pengaruh pengolahan tanah minimum

advertisement
MELESTARIKAN LAHAN DENGAN OLAH TANAH KONSERVASI
Oleh :
Reni Setyo Wahyuningtyas
RINGKASAN
Olah Tanah Konservasi (OTK) merupakan salah satu teknik pengolahan tanah yang
meminimalkan gangguan terhadap tanah. Cara ini bukanlah teknik baru. Di bidang pertanian
OTK bahkan telah banyak diterapkan dan memberikan hasil yang cukup baik bagi
produktifitas tanaman dan kelestarian tanah.
Olah tanah konvensional yaitu dengan bajak total dan garu telah banyak diterapkan
di kehutanan terutama pada hutan tanaman skala luas dengan tujuan memberikan kondisi
lahan yang bersih dan tekstur tanah yang gembur untuk jenis-jenis tanaman cepat tumbuh.
Namun banyak ahli menyatakan teknik ini akan mempercepat erosi tanah disamping
memerlukan biaya mahal. Aplikasi OTK di kehutanan diharapkan akan berdampak positif
terhadap kelestarian tanah. Selain dapat meminimalkan erosi, penerapan OTK juga lebih
murah karena tidak memerlukan alat berat, mudah diaplikasikan pada banyak spesies
tanaman hutan yang tidak memerlukan pengolahan tanah secara total.
Penerapan OTK terutama untuk spesies-spesies yang tidak terlalu membutuhkan
pengolahan intensif harus dilakukan. Beberapa aplikasi OTK yang dapat dilakukan seperti
pengolahan tanah seperlunya sesuai kondisi tanah, pemberian mulsa, penggunaan herbisida
secara tepat dan pengendalian erosi mungkin akan dapat membantu mewujudkan kelestarian
lahan.
Kata kunci: Olah Tanah Konservasi (OTK), persiapan lahan, mulsa,
I. PENDAHULUAN
Pengolahan tanah (tillage) adalah kegiatan yang lazim dilakukan untuk
pembangunan tegakan. Olah tanah juga menjadi salah satu bagian teknik persiapan
lahan (site preparation) dengan tujuan untuk memberikan kondisi tempat tumbuh yang
optimal bagi bibit yang akan ditanam. Evans (1992) menyatakan bahwa
kegiatan
persiapan lahan telah menjadi bagian integral dari pembangunan tanaman hutan dengan
Galam Volume IV No. 2 Agustus 2010 (Hal 81 – 96)
tujuan untuk mendapatkan daya hidup tanaman yang tinggi dan pertumbuhan awal yang
cepat.
Seperti halnya di bidang pertanian, pengolahan tanah di kehutanan dapat
dilakukan sebelum dan sesudah bibit ditanam. Pengolahan tanah setelah bibit ditanam
pada umumnya bertujuan untuk pemeliharaan tanaman. Namun demikian Hendromono et
al. (2003 dalam Puslitbang Hutan Tanaman, 2006) menyatakan bahwa intensitas
pengolahan tanah tergantung pada jenis yang akan ditanam. Ada jenis yang mampu
tumbuh pada lahan yang tidak diolah, tetapi ada pula jenis pohon yang memerlukan
pengolahan tanah secara intensif agar dapat tumbuh baik dan optimal.
Pengolahan tanah yang dilakukan secara intensif tentu akan memerlukan biaya
yang tinggi disamping mempercepat kerusakan tanah. Selain itu, pada umumnya saat
dilakukan pengolahan tanah, lahan dalam keadaan terbuka. Tanah dihancurkan oleh alat
pengolah sehingga agregat tanah mempunyai kemantapan rendah. Jika pada saat
tersebut terjadi hujan, tanah dengan mudah dihancurkan dan terangkut bersama air
permukaan (erosi).
Dalam jangka panjang, pengolahan tanah yang terus menerus
mengakibatkan pemadatan pada lapisan tanah bagian bawah lapisan olah sehingga
dapat menghambat pertumbuhan akar. Untuk mengatasi kerusakan karena pengolahan
tanah, maka pengolahan tanah minimum dapat menjadi pilihan (LIPTAN, 1994).
Pengolahan tanah minimum (minimum tillage) adalah pengolahan tanah yang
dilakukan secara terbatas atau seperlunya tanpa melakukan pengolahan tanah pada
seluruh areal lahan (LIPTAN, 1994).
