Naskah Akademik RUU Pertanahan per 20 Juni 2012

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) telah mengamanatkan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat tersebut
kemudian dijabarkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). Dalam perjalanannya, UUPA yang nasionalis,
populis, dan mendasarkan pada hukum adat Indonesia tidaklah seperti
tujuan pembentukannya. Berbagai penyimpangan UUPA mendorong
munculnya Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang merupakan landasan
peraturan perundang-undangan di bidang pembaharuan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam.
Dewasa ini berbagai konflik agraria, khususnya pertanahan semakin
marak terjadi di berbagai daerah, baik konflik antara rakyat dengan
pemerintah, rakyat dengan perusahaan, maupun antarindividu dalam
masyarakat itu sendiri. Dari sudut hukum, muncul berbagai pertanyaan,
antara lain: di mana letak kesalahannya, apakah peraturan hukumnya
tidak memadai, ataukah penegakan hukumnya yang tidak konsisten.
Setelah 50 tahun keberadaan UUPA, berbagai kalangan memandang nilainilai luhur UUPA belum mampu diimplementasikan dalam kebijakan
pertanahan. Pada sisi lain, sebagian peraturan perundang-undangan
yang diamanatkan pembentukannya oleh UUPA belum juga terwujud,
sementara pembentukan berbagai undang-undang sektoral yang
berkaitan dengan bidang agraria khususnya tanah, dinilai banyak
kalangan telah melemahkan UUPA karena substansinya yang tumpang
tindih atau bahkan kontradiktif dengan nilai-nilai yang diatur dalam
UUPA. Hal tersebut mendorong wacana perlunya merevisi UUPA, meski
wacana tersebut menimbulkan pro dan kontra.
Pihak yang menolak revisi UUPA memiliki argumentasi untuk
mempertahankan
keberadaan
undang-undang
yang
dianggap
monumental sejak Indonesia merdeka. Substansi UUPA dengan konsepsi
dan politik hukum yang memihak rakyat dan kepentingan nasional masih
cukup relevan. Kekurangan terhadap kebijakan pertanahan sekarang ini,
lebih dikarenakan politik hukum agraria yang diambil oleh Pemerintah,
baik dalam pembentukkan undang-undang yang berkaitan dengan sektor
agraria maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait.
Sedangkan pihak yang sependapat dengan perubahan UUPA,
berpendapat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), banyak persoalan hukum agraria khususnya
pertanahan yang belum diatur dalam UUPA. Disamping itu, sejak
Indonesia merdeka sampai dengan lahirnya UUPA, memang sudah dibuat
beberapa peraturan hukum di bidang pertanahan yang nasionalistis.
Namun, hasilnya masih parsial dan sektoral serta tidak bisa menaungi
semua kebutuhan hukum yang diperlukan.
Terkait dengan hal tersebut, Komisi II DPR RI selaku Alat
Kelengkapan Dewan (AKD) yang menangani bidang pertanahan telah
menyepakati untuk sementara tidak melakukan perubahan UUPA.
1
Namun, mengingat berbagai permasalahan pertanahan harus segera
dicari langkah penyelesaiannya, Komisi II DPR RI mengajukan RUU
tentang Petanahan sebagai salah satu RUU prioritas pada Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) 2012 yang disepakati oleh DPR dan
Pemeritah.
Beberapa prinsip atau pokok pikiran yang akan menjadi acuan
materi pengaturan dalam penyusunan RUU tentang Pertanahan adalah
sebagai berikut:1
a. Substansi RUU fokus pada pengaturan pertanahan dengan
mendasarkan pada amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
Ketetapan MPR RI No. IX Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
b. RUU mampu mengatasi permasalahan sektoral di bidang
agraria, khususnya berkaitan dengan tumpang tindih peraturan
di bidang agraria yang berkaitan dengan pertanahan.
c.
Pengaturan berorientasi ke depan dengan mengantisipasi
perkembangan pembangunan bidang pertanahan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d. Menyelesaikan agenda Reformasi Agraria.
e.
Memberikan solusi pengaturan atas permasalahan pertanahan
dan dampak dari pengaturan permasalahan tersebut.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, Naskah Akademik
ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang menjadi urgensi
perlunya pembentukan RUU tentang Pertanahan dan bagaimana RUU
tersebut mengatur masalah pertanahan. Permasalahan tersebut
dijabarkan ke dalam beberapa identifikasi masalah, yaitu:
1. Apakah UUPA masih relevan dan mampu menjawab
perkembangan hukum dan permasalahan pertanahan dewasa
ini?
2. Apa urgensi pembentukan UU tentang Pertanahan?
3. Materi apa saja yang perlu diatur dalam RUU tentang
Pertanahan?
4. Bagaimana RUU tentang Pertanahan mampu menyelesaikan
agenda Reformasi Agraria sebagaimana diamanatkan dalam TAP
MPR No. IX Tahun 2001?
5. Bagaimana kedudukan dan eksistensi hukum adat sebagai
fondasi hukum pertanahan Indonesia dan implementasinya?
6. Bagaimana kedudukan UUPA terkait dengan keberadaan
berbagai undang-undang sektoral yang berkaitan dengan
tanah?
7. Bagaimana kewenangan daerah di era otonomi dalam
menentukan kebijakan bidang pertanahan?
1Berdasarkan
arahan Pimpinan Komisi II DPR RI kepada Tim Penyusun Naskah
Akademik dan Draf Awal RUU tentang Pertanahan, tanggal 12 April 2012 di Ruang Pimpinan
Komisi II DPR RI.
2
C.
Tujuan dan Kegunaan
Penyusunan Naskah Akademik ditujukan untuk memberikan
landasan pemikiran dengan menggunakan pendekatan akademis, teoritis,
dan yuridis sebagai arahan dalam penyusunan norma pengaturan dalam
RUU tentang Pertanahan.
Sedangkan kegunaannya, sebagai bahan masukan bagi Anggota
Dewan di dalam pembahasan RUU tentang Pertanahan, yang
dilaksanakan bersama Pemerintah.
D.
Metode
Naskah Akademik ini disusun dengan menggunakan metode sebagai
berikut:
1.
Studi pustaka
Metode studi pustaka digunakan sebagai cara untuk melakukan
pengayaan bahan-bahan dalam penyusunan Naskah Akademik.
Metode ini dilakukan dengan mempelajari dokumen, laporan,
peraturan perundang-undangan, dan literatur lainnya yang relevan
dengan permasalahan yang akan dikupas. Metode ini sangat berguna
terutama untuk hal yang berkaitan dengan pengembangan dan
pengaplikasian teori dan data penunjang guna menjawab
permasalahan yang ada. Selain itu, metode studi pustaka juga
sebagai bahan observasi awal terhadap permasalahan yang ada di
bidang pertanahan. Hasil studi pustaka ini kemudian dirumuskan
dalam draft awal RUU.
2.
Konsultasi publik
Setelah draft awal RUU tersusun, selanjutnya dilakukan
konsultasi publik dengan pakar-pakar pertanahan, akademisi dan
instansi yang terkait dengan bidang pertanahan. Konsultasi publik
dilakukan untuk menggali masukan langsung dari berbagai
stakeholder sehingga terjadi pengayaan terhadap bahan awal yang
sebelumnya hanya mendasarkan pada studi pustaka.
3.
Perumusan
Berdasarkan bahan dasar yang menggunakan metode studi
pustaka, ditambah pendapat dan masukan dari berbagai
stakeholders, kemudian dilakukan perumusan dengan melibatkan
seluruh tim penyusun, pakar, dan pihak-pihak terkait lainnya.
3
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.
Kerangka Teori
1.
Pengertian Tanah
Pengertian tanah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
meliputi: 1) permukaan bumi atau lapisan bumi yg di atas sekali; 2)
keadaan bumi di suatu tempat; 3) permukaan bumi yang diberi batas; 4
daratan; 5) permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa
yang diperintah suatu negara atau menjadi daerah negara; 6) bahanbahan dari bumi atau bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, napal, cadas,
dsb).2
Sedangkan pengertian tanah dalam arti yuridis adalah permukaan
bumi. Batasan yuridis ini tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yang
menyebutkan bahwa: “ atas dasar hak menguasai dari negara sebagai
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan hukum. Sedangkan hak atas tanah,
menurut Boedi Harsono, adalah hak atas sebagian tertentu permukaan
bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.3
UUPA menegaskan bahwa pemberian hak atas tanah atas suatu
bidang tanah tertentu diberikan untuk digunakan atau dimanfaatkan.
Diberikannya dan dimilikinya tanah dengan hak-hak penggunaannya
tidak akan bermakna, jika penggunaannya terbatas pada tanah sebagai
permukaan bumi. Pemanfaatan tanah selalu berbarengan dengan
pemanfaatan apa yang ada di permukaan bumi dan diatasnya. Oleh
karenanya hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang
untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang disebut
tanha, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang
angkasa yang ada di atasnya (Pasal 4 ayat (2) UUPA). Dengan demikian
makna yang dimiliki dengan hak atas tanah adalah tanahnya, dalam arti
sebagian tertentu dari permukaan bumi. Namun, wewenang penggunaan
yang bersumber pada hak atas tanah tersebut diperluas hingga meliputi
sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang
angkasa yang ada di atasnya.4
2.
Sumber Hukum Tanah
UUPA sebagai sumber dari hukum tanah nasional secara tegas
menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum adat menjadi dasar
pembentukan UUPA. Pernyataan pemberlakuan hukum adat sebagai
sumber utama hukum tanah dan hukum agraria secara luas terdapat
baik dalam konsideran, pasal-pasal, maupun Penjelasan Umum dan
Penjelasan Pasal UUPA.
Dalam Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional,
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman di
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php.
Boedi Harsono, hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, hal. 18.
4 Ibid.
2
3
4
Yogyakarta Tahun 1975, disimpulkan bahwa hukum adat yang dimaksud
dalam UUPA adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi yang
merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan
dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh
suasana keagamaan.5
Selanjutnya Boedi Harsono mengatakan bahwa penerapan konsep
dan asas-asas hukum adat ditentukan oleh suasana dan keadaan
masyarakat hukum yang bersangkutan serta nilai-nilai yang dianut
sebagian besar anggotanya. Sehingga meskipun konsep dan asas hukum
adat sama, namun norma hukum yang merupakan hasil penerapannya
dapat berbeda antara masyarakat hukum adat yang satu dengan yang
lain. Perubahan pada keadaan, suasana, dan nilai-nilai pada masyarakat
hukum adat yang bersangkutan dalam pertumbuhannya dapat
mengakibatkan perubahan pada norma-norma hukum yang berlaku.6
Mengingat perkembangan masyarakat dan hukum yang dinamis,
tidak dapat terelakan adanya tuntutan kebutuhan akan lembaga-lembaga
baru yang belum diatur dalam hukum adat. Oleh karenanya hukum
tanah nasional juga perlu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
dan perkembangan zaman tanpa mengubah esensi, sifat, ciri dan
kepribadian bangsa Indonesia. Dengan demikian hukum tanah nasional
juga mengenal sumber hukum lain di luar hukum adat sepanjang tidak
mengubah hakikat, sifat, dan ciri kepribadian bangsa Indonesia. Hal
tersebut tertuang dalam Konsideran dan Penjelasan umum angka III:
“Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan
kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia
sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang
baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum
adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan
dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam
hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan
sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam
pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan
masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang
feodal.”
3.
Kelembagaan
Kelembagaan merupakan aspek penting dalam pengaturan hukum
tanah nasional. Beberapa isu penting terkait kelembagaan bidang
pertanahan meliputi: a) administrasi pemerintahan (kondisi birokrasi); b)
fungsi lembaga perwakilan; c) lembaga peradilan; d) dampak
desentralisasi; e) kelembagaan terintegrasi; f) peran masyarakat; dan g)
lembaga dalam komunitas masyarakat.7
Birokrasi pemerintahan meliputi aspek kewenangan koordinasi,
sumber daya manusia dan pendanaan. Kejelasan dalam pembagian
kewenangan akan berpengaruh pada pertanggungjawaban masing-masing
instansi. Sedangkan koordinasi antar instansi akan menghasilkan
kebijakan yang terintegrasi dan terhindar dari potensi konflik dan
Ibid, hal. 176.
Ibid, hal. 180.
7 Disarikan dari Febby Evilarina Kartikasari, “Aspek Kelembagaan pengelolaan Sumber
Daya Alam-Hasil Konsultasi Publik RUU PSDA” dalam Di Bawah Satu Payung Pengelolaan
Sumber Daya Alam, Jakarta: Suara Bebas, 2005, hal. 135-136.
5
6
5
duplikasi. Disamping itu kapasitas sumber daya manusia di dalam
birokrasi pemerintahan akan menentukan kualitas, integritas kinerja
kelembagaan pengelolaan sumber daya alam. Masalah ketidakjelasan
tugas pokok dan wewenang, kewenangan yang tumpang tindih, ketiadaan
koordinasi, dan profesionalisme SDM menjadi isu penting yang sering
dikeluhkan masyarakat.8
B.
Asas Hukum Tanah Nasional
1.
Asas Perlekatan Horizontal (Horizontale Accessie Beginsel)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menganut asas
perlekatan, baik berupa perlekatan horizontal maupun perlekatan
vertikal sebagaimana tercantum dalam Pasal 500, Pasal 506, dan
Pasal 507 KUH Perdata.
Pasal 500 KUH Perdata menyatakan:
“Segala sesuatu yang termasuk dalam suatu barang karena hukum
perlekatan begitu pula segala hasilnya, baik hasil alam, maupun
hasil usaha kerajinan selama melekat pada dahan atau akarnya,
atau terpaut pada tanah adalah bagian dari barang itu”.
