BAB VI Konflik Dalam Sejarah Maluku Utara

advertisement
67
BAB VI
KONFLIK DALAM SEJARAH MALUKU UTARA
6.1.
Rangkaian Konflik Maluku Utara
Konflik di Maluku Utara adalah sebuah konflik yang punya rangkaian
panjang dalam sejarah konflik di Indonesia. Konflik tersebut berakar dari sejarah
awal kelahiran kerajaan-kerajaan tua di Maluku Utara. Saat itu, di masa Kolano
Cico atau Mashur Malamo (1257), usai era Momole, sudah ada perseteruan laten
antar klan raja/penguasa, baik di internal kerajaan maupun antar kerajaan. Bahkan
Naida, juru tulis Kesultanan Ternate, yang menulis tentang mitos lahirnya rajaraja Moloku Kieraha, juga sudah mengungkap benih-benih perpecahan itu. (lihat
P. van der Crab, “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen
text beschreven door den Ternataan Naidah”, Koninklijk Instituut voor Taal,
Land en Volkenkunde, The Hague, 1878 Dalam Jalil 2009 ).
Dapat dikatakan bahwa akar konflik yang terjadi pada kerajaan-kerajaan di
Maluku Utara disebabkan oleh beberapa hal : Pertama ; kuatnya hegemoni
kekuasaan dari kerajaan tertentu terhadap kerajaan lainnya atau dengan bahasa
lainnya adalah tuntutan kehormatan dari kerajaan satu dengan lainnya. Kedua ;
upaya untuk melakukan ekspansi wilayah. Ketiga : Sumberdaya alam dan
kepemilikan tanah adat. Tetapi pada dasarnya konflik yang terjadi lebih
disebabkan oleh motif ekonomi dan arogansi antar kerajaan, hal mana terlihat
dalam konflik yang terjadi antara Ternate dan Tidore, dimana Ternate bersekutu
dengan belanda dan Tidore dengan Portugis. Terlepas dari motif diatas, yang patut
disadari adalah strategi yang diterapkan penjajah melalui devide et impera.
Sehingga menciptakan konflik antar kerajaan di Moloku Kie Raha.
Intensitas konflik antar kerajaan ini sempat meredah semasa Kolano
Sidang Arif Malamo menjadi raja di Ternate (1322-1331), dan mengundang rajaraja di Maluku Utara, minus raja Loloda untuk melaksanakan sebuah konferensi.
Dalam konferensi raja-raja di pulau Moti, mereka sepakat mengakhiri permusuhan
antar sesama serta membentuk sebuah konfederasi longgar yang kemudian dikenal
dengan Konfederasi Moloku Kie raha atau persekutuan empat raja di Maluku.
68
Konferensi ini kemudian dikenal dengan nama Moti Statenbond (1322). Sidang
Arif Malamo, sesuai kesepakatan antar raja dalam konferensi itu, ditunjuk sebagai
pemimpin konfederasi longgar atau “Kolano Ma-Dopolo”.
Konfederasi longgar ini hanya berumur 72 tahun, karena kemudian
dibatalkan sepihak oleh kerajaan Ternate, namun persekutuan ini telah
menghasilkan sesuatu yang fundamental, yakni ikatan kultural masyarakat
Maluku Utara. Ikatan ini, yang di kemudian hari coba ditautkan lagi dengan
perkawinan antar keluarga raja-raja di Maluku Utara, menjadi pengikat yang
diakui semua etnik di seluruh wilayah Maluku—termasuk Ambon dan Seram.
Dari sini rumusan tentang penyelesaian beragam konflik coba diatasi. Francoise
Valentijn (“Oud en Neew Oost Indien” S. Keijzer, Amsterdam, 1862) dalam (Jalil
2009).