Menurut Johannis (2008), teknologi olah tanah
konservasi dalam bentuk oleh tanah minimum, tanpa olah tanah dan pemanfaatan mulsa ini
telah diterapkan pada 100 juta ha lahan pertanian di dunia terutama di Amerika Selatan,
Amerika Utara serta beberapa negara Afrika. Namun laju adopsi olah tanah konservasi
ini melambat dalam satu dekade terakhir ini.
82
Melestarikan Lahan Dengan Olah Tanah Konservasi
Reny Setyo W
Agar kegiatan penanaman tanaman hutan dapat berhasil dan kelestarian sumber
daya lahan dapat terus dijaga, maka olah tanah konservasi merupakan pilihan yang
bijaksana. Peran olah tanah konservasi dalam menjaga kesuburan lahan dan bagaimana
praktek olah tanah konservasi pada lahan kehutanan akan dibahas dalam tulisan ini.
II. OLAH TANAH SEBAGAI BAGIAN PERSIAPAN LAHAN
Menurut Nyland (2001), di kehutanan perlakuan untuk menciptakan lingkungan
yang optimal untuk pertumbuhan bibit yang ditanam umum disebut kegiatan persiapan
lahan (site preparation). Kegiatan persiapan lahan tersebut meliputi:
1. menghilangkan vegetasi yang tidak diinginkan, menebas dan membuang tunggul, akar
dan bebatuan sebelum metode regenerasi dimulai
2. beberapa perlakuan untuk memfasilitasi pertumbuhan vegetatif tanaman atau
memperbaiki kondisi fisik tapak untuk menunjang perkecambahan, daya hidup dan
pertumbuhan bibit selanjutnya.
Sedangkan Evans (1992) menyebut persiapan lahan sebagai ground preparation,
dengan tujuan utama untuk mendapatkan daya hidup tanaman yang tinggi dan
pertumbuhan awal tanaman yang cepat. Hal ini dapat dicapai melalui kegiatan:
1. mengendalikan vegetasi kompetitior
2. menghilangkan gangguan-gangguan fisik terhadap pertumbuhan pohon
3. pengolahan tanah untuk memperbaiki strukturnya, terutama untuk membantu
perkembangan perakaran tanaman dan ketersediaan hara
4. memperbaiki drainase tanah yang terlalu basah atau menjaga kelembaban pada
tanah yang kering
83
Galam Volume IV No. 2 Agustus 2010 (Hal 81 – 96)
5. membuat guludan memotong kontur untuk mengurangi erosi tanah.
Pendapat kedua silvikulturis tersebut menunjukkan bahwa pengolahan tanah
merupakan bagian yang penting untuk memfasilitasi bibit tanaman atau trubusan dari jenis
target agar dapat hidup dan tumbuh optimal tanpa gangguan pesaing-pesaingnya atau
kondisi tempat tumbuh yang kurang mendukung.
Menurut Fahmuddin dan Widianto (2004), pengolahan tanah adalah setiap
kegiatan mekanik yang dilakukan terhadap tanah dengan tujuan untuk memudahkan
penanaman, menciptakan keadaan tanah yang gembur bagi pertumbuhan dan
perkembangan akar tanaman sekaligus memberantas gulma.
Menurut Puslitbang Hutan Tanaman (2006), tujuan penyiapan lahan adalah
mewujudkan prakondisi lahan yang optimal untuk keperluan penanaman yang berwawasan
lingkungan dan memelihara kesuburan tanah, terutama agar kondisi fisik tanah mendukung
perkembangan akar, mengurangi persaingan dengan gulma dan mempermudah
penanaman. Ada beberapa macam teknis olah tanah untuk jenis-jenis tanaman kehutanan
yaitu:
1. Pengolahan tanah secara manual
Pengolahan tanah secara manual dilakukan di areal yang akan ditumpangsarikan dan
tidak tersedia alat mekanis, dengan menggunakan alat bajak yang ditarik hewan atau
dicangkul
2. Pengolahan tanah secara mekanis
Cara ini pada umumnya dapat mempercepat pertumbuhan tanaman, khususnya di
lahan yang datar, tetapi memerlukan biaya yang lebih mahal. Tahapan kegiatan
pengolahan tanah secara mekanis meliputi:
84
Melestarikan Lahan Dengan Olah Tanah Konservasi
Reny Setyo W
a. Pembajakan pertama sedalam 30 cm dengan traktor yang dilengkapi bajak
piringan berdiameter 71 cm
b. Pembajakan kedua dilakukan 4 minggu setelah pembajakan pertama dengan arah
45 dari pembajakan pertama
c. Penggaruan satu kali dilakukan setelah 3-4 minggu dari pembajakan kedua
dengan traktor yang dilengkapi garu.
