PLURALITAS AGAMA (Suatu Tinjauan Teologi Sosial) Ahmad

advertisement
PLURALITAS AGAMA
(Suatu Tinjauan Teologi Sosial)
Ahmad Mujahid1
Abstract: To face the globalization era, Muslim need theology basis which is
strong. Theology term is to help enrich the muslim knowleadge of Islam. In the
thought of Islam theology, means knowleadge which is content in relation beetwen
God and the universe. Later, The draft formulation of this, are; How is the book
theology in relation of book and religion pluralims? To focus to this formulation, it
will be presented many questions, namely: First, How is the theology of consept in
the book perspective? The Second, as a book guideline, how is theology implication
toward the pluralism religion? Then this writing shows that theology (tauhid) is
human awareness on thier believer toward the one god which cover it’s one of essence,
action, atribute (characteristic). The unity of god essence is a furitification towards
God. Yet, The fluralism is to be still unitied with strong bound, namely bound of
essence of God.
Key Words: Theology Social, Fluralims, Religion
Pendahuluan
Era globalisasi adalah era gerakan penyatuan peradaban manusia tidak dapat
dihindarkan berkat kemajuan teknologi komunikasi-informasi dan transfortasi. Oleh
karena itu, pembauran peradaban di antara umat manusia tidak dapat dibendung
dengan cara apapun. Kemestian peradaban yang demikian, seyogyanya melahirkan
kemestian landasan rohaniah yang kokoh, untuk secara positif mempertahankan
identitas dan memantapkan pandangan pluralitas agama, multikultural dan egalitarian
yang juga merupakan kemestian alami. Dari sini ini dapat dikatakan bahwa,
menghadapi era globalisasi ini, umat Islam memerlukan landasan teologis yang
kukuh, demi untuk mempertahankan identitas keislaman mereka dan untuk
menghadapi secara positif pembauran peradaban dan budaya dan atau pluralitasmultikultural.
Istilah teologi bukan merupakan khasanah dan tradisi Islam, tetapi khasanah dan
tradisi yang berasal dari Agama Kristen. Penggunaan suatu istilah yang berasal dari
1 Kandidat Doktor bidang Tafsir. Dosen Pengajar bidang Agama Islam di Universitas
hasanuddin (UNHAS) Makassar. E-mail: [email protected].
agama lain terhadap Islam tidak serta merta mengandung makna negatif, apalagi jika
istilah tersebut bisa memperkaya khazanah dan membantu mensistematiskan
pemahaman kita terhadap Islam. Kata “teologi” sebagaimana dijelaskan dalam
Encyclopaedia of Religion and Religions berarti ilmu yang membicarakan tentang Tuhan
dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup
keseluruhan bidang agama. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan pemikiran
teologi Islam.
Pada awal perkembangan pemikiran Islam, istilah “teologi” hanya dilekatkan pada
pemikiran tentang ketuhanan yang lebih dikenal dengan istilah ilmu kalam.
Tampaknya pembahasan ilmu kalam ini, cenderung melahirkan perdebatan teologis
yang tidak pernah tuntas. Misalnya perdebatan antara pemahaman teologi Jabariah
dan Qadariah, teologi Mu’tazilah dengan Asy’ariah. Teologi Mu’tazilah-Qadariah
memberikan peranan penting dan kuat kepada manusia dan cenderung menyangkal
peranan Tuhan agar manusia benar-benar bertanggung jawab. Pada sisi lain kalangan
Jabariah-Asy’ariah, menganggap manusia tidak memiliki kekuasaan agar Allah tetap
sebagai yang Maha Kuasa. wacana teologis tersebut menjadi pemicu munculnya
konflik sosial-politik, seperti peristiwa mihnah. Subtansi perdebatan teologisnya
berkisar pada apakah Alquran itu makhluk atau bukan? Apakah al-Qur’an itu qadim
ataukah jadid? Peristiwa mihnah ini telah menciptakan kekerasan terhadap kebebasan
intelektual manusia yang terhingga dan kemanusiaannya, khususnya terhadap
penganut teologi Asy’ariyah pada masa Khalifah Abbasiyah.
Berangkat dari fenomena teologis di atas, menarik untuk dikemukakan ramalan
Thomas Jefferson, -seorang penyusun Deklarasi Amerika yang tidak percaya pada
agama formal (Kristen pada saat itu)- yaitu bahwa agama-agama formal akan hancur
dalam satu-dua abad dan akan digantikan oleh pandangan yang dianutnya yaitu citacita kebebasan beragama, pluralisme dan egalitarianisme (yang ia jadikan sebagai citacita Barat tentang negara dan masyarakat) yang ia kemudian namakan agama
kemanusiaan masa depan.2
2 Nurcholish Majid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. 134.
Di negara maju, terdapat gejala sekelompok orang yang memiliki komitmen
positif pada masalah sosial, tanpa memperdulikan pada keyakinannya. Fraseologinya
adalah kesalehan tanpa iman (piety without faith).3 Helmut Schmidr, bekas Kansiler
Jerman (Barat) dan dekan (dean) gerakan sosial-demokrat Eropa, dalam
kunjungannya ke Indonesia, dengan tegas ia berkata; agama, menurut pengalaman
Eropa adalah musuh nomor satu demokrasi, pluralisme dan egalitarianisme. Schmidr
mengatakan; Eropa Barat ingin menegakkan demokrasi dan pluralisme dengan
terlebih dahulu menyudahi peran agama dalam politik. Pengakuan Schmidr ini sangat
mengagumi pancasila, namun ia sangat ingin tahu bagaimana merekonsiliasi sila
pertama (yang menurutnya adalah agama) dengan sila keempat (yang menurutnya
adalah demokrasi).4
Dari uraian di atas, diajukan rumusan sebagai pokok masalah, yaitu: Bagaimana
peran tauhid sebagai inti teologi Qurani dalam hubungannya dengan pluralitas
agama? Untuk mempertajam rumusan masalah tersebut maka dapat diajukan
pertayaan-pertayaan berikut: Pertama, bagaimana konsep tauhid dalam Alquran?
Kedua, bagaimana implikasi tauhid terhadap pluralitas agama sebagaimana petunjuk
Alquran?
Tauhid Sebagai Teologi Qurani
Istilah tauhid tidak ditemukan dalam al-qur’an. Kata ini adalah bentuk masdar
dari kata kerja transitif yaitu wahhada-yuwahhidu yang berarti mengesakan atau
menyatukan. Istilah tauhid ini digunakan dalam ilmu kalam oleh kelompok
mutakallim (ahli teologi) untuk mengesakan Tuhan (monoteisme). Penggunaan istilah
tauhid ini, oleh kaum mutakallimin secara tepat menggambarkan inti ajaran al-qur’an,
bahkan inti ajaran seluruh nabi dan rasul Allah.
