Magdalene.co Sebagai Media Advokasi Perempuan Eni Maryani dan Justito Adiprasetio The subordination of women has occurred intertwined with the culture of patriarchy in the society. Magdalene.co is one of many online journalism media which provides new values concerning women. The research tries to reveal Magdalane.co’s creative efforts to advocate woman. Content analysis, interviews and literature studies used as collecting data techniques in this research. The results show Magdalene.co offers new values and perspective on women, and the range of issues spanning from the issue of religion, belief, lifestyle until social conditions. However, there is still a class bias, limited issue in the public domain, and Magdalane.co is not consistent enough in changing woman gender typical Keywords: Advocation, Journalism, Woman. Subordinasi perempuan telah terjadi berkelindan dengan budaya patriarki di dalam tubuh masyarakat. Magdalene.co adalah salah satu media jurnalisme online yang menjadi alternatif untuk melakukan advokasi tentang perempuan. Penelitian ini berusaha mengungkapkan upaya kreatif yang dilakukan Magdalene.co. Analisis isi, wawancara dan studi literatur digunakan sebagai teknik untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukan Magdalene.co menawarkan nilainilai dan perspektif baru tentang perempuan, dan ragam isu yang merentang dari isu agama, kepercayaan, gaya hidup hingga kondisi sosial. Akan tetapi masih terdapat bias kelas, terbatasnya isu di ranah publik, dan tidak cukup konsisten dalam upaya mengubah typical gender yang melekat pada perempuan. Keywords: Advokasi, Jurnalisme, Perempuan. Perkembangan media online di Indonesia sangat pesat dan beragam sejalan dengan perkembangan penggunaan media digital di Indonesia. Saat ini dengan penduduk sekitar 259 juta, pengguna internet di Indonesia tercatat menyentuh angka 88 juta, sementara pengguna media sosial sebesar + 79 juta (we are social 2016). Sedangkan data yang dilansir Jakarta Post menyatakan tidak kurang dari 72 juta pengakses web di Indonesia (2015). Jumlah tersebut menunjukkan bagaimana internet telah menjadi ruang gigantis, yang di dalamnya terdapat begitu banyak orang yang secara bergantian menjajakan dan mengonsumsi informasi melalui berbagai bentuk media, entah itu media sosial maupun web. Internet telah menjadi public sphere raksasa, di mana hampir semua orang dapat mendiskusikan dan berpartisipasi dalam perbincangan dengan berbagai tema dan topik, merentang dari isu sosial, gaya hidup hingga politik. 1 Keberadaan media online dengan segala kemudahan, kecepatan dan kesempatan yang ditawarkannya, juga telah menjadi ruang alternatif baru, tempat berlangsungnya praktik 1 Baca Habermas, Juergen (1991). advokasi. Kaum perempuan yang masih membutuhkan banyak ruang untuk melakukan advokasi tentang cara pandang baru terhadap perempuan dapat melihat potensi yang dimiliki oleh media online. Berbasis pada khalayak perempuan yang cukup luas dan beragam, muncul dan berkembanglah media online yang secara umum lebih menyuarakan kaum perempuan dan juga menjadikan simbol-simbol perempuan sebagai identitasnya. Salah satu media online tersebut adalah Magdalene.co. Magdalene.co menjadikan simbol perempuan sebagai identitasnya, walaupun Magdalene.co dalam deskripsinya tidak membatasi isunya pada isu perempuan, tetapi nama Magdalene yang berakar dari nama Maria Magdalene tak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai representamen kaum perempuan. Sebagai sebuah website, Magdalene.co merupakan upaya kreatif masyarakat atau komunitas yang memperjuangkan beragam isu untuk lebih bersuara tentang beragam pandangan baru. Sifat bebas dan terbuka yang melekat pada media online menjadi dasar dapat dilakukannya penyebarluasan pandangaan baru tentang perempuan. Pandangan baru dengan tujuan emansipasi, untuk membantu perempuan membebaskan diri dari dominasi dan hegemoni ideologi patriarki yang sudah sangat kuat menyublim pada berbagai bentuk konten yang terdapat di media mainstream. Salah seorang pembaca, Grace Olivia Sihombing, yang sudah membaca Magdalene.co sejak pertengahan 2015, menuturkan: “menurutku kebanyakan tulisan-tulisan Magdalene.co punya substansi yang bagus dan menarik. Misalnya tulisan-tulisan di rubrik Faith and Spirituality yg untuk-ku cukup thought-provoking, atau di rubrik Gender and Sexuality yang dalam pokok bahasan terkait homoseksualitas tidak selalu bicara soal pemenuhan hak dll, tapi juga menceritakan realitas-realitas yg tak terduga. Juga tulisan-tulisan tentang pernikahan dan hubungan romansa. Beberapa tulisannya menyuarakan fakta-fakta yg selama ini sulit diakui gamblang oleh kita. Jadi, intinya buatku materi tulisan Magdalene.co itu sering menawarkan sudut pandang baru terhadap suatu isu.” Berdasarkan konteks yang telah dipaparkan sebelumnya maka mengamati keberadaan Magdalene.co dan perkembangannya menjadi menarik dan penting. Artikel ini ditulis, untuk mencoba menangkap exposure terkait keberadaan Magdalene.co