View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi di suatu negara sangat bergantung oleh adanya
perkembangan dinamis dan kontribusi nyata di sektor perbankan, alasannya
karena kontribusi sektor perbankan berperan penting dalam menggerakkan
roda perekonomian di suatu negara. Hal ini dapat dilihat ketika sektor
perbankan terpuruk yang disebabkan oleh adanya krisis moneter (tahun 1997 –
tahun 1998), dimana dengan terpuruknya sektor perbankan mengakibatkan
tingkat perekonomian Indonesia yang berjalan normal. Oleh karena itulah
fungsi dan peran sektor perbankan dalam pembangunan ekonomi sangatlah
berpengaruh, sebab sektor perbankan dapat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi di suatu negara.
Pentingnya fungsi dan peran sektor perbankan dalam pertumbuhan
ekonomi, sehingga lembaga keuangan yang berperan adalah bank umum
(commercial bank). Bank Umum memiliki peranan yang sangat penting dalam
menggerakkan roda perekonomian nasional, alasannya karena kurang lebih
95% dana pihak ketiga dikelolah oleh bank, selanjutnya selain bank umum
juga ditentukan oleh fungsi dan peran Bank Syariah dan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), namun dalam penelitian ini yang akan dijadikan pokok
pembahasan adalah Bank Umum dan Bank Syariah. Alasannya karena kedua
jenis sektor bank memiliki kontribusi yang sangat besar dalam melakukan
penyaluran kredit kepada nasabah.
1
Fungsi dan peran Bank Umum dan Bank Syariah, nampak memiliki
perbedaan dimana Bank Umum melakukan aktivitas usaha secara konvensional
(UU. No. 10 tahun 1990), sedangkan menurut Muhamad (2004, hal. 13) Bank
Syariah beroperasi dengan tidak mengandalkan bunga atau tanpa bunga.
Dengan adanya perbedaan dalam menjalankan kegiatan operasional yakni
antara Bank Umum dan Bank Syariah mengakibatkan adanya perbedaan dalam
penyaluran kredit.
Masalah penyaluran kredit berperan untuk membantu masyarakat
dalam melakukan investasi, distribusi dengan konsumsi barang dan jasa,
mengingat semua investasi, distribusi dan konsumsi berkaitan dengan uang
maka
akan
berdampak
terhadap
kelancaran
kegiatan
pembangunan
perekonomian masyarakat. Oleh karena itulah dalam melaksanakan penyaluran
kredit antara Bank Umum dengan Bank Syariah sangat ditentukan oleh adanya
permintaan kredit.
Permintaan kredit antara Bank Umum dengan Bank Syariah terjadi
perbedaan, dimana menurut Muhammad Safi’i Antonio dalam Jumhur (2006,
hal. 23) yang mengemukakan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan permintaan kredit menurut Bank Umum dengan Bank Syariah
adalah Bank Konvensional menerapkan sistem bunga dan bank syariah
menggunakan bagi hasil. Dengan adanya permintaan dalam penyaluran kredit
yakni antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah maka perlu dilakukan
studi komparatif permintaan kredit menurut bank konvensional dengan bank
syariah.
2
Komparatif statik adalah suatu model penelitian yang dilakukan
dengan membandingkan salah satu variabel pada sistem persamaan sebagai
variabel instrument, selain itu menggunakan suatu variabel baru dan
menambahkannya kedalam sistem persamaan tersebut, yang dilakukan dengan
cara menurunkan sistem tersebut terhadap variabel instrument. Kemudian
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
permintaan
kredit
untuk
bank
konvensional (Bank Umum), menurut Mochammad Faza Rifai (2007, hal. 88)
bahwa permintaan kredit untuk bank umum sangat ditentukan oleh PDRB,
suku bunga riell dan laju inflasi. Dimana dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Mochammad Faza Rifai yang meneliti faktor yang mempengaruhi
permintaan kredit bank pada Bank Umum, Provinsi Jawa Tengah yang
menemukan ada pengaruh yang signifikan antara PDRB, suku bunga rieel dan
laju inflasi.
Selanjutnya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad
Yusuf (2005) yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
kredit konsumtif adalah penentuan desain utama yang menunjukkan bahwa
faktor PDRB, suku pinjaman berpengaruh signifikan terhadap permintaan
kredit konsumtif. Sedangkan tingkat inflasi dan tingkat suku bunga
berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit.
Dalam hubungannya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mochammad Faza Rifai dan Muhammad Yusuf, maka penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah meneliti permintaan kredit antara bank
konvensional dengan bank syariah, dimana perbedaan yang dilakukan oleh
3
Muhammad Yusuf dan Mochmmad Faza Rifai dengan yang dilakukan oleh
penulis adalah kedua penelitian terdahulu hanya menfokuskan pada Bank
Umum sedangkan yang dilakukan oleh penulis menfokuskan pada Bank
Konvensional dan Bank Syariah. Dimana faktor yang mempengaruhi
permintaan kredit pada Bank Konvensional adalah PDRB, tingkat suku bunga
dan laju inflasi, sedangkan faktor yang mempengaruhi permintaan kredit pada
bank syariah adalah PDRB, laju inflasi dan bagi hasil.
Melihat dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dalam
penelitian ini dilakukan pengujian faktor-faktor
yang mempengaruhi
permintaan kredit menurut bank konvensional dan bank syariah.
Hal ini dapat dilihat dari perkembangan data permintaan kredit pada
Bank Konvensional dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dimana pada
tahun 2010 meningkat sebesar Rp.132.000.000.000.000, sedangkan permintaan
kredit pada Bank Syariah pada tahun 2010 sebesar Rp. 99.500.000.000.000.
sehingga dengan adanya perbedaan tersebut maka penulis tertarik untuk
membahas tema ini lebih jauh dengan memilih judul : “Analisis Komparatif
Statik terhadap Permintaan Kredit pada Bank Syariah dan Bank
Konvensional di Makassar (Periode 2001 – 2010).”
1.2. Masalah Pokok
Adapun masalah pokok dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut :
1. Apakah PDRB, bagi hasil dan inflasi berpengaruh terhadap permintaan
kredit pada Bank Syariah.
4
2. Apakah PDRB, suku bunga dan inflasi berpengaruh terhadap permintaan
kredit pada Bank Konvensional.
3. Apakah ada perbedaan antara permintaan kredit Bank Syariah dengan
Bank Konvensional.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1.
Untuk menganalisis pengaruh PDRB, bagi hasil dan inflasi terhadap
permintaan permintaan kredit pada Bank Syariah.
2.
Untuk menganalisis pengaruh PDRB, suku bunga dan inflasi terhadap
permintaan kredit pada Bank Syariah.
3.
Untuk menganalisis perbedaan permintaan kredit menurut Bank Syariah
dengan Bank Konvensional.
1.4 Kegunaan Penelitian
Dengan harapan tujuan penelitian tercapai, maka selanjutnya
penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut :
1. Sebagai bahan sumbangan pikiran kepada Bank Syariah dengan Bank
Konvensional mengenai perbandingan secara statik terhadap permintaan
kredit pada Bank Syariah dan Bank Konvensional.
2. Sebagai salah satu
bahan referensi bagi
yang berminat untuk
memperdalam masalah permintaan kredit khususnya pada Bank Syariah
dengan Bank Konvensional.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
Dalam sistem perekonomian sekarang ini perbankan memegang peranan
penting dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Bank adalah badan usaha yang
memberikan jasa pada penyimpanan uang, pengirimanuang serta permintaan dan
penawarana kredit. Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
perbankan menyebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Oleh karena fungsi utama bank adalah sebagai
perantara antara masyarakat yang kelebihan dana dengan masyarakat yang
kekurangan dana, maka usaha pokok yang dilaksanakan adalah kegiatan-kegiatan
pada sektor perkreditan, khususnya pada Bank Konvensional dan Bank Syariah.
Bank Syariah berbeda dari bank Konvensional adalah secara konsepsional.
Konsep dasarnya adalah adanya keseimbangan antara kehidupan dunia dan
persiapan menuju kehidupan akhirat. Berbisnis atau melakukan tindak ekonomi
juga harus mengikuti konsep tersebut, yaitu menjaga keseimbangan. Bukan
sekedar memaksimalkan kekayaan, tetapi harus seimbang dengan memperhatikan
apakah cara bisnisnya sudah sesuai dengan syariah atau belum.
Dengan demikian menjadi nasabah bank Syariah niat dan tujuannya adalah
berekonomi dengan cara yang diridhoi Allah SWT, sehingga bukan hanya
mencari tingginya tingkat pengembalian ekonomi. Namun memang menjadi
6
keharusan bagi bank Syariah agar secara ekonomis dapat bersaing dengan bank
Konvensional sehingga diharapkan juga mampu menciptakan pengembalian
investasi atau bagi hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan bank
Konvensional.
Nasabah (masyarakat) yang kelebihan dana akan menyimpan uangnya
di bank dalam berbagai bentuk. Nasabah penyimpan akan memperoleh balas jasa
dari bank berupa bunga bagi bank Konvensional. Berbeda bila masyarakat
menyimpan uangnya di bank Syariah, maka bukan bunga yang akan diperoleh
melainkan sistem bagi hasil yang berdasarkan Prinsip Syariah. Besarnya jasa
bunga dan bagi hasil tergantung dari besar kecilnya dana yang disimpan dan
faktor lainnya.
Bagi masyarakat yang memperoleh pinjaman atau kredit dari bank
Konvensional diwajibkan untuk mengembalikan pinjaman tersebut beserta bunga
yang telah ditetapkan sesuai perjanjian antara bank dengan nasabah. Sedangkan
di bank Syariah pengembalian pinjaman disertai dengan sistem bagi hasil yang
sesuai hukum Islam.
Sebagai perantara keuangan, bank akan memperoleh keuntungan dari
selisih bunga yang diberikan kepada penyimpan (bunga simpanan) dengan bunga
yang diterima dari peminjam (bunga kredit). Keuntungan ini dikenal dengan
istilah Spread Based. Jenis keuntungan ini diperoleh dari bank Konvensional
Sedangkan bagi Bank Syariah tidak dikenal istilah bunga, karena bank Syariah
mengharamkan bunga. Pada Bank Syariah keuntungan yang diperoleh dikenal
dengan istilah bagi hasil.
7
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usahanya,
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Sehingga Bank
Syariah ialah badan usaha yang bergerak dalam bidang perbankan yang sistem
operasionalnya didasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam.
Sedangkan tujuan didirikannya Bank Syariah adalah meningkatkan
usaha menuju kesejahteraan umat dengan mengaitkan pembangunan ekonomi
dan sosial serta menyelamatkan umat Islam dari membayar dan menerima bunga
yang termasuk perbuatan riba serta dampak sampingnya yang tidak dikehendaki
oleh Islam.
Adapun karakterististik Bank Syariah adalah : bersifat produktif, dimana
ekonomi Islam memandang bahwa semua aktivitas ekonomi harus produktif
sehingga kegiatannya lebih ditekankan pada ekonomi riil sedangkan bunga
merupakan pendapatan yang tidak produktif. Bersifat tidak eksploitatif, dimana
kegiatan ekonomi tidak boleh ditujukan demi keuntungan satu pihak dengan
mengobankan pihak lain (sama-sama untung). Berkeadilan artinya tidak boleh
ada transaksi ekonomi yang merugikan pihak-pihak yang terlibat, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Tidak bersifat spekulatif, hal ini dianggap
sebagai perjudian dan dapat mengakibatkan orang yang melakukannya terancam
kemiskinan serta menyebabkan uang atau barang yang dispekulasikan menjadi
tidak bermanfaat. Anti riba, dimana riba sebenarnya adalah tambahan yang
ditetapkan dalam perjanjian atas suatu barang yang dipinjam, ketika barang
8
dikembalikan. Sehingga pemilik barang berharap bahwa ia bisa meraih
keuntungan dari transaksi pinjam meminjam tersebut.
Dari uraian tersebut di atas, maka fungsi dan peran Bank Umum dan
Bank Syariah, nampak memiliki perbedaan dimana Bank Umum melakukan
aktivitas usaha secara konvensional sedangkan Bank Syariah beroperasi dengan
tidak mengandalkan bunga atau tanpa bunga. Dengan adanya perbedaan dalam
menjalankan kegiatan operasional yakni antara Bank Umum dan Bank Syariah
sehingga mengakibatkan adanya perbedaan dalam penyaluran kredit.
