Penataan Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat

advertisement
Bidang Ilmu: HUKUM
LAPORAN TAHUNAN
PENELITIAN HIBAH BERSAING
PENATAAN PENGUASAAN HAK ATAS TANAH BAGI
MASYARAKAT ADAT: SOLUSI PENYELESAIAN SENGKETA
AGRARIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Tahun ke-1 dari Rencana 3 Tahun
Tim Pengusul :
Mukmin Zakie,SH.,M.Hum., Ph.D. (Ketua)
NIDN : 0512056301
Drs. Agus Triyanta,MA, MH.,Ph.D.(Anggota)
NIDN : 0520066901
DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
DPPM UII, Lt.3 Komplek Masjid Ulil Albab UII, Jl. Klaiurang KM 14,4 Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
Telp/Fax 0274-898444 ext. 2505 ext.2503.
November 2013
2|Page
RINGKASAN
Penelitian ini merupakan Tahap ke-1 dari rencana tiga (3) Tahapan penelitian berjudul “Penataan
Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat: Solusi Penyelesaian Sengketa Agraria
Berbasis Kearifan Lokal,” yang akan menggali karakteristik berbagai kasus sengketa agraria
yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia. Dalam tahap ke-1 ini penelitian dimaksudkan untuk;
pertama, mengidentifikasi berbagai kasus sengketa agraria yang terjadi di Indonesia, berikut
berbagai faktor yang menjadi penyebab dari munculnya sengketa tersebut. Kedua, penelitian ini
juga dimaksudkan untuk menganalisa permasalahan terkait perangkat hukum (regulasi) di bidang
sumber daya agraria, apakah kelemahan yang ada yang dinilai ikut berperan bagi timbulnya
berbagai sengketa. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, menggunakan proses berfikir
dan kaidah berfikir, dalam menemukan landasan pemikiran, makna substantif, dan peran negara
dalam penyelesaian sengketa agraria yang lazim disebut hypothetical deduction. Pendekatan
sosiologis digunakan untuk menelaah mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam
masyarakat adat. Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan permasalahan dan
metode pendekatannya, meliputi; pengumpulan dengan menghimpun semua dokumen terkait
dengan kasus sengketa tanah, obervasi, in-depth interview dan Focus Group Discussion (FGD)
serta diskusi publik lainnya. Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data diolah dengan
metode kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran
terhadap data, mengambil arti yang terkandung di dalamnya. Dari penelitian Tahap ke-1 yang telah
dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: pertama, konflik pertanahan merupakan isu
yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk,
perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh
tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Kedua, berbagai konflik agraria muncul
karena banyak faktor diakibatkan oleh tidak meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya
agraria yang ada, ekspansi wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih banyak terjadi di perkotaan.
Di samping itu adalah adanya kegiatan ekonomi sebagian dari masyarakat, serta, adanya
kepadatan penduduk yang menuntut penyediaan lahan yang semakin luas. Ketiga, sebagai hak
dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri
seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah
itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat
dan negara. Pada saat ini regulasi yang ada masih menunjukkan ada overlapping antara sektoral,
lembaga yang mempunyai otoritas di bidang pengelolaan sumber daya agraria. Saran yang dapat
diajukan sebagai solusi permasalahan yang adalah, pertama, pembangunan semestinya dilakukan
dengan mempertimbangkan aspek sosial dan kultural. Mengingat selama ini pertimbangan lebih
pada aspek ekonomi. Kedua, perlu adanya penataan regulasi di bidang sumber daya agraria, yang
dapat menjadi acuan yang jelas di dalam pemecahan konflik yang terjadi.
3|Page
PRAKATA
Assalamu”alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Puji syukur penulis persembahkan kepada illahi rabbi yang telah
melimpahkan kenikmatan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan Tahap ke-1 dari rencana tiga (3) Tahapan penelitian berjudul “Penataan
Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat: Solusi Penyelesaian Sengketa Agraria
Berbasis Kearifan Lokal,” yang akan menggali karakteristik berbagai kasus sengketa agraria
yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai kasus sengketa agraria yang
terjadi di Indonesia, berikut berbagai faktor yang menjadi penyebab dari munculnya sengketa
tersebut. Selain ini, penelitian ini juga dimaksudkan untuk menganalisa permasalahan terkait
perangkat hukum (regulasi) di bidang sumber daya agraria, untuk kemudian dirumuskan solusi
bagi masalah tersebut.
Penelitian
dapat terlaksana atas bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini
penelitgi mengucapkan terima kasih kepada:
1) Direktur Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah memberikan dana pada
penelitian ini.
2) Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DPPM) Universitas
Islam Indonesia, yang telah memfasilitasi proses pengajuan proposal sampai tahap
pelaporan hasil penelitian.
3) Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan izin kepada
kami untuk melaksanakan penelitian serta memanfaatkan fasilitas yang kami perlukan.
4) Para nara sumber, baik perorangan maupun kelembagaan yang telah menerima dan
memberikan informasi/ data yang diperlukan dalam penelitian.
5) Para kolega di Universitas Islam Indonesia yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu,
atas saran dan masukannya selama proses penelitian.
Wassalamu”alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 15 Nopember 2013
Peneliti
4|Page
DAFTAR ISI
Halaman
11
HALAMAN SAMPUL ...............................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................
RINGKASAN ............................................................................................................
PRAKATA ................................................................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
BAB III:TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .....................................................
BAB IV: METODE PENELITIAN ..............................................................................
BAB V: HASIL YANG DICAPAI ..............................................................................
BAB VI: RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA .......................................................
BAB VII: KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
Lampiran-Lampiran . ..........................................................................................
1
2
3
4
5
6
9
14
16
18
48
49
50
51
1. Laporan Keuangan
2. Makalah FGD
3. Draft Artikel Jurnal
4. Foto Kegiatan
5|Page
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Reformasi politik yang terjadi lebih dari satu dasawarsa yang lalu telah membawa banyak
perubahan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Menguatnya masyarakat sipil
telah
menjadikan munculnya berbagai aspirasi masyarakat, baik yang terkait dengan tata pemerintahan
maupun terkait dengan berbagai pranata sosial. Tidak semua aspirasi dapat terakomodasi secara
proporsional, sehingga menimbulkan berbagai ketegangan sosial.
Permasalahan terkait dengan sumber daya agraria adalah salah satu sektor yang secara jelas
menunjukkan adanya ketegangan sosial tersebut. Berbagai kerusuhan massa muncul dan secara
vis a vis berhadapan dengan pemerintah dan pihak swasta yang bergerak dalam bidang sumber
daya agraria.
Menyeruaknya kasus-kasus sengketa agraria seperti sengketa lahan antara
masyarakat adat dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) di Mesuji, Lampung
(Kompas, 17 Desember 2011), sengketa agraria di bidang pertambangan emas
antara
masyarakat Pape dengan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Bima, Nusa Tenggara Barat
(Gatra News, 28 Januari 2012) sengketa agraria di PTPN II di Sumatera Utara (Republika, 14
Desember 2011), adalah di antara kasus sengketa yang terjadi. Bahkan jika dilihat dari banyaknya
kasus yang terjadi dengan proporsi jenis lahan yang disengketakan, data yang ada cukup
mencengangkan:
Ragaan 1
Diagram Distribusi Jenis Lahan Sengketa
(sumber: www.kpa.or.id., 2012)
Secara garis besar, sengketa lahan secara umum dapat dikatakan sebagai konflik untuk
memperebutkan hak atas lahan, baik lahan pertanian, perkebunan, maupun tambang, antara
rakyat yang selama ini menjadi penggarap, dengan pihak pemerintah serta swasta yang terkait
dengan pengeloplaan lahan tersebut. (Syafruddin Kalo-1, 2004).
6|Page
Hingga saat ini, konflik ini belum dapat terselesaikan dengan baik, bahkan cenderung mengalamai
stagnasi dalam proses penyelesaiannya. (Kalo-2, 2004). Hal ini dikarenakan permasalahan ini
memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, di mana permasalahannya terkait dengan hukum, politik,
ekonomi serta hak-hak masyarakat lokal.
Politik hukum agraria di Indonesia juga tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan berbagai
permasalahan tersebut di atas. Undang-undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan UUPA memberikan kekuasaan yang sangat luas
kepada negara atas sumber daya agraria dengan konsep yang dikenal dengan “hak menguasai
oleh Negara” (HMN). Semula konsep ini dibuat untuk menghapus konsep domain verklaring yang
diterapkan oleh pemerintah kolonial untuk “merebut” tanah yang dikuasi masyarakat hukum adat.
Pada perkembangannya, HMN ini dalam penerapannya hampir sama dengan konsep domain
verklaring pada masa kolonial. (Haedar Laudjeng dan Arimbi HP, 1997). Pada gilirannya, dampak
yang terjadi adalah terabaikannya hak-hak rakyat yang kenyataannya telah mengelola tanah atau
lahan tertentu secara turun temurun.
Dengan pertimbangan di atas, reformasi dalam dataran regulasi menjadi suatu keharusan untuk
menjaga agar sengketa lahan tidak berkelanjutan. Reformasi ini dilakukan dengan menganalisis
peraturan perundang-undangan di bidang agraria yang ada, mengidentifikasi pertentangannya
dengan peraturan prundang-undangan yang lebih tinggi, serta mereformulasi berbagai hak yang
semestinya diberikan agar lebih adil dan proporsional.
Terabaikannya kearifan lokal adalah sisi lain adalah hal yang sangat jamak berkontribusi pada
bermunculannya sengketa agraria ini. (Yance Arizona, 2008). Hal itu dikarenakan, tanah bagi
kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sejak lahir manusia sudah ‘dikenalkan’ arti pentingnya tanah, seterusnya dalam mengarungi
kehidupan ini seseorang atau sekelompok masyarakat tidak pernah terpisahkan dari ‘urusan’
tanah. Karena itulah, selalu ada sisi nilai kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam berinteraksi
dengan lahan atau tanah.
Pendekatan politik hukum agraria yang ditempuh, sebagaimana nampak dalam sebagian aspek
dari UUPA di atas, dengan jelas memarginalkan, atau bahkan sama sekali tidak
mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal. Karena itulah, penyelesaian sengketa agraria
memerlukan suatu pendekatan yang juga memberdayakan kearifan lokal.
Langkah strategis yang diperlukan jika demikian, adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan munculnya sengketa agraria, kemudian mengevaluasi perangkat hukum yang terkait
7|Page
dengan permasalahan agraria. Selanjutnya, kearifan lokal yang ada di berbagai masyarakat adat
juga harus dieksplorasi, untuk mengetahui bagaimana pandangan dan orientasi mereka terhadap
masalah tanah. Barulah kemudian akan dapat disusun sebuah formulasi penyelesaian sengketa
agraria yang secara proporsional dapat mengakomodasi kepentingan berbagai pihak, sehingga
akan memiliki tingkat akseptabilitas yang tinggi bagi setiap pihak yang berkepentingan.
Ada beberapa provinsi di Indonesia dengan jumlah sengketa agraria cukup tinggi serta memiliki
tradisi kearifan lokal dalam penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria; yakni Jawa
Timur (36 kasus), Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus) dan Jawa Tengah
(12 kasus). (KPA, 2011).
Dengan mempertimbangkan uraian di atas, maka penelitian tentang “Penataan Penguasaan Hak
Atas Tanah Bagi
Masyarakat Adat: Solusi Penyelesaian Sengketa
Agraria Berbasis Kearifan
Lokal” sangat strategis untuk dilaksanakan. Dari gambaran di atas, dapat dirumuskan pertanyaan
yang akan dijawab oleh penelitian ini, yaitu sebagaimana berikut:
1) Mengapa berbagai kasus sengketa agraria semakin bermunculan di era pasca reformasi?
2) Bagaimanakah peran regulasi di bidang agraria saat ini dalam melakukan resolusi konflik
pertanahan?
3) Bagaimana kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia memberikan konsep
tentang agraria dan penyelsaian yang sengketa agraria?
4) Bagaimanakah formulasi penyelesaian sengketa dibidang agraria melalui reformasi
regulasi yang berbasis kearifan lokal?
8|Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Peningkatan penggunaan tanah penyebab terjadinya bermacam-macam corak dan bentuk
hubungan antara manusia dengan tanah, yang sekaligus menyebabkan terjadinya perkembangan
dalam bidang hukum tanah secara normatif, baik pada hukum tertulis maupun tidak tertulis.
Perkembangan itu ikut mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap tanah, apakah dari segi
pemilikan, penguasaan maupun penggunaannya.
Hal ini terlihat apabila dilakukan pengamatan terhadap perubahan masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri. Pada masyarakat agraris hubungan antara manusia dengan tanahnya bersifat
religio-magis-kosmis, iaitu hubungan antara manusia dengan tanah yang menonjolkan penguasaan
kolektif.(John Salindeho, 1987). Pada masyarakat yang mulai meninggalkan ketergantungan
kepada sektor agraris (menuju masyarakat industri), hubungan manusia dengan tanah merujuk
kepada hubungan yang bersifat individualis dan berorientasi ekonomis. Perubahan bentuk
hubungan tersebut semakin jelas dengan pengembangan hukum tanah, terutama hukum tertulis
yang lebih cenderung menyetujui kepemilikan secara individu. (John Salindeho, 1987).
Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sejak lahir manusia sudah ‘dikenalkan’ arti pentingnya tanah, seterusnya dalam
mengarungi kehidupan ini seseorang tidak pernah terpisahkan dari ‘urusan’ tanah. Wajar sajalah
kemudian dikatakan secara turun temurun manusia sudah terkondisi agar selalu berinteraksi
dengan tanah sebagai tempat ia hidup.
Berlakunya pepatah yang menyatakan sedhumuk batuk senyari bumi di tohi pati, merupakan suatu
ungkapan betapa berartinya tanah bagi seseorang, sampai-sampai nyawa akan dipertaruhkan
apabila ada yang mencoba mengusik apalagi merampasnya. Bagi bangsa Indonesia tanah bukan
sekedar bernilai ekonomis tetapi juga mengandung nilai/ikatan magis yakni dengan ditanamnya ariari (placenta) sebagai sumber kehidupan ketika berada dalam rahim ibu. Mengandung nilai historis,
psikologis dan nilai monumental.
Tanah merupakan modal dasar bagi kehidupan manusia. Sebagai sebuah modal dasar, maka
tanah memiliki dua fungsi: fungsi produksi dan fungsi non produksi. Kebutuhan akan penggunaan
tanah tersebut sering berbenturan, mengingat bahwa terdapatnya jumlah luas tanah yang terbatas,
pada sisi yang lain terdapat ledakan pertumbuhan penduduk.
Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat dua makna atas arti penting tanah. Tanah dapat
diarikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kegunaan non ekonomi
9|Page
(nilai religio-magis dan sosial tanah). Pada saat itulah memunculkan konflik tanah yang tampaknya
tidak mudah untuk dipecahkan. Sejarah membuktikan bahwa terjadinya konflik, pertumpahan
darah sejak masa lalu hingga perang Irak dan semua peperangan di muka bumi ini lebih
disebabkan perebutan atas penguasaan sebidang tanah.
Releigh Barlowe (1978) mengibaratkan tanah sebagai sepotong intan (batu permata) yang
mempunyai banyak sisi, ada kalanya tanah dipandang sebagai ruang, alam, faktor produksi,
barang-barang konsumsi, milik, dan modal. Di samping itu ada juga yang memandang tanah
sebagai benda yang berkaitan dengan Tuhan (sang pencipta), berkaitan dengan masyarakat yang
menimbulkan pandangan bahwa tanah sebagai kosmos, dan pandangan bahwa tanah adalah
sebagai tabungan (saving) serta menjadikan tanah sebagai aset (kekayaan).
Pentingnya keberadaan tanah bagi kehidupan manusia akan membentuk hubungan yang sangat
erat antara manusia dengan tanahnya. “Dialektik” yang terbentuk dalam hubungan antara manusia
dengan tanah akan memberi ‘warna’ tersendiri bagi kehidupan manusia dalam masyarakat.
Hubungan ini dapat menentukan dan mempengaruhi seluruh struktur hubungan manusia dengan
manusia, manusia dengan masyarakat, malahan hubungan antara manusia dalam suatu negara.
Kenyataan dan dialektik penguasaan terhadap tanah demikian akan menimbulkan keinginan
masyarakat agar ada pengaturan dalam hal kepemilikan tanah, serta kepastian hukum tentang
kepemilikan tanah itu, dan adanya jaminan bebas dari gangguan siapapun atau pihak lain
termasuk ‘gangguan’ dari negara. Keinginan tersebut dirasakan apakah oleh masyarakat yang
sejak awal telah menempati suatu wilayah tertentu (masyarakat asli setempat) maupun masyarakat
pendatang. Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, pengaturan penguasaan tanah
pada mulanya ditemukan dalam bentuk hukum tidak tertulis, yang berkembang dan dibentuk
bersama oleh masyarakat tersebut, dan berlaku serta dipatuhi hanya pada kesatuan
masyarakatnya. Peraturan demikian di dalam literatur hukum di Indonesia dikenal dengan hukum
adat dan aturan adat tentang penguasaan tanah.( B. Ter Haar, Bzn : 1962).
Hukum Tanah muncul sebagai sebuah jawaban atas kepentingan manusia terhadap tanah. Hukum
memberikan batas atas kepemilikan tanah. Tanah tidak dapat dilepaskan pengaturannya pada
hubungan yang bersifat privat/individu murni, akan tetapi tanah merupakan sebuah domein negara.
Tanah menjadi sumber bagi pencapaian kemakmuran sebuah bangsa, dan ketika berbicara
bangsa maka negara berperan secara aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah. Pasal 33
(3) UUD 1945 memberikan landasan juridis atas penguasaan sumber daya alam, di mana salah
satunya adalah tanah. Inilah konsep dasar Hak menguasai negara atas tanah yang bertujuan untuk
10 | P a g e
mencapai sebuah taraf kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi pada dataran praktik yang
terjadi banyak muncul konflik tanah.
Dianto Bachriadi dan Anton Lucas (2001) menyimpulkan bahwa sistem pengelolaan tanah dimasa
orde baru hanya menguntungkan penguasa dan kroninya yang hal ini telah menyebabkan banyak
petani yang kehilangan hak dan akses atas tanah. Akibatnya adalah dalam 20 tahun terkahir
jumlah sengketa tanah di Indonesia meningkat tajam dan sengketa ini sering kali berubah menjadi
konflik terbuka antara petani dan aparat keamanan.
Konflik tanah tidak mudah untuk diselesaikan. Hal ini dapat difahami mengingat dimensi
penguasaan atas tanah bukan sekadar penguasaan atas sebidang objek fisik berupa tanah secara
kasat mata, tetapi juga sebuah keyakinan bahwa tanah mengandung nilai religi magis yang kuat di
kalangan masyarakat. (Mukmin Zakie, 2011). Masuknya investasi yang memandang tanah sebagai
sebuah objek fisik bernilai ekonomi semata-mata akan berhadapan dengan masyarakat yang
masih memandang bahwa tanah tidak sekadar bernilai ekonomis tetapi mengandung nilai sakral,
karena di tanah tersebut ia dilahirkan, orang tua dimakamkan, harga diri dimunculkan dalam
bentuk penguasaan atas tanah. Pendek kata ada nilai monumental atas tanah tersebut.
