Religió: Jurnal Studi Agama-agama Genetika Yahudi dan Islam dalam Sejarah Peradaban Dunia Zainal Arifin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya [email protected] Abstract To know the origin of the Jews cannot be separated from the historical existence of Abraham because he was an ancestor of the three monotheistic religions (Judaism, Christianity, and Islam). There are two nations that claim to be the descendants of Abraham: The Jews and the Arabs. The Jews passed down through the line of Prophet Ishâq, then down to the Prophet Ya’qûb that holds Israel (servants of God) so that the prophets who were ethnic Jews call themselves as Israelites, descendants of Israel. This article does not only discuss the origin of the historical roots of Jewish groups, but also explain about another issue that is often become the object of intellectual discourse about Jews that could be classified as religion or merely ethnic. Indeed, on the face can be drawn that they are religious communities (Jews as a religion), but many think not. In fact, most of them prefer to call themselves Jews (ethnic) not Judaism. Jewish religion can we categorize as the ethical religion and not a mystical religion. It is caused the Jewish religion always uphold ethics. These ethical principles are formulated in the ten commandments (al-Was}âyâ al-Ashr). in addition, this paper also discusses the displacement of the Jewish people from one place to another. Keywords: Origination, Jews, Islam, Abraham. Volume 1, Nomor 1, Maret 2011 Pendahuluan Ada dua bangsa yang mengaku sebagai keturunan Nabi Ibrahim: bangsa Yahudi dan bangsa Arab. Bangsa Yahudi diturunkan melalui garis Nabi Ishaq, kemudian turun ke Nabi Ya’qûb yang bergelar Israel (hamba Allah) sehingga para nabi yang berasal dari etnis Yahudi menamakan diri dengan sebutan Bani Israel, anak cucu Israel. Ishaq adalah anak Ibrahim dari ibu yang bernama Sarah. Sebelumnya, Ibrahim telah memiliki anak bernama Ismail dari istri yang bernama Hajar, ia adalah seorang perempuan berkebangsaan Mesir dan merupakan hadiah dari raja Fir’aun. Dalam bahasa Ibrani, Ismail berarti Allah telah mendengar, Ibrahim sangat mencintai Ismail, sehingga menimbulkan ketidaksenangan atau kecemburuan Sarah sebagai istri pertamanya. Sarah kemudian meminta Ibrahim untuk membawa mereka berdua (Hajar dan Ismail) keluar dari rumah tinggalnya. Ibrahim lalu membawa Hajar dan Ismail ke Makkah, dekat rumah Allah (baitullah) sesuai dengan petunjuk Allah. Di kota inilah Ismail dibesarkan dan menikah dengan wanita Arab suku Jurhum, yang kemudian melahirkan bangsa Arab Quraish penduduk Makkah dan etnis Arab paling terkemuka.1 Yahudi antara Etnis dan Agama Agama Yahudi (Yudaisme) adalah agama yang dianut oleh sekelompok etnis Yahudi. Mereka berjumlah 16 juta jiwa lebih pada puncak perkembangannya. sebelum Perang Dunia II. Kemudian berkurang menjadi 10 atau 11 juta jiwa, akibat kekejaman kelompokkelompok yang berusaha menghancurkan akar, cabang dan etnis itu. Menurut catatan Kidung Agung yang ditulis oleh Daud dan Epigram (sajak atau ungkapan pendek berisi butir pikiran yang luhur) yang disusun oleh Sulaymân, jumlah mereka kurang lebih satu juta jiwa pada hari nasionalnya. Jumlah etnis Yahudi tidak lebih dari empat sampai lima juta ketika nasib politik mereka sebagai bangsa tersumbat pada tahun 70 SM tetapi memasuki panggung sejarah (historic career) sebagai masyarakat dunia yang religius dengan tuntunan kitab sucinya. Akhir abad pertengahan, tepatnya pada abad XIII, saat agama Yahudi mencapai 1 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina Mulya, 1994), 