Dimana faktor yang mempengaruhi permintaan kredit pada Bank
Konvensional adalah PDRB, tingkat suku bunga dan laju inflasi, sedangkan
faktor yang mempengaruhi permintaan kredit pada bank syariah adalah PDRB,
laju inflasi dan bagi hasil.
2.1.2. Konsep PDRB
Laju pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator makro yang
menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Indikator ini biasanya digunakan
untuk menilai sampai seberapa jauh keberhasilan pembangunan suatu daerah
dalam periode waktu tertentu. Indikator ini dapat pula dipakai untuk menentukan
arah kebijaksanaan pembangunan yang akan datang. Pembangunan suatu daerah
dapat berhasil dengan baik apabila didukung oleh suatu perencanaan yang
mantap sebagai dasar penentuan strategi, pengambilan keputusan dan evaluasi
hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
Dalam
menyusun
perencanaan
pembangunan
yang
baik
perlu
menggunakan data-data statistik yang memuat informasi tentang kondisi riil suatu
9
daerah pada saat tertentu sehingga kebijaksanaan dan strategi yang telah
atau akan diambil dapat dimonitor dan dievaluasi hasil-hasilnya. Salah satu
indikator ekonomi makro yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi hasilhasil pembangunan di suatu daerah serta untuk mengukur besarnya laju
pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggunakan data Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan.
Pembangunan yang pesat di segala bidang dan telah menjangkau seluruh
pelosok ke desa memerlukan adanya data statistik Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) setiap tingkat wilayah administrasi. Data dan informasi yang
diperlukan antara lain transformasi melalui Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), Pendapatan Regional Bruto, Pendapatan Regional perkapita dan
pertumbuhan ekonomi regional.
Dengan demikian data dan informasi yang disajikan selain merupakan
evaluasi hasil pembangunan yang telah dicapai, juga akan menjadi bahan dasar
dalam penyusunan konsep strategi dan kebijaksanaan perencanaan pembangunan
oleh pemerintah daerah maupun secara nasional yang akan ditempuh pada
masa yang akan datang.
Dalam menyusun rekapitulasi ekonomi bagi suatu daerah maka salah satu
titik pokok dalam pembahasan ini adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto
atau PDRB. Oleh karena itu sebagaimana dikemukakan dalam buku Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Selatan mengatakan bahwa produk
domestik regional bruto merupakan seluruh nilai netto suatu barang dan jasa
10
(komoditi) yang diproduksi suatu domestik/regional tanpa
memperhatikan
pemilikan faktor-faktor produksinya.
Menurut pendapat Suparmoko (2002 : 368) mengemukakan bahwa
PDRB adalah merupakan pendapatan atas faktor produksi yang dimiliki oleh
penduduk suatu wilayah atau daerah ditambah penduduk asing yang berada
di wilayah/daerah tersebut.
Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi maka salah satu faktor yang
menjadi tolak ukur adalah perkembangan ekonomi. Sebab dengan pertumbuhan
ekonomi yang meningkat maka akan dapat mempengaruhi income perkapita bagi
suatu negara.
Nilai produk domestik regional bruto dapat
pendekatan yaitu : Pendekatan
produksi,
dihitung melalui tiga
produk domestik regional bruto
merupakan jumlah netto atas suatu barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit
produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu
tahun). Pendekatan
pendapatan, produk domestik regional bruto merupakan
jumlah balas jasa (pendapatan) yang diterima oleh faktor-faktor produksi karena
ikut sertanya dalam proses produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam
jangka waktu tertentu (satu tahun) serta pendekatan pengeluaran, produk
domestik regional bruto merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh
rumah tangga, pemerintah dan lembaga swasta non profit, investasi, serta ekspor
netto (ekspor dikurangi import), biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu
tahun).
11
Produk domestik regional bruto dapat juga dihitung berdasarkan atas
dua ukuran, yaitu atas dasar harga berlaku dan harga konstan. Sadono Sukirno
(2001 : 34-35) mengemukakan bahwa produk domestik regional bruto atau
pendapatan domestik regional bruto pada harga berlaku adalah nilai barangbarang dan jasa-jasa yang dihasilkan suatu negara dalam satu tahun dan dinilai
menurut harga-harga yang berlaku pada tahun tersebut. Cara ini adalah cara
yang selalu dilakukan dalam menghitung pendapatan dari
suatu periode ke
periode lainnya.
Nilai PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengukur
pertumbuhan ekonomi karena nilai PDRB atas dasar harga konstan ini tidak
dipengaruhi oleh perubahan harga, sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku
digunakan untuk melihat besarnya perekonomian suatu daerah.
Untuk memperoleh pengertian tentang pendapatan maka hal itu harus
dilihat dari mana pendapatan tersebut dibentuk dan bagaimana proses
pembentukannya. Karena pendapatan itu sendiri merupakan jumlah penerimaan
yang diperoleh individual, masyarakat, produsen atau perusahaan, daerah, negara
dan sebagainya. Sebagai hasil usaha atau kompensasi yang diterima di dalam
kegiatan-kegiatan ekonomi melalui produksi barang-barang dan jasa-jasa yang
dihasilkan mereka.
Sedang untuk melakukan pengukuran tingkat pendapatan tertentu
pada saat tertentu pula, di dalam ilmu ekonomi di kenal 5 (lima) konsep dasar
di mana masing-masing adalah Gros National Product (GNP), Gross Domestic
12
product (GDP), Net National Product (NNP) atau National Income (NI),
Personal
Income (PI) dan Disposible Personal Income (DPI). Sehubungan
dengan apa yang dikemukakan, maka berikut ini akan diberikan beberapa
pendapat yang dibuat tentang pengertian "Pendapatan" agar dapat dipahami. Dan
diantara kelima konsep yang sudah diajukan itu, ternyata konsep GNP yang
paling populer digunakan di dalam perhitungan-perhitungan ekonomi.
Dalam penyajian PDRB selalu dibedakan atas dasar harga konstan dan
atas dasar harga berlaku. Adapun defenisi dari pembagian PDRB ini adalah :
PDRB atas dasar harga berlaku adalah jumlah nilai barang dan jasa (komoditi)
atau pendapatan, atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga yang
berlaku pada tahun yang bersangkutan. PDRB atas dasar harga konstan adalah
nilai barang jasa (komoditi) atau pendapatan, atau pengeluaran yang nilai atas
dasar harga tetap.
Semakin tinggi pendapatan seseorang maka akan semakin tinggi pula
kemampuan seseorang untuk membayar (ability to pay) berbagai pungutan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Dengan logika yang sama, pada tingkat distribusi
pendapatan tertentu yang tetap, semakin tinggi PDRB per kapita riil suatu
daerah, semakin besar pula kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk
membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan pemerintahnya.
Dengan kata lain, semakin tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin
besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut.
13
PDRB adalah seluruh nilai netto barang dan jasa (komoditas) yang
diproduksi pada suatu wilayah domestik regional tanpa memperhatikan pemilikan
faktor-faktor
produksi
pada
suatu
wilayah
domestik/regional
tanpa
memperhatikan pemilikan faktor-faktor produksinya. Nilai produk domestik
regional bruto dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu : Segi produk, produk
domestik regional bruto merupakan jumlah netto atas suatu barang dan jasa
yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam
jangka waktu tertentu (satu tahun). Segi pendapatan, dimana produk domestik
regional bruto merupakan jumlah balas jasa (pendapatan) yang diterima oleh
faktor produksi karena ikut sertanya dalam proses produksi dalam suatu wilayah
dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun), serta segi pengeluaran,
produk domestik regional bruto merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan
oleh rumah tangga, pemerintah dan lembaga, swasta dan non profit, investasi serta
eksport netto biasanya dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).
Selanjutnya produk domestik regional bruto dibagi atas dua versi yaitu
produk domestik regional bruto berdasarkan atas harga berlaku dan atas harga
konstan. Dimana Produk domestik regional bruto atas harga berlaku adalah
jumlah nilai barang dan jasa (komoditi) atau pendapatan atau pengeluaran yang
dinilai sesuai dengan harga berlaku pada tahun yang bersangkutan. Sedangkan
Produk domestik regional bruto berdasarkan harga konstan, adalah nilai barang
dan jasa atau pendapatan atau pengeluaran yang dinilai atas harga tetap tahun
1993. Penunjukan tahun 1993 sebagai tahun dasar sesuai dengan instruksi Biro
Pusat Statistik Nasional.
14
PDRB berhubungan erat dengan permintaan kredit disebabkan karena
dengan adanya kenaikan PDRB maka tingkat konsumsi masyarakat akan semakin
meningkat, oleh sebab itu jika PDRB meningkat maka permintaan akan kredit
juga akan mengalami peningkatan guna mencukupi tingkat konsumsi yang
dihadapi oleh masyarakat, sebagaimana dikutip dari penelitian yang dilakukan
oleh Mochamad Faza Rifai (2007).
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mankiw (1999)
bahwa Produk Domestik Regional Bruto meringkas aktivitas ekonomi dalam
nilai uang tunggal dalam periode waktu tertentu, hal ini disebabkan karena
mengukur pendapatan dan pengeluaran perekonomian pada outputnya dengan
alasan bahwa jumlah keduanya adalah sama dan fakta yang mendasar, karena
setiap transaksi memiliki penjual dan pembeli, setiap uang yang dikeluarkan
seorang pembeli menjadi pendapatan seorang penjual yang lain.
2.1.3. Tingkat Suku Bunga
Teori-teori tingkat bunga ada setelah berfungsinya uang dalam
perekonomian. Secara efektif orang disatu pihak melihat uang sebagai salah satu
dari sekian banyaknya aktiva keuangan, dilain pihak uang dianggap sebagai
daya dorong dalam sektor keuangan atau sebagai aktiva yang seluruhnya dapat
menguasai semua alat keuangan lainnya. Menurut Teori Klasik bahwa tingkat
bunga merupakan hasil interaksi antara tabungan dan investasi, sedangkan Teori
Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga merupakan suatu fenomena moneter,
artinya tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan uang.
15
Suku bunga kredit adalah harga/biaya dari penggunaan dana yang tersedia
untuk dipinjamkan. Suku bunga kredit berpengaruh negative terhadap permintaan
kredit. Artinya semakin tinggi suku bunga kredit yang mencerminkan semakin
mahalnya biaya maka akan menurunkan permintaan kredit, dan sebaliknya
semakin rendah suku bunga kredit yang menceminkan semakin murahnya biaya
akan meningkatkan permintaan kredit. Fenomena ini mencerminkan bahwa
masih tingginya suku bunga kredit saat ini menjadi salah satu pertimbangan
bagi dunia usaha dalam melakukan permohonan kredit kepada bank.
Sebagaimana dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Mochamad Faza
Rifai (2007).
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nopirin (1995)
bahwa makin tinggi tingkat suku bunga, maka makin tinggi pula keinginan
masyarakat untuk menabung. Artinya pada tingkat suku bunga yang lebih tinggi
masyarakat terdorong untuk mengorbankan atau mengurangi pengeluaran untuk
konsumsi guna menambah tabungan. Dari uraian ini dapat disimak kembali
teori-teori tingkat bunga ini.
a. Teori Klasik
Menurut teori Klasik tabungan merupakan fungsi dari tingkat suku
bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga, maka makin tinggi pula keinginan
masyarakat untuk menabung. Artinya pada tingkat suku bunga yang lebih
tinggi masyarakat terdorong untuk mengorbankan atau mengurangi pengeluaran
untuk konsumsi guna menambah tabungan. Investasi juga merupakan fungsi
dari tingkat suku bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga, maka keinginan untuk
16
melakukan investasi juga makin kecil, sebab tingkat pengembalian dan
penggunaan dana juga makin besar.
Bunga adalah harga dari penggunaan (Leonable Funds) atau harga yang
terjadi di pasar dana investasi. Pengertian tingkat bunga sebagai harga, bisa
juga dinyatakan sebagai harga yang harus dibayar apabila terjadi pertukaran
antara satu rupiah sekarang dan satu rupiah nanti (misalnya setahun kemudian).
