BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi di suatu negara sangat bergantung oleh adanya perkembangan dinamis dan kontribusi nyata di sektor perbankan, alasannya karena kontribusi sektor perbankan berperan penting dalam menggerakkan roda perekonomian di suatu negara. Hal ini dapat dilihat ketika sektor perbankan terpuruk yang disebabkan oleh adanya krisis moneter (tahun 1997 – tahun 1998), dimana dengan terpuruknya sektor perbankan mengakibatkan tingkat perekonomian Indonesia yang berjalan normal. Oleh karena itulah fungsi dan peran sektor perbankan dalam pembangunan ekonomi sangatlah berpengaruh, sebab sektor perbankan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Pentingnya fungsi dan peran sektor perbankan dalam pertumbuhan ekonomi, sehingga lembaga keuangan yang berperan adalah bank umum (commercial bank). Bank Umum memiliki peranan yang sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional, alasannya karena kurang lebih 95% dana pihak ketiga dikelolah oleh bank, selanjutnya selain bank umum juga ditentukan oleh fungsi dan peran Bank Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), namun dalam penelitian ini yang akan dijadikan pokok pembahasan adalah Bank Umum dan Bank Syariah. Alasannya karena kedua jenis sektor bank memiliki kontribusi yang sangat besar dalam melakukan penyaluran kredit kepada nasabah. 1 Fungsi dan peran Bank Umum dan Bank Syariah, nampak memiliki perbedaan dimana Bank Umum melakukan aktivitas usaha secara konvensional (UU. No. 10 tahun 1990), sedangkan menurut Muhamad (2004, hal. 13) Bank Syariah beroperasi dengan tidak mengandalkan bunga atau tanpa bunga. Dengan adanya perbedaan dalam menjalankan kegiatan operasional yakni antara Bank Umum dan Bank Syariah mengakibatkan adanya perbedaan dalam penyaluran kredit. Masalah penyaluran kredit berperan untuk membantu masyarakat dalam melakukan investasi, distribusi dengan konsumsi barang dan jasa, mengingat semua investasi, distribusi dan konsumsi berkaitan dengan uang maka akan berdampak terhadap kelancaran kegiatan pembangunan perekonomian masyarakat. Oleh karena itulah dalam melaksanakan penyaluran kredit antara Bank Umum dengan Bank Syariah sangat ditentukan oleh adanya permintaan kredit. Permintaan kredit antara Bank Umum dengan Bank Syariah terjadi perbedaan, dimana menurut Muhammad Safi’i Antonio dalam Jumhur (2006, hal. 23) yang mengemukakan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan permintaan kredit menurut Bank Umum dengan Bank Syariah adalah Bank Konvensional menerapkan sistem bunga dan bank syariah menggunakan bagi hasil. Dengan adanya permintaan dalam penyaluran kredit yakni antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah maka perlu dilakukan studi komparatif permintaan kredit menurut bank konvensional dengan bank syariah. 2 Komparatif statik adalah suatu model penelitian yang dilakukan dengan membandingkan salah satu variabel pada sistem persamaan sebagai variabel instrument, selain itu menggunakan suatu variabel baru dan menambahkannya kedalam sistem persamaan tersebut, yang dilakukan dengan cara menurunkan sistem tersebut terhadap variabel instrument. Kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kredit untuk bank konvensional (Bank Umum), menurut Mochammad Faza Rifai (2007, hal. 88) bahwa permintaan kredit untuk bank umum sangat ditentukan oleh PDRB, suku bunga riell dan laju inflasi. Dimana dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mochammad Faza Rifai yang meneliti faktor yang mempengaruhi permintaan kredit bank pada Bank Umum, Provinsi Jawa Tengah yang menemukan ada pengaruh yang signifikan antara PDRB, suku bunga rieel dan laju inflasi. Selanjutnya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Yusuf (2005) yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kredit konsumtif adalah penentuan desain utama yang menunjukkan bahwa faktor PDRB, suku pinjaman berpengaruh signifikan terhadap permintaan kredit konsumtif. Sedangkan tingkat inflasi dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit. Dalam hubungannya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mochammad Faza Rifai dan Muhammad Yusuf, maka penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah meneliti permintaan kredit antara bank konvensional dengan bank syariah, dimana perbedaan yang dilakukan oleh 3 Muhammad Yusuf dan Mochmmad Faza Rifai dengan yang dilakukan oleh penulis adalah kedua penelitian terdahulu hanya menfokuskan pada Bank Umum sedangkan yang dilakukan oleh penulis menfokuskan pada Bank Konvensional dan Bank Syariah. Dimana faktor yang mempengaruhi permintaan kredit pada Bank Konvensional adalah PDRB, tingkat suku bunga dan laju inflasi, sedangkan faktor yang mempengaruhi permintaan kredit pada bank syariah adalah PDRB, laju inflasi dan bagi hasil. Melihat dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kredit menurut bank konvensional dan bank syariah. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan data permintaan kredit pada Bank Konvensional dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2010 meningkat sebesar Rp.132.000.000.000.000, sedangkan permintaan kredit pada Bank Syariah pada tahun 2010 sebesar Rp. 99.500.000.000.000. sehingga dengan adanya perbedaan tersebut maka penulis tertarik untuk membahas tema ini lebih jauh dengan memilih judul : “Analisis Komparatif Statik terhadap Permintaan Kredit pada Bank Syariah dan Bank Konvensional di Makassar (Periode 2001 – 2010).” 1.2. Masalah Pokok Adapun masalah pokok dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah PDRB, bagi hasil dan inflasi berpengaruh terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. 4 2. Apakah PDRB, suku bunga dan inflasi berpengaruh terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional. 3. Apakah ada perbedaan antara permintaan kredit Bank Syariah dengan Bank Konvensional. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis pengaruh PDRB, bagi hasil dan inflasi terhadap permintaan permintaan kredit pada Bank Syariah. 2. Untuk menganalisis pengaruh PDRB, suku bunga dan inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. 3. Untuk menganalisis perbedaan permintaan kredit menurut Bank Syariah dengan Bank Konvensional. 1.4 Kegunaan Penelitian Dengan harapan tujuan penelitian tercapai, maka selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 1. Sebagai bahan sumbangan pikiran kepada Bank Syariah dengan Bank Konvensional mengenai perbandingan secara statik terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah dan Bank Konvensional. 2. Sebagai salah satu bahan referensi bagi yang berminat untuk memperdalam masalah permintaan kredit khususnya pada Bank Syariah dengan Bank Konvensional. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Dalam sistem perekonomian sekarang ini perbankan memegang peranan penting dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Bank adalah badan usaha yang memberikan jasa pada penyimpanan uang, pengirimanuang serta permintaan dan penawarana kredit. Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan menyebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Oleh karena fungsi utama bank adalah sebagai perantara antara masyarakat yang kelebihan dana dengan masyarakat yang kekurangan dana, maka usaha pokok yang dilaksanakan adalah kegiatan-kegiatan pada sektor perkreditan, khususnya pada Bank Konvensional dan Bank Syariah. Bank Syariah berbeda dari bank Konvensional adalah secara konsepsional. Konsep dasarnya adalah adanya keseimbangan antara kehidupan dunia dan persiapan menuju kehidupan akhirat. Berbisnis atau melakukan tindak ekonomi juga harus mengikuti konsep tersebut, yaitu menjaga keseimbangan. Bukan sekedar memaksimalkan kekayaan, tetapi harus seimbang dengan memperhatikan apakah cara bisnisnya sudah sesuai dengan syariah atau belum. Dengan demikian menjadi nasabah bank Syariah niat dan tujuannya adalah berekonomi dengan cara yang diridhoi Allah SWT, sehingga bukan hanya mencari tingginya tingkat pengembalian ekonomi. Namun memang menjadi 6 keharusan bagi bank Syariah agar secara ekonomis dapat bersaing dengan bank Konvensional sehingga diharapkan juga mampu menciptakan pengembalian investasi atau bagi hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan bank Konvensional. Nasabah (masyarakat) yang kelebihan dana akan menyimpan uangnya di bank dalam berbagai bentuk. Nasabah penyimpan akan memperoleh balas jasa dari bank berupa bunga bagi bank Konvensional. Berbeda bila masyarakat menyimpan uangnya di bank Syariah, maka bukan bunga yang akan diperoleh melainkan sistem bagi hasil yang berdasarkan Prinsip Syariah. Besarnya jasa bunga dan bagi hasil tergantung dari besar kecilnya dana yang disimpan dan faktor lainnya. Bagi masyarakat yang memperoleh pinjaman atau kredit dari bank Konvensional diwajibkan untuk mengembalikan pinjaman tersebut beserta bunga yang telah ditetapkan sesuai perjanjian antara bank dengan nasabah. Sedangkan di bank Syariah pengembalian pinjaman disertai dengan sistem bagi hasil yang sesuai hukum Islam. Sebagai perantara keuangan, bank akan memperoleh keuntungan dari selisih bunga yang diberikan kepada penyimpan (bunga simpanan) dengan bunga yang diterima dari peminjam (bunga kredit). Keuntungan ini dikenal dengan istilah Spread Based. Jenis keuntungan ini diperoleh dari bank Konvensional Sedangkan bagi Bank Syariah tidak dikenal istilah bunga, karena bank Syariah mengharamkan bunga. Pada Bank Syariah keuntungan yang diperoleh dikenal dengan istilah bagi hasil. 7 Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usahanya, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Sehingga Bank Syariah ialah badan usaha yang bergerak dalam bidang perbankan yang sistem operasionalnya didasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam. Sedangkan tujuan didirikannya Bank Syariah adalah meningkatkan usaha menuju kesejahteraan umat dengan mengaitkan pembangunan ekonomi dan sosial serta menyelamatkan umat Islam dari membayar dan menerima bunga yang termasuk perbuatan riba serta dampak sampingnya yang tidak dikehendaki oleh Islam. Adapun karakterististik Bank Syariah adalah : bersifat produktif, dimana ekonomi Islam memandang bahwa semua aktivitas ekonomi harus produktif sehingga kegiatannya lebih ditekankan pada ekonomi riil sedangkan bunga merupakan pendapatan yang tidak produktif. Bersifat tidak eksploitatif, dimana kegiatan ekonomi tidak boleh ditujukan demi keuntungan satu pihak dengan mengobankan pihak lain (sama-sama untung). Berkeadilan artinya tidak boleh ada transaksi ekonomi yang merugikan pihak-pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak bersifat spekulatif, hal ini dianggap sebagai perjudian dan dapat mengakibatkan orang yang melakukannya terancam kemiskinan serta menyebabkan uang atau barang yang dispekulasikan menjadi tidak bermanfaat. Anti riba, dimana riba sebenarnya adalah tambahan yang ditetapkan dalam perjanjian atas suatu barang yang dipinjam, ketika barang 8 dikembalikan. Sehingga pemilik barang berharap bahwa ia bisa meraih keuntungan dari transaksi pinjam meminjam tersebut. Dari uraian tersebut di atas, maka fungsi dan peran Bank Umum dan Bank Syariah, nampak memiliki perbedaan dimana Bank Umum melakukan aktivitas usaha secara konvensional sedangkan Bank Syariah beroperasi dengan tidak mengandalkan bunga atau tanpa bunga. Dengan adanya perbedaan dalam menjalankan kegiatan operasional yakni antara Bank Umum dan Bank Syariah sehingga mengakibatkan adanya perbedaan dalam penyaluran kredit. Dimana faktor yang mempengaruhi permintaan kredit pada Bank Konvensional adalah PDRB, tingkat suku bunga dan laju inflasi, sedangkan faktor yang mempengaruhi permintaan kredit pada bank syariah adalah PDRB, laju inflasi dan bagi hasil. 