Pengembangan Profesionalitas Gurun DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 A. Latar Belakang ................................................................................................ 1 B. Pengertian Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru ............................. 2 C. Manfaat Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru ................. 2 D. Tujuan Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru Agama Buddha ................................................................................................ 2 E. Strategi Penggunaan Modul ............................................................................ 3 F. Tujuan Mempelajari Modul .............................................................................. 3 G. Persyaratan bagi Peserta Pelatihan .................................................................. 4 KEPRIBADIAN DAN PROFESI GURU AGAMA BUDDHA .......................... 5 A. Konsep Dasar Pengembangan Kepribadian .................................................... 5 B. Agama dan Pembentukan Kepribadian ........................................................... 7 C. Profesi Guru Agama Buddha .......................................................................... 8 D. Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru Agama Buddha ........................ 10 E. Contoh-contoh Kepribadian Guru Agama Buddha ......................................... 16 F. Guru Agama Buddha sebagai Teladan ............................................................. 17 P E N U T U P ...................................................................................................... 18 A. Ringkasan ....................................................................................................... 18 B. Lembar Tugas ................................................................................................. 18 C. Evaluasi ........................................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 20 BAB II BAB III PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 0 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada sekolah-sekolah umum maupun pada sekolah-sekolah yang bercirikan keagamaan bahwa yang dimaksud dengan tenaga kependidikan para prinsipnya adalah sama. Tenaga kependidikan tersebut meliputi : Guru, Pengelola satuan pendidikan, Pengawas, Penilik, Peneliti, Pustakawan dan lain-lainnya. Tenaga kependidikan yang dimaksud adalah keseluruhan yang berhubungan dan bersangkutan dengan kelancaran pelaksanaan kependidikan. Walaupun pada prinsipnya sama, namun ada hal yang membedakan khususnya dengan tenaga kependidikan agama Buddha. Tenaga kependidikan dalam agama Buddha masih ditambah dengan Guru pada Sekolahsekolah Minggu, Bhikkhu-bhikkhuni, Samanera-samaneri, Pandita dan Dharmaduta. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992, pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan : Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan. Keberhasilan dalam proses pembelajaran agama Buddha, salah satu yang sangat menunjang adalah memiliki guru agama Buddha yang profesional. Profesionalitas guru agama Buddha adalah kunci yang efektif dalam keberhasilan proses belajar mengajar. Seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat John Goodlad, pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat sangat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Penelitian itu kemudian dipublikasikan dengan judul Behin the Classroom Doors, yang didalamnya dijelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruangan kelas dan menutup pintu- pintu kelas, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan guru. Hal ini secara logika sangat masuk akal karena ketika proses pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang menarik sehingga mampu menebarkan virus nAch (needs for achievement) atau motivasi berprestasi, jika kita meminjam teori terminologi dari McCleland. Di dalam kelas itu seorang guru juga dapat tampil sebagai tokoh yang mampu membuat siswa berpikir divergent dengan memberikan berbagain pertanyaan yang jawabannya tidak sekadar terkait dengan fakta : Ya atau Tidak. Seorang guru dikelas dapat merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban secara kreatif, imajinatif-hipotetik dan sintetik (thought provoking question). Sebaliknya dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, seorang guru juga tidak menutup kemungkinan untuk tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif dan tidak mampu menjadi idola siswa. Bahkan dia dapat berkembang ke arah proses pembelajaran yang secara tidak sadar mematikan kreatifitas menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif, dan dengan demikian dapat dimasukkan ke dalam kategori banking concept of education-nya Paulo Friere, atau learning to have-nya Eric From. Dalam kontek ini hasil penelitian John Goodlad tersebut memiliki implikasi bahwa perlu menciptakan sebuat sistem rekrutmen dan pembinaan karier guru. Hanya dengan begitu para guru benar-benar memiliki profesionalisme dan efektifitas yang tinggi. Dengan kemampuan semacam itu, ketika seorang guru mamasuki ruang kelas, guru yang bersangkutan mampu menegakkan standar kualitas yang ideal bagi proses pembelajaran. Suatu pekerjaan dikatakan profesional jika pekerjaan itu memiliki kriteria tertentu. Jika kita mengikuti pendapat Houle, tokoh pendidikan lainnya bahwa ciri-ciri pekerjaan yang profesional meliputi : PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 1 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun Harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat. Berdasarkan atas kompetensi individual (bukan atas dasar KKN). Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi. Ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat. Adanya kesadaran profesional yang tinggi. Memiliki prinsip-prinsip etik (Kode Etik). Memiliki sistem sanksi profesi. Adanya militansi individual dan : Memiliki organisasi profesi. Seyogyanya Pemerintah berpedoman pada ciri-ciri tersebut dan menerjemahkan ke dalam sistem rekrutmen dan pembinaan karier guru agar profesionalisme guru dapat selalu ditingkatkan. Tanpa berbuat seperti itu, kualitas guru akan selalu ketinggalan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar guru tetap profesional perlu ada sistem pembinaan karier yang baik, tersistem dan berkelanjutan. Dengan demikian diharapkan akan memberikan angin segar bagi perkembangan keprofesionalan guru-guru pada masa yang akan datang. B. Pengertian Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru Keberhasilan proses pembelajaran agama Buddha pada Sekolah Dasar (SD), besar kecilnya juga dipengaruhi oleh kepribadian dari seorang guru agama Buddha itu sendiri. Kepribadian pada umumnya dibentuk atau dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam dan dari luar dirinya sendiri. Dalam keterkaitannya dengan keberhasilan pembelajaran agama Buddha, maka harus ditunjang dengan adanya pengembangan kepribadian serta pengembangan profesi guru agama Buddha yang menjadi bidang tugasnya. Adapun yang dimaksud dengan Pengembangan kepribadian dan profesi guru adalah usaha sadar terencana dalam upaya mencapai kepribadian yang luhur sebagai seorang pendidik dan kemampuan profesional yang dipersyaratkan oleh jabatan fungsional guru. C. Manfaat Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru Perlu dipahami bersama bahwa pengembangan