Tinjauan Imunologi Pneumonia pada Pasien Geriatri

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Imunologi Pneumonia
pada Pasien Geriatri
Rizki Maulidya Putri*, Helmia Hasan**
*PPDS Ilmu Penyakit Dalam, **Staf Pengajar
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia
ABSTRACT
Pneumonia menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Karakteristik pneumonia pada pasien geriatri adalah presentasi
klinisnya yang khas. Perubahan status imunologi akibat proses penuaan memberi konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru,
kemampuan untuk mengatasi penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi. Saat timus mengalami
involusi karena pengaruh usia, terjadi penurunan produksi sel T naif, perubahan fungsi sel T memori, pergeseran profil sitokin dari Th1 ke Th2.
Pada imunitas humoral terjadi penurunan jumlah sel B dan reseptornya, penurunan formasi germinal center, disfungsi generasi dari limfosit B
primer, gangguan produksi sel B memori, peningkatan autoantibodi. Manajemen penting pada pasien geriatri meliputi terapi antibiotik dan
pertimbangan perawatan di ICU, serta pencegahan episode ulangan.
Kata kunci: geriatri, imunologi, pneumonia
ABSTRAK
Pneumonia becomes one of the major health problems in the elderly. A characteristic of pneumonia in geriatric patients is its typical clinical
presentation. Immunological status changes due to the aging process to give an important consequence of the pulmonary functional reserve,
ability to cope with decreased lung compliance and increased airway resistance to infection. Thymus involution due to aging decreases naïve
T cells production, changes memory T cell function, shifts the cytokine profile from Th1 to Th2. In humoral immunity, there are decrease of B
cells and its receptors, decrease of germinal center formation, dysfunctional generation of primary B lymphocytes, impaired memory B cell
production, and increase of autoantibodies. Management includes antibiotic therapy and considerations for ICU treatment, and prevention of
further infection. Rizki Maulidya Putri, Helmia Hasan. Immunologic Aspects of Pneumonia in Geriatrics.
Key words: geriatric, immunology, pneumonia
PENDAHULUAN
Pneumonia dapat menjadi salah satu masalah
kesehatan utama pada geriatri. Proses
penuaan sistem organ (di antaranya sistem
respirasi, sistem imun, sistem pencernaan)
dan faktor komorbid banyak berperan
pada peningkatan frekuensi dan keparahan
pneumonia pasien geriatri. Karakteristik
dominan pneumonia pada pasien geriatri
adalah presentasi klinisnya yang khas, yaitu
jatuh dan bingung, sedangkan gejala klasik
pneumonia sering tidak didapatkan.1-5
Kelompok geriatri adalah semua orang yang
berusia 60 tahun atau lebih (WHO)6; yang
dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.7
Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia
Alamat korespondensi
14
masuk dalam lima besar penyebab kematian
terkait infeksi.8,9 Angka kejadian tahunan
pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan
mencapai 25–44 kasus per 1000 penduduk.1
Di Semarang, pasien geriatri yang menjalani
rawat inap karena pneumonia sebanyak
16,6%.4
Sejumlah faktor meningkatkan risiko infeksi
pada pasien geriatri; interaksi antara faktorfaktor risiko berupa komorbiditas, imunitas
yang melemah dan faktor usia sangat
kompleks.10 Perubahan anatomi fisiologi
akibat proses penuaan memberi konsekuensi
penting terhadap cadangan fungsional paru,
kemampuan untuk mengatasi penurunan
komplians paru dan peningkatan resistensi
saluran napas terhadap infeksi.1 Sekali
mikroorganisme patogen berada di alveolus,
akan dilepaskan mediator pro inflamasi
dan respons inflamasi terpicu sehingga
menimbulkan manifestasi klinis.3
DEFINISI
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, jamur, parasit), tidak
termasuk Mycobacterium tuberculosis.11
EPIDEMIOLOGI
Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia
masuk dalam lima besar penyebab kematian
terkait infeksi3,8. Angka kejadian tahunan
pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan
mencapai 25 – 44 kasus per 1000 penduduk1.
Angka rawat inap pasien geriatri mencapai
hampir lima kali lebih besar daripada pasien
dewasa muda12.
