NEGARA DAN GLOBALISASI PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA Oleh Dani Setiawan 9933216569 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427 H/2006 M NEGARA DAN GLOBALISASI PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA DI INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuludin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh Dani Setiawan NIM : 9933216569 Di Bawah Bimbingan Pembimbing I Pembimbing II Drs. Yusron Razak, MA NIP: 150 216 359 Drs. Agus Nugraha, MA NIP: 150 299 478 Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1427 H/2006 M KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Assalamu’alaikum Wr. Wb. Demi Allah, tuhan semesta alam. Segala puji dan syukur aku haturkan atas segenap cinta dan rezeki yang telah dianugerahkan kepadaku. Tak ada yang pasti kecuali Dia, pencipta segala makhluk di dunia. Segala keikhlasan atas kehendaknyaNya aku merampungkan tulisan sederhana ini. Juga bagi sang juru selamat, Nabi Agung Muhammad SAW. Terlimpah shalawat dan salam kepadanya. Demi masa depan, aku persembahkan sebuah goretan. Agar dicatat sebagai hikmah dan pelajaran. Tak habis rasa terima kasihku atas kerelaan dan kesungguhan orang-orang yang aku hormati. Para dosen, guru, dekan, sahabat dan seluruh orang yang menginspirasiku. Terimalah ini sebagai persembahan bagi kesetiaan dan perubahan. Izinkah aku mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada Prof. Dr. Amsal Bachtiar, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuludin dan Filsafat dan Ketua serta Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam, Bapak Drs. Agus Darmadji, M.fil dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA Atas kebikan mereka memberikan peluang bagi kelulusanku. Juga tidak lupa dosen pembimbingku, Bapak Drs. Yusron Razak, MA dan Bapak Agus Nugraha, MA. Kesempatan yang berharga bagiku untuk dapat bertemu dan dibimbing. Segenap takjub, bagi mereka yang telah menjadi kawan diskusi di ruang kelas Pemikiran Politik Islam (PPI) angkatan pertama. Kawan dalam suka dan duka, tempat berbagai cerita dan pengalaman, Ubaidillah, M. Nur Mekkah, Roy M. Pamenang, Anshori, M. Nur Khafid, Realino, Suhardiman, Ihdi Karim Makin Ara, Togar, Fajri, dan Deni Agusta. Terima kasih menjadikanku sebagai sahabat. Demi kesabaran dan kasih sayang, aku khususkan skripsi ini untuk kedua orang tuaku, Kartiwa dan Andriyani. Setelah penantian panjang, kuharap engkau mau memaafkan anakmu. Jika bukan karena mereka, mungkin skripsi ini tak kunjung ada. Buat adikadikku, Wawan, Zainal, Khoirul, dan si manis Nurul, aku memberikan catatan ini untuk kalian pelajari kelak. Dan seluruh keluarga besarku, aku mencintai kalian semua. Demi perubahan, untuk para guru, dosen dan semua orang yang menjadi tempat belajarku. Khususnya aku tujukan untuk Bang Ray Rangkuti, Piet H. Khaidir, Anick H. Tohari, Lisa Nur Humaidah, Siti Muniroh, Yudhie Haryono, Kusfiardi, Ichsanuddin Noorsy, Revrisond Baswir dan Ibu Hendri Saparini. Terima kasih atas semua diskusi dan pengalaman. Semoga aku menjadi apa yang kalian harapkan. Demi kemerdekaan sejati, aku hajatkan skripsi ini untuk temanteman seperjuangan di Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Komite Mahasiswa anti Imperialisme (KM-AI). Juga kepada teman-teman di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), Komunitas Mahasiswa UIN (KM UIN), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cab. Ciputat, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cab. Ciputat Atas kesetiaan pada keyakinan-keyakinan revolusioner dan ide-ide perubahan. Kita meyakini, bahwa perjuangan belum tentu melahirkan perubahan, tetapi kita lebih yakin bahwa tidak akan ada perubahan tanpa perjuangan. Untuk Dewi Sartika, demi cinta terimalah persembahan ini untukmu. Bagi kesabaran yang tulus dalam menantiku. Buat Mama Mumun dan Papa Ramli, terima kasih telah mengizinkan aku mencintai anakmu. Walau bosan, aku tahu kalian begitu menyayangiku. Demi Islam, tidak ada hamba yang lebih shaleh kecuali mereka yang bekerja dan berjuang menjalankan kewajiban, membela hak dan keyakinan mereka. Tulisan ini ditujukan bagi mereka yang masih setia dalam perjuangan. Para aktivis pro demokrasi di seluruh dunia, kader-kader rakyat, para pembela HAM, dan semua yang menjadikan “jalanan” menjadi guru terbaik dalam hidup. Wallahu’alam Wassalamu’alaikum Wr.Wb. NEGARA DAN GLOBALISASI PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN………..……………………………....…………...… 1 A. Latar Belakang Masalah………………………..………………...……..1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………..……………...………..12 C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan………………..…………...…...……..13 D. Metode Penelitian……………………………..……………...…………14 E. Sistematika Penulisan…………………………..……………...………..14 BAB II LANDASAN TEORI……..…………….………..…………..……...…..16 A. Beberapa Pengertian Tentang Negara…………..…………...……...…..16 A.1 Defenisi Negara……………………………..………….....………16 A.2 Peran dan Fungsi Negara………………………………...………..20 B. Beberapa Pengertian Tentang Globalisasi…………………….……...…24 B.1 Defenisi Globalisasi……………………………………….…..…..24 B.2 Prinsip-prinsip Globalisasi……………………………....…..……28 B.3 Aktor-aktor Globalisasi……………………………………..…….30 B.4 Globalisasi; Anak Kandung Kapitalisme………………...…....….35 C. Welfare State…………………………………………………...…..……38 BAB III MENUJU PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA OLEH NEGARA…….……….………….…………...…….44 A. Kerangka Normatif Hak-hak ekonomi, Sosial, dan Budaya………….....44 B. Neoliberalisme; Kendala Ideologis Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Era Globalisasi……………………………………………….52 C. Refleksi Kebijakan Pembangunan Orde Baru Dalam Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya……………………………………………59 D. Signifikansi Peran Muhammadiyah Dalam Mempromosikan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia………………………….…..64 BAB IV NEGARA DAN PERAN PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT MUHAMMADIYAH.……69 A. Globalisasi dan Peran Negara Perspektif Muhammadiyah.……………..69 B. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Perspektif Muhammadiyah……………………………………………………… …76 C. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Perspektif Muhammadiyah……………………………………………………… …81 D. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pangan Perspektif Muhammadiyah…………………………………………...…………… .85 BAB V PENUTUP……………………………………………...……………91 A. Kesimpulan…………………………………………………………….. .91 B. Saransaran……………………………………………………………… 94 DAFTAR PUSTAKA.………………………………………...…..……………97 LAMPIRANLAMPIRAN……………………………………………………100 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Ibu seorang teman di sebuah desa di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, memiliki halaman di belakang rumah yang ditanami pohon bambu. Suatu hari dia didatangi tetangganya yang tengah membetulkan rumah dan memerlukan dua batang bambu. Setelah menebang dua batang bambu, si tetangga menghampiri Ibu teman saya. Si tetangga lalu bertanya berapa ia harus membayar bambu tadi. Kontan si Ibu kaget sebab dalam kehidupan sehari-hari di desa, mengambil bambu untuk kebutuhan tetangga sekampung merupakan hal lumrah dan tanpa biaya. Baginya, tolong-menolong dan bekerjasama adalah keharusan setiap penduduk desa, sebagai wujud dari kearifan lokal yang patut dipertahankan. Kejadian itu salah satu dari banyak cerita yang sedikit banyak menggambarkan betapa jauh fenomena "masyarakat pasar" (market society) yang sudah menerobos masuk, bahkan hingga ke wilayah desa-desa, seperti di Kendal tadi. Desa tak lagi dipenuhi nilai-nilai komunal nan guyub, adat istiadat, serta gotong royong. Desa berubah menjadi komunitas berorientasi pasar. Tak ada lagi hubungan sosial tanpa pamrih. Pandangan tersebut merupakan sebuah konsekwensi dari keyakinan bahwa fase baru dari dunia telah terjadi. Sebuah fase yang lahir dari hasil perkembangan teknologi. Bagi para pengagumnya, fase ini disebut globalisasi. Sebagai sebuah fenomena ekonomi yang sama sekali baru, realitas globalisasi muncul setelah Perang Dunia II. Khususnya pada paruh terakhir dekade 1960-an, ketika penemuan teknologi dan informasi berkembang pesat. Itu sebabnya, orang sering menyebut globalisasi dengan istilah ekonomi kasino.1 Istilah globalisasi, dalam dekade terakhir seakan menjadi mantra. Ketertarikan orang terhadapnya menjadikan kajian ilmu-ilmu sosial belakangan dipenuhi oleh berbagai perbincangan dan definisi yang beragam. Sebagian besar aspek globalisasi diperdebatkan: bagaimana istilah itu harus dipahami, apakah istilah itu baru atau tidak, dan apa konsekwensinya. Perdebatan tentang globalisasi memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Seperti yang dituliskan oleh Anthony Giddens, dalam bukunya The Third Way, bahwa sekitar sepuluh tahun yang lalu kata itu hampir tak pernah digunakan dalam dunia akademis maupun pers. Dari awalnya tak dikenal, kata itu sekarang muncul di mana-mana. Pidato politik tak lengkap, atau manual bisnis tak dapat diterima jika tak menyebut kata itu. Kata yang menjadi akrab di telinga itu mendorong perdebatan intens, di lingkungan akademis dan dalam literatur demokrasi sosial. Sangatlah tepat untuk mengatakan bahwa dalam tahun-tahun terakhir 1 Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Menuju Gerakan Massa (Jakarta, C-BOOKs, 2003), cet. I, h. 29. globalisasi telah menjadi pusat dari sebagian besar diskusi politik dan perdebatan ekonomi.2 Dari pusaran diskursus soal globalisasi, para intelektual, politikus, dan pelaku bisnis pada dasarnya menyadari bahwa hal tersebut lahir dari penglihatan yang kasat mata tentang kondisi dunia yang berubah. Semenjak kemerdekaan hampir sebagian negara-negara di dunia ketiga pasca Perang Dunia II, konstalasi politik dan ekonomi dunia sama sekali berubah. Hal tersebut ditandai dengan munculnya aktor-aktor baru dalam bidang ekonomi yang menentukan arah kebijakan pembangunan sebuah negara-bangsa. Aktor-aktor baru dalam ekonomi ini bersifat global, dan senantiasa pada akhirnya menjadi arsitek pembangunan global yang sangat kuat dan berpengaruh. Perkembangan tersebut pada akhirnya memunculkan setidaknya dua sayap kelompok pemikiran yang berbeda mengenai hal ini. Kelompok pertama beranggapan bahwa globalisasi adalah produk yang lahir dari sejarah panjang kolonialisme yang pada intinya adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak zaman kolonialisme.3 Proses globalisasi juga ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah 2 Anthony Giddens, The Third Way; Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet. IV, h. 32. 3 Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar, 2002), cet. I, h. 210. suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global.4 kelompok pertama ini, dalam istilah Giddens disebut sebagai kelompok skeptis, yang berpendapat semua hal yang dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong kosong. Apapun manfaat, cobaan, dan kesengsaraan yang ditimbulkannya, ekonomi global tidak begitu berbeda dengan yang pernah ada pada periode sebelumnya. Secara politik, kelompok ini digolongkan oleh Giddens, cenderung berada di aliran kiri politik, khususnya kiri lama. Kelompok kedua, disebut kaum radikal yang secara politik berada di sebelah kanan. Bagi kaum radikal, globalisasi tidak hanya sangat riil di mana pasar global jauh lebih berkembang bahkan bila dibandingkan dengan tahun 1960-an dan 1970-an, serta mengabaikan batas-batas negara. Kelompok ini meyakini bahwa globalisasi membawa kemajuan dan perubahan sosial yang positif bagi masyarakat dunia saat ini. Globalisasi senantiasa meningkatkan kondisi kehidupan, hal ini ditunjukan dengan meningkatnya kelahiran anak dan harapan hidup. Sebagaimana dikemukakan Mauricio Rojas, “kemajuan yang tak tertandingi selama 30 tahun terakhir adalah bahwa ekonomi global baru memiliki potensi yang luar biasa, bahwa terdapat alternatif bagi kemiskinan dan keterbelakangan, bahwa segala sesuatu sekarang mentransformasikan semakin banyak negara pada bagian-bagian dinamis dari ekonomi yang ekspansif ini”.5 Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang sudah lazim, kita dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama tentang pembangunan nasional. 4 5 126. Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 198. Anthony Giddens, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), cet. I, h. Pandangan itu, berangkat dari apa yang dimaksudkan agama Islam tentang fungsi ekonomi dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua faktor utama: Arti barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagaimana masyarakat menggunakan barang dan jasa tersebut. Modal, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang diperlukan untuk membuat sesuatu barang atau jasa bagi kehidupan masyarakat. Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa keuntungan/profit merupakan hasil sekunder yang tidak hanya memperbaiki kehidupan pemilik modal, tapi juga ia tidak berakibat menyengsarakan pembeli/pengguna barang tersebut. Dalam ungkapan lain, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan pemilik modal, tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Dengan kata lain, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif, berarti tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk memanipulasi pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperkenankan adanya pendekatan Laisses Faire (kebebasan penuh) yang menjadi ciri kapitalisme yang paling menonjol. Dalam pandangan ini, benda dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah pihak, hingga hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi ekonomi. Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam itu, memang tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah terjadinya eksploitasi itu sendiri. Dengan ungkapan lain, yang dijauhi oleh Islam bukanlah pencarian laba/untung dari sebuah transaksi ekonomi, melainkan sebuah pencarian laba/untung yang bersifat eksploitatif. Di sinilah peranan negara menjadi sangat penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara yang terhimpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Factor kepentingan manusia harus diutamakan dari mekanisme pasar dan bukan sebaliknya. Lepas dari perdebatan tentang bagaimana memahami globalisasi, nyatanya saat ini telah terjadi ketimpangan distribusi dan pendapatan antara negara maju di satu sisi dan negara miskin dan berkembang. Sejumlah negara harus bekerja keras mengatasi kemiskinan yang mendera negaranya. Besarnya angka pengangguran dan tingkat kriminalitas menjadi persoalan utama bagi negara-negara tersebut saat ini. Sementara di saat bersamaan, tingkat konsumsi dan kwalitas hidup rata-rata masyarakat di negara maju justeru semakin meningkat. Apalagi, rata-rata negara-negara miskin tersebut tercatat sebagai negara yang menjadi pengikut patuh dan setia dari ajaran pasar bebas di bawah kendali kekuasaan globalisasi ekonomi. Mengenai ketimpangan antar negara pada dekade belakangan ini, Anthony Giddens mencatat bahwa mekanisme pengendalian bagi ekonomi global yang ada saat ini terlalu diarahkan kepada negara-negara kaya, khususnya negara-negara industrial besar yang membentuk kelompok G7 dan G8. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara G7 20 kali lebih besar dari pendapatan per kapita di tujuh negara paling miskin. Tahun 1997 rasionya adalah 40 banding 1.6 Lebih rinci, Rudolf H. Strahm,7 yang mencatat tingkat konsumsi negara-negara industri pada tahun 1980 yang mencapai angka yang mengesankan. Rudolf mencatat bahwa 26% penduduk dunia (yang berada di negara-negara industri Blok Barat dan 6 Giddens, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya, h. 129. Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga; Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang (Jakarta: PT. Pusaka CIDESINDO, 1999), cet. I, h. 3. 7 Blok Timur) menguasai lebih dari 78% produksi,8 81% penggunaan energi, 70% pupuk, dan 87% persenjataan dunia. Sementara itu, 74% penduduk dunia di negaranegara berkembang (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) hanya mendapat jatah sekitar seperlima produksi dan kekayaan dunia. Berbagai ketimpangan pendapatan dan distribusi antara negara maju dan berkembang tersebut ditenggarai merupakan akibat dari proses globalisasi yang menjalar dan membawa kepentingan negara-negara industri maju. Pengaruh pasar bebas, yang merupakan jantung dari semangat globalisasi tersebut menyebabkan negara-negara berkembang atau dunia ketiga tidak mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi secara fair dan sehat. Hal ini diakibatkan karena formasi sosial global baru menetapkan mekanisme perdagangan lewat pasar bebas mulai ditetapkan. Kebijakan free trade yang bermula lewat ditandatanganinya sejumlah kesepakatan perdagangan internasional pada bulan April tahun 1994 di Marrakesh, Maroko, yakni suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement on Tarrif and Trade (GATT). GATT merupakan suatu kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah. GATT juga merupakan forum negosiasi perdagangan antar pemerintah, serta juga merupakan pengadilan untuk menyelesaikan jika terjadi perselisihan dagang antar bangsa. Kesepakatan itu dibangun di atas asumsi bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sistem yang proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan bebas 8 Produksi diukur dengan apa yang disebut GNP (Gross National Product). Di sini angka GNP ini mencakup produksi satu negara dalam setahun, termasuk barang dan jasa. Barang-barang dinilai dalam satuan mata uang sesuai dengan harga pasar. Apa-apa yang yang tidak memiliki nilai ekonomi tidak dicakup oleh GNP (misalnya pekerjaan ibu rumah tangga, udara dan air yang dipakai, pencemaran lingkungan, dll.) GNP kira-kira sesuai dengan pendapatan sebuah negara. akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi. Pada tahun 1995, juga didirikan suatu organisasi pengawasan dan kontrol perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO) yang mengambil alih peran GATT. Sampai saat ini, WTO merupakan salah satu aktor dan forum perundingan antar perdagangan dari mekanisme globalisasi yang terpenting. Kelahiran WTO mengikuti dua organisasi sebelumnya, IMF dan Bank Dunia, yang bekerja untuk memberikan bantuan keuangan bagi pembangunan di negara-negara berkembang. Akan tetapi, ketiga organisasi ini mempunyai misi yang sama, yaitu mensponsori proses globalisasi yang dibangun lewat prinsip-prinsip liberalisasi dan mekanisme pasar bebas. Semua mekanisme dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni IMF, Bank Dunia, WTO, dan Trans National Corporation (TNC) tersebut sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan neo liberalisme. Para penganut paham ekonomi neo liberalisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa pasar bebas adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.9 lebih jauh, penganut neo liberalisme meyakini bahwa aktivitas ekonomi yang mensandarkan dirinya pada mekanisme pasar bebas 9 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar, 2002), cet. I, h. 216. yang kompetitif tidak hanya akan menghasilkan efisiensi ekonomi, tetapi merupakan jaminan bagi kebebasan individual dan solidaritas sosial.10 Demikian halnya dengan Indonesia. Negara yang pernah mencatat prestasi di masa keajaiban ekonomi Asia Timur ini, juga tidak luput dari pengaruh globalisasi. Sejak kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia berturut-turut sampai hari ini terus dirundung oleh krisis yang berkepanjangan. Kondisi perekonomian semakin buruk, tingkat kwalitas dan harapan hidup masyarakat menurun, dan jumlah pengangguran yang cenderung terus meningkat. Dilihat dari jumlah negara-negara lain di Asia Tenggara yang juga tertimpa krisis serupa pada tahun 1997-an, Indonesia menjadi negara dengan proses pemulihan ekonomi yang relatif lambat. Betapa tidak, ketika Malaysia, Thailand, Fhilipina tengah bangkit dari keterpurukan mereka, Indonesia malah masuk dalam jerat kemiskinan dan beban utang luar negeri yang semakin tinggi. Sejak berlangsungnya krisis, banyak yang menilai bahwa kebijakan ekonomi negara-negara Asia telah salah arah. Hal ini menjadi penyebab utama kekacauan yang tengah dialami perekonomian negara-negara tersebut. Sebagian kalangan bahkan menilai bahwa intervensi negara yang aktif dalam dalam sistem perekonomian merupakan akar dari masalah yang terjadi. Sebagian yang lain mengatakan bahwa hal ini adalah akibat dari ekspansi sentralisme ekonomi kekuasaan Orde Baru selama satu dasawarsa. Pada intinya, semua pendapat tersebut menunding ketidakberhasilan dan kegagalan pemerintah dalam urusan perekonomian. Sikap dan peran pemerintah 10 Anthony Giddens, Beyond Left and Right; Tarian “ideologi Alternatif di atas Pusaran Sosialisme dan Kapitalisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), cet. I, h. 60. menjadi tumbal, tanpa ada orang sedikitpun yang menyebutkan fakta-fakta keberhasilan pemerintah selama tiga dasawarsa, di mana pemerintah memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunan ekonomi di Indonesia. Di sinilah letak persoalannya, ketika Indonesia masuk dalam setting ekonomi global lewat tangan IMF dan Bank Dunia, sejak itu pula pemerintah dihadapkan pada konsekwensi penerapan paradigma ekonomi neo liberal. Yang artinya, kekuasaan ekonomi haruslah terletak pada mekanisme yang terjadi dalam pasar, dan sebisa mungkin menjauhkan peran negara dalam hal aktivitas-aktivitas ekonomi dalam masyarakat. Pandangan tersebut menarik untuk dipelajari. Di tengah krisis ekonomi Indonesia yang panjang, dan kondisi masyarakatnya yang memprihatinkan, semakin besar tuntutan agar negara -pemerintah- dapat berperan dalam menjamin kesejahteraan masyarakat. Hal ini menandakan telah terjadi disharmoni secara ideologis dan paradigmatik mengenai bagaimana mendefinisikan ulang peran dan fungsi negara pada saat ini. Pandangan mengenai perlunya negara bertanggung jawab atas pemenuhan kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi rakyat saat ini, dilandasi oleh mandat konstitusional yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam Bab “Kesejahteraan Sosial” Pasal 33. Pada intinya pasal tersebut mengatur peran dan fungsi negara dalam a) penguasaan cabang-cabang produksi penting untuk kepentingan rakyat banyak. Dan b) pendistribusian kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Berikutnya adalah tuntutan dari perjanjian internasional mengenai kewajiban negara (State Obligation) dalam pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya. Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum Hak Asasi Manusia internasional. Sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa tugas negara adalah melindungi martabat yang melekat pada manusia. Namun DUHAM bukan sekedar memberikan perlindungan hukum pada individu, tapi juga perlindungan pangan.11 Hak EKOSOB muncul sebagai sebuah tuntutan, berdasarkan pengalaman kegagalan kebijakan pembangunan Orde Baru yang melakukan pelanggaran dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Dalam perjalanannya, perjuangan untuk menjadikan hak EKOSOB sebagai bagian dari tanggung jawab negara mendapatkan tantangan yang cukup berat. Debat ideologis mewarnai silang pendapat mengenai perjanjian yang disinyalir merupakan “misi sosialisme” tersebut. Hal ini juga terjadi di Indonesia, kuatnya pengaruh paradigma ekonomi neo liberalisme yang dianut para pemikir ekonomi dan kabinet perekonomian sejak kejatuhan Soeharto, menyebabkan sampai penghujung tahun 2005 pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi kovenan tersebut. Hal ini bisa dipahami karena intervensi negara dalam hal pemenuhan hak-hak EKOSOB dapat menimbulkan inefisiensi dan memberikan pelajaran yang buruk bagi kemandirian masyarakat. Dalam situasi seperti ini, peranan lembaga keagamaan Islam untuk mensposori pengesahan hak EKOSOB ini sangatlah strategis. Walaupun di sisi lain kita menghadapi kenyataan bahwa lembaga-lembaga keagamaan Islam belum kelihatan 11 Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global (Jakarta: Komnas HAM dan Solidamor, 2002, cet. I, h. 192. berperan secara aktif. Muhammadiyah, salah satu Organisasi Massa (ORMAS) Islam besar di Indonesia, belum juga menunjukan keseriusan dalam merespon perkembangan dunia saat ini, khususnya hal yang berkaitan dengan persoalan peran negara di era globalisasi. Mengapa Muhammadiyah punya peran strategis dalam hal ini? Karena dalam sejarahnya, ormas Islam ini mempunyai andil yang cukup besar dalam pembentukkan negara Republik Indonesia. Keterlibatan Muhammadiyah dalam sidang-sidang BPUPKI sampai majlis konstituante, menggambarkan betapa organisasi ini mempunyai concern dan kepedulian yang tinggi terhadap arah bangsa Indonesia ke depan. Dan di saat bangsa Indonesia saat ini tengah terancam kedaulatannya akibat ekspansi neoliberalisme, Muhammadiyah seharusnya berada di garis terdepan untuk ikut berkontribusi bagi penyelesaian permasalahan tersebut. Penting juga untuk diketahui di sini, bahwa sejak lama Muhammadiyah secara aktif melaksanakan misi sosial kemasyarakatannya. Beragam agenda dan program seperti sekolah gratis, pendirian rumah sakit dan posyandu, adalah bukti dari konsistensi pergerakan kultural organisasi ini. Tak pelak lagi, kajian soal negara tetap penting untuk di angkat kembali di permukaan. Peranan strategis negara yang termaktub dalam konstitusi negara kita, perlu mendapatkan penegasan kembali di era globalisasi saat ini. Mendapat penjelasan yang utuh tentang peran dan fungsi negara, berarti memberi kepastian bagi jutaan orang miskin, pengangguran, dan anak-anak yang tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati pendidikan dan mendapatkan kesejahteraan di Indonesia saat ini. Kajian ini juga mencoba untuk merefleksikan kegagalan pembangunan dari kebijakan negara pada masa presiden Soeharto berkuasa. Untuk kemudian dapat diambil pelajaran berharga bagi proses kebijakan pemerintah Indonesia di masa yang akan datang. Khususnya yang berakitan dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pokok masalah penelitian ini adalah: sejauh manakah peran negara dalam hal pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia? Dan bagaimanakah peran dan pandangan Muhammadiyah terhadap persoalan tersebut. Untuk menjawab hal ini diperlukan sebuah landasan teori yang jelas tentang negara, fungsi, dan perannya. Hal tersebut menyangkut bagaimana konsepsi para Founding Father bangsa ini tentang negara Indonesia yang mereka cita-citakan. Dalam penulisan skripsi ini, pembahasan akan menitik beratkan pada usaha merekonsepsi atau menegaskan kembali peran dan fungsi negara, khususnya berkaitan dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dan hubungannya dengan upaya marginalisasi peran negara di era globalisasi ini. Untuk lebih mempermudah bahasan dalam tulisan ini, maka penulis membatasi rumusan masalah skripsi ini diformulasikan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana definisi, peran, dan fungsi negara? 2. Bagaimana definisi, aktor, dan pengaruh dari globalisasi? 3. Seperti apakah pengertian tentang tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB)? 4. Bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang peran negara dalam pemenuhan hak ekosob di Indonesia? Tujuan dan Kegunaan Penulisan Sehubungan dengan adanya pembahasan dan penulisan skripsi ini ada beberapa hal yang dapat dikemukakan mengenai tujuannya, yaitu: 1. Untuk memberikan gambaran tentang definisi, peran, dan fungsi negara. 2. Untuk memberikan gambaran tentang definisi, prinsip, dan aktor-aktor globalisasi. 3. Untuk memberikan gambaran tentang tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. 4. Untuk memberikan gambaran tentang pandangan Muhammadiyah tentang peran dan fungsi negara dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia. 5. Untuk memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat akhir guna mencapai gelar Strata satu (S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya, karya tulis ini diharapkan berguna untuk: 1. Memperoleh gambaran yang utuh tentang konsepsi negara, dan perannya di era globalisasi 2. Menambah cakrawala pemikiran kajian politik Islam, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan isu-isu kontemporer Metode Penelitian Metodologi dalam penelitian pada sebuah karya ilmiah merupakan hal yang harus dipegang unutk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku. Untuk lebih terarah dalam menguraikan permasalahan dalam karya tulis ini, penulis menyusunnya berdasarkan penelitian yang bersifat kualitatif dengan tehnik pengumpulan data yang diterapkan berupa studi dokumentasi dan pustaka. Dengan analisis data yang menggunakan tehnik deskriptif analitis. Sistematika Penulisan Bab I : Berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II : Penulis memulai dengan tinjauan umum aspek-aspek teoritis tentang negara (definisi, peran, dan fungsi) dan globalisasi (definisi, prinsip, dan aktor). Bab III : Pada Bab ini, penulis mencoba menjelaskan tentang konsepsi serta prinsip pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOB). Juga dibahas tentang refleksi pembangunan Orde Baru dalam pemenuhan hak EKOSOB, juga peran sosial kemasyarakatan Muhammadiyah dalam mempromosikan hak tersebut. Bab IV : Bab ini akan membahas pandangan Muhammadiyah tentang globalisasi serta peran dan fungsi negara dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Bab V : Penulis mengakhiri pembahasan ini dengan kata penutup yang berisi dengan kesimpulan, saran-saran dan disertai dengan daftar pustaka. BAB II LANDASAN TEORI A. Beberapa Pengertian Tentang Negara A.1. Defenisi Tentang Negara Di Indonesia, pengertian tentang negara terkesan hanya didominasi oleh beberapa kelompok, atau bahkan hampir satu kelompok saja. Apalagi sejak berkuasanya Orde Baru, pengertian tentang negara sedemikian rupa direduksi dan disimplipikasi. Negara, dalam pengertian yang umumnya kita sering dengar adalah sebuah lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Karena itulah, istilah-istilah seperti “demi kepentingan umum,” “pembangunan untuk seluruh masyarakat,” serta ungkapan-ungkapan lain yang senada selalu dikumandangkan dalam pernyataanpernyataan politik para petinggi negara di dunia ini. Sebagai konsekwensinya, pengertian tersebut menjadi alasan yang ampuh bagi kelompok-kelompok kepentingan yang menguasai negara berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan kepentingan lain di luar dirinya atau kelompoknya. Pandangan tentang negara sebagai lembaga netral sebenarnya hanya merupakan salah satu teori di antara sekian banyak teori-teori yang ada tentang negara. Karena itu dalam skripsi yang saya tulis ini, saya akan menguraikan secara singkat beberapa pandangan lain atau teori lain tentang negara. Prof. Miriam Budiarjo, dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, mengatakan bahwa negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Menurutnya “… Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat….”1 Sedangkan menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya.2 Dari dua pengertian di atas, dapat dimengerti betapa aspek kekuasaan dalam pembicaraan tentang negara begitu sangat menonjol. Teori tentang negara seperti ini pada perkembangannya memang seringkali dijadikan legitimasi bagi penguasanya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya atas nama negara. Kekuasaan negara dalam perspektif teori Marxis-leninis menjelma dalam konsep diktator proletariat. Alasan yang dipergunakan juga hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Hegel, yakni negara yang mengemban misi kesejarahan. Hegel menyatakan bahwa negara mempunyai misi untuk membawa masyarakat manusia merealisasikan ide universal, yakni masyarakat yang merdeka. Keinginan negara menurut Hegel merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang. Karena itulah, negara harus dipatuhi. Dalam konsep diktator proletariat yang dianut oleh kelompok marxisme, misi negara juga sama, yakni merealisasikan sebuah masyarakat yang 1 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 38 2 Arif Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996) h. 6 dianggap sebagai ujung terakhir dari proses sejarah, yakni masyarakat egalitarian, yang juga dikenal sebagai masyarakat komunis. Mengambil inti dari ajaran Hegel, Karl Marx, yang juga sebagai murid Hegel menyatakan bahwa “Sejarah manusia merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Di jaman feodal, terjadi pertentangan antara kelas bangsawan dan kelas petani; di jaman perbudakan, kelas pemilik budak dan budaknya; di jaman kapitalisme, kelas pemilik modal dan melawan buruhnya. Pertentangan kelas baru akan berhenti tatkala kelas buruh berkuasa dan terciptanya masyarakat komunis.”3 Dari penjelasan mengenai teori kekuasaan negara di atas, terlihat bahwa negara merupakan sebuah lembaga yang mandiri, yang punya kepentingan dan kemauan sendiri. Negara memiliki misinya sendiri, yakni menciptakan masyarakat yang lebih baik. Atas dasar ini, negara bukan lagi merupakan lembaga yang pasif, yang kemudian menjelma menjadi alat dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Tetapi, secara aktif mencampuri urusan masyarakat, untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Dalam perspektif yang lain, dikemukakan bahwa negara bukanlah merupakan lembaga yang mandiri. Kebijakan yang dihasilkan negara ditentukan oleh faktor eksternal atau faktor di luar dirinya. Dia hanyalah sebuah arena di mana setiap kekuatan sosial bertanding untuk menguasai.4 Negara dalam pandangan ini ibarat 3 21. 4 Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal. Alfred Stepan, The State and Civil Princeton University Press, 1978) h. 33. Society (Princeton: kertas kosong dan bersih yang siap ditulisi oleh siapapun, bukan oleh kertas itu sendiri. Ada dua kelompok utama yang mewakili pandangan tersebut. Kelompok pertama diwakili oleh kaum pluralis. Mereka mengatakan bahwa negara hanya melaksanakan kepentingan yang beraneka ragam yang ada di masyarakat. Kebijakan negara adalah hasil dari sebuah kompromi dari kekuatan-kekuatan tersebut, tidak ada yang mendominasi. Kalaupun ada, hal tersebut lahir dari sebuah persaingan yang demokratis. Dalam pemikiran kaum pluralis, negara hanya hanyalah sekedar wahana politik di mana terjadi saling kontestasi untuk memperoleh kekuasaan negara. Lain halnya dengan kelompok kedua. Dalam hal ini diwakili oleh kelompok marxian. Bagi kaum marxis, negara dikendalikan oleh kelompok atau kelas yang paling dominan dalam masyarakat. Kelompok atau kelas yang dominan ini secara terus menerus akan menduduki posisi dominan tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena kondisi ekonomi-politik masyarakat menghendaki demikian. Mengutip pendapat seorang pemikir marxian, Fernando Henrique Cardoso (1979),5 yang mengatakan bahwa negara adalah “aliansi dasar, ‘fakta dominasi’ utama dari klas-klas sosial yang ada atau dari fraksi-faksi klas yang dominan, serta aturan-aturan yang menjamin kekuasaan mereka terhadap kelas-kelas yang ada di bawahnya”. Dengan demikian, bila kita mencermati pemikiran kelompok marxis ini, yang perlu diteliti adalah sistem ekonomi-politik satu masyarakat. Bilamana sistem ekonomi-politiknya dalah kapitalis, maka yang berkuasa dan menjadi kelas yang 5 43. Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal. dominan dalam negara adalah klas borjuis. Maka wajar jika kelompok marxis ini mengatakan bahwa negara hanya merupakan alat bagi kepentingan kelompok borjuis untuk merealisasikan dan meraih cita-cita ekonomi-politiknya sendiri. Kalaupun ada bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara terhadapa kelompok lain, hal tersebut hanyalah bersifat semu. Karena sama sekali tidak merubah watak dasar negara yang menjadi alat dari kelas borjuis. Di atas segalanya, dari berbagai perspektif dan teori yang muncul tentang negara, sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundangundangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah. A.2. Peran dan Fungsi Negara Sebagai sebuah lembaga yang mendapatkan kekuasaan yang sah untuk memaksakan tujuan-tujuan bersama masyarakat, negara dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan, ataupun negara itu sendiri. Dengan demikian dia dapat membimbing kelompok-kelompok sosial di dalamnya kepada tujuan bersama. Secara umum dapat disebutkan dua peran utama negara:6 6 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet. XXI, h. 39. (Jakarta: PT 1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan 2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongangolongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi –asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional. Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur; maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan, harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini. Dalam lapangan ekonomi, ketika konsep negara modern muncul pada abad ke-17, negara samasekali tidak terlibat dalam bidang ekonomi. Negara hanya berperan menarik pajak dari warga negara. Baru ketika ekonomi Keynesian diintrodusir pada tahun 1930-an, keterlibatan negara di dalam ekonomi muncul secara perlahan dan masuk dalam banyak bidang. Beberapa pola keterlibatan negara dalam ekonomi menurut Chrstopher pierson dalam bukunya The Modern State adalah sebagai berikut:7 a. Negara sebagai pemilik; yakni negara mempunyai hak atas kepemilikan tanah maupun modal. Di Indonesia oleh pasal 33 UUD 2002 ditetapkan bahwa 7 Ignatius Wibowo, Francis Wahono, dkk., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), cet. I, h. 271. negara “menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.” b. Negara sebagai pemilik dan produsen; yaitu negara adalah sebagai pemilik perusahaan-perusahaan milik negara yang menjadi pilar utama dalam perekonomian. Perusahaan-perusahaan ini pada umumnya bergerak di bidang yang menyangkut kepentingan umum, seperti air, minyak, gas, dan lainnya. c. Negara sebagai majikan; yaitu negara memberikan peluang kerja bagi rakyatnya. hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah perusahaan negara. d. Negara sebagai regulator; negara diberikan kewenangan untuk melakukan intervensi secara administratif atau secara legislatif untuk mengontrol perilaku aktor-aktor pasar. e. Negara sebagai redistributor; yaitu negara menjalankan tugas memeratakan kekayaan dengan cara penarikan pajak. f. Negara sebagai pembuat kebijakan ekonomi; Dalam hal ini Pierson menegaskan 4 hal: 1) negara menetapkan serangkaian target-target ekonomi 2) negara menetapkan kebijakan moneter 3) negara menetapkan kebijakan di bidang pendapatan (income). Hal ini dilakukan untuk memeratakan pendapatan 4) negara membuat kebijakan industrial policy, yang mempunyai pengaruh langsung kepada industri. Mengenai tujuan sebuah negara, Prof. Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasardasar Ilmu Politik mengatakan bahwa “… Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama….” Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal). Artinya, secara umum, dan terlepas dari ideologi apapun yang dianut sebuah negara, negara mempunyai kewajiban untuk melakukan perlindungan dan berusaha untuk mensejahterakan rakyatnya. Pandangan tentang tujuan negara tersebut secara eksplisit juga tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan negara Republik Indonesia. Yaitu: “untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Mahaesa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmahkebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”8 Setiap negara, menurut Prof. Miriam Budiarjo terlepas dari ideologinya, menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu yaitu:9 Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai “stabilisator”. 8 Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen&Proses Amandemen UUUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999 – Keempat 2002), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), cet. I, h. 3. 9 Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 46. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini dianggap penting. Terutama bagi negara-negara baru. Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara perlu dilengkapi dengan alat pertahanan. Menegakkan keadilan; hal ini dilakukan melalui badan peradilan. Diskursus teoritik tentang peran negara berkembang sangat jauh pada dekade akhir abad 20. Khususnya terkait dengan fungsi dan perannya dalam menghadapi era baru bernama globalisasi. Praktek dominan dari peran negara digugat, intervensi yang berlebihan terhadap segala lapangan kehidupan masyarakat dianggap menjadi penyakit dunia di abad modern. Menyangkut peran negara bangsa, Kenichi Ohmae, sebagai pendukung tesis ekstrim globalisasi mengatakan bahwa dalam pasar dunia yang semakin kompetitif sekarang ini negara-negara bangsa (nation state) tidak lagi mempunyai sumbersumber yang tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mendukung dalam mewujudkan ambisi mereka.1 Dalam dunia baru, yaitu “dunia tanpa batas negara” (a world without borders), demikian Ohame mengatakan, negara-negara bangsa dan penguasaan terhada militer tidak lagi memainkan peran penting.2 Bahkan peran mereka semakin memudar, dan secara meyakinkan akan segera digantikan oleh peran penting yangs emakin meningkat oleh aktor-aktor nonteritorial, seperti perusahaan-perusahaan multinasional dan orgaisasi-organisasi internasional. 1 Kenichi Ohmae, Dunia Tanpa Batas (Jakarta: Binarupa Aksara, 1991), cet I, h. 11. 2 Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru; Peran Negara Dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005), cet. I , h. 44. Oleh karenanya, diskusi tentang peran negara dalam wacana politik internasional tetap penting dikemukakan. Kajian ini secara teoritik akan menempatkan letak persoalan yang sesungguhnya tentang globalisasi dan peran negara. Seperti yang diungkapkan secara tegas oleh Stiglitz, “…isunya bukan apakah globalisasi bisa menjadi kekuatan pendorong kebaikan yang bermanfaat bagi kaum miskin dunia; jelas itu bisa. Melainkan, perlunya globalisasi dikelola secara tepat karena seringnya dikelola secara serampangan….”3 Beberapa Pengertian Tentang Globalisasi B.1. Definisi Globalisasi Sebagai sebuah istilah, globalisasi lebih sering diungkapkan dan diperbincangkan tanpa berhasil mengungkap inti dari persoalannya. Pembicaraan ilmiah terasa kurang lengkap tanpa mengutip kata globalisasi. Presentasi bisnis menjadikan perbincangan soal globalisasi sebagai isu menarik dan sebuah tantangan yang harus dihadapi. Singkatnya, kata globalisasi dalam dasawarsa terakhir berhasil menyedot perhatian masyarakat dunia secara umum. Istilah globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Memasuki milenium ketiga, dunia berubah dengan sangat cepat sehingga menimbulkan implikasi yang sangat kompleks, yaitu munculnya saling ketergantungan (interdependence) dalam hampir seluruh 3 Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia (Tangerang, Marjin Kiri, 2006), cet I, h. 215. dimensi kehidupan dalam hubungan antar bangsa (nation-state) dan hubungan transnasional (transnational relation). Perubahanperubahan yang sangat cepat inilah yang kemudian disebut dengan globalisasi. Dalam sebuah proses yang dialektis, pandangan-pandangan yang muncul tentang globalisasi setidaknya melahirkan dua kelompok. Pertama, adalah kelompok yang optimis terhadap globalisasi. Mereka menganggap globalisasi tidak hanya riil di mana perkembangan pasar global jauh lebih pesat dari tahun 1960 – 1970an. Karena pada prosesnya, globalisasi memberi peluang besar bagi perkembangan manusia. Perkembangan tersebut dapat ditunjuk dari keterkaitan antara “keterbukaan ekonomi suatu negara dengan perbaikan kondisi hidup, khususnya secara mencolok di negaranegara berkembang, diukur lewat Human Development Index”. Selain itu, berkah globalisasi juga dapat dilihat dari terbukanya peluang komunikasi seluas dunia, sehingga memungkinkan terjadi komunikasi dan kerjasama seluas dunia itu pula. Konsep globalisasi menurut kelompok ini merupakan fenomena di mana batas-batas negara bangsa tidak lagi relevan untuk didiskusikan. Persoalan kontemporer saat ini tidak dapat dipelajari secara memadai hanya pada tingkatan negara bangsa dalam hubungan-hubungan internasional.4 Kelompok kedua, adalah mereka yang skeptis terhadap globalisasi. Mereka berpendapat semua hal yang dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong kosong. Proses 4 Winarno, Globalisasi Dalam Pembangunan, hal. 37. Wujud Imperialisme Baru Peran Negara globalisasi memunculkan efek-efek negatif yang menghambat perkembangan manusia. Ancaman-ancaman dan perusakan atas kehidupan manusia dan kehidupan bumi menjadi masalah serius yang kita hadapi masa kini. Misalnya saja, di tengah 826 juta penduduk bumi menderita kekurangan gizi dan 10 juta orang mati karena tidak mempunyai akses terhadap kesehatan,5 terjadi kesenjangan dan ketidakmerataan pembagian konsumsi secara tajam, yaitu antara negara maju dan negara-negara miskin. Secara singkat, globalisasi hanya melahirkan wajah muram dunia akibat ancaman kerusakan, baik ekologis, sosial, ekonomi dan budaya. Setelah kita melihat pandangan-pandangan tentang dampak dari globalisasi, seyogyanya kita memahami secara definitif arti dari globalisasi itu sendiri. Setidaknya ada tiga hal yang sering kita temukan dalam mendefinisikan globalisasi, yaitu kesalinghubungan, integrasi, dan kesalingterkaitan. Definisi tentang globalisasi dalam perspektif kesalinghubungan adalah seperti yang pertama, dikemukakan oleh Lodge (1991) yang mendefinisikan bahwa globalisasi sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.6 Dengan pengertian demikian, maka globalisasi boleh dikatakan bahwa masayarakat dunia hidup dalam era di mana 5 Laporan World Health Organization (WHO), 2001. Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Dalam Pembangunan, hal. 39. 6 Peran Negara sebagian besar kehidupan mereka sangat ditentukan oleh prosesproses global. Definisi kedua tentang globalisasi seperti yang diungkapkan oleh Ichlasul Amal bahwa globalisasi merupakan proses munculnya masayarakat global, yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik, dengan melampaui batas-batas negara, baik ideologis, dan lembagalembaga politik dunia.7 Definisi inilebih mirip dengan keyakinan kaum globalis yang memahami globalisasi sebagai terwujudnya sebuah ekonomi dunia yang terintegrasi. Bangsa-bangsa yang mendukung pandangan ini dengan cara menghilangkan hambatanhambatan terhadap perdagangan internasional, sehingga memudahkan arus perdagangan, investasi, dan mata uang secara bebas melintasi batas-batas nasional. pada konteks ini, sesungguhnya integrasi ekonomi nasional menuju sistem global yang dikenal dengan globalisasi korporasi telah terjadi. Kesepakatan tersebut secara teoritik berhasil memaksakan keinginan perusahaan-perusahaan korporasi global untuk mendesakkan terjadinya reformasi kebijakan nasional (deregulasi) di negaranegara dunia ketiga. 8 Konsep ketiga adalah interdependensi, definisi ini mencakup pengertian bahwa sistem ekonomi, khususnya sistem moneter dunia saat ini tergantung antara satu dengan yang lain. Akibatnya, 7 Ichlasul Amal, “Globalisasi, Demokrasi, dan Wawasan Nusantara: Perspektif Pembangunan Jangka Panjang,” dalam Wawasan Nusantara Indonesia Menghadapi Globalisasi, (Pusat Kajian Kebudayaan Universitas Bung Hatta, 1992), cet. I, h. I. 8 Mansour Faqih, Bebas Dari Neoliberalisme (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), cet. I, h. 9. kebijakan-kebijakan pada skala nasional tidak dapat begitu saja mengabaikan peristiwa-peristiwa di tingkat global, begitupun sebaliknya.9 Kejatuhan mata uang di Asia beberapa waktu lalu dengan mudah dapat dijadikan kasus untuk menjelaskan konsep ini. Dimulai dengan kejatuhan mata uang Bath di Thailand yang diikuti oleh kejatuhan mata uang negara-negara lain yang menjadi tetangganya, seperti Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, dan Filipina. Ini terjadi karena kesalinghubungan (interconection) antara sistem keuangan satu negara dengan sistem keuangan negara lain. Di sisi yang lain, penulis seperti Petras dan Veltmeyer melihat globalisasi sebagai suatu deskripsi dan sekaligus sebagai preskripsi.10 Sebagai sebuah deskripsi, globalisasi mengacu pada perluasan dan dan penguatan arus perdagangan, modal, teknologi dan informasi internasional dalam sebuah pasar global yang menyatu. Konsep ini digunakan untuk menggamparkan fenomena dunia kontemporer di bidang ekonomi dan perdagangan di mana batas geografis negara bangsa tidak lagi mempunyai makna. Sebagai sebuah perskripsi, globalisasi meliputi liberalisasi pasar global dan pasar nasional dengan asumsi bahwa arus perdagangan bebas, modal, dan informasi akan menciptakan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan dan kemakmuran manusia. 9 Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam Pembangunan, hal. 40. 10 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21 (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), Cet. I, h. 7-8. B.2. Prinsip-prinsip Globalisasi Globalisasi, dalam kerangka pemikiran seperti yang sudah ditulis diatas, adalah memastikan terbukanya jalan bagi perluasan wilayah dan praktek kerja bagi pasar bebas. Dalam konteks ini diperlukan seperangkat aturan-aturan yang mendukung berjalannya proses tersebut. Bagi penganut globalisasi, pasar bebas adalah konsekwensi logis dari sebuah dunia yang berubah. Globalisasi dalam bahasa Hobbes mengizinkan “pembeli untuk menentukan harga manusia pada skala besar-besaran, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia.11 tetapi pandanganpandangan mengenai globalisasi dan pasar bebas di atas tidak dapat menjelaskan bahwa seiring dengan globalisasi, pendapatan negara-negara Dunia Ketiga atau negara-negara yang kurang berkembang (less developed countries) jauh lebih menurun dibandingkan dengan era tahun 1960-an dan 1970-an. Sebaliknya negaranegara maju semakin menikmati kelimpahan pendapatan dan standar hidup yang jauh lebih tinggi. Di sinilah globalisasi masuk dalam skenario ekonomi-politik neoliberalisme. Para penganut ekonomi neoliberalisme, percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai dengan hasil normal dari “kompetisi bebas.” Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa “pasar bebas” adalah lebih efisien dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk 11 Susan George, Republik Pasar Bebas (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 2002), cet. I, h. 62. memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumber daya alam telah habis atau masih banyak.12 Dalam prosesnya globalisasi neoliberal kemudian menganjurkan cara-cara yang kurang lebih sama dari apa yang disarankan oleh maha guru ekonomi pasar bebas, Adam Smith. Yaitu memberikan kebebasan bagi individu untuk menjalankan aktivitas ekonominya tanpa dikontrol oleh negara. Dalam proses ini, negara diupayakan menjalankan peran yang minimal. Sebab regulasi negara hanya akan membuat “pasar” menjadi tidak efisien, atau menghambat peluang bagi individu untuk mengakumulasi modal dan menjalankan prinsip invisible hand dalam setiap keputusan-keputusan bisnis. Dalam hal ini, proses globalisasi kemudian menjelma menjadi alat bagi kepentingan ekonomi dan politik negara-negara maju untuk menguasai sumber daya di negara-negara dunia ketiga. Dan prinsip bahwa dunia menjadi semakin sejahtera bilamana memanfaatkan peluang-peluang dalam proses globalisasi yang semakin agresif hanya lah menjadi mimpi rakyat di negara-negara miskin dan berkembang. Kecenderungan ke arah ketidaksetaraan yang lebih besar antara negara-negara maju dan berkembang ini bukanlah kebetulan dan bukan merupakan tindakan tuhan. Kecenderungan ini merupakan efek yang terbangun atas liberalisasi, privatisasi, dan 12 Mansour Faqih, Bebas Dari Neoliberalisme (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), cet. I, h. 5. integrasi yang dipaksakan ke pasar dunia melalui penyesuaian struktural, dan lebih mengandalkan kekuatan pasar.13 B.3. Aktor-aktor Globalisasi Globalisasi sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh tiga aktor utama proses tersebut. Yang pertama adalah Trans-National Corporation (TNC), yakni perusahaan multinasional yang besar yang dengan dukungan negara-negara yang diuntungkan oleh TNC tersebut membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO). Secara historis, proyek globalisasi lewat pembentukan WTO ini terjadi ketika ditetapkannya formasi sosial global baru yang ditandai dengan kebijakan free trade atau pasar bebas. Kebijakan tersebut lahir dari sebuah kesepakatan perjanjian internasional tentang perdagangan di Marrakesh, Maroko pada tahun 1994. Perjanjian tersebut dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Kumpulan aturan internasional dalam Perjanjian GATT menyangkut prinsip perilaku perdagangan antar pemerintah, forum negoisasi, dan upaya untuk menyelesaikan perselisihan dagang antar bangsa. Kesepakatan ini dibangun di atas asumsi bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sitem dagang yang proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan bebas akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip13 George, Republik Pasar Bebas, hal. 66. prinsip efektivitas dan efisiensi. Tepat satu tahun setelah ditanda tanganinya perjanjian GATT, yaitu pada tahun 1995 barulah didirikan sebuah organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO). Organisasi ini dibentuk untuk mengambil alih peran GATT, dan menciptakan sebuah rezim perdagangan baru dunia. Aktor kedua yaitu Trans/Multi Nasional Coorporation (TNC). Untuk menjelaskan makhluk seperti apa TNC/MNC ini, penuturan dari Omer Voss, wakil presiden eksekutif Internasional Hervester memberikan ilustrasi yang menarik. Dia mengatakan: “jika Anda mempunyai sebuah perusahaan patungan di Turki, dengan mesinmesin dari Jerman, sebuah sasis dari Amerika Serikat dan sebuah sumber komponen setempat, anda harus menyentralisasikannya. Anda mungkin harus menamakan kami terpusat dalam hal pola, pengembangan hasil produksi, pembelian, dan keuangan.”14 Dari apa yang dikatakan Voss, kita bisa mengidentifikasi perusahaanperusahaan multinasional sebagai perusahaan yang kegiatan bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di berbagai negara. Pada era globalisasi, di mana pasar bebas menjadi prinsipnya perusahaan-perusahaan transnasional memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Edward Luttwak dalam bukunya Turbo Capitalism Winner&losser In The Global Economi menuliskan bahwa “…Pasar bebas secara alamiah cenderung menjadi tidak bebas, karena 14 Coen Husain pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Massa (Jakarta: C-Book, 2003), cet. I, h. 57. mereka menghasilkan perusahaan-perusahaan yang sangat sukses yang bertumbuh semakin besar hingga akhirnya menjadi monopoli, atau sejenisnya….”. Monopoli kekuasaan atas perdagangan dunia oleh perusahaan trans nasional ini tidak hanya mencakup sektor industri dan perbankan. Tetapi juga sektor pertanian, konstruksi, komunikasi, transportasi, pertahanan keamanan serta perdagangan dan jasa. Data yang diperoleh Coen Husein Pontoh dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejumlah perusahaan multinasional lebih dari 45.000, 500 perusahaan terbesar menguasai 80 persen dari seluruh investasi asing langsung. Perusahan-perusahaan multinasional juga mengontrol sekitar 70 persen dari seluruh perdagangan dunia. Lima perusahaan terbesar di dunia menguasai 77 persen perdagangan biji-bijian (padi, jagung, gandum, dsb.) di dunia; tiga perusahaan pisang terbesar menguasai 80 persen perdagangan pisang dunia; tiga perusahaan cokelat terbesar menguasai 83 persen perdagangan cokelat dunia.; tiga perusahaan teh terbesar menguasai 85 persen perdagangan teh; dan empat perusahan tembakau terbesar mengusai 87 persen perdagangan tembakau dunia.15 Pada dasarnya semua proses pengintegrasian ekonomi nasional menjadi ekonomi global (globalisasi) merupakan harapan dan hasil perjuangan dari perusahaan-perusahaan trans nasional. Kerena sesungguhnya merekalah yang mengambil keuntungan dari semua proses tersebut. Selama dua dekade menjelang berakhirnya abad 15 Pontoh, Akhir Globalisasi; Gerakan Massa, hal. 62. Dari Perdebatan Teori Menuju lalu perusahan TNC tersebut meningkat secara kuantitas dari sekitar 7000 TNC pada 1970 menjadi 37.000 TNC pada 1990. Pada saat tersebut mereka menguasai 67% perdagangan dunia antar TNC dan menguasai 34,1% dari total perdagangan global. Kini ada 100 TNC yang mampu mengontrol sampai 75% perdagangan global.16 Ketiga, adalah lembaga keuangan global. Yaitu International Monetery Fund (IMF), dan Bank Dunia. Dua aktor keuangan internasional ini berdiri pada tahun 1944. Ketika itu banyak negaranegara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga Breeton Wood -IMF dan Bank Dunia- dirancang untuk memungkinkan perdagangan internasional saat macetnya pergerakan modal internasional. Bank Dunia dirancang untuk menutupi kekurangan investasi langsung dan IMF untuk menutupi kekurangan kredit finansial demi menjaga keseimbangan perdagangan. Pada akhirnya, dua lembaga ini yang pada perjalanannya membuat proses globalisasi menjadi semakin nyata. Lewat mekanisme utang luar negeri, IMF dan Bank Dunia bekerja untuk memastikan agenda Stuctural Adjustment Program (SAP) dilaksanakan oleh negara yang menjadi “pasien” nya. Agenda tersebut mencakup prinsip-prinsip yang ada dalam Konsensus Washington. Yaitu liberalisasi perdagangan dan keuangan, privatisasi, dan deregulasi. Menurut Stiglitz, gagasan fundamentalisme pasar tercermin dalam strategi dasar pembangunan yang dianjurkan oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS mulai tahun 1980-an (strategi yang mencakup juga pengelolaan krisis serta proses transisi dari 16 Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, hal. 214. komunisme ke ekonomi pasar).17 Oleh berbagai pihak strategi ini disebut sebagai “neoliberalisme”. Karena pemain-pemain utama yang merencanakan semua ada di Washington, kadang disebut juga “Konsensus Washington”. Walaupun sesungguhnya seperti yang dicatat oleh Susan George, seorang aktivis Association for Taxation of Financial Transaction to aid Citizen (ATTAC) Prancis, bahwa ketika IMF dan Bank Dunia diciptakan di Breeton Woods mandat mereka adalah untuk menolong mencegah konflik di masa depan, dengan cara memberi pinjaman untuk rekonstruksi dan pembangunan, dan dengan melicinkan pembayaran neraca kontemporer. Mereka tidak memiliki kontrol terhadap keputusan ekonomi pemerintah secara individual, juga mandat mereka tidak mencakup izin untuk mencampuri kebijakan nasional. Tetapi, pada prakteknya dua lembaga ini justeru berfungsi sebagai “pasukan kavaleri” bagi masuknya kebijakan globalisasi neoliberal dengan melakukan sejumlah kontrol atas kebijakan negara. Sederhananya, ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturanaturan di seputar investasi, intelectual Property Rights dan kebijakan internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau mempengaruhi serta memaksa negara-negara untuk melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. 