BAB III ANALISIS LATAR SOSIAL PENELITIAN Pada bagian ini dipaparkan analisis latar sosial penelitian yakni latar sosial masyarakat Kabupaten Gowa, dimana lokasi penelitian tentang inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan ini dilakukan. Analisis latar sosial penelitian ini diharapkan berguna untuk mengetahui kondisi nyata masyarakat daerah Kabupaten Gowa. Kondisi latar sosial masyarakat suatu daerah memiliki makna penting dalam inovasi pemerintahan daerah, karena makna daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan berdasarkan kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Oleh karena itulah, maka analisis dimulai dengan memaparkan kondisi umum latar sosial masyarakat, kemudian kondisi-kondisi khusus mengenai latar sejarah dan masa kini penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa. 3.1. Latar Sosial Masyarakat Kabupaten Gowa Dahulu Gowa merupakan satu kerajaan orang Makassar yang besar di Sulawesi Selatan. Kabupaten Gowa merupakan daerah atau wilayah Kerajaan Gowa. Gowa sering menjadi model kehidupan kebudayaan dan kehidupan adat istiadat orang-orang suku Makassar. Masyarakat Makassar dalam kacamata sosiologi adalah sebuah kelompok dengan anggota individu yang hingga kini ciri utamanya adalah bahasa atau mungkin juga ragam yang digunakannya untuk berkomunikasi dikalangan mereka. Bahasa tersebut adalah bahasa yang juga hingga kini masih diterima dengan istilah bahasa Makassar. 128 129 Masyarakat Kabupaten Gowa dilihat dari segi populasinya, saat ini sudah berjumlah 594.423 jiwa. Etnis mayoritas masyarakat adalah etnis Makassar atau To-Mangkasara. Masyarakat mendiami wilayah Kabupaten Gowa yang luasnya 1.883,33 Km2 atau sama dengan 3,01 persen dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Tersebar di 18 Kecamatan dan Desa/Kelurahan definitif sebanyak 167 dan 726 Dusun/Lingkungan. Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar berupa dataran tinggi berbukitbukit, yaitu sekitar 72,26 persen yang meliputi sembilan kecamatan yakni Kecamatan Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya 27,74 persen berupa dataran rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi sembilan Kecamatan yakni Kecamatan Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang, Pallangga, Barombong, Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo dan Bontonompo Selatan. Memperhatikan tipologi geografis daerah Kabupaten Gowa tersebut, maka wajar jika mata pencaharian pokok masyarakat Gowa adalah berladang dan bersawah (pammarri). Mata pencaharian kedua bagi masyarakat Gowa adalah berlayar mengarungi lautan, baik sebagai pedagang antar pulau maupun sebagai nelayan penangkap ikan. Hal tersebut sesuai dengan data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009, lapangan perkejaan yang paling banyak digeluti adalah sektor pertanian yaitu 42,81 persen dibanding dengan lapangan pekerjaaan sektor lainnya. Susenas (2009) juga mencatat bahwa 14,32 persen penduduk berumur 10 tahun keatas tidak pernah sekolah, 21,45 persen yang masih sekolah, dan 64,24 persen sudah tidak bersekolah lagi. Bila dilihat dari pendidikan yang ditamatkan, terdapat 21,38 persen penduduk usia 10 tahun keatas yang tidak/belum tamat SD, 23,67 persen tamat SD, 15,94 persen tamat SLTP, 18,16 130 persen tamat SMU/SMA kejuruan, sisanya (7,53 persen) merupakan tamatan D1 hingga S3. Sementara itu, 54,37 persen penduduk usia 16-18 tahun masih bersekolah, dan 43,16 persen tidak bersekolah lagi. Selain itu, hanya 13,49 persen dari penduduk usia 19-24 tahun yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi. Dilihat dari jumlah sekolah, jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun sebaliknya, jumlah guru justru cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2008, jumlah guru SD sebanyak 1.594 orang, namun pada tahun 2009 berkurang 42 persen menjadi 913 orang. Deskripsi latar sosial masyarakat, sebagaimana telah diuraikan, dapat menunjukkan beberapa ciri sosial masyarakat Kabupaten Gowa yaitu: (1) masyarakat masih homogen dari sisi etnis; (2) kondisi masih agraris dan rural; dan (3) rata-rata pendidikan masyarakat masih rendah. Ciri-ciri sosial masyarakat seperti ini, tentu dapat menjadi dasar (modal sosial) untuk semakin mendorong pemerintah daerah setempat melakukan terobosan dalam melaksanakan pembangunan dan pelayanan publik di daerah ini. Sebaliknya ciri sosial masyarakat tersebut bisa menjadi penghambat jika tidak dilakukan dengan strategi yang tepat. Di sinilah dibutuhkan pemikiran-pemikiran inovatif dari pemerintah daerah terutama Kepala Daerah dan DPRD Kabupaten Gowa dalam melaksanakan fungsinya sebagai public services dan public goods delivery. 3.2. Perspektif Sejarah Pemerintahan Kabupaten Gowa Bagian ini menguraikan tentang awal sejarah terbentuknya pemerintahan Kerajaan Gowa yang memiliki proses yang sangat dinamis. Cerita tentang proses perjalanan pemerintahan Kerajaan Gowa akan berakhir pada era kejayaan dibawah kendali pemerintahan raja yang dikenal dengan nama Sultan 131 Hasanuddin. Uraian singkat sejarah pemerintahan Kerajaan Gowa bersumber dari dokumen arsip profil Kabupaten Gowa tahun 2011 yang dimuat dalam www.gowakab.go.id. Pada awalnya Gowa merupakan negeri orang-orang Makassar mempunyai sembilan kelompok kaum/persekutuan hidup yang disebut Bori’ atau Pa’rasangang. Kesembilan kelompok kaum tersebut, yaitu Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero. Masingmasing kaum menempati suatu wilayah teritorial sendiri dan dipimpin oleh seorang ketua kaum yang bergelar Karaeng, Gallarang, atau Anrong Guru. Tiaptiap negeri mempunyai lambang kebesaran, bendera atau panji yang disebut bate. Benda kebesaran tersebut menjadi alat pengikat kesetiaan warga persekutuan kaum itu. Dalam menjaga kerukunan antara kesembilan kaum, dipililah dari mereka seorang bijaksana menjadi ketua yang dinamakan paccallayya (secara harfiah berarti orang yang mencela). Paccallayya bukanlah ketua yang menguasai kaum, ia hanya berperan sebagai penasehat dan hakim dalam memelihara perdamaian antara mereka. Namun dalam perkembangannya, mereka memerlukan seorang pemimpin yang lebih dari hanya sebagai seorang wasit dalam menyelesaikan sengketa. Diperlukan seorang pemimpin yang dapat menyatukan kesembilan kaum dalam satu persekutuan yang lebih besar. Mereka kemudian bersepakat untuk mencari seorang tokoh yang sama sekali bebas dari hubungan kelompok-kelompok kaum yang ada. Mereka akan mencari tokoh yang dianggap netral. Tugas mencari pemimpin dipercayakan kepada Gallarang Tombolo dan Gallarang Mangasa. Berdasarkan naskah kuno lontaraq patturioloanga ritu Gowa ya, kedua gallarang yang ditugaskan mencari seorang pemimpin menemukan tokoh yang 132 mereka inginkan di suatu tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit Tamalate. Pemimpin yang mereka temukan adalah seorang wanita yang tidak diketahui asal usulnya. Wanita tersebut dianggap sebagai Tu’manurung, manusia titisan dewa yang turun dari langit (khayangan). Atas kesepakatan bersama, wanita tersebut dinobatkan sebagai raja mereka yang bergelar Sombayya ri Gowa, merupakan raja pertama orang-orang Makassar (Kerajaan Gowa). Selanjutnya dibangunlah sebuah istana yang besarnya sembilan petak dan di namakan Istana Tamalate (tidak layu). Dikatakan Tamalate karena walaupun istana tersebut telah selesai dibangun, namun daun-daun dari batang kayu yang dijadikan sebagai tiang istana belum juga layu. Raja ini kemudian dikenal