Sayangnya, keserakahan anak negeri dalam konteks kekuasaan dan
penguasaan sumber-sumber ekonomi, serta kuatnya arogansi antar kerajaan, yang
dicirikan dengan keunggulan kerajaan tertentu, serta datangnya para pedagang
Eropa, baik Spanyol maupun Portugis, membuat perpecahan antar kerajaan makin
menguat. Di masa Khairun Jamil (1536-1570) memerintah, dia mampu
mengembalikan harkat kerajaan Ternate kembali ke posisi yang disegani. Dia juga
membuka dialog dan diplomasi dengan Portugis. Momen diplomatic ini kemudian
dipakai oleh Gubernur Portugis Admiral de Mosquita, memerintahkan Antonio
Pimentel, orang dekatnya, untuk membunuh Sultan Khairun yang dianggapnya
penghalang dalam upaya mengembang misi, god, gospel, and glory (14 Pebruari
1570). Selanjutnya dengan pembunuhan terhadap Khairun memicu Babullah Datu
Syah – Putra Khairun - mengobarkan apa yang diistilahkannya dengan perang suci
melawan kolonialis Portugis dan sekutu-sekutu mereka, hal ini memunculkan
benih konflik agama, ketika dia menyatukan raja-raja di Maluku Utara, dan
Kolano Katarabumi, raja Jailolo, memerangi Portugis dan penduduk yang telah
dinasranikan di seantero Halmahera. Mereka diusir dari Mamuya, Galela, dan
terpaksa terkurung di benteng Nostra Senhora del Rosario, atau benteng
Gammalamo, Ternate.
69
6.1.1. Sejarah Konflik Agama
Pengusiran bangsa Portugis dari Ternate, di malam Natal, setelah
terkurung selama lima tahun, dan gubernur Nuno Pereira de Ateyda, pada tanggal
24 desember 1575, mengibarkan bendera putih di petala benteng Gammalamo,
markas besar Portugis dan satu-satunya benteng yang belum jatuh—perang
Ternate-Portugis berakhir. Portugis keluar meninggalkan Ternate, bersama-sama
komunitas nasrani lokal yang ikut bersama Portugis, tanpa senjata. Dengan
pengusiran secara paksa inilah, benih-benih konflik dengan simbol-simbol agama
mulai terbangun di Maluku Utara. Bahkan Ternate pernah memainkan peran
penting di kawasan timur nusantara dari abad ke-13 sampai abad ke-17. Sebagai
kerajaan primus interpares dari kerajaan-kerajaan Islam di Maluku —bersama
kerajaan Tidore, Bacan, dan Jailolo, wilayah kekuasaan Ternate pada era Sultan
Baabullah (1570-1583) pernah membentang dari Mindanao (sekarang bagian dari
Filipina) di utara sampai Bima di selatan. Ke barat meliputi Sulawesi Utara dan
Sulawesi Tenggara (Alhadar. S. 2009).
Selanjutnya, konflik dengan isyu agama kembali terjadi pada tahun 1999 –
2000 dengan berbagai isyu, dan salah satu diantaranya adalah isyu agama –
walaupun masih terdapat berbagai perdebatan -. Tapi fakta menunjukkan bahwa
konflik yang kemudian berakibat pada pembantaian ummat muslim oleh ummat
kristen di Togoliua dan daerah lainnya membuat sebagian besar masyarakat sulit
untuk tidak menyatakan bahwa ini adalah konflik agama. Artinya, bahwa konflik
yang terjadi merupakan berbagai akumulasi dari berbagai kepentingan benar
adanya, tetapi kehancuran bangunan seperti tempat ibadah, dan yel-yel yang
diteriakkan pada saat konflik terjadi adalah merupakan bukti bahwa ada sebuah
grand scenario untuk melakukan kristenisasi di daratan Halmahera – terutama
yang penduduknya mayoritas ummat kristen -.
70
6.1.2. Sejarah Konflik Ekonomi
Mangunwijaya, dalam novel sejarah “Ikan-ikan Hiu Ido Homa,”
mendeskripsikan, betapa keserakahan raja-raja yang berkaitan dengan kehormatan
dan sumber – sumber ekonomi dan kekuasaan sesudah Sultan Babullah, membuat
rakyat begitu menderita, dan mewariskan dendam yang diturunkan secara turuntemurun dalam bentuk pepata-pepiti kuno, yang menyimpan arti mendalam.
