Baca selengkapnya

advertisement
Pengembangan Profesionalitas Gurun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................................
1
A. Latar Belakang ................................................................................................
1
B. Pengertian Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru .............................
2
C. Manfaat Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru .................
2
D. Tujuan Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru
Agama Buddha ................................................................................................
2
E. Strategi Penggunaan Modul ............................................................................
3
F. Tujuan Mempelajari Modul ..............................................................................
3
G. Persyaratan bagi Peserta Pelatihan ..................................................................
4
KEPRIBADIAN DAN PROFESI GURU AGAMA BUDDHA ..........................
5
A. Konsep Dasar Pengembangan Kepribadian ....................................................
5
B. Agama dan Pembentukan Kepribadian ...........................................................
7
C. Profesi Guru Agama Buddha ..........................................................................
8
D. Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru Agama Buddha ........................
10
E. Contoh-contoh Kepribadian Guru Agama Buddha .........................................
16
F. Guru Agama Buddha sebagai Teladan .............................................................
17
P E N U T U P ......................................................................................................
18
A. Ringkasan .......................................................................................................
18
B. Lembar Tugas .................................................................................................
18
C. Evaluasi ...........................................................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................
20
BAB II
BAB III
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
0
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada sekolah-sekolah umum maupun pada sekolah-sekolah yang bercirikan keagamaan
bahwa yang dimaksud dengan tenaga kependidikan para prinsipnya adalah sama. Tenaga
kependidikan tersebut meliputi : Guru, Pengelola satuan pendidikan, Pengawas, Penilik, Peneliti,
Pustakawan dan lain-lainnya. Tenaga kependidikan yang dimaksud adalah keseluruhan yang
berhubungan dan bersangkutan dengan kelancaran pelaksanaan kependidikan. Walaupun pada
prinsipnya sama, namun ada hal yang membedakan khususnya dengan tenaga kependidikan agama
Buddha. Tenaga kependidikan dalam agama Buddha masih ditambah dengan Guru pada Sekolahsekolah Minggu, Bhikkhu-bhikkhuni, Samanera-samaneri, Pandita dan Dharmaduta. Hal ini sesuai
dengan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992, pasal 1 ayat (1) yang
menyebutkan : Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri secara
langsung dalam penyelenggaraan pendidikan.
Keberhasilan dalam proses pembelajaran agama Buddha, salah satu yang sangat
menunjang adalah memiliki guru agama Buddha yang profesional. Profesionalitas guru agama
Buddha adalah kunci yang efektif dalam keberhasilan proses belajar mengajar. Seorang tokoh
pendidikan Amerika Serikat John Goodlad, pernah melakukan penelitian yang hasilnya
menunjukkan bahwa peran guru amat sangat signifikan bagi setiap keberhasilan proses
pembelajaran. Penelitian itu kemudian dipublikasikan dengan judul Behin the Classroom Doors,
yang didalamnya dijelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruangan kelas dan menutup
pintu- pintu kelas, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan guru.
Hal ini secara logika sangat masuk akal karena ketika proses pembelajaran berlangsung,
guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang menarik sehingga
mampu menebarkan virus nAch (needs for achievement) atau motivasi berprestasi, jika kita
meminjam teori terminologi dari McCleland. Di dalam kelas itu seorang guru juga dapat tampil
sebagai tokoh yang mampu membuat siswa berpikir divergent dengan memberikan berbagain
pertanyaan yang jawabannya tidak sekadar terkait dengan fakta : Ya atau Tidak. Seorang guru
dikelas dapat merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban secara kreatif,
imajinatif-hipotetik dan sintetik (thought provoking question).
Sebaliknya dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, seorang guru juga tidak
menutup kemungkinan untuk tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif dan tidak mampu
menjadi idola siswa. Bahkan dia dapat berkembang ke arah proses pembelajaran yang secara tidak
sadar mematikan kreatifitas menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif, dan dengan
demikian dapat dimasukkan ke dalam kategori banking concept of education-nya Paulo Friere, atau
learning to have-nya Eric From.
Dalam kontek ini hasil penelitian John Goodlad tersebut memiliki implikasi bahwa perlu
menciptakan sebuat sistem rekrutmen dan pembinaan karier guru. Hanya dengan begitu para guru
benar-benar memiliki profesionalisme dan efektifitas yang tinggi. Dengan kemampuan semacam
itu, ketika seorang guru mamasuki ruang kelas, guru yang bersangkutan mampu menegakkan
standar kualitas yang ideal bagi proses pembelajaran.
Suatu pekerjaan dikatakan profesional jika pekerjaan itu memiliki kriteria tertentu. Jika
kita mengikuti pendapat Houle, tokoh pendidikan lainnya bahwa ciri-ciri pekerjaan yang
profesional meliputi :
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
1
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
 Harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat.
 Berdasarkan atas kompetensi individual (bukan atas dasar KKN).
 Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi.
 Ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat.
 Adanya kesadaran profesional yang tinggi.
 Memiliki prinsip-prinsip etik (Kode Etik).
 Memiliki sistem sanksi profesi.
 Adanya militansi individual dan :
 Memiliki organisasi profesi.
Seyogyanya Pemerintah berpedoman pada ciri-ciri tersebut dan menerjemahkan ke dalam
sistem rekrutmen dan pembinaan karier guru agar profesionalisme guru dapat selalu ditingkatkan.
Tanpa berbuat seperti itu, kualitas guru akan selalu ketinggalan dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Agar guru tetap profesional perlu ada sistem pembinaan karier yang
baik, tersistem dan berkelanjutan. Dengan demikian diharapkan akan memberikan angin segar bagi
perkembangan keprofesionalan guru-guru pada masa yang akan datang.
B.
Pengertian Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru
Keberhasilan proses pembelajaran agama Buddha pada Sekolah Dasar (SD), besar
kecilnya juga dipengaruhi oleh kepribadian dari seorang guru agama Buddha itu sendiri.
Kepribadian pada umumnya dibentuk atau dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam dan dari luar
dirinya sendiri. Dalam keterkaitannya dengan keberhasilan pembelajaran agama Buddha, maka
harus ditunjang dengan adanya pengembangan kepribadian serta pengembangan profesi guru agama
Buddha yang menjadi bidang tugasnya.
Adapun yang dimaksud dengan Pengembangan kepribadian dan profesi guru adalah usaha
sadar terencana dalam upaya mencapai kepribadian yang luhur sebagai seorang pendidik dan
kemampuan profesional yang dipersyaratkan oleh jabatan fungsional guru.
C. Manfaat Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru
Perlu dipahami bersama bahwa pengembangan kepribadian guru merupakan salah satu
proses individu yang memiliki kecerdasan berkembang ke arah kebulatan yang stabil secara
psikologis. Menurut Jung, perkembangan tersebut adalah semacam pembeberan kebulatan asli yang
semula tidak punya tujuan menjadikan realisasi dan penemuan diri.
Manfaat pelatihan pengembangan kepribadian dan profesi ini adalah untuk memberikan
arahan kepada guru agar menjadi seorang pendidik yang berahlak mulian, bermoral serta memiliki
kompetensi keguruan yang memadai sebagaimana yang tertuang dalam Kode Etik Guru Indonesia.
Oleh karena itu, dalam hal ini agama mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan
kepribadian seseorang. Hal ini telah diakui oleh banyak ahli ilmu jiwa dan ahli pendidikan. Letak
peranan agama dalam pengembangan kepribadian misalnya dalam pengalaman seseorang dalam
meredakan ketegangan yang disebabkan reaksi-reaksi, baik yang berasal dari dalam maupun dari
luar dirinya.
