BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan pada bab ini berusaha untuk mengambarkan secara menyeluruh bagaimana anak muda perantau suku Batak Toba menerapkan tradisi martarombo ketika bertemu dan berkenalan dengan sesama suku Batak di Yogyakarta. Pada dasarnya terdapat kerinduan yang sangat besar dari anak muda perantau suku Batak Toba terhadap kampung halamannya. Kerinduan ini diterapkan pada hubungan kekerabatan suku Batak dengan membentuk ikatan sosial antar sesama suku Batak di Yogyakarta. Ketika bertemu dengan suku Batak di Yogyakarta maka akan secara otomatis timbul perasaan akan satu suku, dengan demikian memunculkan keinginan untuk berkomunikasi lewat tradisi martarombo. Jika dibandingkan dengan dengan daerah Sumatera Utara yang menjadi asal tradisi martarombo, penerapan tradisi martarombo dalam komunikasi anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta ternyata mengalami sedikit pergeseran dalam penerapan dan fungsinya. Adanya pergeseran penerapan dan fungsi martarombo yang anak muda lakukan tidak lepas dari minimnya pengetahuan mereka akan adat dalihan na tolu sebagai kaidah tradisi martarombo. Penerapan tradisi martarombo oleh anak muda suku Batak Toba di Yogyakarta dibagi dalam dua jenis, yakni di luar perkumpulan suku Batak di Yogyakarta dengan di dalam perkumpulan suku Batak di Yogyakarta. Ketika tradisi martarombo diterapkan di luar perkumpulan suku Batak Toba di Yogyakarta maka tradisi martarombo berfungsi sebagai media perkenalan suku Batak. Hal ini dikarenakan ketika berkenalan di luar perkumpulan suku Batak, mayoritas duku Batak belum saling mengenal. Ketika martarombo dilakukan di 123 dalam kelompok perkumpulan suku Batak maka penerapan tradisi martarombo bukan untuk berkenalan tetapi bagaimana memanggil dan bersikap terhadap lawan bicara berdasarkan adat dalihan na tolo. Kondisi di dalam kelompok perkumpulan yang sudah saling mengenal tidak lagi membutuhkan tradisi martarombo sebagai media perkenalan. Pada dasarnya penerapan tradisi martarombo dalam komunikasi anak muda perantau suku Batak Toba dilakukan untuk membentuk kekerabatan dengan semua golongan suku Batak, yaitu hula-hula, dongan tubu, dan boru. Akan tetapi ketika anak muda suku Batak Toba menerapkan tradisi martarombo di Yogyakarta maka mereka cenderung lebih merasa terikat dengan teman semarga saja (dongan tubu). Komunikasi dengan teman semarga dirasa lebih bebas dan terbuka. Kondisi ini berbeda dengan marga-marga yang menjadi golongan hulahula dan boru. Pada saat berkomunikasi dengan hula-hula juga dirasa ada kedekatan akan tetapi tidak seperti dongan tubu. Golongan boru menjadi golongan yang paling tidak dekat dengan anak muda, bahkan sebagaian anak muda tidak memahami konsep dasar hubungan boru dalam dalihan na tolu. Ketika bertemu dengan golongan boru maka anak muda merasa biasa-biasa saja dan hanya berkomunikasi seadanya tanpa merasa ada ikatan yang kuat di antara mereka. Dengan demikian ketika anak muda perantau suku Batak Toba bertemu dengan sesama suku Batak di Yogyakarta maka komunikasi yang mereka lakukan akan lebih intens dan lebih dekat pada teman semarganya. Pada dasarnya antara hula-hula dan boru adalah suatu kebalikan. Ketika seorang individu suku Batak bertemu dengan marga yang manjadi hula-hula nya maka ia sendiri adalah boru dari pihak hula-hula tersebut. Sebaliknya ketika ia bertemu dengan marga yang manjadi boru nya maka ia adalah hula-hula dan boru tersebut. Akan tetapi dalam pelaksanaannya oleh anak muda di Yogyakarta hal ini hanya bersifat satu arah, artinya anak muda suku Batak