Meskipun kata tauhid, tidak
digunakan dalam al-Qur’an, namun yang ditemukan adalah istilah ahad, wahda dan
Mengenai pemikiran tentang Faith without Religion, lebih lanjut lihat Kamaruddin Hidayat
dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina,
1995), h. 89-100.
3
4
Nurcholish, Tradisi Islam…, h. 134-135.
wahid. 5 Istilah pertama ditemukan dalam QS. al-Ikhlas (112):1-4. Istilah kedua
diantaranya ditemukan dalam QS. Ghafir (40):84. Istilah ketiga digunakan dalam QS.
al-Baqarah (2):163.
Sebagaimana dipahami pembahasan tentang tauhid relevan dengan pembahasan
mengenai Tuhan dan dalam hubungannya dengan manusia dan alam raya, karena itu
dalam pembahasan ini, penulis ingin tegaskan, bahwa tulisan ini murni pengkajian
tentang Tuhan dalam Alquran sebagai sorotan utama tauhid dan kemudian
dihubungan dengan problematika kemanusian, seperti wacana pluralitas dan
multikultural. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perdebatan teologis yang
sangat pelit dan rumit, ketika mengemukakan bukti-bukti teologis mengenai
eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, kami akan biarkan Alquran berbicara sendiri;
sedang penafsiran hanya akan digunakan dengan membuat hubungan antara konsepkonsep yang berbeda.
Tuhan pertama kali memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, ketika manusia
masih berupa janin dalam rahim ibunya. Hal ini, dipahami dari dialog Tuhan dengan
setiap janin yang ada dalam rahim ibunya, sebagaimana dikemukakan dalam Q.S. alA’raf (7):172;
‫و إذ أخذ ربك من بني ادم من ظهورهم ذريتهم واشهدهم علي انفسهم ألست بربكم قلوا بلي شهدنا ان تقول‬
‫يوم القيامة انا كنا عن هذذا غفلين‬
Artinya:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (Allah berfirman): Bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi. (Kami lakukan itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan; sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini ( keesaan Tuhan).”
5 Menurut Quraish Shihab, walaupun kata ahad terambil dari kata wahdah sebagaimana kata
wahid, namun dari segi bahasa, kata ahad, walaupun memiliki akar kata yang sama dengan kata wahid,
namun masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendir. Kata ahad hanya digunakan untuk
sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan, baik dalam benak maupun dalam kenyataan. Kerena
itu kata ini jika berfungsi sebagi sifat tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda hal dengan kata
wahid yang dapat menambahnya sehingga menjadi dua, tiga dan seterusnya. Lihat Quraish Shihab,
Tafsir Al-Quranul Karim, Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka
Hidayat, 1997), h. 667-668.
Secara global ayat di atas, mengemukakan perjanjian primordial antara Tuhan
dengan manusia sejak mereka masih dalam rahim ibunya. Perjanjian yang dimaksud
adalah adanya pengakuan manusia bahwa Allah adalah rabb, setelah mereka ditanya
oleh Allah “alastu birabbikum? ‘Bukankah saya Rabbmu?’. Tujuan perjanjian ini adalah,
agar manusia kelak, tidak berdalil bahwa yang demikian itu, tidak pernah disampaikan
kepada mereka dan tidak berdalil bahwa orang tua mereka telah melakukan
kemusyrikan sejak dahulu dan merekalah yang dijadikan ikutan.
Dari konteks ayat tersebut diketahui bahwa, istilah pertama yang Allah gunakan
untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia adalah rabb. Istilah rabb, pada ayat
di atas, dua kali disebutkan. Secara etimologis kata rabb berakar kata dengan huruf ‘ra’
dan huruf ‘ba’ yang berganda dengan makna memperbaiki dan memelihara sesuatu,
melazimi, dan menghimpun sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. 6 Dari makna
tersebut, diperoleh bentuk kata rabb yang berarti pemilik, pencipta, yang memberi
kebajikan kepada sesuatu, pemelihara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Tuhan dikatakan rabb karena Dia yang menciptakan, yang memelihara dan mendidik,
mengatur dan yang memberi kebajikan.
Jadi makna klausa alastu birabbikum dalam ayat di atas adalah bukankah Aku
penciptamu, pengaturmu, pemeliharamu dan pendidikmu serta pemberi kebajikan
padamu? Setiap janin (yang bakal jadi manusia) pun memberi pengakuan terhadap
Allah sebagai rabb. Dari sisi ini, dapat ditegaskan bahwa, istilah rabb merupakan istilah
yang sangat fungsional dalam kaitannya dengan Allah sebagai rabb dan manusia serta
alam raya sebagai makhluk. Oleh karena itu, penerjemahan istilah rabb dalam arti
Tuhan (dalam bahasa Indonesia) dan God (dalam bahasa Inggeris) tidak terlalu tepat.
Dikatakan demikian, karena istilah Tuhan dan atau God mendistorsi makna kata rabb.
Menarik untuk dikemukakan bahwa ayat tersebut, dengan tegas menjelaskan
pengakuan manusia terhadap tauhid rububiyah. Tauhid ini sudah menjadi kesadaran
bawaan setiap anak manusia sejak lahirnya dan sekaligus menjadi negasi terhadap
syirik rububiyah. Pernyataan terakhir ini dipahami dari munasabah ayat 172 di atas
dengan kandungan ayat 173 dalam surah yang sama. Dimana ayat 173 menegaskan,
6Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lughat, (Misrh, Dar al-Fikr,
1979), h. 381-382.
alasan mengapa perjanjian itu ditetapkan, yaitu agar anak manusia tidak beralasan
bahwa orang-orang tua mereka sejak dulu telah mensyarikatkan Allah, yang kemudian
dijadikan ikutan mereka.
Pengenalan diri Allah lewat kata rabb, lebih lanjut dapat dilihat dari wahyu yang
pertama turun kepada Nabi Muhammad saw., yaitu; Q.S. al-Alaq (96): 1-5:
‫اقرأ بسم ربك الذي خلق خلق األنسان من علق اقرأ و ربك األكرم الذي علم با لقلم علم األنسان‬
‫ما لم يعلم‬
Kandungan ayat ini menginformasikan perintah membaca (dan atau semua
aktifitas) dengan menyandarkan diri kepada Rabb (yaitu Allah) yang menciptakan.
Menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah dan Rabb-mu Maha Mulia. Selanjutnya Allah
menegaskan bahwa Dia adalah Rabb yang mengajari manusia lewat qalam dan
mengajari manusia apa yang ia tidak ketahui.