D. Tujuan Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru Agama Buddha
Pelatihan ini bertujuan untuk mewujudkan kepribadian guru agama Buddha yang luhur,
bermoral dan bernafaskan agama Buddha, mampu melaksanakan dharma dan memahami kode etik
serta berperan untuk meningkatkan kemampuan profesional para guru agar mampu meningkatkan
mutu dilingkungan sekolah masing-masing. Agar tujuan pelatihan ini dapat tercapai, maka semua
aspek kepribadian dan profesi harus berkembang sepenuhnya. Apabila salah satu aspek diantaranya
tidak berkembang, maka akan menjadi penghambat atau penghalang bagi tercapainya kepribadian
yang utuh maupun ke-profesionalan guru tersebut.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
2
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
E.
Strategi Penggunaan Modul
Penggunaan Modul Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru Agama Buddha untuk
tingkat Sekolah Dasar (SD) ini, tidak berbeda dengan penggunaan modul modul lainnya yang
selama ini mungkin pernah didapat oleh para gauru agama Buddha. Modul ini sebagai sarana dalam
membantu untuk meningkatkan kemampuan dasar guru agama Buddha yang mengajar pada
Sekolah Dasar (SD).
Pada setiap komponen materi pembelajaran dapat dipastikan bahwa strategi yang
dipergunakan berbeda-beda. Hal ini disebabkan materi, sasaran materi, sarana prasarana, sisteim
penyampaian materi pun berbeda-beda. Pada dasarnya Contektual Teaching Learning dapat
dipahami dan dihayati. Strategi instruksional yang ditempuh dalam penyampaian bahan ajar
pelatihan terintegrasi guru SD sebagai berikut :
1.
Pada tahap pendahuluan akan dipaparkan aspek-aspek yang meliputi : deskripsi singkat tentang
kompetensi yang diharapkan, cakupan materi pelatihan dan relevansi materi pelatihan dengan
pengalaman kontekstual yang berkembang dalam kegiatan pembelajaran agama Buddha di
Sekolah Dasar (SD). Penyajian materi pada tahapan ini biasanya digunakan metode ceramah
dengan didukung oleh media-media pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran
yang akan disampaikan.
2.
Pada tahap penyajian materi Kepribadian dan Profesional Guru dalam interaksi belajar
mengajar dan pengelolaan kelas digunakan variasi metode, antara lain : metode ceramah
didukung penggunaan OHP atau LCD, metode tanya jawab dan metode sumbang pendapat
(brain storming). Untuk mengembangkan penguasaan bahan pelatihan, peserta pelatihan
diminta mengidentifikasi lima kasus sederhana yang disertai rasionalitas. Pada akhir penyajian,
dilakukan diskusi kelompok untuk memecahkan kasus-kasus sederhana dalam kegiatan
pembelajaran berdasarkan pengalaman pribadi masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan
pemberian umpan balik dalam rangka perbaikan pencapaian hasil pelatihan dan
penyempurnaan penyajian materi pelatihan.
3.
Tahap evaluasi, peserta diminta mengerjakan soal-soal uraian. Perincian soal dan pembobotan
tersaji pada bagian evaluasi di bawah ini. Contohnya : Penilaianterhadap soal-soal memiliki
bobot maksimal yang tidak sama. Soal butir a, b, c, dan d masing-masing diberikan bobot 15
% dan soal butir d diberikan bobot 40 %.
F.
Tujuan Mempelajari Modul
Setelah mempelajari modul tentang Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru Agama
Buddha ini, maka para guru agama Buddha diharapkan:
1.
Mampu memiliki sikap, nilai dan moral serta perilaku sebagai pendidik.
2.
Memiliki integritas dan dedikasi sebagai pendidik
3.
Memiliki komitmen terhadap pengembangan profesi sebagai guru.
4.
Mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan secara efektif dalam forum ilmiah.
5.
Mampu menguasai metodologi penelitian serta dapat memanfaatkan hasil penelitian untuk
pengembangan pembelajaran.
6.
Mampu mengadopsi dan mengembangkan inovasi pendidikan.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
3
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
G. Persyaratan bagi peserta pelatihan
Prasyarat untuk dapat mengikuti pelatihan ini adalah :





Guru agama Buddha SD Negeri atau Swasta
Berijazah Sarjana Agama Buddha (S. Ag).
Guru Agama Buddha pada Sekolah-sekolah Minggu.
Sehat Jasmani dan batin.
Telah ditunjuk oleh LPTK penyelenggara sertifikasi guru agama Buddha.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
4
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
BAB II
KEPRIBADIAN DAN PROFESI GURU AGAMA BUDDHA
TINGKAT SEKOLAH DASAR
A. Konsep Dasar Pengembangan Kepribadian
Kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku seseorang yang tampak dalam bentuk
tingkah laku, meliputi : pola pikir, cara mengemukakan pendapat dan segala aktifitasnya yang
secara terus menerus dilakukan seseorang. Setiap orang termasuk guru agama Buddha juga
mempunyai kepribadian yang masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Sigmund
Freud, struktur kepribadian manusia terdiri atas tiga aspek yang saling berhubungan. Ketiga aspek
tersebut adalah Id (Das Es), Ego (Das Ich) dan Super Ego (Das Uber Ich).
Id (Das Es) adalah aspek kepribadian yang bersifat asli, yang tidak dipengaruhi oleh
kebudayaan. Id adalah dorongan, intrinsik, nafsu-nafsu dan keinginan dasar. Id merupakan sumber
energi yang merupakan sumber kekuatan hidup seseorang. Ego mempunyai fungsi menghubungakn
individu dengan realitas. Fungsi ego adalah menjaga keseimbangan antara Id dan Super Ego. Ego
merupakan aspek kognitif kepribadian yang mempengaruhi perbuatan=perbuatan yang disadari.
Super ego adalah tuntutan atau norma norma masyarakat, perintah-perintah agama atau tradisi yang
memberikan larangan-larangan dan dorongan untuk melaqkukan perbuatan yang sesuai dengan
tuntutannya. Salah satu fungsi ego adalah menuntut tingkah laku individu sesuai dengan nilai yang
dikandungnya.
Pembentukan kepribadian pada diri seseorang umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor dari dalam diri dan dari luar dirinya. Faktor dari dalam dirinya biasanya dipengaruhi oleh
kondisi fisik seperti keadaan gemuk, kurus, berbadan lemah dan sebagainya. Disamping itu tidak
kalah pentingnya adalah faktor mental, misalnya intelegensia atau emosionalitas, bakat atau
hambatan mental. Sedangkan pembentukan kepribadian yang dipengaruhi oleh faktor dari luar
antara lain dipengaruhi oleh : kondisi keluarga setiap harinya, masyarakat lingkungan sekitarnya,
dan sifat budaya yang berlaku pada waktu itu serta kondisi alam sekitarnya.
Menurut ajaran Sang Buddha bahwa setiap manusia memiliki kepribadian/karakter atau
sifat/watak (Carita) yang berbeda-beda dengan lainnya. Sehingga dalam pengembangankepribadian
untuk menjadi manusia seutuhnya (Suci) bagi tiap-tiap orang pun berbeda-beda. Setiap orang
memiliki watak yang berbeda yang merupakan pembawaaan dari masa kehidupan lalunya. Dalam
hal ini peranan karma sangat dominan atau karma yang lalu yang siap masak akan memberikan
buah pada kelahiran kehidupan masa kini. Sehingga berdasarkan pembawaan watak (Carita) inilah
maka dalam pengembangan untuk menjadi lebih baik dapat mempergunakan obyek-obyek yang
sesuai. Menurut ajaran Sang Buddha bahwa pengubahan kepribadian harus mengubah dirinya
sendiri dan bukan mengubah di luar diri pribadinya. Sebab tanpa pengubahan dalam diri pribadinya
maka akan memberikan hasil yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
Sang Buddha telah memberikan contoh yang jelas-jelas dapat menjadi inspirasi bagi guruguru agama Buddha bahwa pengubahan berada dalam kemauan dirinya sendiri. Pangeran Sidharta
mengubah dirinya sendiri dengan tekun menjadi petapa dengan tekun menjaga pikirannya, melewati
dan mengatasi berbagai rintangan yang begitu dasyat dan mampu mempertahankan pikirannya
untuk ditujukan kepada pemusatan kesadaran. Hasilnya adalah kesempurnaan menjadi Buddha.
