muhammad sahril (d1a211250) - fh unram

advertisement
KARYA ILMIAH
PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN TINJAUAN
YURIDIS BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960, UU NO 2
TAHUN 1960 DAN HUKUM ADAT
(Studi di Desa Tanak Beak Kecamatan Batukliang Utara Lombok Tengah)
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
MUHAMMAD SAHRIL
D1A211250
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2016
HALAMAN PENGESAHAN
PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN TINJAUAN
YURIDIS BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960, UU NO 2
TAHUN 1960 DAN HUKUM ADAT
(Studi di Desa Tanak Beak Kecamatan Batukliang Utara Lombok Tengah)
Oleh :
MUHAMMAD SAHRIL
D1A211250
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
(Muhammad Umar, S.H., M.H.)
NIP. 19521231 198403 1 104
PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN TINJAUAN YURIDIS
BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960, UU NO 2 TAHUN 1960 DAN
HUKUM ADAT
( Studi di Desa Tanak Beak Kecamatan Batukliang Utara Lombok Tengah)
MUHAMMAD SAHRIL
DIA 211 250
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui cara pelaksanaan perjanjian
sandak sakap tanah pertanian berdasarkan Undang-undang dan hukum adat.
Manfaat untuk memberikan informasi kepada mahasiswa dan masyarakat cara
pelaksanaan perjanjian yang baik dan benar. Jenis penelitian adalah penelitian
normative empiris yaitu menggunakan pendekatan berdasarkan Undang-undang,
konseptual, dan hukum adat. Perjanjian sandak sakap berdasarkan Undangundang dan hukum adat itu tidak sejalan, dimana masyarakat lebih memilih
menggunakan hukum adat daripada yang diatur dalam Undang-undang sebab
menghambat dan merugikan para pihak. Cara penyelesaian sengketa yaitu
musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila tidak dapat diselesaikan dengan
musyawarah mufakat maka para pihak melanjutkan ketahap peradilan umum.
Kata kunci: Perjanjian sandak sakap tanah pertanian
THE AGREEMENT OF SANDAK SAKAP LAND PLEDGE BASED ON THE
LAW OF ACT NO. 56 OF 1960, THE LAW NO. 2 OF 1960 AND COSTUM
LAW
(Study in Tanak Beak, Batukliang Utara, Sentral Lombok)
ABSTRACT
The purpose of this experiment is to find out how to do sandak sakap of
agreeculture land based on the law and based on costum law. Benifiet experiment
is to give information for students of university and community how to do
agreement correctly based on the rules or law that have made. kind of experiment
is called Normatif empiris exfriment which using approachment, the consept and
costum law. The agreement of sandak sakap based on what has been arranged by
the law. Agreement of sandak sakap with of law and custum law that is not
working proferly, where the community preper to use costum law or local rules
than just a law. The way to solve the quarrel can be like doing this cussion to get
the agrrement reached or with justisie.
Kaywords: Sandak sakap agreement of agriculture land
I.
PENDAHULUAN
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan
kewajiban untuk umat manusia mengelola dan memanfaatkan segala sesuatu
yang ada di atasnya. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan
perkembangan pembangunan yang sedemikian besar, dan luas tanah yang relatif
tidak bertambah, secara nyata hal ini menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin
meningkat. Disamping itu dengan kebutuhan yang semakin meningkat yang juga
mengakibatkan berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat, seperti
masyarakat Lombok yang melakukan perjanjian “sandak sakap” tanah pertanian.
Sandak ini biasa disebut dengan istilah Gadai, yang dimana pemilik hak
atas tanah melakukan pinjaman uang kepada masyarakat setempat dengan
menjaminkan tanah pertaniannya, tanah pertanian tersebut dikuasai oleh si
pemberi hutang (tempat meminjam uang), sehingga pemberi hutang tersebut
memiliki hak untuk menggarap sendiri atau dengan menyuruh orang lain untuk
menggarap tanah yang telah disandak oleh pemilik tanah.