Studi retrospektif di
email: [email protected]
CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
RSUP Dr. Kariadi Semarang melaporkan
bahwa 16,6% pasien geriatri dirawat dengan
diagnosis pneumonia, masih di bawah angka
kasus tuberkulosis pada geriatri.4
PATOFISIOLOGI
Pertambahan usia, ditambah dengan faktor
lingkungan,
menyebabkan
perubahan
anatomi – fisiologi tubuh. Pada tingkat awal,
mungkin merupakan homeostasis normal,
kemudian berkelanjutan dan mengarah
pada reaksi adaptasi yang merupakan proses
homeostasis abnormal. Tahap paling akhir
terjadi kematian sel. Salah satu sistem organ
yang mengalami perubahan anatomi –
fisiologi adalah sistem pernapasan.4
Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi
pneumonia karena adanya gangguan refleks
muntah, melemahnya imunitas, gangguan
respons pengaturan suhu dan berbagai
derajat kelainan kardiopulmoner. Kelainan
sistem saraf pusat dan refleks muntah juga
turut berperan mengakibatkan pneumonia
aspirasi. Selain itu, kelainan kardiopulmoner
secara langsung mempengaruhi penurunan
fungsi jantung dan paru.13
Gangguan respons pengaturan suhu terkait
proses penuaan meliputi gangguan respons
simpatoneural - vasomotor yang terjadi
bersama gangguan produksi panas tubuh
dan gangguan persepsi suhu.14 Selain itu suhu
basal tubuh pada lanjut usia lebih rendah
dibanding pada dewasa muda.15
Sistem imunitas humoral tergantung pada
keutuhan fungsi limfosit B. Pasien geriatri
memiliki banyak gangguan sistemik yang
dapat mengganggu fungsi limfosit B
sehingga menurunkan produksi antibodi.
Gangguan ini juga menjadi faktor predisposisi
infeksi mikroorganisme patogen yang
merupakan penyebab umum pneumonia
bakterial.13 Sekali mikroorganisme patogen
berada di alveolus, mediator proinflamasi
akan dilepaskan dan respons inflamasi terpicu
sehingga menimbulkan manifestasi klinis.3
RESPONS IMUN PADA PNEUMONIA
Respons imun terhadap infeksi bakteri
Bakteri ekstraseluler dapat hidup dan
berkembang biak di luar sel pejamu, misalnya
pada sirkulasi, jaringan ikat, lumen saluran
napas dan saluran cerna. Penyakit yang
ditimbulkan oleh bakteri ekstraseluler dapat
CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014
berupa inflamasi yang menimbulkan destruksi
jaringan di tempat infeksi dengan membentuk
radang supuratif.17
Komponen imunitas alami yang utama
terhadap bakteri ekstraseluler adalah
komplemen, fagosit dan respons inflamasi.
Bakteri yang mengekspresikan manosa
pada permukaannya, dapat diikat lektin
yang homolog dengan C1q, sehingga
mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin,
meningkatkan opsonisasi dan fagositosis.
Produk dari aktivasi komplemen berperan
dalam mengerahkan dan mengaktifkan
leukosit. Fagosit yang teraktivasi melepaskan
sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit
ke tempat infeksi, menginduksi panas dan
sintesis acute phase protein.17
Antibodi merupakan komponen imunitas
humoral utama terhadap bakteri ekstraseluler
yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba
dan menetralkan toksinnya melalui berbagai
mekanisme. Sel T helper (Th) 2 memproduksi
sitokin yang merangsang respons sel B,
aktivasi makrofag dan inflamasi.17
Respons imun terhadap infeksi jamur
Resistensi alamiah terhadap jamur patogen
tergantung fagosit. Neutrofil merupakan sel
paling efektif, terutama terhadap kandida
dan aspergilus. Jamur merangsang produksi
sitokin, seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor
necrosing factor-α (TNF-α) yang meningkatkan
ekspresi molekul adhesi di endotel setempat
sehingga meningkatkan infiltrasi neutrofil
ke tempat infeksi. Makrofag merupakan
pertahanan pertama terhadap spora jamur
yang terhirup dengan membentuk granuloma
melalui aktivasi Th1. Natural killer cell (sel NK)
diaktivasi oleh TNF dan interferon-γ (IFN-γ)
untuk melepaskan granul yang mengandung
sitolisin yang dapat membunuh jamur.17
Sawar fisik kulit dan membran mukosa,
faktor kimiawi dalam serum dan sekresi
kulit berperan dalam imunitas alami. Efektor
utamanya adalah neutrofil dan makrofag.
