Bidang Ilmu: HUKUM LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN HIBAH BERSAING PENATAAN PENGUASAAN HAK ATAS TANAH BAGI MASYARAKAT ADAT: SOLUSI PENYELESAIAN SENGKETA AGRARIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL Tahun ke-1 dari Rencana 3 Tahun Tim Pengusul : Mukmin Zakie,SH.,M.Hum., Ph.D. (Ketua) NIDN : 0512056301 Drs. Agus Triyanta,MA, MH.,Ph.D.(Anggota) NIDN : 0520066901 DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA DPPM UII, Lt.3 Komplek Masjid Ulil Albab UII, Jl. Klaiurang KM 14,4 Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Telp/Fax 0274-898444 ext. 2505 ext.2503. November 2013 2|Page RINGKASAN Penelitian ini merupakan Tahap ke-1 dari rencana tiga (3) Tahapan penelitian berjudul “Penataan Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat: Solusi Penyelesaian Sengketa Agraria Berbasis Kearifan Lokal,” yang akan menggali karakteristik berbagai kasus sengketa agraria yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia. Dalam tahap ke-1 ini penelitian dimaksudkan untuk; pertama, mengidentifikasi berbagai kasus sengketa agraria yang terjadi di Indonesia, berikut berbagai faktor yang menjadi penyebab dari munculnya sengketa tersebut. Kedua, penelitian ini juga dimaksudkan untuk menganalisa permasalahan terkait perangkat hukum (regulasi) di bidang sumber daya agraria, apakah kelemahan yang ada yang dinilai ikut berperan bagi timbulnya berbagai sengketa. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, menggunakan proses berfikir dan kaidah berfikir, dalam menemukan landasan pemikiran, makna substantif, dan peran negara dalam penyelesaian sengketa agraria yang lazim disebut hypothetical deduction. Pendekatan sosiologis digunakan untuk menelaah mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat adat. Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan permasalahan dan metode pendekatannya, meliputi; pengumpulan dengan menghimpun semua dokumen terkait dengan kasus sengketa tanah, obervasi, in-depth interview dan Focus Group Discussion (FGD) serta diskusi publik lainnya. Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data diolah dengan metode kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengambil arti yang terkandung di dalamnya. Dari penelitian Tahap ke-1 yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: pertama, konflik pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Kedua, berbagai konflik agraria muncul karena banyak faktor diakibatkan oleh tidak meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya agraria yang ada, ekspansi wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih banyak terjadi di perkotaan. Di samping itu adalah adanya kegiatan ekonomi sebagian dari masyarakat, serta, adanya kepadatan penduduk yang menuntut penyediaan lahan yang semakin luas. Ketiga, sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan negara. Pada saat ini regulasi yang ada masih menunjukkan ada overlapping antara sektoral, lembaga yang mempunyai otoritas di bidang pengelolaan sumber daya agraria. Saran yang dapat diajukan sebagai solusi permasalahan yang adalah, pertama, pembangunan semestinya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial dan kultural. Mengingat selama ini pertimbangan lebih pada aspek ekonomi. Kedua, perlu adanya penataan regulasi di bidang sumber daya agraria, yang dapat menjadi acuan yang jelas di dalam pemecahan konflik yang terjadi. 3|Page PRAKATA Assalamu”alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Puji syukur penulis persembahkan kepada illahi rabbi yang telah melimpahkan kenikmatan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penelitian ini merupakan Tahap ke-1 dari rencana tiga (3) Tahapan penelitian berjudul “Penataan Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat: Solusi Penyelesaian Sengketa Agraria Berbasis Kearifan Lokal,” yang akan menggali karakteristik berbagai kasus sengketa agraria yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai kasus sengketa agraria yang terjadi di Indonesia, berikut berbagai faktor yang menjadi penyebab dari munculnya sengketa tersebut. Selain ini, penelitian ini juga dimaksudkan untuk menganalisa permasalahan terkait perangkat hukum (regulasi) di bidang sumber daya agraria, untuk kemudian dirumuskan solusi bagi masalah tersebut. Penelitian dapat terlaksana atas bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penelitgi mengucapkan terima kasih kepada: 1) Direktur Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah memberikan dana pada penelitian ini. 2) Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DPPM) Universitas Islam Indonesia, yang telah memfasilitasi proses pengajuan proposal sampai tahap pelaporan hasil penelitian. 3) Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan izin kepada kami untuk melaksanakan penelitian serta memanfaatkan fasilitas yang kami perlukan. 4) Para nara sumber, baik perorangan maupun kelembagaan yang telah menerima dan memberikan informasi/ data yang diperlukan dalam penelitian. 5) Para kolega di Universitas Islam Indonesia yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, atas saran dan masukannya selama proses penelitian. Wassalamu”alaikum Wr. Wb. Yogyakarta, 15 Nopember 2013 Peneliti 4|Page DAFTAR ISI Halaman 11 HALAMAN SAMPUL ............................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... RINGKASAN ............................................................................................................ PRAKATA ................................................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................................. BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................ BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ BAB III:TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ..................................................... BAB IV: METODE PENELITIAN .............................................................................. BAB V: HASIL YANG DICAPAI .............................................................................. BAB VI: RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ....................................................... BAB VII: KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. Lampiran-Lampiran . .......................................................................................... 1 2 3 4 5 6 9 14 16 18 48 49 50 51 1. Laporan Keuangan 2. Makalah FGD 3. Draft Artikel Jurnal 4. Foto Kegiatan 5|Page BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang terjadi lebih dari satu dasawarsa yang lalu telah membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Menguatnya masyarakat sipil telah menjadikan munculnya berbagai aspirasi masyarakat, baik yang terkait dengan tata pemerintahan maupun terkait dengan berbagai pranata sosial. Tidak semua aspirasi dapat terakomodasi secara proporsional, sehingga menimbulkan berbagai ketegangan sosial. Permasalahan terkait dengan sumber daya agraria adalah salah satu sektor yang secara jelas menunjukkan adanya ketegangan sosial tersebut. Berbagai kerusuhan massa muncul dan secara vis a vis berhadapan dengan pemerintah dan pihak swasta yang bergerak dalam bidang sumber daya agraria. Menyeruaknya kasus-kasus sengketa agraria seperti sengketa lahan antara masyarakat adat dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) di Mesuji, Lampung (Kompas, 17 Desember 2011), sengketa agraria di bidang pertambangan emas antara masyarakat Pape dengan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Bima, Nusa Tenggara Barat (Gatra News, 28 Januari 2012) sengketa agraria di PTPN II di Sumatera Utara (Republika, 14 Desember 2011), adalah di antara kasus sengketa yang terjadi. Bahkan jika dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi dengan proporsi jenis lahan yang disengketakan, data yang ada cukup mencengangkan: Ragaan 1 Diagram Distribusi Jenis Lahan Sengketa (sumber: www.kpa.or.id., 2012) Secara garis besar, sengketa lahan secara umum dapat dikatakan sebagai konflik untuk memperebutkan hak atas lahan, baik lahan pertanian, perkebunan, maupun tambang, antara rakyat yang selama ini menjadi penggarap, dengan pihak pemerintah serta swasta yang terkait dengan pengeloplaan lahan tersebut. (Syafruddin Kalo-1, 2004). 6|Page Hingga saat ini, konflik ini belum dapat terselesaikan dengan baik, bahkan cenderung mengalamai stagnasi dalam proses penyelesaiannya. (Kalo-2, 2004). Hal ini dikarenakan permasalahan ini memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, di mana permasalahannya terkait dengan hukum, politik, ekonomi serta hak-hak masyarakat lokal. Politik hukum agraria di Indonesia juga tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan berbagai permasalahan tersebut di atas. Undang-undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan UUPA memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada negara atas sumber daya agraria dengan konsep yang dikenal dengan “hak menguasai oleh Negara” (HMN). Semula konsep ini dibuat untuk menghapus konsep domain verklaring yang diterapkan oleh pemerintah kolonial untuk “merebut” tanah yang dikuasi masyarakat hukum adat. Pada perkembangannya, HMN ini dalam penerapannya hampir sama dengan konsep domain verklaring pada masa kolonial. (Haedar Laudjeng dan Arimbi HP, 1997). Pada gilirannya, dampak yang terjadi adalah terabaikannya hak-hak rakyat yang kenyataannya telah mengelola tanah atau lahan tertentu secara turun temurun. Dengan pertimbangan di atas, reformasi dalam dataran regulasi menjadi suatu keharusan untuk menjaga agar sengketa lahan tidak berkelanjutan. Reformasi ini dilakukan dengan menganalisis peraturan perundang-undangan di bidang agraria yang ada, mengidentifikasi pertentangannya dengan peraturan prundang-undangan yang lebih tinggi, serta mereformulasi berbagai hak yang semestinya diberikan agar lebih adil dan proporsional. Terabaikannya kearifan lokal adalah sisi lain adalah hal yang sangat jamak berkontribusi pada bermunculannya sengketa agraria ini. (Yance Arizona, 2008). Hal itu dikarenakan, tanah bagi kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak lahir manusia sudah ‘dikenalkan’ arti pentingnya tanah, seterusnya dalam mengarungi kehidupan ini seseorang atau sekelompok masyarakat tidak pernah terpisahkan dari ‘urusan’ tanah. Karena itulah, selalu ada sisi nilai kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam berinteraksi dengan lahan atau tanah. Pendekatan politik hukum agraria yang ditempuh, sebagaimana nampak dalam sebagian aspek dari UUPA di atas, dengan jelas memarginalkan, atau bahkan sama sekali tidak mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal. Karena itulah, penyelesaian sengketa agraria memerlukan suatu pendekatan yang juga memberdayakan kearifan lokal. Langkah strategis yang diperlukan jika demikian, adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan munculnya sengketa agraria, kemudian mengevaluasi perangkat hukum yang terkait 7|Page dengan permasalahan agraria. Selanjutnya, kearifan lokal yang ada di berbagai masyarakat adat juga harus dieksplorasi, untuk mengetahui bagaimana pandangan dan orientasi mereka terhadap masalah tanah. Barulah kemudian akan dapat disusun sebuah formulasi penyelesaian sengketa agraria yang secara proporsional dapat mengakomodasi kepentingan berbagai pihak, sehingga akan memiliki tingkat akseptabilitas yang tinggi bagi setiap pihak yang berkepentingan. Ada beberapa provinsi di Indonesia dengan jumlah sengketa agraria cukup tinggi serta memiliki tradisi kearifan lokal dalam penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria; yakni Jawa Timur (36 kasus), Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus) dan Jawa Tengah (12 kasus). (KPA, 2011). Dengan mempertimbangkan uraian di atas, maka penelitian tentang “Penataan Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat: Solusi Penyelesaian Sengketa Agraria Berbasis Kearifan Lokal” sangat strategis untuk dilaksanakan. Dari gambaran di atas, dapat dirumuskan pertanyaan yang akan dijawab oleh penelitian ini, yaitu sebagaimana berikut: 1) Mengapa berbagai kasus sengketa agraria semakin bermunculan di era pasca reformasi? 2) Bagaimanakah peran regulasi di bidang agraria saat ini dalam melakukan resolusi konflik pertanahan? 3) Bagaimana kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia memberikan konsep tentang agraria dan penyelsaian yang sengketa agraria? 4) Bagaimanakah formulasi penyelesaian sengketa dibidang agraria melalui reformasi regulasi yang berbasis kearifan lokal? 8|Page BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peningkatan penggunaan tanah penyebab terjadinya bermacam-macam corak dan bentuk hubungan antara manusia dengan tanah, yang sekaligus menyebabkan terjadinya perkembangan dalam bidang hukum tanah secara normatif, baik pada hukum tertulis maupun tidak tertulis. Perkembangan itu ikut mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap tanah, apakah dari segi pemilikan, penguasaan maupun penggunaannya. Hal ini terlihat apabila dilakukan pengamatan terhadap perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Pada masyarakat agraris hubungan antara manusia dengan tanahnya bersifat religio-magis-kosmis, iaitu hubungan antara manusia dengan tanah yang menonjolkan penguasaan kolektif.(John Salindeho, 1987). Pada masyarakat yang mulai meninggalkan ketergantungan kepada sektor agraris (menuju masyarakat industri), hubungan manusia dengan tanah merujuk kepada hubungan yang bersifat individualis dan berorientasi ekonomis. Perubahan bentuk hubungan tersebut semakin jelas dengan pengembangan hukum tanah, terutama hukum tertulis yang lebih cenderung menyetujui kepemilikan secara individu. (John Salindeho, 1987). Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak lahir manusia sudah ‘dikenalkan’ arti pentingnya tanah, seterusnya dalam mengarungi kehidupan ini seseorang tidak pernah terpisahkan dari ‘urusan’ tanah. Wajar sajalah kemudian dikatakan secara turun temurun manusia sudah terkondisi agar selalu berinteraksi dengan tanah sebagai tempat ia hidup. Berlakunya pepatah yang menyatakan sedhumuk batuk senyari bumi di tohi pati, merupakan suatu ungkapan betapa berartinya tanah bagi seseorang, sampai-sampai nyawa akan dipertaruhkan apabila ada yang mencoba mengusik apalagi merampasnya. Bagi bangsa Indonesia tanah bukan sekedar bernilai ekonomis tetapi juga mengandung nilai/ikatan magis yakni dengan ditanamnya ariari (placenta) sebagai sumber kehidupan ketika berada dalam rahim ibu. Mengandung nilai historis, psikologis dan nilai monumental. Tanah merupakan modal dasar bagi kehidupan manusia. Sebagai sebuah modal dasar, maka tanah memiliki dua fungsi: fungsi produksi dan fungsi non produksi. Kebutuhan akan penggunaan tanah tersebut sering berbenturan, mengingat bahwa terdapatnya jumlah luas tanah yang terbatas, pada sisi yang lain terdapat ledakan pertumbuhan penduduk. Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat dua makna atas arti penting tanah. Tanah dapat diarikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kegunaan non ekonomi 9|Page (nilai religio-magis dan sosial tanah). Pada saat itulah memunculkan konflik tanah yang tampaknya tidak mudah untuk dipecahkan. Sejarah membuktikan bahwa terjadinya konflik, pertumpahan darah sejak masa lalu hingga perang Irak dan semua peperangan di muka bumi ini lebih disebabkan perebutan atas penguasaan sebidang tanah. Releigh Barlowe (1978) mengibaratkan tanah sebagai sepotong intan (batu permata) yang mempunyai banyak sisi, ada kalanya tanah dipandang sebagai ruang, alam, faktor produksi, barang-barang konsumsi, milik, dan modal. Di samping itu ada juga yang memandang tanah sebagai benda yang berkaitan dengan Tuhan (sang pencipta), berkaitan dengan masyarakat yang menimbulkan pandangan bahwa tanah sebagai kosmos, dan pandangan bahwa tanah adalah sebagai tabungan (saving) serta menjadikan tanah sebagai aset (kekayaan). Pentingnya keberadaan tanah bagi kehidupan manusia akan membentuk hubungan yang sangat erat antara manusia dengan tanahnya. “Dialektik” yang terbentuk dalam hubungan antara manusia dengan tanah akan memberi ‘warna’ tersendiri bagi kehidupan manusia dalam masyarakat. Hubungan ini dapat menentukan dan mempengaruhi seluruh struktur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, malahan hubungan antara manusia dalam suatu negara. Kenyataan dan dialektik penguasaan terhadap tanah demikian akan menimbulkan keinginan masyarakat agar ada pengaturan dalam hal kepemilikan tanah, serta kepastian hukum tentang kepemilikan tanah itu, dan adanya jaminan bebas dari gangguan siapapun atau pihak lain termasuk ‘gangguan’ dari negara. Keinginan tersebut dirasakan apakah oleh masyarakat yang sejak awal telah menempati suatu wilayah tertentu (masyarakat asli setempat) maupun masyarakat pendatang. Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, pengaturan penguasaan tanah pada mulanya ditemukan dalam bentuk hukum tidak tertulis, yang berkembang dan dibentuk bersama oleh masyarakat tersebut, dan berlaku serta dipatuhi hanya pada kesatuan masyarakatnya. Peraturan demikian di dalam literatur hukum di Indonesia dikenal dengan hukum adat dan aturan adat tentang penguasaan tanah.