negara dan globalisasi - Institutional Repository UIN Syarif

advertisement
NEGARA DAN GLOBALISASI
PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI
NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL
DAN BUDAYA DI INDONESIA
Oleh
Dani Setiawan
9933216569
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1427 H/2006 M
NEGARA DAN GLOBALISASI
PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI
NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL,
DAN BUDAYA DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuludin dan Filsafat untuk
Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Dani Setiawan
NIM : 9933216569
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Yusron Razak, MA
NIP: 150 216 359
Drs. Agus Nugraha, MA
NIP: 150 299 478
Jurusan Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuludin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1427 H/2006 M
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Demi Allah, tuhan semesta alam. Segala puji dan syukur aku haturkan atas
segenap cinta dan rezeki yang telah dianugerahkan kepadaku. Tak ada yang pasti
kecuali Dia, pencipta segala makhluk di dunia. Segala keikhlasan atas kehendaknyaNya aku merampungkan tulisan sederhana ini. Juga bagi sang juru selamat, Nabi
Agung Muhammad SAW. Terlimpah shalawat dan salam kepadanya.
Demi masa depan, aku persembahkan sebuah goretan. Agar dicatat
sebagai hikmah dan pelajaran. Tak habis rasa terima kasihku atas
kerelaan dan kesungguhan orang-orang yang aku hormati. Para
dosen, guru, dekan, sahabat dan seluruh orang yang
menginspirasiku. Terimalah ini sebagai persembahan bagi kesetiaan
dan perubahan. Izinkah aku mengucapkan rasa syukur dan terima
kasih kepada Prof. Dr. Amsal Bachtiar, MA, selaku Dekan Fakultas
Ushuludin dan Filsafat dan Ketua serta Sekretaris Jurusan
Pemikiran Politik Islam, Bapak Drs. Agus Darmadji, M.fil dan Ibu
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA Atas kebikan mereka memberikan
peluang bagi kelulusanku. Juga tidak lupa dosen pembimbingku,
Bapak Drs. Yusron Razak, MA dan Bapak Agus Nugraha, MA.
Kesempatan yang berharga bagiku untuk dapat bertemu dan
dibimbing.
Segenap takjub, bagi mereka yang telah menjadi kawan diskusi di
ruang kelas Pemikiran Politik Islam (PPI) angkatan pertama.
Kawan dalam suka dan duka, tempat berbagai cerita dan
pengalaman, Ubaidillah, M. Nur Mekkah, Roy M. Pamenang,
Anshori, M. Nur Khafid, Realino, Suhardiman, Ihdi Karim Makin
Ara, Togar, Fajri, dan Deni Agusta. Terima kasih menjadikanku
sebagai sahabat.
Demi kesabaran dan kasih sayang, aku khususkan skripsi ini untuk
kedua orang tuaku, Kartiwa dan Andriyani. Setelah penantian
panjang, kuharap engkau mau memaafkan anakmu. Jika bukan
karena mereka, mungkin skripsi ini tak kunjung ada. Buat adikadikku, Wawan, Zainal, Khoirul, dan si manis Nurul, aku
memberikan catatan ini untuk kalian pelajari kelak. Dan seluruh
keluarga besarku, aku mencintai kalian semua.
Demi perubahan, untuk para guru, dosen dan semua orang yang
menjadi tempat belajarku. Khususnya aku tujukan untuk Bang Ray
Rangkuti, Piet H. Khaidir, Anick H. Tohari, Lisa Nur Humaidah,
Siti Muniroh, Yudhie Haryono, Kusfiardi, Ichsanuddin Noorsy,
Revrisond Baswir dan Ibu Hendri Saparini. Terima kasih atas
semua diskusi dan pengalaman. Semoga aku menjadi apa yang
kalian harapkan.
Demi kemerdekaan sejati, aku hajatkan skripsi ini untuk temanteman seperjuangan di Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi
Indonesia (LS-ADI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) dan Komite Mahasiswa anti Imperialisme
(KM-AI). Juga kepada teman-teman di Forum Mahasiswa Ciputat
(FORMACI), Komunitas Mahasiswa UIN (KM UIN), Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cab. Ciputat, dan Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) Cab. Ciputat Atas kesetiaan pada
keyakinan-keyakinan revolusioner dan ide-ide perubahan. Kita
meyakini, bahwa perjuangan belum tentu melahirkan perubahan,
tetapi kita lebih yakin bahwa tidak akan ada perubahan tanpa
perjuangan.
Untuk Dewi Sartika, demi cinta terimalah persembahan ini
untukmu. Bagi kesabaran yang tulus dalam menantiku. Buat Mama
Mumun dan Papa Ramli, terima kasih telah mengizinkan aku
mencintai anakmu. Walau bosan, aku tahu kalian begitu
menyayangiku.
Demi Islam, tidak ada hamba yang lebih shaleh kecuali mereka yang
bekerja dan berjuang menjalankan kewajiban, membela hak dan
keyakinan mereka. Tulisan ini ditujukan bagi mereka yang masih
setia dalam perjuangan. Para aktivis pro demokrasi di seluruh
dunia, kader-kader rakyat, para pembela HAM, dan semua yang
menjadikan “jalanan” menjadi guru terbaik dalam hidup.
Wallahu’alam
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
NEGARA DAN GLOBALISASI
PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI
NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN
BUDAYA DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN………..……………………………....…………...…
1
A. Latar Belakang
Masalah………………………..………………...……..1
B. Pembatasan dan Perumusan
Masalah…………..……………...………..12
C. Tujuan dan Kegunaan
Penulisan………………..…………...…...……..13
D. Metode
Penelitian……………………………..……………...…………14
E. Sistematika
Penulisan…………………………..……………...………..14
BAB II
LANDASAN
TEORI……..…………….………..…………..……...…..16
A. Beberapa Pengertian Tentang
Negara…………..…………...……...…..16
A.1 Defenisi
Negara……………………………..………….....………16
A.2 Peran dan Fungsi
Negara………………………………...………..20
B. Beberapa Pengertian Tentang
Globalisasi…………………….……...…24
B.1 Defenisi
Globalisasi……………………………………….…..…..24
B.2 Prinsip-prinsip
Globalisasi……………………………....…..……28
B.3 Aktor-aktor
Globalisasi……………………………………..…….30
B.4 Globalisasi; Anak Kandung
Kapitalisme………………...…....….35
C. Welfare
State…………………………………………………...…..……38
BAB III
MENUJU PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN
BUDAYA OLEH
NEGARA…….……….………….…………...…….44
A. Kerangka Normatif Hak-hak ekonomi, Sosial, dan
Budaya………….....44
B. Neoliberalisme; Kendala Ideologis Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya di Era
Globalisasi……………………………………………….52
C. Refleksi Kebijakan Pembangunan Orde Baru Dalam Pemenuhan Hak
Ekonomi, Sosial dan
Budaya……………………………………………59
D. Signifikansi Peran Muhammadiyah Dalam Mempromosikan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya di
Indonesia………………………….…..64
BAB IV
NEGARA DAN PERAN PEMENUHAN HAK EKONOMI,
SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT
MUHAMMADIYAH.……69
A. Globalisasi dan Peran Negara Perspektif
Muhammadiyah.……………..69
B. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Perspektif
Muhammadiyah………………………………………………………
…76
C. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Perspektif
Muhammadiyah………………………………………………………
…81
D. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pangan Perspektif
Muhammadiyah…………………………………………...……………
.85
BAB V
PENUTUP……………………………………………...……………91
A. Kesimpulan……………………………………………………………..
.91
B. Saransaran………………………………………………………………
94
DAFTAR
PUSTAKA.………………………………………...…..……………97
LAMPIRANLAMPIRAN……………………………………………………100
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Ibu seorang teman di sebuah desa di Kabupaten Kendal, Jawa
Tengah, memiliki halaman di belakang rumah yang ditanami pohon
bambu. Suatu hari dia didatangi tetangganya yang tengah
membetulkan rumah dan memerlukan dua batang bambu. Setelah
menebang dua batang bambu, si tetangga menghampiri Ibu teman
saya. Si tetangga lalu bertanya berapa ia harus membayar bambu
tadi. Kontan si Ibu kaget sebab dalam kehidupan sehari-hari di desa,
mengambil bambu untuk kebutuhan tetangga sekampung
merupakan hal lumrah dan tanpa biaya. Baginya, tolong-menolong
dan bekerjasama adalah keharusan setiap penduduk desa, sebagai
wujud dari kearifan lokal yang patut dipertahankan.
Kejadian itu salah satu dari banyak cerita yang sedikit banyak menggambarkan
betapa jauh fenomena "masyarakat pasar" (market society) yang sudah menerobos
masuk, bahkan hingga ke wilayah desa-desa, seperti di Kendal tadi. Desa tak lagi
dipenuhi nilai-nilai komunal nan guyub, adat istiadat, serta gotong royong. Desa
berubah menjadi komunitas berorientasi pasar. Tak ada lagi hubungan sosial tanpa
pamrih.
Pandangan tersebut merupakan sebuah konsekwensi dari keyakinan bahwa fase
baru dari dunia telah terjadi. Sebuah fase yang lahir dari hasil perkembangan
teknologi. Bagi para pengagumnya, fase ini disebut globalisasi. Sebagai sebuah
fenomena ekonomi yang sama sekali baru, realitas globalisasi muncul setelah Perang
Dunia II. Khususnya pada paruh terakhir dekade 1960-an, ketika penemuan teknologi
dan informasi berkembang pesat. Itu sebabnya, orang sering menyebut globalisasi
dengan istilah ekonomi kasino.1
Istilah globalisasi, dalam dekade terakhir seakan menjadi mantra. Ketertarikan
orang terhadapnya menjadikan kajian ilmu-ilmu sosial belakangan dipenuhi oleh
berbagai perbincangan dan definisi yang beragam. Sebagian besar aspek globalisasi
diperdebatkan: bagaimana istilah itu harus dipahami, apakah istilah itu baru atau
tidak, dan apa konsekwensinya. Perdebatan tentang globalisasi memiliki sejarah yang
panjang dan menarik. Seperti yang dituliskan oleh Anthony Giddens, dalam bukunya
The Third Way, bahwa sekitar sepuluh tahun yang lalu kata itu hampir tak pernah
digunakan dalam dunia akademis maupun pers. Dari awalnya tak dikenal, kata itu
sekarang muncul di mana-mana. Pidato politik tak lengkap, atau manual bisnis tak
dapat diterima jika tak menyebut kata itu. Kata yang menjadi akrab di telinga itu
mendorong perdebatan intens, di lingkungan akademis dan dalam literatur demokrasi
sosial. Sangatlah tepat untuk mengatakan bahwa dalam tahun-tahun terakhir
1
Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Menuju Gerakan Massa (Jakarta,
C-BOOKs, 2003), cet. I, h. 29.
globalisasi telah menjadi pusat dari sebagian besar diskusi politik dan perdebatan
ekonomi.2
Dari pusaran diskursus soal globalisasi, para intelektual, politikus, dan pelaku
bisnis pada dasarnya menyadari bahwa hal tersebut lahir dari penglihatan yang kasat
mata tentang kondisi dunia yang berubah. Semenjak kemerdekaan hampir sebagian
negara-negara di dunia ketiga pasca Perang Dunia II, konstalasi politik dan ekonomi
dunia sama sekali berubah. Hal tersebut ditandai dengan munculnya aktor-aktor baru
dalam bidang ekonomi yang menentukan arah kebijakan pembangunan sebuah
negara-bangsa. Aktor-aktor baru dalam ekonomi ini bersifat global, dan senantiasa
pada akhirnya menjadi arsitek pembangunan global yang sangat kuat dan
berpengaruh.
Perkembangan tersebut pada akhirnya memunculkan setidaknya dua sayap
kelompok pemikiran yang berbeda mengenai hal ini. Kelompok pertama beranggapan
bahwa globalisasi adalah produk yang lahir dari sejarah panjang kolonialisme yang
pada intinya adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi
dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah
dicanangkan sejak zaman kolonialisme.3 Proses globalisasi juga ditandai dengan
pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya
peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional,
yang kemudian dikuatkan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah
2
Anthony Giddens, The Third Way; Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet. IV, h. 32.
3
Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: INSIST
dan Pustaka Pelajar, 2002), cet. I, h. 210.
suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global.4
kelompok pertama ini, dalam istilah Giddens disebut sebagai kelompok skeptis, yang
berpendapat semua hal yang dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong
kosong. Apapun manfaat, cobaan, dan kesengsaraan yang ditimbulkannya, ekonomi
global tidak begitu berbeda dengan yang pernah ada pada periode sebelumnya. Secara
politik, kelompok ini digolongkan oleh Giddens, cenderung berada di aliran kiri
politik, khususnya kiri lama.
Kelompok kedua, disebut kaum radikal yang secara politik berada di sebelah
kanan. Bagi kaum radikal, globalisasi tidak hanya sangat riil di mana pasar global
jauh lebih berkembang bahkan bila dibandingkan dengan tahun 1960-an dan 1970-an,
serta mengabaikan batas-batas negara. Kelompok ini meyakini bahwa globalisasi
membawa kemajuan dan perubahan sosial yang positif bagi masyarakat dunia saat
ini. Globalisasi senantiasa meningkatkan kondisi kehidupan, hal ini ditunjukan
dengan meningkatnya kelahiran anak dan harapan hidup. Sebagaimana dikemukakan
Mauricio Rojas, “kemajuan yang tak tertandingi selama 30 tahun terakhir adalah
bahwa ekonomi global baru memiliki potensi yang luar biasa, bahwa terdapat
alternatif bagi kemiskinan dan keterbelakangan, bahwa segala sesuatu sekarang
mentransformasikan semakin banyak negara pada bagian-bagian dinamis dari
ekonomi yang ekspansif ini”.5
Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang sudah lazim, kita
dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama tentang pembangunan nasional.
4
5
126.
Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 198.
Anthony Giddens, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), cet. I, h.
Pandangan itu, berangkat dari apa yang dimaksudkan agama Islam tentang fungsi
ekonomi dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua faktor utama: Arti
barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagaimana masyarakat menggunakan
barang dan jasa tersebut. Modal, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang
diperlukan untuk membuat sesuatu barang atau jasa bagi kehidupan masyarakat.
Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa keuntungan/profit
merupakan hasil sekunder yang tidak hanya memperbaiki kehidupan pemilik modal,
tapi juga ia tidak berakibat menyengsarakan pembeli/pengguna barang tersebut.
Dalam ungkapan lain, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan pemilik
modal, tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan dalam hubungan antara produsen
dan konsumen. Dengan kata lain, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif,
berarti tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk memanipulasi
pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperkenankan adanya pendekatan Laisses
Faire (kebebasan penuh) yang menjadi ciri kapitalisme yang paling menonjol. Dalam
pandangan ini, benda dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah
pihak, hingga hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi ekonomi.
Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam itu, memang tidak dibenarkan
adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk
mencegah terjadinya eksploitasi itu sendiri. Dengan ungkapan lain, yang dijauhi oleh
Islam bukanlah pencarian laba/untung dari sebuah transaksi ekonomi, melainkan
sebuah pencarian laba/untung yang bersifat eksploitatif. Di sinilah peranan negara
menjadi sangat penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara yang
terhimpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Factor kepentingan manusia harus
diutamakan dari mekanisme pasar dan bukan sebaliknya.
Lepas dari perdebatan tentang bagaimana memahami globalisasi, nyatanya saat
ini telah terjadi ketimpangan distribusi dan pendapatan antara negara maju di satu sisi
dan negara miskin dan berkembang. Sejumlah negara harus bekerja keras mengatasi
kemiskinan yang mendera negaranya. Besarnya angka pengangguran dan tingkat
kriminalitas menjadi persoalan utama bagi negara-negara tersebut saat ini. Sementara
di saat bersamaan, tingkat konsumsi dan kwalitas hidup rata-rata masyarakat di
negara maju justeru semakin meningkat. Apalagi, rata-rata negara-negara miskin
tersebut tercatat sebagai negara yang menjadi pengikut patuh dan setia dari ajaran
pasar bebas di bawah kendali kekuasaan globalisasi ekonomi.
Mengenai ketimpangan antar negara pada dekade belakangan ini, Anthony
Giddens mencatat bahwa mekanisme pengendalian bagi ekonomi global yang ada
saat ini terlalu diarahkan kepada negara-negara kaya, khususnya negara-negara
industrial besar yang membentuk kelompok G7 dan G8. Pada tahun 1965 rata-rata
pendapatan per kapita di negara-negara G7 20 kali lebih besar dari pendapatan per
kapita di tujuh negara paling miskin. Tahun 1997 rasionya adalah 40 banding 1.6
Lebih rinci, Rudolf H. Strahm,7 yang mencatat tingkat konsumsi negara-negara
industri pada tahun 1980 yang mencapai angka yang mengesankan. Rudolf mencatat
bahwa 26% penduduk dunia (yang berada di negara-negara industri Blok Barat dan
6
Giddens, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya, h. 129.
Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga; Menelaah Kegagalan Pembangunan di
Negara Berkembang (Jakarta: PT. Pusaka CIDESINDO, 1999), cet. I, h. 3.
7
Blok Timur) menguasai lebih dari 78% produksi,8 81% penggunaan energi, 70%
pupuk, dan 87% persenjataan dunia. Sementara itu, 74% penduduk dunia di negaranegara berkembang (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) hanya mendapat jatah sekitar
seperlima produksi dan kekayaan dunia.
Berbagai ketimpangan pendapatan dan distribusi antara negara maju dan
berkembang tersebut ditenggarai merupakan akibat dari proses globalisasi yang
menjalar dan membawa kepentingan negara-negara industri maju. Pengaruh pasar
bebas, yang merupakan jantung dari semangat globalisasi tersebut menyebabkan
negara-negara berkembang atau dunia ketiga tidak mendapatkan kesempatan untuk
berkompetisi secara fair dan sehat. Hal ini diakibatkan karena formasi sosial global
baru menetapkan mekanisme perdagangan lewat pasar bebas mulai ditetapkan.
Kebijakan free trade yang bermula lewat ditandatanganinya sejumlah kesepakatan
perdagangan internasional pada bulan April tahun 1994 di Marrakesh, Maroko, yakni
suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement
on Tarrif and Trade (GATT). GATT merupakan suatu kumpulan aturan internasional
yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah. GATT juga merupakan forum
negosiasi perdagangan antar pemerintah, serta juga merupakan pengadilan untuk
menyelesaikan jika terjadi perselisihan dagang antar bangsa. Kesepakatan itu
dibangun di atas asumsi bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding
sistem yang proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan bebas
8
Produksi diukur dengan apa yang disebut GNP (Gross National Product). Di sini angka GNP
ini mencakup produksi satu negara dalam setahun, termasuk barang dan jasa. Barang-barang dinilai
dalam satuan mata uang sesuai dengan harga pasar. Apa-apa yang yang tidak memiliki nilai ekonomi
tidak dicakup oleh GNP (misalnya pekerjaan ibu rumah tangga, udara dan air yang dipakai,
pencemaran lingkungan, dll.) GNP kira-kira sesuai dengan pendapatan sebuah negara.
akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip-prinsip efektivitas dan
efisiensi.
Pada tahun 1995, juga didirikan suatu organisasi pengawasan dan kontrol
perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO) yang
mengambil alih peran GATT. Sampai saat ini, WTO merupakan salah satu aktor dan
forum perundingan antar perdagangan dari mekanisme globalisasi yang terpenting.
Kelahiran WTO mengikuti dua organisasi sebelumnya, IMF dan Bank Dunia, yang
bekerja untuk memberikan bantuan keuangan bagi pembangunan di negara-negara
berkembang. Akan tetapi, ketiga organisasi ini mempunyai misi yang sama, yaitu
mensponsori proses globalisasi yang dibangun lewat prinsip-prinsip liberalisasi dan
mekanisme pasar bebas.
Semua mekanisme dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor
globalisasi yakni IMF, Bank Dunia, WTO, dan Trans National Corporation (TNC)
tersebut sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan neo
liberalisme. Para penganut paham ekonomi neo liberalisme percaya bahwa
pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”.
Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa pasar bebas adalah cara
yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka
untuk memenuhi kebutuhan manusia.9 lebih jauh, penganut neo liberalisme meyakini
bahwa aktivitas ekonomi yang mensandarkan dirinya pada mekanisme pasar bebas
9
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: INSIST dan
Pustaka Pelajar, 2002), cet. I, h. 216.
yang kompetitif tidak hanya akan menghasilkan efisiensi ekonomi, tetapi merupakan
jaminan bagi kebebasan individual dan solidaritas sosial.10
Demikian halnya dengan Indonesia. Negara yang pernah mencatat prestasi di
masa keajaiban ekonomi Asia Timur ini, juga tidak luput dari pengaruh globalisasi.
Sejak kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia berturut-turut sampai hari ini
terus dirundung oleh krisis yang berkepanjangan. Kondisi perekonomian semakin
buruk, tingkat kwalitas dan harapan hidup masyarakat menurun, dan jumlah
pengangguran yang cenderung terus meningkat. Dilihat dari jumlah negara-negara
lain di Asia Tenggara yang juga tertimpa krisis serupa pada tahun 1997-an, Indonesia
menjadi negara dengan proses pemulihan ekonomi yang relatif lambat. Betapa tidak,
ketika Malaysia, Thailand, Fhilipina tengah bangkit dari keterpurukan mereka,
Indonesia malah masuk dalam jerat kemiskinan dan beban utang luar negeri yang
semakin tinggi.