Selain sepak terjang para raja dan kerajaan di wilayah ini dalam berebut
sumberdaya ekonomi, kolonialisme selama kurang lebih 350 tahun, baik oleh
Portugis, Spanyol, apa lagi Belanda, telah memporak-porandakan bangunan sosial
yang sudah terbangun kurang lebih 200 tahun itu. Lewat politik devide et impera,
mereka masuk dan merubah tatanan sosial budaya, sehingga relasi-relasi sosial
menjadi terganggu (lihat E Katoppo dalam, Nuku, kaitjil Paparangan, 1957) dalam
(Jalil R. 2009).
Konflik ini kemudian terbangkitkan kembali, sejalan dengan keluarnya PP
No. 42 Tahun 1999, dalam mana masyarakat Kao menganggap bahwa wilayah
tersebut adalah merupakan bagian dari tanah adat yang dimilikinya. Sehingga
konflik berlanjut dengan isyu tentang batas wilayah. Fakta menunjukkan bahwa
dalam daerah ini terdapat sebuah perusahaan tambang, yakni PT NHM, sebuah
perusahaan yang melakukan aktivitas pengelolaan sumberdaya alam.
6.1.3. Sejarah Konflik Etnis
Konflik dengan isyu etnis dalam sejarah Maluku Utara merupakan konflik
yang memiliki keterkaitan sejarah yang panjang. Konflik ini terjadi sebagai akibat
dari tuntutan rasa hormat antar kerajaan dan keinginan untuk melakukan
penguasaan dan ekspansi wilayah diantara kerajaan. Sebagai contoh, konflik yang
terjadi antara Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate. Bahkan konflik juga
berlangsung dengan kerajaan lainnya, dengan Kerajaan Makian (Kerajaan Bacan)
dan Kerajaan Moti (Kerajaan Jailolo), hampir semua konflik yang terbangun pada
masa itu, lebih didasarkan kuatnya hegemoni Kerajaan Ternate dan Kerajaan
Tidore untuk menguasai kerajaan-kerajaan lainnya. Sehingga mengakibatkan
71
konflik atau perang saudara yang berkepanjangan atas nama rasa hormat,
kepemilikan tanah, sumberdaya alam dan etno-nasionalisme (etnis) tak dapat
terhindarkan. Perang dalam kurun waktu yang panjang, dengan waktu beberapa
ratus tahun telah meninggalkan benih-benih konflik bagi generasi saat ini. Hal ini
karena, konflik telah meninggalkan bekas-bekas yang belum juga hilang karena
tersimpan dalam hikayat-hikayat perang para raja dan menjadi cerita turuntemurun serta terpendam dalam kesadaran basis anak-anak keturunan di Moloku
Kie Raha (Syahidussyahar (2007)).
Selanjutnya, dengan masih terpendamnya konflik masa lalu dengan isyu
etnis, maka di Maluku Utara etnonasionalisme kemudian menjadi sebuah
keyakinan - jika tidak dibilang sebagai ideologi -. Masyarakat secara sosial
terpolarisasi begitu kuat kedalam kelompok – kelompok suku dan bangsa mereka.
Hal ini kemudian menjadi sebuah identitas yang khas bagi masyarakat Maluku
Utara pada satu sisi, akan tetapi pada sisi lainnya meninggalkan ancaman yang
begitu dahsyat jika tidak dikelola secara baik. Konflik Maluku Utara sejak
november 1999 adalah sebuah bukti bahwa jika etnonasionalisme dijadikan
komoditas politik maka akan memicu konflik antar kelompok.