Neutrofil diduga melepas bahan fungisidal
seperti reactive oxygen intermediate (ROI) dan
enzim lisosom.17
PERUBAHAN SISTEM IMUN DALAM
MEKANISME PERTAHANAN PARU PADA
GERIATRI
Studi pada subjek manusia sehat
menyimpulkan
bahwa
penambahan
usia membawa perubahan penting pada
respons imun alami dan adaptif, disebut
immunosenescence.
Konsekuensi
klinis
immunosenescence meliputi peningkatan
kerentanan terhadap infeksi, keganasan
dan
penyakit
autoimun,
penurunan
respons vaksinasi serta gangguan proses
penyembuhan luka pada pasien geriatric.18
Immunosenescence
karena
deregulasi
imunitas adalah proses yang sangat kompleks
dan perlu dipahami dengan baik. Proses
penuaan normal ditentukan secara genetik,
namun faktor eksternal dapat mempengaruhi
immunosenescence. Sistem imunitas tubuh
pada dewasa tua adalah hasil proses renovasi
berkelanjutan. Stres oksidatif diyakini menjadi
faktor utama percepatan penuaan melalui
peningkatan kecepatan pemendekan telomer
karena kerusakan DNA. Kerusakan tersebut
berupa kegagalan aktivitas enzim telomerase
untuk menambahkan urutan telomer ulangan
sampai akhir kromosom.19
Dampak proses penuaan terhadap
imunitas alami
Perubahan imunitas sistemik yang berkaitan
dengan usia lanjut dapat diamati dari
perubahan-perubahan pada imunitas alami
dan imunitas adaptif. Imunitas alami adalah
elemen kunci respons imun terdiri dari
beberapa komponen seluler seperti makrofag,
sel NK dan neutrofil yang menjadi pertahanan
lini pertama terhadap invasi mikroba patogen.
Fungsi sel-sel tersebut menurun sejalan
usia. Walaupun produksinya meningkat
pada pasien geriatri, kemampuan makrofag
mensekresi TNF yang merupakan sitokin proinflamasi utama telah berkurang.19
Studi pada manusia sehat telah menunjukkan
penurunan fungsi ekspresi toll-like receptors
(TLRs) yang terkait usia, mengakibatkan
penurunan produksi sitokin pro-inflamasi
dan kemokin serta deregulasi sistem imunitas
adaptif. Modulasi sistem imunitas alami, baik
dengan ligan TLRs atau produk aktivasi TLRs,
dapat meningkatkan ketahanan terhadap
penyakit, meningkatkan respons imun dan
meningkatkan efektivitas vaksinasi pada
orang tua.19,20
Proses penuaan meredam sel stroma
sumsum tulang untuk menyekresi (IL-7).
Interleukin-7 merupakan sitokin penting
15
TINJAUAN PUSTAKA
dalam mengembangkan limfosit. Interaksi
antara TLRs dan patogen menstimulasi sekresi
berbagai peptida antibakteri dan memicu
respons inflamasi melalui sekresi sitokin dan
kemokin. Ligan TLRs juga dapat meningkatkan
produksi IL-2. Akibat proses penuaan tersebut,
efikasi kemotaksis dan kegiatan fagositik
neutrofil menurun, mengurangi kemampuan
makrofag dan neutrofil untuk menghilangkan
mikroba dan menghancurkan sel-sel
kanker.19,20
timus total pada usia 70 tahun.19 Timus baru
akan berhenti menghasilkan sel T di sekitar
usia 105 tahun. Atrofi timus dan penurunan
timopoisis adalah proses aktif yang dimediasi
oleh sitokin timosupresi, terutama IL-6, faktor
penghambat leukemia (LIF) dan oncostatin M
(OSM). Produksi IL-7 yang diperlukan dalam
timopoisis untuk menjamin kelangsungan
hidup sel dengan mempertahankan protein
anti-apoptosis Bcl-2 secara signifikan
menurun.19
Proliferasi sel NK terutama terjadi di sumsum
tulang dari sel-sel progenitor yang sama
dengan limfosit T; kemampuan fungsional
penuh sel NK diperoleh setelah menjalani
proses pematangan serial sebelum dilepaskan
ke dalam sirkulasi. Kelangsungan hidup sel NK
dewasa bergantung pada sitokin, yaitu IL-15
melalui faktor anti-apoptosis Bcl-2. Sel NK juga
