendaknya dalam KUHPerdata mengenal suatu cacat sepakat yang telah ditentukan pada Pasal 1321 KUHPerdata. Cacat kehendak atau cacat sepakat yaitu karena kekhilafan, ancaman, dan penipuan. Herlien Budiono berpendapat suatu cacat kehendak terjadi bilamana seseorang telah melakukan suatu perbuatan hukum, padahal kehendaknya terbentuk secara tidak sempurna.61 Jadi perbuatan hukum tersebut adanya kehendak yang tertuju meskipun kehendak terbentuk secara tidak sempurna, meskipun adanya kehendak dan pernyataan yang tidak sesuai. Sehingga apabila terdapat cacat kehendak dapat dibatalkan. 61 Herlien Budiono, Ibid. Hal. 98 115 Kesepakatan apabila dikaitkan dengan perkawinan, bahwa suatu perkawinan juga harus adanya kesepakatan atau didasarkan persetujuan dari kedua calon mempelai sesuai tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) Undangundang No. 1 Tahun 1974, dengan demikian bahwa suatu perkawinan juga harus dilihat syarat sahnya yang telah diatur dengan ketentuan Undangundang No. 1 Tahun 1974. Mengingat masyarakat Indonesia masih bertumpu bahwa suatu perkawinan sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Implementasi penafsiran pada perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr mengenai ketentuan syarat sahnya perkawinan yang telah ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan kesepakatan yang telah ditentukan dalam KUHPerdata, maka dapat diuraikan : a. Perkawinan didasarkan adanya persetujuan kedua calon mempelai; b. Kesepakatan dalam KUHPerdata melibatkan kedua pihak antara pihak yang menawarkan dan pihak yang menerima (akseptasi) untuk sepakat dengan suatu hal yang sudah dikehendaki. c. Persetujuan antara Pemohon (suami) dan Termohon (istri) pada perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA. Bjr secara materiil mengenai diri Termohon (isteri) berstatus sebagai janda cerai sudah diketahui oleh Pemohon (suami). Hakim dalam putusan perkara ini tidak mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan karena tidak terbukti salah sangka atau penipuan mengenai diri Termohon (isteri) yang berstatus janda, sedangkan secara formil mengenai status 116 janda cerai Termohon (isteri) kemudian dicatatkan sebagai gadis/perawan merupakan hal yang tidak tepat. 117 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diketahui penafsiran hukum yang digunakan Hakim mengenai syarat sahnya perkawinan dalam perkara No. 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr adalah penafsiran sistematis, menurut Hakim tidak terbukti indikasi mengenai salah sangka atau penipuan berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 72 (2) Kompilasi Hukum Islam, dan penafsiran gramatikal mengenai salah sangka dan penipuan yang berkaitan dengan status Termohon. Bahwa status Termohon sebagai janda kemudian dituliskan sebagai perawan tidak terbukti adanya penipuan atau salah sangka karena Pemohon yang menyarankan status Termohon dituliskan sebagai perawan, sehingga tidak terjadi obscure lible karena subyeknya sama tidak mengakibatkan terjadinya eror in persona. 2. Saran Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat diberikan saran bahwa seharusnya Hakim dalam mempertimbangkan alasanalasan pembatalan tidak langsung pada pasal-pasal mengenai salah sangka atau penipuan mengenai suami atau isteri saja, akan tetapi menafsirkan juga mengenai ketentuan syarat sahnya perkawinan 118 bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang telah ditentukan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 119 DAFTAR PUSTAKA Basyir, Ahmad Azhar. 1990. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta : UII Press. Budiono, Herlien. 2011. Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti. Ghazali, Abdul Rahman. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana. Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung : Mandar Maju. Harahap, Yahya. 1978. Hukum Perkawinan Indonesia. Medan: CV Zahir Tranding Co. Harahap, Yahya. 1996. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung : PT. Alumni. Ibrahim, Johny. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia Publishing. Idris Ramulyo, Mohd. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Idris Ramulyo, Mohd. 2006. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Islam. Jakarta : Sinar Grafika. Manan, Abdul. 2003. Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama. Jakarta : Pustaka Bangsa. Prakoso Djoko, dan I Ketut Murtika. 1986. Azas-azas Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Bina Aksara. Prawirohamidjojo, Suoetojo. 2002. Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press. Prodjodikoro, Wirjono. 1983. Azas-Azas Hukum Perdata. Bandung : Sumur Bandung. Saleh, K. Wantjik. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Soekanto Soerjono, dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : CV Rajawali. 120 Soemiyati, 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty. Subekti, Trusto. 2012. Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Purwokerto : Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Subekti, Trusto. 2012. Kumpulan Artikel dan Laporan Penelitian Hukum. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Wakhid, Nur. 2012. Materi Kuliah Hukum Perjanjian. Purwokerto : Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1). Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22) jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159). PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Putusan Pengadilan : Putusan Pengadilan Agama Banjar Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr. Sumber Lain: http://www.jurnalhukum.com/syarat-syarat-sahnya-suatu-perkawinan/,diakses hari rabu tanggal 12 November 2014 pukul: 13.15. 121 http://www.tempo.co/read/news/2013/12/18/219538445/Pernikahan-AsmirandahJonas-Resmi-Batal diakses pada hari jumat tanggal 10 Oktober 2014 pukul 15.00. WIB.