17 Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia (Tangerang: Marjin Kiri, 2006), cet. I, h. 243. B.4. Globalisasi; Anak Kandung Kapitalisme Kapitalisme di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilan kapitalisme Dunia ketiga tengah mengalami kebangkrutan. Namun negara-negara kapitalis atau imperial pusat telah mampu mengantisipasi hal tersebut, dimana untuk mempercepat laju kapitalisme diperlukan sebuah proses yang disebut dengan globalisasi. Krisis terhadap pembangunan yang terjadi pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses ini pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode; fase pertama adalah periode kolonialisme yakni perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Berakhirnya kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo-kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme dan ditandai dengan masa kemerdekaan negara Dunia Ketiga secara fisik, tetapi pada era developmentalisme ini, dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol teori dan proses perubahan sosial mereka. Dengan kata lain, pada fase kedua ini, kolonialisasi tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta ‘diskursus’ yang dominan melalui produksi pengetahuan. Krisis terhadap pembangunan belum berakhir, tetapi suatu mode of domination telah disiapkan, dan dunia memasuki era baru yakni era globalisasi. Fase ketiga, yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui Structural Adjustment Program (SAP) oleh lembaga finansial global, dan disepakati oleh rezim GATT dan Perdagangan Bebas, suatu organisasi global yang dikenal dengan WTO. Sejak saat itulah dunia memasuki era yang dikenal dengan globalisasi. Kapitalisme, yang menjadi basis sistem dan gerak operasi dari proses globalisasi saat ini tentu saja mempunyai kekhasannya tersendiri. Bagi kalangan yang sangat optimis terhadap globalisasi, seperti Thomas L Friedmean dan beberap penulis yang lain, globalisasi adalah satu-satunya jalan yang dapat digunakan umat manusia untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik. Runtuhnya berbagai sistem ekonomi yang menjadi “rival” kapitalisme, telah meyakinkan sebagian kelompok ini bahwa globalisasi dan liberalisasi pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi, kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi. Sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh sosialisme ataupun komunisme.18 Rezim kapitalisme global yang berjaya sekarang memiliki sejumlah hal baru yang membuatnya berbeda dari bentuk sebelumnya. Kecepatan komunikasi yang merupakan salah satu hal baru, penemuan telepon dan telegraf mencerminkan suatu akselerasi yang setidaknya sama besar dengan perkembangan komputer saat ini. Tetapi, secara operasional, praktek kapitalisme mutakhir tetap mewarisi tradis lama kapitalisme. Prinsip kebebasan pasar dan mendorong kebebasan individual dalam menentukan gerak aktivitas ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dihilangkan. Lebih luas lagi, globalisasi yang dikontrol oleh rezim kapitalisme global ini mencakup wilayah yang lebih luas dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya. Ia mengatur seluruh peradaban, walaupun sebenarnya dia tidak memiliki struktur formal kedaulatan negara, sebagaimana kekuasaan itu lahir darinya. Yang pada akhirnya, seperti yang diungkapkan oleh George Soros, sistem kapitalisme global memperlihatkan sejumlah kecenderungan imperialistik. Alih-alih berupaya membangun ekuilibrium, ia bahkan sibuk melakukan ekspansi. Ia tidak berhenti sepanjang masih ada pasar atau sumber daya yang belum dicaplok.19 Dalam bahasa yang diungkapkan Petras, karena globalisasi merupakan sebuah proyek kelas, bukannya sebagai proses yang niscaya, maka jaringan lembaga-lembaga yang menentukan sistem perekonomian global yang baru dilihat bukan dalam pengertian struktural, tetapi dalam pengertian kesengajaan atau ketergantungan, yang dikendalikan oleh kelompok/orang yang merepresentasikan dan mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru. Karena itu, Petras lebih senang menyebut globalisasi sebagai imperialisme.20 Dari penjelasan di atas, sejatinya kita saksikan bahwa globalisasi yang menjadi “obat kuat” bagi terjaminnya masa depan dunia malah menjadi momok yang menakutkan. Propaganda kapitalisme tentang globalisasi justeru mengantarkan kita pada ketidakjelasan memaknai hakikat dari perkembangan dunia saat ini. Kapitalisme, sebagai anak kandung dari globalisasi dan sekaligus poros dari liberalisasi ekonomi menciptakan tantangan-tantangan baru bagi pembangunan kesejahteraan sosial. Untuk itu diperlukan pemahaman yang jelas tentang apa dan bagaimana sebuah negara-bangsa dibentuk dalam kaitannya dengan globalisasi dan pemenuhan hak-hak sosial masyarakat. C. Welfare State 18 Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005), cet. I, h. 72. 19 George Soros, Krisis Kapitalisme Global, alih bahasa: Didin Solahudin (Yogyakarta: Penerbit QALAM, 2002), cet. III, h. 132. 20 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21 (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2002), cet. I, h. 9-10. Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai penjaga malam guna menjamin mekanisme pasar berjalan lancar dan campur tangan negara yang terlalu besar dianggap hanya akan mengganggu beroperasinya pasar. Karenanya, dalam situasi yang tanpa “tangan pengatur keadilan” seperti itu, kapitalisme mudah terpeleset kedalam arogansi ekonomi, homo homini lupus, dan hedonisme yang melihat manusia hanya sebatas “binatang ekonomi” (homo economicus) yang motivasi, kebutuhan dan kesenangannya hanya mengejar pemuasan fisik-materi. Patokan tindakannya akan bercorak utilitarianistik, asas “sebesar-besarnya manfaat dari sekecil-kecilnya pengorbanan”. Dalam praktiknya, “manfaat” di sini kerap merosot maknanya menjadi sekadar “konsumerisme-materialisme” dan “pengorbanan” sering terpeleset menjadi penindasan terselubung “si kuat terhadap si lemah”, “majikan terhadap buruh”, “penguasa terhadap yang terkuasai”. Produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan didewakan, sementara solidaritas, effektifitas, dan kesetaraan ditiadakan. Itulah salah satu dasarnya mengapa di negara-negara kapitalis, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak dipandang sebagai dua “sektor” yang berlainan dan berlawanan. Keduanya dijalankan secara serasi dan seimbang yang dibingkai oleh formulasi historis dan sosiologis yang bernama “negara kesejahteraan” (welfare state).21 Sebagaimana dinyatakan oleh pemikir sosialis Jerman Robert Heilbroner (1976), negara kesejahteraan merupakan sebuah ideologi, sistem dan sekaligus strategi yang jitu untuk mengatasi dampak negatif kapitalisme. Karena 21 Edi Suharto, “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan: Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia,” artikel diakses tanggal 10 Maret 2005 dari http://www.policy.hu/suharto/makIndo10.html menurutnya, perlawanan terhadap kapitalisme di masa depan memang tidak dapat dan sudah seharusnya tidak diarahkan untuk membongkar total sistem ini, melainkan untuk mengubah sistem yang “unggul” ini agar lebih berwajah manusiawi (compassionate capitalism) dalam mengatasi akibat mekanisme pasar yang tidak sempurna. Merujuk pada Spicker (1988:77) negara kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Menurut Marshall (1981) negara kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern yang sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik demokratis. 22 Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru serta sebagian besar negara-negara Eropa Barat dan Utara. Negara-negara yang tidak dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan adalah negara-negara bekas Uni Soviet dan “Blok Timur”, karena mereka tidak termasuk negara-negara demokratis maupun kapitalis. Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme. Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya 22 Edi Suharto, “Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial; Spektrum Pemikiran,” artikel diakses tanggal 10 Maret 2005 dari http://www.policy.hu/suharto/makIndo10.html anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni:23 Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara. Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”. Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara 23 Suharto, “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan: Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia.” sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur. Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa sejatinya negara kesejahteraan adalah bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama kelompok lemah seperti orang miskin, cacat, penganggur agar terhindar dari gilasan mesin kapitalisme. Pertanyaanya adalah: atas dasar apa negara harus melindungi kelompok lemah, seperti orang miskin dan orang yang tidak (bisa) bekerja? Ada beberapa alasan mengapa negara diperlukan dalam mengatur dan melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial: Pertama, pembangunan kesejahteraan sosial merupakan salah satu piranti keadilan sosial yang kongkrit, terencana dan terarah, serta manifestasi pembelaan terhadap masyarakat kelas bawah. Tidak semua warga negara memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara wajib melindungi dan menjamin kelompok-kelompok rentan yang tercecer dalam balapan pembangunan. Seperti kita ketahui bersama, kekayaan dan sumberdaya yang ada di suatu negara bahkan seluruh bumi kita ini sangat terbatas. Dengan demikian, jika ada seseorang atau sekelompok orang hidupnya lebih makmur pada dasarnya hanya dimungkinkan jika kelompok lain bersedia atau terpaksa hidup tidak makmur. Apabila proses pembangunan dianalogikan dengan lomba memperebutkan kue tart, maka seseorang yang memperoleh potongan kue lebih besar pada dasarnya dimungkinkan karena yang lain mendapat bagian yang lebih kecil. Sekalipun setiap orang memiliki kesempatan sama, tidak ada jaminan bahwa setiap orang akan memperoleh potongan kue yang sama. Umpamakan saja kue itu di simpan di tengah lapangan dan setiap orang memiliki jarak sama untuk memperoleh kue itu. Tetapi tetap saja orang yang kuat akan melesat lebih cepat dan mendapat potongan kue yang lebih besar ketimbang kelompok sosial yang lemah lainnya. Dirumuskan secara tajam, realitasnya adalah: kemakmuran suatu kelompok sering dimungkinkan dan bibiayai oleh kelompok lainnya. Maka, selain negara wajib memberi kesempatan sama kepada setiap orang untuk berusaha, ia harus tetap memperhatikan keterbatasan kelompok lemah sebagai kompensasi dan wujud keadilan sosial. Kedua, semakin memudarnya solidaritas sosial dan ikatan kekeluargaan pada masyarakat modern membuat pelayanan sosial yang tadinya mampu disediakan lembaga keluarga dan keagamaan semakin melemah. Pembangunan kesejahteraan sosial seringkali tidak menghasilkan keuntungan ekonomi bagi penyelenggaranya, sehingga kurang menarik minat pihak swasta untuk berinvestasi di bidang ini. Dengan kebijakan yang didukung UU, negara memiliki legitimasi kuat melaksanakan investasi sosial berdasarkan "risk-sharing across populations" yang dananya dialokasikan dari hasil pajak dan sumber pembangunan lainnya. Meskipun secara ekonomi jangka pendek pembangunan kesejahteraan sosial adalah pendekatan yang tidak profitable, secara sosial politik makro jangka panjang ia dapat menjadi investasi sosial yang menguntungkan. Pembangunan kesejahteraan sosial dapat meredam kesenjangan dan kecemburuan sosial yang merupakan prasyarat dan rahasia tercapainya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan yang berkesinambungan, stabilitas politik dan kesejahteraan bersama. Ketiga, negara perlu memberikan pelayanan sosial (social services) kepada warganya sebagai bentuk tanggungjawab moral terhadap rakyat yang memilihnya. Salah satu wewenang yang diberikan publik kepada negara adalah memungut pajak dari rakyat. Karenanya, prinsip utama yang mendorong mengapa negara perlu memberikan jaminan sosial adalah bahwa semua bentuk perlindungan sosial di atas termasuk dalam kategori “hak-hak dasar warga negara” yang wajib dipenuhi oleh negara sebagai wujud pertanggungjawaban moral terhadap konstituen yang telah memilihnya. Keempat, manusia cenderung berpandangan "myopic" (pendek) sehingga kurang tertarik mengikuti program-program sosial jangka panjang. Negara bersifat paternalistik (pelindung) yang mampu memberikan jaminan sosial secara luas dan merata guna menghadapi resiko-resiko masa depan yang tidak tentu, seperti sakit, kematian, pensiun, kecacatan, bencana alam, dan sebagainya. BAB III MENUJU PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA OLEH NEGARA “…Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…” (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945) Kerangka Normatif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Tujuan pendirian bangsa Indonesia yang telah merdeka dari kolonialisme seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tujuan yang amat mulia. Yaitu memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan yang seluasluasnya bagi rakyat Indonesia. Demikian pula pada umumnya gagasan kesejahteraan dan keadilan sosial menjadi spirit negara-negara di dunia ketiga ketika lepas dari kolonialisme Barat. Kenyataannya saat ini, kita dihadapkan pada situasi di mana ketimpangan antar negara semakin lebar. Negara-negara maju, yang memperoleh kekuasaan atas monopoli dan akses terhadap modal mengalami perkembangan yang pesat dalam pembangunan dan industrialisasi. Sebaliknya negara-negara di dunia ketiga, termasuk Indonesia yang nota bene penyumbang dari suplay bahan mentah kepada negaranegara maju tengah dirundung oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan (underdevelopment). Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat fakta tersebut adalah dengan melihat angka tingkat kesenjangan. Angka tersebut menunjukan bahwa hanya dalam waktu lima tahun (1988-1993), gini coeficient (indikator kesenjangan kekayaan) melonjak dari 62,5 menjadi 66,0. Satu persen (1%) warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang diterima 57% warga termiskin. Itu sama dengan 5% warga terkaya dunia menguasai 114 kali income yang diperoleh 5% warga termiskin. Income 10% warga terkaya di Amerika Serikat sama dengan jumlah income yang diterima 43% penduduk termiskin dunia. Kekayaan 25 juta warga terkaya di Amerika Serikat sama dengan income 2 milyar warga dunia.24 Melihat kondisi demikian, kiranya gagasan tentang keadilan sosial dan pentingnya kepastian bagi terjaminnya hak atas kesejateraan dan kehidupan yang layak relevan menjadi agenda pembangunan dewasa ini. Setelah pemikiran tentang hak sipil dan politik (SIPOL) yang menjadi generasi pertama Hak Asasi Manusia (HAM),25 hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi generasi kedua HAM yang belum banyak disentuh. Jika dalam generasi pertama pemikiran tentang HAM diilhami dari tradisi berpikir liberal dan kapitalis. Sebaliknya generasi kedua HAM muncul dari tradisi sosilalis dan dicanangkan dengan berbagai cara oleh perjuangan 24 B. Harry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo, Francis Wahono dkk., Neoliberalisme (Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 64 25 Menurut Burns H. Weston ada tiga generasi HAM. Ketiga generasi HAM tersebut menunjukan suasana dialektika antara berbagai aliran ideologi terutama liberal dan sosial, juga aspirasi dari negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari kolonialisme. Tetapi inspirasinya diilhami oleh tiga norma revolusi Pancis. Hakhak itu berdasarkan generasi yaitu pertama, hak-hak sipil politik (liberte-kebebasan). Kedua, hak ekonomi, sosial, budaya (egalitepersamaan sosial) dan ketiga, hak-hak solidaritas (fraternitepersaudaraan). revolusioner dan gerakan kesejahteraan pada masa itu.26 Generasi kedua HAM merupakan tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya, selalu mentolelir, bahkan mengesahkan eksploitasi kelas pekerja dan rakyat-rakyat di daerah jajahan. Persoalan lain yang mendukung munculnya pemikiran tentang hak ekosob ini adalah situasi politik-ekonomi pada tahun 1930-an. Pada saat itu dukungan bagi peranan negara yang kuat sebagai agen bagi pelaksanaan keadilan sosial semakin meningkat. Kondisi tersebut sejalan dengan berkembangnya konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh seorang pemikir ekonomi, John Mayrald Keynes. Pemikiran Keynes memberikan kecaman yang keras terhadap logika pasar dalam doktrin liberalisme klasik, yang dianggap gagal memberikan rasa keadilan ekonomi bagi rakyat dan membuat jurang ketimpangan ekonomi semakin lebar antara negaranegara utara dan selatan. Berkat gagasan-gagasan Keynes, pada akhirnya kemajuan perkembangan fungsi-fungsi sosial negara mendapat “angin segar” dari Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Salah satu yang terkenal dan menjadi sumber utama dari pendekatan Hak Asasi Manusia yang lebih luas adalah “Empat Kebebasan” yang disampaikan oleh Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt, dalam pidato tahunannya di depan Kongres pada tahun 1941 tentang State of the Union Address.27 Satu dari empat kebebasan yang dikemukakan oleh presiden Roosevelt yang perlu dikembangkan oleh tatanan pasca 26 M. Ridha Saleh, ECOSIDE, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran HAM (Jakarta, WALHI, 2005), cet. I, h. 10. 27 Asbjorn Eide, “Hak-Hak Ekonomi, sosial, dan Budaya Sebagai Hak Asasi Manusia,” dalam Ifdhal Kasim dan J. da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Esai-esai Pilihan (Jakarta, ELSAM, 2001) cet. I, hal. 18. perang adalah bebas dari kekurangan (Freedom From Want). Roosevelt mengusulkan untuk memasukkan banyak hak ekonomi dan sosial dalam deklarasi. Dan memang pada akhirnya usulan tersebut diadopsi menjadi bagian dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 serta dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara." Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat "pengajaran dan pendidikan" serta lewat "langkah-langkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya."28 Dua puluh satu pasal pertama deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termaktub di dalam konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hal tersebut meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Hak-hak tersebut kemudian dikenal dengan Hak Sipil dan Politik. Namun pasal 22 sampai 27 mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial -suatu standar bagi kehidupan yang layak- dan 28 Ian Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights (Oxford: Clarendon Press, 1971), hal. 93-105. pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa sesungguhnya semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan. Bagian dari pasal-pasal ini kemudian disebut sebagai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jelasnya, terkait dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya bahwa sumber yang paling eksplisit dan utama dari hak-hak tersebut adalah DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights (CESCR). Sebagai kovenan yang memberi daging (substansi) dan efek dari DUHAM, hak-hak dan batasan-batasannya terformulasi secara lebih terinci di dalamnya. Dari pandangan di atas, dapat dipastikan bahwa jaminan utama hukum internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya adalah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang saat ini telah ditandatangani oleh 142 negara.29 Terkait dengan dua instrumen hukum utama dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, Bersamanya sebenarnya beberapa Kovenan lainnya mengenai hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi mengenai Hak Anak dan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Meski kovenan-kovenan tersebut telah diterima secara universal, diatur dalam berbagai teks hukum internasional baik yang mengikat maupun yang deklaratif (misalnya Deklarasi mengenai Hak Atas Pembangunan), diakui dalam berbagai aturan-aturan hukum nasional (konstitusi), 29 Menurut data ratifikasi yang dikeluarkan PBB, hingga tanggal 15 Juni 2000, CESCR telah diratifikasi oleh 142 negara dan ditandatangani oleh 61 negara. Cina merupakan negara yang terakhir (tanggal 27 Oktober 1997) membuat ratifikasi terhadap kovenan ini. Lihat, Millenium Summit Multilateral Treaty Framework (New York: United Nation, 2000). namun implementasi dan pengakuan terhadap hak-hak ekosob sebagai hak asasi sangat lemah. Hal ini disebabkan oleh pandangan dikotomis antara hak sipol dengan hak ekosob, yang antara lain dipandang bahwa hak ekosob lebih bersifat aspiratif daripada hak yang bisa dituntut. Implikasi yang paling serius dari silang pendapat mengenai hal ini adalah pandangan yang menyatakan bahwa kewajiban negara dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya bersifat relatif, tergantung ketersediaan sumberdaya yang ada dalam satu negara. Oleh kerena itu pemenuhan hak ekosob dalam pengertian yang diambil oleh sebagian kalangan dapat dilakukan secara bertahap. Ide tersebut secara eksplisit tercermin pada pasal 2 kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya yang pada intinya mengatakan: "setiap negara pihak berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan kerjasama internasional,.., untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini, … termasuk dengan pengambilan langkahlangkah legislatif.”30 Ketentuan dari pasal 2 ayat 1 ini menghendaki semua negara pihak memulai dengan secepatnya mengambil langkah-langkah agar semua orang dapat menikmati sepenuhnya seluruh hak yang terdapat dalam kovenan. Pengambilan langkah legislatif pada umumnya tidak dapat dihindari jika hak ekonomi, sosial, dan budaya akan dilaksanakan dengan sebenarnya, akan tetapi undang-undang saja bukan respon yang cukup di tingkat nasional. Upaya-upaya administratif, hukum, kebijakan, 30 Lihat pasal 2 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, UNGA