BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Sebelumnya (State of The Art) Pada state of the art ini, terdapat contoh-contoh penelitian sebelumnya sebagai panduan atau contoh untuk penelitian yang akan dilakukan. Tabel 2.1 State of the Art (Nasional) Penelitian ini tentang pengaruh kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja karyawan oleh Hendry Irawan., S.St., MM, Nama Peneliti Hendry Irawan., S.St., MM, Judul Penelitian Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Lokasi dan Tahun Yayasan Pelita Bangsa, 2012 Penelitian Metode Penelitian Kuantitatif Subjek Penelitian Kepemimpinan dan budaya organisasi Hasil Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menyatakan bahwa kepemimpinan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Semakin baik kepemimpinan, maka kinerja karyawan akan meningkat. Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Artinya apabila budaya organisasi semakin baik, maka kinerja karyawan akan meningkat. Persamaan Penelitian Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas tentang sebuah organisasi dalam sebuah perusahaan, dan menciptakan komunikasi yang baik dalam sebuah organisasi. Perbedaan Penelitian Pada penelitian sebelumnya, membahas semakin baik kepemimpinan, maka kinerja karyawan akan meningkat. Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Artinya apabila budaya organisasi semakin baik, maka kinerja karyawan akan meningkat. Sedangkan dalam penelitian ini, membahas tentang organisasi komunikasi antarbudaya yang efektif dengan perbedaan budaya dalam perusahaannya. Dan juga, penelitian sebelumnya menggunakan metode kuantitatif. Tabel 2.2 State of the Art (Nasional) Penelitian ini tentang pengaruh motivasi kerja dan iklim komunikasi organisasi terhadap komitmen keorganisasian pegawai arsip nasional Republik Indonesia oleh Azwar Sanusi. Nama Peneliti Azwar Sanusi Judul Penelitian Pengaruh Motivasi Kerja dan Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Komitmen Keorganisasian Pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia Lokasi dan Tahun Universitas Indonesia, 2012 Penelitian Metode Penelitian Kuantitatif Subjek Penelitian Komunikasi organisasi Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat komitmen pegawai ANRI berada pada tingkat sedang atau cukup baik. Iklim komunikasi organisasi secara parsial memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi. Motivasi kerja secara parsial memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi. Kedua variabel (iklim komunikasi organisasi dan motivasi kerja sama-sama memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi). Persamaan Penelitian Membahas tentang motivasi kerja untuk mencapai suatu tujuan, dimana hal tersebut sangat penting dalam bekerja dan motivasi tersebut ikut mempengaruhi proses perkembangan pembangunan Ekalokasasari Plaza. Perbedaan Penelitian Penelitian ini mendalami tentang iklim komunikasi dan komitmen dalam bekerja secara lebih rinci dan mendalam namun tidak membahas tentang bagaimana komunikasi organisasi yang ada. Tabel 2.3 State of the Art (Nasional) Penelitian ini tentang budaya organisasi dalam meningkatkan efektivitas organisasi oleh Lita Wulantika. Nama Peneliti Lita Wulantika Judul Penelitian Budaya Organisasi Dalam Meningkatkan Efektivitas Organisasi Lokasi dan Tahun Univeritas Komunikasi Indonesia 2010 Penelitian Metode Penelitian Kualitatif Subjek Penelitian Budaya organisasi dan karyawan Hasil Penelitian Budaya berguna bagi organisasi dan karyawan. Budaya mendorong terciptanya komitmen organisasi dan meningkatkan konsisten sikap karyawan. Budaya merupakan suatu kecenderungan pada saat nilai-nilai bersama tidak selaras dengan efektivitas organisasi untuk waktu selanjutnya. Persamaan Penelitian Pada penelitian ini, ditemukan persamaan bahwa penelitian ini sama-sama membahas tentang budaya yang berdampak terhadap organisasi dan kinerja para karyawan. Selain itu, penelitian terdahulu dan sekarang juga mempercayai bahwa budaya mendorong terciptanya komitmen organisasi dan meningkatkan konsisten sikap karyawan. Perbedaan Penelitian Perbedaan dalam penelitian ini adalah pada penelitian terdahulu lebih fokus membahas nilai-nilai yang tidak selaras dengan efektivitas organisasi untuk