Pasal 506 KUH Perdata menyatakan:
“Barang tak bergerak adalah:
a. tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya;
b. penggilingan, kecuali yang dibicarakan dalam Pasal 510;
c. pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya menancap
dalam tanah, buah pohon yang belum dipetik, demikian pula
barang-barang tambang seperti batu bara, sampah bara dan
sebagainya, selama barang-barang itu belum dipisahkan dan
digali dari tanah;
d. kayu belukar dari hutan tebangan dan kayu dari pohon yang
tinggi, selama belum ditebang;
e. pipa dan saluran yang digunakan untuk mengalirkan air dari
rumah atau pekarangan; dan pada umumnya segala sesuatu
yang tertancap dalam pekarangan atau terpaku pada bangunan.”
Pasal 507 KUH Perdata:
“Yang termasuk barang tak bergerak karena tujuan adalah:
a. pada pabrik barang hasil pabrik, penggilingan, penempaan besi
dan barang tak bergerak semacam itu, apitan besi, ketel
kukusan, tempat api, jambangan, tong dan perkakas-perkakas
sebagainya yang termasuk bagian pabrik, sekalipun barang itu
tidak terpaku;
b. pada perumahan: cermin, lukisan dan perhiasan lainnya bila
dilekatkan pada papan atau pasangan batu yang merupakan
bagian dinding, pagar atau plesteran suatu ruangan, sekalipun
barang itu tidak terpaku;
c. dalam pertanahan: lungkang atau tumbuhan pupuk yang
dipergunakan untuk merabuk tanah; kawanan burung merpati;
sarang burung yang biasa dimakan, selama belum dikumpulkan;
ikan yang ada di dalam kolam;
8
Ibid, hal. 136.
6
d. runtuhan bahan bangunan yang dirombak, bila dipergunakan
untuk pembangunan kembali dan pada umumnya semua barang
yang oleh pemiliknya dihubungkan dengan barang tak bergerak
guna dipakai selamanya.
Pemilik dianggap telah menghubungkan barang-barang itu dengan
barang tak bergerak guna dipakai untuk selamanya, bila barangbarang itu dilekatkan padanya dengan penggalian, pekerjaan
perkayuan dan pemasangan batu semen, atau bila barang-barang itu
tidak dapat dilepaskan tanpa membongkar atau merusak barang itu
atau bagian dan barang tak bergerak di mana barang-barang itu
dilekatkan.”
Selanjutnya asas pelekatan juga diatur dalam Pasal 588 dan Pasal
589 KUH Perdata sebagai berikut:
Pasal 588: “Segala apa yang melekat pada sesuatu barang, atau yang
merupakan sebuah tubuh dengan barang itu, adalah milik orang
yang menurut ketentuan-ketentuan tercantum dalam pasal-pasal
berikut, dianggap sebagai pemiliknya.”
Pasal 589: “ Pulau besar dan pulau kecil, yang terdapat di sungai
yang tidak dapat dilayari atau diseberangi dengan rakit, begitu pula
beting yang timbul dari endapan lumpur di sungai seperti itu,
menjadi miik si pemilik tanah di tepi sungai tempat tanah timbul itu
terjadi. Bila tidak berada pada salah satu dari kedua belah sungai,
maka pulau itu menjadi milik semua pemilik tanah di kedua tepi
sungai dengan garis yang menurut perkiraan ada di tengah-tengah
sungai sebagai batas.”
Menurut Soebekti, berdasarkan asas asesi, maka secara yuridis
benda yang melekat pada benda-benda pokok harus dianggap
sebgaai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.9
Selain asa perlekatan yang bersifat horizontal, KUH Perdata juga
mengenal asas perlekatan vertikal, sebagaimana diatur dalam Pasal
571 yang menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah meliputi
hak milik atas segala sesuatu yang ada di atas dan di dalam tanah
tersebut. Dengan demikian semua benda yang ada di atas. Menurut
Kleyn, dalam perkembangannya ada dua hal pokok mengenai hak
milik yang berkaitan dengan tanah, yaitu: pertama, pemilik suatu
benda adalah pemilik semua bagian-bagiannya; kedua, tanaman dan
bangunan di bawah dan di atas tanah yang secara kekal dan
menyatu dengan tanah, kecuali hal-hal yang ditentukan kemudian
adalah milik pemilik tanah (superficies solo credit).10
2.
Asas Pemisahan Horizontal (Horizontale Scheiding)
Hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat tidak
mengenal asas pelekatan. Hal ini dikarenakan hukum tanah adat
menganut asas pemisahan horizontal, yaitu hak atas tanah tidak
dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di
atasnya. Iman Sudiyat dalam bukunya ‘Hukum Adat Skesta Asas”
mengemukakan bahwa hak milik atas rumah dan tanaman pada
asasnya terpisah dari hak atas tanah tempat benda-benda itu
berada. Seseorang dapat menjadi pemilik rumah atau tanaman di
9
Dalam Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 4.
Ibid, hal. 6.
10
7
atas tanah orang lain. Namun, pada pemisahan prinsipil antarahak
atas tanaman dan rumah dengan hak atas tanah terdapat restriksirestriksi, seperti transaksi mengenai pekarangan biasanya meliputi
pula rumah dan tanamannya.11
Sejalan dengan pendapat Iman Sudiyat, Djuhaendah Hasan
mengemukakan bahwa asas perlekatan vertikal tidak dikenal dalam
hukum adat, karena hukum adat mengenal asas lainnya yaitu asas
pemisahan horizontal di mana tanah terlepas dari segala sesuatu
yang melekat pada tanah tersebut. Di dalam hukum adat benda
terdiri dari benda tanah dan benda bukan tanah. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan benda tanah hanya meliputi tanahnya saja dan
sesuatu yang melekat dengantanah dimasukkan dalam pengertian
benda bukan tanah dan terhadapnya tidak berlaku ketentuan benda
tanah.12
11 Iman Sudiyat, Hukum Adat skesta asas, Yogyakarta: Liberty ,Cetakan ke-7, 2012, hal.
54.
12
Djuhaendah Hasan, Lembaga Ajminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lainnya yang Melekat pada Tanah
dalam Konsep Penerapan Asas pemisahan horizontal, Bandung: Aditya Bakti, 1996, hal. 75-76.
8
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Bab ini memuat sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan
terkait yang mengatur masalah pertanahan, yaitu:
A.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
B.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Awal mula dikeluarkannya TAP MPR ini ditujukan agar dapat menjadi
payung untuk pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam serta penanganan konflik dalam perolehan dan pemanfaatan
sumber daya agraria/sumber daya alam secara tuntas. Pembaruan/
reforma agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat. Reforma agraria pada prinsipnya
adalah landreform dalam pengertian redistribusi kepemilikan dan
penguasaan tanah. Dalam konteks ini maka landreform dapat menjadi
instrumen yang sangat baik untuk mengatasi kemiskinan, mendorong
pembangunan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan sebagainya. Dengan
disahkannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, maka diharapkan proses
reformasi di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang
sebelumnya tidak pernah mendapatkan perhatian dari para pengambil
kebijakan dapat segera terwujud.
Ketetapan ini dikeluarkan dengan dilandasi pemikiran tentang
kegagalan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan agraria selama
ini. Pengelolaan sumber daya agraria dan alam selama ini telah
menimbulkan ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatannya, menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, dan
mengakibatkan terjadinya berbagai konflik. Konflik agraria/pertanahan
atau sengketa lahan di Indonesia yang saat ini semakins sering terjadi
merupakan puncak dari berbagai masalah agraria yang terus terjadi sejak
jaman dahulu. Konflik-konflik agraria tersebut yang paling dominan
bersifat vertikal, yaitu antara masyarakat dan pemerintah (perusahaan
milik negara) dan swasta. Salah satu yang menonjol adalah kasus klaim
atas tanah perkebunan ataupun pengadaan tanah untuk kepentingan
umum. Adapun konflik yang horizontal misalnya kepemilikan sertifikat
tanah ganda atau kepemilikan beberapa sertifikat atas sebidang tanah.
Yang paling mencuat beberapa tahun terakhir tentu saja konflik
horizontal antara masyarakat (adat atau transmigran) dan perusahaan.
Konflik-konflik atau sengketa-sengketa tersebut akarnya
bersifat
multidimensional: bukan hanya hukum, melainkan juga politik
pertanahan, ledakan jumlah penduduk, kemiskinan, faktor budaya, dan
sebagainya.
Dalam konsideran TAP MPR tersebut dijelaskan beberapa peta
permasalahan yang membuat keputusan politik ini lahir, diantaranya:
9
a. sumber daya agraria dan sumber daya alam harus dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi
mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur;
b. adanya persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan
sosial ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam;
c. pengelolaan sumber daya agaria dan sumber daya alam selama ini
telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan
struktur
penguasaan,
pemilikan,
penggunaan,
dan
pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;
d. peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling
tumpang tindih dan bertentangan;
e. pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil,
berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan
cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi
dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.
TAP MPR ini menyatukan antara pengelolaan sumber daya alam dan
pembaruan agraria yang selama ini seolah-olah saling terpisah. Salah
satu tujuan pengelolaan sumber daya alam dan agraria menjadi satu
kesatuan adalah tidak timbul ego sektoral antarkementerian atau badan
hukum publik lain terkait dengan tanah dan sumber daya alam. TAP MPR
ini juga memberikan acuan komprehensif dari berbagai sektor yang
berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam
melakukan pembaruan seperti masalah sistem penguasaan yang
didalamnya termasuk pemilikan, sewa-menyewa, bagi hasil dan sistem
pengelolaan yang mencakup perencanaan, pemanfaatan, perlindungan,
konservasi, dan pemantauan.
Antara “agraria” dengan “pengelolaan sumber daya alam” sebenarnya
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keduanya bertujuan untuk
mencapai kemakmuran bersama, kesejahteraan, keadilan, dan
keberlanjutan. Dalam prakteknya, istilah agraria memang seringkali lebih
menuju kepada penguasaan dan pemanfaatan tanah atau tanah yang
menjadi wadah dari keberadaan sumber daya alam lainnya. Sedangkan
titik tolak pengelolaan sumber daya alam adalah pola pemanfaatan yang
terkandung dalam tanah tersebut. Dengan demikian, tidaklah mungkin
melakukan pembaruan pengelolaan sumber daya alam untuk mencapai
kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan apabila pembaruan agraria
tidak dilakukan. Idealnya pengelolaan sumber daya alam seharusnya
memberi manfaat bagi masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara
luas, karena sesuai mandat UUD Pasal 33 ayat (3) adalah untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Namun yang terjadi saat ini adalah pengelolaan sumber daya alam yang
lebih menitikberatkan kepada eksploitasi sumber daya alam besarbesaran sebagai sumber devisa. Hal ini telah menimbulkan dampak tidak
terwujudnya kesejahteraan rakyat, dan kerusakan sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Kerusakan sumber daya alam terjadi karena kebijakan
dan keputusan pengelolaan sumber daya alam yang lebih banyak
dibicarakan dan ditetapkan di luar lingkungan masyarakat setempat.
Agenda penting yang harus diselesaikan sebagai implikasi dari TAP
MPR, adalah termasuk mengkaji ulang perundangan-undangan bidang
sumber daya alam yang bersifat sektoral. Secara hukum kita mencatat
bahwa sistem peraturan perundang-undangan tentang agraria dan
sumber daya alam saling tumpah tindih dan bertentangan. Padahal
10
pengelolaan sumber daya agraria dan alam yang adil, berkelanjutan, dan
ramah lingkungan mutlak harus dilakukan secara terkoordinasi, terpadu,
dan menampung dinamika, aspirasi, dan peran serta masyarakat, serta
menyelesaikan konflik. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria yang selama ini menjadi landasan bagi penguasaan dan
penggunaan sumber daya agrarian meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak didukung oleh
berbagai undang-undang sektoral yang saling mengatur sendiri sendiri
dan menciptakan hukum tersendiri. UU tersebut antara lain:
1. UU No. 5 Tahun 1967 kemudian diganti dengan UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.
2. UU No. 11 Tahun 1967 kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
3. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Alam.
4. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
5. UU No. 18 Tahun 2007 tentang Perkebunan.
6. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
Berpijak atas hal ini, maka perlu ada payung kebijakan pengelolaan
sumber daya alam dan pengelolaan agraria secara utuh menyeluruh.
Langkah pengkajian berbagai peraturan perundang-undangan terkait
tersebut harus diikuti pula dengan langkah reformasi kebijakan dan
reformasi kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Tentunya
hal ini sangat berkaitan dengan reformasi atas berbagai kementerian
sektoral yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementerian Kehutanan,
Kementerian Pertanian, Kementerian Perikanan dan Kelautan.
Sehubungan dengan hal tersebut, UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga telah menempatkan
kembali Ketetapan MPR sebagai sumber hukum formal dan dalam tata
urut peraturan perundangan. Singkatnya reforma agraria perlu dilakukan
dengan berdasarkan pada TAPMPR No IX/MPR/2001, dan UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang harus
dilaksanakan secara konsisten, sinergi, dan komprehensif.