Sejak berlangsungnya krisis, banyak yang menilai bahwa kebijakan ekonomi
negara-negara Asia telah salah arah. Hal ini menjadi penyebab utama kekacauan yang
tengah dialami perekonomian negara-negara tersebut. Sebagian kalangan bahkan
menilai bahwa intervensi negara yang aktif dalam dalam sistem perekonomian
merupakan akar dari masalah yang terjadi. Sebagian yang lain mengatakan bahwa hal
ini adalah akibat dari ekspansi sentralisme ekonomi kekuasaan Orde Baru selama satu
dasawarsa. Pada intinya, semua pendapat tersebut menunding ketidakberhasilan dan
kegagalan pemerintah dalam urusan perekonomian. Sikap dan peran pemerintah
10
Anthony Giddens, Beyond Left and Right; Tarian “ideologi Alternatif di atas Pusaran
Sosialisme dan Kapitalisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), cet. I, h. 60.
menjadi tumbal, tanpa ada orang sedikitpun yang menyebutkan fakta-fakta
keberhasilan pemerintah selama tiga dasawarsa, di mana pemerintah memberikan
kontribusi positif bagi proses pembangunan ekonomi di Indonesia.
Di sinilah letak persoalannya, ketika Indonesia masuk dalam setting ekonomi
global lewat tangan IMF dan Bank Dunia, sejak itu pula pemerintah dihadapkan pada
konsekwensi penerapan paradigma ekonomi neo liberal. Yang artinya, kekuasaan
ekonomi haruslah terletak pada mekanisme yang terjadi dalam pasar, dan sebisa
mungkin menjauhkan peran negara dalam hal aktivitas-aktivitas ekonomi dalam
masyarakat. Pandangan tersebut menarik untuk dipelajari. Di tengah krisis ekonomi
Indonesia yang panjang, dan kondisi masyarakatnya yang memprihatinkan, semakin
besar tuntutan agar negara -pemerintah- dapat berperan dalam menjamin
kesejahteraan masyarakat. Hal ini menandakan telah terjadi disharmoni secara
ideologis dan paradigmatik mengenai bagaimana mendefinisikan ulang peran dan
fungsi negara pada saat ini.
Pandangan mengenai perlunya negara bertanggung jawab atas pemenuhan
kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi rakyat saat ini, dilandasi oleh mandat
konstitusional yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam Bab
“Kesejahteraan Sosial” Pasal 33. Pada intinya pasal tersebut mengatur peran dan
fungsi negara dalam a) penguasaan cabang-cabang produksi penting untuk
kepentingan rakyat banyak. Dan b) pendistribusian kekayaan alam Indonesia untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat. Berikutnya adalah tuntutan dari perjanjian
internasional mengenai kewajiban negara (State Obligation) dalam pemenuhan Hak
ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) merupakan bagian tak
terpisahkan dari hukum Hak Asasi Manusia internasional. Sebagaimana yang
tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang
menyatakan bahwa tugas negara adalah melindungi martabat yang melekat pada
manusia. Namun DUHAM bukan sekedar memberikan perlindungan hukum pada
individu, tapi juga perlindungan pangan.11 Hak EKOSOB muncul sebagai sebuah
tuntutan, berdasarkan pengalaman kegagalan kebijakan pembangunan Orde Baru
yang melakukan pelanggaran dalam pemenuhan hak-hak tersebut.
Dalam perjalanannya, perjuangan untuk menjadikan hak EKOSOB sebagai
bagian dari tanggung jawab negara mendapatkan tantangan yang cukup berat. Debat
ideologis mewarnai silang pendapat mengenai perjanjian yang disinyalir merupakan
“misi sosialisme” tersebut. Hal ini juga terjadi di Indonesia, kuatnya pengaruh
paradigma ekonomi neo liberalisme yang dianut para pemikir ekonomi dan kabinet
perekonomian sejak kejatuhan Soeharto, menyebabkan sampai penghujung tahun
2005 pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi kovenan tersebut. Hal ini bisa
dipahami karena intervensi negara dalam hal pemenuhan hak-hak EKOSOB dapat
menimbulkan inefisiensi dan memberikan pelajaran yang buruk bagi kemandirian
masyarakat.
Dalam situasi seperti ini, peranan lembaga keagamaan Islam untuk mensposori
pengesahan hak EKOSOB ini sangatlah strategis. Walaupun di sisi lain kita
menghadapi kenyataan bahwa lembaga-lembaga keagamaan Islam belum kelihatan
11
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan Untuk
Mewujudkan Keadilan Global (Jakarta: Komnas HAM dan Solidamor, 2002, cet. I, h. 192.
berperan secara aktif. Muhammadiyah, salah satu Organisasi Massa (ORMAS) Islam
besar di Indonesia, belum juga menunjukan keseriusan dalam merespon
perkembangan dunia saat ini, khususnya hal yang berkaitan dengan persoalan peran
negara di era globalisasi.
Mengapa Muhammadiyah punya peran strategis dalam hal ini? Karena dalam
sejarahnya, ormas Islam ini mempunyai andil yang cukup besar dalam pembentukkan
negara Republik Indonesia. Keterlibatan Muhammadiyah dalam sidang-sidang
BPUPKI sampai majlis konstituante, menggambarkan betapa organisasi ini
mempunyai concern dan kepedulian yang tinggi terhadap arah bangsa Indonesia ke
depan. Dan di saat bangsa Indonesia saat ini tengah terancam kedaulatannya akibat
ekspansi neoliberalisme, Muhammadiyah seharusnya berada di garis terdepan untuk
ikut berkontribusi bagi penyelesaian permasalahan tersebut.
Penting juga untuk diketahui di sini, bahwa sejak lama Muhammadiyah secara
aktif melaksanakan misi sosial kemasyarakatannya. Beragam agenda dan program
seperti sekolah gratis, pendirian rumah sakit dan posyandu, adalah bukti dari
konsistensi pergerakan kultural organisasi ini.
Tak pelak lagi, kajian soal negara tetap penting untuk di angkat kembali di
permukaan. Peranan strategis negara yang termaktub dalam konstitusi negara kita,
perlu mendapatkan penegasan kembali di era globalisasi saat ini. Mendapat
penjelasan yang utuh tentang peran dan fungsi negara, berarti memberi kepastian bagi
jutaan orang miskin, pengangguran, dan anak-anak yang tidak mendapatkan
kesempatan untuk menikmati pendidikan dan mendapatkan kesejahteraan di
Indonesia saat ini. Kajian ini juga mencoba untuk merefleksikan kegagalan
pembangunan dari kebijakan negara pada masa presiden Soeharto berkuasa. Untuk
kemudian dapat diambil pelajaran berharga bagi proses kebijakan pemerintah
Indonesia di masa yang akan datang. Khususnya yang berakitan dengan pemenuhan
hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pokok masalah penelitian ini adalah: sejauh manakah peran negara dalam hal
pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia? Dan bagaimanakah peran
dan pandangan Muhammadiyah terhadap persoalan tersebut. Untuk menjawab hal ini
diperlukan sebuah landasan teori yang jelas tentang negara, fungsi, dan perannya. Hal
tersebut menyangkut bagaimana konsepsi para Founding Father bangsa ini tentang
negara Indonesia yang mereka cita-citakan.
Dalam penulisan skripsi ini, pembahasan akan menitik beratkan pada usaha
merekonsepsi atau menegaskan kembali peran dan fungsi negara, khususnya
berkaitan dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dan hubungannya
dengan upaya marginalisasi peran negara di era globalisasi ini. Untuk lebih
mempermudah bahasan dalam tulisan ini, maka penulis membatasi rumusan masalah
skripsi ini diformulasikan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi, peran, dan fungsi negara?
2. Bagaimana definisi, aktor, dan pengaruh dari globalisasi?
3. Seperti apakah pengertian tentang tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB)?
4. Bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang peran negara dalam pemenuhan
hak ekosob di Indonesia?
Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Sehubungan dengan adanya pembahasan dan penulisan skripsi ini ada beberapa
hal yang dapat dikemukakan mengenai tujuannya, yaitu:
1. Untuk memberikan gambaran tentang definisi, peran, dan fungsi negara.
2. Untuk memberikan gambaran tentang definisi, prinsip, dan aktor-aktor
globalisasi.
3. Untuk memberikan gambaran tentang tanggung jawab negara dalam pemenuhan
hak ekonomi, sosial, dan budaya.
4. Untuk memberikan gambaran tentang pandangan Muhammadiyah tentang peran
dan fungsi negara dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di
Indonesia.
5. Untuk memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat akhir guna mencapai gelar
Strata satu (S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya, karya tulis ini diharapkan berguna untuk:
1. Memperoleh gambaran yang utuh tentang konsepsi negara, dan perannya di era
globalisasi
2. Menambah cakrawala pemikiran kajian politik Islam, khususnya yang berkaitan
dengan perkembangan isu-isu kontemporer
Metode Penelitian
Metodologi dalam penelitian pada sebuah karya ilmiah merupakan hal yang harus
dipegang unutk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur
sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku.
Untuk lebih terarah dalam menguraikan permasalahan dalam karya tulis ini,
penulis menyusunnya berdasarkan penelitian yang bersifat kualitatif dengan
tehnik pengumpulan data yang diterapkan berupa studi dokumentasi dan pustaka.
Dengan analisis data yang menggunakan tehnik deskriptif analitis.
Sistematika Penulisan
Bab I
: Berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penulisan, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab II
: Penulis memulai dengan tinjauan umum aspek-aspek teoritis tentang negara
(definisi, peran, dan fungsi) dan globalisasi (definisi, prinsip, dan aktor).
Bab III : Pada Bab ini, penulis mencoba menjelaskan tentang konsepsi serta prinsip
pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOB). Juga dibahas
tentang refleksi pembangunan Orde Baru dalam pemenuhan hak EKOSOB,
juga peran sosial kemasyarakatan Muhammadiyah dalam mempromosikan
hak tersebut.
Bab IV : Bab ini akan membahas pandangan Muhammadiyah tentang globalisasi
serta peran dan fungsi negara dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan
budaya.
Bab V : Penulis mengakhiri pembahasan ini dengan kata penutup yang berisi
dengan kesimpulan, saran-saran dan disertai dengan daftar pustaka.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Beberapa Pengertian Tentang Negara
A.1. Defenisi Tentang Negara
Di Indonesia, pengertian tentang negara terkesan hanya didominasi oleh
beberapa kelompok, atau bahkan hampir satu kelompok saja. Apalagi sejak
berkuasanya Orde Baru, pengertian tentang negara sedemikian rupa direduksi dan
disimplipikasi. Negara, dalam pengertian yang umumnya kita sering dengar adalah
sebuah lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan
masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Karena itulah, istilah-istilah
seperti “demi kepentingan umum,” “pembangunan untuk seluruh masyarakat,” serta
ungkapan-ungkapan lain yang senada selalu dikumandangkan dalam pernyataanpernyataan politik para petinggi negara di dunia ini. Sebagai konsekwensinya,
pengertian tersebut menjadi alasan yang ampuh bagi kelompok-kelompok
kepentingan yang menguasai negara berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan
kepentingan lain di luar dirinya atau kelompoknya.
Pandangan tentang negara sebagai lembaga netral sebenarnya hanya merupakan
salah satu teori di antara sekian banyak teori-teori yang ada tentang negara. Karena
itu dalam skripsi yang saya tulis ini, saya akan menguraikan secara singkat beberapa
pandangan lain atau teori lain tentang negara.
Prof. Miriam Budiarjo, dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, mengatakan
bahwa negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok
dari kekuasaan politik. Menurutnya “… Negara adalah agency (alat) dari masyarakat
yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat….”1
Sedangkan menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki
keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya.2
Dari dua pengertian di atas, dapat dimengerti betapa aspek kekuasaan dalam
pembicaraan tentang negara begitu sangat menonjol. Teori tentang negara seperti ini
pada perkembangannya memang seringkali dijadikan legitimasi bagi penguasanya
untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya atas nama negara. Kekuasaan
negara dalam perspektif teori Marxis-leninis menjelma dalam konsep diktator
proletariat. Alasan yang dipergunakan juga hampir sama dengan yang dikemukakan
oleh Hegel, yakni negara yang mengemban misi kesejarahan. Hegel menyatakan
bahwa negara mempunyai misi untuk membawa masyarakat manusia merealisasikan
ide universal, yakni masyarakat yang merdeka. Keinginan negara menurut Hegel
merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang. Karena itulah, negara
harus dipatuhi. Dalam konsep diktator proletariat yang dianut oleh kelompok
marxisme, misi negara juga sama, yakni merealisasikan sebuah masyarakat yang
1
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 38
2
Arif Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi
(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996) h. 6
dianggap sebagai ujung terakhir dari proses sejarah, yakni masyarakat egalitarian,
yang juga dikenal sebagai masyarakat komunis.
Mengambil inti dari ajaran Hegel, Karl Marx, yang juga sebagai murid Hegel
menyatakan bahwa
“Sejarah manusia merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Di jaman feodal, terjadi
pertentangan antara kelas bangsawan dan kelas petani; di jaman perbudakan, kelas pemilik
budak dan budaknya; di jaman kapitalisme, kelas pemilik modal dan melawan buruhnya.
Pertentangan kelas baru akan berhenti tatkala kelas buruh berkuasa dan terciptanya
masyarakat komunis.”3
Dari penjelasan mengenai teori kekuasaan negara di atas, terlihat bahwa negara
merupakan sebuah lembaga yang mandiri, yang punya kepentingan dan kemauan
sendiri. Negara memiliki misinya sendiri, yakni menciptakan masyarakat yang lebih
baik. Atas dasar ini, negara bukan lagi merupakan lembaga yang pasif, yang
kemudian menjelma menjadi alat dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam
masyarakat. Tetapi, secara aktif mencampuri urusan masyarakat, untuk menciptakan
masyarakat yang lebih baik.
Dalam perspektif yang lain, dikemukakan bahwa negara bukanlah merupakan
lembaga yang mandiri. Kebijakan yang dihasilkan negara ditentukan oleh faktor
eksternal atau faktor di luar dirinya. Dia hanyalah sebuah arena di mana setiap
kekuatan sosial bertanding untuk menguasai.4 Negara dalam pandangan ini ibarat
3
21.
4
Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal.
Alfred Stepan, The State and Civil
Princeton University Press, 1978) h. 33.
Society
(Princeton:
kertas kosong dan bersih yang siap ditulisi oleh siapapun, bukan oleh kertas itu
sendiri.
Ada dua kelompok utama yang mewakili pandangan tersebut. Kelompok
pertama diwakili oleh kaum pluralis. Mereka mengatakan bahwa negara hanya
melaksanakan kepentingan yang beraneka ragam yang ada di masyarakat. Kebijakan
negara adalah hasil dari sebuah kompromi dari kekuatan-kekuatan tersebut, tidak ada
yang mendominasi. Kalaupun ada, hal tersebut lahir dari sebuah persaingan yang
demokratis. Dalam pemikiran kaum pluralis, negara hanya hanyalah sekedar wahana
politik di mana terjadi saling kontestasi untuk memperoleh kekuasaan negara. Lain
halnya dengan kelompok kedua. Dalam hal ini diwakili oleh kelompok marxian. Bagi
kaum marxis, negara dikendalikan oleh kelompok atau kelas yang paling dominan
dalam masyarakat. Kelompok atau kelas yang dominan ini secara terus menerus akan
menduduki posisi dominan tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena kondisi
ekonomi-politik masyarakat menghendaki demikian. Mengutip pendapat seorang
pemikir marxian, Fernando Henrique Cardoso (1979),5 yang mengatakan bahwa
negara adalah “aliansi dasar, ‘fakta dominasi’ utama dari klas-klas sosial yang ada
atau dari fraksi-faksi klas yang dominan, serta aturan-aturan yang menjamin
kekuasaan mereka terhadap kelas-kelas yang ada di bawahnya”.
Dengan demikian, bila kita mencermati pemikiran kelompok marxis ini, yang
perlu diteliti adalah sistem ekonomi-politik satu masyarakat. Bilamana sistem
ekonomi-politiknya dalah kapitalis, maka yang berkuasa dan menjadi kelas yang
5
43.
Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal.
dominan dalam negara adalah klas borjuis. Maka wajar jika kelompok marxis ini
mengatakan bahwa negara hanya merupakan alat bagi kepentingan kelompok borjuis
untuk merealisasikan dan meraih cita-cita ekonomi-politiknya sendiri. Kalaupun ada
bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara terhadapa kelompok lain, hal
tersebut hanyalah bersifat semu. Karena sama sekali tidak merubah watak dasar
negara yang menjadi alat dari kelas borjuis.
Di atas segalanya, dari berbagai perspektif dan teori yang muncul tentang
negara, sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang
berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundangundangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
A.2. Peran dan Fungsi Negara
Sebagai sebuah lembaga yang mendapatkan kekuasaan yang sah untuk
memaksakan tujuan-tujuan bersama masyarakat, negara dengan kekuasaan yang
dimilikinya dapat menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan
dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan, ataupun
negara itu sendiri. Dengan demikian dia dapat membimbing kelompok-kelompok
sosial di dalamnya kepada tujuan bersama. Secara umum dapat disebutkan dua peran
utama negara:6
6
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik
Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet. XXI, h. 39.
(Jakarta:
PT
1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni
yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang
membahayakan
2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongangolongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.
Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi –asosiasi kemasyarakatan
disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan
perantaraan pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya.
Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan
teratur; maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang
memperjuangkan kekuasaan, harus dapat menempatkan diri dalam
rangka ini.
Dalam lapangan ekonomi, ketika konsep negara modern muncul
pada abad ke-17, negara samasekali tidak terlibat dalam bidang
ekonomi. Negara hanya berperan menarik pajak dari warga negara.
Baru ketika ekonomi Keynesian diintrodusir pada tahun 1930-an,
keterlibatan negara di dalam ekonomi muncul secara perlahan dan
masuk dalam banyak bidang. Beberapa pola keterlibatan negara
dalam ekonomi menurut Chrstopher pierson dalam bukunya The
Modern State adalah sebagai berikut:7
a. Negara sebagai pemilik; yakni negara mempunyai hak atas kepemilikan tanah
maupun modal. Di Indonesia oleh pasal 33 UUD 2002 ditetapkan bahwa
7
Ignatius
Wibowo,
Francis
Wahono,
dkk.,
Neoliberalisme
(Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), cet. I, h.
271.
negara “menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.”
b. Negara sebagai pemilik dan produsen; yaitu negara adalah sebagai pemilik
perusahaan-perusahaan milik negara yang menjadi pilar utama dalam
perekonomian. Perusahaan-perusahaan ini pada umumnya bergerak di bidang
yang menyangkut kepentingan umum, seperti air, minyak, gas, dan lainnya.
c. Negara sebagai majikan; yaitu negara memberikan peluang kerja bagi
rakyatnya. hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah perusahaan
negara.
d. Negara sebagai regulator; negara diberikan kewenangan untuk melakukan
intervensi secara administratif atau secara legislatif untuk mengontrol perilaku
aktor-aktor pasar.
e. Negara sebagai redistributor; yaitu negara menjalankan tugas memeratakan
kekayaan dengan cara penarikan pajak.
f. Negara sebagai pembuat kebijakan ekonomi; Dalam hal ini Pierson
menegaskan 4 hal: 1) negara menetapkan serangkaian target-target ekonomi
2) negara menetapkan kebijakan moneter 3) negara menetapkan kebijakan di
bidang pendapatan (income). Hal ini dilakukan untuk memeratakan
pendapatan 4) negara membuat kebijakan industrial policy, yang mempunyai
pengaruh langsung kepada industri.
Mengenai tujuan sebuah negara, Prof. Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasardasar Ilmu Politik mengatakan bahwa “… Negara dapat dipandang sebagai asosiasi
manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama….”
Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan
bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal). Artinya, secara
umum, dan terlepas dari ideologi apapun yang dianut sebuah negara, negara
mempunyai kewajiban untuk melakukan perlindungan dan berusaha untuk
mensejahterakan rakyatnya.
Pandangan tentang tujuan negara tersebut secara eksplisit juga tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan negara Republik Indonesia.
Yaitu:
“untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” dengan berdasarkan
kepada: Ketuhanan Yang Mahaesa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmahkebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”8
Setiap negara, menurut Prof. Miriam Budiarjo terlepas dari ideologinya,
menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu yaitu:9
Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan
mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus
melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai
“stabilisator”.
8
Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen&Proses Amandemen UUUD
1945 Secara Lengkap (Pertama 1999 – Keempat 2002), (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002), cet. I, h. 3.
9
Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 46.
Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini
dianggap penting. Terutama bagi negara-negara baru.
Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar.
Untuk ini negara perlu dilengkapi dengan alat pertahanan.
Menegakkan keadilan; hal ini dilakukan melalui badan peradilan.
Diskursus teoritik tentang peran negara berkembang sangat jauh pada dekade
akhir abad 20. Khususnya terkait dengan fungsi dan perannya dalam menghadapi era
baru bernama globalisasi. Praktek dominan dari peran negara digugat, intervensi yang
berlebihan terhadap segala lapangan kehidupan masyarakat dianggap menjadi
penyakit dunia di abad modern.
Menyangkut peran negara bangsa, Kenichi Ohmae, sebagai pendukung tesis
ekstrim globalisasi mengatakan bahwa dalam pasar dunia yang semakin kompetitif
sekarang ini negara-negara bangsa (nation state) tidak lagi mempunyai sumbersumber yang tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mendukung
dalam mewujudkan ambisi mereka.1 Dalam dunia baru, yaitu “dunia tanpa batas
negara” (a world without borders), demikian Ohame mengatakan, negara-negara
bangsa dan penguasaan terhada militer tidak lagi memainkan peran penting.2 Bahkan
peran mereka semakin memudar, dan secara meyakinkan akan segera digantikan oleh
peran penting yangs emakin meningkat oleh aktor-aktor nonteritorial, seperti
perusahaan-perusahaan multinasional dan orgaisasi-organisasi internasional.