Pada ayat tersebut kata rabb dua kali dikemukakan. Pertama kata rabb
digandengan dengan kata khalaqa “yang menciptakan’ dan kata rabb yang kedua
dibarengi dengan kata al-Akram dan kata allama. Struktur bahasa yang demikian,
menunjukkan bahwa kata rabb memiliki hubungan yang sangat erat dengan perbuatan
mencipta, kemuliaan dan pengajaran (ta’lim). Sisi ini, dapat dikatakan bahwa rububiyah
Allah diaktuskan dalam bentuk penciptaan, pada sifat kemulian dan pemberian
pengajaran. Pemaknaan yang demikian sangat logis, karena makna tersebut inklud
dalam makna kata rabb, seperti dikemukakan di atas.
Uraian di atas, menunjukkan bahwa Allah memperkenalkan diri-Nya untuk
pertama kalinya kepada Muhammad saw kepada manusia seluruhnya, lewat
perbuatan-Nya dan sifat kelembutan-Nya, atau lewat tauhid af’al-Nya dan tauhid
sifat-Nya. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa salah satu cara yang dapat
digunakan dalam melakukan pengenalan kepada Allah adalah lewat kreatifitas-Nya
yang penuh dengan kelembutan. Hal ini perlu ditegaskan, untuk menegasikan
pandangan sebagaian orang, khususnya penulis Barat yang menggambarkan Tuhan
sebagai sebuah konsentrasi kekuatan semata-mata, bahkan sebagai kekuatan yang
kejam seperti seorang raja yang semena-mena. Penggambaran tentang kekuasaan dan
keagungan Allah yang dibarengi dengan sifat pengasihnya yang sempurna banyak
dikemukakan dalam ayat-ayat Alquran, misalnya pada Q.S. al-Naml (27):60-64.
Menarik untuk dikemukakan bahwa kandungan kelima ayat tersebut selalu
didahului dengan kalimat yang mengandung makna pertanyaan yang tidak
memerlukan jawaban; yaitu pada ayat 60 Allah bertanya ‫‘ أمن خاق‬siapakah yang
menciptakan langit…; pada ayat 61 Allah bertanya
‫أمن جعل‬
‘siapakah yang
menjadikan…?; ayat 62 Dia bertanya;‫’ أمن يجيب‬siapakah yang memperkenankan
doa…?: ‫‘ أمن يهديكم‬siapakah yang memimpin kamu…?; ‫‘ أمن يبدؤ الخلق‬siapakah yang
menciptakan manusia dari permulaan…? Bentuk pertanyaan seperti ini, menurut
kaedah tafsir disebut istifham ingkari.
Patut dikemukakan bahwa sebelum Allah menutup firman-Nya pada lima ayat
tersebut, Allah kembali menggunakan kalimat istifham inkari dengan mempertayakan
“ailaahun ma’a Allah” ‘apakah bersama Allah ada ilah yang lain? Istifham ingkari yang
kedua ini, merupakan penegasan kembali, bahwa kekuasaan, keagungan Allah dan
kebaikan serta kasih sayang-Nya tidak ada yang dapat menyekutui-Nya dan
menandingi-Nya. Selain itu, juga dapat ditegaskan bahwa penggunaan kata ilah setelah
klausa ‫‘ أمن خاق‬siapakah yang menciptakan langit…?; pada ayat 61 Allah bertanya ‫أمن‬
‫‘ جعل‬siapakah yang menjadikan…?; ayat 62 Dia bertanya;‫’ أمن يجيب‬siapakah yang
memperkenankan doa…?: ‫أمن يهديكم‬
‘siapakah yang memimpin kamu…?; ‫أمن يبدؤ‬
‫‘ الخلق‬siapakah yang menciptakan manusia dari permulaan…? Menunjuk makna,
bahwa setelah manusia menyadari perbuatan Allah tersebut, hendaknya manusia itu
menjadikan Allah sebagai ilah. Dikatakan demikian, karena pengakuan keilahian Allah
merupakan konsepsi logis dari pengakuan rububiyah-Nya. Sebaliknya pengakuaan
rububiyah Allah tidak memiliki arti apa-apa jika tidak dibarengi dengan pengakuan
keilahian-Nya.
Bertolak dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa seluruh manusia mengakui
rububiyah Allah sejak dalam rahim ibunya. Tidak ada satupun anak manusia yang
mengingkarinya. Itulah sebabnya dalam firman Allah, Q.S. al-Isra’ (17):67, ditegaskan
bahwa: “Apabila manusia ditimpa bahaya di lautan, maka mereka akan melupakan
siapa yang mereka serunya dan menyeru Allah. Namun tatkala Dia menyelamatkan
mereka ke daratan, merekapun berpaling. Sungguh manusia selalu tidak berterimah
kasih.” Dari kandungan ayat ini, jelas bahwa manusia sadar atau tidak sadar tidak
akan mampu melepaskan dirinya dari Allah sebagai rabbnya. Pada ayat lain, ditegaskan
bahwa manusia yang kafirpun, jika mereka ditanya; siapa yang menciptakan seluruh
langit dan bumi? Pastilah mereka menjawab Allah.7 Sampai iblis pun yang jelas-jelas
memilih ingkar kepada Allah tetap mengakui rububiyah-Nya. Buktinya adalah setelah
mereka dinyatakan telah kafir oleh Allah, mereka pun memohon kepada Allah agar
diberi tempo waktu yang panjang untuk menggoda dan menyesatkan manusia.
Permohonan mereka pun dikabulkan oleh Allah8
Setelah manusia memahami dan menyadari Af’al Allah dan Sifat-Nya dan atau
Rububiyah-Nya, maka seyogyanya mereka menjadi manusia rabbaniyun. Yaitu orang
yang memiliki pemahaman yang dalam tentang Perbuatan dan Sifat Allah, yang
kemudian melahirkan kesadaran akan kebesaran dan keagungan-Nya. Selanjutnya
mereka berusaha dengan sangat intens untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat
Allah sehingga jiwanya dipenuhi dengan kerinduan yang dalam kepada Allah (Q.S. alMaidah [55]:44 dan 63; dan Q.S. Ali Imran [3]:79).
Selanjutnya menarik dikaji penggunaan kata ilah dalam Alquran. Kata ilah secara
etimologis mengandung makna pokok ibadah. Maka Allah dinamakan dengan ilah,
karena Dia yang disembah. 9 Al-Raqiib al-Asyfahaniy menjelaskan bahwa, kata ilah
berakar pada kata alaha yang mengandung arti menyembah. Lebih lanjut, ia
mengemukakan beberapa pendapat yaitu: sebagian berkata bahwa kata tersebut
berakar pada kata aliha yang mengandung arti mengherankan dan menakjubkan.
