TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Imunologi Pneumonia pada Pasien Geriatri Rizki Maulidya Putri*, Helmia Hasan** *PPDS Ilmu Penyakit Dalam, **Staf Pengajar Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia ABSTRACT Pneumonia menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Karakteristik pneumonia pada pasien geriatri adalah presentasi klinisnya yang khas. Perubahan status imunologi akibat proses penuaan memberi konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru, kemampuan untuk mengatasi penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi. Saat timus mengalami involusi karena pengaruh usia, terjadi penurunan produksi sel T naif, perubahan fungsi sel T memori, pergeseran profil sitokin dari Th1 ke Th2. Pada imunitas humoral terjadi penurunan jumlah sel B dan reseptornya, penurunan formasi germinal center, disfungsi generasi dari limfosit B primer, gangguan produksi sel B memori, peningkatan autoantibodi. Manajemen penting pada pasien geriatri meliputi terapi antibiotik dan pertimbangan perawatan di ICU, serta pencegahan episode ulangan. Kata kunci: geriatri, imunologi, pneumonia ABSTRAK Pneumonia becomes one of the major health problems in the elderly. A characteristic of pneumonia in geriatric patients is its typical clinical presentation. Immunological status changes due to the aging process to give an important consequence of the pulmonary functional reserve, ability to cope with decreased lung compliance and increased airway resistance to infection. Thymus involution due to aging decreases naïve T cells production, changes memory T cell function, shifts the cytokine profile from Th1 to Th2. In humoral immunity, there are decrease of B cells and its receptors, decrease of germinal center formation, dysfunctional generation of primary B lymphocytes, impaired memory B cell production, and increase of autoantibodies. Management includes antibiotic therapy and considerations for ICU treatment, and prevention of further infection. Rizki Maulidya Putri, Helmia Hasan. Immunologic Aspects of Pneumonia in Geriatrics. Key words: geriatric, immunology, pneumonia PENDAHULUAN Pneumonia dapat menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Proses penuaan sistem organ (di antaranya sistem respirasi, sistem imun, sistem pencernaan) dan faktor komorbid banyak berperan pada peningkatan frekuensi dan keparahan pneumonia pasien geriatri. Karakteristik dominan pneumonia pada pasien geriatri adalah presentasi klinisnya yang khas, yaitu jatuh dan bingung, sedangkan gejala klasik pneumonia sering tidak didapatkan.1-5 Kelompok geriatri adalah semua orang yang berusia 60 tahun atau lebih (WHO)6; yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.7 Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia Alamat korespondensi 14 masuk dalam lima besar penyebab kematian terkait infeksi.8,9 Angka kejadian tahunan pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan mencapai 25–44 kasus per 1000 penduduk.1 Di Semarang, pasien geriatri yang menjalani rawat inap karena pneumonia sebanyak 16,6%.4 Sejumlah faktor meningkatkan risiko infeksi pada pasien geriatri; interaksi antara faktorfaktor risiko berupa komorbiditas, imunitas yang melemah dan faktor usia sangat kompleks.10 Perubahan anatomi fisiologi akibat proses penuaan memberi konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru, kemampuan untuk mengatasi penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi.1 Sekali mikroorganisme patogen berada di alveolus, akan dilepaskan mediator pro inflamasi dan respons inflamasi terpicu sehingga menimbulkan manifestasi klinis.3 DEFINISI Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur, parasit), tidak termasuk Mycobacterium