dengan nama Putri Tamalate, baginda lazim juga disebut Manurunga ri Tamalate (Yang turun di Tamalate). Ratu Tu’manurung inilah kemudian menurunkan keturunan raja-raja yang memerintah Kerajaan Gowa. Seiring dengan terangkatnya Tu’manurung sebagai raja Gowa, kesembilan bori (konfederasi Gowa) berubah menjadi Kerajaan Gowa. Sembilan karaeng yang pada awal merupakan anggota dari lembaga konfederasi kemudian menjadi satu dewan kerajaan yang dikenal dengan nama Kasuwiyang Salapang (Sembilan Pengabdi). Dewan Kasuwiyang Salapang ini kemudian dirubah namanya menjadi Bate Salapang (Sembilan Panji). Tidak lama setelah munculnya Tu’manurung ri Tamalate, datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo dengan membawa keris yang disebut Sonri (Tanruballanga) dan Lakipadada dengan pedangnya bernama Sudanga. Untuk kesinambungan Kerajaan Gowa, Kasuwiyang Salapang kemudian meminta, agar Karaeng Bayo dan Tu’manurung dapat dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan Kerajaan Gowa. 133 Bersamaan dengan pelaksanaan perkawinan secara adat antara Karaeng Bayo dan Tu’manurung, dilakukan pula pengucapan ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang, dan kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Bila ada seorang Karaeng Somba yang akan dinobatkan menjadi raja di Gowa, maka perjanjian atau ikrar tersebut selalu dibacakan untuk ditaati, baik oleh karaeng maupun oleh rakyat Gowa itu sendiri. Dari hasil perkawinan Karaeng Bayo dan Tu’manurung, lahirlah seorang putra yang diberi nama Tu Massalangga Barayang (orang yang berbahu miring). Konon anak tersebut memiliki keluarbiasaan dan kesaktian. Setelah kedatangan Tu’manurung, yang kemudian diangkat sebagai Raja, maka struktur pemerintahan Kerajaan Gowa ditatakuasakan sebagai berikut: 1. Sembilan buah negeri (bate) yang menjadi wilayah inti atau asal Kerajaan Gowa, tetap dikuasai langsung oleh masing-masing ketua kaum. Kesembilan kepala negeri itu duduk dalam dewan kerajaan yang dinamakan Bate Salapanga ri Gowa yang berperan sebagai wakil seluruh rakyat Kerajaan Gowa. Bate Salapang sebagai dewan kerajaan, menetapkan aturan-aturan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang akan dijalankan oleh raja dan menteri-menterinya. Keturunan penguasa daerah asal Bate Salapang yang bergelar Daengta tak boleh menjadi raja atau menteri kerajaan. Mereka kemudian disebut Ana Karaeng Maraenganaya 2. Raja Gowa yang disebut Sombayya ri Gowa, bersama-sama dengan menteri-menteri kerajaan, seperti; Tu’mabbicara Butta (Mangkubumi), Tu’mailalang Lolo (menteri kerajaan urusan dalam negeri dan kemakmuran), Tu’mailalang Toa (menteri kerajaan urusan umum ke dalam 134 dan ke luar) dan menteri-menteri lainnya adalah keturunan langsung Tu’manurung yang disebut Anak Karaeng ri Gowa (anak raja atau bangsawan di Gowa) dengan panggilan Karaengta. Mereka tidak boleh menjadi Bate Salapanga, penguasa negeri asal yang Sembilan. 3. Wilayah-wilayah baru dari kerajaan (yang tidak termasuk daerah Bate Salapang, dapat saja dipimpin oleh keturunan Tu’manurung (anak Karaeng ri Gowa) tetapi hanya daerah-daerah tertentu, sekitar pusat kerajaan. Pejabat-pejabat itu untuk kepentingan latihan jabatan yang lebih tinggi, disebut Bate Anak Karaeng. Dapat disampaikan secara lebih umum bahwa semua jabatan teras pada Pusat Kerajaan Gowa dipegang oleh warga anak Karaeng ri Gowa, keturunan Tu’manurung. Para pemegang jabatan teras itu digelar Karaengta, seperti Karaengta Tu’mabbicara Butta, Karaengta Tu’mailalang Toa dan sebagainya. Juga raja-raja bawahan yang terhisap dalam Bate Anak Karaeng, bergelar Karaengta seperti, Karaengta Karuwisi, dan Karaengta Bontonompo. Dengan demikian masalah pelapisan masyarakat Gowa secara keseluruhan dapat