kepribadian guru merupakan salah satu proses individu yang memiliki kecerdasan berkembang ke arah kebulatan yang stabil secara psikologis. Menurut Jung, perkembangan tersebut adalah semacam pembeberan kebulatan asli yang semula tidak punya tujuan menjadikan realisasi dan penemuan diri. Manfaat pelatihan pengembangan kepribadian dan profesi ini adalah untuk memberikan arahan kepada guru agar menjadi seorang pendidik yang berahlak mulian, bermoral serta memiliki kompetensi keguruan yang memadai sebagaimana yang tertuang dalam Kode Etik Guru Indonesia. Oleh karena itu, dalam hal ini agama mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Hal ini telah diakui oleh banyak ahli ilmu jiwa dan ahli pendidikan. Letak peranan agama dalam pengembangan kepribadian misalnya dalam pengalaman seseorang dalam meredakan ketegangan yang disebabkan reaksi-reaksi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. D. Tujuan Pelatihan Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru Agama Buddha Pelatihan ini bertujuan untuk mewujudkan kepribadian guru agama Buddha yang luhur, bermoral dan bernafaskan agama Buddha, mampu melaksanakan dharma dan memahami kode etik serta berperan untuk meningkatkan kemampuan profesional para guru agar mampu meningkatkan mutu dilingkungan sekolah masing-masing. Agar tujuan pelatihan ini dapat tercapai, maka semua aspek kepribadian dan profesi harus berkembang sepenuhnya. Apabila salah satu aspek diantaranya tidak berkembang, maka akan menjadi penghambat atau penghalang bagi tercapainya kepribadian yang utuh maupun ke-profesionalan guru tersebut. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 2 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun E. Strategi Penggunaan Modul Penggunaan Modul Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru Agama Buddha untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) ini, tidak berbeda dengan penggunaan modul modul lainnya yang selama ini mungkin pernah didapat oleh para gauru agama Buddha. Modul ini sebagai sarana dalam membantu untuk meningkatkan kemampuan dasar guru agama Buddha yang mengajar pada Sekolah Dasar (SD). Pada setiap komponen materi pembelajaran dapat dipastikan bahwa strategi yang dipergunakan berbeda-beda. Hal ini disebabkan materi, sasaran materi, sarana prasarana, sisteim penyampaian materi pun berbeda-beda. Pada dasarnya Contektual Teaching Learning dapat dipahami dan dihayati. Strategi instruksional yang ditempuh dalam penyampaian bahan ajar pelatihan terintegrasi guru SD sebagai berikut : 1. Pada tahap pendahuluan akan dipaparkan aspek-aspek yang meliputi : deskripsi singkat tentang kompetensi yang diharapkan, cakupan materi pelatihan dan relevansi materi pelatihan dengan pengalaman kontekstual yang berkembang dalam kegiatan pembelajaran agama Buddha di Sekolah Dasar (SD). Penyajian materi pada tahapan ini biasanya digunakan metode ceramah dengan didukung oleh media-media pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan. 2. Pada tahap penyajian materi Kepribadian dan Profesional Guru dalam interaksi belajar mengajar dan pengelolaan kelas digunakan variasi metode, antara lain : metode ceramah didukung penggunaan OHP atau LCD, metode tanya jawab dan metode sumbang pendapat (brain storming). Untuk mengembangkan penguasaan bahan pelatihan, peserta pelatihan diminta mengidentifikasi lima kasus sederhana yang disertai rasionalitas. Pada akhir penyajian, dilakukan diskusi kelompok untuk memecahkan kasus-kasus sederhana dalam kegiatan pembelajaran berdasarkan pengalaman pribadi masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian umpan balik dalam rangka perbaikan pencapaian hasil pelatihan dan penyempurnaan penyajian materi pelatihan. 3. Tahap evaluasi, peserta diminta mengerjakan soal-soal uraian. Perincian soal dan pembobotan tersaji pada bagian evaluasi di bawah ini. Contohnya : Penilaianterhadap soal-soal memiliki bobot maksimal yang tidak sama. Soal butir a, b, c, dan d masing-masing diberikan bobot 15 % dan soal butir d diberikan bobot 40 %. F. Tujuan Mempelajari Modul Setelah mempelajari modul tentang Pengembangan Kepribadian dan Profesi Guru Agama Buddha ini, maka para guru agama Buddha diharapkan: 1. Mampu memiliki sikap, nilai dan moral serta perilaku sebagai pendidik. 2. Memiliki integritas dan dedikasi sebagai pendidik 3. Memiliki komitmen terhadap pengembangan profesi sebagai guru. 4. Mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan secara efektif dalam forum ilmiah. 5. Mampu menguasai metodologi penelitian serta dapat memanfaatkan hasil penelitian untuk pengembangan pembelajaran. 6. Mampu mengadopsi dan mengembangkan inovasi pendidikan. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 3 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun G. Persyaratan bagi peserta pelatihan Prasyarat untuk dapat mengikuti pelatihan ini adalah : Guru agama Buddha SD Negeri atau Swasta Berijazah Sarjana Agama Buddha (S. Ag). Guru Agama Buddha pada Sekolah-sekolah Minggu. Sehat Jasmani dan batin. Telah ditunjuk oleh LPTK penyelenggara sertifikasi guru agama Buddha. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 4 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun BAB II KEPRIBADIAN DAN PROFESI GURU AGAMA BUDDHA TINGKAT SEKOLAH DASAR A. Konsep Dasar Pengembangan Kepribadian Kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku seseorang yang tampak dalam bentuk tingkah laku, meliputi : pola pikir, cara mengemukakan pendapat dan segala aktifitasnya yang secara terus menerus dilakukan seseorang. Setiap orang termasuk guru agama Buddha juga mempunyai kepribadian yang masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia terdiri atas tiga aspek yang saling berhubungan. Ketiga aspek tersebut adalah Id (Das Es), Ego (Das Ich) dan Super Ego (Das Uber Ich). Id (Das Es) adalah aspek kepribadian yang bersifat asli, yang tidak dipengaruhi oleh kebudayaan. Id adalah dorongan, intrinsik, nafsu-nafsu dan keinginan dasar. Id merupakan sumber energi yang merupakan sumber kekuatan hidup seseorang. Ego mempunyai fungsi menghubungakn individu dengan realitas. Fungsi ego adalah menjaga keseimbangan antara Id dan Super Ego. Ego merupakan aspek kognitif kepribadian yang mempengaruhi perbuatan=perbuatan yang disadari. Super ego adalah tuntutan atau norma norma masyarakat, perintah-perintah agama atau tradisi yang memberikan larangan-larangan dan dorongan untuk melaqkukan perbuatan yang sesuai dengan tuntutannya. Salah satu fungsi ego adalah menuntut tingkah laku individu sesuai dengan nilai yang dikandungnya. Pembentukan kepribadian pada diri seseorang umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam diri dan dari luar dirinya. Faktor dari dalam dirinya biasanya dipengaruhi oleh kondisi fisik seperti keadaan gemuk, kurus, berbadan lemah dan sebagainya. Disamping itu tidak kalah pentingnya adalah faktor mental, misalnya intelegensia atau emosionalitas, bakat atau hambatan mental. Sedangkan pembentukan kepribadian yang dipengaruhi oleh faktor dari luar antara lain dipengaruhi oleh : kondisi keluarga setiap harinya, masyarakat lingkungan sekitarnya, dan sifat budaya yang berlaku pada waktu itu serta kondisi alam sekitarnya. Menurut ajaran Sang Buddha bahwa setiap manusia memiliki kepribadian/karakter atau sifat/watak (Carita) yang berbeda-beda dengan lainnya. Sehingga dalam pengembangankepribadian untuk menjadi manusia seutuhnya (Suci) bagi tiap-tiap orang pun berbeda-beda. Setiap