57. Volume 1, Nomor 1, Maret 2011 | 83 puncak kejayaannya telah memberikan sumbangan besar terhadap peradaban Barat, jumlah populasi mereka di Eropa waktu itu tidak lebih dari satu juta jiwa.2 Berkurangnya populasi Yahudi ini disebabkan oleh persoalan seputar apakah Yahudi itu ras atau bukan. Sebagian orang berpendapat bahwa Yahudi itu ras, mengingat banyak tulisan membenarkan pendapat tersebut. Tetapi, kebenaran tesis ini membawa ironi bagi umat Yahudi, ketika Jerman di bawah rezim Nazi atau Adolf Hitler tahun 1930 melakukan pemusnahan terhadap orang-orang Yahudi dengan alasan bahwa mereka itu tergolong ras hina (an inferior race). Menurut catatan, peristiwa Holocaust mengakibatkan sekitar enam juta orang Yahudi, baik laki-laki perempuan, maupun anak-anak mati terbunuh di Kamp Konsentrasi Jerman dan Polandia selama Perang Dunia II. Dari sini, jelas terlihat bahwa orang-orang Yahudi bisa disebut sebagai ras. Persoalannya ialah: kesulitan untuk mengidentifikasi disparitas ras Yahudi yang banyak itu.3 Komunitas Yahudi tersebar di mana-mana sampai belahan dunia, kelompok inilah yang kemudian disebut “anak-anak Israel” (the children of Israel). Di Abyssina misalnya, ada Yahudi berkulit hitam, persis seperti penduduk asli, di Negara Cina yang mirip dengan penduduk aslinya, berkulit kehitam-hitaman dan bermata hitam. Di Rusia Utara, Kanada, Swedia, Norwegia. Di negara-negara tersebut etnis Yahudi bisa ditengarai dengan rambut pirang, kulit putih dan mata biru. Sedangkan di Denmark, Jerman dan Irlandia, komunitas Yahudi berambut merah dan bermata biru sedang di daerah yang beriklim panas komunitas Yahudi berbadan pendek dan berambut hitam, sementara di negara-negara beriklim dingin, mereka bertubuh tinggi dan berkulit putih.4 negara Kelebihan komunitas Yahudi yang bertempat tinggal di negaratersebut selalu menggunakan bahasa nasional negara Abraham A. Neuman, The Great Religions of the Modern World (New Jersey: Princeton Press, 1946), 224. 3 Douglas Charing, Comparative Religions, A Modern Textbook (New York: Blanford Press, 1982), 59. 4 Joseph Gaer, How The Great Religions Began (New York: The American Library, 1956), 141. 2 84|Zainal Arifin – Genetika Yahudi dan Islam dalam Sejarah Peradaban Dunia bersangkutan. Di Italia misalnya mereka berbahasa Italia, di Inggris mereka berbahasa Inggris, di Cina juga berbahasa Cina. Meskipun berbeda bentuk fisik dan tutur bahasanya, komunitas Yahudi merasa akrab bila bertemu dan berada di tengah-tengah saudara-saudaranya yang lain. Keakraban ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah ikatan keagamaan mereka yang kuat. 5 Ikatan atau hubungan itu yang akhirnya mengonstruksi dalam bangunan teologi Yahudi. Dengan demikian dalam memahami Yahudi dalam konteks agama tidak bisa dipahami tanpa mengetahui kehidupan komunitas Yahudi secara terus menerus. Dengan proses konversi agama yang normal, agama Yahudi dapat mengakomodasi dan mengasimilasi setiap individu, bahkan semua bangsa ke dalamnya. Tetapi apabila orang-orang Yahudi musnah dari dunia ini, agama itu juga akan musnah bersama mereka. Sementara orang lain yang tidak memiliki hubungan kesejarahan (historic connection) dengan masa lalu Yahudi, pada dasarnya ia bisa menjadi penerus tradisi atau ajaran agama Yahudi.6 Namun dalam hal pemahaman, penghayatan, upacara di mana prinsip-prinsip Yahudi ada di dalamnya dan menjadi bangunan teologinya (a body of Judaism), tidak akan bermakna bagi mereka yang nenek moyangnya tidak pernah pergi keluar dari tanah Mesir, atau siapa saja tidak terlahir dalam tradisi yang bapaknya pernah bertempat tinggal di kaki Sinai. Mereka