Sedangkan “Sakap” biasa disebut dengan perjanjian bagi hasil. Sakap atau
bagi hasil ini dilakukan oleh para pemilik tanah dengan penggarap yang dimana
hasil panen tanah tersebut dibagi oleh para pihak pembuat perjanjian. Dalam hal
Sandak sakap atau gadai ini banyak ditemukan berbagai masalah yang timbul
diantaranya adanya ketidak pastian dan ketidak jelasan dalam pelaksanaannya.
Bahwa dalam UU No 56 Prp Tahun 1960 tentang pengaturan Gadai tanah dan
UU No 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, jenis perjanjian harus
berbentuk tertulis, Sedangkan dalam hukum adat suku Sasak Lombok perjanjian
gadai atau sandak sedikit sekali ditemukan dengan menggunakan perjanjian
tertulis, kebanyakan dengan perjanjian tidak tertulis atau dengan berdasarkan
kepercayaan para pihak, sehingga mengakibatkan kurangnya pembuktian dan
kepastian hukum dalam perjanjian tersebut. UU No 56 Prp Tahun 1960 dan UU
No 2 Tahun 1960 mengatur tentang Jangka waktu perjanjian sebelum
pelaksanaannya, sehingga dapat memudahkan para pihak untuk mengtahui kapan
mulai dan kapan berakhirnya suatu perjanjian. Sedangkan dalam hukum adat
sukuk sasak Lombok kebanyakan tidak menetapkan jangka waktu yang artinya
berakhirnya perjanjian kapan dilakukannya penebusan kembali oleh pemilik tanah
walau perjanjian itu berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di rumuskan permasalahan yang
hendak akan diteliti, yaitu: 1. Bagaimana pengaturan perjanjian sandak sakap
tanah pertanian berdasarkan UU No 56 Tahun 1960 dan UU No 2 tahun 1960.? 2.
Bagaimana pelaksanaan perjanjian sandak sakap tanah pertanian berdasarkan
hukum adat atau kebiasaan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk 1. Untuk memberikan pemahaman kepada
mahasiswa/penyusun dan masyarakat tentang bagaimana pengaturan perjanjian
sandak sakap tanah pertanian berdasarkan UU No 56 PrP Tahun 1960 dan UU
No
2
Tahun
1960.
2.
Untuk
memberikan
pengetahuan
kepada
mahasiswa/penyusun dan masyarakat bagaimana pelaksanaan perjanjian sandak
sakap tanah pertanian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Tanak
Beak Kecamatan Batukliang Utara Lombok Tengah dan cara penyelesaian
masalah ketika terjadi konplik antara para pihak. Adapun manfaat yang ingin
dicapai yaitu: 1. Manfaat Teoritis: Untuk dapat memberikan masukan,
pengembangan wawasan kepada kalangan mahasiswa/kalangan akademis dan
masyarakat mengenai pengaturan perjanjian sandak sakap tanah pertanian
berdasarkan UU No. 56 Prp Tahun 1960, UU No. 2 Tahun 1960, dan Untuk dapat
memberikan
masukan,
pengembangan
wawasan
kepada
kalangan
mahasiswa/kalangan akademis dan masyarakat mengenai pengaturan perjanjian
sandak sakap tanah pertanian berdasarkan (hukum adat) dan cara penyelesaian
sengketa ketika terjadi konplik antara para pihak. 2. Secara praktis: Hasil
penelitian ini juga diharapkan mampu untuk menambah referensi bagi
perpustakaan, dan Hasil penelitian ini semoga dapat mencerdaskan mahasiwa dan
masyarakat dalam mengambil sikap pada penyelesaian-penyelesaian masalah
sandak sakap tanah pertanian.
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
normatif-empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji ketentuan
perundang-undangan (inabstraco) serta dengan melihat fakta-fakta hukum yang
terjadi di masyarakat (inconcreto). Adapun metode pendekatan yang digunakan
ialah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan
sosiologis.