orang memiliki watak yang berbeda yang merupakan pembawaaan dari masa kehidupan lalunya. Dalam hal ini peranan karma sangat dominan atau karma yang lalu yang siap masak akan memberikan buah pada kelahiran kehidupan masa kini. Sehingga berdasarkan pembawaan watak (Carita) inilah maka dalam pengembangan untuk menjadi lebih baik dapat mempergunakan obyek-obyek yang sesuai. Menurut ajaran Sang Buddha bahwa pengubahan kepribadian harus mengubah dirinya sendiri dan bukan mengubah di luar diri pribadinya. Sebab tanpa pengubahan dalam diri pribadinya maka akan memberikan hasil yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Sang Buddha telah memberikan contoh yang jelas-jelas dapat menjadi inspirasi bagi guruguru agama Buddha bahwa pengubahan berada dalam kemauan dirinya sendiri. Pangeran Sidharta mengubah dirinya sendiri dengan tekun menjadi petapa dengan tekun menjaga pikirannya, melewati dan mengatasi berbagai rintangan yang begitu dasyat dan mampu mempertahankan pikirannya untuk ditujukan kepada pemusatan kesadaran. Hasilnya adalah kesempurnaan menjadi Buddha. Sikap konsisten telah ditunjukkan dalam perjuangan meditasi. Meditasi atau konsentrasi dengan memusatkan pikiran pada satu obyek tertentu sesuai dengan watak atau caritanya akan sangat membantu dalam perjuangan mengubah kepribadiannya menjadi lebih baik dan sempurna. Menghilangkan berbagai bentuk keragu-raguan yang muncul dalam melakukan meditasi bukan merupakan hal yang mudah dan ini memerlukan perhatian yang serius dari dalam pribadi seseorang termasuk guru agama Buddha pada Sekolah Dasar. Sudah sewajarnya sebagai seorang PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 5 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun guru agama Buddha yanag dipandang luhur, seorang guru rajin dalam mengelola dan melatih pikirannya yang ditujukan kepada pemusatan dalam bermeditasi. Pertanyaannya adalah : Seberapa jauh, anda sebagai seorang guru agama Buddha benarbenar telah melaksanakan meditasi dan mampu mengubah kepribadian diri anda untuk menjadi lebih baik, yang pada akhirnya akan membawa diri anda menjadi seorang guru agama yang diidolakan oleh para siswa ? Seberapa jauh anda sebagai serang guru telah memiliki profesionalitas dalam bidang ini ? Yang mampu menjawab adalah diri anda sendiri, bukan orang lain. Membicarakan kepribadian dalam konsep ajaran Sang Buddha adalah membicarakan wakat atau Carita. Menurut Sang Buddha bahwa watak manusia pada umumnya terbagi dalam 7 Jenis, yaitu watak yang sangat kuat perwatak ada enam jenis dan satu jenis watak camuran. Ketujuh jenis watak atau Carita adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Watak memiliki nafsu besar (Raga Carita) Watak penuh dengan kebencian (Dosa Carita) Watak ketidaktahuan (Moha Carita). Watak penuh kekhawatiran (Vitakka Carita). Watak mudah percaya (Saddha Caritta). Watak Pandai/pintar/Intelek (Buddhi Caritta) Watak campuran/kombinasi (Sabba Caritta) Penjelasan tentang watak atau Caritta. 1. Mereka yang memiliki watak nafsu yang besar (Raga Carita) adalah mereka yang sensitif dengan nilai-nilai keindahan dan keharmonisan, mudah sekali terpengaruh oleh kecantikan wanita, ketampanan pria, keindahan musik, literatur dan lain-lainnya. Pada umumnya bagi orang yang memiliki watak Raga Caritta ini adalah mengutamakan pemuasan nafsu indria, pemuasan ketrhadap keserakahan, mudah tertarik kepada sesuatu yang gemerlapan, glamour. 2. Mereka yang memiliki watak kebencian (Dosa Carita) adalah mereka yang mudah tersinggung (walaupun hanya terkena hasutan sekecil apapun), mereka mudah sekali tersinggung, bosan, jengkel, marah, cemburu, iri hati, membenci, dendam. 3. Mereka yang berwatak ketidak tahuan (Moha Carita) adalah mereka yang ditandai dengan kurangnya kekuatan kecerdasan. Ia harus diimbangi dengan usaha-usaha belajar serta berguru kepada orang yang mulia/bijak. 4. Mereka yang berwatak penuh kekhawatitan (Vittaka Carita) adalah mereka yang sering mengalami kecemasan terhadap kesulitan-kesulitan yang mereka alami, mudah berubah prinsip, dan tidak memiliki pendirian yant tetap. 5. Mereka yang memiliki watak mudah percaya (Saddha Carita) adalah tanda dari kurangnya kecerdasan, mudah menerima informasi dan mudah percaya walaupun belum tentu kebenarannya. 6. Mereka yang memiliki watak kecerdasan (Buddhi Carita) adalah tidak selalu memberikan keuntungan bagi dirinya, bahkan mungkin kelebihan dari mereka menjadi suatu kerugian bagi dirinya apabila tanpa suatu sikap batin yang pantas berdasarkan pada pengetahuan dan pikiran yang benar. Kecerdasan yang telah dimilikinya harus disertai dengan pikiran dan pengertian yang benar untuk menjadi seorang yang bijak. 7. Mereka yang berwatak campuran/kombinasi (Sabba Carita) biasanya salah satu dari watak campuran tersebut ada sedikit yang menonjol, walaupun sebentar. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 6 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun Sesuai dengan watak/carita yang dimiliki seseorang berkembang kepribadiannya menjadi dirinya sendiri dan membentuk kepribadian yang berbeda dengan yang lainnya. Dalam memperjuangkan pengubahan kepribadian dalam diri seseorang, maka seseorang harus mampu mengenali diri pribadinya terlebih dahulu dengan benar. Melalui pengolahan batin (pikiran) maka seseorang yang ingin mengubah wataknya, harus dapat mencari obyek yang sesuai agar perkembangan batin dapat meningkat. Bagi seseorang yang berwatak Raga Caritta dan berkeinginan merubah agar berhasil maka seseorang harus mencari obyek yang bertolak belakang dengan obyek yang menimbulkan hawa nafsu, misalnya mengambil obyek yang menjijikan (Mayat membusuk). Secara otomatis bahwa ketika kesadaran yang penuh dengan nafsu maka akan jatuh dan memberikan kesempatan kepada pikirannya untuk dapat terpusat dan hawa nafsu tidak berkembang. Pikiran akan menjadi tenang, penuh kesabaran dan lainnya. Kalau setiap saat dilakukan maka akan menjadi kebiasaan yang baik dan kepribadian yang semula penuh dengan nafsu-nafsu berupah menjadi kepribadian yang sabar, penuh ketenangan dan lainnya. Bagi mereka yang berwatak penuh dengan kebencian (Dosa Carita) maka obyek yang harus diambil adalah tentang warna merah, putih, biru, kuning dan Apamanna empat (Metta atau cinta kasih, Karuna atau belas kasihan, Mudita atau simpati dan Upekkha atau keseimbangan batin). Bagi mereka yang memiliki watak kebodohan (Moha Carita) dan mereka yang memiliki watak kekhawatiran (Vittaka Carita) maka obyek yang harus dipakai adalah pernafasan (Memperhatikan proses keluar dan masuknya nafas tanpa memberikan komentar). Sedangkan bagi mereka yang memiliki watak mjudah percaya (Saddha Carita) obyek yang harus diambil adalah perenungan kepada Buddha, Dhamma dan sangha, Sila, Caga dan Dewata. Untuk mereka yang berwatak Buddhi Carita maka obyek yang harus diambil adalah : Perhatian kepada kematian (Maranasati), Perenungan terhadap ketenangan (Upasamanussati), Perenungan terhadap makanan (Aharepatikulasanna) dan analisa terhadap empat unsur yang membentuk tubug (Catudhatuvavathhana). Sedangakn orang yang memiliki watak campuran atau kombinasi antara lain dapat mengambil obyek : Zat padat (Pathavi), Zat Cair (Apo), Zat panas (Tejo) dan Zat angin/gerak (Vayo), Ruang (Akasa) dan Sinar (Aloka). Oleh karenanya bahwa bagi seseorang, keberhasilan dalam bermeditasi untuk mengembangkan dirinya agar watak dapat berfungsi menjadi lebih baik, masih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berada