Hutang piutang timbul karena terjadi pertukaran pembeli dari satu rupiah
sekarang
sekaligus
juga penjual dari satu rupiah nanti adalah peminjam
(debitur), sedangkan penjual dari satu rupiah sekarang yang sekaligus juga
pembeli satu rupiah nanti adalah orang yang meminjam (kreditur). Debitur
harus membayar kepada kreditur harga dari pertukaran tersebut, dan harga ini
adalah bunga yang dibayar debitur.
Menurut ahli-ahli ekonomi klasik, dalam perekonomian tingkat bunga
selalu mengalami perubahan-perubahan yang menyebabkan seluruh tabungan
yang diciptakan sektor rumah tangga pada waktu perekonomian mencapai tingkat
penggunaan tenaga penuh, akan selalu sama besarnya dengan jumlah investasi
yang dilakukan oleh para pengusaha. Sehingga jumlah saluran pengeluaran
dalam perekonomian (permintaan agregat) yaitu konsumsi oleh rumah tanggarumah tangga dan investasi oleh para pengusaha akan selalu sama dengan nilai
seluruh produksi yang diciptakan oleh sektor perusahaan.
Tingkat bunga menentukan besarnya tabungan maupun investasi yang
akan dilakukan di dalam perekonomian. Setiap perubahan dalam tingkat
bunga akan menyebabkan perubahan dalam tabungan rumah tangga dan
17
investasi. Perubahan dalam tingkat bunga
akan terus menerus berlangsung
sebelum kesamaan antara jumlah tabungan dengan jumlah investasi tercapai.
Terjadinya tingkat bunga keseimbangan tersebut menurut teori Klasik
dalam buku Ekonomi Moneter ( 2002 : 7) karangan Boediono, bahwa penawaran
akan dana investasi (S) bertemu dengan permintaan akan dana investasi (I)
di pasar dan investasi (Lonable Funds) dan di situ tercipta tingkat bunga
keseimbangan (dimana S=I). Faktor penentu utama dari bentuk kurva S adalah
rate of time preference para penabung dan faktor penentu utama dari kurva I
adalah marginal product dari kapital.
Jadi tingkat bunga berubah apabila kedua faktor penentu utama ini
berubah, yang satu karena perubahan penilaian subyektif para pelaku ekonomi,
yang lain karena perubahan teknologi. Jadi apabila tingkat bunga lebih tinggi
dari
pada keuntungan yang diharapkan dari penggunaan dana, maka para
pengusaha tidak akan mengadakan investasi, tetapi sebaliknya bila keuntungan
yang diharapkan lebih besar dibandingkan tingkat bunga tersebut, para pengusaha
akan mengadakan
investasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa investasi
tergantung oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Kalau tingkat bunga naik,
investasi akan turun, sebaliknya bila tingkat bunga turun investasi akan naik.
Lain
dan
halnya dengan tabungan yang sebenarnya tergantung pada pendapatan
tingkat bunga, sebab dengan tingginya
tingkat bunga yang ditawarkan
oleh Bank akan merangsang masyarakat untuk menabung dari kelebihan
pendapatannya, dan tingkat bunga inilah yang akan dibandingkan dengan tingkat
keuntungan yang diharapkan bila ingin mengadakan investasi.
18
b. Teori Keynes
Teori tingkat bunga menurut Keynes ditentukan oleh permintaan dan
penawaran uang. Dalam analisis tradisional Keynes tentang permintaan uang,
bahwa ada tiga motif mengapa orang menghendaki memegang uang tunai yaitu
motif berjaga-jaga (precaunary motive), motif transaksi (transaction motive)
dan motif spekulatif (spekulative motive). Dari ketiga motif tersebut, teori yang
unik adalah motif spekulasi atau permintaan yang spekulatif akan uang. Dalam
hal ini, Keynes berasumsi bahwa ada dua aktiva keuangan yakni : uang dan
obligasi. Uang
dianggap sebagai
aktiva yang likuid, cair tetapi tidak
mengandung suku bunga, sedangkan obligasi dianggap sebagai hutang-hutang
jangka panjang yang tidak likuid, tidak cair dan mengandung suku bunga. Suku
bunga ini berbanding terbalik dengan harga obligasi. Sehingga apabila suku
bunga di pasar turun, maka harga obligasi akan naik demikian pula sebaliknya.
Hal ini menurut Keynes ( 2002 : 255) karangan Gardner Ackley mengatakan
bahwa dengan uang tunai di tangan, orang akan bisa berspekulasi di pasar surat
berharga dengan kemungkinan-kemungkinan
memperoleh
keuntungan, dan
karena adanya kemungkinan keuntungan ini, orang mau membayar bunga. Keynes
( 2002 : 95 ) karangan Budiono, dikatakan bahwa apabila karena sesuatu hal
permintaan akan dana untuk jangka waktu 1 bulan meningkat, maka tingkat
bunga untuk kelompok
pinjaman
untuk jangka waktu
1
bulan
tersebut
cenderung akan meningkat. Tingkat bunga untuk kelompok ini mungkin akan
menjadi lebih tinggi dari pada tingkat bunga untuk kelompok 3 bulan, 6 bulan
atau kelompok lainnya.
19
Bunga atau interest dari sisi permintaan adalah biaya atas pinjaman
dan disisi penawaran merupakan pendapatan atas pemberian kredit. Bunga
menurut pengertian pertama adalah jumlah uang yang diberikan sebagai imbalan
atas penggunaan uang yang dipinjamkan tersebut (Marzuki, 2007, hal. 456). Dari
pengertian bunga tersebut, maka suku bunga atau interest rate dalah proses
antara jumlah bunga dengan jumlah dana yang dipinjamkan (Marzuki Usman,
2007, hal. 456).
Menurut Paul A. Samuelson dkk. bunga adalah harga yang harus
dibayar karena meminjamkan uang untuk suatu jangka waktu tertentu, biasanya
dinyatakan sebagai persentase dari pokok pinjaman per tahun (Paul A. Samuelson
dkk, 2003, hal. 560).
Menurut Eugene A. Duilio : Bunga adalah harga dana yang dipinjamkan,
yang besarnya ditentukan oleh preferensi dan sumber pinjaman dari berbagai
pelaku ekonomi (Eugene A. Duilio, 2003;45). Sedangkan dalam teorinya
Frank J. Fabossi menyatakan bahwa bunga adalah harga yang dibayar peminjam
(debitur) kepada pihak yang meminjam (kreditur) untuk pemakaian sumber daya
selama jangka waktu tertentu (Frank J. Fabossi, 2009;204).
Dari pengertian di atas dapat ditarik benang merah dari bunga yaitu
beban harga yang harus dibayar karena meminjam uang pada periode tertentu
sehingga menurut Christoper dkk. Tingkat bunga merupakan jumlah tertentu
bunga yang harus dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman atas sejumlah
uang tertentu untuk membiayai konsumsi dan investasi (Christoper dkk, 2008,
20
hal. 314). Tingkat suku bunga sangat ditentukan oleh kebutuhan dan permintaan
dana didalam pasar uang. Semakin rendah biaya pinjaman, semakin banyak uang
yang akan diminta oleh rumah tangga dan dunia usaha semakin tinggi tingkat
bunga semakin besar persediaan dana yang dapat dipinjamkan.
Apabila dana yang dipinjamkan sebesar Rp. 10.000,- dan pada akhir tahun
harus dikembalikan Rp. 11.000,- jumlah bunga adalah Rp. 1.000 dari bunga
adalah Rp. 1000/Rp. 10.000 = 0,1 atau 10 % dan selalu dinyatakan secara
tahunan misalnya 10% pertahun. Pengertian lain suku bunga adalah “Harga yang
harus dibayar karena meminjam uang untuk suatu jangka waktu tertentu
biasanya dinyatakan sebagai persentase dari pokok pinjaman pertahun dan
menurut Christoper dkk.
Suku bunga adalah jumlah tertentu bunga yang harus dibayarkan
peminjam kepada pemberi pinjaman atas sejumlah uang tertentu untuk membiayai
konsumsi dan investasi (Christoper dkk, 2008, hal. 314).
Menurut teori klasikal diambil dari buku Sunariyah permintaan dan
penawaran investasi pada pasar modal menentukan tingkat suku bunga. Tingkat
bunga akan menentukan tingkat keseimbangan antara jumlah tabungan dan
permintaan investasi Sunariyah, (2003, hal. 63). Adapun tingkat suku bunga itu
sendiri ditentukan oleh dua indikator, yaitu :
Permintaan Tabungan, dimana
menurut teori abstinence, tabungan adalah selisih antara pendapatan dan
konsumsi. Dengan asumsi tingkat pendapatan adalah sama, maka konsumen
yang mengkonsumsi dengan jumlah kecil akan mempunyai tabungan yang
lebih besar. Dalam rumah tangga dipertimbangkan sejumlah faktor untuk
21
menentukan berapa banyak uang yang akan dikonsumsi sekarang. Faktor-faktor
tersebut termasuk bunga, sebab bunga dianggap sebagai suatu imbalan dari
debitur kepada kreditur untuk waktu tertentu sampai kreditur mendapatkan
uangnya kembali pada masa yang akan datang. Konsumen yang rasional, akan
memilih konsumsi sekarang dari pada masa yang akan datang. Lebih lanjut,
bunga diasumsikan mempunyai peranan penting untuk menentukan jumlah
tabungan. Tingkat bunga tinggi akan mendorong masyarakat konsumen
menabung dan menginvestasikan kelebihan dana yang dimilikinya dari pada
digunakan untuk konsumsi sekarang. Apabila konsumen mengharap balas dan
jasa yang lebih baik dari sejumlah uang pada masa yang akan datang maka
keputusannya adalah menabung.
Menurut ekonomi klasikal, bunga merupakan suatu alternatif dari
berbagai pilihan untuk mengoptimalkan uang, antara lain investasi ke pasar
modal, atau menabung dengan tingkat bunga tertentu. Lamanya penabung
menanamkan
uangnya
di
Bank
menunjukkan
lamanya
kreditur
dapat
meminjamkan uangnya. Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong
utama agar masyarakat bersedia meminjamkan uang tunai yang dimilikinya.
Apabila kita tahu jumlah (aggregate) penawaran uang dalam waktu tertentu
pada tingkat bunga tertentu maka kita dapat menggambarkan skedul kurva
penawaran yang mewakili pasar secara umum. Jumlah tabungan kemudian akan
ditentukan oleh tinggi pula tabungan, dan sebaliknya.
Konsep tabungan berdasarkan asumsi bahwa individu akan melakukan
permintaan uang sekarang dari pada permintaan di masa yang akan datang.
22
Dugaan ini disebut teori pemilihan waktu bunga yang dikemukakan untuk seorang
ekonomi dari Australia bernama Bohm Bawerd. Berdasarkan teori ini seorang
individu akan memilih uang sekarang dari pada masa yang akan datang, dengan
catatan selama jangka waktu tersebut tidak ada bunga.
Adanya kenaikan tingkat suku bunga pada bank-bank umum akan
mempengaruhi peran intermediasi dunia perbankan dalam perekonomian
Indonesia. Bank-bank umum (konvensional) dalam operasionalnya sangat
tergantung pada tingkat suku bunga yang berlaku, karena keuntungan bank
konvensional berasal dari selisih antara pinjaman dengan bunga simpanan.
Sedangkan dalam Bank Syariah tidak mengenal sistem bunga yang ada tetapi
dengan menerapkan prinsip bagi hasil (profit sharing) antara bank dengan
nasabah dalam pengelolaan dananya.
Walaupun demikian, dengan adanya kenaikan tingkat suku bunga pada
bank-bank umum baik langsung maupun tidak langsung akan membawa dampak
terhadap kinerja bank syariah. Dengan naiknya tingkat suku bunga maka akan
diikuti oleh naiknya suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman pada
bank konvensional. Sehingga orang akan cenderung untuk menyimpan dananya
di bank konvensional daripada di bank syariah karena bunga simpanan di bank
konvensional naik yang pada akhirnya tingkat pengembalian yang akan diperoleh
oleh nasabah penyimpan dana akan mengalami peningkatan.