hanya merasa 124 dekat dengan hula-hula nya. Ketika ia bertemu dengan marga yang menjadi boru nya maka ia merasa biasa-biasa saja. Selain terdapat pergeseran dalam penerapannya, fungsi martarombo juga mengalami pergeseran. Pergeseran tersebut dilihat dari bagaimana penerapan fungsi tradisi martarombo di Yogyakarta. Jika di kampung halaman tradisi martarombo berfungsi dalam setiap segi kehidupan masyarakat Batak Toba, maka di Yogyakarta fungsi tradisi martarombo lebih difokuskan pada pembentukan kekerabatan oleh anak muda perantau suku Batak Toba. Proses komunikasi yang membentuk tali kekerabatan ini sangat kuat hingga mampu membentuk komunitas suku Batak yang berbasis suku maupun marga di Yogyakarta. Kondisi ini sesuai dengan pandangan James W. Carey yang melihat komunikasi bukan sekedar pertukaran pesan tetapi suatu usaha untuk membangun komunitas (maintain community) sehingga memunculkan kelompok kehidupan (Carey dalam McQuails, 2002 : 38). Ada perasaan terikat yang sangat besar dengan sesama suku Batak ketika di Yogyakarta terutama dengan teman semarga. Perasaan demikian tidak terlalu dirasakan anak muda suku Batak ketika berada di kampung halaman. Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan maka diketahui bahwa pengetahuan anak muda perantau suku Batak Toba dalam memahami adat dalihan na tolu sebagai kaidah dasar tradisi martarombo masih sangat kurang. Ada kecenderungan bahwa tradisi martarombo yang diterapkan anak muda perantau suku Batak di Yogyakarta kurang mengikuti kaidah martarombo. Lemahnya pengetahuan anak muda suku Batak Toba terkait aturan dan nilai-nilai dalam menerapkan tradisi martarombo tidak lepas dari peran orangtua yang lebih membiarkan anaknya belajar sendiri dengan lingkungannya ketika di kampung halaman, khususnya daerah perkotaan (pembauran etnis) di Sumatera Utara. Dengan demikian anak muda suku Batak Toba kurang memiliki dasar yang kuat dalam menerapkan tradisi martarombo. 125 Kondisi ini tentu berbeda dengan anak muda suku Batak Toba yang berasal dari daerah pedesaan (mayoritas suku Batak) dan daerah bona pasogit yang terbiasa belajar sendiri karena setiap saat bertemu dengan orang Batak dan mempraktikkannya sendiri. Hal ini juga berdampak pada penerapan tradisi martarombo di Yogyakarta dimana anak muda suku Batak yang berasal dari daerah bona pasogit dan pedesaan lebih mengerti secara mendalam tentang tradisi martarombo. Pada saat bekomunikasi dengan suku Batak terutama terhadap orang tua maka anak muda akan cenderung bisa mengikuti gaya bicara orang tua suku Batak yang ada di Yogyakarta yang sering menggunakan istilahistilah martarombo secara lebih mendalam. Ada perbedaan ketika anak muda perantau suku Batak Toba martarombo dengan sesama suku Batak Toba yang sudah lahir dan besar di daerah perantauan. Anak muda yang sudah lahir dan besar di daerah perantauan memiliki pengetahuan martarombo yang kurang baik, mereka cenderung tidak memahami adat dalihan na tolu. Dengan kondisi ini biasanya mereka akan belajar dalam perkumpulan suku Batak (punguan) lewat teman-teman sesama anak muda maupun dari natuatua (orangtua). Ketika anak muda suku Batak Toba martarombo dengan sub suku Batak lainnya maka pola komunikasi yang mereka lakukan dalam ranah martarombo tidak banyak. Perbedaan istilah dalam konteks adat menjadikan ikatan yang mereka bentuk hanya sebatas teman sesama suku Batak saja. Pada dasarnya penerapan tradisi martarombo tidaklah direncanakan. Tradisi martarombo terjadi ketika ada pertemuan dan perkenalan dengan sesama suku Batak Toba pada saat tertentu. Tempat yang