( B. Ter Haar, Bzn : 1962). Hukum Tanah muncul sebagai sebuah jawaban atas kepentingan manusia terhadap tanah. Hukum memberikan batas atas kepemilikan tanah. Tanah tidak dapat dilepaskan pengaturannya pada hubungan yang bersifat privat/individu murni, akan tetapi tanah merupakan sebuah domein negara. Tanah menjadi sumber bagi pencapaian kemakmuran sebuah bangsa, dan ketika berbicara bangsa maka negara berperan secara aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah. Pasal 33 (3) UUD 1945 memberikan landasan juridis atas penguasaan sumber daya alam, di mana salah satunya adalah tanah. Inilah konsep dasar Hak menguasai negara atas tanah yang bertujuan untuk 10 | P a g e mencapai sebuah taraf kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi pada dataran praktik yang terjadi banyak muncul konflik tanah. Dianto Bachriadi dan Anton Lucas (2001) menyimpulkan bahwa sistem pengelolaan tanah dimasa orde baru hanya menguntungkan penguasa dan kroninya yang hal ini telah menyebabkan banyak petani yang kehilangan hak dan akses atas tanah. Akibatnya adalah dalam 20 tahun terkahir jumlah sengketa tanah di Indonesia meningkat tajam dan sengketa ini sering kali berubah menjadi konflik terbuka antara petani dan aparat keamanan. Konflik tanah tidak mudah untuk diselesaikan. Hal ini dapat difahami mengingat dimensi penguasaan atas tanah bukan sekadar penguasaan atas sebidang objek fisik berupa tanah secara kasat mata, tetapi juga sebuah keyakinan bahwa tanah mengandung nilai religi magis yang kuat di kalangan masyarakat. (Mukmin Zakie, 2011). Masuknya investasi yang memandang tanah sebagai sebuah objek fisik bernilai ekonomi semata-mata akan berhadapan dengan masyarakat yang masih memandang bahwa tanah tidak sekadar bernilai ekonomis tetapi mengandung nilai sakral, karena di tanah tersebut ia dilahirkan, orang tua dimakamkan, harga diri dimunculkan dalam bentuk penguasaan atas tanah. Pendek kata ada nilai monumental atas tanah tersebut. Noer Fauzi (2003) berdasarkan kajian yang diilakukannya menyimpulkan bahwa pembaruan hukum agraria yang selama ini dilakukan belum memadai dikarnakan tidak memberikan perhatian yang konprehensip terhadap berbagai aspek agraria misalnya terkait dengan hal-hal pendaftaran dan pengurusan klaim-klaim masyarakat dengan tanah yang hilang akibat pelanggran HAM. Untuk itu diperlukan pembaharuan hokum agraria yang lebih konprehensif mengakomodasi berbagai aspek yang terkait. Bahkan keberadaan berbagai masyarakat adat dengan dengan hak atas tanah perlu dicermati secara sungguh-sungguh. Kehadiran masyarakat adat sebagai masyarakat ‘asli’ Indonesia sejak dahulu adalah suatu kenyataan sosial. Masyarakat adat tidak tumbuh dan berkembang dengan idealisme politik yang utopis . Eksistensi nya sudah ada sejak ratusan tahun, yang ditandai adanya berbagai kelompok manusia dengan tatanan kehidupan dalam sebuah teritorial tertentu. Pergaulan mereka selalu didasarkan pada filosofi hidup yang sudah mereka tentukan, yang umumnya ditandai dengan adanya kebersamaan dan kekeluargaan. ( Ronald Z Titahelu, 1998). Mukmin Zakie (2009) berpendapat bahwa ada dua kemungkinan mengapa pengaturan masyarakat adat dalam hokum Negara dari dulu sampai kini masih belum jelas. Pertama pemerintah dalam kapasitas sebagai pemegang arah kebijakan tidak mampu mengkonstruksi keragaman masyarakat 11 | P a g e adat dengan totalitas sosialnya ke dalam perundang-undangan. Kedua tidak ada kemauan politik dari pemerintah untuk membuat aturan yang menguatkan keberadaan masyarakt adat. Wilayah kehidupan masyarakat hukum adat ini dalam kepustakaan disebut dengan hak ulayat (beschikking recht). Ulayat artinya wilayah. Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban bagi masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam wilayah atau lingkungannya. Wewenang dan kewajiban tersebut ada yang masuk dalam ranah hukum Perdata/privat misalnya hak bersama atas tanah yang mereka huni, dan ada juga yang masuk dalam wilayah hukum umum atau publik berupa kewenangan untuk menata dan mengelola, mengatur dan menentukan peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan atas sumber daya agraria dalam wilayah hak ulayat tersebut. (Boedi Harsono, 1997). Benturan makna atas tanah muncul ketika saling berhadapannya ipso jure versus ipso facto. Ipso jure yang berasal dari konsep hukum barat berhadapan dengan ipso facto yang berasal dari konsep hukum adat. Secara juridis (ipso jure); masyarakat dianggap sebagai pemilik sah atas tanah jika ia sebagai subjek hukum dapat membuktikannya dengan alat bukti hukum berupa surat sertifikat. Tetapi secara ipso facto, masyarakat menganggap bahwa ia memiliki sebidang tanah tidak dibuktikan melalui ada atau tidak adanya surat bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah, tetapi dari hubungan intensif yang terjadi antara manusia dengan tanah dan pengakuan masyarakat sekitarnya. (Mukmin Zakie, 2012). Semakin intens suatu masyarakat berhubungan dengan tanah, maka pengakuan atas kepemilikan tanah tersebut akan semakin kuat. Konsep hak ulayat yang menjadi dasar dari pandangan kearifan local di beberapa masyarakat adat, sebenarnya ada keterkaitannya dengan konsep tanah dalam Hukum Islam. Di dalam konsep Ihya’ al-Mawat dalam Islam juga demikian, barang siapa yang menghidupkan dalam arti mengusahakan tanah mawat atau tanah mati dalam arti terlantar/belum ada yang mengusahakan, ia berhak mendapat hak milik atas tanah tersebut. Konsep ini dilaksanakan semenjak zaman Rasulullah. Tidak heran jika di masyarakat baik di pedesaan hingga di kota besar tidak memiliki sertifikat kepemilikan atas tanah karena ia menganggap telah memiliki tanah tersebut secara turuntemurun. Turun-temurun menempati sebidang tanah menjadi bukti pengakuan atas kepemilikan tanah tersebut. (Ridzuan Awang, 1994). Dengan demikian maka terjadinya konflik tanah dapat kita sederhanakan penyebabnya: adanya perbedaan pemahaman konsep kepemilikan antara ipso jure dengan ipso facto, adanya perbedaan makna penggunaan tanah antara nilai ekonomis berhadapan nilai religi magis, serta terdapatnya ketimpangan persediaan luas tanah apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk. 12 | P a g e Dengan memperhatikan berbagai temuan dan pendapat para ahli sampai saat ini Nampak jelas belum ada kajian yang konprehensif untuk memetakan permasalahan tentang tanah, baik dari aspek kondisi regulasi yang ada, kenyataan sosial atas hokum yang hidup dalam masyarakat adat serta bagaimana reformasi regulasi yang mendasarkan pada kearifan lokal dalam masyarakat yang multi-kultur. 13 | P a g e BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan penelitian Secara umum penelitian ini memiliki tujuan membuat rumusan penyelesaian sengketa agraria yang berbasis pada kearifan lokal untuk diterapkan di Indonesia. Adapun tujuan yang lebih spesifik adalah: 1) Memetakan berbagai faktor yang mendorong munculnya sengketa agraria; 2) Memetakan peran regulasi di bidang agraria saat ini dalam melakukan resolusi konflik pertanahan; 3) Mengidentifikasi dan memetakan nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dan kontribusinya terhadap pembentukan konsep tentang agraria dan penyelesaian yang sengketa agraria; 4) Membangun formulasi penyelesaian sengketa dibidang agraria melalui reformasi regulasi yang berbasis kearifan lokal. B. Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan terobosan yang perlu dilakukan berhubung dengan semakin banyaknya kasus sengketa agraria di Indonesia sedangkan tingkat penyelsaiannya sangat lamban dan sangat sering menyisakan konflik yang laten dikarenakan kurang terakomodasinya kepentingan masyarakat adat beserta nilai-nilai yang dianutnya. Sehingga sebuah metode atau rumusan penyelesaian yang secara proporsional mengakomodasi kepentingan mereka harus dirumuskan dalam sebuah kerangka regulasi. Hasil penelitian ini berupa naskah rumusan penyelesaian sengketa agraria yang berbasis pada kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi: 1) Pengambil keputusan di bidang penyelesaian sengketa agraria, yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN). 2) Sebagai bahan amandemen Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, khususnya Pasal 2 ayat (2). 3) Sebagai bahan pembuatan sebuah undang-undang baru yang akan mengatur hak milik atas tanah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang no. 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terkait dengan pengaturan hak milik. 14 | P a g e 4) Sebagai masukan bagi pemerintah agar memberdayakan kembali UU No. 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang sering disebut dengan UndangUndang Ladreform jo. PP No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Hasil akhir dari penelitian akan didessiminasikan kepada masyarakat ilmiah dan masyarakat secara umum melalui seminar dan publikasi ilmiah, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Beberapa media publikasi yang direncanakan adalah: 1) Internasional : Asean Journal of Comparative Law 2) Nasional: Jurnal Hukum Fakultas Hukum UII dan Jurnal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 15 | P a g e BAB IV METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di empat provinsi dengan tingkat kasus sengketa agraria tertinggi pada tahun 2011, yaitu: Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah. B. Jenis Penelitian Penelitian ini bermaksud menemukan landasan pemikiran filosofi, konsepsi, batas dan peran negara, serta kearifan lokal dalam pengaturan dan proses penyelaian sengketa agraria. Oleh karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (Normative Legal Research) (Bagir Manan, 1999), sehingga metode pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, menggunakan proses berfikir dan kaidah berfikir (M. Daud Silalahi, 2001), dalam menemukan landasan pemikiran, makna, substantif, dan peran negara dalam penyelesaian sengketa agraria yang lazim disebut hypothetical deduction. C. Pendekatan Penelitian Metode pendekatan yang digunakan adalah hukum normatif yang didukung oleh pendekatan empiris yang menggunakan data primer. Pendekatan sosiologis digunakan untuk menelaah mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat adat. Penelitian ini menggunakan pendekatan conceptual approach, ialah penelitian dengan maksud untuk membanguan suatu konsep dengan mendasarkan pada istem norma tertentu (Marzuki, 2005). D. Sumber Data Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari: konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan perundangundangan lainnya. Bahan hukum sekunder terdiri dari : buku teks, jurnal, kasus-kasus di pengadilan, dan kasus-kasus di luar pengadilan, serta pendapat para pakar dan tokoh adat. (Aslan Noor, 2003). Penelitian dilakukan dalam dua tahap meliputi penelitian perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian perpustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Soerjono Soekanto, 1995), Kajian lapangan (field research) dimaksudkan untuk menggali data empiris 16 | P a g e tentang kearifan lokal serta untuk memastikan proses penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat.(Noeng Muhadjir ). E. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dan disesuaikan dengan permasalahan dan metode pendekatan. Untuk permasalahan pertama, pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun semua dokumen terkait dengan kasus sengketa tanah. Permasalahan kedua, pengumpulan data ini dilakukan melalui pencarian dokumen dalam bentuk formal dan naskah resmi. Permasalahan ketiga, pengumpulan data dilakukan melalui pengumpulan dokumen yang berkaitan dengan kearifan lokal, serta obervasi dan in-depth interview. Sedangkan permasalahan keempat, pengumpulan data selain dilakukan dengan mengadopsi dan mengintegrasikan data yang telah tersedia, juga dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dan diskusi publik lainnya. F. Analisis Data Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data akan diolah dengan metode kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengambil arti yang terkandung di dalamnya. Tahapan yang dilakukan adalah: 1) Reduksi data, di mana data diringkas dan diramu dalam bentuk yang baku dan ilmiah, agar lebih mudah untuk dilakukan analisis tahap selanjutnya. 2) Organisasi data. Di mana data diklasifikasikan (diorganisasikan) dalam kelas-kelas sejenis, dalam genus-genus yang sama. 3) Penarikan interpretasi. Ini dilakukan denga metode interpretasi ataupun cara-cara legal reasoning yang lain, termasuk content analysis menurt Erl Babbie (Nurhasan Islamil, 2006) dan Claus Krippendorff (1991). Interpretasi juga akan membantu untuk bisa menyajikan konsep norma hukum dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan lebih bersifat aplikatif. 4). Pengambilan kesimpulan. 17 | P a g e BAB V HASIL YANG DICAPAI A. TINJAUAN TEORITIS TERHADAP SENGKETA DAN SENGKETA AGRARIA Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural politik dan ekologis. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya mempunyai nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan kultural. Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Sebagai sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber produksi yang sangat dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang membutuhkannya. Perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya semakin tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah. Releigh Barlowe (1978) mengibaratkan tanah sebagai sepotong intan (batu permata) yang mempunyai banyak sisi, adakalanya tanah dipandang sebagai ruang, alam, faktor produksi, barang-barang konsumsi, milik, dan modal. Di samping itu ada juga yang memandang tanah sebagai benda yang berkaitan dengan Tuhan (sang pencipta), berkaitan dengan masyarakat yang menimbulkan pandangan bahwa tanah sebagai kosmos, dan pandangan bahwa tanah adalah sebagai tabungan (saving) serta menjadikan tanah sebagai asset (kekayaan). Pentingnya kewujudan tanah bagi kehidupan manusia akan membentuk hubungan yang sangat erat antara manusia dengan tanahnya. “Dialektika” yang terbentuk dalam hubungan antara manusia dengan tanah akan memberi corak tersendiri bagi kehidupan manusia dalam masyarakat. Hubungan ini dapat menentukan dan mempengaruhi seluruh struktur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, malahan hubungan antara manusia dalam suatu negara. (Ter Haar, Bzn : 1962) Kenyataan dan dialektika penguasaan terhadap tanah demikian akan menimbulkan keinginan masyarakat agar ada pengaturan dalam hal penguasaan tanah, serta kepastian hukum tentang penguasaan tanah, dan adanya jaminan bebas dari gangguan siapa pun atau pihak lain 18 | P a g e termasuk ‘gangguan’ dari negara. Keinginan tersebut dirasakan baik oleh masyarakat yang sejak awal telah menempati suatu wilayah tertentu (masyarakat asli setempat) maupun masyarakat pendatang. Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, pengaturan penguasaan tanah pada mulanya ditemukan dalam bentuk hukum tidak tertulis, yang berkembang dan dibentuk bersama oleh masyarakat tersebut, dan berlaku serta dipatuhi terbatas pada kesatuan masyarakatnya. Peraturan demikian di dalam literatur hukum di Indonesia maupun di Malaysia dikenal dengan undang-undang adat dan aturan adat tentang penguasaan tanah.(Hermayulis: 1999) Karena itulah, tanah dan segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnya selalu menjadi ”ajang perebutan” berbagai kepentingan yang senantiasa menyertai kehidupan manusia. Tidak heran jika sejak zaman dahulu tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga memunculkan adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang dikandungnya. Disamping itu adanya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan terjadinya sengketa atau konflik pertanahan. Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana. Sengketa dan konflik pertanahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan agraria yang mensejahterakan. (Sumarto : 2012) 1. Pengertian Sengketa atau Konflik Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dapat juga dikatakan sebagai suatu 19 | P a g e bentuk interaksi sosial ketika dua individu mempunyai kepentingan yang berbeda dan kehilangan keharmonisan di antara mereka. Pada dasarnya konflik merupakan hal yang alamiah dan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. (Basri : 2013) Konflik menurut Susetiawan (2000), akan terjadi apabila sebuah kelompok berjuang untuk membela kepentingan-kepentingannya. Dalam terminologi Hobbesian juga dalam Susetiawan, konflik, untuk keuntungan, keamanan ataupun kejayaan, hanya akan berhenti dalam kematian. Max Weber mendemonstrasikan bahwa konflik tidak dapat dikeluarkan dari kehidupan sosial. Perdamaian tidak lebih dari sebuah perubahan dalam bentuk konflik atau dalam hal antagonis atau objek konflik, atau pada akhirnya dalam kesempatan seleksi. Dahrendorf menyatakan bahwa seluruh kehidupan sosial adalah konflik, karena ia merupakan perubahan. Sengketa atau konflik merupakan suatu yang menjadi bagian dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya. Konflik bukan sesuatu yang harus dihindari tetapi dihadapi melalui pengenalan dan kemampuan mengelola secara baik dan benar. Konflik menjadi bagian penting yang kerap kali dihadapi ketika berinteraksi dalam masyarakat. Para ahli, praktisi dan akademisi memiliki cara pandangan yang beragam dalam memahami konflik. Berikut dikemukakan beberapa pengertian konflik; Konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan (Taquiri dalam Newstorm dan Davis : 1977). Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace dan Faules : 1994). Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran yang berbada. Konflik adalah suatu kenyataan hidup yang tak terhindarkan dalam kehidupan bermasyarakat (Lakpesdam NU : 2008). Konflik merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas : 1999). Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu (Nardjana : 1994). Konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuantujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat 20 | P a g e tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja. (Killman dan Thomas : 1978; Wijono : 1993) Conflict is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another. Konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya (Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn : 1998). Keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok (Robbin : 1996). Jika organisasi tidak menyadari adanya konflik, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika organisasi mempersepsikan telah ada konflik, maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. Konflik selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain (Gibson, et al : 1997). Selanjutnya Robbin (1996) menjelaskan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan yang melihat konflik seperti dua sisi mata uang, di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : a. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan. b. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi. 21 | P a g e c. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif. 2. Karakteristik Konflik Wijono (1993) menguraikan karakteristik yang menegaskan ciri-ciri terjadinya konflik sebagai berikut: a. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan. b. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan. c. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangantunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri. d. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut. e. Munculnya ketidak-seimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya. f. 3. Sumber Konflik Lakpesdam NU (2008) dalam bukunya Panduan Praktis Sistem Peringatan dan Tanggapan Dini Konflik Berbasis Tokoh Agama dan Adat memberikan penjelasan tentang sumber konflik sebagai berikut; a. Konflik Struktural Terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya (tanah, sumber tambang, air, hutan dsb). Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk 22 | P a g e menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak yang lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu/pihak dominan/Pemerintah Pusat. b. Konflik Kepentingan Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi korban adalah pihak masyarakat kebanyakan. Ciri lain dari konflik kepentingan adalah terjadinya persaingan yang manipulatif atau tidak sehat antar kedua belah pihak. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang mendasar (ekonomi, politik kekuasaan), masalah tata cara atau masalah psikologis. c. Konflik Nilai Disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu dirasakan atau memang ada. Nilai merupakan kepercayaan yang dipakai orang untuk member arti pada kehidupannya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik. Manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai muncul ketika orang berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif di mana di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perbedaan kepercayaan. d. Konflik Hubungan Sosial Psikologis Dalam kehidupan bermasyarakat senantiasa ada interkasi sosial antar pribadi, antar kelompok, dan antar bangsa. Namun dalam berinteraksi ada kecenderungan untuk mengambil jalan pintas dalam mempersepsikan seseorang. Bias persepsi atau stereotip merupakan sumber munculnya prasangka, berlanjut pada dilakukannya diskriminasi yang berakhir pada terjadinya tindakan kekerasan. Prasangka adalah sifat yang negatif terhadap kelompok atau individu tertentu sematamata karena keanggotaannya dalam kelompok. Prasangka muncul karena adanya bias persepsi (stereotip) yang memunculkan penilaian yang tidak berdasar dan mengambil sikap sebelum menilai dengan cermat. Akibatnya, terjadi penyimpangan pandangan dari kenyataan yang sesungguhnya serta terjadi pula generalisasi. Kecenderungan tersebut akan memberikan dampak negative, jika sasaran prasangka itu diarahkan kepada kelompok minoritas baik jumlah maupun status. Prasangka kemudian diwujudkan dalam perilaku atau tindakan diskriminasi. 23 | P a g e e. Konflik Data Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. Beberapa konflik data mungkin tidak perlu terjadi disebabkan kurangnya komunikasi diantara para pihak yang berkonflik. Konflik data juga dapat muncul akibat metode pengumpulan informasi dan/atau atau tatacara yang dipakai tidak sama. Disamping itu, secara psikologis dan sosiologis dapat dijelaslan beberapa faktor yang mendorong terjadinya konflik. 4. Faktor-Faktor Penyebab Konflik a. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Dalam waktu yang bersamaan, masing-masing individu atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Seringkali seseorang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang sebagai bentuk pemanfaatan alam untuk bisnis. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan yang harus dilestarikan. Konflik akibat 24 | P a g e perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. d. Perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, dapat mengganggu proses sosial dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan atau nilai-nilaimasyarakat yang telah ada. 5. Tahapan Konflik Anatomi konflik selalu berubah setiap saat dalam bentuk siklus, melalui berbagai tahap, aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Secara umum tahapan konflik digambarkan sebagai berikut: Pra-Konflik: Ini merupakan periode di mana terjadi ketidaksesuian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik atau disebut juga konflik tersembunyi, meskipun salah satu pihak menunjukan ketidaksetujuan atau penolakan, ada potensi terjadinya konfrontasi. Juga terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari konflik satu sama lain pada tahap ini. Konfrontasi: Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak. Masing-masing pihak mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di antara ke dua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di anatara para pendukung di masing-masing pihak. 25 | P a g e Krisis: Ini merupakan puncak koflik, ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala beasar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal diantara kedua oihak kemungkinan putus. Pernyataanpernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya. Akibat: Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan genjatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian. Pascakonflik: Akhirnya, situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang, dan hubungan mengrah ke lebih normal di anatar kedua pihak. Namun, jika isuisu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-konflik. 6. Pengertian Sengketa Pertanahan Konflik pertanahan dapat diartikan sebagai konflik yang lahir sebagai akibat adanya hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi. Istilah sengketa dan konflik pertanahan sering kali dipakai sebagai suatu padanan kata yang dianggap mempunyai makna yang sama. Akan tetapi sesungguhnya kedua istilah itu memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI memberi batasan mengenai sengketa, konflik maupun perkara pertanahan. Pasal 1 Peraturan Kepala BPN tersebut menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional. a. Sengketa Pertanahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa 26 | P a g e perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat. b. Konflik Pertanahan. Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio politis. c. Perkara Pertanahan. Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI. Akar konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk diidentifikasi serta diinventarisasi guna mencari jalan keluar atau bentuk penyelesaian yang akan dilakukan. Akar permasalahan konflik pertanahan dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut : (1) konflik kepentingan, yaitu adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantif, kepentingan prosedural, maupun kepentingan psikologis, (2) konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku destruktif, kontrol perilaku sumberdaya yang tidak seimbang, (3) konflik nilai, karena perbedaan kriteria yang dipergunakan mengevaluasi gagasan/ perilaku, perbedaan gaya hidup, idiologi atau agama/kepercayaan, (4) konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan perilaku yang negatif, (5) konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap, informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan, interpretasi data yang berbea, dan perbedaan prosedur penilaian. Penyebab umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor hukum dan faktor non hukum. 1. Faktor Hukum Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan belakangan ini antara lain : a. Tumpang tindih peraturan. UUPA sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria lainnya, dalam perjalanannya dibuat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya agraria tetapi tidak menempatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agraria. UUPA yang mulanya merupakan payung hukum bagi 27 | P a g e kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan secara substansial bertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Transmigrasi dan lain-lain. b. Tumpang tindih peradilan. Pada saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu konflik pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana dan peradilan tata usaha negara (TUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik disertai tindak pidana). 2. Faktor Non Hukum a. Tumpang tindih penggunaan tanah Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih fungsi. Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat timbul kepentingan yang berbeda. b. Nilai ekonomis tanah tinggi Ada anggapan disamping emas, nilai tanah dari waktu ke waktu akan semakin tinggi, sehingga untuk memperoleh tanah semakin sulit. c. Kesadaran masyarakat meningkat Adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun ikut berubah. Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi. d. Tanah tetap, penduduk bertambah. Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan sekuatnya. 28 | P a g e e. Kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin. 7. Tipologi Konflik Pertanahan. Tipologi konflik pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani. Tipologi konflik pertanahan yang ditangani Badan Pertanahan Nasional RI dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan), terdiri dari masalah yang berkaitan dengan : a) Penguasaan dan Pemilikan Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu; b) Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan anggapan tidak sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan; c) Batas atau letak bidang tanah, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas; d) Pengadaan Tanah, yaitu perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau nilai mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi; e) Tanah obyek Landreform, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai prosedur penegasan, status penguasaan dan pemilikan, proses penetapan ganti rugi, penentuan subyek obyek dan pembagian tanah obyek Landreform; f) Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir, yaitu perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan pemerintah untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang dilikwidasi; g) Tanah Ulayat, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang belum, akan tetapi dikuasai oleh pihak lain; 29 | P a g e h) Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu. Jika diamati secara seksama, apa yang pernah diidentifikasi oleh pengkaji pertaanahan sebelumnya terkaait dengan sengketa agrarian, dalam beberapa hal ada benarnya. Misalnya saja, Maria SW menegaskan bahwa berbagai konflik agrarian diakibatkan oleh adanya penggarapan tanah yang menjdi areal kehutanan atau perkebunan oleh rakyat, adanya pelanggaran terhadaap ketentuan ladreform, adanya upaya penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan, serta, karena adanya berbagai masalah perdata. (Fuadi, 2013). Hal penting lain yang perlu dicatat dalam masalah karakteristik sengketa agraria ini adalah bahwa telah terjadi pergeseran pola antara masa pasca kemerdekaan hingga era Orde Baru. Pada pasca kemerdekaan sampai dengan era akhir 1960 an, sengketa biasanya terjadi pada di pedesaan antara petani penggarap dengan penguasa tanah. Sedangkan pada decade 1980 sampai dengan akhir Orde Baru sengketa terjadi antara pemilik tanah setempat melawan pemodal besar atau pemerintah. (Marzuki, 2008). Akan tetapi, berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa pada masa reformasi, sengketa berupa rakyat penggarap melawan pemerintah atau industry dengan posisi rakyat yang sangat menguat, dimana penjarahan tanah banyak terjadi. Di samping itu, dalam berbagai sengketa agraria, terdapat berbagai unsur yang acapkali terlibat di dalamnya, utamanya adalah: 1) Adanya aktor ekonomi, aktor politik ataupun aktor sosial yang kuat 2) Administrasi yang bermasalah, termasuk di dalamnya proses ajudikasi yang tidak tertata baik. 3) Melibatkan warga masyarakat yang sangat awam terhadaap hokum positif namun dalam realitanya sudah menguasai tanah tersebut dalam waktu lama, dan bahkan secara turun temurun. Dan segmen ini biasanya sebagai korban. (Fuadi, 2013). Adapun sebab yang lebih detail dari munculnya sengketa agraria adalah faktor-faktor sbb: Pertama, tidak meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya agrarian yang ada. Kedua, ekspansi wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih banyak terjadi di perkotaan. Ketiga, adalah adanya kegiatan ekonomi sebagian dari masyarakat. Tentu ini adalah kegiatan ekonomi yang dapat mengganggu masyarakat sekitarnya. Keempat, adanya kepadatan penduduk yang menuntut penyediaan lahan yang semakin luas. (Nurjaya, dalam Asrul, 2012) Jika dianalisa terkait posisi para pihak yang terliabat sengketa, maka ada konflik verikal dalam arti konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak yang berwenang, horizontal 30 | P a g e ialah konflik antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan konflik antara masyarakat melawan investor (Fuadi, 2013). B. KARAKTERISTIK SENGKETA AGRARIA DI INDONESIA Telah disadari oleh para pendiri bangsa bahwa Negara Indonesia ini memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi, baik dari segi budaya, letak geografis maupun agama. Keberagaman yang semacam ini tentu bukan tanpa efek yang serius bagi perkembangan bangsa ke depannya. Karena itulah, pembangunan Negara ini tidak boleh hanya dilakukan dengan menggeneralisir berbagai faktor keragaman tersebut. Karena itulah maka Negara dirumuskan sebagai terdiri atas Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen di dalam UUD 1945 (sebelum amandemen). Menurut sebagian pendapat, langkah ini mempunyai dua sisi implikasi. Pertama dengan menyerap kekhasan tiap komunitas yang ada, maka negara telah berupaya menciptakan satu bangsa. Kedua, pengabaian terhadap eksistensi berbagai komunitas dengan segenar kekhasannya tersebut akan berimplikasi pada kegagalan cita-cita membangun satu bangsa Indonesia (Naskah Akademik RUU Perlindungan Masyarakat Adat, 2011). Konflik tidaklah mungkin dapat dihindari, sebagaimana fakta yang ada bahwa konflik akan selalu ada dalam masyarakat. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan, selain menyelesaikan konflik yang telah terjadi, adalah dengan mendeteksi lebih dini potensi konflik yang akan muncul, sehingga konflik tidak akan dapat direduksi ekses yang ditimbulkannya. Dalam teori konflik, keberagaman jelas merupakan berkontribusi pada terjadinya perbedaan. Dan perbedaan tersebut merupakan elemen yang dapat mengakibatkan disintegrasi dan perubahan. (Erlita Kusumaningtiyas dan Kandyawan, 2012). Sengketa agraria merupakan suatu sengketa yang sangat sering terjadi dalam masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang memang merupakan masyarakat agraris. Dari penelitian yang dilakukan, Nampak bahwa berbagai kasus sengketa agraria terjadi terkait dengan berbagai macam lahan pertanian, perkebunan, pertambangan ataupun lahan jenis lainnya. Dari berbagai kasus yang terjadi, akan dianalisis berdasarkan periode waktu atau masa tertentu, segingga akan didapatkaan identifikasi terhadap karakteristik dari berbaagai sengketa yang terjadi. Dalam bab ini, pembahasan akan dilakukan dengan menklasifikasikannya ke dalam dua bagian besar dari periode sejarah Indonesia; ialah periode pra kemerdekaan dan pereode setelah kemerdekaan. Agar didapatkan gambaran yang lebih spesifik dan detail, maka untuk 31 | P a g e pereode setelah kemerdekaan akan dibagi lagi menjadi Masa Orde Lama (Orla), Masa Orde Baru (Orba) dan Masa Orde Reformasi. Berikut analisa terhadap berbagai pereode dan masa tersebut. f. Karakteristik Sengketa Agraria Sebelum Kemerdekaan. Sengketa agraria sudah dijumpai sejak masa kolonialisme Belaanda di Indonesia. Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa Belanda banyak melakukan perubahan dalam hal perkebunan dan pertanian di Hindia Belanda. Bahkan sangat terkenal adanya kebijakan cultur stelsel, sebuah kebijakan pertanian yang mengharuskan adanya pola tanam bagi kepentingan pasar dan Industri di Eropa khususnya. Masih dalam kepentingan yang sama, Belanda tidak hanya mewajibkan pola tanam bagi para petani, namun lebih dari itu Belanda mengembangkan industrialisasi pertanian dengan mencipatakan sentra-sentra pertanian. Hal ini mau tidak mau berakibat pada penataan lahan pertanian dan perkebunan. Politik hukum agraria kolonial menganut prinsip dagang, yakni untuk mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan pengusaha Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia hanya menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam. Sistem politik hukum agraria kolonial ditandai dengan empat (4) ciri, yaitu: a) Dominasi; Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi. b) Eksploitasi; Eksploitasi dilakukan dengan pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya untuk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri. c) Diskriminasi; Diskriminasi dilakukan dengan perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. 32 | P a g e d) Dependensi. Dependensi adalah ketergantungan masyarakat jajahan terhadap penjajah. Masyarakat terjajah enjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologi pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin. (Noer Fauzi dalam Muliadi and Partners, tt). Contoh politik hukum agraria kolonial yang dimuat dalam Agrarische Wet (AW) Stb.1870 No.55 dengan isi dan maksud serta tujuan sebagai berikut (Muliadi and Partners, tt): a) Tujuan primer: Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah untuk waktu yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Di samping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atau mendapat hak pakai atas tanah langsung dari orang bumi putera menurut peraturanperaturan yang ditetapkan dengan ordonansi. Meaksudnya adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing. b) Tujuan sekunder. Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya, yaitu: i. Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hakBumi Putera; ii. Pemerintah hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari atasan dengan pemberian ganti kerugian; iii. Bumi Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat yaitu hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom); iv. Diadakan peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan Bumi Putera. Dalam perjalanan berlakunya AW terjadi penyimpangan terhadap tujuan skundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah milik pribumi langsung kepada orang-orang Belanda atau Eropa lainnya, untuk menghindari hal yang demikian maka pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijaksanaan berupa Vervreemdingsverbod Stb.1875 No.17977. 