berperan dalam interaksi antara respons imun
alami dan adaptif.19,20 Tingkat produksi sel NK
turun menjadi setengahnya pada orang tua
karena gangguan respons IL-2. Pengurangan
fungsi dan dinamika sel NK yang dimediasi
aktivitas sitotoksik secara klinis relevan bila
dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi
dan kematian pasien geriatri.19,20
Atrofi kronis timus disebabkan oleh kekurangan
reseptor leptin dan progenitor sel T yang
bertambah tua. Leptin berperan sebagai zat
perlindungan terhadap bakteri endotoksin
yang mengawali proses atrofi. Sedangkan sel T
yang menua mengakibatkan produksi sitokin
timus menurun, seperti IL-1, IL-3, TGF-β, OSM
dan LIF yang berperan merangsang fase dini
hematopoiesis serta IL-6, IL-7 yang berperan
sebagai sitokin timosupresi. Selain usia, atrofi
timus dapat disebabkan karena kemoterapi,
radiasi pra transplantasi, syok septik, dan stres
akut.19
Perlindungan sawar fisik kulit-mukosa
terhadap mikroba yang tidak efektif,
termasuk kerusakan sistem imunitas lokal di
rongga mulut dan gusi, sistem kemih serta
gastrointestinal pada pasien geriatri adalah
tanda melemahnya imunitas alami.19
Penurunan imunitas diperantarai-sel
terkait usia
Produksi dan pemeliharaan beragam sel T
perifer sangat penting untuk fungsi normal
sistem kekebalan tubuh. Pada orang tua,
terjadi penurunan integritas keragaman
dan fungsional dari kedua subset sel T, yaitu
CD4+ dan CD8+, yang berkontribusi dalam
penurunan kemampuan merespons reinfeksi
secara adekuat. Perubahan CMI terkait usia
sangat tergantung pada fungsi timus.19 Saat
penuaan, timus mengalami involusi progresif
sehingga output sel-sel baru berkurang
signifikan sejak usia 40 tahun. Perubahan
morfologi dan fungsional berupa perluasan
ruang perivaskular (adiposit, limfosit perifer,
stroma) menyebabkan pergeseran rasio
ruang epitel timus yang sesungguhnya
dengan ruang perivaskular; ruang epitel
timus menyusut hingga <10% dari jaringan
16
Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan
penurunan sel T naif pada output timus
(CD45RA+, CD28+, CD26L) dan penurunan
konsentrasi dalam darah perifer dan kelenjar
getah bening selama masa penuaan.
Akibatnya, terjadi pergeseran rasio sel T
memori naif di perifer untuk mempertahankan
homeostasis sel T perifer. Sel memori Th1 pada
pasien geriatri menghasilkan lebih sedikit
IL-2 dibanding dewasa muda, sedangkan sel
memori Th2 menghasilkan jauh lebih sedikit
IL-4 dan IL-5.19
Penurunan CD4+ pada pasien geriatri juga
menurunkan CD40L, suatu ligan ko-stimulan
penting untuk interaksi antasa sel T dan sel
B, akibat defisiensi IL-2. Interaksi sel T – sel B
secara signifikan berperan pada penurunan
respons humoral terkait usia. Kemotaksis dan
fagositosis dapat terganggu pada orang tua.
Sel dendritik dewasa muda dan tua dilaporkan
sama baiknya dalam merangsang CD8+, tetapi
pada dewasa tua gagal merangsang CD4+
akibat perubahan jalur sinyal transduksi.19
Peningkatan kadar kolesterol yang umum
terjadi pada dewasa tua juga berperan
terhadap penurunan kemampuan T-cell
signaling akibat pengaruh usia. Kolesterol
tinggi diketahui dapat mempengaruhi
ketebalan lapisan lipid berupa berkurangnya
cairan plasma membran sel T dibanding pada
dewasa muda, mengakibatkan aktivasi sel T
terhambat.21
Dewasa tua mengalami penurunan kadar
tirosin kinase yang penting untuk stimulasi
sel T. Untuk membangun respons imun
yang adekuat, T cell receptor (TCR) harus
dijaga keberadaannya secara terus-menerus
pada populasi klon sel T yang beragam.