II. OLAH TANAH, MANFAAT DAN DAMPAK NEGATIFNYA
Pengolahan tanah (tillage) akan diperlukan ketika kondisi sifat fisik tanah kurang
mendukung bagi pertumbuhan tanaman seperti tanah yang padat, keras dan aerasi yang
minim. Intensitasnya akan tergantung pada kondisi tanah dan jenis tanaman.
Menurut Winarso (2005), pemadatan tanah, hardpans dan pembentukan lapisan
keras (crusting) merupakan penyebab utama degradasi fisik tanah. Pemadatan tanah
dapat meningkatkan berat isi yang berpengaruh pada penetrasi akar, konduktifitas
hidrolik dan aerasi. Untuk mengurangi pemadatan tanah, pengolahan tanah hingga lapisan
dalam diikuti pemberian bahan organik dapat dilakukan.
Selain untuk persiapan lahan, pengolahan tanah juga dilakukan untuk pemeliharaan
tanaman. Pengolahan tanah selama musim tumbuh dilakukan terutama untuk memecahkan
kerak-kerak keras yang disebabkan pukulan air hujan untuk menjamin aerasi yang cukup
serta mematikan tanaman pengganggu (Buckman dan Brady, 1969).
Menurut Arsyad (2006), pengolahan tanah menyebabkan tanah menjadi longgar
dan lebih cepat menyerap air hujan sehingga mengurangi aliran permukaan, akan tetapi
pengaruh ini bersifat sementara karena tanah yang telah diolah dan menjadi longgar akan
85
Galam Volume IV No. 2 Agustus 2010 (Hal 81 – 96)
lebih mudah tererosi. Kondisi tersebut tentu akan menyebabkan dampak negatif terhadap
lapisan permukaan tanah. Ford-Robertson, 1971 dan Helms, 1998 (dalam Nyland, 2001)
menyatakan bahwa beberapa praktek persiapan lahan dan kegiatan merubah kondisi fisik
zona perakaran ternyata dapat menyebabkan:
1. hilangnya lapisan atas tanah dan lapisan bahan organik
2. terkikisnya lapisan humus dan serasah yang belum terdekomposisi yang menyebabkan
lapisan mineral tanah menjadi terbuka
3. tercampurnya bahan organik pada permukaan tanah dengan lapisan mineral tanah
4. persiapan lahan secara mekanik juga dapat memusnahkan vegetasi lainnya
Selain itu Hasibuan (2009) juga menyatakan bahwa pengolahan tanah perlu
dicermati karena bisa menimbulkan banyak masalah antara lain:
1. rusaknya profil tanah
ketika tanah diolah, maka lapisan tanah yang kaya hara akan berpindah dan
bercampur dengan lapisan tanah yang lebih dalam. Hal ini bisa menciptakan lapisan
keras yang bisa menggangu penetrasi air dan akar ke dalam tanah
2. perubahan pola drainase tanah
3. rusaknya perakaran tanaman
4. pengolahan tanah secara mekanik bisa menyebabkan pemadatan tanah
5. pengolahan tanah dapat merangsang perkecambahan benih gulma
6. pengolahan tanah menyebabkan biji gulma tersimpan di dalam tanah yg dapat
berkecambah bila tanah diolah kembali
7. hilangnya lapisan tanah karena erosi utamanya karena air.
86
Melestarikan Lahan Dengan Olah Tanah Konservasi
Reny Setyo W
Oleh karena itu pada tanah yang berlereng curam pengolahan tanah sebaiknya
diminimumkan, bahkan ditiadakan. Kegiatan pengolahan tanah biasa atau konvensional
(dengan cara mencangkul atau membajak tanah dua kali dan diikuti dengan menghaluskan
bongkahan tanah satu atau dua kali sebelum bertanam) lebih banyak bertujuan untuk
memberantas gulma. Jika gulma dapat diatasi misalnya dengan penggunaan mulsa atau
penggunaan herbisida, maka pengolahan tanah dapat dikurangi atau malah ditiadakan .