2.1.2. Konsep PDRB Laju pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator makro yang menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Indikator ini biasanya digunakan untuk menilai sampai seberapa jauh keberhasilan pembangunan suatu daerah dalam periode waktu tertentu. Indikator ini dapat pula dipakai untuk menentukan arah kebijaksanaan pembangunan yang akan datang. Pembangunan suatu daerah dapat berhasil dengan baik apabila didukung oleh suatu perencanaan yang mantap sebagai dasar penentuan strategi, pengambilan keputusan dan evaluasi hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Dalam menyusun perencanaan pembangunan yang baik perlu menggunakan data-data statistik yang memuat informasi tentang kondisi riil suatu 9 daerah pada saat tertentu sehingga kebijaksanaan dan strategi yang telah atau akan diambil dapat dimonitor dan dievaluasi hasil-hasilnya. Salah satu indikator ekonomi makro yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi hasilhasil pembangunan di suatu daerah serta untuk mengukur besarnya laju pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan. Pembangunan yang pesat di segala bidang dan telah menjangkau seluruh pelosok ke desa memerlukan adanya data statistik Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) setiap tingkat wilayah administrasi. Data dan informasi yang diperlukan antara lain transformasi melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Regional Bruto, Pendapatan Regional perkapita dan pertumbuhan ekonomi regional. Dengan demikian data dan informasi yang disajikan selain merupakan evaluasi hasil pembangunan yang telah dicapai, juga akan menjadi bahan dasar dalam penyusunan konsep strategi dan kebijaksanaan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah maupun secara nasional yang akan ditempuh pada masa yang akan datang. Dalam menyusun rekapitulasi ekonomi bagi suatu daerah maka salah satu titik pokok dalam pembahasan ini adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto atau PDRB. Oleh karena itu sebagaimana dikemukakan dalam buku Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Selatan mengatakan bahwa produk domestik regional bruto merupakan seluruh nilai netto suatu barang dan jasa 10 (komoditi) yang diproduksi suatu domestik/regional tanpa memperhatikan pemilikan faktor-faktor produksinya. Menurut pendapat Suparmoko (2002 : 368) mengemukakan bahwa PDRB adalah merupakan pendapatan atas faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk suatu wilayah atau daerah ditambah penduduk asing yang berada di wilayah/daerah tersebut. Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi maka salah satu faktor yang menjadi tolak ukur adalah perkembangan ekonomi. Sebab dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat maka akan dapat mempengaruhi income perkapita bagi suatu negara. Nilai produk domestik regional bruto dapat pendekatan yaitu : Pendekatan produksi, dihitung melalui tiga produk domestik regional bruto merupakan jumlah netto atas suatu barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Pendekatan pendapatan, produk domestik regional bruto merupakan jumlah balas jasa (pendapatan) yang diterima oleh faktor-faktor produksi karena ikut sertanya dalam proses produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun) serta pendekatan pengeluaran, produk domestik regional bruto merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, pemerintah dan lembaga swasta non profit, investasi, serta ekspor netto (ekspor dikurangi import), biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). 11 Produk domestik regional bruto dapat juga dihitung berdasarkan atas dua ukuran, yaitu atas dasar harga berlaku dan harga konstan. Sadono Sukirno (2001 : 34-35) mengemukakan bahwa produk domestik regional bruto atau pendapatan domestik regional bruto pada harga berlaku adalah nilai barangbarang dan jasa-jasa yang dihasilkan suatu negara dalam satu tahun dan dinilai menurut harga-harga yang berlaku pada tahun tersebut. Cara ini adalah cara yang selalu dilakukan dalam menghitung pendapatan dari suatu periode ke periode lainnya. Nilai PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi karena nilai PDRB atas dasar harga konstan ini tidak dipengaruhi oleh perubahan harga, sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat besarnya perekonomian suatu daerah. Untuk memperoleh pengertian tentang pendapatan maka hal itu harus dilihat dari mana pendapatan tersebut dibentuk dan bagaimana proses pembentukannya. Karena pendapatan itu sendiri merupakan jumlah penerimaan yang diperoleh individual, masyarakat, produsen atau perusahaan, daerah, negara dan sebagainya. Sebagai hasil usaha atau kompensasi yang diterima di dalam kegiatan-kegiatan ekonomi melalui produksi barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan mereka. Sedang untuk melakukan pengukuran tingkat pendapatan tertentu pada saat tertentu pula, di dalam ilmu ekonomi di kenal 5 (lima) konsep dasar di mana masing-masing adalah Gros National Product (GNP), Gross Domestic 12 product (GDP), Net National Product (NNP) atau National Income (NI), Personal Income (PI) dan Disposible Personal Income (DPI). Sehubungan dengan apa yang dikemukakan, maka berikut ini akan diberikan beberapa pendapat yang dibuat tentang pengertian "Pendapatan" agar dapat dipahami. Dan diantara kelima konsep yang sudah diajukan itu, ternyata konsep GNP yang paling populer digunakan di dalam perhitungan-perhitungan ekonomi. Dalam penyajian PDRB selalu dibedakan atas dasar harga konstan dan atas dasar harga berlaku. Adapun defenisi dari pembagian PDRB ini adalah : PDRB atas dasar harga berlaku adalah jumlah nilai barang dan jasa (komoditi) atau pendapatan, atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan. PDRB atas dasar harga konstan adalah nilai barang jasa (komoditi) atau pendapatan, atau pengeluaran yang nilai atas dasar harga tetap. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka akan semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk membayar (ability to pay) berbagai pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan logika yang sama, pada tingkat distribusi pendapatan tertentu yang tetap, semakin tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan pemerintahnya. Dengan kata lain, semakin tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut. 13 PDRB adalah seluruh nilai netto barang dan jasa (komoditas) yang diproduksi pada suatu wilayah domestik regional tanpa memperhatikan pemilikan faktor-faktor produksi pada suatu wilayah domestik/regional tanpa memperhatikan pemilikan faktor-faktor produksinya. Nilai produk domestik regional bruto dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu : Segi produk, produk domestik regional bruto merupakan jumlah netto atas suatu barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Segi pendapatan, dimana produk domestik regional bruto merupakan jumlah balas jasa (pendapatan) yang diterima oleh faktor produksi karena ikut sertanya dalam proses produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun), serta segi pengeluaran, produk domestik regional bruto merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, pemerintah dan lembaga, swasta dan non profit, investasi serta eksport netto biasanya dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Selanjutnya produk domestik regional bruto dibagi atas dua versi yaitu produk domestik regional bruto berdasarkan atas harga berlaku dan atas harga konstan. Dimana Produk domestik regional bruto atas harga berlaku adalah jumlah nilai barang dan jasa (komoditi) atau pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga berlaku pada tahun yang bersangkutan. Sedangkan Produk domestik regional bruto berdasarkan harga konstan, adalah nilai barang dan jasa atau pendapatan atau pengeluaran yang dinilai atas harga tetap tahun 1993. Penunjukan tahun 1993 sebagai tahun dasar sesuai dengan instruksi Biro Pusat Statistik Nasional. 14 PDRB berhubungan erat dengan permintaan kredit disebabkan karena dengan adanya kenaikan PDRB maka tingkat konsumsi masyarakat akan semakin meningkat, oleh sebab itu jika PDRB meningkat maka permintaan akan kredit juga akan mengalami peningkatan guna mencukupi tingkat konsumsi yang dihadapi oleh masyarakat, sebagaimana dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Mochamad Faza Rifai (2007). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mankiw (1999) bahwa Produk Domestik Regional Bruto meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai uang tunggal dalam periode waktu tertentu, hal ini disebabkan karena mengukur pendapatan dan pengeluaran perekonomian pada outputnya dengan alasan bahwa jumlah keduanya adalah sama dan fakta yang mendasar, karena setiap transaksi memiliki penjual dan pembeli, setiap uang yang dikeluarkan seorang pembeli menjadi pendapatan seorang penjual yang lain. 2.1.3. Tingkat Suku Bunga Teori-teori tingkat bunga ada setelah berfungsinya uang dalam perekonomian. Secara efektif orang disatu pihak melihat uang sebagai salah satu dari sekian banyaknya aktiva keuangan, dilain pihak uang dianggap sebagai daya dorong dalam sektor keuangan atau sebagai aktiva yang seluruhnya dapat menguasai semua alat keuangan lainnya. Menurut Teori Klasik bahwa tingkat bunga merupakan hasil interaksi antara tabungan dan investasi, sedangkan Teori Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga merupakan suatu fenomena moneter, artinya tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan uang. 15 Suku bunga kredit adalah harga/biaya dari penggunaan dana yang tersedia untuk dipinjamkan. Suku bunga kredit berpengaruh negative terhadap permintaan kredit. Artinya semakin tinggi suku bunga kredit yang mencerminkan semakin mahalnya biaya maka akan menurunkan permintaan kredit, dan sebaliknya semakin rendah suku bunga kredit yang menceminkan semakin murahnya biaya akan meningkatkan permintaan kredit. Fenomena ini mencerminkan bahwa masih tingginya suku bunga kredit saat ini menjadi salah satu pertimbangan bagi dunia usaha dalam melakukan permohonan kredit kepada bank. Sebagaimana dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Mochamad Faza Rifai (2007). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nopirin (1995) bahwa makin tinggi tingkat suku bunga, maka makin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung. Artinya pada tingkat suku bunga yang lebih tinggi masyarakat terdorong untuk mengorbankan atau mengurangi pengeluaran untuk konsumsi guna menambah tabungan. Dari uraian ini dapat disimak kembali teori-teori tingkat bunga ini. a. Teori Klasik Menurut teori Klasik tabungan merupakan fungsi dari tingkat suku bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga, maka makin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung. Artinya pada tingkat suku bunga yang lebih tinggi masyarakat terdorong untuk mengorbankan atau mengurangi pengeluaran untuk konsumsi guna menambah tabungan. Investasi juga merupakan fungsi dari tingkat suku bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga, maka keinginan untuk 16 melakukan investasi juga makin kecil, sebab tingkat pengembalian dan penggunaan dana juga makin besar. Bunga adalah harga dari penggunaan (Leonable Funds) atau harga yang terjadi di pasar dana investasi. Pengertian tingkat bunga sebagai harga, bisa juga dinyatakan sebagai harga yang harus dibayar apabila terjadi pertukaran antara satu rupiah sekarang dan satu rupiah nanti (misalnya setahun kemudian). Hutang piutang timbul karena terjadi pertukaran pembeli dari satu rupiah sekarang sekaligus juga penjual dari satu rupiah nanti adalah peminjam (debitur), sedangkan penjual dari satu rupiah sekarang yang sekaligus juga pembeli satu rupiah nanti adalah orang yang meminjam (kreditur). Debitur harus membayar kepada kreditur harga dari pertukaran tersebut, dan harga ini adalah bunga yang dibayar debitur. Menurut ahli-ahli ekonomi klasik, dalam perekonomian tingkat bunga selalu mengalami perubahan-perubahan yang menyebabkan seluruh tabungan yang diciptakan sektor rumah tangga pada waktu perekonomian mencapai tingkat penggunaan tenaga penuh, akan selalu sama besarnya dengan jumlah investasi yang dilakukan oleh para pengusaha. Sehingga jumlah saluran pengeluaran dalam perekonomian (permintaan agregat) yaitu konsumsi oleh rumah tanggarumah tangga dan investasi oleh para pengusaha akan selalu sama dengan nilai seluruh produksi yang diciptakan oleh sektor perusahaan. Tingkat bunga menentukan besarnya tabungan maupun investasi yang akan dilakukan di dalam perekonomian. Setiap perubahan dalam tingkat bunga akan menyebabkan perubahan dalam tabungan rumah tangga dan 17 investasi. Perubahan dalam tingkat bunga akan terus menerus berlangsung sebelum kesamaan antara jumlah tabungan dengan jumlah investasi tercapai. Terjadinya tingkat bunga keseimbangan tersebut menurut teori Klasik dalam buku Ekonomi Moneter ( 2002 : 7) karangan Boediono, bahwa penawaran akan dana investasi (S) bertemu dengan permintaan akan dana investasi (I) di pasar dan investasi (Lonable Funds) dan di situ tercipta tingkat bunga keseimbangan (dimana S=I). Faktor penentu utama dari bentuk kurva S adalah rate of time preference para penabung dan faktor penentu utama dari kurva I adalah marginal product dari kapital. Jadi tingkat bunga berubah apabila kedua faktor penentu utama ini berubah, yang satu karena perubahan penilaian subyektif para pelaku ekonomi, yang lain karena perubahan teknologi. Jadi apabila tingkat bunga lebih tinggi dari pada keuntungan yang diharapkan dari penggunaan dana, maka para pengusaha tidak akan mengadakan investasi, tetapi sebaliknya bila keuntungan yang diharapkan lebih besar dibandingkan tingkat bunga tersebut, para pengusaha akan mengadakan investasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa investasi tergantung oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Kalau tingkat bunga naik, investasi akan turun, sebaliknya bila tingkat bunga turun investasi akan naik. Lain dan halnya dengan tabungan yang sebenarnya tergantung pada pendapatan tingkat bunga, sebab dengan tingginya tingkat bunga yang ditawarkan oleh Bank akan merangsang masyarakat untuk menabung dari kelebihan pendapatannya, dan tingkat bunga inilah yang akan dibandingkan dengan tingkat keuntungan yang diharapkan bila ingin mengadakan investasi. 18 b. Teori Keynes Teori tingkat bunga menurut Keynes ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang. Dalam analisis tradisional Keynes tentang permintaan uang, bahwa ada tiga motif mengapa orang menghendaki memegang uang tunai yaitu motif berjaga-jaga (precaunary motive), motif transaksi (transaction motive) dan motif spekulatif (spekulative motive). Dari ketiga motif tersebut, teori yang unik adalah motif spekulasi atau permintaan yang spekulatif akan uang. Dalam hal ini, Keynes berasumsi bahwa ada dua aktiva keuangan yakni : uang dan obligasi. Uang dianggap sebagai aktiva yang likuid, cair tetapi tidak mengandung suku bunga, sedangkan obligasi dianggap sebagai hutang-hutang jangka panjang yang tidak likuid, tidak cair dan mengandung suku bunga. Suku bunga ini berbanding terbalik dengan harga obligasi. Sehingga apabila suku bunga di pasar turun, maka harga obligasi akan naik demikian pula sebaliknya. Hal ini menurut Keynes ( 2002 : 255) karangan Gardner Ackley mengatakan bahwa dengan uang tunai di tangan, orang akan bisa berspekulasi di pasar surat berharga dengan kemungkinan-kemungkinan memperoleh keuntungan, dan karena adanya kemungkinan keuntungan ini, orang mau membayar bunga. Keynes ( 2002 : 95 ) karangan Budiono, dikatakan bahwa apabila karena sesuatu hal permintaan akan dana untuk jangka waktu 1 bulan meningkat, maka tingkat bunga untuk kelompok pinjaman untuk jangka waktu 1 bulan tersebut cenderung akan meningkat. Tingkat bunga untuk kelompok ini mungkin akan menjadi lebih tinggi dari pada tingkat bunga untuk kelompok 3 bulan, 6 bulan atau kelompok lainnya. 19 Bunga atau interest dari sisi permintaan adalah biaya atas pinjaman dan disisi penawaran merupakan pendapatan atas pemberian kredit. Bunga menurut pengertian pertama adalah jumlah uang yang diberikan sebagai imbalan atas penggunaan uang yang dipinjamkan tersebut (Marzuki, 2007, hal. 456). Dari pengertian bunga tersebut, maka suku bunga atau interest rate dalah proses antara jumlah bunga dengan jumlah dana yang dipinjamkan (Marzuki Usman, 2007, hal. 456). Menurut Paul A. Samuelson dkk. bunga adalah harga yang harus dibayar karena meminjamkan uang untuk suatu jangka waktu tertentu, biasanya dinyatakan sebagai persentase dari pokok pinjaman per tahun (Paul A. Samuelson dkk, 2003, hal. 560). Menurut Eugene A. Duilio : Bunga adalah harga dana yang dipinjamkan, yang besarnya ditentukan oleh preferensi dan sumber pinjaman dari berbagai pelaku ekonomi (Eugene A. Duilio, 2003;45). Sedangkan dalam teorinya Frank J. Fabossi menyatakan bahwa bunga adalah harga yang dibayar peminjam (debitur) kepada pihak yang meminjam (kreditur) untuk pemakaian sumber daya selama jangka waktu tertentu (Frank J. Fabossi, 2009;204). Dari pengertian di atas dapat ditarik benang merah dari bunga yaitu beban harga yang harus dibayar karena meminjam uang pada periode tertentu sehingga menurut Christoper dkk. Tingkat bunga merupakan jumlah tertentu bunga yang harus dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman atas sejumlah uang tertentu untuk membiayai konsumsi dan investasi (Christoper dkk, 2008, 20 hal. 314). Tingkat suku bunga sangat ditentukan oleh kebutuhan dan permintaan dana didalam pasar uang. Semakin rendah biaya pinjaman, semakin banyak uang yang akan diminta oleh rumah tangga dan dunia usaha semakin tinggi tingkat bunga semakin besar persediaan dana yang dapat dipinjamkan. Apabila dana yang dipinjamkan sebesar Rp. 10.000,- dan pada akhir tahun harus dikembalikan Rp. 11.000,- jumlah bunga adalah Rp. 1.000 dari bunga adalah Rp. 1000/Rp. 10.000 = 0,1 atau 10 % dan selalu dinyatakan secara tahunan misalnya 10% pertahun. Pengertian lain suku bunga adalah “Harga yang harus dibayar karena meminjam uang untuk suatu jangka waktu tertentu biasanya dinyatakan sebagai persentase dari pokok pinjaman pertahun dan menurut Christoper dkk. Suku bunga adalah jumlah tertentu bunga yang harus dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman atas sejumlah uang tertentu untuk membiayai konsumsi dan investasi (Christoper dkk, 2008, hal. 314). Menurut teori klasikal diambil dari buku Sunariyah permintaan dan penawaran investasi pada pasar modal menentukan tingkat suku bunga. Tingkat bunga akan menentukan tingkat keseimbangan antara jumlah tabungan dan permintaan investasi Sunariyah, (2003, hal. 63). Adapun tingkat suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua indikator, yaitu : Permintaan Tabungan, dimana menurut teori abstinence, tabungan adalah selisih antara pendapatan dan konsumsi. Dengan asumsi tingkat pendapatan adalah sama, maka konsumen yang mengkonsumsi dengan jumlah kecil akan mempunyai tabungan yang lebih besar. Dalam rumah tangga dipertimbangkan sejumlah faktor untuk 21 menentukan berapa banyak uang yang akan dikonsumsi sekarang. Faktor-faktor tersebut termasuk bunga, sebab bunga dianggap sebagai suatu imbalan dari debitur kepada kreditur untuk waktu tertentu sampai kreditur mendapatkan uangnya kembali pada masa yang akan datang. Konsumen yang rasional, akan memilih konsumsi sekarang dari pada masa yang akan datang. Lebih lanjut, bunga diasumsikan mempunyai peranan penting untuk menentukan jumlah tabungan. Tingkat bunga tinggi akan mendorong masyarakat konsumen menabung dan menginvestasikan kelebihan dana yang dimilikinya dari pada digunakan untuk konsumsi sekarang. Apabila konsumen mengharap balas dan jasa yang lebih baik dari sejumlah uang pada masa yang akan datang maka keputusannya adalah menabung. Menurut ekonomi klasikal, bunga merupakan suatu alternatif dari berbagai pilihan untuk mengoptimalkan uang, antara lain investasi ke pasar modal, atau menabung dengan tingkat bunga tertentu. Lamanya penabung menanamkan uangnya di Bank menunjukkan lamanya kreditur dapat meminjamkan uangnya. Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar masyarakat bersedia meminjamkan uang tunai yang dimilikinya. Apabila kita tahu jumlah (aggregate) penawaran uang dalam waktu tertentu pada tingkat bunga tertentu maka kita dapat menggambarkan skedul kurva penawaran yang mewakili pasar secara umum. Jumlah tabungan kemudian akan ditentukan oleh tinggi pula tabungan, dan sebaliknya. Konsep tabungan berdasarkan asumsi bahwa individu akan melakukan permintaan uang sekarang dari pada permintaan di masa yang akan datang. 22 Dugaan ini disebut teori pemilihan waktu bunga yang dikemukakan untuk seorang ekonomi dari Australia bernama Bohm Bawerd. Berdasarkan teori ini seorang individu akan memilih uang sekarang dari pada masa yang akan datang, dengan catatan selama jangka waktu tersebut tidak ada bunga. Adanya kenaikan tingkat suku bunga pada bank-bank umum akan mempengaruhi peran intermediasi dunia perbankan dalam perekonomian Indonesia. Bank-bank umum (konvensional) dalam operasionalnya sangat tergantung pada tingkat suku bunga yang berlaku, karena keuntungan bank konvensional berasal dari selisih antara pinjaman dengan bunga simpanan. Sedangkan dalam Bank Syariah tidak mengenal sistem bunga yang ada tetapi dengan menerapkan prinsip bagi hasil (profit sharing) antara bank dengan nasabah dalam pengelolaan dananya. Walaupun demikian, dengan adanya kenaikan tingkat suku bunga pada bank-bank umum baik langsung maupun tidak langsung akan membawa dampak terhadap kinerja bank syariah. Dengan naiknya tingkat suku bunga maka akan diikuti oleh naiknya suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman pada bank konvensional. Sehingga orang akan cenderung untuk menyimpan dananya di bank konvensional daripada di bank syariah karena bunga simpanan di bank konvensional naik yang pada akhirnya tingkat pengembalian yang akan diperoleh oleh nasabah penyimpan dana akan mengalami peningkatan. Kenaikan tingkat suku bunga inilah yang menjadi dilemma dunia perbankan syariah saat ini, karena dikhawatirkan akan ada perpindahan dana dari bank syariah ke bank konvensional. Tetapi ada juga keuntungan yang diperoleh 23 Bank Syariah dengan naiknya suku bunga yakni permohonan pembiayaan (kredit) di Bank Syariah oleh nasabah diperkirakan akan mengalami peningkatan seiring dengan naiknya bunga pinjaman pada bank konvensional atau bank umum. 2.1.4. Konsep Laju inflasi Orde baru mulai berkiprah pada tahun 1967 dan berakhir pada Mei 1998. Pada awalnya orde baru mewarisi kondisi perekonomian yang tidak menguntungkan dengan tingkat inflasi yang tinggi (600 % pertahun pada tahun 1996) disamping tingkat kemunduran ekonomi dan pengangguran yang parah. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaikkan secara terus menerus atau dengan kata lain inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus menerus ini tidak berarti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu dengan persentase yang sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan yang penting terdapat kenaikan umum barang secara terus menerus selama satu periode. Kenaikan harga Namun sejak tahun 1967 sampai menjelang akhir kekuasaannya (1997), pemerintah orde baru bekerja keras dan mampu menciptakan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 7 % per tahun. Namun karena kesalahan dalam manajemen, perekonomian Indonesia terjerembab pada tahun 1997 dengan adanya krisis moneter disusul dengan krisis ekonomi dan akhirnya krisis politik. Tingkat inflasi menjadi tinggi (mendekati 100 % per tahun) yang diperparah oleh merosotnya secara drastis kurs devisa yang berupa jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan mata uang lainnya. 24 Cukup banyak definisi inflasi tetapi hingga kini belum diperoleh suatu definisi yang baku yang disetujui oleh seluruh ahli ekonomi. Definisi inflasi menurut beberapa penulis pada dasarnya sama yaitu antara lain : Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaikkan secara umum dan terusmenerus (Boediono, 2001). Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus-menerus ini tidak berarti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu naik denga presentase yang sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan yang penting terdapat kenaikan umum barang secara terus-menerus selam satu periode. (Nopirin, 2000) Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanpa ada kestabilan ekonomi, perekonomian akan bekerja secara tidak efisien. Dalam kondisi ada inflasi yang deras, jelas investasi akan tidak terjadi, bahkan kegiatan investasi akan berubah menjadi spekulasi, produksi berkurang dan sangat besar kemungkinannya diikuti oleh gejolak sosial dan politik yang tidak menguntungkan. Jadi kestabilan ekonomi akan saling tergantung satu sama lain. Kestabilan ekonomi akan menciptakan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, sehingga pembangunan ekonomi selanjutnya akan menjadi semakin mantap. Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil perlu terlebih dahulu diketahui penggolongan atau kategori apa inflasi yang sedang dihadapi, dan penggolongan mana yang dipilih. Penggolongan pertama menurut parah tidaknya inflasi, beberapa macam inflasi : 1. Inflasi ringan (dibawah 10% setahun) 2. Inflasi sedang (antara 25 10 – 30% setahun) 3. Inflasi berat (antara 30 –100%) 4. Hiperinflasi (diatas 100%) Penggolongan kedua adalah atas dasar sebab musabab awal dari inflasi. Atas dasar ini kita bedakan 2 macam inflasi : (Boediono, 2001 : 156) 1. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang tertentu kuat (Demand Inflation) adalah inflasi yang timbul akibat adanya banyak permintaan akan barang-barang konsumsi oleh masyarakat, karena permintaan masyarakat (agregat demand) bertambah. 2. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi (Cost Push Inflation) adalah inflasi yang timbul karena berkurangnya penawaran akibat kenaikan produksi pada gambar tersebut terlihat bila ongkos produksi naik. Inflasi sangat berpengaruh dengan permintaan kredit perbankan, dikarenakan inflasi berarti juga kenaikan harga. Semakin naiknya harga, maka seseorang akan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan, dan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut bisa dengan cara mengajukan permintaan kredit dengan menggunakan asumsi suku bunga rill. Oleh karena itu maka dengan adanya kenaikan inflasi maka permintaan akan kredit juga semakin meningkat, sebagaimana dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Mochamad Faza Rifai (2007). Menurut Boediono (2001 : 156) dengan menggunakan asumsi suku bunga riil jika terjadi inflasi naik maka expected profit akan mengalami kenaikan dan permintaan kredit turut juga mengalami kenaikan, tetapi jika inflasi naik yang diakibatkan dengan kenaikan nominal interest rate, sehingga permintaan kredit 26 juga akan naik. Dimana inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi (Cost Push Inflation) adalah inflasi yang timbul karena berkurangnya penawaran akibat kenaikan produksi. 2.1.5. Konsep Dasar Bagi Hasil Persoalan bunga bank yang disebut sebagai riba telah menjadi bahan perdebatan di kalangan pemikir dan fiqhi Islam. Untuk mengatasi persoalan tersebut, sekarang umat Islam telah mencoba mengembangkan paradigma perekonomian lama yang akan terus dikembangkan dalam rangka perbaikan ekonomi umat dan peningkatan kesejahteraan umat Islam. Realisasinya adalah berupa beroperasinya bank-bank yang tidak mendasarkan pada bunga, namun dengan sistem bagi hasil. Menurut Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1992, Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau BPR yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi Hasil. Oleh karena itu Bank Umum atau BPR yang memperoleh ijin sebagai Bank Konvensional (Bank Umum), tidak diperkenankan melakukan kegiatan perbankan dengan konsep bagi hasil. Lebih lanjut, aturan yang berkaitan dengan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 (Muhammad, 2004 : 6) Disamping itu, terbitnya PP No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berasaskan prinsip bagi hasil (bunga), sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi 27 hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil adalah prinsip yang berdasarkan syariah Islam yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam : menetapkan imbalan yang akan diperoleh pelanggan sehubungan dengan penggunaan dana pelanggan yang dipercayakan kepadanya, menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada pelanggan baik dalam bentuk pembiayaan maupun dalam bentuk investasi dan modal kerja. Jadi pada dasarnya prinsip bagi hasil adalah suatu prinsip yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dan penyimpan dana maupun antara bank dengan penerima dana dalam hal ini kreditur. Dalam prinsip ini dikenal tiga istilah yang dikutip Muhammad (2004 : 9) dari buku ”Pengenalan Umum Bank Syariah” yang ditulis oleh M. Syafi’i Antonio, yaitu : Musyarakah, perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai dengan perjanjian antara pihak-pihak tersebut, yang tidak harus sama dengan pangsa modal masing-masing. Mudharabah, perjanjian antara pemilik modal (uang atau barang) dengan pengusaha. Dalam perjanjian ini pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek atau usaha dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian. Pemilik modal tidak dibenarkan membuat usulan dan melakukan pengawasan. Apabila usaha yang diawasi mengalami 28 kerugian, maka kerugian tersebut sepenuhnya ditanggung pemilik modal, kecuali kerugian itu terjadi karena penyelewengan atau penyalahgunaan pengusaha. Kemudian Muzara’ah memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (prosentase) dari hasil panen. Prinsip Mudharabah dijadikan dasar pengembangan produk tabungan dan deposito (liability product). Sementara prinsip Musyarakah dan Muzara’ah digunakan sebagai dasar pengembangan produk pembiayaan. Jika dalam mekanisme ekonomi konvensional menggunakan instrumen bunga, maka dalam mekanisme ekonomi Islam menggunakan instrumen bagi hasil. Salah satu bentuk kelembagaan yang menerapkan instrumen bagi hasil adalah bisnis dalam lembaga keuangan syariah. Menurut Ridwan (2004) bahwa dalam penghimpunan dana maupun penyaluran dananya dengan menggunakan prinsip syariah (bagi hasil) yakni menjalankan usaha di bidang jasa perbankan menurut aturan perjanjian hukum islam, dengan memperoleh keuntungan bukan berupa bunga tapi berupa bagi hasil. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Amelia Sandra (2002) yang meneliti prinsip bagi hasil di bank Syariah sebagai pembangunan dunia usaha, dimana hasil penelitian menemukan bahwa perbankan syariah memungkinkan untuk menghidupkan pengusaha skala menengah ke bawah melalui kredit yang diberikan, hal ini disebabkan karena mereka masih takut untuk meminjam uang ke bank karena rasa takut usahanya tidak berhasil sehingga harus membayar cicilan dan bunga yang tinggi. Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara 29 defenitif profit sharing diartikan sebagai distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Pada mekanisme kerja bank syariah, pendapatan bagi hasil berlaku untuk produk-produk penyertaan, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagiansebagian, atau bentuk bisnis koorporasi (kerjasama). Pihak-pihak terlibat dalam kepentingan bisnis, harus melalui transparasi dan kemitraan secara baik dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang berkaitan dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang menjalankan proyek. Inti mekanisme bagi hasil pada dasarnya adalah terletak pada kerja sama yang baik antara shahibul mall dan mudharib. Kerjasama atau partnership merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islam. Kerjasama ekonomi harus dilakukan dalam semua lini kegiatan ekonomi, yaitu : produksi, distribusi barang maupun jasa. Adanya tuntutan perkembangan, menyebabkan Undang-undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998. Undang-undang ini melakukan revisi beberapa pasal yang dianggap penting, dan merupakan aturan hukum secara leluasa menggunakan istilah syariah dengan tidak lagi menggunakan istilah bagi hasil. Diantara perubahan tersebut yang berkaitan langsung dengan keberadaan Bank Syariah adalah : Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau 30 tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan pembiayaan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Untuk lebih jelasnya, perlu dipahami beberapa konsep dalam kegiatan operasional Bank Syariah. Konsep tersebut antara lain : Al-Wadiah adalah merupakan sarana penyimpanan dana dengan pengelolaan berdasarkan prinsip Al-Wadiah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan media cek atau bilyet giro. Dengan prinsip tersebut tabungan nasabah akan diinvestasikan bank secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada berbagai jenis usaha dari usaha kecil dan menengah sampai pada tingkat korporat secara profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Bank menjamin keamanan dana nasabah secara utuh, dan ketersediaan dana setiap saat guna membantu kelancaran transaksi. Manfaat tabungan Al-Wadiah adalah mempermudah transaksi bisnis 31 dan memberikan rasa aman serta terjaminnya dana, serta nasabah dapat memperoleh bonus sesuai kebijakan bank. Terdapat dua jenis Al-Wadiah, antara lain : Al-Wadiah Amanah, dimana Pihak penyimpan tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan barang yang disimpan, yang tidak diakibatkan oleh perbuatan atau kelalaian penyimpan, dan yang kedua adalah Al-Wadiah Dhamanah, dimana Pihak penyimpan dengan atau tanpa ijin pemilik barang dapat memanfaatkan barang yang dititipkan dan bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan barang yang disimpan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tersebut menjadi hak pemakai. Konsep yang kedua adalah Al-Mudharabah, yakni salah satu jenis simpanan berdasarkan prinsip mudharabah al-muthlaqoh dan diperuntukkan untuk nasabah yang menginginkan dananya diinvestasikan secara syariah. Dana tersebut diinvestasikan secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada berbagai jenis usaha dari usaha kecil dan menengah sampai pada tingkat korporat secara profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Atas investasi dana tersebut, akan diberikan bagi hasil sesuai nisbah yang telah disepakati bersama antara Bank dan nasabah. Perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha Mudharabah merupakan hubungan berserikat antara dua pihak yaitu pemilik dana atau harta dan pihak yang memiliki keahlian atau pengalaman. Pemilik modal tidak dibenarkan ikut dalam pengelolaan usaha tetapi diperbolehkan membuat usulan dan melakukan pengawasan. Apabila usaha yang dibiayai mengalami 32 kerugian, maka kerugian sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali apabila kerugian tersebut karena penyelewengan atau penyalahgunaan pengusaha. Konsep yang ketiga adalah Al-Musyarakah yakni perjanjian dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai dengan persetujuan antara pihak-pihak tersebut. Dalam hal kerugian, maka pembagian kerugian dilakukan sesuai dengan pangsa modal masing-masing. Sistem musyarakah ini merupakan konsep dasar bagi Bank Syariah. Di sini bank bukan saja sebagai pensuplai dana, akan tetapi juga sebagai partner bagi nasabah. Hubungan antara bank dan nasabahnya merupakan hubungan kerjasama bukan hubungan sebagai kreditur dan debitur sebagaimana halnya dalam praktik bank umum yang lazim lainnya. Al-Murabah, adalah persetujuan jual beli barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Persetujuan tersebut juga meliputi cara membayar sekaligus. Al-Ba’i Bithaman Ajil berarti pembelian dengan pembayaran cicilan. Pembiayaan Bai Bithaman Ajil adalah pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan barang modal. Pembiayaan Bai Bitsaman Ajil mirip dengan Kredit Investasi yang diberikan oleh bank-bank komersial dan karenanya pembiayaan ini berjangka waktu di atas satu tahun (long run financing). Persetujuan jual beli suatu barang dengan harga pasar sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Persetujuan ini termasuk pula jangka waktu pembayaran dan jumlah angsuran. Al-Qardhul-Hasan atau Benevolent Loan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas 33 dasar kewajiban sosial semata-mata dan peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan kecuali modal pinjaman. Perjanjian pinjam meminjam uang atau barang dengan tujuan untuk membantu penerima pinjaman. Penerima pinjaman wajib mengembalikan hutangnya pada waktunya maka peminjam tidak boleh dikenai sanksi. Atas kerelaannya, peminjam diperbolehkan memberikan imbalan kepada pemilik uang atau barang, dan yang terakhir adalah penentuan nisbah bagi hasil. Berbeda dengan penentuan tingkat suku bunga, dimana seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa tingkat suku bunga ditentukan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penentuan nisbah bagi hasil bagi bank Syariah dilakukan oleh Dewan Syariah dengan mempertimbangkan unsur-unsur dalam pengelolaan dana yang antara lain : biaya operasional dalam mengelola dana, laba perusahaan dan pembagian keuntungan kepada pemilik (saham). Dalam kegiatan perusahaan keuntungan ditentukan dengan cara mengurangi berbagai biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan meliputi pengeluaran untuk bahan mentah, pembiayaan upah, pembiayaan bunga, dan sewa tanah. Keuntungan merupakan pendapatan total dikurangi biaya total (Mankiw, 2003). Pendapatan total (total revenue) adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjulan produknya, sedangkan biaya total (total cost) adalah jumlah dana yang dibelanjakan perusahaan untuk berbagai input untuk keperluan produknya. Dalam teori ekonomi keuntungan mempunyai arti yang sedikit berbeda dengan pengertian keuntungan dari segi pembukuan. Ditinjau dari sudut pembukuan 34 perusahaan keuntungan adalah perbedaan nilai uang dari hasil penjualan yang deperoleh dengan seluruh biaya yang dikeluarkan. Dalam teori ekonomi definisi itu dipandang terlalu luas karena tidak mempertimbangkan ongkos tersembunyi yang tidak dibayar dengan uang tetapi perlu dipandang sebagai bagian dari ongkos produksi. Pengeluaran tersebut (ongkos tersembunyi) meliputi pendapatan yang seharusnya dibayar kepada para pengusaha yang menjalankan sendiri perusahaannya, tanah dan modal sendiri yang digunakan, dan bangunan dan peralatan pabrik yang dimiliki sendiri. Keuntungan menurut pembukuan bila dikurangi ongkos tersebunyi akan menghasilkan keuntungan ekonomi atau keuntungan murni. Dalam teori ekonomi yang dimaksud keuntungan adalah keuntungan ekonomi (Sadono Sukirno, 2000). Teori dana internal (internal funds theory of investment) mengatakan bahwa stok kapital yang diinginkan, bergantung pada tingkat keuntungan. Beberapa penjelasan tentang hal ini telah dikemukakan oleh sejumlah ahli diantaranya adalah Jan Tinbergen dalam Muana Nanga, (2001) mengatakan bahwa keuntungan yang terjadi (realized profits) secara akurat merefleksikan keuntungan yang diharapkan (expected profits). Karena permintaan modal bergantung pada keuntungan yang diharapkan, maka permintaan modal adalah berhubungan secara positif dengan realized profits. Berdasarkan uraian tersebut dalam kaitannya dengan usaha kecil, maka semakin besar tingkat keuntungan akan berpengaruh positif terhadap permintaan modal kerja usaha kecil. Setiap perusahaan selalu berusaha memaksimumkan 35 keuntungannya, maka bila terjadi peningkatan keuntungan, pengusaha akan terus meningkatkan penawaran barangnya. Untuk memenuhi peningkatan jumlah penawaran barang tersebut perusahaan akan membutuhkan modal kerja yang lebih besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh akan berpengaruh positif terhadap permintaan modal kerja usaha kecil. Amelia Sandra (2002) melakukan penelitian mengenai pengaruh bagi hasil terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah sebagai alternatif pembangunan dunia usaha. Hasil penelitiannya menemukan bahwa perbankan syariah memungkinkan untuk menghidupkan pengusaha skala menengah ke bawah, yang merasa takut untuk meminjam uang ke bank karena takut usahanya tidak berhasil sehingga harus membayar cicilan dan bunga yang tinggi, karena baik tingkat bunga maupun bagi hasil sama-sama merupakan biaya penggunaan modal dan sama-sama mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan modal. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sudarsono (2003) bahwa tingkat keuntungan usaha kecil berpengaruh terhadap probabilita permintaan modal kerja usaha kecil. Semakin tinggi tingkat keuntungan maka probabilita permintaan modal kerja meningkat, sebaliknya makin rendah tingkat keuntungan maka probabilita permintaan modal kerja semakin rendah. Itulah sebabnya bagi hasil mempunyai hubungan dengan probabilita permintaan kredit modal kerja usaha kecil. Semakin tinggi rasio bagi hasil, maka probabilita permintaan kredit modal kerja akan menurun, demikian sebaliknya makin rendah rasio bagi hasil probabilita permintaan modal kerja akan meningkat. Dengan 36 demikian antara rasio bagi hasil dengan permintaan kredit usaha kecil mempunyai hubungan yang negatif. 2.2. Studi Empiris Untuk memudahkan penelitian ini maka penulis mengambil acuan dari penelitian terdahulu. Adapun penelitian tersebut dilakukan oleh Jumhur (2006) dengan judul Analisis Permintaan Kredit Modal Kerja Usaha Kecil di Kota Semarang (Studi kasus Permintaan Modal Kerja Usaha Kecil Sektor Perdagangan dari BMT), dimana hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa secara keseluruhan model probabilita permintaan kredit modal kerja yang diestimasi dengan model regresi logistik memberikan hasil baik dan perilaku empirik variabel yang diteliti sesuai dengan ekspektasi perilaku teoritis bila dilihat dari kesesuaian tandanya, kemudian tingkat keuntungan perbulan yang diperoleh usaha kecil sektor perdagangan berpengaruh positif terhadap permintaan modal kerja usaha kecil di kota Semarang, tapi tidak signifikan terhadap probabilita permintaan kredit modal kerja dari BMT. Rasio bagi hasil yang diterapkan oleh BMT berpengaruh negatif terhadap probabilita usaha kecil meminjam kredit modal kerja dari BMT, karena rasio bagi hasil merupakan biaya penggunaan dana oleh nasabah peminjam yang harus dikembalikan. Moh. Faza Rifai (2007) dengan judul : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Kredit Perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa Tengah (Periode 1990 – 2005). Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa Hasil penelitian PDRB berpengaruh positif terhadap permintaan kredit perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa Tengah, hasil penelitian 37 menunjukkan bahwa suku bunga riil kredit perbankan berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa Tengah. Secara bersama-sama variable independent yakni PDRB, tingkat suku bunga riil kredit perbankan, dan laju inflasi serta dummy variabel krisis ekonomi memberikan pengaruh nyata dan signifikan terhadap variable dependen yaitu permintaan kredit perbankan pada Bank Umum di Propinsi Jawa Tengah. Amelia Sandra (2002) melakukan penelitian mengenai pengaruh bagi hasil terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah sebagai alternatif pembangunan dunia usaha. Hasil penelitiannya menemukan bahwa perbankan syariah memungkinkan untuk menghidupkan pengusaha skala menengah ke bawah, yang merasa takut untuk meminjam uang ke bank karena takut usahanya tidak berhasil sehingga harus membayar cicilan dan bunga yang tinggi, karena baik tingkat bunga maupun bagi hasil sama-sama merupakan biaya penggunaan modal dan sama-sama mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan modal. 2.3. Kerangka Pikir Salah faktor penunjang yang menjadi pertumbuhan bank konvensional dan bank syariah dalam penyaluran kredit adalah permintaan kredit. Masalah permintaan kredit antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah memiliki perbedaan, dimana menurut Muhammad Safi’i Antonio dalam Jumhur (2006, hal. 23) yang mengemukakan bahwa dalam penyaluran kredit menurut sistem kredit menerapkan sistem bunga, sedangkan dalam melakukan penyaluran kredit menurut sistem syariah adalah bagi hasil. 