II. PEMBAHASAN
PENGATURAN PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN
BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960 DAN UU NO 2 TAHUN 1960
PENGATURAN PERJANJIAN SANDAK(GADAI) TANAH PERTANIAN
BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960
Dalam peraturan ini diatur soal gadai tanah pertanian. Yang dimaksud
gadai ialah hubungan antara seorang dengan tanag kepunyaan orang
lain, yang mempunyai utang kepadanya selama utang tersebut belum
dibayar lunas maka tanah itu tetep berada penguasaan yang
meminjamkan uang tadi (“pemegang gadai”). Selama itu hasil tanah
seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang demikian merupakan
bunga dari utang tersebut.
Pengaturan perjanjian sandak sakap berdasarkan UU No 56 Tahun
1960 tentang penetapan luas tanah yang mengatur masalah gadai dimana
perjanjian tersebut harus dalam bentuk tertulis dan adanya penetapan jangka
waktu perjanjian seperti yang dijelaskan: a. Perjanjian gadai harus dilakukan
dalam bentuk tertulis, b. Jangka waktu perjanjian gadai paling lama 7
tahun, apabila dalam 7 tahun pemilik tanah tidak mampu untuk
mengembalikan tanah tersebut maka penerima gadai diharuskan untuk
mengembalikan tanah tersebut tanpa meminta uang tebusan, seperti yang
dijelaskan. Hal ini telah di atur dalam UU NO 56 Prp Tahun 1960 Pasal 7
ayat (1) yang berbunyi:
Barang siapa mengasai tanah pertanian dengan hak gadai pada
waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlansung 7 tahun
atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya
dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen,
dengan tidak tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang
tebusan.
Apabila penebusan tanah gadai dalam jangka waktu berlansungnya
belum 7 tahun maka cara perhingannya dilakukan seperti dalam pasal 7
ayat (2) UU No 56 Prp Tahun 1960 yaitu:
Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini
belum berlansung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk
memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai
dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung
menurut rumus:
(7+1/2)- waktu berlansung hak gadai…..X uang gadai…7
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah
berlansung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengenbalikan
tanah tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan
setelah tanaman yang ada selesai dipanen.
Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai
yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini.
Jika sebelum berakhir perjanjian gadai adanya penambahan uang,
berdasarkan Peraturan Pasal 2 Menteri Pertanian dan Agraria No 20
Tahun 1963 menjelaskan sebagai berikut:
Jika sebelum gadai berakhir, uang gadainya ditambah, baik dalam
bentuk uang ataupun lainnya dan penambahan itu dilakukan secara
tertulis dengan melalui acara yang lazim seperti pada waktu gadai
tersebut diadakan, maka sejak dilakukakannya penambahan itu
timbullah gadai baru, dengan jumlah uang gadai yang baru pula.
PERJANJIAN
SAKAP
(BAGI
HASIL)
TANAH
PERTANIAN
BERDASARKAN UU NO 2 TAHUN 1960
Perjanjian bagi hasil, ialah perjajian dengan nama apapun juga
yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seorang atau
badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini
disebut”penggarap” berdasarkan perjanjian mana penggarap
diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan
usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya
antara kedua belah pihak.
Pihak pihak dalam perjanjian bagi hasil yaitu: Dalam Pasal 2
Ayat (1) Undang-undang No 2 Tahun 1960 pihak yang dibolehkan
sebagai penggarap yaitu:
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan
3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam
perjanjian bagi hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah
garapannya, baik kepunyaanya sendiri maupun yang diperolehnya
secara, menyewa, dengan perjanjian bagi hasil ataupun secara
lainya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga) hektar.
Bentuk
perjanjian
bagi
hasil
haruslah
tertulis
untuk
memudahkan dan menghilangkan rasa keragu-raguan para pihak.