Selain itu, pada umumnya tanaman tahunan hampir tidak memerlukan pengolahan tanah
terutama untuk tujuan pengendalian gulma. Hal ini dimungkinkan karena setelah tajuknya
berkembang menaungi permukaan tanah, pertumbuhan gulma akan sangat berkurang
(Fahmuddin dan Widianto, 2004).
Namun demikian perlu tidaknya pengolahan tanah juga tergantung pada jenis
yang akan ditanam. Karena ada jenis-jenis yang mampu tumbuh pada lahan yang tidak
diolah dan ada pula yang memerlukan pengolahan tanah secara intensif agar dapat
tumbuh baik dan optimal (Hendromono et al., 2003 dalam Puslitbang Hutan Tanaman,
2006). Evans (1992) menyatakan bahwa seberapa besar tingkat persiapan lahan dan
pengolahan tanah juga tergantung pada kemampuan suatu spesies untuk bersaing
mendapatkan cahaya, kelembaban dan hara pada suatu tapak. Sebagai contoh:
1. kebanyakan Eukaliptus memerlukan pengolahan tanah dan lahan yang bebas
gulma agar pertumbuhan awalnya cepat
2. beberapa jenis Pinus termasuk P. oocarpa, P patula dan P. caribea adalah toleran
terhadap kompetisi dengan rumput
3. jenis Araukaria akan tertekan jika berkompetisi dengan rumput dan hanya tumbuh
lambat bahkan sering mengalami khlorosis.
Contoh diatas menjelaskan bahwa setiap spesies menghendaki persiapan lahan
yang berbeda. Tidak selalu persiapan lahan dengan pengolahan tanah secara total akan
87
Galam Volume IV No. 2 Agustus 2010 (Hal 81 – 96)
memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan awal suatu jenis tanaman. Berikut ini
beberapa hasil penelitian penyiapan lahan dan praktek pengolahan tanah untuk
beberapa spesies pohon dari hasil penelitian yang dirangkum dalam Puslitbang Hutan
Tanaman (2006).
Tabel 1. Teknik persiapan lahan dan olah tanah untuk beberapa spesies pohon di hutan
sekunder
No.
Jenis
Teknik persiapan lahan
1.
Acacia mangium
pembersihan lahan + bajak 1 kali + garu 1 kali
2.
Anisoptera costata
pembersihan jalur bersih 1,5 m, tanpa olah tanah
3.
Enterolobium cyclocarpum
bersih total, TOT (langsung buat lubang tanam dengan tugal)
4.
Eucalyptus deglupta
pembersihan lahan + bajak 1 kali + garu 1 kali
5.
Gmelina arborea
pembersihan lahan mekanis dengan bulldozer
6.
Hymenaea courbaril
pembersihan lahan + bajak 2 kali + garu 1 kali
7.
Peronama canescens
pembersihan lahan + pembajakan 2 kali + garu 1 kali
8.
Shorea johorensis
pembersihan jalur bersih 2-3 m, tanpa olah tanah
9.
Shorea leprosula
pembersihan jalur bersih 3 m, tanpa olah tanah
10. Shorea ovalis
pembersihan jalur bersih 1 meter, tanpa olah tanah
Sumber
: Puslitbang Hutan Tanaman (2006)
Tabel 2. Teknik persiapan lahan dan olah tanah untuk beberapa jenis pohon pada jenis
tanah Podzolik merah kuning dengan vegetasi awal alang-alang
No.
88
Jenis
Teknik persiapan lahan
1.
Acacia mangium
bajak total 1 kali
2.
Eucalyptus deglupta
bajak total 1 kali + bajak jalur 1 kali
3.
Gmelina arborea
bajak total 1 kali
4.
Khaya antotheca
bersih/bajak jalur 1 kali
5.
Melaleuca cajuputi
pembersihan lahan +bajak 1 kali + garu
6.
Paraserianthes falcataria
bajak total 1 kali
7.
Schima walichii
bajak total 1 kali + bajak jalur 1 kali
Melestarikan Lahan Dengan Olah Tanah Konservasi
Reny Setyo W
No.
8.