Noer Fauzi (2003) berdasarkan kajian yang diilakukannya menyimpulkan bahwa pembaruan
hukum agraria yang selama ini dilakukan belum memadai dikarnakan tidak memberikan perhatian
yang konprehensip terhadap berbagai aspek agraria misalnya terkait dengan hal-hal pendaftaran
dan pengurusan klaim-klaim masyarakat dengan tanah yang hilang akibat pelanggran HAM.
Untuk itu diperlukan pembaharuan hokum agraria yang lebih konprehensif mengakomodasi
berbagai aspek yang terkait. Bahkan keberadaan berbagai masyarakat adat dengan dengan hak
atas tanah perlu dicermati secara sungguh-sungguh.
Kehadiran masyarakat adat sebagai masyarakat ‘asli’ Indonesia sejak dahulu adalah suatu
kenyataan sosial. Masyarakat adat tidak tumbuh dan berkembang dengan idealisme politik yang
utopis . Eksistensi nya sudah ada sejak ratusan tahun, yang ditandai adanya berbagai kelompok
manusia dengan tatanan kehidupan dalam sebuah teritorial tertentu. Pergaulan mereka selalu
didasarkan pada filosofi hidup yang sudah mereka tentukan, yang umumnya ditandai dengan
adanya kebersamaan dan kekeluargaan. ( Ronald Z Titahelu, 1998).
Mukmin Zakie (2009) berpendapat bahwa ada dua kemungkinan mengapa pengaturan masyarakat
adat dalam hokum Negara dari dulu sampai kini masih belum jelas. Pertama pemerintah dalam
kapasitas sebagai pemegang arah kebijakan tidak mampu mengkonstruksi keragaman masyarakat
11 | P a g e
adat dengan totalitas sosialnya ke dalam perundang-undangan. Kedua tidak ada kemauan politik
dari pemerintah untuk membuat aturan yang menguatkan keberadaan masyarakt adat.
Wilayah kehidupan masyarakat hukum adat ini dalam kepustakaan disebut dengan hak ulayat
(beschikking recht). Ulayat artinya wilayah. Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan
kewajiban bagi masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam wilayah
atau lingkungannya. Wewenang dan kewajiban tersebut ada yang masuk dalam ranah hukum
Perdata/privat misalnya hak bersama atas tanah yang mereka huni, dan ada juga yang masuk
dalam wilayah hukum umum atau publik berupa kewenangan untuk menata dan mengelola,
mengatur dan menentukan peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan atas sumber
daya agraria dalam wilayah hak ulayat tersebut. (Boedi Harsono, 1997).
Benturan makna atas tanah muncul ketika saling berhadapannya ipso jure versus ipso facto. Ipso
jure yang berasal dari konsep hukum barat berhadapan dengan ipso facto yang berasal dari
konsep hukum adat. Secara juridis (ipso jure); masyarakat dianggap sebagai pemilik sah atas
tanah jika ia sebagai subjek hukum dapat membuktikannya dengan alat bukti hukum berupa surat
sertifikat. Tetapi secara ipso facto, masyarakat menganggap bahwa ia memiliki sebidang tanah
tidak dibuktikan melalui ada atau tidak adanya surat bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah,
tetapi dari hubungan intensif yang terjadi antara manusia dengan tanah dan pengakuan
masyarakat sekitarnya. (Mukmin Zakie, 2012). Semakin intens suatu masyarakat berhubungan
dengan tanah, maka pengakuan atas kepemilikan tanah tersebut akan semakin kuat.
Konsep hak ulayat yang menjadi dasar dari pandangan kearifan local di beberapa masyarakat
adat, sebenarnya ada keterkaitannya dengan konsep tanah dalam Hukum Islam. Di dalam konsep
Ihya’ al-Mawat dalam Islam juga demikian, barang siapa yang menghidupkan dalam arti
mengusahakan tanah mawat atau tanah mati dalam arti terlantar/belum ada yang mengusahakan,
ia berhak mendapat hak milik atas tanah tersebut. Konsep ini dilaksanakan semenjak zaman
Rasulullah. Tidak heran jika di masyarakat baik di pedesaan hingga di kota besar tidak memiliki
sertifikat kepemilikan atas tanah karena ia menganggap telah memiliki tanah tersebut secara turuntemurun. Turun-temurun menempati sebidang tanah menjadi bukti pengakuan atas kepemilikan
tanah tersebut. (Ridzuan Awang, 1994).
Dengan demikian maka terjadinya konflik tanah dapat kita sederhanakan penyebabnya: adanya
perbedaan pemahaman konsep kepemilikan antara ipso jure dengan ipso facto, adanya perbedaan
makna penggunaan tanah antara nilai ekonomis berhadapan nilai religi magis, serta terdapatnya
ketimpangan persediaan luas tanah apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan jumlah
penduduk.
12 | P a g e
Dengan memperhatikan berbagai temuan dan pendapat para ahli sampai saat ini Nampak jelas
belum ada kajian yang konprehensif untuk memetakan permasalahan tentang tanah, baik dari
aspek kondisi regulasi yang ada, kenyataan sosial atas hokum yang hidup dalam masyarakat adat
serta bagaimana reformasi regulasi yang mendasarkan pada kearifan lokal dalam masyarakat
yang multi-kultur.
13 | P a g e
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A.
Tujuan penelitian
Secara umum penelitian ini memiliki tujuan membuat rumusan penyelesaian sengketa
agraria yang berbasis pada kearifan lokal untuk diterapkan di Indonesia. Adapun tujuan yang lebih
spesifik adalah:
1)
Memetakan berbagai faktor yang mendorong munculnya sengketa agraria;
2)
Memetakan peran regulasi di bidang agraria saat ini dalam melakukan resolusi konflik
pertanahan;
3)
Mengidentifikasi dan memetakan nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat
Indonesia dan kontribusinya terhadap pembentukan konsep tentang agraria dan
penyelesaian yang sengketa agraria;
4)
Membangun formulasi penyelesaian sengketa dibidang agraria melalui reformasi regulasi
yang berbasis kearifan lokal.
B. Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan terobosan yang perlu dilakukan berhubung dengan semakin banyaknya
kasus sengketa agraria di Indonesia sedangkan tingkat penyelsaiannya sangat lamban dan sangat
sering menyisakan konflik yang laten dikarenakan kurang terakomodasinya kepentingan
masyarakat adat beserta nilai-nilai yang dianutnya. Sehingga sebuah metode atau rumusan
penyelesaian yang secara proporsional mengakomodasi kepentingan mereka harus dirumuskan
dalam sebuah kerangka regulasi.
Hasil penelitian ini berupa naskah rumusan penyelesaian sengketa agraria yang berbasis pada
kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi:
1)
Pengambil keputusan di bidang penyelesaian sengketa agraria, yakni Badan Pertanahan
Nasional (BPN).
2)
Sebagai bahan amandemen Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, khususnya Pasal 2 ayat (2).
3)
Sebagai bahan pembuatan sebuah undang-undang baru yang akan mengatur hak milik
atas tanah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang no. 5 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria terkait dengan pengaturan hak milik.
14 | P a g e
4)
Sebagai masukan bagi pemerintah agar memberdayakan kembali UU No. 56 PRP tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang sering disebut dengan UndangUndang Ladreform jo. PP No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
dan Pemberian Ganti Kerugian.
Hasil akhir dari penelitian akan didessiminasikan kepada masyarakat ilmiah dan masyarakat
secara umum melalui seminar dan publikasi ilmiah, baik di tingkat lokal, nasional maupun
internasional. Beberapa media publikasi yang direncanakan adalah:
1) Internasional : Asean Journal of Comparative Law
2) Nasional: Jurnal Hukum Fakultas Hukum UII dan Jurnal Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia
15 | P a g e
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di empat provinsi dengan tingkat kasus sengketa agraria tertinggi
pada tahun 2011, yaitu: Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini bermaksud menemukan landasan pemikiran filosofi, konsepsi, batas dan peran
negara, serta kearifan lokal dalam pengaturan dan proses penyelaian sengketa agraria. Oleh
karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (Normative Legal Research) (Bagir
Manan, 1999), sehingga metode pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum normatif,
menggunakan proses berfikir dan kaidah berfikir (M. Daud Silalahi, 2001), dalam menemukan
landasan pemikiran, makna, substantif, dan peran negara dalam penyelesaian sengketa agraria
yang lazim disebut hypothetical deduction.
C. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan adalah hukum normatif yang didukung oleh pendekatan
empiris yang menggunakan data primer. Pendekatan sosiologis digunakan untuk menelaah
mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat adat. Penelitian ini menggunakan
pendekatan conceptual approach, ialah penelitian dengan maksud untuk membanguan suatu
konsep dengan mendasarkan pada istem norma tertentu (Marzuki, 2005).
D. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum
primer terdiri dari: konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan perundangundangan lainnya. Bahan hukum sekunder terdiri dari : buku teks, jurnal, kasus-kasus di
pengadilan, dan kasus-kasus di luar pengadilan, serta pendapat para pakar dan tokoh adat. (Aslan
Noor, 2003). Penelitian dilakukan dalam dua tahap meliputi penelitian perpustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian perpustakaan (library research)
dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Soerjono
Soekanto, 1995), Kajian lapangan (field research) dimaksudkan untuk menggali data empiris
16 | P a g e
tentang kearifan lokal serta untuk memastikan proses penyelesaian sengketa yang terjadi dalam
masyarakat.(Noeng Muhadjir ).
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan permasalahan dan metode pendekatan.
Untuk permasalahan pertama, pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun semua dokumen
terkait dengan kasus sengketa tanah. Permasalahan kedua, pengumpulan data ini dilakukan
melalui pencarian dokumen dalam bentuk formal dan naskah resmi. Permasalahan ketiga,
pengumpulan data dilakukan melalui pengumpulan dokumen yang berkaitan dengan kearifan lokal,
serta obervasi dan in-depth interview. Sedangkan permasalahan keempat, pengumpulan data
selain dilakukan dengan mengadopsi dan mengintegrasikan
data yang telah tersedia, juga
dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dan diskusi publik lainnya.
F. Analisis Data
Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data akan diolah dengan metode kualitatif, ialah
menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengambil
arti yang terkandung di dalamnya. Tahapan yang dilakukan adalah: 1) Reduksi data, di mana data
diringkas dan diramu dalam bentuk yang baku dan ilmiah, agar lebih mudah untuk dilakukan
analisis tahap selanjutnya. 2) Organisasi data. Di mana data diklasifikasikan (diorganisasikan)
dalam kelas-kelas sejenis, dalam genus-genus yang sama. 3) Penarikan interpretasi. Ini dilakukan
denga metode interpretasi ataupun cara-cara legal reasoning yang lain, termasuk content analysis
menurt Erl Babbie (Nurhasan Islamil, 2006) dan Claus Krippendorff (1991). Interpretasi juga akan
membantu untuk bisa menyajikan konsep norma hukum dalam bentuk yang lebih mudah dipahami
dan lebih bersifat aplikatif. 4). Pengambilan kesimpulan.
17 | P a g e
BAB V
HASIL YANG DICAPAI
A. TINJAUAN TEORITIS TERHADAP SENGKETA DAN SENGKETA AGRARIA
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi.
Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia
membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Secara kosmologis, tanah
adalah tempat manusia tinggal, tempat bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan
akan kemana pula mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural
politik dan ekologis.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama
dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya mempunyai nilai ekonomis
tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan kultural. Tidak mengherankan jika tanah menjadi
harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan
rumit.
Sebagai sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber produksi yang
sangat dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang membutuhkannya. Perkembangan
penduduk dan kebutuhan yang menyertainya semakin tidak sebanding dengan luasan tanah yang
tidak pernah bertambah.
Releigh Barlowe (1978) mengibaratkan tanah sebagai sepotong intan (batu permata)
yang mempunyai banyak sisi, adakalanya tanah dipandang sebagai ruang, alam, faktor produksi,
barang-barang konsumsi, milik, dan modal. Di samping itu ada juga yang memandang tanah
sebagai benda yang berkaitan dengan Tuhan (sang pencipta), berkaitan dengan masyarakat yang
menimbulkan pandangan bahwa tanah sebagai kosmos, dan pandangan bahwa tanah adalah
sebagai tabungan (saving) serta menjadikan tanah sebagai asset (kekayaan).
Pentingnya kewujudan tanah bagi kehidupan manusia akan membentuk hubungan yang sangat
erat antara manusia dengan tanahnya. “Dialektika” yang terbentuk dalam hubungan antara
manusia dengan tanah akan memberi corak
tersendiri bagi kehidupan manusia dalam
masyarakat. Hubungan ini dapat menentukan dan mempengaruhi seluruh struktur hubungan
manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, malahan hubungan antara manusia
dalam suatu negara. (Ter Haar, Bzn : 1962)
Kenyataan dan dialektika penguasaan terhadap tanah demikian akan menimbulkan
keinginan masyarakat agar ada pengaturan dalam hal penguasaan tanah, serta kepastian hukum
tentang penguasaan tanah, dan adanya jaminan bebas dari gangguan siapa pun atau pihak lain
18 | P a g e
termasuk ‘gangguan’ dari negara. Keinginan tersebut dirasakan baik oleh masyarakat yang sejak
awal telah menempati suatu wilayah tertentu (masyarakat asli setempat) maupun masyarakat
pendatang. Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, pengaturan penguasaan tanah
pada mulanya ditemukan dalam bentuk hukum tidak tertulis, yang berkembang dan dibentuk
bersama oleh masyarakat tersebut, dan berlaku serta dipatuhi terbatas pada kesatuan
masyarakatnya. Peraturan demikian di dalam literatur hukum di Indonesia maupun di Malaysia
dikenal dengan undang-undang adat dan aturan adat tentang penguasaan tanah.(Hermayulis:
1999)
Karena itulah, tanah dan segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnya selalu
menjadi ”ajang perebutan” berbagai kepentingan yang senantiasa menyertai kehidupan manusia.
Tidak heran jika sejak zaman dahulu tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga
memunculkan adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang
dikandungnya. Disamping itu adanya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya
menyebabkan terjadinya sengketa atau konflik pertanahan.
Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta
berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana.
Sengketa dan konflik pertanahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi
dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus
memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan
penyelesaian terhadap sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara
berbagai kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win solution atas
konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan
pemahaman mengenai akar konflik, faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat
dirumuskan strategi dan solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan
sengketa dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus menciptakan
suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan agraria yang mensejahterakan.
(Sumarto : 2012)
1. Pengertian Sengketa atau Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok)
dimana
salah
satu
pihak
berusaha
menyingkirkan
pihak
lain
dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dapat juga dikatakan sebagai suatu
19 | P a g e
bentuk interaksi sosial ketika dua individu mempunyai kepentingan yang berbeda dan kehilangan
keharmonisan di antara mereka. Pada dasarnya konflik merupakan hal yang alamiah dan sering
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. (Basri : 2013)
Konflik menurut Susetiawan (2000), akan terjadi apabila sebuah kelompok berjuang untuk
membela kepentingan-kepentingannya. Dalam terminologi Hobbesian juga dalam Susetiawan,
konflik, untuk keuntungan, keamanan ataupun kejayaan, hanya akan berhenti dalam kematian.
Max Weber mendemonstrasikan bahwa konflik tidak dapat dikeluarkan dari kehidupan sosial.
Perdamaian tidak lebih dari sebuah perubahan dalam bentuk konflik atau dalam hal antagonis atau
objek konflik, atau pada akhirnya dalam kesempatan seleksi. Dahrendorf menyatakan bahwa
seluruh kehidupan sosial adalah konflik, karena ia merupakan perubahan.
Sengketa atau konflik merupakan suatu yang menjadi bagian dari kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya. Konflik bukan sesuatu yang harus
dihindari tetapi dihadapi melalui pengenalan dan kemampuan mengelola secara baik dan benar.
Konflik menjadi bagian penting yang kerap kali dihadapi ketika berinteraksi dalam masyarakat.
Para ahli, praktisi dan akademisi memiliki cara pandangan yang beragam dalam
memahami konflik. Berikut dikemukakan beberapa pengertian konflik;
Konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat
daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua
pihak atau lebih pihak secara berterusan (Taquiri dalam Newstorm dan Davis : 1977).
Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan
kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya
perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace dan
Faules : 1994).
Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang
memiliki sasaran yang berbada. Konflik adalah suatu kenyataan hidup yang tak terhindarkan dalam
kehidupan bermasyarakat (Lakpesdam NU : 2008).
Konflik merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok
atau pada tingkatan organisasi (Muchlas : 1999).
Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau
berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu
(Nardjana : 1994). Konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuantujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan
orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat
20 | P a g e
tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja. (Killman dan
Thomas : 1978; Wijono : 1993)
Conflict is a situation which two or more people disagree over issues of organisational
substance and/or experience some emotional antagonism with one another. Konflik adalah suatu
situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang
menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu
dengan yang lainnya (Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn : 1998).
Keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu
atau kelompok (Robbin : 1996). Jika organisasi tidak menyadari adanya konflik, maka secara
umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika organisasi mempersepsikan telah ada
konflik, maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. Konflik selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing –
masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja
sama satu sama lain (Gibson, et al : 1997).
Selanjutnya Robbin (1996) menjelaskan konflik dalam organisasi disebut sebagai The
Conflict Paradoks, yaitu pandangan yang melihat konflik seperti dua sisi mata uang, di satu sisi
konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok
dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :
a. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik
itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik
disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan
suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan,
keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan
bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok
atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di
dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar
anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna
mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan
sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau
organisasi.
21 | P a g e
c. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong
suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi
yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak
aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu
dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di
dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
2. Karakteristik Konflik
Wijono (1993) menguraikan karakteristik yang menegaskan ciri-ciri terjadinya konflik
sebagai berikut:
a. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat
dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
b. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun
kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai
atau norma yang saling berlawanan.
c. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala perilaku yang direncanakan untuk
saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat
memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai
macam kebutuhan fisik: sandang pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangantunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis
seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
d. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang
berlarut-larut.
e. Munculnya ketidak-seimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait
dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri,
prestise dan sebagainya.
f.
3. Sumber Konflik
Lakpesdam NU (2008) dalam bukunya Panduan Praktis Sistem Peringatan dan
Tanggapan Dini Konflik Berbasis Tokoh Agama dan Adat memberikan penjelasan tentang sumber
konflik sebagai berikut;
a. Konflik Struktural
Terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya (tanah,
sumber tambang, air, hutan dsb). Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk
22 | P a g e
menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan
melakukan kontrol sepihak terhadap pihak yang lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor
sejarah seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan
yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu/pihak dominan/Pemerintah Pusat.
b. Konflik Kepentingan
Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak
bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk
memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi korban
adalah pihak masyarakat kebanyakan. Ciri lain dari konflik kepentingan adalah terjadinya
persaingan yang manipulatif atau tidak sehat antar kedua belah pihak. Konflik yang berdasarkan
kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang mendasar (ekonomi, politik kekuasaan), masalah
tata cara atau masalah psikologis.
c. Konflik Nilai
Disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu dirasakan atau memang
ada. Nilai merupakan kepercayaan yang dipakai orang untuk member arti pada kehidupannya.
Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai
tidak harus menyebabkan konflik. Manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis dengan
sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai muncul ketika orang berusaha untuk memaksakan
suatu sistem nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif di mana di
dalamnya tidak dimungkinkan adanya perbedaan kepercayaan.
d. Konflik Hubungan Sosial Psikologis
Dalam kehidupan bermasyarakat senantiasa ada interkasi sosial antar pribadi, antar kelompok,
dan antar bangsa. Namun dalam berinteraksi ada kecenderungan untuk mengambil jalan pintas
dalam mempersepsikan seseorang. Bias persepsi atau stereotip merupakan sumber munculnya
prasangka, berlanjut pada dilakukannya diskriminasi yang berakhir pada terjadinya tindakan
kekerasan. Prasangka adalah sifat yang negatif terhadap kelompok atau individu tertentu sematamata karena keanggotaannya dalam kelompok. Prasangka muncul karena adanya bias persepsi
(stereotip) yang memunculkan penilaian yang tidak berdasar dan mengambil sikap sebelum
menilai dengan cermat. Akibatnya, terjadi penyimpangan pandangan dari kenyataan yang
sesungguhnya serta terjadi pula generalisasi.
Kecenderungan tersebut akan memberikan dampak negative, jika sasaran prasangka itu diarahkan
kepada kelompok minoritas baik jumlah maupun status. Prasangka kemudian diwujudkan dalam
perilaku atau tindakan diskriminasi.
23 | P a g e
e. Konflik Data
Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang
bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan,
menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang
berbeda. Beberapa konflik data mungkin tidak perlu terjadi disebabkan kurangnya komunikasi
diantara para pihak yang berkonflik. Konflik data juga dapat muncul akibat metode pengumpulan
informasi dan/atau atau tatacara yang dipakai tidak sama.
Disamping itu, secara psikologis dan sosiologis dapat dijelaslan beberapa faktor yang mendorong
terjadinya konflik.
4. Faktor-Faktor Penyebab Konflik
a. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan
akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan
menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Dalam waktu yang bersamaan, masing-masing individu atau kelompok memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Seringkali seseorang dapat melakukan hal yang sama,
tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Misalnya perbedaan kepentingan dalam hal
pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan
budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak
boleh ditebang. Para petani menebang pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi
mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon
ditebang sebagai bentuk pemanfaatan alam untuk bisnis. Sedangkan bagi pecinta
lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan yang harus dilestarikan. Konflik akibat
24 | P a g e
perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya.
d. Perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya
konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses
industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama
pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah
menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi
hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal. Nilai-nilai kebersamaan
berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung
tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan
istirahat dalam dunia industri. Perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,
dapat mengganggu proses sosial dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
atau nilai-nilaimasyarakat yang telah ada.
5. Tahapan Konflik
Anatomi konflik selalu berubah setiap saat dalam bentuk siklus, melalui berbagai tahap,
aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Secara umum tahapan konflik
digambarkan sebagai berikut:
Pra-Konflik: Ini merupakan periode di mana terjadi ketidaksesuian sasaran di antara dua
pihak atau lebih, sehingga timbul konflik atau disebut juga konflik tersembunyi, meskipun salah
satu pihak menunjukan ketidaksetujuan atau penolakan, ada potensi terjadinya konfrontasi. Juga
terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari
konflik satu sama lain pada tahap ini.
Konfrontasi: Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang
merasa ada masalah, para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku
konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara
kedua pihak. Masing-masing pihak mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mencari sekutu
dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di antara ke dua pihak
menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di anatara para pendukung di masing-masing
pihak.
25 | P a g e
Krisis: Ini merupakan puncak koflik, ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling
hebat. Dalam konflik skala beasar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua
pihak terbunuh. Komunikasi normal diantara kedua oihak kemungkinan putus. Pernyataanpernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya.
Akibat: Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin
menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan genjatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak
mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju
bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau
pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian.
Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun,
dengan kemungkinan adanya penyelesaian.
Pascakonflik: Akhirnya, situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi
kekerasan, ketegangan berkurang, dan hubungan mengrah ke lebih normal di anatar kedua pihak.
Namun, jika isuisu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling
bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-konflik.
6. Pengertian Sengketa Pertanahan
Konflik pertanahan dapat diartikan sebagai konflik yang lahir sebagai akibat adanya
hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala kekayaan
alam yang terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi. Istilah sengketa dan konflik
pertanahan sering kali dipakai sebagai suatu padanan kata yang dianggap mempunyai makna
yang sama. Akan tetapi sesungguhnya kedua istilah itu memiliki karakteristik yang berbeda.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI memberi batasan mengenai
sengketa, konflik maupun perkara pertanahan. Pasal 1 Peraturan Kepala BPN tersebut
menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang
disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan
penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan
nasional.
a. Sengketa Pertanahan.
Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan
hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang
tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan
definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa
26 | P a g e
perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan,
pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.
b. Konflik Pertanahan.
Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,
kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai
kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio politis.
c. Perkara Pertanahan.
Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan
oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan
penanganan perselisihannya di BPN RI. Akar konflik pertanahan.
Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik
pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk diidentifikasi serta diinventarisasi guna mencari
jalan keluar atau bentuk penyelesaian yang akan dilakukan. Akar permasalahan konflik pertanahan
dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut : (1) konflik kepentingan, yaitu
adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantif, kepentingan
prosedural, maupun kepentingan psikologis, (2) konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku
destruktif, kontrol perilaku sumberdaya yang tidak seimbang, (3) konflik nilai, karena perbedaan
kriteria yang dipergunakan mengevaluasi gagasan/ perilaku, perbedaan gaya hidup, idiologi atau
agama/kepercayaan, (4) konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi yang berlebihan,
persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan perilaku yang negatif, (5) konflik
data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap, informasi yang keliru, pendapat yang
berbeda tentang hal-hal yang relevan, interpretasi data yang berbea, dan perbedaan prosedur
penilaian.
Penyebab umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan dalam dua faktor,
yaitu faktor hukum dan faktor non hukum.
1. Faktor Hukum
Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan belakangan ini antara
lain :
a.
Tumpang tindih peraturan.
UUPA sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria lainnya,
dalam perjalanannya dibuat beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan sumber daya agraria tetapi tidak menempatkan UUPA sebagai
undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan
undang-undang agraria. UUPA yang mulanya merupakan payung hukum bagi
27 | P a g e
kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan secara
substansial
bertentangan
dengan
diterbitkannya
berbagai
peraturan
perundangan sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU
Transmigrasi dan lain-lain.
b. Tumpang tindih peradilan.
Pada saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu
konflik pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana dan peradilan tata
usaha negara (TUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang
menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik
disertai tindak pidana).
2.
Faktor Non Hukum
a. Tumpang tindih penggunaan tanah
Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan
jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau mungkin
berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih fungsi. Tidak dapat
dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat timbul kepentingan
yang berbeda.
b. Nilai ekonomis tanah tinggi
Ada anggapan disamping emas, nilai tanah dari waktu ke waktu akan semakin
tinggi, sehingga untuk memperoleh tanah semakin sulit.
c. Kesadaran masyarakat meningkat
Adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran
masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun ikut berubah.
Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir
masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah
sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk
investasi atau komoditas ekonomi.
d. Tanah tetap, penduduk bertambah.
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui kelahiran maupun
migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah
sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal
tanah dipertahankan sekuatnya.
28 | P a g e
e. Kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan
salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan
sumber daya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin.
7. Tipologi Konflik Pertanahan.
Tipologi konflik pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara
pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani. Tipologi konflik pertanahan yang
ditangani Badan Pertanahan Nasional RI dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan), terdiri dari
masalah yang berkaitan dengan :
a) Penguasaan dan Pemilikan Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum
dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu;
b) Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran tanah yang merugikan
pihak lain sehingga menimbuikan anggapan tidak sahnya penetapan atau perijinan di
bidang pertanahan;
c) Batas atau letak bidang tanah, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai
letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses
penetapan batas;
d) Pengadaan Tanah, yaitu perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau nilai mengenai
status hak tanah yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai
keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi;
e) Tanah obyek Landreform, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai prosedur penegasan, status penguasaan dan pemilikan, proses penetapan
ganti rugi, penentuan subyek obyek dan pembagian tanah obyek Landreform;
f)
Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir, yaitu perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan
atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan pemerintah untuk memberikan ganti
kerugian atas tanah partikelir yang dilikwidasi;
g) Tanah Ulayat, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai
status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu baik yang telah diterbitkan
hak atas tanah maupun yang belum, akan tetapi dikuasai oleh pihak lain;
29 | P a g e
h) Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau
obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.
Jika diamati secara seksama, apa yang pernah diidentifikasi oleh pengkaji pertaanahan
sebelumnya terkaait dengan sengketa agrarian, dalam beberapa hal ada benarnya. Misalnya saja,
Maria SW menegaskan bahwa berbagai konflik agrarian diakibatkan oleh adanya penggarapan
tanah yang menjdi areal kehutanan atau perkebunan oleh rakyat, adanya pelanggaran terhadaap
ketentuan ladreform, adanya upaya penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan, serta,
karena adanya berbagai masalah perdata. (Fuadi, 2013).
Hal penting lain yang perlu dicatat dalam masalah karakteristik sengketa agraria ini adalah
bahwa telah terjadi pergeseran pola antara masa pasca kemerdekaan hingga era Orde Baru. Pada
pasca kemerdekaan sampai dengan era akhir 1960 an, sengketa biasanya terjadi pada di
pedesaan antara petani penggarap dengan penguasa tanah. Sedangkan pada decade 1980
sampai dengan akhir Orde Baru sengketa terjadi antara pemilik tanah setempat melawan pemodal
besar atau pemerintah. (Marzuki, 2008). Akan tetapi, berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa
pada masa reformasi, sengketa berupa rakyat penggarap melawan pemerintah atau industry
dengan posisi rakyat yang sangat menguat, dimana penjarahan tanah banyak terjadi.
Di samping itu, dalam berbagai sengketa agraria, terdapat berbagai unsur yang acapkali
terlibat di dalamnya, utamanya adalah:
1) Adanya aktor ekonomi, aktor politik ataupun aktor sosial yang kuat
2) Administrasi yang bermasalah, termasuk di dalamnya proses ajudikasi yang tidak
tertata baik.
3) Melibatkan warga masyarakat yang sangat awam terhadaap hokum positif namun
dalam realitanya sudah menguasai tanah tersebut dalam waktu lama, dan bahkan
secara turun temurun. Dan segmen ini biasanya sebagai korban. (Fuadi, 2013).
Adapun sebab yang lebih detail dari munculnya sengketa agraria adalah faktor-faktor sbb:
Pertama, tidak meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya agrarian yang ada. Kedua,
ekspansi wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih banyak terjadi di perkotaan. Ketiga, adalah
adanya kegiatan ekonomi sebagian dari masyarakat. Tentu ini adalah kegiatan ekonomi yang
dapat mengganggu masyarakat sekitarnya. Keempat, adanya kepadatan penduduk yang menuntut
penyediaan lahan yang semakin luas. (Nurjaya, dalam Asrul, 2012)
Jika dianalisa terkait posisi para pihak yang terliabat sengketa, maka ada konflik verikal
dalam arti konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak yang berwenang, horizontal
30 | P a g e
ialah konflik antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan konflik antara masyarakat
melawan investor (Fuadi, 2013).
B.
KARAKTERISTIK SENGKETA AGRARIA DI INDONESIA
Telah disadari oleh para pendiri bangsa bahwa Negara Indonesia ini memiliki tingkat
keragaman yang sangat tinggi, baik dari segi budaya, letak geografis maupun agama.
Keberagaman yang semacam ini tentu bukan tanpa efek yang serius bagi perkembangan bangsa
ke depannya. Karena itulah, pembangunan Negara ini tidak boleh hanya dilakukan dengan
menggeneralisir berbagai faktor keragaman tersebut.
Karena itulah maka Negara dirumuskan sebagai
terdiri atas Zelfbesturende
landschappen dan Volksgemeenschappen di dalam UUD 1945 (sebelum amandemen). Menurut
sebagian pendapat, langkah ini mempunyai dua sisi implikasi. Pertama dengan menyerap
kekhasan tiap komunitas yang ada, maka negara telah berupaya menciptakan satu bangsa.
Kedua, pengabaian terhadap eksistensi berbagai komunitas
dengan segenar kekhasannya
tersebut akan berimplikasi pada kegagalan cita-cita membangun satu bangsa Indonesia (Naskah
Akademik RUU Perlindungan Masyarakat Adat, 2011).
Konflik tidaklah mungkin dapat dihindari, sebagaimana fakta yang ada bahwa konflik
akan selalu ada dalam masyarakat. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan, selain menyelesaikan
konflik yang telah terjadi, adalah dengan mendeteksi lebih dini potensi konflik yang akan muncul,
sehingga konflik tidak akan dapat direduksi ekses yang ditimbulkannya.
Dalam teori konflik, keberagaman jelas merupakan
berkontribusi pada terjadinya
perbedaan. Dan perbedaan tersebut merupakan elemen yang dapat mengakibatkan disintegrasi
dan perubahan. (Erlita Kusumaningtiyas dan Kandyawan, 2012).
Sengketa agraria merupakan suatu sengketa yang sangat sering terjadi dalam
masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang memang merupakan masyarakat agraris. Dari
penelitian yang dilakukan, Nampak bahwa berbagai kasus sengketa agraria terjadi terkait dengan
berbagai macam lahan pertanian, perkebunan, pertambangan ataupun lahan jenis lainnya.
Dari berbagai kasus yang terjadi, akan dianalisis berdasarkan periode waktu atau masa
tertentu, segingga akan didapatkaan identifikasi terhadap karakteristik dari berbaagai sengketa
yang terjadi. Dalam bab ini, pembahasan akan dilakukan dengan menklasifikasikannya ke dalam
dua bagian besar dari periode sejarah Indonesia; ialah periode pra kemerdekaan dan pereode
setelah kemerdekaan. Agar didapatkan gambaran yang lebih spesifik dan detail, maka untuk
31 | P a g e
pereode setelah kemerdekaan akan dibagi lagi menjadi Masa Orde Lama (Orla), Masa Orde Baru
(Orba) dan Masa Orde Reformasi. Berikut analisa terhadap berbagai pereode dan masa tersebut.
f.
Karakteristik Sengketa Agraria Sebelum Kemerdekaan.
Sengketa agraria sudah dijumpai sejak masa kolonialisme Belaanda di Indonesia.
Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa Belanda banyak melakukan perubahan dalam hal
perkebunan dan pertanian di Hindia Belanda. Bahkan sangat terkenal adanya kebijakan cultur
stelsel, sebuah kebijakan pertanian yang mengharuskan adanya pola tanam bagi kepentingan
pasar dan Industri di Eropa khususnya.
Masih dalam kepentingan yang sama, Belanda tidak hanya mewajibkan pola tanam
bagi para petani, namun lebih dari itu Belanda mengembangkan industrialisasi pertanian dengan
mencipatakan sentra-sentra pertanian. Hal ini mau tidak mau berakibat pada penataan lahan
pertanian dan perkebunan.
Politik hukum agraria kolonial menganut prinsip dagang, yakni untuk mendapatkan hasil
bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga yang
setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri pribadi
penguasa kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh
pengusaha Belanda dan pengusaha Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia hanya menimbulkan
penderitaan yang sangat mendalam. Sistem politik hukum agraria kolonial ditandai dengan empat
(4) ciri, yaitu:
a) Dominasi;
Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas terhadap
penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh keunggulan militer kaum
penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi.
b) Eksploitasi;
Eksploitasi dilakukan dengan pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk
kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya
untuk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah dikirim ke negara
induknya untuk kemakmuran mereka sendiri.
c) Diskriminasi;
Diskriminasi dilakukan dengan perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap
sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang
sebagai bangsa yang rendah atau hina.
32 | P a g e
d) Dependensi.
Dependensi adalah ketergantungan masyarakat jajahan terhadap penjajah. Masyarakat
terjajah
enjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologi
pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin. (Noer Fauzi
dalam Muliadi and Partners, tt).
Contoh politik hukum agraria kolonial yang dimuat dalam Agrarische Wet (AW) Stb.1870 No.55
dengan isi dan maksud serta tujuan sebagai berikut (Muliadi and Partners, tt):
a) Tujuan primer:
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang
luas dari pemerintah untuk waktu yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang
murah. Di samping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa
atau mendapat hak pakai atas tanah langsung dari orang bumi putera menurut peraturanperaturan yang ditetapkan dengan ordonansi. Meaksudnya adalah memungkinkan
berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing.
b) Tujuan sekunder.
Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya, yaitu:
i. Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hakBumi Putera;
ii. Pemerintah hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila diperlukan untuk
kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari atasan
dengan pemberian ganti kerugian;
iii. Bumi Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat yaitu hak
eigendom bersyarat (agrarische eigendom);
iv. Diadakan peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan Bumi Putera.
Dalam perjalanan berlakunya AW terjadi penyimpangan terhadap tujuan skundernya,
yaitu adanya penjualan tanah-tanah milik pribumi langsung kepada orang-orang Belanda atau
Eropa lainnya, untuk menghindari hal yang demikian maka pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan kebijaksanaan berupa Vervreemdingsverbod Stb.1875 No.17977. 77 Yang
dimaksud dengan Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat
dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan orang Indonesia asli dan oleh
karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersbut, baik secara langsung
maupun tidak langsung adalah batal karenanya.
Selain AW, maka pemerintah Hindia Belanda juga pernah mengeluarkan kebijakan
agraria dalam Agrarische Besluit (AB) sebagai pelaksanaan dari ketentuan AW. AB ini
diundangkan dalam Stb.1870 No.118. Yang terpenting dalam pengaturan AB adalah adanya politik
33 | P a g e
hukum tanah tentang pernyataan domein negara (Raja/Ratu) atau lebih dikenal dengan Domein
Verklaring. Dalam Pasal 1, disebutkan: “behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling
der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt
van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is”. (dengan tidak mengurangi berlakunya
ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah
pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara).
Ketentuan Pasal 1 Agrarisch Besluit ini dikenal sebagai pernyataan kepemilikan “Domein
Verklaring” dari Negara dan dikenal sebagai pernyataan domein umum (algemene Domein
Verklaring). Disamping itu, dikenal juga adanya pernyataan domein khusus (speciale Domein
Verklaring) yang tercantum dalam peraturan perundangan tentang pengaturan hak erfpaht yang
diundangkan dalam Stb.1875 No.94f, Stb.1877 No.55 dan Stb.1888 No.55. Rumusannya sebagai
berikut: “alle woeste gronden in de Gouvernementsladen op…. berhooren, voorzoover daarop door
leden der inheemsche bevolking gene aan het ontginningsrecht ontleende rechten worden
uitgeoefend, tot het Staatsdomein. Over dit tot het Staatsdomein behoorende gronden, berust
behoudens het ontginningsrecht der bevolking, de beschikking iutluitend bij het Gouvernement”.
(“Semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung di… adalah domein Negara, kecuali
yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka
hutan. Mengenai tanah-tanah Negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannnya
kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh
penduduk untuk membukanya”).
Maksudnya
adalah
adanya
pernyataan-pernyataan secara
umum
(algemene-
domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agrarian yaitu pernyataan bahwa semua
tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein vanden
Staat), Negara bertindak sebagai eigenaar (pemegang hak milik). Kalau terbukti ada hak eigendom
orang lain diatasnya maka negara akan mengakui keberadaan hak eigendom tersebut. Pernyataan
kepemilikan ini menjadikan landasan hukum Negara/pemerintahan pada waktu itu untuk
memberikan tanah dengan hak kepemilikan dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUH
Perdata, seperti hak Erfpacht, hak Opstal dan lain-lainnya. “Dalam rangka domein verklaring,
pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara
kepada penerima tanah dan pemberian itu dijadikan sebagai alat pembuktian pemilikan tanah”
(Budi Harsono, 1999).