Kenaikan tingkat suku bunga inilah yang menjadi dilemma dunia
perbankan syariah saat ini, karena dikhawatirkan akan ada perpindahan dana dari
bank syariah ke bank konvensional. Tetapi ada juga keuntungan yang diperoleh
23
Bank Syariah dengan naiknya suku bunga yakni permohonan pembiayaan (kredit)
di Bank Syariah oleh nasabah diperkirakan akan mengalami peningkatan
seiring dengan naiknya bunga pinjaman pada bank konvensional atau bank umum.
2.1.4. Konsep Laju inflasi
Orde baru mulai berkiprah pada tahun 1967 dan berakhir pada Mei 1998.
Pada awalnya
orde baru mewarisi
kondisi
perekonomian
yang tidak
menguntungkan dengan tingkat inflasi yang tinggi (600 % pertahun pada
tahun 1996) disamping tingkat kemunduran ekonomi dan pengangguran
yang parah. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaikkan
secara terus menerus atau dengan kata lain inflasi adalah proses kenaikan
harga-harga umum barang-barang secara terus menerus ini tidak berarti bahwa
harga-harga berbagai macam barang itu dengan persentase yang sama. Mungkin
dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan yang penting terdapat kenaikan
umum barang secara terus menerus selama satu periode.
Kenaikan harga Namun sejak tahun 1967 sampai menjelang akhir
kekuasaannya (1997), pemerintah orde baru bekerja keras dan mampu
menciptakan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 7 % per tahun. Namun
karena kesalahan dalam manajemen, perekonomian Indonesia terjerembab pada
tahun 1997 dengan adanya krisis moneter disusul dengan krisis ekonomi dan
akhirnya krisis politik. Tingkat inflasi menjadi tinggi (mendekati 100 % per
tahun) yang diperparah oleh merosotnya secara drastis kurs devisa yang berupa
jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan mata uang lainnya.
24
Cukup banyak definisi inflasi tetapi hingga kini belum diperoleh suatu
definisi yang baku yang disetujui oleh seluruh ahli ekonomi. Definisi inflasi
menurut beberapa penulis pada dasarnya sama yaitu antara lain : Inflasi adalah
kecenderungan dari harga-harga untuk menaikkan secara umum dan terusmenerus (Boediono, 2001). Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum
barang-barang secara terus-menerus ini tidak berarti bahwa harga-harga berbagai
macam barang itu naik denga presentase yang sama. Mungkin dapat terjadi
kenaikan tersebut tidaklah bersamaan yang penting terdapat kenaikan umum
barang secara terus-menerus selam satu periode. (Nopirin, 2000)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanpa ada kestabilan ekonomi,
perekonomian akan bekerja secara tidak efisien. Dalam kondisi ada inflasi
yang deras, jelas investasi akan tidak terjadi, bahkan kegiatan investasi
akan berubah menjadi spekulasi, produksi berkurang dan sangat besar
kemungkinannya diikuti oleh gejolak sosial dan politik
yang tidak
menguntungkan. Jadi kestabilan ekonomi akan saling tergantung satu sama lain.
Kestabilan ekonomi akan menciptakan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah, sehingga pembangunan ekonomi selanjutnya akan menjadi semakin
mantap. Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil perlu terlebih
dahulu diketahui penggolongan atau kategori apa inflasi yang sedang dihadapi,
dan penggolongan mana yang dipilih.
Penggolongan pertama menurut parah tidaknya inflasi, beberapa macam
inflasi : 1. Inflasi ringan (dibawah 10% setahun) 2. Inflasi sedang (antara
25
10 – 30% setahun) 3. Inflasi berat (antara 30 –100%) 4. Hiperinflasi (diatas
100%)
Penggolongan kedua adalah atas dasar sebab musabab awal dari inflasi.
Atas dasar ini kita bedakan 2 macam inflasi : (Boediono, 2001 : 156) 1. Inflasi
yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang tertentu kuat
(Demand Inflation) adalah inflasi yang timbul akibat adanya banyak permintaan
akan barang-barang konsumsi oleh masyarakat, karena permintaan masyarakat
(agregat demand) bertambah. 2. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya
produksi (Cost Push Inflation) adalah inflasi yang timbul karena berkurangnya
penawaran akibat kenaikan produksi pada gambar tersebut terlihat bila ongkos
produksi naik.
Inflasi sangat berpengaruh dengan permintaan kredit perbankan,
dikarenakan inflasi berarti juga kenaikan harga. Semakin naiknya harga, maka
seseorang akan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan, dan dalam
pemenuhan kebutuhan tersebut bisa dengan cara mengajukan permintaan kredit
dengan menggunakan asumsi suku bunga rill. Oleh karena itu maka dengan
adanya kenaikan inflasi maka permintaan akan kredit juga semakin meningkat,
sebagaimana dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Mochamad Faza Rifai
(2007).
Menurut Boediono (2001 : 156) dengan menggunakan asumsi suku
bunga riil jika terjadi inflasi naik maka expected profit akan mengalami kenaikan
dan permintaan kredit turut juga mengalami kenaikan, tetapi jika inflasi naik yang
diakibatkan dengan kenaikan nominal interest rate, sehingga permintaan kredit
26
juga akan naik. Dimana inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi
(Cost Push Inflation) adalah inflasi yang timbul karena berkurangnya penawaran
akibat kenaikan produksi.
2.1.5. Konsep Dasar Bagi Hasil
Persoalan bunga bank yang disebut sebagai riba telah menjadi bahan
perdebatan di kalangan pemikir dan fiqhi Islam. Untuk mengatasi persoalan
tersebut, sekarang umat Islam telah mencoba mengembangkan paradigma
perekonomian lama yang akan terus dikembangkan dalam rangka perbaikan
ekonomi umat dan peningkatan kesejahteraan umat Islam. Realisasinya adalah
berupa beroperasinya bank-bank yang tidak mendasarkan pada bunga, namun
dengan sistem bagi hasil.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1992, Bank berdasarkan
prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau BPR yang melakukan kegiatan usaha
semata-mata berdasarkan prinsip bagi Hasil. Oleh karena itu Bank Umum atau
BPR yang memperoleh ijin sebagai Bank Konvensional (Bank Umum), tidak
diperkenankan melakukan kegiatan perbankan dengan konsep bagi hasil. Lebih
lanjut, aturan yang berkaitan dengan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah
diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR
tanggal 12 Mei 1999 (Muhammad, 2004 : 6)
Disamping itu, terbitnya PP No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil
yang secara tegas memberikan batasan bahwa bank bagi hasil tidak
boleh
melakukan kegiatan usaha yang tidak berasaskan prinsip bagi hasil (bunga),
sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi
27
hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi
hasil.
Prinsip bagi hasil adalah prinsip yang berdasarkan syariah Islam yang
digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam : menetapkan imbalan
yang akan diperoleh pelanggan sehubungan dengan penggunaan dana pelanggan
yang dipercayakan kepadanya, menetapkan imbalan yang akan diterima
sehubungan dengan penyediaan dana kepada pelanggan baik dalam bentuk
pembiayaan maupun dalam bentuk investasi dan modal kerja.
Jadi pada dasarnya prinsip bagi hasil adalah suatu prinsip yang meliputi
tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana.
Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dan penyimpan dana maupun
antara bank dengan penerima dana dalam hal ini kreditur.
Dalam prinsip ini dikenal tiga istilah yang dikutip Muhammad (2004 : 9)
dari buku ”Pengenalan Umum Bank Syariah” yang ditulis oleh M. Syafi’i
Antonio, yaitu : Musyarakah, perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih
pemilik modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan dari
usaha tersebut dibagi sesuai dengan perjanjian antara pihak-pihak tersebut,
yang tidak harus sama dengan pangsa modal masing-masing. Mudharabah,
perjanjian antara pemilik modal (uang atau barang) dengan pengusaha. Dalam
perjanjian ini pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek atau
usaha dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan pembagian
hasil sesuai dengan perjanjian. Pemilik modal tidak dibenarkan membuat
usulan dan melakukan pengawasan. Apabila usaha yang diawasi mengalami
28
kerugian, maka kerugian tersebut sepenuhnya ditanggung pemilik modal, kecuali
kerugian itu terjadi karena penyelewengan atau penyalahgunaan pengusaha.
Kemudian Muzara’ah memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (prosentase) dari hasil panen.
Prinsip Mudharabah dijadikan dasar pengembangan produk tabungan dan
deposito (liability product). Sementara prinsip Musyarakah dan Muzara’ah
digunakan sebagai dasar pengembangan produk pembiayaan.
Jika dalam mekanisme ekonomi konvensional menggunakan instrumen
bunga, maka dalam mekanisme ekonomi Islam menggunakan instrumen bagi
hasil. Salah satu bentuk kelembagaan yang menerapkan instrumen bagi hasil
adalah bisnis dalam lembaga keuangan syariah. Menurut Ridwan (2004) bahwa
dalam penghimpunan dana maupun penyaluran dananya dengan menggunakan
prinsip syariah (bagi hasil) yakni menjalankan usaha di bidang jasa perbankan
menurut aturan perjanjian hukum islam, dengan memperoleh keuntungan bukan
berupa bunga tapi berupa bagi hasil. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh
Amelia Sandra (2002) yang meneliti prinsip bagi hasil di bank Syariah sebagai
pembangunan dunia usaha, dimana hasil penelitian menemukan bahwa perbankan
syariah memungkinkan untuk menghidupkan pengusaha skala menengah ke
bawah melalui kredit yang diberikan, hal ini disebabkan karena mereka masih
takut untuk meminjam uang ke bank karena rasa takut usahanya tidak berhasil
sehingga harus membayar cicilan dan bunga yang tinggi.
Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit
sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara
29
defenitif profit sharing diartikan sebagai distribusi beberapa bagian dari laba
pada para pegawai dari suatu perusahaan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal
itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba
yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran
mingguan atau bulanan.
Pada mekanisme kerja bank syariah, pendapatan bagi hasil berlaku untuk
produk-produk penyertaan, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagiansebagian, atau bentuk bisnis koorporasi (kerjasama). Pihak-pihak terlibat dalam
kepentingan bisnis, harus melalui transparasi dan kemitraan secara baik dan ideal.
Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang berkaitan dengan bisnis
penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang menjalankan proyek.
Inti mekanisme bagi hasil pada dasarnya adalah terletak pada kerja sama
yang baik antara shahibul mall dan mudharib. Kerjasama atau partnership
merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islam. Kerjasama ekonomi harus
dilakukan dalam semua lini kegiatan ekonomi, yaitu : produksi, distribusi barang
maupun jasa.
Adanya tuntutan perkembangan, menyebabkan Undang-undang Perbankan
Nomor 7 tahun 1992 kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Perbankan
Nomor 10 tahun 1998. Undang-undang ini melakukan revisi beberapa pasal yang
dianggap penting, dan merupakan aturan hukum secara leluasa menggunakan
istilah syariah dengan tidak lagi menggunakan istilah bagi hasil. Diantara
perubahan tersebut yang berkaitan langsung dengan keberadaan Bank Syariah
adalah : Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau
30
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan
pembiayaan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara
lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang
dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).
Untuk lebih jelasnya, perlu dipahami beberapa konsep dalam kegiatan
operasional Bank Syariah.
Konsep tersebut antara lain : Al-Wadiah adalah
merupakan sarana penyimpanan dana dengan pengelolaan berdasarkan prinsip
Al-Wadiah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan
media cek atau bilyet giro. Dengan prinsip tersebut tabungan nasabah akan
diinvestasikan bank secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada berbagai
jenis usaha dari usaha kecil dan menengah sampai pada tingkat korporat secara
profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Bank menjamin keamanan dana
nasabah secara utuh, dan ketersediaan dana setiap saat guna membantu kelancaran
transaksi. Manfaat tabungan Al-Wadiah adalah mempermudah transaksi bisnis
31
dan memberikan rasa aman serta terjaminnya dana, serta nasabah dapat
memperoleh bonus sesuai kebijakan bank.
Terdapat dua jenis Al-Wadiah, antara lain : Al-Wadiah Amanah, dimana
Pihak penyimpan tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan
barang yang disimpan, yang tidak diakibatkan oleh perbuatan atau kelalaian
penyimpan, dan yang kedua adalah Al-Wadiah Dhamanah, dimana Pihak
penyimpan dengan atau tanpa ijin pemilik barang dapat memanfaatkan barang
yang dititipkan dan bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan barang
yang disimpan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam
penggunaan barang tersebut menjadi hak pemakai.