Seperti yang tercantum dalam bunyi pasal 3 UU No 2 Tahun 1960
yaitu:
(1). Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan
penggarap sendiri secara tertulis dihadapan Kepala dari
Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya
tanah yang bersangkutan selanjutnya dalam undang-undang
disebut “Kepala Desa’ dengan dipersaksikan oleh dua
orang masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.
(2). Perjanjian bagi hasil termaskud dalam ayat 1 diatas
memerlukan pengesahan dari Camat/Kepala Kecamatan
yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan
itu selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Camat”
(3). Pada setiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan
semua perjanjian bagi hasil yang diadakan sesudah kerapan
yang terakhir.
Dalam perjanjian bagi hasil biasa jangka waktu ditentukan oleh
kedua belah pihak, dimana kedua belah pihak membuat kesepakatan
tentang jangka waktu. Tetapi berdasarkan Undang-undang ini jangka
waktu perjanjian bagi hasil tidak hanya ditentukan oleh kedua belah
pihak, namun ditentukan juga oleh Camat dan ditetapkan lebih lanjut
oleh Menteri Muda Agraria. Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal
4 Ayat (1 sampe 4) UU No 2 Tahun 1960:
(1). Perjanjian bagi hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan
di dalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan
ketentuan, bahwa bagi sawah itu sekurang-kurang 3 (tahun)
dan bagi tanah kering sekurang-kurang 5 (lima) tahun.
(2). Dalam hal-hal khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri Muda Agraria, oleh camat dapat diizinkan
diadakannya perjanjian bagi hasil dengan jangka waktu
yang kurang dari apa yang ditetepkan dalam ayat 1 di atas,
bagi tanah biasa diusahakan sendiri oleh yang
mempunyainya.
(3). Jika pada berakhirnya perjanjian bagi hasil di atas tanah yang
bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dipanen,
maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu
tanaman itu selesai dipanen, tetepi perpanjangan waktu itu
tidak boleh lebih dari satu tahun.
(4). Jika ada keragu-raguan apakah tanah yang bersangkutan itu
sawah atau tanah kering, maka Kepala Desalah yang
memutuskan.
Putusnya atau berakhirnya perjanjian bagi hasil Berdasarkan UU
No 2 Tahun 1960 putusnya perjanjian karna disebabkan oleh:
(1). Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya jangka
waktu perjanjian termaksud dalam pasal 4 ayat 1 hanya
mungkin dalam hal-hal dan menurut ketentuan dibawah ini:
a. Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan
dan setelah mereka laporkan kepada Kepala Desa;
b. Dengan izin Kepala Desa atas tuntutan pemilik, di dalam
hal penggarap tidak mengusahakan tanah yang
bersangkutan sebagaimana mestinya atau tidak
memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian
dari hasil tanah yang telah ditentukan kepada pemilik
atau tidak memenuhi bahan-bahan yang menjadi
tanggungannya yang ditegaskan di dalam surat surat
perjanjian tersebut pada pasal 3atau tanpa izin dari
pemilik menyerahkan penguasaan tanah yang
bersangkutan kepada orang lain.
(2). Kepala Desa member izin pemutusan perjanjian bagi hasil
yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dengan
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan kedua belah
pihak, setelah usahanya untuk dahulu mendamaikan mereka
itu tidak berhasil.
(3). Di dalam hal tersebut pada ayat 2 pasal ini Kepala Desa
menentukan pula akibat daripada pemutusan itu.
(4). Jika pemilik dan/atau penggarap tidak menyetujui keputusan
Kepala Desa untuk mengizinkan diputuskannya, perjanjian
sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dan/atau
menegenai apa yang dimaksud dalam ayat 3 di atas, maka
soalnya dapat diajukan kepada Kepala Camat untuk
mendapat keputusan yang mengikat kedua belah pihak.