77 Yang dimaksud dengan Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan orang Indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersbut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah batal karenanya. Selain AW, maka pemerintah Hindia Belanda juga pernah mengeluarkan kebijakan agraria dalam Agrarische Besluit (AB) sebagai pelaksanaan dari ketentuan AW. AB ini diundangkan dalam Stb.1870 No.118. Yang terpenting dalam pengaturan AB adalah adanya politik 33 | P a g e hukum tanah tentang pernyataan domein negara (Raja/Ratu) atau lebih dikenal dengan Domein Verklaring. Dalam Pasal 1, disebutkan: “behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is”. (dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara). Ketentuan Pasal 1 Agrarisch Besluit ini dikenal sebagai pernyataan kepemilikan “Domein Verklaring” dari Negara dan dikenal sebagai pernyataan domein umum (algemene Domein Verklaring). Disamping itu, dikenal juga adanya pernyataan domein khusus (speciale Domein Verklaring) yang tercantum dalam peraturan perundangan tentang pengaturan hak erfpaht yang diundangkan dalam Stb.1875 No.94f, Stb.1877 No.55 dan Stb.1888 No.55. Rumusannya sebagai berikut: “alle woeste gronden in de Gouvernementsladen op…. berhooren, voorzoover daarop door leden der inheemsche bevolking gene aan het ontginningsrecht ontleende rechten worden uitgeoefend, tot het Staatsdomein. Over dit tot het Staatsdomein behoorende gronden, berust behoudens het ontginningsrecht der bevolking, de beschikking iutluitend bij het Gouvernement”. (“Semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung di… adalah domein Negara, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah Negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannnya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”). Maksudnya adalah adanya pernyataan-pernyataan secara umum (algemene- domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agrarian yaitu pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein vanden Staat), Negara bertindak sebagai eigenaar (pemegang hak milik). Kalau terbukti ada hak eigendom orang lain diatasnya maka negara akan mengakui keberadaan hak eigendom tersebut. Pernyataan kepemilikan ini menjadikan landasan hukum Negara/pemerintahan pada waktu itu untuk memberikan tanah dengan hak kepemilikan dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUH Perdata, seperti hak Erfpacht, hak Opstal dan lain-lainnya. “Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah dan pemberian itu dijadikan sebagai alat pembuktian pemilikan tanah” (Budi Harsono, 1999). Pernyataan domein Negara yang diatur dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit ini paralel dengan yang diatur dalam BW. Dimana dapat dilihat dalam Pasal 519 dan Pasal 520 BW, mengatur bahwa: setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki. Kalau tidak dimiliki oleh 34 | P a g e perorangan atau badan hukum, maka negaralah pemiliknya. Atas dasar Pasal 1 Agrarisch besluit dikenal adanya dua bentuk tanah Negara yakni: Pertama, tanah-tanah Negara yang disebut dengan tanah Negara bebas “vrij landsdomein” yaitu tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun. Sepanjang tidak didaftarkan haknya dengan cara menundukkan diri secara suka rela kepada hukum barat maka tanah yang dikuasai rakyat merupakan bagian dari atau berstatus sebagai tanah Negara yang diistilahkan sebagai tanah Negara yang diduduki oleh rakyat. Dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda berpendapat bahwa sebutan tanah Negara bebas ini cakupannya dibedakan menjadi dua: a) Tanah-tanah menjadi tanah Negara bebas karena dibebaskan dari hakhak milik rakyat oleh suatu Instansi/departemen, dianggap tanah Negara dibawah penguasaan departemen yang membebaskan; b) Tanah Negara bebas yang tidak ada penguasaan secara nyata diserahkan kepada suatu departemen, dianggap bahwa tanah tersebut dimasukkan kedalam penguasaan departemen dalam negeri (Binnen vanbestuur). Kedua, tanah Negara yang tidak bebas “onvrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang diatasnya ada hak-hak rakyat atas tanah atau tanah yang dikuasai atau diduduki oleh rakyat berdasarkan pada hukum adat mereka (hak ulayat masyarakat hukum adat). Pada masa kolonial, segketa agraria pun sudah muncul, hal ini dikarenakan memang penjajah Belanda melakukan upaya perdagangan hasil pertanian. Di antara konflik-konflik yang terjadi adalah: a. Konflik dan Sengketa Tanah di Lebak, Banten: Paska Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Kronologi terjadinya konflik dapat dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini. Lebak terletak di selatan Propinsi Banten dan berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Barat. Sebagian besar penduduk Lebak terdiri dari masyarakat Suku Sunda dan sebagian kecil masyarakat pendatang terutama Jawa. Di Lebak, terdapat pula masyarakat adat yang masih mempraktekkan cara hidup leluhur mereka (tatali paranti karuhun) dengan memanfaatkan kawasan pertanian hutan (ngahuma). Masyarakat adat ini, menamakan dirinya sebagai masyarakat kasepuhan, memiliki cara pengelolaan sumberdaya hutan yang berbeda dengan masyarakat lainnya. 35 | P a g e Pada tahun 2003, pemerintah menerbitkan SK Menteri Kehutanan No. 175/2003 tentang perluasan taman nasional dari 40.000 ha menjadi 113.357 ha dan dinamakan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kebijakan ini mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat kasepuhan dengan pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanahtanah tersebut merupakan kawasan hutan negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak, masyarakat adat mengaku bahwa mereka telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910 sebagai tanahtanah huma. Oleh karena itu, sejarah diharapkan dapat membantu menjelaskan dan memahami terjadi konflik tenurial tersebut di Lebak, Banten. Tulisan ini mencoba menceritakan kembali perdebatanperdebatan diantara para ahli-ahli hukum atas kepemilikan tanah hutan di Masa Hindia paska Agrarische Wet 1870. Studi kasus tentang perdebatan status hukum huma di Banten pada awal abad ke-20 menunjukkan dampak dari kebingungan penafsiran terhadap para pengambil kebijakan di lapangan. b. Perdebatan Status Tanah di Masa Hindia Belanda atas Kepemilikan Tanah Hutan, Tanah Negara vs Tanah Adat Perdebatan ini bermula diterbitkannya Agrarische Wet 1870 (AW 1870) oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan utama dari AW 1870 ini adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar membuka hutan dan menjadikannya perkebunan besar. Dengan berazaskan domeinverklaring (deklarasi kawasan)3, dimana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domein (milik) negara4, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah tersebut kepada perkebunanperkebunan swasta. Walaupun AW 1870 ini berazaskan pada ketentuan domeinverklaring, ia juga mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Kondisi ini menciptakan kebingungan dan penafsiran berbeda diantara para ahli-ahli hukum di masa itu akibat kegagalan mereka untuk memahami hukum tanah masyarakat adat atas hutan. Nolst Trenite, seorang guru besar dari Universitas Uthrect sekaligus pula Pejabat Tinggi Departemen Pemerintahan, berpendapat bahwa berdasarkan penafsiran azas domeinverklaring, tanah yang menurut hukum dikecualikan dari milik negara adalah hanya tanah yang menurut kenyataan dan biasanya digunakan oleh penduduk. Pendapat ini selanjutnya ditentang oleh sarjana lain, antara lain van Vollenhoven dari Universitas Leiden, serta Logemann dan ter Haar dari Sekolah Hukum Hindia Belanda. Menurut 36 | P a g e mereka, tujuan sebenarnya dari pembuat AW 1870 ini adalah untuk tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara. Pada tahun 1874, suatu peraturan diterbitkan untuk memberikan penafsiran yang pasti apa yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan desa untuk Jawa dan Madura. Tanah milik desa adalah padang rumput penggembalaan milik bersama, tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli untuk penggunaan mereka sendiri, baik yang dihuni maupun digarap, dan yang oleh mereka tidak telah ditelantarkan. Sayangnya, peraturan ini tidak mampu menjawab batasan-batasan hakhak masyarakat desa atas wilayah hutan. c. Perdebatan Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Keresidenan Banten dalam Mensikapi Status Hukum Tanah Huma Seperti sistem peladangan berpindah, sistem huma yang dilakukan oleh masyarakat setempat memerlukan masa pemberaan yang lama agar dapat mengembalikan tanah-tanah tersebut menjadi subur kembali. Sebagian besar tanah-tanah di bawah sistem huma tidak dibudidayakan secara terus menerus sehingga dapat saja Pemerintah Hindia Belanda, berdasarkan penafsiran Nolst Trenite, mengklaim tanah-tanah yang tidak dibudidayakan tersebut sebagai tanah negara. Namun, berdasarkan penafsiran Van Vollenhoven, tanahtanah tersebut walaupun tidak dibudidayakan masih berada dibawah wilayah kekuasaan desa.tas penafsiran yang berbeda tersebut, Pemerintah Keresidenan Banten melakukan penelitian dan penyelidikan secara mendalam mengenai status hukum huma tersebut. Dari hasil penyelidikan, terbukti bahwa sistem huma berada di wilayah kekuasaan desa. Walaupun orang meninggalkan lahan garapan mereka, hak-hak mereka atas tanah tidak serta merta hilang selama mereka memberitahu kepada kepala desa bahwa mereka ingin tetap mempertahankan haknya atas tanah. Di lain pihak, sistem perhumaan dianggap sebagaisistem pertanian pembakaran yang merusak yang dapat menghancurkan humus dan sterilisasi tanah, pengrusakan sejumlah besar kayu serta munculnya alang-alang di lembah.Oleh karena itu, pemerintah Keresidenan Banten menerbitkan Peraturan Huma pada tanggal 30 Juli 1896. Peraturan ini berusaha membatasi pertanian huma terhadap beberapa desa dengan memberikan batas-batas yang jelas mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi pertanian huma dan mana yang tidak. Tanah-tanah baik sengaja maupun tidak ditinggalkan termasuk ke dalam wilayah kekuasaan desa. Nampak dengan tegas peraturan ini mengesahkan sistem huma 37 | P a g e dan memasukkan tanah-tanah hutan sebagai wilayah kekuasaan desa dan bukan sebagai tanah negara. d. Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet di Kabupaten Pasaman Tanggal 18 September 1953, sebuah surat kabar harian di Sumatera Barat menurunkan sebuah berita tentang sekitar hebohnya kedatangan penduduk pendatang kedaerah Rao. Sebuah daerah yang pada waktu itu termasuk ke dalam onderafdeling Lubuk Sikaping. Kedatangan penduduk pendatang tersebut, yang oleh penduduk Rao disebut dengan orang Tapanuli telah menimbulkan konflik karena mereka mengambil tanah sekehendaknya. Salah-satu tanah yang mereka ambil adalah tanah areal kebun karet yang ditinggalkan dan sebelumnya merupakan milik pemerintahan Belanda. Disamping memperebutkan areal kebun karet yang sudah ada, penduduk pendatang juga membuka hutan yang ada disekitar daerah tersebut untuk dijadikan areal tanaman karet. (Undri, 2004). Kemudian tahun 1922 Belanda menerapkan sistem pajak tanah, yang termasuk pajak rumah gadang. Sesungguhnya penerimaan pemerintah kolonial Belanda dari pajak tanah terus meningkat terutama di seluruh Indonesia, sebelum tahun 1922 yakni tahun 1829 saja penerimaan dari pajak tanah sebanyak f.3.305.698, tahun 1835 menjadi f.7.679.359, kemudian tahun 1840 secara mengejutkan penerimaan dari pajak tanah mencapai f.9.364.907. Tindakan pemungutan pajak pajak termasuk rumah gadang ini merupakan penghinaan langsung kepada tanah milik Minangkabau. Kebijakan di atas yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap tanah di Minangkabau telah menimbulkan pemberontakan komunis pertengahan tahun 1920-an. Hal tersebut diperparah lagi akibat akibat kebijaksanaan kolonial Belanda di Minangkabau, dengan banyaknya penghulu yang diangkat oleh pemerintah maka wibawa penghulu semakin terkikis 37 sehingga menimbulkan konflik antar masyarakat di Minangkabau , dimana hal tersebut terjadi adanya perbenturan hak ulayat dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Belanda di Indonesia terutama untuk memuluskan usaha mereka dalam bidang ekoenomi. Kemudian pada tahun 1930-an, sehubungan dengan zaman susah akitar depresi ekonomi agaknya kurang dirasakan di Sumatera Barat dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Karena secara ekonomi daerah ini mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Namun sekitar tahun 1935, nilai eksport import perdagangan di Padang menurun 25% dari pada tahun 1929. Terutama jatuhnya harga kopi, karet dan kopra di pasar dunia membawa pengaruh penting petani Sumatera Barat. Mengenai kepemilikan tanah juga tidak begitu banyak berubah dari bentuk semula, dalam artian bahwa kebijakan pemerintahan Belanda atas tanah di Sumatera Barat masih tetap dipakai. 38 | P a g e Kemudian pada zaman pendudukan Jepang, jenis tanaman perkebunan terutama tanaman karet dianggap penting oleh pemerintahan pendudukan Jepang karena dapat membantu biaya perang. Ini terlihat kebijakan pemerintah pendudukan Jepang misalnya di Jawa Timur hampir semua perkebunan tersebut diteruskan bekerja. Di Sumatera untuk mengembangkan perkebunan karet tersebut pemerintah pendudukan Jepang merehabilitasi kebun karet seluas 672.000 hektar. Pada tahun 1950-an itu juga, ada dua fenomena yang menarik dalam sejarah di Indonesia umumnya dan masyarakat Rao khususnya. Pada level nasional tahun 1950-an tersebut merupakan tahun kepahitan bagi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia karena lewat kebijakan nasionalisasinya pemerintah Republik Indonesia mengambil alih aset milik Belanda. Hal tersebut tidak terlepas merupakan pelampiasan atas keengganan pemerintah kolonial Belanda menyerahkan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Pada level lokal pada tahun 1950-an telah terjadi perpindahan penduduk dari Tapanuli Selatan ke daerah Rao dan mereka mengambil lahan yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda. Kedatangan penduduk Tapanuli Selatan ke daerah Rao, pada tahun 1953 lebih kurang 200 kelamin. Adapun sebab kedatangan mereka ke daerah Rao adalah Pertama adanya bencana banjir yang terjadi di daerah asal mereka yakni Tapanuli Selatan. Bencana banjir tersebut telah membuat gagal panen tanaman mereka. Kedua, untuk mencari lahan bagu guna dijadikan areal tanaman terutama tanaman karet. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa awal kedatangan mereka ke Rao mereka mengambil tanah secara sewena-wenanya. Mereka datang ke daerah Rao tersebut dengan menyeludup (sembunyisembunyi). Ketiga, secara geografis daerah Rao dekat dengan daerah Tapanuli Selatan, sehingga memungkinkan sekali mereka untuk datang ke daerah Rao tersebut. (Undri, 2004) Adapun akar konflik jika dilihat sangat terkait dengan pola kepemilikan tanah yang dianut. Pola pemilikian tanah Minangkabau tidaklah bersifat individual, melainkan milik komunal yaitu milik suku, kaum dan nagari. Regenerasi atau proses pewarisan tanah itu, adalah didasarkan atas sistem kemasyarakatan yang berpolakan matrilineal (garis keturunan ibu) yaitu dari mamak kepada kemenakan. Dengan adanya pemilikan tanah tersebut maka seseorang dapat melakukan penguasaan atas tanah tersebut. (Undri, 2004). 2. Karakteristik Sengketa Agraria Setelah Kemerdekaan a. Masa Orde Lama Pada masa kemerdekaan (1945-1948), terjadi pendudukan lahan perkebunan oleh petani dengan semangat revolusi yang dihembuskan oleh Soekarno. Kaum tani melakukan penggarapan lahan-lahan perkebunan eks hak erfpacht milik pengusaha Belanda, Eropa danAsia. 39 | P a g e Pada periode tahun 1948-1955, Belanda dengan dukungan sekutunya berupaya mengembalikan kekuasaannya atas wilayah Indonesia melalui Agresi Militer I dan II. Aksi militer tersebut tidak berhasil, sehingga Belanda mengubah siasatnya dengan cara perundingan dan negosiasi atau diplomasi. Melalui perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) Belanda masuk kembali ke Indonesia untuk menguasai aset mereka termasuk perkebunan. Pada periode tahun 1955-1957 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing oleh pemerintahan Soekarno, dan berbarengan dengan Pemilu pertama tahun 1955 dibawah sistem Demokrasi Parlementer menjelang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin tahun 1959. Tahun 1960, pemerintahan Demokrasi Terpimpin mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1960 mengenai Pokok-pokok Agraria. UUPA 1960 mengedepankan janji memerdekakan petani dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian dan menghapuskan pemberlakuan hukum agraria Barat. (Esrom Aritonang, 2004). b. Masa Orde Baru Masa Orde Baru ditandai dengan pemerintahan yang cukup kuat, dana dalam tingkat tertentu dapat disebut represif, sehingga, permasalahan sengketa agrarian cukup banyak Pada masa pemerintahan Orde Baru, Angkatan Darat mengambil-alih lahan-lahan perkebunan yang dikuasai oleh orang-orang yang dituduh komunis. Inilah awal penguasaan lahan-lahan perkebunan oleh yayasan-yayasan yang dibentuk oleh Penguasa Darurat Perang di wilayah-wilayah Kodam, yang terus dipertahankan hingga kini. Masuknya militer dalam bisnis perkebunan berbenturan dengan logika pengembangan komoditi yang menuntut kecukupan modal dan teknologi tinggi. Akibatnya, militer men-subkontrak usaha perkebunan. Masalah-masalah yang penuh kontradiksi inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik agraria di atas lahan perkebunan hingga kini. Pada akhirnya, Orde Baru menghapuskan landreform dan menggantikannya dengan program tata guna lahan dan transmigrasi. Program ini dikenal dengan sebutan Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun), yang kemudian memperluas wilayah dan intensitas konflik agraria. (Esrom Aritonang, 2004). 1). Konflik Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi Tenggara dengan Pengelola Taman Nasional Rawa Opa Watumohai pada Kawasan Konservasi (Bediona dkk, draft 1999) Dalam Sejarah Sulawesi Tenggara, Masyarakat Adat Moronene merupakan suku asli tertua yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara, disamping orang Tolaki dan Mekongga. Masyarakat adat Moronene menyebar di 6 kecamatan. Masyarakat Adat Moronene di Kecamatan 40 | P a g e Rumbia yang terbagi atas 11 tobu (wilayah adat). Kepemimpinan lembaga adat dikenal dengan sebutan Mokole. Mereka telah mengelola wilayah leluhurnya di HukaEka, Lampopala dan sekitarnya sejak tahun 1920-an. Selain perkampungan lahan digunakan untuk kebun, lahan pengembalaan kerbau dan kuda, kebun jati, tambak bersama pada muara-muara sungai, kuburan dan lain-lain. Pada tahun 1952, 1953 serta tahun 1960 mereka terpaksa mengungsi meninggalkan tanah leluhurnya karena ganguan keamanan oleh gerombolan dan kini mereka tinggal berpencar pada kampung-kampung sekitarnya setelah beberapa kali dikumpulkan dan dipindahkan. Akses masyarakat adat tersebut atas kebun dan usahatani serta padang pengembalaan telah mulai dibatasi dengan ditetapkanya sebagai Taman Buru pada tahun1972. Pada tahun 1980 wilayah tersebut menjadi calon Taman Nasional dan pada tahun 1990 ditunjuk sebagai Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Proses pengambil-alihan lahan di dalam kawasan hutan tersebut berlangsung tanpa melalui proses musyawarah. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan atas hak-hak adatnya dilakuakn sejak tahun 1987 dengan menulis surat secara berulang-ulang kepada Wakil Presiden RI serta Pimpro TN. Kesepakatan lisan dengan Tim Gabungan Pemda TK II yang diketuai oleh KakanSospol tgl 16 Desember 1997 disepakati, bahwa masyarakat tetap tinggal dikampungnya dan memanfaatkan hasil kebun dan hutan sebagaimana biasanya sambil menunggu pembicaraan dengan pimpinan. Usaha-usaha negosiasi damai yang diprakarsai oleh masyarakat adat dalam mempertahankan hak adatnya dijawab dengan intimidasi, pengusiran, penyerbuan, penangkapan disertai tembakan beruntun dan pembakaran kampung serta kebun mereka di HukaEna dan Lampopala secara berulang-ulang (30 Maret 1998 dan 23 Oktober 1998) 12 hari setelah kesepakatan lisan tersebut dilakukan. Penahanan terhadap 12 masyarakat adat dilakukan tanpa penjelasan tentang status dan alasan penahannya dan tanpa proses hukum yang jelas. Penahan tidak dikuti dengan proses penyidikan yang jelas sampai berminggu-minggu. Ke 12 tahanan telah mendekam berbulanbulan di dalam tahan Polres Buton sampai dengan persidangan 27 April 1999, masih berstatus tahanan, terpisah jauh dari keluarga dan kerabatnya yang tinggal terpencar dalam suasana ketakutan dan tidak menentu di Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Konflik ini bagi Masyarakat Adat Moronene semakin memperparah keadaan ekonominya dan juga mengembalikan trauma yg telah mereka alami secara berulang ulang pada tahun 1952,1953,1960,1998. Kasus ini merupakan salah satu contoh kasus tentang bagaimana cara pandang birokrasi pemerintah terhadap masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan berkenaan dengan pengelolaan kawasan konservasi, dan menunjukkan bahwa masyarakat adat masih dilihat sebagi 41 | P a g e ancaman terhadap kelestarian kawasan dan ditindak seakan akan mereka bukan sesama manusia. 2). Konflik Masyarakat Adat Bunaken, Sulawesi Utara atas pengelolaan Taman Laut Bunaken Sejak tahun 1827 pulau Bunaken dan sekitarnya telah didiami oleh Masyarakat Adat Sangihe Talaud dan Bantik. Masyarakat tersebut mengusahakan kebun kelapa di daratan dan berusaha sebagai nelayan di wilayah adat lautnya. Agak berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, Sulawesi Utara memiliki riwayat lahan yang itu terdokumentasikan secara baik sejak zaman Belanda dulu, misalnya; nama keluarga pertama yang menetap di P. Bunaken. Pada tahun 1827 (Pamela, Kawangke, Pasinaung dan Manelung), kemudian disusul keluarga Andraes Uring dan Yacobus Carolus (thn 1840), kemudian dijual kepada keluarga Paulus Rahasia, Matheus Pontoh dan Animala Paransa. Dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan no 328/Kpts-II/1986 tentang Taman Laut Bunaken, maka ikatan antara daratan dan laut dalam aktifitas masyarakat adat di pulau tersebut terpotong-potong. Wilayah laut yang masuk dalam Kawasan Taman Laut dibagi-bagi dalam zonasi yang berbeda-beda sesuai dengan keanekaragaman hayati misal komunitas terubu karang dan Padang lamun. Sedangkan wilayah daratanya dibagi atas kawasan hutan asli dan kawasan pertanian dan perkampungan. Sedangkan pada kenyataanya wilayah daratan di pulau Bunaken, tanahnya sudah menjadi objek jual beli sejak lama dan merupakan tanah milik yang telah tercatat dalam register desa. Terjadi konflik atas kewenangan pemilik dan pemerintah sebagai pengelola TL Bunaken. Konflik ini menunjukan bawa pemahaman Pemerintah akan riwayat lahan sangat terbatas dan kurangnya pengakuan dan penghargaan Pemerintah atas kepemilikan pribadi (private property) sehingga kepemilikan pribadi dapat diambil alih oleh negara (penasionalan) tanpa ada kesempatan yang cukup untuk bernegosiasi. c. Orde Reformasi Orde reformasi menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Dalam hal sengketa agrarian, orde reformasi lebih menunjukkan adanya perlawanan yang lebih berani dari para petani atau penggarap terhadap pemerintah atau korporasi yang dinilai menyerobot atau mengambil dengan cara tidak syarh terhadap berbagai lahan. Akibatnya, sengketa agrarian bersifat lebih 42 | P a g e terbuka dan meyeruak di berbagai tempat di Indonesia. Berikut beberapa contoh kasus sengketa agrarian pada era reformasi. 1). Konflik Masyarakat Adat Dayak Simpakng, Kalimantan Barat pada Hutan Produksi Terbatas (Kanyan 1999 draft III ) Konflik masyarakat adat Benung dengan HPH PT.TD yang terjadi di Kab. Ketapang, Kalimanatan Barat muncul karena konflik, yang tidak hanya diatas peta tetapi sudah berupa konflik nyata dilapangan dengan ditebangnya 2900 pohon tengkawang, 9 pohon madu dan 30 pohon damar dari kebun Masyarakat Adat yang berakibat tuntutan masyarakat adat semakin kuat untuk mengusir HPH. Patay & Nari 1993 konflik Masyarakat Adat Wooi dan Mee dengan HPH PT.PY dan konflik Masyarakat Adat Oyehe dengan HPH PTYU di Kab. Nabire, Irian Jaya; Tempo 6 Juni 1999 Tuntutan Masyarakat Adat Mentawai dengan HPH PT. MPL di tolak oleh PN Padang November 1998 sehingga konfik tidak terselesaikan sampai saat ini. Masyarakat Adat Simpakng yang kini bermukim di wilayah Desa Semandang Kiri, Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang, Kalbar diperkirakan mengelola hutan sejak abad ke 16-17. Tempat tinggal mereka tersebar dalam beberapa kampung yang dikenal wilayahnya sebagai umakng desa sembilan domong sapuluh atau disebut juga Kawasan Adat Banua Simpakng atau Tonah Simpakng Sakayok. Batas antar Banua dikenal dengan nama Sapat Banua atau kesepakatan batas benua yang dihormati sebagai batas wilayah kewenangan adat masingmasing Banua. Kelembagaan adatnya di dalam Banua terdiri dari seorang Patinggi, beberapa orang Pateh dan Tamogokng untuk tiap-tiap kampung. Pola pengelolaan Sumber Daya Hutan telah dilakukan secara turun temurun dengan menggolongkan pola-pola penggunaan lahan sbb: Rima makong utatn torutn sebagai hutan cadangan, Bawas belukar Lako uma, sebagai tanah pertanian, Kampbokng Temawakng Buah Janah, sebagai kebun buah dan kayu-kayuan, Tonah Colap Torutn Pusaka, sebagai wilayah keramat, Kampokng Loboh sebagai wilayah pemukiman dan Are Sunge sebagai wilayah sungai untuk tambak dan tempat menjala. Selaian wilayah adat, kelembagan adat serta pola pengelolaan sumber daya hutan tersebut, masyarakat adat ini terikat atas suatu hubungan kekerabatan dan adat istiadat yang sama. 43 | P a g e 2). Konflik Masyarakat Adat Dayak Benuaq, Kalimantan Timur dengan HPHTI di Kawasan Hutan Produksi (KalimantanReview 1998) Masyarakat Adat Dayak Bentian di Kalimantan Timur dikenal akan keahliaannya membudidayakan rotan. Rotan yang ditanam, pada lahan pertaniannya merupakan bagian dari usaha pertanian gilir balik. Usaha ini dikenal dalam bidang agroforestry sebagai usaha mempercepat waktu bera dengan introduksi tumbuhan pionir bermanfaat menuju bentuk agroforest (improve fallow management). Pola-pola ini banyak dikenal masyarakat adat di Asia yang melakukan pertanian gilir balik. Pola ini telah dilakukan oleh Masyarakt Adat Dayak Bentian keturunan Jato Rampangan di Wilayah Adatnya sejak tahun 1813 yang dipimpin oleh Kepala Adatnya, dimana saat ini dijabat oleh Bpk. Loir Botor Dingit. Konflik ini bermula dengan diberikannya hak pengusahaan HTI kepada PT. MH yang merupakan perusahan HTI Patungan atara PT. Inh I dgn PT. TD. Perusahaan ini melakukan land clearing pada lahan pertanian masyarakat adat serta tidak mengakui perbuatanya sebagai suatu perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian besar dipihak masyarakat. Tanah pertanian tersebut dibuka untuk digunakan sebagai lahan tempat pembibitan, bangunan camp, lahan HTI serta HTI-Trans. Keberatan masyarakat dituangkan dalam surat pernyataan al; a. Pengembalian tanah adat, b. Pembayaran denda atas kerusakan tanam tumbuh serta kuburan c. HTI-Trans harus dipindahkan d. Tidak digangu lagi tanah adatnya. Keberatan masyarakat tidak dijawab oleh pihak perusahaan maupun pihak Dephut bahkan pada tanggal 28 September 1994, Gubernur Kaltim mengajukan tuntutan pidana kepada masyarakat adat atas nama Kepala Adatnya atas tuduhan pemalsuan tanda tangan. Tampak bahwa akar permasalahan konflik tidak diselesaikan bahkan pihak pemerintah daerah mempertajam konflik dengan gugatan pidana pemalsuan tanda-tangan oleh kepada adat untuk melumpuhkan tuntutan masyarakat adat. Pada akhir tahun 1998, pengadilan tidak dapat membuktikan kasus pemalsuan tandatangan dan membebaskan kepala adat dari tuntutan pidana. 3). Konflik Masyarakat Adat Peminggir, Lampung atas pengelolaan Hutan Lindung (Kusworo dalam BSP, 1999) Sejak sekitar seabad yang lalu masyarakat adat Peminggir atau Pesisir Krui membangun Repong Damar. Dimulai dari pembukaan hutan, berladang (padi dan sayuran), berkebun (kopi, lada), yang kemudian membentuk agroforest (kebun-hutan) yang didominasi oleh pohon damar (Shorea javanica) selain buah, kayu dan tumbuhan bermanfat lainnya. Keseluruhan 44 | P a g e repong Damar di Pesisir Krui mencapai 50-an ribu hektar. Wilayah masyarakat adat peminggir berbatasan dengan Samudra Hindia di sebelah Barat dan Taman Nasioanl Bukit Barisan Selatan di sebelah Timur (dulu Cagar Alam Ratu Wilhemina). Pada zaman Belanda tanah adat diakui sebagai tanah marga dari 16 Marga yang memiliki wewenang di sana. Batas Bochwessen (BW, Kawasan hutan) dan tanah Marga dihormati oleh pihak Pemerintah Belanda maupun Masyarakat sekitarnya. Pada tahun 1991 Menteri Kehutanan menunjuk TGHK Propinsi Lampung dimana sebagian dari tanah marga tersebut menjadi kawasan hutan yang terdiri dengan fungsi Produksi Terbatas dan Lindung. Selanjutnya memberikan hak pengusahaan hutan kepada HPH PT BL dan kemudian dialihkan kepada PT Inh V. Perubahan status tanah marga tersebut baru diketahui masyarakat pada tahun 1994 pada saat penataan batas mulai dilakukan. Sejak itu masyarakat adat di Pesisir Selatan mulai dilarang melakukan pengelolaan repong damar didalam wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan negara. Penolakan masyarakat adat terhadap status kawasan hutan negara dilakukan melalui penolakan wilayahnya dimasuki petugas penataan batas, surat petisi dan delegasi yang dikirim ke Pemerintah Daerah serta Dephut. Jawaban pemerintah atas surat dan petisi masyarakat adat adalah dengan menerbitkan SK Menhut no 47 /Kpts-II/1998 yang menunjuk 29.000 ha repong di dalam kawasan hutan negara sebagai kawasan dengan tujuan istimewa (KDTI), SK ini memberikan hak pengusahaan kawasan hutan negara yang terdiri atas HPT dan HL kepada masyarakat adat. Bentuk yang diharapkan masyarakat adat adalah bukan pemberian hak pengusahaan repong damar yang dapat dicabut sewaktu waktu dan masih kuatnya intervensi pengaturan oleh Dephutbun tetapi suatu bentuk hak atas dasar pengakuan keberadaan masyarakat adat, wilayah adatnya serta pola pengelolaanya kebun damarnya sebagai usaha pertanian. Masyarakat Adat Krui tengah mempersiapkan pendekatan litigasi untuk mendapatkan kembali hak kepemilikan tanahnya atas usaha tani kebun damarnya. Walaupun pemberian hak pengusahaan belum memenuhi harapan masyarakat adat Krui akan tetapi SK ini menunjukan pengakuan atas pola pengelolan sumber daya hutan oleh masyarakat adat dalam bentuk aslinya (Repong Damar) dan jaminan bahwa pola tersebut dapat dilanjutkan. 45 | P a g e 3. Konflik anatara Masyarakat dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di Sumatera Utara Berbeda dengan berbagai konflik agrariaa yang terjadi di berbagai tempat sebelumnya, konflik agrarian di Sumatera Utara, yang pada akhirnya berakhir pada sengketa melalui pengadilan ini, pada prinsipnya melibatkan dua pihak, masyaaraakat penggarap berhadapan dengan PTPN-II. Konflik ini terjadi di berbagai lokasi lahan yang dimiliki PTPN-II. Di desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang, konflik terjadi karena tumpang tindih nya kepemilikan tanah. Rakyat yang terlibat konflik ini beranggapan sebagian lahan perkebunanadalah milik mereka yang merupakan tanah jaluran yang diberikan pemerintah Belanda kepada rakyat yang bertempat tinggal diatas tanah perkebunan secara turun temurun. Tanah ini kemudian diambil pemerintah dengan cara paksa, sebagaimana lazimnya pada era Orde baru. Namun di samping itu, PTPN II mengklaim bahwa lahan perkebunan adalah milik perkebunan dengan menunjukkan HGU PTPN. Atas dasar itu, melalui intimidasi dan dan bukti yang kuat dari PTPN II tentunya rakyat harus mengalah dan pergi dari lahan tersebut, karena mereka tidak berani secara terbuka untuk menuntut haknya atas tanah (Ardhi, 2009). Barulah kemudian setelah habis masa HGU PTPN II di mana pada saat yang sama datanglah era reformasi, maka rakyat yang selama ini diam kemudian bangkit untuk melawan. Di samping kasus di atas, kasus yang tidak kalah pentingnya adalah konflik antara masyarakat melawan PTPN-II yang berlokasi di Desa Helvetia, Kecamatan Labuan Deli, Kabupaten Deli Serdang. Konflik juga terjadi karenaa masyarakat penggarap yang telah mendapatkan jatah pembagian lahan, namun pada masa Orde Baru kemudian tanah itu langsung dikuasai oleh PTPN. Barulah kemudian pada masa reformasi, rakyat berani menggugat. Untuk kasus di wilayah ini, akhirnya digugat melalui pengadilan, dan pada akhirnya dimenangkan oleh masyarakat. (Putusan Pengadilan Lubuk Pakam, Sumateraa Utara, no. 96/PDT.G/2010/PN-LP). Jika diamati secara seksama, apa yang pernah diidentifikasi oleh pengkaji pertaanahan sebelumnya terkaait dengan sengketa agrarian, dalam beberapa hal ada benarnya. Misalnya saja, Maria SW menegaskan bahwa berbagai konflik agrarian diakibatkan oleh adanya penggarapan tanah yang menjdi areal kehutanan atau perkebunan oleh rakyat, adanya pelanggaran terhadaap ketentuan ladreform, adanya upaya penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan, serta, karena adanya berbagai masalah perdata. Mohd Jully Fuadi, (2013). Hal penting lain yang perlu dicatat dalam masalah karakteristik sengketa agraria ini adalah bahwa telah terjadi pergeseran pola antara masa pasca kemerdekaan hingga era Orde Baru. Pada pasca kemerdekaan sampai dengan era akhir 1960 an, sengketa biasanya terjadi pada di pedesaan antara petani penggarap dengan penguasa tanah. Sedangkan pada decade 1980 46 | P a g e sampai dengan akhir Orde Baru sengketa terjadi antara pemilik tanah setempat melawan pemodal besar atau pemerintah. (Marzuki, 2008). Akan tetapi, berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa pada masa reformasi, sengketa berupa rakyat penggarap melawan pemerintah atau industry dengan posisi rakyat yang sangat menguat, dimana penjarahan tanah banyak terjadi. Di samping itu, dalam berbagai sengketa agraria, terdapat berbagai unsur yang acapkali terlibat di dalamnya, utamanya adalah: 1) Adanya aktor ekonomi, aktor politik ataupun aktor sosial yang kuat 2) Administrasi yang bermasalah, termasuk di dalamnya proses ajudikasi yang tidak tertata baik. 3) Melibatkan warga masyarakat yang sangat awam terhadaap hokum positif namun dalam realitanya sudah menguasai tanah tersebut dalam waktu lama, dan bahkan secara turun temurun. Dan segmen ini biasanya sebagai korban. (Fuadi, 2013). Adapun sebab yang lebih detail dari munculnya sengketa aagraria adalah faktorfaktor sbb: Pertama, tidak meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya agrarian yang ada. Kedua, ekspansi wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih banyak terjadi di perkotaan. Ketiga, adalah adanya kegiatan ekonomi sebagian dari masyarakat. Tentu ini adalah kegiatan ekonomi yang dapat mengganggu masyarakat sekitarnya. Keempat, adanya kepadatan penduduk yang menuntut penyediaan lahan yang semakin luas.(Nurjaya, dalam Asrul, 2012) Dan jika dianalisa terkait posisi para pihak yang terliabat sengketa, maka ada konflik verikal dalam arti konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak yang berwenang, horizontal ialah konflik antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan konflik antara masyarakat melawan investor (Fuadi, 2013). Yang menarik adalah, bahwa jika pun konflik itu horizontal, dalam banyak kasus, pihak-pihak tertentu akan memanfaatkan keadaan, sehingga meskipun dalam kasus horizontal, namun masyarakat tertentu terkadang mempergunakan aktor-aktor tertentu juga. 47 | P a g e BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA Sesuai dengan rancangan penelitian dalam proposal, setelah selesainya Tahap I dengan hasil adanya berbagai bentuk sengketa agraria di Indonesia serta berbagai indikator tentang faktor penyebab sengeta agraria tersebut, maka dalam Tahap II, penelitian akan diarahkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Analisis secara menyeluruh terhadap karakteristik kasus sengketa agrarian di empat provionsi 2) Analisis terhadap metode penyelesaian sengketa agrarian yang sudah ditempuh di ke empat provinsi 3) Identifikasi kelemahan dari metode penyelesaian sengketa yang selama ini dilakukan di empat provinsi 4) Identifikasi nilai kearifan lokal yang dapat dikontribusikan bagi penyelesaian sengketa agraria. 5) Menyusun metode penyelesaian sengketa agrarian dengan mengeliminasi kelemahan yang ditemui, dengan mengintegrasikan teori serta kearifan lokal di masing-masing provinsi. 6) Penulisan manuskript artikel jurnal tentang urgensi kearifan lokal dalam penyelesaian sengketa agrarian. 48 | P a g e BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari penelitian Tahap I yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Konflik pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. 2. Berbagai konflik agraria muncul karena banyak faktor diakibatkan oleh: Pertama, tidak meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya agraria yang ada. Kedua, ekspansi wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih banyak terjadi di perkotaan. Ketiga, adalah adanya kegiatan ekonomi sebagian dari masyarakat. Tentu ini adalah kegiatan ekonomi yang dapat mengganggu masyarakat sekitarnya. Keempat, adanya kepadatan penduduk yang menuntut penyediaan lahan yang semakin luas. 3. Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan negara. Pada saat ini regulasi yang ada masih menunjukkan ada overlapping antara sektoral, lembaga yang mempunyai otoritas di bidang pengelolaan sumber daya agraria. B. Saran Atas kesimpulan di atas, dapat diajukan saran-saran sebagai solusi permasalahan yang ada: 1. Pembangunan semestinya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial dan kultural. Mengingat selama ini pertimbangan lebih pada aspek ekonomi. 2. Perlu adanya penataan regulasi di bidang sumber daya agraria, yang dapat menjadi acuan yang jelas di dalam pemecahan konflik yang terjadi. 49 | P a g e DAFTAR PUSTAKA Arizona, Yance. (2008). Mengintip Hak Ulayat dalam Konstitusi Indonesia,HUMA, Jakarta. Asrul Ibrahim Nur, Anatomi Konflik Sosial dalam, www.theindonesianinstitute.com. Diakses pada 17.Juli 2013 _______ (2009) Membangun Perdamaian; Panduan Pelatihan Mediasi dan Resolusi Konflik untuk Fasilitator.Buku 1. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2009) Membangun Perdamaian; Panduan Pelatihan Mediasi dan Resolusi Konflik untuk Fasilitator. Buku 2. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2009) Kepemimpinan Damai; Membangun Visi, Misi dan Strategi Perdamaian Berbasis Komunitas. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2010) Pedoman Teknis Penerapan Pembangunan Peka Konflik; Pengarusutamaan Perdamaian dalam Program Kerja Satuan Perangkat Pemerintah Daerah. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2010) Draft Panduan Perencanaan Pembangunan Peka Konflik untuk Legislatif. Banda Aceh: Ausaid-Logica-2. _______ (2011) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa: Panduan Perencanaan Berbasis Perdamaian. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2011) Modul Pelatihan Integrasi dan Harmonisasi Perencanaan Pembangunan. Banda Aceh: The World Bank. B. Ter Haar, Bzn.(1962.) Terjemahan Schiller, A.A. & E.A. Hoebel. Adat Law In Indonesia, Bharata. Jakarta. Bachriadi, Dianto dan Lucas. (2001). Anton, Merampas Tanah Rakyat,Kasus Tapos dan Cimacan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Badan Reintegrasi Damai Aceh, Bappenas, et.all (2010) The Multi-Stakeholder Review of Post Conflict Programming in Aceh, Aceh:Multi Donor Fund Baron, P., Clarck.S., Daud.M. (2005) Conflict and Recovery in Aceh: An Assessment of Conflict Dynamics and Options for Supporting the Peace Process. Jakarta: WorldBank. Baron, P., Diprose. R. and Woolcock.M. (2006) Local Conflict and Community Development in Indonesia: Assesing the Impact of The Kecamatan Development Program. Jakarta: Decentralization Support Facility. Buku Pegangan 2010 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Jakarta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Burke, A and Afnan., (2005) Aceh: Reconstruction in a Conflict Environment: View from Civil Society, Donors and NGOs. Jakarta: Decentralization Support Facility. CDA Collaborative Learning Project (2004) The Do No Harm Handbook;The Framework for Analyzing the Impact of Assistance on Conflict. Cambridge. Departemen Dalam Negeri (2008) Petunjuk Teknis Operasional PNPM-Generasi Sehat dan Cerdas (Versi B). Jakarta: Tim Koordinasi Pusat PNPM PPK. Departemen Dalam Negeri-Lembaga Administrasi Negara (2007) Pedoman Umum Formulasi 50 | P a g e Fauzi, Noer. (2003). Bersaksi untuk Pembaharuan Agraria, dari Tuntutan Lokal hingga Kecenderungan Global, Insist Press, Yogyakarta. Feryry Ardhi, Sejarah Konflik Peralihan Fungsi Lahan PTPN II Menjadi Lahan Pertanian Masyarakat (Studi Kasus di Desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang). Universitas Sumatera Utara, 2009. Dalam http://repository.usu.ac.id Diakses pada 17.September 2013 Gaigals C, and Leonhardt M., (2001) Conflict-Sensitive Approaches to Development: A Review of Practice. International Alert, Saferworld and IDRC Ismail, Nurhasan. (2006). Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kalo, Syafruddin. (2004). ‘Di Bawah Cengkeraman Kapitalisme: Konflik Status Tanah Jaluran Antara Onderneming Dan Rakyat Penunggu Di Sumatra Timur Jaman Kolonial,’ USU Digital Library. Diakses 10 Maret 2012. Kalo, Syafruddin. (2004). ‘Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah Dan Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani Di Sumatera Timur: Pada Masa Kolonial Yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru Dan Reformasi,’ USU Digital Library. Diakses 1 Maret 2012. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-187/Kep/Bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Jakarta: Departemen Dalam Negeri. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-188/Kep/Bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/RPJMD). Jakarta: Departemen Dalam Negeri. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2011). Tahun Perampasan Tanah dan Kekerasan terhadap Rakyat, Laporan Akhir Tahun. Diakses dari www.kpa.or.id pada 20 Maret 2012. Krippendorff, Claus. (1991). Analisis Isi, Rajawali Pers. Jakarta Laderach. P, John., et.al (2007) Reflective Peace Building: A Planning, Monitoring, and Learning Toolkit. Laudjeng, Hedar dan HP, Arimbi. (1997). Bayang-Bayang Culturstelsel dan Domein Verklaring dalam Praktik Politik Agraria, WALHI. Jakarta Manan, Baqir. (1999). ‘Penelitian di Bidang Hukum,’ dalam, Jurnal Hukum Puslitbangkum No. Perdana : 1-1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, UNPAD, Bandung. Marzuki, Suparman, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, 2008., www. pusham.uii.ac.id Diakses pada 17.September 2013 Miall, Hugh. (2000) Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konlik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ministry of Home Affairs Republic Indonesia. (2005) Annual Report: Kecamatan Development Program. Jakarta: KDP National Scretariat and Management Consultant. Mohd. Jully Fuady, Mencari Formula Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan di Aceh.dalam http://www.lbhaceh.org/ Diakses pada 17.Juli 2013 Muhadjir, Noeng. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Rakesarasin, Yogyakarta. Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Bandung: Tarsito. 51 | P a g e Neufeldt, Reina et.all. (2002) Peace Building A Caritas Training Manual. Palazzo San Calisto: Caritas International. Noor, Aslan. (2003). ‘Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Azasi Manusia,’ Disertasi, Program Pasca Sarjana, Bandung. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. Peraturan Pemerintah No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Perencanaan Strategis (Formulasi of Strategic Planning). Jakarta: SCB-DP. Releigh Barlowe. (1978). Land Resource Economics: The Economics of Real Estate, Prentice-Hall Inc. New Jersey. Ridzuan Awang. (1994). Undang-undang Tanah Islam: Pendekatan Perbandingan. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur Salindeho, John. (1987). Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika. Jakarta. SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri 0008/M.PPN/01/2007/050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2007. Silalahi, M. Daud. (2001). Metodologi Penelitian Hukum Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi Interdisipliner, Lowencon Copy & Binding Centre. Bandung. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri (1995). Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sumpeno, W. (2004) Perencanaan Desa Terpadu; Panduan Perencanaan Berbasis Masyarakat. Jakarta: CRS Indonesia. Tajima, Y. (2004) Mobilizing for Violance; The escalation and Limitation of Identity Conflicts. The Case of Lampung-Indonesia. Jakarta: WorldBank. Tim Kajian (2006) Kajian Mengenai Kebutuhan Reintegrasi GAM: Meningkatkan Perdamaian melalui Program Pembangunan di Tingkat Masyarakat. Jakarta: WorldBank. Tim Koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) (2010). Panduan Teknis Integrasi. Jakarta: (TK) PNPM Mandiri Perdesaan. Undang-Undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Zakie, Mukmin. (2009). ‘Perlindungan Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Konstitusi,’ Jurnal Konstitusi, PSHK FH UII, Vol. II,No. 2. Hal. 119-139. Zakie, Mukmin.(2011). Undang-Undang Pengambilan Tanah Di Indonesia Dan Di Malaysia (Suatu Kajian Perbandingan), Desertasi Doktor Falsafah Fakulti Undang-Undang, Universiti Kebangsaan Malaysia. 52 | P a g e Zakie, Mukmin.(2012). ‘Tanah dan Potensi Konflik Tiada Akhir,’ Makalah disampaikan pada ” Pelatihan Penanganan Sengketa Agraria: Eksistensi Tanah Ulayat Di Wilayah Pertambangan, Kehutanan Dan Perkebunan Serta Potensi Konflik, Sengketa Dan Penyelesaian Permasalahannya. Diselenggarakan oleh Good Governance Support (GGS), All Seasons Hotel, Yogyakarta, 16- – 17 Maret 2012. 53 | P a g e 54 | P a g e PENANGANAN DAN PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI INDONESIA Oleh : Mukmin Zakie, SH.,M.Hum.,Ph.D I. PENDAHULUAN Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural politik dan ekologis. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya mempunyai nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan kultural. Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sebagai sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber produksi yang sangat dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang membutuhkannya. Perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya semakin tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah. Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana. Sengketa dan konflik pertanahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan  Disampaikan Dalam Focus Group Discussion, Penataan Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat: Solusi Penyelesaian Sengketa Agraria Berbasis Kearifan Lokal, pada 6 Desember 2013, di Ruang Sidang Pasca UII.  Penerima Hibah Bersaing Dikti Tahun Anggaran 2013 55 | P a g e solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan agraria yang mensejahterakan. II. KONFLIK PERTANAHAN 1. Pengertian. Konflik pertanahan dapat diartikan sebagai konflik yang lahir sebagai akibat adanya hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi. Istilah sengketa dan konflik pertanahan sering kali dipakai sebagai suatu padanan kata yang dianggap mempunyai makna yang sama. Akan tetapi sesungguhnya kedua istilah itu memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI memberi batasan mengenai sengketa, konflik maupun perkara pertanahan. Pasal 1 Peraturan Kepala BPN tersebut menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundangundangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional. a. Sengketa Pertanahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat. b. Konflik Pertanahan. Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio politis. c. Perkara Pertanahan. Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI. 2. Akar konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk diidentifikasi serta diinventarisasi guna mencari jalan keluar atau bentuk 56 | P a g e penyelesaian yang akan dilakukan. Akar permasalahan konflik pertanahan dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut : (1) konflik kepentingan, yaitu adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantif, kepentingan prosedural, maupun kepentingan psikologis, (2) konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku destruktif, kontrol perilaku sumberdaya yang tidak seimbang, (3) konflik nilai, karena perbedaan kriteria yang dipergunakan mengevaluasi gagasan/ perilaku, perbedaan gaya hidup, idiologi atau agama/kepercayaan, (4) konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan perilaku yang negatif, (5) konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap, informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan, interpretasi data yang berbea, dan perbedaan prosedur penilaian. Penyebab umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor hukum dan faktor non hukum. a. Faktor Hukum. Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan belakangan ini antara lain : 1) Tumpang tindih peraturan. UUPA sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria lainnya, dalam perjalanannya dibuat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya agraria tetapi tidak menempatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agraria. UUPA yang mulanya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan secara substansial bertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Transmigrasi dan lain-lain. 2) Tumpang tindih peradilan. Pada saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu konflik pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana dan peradilan tata usaha negara (TUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik disertai tindak pidana). b. Faktor Non Hukum. 1) Tumpang tindih penggunaan tanah. Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih fungsi. Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat timbul kepentingan yang berbeda. 2) Nilai ekonomis tanah tinggi. 57 | P a g e 3) Kesadaran masyarakat meningkat Adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun ikut berubah. Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi. 4) Tanah tetap, penduduk bertambah. Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan sekuatnya. 5) Kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin. 3. Tipologi Konflik Pertanahan. Tipologi konflik pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani. Tipologi konflik pertanahan yang ditangani Badan Pertanahan Nasional RI dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan), terdiri dari masalah yang berkaitan dengan : a. Penguasaan dan Pemilikan Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu; b. Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan anggapan tidak sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan; c. Batas atau letak bidang tanah, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas; d. Pengadaan Tanah, yaitu perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau nilai mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi; 58 | P a g e e. Tanah obyek Landreform, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai prosedur penegasan, status penguasaan dan pemilikan, proses penetapan ganti rugi, penentuan subyek obyek dan pembagian tanah obyek Landreform; f. Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir, yaitu perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan pemerintah untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang dilikwidasi; g. Tanah Ulayat, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang belum, akan tetapi dikuasai oleh pihak lain; h. Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu. Jika diamati secara seksama, apa yang pernah diidentifikasi oleh pengkaji pertanahan sebelumnya terkaait dengan sengketa agraria, dalam beberapa hal ada benarnya. Misalnya saja, Maria SW menegaskan bahwa berbagai konflik agraria diakibatkan oleh adanya penggarapan tanah yang menjadi areal kehutanan atau perkebunan oleh rakyat, adanya pelanggaran terhadaap ketentuan ladreform, adanya upaya penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan, serta, karena adanya berbagai masalah perdata. Mohd Jully Fuadi, (2013). Hal penting lain yang perlu dicatat dalam masalah karakteristik sengketa agraria ini adalah bahwa telah terjadi pergeseran pola antara masa pasca kemerdekaan hingga era Orde Baru. Pada pasca kemerdekaan sampai dengan era akhir 1960 an, sengketa biasanya terjadi pada di pedesaan antara petani penggarap dengan penguasa tanah. Sedangkan pada decade 1980 sampai dengan akhir Orde Baru sengketa terjadi antara pemilik tanah setempat melawan pemodal besar atau pemerintah. (Marzuki, 2008). Akan tetapi, berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa pada masa reformasi, sengketa berupa rakyat penggarap melawan pemerintah atau industry dengan posisi rakyat yang sangat menguat, dimana penjarahan tanah banyak terjadi. Di samping itu, dalam berbagai sengketa agraria, terdapat berbagai unsur yang acapkali terlibat di dalamnya, utamanya adalah: 4) Adanya aktor ekonomi, aktor politik ataupun aktor sosial yang kuat 5) Administrasi yang bermasalah, termasuk di dalamnya proses ajudikasi yang tidak tertata baik. 6) Melibatkan warga masyarakat yang sangat awam terhadaap hokum positif namun dalam realitanya sudah menguasai tanah tersebut dalam waktu lama, dan bahkan secara turun temurun. Dan segmen ini biasanya sebagai korban. (Fuadi, 2013). 59 | P a g e Adapun sebab yang lebih detail dari munculnya sengketa aagraria adalah factor-faktor sbb: Pertama, tidak meratanya distribusi pemanfaatan dari sumber daya agrarian yang ada. Kedua, ekspansi wilayah oleh suatu kelompok, dan ini lebih banyak terjadi di perkotaan. Ketiga, adalah adanya kegiatan ekonomi sebagian dari masyarakat. Tentu ini adalah kegiatan ekonomi yang dapat mengganggu masyarakat sekitarnya. Keempat, adanya kepadatan penduduk yang menuntut penyediaan lahan yang semakin luas.(Nurjaya, dalam Asrul, 2012) Dan jika dianalisa terkait posisi para pihak yang terliabat sengketa, maka ada konflik verikal dalam arti konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak yang berwenang, horizontal ialah konflik antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan konflik antara masyarakat melawan investor (Fuadi, 2013). III. PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN Berbagai penyelesaian konflik pertanahan cukup banyak ditawarkan baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi, tetapi dalam banyak hal hasilnya terasa kurang memuaskan. Bahkan penyelesaian melalui pengadilanpun terkadang dirasakan oleh masyarakat tidak memuaskan. Tidak sedikit mereka yang telah menduduki tanah selama bertahun-tahun ditolak gugatannya untuk mempertahankan hak atau mendapatkan hak karena adanya pihak lain yang menguasai tanah yang bersangkutan. Atau sebaliknya gugatan seseorang terhadap penguasaan tanah tertentu dikabulkan pengadilan walaupun bagi pihak yang menguasai tanah tidak cukup kuat atau gugatan kurang beralasan. Di Indonesia, konflik pertanahan yang ada diselesaikan melalui Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun dari sekian banyaknya kasus yang masuk ke badan peradilan tersebut, banyak yang diselesaikan dengan hasil yang kurang memuaskan, sehingga berkembanglah pandangan di masyarakat bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat tersebut tidak terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru yang dampaknya justru memperburuk kondisi yang ada. Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya dan pikiran/tenaga. Disamping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administrasi yang meliputinya membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. 60 | P a g e Dengan berjalannya waktu, penyelesaian konflik pertanahan melalui ADR secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk satu kedeputian, yaitu Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. BPN telah pula menerbitkan Keputusan Kepala BPN No. 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan yang telah diganti dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Dalam menjalakan tugasnya menyelesaikan konflik pertanahan, BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi. Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk menanganinya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua konflik pertanahan harus diselesaikan melalui pengadilan. Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik pertanahan. Dalam melaksanakan tugasnya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan berpedoman pada peraturan prundang-undangan yang berlaku, terutama Peraturan Kepala Badan Penanganan Kasus Pertanahan. IV. PENUTUP. Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan negara. Dalam kenyataan sehari-hari permasalahan tanah muncul dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Konflik pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Dapat dikatakan konflik di bidang pertanahan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk meningkat di dalam kompleksitas permasalahan maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang ekonomi, sosial dan politik. Konflik agraria juga memiliki berbagai pola, yang berbeda antara satu era dengan era lainnya. Pada pasca kemerdekaan sampai dengan era akhir 1960 an, sengketa biasanya terjadi pada di pedesaan antara petani penggarap dengan penguasa tanah. Sedangkan pada decade 1980 sampai dengan akhir Orde Baru sengketa terjadi antara pemilik tanah setempat melawan pemodal besar atau pemerintah. Akan tetapi, pada masa reformasi, sengketa berupa rakyat penggarap melawan pemerintah atau industry dengan posisi rakyat yang sangat menguat, dimana penjarahan tanah banyak terjadi. 61 | P a g e Salah satu alternatif penyelesaian konflik (tanah) adalah melalui upaya mediasi. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas. Karena prosesnya relatif sederhana, maka waktunya singkat dan biaya dapat ditekan. Sebagai suatu cara penyelesaian sengketa alternatif, mediasi mempunyai ciri-ciri yakni waktunya singkat, terstruktur, berorientasi kepada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peras serta para pihak secara aktif. Keberhasilan mediasi ditentukan itikad baik kedua belah pihak untuk bersama-sama menemukan jalan keluar yang disepakati. Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian, solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai kelebihan dari segi biaya, waktu, dan pikiran bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan, di samping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya membuat lembaga pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Dalam kerangka penyelesaian konflik pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI dengan Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan merupakan lembaga ADR penyelesaian konflik pertanahan yang dipandang mampu menghasilkan solusi yang mengarah pada win-win solution. Diluar dari pentingnya penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan yang harus segera dilaksanakan, yang tidak kalah penting adalah bagaimana untuk mencegah agar tidak terjadi konflik paling tidak mampu meminimalisir terjadinya konflik pertanahan. Sebagaimana yang diatur dalam Perka BPN RI Nomor 3 Tahun 2012, upaya untuk mencegah terjadinya konflik pertanahan antara lain dengan : (1) penertiban administrasi pertanahan, (2)tindakan proaktif untuk mencegah dan menangani potensi konflik, (3) penyuluhan hukum dan/atau sosialisasi program pertanahan, dan (4) pembinaan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. V. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, H., 2009, Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Mahkamah Agung Republik Indonesia. Anonim, 1960, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria. Anonim, 2011, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. 62 | P a g e Arizona, Yance. (2008). Mengintip Indonesia,HUMA, Jakarta. Hak Ulayat dalam Konstitusi Asmara, Galang, Dkk, 2010, Penyelesaian Konflik Pertanahan Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram. Asrul Ibrahim Nur, Anatomi Konflik Sosial dalam, www.theindonesianinstitute.com. Diakses pada 17.Juli 2013 _______ (2009) Membangun Perdamaian; Panduan Pelatihan Mediasi dan Resolusi Konflik untuk Fasilitator.Buku 1. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2009) Membangun Perdamaian; Panduan Pelatihan Mediasi dan Resolusi Konflik untuk Fasilitator. Buku 2. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2009) Kepemimpinan Damai; Membangun Visi, Misi dan Strategi Perdamaian Berbasis Komunitas. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2010) Pedoman Teknis Penerapan Pembangunan Peka Konflik; Pengarusutamaan Perdamaian dalam Program Kerja Satuan Perangkat Pemerintah Daerah. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2010) Draft Panduan Perencanaan Pembangunan Peka Konflik untuk Legislatif. Banda Aceh: Ausaid-Logica-2. _______ (2011) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa: Panduan Perencanaan Berbasis Perdamaian. Banda Aceh: The World Bank. _______ (2011) Modul Pelatihan Integrasi dan Harmonisasi Perencanaan Pembangunan. Banda Aceh: The World Bank. B. Ter Haar, Bzn.(1962.) Terjemahan Schiller, A.A. & E.A. Hoebel. Adat Law In Indonesia, Bharata. Jakarta. Bachriadi, Dianto dan Lucas. (2001). Anton, Merampas Tanah Rakyat,Kasus Tapos dan Cimacan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Badan Reintegrasi Damai Aceh, Bappenas, et.all (2010) The Multi-Stakeholder Review of Post Conflict Programming in Aceh, Aceh:Multi Donor Fund Baron, P., Clarck.S., Daud.M. (2005) Conflict and Recovery in Aceh: An Assessment of Conflict Dynamics and Options for Supporting the Peace Process. Jakarta: WorldBank. Baron, P., Diprose. R. and Woolcock.M. (2006) Local Conflict and Community Development in Indonesia: Assesing the Impact of The Kecamatan Development Program. Jakarta: Decentralization Support Facility. 63 | P a g e Buku Pegangan 2010 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah, Jakarta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Burke, A and Afnan., (2005) Aceh: Reconstruction in a Conflict Environment: View from Civil Society, Donors and NGOs. Jakarta: Decentralization Support Facility. CDA Collaborative Learning Project (2004) The Do No Harm Handbook;The Framework for Analyzing the Impact of Assistance on Conflict. Cambridge. Chomzah, Ali Achmad, 2002, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta. Departemen Dalam Negeri (2008) Petunjuk Teknis Operasional PNPM-Generasi Sehat dan Cerdas (Versi B). Jakarta: Tim Koordinasi Pusat PNPM PPK. Departemen Dalam Negeri-Lembaga Administrasi Negara (2007) Pedoman Umum Formulasi Disampaikan pada Diklat Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Dalam Negeri di Hotel Jayakarta,Tanggal 19 September 2012 Fauzi, Noer. (2003). Bersaksi untuk Pembaharuan Agraria, dari Tuntutan Lokal hingga Kecenderungan Global, Insist Press, Yogyakarta. Feryry Ardhi, Sejarah Konflik Peralihan Fungsi Lahan PTPN II Menjadi Lahan Pertanian Masyarakat (Studi Kasus di Desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang). Universitas Sumatera Utara, 2009. Dalam http://repository.usu.ac.id Diakses pada 17.September 2013 Gaigals C, and Leonhardt M., (2001) Conflict-Sensitive Approaches to Development: A Review of Practice. International Alert, Saferworld and IDRC Ismail, Nurhasan. (2006). Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kalo, Syafruddin. (2004). ‘Di Bawah Cengkeraman Kapitalisme: Konflik Status Tanah Jaluran Antara Onderneming Dan Rakyat Penunggu Di Sumatra Timur Jaman Kolonial,’ USU Digital Library. Diakses 10 Maret 2012. Kalo, Syafruddin. (2004). ‘Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah Dan Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani Di Sumatera Timur: Pada Masa Kolonial Yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru Dan Reformasi,’ USU Digital Library. Diakses 1 Maret 2012. 64 | P a g e Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-187/Kep/Bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Jakarta: Departemen Dalam Negeri. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-188/Kep/Bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/RPJMD). Jakarta: Departemen Dalam Negeri. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2011). Tahun Perampasan Tanah dan Kekerasan terhadap Rakyat, Laporan Akhir Tahun. Diakses dari www.kpa.or.id pada 20 Maret 2012. Krippendorff, Claus. (1991). Analisis Isi, Rajawali Pers. Jakarta Laderach. P, John., et.al (2007) Reflective Peace Building: A Planning, Monitoring, and Learning Toolkit. Laudjeng, Hedar dan HP, Arimbi. (1997). Bayang-Bayang Culturstelsel dan Domein Verklaring dalam Praktik Politik Agraria, WALHI. Jakarta Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta. Magister Teknik Geomatika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Manan, Baqir. (1999). ‘Penelitian di Bidang Hukum,’ dalam, Jurnal Hukum Puslitbangkum No. Perdana : 1-1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, UNPAD, Bandung. Marzuki, Suparman, 2008, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Marzuki, Suparman, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, 2008., www. pusham.uii.ac.id Diakses pada 17.September 2013 Miall, Hugh. (2000) Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konlik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ministry of Home Affairs Republic Indonesia. (2005) Annual Report: Kecamatan Development Program. Jakarta: KDP National Scretariat and Management Consultant. Mohd. Jully Fuady, Mencari Formula Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan di Aceh.dalam http://www.lbhaceh.org/ Diakses pada 17.Juli 2013 65 | P a g e Mudjiono, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan, Jurnal Hukum No.3 Vo. 14 Juli 2007, Yogyakarta. Muhadjir, Noeng. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Rakesarasin, Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Bandung: Tarsito. Neufeldt, Reina et.all. (2002) Peace Building A Caritas Training Manual. Palazzo San Calisto: Caritas International. Noor, Aslan. (2003). ‘Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Azasi Manusia,’ Disertasi, Program Pasca Sarjana, Bandung. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. Peraturan Pemerintah No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Perencanaan Strategis (Formulasi of Strategic Planning). Jakarta: SCB-DP. Releigh Barlowe. (1978). Land Resource Economics: The Economics of Real Estate, Prentice-Hall Inc. New Jersey. Ridzuan Awang. (1994). Undang-undang Tanah Islam: Pendekatan Perbandingan. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur Salindeho, John. (1987). Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika. Jakarta. Sarjita., 2009, Paradigma Moral Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta. SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri 0008/M.PPN/01/2007/050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2007. Silalahi, M. Daud. (2001). Metodologi Penelitian Hukum Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi Interdisipliner, Lowencon Copy & Binding Centre. Bandung. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri (1995). Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sumarjono, Maria SW., 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Kompas, Jakarta. 66 | P a g e Sumarjono, Maria SW., Ismail, Nurhasan., Isharyanto., 2008, Mediasi Sengketa Tanah Potensi penerapan Alternatif Penyelesain Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Kompas, Jakarta. Sumarto, 2010, Identifikasi Permasalahan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan Di Kabupaten Kendal, Paper Hukum Agraria, Sumpeno, W. (2004) Perencanaan Desa Terpadu; Panduan Perencanaan Berbasis Masyarakat. Jakarta: CRS Indonesia. Tajima, Y. (2004) Mobilizing for Violance; The escalation and Limitation of Identity Conflicts. The Case of Lampung-Indonesia. Jakarta: WorldBank. Tim Kajian (2006) Kajian Mengenai Kebutuhan Reintegrasi GAM: Meningkatkan Perdamaian melalui Program Pembangunan di Tingkat Masyarakat. Jakarta: WorldBank. Tim Koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) (2010). Panduan Teknis Integrasi. Jakarta: (TK) PNPM Mandiri Perdesaan. Undang-Undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Zakie, Mukmin. (2009). ‘Perlindungan Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Konstitusi,’ Jurnal Konstitusi, PSHK FH UII, Vol. II,No. 2. Hal. 119-139. Zakie, Mukmin.(2011). Undang-Undang Pengambilan Tanah Di Indonesia Dan Di Malaysia (Suatu Kajian Perbandingan), Desertasi Doktor Falsafah Fakulti Undang-Undang, Universiti Kebangsaan Malaysia. Zakie, Mukmin.(2012). ‘Tanah dan Potensi Konflik Tiada Akhir,’ Makalah disampaikan pada ” Pelatihan Penanganan Sengketa Agraria: Eksistensi Tanah Ulayat Di Wilayah Pertambangan, Kehutanan Dan Perkebunan Serta Potensi Konflik, Sengketa Dan Penyelesaian Permasalahannya. Diselenggarakan oleh Good Governance Support (GGS), All Seasons Hotel, Yogyakarta, 16– 17 Maret 2012. 67 | P a g e 68 | P a g e 69 | P a g e PENANGANAN DAN PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL Oleh : Mukmin Zakie, SH.,M.Hum.,Ph.D III.PENDAHULUAN Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural politik dan ekologis. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya mempunyai nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan kultural. Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sebagai sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber produksi yang sangat dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang membutuhkannya. Perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya semakin tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah. Karena itulah, tanah dan segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnya selalu menjadi ”ajang perebutan” berbagai kepentingan yang senantiasa menyertai kehidupan manusia. Tidak heran jika sejak zaman dahulu tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga memunculkan adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang dikandungnya. Disamping itu adanya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan terjadinya konflik pertanahan. Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana. Sengketa dan donflik pertanahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai 70 | P a g e kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan agraria yang mensejahterakan. IV. KONFLIK PERTANAHAN 1. Pengertian. Konflik pertanahan dapat diartikan sebagai konflik yang lahir sebagai akibat adanya hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi. Istilah sengketa dan konflik pertanahan sering Direktorat Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional RI 2012 3 kali dipakai sebagai suatu padanan kata yang dianggap mempunyai makna yang sama. Akan tetapi sesungguhnya kedua istilah itu memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI memberi batasan mengenai sengketa, konflik maupun perkara pertanahan. Pasal 1 Peraturan Kepala BPN tersebut menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundangundangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional. a. Sengketa Pertanahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat. b. Konflik Pertanahan. Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio politis. c. Perkara Pertanahan. Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI. 2. Akar konflik pertanahan. 71 | P a g e Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk diidentifikasi serta diinventarisasi guna mencari jalan keluar atau bentuk penyelesaian yang akan dilakukan. Akar permasalahan konflik pertanahan dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut : (1) konflik kepentingan, yaitu adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantif, kepentingan prosedural, maupun kepentingan psikologis, (2) konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku destruktif, kontrol perilaku sumberdaya yang tidak seimbang, (3) konflik nilai, karena perbedaan kriteria yang dipergunakan mengevaluasi gagasan/ perilaku, perbedaan gaya hidup, idiologi atau agama/kepercayaan, (4) konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan perilaku yang negatif, (5) konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap, informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan, interpretasi data yang berbea, dan perbedaan prosedur penilaian. Penyebab umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor hukum dan faktor non hukum. a. Faktor Hukum. Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan belakangan ini antara lain : 1) Tumpang tindih peraturan. UUPA sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria lainnya, dalam perjalanannya dibuat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya agraria tetapi tidak menempatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agraria. UUPA yang mulanya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan secara substansial bertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Transigrasi dan lain-lain. 2) Tumpang tindih peradilan. Pada saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu konflik pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana dan peradilan tata usaha negara (TUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik disertai tindak pidana). b. Faktor Non Hukum. 6) Tumpang tindih penggunaan tanah. Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih fungsi. 72 | P a g e Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat timbul kepentingan yang berbeda. 7) Nilai ekonomis tanah tinggi. 8) Kesadaran masyarakat meningkat Adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun ikut berubah. Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi. 9) Tanah tetap, penduduk bertambah. Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan sekuatnya. 10) Kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin. 3. Tipologi Konflik Pertanahan. Tipologi konflik pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani. Tipologi konflik pertanahan yang ditangani Badan Pertanahan Nasional RI dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan), terdiri dari masalah yang berkaitan dengan : i. Penguasaan dan Pemilikan Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu; j. Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan anggapan tidak sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan; k. Batas atau letak bidang tanah, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas; 73 | P a g e l. Pengadaan Tanah, yaitu perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau nilai mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi; m. Tanah obyek Landreform, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai prosedur penegasan, status penguasaan dan pemilikan, proses penetapan ganti rugi, penentuan subyek obyek dan pembagian tanah obyek Landreform; n. Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir, yaitu perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan pemerintah untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang dilikwidasi; o. Tanah Ulayat, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang belum, akan tetapi dikuasai oleh pihak lain; p. Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu. III. PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN Berbagai penyelesaian konflik pertanahan cukup banyak ditawarkan baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi, tetapi dalam banyak hal hasilnya terasa kurang memuaskan. Bahkan penyelesaian melalui pengadilanpun terkadang dirasakan oleh masyarakat tidak memuaskan. Tidak sedikit mereka yang telah menduduki tanah selama bertahun-tahun ditolak gugatannya untuk mempertahankan hak atau mendapatkan hak karena adanya pihak lain yang menguasai tanah yang bersangkutan. Atau sebaliknya gugatan seseorang terhadap penguasaan tanah tertentu dikabulkan pengadilan walaupun bagi pihak yang menguasai tanah tidak cukup kuat atau gugatan kurang beralasan. Di Indonesia, konflik pertanahan yang ada diselesaikan melalui Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun dari sekian banyaknya kasus yang masuk ke badan peradilan tersebut, banyak yang diselesaikan dengan hasil yang kurang memuaskan, sehingga berkembanglah pandangan di masyarakat bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat tersebut tidak terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru yang dampaknya justru memperburuk kondisi yang ada. Pola-pola penyelesaian konflik pertanahan di luar pengadilan yang dilakukan adalah : negosiasi, musyawarah mufakat dan mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik duduk bersama untuk mencari jalan terbaik dalam penyelesaian konflik dengan prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan (win-win solution), kedua pihak 74 | P a g e tidak ada yang merasa dirugikan. Musyawarah mufakat adalah lengkah lebih lanjut dari negosiasi. Jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan, maka langkah lebih lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan pihak lain selaku penengah. Hasil musyawarah tersebut selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan para saksi. Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya dan pikiran/tenaga. Disamping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administrasi yang meliputinya membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Upaya untuk win-win solution itu ditentukan oleh beberapa faktor : 1. Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh pihak-pihak yang memberikan hasil yang saling menguntungkan, dengan catatan bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak. 2. Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang lain. Dengan berjalannya waktu, penyelesaian konflik pertanahan melalui ADR secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk satu kedeputian, yaitu Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. BPN telah pula menerbitkan Keputusan Kepala BPN No. 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan yang telah diganti dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Dalam menjalakan tugasnya menyelesaikan konflik pertanahan, BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi. Pembentukan kedeputian tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk menanganinya. 75 | P a g e Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua konflik pertanahan harus diselesaikan melalui pengadilan. Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik pertanahan. Dalam melaksanakan tugasnya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan berpedoman pada peraturan prundang-undangan yang berlaku, terutama Peraturan Kepala Badan Penanganan Kasus Pertanahan. 1. Mekanisme penanganan dan penyelesaian konflik oleh BPN. Penanganan dan penyelesaian terhadap konflik pertanahan oleh BPN RI didasarkan pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang meliputi mekanisme pelayanan pengaduan dan informasi, pengkajian, penanganan, dan penyelesaian konflik pertanahan, serta bantuan hukum dan perlindungan hukum. a. Mekanisme Pengaduan. 1. Pelayanan pengaduan sengketa dan konflik pertanahan dilaksanakan dan dikoordinir oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Deputi V) di BPN RI, di Kantor Wilayah BPN Provinsi dilakukan oleh Kepala Bidang PPSKP dikoordinasi oleh Kakanwil, dan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dilakukan oleh Kepala Seksi SKP dikoordinasi oleh Kepala Kantor; 2. Pengaduan sengketa dan konflik pertanahan dapat diajukan secara lisan atau tertulis dan dapat disampaikan secara langsung ke Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah BPN, dan Kantor BPN RI, atau melalui www.bpn.go.id. Khusus melalui www.bpn.go.id harus ditindaklanjuti dengan pembuatan permohonan secara tertulis; 3. Pengaduan paling sedikit memuat identitas pengadu, obyek yang diperselisihkan, posisikasus (legal standing) dan maksud pengaduan, serta dilampiri foto copy identitas pengadu dan data dukung yang terkait dengan pengaduan; 4. Surat pengaduan yang telah diterima diteruskan ke satuan organisasi yang tugas dan fungsinya menangani sengketa dan konflik pertanahan. Surat pengaduan yang diterima dicatat dalam register dan diditribusikan kepada pelaksana dan/atau tim pengolah untuk mendapatkan penanganan. b. Pengkajian Konflik Pertanahan. Pengkajian konflik dilakukan dengan melakukan pengkajian akar dan riwayat koflik untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya dan potensi dampak dari terjadinya konflik. Pengkajian konflik pertanahan dilakukan dengan cara meneliti dan menganalisis data konflik yang terjadi. Hasil dari penelitian dan analisa data dipergunakan untuk menentukan dan merumuskan pokok permasalahan atas terjadinya konflik. Terhadap pokok 76 | P a g e permasalahan konflik dilakukan telaahan hukum berdasarkan data yuridis, data fisik dan/atau data pendukung lainnya, yang hasilnya kemudian dilakukan kajian penerapan hukum yang selanjutnya menghasilkan rekomendasi penanganan konflik. c. Penanganan Konflik Pertanahan. Penanganan konflik pertanahan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta untuk memastikan tidak terdapat tumpang tindih pemanfaatan, tumpang tindih penggunaan, tumpang tindih penguasaan dan tumpang tindih pemilikan tanah, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bukti kepemilikan tanah bersifat tunggal untuk setiap bidang tanah yang diperselisihkan. Penanganan konflik pertanahan dilaksanakan secara komprehensif melalui kajian akar permasalahan, pencegahan dampak konflik, dan penyelesaian konflik. Penanganan sengketa dan konflik pertanahan dilakukan dengan : 1. Penelitian/pengolahan data pengaduan; yang meliputi : penelitian kelengkapan dan keabsahan data, pencocokan data yuridis dan data fisik serta data dukung lainnya, kajian kronologi sengketa dan konflik, dan analisis aspek yuridis, fisik dan administrasi. 2. Penelitian lapangan; meliputi penelitian keabsahan atau kesesuaian data dengan sumbernya, pencarian keterangan dari saksi-saksi terkait, peninjauan fisik tanah obyek yang disengketakan, penelitian batas tanah, gambar situasi, peta bidang, Surat Ukur, dan kegiatan lain yang diperlukan. 3. Penyelenggaraan Gelar Kasus; tujuannya antara lain untuk memetapkan rencana penyelesaian, memilih alternatif penyelesaian dan menetapka upaya hukum. Jenis gelar kasus terdiri dari : a) Gelar Internal, adalah gelar yang pesertanya dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan. Gelar Internal bertujuan : menghimpun masukan pendapat para petugas/ b) pejabat; mengidentifikasi sengketa dan konflik yang diperselisihkan; dan menyusun rencana penyelesaian. c) Gelar Eksternal, adalah gelar yang pesertanya dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan yang diikuti peserta dari unsur/instansi lainnya. Gelar Eksternal bertujuan : d) melengkapi keterangan dan pendapat dari internal dan eksternal Kantor BPN RI, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan agar pembahasan lebih komprehensif; mempertajam analisis kasus pertanahan; dan memilih alternatif penyelesaian e) Gelar Mediasi, adalah gelar yang menghadirkan para pihak yang berselisih untuk memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui 77 | P a g e musyawarah. Gelar Mediasi bertujuan : menampung informasi/pendapat dari semua pihak yang berselisih, dan f) pendapat dari unsur lain yang perlu dipertimbangkan; menjelaskan posisi hukum para pihak baik kelemahan/kekuatannya; memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui musyawarah; dan pemilihan penyelesaian kasus pertanahan. g) d) Gelar Istimewa, adalah gelar yang dilaksanakan oleh Tim Penyelesaian Kasus Pertanahan yang dibentuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Gelar Istimewa bertujuan : menyelesaikan kasus pertanahan yang sangat kompleks; menyelesaikan perbedaan keputusan mengenai penanganan kasus pertanahan antara pejabat BPN RI atau pejabat instansi lainnya; mengkoreksi keputusan Pejabat BPN RI yang bermasalah; dan menetapkan upaya hukum. 4. Penyusunan Risalah Pengolahan Data (RPD); merupakan dokumen resmi BPN RI yang menjadi bagian tidak terpisahkan dengan dokumen penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan, yang merupakan rangkuman hasil penanganan kasus/sengketa dan konflik pertanahan. Risalah Pengolahan Data disusun berdasarkan komitmen terhadap kebenaran, kejujuran dan prosedur, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 5. Penyiapan Berita Acara/Surat/Keputusan; 6. Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa. d. Penyelesaian Konflik Pertanahan. Dalam rangka membangun kepercayaan publik (trust building), salah satu yang dilakukan oleh BPN adalah melakukan percepatan penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pertanahan sebagaimana diamantkan dalam Tap MPR IX/MPR/2001 yang juga merupakan bagian dari 11 Agenda Prioritas BPN RI dengan berlandaskan 4 (4mpat) prinsip kebijakan pertanahan. Peyelesaian konflik pertanahan berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan terdiri dari : 1. Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan untuk melaksanakan putusan pengadilan; BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya, yaitu : - Terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan; - Terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan; - Terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara lain; - Alasan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 78 | P a g e 2. Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan di luar pengadilan; dapat berupa perbuatan hukum administrasi pertanahan meliputi : - Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi; - Pencatatan dalam Sertipikat dan/atau Buku Tanah serta Daftar Umum lainnya; dan - Penerbitan surat atau keputusan administrasi pertanahan lainnya karena terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya. Dalam melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertenahan, BPN RI menetapkan beberapa keriteria terhadap kasus pertanahan yang dinyatakan selesai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 72 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011, yaitu : a. Kriteria Satu (K-1) berupa penerbitan Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa; b. Kriteria Dua (K-2) berupa Penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah, atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan; c. Kriteria Tiga (K-3) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain yang disetujui oleh para pihak; d. Kriteria Empat (K-4) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan, karena tidak adanya kesepakatan untuk berdamai; e. Kriteria Lima (K-5) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain. f. Bantuan Hukum dan Perlindungan Hukum. Bantuan hukum dilaksanakan untuk kepentingan BPN RI atau aparatur BPN RI yang masih aktif atau sudah purna tugas yang menghadapi masalah hukum. Bantuan hukum meliputi pendampingan hukum dalam proses peradilan pidana, perdata atau tata usaha negara, pengkajian masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan BPN dan pengkajian masalah hukum akibat tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPN. 2. Strategi penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan. Agar penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan dapat diwujudkan dan agenda kebijakan BPN RI dapat dilaksanakan untuk mencapai sasaran strategis yang diinginkan, maka dirumuskan strategi sebagai berikut : 79 | P a g e a. Memantapkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan membangun standar mekanisme dan prosedur operasional pengkajian dan penanganan sengketa pertanahan; b. Mengintensifkan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan melalui mediasi dengan mendasarkan pada kajian akar permasalahan; c. Membangun sistem basis data dan sistem informasi kasus pertanahan yang valid guna mendukung percepatan penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan secara sistematis; d. Memprakarsai terwujudnya konsep strategis penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan dengan melibatkan pakar, akademisi serta Pengamat Agraria; e. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia di lingkungan Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. 3. Prinsip Win-win Solution. Badan Pertanahan Nasional RI sebagai lembaga yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan berkewajiban untuk menyelesaikan konflik pertanahan yang ada di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional dalam menyelesaikan setiap konflik pertanahan di Indonesia berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan mengedepankan prinsip win-win solution. Win-win Solutian adalah situasi di mana kedua belah pihak yang berselisih (berkonflik) sama-sama merasa diuntungkan dalam suatu transaksi atau kesepakatan dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. BPN sebagai mediator dan mencari jalan tengah yang mengakomodasi keadilan para pihak yang bersengketa. Dalam semangat win-win solution, penyelesaian sengketa tidak semata-mata didasarkan pada siapa yang memiliki sertifikat. Dalam banyak kasus, misalnya, seringkali penyelesaian sengketa mengabaikan eksistensi masyarakat lokal yang bertahun-tahun, dari generasi ke generasi telah menempati satu wilayah dan mengolah tanah di wilayah tersebut. Masyarakat kalah oleh investor yang baru datang dan memiliki sertifikat atas tanah di wilayah itu. Dalam konsep win-win solution, seandainya investor memiliki sertifikat hak milik, mereka tidak bisa langsung menang atas rakyat karena rakyat dilindungi oleh Pasal 33 UUD 1945, meskipun rakyat tersebut tidak memiliki sertifikat. Pasal 33 UUD 1945 menyiratkan bahwa rakyat memiliki hak atas tanah dan kekayaan alam di dalamnya. Konsep win-win solution adalah cara yang membuat derajat rakyat semakin tinggi karena rakyat dalam cara itu tidak dapat serta merta dikalahkan. Dengan konsep ini, rakyat harus mendayagunakan kemampuannya. BPN dalam hal ini hanya hanya mediator yang dituntut untuk independen, dan tidak berpihak pada kedua belah pihak. 80 | P a g e Namun penyelesaian konflik pertanahan dalam konsep win-win solution tergantung pada para pihak yang berkonflik. Win-win solution adalah upaya untuk mempermudah akomodasi dari beragam kepentingan yang bersengketa agar tidak jatuh konflik yang memakan korban dan merugikan kedua belah pihak. IV. PENUTUP. Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan negara. Dalam kenyataan sehari-hari permasalahan tanah muncul dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. konflik pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Dapat dikatakan konflik di bidang pertanahan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk meningkat di dalam kompleksitas permasalahan maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang ekonomi, sosial dan politik. Salah satu alternatif penyelesaian konflik (tanah) adalah melalui upaya mediasi. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas. Karena prosesnya relatif sederhana, maka waktunya singkat dan biaya dapat ditekan. Sebagai suatu cara penyelesaian sengketa alternatif, mediasi mempunyai ciri-ciri yakni waktunya singkat, terstruktur, berorientasi kepada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peras serta para pihak secara aktif. Keberhasilan mediasi ditentukan itikad baik kedua belah pihak untuk bersama-sama menemukan jalan keluar yang disepakati. Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian, solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai kelebihan dari segi biaya, waktu, dan pikiran bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan, di samping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya membuat lembaga pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Dalam kerangka penyelesaian konflik pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI dengan Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan merupakan lembaga ADR penyelesaian konflik pertanahan yang dipandang mampu menghasilkan solusi yang mengarah pada win-win solution. Diluar dari pentingnya penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan yang harus segera dilaksanakan, yang tidak kalah penting adalah bagaimana untuk mencegah agar tidak terjadi konflik paling tidak mampu meminimalisir terjadinya konflik pertanahan. Sebagaimana yang diatur dalam Perka BPN RI Nomor 3 Tahun 2012, upaya untuk mencegah terjadinya konflik pertanahan antara lain dengan : (1) penertiban administrasi pertanahan, (2)tindakan proaktif untuk 81 | P a g e mencegah dan menangani potensi konflik, (3) penyuluhan hukum dan/atau sosialisasi program pertanahan, dan (4) pembinaan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. V. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1960, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria. Anonim, 2011, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Abdurrahman, H., 2009, Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Mahkamah Agung Republik Indonesia. Asmara, Galang, Dkk, 2010, Penyelesaian Konflik Pertanahan Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram. Chomzah, Ali Achmad, 2002, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta. Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta. Marzuki, Suparman, 2008, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Mudjiono, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan, Jurnal Hukum No.3 Vo. 14 Juli 2007, Yogyakarta. Sarjita., 2009, Paradigma Moral Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta. Sumarjono, Maria SW., Ismail, Nurhasan., Isharyanto., 2008, Mediasi Sengketa Tanah Potensi penerapan Alternatif Penyelesain Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Kompas, Jakarta. Sumarjono, Maria SW., 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Kompas, Jakarta. Sumarto, 2010, Identifikasi Permasalahan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan Di Kabupaten Kendal, Paper Hukum Agraria, Magister Teknik Geomatika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Disampaikan pada Diklat Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Dalam Negeri di Hotel Jayakarta,Tanggal 19 September 2012 82 | P a g e 83 | P a g e 84 | P a g e 85 | P a g e