sebagai media advokasi perempuan. Pertanyaan yang ingin dijawab oleh tulisan ini, adalah apakah keberadaan Magdalene.co sebagai media advokasi yang ingin memperjuangkan isu-isu marjinal terutama perempuan berhasil diwujudkan dan bagaimana bentuknya? KERANGKA TEORITIK Terdapat dua konsep teoritik yang mendasari penelitian ini yaitu Jurnalisme Advokasi dan Jurnalisme Sensitif Gender yang digunakan untuk membedah subjek penelitian, Magdalene.co sebagai media advokasi perempuan. Jurnalisme Advokasi Tidak sedikit tulisan yang berusaha membahas Jurnalisme Advokasi dari sisi epistemology-nya, maupun penelitian yang menjadikan Jurnalisme Advokasi sebagai lokus kajian empirik. Silvio Waisbord dalam Wahl-Jorgensen dan Hanitzsch (2009), dengan tulisannya yang berjudul Advocacy Journalism in a Global Context misalnya membicarakan Jurnalisme Advokasi di berbagai konteks dunia, yang dipisahkan oleh periodisasi historis maupun geografis, Waisbord dapat menemukan simpulan misalnya, negara-negara di Eropa Barat dapat lebih reseptif terhadap peran jurnalisme sebagai advokat masyarakat, dibandingkan di Amerika Serikat. Waisbord memberikan paparan yang cukup komprehensif terkait perdebatan di Amerika dan Eropa Barat terkait upaya penerapan Jurnalisme Advokasi itu. Penerapan Jurnalisme Advokasi pada akhirnya, sangat bergantung pada konteks di mana ia diterapkan. Jurnalisme Advokasi sendiri adalah suatu genre jurnalisme yang menawarkan perspektif non-objektivis dalam melihat realitas, yang kemudian berpengaruh terhadap agenda pembingkaian media-nya di mana genre jurnalisme tersebut dipraktikkan. Waisbord seperti dikutip Wahl-Jorgensen dan Hanitzsch (2009) berargumen bahwa Jurnalisme Advokasi adalah bentuk dari “mobilisasi politik untuk meningkatkan kekuatan manusia dan kelompok dan untuk membuat suatu institusi lebih responsif terhadap kebutuhan manusia.” Dalam konteks penelitian ini yang memiliki lokus pada Jurnalisme Advokasi perempuan misalnya, maka peran Jurnalisme Advokasi yang diperkirakan muncul adalah kemampuan Magdalene.co dalam memberikan pandangan baru trentang perempuan. Dalam penelitian ini, Jurnalisme Advokasi sebagai konsep akan digunakan untuk menunjukkan sekaligus menguji apakah Magdalene.co telah cukup tepat menjadikan dirinya media yang memiliki misi untuk mengadvokasi kaum perempuan. Strategi yang berbeda di antara keduanya serta diferensiasi titik berdiri kedua media tersebut akan menjadi points menarik dalam melihat bagaimana praktik Jurnalisme Advokasi bekerja di tataran gerakan emansipasi perempuan. Jurnalisme Sensitif Gender Sebagai sebuah konsep, Jurnalisme Sensitif Gender, di Indonesia sudah diretas sejak tahun 1998, oleh beberapa orang di Yogyakarta, di antaranya Akhmad Zaini Abar, Tamrin Tomagola, Mansour Fakih dkk. Selain juga, terdapat upaya-upaya lanjutan untuk mengembangkan Jurnalisme Sensitif Gender sebagai sebuah konsep, salah satunya dengan menurunkannya pada tataran yang lebih mikro, ke level indikator. AJI Indonesia (Aliansi Jurnalis Indonesia) adalah salah satu yang mencoba melakukan hal tersebut. Sebagai apparat otoritatif dalam urusan jurnalisme Indonesia, AJI Indonesia bekerja sama dengan UNESCO mengeluarkan buku yang berjudul Indikator Sensitif Gender untuk Media: Kerangka Indikator Mengukur Sensitivitas Gender pada Organisasi dan Konten Media (2012). Argumen yang berusaha dibangun oleh AJI Indonesia dalam buku tersebut pada dasarnya masih senafas dengan apa yang telah dipaparkan oleh pendahulu-nya di Yogyakarta, pada tahun 1998, bahwa persepsi umum di masyarakat Indonesia (tak terkecuali media massa) seringkali menempatkan posisi perempuan sebatas berurusan dengan pekerjaan domestik, sosok yang lemah, bekerja sampingan, hingga dilekatkan dengan berbagai atribut seks. Dalam penelitian ini, Jurnalisme Sensitif Gender akan digunakan sebagai konsep untuk menunjukkan bahwa praktik jurnalisme pada akhirnya tak harus terjerat dalam utopia netralitas atau semacamnya, namun juga bisa mengemban misi ideologis, yang tentu saja tujuannya adalah mencapai keadaan emansipatoris. Dalam konteks ini, emansipasi yang dibayangkan tentu saja keberimbangan posisi, kondisi egaliter antara laki-laki dan perempuan. Pada posisi tersebut, yaitu membayangkan terciptanya praktik emansipasi, di mana tujuan utamanya adalah menciptakan masyarakat madani, pada akhirnya Jurnalisme Advokasi dan Jurnalisme Sensitif Gender sebagai konsep dapat saling melengkapi. Keduanya integral dalam semua elemen yang disodorkan oleh Kovach dan Rosenstiel, dalam Elementh of Journalism (2006). METODOLOGI Metode Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Untuk pengumpulan data digunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu analisis isi, wawancara dan studi literatur. Analisis isi yang bersifat naratif dilakukan pada website Magdalene.co untuk mengumpulkan artikel selama penelitian dan mendokementasikannya sebagai data baik berupa teks, gambar atau visual maupun warna. Pemilihan artikel yang akan menjadi subjek analisis