KARYA ILMIAH PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN TINJAUAN YURIDIS BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960, UU NO 2 TAHUN 1960 DAN HUKUM ADAT (Studi di Desa Tanak Beak Kecamatan Batukliang Utara Lombok Tengah) Program Studi Ilmu Hukum Oleh : MUHAMMAD SAHRIL D1A211250 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2016 HALAMAN PENGESAHAN PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN TINJAUAN YURIDIS BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960, UU NO 2 TAHUN 1960 DAN HUKUM ADAT (Studi di Desa Tanak Beak Kecamatan Batukliang Utara Lombok Tengah) Oleh : MUHAMMAD SAHRIL D1A211250 Menyetujui, Pembimbing Pertama, (Muhammad Umar, S.H., M.H.) NIP. 19521231 198403 1 104 PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN TINJAUAN YURIDIS BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960, UU NO 2 TAHUN 1960 DAN HUKUM ADAT ( Studi di Desa Tanak Beak Kecamatan Batukliang Utara Lombok Tengah) MUHAMMAD SAHRIL DIA 211 250 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui cara pelaksanaan perjanjian sandak sakap tanah pertanian berdasarkan Undang-undang dan hukum adat. Manfaat untuk memberikan informasi kepada mahasiswa dan masyarakat cara pelaksanaan perjanjian yang baik dan benar. Jenis penelitian adalah penelitian normative empiris yaitu menggunakan pendekatan berdasarkan Undang-undang, konseptual, dan hukum adat. Perjanjian sandak sakap berdasarkan Undangundang dan hukum adat itu tidak sejalan, dimana masyarakat lebih memilih menggunakan hukum adat daripada yang diatur dalam Undang-undang sebab menghambat dan merugikan para pihak. Cara penyelesaian sengketa yaitu musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat maka para pihak melanjutkan ketahap peradilan umum. Kata kunci: Perjanjian sandak sakap tanah pertanian THE AGREEMENT OF SANDAK SAKAP LAND PLEDGE BASED ON THE LAW OF ACT NO. 56 OF 1960, THE LAW NO. 2 OF 1960 AND COSTUM LAW (Study in Tanak Beak, Batukliang Utara, Sentral Lombok) ABSTRACT The purpose of this experiment is to find out how to do sandak sakap of agreeculture land based on the law and based on costum law. Benifiet experiment is to give information for students of university and community how to do agreement correctly based on the rules or law that have made. kind of experiment is called Normatif empiris exfriment which using approachment, the consept and costum law. The agreement of sandak sakap based on what has been arranged by the law. Agreement of sandak sakap with of law and custum law that is not working proferly, where the community preper to use costum law or local rules than just a law. The way to solve the quarrel can be like doing this cussion to get the agrrement reached or with justisie. Kaywords: Sandak sakap agreement of agriculture land I. PENDAHULUAN Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan kewajiban untuk umat manusia mengelola dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di atasnya. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan pembangunan yang sedemikian besar, dan luas tanah yang relatif tidak bertambah, secara nyata hal ini menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat. Disamping itu dengan kebutuhan yang semakin meningkat yang juga mengakibatkan berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat, seperti masyarakat Lombok yang melakukan perjanjian “sandak sakap” tanah pertanian. Sandak ini biasa disebut dengan istilah Gadai, yang dimana pemilik hak atas tanah melakukan pinjaman uang kepada masyarakat setempat dengan menjaminkan tanah pertaniannya, tanah pertanian tersebut dikuasai oleh si pemberi hutang (tempat meminjam uang), sehingga pemberi hutang tersebut memiliki hak untuk menggarap sendiri atau dengan menyuruh orang lain untuk menggarap tanah yang telah disandak oleh pemilik tanah. Sedangkan “Sakap” biasa disebut dengan perjanjian