2. Monochronic and Polychronic

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya (State of The Art)
Pada state of the art ini, terdapat contoh-contoh penelitian sebelumnya
sebagai panduan atau contoh untuk penelitian yang akan dilakukan.
Tabel 2.1 State of the Art (Nasional)
Penelitian ini tentang pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap
kinerja karyawan oleh Hendry Irawan., S.St., MM,
Nama Peneliti
Hendry Irawan., S.St., MM,
Judul Penelitian
Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
Terhadap Kinerja Karyawan
Lokasi
dan
Tahun Yayasan Pelita Bangsa, 2012
Penelitian
Metode Penelitian
Kuantitatif
Subjek Penelitian
Kepemimpinan dan budaya organisasi
Hasil Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menyatakan
bahwa kepemimpinan berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap kinerja karyawan. Semakin baik
kepemimpinan,
maka
kinerja
karyawan
akan
meningkat. Budaya organisasi berpengaruh positif
terhadap kinerja karyawan. Artinya apabila budaya
organisasi semakin baik, maka kinerja karyawan akan
meningkat.
Persamaan Penelitian
Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas
tentang sebuah organisasi dalam sebuah perusahaan,
dan menciptakan komunikasi yang baik dalam sebuah
organisasi.
Perbedaan Penelitian
Pada penelitian sebelumnya, membahas semakin baik
kepemimpinan,
maka
kinerja
karyawan
akan
meningkat. Budaya organisasi berpengaruh positif
terhadap kinerja karyawan. Artinya apabila budaya
organisasi semakin baik, maka kinerja karyawan akan
meningkat.
Sedangkan
dalam
penelitian
ini,
membahas tentang organisasi komunikasi antarbudaya
yang
efektif
dengan
perbedaan
budaya
dalam
perusahaannya. Dan juga, penelitian sebelumnya
menggunakan metode kuantitatif.
Tabel 2.2 State of the Art (Nasional)
Penelitian ini tentang pengaruh motivasi kerja dan iklim komunikasi organisasi
terhadap komitmen keorganisasian pegawai arsip nasional Republik Indonesia oleh
Azwar Sanusi.
Nama Peneliti
Azwar Sanusi
Judul Penelitian
Pengaruh Motivasi Kerja dan Iklim Komunikasi
Organisasi
Terhadap
Komitmen
Keorganisasian
Pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia
Lokasi
dan
Tahun Universitas Indonesia, 2012
Penelitian
Metode Penelitian
Kuantitatif
Subjek Penelitian
Komunikasi organisasi
Hasil Penelitian
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
tingkat
komitmen pegawai ANRI berada pada tingkat sedang
atau cukup baik. Iklim komunikasi organisasi secara
parsial memiliki pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap komitmen organisasi. Motivasi kerja secara
parsial memiliki pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap komitmen organisasi. Kedua variabel (iklim
komunikasi organisasi dan motivasi kerja sama-sama
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap komitmen organisasi).
Persamaan Penelitian
Membahas tentang motivasi kerja untuk mencapai
suatu tujuan, dimana hal tersebut sangat penting
dalam bekerja dan motivasi tersebut ikut
mempengaruhi proses perkembangan pembangunan
Ekalokasasari Plaza.
Perbedaan Penelitian
Penelitian ini mendalami tentang iklim komunikasi
dan komitmen dalam bekerja secara lebih rinci dan
mendalam namun tidak membahas tentang bagaimana
komunikasi organisasi yang ada.
Tabel 2.3 State of the Art (Nasional)
Penelitian ini tentang budaya organisasi dalam meningkatkan efektivitas organisasi
oleh Lita Wulantika.
Nama Peneliti
Lita Wulantika
Judul Penelitian
Budaya Organisasi Dalam Meningkatkan Efektivitas
Organisasi
Lokasi
dan
Tahun Univeritas Komunikasi Indonesia 2010
Penelitian
Metode Penelitian
Kualitatif
Subjek Penelitian
Budaya organisasi dan karyawan
Hasil Penelitian
Budaya berguna bagi organisasi dan karyawan.
Budaya mendorong terciptanya komitmen organisasi
dan meningkatkan konsisten sikap karyawan. Budaya
merupakan suatu kecenderungan pada saat nilai-nilai
bersama tidak selaras dengan efektivitas organisasi
untuk waktu selanjutnya.
Persamaan Penelitian
Pada penelitian ini, ditemukan persamaan bahwa
penelitian ini sama-sama membahas tentang budaya
yang berdampak terhadap organisasi dan kinerja para
karyawan. Selain itu, penelitian terdahulu dan
sekarang
juga
mempercayai
bahwa
budaya
mendorong terciptanya komitmen organisasi dan
meningkatkan konsisten sikap karyawan.