(5). Camat melaporkan secara berkala kepada Bupati/Kepala
Daerah Swatantra tingkat II semua keputusan yang
diambilnya menurut ayat 4 pasal ini.
Dalam perjanjian bagi hasil biasanya pembagian hasil tanah
ditentukan oleh para pihak itu sesuai dengan persetujuan saat membuat
perjanjian, Pembagian hasil tanah antara pemilik tanah dan penggarap
berdasarkan bunyi Pasal 7 UU No 2 Tahun 1960 yaitu:
1) Besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan
pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantra tingkat II ditetapkan
oleh Bupati/Kepala Daerah swatantara tingkat II yang
bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan
tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum
dibagi dan factor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan
adat setempat.
2) Bupati/Kepala Daerah Swatantara tingkat II memberitahukan
keputusannya mengenai penetapan pembagian hasil tanah yang
diambil menurut ayat 1 pasal ini kepada Badan Pemerintah
Harian dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan.
PELAKSANAAN PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN
BERDASARKAN HUKUM ADAT
PELAKSANAAN PERJANJIAN SANDAK (GADAI) TANAH PERTANIAN
BERDASARKAN HUKUM ADAT
Factor-faktor terjadinya gadai tanah pertanian dalam masyarakat itu
disebabkan kebutuhan mendesak dari pemilik tanah, dimana pemilik
tanah tidak punya pilihan lain selain menggadaikan tanah demi
tercapainya apa yang diinginkan.1
Bahwa dalam perjanjian sandak/gadai tanah pertanian di Desa
Tanak Beak biasanya terdapat 2(dua) bentuk perjanjian yaitu perjanjian
bentuk tertulis dan tidak tertulis/ lisan, dilapangan perjanjian yang
banyak ditemukan yaitu perjanjian tidak tertulis hanya dilakukan dengan
lisan karna para pihak saling percaya satu sama lain. Sedangkan
perjanjian tertulis jarang digunakan dalam perjanjian sandak, tertulis
hanya menggunakan kuitansi pembayaran dimana tertulis tentang jumlah
uang gadai, perjanjian dalam bentuk tertulis biasanya digunakan apabila
perjanjian dalam jumlah besar.2
Penentuan pihak mana yang membayar pajak atas tanah
tergantung dari perjanjian para pihak, bisa dari pihak pertama/pemilik
tanah, dan bisa juga dari pihak kedua/ penerima gadai. Dalam kebiasaan
1
Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah selaku penerima gadai, Tanggal 29
Oktober 2015, di lingkungan Jeliman Desa Karang Sidemen”.
masyarakat setempat saat melakukan perjanjian sandak/gadai tanah
kebanyakan pihak yang menanggung biaya pajak adalah dari pihak
penerima gadai, disebabkan karena pemilik tanah telah menyerahkan hak
penguasaan kepada penerima gadai,
Pelaksanaan perjanjian gadai dalam masyarakat tidak dengan
penetapan jangka waktu disebabkan karna para pihak seringkali
melakukan penambahan jumlah uang gadai.
3
Disamping itu perjanjian
gadai dengan penetapan jangka waktu, sering kali ditemukan dalam
masyarakat bahwa perjanjian yang ditetapkan jangka waktu 3 tahun
sampai berakhirnya jangka waktu 3 tahun tersebut, namun pihak pertama
belum juga mampu menebus kembali sampai perjanjian gadai terus
berjalan selama 7 tahun bahkan lebih, sehingga penetapan jangka waktu
sebelumnya menjadi tidak berarti, yang menyebabkan masyarakat
membuat perjanjian sering kali tanpa penetapan jangka waktu.4
Penebusan kembali dalam perjanjian sandak harus berdasarkan
perjanjian awal/ perjanjian saat sebelum terjadinya kesepakatan, yang
dimana kebiasaan masyarakat, penebusan kembali harus sesuai dengan
perjanjian sebelumnya yaitu apabila diperjanjian harus dibayar dengan
uang maka penebusan kembali harus dibayarkan dengan uang sesuai
dengan jumlah uang yang diambil pemilik tanah saat terjadinya
kesepakatan sebelumnya tanpa ada uang tambahan maupun pengurangan,
3
Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah.Tanggal 29 OKtober 2015, dan Bahri
selaku penerima gadai. 04 November 2015” .