bagi hasil. Sakap atau bagi hasil ini dilakukan oleh para pemilik tanah dengan penggarap yang dimana hasil panen tanah tersebut dibagi oleh para pihak pembuat perjanjian. Dalam hal Sandak sakap atau gadai ini banyak ditemukan berbagai masalah yang timbul diantaranya adanya ketidak pastian dan ketidak jelasan dalam pelaksanaannya. Bahwa dalam UU No 56 Prp Tahun 1960 tentang pengaturan Gadai tanah dan UU No 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, jenis perjanjian harus berbentuk tertulis, Sedangkan dalam hukum adat suku Sasak Lombok perjanjian gadai atau sandak sedikit sekali ditemukan dengan menggunakan perjanjian tertulis, kebanyakan dengan perjanjian tidak tertulis atau dengan berdasarkan kepercayaan para pihak, sehingga mengakibatkan kurangnya pembuktian dan kepastian hukum dalam perjanjian tersebut. UU No 56 Prp Tahun 1960 dan UU No 2 Tahun 1960 mengatur tentang Jangka waktu perjanjian sebelum pelaksanaannya, sehingga dapat memudahkan para pihak untuk mengtahui kapan mulai dan kapan berakhirnya suatu perjanjian. Sedangkan dalam hukum adat sukuk sasak Lombok kebanyakan tidak menetapkan jangka waktu yang artinya berakhirnya perjanjian kapan dilakukannya penebusan kembali oleh pemilik tanah walau perjanjian itu berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di rumuskan permasalahan yang hendak akan diteliti, yaitu: 1. Bagaimana pengaturan perjanjian sandak sakap tanah pertanian berdasarkan UU No 56 Tahun 1960 dan UU No 2 tahun 1960.? 2. Bagaimana pelaksanaan perjanjian sandak sakap tanah pertanian berdasarkan hukum adat atau kebiasaan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk 1. Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa/penyusun dan masyarakat tentang bagaimana pengaturan perjanjian sandak sakap tanah pertanian berdasarkan UU No 56 PrP Tahun 1960 dan UU No 2 Tahun 1960. 2. Untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa/penyusun dan masyarakat bagaimana pelaksanaan perjanjian sandak sakap tanah pertanian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Tanak Beak Kecamatan Batukliang Utara Lombok Tengah dan cara penyelesaian masalah ketika terjadi konplik antara para pihak. Adapun manfaat yang ingin dicapai yaitu: 1. Manfaat Teoritis: Untuk dapat memberikan masukan, pengembangan wawasan kepada kalangan mahasiswa/kalangan akademis dan masyarakat mengenai pengaturan perjanjian sandak sakap tanah pertanian berdasarkan UU No. 56 Prp Tahun 1960, UU No. 2 Tahun 1960, dan Untuk dapat memberikan masukan, pengembangan wawasan kepada kalangan mahasiswa/kalangan akademis dan masyarakat mengenai pengaturan perjanjian sandak sakap tanah pertanian berdasarkan (hukum adat) dan cara penyelesaian sengketa ketika terjadi konplik antara para pihak. 2. Secara praktis: Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu untuk menambah referensi bagi perpustakaan, dan Hasil penelitian ini semoga dapat mencerdaskan mahasiwa dan masyarakat dalam mengambil sikap pada penyelesaian-penyelesaian masalah sandak sakap tanah pertanian. Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian normatif-empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan (inabstraco) serta dengan melihat fakta-fakta hukum yang terjadi di masyarakat (inconcreto). Adapun metode pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan sosiologis. II. PEMBAHASAN PENGATURAN PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960 DAN UU NO 2 TAHUN 1960 PENGATURAN PERJANJIAN SANDAK(GADAI) TANAH PERTANIAN BERDASARKAN UU NO 56 PRP TAHUN 1960 Dalam peraturan ini diatur soal gadai tanah pertanian. Yang dimaksud gadai ialah hubungan antara seorang dengan tanag kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang kepadanya selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetep berada penguasaan yang meminjamkan uang tadi (“pemegang gadai”). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang demikian merupakan bunga dari utang tersebut. Pengaturan perjanjian sandak sakap berdasarkan UU No 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah yang mengatur masalah gadai dimana perjanjian tersebut harus dalam bentuk tertulis dan adanya penetapan jangka waktu perjanjian seperti yang dijelaskan: a. Perjanjian gadai harus dilakukan dalam bentuk tertulis, b. Jangka waktu perjanjian gadai paling lama 7 tahun, apabila dalam 7 tahun pemilik tanah tidak mampu untuk mengembalikan tanah tersebut maka penerima gadai diharuskan untuk mengembalikan tanah tersebut tanpa meminta uang tebusan, seperti yang dijelaskan. Hal ini telah di atur dalam UU NO 56 Prp Tahun 1960 Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: Barang siapa mengasai tanah pertanian dengan hak gadai pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlansung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan. Apabila penebusan tanah gadai dalam jangka waktu berlansungnya belum 7 tahun maka cara perhingannya dilakukan seperti dalam pasal 7 ayat (2) UU No 56 Prp Tahun 1960 yaitu: Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlansung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus: (7+1/2)- waktu berlansung hak gadai…..X uang gadai…7 Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlansung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengenbalikan tanah tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen. Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini. Jika sebelum berakhir perjanjian gadai adanya penambahan uang, berdasarkan Peraturan Pasal 2 Menteri Pertanian dan Agraria No 20 Tahun 1963 menjelaskan sebagai berikut: Jika sebelum gadai berakhir, uang gadainya ditambah, baik dalam bentuk uang ataupun lainnya dan penambahan itu dilakukan secara tertulis dengan melalui acara yang lazim seperti pada waktu gadai tersebut diadakan, maka sejak dilakukakannya penambahan itu timbullah gadai baru, dengan jumlah uang gadai yang baru pula. PERJANJIAN SAKAP (BAGI HASIL) TANAH PERTANIAN BERDASARKAN UU NO 2 TAHUN 1960 Perjanjian bagi hasil, ialah perjajian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut”penggarap” berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak. Pihak pihak dalam perjanjian bagi hasil yaitu: Dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No 2 Tahun 1960 pihak yang dibolehkan sebagai penggarap yaitu: Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam perjanjian bagi hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya, baik kepunyaanya sendiri maupun yang diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian bagi hasil ataupun secara lainya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga) hektar. Bentuk perjanjian bagi hasil haruslah tertulis untuk memudahkan dan menghilangkan rasa keragu-raguan para pihak. Seperti yang tercantum dalam bunyi pasal 3 UU No 2 Tahun 1960 yaitu: (1). Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan selanjutnya dalam undang-undang disebut “Kepala Desa’ dengan dipersaksikan oleh dua orang masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap. (2). Perjanjian bagi hasil termaskud dalam ayat 1 diatas memerlukan pengesahan dari Camat/Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan itu selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Camat” (3). Pada setiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian bagi hasil yang diadakan sesudah kerapan yang terakhir. Dalam perjanjian bagi hasil biasa jangka waktu ditentukan oleh kedua belah pihak, dimana kedua belah pihak membuat kesepakatan tentang jangka waktu. Tetapi berdasarkan Undang-undang ini jangka waktu perjanjian bagi hasil tidak hanya ditentukan oleh kedua belah pihak, namun ditentukan juga oleh Camat dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria. Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 4 Ayat (1 sampe 4) UU No 2 Tahun 1960: (1). Perjanjian bagi hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan di dalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah itu sekurang-kurang 3 (tahun) dan bagi tanah kering sekurang-kurang 5 (lima) tahun. (2). Dalam hal-hal khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, oleh camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetepkan dalam ayat 1 di atas, bagi tanah biasa diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya. (3). Jika pada berakhirnya perjanjian bagi hasil di atas tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetepi perpanjangan waktu itu tidak boleh lebih dari satu tahun. (4). Jika ada keragu-raguan apakah tanah yang bersangkutan itu sawah atau tanah kering, maka Kepala Desalah yang memutuskan. Putusnya atau berakhirnya perjanjian bagi hasil Berdasarkan UU No 2 Tahun 1960 putusnya perjanjian karna disebabkan oleh: (1). Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian termaksud dalam pasal 4 ayat 1 hanya mungkin dalam hal-hal dan menurut ketentuan dibawah ini: a. Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan setelah mereka laporkan kepada Kepala Desa; b. Dengan izin Kepala Desa atas tuntutan pemilik, di dalam hal penggarap tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagaimana mestinya atau tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang telah ditentukan kepada pemilik atau tidak memenuhi bahan-bahan yang menjadi tanggungannya yang ditegaskan di dalam surat surat perjanjian tersebut pada pasal 3atau tanpa izin dari pemilik menyerahkan penguasaan tanah yang bersangkutan kepada orang lain. (2). Kepala Desa member izin pemutusan perjanjian bagi hasil yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan kedua belah pihak, setelah usahanya untuk dahulu mendamaikan mereka itu tidak berhasil. (3). Di dalam hal tersebut pada ayat 2 pasal ini Kepala Desa menentukan pula akibat daripada pemutusan itu. (4). Jika pemilik dan/atau penggarap tidak menyetujui keputusan Kepala Desa untuk mengizinkan diputuskannya, perjanjian sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dan/atau menegenai apa yang dimaksud dalam ayat 3 di atas, maka soalnya dapat diajukan kepada Kepala Camat untuk mendapat keputusan yang mengikat kedua belah pihak. (5). Camat melaporkan secara berkala kepada Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II semua keputusan yang diambilnya menurut ayat 4 pasal ini. Dalam perjanjian bagi hasil biasanya pembagian hasil tanah ditentukan oleh para pihak itu sesuai dengan persetujuan saat membuat perjanjian, Pembagian hasil tanah antara pemilik tanah dan penggarap berdasarkan bunyi Pasal 7 UU No 2 Tahun 1960 yaitu: 1) Besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantra tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah swatantara tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan factor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. 2) Bupati/Kepala Daerah Swatantara tingkat II memberitahukan keputusannya mengenai penetapan pembagian hasil tanah yang diambil menurut ayat 1 pasal ini kepada Badan Pemerintah Harian dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. PELAKSANAAN PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN BERDASARKAN HUKUM ADAT PELAKSANAAN PERJANJIAN SANDAK (GADAI) TANAH PERTANIAN BERDASARKAN HUKUM ADAT Factor-faktor terjadinya gadai tanah pertanian dalam masyarakat itu disebabkan kebutuhan mendesak dari pemilik tanah, dimana pemilik tanah tidak punya pilihan lain selain menggadaikan tanah demi tercapainya apa yang diinginkan.1 Bahwa dalam perjanjian sandak/gadai tanah pertanian di Desa Tanak Beak biasanya terdapat 2(dua) bentuk perjanjian yaitu perjanjian bentuk tertulis dan tidak tertulis/ lisan, dilapangan perjanjian yang banyak ditemukan yaitu perjanjian tidak tertulis hanya dilakukan dengan lisan karna para