paling berpotensi untuk penerapan tradisi martarombo adalah perkumpulan suku Batak Toba, seperti perkumpulan marga, perkumpulan mahasiswa di kampus, perkumpulan anak muda gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), perkumpulan teman sata kampung, dan perkumpulan seluruh suku Batak di Yogyakarta. Dari semua perkumpulan 126 tersebut, perkumpulan marga adalah perkumpulan yang paling dekat sistem kekerabatannya karena terdiri dari anggota yang memiliki marga sama. Perkumpulan marga juga sebagai tempat yang paling sering digunakan anak muda untuk belajar tradisi martarombo karena adanya orangtua suku Batak yang mendampingi sekaligus menjadi pengganti orangtua di kampung halaman. Berkembangnya perangkat media juga akan berpengaruh kepada penerapan suatu budaya tertentu, termasuk tradisi martarombo. Selama ini dianggap penerapan tradisi martarombo hanya dilakukan jika bertemu secara langsung dengan sesama suku Batak. Akan tetapi seiring perkembangan teknologi komunikasi maka martarombo juga dilakukan di sosial media. Seluruh informan mangaku pernah memanfaatkan sosial media Facebook untuk martarombo. Penerapan tradisi martarombo dilaksanakan di Facebook karena anak muda suku Batak mencantumkan marganya pada nama Facebook sehingga memancing minat suku Batak yang lain untuk berkenalan dan membentuk kekerabatan. B. Kritik dan Saran Penelitian komunikasi dengan tema komunikasi sebagai ritual masih sangat jarang dilakukan. Sebagian besar penelitian komunikasi masih dilakukan dalam ranah media ataupun komunikasi praktis lainnya. Pembelajar komunikasi masih sedikit yang menaruh perhatiannya pada fenomena komunikasi dalam ranah seni dan budaya. Pada dasarnya fenomena komunikasi dalam ranah seni dan budaya sangat menarik karena dekat dengan kehidupan sehari-hari manusia. Dengan banyaknya penelitian yang meneliti komunikasi dalam ranah seni dan budaya akan membuat pembendaharaan kajian ilmu komunikasi, khususnya terhadap seni dan budaya lokal Indonesia. Skripsi ini hanyalah sebuah upaya mendeskripsikan penerapan tradisi martarombo dalam komunikasi anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta. Peneliti merasa penelitian ini masih sangat terbatas karena hanya 127 berfokus pada penerapan tradisi martarombo yang dilakukan oleh anak muda perantau suku Batak Toba yang aktif dalam perkumpulan suku Batak di Yogyakarta. Pada dasarnya suku Batak adalah suku yang sangat besar dengan memiliki enam sub suku. Masing-masing suku ini memiliki bahasa dan tradisi sendiri. Bahkan terdapat perbedaan masing-masing sub suku dalam menerapkan tradisi martarombo. Dengan kondisi ini peneliti berharap penelitian komunikasi mengenai tradisi martarombo dalam suku Batak bisa dikembangkan lebih lanjut. Dengan demikian cara berkomunikasi suku Batak tersebut memiliki kajian yang bisa dimanfaatkan untuk mempertahankan nilai-nilai tradisinya. Peneliti melihat bahwa aktivitas komunikasi sebagai seni dan ritual telah berkembang pada penggunaan teknologi komunikasi. Salah satunya adalah tradisi martarombo yang juga sudah diterapkan dengan menggunakan social media Facebook. Peneliti mengahui bahwa penelitian ini belum mengupas secara mandalam mengenai penggunaan social media dalam tradisi martarombo. Hal ini dikarenakan fokus penelitian ini bukanlah pada medianya akan tetapi pada anak muda suku Batak. Dengan kondisi ini peneliti berharap akan adanya penelitian lanjutan untuk mengupas tradisi martarombo dalam social media sehingga nantinya kajian tradisi martarombo yang termasuk pada ranah ilmu komunikasi akan semakin berkembang. 128