dan anak cucu inilah yang untuk selama-lamanya masuk ke dalam kategori bangsa suci (a holy nation) dan kerajaan orangorang terhormat (a kingdom of priest). Oleh karena ikatan tak terpisahkan antara etnis Yahudi dan agamanya yang merupakan bagian yang mendasar bangunan teologinya, berbeda dari agama Kristen yang selalu berharap belas kasihan dan kemurahan Tuhan. Bagi para pengikutnya, agama Yahudi pada hakikatnya bukan distilasi air mata dan duka cita orang lain yang diberikan secara cuma-cuma (gratis) oleh belas kasih tangan Tuhan, tetapi ia harus dicapai melalui misteri keimanan secara bebas dan upaya nyata mencari kasih Tuhan. Hal itu berupa kesabaran dan ketegaran atas berbagai persoalan yang mereka alami berabad-abad 5 6 Ibid.,142. Abraham A. Neuman, The Great Religions, 238. Volume 1, Nomor 1, Maret 2011 | 85 lamanya: pengalaman bangsa bersejarah yang disinari oleh ajaran para Nabi dan orang-orang bijak di antara mereka.7 Untuk mengenal siapa itu Yahudi atau kapan seseorang itu bias dikategorikan sebagai Yahudi, hal ini dapat kita lacak melalui pemahaman garis keturunan ibu (matrimonial) karena agama mengajarkan bahwa bila anak lahir dari ibu Yahudi, maka ia disebut Yahudi, tanpa memandang siapa yang mengasuh dan membesarkan anak itu. Sebagai contoh, anak terlahir dari bapak Yahudi dan ibu non-Yahudi, ia tidak bisa dikategorikan Yahudi, tetapi masih bisa berbuat atau melakukan sesuatu sebagai Yahudi, seperti pergi ke Sinagoge, merayakan Sabat, atau merayakan hari-hari besar keagamaan dan bergaul dengan sesama temantemannya yang Yahudi. Tetapi sebaliknya bila anak dari bapak nonYahudi dan ibu Yahudi, tetapi dibesarkan atau dididik sebagai Kristen misalnya, ia masih disebut Yahudi sekalipun asuhan itu membuat ia buta sama sekali tentang agama Yahudi. Yang jelas, dalam perspektif Yahudi, asuhan, didikan atau pengetahuan tidak menentukan status seseorang menjadi Yahudi, tetapi agama ibu (the religion of the mother).8 Persoalan lain yang sering menjadi objek diskursus intelektual seputar Yahudi adalah masalah apakah Yahudi itu bisa digolongkan sebagai agama atau hanya sebatas etnis. Memang, secara sepintas dapat digambarkan bahwa mereka itu adalah masyarakat agamis (Yahudi sebagai agama), tetapi banyak yang menganggap tidak demikian. Bahkan, sebagian dari mereka lebih senang menyebut dirinya orang Yahudi saja (etnis) bukan agama Yahudi. Masalah lain yang sering muncul adalah bahwa orang Yahudi itu bukan termasuk “masyarakat bangsa”, karena mayoritas umat Yahudi dunia tidak mesti bertempat tinggal di negara Israel, namun di banyak negara dunia ini. Barangkali istilah yang tepat diberikan kepada mereka ialah kelompok etnis (ethnic group) yang mencakup seluruh orang Yahudi, baik yang agamis, sekuler, nasional, maupun zionis. Mereka itu tidak harus berasal dari etnis Israel, karena yang hidup di sana terdapat penganut Muslim dan pengikut Kristen. Di antara mereka ada yang tidak mengonsumsi daging babi sebagaimana orang Islam, dan ada pula tidak mengetahui sama sekali masalah agama. 7 8 Ibid., 215 Charling, Comparative Religions, 59. 86|Zainal Arifin – Genetika Yahudi dan Islam dalam Sejarah Peradaban Dunia Satu hal tidak bisa dibantah adalah bahwa Yahudi menganggap diri mereka sebagai satu bangsa berwajah pluralistis, karena saat ini terdapat banyak institusi pemikiran mampu mempertemukan berbagai ide dan hal-hal yang bersifat praktis, sehingga banyak orang Yahudi berbeda dari lainnya.9 Keberadaan Etnis Yahudi dalam Sejarah Untuk mengetahui asal-usul Yahudi tidak bisa lepaskan dari sejarah keberadaan nabi Ibrahim karena beliau sebagai nenek moyang tiga agama monoteistik dan semistik (Yahudi, Kristen, dan Islam). Sejarah keberadaan Ibrahim dapat kita lacak dalam pentas sejarah peradaban manusia sekitar 3.700 tahun yang lalu. Ia adalah berasal dari Babilonia, anak seorang pemahat patung istana yang bernama Azar atau Terach. 