C.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa “Bumi dan air dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Salah satu
wujud penafsiran dari ketentuan tersebut adalah dengan melaksanakan
ketentuan UUD 1945 Pasal 17 ayat (4) yang mengamanatkan kepada
Pemerintah (Presiden) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk
membentuk undang-undang yang mengatur tentang pembentukan,
pengubahan, dan pembubaran kementerian negara. Dengan dibentuknya
UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara maka pemerintah
diberikan kewenangan opsional untuk membentuk kementerian
pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) bahwa pertanahan
adalah yang termasuk urusan pemerintahan dalam rangka penajaman,
koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Namun dalam Pasal 6
diatur “Setiap urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan ayat (3) tidak harus dibentuk dalam satu Kementerian
tersendiri.” Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa
pembentukan kementerian pertanahan merupakan hak prerogatif
11
Presiden dengan memberikan pilihan kebijakan dengan pertimbangannya
sendiri, yaitu:
a. apakah perlu membentuk kementerian yang membidangi
urusan pertanahan; atau
b. menetapkan
kebijakan
mengenai
penanganan
urusan
pertanahan yang akan diatur dengan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau membawahi/menyatukan
urusan
pertanahan dalam kementerian lain.
D.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Di dalam UU ini, penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan
pemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk
mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan.
Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan, pengelolaan hutan,
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan
kehutanan serta pengawasan. Pengaturan-pengaturan ini dimaksudkan
untuk menjaga agar fungsi hutan tetap terjaga. Hal-hal yang juga diatur
di dalam UU ini diatur antara lain:
1. Menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan
hutan. Pemerintah dapat mengalokasikan kawasan hutan sesuai
dengan fungsinya diantaranya menjadi hutan lindung, hutan
produksi dan hutan konservasi.
2. Mengatur dan menetapkan hubungan antara orang dengan
hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan.
3. Mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
4. Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan
hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang
kehutanan. Namun demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat
penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai stratefis,
Pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui
persetujuan DPR.
Di dalam UU ini diatur bahwa hutan di Indonesia dapat digolongkan
ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan hak adalah hutan yang
berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut
ketentuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai. Sedangkan
Hutan Negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani
hak-hak atas tanah menurut UU No. 5 Tahun 1960, termasuk di
dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum
adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya.
Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum
adat dalam pengertian hutan negara, dimaksudkan sebagai konsekuensi
adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya
masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan
pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Yang patut untuk
dipertanyakan adalah dengan tidak mengakui hutan adat sebagai hutan
berdasarkan statusnya bukankah dapat bertentangan dengan asas-asas
yang ada di dalam UUPA yang masih mengakui eksistensi dari hak
masyarakat adat?
UU ini telah secara jelas memposisikan hutan adat sebagai bagian
dari hutan negara yang dikelola masyarakat adat. Hal ini tentu saja juga
12
berimplikasi bahwa hak masyarakat adat atas sumber daya hutan
sebagai bagian dari hak negara. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya
hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang disusun
dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat,
aspirasi masyarakat, dan tokoh adat, serta instansi terkait.
“Ketentuan yang sifatnya birokratik dan teknokratik-saintifik ini
berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan
pada gilirannya kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk
mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) dan hak
menentukan kehidupannya sendiri (selfdetermination). UU ini juga
mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki sumber daya
alamnya. Hak-hak masyarakat adat yang diakui hanyalah hak
memanfaatkan sumberdaya alam dan mengelola, dalam skala, terbatas
untuk keperluan hidup sehari-hari”.13
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan
kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya
semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap
memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak
dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan
kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi
konservasi, lindung dan produksi. Untuk menjaga kualitas lingkungan
maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya
konservasi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan
tanaman. Sedangkan untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok
hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta
reklamasi hutan dan lahan yang bertujuan selain mengembalikan
kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan
masyarakat, sehingga peran serta masyarakat merupakan inti
keberhasilannya. Mengenai peran serta masyarakat ini diatur dalam
sebuah bab tersendiri yang menyebutkan antara lain hak masyarakat
memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencana peruntukan
hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan, memberikan
informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukan pengawasan
secara langsung atau tidak langsung. Selain itu, masyarakat juga berhak
mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakan yang
merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat.
Selanjutnya pengaturan mengenai pemanfaatan hutan dilakukan
dengan pemberian izin pemanfaatan izin pemanfaatan kawasan, izin
pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu
bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan
kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya. Berkaitan dengan hal
tersebut, usaha kecil, menengah, dan koperasi mendapatkan kesempatan
seluas-luasnya dalam pemanfaatan hutan. Badan usaha milik negara
(BUMN), badan usaha milik daerah (BUMN), dan badan usaha milik
swasta Indonesia (BUMS Indonesia) serta koperasi yang memperoleh izin
usaha di bidang kehutanan, wajib bekerja sama dengan koperasi
masyarakat setempat dan secara bertahap memberdayakannya untuk
menjadi unit usaha koperasi yang tangguh, mandiri dan profesional
sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya. Berkaitan dengan hal
13Laporan Tim Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Kelompok Kerja Bidang
Hukum dan Sumber Daya Alam, Disusun oleh Tim dibawah Pimpinan Prof. Dr. Koesnadi
Hardjasoemantri, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, 2005, hal. 27.
13
tersebut, undang-undang ini memandang bahwa kelembagaan
pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakili oleh lembaga
semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi
masyarakat untuk mengembangkan perekonomiannya seperti yang
dipersepsikan oleh pemerintah. Pengaturan seperti itulah kiranya kurang
tepat karena dapat mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal atau
kelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat.
Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan, merupakan bagian dari penerimaan negara dari
sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan
perimbangan pemanfaatannya untuk kepentingan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Selain kewajiban untuk membayar iuran, provisi
maupun dana reboisasi, pemegang izin harus pula menyisihkan dana
investasi untuk pengembangan sumber daya manusia, meliputi penelitian
dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana
investasi pelestarian hutan. Untuk menjamin status, fungsi, kondisi
hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu
mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh
perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan
penyakit. Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan adalah
mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi
dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Selanjutnya dalam UU ini dicantumkan ketentuan pidana, ganti rugi,
sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang
yang melakukan perbuatan melanggar hukum di bidang kehutanan.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang lingkup dan tanggung
jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). UU ini juga mencakup pengaturan yang luas
tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Meskipun aturan-aturan yang dimuat dalam UU ini cukup detil
namun tidak dapat menjawab kasus-kasus konflik kehutanan yang
bersumber dari penguasan atas wilayah masyarakat adat/lokal yang
kemudain hari ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kawasan hutan.
Pemerintah dapat secara sepihak menetapkan kawasan hutan tanpa
melibatkan elemen masyarakat setempat yang mempunyai hak historis
pada kawasan hutan tersebut. Terlebih di dalam Pasal 81 juga
menentukan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
berlakunya UU ini dianggap sah. Ketidakpuasan masyarakat adat pada
proses penetapan kawasan hutan yang seringkali berujung pada konflik
adalah salah satu bentuk aspirasi masyarakat dan pertentangan antara
norma hukum nasional dengan norma-norma hukum adat dan nilai-nilai
budaya yang dianut masyarakat. Dengan tetap diakuinya cara
penunjukan dan penetapan kawasan hutan seperti dimaksud dalam
pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 berarti telah terjadi kontradiksi di
dalam UU itu sendiri karena sama halnya dengan tidak mengakui
pernyataan dalam butir (c) konsiderans UU tersebut yang menyebutkan
bawha pengurusan hutan harus menampung dinamikan aspirasi dan
peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat
yang berdasarkan pada norma hukum nasional.
Kewenangan yang diberikan oleh UU ini kepada Kementerian
14
Kehutanan yang terlampau luas termasuk berwenang menetapkan status
dan fungsi hutan juga patut untuk dipertanyakan khusus dalam
penetapan status hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak
ada satu pun ketentuan yang menyebutkan perlunya koordinasi antara
Departemen Kehutanan dengan BPN. Hal ini berpotensi menimbulkan
perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan antar
instansi pernerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam wilayah
yang sama.
Dalam perjalanannya, UU ini telah dua kali diuji materi oleh MK,
yaitu:
1. Perkara Nomor 13/PUU-II/2005. Pemohon dalam perkara ini adalah
DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP Pelra). Pemohon
menyatakan mengalami kerugian hak konstitusional dengan
diberlakukannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
khususnya pada:
a. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h, khususnya anak kalimat
“maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai suratsurat yang sah sebagai bukti”.
b. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) hurf j, khususnya kata “kapal”;
c. Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya, khususnya penjelasan kata
“termasuk alat angkutnya” dan kata “kapal”.
MK memutuskan bahwa kerugian yang dialami Pemohon sejak
lahirnya UU Kehutanan secara umum bukan disebabkan oleh
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h dan huruf j dan
Penjelasannya serta Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya dari UU
Kehutanan yang bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa berdasarkan
uraian Pemohon dan keterangan yang diperoleh dalam persidangan,
kerugian tersebut terjadi karena pelaksanaan penegakan hukum di
lapangan yang dilakukan oleh para aparatur pengeak hukum (Polisi
Kehutanan, POLRI, TNI-AL). Seandainya pun benar bahwa dalam
pelaksanaan penegakan hukum di lapangan terdapat ekses yang
merugikan atau dapat diduga merugikan hak-hak pemohon, namun
hal itu tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas UU yang
dimohonkan pengujian. Dengan demikian MK berpendapat bahwa
adanya kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak
terbukti. Pada putusannya MK berpendapat tidak terdapat kerugian
hak konstitusionalitas Pemohon oleh pemberlakuan UU Kehutanan
sehingga gugatan pemohon tidak dapat diterima.
2. Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011. Para pemohon dalam perkara ini
adalah Bupati Kapuas, Bupati Gunung Mas, Bupati Katingan, Bupati
Barito Timur, Bupati Sukamara yang berada diprovinsi Kalimantan
Tengah, dan seorang wiraswasta. Pemohon menyatakan mengalami
kerugian hak konstitusional dengan diberlakukannya UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pada Pasal 1 angka 3 UU
Kehutanan menentukan bahwa ”Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”; bertentangan
dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dilindungi
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan Pemohon
dan penduduk Kabupaten Kapuas berpotensi dipidana dengan
Undang-Undang Kehutanan karena seluruh wilayahnya ditunjuk
sebagai kawasan hutan.
15
Karena di dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan terdapat frasa
”ditunjuk dan atau”, maka Pihak Pemerintah (dalam hal ini Kementerian
Kehutanan dan penegak hukum) diberikan peluang untuk mengartikan
penunjukan sama dengan penetapan kawasan hutan. Bahwa karena
Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan memberikan peluang kepada pihak
Kementerian Kehutanan untuk memberikan tafsir penunjukan
mempunyai status hukum yang sama dengan penetapan kawasan hutan,
maka dalam setiap kebijakannya, Pemerintah (dalam hal ini Kementerian
Kehutanan) selalu menyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan
mempunyai status hukum yang sama dengan penetapan kawasan hutan
sehingga Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan
Hutan digunakan acuan dalam penegakan hukum kehutanan.
Dengan adanya peluang yang diberikan Pasal 1 angka 3 UU
Kehutanan untuk mentafsirkan penunjukan sama dengan penetapan
kawasan hutan yang mengakibatkan secara legal seluruh wilayah
Kabupaten Kapuas merupakan kawasan hutan, maka berakibat
bangunan-bangunan, gedung-gedung pemerintah, jalan-jalan, fasilitas
umum, rumah sakit, gedung sekolah maupun fasilitas masuk dalam
kawasan hutan.
Dalam pertimbangan putusannya, MK berpendapat bahwa karena
penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses
pengukuhan kawasan hutan, maka frasa, “ditunjuk dan atau” yang
terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas
negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain
itu, frasa “ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 UU
Kehutanan itu sendiri. Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Adapun mengenai
ketentuan peralihan dari Undang-undang Kehutanan pada Pasal 81 yang
menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebelum
berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan
undang-undang ini”, menurut MK meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81
Unda mempergunakan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun
berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81
Undang-Undang tetap sah dan mengikat;
E.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Secara garis besar UU tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum secara komprehensif mengatur pengadaan
tanah untuk kepentingan umum melalui proses pentahapan yang pasti,
yaitu tahap penyelenggaraan yang meliputi tahap perencanaan,
persiapan, dan pelaksanaan. Dengan demikian pengadaan tanah yang
diselenggarakan oleh Pemerintah harus memiliki perencanaan yang
matang, pelaksanaan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan diikuti dengan pemantauan dan evaluasi. Hal
tersebut dimaksudkan agar tercipta keadilan dan kepastian hukum
sesuai dengan tujuan pengadaan tanah, yaitu menyediakan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan tetap menjamin
kepentingan hukum pihak yang berhak.
16
Praktik pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang sering kali
berlarut-larut serta menciptakan konflik antara pemerintah dengan
masyarakat pemilik tanah yang merasa hak dan kepentingannya kurang
terlindungi, UU ini mengedepankan asas kemanusiaan, keadilan,
kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan. Asas ini dapat pula
dicantumkan dalam RUU tentang Pertanahan.
Dalam Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa Hak atas Tanah adalah
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA dan hak lain yang
akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak atas tanah tersebut
mengacu kepada UUPA, sehingga penjabarannya lebih lengkap dalam
UUPA. Dalam RUU Pertanahan sebaiknya mengakomodir ketentuan
dalam UUPA dengan mencantumkan pengertian hak atas tanah dalam
RUU Pertanahan secara rinci bukan hanya mencantumkan pengacuan
kepada UUPA.
Dalam Pasal 1 angka 14 UU Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum mencantumkan lembaga pertanahan adalah
BPN RI, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanahan. Dalam Hal ini jika UU ini mengadop
UU tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum, BPN yang berwenang untuk mengurus membidangi urusan
pertanahan. Lain halnya jika RUU tentang Pertanahan ini ingin agar
dalam RUU tentang Pertanahan ini mencantumkan bahwa pemerintah
adalah Presiden yang dibantu oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan di bidang pertanahan maka BPN itu berada di bawah Kementerian
Pertanahan.