di luar dirinya, seperti tempat, waktu, keluarga, posisi tubuh, rintangan-rintangan batin lainnya. B. Agama dan Pembentukan Kepribadian Agama mempunyai peran yang penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Banyak diakui oleh para ahli ilmu jiwa dan ahli pendidikan. Untuk melihat dimana peran agama dcalam pembentukan kepribadian seseorang, maka kiranya perlu dibahas perihal ajaran agama dan struktur kepribadian serta ajaran agama dan kehidupan masyarakat. Seperti telah diuraikan didepan (diatas) bahwa struktur kepribadian ini terdiri atas Id, Ego dan Super Ego. Id berisi dorongan dorongan intrinsik, nafsu-nafsu yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan baik dari dalam maupun luar dirinya, yang pada hakekatnya mencari pemuasan atau pelepasan ketegangan-ketegangan, baiuk dalam bentuk gerak motorik maupun dalam bentu gambaran pemuasan. Sedangkan ego bertugas untuk mengawasi dan menetapkan apakah cara pemuasan itu dapat diterima sebagai suatu kenyataan, bukan hanya sebagai suatu bayangan saja. Dengan demikian ego adalah kumpulan pengalaman tentang kenyataan untuk memecahkan permasalahan. Adapun ego merupakan ukuran tentang baik buruknya pemecahan tersebut. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 7 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun Peran hukum-hukum agama disini berfungsi, ajaran-ajaran agama baik yang diterima secara formal maupun non formal adalah pengalaman bagi seseorang tentang kenyatana-kenyataan yang dapat digunakan untuk meredakan ketegangan. Ajaran agama itu sendiri adalah ukuran-ukuran yang menetapkan batas-batas boleh tidaknya, baik-buruknya cara-cara meredakan ketegangan itu. Dalam hal ini ajaran agama berperan membentuk secara aktif ego dan super ego pada diri seseorang, sehingga ketentuan agama menjadi patokan batin yang ideal. Jelaskan bahwa agama sangat berpengaruh terhadap pola pikir seseorang, sebagai reaksi atas rangsangan baik dari dalam maupun luar dirinya. C. Profesi Guru Agama Buddha Menurut para ahli bahwa profesi mengandung banyak makna. Salah stu diantaranya yang dapat kita pahami adalah bahwa Profesi merupakan suatu pekerjaan yang pelaksanaannya memerlukan : 1. Keahlian tertentu; maka pelaksanaannya perlu mendapat pendidikan dan pelatihan khusus, biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. 2. Terikat oleh standar-standar etis (Lazimnya disebut Kode Etik). 3. Mutunya dijaga oleh organisasi profesi. Demikian juga yang disebut profesional. Profesional mengandung arti secara berkeahlian (tidak amatiran), orang mampu mengerjakan sesuatu secara berkeahlian, dan untukj keahliannya itu mendapatkan atau menerima bayaran. Sedangkan profesionalisasi adalah upaya untuk meningkatkan status suatu pekerjaan agar menjadi dan dikenal sebagai profesi. Sedangkan profesionalisme adalah penyingkapan positif/kecintaan/devosi kepada keprofesionalan. Jabatan guru disebut jabatan fungsional karena secara esensial dilihat dari sudut fungsinya sangat dibutuhkan oleh masyarakat/negara dan orientasi pengembangannya bersifat kualitatif bukan utamanya berdasarkan pada masa kerja. Pekerjaan sebagai guru layak disebut profesi, oleh karena : 1. Ada kode etiknya, yaitu Kode Etik Guru Indonesia (1973). 2. Ada organisasi profesinya, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang dibentuk tahun 1945. 3. Para calon pejabatnya harus menjalani pendidikan Pra-Jabatan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan); dan sbegai tanda/simbol resmi bahwa mereka telah menamatkan pendidikan tersebut, mereka menerima Akta disamping Ijazah. Kode Etik Guru Indonesia (dirumuskan oleh PGRI dalam Konggresnya yang ke 13 di Jakarta pada bulan Nopember 1973), sebagai berikut : 1. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia yang berPancasila. 2. Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing. 3. Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan. 4. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 8 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun 5. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan. 6. Guru secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan muti profesinya. 7. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru berdasarkan lingkungan kerja maupun didalam hubungan secara keseluruhan. 8. Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan profesional sebagai sarana pengabdiannya. 9. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijakan Pemerintah di bidang pendidikan. meningkatkan organisasi guru Menurut para ahli bahwa profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1977) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki ketrampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Sebagaimana diuraikan dalam Jurnal Educational Leadership di Amerika tahun 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut memiliki lima (5) hal, yaitu : 1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dalam proses belajarnya. 2. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajar kepada siswa. 3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi. 4. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya. 5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyuarakat belajar dalam lingkungan profesinya. Tanpa kita sadari bahwa kelima hal tersebut diatas, sesungguhnya telah lebih dahulu diajarkan oleh Sang Buddha. Sang Buddha telah memberikan contoh-contoh dalam mengajarkan dharma kepada para siswanya. Sang Buddha sangat menguasai materi, menguasai audien pendengarnya, menguasai cara menyampaikan bahkan menguasai kapan waktu yang tepat untuk mengajarkan dharma. Satu contohnya adalah ketika Sang Buddha meluluhkan kekejaman Angulimala dengan penuh kasih (Metta) mengajarkan, menjadikan kebengisan menjadi sadar dan waktu kemudian membimbing menjadi bhikkhu yang pada akhirnya dharma dapat dikuasai dengan benar oleh Angulimala. Tidak ada sesuatu yang disembunyikan oleh Sang Buddha. Demikian juga seorang guru yang profesional tentu secara iklas dan bertanggung jawab mengajarkan kepada siswanya secara bertahap tentang ilmu yang dimilkikinya. Menurut Arifin (2000), untuk menjadi guru yang profesional di Indonesia dipersyaratkan mempunyai : 1. Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; 2. Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 9 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun 3. Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktik pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program preservice dan in-service karena pertimbangan birokrasi yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah. Dengan persyaratan proesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil bagi guru agama Buddha di Indonesia yang profesional, yaitu : 1. Berkepribadian Buddhis yang matang dan berkembang. 2. Memiliki penguasaan ilmu yang kuat (Dalam hal ini ilmu tentang agama dan ilmu-ilmu lain yang sesuai dengan kemajuan jaman dan teknologi) dan tidak kuper/picik. 3. Memiliki ketrampilan dan menguasainya serta mampu membangkitkan minat siswa untuk lebih mengerti dan percaya diri, sehingga disamping siswa menguasai materi agama Buddha, juga siswa mampu mengembangkan sains dan teknologi yang pada akhirnya menjawab tantangan jaman dan kebenaran Buddha Dharma. 