dilakukan dengan metode pembatasan rentang waktu. Sampel artikel yang dianalisis adalah artikel yang diunggah di laman Magdalene.co pada rentang 15 hari yaitu tertanggal 15 September – 30 September 2016. Pembatasan waktu tersebut dilakukan peneliti dengan tetap mempertimbangkan konteks data dan kecukupan data yang komprehensif untuk melakukan analisis terhadap Magdalene.co. Wawancara dilakukan terhadap 5 orang pembaca Magdalene.co yang telah membaca laman tersebut lebih dari 6 bulan, pendiri dan kontributor Magdalene.co. Wawancara terhadap pembaca menjadi salah satu cara untuk menangkap posisi Magdalene.co dalam pandangan para pengguna atau khalayaknya. Wawancara pada pendiri dilakukan untuk mendapatkan latar belakang pendirian Magdalene.co dan idealisme yang mendasarinya serta harapan mereka dalam mengembangkan Magdalene.co. Sementara dari kontributor Magdalene.co diperoleh gambaran partisipan aktif dari publik, selain sebagai khalayak juga terlibat memberikan tulisan atau masukan pemikiran, yang kemudian akan diproses oleh pengelola untuk dimuat di Magdalene.co. Teknik pengumpulan data yang terakhir adalah, studi literatur. Studi literatur digunakan untuk memperoleh rujukan teoritis, konseptual maupun data-data sekunder terkait penelitian yang dilakukan. Hasil studi literatur juga menjadi dasar untuk mengawali penelitian serta rujukan untuk membahas hasil penelitian. Setelah pengumpulan data dilakukan, data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi naratif terhadap teks media dengan pendekatan kualitatif. Tujuan penggunaan analisis isi naratif dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan deskripsi isi serta hal-hal substansial dari teks media Magdalene.co. Teks Magdalane.co sebagai Unit Analisis Selama 15 hari diperoleh data yang cukup untuk menggambarkan variasi data, pola pemilihan isu, gaya pemaparan, dan kerangka pengetahuan yang dibangun oleh Magdalene.co sebagai media advokasi terkait klaimnya tentang pandangan baru tentang perempuan. Artikelartikel yang dianalisis diambil dari rubrik yang berasal dari halaman Magdalene.co: Issues: States of Women, Gender and Sexuality, Politics, Social Issues, Faith & Spirituality, Environment, Family & Relationship, I Am Magdalene; Lifestyle: Ask Madge, Tarotscope; Health and Beauty; Culture; Wo/Men We Love; Distraction: The Ahasuerus Files. Berdasarkan rentang waktu yang telah ditetapkan untuk mengumpulkan data di Magdalene.co, yaitu 15 September – 30 September 2016. maka didperoleh 10 tulisan dengan berbagai tema sebagai berikut: Rubrik Sub-rubrik Tulisan Issues States of Women Gender and The Sexuality with Grande Tanggal Tayang Problem 22 September Ariana 2016 Alterland, A 28 September Safe Haven for 2016 Lesbians like Me Politics Social Issues Faith & Yes, I, a Spirituality Muslim, Am Attending a Christian University. So Get Over It 23 September 2016 Tautan http://magdalene.co/news934-the-problem-withariana-grande.html http://magdalene.co/news942-alterland-a-safehaven-for-lesbians-likeme.html http://magdalene.co/news935-yes-i-a-muslim-amattending-a-christianuniversity-so-get-overit.html Why I Took Off My Hijab 29 September http://magdalene.co/news2016 943-why-i-took-off-myhijab.html Lifestyle Environment Family & How to Feel at 27 September Relationship Home Again 2016 After Your Time Away http://magdalene.co/news939-how-to-feel-at-homeagain-after-your-timeaway.html I Am Magdalene Ask Madge Tarotscope http://magdalene.co/news941-tarotscope-26th-sept- Tarotscope 26th Sept - 2nd of 28 September 2016 October - Health and Beauty Culture - Dolly: A 15 September Graphic 2016 Journal on A Red-light District (Part 4) – 15 September 2016 Photo Series Speaks against 24 September Violation to 2016 Women’s Bodies -2nd-of-october.html http://magdalene.co/news929-dolly-a-graphicjournal-on-a-redlightdistrict-part-4.html http://magdalene.co/news936-photo-series-speaksagainst-violation-towomen%E2%80%99sbodies.html Hypocrisy and Blurring 27 September http://magdalene.co/newsWomen’s 2016 940-hypocrisy-andBodies on TV blurringwomen%E2%80%99sDolly: A bodies-on-tv.html Graphic 29 September Journal on A 2016 Red-light District (Part 5) http://magdalene.co/news945-dolly-a-graphicjournal-on-a-redlightdistrict-part-5.html Wo/Men We Love - - - Distraction Distraction - - - The Ahasuerus Files - - PEMBAHASAN Magdalene.co sebagai Media Alternatif Magdalene.co adalah media yang didirikan oleh Devi Asmarani dan Hera Diani, dua orang perempuan yang menjadikan Magdalene.co sebagai project idealisme mereka. Devi Asmarani menempati posisi Chief Editor, sedangkan Hera Diani menjabat sebagai Managing Editor. Latar belakang keduanya membuat Magdalene.co, lantaran Devi dan Hera tidak puas dengan bagaimana media (mainstream) saat ini membahas isu-isu perempuan. Mereka manganggap masih terjadi marjinalisasi isu dan juga diskriminasi terhadap perempuan di media. Media ini menjadi passion mereka sebagai jurnalis sekaligus perempuan. Sejauh ini para pendirinya masih