waktu sebelumnya, sedangkan pada penelitian sekarang lebih fokus membahas tentang komunikasi organisasi yang ada pada karyawan Ekalokasari Plaza terhadap proses perkembangan pembangunan Ekalokasari Plaza. Tabel 2.4 State of the Art (Internasional) Penelitian ini tentang Managing Workplace Diversty oleh Harold Andrew Patrick & Vicent Raj Kumat. Nama Peneliti Harold Andrew Patrick & Vincent Raj Kumat Judul Penelitian Managing Workplace Diversty Lokasi dan Tahun California, U.S.A 2012 Penelitian Metode Penelitian Kualitatif Subjek Penelitian Keragaman budaya dalam sebuah organisasi Hasil Penelitian Keragaman budaya tidak hanya menentukan efek dari keragaman dalam sebuah organisasi, tetapi juga tingkat keterbukaan perbedaan karakteristik antara anggota organisasi kelompok kerja dan budaya. Persamaan Penelitian Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas tentang bagaimana sebuah perusahaan yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda namun memiliki tujuan yang satu. Perbedaan Penelitian Pada penelitian sebelumnya lebih menuju pada berbagai aspek yang dapat berpengaruh terhadap kelompok kerja dan anggota organisasi karena perbedaan budaya. Sedangkan dalam penelitian ini terfokus pada komunikasi yang terjalin dengan perbedaan budaya yang ada untuk menuju satu tujuan yang sama. Tabel 2.5 State of the Art (Internasional) Penelitian ini tentang Managing Organizational Culture for Effective Communication oleh Solomon George Anacto. Nama Peneliti Solomon George Anacto Judul Penelitian Managing Organizational Culture For Effective Communication Lokasi dan Tahun Department of Mass Communication, Babcook Penelitian Universit, Ilisan-Roma, Orgun State, Nigeria, 2010 Metode Penelitian Kualitatif Subjek Penelitian Budaya dan organisasi Hasil Penelitian Setiap organisasi memiliki budaya dan budaya bisa mengatur sebuah keefektivitasan komunikasi didalam sebuah organisasi tersebut. Setiap organisasi harus memiliki strategi tentang apa yang mereka butuhkan untuk membuat suatu budaya itu. Karena efektivitas komunikasi menjadi kunci untuk menjadi budaya organisasi yang positif. Persamaan Penelitian Persamaan yang terdapat penelitian terdahulu dan sekarang adalah menganggap bahwan budaya sangat berdampak dan mampu mengatur keefektivitasan dalam berkomunikasi. sebuah Perbedaan Penelitian Perbedaan dalam penelitian ini adalah pada penelitian sebelumnya fokus penelitian lebih mengacu pada budaya yang mampu mengatur keefektivitasan komunikasi sedangkan pada penelitian sekarang lebih mengacu pada komunikasi antarbudaya yang terjadi didalam karyawan PT MULTI NUSANTARA KARYA dalam proses perkembangan pembangunan Ekalokasai Plaza. 2.2 Landasan Konseptual 2.2.1 Komunikasi Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi karena komunikasi merupakan bagian integral dari tatanan kehidupan sosial manusia atau masyarakat. Dengan kata lain komunikasi sudahn menjadi ‘jantung’ dari kehidupan manusia. Komunikasi telah menjadi kegiatan kehidupan manusia sehari-hari (Suprapto, 2009 Hal 1). Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi (Muhammad, 2009, Hal 1) Istilah “komunikasi” atau dalam bahasa Inggris yaitu “communication”, berasal dari bahasa latin “communis” yang berarti sama, communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama “ to make common” (Mulyana, 2005, Hal 41) . Definisi dari segi bahasa ini menyatakan bahwa suatu komunikasi yang efektif hanya dapat tercapai apabila terjadi kesamaan makna antara komunikator dengan komunikan. Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk memperngaruhi orang lain untuk merasa, berfikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun menurut Schiedel tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik atau psikologis kita seperti sebuah bangunan, komunikasi (proses penyampaian pesan) dapat dilihat dari berbagai sudut pandang (perspektif). Perspektif itu sendiri pada wilayah keilmuan diartikan suatu kerangka konseptual (conceptual frame-work), suatu perangkat asumsi, nilai atau gagasan yang mempengaruhi perspektif kita, dan pada gilirannya mempengaruhi cara kita bertindak dalam suatu situasi (Mulyana, 2005, Hal 16). Komunikasi juga merupakan tindakan simbolik dimana didalamnya digunakan berbagai kode yang dibuat oleh manusia dan memiliki makna tertentu (Zien ,2012, Hal 349). Kode-kode ini digunakan untuk dapat berinteraksi baik secara verbal dan nonverbal untuk dapat membuat komunikan atau pihak yang menerima pesan bisa memahami isi pesan dengan mudah. Dance dan Larson (dalam Vardiansyah, 2004 : 9) setidaknya telah mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan. Namun, Dance dan Larson mengidentifikasi hanya ada tiga dimensi konseptual penting yang mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya itu, antara lain : 1. Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya. (a) Definisi bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi adalah proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. (b) Definisi bersifat khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat untuk mengirimkan pesan militer, perintah dan sebagainya melalui telepon, telegraf, radio, kurir dan sebagainya. 2. Tingkat kesengajaan. (a) Definisi yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. (b) Definisi yang mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode (1959) yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi dimiliki dua orang atau lebih. 3. Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan. (a) Definisi yang menekankan keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi untuk mendapatkan saling pengertian. (b) Definisi yang tidak menekankan keberhasilan dan tidak diterimanya pesan, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi adalah proses transmisi informasi. 2.2.1.1 Komunikasi Organisasi Definisi tradisional (fungsionalis dan objektif) komunikasi organisasi cenderung menekankan kegiatan penanganan pesan yang terkandung dalam suatu “batas organisasional”. Komunikasi organisasi, dipandang dari suatu interpretif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi. Komunikasi organisasi adalah perilaku pengorganisasian yang terjadi dan bagaimana mereka terlibat dalam proses itu, bertransaksi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi. Lebih jelasnya, komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi. Dalam pandangan “objektif”, organisasi menekankan “struktur”, sementara organisasi berdasarkan pandangan “subjektif”, menekankan “proses”. (Pace & Faules, 2010, Hal 33). Studi komunikasi organisasi adalah studi mengenai cara orang memandang objek-objek, juga studi mengenai objek-objek itu sendiri (Pace&Faules, 2010, Hal 3). Yang penting adalah bahwa orang-orang yang berbeda berperilaku dengan cara-cara yang berbeda terhadap apa yang mereka anggap objek yang layak diamati, dan perbedaan-perbedaan tersebut adalah berdasarkan pada bagaimana orang-orang berpikir tentang objek-objek itu. Suatu objek sosial adalah sekadar objek yang mempunyai makna bagi suatu kolektivitas atau menuntut tindakan oleh manusia. Komunikasi organisasi adalah suatu disiplin studi yang dapat mengambil sejumlah arah yang sah dan bermanfaat (Pace&Faules, 2010, Hal 25). Secara fungsional komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan-hubungan hierarkis antara satu dengan yang lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan (Pace&Faules, 20010, Hal 31). Redding dan Sanborn mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Dan menurut Katz dan Kahn bahwa komunikasi organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam suatu organisasi (Muhammad, 2009, Hal 33). Menurut Wiryanto (Romli, 2011: 2), komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi. Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Redding dan Sanbors mengatakan bahwa, “komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Yang termasuk dalam bidang ini adalah komunikasi interpersonal, hubungan manusia, hubungan persatuan pengelola, komunikasi downward atau komunikasi dari atasan kepada bawahan, komunikasi upward atau komunikasi dari bawahan kepada atasan, komunikasi horizontal atau komunikasi dari orang-orang sesama level/tingkatnya dalam organisasi, keterampilan berkomunikasi dan berbicara, mendengarkan, menulis dan komunikasi evaluasi program” (Muhammad, 2009:65). Katz dan Kahn mengatakan bahwa komunikasi organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam suatu organisasi. Zelko dan Dance mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah suatu sistem yang saling tergantung yang mencakup komunikasi internal dan komunikasi eksternal (Muhammad, 2009:65-66). Greenbaunm mengatakan bahwa,“bidang komunikasi organisasi termasuk arus komunikasi formal dan informal dalam organisasi. Dia membedakan komunikasi internal dan eksternal dan memandang peranan komunikasi terutama sekali sebagai koordinasi pribadi dan tujuan organisasi dan masalah menggiatkan aktivitas” (Muhammad, 2009, Hal 66-67). Goldhaber memberikan definisi komunikasi organisasi sebagai berikut, “organizational communications is the process of creating and exchanging messages within a network of interdependent relationship to cope with environmental uncertainty” atau dengan kata lain “komunikasi organisasi dalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam suatu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah” (Muhammad, 2009, Hal 67). 2.2.1.2 Prinsip-prinsip Komunikasi Ada prinsip-prinsip tertentu dalam komunikasi. Seperti apa yang disebutkan oleh Joseph A. Devoito (Darmastuti, 11-12) ada beberapa prinsip dari komunikasi yang terjadi diantara manusia, yakni: 1. Komunikasi adalah paket isyarat Dalam setiap perilaku komunikasi digunakan isyarat-isyarat tertentu baik secara komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal sebagai salah satu media pengirim informasi. 2. Komunikasi adalam proses penyesuain Komunikasi dapat terjadi ketika setiap partisipan dalam komunikasi dapat menggunakan dan memahami simbol persepi yang sama. Proses komunikasi ada dan diperlukan untuk menyesuaikan antara sender dan receive yang memiliki latar belakang budaya serta pemahaman yang berbeda. 3. Komunikasi mencakup dimensi isi dan hubungan Komunikasi tidak menyampaikan suatu hanya berbicara mengenai pesan tertentu namun bagaimana juga bagaimana membangun suatu hubungan atau relasi dengan partisipan komunikasi lainnya. 4. Komunikasi melibatkan transaksi simetris dan komplementer Dalam suatu proses komunikasi hubungan yang terjadi dapat berbentuk simetris maupun komplementer. Hubungan yang simetris berarti dua pihak ini saling bercermin pada perilakunya. Sedangkan hubungan yang komplementer berarti kedua pihak ini saling melengkapi perilaku satu dengan yang lain. 5. Komunikasi adalah proses transaksional Komunikasi merupakan proses yang bersifat transaksional yakni proses dimana komponen-komponennya saling terkait. Partisiapn dalam proses komunikasi saling beraksi dan bereaksi satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan. 6. Komunikasi tidak terhindarkan Komunikasi terjadi dalam kehidupan manusia tidak senantiasa dilakukan baik secara sadar dan sengaja. Terkadang komunikai terjadi tanpa disadari pelakunya. 7. Komunikasi bersifat tak reversible Komunikasi yang sudah dilakukan atau sudah terjadi tidak dapat diulang kembali. 2.2.2 Komunikasi yang Efektif dalam Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya. Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras, atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi: apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut dikomunikasikan, budaya-budaya bagaimana cara bersangkutan, apa yang mengkomunikasikannya layak (verbal nonverbal), kapan mengkomunikasikannya (Mulyana, 2005, Hal 11). Pihak-pihak yang melakukan komunikasi antarbudaya harus mempunyai keinginan yang jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan mengharapkan pengertian timbal balik. Asumsi ini memerlukan sikap-sikap yang positif dari para pelaku komunikasi antarbudaya dan penghilangan hubungan-hubungan superiorinferior yang berdasarkan keanggotaan dalam budaya-budaya, ras-ras atau kelompok-kelompok etnik tertentu (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 37) Menurut (Mulyana, 2005) mengatasi komunikasi antarbudaya dengan efektif adalah dengan mengetahui pola-pola penafsiran pesan dari budaya yang berlainan serta meminimalis bias penilian dan persepsi interpersonal agar tidak terjebak dalam stereotipe. Sedangkan menurut (Antoni, 2005) menyatakan bahwa dalam komunikasi antarbudaya sebaiknya kominkator dan komunikan menggabungkan komponen esmosial atau motivasional dari budaya, dan pertemuan antarbudaya agar komunikasi menjadi efektif. Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap orang lain bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai pengalaman atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasi, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain. Banyak masalah komunikasi antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang menyadari dan tidak mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003, Hal 254). Selain itu, seperti yang telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan dan perilaku orang lain, semuanya itu membantu terciptanya komunikasi antarbudaya yang efektif (Tubbs dan Moss, 2005, Hal 242). (Judith, Martin Nakayama, 2010, Hal 35) menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan suatu pembelajaran mengenai pola dan identitas suatu kebudayaan, bukan hanya kebudayaan sendiri melainkan juga kebudayaan orang lain. Komunikasi antarbudaya merupakan individu dan budaya, personal dan kontekstual, yang memiliki karakteristik yang berbeda dan hampir serupa, statis maupun dinamis, yang berorientasi pada masa lalu dan masa depan serta dengan keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Seperti yang kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Dalam setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk oleh budaya yang mempengaruhinya. Ini menunjukkan dua hal, yaitu pertama, ada pengaruh-pengaruh lain disamping budaya yang membentuk individu. Kedua, meskipun budaya merupakan kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang-orang dalam suatu budaya pun mempunyai sifat-sifat yang berbeda (Mulyana, 2005, Hal 20). Kesadaran dari setiap orang bahwa adanya perbedaan-perbedaan sekaligus kesamaan-kesamaan dalam diri masing-masing orang dan kelompok budayanya merupakan langkah awal untuk meminimalkan perilaku masyarakat majemuk seperti Indonesia, dialog merupakan pijakan untuk menghargai keberagaman. Dialog merepresentasikan sebuah bentuk wacana yang menekankan pada kemampuan mendengarkan dengan tujuan untuk menumbuhkan saling menghormati dan memahami. Dialog memungkinkan pihak-pihak yang berkomunikasi menyadari cara-cara yang berbeda ketika orang menginterpretasikan dan memberikan makna terhadap pengalamanpengalaman yang sama.Dialog dipahami sebagai proses transaksional yang dinamis dengan fokus khusus pada kualitas hubungan antar partisipan (LittleJohn & Foss,2009:301). 2.2.2.1 Budaya Organisasi Budaya organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi sumber daya manusia dalam menjalankan kewajiban dan perilakunya di dalam organiasi. Nilai-nilai tersebut akan memberi jawaban apakah suatu tindakan benar atau salah, apakah suatu perilaku dianjurkan atau tidak, sehingga berfungsi sebagai landasan untuk berperilaku (Uha, 2013, Hal 3). Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (Hanggraeni, 2011, Hal 150) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi, dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri. Cushway dan Lodge (Hanggraeni, 2011, Hal 150) mendefinisikan budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Budaya organisasi dijadikan pedoman oleh setiap individu di dalam organisasi ketika bertindak dan berpikir dalam mencapai tujuan organisasi. Menurut Davis dan Moeljono (Uha, 2013, Hal 8), setiap organisasi memiliki makna tersendiri terhadap kata budaya itu sendiri, antara lain identitas, ideologi, etos, pola eksistensi, aturan, pusat kepentingan, filosofi tujuan, spirit, sumber informasi, gaya, visi, dan cara. Budaya organisasi memiliki arti yang berbeda bagi setiap organisasi atau perusahaan. Oleh karena itu, budaya organisasi memberikan kekhasan bagi sebuah organisasi atau perusahaan. Kotter dan James L. Heskett (Uha, 2013, Hal 55) menyatakan bahwa budaya perusahaan adalah seperangkat nilai, norma, persepsi, dan pola perilaku yang diciptakan atau dikembangkan dalam sebuah perusahaan untuk mengatasi berbagai masalah, baik masalah adaptasi secara eksternal maupun masalah integrasi secara internal. Budaya organisasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja, dan motivasi para manajer dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi (Ernawan, 2011 Hal 79). Sedangkan, Robbins (Tika, 2005, Hal :6) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah sekumpulan sistem