BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Seksual Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Dewi, 2012). Menurut Piaget dalam Hanifah (2013), secara psikologis masa remaja adalah masa individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada tingkatan yang sama. Masa remaja ini merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Monks dalam Khairunnisa (2013) menyatakan masa remaja terdiri dari masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun. Menurut WHO yang merupakan badan PBB untuk kesehatan dunia, batasan usia remaja adalah 12-24 tahun. Sementara menurut BKKBN, batasan usia remaja adalah 10-21 tahun. Dalam penelitian survei perilaku berisiko yang berdampak pada kesehatan reproduksi remaja tahun 2002, remaja yang tercakup adalah mereka yang berusia 10-24 tahun (Maryatun, 2013). Jadi dapat ditarik kesimpulan, remaja merupakan masa transisi dari masa kanakkanak ke dewasa yang berlangsung antara 10-24 tahun. Pada masa tersebut, 11 12 remaja sudah mulai berintegrasi dengan masyarakat dan sudah mulai mengalami pubertas. 2.1.2 Perkembangan Fisik Remaja Kementrian Kesehatan (2003) dalam Sekarrini (2012) menyatakan bahwa pada remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat, organ reproduksi mencapai kematangan ditandai dengan tanda seksual primer dan tanda seksual sekunder. a. Tanda Seksual Primer Dalam Sekarrini (2012) disebutkan bahwa tanda seksual primer pada remaja adalah: 1) Remaja laki-laki Tanda seksual primer pada remaja laki-laki adalah ketika sistem reproduksinya mulai berfungsi yaitu ketika sudah mengalami mimpi basah. Mimpi basah biasanya terjadi pada remaja laki-laki usia antara 1015 tahun (Sekarrini, 2012). 2) Remaja perempuan Tanda seksual primer yang dialami pada remaja perempuan adalah menstruasi (menarche) (Dewi, 2012). Menstruasi menurut Stright dalam Mesarini (2013) adalah peluruhan lapisan spons endometrium dengan pendarahan yang berasal dari pembuluh darah yang robek. Akan terjadi 13 peristiwa keluarnya cairan darah dari alat kelamin perempuan akibat peluruhan lapisan dinding rahim yang banyak mengandung darah. b. Tanda Seksual Sekunder 1) Pada laki-laki tanda seksual sekunder yang terjadi yaitu perubahan suara, tumbuhnya jakun, testis membesar, terjadi ejakulasi (keluarnya air mani), tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot), tumbuh rambut di ketiak dan sekitar kemaluan (Sarwono, 2010). Selanjutnya Muss dalam Sarwono (2010) juga mengatakan bahwa hormon gonadotropic mulai ada dalam air seni, hormon ini bertanggung jawab sebagian pada pertumbuhan tanda-tanda seksual dan bertanggung jawab penuh dalam produksi sel telur dan spermatozoa. 2) Pada perempuan tanda seksual sekunder yang terjadi adalah pelebaran pinggul, pertumbuhan payudara, tumbuh rambut di sekitar kemaluan dan ketiak, terjadi menstruasi pertama kali (menarche), serta pertumbuhan rahim dan vagina (Sarwono, 2010). 2.1.3 Perkembangan Psikologis Remaja Peningkatan emosional pada remaja awal terjadi dengan cepat dikenal sebagai masa storm and stress yang artinya remaja bisa merasakan sangat sedih kemudian bisa dengan cepat kembali bahagia atau sering disebut juga emosional yang bergejolak dan kurang stabil. Peningkatan emosional ini akibat dari perubahan fisik terutama perubahan hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam 14 kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya (Sekarrini, 2012). Selain keadaan emosi yang tidak stabil, remaja memiliki kecenderungan untuk menyendiri, mulai memperhatikan penampilan, dan meningkatnya rasa ingin tahu remaja tentang seksualitas (Dewi, 2012). Kauma dalam Sekarrini (2012) juga menambahkan akibat masih labilnya emosi remaja, ada beberapa kecenderungan yang dialami remaja yaitu cenderung untuk meniru, mencari perhatian, mulai tertarik pada lawan jenis, mencari idola, dan selalu ingin mencoba hal-hal baru. Menurut Sarwono (2010) masa remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologis, kedewasaan bukan hanya tercapainya usia tertentu seperti dalam ilmu hukum misalnya. Kedewasaan jika dilihat secara psikologis berarti suatu keadaan jika sudah ada ciri-ciri psikologis tertentu pada seseorang. Ciri-ciri psikologis itu menurut G.W. Allport dalam Sarwono (2010) adalah: a. Pemekaran diri sendiri (extension of the self), ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya sendiri. Perasaan egoisme (mementingkan diri sendiri) berkurang, justru tumbuh rasa ikut memiliki. Salah satu tanda yang khas adalah munculnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya. b. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivication) ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight) dan kemampuan untuk menangkap humor (sense of humor) termasuk yang menjadikan dirinya sendiri 15 sebagai sasaran. Tidak marah jika dikritik, dan jika saat dibutuhkan bisa melepaskan diri dari dirinya sendiri dan meninjau dirinya sendiri sebagai orang luar. c. Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life) Orang yang sudah dewasa paham mengenai posisi dan kedudukannya dengan orang lain di sekitarnya. Tahu akan kedudukannya di masyarakat dan paham bagaimana seharusnya bertingkah laku dalam kedudukan tersebut serta akan berusaha mencari jalan sendiri menuju sasaran yang ditetapkan sendiri. Jika sudah seperti ini maka tidak lagi mudah terpengaruh dan pendapat serta sikapnya cukup jelas dan tegas. Ciri-ciri yang telah disebutkan di atas biasanya muncul dimulai sejak secara fisik tumbuh tanda seksual sekunder pada remaja. 