mengeluarkan dana sendiri untuk membiayai operasional Magdalene.co. Menurut salah seorang pendiri hal ini tidak aneh dan sudah diperkirakan karena media dengan isu-isu spesifik, khususnya terkait isu-isu baru tentang perempuan yang mengandung idealisme tertentu akan sulit mendapat keuntungan (profitable). Hal ini tidak saja di Indonesia akan tetapi juga terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Sebagai media online, Magdalene.co dianggap lebih dapat bersikap independen dan juga mudah dibangun maupun dikelola. Media online juga dipilih karena bersifat interaktif dan lebih membuka ruang bagi publik atau pembacanya untuk terlibat dalam menanggapi atau memproduksi konten media. Mengenali dua sosok pendiri Magdalene.co seperti yang terpampang di medianya, keduanya adalah perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis. Hera seorang anak dari ayah jurnalis yang awalnya tidak diharapkan oleh orang tuanya untuk menjadi jurnalis dan memintanya sekolah di bidang lain. Akan tetapi walaupun pendidikan teknik yang diambilnya pada akhirnya Hera tetap menjadikan jurnalis sebagai pilihan hidupnya. Sebagai jurnalis dia menyadari bahwa isu perempuan masih sangat sedikit dibahas oleh media, oleh karenanya Magdalene.co baginya merupakan media alternatif bagi isu-isu perempuan. Pendiri lainnya adalah Devi Asmarani, Devi telah menjadi jurnalis tidak kurang dari 15 tahun dan merasakan sistem yang ada tidak seperti yang dia harapkan. Saat ini selain menulis artikel, kolom, karya fiksi, editor, konsultan media atau mengajar orang untuk menjadi penulis yang layak, dia menjadikan Magdalene.co sebagai media rintisannya. Secara operasional sehari-hari Magdalene.co dijalankan oleh Ayunda yang tertulis di Magdalene.co sebagai reporter yang juga merangkap manager media sosial. Selain dari reporter konten Magdalene.co juga diperoleh dari kontributor lepas atau publik yang bersedia mengirimkan tulisan mereka untuk Magdalene.co. Salah seorang yang menjadi kontributor menyatakan bahwa keterlibatannya sebagi kontributor bagi Magdalene.co semata-mata karena tertarik dengan isu yang diangkat Magdalene.co. Bagi dia isu-isu perempuan yang diangkat Magdalene.co masih jarang disuarakan. Selain itu sesuai dengan kebutuhan terdapat beberapa pihak yang berperan sebagai illustrator, web-master, web-designer dan web-developer yang membantu Magdalene.co. Sebagai Media yang memang mengkhususkan pada isu-isu perempuan, dalam Manifestonya, Magdalene.co mengklaim sebagai penyedia ruang bagi mereka yang underepresented, who don’t play by the rule, those who love people they are not supposed to, those who choose to live unconventional lives etc. Mereka yang biasanya akan dikucilkan oleh khalayak, di manapun, tak terkecuali di internet. Fairuz Rana Ulfah, pembaca yang telah mengakses Magdalene.co selama kurang lebih satu tahun, dari pengalamannya menyimak isu-isu di Magdalene.co, menuturkan: “Tidak sedikit isu-isu kontrovesial yang diangkat (oleh Magdalene.co2) misalnya tentang aborsi, stereotype, hubungan pernikahan, dan lainnya. ada beberapa tulisan yang bisa memberikan pandangan unik tentang tema tertentu dengan tujuan penyadaran bagi pembaca agar tidak terjebak dengan stereotype tentang perempuan. Sebenarnya isu yang dibahas di Magdalene.co banyak juga yang bukan isu baru, tapi cara pengemasan dan sudut pandang yang diberikan penulis bisa jadi baru. “ Magdalene.co sendiri di laman situsnya, mengklaim memberikan visi baru sebagai media yang menawarkan perspektif yang dapat melampaui typical gender dan batas-batas kebudayaan. Di mana Magdalene.co adalah kanal bagi para feminis, pluralist, progresif, dan juga mereka yang tidak takut untuk menjadi berbeda, entah itu gender, warna kulit atau pilihan seksual. Pada posisi tersebut kita dapat melihat, bahwa Magdalene.co sedang menjalankan peran yang melakukan kerja giving voice to the voiceless, mencoba memberikan suara pada mereka yang selama ini dibungkam. Suatu prinsip dasar advokasi, di mana tulisan yang dimuat akan dicondongkan pada isu-isu yang dibela dan subjek tertentu yang berupaya diangkat ke permukaan. Hal tersebut sesuai dengan jargon dari Magdalene.co itu sendiri, yaitu “a slanted guide to women and issues.” Terdapat 3 hal yang penulis temukan saat melakukan analisis naratif terhadap teks yang ditampilkan Magdalene.co Pertama, konstruksi gender dan seksualitas yang coba dibangun oleh Magdalene.co. Kedua, fokus tulisan dari dari Magdalene.co itu sendiri. Ketiga, klaim atas upaya 2 Catatan oleh penulis untuk melampaui typical gender dan batas-batas gender yang terdapat dalam manifesto Magdalene.co. Gender dan Seksualitas Perempuan Berdasarkan analisis yang dilakukan ditemukan dua artikel yang secara spesifik membahas tentang gender dan seksualitas perempuan, yaitu The Problem with Ariana Grande dan Alterland, A Safe Haven for Lesbians like Me. Dalam tulisan The Problem with Arana Grande, penulis menyodorkan narasi terkait bagaimana Ariana Grande – penulis juga memberikan contoh