4
Hasil wawancara dengan Bapak Bukrik selaku Kepala Dusun di lingkungan Dasan
Agung Desa Tanak Beak, Tanggal 10 November 2015”.
dan harus tanpa adanya uang denda atau bunga, begitupula apabila saat
perjanjian di perjanjikan dengan binatang ternak maka harus bagi pemilik
tanah menebus dengan binatang ternak, namun apabila diperjanjikan lain
yang membolehkan pemilik tanah menebus dengan jumlah uang, maka
jumlah uang tersebut harus sesui dengan harga binatang ternak tersebut.
Perjanjian sandak hukum adat Tidak ada keharusan penerima
gadai mengembalikan tanah kepada pemilik sebelum dilakukannya
penebusan kembali, walaupun perjanjian gadai sudah berjalan berpuluhpuluh tahun lamanya.
PELAKSANAAN
PERJANJIAN
SAKAP
(BAGI
HASIL)
TANAH
PERTANIAN BERDASARKAN HUKUM ADAT
Bentuk perjanjian sakap/bagi hasil tanah pertanian, dalam
pelaksanaan perjanjian sakap/bagi hasil ini yang sering kali ditemukan
adalah perjanjian bentuk tidak tertulis, yang hanya dengan lisan dari para
pihak itu sendiri, karena saling percaya satu sama lain yang membuat
tidak perlunya melaksanakan perjanjian secara tertulis.5 Disamping itu
juga perjanjian ini berdasarkan hukum adat setempat yang biasa
diberlakukan dengan cara tidak tertulis disebabkan dalam perjanjian
sakap/bagi hasil antara para pihak itu adalah hubungan orang-perorang
sehingga cukup dengan lisan saja.
5
Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah dan Bapak Marie selaku Pihak pertama
(pemilik lahan) perjanjian bagi hasil, di Lingkungan Jeliman Desa Karang Sidemen. Tanggal 29
Oktober, 07 November 2015’.
Jangka waktu perjanjian sakap/bagi hasil tanah pertanian,
perjanjian sakap/ bagi hasil dalam kebiasaan masyarakat itu tidak ada
penentuan jangka waktu perjanjian, disebabkan tergantung dari para
pihak itu sendiri apabila pihak pertama/pemilik tanah maupun pihak
penggarap betah dalam pelaksanaan perjanjian sakap/bagi hasil tanah
maka perjanjian itu akan terus berlanjut sampai kapan para pihak
mengakhiri perjanjian tersebut.
Penanggung semua biaya perjanjian sakap/bagi hasil tanah
pertanian, Dalam perjanjian ini penanggung semua biaya tergantung dari
kesepakatan para pihak, bisa dari pihak pertama maupun pihak kedua.
Apabila yang menanggung semua biaya dari pihak pertama maka pihak
pertama akan dapat lebih dari hasil tanah yang digarap oleh penggarap,
tetapi apabila penggarap yang menanggung biaya garap maka pembagian
hasilnya itu akan sama rata.
Syarat-syarat dalam mengakhiri perjanjian sebagai berikut: a.