Sikap konsisten telah ditunjukkan dalam perjuangan meditasi. Meditasi atau konsentrasi dengan
memusatkan pikiran pada satu obyek tertentu sesuai dengan watak atau caritanya akan sangat
membantu dalam perjuangan mengubah kepribadiannya menjadi lebih baik dan sempurna.
Menghilangkan berbagai bentuk keragu-raguan yang muncul dalam melakukan meditasi
bukan merupakan hal yang mudah dan ini memerlukan perhatian yang serius dari dalam pribadi
seseorang termasuk guru agama Buddha pada Sekolah Dasar. Sudah sewajarnya sebagai seorang
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
5
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
guru agama Buddha yanag dipandang luhur, seorang guru rajin dalam mengelola dan melatih
pikirannya yang ditujukan kepada pemusatan dalam bermeditasi.
Pertanyaannya adalah : Seberapa jauh, anda sebagai seorang guru agama Buddha benarbenar telah melaksanakan meditasi dan mampu mengubah kepribadian diri anda untuk menjadi
lebih baik, yang pada akhirnya akan membawa diri anda menjadi seorang guru agama yang
diidolakan oleh para siswa ? Seberapa jauh anda sebagai serang guru telah memiliki profesionalitas
dalam bidang ini ? Yang mampu menjawab adalah diri anda sendiri, bukan orang lain.
Membicarakan kepribadian dalam konsep ajaran Sang Buddha adalah membicarakan
wakat atau Carita. Menurut Sang Buddha bahwa watak manusia pada umumnya terbagi dalam 7
Jenis, yaitu watak yang sangat kuat perwatak ada enam jenis dan satu jenis watak camuran. Ketujuh
jenis watak atau Carita adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Watak memiliki nafsu besar (Raga Carita)
Watak penuh dengan kebencian (Dosa Carita)
Watak ketidaktahuan (Moha Carita).
Watak penuh kekhawatiran (Vitakka Carita).
Watak mudah percaya (Saddha Caritta).
Watak Pandai/pintar/Intelek (Buddhi Caritta)
Watak campuran/kombinasi (Sabba Caritta)
Penjelasan tentang watak atau Caritta.
1. Mereka yang memiliki watak nafsu yang besar (Raga Carita) adalah mereka yang sensitif
dengan nilai-nilai keindahan dan keharmonisan, mudah sekali terpengaruh oleh kecantikan
wanita, ketampanan pria, keindahan musik, literatur dan lain-lainnya. Pada umumnya bagi
orang yang memiliki watak Raga Caritta ini adalah mengutamakan pemuasan nafsu indria,
pemuasan ketrhadap keserakahan, mudah tertarik kepada sesuatu yang gemerlapan,
glamour.
2. Mereka yang memiliki watak kebencian (Dosa Carita) adalah mereka yang mudah
tersinggung (walaupun hanya terkena hasutan sekecil apapun), mereka mudah sekali
tersinggung, bosan, jengkel, marah, cemburu, iri hati, membenci, dendam.
3. Mereka yang berwatak ketidak tahuan (Moha Carita) adalah mereka yang ditandai dengan
kurangnya kekuatan kecerdasan. Ia harus diimbangi dengan usaha-usaha belajar serta
berguru kepada orang yang mulia/bijak.
4. Mereka yang berwatak penuh kekhawatitan (Vittaka Carita) adalah mereka yang sering
mengalami kecemasan terhadap kesulitan-kesulitan yang mereka alami, mudah berubah
prinsip, dan tidak memiliki pendirian yant tetap.
5.
Mereka yang memiliki watak mudah percaya (Saddha Carita) adalah tanda dari kurangnya
kecerdasan, mudah menerima informasi dan mudah percaya walaupun belum tentu
kebenarannya.
6. Mereka yang memiliki watak kecerdasan (Buddhi Carita) adalah tidak selalu memberikan
keuntungan bagi dirinya, bahkan mungkin kelebihan dari mereka menjadi suatu kerugian
bagi dirinya apabila tanpa suatu sikap batin yang pantas berdasarkan pada pengetahuan dan
pikiran yang benar. Kecerdasan yang telah dimilikinya harus disertai dengan pikiran dan
pengertian yang benar untuk menjadi seorang yang bijak.
7. Mereka yang berwatak campuran/kombinasi (Sabba Carita) biasanya salah satu dari watak
campuran tersebut ada sedikit yang menonjol, walaupun sebentar.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
6
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
Sesuai dengan watak/carita yang dimiliki seseorang berkembang kepribadiannya menjadi
dirinya sendiri dan membentuk kepribadian yang berbeda dengan yang lainnya. Dalam
memperjuangkan pengubahan kepribadian dalam diri seseorang, maka seseorang harus mampu
mengenali diri pribadinya terlebih dahulu dengan benar. Melalui pengolahan batin (pikiran) maka
seseorang yang ingin mengubah wataknya, harus dapat mencari obyek yang sesuai agar
perkembangan batin dapat meningkat.
Bagi seseorang yang berwatak Raga Caritta dan berkeinginan merubah agar berhasil maka
seseorang harus mencari obyek yang bertolak belakang dengan obyek yang menimbulkan hawa
nafsu, misalnya mengambil obyek yang menjijikan (Mayat membusuk). Secara otomatis bahwa
ketika kesadaran yang penuh dengan nafsu maka akan jatuh dan memberikan kesempatan kepada
pikirannya untuk dapat terpusat dan hawa nafsu tidak berkembang. Pikiran akan menjadi tenang,
penuh kesabaran dan lainnya. Kalau setiap saat dilakukan maka akan menjadi kebiasaan yang baik
dan kepribadian yang semula penuh dengan nafsu-nafsu berupah menjadi kepribadian yang sabar,
penuh ketenangan dan lainnya.
Bagi mereka yang berwatak penuh dengan kebencian (Dosa Carita) maka obyek yang
harus diambil adalah tentang warna merah, putih, biru, kuning dan Apamanna empat (Metta atau
cinta kasih, Karuna atau belas kasihan, Mudita atau simpati dan Upekkha atau keseimbangan
batin).
Bagi mereka yang memiliki watak kebodohan (Moha Carita) dan mereka yang memiliki
watak kekhawatiran (Vittaka Carita) maka obyek yang harus dipakai adalah pernafasan
(Memperhatikan proses keluar dan masuknya nafas tanpa memberikan komentar). Sedangkan bagi
mereka yang memiliki watak mjudah percaya (Saddha Carita) obyek yang harus diambil adalah
perenungan kepada Buddha, Dhamma dan sangha, Sila, Caga dan Dewata.
Untuk mereka yang berwatak Buddhi Carita maka obyek yang harus diambil adalah :
Perhatian kepada kematian (Maranasati), Perenungan terhadap ketenangan (Upasamanussati),
Perenungan terhadap makanan (Aharepatikulasanna) dan analisa terhadap empat unsur yang
membentuk tubug (Catudhatuvavathhana). Sedangakn orang yang memiliki watak campuran atau
kombinasi antara lain dapat mengambil obyek : Zat padat (Pathavi), Zat Cair (Apo), Zat panas
(Tejo) dan Zat angin/gerak (Vayo), Ruang (Akasa) dan Sinar (Aloka).
Oleh karenanya bahwa bagi seseorang, keberhasilan dalam bermeditasi untuk
mengembangkan dirinya agar watak dapat berfungsi menjadi lebih baik, masih dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain yang berada di luar dirinya, seperti tempat, waktu, keluarga, posisi tubuh,
rintangan-rintangan batin lainnya.
B.
Agama dan Pembentukan Kepribadian
Agama mempunyai peran yang penting dalam pembentukan kepribadian seseorang.
Banyak diakui oleh para ahli ilmu jiwa dan ahli pendidikan. Untuk melihat dimana peran agama
dcalam pembentukan kepribadian seseorang, maka kiranya perlu dibahas perihal ajaran agama dan
struktur kepribadian serta ajaran agama dan kehidupan masyarakat.