ilustratif lain, Selena Gomez dan Awkarin – kerap menduduki posisi ambivalen. Di mana Gomez, Grande dan Awkarin menjadi objek yang mengalami oversexualization oleh masyarakat, namun sekaligus dituding sebagai biang masalah dari kondisi tersebut. Pengobjektivikasi atas perempuan-perempuan muda, dalam argumen penulis artikel, selalu dilakukan melalui tatapan moralistik. Keputusan Grande, Gomez yang sedang mengubah citra-nya dari bintang acara Nickelodeon menjadi lebih ‘dewasa’ saat memilih cara berdandan, memilih cara berpakaian, dan Awkarin saat menunjukkan gaya hidup pesta, dicibir dan menjadi kontroversi publik karena bertentangan dengan standar moral yang ada. Pada posisi tersebut Grande, Gomez dan Awkarin dianggap sebagai subjek pembuat masalah, yang kemudian akan mencemari masyarakat. Hal yang kemudian membuat keberadaan perempuan-perempuan muda di media yang kerap menunjukkan seksualitasnya tidak dipandang sebagai masalah dalam lingkup sosial, di mana terdapat bagian dari masyarakat (orang-orang dewasa) yang senang mengobjektivikasi, menjadi predator dari perempuan-perempuan muda tersebut. Sesuatu yang seharusnya dilihat sebagai masalah yang memiliki lapisan sosial, direduksi menjadi masalah moral sempit, yang membidik Grande, Gomez, dan Awkarin sebagai patologi. Penulis menyatakan bahwa permasalahan objektivikasi seksualitas harus diselesaikan melalui pekerjaan jangka panjang, di mana perlu ada pendidikan seksualitas secara sistematis. Hal yang dilakukan guna mengusir prilaku predatoris di dalam masyarakat, dan menciptakan kesadaran bagi perempuan untuk tidak menempatkan posisinya sebagai objek predatoris tersebut. Sedangkan dalam tulisan kedua, yang berjudul Alterland, A Safe Haven for Lesbians like Me, tulisan merupakan paparan pengalaman terkait penulis artikel tersebut tentang perjalanannya menemukan kebebasan untuk dapat mengekspresikan identitas seksualitasnya di dunia virtual, dunia yang kemudian akan menyeret dia untuk menciptakan alter-ego-nya Pengalaman, yang dimulai dari perkenalannya dengan sebuah forum Lesbian Indonesia, yang bernama Voy, berlanjut pada pengalaman dia mengakses website independen, yang bernama sepocikopi, dan berlanjut hingga sekarang. Pengalaman tersebut, adalah pengalaman virtual penulis untuk bertemu dengan mereka yang sama-sama lesbian. Dunia kemudian membuat penulis memutuskan untuk menciptakan akun twitter dengan nama lain-pseudonim, yang kemudian menjadi alter-ego- dirinya. Akun twitter yang digunakan oleh dirinya untuk berinteraksi dengan lesbian lain, yang juga memilih menggunakan pseudonim di dunia virtual tersebut. Interaksi di dunia virtual tersebut kemudian menyeret penulisnya untuk berinteraksi di dunia nyata dengan teman-temannya di dunia nyata. Pengalaman yang kemudian memberikan pengalaman aneh pada dirinya. Karena ia merasa ditatap dan mendapatkan perhatian dari orangorang di sekitar (di luar komunitas), tatapan janggal tersebut disebabkan, lesbian memiliki typical look dan di antara mereka juga ada yang berpasangan. Sebuah ketidakwajaran dalam komunitas heteronormatif. Hal yang membuat, penulis lebih selektif dalam memilih pertemuanpertemuan di dunia nyata. Penulis lebih senang untuk tetap menjaga identitasnya dan bertahan dengan alter-ego-nya di dunia virtual. Premis yang diajukan tulisan tersebut, dengan tuturan naratif menunjukkan bagaimana tatapan sosial, membuat seorang lesbian akan merasa nyaman untuk menutup identitasnya dan menciptakan alter-ego baru di dunia virtual. Karena, dunia virtual dapat menjadi tempat yang aman untuk mendapatkan pertemanan dan berbagai cerita, ketimbang dunia nyata. Dunia, yang kerapkali menawarkan tatapan janggal, pada mereka, yang memiliki seksualitas berbeda dengan dirinya. Kedua tulisan tersebut berupaya untuk menunjukkan bagaimana kerap terjadi praktik other-ing dalam konteks gender dan seksualitas. Bila tulisan yang pertama mencoba menunjukkan bagaimana perempuan menjadi the other yang kemudian menjadi target dari praktik objektivikasi. Tulisan yang kedua mencoba menunjukkan pengalaman bagaimana mereka yang memiliki kecenderungan seksual berbeda mendapatkan pengucilan, dan harus rela mendapatkan kebebasan hanya di ruang virtual. Pada posisi tersebut kita dapat melihat bagaimana Magdalene.co telah menjalankan tugasnya sebagai media advokasi, seperti yang mereka klaim. Magdalene.co memberikan suara pada penderitaan the other dalam konstruksi gender dan seksualitas yang berlaku umum. Hal yang jarang sekali muncul dalam media mainstream. Upaya advokasi Magdalene.co juga menampak ketika memuat tulisan terkait seringnya praktik blurring (sensor) terhadap visualitas tubuh perempuan di televise, dalam tulisan Hypocrisy and Blurring Women’s Bodies on TV. Bagaimana perempuan dipandang hanyalah sekadar objek, ketika sensor tersebut menyasar representasi beberapa bagian tubuh perempuan karena dianggap pornografi. Tulisan tersebut berupaya menunjukkan posisi terjepit yang menimpa perempuan. Pada posisi tersebut kita dapat melihat