Res. 2200 A (XXI), 16 Des. 1966. ekonomi, sosial, dan pendidikan serta beberapa langkah lain dibutuhkan pemerintah dalam rangka menjamin seluruh perwujudan hak ini bagi semua orang. Yang lain adalah pandangan yang membedakan hak ekosob dan sipol menjadi dua kategori. Yaitu “hak negatif” dan “hak Positif”. Hak negatif merujuk pada hak sipil dan politik yang penegasannya adalah meminta negara-negara untuk menahan diri dari keterlibatannya dan melakukan intervensi, demi terlaksananya pelaksanaan hak-hak sipol tersebut. Sebaliknya, hak negatif yang diasosiasikan kepada hak ekonomi, sosial budaya mendesak keterlibatan dan upaya penuh dari negara untuk ikut campur dalam usaha pemenuhan dan perlindungan dari hak-hak ekosob ini. Kesalahpahaman atas tafsir dan pengertian Kovenan Hak ekonomi, Sosial dan Budaya merangsang beberapa ahli yang difasilitasi oleh Komisi Juris Internasional (International Commission of Jurist) untuk mengadakan pertemuan yang diadakan di Limburg dan Maastricht, Belanda. Masing-masing dilaksanakan pada tahun 1996 dan 1997.31 Dalam pertemuan ini para pakar berhasil merumuskan dua dokumen yang bertujuan untuk memberi pedoman dalam memahami kewajiban-kewajiban negara berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pertemuan Limburg menghasilkan dokumen yang dikenal dengan “Limburg Principles” (prinsip-prinsip Limburg), berisi tentang penjelasan terhadap kewajibankewajiban negara berdasarkan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sedangkan pertemuan Maastricht menghasilkan satu dokumen yang dikenal dengan “Maastricht Principles” (prinsip-prinsip Maastricht). Dokumen ini berisi tentang 31 Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; evaluasi Pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya (Jakarta, ELSAM, 2003), cet. II, h. 12. penjelasan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Lahirnya dua dokumen tersebut paling tidak merupakan langkah minimal untuk mengakhiri tafsiran yang arbitrer atas Kovenan hak EKOSOB tersebut. Secara substansi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan satu paket yang lebih komprehensif dari tiga unsur hak yang saling berkaitan. Inti hak-hak sosial adalah hak terhadap standar kehidupan yang layak (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 25; Kovenan Hak Ekonomi Pasal 11; Konvensi Hak Anak, Pasal 27). Untuk dapat menikmati hak-hak tersebut, seseorang memerlukan sekurang-kurangnya tersedianya hak-hak subsisten (untuk bertahan hidup) yang penting –seperti hak atas makanan dan gizi yang mencukupi, pakaian, perumahan dan syarat-syarat penting untuk perawatannya. Terkait erat dengan hak-hak ini adalah hak-hak keluarga terhadap bantuan (Kovenan ekonomi, Sosial dan Budaya, Pasal 10; Kovenan Hak Anak, Pasal 27). Untuk dapat menikmati hak-hak sosial ini, juga diperlukan terpenuhinya hak-hak ekonomi tertentu. Seperti hak atas kepemilikan (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 7), hak untuk bekerja (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 23; Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 6) dan hak-hak atas jaminan sosial, (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 22 dan 25; Kovenan ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 9; Konvensi Hak Anak Pasal 26). Secara umum, kovenan internasional mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya terdiri dari tiga puluh satu (31) pasal yang diatur dalam 6 bagian, yang bagian pertamanya sama dengan saudaranya yaitu kovenan internasional tentang hak sipil dan Politik. Jantung dari Kovenan ini berada pada Bagian III (pasal 6-15) yang menguraikan hak-hak yang dilindungi,32 yaitu: a. Hak atas kerja (right to work) b. Hak atas kondisi kerja yang layak (pasal 7) c. Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (pasal 8) d. Hak atas jaminan sosial (pasal 9) e. Hak atas perlindungan bagi keluarga (pasal 10) f. Hak atas standar hidup yang layak, termasuk hak atas pangan, pakaian dan tempat tinggal (pasal 11) g. Hak atas kesehatan (pasal 12) h. Hak atas pendidiakan (pasal 13) i. Hak atas kebudayaan (pasal 15)b Dari uraian di atas, kita memahami bahwa pemenuhan tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan segera oleh negara. Hak ekosob merupakan hak dasar yang kelahirannya merupakan unsur terpenting bagi keberlanjutan hidup dan kehidupan peradaban manusia yang lebih adil dan sejahtera. Pengingkaran terhadap pemenuhan hak ekosob oleh negara adalah sebuah bentuk kejahatan kemanusiaan. Kata-kata “segera” perlu mendapatkan penegasan untuk menghindari kesalahpahaman komponen “ kewajiban bertahap” kovenan yaitu bahwa setelah suatu negara mencapai tingkat perkembangan ekonomi tertentu, pada saat itulah hak berdasarkan kovenan telah terwujud. Bukan ini yang menjadi maksud dari kalimat tersebut. Melainkan, tugas tersebut mewajibkan semua negara-negara pihak-terlepas dari ringkat kekayaan nasionalnya- agar dengan segera dan sedini mungkin bergerak mewujudkan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ketentuan ini tidak boleh diartikan 32 Antonio Pradjasto, Butir-butir Pokok Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya, makalah yang disampaikan pada Workshop Monitoring dan Advokasi HAM, CHRF-CIDA, 25 April – 1 Mei 2002, Ujung Pandang – Makasar. sebagai memperbolehkan negara untuk menunda usahanya tanpa batas waktu tertentu untuk menjamin perwujudan hak yang digariskan dalam kovenan. B. Neoliberalisme: Kendala Ideologis Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Era Globalisasi Ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM pada awal tahun 2005, banyak kalangan menduga hal tersebut merupakan agenda untuk liberalisasi sektor Minyak dan Gas (MIGAS) di Indonesia. kebijakan ini didorong oleh mandat Undang-undang MIGAS No. 22/2001 untuk meliberalisasi perekonomian Indonesia, khususnya pada sektor minyak dan gas. Fakta ini diakui secara sadar oleh ketua Badan Pengatur sektor Hilir Minyak dan Gas (BPH MIGAS) di salah satu media massa nasional mengatakan: “bahwa Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Bisnis itu selama ini dikuasai oleh Pertamina. …Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena 11 disubsidi, pemain asing enggan masuk.” Cerita tentang kenaikan BBM di atas secara sederhana memberikan kita pemahaman bahwa saat ini liberalisasi ekonomi dan pasar bebas, yang menjadi jargon dari proyek globalisasi telah menjadi instrumen bagi kepentingan modal untuk dapat menjalankan aktifitas ekonominya di berbagai negara. Dengan kata 11 “Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas,” berita diakses tanggal 14 Mei 2003 dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/14/ekonomi/312498.htm lain, pasar bebas dengan ideologi neoliberalisme saat ini telah menjadi “mantra” dan “agama” yang diyakini dapat menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia, contohnya kenaikan BBM untuk memfasilitasi kepentingan perusahaan asing di atas. Neoliberalisme sebagai perspektif ekonomi, mengawali perkembangannya pada tahun 1947. ketika itu seorang ekonom Austria, Friedrich August von Hayek mengorganisir sebuah pertemuan tertutup selama sepuluh hari bersama beberapa pemikir di berbagai bidang yang datang dari Amerika Utara dan Eropa di pegunungan Mont Pelerin, Swiss.12 Pertemuan yang menghasilkan sebuah kelompok dengan nama The Mont Pelerin society (MPS) ini dimaksudkan sebagai bentuk keprihatinan atas munculnya gelombang “kolektivisme” yang melanda Eropa. Jika melihat tulisan Hayek tiga tahun sebelum pertemuan tersebut berlangsung, mudah dipahami bahwa MPS berusaha mengajukan keunggulan kapitalisme pasar bebas: Dengan membiarkan jutaan individu mereaksi harga pasar yang tercapai secara bebas, dan melakukan optimalisasi pengalokasian modal.13 Oleh karena itu, mudah untuk dimengerti bahwa pertemuan tersebut dirancang untuk melakukan interupsi atas pemikiran “ekonomi pasar sosial” Ordo Liberal yang sedang berkembang di Jerman Barat pasca Perang Dunia ke-2. Secara umum gagasan ekonomi politik neoliberal adalah argumen yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika, dan hanya jika, lalu12 B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, ed., Neoliberalisme (Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), cet. I, h. 51-52. 13 Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, hal. 52. lintas barang/jasa/modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun.14 Optimalisasi itu juga akan terjadi bila barang, jasa, dan modal dimiliki/dikuasai oleh orang perorangan yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi. Dalam prakteknya, operasi neoliberalisme mendorong kebijakan-kebijakan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi oleh negara demi tercapainya tujuan-tujuan akumulasi modal oleh individu. Pada perkembangannya, ideologi neoliberalisme telah menjadi alat penopang utama bagi berjalannya proses globalisasi yang kita rasakan sekarang ini. Anjuran para ekonom neoliberal untuk melakukan pengetatan fiskal dengan memangkas anggaran negara bagi kebutuhan subsidi rakyat, pembukaan pasar domestik bagi masuknya investasi asing, pemberlakuan kebijakan mata uang mengambang merupakan resep pembangunan ekonomi dunia saat ini. Melalui proses ini, propaganda globalisasi menyelip di antara kebutuhan Negara-negara dunia ketiga akan resep pembangunan tersebut. Dalam proses yang dialektis, hal tersebut menandai dimulainya babak baru dari persoalan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya oleh negara dewasa ini. Betapapun, prinsip universalisme HAM yang tidak mengenal batas-batas ideologi dan wilayah, pada prakteknya saat ini khususnya di negara-negara dunia ketiga mengalami kendala yang serius. Proses globalisasi ekonomi ditandai dengan ekspansi modal internasional dan agenda pasar bebas. Lewat sejumlah lembaga-lembaga keuangan Internasional seperti IMF dan Bank Dunia, serta lembaga perdagangan internasional (WTO), memaksa sejumlah negara untuk agenda reformasi kebijakan ekonomi yang menguntungkan negara-negara industri maju dan perusahaan multinasional. Hal tersebut disebabkan mereka –para negara di dunia ketiga- akibat krisis dan kemiskinan yang dialaminya, terpaksa harus mengikuti agenda ekonomi neoliberalisme melalui perangkat pinjaman luar negeri. Lewat kontrol ekonomi yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia, negara-negara dunia ketiga saat ini terhimpit oleh beban pembayaran utang luar negeri yang sangat besar. Akibatnya para pemerintahan di negara-negara tersebut terpaksa melakukan pemotongan anggaran sosial untuk kebutuhan rakyatnya. kebijakan pencabutan subsidi, privatisasi, dan pembukaan peluang pasar ekonomi adalah sejumlah kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara yang pada umumnya menjadi pasien dari IMF dan Bank Dunia. Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, sejalan dengan pemikiran ekonomi neoliberal meyakini bahwa perlindungan sosial negara terhadap rakyatnya berakibat pada tidak berjalannya mekanisme pasar yang efisien dan kompetitif. Sehingga menyebabkan tidak terjadinya proses akumulasi modal yang akan menuntun pada kesejahteraan masyarakat. Tentu saja, secara teoritis pandangan ini mencerminkan pengingkaran terhadap fungsi negara dalam memenuhi kebutuhan sosial rakyat. Dari pengalaman krisis yang terjadi di Asia Timur tahu 1997, Stiglitz membenarkan bahwa lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia telah melakukan praktek yang kontradiktif dan memicu krisis berkepanjangan di beberapa negara di Asia yang menjadi pasiennya. Bagi Stiglitz, sesungguhnya negara-negara yang paling mampu bertahan selama dan sesudah krisis Asia adalah negara-negara yang tidak mengikuti resep standar neoliberal dari IMF/depkeu AS. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Cina dan Malaysia. Sebaliknya, negara-negara yang menjadi pasien IMF seperti Thailand, Korea, dan Indonesia hingga saat ini masih bergelut untuk menyelesaikan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang paling lambat pertumbuhan ekonominya. Akibat yang lebih parah adalah Indonesia, demi memprioritaskan pembayaran beban utang yang mustahil terbayarkan, pemerintah mengorbankan pemberian subsidi untuk rakyat yang menjadi nafas dalam situasi krisis di negeri ini. Dengan kata lain, neoliberalisme menjadi penghambat utama bagi terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh negara. Berikut adalah lima bentuk kontradiksi antara neoliberalisme dan penegakkan hak ekosob oleh negara dewasa ini. Pertama, fungsi pasar dengan hukum-hukumnya adalah layaknya dunia mekanis Newtonian. Akan ada gangguangangguan yang dapat menghalangi berfungsinya pasar, yang perlu disingkirkan. Dari sudut perekonomian neoliberal, perjuangan dan advokasi hak asasi manusia (misalnya perjuangan kaum buruh) adalah bentuk gangguan yang dimaksud. Sebagai contoh, perjuangan kaum buruh dalam menuntut kenaikan upah dan hak cuti selalu menjadi persoalan di negeranegara dunia ketiga. Sebab, bagi hukum pasar ekonomi kapitalis, negara-negara dunia ketiga merupakan produsen bagi berlimpahnya barang baku dan buruh murah yang siap dieksploitasi. Kedua, garis hidup perekonomian neoliberal adalah kekuatan kompetisi, di mana yang kuat akan bertahan hidup dan yang tidak akan musnah. Segala hal yang didasarkan pada prinsip kesetaraan (equality) bertentangan dengan dinamika ekonomi semacam ini. Bila kita perhatikan, pandangan tersebut segaris dengan pemikiran yang dianut oleh seorang penganjur neolib 14 Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, hal. 59. yang paling kukuh, Perdana Menteri Inggris Margareth Tatcher. Dia adalah seorang darwinis sosial yang menggariskan bahwa kompetisi adalah syarat utama bagi tersedianya alokasi sumberdaya yang memadai.15 Ketiga, di dalam dunia kontemporer, praktek hak asasi manusia seharusnya menempatkan subyek, yakni kaum korban pada titik pusatnya. Akan tetapi yang terjadi adalah, kehidupan ekonomi modern dengan hegemoni kapitalisme neoliberal, beroperasi melalui dissolution subject.16 Keempat, perekonomian neoliberal dan pasar didasarkan kepada model pembangunan tertentu yang terhomogenisasi. Model pembangunan ini, yang terkait dengan globalisasi telah menjadi pelanggar hak asasi manusia yang amat kasar.17 hal tersebut dapat dibuktikan. Akibat bentuk kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh Bank Dunia terhadap negara-negara di selatan, telah mengakibatkan pengalihan kekayaan secara besar-besaran dari lapisan masyarakat bawah ke lapisan puncak. Serta menyebabkan ketimpangan yang terjadi antara utara-selatan semakin bertambah dari masa ke masa. Kelima, ketidaksesuaian antara pasar dan hak asasi manusia secara alamiah mendatangkan konsekuensi-konsekuensi bagi negara. Setiap negara yang mempromosikan perekonomian neoliberal dan pasar kapitalis akan mendapatkan halangan yang besar dalam hal perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak ekosob. Karena negara dalam paradigma ekonomi ini, mendapatkan perlakuan hanya sebagai “anjing penjaga malam” yang tidak punya kekuatan yang signifikan. Keenam, neoliberalisme menyebabkan terjadinya proses akumulasi kekayaan individu. Yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan pendapatan dan kepemilikan. Orang miskin, dengan instrumen HAM sekalipun, tidak dapat serta merta menagih haknya. Oleh karena sistem ekonomi yang berlaku di dunia saat ini membenarkan proses itu terjadi. Sebagai contoh, laporan terakhir UNDP menyebutkan, secara akumulatif 225 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan sebesar lebih dari US $ 1 trilyun yang juga merupakan total income dari 47 % masyarakat miskin yang berjumlah 2,5 milyar jiwa.18 Uraian di atas menunjukan bahwa dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh negera-negara di dunia, khususnya di Selatan mengalami kendala yang serius akibat kebijakan ideologi ekonomi neoliberalisme yang dipaksakan. Pada akhirnya, pertarungan di tingkat internasional dalam perumusan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga tidak dapat dihindari pertarungan ideologi antara kubu “liberal-kapitalis” dan kubu “sosialis”. C. Refleksi Kebijakan Pembangunan Orde Baru Dalam Pemenuhan Hak ekonomi, Sosial dan Budaya Sejak dimulainya era pembangunan dalam masa pemerintahan Orde Baru, praktis terdapat perubahan orientasi kebijakan pemerintahan dari masa Orde Lama. Kebijakan pembangunan dalam masa Orde Baru menandakan dimulainya satu orientasi dimana “ekonomi sebagai panglima”, menggantikan orientasi “politik sebagai panglima” masa Soekarno. Kebijakan ekonomi pemerintahan Orde Baru yang bertolak belakang dengan kebijakan pemerintahan Orde Lama 15 Susan George, “Sejarah Singkat Tentang Neoliberalisme; Duapuluh Empat Tahun Ilmu ekonomi Elit dan Timbulnya Peluang Bagi Perubahan Struktural,” dalam Sugeng Bahagijo, ed., Republik Pasar Bebas (Jakarta, PT Bina Rena Pariwara, 2002) cet. I, hal. 45. 16 Felix Wilfred, “Hak Asasi Manusia ataukah Hak-hak Asasi Kaum Korban?” Jurnal WACANA, edisi 8, tahun II/2001: h. 117. 17 Wilfred, “Hak Asasi Manusia ataukah Hak-hak Asasi Kaum Korban?,” h. 118. 18 Wilfred, “Hak Asasi Manusia ataukah Hak-hak Asasi Kaum Korban?,” h. 120. menempatkan pemerintah sebagai fasilitator bagi pihak-pihak swasta, terutama dari segi administrasi. Pada masa-masa ini, terutama dimulai pada awal tahun 1970-an sembari berperan sebagai fasilitator, pemerintah Indonesia mulai memainkan peran sebagai agen pembangunan ekonomi di samping agen pembangunan sosial dan politik. Sepintas, kebijakan tersebut adalah langkah maju dari upaya pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menjadikan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia menjadi agenda prioritas pembangunan. Tetapi kenyataannya, kebijakan pembangunan Orde Baru, khususnya dalam kerangka pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya tidak menjadi agenda prioritas pembangunan. Kondisi demikian terjadi di tengah Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara hukum, yang bertujuan mencapai masyarakat adil dan makmur, merata baik spiritual dan material. Menurut seorang ekonom asal Inggris, Daudley Seers, pembangunan belum bisa dikatakan berhasil bila salah satu atau dua dari tiga kondisi, yaitu kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan menjadi lebih buruk, meskipun pendapatan per kapita melambung tinggi.19 Untuk melakukan upaya percepatan ekonomi, pada awal episode pembangunan, Orde Baru melakukan upaya konsolidasi ekonomi-politik. Langkah strategis yang paling dominan dilakukan adalah melakukan tindakantindakan progresif dengan memfasilitasi dan memobilisasi potensi ekonomi yang 19 Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan; Kajian Ekonomi Politik Terhadap Akar Krisis Indonesia (Jakarta, LP3ES, 2001), Cet. I, h. 1. paling mudah diproduksi untuk menggerakkan roda perekonomian yang berorientasi pasar. Dalam kaitan mendukung kebijakan ini, terdapat setidaknya 2 produk perundang-undangan yang terbit pada tahun 1967, yaitu Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Pokok Kehutanan. Dua produk undang-undang ini dimaksudkan untuk menstimulir berbagai pihak masuk ke sektor-sektor strategis di Indonesia.20 Selain itu, paket undang-undang ini adalah kebijakan deregulasi dan kebijakan debirokratisasi untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan perekonomian. Dengan kata lain, sejak saat itu pemerintahan Orde Baru sedang menjalankan agenda-agenda neoliberalisme. Selain membuat kebijakan-kebijakan strategis dalam rangka menopang percepatan pertumbuhan ekonomi, sebagai bagian dari kebijakan tersebut pemerintahan Orde Baru melakukan kebijakan stabilisasi politik. Konsekwensinya adalah menutup pintu rapat-rapat atau bahkan melakukan kriminalisasi terhadap setiap sikap kritis rakyat kepada pemerintah. Kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah orde baru dengan alasan untuk menjamin laju pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan atas hak ekonomi dan sosial rakyat agar tidak mengalami “gangguan”. Ke depan, alasan inilah yang selalu diungkapkan Orde Baru ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dunia Internasional tentang terjadinya pelanggaran hak sipil dan politik secara massif pada sepanjang masa kekuasaannya. Singkatnya, arah pembangunan Orde baru di bawah jargon trilogi pembangunan menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan menjalin 20 Chaniago, Gagalnya Pembangunan; Terhadap Akar Krisis Indonesia, h. 26. Kajian Ekonomi Politik hubungan yang harmonis dengan swasta, baik yang berasal dari dalam atau luar negeri. Untuk mengetahui lebih rinci sejauh mana kebijakan pembangunan Orde Baru memberikan keuntungan (benefit) bagi tercapainya pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya berikut akan disampaikan tiga hal yang merupakan sebagian dari pokok-pokok hak ekonomi, sosial dan budaya yang merupakan evaluasi dari kebijakan pada masa Orde Baru. 1. Hak Atas Pangan Pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga masih relatif tinggi di Indonesia, yaitu 67,2 persen dan 52,36 persen dari rumah tangga di desa dan kota. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar pendapatan keluarga masih dibelanjakan untuk pangan.21 Artinya pangan adalah komoditas dominan bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia dan oleh karena itu ketergantungan orang Indonesia terhadap ketersediaan akses atas pangan sangatlah tinggi. Oleh karena kebutuhan masyarakat Indonesia pada waktu Orde Baru terhadap pangan, khususnya beras, sangat tinggi. Pemerintah menyadari bahwa ketersediaan padi di pasaran memiliki hubungan yang signifikan terhadap stabilitas kekuasaan. Masalah yang muncul adalah, kebijakan pangan pada masa pemerintahan Orde Baru berkisar pada masalah kecukupan pangan dan persoalan tata niaga 21 Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi Pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya (Jakarta, ELSAM, 2003), cet. II, h. 53. pangan yang merugikan petani. Sentralisme kekuasaan Orde Baru yang ditopang oleh kekuatan modal internasional -IMF dan Bank Dunia- menyebabkan persoalan pangan merupakan hal yang jauh dari rasa keadilan. Kebijakan impor pangan atas dorongan dari IMF, kebijakan harga, merupakan bagian yang mendapat perhatian serius. Dari kebijakan pangan selama Orde Baru, tampak bahwa kebijakan pemerintah lebih dominan dalam memperburuk kepemilikan akses terhadap pangan. Hal ini terjadi dalam bentuk pertama, terciptanya pasar komoditi pangan yang oligarkis baik pada beras, minyak kelapa, kedelai dan lain-lain. Kedua, adanya kerugian pada masyarakat berupa social welfare loss atau menurunnya kesejahteraan sosial baik karena harga pangan yang ditentukan semena-mena maupun karena faktor-faktor inefisiensi lainnya yang melekat pada pasar oligarkis. Ketiga, terjadinya stratifikasi kepemilikan akses atas pangan yang berakibat pada mudah terjadinya penjarahan dan kerusuhan sosial. 2. Hak Atas Kesehatan Salah satu indikator untuk mengukur komitmen negara pada pemenuhan atas kesehatan adalah dengan menggunakan parameter besar/kecilnya anggaran untuk pemenuhan pelayanan kesehatan. Menurut standar WHO yang dikeluarkan pada Deklarasi Alma Ata tahun 1978, untuk mencapai Health for all by the year 2000, besar anggaran kesehatan yang harus dialokasikan minimal 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk Indonesia sampai tahun 1990, besar anggaran yang dialokasikan hanya 2,5% dari PDB.22 Menurunnya kemampuan pemerintah untuk membiayai pelayanan kesehatan, dikarenakan kebijakan deregulasi yang memberikan peluang bagi investasi swasta dalam dan luar negeri untuk menanamkan investasi di bidang kesehatan. Kebijakan deregulasi yang dikeluarkan pemerintah menyangkut sejumlah peraturan yang dibuat, yang pada intinya mengalihkan peran pemerintah dalam bidang kesehatan kepada swasta. Peraturan itu antara lain ialah keluarnya Permenkes No. 159B/1988, yang memudahkan swastanisasi di sektor kesehatan. Deregulasi yang dilakukan pemerintah menyebabkan terjadi perubahan arah pembangunan kesehatan yang berorientasi sosial menjadi lebih bersifat komersial. Secara umum, kinerja pembangunan kesehatan dapat dikatakan mengalami peningkatan. Namun, dari segi pemerataan terhadap akses pelayanan kesehatan, kebijakan Orde Baru cenderung memihak kepada kaum berpunya dan cenderung urban bias. 3. Hak Atas Pendidikan Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan dalam dunia ekonomi mempunyai kewajiban untuk mempersiapkan tenaga kerja yang mempunyai nilai produktivitas yang tinggi. Karenanya, pendidikan dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pandangan tersebut menimbulkan kerancuan dan bias antara fungsi pendidikan di satu sisi dan kebutuhan pasar di 22 Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi Pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya, hal. 100. sisi yang lain. Pada masa Orde Baru, pandangan tersebut dilatar belakangi oleh kebijakan liberalisasi sektor pendidikan. Yaitu dengan menekankan aspek-aspek kuantitatif dan keterampilan teknis pada dunia pendidikan agar mampu bersaing dalam era teknologi dan liberalisasi. Pada masa Orde Baru, pandangan-pandangan di atas banyak dianut menjadi strategi pembangunan pendidikan di Indonesia. yang kemudian hari menimbulkan masalah terutama terkait dengan kebijakan kurikulum dan pengekangan kretivitas pelajar. Di samping itu, keterkaitan yang erat antara pembangunan dan pendidikan menimbulkan masalah, yang disebabkan oleh ketidakberesan pembangunan itu sendiri. Terjadinya ketimpangan pendidikan di Jawa dan luar Jawa, merupakan akibat dari sentralisme pembangunan yang dijalankan Orde Baru. Walaupun dalam kebijakan anggaran pendidikan, Orde Baru dinilai cukup memberikan perhatian. Hal tersebut dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah untuk pembangunan gedung Sekolah Dasar yang meningkat secara absolut dari tahun ke tahun. Secara umum, kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru dinilai cukup baik. Kecuali beberapa permasalahan yang muncul akibat kepentingan negara dalam pengaturan pendidikan bagi warga negara yang sarat dengan kepentingan politik. D. Signifikansi Peran Muhammadiyah Dalam Mempromosikan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Indonesia Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan tertua di Indonesia. Didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta oleh seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, K.H Ahmad Dahlan. Misi utama dari gerakan yang dibangun oleh K.H Ahmad Dahlan tampak pada terobosan awal beliau untuk melakukan gerakan dakwah melalui tajdid (pembaharuan) keagamaan dan pembelaan rakyat miskin melalui aksi sosial yang kongkrit. Dengan orientasi keberagamaan yang rasional, Muhammadiyah berusaha memurnikan Islam dari segala bentuk penyimpanganpenyimpangan keagamaan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Pemurnian Islam itulah yang sekaran dikenal dengan istilah “ar-ruju’ ilal Qur’an wa sunnah”.23 Adalah dua prinsip dasar yang menjadi acuan dakwah yang dikembangkan oleh pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Pertama, adalah pembebasan. Yakni bagaimana membebaskan manusia dari belenggu penjajahan dan kebodohan; dan yang kedua, adalah penghargaan pada harkat dan martabat manusia. Kedua dasar dari prinsip dakwah Muhammadiyah inilah sebenarnya letak peran strategis organisasi ini di Indonesia kemudian hari. Sebagai Ormas Islam besar, peranan Muhammadiyah dapat dilihat sebagai bagian dari bangunan masyarakat madani di Indonesia. dan oleh karena itu peranannya sangat signifikan dalam memperbaiki kwalitas kehidupan rakyat Indonesia. Tugas-tugas dakwah Muhamadiyah melalui amal usahanya yang 23 Ahmad Fuad Fanani, “Membendung Arus Formalisme Muhammadiyah,” dalam Muslim Abdurrahman ed., Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural (Jakarta, Ideo Press dan MAARIF Institute, 2003), cet. III, h. 15. mencakup aspek sosial ekonomi dengan mendirikan banyak lembaga-lembaga pendidikan, rumah sakit, usaha kecil/menengah adalah cermin dari pemikiran untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam upaya untuk mempromosikan hak-hak ekonomi-sosial dan budaya, keterlibatan negara (State Parties) menjadi prasyarat penting. Utamanya menyangkut fungsi sosial negara (pemerintah) atas mandat yang telah diberikan rakyat kepadanya. Tetapi upaya tersebut terkadang terhambat oleh karena kendala-kendala ideologis ataupun politis. Pada konteks ini, seluruh komponen masyarakat madani (termasuk Muhammadiyah) mempunyai peran aktif dalam upaya mengkontrol setiap kebijakan negara agar dapat memenuhi kewajiban pemenuhan hak ekosob dalam rangka memenuhi rasa keadilan ekonomi dan sosial di Indonesia. Bagi muhammadiyah, seperti yang tercantum dalam hasil keputusan Muktamar ke-45 di Malang menyatakan bahwa tugas pemerintah melayani rakyat dalam konteks pemenuhan hak rakyat dilihat sebagai upaya menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia. Sebagaimana dituliskan: “…dalam konteks Indonesia, pencerahan peradaban untuk mempertinggi nilai dan martabat manusia merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi dan pembangunan bangsa. Bagi pemerintah bahkan melaksanakan amanat rakyat dan tugas-tugas pelayanan publik semestinya merupakan pantulan dari menghargai dan menjunjung tinggi martabat manusia Indonesia. melalaikannya berarti merendahkan martabat manusia. Karena itu merupakan tanggung jawab pemerintah untuk lebih meningkatkan fungsi pelayanan public (social services) bagi peningkatan mutu kehidupan rakyat yang lebih baik serta memenuhi hak-hak dan kebutuhan dasarnya. Sehingga tidak ada lagi anak bangsa ini yang terkena busung lapar, putus pendidikan, gagal kerja, dan mengalami marjinalisasi kehidupan...” Barangkali dalam tradisi pemikiran Islam di Indonesia, tidak banyak kelompok yang memberikan perhatian lebih terhadap persoalan-persoalan kontemporer khususnya menyangkut isu-isu mengenai keadilan ekonomi, ketimpangan global antara negara kaya dan miskin, utang luar negeri, kemiskinan, dan lain-lain. Walaupun demikian, tidak bisa dikatakan bahwa pemikiran Islam di Indonesia tidak sensitif dengan realitas yang menjadi problem umat saat ini. Sebagai contoh gagasan Islam transformatif yang berkembang pada tahun 1980an menyebutkan bahwa peranan agama dalam proses pembangunan adalah memberikan “kritik ideologi” atas usaha-usaha dominasi alat-alat produksi, dominasi teknologi, dan dominasi makna yang telah menjadi corak strategi pembangunan di Indonesia saat ini.24 Transformasi, menurut Muslim Abdurrahman, yang juga salah satu tokoh Muhammadiyah, sepatutnya menjadi gerakan kemanusiaan yang mampu mengantarkan kehidupan sosial yang sederajat di depan Allah SWT. Suatu gerakan transformatif yang menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama, dan yang melahirkan aksi solidaritas. Gagasan Islam Transformatif bertujuan 24 Budhy Munawar Rahman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo Modernisme Islam di Indonesia,” dalam Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. I, hal. 483. mempertalikan mitra insani atas dasar kesadaran iman, bahwa sejarah suatu kaum hanya akan diubah oleh tuhan jika ada kehendak dan upaya dari semua anggota kaum itu sendiri. Terlepas dari berbagai macam aliran pemikiran dalam Islam di Indonesia, baik itu modernis, tradisionalis maupun transformatif pada hakikatnya memiliki tanggung jawab yang sama. Yaitu memberikan kontribusi yang nyata terhadap pembangunan ummat di Indonesia untuk segera lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan yang bukan hanya disebabkan oleh faktor alam dan budaya, tetapi juga praktek eksploitasi dan keserakahan oleh kekuatan kelas yang dominan sehingga menyebabkan ummat menjadi miskin dan terbelakang. Melihat uraian yang sudah disebutkan di atas, nampaknya usaha melakukan proses advokasi terhadap pemenuhan hak ekosob perlu mendapatkan dukungan yang luas dari kelompok masyarakat madani di Indonesia. Peran aktif dari organisasi masyarakat (ORMAS) Islam, termasuk Muhammadiyah akan lebih memberikan arti bagi usaha pembelaan terhadap kaum mustad’afin di Indonesia. BAB IV NEGARA DAN PERAN PEMENUHAN HAK EKONOMI,SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT MUHAMMADIYAH “…Muhammadiyah memang belum mampu menawarkan alternatif bagi masa depan Indonesia, apakah itu di bidang pendidikan, ataupun dalam pelayanan kesehatan dan sosial. Apa yang telah dilakukan sebegitu jauh adalah membantu negara dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Oleh karena itu janganlah ditafsirkan segala bantuan yang dikucurkan negara kepada Muhammadiyah sebagai utang budi, sebab semuanya itu adalah dalam rangka mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa yang menurut UUD 1945 adalah tugas dan kewajiban pemerintah…” (Dengan Sikap Baru Menuju Indonesia Baru; Pidato Iftitah Buya Syafii Maarif pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram, 2004) Globalisasi dan Peran Negara Perspektif Muhammadiyah Belakangan, diskursus tentang globalisasi menjadi marak di Muhammadiyah. Tidak hanya pada forum-forum diskusi ilmiah di pengajian rutin, ataupun media jurnal dan majalah yang diterbitkan oleh Muhammadiyah maupun organisasi di bawahnya. Tetapi hal ini menjadi diskursus bahkan sudah menjadi keputusan muktamar Muhammadiyah yang lalu. Sebagai sebuah organisasi besar, sebenarnya respon Muhammadiyah terhadap persoalan globalisasi terbilang sangat lambat. Bukan saja diskursus ini sudah sejak lama diperdebatkan secara teoritik maupun praktiknya oleh para ahli, bahkan perkembangan globalisasi saat ini sudah semakin jauh dari pengertian yang sesungguhnya. Era globalisasi, dalam pandangan Haedar Nashir,33 merupakan suatu era ketika mobilitas dan alam pikiran manusia dari hari ke hari makin membuana ke dalam sistem global (the Global System).34 Globalisasi sebagai kenyataan kehidupan umat manusia pada abad baru itu merupakan interkonekasi yang serba melintasi baik dalam hubungan-hubungan antarbangsa, masyarakat, komunitas, hingga persilangan kepentingan antar bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, budaya, agama, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Hedar mencoba mendefinisikan globalisasi sebagagai sebuah realitas yang tidak bisa dihindari, bahkan menjadi hukum alam kemanusiaan. Berdasarkan relitas kekinian tentang globalisasi, Haedar kemudian menjelaskan akibat yang harus ditanggung terkait dengan hubungan antar negarabangsa. Baginya, hubungan antar bangsa dengan kepentingan-kepentingan yang menyertainya di era global itu tidak lagi diikat oleh kerangka nation-state dan polapola internasional yang konvensional, tetapi berubah menjadi tatanan baru yang disebut sistem global dalam bentuk global society. Sistem global juga makin memperluas global market dengan jaringan transnasional dan multinasional yang semakin menduia layaknya gurita global.35 33 Haedar Nashir adalah sakah satu tokoh muda Muhammadiyah, menulis banyak buku dan artikel di media massa. Pada Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005 terpilih sebagai salah satu anggota pimpinan pusat Muhammadiyah periode 2005 – 2010. 34 Haedar Nashir, “Tatanan Baru Dunia Global,” Jurnal INOVASI, No.2 th. X/2000, h. 18. 35 Nashir, “Tatanan Baru Dunia Global,” Jurnal INOVASI, h. 18. Secara lebih tajam, Dr. Musa Asy’arie, Ketua Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, mengungkapkan bahwa era globalisasi telah membawa hubungan pasar dan negara berlangsung sangat kompleks. Pasar telah menjadi simbol baru dari sistem ekonomi yang pada dasarnya bercorak kapitalistik, pasar sebagai anak keturunan kapitalisme muncul dan berkembang menjadi kekuatan yang dapat mempengaruhi dan mengkontrol secara signifikan kehidupan politik suatu negara untuk menjadi lebih demokratik, menghargai kebebasan individu, dan terbuka atas perbedaan pemikiran apa pun.36 Mekanisme ekonomi pasar telah tumbuh secara otonom, dan otonominya dapat menekan suatu negara untuk dapat mengikuti rasionalitas hukum ekonomi pasar, sehingga respon respon pasar terhadap negara (pemerintah) akan menentukan kelangsungan hidup dari negara (pemerintah) tersebut. Meskipun demikian, hukum ekonomi pasar bukanlah satu-satunya jawaban atau obat mujarab bagi kemajuan dan pembangunan di semua negara. Realitas politik, kebudayaan, dan kebergaman sosial yang berbeda-beda tidak otomatis menjadikan resep ekonomi pasar begitu saja dapat diaktualisasikan. Bahkan, dari berbagai pengalaman beberapa negara dunia ketiga (Argentina, Chili, Indonesia) ketika menerapkan kebijakan ekonomi pasar justeru semakin membuat kesenjangan dan kemiskinan semakin telanjang. Dalam bahasa yang diungkapkan oleh Dr. Musa Asy’arie, aktualisasi ekonomi pasar hanya menjadikan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Karena mereka yang kuat, kaya dan maju sudah mencuri 36 Musa Asy’arie, “Muhammadiyah, Negara, dan Pasar dalam Sistem Global,” Jurnal INOVASI, No. 2 th. X/2000, h. 39. start terlebih dahulu daripada mereka yang lemah, miskin dan tertinggal, yang membuat jarak ketertinggalan itu pada kenyataannya semakin jauh saja. Sebagai sebuah ormas Islam yang besar, komitmen gerakan Muhammadiyah sejak lama didedikasikan bagi perluasan kesempatan bagi kaum mustad’afin dalam meraih kesejahteraan, pendidikan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebagaimana yang tertulis dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad,37 yang menyakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan asSunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sesuai jati dirinya senantiasa istiqomah untuk menunjukan kimitmen yang tinggi dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara nyata diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha, program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat bagi seluruh umat manusia di bumi ini. Terminologi masyarakat Islam yang menjadi tujuan gerakan Muhammadiyah menjadi penting untuk melihat korelasinya dengan sikap dan pandangan terhadap globalisasi. Masyarakat Islam dalam definisi Muhammadiyah adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara keidupan lahiriah dan bathiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, 37 Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45 tentang Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (Zhawahir al-Afkar al-Muhammadiyah ‘abra Qarn min al-Zaman), (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005). sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan, kerjasama, kerja keras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Meskipun begitu, dalam menghadapi dinamika kehidupan, masayarakat Islam semacam ini selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar bebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat “berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li al-almuwajjahat) lebih dari sekedar “berjuang melawan musuh” (al-jihat li almu’aradhah). Dalam mendefinisikan globalisasi, Muhammadiyah membuat kategorisasi ciri perihal kecenderungan global berdasarkan pemikiran yang telah dikajinya. Cara seperti ini biasa dilakukan oleh Muhammadiyah sebelum menentukan garis besar program organisasi untuk masa satu periode kepengurusan. Dalam dokumen hasil Muktamar ke-45, dalam melihat kecenderungan global Muhammadiyah menyebutkan bahwa dunia masih akan mengadapi apa yang disebutnya sebagai lima relitas besar (great reality),38 yakni pertama, hegemoni Amerika Serikat; kedua, berlanjutnya dominasi peradaban Barat; ketiga, kekuasaan pasar (market force) dan globalisasi; keempat, pergeseran teknologi industri ke teknologi digital, berikut kesenjangan digital (digital divide); dan kelima, terhimpitnya peradaban Islam dalam perkembangan keempat realitas sebelumnya. Dalam memasuki babak baru globalisasi, Muhammadiyah merespon positif realitas besar ini dengan apa yang disebutkannya “…melahirkan pola hubungan 38 Keputusan Mukatamar Muhammadiyah ke-45 Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005). tentang Program positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi…”. Tetapi di saat bersamaan Muhammadiyah juga menganggap globalisasi juga melahirkan hal-hal negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia seperti timbulnya perilaku penghambaan terhadap materi, ego, dan kekuasaan. Globalisasi menurut Muhammadiyah telah mendorong berkembangnya pengaruh neoliberalisme yang semakin mengokohkan dominasi kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan borjuasi sekaligus meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afa) dan