Jenis
Shorea macrophylla
Teknik persiapan lahan
bajak total 1 kali + bajak jalur 1 kali
9. Switenia macrophylla
pembersihan lahan + bajak 1 kali
Sumber : Hendromono et al. (2003 dalam Puslitbang Hutan Tanaman, 2006),
Nasrun et al. (2002).
III. OLAH TANAH KONSERVASI (OTK)
Olah Tanah Konservasi (OTK) adalah suatu sistem pengolahan tanah dengan tetap
mempertahankan setidaknya 30% sisa tanaman menutup permukaan tanah (Fahmuddin
dan Widianto, 2004). Menurut Hasibuan (2009) tujuan dari OTK adalah mengurangi
intensitas pengolahan tanah. OTK dilakukan dengan cara:
1. Pengolahan tanah dalam bentuk larikan memotong lereng atau dengan mencangkul
sepanjang larikan untuk memudahkan penanaman.
2. Tanpa Olah Tanah (TOT) yaitu sistem di mana permukaan tanah hanya dibersihkan
dari gulma baik secara manual maupun dengan menggunakan herbisida. Sesudah
pembersihan, tanaman langsung ditugal. Jika penugalan sulit dilakukan, dapat
digunakan cangkul untuk memudahkan penanaman.
Menurut Fahmuddin dan Widianto (2004), OTK mempunyai 2 kelebihan yaitu: 1)
menghemat tenaga kerja dan biaya
peningkatan pori makro.
dan 2) memperbaiki struktur tanah melalui
Proses ini terjadi karena dengan tanpa olah tanah, fauna
(hewan) tanah seperti cacing menjadi lebih aktif. Produktifitas lahan juga dapat meningkat
karena seresah sisa tanaman yang mati oleh herbisida akan hancur sehingga dapat
meningkatkan hara tanah. Selain itu serasah juga berfungsi menghambat terjadinya erosi
tanah, penguapan air tanah dan mengurangi kerusakan tanah akibat tetesan hujan.
Faktor-faktor inilah yang menyebabkan sistem ini disebut pertanian konservasi, karena
mengkonservasi atau memperbaiki kualitas tanah (Hasibuan, 2009).
89
Galam Volume IV No. 2 Agustus 2010 (Hal 81 – 96)
Olah tanah minimum juga merupakan salah satu penerapan OTK.
Pengolahan
tanah minimum adalah teknik konservasi tanah dimana gangguan mekanis terhadap tanah
diupayakan sesedikit mungkin.
Dengan cara ini kerusakan struktur tanah dapat dihindari
sehingga aliran permukaan dan erosi berkurang. Teknik ini juga mengurangi biaya dan
tenaga kerja untuk pengolahan tanah dan mengurangi biaya / tenaga kerja untuk
penyiangan
secara
mekanik.
Pengolahan
tanah
minimum
cukup efektif
dalam
mengendalikan erosi, dan biasa dilakukan pada tanah-tanah yang berpasir dan rentan
terhadap erosi.
Beberapa keuntungan penerapan olah tanah minimum antara lain adalah :
a.
menghindari kerusakan struktur tanah
b.
mengurangi aliran permukaan dan erosi
c.
memperlambat proses mineralisasi, sehingga penggunaan zat-zat hara dalam bahanbahan organik lebih berkelanjutan
d.
tenaga kerja yang lebih sedikit daripada pengelolaan penuh, sehingga mengurangi
biaya produksi
e.
dapat diterapkan pada lahan-lahan marginal yang jika tidak dengan cara ini mungkin
tidak dapat diolah.
Sedangkan kelemahan olah tanah minimum antara lain adalah :
a. perakaran mungkin terbatas dalam tanah yang berstruktur keras
b. lebih cocok untuk tanah yang gembur
c. pemberian mulsa perlu dilakukan secara terus menerus
d. herbisida diperlukan apabila pengendalian tanaman pengganggu tidak
dilakukan secara manual / mekanis.
90
Melestarikan Lahan Dengan Olah Tanah Konservasi
Reny Setyo W
III. PENERAPAN OTK DI KEHUTANAN
Beberapa perlakuan untuk memperbaiki kondisi tanah dapat dilakukan tanpa harus
memberikan gangguan besar terhadap kondisi tanah seperti halnya olah tanah
konvensional. Perlakuan olah tanah konservasi pada intinya adalah menyiapkan ruang
tumbuh yang baik untuk tanaman tanpa harus banyak mengusiknya. Beberapa perlakuan
di bawah ini dapat dijadikan contoh untuk perlakuan olah tanah konservasi yang dapat
diaplikasikan untuk membangun suatu tegakan tanaman hutan.