Pada prinsipnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib
diselenggarakan oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki
pemerintah atau pemerintah daerah. Namun dalam hal Instansi yang
memerlukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), tanahnya menjadi milik BUMN.
Seperti kita ketahui, UU ini multi kompleks dan terkait berbagai
sektor. Saat ini ada sektor yang ruang lingkupnya termasuk dalam sektor
kepentingan umum seperti penyediaan lahan untuk infrastuktur listrik
selama ini tidak termasuk dalam jenis kepentingan umum yang
pengadaan tanahnya dijamin oleh pemerintah, melalui UU ini yang
mengakomodir BUMN dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang
memperoleh penugasan khusus dari pemerintah. Terdapat pula sektor
pembangunan yang sepintas merupakan kategori kepentingan umum
tetapi dalam UU tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum tidak termasuk dalam jenis kepentingan umum
seperti pengadaan tanah untuk perumahan rakyat. Hal ini merupakan
konsekuensi dari ketentuan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan
umum wajib diselenggarakan oleh pemerintah dan selanjutnya dimiliki
pemerintah atau pemerintah daerah yang tercantum dalam Pasal 11 ayat
(1) UU tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
Dengan demikian untuk perumahan rakyat yang diikuti dengan
pemberian sertifikat hak milik tidak dapat dikategorikan sebagai
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, kecuali perumahan untuk
masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa.
Dalam UU ini juga dicantumkan pengertian kepentingan umum dan
jenis kepentingan umum. Kepentingan Umum didefinisikan sebagai
17
“Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat
yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat.” Sedangkan mengenai peruntukan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, disepakati 18 (delapan) jenis
kegiatan pembangunan yang dikategorikan sebagai kepentingan umum,
meliputi:
(1) pertahanan dan keamanan nasional;
(2) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun
kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
(3) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum,
saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan
lainnya;
(4) pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
(5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
(6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga
listrik;
(7) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
(8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
(9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
(10) fasilitas keselamatan umum;
(11) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
(12) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
(13) cagar alam dan cagar budaya;
(14) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
(15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi
tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan
rendah dengan status sewa;
(16) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah
Daerah;
(17) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
(18) pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pasal 7 UU tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ini memberi pengaturan bahwa pengadaan tanah
untuk kepentingan umum diselenggarakan sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c.
Rencana Strategis; dan
d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.
Penekanan pengadaan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) selain bertujuan agar pengadaan tanah untuk
kepentingan umum benar-benar direncanakan sejak awal, juga
dimaksudkan untuk mendorong pemerintah daerah provinsi untuk segera
menyelesaikan pembentukan peraturan perundangan-undangan yang
mengatur tentang RTRW sebagaimana telah diamanatkan pula oleh UU
No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Seperti kita ketahui, saat ini
masih banyak daerah yang belum siap dengan peraturan daerah (Perda)
yang mengatur RTRW di daerahnya, pada sisi lain Pasal 19 ayat (6)
menentukan bahwa penetapan lokasi pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilakukan oleh gubernur. Sudah dapat dipastikan
18
penetapan lokasi oleh gubernur akan terhambat jika RTRW provinsi
belum terbentuk.
Hambatan pengadaan tanah yang bersumber pada penolakan
masyarakat baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung.
Sesuai dengan tujuan pengadaan tanah, yaitu menyediakan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin
kepentingan hukum pihak yang berhak, dalam UU ini diatur mengenai
konsultasi publik yang merupakan bagian penyelenggaraan pengadaan
tanah pada tahap persiapan pengadaan tanah. Konsultasi dilakukan
dengan maksud untuk mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam
perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Dalam hal setelah konsultasi publik dilakukan masih terdapat
pihak yang keberatan, gubernur membentuk tim untuk mengkaji
keberatan yang diajukan pihak yang berhak. Berdasarkan rekomendasi
tim pengkaji tersebut gubernur mengeluarkan surat diterima atau
ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan. Dengan
demikian hak-hak masyarakat terhadap keberatan rencana pengadaan
tanah yang akan digunakan sebagai lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum dijamin dengan adanya kesempatan untuk
mengajukan gugatan atas penetapan lokasi rencana pembangunan.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 UU tentang
Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum bahwa
dalam hal setelah penetapan lokasi pembangunan masih terdapat
keberatan, pihak yang berhak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN). Ketentuan tersebut sekaligus bertujuan
sebagai pendorong bagi pemerintah daerah provinsi atau gubernur untuk
secara cermat mengikuti seluruh ketentuan dan prosedur pengadaan
tanah yang diatur dalam UU ini. Atas Putusan PTUN, pihak yang
keberatan dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan
Mahkamah Agung tersebut akan menjadi dasar diteruskan atau tidaknya
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Penilaian obyektif terhadap objek pengadaan tanah untuk
menentukan ganti kerugian memiliki peran yang sangat penting dalam
proses pengadaan tanah, guna mencapai kesepakatan nilai ganti kerugian
antara instansi yang membutuhkan tanah dengan pihak yang berhak.
Oleh karenanya, diperlukan lembaga penilai yang independen dengan
menggunakan standar penilaian yang diakui secara nasional.
Pasal 1 angka 11 UU tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum ini menyebutkan bahwa:
“Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang
perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan
profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri
Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk
menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah.”
Selanjutnya UU ini ditentukan bahwa penilai merupakan penilai
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan harus
mendapatkan penetapan dari lembaga pertanahan. Selanjutnya, dalam
melaksanakan tugasnya penilai wajib bertanggung jawab terhadap
penilaian yang telah dilaksanakan dan pelanggaran terhadap kewajiban
Penilai tersebut dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
19
Masyarakat yang tanahnya digunakan bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, pasti tidak hanya mengalami kerugian secara fisik
tetapi juga kerugian non fisik. Oleh karena itu, UU tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini merumuskan
ketentuan ganti kerugian yang diberikan kepada pihak yang berhak tidak
hanya dalam bentuk uang tetapi memberikan opsi bentuk ganti kerugian
yang terdiri dari:
a. Uang;
b. tanah pengganti;
c.
permukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e.
bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Pilihan bentuk ganti kerugian merupakan pengaturan baru dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang selama ini hanya
mengenal ganti kerugian berupa uang. Selain itu adanya ketentuan ganti
kerugian yang sifatnya opsional sesuai dengan kesepakatan pihak yang
membutuhkan tanah dengan pihak yang berhak. Bentuk ganti kerugian
berupa kepemilikan saham merupakan terobosan yang progresif dalam
pelaksanaan pemberian ganti kerugian.
Dengan adanya pilihan nilai dan bentuk ganti kerugian akan
mendorong terjadinya konsultasi publik maupun musyawarah antara
masyarakat dengan pemerintah secara terbuka dan dialogis sehingga
pilihan atas bentuk dan bentuk dan jenis ganti kerugian berdasarkan
atas kesadaran pilihan masyarakat dan pilihan tersebut diterima oleh
pemerintah sebagai bagian dari prinsip dasar pemerintah dalam
melindungi rakyatnya di tempat pembangunan untuk kepentingan umum
akan dilaksanakan.
F.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
bagi perseorangan dan pertanian rakyat yang berada di dalam sistem
irigasi dijamin oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Hak guna pakai
air tersebut termasuk hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya
melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.
Pemerintah atau pemerintah daerah menjamin alokasi air untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian
rakyat dengan tetap memperhatikan kondisi ketersediaan air yang ada
dalam wilayah sungai yang bersangkutan dan menjaga terpeliharanya
ketertiban dan ketentraman. Yang dimaksud dengan penguasaan sumber
daya air diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah
adalah kewenangan yang diberikan oleh negara kepada pemerintah dan
pemerintah daerah dalam pengaturan sumber daya air.
Pasal 6 menyebutkan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan
sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah
daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat
setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Hak
ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui
sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan
peraturan daerah setempat. Atas dasar penguasaan negara ditentukan
hak guna air. Yang dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat
20
adalah hak yang sebelumnya diakui dengan berbagai sebutan dari
masing-masing daerah yang pengertiannya sama dengan hak ulayat,
misalnya: tanah wilayah pertuanan di Ambon; panyam peto atau
pewatasan di Kalimantan; wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di
Bali; totabuan di Bolaang-Mangondouw, torluk di Angkola, limpo di
Sulawesi Selatan, muru di Pulau Buru, paer di Lombok, dan panjaean di
Tanah Batak.
Dalam Pasal 8, hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi
pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi. Hak guna pakai air
memerlukan izin apabila:
a. cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi
alami sumber air;
b. ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air
dalam jumlah besar; atau
c.
digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang
sudah ada.
Izin diberikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya.
Hak guna pakai air meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke
tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.
Pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak
yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud
dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas
dasar keturunan. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih
ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu:
a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang
yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari;
b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang
menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya seharihari; dan
c.
unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan
wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai
pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya
yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan
hukum tersebut.
Hak untuk mengalirkan air melalui tanah orang lain dimaksudkan
agar tidak mengganggu perolehan hak guna pakai air orang lain. Dalam
hal air digunakan untuk keperluan pertanian rakyat di luar sistem irigasi
yang sudah ada, hak untuk mengalirkan air melalui tanah orang lain
didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
Dalam Pasal 9, hak guna usaha air dapat diberikan kepada
perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Pemegang hak guna
usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan
persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Persetujuan dapat berupa kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi.
21
Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah pemberian imbalan kepada
pemegang hak atas tanah sebagai akibat dari pelepasan hak atas tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berada di atasnya, yang
besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak. Kompensasi
adalah pemberian imbalan kepada pemegang hak atas tanah sebagai
akibat dari dilewatinya area tanahnya oleh aliran air pemegang hak guna
usaha air sehingga pemegang hak atas tanah tidak dapat memanfaatkan
sepenuhnya hak atas tanah yang dimilikinya. Besarnya kompensasi
ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak. Hal yang sama berlaku
terhadap masyarakat hukum adat. Dalam hal yang terkena adalah aset
milik negara, penggantian kerugian atau kompensasi dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 82 huruf b, pelaksanaan pengelolaan sumber daya air,
masyarakat berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas
kerugian yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air. Bentuk kerugian yang dialami sebagai akibat
pelaksanaan pengelolaan sumber daya air, misalnya hilang atau
berkurangnya fungsi atau hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berada di atasnya karena adanya pembangunan
bendungan, bendung, tanggul, saluran, dan bangunan prasarana
pengelolaan sumber daya air lainnya.
Pemberian ganti kerugian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku meliputi ganti kerugian fisik dan/atau nonfisik terhadap
pemilik atau penggarap hak atas tanah dan/atau benda-benda lain
beserta tanaman yang berada di atasnya. Ganti kerugian fisik dapat
berupa uang, permukiman kembali, saham, atau dalam bentuk lain.
Ganti kerugian nonfisik dapat berupa pemberian pekerjaan atau jaminan
penghidupan lainnya yang tidak mengurangi nilai sosial ekonominya.
G.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Lahirnya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil merupakan sebuah bukti bahwa pemerintah mulai
menyadari bahwa kekayaan laut harus dijaga kelestariannya dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara
langsung maupun tidak langsung untuk generasi sekarang dan generasi
yang akan datang.
Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antarapemerintah dan pemerintah daerah,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya
dalam Pasal 1 angka 2, Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan
laut.
Pasal 1 angka 4 menyatakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya
buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan,
terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain;
sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut;
sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan
kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan
alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait
22
dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang
terdapat di wilayah pesisir. Berkaitan dengan definisi mengenai perairan
pesisir dinyatakan dalam Pasal 1 angka 7, Perairan Pesisir adalah laut
yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (duabelas)
mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai
dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan
laguna.
UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
bertujuan untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, dan
memperkaya sumber daya pesisir dan laut secara berkelanjutan serta
meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui
peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil. Salah satu substansi penting dari UU ini, yaitu
dilahirkannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
Dalam Pasal 16 UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dinyatakan bahwa pemanfaatan perairan pesisir meliputi
pengusahaan
atas
permukaan
laut
dan
kolom
air
sampai
dengan permukaan dasar laut diberikan dalam bentuk HP3. HP3 ini
dilahirkan karena sistem pemanfaatan yang ada sekarang ini terbukti
tidak efektif dan belum meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan.
Dalam kenyatannya, HP3 bukanlah hal yang baru bagi masyarakat
Indonesia, dalam UUPA, pernah diperkenalkan Hak Pemeliharaan dan
Penangkapan Ikan (HPPI). Namun Peraturan Pemerintah tentang HPPI
tidak pernah diterbitkan. Bahkan jauh sebelum itu, beberapa masyarakat
tradisional
di
Indonesia
telah
mengembangkan
tradisi
pengelolaan perairan pesisir yang bersifat eksklusif. Berkembangnya
pemanfaatan perairan pesisir dewasa ini, seperti budidaya mutiara dan
rumput laut serta ekowisata bahari dan untuk memelihara pengakuan
terhadap hak-hak adat. Pengakuan terhadap hak-hak adat terkait dengan
HP3 sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 yang menyatakan HP3
diberikan dalam luasan dan waktu tertentu dan pemberian HP3 wajib
mempertimbangkan kepentingan kelestarian ekosistem pesisir dan pulaupulau kecil, masyarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas
damai bagi kapal asing.