Sebagian lagi mengatakan, bahwa akar kata ilah adalah ilaaha yang berarti yang
dicintai. Pendapat lain mengatakan, dari kata laaha yang berarti terhijab.10
Jika pengertian bahasa di atas digunakan untuk menerjemahkan kalimat “la ilaha
illa Allah, maka akan menunjuk makna; tidak yang disembah kecuali Allah; tidak ada
yang dicintai kecuali Allah; tidak ada yang diagungkan kecuali Allah; tidak ada yang
dituju kecuali Allah. Jadi kata ilah memiliki makna yang beraneka ragam, oleh karena
itu, kiranya patut dipertanyakan: apakah makna-makna ilah ini ditemukan penggunaan
di dalam Alquran. Pertanyaan ini diajukan karena ulama berbeda pendapat tentang
7
Lihat Q.S. al-Zumar (39):38.
8
Lihat Q.S. al-Hijr, 15: 36-44.
9
Ibn Faris Mu’jam Maqayis al-Lughat…, h. 127.
10
82-83.
Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mufradat li al-fazd Alquran, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.
mkna ilah yang digunakan di dalam alquran, seperti yang dikemukakan oleh Quraish dalam bukunya yang berjudul Menyingkap Tabir Ilahi, asmaul Husnah dalam prespektif
Alquran yaitu: “Para ulama yang mengartikan kata ilah dengan makna yang disembah,
menegaskan bahwa ilah adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu
dibenarkan oleh aqidah maupun yang tidak dibenarkan, seperti penyembahan
terhadap matahari dan lain-lain. Olehnya itu, seorang muslim ketika mengucapkan
kalimat la ilaha illa Allah, maka ia telah menafikan segala Tuhan kecuali Allah. Alasan
yang diajukan oleh kelompok ulama di atas, adalah pengertian kebahasaan dan
ditunjang dengan Q.S. al-‘Araf (7): 127.
Sementara ulama lain membantah pendapat di atas, dengan mengatakan bahwa
pernyataan di atas tidak lurus karena dalam kenyataannya diketahui sekian banyak zat
selain Allah yang disembah, seperti matahari dan lain-lain. Keberatan mereka
(kelompok ulama kedua) dibantah oleh ulama pertama, dengan mengatakan bahwa
dalam kalimat syahadat itu ada sisipan antara kata ilaaha dan kata illa. Sisipan yang
dimaksud adalah kata bihaq ‘yang hak’ sehingga makna syahadat tersebut adalah tidak
ada yang berhak disembah kecuali Allah. Menurut mereka yang menolak; sisipan yang
demikian tidaklah perlu. Menurut Quraish, memang ada kaidah bahasa yang
menyatakan bahwa penyisipan suatu kata tidak diperlukan apabila kalimatnya dapat
dipahami secara lurus tanpa penyisipan itu. Menurut kelompok ulama kedua bahwa
pada mulanya kata ilah diletakkan dalam arti pencipta, pengatur, penguasa alam raya
yang di dalam genggaman tangan-Nya –ayat pendukung, misalnya Q.S. al-anbiya (21):
22, 98-99; Q.S. al-Mukminun (23): 91 dan Q.S. al-Isra’ (17): 43. Menurut kelompok
kedua, kata ilah dalam ayat-ayat tersebut, lebih tepat diterjemahkan dengan makna
pengatur, penguasa alam raya, yang di dalam genggaman tangan-Nya segala
sesuatu.”11
Sekalipun Quraish dalam konteks ini tidak memberikan penilaian yang pasti
terhadap kedua pendapat tersebut, namun di bukunya yang lain ia menegaskan bahwa
jika anda perhatikan semua kata ilah di dalam Alquran, niscaya anda akan temukan
bahwa kata itu lebih dekat diartikan dengan penguasa, pengatur alam raya yang dalam
genggaman tangan-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini demikian
11 Quraish Shihab, Menyngkap Tabir Ilah:, Asma al-Husna dalam prepektif Alquran, (Jakarta:
Lentera Hati, 1999), h.6-8.
ada yang salah pilih ilahnya. Selanjutnya Quraish berkata; bukankah kata ilah bersifat
umum, sedangkan Allah khusus untuk penguasa yang sesungguhnya. Penyikapan
Quraish lebih tegas ditemukan dalam penyataannya di tempat lain, yaitu ketika ia
sendiri mengartikan kalimat “Allah la ilaha illah huwa” dengan makna tiada pencipta,
penguasa dan pengatur alam raya kecuali Dia….12
Menyikapi perbedaan pendapat di atas, kiranya perlu kajian ulang dan lebih
mendalam terhadap penggunaan kata ilah dan hakekat maknanya dalam Alquran.
Namun tidak pada tempatnya dikemukakan dalam makalah ini. Lalu, kita kembali
kepada penggunaan kata Allah untuk pertama kalinya dalam penurunan wahyu, yang
dikemukakan dalam Q. S. al-Ikhlas (112): 1-4:
‫قل هو هللا احد هللا الصمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا احد‬
Kandungan ayat-ayat tersebut menggambarkan bahwa Allah adalah Tunggal
(Esa), Allah tempat bergantung. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada
satupun bagi-Nya saingan. Dalam surah al-Ikhlas ini, ditemukan beberapa informasi
tentang keesaan Allah, yaitu keesaan Zat-Nya dan keesaan sifat-Nya, keesaan ibadah
dan perbuatan-Nya serta penafian terhadap segala bentuk kemusyrikan baik syirik zati
dan syirik sifati serta syirik af’ali. Keesaaan zati adalah seseorang mesti menyakini
bahwa Allah itu tunggal tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada padanan bagi-Nya.
Tegasnya mustahil ada yang serupa dengan-Nya dan bahkan penyerupaan pun tidak
dapat dilekatkan pada-Nya. Sedangkan dimaksud dengan tauhid af’ali adalah bahwa
Ia adalah pencipta segala sesuatu dengan sendiri-Nya dan merdeka dengan
sepenuhnya.
Kita kembali pada empat ayat dalam surah al-ikhlas di atas. Kandungan makna
tentang keesaan-Nya, seperti telah dikemukakan di atas, ditunjuk oleh klausa “Allah
ahad”; sedang frase “Allah al-shamad menunjuk tempat menggantungkan harapan dan
kebutuhan. Adapun bentuk penafian atas segala kemusyrikan ditunjuk oleh kalusa
“wa lam yakun lahu kufuan ahad.” Sedangkan klausa lam yalid wa lam yulad mengandung
makna penafian terhadap tuduhan (anggapan) sebagian kelompok manusia bahwa
Allah memiliki anak..