Keragaman TCR masih terjaga baik hingga
usia 60-65 tahun, meskipun telah terjadi
penurunan output timus; keragaman ini
sangat berkurang pada usia 75-80 tahun,
mengakibatkan rendahnya respons imun
dalam menghadapi infeksi dan vaksinasi.
Penurunan keragaman TCR naif berkaitan
dengan menurunnya kemampuan orang tua
untuk merespons antigen baru.19
Selain itu, pada pasien geriatri sekitar 10%
sel T mengekspresikan penanda penuaan
CD57, yaitu penanda terjadinya pemendekan
telomere pada setiap replikasi DNA (replication
senescence marker).19,22
Perubahan imunitas humoral pada
pasien geriatri
Sel induk hematopoetik menghasilkan
semua komponen seluler sistem kekebalan
tubuh, yaitu limfoid dan mieloid. Penurunan
kompartemen hematopoietik sumsum tulang
sejalan usia tidak mempengaruhi jumlah dan
kapasitas proliferasi sel induk hematopoesis.
Melalui proses maturasi normal, terjadi
pengelompokan tahap sel menjadi pro-B dan
pra-B. Pengelompokan ini dipengaruhi oleh
penurunan respons dalam pengembangan
sel B ke IL-7, penurunan rekombinasi V-DJ atau
rekombinasi somatik gen imunoglobulin (Ig),
penurunan ekspresi rantai ringan pengganti
λ5 dan penurunan aktivitas faktor transkripsi
E12 dan E47 yang menghasilkan perubahan
ekspresi rantai Ig berat.19
Kemampuan sel-sel sumsum tulang stroma
individu dewasa tua untuk mendukung
ekspansi sel B berkurang karena penurunan
produksi IL-7. Jumlah sel B perifer juga
berubah sesuai pertambahan usia, namun
masih diperdebatkan; beberapa melaporkan
adanya peningkatan signifikan sel B perifer,
yang lain menemukan penurunan dramatis
sel CD27+. Diseksi subset sel B baru-baru ini
mengungkapkan terjadi sedikit peningkatan
CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
sel memori CD27+, ditambah peningkatan
signifikan sel memori tanpa energi pada
down-regulation CD27 (CD27-) yang mengisi
ruang imunologi B pada orang tua. Reservoir
sel B naif mungkin menjadi salah satu faktor
yang berperan dalam menjaga pertahanan
melawan infeksi baru. Hilangnya sel B naif
merupakan ciri immunosenescence.19
Kualitas respons imun humoral menurun
sesuai usia. Perubahan ini ditandai dengan
respons antibodi yang lebih rendah dan
penurunan produksi antibodi berafinitas
tinggi. Penurunan proliferasi sel B karena usia
menurunkan aktivasi sel B dan membuat
defek pada afinitas reseptor dan sinyal
permukaan sel B. Sel Th CD4+ membantu
secara tidak adekuat di pusat-pusat germinal
dan menghasilkan antibodi berafinitas rendah
akibat penurunan pelepasan IL-2 dan IL-4.19
Sel B progenitor mengalami maturasi dan
diferensiasi dalam jaringan limfoid sekunder,
seperti limpa dan kelenjar getah bening.
Organ ini menyediakan struktur yang
sangat terorganisir untuk sel T dan sel B
dalam berinteraksi dengan satu sama lain
dan dengan antigen presenting cell (APC),
sel dendritik serta makrofag. Pengurangan
korteks limfosit seluler dan pusat germinal
karena pengaruh usia serta peningkatan
jaringan adiposa menurunkan kemampuan
menyediakan lingkungan yang tepat untuk
kelangsungan respons imun.19
Didapatkan peningkatan frekuensi sel B,
peningkatan CD4+ memori, peningkatan
ekspresi penanda penuaan p16INK4a pada sel
B dan CD8+, disertai penurunan jumlah sel Tδ,
CD4+ naif, CD8+, dan IgM yang memproduksi
sel B dalam kelenjar getah bening pasien
geriatri. Penempatan sel B imatur ke organ
limfoid sekunder telah terbukti menurunkan
kelangsungan hidup sel B, sehingga
mengurangi kemungkinan antigen akan
dikenali oleh sel B spesifik antigen dan
mungkin juga mengurangi timbunan sel B
naif. Hal ini menyebabkan hilangnya sel B naif
dan peningkatan sel memori pada dewasa
tua sehingga meredam kemampuan untuk
merespons antigen baru.19
Proses penuaan diduga berperan pada
pergeseran profil sitokin dari Th1 ke Th2
sebagai respons terhadap rangsangan
kekebalan tubuh. Kelebihan produksi
sitokin Th2 dapat meningkatkan gangguan
autoimun yang dimediasi sel B dengan
meningkatkan produksi antibodi autoreaktif.