1. Pengolahan Tanah Sesuai Kondisinya
Tanah sebaiknya diolah seperlunya tergantung pada kondisi sifat fisik tanah. Jika
kondisi fisik tanah baik, artinya tanah gembur dan tidak terdapat lapisan padat pada
kedalaman perakaran, maka pengolahan tanah dapat ditiadakan atau tanpa olah tanah
(Arsyad, 2006).
Pada tanah-tanah miskin hara seperti Ultisol, kedalaman lapisan olahnya umumnya
tipis dan peka akan erosi. Hilangnya bahan organik, antara lain karena pengolahan
tanah yang terlalu sering akan menyebabkan tanah menjadi terbuka sehingga terjadi
kenaikan suhu yang mempercepat hilangnya unsur hara dalam tanah. Karena pada tanah
yang tidak diolah biasanya akar tanaman hanya mampu menembus sampai kedalaman
30-40 cm saja, maka upaya pengolahan tanah tetap diperlukan tetapi seperlunya saja
yaitu disekitar lubang tanaman diikuti dengan pemberian mulsa (LIPTAN, 1994).
Beberapa praktek pengolahan tanah minimum yang dapat diterapkan adalah:
1. Pengolahan tanah disekitar lobang tanaman
lahan yang akan ditanami dibersihkan dari rumput-rumput baik secara mekanis maupun
secara kimia dengan menggunakan herbisida Glyposate selanjutnya tanah ditutup
dengan mulsa dan di sekitar lobang tanam dilakukan olah tanah seperlunya.
91
Galam Volume IV No. 2 Agustus 2010 (Hal 81 – 96)
2. Pengolahan tanah di sekitar tanaman
pembersihan lahan dari rumput-rumputan dan pemberian mulsa sama dengan cara di
atas sedang pengolahan tanah dilakukan dalam jalur tempat tumbuh tanaman.
3. Tanpa pengolahan tanah (zero tillage)
dalam keadaan struktur dan porositas tanah masih baik maka pengolahan tanah beIum
diperlukan.
2. Penggunaan Mulsa
Mulsa merupakan material yang dihamparkan di atas permukaan tanah dengan
tujuan untuk menjaga kelembaban tanah dan mengurangi pertumbuhan gulma dan
penyakit.
Menurut Tisdale dan Nelson (1956) untuk menambah dan melindungi bahan organik
tanah, penggunaan mulsa dapat menjadi pelindung sekaligus menjaga kelembaban tanah
dan mengurangi pertumbuhan gulma. Untuk meningkatkan ketersediaan unsur N sehingga
pemberian pupuk N dapat berkurang, ada 2 jenis mulsa yang dapat diaplikasikan yaitu :
a. mulsa hidup (living mulch), berupa tanaman semusim dan penutup tanah (dari jenis
legum dan rerumputan) yang ditanam di sela-sela atau di bawah tanaman pokok
b. mulsa sisa panen (trash mulches), adalah residu sisa panen yang dihamparkan di
permukaan tanah.
Aplikasi mulsa yang lain yaitu teknik mulsa vertikal (slot mulch). Mulsa vertikal
adalah lubang atau penampang yang di dalamnya diisi dengan limbah hutan, sisa
tanaman atau seresah (mulsa). Jebakan mulsa sering disebut rorak, berukuran kecil atau
sedang yang dibuat di bidang olah atau di saluran peresapan atau pada saluran
pembuangan air dengan tujuan untuk: a) menampung dan meresapkan air aliran
permukaan ke dalam tanah dan b) memperlambat laju aliran permukaan. Ukuran rorak
92
Melestarikan Lahan Dengan Olah Tanah Konservasi
Reny Setyo W
disesuaikan dengan keadaan lahan dengan lebar 0,49-0,60 m dan dalam 0,3-0,5 m.
Jarak antar barisan jebakan mulsa ditentukan oleh kemiringan lahan atau berkisar antara
3-5 m. Jebakan mulsa ini merupakan tempat meletakkan rumput hasil penyiangan yang
sekaligus berfungsi untuk menampung air aliran permukaan. Menurut Subagyono (2007),
alur yang diberi mulsa vertikal dapat meningkatkan infiltrasi lebih besar daripada alur
tanpa mulsa, mulsa vertikal juga bisa mengurangi laju evaporasi.