12 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera
Hati, 2000), h. 19.
Menarik untuk diamati struktur bahasa yang digunakan ayat di atas. Pertama,
informasi awal ayat tersebut merupakan penegasan bahwa Allah itu Esa dan
kemudian diakhiri oleh klausa yang memberi makna negasi akan tandingan-Nya.
Struktur bahasa yang sama ditemukan dalam Q.S. al-Hasyar (59):22-24:
‫ هو هللا اللذي ال اله اال هو اللملك اللقدوس‬.‫هو هللا اللذي ال اله اال هو علم الغيب والشهدة هو الرحمن الرحيم‬
‫ هو هللا الخلق البارئ المصور له‬.‫السلم المؤمن المهيمن العزيز الجبار المتكبر سبحان هللا عما يشركون‬
‫االسماء الحسني يسبح له ما في السموات واالرض وهو العزيز الحكيم‬
Kandungan ayat-ayat surah al-Hasyr ini merupakan penegasan lebih lanjut dari
kandungan ayat surah al-Ikhlas di atas, hanya saja dalam ayat-ayat surah al-Hasyar ini
lebih banyak mengemukakan sifat-sifat Allah yaitu Dia adalah Allah, tiada ilah selain
Dia yang Maha Mengetahui yang gaib dan tampak. Dia Maha Pengasih-Penyayang.
Dialah Allah yang tiada ilah selain Dia yang Maha Merajai, Maha Suci, Maha
Sejahtera, Maha Mengaruniai keamanan, Maha Memelihara, Maha Perkasa, Maha
Kuasa, Maha sombong. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah
Allah yang Maha Mencipta, Maha Mengada, Maha Membentuk. Bagi-Nya namanama yang indah. Kepada-Nyalah bertasbih apa-apa yang ada di langit dan di bumi.
Dia Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
Jika kita cermati ayat surah 59 ini, maka ditemukan kesamaan struktural dengan
ayat surah 112 di atas. Di mana pada 3 ayat surah 59, pada awalnya juga ditemukan
informasi bahwa Dialah Allah yang tiada ilah selain Dia. Jika kandungan makna ilah
diartikan secara luas (tidak hanya dari segi kebahasaan tetapi juga penggunaannya
dalam Alquran, seperti telah dijelaskan di atas), maka dapat ditegaskan bahwa 3 ayat
pada surah 59 ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari klausa qul huwa Allah Ahad,
yakni penjelasan mengenai keesaan Allah, baik keesaan Zat-Nya, Sifat-Nya,
Perbuatan-Nya dan keesaan Ibadah kepada-Nya. Sedangkan akhir kandungan ayat 23
menegaskan kesucian Allah dari segala bentuk persekutuan dan penandingan.
Pensucian yang demikian telah dilakukan oleh apa-apa yang ada di langit dan di bumi,
hewan, tumbuhan, benda mati dan manusia. Namun sebagian manusia enggan untuk
mensucikan-Nya, mereka adalah yang termasuk kelompok kontra terhadap ajaran
tauhid. Demikian makna struktur ayat-ayat di atas, yaitu memuat penetapan tauhid
dan sekaligus menegasikan syirik sebagai lawan tauhid.
Kekuasaan dan kepengasihan Allah dapat ditemukan secara bersamaan dalam
penamaan diri sebagai as-Shamad yaitu “Allah as-Shamad.” Secara etimologis kata ini
berarti tujuan dan atau menuju serta kekukuhan.13 Menurut Quraish Shihab secara
leksikologis kata as-Samad menunjuk berbagai macam pengertian, namun yang paling
populer adalah: 1) Sesuatu yang tidak memiliki rongga lubang dan pori-pori, karena
lubang dapat menjadi wadah sesuatu, sedangkan as-Shamad sedemikian kukuh dan
padat sehingga tidak berlubang sedikitpun. 2) Bermakna tokoh yang terpuncak,
sehingga tidak dapat diraih dan sekaligus menjadi tumpuan harapan semua pihak.14
Implikasi Tauhid Terhadap Pluralitas Agama
Pada bagian ini, Pembahasan yang dikemukakan adalah bagaimana Alquran
berbicara tentang fenomena pluralitas agama-agama dan multikultural. Alquran
adalah kitab samawi yang diturunkan terakhir dan diwahyukan kepada penutup para
Nabi dan rasul yaitu Muhammad saw. Turunnya Alquran berfungsi sebagai mushaddiq
(pembenaran) bagi kitab-kitab terdahulu. Dengan demikian, kedatangan Alquran
bukan sebagai pembatal kitab-kitab sebelumnya tetapi lebih sebagai pembenaran
tentang inti ajaran Tuhan yang turunkan kepada para rasul dan nabi sebelumnya. Di
sisi lain, Alquran juga berfungsi sebagai muhaimin (penguji) dan furqan (pengoreksi)
atas penyimpangan yang terjadi dari penganut kitab-kitab tersebut. Dari sini dapat
ditegaskan bahwa esensi dan subtansi ajaran Alquran sama dengan ajaran kitab-kitab
yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelumnya, seperti Kitab Taurat, Kitab
Zabur, Kitab Injil dan suhuf-suhuf.
Esensi ajarannya adalah tauhid. Para nabi dan rasul Allah yang diutus kepada
umat manusia, semuanya membawa ajaran tauhid, termasuk inti ajaran yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw. seperti termuat di dalam Alquran. Itulah sebabnya Nabi
Muhammad diperintahkan untuk beriman kepada kitab yang telah diturunkan oleh
Allah sebelum Alquran, seperti ditegaskan dalam Q.S. Asyuura (42): 15:
13
Ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughat…, h. 309.
14
Quraish, Tafsir Al-Quran…, h. 671.
“…Katakanlah (Muhammad): Aku beriman kepada semua kitab yang telah
diturunkan oleh Allah….”
Di awal kehidupan Nabi Muhammad saw. hingga akhir kehidupannya benarbenar menyakini bahwa kitab-kitab suci yang terdahulu adalah berasal dari Allah dan
yang menyampaikannya adalah para Nabi dan Rasul Allah. Dengan demikian, tidak
heran jika Muhammad sebagai nabi terakhir mengakui kenabian dan kerasulan
Ibrahim as., Musa as., Isa as., Nuh as., dan para nabi lainnya. Penyikapan yang
demikian semakin kuat pada diri Nabi Muhammad setelah tampak bahwa para
pengikut kitab-kitab suci terdahulu ada yang beriman kepada Alquran dan kepada
kenabiannya, seperti Waraqa bin Naufal yang telah mengetahui akan datangnya
seorang nabi yang ciri-cirinya –seperti yang ia baca dalam Kitab Injil.