pihak saling percaya satu sama lain. Sedangkan perjanjian tertulis jarang digunakan dalam perjanjian sandak, tertulis hanya menggunakan kuitansi pembayaran dimana tertulis tentang jumlah uang gadai, perjanjian dalam bentuk tertulis biasanya digunakan apabila perjanjian dalam jumlah besar.2 Penentuan pihak mana yang membayar pajak atas tanah tergantung dari perjanjian para pihak, bisa dari pihak pertama/pemilik tanah, dan bisa juga dari pihak kedua/ penerima gadai. Dalam kebiasaan 1 Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah selaku penerima gadai, Tanggal 29 Oktober 2015, di lingkungan Jeliman Desa Karang Sidemen”. masyarakat setempat saat melakukan perjanjian sandak/gadai tanah kebanyakan pihak yang menanggung biaya pajak adalah dari pihak penerima gadai, disebabkan karena pemilik tanah telah menyerahkan hak penguasaan kepada penerima gadai, Pelaksanaan perjanjian gadai dalam masyarakat tidak dengan penetapan jangka waktu disebabkan karna para pihak seringkali melakukan penambahan jumlah uang gadai. 3 Disamping itu perjanjian gadai dengan penetapan jangka waktu, sering kali ditemukan dalam masyarakat bahwa perjanjian yang ditetapkan jangka waktu 3 tahun sampai berakhirnya jangka waktu 3 tahun tersebut, namun pihak pertama belum juga mampu menebus kembali sampai perjanjian gadai terus berjalan selama 7 tahun bahkan lebih, sehingga penetapan jangka waktu sebelumnya menjadi tidak berarti, yang menyebabkan masyarakat membuat perjanjian sering kali tanpa penetapan jangka waktu.4 Penebusan kembali dalam perjanjian sandak harus berdasarkan perjanjian awal/ perjanjian saat sebelum terjadinya kesepakatan, yang dimana kebiasaan masyarakat, penebusan kembali harus sesuai dengan perjanjian sebelumnya yaitu apabila diperjanjian harus dibayar dengan uang maka penebusan kembali harus dibayarkan dengan uang sesuai dengan jumlah uang yang diambil pemilik tanah saat terjadinya kesepakatan sebelumnya tanpa ada uang tambahan maupun pengurangan, 3 Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah.Tanggal 29 OKtober 2015, dan Bahri selaku penerima gadai. 04 November 2015” . 4 Hasil wawancara dengan Bapak Bukrik selaku Kepala Dusun di lingkungan Dasan Agung Desa Tanak Beak, Tanggal 10 November 2015”. dan harus tanpa adanya uang denda atau bunga, begitupula apabila saat perjanjian di perjanjikan dengan binatang ternak maka harus bagi pemilik tanah menebus dengan binatang ternak, namun apabila diperjanjikan lain yang membolehkan pemilik tanah menebus dengan jumlah uang, maka jumlah uang tersebut harus sesui dengan harga binatang ternak tersebut. Perjanjian sandak hukum adat Tidak ada keharusan penerima gadai mengembalikan tanah kepada pemilik sebelum dilakukannya penebusan kembali, walaupun perjanjian gadai sudah berjalan berpuluhpuluh tahun lamanya. PELAKSANAAN PERJANJIAN SAKAP (BAGI HASIL) TANAH PERTANIAN BERDASARKAN HUKUM ADAT Bentuk perjanjian sakap/bagi hasil tanah pertanian, dalam pelaksanaan perjanjian sakap/bagi hasil ini yang sering kali ditemukan adalah perjanjian bentuk tidak tertulis, yang hanya dengan lisan dari para pihak itu sendiri, karena saling percaya satu sama lain yang membuat tidak perlunya melaksanakan perjanjian secara tertulis.5 Disamping itu juga perjanjian ini berdasarkan hukum adat setempat yang biasa diberlakukan dengan cara tidak tertulis disebabkan dalam perjanjian sakap/bagi hasil antara para pihak itu adalah hubungan orang-perorang sehingga cukup dengan lisan saja. 5 Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah dan Bapak Marie selaku Pihak pertama (pemilik lahan) perjanjian bagi hasil, di Lingkungan Jeliman Desa Karang Sidemen. Tanggal 29 Oktober, 07 November 2015’. Jangka waktu perjanjian sakap/bagi hasil tanah pertanian, perjanjian sakap/ bagi hasil dalam kebiasaan masyarakat itu tidak ada penentuan jangka waktu perjanjian, disebabkan tergantung dari para pihak itu