10 Ayahnya seorang pemahat batu terus digunakan sebagai sesembahannya. Melihat yang demikian Ibrahim memberontak sehingga ia dihukum bakar, tetapi diselamatkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia kemudian hijrah ke arah Barat dan pergi ke Mesir bersama istrinya (Sarah) karena daerah itu mengalami wabah paceklik. dan menetap di sana untuk sementara waktu. Kehadiran Ibrahim sangat mengesankan bagi Fir’aun sebagai Raja Mesir, dan menghadiahi Ibrahim seorang wanita budak nan cantik bernama Hajar. Kemudian ia kembali ke Kanaan. Dalam usianya yang bertambah lanjut, ia mendambakan seorang keturunan dan berdoa kepada Tuhan agar diberi keturunan untuk meneruskan misi kemanusiaannya. Istrinya (Sarah) berbaik hati dan mengizinkan suaminya mengawini Hajar. Dari Hajar inilah Ibrahim dikaruniai seorang anak bernama Ismael (Ismail), yang dalam bahasa Ibrani berarti Tuhan telah mendengar, artinya bahwa Allah telah mendengar doa Ibrahim untuk memohon keturunan.11 Ibrahim sangat mencintai Ismail dan Hajar, kondisi seperti ini memicu Sarah untuk cemburu dengan Hajar beserta Ismail. Sarah Ibid., 60. Ibid., 62. 11 Fuad Muhammad Shibel, Masalah Yahudi Internasional (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 6. 9 10 Volume 1, Nomor 1, Maret 2011 | 87 meminta Ibrahim untuk membawa Ismail dan ibunya (Hajar) untuk keluar dari istananya. Ibrahim diberi petunjuk Tuhan dengan bimbingan Malaikat-Nya agar membawa anak dan istrinya ke arah lembah yang sangat tandus dan gersang yakni Makkah. Setelah tiba di lembah tandus itu sesuai petunjuk Tuhan, Ibrahim kembali ke Kanaan dan sekali waktu menyempatkan diri menjenguk Ismail di Makkah hingga anak itu mencapai usia dewasa. Sementara, Ibrahim bersama Sarah bertempat tinggal di Kanaan. Hanya sekali waktu ia pergi ke Makkah untuk melaksanakan perintah Tuhan yang sekarang jejak Ibrahim tersebut diabadikan sebagai ibadah Haji. Ketika Ibrahim kembali ke Kanaan atas karunia Allah SWT Ibrahim dikaruniai seorang anak yang bernama Ishaq yang juga menjadi rasul Allah untuk mengemban tugas mengajari umat tentang tauhid dan mempertahankan nilai-nilai monoteisme sampai akhir zaman. Sebagai rahmat Allah kepada Ibrahim, Ishaq dianugerahi Tuhan seorang anak bernama Ya’qûb digelari “Israel” dalam bahasa Ibrani berarti “Hamba Allah”. Lebel ini identik dengan arti Abdullâh dalam bahasa Arab, lebel ini diberikan karena ia ia rajin beribadah, menghambakan diri kepada Allah. Anak turun Nabi Ya’qûb atau Israel ini berkembang biak dan menjadi nenek moyang bangsa Yahudi, yang juga disebut Bani Israel.12 Anak Ya’qûb berjumlah dua belas orang, sepuluh orang dari istri pertama, dua orang lagi dari istri kedua, yaitu Yusuf dan Benyamin. 13 Sepuluh anak Ya’qûb itu ialah Rubin, Simon, Lewi, Yahuda, Zebulen, Isakhar, Dan, Asyer, Gat, dan Naftali.14 Karena berbagai kelebihan Yusuf maka Ya’qûb sebagai ayah sangat mencintai anaknya (Yusuf) itu melebihi cintanya kepada anak-anak yang lain. Hal ini mengundang rasa iri dari saudara-saudara tua Yusuf, anak-anak dari istri pertama Ya’qûb. Mereka bersekongkol untuk menyingkirkan Yusuf, tetapi berkat perlindungan Tuhan, ia pun bisa selamat. Ya’qûb kemudian membawa Yusuf beserta seluruh keluarganya pindah ke Mesir yang menjadi pusat peradaban manusia waktu itu. Di Mesir keturunan Ya’qûb atau Israel itu bisa berkembang secara pesat dan bisa menguasai panggung peradaban Madjid, Pinti-pintu Menuju Tuhan, 52. Ibid., 41. 