teori administrasi tradisional

advertisement
Tugas Baca
Judul Buku
Pengarang
Penerbit
Tahun
: Public Management and Administration An Introduction 3 rd Edition
: Owen E. Hughes
: Palgrave Macmillan
: 2003
Pendahuluan
Selama lebih dari 20 tahun, sektor publik di negara-negara barat telah mengalami perubahan
yang begitu signifikan, terlihat dari upaya pemerintah yang berusaha untuk merespon
tantangan-tantangan perkembangan teknologi, globalisasi, dan persaingan internasional.
Periode ini menyoroti perubahan terhadap sektor publik yang begitu dinamis dari periode
sebelumnya di abad 20, dengan memperlihatkan keberlanjutannya menuju awal abad 21. Hal
ini ditunjukkan bahwa dalam periode ini telah terjadi pergeseran paradigma dari model
administrasi publik yang tradisional-yang begitu dominan di abad 20- menuju ‘manajerialism’
atau manajemen publik. Teori birokrasi yang begitu lekat dalam konteks pemerintah telah
berangsur-angsur digantikan oleh teori-teori ekonomi dan pasar sebagai sebuah kekuatan baru.
Buku ini pada dasarnya merupakan tinjauan pendahuluan terhadap teori dan prinsip
manajemen publik, khususnya yang berkaitan dengan reformasi sektor publik, yang lebih kita
kenal dengan sebutan “New Public Management’ untuk kemudian dibandingkan dengan
konsep tradisional dari model administrasi publik.
Buku edisi ketiga ini juga merupakan penyempurnaan dari dua edisi sebelumnya, dengan tetap
mempertahankan argumen-argumen yang mendasarinya, dan melengkapinya dengan
informasi-informasi aktual yang berkembang saat ini. Perkembangan yang begitu pesat pun
dapat terlihat dari edisi pertama buku ini pada tahun 1994, seperti yang terlihat di negaranegara seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, Amerika Serikat dan Jerman, yang telah
menunjukkan performa yang sesungguhnya hingga saat ini. Bahkan secara signifikan juga
menunjukkan, bahwa konsep manajemen publik telah diadopsi oleh negara-negara
berkembang, dengan tingkat perubahan yang masih bervariasi. Bab 1 – 3 dari buku ini
membahas teori administrasi publik tradisional dan manajemen publik. Dua paradigma ini
merupakan dua buah konsep yang berbeda, yang berimbas pada konsep pelayanan publik,
dimana manajemen lebih difungsikan secara komprehensif dibandingkan administrasi.
Masa Perubahan
Argumen yang mendasari terjadinya perubahan dalam model administrasi publik tradisional
yang kemudian digantikan oleh manajemen publik adalah merupakan titik kulminasi dari proses
reformasi yang terjadi di banyak negara sejak akhir tahun 1980. Alasan utama terjadinya
perubahan ini adalah bahwa model tradisional tidak dapat berfungsi dengan baik.
Para politisi dan masyarakat menganggap bahwa pelayanan yang mereka terima sungguhlah
buruk, terbelenggu dalam proses yang berbelit, dan tidak realistis. Pemerintah pun merespon
hal ini dengan melakukan berbagai reformasi di tingkat manajerial. Hal ini dapat terlihat dari
beberapa area dalam sektor publik seperti sektor kepegawaian dengan proses rekrutmennya,
promosi, penggajian; proses formulasi kebijakan, manajemen keuangan, hubungan dengan
stakeholder dan semua jenis prosedur yang saling terkait.
Perubahan yang terjadi dapat kita lihat dari dua sisi yang berbeda, yang masih berhubungan
satu sama lain. Pertama, terdapatnya trend menuju ‘marketisasi’ sektor publik, pergeseran
dari aktivitas publik menuju sektor privat. Hal ini terjadi melalui privatisasi dalam bentuk yang
bervariasi, termasuk di dalamnya menyewakan kepada pihak ketiga berbagai kegiatan di sektor
publik. Kedua, terdapatnya trend untuk menjauhkan birokrasi dalam mengorganisir sektor
publik. Kedua hal ini sebenarnya merupakan mata rantai yang saling berhubungan, dimana
marketisasi merupakan jawaban atas kegagalan birokrasi, dan pasar merupakan sarana utama
yang digunakan sebagai alternative dari birokrasi.
Perubahan yang terjadi dalam sektor publik telah membawa kita pada pertanyaan mendasar
akan fungsi dan perannya dalam masyarakat. Hal utama yang dapat terlihat adalah bahwa
terdapatnya paradigma baru dalam mengelola manajemen pada sektor publik, dimana
pelayanan publik digerakkan semakin menjauh dari konsep administrasi menuju manajemen.
Konsekuensinya adalah, model administrasi birokratik pun semakin ditinggalkan baik secara
teoritis maupun praktis.