diidentifikasikan secara lebih mudah yaitu semua jabatan kerajaan, yang memangkunya bergelar Karaeng merupakan keturunan Tu’manurung, anak Karaengta ri Gowa. Pejabat yang bergelar Daengta adalah pemimpin-pemimpin rakyat pra Tu’manurung, yang berfungsi sebagai kepala pemerintahan negeri. Mereka adalah Anak Karaeng Maraengannaya (bangsawan bukan keturunan Tu’manurung) lihat Koran Tempo, (25/01/2011). Pada masa sebagai kerajaan, banyak peristiwa penting yang dapat dibanggakan dan mengandung citra nasional antara lain: Masa Pemerintahan I Daeng Matanre Karaeng Imannuntungi Karaeng Tumapa’risi Kallonna berhasil memperluas Kerajaan Gowa melalui perang dengan menaklukkan Garassi, 135 Kalling, Parigi, Siang (Pangkaje’ne), Sidenreng, Lempangang, Mandalle dan lainlain kerajaan kecil, sehingga Kerajaan Gowa meliputi hampir seluruh dataran Sulawesi Selatan. Di masa kepemimpinan Karaeng Tumapa’risi Kallonna tersebutlah nama Daeng Pamatte selaku Tumailalang yang merangkap sebagai Syahbandar, telah berhasil menciptakan aksara Makassar yang terdiri dari 18 huruf yang disebut Lontara Turiolo. Pada tahun 1051 H atau tahun 1605 M, Dato Ribandang menyebarkan Agama Islam di Kerajaan Gowa dan tepatnya pada tanggal 9 Jumadil Awal tahun 1051 H atau 20 September 1605 M, Raja I Mangerangi Daeng Manrabia menyatakan masuk agama Islam dan mendapat gelar Sultan Alauddin. Hal Ini kemudian diikuti oleh Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka dengan gelar Sultan Awwalul Islam dan beliaulah yang mempermaklumkan shalat Jum’at untuk pertama kalinya. Raja I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Muhammad Bakir Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI dengan gelar Ayam Jantan dari Timur, memproklamirkan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan maritim yang memiliki armada perang yang tangguh dan kerajaan terkuat di Kawasan Indonesia Timur. Pada tanggal 18 November 1667 dibuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya). Perjanjian tidak berjalan langgeng karena pada tanggal 9 Maret 1668, pihak Kerajaan Gowa merasa dirugikan. Raja Gowa kembali dengan heroiknya mengangkat senjata melawan Belanda yang berakhir dengan jatuhnya Benteng Somba Opu secara terhormat. Peristiwa ini mengakar erat dalam kenangan setiap patriot Indonesia yang berjuang gigih membela tanah airnya. Sultan Hasanuddin pada tanggal 1 Juni 1669 meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke XVI setelah hampir 16 tahun melawan penjajah. 136 Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin mangkat dalam usia 36 tahun. Deskripsi latar sejarah pemerintahan Kabupaten Gowa seperti diuraikan di atas, menunjukkan bahwa masyarakat Gowa telah mengenal sistem pemerintahan sejak lama, melalui sistem pemerintahan kerajaan. Fakta sejarah ini, tentu menjadikan ciri tersendiri bagi eksistensi pemerintahan daerah di Gowa yang tidak dimiliki oleh pemerintahan daerah otonom lainnya di Sulawesi Selatan. Fakta sejarah ini juga mencerminkan bahwa pada dasarnya, secara sosial masyarakat Gowa adalah masyarakat terbuka, misalnya dikisahkan bahwa dalam mencari seorang raja untuk mengatur dan melindungi, mereka rela mencari pemimpin dari luar daerahnya sendiri. 3.3. Latar Struktur Pemerintahan Kabupaten Gowa Saat Ini Pada tanggal 17 Januari 1957 ditetapkan berdirinya Daerah Gowa dalam wadah NKRI dan ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II. Selanjutnya dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah untuk seluruh wilayah Indonesia tanggal 18 Januari 1957 telah dibentuk Daerah-daerah Tingkat II. Berdasarkan UU No. 29 Tahun 1957 sebagai penjabaran UU No. 1 Tahun 1957 mencabut UU Darurat No. 2 Tahun 1957 dan menegaskan Gowa sebagai Daerah Tingkat II yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk pelaksanaannya dikeluarkanlah SK Mendagri No. U.P/7/2/24 tanggal 6 Pebruari 1957 mengangkat Andi Ijo Karaeng Lalolang sebagai Kepala Daerah yang memimpin 12 (dua belas) Daerah bawahan Distrik yang dibagi dalam 4 (empat) lingkungan kerja pemerintahan yang disebut koordinator. Pada tahun 1960 berdasarkan kebijakan Pemerintah Pusat, di seluruh Wilayah Republik Indonesia diadakan Reorganisasi Distrik menjadi Kecamatan. 