Pemerintah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah
untuk menerbitkan HP3. Untuk dapat menerbitkan HP3, pemerintah
daerah harus sudah terlebih dahulu memiliki rencana strategis, rencana
zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi wilayah pesisir yang
masing-masing ditetapkan dalam bentuk suatu Peraturan Daerah (Perda).
Hal
ini
dimaksudkan
untuk
mengantisipasi
munculnya
konflik pemanfaatan setelah diberikannya HP3. Prioritas pertama
penerima HP3 adalah masyarakat lokal atau adat yang secara turun
temurun menguasai dan memanfaatkan perairan pesisir. Pemberian HP3
untuk komunitas ini tidak terbatas hanya untuk kegiatan ekonomi,
namun juga dapat diberikan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat
religius dan kultural.
Dalam Pasal 18 HP3 dapat diberikan kepada orang perseorangan
warga negara Indonesia; badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia; atau masyarakat adat. Masyarakat hukum adat di
berikan ruang dalam Undang-Undang ini untuk memiliki HP3. Diatur
bahwa subyek hukum lain yang dapat diberikan HP3 adalah warga
negara Indonesia dan badan hukum Indonesia. Oleh karena
itu, perusahaan asing atau multinasional tidak dapat diberikan HP3.
Jangka waktu HP3 akan diberikan dengan mempertimbangkan
23
karakteristik usaha danwaktu yang kondusif bagi tumbuhnya investasi.
Jangka waktu pertama akan diberikan selama 20 (dua puluh) tahun dan
dapat diperpanjang lagi masing-masing 20 (dua puluh) tahun sampai
waktu yang tak terbatas sepanjang masih dimanfaatkan secara efektif.
Selain itu, HP3 akan diberikan dalam bentuk sertifikat yang dapat
beralih, dialihkan dan dapat dijadikan jaminan utang. HP3 akan berakhir
karena jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi, ditelantarkan
atau dicabut untuk kepentingan umum.
Penerbitan HP3 bertujuan untuk mendorong orang, kelompok
masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan
pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai. Pengaplingan pesisir
untuk menopang HP3 dilakukan bersama-sama oleh pemerintah daerah,
masyarakat pesisir, dan pengusaha. Pemberian HP3 memberikan
kepastian hukum untuk berinvestasi sekaligus perlindungan kawasan.
HP3 akan mendorong percepatan investasi di wilayah pesisir dan
menguntungkan semua pihak. Pelaku usaha memiliki kepastian hukum
dalammengembangkan usaha dan nelayan terlindungi dalam menangkap
ikan di perairan.
Terdapat kelemahan dalam UU ini mengenai penerbitan HP3, yaitu
hak pengelolaan pesisir itu belum mampu melindungi nelayan dan
masyarakat pesisir terhadap kepentingan pemilik modal. Selain itu, HP3
tersebut akan mengapling laut untuk kegiatan usaha dikhawatirkan kian
menggerus hak-hak masyarakat adat yang sekian lama termajinalkan.
Setidaknya, ada tiga hal mendasar yang perlu dipertimbangkan ulang
dalam pemberian hak tersebut. Pertama, aspek pemenuhan hak atas
perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana.
Sudah menjadi pengetahuan setiap orang, bahwa wilayah Indonesia
terletak di sepanjang jajaran gunung api (yang dikenal dengan ring of fire),
serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah
menyebabkan Indonesia rawan bencana. Semua itu memberikan isyarat
betaparentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia
terhadap bencana. Kedua, menakar untuk siapa sebenarnya sertifikat
HP3 diberikan. Dengan komposisi kemiskinanan yang masih
mendominasi, serta taraf pendidikan yang juga masih sangatrendah,
menjadi tidak relevan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya
tradisional masuk ke dalam skema sertifikasi seperti yang diharapkan
UU. Budaya birokrasi yangrumit, dan cenderung mahal mengisyaratkan
penguasaan kegiatan usaha oleh pemilik modal besar justru akan
mendominasi, sejalan dengan kemudahan yang diberikan negara,dan
kemampuan pemodal memenuhi kebutuhan sertifikasi tersebut. Ketiga,
untuk mempertimbangkan kaitan intensitas konflik perikanan berkenaan
dengan hak kepemilikan. Hak kepemilikan mencakup pertanyaan filosofis
yang telah berlangsung sejak lama mengenaiaspek legal, sejarah
dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol perikanan. Konflik inisendiri
cenderung, di antaranya, disebabkan perbedaan kepentingan terhadap
beberapa bentuk kepemilikan perikanan, di antaranya: open-access,
manajemen terpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis
masyarakat, kuota individu, dan privatisasi.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di kawasan
perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan.
24
H.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Dalam UU tentang Pemerintahan Daerah ini, terdapat ketentuan
pembagian urusan Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian
urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu
terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi
kewenangan pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut
terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.
Urusan pemerintahan dimaksud meliputi: politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, moneter, yustisi, dan agama, dan bagian tertentu urusan
pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada
daerah.
Di samping itu, terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat
concurrent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam
bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan, bersama antara
pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang
bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi
kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada
provinsi,
dan
ada
bagian
urusan
yang
diserahkan
kepada
kabupaten/kota.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib
dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, seperti pendidikan
dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana
lingkungan dasar. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan
terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Mengenai ketentuan pelayanan pertanahan lintas kabupaten/kota
termasuk sebagai salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan provinsi, hal ini terdapat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf k
yang berbunyi sebagai berikut: “Urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi
yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan
ketertiban
umum
dan
ketenteraman
masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
25
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.”
Pelayanan pertanahan juga merupakan salah satu urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota, hal ini
tedapat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k, yang berbunyi sebagai berikut:
“Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota
meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan
ketertiban
umum
dan
ketenteraman
masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan lain mengenai tanah dalam UU Pemerintahan Daerah ini,
terkait dengan sumber pendapatan daerah. Pendapatan daerah salah
satunya bersumber dari dana bagi hasil yang berasal dari pajak yang
diperoleh dari Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta
kehutanan. Ketentuan ini termuat dalam Pasal 160 ayat (2), “Dana Bagi
Hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari:
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan, perkotaan,
perkebunan, pertambangan serta kehutanan;
b. Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sektor
perdesaan,
perkotaan,
perkebunan,
pertambangan
serta
kehutanan;
I.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini
mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian
lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program.
26
Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi
kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu
wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya
tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS
dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup
dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia
telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal
itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan
risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat,
industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara lain, dihasilkannya
limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam
media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan,
dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun
beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah
bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia.
Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai
konsekuensi
dari
pembangunan,
terus
dikembangkan
upaya
pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan
(amdal) adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan
hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam
pelaksanaan penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi
penilai amdal dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen
amdal, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang
amdal.
Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam
memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin
usaha.
Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan
hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal
instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya
represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten
terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah
terjadi.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem
hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas,
dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi
perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan
pembangunan lain.
UU ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik
hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan
hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak
gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara
27
tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan
meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa
pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi
kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
Penegakan hukum pidana dalam UU ini memperkenalkan ancaman
hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti,
pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan
hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan
hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium
yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap
tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi
tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran
baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Adanya penguatan yang terdapat dalam UU ini tentang prinsipprinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan
pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses
perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan
hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi,
akuntabilitas, dan keadilan.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Selain itu, UU ini juga mengatur:
keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup
strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan,
instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundangundangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan
hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
pendayagunaan pendekatan ekosistem;
kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan
lingkungan global;
penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih
jelas;
penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan
penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
Beberapa hal yang terkait dengan tanah dalam UU ini terdapat
dalam BAB IV tentang Pemanfaatan, yaitu dalam Pasal 12 mengenai
pemanfaatan sumber daya alam, dan dalam Bab V tentang Pengendalian,
yaitu dalam paragraf 4 mengenai kriteria kerusakan lingkungan hidup,
khususnya Pasal 21 ayat (3) huruf a “Kriteria baku kerusakan ekosistem
28
meliputi kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa, yang
dimaksud
dengan
"produksi
biomassa"
adalah
bentuk-bentuk
pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa. Yang
dimaksud dengan "kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi
biomassa" adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat
ditenggang
berkaitan
dengan
kegiatan
produksi
biomassa.
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup
lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan.
J.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur
pembentuk ruang lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan
buatan yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan
yang lainnya membentuk tata ruang. Wujud struktural pemanfaatan
ruang di antaranya meliputi hirarki pusat pelayanan seperti pusat kota,
pusat lingkungan, pusat pemerintahan; prasarana jalan seperti jalan
arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal; rancang bangun kota seperti
ketinggian bangunan, jarak antarbangunan, garis langit, dan sebagainya.
Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang
menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan
atau kegiatan alam. Wujud pola pemanfaatan ruang di antaranya meliputi
pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian,
serta pola penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan.
Tata ruang yang dituju dengan penataan ruang ini adalah tata ruang
yang direncanakan. Tata ruang yang tidak direncanakan berupa tata
ruang yang terbentuk secara alamiah seperti wilayah aliran sungai,
danau, suaka alam, gua, gunung, dan sebagainya.
Dalam Pasal 4 ayat (2), hak setiap orang dalam penataan ruang
dapat diwujudkan dalam bentuk bahwa setiap orang dapat mengajukan
usul, pemberi saran, atau mengajukan keberatan kepada pemerintah
dalam rangka penataan ruang.
Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan
selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumber daya alam
seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang dapat
membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang
dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak
tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun atas
hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.
Hak atas ruang adalah hak-hak yang diberikan atas pemanfaatan
ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Hak atas pemanfaatan
ruang daratan dapat berupa hak untuk memiliki dan menempati satuan
ruang di dalam bangunan sebagai tempat tinggal; hak untuk melakukan
kegiatan usaha seperti perkantoran, perdagangan, tempat peristirahatan,
dan/atau melakukan kegiatan sosial seperti tempat pertemuan di dalam
satuan ruang bangunan bertingkat; hak untuk membangun dan
mengelola prasarana transportasi seperti jalan layang; dan sebagainya.
Hak atas pemanfaatan ruang lautan dapat berupa hak untuk
memiliki dan menempati satuan ruang di dalam rumah terapung; hak
untuk melakukan kegiatan di dalam satuan ruang di dalam kota terapung
dan/atau di dalam laut; hak untuk mengelola pariwisata bahari; hak
pemeliharaan taman laut; hak untuk melakukan angkutan laut; hak
untuk mengeksploitasi sumber alam di laut seperti penangkapan ikan,
29
penambangan lepas pantai; dan sebagainya. Hak atas pemanfaatan ruang
udara dapat berupa hak untuk menggunakan jalur udara bagi lalu lintas
pesawat terbang; hak untuk menggunakan media udara bagi
telekomunikasi; dan sebagainya.
Penggantian yang layak adalah bahwa nilai atau besar penggantian
itu tidak mengurangi tingkat kesejahteraan orang yang bersangkutan.
Pengaturan pemanfaatan ruang untuk fungsi pertahanan keamanan
di tingkat Rencana Tata Ruang wilayah Nasional, wilayah Provinsi Daerah
Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II merupakan
satu kesatuan proses dalam rangka mewujudkan keseimbangan
kepentingan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Aspek
pengelolaan dalam ketentuan ini perlu mempertimbangkan secara
terpadu karena hal tersebut mempengaruhi dinamika pemanfaatan
ruang. Dinamika dalam pemanfaatan ruang tercermin antara lain dalam:
a. perubahan nilai sosial akibat rencana tata ruang;
b. perubahan nilai tanah dan sumber daya alam lainnya;
c.
perubahan status hukum tanah akibat rencana tata ruang;
d. dampak terhadap lingkungan; dan
e.
perkembangan serta
kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Dalam Pasal 14 ayat (2), perencanaan tata ruang mencakup
perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata
guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya
alam lainnya. Tata guna tanah, tata guna air, dan tata guna udara
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perencanaan struktur dan
pola pemanfaatan ruang, supaya keberlanjutan pemanfaatan tanah, air,
udara, dan sumber daya alam lainnya untuk kegiatan pembangunan dan
peningkatan kualitas tata ruang dapat terus berlangsung. Sebagai contoh
sumber daya alam lainnya adalah sumber daya alam nonhayati seperti
hutan, flora, fauna; dan sumber daya alam nonhayati seperti tambang
mineral, minyak bumi, energi angin, energi surya, potensi meteorologi
klimatologi, dan geofisika.
Dalam Pasal 16 ayat (1), pemanfaatan ruang dikembangkan:
a. pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan
asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. perangkat tingkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan
menghormati hak penduduk sebagai warga negara.
Pengertian pola pengelolaan tata guna tanah, pola pengelolaan tata
guna air, pola pengelolaan tata guna udara, dan pola pengelolaan tata
guna sumber daya alam lainnya adalah sama dengan penatagunaan
tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan
sumber daya alam lainnya.
Penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya antara lain adalah penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam
lainnya yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan
sumber daya alam lainnya melalui pengaturan kelembagaan yang terkait
dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya
sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Dalam pemanfaatan tanah, pemanfaatan air, pemanfaatan udara, dan
30
pemanfaatan sumber daya alam lainnya, perlu diperhatikan faktor yang
mempengaruhinya seperti faktor meteorologi klimatologi dan geofisika.
Dalam Pasal 21 ayat (2), RTRW Provinsi Daerah Tingkat I berisi:
arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara,
dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan
keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
Dalam Pasal 24, negara menyelenggarakan penataan ruang untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh
pemerintah. Pelaksanaan penataan ruang memberikan wewenang kepada
pemerintah untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan penataan ruang;
b. mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam
penataan ruang.