4. Mampu meningkatkan pengembangan profesi guru agama Buddha secara berkesinambungan melalui pendidikan dan pelatihan. Harapan paradigma baru bagi guru agama buddha yang profesional akan dapat tercipta bilamana guru-guru agama Buddha mampu menyadari keberadaan dirinya sendiri dan mau mengembangkan kualitas secara berkesinambungan. Empat aspek tersbut diatas hendaknya merupakan kesatuan yang utuh, tidak dipisah-pisahkan dan masih harus ditambah dengan usaha lainyang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional. D. Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru Agama Buddha Sejalan dengan keinginan Pemerintah Republik Indonesia bahwa kualitas guru harus ditingkatkan untuk menjamis proses dan keberhasilan pendidikan, maka program peningkatan kualitas guru termasuk guru-guru agama Buddha dilaksanakan melalui Penatara, Orientasi, Workshop dan lai-lain. Program pembinaan profesi guru dikaitkan juga dengan praktik lapangan, peningkatan mutu pendidikan calon pendidik, pelaksanaan supervisi, peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM), melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match, pemberdayaan buku-buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang, pengakuan masyarakat terhadap profesi guru, perlunya program sertifikasi, kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak. Apabila syarat profesionalisme guru terpenuhi tentu akan mengubah peran guru yang semula pasif menjadi aktih, kkreatif dan dinamis. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan bagi guru-guru agama Buddha khususnya pada Sekolah Dasar melalui program sertifikasi, maka hal ini perlu dilaksanakan. Disamping untuk menggugah ketertiduran pola berpikir yang stagnasi atau kemapanan, dibutuhkan adanya pergeseran untuk berperan minimal sedikit lebih aktif dari sebelumnya dan mampu menciptakan gerakan-gerakan profesional yang harus diembannya. Kita ketahui bersama bahwa kemajuan pendidikan juga tidak semata-mata hanya ditujukan kepada guru-guru saja, akan tetapi banyak hal yang menjadi faktor penentu. Pemerintah juga tidak sedikit berperan dalam hal ini. Namun demikian, perubahan sistem atau manajemen kurikulum pun menjadi bumerang bagi satuan pendidikan itu sendiri ketika banyak faktor yang tidak mendukung untuk guru berperan serta. Perubahan kurikulum dari tahun 1984 ke kurikulum tahun 1994 yang terus bergulir hingga sekarang ini seperti pengembangan KTSP, belum tentu guruguru semua paham terhadap kebijakan dan langkah yang harus dilaksanakan. Demikian juga otonomi daerah dengan berbahagi kekhasannya daerah masing-masing, juga dengan egois putra PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 10 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun daerah yang belum tentu didukung oleh kualitas profesionalisme maka hal ini masih akan terus menjadi penghambat bagi perkembangan pendidikan secara umum. Guru dalam rangka pengembangan pendidikan mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai : fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator dan administrator. (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000). Melihat fungsi guru yang sedemikian besar maka guru dalam proses perkembangannya diuntut untuk memajukan diri. Hal ini tidak dapat dioungkiri bahwa kemampuan intelektual diuji dan diaplikasikan dalam kkerja kesehariannya dalam kelas yang berhadapan langsung dengan siswa-siswa. Pengembangan provesionalisme guru pada umumnya menjadi perhatian secara nasional. Peran guru bukan hanya memberikan informasi-informasi semata akan lebih pentinglagi guru mengajak kepada siswa untuk mampu berubah dalam berbagai kemampuan, juga termasuk sikap kearah yang lebih luhur. Oleh karenanya sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 bahwa Negara bertujuan untuk mensejahterakan bangsa, maka tugas guru adalah sangat mulia memajukan bidang pendidikan. Tantangan yang begitu berat untuk embentuk sikap dan jiwa siswa dalam menghadapi perubahan global dalam era kemajuan teknologi. Guru dituntut untuk menguasai teknologi modern, dan tidak boleh gatek (gagal teknologi). Bagaimana mungkin siswanya telah mampu membuka internet dan memiliki wawasan berkeliling dunia sementara gurunya bagaikan katak dalam tempurung. Pepatah dari tokoh pendidikan Ki Hajardewantoro harus benar-benar merasuk kedalah hati sanubari. Didepan guru sebagai pemimpin, ditengah-tengah siswa guru bertugas mengayomi dan memberikan dukungan. Di belakang guru berperan sebagai pendorong demi kemajuan siswasiswanya. Luar biasa tugas yang sangat mulia, Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan memiliki kesempatan untuk menjalankan tugas yang baik ini. Selamat dan apresiasi kepada semua guru dalam membangun bangsa tercinta. Salah satu tugas guru diantaranya adalah membantu peserta didik atau siswa agar mampu melakukan adaptasi siswa terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian, terutama aspek intelektual, sosial, emosional dan ketrampilan. Guru harus mampu mempersiapkan generasi muda yang handal, cakap dan berkepribadian Indonesia, sehingga bangsa tetap eksis di kancah internasional, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara. Rendahnya profesionalisme guru memjadi perhatian serius Pemerintah, sehingga melalui sertifikasi, diharapkan guru akan mampu berkembang dan memiliki wawasan yang lebih luas. Kalau dibandingkan dengan profesionalisme guru pada negara-negara maju, maka guru di Indonesia masih sangat perlu ditingkatkan. Peran masyarakat dan dukungan terhadap guru mestinya perlu ditumbuhkan, mengingat bahwa guru adalah orang tua kedua setelah dari rumah. Masyarakat jangan hanya mampu menyalahkan guru bilamana anaknya tidak berhasil, intropeksi dan koreksi diri pun menjadi bagian dari tugas masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Penyemaian dan pembibitan untuk memperoleh kualitas guru yang handal dan profesional menjadi kebutuhan pokok dan perhatian serius bangsa. Pekerjaan penyemaian pun menjadi tugas pokok pula bagi seorang guru atau dosen pada pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi mempunyai peran dalam sistem pendidikan nasional. Termasuk juga peran serta Perguruan-perguruan Tinggi Agama Buddha yang walaupun keberadaannya boleh dikatakan kembang kempis, namun telah eksis melaksanakan tugas mulia membangun akhlak bangsa. Selama ini menurut seorang tokoh pendidikan yang notabenenya bukan dari kampus namun sangat memiliki perhatian dalam dunia pendidikan guru agama Buddha (sebut saja alm. Romo Hadi Bodhiphala), ada peribahasa/ibarat rawe-rawe rantas malang-malang putung kucing rembes diraupi. Jangan hanya diambil bahasanya saja akan tetapi apa yang tersirat mengandung arti bahwa awal keberadaan guru agama Buddha, bagaikan tiada rotan akarpun berguna. Perjuangan PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 11 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun Romo Cipto Wardoyo pun sangat perlu dihargai oleh umat Buddha, yang telah memberikan tenagatenaga yang telah lulus walaupun hanya dari tamatan PAG Buddha. Inilah perjalanan pendidikan agama Buddha selama ini. Ketika berhadapan dengan kondisi nyata, bukan tidakmungkin keberadaan guru diintervensi oleh keadaan. Hal ini mematikan semangat dan kreatifitas guru dalam menjalankan tugasnya. Tidak akan muncul kemandirian yang kuat dan mantap. Pada kondisi inilah tantangn yang harus dihadapi dengan kemampuan intelek dan perilaku bijaksana. Selama ini terlihat bahwa kontrol terhadap guru terlalu berat dengan tugas-tugas administrasinya. Pertanyaannya kapan guru dapat melaksanakan tugas dengan baik dan mampu berkembang secara profesional. Hanya gurulah yang mampu menjawabnya. Bayak energi yang terbuang sia-sia, sementara sulit untuk mengatur waktu dalam pengembangannya, belum lagi kemalasan dari dalam diri guru itu sendiri yang sering merasa mampu. Dunia guru menurut Akadum (1999) bahwa guru masih terselikung dua masalah yang memiliki utual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan. Profesi guru belum ditunjang oleh kesejahteraan yang sudah mestinya harus didapatkan karena rendahnya gaji. Akibat yang ditimbulkan berimplikasi pada kinerjanya. Beberapa faktor lain yang menjadi penghambat rendahnya profesionalisme guru dapat kita rasakan dan ketahui bersama, antara lain : 1. Guru tidak menekuni profesinya secara utuh, menyebabkan banyak guru bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga proses untuk pengembangan diri kurang. 