Tanah perjanjian telah digarap oleh pihak penggarap minimal satu tahun
atau 2 (dua) kali panen padi, b. Pihak penggarap sendiri yang meminta
kepada pihak pertama/pemilik tanah, dengan alasan tanah yang
digarapnya tidak mampu memberikan keuntungan yang lebih banyak
diakibatkan kondisi tanah yang tidak memungkinkan;6 c. Pihak pemilik
tanah sendiri yang meminta kepada pihak penggarap untuk mengakhiri
perjanjian, dengan alasan pihak penggarap tidak mampu memberikan
6
Hasil wawancara dengan Bapak Tohri dan Bapak Durahman selaku pihak kedua
(penggarap),di lingkungan Dasan Agung. Tanggal 01, 09 November 2015”.
keuntungan kepada pemilik tanah akibat dari ketidak seriusan penggarap
dalam mengelola, merawat tanah, dan dengan alasan bahwa penggarap
sering tidak jujur dalam jumlah hasil panen yang didapat;7 d. Berakhirnya
perjanjian karna kesepakatan dari para pihak sendiri.
Cara penyelesaian sengketa perjanjian sandak sakap tanah
pertanian yaitu:8 1. Dilakukannya perdamaian terdahulu antara para pihak
dan keluaraga para pihak. 2. Apabila setelah dilakukannya perdamaian
atau musyawarah keluarga namun belum juga menemukan titik temu
dalam permasalahannya barulah dihadirkan
Kepala Dusun (Kadus)
beserta Pemuka Adat (jika ada) sebagai penengah untuk menemukan
suatu putusan. 3. Setelah dilakukakannya musyawarah dengan dihadiri
Kepala Dusun beserta Kepala Adat namun belum juga menemukan suatu
putusan oleh para pihak maka akan dilanjutkan dengan di hadirkan
Kepala Dusun, Kepala Desa, Pemuka Agama, dan Pemuka Adat sebagai
penengah untuk mendamaikan dan mencapai satu keputusan dari para
pihak. Apabila dengan cara ini belum juga dapat diputuskan dan
diselesaikan itu diserahkan kembali kepada para pihak itu sendiri untuk
menentukan apakah akan berlanjut keperadilan umum atau bagaimana.
7
Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah dan Bapak Marie selaku Pihak pertama
(pemilik lahan) perjanjian bagi hasil, di Lingkungan Jeliman Desa Karang Sidemen.Tanggal 29
Oktober, 07 Noveber 2015”.
8
Hasil wawancara dengan para pihak dengan diperkuat pernyataan dari Kepala Dusun
dan Kepala Desa. Di Desa Tanak Beak. Tanggal 28, 29 Oktober, 03, 04, 10, 12 November 2015”.
PELAKSANAAN PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN
BERDASARKAN HUKUM ADAT
Sandak sakap adalah perjanjian yang dilakukan oleh 3 (tiga) pihak
yaitu pihak pertama sebagai pemilik tanah, pihak kedua sebagai pemilik
modal, pihak ketiga sebagai penggarap, dalam hal ini perjanjian
dilakukan oleh pihak pertama/ sebagai pemilik tanah dengan pihak kedua
pemilik modal, obyek perjanjian adalah perjanjian sandak/gadai tanah
pertanian dengan jaminan tanah itu sendiri, setelah adanya kesepakatan
antara pihak pertama dengan pihak kedua tanah tersebut lansung menjadi
penguasaan pihak kedua/penerima gadai, setelah adanya kesepakatan
pemilik tanah sudah tidak memiliki tanggungan lagi atas tanah miliknya
seluruhnya menjadi penguasaan pihak kedua/penerima gadai.9Dengan
berjalannya waktu perjanjian gadai, pihak kedua merasa tidak mampu
untuk mengelola tanah itu sendiri sehingga pihak kedua membuat
perjanjian dengan pihak ketiga dengan perjanjian bagi hasil tanah
pertanian dengan sepengetahuan pihak pertama untuk menghindari
adanya kesalah paham antara pemilik dengan penerima gadai, walaupun
pemilik tanah tidak memiliki hubungan dalam perjanjian sakap/bagi hasil
tersebut.10
9
Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah dan Bapak Tohri selaku pihak pertama dan
kedua perjanjian sakap. Tanggal 29 Oktober, 01 November 2015’.
10
Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah, Tanggal 29 Oktober 2015, di
Lingkungan Jeliman Desa Karang Sidemen”.