Seperti telah diuraikan didepan (diatas) bahwa struktur kepribadian ini terdiri atas Id, Ego
dan Super Ego. Id berisi dorongan dorongan intrinsik, nafsu-nafsu yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan baik dari dalam maupun luar dirinya, yang pada hakekatnya mencari
pemuasan atau pelepasan ketegangan-ketegangan, baiuk dalam bentuk gerak motorik maupun
dalam bentu gambaran pemuasan. Sedangkan ego bertugas untuk mengawasi dan menetapkan
apakah cara pemuasan itu dapat diterima sebagai suatu kenyataan, bukan hanya sebagai suatu
bayangan saja. Dengan demikian ego adalah kumpulan pengalaman tentang kenyataan untuk
memecahkan permasalahan. Adapun ego merupakan ukuran tentang baik buruknya pemecahan
tersebut.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
7
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
Peran hukum-hukum agama disini berfungsi, ajaran-ajaran agama baik yang diterima
secara formal maupun non formal adalah pengalaman bagi seseorang tentang kenyatana-kenyataan
yang dapat digunakan untuk meredakan ketegangan. Ajaran agama itu sendiri adalah ukuran-ukuran
yang menetapkan batas-batas boleh tidaknya, baik-buruknya cara-cara meredakan ketegangan itu.
Dalam hal ini ajaran agama berperan membentuk secara aktif ego dan super ego pada diri
seseorang, sehingga ketentuan agama menjadi patokan batin yang ideal. Jelaskan bahwa agama
sangat berpengaruh terhadap pola pikir seseorang, sebagai reaksi atas rangsangan baik dari dalam
maupun luar dirinya.
C. Profesi Guru Agama Buddha
Menurut para ahli bahwa profesi mengandung banyak makna. Salah stu diantaranya yang
dapat kita pahami adalah bahwa Profesi merupakan suatu pekerjaan yang pelaksanaannya
memerlukan :
1.
Keahlian tertentu; maka pelaksanaannya perlu mendapat pendidikan dan pelatihan khusus,
biasanya memerlukan waktu yang cukup lama.
2.
Terikat oleh standar-standar etis (Lazimnya disebut Kode Etik).
3.
Mutunya dijaga oleh organisasi profesi.
Demikian juga yang disebut profesional. Profesional mengandung arti secara berkeahlian
(tidak amatiran), orang mampu mengerjakan sesuatu secara berkeahlian, dan untukj keahliannya itu
mendapatkan atau menerima bayaran.
Sedangkan profesionalisasi adalah upaya untuk meningkatkan status suatu pekerjaan agar
menjadi dan dikenal sebagai profesi. Sedangkan profesionalisme
adalah penyingkapan
positif/kecintaan/devosi kepada keprofesionalan. Jabatan guru disebut jabatan fungsional karena
secara esensial dilihat dari sudut fungsinya sangat dibutuhkan oleh masyarakat/negara dan orientasi
pengembangannya bersifat kualitatif bukan utamanya berdasarkan pada masa kerja. Pekerjaan
sebagai guru layak disebut profesi, oleh karena :
1.
Ada kode etiknya, yaitu Kode Etik Guru Indonesia (1973).
2.
Ada organisasi profesinya, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang dibentuk
tahun 1945.
3.
Para calon pejabatnya harus menjalani pendidikan Pra-Jabatan di LPTK (Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan); dan sbegai tanda/simbol resmi bahwa mereka telah menamatkan
pendidikan tersebut, mereka menerima Akta disamping Ijazah.
Kode Etik Guru Indonesia (dirumuskan oleh PGRI dalam Konggresnya yang ke 13 di Jakarta pada
bulan Nopember 1973), sebagai berikut :
1.
Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia yang berPancasila.
2.
Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan
anak didik masing-masing.
3.
Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik
tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
4.
Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua
murid dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
8
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
5.
Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat
yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
6.
Guru secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan
meningkatkan muti profesinya.
7.
Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru berdasarkan lingkungan
kerja maupun didalam hubungan secara keseluruhan.
8.
Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan
profesional sebagai sarana pengabdiannya.
9.
Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijakan Pemerintah di bidang
pendidikan.
meningkatkan organisasi guru
Menurut para ahli bahwa profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan dan kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1977)
mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen
tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan
hanya memiliki ketrampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Sebagaimana diuraikan dalam Jurnal Educational Leadership di Amerika tahun 1993
(dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut memiliki
lima (5) hal, yaitu :
1.
Guru mempunyai komitmen pada siswa dalam proses belajarnya.
2.
Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajar
kepada siswa.
3.
Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi.
4.
Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya.
5.
Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyuarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Tanpa kita sadari bahwa kelima hal tersebut diatas, sesungguhnya telah lebih dahulu
diajarkan oleh Sang Buddha. Sang Buddha telah memberikan contoh-contoh dalam mengajarkan
dharma kepada para siswanya. Sang Buddha sangat menguasai materi, menguasai audien
pendengarnya, menguasai cara menyampaikan bahkan menguasai kapan waktu yang tepat untuk
mengajarkan dharma. Satu contohnya adalah ketika Sang Buddha meluluhkan kekejaman
Angulimala dengan penuh kasih (Metta) mengajarkan, menjadikan kebengisan menjadi sadar dan
waktu kemudian membimbing menjadi bhikkhu yang pada akhirnya dharma dapat dikuasai dengan
benar oleh Angulimala. Tidak ada sesuatu yang disembunyikan oleh Sang Buddha. Demikian juga
seorang guru yang profesional tentu secara iklas dan bertanggung jawab mengajarkan kepada
siswanya secara bertahap tentang ilmu yang dimilkikinya.
Menurut Arifin (2000), untuk menjadi guru yang profesional di Indonesia dipersyaratkan
mempunyai :
1.
Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat
ilmu pengetahuan di abad 21;
2.
Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan
sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan
proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan
pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
9
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
3.
Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi
yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktik
pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program preservice dan in-service karena pertimbangan birokrasi yang kaku atau manajemen pendidikan
yang lemah.
Dengan persyaratan proesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk
melahirkan profil bagi guru agama Buddha di Indonesia yang profesional, yaitu :
1.
Berkepribadian Buddhis yang matang dan berkembang.
2.
Memiliki penguasaan ilmu yang kuat (Dalam hal ini ilmu tentang agama dan ilmu-ilmu lain
yang sesuai dengan kemajuan jaman dan teknologi) dan tidak kuper/picik.
3.
Memiliki ketrampilan dan menguasainya serta mampu membangkitkan minat siswa untuk
lebih mengerti dan percaya diri, sehingga disamping siswa menguasai materi agama Buddha,
juga siswa mampu mengembangkan sains dan teknologi yang pada akhirnya menjawab
tantangan jaman dan kebenaran Buddha Dharma.
4.
Mampu meningkatkan pengembangan profesi guru agama Buddha secara berkesinambungan
melalui pendidikan dan pelatihan.
Harapan paradigma baru bagi guru agama buddha yang profesional akan dapat tercipta
bilamana guru-guru agama Buddha mampu menyadari keberadaan dirinya sendiri dan mau
mengembangkan kualitas secara berkesinambungan. Empat aspek tersbut diatas hendaknya
merupakan kesatuan yang utuh, tidak dipisah-pisahkan dan masih harus ditambah dengan usaha
lainyang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
D. Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru Agama Buddha
Sejalan dengan keinginan Pemerintah Republik Indonesia bahwa kualitas guru harus
ditingkatkan untuk menjamis proses dan keberhasilan pendidikan, maka program peningkatan
kualitas guru termasuk guru-guru agama Buddha dilaksanakan melalui Penatara, Orientasi,
Workshop dan lai-lain. Program pembinaan profesi guru dikaitkan juga dengan praktik lapangan,
peningkatan mutu pendidikan calon pendidik, pelaksanaan supervisi, peningkatan mutu manajemen
pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM), melibatkan peran serta masyarakat
berdasarkan konsep linc and match, pemberdayaan buku-buku teks dan alat-alat pendidikan
penunjang, pengakuan masyarakat terhadap profesi guru, perlunya program sertifikasi, kompetisi
profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat profesionalisme guru terpenuhi tentu akan mengubah peran guru yang
semula pasif menjadi aktih, kkreatif dan dinamis. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan bagi
guru-guru agama Buddha khususnya pada Sekolah Dasar melalui program sertifikasi, maka hal ini
perlu dilaksanakan. Disamping untuk menggugah ketertiduran pola berpikir yang stagnasi atau
kemapanan, dibutuhkan adanya pergeseran untuk berperan minimal sedikit lebih aktif dari
sebelumnya dan mampu menciptakan gerakan-gerakan profesional yang harus diembannya.