Konsep yang kedua adalah Al-Mudharabah, yakni salah satu jenis
simpanan berdasarkan prinsip mudharabah al-muthlaqoh dan diperuntukkan
untuk nasabah yang menginginkan dananya diinvestasikan secara syariah. Dana
tersebut diinvestasikan secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada
berbagai jenis usaha dari usaha kecil dan menengah sampai pada tingkat
korporat secara profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Atas investasi dana
tersebut, akan diberikan bagi hasil sesuai nisbah yang telah disepakati bersama
antara Bank dan nasabah.
Perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha
Mudharabah merupakan hubungan berserikat antara dua pihak yaitu pemilik dana
atau harta dan pihak yang memiliki keahlian atau pengalaman. Pemilik modal
tidak dibenarkan ikut dalam pengelolaan usaha tetapi diperbolehkan membuat
usulan dan melakukan pengawasan. Apabila usaha yang dibiayai mengalami
32
kerugian, maka kerugian sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali
apabila kerugian tersebut karena penyelewengan atau penyalahgunaan pengusaha.
Konsep yang ketiga adalah Al-Musyarakah yakni perjanjian dua pihak atau
lebih pemilik modal untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan dari usaha
tersebut dibagi sesuai dengan persetujuan antara pihak-pihak tersebut. Dalam hal
kerugian, maka pembagian kerugian dilakukan sesuai dengan pangsa modal
masing-masing. Sistem musyarakah ini merupakan konsep dasar bagi Bank
Syariah. Di sini bank bukan saja sebagai pensuplai dana, akan tetapi juga sebagai
partner bagi nasabah. Hubungan antara bank dan nasabahnya merupakan
hubungan kerjasama bukan hubungan sebagai kreditur dan debitur sebagaimana
halnya dalam praktik bank umum yang lazim lainnya. Al-Murabah, adalah
persetujuan jual beli barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan
keuntungan yang disepakati bersama. Persetujuan tersebut juga meliputi cara
membayar sekaligus. Al-Ba’i Bithaman Ajil berarti pembelian dengan
pembayaran cicilan. Pembiayaan Bai Bithaman Ajil adalah pembiayaan yang
diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan barang modal.
Pembiayaan Bai Bitsaman Ajil mirip dengan Kredit Investasi yang diberikan oleh
bank-bank komersial dan karenanya pembiayaan ini berjangka waktu di atas satu
tahun (long run financing).
Persetujuan jual beli suatu barang dengan harga pasar sebesar harga
pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Persetujuan ini
termasuk pula jangka waktu pembayaran dan jumlah angsuran. Al-Qardhul-Hasan
atau Benevolent Loan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas
33
dasar kewajiban sosial semata-mata dan peminjam tidak dituntut untuk
mengembalikan kecuali modal pinjaman. Perjanjian pinjam meminjam uang atau
barang dengan tujuan untuk membantu penerima pinjaman. Penerima pinjaman
wajib mengembalikan hutangnya pada waktunya maka peminjam tidak boleh
dikenai sanksi. Atas kerelaannya, peminjam diperbolehkan memberikan
imbalan kepada pemilik uang atau barang, dan yang terakhir adalah penentuan
nisbah bagi hasil.
Berbeda dengan penentuan tingkat suku bunga, dimana seperti yang
dikemukakan sebelumnya bahwa tingkat suku bunga ditentukan dan dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Penentuan nisbah bagi hasil bagi bank Syariah dilakukan
oleh Dewan Syariah dengan mempertimbangkan unsur-unsur dalam pengelolaan
dana yang antara lain : biaya operasional dalam mengelola dana, laba perusahaan
dan pembagian keuntungan kepada pemilik (saham).
Dalam
kegiatan
perusahaan
keuntungan
ditentukan
dengan
cara
mengurangi berbagai biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang diperoleh.
Biaya yang dikeluarkan meliputi pengeluaran untuk bahan mentah, pembiayaan
upah, pembiayaan bunga, dan sewa tanah. Keuntungan merupakan pendapatan
total
dikurangi biaya total (Mankiw, 2003). Pendapatan total (total revenue)
adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjulan
produknya, sedangkan biaya total (total cost) adalah jumlah dana yang
dibelanjakan perusahaan untuk berbagai input untuk keperluan produknya. Dalam
teori ekonomi keuntungan mempunyai arti yang sedikit berbeda dengan
pengertian keuntungan dari segi pembukuan. Ditinjau dari sudut pembukuan
34
perusahaan keuntungan adalah perbedaan nilai uang dari hasil penjualan yang
deperoleh dengan seluruh biaya yang dikeluarkan.
Dalam teori ekonomi definisi itu dipandang terlalu luas karena tidak
mempertimbangkan ongkos tersembunyi yang tidak dibayar dengan uang
tetapi perlu dipandang sebagai bagian dari ongkos produksi. Pengeluaran
tersebut (ongkos
tersembunyi) meliputi pendapatan yang seharusnya dibayar
kepada para pengusaha yang menjalankan sendiri perusahaannya, tanah dan
modal sendiri yang digunakan, dan bangunan dan peralatan pabrik yang
dimiliki sendiri. Keuntungan menurut pembukuan bila dikurangi ongkos
tersebunyi akan menghasilkan keuntungan ekonomi atau keuntungan murni.
Dalam teori ekonomi yang dimaksud keuntungan adalah keuntungan ekonomi
(Sadono Sukirno, 2000). Teori dana internal (internal funds theory of investment)
mengatakan bahwa stok kapital yang diinginkan, bergantung pada tingkat
keuntungan.
Beberapa penjelasan tentang hal ini telah dikemukakan oleh sejumlah ahli
diantaranya adalah Jan Tinbergen dalam Muana Nanga, (2001)
mengatakan
bahwa keuntungan yang terjadi (realized profits) secara akurat merefleksikan
keuntungan yang diharapkan (expected profits). Karena permintaan modal
bergantung pada keuntungan yang diharapkan, maka permintaan modal adalah
berhubungan secara positif dengan realized profits.
Berdasarkan uraian tersebut dalam kaitannya dengan usaha kecil, maka
semakin besar tingkat keuntungan akan berpengaruh positif terhadap permintaan
modal kerja usaha kecil. Setiap perusahaan selalu berusaha memaksimumkan
35
keuntungannya, maka bila terjadi peningkatan keuntungan, pengusaha akan
terus meningkatkan penawaran barangnya. Untuk memenuhi peningkatan
jumlah penawaran barang tersebut perusahaan akan membutuhkan modal kerja
yang lebih besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makin tinggi tingkat
keuntungan yang diperoleh akan berpengaruh positif terhadap permintaan modal
kerja usaha kecil.
Amelia Sandra (2002) melakukan penelitian mengenai pengaruh bagi hasil
terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah sebagai alternatif pembangunan
dunia usaha. Hasil penelitiannya menemukan bahwa perbankan syariah
memungkinkan untuk menghidupkan pengusaha skala menengah ke bawah, yang
merasa takut untuk meminjam uang ke bank karena takut usahanya tidak
berhasil sehingga harus membayar cicilan dan bunga yang tinggi, karena baik
tingkat bunga maupun bagi hasil sama-sama merupakan biaya penggunaan modal
dan sama-sama mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan modal.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sudarsono (2003)
bahwa tingkat keuntungan usaha kecil berpengaruh terhadap probabilita
permintaan modal kerja usaha kecil. Semakin tinggi tingkat keuntungan maka
probabilita permintaan modal kerja meningkat, sebaliknya makin rendah tingkat
keuntungan maka probabilita permintaan modal kerja semakin rendah. Itulah
sebabnya bagi hasil mempunyai hubungan dengan probabilita permintaan kredit
modal kerja usaha kecil. Semakin tinggi rasio bagi hasil, maka probabilita
permintaan kredit modal kerja akan menurun, demikian sebaliknya makin rendah
rasio bagi hasil probabilita permintaan modal kerja akan meningkat. Dengan
36
demikian antara rasio bagi hasil dengan permintaan kredit usaha kecil mempunyai
hubungan yang negatif.
2.2. Studi Empiris
Untuk memudahkan penelitian ini maka penulis mengambil acuan dari
penelitian terdahulu. Adapun penelitian tersebut dilakukan oleh Jumhur (2006)
dengan judul Analisis Permintaan Kredit Modal Kerja Usaha Kecil di Kota
Semarang (Studi kasus Permintaan Modal Kerja Usaha Kecil Sektor Perdagangan
dari BMT), dimana hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa secara
keseluruhan model probabilita permintaan kredit modal kerja yang diestimasi
dengan model regresi logistik memberikan hasil baik dan perilaku empirik
variabel yang diteliti sesuai dengan ekspektasi perilaku teoritis bila dilihat
dari kesesuaian tandanya, kemudian tingkat keuntungan perbulan yang diperoleh
usaha kecil sektor perdagangan berpengaruh positif terhadap permintaan modal
kerja usaha kecil di kota Semarang, tapi tidak signifikan terhadap probabilita
permintaan kredit modal kerja dari BMT. Rasio bagi hasil yang diterapkan oleh
BMT berpengaruh negatif terhadap probabilita usaha kecil meminjam kredit
modal kerja dari BMT, karena rasio bagi hasil merupakan biaya penggunaan
dana oleh nasabah peminjam yang harus dikembalikan.
Moh. Faza Rifai (2007) dengan judul : Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Permintaan Kredit Perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa
Tengah (Periode 1990 – 2005). Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan
bahwa Hasil penelitian PDRB berpengaruh positif terhadap permintaan kredit
perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa Tengah, hasil penelitian
37
menunjukkan bahwa suku bunga riil kredit perbankan berpengaruh negatif
terhadap permintaan kredit perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa Tengah.
Secara bersama-sama variable independent yakni PDRB, tingkat suku bunga riil
kredit perbankan, dan laju inflasi serta dummy variabel krisis ekonomi
memberikan pengaruh nyata dan signifikan terhadap variable dependen yaitu
permintaan kredit perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa Tengah.
Amelia Sandra (2002) melakukan penelitian mengenai pengaruh bagi hasil
terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah sebagai alternatif pembangunan
dunia usaha. Hasil penelitiannya menemukan bahwa perbankan syariah
memungkinkan untuk menghidupkan pengusaha skala menengah ke bawah, yang
merasa takut untuk meminjam uang ke bank karena takut usahanya tidak
berhasil sehingga harus membayar cicilan dan bunga yang tinggi, karena baik
tingkat bunga maupun bagi hasil sama-sama merupakan biaya penggunaan modal
dan sama-sama mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan modal.
2.3. Kerangka Pikir
Salah faktor penunjang yang menjadi pertumbuhan bank konvensional dan
bank syariah dalam penyaluran kredit adalah permintaan kredit. Masalah
permintaan kredit antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah memiliki
perbedaan, dimana menurut Muhammad Safi’i Antonio dalam Jumhur (2006,
hal. 23) yang mengemukakan bahwa dalam penyaluran kredit menurut sistem
kredit menerapkan sistem bunga, sedangkan dalam melakukan penyaluran kredit
menurut sistem syariah adalah bagi hasil.
38
Adapun perbedaan bunga dengan bagi hasil adalah kalau sistem bunga
penentuan biaya ditentukan pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung,
sedangkan bagi hasil adalah penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat
pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Menurut
bagi hasil biasanya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang
dipinjamkan. Sedangkan menurut bagi hasil biasanya rasio bagi hasil berdasarkan
pada jumlah keuntungan yang diperoleh. Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah
untung atau rugi. Sedangkan bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang
dijalankan. Bila usaha merugi kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua
belah pihak. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah
keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “boming”, sedangkan jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Sedangkan pada sistem bunga maka eksistensi bunga diragukan (kalau tidak
dikecam) oleh semua agama termasuk islam. Sedangkan menurut bagi hasil tidak
ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
Bank Syariah adalam kegiatan operasionalnya tidak tergantung pada
tingkat suku bunga, karena sistem yang ada pada bank Syariah adalah sistem
bagi hasil. Walaupun ada semacam kekhawatiran yang melanda bank Syariah,
yakni dikhawatirkan sebagian nasabah penyimpan di bank Syariah akan
mengalihkan dananya pada bank Konvensional karena tingkat suku bunga di bank
Umum (Konvensional) mengalami kenaikan. Tetapi di sisi lain, bank Syariah
akan menjadi alternatif bagi para pengusaha yang membutuhkan pinjaman dana
39
untuk mengembangkan usahanya, karena mereka akan cenderung meminjam
dana di bank Syariah dengan sistem bagi hasil daripada harus meminjam di Bank
Umum dengan membayar bunga. Karena dengan sistem bagi hasil, mereka
tidak terlalu khawatir dengan adanya kebijakan Bank Indonesia untuk menaikkan
tingkat suku bunga dalam rangka mengendalikan laju inflasi di Indonesia.