tuberculosis.11 EPIDEMIOLOGI Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia masuk dalam lima besar penyebab kematian terkait infeksi3,8. Angka kejadian tahunan pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan mencapai 25 – 44 kasus per 1000 penduduk1. Angka rawat inap pasien geriatri mencapai hampir lima kali lebih besar daripada pasien dewasa muda12. Studi retrospektif di email: [email protected] CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014 TINJAUAN PUSTAKA RSUP Dr. Kariadi Semarang melaporkan bahwa 16,6% pasien geriatri dirawat dengan diagnosis pneumonia, masih di bawah angka kasus tuberkulosis pada geriatri.4 PATOFISIOLOGI Pertambahan usia, ditambah dengan faktor lingkungan, menyebabkan perubahan anatomi – fisiologi tubuh. Pada tingkat awal, mungkin merupakan homeostasis normal, kemudian berkelanjutan dan mengarah pada reaksi adaptasi yang merupakan proses homeostasis abnormal. Tahap paling akhir terjadi kematian sel. Salah satu sistem organ yang mengalami perubahan anatomi – fisiologi adalah sistem pernapasan.4 Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi pneumonia karena adanya gangguan refleks muntah, melemahnya imunitas, gangguan respons pengaturan suhu dan berbagai derajat kelainan kardiopulmoner. Kelainan sistem saraf pusat dan refleks muntah juga turut berperan mengakibatkan pneumonia aspirasi. Selain itu, kelainan kardiopulmoner secara langsung mempengaruhi penurunan fungsi jantung dan paru.13 Gangguan respons pengaturan suhu terkait proses penuaan meliputi gangguan respons simpatoneural - vasomotor yang terjadi bersama gangguan produksi panas tubuh dan gangguan persepsi suhu.14 Selain itu suhu basal tubuh pada lanjut usia lebih rendah dibanding pada dewasa muda.15 Sistem imunitas humoral tergantung pada keutuhan fungsi limfosit B. Pasien geriatri memiliki banyak gangguan sistemik yang dapat mengganggu fungsi limfosit B sehingga menurunkan produksi antibodi. Gangguan ini juga menjadi faktor predisposisi infeksi mikroorganisme patogen yang merupakan penyebab umum pneumonia bakterial.13 Sekali mikroorganisme patogen berada di alveolus, mediator proinflamasi akan dilepaskan dan respons inflamasi terpicu sehingga menimbulkan manifestasi klinis.3 RESPONS IMUN PADA PNEUMONIA Respons imun terhadap infeksi bakteri Bakteri ekstraseluler dapat hidup dan berkembang biak di luar sel pejamu, misalnya pada sirkulasi, jaringan ikat, lumen saluran napas dan saluran cerna. Penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri ekstraseluler dapat CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014 berupa inflamasi yang menimbulkan destruksi jaringan di tempat infeksi dengan membentuk radang supuratif.17 Komponen imunitas alami yang utama terhadap bakteri ekstraseluler adalah komplemen, fagosit dan respons inflamasi. Bakteri yang mengekspresikan manosa pada permukaannya, dapat diikat lektin yang homolog dengan C1q, sehingga mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin, meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Produk dari aktivasi komplemen berperan dalam mengerahkan dan mengaktifkan leukosit. Fagosit yang teraktivasi melepaskan sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit ke tempat infeksi, menginduksi panas dan sintesis acute phase protein.17 Antibodi merupakan komponen imunitas humoral utama terhadap bakteri ekstraseluler yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan menetralkan toksinnya melalui berbagai mekanisme. Sel T helper (Th) 2 memproduksi sitokin yang merangsang respons sel B, aktivasi makrofag dan inflamasi.17 Respons imun terhadap infeksi jamur Resistensi alamiah terhadap jamur patogen tergantung fagosit. Neutrofil merupakan sel paling efektif, terutama terhadap