Perbedaan Penelitian
Perbedaan dalam penelitian ini adalah pada penelitian
terdahulu lebih fokus membahas nilai-nilai yang tidak
selaras dengan efektivitas organisasi untuk waktu
sebelumnya, sedangkan pada penelitian sekarang lebih
fokus membahas tentang komunikasi organisasi yang
ada pada karyawan Ekalokasari Plaza terhadap proses
perkembangan pembangunan Ekalokasari Plaza.
Tabel 2.4 State of the Art (Internasional)
Penelitian ini tentang Managing Workplace Diversty oleh Harold Andrew Patrick &
Vicent Raj Kumat.
Nama Peneliti
Harold Andrew Patrick & Vincent Raj Kumat
Judul Penelitian
Managing Workplace Diversty
Lokasi
dan
Tahun California, U.S.A 2012
Penelitian
Metode Penelitian
Kualitatif
Subjek Penelitian
Keragaman budaya dalam sebuah organisasi
Hasil Penelitian
Keragaman budaya tidak hanya menentukan efek dari
keragaman dalam sebuah organisasi, tetapi juga
tingkat keterbukaan perbedaan karakteristik antara
anggota organisasi kelompok kerja dan budaya.
Persamaan Penelitian
Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas
tentang bagaimana sebuah perusahaan yang memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda namun memiliki
tujuan yang satu.
Perbedaan Penelitian
Pada penelitian sebelumnya lebih menuju pada
berbagai aspek yang dapat berpengaruh terhadap
kelompok kerja dan anggota organisasi karena
perbedaan budaya. Sedangkan dalam penelitian ini
terfokus pada komunikasi yang terjalin dengan
perbedaan budaya yang ada untuk menuju satu tujuan
yang sama.
Tabel 2.5 State of the Art (Internasional)
Penelitian ini tentang Managing Organizational Culture for Effective
Communication oleh Solomon George Anacto.
Nama Peneliti
Solomon George Anacto
Judul Penelitian
Managing Organizational Culture For Effective
Communication
Lokasi
dan
Tahun Department
of
Mass
Communication,
Babcook
Penelitian
Universit, Ilisan-Roma, Orgun State, Nigeria, 2010
Metode Penelitian
Kualitatif
Subjek Penelitian
Budaya dan organisasi
Hasil Penelitian
Setiap organisasi memiliki budaya dan budaya bisa
mengatur sebuah keefektivitasan komunikasi didalam
sebuah organisasi tersebut. Setiap organisasi harus
memiliki strategi tentang apa yang mereka butuhkan
untuk membuat suatu budaya itu. Karena efektivitas
komunikasi menjadi kunci untuk menjadi budaya
organisasi yang positif.
Persamaan Penelitian
Persamaan yang terdapat penelitian terdahulu dan
sekarang adalah menganggap bahwan budaya sangat
berdampak
dan
mampu
mengatur
keefektivitasan dalam berkomunikasi.
sebuah
Perbedaan Penelitian
Perbedaan dalam penelitian ini adalah pada penelitian
sebelumnya fokus penelitian lebih mengacu pada
budaya
yang
mampu
mengatur
keefektivitasan
komunikasi sedangkan pada penelitian sekarang lebih
mengacu pada komunikasi antarbudaya yang terjadi
didalam
karyawan
PT
MULTI
NUSANTARA
KARYA dalam proses perkembangan pembangunan
Ekalokasai Plaza.
2.2 Landasan Konseptual
2.2.1 Komunikasi
Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas
komunikasi karena komunikasi merupakan bagian integral dari tatanan
kehidupan sosial manusia atau masyarakat. Dengan kata lain komunikasi
sudahn menjadi ‘jantung’ dari kehidupan manusia. Komunikasi telah menjadi
kegiatan kehidupan manusia sehari-hari (Suprapto, 2009 Hal 1). Komunikasi
merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat
saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah
tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau di mana saja
manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam
komunikasi (Muhammad, 2009, Hal 1)
Istilah
“komunikasi”
atau
dalam
bahasa
Inggris
yaitu
“communication”, berasal dari bahasa latin “communis” yang berarti sama,
communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama
“ to make common” (Mulyana, 2005, Hal 41) . Definisi dari segi bahasa ini
menyatakan bahwa suatu komunikasi yang efektif hanya dapat tercapai
apabila terjadi kesamaan makna antara komunikator dengan komunikan.
Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama
untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk memperngaruhi orang
lain untuk merasa, berfikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan.
Namun menurut Schiedel tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk
mengendalikan lingkungan fisik atau psikologis kita seperti sebuah bangunan,
komunikasi (proses penyampaian pesan) dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang (perspektif). Perspektif itu sendiri pada wilayah keilmuan diartikan
suatu kerangka konseptual (conceptual frame-work), suatu perangkat asumsi,
nilai atau gagasan yang mempengaruhi perspektif kita, dan pada gilirannya
mempengaruhi cara kita bertindak dalam suatu situasi (Mulyana, 2005, Hal
16).