Sel B naif folikuler yang menurun karena usia
dapat diaktifkan kembali berkaitan dengan
berkurangnya toleransi imun atau hilangnya
integritas jaringan yang mengarah pada
penyimpangan respons autoimun.19
Dengan penurunan imunitas humoral,
produksi antibodi berafinitas tinggi menjadi
rendah sehingga melemahkan respons
antibodi pasien geriatri.19
PENATALAKSANAAN PASIEN GERIATRI
DENGAN PNEUMONIA
Terapi antibiotik dan perawatan di ICU
Peranan antibiotik pada kasus end-of-life
pneumonia untuk memperbesar peluang
hidup masih belum jelas. Dalam sebuah
penelitian observasional, kematian terkait
pneumonia meningkat jika tanpa terapi
antibiotik. Namun, penelitian ini juga
menunjukkan bahwa penyakit ringan dengan
prognosis lebih baik cenderung merespons
terapi antibiotik lebih baik dibandingkan
dengan penyakit yang lebih parah.24 Studi lain
menunjukkan peningkatan ketahanan hidup
pasien Alzheimer yang diberi tambahan terapi
antibiotik dibandingkan perawatan paliatif
saja.25 Angka ketahanan hidup pasien geriatri
dengan end-of-life pneumonia tidak dapat
diperpanjang hanya dengan terapi antibiotik
saja.1
Namun usia saja tidak boleh digunakan
sebagai kriteria untuk pertimbangan
perawatan di ICU (intensive care unit), pasien
pneumonia dan penyakit terminal tentu tidak
serta merta dirawat di ICU. Demikian pula,
secara umum, pasien dengan komorbiditas
signifikan tidak harus dirawat di ICU bila
kecenderungan dapat bertahan rendah. Pada
pasien sangat tua dengan pneumonia tanpa
komorbiditas signifikan, ICU dapat menjadi
pilihan, tetapi hanya setelah pertimbangan
hati-hati dari semua aspek, khususnya hak
autonomi pasien.1
Gangguan fungsi hati dan ginjal
Pasien geriatri mempunyai beberapa
gangguan fungsi organ akibat proses penuaan
dan berbagai komorbiditas. Dokter wajib
memperhatikan dosis obat yang diberikan
dan interaksinya dengan obat lain.23
Pencegahan episode pneumonia
berulang
Pencegahan kekambuhan dapat dilakukan
dengan
mencegah
aspirasi;
dengan
memposisikan kepala pada sudut 45 derajat
ketika makan dan menerima makanan bubur.
Vaksinasi influenza dan pneumokokus terbukti
bermanfaat mencegah pneumonia pada
geriatri. Selain itu, pasien dianjurkan untuk
berhenti merokok.23
RINGKASAN
Pneumonia merupakan salah satu masalah
kesehatan utama pada geriatri. Karakteristik
dominan pneumonia pada pasien geriatri
adalah presentasi klinisnya yang khas. Pada
pasien geriatri terjadi banyak perubahan
akibat proses penuaan dan faktor komorbid.
Perubahan tersebut terdiri dari perubahan
anatomi, fisiologi dan imunologi. Imunitas
alami adalah elemen kunci respons imun
terdiri dari beberapa komponen seluler yang
menjadi pertahanan lini pertama terhadap
invasi mikroba patogen. Fungsi sel-sel tersebut
menurun sejalan usia. Kemampuan makrofag
dan neutrofil untuk menghilangkan mikroba
berkurang, tidak dapat menghancurkan selsel kanker; penurunan fungsi dan dinamika
sel NK dapat dikaitkan dengan peningkatan
risiko infeksi dan kematian pasien geriatri.