bagaimana Magdalene.co telah menjalankan tugasnya sebagai media advokasi sekaligus media berperspektif gender, seperti yang mereka klaim. Privat dan Publik: Isu Perempuan di Indonesia Tulisan-tulisan yang diunggah dalam Magdalene.co, mayoritas menyasar pada isu perempuan di sektor privat. Fairuz, misalnya menuturkan: “Kebanyakan substansi nya terkait dengan isu-isu feminisme yang juga sedang menjadi perhatian publik. Substansi tulisan kebanyakan berdasarkan sudut pandang dan pengalaman subjektif penulis. Bagi yang tertarik pernah belajar tentang isu gender tulisan yang ada di Magdalene mungkin bisa dikatakan contoh-contoh kasus yang kerap ditanyakan berkaitan dengan gender. Tapi sifat tulisan yang lebih menekankan pengalaman personal belum bisa memberikan kedalaman bagi yang membaca.” Seperti pada dua tulisannya yang berada di rubrik Faith and Spirituality. Kedua tulisan tersebut membahas bagaimana moralitas memandang isu perempuan Tulisan pertama berjudul, Yes, I, a Muslim, Am Attending a Christian University. So Get Over It. Tulisan tersebut adalah narasi pengalaman seorang perempuan muslim yang mendaftar kuliah Sastra Inggris di salah satu Universitas Kristen di Salatiga. Keputusan yang kemudian menuai resistensi dari anggota keluarganya, Resisten tersebut disebabkan nenek dari penulis menganggap sekolah Kristen akan mendokrtinasi cucunya menjadi seorang Kristiani. Tulisan kedua berjudul, Why I Took Off My Hijab. Tulisan kedua ini berupa narasi seorang perempuan, pada pengalaman yang membuatnya mengenakan jilbab, dan kemudian melepaskannya lagi. Pengalaman yang didasarkan pada kesadaran bahwa keputusan dirinya mengenakan hijab bukanlah karena relasi penulis dengan Tuhan (Allah), namun karena relasi penulis dengan lingkungan sekitarnya, dengan tatapan sekelilingnya. Penulis sebelumnya memutuskan untuk melepaskan hijab dengan tujuan untuk menutup kejelekan dan keburukannya. Hijab pada saat itu membuat penulis merasa dirinya menjadi manusia yang lebih baik, di hadapan tatapan lingkungannya. Kesadaran akan hal tersebut, bahwa kemudian keputusan dirinya mengenakan hijab adalah bentuk control sosial pada dirinya, yang membuat kemudian penulis memutuskan dengan otonom, untuk melepaskan hijab yang sebelumnya ia kenakan. Penulis tidak menuturkan secara telanjang perspektivismenya terkait perintah agama dalam menggunakan hijab. Penulis memberikan komparasi, bahwa masih ada pihak yang berargumen bahwa perintah untuk menggunakan hijab masih-lah relevan untuk memproteksi diri, juga menunjukkan argument pihak yang mengatakan menggunakan hijab sudah tidak terlalu relevan. Premis penulis pada tulisannya adalah, bahwa keputusan dirinya, atau seseorang dalam mengenakan hijab harusnya didasarkan pemikiran dengan pengetahuan atas konteks dan makna atas hijab itu sendiri. Pemikiran matang dengan pengetahuan dan konteks tersebut atas hijab tersebut, yang tidak dimiliki oleh penulis pada saat awal ia memutuskan untuk mengenakan hijab. Kedua tulisan tersebut menjadi representasi dari perayaan atas otoritas yang harus dimiliki oleh perempuan. Di mana perempuan harus dapat menentukan sendiri langkahlangkahnya, ketimbang tunduk pada konformitas lingkungan. Isu otoritas atas diri merupakan salah satu isu privat yang coba diberikan ruang oleh Magdalene.co. Isu-isu privat sendiri mendominasi berbagai tulisan yang dimuat oleh Magdalene.co. Salah satu isu privat lain, terdapat dalam tulisan yang berjudul How to Feel at Home Again After Your Time Away. Tulisan tersebut berisi narasi curahan hati perempuan tentang bagaimana sulitnya beradaptasi pada lingkungan lama, setelah 10 tahun pergi belajar ke luar negeri. Selain isu-isu tersebut, terdapat isu-isu publik lain, seperti bagaimana perempuan menjadi korban objektivikasi. Seperti photo series terkait bagaimana tubuh perempuan kerapkali mendapatkan kekerasan, yang terdapat dalam tulisan artikel berjudul Photo Series Speaks against Violation to Women’s Bodies, yang mencoba menarasikan dan menunjukkan photo series yang dibuat oleh Bhargavi Joshi, seniman India-Kanada. Photo-series milik Bhargavi Joshi memotret kekerasan terhadap tubuh perempuan, dari perkosaan dalam perkawinan, sensor, serangan seksual, kekerasan domestic, objektifikasi perempuan, sunat perempuan hingga pengubahan yang diskriminatif terhadap kerja perempuan. Selain itu, seperti yang coba disodorkan Magdalene.co adalah pada artikel yang berjudul Dolly: A Graphic Journal on A Redlight District (Part 4). Tulisan itu adalah bagian terakhir dari seri komik yang dibuat oleh graphic designer, Andri Nirmala pada tahun 2014 terkait Industri Sex di redlight district Surabaya, Gang Dolly, Jawa Timur. Komik itu sendiri menunjukkan bagaimana perempuan adalah subjek yang paling tertindas dari praktik yang terjadi di Sex Industry. Namun, kita dapat menarik benang merah, bahwa permasalahan perempuan yang dibahas dan ditampilkan di Magdalene, tidaklah menampilkan secara mendalam terkait realitas diskriminasi. Bahwa represi terhadap