Komunikasi juga merupakan tindakan simbolik dimana didalamnya
digunakan berbagai kode yang dibuat oleh manusia dan memiliki makna
tertentu (Zien ,2012, Hal
349). Kode-kode ini digunakan untuk dapat
berinteraksi baik secara verbal dan nonverbal untuk dapat membuat
komunikan atau pihak yang menerima pesan bisa memahami isi pesan
dengan mudah.
Dance dan Larson (dalam Vardiansyah, 2004 : 9) setidaknya telah
mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan. Namun, Dance dan
Larson mengidentifikasi hanya ada tiga dimensi konseptual penting yang
mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya itu, antara lain :
1. Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya.
(a) Definisi bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi
adalah proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam
kehidupan.
(b) Definisi bersifat khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa
komunikasi adalah alat untuk mengirimkan pesan militer, perintah dan
sebagainya melalui telepon, telegraf, radio, kurir dan sebagainya.
2. Tingkat kesengajaan.
(a) Definisi yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang
menyatakan bahwa komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan
suatu sumber mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan
disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima.
(b) Definisi yang mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode (1959) yang
menyatakan komunikasi sebagai proses yang membuat sesuatu dari yang
semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi dimiliki dua
orang atau lebih.
3. Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan.
(a) Definisi yang menekankan keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya
definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran
informasi untuk mendapatkan saling pengertian.
(b) Definisi yang tidak menekankan keberhasilan dan tidak diterimanya
pesan, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi adalah proses
transmisi informasi.
2.2.1.1 Komunikasi Organisasi
Definisi tradisional (fungsionalis dan objektif) komunikasi organisasi
cenderung menekankan kegiatan penanganan pesan yang terkandung dalam
suatu “batas organisasional”. Komunikasi organisasi, dipandang dari suatu
interpretif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang
merupakan
organisasi.
Komunikasi
organisasi
adalah
perilaku
pengorganisasian yang terjadi dan bagaimana mereka terlibat dalam proses
itu, bertransaksi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi. Lebih
jelasnya, komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas
interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi. Dalam
pandangan
“objektif”,
organisasi
menekankan
“struktur”,
sementara
organisasi berdasarkan pandangan “subjektif”, menekankan “proses”. (Pace
& Faules, 2010, Hal 33).
Studi komunikasi organisasi adalah studi mengenai cara orang
memandang objek-objek, juga studi mengenai objek-objek itu sendiri
(Pace&Faules, 2010, Hal 3). Yang penting adalah bahwa orang-orang yang
berbeda berperilaku dengan cara-cara yang berbeda terhadap apa yang
mereka anggap objek yang layak diamati, dan perbedaan-perbedaan tersebut
adalah berdasarkan pada bagaimana orang-orang berpikir tentang objek-objek
itu. Suatu objek sosial adalah sekadar objek yang mempunyai makna bagi
suatu kolektivitas atau menuntut tindakan oleh manusia.
Komunikasi organisasi adalah suatu disiplin studi yang dapat
mengambil sejumlah arah yang sah dan bermanfaat (Pace&Faules, 2010, Hal
25). Secara fungsional komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai
pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang
merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari
unit-unit komunikasi dalam hubungan-hubungan hierarkis antara satu dengan
yang lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan (Pace&Faules, 20010,
Hal 31).
Redding dan Sanborn mengatakan bahwa komunikasi organisasi
adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang
kompleks. Dan menurut Katz dan Kahn bahwa komunikasi organisasi
merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di
dalam suatu organisasi (Muhammad, 2009, Hal 33). Menurut Wiryanto
(Romli, 2011: 2), komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan
berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari
suatu organisasi. Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh
organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya
berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan
yang harus dilakukan dalam organisasi.
Redding dan Sanbors mengatakan bahwa, “komunikasi organisasi
adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang
kompleks. Yang termasuk dalam bidang ini adalah komunikasi interpersonal,
hubungan manusia, hubungan persatuan pengelola, komunikasi downward
atau komunikasi dari atasan kepada bawahan, komunikasi upward atau
komunikasi dari bawahan kepada atasan, komunikasi horizontal atau
komunikasi dari orang-orang sesama level/tingkatnya dalam organisasi,
keterampilan berkomunikasi dan berbicara, mendengarkan, menulis dan
komunikasi evaluasi program” (Muhammad, 2009:65). Katz dan Kahn
mengatakan bahwa komunikasi organisasi merupakan arus informasi,
pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam suatu organisasi. Zelko
dan Dance mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah suatu sistem
yang saling tergantung yang mencakup komunikasi internal dan komunikasi
eksternal (Muhammad, 2009:65-66).