Pelaksanaan penataan ruang dilakukan dengan tetap menghormati
hak yang dimiliki orang. Yang dimaksud dengan hak yang dimiliki orang
adalah segala kepentingan hukum yang diperoleh atau dimiliki
berdasarkan peraturan perundang-undangan, hukum adat, atau
kebiasaan yang berlaku. Kepentingan hukum tersebut antara lain berupa
pemilikan atau penguasaan tanah atas dasar sesuatu hak yang diakui
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA).
K.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman
UU ini mengatur pembangunan perumahan dan kawasan
permukiman yang bertumpu pada masyarakat, memberikan hak dan
kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan di
dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Pemerintah
dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi
fasilitator, memberikan bantuan, dan kemudahan kepada masyarakat,
serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai
aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana
lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang
bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan
lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung.
a.
b.
c.
d.
e.
Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:
memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam
lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana,
dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu
mencerminkan
kehidupan
masyarakat
yang
berkepribadian
Indonesia;
ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk
pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta
lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;
mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan
tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil
guna;
memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan
negara; dan
mendorong iklim investasi asing.
31
Hal-hal khusus mengenai pertanahan dalam UU ini diatur dalam
BAB IX Penyediaan Tanah dalam Pasal 105 sampai dengan Pasal 117
yang mengatur hak atas tanah yang berkenaan dengan perumahan dan
kawasan pemukiman dengan mendelegasikan ketentuan teknisnya dalam
pembentukan peraturan pemerintah dan menyesuaikan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
L.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
UU tentang Perkebunan telah memasukan TAP MPR No. IX Tahun
2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
dalam konsiderannya, dan ternyata hanya sebatas penulisan belaka
karena pasal-pasal yang terdapat dalam UU ini sama sekali tidak
mencantumkan dan menjelaskan tata cara atau mekanisme penyelesaian
konflik tanah perkebunan. Pengakuan TAP MPR No. IX Tahun 2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam
konsiderans tersebut merupakan sebuah langkah maju karena pada
pembahasan RUU tidak dimasukkan. TAP MPR No. IX Tahun 2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai
sebuah hasil dari proses politik memberikan amanat kepada pemerintah
(eksekutif) dan DPR RI (legislatif) yang harus dijalankan oleh segenap
komponen negara.
UU tentang Perkebunan merupakan sebuah peraturan perundangundangan yang bersifat sektoral, khusus mengatur soal perkebunan yang
seharusnya tidak dilakukan pembahasan terlebih dahulu sebelum
amanat kaji ulang semua peraturan perundang-undangan sumber daya
alam dilakukan sesuai dengan TAP MPR No. IX Tahun 2001. Hak rakyat
atas tanah merupakan hak dasar dari setiap manusia, dan rakyat
mempunyai hak pengelolaan yang bersifat mandiri serta mempunyai
kemerdekaan dalam menentukan pengelolaanya. Demikian juga
hubungan antara manusia dengan tanah merupakan hubungan yang
bersifat sosio religius sehingga tanah tidak dapat hanya dipandang
sebagai aset produksi semata.
UU tentang Perkebunan tetap memandang tanah sebagai aset
produksi semata. Hal ini terbukti dengan dimasukannya pola
penggusuran baru. Tanah yang mempunyai hubungan sosio religius
apabila diperlukan untuk usaha perkebunan dan di atas tanah tersebut
terdapat masyarakat adat atau hak rakyat yang lebih dahulu ada maka
wajib dilakukan musyawarah. Prinsip musyawarah pada dasarnya
memang merupakan sebuah prinsip yang sangat diharapkan dalam setiap
pengambilan keputusan bersama. Prinsip lain yang terdapat dalam
musyawarah adalah keputusan hasil musyawarah diambil berdasarkan
sebuah kesepakatan bersama. UU tentang Perkebunan tidak menerapkan
prinsip dasar musyawarah karena musyawarah sudah diarahkan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.
Hak rakyat atas tanah sebagai hak dasar manusia harus dijamin
ketersediaannya oleh negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat
semesta. Penguasaan tanah yang terpusat pada individu maupun
kelompok dalam skala besar tidak dibenarkan, dan negara sebagai
penjamin harus melaksanakan fungsinya untuk melakukan distribusi
tanah untuk pemenuhan hak dasar tersebut.
UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan memberikan
perlindungan terhadap keberadaan tanah ulayat dan komunitas
masyarakat hukum adat, namun apabila dicermati isi dari UU
Perkebunan ini mengandung sisi lemah, antara lain UU ini cenderung
32
memperlihatkan dominasi negara, yaitu dalam Pasal 18 yang menyatakan
bahwa:
(1) Pemberdayaan
usaha
perkebunan
dilaksanakan
oleh
Pemerintah, propinsi, dan kabupaten/kota bersama palaku
usaha perkebunan serta lembaga terkait lainnya.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memfasilitasi sumber pembiayaan/permodalan;
b. menghindari pengenaan biaya yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
c. memfasilitasi pelaksanaan ekspor hasil perkebunan;
d. mengutamakan hasil perkebunan dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri;
e. mengatur pemasukan dan pengeluaran hasil perkebunan;
dan/atau;
f. memfasilitasi aksesibilitas ilmu pengetahuan dan teknologi
serta informasi.
Disisi lain UU ini masih memberi peluang praktik monopoli yang
tercermin dalam Pasal 20, yang menyatakan bahwa pelaku usaha
perkebunan melakukan usaha perkebunan dikoordinasikan oleh aparat
keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat di sekitarnya.
UU ini juga tidak memberi jalan keluar terhadap realitas konflik
sosial yang sudah lama muncul di sektor perkebunan. Hendaknya UU ini
memberi ruang atau menawarkan satu sistem atau mekanisme untuk
menyelesaikan konflik perkebunan. Apalagi melihat realitas konflik
perkebunan yang terus meningkat dari dulu sampai sekarang. Penentuan
luas maksimum dan minimum tanah untuk usaha perkebunan
berpedoman pada modal, kapasitas pabrik, pola pengembangan usaha,
dan perkembangan teknologi. Pekebun-pekebun yang mengusahakan
perkebunan rakyat akan mendapatkan luas tanah yang minimum karena
perkebunan rakyat biasanya mempergunakan modal dalam skala kecil.
Penguasaan areal perkebunan dalam skala besar akan dibenarkan karena
perkebunan besar sudah berasal dan berdiri dengan modal besar serta
mempunyai
perhitungan
efisiensi investasi
untuk
memperoleh
keuntungan. Perkebunan besar akan semakin melakukan akumulasi
modal investasinya untuk mengejar target produksi dan ekspansi pasar
dengan asumsi semakin besar keuntungan yang akan diperoleh.
Perkebunan rakyat kebanyakan tidak mempunyai pabrik pengolahan
sendiri. Kalau pun perkebunan rakyat mempunyai pabrik pengolahan
sendiri akan lebih bersifat sebagai sebuah usaha kolektif diantara para
pekebun yang diorganisir dalam sebuah organisasi. Lain halnya apabila
dalam konteks perkebunan besar swasta atau perkebunan besar negara
yang hampir dipastikan sudah mempunyai pabrik pengolahan hasil
perkebunan sendiri untuk memperkecil biaya produksi atau lebih
mencerminkan bahwa usaha perkebunan besar swasta dan negara
merupakan sebuah kartel bisnis yang menguasai pengusahaannya dari
hulu sampai hilir. Pengelolaan perkebunan rakyat oleh pekebun dengan
mempergunakan mekanisme lokal sesuai dengan kearifan dan nilai-nilai
lokal dianggap oleh pemerintah tidak mempergunakan teknologi dan tidak
mempunyai pola pengembangan usaha yang baik. Kesalahan persepsi
sebenarnya telah terjadi dalam memandang penggunaan teknologi di
mana selalu dianggap hanya sebatas penggunaan teknologi-teknologi
modern yang terkadang tidak ramah lingkungan. Intensifikasi dan
diversifikasi usaha perkebunan selalu saja dipahami dengan cara-cara
33
menaikan
angka
produksi
untuk
mengejar
target
dengan
mempergunakan mesin-mesin pertanian, bahan atau obat-obatan kimia
dan bibit-bibit rekayasa genetika.
UU tentang Perkebunan yang hanya berorientasi pada perkebunan
besar swasta dan negara kembali dapat ditemui ketika pemberian izin
usaha perkebunan berdasarkan luasan tanah tertentu dan kapasitas
tertentu. Dasar penetapan tersebut adalah berdasarkan jenis tanaman,
teknologi, permodalan, dan tenaga kerja. Fungsi perkebunan yang
diadopsi oleh Undang-Undang Perkebunan mencakup tiga hal, pertama,
fungsi secara ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan
nasional. Kedua, fungsi ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan
air, penyerap karbon, penyedia oksigen dan penyangga kawasan lindung.
Ketiga, fungsi sosial budaya sebagai pemersatu kesatuan bangsa.
M.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
Materi yang berhubungan dengan pengaturan RUU tentang
Pertanahan apabila dikaitkan dengan PP No. 24 Tahun 1997 adalah
dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa
pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya. Kemudian dalam Pasal 1 angka 2
menyatakan bahwa bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang
merupakan satuan bidang yang berbatas.
Asas pendaftaran tanah yang terdapat dalam Pasal 2 PP No. 24
Tahun 1997 adalah asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan
terbuka. Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar
ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah
dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para
pemegang hak atas tanah. Sedangkan asas aman dimaksudkan untuk
menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara
teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian
hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. Asas terjangkau
dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan
ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan
pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan. Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai
dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan
datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir.
Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahanperubahan yang terjadi di kemudahan hari. Asas mutakhir menuntut
dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan
berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan
selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat
memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk
itulah diberlakukan pula asas terbuka.
34
Selanjutnya tujuan pendaftaran tanah tercantum dalam Pasal 3,
yaitu:
a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar;
c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Dalam Pasal 5 juga disebutkan bahwa pendaftaran tanah
diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Kemudian Pasal 6
menyatakan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah
pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Peraturan
Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan
kepada Pejabat lain. Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala
Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP ini dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Pasal 7 PP ini menyatakan bahwa PPAT diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri. Kemudian untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil,
Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara. Peraturan jabatan PPAT
diatur dengan PP tersendiri. Pengaturan mengenai PPAT ini juga dapat
dimasukkan ke dalam RUU Pertanahan dengan menaikkan pengaturan
dalam PP ini ke dalam RUU Pertanahan.
Dalam Pasal 9 menjabarkan mengenai obyek pendaftaran tanah
meliputi:
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah susun;
e. hak tanggungan;
f. tanah negara.
Selanjutnya, dalam hal tanah negara sebagai obyek pendaftaran
tanah pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah
yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah.
Kemudian dalam Pasal 10 menyatakan bahwa satuan wilayah tata
usaha pendaftaran tanah adalah desa atau kelurahan. Khusus untuk
pendaftaran tanah hak guna usaha, hak pengelolaan, hak tanggungan
dan tanah negara satuan wilayah tata usaha pendaftarannya adalah
Kabupaten/Kotamadya.
Dalam Pasal 11 menyatakan bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah
meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan
pemeliharaan data pendaftaran tanah. Selanjutnya dalam Pasal 12
menyebutkan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:
a. pengumpulan dan pengolahan data fisik;
b. pembuktian hak dan pembukuannya;
35
c. penerbitan sertifikat;
d. penyajian data fisik dan data yuridis;
e. penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Kemudian dalam PP ini menyatakan kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran tanah meliputi pendaftaran peralihan dan pembebanan hak
dan pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Selanjutnya, dalam Pasal 13 menjabarkan pelaksanaan pendaftaran
tanah untuk pertama kali dengan cara pendaftaran tanah untuk pertama
kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan
pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik
didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayahwilayah yang ditetapkan oleh Menteri. Kemudian jika
suatu
desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah
secara sistematik, pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran
tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan
atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Peraturan Pemerintah ini juga mencantumkan mengenai pengukuran
dan pemetaan. Dalam Pasal 14 menyebutkan untuk keperluan
pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran
dan pemetaan. Kegiatan pengukuran dan pemetaan meliputi:
a. pembuatan peta dasar pendaftaran;
b. penetapan batas bidang-bidang tanah;
c. pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan
peta pendaftaran;
d. pembuatan daftar tanah;
e. pembuatan surat ukur.
Kemudian dalam Pasal 17 untuk memperoleh data fisik yang
diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang-bidang tanah yang akan
dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan
menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap sudut
bidang tanah yang bersangkutan. Dalam penetapan batas bidang tanah
pada pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara
sporadik diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para
pihak yang berkepentingan. Penempatan tanda-tanda batas termasuk
pemeliharaannya wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan. Kemudian bentuk, ukuran, dan teknik penempatan tanda
batas ditetapkan oleh Menteri.
Selanjutnya dalam Pasal 19 menyatakan Jika dalam penetapan batas
bidang tanah tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang
berbatasan, pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara
dilakukan berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataannya
merupakan batas-batas bidang-bidang tanah yang bersangkutan.
Jika pada waktu yang telah ditentukan pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan atau para pemegang hak atas tanah yang berbatasan
tidak hadir setelah dilakukan pemanggilan, pengukuran bidang tanahnya,
untuk sementara dilakukan ketua panitia ajudikasi dalam pendaftaran
tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam
pendaftaran tanah secara sporadik membuat berita acara mengenai
dilakukannya pengukuran sementara termasuk mengenai belum
diperolehnya kesekapatan batas atau ketidakhadiran pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan. Dalam gambar ukur sebagai hasil pengukuran
36
sementara dibubuhkan catatan atau tanda yang menunjukkan bahwa
batas-batas bidang tanah tersebut baru merupakan batas-batas
sementara.