14 Perjanjian Lama, Kel. 49. 12 13 88|Zainal Arifin – Genetika Yahudi dan Islam dalam Sejarah Peradaban Dunia sehingga mewarnai peradaban dunia. Dari sini sebetulnya asal mula Bani Israel atau bangsa Yahudi itu terbagi menjadi dua belas suku.15 Dengan kondisi peradaban dunia banyak diwarnai oleh keluarga Ya’kub tentu membawa iri bagi raja Fir’aun merasa tidak senang terhadap keturunan Ya’qûb, apalagi sebagian dari keturunan Ya’qûb menganut agama monoteisme yang berlawanan dengan agama Mesir Kuno yang politeistik.16 Nabi Daud sebagai raja kerajaan Judea Samaria digantikan oleh anaknya yaitu Nabi Sulaymân. Di bawah kepemimpinan Sulaymân, bangsa Yahudi, anak turun Israel atau Nabi Ya’qûb itu mengalami zaman keemasan. Yerusalem dibangun, dan pada dataran di atas bukit Zion yang menjadi pusat kota didirikan tempat ibadah yang megah. Orang Arab menyebutnya Haikal Sulaymân (Kuil Sulaymân, Solomon Temple) yang juga disebut al-Masjid al-Aqsha (masjid yang jauh dari Makkah). Sebagaimana kota Yerusalem, tempat masjid itu dikenal orang Arab sebagai al-Quds atau Bait al-Maqdis (Bait al-Muqaddas), yang semuanya berarti kota atau tempat suci. Sayang, anak turun Nabi Ya’qûb itu terkenal sombong dan suka memberontak. Ini membangkitkan murka Tuhan dan pada gilirannya harus menerima azab. Alquran menggambarkan betapa Bani Israel itu membuat kerusakan di bumi, berlaku angkuh, chauvinis, merasa paling unggul, dan paling benar sendiri.17 Peristiwa ini terjadi sekitar tujuh abad sebelum Masehi ketika bangsa Babilonia dipimpin Nebukadnezar datang menyerbu Yerusalem dan menghancurkan kota itu yang termasuk Masjid al-Aqshâ. Sebagaimana yang diterangkan dalam Alquran“Jika saat pertama dari keduanya itu tiba, maka Kami utus atas kamu hamba-hamba Kami yang gagah perkasa, kemudian mereka itu menerobos rumah kamu. Dan ini adalah peristiwa yang telah terjadi.” (QS. al-Isra’ [17]:4). Berkat pertolongan dan kebesaran Tuhan, Bani Israel bisa kembali lagi ke tanah Yerusalem.18 Namun, sekali lagi mereka bersikap congkak dan membuat kerusakan di muka bumi. Agus Hakim, Perbandingan Agama (Bandung: Diponegoro, 1973), 36. Madjid, Pintu- pintu Menuju Tuhan, 53. 17 Ibid. 43. 18 Yoesuef Souyb, Agama- agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1985), 299. 15 16 Volume 1, Nomor 1, Maret 2011 | 89 Maka Allah pun menurunkan siksa-Nya untuk kedua kali pada tahun 70 Masehi, karena dosa mereka menolak kerasulan Nabi Isa al-Masih dan menyiksa para pengikutnya. Hal itu terlihat sewaktu Kaisar Titus dari Roma meratakan Yerusalem dengan tanah, dan menghancurkan lagi Masjid Aqsha yang mereka bangun. Seperti yang digambarkan oleh Alquran, “dan bila tiba saat peristiwa yang kedua, Kami biarkan musuhmusuhmu menghancurkan martabatmu dan memasuki serta membinasakan apa saja yang terjamah tangan mereka.” (QS. al-Isra’ [17]:7). Dari bangunan yang ada, tidak sedikit pun tersisa kecuali Tembok Ratapan (Wailing Wall), tempat orang-orang Yahudi meratapi nasib mereka. 19 Akibat dosa itu, orang Yahudi mengalami diaspora, mengembara di bumi terlunta-lunta sebab tidak memiliki tanah air tetap dan hidup miskin di geto-geto.20 Dalam keadaan kehancuran yang dibangun Yahudi telah mengalami kehancuran itulah umat Islam mulai menunjukkan giginya yaitu ketika Yerusalem jatuh ke tangan tentara Arab Muslim. Ketika Umar bin Khat}tâb datang ke sana untuk menerima penyerahan kota itu, ia merasa kecewa terhadap umat Nasrani yang bermaksud melecehkan agama Yahudi. Umar beserta tentara Islam membersihkan tempat tersebut dan