Selain mengurangi erosi tanah karena sedimen yang terangkut oleh aliran
permukaan tertampung dalam rorak atau alur, aplikasi mulsa vertikal juga dapat menjaga
kesuburan tanah karena seresah atau limbah hutan yang tertampung dapat menjadi
sumber pupuk organik yang dapat dipanen setelah matang atau menjadi kompos. Untuk
mempercepat proses pengomposan, maka pemberian mikroorganisme yang terdapat
pada pupuk kandang atau pemberian efektif mikroorganisme (EM4) dapat dilakukan.
Salah satu contoh kandungan limbah serasah hutan yang diberi dedak padi dan
EM4 yang dibuat dalam rorak atau lubang galian ditampilkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan unsur makro dalam kompos serasah hutan setelah 1 bulan
Serasah
Shorea sp.
C-org
24,65
N
Nisbah C/N
Total Unsur (%)
P
K
Ca
Mg
1,36
18,1
0,12
0,14
0,38
0,12
A. mangium
23,17
1,24
Sumber : Sumarna et al. (2000).
18,7
0,12
0,15
0,37
0,14
3. Penggunaan Herbisida Secara Tepat
Penggunaan herbisida di kehutanan agak berbeda dengan di pertanian. Pada
tanaman berdaur pendek, herbisida diaplikasikan untuk membunuh gulma atau tumbuhan
bawah sebelum tegakan dibangun.
Tetapi pada tanaman berdaur panjang, aplikasi
93
Galam Volume IV No. 2 Agustus 2010 (Hal 81 – 96)
herbisida dilakukan untuk menghilangkan jenis-jenis non target untuk mengurangi
persaingan dengan jenis target.
Menurut Nyland (2001), aplikasi herbisida di kehutanan umumnya diberikan dalam
dosis rendah, untuk mengendalikan efek yang tidak diinginkan seperti membunuh anakananakan jenis komersial serta menghindari kontaminasi yang tidak diinginkan. Agar tidak
salah sasaran, aplikasi herbisida di kehutanan seringkali dilakukan dengan: 1)
menyemprotkan pada bagian tajuk, 2) menyuntikkan atau menyemprot ke dalam kulit kayu
pada jenis yang tidak diinginkan, 3) menyemprot pada tunggak atau memotong pohon
dan semak yang muncul trubusan, 4) menyiramkan pada tanah.
Menurut Hasibuan (2009), salah satu kelebihan OTK adalah bisa mengurangi
kerusakan fisik tanah. Namun demikian penggunaan herbisida dikhawatirkan dapat
memacu kerusakan kimia dan biologis tanah. Penggunaan herbisida yang ramah
lingkungan sangat diharapkan untuk mengurangi resiko polusi tanah yang diakibatkan oleh
bahan-bahan kimia yang terkandung dalam herbisida.
Belum banyak informasi tersedia jenis herbisida apa saja yang bersifat ramah
lingkungan.
Namun demikian pemakaiannya secara hati-hati dan tepat sasaran serta
sesuai takaran yang tepat, mungkin dapat menghidari polusi tanah oleh bahan kimia yang
berlebihan. Herbisida yang digunakan juga harus memenuhi persyaratan seperti: tidak
berbahaya bagi manusia, hewan dan lingkungan jika digunakan secara benar, efektif
terhadap gulma, mempunyai ketahanan yang lama dan biaya operasionalnya relatif
murah.
4. Pembuatan Teras untuk Melindungi Lahan terhadap Erosi
Erosi merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan tanah yang besar,
sehingga harus dicegah. Menurut Puslitbang Hutan Tanaman (2006), tindakan akhir dari
kegiatan penyiapan lahan untuk hutan tanaman adalah perlindungan lahan terhadap
94
Melestarikan Lahan Dengan Olah Tanah Konservasi
Reny Setyo W
bahaya erosi. Oleh sebab itu, pada topografi yang miring perlu dibuat teras yang
bentuknya disesuaikan dengan kemiringan dan kondisi lahan. Bentuk teras yang dapat
dibuat antara lain adalah:
a. Teras datar, sesuai untuk lahan yang kemiringannya di bawah 3%. Tujuannya untuk
memperbaiki pengaliran air dan kelembaban tanah. Caranya dengan menggali tanah
sejajar garis kontur, kemudian tanah hasil galian ditimbun di bagian bawahnya
membentuk guludan. Di atas guludan ditanami rumput.