38 Adapun perbedaan bunga dengan bagi hasil adalah kalau sistem bunga penentuan biaya ditentukan pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung, sedangkan bagi hasil adalah penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Menurut bagi hasil biasanya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Sedangkan menurut bagi hasil biasanya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Sedangkan bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “boming”, sedangkan jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Sedangkan pada sistem bunga maka eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk islam. Sedangkan menurut bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil. Bank Syariah adalam kegiatan operasionalnya tidak tergantung pada tingkat suku bunga, karena sistem yang ada pada bank Syariah adalah sistem bagi hasil. Walaupun ada semacam kekhawatiran yang melanda bank Syariah, yakni dikhawatirkan sebagian nasabah penyimpan di bank Syariah akan mengalihkan dananya pada bank Konvensional karena tingkat suku bunga di bank Umum (Konvensional) mengalami kenaikan. Tetapi di sisi lain, bank Syariah akan menjadi alternatif bagi para pengusaha yang membutuhkan pinjaman dana 39 untuk mengembangkan usahanya, karena mereka akan cenderung meminjam dana di bank Syariah dengan sistem bagi hasil daripada harus meminjam di Bank Umum dengan membayar bunga. Karena dengan sistem bagi hasil, mereka tidak terlalu khawatir dengan adanya kebijakan Bank Indonesia untuk menaikkan tingkat suku bunga dalam rangka mengendalikan laju inflasi di Indonesia. Dengan adanya perbedaan penyaluran kredit menurut sistem konvensional dengan sistem syariah maka perlu dilakukan pengujian secara komparatif mengenai permintaan kredit menurut bank konvensional dengan bank syariah. Menurut Muhammad Safi’i (2004, hal. 13) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kredit pada bank konvensional adalah PDRB, suku bunga dan laju inflasi. Sedangkan Muhammad Safi’i dalam permintaan kredit selain ditentukan PDRB dan laju inflasi juga ditentukan oleh bagi hasil yang mempengaruhi permintaan kredit. Melihat pernyataan yang dilakukan Muhammad Faza Rifai dan Muhammad Safi’i, maka akan dilakukan pengujian pengaruh faktor (PDRB, laju inflasi dan suku bunga) terhadap permintaan kredit dengan Bank Konvensional dan pengujian pengaruh (PDRB, Inflasi dan bagi hasil) terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. Untuk lebih jelasnya akan disajikan kerangka pikir dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 40 PDRB (X1) Inflasi (X2) Permintaan kredit Bank Syariah Bagi hasil (X3) PDRB (X1) Permintaan kredit Inflasi (X2) Bank Konvensional Suku bunga (X3) 2.4. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pikir dari penelitian ini, maka akan disajikan beberapa hipotesis yaitu sebagai berikut : 1. Diduga bahwa PDRB, bagi hasil dan inflasi berpengaruh terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. 2. Diduga PDRB, suku bunga dan inflasi berpengaruh terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional. 3. Diduga ada perbedaan antara permintaan kredit Bank Syariah dengan Bank Konvensional. 41 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Adapun yang menjadi obyek penelitian ini adalah pada perusahaan perbankan yakni pada Bank Syariah dan Bank Konvensional yang berlokasi di kota Makassar. 3.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif yaitu data yang diperoleh dari perusahaan dalam bentuk angka-angka dan masih perlu dianalisis kembali, yang meliputi data time series dari tahun 2001-2010 tentang analisa komparatif statik terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah dan Bank konvensional di kota Makassar. Sedangkan data kualitatif meliputi beberapa hasil studi kepustakaan dan artikel yang berguna bagi penelitian ini yang diperoleh dari BPS dan Bank Indonesia, artikel-artikel dan tulisan-tulisan yang diperoleh dengan fasilitas internet yang berguna bagi penelitian ini. 3.3 Metode Analisis Berdasarkan uraian yang ada sebelumnya, maka model yang digunakan adalah model regresi linier berganda : 42 3.3.1. Analisis regresi a. Analisis regresi antara PDRB, bagi hasil dan laju inflasi terhadap permintaan kredit Bank Konvensional dengan menggunakan rumus : Y = βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ε b. Analisis regresi antara PDRB, suku bunga, laju inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah dengan menggunakan rumus : Y = βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ε Dimana : Y = Permintaan kredit Bank Syariah/Bank Konvensional X1 = PDRB X2 = Suku bunga/bagi hasil X3 = Laju inflasi 3.3.2. Analisis uji beda permintaan kredit menurut Bank Konvensional dengan Bank Syariah 3.4 Definisi Variabel Operasional Seperti telah dijelaskan di atas, maka batasan variabel dari penelitian ini, antara lain : 1. PDRB adalah pendapatan atas faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk suatu wilayah/daerah ditambah penduduk asing yang berada di wilayah/daerah tersebut. 2. Laju inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus menerus. 43 3. Tingkat suku bunga adalah harga yang dibayar peminjam (debitur) kepada pihak yang meminjam (kreditur) untuk pemakaian sumber daya selama jangka waktu tertentu, 4. Bagi hasil adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil 44 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif menggunakan rata-rata (mean), standar maximum dan minimum PDRB, suku bunga, bagi hasil, inflasi, permintaan kredit Bank Konvensional dan Bank Syariah dengan periode tahun pengamatan 2001 s/d tahun 2010. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan disajikan hasil olahan data statistik deskriptif dengan menggunakan SPSS release 17 yang dapat disajikan pada Tabel 4.1 berikut ini : TABEL 4.1 STATISTIK DESKRIPTIF N PDRB(Harga Konstant) Suku Bunga Ril Bagi Hasil Inflasi Permintaan Kredit Bank Konvensional Permintaan Kredit Bank Syariah Valid N (listwise) Minimum 10 6633905 Maximum Mean Std. Deviation 17892123 11349238.10 3333158.106 10 2.24 8.45 10 413000000 1880000000 10 3.70 7.85 10 47800000000 1.E11 5.7270 1.03E9 6.2940 7.88E10 1.78342 5.237E8 1.43616 3.310E10 10 3.61E10 2.891E10 7180000000 99500000000 10 Sumber : Lampiran 3 Tabel 4.1 yakni hasil olahan data statistik deskriptif, yang menunjukkan bahwa untuk variabel PDRB (harga konstant) dengan periode pengamatan 10 tahun (2001 s/d tahun 2010) maka rata-rata (mean) PDRB pertahun sebesar 45 11.349.238,10 dengan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 3.333.158,11, sedangkan nilai PDRB yang tertinggi sebesar 17.892.123 dan yang terendah sebesar 6.633.905. Kemudian suku bunga rata-rata (mean) yang ditetapkan pertahun sebesar 5,72% dengan standar deviasi sebesar 1,78%, sedangkan tingkat suku bunga yang tertinggi sebesar 8,45% dan yang terendah sebesar 2,24%, selanjutnya tingkat rata-rata (mean) bagi hasil pertahun sebesar 1.023.100.000 dengan standar deviasi sebesar 523.711.423,93. Sedangkan nilai bagi hasil yang tertinggi sebesar 1.880.000.000 dan yang terendah sebesar 413.000.000. Kemudian rata-rata (mean) inflasi sebesar 6,29% dengan standar deviasi sebesar 1,44%, sedangkan tingkat inflasi yang tertinggi 7,85% dan yang terendah sebesar 3,70%, sehingga permintaan kredit untuk Bank Konvensional rata-rata (mean) pertahun sebesar 78.850.000.000 dengan standar deviasi 33.103.549.658,61 dan permintaan kredit yang terbesar adalah 132.000.000.000, serta yang terendah sebesar 47.800.000.000. Kemudian rata-rata (mean) permintaan kredit untuk Bank Syariah sebesar 36.168.000.000 dengan standar deviasi sebesar 28.912.658.050,68 serta permintaan kredit yang tertinggi sebesar 99.500.000.000 dan yang terendah sebesar 7.180.000.000,- 4.2. Uji Asumsi Regresi Sebelum dilakukan uji regresi, terlebih dahulu akan dilakukan uji asumsi klasik. Dimana menurut Singgih, S. (2010, hal. 203) bahwa sebuah model regresi, akan dapat dipakai untuk prediksi jika memiliki sejumlah asumsi yang disebut dengan uji asumsi klasik. Oleh karena itulah dalam melakukan uji asumsi 46 klasik, yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji normalitas, uji multikolineritas, uji autokorelasi dan uji heterokesdastisitas. Berikut ini akan dilakukan uji asumsi klasik yaitu sebagai berikut : 4.2.1. Uji Asumsi Normalitas Sujianto dalam Agus (2009, hal. 77) menjelaskan bahwa uji distribusi normal adalah uji untuk mengukur apakah data regresi memiliki distribusi normal, sehingga dapat dipakai dalam statistik parametrik, sebab model regresi linear berganda dapat disebut sebagai model yang baik, jika model tersebut memenuhi asumsi normalitas data. Dalam uji normalitas, metode yang digunakan dalam uji normalitas adalah one sample kolmogorov-smirnov test. Menurut Agus (2009, hal, 83) bahwa : - Nilai sig atau signifikan atau nilai probabilitas < 0,05, distribusi data adalah tidak normal - Nilai sig atau signifikan atau nilai probabilitas > 0,05, distribusi data adalah normal. Sebelum dilakukan uji normalitas dengan one sample kolmogorov smirnov, maka terlebih dahulu akan disajikan hasil olahan data dengan menggunakan SPSS release 17 yang dapat disajikan pada Tabel 4.2 yaitu sebagai berikut : 47 TABEL 4.2 HASIL OLAHAN DATA UJI NORMALITAS DENGAN ONE SAMPLE KOLMOGOROV-SMIRNOV Nama Variabel Nilai Asimp Batas Penelitian Sig (2 – tailed) Tolerance 1. PDRB (harga constant) 1,000 0,05 Data normal 2. Suku bunga 0,972 0,05 Data normal 3. Bagi hasil 0,986 0,05 Data normal 4. Inflasi 0,287 0,05 Data normal 5. Permintaan kredit Bank 0,589 0,05 Data normal 0,564 0,05 Data normal No. Konvensional 6. Keputusan Permintaan kredit Bank Syariah Sumber : Lampiran 4 Tabel 4.2 yakni hasil uji normalitas dengan one sample kolmogorovsmirnov dimana dapat dikatakan bahwa keenam variabel (PDRB, suku bunga, bagi hasil, inflasi, permintaan kredit Bank Konvensional, permintaan kredit Bank Syariah). Dimana memiliki nilai asymp sig (2 – tailed) lebih besar dari 0,05, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bank yang diteliti memiliki distribusi yang normal, karena semuanya memiliki distribusi data yang normal maka variabel yang akan digunakan dapat diolah lebih lanjut. 4.2.2. Uji Multikolineritas Multikolineritas timbul sebagai akibat adanya hubungan kausal antara dua variabel bebas atau lebih atau adanya kenyataan bahwa dua variabel penjelas atau lebih bersama-sama dipengaruhi oleh variabel ketiga, yang berada di luar model. Menurut Agus (2009, hal. 78) yang menyatakan jika nilai 48 variance inflation factor (VIF) tidak lebih dari 10 maka model terbebas dari multikolineritas. Berikut ini akan disajikan hasil olahan data uji multikolineritas dengan menggunakan SPSS release 17 yang dapat disajikan pada tabel 4.3 yaitu sebagai berikut : TABEL 4.3 UJI MULTIKOLINERITAS DENGAN SPSS RELEASE 17 Nama Model I Model II VIF No. Keputusan Variabel 1. PDRB Tolerance VIF Tolerance VIF Standar 0,760 1,316 0,349 2,863 10 Tidak ada gejala multikolineritas 2. 