kandida dan aspergilus. Jamur merangsang produksi sitokin, seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosing factor-α (TNF-α) yang meningkatkan ekspresi molekul adhesi di endotel setempat sehingga meningkatkan infiltrasi neutrofil ke tempat infeksi. Makrofag merupakan pertahanan pertama terhadap spora jamur yang terhirup dengan membentuk granuloma melalui aktivasi Th1. Natural killer cell (sel NK) diaktivasi oleh TNF dan interferon-γ (IFN-γ) untuk melepaskan granul yang mengandung sitolisin yang dapat membunuh jamur.17 Sawar fisik kulit dan membran mukosa, faktor kimiawi dalam serum dan sekresi kulit berperan dalam imunitas alami. Efektor utamanya adalah neutrofil dan makrofag. Neutrofil diduga melepas bahan fungisidal seperti reactive oxygen intermediate (ROI) dan enzim lisosom.17 PERUBAHAN SISTEM IMUN DALAM MEKANISME PERTAHANAN PARU PADA GERIATRI Studi pada subjek manusia sehat menyimpulkan bahwa penambahan usia membawa perubahan penting pada respons imun alami dan adaptif, disebut immunosenescence. Konsekuensi klinis immunosenescence meliputi peningkatan kerentanan terhadap infeksi, keganasan dan penyakit autoimun, penurunan respons vaksinasi serta gangguan proses penyembuhan luka pada pasien geriatric.18 Immunosenescence karena deregulasi imunitas adalah proses yang sangat kompleks dan perlu dipahami dengan baik. Proses penuaan normal ditentukan secara genetik, namun faktor eksternal dapat mempengaruhi immunosenescence. Sistem imunitas tubuh pada dewasa tua adalah hasil proses renovasi berkelanjutan. Stres oksidatif diyakini menjadi faktor utama percepatan penuaan melalui peningkatan kecepatan pemendekan telomer karena kerusakan DNA. Kerusakan tersebut berupa kegagalan aktivitas enzim telomerase untuk menambahkan urutan telomer ulangan sampai akhir kromosom.19 Dampak proses penuaan terhadap imunitas alami Perubahan imunitas sistemik yang berkaitan dengan usia lanjut dapat diamati dari perubahan-perubahan pada imunitas alami dan imunitas adaptif. Imunitas alami adalah elemen kunci respons imun terdiri dari beberapa komponen seluler seperti makrofag, sel NK dan neutrofil yang menjadi pertahanan lini pertama terhadap invasi mikroba patogen. Fungsi sel-sel tersebut menurun sejalan usia. Walaupun produksinya meningkat pada pasien geriatri, kemampuan makrofag mensekresi TNF yang merupakan sitokin proinflamasi utama telah berkurang.19 Studi pada manusia sehat telah menunjukkan penurunan fungsi ekspresi toll-like receptors (TLRs) yang terkait usia, mengakibatkan penurunan produksi sitokin pro-inflamasi dan kemokin serta deregulasi sistem imunitas adaptif. Modulasi sistem imunitas alami, baik dengan ligan TLRs atau produk aktivasi TLRs, dapat meningkatkan ketahanan terhadap penyakit, meningkatkan respons imun dan meningkatkan efektivitas vaksinasi pada orang tua.19,20 Proses penuaan meredam sel stroma sumsum tulang untuk menyekresi (IL-7). Interleukin-7 merupakan sitokin penting 15 TINJAUAN PUSTAKA dalam mengembangkan limfosit. Interaksi antara TLRs dan patogen menstimulasi sekresi berbagai peptida antibakteri dan memicu respons inflamasi melalui sekresi sitokin dan kemokin. Ligan TLRs juga dapat meningkatkan produksi IL-2. Akibat proses penuaan tersebut, efikasi kemotaksis dan kegiatan fagositik neutrofil menurun, mengurangi kemampuan makrofag dan neutrofil untuk menghilangkan mikroba dan menghancurkan sel-sel kanker.19,20 timus total pada usia 70 tahun.19 Timus baru akan berhenti menghasilkan sel T di sekitar usia 105 tahun. Atrofi timus dan penurunan timopoisis adalah proses aktif yang dimediasi oleh sitokin timosupresi, terutama IL-6, faktor penghambat leukemia (LIF) dan oncostatin M (OSM). Produksi IL-7 yang diperlukan dalam timopoisis untuk menjamin