1
Kenichi Ohmae, Dunia Tanpa Batas (Jakarta: Binarupa Aksara, 1991),
cet I, h. 11.
2
Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru; Peran Negara
Dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005), cet. I , h. 44.
Oleh karenanya, diskusi tentang peran negara dalam wacana politik
internasional tetap penting dikemukakan. Kajian ini secara teoritik akan
menempatkan letak persoalan yang sesungguhnya tentang globalisasi dan peran
negara. Seperti yang diungkapkan secara tegas oleh Stiglitz, “…isunya bukan apakah
globalisasi bisa menjadi kekuatan pendorong kebaikan yang bermanfaat bagi kaum
miskin dunia; jelas itu bisa. Melainkan, perlunya globalisasi dikelola secara tepat
karena seringnya dikelola secara serampangan….”3
Beberapa Pengertian Tentang Globalisasi
B.1. Definisi Globalisasi
Sebagai sebuah istilah, globalisasi lebih sering diungkapkan dan
diperbincangkan tanpa berhasil mengungkap inti dari persoalannya.
Pembicaraan ilmiah terasa kurang lengkap tanpa mengutip kata
globalisasi. Presentasi bisnis menjadikan perbincangan soal
globalisasi sebagai isu menarik dan sebuah tantangan yang harus
dihadapi. Singkatnya, kata globalisasi dalam dasawarsa terakhir
berhasil menyedot perhatian masyarakat dunia secara umum.
Istilah globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan
untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Memasuki
milenium ketiga, dunia berubah dengan sangat cepat sehingga
menimbulkan implikasi yang sangat kompleks, yaitu munculnya
saling ketergantungan (interdependence) dalam hampir seluruh
3
Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula
Petaka Ekonomi Dunia (Tangerang, Marjin Kiri, 2006), cet I, h. 215.
dimensi kehidupan dalam hubungan antar bangsa (nation-state) dan
hubungan transnasional (transnational relation). Perubahanperubahan yang sangat cepat inilah yang kemudian disebut dengan
globalisasi.
Dalam sebuah proses yang dialektis, pandangan-pandangan yang
muncul tentang globalisasi setidaknya melahirkan dua kelompok.
Pertama, adalah kelompok yang optimis terhadap globalisasi.
Mereka menganggap globalisasi tidak hanya riil di mana
perkembangan pasar global jauh lebih pesat dari tahun 1960 – 1970an. Karena pada prosesnya, globalisasi memberi peluang besar bagi
perkembangan manusia. Perkembangan tersebut dapat ditunjuk
dari keterkaitan antara “keterbukaan ekonomi suatu negara dengan
perbaikan kondisi hidup, khususnya secara mencolok di negaranegara berkembang, diukur lewat Human Development Index”.
Selain itu, berkah globalisasi juga dapat dilihat dari terbukanya
peluang komunikasi seluas dunia, sehingga memungkinkan terjadi
komunikasi dan kerjasama seluas dunia itu pula. Konsep globalisasi
menurut kelompok ini merupakan fenomena di mana batas-batas
negara bangsa tidak lagi relevan untuk didiskusikan. Persoalan
kontemporer saat ini tidak dapat dipelajari secara memadai hanya
pada tingkatan negara bangsa dalam hubungan-hubungan
internasional.4 Kelompok kedua, adalah mereka yang skeptis
terhadap globalisasi. Mereka berpendapat semua hal yang
dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong kosong. Proses
4
Winarno, Globalisasi
Dalam Pembangunan, hal. 37.
Wujud
Imperialisme
Baru
Peran
Negara
globalisasi memunculkan efek-efek negatif yang menghambat
perkembangan manusia. Ancaman-ancaman dan perusakan atas
kehidupan manusia dan kehidupan bumi menjadi masalah serius
yang kita hadapi masa kini. Misalnya saja, di tengah 826 juta
penduduk bumi menderita kekurangan gizi dan 10 juta orang mati
karena tidak mempunyai akses terhadap kesehatan,5 terjadi
kesenjangan dan ketidakmerataan pembagian konsumsi secara
tajam, yaitu antara negara maju dan negara-negara miskin. Secara
singkat, globalisasi hanya melahirkan wajah muram dunia akibat
ancaman kerusakan, baik ekologis, sosial, ekonomi dan budaya.
Setelah kita melihat pandangan-pandangan tentang dampak dari
globalisasi, seyogyanya kita memahami secara definitif arti dari
globalisasi itu sendiri. Setidaknya ada tiga hal yang sering kita
temukan dalam mendefinisikan globalisasi, yaitu kesalinghubungan,
integrasi, dan kesalingterkaitan.
Definisi tentang globalisasi dalam perspektif kesalinghubungan
adalah seperti yang pertama, dikemukakan oleh Lodge (1991) yang
mendefinisikan bahwa globalisasi sebagai suatu proses yang
menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang
lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan
mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun
lingkungan.6 Dengan pengertian demikian, maka globalisasi boleh
dikatakan bahwa masayarakat dunia hidup dalam era di mana
5
Laporan World Health Organization (WHO), 2001.
Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru
Dalam Pembangunan, hal. 39.
6
Peran
Negara
sebagian besar kehidupan mereka sangat ditentukan oleh prosesproses global.
Definisi kedua tentang globalisasi seperti yang diungkapkan oleh
Ichlasul Amal bahwa globalisasi merupakan proses munculnya
masayarakat global, yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik,
dengan melampaui batas-batas negara, baik ideologis, dan lembagalembaga politik dunia.7 Definisi inilebih mirip dengan keyakinan
kaum globalis yang memahami globalisasi sebagai terwujudnya
sebuah ekonomi dunia yang terintegrasi. Bangsa-bangsa yang
mendukung pandangan ini dengan cara menghilangkan hambatanhambatan terhadap perdagangan internasional, sehingga
memudahkan arus perdagangan, investasi, dan mata uang secara
bebas melintasi batas-batas nasional. pada konteks ini,
sesungguhnya integrasi ekonomi nasional menuju sistem global yang
dikenal dengan globalisasi korporasi telah terjadi. Kesepakatan
tersebut secara teoritik berhasil memaksakan keinginan
perusahaan-perusahaan korporasi global untuk mendesakkan
terjadinya reformasi kebijakan nasional (deregulasi) di negaranegara dunia ketiga. 8
Konsep ketiga adalah interdependensi, definisi ini mencakup
pengertian bahwa sistem ekonomi, khususnya sistem moneter dunia
saat ini tergantung antara satu dengan yang lain. Akibatnya,
7
Ichlasul Amal, “Globalisasi, Demokrasi, dan Wawasan Nusantara:
Perspektif Pembangunan Jangka Panjang,” dalam Wawasan Nusantara
Indonesia
Menghadapi
Globalisasi,
(Pusat
Kajian
Kebudayaan
Universitas Bung Hatta, 1992), cet. I, h. I.
8
Mansour Faqih, Bebas Dari Neoliberalisme (Yogyakarta: INSIST
Press, 2003), cet. I, h. 9.
kebijakan-kebijakan pada skala nasional tidak dapat begitu saja
mengabaikan peristiwa-peristiwa di tingkat global, begitupun
sebaliknya.9 Kejatuhan mata uang di Asia beberapa waktu lalu
dengan mudah dapat dijadikan kasus untuk menjelaskan konsep ini.
Dimulai dengan kejatuhan mata uang Bath di Thailand yang diikuti
oleh kejatuhan mata uang negara-negara lain yang menjadi
tetangganya, seperti Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, dan
Filipina. Ini terjadi karena kesalinghubungan (interconection) antara
sistem keuangan satu negara dengan sistem keuangan negara lain.
Di sisi yang lain, penulis seperti Petras dan Veltmeyer melihat
globalisasi sebagai suatu deskripsi dan sekaligus sebagai preskripsi.10
Sebagai sebuah deskripsi, globalisasi mengacu pada perluasan dan
dan penguatan arus perdagangan, modal, teknologi dan informasi
internasional dalam sebuah pasar global yang menyatu. Konsep ini
digunakan untuk menggamparkan fenomena dunia kontemporer di
bidang ekonomi dan perdagangan di mana batas geografis negara
bangsa tidak lagi mempunyai makna. Sebagai sebuah perskripsi,
globalisasi meliputi liberalisasi pasar global dan pasar nasional
dengan asumsi bahwa arus perdagangan bebas, modal, dan
informasi akan menciptakan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan
dan kemakmuran manusia.
9
Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara
Dalam Pembangunan, hal. 40.
10
James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), Cet. I, h. 7-8.
B.2. Prinsip-prinsip Globalisasi
Globalisasi, dalam kerangka pemikiran seperti yang sudah ditulis diatas, adalah
memastikan terbukanya jalan bagi perluasan wilayah dan praktek kerja bagi pasar
bebas. Dalam konteks ini diperlukan seperangkat aturan-aturan yang mendukung
berjalannya proses tersebut. Bagi penganut globalisasi, pasar bebas adalah
konsekwensi logis dari sebuah dunia yang berubah. Globalisasi dalam bahasa Hobbes
mengizinkan “pembeli untuk menentukan harga manusia pada skala besar-besaran,
yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia.11 tetapi pandanganpandangan mengenai globalisasi dan pasar bebas di atas tidak dapat menjelaskan
bahwa seiring dengan globalisasi, pendapatan negara-negara Dunia Ketiga atau
negara-negara yang kurang berkembang (less developed countries) jauh lebih
menurun dibandingkan dengan era tahun 1960-an dan 1970-an. Sebaliknya negaranegara maju semakin menikmati kelimpahan pendapatan dan standar hidup yang jauh
lebih tinggi. Di sinilah globalisasi masuk dalam skenario ekonomi-politik
neoliberalisme. Para penganut ekonomi neoliberalisme, percaya bahwa pertumbuhan
ekonomi dicapai dengan hasil normal dari “kompetisi bebas.” Kompetisi yang agresif
adalah akibat dari kepercayaan bahwa “pasar bebas” adalah lebih efisien dan cara
yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk
11
Susan George, Republik Pasar Bebas (Jakarta: PT Bina Rena
Pariwara, 2002), cet. I, h. 62.
memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator
apakah sumber daya alam telah habis atau masih banyak.12
Dalam prosesnya globalisasi neoliberal kemudian menganjurkan cara-cara yang
kurang lebih sama dari apa yang disarankan oleh maha guru ekonomi pasar bebas,
Adam Smith. Yaitu memberikan kebebasan bagi individu untuk menjalankan
aktivitas ekonominya tanpa dikontrol oleh negara. Dalam proses ini, negara
diupayakan menjalankan peran yang minimal. Sebab regulasi negara hanya akan
membuat “pasar” menjadi tidak efisien, atau menghambat peluang bagi individu
untuk mengakumulasi modal dan menjalankan prinsip invisible hand dalam setiap
keputusan-keputusan bisnis.
Dalam hal ini, proses globalisasi kemudian menjelma menjadi alat bagi
kepentingan ekonomi dan politik negara-negara maju untuk menguasai sumber daya
di negara-negara dunia ketiga. Dan prinsip bahwa dunia menjadi semakin sejahtera
bilamana memanfaatkan peluang-peluang dalam proses globalisasi yang semakin
agresif hanya lah menjadi mimpi rakyat di negara-negara miskin dan berkembang.
Kecenderungan ke arah ketidaksetaraan yang lebih besar antara negara-negara
maju dan berkembang ini bukanlah kebetulan dan bukan merupakan tindakan tuhan.
Kecenderungan ini merupakan efek yang terbangun atas liberalisasi, privatisasi, dan
12
Mansour Faqih, Bebas Dari Neoliberalisme (Yogyakarta: INSIST
Press, 2003), cet. I, h. 5.
integrasi yang dipaksakan ke pasar dunia melalui penyesuaian struktural, dan lebih
mengandalkan kekuatan pasar.13
B.3. Aktor-aktor Globalisasi
Globalisasi sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional
ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh tiga
aktor utama proses tersebut. Yang pertama adalah Trans-National
Corporation (TNC), yakni perusahaan multinasional yang besar
yang dengan dukungan negara-negara yang diuntungkan oleh TNC
tersebut membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global
yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO). Secara
historis, proyek globalisasi lewat pembentukan WTO ini terjadi
ketika ditetapkannya formasi sosial global baru yang ditandai
dengan kebijakan free trade atau pasar bebas. Kebijakan tersebut
lahir dari sebuah kesepakatan perjanjian internasional tentang
perdagangan di Marrakesh, Maroko pada tahun 1994. Perjanjian
tersebut dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade
(GATT). Kumpulan aturan internasional dalam Perjanjian GATT
menyangkut prinsip perilaku perdagangan antar pemerintah, forum
negoisasi, dan upaya untuk menyelesaikan perselisihan dagang antar
bangsa. Kesepakatan ini dibangun di atas asumsi bahwa sistem
dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sitem dagang yang
proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan
bebas akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip13
George, Republik Pasar Bebas, hal. 66.
prinsip efektivitas dan efisiensi. Tepat satu tahun setelah ditanda
tanganinya perjanjian GATT, yaitu pada tahun 1995 barulah
didirikan sebuah organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol
perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Organization
(WTO). Organisasi ini dibentuk untuk mengambil alih peran GATT,
dan menciptakan sebuah rezim perdagangan baru dunia.
Aktor kedua yaitu Trans/Multi Nasional Coorporation (TNC). Untuk
menjelaskan makhluk seperti apa TNC/MNC ini, penuturan dari
Omer Voss, wakil presiden eksekutif Internasional Hervester
memberikan ilustrasi yang menarik. Dia mengatakan: “jika Anda
mempunyai sebuah perusahaan patungan di Turki, dengan mesinmesin dari Jerman, sebuah sasis dari Amerika Serikat dan sebuah
sumber komponen setempat, anda harus menyentralisasikannya.
Anda mungkin harus menamakan kami terpusat dalam hal pola,
pengembangan hasil produksi, pembelian, dan keuangan.”14 Dari
apa yang dikatakan Voss, kita bisa mengidentifikasi perusahaanperusahaan multinasional sebagai perusahaan yang kegiatan
bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di
berbagai negara.
Pada era globalisasi, di mana pasar bebas menjadi prinsipnya
perusahaan-perusahaan transnasional memiliki kekuasaan yang tak
terbatas. Edward Luttwak dalam bukunya Turbo Capitalism
Winner&losser In The Global Economi menuliskan bahwa “…Pasar
bebas secara alamiah cenderung menjadi tidak bebas, karena
14
Coen Husain pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori
Menuju Gerakan Massa (Jakarta: C-Book, 2003), cet. I, h. 57.
mereka menghasilkan perusahaan-perusahaan yang sangat sukses
yang bertumbuh semakin besar hingga akhirnya menjadi monopoli,
atau sejenisnya….”. Monopoli kekuasaan atas perdagangan dunia
oleh perusahaan trans nasional ini tidak hanya mencakup sektor
industri dan perbankan. Tetapi juga sektor pertanian, konstruksi,
komunikasi, transportasi, pertahanan keamanan serta perdagangan
dan jasa. Data yang diperoleh Coen Husein Pontoh dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejumlah perusahaan multinasional
lebih dari 45.000, 500 perusahaan terbesar menguasai 80 persen dari
seluruh investasi asing langsung. Perusahan-perusahaan
multinasional juga mengontrol sekitar 70 persen dari seluruh
perdagangan dunia. Lima perusahaan terbesar di dunia menguasai
77 persen perdagangan biji-bijian (padi, jagung, gandum, dsb.) di
dunia; tiga perusahaan pisang terbesar menguasai 80 persen
perdagangan pisang dunia; tiga perusahaan cokelat terbesar
menguasai 83 persen perdagangan cokelat dunia.; tiga perusahaan
teh terbesar menguasai 85 persen perdagangan teh; dan empat
perusahan tembakau terbesar mengusai 87 persen perdagangan
tembakau dunia.15
Pada dasarnya semua proses pengintegrasian ekonomi nasional
menjadi ekonomi global (globalisasi) merupakan harapan dan hasil
perjuangan dari perusahaan-perusahaan trans nasional. Kerena
sesungguhnya merekalah yang mengambil keuntungan dari semua
proses tersebut. Selama dua dekade menjelang berakhirnya abad
15
Pontoh, Akhir Globalisasi;
Gerakan Massa, hal. 62.
Dari
Perdebatan
Teori
Menuju
lalu perusahan TNC tersebut meningkat secara kuantitas dari
sekitar 7000 TNC pada 1970 menjadi 37.000 TNC pada 1990. Pada
saat tersebut mereka menguasai 67% perdagangan dunia antar TNC
dan menguasai 34,1% dari total perdagangan global. Kini ada 100
TNC yang mampu mengontrol sampai 75% perdagangan global.16
Ketiga, adalah lembaga keuangan global. Yaitu International
Monetery Fund (IMF), dan Bank Dunia. Dua aktor keuangan
internasional ini berdiri pada tahun 1944. Ketika itu banyak negaranegara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga Breeton Wood -IMF
dan Bank Dunia- dirancang untuk memungkinkan perdagangan
internasional saat macetnya pergerakan modal internasional. Bank
Dunia dirancang untuk menutupi kekurangan investasi langsung
dan IMF untuk menutupi kekurangan kredit finansial demi menjaga
keseimbangan perdagangan. Pada akhirnya, dua lembaga ini yang
pada perjalanannya membuat proses globalisasi menjadi semakin
nyata. Lewat mekanisme utang luar negeri, IMF dan Bank Dunia
bekerja untuk memastikan agenda Stuctural Adjustment Program
(SAP) dilaksanakan oleh negara yang menjadi “pasien” nya. Agenda
tersebut mencakup prinsip-prinsip yang ada dalam Konsensus
Washington. Yaitu liberalisasi perdagangan dan keuangan,
privatisasi, dan deregulasi. Menurut Stiglitz, gagasan
fundamentalisme pasar tercermin dalam strategi dasar
pembangunan yang dianjurkan oleh IMF, Bank Dunia, dan
Departemen Keuangan AS mulai tahun 1980-an (strategi yang
mencakup juga pengelolaan krisis serta proses transisi dari
16
Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, hal. 214.
komunisme ke ekonomi pasar).17 Oleh berbagai pihak strategi ini
disebut sebagai “neoliberalisme”. Karena pemain-pemain utama
yang merencanakan semua ada di Washington, kadang disebut juga
“Konsensus Washington”.
Walaupun sesungguhnya seperti yang dicatat oleh Susan George,
seorang aktivis Association for Taxation of Financial Transaction to
aid Citizen (ATTAC) Prancis, bahwa ketika IMF dan Bank Dunia
diciptakan di Breeton Woods mandat mereka adalah untuk
menolong mencegah konflik di masa depan, dengan cara memberi
pinjaman untuk rekonstruksi dan pembangunan, dan dengan
melicinkan pembayaran neraca kontemporer. Mereka tidak
memiliki kontrol terhadap keputusan ekonomi pemerintah secara
individual, juga mandat mereka tidak mencakup izin untuk
mencampuri kebijakan nasional. Tetapi, pada prakteknya dua
lembaga ini justeru berfungsi sebagai “pasukan kavaleri” bagi
masuknya kebijakan globalisasi neoliberal dengan melakukan
sejumlah kontrol atas kebijakan negara.
Sederhananya, ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturanaturan di seputar investasi, intelectual Property Rights dan kebijakan
internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau
mempengaruhi serta memaksa negara-negara untuk melakukan
penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses
pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.
17
Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal
Mula Petaka Ekonomi Dunia (Tangerang: Marjin Kiri, 2006), cet. I, h.
243.
B.4. Globalisasi; Anak Kandung Kapitalisme
Kapitalisme di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilan
kapitalisme Dunia ketiga tengah mengalami kebangkrutan. Namun negara-negara kapitalis atau imperial pusat telah
mampu mengantisipasi hal tersebut, dimana untuk mempercepat laju kapitalisme diperlukan sebuah proses yang disebut
dengan globalisasi.
Krisis terhadap pembangunan yang terjadi pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan
eksploitasi manusia atas manusia yang lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses ini pada
dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode; fase pertama adalah periode kolonialisme yakni perkembangan kapitalisme di
Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Berakhirnya
kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo-kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik
dan secara langsung melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan
atau era developmentalisme dan ditandai dengan masa kemerdekaan negara Dunia Ketiga secara fisik, tetapi pada era
developmentalisme ini, dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui
kontrol teori dan proses perubahan sosial mereka. Dengan kata lain, pada fase kedua ini, kolonialisasi tidak terjadi secara
fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta ‘diskursus’ yang dominan melalui
produksi pengetahuan. Krisis terhadap pembangunan belum berakhir, tetapi suatu mode of domination telah disiapkan, dan
dunia memasuki era baru yakni era globalisasi. Fase ketiga, yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan
liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui Structural Adjustment Program (SAP) oleh lembaga finansial global,
dan disepakati oleh rezim GATT dan Perdagangan Bebas, suatu organisasi global yang dikenal dengan WTO. Sejak saat
itulah dunia memasuki era yang dikenal dengan globalisasi.
