KORELASI ANTARA TINGKAT EKSPRESI PROTEIN S100 JARINGAN TUMOR DENGAN STADIUM KLINIS KARSINOMA NASOFARING WHO TIPE III Oleh Ismi Cahyadi 131421110505 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat Guna memperoleh Gelar Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015 KORELASI ANTARA TINGKAT EKSPRESI PROTEIN S100 JARINGAN TUMOR DENGAN STADIUM KLINIS KARSINOMA NASOFARING WHO TIPE III Oleh Ismi Cahyadi 131421110505 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat Guna memperoleh Gelar Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015 KORELASI ANTARA TINGKAT EKSPRESI PROTEIN S100 JARINGAN TUMOR DENGAN STADIUM KLINIS KARSINOMA NASOFARING WHO TIPE III Oleh Ismi Cahyadi 131421110505 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat Guna memperoleh Gelar Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal Seperti tertera di bawah ini Bandung, Desember 2015 Dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K) Ketua Tim Pembimbing Dr. Yussy A Dewi, MKes, Sp.THT-KL(K),FICS Anggota Tim Pembimbing ii LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN TESIS PPDS TANGGAL SIDANG TESIS : 7 Desember 2015 NAMA : Ismi Cahyadi NPM : 131421110505 JUDUL : KORELASI ANTARA TINGKAT EKSPRESI PROTEIN S100 JARINGAN TUMOR DENGAN STADIUM KLINIS KARSINOMA NASOFARING WHO TIPE III TELAH DIREVISI, DISETUJUI OLEH TIM PENGUJI/PEMBIMBING DAN DIPERKENANKAN UNTUK DIPERBANYAK/DICETAK NO 1. 2. NAMA Prof. Dr. M. Thaufiq S. Boesoirie, dr., SpTHTKL(K), MS Bambang Purwanto, dr., SpTHT-KL(K), MM 3. Melati Sudiro, dr., SpTHT-KL(K), M.Kes 4. Nur Akbar Aroeman, dr.,SpTHT-KL(K) 5. Yussy Afriani D., dr., MKes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS. TANDA TANGAN 1. 2. 3. 4. 5. Bandung, Desember 2015 Mengetahui, Nur Akbar Aroeman, dr.,SpTHT-KL(K) Ketua Tim Pembimbing iii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Karya tulis tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor). Baik di Universitas Padjadjaran maupun perguruan tinggi lain. 2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri tanpa bantuan pihak lain kecuali arahan tim pembimbing, dan masukan tim penelaah/tim penguji. 3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini. Bandung, Desember 2015 Yang membuat pernyataan: Ismi Cahyadi 131421110505 iv ABSTRAK Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas kepala dan leher yang berasal dari sel epitel nasofaring, predileksi paling sering pada fossa rosenmuler. Pada KNF dapat terjadi peningkatan mediator inflamasi salah satunya protein S100. Protein S100 memainkan peranan dalam proliferasi, apoptosis, dan metastase sehingga menyebabkan pertumbuhan sel kanker melalui aktivasi STAT3 oleh IL-6 dan NF-κB sehingga meningkatkan ROS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara tingkat ekspresi protein S100 jaringan tumor dengan stadium klinis KNF WHO tipe III. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan studi silang. Penelitian dilakukan dibagian Patologi Anatomi Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung mulai bulan Agustus sampai bulan Oktober 2015. Penelitian dilakukan menggunakan 29 buah data sekunder rekam medis dn blok parafin patologi anatomi penderita KNF yang dilakukan pemeriksaan imunohistokimia protein S100. Penelitian ini diikuti oleh 29 subjek (18 laki-laki dan 9 wanita) didapatkan hasil histoskor ekspresi protein S100 dengan stadium klinis adalah positif kuat diperoleh p = 0,000. Ekspresi protein S100 berhubungan bermakna terhadap stadium klinis KNF WHO tipe III dengan menggunakan analisis korelasi Spearman (r= 0,671 , p=0,000) Kesimpulan : terdapat korelasi antara tingkat ekspresi protein S100 jaringan tumor dengan stadium klinis karsinoma nasofaring WHO tipe III. Kata Kunci : Karsinoma nasofaring, protein S100, stadium klinis v ABSTRACT Nasopharyngeal carcinoma is head and neck cancer which originated from nasopharyngeal epithelial cell, predilection site commonly at rosenmuler fossa. In nasopharyngeal carcinoma there is increasing of inflammatory mediators, which one of them is S100 protein. S100 protein plays a central role in the proliferation, apoptosis and metastasis causing continuing growth of cancer cells through activation of STAT3 by IL-6, NF-κB, and increasing ROS. This study aimed to determine the correlation S100 protein expression levels of tumour tissue to clinical stage of NPC WHO type III. This research is a cross sectional analytic study. This study held in Anatomical Pathology Department of Hasan Sadikin Hospital from August until October 2015. The study was conducted using 29 pieces of secondary data, medical records and paraffin blocks anatomical pathology of NPC patients were examined S100 protein immunohistochemistry. This study was followed by 29 subjects (18 males and 9 females). There was strong positive correlation between histoscore S100 protein expression with clinical staging p=0,000. S100 protein expression significantly correlation with clinical stage of NPC WHO type III using Spearman analysis (r=0,671, p = 0.000) Conclusion: there was significant correlation S100 protein expression levels of tumour tissue to clinical stage nasopharyngeal carcinoma WHO type III. Keywords: Nasopharyngeal carcinoma, S100 protein, clinical staging vi vii KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah, lindungan, dan kasih sayang kepada hamba-Nya ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokBedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung. Judul tesis dipilih karena insidensi karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan kepala leher terbanyak. Sebagian besar penderita yang datang sudah dalam stadium lanjut, dikarenakan gejala dini yang tidak khas dan lokasi nasofaring yang tersembunyi. Diagnosis dengan stadium klinis yang tepat menentukan keberhasilan penatalaksanaan. Penelitian serologi KNF cukup banyak, protein S100 merupakan penanda proses inflamasi menjadi keganasan. Inflamasi pada KNF disebabkan karena faktor infeksi dari EBV dan juga faktor lingkungan sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan yang berguna bagi dunia kedokteran, khususnya sejawat dokter spesialis Ilmu Kesehatan THT-KL. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dukungan, bantuan, dorongan semangat, serta sumbangan pikiran dari banyak pihak, maka tesis ini tidak mungkin vii viii dapat diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada: • Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA sebagai Rektor terdahulu dan Prof. DR. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad sebagai Rektor Universitas Padjadjaran saat ini beserta para pembantu rektor, penulis mengucapkan terima kasih atas memberikan kesempatan untuk menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini. • Arief Syamsulaksan Kartasasmita, dr., Sp.M(K)., Mkes., MM., PhD sebagai Dekan Fakultas Kedokteran saat ini beserta para pembantu dekan, Prof. DR. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad sebagai dekan terdahulu, penulis mengucapkan terima kasih atas memberikan kesempatan untuk menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini. • Dr. Dwi Prasetyo, dr.,SpA(K) sebagai Ketua Tim Koordinasi Program Pendidikan Dokter Spesialis I yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis kepada penulis. • Ayi Djembarsari, dr., MARS dan seluruh staf RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan Bayu Wahyudi, dr., SpOG, MPHM sebagai Direktur Utama yang terdahulu yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar dan bekerja di lingkungan rumah sakit ini. • Dr. Ratna Anggraeni A. dr., M. Kes., Sp.THT-KL(K) sebagai Kepala Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan ix Dokter Spesialis, memberikan bimbingan, dorongan, nasihat, serta petunjuk sejak penulis memulai pendidikan hingga penyelesaian tesis ini. • Prof. Dr. Iwin Sumarman, dr., Sp.THT-KL(KAI-KRn), sebagai guru besar di bagian THT-KL FK UNPAD, terima kasih atas semua bimbingan, nasihat, dorongan, dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dokter spesialis ini. • Prof. Dr., M. Thaufiq S. Boesoirie, MS.,dr., Sp.THT-KL(K), sebagai guru besar di bagian THT-KL FK UNPAD, terima kasih atas semua bimbingan, nasihat, dorongan, dan serta petunjuk sejak penulis memulai pendidikan hingga penyelesaian tesis ini. • Prof. Teti Madiadipoera., dr.,Sp.THT-KL(KAI)., FAAAAI., sebagai guru besar di bagian THT-KL FK UNPAD, terima kasih atas semua bimbingan, nasihat, dorongan, dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dokter spesialis ini. • Bambang Purwanto, dr., MM., Sp.THT-KL(K) sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Spesialis I Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas Padjadjaran sebelumnya, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan spesialis ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya atas dukungan, dorongan, bimbingan, petunjuk, serta kesabaran kepada penulis sejak awal hingga penyelesaian tesis ini. x • Dr. Wijana, dr., Sp.THT-KL(K) sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Spesialis I Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas Padjadjaran saat ini yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan spesialis ini. • Nur Akbar Aroeman, dr., Sp.THT-KL(K) sebagai dosen wali dan pembimbing I PPDS yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dorongan, dan nasihat dengan penuh kesabaran dan perhatian kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. • Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.THT-KL(K).,FICS sebagai pembimbing II PPDS yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dorongan, dan nasihat dengan penuh kesabaran dan perhatian kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. • Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar lainnya di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, terima kasih kepada Dindy Samiadi, dr., MD., Sp.THT-KL(K), FAAOHNS, Tonny B Sarbini, dr.,SpTHT-KL(K), MKes, Bogie Soeseno, dr.,SpTHT-KL(K), Ongka Muhammad Saifuddin, dr., Sp.THTKL(K), Dr. Lina Lasminingrum, dr., Mkes,. Sp.THT-KL(K), Sinta Sari Ratunanda, dr., M.Kes., Sp.THT-KL(K), Melati Sudiro, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K), Arif Dermawan, dr., M.Kes., Sp.THT-KL(K), Denese MS Rully, dr., M.Kes., Sp.THTKL, Dr. Shinta Fitri Boesoirie, dr., M.Kes., Sp.THT-KL(K), Agung Dinasti xi Permana, dr., M.Kes., Sp.THT-KL dan Sally Mahdiani, dr., MKes., Sp.THT-KL atas kesempatan, bimbingan, pengajaran, dan dukungan selama mengikuti pendidikan. • Bethy S. Hernowo, dr., SpPA(K)., Phd., sebagai Kepala Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSHS, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan, dan bimbingan kepada penulis, atas diberikannya kesempatan melakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk penelitian ini sejak awal hingga penyelesaian tesis ini • Dr. Hadyana Sukandar, Drs., MSc, yang telah memberikan arahan dan petunjuk dalam pembuatan desain dan analisis statistik penelitian ini sehinggapenulis dapat menyelesaikan tesis ini. • Rekan seperjuangan dr M Faris Pasyah, dr Fritta Oktina Wijaya, dr Pahmi Budiman Saputra Baasyir, dr Muhammad Syah Mirza Sabirin, dr Deasy Z Madani, dr Evy Shavilla, terima kasih atas persaudaraan, kebersamaan, dukungan yang telah diberikan, semua waktu berbagi dalam senang dan susah selama melewati masa pendidikan ini. • Seluruh sejawat senior yang selama pendidikan telah memberikan bimbingan, teladan, dorongan semangat dan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja. xii • Seluruh teman-teman sejawat residen yang selama pendidikan ini telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, bekerja sama dan saling mendukung dalam kebersamaan. • Seluruh staf, perawat dan karyawan RS. Dr. Hasan Sadikin di Kana THT-KL, OK COT LT.3, OK COT LT.4 dan R. Pemulihan yang telah membantu dan bekerjasama dengan penulis selama pendidikan ini. • Seluruh staf pengajar dan karyawan RSUD Kota Bandung Ujung Berung, RS. Dustira dan RSUD Waled yang telah memberikan banyak kesempatan pada penulis untuk belajar, bekerja, dan mengabdikan ilmu selama penulis menjalankan pendidikan dokter spesialis ini. • Rasa hormat, cinta dan terima kasih setulus-tulusnya kepada Ayah dan Ibuku, H. Amad Alamsyah dan Hj Elli Carseli, serta mertuaku tercinta Bapak H. Achmad Hadiat dan Ibu Hj. Cucum Armini yang telah sangat berjasa mengantar penulis menjalani pendidikan Dokter Spesialis, begitu banyak doa tercurah, dorongan semangat, bantuan dan kasih saying yang diberikan. • Istriku tercinta Hani Andriani, dr yang senantiasa mendukung, mendampingi dalam suka dan duka, memberikan pengorbanan yang besar, perhatian, doa, semangat dan tempat keluh kesah segala kesulitan serta hambatan, tak cukup untaian kata untuk mengungkapkan rasa cinta dan terima kasih yang telah diberikan. xiii • Anak-anakku tercinta Putri Halwa Herhani dan Putri Zafira Herhani, terima kasih atas kebahagiaan yang telah kalian bawa kedalam kehidupan papih. Maafkan papih atas kurangnya waktu untuk bersama kalian. Semoga Halwa dan Fira menjadi anak-anak solehah sukses dunia akhirat. Amiin • Kepada kakakku, dan ipar tercinta yang selalu memberikan bantuan dan dorongan selama penulis menjalani pendidikan dan menyelesaikan tesis ini. • Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama pendidikan dokter spesialis dan penyusunan tesis ini. Semoga penelitian ini dicatat sebagai amal soleh dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin. Bandung, Desember 2015 Penulis DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………...... ii LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………………… iii LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………. iv ABSTRAK…………………………………………………………………… v ABSTRACT…………………………………………………………………. vi KATA PENGANTAR………………………………………………………. vii DAFTAR ISI………………………………………………………………….. xiv DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. xviii DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xix DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….. xx DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xxiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian..........………….………………… 1 1.2 Rumusan Masalah............………………………………….. 5 1.3 Tujuan Penelitian.................………………………………... 5 1.4 Kegunaan Penelitian…………………………………………. 5 1.4.1 Kegunaan Ilmiah.……………………………………… 5 1.4.2 Kegunaan Praktis..……………………………………….. 5 xiv xv BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 2.4 Kajian Pustaka....................................................................... 6 2.1.1 Karsinoma Nasofaring………………………………… 6 2.1.2 Anatomi Nasofaring........................................................... 8 2.1.3 Histopatologi................................................................ 9 2.1.4 Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring……………………. 13 2.1.4.1 Faktor Lingkungan……………………………… 13 2.1.4.2 Faktor Genetik…………………………………. 14 2.1.4.3 Infeksi Virus Epstein Barr……………………… 15 2.1.5 Stadium Klinis.............................................................. 18 2.1.6 Inflamasi dan Karsinogenesis…………………………… 20 2.1.7 Protein S100……………………………………………. 24 2.1.7.1 Fungsi Protein S100 pada Keganasan.………… 25 2.1.7.1.1 Diferensiasi sel………………………. 26 2.1.7.1.2 Proliferasi Sel………………………… 26 2.1.7.1.3 Biomarker pada Kanker……………… 31 Kerangka Pemikiran…………………………………………….. 32 2.5 Hipotesis……………………………………………………….. 36 BAB III SUBJEK, ALAT, DAN METODE PENELITIAN 3.1 Subjek dan Alat Penelitian……………………………………… 37 xvi 3.2 3.1.1 Subjek Penelitian………………………………………. 37 3.1.2 Kriteria Inklusi……..………………………………….. 37 3.1.3 Kriteria Eksklusi……………………………………….. 37 Bahan dan Alat yang Digunakan Penelitian............................. 37 3.2.1 37 Bahan Penelitian………………………………………… 3.2.2 Alat Penelitian………………………………………….. 38 3.3 Besar Sampel………..…………………………………………… 38 3.4 Metode Penelitian………………………………………………. 39 3.4.1 Rancangan Penelitian…………………………………… 39 3.4.2 Identifikasi Variabel……………………………………… 39 3.4.2.1 Variabel Penelitian……………………………… 39 3.4.2.2 Definisi Operasional…………………………… 39 3.4.2.3 Prosedur Pembuatan Pulasan Imunohistokimia Proten S100…………………………………….. 3.5 43 Alur Kerja dan Teknik Pengumpulan Data……………………. 45 3.5.1 Alur Kerja………………………………………………. 45 3.5.2 Teknik Pengumpulan Data……………………………… 45 3.6 Rancangan Analisis……………………………………………. 46 3.7 Waktu dan Tempat Penelitian………………………………… 46 3.8 Aspek Etik Penelitian…………………………………………... 46 xvii BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian………………………………………………… 47 4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian………………………… 47 4.1.2 Hasil Pemeriksaan Distribusi Protein S100 pada Penderita KNF WHO tipe III………………………………………... 48 4.1.3 Hasil Pemeriksaan Intensitas Protein S100 pada Penderita KNF WHO tipe III……………………………………… 49 4.1.4 Hasil Pemeriksaan Histoskor pada Penderita KNF WHO tipe III…………………………………………………….. 50 4.1.5 Hubungan antara ekspresi protein S100 dengan usia, jenis kelamin, dan stadium klinis…………………………….. 51 4.2 Pembahasan……………………………………………………. 52 4.3 Uji Hipotesis…………………………………………………… 63 BAB V SIMPULAN DAN SARAN………………………………………… 64 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 65 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Anatomi nasofaring………………………………………….. 8 Gambar 2.2 Histopatologi karsinoma sel skuamosa berkeratin................... 11 Gambar 2.3 Histopatologi karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin............. 12 Gambar 2.4 Histopatologi karsinoma tidak berdiferensiasi........................... 13 Gambar 2.5 Infeksi virus Epstein Barr pada pembawa virus yang sehat…… 17 Gambar 2.6 Inflamasi dan progresivitas tumor……………………………... 22 Gambar 2.7 Fungsi RAGE pada inflamasi dengan karsinogenesis………… 23 Gambar 2.8 Protein S100 pada sel kanker………………………………… 25 Gambar 2.9 Protein S100 pada kelangsungan hidup sel kanker, proliferasi atau apoptosis melalui interaksi dengan RAGE……………… 27 Gambar 2.10 Lingkungan mikro tumor……………………………………... 29 Gambar 2.11 Skema kerangka pemikiran…………………………………. 35 xviii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Stadium KNF…………………………………………………… 20 Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian………………………………… 47 Tabel 4.2 Korelasi antara Distribusi protein S100 dengan stadium KNF WHO tipe III ……………………………………………………. 48 Tabel 4.3 Korelasi antara Intensitas protein S100 dengan Stadium KNF WHO tipe III……………………………………………………. 49 Tabel 4.4 Korelasi antara Hasil Pemeriksaan Histoskor dengan Stadium KNF WHO tipe III……………………………………………… 50 Table 4.5 Korelasi antara ekspresi protein S100 usia, jenis kelamin, dan stadium klinis KNF WHO tipe III……………………………… xix 51 DAFTAR SINGKATAN Ab : Antibodi Ag : Antigen AJCC : American Joint Committee on Cancer BCL : B Cell Lymphoma CD4 : Cluster of Differentiation 4 CD8 : Cluster of Differentiation 8 CD21 : Cluster of Differentiation 21 CT scan : Computerized Tomographic Scaning DC : Dendritic Cell DNA : Dioxyribo Nucleid Acid EBNA : Epstein Barr Virus Nuclear Antigen EA : Early Antigen GP : Glikoprotein HIF-1α : Hypoxia-Inducible Factor-1α HLA : Human Leucocyte Antigen HMGB : High Mobility Group Box 1 Protein HPV : Human Papiloma Virus xx xxi Ig G : Imunoglobulin G Ig A : Imunoglobulin A IL : Interleukin IKK-β : inhibitor NF-κB(IκB)kinase-β KGB : Kelenjar Getah Bening KNF : Karsinoma Nasofaring LMP 1 : Latent Membrane Protein 1 MAPK : Mitogen-activated Protein Kinase MDSCs : Myeloid Derived Suppressor Cells MHC : Major Histocompability Antigen MMP : Matriks Metalloprotein MRI : Magnetic Resonance Imaging NDMA : Nitrosodimethyamine NPIP : Nitrospiperidine NPYR : N-nitrospyrolididene NF-κB : Nuclear Factor- Kappa B PI-3K : Phosphoinositide 3-Kinase RAGE : Reseptor Andvance Glycation End Product ROS : Reactive Oxygen Species xxii RSHS : Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin STAT3 : Signal Tranducer and Activator of Transcription 3 TAM : Tumor Asosiated Machrophag THT-KL : Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher TLR : Toll Like Reseptor TNF : Tumor Necrosis Factor TGF : Tumor Growth Factor UICC : Union International Center Cancer VEB : Virus Epstein Barr VCA : Viral Capsid Antigen VEGF : Vascular Endotelial Growth Factor WHO : World Health Organization DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Surat Keputusan Komite Etik Penelitian…………………. xxiv Tabel data hasil penelitian…………………………………. xxv Analisis Statistik…………………………………………… xxvi Riwayat Hidup………………………………………………. xxvii xxiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas berasal dari epitel permukaan nasofaring, yang merupakan tumor ganas terbanyak di daerah kepala dan leher.1 Angka kejadian KNF tertinggi ditemukan di Provinsi Guangdong China Selatan dengan frekuensi 100 kali lebih banyak dibanding ras Kaukasia yaitu sebanyak 27,2 per 100.000 penduduk pertahun. Di Amerika dan Eropa insidensi sangat jarang kurang dari 1 per 100.000 penduduk pertahun.1-3 Di Indonesia KNF berada pada urutan keempat dari seluruh keganasan dan diurutan pertama dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL). Insidensi KNF di Indonesia 6,7 per 100.000 penduduk per tahun dengan insidensi tertinggi dekade 4-5, perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2-3:1. Prevalensi KNF di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode tahun 20102014 adalah sebanyak 39,4%.3-5 Karsinoma nasofaring sampai saat ini masih sulit untuk didiagnosis karena letak nasofaring tersembunyi dan gejala klinis awal tidak khas. Sebagian besar penderita KNF datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher dengan stadium lanjut sehingga prognosisnya menjadi buruk.1-5 Karsinoma nasofaring berhubungan dengan infeksi Virus Epstein Barr (VEB) terutama pada KNF WHO tipe III.1-6 Infeksi oleh virus dan bakteri dapat 1 2 menyebabkan inflamasi kronis yang berkontribusi terhadap terjadinya keganasan. Pada keganasan terdapat tiga mekanisme yaitu fase inisiasi, promosi, dan progresi. Inflamasi dapat berhubungan dengan ketiga proses tersebut melalui jalur yang berbeda-beda. 6-7 Respons inflamasi mengakibatkan pengerahan mediator pro tumorgenik dan anti tumorgenik imunitas bawaan oleh imunitas dapatan. Proses tersebut dimediasi oleh beberapa mediator diantaranya leukosit, makrofag, sel dendritik, neutrofil, sel mast, dan sel T. Sel-sel tersebut direkrut oleh lingkungan sekitar tumor melalui interaksi sel stroma lokal dan sel tumor. Interaksi tersebut menyebabkan leukosit menghasilkan sitokin, faktor pertumbuhan, dan faktor angiogenik seperti tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan interleukin-8 (IL-8).8-9 Makrofag menjadi aktif oleh protein S100 yang berperan pada peningkatkan kemampuan perkembangan dan progresivitas tumor. Proses tersebut melalui interaksi jalur sinyal reseptor permukaan reseptor andvance glycation end product (RAGE) yang mengakibatkan aktivasi sinyal Mitogen-aktivated Protein Kinase (MAPK), nuclear Factor- Kappa B (NF-κB), dan phosphoinositide 3kinase (PI-3K)10-12 Protein S100 adalah suatu mediator inflamatori yang dikeluarkan karena infeksi atau inflamasi sebagai sinyal bahaya. Tingginya kadar protein S100 merupakan petanda adanya reaksi infeksi dan inflamasi berulang yang dapat ditemukan pada epitel tumor. Penelitian Tsuji pada tahun 2006, menyebutkan Infiltrasi limfosit pada KNF akan menyebabkan peningkatan protein S100 yang ditandai dengan distribusi sel-sel langerhans dan retikulum.10,11 3 Epitel nasofaring yang terinfeksi VEB memberikan respons peningkatan IL-6 yang melibatkan jalur aktivasi signal tranducer and activator of transcription 3 (STAT3) untuk mempromosikan faktor pertumbuhan dan invasif.8 Respons tersebut dimediasi oleh aktivitas granulosit yang terlibat pada proses terjadinya KNF oleh inflamasi. Protein S100 merupakan protein yang terdapat pada granulosit dan makrofag. Pada proses inflamasi terbentuk reactive oxygen species (ROS). Kadar ROS yang meningkat menyebabkan aktivasi faktor transkripsi seperti NF-κB. Nuclear Factor- Kappa B mempunyai peran dalam immortalitas sel. Peningkatan NF-κB diikuti dengan peningkatan IL-6 dan protein S100 menandakan terjadinya proses keganasan. Selain itu ROS juga akan merusak DNA sehingga mempromosikan proliferasi sel atau menekan apoptosis.13-16 Proses tersebut mengakibatkan terjadi ikatan yang longgar. Beberapa protein S100 terkena dampak proses tersebut, sehingga digunakan sebagai protein target spesifik. Pada proses metastasis KNF, protein S100 merupakan mediator p53 sebagai tumor supresor gen. Pada KNF ditemukan kadar p53 yang tinggi sesuai dengan stadiumnya, sehingga dapat memprediksikan peningkatan ekspresi protein S100 yang ditemukan di jaringan tumor dan KGB leher penderita KNF17. Pada penelitian Maletzki tahun 2012, ekspresi protein S100 didapat dari keberadaan sel langerhans pada karsinoma18. Sel langerhans dapat dideteksi tidak hanya pada epidermis namun juga pada epitel esofagus, tonsil, nasofaring, dan jaringan limfoid. Pada KNF terdapat peningkatan jumlah sel langerhans sesuai dengan infiltrasi tumornya.10-13 4 Dengan pemeriksaan imunohistokimia protein S100, dapat melihat sel langerhans baik dalam bentuk yang telah matang maupun belum matang. Gambaran sel langerhans pada berbagai stadium pada KNF menunjukkan infiltrasi sel tumor sesuai dengan progresivitasnya. Progresivitas dinilai berdasarkan stadium klinis, dan derajat ekspresi protein S100 yang muncul. 10-13 Pemeriksaan protein S100 dengan imunohistokimia memiliki kelebihan dibanding pemeriksaan lain yaitu lebih mudah, tidak invasif, dan biaya yang lebih murah. Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil tema sentral sebagai berikut : KNF adalah tumor yang berada di nasofaring. Insidensi yang tinggi di Indonesia menjadikan KNF sebagai tumor ke empat terbanyak di kepala dan leher. Dikarenakan letak tumor yang tersembunyi menjadi sulit mendeteksi secara dini sehingga penderita masuk kedalam stadium lanjut. Karsinoma nasofaring dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, genetik, dan VEB. Proses inflamasi dari infeksi VEB menyebabkan karsinogenesis. Proses inflamasi tersebut menghasilkan mediator-mediator sitokin, faktor pertumbuhan, dan faktor angiogenik seperti TNF, IL-1, IL-6, dan IL-8. Selain itu terjadi pengaktivan makrofag oleh protein S100 yang berperan pada peningkatkan kemampuan perkembangan dan progresivitas tumor. Protein S100 memediasi aktivasi jalur STAT3 oleh IL-6 dan NF-κB oleh ROS. Pada proses metastasis KNF, protein S100 sebagai mediator p53 sebagai tumor supresor gen. Pada KNF ditemukan kadar p53 yang tinggi sesuai dengan stadiumnya, sehingga dapat memprediksikan peningkatan ekspresi protein S100 yang ditemukan di jaringan tumor dan KGB leher penderita KNF. Berdasarkan latar belakang penelitian diatas maka dibutuhkan suatu penelitian untuk menentukan korelasi tingkat ekspresi protein S100 terhadap stadium klinis KNF WHO tipe III. 5 1.2. Rumusan Masalah Apakah terdapat korelasi antara tingkat ekspresi protein S100 jaringan tumor dengan stadium klinis karsinoma nasofaring WHO tipe III ? 1.3. Tujuan Penelitian Mengetahui korelasi antara tingkat ekspresi protein S100 jaringan tumor dengan stadium klinis karsinoma nasofaring WHO tipe III. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Ilmiah Dapat digunakan sebagai tambahan pengembangan ilmu pengetahuan dibidang biomolekuler mengenai tingkat ekspresi protein S100 terhadap stadium klinis sebagai faktor progresivitas karsinoma nasofaring WHO tipe III. 1.4.2. Kegunaan Praktis 1. Dapat dijadikan sebagai suatu prosedur pemeriksaan pada penderita KNF untuk mengetahui progresivitas penyakit sesuai dengan stadium klinisnya. 2. Dapat digunakan sebagai sumber data untuk penelitian selanjutnya. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas kepala dan leher yang berasal dari epitel nasofaring, lebih sering pada dinding lateral yaitu daerah fossa rosenmuler, torus tubarius, dan orifisium tuba.1 Angka kejadian KNF tertinggi ditemukan di Provinsi Guangdong China Selatan dengan frekuensi 100 kali lebih banyak dibanding ras Kaukasia yaitu sebanyak 27,2 per 100.000 penduduk pertahun. Di Amerika dan Eropa insidensi sangat jarang kurang dari 1 per 100.000 penduduk per tahun. Insidensi KNF di Asia Tenggara seperti Singapura adalah 15 per 100 000 penduduk pertahun, Malaysia 9,7, Vietnam 7,5 pertahunnya, Taiwan 7,5, dan Philipina 6,4 per 100 000 penduduk pertahunnya.1-3 Di Indonesia KNF menempati urutan keempat dari seluruh keganasan dan berada diurutan pertama dalam bidang Ilmu Kesehatan THT-KL. Insidensi KNF di Indonesia mencapai 6,7 per 100.000 penduduk per tahun dengan insidensi tertinggi pada dekade 4-5, perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 23:1. Di Rumah Sakit Adam Malik Medan, Sumatera Utara, penderita KNF paling banyak pada suku Batak yaitu 46,7% dari 30 kasus. Insidensi KNF di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS. Dr. Cipto Mangunkusumo pada selama periode 6 7 1995-2000 adalah 49,7 % dan di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode tahun 2010-2014 adalah 39,4%.7,8 Perbandingan laki-laki dengan wanita sebesar 1,9:1 dan paling banyak penderita berusia dekade 50 tahun.2-4 Karsinoma nasofaring sulit didiagnosis secara dini, karena letak tumor yang tersembunyi dan sering tidak terlihat pada pemeriksaan, gejala yang muncul tidak disadari oleh penderita. Gejala KNF berhubungan dengan lokasi tumor primer, infiltrasi tumor ke struktur sekitar nasofaring, atau metastasis ke KGB. Massa di nasofaring menyebabkan gejala hidung tersumbat dan hidung beringus. Apabila ulserasi pada tumor, timbul gejala epistaksis. Massa nasofaring yang ekstensi ke arah posterolateral dengan atau tidak masuk ke ruang paranasofaringeal berhubungan dengan gejala disfungsi tuba eustachius seperti timbulnya cairan di telinga tengah, tuli konduktif unilateral, otalgia, dan tinitus. Pertumbuhan tumor ke arah superior akan menginfiltrasi basis kranii dengan gejala sakit kepala, diplopia, dan rasa baal pada wajah.1-4 Diagnosis KNF dapat ditunjang oleh pemeriksaan endoskopi, pemeriksaan pencitraan dengan Computed Tomography (CT) Scan atau Magentic Resonance Imaging(MRI). Magnetic Resonance Imaging memberikan pencitraan lebih baik dari CT Scan dalam hal membedakan tumor dengan jaringan lunak disekitarnya dan mengidentifikasi adanya metastasis ke KGB, sedangkan CT Scan dapat mengetahui destruksi tumor ke basis kranii. Pemeriksaan histopatologi biopsi nasofaring merupakan standar baku untuk menegakkan diagnosis. Antibodi terhadap VEB baik IgG dan IgA penderita KNF meningkat 8-10 kali lebih tinggi 8 dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat. Titer IgA terhadap VEB spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA). Deteksi dari antibodi IgG (yang dijumpai pada masa awal infeksi virus) dan antibodi IgA (yang dijumpai pada capsid viral antigen) digunakan untuk mendukung diagnosis karsinoma nasofaring. 1-4,18 2.1.2 Anatomi Nasofaring Secara anatomis nasofaring terletak dibelakang koana dan berlanjut ke aspek posterior rongga hidung, inferior dipisahkan dari orofaring. Nasofaring termasuk bagian faring yang bentuknya romboid atau mirip suatu kubus yang tidak teratur dengan diameter posteroposterior 2-4 cm, lebar 4 cm, dan tinggi 4 cm. Bagian superior dibatasi oleh basis kranii, inferior dengan bidang datar yang melalui palatum mole, anterior berhubungan dengan kavum nasi melalui koana, posterior dengan vertebra servikalis, dan lateral dengan otot konstriktor faring.1 Gambar 2.1 Anatomi nasofaring. Dikutip dari Grevers G21 9 2.1.3 Histopatologi Epitel permukaan mukosa nasofaring adalah epitel skuamosa dengan fokus epitel respiratorius (pseudostratified), jaringan limfoid pada stroma submukosa, kelenjar seromusinus, dan komponen penyusun jaringan ikat. Beberapa variasi tumor ganas secara teoritis berasal dari mukosa ini.1-4 Gambaran histologi menunjukkan bahwa pada daerah perbatasan antara epitel normal dan KNF merupakan insitu change. Beberapa peneliti menyatakan bahwa KNF merupakan hasil akhir proliferasi sel-sel didahului oleh hiperplasia sel, metaplasia atipikal, dan atau hiperplasia atipikal epitel permukaan. 1-4 Epitel respirasi dari rongga hidung sampai ke laring, berupa epitel berlapis gepeng. Mukosa pada ujung anterior konka dan septum dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel mejadi silindris, silianya pendek, dan iregular. Meatus media dan inferior memiliki silia yang panjang tersusun rapi. Mukosa rongga hidung dan sinus paranasal dilapisi epitel bertingkat silindris bersilia yang mengandung sel goblet. 1-4 Epitel respirasi terdiri dari 5 jenis sel, yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat, sel basal, dan sel granul kecil. Sel silindris bersilia adalah sel terbanyak memiliki lebih kurang 300 sili pada permukaan sel. Sel terbanyak kedua adalah sel goblet mukosa yang banyak mengandung droplet mukus (terdiri dari protein) terdapat pada apikal sel. Sel sikat memiliki banyak mikrovili pada sel apikalnya dan juga terdapat ujung saraf aferen pada permukaan basalnya. Sel basal adalah sel bulat kecil yang terletak di atas lamina propia dan diduga merupakan sel induk generatif yang mengalami mitosis dan kemudian akan 10 berkembang menjadi sel lain. Sel granul kecil mirip dengan sel basal, tetapi memiliki granul berdiameter 100-300 nm dengan bagian puat yang padat. 1-4 Di bawah permukaan nasofaring terdapat jaringan limfoid sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dan jaringan limfoid sangat erat sehingga sering disebut limfoepitel. Mukosa epitel menjadi empat yaitu epitel selapis torak bersilia, epitel torak berlapis, epitel torak berlapis bersilia, dan epitel torak berlapis semu bersilia. 1-4 Sebanyak 60% mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng dan 80% dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia. 1-4 Dari segi patogenesis tumor ganas, berbagai jenis epitel dalam suatu jaringan disertai banyaknya daerah peralihan bermacam-macam epitel pada kripta jaringan limfoid sehingga nasofaring merupakan daerah yang sangat peka untuk terjadinya karsinoma. 1-4 Klasifikasi histopatologi KNF yang dikemukakan oleh Shanmugaratnam, direkomendasikan oleh WHO dibedakan dalam tiga tipe, yaitu: 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO tipe I). Karsinoma tipe ini menunjukan diferensiasi skuamosa, tampak adanya jembatan intraselular dan atau keratinisasi. Jenis ini cenderung pertumbuhannya terdapat pada permukaan, sehingga pemeriksaan dengan endoskopi dapat terlihat dengan jelas. 1 11 Gambar 2.2 Histopatologi karsinoma sel skuamosa berkeratin Dikutip dari : Bailey1 2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin (WHO tipe II). Kelompok tipe ini terdiri atas dua tipe, yaitu karsinoma tidak berkeratin tipe yang berdiferensiasi dan yang tidak berdiferensiasi. Pada tumor ini sering menunjukan adanya infiltrasi dari limfosit, sehingga sering disebut dengan limfoepitelioma.1 12 Gambar 2.3 Histopatologi karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin Dikutip dari: Bailey1 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (WHO tipe III). Disebut juga tipe anaplastik dan diferensiasi buruk yang terdiri dari sel tumor bentuk bulat atau oval dengan inti vesikuler dan anak inti jelas. Batas antara sel tidak jelas dan tumor memberikan gambaran sinsitial. Sel-sel tumor tersusun ireguler atau berupa massa berbatas tegas dan atau tidak tampak lesi hubungan antara sel pada stroma limfoid.1 13 Gambar 2.4 Histopatologi karsinoma tidak berdiferensiasi Dikutip dari: Bailey1 2.1.4 Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring merupakan tumor yang unik karena etiologi dan distribusi endemiknya. Faktor etnik dan daerah juga mempengaruhi risiko penyakitnya. Penyebab KNF tidak hanya berhubungan dengan tembakau dan penggunaan alkohol, tetapi multifaktorial seperti lingkungan, genetik, dan infeksi virus.1-8 2.1.4.1 Faktor Lingkungan Insidensi KNF yang tinggi di lokasi geografi mengindikasikan adanya faktor atau bahan kimia tertentu di lingkungan yang menginduksi terjadinya KNF antara lain adat kebiasaan atau gaya hidup, termasuk kebiasaan makan. Karsinogen lingkungan bertindak seperti kofaktor atau promotor timbulnya KNF. 1-7 14 Penelitian epidemiologi menunjukan hubungan yang kuat antara meningkatnya kejadian konsumsi bahan makanan berupa ikan atau udang yang diawetkan dengan garam (diasinkan), seperti ikan asin, pindang asin, udang asin, atau yang dikeringkan dengan pengasapan. 1-7 Penduduk di daerah Canton, China selatan, China Utara, dan Thailand memiliki kebiasaan mengkonsumsi ikan asin sejak kecil dikenal sebagai Cantonese salted fish dan makanan yang mengandung nitrosodimethyamine (NDMA), Nnitrospyrolididene (NPYR), dan nitrospiperidine (NPIP) yang merupakan zat karsinogen. Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan asin dengan pemanasan sinar matahari terjadi reaksi biokimiawi berupa nitrosasi, dimana gugus nitrat dan nitrit yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi nitrosamin yang merupakan pro karsinogen dan promotor aktivasi VEB. Pro karsinogen merupakan karsinogen yang memerlukan perubahan metabolisme agar menjadi karsinogen aktif, sehingga terjadi perubahan deoxyribonucleic acid, ribonucleic acid, atau protein sel tubuh. 22-27 2.1.4.2 Faktor Genetik Kerentanan genetik sebagai faktor predisposisi KNF didasarkan fakta banyaknya penderita ras China di China selatan, Asia Tenggara, Kutub Utara, dan Timur Tengah. Distribusi ras/etnis dan geografis, khas pada KNF di seluruh dunia menunjukan bahwa faktor lingkungan dan genetik berkontribusi untuk berkembangnya keganasan ini. Hal ini dapat dilihat dari suatu penelitian yang memperlihatkan terjadinya KNF cenderung teragregasi dalam suatu keluarga di 15 Canton, Provinsi Guangdong, Cina, dengan tidak adanya keganasan lain. Adanya riwayat tumor ganas dalam keluarga merupakan faktor risiko KNF. 1-7 Beberapa penelitian tentang human leucocyte antigen (HLA) menunjukan adanya peningkatan frekuensi HLA pada penderita KNF. Hilangnya alel HLA kelas I atau kelas II pada gen HLA tertentu diperkirakan menyebabkan kegagalan interaksi HLA-peptide complex dengan limfosit Tc/s (CD8) atau limfosit T helper (CD4). Hal ini disebabkan karena tidak didapatkannya antigen virus/tumor pada epitop sehingga VEB didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel faring) atau sel kanker tidak dapat dikenali oleh sel imunokompeten seperti sel makrofag, dendritik, limfosit. 22-24 2.1.4.3 Infeksi Virus Epstein Barr Virus Epstein Barr merupakan virus DNA yang merupakan onkogen dan berhubungan dengan beberapa penyakit antara lain KNF, infeksi mononukleosis, limfoma Burkit, dan penyakit Hodgkin.12,13,22 Infeksi sel epitel oleh VEB mengakibatkan replikasi yang aktif dan produksi virus bertambah serta lisis sel, bila VEB menyerang sel limfosit B akan mengakibatkan infeksi laten dengan immortalisasi sel. Setelah VEB menginfeksi limfosit B, gen virus yang semula linear akan berubah menjadi sirkuler, sehingga menetap menjadi laten di limfosit B. Masuknya VEB kedalam limfosit B karena ikatan selektif pada komponen cluster of differentiation (CD)21. Cluster of differentiation 21 ini dikenali oleh Glikoprotein (GP) 350/220 yang merupakan reseptor membran virus. 18,19,26 16 Infeksi primer VEB dapat terjadi mulai masa kanak-kanak, gejalanya ringan seperti demam dan faringitis serta dapat sembuh sendirinya. 18,19,26 Hubungan antara KNF dan VEB telah diteliti pada beberapa studi seroepidemik, dengan didapatkannya DNA VEB persisten dan/atau virus determined nuclear antigen (EBNA) pada sel KNF. Terdapat peningkatan serum antibodi IgA yaitu VCA dan EA serta ditemukannya genom virus pada sel tumor. Virus Epstein Barr terdeteksi pada pasien KNF di daerah dengan insidensi tinggi dan rendah. Sinyal RNA yang dikode VEB dengan metode hibridisasi in situ dijumpai pada hampir seluruh sel tumor, RNA yang dikode VEB tidak dijumpai pada jaringan normal disekitar tumor. 18,19,26 Infeksi VEB ini bermula dari kontak dengan sekret mulut yang terinfeksi kemudian virus bereplikasi di sel epitel orofaring maupun di nasofaring. Virus menetap dalam sel epitel sehingga dapat menginfeksi sel limfosit B resting, kemudian bersirkulasi yang akan berubah menjadi sel limfosit B terinfeksi. Pada infeksi pertama oleh VEB, sel limfosit B mengalami infeksi litik dengan menghasilkan virus hasil replikasi dan kemudian menyerang sel limfosit B yang lain, mengekspresikan komponen virus laten sebagian virus yang lain akan menyerang sel epitel yang lain dan menyebar ke air liur, sebagian sel limfosit B yang terinfeksi kemudian tertangkap oleh sel natural killer dan sel T sitotoksik. Virus Epstein Barr berada dalam darah perifer didalam sel B memori laten terinfeksi mengekspresikan LMP 2 dan EBNA1. Selanjutnya didalam sel dapat mengalami reaktivasi dan mengekspresikan protein fase laten sehingga dapat dirusak oleh sel T sitotoksik. Beberapa sel laten yang terinfeksi dapat mengalami 17 replikasi litik kembali. Replikasi virus menyebabkan peningkatan jumlah VEB yang menginfeksi sel B dalam darah perifer, menyebabkan peningkatan titer imunoglobulin A antibodi terhadap struktur protein VEB. 18,19,26 Epitel nasofaring yang terinfeksi EBV memberikan respons peningkatan IL-6 sehingga melibatkan jalur aktivasi STAT3 untuk mempromosikan faktor pertumbuhan dan invasif. Respons tersebut dimediasi oleh aktivitas granulosit yang terlibat pada proses terjadinya KNF oleh inflamasi. 8,9 Gambar 2.5 Infeksi virus Epstein Barr pada pembawa virus yang sehat. Dikutip dari : Murray.19 18 2.1.5 Stadium Klinis Klasifikasi T adalah periode atau fase terpisah dalam perjalanan penyakit yang merupakan klasifikasi neoplasma menurut perkembangan tumor yang dinilai berdasarkan tumor primer. Stadium penyakit KNF dinilai menurut tiga komponen dasar; tumor primer (T), kelenjar regional (N), metastasis (M).27 Penentuan stadium terbaru KNF berdasarkan AJCC (American Joint Committee on Cancer) pada tahun 2010 adalah sebagai berikut : 27 Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai. T0 : Tumor primer tidak ditemukan. Tis : Karsinoma in situ T1 : Tumor terbatas di nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan/atau kavum nasi tanpa ekstensi parafaring. T2 : Tumor dengan ekstensi ke parafaring. T3 : Tumor invasi ke struktur tulang dari dasar tengkorak, dan/atau sinus paranasal T4 : Tumor dengan ekstensi ke intrakranial dan atau mengenai syaraf pusat, hipofaring, orbita, atau ekstensi ke fossa infratemporal atau ruang mastikator. NX : Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai N0 : Tidak ditemukan metastasis ke kelenjar getah bening N1 : Metastasis unilateral pada kelenjar getah bening(s), berukuran ≤ 6cm 19 dan diatas fossa supraklavicula, dan atau unilateral atau bilateral, kelenjar getah bening retrofaring, ≤ 6 cm dan atau ke fosa supraklavikula. N2 : Metastasis ke kelenjar getah bening bilateral, berukuran ≤ 6 cm dan diatas fossa supraklavikula N3 : Metastasis ke kelenjar getah bening, berukuran > 6 cm dan atau ke fossa supraklavikula N3a : Kelenjar getah bening berukuran >6 cm. N3b : Ekstensi ke fossa supraklavikula M0 : tidak ada metastasis jauh M1 : terdapat metastasis jauh 20 Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan : Tabel 2.1 : Stadium KNF Stadium 0 Tis N0 M0 Stadium I T1 N0 M0 Stadium II T1 N1 M0 T2 N0 M0 T2 N1 M0 T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N0 M0 T3 N1 M0 T3 N2 M0 T4 N0 M0 T4 N1 M0 T4 N2 M0 Stadium IVB AnyT N3 M0 Stadium IV C AnyT AnyN M1 Stadium III Stadium IVA 2.1.6 Inflamasi dan Karsinogenesis Virus dan bakteri dapat menyebabkan inflamasi kronis dan berkontribusi pada 1,2 juta kasus keganasan yang diakibatkan infeksi.7,8 Contohnya adalah human papiloma virus (HPV), hepatitis B virus, hepatitis C virus, dan VEB menjadi 21 faktor risiko utama terjadinya keganasan. Beberapa virus tersebut terjadi melalui jalur inflamasi dengan menghambat protein supresi tumor.6,7,12,16 Terdapat tiga mekanisme terjadinya karsinogenesis, yaitu fase inisiasi, promosi, dan progresi. Fase inisiasi adalah terjadinya perubahan gen. Fase promosi adalah perubahan gen yang telah terjadi menjadi berproliferasi. Fase progresi yaitu peningkatan ukuran dari tumor serta terjadi penyebaran tumor itu sendiri. Secara umum inflamasi dapat berhubungan dengan ketiga proses tersebut dalam jalur yang berbeda-beda. Imunitas bawaan mengerahkan pro tumorgenik dan anti tumorgenik oleh imunitas dapatan. Proses tersebut dimediasi oleh beberapa mediator diantaranya leukosit, makrofag, sel dendritik, neutrofil, sel mast, dan sel T. Sel-sel tersebut direkrut juga oleh lingkungan sekitar tumor melalui interaksi sel stroma lokal dan sel keganasan. Interaksi tersebut menyebabkan leukosit menghasilkan sitokin, Faktor pertumbuhan dan faktor angiogenik, diantaranya adalah (MMP1, MMP3, dan MMP9), dan inhibitor lain. Protein tersebut ada pada proses proliferasi, invasi maupun metastasis. Sel inflamasi dan sistem imun bawaan menjadi mediator penting pada promosi dan progresivitas sel tumor. 6,7,12,16 Beberapa sitokin dan kemokin pro inflamasi seperti TNF, IL-1, IL-6 dan IL-8, dikodekan oleh target gen berupa IKK-β (inhibitor NF-κB(IκB)kinase-β) melalui jalur aktivasi NF-κB, berhubungan dengan perkembangan dan progresivitas tumor. 6,7,12,16 Efek inflamasi lainnya terhadap tumor adalah meningkatkan kemampuan progresivitas tumor. Progresivitas tumor bergantung pada densitas tumor 22 asosiated machrophag (TAM). Terdapat hubungan antara jumlah TAM yang meningkat dengan buruknya prognosis. Namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa bukan hanya peningkatan jumlah TAM tetapi juga ekspresi sitokin yang berkaitan dengan progresivitas tumor. 6,7,12,16,28 Daerah hipoksia sekitar sel tumor mengakibatkan pengeluaran TAM, yang berfungsi untuk melepaskan faktor angiogenesis dan penyelamat tumor seperti tumor nekrosis faktor, IL-1, IL-6, IL-8, Vascular Endotelial Growth Factor (VEGF) sebagai mediator promosi dan progresivitas tumor. Pada proses tersebut dikeluarkan pula protein pro inflamasi berupa high mobility group box 1 protein (HMGB1) dan protein S100 yang akan mengaktifkan makrofag. 6,7,12,16,28 Gambar 2.6 Inflamasi dan progresivitas tumor Dikutip dari Michail Karin16 Proses infeksi juga mendukung tumorgenesis berupa proliferasi, migrasi, dan invasi. Mediator pro tumorgenik yang utama adalah NF-κB, STAT 3, hypoxiainducible factor-1α (HIF-1α). Faktor transkripsi ini mengatur ekspresi sitokin 23 seperti TNFα, IL-1, IL-6 yang terlibat pada komunikasi antara sel tumor dan sel stroma tumor. Reseptor tersebut berasal dari sel imun aktif organ limfoid maupun mieloid yang memicu terbentuknya jalur sinyal untuk memproduksi mediator pro inflamasi. 6,7,12,16,28 Reseptor for advance glycation end product merupakan bagian imunoglobulin molekul sel permukaan berikatan dengan ligan yang berbeda termasuk didalamnya anggota protein S100 (S100B, S100P, S100A4, S100A6, S100A8/9, S10011-13), HMGB1, dan prion. 16,28,30 Gambar 2.7 Fungsi RAGE pada inflamasi dengan karsinogenesis Dikutip dari Astrid Riehl28 Sinyal RAGE dapat diturunkan pada inflamasi kronik sehingga menciptakan suasana lingkungan mikro yang ideal untuk proses pembentukan tumor, penurunan mediator pro inflamasi (PTGS2, S100A8, S100A9, dan macrophage 24 inflamatori protein) sejalan dengan penurunan infiltrasi terhadap sel imun. Reseptor for advnce glycation end product (RAGE) dapat menginduksi ligannya sendiri, terdapat ekspresi S100A8 dan S100A9 pada sel epitel. 19-20,24,25 2.1.7 Protein S100 Protein S100 merupakan protein yang paling banyak berikatan dengan kalsium, terdapat 25 anggota protein S 100. Dari jumlah tersebut, 22 gen berada pada kromosom 1q21. Sebanyak 14 dari 22 anggota berada di epidermal (epidermal differentiation complex). Protein S100 membentuk kompleks baik homodimerik atau heterodimerik antara satu sama lain. Setelah berikatan dengan kalsium, protein S100 mengalami perubahan bentuk, sehingga memungkinkan protein untuk berinteraksi, proses tersebut membutuhkan berbagai fungsi intraseluler dan ekstraseluler. Fungsi intraseluler diantaranya regulasi homeostasis kalsium, siklus sel, pertumbuhan sel dan migrasi, fosforilasi, komponen sitoskeletal serta regulasi faktor transkripsi. Berbeda dengan fungsi intraseluler, protein S100 ekstraseluler bertindak sebagai sitokin dengan mengikat RAGE dan reseptor Toll-like (TLRs). 15,29 Hubungan antara protein S100 dan tumor dapat dilihat dari beberapa pengamatan. Pertama, sebagian besar gen S100 berada pada kromosom 1q21, yang merupakan area penataan ulang gen sehingga protein S100 berimplikasi pada perkembangan tumor. Kedua, beberapa anggota S100 menunjukkan ekspresi dalam berbagai keganasan. Ketiga, sejumlah protein S100 telah terbukti 25 berinteraksi mengatur berbagai protein yang terlibat pada kanker seperti NF-κB, p53, dan β-catenin. 15,29 Gambar 2.8 Protein S100 pada sel kanker Dikutip dari Hongyan Chen18 2.1.7.1 Fungsi Protein S100 pada Keganasan Fungsi protein S100 secara intraseluler, ekstraseluler, atau kombinasi keduanya. Peran utama protein S100 terdapat pada proses proliferasi, apoptosis, metastasis, mikro tumor dan kanker sel perkembangan tumor dan progresivitasnya. 15,29 induk, berhubungan dengan 26 2.1.7.1.1 Diferensiasi sel Sebagian besar S100 kalsium mengikat protein pada kromosom 1q21, merupakan komponen penting dari kompleks diferensiasi epidermal. Protein S100 terlibat dalam proses diferensiasi terminal epidermis manusia dan beberapa gangguan termasuk kanker. Di satu sisi, beberapa ekspresi protein S100 berkorelasi dengan diferensiasi tumor. Protein S100 menunjukkan korelasi komunikasi bergantung pada jenis diferensiasi tumor. Sebagai contoh, S100A2 protein menurun dikaitkan dengan diferensiasi tumor sel skuamosa laring. Penurunan ekspresi S100A8/S100A9 di esofagus berkorelasi dengan diferensiasi buruk. Sebaliknya, ekspresi S100A8/S100A9 berkorelasi dengan diferensiasi buruk pada karsinoma payudara. Data tersebut menunjukkan bahwa ekspresi protein S100 berhubungan dengan diferensiasi tumor. 15,29 2.1.8.1.2 Proliferasi Sel Protein S100 disekresikan ke dalam ruang ekstraseluler dan mengerahkan fungsi mereka dengan cara endokrin, parakrin, dan autokrin. Salah satu reseptor protein S100 adalah RAGE, merupakan reseptor permukaan sel yang terlibat dalam beberapa patologi termasuk peradangan dan kanker. Protein S100 termasuk S100A1, S100A4, S100A6, S100A8/A9, S100A11, mengikat S100A12, S100A14, S100B, dan S100P pada RAGE dan memicu sinyal seluler RAGE, melibatkan jalur sinyal MAP Kinase, NF-κB , dan phosphatidylinositol 3-kinase. Protein S100 terlibat dalam regulasi proses seluler yang beragam termasuk peradangan dan kanker. 15,29 27 Gambar 2.9 Protein S100 pada kelangsungan hidup sel kanker, proliferasi atau apoptosis melalui interaksi dengan RAGE Dikutip dari Hongyan Chen29 Efek protein S100 pada kelangsungan hidup sel kanker, proliferasi atau apoptosis melalui interaksi dengan RAGE diterangkan seperti pada gambar. Dalam sel neuroblastoma S100B memodulasi kelangsungan hidup sel dengan merekrut PI - 3K /AKT melalui NF-κB dengan cara interaksi RAGE, sedangkan S100A6 menghambat kelangsungan hidup sel dan memicu apoptosis sel melalui aktivasi JNK. S100P meningkatkan proliferasi sel kanker usus besar dan merangsang kedua ERK1/2 fosforilasi dan aktivitas NF-κB melalui interaksi dengan RAGE , antagonisme RAGE-kromolin menghambat efek biologis S100P pada proliferasi sel. S100P mengatur proliferasi sel dan kelangsungan hidup selsel kanker pankreas dengan mengaktifkan RAGE. S100A8/A9 pada konsentrasi 28 rendah mendorong pertumbuhan sel tumor melalui pengaktifan MAP Kinase dan NF-κB yang bergantung pada jalur ikatan RAGE. Beberapa protein S100 memainkan peran sentral dalam regulasi apoptosis sel protein. S100A8/A9 ektraseluler dapat menghambat pertumbuhan berbagai jenis sel normal (makrofag, sel-sel sumsum tulang, limfosit, fibroblas) dan menunjukkan aktivitas apoptosis di berbagai sel tumor. Protein S100A8/A9 menginduksi apoptosis sel dengan mengikat reseptor permukaan sel serta memberikan efek aktivitas apoptosis mitokondria dan modulasi anti apoptosis protein B Cell Lymphoma 2 (BCL-2).20,29 Protein S100 terlibat dalam metastasis dan beberapa diantaranya (yaitu S100A4) telah diakui sebagai penanda metastasis. S100A4 adalah target langsung β-catenin/TCF dan telah dianggap sebagai petanda transisi epithelial mesenkim. Peningkatan S100A4 menunjukkan proses migrasi, sedangkan penghambatan atau kehilangan S100A4 menunjukkan penurunan migrasi sel. S100A8/A9 merangsang migrasi dan invasi sel melalui p38, MAPK dan aktivasi NF-κB yang menyebabkan peningkatan MMP2 dan MMP12. 20,29 Protein S100 terlibat dalam interaksi antara sel tumor dan stroma fibroblas, infiltrasi leukosit, perekrutan makrofag tumor, neutrofil, dan sel penekan mieloid, serta regulasi angiogenesis, yang diperlukan untuk invasi dan metastasis. 20,29 Ekspresi S100A8 (calgranulin A, MRP8), dan S100A9 (calgranulin B, MRP14) yang berlimpah terdapat dalam sel-sel mieloid, termasuk monosit dan neutrofil dan diferensiasi awal makrofag. Peningkatan ekspresi S100A8/A9 ditemukan dalam sel-sel mieloid yang diinfiltrasi oleh epitel tumor. Sebagai mediator dan efektor peradangan seluler, protein S100A8/A9 adalah pemegang peranan penting 29 dari lingkungan mikro tumor yang berkontribusi terhadap perkembangan tumor. Protein S100A8/A9 memainkan peran penting dalam interaksi stroma sel tumor yang mengatur kelangsungan hidup sel neutrofil oleh jalur sinyal MEK-ERK melalui TLR4 dan integrin CD11b/CD18. Gambar 2.10 Lingkungan mikro tumor Dikutip dari Hongyan Chen29 Gambar diatas menunjukkan interaksi antara protein S100 dan turunannya dalam proses interaksi antar sel kanker dengan fibroblast, sel endotel, sel inflamasi, limfosit T dan neutrofil. 20,29 Penurunan S100A9 berhubungan dengan jumlah neutrofil sumsum tulang yang menurun. Protein S100A8/A9 merangsang pengaktifan infiltrasi lesi inflamasi sel 30 myeloid, dan terlibat dalam migrasi neutrofil ke peradangan. Ekspresi S100A9 telah terbukti terlibat dalam fungsi sel mieloid, menekan respons imun adaptif dengan menghalangi fungsi CD4 dan CD8. Sel mieloid mensintesis dan mensekresikan protein S100A8/A9. S100A9 menghambat diferensiasi sel dendritik (DC) dan menginduksi akumulasi Myeloid Derived Suppressor Cells (MDSC) kanker, mengikat karboksilasi N-glycan yang diekspresikan pada reseptor RAGE dan glikoprotein permukaan sel lain di MDSC, serta mempromosikan migrasi MDSC tumor melalui aktivasi NF-κB dan menekan respons anti-tumor imun untuk melawan sel-sel kanker, sehingga memfasilitasi perkembangan karsinogenesis. Protein S100A8/A9 berfungsi sebagai umpan balik (autokrin) yang menopang akumulasi MDSC dan cukup untuk mempertahankan fungsi MDSC dengan lingkungan inflamasi tumor. Induksi S100A8/ekspresi A9 dalam lesi paru pra-metastasis menciptakan keadaan peradangan seperti pada penyebaran tumor. Secara bersamaan S100A8/A9 merangsang tumorgenesis dengan menginduksi respons inflamasi dan menciptakan lingkungan mikro proinflamasi, memediasi perekrutan sel inflamasi jaringan rusak, sehingga memberikan kontribusi bagi tumorgenesis dan metastasis kanker. Dalam sel kanker, S100A8/A9 mengatur peradangan melalui aktivasi MAPK dan jalur sinyal NF-κB melalui interaksi dengan RAGE dan karboksilasi glycans, menyebabkan perekrutan inflamasi sel dan pertumbuhan tumor dan metastasis. Sejumlah faktor pertumbuhan yang diproduksi oleh sel-sel tumor termasuk TNF-α, TGF-β, dan VEGF-A dapat merangsang ekspresi S100A8/A9, sehingga memberikan kontribusi bagi pembentukan sebuah "niche pra-metastasis", sehingga 31 mempromosikan pembentukan metastasis. Protein S100A8/A9 menyebabkan ekspresi dan sekresi protein serum amiloid A3 (SAA3) pada lesi metastasis di paru yang terlibat dalam perekrutan sel mieloid dan migrasi sel tumor, dengan aktivasi reseptor TLR4 dan selanjutnya jalur sinyal NF-κB. Ko-ekspresi protein S100A8 dan S100A9 merangsang perkembangan keganasan oleh aktivasi ROS yang bergantung pada jalur sinyal apoptosis. 20,21,29 2.1.7.1.3 Biomarker pada Kanker Anggota protein S100 menampilkan pola ekspresi tertentu dari jaringan/sel dan menunjukkan perubahan berbeda dalam berbagai jenis kanker. Protein S100 mungkin bertindak sebagai teman atau musuh dan berfungsi baik sebagai pro atau anti tumorgenik. Beberapa anggota protein S100 (yaitu S100A2, S100A3, S100A6, S100A8/A9, dan S100A11) telah didokumentasikan dalam beberapa jenis kanker dengan pola ekspresi yang meningkat maupun menurun. Peningkatan S100A2 menunjukkan prognosis buruk pada kanker pankreas sehingga, ekspresi S100A2 adalah prediktor yang baik terhadap respons pankreatektomi pada kanker pankreas. 26,30 Peningkatan S100A8 dan S100A9 dianggap sebagai penanda prognosis buruk pada kanker payudara. Sebaliknya, S100A9 berkorelasi dengan prognosis yang lebih baik pada pasien dengan kanker lambung. S100A11 mungkin menjadi penanda tumor yang signifikan untuk adenokarsinoma pankreas dan ekspresi tinggi S100A11 merupakan prediktor yang tidak menguntungkan untuk prognosis pasien yang telah menjalani reseksi bedah. Sebaliknya, ekspresi yang rendah dari 32 S100A11 dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada pasien dengan kanker kandung kemih. Protein S100 dinilai sebagai biomarker dari perkembangan kanker dalam beberapa kasus tergantung pada jenis tumor. 20,21,29 2.4 Kerangka Pemikiran Respons inflamasi mengakibatkan mediator pro tumorgenik dan anti tumorgenik imunitas bawaan dikeluarkan oleh imunitas dapatan. Proses tersebut dimediasi beberapa mediator yaitu leukosit, makrofag, sel dendritik, neutrofil, sel mast, dan sel T. Sel-sel tersebut direkrut juga oleh lingkungan sekitar tumor melalui interaksi sel stroma lokal dan sel keganasan menyebabkan leukosit menghasilkan sitokin, faktor pertumbuhan, dan faktor angiogenik seperti TNF, IL1, IL-6, dan IL-8.8,9 Bersamaan dengan itu terjadi pengaktivan makrofag oleh protein S100 yang berperan pada peningkatkan kemampuan perkembangan dan progresivitas tumor melalui interaksi jalur sinyal reseptor permukaan RAGE yang mengakibatkan aktivasi sinyal MAPK, NF-κB, PI-3K 10-12 Protein S100 adalah suatu mediator inflamatori yang dikeluarkan karena infeksi atau inflamasi sebagai sinyal bahaya. Ekspresi protein S100 merupakan petanda adanya reaksi infeksi dan inflamasi berulang yang dapat ditemukan pada epitel tumor. Infiltrasi limfosit pada KNF tidak berdiferensiasi akan menyebabkan peningkatan protein S100 yang ditandai dengan distribusi sel-sel langerhans dan retikulum.10,11 Terdapat peningkatan IL-6 pada lingkungan mikro kanker nasofaring yang terinfeksi VEB sehingga melibatkan jalur aktivasi STAT3 untuk mempromosikan 33 faktor pertumbuhan dan invasif. Respons tersebut dimediasi oleh aktivitas granulosit yang terlibat pada proses terjadinya KNF oleh inflamasi. Protein S100 merupakan protein yang terdapat pada granulosit dan makrofag. Pada proses inflamasi terbentuk ROS. Kadar ROS yang meningkatakan menyebabkan aktivasi faktor transkripsi seperti NF-κB yang mempunyai peran dalam immortalitas sel. Adanya peningkatan NF-κB diikuti dengan peningkatan IL-6 dan protein S100 menandakan terjadinya proses keganasan. Selain itu ROS juga akan merusak DNA sehingga mempromosikan proliferasi sel atau menekan apoptosis.13-16 Proses tersebut mengakibatkan terjadi ikatan yang longgar. Beberapa protein S100 terkena dampak proses tersebut, sehingga digunakan sebagai protein target spesifik. Pada proses metastasis KNF, protein S100 sebagai mediator p53 tumor supresor gen. Pada KNF ditemukan kadar p53 yang tinggi sesuai dengan stadiumnya, sehingga dapat memprediksikan juga peningkatan ekspresi protein S100 sehingga protein S100 dapat juga ditemukan di jaringan tumor dan KGB leher penderita KNF. Ekspresi protein S100 di dapat dari keberadaan sel langerhans pada KNF. Sel langerhans dapat dideteksi tidak hanya pada epidermis namun juga pada epitel esofagus, tonsil, nasofaring dan jaringan limfoid. Pada KNF terdapat peningkatan jumlah sel langerans sesuai dengan infiltrasi tumornya.13,15,18 Dengan pemeriksaan imunohistokimia protein S100, dapat mengobservasi adanya sel langerhans baik dalam bentuk yang telah matang maupun belum matang. Sehingga nantinya gambaran adanya sel langerhans pada berbagai stadium pada KNF menunjukkan infiltrasi dari sel tumor sesuai dengan progresivitasnya. Progresivitas dinilai berdasarkan dari, stadium klinis pasien, dan 34 derajat ekspresi protein S100 yang muncul oleh sel langerhans dari pemeriksaan imunohistokimianya.10-13 Protein S100 juga telah digunakan sebagai petanda prognosis pada kanker hati dan kanker kolon. Terdapat berbagai ekspresi yang berbeda-beda sesuai dengan tipe dan progresivitas dari tumor tersebut. 15,16,21,29 Protein S100 diidentifikasi dengan kriteria morfologi dan imunohistokimia sebagai bagian dari sel langerhans atau sel retikulum, yang saat ini dianggap erat hubungannya dengan fungsi sel-sel antigen. Bahkan, pada epidermis organ limfoid terdapat sel Langerhans dan sel retikulum yang telah terbukti terpapar oleh anti-S100. Temuan adanya protein S100 di KNF berdiferensiasi menunjukan terdapat aktivitas lingkungan mikro pada KNF. Dengan ditemukan migrasi sel Langerhans atau prekursor sumsum tulangnya dari epidermis ke dermis dan juga mengikuti drainase limfatiknya. Temuan jumlah sel langerhans dan sel retikulum dalam kasus KNF berdiferensiasi sangat penting. Hal ini menunjukkan keterlibatan sistem kekebalan tubuh dalam pengendalian infeksi Virus Epstein Barr sebagai faktor predisposisi terjadinya. 10,11,15,29 35 Infeksi VEB Epitel nasofaring TGF-β IL-1 STAT3 IL-6 IL-8 P53 Nf-κB ROS Sel Langerhans S100 Immortalitas sel Progresifitas Gambar 2.11 Skema kerangka pemikiran Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dibuatlah premis-premis sebagai berikut : Premis 1 : Respons inflamasi akibat infeksi VEB mengakibatkan pengerahan mediator pro dan anti tumorgenik, menimbulkan proliferasi.8,10,12 Premis 2 : Pada epitel KNF terjadi peningkatan mediator inflamasi dan p53 melalui jalur STAT3 dan NF-κB, untuk peningkatan ROS.7,8,12 36 Premis 3 : Peningkatan ROS menyebabkan proliferasi sel tumor, sel langerhan meningkat yang mengekskresikan proteinS100.20 Premis 4 : Protein S100 mengakibatkan immortalitas sel.9,15 2.5 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran dan premis di atas maka dibuat sebuah hipotesis sebagai berikut : Terdapat korelasi antara tingkat ekspresi protein S100 jaringan tumor dengan stadium klinis karsinoma nasofaring WHO tipe III. BAB III SUBJEK, ALAT, DAN METODE PENELITIAN 3.1 Subjek dan Alat Penelitian 3.1.1 Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah data sekunder berupa rekam medis, preparat, dan blok parafin semua penderita karsinoma nasofaring yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi di RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. 3.1.2 Kriteria Inklusi Penderita yang didiagnosis karsinoma nasofaring WHO tipe III berdasarkan hasil patologi anatomi. 3.1.3 Kriteria Eksklusi 1. Penderita karsinoma nasofaring residif atau rekuren. 2. Penderita karsinoma nasofaring dengan karsinoma multipel. 3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan Penelitian 3.2.1 Bahan Penelitian Bahan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini : 1. Preparat dari biopsi massa tumor nasofaring yang kemudian ditegakkan diagnosis histopatologis merupakan karsinoma nasofaring WHO tipe III 37 38 2. Parafin blok yang dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia, untuk dinilai ekspresi protein S100 pada sel tumor oleh dokter Patologi Anatomi di Bagian Patologi Anatomi RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. 3. Pemeriksaan imunohistokimia untuk protein S100 mempergunakan antibodi poliklonal Z0311 DAKO. 3.2.2 Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Hot plate 2. Inkubator 3. Decloacking chamber 4. Pap pen 5. Mikroskop 3.3 Besar Sampel Penentuan besar sampel ditentukan dengan rumus besar sampel untuk analisis korelasi, yaitu :34 n = ( Zα + Zβ )2 + 3 ½ ln 1+ r 1-r 2 39 keterangan : Zα : nilai Z yang diperoleh dari tabel distribusi normal, standar untuk taraf kepercayaan 80% yaitu 1,65 ( uji satu pihak ) Zβ : power test = 0,84 τ : koefisien korelasi, hasil penelitian ditetapkan koefisien analitik yang bermakna secara statistik τ = 0,5 Maka diperlukan besar sampel adalah 29 orang. 3.4 Metode Penelitian 3.4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah suatu penelitian observasional analitik korelasional dengan rancangan studi silang. 3.4.2 Identifikasi Variabel 3.4.2.1 Variabel Penelitian Variabel yang diukur pada penelitian ini : 1. Variabel dependent yaitu stadium klinis karsinoma nasofaring. 2. Variabel independent yaitu ekspresi protein S100. 3. Variabel perancu yaitu usia, jenis kelamin. 3.4.2.2 Definisi Operasional 1. Stadium karsinoma nasofaring dilihat dari stadium klinis pada saat diagnosis ditegakkan. 40 Alat Ukur : Penentuan stadium terbaru karsinoma nasofaring berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale center Cancer) dan AJCC (American Joint Committee on Cancer) tahun 2010 adalah sebagai berikut : Cara Ukur : • T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya. Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai. T0 : Tumor primer tidak ditemukan. Tis : Karsinoma in situ. T1 : Tumor terbatas di nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan / atau kavum nasi tanpa ekstensi parafaring. T2 : Tumor dengan ekstensi ke parafaring. T3 : Tumor invasi ke struktur tulang dari dasar tengkorak, dan / atau sinus paranasal. T4 : Tumor dengan ekstensi ke intrakranial dan atau mengenai syaraf pusat, hipofaring, orbita, atau ekstensi ke fossa intratemporal atau ruang mastikator. • N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional NX : Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai. N0 : Tidak ditemukan metastasis ke kelenjar getah bening. N1 : Metastasis unilateral pada kelenjar getah bening(s), berukuran ≤ 6 cm dan diatas fossa supraklavicula, dan atau unilateral atau 41 bilateral, kelenjar getah bening retrofaring, ≤ 6 cm dan atau ke fosa supraklavikula. N2 : metastasis ke kelenjar getah bening bilateral, berukuran ≤ 6 cm dan diatas fossa supraklavikula. N3 : metastasis ke kelenjar getah bening, berukuran > 6 cm dan atau ke fossa supraklavikula. N3a : Kelenjar getah bening berukuran > 6 cm. N3b : Ekstensi ke fossa supraklavikula. • M = Metastasis, menggambarkan metastasis jauh M0 : tidak ada metastasis jauh M1 : terdapat metastasis jauh Hasil Ukur : Stadium 0 : Tis N0 M0 Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T2 N0 M0 Stadium III : T3 N0 M0 T1,T2,T3 N1 M0 Stadium IVA : T1, T2, T3 N2 M0 T4a N0, N1, N2 M0 Stadium IV B : T4b Tiap T M0 Tiap T N3 M0 42 Stadium IV C : Tiap T tiap N M1 Skala Ukur : Katagori ordinal yaitu stadium 1 sampai 4 2. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas terbanyak di daerah kepala dan leher yang berasal dari sel epitel nasofaring. Klasifikasi KNF terdiri dari tipe I, tipe II, dan tipe III. Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan nasofaringoskopi dan biopsi. Cara ukur : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan nasofaringoskopi, dan Biopsi. Hasil ukur : 1. KNF WHO Tipe I, 2 KNF WHO tipe II, 3. KNF WHO tipe III Skala ukur : kategorik 3. Protein S100 merupakan protein yang paling banyak berikatan dengan kalsium. Protein S100 berjumlah 25, sebanyak 22 gen berada pada kromosom lq21 dan 14 dintaranya berada di epidermal. Protein S100 membentuk kompleks homodimerik dan heterodinamik. Setelah berikatan dengan kalsium protein S100 mampu berinteraksi baik secara intraseluler dan ektraseluler. Pada ekstraseluler bertindak sebagai sitokin yang berikatan dengan RAGE dan TLR. Cara Ukur : pemeriksaan imunohistokimia dengan rabbit polyclonal antibody protein S100 z0311 DAKO. Hasil Ukur : imunoekspresi proteinS100 dinyatakan positif bila sitoplasma dan membrane sel tumor berwarna coklat. Distribusi 1= sel positif < 20%, 2= sel positif 20-50%, 3=51-80%, 4= > 80%. Intensitas 1= lemah (coklat muda/pucat), 2= intensitas sedang (coklat), 3= intensitas kuat (coklat tua). Histoskor/skor akhir adalah perkalian antara distribusi dengan intensitas yang 43 menunjukkan ekspresi dari protein S100, nilai histoskor menunjukkan progresifitas kanker. Skor 0= negatif, 1-2= positif lemah, 3-4= positif sedang, dan 6-12= positif kuat.35 Skala ukur : Kategori ordinal yaitu 0 sampai 12 3.4.2.3 Prosedur Pembuatan Pulasan Imunohistokimia Protein S100 Pulasan imunohistokimia protein S100 dilakukan dengan prosedur manual sebagai berikut : 1. Preparat dipanaskan pada hotplate dengan suhu 56-600C selama 10 menit. 2. Dibiarkan selama 1 malam dalam inkubator dengan suhu 370C. 3. Deparafinisasi dengan Xylol 3x@ 5 menit. 4. Celupkan ke dalam Alkohol 100% (etanol) 3x@ 5 menit. 5. Celupkan ke dalam Alkohol 90%, 80% dan 70% 1x@ 5 menit. 6. Bilas dengan air mengalir. 7. Direndam dalam H2O2 0,3% dalam methanol selama 15 menit. 8. Rendam dalam air mengalir 5 menit. 9. Masukkan ke dalam cairan buffer citrate, lalu masukkan ke dalam decloacking. chamber selama 30 menit. 10. Tunggu hingga suhu ruangan. 11. Dilingkari sebagai tanda dengan Pap pen pada sekitar jaringan yang akan diperiksa. 12. Cuci dengan PBS 5 menit. 13. Teteskan blocking serum dan inkubasi 10 menit. 44 14. Teteskan antibody polyclonal S100 pada sediaan lalu inkubasi 1 jam. 15. Dicuci dengan PBS pH 7,2-7,42 x @ 5 menit. 16. Ditetesi antibody sekunder dan inkubasi 10-20 menit. 17. Dicuci dengan PBS pH 7,2-7,42 x @ 5 menit. 18. Ditetesi strektravidin hrp dan inkubasi 10-20 menit. 19. Dicuci dengan PBS pH 7,2-7,42 x @ 5 menit. 20. Ditetesi larutan kromogen DAB, inkubasi selama 5 menit. 21. Dicuci dengan air mengalir 5 menit. 22. Diwarnai counterstaining dengan pewarnaan Meyer hematoksilin selama 2 menit. 23. Dicuci dengan air mengalir 5 menit. 24. Celupkan dalam LiCO3. 25. Dicuci dengan air mengalir. 26. Alkohol 70%, 80%, 90% 1 x @ 5 menit. 27. Alkohol 100% (etanol) 5 menit. 28. Masukkan kedalam Xylol selama 3 menit. 29. Teteskan entelan, kemudian tutup dengan kaca penutup dan biarkan mongering pada suhu ruangan. 30. Lihat dibawah mikroskop sitoplasma dan membran sel tumor berwarna coklat. 45 3.5 Alur Kerja dan Teknik Pengumpulan Data 3.5.1 Alur Kerja Preparat / Blok Parafin Histopatologi Karsinoma Nasofaring Rekam Medis Poli THT-KL RSHS Inklusi Stadium I Stadium II Eksklusi Stadium III Stadium IV Pemeriksaan Imunohistokimia Protein S100 Pengolahan Data Analisis Statistik 3.5.2 Teknik Pengumpulan Data Setiap preparat dan blok parafin yang telah di diagnosis berdasarkan rekam medis kemudian dilakukan imunohistokimia di bagian Patologi Anatomi RS. Dr.Hasan Sadikin. 46 3.6 Rancangan Analisis Data yang diperoleh dari penelitian akan dicatat dalam formulir penelitian dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel, untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekspresi protein S100 terhadap stadium klinis karsinoma nasofaring dilakukan analisis korelasi Spearman, kemaknaan hasilnya ditetapkan berdasarkan nilai p<0,05. 3.7 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher dan Bagian Ilmu Patologi Anatomi RS Dr. Hasan Sadikin Bandung. Waktu penelitian dilakukan pada bulan September-Oktober 2015. 3.8 Aspek Etik Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu sampel preparat dan blok parafin dari bagian Patologi Anatomi RS. Dr. Hasan Sadikin, serta rekam medis yang akan dikerjakan apabila sudah mendapatkan surat clearance dari Komite Etika Penelitian FK UNPAD/RSHS. Aspek etik pada penelitian ini adalah kerahasiaan hasil diagnosis yang digunakan dalam penelitian, hanya diketahui oleh peneliti dan terjamin kerahasiaannya. Sampel blok parafin preparat dari rekam medis akan diperlakukan dengan penuh rasa tanggung jawab sejak proses pengumpulan blok sampai penelitian ini selesai, dan akan dikembalikan ke tempat penyimpanan di gudang blok parafin laboratorium Histopatologi Bagian Patologi Anatomi. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap 29 blok penderita karsinoma nasofaring dibagian Patologi Anatomi RS Hasan Sadikin. 4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian Stadium Karakteristik I II III IV Jumlah Jenis Kelamin - Laki-laki 1 2 5 10 18 - Perempuan 0 0 1 10 11 ≤ 20 tahun 0 0 0 1 1 21-30 tahun 0 1 2 1 4 31-40 tahun 1 0 1 2 4 41-50 tahun 0 3 2 5 10 >50 tahun 1 2 4 2 10 Usia 47 48 Tabel 4.1 menunjukkan distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin, perbandingan antara laki-laki dengan perempuan adalah 1,6:1 dengan 18 orang laki-laki (rerata 45,28 median 45,50 dan rentang 23-72). Penderita perempuan berjumlah 11 orang dengan rerata 44,18 median 40,00 dan rentang 18-68. Pada distribusi berdasarkan usia didapatkan penderita berusia ≤ 20 tahun berjumlah 1 orang, 4 orang usia 21-30, usia 31-40 terdapat 4 orang, usia 41-50 dan usia >50 tahun masing-masing 10 orang. Distribusi subjek penelitian berdasarkan stadium terdiri dari 2 orang dengan stadium I, stadium II berjumlah 6 orang, stadium III sebanyak 10 orang, dan stadium 4 berjumlah 11 orang. 4.1.2 Hasil Pemeriksaan Distribusi Protein S100 pada Penderita KNF WHO tipe III Tabel 4.2 Korelasi antara Distribusi protein S100 dengan stadium KNF WHO tipe III Stadium Distribusi I II III IV Jumlah <20% 0 0 0 0 0 20-50% 0 0 0 0 0 51-80% 0 0 2 0 2 >80% 2 6 8 11 27 Keterangan : Uji spearman P<0.005 p 0,791 49 Tabel 4.2 menunjukkan jumlah distribusi protein S100 menurut stadium. Dari data didapatkan pada stadium I terdapat 2 subjek dengan distribusi protein S100 >80%. Pada stadium II didapatkan 6 subjek dengan distribusi protein S100>80%. Stadium III terdapat 2 subjek dengan distribusi 51-80% dan 8 subjek distribusi >80%, dan pada stadium IV distribusi protein S100 >80%. Dengan uji statistik spearman didapatkan nilai p= 0,791 yang menujukkan tidak terdapat hubungan antara distribusi protein S100 dengan stadium klinis. 4.1.3 Hasil Pemeriksaa Intensitas Protein S100 pada Penderita KNF WHO tipe III Tabel 4.3 Korelasi antara Intensitas protein S100 dengan Stadium KNF WHO tipe III Stadium Intensitas I II III IV Jumlah lemah 2 3 0 0 5 Sedang 0 2 4 2 8 Kuat 0 1 6 9 16 p 0,000 Keterangan : Uji spearman P<0.05 Tabel 4.3 menunjukkan intensitas protein S100 menurut stadium. Pada stadium I didapatkan sebanyak 2 subjek dengan intensitas lemah. Stadium II terdapat 3 subjek dengan intensitas lemah, 2 subjek intensitas sedang, dan 1 subjek dengan intensitas 50 kuat. Stadium III terdapat 4 subjek dengan intensitas sedang dan 6 subjek dengan intensitas kuat. Pada stadium IV terdapat 2 subjek dengan intensitas sedang dan 9 subjek dengan intensitas kuat. Dengan uji statistik spearman diperoleh perbandingan intensitas berdasarkan stadium klinis dengan nilai p=0,000, terdapat hubungan bermakna antara perbandingan intensitas protein S100 terhadap stadium klinis. 4.1.4 Hasil Pemeriksaan Histoskor pada Penderita KNF WHO tipe III Tabel 4.4 Korelasi antara Hasil Pemeriksaan Histoskor dengan Stadium KNF WHO tipe III Stadium Histoskor I II III IV Jumlah Negatif 0 0 0 0 0 Positif lemah 0 0 0 0 0 Positif sedang 2 3 0 0 5 Positif kuat 0 3 10 11 24 p 0,000 Keterangan : Uji spearman P<0.05 Tabel 4.4 menunjukkan hasil histoskor pada penderita KNF WHO tipe III. Dari data didapatkan pada stadium I histoskor dengan positif sedang sebanyak 2 subjek. Pada stadium II didapatkan histoskor positif sedang dan positif kuat masing-masing 3 subjek penelitian. Pada stadium III didapatkan histoskor positif kuat 10 subjek penelitian. Dengan uji statistik spearman diperoleh perbandingan histoskor protein 51 S100 berdasarkan stadium klinis dengan nilai p=0,000, terdapat hubungan bermakna antara perbandingan histoskor protein S100 terhadap stadium klinis. 4.1.5 Korelasi antara ekspresi protein S100 dengan usia, jenis kelamin, dan stadium Tabel 4.5 Korelasi antara ekspresi protein S100 usia, jenis kelamin, dan stadium klinis KNF WHO tipe III. Variabel R Nilai p Usia -,406* 0,029 Jenis Kelamin -,145* 0,885 0,671** 0,000 Stadium Keterangan : Korelasi antara ordinal dengan numerik dengan analisis korelasi spearman. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<005. Tanda * menunjukkan signifikan <0,05 dan tanda ** signifikan <0,01. R : koefisien korelasi Pada tabel 4.5 menunjukkan hasil analisis statistik korelasi antara usia, jenis kelamin, dan stadium klinis dengan tingkat ekspresi Protein S100. Berdasarkan analisis korelasi Spearman, pada usia didapatkan korelasi negatif dengan ekspresi protein S100, diperoleh p value sebesar 0,029. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin tidak didapatkan hubungan. Pada korelasi antara stadium dan ekspresi Protein S100 didapatkan korelasi positif yang kuat dengan p value bermakna. 52 4.2 Pembahasan Data karakteristik hasil penelitian menunjukkan penderita KNF terbanyak adalah laki-laki dengan perbandingan 1,6:1. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sudrajat dalam tesis tahun 2014 di RSHS Bandung tentang hubungan antara peningkatan ekspresi LMP-1 dan P53 dengan stadium klinis KNF terhadap 23 penderita menyebutkan bahwa penderita laki-laki sebanyak 14 orang dan penderita perempuan berjumlah 9 orang dengan perbandingan 1,5:1.35 Hasil yang sama juga disebutkan oleh penelitian Cahyadi dkk, tahun 2014 pada penelitian status pendengaran penderita KNF yang berjumlah 35 penderita didapatkan penderita laki-laki sebesar 23 dan perempuan 12 dengan perbandingan sebesar 1,9:1.3 Penelitian lain oleh Altila Y, tahun 2012 di RSHS Bandung dalam tesis mengenai pengaruh radioterapi ekterna terhadap nilai ambang eksitabilitas nervus fasialis pada terapi radiasi penderita KNF didapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 5:1 dari 26 orang subjek penelitian.36 Penelitian oleh Rusdiana dkk, tahun 2006 di RS Haji Adam Malik Medan mendapatkan perbandingan antara laki-laki dengan perempuan sebesar 2:14, dan Tabyaoui dkk, tahun 2013 di Maroko didapatkan perbandingan antara laki-laki dengan perempuan adalah 2,28:1 dari 23 subjek penelitian.38 Seluruh penelitian sebelumnya menujukkan hasil yang sama dengan penelitian ini. Kejadian KNF lebih banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan karena laki-laki lebih banyak terpapar oleh faktor risiko dari lingkungan seperti zat karsinogen, alkohol dan asap rokok yang menjadikan penderita KNF lebih banyak ditemukan pada laki-laki. Selain itu paparan yang diakibatkan 53 karena pekerjaan seperti asap, debu, uap, dan zat kimia sebagai faktor risiko terjadinya KNF lebih banyak didapatkan pada laki-laki. Dari faktor individu terdapat peran estrogen pada wanita yang memiliki efek perlindungan untuk melawan proses progresivitas dari KNF, sehingga jumlah penderita KNF pada wanita lebih sedikit dari laki-laki.1,2,3,35-41 Pada korelasi antara ekspresi protein S100 dengan jenis kelamin didapatkan nilai p = 0,885 yang menyatakan bahwa tidak didapatkan hubungan antara ekspresi protein S100 dengan jenis kelamin. Kelompok usia terbanyak pada penelitian ini adalah usia 41-50 dan >50 tahun sebanyak masing-masing 10 orang dengan rerata 44,86 median 43 dan rentang 18-72. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sudrajat, tahun 2014 di RSHS Bandung dengan penderita terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 10 orang dari 23 subjek.35 Namun hasil tersebut sesuai dengan penelitian oleh Altila di RSHS Bandung tahun 2012 dengan penderita terbanyak pada usia 41-50 tahun berjumlah 11 dari 26 subjek.36 Adham M dkk di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan usia terbanyak pada usia 40-50 tahun sebanyak 32,4%2 dan Cao S M dkk di China mendapatkan usia terbanyak adalah dekade 4-6.38 Terjadinya KNF pada rentang usia dekade 4-6 disebabkan karena paparan faktor risiko dari lingkungan seperti konsumsi makanan yang diawetkan dan diasinkan serta paparan zat karsinogenik yang cukup lama baik sehingga memerlukan waktu lebih lama untuk terjadinya proses karsinogenesis.1,2,3,41 Pada korelasi antara tingkat ekspresi protein S100 dengan usia didapatkan nilai r = -,406 dan nilai p = 0,029. Hal 54 ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara ekspresi protein S100 dengan usia. Pada penelitian ini sebagian besar pasien datang dengan stadium III dan IV yaitu sebanyak 35,5% dan 37,9%. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Sudrajat yang menyatakan sebagian besar penderita datang dengan stadium lanjut yaitu stadium III sebanyak 39% dan stadium IV sebanyak 48%.35 Hasil yang sama didapat dari penelitian Munir dkk pada tahun 2007 di Medan yaitu didapatkan penderita dengan stadium III dan IV masing-masing 50% pada seluruh subjek penelitian yang berjumlah 34 orang, dan tidak dijumpai penderita dengan stadium I atau II.37 Cahyadi tahun 2014 di Bandung menjumpai penderita terbanyak dengan stadium IV berjumlah 62,85% dari 35 subjek.3 Dari semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa penderita KNF datang dengan stadium lanjut. Hal ini karena KNF sulit untuk didiagnosis secara dini karena letak nasofaring yang tersembunyi dibelakang hidung dan gejala klinis yang tidak khas. Gejala dini KNF menyerupai dengan infeksi saluran nafas atas. Gejala awal biasanya meliputi gejala hidung dan gejala telinga karena tumor terbatas pada mukosa nasofaring dengan tempat predileksi yang tersering di fossa rosenmuler hingga meluas kedinding belakang atau atap nasofaring. Sedangkan pada stadium lanjut gejala lebih jelas berupa benjolan dileher sehingga pasien lebih dapat merasakannya sehingga pasien berobat ke fasilitas kesehatan. Selain itu disebabkan pula oleh pemeriksaan serologi serta histopatologi yang belum memadai.1,2,3,35,37 55 Dari data ekspresi protein S100 didapatkan jumlah distribusi protein S100 menurut stadium, dari data didapatkan pada stadium I terdapat 2 subjek dengan distribusi protein S100 >80%. Pada stadium II didapatkan 6 subjek dengan distribusi protein S100>80%. Stadium III terdapat 2 subjek dengan distribusi 51-80% dan 8 subjek distribusi >80%, dan pada stadium IV distribusi protein S100 >80%. Dengan uji statistik spearman didapatkan nilai p= 0,791 yang menujukkan tidak terdapat hubungan antara distribusi protein S100 dengan stadium klinis. Pada pemeriksaan intensitas protein S100 didapatkan jumlah subjek intensitas protein S100 pada stadium I didapatkan sebanyak 2 subjek dengan intensitas lemah. Stadium II terdapat 3 subjek dengan intensitas lemah, 2 subjek intensitas sedang, dan 1 subjek dengan intensitas kuat. Stadium III terdapat 4 subjek dengan intensitas sedang dan 6 subjek dengan intensitas kuat. Pada stadium IV terdapat 2 subjek dengan intensitas sedang dan 9 subjek dengan intensitas kuat. Dengan uji statistik spearman diperoleh perbandingan intensitas berdasarkan stadium klinis dengan nilai p=0,000, terdapat hubungan bermakna antara perbandingan intensitas protein S100 terhadap stadium klinis. Hasil histoskor berdasarkan stadium penderita KNF WHO tipe III, dari data didapatkan pada stadium I histoskor dengan positif sedang sebanyak 2 subjek. Pada stadium II didapatkan histoskor positif sedang dan positif kuat masing-masing 3 subjek penelitian. Pada stadium III didapatkan histoskor positif kuat 10 subjek penelitian. Pada stadium IV histoskor positif kuat sebanyak 11 subjek penelitian. Hasil analisis statistik korelasi antara tingkat ekspresi protein S100 dengan stadium 56 klinis didapatkan nilai r = 0,671dengan nilai p = 0,000. Hal ini menunjukkan pada korelasi antara ekspresi Protein S100 dengan stadium didapatkan korelasi positif yang kuat dengan p value bermakna. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Tsuji dkk, tahun 2006 mengenai pengaruh RAGE oleh LMP1 terhadap metastasis KGB penderita karsinoma nasofaring. Pada penelitian tersebut, 42 blok parafin penderita KNF yang terdiri dari 3 pasien tanpa pembesaran KGB dan 33 pasien dengan pembesaran KGB (N1-3) kemudian dianalisis dan dipulas secara imunohistokimia. Hasilnya terdapat ekspresi RAGE >20% pada 29 subjek dengan p=0,0093 setelah diuji Mann-Witney. Pada penelitian ini disimpulkan terdapat hubungan antara ekspresi RAGE dengan metastasis KGB pada penderita KNF. 14 Penelitian oleh Maletzki dkk tahun 2012, menyatakan bahwa protein S100 digunakan sebagai faktor diagnostik dan prognostik pada keganasan kolorektal dan hepatoselular dimana terdapat peningkatan ekspresi protein S100 dari fase preneolasma sampai terjadi metastasis. Hal tersebut disimpulkan setelah menemukan sebanyak 161 artikel penelitian selama 10 tahun mengenai ekspresi protein S100 pada berbagai keganasan yang berkaitan dengan diferensiasi buruk, progresivitas, stadium lanjut, dan pertumbuhan metastasis. Ekspresi protein S100 dipertimbangkan sebagai faktor prognosis buruk pada beberapa kanker.31 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tadbir A dkk, pada tahun 2013 meneliti ekspresi protein S100A9 pada kanker mulut skuamosa. Penelitian dilakukan terhadap 60 kasus yang terdiri dari 35 laki-laki dan 25 perempuan. Hasil yang didapat bahwa 57 ekspresi protein S100 meningkat dibandingkan dengan sel normal pada kanker mulut skuamosa. Ekspresi protein S100A9 berhubungan dengan diferensiasi sel namun tidak berhubungan dengan stadium klinis dan penyebaran KGB dengan nilai p<0,001 setelah diuji dengan tes Mann-Whitney. Protein S100A9 memegang peranan penting pada proses karsinogenesis dan pertumbuhan kanker mulut skuamosa. Protein S100A9 adalah anggota dari protein S100 yang pada penelitian sebelumnya telah terbukti terdapat ekspresi pada sel normal, peradangan, dan keganasan epitel squamosa.32 Cumhur pada tahun 2014 melakukan analisis protein S100A8 dan S100A9 pada keganasan kolorektal. Penelitian dilakukan terhadap 80 pasien terdiagnosis keganasan kolorektal yang terdiri dari 30 dengan metastasis jauh, 30 dengan penyebaran KGB, dan 20 kasus tanpa metastasis. Jenis kelamin terdiri dari 39 laki-laki dengan usia ratarata 69,6 tahun dan perempuan berjumlah 41 orang dengan usia rata-rata 60,4 tahun. Hasil yang didapatkan adalah terdapat hubungan protein S100A8/A9 terhadap ukuran tumor, stadium, dan metastasis dengan p<0,05 setelah diuji Chi-square.42 Pada penelitian oleh Cotoi dkk, tahun 2013 mengenai hubungan kadar protein S100A8/A9 dengan jumlah neutrofil, faktor risiko, dan penyakit kardiovaskular pada individu sehat usia pertengahan didapatkan konsentrasi protein S100A8/A9 dalam darah yang dipengaruhi oleh jumlah neutrofil, merokok, dan indeks massa tubuh dengan nilai p<0,001. Namun tidak didapatkan hubungan antara kadar protein S100A8 dan S100A9 dengan penyakit kardiovaskular. Penelitian dilakukan terhadap 664 individu antara usia 63 sampai 68 tahun selama 16 tahun.43 58 Xiang tahun 2009 melakukan penelitian kuantitatif analisis dari stroma karsinoma nasofaring. Penelitian dilakukan terhadap 116 penderita terdiri dari 30 subjek dengan mukosa nasofaring yang normal, 66 subjek dengan KNF stadium awal, dan 20 subjek dengan KNF stadium lanjut. Ditemukan peningkatan eskpresi protein S100A9 pada jaringan KNF dibanding dengan jaringan normal nasofaring secara signifikan dengan nilai p=0,01. Penelitian ini juga menyebutkan hubungan yang signifikan antara ekspresi protein S100A9 dengan metastasis KGB pada KNF dengan nilai p<0,05.44 Pada penelitian Sudrajat tahun 2014 mengenai hubungan antara peningkatan ekspresi LMP 1 dan p53 dengan stadium klinis karsinoma nasofaring terhadap 23 subjek, mendapatkan hasil histoskor imunoekspresi positif kuat pada ekspresi LMP dan p53 dengan nilai p<0,001 setelah diuji Anova.34 Yenita dkk di Padang tahun 2012 menunjukkan korelasi lemah berpola positif pada histoskor ekspresi p53 (p<0,05) pada penelitian untuk mengetahui korelasi antara LMP1 VEB dengan ekspresi p53 penderita KNF yang diuji menggunakan uji korelasi Pearson.39 Terdapat tiga mekanisme terjadinya karsinogenesis, yaitu fase inisiasi, promosi, dan progresi. Fase inisiasi adalah terjadinya perubahan gen. Fase promosi adalah perubahan gen yang telah terjadi menjadi berproliferasi. Fase progresi yaitu peningkatan ukuran dari tumor serta terjadi penyebaran tumor itu sendiri. Secara umum inflamasi dapat berhubungan dengan ketiga proses tersebut dalam jalur yang berbeda-beda.6 Proses tersebut dimediasi oleh beberapa mediator diantaranya leukosit, makrofag, sel dendritik, neutrofil, sel mast, dan sel T. Sel-sel tersebut direkrut juga oleh lingkungan sekitar tumor melalui interaksi sel stroma lokal dan sel 59 keganasan. Daerah hipoksia sekitar sel tumor mengakibatkan pengeluaran TAM, yang berfungsi untuk melepaskan faktor angiogenesis dan penyelamat tumor seperti tumor nekrosis faktor, IL-1, IL-6, IL-8, VEGF sebagai mediator promosi dan progresivitas tumor. Pada proses tersebut dikeluarkan pula protein pro inflamasi berupa HMGB1 dan protein S100 yang akan mengaktifkan makrofag. 6,7,12,16,28 Setelah berikatan dengan kalsium, protein S100 mengalami perubahan bentuk, sehingga memungkinkan protein untuk berinteraksi, proses tersebut membutuhkan berbagai fungsi intraseluler dan ekstraseluler. Fungsi intraseluler diantaranya regulasi homeostasis kalsium, siklus sel, pertumbuhan sel dan migrasi, fosforilasi, komponen sitoskeletal serta regulasi faktor transkripsi. Berbeda dengan fungsi intraseluler, protein S100 ekstraseluler bertindak sebagai sitokin dengan mengikat RAGE dan reseptor Toll-like (TLRs). 15,29 Protein S100 merupakan protein yang berperan pada proses keganasan baik proses diferensiasi, proliferasi, maupun metastasis. Hubungan antara protein S100 dan tumor dapat dilihat dari beberapa pengamatan. Pertama, sebagian besar gen S100 berada pada kromosom 1q21, yang merupakan area penataan ulang gen sehingga protein S100 berimplikasi pada perkembangan tumor. Kedua, beberapa anggota S100 menunjukkan ekspresi dalam berbagai keganasan. Ketiga, sejumlah protein S100 telah terbukti berinteraksi mengatur berbagai protein yang terlibat pada kanker seperti NF-κB, p53, dan β-catenin. 15,29 Pada proses diferensiasi protein S100 terlibat pada perubahahan ekspresi protein S100 di berbagai tumor. Sebagian besar S100 kalsium mengikat protein pada kromosom 1q21, merupakan komponen penting dari kompleks diferensiasi epidermal. Protein S100 60 terlibat dalam proses diferensiasi terminal epidermis manusia dan beberapa gangguan termasuk kanker. Di satu sisi, beberapa ekspresi protein S100 berkorelasi dengan diferensiasi tumor. Protein S100 menunjukkan korelasi komunikasi bergantung pada jenis diferensiasi tumor, seperti ekspresi menurun pada karsinoma laring, namun meningkat pada karsinoma esophagus dan karsinoma payudara. Kadar protein S100 juga meningkat pada perokok dan meningkatkan neutrofil pada individu sehat, namun tidak menyebabkan penyakit secara langsung. Pada fase proliferatif protein S100 dapat diekskresikan dengan cara endokrin, parakrin, dan autokrin. Salah satu reseptor protein S100 adalah RAGE, merupakan reseptor permukaan sel yang terlibat dalam beberapa patologi termasuk peradangan dan kanker. Protein S100 termasuk S100A1, S100A4, S100A6, S100A8/A9, S100A11, S100A12, S100A14, S100B, dan S100P mengikat pada RAGE dan memicu sinyal seluler RAGE, melibatkan jalur sinyal MAP Kinase, NF-κB , dan PI-3K. Protein S100 terlibat dalam regulasi proses seluler yang beragam termasuk peradangan dan kanker. 15,29 Protein S100 memainkan peran sentral dalam regulasi apoptosis sel, sehingga menyebabkan pertumbuhan yang terus menerus dari sel kanker. Dalam sel epitel tumor protein S100B memodulasi kelangsungan hidup sel dengan merekrut PI3K/AKT melalui NF-κB dengan cara interaksi RAGE, sedangkan S100A6 menghambat kelangsungan hidup sel dan memicu apoptosis sel melalui aktivasi JNK. S100P meningkatkan proliferasi sel kanker dan merangsang fosforilasi ERK1/2 serta aktivitas NF-κB melalui interaksi dengan RAGE , antagonisme RAGE-kromolin menghambat efek biologis S100P pada proliferasi sel. S100P mengatur proliferasi sel 61 dan kelangsungan hidup sel-sel kanker dengan mengaktifkan RAGE. S100A8/A9 pada konsentrasi rendah mendorong pertumbuhan sel tumor melalui pengaktifan MAP Kinase dan NF-κB yang bergantung pada jalur ikatan RAGE.20-29 Beberapa protein S100 memainkan peran sentral dalam regulasi apoptosis sel protein. S100A8/A9 ektraseluler dapat menghambat pertumbuhan berbagai jenis sel normal (makrofag, sel-sel sumsum tulang, limfosit, fibroblas) dan menunjukkan aktivitas apoptosis di berbagai sel tumor. Protein S100A8/A9 menginduksi apoptosis sel dengan mengikat reseptor permukaan sel serta memberikan efek aktivitas apoptosis mitokondria dan modulasi anti apoptosis protein B Cell Lymphoma 2 (BCL-2).20,29 Anggota protein S100 menampilkan pola ekspresi tertentu dari jaringan/sel dan menunjukkan perbedaan dalam berbagai jenis kanker. Protein S100 mungkin bertindak sebagai teman atau musuh dan berfungsi baik sebagai pro atau anti tumorgenik. Beberapa anggota protein S100 (yaitu S100A2, S100A3, S100A6, S100A8/A9, dan S100A11) telah didokumentasikan dalam beberapa jenis kanker dengan pola ekspresi yang meningkat maupun menurun. Peningkatan S100A2 menunjukkan prognosis buruk pada kanker pankreas, ekspresi S100A2 adalah prediktor yang baik terhadap respons pankreatektomi pada kanker pankreas. 26,30 Peningkatan S100A8 dan S100A9 dianggap sebagai penanda prognosis buruk pada kanker payudara. Sebaliknya, S100A9 berkorelasi dengan prognosis yang lebih baik pada pasien dengan kanker lambung. S100A11 mungkin menjadi penanda tumor yang signifikan untuk adenokarsinoma pankreas dan ekspresi tinggi S100A11 62 merupakan prediktor yang tidak menguntungkan untuk prognosis pasien yang telah menjalani reseksi bedah. Sebaliknya, ekspresi yang rendah dari S100A11 dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada pasien dengan kanker kandung kemih. Protein S100 dinilai sebagai biomarker dari perkembangan kanker dalam beberapa kasus tergantung pada jenis tumor. 20,21,29 Protein S100 mengikat reseptor pada mitokondria dan memodulasi proses apoptosis tersebut yang terdapat pada sel langerhans. Sel langerhans dapat dideteksi tidak hanya pad epidermis namun juga pada epitel esophagus, tonsil, nasofaring, dan jaringan limfoid. Dengan pemeriksaan imunohistokimia dapat melihat sel langerhans baik dalam bentuk yang telah matang maupun belum matang. Dari penelitian ini terdapat peningkatan ekspresi protein S100 yang berasal dari sel langerhan tumor KNF. Pada proses keganasan yang disebabkan inflamasi, protein S100 berinteraksi dengan ROS menyebabkan aktivasi faktor transkripsi seperti Nf-κB yang akan meningkatkan IL-6 dan akan melibatkan jalur aktivasi STAT3 untuk mempromosikan faktor pertumbuhan dan invasi sel tumor. Selain itu ROS akan merusak DNA yang akan menyebabkan penekanan apoptosis yang dimediasi oleh p53 sehingga menyebabkan proses metastasis dari sel tumor. Sebagian besar KNF mengandung gen p53 yang diaktifkan oleh protein S100 yang memicu progresifitas dan proliferasi sel melalui siklus sel, jalur sinyal Nf-κB dan STAT3. 14-20 63 4.3 Uji Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : terdapat korelasi tingkat ekspresi protein S100 terhadap stadium klinis KNF WHO tipe III. Dari hipotesis diatas dapat dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut : H0 : tidak terdapat korelasi tingkat ekspresi protein S100 terhadap stadium klinis KNF WHO tipe III. H1 : terdapat korelasi tingkat ekspresi protein S100 terhadap stadium klinis KNF WHO tipe III Analisis statistik tes Rank Spearman didapatkan korelasi antara ekspresi protein S100 dengan stadium klinis KNF WHO tipe III memiliki koefisien korelasi r = 0,671 dengan nilai p = 0,000. Hasil tersebut menunjukkan adanya korelasi positif antara ekspresi protein S100 dengan stadium klinis KNF WHO tipe III. Korelasi positif ini artinya peningkatan ekspresi protein S100 sejalan dengan progresifitas KNF WHO tipe III, jadi semakin tinggi ekspresi protein S100 semakin tinggi juga stadium klinisnya. Ini menunjukkan bahwa ekspresi protein S100 yang meningkat berpengaruh pada progresifitas KNF WHO tipe III. Dari pengujian hipotesis diatas maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik hipotesis penelitian diterima. BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 5.1.1 Simpulan Umum Terdapat korelasi antara tingkat ekspresi protein S100 jaringan tumor dengan stadium klinis KNF WHO tipe III 5.1.2 Simpulan Khusus 1. Penderita KNF lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2-3:1. 2. Usia penderita paling tinggi pada dekade 4-6 3. Penderita yang datang ditemukan sudah dengan stadium lanjut. 4. Distribusi protein S100 >80% pada sebagian besar subjek dipenelitian ini 5. Intensitas kuat protein S100 didapati pada KNF stadium lanjut. 5.3 Saran 1. Pemeriksaan imunohistokimia protein S100 dapat dijadikan pemeriksaan pasien KNF pada stadium awal untuk mendeteksi progresivitas terjadinya KNF 2. Dilakukan penelitian biomolekuler lebih lanjut mengenai peran anggota S100 yang lain pada karsinoma nasofaring. 64 DAFTAR PUSTAKA 1. Wei WI, Chua DT. Nasopharyngal cancer 2014. Dalam Bailey BJ, Healey GB, Johnson JT, Rosen CA dkk, penyunting. Head and neck surgeryotolaryngology.Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. Edisi ke-4,:187597. 2. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo, Tri IB, Middeldrop.2012. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia : epidemiology, incidence, sign, and symptoms at presentation. Chin J Cancer;vol. 31(4):1-8 3. Cahyadi I, Dewi Y A. 2014. Status Pendengaran Penderita Karsinoma Nasofaring. Pekan Ilmiah Tahunan Otologi. Bandung. 4. Rusdiana, Munir D, Siregar Y. 2006. Tesis, Hubungan antibodi anti Epstein Barr Virus dengan karsinoma nasofaring pada pasien etnis Batak di Medan, FK USU, Medan:45-6 5. Mirza M, Permana A D, Soeseno B. 2015. Epidemiology of Head and Neck Cancer Patients at Department of Otorhinolaringology-Head and Neck Surgery Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, Indonesia in 2010–2014 Period. Bandung 6. Okada F. 2014. Inflammation-Relation Carcinogenesis: Current Finding in Epidemiological Trend, Causes and Mechanisms. Yonago Acta Medica; 57:6572. 