kelangsungan hidup sel dengan mempertahankan protein anti-apoptosis Bcl-2 secara signifikan menurun.19 Proliferasi sel NK terutama terjadi di sumsum tulang dari sel-sel progenitor yang sama dengan limfosit T; kemampuan fungsional penuh sel NK diperoleh setelah menjalani proses pematangan serial sebelum dilepaskan ke dalam sirkulasi. Kelangsungan hidup sel NK dewasa bergantung pada sitokin, yaitu IL-15 melalui faktor anti-apoptosis Bcl-2. Sel NK juga berperan dalam interaksi antara respons imun alami dan adaptif.19,20 Tingkat produksi sel NK turun menjadi setengahnya pada orang tua karena gangguan respons IL-2. Pengurangan fungsi dan dinamika sel NK yang dimediasi aktivitas sitotoksik secara klinis relevan bila dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi dan kematian pasien geriatri.19,20 Atrofi kronis timus disebabkan oleh kekurangan reseptor leptin dan progenitor sel T yang bertambah tua. Leptin berperan sebagai zat perlindungan terhadap bakteri endotoksin yang mengawali proses atrofi. Sedangkan sel T yang menua mengakibatkan produksi sitokin timus menurun, seperti IL-1, IL-3, TGF-β, OSM dan LIF yang berperan merangsang fase dini hematopoiesis serta IL-6, IL-7 yang berperan sebagai sitokin timosupresi. Selain usia, atrofi timus dapat disebabkan karena kemoterapi, radiasi pra transplantasi, syok septik, dan stres akut.19 Perlindungan sawar fisik kulit-mukosa terhadap mikroba yang tidak efektif, termasuk kerusakan sistem imunitas lokal di rongga mulut dan gusi, sistem kemih serta gastrointestinal pada pasien geriatri adalah tanda melemahnya imunitas alami.19 Penurunan imunitas diperantarai-sel terkait usia Produksi dan pemeliharaan beragam sel T perifer sangat penting untuk fungsi normal sistem kekebalan tubuh. Pada orang tua, terjadi penurunan integritas keragaman dan fungsional dari kedua subset sel T, yaitu CD4+ dan CD8+, yang berkontribusi dalam penurunan kemampuan merespons reinfeksi secara adekuat. Perubahan CMI terkait usia sangat tergantung pada fungsi timus.19 Saat penuaan, timus mengalami involusi progresif sehingga output sel-sel baru berkurang signifikan sejak usia 40 tahun. Perubahan morfologi dan fungsional berupa perluasan ruang perivaskular (adiposit, limfosit perifer, stroma) menyebabkan pergeseran rasio ruang epitel timus yang sesungguhnya dengan ruang perivaskular; ruang epitel timus menyusut hingga <10% dari jaringan 16 Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan penurunan sel T naif pada output timus (CD45RA+, CD28+, CD26L) dan penurunan konsentrasi dalam darah perifer dan kelenjar getah bening selama masa penuaan. Akibatnya, terjadi pergeseran rasio sel T memori naif di perifer untuk mempertahankan homeostasis sel T perifer. Sel memori Th1 pada pasien geriatri menghasilkan lebih sedikit IL-2 dibanding dewasa muda, sedangkan sel memori Th2 menghasilkan jauh lebih sedikit IL-4 dan IL-5.19 Penurunan CD4+ pada pasien geriatri juga menurunkan CD40L, suatu ligan ko-stimulan penting untuk interaksi antasa sel T dan sel B, akibat defisiensi IL-2. Interaksi sel T – sel B secara signifikan berperan pada penurunan respons humoral terkait usia. Kemotaksis dan fagositosis dapat terganggu pada orang tua. Sel dendritik dewasa muda dan tua dilaporkan sama baiknya dalam merangsang CD8+, tetapi pada dewasa tua gagal merangsang CD4+ akibat perubahan jalur sinyal transduksi.19 Peningkatan kadar kolesterol yang umum terjadi pada dewasa tua juga berperan terhadap penurunan kemampuan T-cell signaling akibat pengaruh usia. Kolesterol tinggi diketahui dapat mempengaruhi ketebalan lapisan lipid berupa berkurangnya cairan plasma membran sel T dibanding pada dewasa muda, mengakibatkan aktivasi sel T terhambat.21 Dewasa tua mengalami penurunan kadar