perempuan adalah bagian dari salah satu lapisan realitas, yang ditopang oleh realitas lain. Kondisi material yang memungkinkan diskriminasi dan represi terhadap perempuan bisa terjadi. Tidak membahas syarat-prasyarat apa saja yang harus dilakukan untuk bisa menumpas diskriminasi dan represi terhadap perempuan, selain hanya menunjukkan suara mereka. Kekurangan dalam hal menangkap realitas yang lebih dalam dari praktik diskriminasi disadari oleh seorang pembaca yang kami wawancarai, Theresia Putri, yang telah membaca laman Magdalene.co sejak 8 bulan lalu, menuturkan: “Sebenarnya di satu sisi aku pikir itu upaya untuk bercerita secara sederhana, untuk menentang narasi dominan dengan narasi personal. Namun akan lebih baik kalau Magdalene.co juga membahas isu-isu. Agar perdebatannya bukan cuma kesadaran identitas, tapi juga kesadaran kelas. Karena, kadang masalahnya berlapis, misal dalam kasus buruh transgender, mereka menjadi kelompok rentan (vulnerable groups) dua kali: sebagai LGBTIQ dan sekaligus buruh. Kebanyakan tulisan-tulisan Magdalene.co-menurutku--masih didominasi isu-isu yang dialami kelas menengah ke atas? Magdalene.co juga nampak begitu bias kelas menengah dalam membahas isu-isu perempuan. Magdalene.co hanya sedikit mencoba membahas isu perburuhan perempuan yang lebih subtle yaitu dengan mengemas ulang komik yang dibuat oleh Adri Nirmala terkait Industri Seks di Dolly, Surabaya. Penti Aprianti, pendiri PadGHRS (Padjadjaran Resource Center on Gender & Human Rights) menuturkan: “(Isu-isu dalam Magdalene.co) belum grassroot. Terlalu lama fokus pada kaum menengah ke atas, sementara menengah ke bawah yang kebetulan tidak mempunyai akses lebih termasuk dalam proses memahami tulisan yang berbahasa inggris.” Bagaimana perspektivisme dalam artikel kebanyakan juga berasal dari latar belakang kelas menengah, seperti narasi sulitnya beradaptasi setelah kuliah di luar negeri, narasi melepaskan jilbab setelah kuliah di luar negeri. Isu-isu makro yang seolah terabaikan dalam tulisan-tulisan di Magdalene.co disadari oleh Fairuz, Fairuz menuturkan: Sangat disayangkan, menurut saya isu-isu makro tsb perlu menjadi perhatian serius. Karena jika ingin mengubah paradigm yang dianggap salah, narasi-narasi yang dihadirkan mestinya narasi yang mendorong perubahan paradigm berpikir yang nantinya bisa mengubah sistem/ tatanan/ nilai yang masyarakat anut. Tulisan-tulisan pengalaman pribadi dibutuhkan lebih menyentuh pada aspek emosional dan wawasan pembaca bahwa pengalaman/ pemikiran yang dimilikinya bukan hal yang tabu untuk didiskusikan. Jadi tulisan pengalaman lebih tepat sebagai pintu masuk saja bagi pembaca untuk memahami konsep gender secara lebih luas. Rasionalitas – Irasionalitas: Perempuan yang Mengandalkan Perasaan Salah satu stereotype yang bekerja pada dikotomi laki-laki dan perempuan adalah, bila laki-laki akan dianggap sebagai mahluk yang rasional, sedangkan perempuan adalah mahluk yang mengandalkan emosi. Perempuan kerapkali diidentikkan sebagai entitas yang irasional, dan cenderung mengandalkan perasaan dalam memutuskan sesuatu (Terre, Arivia, et.al, 2013: 43). Dikotomi rasional-irasional yang melekat pada laki-laki dan oposisi binernya perempuan, adalah hal yang seharusnya coba dibongkar oleh Magdalene.co. Magdalene.co sendiri dalam identitas dirinya, mendaku diri menawarkan perspektif baru yang bertujuan melampaui tipikal gender dan batas-batas kebudayaan. Rasionalitas yang diupayakan, coba diinjeksikan oleh awak Magdalene.co pada khalayak melalui rubrikasi tulisan yang ada. Perempuan coba dikenalkan pada isu-isu yang sensitif terkait dengan perempuan, seperti relasi perempuan dengan negara, seksualitas dan gender, politik, isu-isu sosial, isu agama dan spiritualitas, isu lingkungan, isu mikro sosial seperti keluarga dan relasi antar manusia; lebih spesifik lagi antar gender, gaya hidup, kesehatan, budaya. Tentu saja dengan harapan kemudian, muncul polyvocality, keberagaman suara terkait isu-isu tersebut dan keluar dari mulut perempuan dan rasionalitas perempuan yang menimbang perspektivisme-nya sebagai seorang perempuan dengan berbagai latar biologis dan gender. Namun sayangnya, Magdalene.co tak cukup konsisten dalam mengupayakan penumbangan irasionalitas pada perempuan. Pelanggengan identitas irasional yang melekat pada perempuan tampak telanjang menampak pada salah satu rubrikasi dari Magdalene.co yaitu dalam rubrik Tarotscope. Rubrik Tarotscope sendiri berisikan ramalan terkait, pekerjaan, asmara, aktivitas, minuman atau makanan yang direkomendasikan sehingga sesuai dengan karakter horoscope-nya. Masing-masing horoscope akan dipaparkan ramalannya rutin setiap minggu. Keberadaan Tarotscope tersebut menempatkan perempuan sebagai audiences utama Magdalene.co yang dapat percaya pada penjelasan metafisis yang tak memiliki rujukan jelas pada realitas. Sebagai contoh, tulisan Tarotscope 26th Sept - 2nd of Octoberkita dapat pendengar penjelasan terkait perubahan perjodohan antar horoscope, nasib, pekerjaan dapat