menjadikannya sebagai tempat salat dan sekaligus mendirikan masjid sederhana. Masjid yang dibangun Umar itu kemudian direnovasi menjadi sebuah bangunan megah oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani Umayyah.21 Kisah perjalanan Nabi Ibrahim dan anak cucunya dikedepankan dengan maksud untuk menyadarkan betapa tokoh yang disebut sebagai imam umat manusia itu memiliki keterkaitan erat dengan agama Islam. Dari kisah itu tampak bahwa antara Makkah dan Yerusalem ada kesinambungan sangat erat, terutama keterkaitan antara agama Yahudi, Kristen dan Islam. Menurut Nabi Muhammad, ada tiga kota suci dianjurkan kepada kaum muslimin untuk mengunjunginya, yaitu Makkah dengan Masjid H{arâm-nya, Madînah berikut Masjid Nabawî-nya dan Yerusalem beserta Masjid Aqshâ-nya. Karena itu, ketika Nabi melakukan Bustami A. Gani, Perkembangan Masalah Palestina (Jakarta: Yayasan Dakwah Islamiyah, 1970), 8. 20 Neuman, The Great Religions, 54. 21 Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, 54. 19 90|Zainal Arifin – Genetika Yahudi dan Islam dalam Sejarah Peradaban Dunia salat yang harus menghadap Yerusalem sewaktu masih di Makkah, ia memilih tempat di sebelah selatan Ka’bah agar bisa menghadap ke Ka’bah sekaligus ke Sakhrah di Yerusalem. Tetapi ketika berada di Madinah yang terletak di sebelah utara Makkah, Nabi pun mohon perkenan Tuhan untuk pindah kiblat dari Yerusalem ke Makkah. Perpindahan itu mengisyaratkan makna amat dalam bahwa Nabi mengajarkan dan mengajak manusia kembali ke agama Nabi Ibrahim asli, yang disimbolkan oleh Ka’bah sebagai peninggalan terpenting.22 Yahudi Sebagai Agama Yahudi sebagai agama dapat kita kategorikan agama etis (ethical religion) dan bukan agama mitos (mytical religion). Dikatakan demikian karena agama Yahudi selalu menjunjung tinggi etika. Prinsip etika ini diformulasikan pada bangunan kata sepuluh perintah (The Ten Commendements), atau wasiat sepuluh (al-Washâyâ al-Ashr) yang berisi: Pertama, Akulah Tuhanmu, yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir, tempat perbudakan. Jangan ada padamu tuhan lain di hadapan-Ku. Kedua, jangan membuat bagimu patung menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada dalam air di bawah bumi. Jangan sujud dan menyembah atau beribadah kepadanya, sebab Aku Tuhanmu, Tuhan yang menunjukkan kasih sayang kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang membenci dan mengasihi Aku serta berpegang pada perintah-perintah-Ku. Ketiga Jangan menyebut nama Tuhanmu sembarangan, sebab Tuhan akan menyalahkan orang yang menyebut nama-Nya sembarangan. Ke-empat, Ingat dan sucikan Hari Sabat, enam hari lamanya kamu bekerja, dan melakukan suatu pekerjaan, kamu dan anakmu laki-laki, anakmu perempuan, hambamu laki-laki, hambamu perempuan, atau orang asing di tempat kediamanmu. Kelima, Hormatilah bapak dan ibumu agar umurmu lanjut di tanah yang diberikan Tuhan kepadamu. Keenam, jangan membunuh. Ketujuh, jangan berzina, Kedelapan, jangan mencuri. Kesembilan, jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu, dan yang kesepuluh, jangan menginginkan rumah 22 Ibid., 55. Volume 1, Nomor 1, Maret 2011 | 91 sesamamu, istri, hamba laki-laki, hamba perempuan, ternak atau apa pun yang menjadi miliknya.23 Selain itu masih terdapat sejumlah kepercayaan mendasar ditulis para pemikir dan pemuka agama Yahud, seperti Musa bin Maimun atau Maimonides pada akhlr abad ke-12. Tulisan itu merupakan keterangan tambahan atas komentarnya terhadap Mishna, karya Sanhedrin, yang kemudian dikenal dengan credo dan terdiri dari 12 pokok keyakinan: (1) Percaya kepada Tuhan, (2) Tuhan Yang Esa, (3) Tuhan Yang Maha