tirosin kinase yang penting untuk stimulasi sel T. Untuk membangun respons imun yang adekuat, T cell receptor (TCR) harus dijaga keberadaannya secara terus-menerus pada populasi klon sel T yang beragam. Keragaman TCR masih terjaga baik hingga usia 60-65 tahun, meskipun telah terjadi penurunan output timus; keragaman ini sangat berkurang pada usia 75-80 tahun, mengakibatkan rendahnya respons imun dalam menghadapi infeksi dan vaksinasi. Penurunan keragaman TCR naif berkaitan dengan menurunnya kemampuan orang tua untuk merespons antigen baru.19 Selain itu, pada pasien geriatri sekitar 10% sel T mengekspresikan penanda penuaan CD57, yaitu penanda terjadinya pemendekan telomere pada setiap replikasi DNA (replication senescence marker).19,22 Perubahan imunitas humoral pada pasien geriatri Sel induk hematopoetik menghasilkan semua komponen seluler sistem kekebalan tubuh, yaitu limfoid dan mieloid. Penurunan kompartemen hematopoietik sumsum tulang sejalan usia tidak mempengaruhi jumlah dan kapasitas proliferasi sel induk hematopoesis. Melalui proses maturasi normal, terjadi pengelompokan tahap sel menjadi pro-B dan pra-B. Pengelompokan ini dipengaruhi oleh penurunan respons dalam pengembangan sel B ke IL-7, penurunan rekombinasi V-DJ atau rekombinasi somatik gen imunoglobulin (Ig), penurunan ekspresi rantai ringan pengganti λ5 dan penurunan aktivitas faktor transkripsi E12 dan E47 yang menghasilkan perubahan ekspresi rantai Ig berat.19 Kemampuan sel-sel sumsum tulang stroma individu dewasa tua untuk mendukung ekspansi sel B berkurang karena penurunan produksi IL-7. Jumlah sel B perifer juga berubah sesuai pertambahan usia, namun masih diperdebatkan; beberapa melaporkan adanya peningkatan signifikan sel B perifer, yang lain menemukan penurunan dramatis sel CD27+. Diseksi subset sel B baru-baru ini mengungkapkan terjadi sedikit peningkatan CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014 TINJAUAN PUSTAKA sel memori CD27+, ditambah peningkatan signifikan sel memori tanpa energi pada down-regulation CD27 (CD27-) yang mengisi ruang imunologi B pada orang tua. Reservoir sel B naif mungkin menjadi salah satu faktor yang berperan dalam menjaga pertahanan melawan infeksi baru. Hilangnya sel B naif merupakan ciri immunosenescence.19 Kualitas respons imun humoral menurun sesuai usia. Perubahan ini ditandai dengan respons antibodi yang lebih rendah dan penurunan produksi antibodi berafinitas tinggi. Penurunan proliferasi sel B karena usia menurunkan aktivasi sel B dan membuat defek pada afinitas reseptor dan sinyal permukaan sel B. Sel Th CD4+ membantu secara tidak adekuat di pusat-pusat germinal dan menghasilkan antibodi berafinitas rendah akibat penurunan pelepasan IL-2 dan IL-4.19 Sel B progenitor mengalami maturasi dan diferensiasi dalam jaringan limfoid sekunder, seperti limpa dan kelenjar getah bening. Organ ini menyediakan struktur yang sangat terorganisir untuk sel T dan sel B dalam berinteraksi dengan satu sama lain dan dengan antigen presenting cell (APC), sel dendritik serta makrofag. Pengurangan korteks limfosit seluler dan pusat germinal karena pengaruh usia serta peningkatan jaringan adiposa menurunkan kemampuan menyediakan lingkungan yang tepat untuk kelangsungan respons imun.19 Didapatkan peningkatan frekuensi sel B, peningkatan CD4+ memori, peningkatan ekspresi penanda penuaan p16INK4a pada sel B dan CD8+, disertai penurunan jumlah sel Tδ, CD4+ naif, CD8+, dan IgM yang memproduksi sel B dalam kelenjar getah bening pasien geriatri. Penempatan sel B imatur ke organ limfoid sekunder telah terbukti menurunkan kelangsungan hidup sel B, sehingga mengurangi kemungkinan antigen akan dikenali oleh sel B spesifik antigen dan mungkin juga mengurangi timbunan sel B naif. Hal