Perlu dipahami bahwa banyak pegawai negeri yang merasa tertekan oleh kondisi ini. Kepastian
dan keteraturan telah digantikan oleh ketidakpastian. Kantor-kantor mengalami perombakan
sekaligus restrukturisasi. Penumpukan pekerjaan menjadi hal yang biasa dalam bidang tugas di
mana sebelumnya pekerjaan dilakukan sekali seumur hidup. Di masa depan, pelayanan publik
hanya akan membutuhkan sekelompok kecil orang saja untuk menjalankannya. Dinas-dinas
pemberi pelayanan publik, yang tidak memerlukan pegawai pemerintah, dapat melakukan
pekerjaan sehari-hari melalui kontrak dengan departemen kecil. Pemerintah masih
memerlukan pelayanan publik, namun dengan ukuran yang sangat kecil, terlaksana melalui
manajemen kontrak dan penasihat kebijakan, walaupun sebenarnya pekerjaan tersebut bisa
saja dialihkan ke pihak ketiga.
Tentunya proses pergeseran paradigma ini tidak lepas begitu saja dari permasalahan yang
dihadapi, utamanya terkait dengan isu manajerial. Setiap proses perubahan akan melibatkan
pihak yang menang dan yang kalah, dan diantara yang kalah mungkin saja masih menjunjung
nilai dari model administrasi tradisional. Betapapun perubahan telah dilaksanakan dengan
tujuan peningkatan, namun kita tidak bisa melupakan begitu saja mengenai kapabilitas
manajemen yang semakin memburuk. Beberapa isu serius yang perlu mendapatkan perhatian
adalah mengenai etika, akuntabilitas, dasar teori mengenai model manajemen ini, dan
pertanyaan besar akan peran dan organisasi dari pelayanan publik. Namun satu hal yang pasti,
betapapun manajemen publik belum menjadi sebuah konsep yang pasti, betapapun beberapa
perubahan dapat berjalan lebih baik dari yang lain, model administrasi tradisional tidak akan
kembali dipraktikkan sepanjang abad 20 ini. Saat ini, nampaknya perubahan menuju model
manajerial merupakan sesuatu yang tidak bisa diubah kembali.
Administrasi Publik Tradisional
Fakta sejarah menunjukkan, model administrasi tradisional adalah konsep sukses yang
diterapkan secara luas oleh pemerintah di seluruh dunia. Sebagai rujukan dalam tataran teori
dan praktis, konsep ini tergolong baik. Jika dibandingkan dengan konsep sebelumnya yang
dekat dengan praktik korupsi, konsep ini menawarkan efisiensi dan pelayanan profesional.
Namun sekarang, konsep ini telah dianggap usang.
Birokrasi tradisional berkembang di era perkembangan industri; sebuah sistem dan teknologi
yang tepat digunakan pada masanya. Andaikan seorang pegawai negeri dianggap sebagai
sebuah sistem otomatis yang mampu merespon rangsangan sederhana, yang tidak bisa
dipercaya dengan tanggung jawab untuk mengambil keputusan dan senantiasa diperlukan
adanya prosedur manual dalam setiap kemungkinan yang dihadapi, maka boleh jadi model
administrasi tradisional merupakan solusi yang tepat.
Akan tetapi, sistem hirarki dianggap tidak mampu berfungsi dengan baik pada sektor publik
atau privat. Model tradisional merupakan solusi terbaik pada masanya, namun dunia ini begitu
dinamis dan memerlukan solusi cerdas dalam mengantisipasi perubahan dan perkembangan
yang terjadi.
Pilar-pilar teoretis administrasi publik nampaknya sudah tidak lagi memadai dalam menganalisis
realitas kehidupan pemerintahan saat ini. Teori kontrol politik selalu menjadi masalah.
Administrasi berarti mengikuti instruksi, dan oleh sebab itu, memerlukan metode dalam
memberikan dan menerima instruksi / perintah. Teori administrasi publik memerlukan
pembagian yang jelas di antara yang memberikan perintah dan yang menjalankannya. Hal ini
tidak pernah menjadi suatu hal yang realistis dan menjadi minim fungsi, terutama dengan
semakin meningkatnya cakupan pelayanan publik yang harus diberikan.
Pilar selanjutya adalah birokrasi, yang dianggap sebagai sebuah konsep yang tidak efisien dan
efektif bagi sebuah organisasi. Organisasi birokratik tidak lagi dianggap sebagai jawaban, baik
secara teoretis ataupun praktis. Konsep ini bukanlah merupakan satu-satunya alternatif dalam
menjalankan organisasi dan mengantisipasi aspek-aspek yang tidak diinginkan seperti
pemusatan kekuasaan, pembatasan kebebasan, perebutan kekuasaan politik, yang dianggap
lebih banyak aspek negatifnya ketimbang dampak positif yang diharapkan. Model administrasi
publik tradisional menjadi semakin tergantikan. Sementara itu, model baru yang belum berjalan
dengan baik, saat ini lebih memfokuskan pada hasil daripada proses, pada tanggung jawab
daripada pengelakan tanggung jawab, dan pada manajemen ketimbang administrasi.