Kapitalisme, yang menjadi basis sistem dan gerak operasi dari proses globalisasi saat ini tentu saja mempunyai
kekhasannya tersendiri. Bagi kalangan yang sangat optimis terhadap globalisasi, seperti Thomas L Friedmean dan beberap
penulis yang lain, globalisasi adalah satu-satunya jalan yang dapat digunakan umat manusia untuk mendapatkan standar
hidup yang lebih baik. Runtuhnya berbagai sistem ekonomi yang menjadi “rival” kapitalisme, telah meyakinkan sebagian
kelompok ini bahwa globalisasi dan liberalisasi pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang
lebih tinggi, kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi. Sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh sosialisme ataupun
komunisme.18 Rezim kapitalisme global yang berjaya sekarang memiliki sejumlah hal baru yang membuatnya berbeda dari
bentuk sebelumnya. Kecepatan komunikasi yang merupakan salah satu hal baru, penemuan telepon dan telegraf
mencerminkan suatu akselerasi yang setidaknya sama besar dengan perkembangan komputer saat ini. Tetapi, secara
operasional, praktek kapitalisme mutakhir tetap mewarisi tradis lama kapitalisme. Prinsip kebebasan pasar dan mendorong
kebebasan individual dalam menentukan gerak aktivitas ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dihilangkan. Lebih luas
lagi, globalisasi yang dikontrol oleh rezim kapitalisme global ini mencakup wilayah yang lebih luas dari kekuasaan yang
dimiliki sebelumnya. Ia mengatur seluruh peradaban, walaupun sebenarnya dia tidak memiliki struktur formal kedaulatan
negara, sebagaimana kekuasaan itu lahir darinya. Yang pada akhirnya, seperti yang diungkapkan oleh George Soros,
sistem kapitalisme global memperlihatkan sejumlah kecenderungan imperialistik. Alih-alih berupaya membangun
ekuilibrium, ia bahkan sibuk melakukan ekspansi. Ia tidak berhenti sepanjang masih ada pasar atau sumber daya yang
belum dicaplok.19 Dalam bahasa yang diungkapkan Petras, karena globalisasi merupakan sebuah proyek kelas, bukannya
sebagai proses yang niscaya, maka jaringan lembaga-lembaga yang menentukan sistem perekonomian global yang baru
dilihat bukan dalam pengertian struktural, tetapi dalam pengertian kesengajaan atau ketergantungan, yang dikendalikan
oleh kelompok/orang yang merepresentasikan dan mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional
baru. Karena itu, Petras lebih senang menyebut globalisasi sebagai imperialisme.20
Dari penjelasan di atas, sejatinya kita saksikan bahwa globalisasi yang menjadi “obat kuat” bagi terjaminnya masa
depan dunia malah menjadi momok yang menakutkan. Propaganda kapitalisme tentang globalisasi justeru mengantarkan
kita pada ketidakjelasan memaknai hakikat dari perkembangan dunia saat ini. Kapitalisme, sebagai anak kandung dari
globalisasi dan sekaligus poros dari liberalisasi ekonomi menciptakan tantangan-tantangan baru bagi pembangunan
kesejahteraan sosial. Untuk itu diperlukan pemahaman yang jelas tentang apa dan bagaimana sebuah negara-bangsa
dibentuk dalam kaitannya dengan globalisasi dan pemenuhan hak-hak sosial masyarakat.
C. Welfare State
18
Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran
Negara Dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005), cet. I,
h. 72.
19
George Soros, Krisis Kapitalisme Global, alih bahasa: Didin
Solahudin (Yogyakarta: Penerbit QALAM, 2002), cet. III, h. 132.
20
James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21
(Yogyakarta: Kreasi wacana, 2002), cet. I, h. 9-10.
Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai penjaga malam guna
menjamin mekanisme pasar berjalan lancar dan campur tangan negara yang terlalu
besar dianggap hanya akan mengganggu beroperasinya pasar. Karenanya, dalam
situasi yang tanpa “tangan pengatur keadilan” seperti itu, kapitalisme mudah
terpeleset kedalam arogansi ekonomi, homo homini lupus, dan hedonisme yang
melihat manusia hanya sebatas “binatang ekonomi” (homo economicus) yang
motivasi, kebutuhan dan kesenangannya hanya mengejar pemuasan fisik-materi.
Patokan tindakannya akan bercorak utilitarianistik, asas “sebesar-besarnya manfaat
dari sekecil-kecilnya pengorbanan”. Dalam praktiknya, “manfaat” di sini kerap
merosot
maknanya
menjadi
sekadar
“konsumerisme-materialisme”
dan
“pengorbanan” sering terpeleset menjadi penindasan terselubung “si kuat terhadap si
lemah”,
“majikan
terhadap
buruh”,
“penguasa
terhadap
yang
terkuasai”.
Produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan didewakan, sementara solidaritas,
effektifitas, dan kesetaraan ditiadakan.
Itulah salah satu dasarnya mengapa di negara-negara kapitalis, pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak dipandang sebagai dua “sektor” yang
berlainan dan berlawanan. Keduanya dijalankan secara serasi dan seimbang yang
dibingkai oleh formulasi historis dan sosiologis yang bernama “negara kesejahteraan”
(welfare state).21 Sebagaimana dinyatakan oleh pemikir sosialis Jerman Robert
Heilbroner (1976), negara kesejahteraan merupakan sebuah ideologi, sistem dan
sekaligus strategi yang jitu untuk mengatasi dampak negatif kapitalisme. Karena
21
Edi Suharto, “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan:
Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di
Indonesia,”
artikel
diakses
tanggal
10
Maret
2005
dari
http://www.policy.hu/suharto/makIndo10.html
menurutnya, perlawanan terhadap kapitalisme di masa depan memang tidak dapat dan
sudah seharusnya tidak diarahkan untuk membongkar total sistem ini, melainkan
untuk mengubah sistem yang “unggul” ini agar lebih berwajah manusiawi
(compassionate capitalism) dalam mengatasi akibat mekanisme pasar yang tidak
sempurna.
Merujuk pada Spicker (1988:77) negara kesejahteraan dapat didefinisikan
sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada
negara (pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin
terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Menurut Marshall (1981) negara
kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern yang sejalan dengan
ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik demokratis. 22 Negara-negara yang
termasuk dalam kategori ini adalah Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru
serta sebagian besar negara-negara Eropa Barat dan Utara. Negara-negara yang tidak
dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan adalah negara-negara
bekas Uni Soviet dan “Blok Timur”, karena mereka tidak termasuk negara-negara
demokratis maupun kapitalis.
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19
yang
ditujukan
untuk
mengubah
kapitalisme
menjadi
lebih
manusiawi
(compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan
lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme. Hingga saat ini, negara
kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya
22
Edi Suharto, “Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan
Sosial; Spektrum Pemikiran,” artikel diakses tanggal 10 Maret 2005
dari http://www.policy.hu/suharto/makIndo10.html
anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat
model, yakni:23
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti
Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah
menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan
merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total
belanja negara.
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model
pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi
kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll
contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia
Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah,
seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian
perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi
pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis,
Spanyol, Yunani, Portugis, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina,
Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen
dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara
23
Suharto, “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan:
Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di
Indonesia.”
sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai
negeri dan swasta yang mampu mengiur.
Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa sejatinya negara kesejahteraan
adalah bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama kelompok lemah
seperti orang miskin, cacat, penganggur agar terhindar dari gilasan mesin kapitalisme.
Pertanyaanya adalah: atas dasar apa negara harus melindungi kelompok lemah,
seperti orang miskin dan orang yang tidak (bisa) bekerja? Ada beberapa alasan
mengapa negara diperlukan dalam mengatur dan melaksanakan pembangunan
kesejahteraan sosial:
Pertama, pembangunan kesejahteraan sosial merupakan salah satu piranti
keadilan sosial yang kongkrit, terencana dan terarah, serta manifestasi pembelaan
terhadap masyarakat kelas bawah. Tidak semua warga negara memiliki kemampuan
dan kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara wajib
melindungi dan menjamin kelompok-kelompok rentan yang tercecer dalam balapan
pembangunan.
Seperti kita ketahui bersama, kekayaan dan sumberdaya yang ada di suatu
negara bahkan seluruh bumi kita ini sangat terbatas. Dengan demikian, jika ada
seseorang atau sekelompok orang hidupnya lebih makmur pada dasarnya hanya
dimungkinkan jika kelompok lain bersedia atau terpaksa hidup tidak makmur.
Apabila proses pembangunan dianalogikan dengan lomba memperebutkan kue tart,
maka seseorang yang memperoleh potongan kue lebih besar pada dasarnya
dimungkinkan karena yang lain mendapat bagian yang lebih kecil. Sekalipun setiap
orang memiliki kesempatan sama, tidak ada jaminan bahwa setiap orang akan
memperoleh potongan kue yang sama. Umpamakan saja kue itu di simpan di tengah
lapangan dan setiap orang memiliki jarak sama untuk memperoleh kue itu. Tetapi
tetap saja orang yang kuat akan melesat lebih cepat dan mendapat potongan kue yang
lebih besar ketimbang kelompok sosial yang lemah lainnya.
Dirumuskan secara tajam, realitasnya adalah: kemakmuran suatu kelompok
sering dimungkinkan dan bibiayai oleh kelompok lainnya. Maka, selain negara wajib
memberi kesempatan sama kepada setiap orang untuk berusaha, ia harus tetap
memperhatikan keterbatasan kelompok lemah sebagai kompensasi dan wujud
keadilan sosial.
Kedua, semakin memudarnya solidaritas sosial dan ikatan kekeluargaan pada
masyarakat modern membuat pelayanan sosial yang tadinya mampu disediakan
lembaga keluarga dan keagamaan semakin melemah. Pembangunan kesejahteraan
sosial seringkali tidak menghasilkan keuntungan ekonomi bagi penyelenggaranya,
sehingga kurang menarik minat pihak swasta untuk berinvestasi di bidang ini.
Dengan kebijakan yang didukung UU, negara memiliki legitimasi kuat melaksanakan
investasi sosial berdasarkan "risk-sharing across populations" yang dananya
dialokasikan dari hasil pajak dan sumber pembangunan lainnya.
Meskipun secara ekonomi jangka pendek pembangunan kesejahteraan sosial
adalah pendekatan yang tidak profitable, secara sosial politik makro jangka panjang
ia dapat menjadi investasi sosial yang menguntungkan. Pembangunan kesejahteraan
sosial dapat meredam kesenjangan dan kecemburuan sosial yang merupakan
prasyarat dan rahasia tercapainya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan yang
berkesinambungan, stabilitas politik dan kesejahteraan bersama.
Ketiga, negara perlu memberikan pelayanan sosial (social services) kepada
warganya sebagai bentuk tanggungjawab moral terhadap rakyat yang memilihnya.
Salah satu wewenang yang diberikan publik kepada negara adalah memungut pajak
dari rakyat. Karenanya, prinsip utama yang mendorong mengapa negara perlu
memberikan jaminan sosial adalah bahwa semua bentuk perlindungan sosial di atas
termasuk dalam kategori “hak-hak dasar warga negara” yang wajib dipenuhi oleh
negara sebagai wujud pertanggungjawaban moral terhadap konstituen yang telah
memilihnya.
Keempat, manusia cenderung berpandangan "myopic" (pendek) sehingga
kurang tertarik mengikuti program-program sosial jangka panjang. Negara bersifat
paternalistik (pelindung) yang mampu memberikan jaminan sosial secara luas dan
merata guna menghadapi resiko-resiko masa depan yang tidak tentu, seperti sakit,
kematian, pensiun, kecacatan, bencana alam, dan sebagainya.
BAB III
MENUJU PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL,
DAN BUDAYA OLEH NEGARA
“…Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”
(Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945)
Kerangka Normatif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Tujuan pendirian bangsa Indonesia yang telah merdeka dari kolonialisme
seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tujuan
yang amat mulia. Yaitu memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan yang seluasluasnya bagi rakyat Indonesia. Demikian pula pada umumnya gagasan kesejahteraan
dan keadilan sosial menjadi spirit negara-negara di dunia ketiga ketika lepas dari
kolonialisme Barat.
Kenyataannya saat ini, kita dihadapkan pada situasi di mana ketimpangan antar
negara semakin lebar. Negara-negara maju, yang memperoleh kekuasaan atas
monopoli dan akses terhadap modal mengalami perkembangan yang pesat dalam
pembangunan dan industrialisasi. Sebaliknya negara-negara di dunia ketiga, termasuk
Indonesia yang nota bene penyumbang dari suplay bahan mentah kepada negaranegara maju tengah dirundung oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan
(underdevelopment). Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat fakta
tersebut adalah dengan melihat angka tingkat kesenjangan. Angka tersebut
menunjukan bahwa hanya dalam waktu lima tahun (1988-1993), gini coeficient
(indikator kesenjangan kekayaan) melonjak dari 62,5 menjadi 66,0. Satu persen (1%)
warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang diterima 57% warga termiskin. Itu
sama dengan 5% warga terkaya dunia menguasai 114 kali income yang diperoleh 5%
warga termiskin. Income 10% warga terkaya di Amerika Serikat sama dengan jumlah
income yang diterima 43% penduduk termiskin dunia. Kekayaan 25 juta warga
terkaya di Amerika Serikat sama dengan income 2 milyar warga dunia.24
Melihat kondisi demikian, kiranya gagasan tentang keadilan sosial dan
pentingnya kepastian bagi terjaminnya hak atas kesejateraan dan kehidupan yang
layak relevan menjadi agenda pembangunan dewasa ini. Setelah pemikiran tentang
hak sipil dan politik (SIPOL) yang menjadi generasi pertama Hak Asasi Manusia
(HAM),25 hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi generasi kedua HAM yang
belum banyak disentuh. Jika dalam generasi pertama pemikiran tentang HAM
diilhami dari tradisi berpikir liberal dan kapitalis. Sebaliknya generasi kedua HAM
muncul dari tradisi sosilalis dan dicanangkan dengan berbagai cara oleh perjuangan
24
B. Harry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I.
Wibowo, Francis Wahono dkk., Neoliberalisme (Yogyakarta, Cindelaras
Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 64
25
Menurut Burns H. Weston ada tiga generasi HAM. Ketiga
generasi HAM tersebut menunjukan suasana dialektika antara berbagai
aliran ideologi terutama liberal dan sosial, juga aspirasi dari
negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari kolonialisme.
Tetapi inspirasinya diilhami oleh tiga norma revolusi Pancis. Hakhak itu berdasarkan generasi yaitu pertama, hak-hak sipil politik
(liberte-kebebasan). Kedua, hak ekonomi, sosial, budaya (egalitepersamaan sosial) dan ketiga, hak-hak solidaritas (fraternitepersaudaraan).
revolusioner dan gerakan kesejahteraan pada masa itu.26 Generasi kedua HAM
merupakan tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan
kapitalis dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya, selalu mentolelir,
bahkan mengesahkan eksploitasi kelas pekerja dan rakyat-rakyat di daerah jajahan.
Persoalan lain yang mendukung munculnya pemikiran tentang hak ekosob ini
adalah situasi politik-ekonomi pada tahun 1930-an. Pada saat itu dukungan bagi
peranan negara yang kuat sebagai agen bagi pelaksanaan keadilan sosial semakin
meningkat. Kondisi tersebut sejalan dengan berkembangnya konsep negara
kesejahteraan yang digagas oleh seorang pemikir ekonomi, John Mayrald Keynes.
Pemikiran Keynes memberikan kecaman yang keras terhadap logika pasar dalam
doktrin liberalisme klasik, yang dianggap gagal memberikan rasa keadilan ekonomi
bagi rakyat dan membuat jurang ketimpangan ekonomi semakin lebar antara negaranegara utara dan selatan. Berkat gagasan-gagasan Keynes, pada akhirnya kemajuan
perkembangan fungsi-fungsi sosial negara mendapat “angin segar” dari Amerika
Serikat dan negara-negara di Eropa.
Salah satu yang terkenal dan menjadi sumber utama dari pendekatan Hak Asasi
Manusia yang lebih luas adalah “Empat Kebebasan” yang disampaikan oleh Presiden
Amerika Franklin D. Roosevelt, dalam pidato tahunannya di depan Kongres pada
tahun 1941 tentang State of the Union Address.27 Satu dari empat kebebasan yang
dikemukakan oleh presiden Roosevelt yang perlu dikembangkan oleh tatanan pasca
26
M. Ridha Saleh, ECOSIDE, Politik Kejahatan Lingkungan dan
Pelanggaran HAM (Jakarta, WALHI, 2005), cet. I, h. 10.
27
Asbjorn Eide, “Hak-Hak Ekonomi, sosial, dan Budaya Sebagai
Hak Asasi Manusia,” dalam Ifdhal Kasim dan J. da Masenus Arus, ed.,
Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Esai-esai Pilihan (Jakarta, ELSAM,
2001) cet. I, hal. 18.
perang adalah bebas dari kekurangan (Freedom From Want). Roosevelt mengusulkan
untuk memasukkan banyak hak ekonomi dan sosial dalam deklarasi. Dan memang
pada akhirnya usulan tersebut diadopsi menjadi bagian dari Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia 1948 serta dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya.
Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional
tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10
Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia
(Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar
pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara." Hak-hak
yang disuarakannya disebarkan lewat "pengajaran dan pendidikan" serta lewat
"langkah-langkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin
pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya."28
Dua puluh satu pasal pertama deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang
sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights)
yang termaktub di dalam konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah
diperbarui saat ini. Hal tersebut meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak
pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas
pribadi, serta partisipasi politik. Hak-hak tersebut kemudian dikenal dengan Hak Sipil
dan Politik. Namun pasal 22 sampai 27 mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi
dan sosial seperti jaminan sosial -suatu standar bagi kehidupan yang layak- dan
28
Ian Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights (Oxford:
Clarendon Press, 1971), hal. 93-105.
pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa sesungguhnya semua orang mempunyai
hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan. Bagian dari pasal-pasal ini
kemudian disebut sebagai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jelasnya, terkait
dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya bahwa sumber yang paling
eksplisit dan utama dari hak-hak tersebut adalah DUHAM (Universal Declaration of
Human Rights) yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam Covenan on Economic,
Social, and Cultural Rights (CESCR). Sebagai kovenan yang memberi daging
(substansi) dan efek dari DUHAM, hak-hak dan batasan-batasannya terformulasi
secara lebih terinci di dalamnya.
Dari pandangan di atas, dapat dipastikan bahwa jaminan utama hukum
internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya adalah Deklarasi Umum Hak
Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, yang saat ini telah ditandatangani oleh 142 negara.29 Terkait dengan dua
instrumen hukum utama dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya,
Bersamanya sebenarnya beberapa Kovenan lainnya mengenai hak-hak Sipil dan
Politik, Konvensi mengenai Hak Anak dan Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Meski kovenan-kovenan tersebut telah
diterima secara universal, diatur dalam berbagai teks hukum internasional baik yang
mengikat maupun yang deklaratif (misalnya Deklarasi mengenai Hak Atas
Pembangunan), diakui dalam berbagai aturan-aturan hukum nasional (konstitusi),
29
Menurut data ratifikasi yang dikeluarkan PBB, hingga tanggal
15 Juni 2000, CESCR telah diratifikasi oleh 142 negara dan
ditandatangani oleh 61 negara. Cina merupakan negara yang terakhir
(tanggal 27 Oktober 1997) membuat ratifikasi terhadap kovenan ini.
Lihat, Millenium Summit Multilateral Treaty Framework (New York:
United Nation, 2000).
namun implementasi dan pengakuan terhadap hak-hak ekosob sebagai hak asasi
sangat lemah. Hal ini disebabkan oleh pandangan dikotomis antara hak sipol dengan
hak ekosob, yang antara lain dipandang bahwa hak ekosob lebih bersifat aspiratif
daripada hak yang bisa dituntut.
Implikasi yang paling serius dari silang pendapat mengenai hal ini adalah
pandangan yang menyatakan bahwa kewajiban negara dalam pemenuhan hak
ekonomi, sosial dan budaya bersifat relatif, tergantung ketersediaan sumberdaya yang
ada dalam satu negara. Oleh kerena itu pemenuhan hak ekosob dalam pengertian
yang diambil oleh sebagian kalangan dapat dilakukan secara bertahap. Ide tersebut
secara eksplisit tercermin pada pasal 2 kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya yang
pada intinya mengatakan:
"setiap negara pihak berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun
melalui bantuan kerjasama internasional,.., untuk secara progresif mencapai perwujudan
penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini, … termasuk dengan pengambilan langkahlangkah legislatif.”30
Ketentuan dari pasal 2 ayat 1 ini menghendaki semua negara pihak memulai
dengan secepatnya mengambil langkah-langkah agar semua orang dapat menikmati
sepenuhnya seluruh hak yang terdapat dalam kovenan. Pengambilan langkah
legislatif pada umumnya tidak dapat dihindari jika hak ekonomi, sosial, dan budaya
akan dilaksanakan dengan sebenarnya, akan tetapi undang-undang saja bukan respon
yang cukup di tingkat nasional. Upaya-upaya administratif, hukum, kebijakan,
30
Lihat pasal 2 International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights, UNGA Res. 2200 A (XXI), 16 Des. 1966.
ekonomi, sosial, dan pendidikan serta beberapa langkah lain dibutuhkan pemerintah
dalam rangka menjamin seluruh perwujudan hak ini bagi semua orang.
Yang lain adalah pandangan yang membedakan hak ekosob dan sipol menjadi
dua kategori. Yaitu “hak negatif” dan “hak Positif”. Hak negatif merujuk pada hak
sipil dan politik yang penegasannya adalah meminta negara-negara untuk menahan
diri dari keterlibatannya dan melakukan intervensi, demi terlaksananya pelaksanaan
hak-hak sipol tersebut. Sebaliknya, hak negatif yang diasosiasikan kepada hak
ekonomi, sosial budaya mendesak keterlibatan dan upaya penuh dari negara untuk
ikut campur dalam usaha pemenuhan dan perlindungan dari hak-hak ekosob ini.