Pernyataan domein Negara yang diatur dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit ini paralel
dengan yang diatur dalam BW. Dimana dapat dilihat dalam Pasal 519 dan Pasal 520 BW,
mengatur bahwa: setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki. Kalau tidak dimiliki oleh
34 | P a g e
perorangan atau badan hukum, maka negaralah pemiliknya. Atas dasar Pasal 1 Agrarisch besluit
dikenal adanya dua bentuk tanah Negara yakni:
Pertama, tanah-tanah Negara yang disebut dengan tanah Negara bebas “vrij landsdomein” yaitu
tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun. Sepanjang tidak
didaftarkan haknya dengan cara menundukkan diri secara suka rela kepada hukum barat maka
tanah yang dikuasai rakyat merupakan bagian dari atau berstatus sebagai tanah Negara yang
diistilahkan sebagai tanah Negara yang diduduki oleh rakyat. Dalam perkembangannya pemerintah
Hindia Belanda berpendapat bahwa sebutan tanah Negara bebas ini cakupannya dibedakan
menjadi dua:
a) Tanah-tanah menjadi tanah Negara bebas karena dibebaskan dari hakhak milik rakyat
oleh suatu Instansi/departemen, dianggap tanah Negara dibawah penguasaan
departemen yang membebaskan;
b) Tanah Negara bebas yang tidak ada penguasaan secara nyata diserahkan kepada suatu
departemen, dianggap bahwa tanah tersebut dimasukkan kedalam penguasaan
departemen dalam negeri (Binnen vanbestuur).
Kedua, tanah Negara yang tidak bebas “onvrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang diatasnya
ada hak-hak rakyat atas tanah atau tanah yang dikuasai atau diduduki oleh rakyat berdasarkan
pada hukum adat mereka (hak ulayat masyarakat hukum adat).
Pada masa kolonial, segketa agraria pun sudah muncul, hal ini dikarenakan memang penjajah
Belanda melakukan upaya perdagangan hasil pertanian. Di antara konflik-konflik yang terjadi
adalah:
a. Konflik dan Sengketa Tanah di Lebak, Banten: Paska Perluasan Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak
Kronologi terjadinya konflik dapat dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini. Lebak
terletak di selatan Propinsi Banten dan berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Barat.
Sebagian besar penduduk Lebak terdiri dari masyarakat Suku Sunda dan sebagian kecil
masyarakat pendatang terutama Jawa. Di Lebak, terdapat pula masyarakat adat yang masih
mempraktekkan cara hidup leluhur mereka (tatali paranti karuhun) dengan memanfaatkan kawasan
pertanian hutan (ngahuma). Masyarakat adat ini, menamakan dirinya sebagai masyarakat
kasepuhan, memiliki cara pengelolaan sumberdaya hutan yang berbeda dengan masyarakat
lainnya.
35 | P a g e
Pada tahun 2003, pemerintah menerbitkan SK Menteri Kehutanan No. 175/2003 tentang
perluasan taman nasional dari 40.000 ha menjadi 113.357 ha dan dinamakan sebagai Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak. Kebijakan ini mengangkat kembali konflik tenurial antara
masyarakat kasepuhan dengan pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanahtanah
tersebut merupakan kawasan hutan negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan
batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak, masyarakat adat mengaku bahwa mereka telah
menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910 sebagai tanahtanah
huma. Oleh karena itu, sejarah diharapkan dapat membantu menjelaskan dan memahami terjadi
konflik tenurial tersebut di Lebak, Banten. Tulisan ini mencoba menceritakan kembali perdebatanperdebatan diantara para ahli-ahli hukum atas kepemilikan tanah hutan di Masa Hindia paska
Agrarische Wet 1870. Studi kasus tentang perdebatan status hukum huma di Banten pada awal
abad ke-20 menunjukkan dampak dari kebingungan penafsiran terhadap para pengambil kebijakan
di lapangan.
b. Perdebatan Status Tanah di Masa Hindia Belanda atas Kepemilikan Tanah Hutan,
Tanah Negara vs Tanah Adat
Perdebatan ini bermula diterbitkannya Agrarische Wet 1870 (AW 1870) oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan utama dari AW 1870 ini adalah untuk membuka kemungkinan
dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar membuka hutan
dan menjadikannya perkebunan besar. Dengan berazaskan domeinverklaring (deklarasi
kawasan)3, dimana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domein
(milik) negara4, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki landasan hukum dan
pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah tersebut kepada perkebunanperkebunan
swasta.
Walaupun AW 1870 ini berazaskan pada ketentuan domeinverklaring, ia juga
mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Kondisi ini
menciptakan kebingungan dan penafsiran berbeda diantara para ahli-ahli hukum di masa itu akibat
kegagalan mereka untuk memahami hukum tanah masyarakat adat atas hutan. Nolst Trenite,
seorang guru besar dari Universitas Uthrect sekaligus pula Pejabat Tinggi Departemen
Pemerintahan, berpendapat bahwa berdasarkan penafsiran azas domeinverklaring, tanah yang
menurut hukum dikecualikan dari milik negara adalah hanya tanah yang menurut kenyataan dan
biasanya digunakan oleh penduduk.
Pendapat ini selanjutnya ditentang oleh sarjana lain, antara lain van Vollenhoven dari
Universitas Leiden, serta Logemann dan ter Haar dari Sekolah Hukum Hindia Belanda. Menurut
36 | P a g e
mereka, tujuan sebenarnya dari pembuat AW 1870 ini adalah untuk tidak mengecualikan tanah
apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai
hak yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara. Pada tahun 1874, suatu
peraturan diterbitkan untuk memberikan penafsiran yang pasti apa yang dimaksud dengan wilayah
kekuasaan desa untuk Jawa dan Madura. Tanah milik desa adalah padang rumput
penggembalaan milik bersama, tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli untuk penggunaan
mereka sendiri, baik yang dihuni maupun digarap, dan yang oleh mereka tidak telah ditelantarkan.
Sayangnya, peraturan ini tidak mampu menjawab batasan-batasan hakhak masyarakat desa atas
wilayah hutan.
c. Perdebatan Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Keresidenan Banten dalam
Mensikapi Status Hukum Tanah Huma
Seperti sistem peladangan berpindah, sistem huma yang dilakukan oleh masyarakat
setempat memerlukan masa pemberaan yang lama agar dapat mengembalikan tanah-tanah
tersebut menjadi subur kembali. Sebagian besar tanah-tanah di bawah sistem huma tidak
dibudidayakan secara terus menerus sehingga dapat saja Pemerintah Hindia Belanda,
berdasarkan penafsiran Nolst Trenite, mengklaim tanah-tanah yang tidak dibudidayakan tersebut
sebagai tanah negara. Namun, berdasarkan penafsiran Van Vollenhoven, tanahtanah tersebut
walaupun tidak dibudidayakan masih berada dibawah wilayah kekuasaan desa.tas penafsiran yang
berbeda tersebut, Pemerintah Keresidenan Banten melakukan penelitian dan penyelidikan secara
mendalam mengenai status hukum huma tersebut.
Dari hasil penyelidikan, terbukti bahwa sistem huma berada di wilayah kekuasaan desa.
Walaupun orang meninggalkan lahan garapan mereka, hak-hak mereka atas tanah tidak serta
merta hilang selama mereka memberitahu kepada kepala desa bahwa mereka ingin tetap
mempertahankan haknya atas tanah. Di lain pihak, sistem perhumaan dianggap sebagaisistem
pertanian pembakaran yang merusak yang dapat menghancurkan humus dan sterilisasi tanah,
pengrusakan sejumlah besar kayu serta munculnya alang-alang di lembah.Oleh karena itu,
pemerintah Keresidenan Banten menerbitkan Peraturan Huma pada tanggal 30 Juli 1896.
Peraturan ini berusaha membatasi pertanian huma terhadap beberapa desa dengan
memberikan batas-batas yang jelas mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi pertanian
huma dan mana yang tidak. Tanah-tanah baik sengaja maupun tidak ditinggalkan termasuk ke
dalam wilayah kekuasaan desa. Nampak dengan tegas peraturan ini mengesahkan sistem huma
37 | P a g e
dan memasukkan tanah-tanah hutan sebagai wilayah kekuasaan desa dan bukan sebagai tanah
negara.
d. Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet di Kabupaten Pasaman
Tanggal 18 September 1953, sebuah surat kabar harian di Sumatera Barat
menurunkan sebuah berita tentang sekitar hebohnya kedatangan penduduk pendatang kedaerah
Rao. Sebuah daerah yang pada waktu itu termasuk ke dalam onderafdeling Lubuk Sikaping.
Kedatangan penduduk pendatang tersebut, yang oleh penduduk Rao disebut dengan orang
Tapanuli telah menimbulkan konflik karena mereka mengambil tanah sekehendaknya. Salah-satu
tanah yang mereka ambil adalah tanah areal kebun karet yang ditinggalkan dan sebelumnya
merupakan milik pemerintahan Belanda. Disamping memperebutkan areal kebun karet yang sudah
ada, penduduk pendatang juga membuka hutan yang ada disekitar daerah tersebut untuk dijadikan
areal tanaman karet. (Undri, 2004).
Kemudian tahun 1922 Belanda menerapkan sistem pajak tanah, yang termasuk pajak
rumah gadang. Sesungguhnya penerimaan pemerintah kolonial Belanda dari pajak tanah terus
meningkat terutama di seluruh Indonesia, sebelum tahun 1922 yakni tahun 1829 saja penerimaan
dari pajak tanah sebanyak f.3.305.698, tahun 1835 menjadi f.7.679.359, kemudian tahun 1840
secara mengejutkan penerimaan dari pajak tanah mencapai f.9.364.907. Tindakan pemungutan
pajak pajak termasuk rumah gadang ini merupakan penghinaan langsung kepada tanah milik
Minangkabau. Kebijakan di atas yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap tanah di
Minangkabau telah menimbulkan pemberontakan komunis pertengahan tahun 1920-an. Hal
tersebut diperparah lagi akibat akibat kebijaksanaan kolonial Belanda di Minangkabau, dengan
banyaknya penghulu yang diangkat oleh pemerintah maka wibawa penghulu semakin terkikis
37
sehingga menimbulkan konflik antar masyarakat di Minangkabau , dimana hal tersebut terjadi
adanya perbenturan hak ulayat dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Belanda di
Indonesia terutama untuk memuluskan usaha mereka dalam bidang ekoenomi.
Kemudian pada tahun 1930-an, sehubungan dengan zaman susah akitar depresi
ekonomi agaknya kurang dirasakan di Sumatera Barat dibandingkan dengan daerah lainnya di
Indonesia. Karena secara ekonomi daerah ini mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Namun sekitar
tahun 1935, nilai eksport import perdagangan di Padang menurun 25% dari pada tahun 1929.
Terutama jatuhnya harga kopi, karet dan kopra di pasar dunia membawa pengaruh penting petani
Sumatera Barat. Mengenai kepemilikan tanah juga tidak begitu banyak berubah dari bentuk
semula, dalam artian bahwa kebijakan pemerintahan Belanda atas tanah di Sumatera Barat masih
tetap dipakai.
38 | P a g e
Kemudian pada zaman pendudukan Jepang, jenis tanaman perkebunan terutama
tanaman karet dianggap penting oleh pemerintahan pendudukan Jepang karena dapat membantu
biaya perang. Ini terlihat kebijakan pemerintah pendudukan Jepang misalnya di Jawa Timur hampir
semua perkebunan tersebut diteruskan bekerja. Di Sumatera untuk mengembangkan perkebunan
karet tersebut pemerintah pendudukan Jepang merehabilitasi kebun karet seluas 672.000 hektar.
Pada tahun 1950-an itu juga, ada dua fenomena yang menarik dalam sejarah di
Indonesia umumnya dan masyarakat Rao khususnya. Pada level nasional tahun 1950-an tersebut
merupakan tahun kepahitan bagi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia karena lewat kebijakan
nasionalisasinya pemerintah Republik Indonesia mengambil alih aset milik Belanda. Hal tersebut
tidak terlepas merupakan pelampiasan atas keengganan pemerintah kolonial Belanda
menyerahkan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Pada level lokal pada tahun 1950-an telah terjadi
perpindahan penduduk dari Tapanuli Selatan ke daerah Rao dan mereka mengambil lahan yang
sebelumnya dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda. Kedatangan penduduk Tapanuli Selatan ke
daerah Rao, pada tahun 1953 lebih kurang 200 kelamin. Adapun sebab kedatangan mereka ke
daerah Rao adalah Pertama adanya bencana banjir yang terjadi di daerah asal mereka yakni
Tapanuli Selatan. Bencana banjir tersebut telah membuat gagal panen tanaman mereka. Kedua,
untuk mencari lahan bagu guna dijadikan areal tanaman terutama tanaman karet. Hal tersebut
dapat dibuktikan bahwa awal kedatangan mereka ke Rao mereka mengambil tanah secara
sewena-wenanya. Mereka datang ke daerah Rao tersebut dengan menyeludup (sembunyisembunyi). Ketiga, secara geografis daerah Rao dekat dengan daerah Tapanuli Selatan, sehingga
memungkinkan sekali mereka untuk datang ke daerah Rao tersebut. (Undri, 2004)
Adapun akar konflik jika dilihat sangat terkait dengan pola kepemilikan tanah yang
dianut. Pola pemilikian tanah Minangkabau tidaklah bersifat individual, melainkan milik komunal
yaitu milik suku, kaum dan nagari. Regenerasi atau proses pewarisan tanah itu, adalah didasarkan
atas sistem kemasyarakatan yang berpolakan matrilineal (garis keturunan ibu) yaitu dari mamak
kepada kemenakan. Dengan adanya pemilikan tanah tersebut maka seseorang dapat melakukan
penguasaan atas tanah tersebut. (Undri, 2004).
2. Karakteristik Sengketa Agraria Setelah Kemerdekaan
a. Masa Orde Lama
Pada masa kemerdekaan (1945-1948), terjadi pendudukan lahan perkebunan oleh
petani dengan semangat revolusi yang dihembuskan oleh Soekarno. Kaum tani melakukan
penggarapan lahan-lahan perkebunan eks hak erfpacht milik pengusaha Belanda, Eropa danAsia.
39 | P a g e
Pada periode tahun 1948-1955, Belanda dengan dukungan sekutunya berupaya
mengembalikan kekuasaannya atas wilayah Indonesia melalui Agresi Militer I dan II. Aksi militer
tersebut tidak berhasil, sehingga Belanda mengubah siasatnya dengan cara perundingan dan
negosiasi atau diplomasi. Melalui perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) Belanda masuk
kembali ke Indonesia untuk menguasai aset mereka termasuk perkebunan.
Pada periode tahun 1955-1957 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing
oleh pemerintahan Soekarno, dan berbarengan dengan Pemilu pertama tahun 1955 dibawah
sistem Demokrasi Parlementer menjelang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin tahun 1959. Tahun
1960, pemerintahan Demokrasi Terpimpin mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1960
mengenai Pokok-pokok Agraria. UUPA 1960 mengedepankan janji memerdekakan petani dalam
penguasaan dan pemilikan lahan pertanian dan menghapuskan pemberlakuan hukum agraria
Barat. (Esrom Aritonang, 2004).
b. Masa Orde Baru
Masa Orde Baru ditandai dengan pemerintahan yang cukup kuat, dana dalam tingkat
tertentu dapat disebut represif, sehingga, permasalahan sengketa agrarian cukup banyak Pada
masa pemerintahan Orde Baru, Angkatan Darat mengambil-alih lahan-lahan perkebunan yang
dikuasai oleh orang-orang yang dituduh komunis. Inilah awal penguasaan lahan-lahan perkebunan
oleh yayasan-yayasan yang dibentuk oleh Penguasa Darurat Perang di wilayah-wilayah Kodam,
yang terus dipertahankan hingga kini. Masuknya militer dalam bisnis perkebunan berbenturan
dengan logika pengembangan komoditi yang menuntut kecukupan modal dan teknologi tinggi.
Akibatnya, militer men-subkontrak usaha perkebunan. Masalah-masalah yang penuh
kontradiksi inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik agraria di atas lahan
perkebunan hingga kini. Pada akhirnya, Orde Baru menghapuskan landreform dan
menggantikannya dengan program tata guna lahan dan transmigrasi. Program ini dikenal dengan
sebutan Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun), yang kemudian memperluas wilayah dan intensitas
konflik agraria. (Esrom Aritonang, 2004).
1). Konflik Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi Tenggara dengan Pengelola Taman
Nasional Rawa Opa Watumohai pada Kawasan Konservasi (Bediona dkk, draft 1999)
Dalam Sejarah Sulawesi Tenggara, Masyarakat Adat Moronene merupakan suku asli
tertua yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara, disamping orang Tolaki dan Mekongga.
Masyarakat adat Moronene menyebar di 6 kecamatan. Masyarakat Adat Moronene di Kecamatan
40 | P a g e
Rumbia yang terbagi atas 11 tobu (wilayah adat). Kepemimpinan lembaga adat dikenal dengan
sebutan Mokole. Mereka telah mengelola wilayah leluhurnya di HukaEka, Lampopala dan
sekitarnya sejak tahun 1920-an. Selain perkampungan lahan digunakan untuk kebun, lahan
pengembalaan kerbau dan kuda, kebun jati, tambak bersama pada muara-muara sungai, kuburan
dan lain-lain. Pada tahun 1952, 1953 serta tahun 1960 mereka terpaksa mengungsi meninggalkan
tanah leluhurnya karena ganguan keamanan oleh gerombolan dan kini mereka tinggal berpencar
pada kampung-kampung sekitarnya setelah beberapa kali dikumpulkan dan dipindahkan.
Akses masyarakat adat tersebut atas kebun dan usahatani serta padang pengembalaan
telah mulai dibatasi dengan ditetapkanya sebagai Taman Buru pada tahun1972. Pada tahun 1980
wilayah tersebut menjadi calon Taman Nasional dan pada tahun 1990 ditunjuk sebagai Taman
Nasional Rawa Opa Watumohai. Proses pengambil-alihan lahan di dalam kawasan hutan tersebut
berlangsung tanpa melalui proses musyawarah. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan
pengakuan atas hak-hak adatnya dilakuakn sejak tahun 1987 dengan menulis surat secara
berulang-ulang kepada Wakil Presiden RI serta Pimpro TN. Kesepakatan lisan dengan Tim
Gabungan Pemda TK II yang diketuai oleh KakanSospol tgl 16 Desember 1997 disepakati, bahwa
masyarakat tetap tinggal dikampungnya dan memanfaatkan hasil kebun dan hutan sebagaimana
biasanya sambil menunggu pembicaraan dengan pimpinan.