2.1.4 Tahapan Remaja Dalam proses tumbuh kembang remaja menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, menurut Soetjiningsih (2004) remaja akan melewati tahapan berikut: a. Masa Remaja Awal (Early Adolescence) usia 11-13 tahun Pada masa ini biasanya remaja perempuan lebih cepat matang dibandingkan laki-laki, lebih memilih melakukan kegiatan diluar rumah dengan teman yang berjenis kelamin sama, mulai menyukai kesendirian, 16 malu-malu, bereksperimen dengan dirinya sendiri, dan cemas tentang normal atau tidak penampilan tubuhnya (Sekarrini, 2012). b. Masa Remaja Pertengahan (Middle Adolescence) usia 14-16 tahun Pada masa ini remaja mulai peduli terhadap daya tarik seksual, mulai tertarik pada lawan jenis, dan mulai memiliki perasaan cemburu, cinta, dan nafsu (Sekarrini, 2012). c. Masa Remaja Lanjut (Late Adolescence) usia 17-21 tahun Pada masa ini remaja mulai berpikir untuk membina hubungan yang serius, identitas seksualnya semakin jelas dan mampu mengembangkan cinta dan kasih sayang (Sekarrini 2012). Pada masa ini sikap remaja mulai jelas tentang pandangan hidupnya dan cenderung menyadari realita kehidupan, serta mulai nampak bakat dan minatnya (Dewi, 2012). 2.1.5 Perilaku Seksual Perilaku seksual adalah segala bentuk tingkah laku yang dipengaruhi oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya. Perilaku seksual ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama dengan objek bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2010). Masa remaja merupakan suatu fase saat anak sudah mengalami pubertas, karena pubertas inilah akan muncul berbagai masalah yang dapat membahayakan 17 keselamatan jiwa dan tubuhnya. Remaja menganggap dirinya sudah dewasa dan karena pengaruh kedewasaannya itulah mendorong nafsu mereka dan timbul rasa ingin mencoba-coba untuk melakukan perilaku seksual berisiko (Winarno, 1994). Menurut Irawati dalam Ririn, dkk (2011) remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual berisiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu, dimulai dari berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan memegang atau meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama (sexual intercourse). Petting adalah upaya untuk membangkitkan dorongan seksual antara jenis kelamin tanpa melakukan tindakan intercourse. Oral sex merupakan aktivitas menikmati organ seksual melalui mulut, dan senggama merupakan tindakan berhubungan seksual dengan posisi penis berada di dalam vagina (Chronika, 2011). Perilaku seksual pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan remaja itu sendiri. 2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja saat ini. Menurut Soetjiningsih (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan seksual yang pertama dialami oleh remaja, yaitu: 1. Pengaruh pubertas Masa pubertas ini adalah suatu fase pertumbuhan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual remaja yang sangat pesat (Sekarrini, 2012). Remaja mulai mengerti tentang daya tarik seksual, terjadi peningkatan 18 rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon seksual, sehingga mereka merasa sudah saatnya untuk melakukan aktivitas seksual karena merasa sudah matang secara fisik (Dewi, 2012). Saat ini mereka tidak memahami tentang apa yang akan dialaminya. Pubertas mempengaruhi gairah seksual remaja yang pada fase ini berada pada puncaknya, sehingga remaja mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan kesempatan untuk melakukan perilaku seksual tanpa memikirkan dampak apa yang akan ditimbulkan, hal inilah yang memicu remaja melakukan perilaku seksual berisiko (Soetjiningsih, 2004). 2. Frekuensi pertemuan dengan pacar Frekuensi pertemuan dengan pacar merupakan lamanya waktu yang dihabiskan berdua untuk bertemu dan berpacaran. Waktu pertemuan ini dihabiskan tidak hanya dengan mengobrol saja karena merasa ingin meningkatkan kualitas pertemuan menjadi sangat berarti maka muncul keinginan untuk melakukan perilaku seksual (Sekarrini, 2012). Waktu pertemuan yang terlalu sedikit ataupun terlalu lama keduanya memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Jika terlalu singkat maka waktu pertemuan itu akan dimanfaatkan seefektif mungkin untuk saling melepas rindu, sedangkan jika terlalu lama akan memberikan kesempatan untuk berusaha mencoba-coba hal baru agar pacarannya tidak membosankan (Nursal, 2008). 19 3. Kontrol sosial yang kurang tepat Menurut Roucek dalam Hanifah (2013) kontrol sosial merupakan segala proses baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan, bersifat mendidik, mengajak, bahkan memaksa individu agar mematuhi kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Kontrol sosial orang tua pada anak sangat penting bagi remaja dalam mengarahkan, memberikan nasihat, memberikan pujian atau hukuman atas perilaku remaja itu sendiri. Remaja membutuhkan kontrol sosial dari orang tua untuk mengarahkan perilaku mereka. Tujuannya agar remaja dapat melewati masa transisi sesuai dengan harapan dan norma yang berlaku. Kontrol sosial dari orang tua akan berfungsi sebagai sistem hukum dalam keluarga yang bertujuan sebagai pengendalian aktivitas dan perilaku remaja (Hanifah, 2013). Saat ini orang tua cenderung terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga kontrol dari orang tua pada anak remajanya menjadi berkurang. Sehingga anak tidak mampu menentukan hal mana yang memang pantas dilakukan dan yang harus dihindari. Jika kontrol sosial orang tua pada remaja tidak tepat, maka hal ini memicu remaja bisa melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan orang tuanya, salah satunya adalah perilaku seksual berisiko (Soetjiningsih, 2004). 4. Pola asuh orang tua Menurut Soetjiningsih (2004) pola asuh orang tua adalah suatu model atau cara orang tua mendidik anak yang merupakan kewajiban dari setiap orang tua 20 dalam usaha membentuk pribadi dan karakter anak yang sesuai dengan harapan orang tua dan masyarakat pada umumnya. Melaksanakan tugas membimbing, memelihara, dan mendidik remaja tidaklah sama dengan mengasuh anak ketika masih kecil karena remaja pada masa ini merasa dirinya sudah dewasa. Orang tua sebaiknya memberikan bimbingan dengan komunikasi terbuka berkaitan dengan kepentingan hidup remaja agar tumbuh dewasa dengan melewati masa remaja terhindar dari perilaku yang menyimpang (Sekarrini, 2012). Pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja. Pola asuh dapat digunakan sebagai salah satu faktor untuk memprediksi penyebab perilaku menyimpang yang dilakukan remaja, salah satunya perilaku seksual (Sekarrini, 2012). 5. Status sosial ekonomi rendah Menurut Santrock dalam Barus (2012) gangguan perilaku pada remaja lebih banyak terjadi pada remaja golongon sosial ekonomi yang lebih rendah. Tuntutan kehidupan yang keras menjadikan remaja kelas sosial ekonomi rendah menjadi agresif. Menurut Turner dan Helms dalam Dewi (2012) orang tua yang berekonomi lemah cenderung kurang konsisten dalam mengembangkan disiplin dan kasih sayang pada remaja. Orang tua cenderung mencurahkan waktu dan perhatiannya pada pekerjaan mereka agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarga, namun di sisi lain hal ini menyebabkan remaja tidak disiplin 21 sehingga mudah terpengaruh dengan hal-hal negatif dari luar diri, salah satunya adalah perilaku seksual bebas. Remaja dengan status sosial ekonomi rendah dengan fasilitas berkecukupan lebih sering pergi ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan adanya kesempatan melakukan hubungan seksual (Soetjiningsih, 2004). 6. Pengaruh teman sebaya Berdasarkan teori perkembangan psikologi remaja dinyatakan dalam proses pendewasaan pengaruh keluarga telah bergeser menjadi teman sebaya. Hal ini dibuktikan dengan besarnya pengaruh negatif secara langsung dari teman sebaya terhadap perilaku berisiko salah satunya perilaku seksual pada remaja (Suwarni, 2009). Peran teman sebaya dalam pergaulan memang sangatlah menonjol. Hal ini sejalan dengan meningkatnya minat individu dalam persahabatan serta keikutsertaannya dalam kelompok. Remaja akan memperoleh berbagai pengalaman dari pergaulannya tersebut, salah satunya adalah pengalaman berhubungan dengan lawan jenis maupun hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Mereka merasa bahwa membahas soal seks dan perilaku seksual bersama teman-teman sebayanya akan jauh lebih menyenangkan dibandingkan harus bercerita dengan orang tua (Zulhaini, 2011). Jika pengaruh negatif dari teman sangat kuat dan benteng perlawanan dalam diri remaja tidak kuat maka mereka akan terpengaruh karena remaja ingin 22 diterima oleh kelompoknya walaupun hal itu bertentangan dengan ajaran orang tuanya (Nursal, 2008). 7. Penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol Remaja memiliki ciri-ciri ingin tahu, ingin mencoba, dan cenderung melawan otoritas dalam rangka mencari identitas diri merupakan penyebab remaja menggunakan obat-obatan terlarang (Tambunan, 2008). Hurlock dalam Tambunan (2008) juga menambahkan bahwa pada masa ini remaja akan memusatkan dirinya pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, contohnya merokok, penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol, serta perilaku seksual. Secara sosial penggunaan obat-obatan dan alkohol ini dapat menyebabkan perpecahan di dalam kelompok sosial terdekat seperti keluarga, sehingga muncul konflik dengan orang tua. Saat konflik dengan orang tua maka situasinya menjadi tidak kondusif hubungan antara anak dan orang tua tidak dapat terjalin dengan baik. Remaja yang menggunakan obat-obatan terlarang cenderung akan menikmati dunianya sendiri di bawah pengaruh obat-obatan dan alkohol tersebut, sehingga remaja tidak sadar diri dan kontrol dirinya menjadi kurang sehingga mudah terjerumus pada hal-hal yang negatif. Dalam pengaruh obat-obatan dan alkohol remaja tidak mampu menahan hawa nafsunya sehingga akan memicu terjadinya perilaku seksual yang berisiko (Widodo, 2007). 23 8. Penyebaran informasi melalui media massa Media massa merupakan sahabat bagi remaja di zaman globalisasi ini, mereka dapat memperoleh informasi apapun dari media massa. Namun remaja belum mampu memilah aktivitas dan informasi yang bermanfaat yang diperoleh dari media massa. Mereka cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan sosial tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu efek positif atau negatif yang akan ditimbulkan (Budhyati, 2012). Maraknya media massa seperti internet, video porno, dan buku-buku yang berisi cerita porno yang memberikan akses untuk mempermudah masyarakat khususnya remaja memperoleh informasi tentang perilaku seksual sehingga mendorong para remaja untuk melakukan perilaku seksual pranikah (Sarwono, 2010). 2.1.7 Perilaku Seksual Remaja yang Sehat secara Fisik Menurut Achjar dalam Wedani (2010), perilaku seksual remaja yang sehat secara fisik, yaitu: a. Tidak tertular penyakit seksual dan tidak merusak kesehatan orang lain Dampak hubungan seksual sebelum menikah apalagi jika dilakukan dengan berganti-ganti pasangan akan menularkan penyakit seksual seperti Human Imunne Deficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), infeksi saluran reproduksi. Remaja tidak tahu pasangannya pernah berhubungan dengan siapa saja, pasangannya tertular HIV atau tidak. 24 Infeksi saluran reproduksi terjadi pada remaja yang sudah melakukan hubungan seksual aktif di bawah umur 20 tahun sangat tinggi dan bahkan dapat berkembang menjadi suatu keganasan yaitu kanker serviks. Pada remaja yang tidak pernah berhubungan seksual (intercourse) akan terhindar dari penyakit menular seksual (Wedani, 2010). b. Tidak menyebabkan kehamilan sebelum menikah Remaja yang tidak pernah berhubungan seksual, tidak akan terjadi kehamilan sebelum menikah. Hamil merupakan konsekuensi dari hubungan seksual yang dilakukan, jika terjadi kehamilan sebelum menikah akan menimbulkan tekanan bagi individu yang hamil, baik dari dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Untuk menghilangkan perasaan tertekan akibat hamil di luar nikah maka remaja mengambil langkah aborsi dengan segala risikonya, seperti perdarahan, kemandulan bahkan kematian (Soetjiningsih, 2004). c. Menguasai tentang informasi kesehatan reproduksi remaja Kesehatan reproduksi menurut WHO tahun 1994 dalam Wedani (2010) adalah keadaan sehat yang menyeluruh meliputi aspek fisik, mental serta sosial dan tidak sekedar bebas penyakit atau gangguan yang berkaitan dengan sistem reproduksi. Remaja mempunyai keinginan untuk mengetahui dan memahami perubahanperubahan yang terjadi pada dirinya. Diharapkan agar tidak sampai remaja mencari informasi tentang kesehatan reproduksi dan tentang seksualitas dari orang lain dengan sumber-sumber yang tidak jelas bahkan keliru. Maka 25 pemberian informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja termasuk masalah kesehatan reproduksi diharapkan berawal dari keluarga. Dengan pola asuh yang baik, komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, maka remaja akan menguasai kesehatan reproduksi dan akan terhindar dari perilaku seksual pranikah (Dewi, 2012). d. Mampu mengambil keputusan dan mempertimbangkan segala risiko dari keputusan yang diambil Orang tua selalu memperhatikan keinginan dan pendapat remaja, kemudian mendiskusikannya untuk mengambil keputusan terakhir. Bimbingan orang tua yang sifatnya mengarahkan agar remaja mengerti dengan baik tentang hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan sebaiknya harus tetap ada. Diskusi dan bimbingan akan membantu perkembangan dan pertumbuhan remaja ke arah yang lebih baik, karena remaja diberi kepercayaan dan harapan agar mereka dapat bertanggung jawab dan mempertimbangkan segala risiko dari keputusan atau pilihan yang diambil (Wedani, 2010). e. Mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai sosial dan norma yang ada di sekitarnya Dalam perkembangannya, remaja mengambil nilai sosial, nilai moral dan taat pada norma dari orang tua, agama, budaya, dan masyarakat umum dalam mengendalikan perilaku dan emosinya, sehingga pada akhir masa remaja terbentuklah konsep moral yang mantap, pembentukan identitas dan citra diri. 26 Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan kontrol diri dari individu (Khairunnisa, 2013). 2.1.8 Aktivitas Seksual yang Digolongkan ke dalam Perilaku Seksual Tidak Sehat Menurut Soetjiningsih (2004), aktifitas seksual yang sering dijumpai pada remaja dan termasuk perilaku seksual tidak sehat yaitu: 1. Masturbasi/Onani Masturbasi (pada perempuan) atau onani (pada laki-laki) kegiatan manipulasi terhadap alat genitalia dalam rangka menyalurkan hasrat seksual untuk pemenuhan kenikmatan yang seringkali menimbulkan goncangan pribadi dan emosi. Masturbasi atau onani juga dikatakan suatu kegiatan menyentuh atau merangsang bagian tubuh sendiri dengan atau tanpa menggunakan alat khusus pada bagian tubuh yang sensitif seperti puting payudara, paha bagian dalam dan alat kelamin dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan atau kenikmatan seksual (Dewi, 2012). Soetjiningsih (2004) menyatakan masturbasi atau onani merupakan salah satu aktifitas seksual yang paling sering dilakukan oleh remaja. Sex Information and Education Council of the United States (SIECUS) melaporkan bahwa remaja laki-laki usia 16 tahun yang melakukan onani ada 88% dan remaja perempuan yang melakukan masturbasi ada 62%. Frekuensinya semakin meningkat sampai pada masa sesudah pubertas. 27 2. Anal Seks Anal seks adalah hubungan seksual yang dilakukan dengan memasukkan penis ke dalam anus atau anal. Aktivitas seksual seperti ini sangat berbahaya karena anus mengandung banyak bakteri penyebab penyakit (Wedani, 2010). Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1995 terhadap remaja yang berusia 15-19 tahun di Amerika dalam Soetjiningsih (2004) sebesar 11% remaja sering mengalami seks anal. 3. Hubungan Seksual Dalam melakukan hubungan seksual, laki-laki akan mencapai orgasme ditandai dengan keluarnya sperma atau yang disebut ejakulasi. Masuknya penis ke dalam vagina, bila terjadi ejakulasi dengan posisi penis berada dalam vagina memudahkan pertemuan sel telur dengan sperma yang menyebabkan terjadinya pembuahan dan kehamilan. Intercouse dikatakan perilaku seksual tidak sehat jika dilakukan tidak dengan pasangan sah dan jika dilakukan dengan berganti-ganti pasangan (Wedani, 2010). Remaja di Amerika Serikat dalam Soetjingsih (2004) tidak sedikit yang melakukan hubungan seksual, dan jumlahnya terjadi peningkatan satu persen setiap tahun. 40% dari remaja perempuan hamil sebelum tamat sekolah menengah, 50% diantaranya melakukan abortus, dan sisanya melahirkan bayinya. 28 2.1.9 Dampak Perilaku Seksual Pranikah Remaja Menurut Sarwono (2010) perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja, diantaranya sebagai berikut: a. Dampak Psikologis Dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah, dan berdosa. b. Dampak Fisiologis Dampak fisiologis dari perilaku seksual pranikah tersebut diantaranya dapat menimbulkan kehamilan tidak diinginkan dan aborsi. c. Dampak Sosial Dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual yang dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut. d. Dampak Fisik Dampak fisik lainnya adalah berkembangnya penyakit menular seksual di kalangan remaja, dengan frekuensi penderita infeksi menular seksual (IMS) yang tertinggi antara usia 15-24 tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa sakit kronis serta meningkatkan risiko terkena IMS dan HIV/AIDS. 29 Ada juga pendapat lain yang dikemukakan oleh Achjar dalam Wedani (2010), dampak aktifitas dan perilaku seksual remaja, yaitu: 1) Aktifitas seksual berupa sentuhan bibir dengan bibir. Dampak yang ditimbulkan yaitu jantung menjadi lebih berdebar-debar, dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat yang membangkitkan dorongan seksual hingga tidak terkendali. 2) Berpegangan tangan Aktivitas seksual ini memang tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya (hingga kepuasan seksual dapat dicapai). Berpegangan tangan juga merupakan bentuk perasaan sayang berupa sentuhan. 3) Aktivitas seksual berupa sentuhan pipi dengan pipi, pipi dengan bibir Dampak yang ditimbulkan adalah imajinasi atau fantasi seksual menjadi berkembang, menimbulkan perasaan sayang jika diberikan pada waktu tertentu dan bersifat sekilas, dan menimbulkan keinginan untuk melanjutkan bentuk aktivitas seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati. Dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual tidak sehat secara fisik menurut Achjar dalam Wedani (2010) meliputi aktivitas seksual berupa sentuhan bibir dengan bibir, sedangkan perilaku seksual sehat secara fisik meliputi berpegangan tangan, dan aktivitas seksual berupa sentuhan pipi dengan pipi, pipi dengan bibir. 30 2.2 Pola Asuh Orang Tua 2.2.1 Definisi Pola Asuh Orang Tua Shochib dalam Najah (2007) mengatakan, pola asuh orang tua pada dasarnya tercipta dari adanya interaksi antara orang tua dan anak dalam kehidupan seharihari yang berevolusi sepanjang waktu dan relatif konsisten, dan orang tua dituntut untuk memberi contoh yang dijadikan panutan bagi anaknya. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia dalam Sekarrini (2012) pola asuh merupakan bentuk atau struktur, sistem dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing anak. Sedangkan pola asuh menurut Soetjiningsih (2004) adalah suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai dengan harapan orang tua dan masyarakat pada umumnya. Kohn dalam Sekarrini (2012) mengatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya. Sikap ini meliputi cara orang tua memberikan aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah sistem atau cara orang tua mendidik, merawat, menjaga dan membimbing anak, yang terbentuk dari interaksi anak dan orang tua setiap hari dalam usaha membentuk pribadi anak sesuai yang diharapkan oleh orang tua. 31 2.2.2 Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua Baumrind dalam Putri (2012) menyatakan bahwa pola asuh orang tua dibedakan menjadi 4 bagian diantaranya pola asuh otoriter yaitu orang tua cenderung menetapkan standar mutlak yang harus dituruti, pola asuh demokratis yaitu orang tua lebih bersikap rasional dan mendasari tindakannya dengan pemikiran, pola asuh permisif yaitu orang tua memberi pengawasan yang lebih longgar dan memberikan kesempatan anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya, dan pola asuh tidak terlibat yaitu orang tua tidak memberi pengarahan, pengaturan dan pembatasan terhadap sikap yang dilakukan anak secara penuh. Menurut Baumrind dalam Putri (2012), pola asuh diklasifikasikan menjadi empat yaitu: a. Pola Asuh Otoriter Menurut Kartono dalam Setianingsih (2007) ada beberapa pendekatan yang diikuti dalam menjalin hubungan dan mendidik anak salah satu diantaranya adalah sikap dan pendidikan otoriter. Pola asuh otoriter ditandai dengan sikap orang tua yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan untuk anak mereka. Orang tua bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orang tuanya. Baumrind dalam Putri (2012) menyebutkan studi-studi menunjukkan bahwa anak yang berasal dari orang tua yang otoriter, kurang mampu untuk berpikir dan bertindak secara mandiri. Orang tua yang memiliki pola asuh otoriter memiliki 32 kendali memaksa yang tinggi, ketat dalam menerapkan berbagai aturan, dan tepat dalam menerapkan disiplin, namun memberikan dukungan yang rendah. Orang tua tipe ini tidak mengenal kompromi dalam komunikasi, biasanya bersifat satu arah dan orang tua tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. Disiplin yang ketat ataupun kendali yang memaksakan melemahkan kompetensi sosial anak. Pola asuh ini akan menghasilkan remaja yang suka memberontak atau menjadi individu yang bergantung pada orang tua. Jika remaja yang terbentuk suka memberontak maka akan menimbulkan perilaku agresif. Remaja yang cenderung lebih penurut maka akan menimbulkan sikap bergatung pada orang tuanya (Kopko, 2007). Kartono dalam Setianingsih (2007) juga menyatakan mendidik anak dengan sikap otoriter ini akan menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan sehingga memungkinkan kericuhan di dalam rumah. Metode ini efektif untuk jangka pendek, tetapi metode ini jarang berhasil untuk jangka panjang karena fokusnya adalah pada akibat-akibat perilaku eksternal daripada nilai-nilai yang diresapi. b. Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis menurut Hurlock dalam Setianingsih (2007) adalah teknik atau cara mendidik dan membimbing anak dengan bersikap terbuka terhadap tuntutan dan pendapat yang dikemukakan anak, kemudian orang tua dan anak mendiskusikan hal tersebut bersama-sama. Pola asuh ini memfokuskan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orang tua memberikan peraturan serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan jika menaati peraturan yang sudah disepakati bersama antara anak dan orang tua. 33 Baumrind dalam Putri (2012) menerangkan bahwa keterampilan mendidik anak dengan menggunakan pola asuh yang demokratis akan menciptakan perilaku bertanggung jawab dan kompeten dalam diri anak. Struktur yang cukup, bimbingan yang bijaksana, aturan-aturan yang dibuat secara jelas, batas-batas yang tegas, konsekuensi yang logis, dan arahan akan memberdayakan anak untuk kompetensi, arah diri, dan tanggung jawab. Orang tua dalam pola asuh ini bersikap rasional selalu mendasari tindakannya dengan landasan pemikiran. Orang tua juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya pada anak dengan cara yang halus. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, dan mempunyai hubungan baik dengan temannya. c. Pola Asuh Permisif Keterampilan membesarkan anak dengan pola permisif dinyatakan oleh Baumrind dalam Putri (2012) didasarkan pada anggapan bahwa seorang anak dilahirkan seperti sebuah kuntum bunga, yang hanya memerlukan kasih sayang yang lembut dan dukungan untuk mekar menjadi setangkai bunga yang indah. Anak-anak yang hidup dalam filosofi ini cenderung untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dan segala pekerjaan dikerjakan untuk mereka. Menurut Petranto dalam Marza (2010) pola asuh permisif ini cenderung merupakan pola asuh yang memanjakan anak, biasanya orang tua memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup dari orang tua, dan cenderung 34 tidak akan menegur atau memperingatkan anak apabila sedang dalam bahaya, selain itu orang tua juga memberikan bimbingan yang sangat sedikit pada anaknya. Baumrind dalam Putri (2012) menemukan bahwa bimbingan yang tidak cukup membuat anak-anak tidak tahu apa yang harus dilakukan, mereka mengalami kesulitan dalam memahami aturan untuk diri mereka sendiri dan harus belajar cara yang sulit melalui cara mencoba-coba (trial and error). Akan tetapi, cara mencoba-coba adalah sebuah jalan yang sulit untuk dipelajari karena anak-anak tidak lepas dari kesalahan dalam proses mendefinisikan batasan-batasan. Anak yang dalam pengasuhan orang tua yang permisif merindukan bimbingan orang tua. Pola asuh permisif akan menghasilkan anak yang kesulitan dalam menerapkan kontrol diri dan cenderung egois yang bisa mengganggu perkembangan yang sepantasnya dialami remaja dengan teman sebayanya (Kopko, 2007). d. Pola Asuh Tidak Terlibat Baumrind dalam Putri (2012) menjelaskan pola asuh ini merupakan kegiatan pola asuh yang paling buruk dibandingkan kegiatan pola asuh yang lain. Jenis pola asuh ini tidak memiliki kontrol orang tua sama sekali. Orang tua cenderung menolak keberadaan anak dan tidak memiliki cukup waktu bersama anak karena orang tua sendiri memiliki banyak masalah. Kopko (2007) mengatakan orang tua dengan pola asuh ini mungkin kewalahan dengan keadaan mereka atau karena memang egois yang memikirkan diri sendiri 35 karena sedang dalam keadaan lelah, stres, atau frustasi. Sehingga mereka tidak hangat dengan anaknya dan tidak memberikan tuntutan apapun kepada anaknya. Mereka memberikan waktu yang sangat minimal untuk berinteraksi dengan anaknya, biasanya orang tua dengan pola asuh ini merupakan orang tua yang lalai. Orang tua merespon anak dengan cara memenuhi kebutuhan anak berupa makanan atau mainan, namun tidak berusaha ke hal-hal yang bersifat jangka panjang, seperti aturan pekerjaan rumah dan standar tingkah laku. Anak dari kegiatan pola asuh seperti ini cenderung terbatas secara akademis dan sosial. Penulis berkesimpulan membedakan empat macam kegiatan pola asuh, yaitu pola asuh otoriter yaitu orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak; pola asuh demokratis adalah orang tua memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak; pola asuh permisif merupakan pola asuh orang tua yang cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali; dan pola asuh tidak terlibat merupakan pola asuh orang tua yang sama sekali tidak mengontrol anakanaknya. Dari keempat macam pola asuh di atas, pada dasarnya pola asuh orang tua dikelompokkan menjadi pola asuh positif dan pola asuh negatif (Wedani, 2010). Menurut Zagata (2015) pola asuh orang tua yang positif ketika menggabungkan dukungan, cinta, kasih sayang, dan disiplin menjadi pola mendidik anak yang disesuaikan dengan usia anak dan kepribadian mereka. Selain itu menurut Petranto dalam Aguma (2013) orang tua dengan pola asuh yang positif berarti 36 orang tua mampu bersikap rasional kepada remaja, memberikan kebebasan sekaligus tanggung jawab, komunikasi terbuka dan komunikasi dua arah dan pendekatan bersifat hangat dan kondusif, melibatkan remaja dalam pengambilan keputusan. Sedangkan pola asuh orang tua yang negatif menurut Nauert (2011) ketika orang tua mengungkapkan emosi negatif pada anak mereka, kasar, dan sejenisnya. Pada sebuah studi menunjukkan bahwa anak yang agresif, pemberontak, dan emosinya yang tidak terkontrol memiliki hubungan negatif dengan orang tua terutama ibunya. 2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua Menurut Shochib dalam Setianingsih (2007) dan Suyami (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua adalah sebagai berikut: 1. Sosial Ekonomi Menurut Pikunas dalam Suyami (2009) ada keterkaitan antara status sosial ekonomi dengan pola pengasuhan anak yakni keluarga dengan status sosial ekonomi rendah cenderung lebih keras dalam mengasuh anak dan sering menggunakan hukuman fisik. Hal ini karena keluarga dengan status sosial ekonomi rendah, biasanya lebih mengalami tekanan dalam hal ekonomi sehingga mempengaruhi fungsi keluarga. Sedangkan untuk kelas ekonomi menengah atau sedang lebih cenderung memberikan pengawasan dan perhatiannya sebagai orang tua, dan menerapkan kontrol lebih halus. Keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi akan cenderung lebih memperhatikan 37 perkembangan anaknya dan orang tua berfokus pada pengembangan kreatifitas anak dibanding masalah ekonomi keluarga. 2. Tingkat Pendidikan Menurut Soetjiningsih dalam Suyami (2009) tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam pola asuh perkembangan anak karena dengan pendidikan orang tua yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi terutama yang berhubungan dengan cara pengasuhan anak yang baik, cara menjaga dan mendidik anak. Berbagai penelitian ditemukan bahwa orang tua yang bersikap rasional dan memiliki pandangan mengenai persamaan hak antara orang tua dan anak cenderung berpendidikan tinggi, sedangkan orang tua yang berpendidikan rendah cenderung mendominasi anak dan kurang memahami kebutuhan perkembangan anak (Suyami, 2009). 3. Pengalaman Masa Lalu Menurut Shochib dalam Setianingsih (2007) perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya mencerminkan perlakuan yang mereka terima waktu kecil dahulu. Bila perlakuan yang mereka terima keras dan kejam, maka perlakuan terhadap anak-anaknya juga keras seperti itu. 4. Kepribadian Orang Tua Menurut Shochib dalam Setianingsih (2007) kepribadian orang tua dapat mempengaruhi cara mereka mengasuh anak. Orang tua berkepribadian 38 tertutup dan konservatif cenderung memperlakukan anaknya dengan ketat dan otoriter. 5. Nilai-Nilai yang Dianut Orang Tua Paham equalitarium yang menempatkan kedudukan anak sama dengan orang tua dianut oleh banyak orang tua dengan latar belakang budaya barat. Sedangkan pada budaya timur orang tua cenderung masih menghargai keputusan dan kepatuhan anak (Setianingsih, 2007). Berdasarkan uraian di atas, sebagai acuan dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan keempat pola asuh tersebut, karena tiap pola asuh tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga nanti akan mempengaruhi pembentukan kepribadian anak. Menurut Petranto dalam Wedani (2010), ada beberapa cara pola perilaku orang tua yang dapat diterapkan pada remaja sebagai berikut: 1. Orang tua bersikap rasional kepada remaja, selalu mendasari tindakan pada rasio atau pemikirannya Pola asuh orang tua mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan-batasan dan mengendalikan tindakan mereka berdasarkan alasanalasan tertentu. Orang tua juga memberikan informasi dan alasan tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Jika orang tua tahu bahwa remaja melakukan sesuatu yang salah, orang tua tidak langsung marah, tetapi mendiskusikan bersama bagaimana mengatasi situasi tersebut agar tidak 39 terjadi lagi di kemudian hari. Orang tua dengan pola asuh positif dalam mengontrol anak mereka dan mengarahkan remaja pada hal-hal yang baik, sabar, dan memberikan aturan yang beralasan (Wedani, 2010). 2. Orang tua memberikan kebebasan sekaligus tanggung jawab kepada remaja atas perilakunya Remaja senantiasa mencari dan membutuhkan kesempatan untuk mencoba berdiri sendiri, belajar untuk tidak bergantung kepada orang lain, belajar untuk memecahkan masalah sendiri. Orang tua diharapkan dapat memberikan kebebasan sekaligus tanggung jawab kepada remaja, dapat memberikan kesempatan kepada remaja agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan, belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dengan bertanggung jawab remaja akan belajar untuk tidak mengulangi halhal yang memberikan dampak negatif bagi dirinya (Wedani, 2010). 3. Orang tua menerapkan komunikasi terbuka dan komunikasi dua arah serta pendekatan yang bersifat hangat dan kondusif Menurut Shochib dalam Wedani (2010) komunikasi bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus mau saling mendengarkan pendapat satu sama lain. Komunikasi yang efektif dengan remaja adalah komunikasi dialogis yaitu komunikasi yang dilakukan dengan dialog-dialog yang penuh kehangatan dan keakraban. Peringatan terhadap suatu hal pada remaja sebaiknya disampaikan dengan bijak, asih, dan asuh akan membuat remaja dengan penuh sadar 40 mematuhi orang tuanya. Kepatuhan remaja terhadap kemauan dan peringatan orang tua telah membangun rasa dan kepercayaan diri secara penuh kepada orang tua. 4. Orang tua selalu melibatkan remaja dalam pengambilan keputusan atas dirinya dan orang tua tidak memaksakan kehendak para remaja Shochib dalam Wedani (2010) menyebutkan orang tua selalu memperhatikan keinginan dan pendapat remaja, kemudian mendiskusikannya untuk mengambil keputusan akhir. Bimbingan dari orang tua yang sifatnya mengarahkan agar remaja mengerti dengan baik tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan tetap dibutuhkan. Sehingga remaja juga memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri bila ada peraturan yang tidak dapat diterimanya. Diskusi dan bimbingan akan membantu remaja agar mereka dapat bertanggung jawab dalam hidupnya dan risiko dari keputusan atau pilihan yang diambil. 5. Orang tua menerapkan disiplin pada remaja dan tidak ragu-ragu menegur bila berbuat salah Disiplin diri dibangun dari nilai-nilai moral untuk diinternalisasi oleh remaja sebagai dasar untuk mengarahkan perilakunya. Remaja yang memiliki disiplin diri artinya perilaku remaja berdasarkan nilai moral yang telah ada dalam dirinya tanpa tekanan atau dorongan dari faktor eksternal. Keterkaitan antara pola asuh orang tua dengan remaja berdisiplin diri dimaksudkan sebagai upaya orang tua dalam mendidik dasar-dasar disiplin diri. Untuk mengupayakan hal 41 itu orang tua dituntut untuk memiliki keterampilan dalam menerapkan disiplin (Wedani, 2010). 