Kita ketahui bersama bahwa kemajuan pendidikan juga tidak semata-mata hanya
ditujukan kepada guru-guru saja, akan tetapi banyak hal yang menjadi faktor penentu. Pemerintah
juga tidak sedikit berperan dalam hal ini. Namun demikian, perubahan sistem atau manajemen
kurikulum pun menjadi bumerang bagi satuan pendidikan itu sendiri ketika banyak faktor yang
tidak mendukung untuk guru berperan serta. Perubahan kurikulum dari tahun 1984 ke kurikulum
tahun 1994 yang terus bergulir hingga sekarang ini seperti pengembangan KTSP, belum tentu guruguru semua paham terhadap kebijakan dan langkah yang harus dilaksanakan. Demikian juga
otonomi daerah dengan berbahagi kekhasannya daerah masing-masing, juga dengan egois putra
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
10
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
daerah yang belum tentu didukung oleh kualitas profesionalisme maka hal ini masih akan terus
menjadi penghambat bagi perkembangan pendidikan secara umum.
Guru dalam rangka pengembangan pendidikan mempunyai berbagai fungsi, antara lain
sebagai : fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator,
konselor, evaluator dan administrator. (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000). Melihat fungsi guru
yang sedemikian besar maka guru dalam proses perkembangannya diuntut untuk memajukan diri.
Hal ini tidak dapat dioungkiri bahwa kemampuan intelektual diuji dan diaplikasikan dalam kkerja
kesehariannya dalam kelas yang berhadapan langsung dengan siswa-siswa.
Pengembangan provesionalisme guru pada umumnya menjadi perhatian secara nasional.
Peran guru bukan hanya memberikan informasi-informasi semata akan lebih pentinglagi guru
mengajak kepada siswa untuk mampu berubah dalam berbagai kemampuan, juga termasuk sikap
kearah yang lebih luhur. Oleh karenanya sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 bahwa Negara
bertujuan untuk mensejahterakan bangsa, maka tugas guru adalah sangat mulia memajukan bidang
pendidikan. Tantangan yang begitu berat untuk embentuk sikap dan jiwa siswa dalam menghadapi
perubahan global dalam era kemajuan teknologi. Guru dituntut untuk menguasai teknologi modern,
dan tidak boleh gatek (gagal teknologi). Bagaimana mungkin siswanya telah mampu membuka
internet dan memiliki wawasan berkeliling dunia sementara gurunya bagaikan katak dalam
tempurung.
Pepatah dari tokoh pendidikan Ki Hajardewantoro harus benar-benar merasuk kedalah
hati sanubari. Didepan guru sebagai pemimpin, ditengah-tengah siswa guru bertugas mengayomi
dan memberikan dukungan. Di belakang guru berperan sebagai pendorong demi kemajuan siswasiswanya. Luar biasa tugas yang sangat mulia, Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut
wuri handayani. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan memiliki kesempatan untuk
menjalankan tugas yang baik ini. Selamat dan apresiasi kepada semua guru dalam membangun
bangsa tercinta.
Salah satu tugas guru diantaranya adalah membantu peserta didik atau siswa agar mampu
melakukan adaptasi siswa terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang
dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian, terutama aspek
intelektual, sosial, emosional dan ketrampilan. Guru harus mampu mempersiapkan generasi muda
yang handal, cakap dan berkepribadian Indonesia, sehingga bangsa tetap eksis di kancah
internasional, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara.
Rendahnya profesionalisme guru memjadi perhatian serius Pemerintah, sehingga melalui
sertifikasi, diharapkan guru akan mampu berkembang dan memiliki wawasan yang lebih luas.
Kalau dibandingkan dengan profesionalisme guru pada negara-negara maju, maka guru di Indonesia
masih sangat perlu ditingkatkan. Peran masyarakat dan dukungan terhadap guru mestinya perlu
ditumbuhkan, mengingat bahwa guru adalah orang tua kedua setelah dari rumah. Masyarakat jangan
hanya mampu menyalahkan guru bilamana anaknya tidak berhasil, intropeksi dan koreksi diri pun
menjadi bagian dari tugas masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Penyemaian dan pembibitan untuk memperoleh kualitas guru yang handal dan profesional
menjadi kebutuhan pokok dan perhatian serius bangsa. Pekerjaan penyemaian pun menjadi tugas
pokok pula bagi seorang guru atau dosen pada pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi mempunyai
peran dalam sistem pendidikan nasional. Termasuk juga peran serta Perguruan-perguruan Tinggi
Agama Buddha yang walaupun keberadaannya boleh dikatakan kembang kempis, namun telah eksis
melaksanakan tugas mulia membangun akhlak bangsa.
Selama ini menurut seorang tokoh pendidikan yang notabenenya bukan dari kampus
namun sangat memiliki perhatian dalam dunia pendidikan guru agama Buddha (sebut saja alm.
Romo Hadi Bodhiphala), ada peribahasa/ibarat rawe-rawe rantas malang-malang putung kucing
rembes diraupi. Jangan hanya diambil bahasanya saja akan tetapi apa yang tersirat mengandung arti
bahwa awal keberadaan guru agama Buddha, bagaikan tiada rotan akarpun berguna. Perjuangan
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
11
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
Romo Cipto Wardoyo pun sangat perlu dihargai oleh umat Buddha, yang telah memberikan tenagatenaga yang telah lulus walaupun hanya dari tamatan PAG Buddha. Inilah perjalanan pendidikan
agama Buddha selama ini.
Ketika berhadapan dengan kondisi nyata, bukan tidakmungkin keberadaan guru
diintervensi oleh keadaan. Hal ini mematikan semangat dan kreatifitas guru dalam menjalankan
tugasnya. Tidak akan muncul kemandirian yang kuat dan mantap. Pada kondisi inilah tantangn yang
harus dihadapi dengan kemampuan intelek dan perilaku bijaksana. Selama ini terlihat bahwa
kontrol terhadap guru terlalu berat dengan tugas-tugas administrasinya. Pertanyaannya kapan guru
dapat melaksanakan tugas dengan baik dan mampu berkembang secara profesional. Hanya gurulah
yang mampu menjawabnya. Bayak energi yang terbuang sia-sia, sementara sulit untuk mengatur
waktu dalam pengembangannya, belum lagi kemalasan dari dalam diri guru itu sendiri yang sering
merasa mampu.
Dunia guru menurut Akadum (1999) bahwa guru masih terselikung dua masalah yang
memiliki utual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan. Profesi guru
belum ditunjang oleh kesejahteraan yang sudah mestinya harus didapatkan karena rendahnya gaji.
Akibat yang ditimbulkan berimplikasi pada kinerjanya.
Beberapa faktor lain yang menjadi penghambat rendahnya profesionalisme guru dapat kita
rasakan dan ketahui bersama, antara lain :
1.
Guru tidak menekuni profesinya secara utuh, menyebabkan banyak guru bekerja di luar jam
kerjanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga proses untuk pengembangan diri
kurang.
2.
Belum ada standar dan realisasi gaji bagi seorang guru sebagaimana tuntutan pada negaranegara maju.
3.