Greenbaunm mengatakan bahwa,“bidang komunikasi organisasi
termasuk arus komunikasi formal dan informal dalam organisasi. Dia
membedakan komunikasi internal dan eksternal dan memandang peranan
komunikasi terutama sekali sebagai koordinasi pribadi dan tujuan organisasi
dan masalah menggiatkan aktivitas” (Muhammad, 2009, Hal 66-67).
Goldhaber memberikan definisi komunikasi organisasi sebagai berikut,
“organizational communications is the process of creating and exchanging
messages within a network of interdependent relationship to cope with
environmental uncertainty” atau dengan kata lain “komunikasi organisasi
dalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam suatu jaringan
hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan
yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah” (Muhammad, 2009, Hal 67).
2.2.1.2 Prinsip-prinsip Komunikasi
Ada prinsip-prinsip tertentu dalam komunikasi. Seperti apa yang
disebutkan oleh Joseph A. Devoito (Darmastuti, 11-12) ada beberapa prinsip
dari komunikasi yang terjadi diantara manusia, yakni:
1. Komunikasi adalah paket isyarat
Dalam setiap perilaku komunikasi digunakan isyarat-isyarat tertentu
baik secara komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal
sebagai salah satu media pengirim informasi.
2. Komunikasi adalam proses penyesuain
Komunikasi dapat terjadi ketika setiap partisipan dalam komunikasi
dapat menggunakan dan memahami simbol persepi yang sama. Proses
komunikasi ada dan diperlukan untuk menyesuaikan antara sender
dan receive yang memiliki latar belakang budaya serta pemahaman
yang berbeda.
3. Komunikasi mencakup dimensi isi dan hubungan
Komunikasi
tidak
menyampaikan suatu
hanya
berbicara
mengenai
pesan tertentu namun
bagaimana
juga bagaimana
membangun suatu hubungan atau relasi dengan partisipan komunikasi
lainnya.
4. Komunikasi melibatkan transaksi simetris dan komplementer
Dalam suatu proses komunikasi hubungan yang terjadi dapat
berbentuk simetris maupun komplementer. Hubungan yang simetris
berarti dua pihak ini saling bercermin pada perilakunya. Sedangkan
hubungan yang komplementer berarti kedua pihak ini saling
melengkapi perilaku satu dengan yang lain.
5. Komunikasi adalah proses transaksional
Komunikasi merupakan proses yang bersifat transaksional yakni
proses dimana komponen-komponennya saling terkait. Partisiapn
dalam proses komunikasi saling beraksi dan bereaksi satu dengan
yang lainnya sebagai satu kesatuan.
6. Komunikasi tidak terhindarkan
Komunikasi terjadi dalam kehidupan manusia tidak senantiasa
dilakukan baik secara sadar dan sengaja. Terkadang komunikai terjadi
tanpa disadari pelakunya.
7. Komunikasi bersifat tak reversible
Komunikasi yang sudah dilakukan atau sudah terjadi tidak dapat
diulang kembali.
2.2.2 Komunikasi yang Efektif dalam Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya (intercultural communication) adalah proses
pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya. Ketika
komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras, atau
komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antarbudaya.
Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya
berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi: apa makna pesan verbal dan
nonverbal
menurut
dikomunikasikan,
budaya-budaya
bagaimana
cara
bersangkutan,
apa
yang
mengkomunikasikannya
layak
(verbal
nonverbal), kapan mengkomunikasikannya (Mulyana, 2005, Hal 11).
Pihak-pihak
yang
melakukan
komunikasi
antarbudaya
harus
mempunyai keinginan yang jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan
mengharapkan pengertian timbal balik. Asumsi ini memerlukan sikap-sikap
yang positif dari para pelaku komunikasi antarbudaya dan penghilangan
hubungan-hubungan superiorinferior yang berdasarkan keanggotaan dalam
budaya-budaya, ras-ras atau kelompok-kelompok etnik tertentu (Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 37)
Menurut (Mulyana, 2005) mengatasi komunikasi antarbudaya dengan
efektif adalah dengan mengetahui pola-pola penafsiran pesan dari budaya
yang berlainan serta meminimalis bias penilian dan persepsi interpersonal
agar tidak terjebak dalam stereotipe. Sedangkan menurut (Antoni, 2005)
menyatakan bahwa dalam komunikasi antarbudaya sebaiknya kominkator dan
komunikan menggabungkan komponen esmosial atau motivasional dari
budaya, dan pertemuan antarbudaya agar komunikasi menjadi efektif.
Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan
sikap orang lain bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai
pengalaman atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat
manusia makin berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasi, paling tidak
melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain. Banyak
masalah komunikasi antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang
kurang menyadari dan tidak mampu mengusahakan cara efektif dalam
berkomunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003, Hal 254). Selain itu, seperti yang
telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan penggunaan sistem sandi yang
sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan perilaku, dan
pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan dan perilaku orang lain,
semuanya itu membantu terciptanya komunikasi antarbudaya yang efektif
(Tubbs dan Moss, 2005, Hal 242).