Usaha-usaha negosiasi damai yang diprakarsai oleh masyarakat adat dalam
mempertahankan hak adatnya dijawab dengan intimidasi, pengusiran, penyerbuan, penangkapan
disertai tembakan beruntun dan pembakaran kampung serta kebun mereka di HukaEna dan
Lampopala secara berulang-ulang (30 Maret 1998 dan 23 Oktober 1998) 12 hari setelah
kesepakatan lisan tersebut dilakukan. Penahanan terhadap 12 masyarakat adat dilakukan tanpa
penjelasan tentang status dan alasan penahannya dan tanpa proses hukum yang jelas. Penahan
tidak dikuti dengan proses penyidikan yang jelas sampai berminggu-minggu. Ke 12 tahanan telah
mendekam berbulanbulan di dalam tahan Polres Buton sampai dengan persidangan 27 April 1999,
masih berstatus tahanan, terpisah jauh dari keluarga dan kerabatnya yang tinggal terpencar dalam
suasana ketakutan dan tidak menentu di Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Konflik ini bagi
Masyarakat Adat Moronene semakin memperparah keadaan ekonominya dan juga
mengembalikan trauma yg telah mereka alami secara berulang ulang pada tahun
1952,1953,1960,1998.
Kasus ini merupakan salah satu contoh kasus tentang bagaimana cara pandang birokrasi
pemerintah terhadap masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan berkenaan dengan
pengelolaan kawasan konservasi, dan menunjukkan bahwa masyarakat adat masih dilihat sebagi
41 | P a g e
ancaman terhadap kelestarian kawasan dan ditindak seakan akan mereka bukan sesama
manusia.
2). Konflik Masyarakat Adat Bunaken, Sulawesi Utara atas pengelolaan Taman Laut
Bunaken
Sejak tahun 1827 pulau Bunaken dan sekitarnya telah didiami oleh Masyarakat Adat
Sangihe Talaud dan Bantik. Masyarakat tersebut mengusahakan kebun kelapa di daratan dan
berusaha sebagai nelayan di wilayah adat lautnya. Agak berbeda dengan wilayah lain di Indonesia,
Sulawesi Utara memiliki riwayat lahan yang itu terdokumentasikan secara baik sejak zaman
Belanda dulu, misalnya; nama keluarga pertama yang menetap di P. Bunaken. Pada tahun 1827
(Pamela, Kawangke, Pasinaung dan Manelung), kemudian disusul keluarga Andraes Uring dan
Yacobus Carolus (thn 1840), kemudian dijual kepada keluarga Paulus Rahasia, Matheus Pontoh
dan Animala Paransa.
Dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan no 328/Kpts-II/1986 tentang Taman Laut
Bunaken, maka ikatan antara daratan dan laut dalam aktifitas masyarakat adat di pulau tersebut
terpotong-potong. Wilayah laut yang masuk dalam Kawasan Taman Laut dibagi-bagi dalam zonasi
yang berbeda-beda sesuai dengan keanekaragaman hayati misal komunitas terubu karang dan
Padang lamun. Sedangkan wilayah daratanya dibagi atas kawasan hutan asli dan kawasan
pertanian dan perkampungan. Sedangkan pada kenyataanya wilayah daratan di pulau Bunaken,
tanahnya sudah menjadi objek jual beli sejak lama dan merupakan tanah milik yang telah tercatat
dalam register desa. Terjadi konflik atas kewenangan pemilik dan pemerintah sebagai pengelola
TL Bunaken.
Konflik ini menunjukan bawa pemahaman Pemerintah akan riwayat lahan sangat terbatas
dan kurangnya pengakuan dan penghargaan Pemerintah atas kepemilikan pribadi (private
property) sehingga kepemilikan pribadi dapat diambil alih oleh negara (penasionalan) tanpa ada
kesempatan yang cukup untuk bernegosiasi.
c. Orde Reformasi
Orde reformasi menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Dalam hal sengketa
agrarian, orde reformasi lebih menunjukkan adanya perlawanan yang lebih berani dari para petani
atau penggarap terhadap pemerintah atau korporasi yang dinilai menyerobot atau mengambil
dengan cara tidak syarh terhadap berbagai lahan. Akibatnya, sengketa agrarian bersifat lebih
42 | P a g e
terbuka dan meyeruak di berbagai tempat di Indonesia. Berikut beberapa contoh kasus sengketa
agrarian pada era reformasi.
1). Konflik Masyarakat Adat Dayak Simpakng, Kalimantan Barat pada Hutan Produksi
Terbatas (Kanyan 1999 draft III )
Konflik masyarakat adat Benung dengan HPH PT.TD yang terjadi di Kab. Ketapang,
Kalimanatan Barat muncul karena konflik, yang tidak hanya diatas peta tetapi sudah berupa konflik
nyata dilapangan dengan ditebangnya 2900 pohon tengkawang, 9 pohon madu dan 30 pohon
damar dari kebun Masyarakat Adat yang berakibat tuntutan masyarakat adat semakin kuat untuk
mengusir HPH. Patay & Nari 1993 konflik Masyarakat Adat Wooi dan Mee dengan HPH PT.PY dan
konflik Masyarakat Adat Oyehe dengan HPH PTYU di Kab. Nabire, Irian Jaya; Tempo 6 Juni 1999
Tuntutan Masyarakat Adat Mentawai dengan HPH PT. MPL di tolak oleh PN Padang November
1998 sehingga konfik tidak terselesaikan sampai saat ini.
Masyarakat Adat Simpakng yang kini bermukim di wilayah Desa Semandang Kiri,
Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang, Kalbar diperkirakan mengelola hutan sejak abad
ke 16-17. Tempat tinggal mereka tersebar dalam beberapa kampung yang dikenal wilayahnya
sebagai umakng desa sembilan domong sapuluh atau disebut juga Kawasan Adat Banua
Simpakng atau Tonah Simpakng Sakayok. Batas antar Banua dikenal dengan nama Sapat Banua
atau kesepakatan batas benua yang dihormati sebagai batas wilayah kewenangan adat masingmasing Banua. Kelembagaan adatnya di dalam Banua terdiri dari seorang Patinggi, beberapa
orang Pateh dan Tamogokng untuk tiap-tiap kampung.
Pola pengelolaan Sumber Daya Hutan telah dilakukan secara turun temurun dengan
menggolongkan pola-pola penggunaan lahan sbb: Rima makong utatn torutn sebagai hutan
cadangan, Bawas belukar Lako uma, sebagai tanah pertanian, Kampbokng Temawakng Buah
Janah, sebagai kebun buah dan kayu-kayuan, Tonah Colap Torutn Pusaka, sebagai wilayah
keramat, Kampokng Loboh sebagai wilayah pemukiman dan Are Sunge sebagai wilayah sungai
untuk tambak dan tempat menjala. Selaian wilayah adat, kelembagan adat serta pola pengelolaan
sumber daya hutan tersebut, masyarakat adat ini terikat atas suatu hubungan kekerabatan dan
adat istiadat yang sama.
43 | P a g e
2). Konflik Masyarakat Adat Dayak Benuaq, Kalimantan Timur dengan HPHTI di Kawasan
Hutan Produksi (KalimantanReview 1998)
Masyarakat Adat Dayak Bentian di Kalimantan Timur dikenal akan keahliaannya
membudidayakan rotan. Rotan yang ditanam, pada lahan pertaniannya merupakan bagian dari
usaha pertanian gilir balik. Usaha ini dikenal dalam bidang agroforestry sebagai usaha
mempercepat waktu bera dengan introduksi tumbuhan pionir bermanfaat menuju bentuk agroforest
(improve fallow management). Pola-pola ini banyak dikenal masyarakat adat di Asia yang
melakukan pertanian gilir balik. Pola ini telah dilakukan oleh Masyarakt Adat Dayak Bentian
keturunan Jato Rampangan di Wilayah Adatnya sejak tahun 1813 yang dipimpin oleh Kepala
Adatnya, dimana saat ini dijabat oleh Bpk. Loir Botor Dingit.
Konflik ini bermula dengan diberikannya hak pengusahaan HTI kepada PT. MH yang
merupakan perusahan HTI Patungan atara PT. Inh I dgn PT. TD. Perusahaan ini melakukan land
clearing pada lahan pertanian masyarakat adat serta tidak mengakui perbuatanya sebagai suatu
perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian besar dipihak masyarakat. Tanah
pertanian tersebut dibuka untuk digunakan sebagai lahan tempat pembibitan, bangunan camp,
lahan HTI serta HTI-Trans. Keberatan masyarakat dituangkan dalam surat pernyataan al; a.
Pengembalian tanah adat, b. Pembayaran denda atas kerusakan tanam tumbuh serta kuburan c.
HTI-Trans harus dipindahkan d. Tidak digangu lagi tanah adatnya.
Keberatan masyarakat tidak dijawab oleh pihak perusahaan maupun pihak Dephut
bahkan pada tanggal 28 September 1994, Gubernur Kaltim mengajukan tuntutan pidana kepada
masyarakat adat atas nama Kepala Adatnya atas tuduhan pemalsuan tanda tangan. Tampak
bahwa akar permasalahan konflik tidak diselesaikan bahkan pihak pemerintah daerah
mempertajam konflik dengan gugatan pidana pemalsuan tanda-tangan oleh kepada adat untuk
melumpuhkan tuntutan masyarakat adat. Pada akhir tahun 1998, pengadilan tidak dapat
membuktikan kasus pemalsuan tandatangan dan membebaskan kepala adat dari tuntutan pidana.
3). Konflik Masyarakat Adat Peminggir, Lampung atas pengelolaan Hutan Lindung (Kusworo
dalam BSP, 1999)
Sejak sekitar seabad yang lalu masyarakat adat Peminggir atau Pesisir Krui
membangun Repong Damar. Dimulai dari pembukaan hutan, berladang (padi dan sayuran),
berkebun (kopi, lada), yang kemudian membentuk agroforest (kebun-hutan) yang didominasi oleh
pohon damar (Shorea javanica) selain buah, kayu dan tumbuhan bermanfat lainnya. Keseluruhan
44 | P a g e
repong Damar di Pesisir Krui mencapai 50-an ribu hektar. Wilayah masyarakat adat peminggir
berbatasan dengan Samudra Hindia di sebelah Barat dan Taman Nasioanl Bukit Barisan Selatan di
sebelah Timur (dulu Cagar Alam Ratu Wilhemina).
Pada zaman Belanda tanah adat diakui sebagai tanah marga dari 16 Marga yang
memiliki wewenang di sana. Batas Bochwessen (BW, Kawasan hutan) dan tanah Marga dihormati
oleh pihak Pemerintah Belanda maupun Masyarakat sekitarnya. Pada tahun 1991 Menteri
Kehutanan menunjuk TGHK Propinsi Lampung dimana sebagian dari tanah marga tersebut
menjadi kawasan hutan yang terdiri dengan fungsi Produksi Terbatas dan Lindung. Selanjutnya
memberikan hak pengusahaan hutan kepada HPH PT BL dan kemudian dialihkan kepada PT Inh
V. Perubahan status tanah marga tersebut baru diketahui masyarakat pada tahun 1994 pada saat
penataan batas mulai dilakukan. Sejak itu masyarakat adat di Pesisir Selatan mulai dilarang
melakukan pengelolaan repong damar didalam wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan
negara.
Penolakan masyarakat adat terhadap status kawasan hutan negara dilakukan melalui
penolakan wilayahnya dimasuki petugas penataan batas, surat petisi dan delegasi yang dikirim ke
Pemerintah Daerah serta Dephut. Jawaban pemerintah atas surat dan petisi masyarakat adat
adalah dengan menerbitkan SK Menhut no 47 /Kpts-II/1998 yang menunjuk 29.000 ha repong di
dalam kawasan hutan negara sebagai kawasan dengan tujuan istimewa (KDTI), SK ini
memberikan hak pengusahaan kawasan hutan negara yang terdiri atas HPT dan HL kepada
masyarakat adat.
Bentuk yang diharapkan masyarakat adat adalah bukan pemberian hak pengusahaan
repong damar yang dapat dicabut sewaktu waktu dan masih kuatnya intervensi pengaturan oleh
Dephutbun tetapi suatu bentuk hak atas dasar pengakuan keberadaan masyarakat adat, wilayah
adatnya serta pola pengelolaanya kebun damarnya sebagai usaha pertanian. Masyarakat Adat
Krui tengah mempersiapkan pendekatan litigasi untuk mendapatkan kembali hak kepemilikan
tanahnya atas usaha tani kebun damarnya.
Walaupun pemberian hak pengusahaan belum memenuhi harapan masyarakat adat
Krui akan tetapi SK ini menunjukan pengakuan atas pola pengelolan sumber daya hutan oleh
masyarakat adat dalam bentuk aslinya (Repong Damar) dan jaminan bahwa pola tersebut dapat
dilanjutkan.
45 | P a g e
3. Konflik anatara Masyarakat dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di Sumatera Utara
Berbeda dengan berbagai konflik agrariaa yang terjadi di berbagai tempat sebelumnya,
konflik agrarian di Sumatera Utara, yang pada akhirnya berakhir pada sengketa melalui pengadilan
ini, pada prinsipnya melibatkan dua pihak, masyaaraakat penggarap berhadapan dengan PTPN-II.
Konflik ini terjadi di berbagai lokasi lahan yang dimiliki PTPN-II.
Di desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang, konflik terjadi karena
tumpang tindih nya kepemilikan tanah. Rakyat yang terlibat konflik ini beranggapan sebagian lahan
perkebunanadalah milik mereka yang merupakan tanah jaluran yang diberikan pemerintah Belanda
kepada rakyat yang bertempat tinggal diatas tanah perkebunan secara turun temurun. Tanah ini
kemudian diambil pemerintah dengan cara paksa, sebagaimana lazimnya pada era Orde baru.
Namun di samping itu, PTPN II mengklaim bahwa lahan perkebunan adalah milik
perkebunan dengan menunjukkan HGU PTPN. Atas dasar itu, melalui intimidasi dan dan bukti
yang kuat dari PTPN II tentunya rakyat harus mengalah dan pergi dari lahan tersebut, karena
mereka tidak berani secara terbuka untuk menuntut haknya atas tanah (Ardhi, 2009). Barulah
kemudian setelah habis masa HGU PTPN II di mana pada saat yang sama datanglah era
reformasi, maka rakyat yang selama ini diam kemudian bangkit untuk melawan.
Di samping kasus di atas, kasus yang tidak kalah pentingnya adalah konflik antara
masyarakat melawan PTPN-II yang berlokasi di Desa
Helvetia, Kecamatan Labuan Deli,
Kabupaten Deli Serdang. Konflik juga terjadi karenaa masyarakat penggarap yang telah
mendapatkan jatah pembagian lahan, namun pada masa Orde Baru kemudian tanah itu langsung
dikuasai oleh PTPN. Barulah kemudian pada masa reformasi, rakyat berani menggugat. Untuk
kasus di wilayah ini, akhirnya digugat melalui pengadilan, dan pada akhirnya dimenangkan oleh
masyarakat. (Putusan Pengadilan Lubuk Pakam, Sumateraa Utara, no. 96/PDT.G/2010/PN-LP).
Jika diamati secara seksama, apa yang pernah diidentifikasi oleh pengkaji
pertaanahan sebelumnya terkaait dengan sengketa agrarian, dalam beberapa hal ada benarnya.
Misalnya saja, Maria SW menegaskan bahwa berbagai konflik agrarian diakibatkan oleh adanya
penggarapan tanah yang menjdi areal kehutanan atau perkebunan oleh rakyat,
adanya
pelanggaran terhadaap ketentuan ladreform, adanya upaya penyediaan lahan untuk kepentingan
pembangunan, serta, karena adanya berbagai masalah perdata. Mohd Jully Fuadi, (2013).
Hal penting lain yang perlu dicatat dalam masalah karakteristik sengketa agraria ini
adalah bahwa telah terjadi pergeseran pola antara masa pasca kemerdekaan hingga era Orde
Baru. Pada pasca kemerdekaan sampai dengan era akhir 1960 an, sengketa biasanya terjadi pada
di pedesaan antara petani penggarap dengan penguasa tanah. Sedangkan pada decade 1980
46 | P a g e
sampai dengan akhir Orde Baru sengketa terjadi antara pemilik tanah setempat melawan pemodal
besar atau pemerintah. (Marzuki, 2008). Akan tetapi, berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa
pada masa reformasi, sengketa berupa rakyat penggarap melawan pemerintah atau industry
dengan posisi rakyat yang sangat menguat, dimana penjarahan tanah banyak terjadi.
Di samping itu, dalam berbagai sengketa agraria, terdapat berbagai unsur yang
acapkali terlibat di dalamnya, utamanya adalah:
1) Adanya aktor ekonomi, aktor politik ataupun aktor sosial yang kuat
2) Administrasi yang bermasalah, termasuk di dalamnya proses ajudikasi yang tidak tertata
baik.
3) Melibatkan warga masyarakat yang sangat awam terhadaap hokum positif namun dalam
realitanya sudah menguasai tanah tersebut dalam waktu lama, dan bahkan secara turun
temurun. Dan segmen ini biasanya sebagai korban. (Fuadi, 2013).
Adapun sebab yang lebih detail dari munculnya sengketa aagraria adalah faktorfaktor sbb:
Pertama, tidak meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya agrarian yang
ada. Kedua, ekspansi wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih banyak terjadi di perkotaan.
Ketiga, adalah adanya kegiatan ekonomi sebagian dari masyarakat. Tentu ini adalah kegiatan
ekonomi yang dapat mengganggu masyarakat sekitarnya. Keempat, adanya kepadatan penduduk
yang menuntut penyediaan lahan yang semakin luas.(Nurjaya, dalam Asrul, 2012)
Dan jika dianalisa terkait posisi para pihak yang terliabat sengketa, maka ada konflik
verikal dalam arti konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak yang berwenang,
horizontal ialah konflik antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan konflik antara
masyarakat melawan investor (Fuadi, 2013).
Yang menarik adalah, bahwa jika pun konflik itu horizontal, dalam banyak kasus,
pihak-pihak tertentu akan memanfaatkan keadaan, sehingga meskipun dalam kasus horizontal,
namun masyarakat tertentu terkadang mempergunakan aktor-aktor tertentu juga.
47 | P a g e
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Sesuai dengan rancangan penelitian dalam proposal, setelah selesainya Tahap I dengan
hasil adanya berbagai bentuk sengketa agraria di Indonesia serta berbagai indikator tentang faktor
penyebab sengeta agraria tersebut, maka dalam Tahap II, penelitian akan diarahkan untuk
melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Analisis secara menyeluruh terhadap karakteristik kasus sengketa agrarian di empat
provionsi
2) Analisis terhadap metode penyelesaian sengketa agrarian yang sudah ditempuh di ke
empat provinsi
3) Identifikasi kelemahan dari metode penyelesaian sengketa yang selama ini dilakukan di
empat provinsi
4) Identifikasi nilai kearifan lokal yang dapat dikontribusikan bagi penyelesaian sengketa
agraria.
5) Menyusun metode penyelesaian sengketa agrarian dengan mengeliminasi kelemahan
yang ditemui, dengan mengintegrasikan teori serta kearifan lokal di masing-masing
provinsi.
6) Penulisan manuskript artikel jurnal tentang urgensi kearifan lokal dalam penyelesaian
sengketa agrarian.
48 | P a g e
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian Tahap I yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Konflik pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke
masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan
semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar
dalam berbagai kepentingan.
2. Berbagai konflik agraria muncul karena banyak faktor diakibatkan oleh: Pertama, tidak
meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya agraria yang ada. Kedua, ekspansi
wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih banyak terjadi di perkotaan. Ketiga, adalah
adanya kegiatan ekonomi sebagian dari masyarakat. Tentu ini adalah kegiatan ekonomi
yang dapat mengganggu masyarakat sekitarnya. Keempat, adanya kepadatan penduduk
yang menuntut penyediaan lahan yang semakin luas.
3. Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan,
dan harkat diri seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum
terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh
kepentingan orang lain, masyarakat dan negara. Pada saat ini regulasi yang ada masih
menunjukkan ada overlapping antara sektoral, lembaga yang mempunyai otoritas di
bidang pengelolaan sumber daya agraria.
B. Saran
Atas kesimpulan di atas, dapat diajukan saran-saran sebagai solusi permasalahan yang ada:
1. Pembangunan semestinya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial dan
kultural. Mengingat selama ini pertimbangan lebih pada aspek ekonomi.
2. Perlu adanya penataan regulasi di bidang sumber daya agraria, yang dapat menjadi
acuan yang jelas di dalam pemecahan konflik yang terjadi.
49 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Arizona, Yance. (2008). Mengintip Hak Ulayat dalam Konstitusi Indonesia,HUMA, Jakarta.
Asrul Ibrahim Nur, Anatomi Konflik Sosial dalam, www.theindonesianinstitute.com. Diakses pada
17.Juli 2013
_______ (2009) Membangun Perdamaian; Panduan Pelatihan Mediasi dan Resolusi Konflik untuk
Fasilitator.Buku 1. Banda Aceh: The World Bank.
_______ (2009) Membangun Perdamaian; Panduan Pelatihan Mediasi dan Resolusi Konflik untuk
Fasilitator. Buku 2. Banda Aceh: The World Bank.
_______ (2009) Kepemimpinan Damai; Membangun Visi, Misi dan Strategi Perdamaian Berbasis
Komunitas. Banda Aceh: The World Bank.
_______ (2010) Pedoman Teknis Penerapan Pembangunan Peka Konflik; Pengarusutamaan
Perdamaian dalam Program Kerja Satuan Perangkat Pemerintah Daerah. Banda Aceh: The
World Bank.
_______ (2010) Draft Panduan Perencanaan Pembangunan Peka Konflik untuk Legislatif. Banda
Aceh: Ausaid-Logica-2.
_______ (2011) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa: Panduan Perencanaan
Berbasis Perdamaian. Banda Aceh: The World Bank.
_______ (2011) Modul Pelatihan Integrasi dan Harmonisasi Perencanaan Pembangunan. Banda
Aceh: The World Bank.
B. Ter Haar, Bzn.(1962.) Terjemahan Schiller, A.A. & E.A. Hoebel. Adat Law In Indonesia, Bharata.
Jakarta.
Bachriadi, Dianto dan Lucas. (2001). Anton, Merampas Tanah Rakyat,Kasus Tapos dan Cimacan,
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Badan Reintegrasi Damai Aceh, Bappenas, et.all (2010) The Multi-Stakeholder Review of Post
Conflict Programming in Aceh, Aceh:Multi Donor Fund
Baron, P., Clarck.S., Daud.M. (2005) Conflict and Recovery in Aceh: An Assessment of Conflict
Dynamics and Options for Supporting the Peace Process. Jakarta: WorldBank.
Baron, P., Diprose. R. and Woolcock.M. (2006) Local Conflict and Community Development in
Indonesia: Assesing the Impact of The Kecamatan Development Program. Jakarta:
Decentralization Support Facility.
Buku Pegangan 2010 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Jakarta
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
Burke, A and Afnan., (2005) Aceh: Reconstruction in a Conflict Environment: View from Civil
Society, Donors and NGOs. Jakarta: Decentralization Support Facility.
CDA Collaborative Learning Project (2004) The Do No Harm Handbook;The Framework for
Analyzing the Impact of Assistance on Conflict. Cambridge.
Departemen Dalam Negeri (2008) Petunjuk Teknis Operasional PNPM-Generasi Sehat dan
Cerdas (Versi B). Jakarta: Tim Koordinasi Pusat PNPM PPK.
Departemen Dalam Negeri-Lembaga Administrasi Negara (2007) Pedoman Umum Formulasi
50 | P a g e
Fauzi, Noer. (2003). Bersaksi untuk Pembaharuan Agraria, dari Tuntutan Lokal hingga
Kecenderungan Global, Insist Press, Yogyakarta.
Feryry Ardhi, Sejarah Konflik Peralihan Fungsi Lahan PTPN II Menjadi Lahan Pertanian
Masyarakat (Studi Kasus di Desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli
Serdang). Universitas Sumatera Utara, 2009. Dalam http://repository.usu.ac.id Diakses
pada 17.September 2013
Gaigals C, and Leonhardt M., (2001) Conflict-Sensitive Approaches to Development: A Review of
Practice. International Alert, Saferworld and IDRC
Ismail, Nurhasan. (2006). Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan
Ekonomi-Politik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kalo, Syafruddin. (2004). ‘Di Bawah Cengkeraman Kapitalisme: Konflik Status Tanah Jaluran
Antara Onderneming Dan Rakyat Penunggu Di Sumatra Timur Jaman Kolonial,’ USU Digital
Library. Diakses 10 Maret 2012.
Kalo, Syafruddin. (2004). ‘Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah Dan Akibatnya
Terhadap Masyarakat Petani Di Sumatera Timur: Pada Masa Kolonial Yang Berlanjut Pada
Masa Kemerdekaan, Orde Baru Dan Reformasi,’ USU Digital Library. Diakses 1 Maret
2012.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-187/Kep/Bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian dan
Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang). Jakarta: Departemen Dalam Negeri.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-188/Kep/Bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian
Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah/RPJMD). Jakarta: Departemen Dalam Negeri.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2011). Tahun Perampasan Tanah dan Kekerasan
terhadap Rakyat, Laporan Akhir Tahun. Diakses dari www.kpa.or.id pada 20 Maret 2012.
Krippendorff, Claus. (1991). Analisis Isi, Rajawali Pers. Jakarta
Laderach. P, John., et.al (2007) Reflective Peace Building: A Planning, Monitoring, and Learning
Toolkit.
Laudjeng, Hedar dan HP, Arimbi. (1997). Bayang-Bayang Culturstelsel dan Domein Verklaring
dalam Praktik Politik Agraria, WALHI. Jakarta
Manan, Baqir. (1999). ‘Penelitian di Bidang Hukum,’ dalam, Jurnal Hukum Puslitbangkum No.
Perdana : 1-1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, UNPAD, Bandung.
Marzuki, Suparman, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia,
2008., www. pusham.uii.ac.id Diakses pada 17.September 2013
Miall, Hugh. (2000) Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola
dan Mengubah Konlik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ministry of Home Affairs Republic Indonesia. (2005) Annual Report: Kecamatan Development
Program. Jakarta: KDP National Scretariat and Management Consultant.
Mohd. Jully Fuady, Mencari Formula Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan di
Aceh.dalam http://www.lbhaceh.org/ Diakses pada 17.Juli 2013
Muhadjir, Noeng. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Rakesarasin, Yogyakarta.
Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Bandung: Tarsito.
51 | P a g e
Neufeldt, Reina et.all. (2002) Peace Building A Caritas Training Manual. Palazzo San Calisto:
Caritas International.
Noor, Aslan. (2003). ‘Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran
Hak Azasi Manusia,’ Disertasi, Program Pasca Sarjana, Bandung.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan
Standar Pelayanan Minimal.
Peraturan Pemerintah No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal.
Perencanaan Strategis (Formulasi of Strategic Planning). Jakarta: SCB-DP.
Releigh Barlowe. (1978). Land Resource Economics: The Economics of Real Estate, Prentice-Hall
Inc. New Jersey.
Ridzuan Awang. (1994). Undang-undang Tanah Islam: Pendekatan Perbandingan. Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala Lumpur
Salindeho, John. (1987). Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika. Jakarta.
SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam
Negeri 0008/M.PPN/01/2007/050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan
Musrenbang Tahun 2007.
Silalahi, M. Daud. (2001). Metodologi Penelitian Hukum Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi
Interdisipliner, Lowencon Copy & Binding Centre. Bandung.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri (1995). Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sumpeno, W. (2004) Perencanaan Desa Terpadu; Panduan Perencanaan Berbasis Masyarakat.
Jakarta: CRS Indonesia.
Tajima, Y. (2004) Mobilizing for Violance; The escalation and Limitation of Identity Conflicts. The
Case of Lampung-Indonesia. Jakarta: WorldBank.
Tim Kajian (2006) Kajian Mengenai Kebutuhan Reintegrasi GAM: Meningkatkan Perdamaian
melalui Program Pembangunan di Tingkat Masyarakat. Jakarta: WorldBank.
Tim Koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) (2010). Panduan
Teknis Integrasi. Jakarta: (TK) PNPM Mandiri Perdesaan.
Undang-Undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Zakie, Mukmin. (2009). ‘Perlindungan Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Konstitusi,’
Jurnal Konstitusi, PSHK FH UII, Vol. II,No. 2. Hal. 119-139.
Zakie, Mukmin.(2011). Undang-Undang Pengambilan Tanah Di Indonesia Dan Di Malaysia (Suatu
Kajian Perbandingan), Desertasi Doktor Falsafah Fakulti Undang-Undang, Universiti
Kebangsaan Malaysia.
52 | P a g e
Zakie, Mukmin.(2012). ‘Tanah dan Potensi Konflik Tiada Akhir,’ Makalah disampaikan pada ”
Pelatihan Penanganan Sengketa Agraria: Eksistensi Tanah Ulayat Di Wilayah
Pertambangan, Kehutanan Dan Perkebunan Serta Potensi Konflik, Sengketa Dan
Penyelesaian Permasalahannya. Diselenggarakan oleh Good Governance Support (GGS),
All Seasons Hotel, Yogyakarta, 16- – 17 Maret 2012.
53 | P a g e
54 | P a g e
PENANGANAN DAN PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI
INDONESIA
Oleh : Mukmin Zakie, SH.,M.Hum.,Ph.D
I. PENDAHULUAN
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di
muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai
meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber
kehidupan. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat
bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula
mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural
politik dan ekologis.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang
paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak
hanya mempunyai nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial,
dan kultural. Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak
henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit.
Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam
secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33
Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut : ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sebagai sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber
produksi yang sangat dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang
membutuhkannya. Perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya
semakin tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah.
Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik
serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu
ada dimana-mana. Sengketa dan konflik pertanahan adalah bentuk permasalahan
yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan,
penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik
hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap
sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai
kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win
solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak
mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor
pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan

Disampaikan Dalam Focus Group Discussion, Penataan Penguasaan Hak Atas Tanah
Bagi Masyarakat Adat: Solusi Penyelesaian Sengketa Agraria Berbasis Kearifan Lokal, pada 6
Desember 2013, di Ruang Sidang Pasca UII.

Penerima Hibah Bersaing Dikti Tahun Anggaran 2013
55 | P a g e
solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa
dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus
menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan
agraria yang mensejahterakan.
II. KONFLIK PERTANAHAN
1. Pengertian.
Konflik pertanahan dapat diartikan sebagai konflik yang lahir sebagai
akibat adanya hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah
bumi dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di
dalam perut bumi. Istilah sengketa dan konflik pertanahan sering kali dipakai
sebagai suatu padanan kata yang dianggap mempunyai makna yang sama. Akan
tetapi sesungguhnya kedua istilah itu memiliki karakteristik yang berbeda.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI
memberi batasan mengenai sengketa, konflik maupun perkara pertanahan. Pasal 1
Peraturan Kepala BPN tersebut menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah
sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan,
penyelesaian sesuai peraturan perundangundangan dan/atau kebijakan pertanahan
nasional.
a. Sengketa Pertanahan.
Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara
sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan
definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah
dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait
dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan
dan sengketa hak ulayat.
b. Konflik Pertanahan.
Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang
mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio politis.
c. Perkara Pertanahan.
Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya
dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih
dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.
2. Akar konflik pertanahan.
Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan
timbulnya konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk
diidentifikasi serta diinventarisasi guna mencari jalan keluar atau bentuk
56 | P a g e
penyelesaian yang akan dilakukan. Akar permasalahan konflik pertanahan dalam
garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut : (1) konflik
kepentingan, yaitu adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan
kepentingan substantif, kepentingan prosedural, maupun kepentingan psikologis,
(2) konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku destruktif, kontrol perilaku
sumberdaya yang tidak seimbang, (3) konflik nilai, karena perbedaan kriteria yang
dipergunakan mengevaluasi gagasan/ perilaku, perbedaan gaya hidup, idiologi
atau agama/kepercayaan, (4) konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi
yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan
perilaku yang negatif, (5) konflik data, yang disebabkan karena informasi yang
tidak lengkap, informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang
relevan, interpretasi data yang berbea, dan perbedaan prosedur penilaian.
Penyebab umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan
dalam dua faktor, yaitu faktor hukum dan faktor non hukum.
a. Faktor Hukum.
Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan
belakangan ini antara lain :
1) Tumpang tindih peraturan.
UUPA sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria
lainnya, dalam perjalanannya dibuat beberapa peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan sumber daya agraria tetapi tidak menempatkan UUPA
sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar
dengan undang-undang agraria. UUPA yang mulanya merupakan payung hukum
bagi kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan secara
substansial bertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan
sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Transmigrasi dan
lain-lain.
2) Tumpang tindih peradilan.
Pada saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu
konflik pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana dan peradilan tata
usaha negara (TUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang
menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik
disertai tindak pidana).
b. Faktor Non Hukum.
1) Tumpang tindih penggunaan tanah.
Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan
jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau
mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih fungsi.
Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat
timbul kepentingan yang berbeda.
2) Nilai ekonomis tanah tinggi.
57 | P a g e
3) Kesadaran masyarakat meningkat
Adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran
masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun ikut berubah.
Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola
pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan
tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai
sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.
4) Tanah tetap, penduduk bertambah.
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui kelahiran maupun
migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah
sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap
jengkal tanah dipertahankan sekuatnya.
5) Kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap tanah
merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan
terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses
masyarakat miskin.
3. Tipologi Konflik Pertanahan.
Tipologi konflik pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau
perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani. Tipologi
konflik pertanahan yang ditangani Badan Pertanahan Nasional RI dapat
dikelompokkan menjadi 8 (delapan), terdiri dari masalah yang berkaitan dengan :
a. Penguasaan dan Pemilikan Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu
yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah
dilekati hak oleh pihak tertentu;
b. Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran
tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan anggapan tidak
sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan;
c. Batas atau letak bidang tanah, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang
teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
maupun yang masih dalam proses penetapan batas;
d. Pengadaan Tanah, yaitu perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau
nilai mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses
pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan
atau pengadaan tanah dan ganti rugi;
58 | P a g e
e. Tanah obyek Landreform, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai prosedur penegasan, status penguasaan dan
pemilikan, proses penetapan ganti rugi, penentuan subyek obyek dan
pembagian tanah obyek Landreform;
f. Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir, yaitu perbedaan persepsi, pendapat,
kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan pemerintah
untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang dilikwidasi;
g. Tanah Ulayat, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu
baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang belum, akan tetapi
dikuasai oleh pihak lain;
h. Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan
dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur
penerbitan hak atas tanah tertentu.
Jika diamati secara seksama, apa yang pernah diidentifikasi oleh
pengkaji pertanahan sebelumnya terkaait dengan sengketa agraria, dalam beberapa
hal ada benarnya. Misalnya saja, Maria SW menegaskan bahwa berbagai konflik
agraria diakibatkan oleh adanya penggarapan tanah yang menjadi areal kehutanan
atau perkebunan oleh rakyat, adanya pelanggaran terhadaap ketentuan ladreform,
adanya upaya penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan, serta, karena
adanya berbagai masalah perdata. Mohd Jully Fuadi, (2013).
Hal penting lain yang perlu dicatat dalam masalah karakteristik
sengketa agraria ini adalah bahwa telah terjadi pergeseran pola antara masa pasca
kemerdekaan hingga era Orde Baru. Pada pasca kemerdekaan sampai dengan era
akhir 1960 an, sengketa biasanya terjadi pada di pedesaan antara petani penggarap
dengan penguasa tanah. Sedangkan pada decade 1980 sampai dengan akhir Orde
Baru sengketa terjadi antara pemilik tanah setempat melawan pemodal besar atau
pemerintah. (Marzuki, 2008). Akan tetapi, berdasarkan penelitian ini didapatkan
bahwa pada masa reformasi, sengketa berupa rakyat penggarap melawan
pemerintah atau industry dengan posisi rakyat yang sangat menguat, dimana
penjarahan tanah banyak terjadi.
Di samping itu, dalam berbagai sengketa agraria, terdapat berbagai
unsur yang acapkali terlibat di dalamnya, utamanya adalah:
4) Adanya aktor ekonomi, aktor politik ataupun aktor sosial yang kuat
5) Administrasi yang bermasalah, termasuk di dalamnya proses ajudikasi
yang tidak tertata baik.
6) Melibatkan warga masyarakat yang sangat awam terhadaap hokum positif
namun dalam realitanya sudah menguasai tanah tersebut dalam waktu
lama, dan bahkan secara turun temurun. Dan segmen ini biasanya sebagai
korban. (Fuadi, 2013).
59 | P a g e
Adapun sebab yang lebih detail dari munculnya sengketa aagraria
adalah factor-faktor sbb:
Pertama, tidak meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya
agrarian yang ada. Kedua, ekspansi wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih
banyak terjadi di perkotaan. Ketiga, adalah adanya kegiatan ekonomi sebagian
dari masyarakat. Tentu ini adalah kegiatan ekonomi yang dapat mengganggu
masyarakat sekitarnya. Keempat, adanya kepadatan penduduk yang menuntut
penyediaan lahan yang semakin luas.(Nurjaya, dalam Asrul, 2012)
Dan jika dianalisa terkait posisi para pihak yang terliabat sengketa,
maka ada konflik verikal dalam arti konflik antara masyarakat dengan pemerintah
atau pihak yang berwenang, horizontal ialah konflik antara satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya, dan konflik antara masyarakat melawan investor
(Fuadi, 2013).
III. PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN
Berbagai penyelesaian konflik pertanahan cukup banyak ditawarkan baik
yang bersifat litigasi maupun non litigasi, tetapi dalam banyak hal hasilnya terasa
kurang memuaskan. Bahkan penyelesaian melalui pengadilanpun terkadang
dirasakan oleh masyarakat tidak memuaskan. Tidak sedikit mereka yang telah
menduduki tanah selama bertahun-tahun ditolak gugatannya untuk
mempertahankan hak atau mendapatkan hak karena adanya pihak lain yang
menguasai tanah yang bersangkutan. Atau sebaliknya gugatan seseorang terhadap
penguasaan tanah tertentu dikabulkan pengadilan walaupun bagi pihak yang
menguasai tanah tidak cukup kuat atau gugatan kurang beralasan.
Di Indonesia, konflik pertanahan yang ada diselesaikan melalui Pengadilan
Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun dari sekian banyaknya kasus
yang masuk ke badan peradilan tersebut, banyak yang diselesaikan dengan hasil
yang kurang memuaskan, sehingga berkembanglah pandangan di masyarakat
bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.
Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan
masyarakat tersebut tidak terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru
yang dampaknya justru memperburuk kondisi yang ada.
Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan
dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik untuk
mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam
penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional
ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR)
mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan
yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya dan pikiran/tenaga. Disamping
itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala
administrasi yang meliputinya membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir
untuk penyelesaian sengketa.