Dalam hal telah diperoleh kesepakatan melalui musyawarah
mengenai batas-batas yang dimaksudkan atau diperoleh kepastiannya
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, diadakan penyesuaian terhadap data yang ada pada peta
pendaftaran yang bersangkutan.
Dalam Pasal 23 menyebutkan untuk keperluan pendaftaran hak:
a. hak atas tanah baru dibuktikan dengan:
1) penetapan pemberian hak dari Pajabat yang berwenang
memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang
berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah
Negara atau tanah hak pengelolaan;
2) asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh
pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan
apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas
tanah hak milik;
b. hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak
pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang;
c. tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta
pemisahan;
e. pemberian hak tanggungan dibuktikan.
Mengenai pembuktian hak lama dalam PP ini mencantumkan untuk
keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi
hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak
tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau
pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh panitia
ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh kepala
kantor pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap
cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang
membebaninya. Kemudian dalam hal tidak lagi tersedia secara lengkap
alat-alat pembuktian pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan
kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20
(dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon
pendaftaran dan pendahulunya, dengan syarat:
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara
terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah,
serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;
b. penguasaan
tersebut
baik
sebelum
maupun
selama
pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum
adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak
lainnya.
Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti tersebut dilakukan
pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah yang
bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara
sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah
secara sporadik. Hasil penelitian alat-alat bukti dituangkan dalam suatu
daftar isian yang ditetapkan oleh Menteri. Daftar isian beserta peta bidang
atau bidang-bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil pengukuran
diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara
37
sistematik atau 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara
sporadik untuk memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan
mengajukan keberatan. Pengumuman dilakukan di Kantor Panitia
Ajudikasi dan Kantor Kepala Desa/Kelurahan letak tanah yang
bersangkutan dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau di kantor
pertanahan dan kantor kepala desa/kelurahan letak tanah yang
bersangkutan dalam pendaftaran tanah secara sporadik serta di tempat
lain yang dianggap perlu. Selain pengumuman, dalam hal pendaftaran
tanah secara sporadik individual, pengumuman dapat dilakukan melalui
media massa.
Kemudian dalam Pasal 27 Jika dalam jangka waktu pengumuman
ada yang mengajukan keberatan mengenai data fisik dan atau data
yuridis yang diumumkan, Ketua Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran
tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam
pendaftaran tanah secara sporadik mengusahakan agar secepatnya
keberatan yang diajukan diselesaikan secara musyawarah untuk
mufakat.
Jika usaha penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat
membawa hasil, dibuatkan berita acara penyelesaian dan jika
penyelesaian yang dimaksudkan mengakibatkan perubahan pada apa
yang diumumkan, perubahan tersebut diadakan pada peta bidang-bidang
tanah dan atau daftar isian yang bersangkutan.
Jika usaha penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak
dapat dilakukan atau tidak membawa hasil, Ketua Panitia Ajudikasi
dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan Kepala Kantor
Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik memberitahukan
secara tetulis kepada pihak yang mengajukan keberatan agar
mengajukan gugatan mengenai data fisik dan atau data yuridis yang
disengketakan ke Pengadilan.
Pengaturan mengenai biaya pendaftaran tanah dalam Pasal 61
menyatakan besarnya dan cara pembayaran biaya-biaya dalam rangka
pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri. Atas permohonan yang bersangkutan, Menteri atau
Pejabat yang ditunjuk dapat membebaskan pemohon dari sebagian atau
seluruh biaya, jika pemohon dapat membuktikan tidak mampu
membayar biaya tersebut. Untuk pendaftaran peralihan hak karena
pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran. Tata cara untuk
memperoleh pembebasan atas biaya pendaftaran tanah diatur oleh
Menteri.
Ketentuan mengenai sanksi dalam Pasal 62 menyatakan PPAT yang
dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan yang
diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan
administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari
jabatannya sebagai PPAT dengan tidak mengurangi kemungkinan
dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang
diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut. Selain itu
yan dikenai sanksi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dalam Pasal 63
Kepala Kantor Pertanahan yang dalam melaksanakan tugasnya
mengabaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan
dalam peraturan pelaksanaannya serta ketentuan-ketentuan lain dalam
pelaksanaan tugas kegiatan pendaftaran tanah dikenakan sanksi
administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
38
N.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah Presiden Republik Indonesia
Materi yang berhubungan dengan pengaturan RUU tentang
Pertanahan apabila dikaitkan dengan PP No. 16 tahun 2004 adalah dalam
Pasal 1 angka 1 yang dimaksud penatagunaan tanah adalah sama dengan
pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah
melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah
sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Kemudian dalam Pasal 2 mencantumkan penatagunaan tanah
berasaskan keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras,
seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan
perlindungan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa
penatagunaan tanah bertujuan untuk:
a. mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi
berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah;
c. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan
tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;
d. menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan
dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.
Dalam Pasal 4 PP ini mengatur mengenai pokok-pokok
penatagunaan tanah yaitu
dalam rangka pemanfaatan ruang
dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan
tata guna tanah. Penatagunaan tanah merupakan kegiatan di bidang
pertanahan di kawasan lindung dan kawasan budidaya. Penatagunaan
tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota. Penatagunaan tanah diselenggarakan sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.
Penatagunaan tanah dilaksanakan melalui kebijakan penatagunaan
tanah dan penyelenggaraan penatagunaan tanah. Kemudian dalam Pasal
6 mengenai kebijakan penatagunaan tanah menyebutkan kebijakan
penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap:
a. bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah
atau belum terdaftar;
b. tanah negara;
c. tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya dalam Pasal 7 menyatakan terhadap tanah-tanah,
penggunaan dan pemanfaatan tanahnya harus sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah. Kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah
terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah ditentukan berdasarkan pedoman,
standar dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pedoman,
standar dan kriteria teknis dijabarkan lebih lanjut oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing.
39
Penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah tidak dapat diperluas atau dikembangkan penggunaannya.
Pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah tidak dapat ditingkatkan pemanfaatannya.
Dalam Pasal 8 menyebutkan pemegang hak atas tanah wajib
menggunakan dan dapat memanfaatkan tanah sesuai Rencana Tata
Ruang Wilayah, serta memelihara tanah dan mencegah kerusakan tanah.
Kemudian dalam Pasal 9 Penguasaan Tanah penetapan Rencana Tata
Ruang Wilayah tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas tanah.
Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah tidak mempengaruhi status
hubungan hukum atas tanah yang di atas atau di bawah tanahnya
dilakukan pemanfaatan ruang.
Dalam Pasal 10 terhadap tanah setelah penetapan Rencana Tata
Ruang Wilayah, penyelesaian administrasi pertanahan dilaksanakan
apabila pemegang hak atas tanah atau kuasanya memenuhi syarat-syarat
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah. Apabila syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan
tanah tidak dipenuhi, akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 11 menyatakan bahwa terhadap tanah dalam kawasan
lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas
tanah, kecuali pada kawasan hutan. Terhadap tanah dalam kawasan
cagar budaya yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak
atas tanah tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, kecuali pada lokasi situs.
Selanjutnya mengenai pengaturan mengenai tanah timbul adalah
dalam Pasal 12 menyatakan tanah yang berasal dari tanah timbul atau
hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau,
dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara.
Mengenai Penatagunaan dan Pemanfaatan tanah dalam Pasal 13
menyatakan Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung
atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di
kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah
bentang alam dan ekosistem alami. Penggunaan tanah di kawasan
budidaya tidak boleh diterlantarkan, harus dipelihara dan dicegah
kerusakannya. Pemanfaatan tanah di kawasan budidaya tidak saling
bertentangan, tidak saling mengganggu, dan memberikan peningkatan
nilai tambah terhadap penggunaan tanahnya. Ketentuan penggunaan dan
pemanfaatan tanah ditetapkan melalui pedoman teknis penatagunaan
tanah, yang menjadi syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah.
Dalam Pasal 14 menyebutkan dalam hal penggunaan dan
pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib mengikuti
persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan.
Dalam Pasal 15 menyatakan penggunaan dan pemanfaatan tanah
pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang tanah yang berada di
sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau
sempadan sungai, harus memperhatikan :
a. kepentingan umum;
40
b. keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan,
keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian
fungsi lingkungan.
Dalam Pasal 16 apabila terjadi perubahan Rencana Tata Ruang
Wilayah, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah mengikuti Rencana
Tata Ruang Wilayah yang terakhir. Kemudian dalam Pasal 17
Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah
penggunaan tanahnya. Peningkatan pemanfaatan tanah harus
memperhatikan hak atas tanahnya serta kepentingan masyarakat.
Dalam Pasal 18 Pemanfaatan tanah dalam kawasan lindung dapat
ditingkatkan
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian
dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ekowisata apabila
tidak mengganggu fungsi lindung.
Dalam Pasal 20 penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.
Pelaksanaan penatagunaan tanah dilakukan sesuai dengan
ketentuan Pasal 22 yaitu dalam rangka menyelenggarakan penatagunaan
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilaksanakan kegiatan
yang meliputi :
a. pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah;
b. penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut
fungsi kawasan;
c. penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Kemudian kegiatan penatagunaan tanah disajikan dalam peta
dengan skala lebih besar dari pada skala peta Rencana Tata Ruang
Wilayah yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai pembinaan dan pengendalian dalam Pasal 25
menyebutkan
dalam
rangka
pembinaan
dan
pengendalian
penyelenggaraan penatagunaan tanah, Pemerintah melaksanakan
pemantauan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Pemantauan diselenggarakan melalui pengelolaan sistem informasi
geografi penatagunaan tanah. Selanjutnya dalam Pasal 26 menyatakan
bahwa pembinaan atas penyelenggaraan penatagunaan tanah dilakukan
oleh Pemerintah. Pembinaan meliputi pemberian pedoman, bimbingan,
pelatihan, dan arahan.
O.
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
Materi yang berhubungan dengan pengaturan RUU tentang
Pertanahan apabila dikaitkan dengan PP No. 224 Tahun 1961, mengenai
tanah-tanah yang akan dibagikan dalam Pasal 1, yang menyebutkan
bahwa tanah-tanah yang dalam rangka pelaksanaan Landreform akan
dibagikan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
ialah:
a. tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai
dimaksudkan dalam UU No. 56 Prp Tahun 1960 dan tanah-tanah
yang jatuh pada Negara, karena pemiliknya melanggar
ketentuan-ketentuan Undang-undang tersebut;
41
b. tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya
bertempat tinggal diluar daerah, sebagai yang dimaksudkan
dalam Pasal 3 ayat 5
c. tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih
kepada Negara, sebagai yang dimaksudkan dalam Diktum
Keempat huruf A Undang-undang Pokok Agraria
d. tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara, yang akan
ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Jika dalam RUU Pertanahan mengukuhkan adanya Menteri Agraria
maka RUU pertanahan dapat mengakomodasi ketentuan dalam PP ini
dalam Pasal 2 yang menyebutkan pemilik tanah yang melebihi batas
maksimum termaksud dalam UU No. 56 Prp Tahun 1960 diberi
kesempatan untuk mengajukan usul kepada Menteri Agraria, mengenai
bagian atau bagian-bagian mana dari tanahnya yang ia inginkan tetap
menjadi miliknya. Dengan memperhatikan usul tersebut diatas Menteri
Agraria menetapkan bagian atau bagian-bagian mana dari tanah itu yang
tetap menjadi hak pemilik, (selanjutnya disebut tanah hak pemilik) dan
yang mana langsung dikuasai oleh Pemerintah, untuk selanjutnya dibagibagikan. Menteri Agraria dapat menyerahkan wewenang tersebut pada
ayat 1 dan 2 pasal ini kepada Panitia Landreform Daerah Tingkat II.
Penguasaan tanah-tanah yang dimulai pada tanggal 24 September 1961.
Kemudian dalam Pasal 3 menyatakan bahwa pemilik tanah yang
bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka
waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di
kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah
tersebut. Kewajiban tersebut tidak berlaku bagi pemilik tanah yang
bertempat
tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat
letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih
memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien, menurut
pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang sekarang
disebut kabupaten/kota. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut
maka jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat
kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun
berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik tanahnya kepada orang
lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu. Ketentuan ini tidak berlaku
bagi mereka, yang mempunyai tanah di kecamatan tempat tinggalnya
atau di kecamatan sebagai yang dimaksudkan, yang sedang menjalankan
tugas Negara, menunaikan kewajiban agama, atau mempunyai alasan
khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria.
Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang
dipersamakan dengan mereka, yang sedang menjalankan tugas Negara,
perkecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada pemilikan tanah
pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang ditentukan untuk
daerah yang bersangkutan menurut UU No. 56 Prp Tahun 1960. Jika
kewajiban tersebut pada ayat 1 dan 3 pasal ini tidak dipenuhi, maka
tanah yang bersangkutan diambil oleh Pemerintah, untuk kemudian
dibagi-bagikan menurut ketentuan Peraturan ini. Kepada bekas pemilik
tanah yang dimaksud dalam ayat 5 pasal ini diberi ganti kerugian
menurut ketentuan peraturan ini.