Fenomena Waraqa ini merupakan salah satu bukti bahwa kedatangan Muhammad
sebagai Nabi dan Rasul yang membawa kitab Alquran sudah menjadi harapan dan
keinginan sebagian orang yang telah memiliki kitab sebelumnya. Hal ini ditegaskan di
dalam Q.S. Asy-Syu’ara (26): 192-197: “Sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan
oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oeh Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hati Muhammad
agar menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab
yang jelas. Dan sesungguhnya Alquran itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab yang dahulu.
Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil
mengetahuinya?”
Jika ayat di atas dihubungkan dengan kandungan ayat-ayat sebelumnya dan
sesudahnya dalam surah yang sama, maka dapat dijelaskan bahwa ketika Alquran
disampaikan kepada masyarakat Makkah -sebagai kelompok manusia yang pertama
bersentuhan dengan Alquran-, maka sebagian mereka menyakini kebenaran Alquran
dan kebanyakan mereka menjadi kelompok kontra Alquran. Bahkan sikap kontra
mereka sangat cepat datangnya. Fenomena yang demikian itu tidak saja dialami oleh
Muhammad saw ketika Alquran disampaikannya, tetapi setiap nabi dan rasul yang
diutus Allah menyampaikan risalahnya maka manusia yang menjadi obyek risalah
tersebut akan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok yang menerima risalah
dan kelompok kontra risalah. Keterangan ini dapat dilihat dalam Q.S. 26: 69-191.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa para nabi dan rasul yang diutus berhadaphadapan dengan pluralitas sosial-budaya dan sosial politik dan tentunya pluralitas
agama. Jadi ketika para nabi dan rasul diutus kepada suatu umat, umat tersebut
tidaklah hampa budaya tetapi padanya hidup dan berkembang pluralitas sosialbudaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian dari kelompok umet tersebut
ada yang tetap berusaha berpegang pada ajaran para nabi dan rasulnya dan sebagian
lainnya melenceng dari ajaran nabi dan rasulnya. Kelompok inilah yang kemudian
senantiasa berharap agar Allah mengutus kembali seorang nabi dan rasul untuk
memurnikan ajaran para nabi dan rasul sebelumnya. Ketika Allah pun mengutus nabi
dan atau rasul yang baru (dan memang sebelum pengutusannya sering kali telah
diinformasikan dalam kitab sebelumnya), maka kelompok inilah yang kemudian
beriman dan menyakini rasul tersebut dan kitabnya. Sedang kelompok kedua yakni
kelompok kontra risalah, yaitu ketika Allah mengutus nabi dan rasul baru pada
mereka, mereka pun bersikap kontra terhadap rasul dan kitab yang baru tersebut.
Itulah sebabnya ketika Muhammad saw menyampaikan ajaran al-Qur’an kepada
masyarakat Makkah yang kemudian memperoleh tantangan dari kelompok kontra
risalah, Allah kemudian menyampaikan (sebagai hiburan dan i’tibar) kepada NabiNya bahwa apa yang sedang engkau hadapi sesungguhnya telah dialami oleh para
nabi dan rasul sebelummu. Sebaliknya kelompok yang mendukung dan beriman
kepada kenabian dan kerasulan Muhammad saw serta membenarkan al-Qur’an adalah
mereka yang sebelumnya beriman kepada kitab Injil. Mereka mengetahui akan
diutusnya seorang Nabi dan Rasul beserta ciri-cirinya, seperti kasus waraqa yang
dikemukakan di atas.
Dalam keterangan Alquran dapat diketahui bahwa sesungguhnya sebelum
kedatangan Rasulullah saw. beserta Alquran sebagai mu’jizatnya, sebagian orang
Makkah sangat menginginkan adanya agama baru seperti Yahudi dan Nasrani. Hal
ini ditegaskan di dalam Q. S. as-Shaaffat (37): 168-170 dan Q.S. Fatiir (35): 42.
Kandungan keempat ayat ini menegaskan bahwa sebagian penduduk Makkah
biasanya berkata: seandainya di sisi kita terdapat sebuah kitab dari kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelummnya, maka pasti kami akan menjadi hamba-hamba Allah
yang bersih dari dosa dan bahkan mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa
sekiranya datang kepada kami seorang pembawa kebenaran niscaya kami akan lebih
memperoleh petunjuk dari salah satu kitab yang telah diturunkan terdahulu. Namun,
tatkala harapan mereka diwujudkan, justru mereka ingkar kepada kitab yang diberikan
kepada mereka.
Dengan demikian, Alquran tidak sekedar berfungsi sebagai pembenaran tetapi
juga mengandung makna pemurnian ajaran. Hal ini sangat logis, karena pengutusan
antara nabi dan rasul yang satu dengan nabi dan rasul yang datang sesudahnya
berselang waktu lama, sehingga pemalsuan terhadap ajaran yang orisinil sangat
dimungkinkan. Justru karena adanya pemalsuan ajaran tauhid inilah, maka Allah pun
mengutus nabi dan rasul lainnya. Pemaknaan yang demikian, sekali lagi merupakan
bukti yang konkrit dan tegas bahwa pluralitas kitab kerasulan disatukan dalam esensi
tauhid. Itulah sebabnya setiap nabi dan rasul yang diutus mengajarkan tauhid.
Jika Alquran berfungsi sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya, maka kitab Injil pun berfungsi sebagai pembenar terhadap kitab Taurat
dan tentunya demikian pula kitab Taurat menjadi pembenar dari kitab sebelumnya,
(Q.S. 5: 46). Fungsional kitab-kitab tersebut, juga menjadi bukti sesamaan ide
spiritual setiap kitab.
Dari sisi ini dapat dikatakan adanya pengakuan dan
pembenaran Alquran akan pluralitas kitab yang telah diturunkan kepada umat-umat
terdahulu. Namun pluralitas kitab tersebut disatukan dalam ide spiritualitas tauhid
yang menjadi esensi ajaran risalah Allah yang diturunkan melalui kitab-kitab-Nya
kepada setiap umat manusia.