sendiri apabila pihak pertama/pemilik tanah maupun pihak penggarap betah dalam pelaksanaan perjanjian sakap/bagi hasil tanah maka perjanjian itu akan terus berlanjut sampai kapan para pihak mengakhiri perjanjian tersebut. Penanggung semua biaya perjanjian sakap/bagi hasil tanah pertanian, Dalam perjanjian ini penanggung semua biaya tergantung dari kesepakatan para pihak, bisa dari pihak pertama maupun pihak kedua. Apabila yang menanggung semua biaya dari pihak pertama maka pihak pertama akan dapat lebih dari hasil tanah yang digarap oleh penggarap, tetapi apabila penggarap yang menanggung biaya garap maka pembagian hasilnya itu akan sama rata. Syarat-syarat dalam mengakhiri perjanjian sebagai berikut: a. Tanah perjanjian telah digarap oleh pihak penggarap minimal satu tahun atau 2 (dua) kali panen padi, b. Pihak penggarap sendiri yang meminta kepada pihak pertama/pemilik tanah, dengan alasan tanah yang digarapnya tidak mampu memberikan keuntungan yang lebih banyak diakibatkan kondisi tanah yang tidak memungkinkan;6 c. Pihak pemilik tanah sendiri yang meminta kepada pihak penggarap untuk mengakhiri perjanjian, dengan alasan pihak penggarap tidak mampu memberikan 6 Hasil wawancara dengan Bapak Tohri dan Bapak Durahman selaku pihak kedua (penggarap),di lingkungan Dasan Agung. Tanggal 01, 09 November 2015”. keuntungan kepada pemilik tanah akibat dari ketidak seriusan penggarap dalam mengelola, merawat tanah, dan dengan alasan bahwa penggarap sering tidak jujur dalam jumlah hasil panen yang didapat;7 d. Berakhirnya perjanjian karna kesepakatan dari para pihak sendiri. Cara penyelesaian sengketa perjanjian sandak sakap tanah pertanian yaitu:8 1. Dilakukannya perdamaian terdahulu antara para pihak dan keluaraga para pihak. 2. Apabila setelah dilakukannya perdamaian atau musyawarah keluarga namun belum juga menemukan titik temu dalam permasalahannya barulah dihadirkan Kepala Dusun (Kadus) beserta Pemuka Adat (jika ada) sebagai penengah untuk menemukan suatu putusan. 3. Setelah dilakukakannya musyawarah dengan dihadiri Kepala Dusun beserta Kepala Adat namun belum juga menemukan suatu putusan oleh para pihak maka akan dilanjutkan dengan di hadirkan Kepala Dusun, Kepala Desa, Pemuka Agama, dan Pemuka Adat sebagai penengah untuk mendamaikan dan mencapai satu keputusan dari para pihak. Apabila dengan cara ini belum juga dapat diputuskan dan diselesaikan itu diserahkan kembali kepada para pihak itu sendiri untuk menentukan apakah akan berlanjut keperadilan umum atau bagaimana. 7 Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah dan Bapak Marie selaku Pihak pertama (pemilik lahan) perjanjian bagi hasil, di Lingkungan Jeliman Desa Karang Sidemen.Tanggal 29 Oktober, 07 Noveber 2015”. 8 Hasil wawancara dengan para pihak dengan diperkuat pernyataan dari Kepala Dusun dan Kepala Desa. Di Desa Tanak Beak. Tanggal 28, 29 Oktober, 03, 04, 10, 12 November 2015”. PELAKSANAAN PERJANJIAN SANDAK SAKAP TANAH PERTANIAN BERDASARKAN HUKUM ADAT Sandak sakap adalah perjanjian yang dilakukan oleh 3 (tiga) pihak yaitu pihak pertama sebagai pemilik tanah, pihak kedua sebagai pemilik modal, pihak ketiga sebagai penggarap, dalam hal ini perjanjian dilakukan oleh pihak pertama/ sebagai pemilik tanah dengan pihak kedua pemilik modal, obyek perjanjian adalah perjanjian sandak/gadai tanah pertanian dengan jaminan tanah itu sendiri, setelah adanya kesepakatan antara pihak pertama dengan pihak kedua tanah tersebut lansung menjadi penguasaan pihak kedua/penerima gadai, setelah adanya kesepakatan pemilik tanah sudah tidak memiliki tanggungan lagi atas tanah miliknya seluruhnya menjadi penguasaan pihak kedua/penerima gadai.9Dengan berjalannya waktu perjanjian gadai, pihak kedua merasa tidak mampu untuk mengelola tanah itu sendiri sehingga pihak kedua membuat perjanjian dengan pihak ketiga dengan perjanjian bagi hasil tanah pertanian dengan sepengetahuan pihak pertama untuk menghindari adanya kesalah paham antara pemilik dengan penerima gadai, walaupun pemilik tanah tidak memiliki hubungan dalam perjanjian sakap/bagi hasil tersebut.10 9 Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah dan Bapak Tohri selaku pihak pertama dan kedua perjanjian sakap. Tanggal 29 Oktober, 01 November 2015’. 