Kuasa, (4) Tuhan Yang Kekal, (5) Semua Ibadah untuk Tuhan, (6) Percaya kepada rasul Tuhan, (7) Percaya kepada Musa sebagai rasul Tuhan,(8) Kitab itu kekal, (9) Tuhan Maha Tahu, (10) Percaya pada pahala dan dosa, (11) Percaya akan kedatangan Messiah, Juru Selamat, dan (12) Percaya adanya kehidupan sesudah mati.24 Melihat apa yang tersurat dalam wasiat sepuluh itu kita bisa melihat bahwa agama Yahudi memang menekankan amal perbuatan baik atau perilaku etis. Hanya persoalan menghormati Hari Sabat yang mungkin masih debatable bagi sebagian orang. Menurut tradisi Yahudi hari itu merupakan hari Tuhan beristirahat setelah menciptakan langit dan bumi selama enam bulan. Tuhan beristirahat pada hari ketujuh, hari yang kemudian disebut hari Sabtu (Sabtu berarti istirahat), maka hari itu kemudian dijadikan hari istirahat, yang dalam perkembangannya menjadi hari untuk menyembah Tuhan. Karena Tuhan beristirahat, manusia pun harus menyisihkan serta memanfaatkan sebagian waktu mereka guna beristirahat dan bersantai. Sebetulnya Alquran sendiri menggunakan terminologi Sabat, tetapi dengan sedikit perubahan bunyi, yaitu Subat, yang juga bermakna istirahat. Hal ini dijelaskan dalam QS an-Naba [78]:9, “Kami jadikan tidurmu itu untuk beristirahat.” Dari penuturan ayat itu dapat digambarkan bahwa tidak ada istirahat yang lebih baik daripada tidur. Bila kita tidur degan niat beritirahat, berarti kita mengartikulasikan tuntunan Tuhan.25 Mah}mûd Abû al-Fâiz, al-Dîn al-Muqâran (Kairo: Mat}ba’ah an-Nahd}ah, tt), 22. Abraham A. Neuman, The Great Religions of the Modern World (New Jersey: Princeton Press, 1946), 22. 25 Madjid, Pintu-pintu menuju Tuhan,32. 23 24 92|Zainal Arifin – Genetika Yahudi dan Islam dalam Sejarah Peradaban Dunia Etika Yahudi bersumber dari sistem pemikiran agamsa (a system of religious thought) yang bersifat universal dan diformulasikan agar “prinsipprinsip etikanya merangkul seluruh umat manusia”. Sedangkan kultus keagamaannya berdimensi nasional, ditandai dengan ikatan kesejarahan dan warna kedaerahan dimana “disiplin agama hanya mengikat para pemeluknya saja”. 26 Contoh, keberadaan organisasi elit sosial seperti Rotary dan Lion Club, yang terdapat di kota-kota besar seluruh Indonesia, dan terutama bergerak pada pengobatan massal serta masalah-masalah kemanusiaan lainnya, ditengarai sebagai network Yahudi. Bila hal itu benar, permasalahan harus dilihat dari kerangka pikir sistem etika Yahudi berwajah global atau mendunia, yang dapat diartikulasikan oleh semua etnis dan ras sejagat. Sebaliknya, jika umat Yahudi merayakan Hari Sabat dan ibadah ritual lain, ini seharusnya diletakkan dalam perspektif kultus agama Yahudi berwatak nasional, yang hanya berlaku terbatas pada kalangan internal mereka saja. Apalagi Yahudi memang bukan agama berciri dakwah atau misi seperti kedua agama Semit lainnya, yaitu Kristen dan Islam, yang biasa disebut ”keyakinan menguasai dinamis sebagai pembawa kebenaran Tuhan bagi bangsa-bangsa dunia”. Memperkuat tesis di atas, Ah}mad Shalabî mengatakan, “karena merasa belum puas atas keberadaan organisasi Masonisme, orang-orang Yahudi kemudian mendirikan organisasi lain bertujuan untuk menggalang solidaritas sosial kemanusiaan bernama Rotary Club. Klubklub itu terdapat di hampir seluruh kota-kota besar atau metropolitan dunia, yang berkiprah pada masalah-masalah kemasyarakatan serta kemanusiaan,” Mereka mengadakan seminar, sarasehan, pelayanan kesehatan, perbaikan lingkungan, perayaan hari-hari keagamaan, dan lain sebagainya. Mereka juga berupaya mempererat ikatan persaudaraan sesama anggota berasal dari berbagai negara yang memiliki latar belakang keagamaan serta kepercayaan berbeda-beda. Dengan demikian, komunitas Yahudi bisa berinteraksi bersama kelompok mana pun atas dasar persaudaraan serta kasih sayang, yang diharapkan mampu merealisasikan mimpi dan keinginan mereka dalam berbagai lapangan kehidupan: ekonomi, industri, politik, media massa maupun lainnya. 