Kesalahpahaman atas tafsir dan pengertian Kovenan Hak ekonomi, Sosial dan
Budaya merangsang beberapa ahli yang difasilitasi oleh Komisi Juris Internasional
(International Commission of Jurist) untuk mengadakan pertemuan yang diadakan di
Limburg dan Maastricht, Belanda. Masing-masing dilaksanakan pada tahun 1996 dan
1997.31 Dalam pertemuan ini para pakar berhasil merumuskan dua dokumen yang
bertujuan untuk memberi pedoman dalam memahami kewajiban-kewajiban negara
berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Pertemuan Limburg menghasilkan dokumen yang dikenal dengan “Limburg
Principles” (prinsip-prinsip Limburg), berisi tentang penjelasan terhadap kewajibankewajiban negara berdasarkan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Sedangkan pertemuan Maastricht menghasilkan satu dokumen yang dikenal dengan
“Maastricht Principles” (prinsip-prinsip Maastricht). Dokumen ini berisi tentang
31
Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; evaluasi
Pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya (Jakarta, ELSAM, 2003),
cet. II, h. 12.
penjelasan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Lahirnya dua dokumen tersebut paling tidak merupakan langkah minimal untuk
mengakhiri tafsiran yang arbitrer atas Kovenan hak EKOSOB tersebut.
Secara substansi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan satu paket
yang lebih komprehensif dari tiga unsur hak yang saling berkaitan. Inti hak-hak sosial
adalah hak terhadap standar kehidupan yang layak (Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, Pasal 25; Kovenan Hak Ekonomi Pasal 11; Konvensi Hak Anak, Pasal 27).
Untuk dapat menikmati hak-hak tersebut, seseorang memerlukan sekurang-kurangnya
tersedianya hak-hak subsisten (untuk bertahan hidup) yang penting –seperti hak atas
makanan dan gizi yang mencukupi, pakaian, perumahan dan syarat-syarat penting
untuk perawatannya. Terkait erat dengan hak-hak ini adalah hak-hak keluarga
terhadap bantuan (Kovenan ekonomi, Sosial dan Budaya, Pasal 10; Kovenan Hak
Anak, Pasal 27). Untuk dapat menikmati hak-hak sosial ini, juga diperlukan
terpenuhinya hak-hak ekonomi tertentu. Seperti hak atas kepemilikan (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 7), hak untuk bekerja (Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia Pasal 23; Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 6) dan hak-hak
atas jaminan sosial, (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 22 dan 25;
Kovenan ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 9; Konvensi Hak Anak Pasal 26).
Secara umum, kovenan internasional mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya
terdiri dari tiga puluh satu (31) pasal yang diatur dalam 6 bagian, yang bagian
pertamanya sama dengan saudaranya yaitu kovenan internasional tentang hak sipil
dan Politik. Jantung dari Kovenan ini berada pada Bagian III (pasal 6-15) yang
menguraikan hak-hak yang dilindungi,32 yaitu:
a. Hak atas kerja (right to work)
b. Hak atas kondisi kerja yang layak (pasal 7)
c. Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (pasal 8)
d. Hak atas jaminan sosial (pasal 9)
e. Hak atas perlindungan bagi keluarga (pasal 10)
f. Hak atas standar hidup yang layak, termasuk hak atas pangan, pakaian dan
tempat tinggal (pasal 11)
g. Hak atas kesehatan (pasal 12)
h. Hak atas pendidiakan (pasal 13)
i.
Hak atas kebudayaan (pasal 15)b
Dari uraian di atas, kita memahami bahwa pemenuhan tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sesuatu yang
harus dilakukan dengan segera oleh negara. Hak ekosob merupakan hak dasar yang kelahirannya merupakan unsur
terpenting bagi keberlanjutan hidup dan kehidupan peradaban manusia yang lebih adil dan sejahtera. Pengingkaran
terhadap pemenuhan hak ekosob oleh negara adalah sebuah bentuk kejahatan kemanusiaan.
Kata-kata “segera” perlu mendapatkan penegasan untuk menghindari
kesalahpahaman komponen “ kewajiban bertahap” kovenan yaitu bahwa setelah suatu
negara mencapai tingkat perkembangan ekonomi tertentu, pada saat itulah hak
berdasarkan kovenan telah terwujud. Bukan ini yang menjadi maksud dari kalimat
tersebut. Melainkan, tugas tersebut mewajibkan semua negara-negara pihak-terlepas
dari ringkat kekayaan nasionalnya- agar dengan segera dan sedini mungkin bergerak
mewujudkan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ketentuan ini tidak boleh diartikan
32
Antonio Pradjasto, Butir-butir Pokok Hak ekonomi, Sosial, dan
Budaya, makalah yang disampaikan pada Workshop Monitoring dan
Advokasi HAM, CHRF-CIDA, 25 April – 1 Mei 2002,
Ujung Pandang –
Makasar.
sebagai memperbolehkan negara untuk menunda usahanya tanpa batas waktu tertentu
untuk menjamin perwujudan hak yang digariskan dalam kovenan.
B. Neoliberalisme: Kendala Ideologis Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya di Era Globalisasi
Ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM
pada awal tahun 2005, banyak kalangan menduga hal tersebut merupakan agenda
untuk liberalisasi sektor Minyak dan Gas (MIGAS) di Indonesia. kebijakan ini
didorong oleh mandat Undang-undang MIGAS No. 22/2001 untuk meliberalisasi
perekonomian Indonesia, khususnya pada sektor minyak dan gas. Fakta ini diakui
secara sadar oleh ketua Badan Pengatur sektor Hilir Minyak dan Gas (BPH
MIGAS) di salah satu media massa nasional mengatakan:
“bahwa Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing
untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Bisnis itu selama ini dikuasai oleh
Pertamina. …Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga bahan bakar minyak
(BBM) yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena
11
disubsidi, pemain asing enggan masuk.”
Cerita tentang kenaikan BBM di atas secara sederhana memberikan kita
pemahaman bahwa saat ini liberalisasi ekonomi dan pasar bebas, yang menjadi
jargon dari proyek globalisasi telah menjadi instrumen bagi kepentingan modal
untuk dapat menjalankan aktifitas ekonominya di berbagai negara. Dengan kata
11
“Badan
Pengatur
Hilir
Terbentuk
Menjelang
Liberalisasi
Migas,”
berita
diakses
tanggal
14
Mei
2003
dari
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/14/ekonomi/312498.htm
lain, pasar bebas dengan ideologi neoliberalisme saat ini telah menjadi “mantra”
dan “agama” yang diyakini dapat menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia,
contohnya kenaikan BBM untuk memfasilitasi kepentingan perusahaan asing di
atas.
Neoliberalisme sebagai perspektif ekonomi, mengawali perkembangannya
pada tahun 1947. ketika itu seorang ekonom Austria, Friedrich August von Hayek
mengorganisir sebuah pertemuan tertutup selama sepuluh hari bersama beberapa
pemikir di berbagai bidang yang datang dari Amerika Utara dan Eropa di
pegunungan Mont Pelerin, Swiss.12 Pertemuan yang menghasilkan sebuah
kelompok dengan nama The Mont Pelerin society (MPS) ini dimaksudkan sebagai
bentuk keprihatinan atas munculnya gelombang “kolektivisme” yang melanda
Eropa. Jika melihat tulisan Hayek tiga tahun sebelum pertemuan tersebut
berlangsung, mudah dipahami bahwa MPS berusaha mengajukan keunggulan
kapitalisme pasar bebas: Dengan membiarkan jutaan individu mereaksi harga
pasar yang tercapai secara bebas, dan melakukan optimalisasi pengalokasian
modal.13 Oleh karena itu, mudah untuk dimengerti bahwa pertemuan tersebut
dirancang untuk melakukan interupsi atas pemikiran “ekonomi pasar sosial” Ordo
Liberal yang sedang berkembang di Jerman Barat pasca Perang Dunia ke-2.
Secara umum gagasan ekonomi politik neoliberal adalah argumen yang
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika, dan hanya jika, lalu12
B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I.
Wibowo
dan
Francis
Wahono,
ed.,
Neoliberalisme
(Yogyakarta,
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), cet. I, h. 51-52.
13
Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, hal. 52.
lintas barang/jasa/modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun.14 Optimalisasi itu
juga akan terjadi bila barang, jasa, dan modal dimiliki/dikuasai oleh orang
perorangan yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi.
Dalam prakteknya, operasi neoliberalisme mendorong kebijakan-kebijakan
liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi oleh negara demi tercapainya tujuan-tujuan
akumulasi modal oleh individu.
Pada perkembangannya, ideologi neoliberalisme telah menjadi alat penopang utama bagi berjalannya proses globalisasi
yang kita rasakan sekarang ini. Anjuran para ekonom neoliberal untuk melakukan pengetatan fiskal dengan memangkas
anggaran negara bagi kebutuhan subsidi rakyat, pembukaan pasar domestik bagi masuknya investasi asing, pemberlakuan
kebijakan mata uang mengambang merupakan resep pembangunan ekonomi dunia saat ini. Melalui proses ini, propaganda
globalisasi menyelip di antara kebutuhan Negara-negara dunia ketiga akan resep pembangunan tersebut. Dalam proses
yang dialektis, hal tersebut menandai dimulainya babak baru dari persoalan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya
oleh negara dewasa ini. Betapapun, prinsip universalisme HAM yang tidak mengenal batas-batas ideologi dan wilayah,
pada prakteknya saat ini khususnya di negara-negara dunia ketiga mengalami kendala yang serius. Proses globalisasi
ekonomi ditandai dengan ekspansi modal internasional dan agenda pasar bebas. Lewat sejumlah lembaga-lembaga
keuangan Internasional seperti IMF dan Bank Dunia, serta lembaga perdagangan internasional (WTO), memaksa sejumlah
negara untuk agenda reformasi kebijakan ekonomi yang menguntungkan negara-negara industri maju dan perusahaan
multinasional. Hal tersebut disebabkan mereka –para negara di dunia ketiga- akibat krisis dan kemiskinan yang
dialaminya, terpaksa harus mengikuti agenda ekonomi neoliberalisme melalui perangkat pinjaman luar negeri.
Lewat kontrol ekonomi yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia, negara-negara dunia ketiga saat ini terhimpit oleh
beban pembayaran utang luar negeri yang sangat besar. Akibatnya para pemerintahan di negara-negara tersebut terpaksa
melakukan pemotongan anggaran sosial untuk kebutuhan rakyatnya. kebijakan pencabutan subsidi, privatisasi, dan
pembukaan peluang pasar ekonomi adalah sejumlah kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara yang pada
umumnya menjadi pasien dari IMF dan Bank Dunia. Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia,
sejalan dengan pemikiran ekonomi neoliberal meyakini bahwa perlindungan sosial negara terhadap rakyatnya berakibat
pada tidak berjalannya mekanisme pasar yang efisien dan kompetitif. Sehingga menyebabkan tidak terjadinya proses
akumulasi modal yang akan menuntun pada kesejahteraan masyarakat. Tentu saja, secara teoritis pandangan ini
mencerminkan pengingkaran terhadap fungsi negara dalam memenuhi kebutuhan sosial rakyat.
Dari pengalaman krisis yang terjadi di Asia Timur tahu 1997, Stiglitz membenarkan bahwa lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia telah melakukan praktek yang kontradiktif dan memicu krisis berkepanjangan di
beberapa negara di Asia yang menjadi pasiennya. Bagi Stiglitz, sesungguhnya negara-negara yang paling mampu bertahan
selama dan sesudah krisis Asia adalah negara-negara yang tidak mengikuti resep standar neoliberal dari IMF/depkeu AS.
Seperti apa yang telah dilakukan oleh Cina dan Malaysia. Sebaliknya, negara-negara yang menjadi pasien IMF seperti
Thailand, Korea, dan Indonesia hingga saat ini masih bergelut untuk menyelesaikan krisis ekonomi yang berkepanjangan
yang paling lambat pertumbuhan ekonominya. Akibat yang lebih parah adalah Indonesia, demi memprioritaskan
pembayaran beban utang yang mustahil terbayarkan, pemerintah mengorbankan pemberian subsidi untuk rakyat yang
menjadi nafas dalam situasi krisis di negeri ini.
Dengan kata lain, neoliberalisme menjadi penghambat utama bagi terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh
negara. Berikut adalah lima bentuk kontradiksi antara neoliberalisme dan penegakkan hak ekosob oleh negara dewasa ini.
Pertama, fungsi pasar dengan hukum-hukumnya adalah layaknya dunia mekanis Newtonian. Akan ada gangguangangguan yang dapat menghalangi berfungsinya pasar, yang perlu disingkirkan. Dari sudut perekonomian neoliberal,
perjuangan dan advokasi hak asasi manusia (misalnya perjuangan kaum buruh) adalah bentuk gangguan yang dimaksud.
Sebagai contoh, perjuangan kaum buruh dalam menuntut kenaikan upah dan hak cuti selalu menjadi persoalan di negeranegara dunia ketiga. Sebab, bagi hukum pasar ekonomi kapitalis, negara-negara dunia ketiga merupakan produsen bagi
berlimpahnya barang baku dan buruh murah yang siap dieksploitasi.
Kedua, garis hidup perekonomian neoliberal adalah kekuatan kompetisi, di mana yang kuat akan bertahan hidup dan yang
tidak akan musnah. Segala hal yang didasarkan pada prinsip kesetaraan (equality) bertentangan dengan dinamika ekonomi
semacam ini. Bila kita perhatikan, pandangan tersebut segaris dengan pemikiran yang dianut oleh seorang penganjur neolib
14
Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, hal. 59.
yang paling kukuh, Perdana Menteri Inggris Margareth Tatcher. Dia adalah seorang darwinis sosial yang menggariskan
bahwa kompetisi adalah syarat utama bagi tersedianya alokasi sumberdaya yang memadai.15
Ketiga, di dalam dunia kontemporer, praktek hak asasi manusia seharusnya menempatkan subyek, yakni kaum korban pada
titik pusatnya. Akan tetapi yang terjadi adalah, kehidupan ekonomi modern dengan hegemoni kapitalisme neoliberal,
beroperasi melalui dissolution subject.16
Keempat, perekonomian neoliberal dan pasar didasarkan kepada model pembangunan tertentu yang terhomogenisasi.
Model pembangunan ini, yang terkait dengan globalisasi telah menjadi pelanggar hak asasi manusia yang amat kasar.17 hal
tersebut dapat dibuktikan. Akibat bentuk kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh Bank Dunia terhadap
negara-negara di selatan, telah mengakibatkan pengalihan kekayaan secara besar-besaran dari lapisan masyarakat bawah ke
lapisan puncak. Serta menyebabkan ketimpangan yang terjadi antara utara-selatan semakin bertambah dari masa ke masa.
Kelima, ketidaksesuaian antara pasar dan hak asasi manusia secara alamiah mendatangkan konsekuensi-konsekuensi bagi
negara. Setiap negara yang mempromosikan perekonomian neoliberal dan pasar kapitalis akan mendapatkan halangan yang
besar dalam hal perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak ekosob. Karena negara dalam paradigma ekonomi ini,
mendapatkan perlakuan hanya sebagai “anjing penjaga malam” yang tidak punya kekuatan yang signifikan.
Keenam, neoliberalisme menyebabkan terjadinya proses akumulasi kekayaan individu. Yang pada akhirnya menyebabkan
ketimpangan pendapatan dan kepemilikan. Orang miskin, dengan instrumen HAM sekalipun, tidak dapat serta merta
menagih haknya. Oleh karena sistem ekonomi yang berlaku di dunia saat ini membenarkan proses itu terjadi. Sebagai
contoh, laporan terakhir UNDP menyebutkan, secara akumulatif 225 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan sebesar
lebih dari US $ 1 trilyun yang juga merupakan total income dari 47 % masyarakat miskin yang berjumlah 2,5 milyar jiwa.18
Uraian di atas menunjukan bahwa dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh negera-negara di dunia,
khususnya di Selatan mengalami kendala yang serius akibat kebijakan ideologi ekonomi neoliberalisme yang dipaksakan.
Pada akhirnya, pertarungan di tingkat internasional dalam perumusan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga
tidak dapat dihindari pertarungan ideologi antara kubu “liberal-kapitalis” dan kubu “sosialis”.
C. Refleksi Kebijakan Pembangunan Orde Baru Dalam Pemenuhan Hak
ekonomi, Sosial dan Budaya
Sejak dimulainya era pembangunan dalam masa pemerintahan Orde Baru,
praktis terdapat perubahan orientasi kebijakan pemerintahan dari masa Orde
Lama. Kebijakan pembangunan dalam masa Orde Baru menandakan dimulainya
satu orientasi dimana “ekonomi sebagai panglima”, menggantikan orientasi
“politik sebagai panglima” masa Soekarno. Kebijakan ekonomi pemerintahan
Orde Baru yang bertolak belakang dengan kebijakan pemerintahan Orde Lama
15
Susan George, “Sejarah Singkat Tentang Neoliberalisme;
Duapuluh Empat Tahun Ilmu ekonomi Elit dan Timbulnya Peluang Bagi
Perubahan Struktural,” dalam Sugeng Bahagijo, ed., Republik Pasar
Bebas (Jakarta, PT Bina Rena Pariwara, 2002) cet. I, hal. 45.
16
Felix Wilfred, “Hak Asasi Manusia ataukah Hak-hak Asasi Kaum
Korban?” Jurnal WACANA, edisi 8, tahun II/2001: h. 117.
17
Wilfred, “Hak Asasi Manusia ataukah Hak-hak Asasi Kaum
Korban?,” h. 118.
18
Wilfred, “Hak Asasi Manusia ataukah Hak-hak Asasi Kaum
Korban?,” h. 120.
menempatkan pemerintah sebagai fasilitator bagi pihak-pihak swasta, terutama
dari segi administrasi. Pada masa-masa ini, terutama dimulai pada awal tahun
1970-an sembari berperan sebagai fasilitator, pemerintah Indonesia mulai
memainkan peran sebagai agen pembangunan ekonomi di samping agen
pembangunan sosial dan politik.
Sepintas, kebijakan tersebut adalah langkah maju dari upaya pemerintahan
Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menjadikan pemenuhan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya di Indonesia menjadi agenda prioritas pembangunan. Tetapi
kenyataannya, kebijakan pembangunan Orde Baru, khususnya dalam kerangka
pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya tidak menjadi agenda prioritas
pembangunan. Kondisi demikian terjadi di tengah Indonesia menyatakan dirinya
sebagai negara hukum, yang bertujuan mencapai masyarakat adil dan makmur,
merata baik spiritual dan material. Menurut seorang ekonom asal Inggris,
Daudley Seers, pembangunan belum bisa dikatakan berhasil bila salah satu atau
dua dari tiga kondisi, yaitu kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan menjadi
lebih buruk, meskipun pendapatan per kapita melambung tinggi.19
Untuk melakukan upaya percepatan ekonomi, pada awal episode
pembangunan, Orde Baru melakukan upaya konsolidasi ekonomi-politik.
Langkah strategis yang paling dominan dilakukan adalah melakukan tindakantindakan progresif dengan memfasilitasi dan memobilisasi potensi ekonomi yang
19
Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan; Kajian Ekonomi
Politik Terhadap Akar Krisis Indonesia (Jakarta, LP3ES, 2001), Cet.
I, h. 1.
paling mudah diproduksi untuk menggerakkan roda perekonomian yang
berorientasi pasar. Dalam kaitan mendukung kebijakan ini, terdapat setidaknya 2
produk perundang-undangan yang terbit pada tahun 1967, yaitu Undang-undang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Pokok Kehutanan. Dua
produk undang-undang ini dimaksudkan untuk menstimulir berbagai pihak masuk
ke sektor-sektor strategis di Indonesia.20 Selain itu, paket undang-undang ini
adalah kebijakan deregulasi dan kebijakan debirokratisasi untuk urusan-urusan
yang berkaitan dengan perekonomian. Dengan kata lain, sejak saat itu
pemerintahan Orde Baru sedang menjalankan agenda-agenda neoliberalisme.
Selain membuat kebijakan-kebijakan strategis dalam rangka menopang
percepatan pertumbuhan ekonomi, sebagai bagian dari kebijakan tersebut
pemerintahan Orde Baru melakukan kebijakan stabilisasi politik.
Konsekwensinya adalah menutup pintu rapat-rapat atau bahkan melakukan
kriminalisasi terhadap setiap sikap kritis rakyat kepada pemerintah. Kebijakan
tersebut diambil oleh pemerintah orde baru dengan alasan untuk menjamin laju
pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan atas hak ekonomi dan sosial rakyat agar
tidak mengalami “gangguan”. Ke depan, alasan inilah yang selalu diungkapkan
Orde Baru ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dunia Internasional
tentang terjadinya pelanggaran hak sipil dan politik secara massif pada sepanjang
masa kekuasaannya. Singkatnya, arah pembangunan Orde baru di bawah jargon
trilogi pembangunan menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan menjalin
20
Chaniago,
Gagalnya
Pembangunan;
Terhadap Akar Krisis Indonesia, h. 26.
Kajian
Ekonomi
Politik
hubungan yang harmonis dengan swasta, baik yang berasal dari dalam atau luar
negeri.
Untuk mengetahui lebih rinci sejauh mana kebijakan pembangunan Orde
Baru memberikan keuntungan (benefit) bagi tercapainya pemenuhan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya berikut akan disampaikan tiga hal yang merupakan
sebagian dari pokok-pokok hak ekonomi, sosial dan budaya yang merupakan
evaluasi dari kebijakan pada masa Orde Baru.