3. Suku bunga riil Bagi hasil 0,440 2,274 - - 10 Tidak ada gejala multikolineritas - - 0,218 4,581 10 Tidak ada gejala multikolineritas 4. Inflasi 0,521 1,921 0,475 2,106 10 Tidak ada gejala multikolineritas Sumber : Lampiran 8 dan lampiran 9 Berdasarkan Tabel 4.3 yakni hasil uji multikolineritas ternyata nilai VIF dari setiap variabel penelitian baik yang akan digunakan dalam model pengujian regresi 1 dengan model pengujian regresi 2 tidak ada yang melebihi 10 berarti data penelitian ini terbebas dari masalah multikolineritas. 49 4.2.3. Uji Asumsi Autokorelasi Uji asumsi autokorelasi adalah korelasi yang terjadi diantara output observasi, biasanya terjadi pada data time series. Oleh karena itulah dalam uji asumsi autokorelasi digunakan dengan metode Run test. Alasannya menggunakan metode tersebut, karena metode Run Test lebih akurat dalam mendeteksi nilai residual yang memiliki korelasi yang tinggi. Menurut Ghozali (2009, hal. 108) bahwa nilai sig yang kurang dari 0,05, dapatlah disimpulkan terjadi autokorelasi antara nilai residual. Dalam hubungannya dengan uraian tersebut di atas, akan disajikan hasil olahan data Run Test dengan menggunakan SPSS release 17 yaitu sebagai berikut : TABEL 4.4 UJI AUTOKORELASI Unstandardized Unstandardized Residual(Bank Konvensional) Residual(Bank Syariah) Test Valuea 6.66752E8 -1.71091E8 Cases < Test Value 5 5 Cases >= Test Value 5 5 10 10 8 5 1.006 -.335 .314 .737 Total Cases Number of Runs Z Asymp. Sig. (2-tailed) Sumber : Lampiran 7 50 Berdasarkan tabel 4.4 yakni hasil uji autokorelasi dengan menggunakan metode Run Test, ternyata untuk model pengujian regresi 1 yang memiliki nilai Asimp sig (2 – tailed) yang lebih besar dari 0,05, berarti dapatlah disimpulkan bahwa model regresi pertama tidak memiliki persoalan autokorelasi. Selanjutnya uji autokorelasi model 2 memiliki nilai asimp sig 0,737 sehingga dapatlah disimpulkan bahwa model regresi 2 tidak memiliki persoalan auto korelasi. Alasannya karena memiliki asimp sig (2 – tailed) yang lebih besar dari 0,05. 4.2.4. Uji Heterokesdastisitas Uji heterokesdastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Oleh karena itulah dalam pengujian ini digunakan uji glesjer, dengan ketentuan bahwa dari probabilitas signifikan di atas tingkat kepercayaan 5%. Jadi dapat disimpulkan bahwa model regresi tidak mengandung adanya heterokesdastisitas jika lebih besar dari batas tolerance. Adapun hasil olahan data uji heterokesdastisitas dalam model regresi yaitu sebagai berikut : 51 TABEL 4.5 UJI HETEROKESDASTISITAS DENGAN MENGGUNAKAN SPSS REL. 17 No. Nama Variabel Model 1 Model 2 1. PDRB (Sig) 0,165 (Sig) 0,735 2. Suku bunga riil 0,767 - 3. Bagi hasil - 0,415 4. Inflasi 0,358 0,540 Keputusan Tidak ada gejala heterokesdastisitas Tidak ada gejala heterokesdastisitas Tidak ada gejala heterokesdastisitas Tidak ada gejala heterokesdastisitas Sumber : Data diolah dengan menggunakan SPSS Tabel 4.5 yakni hasil uji heterokesdastisitas dengan menggunakan SPSS release 17 ternyata nilai asimp sig yang terdapat dalam setiap variabel baik pada model 1 maupun model 2 tidak ada yang memiliki nilai sig < 0,05, hal ini menunjukkan bahwa variabel yang ditekankan baik yang ada dalam model 1 maupun pada model 2 tidak memiliki gejala heterokesdastisitas. 4.3. Analisis Regresi Analisis regresi bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara variabel bebas (independent) dengan variabel terikat (dependent). Oleh karena itulah dalam pengujian regresi dapat dibagi atas 2 model regresi yaitu menganalisis PDRB, suku bunga, dan inflasi terhadap permintaan kredit pada bank Konvensional (Model 1) dengan menguji pengaruh antara PDRB, bagi hasil, dan inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah (Model 2). Berikut ini akan disajikan hasil olahan data regresi yang dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini : 52 53 Berdasarkan Tabel 4.6 yakni hasil olahan data regresi dengan menggunakan SPSS release 17, maka selanjutnya akan dapat disajikan hasil pengujian regresi yang dapat diuraikan sebagai berikut : 4.3.1. Uji pengaruh antara PDRB, suku bunga, inflasi terhadap permintaan kredit Bank Konvensional Uji regresi digunakan untuk menguji seberapa besar pengaruh antara PDRB, suku bunga, inflasi terhadap permintaan kredit khususnya pada Bank Konvensional. Oleh karena itulah, sesuai dengan persamaan 3.3.1 bagian a, maka yang menjadi persamaan regresi dengan menggunakan SPSS yaitu : Y = 59447719826,55 + 0,924X1 - 0,230X2 - 0,417X3 (3,432) (15,243) (-2,886) (-5,687) Berdasarkan hasil persamaan regresi yang telah dikemukakan di atas, maka diperoleh nilai R = 0,992, R Square = 0,983, Adjusted Rsquare = 0,875, Fhit = 117,302, maka dapatlah dikatakan bahwa PDRB berpengaruh positif terhadap permintaan kredit Bank Konvensional, sedangkan suku bunga dengan tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional. Dengan kata lain semakin tinggi suku bunga dan inflasi maka permintaan kredit akan semakin turun. Dalam hubungannya dengan uraian tersebut di atas, akan disajikan hasil uji parsial untuk regresi antara PDRB, suku bunga dan inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional yang dapat diuraikan sebagai berikut : a) Pengaruh PDRB terhadap permintaan kredit Bank Konvensional Pengaruh antara PDRB dengan permintaan kredit pada Bank Konvensional dapat dikatakan berpengaruh positif. Kemudian dengan nilai sig = 0,000 yang 54 lebih kecil dari 0,05, dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,924, berarti dapat dikatakan bahwa PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional. b) Pengaruh Suku Bunga dengan Permintaan Kredit Bank Konvensional Berdasarkan hasil uji regresi, maka dapatlah dikatrakan bahwa suku bunga berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional. Dengan kata lain semakin tinggi suku bunga maka permintaan kredit di Bank Konvensional semakin turun. Selanjutnya dilihat dari nilai sig = 0,028 < 0,05 dengan koefisien regresi sebesar -0,230, hal ini berarti ada pengaruh yang negatif dan signifikan antara suku bunga dengan permintaan kredit di Bank Konvensional. c) Pengaruh Inflasi terhadap permintaan kredit di Bank Konvensional Regresi antara inflasi dengan permintaan kredit di Bank Konvensional dapat dikatakan berpengaruh negatif, sedangkan dengan nilai sig 0,001 < 0,05 dengan nilai koefisien regresi sebesar -0,417, berarti dapat disimpulkan ada pengaruh yang negatif antara inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional. Ada dua hal dalam konsep teori inflasi, dimana dengan menggunakan asumsi suku bunga riil jika terjadi inflasi naik maka expected profit akan mengalami kenaikan dan permintaan kredit turut juga mengalami kenaikan, tetapi jika inflasi naik dan hasil olahan data regresi negatif, hal ini disebabkan karena nominal interest rate naik sehingga permintaan kredit juga akan naik. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Boediono (2001 : 156) menyatakan bahwa inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi (Cost 55 Push Inflation) adalah inflasi yang timbul karena berkurangnya penawaran akibat kenaikan produksi. Selanjutnya dilihat dari nilai R = 0,992, hal ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat dan positif antara PDRB, suku bunga, inflasi dengan permintaan kredit pada Bank Konvensional. Kemudian dilihat dari nilai adjusted Rsquare = 0,983. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independent (PDRB, suku bunga, inflasi) terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional mampu menjelaskan sebesar 98,30% (0,983 x 100), sehingga dari hasil uji serempak (uji F) diperoleh Fhitung = 117,302 dengan nilai sig = 0,000. Hal ini membuktikan bahwa PDRB, Suku bunga dan inflasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap permintaan kredit Bank Konvensional. 4.3.2. Uji Regresi antara PDRB, Bagi hasil, Inflasi terhadap Permintaan Kredit Bank Syariah Uji regresi digunakan untuk menguji pengaruh antara PDRB, bagi hasil dan inflasi terhadap permintaan kredit Bank Syariah, dengan persamaan regresi 3.3.1 bagian b : Y = -26.833.522,718 + 1,180X1 - 0,380X2 - 0,251X3 (-1,807) (10,693) (-2,722) (-2,650) Berdasarkan hasil persamaan regresi yang telah dikemukakan di atas, maka diperoleh nilai R = 0,987, R Square = 0,974, Adjusted Rsquare = 0,962, Fhit = 76,303, maka dapatlah dikatakan bahwa PDRB berpengaruh positif terhadap permintaan kredit Bank Syariah, sedangkan bagi hasil dengan tingkat 56 inflasi berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. Dengan kata lain semakin tinggi bagi hasil dan inflasi maka permintaan kredit akan semakin turun. Dalam hubungannya dengan uraian tersebut di atas, akan disajikan hasil uji parsial untuk regresi antara PDRB, bagi hasil dan inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Pengaruh PDRB terhadap Permintaan Kredit pada Bank Syariah Pengaruh PDRB terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah, setelah dilakukan uji regresi ternyata berpengaruh positif. Dengan kata lain semakin tinggi PDRB maka akan semakin tinggi pula permintaan kredit pada Bank Syariah. Kemudian dilihat dari nilai sig = 0,000 < 0,05 dengan nilai koefisien regresi sebesar 1,180 berarti ada pengaruh yang positif dan signifikan PDRB terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. 2) Pengaruh Bagi Hasil terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah Regresi antara bagi hasil dengan permintaan kredit pada Bank Syariah ternyata berpengaruh negatif, dimana semakin tinggi bagi hasil dikenakan kepada nasabah yang mengambil kredit di Bank Syariah maka permintaan kredit akan semakin turun. Selanjutnya dilihat dari nilai sig 0,035 yang lebih kecil dengan batas tolerance 0,05, dengan nilai koefisien regresi sebesar -0,380 berarti ada pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. 57 3) Pengaruh Inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah Berdasarkan hasil uji regresi antara inflasi dengan permintaan kredit pada Bank Syariah maka dapatlah disimpulkan ada pengaruh yang negatif antara inflasi dengan permintaan kredit pada Bank Syariah. Kemudian dilihat dari hasil sig = 0,038 < 0,05 dengan nilai koefisien regresi sebesar -0,251, berarti ada pengaruh signifikan dan negatif antara inflasi dengan permintaan kredit pada Bank Syariah. Ada dua hal dalam konsep teori inflasi, dimana dengan menggunakan asumsi suku bunga riil jika terjadi inflasi naik maka expected profit akan mengalami kenaikan dan permintaan kredit turut juga mengalami kenaikan, tetapi jika inflasi naik dan hasil olahan data regresi negatif, hal ini disebabkan karena nominal interest rate naik sehingga permintaan kredit juga akan naik. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Boediono (2001 : 156) menyatakan bahwa inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi (Cost Push Inflation) adalah inflasi yang timbul karena berkurangnya penawaran akibat kenaikan produksi. Kemudian dilihat dari nilai R = 0,987, hal ini dapat diartikan bahwa korelasi antara PDRB, bagi hasil dan inflasi memiliki hubungan yang kuat sebab nilai r mendekati 1. Selanjutnya dilihat dari nilai Adjusted R Square = 0,962 yang artinya prosentase sumbangan pengaruh variabel independen (PDRB, bagi hasil dengan inflasi) terhadap variabel dependen (permintaan kredit Bank Syariah) sebesar 96,20% (0,962 x 100), selanjutnya dilihat dari hasil uji simultan dengan menggunakan Fhitung = 76,303 dan nilai sig = 0,000, karena nilai sig < 0,05 58 berarti secara bersama-sama ada pengaruh antara PDRB, Bagi hasil dan inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. 