2. Belum ada standar dan realisasi gaji bagi seorang guru sebagaimana tuntutan pada negaranegara maju. 3. Ada kemungkinan perguruan tinggi yang mencetak guru asal-asalan saja tanpa memperhitungkan akibat dan resikonya, sehingga di lapangan dapat menyebabkan guru tidak patuh dan taat terhadap kode etik guru. 4. Tidak adanya keharusan guru untuk melakukan penelitian seperti yang terjadi pada dosen di perguruan tinggi. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan bekerja sama dengan Departemen Agama telah berupaya untuk meningkatkan kemampuan guru-guru agama melalui program sertifikasi yang menjadi tuntutan sekarang ini. Dipersyaratkan bahwa guru-guru agama pada Sekolah Dasar harus telah menyelesaikan program Strata Satu (S1) untuk dapat mengikuti program sertifikasi. Hal ini berarti bahwa disamping untuk meningkatkan profesionalisme guruguru agama juga akan berdampak pada kesejahteraan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha memberikan tugas kepada LPTK penyelenggara sertifikasi yaitu Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang-Banten untuk menyelenggarakan program ini. Tantangan dan hambatan sangat banyak. Data-data keberadaan guru agama Buddha baik yang negeri maupun swasta belum semua valid. Informasi di daerah belum semua dipahami dengan baik oleh para petugas pembimbing masyarakat Buddha pada Kantor Wilayah Departemen Agama di propinsi. Pelan tapi pasti adalah hal mutlak yang harus dilakukan secara bersama-sama dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru-guru agama Buddha. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru agama Buddha adalah ketika seorang guru agama Buddha mampu menerapkan sejumlah konsep, asas kerja, teknik dan situasi kerjanya dan dapat menata seluruh pengalamannya untuk meningkatkan efisiensi kerjanya. Tuntutan PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 12 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun kompetensi seorang guru agama Buddha dapat dirunut dalam penguasaan segi konseptual, penguasaan berbagai ketrampilan dan keseluruhan sikap profesionalnya. Secara singkat dapatlah dikemukakan bahwa seorang guru agama Buddha dinyatakan memiliki kompeten jika secara nyata ia mampu meenjalankan tugas keguruannya secara berkeahlian sesuai dengan tuntutan jabatan keguruannya. Tuntutan tersebut yaitu mampu membelajarkan pembelajaran agama Buddha kepada siswa yang dibimbingnya secara efisien efektif dan terpadu. Kompetensi keguruan tidak sekedar menunjuk kuantitas keja, tetapi lebih-lebih menujuk/menuntut kualitas kerja keguruan. Secara umum, kompetensi keguruan meliputi : Kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi “profesional”. Kompetensi personal berkaitan dengan kematangan kepribadian guru yang bersangkutan. Kompetensi sosial adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Adapun kompetensi “profesional” erat kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di kelas/sekolah. Ketiga kemampuan dasar tersebut menyatu dan tampak dalam pelaksanaan tugas guru dalam mengapu kegiatan pendidikan/pengajaran. Guru agama Buddha dituntut harus mampu untuk memiliki dan sekaligus menerapkan aspek kompetensi tersebut. Dalam banyak menganalisis tentang kompetensi keguruan, kompetensi personal dan kompetensi sosial umunya disatukan. Hal ini wajar karena sosialitas manusia ( termasuk guru ) merupakan pengejawan-tahan pribadinya. Dengan diihlami pendapat A.S. Lardizabal, 1978 sebagaimana dikutip oleh A. Samana, 1994, macam ( ciri ) kompetensi personal - sosial yang perlu dikuasi serta diamalkanoleh guru, adalah : 1. Guru menghayati serta mengamalkan nilai hidup yang luhur ( termasuk nilai moral dan iman ). 2. Guru mampu berperan sebagai pemimpin, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. 3. Guru bersikap bersahabat dan mampu berkomunikasi – bekerjasama denga siapa pun demi tujuan yang baik. 4. Guru mampu berperan serta aktif dalam pelestarian dan pengembangan budaya masyarakatnya. 5. Dalam persahabatan dan bekerjasama denga siapa pun, guru hendaknya tidak kehilangan prinsip serta nilai hidup luhur yang diyakininya. 6. Guru bersedia ikut peran serta dalam berbagai kegiatan sosial, baik dalam lingkungan sejawatannya maupun diluar sejawatannya. 7. Guru hendaknya bermental sehat dan stabil. 8. Guru tampil secara pantas dan neces. 9. Guru mampu berbuat kreatif dengan penuh perhitungan. 10. Guru diharap mampu menggunakan waktu luangnya secara bijaksana dan produktif. Selanjutnya bagi seseorang yang bertugas sebagai guru agama Buddha agar dapat berhasil baik dalam proses pembelajaran dituntut untuk memiliki kompetensi professional. Adapun Kompetensi Profesional dimaksud, terdiri atas : 1. Guru dituntut menguasai bahan ajar Pendidikan Agama Buddha PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 13 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun Bahan ajar pendidikan agama Buddha adalah media pencapaian tujuan pengajaran, pendalaman bahan ajar memiliki kemungkinan banyak dalam pembentukan diri siswa. Guru hendaknya menguasai bahan ajar pendidikan Agama Buddha yang wajib ( pokok ), bahan ajar penunjang, dan bahan ajar pengayaan secara mendalam, berpola ( Berstruktur ), dan fungsional. Dalam menjabarkan serta mengorganisir bahan ajar ( dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan pengajaran), guru hendaknya memperhatikan asas – asas sebagai berikut : relevan dengan tujuan ( misal : TIK ), selaras dengan taraf perkembangna mental siswa, selaras dengan tuntutan perkembangan Iptek, selaras dengan kondisi – situasi lingkunagn sisawa, dan guru mampu menggunakan aneka sumber terpadu. Ideal jika setiap guru memiliki perpustakaan pribadi yang mendukung penguasaan keilmuan ini sehingga antara pembelajaraan Pendidikan Agama Buddha dengan kenajuan Iptek dapat selaras. 2. Guru agama Buddha mampu mengelola program pembelajaran Guru hendaknya menguasai secara fungsional tentang pendekatan system Pendidikan Agama Buddha. Dalam proses perencanaan pelaksanaan pembelajaran agama Buddha, menguasai asas – asas pengajaran, menguasai prosedur - metode - strategi - teknik pengajaran, menguasai bahan ajar, mampu merancang, mendayagunakan fasilitas – media – sumber pengajaran. Secara akumulatif guru diharap mampu menyusun rencana satuan pengajaran ( SP ) yang berbobot ( alam pengembangna unsurnya dan sistematikanya ). 