7. Kresno S B. 2011. Ilmu Dasar Onkologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 2: 112-29 8. Hung S H, Chen P Y, Lin H C, Ting J, Chung S D. 2014. Association of Rhinosinusitis With Nasopharyngeal Carcinoma: A Population-Based Study. The Laryngoscope, 124:1515-20 9. Nurhayati F, Muhardjo, Setiamika M, Budiani D R. 2012. Pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated.ORLI, 42:34-9 10. Lauriola L, Michetti F, Sentinelli S, Cochia D.1984. Detection of S100 labelled cell in nasopharyngeal carcinoma. J Clin Pathol ;37:1235-8. 65 66 11. Nomori H, Watanabe S, Nakajima T, Shimosato Y, Kameya T. 1986. Histiocytes in Nasopharyngeal Carcinoma in Relation to Prognosis. Cancer. 57: 100-5 12. Collota F, Allavena P, Sica A, Garlanda C & Mantovani A. 2009. Cancer-related inflammation, the seven hallmark of cancer : links to genetic instability. Carcinogenesis;30:7:1073-81. 13. Tulalamba W & Janvilisri T.2011. Nasopharingeal Carsinoma Signaling Pathway: An Update on Molecular Biomarkers. Hindawi Publishing Corporation International Journal of Cell Biology:10:1155-65. 14. Tsuji A, Wakisaka N, Kondo S, et al. 2008. Induction of Reseptor for Advance Glycation End Products by EBV Latent Membran Protein 1 and its Correlation with Angiogenesis and Cervical Lymph Node Metastasis in Nasopharingeal Carcinoma. Clin Cancer Res:14:5368-75. 15. Sinha P, Okoro C, et al. 2008. Proinflamatory S100 Protein Regulate the Accumulation of Myeloid-Derived Suppresor Cells. Journal Immunol,; 181:4666-75 16. Karin M, Greten F R. 2005.NF-κB: Linking Inflammation and Immunity to Cancer Development and Progression. Nature Publishing.;5:749-59 17. Shao JY, Ernberg I, & Hu LF. 2004. Epstein Barr Virus LMP1 Status in Relation to Apoptosis, P53 Expression and Leucocyte Infiltration in Nasopharyngeal Carcinoma. Anticancer Research. 24 : 2309-18 18. Maletzki C, Bodammer P. 2012. S100 protein as diagnostic and prognostic Markers in colorectal and Hepatocellular carcinoma. Hepatitis Monthly;12(10):e7240 19. Murray P G, Young L S. 2001. Epstein Barr Virus Infection: Basic of Malignancy and potencial for therapy. Cambridge University Press:1-8 20. Simard J C, Cesaro A, Montes J C, Tardif M. 2013. S100A8 and S100A9 induce Cytokine Expression and Regulate the NLRP3 inflammasome via ROSdependent Activation of NFκB. Plos ONE 8(8): e72138 21. Grevers G, Probst R.2006. Disease of Nasofaring Basic Otorhinolaryngology. Thieme 53:108-111 67 22. Chong VF.2006. Neoplasms of the Nasopharyng. Dalam Head and Neck Cancer Imaging. Section 8. Spinger :143-61. 23. Cao SM, Simons MJ.2011. The Prevalence and Prevention of Nasopharyngeal Carcinoma in China. Chinese Journal of Cancer.30:114-9 24. Jia WH, Luo XY, & Zeng YX. 2010. Traditional Cantonese Diet and Nasopharingeal Carcinoma Risk : a large scale case-control study in Guangdong, China. BMC Cancer, 10:446 25. Yusof AM. 2011. Nasopharyngeal Carcinoma Screening. Health Technology Assessment Section, Ministry of Health Malaysia. Malaysia.12:42-4 26. Taheri Z. 2007. Nasopharyngeal carcinoma : past, present, and future directions. Departement of Oncology Institute of Clinical University, Sweden.46(6):817-27 27. Forastiere A A et all.2013.NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology in Head and Neck Cancer. National Comprehensive Cancer Network. Version 2.NCCN.org:1-4 28. Zeng MS & Zeng YX.2009. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Cancer. Dalam Nasopharyngeal Cancer Multidisplinary Management. Spinger:925. 29. Riehl A, Nemeth J, Angel P & Hess J. 2009. The receptor RAGE: Bridging inflammation and cancer. Cell Communication and Signaling;7:12-9. 30. Chen H, Xu C, Jin Q, Liu Z. 2014. S100 protein family in human cancer. Am J Cancer Res;4:89-115 31. Zheng H, Li L, Hu D, Deng X, & Cao Y. 2007. Role of Epstein Barr Virus Encoded Latent Membrane Protein 1 in the Carcinogenesis of Nasopharyngeal Carcinoma. The Chinese Society of Immunology.vol 4 (3) : 185-96. 32. Tadbir A, Ashraf M J & Mehrabani G. 2013. S100A9 Expression in Oral Squamous Cell Carcinoma. Middle-East Journal of Scientific Research. 16(6);775-81 33. Sastroasmoro S & Ismael S. 2001. Dasar-dasar metodologi Penelitian Klinis, Sagung Seto, Edisi ke-4. Hal. 16-24 68 34. Svrcek M, Jourdan F. 2003. Imunohistochemical analysis of adenocarcinoma of small intestine : a tissue microarray study. J Clin Pathol;56:898-903. 35. Sudrajat K, 2014. Hubungan Antara Peningkatan Ekspresi Laten Membrane Protein-1 dan P53 dengan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring. Tesis FK Univeritas Padjadjaran, Bandung. . 36. Altila Y. 2012. Pengaruh Radioterapi Eksterna Terhadap Nilai Ambang Eksitabilitas Nervus Fasialis Pada Terapi Radiasi Penderita Karsinoma Nasofaring. Tesis. FK Universitas Padjadjaran, Bandung 37. Munir D, Lutan R, Hasibuan M, Henny F. 2007. Ekspresi Protein p53 Mutan pada Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran Nusantara; 40;3 38. Tabyaoui, Serhier, & Tahiri. 2013. Imunohistochemical expression of latent membrane protein 1 (LMP 1) and p53 in nasofaringeal carcinoma : Moroccan Ekspress. Africans Health Sciences. Vol, 13 39. Xie S H, Yu I T S, Tse L A, Mang O W, Yue L. 2012. Sex Difference in the incidence of nasofaryngeal carcinoma in Hongkong 1983-2008: Suggestion of a potensial protective role of oestrogen. Europan Journal of Cancer 49. 150-5 40. Yenita, & Asri A. 2012. Korelasi antara Laten Membrane Protein 1 dengan p53 pada Karsinoma Nasofaring. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol 1 41. Chang E T, Adami H. 2006. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carsinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev:15:1765-77 42. Cumhur I B, Betul U. 2014. S100A8 and S100A9 positive cell in colorectal carcinoma : clinicopathological analysis. Gastroenterol Res Prac: 6. 43. Cotoi O S. Duner P. Ko Nayoung. 2014. Plasma S100A8/A9 Correlates With Blood Neutrophil Counts, Traditional Risk Factors, and Cardiovascular Disease in Middle Aged Healthy Individuals. Arterioscler Thromb Vasc Biol;34:202-10. 44. Xiang L M. 2009. Quantitative Proteomics Analysis of the Stroma in Nasopharyngeal Carcinoma. Tesis. Central South University. xxiv Data Hasil Penelitian No Nama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Ny I Tn A Ny D Ny R Tn KM Tn M Ny M Tn O J Tn R Tn U Ny W Tn T Nn L A Tn T M Tn I K Ny E S Tn Y Tn A Tn W Ny N Tn A K Tn J Tn H E Ny R Ny A Ny I Tn Su Tn S P Tn SD Usia 40 53 57 53 42 43 39 48 43 49 47 43 18 36 23 31 27 23 60 38 51 51 61 30 68 65 52 38 72 Jenis Kelamin P L P P L L P L L L P L P L L P L L L P L L L P P P L L L Stadium Intensitas Distribusi Histoskor 3 4 3 3 2 1 4 3 3 2 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 3 2 1 4 2 2 2 3 3 2 3 3 2 1 1 3 3 3 2 3 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 1 3 1 2 1 3 2 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 8 12 9 8 4 4 12 12 12 6 12 8 12 12 12 8 8 12 12 12 9 12 4 12 4 8 4 12 8 xxv Frequencies jenis_kelamin Valid Laki-laki Perempuan Total Frequency 18 11 29 Percent 62,1 37,9 100,0 Valid Percent 62,1 37,9 100,0 Cumulative Percent 62,1 100,0 stadium Valid 1 2 3 4 Total Frequency 2 6 10 11 29 Percent 6,9 20,7 34,5 37,9 100,0 Valid Percent 6,9 20,7 34,5 37,9 100,0 Cumulative Percent 6,9 27,6 62,1 100,0 intensitas Valid Lemah Sedang Kuat Total Frequency 5 8 16 29 Percent 17,2 27,6 55,2 100,0 Valid P erc ent 17,2 27,6 55,2 100,0 Cumulative Percent 17,2 44,8 100,0 distribusi Valid 50-80 % >80 % Total Frequency 2 27 29 Percent 6,9 93,1 100,0 Valid Percent 6,9 93,1 100,0 Cumulative Percent 6,9 100,0 xxvii Means Report jenis_kelamin Laki-laki Perempuan Total ekspresi_ protein 9,17 18 3,294 10,50 4 12 9,55 11 2,659 9,00 4 12 9,31 29 3,025 9,00 4 12 us ia 45,28 18 12,974 45,50 23 72 44,18 11 15,471 40,00 18 68 44,86 29 13,711 43,00 18 72 Mean N Std. Deviation Median Minimum Maximum Mean N Std. Deviation Median Minimum Maximum Mean N Std. Deviation Median Minimum Maximum NPar Tests Mann-Whitney Test Ra nks us ia ek spresi_protein jenis_k elamin Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total N 18 11 29 18 11 29 Mean Rank 15,33 14,45 Sum of Ranks 276,00 159,00 14,83 15,27 267,00 168,00 Te st S tatisticsb Mann-W hit ney U W ilcox on W Z As ymp. Sig. (2-tailed) Ex act Sig. [2*(1-tailed Sig.)] us ia 93,000 159,000 -,270 ,787 a ,808 a. Not correct ed for ties. b. Grouping V ariable: jenis _kelamin ek spresi_ protein 96,000 267,000 -,145 ,885 a ,912 xxviii Crosstabs stadium * jenis_kelamin Crosstab stadium 1 2 3 4 Total jenis_kelamin Perempuan Laki-laki 2 0 11,1% ,0% 4 2 22,2% 18,2% 7 3 38,9% 27,3% 5 6 27,8% 54,5% 18 11 100,0% 100,0% Count % within jenis_kelamin Count % within jenis_kelamin Count % within jenis_kelamin Count % within jenis_kelamin Count % within jenis_kelamin Total 2 6,9% 6 20,7% 10 34,5% 11 37,9% 29 100,0% Chi-Square Te sts Pearson Chi-S quare Lik elihood Ratio Linear-by-Linear As soc iation N of V alid Cases Value 2,833a 3,482 3 3 As ymp. Sig. (2-sided) ,418 ,323 1 ,142 df 2,153 29 a. 6 c ells (75,0%) have ex pec ted c ount les s than 5. The minimum expected count is ,76. intensitas * jenis_kelamin Crosstab int ensitas Lemah Sedang Kuat Total Count % within jenis_kelamin Count % within jenis_kelamin Count % within jenis_kelamin Count % within jenis_kelamin jenis_k elamin Laki-laki Perempuan 4 1 22,2% 9,1% 4 4 22,2% 36,4% 10 6 55,6% 54,5% 18 11 100,0% 100,0% Total 5 17,2% 8 27,6% 16 55,2% 29 100,0% xxix Chi-Square Te sts Pearson Chi-S quare Lik elihood Ratio Linear-by-Linear As soc iation N of V alid Cases Value 1,179a 1,232 2 2 As ymp. Sig. (2-sided) ,555 ,540 1 ,683 df ,167 29 a. 4 c ells (66,7%) have ex pec ted c ount les s than 5. The minimum expected count is 1,90. distribusi * jenis_kelamin Crosstab dis tribusi 50-80 % >80 % Total Count % within jenis_kelamin Count % within jenis_kelamin Count % within jenis_kelamin jenis_kelamin Laki-laki Perempuan 1 1 5,6% 9,1% 17 10 94,4% 90,9% 18 11 100,0% 100,0% Total 2 6,9% 27 93,1% 29 100,0% Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Continuity Correction a Likelihood Ratio Fis her's Exact Test Linear-by-Linear As sociation N of Valid Cases Value ,133b ,000 ,129 ,128 df 1 1 1 1 As ymp. Sig. (2-sided) ,715 1,000 ,719 Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) 1,000 ,623 ,720 29 a. Computed only for a 2x2 table b. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,76. xxx Nonparametric Correlations Correlations Spearman's rho us ia intensitas dis tribusi ekspresi_protein stadium Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). us ia intensitas dis tribusi 1,000 -,340 -,220 . ,071 ,252 29 29 29 -,340 1,000 -,235 ,071 . ,219 29 29 29 -,220 -,235 1,000 ,252 ,219 . 29 29 29 -,406* ,967** ,018 ,029 ,000 ,928 29 29 29 ,052 -,549** ,643** ,002 ,000 ,791 29 29 29 ekspresi_ protein -,406* ,029 29 ,967** ,000 29 ,018 ,928 29 1,000 . 29 ,671** ,000 29 stadium -,549** ,002 29 ,643** ,000 29 ,052 ,791 29 ,671** ,000 29 1,000 . 29 xxxi Regression Model Summary Model 1 R ,808a Adjusted R Square ,611 R Square ,653 Std. Error of the Estimate ,589 a. Predictors: (Constant), ekspresi_protein, jenis _ kelamin, us ia ANOV Ab Model 1 Regres sion Residual Total Sum of Squares 16,300 8,665 24,966 df 3 25 28 Mean S quare 5,433 ,347 F 15,676 Sig. ,000a a. Predic tors: (Constant), ekspresi_protein, jenis_kelamin, usia b. Dependent Variable: stadium Coefficients a Model 1 (Constant) us ia jenis_kelamin ekspresi_protein Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,489 ,723 -,019 ,009 ,438 ,226 ,190 ,040 Standardized Coefficients Beta -,269 ,229 ,610 t 2,060 -2,086 1,939 4,724 Sig. ,050 ,047 ,064 ,000 a. Dependent Variable: stadium Persamaan regresi ganda : Stadium = 1,489 – 0,019*usia + 0,438*jenis kelamin + 0,190* ekspresi protein (r2 % = 65,3%) (jenis kelamin : 1 = Laki-laki; 2 = Perempuan) Lampiran DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Ismi Cahyadi NPM : 131421110505 Tempat tanggal lahir : Cirebon, 10 Mei 1983 Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Desa Cilengkrang Dusun 2, Kecamatan Pasaleman Kabupaten Cirebon Nama Ayah : H. Amad Alamsyah Nama Ibu : Hj Elli Carseli Nama Istri : dr. Hani Andriani Nama Anak : 1. Putri Halwa Herhani 2. Putri Zafira Herhani Pendidikan Umum 1988-1994 : SDN Jatiseeng Kidul, Ciledug Cirebon 1994-1997 : SMP Negeri 1 Ciledug Cirebon 1997-2000 : SMA Negeri 2 Cirebon 2000-2007 : Fakultas Kedokteran Universitas Jendral Achmad Yani Cimahi 2012-2016 : Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan xxviii Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung Pendidikan Tambahan 1. Advance Cardiac Life Support Course, Cirebon 2. General Emergency Life Support Course, Cirebon 3. Diklat Prajabatan tahun 2009 4. Peserta Orientasi Rumah Sakit PPDS I 15-23 Februari 2012 5. Peserta 9th Jakarta International FESS Course-Workshop, Jakarta 2013 6. Simposium Allergic Rhinitis Update, Bandung 13 Oktober 2012 7. Rhinoplasty Live Surgery, Bandung 22 November 2012 8. Forum Peserta Pendidikan Dokter Spesialis I, Kolegium Nasional Ilmu Kesehatan THT-KL, Jakarta 2013 9. Simposium & Demo Radiofrequency in Turbinate Problems, Bandung 3 November 2012 10. Pelatihan Bantuan Hidup Dasar RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, 28 Desember 2012- 16 Januari 2013 11. Temporal Bone Dissection Course, Bandung Oktober 2014 12. Bandung ORL-HNS Week Symposium & Workshop, Bandung 8-13 Oktober 2013 13. Forum Peserta Pendidikan Dokter Spesialis I, Kolegium Nasional Ilmu Kesehatan THT-KL Surabaya Agustus 2014. xxviii xxix 14. Forum Peserta Pendidikan Dokter Spesialis I, Kolegium Nasional Ilmu Kesehatan THT-KL Bandung Maret 2015 15. Pertemuan Ilmiah Tahunan Otologi PITO IX 2014, Bandung 11-13 September 2014. Riwayat Pekerjaan 2008-2009 : Dokter umum honorer RSUD Waled Kabupaten Cirebon 2009-2010 : CPNS RSUD Waled Kabupaten Cirebon 2010-sekarang : PNS RSUD Waled Kabupaten Cirebon xxix