1. Hak Atas Pangan
Pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga masih
relatif tinggi di Indonesia, yaitu 67,2 persen dan 52,36 persen dari rumah tangga
di desa dan kota. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar pendapatan keluarga
masih dibelanjakan untuk pangan.21 Artinya pangan adalah komoditas dominan
bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia dan oleh karena itu
ketergantungan orang Indonesia terhadap ketersediaan akses atas pangan
sangatlah tinggi. Oleh karena kebutuhan masyarakat Indonesia pada waktu Orde
Baru terhadap pangan, khususnya beras, sangat tinggi. Pemerintah menyadari
bahwa ketersediaan padi di pasaran memiliki hubungan yang signifikan terhadap
stabilitas kekuasaan.
Masalah yang muncul adalah, kebijakan pangan pada masa pemerintahan
Orde Baru berkisar pada masalah kecukupan pangan dan persoalan tata niaga
21
Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi
Pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya (Jakarta, ELSAM, 2003),
cet. II, h. 53.
pangan yang merugikan petani. Sentralisme kekuasaan Orde Baru yang ditopang
oleh kekuatan modal internasional -IMF dan Bank Dunia- menyebabkan
persoalan pangan merupakan hal yang jauh dari rasa keadilan. Kebijakan impor
pangan atas dorongan dari IMF, kebijakan harga, merupakan bagian yang
mendapat perhatian serius.
Dari kebijakan pangan selama Orde Baru, tampak bahwa kebijakan
pemerintah lebih dominan dalam memperburuk kepemilikan akses terhadap
pangan. Hal ini terjadi dalam bentuk pertama, terciptanya pasar komoditi pangan
yang oligarkis baik pada beras, minyak kelapa, kedelai dan lain-lain. Kedua,
adanya kerugian pada masyarakat berupa social welfare loss atau menurunnya
kesejahteraan sosial baik karena harga pangan yang ditentukan semena-mena
maupun karena faktor-faktor inefisiensi lainnya yang melekat pada pasar
oligarkis. Ketiga, terjadinya stratifikasi kepemilikan akses atas pangan yang
berakibat pada mudah terjadinya penjarahan dan kerusuhan sosial.
2. Hak Atas Kesehatan
Salah satu indikator untuk mengukur komitmen negara pada pemenuhan
atas kesehatan adalah dengan menggunakan parameter besar/kecilnya anggaran
untuk pemenuhan pelayanan kesehatan. Menurut standar WHO yang dikeluarkan
pada Deklarasi Alma Ata tahun 1978, untuk mencapai Health for all by the year
2000, besar anggaran kesehatan yang harus dialokasikan minimal 5% dari Produk
Domestik Bruto (PDB). Untuk Indonesia sampai tahun 1990, besar anggaran yang
dialokasikan hanya 2,5% dari PDB.22
Menurunnya kemampuan pemerintah untuk membiayai pelayanan
kesehatan, dikarenakan kebijakan deregulasi yang memberikan peluang bagi
investasi swasta dalam dan luar negeri untuk menanamkan investasi di bidang
kesehatan. Kebijakan deregulasi yang dikeluarkan pemerintah menyangkut
sejumlah peraturan yang dibuat, yang pada intinya mengalihkan peran pemerintah
dalam bidang kesehatan kepada swasta. Peraturan itu antara lain ialah keluarnya
Permenkes No. 159B/1988, yang memudahkan swastanisasi di sektor kesehatan.
Deregulasi yang dilakukan pemerintah menyebabkan terjadi perubahan arah
pembangunan kesehatan yang berorientasi sosial menjadi lebih bersifat komersial.
Secara umum, kinerja pembangunan kesehatan dapat dikatakan mengalami
peningkatan. Namun, dari segi pemerataan terhadap akses pelayanan kesehatan,
kebijakan Orde Baru cenderung memihak kepada kaum berpunya dan cenderung
urban bias.
3. Hak Atas Pendidikan
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan dalam dunia ekonomi
mempunyai kewajiban untuk mempersiapkan tenaga kerja yang mempunyai nilai
produktivitas yang tinggi. Karenanya, pendidikan dapat dipandang sebagai usaha
manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pandangan tersebut menimbulkan
kerancuan dan bias antara fungsi pendidikan di satu sisi dan kebutuhan pasar di
22
Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi Pemenuhan
Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya, hal. 100.
sisi yang lain. Pada masa Orde Baru, pandangan tersebut dilatar belakangi oleh
kebijakan liberalisasi sektor pendidikan. Yaitu dengan menekankan aspek-aspek
kuantitatif dan keterampilan teknis pada dunia pendidikan agar mampu bersaing
dalam era teknologi dan liberalisasi.
Pada masa Orde Baru, pandangan-pandangan di atas banyak dianut menjadi
strategi pembangunan pendidikan di Indonesia. yang kemudian hari menimbulkan
masalah terutama terkait dengan kebijakan kurikulum dan pengekangan kretivitas
pelajar. Di samping itu, keterkaitan yang erat antara pembangunan dan
pendidikan menimbulkan masalah, yang disebabkan oleh ketidakberesan
pembangunan itu sendiri. Terjadinya ketimpangan pendidikan di Jawa dan luar
Jawa, merupakan akibat dari sentralisme pembangunan yang dijalankan Orde
Baru. Walaupun dalam kebijakan anggaran pendidikan, Orde Baru dinilai cukup
memberikan perhatian. Hal tersebut dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah
untuk pembangunan gedung Sekolah Dasar yang meningkat secara absolut dari
tahun ke tahun. Secara umum, kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru dinilai
cukup baik. Kecuali beberapa permasalahan yang muncul akibat kepentingan
negara dalam pengaturan pendidikan bagi warga negara yang sarat dengan
kepentingan politik.
D. Signifikansi Peran Muhammadiyah Dalam Mempromosikan Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya di Indonesia
Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan tertua di Indonesia. Didirikan
pada tahun 1912 di Yogyakarta oleh seorang pejuang kemerdekaan Indonesia,
K.H Ahmad Dahlan. Misi utama dari gerakan yang dibangun oleh K.H Ahmad
Dahlan tampak pada terobosan awal beliau untuk melakukan gerakan dakwah
melalui tajdid (pembaharuan) keagamaan dan pembelaan rakyat miskin melalui
aksi sosial yang kongkrit. Dengan orientasi keberagamaan yang rasional,
Muhammadiyah berusaha memurnikan Islam dari segala bentuk penyimpanganpenyimpangan keagamaan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Pemurnian Islam itulah yang sekaran dikenal dengan istilah “ar-ruju’ ilal Qur’an
wa sunnah”.23
Adalah dua prinsip dasar yang menjadi acuan dakwah yang dikembangkan
oleh pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Pertama, adalah pembebasan. Yakni
bagaimana membebaskan manusia dari belenggu penjajahan dan kebodohan; dan
yang kedua, adalah penghargaan pada harkat dan martabat manusia. Kedua dasar
dari prinsip dakwah Muhammadiyah inilah sebenarnya letak peran strategis
organisasi ini di Indonesia kemudian hari.
Sebagai Ormas Islam besar, peranan Muhammadiyah dapat dilihat sebagai
bagian dari bangunan masyarakat madani di Indonesia. dan oleh karena itu
peranannya sangat signifikan dalam memperbaiki kwalitas kehidupan rakyat
Indonesia. Tugas-tugas dakwah Muhamadiyah melalui amal usahanya yang
23
Ahmad Fuad Fanani, “Membendung Arus Formalisme Muhammadiyah,”
dalam Muslim Abdurrahman ed., Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural
(Jakarta, Ideo Press dan MAARIF Institute, 2003), cet. III, h. 15.
mencakup aspek sosial ekonomi dengan mendirikan banyak lembaga-lembaga
pendidikan, rumah sakit, usaha kecil/menengah adalah cermin dari pemikiran
untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam upaya untuk mempromosikan hak-hak ekonomi-sosial dan budaya,
keterlibatan negara (State Parties) menjadi prasyarat penting. Utamanya
menyangkut fungsi sosial negara (pemerintah) atas mandat yang telah diberikan
rakyat kepadanya. Tetapi upaya tersebut terkadang terhambat oleh karena
kendala-kendala ideologis ataupun politis. Pada konteks ini, seluruh komponen
masyarakat madani (termasuk Muhammadiyah) mempunyai peran aktif dalam
upaya mengkontrol setiap kebijakan negara agar dapat memenuhi kewajiban
pemenuhan hak ekosob dalam rangka memenuhi rasa keadilan ekonomi dan
sosial di Indonesia.
Bagi muhammadiyah, seperti yang tercantum dalam hasil keputusan
Muktamar ke-45 di Malang menyatakan bahwa tugas pemerintah melayani rakyat
dalam konteks pemenuhan hak rakyat dilihat sebagai upaya menjunjung tinggi
nilai dan martabat manusia. Sebagaimana dituliskan: “…dalam konteks
Indonesia, pencerahan peradaban untuk mempertinggi nilai dan martabat manusia
merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi dan pembangunan bangsa.
Bagi pemerintah bahkan melaksanakan amanat rakyat dan tugas-tugas pelayanan
publik semestinya merupakan pantulan dari menghargai dan menjunjung tinggi
martabat manusia Indonesia. melalaikannya berarti merendahkan martabat
manusia. Karena itu merupakan tanggung jawab pemerintah untuk lebih
meningkatkan fungsi pelayanan public (social services) bagi peningkatan mutu
kehidupan rakyat yang lebih baik serta memenuhi hak-hak dan kebutuhan
dasarnya. Sehingga tidak ada lagi anak bangsa ini yang terkena busung lapar,
putus pendidikan, gagal kerja, dan mengalami marjinalisasi kehidupan...”
Barangkali dalam tradisi pemikiran Islam di Indonesia, tidak banyak
kelompok yang memberikan perhatian lebih terhadap persoalan-persoalan
kontemporer khususnya menyangkut isu-isu mengenai keadilan ekonomi,
ketimpangan global antara negara kaya dan miskin, utang luar negeri, kemiskinan,
dan lain-lain. Walaupun demikian, tidak bisa dikatakan bahwa pemikiran Islam di
Indonesia tidak sensitif dengan realitas yang menjadi problem umat saat ini.
Sebagai contoh gagasan Islam transformatif yang berkembang pada tahun 1980an menyebutkan bahwa peranan agama dalam proses pembangunan adalah
memberikan “kritik ideologi” atas usaha-usaha dominasi alat-alat produksi,
dominasi teknologi, dan dominasi makna yang telah menjadi corak strategi
pembangunan di Indonesia saat ini.24
Transformasi, menurut Muslim Abdurrahman, yang juga salah satu tokoh
Muhammadiyah, sepatutnya menjadi gerakan kemanusiaan yang mampu
mengantarkan kehidupan sosial yang sederajat di depan Allah SWT. Suatu
gerakan transformatif yang menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama, dan
yang melahirkan aksi solidaritas. Gagasan Islam Transformatif bertujuan
24
Budhy Munawar Rahman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah;
Pemikiran Neo Modernisme Islam di Indonesia,” dalam Asep Gunawan,
ed., Artikulasi Islam Kultural Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. I, hal. 483.
mempertalikan mitra insani atas dasar kesadaran iman, bahwa sejarah suatu kaum
hanya akan diubah oleh tuhan jika ada kehendak dan upaya dari semua anggota
kaum itu sendiri.
Terlepas dari berbagai macam aliran pemikiran dalam Islam di Indonesia,
baik itu modernis, tradisionalis maupun transformatif pada hakikatnya memiliki
tanggung jawab yang sama. Yaitu memberikan kontribusi yang nyata terhadap
pembangunan ummat di Indonesia untuk segera lepas dari kemiskinan dan
keterbelakangan yang bukan hanya disebabkan oleh faktor alam dan budaya,
tetapi juga praktek eksploitasi dan keserakahan oleh kekuatan kelas yang dominan
sehingga menyebabkan ummat menjadi miskin dan terbelakang.
Melihat uraian yang sudah disebutkan di atas, nampaknya usaha melakukan
proses advokasi terhadap pemenuhan hak ekosob perlu mendapatkan dukungan
yang luas dari kelompok masyarakat madani di Indonesia. Peran aktif dari
organisasi masyarakat (ORMAS) Islam, termasuk Muhammadiyah akan lebih
memberikan arti bagi usaha pembelaan terhadap kaum mustad’afin di Indonesia.
BAB IV
NEGARA DAN PERAN PEMENUHAN HAK
EKONOMI,SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT
MUHAMMADIYAH
“…Muhammadiyah memang belum mampu menawarkan alternatif bagi masa depan
Indonesia, apakah itu di bidang pendidikan, ataupun dalam pelayanan kesehatan dan
sosial. Apa yang telah dilakukan sebegitu jauh adalah membantu negara dalam
berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Oleh karena itu janganlah
ditafsirkan segala bantuan yang dikucurkan negara kepada Muhammadiyah sebagai
utang budi, sebab semuanya itu adalah dalam rangka mencerdaskan dan mencerahkan
kehidupan bangsa yang menurut UUD 1945 adalah tugas dan kewajiban
pemerintah…”
(Dengan Sikap Baru Menuju Indonesia Baru; Pidato Iftitah Buya Syafii Maarif pada
Sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram, 2004)
Globalisasi dan Peran Negara Perspektif Muhammadiyah
Belakangan, diskursus tentang globalisasi menjadi marak di Muhammadiyah.
Tidak hanya pada forum-forum diskusi ilmiah di pengajian rutin, ataupun media
jurnal dan majalah yang diterbitkan oleh Muhammadiyah maupun organisasi di
bawahnya. Tetapi hal ini menjadi diskursus bahkan sudah menjadi keputusan
muktamar Muhammadiyah yang lalu. Sebagai sebuah organisasi besar, sebenarnya
respon Muhammadiyah terhadap persoalan globalisasi terbilang sangat lambat. Bukan
saja diskursus ini sudah sejak lama diperdebatkan secara teoritik maupun praktiknya
oleh para ahli, bahkan perkembangan globalisasi saat ini sudah semakin jauh dari
pengertian yang sesungguhnya.
Era globalisasi, dalam pandangan Haedar Nashir,33 merupakan suatu era
ketika mobilitas dan alam pikiran manusia dari hari ke hari makin membuana ke
dalam sistem global (the Global System).34 Globalisasi sebagai kenyataan kehidupan
umat manusia pada abad baru itu merupakan interkonekasi yang serba melintasi baik
dalam hubungan-hubungan antarbangsa, masyarakat, komunitas, hingga persilangan
kepentingan antar bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, budaya, agama, dan
sebagainya. Dalam konteks ini, Hedar mencoba mendefinisikan globalisasi sebagagai
sebuah realitas yang tidak bisa dihindari, bahkan menjadi hukum alam kemanusiaan.
Berdasarkan
relitas
kekinian
tentang
globalisasi,
Haedar
kemudian
menjelaskan akibat yang harus ditanggung terkait dengan hubungan antar negarabangsa. Baginya, hubungan antar bangsa dengan kepentingan-kepentingan yang
menyertainya di era global itu tidak lagi diikat oleh kerangka nation-state dan polapola internasional yang konvensional, tetapi berubah menjadi tatanan baru yang
disebut sistem global dalam bentuk global society. Sistem global juga makin
memperluas global market dengan jaringan transnasional dan multinasional yang
semakin menduia layaknya gurita global.35
33
Haedar Nashir adalah sakah satu tokoh muda Muhammadiyah,
menulis banyak buku dan artikel di media massa. Pada Muktamar ke-45
di Malang tahun 2005 terpilih sebagai salah satu anggota pimpinan
pusat Muhammadiyah periode 2005 – 2010.
34
Haedar Nashir, “Tatanan Baru Dunia Global,” Jurnal INOVASI,
No.2 th. X/2000, h. 18.
35
Nashir, “Tatanan Baru Dunia Global,” Jurnal INOVASI, h. 18.
Secara lebih tajam, Dr. Musa Asy’arie, Ketua Program Magister Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta, mengungkapkan bahwa era globalisasi telah
membawa hubungan pasar dan negara berlangsung sangat kompleks. Pasar telah
menjadi simbol baru dari sistem ekonomi yang pada dasarnya bercorak kapitalistik,
pasar sebagai anak keturunan kapitalisme muncul dan berkembang menjadi kekuatan
yang dapat mempengaruhi dan mengkontrol secara signifikan kehidupan politik suatu
negara untuk menjadi lebih demokratik, menghargai kebebasan individu, dan terbuka
atas perbedaan pemikiran apa pun.36 Mekanisme ekonomi pasar telah tumbuh secara
otonom, dan otonominya dapat menekan suatu negara untuk dapat mengikuti
rasionalitas hukum ekonomi pasar, sehingga respon respon pasar terhadap negara
(pemerintah) akan menentukan kelangsungan hidup dari negara (pemerintah)
tersebut.
Meskipun demikian, hukum ekonomi pasar bukanlah satu-satunya jawaban
atau obat mujarab bagi kemajuan dan pembangunan di semua negara. Realitas politik,
kebudayaan, dan kebergaman sosial yang berbeda-beda tidak otomatis menjadikan
resep ekonomi pasar begitu saja dapat diaktualisasikan. Bahkan, dari berbagai
pengalaman beberapa negara dunia ketiga (Argentina, Chili, Indonesia) ketika
menerapkan kebijakan ekonomi pasar justeru semakin membuat kesenjangan dan
kemiskinan semakin telanjang. Dalam bahasa yang diungkapkan oleh Dr. Musa
Asy’arie, aktualisasi ekonomi pasar hanya menjadikan yang kaya makin kaya dan
yang miskin makin miskin. Karena mereka yang kuat, kaya dan maju sudah mencuri
36
Musa Asy’arie, “Muhammadiyah, Negara, dan Pasar dalam Sistem
Global,” Jurnal INOVASI, No. 2 th. X/2000, h. 39.
start terlebih dahulu daripada mereka yang lemah, miskin dan tertinggal, yang
membuat jarak ketertinggalan itu pada kenyataannya semakin jauh saja.
Sebagai sebuah ormas Islam yang besar, komitmen gerakan Muhammadiyah
sejak lama didedikasikan bagi perluasan kesempatan bagi kaum mustad’afin dalam
meraih kesejahteraan, pendidikan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sebagaimana yang tertulis dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu
Abad,37 yang menyakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang
mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan asSunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah sesuai jati dirinya senantiasa istiqomah untuk menunjukan kimitmen
yang tinggi dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan
sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin.
Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara
nyata diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha,
program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa kemaslahatan hidup di dunia
dan di akhirat bagi seluruh umat manusia di bumi ini.
Terminologi masyarakat Islam yang menjadi tujuan gerakan Muhammadiyah
menjadi penting untuk melihat korelasinya dengan sikap dan pandangan terhadap
globalisasi. Masyarakat Islam dalam definisi Muhammadiyah adalah masyarakat
yang memiliki keseimbangan antara keidupan lahiriah dan bathiniah, rasionalitas dan
spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi,
37
Tanfidz
Keputusan
Muktamar
Muhammadiyah
ke-45
tentang
Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (Zhawahir al-Afkar
al-Muhammadiyah
‘abra
Qarn
min
al-Zaman),
(Pimpinan
Pusat
Muhammadiyah, 2005).
sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan,
kejujuran, dan kesejahteraan, kerjasama, kerja keras, kedisiplinan, dan keunggulan
dalam segala lapangan kehidupan. Meskipun begitu, dalam menghadapi dinamika
kehidupan, masayarakat Islam semacam ini selalu bersedia bekerjasama dan
berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar bebas di segala
lapangan kehidupan dalam semangat “berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li
al-almuwajjahat) lebih dari sekedar “berjuang melawan musuh” (al-jihat li almu’aradhah).
Dalam mendefinisikan globalisasi, Muhammadiyah membuat kategorisasi ciri
perihal kecenderungan global berdasarkan pemikiran yang telah dikajinya. Cara
seperti ini biasa dilakukan oleh Muhammadiyah sebelum menentukan garis besar
program organisasi untuk masa satu periode kepengurusan.
Dalam dokumen hasil Muktamar ke-45, dalam melihat kecenderungan global
Muhammadiyah menyebutkan bahwa dunia masih akan mengadapi apa yang
disebutnya sebagai lima relitas besar (great reality),38 yakni pertama, hegemoni
Amerika Serikat; kedua, berlanjutnya dominasi peradaban Barat; ketiga, kekuasaan
pasar (market force) dan globalisasi; keempat, pergeseran teknologi industri ke
teknologi digital, berikut kesenjangan digital (digital divide); dan kelima,
terhimpitnya peradaban Islam dalam perkembangan keempat realitas sebelumnya.
Dalam memasuki babak baru globalisasi, Muhammadiyah merespon positif
realitas besar ini dengan apa yang disebutkannya “…melahirkan pola hubungan
38
Keputusan
Mukatamar
Muhammadiyah
ke-45
Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005).
tentang
Program
positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi…”. Tetapi di saat
bersamaan Muhammadiyah juga menganggap globalisasi juga melahirkan hal-hal
negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia seperti timbulnya perilaku
penghambaan
terhadap
materi,
ego,
dan
kekuasaan.
Globalisasi
menurut
Muhammadiyah telah mendorong berkembangnya pengaruh neoliberalisme yang
semakin mengokohkan dominasi kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan
borjuasi sekaligus meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah
(dhu’afa) dan tertindas/terlemahkan (mustad’afin) sehingga melahirkan ketidakadilan global yang baru.