(Judith, Martin Nakayama, 2010, Hal 35) menyebutkan bahwa
komunikasi antarbudaya merupakan suatu pembelajaran mengenai pola dan
identitas suatu kebudayaan, bukan hanya kebudayaan sendiri melainkan juga
kebudayaan orang lain. Komunikasi antarbudaya merupakan individu dan
budaya, personal dan kontekstual, yang memiliki karakteristik yang berbeda
dan hampir serupa, statis maupun dinamis, yang berorientasi pada masa lalu
dan masa depan serta dengan keuntungan dan kerugiannya masing-masing.
Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah suatu
budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam
keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada
dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan
harus disandi balik dalam budaya lain. Seperti yang kita lihat, budaya
mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Dalam setiap budaya ada bentuk
lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini menunjukkan individu yang
telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk oleh
budaya yang mempengaruhinya. Ini menunjukkan dua hal, yaitu pertama, ada
pengaruh-pengaruh lain disamping budaya yang membentuk individu. Kedua,
meskipun budaya merupakan kekuatan dominan yang mempengaruhi
individu, orang-orang dalam suatu budaya pun mempunyai sifat-sifat yang
berbeda (Mulyana, 2005, Hal 20).
Kesadaran dari setiap orang bahwa adanya perbedaan-perbedaan
sekaligus kesamaan-kesamaan dalam diri masing-masing orang dan kelompok
budayanya
merupakan
langkah
awal
untuk
meminimalkan
perilaku
masyarakat majemuk seperti Indonesia, dialog merupakan pijakan untuk
menghargai keberagaman. Dialog merepresentasikan sebuah bentuk wacana
yang menekankan pada kemampuan mendengarkan dengan tujuan untuk
menumbuhkan saling menghormati dan memahami. Dialog memungkinkan
pihak-pihak yang berkomunikasi menyadari cara-cara yang berbeda ketika
orang menginterpretasikan dan memberikan makna terhadap pengalamanpengalaman yang sama.Dialog dipahami sebagai proses transaksional yang
dinamis dengan fokus khusus pada kualitas hubungan antar partisipan
(LittleJohn & Foss,2009:301).
2.2.2.1 Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi
sumber daya manusia dalam menjalankan kewajiban dan perilakunya di
dalam organiasi. Nilai-nilai tersebut akan memberi jawaban apakah suatu
tindakan benar atau salah, apakah suatu perilaku dianjurkan atau tidak,
sehingga berfungsi sebagai landasan untuk berperilaku (Uha, 2013, Hal 3).
Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (Hanggraeni,
2011, Hal 150) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem yang
dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi, dimana hal itu
menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri. Cushway dan Lodge
(Hanggraeni, 2011, Hal 150) mendefinisikan budaya organisasi merupakan
sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan
cara para karyawan berperilaku. Budaya organisasi dijadikan pedoman oleh
setiap individu di dalam organisasi ketika bertindak dan berpikir dalam
mencapai tujuan organisasi.
Menurut Davis dan Moeljono (Uha, 2013, Hal 8), setiap organisasi
memiliki makna tersendiri terhadap kata budaya itu sendiri, antara lain
identitas, ideologi, etos, pola eksistensi, aturan, pusat kepentingan, filosofi
tujuan, spirit, sumber informasi, gaya, visi, dan cara. Budaya organisasi
memiliki arti yang berbeda bagi setiap organisasi atau perusahaan. Oleh
karena itu, budaya organisasi memberikan kekhasan bagi sebuah organisasi
atau perusahaan. Kotter dan James L. Heskett (Uha, 2013, Hal 55)
menyatakan bahwa budaya perusahaan adalah seperangkat nilai, norma,
persepsi, dan pola perilaku yang diciptakan atau dikembangkan dalam sebuah
perusahaan untuk mengatasi berbagai masalah, baik masalah adaptasi secara
eksternal maupun masalah integrasi secara internal. Budaya organisasi
mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja, dan motivasi para
manajer dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi (Ernawan, 2011
Hal 79).
Sedangkan, Robbins (Tika, 2005, Hal :6) menyatakan bahwa budaya
organisasi adalah sekumpulan sistem nilai yang diakui dan dibuat mengacu
kepada sistem makna bersama yang dianut oleh anggota di dalam organisasi
yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain. Budaya organisasi
mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja, dan motivasi para
manajer dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi (Ernawan, 2011,
Hal 79).
Cushway dan Lodge (Hanggraeni, 2011, Hal 150) mendefinisikan
budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi
cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Budaya
organisasi dijadikan pedoman oleh setiap individu di dalam organisasi ketika
bertindak dan berpikir dalam mencapai tujuan organisasi.