60 | P a g e
Dengan berjalannya waktu, penyelesaian konflik pertanahan melalui ADR
secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk satu
kedeputian, yaitu Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan. BPN telah pula menerbitkan Keputusan Kepala BPN No. 34
Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan yang telah diganti dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Dalam
menjalakan tugasnya menyelesaikan konflik pertanahan, BPN melakukan upaya
antara lain melalui mediasi.
Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa
penyelesaian berbagai konflik pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat
mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk menanganinya.
Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua konflik pertanahan harus
diselesaikan melalui pengadilan. Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan
Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan
melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan masalah, sengketa,
perkara dan konflik pertanahan. Dalam melaksanakan tugasnya Deputi Bidang
Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan berpedoman pada
peraturan prundang-undangan yang berlaku, terutama Peraturan Kepala Badan
Penanganan Kasus Pertanahan.
IV. PENUTUP.
Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi,
kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan
kepastian hukum terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat
mutlak karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan negara.
Dalam kenyataan sehari-hari permasalahan tanah muncul dan dialami oleh
seluruh lapisan masyarakat. Konflik pertanahan merupakan isu yang selalu
muncul dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya
penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai
pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan.
Dapat dikatakan konflik di bidang pertanahan tidak pernah surut, bahkan
mempunyai kecenderungan untuk meningkat di dalam kompleksitas permasalahan
maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang ekonomi, sosial dan politik.
Konflik agraria juga memiliki berbagai pola, yang berbeda antara satu era
dengan era lainnya. Pada pasca kemerdekaan sampai dengan era akhir 1960 an,
sengketa biasanya terjadi pada di pedesaan antara petani penggarap dengan
penguasa tanah. Sedangkan pada decade 1980 sampai dengan akhir Orde Baru
sengketa terjadi antara pemilik tanah setempat melawan pemodal besar atau
pemerintah. Akan tetapi, pada masa reformasi, sengketa berupa rakyat penggarap
melawan pemerintah atau industry dengan posisi rakyat yang sangat menguat,
dimana penjarahan tanah banyak terjadi.
61 | P a g e
Salah satu alternatif penyelesaian konflik (tanah) adalah melalui upaya
mediasi. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif menawarkan cara
penyelesaian sengketa yang khas. Karena prosesnya relatif sederhana, maka
waktunya singkat dan biaya dapat ditekan. Sebagai suatu cara penyelesaian
sengketa alternatif, mediasi mempunyai ciri-ciri yakni waktunya singkat,
terstruktur, berorientasi kepada tugas, dan merupakan cara intervensi yang
melibatkan peras serta para pihak secara aktif. Keberhasilan mediasi ditentukan
itikad baik kedua belah pihak untuk bersama-sama menemukan jalan keluar yang
disepakati.
Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan
dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan
bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian, solusi yang dihasilkan
mengarah kepada win-win solution. Pilihan penyelesaian sengketa melalui
mediasi mempunyai kelebihan dari segi biaya, waktu, dan pikiran bila
dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan, di samping itu kurangnya
kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang
melingkupinya membuat lembaga pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk
penyelesaian sengketa. Dalam kerangka penyelesaian konflik pertanahan, Badan
Pertanahan Nasional RI dengan Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan merupakan
lembaga ADR penyelesaian konflik pertanahan yang dipandang mampu
menghasilkan solusi yang mengarah pada win-win solution.
Diluar dari pentingnya penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan
yang harus segera dilaksanakan, yang tidak kalah penting adalah bagaimana untuk
mencegah agar tidak terjadi konflik paling tidak mampu meminimalisir terjadinya
konflik pertanahan. Sebagaimana yang diatur dalam Perka BPN RI Nomor 3
Tahun 2012, upaya untuk mencegah terjadinya konflik pertanahan antara lain
dengan : (1) penertiban administrasi pertanahan, (2)tindakan proaktif untuk
mencegah dan menangani potensi konflik, (3) penyuluhan hukum dan/atau
sosialisasi program pertanahan, dan (4) pembinaan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat.
V. DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, H., 2009, Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Anonim, 1960, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokokpokok Agraria.
Anonim, 2011, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan.
62 | P a g e
Arizona,
Yance. (2008). Mengintip
Indonesia,HUMA, Jakarta.
Hak
Ulayat
dalam
Konstitusi
Asmara, Galang, Dkk, 2010, Penyelesaian Konflik Pertanahan Berbasis Nilai-nilai
Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat, Mimbar Hukum Volume
22 Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram.
Asrul Ibrahim Nur, Anatomi Konflik Sosial dalam,
www.theindonesianinstitute.com. Diakses pada 17.Juli 2013
_______ (2009) Membangun Perdamaian; Panduan Pelatihan Mediasi dan
Resolusi Konflik untuk Fasilitator.Buku 1. Banda Aceh: The
World Bank.
_______ (2009) Membangun Perdamaian; Panduan Pelatihan Mediasi dan
Resolusi Konflik untuk Fasilitator. Buku 2. Banda Aceh: The
World Bank.
_______ (2009) Kepemimpinan Damai; Membangun Visi, Misi dan Strategi
Perdamaian Berbasis Komunitas. Banda Aceh: The World Bank.
_______ (2010) Pedoman Teknis Penerapan Pembangunan Peka Konflik;
Pengarusutamaan Perdamaian dalam Program Kerja Satuan
Perangkat Pemerintah Daerah. Banda Aceh: The World Bank.
_______ (2010) Draft Panduan Perencanaan Pembangunan Peka Konflik untuk
Legislatif. Banda Aceh: Ausaid-Logica-2.
_______ (2011) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa: Panduan
Perencanaan Berbasis Perdamaian. Banda Aceh: The World
Bank.
_______ (2011) Modul Pelatihan Integrasi dan Harmonisasi Perencanaan
Pembangunan. Banda Aceh: The World Bank.
B. Ter Haar, Bzn.(1962.) Terjemahan Schiller, A.A. & E.A. Hoebel. Adat Law In
Indonesia, Bharata. Jakarta.
Bachriadi, Dianto dan Lucas. (2001). Anton, Merampas Tanah Rakyat,Kasus
Tapos dan Cimacan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Badan Reintegrasi Damai Aceh, Bappenas, et.all (2010) The Multi-Stakeholder
Review of Post Conflict Programming in Aceh, Aceh:Multi Donor
Fund
Baron, P., Clarck.S., Daud.M. (2005) Conflict and Recovery in Aceh: An
Assessment of Conflict Dynamics and Options for Supporting the
Peace Process. Jakarta: WorldBank.
Baron, P., Diprose. R. and Woolcock.M. (2006) Local Conflict and Community
Development in Indonesia: Assesing the Impact of The
Kecamatan Development Program. Jakarta: Decentralization
Support Facility.
63 | P a g e
Buku Pegangan 2010 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan
Daerah, Jakarta Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional
Burke, A and Afnan., (2005) Aceh: Reconstruction in a Conflict Environment:
View from Civil Society, Donors and NGOs. Jakarta:
Decentralization Support Facility.
CDA Collaborative Learning Project (2004) The Do No Harm Handbook;The
Framework for Analyzing the Impact of Assistance on Conflict.
Cambridge.
Chomzah, Ali Achmad, 2002, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Departemen Dalam Negeri (2008) Petunjuk Teknis Operasional PNPM-Generasi
Sehat dan Cerdas (Versi B). Jakarta: Tim Koordinasi Pusat
PNPM PPK.
Departemen Dalam Negeri-Lembaga Administrasi Negara (2007) Pedoman
Umum Formulasi
Disampaikan pada Diklat Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Dalam
Negeri di Hotel Jayakarta,Tanggal 19 September 2012
Fauzi, Noer. (2003). Bersaksi untuk Pembaharuan Agraria, dari Tuntutan Lokal
hingga Kecenderungan Global, Insist Press, Yogyakarta.
Feryry Ardhi, Sejarah Konflik Peralihan Fungsi Lahan PTPN II Menjadi Lahan
Pertanian Masyarakat (Studi Kasus di Desa Marindal I
Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang). Universitas
Sumatera Utara, 2009. Dalam http://repository.usu.ac.id Diakses
pada 17.September 2013
Gaigals C, and Leonhardt M., (2001) Conflict-Sensitive Approaches to
Development: A Review of Practice. International Alert,
Saferworld and IDRC
Ismail, Nurhasan. (2006). Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Kalo, Syafruddin. (2004). ‘Di Bawah Cengkeraman Kapitalisme: Konflik Status
Tanah Jaluran Antara Onderneming Dan Rakyat Penunggu Di
Sumatra Timur Jaman Kolonial,’ USU Digital Library. Diakses
10 Maret 2012.
Kalo, Syafruddin. (2004). ‘Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah Dan
Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani Di Sumatera Timur: Pada
Masa Kolonial Yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde
Baru Dan Reformasi,’ USU Digital Library. Diakses 1 Maret
2012.
64 | P a g e
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-187/Kep/Bangda/2007 tentang
Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Jakarta:
Departemen Dalam Negeri.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-188/Kep/Bangda/2007 tentang
Pedoman Penilaian Dokumen Perencanaan Pembangunan
Daerah
(Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Daerah/RPJMD). Jakarta: Departemen Dalam Negeri.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2011). Tahun Perampasan Tanah dan
Kekerasan terhadap Rakyat, Laporan Akhir Tahun. Diakses dari
www.kpa.or.id pada 20 Maret 2012.
Krippendorff, Claus. (1991). Analisis Isi, Rajawali Pers. Jakarta
Laderach. P, John., et.al (2007) Reflective Peace Building: A Planning,
Monitoring, and Learning Toolkit.
Laudjeng, Hedar dan HP, Arimbi. (1997). Bayang-Bayang Culturstelsel dan
Domein Verklaring dalam Praktik Politik Agraria, WALHI.
Jakarta
Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta.
Magister Teknik Geomatika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Manan, Baqir. (1999). ‘Penelitian di Bidang Hukum,’ dalam, Jurnal Hukum
Puslitbangkum No. Perdana : 1-1999, Pusat Penelitian
Perkembangan Hukum, UNPAD, Bandung.
Marzuki, Suparman, 2008, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Marzuki, Suparman, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi HAM Universitas
Islam Indonesia, 2008., www. pusham.uii.ac.id Diakses pada
17.September 2013
Miall, Hugh. (2000) Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan,
Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konlik Bersumber Politik,
Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Ministry of Home Affairs Republic Indonesia. (2005) Annual Report: Kecamatan
Development Program. Jakarta: KDP National Scretariat and
Management Consultant.
Mohd. Jully Fuady, Mencari Formula Penyelesaian Konflik dan Sengketa
Pertanahan di Aceh.dalam http://www.lbhaceh.org/ Diakses pada
17.Juli 2013
65 | P a g e
Mudjiono, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia
Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan, Jurnal Hukum No.3
Vo. 14 Juli 2007, Yogyakarta.
Muhadjir, Noeng. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta.
Rakesarasin,
Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Bandung: Tarsito.
Neufeldt, Reina et.all. (2002) Peace Building A Caritas Training Manual. Palazzo
San Calisto: Caritas International.
Noor, Aslan. (2003). ‘Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia
Ditinjau dari Ajaran Hak Azasi Manusia,’ Disertasi, Program
Pasca Sarjana, Bandung.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan
dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.
Peraturan Pemerintah No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal.
Perencanaan Strategis (Formulasi of Strategic Planning). Jakarta: SCB-DP.
Releigh Barlowe. (1978). Land Resource Economics: The Economics of Real
Estate, Prentice-Hall Inc. New Jersey.
Ridzuan Awang. (1994). Undang-undang Tanah Islam: Pendekatan Perbandingan.
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur
Salindeho, John. (1987). Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika.
Jakarta.
Sarjita., 2009, Paradigma Moral Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan,
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta.
SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan
Menteri Dalam Negeri 0008/M.PPN/01/2007/050/264A/SJ
tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun
2007.
Silalahi, M. Daud. (2001). Metodologi Penelitian Hukum Preferensi Khusus pada
Pendekatan Multi Interdisipliner, Lowencon Copy & Binding
Centre. Bandung.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri (1995). Penelitian Hukum Normatif, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Sumarjono, Maria SW., 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan
Budaya, Kompas, Jakarta.
66 | P a g e
Sumarjono, Maria SW., Ismail, Nurhasan., Isharyanto., 2008, Mediasi Sengketa
Tanah Potensi penerapan Alternatif Penyelesain Sengketa (ADR)
Di Bidang Pertanahan, Kompas, Jakarta.
Sumarto, 2010, Identifikasi Permasalahan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(ADR) Di Bidang Pertanahan Di Kabupaten Kendal, Paper
Hukum Agraria,
Sumpeno, W. (2004) Perencanaan Desa Terpadu; Panduan Perencanaan
Berbasis Masyarakat. Jakarta: CRS Indonesia.
Tajima, Y. (2004) Mobilizing for Violance; The escalation and Limitation of
Identity Conflicts. The Case of Lampung-Indonesia. Jakarta:
WorldBank.
Tim Kajian (2006) Kajian Mengenai Kebutuhan Reintegrasi GAM: Meningkatkan
Perdamaian melalui Program Pembangunan di Tingkat
Masyarakat. Jakarta: WorldBank.
Tim Koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM)
(2010). Panduan Teknis Integrasi. Jakarta: (TK) PNPM Mandiri
Perdesaan.
Undang-Undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN).
Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Zakie, Mukmin. (2009). ‘Perlindungan Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
dalam Konstitusi,’ Jurnal Konstitusi, PSHK FH UII, Vol. II,No.
2. Hal. 119-139.
Zakie, Mukmin.(2011). Undang-Undang Pengambilan Tanah Di Indonesia Dan
Di Malaysia (Suatu Kajian Perbandingan), Desertasi Doktor
Falsafah Fakulti Undang-Undang, Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Zakie, Mukmin.(2012). ‘Tanah dan Potensi Konflik Tiada Akhir,’ Makalah
disampaikan pada ” Pelatihan Penanganan Sengketa Agraria:
Eksistensi Tanah Ulayat Di Wilayah Pertambangan, Kehutanan
Dan Perkebunan Serta Potensi Konflik, Sengketa Dan
Penyelesaian Permasalahannya. Diselenggarakan oleh Good
Governance Support (GGS), All Seasons Hotel, Yogyakarta, 16– 17 Maret 2012.
67 | P a g e
68 | P a g e
69 | P a g e
PENANGANAN DAN PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN
BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Oleh : Mukmin Zakie, SH.,M.Hum.,Ph.D
III.PENDAHULUAN
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di
muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai
meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber
kehidupan. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat
bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula
mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural
politik dan ekologis.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang
paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak
hanya mempunyai nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial,
dan kultural. Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak
henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit.
Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam
secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33
Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut : ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sebagai sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber
produksi yang sangat dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang
membutuhkannya. Perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya
semakin tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah.
Karena itulah, tanah dan segala sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya selalu menjadi ”ajang perebutan” berbagai kepentingan yang senantiasa
menyertai kehidupan manusia. Tidak heran jika sejak zaman dahulu tanah selalu
menjadi obyek yang diperebutkan sehingga memunculkan adanya sengketa dan
konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang dikandungnya.
Disamping itu adanya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi
lainnya menyebabkan terjadinya konflik pertanahan.
Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik
serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu
ada dimana-mana. Sengketa dan donflik pertanahan adalah bentuk permasalahan
yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan,
penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik
hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap
sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai
70 | P a g e
kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win
solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak
mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor
pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan
solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa
dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus
menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan
agraria yang mensejahterakan.
IV. KONFLIK PERTANAHAN
1. Pengertian.
Konflik pertanahan dapat diartikan sebagai konflik yang lahir sebagai
akibat adanya hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah
bumi dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di
dalam perut bumi. Istilah sengketa dan konflik pertanahan sering Direktorat
Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional RI 2012 3 kali dipakai sebagai
suatu padanan kata yang dianggap mempunyai makna yang sama. Akan tetapi
sesungguhnya kedua istilah itu memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian
dan Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI memberi
batasan mengenai sengketa, konflik maupun perkara pertanahan. Pasal 1 Peraturan
Kepala BPN tersebut menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa,
konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian
sesuai peraturan perundangundangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.
a. Sengketa Pertanahan.
Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara
sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan
definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah
dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait
dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan
dan sengketa hak ulayat.
b. Konflik Pertanahan.
Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang
mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio politis.
c. Perkara Pertanahan.
Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya
dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih
dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.
2. Akar konflik pertanahan.
71 | P a g e
Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan
timbulnya konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk
diidentifikasi serta diinventarisasi guna mencari jalan keluar atau bentuk
penyelesaian yang akan dilakukan. Akar permasalahan konflik pertanahan dalam
garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut : (1) konflik
kepentingan, yaitu adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan
kepentingan substantif, kepentingan prosedural, maupun kepentingan psikologis,
(2) konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku destruktif, kontrol perilaku
sumberdaya yang tidak seimbang, (3) konflik nilai, karena perbedaan kriteria yang
dipergunakan mengevaluasi gagasan/ perilaku, perbedaan gaya hidup, idiologi
atau agama/kepercayaan, (4) konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi
yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan
perilaku yang negatif, (5) konflik data, yang disebabkan karena informasi yang
tidak lengkap, informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang
relevan, interpretasi data yang berbea, dan perbedaan prosedur penilaian.
Penyebab umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan
dalam dua faktor, yaitu faktor hukum dan faktor non hukum.
a. Faktor Hukum.
Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan
belakangan ini antara lain :
1) Tumpang tindih peraturan.
UUPA sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria
lainnya, dalam perjalanannya dibuat beberapa peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan sumber daya agraria tetapi tidak menempatkan UUPA
sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar
dengan undang-undang agraria. UUPA yang mulanya merupakan payung hukum
bagi kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan secara
substansial bertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan
sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Transigrasi dan
lain-lain.
2) Tumpang tindih peradilan.
Pada saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu
konflik pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana dan peradilan tata
usaha negara (TUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang
menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik
disertai tindak pidana).
b. Faktor Non Hukum.
6) Tumpang tindih penggunaan tanah.
Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan
jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau
mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih fungsi.
72 | P a g e
Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat
timbul kepentingan yang berbeda.
7) Nilai ekonomis tanah tinggi.
8) Kesadaran masyarakat meningkat
Adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran
masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun ikut berubah.
Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola
pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan
tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai
sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.
9) Tanah tetap, penduduk bertambah.
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui kelahiran maupun
migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah
sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap
jengkal tanah dipertahankan sekuatnya.
10) Kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap tanah
merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan
terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses
masyarakat miskin.
3. Tipologi Konflik Pertanahan.
Tipologi konflik pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau
perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani. Tipologi
konflik pertanahan yang ditangani Badan Pertanahan Nasional RI dapat
dikelompokkan menjadi 8 (delapan), terdiri dari masalah yang berkaitan dengan :
i. Penguasaan dan Pemilikan Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu
yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah
dilekati hak oleh pihak tertentu;
j. Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran
tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan anggapan tidak
sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan;
k. Batas atau letak bidang tanah, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang
teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
maupun yang masih dalam proses penetapan batas;
73 | P a g e
l. Pengadaan Tanah, yaitu perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau
nilai mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses
pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan
atau pengadaan tanah dan ganti rugi;
m. Tanah obyek Landreform, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai prosedur penegasan, status penguasaan dan
pemilikan, proses penetapan ganti rugi, penentuan subyek obyek dan
pembagian tanah obyek Landreform;
n. Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir, yaitu perbedaan persepsi, pendapat,
kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan pemerintah
untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang dilikwidasi;
o. Tanah Ulayat, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu
baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang belum, akan tetapi
dikuasai oleh pihak lain;
p. Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan
dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur
penerbitan hak atas tanah tertentu.
III. PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN
Berbagai penyelesaian konflik pertanahan cukup banyak ditawarkan baik
yang bersifat litigasi maupun non litigasi, tetapi dalam banyak hal hasilnya terasa
kurang memuaskan. Bahkan penyelesaian melalui pengadilanpun terkadang
dirasakan oleh masyarakat tidak memuaskan. Tidak sedikit mereka yang telah
menduduki tanah selama bertahun-tahun ditolak gugatannya untuk
mempertahankan hak atau mendapatkan hak karena adanya pihak lain yang
menguasai tanah yang bersangkutan. Atau sebaliknya gugatan seseorang terhadap
penguasaan tanah tertentu dikabulkan pengadilan walaupun bagi pihak yang
menguasai tanah tidak cukup kuat atau gugatan kurang beralasan.
Di Indonesia, konflik pertanahan yang ada diselesaikan melalui Pengadilan
Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun dari sekian banyaknya kasus
yang masuk ke badan peradilan tersebut, banyak yang diselesaikan dengan hasil
yang kurang memuaskan, sehingga berkembanglah pandangan di masyarakat
bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.
Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan
masyarakat tersebut tidak terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru
yang dampaknya justru memperburuk kondisi yang ada.
Pola-pola penyelesaian konflik pertanahan di luar pengadilan yang
dilakukan adalah : negosiasi, musyawarah mufakat dan mediasi. Negosiasi
dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik duduk bersama untuk
mencari jalan terbaik dalam penyelesaian konflik dengan prinsip bahwa
penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan (win-win solution), kedua pihak
74 | P a g e
tidak ada yang merasa dirugikan. Musyawarah mufakat adalah lengkah lebih
lanjut dari negosiasi. Jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling
menguntungkan, maka langkah lebih lanjut adalah melakukan musyawarah
mufakat dengan melibatkan pihak lain selaku penengah. Hasil musyawarah
tersebut selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan bersama yang ditanda tangani
oleh para pihak dan para saksi.
Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan
dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik untuk
mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam
penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional
ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR)
mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan
yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya dan pikiran/tenaga. Disamping
itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala
administrasi yang meliputinya membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir
untuk penyelesaian sengketa.
Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan
dan upaya penentuan hasil akhir perundingan yang dicapai menurut kesepakatan
bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian solusi yang dihasilkan
mengarah kepada win-win solution. Upaya untuk win-win solution itu ditentukan
oleh beberapa faktor :
1. Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat
diterima oleh pihak-pihak yang memberikan hasil yang saling
menguntungkan, dengan catatan bahwa pendekatan itu harus
menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik dan
bukan pada posisi atau kedudukan para pihak.
2. Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah.
Perbedaan kemampuan tawar menawar akan menyebabkan adanya
penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang lain.
Dengan berjalannya waktu, penyelesaian konflik pertanahan melalui ADR
secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk satu
kedeputian, yaitu Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan. BPN telah pula menerbitkan Keputusan Kepala BPN No. 34
Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan yang telah diganti dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Dalam
menjalakan tugasnya menyelesaikan konflik pertanahan, BPN melakukan upaya
antara lain melalui mediasi.
Pembentukan kedeputian tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa
penyelesaian berbagai konflik pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat
mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk menanganinya.
75 | P a g e
Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua konflik pertanahan harus
diselesaikan melalui pengadilan. Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan
Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan
melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan masalah, sengketa,
perkara dan konflik pertanahan. Dalam melaksanakan tugasnya Deputi Bidang
Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan berpedoman pada
peraturan prundang-undangan yang berlaku, terutama Peraturan Kepala Badan
Penanganan Kasus Pertanahan.
1. Mekanisme penanganan dan penyelesaian konflik oleh BPN.
Penanganan dan penyelesaian terhadap konflik pertanahan oleh BPN RI
didasarkan pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang
meliputi mekanisme pelayanan pengaduan dan informasi, pengkajian,
penanganan, dan penyelesaian konflik pertanahan, serta bantuan hukum dan
perlindungan hukum.
a. Mekanisme Pengaduan.
1. Pelayanan pengaduan sengketa dan konflik pertanahan dilaksanakan dan
dikoordinir oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan (Deputi V) di BPN RI, di Kantor Wilayah BPN
Provinsi dilakukan oleh Kepala Bidang PPSKP dikoordinasi oleh
Kakanwil, dan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dilakukan oleh
Kepala Seksi SKP dikoordinasi oleh Kepala Kantor;
2. Pengaduan sengketa dan konflik pertanahan dapat diajukan secara lisan
atau tertulis dan dapat disampaikan secara langsung ke Kantor Pertanahan,
Kantor Wilayah BPN, dan Kantor BPN RI, atau melalui www.bpn.go.id.
Khusus melalui www.bpn.go.id harus ditindaklanjuti dengan pembuatan
permohonan secara tertulis;
3. Pengaduan paling sedikit memuat identitas pengadu, obyek yang
diperselisihkan, posisikasus (legal standing) dan maksud pengaduan, serta
dilampiri foto copy identitas pengadu dan data dukung yang terkait dengan
pengaduan;
4. Surat pengaduan yang telah diterima diteruskan ke satuan organisasi yang
tugas dan fungsinya menangani sengketa dan konflik pertanahan. Surat
pengaduan yang diterima dicatat dalam register dan diditribusikan kepada
pelaksana dan/atau tim pengolah untuk mendapatkan penanganan.
b. Pengkajian Konflik Pertanahan.
Pengkajian konflik dilakukan dengan melakukan pengkajian akar dan
riwayat koflik untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya dan potensi dampak
dari terjadinya konflik. Pengkajian konflik pertanahan dilakukan dengan cara
meneliti dan menganalisis data konflik yang terjadi.
Hasil dari penelitian dan analisa data dipergunakan untuk menentukan dan
merumuskan pokok permasalahan atas terjadinya konflik. Terhadap pokok
76 | P a g e
permasalahan konflik dilakukan telaahan hukum berdasarkan data yuridis, data
fisik dan/atau data pendukung lainnya, yang hasilnya kemudian dilakukan kajian
penerapan hukum yang selanjutnya menghasilkan rekomendasi penanganan
konflik.
c. Penanganan Konflik Pertanahan.
Penanganan konflik pertanahan dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta
untuk memastikan tidak terdapat tumpang tindih pemanfaatan, tumpang tindih
penggunaan, tumpang tindih penguasaan dan tumpang tindih pemilikan tanah,
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bukti kepemilikan tanah
bersifat tunggal untuk setiap bidang tanah yang diperselisihkan. Penanganan
konflik pertanahan dilaksanakan secara komprehensif melalui kajian akar
permasalahan, pencegahan dampak konflik, dan penyelesaian konflik.
Penanganan sengketa dan konflik pertanahan dilakukan dengan :
1. Penelitian/pengolahan data pengaduan; yang meliputi : penelitian
kelengkapan dan keabsahan data, pencocokan data yuridis dan data fisik
serta data dukung lainnya, kajian kronologi sengketa dan konflik, dan
analisis aspek yuridis, fisik dan administrasi.
2. Penelitian lapangan; meliputi penelitian keabsahan atau kesesuaian data
dengan sumbernya, pencarian keterangan dari saksi-saksi terkait,
peninjauan fisik tanah obyek yang disengketakan, penelitian batas tanah,
gambar situasi, peta bidang, Surat Ukur, dan kegiatan lain yang
diperlukan.
3. Penyelenggaraan Gelar Kasus; tujuannya antara lain untuk memetapkan
rencana penyelesaian, memilih alternatif penyelesaian dan menetapka
upaya hukum. Jenis gelar kasus terdiri dari :
a) Gelar Internal, adalah gelar yang pesertanya dari Kantor Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan. Gelar Internal
bertujuan : menghimpun masukan pendapat para petugas/
b) pejabat; mengidentifikasi sengketa dan konflik yang diperselisihkan;
dan menyusun rencana penyelesaian.
c) Gelar Eksternal, adalah gelar yang pesertanya dari Kantor Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan yang diikuti peserta
dari unsur/instansi lainnya. Gelar Eksternal bertujuan :
d) melengkapi keterangan dan pendapat dari internal dan eksternal Kantor
BPN RI, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor
Pertanahan agar pembahasan lebih komprehensif; mempertajam
analisis kasus pertanahan; dan memilih alternatif penyelesaian
e) Gelar Mediasi, adalah gelar yang menghadirkan para pihak yang
berselisih untuk memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui
77 | P a g e
musyawarah.
Gelar
Mediasi
bertujuan
:
menampung
informasi/pendapat dari semua pihak yang berselisih, dan
f) pendapat dari unsur lain yang perlu dipertimbangkan; menjelaskan
posisi hukum para pihak baik kelemahan/kekuatannya; memfasilitasi
penyelesaian kasus pertanahan melalui musyawarah; dan pemilihan
penyelesaian kasus pertanahan.
g) d) Gelar Istimewa, adalah gelar yang dilaksanakan oleh Tim
Penyelesaian Kasus Pertanahan yang dibentuk oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau Deputi Bidang
Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Gelar
Istimewa bertujuan : menyelesaikan kasus pertanahan yang sangat
kompleks; menyelesaikan perbedaan keputusan mengenai penanganan
kasus pertanahan antara pejabat BPN RI atau pejabat instansi lainnya;
mengkoreksi keputusan Pejabat BPN RI yang bermasalah; dan
menetapkan upaya hukum.
4. Penyusunan Risalah Pengolahan Data (RPD); merupakan dokumen resmi
BPN RI yang menjadi bagian tidak terpisahkan dengan dokumen
penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan, yang merupakan
rangkuman hasil penanganan kasus/sengketa dan konflik pertanahan.
Risalah Pengolahan Data disusun berdasarkan komitmen terhadap
kebenaran,
kejujuran
dan
prosedur,
sehingga
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
5. Penyiapan Berita Acara/Surat/Keputusan;
6. Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa.
d. Penyelesaian Konflik Pertanahan.
Dalam rangka membangun kepercayaan publik (trust building), salah satu
yang dilakukan oleh BPN adalah melakukan percepatan penanganan dan
penyelesaian kasus-kasus pertanahan sebagaimana diamantkan dalam Tap MPR
IX/MPR/2001 yang juga merupakan bagian dari 11 Agenda Prioritas BPN RI
dengan berlandaskan 4 (4mpat) prinsip kebijakan pertanahan. Peyelesaian konflik
pertanahan berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan terdiri dari :
1. Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan untuk melaksanakan putusan
pengadilan; BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terdapat alasan yang sah untuk
tidak melaksanakannya, yaitu :
- Terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan;
- Terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan;
- Terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara
lain;
- Alasan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
78 | P a g e
2. Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan di luar pengadilan; dapat
berupa perbuatan hukum administrasi pertanahan meliputi :
- Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi;
- Pencatatan dalam Sertipikat dan/atau Buku Tanah serta Daftar Umum
lainnya; dan
- Penerbitan surat atau keputusan administrasi pertanahan lainnya karena
terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya.
Dalam melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik
pertenahan, BPN RI menetapkan beberapa keriteria terhadap kasus pertanahan
yang dinyatakan selesai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 72 Peraturan Kepala
BPN RI Nomor 3 Tahun 2011, yaitu :
a. Kriteria Satu (K-1) berupa penerbitan Surat Pemberitahuan Penyelesaian
Kasus Pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang
bersengketa;
b. Kriteria Dua (K-2) berupa Penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian
hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam
buku tanah, atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan
Penyelesaian Kasus Pertanahan;
c. Kriteria Tiga (K-3) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus
Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada
kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain yang disetujui oleh para
pihak;
d. Kriteria Empat (K-4) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus
Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus
pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan, karena tidak adanya
kesepakatan untuk berdamai;
e. Kriteria Lima (K-5) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus
Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang
telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk
diselesaikan melalui instansi lain.
f. Bantuan Hukum dan Perlindungan Hukum. Bantuan hukum dilaksanakan
untuk kepentingan BPN RI atau aparatur BPN RI yang masih aktif atau
sudah purna tugas yang menghadapi masalah hukum. Bantuan hukum
meliputi pendampingan hukum dalam proses peradilan pidana, perdata
atau tata usaha negara, pengkajian masalah hukum yang berkaitan dengan
kepentingan BPN dan pengkajian masalah hukum akibat tindakan yang
dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPN.
2. Strategi penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan.
Agar penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan dapat diwujudkan
dan agenda kebijakan BPN RI dapat dilaksanakan untuk mencapai sasaran
strategis yang diinginkan, maka dirumuskan strategi sebagai berikut :
79 | P a g e
a. Memantapkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kedeputian Bidang
Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan
membangun standar mekanisme dan prosedur operasional pengkajian dan
penanganan sengketa pertanahan;
b. Mengintensifkan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan
melalui mediasi dengan mendasarkan pada kajian akar permasalahan;
c. Membangun sistem basis data dan sistem informasi kasus pertanahan yang
valid guna mendukung percepatan penanganan dan penyelesaian sengketa,
konflik dan perkara pertanahan secara sistematis;
d. Memprakarsai terwujudnya konsep strategis penyelesaian sengketa,
konflik dan perkara pertanahan dengan melibatkan pakar, akademisi serta
Pengamat Agraria;
e. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia di
lingkungan Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan.
3. Prinsip Win-win Solution.
Badan Pertanahan Nasional RI sebagai lembaga yang melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan berkewajiban untuk menyelesaikan konflik
pertanahan yang ada di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional dalam
menyelesaikan setiap konflik pertanahan di Indonesia berpedoman pada Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan mengedepankan prinsip
win-win solution.
Win-win Solutian adalah situasi di mana kedua belah pihak yang berselisih
(berkonflik) sama-sama merasa diuntungkan dalam suatu transaksi atau
kesepakatan dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. BPN sebagai mediator
dan mencari jalan tengah yang mengakomodasi keadilan para pihak yang
bersengketa. Dalam semangat win-win solution, penyelesaian sengketa tidak
semata-mata didasarkan pada siapa yang memiliki sertifikat. Dalam banyak kasus,
misalnya, seringkali penyelesaian sengketa mengabaikan eksistensi masyarakat
lokal yang bertahun-tahun, dari generasi ke generasi telah menempati satu wilayah
dan mengolah tanah di wilayah tersebut.
Masyarakat kalah oleh investor yang baru datang dan memiliki sertifikat
atas tanah di wilayah itu. Dalam konsep win-win solution, seandainya investor
memiliki sertifikat hak milik, mereka tidak bisa langsung menang atas rakyat
karena rakyat dilindungi oleh Pasal 33 UUD 1945, meskipun rakyat tersebut tidak
memiliki sertifikat. Pasal 33 UUD 1945 menyiratkan bahwa rakyat memiliki hak
atas tanah dan kekayaan alam di dalamnya. Konsep win-win solution adalah cara
yang membuat derajat rakyat semakin tinggi karena rakyat dalam cara itu tidak
dapat serta merta dikalahkan. Dengan konsep ini, rakyat harus mendayagunakan
kemampuannya. BPN dalam hal ini hanya hanya mediator yang dituntut untuk
independen, dan tidak berpihak pada kedua belah pihak.
80 | P a g e
Namun penyelesaian konflik pertanahan dalam konsep win-win solution
tergantung pada para pihak yang berkonflik. Win-win solution adalah upaya untuk
mempermudah akomodasi dari beragam kepentingan yang bersengketa agar tidak
jatuh konflik yang memakan korban dan merugikan kedua belah pihak.
IV. PENUTUP.
Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi,
kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan
kepastian hukum terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat
mutlak karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan negara.
Dalam kenyataan sehari-hari permasalahan tanah muncul dan dialami oleh
seluruh lapisan masyarakat. konflik pertanahan merupakan isu yang selalu muncul
dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk,
perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk
memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan.
Dapat dikatakan konflik di bidang pertanahan tidak pernah surut, bahkan
mempunyai kecenderungan untuk meningkat di dalam kompleksitas permasalahan
maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang ekonomi, sosial dan politik.
Salah satu alternatif penyelesaian konflik (tanah) adalah melalui upaya mediasi.
Mediasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif menawarkan cara penyelesaian
sengketa yang khas. Karena prosesnya relatif sederhana, maka waktunya singkat
dan biaya dapat ditekan. Sebagai suatu cara penyelesaian sengketa alternatif,
mediasi mempunyai ciri-ciri yakni waktunya singkat, terstruktur, berorientasi
kepada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peras serta para
pihak secara aktif. Keberhasilan mediasi ditentukan itikad baik kedua belah pihak
untuk bersama-sama menemukan jalan keluar yang disepakati.
Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan
dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan
bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian, solusi yang dihasilkan
mengarah kepada win-win solution. Pilihan penyelesaian sengketa melalui
mediasi mempunyai kelebihan dari segi biaya, waktu, dan pikiran bila
dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan, di samping itu kurangnya
kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang
melingkupinya membuat lembaga pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk
penyelesaian sengketa. Dalam kerangka penyelesaian konflik pertanahan, Badan
Pertanahan Nasional RI dengan Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan merupakan
lembaga ADR penyelesaian konflik pertanahan yang dipandang mampu
menghasilkan solusi yang mengarah pada win-win solution.
Diluar dari pentingnya penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan
yang harus segera dilaksanakan, yang tidak kalah penting adalah bagaimana untuk
mencegah agar tidak terjadi konflik paling tidak mampu meminimalisir terjadinya
konflik pertanahan. Sebagaimana yang diatur dalam Perka BPN RI Nomor 3
Tahun 2012, upaya untuk mencegah terjadinya konflik pertanahan antara lain
dengan : (1) penertiban administrasi pertanahan, (2)tindakan proaktif untuk
81 | P a g e
mencegah dan menangani potensi konflik, (3) penyuluhan hukum dan/atau
sosialisasi program pertanahan, dan (4) pembinaan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat.
V. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1960, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokokpokok Agraria.
Anonim, 2011, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan.
Abdurrahman, H., 2009, Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Asmara, Galang, Dkk, 2010, Penyelesaian Konflik Pertanahan Berbasis Nilai-nilai
Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat, Mimbar Hukum Volume
22 Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram.
Chomzah, Ali Achmad, 2002, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta.
Marzuki, Suparman, 2008, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Mudjiono, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia
Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan, Jurnal Hukum No.3
Vo. 14 Juli 2007, Yogyakarta.
Sarjita., 2009, Paradigma Moral Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan,
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta.
Sumarjono, Maria SW., Ismail, Nurhasan., Isharyanto., 2008, Mediasi Sengketa
Tanah Potensi penerapan Alternatif Penyelesain Sengketa (ADR)
Di Bidang Pertanahan, Kompas, Jakarta.
Sumarjono, Maria SW., 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan
Budaya, Kompas, Jakarta.
Sumarto, 2010, Identifikasi Permasalahan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(ADR) Di Bidang Pertanahan Di Kabupaten Kendal, Paper
Hukum Agraria,
Magister Teknik Geomatika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Disampaikan pada Diklat Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Dalam
Negeri di Hotel Jayakarta,Tanggal 19 September 2012
82 | P a g e
83 | P a g e
84 | P a g e
85 | P a g e
Download