dipengaruhi oleh perubahan planet, Pluto, Venus, Mercury dan lain-lainya. With Pluto turns direct this week, the truth will slowly resurface for both of you. Couples who broke up during retrograde season may get back together with a lot of make-up sex (wink wink) because Venus in Scorpio brings back the intense desire within. But on the downside, you’ll love so intensely, that if there’s any arguments between you, it would be pretty intense too. Oh and one more thing, be careful with obsession and jealousy masked as love.3 Seperti diketahui, rubrik yang menyodorkan horoscope biasanya ditemui pada majalahmajalah perempuan atau media-media online yang memang dikhsususkan oleh perempuan. Jarang sekali kita temukan rubrik horoscope pada majalah atau media yang memang ditujukan untuk laki-laki. Identitas rasional laki-laki menepis kemungkinan masuknya diskursus horoscope pada sisi maskulinitas laki-laki, yang mengandalkan kewarasan sebagai landasan dalam menentukan langkah seseorang. Pada akhirnya, upaya untuk mengkontestasikan stereotype perempuan, identitas yang terlanjur melekat kuat pada perempuan salah satunya tentunya terkait perempuan yang irasional dan mengandalkan perasaan, masih perlu direkonstruksi secara ideologis. Keseluruhan upaya yang dilakukan masih bersifat ambivalen. Ketika segala rasionalitas yang disodorkan oleh teksteks dan paparan terkait sikap perempuan terhadap isu-isu domestik, kemudian bersanding dengan rubrik lain yang menawarkan irasionalitas didalamnya. Selain perbaikan dari aspek isu rasionalitas juga perlu dilakukan terkait dengan isu yang diangkat maupun proses produksinya. Hal tersebut tercermin dari saran yang diungkapkan oleh pembaca Magdalene.co selama 8 bulan kebelakang. Menurut Shuliya seperti yang diungkapkannya; 3 http://magdalene.co/news-941-tarotscope-26th-sept--2nd-of-october.html Berkaca dari pertanyaan mengenai topik magdalene yang banyak membahas isu-isu privat ketimbang isu-isu publik mungkin Magdalene perlu lebih banyak memuat tulisan dengan topik-topik tersebut dalam bentuk artikel ilmiah populer yang didasarkan pada riset atau jurnal tertentu. Bukan hanya pengalaman & pandangan pribadi. I think that would be cool. Saran pembaca di atas sangat perlu dipertimbangkan oleh pihak magdalene.co dalam upaya perbaikan yang dilakukan magdalene.co sehingga perbaikan secara ideologis, maupun teknis produksi dapat dilakukan. SIMPULAN Secara umum Magdalene.co dapat dikatakan sebagai sebuah media advokasi untuk perempuan yang dibutuhkan para pembacanya, akan tetapi perlu mengembangkan potensinya maupun melakukan perbaikan dengan mempertimbangkan beberapa simpulan berikut: Keberadan Magdalene.co sebagai media online merupakan media alternatif yang berpotensi memberi ruang bagi gerakan perempuan yang lebih bersifat independen dan interaktif. Sebagai sebuah gerakan dengan platform media online, pada dasarnya Magdalene.co mampu menyodorkan sebuah harapan pada proyek emansipasi. Harapan tersebut dapat ditemukan dari keragaman isu yang disodorkan Magdalene.co di lamannya. Terkait dengan isu, Magdalene.co mampu mengangkat isu-isu gender dan seksualitas yang juga mengandung kritik terhadap objektifikasi perempuan dan melakukan advokasi dengan mengangkat isu-isu yang dimarjinalkan sebagai the other. Sayangnya, posisi Magdalene.co pada isu-isu yang diangkat masih bersifat ambivalen, terjadi kemenduaan. Magdalene.co mengangkat isu privat dan publik dengan upaya merasionalisasi perempuan, namun di rubrik lain masih terjebak pada irasionalitas, yang mencerminkan typical gender yang melekat pada perempuan. Bias kelas dalam isu yang diangkat oleh Magdalene.co juga masih sangat dirasakan oleh para pembacanya oleh karena itu Magdalene.co masih harus mengembangkan isu dari berbagai lapisan kelas walaupun menyasar khalayak dikelas ekonomi tertentu. Tidak selalu perempuan kelas tertentu hanya peduli pada isu-isu kelasnya walaupun untuk menerpa mereka perlu format atau kemasan yang sesuai. Merujuk pada sumberdaya atau pengelola yang diklaim oleh Magdalene.co dalam website-nya, upaya tersebut seharusnya dapat dilakukan. DAFTAR PUSTAKA AJI Indonesia. (2012). Indikator sensitif gender untuk media: kerangka indikator mengukur sensitivitas gender pada organisasi dan konten media. Jakarta: AJI Indonesia. Fakih, Mansour. Farid, P. Linda., dkk. (1998). Menggagas jurnalisme sensitif gender. Yogyakarta: PMII IAIN Sunan Kalijaga. Habermas, J. (1991). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society. Cambridge, Mass: MIT Press. Kovach, Bill and Rosenstiel Tom. (2007). The elements of journalism: what news people should know and the public should expect. New York: Three Rivers. Terre, Riyadi Edi. Arivia, Gadis. Alimi, Moh Yasir. Affiah, Neng Dara. (2012). Manusia, perempuan, laki-laki: Pengantar pemikiran Hannah Arendt, Seyla Benhabib, Judith Butler, Ziba Mir-Hosseini. Jakarta: Salihara & Hivos. Wahl-Jorgensen, K., & Hanitzsch, T. (2009). The handbook of journalism studies. New York: Routledge.