Manajemen penting pasien geriatri meliputi
terapi antibiotik dan perawatan di ICU,
waspadai penggunaan polifarmasi terhadap
gangguan sistem organ dan pencegahan
episode ulangan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Janssens JP, Krause KH. Pneumonia in the very old. Lancet Infect Dis 2004; 4(2): 112-24.
2.
Pink K, Hope-Gill B. Nonobstructive lung disease and thoracic tumors. In: Fillit HM, Rockwood K, Woodhouse K. Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed.
Saunders Elsevier, 2010; 50: 376-84.
3.
Marrie TJ. Pneumonia. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 126: 1531-45.
CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014
17
TINJAUAN PUSTAKA
4.
Rahmatullah P. Penyakit paru pada usia lanjut. Dalam: Martono H, Pranarka K. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edisi 4. Balai Penerbit FK UI, 2009; 466-73.
5.
Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M, Angrill J, Soler N. Community-acquired pneumonia in the elderly, clinical and nutritional aspects. Am J Respir Crit Care Med
1997: 156: 1908-1914.
6.
Pejčić T, Đorđević I, Stanković I, Borovac DN, Petković TR. Prognostic mortality factors of community-acquired pneumonia in the elderly. Acta Facultatis Medicae Naissensis 2011: 28(2):
71-76.
7.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut.
8.
Hoyert DL, Kung HC, Smith BL. Deaths preliminary data for 2003. Natl Vital Stat. Rep 2005; 53(15): 1-48.
9.
Loeb M. Pneumonia in older persons. Clinical Infectious Diseases 2003; 37: 1335-39.
10. High KP. Infection in elderly. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 124: 1507-15.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti, pedoman dan penatalaksanaan di Indonesia.. Balai Penerbit FK UI, 2003.
12. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: age- and sex-related patterns of care and
outcome in the United States. Am. J. Respir. Crit Care Med 2002; 165(6): 766-772.
13. Cunha BA. Pneumonia in the elderly. Clin Microbiol Infect 2001; 7: 581-88.
14. Frank SM, Raja SN, Bulcao C, Goldstein DS. Age-related thermoregulatory differences during core cooling in humans. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2000; 279: R349-R354.
15. Rosen S, Koretz B, Reuben DB. Presentation of disease in old age. In: Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed. Saunders Elsevier, 2010; 34: 205-210.
16. Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. Clinical Interventions in Aging 2006; I(3): 253-260.
17. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi infeksi. Dalam: Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar, ed 9. Balai Penerbit FK UI, 2010; 15: 399-449.
18. Busse PJ. Age-related changes in immune function: Effect on airway inflammation. J Allergy Clin Immunol 2010; 691-99.
19. Ongradi J, Kovesdi V. Factors that may impact on immunosenescence: appraisal. Immunity and Ageing 2010; 7: 7.
20. Meyer KC. Aging. Proc Am Thorac Soc 2005; 2: 433-39.
21. Fulop T, Le Page A, Garneau H, Azimi N, Baehl S, Dupuis G, Pawelec G, Larbi A. Aging, immunosenescence and membrane rafts: the lipid connection. Longevity & Healthspan, 2012; 1: 6.
22. Lee M, Shin MS, Kang I. T-cell biology in aging, with a focus on lung disease. J Gerontol A Bio Sci Med Sci, 2012; 67A(3): 254-263.
23. Marrie TJ. Community-acquired pneumonia in the elderly. Clinical Infectious Disease 2000; 31: 1066-78.
24. Van der Steen JT, Ooms ME, van der Wal G, Ribbe MW. Pneumonia: the demented patient’s best friend? Discomfort after starting or withholding antibiotic treatment. J Am Geriatr Soc
2002; 50: 1681-88.
25. Morrison RS, Siu AL. Survival in end-stage dementia following acute illness. JAMA 2000; 284: 47-52.
26. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: ageand sex-related patterns of care and
outcome in the United States. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 766–72.
27. Chelluri L, Grenvik A, Silverman M. Intensive care for critically ill elderly: mortality, costs, and quality of life. Review of the literature. Arch Intern Med 1995; 155: 1013–22.
18
CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014
Download