tertindas/terlemahkan (mustad’afin) sehingga melahirkan ketidakadilan global yang baru. Walaupun tidak menyebutkan secara terperinci bagaimana hal tersebut terjadi, tetapi nampaknya pemikiran ini banyak dipengaruhi oleh pandangan tentang dominasi peranan pasar terhadap negara dalam globalisasi. Seperti yang telah disebutkan oleh Haedar Nashir, dalam globalisasi pasar telah tumbuh menjadi kekutan raksasa yang merambah ke setiap penjuru dunia dan sudut-sudut lingkungan kebudayaan masyarakat di seluruh muka bumi. Di era sistem global itu juga terjadi perubahan dan pola hubungan baru mengenai keberadaan dan peran negara. Negara yang semula menurut Max Weber dikatakan memiliki otoritas dan kemampuan untuk menerapkan paksaan secara fisik kepada warga negaranya kini tidak lagi sendirian menentukan kehendaknya. Praktek ekonomi pasar yang mengambil alih peran negara menyebabkan berubahnya pandangan terhadap tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hak dasar warga negara. Sejalan dengan hukum ekonomi pasar bebas, maka mudah dipastikan bahwa warga negara tidak diperkenankan mendapatkan perlindungan dari negara dalam bentuk subsidi atau perlindungan sosial yang lainnya. Praktek proteksi dan subsidi jelas merupakan barang haram dalam ekonomi pasar neoliberal saat ini. Dampak buruk dari paraktek globalisasi ekonomi telah dituliskan Muhammadiyah sebagai sembilan ancaman yang menghantui dunia saat ini dan di masa yang akan datang.39 Pertama, pengaburan batas-batas cultural dan geografis/ekologis sehingga kemampuan menyesuaikan diri dan daya tahan menurun, terutama bagi masyarakat atau bangsa yang lemah. Kedua, terbaginya ekonomi dunia menjadi dua bagian, yaitu negara-negara yang kaya otot serta negara-negara yang kaya otak. Ketiga, gaya pikir dipengaruhi oleh produsen informasi. Keempat, transfer capital dalam bentuk uang yang mengalir luar biasa ke negarra-negara utara ketimbang ke selatan. Sedang arus barang dan tenaga kerja juga tidak seimbang. Kelima, propaganda HAM yang bersandar pada individualisme, pengabaian hak-hak kelompok dan kekalahan hak-hak manusia oleh modal. Keenam, terancamnya demokrasi dengan globalisme. Ketujuh, konsumsi dirangsang oleh iklan, kebutuhan didikte oleh negara ekonomi kuat sesuai dengan gagasan mereka dan internasionalisasi pertanian menentukan siapa yang menang dan kalah dalam persaingan yang disanjung-sanjung melebihi kerjasama. Kedelapan, globalisasi system pangan menambah kesenjangan negara kaya dan miskin, serta merangsang konsumerisme yang hampir tak terbatas. Kesembilan, kontak budaya terjadi dalam skala besar, cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak dapat dielakkan terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya. 39 Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45 Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005). tentang Program Sayangnya, Muhammadiyah tidak mempunyai pandangan yang jelas tentang bagaimana seharusnya peran negara dalam menghadapi kontak dengan proses globalisasi. Muhammadiyah hanya menyebut perlunya sebuah bangsa memiliki daya adaptasi, filter, dan integritas kepribadian yang kokoh dalam menghadapi hegemoni dan liberalisasi politik global yang penuh dengan kepentingan. Muhammadiyah menyadari, di samping negara, peranannya dalam konteks global tetap sangatlah penting. Oleh Karena itu dalam hal menghadapi pengaruh kuat globalisasi dan ekspansi neoliberal yang sangat mencengkram masyarakat dunia saat ini, Muhamadiyah mentasbihkan dirinya hadir dengan sikap aktif memainkan peran kerisalahan agar umat manusia seduinia tidak terseret pada kehancuran oleh keganasan globalisasi neoliberal. Pada saat yang sama dapat diarahkan menuju pada keselamatan hidup yang lebih hakiki serta memiliki peradaban yang lebih maju dan berperadaban mulia. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Hak atas Pendidikan, termasuk berbagai aspek kebebasan akademik, merupakan bagian esensial dalam hukum hak asasi manusia sekarang ini. Sebuah negara, yang dengan cermat memperhatikan persoalan pendidikan terhadap warga negaranya berarti sedang berinvestasi bagi masa depan dan kemajuan sebuah bangsa. Hak atas pendidikan sebagaimana tercantum dalam pasal 13 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatakan: “Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.”40 Dalam berbagai hukum internasional lainnya, sejumlah perjanjian maupun deklarasi juga diatur mengenai hak atas pendidikan ini. Hal tersebut diantaranya dapat ditemukan dalam Pasal 26 (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan merupakan target Millennium Development Goals (MDG’s). Begitu juga dalam konstitusi UUD 1945, terdapat dua pasal yang dengan tegas menyatakan hak atas pendidikan sebagai hak konstitusional. Pasal 28E-Amendemen ke-2 dan Pasal 31-Amendemen ke-4. Dalam Pasal 31 ayat (2) ditegaskan: ''Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.'' Selanjutnya dalam ayat (4) dinyatakan: ''Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan 40 Buku Saku Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, diterbitkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Ratifikasi Kovenan Ekosob, 2003. penyelenggaraan pendidikan nasional.''41 Kedua pasal ini, pada hakikatnya, yang dikenal dengan obligasi positif negara dalam hukum HAM, menegaskan bahwa negara mempunyai kewajiban memfasilitasi dan menyediakan, antara lain anggaran pendidikan untuk terlaksananya pendidikan dasar bagi setiap warga negara. Muhammadiyah, sebagai organisasi dakwah sebagaimana sudah dikemukakan pada bab sebelumnya mendasarkan usaha dakwahnya pada sekian banyak kegiatan sosial kemasyarakatan. Salah satu aspek penting dari kegaitan tersebut adalah amal usaha dalam bidang pendidikan. Amal usaha pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah adalah dalam kepentingan melaksanakan dakwah dan gerakan tajdid (pembaharuan).42 Usaha ini dilakukan dalam konteks gerakan Muhammadiyah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenarbenarnya. Perhatian yang besar dari Muhammadiyah terhadap bidang pendidikan bukan hal yang baru. Hal tersebut telah berlangsung sejak KH. Ahmad Dahlan awal kali memulai gerakannya. Komitmen keilmuan yang tinggi dari KH. Ahmad Dahlan tercermin dari langkah kontroversial dan tidak lazim dalam membangun gerakan dakwah Islam saat itu. Yaitu mengadopsi sistem pendidikan barat (kolonial) sebagai metode pendidikan Islam. Ijtihad ini diambil oleh KH. Ahmad Dahlan untuk 41 A Patra M. Zein, “Pendidikan Bukan Hak Hukum?,” artikel diakses tanggal 10 Maret 2005 dari http://www.mediaindo.co.id 42 Keputusan Mukatamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 di Jakarta tentang Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1421 H / 2000 M). mengembangkan metode baru pendidikan Islam yang berbasiskan rasionalitas dan dan modern di bumi nusantara. Dalam pernyataannya beliau mengatakan bahwa: "Muhammadiyah ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah guru kembali pada Muhammadiyah. Jadilah dokter, kembali kepada Muhammadiyah. Jadilah Meester, insinyur dan lain-lain, dan kembalilah kepada Muhammadiyah." ( K.H. Ahmad Dahlan dalam junus salam, 1968 : 51 - 52 ) Selanjutnya hal tersebut tercantum dalam salah satu dari tiga aspek pokok amal usaha muhammadiyah yang menyangkut kepentingan masyarakat khususnya umat Islam yang menjadi mayoritas bangsa Indonesia. yaitu: aspek keagamaan, kemasyarakatan, dan pendidikan.43 Maka tidak mengherankan kalau sampai saat ini muhammadiyah sudah memiliki 10.000-an sekolah setingkat TK sampai SLTA dan seratusan perguruan tinggi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan tidak hanya dinikmati oleh warga muhammadiyah saja.44 Bahkan, dalam laporan pada muktamar ke-45 di Malang disebutkan bahwa hingga tahun 2000 Muhammadiyah memiliki 3.979 Taman Kanak-Kanak, 33 Taman Pendidikan Diniyah/Ibtidaiyyah, 2.143 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP dan MTs), 979 SLTA (SMA, MA, SMK), 101 43 Nur Achmad dan Pramono U. Tanthowi, ed., Muhammadiyah “Digugat” (Jakarta: KOMPAS, 2000), cet I, h. 33. 44 Pada dasarnya, kegiatan di bidang pendidikan sudah dimulai sejak awal berdirinya, berkaitan dengan amal usaha lainnya. Tahun 1929 jumlah rumah sekolah yang didirikan oleh Muhamamdiyah di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan Jakarta sudah mencapai 126 buah. Selain itu, sejumlah balai pengobatan (poliklinik) di kota-kota Yagya, Surabaya, dan Malang telah mengobati sebanyak 81.000 orang pasien. Lihat H.M Farid Nasution dalam: Organisasi Sosial Keagamaan dan Keberadaan Pendidikan Islam di Indonesia (Kasus Muhammadiyah), http://www.depdiknas.go.id, diakses pada tanggal 06 Mei 2005. sekolah Kejuruan, 13 Muallimin/Muallimat, 3 sekolah menegah farmasi, serta 64 pondok pesantren. Dalam bidan pendidikan tinggi, sampai tahun 2005, Muhammadiyah memiliki 36 Universitas, 72 sekolah tinggi, 54 akademi, serta 4 buah politeknik.45 Pada saat pelaksanaan mukatamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, persoalan pendidikan tetap menjadi agenda pokok bagi gerakan dakwah Muhammadiyah. Lewat dokumen pembacaan terhadap kondisi dan masalah nasional,46 Muhammadiyah menyatakan: “Masalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia sebagaimana ditunjukan oleh Human Development Index (HDI) Indonesia yang berada di posisi nomor 105 dalam standar UNDP (PBB) pada tahun 1999, yang memerlukan percepatan pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan untuk meningkatkan kualitas keunggulan bangsa setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.” Pernyataan di atas yang juga merupakan suatu statemen atas pembacaan terhadap kondisi sosial-kemasyarakatan di Indonesia, menunjukan bentuk dari keprihatinan Muhammadiyah terhadap persoalan pendidikan sampai hari ini. Keprihatinan terhadap lambatnya pembangunan sumberdaya manusia Indonesia ini juga mencakup sebuah komunitas yang lebih khusus, yaitu umat Islam. Hal tersebut dinyatakan oleh Muhammadiyah dalam sidang 45 Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 tentang Program Muhammadiyah periode 2005 – 2010, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1426 / 2005). 46 Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 di Jakarta tentang Program Muhammadiyah periode 2000 – 2005, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1421 H / 2000 M). muktamar yang menilai bahwa kondisi dan masalah umat Islam di Indonesia yang masih belum setara antara kualitas dan kuantitas seperti mutu sumberdaya manusia yang masih rendah.47 Oleh karena itu, manifestasi usaha yang akan dilakukan muhammadiyah adalah memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan, teknologi dan penelitian menurut tuntunan Islam. Urusan pendidikan bukanlah merupakan tanggung jawab Muhammadiyah pribadi. Tetapi juga menuntut keterlibatan dari institusi politik negara untuk berperan aktif di dalamnya. Perihal keterlibatan dan peran negara, ada dua hal pokok yang menjadi perhatian. Pertama, Muhammadiyah menyatakan perlunya perbaikan dan penyempurnaan sistem pendidikan nasional oleh negara, khususnya pembenahan kurikulum dan tenaga kependidikan. Aspek ini oleh Muhammadiyah dinilai penting untuk dilakukan, untuk lebih menyempurnakan penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia. Dalam pandangan Muhammadiyah, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional haruslah meliputi tiga komponen pokok, yaitu sebagai proses alih pengetahuan (transfer of Knowledge), alih kemampuan/keterampilan (transfer of competency) dan alih nilai (transfer of values). Termasuk pendidikan akhlak. Adanya sistem pendidikan nasional yang diatur dalam perangkat perundang-undangan –dalam konteks perdebatan tentang RUU SISDIKNAS-, Muhammadiyah menyatakan bahwa hal 47 Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 di Jakarta tentang Program Muhammadiyah periode 2000 – 2005, (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1421 H / 2000 M). tersebut merupakan suatu landasan penting untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan guna mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus bisa memberikan payung terhadap beberapa persoalan, yang negara masih memiliki tanggung jawab untuk melindunginya.48 Hal kedua, dan menjadi salah satu point penting dari pokokpokok pikiran hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah terakhir, adalah tanggung jawab negara untuk meningkatkan anggaran pendidikan sebesar 25% yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap serta memperbaiki manajemen pendidikan.49 Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Jika pada suatu waktu kita mendengar berita tentang meninggalnya orang miskin dikarenakan penyakit yang dideritanya, kita patut bertanya sebab apa dia meninggal. Apakah karena dia menghinggap penyakit kronis sehingga sulit diobati, atau karena faktor lain, seperti ketidakmampuan membayar biaya pengobatan?. Kesehatan merupakan masalah sosial, ekonomi dan politik dan merupakan hak asazi manusia yang paling penting. Kesenjangan, kemiskinan, eksploitasi, kekerasan dan ketidakadilan merupakan sumber penyakit dan kematian di antara orang-orang yang miskin dan termarginalisasi. Bila kita ingin mengusahakan kesehatan bagi semua orang (health for all), kepentingan-kepentingan orang-orang yang berkuasa harus dikaji ulang, globalisasi harus dilawan, dan prioritas politik dan ekonomi harus diubah secara besar-besaran. 48 Ahmad Jainuri, “Muhammadiyah dan RUU Sisdiknas,” diakses tanggal 10 Juni 2003 http://www.surya.co.id/rubrik.php?id=12 49 Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000. artikel dari Masalah pelayanan serta akses masyarakat terhadap kesehatan merupakan the dominant factor dari problem kesehatan di Indonesia. Akibat tingkat pelayanan kesehatan yang buruk serta rendahnya akses publik, hingga saat ini Indonesia masih dihantui bayangbayang tingkat kematian ibu dan anak yang masih tinggi. Pada tahun 2002 Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 35 Jiwa per 1000 kelahiran. Sedangkan Angka Kematian Ibu (AKI) tercatat sebanyak 307 jiwa per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2003.50 Untuk menjawab persoalan di atas, setidaknya kita bisa melihat dua pendekatan/perspektif yang relevan.11 Pertama, perspektif yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya (resource allocation). Penganut pandangan ini berpendapat bahwa alokasi sumber daya yang tidak adil tidak hanya menimbulkan kemiskinan, tetapi juga menjadi penyebab buruknya kesehatan masyarakat. Artinya ketidakadilan alokasi sumber daya, menjadi penyebab dari buruknya kondisi pemukiman, sanitasi yang tidak layak, serta rendahnya tingkat nutrisi yang dialami oleh masyarakat. Kedua, perspektif yang melihat ketidakmampuan masyarakat (miskin) terhadap pelayanan kesehatan lebih merupakan masalah struktural yang diciptakan (baik oleh negara atau pemilik kapital) dalam bentuk pengelolaan pelayanan kesehatan yang diskriminatif (hanya menguntungkan kelompok tertentu) dan merugikan kelompok miskin. 50 Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Sleman, Resist Book, 2004), cet. I, h. 38. 11 Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jakarta, Elsam, 2003), cet. II, h. 82. Berkaitan dengan dua permasalahan dari pendekatan di atas, hukum Hak Asasi Manusia Internasional menetapkan dua aturan yang berhubungan dengan hal tersebut: pertama, perlindungan terhadap kesehatan masyarakat yang secara sah membatasi hak asasi manusia; dan kedua, hak kesehatan individu serta kewajiban pemerintah untuk memberikannya. Dalam peraturan hukum internasional, yaitu Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, hak atas kesehatan disebutkan dalam pasal 12 yaitu: “Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental”.12 Artinya, persoalan kesehatan telah menjadi keprihatinan komunitas internasional sejak lama. Bahkan, di beberapa aturan-aturan regional, seperti Konvensi Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) dan Piagam Sosial Eropa (ESC), juga di peraturan yang termuat dalam Internasional Labour Organization (ILO) dan World Health Organization (WHO), secara jelas mengakui pemberlakuan hak asasi manusia dalam bidang kesehatan. Melihat sejumlah standar hukum internasional yang sudah diuraikan, dan meninjaunya di Indonesia, terlihat betapa pemenuhan hak atas kesehatan di negeri ini masih jauh dari ideal. Sebagai contoh, pada sektor anggaran kesehatan tahun 2005, pemerintah saat ini memberikan anggaran untuk pelayanan kesehatan dasar hanya sekitar Rp. 6,791 Trilyun. Hal tersebut 12 Buku Saku Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, diterbitkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Ratifikasi Kovenan Ekosob, 2003. sangat jauh bila membandingkan standar yang dibuat oleh Bank Dunia untuk meningkatkan pemenuhan hak atas kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, diperlukan biaya Rp 13,6 triliun per tahun, termasuk di situ layanan rumah sakit dan rawat inap dalam bentuk “Hibah kesehatan untuk kaum miskin”. Muhammadiyah, lewat kegiatan dakwah yang dilakukannya, mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap persoalan kesehatan. Salah satu amal usaha yang diteguhkan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah adalah untuk menggerakan dan menghidupsuburkan amal tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa dalam bidang kesehatan, sosial, pengembangan masyarakat, dan keluarga sejahtera.13 oleh karena itu sejak awal kali gerakannya dibangun, Muhammadiyah juga gencar mendirikan berbagai sarana pelayanan kesehatan sebagai “Penolong Kesengsaraan Oemoem” seperti rumah sakit dan puskesmas untuk membantu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Dalam bidang kesehatan, hingga tahun 2000 Muhammadiyah memiliki 30 Rumah Sakit Umum, 13 rumah Sakit Bersalin, 80 Rumah Bersalin, 35 Balai Kesehatan Ibu dan Anak, 63 Balai Pengobatan, 20 Poliklinik, Balkesmas, dan layanan kesehatan lain. Dalam program kerja yang disepakati lewat Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta, Muhammadiyah juga meneguhkan usahanya dalam bidang kesehatan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Enam point yang tertera dalam keputusan tersebut 13 Anggaran Dasar Muhammadiyah, keputusan Muktamar ke-44, Jakarta , 2000. menunjukan tingkat kepedulian dalam bentuk partisipasi secara menyeluruh terhadap penyelenggaraan pelayan kesehatan di Indonesia. Amal usaha Muhammadiyah bidang kesehatan mempunyai misi untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat mencapai derajat kesehatan yang lebih baik, sebagai bagian dari upaya menuju terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan sakinah sebagaimana dicita-citakan Muhammadiyah. Kewajiban negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat, tidak dapat disangsikan lagi bagi Muhammadiyah. Meskipun Muhammadiyah sendiri melakukan fungsi sosial yang mempunyai tujuan yang kurang lebih sama. Tetapi pengakuan deklaratif dari pidato Syafii Maarif pada pembukaan sidang Tanwir di Mataram, secara jelas mengatakan bahwa tugas mencerdaskan dan mencerahkan negara adalah kewajiban pemerintah yang tidak bisa ditoleril. Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pangan Pangan adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia, karenanya hak atas pangan menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia. Ketersediaan pangan yang cukup bagi rakyat dalam suatu negara, menunjukan tingkat kesejahteraan yang relatif baik dalam negera tersebut. Hak atas pangan dapat ditafsirkan sebagai rights not to be hungry, yaitu hak bagi setiap orang atau kelompok orang dalan suatu masyarakat, wilayah atau dalam satu negara untuk mendapatkan kecukupan makanan yang dibutuhkan bagi keperluan menjalankan aktivitas hidupnya seperti bekerja dalam batas-batas yang masih memenuhi ukuran kesehatan.14 Hak atas pangan telah sejak lama dideklarasikan sebagai hak asasi manusia melalui berbagai perjanjian internasional. Sebut saja di antaranya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), pembukaan konstitusi FAO, dan Kovenan Internasional Hak-hak ekonomi Sosial dan Budaya (ekosob). Meskipun demikian, hak atas pangan terus menerus disangkal keberadaannya. Lebih parah lagi, pangan saat ini lebih dianggap sebagai komoditi perdagangan semata ketimbang sebagai sebuah unsur penopang hidup manusia. Parahnya, saat ini komoditas memang telah menjadi barang komoditas yang dikuasai dan dikontrol oleh perusahaan-perusahaan besar internasional. Setidaknya, dalam catatan yang dihimpun oleh Khudori,15 sepuluh perusahaan mengontrol 32% dari bibit yang diperdagangkan senilai US$ 32 miliar, dan 100% dari pasar bibit transgenik. Hanya lima perusahaan yang mengontrol perdagangan biji-bijian. Tahun 1998, bisnis pestisida yang bernilai sekitar US$ 31 juta 73%-nya dikontrol oleh sepuluh perusahaan pertanian transnasional. Sudah barang tentu, kenyataan ini menyulitkan negara-negara yang tidak food self-sufficient untuk menjamin tidak terjadi kelaparan warganya. Di negara agraris seperti Indonesia, di mana sebagaian besar penduduknya menggantungkan hidup pada usaha pertanian, kerawanan pangan masih menjadi 14 Revrisond Baswir, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan; Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jakarta, ELSAM, 2003), cet. II, h. 52. 15 Khudori, Lapar: Negeri salah Urus, (Yogyakarta: Resist Book, 2005) cet. I, h. 23 berita buruk yang terus menghantui masyarakat. Berbagai kebijakan yang ada berkaitan dengan usaha negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil) hak atas pangan bagi rakyat masih jadi kendala besar. Bahkan dalam banyak hal negara dapat dinyatakan gagal dalam menjalankan fungsinya untuk menjamin ketersediaan pangan seperti yang tertera di atas. Padahal, kewajiban ini secara legal diakui dan didukung oleh mayoritas negara-negara di dunia, sebagaimana tercermin dalam pasal 25 dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia 1948 dan diperkuat oleh Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (HESB) 1966. Pasal 11 ayat 2 HESB terdapat komitmen negara-negara peserta untuk, antara lain, melakukan pembaruan sistem agraria sedemikian rupa sehingga menjamin terwujudnya hak-hak untuk memperoleh pangan yang layak (the right to edequate food).16 Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan yang kuat di Indonesia memberi perhatian besar terhadap persoalan tersebut. Setidaknya hal tersebut tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang menekankan pembinaan dan pemberdayaan terhadap petani.17 Perhatian Muhammadiyah terhadap petani dan kelompok lemah lainnya merupakan tuntutan akan pemerataan dalam bidang ekonomi sebagai upaya untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan. Muhammadiyah menyatakan bahwa pembangunan yang lebih berorientasi untuk mengangkat martabat golongan lemah harus lebih diprioritaskan, agar proses dan 16 17 Khudori, Lapar: Negeri Salah Urus, h. 29 Anggaran Dasar Muhammadiyah, 2000. hasil pembangunan benar-benar memihak pada semua warga negara, sehingga keadilan ekonomi seperti dimaksud pasal 33 UUD 1945 dapat menjadi kenyataan.18 Poin penting dari sikap Muhammadiyah tentang hak atas pangan dengan tegas tercermin dalam pokok-pokok pikiran tentang kehidupan berbangsa dan bernegara tentang pertanian. yang lahir dari keputusan sidang Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta. Dalam pandangan tersebut Muhammadiyah berpendapat bahwa: “…Pembangunan pertanian hendaknya didasarkan pada pemberdayaan petani. Khususnya berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan stok pangan nasional, maka pemerintah harus secara sungguh-sungguh meningkatkan kemampuan produksi dan penghasilan petani, serta memberi perlindungan dari perlakuan yang tidak adil dalam memperoleh haknya....”.19 Jika kita lihat di atas, isu ketahanan pangan menjadi perhatian penting Muhammadiyah bagi terwujudnya hak atas pangan di Indonesia. Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain. Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu proses sebab-akibat dari kemiskinan. Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan 18 Program Muhammadiyah 1995-2000, Keputusan Hasil Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh, 1995. 19 Pokok-pokok Pikiran dan Rekomendasi Muhammadiyah Tentang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, 2000. pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.20 Dalam hal inilah petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan: petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Sikap Muhammadiyah yang menjadi rekomendasi keputusan Muktamar tentang hak-hak petani di atas sesungguhnya mencerminkan keprihatinan dari arus globalisasi. Dalam pandangan umum yang tertera di risalah keputusan tersebut, Muhammadiyah melihat bahwa globalisasi dalam kehidupan ekonomi akan makin memperkokoh dan memperluas ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional, multikorporasi, dan transnasionalisme menuju terbentuknya global market (pasar dunia) yang semakin terbuka dan berada dalam jalur dunia pasar bebas yang menuntut daya kompetisi yang tinggi, yang membawa pula muatan kepentingan dan ekspansi kapitalisme global yang dapat menjadi ancaman bagi perusahaanperusahaan nasional dan lokal. Hal yang paling esensial dari pemikiran Muhammadiyah tentang hak atas pangan lahir dari keinginan untuk lebih menempatkan kelompok-kelompok rentan 20 Bayu Krisnamurthi, “Agenda Pemberdayaan Petani Dalam Rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional,” Jurnal ekonomi Kerakyatan, Th. II - No. 7 - Oktober 2003, artikel diakses tanggal 2 April 2005 dari http://www.ekonomirakyat.org/edisi_19/artikel_3.htm yang selama ini terpinggirkan, termasuk petani mendapatkan perlindungan yang maksimal dari negara. Bentuk perlindungan yang dimaksud dapat berupa perlindungan terhadap nasib kesejahteraan petani dan memberikan subsidi bagi usaha-usaha pertanian. Jika kita melihat relisasi keberpihakan pemerintah/negara terhadap petani sebagai wujud dari pemenuhan hak asasi manusia atas pangan sangatlah mengecewakan. salah satu indikator untuk mengukurnya kita dapat menggunakan jumlah alokasi subsidi pertanian dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. Subsidi pertanian, dalam APBN hanya dikenal dalam komponen subsidi pupuk dan pangan. Kalau kita melihat besaran alokasinya, sangat tidak pantas untuk sebuah negara agraris seperti Indonesia. Yang paling menyedihkan, total pengeluaran negara dalam APBN untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang dalam dan luar negeri, jumlahnya jauh melebihi anggaran sosial (pendidikan, kesehatan, dan pangan). Subsisi Pemerintah untuk Pertanian dalam APBN 2001 - 2004 (dalam trilyun) 21 Kategori Subsidi Pangan Pupuk 2001 Rp 2,435 Na 2002 Rp 5,3 1,2 2003 Rp 4,8 1,3 2004 Rp 5,4 0,95 Sumber: Nota Keuangan APBN, diolah Permasalah menjadi semakin rumit, ketika persoalan pertanian masuk dalam kerangka negosisi dalam World Trade Organization (WTO). Ini sama artinya sektor pertanian sedang mengalami ancaman serius akibat masuknya angin liberalisasi. 21 Nota Keuangan APBN 2001 – 2004, diolah. Sudah barang tentu sebagai prasyarat liberalisasi, produk-produk pertanian akan dihadapkan pada persaingan dalam medan pasar bebas dengan para perusahaanperusahaan agribisnis internasional bermodal besar. Akhirnya, para petani kecil penghuni mayoritas Republik Indonesia ini akan menyaksikan ladang-ladang kering karena tidak mampu lagi berproduksi. BAB V PENUTUP Kesimpulan Diskursus tentang negara dalam berbagai penelitian ilmiah menunjukan tingkat eksplorasi yang sangat mendalam. Hal tersebut juga berlaku dalam disiplin pemikiran politik Islam. Debat akademis tentang negara khususnya yang berkaitan dengan persoalan Islam dan Negara, menyedot seluruh perhatian para intelektual muslim di dalamnya. Tentu saja membutuhkan energi ekstra untuk memindahkan perdebatan tersebut menjadi usaha untuk menjawab persoalan kontemporer yang berkaitan dengan masalah negara. Bagi penulis, berdasarkan pemikiran yang dangkal dan subyektif, salah satu persoalan kontemporer tersebut adalah debat negara dan globalisasi seperti yang sudah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Buah dari penelitian yang sederhana ini penulis mencoba mengurai beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil untuk menstimulus diskursus akademis selanjutnya dalam ranah pemikiran politik Islam. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa negara adalah sebuah lembaga yang netral, tidak berpihak kepada satu kelompok atau kelas tertentu, cenderung bias kepentingan. Pemikiran tersebut melahirkan prilaku birokrasi dan elit yang menguasai negara dapat berbuat semaunya untuk melayani kepentingan individu dan kelompok. Kenyataannya, para elit dan birokasi penguasa negara berasal dari kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat. Umumnya mereka adalah para kelas borjuis atau kelas menegah. Dapat dimengerti bahwa kebijakan yang lahir dari negara akan lebih mengutamakan kelangsungan dari kekuasaan politik dan ekonomi kelas borjuis tersebut. Karena wataknya yang sangat individualistis, kelompok ini juga sangat adaptif bagi berbagai kepentingan politik dan ekonomi para borjuis internasional yang datang lewat propaganda globalisasi. Kedua, globalisasi sebagai sebuah proyek ekonomi dan politik, berkembang atas keinginan untuk melanggengkan kekuasaan pasar domestik di negara-negara maju. Dalam perspektif ini, globalisasi akan melayani hasrat ekspansif dari modal domestik itu untuk dapat disalurkan ke berbagai negara di belahan bumi ini. Lewat cara-cara demikian, kekuatan modal dapat bertahan dalam situasi seperti ini. Proses globalisasi dalam cara pandang seperti ini kemudian melahirkan jargon pasar bebas sebagai sebuah konsekwensinya. Sayangnya, seperti yang telah diungkapkan oleh para ekonom liberal “uang tidak punya tanah air”, adalah menggambarkan betapa modal dapat bergerak ke mana dan kapan saja tanpa ada satupun regulasi yang dapat menghalanginya, termasuk kedaulatan negara bangsa. Di sinilah kita meyakini bahwa globalisasi juga punya jenis kelamin ideologi, yaitu kapitalisme liberal. Kemampuan kita mengenal ideologi globalisasi, membuat kemudahan untuk melihat pembatasan wewenang negara dalam era globalisasi dan pasar bebas sebagai sesuatu yang pasti akan dilakukan. Sebab dalam pandangan ini, kekuasaan negara yang besar merupakan hambatan yang serius bagi perkembangan pasar bebas. Oleh sebab itu diperlukan sebuah upaya, yang dalam prakteknya salah satunya dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia) untuk membuat negara menjadi tidak perkasa. Proyek tersebut biasa dikenal dengan sebutan “Konsensus Washington”, yaitu liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Ketiga, hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) merupakan hak dasar setiap manusia. Implementasi pemenuhan hak ekosob merupakan tanggung jawab negara. Setidaknya hal tersebut yang tercermin dari sejumlah peraturan, deklarasi maupun kovenan internasional yang mengatur hak tersebut. Penghargaan negara terhadap pemenuhan hak ini merupakan penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Dan pengingkaran negara merupakan tindakan tercela dan membunuh kemanusiaan. dalam prakteknya, pemenuhan hak ekosob dalam era globalisasi mengalami kendala. Yang sangat serius adalah penentangan dari kelompok neoliberal yang dengan anjurannya, membuat kelompok miskin dalam masyarakat tidak dapat terpenuhi hakhak dasarnya. Praktek tersebut dapat kita temukan dalam kebijakan Indonesia saat ini. Dengan alasan pemulihan krisis ekonomi dan prasyarat bagi pinjaman luar negeri pemerintah diharuskan memotong anggaran sosial dalam APBN. Tidak hanya itu, kebijakan neoliberal yang dijalankan di Indonesia saat ini menyebabkan ekses masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupan yang dimilikinya, seperti tanah dan pertanian, air, hutan, tambang semakin jauh. Padahal sejauh yang kita pahami pemenuhan hak dasar rakyat secara jelas diatur dalam konstitusi negara ini, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak atas pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan dan pengusaan terhadap sumbersumber kehidupan diatur oleh negara untuk tujuan mensejahterakan masyarakat. Keempat, Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan mempunyai peran yang penting dalam mendorong terpenuhinya hak-hak ekosob oleh negara. Pemikiran tentang hak ekosob tersebut tertuang dalam dokumen muktamar Muhammadiyah. Walaupun penyebutannya tidak secara eksplisit, tetapi dapat dipahami bahwa persoalan pendidikan, kesehatan, pangan dan pertanian serta masalah ketenagakerjaan bagi Muhammadiyah merupakan tanggung jawab negara. Tugas gerakan Muhammdiyah yang juga meliputi peran sosial kemasyarakatan, tidak menghilangkan tugas dan fungsi negara untuk menyelenggarakan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara tugas negara dan civil society seperti Muhammadiyah. Bahkan kecenderungan yang terjadi, fungsi-fungsi pelayanan sosial-kemasyarakatan yang dijalankan oleh Muhammadiyah semakin meningkat. Secara politik, kondisi demikian terjadi pada saat negara dianggap tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagaimana dimandatkan dalam konstitusi UUD 1945. Saran-saran Kendati gagasan tentang dipertanggungjawabkan globalisasi secara ilmiah, dan liberalisme tetapi akibat dapat yang ditimbulkan sangatlah besar artinya bagi kemanusiaan. Khususnya bagi perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang merupakan hak asasi manusia. Oleh sebab itu sebagai sebuah karya tulis yang sederhana dan sangat terbatas, penulis ingin memberikan saran berkenaan dengan penulisan karya ilmiah selanjutnya bagi usaha memajukan dan mempromosikan hak ekosob oleh negara. Pertama, berangkat dari keterbatasan pengkajian yang dilakukan dalam karya ilmiah ini, penulis beranggapan perlunya ke depan dikembangkan gagasan alternatif dari pemikiran tentang peran dan fungsi negara. Dominasi wacana dan persepsi tentang negara, menyebabkan terjadinya distorsi dan simplipikasi (penyederhanaan) bagi pengertian yang sesungguhnya beragam. Gagasan alternatif penting sebagai sebuah cara melakukan counter hegemony, untuk tidak mengesankan hanya memiliki semangat “anti” dan “tolak”. Dalam konteks Indonesia, gagasan tentang negara sosial demokrasi sesungguhnya mempunyai akar sejarah dan konteksnya pada masa lalu. Kedua, diperlukan kesungguhan dari para elit dan penguasa di negeri ini untuk menjalankan amanat kontitusi dalam UUD 1945. Yaitu dengan menjadikan persoalan pemenuhan hak ekosob sebagai agenda prioritas pembangunan Indonesia. ketersediaan sumber daya alam yang cukup di Indonesia memungkinkan negeri kaya raya ini untuk dapat memberikan pelayanan minimal bagi kebutuhan sosial masyarakat. Seperti pendidikan dasar dan menengah secara gratis, pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat tidak mampu dan melakukan reformasi kebijakan agraria di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas petani dan memenuhi kebutuhan pangan domestik yang berkelanjutan. Ketiga, sebagai bagian dari Civil Society, ormas Islam terbilang gagap dalam menjelaskan dampak dari perkembangan globalisasi. Terutama hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar masyarakat oleh negara. Karena itu diperlukan kajian yang mendalam tentang bagaimana peran yang harus dimainkan oleh ormas Islam khususnya Muhammadiyah, untuk menjadi kekuatan pendorong terhadap konstitusionalnya. memberikan negara Peranan kontribusi agar aktif positif menjalankan tersebut bagi juga pengembangan kewajiban termasuk gagasan alternatif dari sistem ekonomi liberal yang eksploitatif seperti saat ini. Keempat, diperlukan kerjasama yang erat antara negara dan civil society dalam menjalankan fungsi-fungsi pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia. dalam perkembangannya, Muhammadiyah dan banyak ormas lainnya di Indonesia menempuh jalur sunyi dalam menjalankan tugas-tugas ini. Ke depan, seiring dengan semakin kuatnya pengaruh globalisasi neoliberal yang mengancam terhalangnya pemenuhan hak ekosob ini, kesatuan pikiran dan tindakan antara negara dan civil society sangat diperlukan dalam menghadapi kekuatan modal global yang eksploitatif dan menajajah. Wallahu’alam. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Muslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. III -----------, Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural, Jakarta: Ideo Press dan Maarif Institute, 2003, cet. II Achmad, Nur et.al., Muhammadiyah Digugat, Jakarta: KOMPAS, 2000, cet. I Ali, Fachry, Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah, Jakarta: PT RajaGrafindo Utama, 2004, cet. I Baswir, Revrisond, Pembangunan Tanpa Perasaan, Jakarta: ELSAM, 2003, cet. II -----------, Terjajah di Negeri Sendiri, Jakarta, ELSAM, 2003, cet. I Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, cet. XXI Budiman, Arif, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, cet. I Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002, cet. I -----------, Bebas Dari Neoliberalisme, Yogyakarta: INSIST, 2003, cet. I George, Susan, Republik Pasar Bebas, Jakarta: INFID, 2002, cet. I Giddens, Anthony, Beyond Left & Right; Tarian “Ideologi Alternatif” di atas Pusaran Sosialisme dan Kapitalisme, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, cet. I ----------, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, cet. I ----------, The Third Way; Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, Cet. IV Grant, Ted & Woods, A, Melawan Imperialisme, Yogyakarta: Komunitas PROSES, 2001, cet. I Hatta, Mohammad, Satu Abad Bung Hatta; Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, Jakarta: UI Press, 2002, cet. I Haynes, Jeff, Demokrasi dan Masyarakat sipil di Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor, 2000, cet. I Jha, Avinas, Background to Globalisation, Bombay: CED, 2000, cet. I Kasim, Ifdhal (ed.), Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Esai-Esai Pilihan, Jakarta: ELSAM, 2001, cet. I Khudori, Lapar: Negeri salah Urus, Yogyakarta: Resist Book, 2005, cet. I Kleden, Ignas, Masyarakat dan Negara; Sebuah Persoalan, Magelang: Indonesia Tera, 2004, Cet. I Mallaranggeng, Rizal, Mendobrak Sentralisme Ekonomi; Indonesia 1986 – 1992, Jakarta: KPG, 2002, cet. I Mc Vey, Ruth, Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta: YOI, 1998, cet. I Nasri, Imron (ed.), Amin Rais Menjawab, Jakarta: Mizan, 1999, cet. I Petras, James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002, cet. I Pontoh, Coen Husain, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Garakan Massa, Jakarta: C-Book, 2003, Cet. I Prasetyo, Eko, Orang Miskin Dilarang Sakit, Klaten: Resist Book, 2004, cet. I Radjab, Suryadi, Indonesia: Hilangnya Rasa Aman; HAM dan Transisi Politik Indonesia, Jakarta: PBHI dan TAF, 2002, Cet. I Robertson QC, Geoffrey, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta: KOMNAS HAM, 2002, cet. I Saleh, M. Ridha, ECOCIDE; Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta: WALHI, 2005, cet. I Stiglitz, Joseph E, Washington Consensus; Arah Menuju Jurang Kemiskinan, Jakarta: INFID, 2002, cet. I Stiglitz, Joseph E, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka ekonomi Dunia, Tangerang: Marjin Kiri, 2006, Cet. I Strahm, Rudolf H., Kemiskinan Dunia Ketiga; Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, Jakarta: CIDESINDO, 1999, cet. I Sugiono, Muhadi, Kritik Antonio Gramsci Terhadap pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cet. I Syamsudin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I Wibowo, Ignatius, et.al, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras, 2003, cet. I Winarno, Budi, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru; Peran Negara Dalam Pembangunan, Yogyakarta: Tajidu Press, 2005, cet. I Jurnal: Diponegoro 74, Jurnal Pemikiran Sosial-Politik, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, tahun VIII/2004/No.12/Oktober – Desember 2004. TANWIR, Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban, PSAP Muhammadiyah, edisi ke3, Vol. I, No. 3, September 2003. WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, INSIST, edisi 8, tahun II, 2001. Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol.3 tahun 2005. INOVASI, Jurnal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, No.2 th. X/2000. Website: http://www.kompas-online.co.id http://www.kau.or.id http://www.depdiknas.go.id http://www.depkes.go.id http://www.deptan.go.id http://www.mediaindo.co.id