nilai yang diakui dan dibuat mengacu kepada sistem makna bersama yang dianut oleh anggota di dalam organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain. Budaya organisasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja, dan motivasi para manajer dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi (Ernawan, 2011, Hal 79). Cushway dan Lodge (Hanggraeni, 2011, Hal 150) mendefinisikan budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Budaya organisasi dijadikan pedoman oleh setiap individu di dalam organisasi ketika bertindak dan berpikir dalam mencapai tujuan organisasi. Menurut Davis dan Moeljono (Uha, 2013, Hal 8), setiap organisasi memiliki makna tersendiri terhadap kata budaya itu sendiri, antara lain identitas, ideologi, etos, pola eksistensi, aturan, pusat kepentingan, filosofi tujuan, spirit, sumber informasi, gaya, visi, dan cara. Budaya organisasi memiliki arti yang berbeda bagi setiap organisasi atau perusahaan. Oleh karena itu, budaya organisasi memberikan kekhasan bagi sebuah organisasi atau perusahaan. Kotter dan James L. Heskett (Uha, 2013, Hal 55) menyatakan bahwa budaya perusahaan adalah seperangkat nilai, norma, persepsi, dan pola perilaku yang diciptakan atau dikembangkan dalam sebuah perusahaan untuk mengatasi berbagai masalah, baik masalah adaptasi secara eksternal maupun masalah integrasi secara internal. Sedangkan, Robbins (Tika, 2005, Hal 6) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah sekumpulan sistem nilai yang diakui dan dibuat mengacu kepada sistem makna bersama yang dianut oleh anggota di dalam organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain. Budaya organisasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja, dan motivasi para manajer dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi (Ernawan, 201, Hal 79). Dari definisi mengenai budaya organisasi menurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai, ideologi, pola perilaku, teladan, kebiasaan, pedoman, keyakinan yang diyakini oleh seluruh anggota organisasi di dalam suatu perusahaan yang berpengaruh pada cara berpikir, berperasaaan, dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu, cara kerja dan motivasi seluruh anggota perusahaan untuk mencapai kinerja perusahaan, serta memberikan identitas yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi atau perusahaan lainnya. 2.2.2. Terdapat 4 dimensi budaya, yaitu: 1. Individu dan Kolektif Dalam pandangan Syewart Tubbs dan Sylvia Moss, budaya individual melihat bahwa setiap orang yang menjadi anggota dalam budaya itu memiliki kecenderungan untuk memberikan kontribusi dalam budaya. Identitas individu melebihi identitas kelompok, kebeneran individu melebihi kebeneran kelompok, dan penghargaan terhadap diri sedniri melebihi perhatian kepada kelompok. Sedangkan kolektif didefenisikan sebagai budaya yang memiliki kesamaan dengan budaya individual karena dalam budaya kolektif ini individu dair anggota budaya juga memiliki kecenderungan untuk memberikan nilai-nilai dalam budaya. Hanya saja, dalam budaya kolektif ini identitas kelompok melebih identitas individu, kebijakan kelompok melebihi kebijakan individu, dan orientasi terhadap kelompok melebihi keinginan dan hasrat individu. (Darmastuti, 201, Hal 105-106). Untuk Individualis: A. Personal time. Memiliki suatu pekerjaan yang memberikan anda waktu yang cukup untuk kehidupan personal atau keluarga. B. Freedom. Memiliki kebebesan yang tinggi untuk menggunakan pendekatan anda sendiri dalam pekerjaan anda. C. Challege. Memiliki tantangan pekerjaan yang dilakukan bekerja dimana anda dapat mencapai prestasi. Untuk collectivism: A. Training. Memiliki kesempatan training (untuk meningkatkan ketrampilan anda atau mempelajari ketrampilan baru) B. Physical conditions. Memiliki kondisi kerja fisik yang baik (ventilasi dan penerangan yang baik, tempat kerja yang leluasa, dsb.). C. Use of skills. Secara penuh menggunakan ketrampilan dan kemampuan anda dalam pekerjaan. 