Walaupun tidak menyebutkan secara terperinci bagaimana hal tersebut terjadi,
tetapi nampaknya pemikiran ini banyak dipengaruhi oleh pandangan tentang
dominasi peranan pasar terhadap negara dalam globalisasi. Seperti yang telah
disebutkan oleh Haedar Nashir, dalam globalisasi pasar telah tumbuh menjadi
kekutan raksasa yang merambah ke setiap penjuru dunia dan sudut-sudut lingkungan
kebudayaan masyarakat di seluruh muka bumi. Di era sistem global itu juga terjadi
perubahan dan pola hubungan baru mengenai keberadaan dan peran negara. Negara
yang semula menurut Max Weber dikatakan memiliki otoritas dan kemampuan untuk
menerapkan paksaan secara fisik kepada warga negaranya kini tidak lagi sendirian
menentukan kehendaknya.
Praktek ekonomi pasar yang mengambil alih peran negara menyebabkan
berubahnya pandangan terhadap tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hak
dasar warga negara. Sejalan dengan hukum ekonomi pasar bebas, maka mudah
dipastikan bahwa warga negara tidak diperkenankan mendapatkan perlindungan dari
negara dalam bentuk subsidi atau perlindungan sosial yang lainnya. Praktek proteksi
dan subsidi jelas merupakan barang haram dalam ekonomi pasar neoliberal saat ini.
Dampak
buruk
dari paraktek
globalisasi
ekonomi
telah
dituliskan
Muhammadiyah sebagai sembilan ancaman yang menghantui dunia saat ini dan di
masa yang akan datang.39 Pertama, pengaburan batas-batas cultural dan
geografis/ekologis sehingga kemampuan menyesuaikan diri dan daya tahan menurun,
terutama bagi masyarakat atau bangsa yang lemah. Kedua, terbaginya ekonomi dunia
menjadi dua bagian, yaitu negara-negara yang kaya otot serta negara-negara yang
kaya otak. Ketiga, gaya pikir dipengaruhi oleh produsen informasi. Keempat, transfer
capital dalam bentuk uang yang mengalir luar biasa ke negarra-negara utara
ketimbang ke selatan. Sedang arus barang dan tenaga kerja juga tidak seimbang.
Kelima, propaganda HAM yang bersandar pada individualisme, pengabaian hak-hak
kelompok dan kekalahan hak-hak manusia oleh modal. Keenam, terancamnya
demokrasi dengan globalisme. Ketujuh, konsumsi dirangsang oleh iklan, kebutuhan
didikte
oleh
negara
ekonomi
kuat
sesuai
dengan
gagasan
mereka
dan
internasionalisasi pertanian menentukan siapa yang menang dan kalah dalam
persaingan yang disanjung-sanjung melebihi kerjasama. Kedelapan, globalisasi
system pangan menambah kesenjangan negara kaya dan miskin, serta merangsang
konsumerisme yang hampir tak terbatas. Kesembilan, kontak budaya terjadi dalam
skala besar, cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak dapat dielakkan
terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya.
39
Keputusan
Muktamar
Muhammadiyah
ke-45
Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005).
tentang
Program
Sayangnya, Muhammadiyah tidak mempunyai pandangan yang jelas tentang
bagaimana seharusnya peran negara dalam menghadapi kontak dengan proses
globalisasi. Muhammadiyah hanya menyebut perlunya sebuah bangsa memiliki daya
adaptasi, filter, dan integritas kepribadian yang kokoh dalam menghadapi hegemoni
dan liberalisasi politik global yang penuh dengan kepentingan.
Muhammadiyah menyadari, di samping negara, peranannya dalam konteks
global tetap sangatlah penting. Oleh Karena itu dalam hal menghadapi pengaruh kuat
globalisasi dan ekspansi neoliberal yang sangat mencengkram masyarakat dunia saat
ini, Muhamadiyah mentasbihkan dirinya hadir dengan sikap aktif memainkan peran
kerisalahan agar umat manusia seduinia tidak terseret pada kehancuran oleh
keganasan globalisasi neoliberal. Pada saat yang sama dapat diarahkan menuju pada
keselamatan hidup yang lebih hakiki serta memiliki peradaban yang lebih maju dan
berperadaban mulia.
Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan
Hak atas Pendidikan, termasuk berbagai aspek kebebasan
akademik, merupakan bagian esensial dalam hukum hak asasi
manusia sekarang ini. Sebuah negara, yang dengan cermat
memperhatikan persoalan pendidikan terhadap warga negaranya
berarti sedang berinvestasi bagi masa depan dan kemajuan sebuah
bangsa. Hak atas pendidikan sebagaimana tercantum dalam pasal 13
Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatakan:
“Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap
orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus
diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan
kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas
hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka
selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua
orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang
bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan
antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan
lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk memelihara perdamaian.”40
Dalam berbagai hukum internasional lainnya, sejumlah
perjanjian maupun deklarasi juga diatur mengenai hak atas
pendidikan ini. Hal tersebut diantaranya dapat ditemukan dalam
Pasal 26 (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan
merupakan target Millennium Development Goals (MDG’s). Begitu
juga dalam konstitusi UUD 1945, terdapat dua pasal yang dengan
tegas menyatakan hak atas pendidikan sebagai hak konstitusional.
Pasal 28E-Amendemen ke-2 dan Pasal 31-Amendemen ke-4. Dalam
Pasal 31 ayat (2) ditegaskan: ''Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.''
Selanjutnya dalam ayat (4) dinyatakan: ''Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan
40
Buku Saku Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, diterbitkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Ratifikasi
Kovenan Ekosob, 2003.
penyelenggaraan pendidikan nasional.''41 Kedua pasal ini, pada
hakikatnya, yang dikenal dengan obligasi positif negara dalam
hukum HAM, menegaskan bahwa negara mempunyai kewajiban
memfasilitasi dan menyediakan, antara lain anggaran pendidikan
untuk terlaksananya pendidikan dasar bagi setiap warga negara.
Muhammadiyah, sebagai organisasi dakwah sebagaimana
sudah dikemukakan pada bab sebelumnya mendasarkan usaha
dakwahnya pada sekian banyak kegiatan sosial kemasyarakatan.
Salah satu aspek penting dari kegaitan tersebut adalah amal usaha
dalam bidang pendidikan. Amal usaha pendidikan, sebagaimana
tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah adalah dalam
kepentingan melaksanakan dakwah dan gerakan tajdid
(pembaharuan).42 Usaha ini dilakukan dalam konteks gerakan
Muhammadiyah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenarbenarnya.
Perhatian yang besar dari Muhammadiyah terhadap bidang pendidikan bukan
hal yang baru. Hal tersebut telah berlangsung sejak KH. Ahmad Dahlan awal kali
memulai gerakannya. Komitmen keilmuan yang tinggi dari KH. Ahmad Dahlan
tercermin dari langkah kontroversial dan tidak lazim dalam membangun gerakan
dakwah Islam saat itu. Yaitu mengadopsi sistem pendidikan barat (kolonial) sebagai
metode pendidikan Islam. Ijtihad ini diambil oleh KH. Ahmad Dahlan untuk
41
A Patra M. Zein, “Pendidikan Bukan Hak Hukum?,” artikel
diakses tanggal 10 Maret 2005 dari http://www.mediaindo.co.id
42
Keputusan Mukatamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 di Jakarta
tentang
Anggaran
Dasar
(AD)
Muhammadiyah,
(Pimpinan
Pusat
Muhammadiyah, 1421 H / 2000 M).
mengembangkan metode baru pendidikan Islam yang berbasiskan rasionalitas dan
dan modern di bumi nusantara. Dalam pernyataannya beliau mengatakan bahwa:
"Muhammadiyah ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah
kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah guru kembali
pada Muhammadiyah. Jadilah dokter, kembali kepada Muhammadiyah. Jadilah
Meester, insinyur dan lain-lain, dan kembalilah kepada Muhammadiyah."
( K.H. Ahmad Dahlan dalam junus salam, 1968 : 51 - 52 )
Selanjutnya hal tersebut tercantum dalam salah satu dari tiga
aspek pokok amal usaha muhammadiyah yang menyangkut
kepentingan masyarakat khususnya umat Islam yang menjadi
mayoritas bangsa Indonesia. yaitu: aspek keagamaan,
kemasyarakatan, dan pendidikan.43 Maka tidak mengherankan
kalau sampai saat ini muhammadiyah sudah memiliki 10.000-an
sekolah setingkat TK sampai SLTA dan seratusan perguruan tinggi
yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan tidak hanya
dinikmati oleh warga muhammadiyah saja.44 Bahkan, dalam
laporan pada muktamar ke-45 di Malang disebutkan bahwa hingga
tahun 2000 Muhammadiyah memiliki 3.979 Taman Kanak-Kanak,
33 Taman Pendidikan Diniyah/Ibtidaiyyah, 2.143 Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SMP dan MTs), 979 SLTA (SMA, MA, SMK), 101
43
Nur Achmad dan Pramono U. Tanthowi, ed., Muhammadiyah
“Digugat” (Jakarta: KOMPAS, 2000), cet I, h. 33.
44
Pada dasarnya, kegiatan di bidang pendidikan sudah dimulai sejak awal berdirinya,
berkaitan dengan amal usaha lainnya. Tahun 1929 jumlah rumah sekolah yang didirikan oleh
Muhamamdiyah di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan Jakarta sudah mencapai 126 buah. Selain itu,
sejumlah balai pengobatan (poliklinik) di kota-kota Yagya, Surabaya, dan Malang telah mengobati
sebanyak 81.000 orang pasien. Lihat H.M Farid Nasution dalam: Organisasi Sosial Keagamaan dan
Keberadaan Pendidikan Islam di Indonesia (Kasus Muhammadiyah), http://www.depdiknas.go.id,
diakses pada tanggal 06 Mei 2005.
sekolah Kejuruan, 13 Muallimin/Muallimat, 3 sekolah menegah
farmasi, serta 64 pondok pesantren. Dalam bidan pendidikan tinggi,
sampai tahun 2005, Muhammadiyah memiliki 36 Universitas, 72
sekolah tinggi, 54 akademi, serta 4 buah politeknik.45
Pada saat pelaksanaan mukatamar Muhammadiyah ke-44 di
Jakarta, persoalan pendidikan tetap menjadi agenda pokok bagi
gerakan dakwah Muhammadiyah. Lewat dokumen pembacaan
terhadap kondisi dan masalah nasional,46 Muhammadiyah
menyatakan:
“Masalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia sebagaimana
ditunjukan oleh Human Development Index (HDI) Indonesia yang
berada di posisi nomor 105 dalam standar UNDP (PBB) pada tahun
1999, yang memerlukan percepatan pengembangan sumberdaya
manusia melalui pendidikan untuk meningkatkan kualitas keunggulan
bangsa setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.”
Pernyataan di atas yang juga merupakan suatu statemen atas
pembacaan terhadap kondisi sosial-kemasyarakatan di Indonesia,
menunjukan bentuk dari keprihatinan Muhammadiyah terhadap
persoalan pendidikan sampai hari ini. Keprihatinan terhadap
lambatnya pembangunan sumberdaya manusia Indonesia ini juga
mencakup sebuah komunitas yang lebih khusus, yaitu umat Islam.
Hal tersebut dinyatakan oleh Muhammadiyah dalam sidang
45
Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 tentang
Program
Muhammadiyah
periode
2005
–
2010,
(Pimpinan
Pusat
Muhammadiyah, 1426 / 2005).
46
Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 di Jakarta
tentang Program Muhammadiyah periode 2000 – 2005, (Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, 1421 H / 2000 M).
muktamar yang menilai bahwa kondisi dan masalah umat Islam di
Indonesia yang masih belum setara antara kualitas dan kuantitas
seperti mutu sumberdaya manusia yang masih rendah.47 Oleh
karena itu, manifestasi usaha yang akan dilakukan muhammadiyah
adalah memajukan dan memperbaharui pendidikan dan
kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan, teknologi dan
penelitian menurut tuntunan Islam.
Urusan pendidikan bukanlah merupakan tanggung jawab
Muhammadiyah pribadi. Tetapi juga menuntut keterlibatan dari
institusi politik negara untuk berperan aktif di dalamnya. Perihal
keterlibatan dan peran negara, ada dua hal pokok yang menjadi
perhatian. Pertama, Muhammadiyah menyatakan perlunya
perbaikan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional oleh
negara, khususnya pembenahan kurikulum dan tenaga
kependidikan. Aspek ini oleh Muhammadiyah dinilai penting untuk
dilakukan, untuk lebih menyempurnakan penyelenggaraan sistem
pendidikan di Indonesia. Dalam pandangan Muhammadiyah,
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional haruslah meliputi tiga
komponen pokok, yaitu sebagai proses alih pengetahuan (transfer of
Knowledge), alih kemampuan/keterampilan (transfer of competency)
dan alih nilai (transfer of values). Termasuk pendidikan akhlak.
Adanya sistem pendidikan nasional yang diatur dalam
perangkat perundang-undangan –dalam konteks perdebatan tentang
RUU SISDIKNAS-, Muhammadiyah menyatakan bahwa hal
47
Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 di Jakarta
tentang Program Muhammadiyah periode 2000 – 2005, (Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, 1421 H / 2000 M).
tersebut merupakan suatu landasan penting untuk mewujudkan
penyelenggaraan pendidikan guna mencerdaskan kehidupan bangsa
sekaligus bisa memberikan payung terhadap beberapa persoalan,
yang negara masih memiliki tanggung jawab untuk melindunginya.48
Hal kedua, dan menjadi salah satu point penting dari pokokpokok pikiran hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah terakhir,
adalah tanggung jawab negara untuk meningkatkan anggaran
pendidikan sebesar 25% yang pelaksanaannya dilakukan secara
bertahap serta memperbaiki manajemen pendidikan.49
Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan
Jika pada suatu waktu kita mendengar berita tentang
meninggalnya orang miskin dikarenakan penyakit yang dideritanya,
kita patut bertanya sebab apa dia meninggal. Apakah karena dia
menghinggap penyakit kronis sehingga sulit diobati, atau karena
faktor lain, seperti ketidakmampuan membayar biaya pengobatan?.
Kesehatan merupakan masalah sosial, ekonomi dan politik dan merupakan hak
asazi manusia yang paling penting. Kesenjangan, kemiskinan, eksploitasi, kekerasan
dan ketidakadilan merupakan sumber penyakit dan kematian di antara orang-orang
yang miskin dan termarginalisasi. Bila kita ingin mengusahakan kesehatan bagi
semua orang (health for all), kepentingan-kepentingan orang-orang yang berkuasa
harus dikaji ulang, globalisasi harus dilawan, dan prioritas politik dan ekonomi harus
diubah secara besar-besaran.
48
Ahmad Jainuri, “Muhammadiyah dan RUU Sisdiknas,”
diakses
tanggal
10
Juni
2003
http://www.surya.co.id/rubrik.php?id=12
49
Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000.
artikel
dari
Masalah pelayanan serta akses masyarakat terhadap kesehatan
merupakan the dominant factor dari problem kesehatan di Indonesia.
Akibat tingkat pelayanan kesehatan yang buruk serta rendahnya
akses publik, hingga saat ini Indonesia masih dihantui bayangbayang tingkat kematian ibu dan anak yang masih tinggi. Pada
tahun 2002 Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 35 Jiwa per 1000
kelahiran. Sedangkan Angka Kematian Ibu (AKI) tercatat sebanyak
307 jiwa per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2003.50
Untuk menjawab persoalan di atas, setidaknya kita bisa melihat
dua pendekatan/perspektif yang relevan.11 Pertama, perspektif yang
memfokuskan pada alokasi sumberdaya (resource allocation).
Penganut pandangan ini berpendapat bahwa alokasi sumber daya
yang tidak adil tidak hanya menimbulkan kemiskinan, tetapi juga
menjadi penyebab buruknya kesehatan masyarakat. Artinya
ketidakadilan alokasi sumber daya, menjadi penyebab dari
buruknya kondisi pemukiman, sanitasi yang tidak layak, serta
rendahnya tingkat nutrisi yang dialami oleh masyarakat.
Kedua, perspektif yang melihat ketidakmampuan masyarakat
(miskin) terhadap pelayanan kesehatan lebih merupakan masalah
struktural yang diciptakan (baik oleh negara atau pemilik kapital)
dalam bentuk pengelolaan pelayanan kesehatan yang diskriminatif
(hanya menguntungkan kelompok tertentu) dan merugikan
kelompok miskin.
50
Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Sleman, Resist Book,
2004), cet. I, h. 38.
11
Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi
Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jakarta, Elsam, 2003),
cet. II, h. 82.
Berkaitan dengan dua permasalahan dari pendekatan di atas,
hukum Hak Asasi Manusia Internasional menetapkan dua aturan
yang berhubungan dengan hal tersebut: pertama, perlindungan
terhadap kesehatan masyarakat yang secara sah membatasi hak
asasi manusia; dan kedua, hak kesehatan individu serta kewajiban
pemerintah untuk memberikannya. Dalam peraturan hukum
internasional, yaitu Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, hak atas kesehatan disebutkan dalam pasal 12 yaitu:
“Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk
menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik
dan mental”.12 Artinya, persoalan kesehatan telah menjadi
keprihatinan komunitas internasional sejak lama. Bahkan, di
beberapa aturan-aturan regional, seperti Konvensi Eropa untuk
Hak Asasi Manusia (ECHR) dan Piagam Sosial Eropa (ESC), juga di
peraturan yang termuat dalam Internasional Labour Organization
(ILO) dan World Health Organization (WHO), secara jelas
mengakui pemberlakuan hak asasi manusia dalam bidang
kesehatan.
Melihat sejumlah standar hukum internasional yang sudah
diuraikan, dan meninjaunya di Indonesia, terlihat betapa
pemenuhan hak atas kesehatan di negeri ini masih jauh dari ideal.
Sebagai contoh, pada sektor anggaran kesehatan tahun 2005,
pemerintah saat ini memberikan anggaran untuk pelayanan
kesehatan dasar hanya sekitar Rp. 6,791 Trilyun. Hal tersebut
12
Buku Saku Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
diterbitkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Ratifikasi Kovenan
Ekosob, 2003.
sangat jauh bila membandingkan standar yang dibuat oleh Bank
Dunia untuk meningkatkan pemenuhan hak atas kesehatan,
terutama bagi masyarakat miskin, diperlukan biaya Rp 13,6 triliun
per tahun, termasuk di situ layanan rumah sakit dan rawat inap
dalam bentuk “Hibah kesehatan untuk kaum miskin”.
Muhammadiyah, lewat kegiatan dakwah yang dilakukannya,
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap persoalan kesehatan.
Salah satu amal usaha yang diteguhkan dalam Anggaran Dasar
Muhammadiyah adalah untuk menggerakan dan menghidupsuburkan amal tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa dalam
bidang kesehatan, sosial, pengembangan masyarakat, dan keluarga
sejahtera.13 oleh karena itu sejak awal kali gerakannya dibangun,
Muhammadiyah juga gencar mendirikan berbagai sarana pelayanan
kesehatan sebagai “Penolong Kesengsaraan Oemoem” seperti rumah
sakit dan puskesmas untuk membantu meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam.
Dalam bidang kesehatan, hingga tahun 2000 Muhammadiyah
memiliki 30 Rumah Sakit Umum, 13 rumah Sakit Bersalin, 80
Rumah Bersalin, 35 Balai Kesehatan Ibu dan Anak, 63 Balai
Pengobatan, 20 Poliklinik, Balkesmas, dan layanan kesehatan lain.
Dalam program kerja yang disepakati lewat Muktamar ke-44
tahun 2000 di Jakarta, Muhammadiyah juga meneguhkan usahanya
dalam bidang kesehatan dan peningkatan kualitas hidup
masyarakat. Enam point yang tertera dalam keputusan tersebut
13
Anggaran Dasar Muhammadiyah, keputusan Muktamar ke-44, Jakarta
, 2000.
menunjukan tingkat kepedulian dalam bentuk partisipasi secara
menyeluruh terhadap penyelenggaraan pelayan kesehatan di
Indonesia. Amal usaha Muhammadiyah bidang kesehatan
mempunyai misi untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar
dapat mencapai derajat kesehatan yang lebih baik, sebagai bagian
dari upaya menuju terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan
sakinah sebagaimana dicita-citakan Muhammadiyah.
Kewajiban negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan
masyarakat, tidak dapat disangsikan lagi bagi Muhammadiyah.
Meskipun Muhammadiyah sendiri melakukan fungsi sosial yang
mempunyai tujuan yang kurang lebih sama. Tetapi pengakuan
deklaratif dari pidato Syafii Maarif pada pembukaan sidang Tanwir
di Mataram, secara jelas mengatakan bahwa tugas mencerdaskan
dan mencerahkan negara adalah kewajiban pemerintah yang tidak
bisa ditoleril.
Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pangan
Pangan adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia,
karenanya hak atas pangan menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia.
Ketersediaan pangan yang cukup bagi rakyat dalam suatu negara, menunjukan tingkat
kesejahteraan yang relatif baik dalam negera tersebut. Hak atas pangan dapat
ditafsirkan sebagai rights not to be hungry, yaitu hak bagi setiap orang atau kelompok
orang dalan suatu masyarakat, wilayah atau dalam satu negara untuk mendapatkan
kecukupan makanan yang dibutuhkan bagi keperluan menjalankan aktivitas hidupnya
seperti bekerja dalam batas-batas yang masih memenuhi ukuran kesehatan.14
Hak atas pangan telah sejak lama dideklarasikan sebagai hak asasi manusia
melalui berbagai perjanjian internasional. Sebut saja di antaranya Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM), pembukaan konstitusi FAO, dan Kovenan
Internasional Hak-hak ekonomi Sosial dan Budaya (ekosob). Meskipun demikian,
hak atas pangan terus menerus disangkal keberadaannya. Lebih parah lagi, pangan
saat ini lebih dianggap sebagai komoditi perdagangan semata ketimbang sebagai
sebuah unsur penopang hidup manusia.