4.4. Uji Beda Salah satu tujuan yang dilakukan dalam uji beda adalah untuk menguji perbedaan permintaan kredit antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah. Sehingga dalam uji beda digunakan dengan metode Paired Samples Statistics. Berdasarkan uraian tersebut di atas akan disajikan hasil olahan data uji beda yang dapat dilihat melalui tabel berikut ini : TABEL 4.7 HASIL UJI BEDA DENGAN PAIRED SAMPLES STATISTICS Mean Pair 1 Permintaan Kredit Bank N Std. Std. Error Deviation Mean 7.88E10 10 3.310E10 1.047E10 3.61E10 10 2.891E10 9.143E9 Konvensional Permintaan Kredit Bank Syariah Sumber : Lampiran 10 Menurut Dwi (2010, hal. 41) yang menyatakan bahwa jika nilai signifikan > 0,05 berarti tidak ada perbedaan antara permintaan kredit Bank Konvensional dengan Bank Syariah, sedangkan nilai sig < 0,05 berarti ada perbedaan antara permintaan kredit Bank Konvensional dengan Bank Syariah, sehingga dari hasil pengujian dengan sig (2 – tailed) sebesar 0,000 < 0,05 berarti 59 dapatlah disimpulkan ada perbedaan yang signifikan antara permintaan kredit pada Bank Konvensional dengan Bank Syariah. 4.5. Pembahasan Pembahasan dalam penelitian ini ditekankan dalam menguji pengaruh PDBR, suku bunga, inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional dan pengaruh PDRB, bagi hasil dan inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan ternyata semuanya berpengaruh secara signifikan baik permintaan kredit pada Bank Konvensional maupun permintaan kredit pada Bank Syariah. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut : 4.5.1. Pengaruh PDRB, Suku bunga dan Inflasi terhadap Permintaan Kredit di Bank Konvensional a) Pengaruh PDRB terhadap Permintaan Kredit Dari hasil pengujian regresi, khususnya yang berkaitan dengan PDRB dengan permintaan kredit pada Bank Konvensional, dimana dapat dikatakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan kredit pada bank Konvensional. Menurut Mochamad Faza Rifai (2007) bahwa PDRB berhubungan erat dengan permintaan kredit, hal ini disebabkan karena dengan adanya kenaikan PDRB maka tingkat konsumsi masyarakat akan semakin meningkat, oleh sebab itu jika PDRB meningkat maka permintaan kredit akan meningkat guna mencukupi tingkat konsumsi yang dihadapi oleh masyarakat. 60 Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, ternyata ada pengaruh yang signifikan antara PDRB dengan permintaan kredit. Dimana semakin tinggi PDRB maka akan secara langsung permintaan kredit meningkat, oleh karena itulah dalam penelitian ini sejalan dengan teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Mochamad Faza Rifai, sehingga hipotesis yang diajukan terbukti. b) Pengaruh Suku bunga terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional Hasil pengujian regresi, yang menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dan negatif antara tingkat suku bunga riil dengan permintaan kredit pada Bank Konvensional. Dimana semakin tinggi tingkat suku bunga maka permintaan kredit akan semakin turun, hal ini sejalan dengan teori suku bunga riil yang sebagaimana dikemukakan oleh Boediono (2007) bahwa jika tingkat suku bunga riil yang tinggi daripada keuntungan yang diharapkan dengan penggunaan dana maka pengusaha tidak akan mengadakan investasi, tetapi sebaliknya bila keuntungan yang diharapkan lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat bunga riil tersebut maka pengusaha akan mengadakan investasi. Sedangkan dari hasil penelitian ternyata diketahui bahwa semakin tinggi suku bunga maka permintaan kredit akan turun, sehingga dalam penelitian ini sejalan dengan teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Budiono. Dan selain itu dari hasil penelitian sejalan dengan hipotesis yang telah dikemukakan. 61 c) Pengaruh inflasi terhadap permnintaan kredit pada Bank Konvensional Berdasarkan hasil pengujian inflasi terhadap permintaan kredit pada Bank Konvensional, dimana dari hasil penelitian yang menemukan ada pengaruh negatif antara inflasi dengan permintaan kredit. Dengan kata lain semakin tinggi inflasi maka permintaan kredit akan semakin turun. Kemudian Boediono (2001) bahwa inflasi adalah proses kenaikan harga unit barang secara terus menerus, sehingga tanpa kestabilan ekonomi, perekonomian akan bekerja secara efisien. Dalam kondisi tersebut terjadi inflasi yang deras, jelas investasi menyebabkan permintaan kredit akan turun, sedangkan dari hasil penelitian ini ternyata ada kecenderungan inflasi yang tinggi akan menyebabkan permintan kredit akan turun, sehingga dari hasil penelitian ini mendukung teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Boediono, dan selain itu hipotesis yang diajukan terbukti. 4.5.2. Pengaruh PDRB, Bagi hasil dan inflasi terhadap Permintaan Kredit pada Bank Syariah a) Pengaruh PDRB terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ternyata ditemukan ada pengaruh yang signifikan dan positif antara PDRB dengan permintaan kredit pada Bank Syariah. Alasannya karena dengan kenaikan PDRB berarti tingkat konsumsi masyarakat akan meningkat, sehingga masyarakat akan mencukupi tingkat konsumsinya melalui permintaan kredit (Mochamad Faza Rifai, 2005), sehingga dalam penelitian ini mendukung teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Mochamad Faza Rifai. 62 b) Pengaruh bagi hasil terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah Dari hasil pengujian regresi antara bagi hasil dengan permintaan kredit, ternyata ada pengaruh yang negatif dan signifikan. Dimana semakin tinggi bagi hasil yang ditetapkan oleh Bank Syariah maka permintaan kredit akan semakin turun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amelia Sandra (2002) bahwa perbankan Syariah memungkinkan untuk menghidupkan skala menengah kebawah yang merasa takut untuk meminjam uang ke bank karena takut usahanya tidak berhasil, sehingga harus membayar cicilan dan bunga yang tinggi, karena baik tingkat suku bunga maupun bagi hasil sama-sama merupakan penggunaan modal dan sama-sama mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan modal. Lebih lanjut menurut Susanto (2003) bahwa semakin tinggi rasio bagi hasil maka permintaan modal kerja akan menurun. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis ternyata menemukan ada pengaruh yang signifikan dan positif antara bagi hasil dengan permintaan kredit di Bank Syariah. Dari hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Amelia Sandra dan Susanto, dan selain itu dari hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya. c) Pengaruh inflasi dengan permintaan kredit pada bank Syariah Berdasarkan hasil pengujian regresi yang menunjukkan ada pengaruh yang negatif antara inflasi dengan permintan kredit pada Bank Syariah. Hal ini sejalan dengan teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Boediono (2007) bahwa tingginya inflasi akan menyebabkan turunnya investasi, dengan turunnya 63 investasi akan mendorong turunnya permintaan kredit pada Bank Syariah, sehingga dari hasil penelitian ini mendukung teori yang sebagaimana dikemukakan oleh Boediono. 64 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka akan disajikan beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut : 1) Pengaruh PDRB terhadap permintaan kredit bank pada Bank Konvensional maupun Bank Syariah berpengaruh positif dan signifikan. Dengan demikian hipotesis terbukti. 2) Dari hasil uji regresi antara inflasi, yang menunjukkan ada pengaruh yang negatif dan signifikan antara inflasi dengan permintaan kredit khususnya pada Bank Konvensional dengan Bank Syariah, dengan demikian hipotesis terbukti. 3) Hasil uji regresi suku bunga dengan permintaan kredit pada Bank Konvensional berpengaruh negatif dan signifikan. Sedangkan bagi hasil dengan permintaan kredit pada Bank Syariah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan kredit pada Bank Syariah. Dengan demikian hipotesis yang diajukan terbukti. 4) Berdasarkan hasil uji beda permintaan kredit pada Bank Konvensional dengan Bank Syariah, dimana ada perbedaan yang signifikan antara permintaan kredit pada Bank Konvensional dengan Bank Syariah. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan kredit Bank Konvensional menetapkan tingkat suku bunga yang dikenakan kepada nasabah, sedangkan Bank Syariah menekankan pada konsep bagi hasil. 65 5.2. Saran-saran Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan hasil kesimpulan ini adalah sebagai berikut : 1) Disarankan agar Bank Konvensional menetapkan tingkat suku bunga yang lebih rendah, sehingga akan meningkatkan permintan kredit di masa-masa yang akan datang. 2) Disarankan agar Bank Syariah menetapkan bagi hasil yang dapat memberikan keuntungan bagi nasabah, sehingga akan mendorong peningkatan permintaan kredit di masa yang akan datang. 66 DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainul, 2007, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, cetakan pertama, penerbit : Alfabet, Jakarta Antonio dan Perwataatmadja, 1997, Apa dan Bagaimana Bank islam, Penerbit : Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta. Boediono, 2005, Pengantar Ekonomi, edisi keempat, cetakan ketiga, penerbit : BPFE, Yogyakarta Christopher, 2008, Mikro ekonomi Intermediate dan Aplikasinya, edisi kedelapan, penerbit : Erlangga, Jakarta. Iskandar, Putu, 2007, Ekonomi Mikro dan Makro, Edisi Kedua, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta. Jumhur, 2006, Analisis Permintaan Kredit Modal Kerja usaha Kecil di Kota Semarang (Studi Kasus Permintaan Modal Kerja Usaha Kecil Sektor Perdagangan dari BMT). Skripsi Universitas Diponegoro, Semarang. Mohammad Faza Rifai, 2007, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Kredit Perbankan pada Bank Umum di Provinsi Jawa Tengah. Skripsi Universitas Islam Indonesia, Fakultas Ekonomi Mankiw. N. Gregore, 2003, Teori Makro Ekonomi, edisi kelima, Alih Bahasa Imam Nurmawan, Harvart University. Muhammad, 2004, Manajemen Dana Bank Syariah, cetakan pertama, Penerbit : Ekonisia, Yogyakarta Muana, Nunga, 2001, Makro Ekonomi, Cetakan Pertama, Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sukirno, Sadono, 2002, Pengantar Teori Makro Ekonomi, penerbit : PT. Radja Grafindo Persada Rajawali, Jakarta Suparmoko, 2002, Ekonomi Publik Untuk Keuangan Dan Pembangunan Daerah, edisi pertama, Penerbit : Andi Yogyakarta Sugiarto, 2002, Strategi Manajemen Bank Kredit, Penerbit : Damar Mulia Pustaka, Jakarta. Teguh Pudjo Mulyono, 2004, Manajemen Perkreditan, edisi ketiga, cetakan pertama, Penerbit : BPFE, Gadjah Mada, Yogyakarta 67 Undang-undang Perbankan No. 14 tahun 1998, edisi pertama, cetakan pertama, Penerbit : Rajawali Pers, Jakarta Warkum, S. 1996, Asas-asas Perbankan Islam dan lembaga-lembaga Terkait (BAMUI & Takaful), Penerbit : Rajawali Pers, Jakarta. 68 69