Menurut Davis dan Moeljono (Uha, 2013, Hal 8), setiap organisasi
memiliki makna tersendiri terhadap kata budaya itu sendiri, antara lain
identitas, ideologi, etos, pola eksistensi, aturan, pusat kepentingan, filosofi
tujuan, spirit, sumber informasi, gaya, visi, dan cara. Budaya organisasi
memiliki arti yang berbeda bagi setiap organisasi atau perusahaan. Oleh
karena itu, budaya organisasi memberikan kekhasan bagi sebuah organisasi
atau perusahaan.
Kotter dan James L. Heskett (Uha, 2013, Hal 55) menyatakan bahwa
budaya perusahaan adalah seperangkat nilai, norma, persepsi, dan pola
perilaku yang diciptakan atau dikembangkan dalam sebuah perusahaan untuk
mengatasi berbagai masalah, baik masalah adaptasi secara eksternal maupun
masalah integrasi secara internal.
Sedangkan, Robbins (Tika, 2005, Hal 6) menyatakan bahwa budaya
organisasi adalah sekumpulan sistem nilai yang diakui dan dibuat mengacu
kepada sistem makna bersama yang dianut oleh anggota di dalam organisasi
yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain. Budaya organisasi
mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja, dan motivasi para manajer
dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi (Ernawan, 201, Hal 79).
Dari definisi mengenai budaya organisasi menurut para ahli, dapat
disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai, ideologi, pola
perilaku, teladan, kebiasaan, pedoman, keyakinan yang diyakini oleh seluruh
anggota organisasi di dalam suatu perusahaan yang berpengaruh pada cara
berpikir, berperasaaan, dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu, cara kerja
dan motivasi seluruh anggota perusahaan untuk mencapai kinerja perusahaan,
serta memberikan identitas yang membedakan organisasi tersebut dengan
organisasi atau perusahaan lainnya.
2.2.2.
Terdapat 4 dimensi budaya, yaitu:
1. Individu dan Kolektif
Dalam pandangan Syewart Tubbs dan Sylvia Moss, budaya
individual melihat bahwa setiap orang yang menjadi anggota dalam budaya
itu memiliki kecenderungan untuk memberikan kontribusi dalam budaya.
Identitas individu melebihi identitas kelompok, kebeneran individu melebihi
kebeneran kelompok, dan penghargaan terhadap diri sedniri melebihi
perhatian kepada kelompok.
Sedangkan kolektif didefenisikan sebagai budaya yang memiliki
kesamaan dengan budaya individual karena dalam budaya kolektif ini
individu dair anggota budaya juga memiliki kecenderungan untuk
memberikan nilai-nilai dalam budaya. Hanya saja, dalam budaya kolektif ini
identitas kelompok melebih identitas individu, kebijakan kelompok
melebihi kebijakan individu, dan orientasi terhadap kelompok melebihi
keinginan dan hasrat individu. (Darmastuti, 201, Hal 105-106).
Untuk Individualis:
A. Personal time. Memiliki suatu pekerjaan yang memberikan anda
waktu yang cukup untuk kehidupan personal atau keluarga.
B. Freedom. Memiliki kebebesan yang tinggi untuk menggunakan
pendekatan anda sendiri dalam pekerjaan anda.
C. Challege. Memiliki tantangan pekerjaan yang dilakukan bekerja
dimana anda dapat mencapai prestasi.
Untuk collectivism:
A. Training. Memiliki kesempatan training (untuk meningkatkan
ketrampilan anda atau mempelajari ketrampilan baru)
B. Physical conditions. Memiliki kondisi kerja fisik yang baik
(ventilasi dan penerangan yang baik, tempat kerja yang leluasa,
dsb.).
C. Use of skills. Secara penuh menggunakan ketrampilan dan
kemampuan anda dalam pekerjaan.
2. Monochronic and Polychronic
Monochronic
Seperti arti yang dimiliki oleh kata monochronic, konsep ini
menjelaskan waktu sebagai hal yang linear dan terbagi.lebih spesifik
lagi, ”pandangan monochronic terhadap waktu memercayai bahwa waktu
merupakan sumber yang langka yang harus dibagi dan diatur melalui
penggunaan jadwal dan janji temu,dan melalui tujuan hanya mengerjakan
satu hal dalam satu waktu. Novinger menyimpulkan karakteristik budaya
yang monochronic dengan menyatakan, Budaya yang monochronic memiliki
pendekatan yang sebagian besar linear dan berurutan terhadap waktu yang
rasional, menekankan spontanitas, dan cenderung berfokus pada satu aktivitas
pada suatu waktu. Budaya dengan orientasi seperti ini melihat waktu sebagai
hal yang nyata. Ketika berbicara mengenai pengalaman M-time Hall
menyatakan, “Orang-orang berbicara mengenai waktu seolah-olah waktu itu
adalah uang,sesuatu yang dapat ‘dihabiskan’, ’disimpan’, ‘dibuang’, dan
‘dihilangkan’. Melakukan orientasi ini berarti menilai ketepatan waktu,
mengorganisir, dan menggunakan waktu dengan bijaksana. Pengikut aliran
naturalis Inggris Charles Darwin menyimpulkan pandangan ini dalam
tulisannya, “Seseorang yang berani untuk menghabiskan satu jam belum
menemukan nilai hidup”. Waktu merekam berapa jam anda bekerja, bel
sekolah membuat anda berpindah dari kelas ke kelas, dan kalender menandai
hari dan peristiwa penting dalam hidup anda.