3. Guru agama Buddha mampu mengelola kelas Pengelolaan fisik ( tat ruang kelas dan pengaturan tempat duduk dengan memperhatikan sifat – sifat perorangan siswa, relative mudah ), yang lebih sulit adalah upaya membina motivasi belajar ( perorangan atau kelompok ), kerjasama kelas, kompetisi yang sehat, tertib – disiplin kelas, dan penanganan sisawa yang lebih khusus ( bandel , pengacau kelas, badut kelas, minder dan kenakalan yang menjurus kriminal atau susila ). Inti pengelolaan kelas adalah menciptakan situasi sosial kelas yang kondusif untuk belajar secara efektif – efisien. 4. Guru agama Buddha mampu menggunakan media Media pengajaran guru agama Buddha adalah alat penyalur pesan pengajaran baik secar langsung maupun secara tidak langsung ( melalui rekaman ). Sumber pengajaran adalah acuan dalam menjabarkan serta mengorganisasikan bahan ajar yang dilakukan oleh guru. Sumber pengajaran dapat berupa orang, rekaman, lingkungan, alat – alat peraga, strategi serta teknik pengajaran dan berbagai pesan/informasi. Guru masa kini hendaknya selalu siap untuk belajar keilmuan secara berkesinambungan dan juga harus menyadari bahwa guru bukanlah satu – satunya sumber pengajaran bagi siswanya. Guru diharap mampu mendayagunakan serta mengorganisasikan aneka sumber pengajaran yang kreatif secara terpadu. 5. Guru agama Buddha menguasai landasan-landasan kependidikan Penguasaan landasan kependidikan sesungguhnya telah diberikan sewaktu masih kuliah di Perguruan Tinggi Agama Buddha maupun Sekolah PGA Buddha. Termasuk kajian landasan kependidikan adalah : Ilmu Pendidikan, Psikologi Pendidikan, Administrasi PEndidikan, Bimbingan Konseling dan Filsafat Pendidikan. Penguasaan rumpun ilmu kependidikan tersebut menjadi perangkat analisis – sintetis dalam PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 14 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun mengorganisasikan pengajaran ( baik tahap perencanaan maupun pelaksanaannya ), guru yang mengusai dasar keilmuan dengan mantap akan dapat member jaminan bahwa siswanya belajar sesuatu bermakna dari guru yang bersangkutan. 6. Guru agama Buddha mampumengelola interaksi belajar-mengajar Pembelajaran agama Buddha terhadap siswa dapat disebut pembelajaran sisawa. Di antara siswanya, guru hendaknya mampu berperan sebagai motivator, inspirator, organisator, fasilitator, dapat berperan serta dalam pelayanan bimbingan konseling, dan secara teknis mampu mengajar/membelajarkan siswa secara efektif – efisien. Guru menguasai bahan dan cakap melaksanakan asas – asas pengeajaran secra tepat dan produktif. 7. Guru agama Buddha mampu mengelola penilaian Pengelolaan penilaian terhadap hasil belajar siswa demi kepentingan pembelajaran siswa. Penilaian hasil belajar adalah bagian integral dari sistem pengajaran. Hasil penilaian ini merupakan umpan balik dan promosi keberhasilan belajar siswa. Penyusunan butir tes, penyelenggaraan tes, koreksi hasil kerja siswa, pengelolaan serta penentuan hasil, pengadministraian nilai dan penggunaan data nilai untuk bimbingan belajar lebih lanjut hendaknya ditangani oleh guru secara berkeahlian. Dalam hal ini guru juga dituntut belajar keras serta berkesinambungan. 8. Guru agama Buddha mampu menerapkan Bimbingan Konseling Guru agama Buddha juga hrus dapat berfungsi melaksanakan bimbingan dan konseling, serta mampu berperan serta di dalamnya. Fungsi utama dari program/pelayanan BK membantu siswa untuk mengenali serta menerima diri beserta potensinya, membantu siswa untuk membuat pilihan/keputusan yang terpat bagi dirinya membantu siswa agar berani serta mampu mengahadapi masalah hidupnya secara tanggungjawab, membantu siswa agar mampu belajar secara efisien dan akhirnya secara keseluruhan membantu siswa untuk menemukan kebahagiaan hidupnya. Sukses pengembangan diri siswa yang terkait dengan jasa layanan BK adalah optimalisasi perkembangan dirim integritas diri, sosialisai diri yang lancer secara normatis dan siswa penuh percaya diri untuk menyongsong masa depan. 9. Guru agama Buddha memahami administrasi sekolah Guru mengenal dan mampu berperan aktif dalam penyelenggaraan administrasi sekolah. Peren serta guru dalam kegiatan administrasi sekolah hendaknya mencangkup pengertian adminitrasi secara luas ( yaitu : pengelolaan ) dan pengertian administrasi secara sempit ( yaitu : ketatausahaan ). ( Lihat : PP., No.30/1980, bab II, ps. 2 dan 3 ). Perlu juga diingat oleh para guru bahwa jabatan administrator – supervisor pendidikan sekolah akan dibibit dari guru yang berkeahlian/cakap dalam tugasnya. ( Lihat : PP No. 38/1992, bab VI, ps. 20 ). 10. Guru agama Buddha mampu melaksanakan penelitian ilmiah Guru memahami prinsip prinsip penelitian pendidikan dan mampu melaksanakan/menafsirkan hasil – hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan pembelajaran agama Buddha. Kondisi guru di masyarakat kita sekarang ini cenderung PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 15 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun belum siap untuk mengemban tuntutan kompetensi ini, tetapi kompetensiini tetap merupakan tantangan kualitatif bagi semua guru di masa depan. Persoalannya adalah apakah guru dilatih selama prajabatannya, apakah guru mendapat bimbingan selama telah berdinas dan apakah guru memiliki fasilitas untuk melibatkan diri dalam kompetensi ini secara berkeahlian ? F. Contoh-contoh Kepribadian Guru Agama Buddha 1. Menghayati serta mengamalkan nilai dharma yang luhur, melaksanakan pancasila Buddhis (moralitas), melaksanakan Samadhi dan mengembangkan kebijaksanaan. Memiliki keyakinan yang teguh (Saddha) kepada Tuhan YME, Sang Triratna, Kitab Suci, Hukum Kebenaran, yang manifestasinya seperti bertindak jujur dan bertanggungjawab. Kejujuran dan kesediaan bertanggungajawab atas segala tindak keguruan tersebut merupakan realisasi kesusilaan hidup seorang guru dan sekaligus merupakan pengakuan atas berbagai keterbatasan-nya yang perlu dibenahi/diperbaiki terus – menerus. 2. Berperan sebagai pemimpin, baik di sekolah maupun diluar sekolah. Guru meneladani Sang Buddha. Guru agama Buddha dituntut mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif dan mampu mengornaisir seluruh upaya pembelajaran siswanya secara efisien. Kepemimpinan guru agama Buddh adi luar sekolah hendaknya menggejala pada kualitas guru yang mampu menjadi pemilik, penyimpan dan sekaligus penyebar kiat pembaharuan pembangunan masyarakat dan bangsa. 3. Bersikap bersahabat dan mampu berkomunikasi serta bekerja sama dengan siapapun demi tujuan baik. Modal dasar agar sukses berkomunikasi serta bekerja sama dengan sesama adalah menghargai patner kerja, bersikap terbuka, mampu berempati dan menguasai teknik berkomunikasi. 4. Mampu berperan serta aktif dalam pelestarian dan pengembangan budaya masyarakat. Budaya masyarakat selalu digerakkan oleh sistem nilai tertentu. Pendidikan nilai adalah klarifikasi nilai hidup yang dijalani oleh siswa, yang jika berhasil maka siswanya mampu mengamalkan nilai yang diyakini secara mandiri. Menurut N. Driyarkara SJ, 1990, bahwa Pendidikan adalah pembudayaan manusia muda. 5. Guru tidak kehilangan prinsip dalam bekerja sama dengan siapapu. Prinsip nilai luhur harus dikedepankan dan diyakini, tentu guru harus mampu menghargai pribadi-pribadi lain di luar dirinya secara tulus dan iklas. 6. Bersedia ikut berperan serta dalam masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Guru bersedia menyumbangkan kemampuannya bagi sesama tanpa memperhitungkannkeuntungan diri sendiri secara berlebihan. 7. Bermental sehat dan stabil, cirinya adalah realistis, rasional, mengenali diri serta potensinya, sadar akan kelebihan dan kekurangannya, ulet memberdayakan seluruh kemampuanny untuk kebaikan diri serta kariernya. 