Paradigma Administrasi Publik Tradisional
(The Old Public Administration)
Paradigma administrasi publik konvensional diusung oleh beberapa pakar serta teori yang
mewarnai paradigma itu. Teori-teori ini menandai sekaligus memberikan karakteristik yang kuat
bagi administrasi publik tradisional. Pakar yang dimaksud adalah Weber dengan teori birokrasi,
Wilson dengan dikotomi politik/administrasi, serta Taylor dengan ajaran manajemen keilmuan
(scientific management).
Teori Birokrasi Weber
Birokrasi Weber adalah teori yang paling fundamental dalam model administrasi publik
tradisional. Dalam menetapkan landasan teorinya, Weber mengatakan ada tiga jenis
kewenangan, yaitu karismatik – adanya seorang pemimpin yang extraordinary; tradisional –
misalnya kewenangan seorang ketua suku; dan kewenangan rasional/legal. Dari ketiga jenis
kewenangan itu, menurut Weber, birokrasi harus dibangun berdasarkan kewenangan
rasional/legal.
Beberapa prinsip birokrasi Weber berdasarkan kewenangan rasional/legal yakni:
1. Prinsip ketaatan yang diatur menurut peraturan, yakni hukum atau regulasi administrasi.
Kewenangan berasal dari hukum dan aturan ditetapkan berdasarkan hukum. Tidak ada
bentuk kewenangan lain yang harus diikuti selain kewenangan berdasarkan
aturan/hukum.
2. Prinsip hirarki dan tingkatan kewenangan yang berarti ada sistem yang teratur dimana
tindakan pegawai selalu diawasi oleh pimpinan di level atas. Prinsip hirarki menjadi
pemikiran Weber yang paling familiar. Hirarki yang tegas menunjukkan bahwa
kewenangan rasional/legal dan kekuasaan dijaga secara organisasional, tidak berdasarkan
individu melainkan berdasarkan posisi seseorang dalam hirarki. Fungsi tertentu dapat
dilimpahkan kepada level yang lebih rendah berarti bahwa ada pendelegasian
kewenangan.
3. Manajemen berdasarkan pada dokumen-dokumen tertulis. Organisasi adalah sesuatu
yang terpisah dari kehidupan pribadi anggota organisasi. Dokumen tertulis dijaga;
sesuatu yang sangat esensial. Hanya dengan dokumen tersebut kemudian organisasi dapat
konsisten dengan peraturan-peraturan.
4. Manajemen kantor adalah manajemen modern – biasanya memiliki sistem pelatihan yang
memadai. Administrasi adalah suatu pekerjaan yang menuntut spesialisasi, seseorang
mengikuti pelatihan yang memadai dan itu tidak dapat dikerjakan oleh setiap orang.
5. Manajemen organisasi mengikuti peraturan umum. manajemen merupakan aktivitas yang
dapat dipelajari karena hal tersebut mengikuti peraturan.
Untuk menduduki posisi dalam birokrasi perlu ada pola rekrutmen berdasarkan sistem merit,
bukan berdasarkan pemilihan atau oleh patronasi. Pelayanan publik menjadi bagian dari
kehidupan birokrat dan menjadi karir yang full-time dengan imbalan gaji dan menjamin prospek
bagi kemajuan individu melalui struktur hirarki.
Sistem formal atau impersonal perlu diciptakan; pencapaian kinerja melalui spesialisasi menurut
sasaran yang diinginkan. Keputusan harus dibuat menurut peraturan dan tanpa memandang
atribut individu (Gerth dan Mills, 1970).
Tujuan umum yang ingin diraih birokrasi adalah terciptanya kepastian (certainty),
impersonalitas, dan efisiensi. Prinsip spesialisasi fungsi dimaksudkan agar meningkatknya
produktivitas; hirarki kewenangan dan sistem peraturan dibuat untuk tercapainya kepastian
dalam keputusan; dan sistem impersonalitas artinya keputusan yang sama dapat diberlakukan
kembali dalam lingkungan yang sama. Maksudnya untuk mencapai derajat efisiensi yang
tertinggi. Presisi, kecepatan, kejelasan (unambiguity), pengetahuan akan peraturan, kontinuitas,
diskresi, kesatuan (unity), pengurangan friksi diantara anggota organisasi merupakan capaian
yang ingin diraih dalam suatu organisasi birokrasi.
Menurut Weber, birokrasi merupakan bangun organisasi yang paling efisien untuk diterapkan.
Menurutnya, model formal birokrasi dapat diterapkan baik di sektor publik maupun privat.
Wilson dan Kontrol Politik
Dalam esainya, Wilson mengatakan bahwa kalau pemerintah ingin bekerja secara lebih efektif
maka ia harus mengikuti pola manajemen bisnis/swasta. Untuk mengikuti model bisnis,
pemerintah harus membangun kewenangan eksekutif, mengontrol organisasi dan mencapai
tujuan organisasi dalam cara-cara yang paling reliabel dan seefisien mungkin.