Dengan adanya perbedaan penyaluran kredit menurut sistem konvensional
dengan sistem syariah maka perlu dilakukan pengujian secara komparatif
mengenai permintaan kredit menurut bank konvensional dengan bank syariah.
Menurut Muhammad Safi’i (2004, hal. 13) mengemukakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi permintaan kredit pada bank konvensional adalah PDRB,
suku bunga dan laju inflasi. Sedangkan Muhammad Safi’i dalam permintaan
kredit selain ditentukan PDRB dan laju inflasi juga ditentukan oleh bagi
hasil yang mempengaruhi permintaan kredit.
Melihat pernyataan yang dilakukan Muhammad Faza Rifai dan
Muhammad Safi’i, maka akan dilakukan pengujian pengaruh faktor (PDRB, laju
inflasi dan suku bunga) terhadap permintaan kredit dengan Bank Konvensional
dan pengujian pengaruh (PDRB, Inflasi dan bagi hasil) terhadap permintaan
kredit pada Bank Syariah.
Untuk lebih jelasnya akan disajikan kerangka pikir dalam penelitian ini
yaitu sebagai berikut :
40
PDRB
(X1)
Inflasi
(X2)
Permintaan kredit
Bank Syariah
Bagi hasil
(X3)
PDRB
(X1)
Permintaan kredit
Inflasi
(X2)
Bank Konvensional
Suku bunga
(X3)
2.4. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pikir dari penelitian ini,
maka akan disajikan beberapa hipotesis yaitu sebagai berikut :
1. Diduga bahwa PDRB, bagi hasil dan inflasi berpengaruh terhadap permintaan
kredit pada Bank Syariah.
2. Diduga PDRB, suku bunga dan inflasi berpengaruh terhadap permintaan
kredit pada Bank Konvensional.
3. Diduga ada perbedaan antara permintaan kredit Bank Syariah dengan Bank
Konvensional.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi obyek penelitian ini adalah pada perusahaan
perbankan yakni pada Bank Syariah dan Bank Konvensional yang berlokasi
di kota Makassar.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersifat kuantitatif yaitu data yang diperoleh dari perusahaan dalam bentuk
angka-angka dan masih perlu dianalisis kembali, yang meliputi data time
series dari tahun 2001-2010 tentang analisa komparatif statik terhadap
permintaan kredit pada Bank Syariah dan Bank konvensional di kota
Makassar.
Sedangkan data kualitatif meliputi beberapa hasil studi kepustakaan
dan artikel yang berguna bagi penelitian ini yang diperoleh dari BPS dan
Bank Indonesia, artikel-artikel dan tulisan-tulisan yang diperoleh dengan
fasilitas internet yang berguna bagi penelitian ini.
3.3 Metode Analisis
Berdasarkan uraian yang ada sebelumnya, maka model yang
digunakan adalah model regresi linier berganda :
42
3.3.1. Analisis regresi
a. Analisis regresi antara PDRB, bagi hasil dan laju inflasi terhadap
permintaan kredit Bank Konvensional dengan menggunakan rumus :
Y = βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ε
b. Analisis regresi antara PDRB, suku bunga, laju inflasi terhadap
permintaan kredit pada Bank Syariah dengan menggunakan rumus :
Y = βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ε
Dimana :
Y
= Permintaan kredit Bank Syariah/Bank Konvensional
X1
= PDRB
X2
= Suku bunga/bagi hasil
X3
= Laju inflasi
3.3.2. Analisis uji beda permintaan kredit menurut Bank Konvensional dengan
Bank Syariah
3.4 Definisi Variabel Operasional
Seperti telah dijelaskan di atas, maka batasan variabel dari penelitian
ini, antara lain :
1. PDRB adalah pendapatan atas faktor produksi yang dimiliki oleh
penduduk suatu wilayah/daerah ditambah penduduk asing yang berada
di wilayah/daerah tersebut.
2. Laju inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum barang-barang
secara terus menerus.
43
3. Tingkat
suku
bunga
adalah
harga
yang
dibayar
peminjam
(debitur) kepada pihak yang meminjam (kreditur) untuk pemakaian
sumber daya selama jangka waktu tertentu,
4. Bagi hasil adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif menggunakan rata-rata (mean), standar maximum dan
minimum PDRB, suku bunga, bagi hasil, inflasi, permintaan kredit Bank
Konvensional dan Bank Syariah dengan periode tahun pengamatan 2001 s/d tahun
2010. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan disajikan hasil olahan data statistik
deskriptif dengan menggunakan SPSS release 17 yang dapat disajikan pada
Tabel 4.1 berikut ini :
TABEL 4.1
STATISTIK DESKRIPTIF
N
PDRB(Harga
Konstant)
Suku Bunga Ril
Bagi Hasil
Inflasi
Permintaan Kredit
Bank Konvensional
Permintaan Kredit
Bank Syariah
Valid N (listwise)
Minimum
10
6633905
Maximum
Mean
Std.
Deviation
17892123 11349238.10 3333158.106
10
2.24
8.45
10
413000000 1880000000
10
3.70
7.85
10 47800000000
1.E11
5.7270
1.03E9
6.2940
7.88E10
1.78342
5.237E8
1.43616
3.310E10
10
3.61E10
2.891E10
7180000000 99500000000
10
Sumber : Lampiran 3
Tabel 4.1 yakni hasil olahan data statistik deskriptif, yang menunjukkan
bahwa untuk variabel PDRB (harga konstant) dengan periode pengamatan 10
tahun (2001 s/d tahun 2010) maka rata-rata (mean) PDRB pertahun sebesar
45
11.349.238,10 dengan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 3.333.158,11,
sedangkan nilai PDRB yang tertinggi sebesar 17.892.123 dan yang terendah
sebesar 6.633.905. Kemudian suku bunga rata-rata (mean) yang ditetapkan
pertahun sebesar 5,72% dengan standar deviasi sebesar 1,78%, sedangkan
tingkat suku bunga yang tertinggi sebesar 8,45% dan yang terendah
sebesar 2,24%, selanjutnya tingkat rata-rata (mean) bagi hasil pertahun sebesar
1.023.100.000 dengan standar deviasi sebesar 523.711.423,93. Sedangkan nilai
bagi hasil yang tertinggi sebesar 1.880.000.000 dan yang terendah sebesar
413.000.000.
Kemudian rata-rata (mean) inflasi sebesar 6,29% dengan standar deviasi
sebesar 1,44%, sedangkan tingkat inflasi yang tertinggi 7,85% dan yang
terendah sebesar 3,70%, sehingga permintaan kredit untuk Bank Konvensional
rata-rata (mean) pertahun sebesar 78.850.000.000 dengan standar deviasi
33.103.549.658,61 dan permintaan kredit yang terbesar adalah 132.000.000.000,
serta yang terendah sebesar 47.800.000.000. Kemudian rata-rata (mean)
permintaan kredit untuk Bank Syariah sebesar 36.168.000.000 dengan standar
deviasi sebesar 28.912.658.050,68 serta permintaan kredit yang tertinggi sebesar
99.500.000.000 dan yang terendah sebesar 7.180.000.000,-
4.2. Uji Asumsi Regresi
Sebelum dilakukan uji regresi, terlebih dahulu akan dilakukan uji asumsi
klasik. Dimana menurut Singgih, S. (2010, hal. 203) bahwa sebuah model regresi,
akan dapat dipakai untuk prediksi jika memiliki sejumlah asumsi yang disebut
dengan uji asumsi klasik. Oleh karena itulah dalam melakukan uji asumsi
46
klasik, yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
uji normalitas, uji multikolineritas, uji autokorelasi dan uji heterokesdastisitas.
Berikut ini akan dilakukan uji asumsi klasik yaitu sebagai berikut :
4.2.1. Uji Asumsi Normalitas
Sujianto dalam Agus (2009, hal. 77) menjelaskan bahwa uji distribusi
normal adalah uji untuk mengukur apakah data regresi memiliki distribusi
normal, sehingga dapat dipakai dalam statistik parametrik, sebab model regresi
linear berganda dapat disebut sebagai model yang baik, jika model tersebut
memenuhi asumsi normalitas data.
Dalam uji normalitas, metode yang digunakan dalam uji normalitas
adalah one sample kolmogorov-smirnov test. Menurut Agus (2009, hal, 83)
bahwa :
-
Nilai sig atau signifikan atau nilai probabilitas < 0,05, distribusi data adalah
tidak normal
-
Nilai sig atau signifikan atau nilai probabilitas > 0,05, distribusi data adalah
normal.
Sebelum dilakukan uji normalitas dengan one sample kolmogorov
smirnov, maka terlebih dahulu akan disajikan hasil olahan data dengan
menggunakan SPSS release 17 yang dapat disajikan pada Tabel 4.2 yaitu sebagai
berikut :
47
TABEL 4.2
HASIL OLAHAN DATA UJI NORMALITAS DENGAN
ONE SAMPLE KOLMOGOROV-SMIRNOV
Nama Variabel
Nilai Asimp
Batas
Penelitian
Sig (2 – tailed)
Tolerance
1.
PDRB (harga constant)
1,000
0,05
Data normal
2.
Suku bunga
0,972
0,05
Data normal
3.
Bagi hasil
0,986
0,05
Data normal
4.
Inflasi
0,287
0,05
Data normal
5.
Permintaan kredit Bank
0,589
0,05
Data normal
0,564
0,05
Data normal
No.
Konvensional
6.
Keputusan
Permintaan kredit Bank
Syariah
Sumber : Lampiran 4
Tabel 4.2 yakni hasil uji normalitas dengan one sample kolmogorovsmirnov dimana dapat dikatakan bahwa keenam variabel (PDRB, suku bunga,
bagi hasil, inflasi, permintaan kredit Bank Konvensional, permintaan kredit
Bank Syariah). Dimana memiliki nilai asymp sig (2 – tailed) lebih besar dari 0,05,
sehingga dapatlah dikatakan bahwa bank yang diteliti memiliki distribusi
yang normal, karena semuanya memiliki distribusi data yang normal maka
variabel yang akan digunakan dapat diolah lebih lanjut.
4.2.2. Uji Multikolineritas
Multikolineritas timbul sebagai akibat adanya hubungan kausal antara
dua variabel bebas atau lebih atau adanya kenyataan bahwa dua variabel
penjelas atau lebih bersama-sama dipengaruhi oleh variabel ketiga, yang berada
di luar model. Menurut Agus (2009, hal. 78) yang menyatakan jika nilai
48
variance inflation factor (VIF) tidak lebih dari 10 maka model terbebas dari
multikolineritas.
Berikut ini akan disajikan hasil olahan data uji multikolineritas
dengan menggunakan SPSS release 17 yang dapat disajikan pada tabel 4.3 yaitu
sebagai berikut :
TABEL 4.3
UJI MULTIKOLINERITAS DENGAN SPSS RELEASE 17
Nama
Model I
Model II
VIF
No.
Keputusan
Variabel
1.
PDRB
Tolerance
VIF
Tolerance
VIF
Standar
0,760
1,316
0,349
2,863
10
Tidak ada gejala
multikolineritas
2.
3.
Suku bunga
riil
Bagi hasil
0,440
2,274
-
-
10
Tidak ada gejala
multikolineritas
-
-
0,218
4,581
10
Tidak ada gejala
multikolineritas
4.