Polychronic
Orang dari budaya yang berorientasi pada polychronic menghidupi
hidup mereka berbeda dengan mereka yang berpindah ke jam monochronic.
Kecepatan dalam budaya P-time (Arab,Afrika,India,Amerika Latin,Asia
Selatan,dan Asia Tenggara) lebih santai dibandingkan yang ditemukan dalam
budaya Monochronic time. Salah satu alasannya adalah bahwa hubungan
antarmanusia merupakan inti dari budaya polychronic. Seperti yang
dinyatakan oleh Smith dan Bond, “Pandangan polychronic terhadap waktu
adalah bahwa mempertahankan hubugan yang harmonis merupakan agenda
yang penting, sehingga waktu digunakan lebih fleksibel supaya hubungan kita
dengan orang lain baik. Budaya ini biasanya kolektif dan berhubungan
dengan kehidupan dalam perilaku holistik. Bagi budaya Polychronic time
waktu tidak begitu nyata, sehingga perasaan membuang-buang waktu tidak
sebesar dalam budaya Monochronic time. Anggota-anggotanya dapat
berinteraksi dengan lebih dari satu orang atau melakukan satu hal dalam satu
waktu.
Table 2.6 Perbedaan orang Monochronic dengan Polychronic
Orang yang Monochronic
Mengerjakan satu hal dalam satu waktu
Berkomitmen terhadap waktu dengan serius
Orang yang Polychronic
Melakukan banyak hal dalam satu waktu
Mempertimbangkan komitmen waktu tuuan
untuk dicapai,jika memungkinkan
Berkonteks rendah dan memerlukan informasi
Berkonteks
informasi
Mengikuti rencana
Menekankan ketepatan waktu
Sering dan mudah mengganti rencana
Ketepatan waktu didasarkan pada hubungan
Terikat dengan pekerjaan
Terikat pada manusia dan hubungan antar
sesama
Terbiasa dalam hubungan jangka pendek
Kecendrungannya rendah untuk membangun
kembali hubungan seumur hidup
Sumber: Hasil Peneliti
tinggi
dan
sudah
memiliki
3. High and Low Context
Dalam dimensi ini, budaya dibedakan menjad budaya konteks tinggi
dan budaya konteks rendah. Budaya konteks tinggi merupakan sebuah
kebudayaan
dimana
prosedur
pengalihan
informasi
menjadi
sukar
dikomunikasikan dan bersifat eksplisit. Sedangkan budaya konteks rendah
merupakan sebuah kebudayaan dimana prosedur pengahilan informasi lebih
praktis dan bersifat implisit. (Darmastuti, 2013: 106).
4. Power Distance
Power distance mengacu pada tingkatan dimana orang lebih suka
menerima kewenangan dan sturuktur organisasi sebagai bagian alami dari
kebudayaan mereka. Dimensi ini memiliki pandangan bahwa anggota dari
budaya yang memiliki status lebih tinggi biasanya akan memiliki kekuasaan
lebih dari yang lain. (Darnwasturui, 2013: 107)
2.2.2.3 Permasalahan dalam Komunikasi Antarbudaya
Berikut adalah masalah yang terdapat dalam komunikasi antarbudaya:
1. Persepsi
Menurut Berelaon dan Steiner (1964) persepi merupakan proses komplek
dimana orang memilih, mengorganisasikan dan menginterprestasikan
respon terhadap suatu rangsangan ke dalam situasi masyarakat dunia yang
penuh arti dan logis. Dan menurut Bennett Hoffman dan Parkash (1989)
persepi merupakan aktivitas aktif yang melibatkan pembelajaran,
pembaruan, cara pandang, dan pengaruh timbal balik dalam pengamatan
(Severin, 2011, hal 84)
Proses persepi melibatkan alat indera kita. Semua alat indera memiliki
peran masing-masing yang nantinya menjadi bagian dari pembentukan
persepsi. Dari penginderaan (sensasi) melalui alat indra (indra pelihat,
idnra peraba, indra pencium, indra pengecap dan indra pendengar), masuk
ke proses atensi lalu interprestasi. Sensasi merujuk pada pesan yang
dikirimkan ke otak lewat pengindraan, pendengaran, pengecap,
penglihatan, sentuhan dan penciuman. Reposter indrawi yang menjadi
mediannya adalah mata, telinga, hidung, kulit dan lidah. Alat indralah
yang menghubungkan manusia dengan alam sekitar dan rangsangan-
rangsan yang akan menghubungkan manusia dengan alam sekitar
rangsangan-rangsana yang akan diterimanya. Lalu rangsangan itu
dikirimkan ke otak, yang nantinya akan dipelajari maknanya (Mulyana,
2008, Hal 181).