Akan tetapi, mereka yang menempati pusat kekuasaan tidak terlibat secara intens dalam
pengembangan kebijakan. Kewenangan birokrasi adalah mengimplementasikan kebijakan dan
penyediaan layanan, dan mereka yang terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut harus netral
dan bertindak profesional untuk tetap mendapat simpati publik. Administrator harus akuntabel
kepada pejabat terpilih (elected official) agar tidak menyimpang dari kebijakan yang telah
dibangun. Dilain pihak, Wilson mengakui potensi bahaya yang mengancam; bahwa politik atau
lebih jelasnya politisi yang korup kerap kali mempengaruhi administrator. Hal inilah yang
kemudian melahirkan diktum: administrasi harus berada di luar area politik. Menurutnya:
Administration lies outside the proper sphere of politics. Administrative questions are not
political questions. Although politics sets the tasks for administration, it should not be suffered to
manipulate its offices…Public administration is detailed and systematic execution of public law.
Every particular application of general law is an act of administration. Menurutnya,
administrasi berada di luar area politik. Persoalan-persoalan administrasi bukanlah menjadi
persoalan politik. Meskipun politik menetapkan apa saja yang harus dilakukan administrasi, hal
itu tidak berarti bahwa politisi dapat memanipulasi administrator… Administrasi publik
berkenaan dengan eksekusi hukum publik. Setiap aplikasi hukum adalah merupakan tindakan
administrasi.
Esensi dari pendapat Wilson adalah persoalan administrasi bukanlah persoalan politik. Meskipun
politik menetapkan tugas bagi administrasi, namun politisi tidak dapat memanipulasi
administrator (Wilson, 1987/1887). Karenanya, Wilson membangun apa yang kemudian dikenal
sebagai dikotomi politik-administrasi.
Dalam esai yang dikemukakan oleh Wilson, ada dua tema kunci yang telah menjadi fokus studi
administrasi publik. Pertama, distingsi antara politik (kebijakan) dan administrasi, pentingnya
akuntabilitas kepada pejabat terpilih (elected official), serta kompetensi netral yang harus
dimiliki oleh administrator. Kedua, perlunya menciptakan struktur dan strategi manajemen
administrasi yang memungkinkan organisasi dan manajer publik dapat bertindak dalam cara-cara
yang paling efisien. Menurut Wilson, organisasi publik harus bisa menemukan cara-cara yang
paling efisien dan bahwa efisiensi dapat dicapai melalui struktur administrasi yang hirarkis dan
seragam.
Pandangan Wilson ini sejalan dengan pemikiran manajer bisnis pada saat itu. Misalnya saja,
Frederick Taylor (1923) menggunakan pendekatan manajemen keilmuan (scientific
management). Kemudian pada saat itu ada studi ”time and motion” yang dilakukan oleh
Hawthorne Studies. Keduanya esensinya ingin menemukan cara-cara untuk meningkatkan
produktivitas. Taylor, misalnya, berupaya menentukan one best way. Juga Leonard White (1926)
dan W. F. Wiloughby (1927) yang berfokus pada membangun struktur organisasi yang akan
bekerja dalam cara-cara yang paling efisien. Pemimpin akan berhasil jika ia bekerja dalam
sebuah struktur organisasi yang dicirikan dengan kesatuan komando, kewenangan hirarkis, dan
pembagian kerja yang tegas. Tugas pemimpin, karenanya, adalah menentukan pembagian kerja
yang terbaik kemudian membangun sarana koordinasi dan kontrol yang tepat. Atau, mengikuti
pendapat Gulick dengan akronim POSDCORB-nya, tugas pemimpin adalah merencanakan
(planning), mengorganisasikan (organizing), membagi staf (staffing), mengarahkan (directing),
mengkoordinasikan (coordinating), melaporkan (reporting), dan menganggarkan (budgeting).
Akan tetapi, sekali lagi, efisiensi adalah nilai utama yang diusung oleh para praktisi dan penulis
pada saat itu.
Wilson percaya bahwa spoil sistem tercipta karena relasi diantara administrasi dengan politik.
Jika administrator bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politis maka hal tersebut
berpotensi menimbulkan korupsi. Pemisahan antara lingkungan politik dimana kebijakan
ditetapkan dengan lingkungan administrasi dimana kebijakan diimplementasikan diyakini dapat
mengatasi the spoils system.
Ada tiga segi (facet) kontrol politik dalam model administrasi publik tradisional. Pertama, ada
keterkaitan erat antara akuntabilitas dan responsibilitas. Suatu organisasi atau lembaga memiliki
dua peran mendasar: untuk memberikan masukan kepada pejabat politik terkait dengan
pengembangan, kajian, dan implementasi kebijakan serta mengelola risorsis agar kebijakan dapat
diimplementasikan. Setiap pelayan publik harus akuntabel melalui struktur hirarki yang ada.