Inflasi
0,521
1,921
0,475
2,106
10
Tidak ada gejala
multikolineritas
Sumber : Lampiran 8 dan lampiran 9
Berdasarkan Tabel 4.3 yakni hasil uji multikolineritas ternyata nilai
VIF dari setiap variabel penelitian baik yang akan digunakan dalam model
pengujian regresi 1 dengan model pengujian regresi 2 tidak ada yang melebihi 10
berarti data penelitian ini terbebas dari masalah multikolineritas.
49
4.2.3. Uji Asumsi Autokorelasi
Uji asumsi autokorelasi adalah korelasi yang terjadi diantara output
observasi, biasanya terjadi pada data time series. Oleh karena itulah dalam uji
asumsi autokorelasi digunakan dengan metode Run test. Alasannya menggunakan
metode tersebut, karena metode Run Test lebih akurat dalam mendeteksi nilai
residual yang memiliki korelasi yang tinggi. Menurut Ghozali (2009, hal. 108)
bahwa nilai sig yang kurang dari 0,05, dapatlah disimpulkan terjadi autokorelasi
antara nilai residual.
Dalam hubungannya dengan uraian tersebut di atas, akan disajikan
hasil olahan data Run Test dengan menggunakan SPSS release 17 yaitu sebagai
berikut :
TABEL 4.4
UJI AUTOKORELASI
Unstandardized
Unstandardized
Residual(Bank Konvensional) Residual(Bank Syariah)
Test Valuea
6.66752E8
-1.71091E8
Cases < Test Value
5
5
Cases >= Test Value
5
5
10
10
8
5
1.006
-.335
.314
.737
Total Cases
Number of Runs
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Sumber : Lampiran 7
50
Berdasarkan tabel 4.4 yakni hasil uji autokorelasi dengan menggunakan
metode Run Test, ternyata untuk model pengujian regresi 1 yang memiliki nilai
Asimp sig (2 – tailed) yang lebih besar dari 0,05, berarti dapatlah disimpulkan
bahwa model regresi pertama tidak memiliki persoalan autokorelasi. Selanjutnya
uji autokorelasi model 2 memiliki nilai asimp sig 0,737 sehingga dapatlah
disimpulkan bahwa model regresi 2 tidak memiliki persoalan auto korelasi.
Alasannya karena memiliki asimp sig (2 – tailed) yang lebih besar dari 0,05.
4.2.4. Uji Heterokesdastisitas
Uji heterokesdastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Oleh karena itulah dalam pengujian ini digunakan uji
glesjer, dengan ketentuan bahwa dari probabilitas signifikan di atas tingkat
kepercayaan 5%. Jadi dapat disimpulkan bahwa model regresi
tidak
mengandung adanya heterokesdastisitas jika lebih besar dari batas tolerance.
Adapun hasil olahan data uji heterokesdastisitas dalam model regresi yaitu
sebagai berikut :
51
TABEL 4.5
UJI HETEROKESDASTISITAS DENGAN MENGGUNAKAN SPSS REL. 17
No.
Nama Variabel
Model 1
Model 2
1.
PDRB
(Sig)
0,165
(Sig)
0,735
2.
Suku bunga riil
0,767
-
3.
Bagi hasil
-
0,415
4.
Inflasi
0,358
0,540
Keputusan
Tidak ada gejala
heterokesdastisitas
Tidak ada gejala
heterokesdastisitas
Tidak ada gejala
heterokesdastisitas
Tidak ada gejala
heterokesdastisitas
Sumber : Data diolah dengan menggunakan SPSS
Tabel 4.5 yakni hasil uji heterokesdastisitas dengan menggunakan
SPSS release 17 ternyata nilai asimp sig yang terdapat dalam setiap variabel
baik pada model 1 maupun model 2 tidak ada yang memiliki nilai sig < 0,05,
hal ini menunjukkan bahwa variabel yang ditekankan baik yang ada dalam
model 1 maupun pada model 2 tidak memiliki gejala heterokesdastisitas.
4.3. Analisis Regresi
Analisis regresi bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara variabel
bebas (independent) dengan variabel terikat (dependent). Oleh karena itulah
dalam pengujian regresi dapat dibagi atas 2 model regresi yaitu menganalisis
PDRB, suku bunga, dan inflasi terhadap permintaan kredit pada bank
Konvensional (Model 1) dengan menguji pengaruh antara PDRB, bagi hasil,
dan inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah (Model 2).
Berikut ini akan disajikan hasil olahan data regresi yang dapat dilihat
pada tabel 4.6 berikut ini :
52
53
Berdasarkan Tabel 4.6 yakni hasil olahan data regresi dengan
menggunakan SPSS release 17, maka selanjutnya akan dapat disajikan hasil
pengujian regresi yang dapat diuraikan sebagai berikut :
4.3.1. Uji pengaruh antara PDRB, suku bunga, inflasi terhadap permintaan
kredit Bank Konvensional
Uji regresi digunakan untuk menguji seberapa besar pengaruh antara
PDRB, suku bunga, inflasi terhadap permintaan kredit khususnya pada Bank
Konvensional. Oleh karena itulah, sesuai dengan persamaan 3.3.1 bagian a, maka
yang menjadi persamaan regresi dengan menggunakan SPSS yaitu :
Y = 59447719826,55 + 0,924X1 - 0,230X2 - 0,417X3
(3,432) (15,243) (-2,886)
(-5,687)
Berdasarkan hasil persamaan regresi yang telah dikemukakan di atas,
maka diperoleh nilai R = 0,992, R Square = 0,983, Adjusted Rsquare = 0,875,
Fhit
= 117,302, maka dapatlah dikatakan bahwa PDRB berpengaruh positif
terhadap permintaan kredit Bank Konvensional, sedangkan suku bunga dengan
tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit pada Bank
Konvensional. Dengan kata lain semakin tinggi suku bunga dan inflasi maka
permintaan kredit akan semakin turun. Dalam hubungannya dengan uraian
tersebut di atas, akan disajikan hasil uji parsial untuk regresi antara PDRB, suku
bunga dan inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional yang dapat
diuraikan sebagai berikut :
a) Pengaruh PDRB terhadap permintaan kredit Bank Konvensional
Pengaruh antara PDRB dengan permintaan kredit pada Bank Konvensional
dapat dikatakan berpengaruh positif. Kemudian dengan nilai sig = 0,000 yang
54
lebih kecil dari 0,05, dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,924, berarti dapat
dikatakan bahwa PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan
kredit pada Bank Konvensional.
b) Pengaruh Suku Bunga dengan Permintaan Kredit Bank Konvensional
Berdasarkan hasil uji regresi, maka dapatlah dikatrakan bahwa suku bunga
berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional.
Dengan kata lain semakin tinggi suku bunga maka permintaan kredit di Bank
Konvensional semakin turun. Selanjutnya dilihat dari nilai sig = 0,028 < 0,05
dengan koefisien regresi sebesar
-0,230, hal ini berarti ada pengaruh yang
negatif dan signifikan antara suku bunga dengan permintaan kredit di Bank
Konvensional.
c) Pengaruh Inflasi terhadap permintaan kredit di Bank Konvensional
Regresi antara inflasi dengan permintaan kredit di Bank Konvensional
dapat dikatakan berpengaruh negatif, sedangkan dengan nilai sig 0,001 < 0,05
dengan nilai koefisien regresi sebesar -0,417, berarti dapat disimpulkan ada
pengaruh yang negatif antara inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank
Konvensional. Ada dua hal dalam konsep teori inflasi, dimana dengan
menggunakan asumsi suku bunga riil jika terjadi inflasi naik maka expected profit
akan mengalami kenaikan dan permintaan kredit turut juga mengalami kenaikan,
tetapi jika inflasi naik dan hasil olahan data regresi negatif, hal ini disebabkan
karena nominal interest rate naik sehingga permintaan kredit juga akan naik. Hal
ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Boediono (2001 : 156)
menyatakan bahwa inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi (Cost
55
Push Inflation) adalah inflasi yang timbul karena berkurangnya penawaran akibat
kenaikan produksi.
Selanjutnya dilihat dari nilai R = 0,992, hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang kuat dan positif antara PDRB, suku bunga, inflasi dengan
permintaan kredit pada Bank Konvensional. Kemudian dilihat dari nilai
adjusted Rsquare = 0,983. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan
pengaruh
variabel
independent
(PDRB,
suku
bunga,
inflasi)
terhadap
permintaan kredit pada Bank Konvensional mampu menjelaskan sebesar 98,30%
(0,983 x 100), sehingga dari hasil uji serempak (uji F) diperoleh Fhitung = 117,302
dengan nilai sig = 0,000. Hal ini membuktikan bahwa PDRB, Suku bunga dan
inflasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap permintaan kredit Bank
Konvensional.
4.3.2. Uji Regresi antara PDRB, Bagi hasil, Inflasi terhadap Permintaan
Kredit Bank Syariah
Uji regresi digunakan untuk menguji pengaruh antara PDRB, bagi hasil
dan inflasi terhadap permintaan kredit Bank Syariah, dengan persamaan regresi
3.3.1 bagian b :
Y = -26.833.522,718 + 1,180X1 - 0,380X2 - 0,251X3
(-1,807) (10,693) (-2,722) (-2,650)
Berdasarkan hasil persamaan regresi yang telah dikemukakan di atas,
maka diperoleh nilai R = 0,987, R Square = 0,974, Adjusted Rsquare = 0,962,
Fhit
= 76,303, maka dapatlah dikatakan bahwa PDRB berpengaruh positif
terhadap permintaan kredit Bank Syariah, sedangkan bagi hasil dengan tingkat
56
inflasi berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah.
Dengan kata lain semakin tinggi bagi hasil dan inflasi maka permintaan kredit
akan semakin turun. Dalam hubungannya dengan uraian tersebut di atas, akan
disajikan hasil uji parsial untuk regresi antara PDRB, bagi hasil dan inflasi
terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah yang dapat diuraikan sebagai
berikut :
1) Pengaruh PDRB terhadap Permintaan Kredit pada Bank Syariah
Pengaruh PDRB terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah,
setelah dilakukan uji regresi ternyata berpengaruh positif. Dengan kata lain
semakin tinggi PDRB maka akan semakin tinggi pula permintaan kredit pada
Bank Syariah. Kemudian dilihat dari nilai sig = 0,000 < 0,05 dengan nilai
koefisien regresi sebesar 1,180 berarti ada pengaruh yang positif dan signifikan
PDRB terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah.
2) Pengaruh Bagi Hasil terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah
Regresi antara bagi hasil dengan permintaan kredit pada Bank Syariah
ternyata berpengaruh negatif, dimana semakin tinggi bagi hasil dikenakan kepada
nasabah yang mengambil kredit di Bank Syariah maka permintaan kredit
akan semakin turun. Selanjutnya dilihat dari nilai sig 0,035 yang lebih kecil
dengan batas tolerance 0,05, dengan nilai koefisien regresi sebesar -0,380 berarti
ada pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap permintaan kredit pada
Bank Syariah.
57
3) Pengaruh Inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah
Berdasarkan hasil uji regresi antara inflasi dengan permintaan kredit
pada Bank Syariah maka dapatlah disimpulkan ada pengaruh yang negatif
antara inflasi dengan permintaan kredit pada Bank Syariah. Kemudian dilihat
dari hasil sig = 0,038 < 0,05 dengan nilai koefisien regresi sebesar -0,251, berarti
ada pengaruh signifikan dan negatif antara inflasi dengan permintaan kredit pada
Bank Syariah.
Ada dua hal dalam konsep teori inflasi, dimana dengan menggunakan
asumsi suku bunga riil jika terjadi inflasi naik maka expected profit akan
mengalami kenaikan dan permintaan kredit turut juga mengalami kenaikan, tetapi
jika inflasi naik dan hasil olahan data regresi negatif, hal ini disebabkan karena
nominal interest rate naik sehingga permintaan kredit juga akan naik. Hal ini
sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Boediono (2001 : 156) menyatakan
bahwa inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi (Cost Push Inflation)
adalah inflasi yang timbul karena berkurangnya penawaran akibat kenaikan
produksi.