2. Stereotipe
Dalam konteks arah, stereotipe dinilai dapat mengalami perubahan ke
arah yang menguntungkan ataupun sebaliknya dapat berubah ke arah
yang tidak menguntungkan. Secara intensitas, stereotipe dapat mengalami
perubahan konteks internsisrasnya dimana terjadi perubahan pada
keyakinan yang kuat seseorang terhadap stereotipe yang ada. Stereotipe
juga dapat mengalami perubahan apabila suatu stereotipe terbukti benar
atau bahkan tidak akurat. Dalam konteks ini, sterotipe dapat mengalami
perubahan dalam konteks isi yang spesifik dimana sifat-sifat khusus yang
diatribusikan kepada suatu kelompok. Stereotipe dapat menjadi hambatan
dalam komunikasi antarbudaya karena menghalangi seseorang untuk
memulai komunikasi dengan kelompok masyarakat dari budaya lain
dengan stereotipe yang dimilikinya (Darmastuti, 2013, Hal 76).
3. Prasangka
Prasangka merupakan sikap yang biasanya negatif terhadap sekolompok
masyarakat dari budaya tertentu dengan sedikit bukti atau tanpa bukti
sama sekali. Ketika stereotipe mengatakan kepada seseorang seperti apa
kelompok yang dipandangnya, maka prasangka mencerikan mengenai apa
yang dirasakan seseorang mengenai kelompok tersebut. Prasangka
muncul dari kebutuhan seseorang secara pribadi untuk mersakan hal-hal
yang positif mengenai kelompoknya dan merasakan hal yang negatif
mengenai kelompok yang lain atau datang dari pengetahuan tertentu
mengenai kelompok tersebut ataupun adanya ancaman yang diperoleh
dari pihak yang berasal dari kelompok tersebut (Judith, Martin Nakayama,
2010 Hal 207).
4. Etnosentrisme
Etnosentrime merupakan bentuk penghakiman yang dilakukan oleh suatu
kelompok masyrakat terhadap kebudayaan kelompok masyrakat yang lain
dengan cara membandingkan atau menggunakan standar budayanya
sendiri terhadap kelompok lain tersebut. Sedangkan Nanda dan Warms
mengatakan bahwa etnosintrisme merupakan pandangan bahwa budaya
seseorang lebih unggul dibanding budaya yang lainnya. Sebenarnya
etnosintrisme tidak selalu bersifat negatif. Samovar membedakan tingkat
etnosentrime
dari
yang
positif,
negatif
hingga
sangat
negatif.
Etnosentrime yang positif akan membawa kebanggaan terhadap budaya
yang dimiliki, sehingga akan berusaha melestarikan budayanya sendiri.
Etnosentrime yang negatif biasanya menilai budaya lain sesuai dengan
standar budayanya sendiri. Sedangkan pada tingkatan yang tertinggi
adalah etnosentrime yang sangat negatif dimana mereka melihat
budayanya sendiri sebagai yang paling bagus, paling benar dan paling
berkuasa (Darmastuti, 2013, Hal 73-74).
5. Pola Pikir
Sekalipun berasal dari budaya yang sama, bisa jadi pola pikir yang
dimiliki oleh orang tersebut berbeda satu dengan yang lain. Hal ini
disebabkan setiap orang bebas memaknai hidupnya dengan pandangan
hidup yang diyakini masing-masing. pola pikir yang didasari latar
belakang budaya pada akhirnya menjadi pedoman dalam bertindak dan
bertingkah laku. Ketika berinteraksi dengan orang lain yang memiliki
pola pikir berbeda, maka tidak jarang terjadi benturan-benturan aktibat
perbedaa pola pikir tersebut (Darmastuti, 2013, Hal 72-73)
.
2.3 Kerangka Pemikir
Komunikasi Antarbudaya
Hambatan Komunikasi
Antarbudaya
Nilai-nilai Budaya
1. Individual dan
Kolektif
2. Monochronic and
Polychronic
1. Persepsi
2. Prasangka
Solusi yang dilakukan
Komunikasi yang
efektif dalam
komunikasi
antarbudaya
3. Stereotipe
3. High and Low
Context
4. High and Low Power
Distance
Grafik 2.1 Kerangka Pemikir
Sumber: Hasil Olahan Peneliti pada Ekalokasari Plaza
Download