Kedua, harus ada pemisahan yang tegas antara persoalan kebijakan yang merupakan ruang
lingkup politisi dengan persoalan administrasi yang ada dalam pelayanan publik. Ketiga,
administrasi harus netral, setiap kebijakan atau keputusan tidak berkaitan dengan atribut personal
seseorang.
Taylor dan Manajemen Keilmuan (Scientific Management)
Menurut model administrasi publik tradisional, birokrasi harus netral, yakni birokrasi tidak
terlibat dalam kebijakan atau politik. Birokrasi adalah suatu instrumen untuk menjalankan
kebijakan yang sebelumnya ditetapkan secara politik. Hal ini juga dapat ditemukan dalam
prinsip-prinsip manajemen keilmuan (scientific management) yang dikemukakan oleh Frederick
Winslow Taylor (1911).
Ada dua poin penting dari pemikiran Frederick Taylor (1911). Pertama, standardisasi kerja,
yakni bagaimana menemukan satu cara terbaik untuk bekerja dan mengontrol secara intensif
untuk mempertahankan standar tersebut (Kakar, 1970). Manajemen keilmuan mencakup: (a)
time-and-motion studies yang menghasilkan standar kerja; (b) sistem gaji-insentif; dan (c)
mengubah fungsi organisasi.
Taylor mengatakan bahwa manajemen keilmuan dapat diterapkan dalam pemerintah, karena
dalam penilaiannya, rata-rata pegawai publik hanya mengerjakan 1/3 hingga ½ dari pekerjaannya
(Fry, 1989). Birokrasi dapat mengadopsi manajemen keilmuan karena konsep ini menawarkan
bagaimana mengoperasionalisasikan bentuk organisasi yang birokratis dalam pemerintahan
(Golembiewski, 1990).
Manajemen keilmuan cocok dengan teori birokrasi: keahlian administrator, kemajuan
rasionalitas, dan impersonalitas adalah aspek-aspek yang diusung baik oleh teori manajemen
keilmuan maupun teori birokrasi. Seperti dikatakan oleh Behn (2001):
Wilson, Taylor dan Weber adalah para pakar yang mengedepankan perbaikan efisiensi. Dan
efisiensi menjadi nilai yang diusung dalam birokrasi. Nilai ini sifatnya impersonal. Dengan
memisahkan administrasi dari politik, dengan mengaplikasikan ilmu dalam proses mendisain
proses administrasi, dan dengan menggunakan organisasi birokrasi untuk mengimplementasikan
proses ini, pemerintah akan menjamin keadilan baik dalam kebijakan maupun proses
implementasi kebijakan tersebut.
Human Relations
Fokus dari teori human relation adalah pada konteks sosial ketimbang memandang pekerja
sebagai individu yang sekadar mengejar insentif finansial. Melalui serangkaian eksperimennya
sepanjang tahun 1930-an, Mayo menemukan bahwa konteks sosial dalam kelompok kerja
merupakan faktor yang paling penting bagi manajemen. Konflik merupakan patologi dan harus
dihindari, dan tidak perlu ada antagonisme antara manajemen dan pekerja. Apa yang kemudian
dikenal luas sebagai “the Hawthorne Experiments”, Mayo menemukan bahwa produktivitas akan
dapat ditingkatkan jika ada perhatian yang besar pada pekerja, dan faktor lain seperti insentif
finansial kurang begitu penting.
Mayo mengemukakan bahwa manajemen hendaknya lebih bersahabat dengan pekerja dan ada
interaksi sosial yang dibangun, termasuk dalam konteks pemerintah. Teori human relations telah
menjadi sesuatu yang penting dalam konteks publik dan pengaruh teori ini tetap ada dalam
konteks manajerialisme. Seperti yang dikemukakan Pollitt (1993):
The significance of this work for managerialist ideologies today is that it established the idea
that informal relations within and without the organisation are of considerable importance. It is
not only the formal organisation chart, distribution of functions and systems of work
measurement which are important, but also the feelings, values, informal group norms and
family and social backgrounds of workers which help determine organisational performance….
Subsequently this general message has been developed in many and various detailed
applications – modern techniques of job enrichment, participative management styles and selfactualisation are part of the intellectual heritage of the human relations school.
Studi Hawthorne kurang menekankan aspek hirarki, efisiensi biaya; perubahan hanya sebagai
sarana untuk mencapai tujuan. Seperti Taylor, Mayo tidak mendukung adanya kesatuan (union)
(Fry, 1989). Seperti Mayo, Taylor mengedepankan pentingnya kerjasama dalam kelompok kerja
(Fry, 1989). Kesamaan pendapat Mayo dan Taylor yakni pentingnya peningkatan produktivitas.
Suatu sistem administrasi yang strict memiliki keuntungan tertentu. Setidaknya dengan sistem
yang hirarkis, setiap individu tahu posisi serta cakupan kewenangan yang dimilikinya. Individu
dipastikan akuntabel atas semua tindakannya, baik dari level terbawah hingga pucuk organisasi.