Dalam mana dapat dilihat bahwa konflik yang berawal dengan isyu batas
wilayah pada penghujung tahun 1999 ini, kemudian menuju pada sebuah titik
konflik dengan isyu etnis, yakni antara suku Kao dan suku Makian. Terdapat
dugaan kuat bahwa konflik ini juga diakibatkan adanya kecemburuan sosial. Hal
mana realitas sosial menujukkan bahwa masyarakat Makian yang merupakan suku
yang terkenal bekerja keras telah mampu mengantarkan mereka untuk menguasa
sumber – sumber kekuasaan dan ekonomi. Dapat dilihat bahwa kemajuan
pertanian suku Makian saat berada di wilayah Kao berkembang dengan pesat,
ditambah rekruitmen tenaga kerja yang cederung didominasi oleh etnis ini –
belum dapat dibuktikan – pada akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial yang
begitu mendalam, sehingga dengan membangun isyu batas wilayah, konflik untuk
melakukan pengusiran komunitas ini pada wilayah tersebut kemudian terjadi.
Kerusuhan dengan akar konflik yang selalu berkembang secara eksplisit
memberi indikasi bahwa potensi konflik internal yang ada dalam kehidupan sosial
72
kemasyarakatan di Maluku Utara telah melemahkan kearifan budaya lokal.
Melemahnya sosial kapital, kemudian dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak
bertanggung jawab (provokator) melalui beragam cara. Masalah yang menumpuk,
baik implikasi dari konflik Maluku Utara, konflik sosial budaya, ekonomi maupun
masalah yang disebabkan oleh dinamika masyarakat dalam era otonomisasi, pada
dasarnya potensial memicu konflik baru di antara kelompok-kelompok
masyarakat yang berbeda identitas asalnya di Maluku Utara. Sehingga sekarang
dan ke depan pembangunan perdamaian menjadi sebuah keniscayaan. Realitas
masalah di atas memerlukan intervensi yang tepat guna dan berdaya guna agar
potensi dimaksud bisa diminimalisasi sehingga tidak teraktualisasi menjadi
konflik yang terbuka. Dibutuhkan sebuah proses rehabilitasi sosial secara
berkelanjutan, di semua sektor dalam kehidupan masyarakat.
6.1.4. Konflik Laten Yang Masih Terpelihara
Konflik di Maluku Utara memiliki sejarah panjang dan sangat kompleks,
namun sampai saat ini, konflik yang cenderung masih tetap terpelihara adalah
konflik dengan membangun isyu etnonasionalisme (etnis). Kondisi ini sangat jelas
terlihat pada momentum suksesi kepala daerah, baik di tingkat kabupaten maupun
provinsi. Menguatnya issu-issu etnis ini, disebabkan karena semangat etnonasionalisme sering dijadikan sebagi komoditas politik.
Simbol-simbol ini begitu menguat dalam konteks Maluku Utara, sebuah
sikap yang dalam hemat sebagian orang adalah bentuk pembodohan terhadap
masyarakat, namun faka ini tak dapat dielakkan, karena terbukti terjadi di daerah
ini. Dapat di lihat pada pemilihan gubernur di Provinsi Maluku Utara pada tahun
2007, yang berakibat pada berlarutnya keputusan pelantikan. Dalam mana konflik
ini pun tak luput dengan isyu etnis, dimana terjadi pembakaran dan mobilisasi
massa dari masing-masing calon gubernur dengan dominan isyu etnis tertentu.
Menjadi tugas semua elemen yang pro perdamaian di Maluku Utara,
adalah mencoba mengidentifikasi isu-isu, masalah dan kebutuhan stakeholder
serta masyarakat untuk pembangunan perdamaian di berbagai bidang, di berbagai
tingkatan, dalam mendukung penguatan proses perencanaan yang sensitif terhadap
73
krisis dan penciptaan perdamaian berkelanjutan. Termasuk melakukan revitalisasi
nilai-nilai budaya untuk membangun kembali kearifan lokal dalam membangun
perdamaian di Maluku Utara. Karena bangunan kearifan lokal ini yang paling
hancur akibat hempasan kerusuhan, Ahmad & Oesman (2000).
Download