Dari segi fungsi dan tanggung jawab kenabian dan kerasulan, di satu sisi Nabi
Muhammad diperintahkan untuk memutuskan perkara yang dihadapi umatnya
berdasarkan apa yang diturunkan Allah kepadanya. Di sisi lain Allah melarang Nabi
Muhammad mengikuti hawa nafsu umatnya. Larangan ini sangat logis karena,
penegakan hukum dan penerapannya terhadap perkara-perkara yang membutuhkan
keputusan hukum tidak akan terwujud dengan mengikuti hawa nafsu. Tugas dan
tanggung jawab kenabian Nabi Muhammad saw. tersebut, juga menjadi tugas dan
tanggung jawab para nabi dan rasul sebelumnya. Hal dapat dipahami dari kandungan
ayat 44, 46-47 dalam surah yang sama. Kandungan ayat pertama berisi informasi
bahwa Kitab Taurat yang berisi petunjuk dan cahaya menjadi rujukan utama para
Nabi dalam memutuskan perkara-perkara orang-orang Yahudi. Sedang kandungan
ayat 46-47 berisi informasi bahwa Allah mengiringi jejak para nabi yang diutus kepada
umat Yahudi dengan diutusnya Isa as. Injil adalah kitabnya yang berisi petunjuk dan
cahaya. Isa as. diutus untuk membenarkan kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelumnya yaitu Kitab Taurat dan diperintahkan padanya untuk berhukum sesuai
dengan hukum yang diturunkan dalam Kitab Injil.
Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa pluralitas nabi dan rasul, selain disatukan
dengan ide spiritual yang sama juga diikat dan disatukan dalam tugas dan tanggung
jawab kenabian dan kerasulan yang sama yakni menegakkan hukum dan atau
memutuskan perkara-perkara yang terjadi pada umat mereka berdasarkan ketetapan
hukum yang diturunkan Allah dalam kitab yang diwahyukan kepada para nabi dan
rasul tersebut.
Berdasarkan uraian kandungan pertama dari ayat 48 surah al-Maidah di atas dapat
disimpulkan bahwa; sesungguhnya Alquran mengakui pluralitas kitab yang
diturunkan oleh Allah, namun pluralitas tersebut disatukan dalam satu esensi ide
spiritual yaitu tauhid. Selain itu, Alquran juga mengakui kenabian dan kerasulan para
nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, Alquran mengakui
pluralitas nabi dan rasul, namun para nabi dan rasul tersebut disatukan dalam
tanggung jawab kenabian dan kerasulan yang sama yakni memutuskan hukum
terhadap perkara yang terjadi pada umat mereka masing-masing berdasarkan
ketetapan hukum Allah yang terdapat dalam kitab-kitab yang telah diturunkan Allah
kepada mereka. Demikian pula tantangan-tantangan yang dihadapi oleh seluruh nabi
dan rasul dengan kitab sucinya masing-masing di tengah-tengah umatnya, memiliki
kemiripan dan kesamaan yakni berhadapan dengan kelompok kontra risalah,
sekalipun cara penyelesaiaannya satu sama lain berbeda sesuai dengan tingkat
keintelektualan umat yang dihadapinya dan sesuai dengan syir’a dan manhaj para nabi
dan rasul. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai syir’atan wa minhaajan.
Kata minhajan secara etimologis berarti jalan yang jelas dan berhenti. 15 Quraish
mengartikannya dengan makna jalan luas. Ridha mengartikannya dengan jalan yang
15
Ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughat…, h. 361.
terang dan jelas. Quraish16 berkata, melalui kata minhaj, ayat di atas mengimajinasikan
adanya jalan yang luas menuju syariat. Siapa yang berjalan di atas minhaj itu akan
dengan mudah ia sampai kepada syariat. Baik kata minhaj dan syir’ah ditemukan dalam
Alquran hanya satu kali, selain itu digunakan pula dalam Alquran kata syari’ah satu
kali. Menurut penulis tampaknya kata syir’ah dan atau syari’ah lebih luas maknanya dari
kata minhaj. Dengan kata lain, minhaj bagian dari syariat. Selain itu, tampaknya dalam
Alquran, kata syariat lebih sempit pemaknaannya dari kata ad-din yang berarti agama.
Dalam konteks ini Thabaththabai17 berkata, syariat adalah suatu jalan bagi suatu kaum
dan atau seorang nabi di antara kaum dan nabi lainnya yang diberikan padanya.
Sedang kata ad-din berarti suatu pola dan atau jalan Tuhan yang berlaku bagi seluruh
kaum. Jadi syariat dapat mengalami pembatalan sedangkan ad-din tidak berlaku
padanya pembatalan. Pandangan yang senada dikemukakan oleh Quraish, bahwa kata
syir’ah dan atau syari’at dalam Alquran pemaknaannya lebih sempit dari kata ad-din
yang biasa diterjemahkan dengan makna agama. Syari’at adalah jalan untuk satu umat
tertentu dan nabi tertentu seperti syari’at Nuh as., syari’at Nabi Musa as., syari’at nabi
Isa as. dan tentunya syari’at Nabi Muhammad saw. Sedangkan ad-din adalah tuntunan
Ilahi yang bersifat umam dan untuk seluruh umat. Untuk itulah agama dapat
mencakup sekian banyak syari’at.18
Berdasarkan uraian di atas maka jelas bahwa klausa di atas mengandung makna
bahwa setiap umat –baik yang historis maupun yang sedang berhadap-hadapan
dengan Rasulullah saw. di Madinah ketika ayat ini turun- memiliki syir’ah dan manhaj
masing-masing. Buat Nabi Nuh dan umatnya memiliki syariat dan manhaj yang
khusus untuk mereka dan masa mereka, demikian pula Nabi Musa as. dan umatnya
dan Nabi Isa as. dan umatnya dan seterusnya. Dari sisi ini dapat ditegaskan, bahwa
pluralitas syari’at dan manhaj disatukan dalam ad-din yang satu. Dalam konteks ini
relevan dengan kandungan ayat 19 dan 85 dalam surah Ali Imran. Kandungan kedua
ayat ini menegaskan bahwa: “ Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah
Islam.”(ayat 19): dan “Barang siapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka
16
Quraish, Tafsir Al-Quran…, h. 676.
Allamah Muhammad Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir Alquran, (Bairut: Muassasah al‘Alamiay, 1991), h. 368-359.
17
18
Quraish, Tafsir Al-Quran…, h. 678.
tidak akan diterima dari pada-Nya dan di akhirat dia akan termasuk kelompok yang
merugi” (ayat 85).
Menarik untuk dijelaskan bahwa makna pokok dari kata Islam adalah penyerahan
diri secara total kepada Allah. Dengan demikian yang dimaksud dengan Din Islam
dalam konteks ayat tersebut, menurut penulis adalah agama yang mengajarkan sikap
pasrah dan penyerahan diri secara total kepada Allah. Oleh karena itu, istilah din
dalam konteks ayat di atas mencakup seluruh syari’at dan manhaj yang telah
diturunkan kepada para nabi dan rasul Allah. Tegasnya Alquran mengakui pluralitas
syari’at dan apalagi pluralitas manhaj, namun disatukan dalam din yang satu yaitu din
Islam, yakni Din yang mengajarkan kepasrahan yang total kepada Allah dan inilah
sesungguhnya inti makna tauhid.