Parahnya, saat ini komoditas memang telah menjadi barang komoditas yang
dikuasai dan dikontrol oleh perusahaan-perusahaan besar internasional. Setidaknya,
dalam catatan yang dihimpun oleh Khudori,15 sepuluh perusahaan mengontrol 32%
dari bibit yang diperdagangkan senilai US$ 32 miliar, dan 100% dari pasar bibit
transgenik. Hanya lima perusahaan yang mengontrol perdagangan biji-bijian. Tahun
1998, bisnis pestisida yang bernilai sekitar US$ 31 juta 73%-nya dikontrol oleh
sepuluh perusahaan pertanian transnasional. Sudah barang tentu, kenyataan ini
menyulitkan negara-negara yang tidak food self-sufficient untuk menjamin tidak
terjadi kelaparan warganya.
Di negara agraris seperti Indonesia, di mana sebagaian besar penduduknya
menggantungkan hidup pada usaha pertanian, kerawanan pangan masih menjadi
14
Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi
Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jakarta, ELSAM, 2003),
cet. II, h. 52.
15
Khudori, Lapar: Negeri salah Urus, (Yogyakarta: Resist Book,
2005) cet. I, h. 23
berita buruk yang terus menghantui masyarakat. Berbagai kebijakan yang ada
berkaitan dengan usaha negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhi (to fullfil) hak atas pangan bagi rakyat masih jadi kendala
besar. Bahkan dalam banyak hal negara dapat dinyatakan gagal dalam menjalankan
fungsinya untuk menjamin ketersediaan pangan seperti yang tertera di atas. Padahal,
kewajiban ini secara legal diakui dan didukung oleh mayoritas negara-negara di
dunia, sebagaimana tercermin dalam pasal 25 dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia 1948 dan diperkuat oleh Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (HESB) 1966. Pasal 11 ayat 2 HESB terdapat komitmen negara-negara
peserta untuk, antara lain, melakukan pembaruan sistem agraria sedemikian rupa
sehingga menjamin terwujudnya hak-hak untuk memperoleh pangan yang layak (the
right to edequate food).16
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan yang kuat di
Indonesia memberi perhatian besar terhadap persoalan tersebut. Setidaknya hal
tersebut tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang menekankan
pembinaan dan pemberdayaan terhadap petani.17 Perhatian Muhammadiyah terhadap
petani dan kelompok lemah lainnya merupakan tuntutan akan pemerataan dalam
bidang ekonomi sebagai upaya untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan.
Muhammadiyah menyatakan bahwa pembangunan yang lebih berorientasi untuk
mengangkat martabat golongan lemah harus lebih diprioritaskan, agar proses dan
16
17
Khudori, Lapar: Negeri Salah Urus, h. 29
Anggaran Dasar Muhammadiyah, 2000.
hasil pembangunan benar-benar memihak pada semua warga negara, sehingga
keadilan ekonomi seperti dimaksud pasal 33 UUD 1945 dapat menjadi kenyataan.18
Poin penting dari sikap Muhammadiyah tentang hak atas pangan dengan tegas
tercermin dalam pokok-pokok pikiran tentang kehidupan berbangsa dan bernegara
tentang pertanian. yang lahir dari keputusan sidang Muktamar Muhammadiyah ke-44
di Jakarta. Dalam pandangan tersebut Muhammadiyah berpendapat bahwa:
“…Pembangunan pertanian hendaknya didasarkan pada pemberdayaan petani.
Khususnya berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan stok pangan nasional,
maka pemerintah harus secara sungguh-sungguh meningkatkan kemampuan
produksi dan penghasilan petani, serta memberi perlindungan dari perlakuan yang
tidak adil dalam memperoleh haknya....”.19
Jika kita lihat di atas, isu ketahanan pangan menjadi perhatian penting
Muhammadiyah bagi terwujudnya hak atas pangan di Indonesia. Ketahanan pangan
merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan
salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian
sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya
mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi
manusia lain. Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari
kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu
proses sebab-akibat dari kemiskinan. Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan
18
Program Muhammadiyah 1995-2000, Keputusan Hasil Muktamar
Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh, 1995.
19
Pokok-pokok Pikiran dan Rekomendasi Muhammadiyah Tentang
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Keputusan Muktamar Muhammadiyah
ke-44 di Jakarta, 2000.
pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan.
Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang
cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan
tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.20 Dalam hal inilah
petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan: petani adalah produsen
pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian
masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani
harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus
memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.
Sikap Muhammadiyah yang menjadi rekomendasi keputusan Muktamar tentang
hak-hak petani di atas sesungguhnya mencerminkan keprihatinan dari arus
globalisasi. Dalam pandangan umum yang tertera di risalah keputusan tersebut,
Muhammadiyah melihat bahwa globalisasi dalam kehidupan ekonomi akan makin
memperkokoh dan memperluas ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional,
multikorporasi, dan transnasionalisme menuju terbentuknya global market (pasar
dunia) yang semakin terbuka dan berada dalam jalur dunia pasar bebas yang
menuntut daya kompetisi yang tinggi, yang membawa pula muatan kepentingan dan
ekspansi kapitalisme global yang dapat menjadi ancaman bagi perusahaanperusahaan nasional dan lokal.
Hal yang paling esensial dari pemikiran Muhammadiyah tentang hak atas
pangan lahir dari keinginan untuk lebih menempatkan kelompok-kelompok rentan
20
Bayu Krisnamurthi, “Agenda Pemberdayaan Petani Dalam Rangka
Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional,” Jurnal ekonomi Kerakyatan,
Th. II - No. 7 - Oktober 2003, artikel diakses tanggal 2 April 2005
dari http://www.ekonomirakyat.org/edisi_19/artikel_3.htm
yang selama ini terpinggirkan, termasuk petani mendapatkan perlindungan yang
maksimal dari negara. Bentuk perlindungan yang dimaksud dapat berupa
perlindungan terhadap nasib kesejahteraan petani dan memberikan subsidi bagi
usaha-usaha pertanian.
Jika kita melihat relisasi keberpihakan pemerintah/negara terhadap petani
sebagai wujud dari pemenuhan hak asasi manusia atas pangan sangatlah
mengecewakan. salah satu indikator untuk mengukurnya kita dapat menggunakan
jumlah alokasi subsidi pertanian dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) setiap tahunnya. Subsidi pertanian, dalam APBN hanya dikenal dalam
komponen subsidi pupuk dan pangan. Kalau kita melihat besaran alokasinya, sangat
tidak pantas untuk sebuah negara agraris seperti Indonesia. Yang paling
menyedihkan, total pengeluaran negara dalam APBN untuk membayar cicilan bunga
dan pokok utang dalam dan luar negeri, jumlahnya jauh melebihi anggaran sosial
(pendidikan, kesehatan, dan pangan).
Subsisi Pemerintah untuk Pertanian dalam APBN 2001 - 2004
(dalam trilyun) 21
Kategori
Subsidi
Pangan
Pupuk
2001
Rp
2,435
Na
2002
Rp
5,3
1,2
2003
Rp
4,8
1,3
2004
Rp
5,4
0,95
Sumber: Nota Keuangan APBN, diolah
Permasalah menjadi semakin rumit, ketika persoalan pertanian masuk dalam
kerangka negosisi dalam World Trade Organization (WTO). Ini sama artinya sektor
pertanian sedang mengalami ancaman serius akibat masuknya angin liberalisasi.
21
Nota Keuangan APBN 2001 – 2004, diolah.
Sudah barang tentu sebagai prasyarat liberalisasi, produk-produk pertanian akan
dihadapkan pada persaingan dalam medan pasar bebas dengan para perusahaanperusahaan agribisnis internasional bermodal besar. Akhirnya, para petani kecil
penghuni mayoritas Republik Indonesia ini akan menyaksikan ladang-ladang kering
karena tidak mampu lagi berproduksi.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Diskursus tentang negara dalam berbagai penelitian ilmiah
menunjukan tingkat eksplorasi yang sangat mendalam. Hal tersebut
juga berlaku dalam disiplin pemikiran politik Islam. Debat akademis
tentang negara khususnya yang berkaitan dengan persoalan Islam
dan Negara, menyedot seluruh perhatian para intelektual muslim di
dalamnya.
Tentu
saja
membutuhkan
energi
ekstra
untuk
memindahkan perdebatan tersebut menjadi usaha untuk menjawab
persoalan kontemporer yang berkaitan dengan masalah negara.
Bagi penulis, berdasarkan pemikiran yang dangkal dan subyektif,
salah satu persoalan kontemporer tersebut adalah debat negara dan
globalisasi seperti yang sudah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Buah dari penelitian yang sederhana ini penulis mencoba mengurai
beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil untuk menstimulus
diskursus akademis selanjutnya dalam ranah pemikiran politik
Islam.
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa negara adalah sebuah lembaga
yang netral, tidak berpihak kepada satu kelompok atau kelas tertentu, cenderung bias
kepentingan. Pemikiran tersebut melahirkan prilaku birokrasi dan elit yang
menguasai negara dapat berbuat semaunya untuk melayani kepentingan individu dan
kelompok. Kenyataannya, para elit dan birokasi penguasa negara berasal dari
kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat. Umumnya mereka adalah para kelas
borjuis atau kelas menegah. Dapat dimengerti bahwa kebijakan yang lahir dari negara
akan lebih mengutamakan kelangsungan dari kekuasaan politik dan ekonomi kelas
borjuis tersebut. Karena wataknya yang sangat individualistis, kelompok ini juga
sangat adaptif bagi berbagai kepentingan politik dan ekonomi para borjuis
internasional yang datang lewat propaganda globalisasi.
Kedua, globalisasi sebagai sebuah proyek ekonomi dan politik, berkembang
atas keinginan untuk melanggengkan kekuasaan pasar domestik di negara-negara
maju. Dalam perspektif ini, globalisasi akan melayani hasrat ekspansif dari modal
domestik itu untuk dapat disalurkan ke berbagai negara di belahan bumi ini. Lewat
cara-cara demikian, kekuatan modal dapat bertahan dalam situasi seperti ini. Proses
globalisasi dalam cara pandang seperti ini kemudian melahirkan jargon pasar bebas
sebagai sebuah konsekwensinya. Sayangnya, seperti yang telah diungkapkan oleh
para ekonom liberal “uang tidak punya tanah air”, adalah menggambarkan betapa
modal dapat bergerak ke mana dan kapan saja tanpa ada satupun regulasi yang dapat
menghalanginya, termasuk kedaulatan negara bangsa. Di sinilah kita meyakini bahwa
globalisasi juga punya jenis kelamin ideologi, yaitu kapitalisme liberal. Kemampuan
kita mengenal ideologi globalisasi, membuat kemudahan untuk melihat pembatasan
wewenang negara dalam era globalisasi dan pasar bebas sebagai sesuatu yang pasti
akan dilakukan. Sebab dalam pandangan ini, kekuasaan negara yang besar merupakan
hambatan yang serius bagi perkembangan pasar bebas. Oleh sebab itu diperlukan
sebuah upaya, yang dalam prakteknya salah satunya dilakukan oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional (IMF, Bank Dunia) untuk membuat negara menjadi tidak
perkasa. Proyek tersebut biasa dikenal dengan sebutan “Konsensus Washington”,
yaitu liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Ketiga, hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) merupakan hak dasar setiap
manusia. Implementasi pemenuhan hak ekosob merupakan tanggung jawab negara.
Setidaknya hal tersebut yang tercermin dari sejumlah peraturan, deklarasi maupun
kovenan internasional yang mengatur hak tersebut. Penghargaan negara terhadap
pemenuhan hak ini merupakan penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Dan
pengingkaran negara merupakan tindakan tercela dan membunuh kemanusiaan.
dalam prakteknya, pemenuhan hak ekosob dalam era globalisasi mengalami kendala.
Yang sangat serius adalah penentangan dari kelompok neoliberal yang dengan
anjurannya, membuat kelompok miskin dalam masyarakat tidak dapat terpenuhi hakhak dasarnya. Praktek tersebut dapat kita temukan dalam kebijakan Indonesia saat ini.
Dengan alasan pemulihan krisis ekonomi dan prasyarat bagi pinjaman luar negeri
pemerintah diharuskan memotong anggaran sosial dalam APBN. Tidak hanya itu,
kebijakan neoliberal yang dijalankan di Indonesia saat ini menyebabkan ekses
masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupan yang dimilikinya, seperti tanah dan
pertanian, air, hutan, tambang semakin jauh. Padahal sejauh yang kita pahami
pemenuhan hak dasar rakyat secara jelas diatur dalam konstitusi negara ini, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak
atas pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan dan pengusaan terhadap sumbersumber kehidupan diatur oleh negara untuk tujuan mensejahterakan masyarakat.
Keempat, Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi sosial
kemasyarakatan mempunyai peran yang penting dalam
mendorong terpenuhinya hak-hak ekosob oleh negara.
Pemikiran tentang hak ekosob tersebut tertuang dalam
dokumen muktamar Muhammadiyah. Walaupun
penyebutannya tidak secara eksplisit, tetapi dapat dipahami
bahwa persoalan pendidikan, kesehatan, pangan dan
pertanian serta masalah ketenagakerjaan bagi
Muhammadiyah merupakan tanggung jawab negara. Tugas
gerakan Muhammdiyah yang juga meliputi peran sosial
kemasyarakatan, tidak menghilangkan tugas dan fungsi
negara untuk menyelenggarakan pendidikan, pelayanan
kesehatan, dan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam konteks ini, terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara
tugas negara dan civil society seperti Muhammadiyah. Bahkan kecenderungan yang
terjadi, fungsi-fungsi pelayanan sosial-kemasyarakatan yang dijalankan oleh
Muhammadiyah semakin meningkat. Secara politik, kondisi demikian terjadi pada
saat negara dianggap tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagaimana
dimandatkan dalam konstitusi UUD 1945.
Saran-saran
Kendati
gagasan
tentang
dipertanggungjawabkan
globalisasi
secara
ilmiah,
dan
liberalisme
tetapi
akibat
dapat
yang
ditimbulkan sangatlah besar artinya bagi kemanusiaan. Khususnya
bagi perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
yang merupakan hak asasi manusia. Oleh sebab itu sebagai sebuah
karya tulis yang sederhana dan sangat terbatas, penulis ingin
memberikan saran berkenaan dengan penulisan karya ilmiah
selanjutnya bagi usaha memajukan dan mempromosikan hak ekosob
oleh negara.
Pertama, berangkat dari keterbatasan pengkajian yang dilakukan
dalam karya ilmiah ini, penulis beranggapan perlunya ke depan
dikembangkan gagasan alternatif dari pemikiran tentang peran dan
fungsi negara. Dominasi wacana dan persepsi tentang negara,
menyebabkan terjadinya distorsi dan simplipikasi (penyederhanaan)
bagi pengertian yang sesungguhnya beragam. Gagasan alternatif
penting sebagai sebuah cara melakukan counter hegemony, untuk
tidak mengesankan hanya memiliki semangat “anti” dan “tolak”.
Dalam konteks Indonesia, gagasan tentang negara sosial demokrasi
sesungguhnya mempunyai akar sejarah dan konteksnya pada masa
lalu.
Kedua, diperlukan kesungguhan dari para elit dan penguasa di
negeri ini untuk menjalankan amanat kontitusi dalam UUD 1945.
Yaitu dengan menjadikan persoalan pemenuhan hak ekosob sebagai
agenda prioritas pembangunan Indonesia. ketersediaan sumber daya
alam yang cukup di Indonesia memungkinkan negeri kaya raya ini
untuk dapat memberikan pelayanan minimal bagi kebutuhan sosial
masyarakat. Seperti pendidikan dasar dan menengah secara gratis,
pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat tidak mampu dan
melakukan reformasi kebijakan agraria di Indonesia untuk
meningkatkan produktivitas petani dan memenuhi kebutuhan
pangan domestik yang berkelanjutan.
Ketiga, sebagai bagian dari Civil Society, ormas Islam terbilang
gagap dalam menjelaskan dampak dari perkembangan globalisasi.
Terutama hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar
masyarakat oleh negara. Karena itu diperlukan kajian yang
mendalam tentang bagaimana peran yang harus dimainkan oleh
ormas Islam khususnya Muhammadiyah, untuk menjadi kekuatan
pendorong
terhadap
konstitusionalnya.
memberikan
negara
Peranan
kontribusi
agar
aktif
positif
menjalankan
tersebut
bagi
juga
pengembangan
kewajiban
termasuk
gagasan
alternatif dari sistem ekonomi liberal yang eksploitatif seperti saat
ini.
Keempat, diperlukan kerjasama yang erat antara negara dan civil
society dalam menjalankan fungsi-fungsi pemenuhan hak ekonomi,
sosial,
dan budaya
di
Indonesia.
dalam
perkembangannya,
Muhammadiyah dan banyak ormas lainnya di Indonesia menempuh
jalur sunyi dalam menjalankan tugas-tugas ini. Ke depan, seiring
dengan semakin kuatnya pengaruh globalisasi neoliberal yang
mengancam terhalangnya pemenuhan hak ekosob ini, kesatuan
pikiran dan tindakan antara negara dan civil society sangat
diperlukan dalam menghadapi kekuatan modal global yang
eksploitatif dan menajajah. Wallahu’alam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Muslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. III
-----------, Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural, Jakarta: Ideo Press dan Maarif
Institute, 2003, cet. II
Achmad, Nur et.al., Muhammadiyah Digugat, Jakarta: KOMPAS, 2000, cet. I
Ali, Fachry, Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah,
Jakarta: PT RajaGrafindo Utama, 2004, cet. I
Baswir, Revrisond, Pembangunan Tanpa Perasaan, Jakarta: ELSAM, 2003, cet. II
-----------, Terjajah di Negeri Sendiri, Jakarta, ELSAM, 2003, cet. I
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2000, cet. XXI
Budiman, Arif, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1996, cet. I
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta:
INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002, cet. I
-----------, Bebas Dari Neoliberalisme, Yogyakarta: INSIST, 2003, cet. I
George, Susan, Republik Pasar Bebas, Jakarta: INFID, 2002, cet. I
Giddens, Anthony, Beyond Left & Right; Tarian “Ideologi Alternatif” di atas
Pusaran
Sosialisme dan Kapitalisme, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, cet. I
----------, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, cet. I
----------, The Third Way; Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi sosial, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2002, Cet. IV
Grant, Ted & Woods, A, Melawan Imperialisme, Yogyakarta: Komunitas PROSES,
2001, cet. I
Hatta, Mohammad, Satu Abad Bung Hatta; Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi
Masa Depan, Jakarta: UI Press, 2002, cet. I
Haynes, Jeff, Demokrasi dan Masyarakat sipil di Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan
Obor, 2000, cet. I
Jha, Avinas, Background to Globalisation, Bombay: CED, 2000, cet. I
Kasim, Ifdhal (ed.), Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Esai-Esai Pilihan, Jakarta:
ELSAM, 2001, cet. I
Khudori, Lapar: Negeri salah Urus, Yogyakarta: Resist Book, 2005, cet. I
Kleden, Ignas, Masyarakat dan Negara; Sebuah Persoalan, Magelang: Indonesia
Tera, 2004, Cet. I
Mallaranggeng, Rizal, Mendobrak Sentralisme Ekonomi; Indonesia 1986 – 1992,
Jakarta: KPG, 2002, cet. I
Mc Vey, Ruth, Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta: YOI, 1998, cet. I
Nasri, Imron (ed.), Amin Rais Menjawab, Jakarta: Mizan, 1999, cet. I
Petras, James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2002, cet. I
Pontoh, Coen Husain, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Garakan
Massa, Jakarta: C-Book, 2003, Cet. I
Prasetyo, Eko, Orang Miskin Dilarang Sakit, Klaten: Resist Book, 2004, cet. I
Radjab, Suryadi, Indonesia: Hilangnya Rasa Aman; HAM dan Transisi Politik
Indonesia, Jakarta: PBHI dan TAF, 2002, Cet. I
Robertson QC, Geoffrey, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan untuk
Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta: KOMNAS HAM, 2002, cet. I
Saleh, M. Ridha, ECOCIDE; Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak
Asasi Manusia, Jakarta: WALHI, 2005, cet. I
Stiglitz, Joseph E, Washington Consensus; Arah Menuju Jurang Kemiskinan, Jakarta:
INFID, 2002, cet. I
Stiglitz, Joseph E, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka ekonomi
Dunia, Tangerang: Marjin Kiri, 2006, Cet. I
Strahm, Rudolf H., Kemiskinan Dunia Ketiga; Menelaah Kegagalan Pembangunan
di Negara Berkembang, Jakarta: CIDESINDO, 1999, cet. I
Sugiono, Muhadi, Kritik Antonio Gramsci Terhadap pembangunan Dunia Ketiga,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cet. I
Syamsudin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I
Wibowo, Ignatius, et.al, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras, 2003, cet. I
Winarno, Budi, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru; Peran Negara Dalam
Pembangunan, Yogyakarta: Tajidu Press, 2005, cet. I
Jurnal:
Diponegoro 74, Jurnal Pemikiran Sosial-Politik, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia,
Yayasan
Lembaga
Bantuan
Hukum
Indonesia,
tahun
VIII/2004/No.12/Oktober – Desember 2004.
TANWIR, Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban, PSAP Muhammadiyah, edisi ke3, Vol. I, No. 3, September 2003.
WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, INSIST, edisi 8, tahun II, 2001.
Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol.3 tahun 2005.
INOVASI, Jurnal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, No.2 th. X/2000.
Website:
http://www.kompas-online.co.id
http://www.kau.or.id
http://www.depdiknas.go.id
http://www.depkes.go.id
http://www.deptan.go.id
http://www.mediaindo.co.id
Download