137 Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa yang terdiri dari 12 Distrik diubah menjadi 8 Kecamatan. Saat ini Kabupaten Gowa dipimpin oleh H. Ichsan Yasin Limpo, SH sebagai Bupati dan H. Abd. Razak Badjidu, S.Sos sebagai Wakil Bupati. Kepala Daerah ini merupakan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung tahun 2010. Sementara itu, institusi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Gowa hasil pemillu 2009 memiliki anggota berjumlah 45 orang. Tabel 13. Struktur Pemerintahan Kabupaten Gowa Saat Ini PEMERINTAHAN KABUPATEN GOWA BUPATI / WAKIL BUPATI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ORGANISASI PERANGKAT DAERAH 1. Sekretariat Daerah 2. Sekretariat DPRD 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Dinas Pendidikan, Pemuda & Olah Raga Dinas Kesehatan Dinas Sosial, Tenaga Kerja & Transmigrasi Dinas Kependudukan & Catatan Sipil Dinas Perhubungan, Komunikasi & Informatika Dinas Pekerjaan Umum Dinas Koperasi & UMKM Dinas Pengelola Keuangan Daerah Dinas Pertambangan & Energi Dinas Pertanian Dinas Perikanan, Kelautan & Peternakan Dinas Kehutanan & Perkebunan Dinas Pariwisata & Kebudayaan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Dinas Perindustrian dan Perdagangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Badan Pembangunan Daerah Badan Kesatuan Bangsa, Politik & Perlindungan Masyarakat Badan Pemberdayaan Masyarakat & Pemerintahan Desa Badan Keluarga Berencana & Pemberdayaan Perempuan Badan Kepegawaian, Pendidikan & Pelatihan Inspektorat Kabupaten 1. 2. 3. 4. 5. Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kantor Pelayanan Terpadu Kantor Perpustakaan, Arsip dan PDE Kantor Ketahanan Pangan Kantor Lingkungan Hidup 1. 2. Kecamatan (18 unit) Kelurahan/Desa (167 unit) Sumber: Bagian Humas Sekretariat Daerah, 2011 (www.humasgowa.com) 138 Struktur pemerintahan dan Perangkat Daerah Kabupaten Gowa, sebagaimana dilihat pada Tabel 13 pada halaman sebelumnya adalah struktur pemerintahan Kabupaten Gowa yang diatur dalam tiga jenis peraturan daerah. Ketiga peraturan daerah tersebut yakni: (1) Peraturan Daerah No.6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kabupaten Gowa; (2) Peraturan Daerah No.7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah; dan (3) Peraturan Daerah No.8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Gowa. 3.4. Pengelolaan Urusan Pendidikan di Kabupaten Gowa Dalam menjalankan fungsi mengatur dan mengurus urusan pendidikan di kabupaten Gowa, pemerintahan daerah mengacu pada PP No. 38 Tahun 2007. Pada bagian lampiran peraturan pemerintah tersebut ditetapkan pembagian kewenangan urusan pendidikan berdasarkan 6 sub bidang kewenangan yakni (a) kebijakan, (b) pembiayaan, (c) kurikulum, (d) sarana dan prasaranan, (e) pendidik dan tenaga kependidkan, dan (f) pengendalian mutu pendidikan. Pada masing-masing pemerintahan sub daerah bidang tersebut provinsi dan diurai lagi kewenangan menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten. Seluruh pemerintahan daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang seragam, termasuk pemerintahan daerah Kabupaten Gowa. Salah satu prioritas kebijakan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa adalah kebijakan dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. Prioritas kebijakan tersebut tercermin dari perhatian yang cukup besar terhadap dunia pendidikan, seperti yang diurai pada bagian ini. Indikator keberhasilan pelaksanaan program wajib belajar dasar 9 tahun di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan bisa dilihat 139 dari animo masyarakat yang menyekolahkan anaknya mulai sekolah dasar hingga sekolah lanjutan pertama tampak cukup tinggi. Bahkan, empat tahun berturut kegiatan penerimaan siswa baru (PSB) baik di SD maupun SMP termasuk Sekolah Lanjutan Atas atau sederajat, pihak pengelola satuan pendidikan tertentu kelihatan kesulitan menampung calon siswa baru yang jumlah pendaftaran cukup membludak. Perhatian Pemerintah Kabupaten Gowa dalam mewujudkan penuntasan program wajib belajar dasar 9 tahun, sudah menjadi komitmen awal, bahkan menjadi skala prioritas dalam bidang pendidikan. Buktinya, selain menetapkan anggaran pendidikan di atas 20 persen dari keseluruhan APBD Kabupaten Gowa, juga berhasil membuat sejumlah regulasi berupa Perda No.4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis dan Perda No 10 Tahun 2010 tentang Sanksi Hukum bagi Orang Tua yang tak menyekolahkan anaknya. Bahkan, dalam APBD 2009 alokasi anggaran untuk program wajib belajar 9 tahun sebesar lebih Rp 6 milyar, dibanding pada APBD 2010 turun drastis menjadi lebih Rp 1,3 milyar. Dinamika perubahan alokasi anggaran khusus penuntasan wajib belajar 9 tahun pada APBD 2010, bukan berarti mengalami suatu masalah kebijakan nasional tersebut, melainkan banyak program pendidikan lainnya yang harus diberi pos anggaran. Misalnya, alokasi anggaran pendidikan gratis pada APBD 2011 ini mencapai sebesar Rp 16.929.780.900. Pada tahun sama, juga diselenggarakan Punggawa Demba Education Program (inovasi metode pembelajaran) dengan alokasi anggaran Rp 8.000.000.000 serta program pendidikan menengah sebesar Rp 2.171.259.912. Termasuk program peningkatan mutu dan tenaga kependidikan sebesar Rp 7.830.216.250, Program Pendidikan Non Formal sebesar Rp 3. 828.146.400 serta Program PAUD sebesar Rp 4. 032.050.000,-. 140 Empat APBD Gowa sebelumnya, yakni tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008, tidak ditemukan besar alokasi anggaran khusus penuntasan program wajib belajar 9 tahun dalam bundel prihal Laoran Pertanggung Jawaban Akhir Bupati/Wakil Bupati Gowa masa priode 2005-2010. Tapi, dalam kurun empat tahun terakhir itu, juga dilaksanakan program yang tidak kalah pentingnya, yakni program kemampuan baca tulis Buta Aksara Al-Quran, Pembangunan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) di 16 kecamatan, dan Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang muaranya adalah bentuk lain dari penuntasan wajib belajr dasar 9 tahun. Bahkan, dua program unggulan Pemerintah Kabupaten Gowa yang disebutkan terakhir ini, juga tak tercatat besar alokasi angggaran APBD Kabupaten Gowa. pertanggungjawaban Sehingga, akhir banyak pihak menilai bahwa laporan Bupati/Wakil Bupati Gowa, banyak program disebutkan dalam bidang pendidikan, tapi pelaksanaannya di lapangan cenderung dikerjakan asal jadi, malah hanya rekayasa belaka. Berdasarkan analisis latar sosial penelitian pada bagian ini memberi gambaran bahwa kajian tentang inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa akan menjadi cukup menarik, karena didukung oleh latar sosial yang demikian. Latar sosial dengan struktur daerah yang masih agraris, rural, struktur pemerintahan yang memiliki sejarah panjang mulai pemerintahan tradisional sampai pemerintahan modern saat ini, akan menjadi fakta yang mendukung ataupun menghambat penyelenggaraan inovasi pemerintahan daerah. Sehingga penelitian ini mengandung arti penting untuk dilakukan.