ini menyebabkan hilangnya sel B naif dan peningkatan sel memori pada dewasa tua sehingga meredam kemampuan untuk merespons antigen baru.19 Proses penuaan diduga berperan pada pergeseran profil sitokin dari Th1 ke Th2 sebagai respons terhadap rangsangan kekebalan tubuh. Kelebihan produksi sitokin Th2 dapat meningkatkan gangguan autoimun yang dimediasi sel B dengan meningkatkan produksi antibodi autoreaktif. Sel B naif folikuler yang menurun karena usia dapat diaktifkan kembali berkaitan dengan berkurangnya toleransi imun atau hilangnya integritas jaringan yang mengarah pada penyimpangan respons autoimun.19 Dengan penurunan imunitas humoral, produksi antibodi berafinitas tinggi menjadi rendah sehingga melemahkan respons antibodi pasien geriatri.19 PENATALAKSANAAN PASIEN GERIATRI DENGAN PNEUMONIA Terapi antibiotik dan perawatan di ICU Peranan antibiotik pada kasus end-of-life pneumonia untuk memperbesar peluang hidup masih belum jelas. Dalam sebuah penelitian observasional, kematian terkait pneumonia meningkat jika tanpa terapi antibiotik. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa penyakit ringan dengan prognosis lebih baik cenderung merespons terapi antibiotik lebih baik dibandingkan dengan penyakit yang lebih parah.24 Studi lain menunjukkan peningkatan ketahanan hidup pasien Alzheimer yang diberi tambahan terapi antibiotik dibandingkan perawatan paliatif saja.25 Angka ketahanan hidup pasien geriatri dengan end-of-life pneumonia tidak dapat diperpanjang hanya dengan terapi antibiotik saja.1 Namun usia saja tidak boleh digunakan sebagai kriteria untuk pertimbangan perawatan di ICU (intensive care unit), pasien pneumonia dan penyakit terminal tentu tidak serta merta dirawat di ICU. Demikian pula, secara umum, pasien dengan komorbiditas signifikan tidak harus dirawat di ICU bila kecenderungan dapat bertahan rendah. Pada pasien sangat tua dengan pneumonia tanpa komorbiditas signifikan, ICU dapat menjadi pilihan, tetapi hanya setelah pertimbangan hati-hati dari semua aspek, khususnya hak autonomi pasien.1 Gangguan fungsi hati dan ginjal Pasien geriatri mempunyai beberapa gangguan fungsi organ akibat proses penuaan dan berbagai komorbiditas. Dokter wajib memperhatikan dosis obat yang diberikan dan interaksinya dengan obat lain.23 Pencegahan episode pneumonia berulang Pencegahan kekambuhan dapat dilakukan dengan mencegah aspirasi; dengan memposisikan kepala pada sudut 45 derajat ketika makan dan menerima makanan bubur. Vaksinasi influenza dan pneumokokus terbukti bermanfaat mencegah pneumonia pada geriatri. Selain itu, pasien dianjurkan untuk berhenti merokok.23 RINGKASAN Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Karakteristik dominan pneumonia pada pasien geriatri adalah presentasi klinisnya yang khas. Pada pasien geriatri terjadi banyak perubahan akibat proses penuaan dan faktor komorbid. Perubahan tersebut terdiri dari perubahan anatomi, fisiologi dan imunologi. Imunitas alami adalah elemen kunci respons imun terdiri dari beberapa komponen seluler yang menjadi pertahanan lini pertama terhadap invasi mikroba patogen. Fungsi sel-sel tersebut menurun sejalan usia. Kemampuan makrofag dan neutrofil untuk menghilangkan mikroba berkurang, tidak dapat menghancurkan selsel kanker; penurunan fungsi dan dinamika sel NK dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi dan kematian pasien geriatri. Manajemen penting pasien geriatri meliputi terapi antibiotik dan perawatan di ICU, waspadai penggunaan polifarmasi terhadap gangguan sistem organ dan pencegahan episode ulangan. DAFTAR PUSTAKA 1. Janssens JP, Krause KH. Pneumonia in the very old. Lancet Infect Dis 2004; 4(2): 112-24. 2. Pink K, Hope-Gill B. Nonobstructive lung disease and thoracic tumors. In: Fillit HM, Rockwood K, Woodhouse K. Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed. Saunders Elsevier, 2010; 50: 376-84. 3. Marrie TJ. Pneumonia. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 126: 1531-45. CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014 17 TINJAUAN PUSTAKA 4. Rahmatullah P. Penyakit paru pada usia lanjut. Dalam: Martono H, Pranarka K. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edisi 4. Balai Penerbit FK UI, 2009; 466-73. 5. Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M, Angrill J, Soler N. Community-acquired pneumonia in the elderly, clinical and nutritional aspects. Am J Respir Crit Care Med 1997: 156: 1908-1914. 6. Pejčić T, Đorđević I, Stanković I, Borovac DN, Petković TR. Prognostic mortality factors of community-acquired pneumonia in the elderly. Acta Facultatis Medicae Naissensis 2011: 28(2): 71-76. 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut. 8. Hoyert DL, Kung HC, Smith BL. Deaths preliminary data for 2003. Natl Vital Stat. Rep 2005; 53(15): 1-48. 9. Loeb M. Pneumonia in older persons. Clinical Infectious Diseases 2003; 37: 1335-39. 10. High KP. Infection in elderly. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 124: 1507-15. 11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti, pedoman dan penatalaksanaan di Indonesia.. Balai Penerbit FK UI, 2003. 12. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: age- and sex-related patterns of care and outcome in the United States. Am. J. Respir. Crit Care Med 2002; 165(6): 766-772. 13. Cunha BA. Pneumonia in the elderly. Clin Microbiol Infect 2001; 7: 581-88. 14. Frank SM, Raja SN, Bulcao C, Goldstein DS. Age-related thermoregulatory differences during core cooling in humans. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2000; 279: R349-R354. 15. Rosen S, Koretz B, Reuben DB. Presentation of disease in old age. In: Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed. Saunders Elsevier, 2010; 34: 205-210. 16. Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. Clinical Interventions in Aging 2006; I(3): 253-260. 17. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi infeksi. Dalam: Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar, ed 9. Balai Penerbit FK UI, 2010; 15: 399-449. 18. Busse PJ. Age-related changes in immune function: Effect on airway inflammation. J Allergy Clin Immunol 2010; 691-99. 19. Ongradi J, Kovesdi V. Factors that may impact on immunosenescence: appraisal. Immunity and Ageing 2010; 7: 7. 20. Meyer KC. Aging. Proc Am Thorac Soc 2005; 2: 433-39. 21. Fulop T, Le Page A, Garneau H, Azimi N, Baehl S, Dupuis G, Pawelec G, Larbi A. Aging, immunosenescence and membrane rafts: the lipid connection. Longevity & Healthspan, 2012; 1: 6. 22. Lee M, Shin MS, Kang I. T-cell biology in aging, with a focus on lung disease. J Gerontol A Bio Sci Med Sci, 2012; 67A(3): 254-263. 23. Marrie TJ. Community-acquired pneumonia in the elderly. Clinical Infectious Disease 2000; 31: 1066-78. 24. Van der Steen JT, Ooms ME, van der Wal G, Ribbe MW. Pneumonia: the demented patient’s best friend? Discomfort after starting or withholding antibiotic treatment. J Am Geriatr Soc 2002; 50: 1681-88. 25. Morrison RS, Siu AL. Survival in end-stage dementia following acute illness. JAMA 2000; 284: 47-52. 26. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: ageand sex-related patterns of care and outcome in the United States. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 766–72. 27. Chelluri L, Grenvik A, Silverman M. Intensive care for critically ill elderly: mortality, costs, and quality of life. Review of the literature. Arch Intern Med 1995; 155: 1013–22. 18 CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014