Ada kemungkinan perguruan tinggi yang mencetak guru asal-asalan saja tanpa
memperhitungkan akibat dan resikonya, sehingga di lapangan dapat menyebabkan guru tidak
patuh dan taat terhadap kode etik guru.
4.
Tidak adanya keharusan guru untuk melakukan penelitian seperti yang terjadi pada dosen di
perguruan tinggi.
Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan bekerja sama dengan
Departemen Agama telah berupaya untuk meningkatkan kemampuan guru-guru agama melalui
program sertifikasi yang menjadi tuntutan sekarang ini. Dipersyaratkan bahwa guru-guru agama
pada Sekolah Dasar harus telah menyelesaikan program Strata Satu (S1) untuk dapat mengikuti
program sertifikasi. Hal ini berarti bahwa disamping untuk meningkatkan profesionalisme guruguru agama juga akan berdampak pada kesejahteraan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang ada.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha memberikan tugas kepada LPTK
penyelenggara sertifikasi yaitu Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang-Banten
untuk menyelenggarakan program ini. Tantangan dan hambatan sangat banyak. Data-data
keberadaan guru agama Buddha baik yang negeri maupun swasta belum semua valid. Informasi di
daerah belum semua dipahami dengan baik oleh para petugas pembimbing masyarakat Buddha pada
Kantor Wilayah Departemen Agama di propinsi. Pelan tapi pasti adalah hal mutlak yang harus
dilakukan secara bersama-sama dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru-guru agama
Buddha.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru agama Buddha adalah ketika seorang
guru agama Buddha mampu menerapkan sejumlah konsep, asas kerja, teknik dan situasi kerjanya
dan dapat menata seluruh pengalamannya untuk meningkatkan efisiensi kerjanya. Tuntutan
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
12
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
kompetensi seorang guru agama Buddha dapat dirunut dalam penguasaan segi konseptual,
penguasaan berbagai ketrampilan dan keseluruhan sikap profesionalnya.
Secara singkat dapatlah dikemukakan bahwa seorang guru agama Buddha dinyatakan
memiliki kompeten jika secara nyata ia mampu meenjalankan tugas keguruannya secara
berkeahlian sesuai dengan tuntutan jabatan keguruannya. Tuntutan tersebut yaitu mampu
membelajarkan pembelajaran agama Buddha kepada siswa yang dibimbingnya secara efisien efektif
dan terpadu. Kompetensi keguruan tidak sekedar menunjuk kuantitas keja, tetapi lebih-lebih
menujuk/menuntut kualitas kerja keguruan.
Secara umum, kompetensi keguruan meliputi : Kompetensi personal, kompetensi sosial dan
kompetensi “profesional”. Kompetensi personal berkaitan dengan kematangan kepribadian guru
yang bersangkutan. Kompetensi sosial adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Adapun kompetensi “profesional” erat kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di
kelas/sekolah. Ketiga kemampuan dasar tersebut menyatu dan tampak dalam pelaksanaan tugas
guru dalam mengapu kegiatan pendidikan/pengajaran. Guru agama Buddha dituntut harus mampu
untuk memiliki dan sekaligus menerapkan aspek kompetensi tersebut.
Dalam banyak menganalisis tentang kompetensi keguruan, kompetensi personal dan
kompetensi sosial umunya disatukan. Hal ini wajar karena sosialitas manusia ( termasuk guru )
merupakan pengejawan-tahan pribadinya. Dengan diihlami pendapat A.S. Lardizabal, 1978
sebagaimana dikutip oleh A. Samana, 1994, macam ( ciri ) kompetensi personal - sosial yang perlu
dikuasi serta diamalkanoleh guru, adalah :
1.
Guru menghayati serta mengamalkan nilai hidup yang luhur ( termasuk nilai moral dan
iman ).
2.
Guru mampu berperan sebagai pemimpin, baik di dalam sekolah maupun di luar
sekolah.
3.
Guru bersikap bersahabat dan mampu berkomunikasi – bekerjasama denga siapa pun
demi tujuan yang baik.
4.
Guru mampu berperan serta aktif dalam pelestarian dan pengembangan budaya
masyarakatnya.
5.
Dalam persahabatan dan bekerjasama denga siapa pun, guru hendaknya tidak
kehilangan prinsip serta nilai hidup luhur yang diyakininya.
6.
Guru bersedia ikut peran serta dalam berbagai kegiatan sosial, baik dalam lingkungan
sejawatannya maupun diluar sejawatannya.
7.
Guru hendaknya bermental sehat dan stabil.
8.
Guru tampil secara pantas dan neces.
9.
Guru mampu berbuat kreatif dengan penuh perhitungan.
10. Guru diharap mampu menggunakan waktu luangnya secara bijaksana dan produktif.
Selanjutnya bagi seseorang yang bertugas sebagai guru agama Buddha agar dapat berhasil
baik dalam proses pembelajaran dituntut untuk memiliki kompetensi professional. Adapun
Kompetensi Profesional dimaksud, terdiri atas :
1.
Guru dituntut menguasai bahan ajar Pendidikan Agama Buddha
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
13
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
Bahan ajar pendidikan agama Buddha adalah media pencapaian tujuan pengajaran,
pendalaman bahan ajar memiliki kemungkinan banyak dalam pembentukan diri siswa.
Guru hendaknya menguasai bahan ajar pendidikan Agama Buddha yang wajib ( pokok
), bahan ajar penunjang, dan bahan ajar pengayaan secara mendalam, berpola (
Berstruktur ), dan fungsional. Dalam menjabarkan serta mengorganisir bahan ajar (
dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan pengajaran), guru hendaknya
memperhatikan asas – asas sebagai berikut : relevan dengan tujuan ( misal : TIK ),
selaras dengan taraf perkembangna mental siswa, selaras dengan tuntutan
perkembangan Iptek, selaras dengan kondisi – situasi lingkunagn sisawa, dan guru
mampu menggunakan aneka sumber terpadu. Ideal jika setiap guru memiliki
perpustakaan pribadi yang mendukung penguasaan keilmuan ini sehingga antara
pembelajaraan Pendidikan Agama Buddha dengan kenajuan Iptek dapat selaras.
2.
Guru agama Buddha mampu mengelola program pembelajaran
Guru hendaknya menguasai secara fungsional tentang pendekatan system Pendidikan
Agama Buddha. Dalam proses perencanaan pelaksanaan pembelajaran agama Buddha,
menguasai asas – asas pengajaran, menguasai prosedur - metode - strategi - teknik
pengajaran, menguasai bahan ajar, mampu merancang, mendayagunakan fasilitas –
media – sumber pengajaran. Secara akumulatif guru diharap mampu menyusun
rencana satuan pengajaran ( SP ) yang berbobot ( alam pengembangna unsurnya dan
sistematikanya ).
3.
Guru agama Buddha mampu mengelola kelas
Pengelolaan fisik ( tat ruang kelas dan pengaturan
tempat duduk dengan
memperhatikan sifat – sifat perorangan siswa, relative mudah ), yang lebih sulit adalah
upaya membina motivasi belajar ( perorangan atau kelompok ), kerjasama kelas,
kompetisi yang sehat, tertib – disiplin kelas, dan penanganan sisawa yang lebih khusus
( bandel , pengacau kelas, badut kelas, minder dan kenakalan yang menjurus kriminal
atau susila ). Inti pengelolaan kelas adalah menciptakan situasi sosial kelas yang
kondusif untuk belajar secara efektif – efisien.
4.
Guru agama Buddha mampu menggunakan media
Media pengajaran guru agama Buddha adalah alat penyalur pesan pengajaran baik
secar langsung maupun secara tidak langsung ( melalui rekaman ). Sumber pengajaran
adalah acuan dalam menjabarkan serta mengorganisasikan bahan ajar yang dilakukan
oleh guru. Sumber pengajaran dapat berupa orang, rekaman, lingkungan, alat – alat
peraga, strategi serta teknik pengajaran dan berbagai pesan/informasi. Guru masa kini
hendaknya selalu siap untuk belajar keilmuan secara berkesinambungan dan juga harus
menyadari bahwa guru bukanlah satu – satunya sumber pengajaran bagi siswanya.