26 Neuman, The Great Religions of the Modern World, 67. Volume 1, Nomor 1, Maret 2011 | 93 Anehnya, Vatikan melalui Majelis Tertinggi Tahta Suci pernah mengeluarkan satu Dekrit tertanggal 20 Desember 1950, yang isinya melarang para ahli dan pemuka agama Katolik memasuki perkumpulan serta mengikuti kegiatan Rotary Club karena dinilai membahayakan eksistensi agama itu.27 Sayangnya, etika bangsa yang mengklaim diri sebagai bangsa suci (a holy nation), umat terpilih (the chosen people) serta kerajaan orang-orang terhormat (a kingdom of priests) mengalami distorsi ketika Tahun 1948 komunitas itu secara ironis merebut dan menjarah sewenang-wenang tanah Palestina. Tanah milik sebuah bangsa yang sejak beratus tahun bertempat tinggal di sana (bangsa yang kemudian disebut etnis Arab dan ditengarai telah berjasa besar terhadap eksistensi Yahudi). Etnis inilah, terutama masa pemerintahan Umar bin al-Khat}t}âb, yang telah menjadikan Yerusalem sebagai kota terbuka bagi orang-orang Yahudi untuk menempati kaveling-kaveling tanah disediakan. 28 Kejahatan Yahudi yang mengesankan sadisme tergambar sewaktu mereka melakukan pembantaian ratusan dan bahkan ribuan rakyat Palestina dulu, kini dan mungkin mendatang, tanpa merasa bersalah dan berdosa sedikit pun. Mereka mengabaikan segala rupa kritik, kecaman serta kutukan datang dari masyarakat dunia. Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bermula dari Nabi Ishaq dan anaknya, Nabi Ya’qûb, bangsa Yahudi tumbuh dan berkembang. Komunitas Yahudi hidup bebas di zaman kekuasaan Islam selama bertahun-tahun, menjadi penduduk kosmopolitan dengan penuh kebebasan, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk berbagai kepentingan, terutama kepentingan bisnis. Dalam kekuasaan Islam, mereka benar-benar mendapatkan arti satu kebebasan sebenarnya, terlebih bila dibandingkan dengan kondisi mereka ketika berada di bawah kekuasaan Kristen Eropa. Karena itu, sungguh ironis bila umat Yahudi merebut dan menjajah secara sewenang-wenang tanah Palestina 27 28 Ah}mad Shalabî, Perbandingan Agama-Agama Yahudi (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), 346. Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, 54. 94|Zainal Arifin – Genetika Yahudi dan Islam dalam Sejarah Peradaban Dunia sejak tahun 1948, tanah dan bangsa Arab yang telah memberikan perlindungan dan keselamatan kepada mereka berabad-abad lamanya. Daftar Pustaka Charing, Douglas. Comparative Religions, A Modern Textbook. New York: Blanford Press, 1982. Al-Fâiz, Mah}mûd Abû. al-Dîn al-Muqâran. Kairo: Mat}ba’ah an-Nahd}ah, tt. Gaer, Joseph. How The Great Religions Began. New York: The American Library, 1956. Gani, Bustami A. Perkembangan Masalah Palestina. Jakarta: Yayasan Dakwah Islamiyah, 1970. Hakim, Agus. Perbandingan Agama. Bandung: Diponegoro, 1973. Madjid, Nurcholish. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina Mulya, 1994. Neuman, Abraham A. The Great Religions of The Modern World. New Jersey: Princeton Press, 1946. Shibel, Fuad Muhammad. Masalah Yahudi Internasional. Jakarta: Bulan Bintang, 1970. Souyb, Yoesuef. Agama- agama Besar di Dunia. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1985. Shalabî, Ah}mad. Perbandingan Agama-Agama Yahudi. Surabaya: Bina Ilmu, 1990. Volume 1, Nomor 1, Maret 2011 | 95