Kemudian dilihat dari nilai R = 0,987, hal ini dapat diartikan bahwa
korelasi antara PDRB, bagi hasil dan inflasi memiliki hubungan yang kuat sebab
nilai r mendekati 1. Selanjutnya dilihat dari nilai Adjusted R Square = 0,962
yang artinya prosentase sumbangan pengaruh variabel independen (PDRB, bagi
hasil dengan inflasi) terhadap variabel dependen (permintaan kredit Bank Syariah)
sebesar 96,20% (0,962 x 100), selanjutnya dilihat dari hasil uji simultan dengan
menggunakan Fhitung = 76,303 dan nilai sig = 0,000, karena nilai sig < 0,05
58
berarti secara bersama-sama ada pengaruh antara PDRB, Bagi hasil dan inflasi
terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah.
4.4. Uji Beda
Salah satu tujuan yang dilakukan dalam uji beda adalah untuk menguji
perbedaan permintaan kredit antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah.
Sehingga dalam uji beda digunakan dengan metode Paired Samples Statistics.
Berdasarkan uraian tersebut di atas akan disajikan hasil olahan data uji beda
yang dapat dilihat melalui tabel berikut ini :
TABEL 4.7
HASIL UJI BEDA DENGAN PAIRED SAMPLES STATISTICS
Mean
Pair 1 Permintaan Kredit Bank
N
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
7.88E10
10
3.310E10
1.047E10
3.61E10
10
2.891E10
9.143E9
Konvensional
Permintaan Kredit Bank
Syariah
Sumber : Lampiran 10
Menurut Dwi (2010, hal. 41) yang menyatakan bahwa jika nilai
signifikan > 0,05 berarti tidak ada perbedaan antara permintaan kredit Bank
Konvensional dengan Bank Syariah, sedangkan nilai sig < 0,05 berarti ada
perbedaan antara permintaan kredit Bank Konvensional dengan Bank Syariah,
sehingga dari hasil pengujian dengan sig (2 – tailed) sebesar 0,000 < 0,05 berarti
59
dapatlah disimpulkan ada perbedaan yang signifikan antara permintaan kredit
pada Bank Konvensional dengan Bank Syariah.
4.5. Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini ditekankan dalam menguji pengaruh
PDBR,
suku
bunga,
inflasi
terhadap
permintaan
kredit
pada
Bank
Konvensional dan pengaruh PDRB, bagi hasil dan inflasi terhadap permintaan
kredit pada Bank Syariah.
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan ternyata semuanya
berpengaruh secara signifikan baik permintaan kredit pada Bank Konvensional
maupun permintaan kredit pada Bank Syariah. Hal ini dapat diuraikan sebagai
berikut :
4.5.1. Pengaruh PDRB, Suku bunga dan Inflasi terhadap Permintaan Kredit
di Bank Konvensional
a) Pengaruh PDRB terhadap Permintaan Kredit
Dari hasil pengujian regresi, khususnya yang berkaitan dengan PDRB
dengan permintaan kredit pada Bank Konvensional, dimana dapat dikatakan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan kredit pada bank
Konvensional. Menurut Mochamad Faza Rifai (2007) bahwa PDRB berhubungan
erat dengan permintaan kredit, hal ini disebabkan karena dengan adanya
kenaikan PDRB maka tingkat konsumsi masyarakat akan semakin meningkat,
oleh sebab itu jika PDRB meningkat maka permintaan kredit akan meningkat
guna mencukupi tingkat konsumsi yang dihadapi oleh masyarakat.
60
Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, ternyata
ada pengaruh yang signifikan antara PDRB dengan permintaan kredit. Dimana
semakin tinggi PDRB maka akan secara langsung permintaan kredit meningkat,
oleh karena itulah dalam penelitian ini sejalan dengan teori yang sebagaimana
dikemukakan oleh Mochamad Faza Rifai, sehingga hipotesis yang diajukan
terbukti.
b) Pengaruh Suku bunga terhadap permintaan kredit pada Bank
Konvensional
Hasil pengujian regresi, yang menunjukkan ada pengaruh yang signifikan
dan negatif antara tingkat suku bunga riil dengan permintaan kredit pada Bank
Konvensional. Dimana semakin tinggi tingkat suku bunga maka permintaan
kredit akan semakin turun, hal ini sejalan dengan teori suku bunga riil yang
sebagaimana dikemukakan oleh Boediono (2007) bahwa jika tingkat suku
bunga riil yang tinggi daripada keuntungan yang diharapkan dengan penggunaan
dana maka pengusaha tidak akan mengadakan investasi, tetapi sebaliknya
bila keuntungan yang diharapkan lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat
bunga riil tersebut maka pengusaha akan mengadakan investasi.
Sedangkan dari hasil penelitian ternyata diketahui bahwa semakin tinggi
suku bunga maka permintaan kredit akan turun, sehingga dalam penelitian ini
sejalan dengan teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Budiono. Dan selain itu
dari hasil penelitian sejalan dengan hipotesis yang telah dikemukakan.
61
c) Pengaruh inflasi terhadap permnintaan kredit pada Bank Konvensional
Berdasarkan hasil pengujian inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank
Konvensional, dimana dari hasil penelitian yang menemukan ada pengaruh
negatif antara inflasi dengan permintaan kredit. Dengan kata lain semakin tinggi
inflasi maka permintaan kredit akan semakin turun.
Kemudian Boediono (2001) bahwa inflasi adalah proses kenaikan harga
unit barang secara terus menerus, sehingga tanpa kestabilan ekonomi,
perekonomian akan bekerja secara efisien. Dalam kondisi tersebut terjadi
inflasi yang deras, jelas investasi menyebabkan permintaan kredit akan turun,
sedangkan dari hasil penelitian ini ternyata ada kecenderungan inflasi yang
tinggi akan menyebabkan permintan kredit akan turun, sehingga dari hasil
penelitian ini mendukung teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Boediono,
dan selain itu hipotesis yang diajukan terbukti.
4.5.2. Pengaruh PDRB, Bagi hasil dan inflasi terhadap Permintaan Kredit
pada Bank Syariah
a) Pengaruh PDRB terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ternyata ditemukan
ada pengaruh yang signifikan dan positif antara PDRB dengan permintaan
kredit pada Bank Syariah. Alasannya karena dengan kenaikan PDRB berarti
tingkat konsumsi masyarakat akan meningkat, sehingga masyarakat akan
mencukupi tingkat konsumsinya melalui permintaan kredit (Mochamad Faza
Rifai, 2005), sehingga dalam penelitian ini mendukung teori yang sebagaimana
dikemukakan oleh Mochamad Faza Rifai.
62
b) Pengaruh bagi hasil terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah
Dari hasil pengujian regresi antara bagi hasil dengan permintaan
kredit, ternyata ada pengaruh yang negatif dan signifikan. Dimana semakin
tinggi bagi hasil yang ditetapkan oleh Bank Syariah maka permintaan kredit
akan semakin turun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Amelia Sandra (2002) bahwa perbankan Syariah
memungkinkan
untuk menghidupkan skala menengah kebawah yang merasa takut untuk
meminjam uang ke bank karena takut usahanya tidak berhasil, sehingga harus
membayar cicilan dan bunga yang tinggi, karena baik tingkat suku bunga
maupun bagi hasil sama-sama merupakan penggunaan modal dan sama-sama
mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan modal. Lebih lanjut
menurut Susanto (2003) bahwa semakin tinggi rasio bagi hasil maka
permintaan modal kerja akan menurun. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh penulis ternyata menemukan ada pengaruh yang signifikan dan
positif
antara bagi hasil dengan permintaan kredit di Bank Syariah. Dari
hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Amelia
Sandra dan Susanto, dan selain itu dari hasil penelitian ini mendukung hipotesis
yang telah dikemukakan sebelumnya.
c) Pengaruh inflasi dengan permintaan kredit pada bank Syariah
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang menunjukkan ada pengaruh
yang negatif antara inflasi dengan permintan kredit pada Bank Syariah. Hal ini
sejalan dengan teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Boediono (2007)
bahwa tingginya inflasi akan menyebabkan turunnya investasi, dengan turunnya
63
investasi akan mendorong turunnya permintaan kredit pada Bank Syariah,
sehingga dari hasil penelitian ini mendukung teori yang sebagaimana
dikemukakan oleh Boediono.
64
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka akan disajikan beberapa
kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1) Pengaruh PDRB terhadap permintaan kredit bank pada Bank Konvensional
maupun Bank Syariah berpengaruh positif dan signifikan. Dengan demikian
hipotesis terbukti.
2) Dari hasil uji regresi antara inflasi, yang menunjukkan ada pengaruh yang
negatif dan signifikan antara inflasi dengan permintaan kredit khususnya
pada Bank Konvensional dengan Bank Syariah, dengan demikian hipotesis
terbukti.
3) Hasil uji regresi suku bunga dengan permintaan kredit pada Bank
Konvensional berpengaruh negatif dan signifikan. Sedangkan bagi hasil
dengan permintaan kredit pada Bank Syariah berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. Dengan demikian
hipotesis yang diajukan terbukti.
4) Berdasarkan hasil uji beda permintaan kredit pada Bank Konvensional
dengan Bank Syariah, dimana ada perbedaan yang signifikan antara
permintaan
kredit pada Bank Konvensional dengan Bank Syariah. Salah
satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan kredit Bank Konvensional
menetapkan tingkat suku bunga yang dikenakan kepada nasabah, sedangkan
Bank Syariah menekankan pada konsep bagi hasil.
65
5.2. Saran-saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan hasil
kesimpulan ini adalah sebagai berikut :
1) Disarankan agar Bank Konvensional menetapkan tingkat suku bunga yang
lebih rendah, sehingga akan meningkatkan permintan kredit di masa-masa
yang akan datang.
2) Disarankan agar Bank Syariah menetapkan bagi hasil yang dapat
memberikan keuntungan bagi nasabah, sehingga akan mendorong peningkatan
permintaan kredit di masa yang akan datang.
66
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul, 2007, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, cetakan pertama,
penerbit : Alfabet, Jakarta
Antonio dan Perwataatmadja, 1997, Apa dan Bagaimana Bank islam, Penerbit :
Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Boediono, 2005, Pengantar Ekonomi, edisi keempat, cetakan ketiga, penerbit :
BPFE, Yogyakarta
Christopher, 2008, Mikro ekonomi Intermediate dan Aplikasinya, edisi
kedelapan, penerbit : Erlangga, Jakarta.
Iskandar, Putu, 2007, Ekonomi Mikro dan Makro, Edisi Kedua, Penerbit: Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Jumhur, 2006, Analisis Permintaan Kredit Modal Kerja usaha Kecil di Kota
Semarang (Studi Kasus Permintaan Modal Kerja Usaha Kecil Sektor
Perdagangan dari BMT). Skripsi Universitas Diponegoro, Semarang.
Mohammad Faza Rifai, 2007, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Permintaan Kredit Perbankan pada Bank Umum di Provinsi Jawa
Tengah. Skripsi Universitas Islam Indonesia, Fakultas Ekonomi
Mankiw. N. Gregore, 2003, Teori Makro Ekonomi, edisi kelima, Alih Bahasa
Imam Nurmawan, Harvart University.
Muhammad, 2004, Manajemen Dana Bank Syariah, cetakan pertama, Penerbit :
Ekonisia, Yogyakarta
Muana, Nunga, 2001, Makro Ekonomi, Cetakan Pertama, Penerbit : PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Sukirno, Sadono, 2002, Pengantar Teori Makro Ekonomi, penerbit : PT.
Radja Grafindo Persada Rajawali, Jakarta
Suparmoko, 2002, Ekonomi Publik Untuk Keuangan Dan Pembangunan
Daerah, edisi pertama, Penerbit : Andi Yogyakarta
Sugiarto, 2002, Strategi Manajemen Bank Kredit, Penerbit : Damar Mulia
Pustaka, Jakarta.
Teguh Pudjo Mulyono, 2004, Manajemen Perkreditan, edisi ketiga, cetakan
pertama, Penerbit : BPFE, Gadjah Mada, Yogyakarta
67
Undang-undang Perbankan No. 14 tahun 1998, edisi pertama, cetakan
pertama, Penerbit : Rajawali Pers, Jakarta
Warkum, S. 1996, Asas-asas Perbankan Islam dan lembaga-lembaga Terkait
(BAMUI & Takaful), Penerbit : Rajawali Pers, Jakarta.
68
69
Download