Bagi pejabat publik karir, ada kemajuan yang stabil melalui organisasi yang hirarkis. Sistem
yang ada pun cukup efisien dan efektif dalam pandangan yang sempit dan instruksi dapat
dijalankan. Juga sistem ini mampu membebaskan individu dari godaan untuk membelokkan dana
publik demi keuntungan pribadi birokrat. Saat tugas dapat dilaksanakan, ketika lingkungan
stabil, maka sistem dipastikan bekerja dengan lebih baik.
Penunjukkan berdasarkan sistem merit, birokrasi yang formal serta pemisahan politik dan
administrasi merupakan prinsip-prinsip administrasi publik tradisional. Meski demikian, model
administrasi tradisional ini terlalu kaku (rigid) dan birokratis, secara sempit hanya berfokus pada
struktur dan proses.
Kalau dikaitkan dengan aspek pelayanan, nampaknya administrasi publik tradisional menaruh
perhatian pada bagaimana pemerintah memberikan pelayanan secara langsung kepada publik,
atau menetapkan regulasi yang akan mengatur perilaku individu atau organisasi. Lembagalembaga publik yang menganut paradigma ini cenderung melihat publik sebagai pihak yang
harus dibantu dan pemerintah harus menyiapkan program-program publik secara jujur.
Pelayanan publik merupakan suatu proses yang netral dan kewenangan administrator adalah
kewenangan keahlian. Seperti dikatakan oleh Schubert, kepentingan publik akan ditemukan
dalam rasionalisasi proses keputusan yang mana hal tersebut akan menghasilkan keinginan
publik. Diskresi individu diminimalisir atau dieliminasi; responsibilitas ada dalam perilaku yang
otonomi. Perspektif ini sangat terkait dengan konsep netralitas dan efisiensi yang diusung dalam
paradigma ini. Dalam pandangan administrasi publik tradisional, dengan berfokus pada netralitas
pegawai, efisiensi, dan pemisahan yang tegas antara politik dan admnistrasi, maka dipastikan
pemenuhan kepentingan publik akan melalui cara-cara yang paling efektif dan efisien.
Ditinjau dari aspek kepentingan publik, dalam pandangan administrasi publik tradisional,
kepentingan publik ditempatkan dalam konteks politik. Legislatif adalah lembaga perwakilan
publik, karenanya, memenuhi kepentingan publik sama dengan mendengarkan apa yang menjadi
arahan dari pejabat politik. Demikian juga, seperti dikatakan oleh Goodnow, politik merupakan
ekspresi dari keinginan negara dan administrasi melaksanakan keinginan tersebut. Namun pada
birokrat terdapat sejumlah pekerjaan berat yang harus dipikul. Karenanya, pada konteks tertentu,
diskresi diperlukan untuk memenuhi kepentingan tertentu. Dalam melaksanakan diskresi ini,
Herring berpendapat bahwa kepentingan publik adalah standar yang akan mengarahkan
administrator dalam melaksanakan hukum.
Seperti yang telah dikemukakan di depan, administrasi publik selalu bergulat dengan persoalan
tentang bagaimana peran administrator dalam pengembangan kebijakan maupun persoalan
tentang relasi antara administrator dan pembuat kebijakan yang lain. Pernyataan terdahulu yakni
ada pemisahan yang tegas antara politik dan administrasi. Pejabat politik terpilih bertugas
membuat kebijakan dan administrator berkenaan dengan implementasi kebijakan.
Proses implementasi kebijakan menganut prinsip top-down dan hirarkis. Setelah kebijakan
diformulasi, kebijakan diimplementasikan oleh administrator dengan padanya terdapat diskresi
yang terbatas. Bahkan diskresi administrasi tidak dipandang sebagai suatu bagian penting dari
pekerjaan-pekerjaan administrasi.
Karena pengaruh dari manajemen keilmuan (scientific management) dan penekanan pada
organisasi formal, fokus diletakan pada mengontrol perilaku untuk disesuaikan dengan prinsipprinsip keilmuan. Karenanya, tugas administrator adalah menemukan prosedur dan peraturan
yang dipandang paling predictable, memperbaiki prosedur dan peraturan, dan kemudian
menggunakan teknik-teknik dan kontrol manajemen untuk menjamin bahwa orang-orang dalam
organisasi melakukan apa yang seharusnya dikerjakan.
Asumsi yang lain dari paradigma administrasi publik tradisional adalah bahwa proses
implementasi bukan menjadi bagian dari proses kebijakan. Proses administrasi dan pembuatan
kebijakan (seperti yang digambarkan dalam dikotomi politik-administrasi) sesungguhnya adalah
dua proses yang terpisah.
Dikaitkan dengan aspek akuntabilitas, yang ada adalah akuntabilitas formal, hirakis dan legal.