2.2.4 Aspek-Aspek Pengukuran Pola Asuh Orang Tua Tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan dalam keluarga, tidak tepat bila orang tua selalu menilai tingkah laku anaknya dengan kejengkelan dan kebencian, sebaiknya justru sikap dan tingkah laku orang dewasalah yang sering mengawali kegelisahan pada diri anak. Menurut Timomor dalam Setianingsih (2007) pola asuh orang tua dapat ditunjukkan melalui aspek-aspek: a. Peraturan, penerapan aturan yang harus dipenuhi dalam kegiatan sehari-hari. b. Hukuman, pemberian sanksi terhadap ketentuan atau aturan yang dilanggar. c. Hadiah, pemberian hadiah terhadap kegiatan yang dilakukan anak. d. Perhatian, tingkat kepedulian orang tua terhadap aktivitas dan kehendak anak. e. Tanggapan, cara orang tua menanggapi sesuatu dalam kaitannya dengan aktivitas dan keinginan anak. Baumrind dalam Setianingsih (2007), mengemukakan ada beberapa aspek dalam pola asuh orang tua, yaitu: a. Kontrol, kontrol yang dimaksudkan disini adalah kontrol secara berlebihan. Orang tua berusaha mempengaruhi aktivitas anak secara berlebihan untuk 42 mencapai tujuan, menimbulkan ketergantungan pada anak, anak menjadi agresif, serta meningkatkan aturan orang tua secara ketat. Mussen, dkk dalam Najah (2007) menyatakan pada aspek ini orang tua yang senantiasa menjaga keselamatan anak-anak secara berlebihan (over protection) dan mengambil tindakan-tindakan yang berlebihan agar anaknya terhindar dari segala bahaya. Anak yang tumbuh akan berkembang dengan ciri-ciri sangat tergantung pada orang tuanya dalam bertingkah laku. b. Tuntutan kedewasaan, yaitu menekan kepada anak untuk mencapai suatu tingkat kemampuan secara intelektual, sosial dan emosional tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berdiskusi. Mussen, dkk dalam Najah (2007) menambahkan, dengan memberikan pahit getirnya kehidupan, menghadapi dan mengatasi berbagai masalah anak itu sendiri, orang tua mengharapkan dari pengalaman tersebut anak bisa menjadi dewasa namun anak masih tetap memerlukan campur tangan orang tua untuk mengubah dan mengarahkan proses-proses perkembangan anak dalam usaha mempersiapkan anak untuk menghadapi masa remaja. c. Komunikasi anak dan orang tua, kurangnya komunikasi anak dan orang tua salah satunya orang tua tidak menanyakan bagaimana pendapat dan perasaan anak bila mempunyai persoalan yang harus dipecahkan. Menurut Mussen, dkk dalam Najah (2007) sangat bijaksana jika orang tua menyediakan waktu yang cukup untuk percakapan yang bersifat pribadi antara anak dan orang tua, dan pada kesempatan ini orang tua sebaiknya mendengarkan dan menemukan banyak hal di luar masalah rutin yang dialami anak. 43 d. Kasih sayang, Mussen, dkk dalam Najah (2007) menyatakan meliputi penghargaan dan pujian terhadap prestasi anak, dapat disampaikan melalui gerakan, sentuhan, belaian, senyuman, mimik wajah, dan ungkapan kata. Hal ini akan menambah keakraban dan keharmonisan hubungan antara anak dan orang tua. Namun dalam aspek ini, yang dimaksud adalah kurangnya kasih sayang dari orang tua, menurut Baumrind dalam Setianingsih (2007) yaitu tidak adanya kehangatan, cinta, perawatan dan perasaan kasih, serta keterlibatan yang meliputi penghargaan dan pujian terhadap prestasi anak. Kesimpangsiuran hubungan orang tua dan anak ini sebagai suatu peristiwa yang tidak terelakkan, sebagai suatu jurang pemisah atau generation gap yang dapat menimbulkan konflik dalam keluarga, yang menurut Gunarsa dalam Setianingsih (2007), diantaranya kurangnya pengertian dari pihak orang tua yang kurang mau diajak mengikuti liku-liku perkembangan pemikiran anak. Baumrind dalam Putra (2012) menyimpulkan aspek pengukuran dari pola asuh orang tua mencakup 2 hal penting yaitu hubungan anak dan orang tua serta bimbingan yang diberikann orang tua kepada anaknya. Aspek hubungan merupakan gabungan dari kasih sayang serta komunikasi orang tua dan anak sedangkan aspek bimbingan merupakan gabungan dari kontrol dan tuntutan kedewasaan. Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, aspek-aspek dalam pola asuh orang tua antara lain peraturan, hukuman, hadiah, perhatian dan tanggapan. Adapun aspek-aspek yang digunakan sebagai indikator alat ukur 44 untuk mengungkap pola asuh orang tua pada penelitian ini mengacu pada kesimpulan Baumrind dalam Putra (2012) yaitu hubungan dan bimbingan. 2.3 Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Seksual Remaja Remaja memang mengalami banyak perubahan dalam dirinya baik perubahan fisik maupun psikologis sehingga diperlukan peranan orang tua dalam mendampingi putra-putrinya agar dapat melewati masa remaja dengan baik sebab masa remaja sangat menentukan masa depan remaja itu sendiri (Wedani, 2010). Hasil penelitian Wulandari (2010) dalam Aguma (2013) membuktikan bahwa ada hubungan signifikan antara pola asuh demokratis dengan perilaku seksual remaja. Apabila pola asuh demokratis diterapkan dengan baik maka tingkat perilaku seksual remaja akan rendah. Penelitian ini merupakan salah satu bukti bahwa orang tua memiliki peranan penting pada kejadian perilaku seksual remaja. Menurut Petranto dalam Aguma (2013) orang tua mempunyai peranan sangat penting dalam mengasuh remaja dengan menerapkan pola asuh positif seperti orang tua bersikap rasional kepada remaja, memberikan kebebasan sekaligus tanggung jawab, komunikasi terbuka dan komunikasi dua arah dan pendekatan bersifat hangat dan kondusif, melibatkan remaja dalam pengambilan keputusan, disiplin pada remaja dan tidak ragu-ragu menegur bila berbuat salah. 45 Karakteristik remaja pada pola asuh yang positif yaitu remaja menjadi mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, kooperatif terhadap orang lain. Karakteristik tadi bila dimiliki oleh remaja dengan pola asuh positif dapat melindungi remaja dari pengaruh perilaku seksual yang tidak sehat, yaitu perilaku seksual sebelum menikah (Wedani, 2010)