Guru diharap mampu mendayagunakan serta mengorganisasikan aneka sumber
pengajaran yang kreatif secara terpadu.
5.
Guru agama Buddha menguasai landasan-landasan kependidikan
Penguasaan landasan kependidikan sesungguhnya telah diberikan sewaktu masih
kuliah di Perguruan Tinggi Agama Buddha maupun Sekolah PGA Buddha. Termasuk
kajian landasan kependidikan adalah : Ilmu Pendidikan, Psikologi Pendidikan,
Administrasi PEndidikan, Bimbingan Konseling dan Filsafat Pendidikan. Penguasaan
rumpun ilmu kependidikan tersebut menjadi perangkat analisis – sintetis dalam
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
14
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
mengorganisasikan pengajaran ( baik tahap perencanaan maupun pelaksanaannya ),
guru yang mengusai dasar keilmuan dengan mantap akan dapat member jaminan
bahwa siswanya belajar sesuatu bermakna dari guru yang bersangkutan.
6.
Guru agama Buddha mampumengelola interaksi belajar-mengajar
Pembelajaran agama Buddha terhadap siswa dapat disebut pembelajaran sisawa. Di
antara siswanya, guru hendaknya mampu berperan sebagai motivator, inspirator,
organisator, fasilitator, dapat berperan serta dalam pelayanan bimbingan konseling, dan
secara teknis mampu mengajar/membelajarkan siswa secara efektif – efisien. Guru
menguasai bahan dan cakap melaksanakan asas – asas pengeajaran secra tepat dan
produktif.
7.
Guru agama Buddha mampu mengelola penilaian
Pengelolaan penilaian terhadap hasil belajar siswa demi kepentingan pembelajaran
siswa. Penilaian hasil belajar adalah bagian integral dari sistem pengajaran. Hasil
penilaian ini merupakan umpan balik dan promosi keberhasilan belajar siswa.
Penyusunan butir tes, penyelenggaraan tes, koreksi hasil kerja siswa, pengelolaan serta
penentuan hasil, pengadministraian nilai dan penggunaan data nilai untuk bimbingan
belajar lebih lanjut hendaknya ditangani oleh guru secara berkeahlian. Dalam hal ini
guru juga dituntut belajar keras serta berkesinambungan.
8.
Guru agama Buddha mampu menerapkan Bimbingan Konseling
Guru agama Buddha juga hrus dapat berfungsi melaksanakan bimbingan dan
konseling, serta mampu berperan serta di dalamnya. Fungsi utama dari
program/pelayanan BK membantu siswa untuk mengenali serta menerima diri beserta
potensinya, membantu siswa untuk membuat pilihan/keputusan yang terpat bagi
dirinya membantu siswa agar berani serta mampu mengahadapi masalah hidupnya
secara tanggungjawab, membantu siswa agar mampu belajar secara efisien dan
akhirnya secara keseluruhan membantu siswa untuk menemukan kebahagiaan
hidupnya. Sukses pengembangan diri siswa yang terkait dengan jasa layanan BK
adalah optimalisasi perkembangan dirim integritas diri, sosialisai diri yang lancer
secara normatis dan siswa penuh percaya diri untuk menyongsong masa depan.
9.
Guru agama Buddha memahami administrasi sekolah
Guru mengenal dan mampu berperan aktif dalam penyelenggaraan administrasi
sekolah. Peren serta guru dalam kegiatan administrasi sekolah hendaknya mencangkup
pengertian adminitrasi secara luas ( yaitu : pengelolaan ) dan pengertian administrasi
secara sempit ( yaitu : ketatausahaan ). ( Lihat : PP., No.30/1980, bab II, ps. 2 dan 3 ).
Perlu juga diingat oleh para guru bahwa jabatan administrator – supervisor pendidikan
sekolah akan dibibit dari guru yang berkeahlian/cakap dalam tugasnya. ( Lihat : PP No.
38/1992, bab VI, ps. 20 ).
10. Guru agama Buddha mampu melaksanakan penelitian ilmiah
Guru memahami prinsip prinsip penelitian pendidikan dan mampu
melaksanakan/menafsirkan hasil – hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan
pembelajaran agama Buddha. Kondisi guru di masyarakat kita sekarang ini cenderung
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
15
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
belum siap untuk mengemban tuntutan kompetensi ini, tetapi kompetensiini tetap
merupakan tantangan kualitatif bagi semua guru di masa depan. Persoalannya adalah
apakah guru dilatih selama prajabatannya, apakah guru mendapat bimbingan selama
telah berdinas dan apakah guru memiliki fasilitas untuk melibatkan diri dalam
kompetensi ini secara berkeahlian ?
F. Contoh-contoh Kepribadian Guru Agama Buddha
1.
Menghayati serta mengamalkan nilai dharma yang luhur, melaksanakan pancasila
Buddhis (moralitas), melaksanakan Samadhi dan mengembangkan kebijaksanaan.
Memiliki keyakinan yang teguh (Saddha) kepada Tuhan YME, Sang Triratna, Kitab
Suci, Hukum Kebenaran, yang manifestasinya seperti bertindak jujur dan
bertanggungjawab. Kejujuran dan kesediaan bertanggungajawab atas segala tindak
keguruan tersebut merupakan realisasi kesusilaan hidup seorang guru dan sekaligus
merupakan pengakuan atas berbagai keterbatasan-nya yang perlu dibenahi/diperbaiki
terus – menerus.
2.
Berperan sebagai pemimpin, baik di sekolah maupun diluar sekolah. Guru meneladani
Sang Buddha. Guru agama Buddha dituntut mampu menciptakan suasana belajar yang
kondusif dan mampu mengornaisir seluruh upaya pembelajaran siswanya secara
efisien. Kepemimpinan guru agama Buddh adi luar sekolah hendaknya menggejala
pada kualitas guru yang mampu menjadi pemilik, penyimpan dan sekaligus penyebar
kiat pembaharuan pembangunan masyarakat dan bangsa.
3.
Bersikap bersahabat dan mampu berkomunikasi serta bekerja sama dengan siapapun
demi tujuan baik. Modal dasar agar sukses berkomunikasi serta bekerja sama dengan
sesama adalah menghargai patner kerja, bersikap terbuka, mampu berempati dan
menguasai teknik berkomunikasi.
4.
Mampu berperan serta aktif dalam pelestarian dan pengembangan budaya masyarakat.
Budaya masyarakat selalu digerakkan oleh sistem nilai tertentu. Pendidikan nilai
adalah klarifikasi nilai hidup yang dijalani oleh siswa, yang jika berhasil maka
siswanya mampu mengamalkan nilai yang diyakini secara mandiri. Menurut N.
Driyarkara SJ, 1990, bahwa Pendidikan adalah pembudayaan manusia muda.
5.
Guru tidak kehilangan prinsip dalam bekerja sama dengan siapapu. Prinsip nilai luhur
harus dikedepankan dan diyakini, tentu guru harus mampu menghargai pribadi-pribadi
lain di luar dirinya secara tulus dan iklas.
6.
Bersedia ikut berperan serta dalam masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Guru
bersedia
menyumbangkan
kemampuannya
bagi
sesama
tanpa
memperhitungkannkeuntungan diri sendiri secara berlebihan.
7.
Bermental sehat dan stabil, cirinya adalah realistis, rasional, mengenali diri serta
potensinya, sadar akan kelebihan dan kekurangannya, ulet memberdayakan seluruh
kemampuanny untuk kebaikan diri serta kariernya.
8.
Tampil secara pantas (dalam bertindak dan bertutur kata, berpakaian dan kebiasaankebiasaan lainnya.
9.