10 Hasil wawancara dengan Bapak Nur Ifansyah, Tanggal 29 Oktober 2015, di Lingkungan Jeliman Desa Karang Sidemen”. Cara pelaksanaan sandak sakap ini sama dengan cara pelaksanaan sandak dan cakap yang telah dijelaskan di atas, dari proses, bentuk perjanjian, jangka waktu, syarat mengakhiri perjanjian, dan cara penyelesaiannya, hanya bedanya sedikit yaitu apabila perjanjian gadai berakhir maka perjanjian bagi hasil juga akan berakhir, disebabkan pemilik tanah menebus kembali tanahnya, sedangkan perjanjian sakap itu dilakukan oleh pihak kedua atau penerima gadai dengan penggarap. Beda halnya apabila perjanjian bagi hasil berakhir itu tidak mengakhiri perjanjian gadai tersebut. III. PENUTUP KESIMPULAN Berdasakan hasil penelitia bahwa 1.Pengaturan perjanjian sandak sakap tanah pertanian berdasarkan UU No 56 Tahun 1960 dan UU No 2 Tahun 1960. Perjanjian gadai tanah pertanian perjanjian harus berbentuk tertulis, tidak dibenarkan oleh hukum apabila perjanjian perjanjian dalam bentuk tidak tertulis. Sedangkan perjanjian bagi hasil juga harus dalam bentuk tertulis dihadapan Kepala Desa. Mulainya perjanjian sandak sakap setelah adanya kesepakatan para pihak dan dibarengi dengan serah terima barang. Berakhirnya perjanjian setelah disepakati para pihak, dilakukaknya penebusan kembali, dan habis jangka waktu. Adanya keharusan bagi penerima gadai untuk mengembalikan tanah apabila perjanjian sudah berjalan 7 tahun atau lebih, adanya penetapan jangka waktu saat melakukan perjanjian sandak sakap. Pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap 1:1. 2. Perjanjian sandak sakap berdasarkan hukum adat. Perjanjian sadak sakap mulai saat disepakati dan serah terima barang, bentuk perjanjian tidak tertulis, tidak adanya penetapan jangka waktu, tidak ada keharusan mengembalikan tanah gadai sebelum dilakukkan penebusan kembali, pembagian hasil tanah tergantung kesepakatan para pihak pembuat perjanjian. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian sandak (gadai) sakap (bagi hasil) itu tidak berlakukan dalam masyarakat, masyarakat lebih memilih menggunakan hukum adat yang bagi para pihak lebih memudahkan dalam melaksanakan perjanjian. SARAN Berdasarkan hasil penelitian di atas penyusun skripsi memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Seharusnya pemerintah dapat membuat peraturan yang baru dan lebih khususmengatur tentang perjanjian sandak sakap yang sesuai dengan kehidupan masyarakat itu sendiri sehingga peraturan tersebut sejalan dengan pelaksanaannya, dan lebih memberikan perlindungan hukum terhadap para pihak pembuat perjanjian. 2. Pemerintah seharusnya dapat memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai tata cara pelaksanaan perjanjian sandak sakap yang baik dan benar, dan mengenai akibat yang timbul apabila perjanjian tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-uandangan yang berlaku. Sehingga hal tersebut dapat mendorong masyarakat untuk melaksanakan perjanjian sesuai dengan ketentuan yang mengatur. 3. Adanya pemberian sangsi yang tegas terhadap para pihak yang melaksanakan perjanjian sandak sakap tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. DAPTAR PUSTAKA BUKU PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang No. 56 Tahun 1960, Tentang Penetapan LuasTanah Pertanian. Indonesia.Undang-Undang No. 2 Tahun 1960, Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian WAWANCARA Hasil wawancara dengan para pihak pembuat perjanjian (responden) dan Kepala Dusun, Kepala Desa, Dan Kepala Kecamatan/ Camat ( inporman)