Dalam konteks inilah Alquran kemudian mengajak kelompok Ahlul Kitab -yang
memiliki syariat dan manhajnya masing-masing seperti yang termaktub dalam kitan
Taurat dan Injil- menuju kalimat yang sama antara mereka dengan Nabi Muhammad
saw dan umat Islam, seperti ditegaskan dalam Q.S. Ali Imran (3): 64: “Katakanlah: Hai
ahlul Kitab marilah berpegang kepada satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan
antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang disembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadi sebagian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka:
“Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang berserah diri kepada Allah (Muslim)”
Yang dimaksud dengan ”kalimatin sawa” dalam ayat tersebut adalah (1) kita tidak
menyembah selain Allah; (2) kita tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan
(3) kita tidak menjadikan sebagian dari kita sebagai tuhan selain Allah. Inilah tiga
syarat utama yang harus dipenuhi oleh setiap individu dan umat, apakah itu kaum
Yahudi dan kaum Nasharah ataupun siapa saja termasuk kelompok shabiun, jika
mereka ingin tergolong sebagai penganut ajaran Islam, ajaran kepasrahan secara total
kepada Allah (tauhid). Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak
dapat dikatakan sebagai seorang muslim.
Kandungan ayat ini sejalan dengan pengakuan Alquran atas keselamatan
kelompok Yahudi, Nasrani, Shabiin dan tentunya kelompok mu’min selama mereka
berpegang pada tauhid, seperti dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 62 dan Q.S. alMaidah (5): 69: Kedua kandungan ayat terakhir ini menegaskan bahwa; baik kaum
mu’min, kaum Yahudi, kaum Nasrani dan Shabiin jika mereka beriman kepada Allah
dan Hari Kemudian, lalu mereka beramal shaleh, maka bagi mereka adalah pahala di
sisi Allah dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka serta tidak pula bersedih hati.
Oleh karena itu, pendapat sebagian pakar -yang karena didorong oleh desakan
gagasan pluralitas-pluralisme dan besarnya perhatian mereka untuk mewujudkan
kerukunan beragama,- di mana mereka kemudian berpendapat bahwa kandungan
ayat 64 dalam surah ke 3, ayat 69 pada surah ke 5 dan ayat 62 pada surah ke 2, dapat
menjadi pijakan bahwa penganut agama-agama dari kaum Yahudi, Nasrani dan
Shabiin yang hidup sezaman dengan kenabian Muhammad saw. dan sesudahnya
hingga saat ini, selama mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian serta
beramal shaleh, akan memperoleh keselamatan sebagaimana orang-orang mu’min
adalah tertolak.
Dikatakan demikian, karena keimanan mereka kepada Allah, kepada hari
kemudian dan amal shaleh yang mereka kerjakan belumlah cukup hingga mereka
membenarkan Alquran dan beriman kepada kenabian dan kerasulan Muhammad
saw., sebagaimana dicontohkan oleh sikap dan keyakinan sebagian kelompok Ahlul
kitab (yaitu pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka) yang hidup sezaman dengan
Muhammad saw. dan sezaman dengan turunnya Alquran. Di mana mereka selain
beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal shaleh, juga beriman kepada
kebenaran Alquran dan kenabian serta kerasulan Muhammad saw. Bahkan mereka
sangat ingin dipersaksikan sebagai dan digolongkan ke dalam kelompok orang-orang
shaleh.
Pandangan dan pernyataan eksklusif dari kaum Yahudi dan Nasrani ini, ditolak
dengan tegas oleh Alquran. Alquran menegaskan dalam ayat 112 pada surah ke 2
bahwa hanya orang-orang yang menyerahkan dan memasrahkan dirinya secara total
kepada Allahlah (aslama … lillahi) dan mereka berbuat ihsan (muhsin) yang
memperoleh pahala dari Allah dan jauh dari kekhawatiran dan kesedihan. Kiranya
jelas bagaimana implikasi tauhid terhadap pluralitas agama.
Penutup
Berdasarkan uraian terdahulu, maka kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah:
1. Tauhid adalah Kesadaran manusia tentang keyakinannya akan keesaan Tuhan
yang meliputi keesaan Zat-Nya, keesaan Perbuatan-Nya, keesaan sifat-Nya
dan keesaan ibadah kepada-Nya. Keempat keesaan tersebut merupakan lawan
dari syirik zat, syirik perbuatan, syirik sifat dan syirik ibadah. Esensi tauhid
adalah pensucian terhadap Tuhan dan negasi pentasybihan. Artinya Allah
Maha Esa, Maha Suci dari segala bentuk penyerupaan dan sesuatu yang
serupa dengan-Nya, baik segi Zat-Nya, Perbuatan-Nya, Sifat-Nya dan Ibadah
kepada-Nya. Allah tak terhingga sedangkan selain-Nya terhingga. Kesadaran
tauhid Qurani yang demikian, menjadi patron segala kreativitas manusia
dalam kehidupannya, baik yang bersifat amaliah maupun pemikirannya.
2. Menurut Alquran pluralitas agama, kitab, syir’ah, manhaj dan kultur
merupakan suatu kemestian dan sunnatullah, namun pluralitas tersebut tetap
diikat atau disatukan oleh satu ikatan yang kokoh yaitu ikatan tauhid. Jadi
tidak ada pluralitas yang berdiri sendiri tanpa adanya ikatan yang
menyatukannya. Inilah yang dimaksud dengan kemajemukan dalam kesatuan
(ketunggalan).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan
al-Ashfahaniy, Al-Raghib. Mufradat li al-fazd Alquran (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992)
bin Zakariyah, Abu Husain Ahmad bin Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughat (Misrh, Dar
al-Fikr, 1979)
Hidayat, Kamaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial. (Cet. I; Jakarta: Paramadina), 1995.
Majid, Nurcholish. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia
(Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1997)
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Quranul Karim, Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan
turunnya Wahyu (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayat, 1997), h. 667-668.
______. Menyngkap Tabir Ilah:, Asma al-Husna dalam prepektif Alquran, (Cet. I; Jakarta:
Lentera Hati, 1999), h.6-8.
______.Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Lentera
Hati, 2000),
Thabathabai, Allamah Muhammad. al-Mizan fi Tafsir Alquran, Bairut: Muassasah al‘Alamiay, 1991,
Download