1 I. PENDAHULUAN Jabon (Neolamarckia sp.) termasuk famili Rubiaceae dan merupakan jenis tanaman yang baru berkembang dalam bidang kehutanan. Daerah penyebaran jenis ini mencakup Indonesia, Malaysia, Vietnam Filipina, Sri Lanka, Nepal, Laos, Myanmar, Thailand, China dan Papua New Guinea. Persebaran Jabon di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Sealatan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Maluku dan Papua (Soerianegara and Lemmens, 1994). Soerianegara and Lemmens (1994) menyatakan Jabon terdiri atas dua jenis, yaitu Jabon Putih (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser dan Jabon Merah (Neolamarckia macrophylla (Roxb.) Bosser. Secara morfologi kedua jenis Jabon ini berbeda (Halawane et al. 2011). Karakteristik Jabon, yaitu cepat tumbuh dan dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Sejauh ini belum dilaporkan adanya hama dan penyakit yang serius pada tanaman Jabon. Ketersediaan informasi silvikultur tanaman ini relatif sudah lengkap (Pratiwi, 2003). Rosalia (2008) menyatakan bahwa pemanfaatan dan penebangan Jabon secara terus menerus akan menurunkan potensi Jabon dan habitatnya. Penurunan ini tidak hanya berpengaruh pada produktifitas Jabon saja, tetapi juga dapat mempengaruhi sumber genetiknya. Penurunan potensi sumber genetik Jabon memerlukan upaya pemuliaan guna menjaga dan memepertahankan sumber genetik yang masih tersisa. Lande dan Shannon (1996) dalam Rimbawanto et al. (2005) mengatakan bahwa besarnya keragaman genetik mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi ekologi dalam jangka pendek dan evolusi dalam jangka panjang. Na’iem et al. (2001) menyatakan bahwa keragaman genetik sangat penting dalam program pemuliaan, karena optimalisasi dan maksimalisasi perolehan bio.unsoed.ac.id genetik sifat-sifat tertentu akan dapat dicapai apabila terdapat cukup peluang untuk melakukan seleksi gen untuk sifat yang diinginkan. Dengan kata lain, kemajuan program pemuliaan tanaman akan sangat ditentukan oleh materi genetik yang tersedia. Semakin luas basis genetik yang dilibatkan dalam program pemuliaan suatu spesies, semakin besar peluang untuk mendapatkan peningkatan perolehan genetik dari sifat unggul yang diinginkan. Lengkong, et al. (1998) menambahkan bahwa pengetahuan tentang keragaman genetik sangat penting 2 karena pengetahuan tersebut memungkinkan untuk membedakan individu dalam spesies secara tepat, sangat diperlukan dalam program pemuliaan tanaman, memungkinkan identifikasi genotipe untuk perbanyakan secara klonal, dan merupakan langkah penting untuk megidentifikasi gen-gen yang berpotensi dalam program pemuliaan tanaman. Analisis keragaman genetik, hubungan kekerabatan dan seleksi pada suatu populasi tanaman dapat dilakukan menggunakan penanda morfologi dengan menelaah langsung fenotipe. Penanda morfologi didasarkan pada pengamatan fenotipe yang mudah diamati. Penanda ini memiliki kelemahan antara lain penurunan sifat yang dominan atau resesif dipengaruhi oleh lingkungan dan mempunyai tingkat keragaman rendah (Transkley et al. 1989 cit. Kaidah dan Suprapto, 2003). Alternatif lain yang dikembangkan para ahli sejalan dengan kemajuan bidang molekuler, yaitu menggunakan penanda DNA. Penanda DNA (Deoxyribonucleic Acid) yang telah dikenal antara lain Restriction fragment Length Polymorphic (RFLP), Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Amplified Fragment Length Polymorhpic (AFLP), dan Simple Sequence Repeat (SSR) (Kaidah dan Suprapto, 2003). Penelitian ini menggunakan Penanda RAPD. Penanda RAPD merupakan salah satu metode penanda genetik yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan penelitian pada tingkat molekuler. Analisis RAPD mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan RFLP, antara lain lebih murah, regenerasi lebih cepat, membutuhkan DNA lebih sedikit, dan untuk analisa tidak perlu keahlian khusus. Namun demikian RAPD juga memiliki kekurangan yaitu, reproducsitibilitasnya rendah (Bustamam dan Moeljopawiro, 1993). RAPD telah digunakan untuk mendeteksi level polimorfisme pada famili bio.unsoed.ac.id Rubiaceae, yaitu kopi Robusta (Lashermes et al. 1993 dan Tshilenge et al. 2009). Dalam penelitian ini digunakan primer OPA1, OPA3, OPA4, OPA5, OPA7, OPA11, OPA12, OPA13, OPA14, OPA16, OPA17, OPA19, OPA20, 0PQ14, OPQ15, OPQ16, OPW1, dan OPW2. Penggunaan RAPD untuk analisis keragaman genetik telah dilakukan pula pada Pyrus comunis L. (Schiliro et al. 2001), Citrus sp. (Karsinah et al. 2002), Hevea brassiliensis Muell. Arg (Mathius 3 et al. 2002), Alstonia scholaris (L.) R.Br. (Hartati et al. 2007), Cucumis sativus L. (Julisaniah et al. 2008), dan Grynops verstegii (Widyatmoko et al. 2009). Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang muncul adalah : 1. Primer apa saja yang menghasilkan penanda RAPD dan memberikan pita polimorfik pada populasi Jabon Putih (N. cadamba) dan Jabon Merah (N. macrophyllus). 2. Alel apa saja yang spesifik dari populasi Jabon Putih (N. cadamba) dan Jabon Merah (N. macrophyllus). 3. Bagaimanakah keragaman genetik dalam dan antar populasi serta jarak genetik untuk populasi Jabon Putih (N. cadamba) dan Jabon Merah (N. macrophyllus). Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menentukan primer RAPD yang cocok dan dapat digunakan untuk mempelajari keragaman antara populasi Jabon Putih (N. cadamba) dan Jabon Merah (N. macrophyllus). 2. Mendapatkan informasi tentang alel spesifik dari populasi Jabon Putih (N. cadamba) dan Jabon Merah (N. macrophyllus). 3. Mendapatkan informasi tentang keragaman genetik dalam dan antar jenis serta jarak genetik untuk populasi Jabon Putih (N. cadamba) dan Jabon Merah (N. macrophyllus). Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rekomendasi penggunaan primer yang cocok serta memberi informasi mengenai tingkat keragaman genetik dalam dan antar populasi, hubungan kekerabatan Jabon Putih (N. cadamba) dan Jabon Merah (N. macrophyllus), serta dapat menjadi kajian bagi penelitian selanjutnya. bio.unsoed.ac.id