Model akuntabilitas ini berdasarkan pada asumsi bahwa administrator tidak memiliki diskresi
yang besar. Para administrator hanya mengimplementasikan hukum, peraturan, dan standar yang
ditetapkan bagi mereka oleh pejabat politik terpilih. Akuntabilitas berkaitan dengan melekatnya
administrator pada standar dan sesuai dengan aturan dan prosedur yang telah dibangun untuk
melaksanakan fungsi-fungsinya. Dalam pandangan ini, responsivitas atau akuntabilitas langsung
kepada publik secara implisit dipandang sebagai sesuatu yang tidak perlu dan tidak tepat. Pejabat
terpilih dipandang bertanggung jawab dan akuntabel untuk menterjemahkan keinginan publik ke
dalam kebijakan yang dibuat. Seperti dikemukakan oleh Goodnow, politik harus mengarahkan
atau mempengaruhi kebijakan pemerintah, sedangkan administrasi berkenaan dengan
mengeksekusi kebijakan tersebut. Karenanya, pengaruh publik secara langsung terhadap
eksekusi atau implementasi kebijakan sangat terbatas.
Dikaitkan dengan aspek efisiensi, menurut administrasi publik tradisional, administrator tidak
akan produktif dan bekerja keras kalau mereka tidak disediakan dengan insentif moneter. Disini
kemudian ada sistem punishment yang diberlakukan ketika kinerja pegawai rendah. Efisiensi
yang dimaknai sebagai rasio biaya dan output, memerlukan kontrol biaya dan produktivitas
sebagai tool utama. Karenanya, tantangannya adalah bagaimana mengatur dan menstrukturkan
pekerjaan agar menjadi lebih minim biaya dengan produksi tinggi.
Beberapa Kritik terhadap Birokrasi Publik Tradisional
The fundamental tendency of all bureaucratic thought is to turn all problems of politics into
problems of administration . . . Bureaucratic thought does not deny the possibility of a science of
politics, but regards it as identical with the science of administration. (Karl Mannheim, Ideology
and Utopia: 105–6)
Persoalan Kontrol Politik
Pemisahan antara politik (kebijakan) dan administrasi yang diusung oleh Wilson sebetulnya
dimaksudkan untuk mencegah menguatnya spoil system. Akan tetapi, pemisahan yang tegas
antara politik dan administrasi dalam kenyataannya kurang realistis. Pemisahan antara politik
dan administrasi, atau politisi dengan administrator belum menemukan signifikansinya.
Dalam kenyataannya, hubungan antara pemerintah dan administrasi tidak sesederhana model
yang disarankan oleh Wilson dan mungkin sulit sekali untuk dilakukan pemisahan diantara
keduanya. Begitu kompleks hubungan antara politisi dan birokrat. Seperti ditegaskan oleh Peters:
politik tidak dapat dipisahkan dari administrasi; administrasi dan kebijakan adalah dua domain
yang saling terkait. Interelasi diantara keduanya dapat dilihat dari sistem administrasi yang dapat
mempengaruhi output kebijakan yang dihasilkan oleh sistem politik. Administrasi bisa
mempengaruhi kebijakan (politik), meskipun kebijakan tersebut tidak selamanya tertulis. Model
birokrasi tradisional tidak menggambarkan bagaimana peran manajerial administrator yang
begitu luas dalam proses pembuatan keputusan. Para administrator (public servant) memiliki
peran manajerial yang penting, peran yang jauh lebih penting ketimbang sekedar mengatur atau
mengikuti instruksi.
Di aras lokal, dikotomi ini terasa sulit untuk diterapkan. Para legislator, misalnya, pasti menaruh
perhatian pada seluruh aktivitas administrator. Khususnya legislatif memainkan peran sebagai
pengawas dan memberikan pengaruh pada aktivitas administrator. Sebaliknya, administrator
memainkan peran lebih aktif dalam proses kebijakan, khususnya saat mereka memberikan
masukan dalam proses perumusan kebijakan. Luther Gulick, berpendapat bahwa kebijakan
(politik) dan administrasi tidak dapat dipisahkan, setiap tindakan manajer publik selalu
mencakup suatu uraian jaring diskresi dan aksi. Paul Appleby bahkan secara tegas mengatakan
bahwa administrasi adalah pembuatan kebijakan (Appleby, 1949).
Persoalan ”one best way”
Model administrasi publik tradisional berasumsi bahwa hanya ada satu cara terbaik (one best
way) untuk mengatur, yakni melalui teori birokrasi dan manajemen keilmuan. Akronim
POSDCORB yang dilontarkan oleh Gullick dan manajemen keilmuan (scientific management)
yang dikemukakan oleh Taylor adalah manifestasi dari pemikiran one best way yang dimaksud
(Stillman, 1991). Menurut manajemen keilmuan ala Taylor, yang dimaksud dengan one best way
adalah ditentukan dengan mengkaji semua tahap yang ada, mengukur tahap yang paling efisien,
dan yang paling penting, menetapkan metode ini sebagai seperangkat prosedur.
Persoalan Birokrasi
Problem lain dalam model birokrasi tradisional adalah fokusnya pada model birokrasi Weberian.