Cara pelaksanaan sandak sakap ini sama dengan cara pelaksanaan
sandak dan cakap yang telah dijelaskan di atas, dari proses, bentuk
perjanjian, jangka waktu, syarat mengakhiri perjanjian, dan cara
penyelesaiannya, hanya bedanya sedikit yaitu apabila perjanjian gadai
berakhir maka perjanjian bagi hasil juga akan berakhir, disebabkan
pemilik tanah menebus kembali tanahnya, sedangkan perjanjian sakap itu
dilakukan oleh pihak kedua atau penerima gadai dengan penggarap. Beda
halnya apabila perjanjian bagi hasil berakhir itu tidak mengakhiri
perjanjian gadai tersebut.
III. PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasakan hasil penelitia bahwa 1.Pengaturan perjanjian sandak sakap tanah
pertanian berdasarkan UU No 56 Tahun 1960 dan UU No 2 Tahun 1960.
Perjanjian gadai tanah pertanian perjanjian harus berbentuk tertulis, tidak
dibenarkan oleh hukum apabila perjanjian perjanjian dalam bentuk tidak
tertulis. Sedangkan perjanjian bagi hasil juga harus dalam bentuk tertulis
dihadapan Kepala Desa. Mulainya perjanjian sandak sakap setelah adanya
kesepakatan para pihak dan dibarengi dengan serah terima barang. Berakhirnya
perjanjian setelah disepakati para pihak, dilakukaknya penebusan kembali, dan
habis jangka waktu. Adanya keharusan bagi penerima gadai untuk
mengembalikan tanah apabila perjanjian sudah berjalan 7 tahun atau lebih,
adanya penetapan jangka waktu saat melakukan perjanjian sandak sakap.
Pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap 1:1. 2. Perjanjian sandak
sakap berdasarkan hukum adat. Perjanjian sadak sakap mulai saat disepakati dan serah
terima barang, bentuk perjanjian tidak tertulis, tidak adanya penetapan jangka waktu,
tidak ada keharusan mengembalikan tanah gadai sebelum dilakukkan penebusan
kembali, pembagian hasil tanah tergantung kesepakatan para pihak pembuat
perjanjian. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perjanjian sandak (gadai) sakap (bagi hasil) itu tidak berlakukan dalam masyarakat,
masyarakat lebih memilih menggunakan hukum adat yang bagi para pihak lebih
memudahkan dalam melaksanakan perjanjian.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas penyusun skripsi memberikan saran-saran
sebagai berikut: 1. Seharusnya pemerintah dapat membuat peraturan yang baru
dan lebih khususmengatur tentang perjanjian sandak sakap yang sesuai dengan
kehidupan masyarakat itu sendiri sehingga peraturan tersebut sejalan dengan
pelaksanaannya, dan lebih memberikan perlindungan hukum terhadap para
pihak pembuat perjanjian. 2. Pemerintah seharusnya dapat memberikan
sosialisasi kepada masyarakat mengenai tata cara pelaksanaan perjanjian
sandak sakap yang baik dan benar, dan mengenai akibat yang timbul apabila
perjanjian tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-uandangan
yang berlaku. Sehingga hal tersebut dapat mendorong masyarakat untuk
melaksanakan perjanjian sesuai dengan ketentuan yang mengatur. 3. Adanya
pemberian sangsi yang tegas terhadap para pihak yang
melaksanakan
perjanjian sandak sakap tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
DAPTAR PUSTAKA
BUKU
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang No. 56 Tahun 1960, Tentang Penetapan
LuasTanah Pertanian.
Indonesia.Undang-Undang No. 2 Tahun 1960, Tentang Perjanjian Bagi
Hasil Tanah Pertanian
WAWANCARA
Hasil wawancara dengan para pihak pembuat perjanjian (responden) dan
Kepala Dusun, Kepala Desa, Dan Kepala Kecamatan/ Camat ( inporman)
Download