Berbuat kreatif dengan penuh perhitungan. Tugas keguruan tidak dapat dipolakan
seperti mekanik. Tindak keguruan meliputi pendekatan pribadi, perencanaan, metode
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
16
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
pengajaran, strategi, dan teknik pembelajaran menuntut kreatifitas serta kemampuan
berpikir alternatif.
10. Mampu bertindak tepat waktu dalam janji serta penyelesaian tugas-tugasnya. Guru
dituntut mampu mengelola waktu dan berdisiplin.
11. Mampu menggunakan waktu luangnya secara bijak dan produktif, baik dalam
kegiatan-kegiatan sosial maupun kegiatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan
yang tidak mempengaruhi profesionalismenya secara baik.
G. Guru Agama Buddha sebagai Teladan
Pada dasarnya seorang guru agama Buddha adalah patut dicontoh, ditiru dan
diteladani oleh siswa-siswanya. Dalam proses pembelajaran kepada siswa tidak lain adalah
pembelajaran masalah moral dan tidak hanya sekadar masalah materi pelajaran secara
kognitif saja. Namun dituntut dalam segi aplikatif. Sudah barang tentu seorang guru agama
Buddha dalam kehidupan sehari-hari haruslah berlandaskan Buddha Dharma.
Melaksanakan Panna, Sila dan Samadhi, memiliki keyakinan kepada Kitab Suci
Tripitaka/Tipitaka dan harus dipedomani secara terus menerus. Membiasakan
melaksanakan dan mengembangkan Panna, Sila, dan Samadhi. Jabatan sebagai seorang
guru agama Buddha harus melekat dimanapun berada, kapanpun. Dengan demikian
masyarakat akan ikut meneladani sikap guru agama Buddha.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
17
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
BAB III
PENUTUP
A. Ringkasan
Kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku seseorang yang tampak dalam bentuk
tingkah laku, meliputi : pola pikir, cara mengemukakan pendapat dan segala aktifitasnya yang
secara terus menerus dilakukan seseorang. Setiap orang termasuk guru agama Buddha juga
mempunyai kepribadian yang masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Sigmund
Freud, struktur kepribadian manusia terdiri atas tiga aspek yang saling berhubungan. Ketiga aspek
tersebut adalah Id (Das Es), Ego (Das Ich) dan Super Ego (Das Uber Ich).
Membicarakan kepribadian dalam konsep ajaran Sang Buddha adalah membicarakan
wakat atau Carita. Menurut Sang Buddha bahwa watak manusia pada umumnya terbagi dalam 7
Jenis, yaitu watak yang sangat kuat perwatak ada enam jenis dan satu jenis watak camuran. Ketujuh
jenis watak atau Carita adalah : Watak memiliki nafsu besar (Raga Carita), Watak penuh dengan
kebencian (Dosa Carita), Watak ketidaktahuan (Moha Carita). Watak penuh kekhawatiran (Vitakka
Carita). Watak mudah percaya (Saddha Caritta). Watak Pandai/pintar/Intelek (Buddhi Caritta),
Watak campuran/kombinasi (Sabba Caritta).
Persyaratan proesionalisme guru agama Buddha , perlu adanya paradigma baru untuk
melahirkan profil bagi guru agama Buddha di Indonesia yang profesional, yaitu :
1. Berkepribadian Buddhis yang matang dan berkembang.
2. Memiliki penguasaan ilmu yang kuat (Dalam hal ini ilmu tentang agama dan ilmu-ilmu lain
yang sesuai dengan kemajuan jaman dan teknologi) dan tidak kuper/picik.
3. Memiliki ketrampilan dan menguasainya serta mampu membangkitkan minat siswa untuk
lebih mengerti dan percaya diri, sehingga disamping siswa menguasai materi agama Buddha,
juga siswa mampu mengembangkan sains dan teknologi yang pada akhirnya menjawab
tantangan jaman dan kebenaran Buddha Dharma.
4.
Mampu meningkatkan pengembangan profesi guru agama Buddha secara berkesinambungan
melalui pendidikan dan pelatihan.
B.
Lembar Tugas
Saudara diminta untuk menganalisia masalah-masalah yang terjadi dalam proses pembelajaran
kepribadian dan profesi guru agama Buddha dalam lembar kertas yang tersedia sebagaimana soalsoal sederhana di bawah ini. Identifikasi masalah-masalah tersebut dan berikan penjelasan
pemecahannya.
1.
Apa yang selama ini menjadi kendala yang menyebabkan rendahnya profesionalisme seorang
guru agama Buddha ? Apa pula yang anda dapat lakukan terhadap pemecahan masalah tersebut
selama ini ?
2.
Dalam pengembangan kepribadian bagi seorang guru agama Buddha, apa peranan agama
Buddha dalam hal ini ?
3.
Bentuklah kelompok kecil antara 5 s/d 6 orang, kemudian dalam kelompok tersebut masingmasing anggota menceritakan pengalaman profesi anda sebagai guru agama Buddha dalam
proses interaksi untuk mengaktifkan proses pembelajaran terhadap siswa. Ceritakan secara
jujur mulai dari persiapan sampai akhir proses pembelajaran.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
18
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
C. Evalauasi
1.
Apa saja yang mempengaruhi kepribadian menurut Sigmund Freud ? Jelaskan !
2.
Jelaskan keterkaitan watak/carita terhadap kepribadian seseorang dalam pandangan Buddhis?
Bagaimanakah proses pengembangannya ? Jelaskan!
3.
Berikan 5 (lima) keteladanan dari seorang guru agama Buddha !
4.
Mengapa suatu pekerjaan dikatakan sebagai profesi ? Jelaskan !
5.
Apa yang saudara pahami tentang kepribadian baik secara umum maupun dalam pandangan
agama Buddha ? Jelaskan !
6.
Apa yang dimaksud dengan profesi, profesional, profesionalisme dan profesionalisasi ?
Jelaskan !
7.
Apa peranan
Jelaskan !
8.
Apa langkah-langkah saudara untuk mengembangkan profesi anda dalam proses pembelajaran
agama Buddha di tingkat Sekolah Dasar ? Jelaskan !
9.
Sebagai figur bagi anak didik/siswa, teladan apa yang telah anda berikan secara jujur ?
Jelaskan !
agama dalam membentuk kepribadian bagi seorang guru agama Buddha ?
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
19
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Pengembangan Profesionalitas Gurun
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, John R. 1990, Cognitive Psychology and Its Implication, New York : WH. Freeman and
Company.
Barlow, D.L. 1985, Educational Psychology,
Moody Bible Institute.
The Teaching Learning Process, Chicago: The
Garmezy, Kimble,. 1963, Principle og General Psychology. New York: Roland Press.
Maha Nayaka Stavira Jinarakittha. 2001, Meditasi I, Vajra Dharma Nusantara, Jakarta.
Mouly, George J. 1973, Psychology for Effective Teaching. New York : Holt Rinehart and Winston.
Naradha, 1996, Sang Buddha dan Ajarannya, Bagian 1, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta
Naradha, 1996, Sang Buddha dan Ajarannya, Bagian 2, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta
Purnomo P. 1996, Strategi Pengajaran, Makalah disampaikan dalam rangka Seminar, Lokakarya
Dosen Sekolah Tinggi Teologia , INTHEOS, Surakarta, Tawangmangu, Universitas Satata
Dharma.
PGRI, 1973, Kode Etik Guru Indonesia, Dirumuskan oleh PGRI dalam Konggresnya yang ke 13 di
Jakarta, November 1973.
Puskur. 2002, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta, Balitbang, Depdiknas.
Sumedha Widyadharma, 1986, Dhamma Sari, Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda, Jakarta.
Syah Muhibbin, 2000. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung, Rosdakarya.
Tim Materi, 2001, Bahan Dasar Pendidikan Wawasan Kependidikan Guru Agama Buddha Tingkat
SLTP, Bagian Pertama, Kedua dan Ketiga, Depdiknas, Bagpro PWKGA, Jakarta.
Teja SM Rashid, 1993, Samadhi, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha,
Jakarta.
PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan
20
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Download