8. Tampil secara pantas (dalam bertindak dan bertutur kata, berpakaian dan kebiasaankebiasaan lainnya. 9. Berbuat kreatif dengan penuh perhitungan. Tugas keguruan tidak dapat dipolakan seperti mekanik. Tindak keguruan meliputi pendekatan pribadi, perencanaan, metode PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 16 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun pengajaran, strategi, dan teknik pembelajaran menuntut kreatifitas serta kemampuan berpikir alternatif. 10. Mampu bertindak tepat waktu dalam janji serta penyelesaian tugas-tugasnya. Guru dituntut mampu mengelola waktu dan berdisiplin. 11. Mampu menggunakan waktu luangnya secara bijak dan produktif, baik dalam kegiatan-kegiatan sosial maupun kegiatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang tidak mempengaruhi profesionalismenya secara baik. G. Guru Agama Buddha sebagai Teladan Pada dasarnya seorang guru agama Buddha adalah patut dicontoh, ditiru dan diteladani oleh siswa-siswanya. Dalam proses pembelajaran kepada siswa tidak lain adalah pembelajaran masalah moral dan tidak hanya sekadar masalah materi pelajaran secara kognitif saja. Namun dituntut dalam segi aplikatif. Sudah barang tentu seorang guru agama Buddha dalam kehidupan sehari-hari haruslah berlandaskan Buddha Dharma. Melaksanakan Panna, Sila dan Samadhi, memiliki keyakinan kepada Kitab Suci Tripitaka/Tipitaka dan harus dipedomani secara terus menerus. Membiasakan melaksanakan dan mengembangkan Panna, Sila, dan Samadhi. Jabatan sebagai seorang guru agama Buddha harus melekat dimanapun berada, kapanpun. Dengan demikian masyarakat akan ikut meneladani sikap guru agama Buddha. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 17 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun BAB III PENUTUP A. Ringkasan Kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku seseorang yang tampak dalam bentuk tingkah laku, meliputi : pola pikir, cara mengemukakan pendapat dan segala aktifitasnya yang secara terus menerus dilakukan seseorang. Setiap orang termasuk guru agama Buddha juga mempunyai kepribadian yang masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia terdiri atas tiga aspek yang saling berhubungan. Ketiga aspek tersebut adalah Id (Das Es), Ego (Das Ich) dan Super Ego (Das Uber Ich). Membicarakan kepribadian dalam konsep ajaran Sang Buddha adalah membicarakan wakat atau Carita. Menurut Sang Buddha bahwa watak manusia pada umumnya terbagi dalam 7 Jenis, yaitu watak yang sangat kuat perwatak ada enam jenis dan satu jenis watak camuran. Ketujuh jenis watak atau Carita adalah : Watak memiliki nafsu besar (Raga Carita), Watak penuh dengan kebencian (Dosa Carita), Watak ketidaktahuan (Moha Carita). Watak penuh kekhawatiran (Vitakka Carita). Watak mudah percaya (Saddha Caritta). Watak Pandai/pintar/Intelek (Buddhi Caritta), Watak campuran/kombinasi (Sabba Caritta). Persyaratan proesionalisme guru agama Buddha , perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil bagi guru agama Buddha di Indonesia yang profesional, yaitu : 1. Berkepribadian Buddhis yang matang dan berkembang. 2. Memiliki penguasaan ilmu yang kuat (Dalam hal ini ilmu tentang agama dan ilmu-ilmu lain yang sesuai dengan kemajuan jaman dan teknologi) dan tidak kuper/picik. 3. Memiliki ketrampilan dan menguasainya serta mampu membangkitkan minat siswa untuk lebih mengerti dan percaya diri, sehingga disamping siswa menguasai materi agama Buddha, juga siswa mampu mengembangkan sains dan teknologi yang pada akhirnya menjawab tantangan jaman dan kebenaran Buddha Dharma. 4. Mampu meningkatkan pengembangan profesi guru agama Buddha secara berkesinambungan melalui pendidikan dan pelatihan. B. Lembar Tugas Saudara diminta untuk menganalisia masalah-masalah yang terjadi dalam proses pembelajaran kepribadian dan profesi guru agama Buddha dalam lembar kertas yang tersedia sebagaimana soalsoal sederhana di bawah ini. Identifikasi masalah-masalah tersebut dan berikan penjelasan pemecahannya. 1. Apa yang selama ini menjadi kendala yang menyebabkan rendahnya profesionalisme seorang guru agama Buddha ? Apa pula yang anda dapat lakukan terhadap pemecahan masalah tersebut selama ini ? 2. Dalam pengembangan kepribadian bagi seorang guru agama Buddha, apa peranan agama Buddha dalam hal ini ? 3. Bentuklah kelompok kecil antara 5 s/d 6 orang, kemudian dalam kelompok tersebut masingmasing anggota menceritakan pengalaman profesi anda sebagai guru agama Buddha dalam proses interaksi untuk mengaktifkan proses pembelajaran terhadap siswa. Ceritakan secara jujur mulai dari persiapan sampai akhir proses pembelajaran. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 18 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun C. Evalauasi 1. Apa saja yang mempengaruhi kepribadian menurut Sigmund Freud ? Jelaskan ! 2. Jelaskan keterkaitan watak/carita terhadap kepribadian seseorang dalam pandangan Buddhis? Bagaimanakah proses pengembangannya ? Jelaskan! 3. Berikan 5 (lima) keteladanan dari seorang guru agama Buddha ! 4. Mengapa suatu pekerjaan dikatakan sebagai profesi ? Jelaskan ! 5. Apa yang saudara pahami tentang kepribadian baik secara umum maupun dalam pandangan agama Buddha ? Jelaskan ! 6. Apa yang dimaksud dengan profesi, profesional, profesionalisme dan profesionalisasi ? Jelaskan ! 7. Apa peranan Jelaskan ! 8. Apa langkah-langkah saudara untuk mengembangkan profesi anda dalam proses pembelajaran agama Buddha di tingkat Sekolah Dasar ? Jelaskan ! 9. Sebagai figur bagi anak didik/siswa, teladan apa yang telah anda berikan secara jujur ? Jelaskan ! agama dalam membentuk kepribadian bagi seorang guru agama Buddha ? PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 19 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Pengembangan Profesionalitas Gurun DAFTAR PUSTAKA Anderson, John R. 1990, Cognitive Psychology and Its Implication, New York : WH. Freeman and Company. Barlow, D.L. 1985, Educational Psychology, Moody Bible Institute. The Teaching Learning Process, Chicago: The Garmezy, Kimble,. 1963, Principle og General Psychology. New York: Roland Press. Maha Nayaka Stavira Jinarakittha. 2001, Meditasi I, Vajra Dharma Nusantara, Jakarta. Mouly, George J. 1973, Psychology for Effective Teaching. New York : Holt Rinehart and Winston. Naradha, 1996, Sang Buddha dan Ajarannya, Bagian 1, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta Naradha, 1996, Sang Buddha dan Ajarannya, Bagian 2, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta Purnomo P. 1996, Strategi Pengajaran, Makalah disampaikan dalam rangka Seminar, Lokakarya Dosen Sekolah Tinggi Teologia , INTHEOS, Surakarta, Tawangmangu, Universitas Satata Dharma. PGRI, 1973, Kode Etik Guru Indonesia, Dirumuskan oleh PGRI dalam Konggresnya yang ke 13 di Jakarta, November 1973. Puskur. 2002, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta, Balitbang, Depdiknas. Sumedha Widyadharma, 1986, Dhamma Sari, Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda, Jakarta. Syah Muhibbin, 2000. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung, Rosdakarya. Tim Materi, 2001, Bahan Dasar Pendidikan Wawasan Kependidikan Guru Agama Buddha Tingkat SLTP, Bagian Pertama, Kedua dan Ketiga, Depdiknas, Bagpro PWKGA, Jakarta. Teja SM Rashid, 1993, Samadhi, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, Jakarta. PLPG-Sertifikasi Guru dalam Jabatan 20 STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten