bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Alam semesta pada awal kelahirannya sesaat setelah big bang didominasi oleh
radiasi. Pada era radiasi, suhu alam semesta sangat tinggi dan partikel-partikel elementer berada dalam keadaan relativistik. Partikel-antipartikel pada era ini berada
dalam kesetimbangan termal yaitu laju annihilasi sama dengan laju kreasi partikel
dan antipartikel. Fase alam semesta pada saat itu adalah berupa plasma [lihat misalnya, Gorbunov dan Rubakov (2011): 20-21].
Suhu alam semesta akan turun sejalan dengan ekspansinya [Gorbunov dan
Rubakov (2011), hal. 374]. Ketika suhunya T ∼ 100 GeV terjadi transisi elektrolemah [Bertone dkk. (2008); Gorbunov dan Rubakov (2011): 65] dan partikel Higgs
memperoleh nilai harap vakum (vacuum expectation value - vev) yang selanjutnya
membangkitkan massa partikel-partikel elementer. Laju interaksi akan menurun seiring dengan ekspansi alam semesta. Ekspansi alam semesta mengalami percepatan
sedangkan laju interaksi menurun, oleh karena itu, suatu saat laju interaksi lebih kecil
dibandingkan laju ekspansi alam semesta. Keadaan ini akan menyebabkan partikelpartikel elementer keluar dari kesetimbangan termal (freeze out) sehingga partikelpartikel tersebut tidak berinteraksi lagi (decoupled) [lihat misalnya Kolb dan Turner
(1990)]. Proses produksi foton berhenti pada interaksi tersebut ketika proses anihilasi
partikel-antipartikel freeze out.
Dari keadaan yang lepas dari kesetimbangan termal, maka akan tersisa dua
kelompok entitas fisis, yaitu partikel dan antipartikel. Entitas-entitas fisis tersebut
akan membentuk materi dan antimateri dasar yang akan membentuk struktur yang
lebih besar dan kompleks misalnya: atom, galaksi, antiatom dan antigalaksi [Kolb
dkk. (1985)]. Berdasarkan hasil observasi dan eksperimen menunjukkan bahwa
alam semesta saat ini didominasi oleh materi [Ade dkk. (2015)]. Galaksi, tata surya,
planet, tersusun dari materi bukan antimateri. Sampai saat ini para fisikawan belum
menemukan antimateri dalam jumlah yang banyak di alam semesta ini (misalnya antiatom) yang seharusnya dapat dideteksi keberadaannya dengan mudah berdasarkan
teori medan kuantum relativistik yang mengharuskan jumlah partikel dan antipartikel sama (kelestarian muatan). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat
1
kontradiksi antara hasil observasi dengan teori medan kuantum.
Teori ekspansi alam semesta menduga bahwa materi di awal alam semesta sangat padat dan panas, dengan suhu T ∼ MPl [Gorbunov dan Rubakov (2011):23].
Selama proses ekspansi, suhu alam semesta menurun. Selain berdampak pada penurunan suhu, ekspansi alam semesta diduga berperan dalam produksi asimetri-partikel1
dari keadaan awal alam semesta yang simetri-partikel. Konsekuensi pengembangan
alam semesta terhadap simetri-partikel2 pertama kali dikaji oleh Sakharov (1967).
Sakharov (1967) mengasumsikan bahwa tidak ada obyek antimateri di alam (dominasi materi terhadap antimateri). Asumsi tersebut didasarkan pada teori yang sudah
mapan yaitu mengenai peluruhan Σ+ dan Σ− yang ditunjukkan Okubo (1958). Sakharov (1967) mengklaim bahwa di alam semesta yang mengembang, asimetri cacah
partikel dapat dibangkitkan secara dinamis jika pada suatu proses interaksi terjadi pelanggaran bilangan barion, pelanggaran C dan CP, serta proses tersebut lepas dari
kesetimbangan termal. Ketiga syarat tersebut kemudian dikenal dengan syarat Sakharov dan mekanisme untuk menghasilkan asimetri cacah barion dikenal dengan
bariogenesis.
Para fisikawan mengusulkan sejumlah skenario pembangkitan asimetri cacah
barion. Salah satunya adalah pembangkitan asimetri cacah barion pada suhu di skala
teori penyatuan agung (Grand Unified Theory - GUT). Meskipun teori GUT dapat
menunjukkan rasio antara barion dan rapat entropi alam semesta sesuai dengan hasil observasi CMB, ∆B ∼ 10−10 [lih. mis. Gorbunov dan Rubakov (2011)], akan
tetapi asimetri cacah barion yang telah dibangkitkan akan diencerkan oleh suatu faktor yang besar (faktor pengencer-dilution) akibat produksi partikel dan antipartikel
dalam jumlah yang sangat besar pada skala energi reheating3 . ’tHooft (1976) mengusulkan efek instanton dapat melanggar bilangan barion di suku anomali dari teori
Weinberg-Salam yang dapat membangkitkan asimetri cacah barion, akan tetapi efek
tersebut akan diredam secara termodinamik (Boltzmann suppressed) dengan faktor
yang besar. Efek instanton ini tidak teredam secara termodinamik dan cukup efisien
pada suhu di atas skala energi Weinberg-Salam, [Kuzmin dkk. (1985)]. Proses ini
melestarikan B-L, akan tetapi menghapus asimetri yang sudah dibangkitkan di awal
alam semesta dengan proses yang menjaga B-L tetap lestari seperti di skala energi
GUT. Dengan demikian asimetri cacah barion di skala GUT akan lenyap dan tidak
1 asimetri-partikel
2 simetri-partikel
maksudnya adalah dominasi partikel terhadap antipartikel
maksudnya adalah tidak ada dominasi partikel terhadap antipartikel atau sebalik-
nya.
3 Reheating
adalah akhir dari proses inflasi alam semesta.
2
ada barion yang tersisa. Bilangan barion akan tersisa jika produksi barion (asimetri
cacah barion) terjadi pada suhu rendah T . O (100 GeV ), misalnya setelah reheating
[Fukugita dan Rubakov (1986)]. Akan tetapi pada suhu tersebut, asimetri cacah barion tidak dapat diproduksi [Kuzmin dkk. (1985)]. Kemudian masalah ini berusaha
dipecahkan dengan membangun mekanisme pembangkitan asimetri cacah partikel di
bawah skala energi GUT.
Fukugita dan Yanagida (1986) memperkenalkan mekanisme baru pembangkitan asimetri cacah barion tanpa GUT. Fukugita dan Yanagida (1986) mengembangkan konsep pengubahan asimetri cacah lepton yang berasal dari suku Majorana
ditransformasi menjadi asimetri cacah barion melalui proses elektrolemah pada suhu
tinggi. Mekanisme asimetri cacah barion yang berasal dari pembangkitan bilangan
lepton dikenal dengan mekanisme leptogenesis. Pembangkitan asimetri cacah barion
via asimetri cacah lepton (leptogenesis) berkembang dengan pesat. Banyak mekanisme leptogenesis yang diusulkan untuk membangkitkan asimetri cacah lepton yang
selanjutnya akan diubah menjadi asimetri cacah barion (lihat misalnya telaah ulang
leptogenesis, Pilaftsis (2009). Pada umumnya, asimetri cacah lepton dibangkitkan
melalui proses peluruhan neutrino Majorana singlet masif yang diproduksi secara termal4 . Asimetri cacah lepton via proses peluruhan neutrino Majorana singlet masif5
tidak dapat terjadi jika suhu reheating lebih kecil daripada massa partikel singlet tersebut [Giudice dkk. (1999)]. Karena itu bila massa neutrino Majorana singlet lebih
besar dari suhu reheating, harus ada mekanisme lain untuk dapat membangkitkan asimetri cacah lepton. Asimetri cacah lepton ternyata masih dapat dibangkitkan pada
kasus terakhir ini melalui proses hamburan [Bento dan Berezhiani (2001)].
Di sisi lain, dari observasi Bullet cluster dan keanehan kurva rotasi galaksi [Clowe dkk. (2006); Olive dkk. (2014)], muncul dugaan adanya materi penyusun
alam semesta yang tidak tampak, yang kemudian dinamai sebagai materi gelap. Hasil
observasi terkini kemudian menunjukkan bahwa rapat energi alam semester tersusun
dari 4% materi tampak, 20% materi gelap, dan sisanya adalah energi gelap [Ade dkk.
(2015)]. Fakta ini menunjukkan bahwa rapat energi barion (sektor tampak6 ) dan
rapat energi materi gelap (sektor gelap) sebanding, yaitu Ωmg ≈ 5Ωb . Fenomena ini
tidak dapat dijelaskan oleh model materi gelap tipe WIMP (weakly interactive mas4 partikel
yang tidak berada dalam kesetimbangan dengan medium sekitarnya, tetapi partikel ini
diproduksi dari proses peluruhan dan hamburan partikel-partikel yang berasal dari medium tersebut.
5 neutrino Majorana singlet masif off-shell sebelum reheating.
6 Frase "Sektor tampak" mengacu pada model standar. Sementara frase "Sektor nyata" mengacu
pada model cermin
3
sive particles), tetapi dapat dijelaskan oleh model materi gelap asimetri [untuk detail
bisa dilihat ulasan oleh Petraki dan Volkas (2013)]. Dalam model materi gelap asimetri, partikel gelap yang ada saat ini adalah sisa materi gelap karena adanya asimetri
cacah partikel gelap. Maka fenomena Ωmg ≈ 5Ωb terkait dengan proses pembangkitan asimetri cacah barion atau asimetri cacah lepton di kedua sektor. Terlebih lagi
di sektor tampak rapat energi barion ditentukan oleh massa barion yang pembentukannnya terkait dengan proses hadronisasi (Quantum Chromodynamic-QCD). Hal ini
mengindikasikan bahwa proses yang sama juga mungkin dapat terjadi di sektor gelap. Di antara model materi gelap asimetri, model cermin Foot dan Volkas (2007)
merupakan model yang dapat menjelaskan secara natural fenomena di atas.
Berdasarkan hasil observasi dan hasil riset yang telah disebutkan sebelumnya,
serta hasil eksperimen yang mengkonfirmasi adanya osilasi7 neutrino [Ahmad dkk.
(2002) Ashie dkk. (2005)] memastikan bahwa neutrino bermassa, sehingga besar
kemungkinan ada partikel neutrino Majorana yang masif. Karena itu asimetri cacah
partikel di materi gelap mungkin terkait dengan leptogenesis yang mirip dengan sektor tampak, sehingga leptogenesis yang menggunakan mekanisme hamburan mungkin dapat menjelaskan perbedaan asimetri cacah partikel antara sektor tampak dan
sektor gelap.
Karena simetri cermin yang eksak, model cermin Foot dan Volkas (2007)
cenderung kepada skenario pada mana kedua sektor setelah masa reheating memiliki suhu yang sama, sehingga leptogenesis akibat peluruhan neutrino Majorana masif
di kedua sektor akan cenderung menghasilkan asimetri yang sama. Sehingga model
cermin dengan simetri cermin yang eksak tidak akan dapat menjelaskan perbedaan
asimetri cacah partikel-antipartikel di kedua sektor. Ada model cermin yang mengandung perusakan simetri cermin sehingga memungkinkan suhu di sektor cermin tidak
sama dengan suhu di sektor nyata secara alami, yaitu model cermin termodifikasi Satriawan (2013), Dalam model cermin termodifikasi (MCT) terdapat foton cermin masif8 yang pembangkitan massanya memerlukan adanya partikel skalar singlet dengan
nilai harap vakum yang cukup besar di atas orde TeV [Satriawan (2013)]. Pembangkitan asimetri cacah lepton di MCT melalui proses hamburan dapat menjadi sumber
perbedaan asimetri cacah partikel di sektor cermin dan sektor nyata. Hal ini akan
menjadi kajian dalam tesis ini.
7 fenomena
osilasi neutrino menunjukkan bahwa neutrino memiliki massa sehingga neutrino merupakan partikel Majorana
8 Foton cermin bermassa berdampak pada waktu decoupled sektor cermin lebih cepat dibandingkan
dengan di sektor nyata.
4
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah yang
menarik untuk dikaji, yaitu:
1. Pembangkitan asimetri cacah barion cermin dan barion nyata via leptogenesis
dengan interaksi hamburan.
2. Rasio antara rapat energi barion cermin dan rapat energi barion nyata.
1.3
Batasan Masalah
Agar penelitian ini fokus pada satu topik, maka perlu diberikan batasan masalah, yaitu:
1. Model yang ditinjau adalah model cermin termodifikasi yang dikembangkan
oleh Satriawan (2013) sebagai salah satu bentuk perluasan model standar.
2. Perbedaan asimetri cacah partikel di sektor cermin dan sektor nyata diasumsikan muncul sebagai konsekuensi mekanisme leptogenesis melalui interaksi
hamburan.
3. Skenario leptogenesis dibangun pada era post-reheating, diasumsikan awalnya
suhu post-reheating di sektor nyata (T R ) sama dengan suhu sektor cermin (T R′ ),
T R ≃ T R′ .
1.4
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, rumusan dan batasan masalah di atas, dirumuskan
beberapa tujuan penelitian.
1. Menghitung asimetri cacah barion di sektor cermin (∆B′ ) dan sektor nyata (∆B ).
2. Menentukan rasio rapat energi barion di sektor cermin (ΩB′ ) dan sektor nyata
(ΩB ) dan membandingkannya dengan hasil observasi terkini.
1.5
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi perkembangan fisika partikel, astrofisika, dan kosmologi. Adapun manfaat penelitian ini di antaranya:
5
1. Menjadi salah satu skenario alternatif pembangkitan asimetri cacah partikelantipartikel di alam semesta.
2. Memperkuat keberadaan sektor gelap yang memiliki kemiripan dengan sektor
nyata dalam hal pembangkitan asimetri cacah partikel.
3. Sebagai referensi dalam pengkajian perilaku partikel-partikel di sektor gelap.
1.6
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan studi pustaka (literatur) yang terdiri atas jurnal
ilmiah, buku, dan sumber-sumber internet dari website yang terpercaya. Tahapan
yang dilalui dalam mengerjakan penilitian ini adalah
1. Mempelajari model standar fisika partikel.
2. Mempelajari model cermin paritas yang termasuk di dalamnya adalah model
simeteri kiri-kanan dan model cermin termodifikasi.
3. Mempelajari skenario bariogenesis (pembangkitan bilangan barion).
4. Mempelajari skenario leptogenesis via peluruhan neutrino singlet.
5. Mempelajari skenario leptogenesis via interaksi hamburan partikel.
6. Mempelajari teori tentang lepton terutama terkait dengan neutrino.
7. Mempelajari konsep transisi elektrolemah dan konsekuensinya terhadap pengkonversian lepton menjadi barion.
1.7
Tinjauan Pustaka
Sakharov (1967) berusaha menjelaskan secara kuantitatif dominasi materi
terhadap antimateri. Berdasarkan teori pengembangan alam semesta yang menduga
keadaan awal alam semesta sangat padat dan panas, Sakharov (1967) meyakini bahwa pemisahan materi dari antimateri tidak terjadi pada tingkat makroskopis (atom)
melainkan muncul pada level partikel dasar pembentuk utama materi (barion). Oleh
karena itu, Sakharov (1967) mengusulkan dominasi materi terhadap antimateri dibangun berdasarkan dominasi barion terhadap antibarion (asimetri cacah barion). Ada
6
tiga syarat yang harus dipenuhi supaya asimetri cacah barion dapat terjadi yaitu: terjadi pelanggaran bilangan barion, pelanggaran CP dan lepas dari kesetimbangan termal. Ketiga syarat ini kemudian dikenal dengan syarat Sakharov dan skenario untuk
menghasilkan asimetri cacah barion dikenal dengan bariogenesis. Walaupun belum
mampu menunjukkan bahwa asimetri C untuk neutrino, (ν̄ − ν)/(ν̄ + ν) ≈ 10−8 − 10−10 ,
akan tetapi, gagasan Sakharov (1967) terkait produksi asimetri cacah barion sangat
menarik bagi para fisikawan. Berbagai hipotesis dan penjelasan-penjelasan terkait
mekanisme bariogenesis bermunculan yang berlandaskan pada syarat Sakharov.
Wheeler dkk. (1973) menduga bahwa kelestarian bilangan barion tidak berlaku di lubang hitam, karena bilangan barion di lubang hitam tidak terdefinisi dengan
benar (no well-define). Akan tetatpi, dugaan tersebut tidak benar untuk lubang hitam
statis, karena lubang hitam tidak dapat berinteraksi dengan dunia luar melalui meson
virtual, seperti, π, dan ρ [Bekenstein (1972)]. ’tHooft (1976) mengusulkan bahwa
efek mirip intstanton dapat melanggar bilangan barion melalui suku anomali dari teori
Weinberg-Salam, meskipun efek tersebut direduksi oleh faktor yang sangat besar.
Nanopoulos dan Weinberg (1979) memperkenalkan mekanisme bariogenesis dengan pendekatan numerik, mereka mengusulkan produksi asimetri cacah barion
berasal dari peluruhan boson skalar masif atau boson vektor masif. Hasil perhitungan
numerik asimetri cacah barion oleh Nanopoulos dan Weinberg (1979) cukup relevan
dengan hasil observasi. Selang beberapa tahun, Kuzmin dkk. (1985) menunjukkan
bahwa efek mirip instanton yang diusulkan oleh ’tHooft (1976) tidak tereduksi dan
cukup efisien di atas skala energi Weinberg-Salam. Tetapi efek mirip instanton menghapus asimetri cacah barion yang sudah dibangkitkan di skala energi Grand unified
theory (GUT). Dengan demikian, asimetri cacah barion yang dihasilkan oleh Nanopoulos dan Weinberg (1979) yang dibangun di skala energi GUT dihapus oleh efek
mirip instanton.
Affleck dan Dine (1985) menyatakan bahwa asimetri cacah barion tidak lenyap jika diproduksi pada skala energi transisi elektrolemah, T ≤ 100 GeV. Didasarkan pada pernyataan tersebut, Fukugita dan Rubakov (1986) meramalkan bahwa asimetri cacah barion kosmologis yang benar dihasilkan dari kombinasi skenario
bariogenesis dengan pelanggaran bilangan barion elektrolemah pada suhu tertentu.
Tetapi, proses produksi asimetri cacah barion tidak dapat terjadi pada skala energi
tersebut [Kuzmin dkk. (1985)].
Fukugita dan Yanagida (1986) mengusulkan mekanisme pembangkitan bilangan barion kosmologi tanpa teori GUT. Mereka mengklaim bahwa jumlah lep-
7
ton sisa yang berasal dari suku massa Majorana bertransformasi menjadi jumlah barion yang tersisa melalui pelanggaran bilangan barion taktereduksi dari proses-proses
elektrolemah pada energi tinggi. Mekanisme pembangkitan asimetri cacah barion via
asimetri cacah lepton kemudian dikenal dengan leptogenesis.
Luty (1992) mengemukakan bahwa jika neutrino Majorana takkidal ditambahkan ke model standar, maka pelanggaran bilangan lepton yang berasal dari peluruhan neutrino takkidal masif yang lepas dari kesetimbangan termal dikombinasikan
dengan proses anomali elektrolemah dapat menghasilkan asimetri cacah barion alam
semesta. Didasarkan pada asumsi terkait struktur matriks massa neutrino, skenario
tersebut berlaku untuk neutrino Majorana takkidal dengan massa 1012 − 1019 GeV.
Covi dkk. (1996) menghitung pelanggaran CP dari peluruhan neutrino singlet
masif elektrolemah yang timbul dari koreksi verteks. Mereka memperluas perhitungan untuk model supersimmetri dan membahas implikasinya pada pembangkitan asimetri cacah lepton yang berasal dari peluruhan neutrino singlet masif elektrolemah di
alam semesta awal (s)neutrino, yang selanjutnya diolah kembali oleh anomali elektrolemah menjadi cacah asimetri barion.
Akhmedov dkk. (1998) mengusulkan mekanisme baru leptogenesis dengan
asimetri cacah lepton diproduksi melalui osilasi neutrino steril yang disertai pelanggaran CP. Asimetri tersebut berasal dari osilasi neutrino singlet dengan neutrino aktif
melalui kopling Yukawa. Asimetri cacah lepton kemudian diproses kembali menjadi asimetri cacah barion oleh sphaleron elektrolemah. Mereka menunjukkan bahwa
hasil observasi asimetri cacah barion dapat dibangkitkan dengan mekanisme tersebut.
Asaka dkk. (1999) mengkaji skenario leptogenesis melalui peluruhan neutrino Majorana masif yang diproduksi secara nontermal melalui peluruhan inflaton.
Mereka menunjukkan bahwa jika massa neutrino Majorana masif (M) sekitar 1010
GeV maka suhu reheating (T R ) sekitar 108 GeV, sementara untuk M ≃ 1013 maka
T R ≃ 1012 GeV. Untuk menghindari masalah produksi berlebihan dari gravitino kosmologi, mereka membangun skenarion dengan suhu reheating sekitar 108 GeV [Ellis
dkk. (1984)].
Bento dan Berezhiani (2001) mengusulkan mekanisme leptobariogenesis yaitu suatu mekanisme yang mengubah partikel nyata (diasumsikan sebagai partikelpartikel dalam model standar) menjadi partikel taknyata9 (diasumsikan sebagai partikelpartikel di sektor gelap) melalui proses hamburan yang diperantarai oleh neutrino
Majorana masif. Di sini, partikel taknyata dalam model cermin diasumsikan sebagai
9 Partikel
taknyata ekuivalen dengan partikel cermin.
8
partikel-partikel di sektor gelap. Mereka menunjukkan bahwa mekanisme leptobariogenesis efektif meskipun suhu reheating (T) suhu di sektor nyat dan T ′ (suhu di sektor
cermin) jauh lebih kecil daripada massa neutrino masif (M), T, T ′ < M GeV. Mereka
mengasumsikan bahwa T ′ < T sehingga partikel mengalir dari sektor nyat ke sektor
cermin (dianggap sebagai sektor gelap). Dengan adanya aliran partikel tersebut, diharapkan ada relasi antara rapat energi sektor model standar (MS) dan sektor gelap.
Tetapi, mekanisme leptobariogenesis belum dapat menunjukkan bahwa Ωmg ≈ 5 · Ωb .
Berezhiani (2003) menelaah ulang konsep dunia cermin paralel (parallel
’mirror’ world) yang dihuni oleh partikel-partikel yang sama seperti partikel-partikel
di dunia nyata dan saling berinteraksi melalui interaksi gravitasi atau gaya interaksi lemah lainnya. Berezhiani (2003) meyakini perbedaan suhu anatara dunia cermin
dan dunia nyata terjadi pada era krusial seperti bariogenesis, nucleosynthesis dan lainlain. Lebih jauh, ditunjukkan bahwa barion cermin secara alami menjadi komponen
dominan materi gelap alam semesta.
Foot dan Volkas (2003) mengusulkan bahwa rapat energi materi gelap berasal
dari kontribusi partikel nonbarionik. Kecilnya perbedaan antara kelimpahan barionbiasa dan nonbarion materi gelap mengisyaratkan bahwa sifat fundamental dari partikel MS dan partikel materi gelap tidak jauh berbeda. Misalnya, pembangkitan asimetri cacah barion-biasa diduga mirip atau bahkan terkait dengan pembangkitan asimetri
cacah nonbarion materi gelap. Mereka mengusulkan mekanisme pembangkitan asimetri tertentu untuk menunjukkan bahwa Ωb /Ωmg ≈ 0.20. Mekanisme tersebut bergantung pada mekanisme pembangkitan asimetri cacah barion awal dan mensyaratkan bahwa dalam mekanisme pembangkitan asimetri diasumsikan T ′ > T , berbeda dengan mekanisme leptobariogenesis yang diusulkan oleh Bento dan Berezhiani (2001)
yang mengasumsikan T ′ < T . Berdasarkan hasil perhitungan teoritis mengenai perbandingan kelimpahan barion dan non-barion yaitu: Ωbarion /Ωmaterigelap ≈ 0.20, Foot
dan Volkas (2004) mengklaim bahwa partikel cermin sebagai kandidat materi gelap.
Berezhiani (2006) mengemukakan bahwa fraksi materi tampak dan materi
gelap dapat dibangkitkan secara serentak dengan jumlah kelimpahan yang tidak jauh
beda satu sama lain. Oleh karena itu, jika sektor tampak diisi oleh barion nyata dan
sektor gelap diisi oleh barion dunia cermin, maka sifat-sifat fisis dari sektor nyata
akan sama dengan sektor taknyata.
Satriawan (2013) memperkenalkan skalar singlet dalam MCT untuk merusak
simetri cermin dan membangkitkan massa foton cermin. Berbeda dari skalar singlet,
skalar dublet cermin dan nyata memiliki nilai harap vakum yang sama, sehingga mas-
9
sa quark cermin sama dengan massa quark nyata. Sebagai konsekuensi dari foton
bermassa, Satriawan (2013) memprediksi bahwa rapat energi materi sektor gelap
sebagai cold-warm dark matter berasal dari barion cermin dan elektron cermin.
10
Download