b. Teras kredit, cocok untuk lahan yang kemiringannya antara 3-10%. Tujuannya untuk
mempertahankan kesuburan lahan. Caranya hampir sama dengan teras datar, dengan
jarak antar guludan 5-12 m. Pada guludan ditanam tanaman penguat teras.
c. Teras gulud, dibuat pada lahan kering yang kemiringannya antara 11-15%. Tujuannya
adalah untuk mengurangi kecepatan aliran air di permukaan lahan dan memperbesar
peresapan air ke dalam tanah. Cara pembuatannya seperti teras kredit, tetapi bagian
atas gulud sedikit miring ka arah saluran air. Diantara gulud besar dapat dibuat
beberapa gulud kecil. Jarak antara gulud besar 10 m dan dilengkapi dengan tanaman
penguat teras.
IV.
PENUTUP
Seiring dengan semakin meningkatnya kepedulian terhadap kelestarian lingkungan,
olah tanah konservasi dapat dijadikan solusi bagaimana kita mengelola lahan agar terus
lestari namun tetap produktif.
Olah tanah konservasi tidak membatasi kita dalam
mengolah tanah tetapi memberikan pilihan bagaimana sebaiknya tanah diperlakukan lebih
bijaksana, karena tanah adalah sumber kehidupan semua makhluk yang ada di bumi.
95
Galam Volume IV No. 2 Agustus 2010 (Hal 81 – 96)
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2006. Konservasi tanah dan air. Bogor, IPB Press. Hal 154 – 155.
Buckman, H.O dan N.C. Brady. 1969. The nature and properties of soils. The Macmillan
Company, New York.
Fahmuddin, A. dan Widianto. 2004. Petunjuk praktis konservasi tanah pertanian lahan
kering. World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Bogor Hal 59-60
Hasibuan,
I.
2009.
Olah
tanah
konservasi.
Pertanian
berkelanjutan.
http://sistempertanianberkelanjutan.blogspot.com/2009/09/olah-tanahkonservasi.html (diakses 17 Maret 2010)
Johannis, M.L. 2008. Pertanian berkelanjutan pertanian konservasi. Sumber Sinar Harapan.
Media Tani. Jumat, 8 Februari.
http://mediatani.wordpress.com/2008/02/08/pertanian-berkelanjutan-pertaniankonservasi/ (Diakses 15 Maret 2010).
Evans, J. 1992. Plantations forestry in the tropics. Tree planting for industrial, social,
environtmental and agroforestry purposes.Second editions. Oxford University Press.
New York.
LIPTAN. 1994. Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) BIP Irian Jaya No. 145/94. Balai
Informasi
Pertanian
Irian
Jaya,
Jayapura.
http://www.pustakadeptan.go.id/agritek/ppua0138.pdf. (diakses 17 Maret 2010)
Nyland, R.D. 2001. Silviculture concept and apllications. Second Edition. Mc. Graw Hill.
University of Minnesota, USA.
Puslitbang Hutan Tanaman. 2006. Teknik silvikultur hutan tanaman industri. Puslitbang Hutan
Tanaman, Badan Litbang Kehutanan, Bogor.
Subagyono. 2007. Konservasi air untuk adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim. In:
F. Agus, N. Sinukaban, A.N. Gintings, H. Santoso dan Sutadi (Eds.). Bunga Rampai
Konservasi Tanah dan Air. Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air
Indonesia 2004-2007. Hal 13-27.
Sumarna, Y., N. Mindawati dan A.S. Kosasih. 2000. Pedoman pemanfaatan efektif
mikroorganisme pada pembangunan hutan tanaman. Badan Litbang Kehutanan.
P3H & KA, Bogor.
Tisdale S.L. dan W.L. Nelson. 1956. Soil fertility and fertilizers. New York. The Macmillan
Company.USA. 428 p.
Winarso, S. 2005. Kesuburan tanah. Dasar kesehatan dan kualitas tanah. Penerbit Gava
Media. Yogyakarta.
96
Download