Kritik yang dikemukakan yakni struktur dan manajemen model administrasi publik lama
dipandang sudah usang dan memerlukan perubahan yang drastis, karena problem tentang
birokrasi dan organisasi yang birokratis. Weber memandang birokrasi sebagai bentuk organisasi
yang paling pas, tetapi birokrasi kemudian dikritik karena menghasilkan kelembaman (inersia),
lemah semangat inovasi, prosedur yang berbelit-belit (red-tape), inefisien, dan semua penyakit
yang endemik dalam organisasi sektor publik.
Ada dua problem khusus berkaitan dengan teori birokrasi. Pertama, hubungan yang problematis
antara birokrasi dan demokrasi. Kedua, birokrasi formal tidak lagi dipandang sebagai bentuk
organisasi yang efisien. Dengan sifat rasionalitas formal, kekakuan (rigiditas) dan hirarki maka
dipastikan ada konflik antara birokrasi dan demokrasi.
Kritik dari Public Choice Theory
Menguatnya desakan agar pemerintah sebaiknya mengurangi ukurannya yang terlalu “besar”
merupakan anjuran yang ditinjau dari public choice theory. Ditinjau dari teori ini, ada dua klaim
yaitu: pertama, bahwa birokrasi pemerintah terlalu membatasi kebebasan individu dan kekuasaan
pemerintah perlu dikurangi. Kedua, ditinjau dari aspek ekonomi, model birokrasi tradisional
tidak memiliki struktur dan insentif yang memadai yang membuat birokrasi menjadi tidak
efisien.
Public choice theory merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip mikroekonomi. Dunleavy (1986)
berpendapat bahwa aktor yang rasional pada dasarnya berasumsi bahwa
1. Dalam membuat keputusannya, individu cenderung berupaya untuk mendapatkan
manfaat terbesar dengan ongkos yang minim. Mereka bertindak secara rasional ketika
ingin mengejar preferensinya dalam tindakan yang efisien dan memaksimalkan manfaat
yang akan diterimanya.
2. Individu pada dasarnya egoistis, cenderung memperhatikan kepentingannya, mengambil
tindakan jika tindakan itu memberikan konsekuensi positif bagi kesejahteraannya.
Mengikuti prinsip rasional, menurut Public Choice Theory, birokrat akan berupaya untuk
memaksimalkan manfaat bagi dirinya, yakni meningkatkan kekuasaa, prestis, keamanan, dan
pendapatannya dengan memanfaatkan struktur hirarki birokrasi dengan mengesampingkan tujuan
organisasi. Birokrat yang ada pada model birokrasi Weber pada dasarnya kurang termotivasi
oleh kepentingan yang lebih luas, misalnya saja pelayanan kepada masyarakat. Dari asumsi teori
ini, adanya ambisi individu akan memberikan hasil yang tidak selaras dengan tujuan dan sasaran
organisasi. seperti dikatakan oleh Niskanen (1973) bahwa ambisi individu menyebabkan
individu berupaya memperbesar anggaran.
Ostrom berpendapat bahwa public choice theory yang merupakan bagian dari teori ekonomi
mengkritik beberapa asumsi dasar dari administrasi publik tradisional. Menurutnya:
The very large bureaucracy will (i) become increasingly indiscriminating in its response to
diverse demands; (ii) impose increasingly high social costs upon those who are presumed to be
the beneficiaries; (iii) fail to proportion supply to demand; (iv) allow public goods to erode by
failing to take actions to prevent one use from impairing other uses; (v) become increasingly
error prone and uncontrollable to the point where public actions deviate radically from rhetoric
about public purposes and objectives; and (vi) eventually lead to a circumstance where remedial
actions exacerbate rather than ameliorate problems. Birokrasi yang amat besar berpotensi: (1)
kurang responsif kepada tuntutan yang beragam; (2) menimbulkan biaya sosial yang tinggi bagi
benefisiari; (3) gagal menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan; (4) mencegah salah
guna barang publik; (5) cenderung tidak mampu mengontrol aksi publik yang menyimpang dari
tujuan dan sasaran publik; dan (6) memperparah masalah ketimbang mengobati masalah yang
ada.
Secara umum, argumen yang diberikan public choice theory diarahkan untuk mengurangi
pemerintah dan mereduksi birokrasi. Struktur pasar kemudian dijadikan sebagai alternatif dalam
sektor publik. Seperti dikatakan oleh Niskanen: Jika struktur dan insentif dalam birokrasi harus
ditinjau kembali untuk meningkatkan kinerjanya, mengapa urusan publik tidak diserahkan saja
kepada sektor privat, dimana struktur dan sistem insentif sekarang berada dan sejumlah
pelayanan pemerintah juga dapat dikelola dalam sektor privat. Dari perspetif ini, pelayanan
publik harus dipangkas hingga pada titik minimum dengan fungsi-fungsinya diserahkan kepada
sektor privat.
Download