2. Monochronic and Polychronic Monochronic Seperti arti yang dimiliki oleh kata monochronic, konsep ini menjelaskan waktu sebagai hal yang linear dan terbagi.lebih spesifik lagi, ”pandangan monochronic terhadap waktu memercayai bahwa waktu merupakan sumber yang langka yang harus dibagi dan diatur melalui penggunaan jadwal dan janji temu,dan melalui tujuan hanya mengerjakan satu hal dalam satu waktu. Novinger menyimpulkan karakteristik budaya yang monochronic dengan menyatakan, Budaya yang monochronic memiliki pendekatan yang sebagian besar linear dan berurutan terhadap waktu yang rasional, menekankan spontanitas, dan cenderung berfokus pada satu aktivitas pada suatu waktu. Budaya dengan orientasi seperti ini melihat waktu sebagai hal yang nyata. Ketika berbicara mengenai pengalaman M-time Hall menyatakan, “Orang-orang berbicara mengenai waktu seolah-olah waktu itu adalah uang,sesuatu yang dapat ‘dihabiskan’, ’disimpan’, ‘dibuang’, dan ‘dihilangkan’. Melakukan orientasi ini berarti menilai ketepatan waktu, mengorganisir, dan menggunakan waktu dengan bijaksana. Pengikut aliran naturalis Inggris Charles Darwin menyimpulkan pandangan ini dalam tulisannya, “Seseorang yang berani untuk menghabiskan satu jam belum menemukan nilai hidup”. Waktu merekam berapa jam anda bekerja, bel sekolah membuat anda berpindah dari kelas ke kelas, dan kalender menandai hari dan peristiwa penting dalam hidup anda. Polychronic Orang dari budaya yang berorientasi pada polychronic menghidupi hidup mereka berbeda dengan mereka yang berpindah ke jam monochronic. Kecepatan dalam budaya P-time (Arab,Afrika,India,Amerika Latin,Asia Selatan,dan Asia Tenggara) lebih santai dibandingkan yang ditemukan dalam budaya Monochronic time. Salah satu alasannya adalah bahwa hubungan antarmanusia merupakan inti dari budaya polychronic. Seperti yang dinyatakan oleh Smith dan Bond, “Pandangan polychronic terhadap waktu adalah bahwa mempertahankan hubugan yang harmonis merupakan agenda yang penting, sehingga waktu digunakan lebih fleksibel supaya hubungan kita dengan orang lain baik. Budaya ini biasanya kolektif dan berhubungan dengan kehidupan dalam perilaku holistik. Bagi budaya Polychronic time waktu tidak begitu nyata, sehingga perasaan membuang-buang waktu tidak sebesar dalam budaya Monochronic time. Anggota-anggotanya dapat berinteraksi dengan lebih dari satu orang atau melakukan satu hal dalam satu waktu. Table 2.6 Perbedaan orang Monochronic dengan Polychronic Orang yang Monochronic Mengerjakan satu hal dalam satu waktu Berkomitmen terhadap waktu dengan serius Orang yang Polychronic Melakukan banyak hal dalam satu waktu Mempertimbangkan komitmen waktu tuuan untuk dicapai,jika memungkinkan Berkonteks rendah dan memerlukan informasi Berkonteks informasi Mengikuti rencana Menekankan ketepatan waktu Sering dan mudah mengganti rencana Ketepatan waktu didasarkan pada hubungan Terikat dengan pekerjaan Terikat pada manusia dan hubungan antar sesama Terbiasa dalam hubungan jangka pendek Kecendrungannya rendah untuk membangun kembali hubungan seumur hidup Sumber: Hasil Peneliti tinggi dan sudah memiliki 3. High and Low Context Dalam dimensi ini, budaya dibedakan menjad budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. Budaya konteks tinggi merupakan sebuah kebudayaan dimana prosedur pengalihan informasi menjadi sukar dikomunikasikan dan bersifat eksplisit. Sedangkan budaya konteks rendah merupakan sebuah kebudayaan dimana prosedur pengahilan informasi lebih praktis dan bersifat implisit. (Darmastuti, 2013: 106). 4. Power Distance Power distance mengacu pada tingkatan dimana orang lebih suka menerima kewenangan dan sturuktur organisasi sebagai bagian alami dari kebudayaan mereka. Dimensi ini memiliki pandangan bahwa anggota dari budaya yang memiliki status lebih tinggi biasanya akan memiliki kekuasaan lebih dari yang lain. (Darnwasturui, 2013: 107) 2.2.2.3 Permasalahan dalam Komunikasi Antarbudaya Berikut adalah masalah yang terdapat dalam komunikasi antarbudaya: 1. Persepsi Menurut Berelaon dan Steiner (1964) persepi merupakan proses komplek dimana orang memilih, mengorganisasikan dan menginterprestasikan respon terhadap suatu rangsangan ke dalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan logis. Dan menurut Bennett Hoffman dan Parkash (1989) persepi merupakan aktivitas aktif yang melibatkan pembelajaran, pembaruan, cara pandang, dan pengaruh timbal balik dalam pengamatan (Severin, 2011, hal 84) Proses persepi melibatkan alat indera kita. Semua alat indera memiliki peran masing-masing yang nantinya menjadi bagian dari pembentukan persepsi. Dari penginderaan (sensasi) melalui alat indra (indra pelihat, idnra peraba, indra pencium, indra pengecap dan indra pendengar), masuk ke proses atensi lalu interprestasi. Sensasi merujuk pada pesan yang dikirimkan ke otak lewat pengindraan, pendengaran, pengecap, penglihatan, sentuhan dan penciuman. Reposter indrawi yang menjadi mediannya adalah mata, telinga, hidung, kulit dan lidah. Alat indralah yang menghubungkan manusia dengan alam sekitar dan rangsangan- rangsan yang akan menghubungkan manusia dengan alam sekitar rangsangan-rangsana yang akan diterimanya. Lalu rangsangan itu dikirimkan ke otak, yang nantinya akan dipelajari maknanya (Mulyana, 2008, Hal 181). 2. Stereotipe Dalam konteks arah, stereotipe dinilai dapat mengalami perubahan ke arah yang menguntungkan ataupun sebaliknya dapat berubah ke arah yang tidak menguntungkan. Secara intensitas, stereotipe dapat mengalami perubahan konteks internsisrasnya dimana terjadi perubahan pada keyakinan yang kuat seseorang terhadap stereotipe yang ada. Stereotipe juga dapat mengalami perubahan apabila suatu stereotipe terbukti benar atau bahkan tidak akurat. Dalam konteks ini, sterotipe dapat mengalami perubahan dalam konteks isi yang spesifik dimana sifat-sifat khusus yang diatribusikan kepada suatu kelompok. Stereotipe dapat menjadi hambatan dalam komunikasi antarbudaya karena menghalangi seseorang untuk memulai komunikasi dengan kelompok masyarakat dari budaya lain dengan stereotipe yang dimilikinya (Darmastuti, 2013, Hal 76). 3. Prasangka Prasangka merupakan sikap yang biasanya negatif terhadap sekolompok masyarakat dari budaya tertentu dengan sedikit bukti atau tanpa bukti sama sekali. Ketika stereotipe mengatakan kepada seseorang seperti apa kelompok yang dipandangnya, maka prasangka mencerikan mengenai apa yang dirasakan seseorang mengenai kelompok tersebut. Prasangka muncul dari kebutuhan seseorang secara pribadi untuk mersakan hal-hal yang positif mengenai kelompoknya dan merasakan hal yang negatif mengenai kelompok yang lain atau datang dari pengetahuan tertentu mengenai kelompok tersebut ataupun adanya ancaman yang diperoleh dari pihak yang berasal dari kelompok tersebut (Judith, Martin Nakayama, 2010 Hal 207). 4. Etnosentrisme Etnosentrime merupakan bentuk penghakiman yang dilakukan oleh suatu kelompok masyrakat terhadap kebudayaan kelompok masyrakat yang lain dengan cara membandingkan atau menggunakan standar budayanya sendiri terhadap kelompok lain tersebut. Sedangkan Nanda dan Warms mengatakan bahwa etnosintrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibanding budaya yang lainnya. Sebenarnya etnosintrisme tidak selalu bersifat negatif. Samovar membedakan tingkat etnosentrime dari yang positif, negatif hingga sangat negatif. Etnosentrime yang positif akan membawa kebanggaan terhadap budaya yang dimiliki, sehingga akan berusaha melestarikan budayanya sendiri. Etnosentrime yang negatif biasanya menilai budaya lain sesuai dengan standar budayanya sendiri. Sedangkan pada tingkatan yang tertinggi adalah etnosentrime yang sangat negatif dimana mereka melihat budayanya sendiri sebagai yang paling bagus, paling benar dan paling berkuasa (Darmastuti, 2013, Hal 73-74). 5. Pola Pikir Sekalipun berasal dari budaya yang sama, bisa jadi pola pikir yang dimiliki oleh orang tersebut berbeda satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan setiap orang bebas memaknai hidupnya dengan pandangan hidup yang diyakini masing-masing. pola pikir yang didasari latar belakang budaya pada akhirnya menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku. Ketika berinteraksi dengan orang lain yang memiliki pola pikir berbeda, maka tidak jarang terjadi benturan-benturan aktibat perbedaa pola pikir tersebut (Darmastuti, 2013, Hal 72-73) . 2.3 Kerangka Pemikir Komunikasi Antarbudaya Hambatan Komunikasi Antarbudaya Nilai-nilai Budaya 1. Individual dan Kolektif 2. Monochronic and Polychronic 1. Persepsi 2. Prasangka Solusi yang dilakukan Komunikasi yang efektif dalam komunikasi antarbudaya 3. Stereotipe 3. High and Low Context 4. High and Low Power Distance Grafik 2.1 Kerangka Pemikir Sumber: Hasil Olahan Peneliti pada Ekalokasari Plaza