Kemudian dalam Pasal 4 menyatakan Tanah Swapraja dan bekas
Swapraja yang dengan ketentuan diktum IV huruf A UUPA beralih kepada
negara, diberi peruntukan, sebagian untuk kepentingan Pemerintah,
sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya
42
hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini.
Tanah untuk kepentingan Pemerintah, ditetapkan menurut keperluannya
oleh Menteri Agraria. Tanah yang diperuntukkan bagi mereka yang
langsung dirugikan, sebagai yang, letak dan luasnya ditetapkan oleh
Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah yang sekarang disebut Menteri Dalam Negeri.
Kemudian mengenai pengaturan pemberian ganti kerugian kepada
bekas pemilik yang tercantum dalam Pasal 6 adalah kepada bekas pemilik
dari tanah-tanah ini diambil oleh Pemerintah untuk dibagi-bagikan
kepada yang berhak atau dipergunakan oleh Pemerintah sendiri,
diberikan ganti kerugian, yang besarnya ditetapkan oleh Panitia
Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan, atas dasar perhitungan
perkalian hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir, yang ditetapkan
tiap hektarnya menurut golongan kelas tanahnya, dengan menggunakan
degresivitet sebagai tertera dibawah ini:
a. untuk 5 hektar yang pertama: tiap hektarnya 10 kali hasil bersih
setahun;
b. untuk 5 hektar yang kedua, ketiga dan keempat : tiap hektarnya
9 kali hasil bersih setahun;
c. untuk yang selebihnya: tiap hektarnya 7 kali hasil bersih
setahun;
dengan ketentuan bahwa jika harga tanah menurut perhitungan tersebut
diatas itu lebih tinggi daripada harga umum, maka harga umumlah yang
dipakai untuk penetapan ganti kerugian tersebut.
Kemudian mengenai pengaturan pembagian tanah dan syaratsyaratnya dalam Pasal 8 menyebutkan dengan mengingat pasal 9 sampai
dengan Pasal 12 dan pasal 14, maka tanah-tanah yang dimaksudkan
dalam pasal 1 huruf a, b dan c dibagi-bagikan dengan hak milik kepada
para petani oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang
bersangkutan, menurut prioritas sebagai berikut:
a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
b. Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah
yang bersangkutan;
c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
d. Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang
bersangkutan;
e. Penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;
f. Penggarap tanah-tanah yang oleh Pemerintah diberi peruntukan
lain berdasarkan pasal 4 ayat 2 dan 3;
g. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar;
h. Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar;
i. Petani atau buruh tani lainnya;
Jika didalam tiap-tiap prioritet tersebut dalam ayat (1) Pasal ini
terdapat:
a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari
dua derajat denganbekas pemilik, dengan ketentuan sebanyakbanyaknya 5 orang;
b. Petani yang terdaftar sebagi veteran;
c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur;
43
d. Petani yang menjadi korban kekacauan, maka kepada mereka itu
diberikan pengutamaan diatas petani-petani lain, yang ada
didalam golongan prioritet yang sama.
44
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Secara konstitusional negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan
tujuan negara sebagaimana digariskan dalam UUD 1945, yaitu untuk
memajukan kesejahteraan umum. Salah satu sumber daya utama dalam
mewujudkan kesejahteraan umum adalah melalui pengelolaan dan
pendayagunaan tanah. Mengingat tanah dalam wilayah NKRI merupakan
salah satu sumber daya alam utama yang selain memiliki nilai batiniah yang
mendalam bagi rakyat Indonesia, juga memiliki fungsi yang sangat strategis
dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang semakin meningkat dan
beragam, baik di tingkat nasional maupun dalam hubungannya dengan dunia
internasional,14 oleh karenanya tanah harus dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini berarti,
pengelolaan dan pemanfaatan tanah sebagai bagian dari sumber daya alam
Indonesia harus dilakukan secara bijaksana demi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan
harus dilakukan melalui pengaturan hubungan-hubungan hukum
yang
berakar dari nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia.
Dalam perkembangannya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
tanha telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan
struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan serta
menimbulkan konflik. Oleh karenanya, MPR melalui Ketetapan MPR RI No.
IX/MPR RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam mengamanatkan dilakukannya pembaruan agraria yang mencakup
proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya
agraria, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia. Salah satu kebijakan yang perlu ditempuh dalam pembaruan
agraria adalah melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka
sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundangundangan.
B. Landasan Sosiologis
1. Arti dan Fungsi Tanah
Penempatan Bangsa Indonesia sebagai penerima karunia Tuhan Yang
Maha Esa atas bumi Indonesia mengandung makna bahwa bumi Indonesia
merupakan kepunyaan bersama seluruh komponen bangsa, sehingga
setiap warga negara dihargai sebagai subjek yang mempunyai hak dan
tanggung jawab sama dalam pemeliharaan, penggunaan, atau
peruntukkan bumi Indonesia itu. Hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
yang berarti hak apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat
14Boedi
Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Universitas
Trisaksti, 2007, hal. 3.
45
dibenarkan bahwa tanah tersebut akan dipergunakan (atau tidak
dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadi, apalagi kalau hal
itu menimbulkan kerugian masyarakat.
Bagi masyarakat Indonesia, hubungan manusia dan tanah mempunyai
sifat kodrati. Dalam hal ini tidak dapat dihilangkan oleh siapapun. Kecuali
jika tanahnya terkena bencana, seperti lumpur lapindo, tanah yang
dimiliki tidak dapat ditempati, dikelola, dimanfaatkan, digunakan, dipakai
ataupun diperjualbelikan.
Bumi, air, dan ruang angkasa Bangsa Indonesia merupakan aset yang
sangat penting dalam mengakomodir kehidupan Bangsa Indonesia. Oleh
karenanya, ikatan yang kuat antara Bangsa Indonesia dengan tanah
memerlukan komitmen kuat untuk menjaga penguasaan dan kepemilikan
atas tanah agar tetap berada dalam kekuasaan Bangsa Indonesia.
Wilayah Indonesia merupakan negara maritim, pada negara lain,
perairan merupakan pemisah antara negara yang satu dengan negara yang
lain, sedangkan bagi Indonesia, perairan itu juga sebagai penghubung
antara pulau yang satu dengan pulau yang lain di Indonesia, karena
Indonesia memiliki beribu-ribu pulau, baik yang bernama ataupun belum
bernama. Untuk yang belum bernama, pulau tersebut sangat
mengkhawatirkan, apalagi jika pulau tersebut langsung berbatasan dengan
negara lain, yang dapat membuka celah negara lain untuk mengakui pulau
tersebut. Dalam kaitannya dengan bidang pertanahan, tanah-tanah di
Indonesia sangat penting artinya dalam menjaga stabilitas wilayah
nasional maka warga negara asing tidak boleh memiliki hak milik atas
tanah, namun dapat memperoleh hak pakai. Apabila mereka dapat
memperoleh hak milik, itu sangat riskan, yang ditakutkan adalah semua
tanah wilayah Indonesia menjadi kepunyaan asing.
2. Ketimpangan Kepemilikan Tanah
Dalam ketentuan penguasaan tanah tidak diadakan perbedaan lagi
antara warga negara pribumi dengan non pribumi dan antar laki-laki
dengan perempuan. Asas musyawarah sebagai ciri khas bangsa Indonesia
menjadi unsur utama dalam memecahkan segala persoalan yang berkaitan
dengan tanah.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, keadilan yang dimaksud
adalah mengenai hasil tanah, bukan mengenai hak atas tanah. Artinya,
orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam
menerima bagian atas manfaat hasil tanah.
Landreform (reforma agraria) merupakan salah satu kebijakan di
Indonesia dalam rangka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Landreform bertujuan untuk meningkatkan dan memeratakan pemilikan
dan penguasaan tanah serta dengan memperbaiki persyaratan-persyaratan
dalam pengusahaan tanah oleh para penggarap tanah kepunyaan orang
lain.
Selanjutnya kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas
tidak diperkenankan karena hal tersebut dapat merugikan kepentingan
umum, terutama golongan ekonomi lemah. Dikatakan demikian karena
jika terjadi kepemilikan yang melampaui batas, terutama oleh golongan
ekonomi mampu atau menengah ke atas, akan timbul perekonomian yang
kurang kondusif di mana nantinya akan timbul jurang pemisah yang
semakin dalam antara si kaya dengan si miskin. Karena bisa saja,
golongan ekonomi lemah tidak mempunyai tempat tinggal dan itu salah
46
satu bentuk keadilan, yang artinya terjadi penyimpangan dengan sila
kelima Pancasila, yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Asas yang menjadi dasar dari perubahan-perubahan dalam struktur
pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu negara-negara yang
telah/sedang menyelenggarakan “landreform” atau “agrarian reform”, yaitu
tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh
pemiliknya sendiri. Hal itu perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya
misalnya perlu ada batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oelh
petani yang dibuat dalam suatu ketentuan supaya ia mendapat
penghasilan yang cukup layak bagi diri sendiri dan keluarganya perlu pula
adanya ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh
dikuasai dengan hak milik agar dicegah menumpuknya tanah di tangan
golongan-golongan tertentu saja.
3. Tanah-Tanah Hak Adat
Hasil amandemen pertama terhadap UUD 1945 menggambarkan politik
hukum nasional yang mengakui keberadaan hak ulayat. Pasal 18B UUD
1945 yang merupakan hasil dari amandemen pertama tersebut,
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI,
yang diatur dalam undang-undang.
Pengakuan ini memang penting, karena harus diakui, hak tradisional
masyarakat hukum adat lahir dan telah ada jauh sebelum NKRI terbentuk.
Hanya kemudian, setelah terbentuknya NKRI hak-hak tradisional inilah
yang harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip dan spirit NKRI. Hak
ulayat sebagai bagian dari hak tradisionil masyarakat hukum adat juga
harus memenuhi persyaratan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip NKRI untuk dapat diakui keberadaannya dalam tatanan
hukum Indonesia. Hak ulayat itu sendiri memiliki ruang lingkup yang
mencakup hak ulayat atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam.
Hak ulayat atas tanah jelas diakui dalam UUPA, terlebih UUPA
menyatakan secara tegas bahwa hukum tanah Indonesia bersumber pada
hukum adat. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi”.
Ketentuan tersebut kemudian dipertegas dalam ketentuan Pasal 5
UUPA:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta denganperaturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama”.
47
Hukum tanah adat sendiri didefinisikan sebagai hak kepemilikan dan
penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa
lampau dan masa kini serta ada yang tidak memiliki bukti-bukti
kepemilikan secara autentik atau tertulis.15
Secara faktual masyarakat adat dengan hak-hak tradisionalnya telah
ada jauh sebelum terbentuknya NKRI, namun dalam perkembangannya
negara melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengakui keberadaan hakhak masyarakat adat (termasuk hak ulayat) sebagai pranata yang diakui
sepanjang masih ada serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
berdasarkan undang-undang. Ketentuan seolah-olah memposisikan hak
ulayat sebagai pihak yang harus menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat modern. Pada tataran normatif, pengakuan dan perlindungan
terhadap eksistensi hak ulayat tersirat dalam beberapa peraturan
perundangan dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Sedangkan dalam
tataran praktek, banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan
pemeritah atau investor yang bersumber pada sengketa hak ulayat.
Maraknya konflik yang bersumber pada pemanfaatan obyek hak ulayat
lebih disebabkan ketidakjelasan pengaturan hubungan hukum antara
masyarakat adat dengan pihak di luar masyarakat adat tersebut yang akan
memanfaatkan obyek hak ulayat. Meskipun masyarakat adat telah
memiliki aturan tidak tertulis yang diberlakukan secara turun temurun
dalam hal mengatur hubungan hukum di bidang hukum harta kekayaan
seperti jual gadai, jual lepas, jual tahunan, dan bagi hasil/belah
pinang/paruh hasil taman,16 tetapi dalam transaksi dengan masyarakat
modern, ketentuan-ketentuan yang berseumber dari hukum adat tersebut
kurang diperhatikan. Sebaliknya, aturan hubungan hukum tersebut sering
menggunakan hukum positif.
4. Sengketa Pertanahan17
Di Indonesia saat ini, konflik agraria khususnya pertanahan adalah
satu persoalan yang sangat serius. Ironisnya, konflik agraria ini tidak
pernah diperhatikan dan diurus oleh badan-badan negara Republik
Indonesia secara serius. Sehingga di satu pihak, masih terus-menerus
hidup faktor-faktor yang menyebabkan seringnya, dalamnya dan luasnya
konflik-konflik agraria dan di pihak lain tidak ada upaya secara sistematik
untuk menyelesaikan konflik-konflik itu, terutama dalam rangka
pemenuhan rasa keadilan dan hak asasi para korban.
Resource center KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) melakukan
perekaman atas 1.753 kasus konflik agraria yang sifatnya struktural,
yaitu18 kasus-kasus konflik yang terjadi (melibatkan) penduduk setempat
15B.
F. Sihombing, dalam Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 9.
Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Adat, Cetakan Ketujuh, Yogyakarta: Liberty, 2012,
hal. 28 dan 37.
17Disarikan dari NA.
18KPA mengembangkan suatu sistem inventarisasi data mengenai kasus-kasus sengketa
agraria yang terjadi di Indonesia lewat program Data Base Sengketa Agraria – KPA yang
sistemnya dikembangkan sebagai bagian kerjasama KPA dengan dari proyek penelitian “Land
Tenure and Law in Indonesia: Implications for Livelihood, Community and Environment” yang
dilakukan oleh Dr. Carol Warren (Murdoch University, Perth) dan Dr. Anton Lucas (Flinders
University, Adelaide). Data-data untuk kasus sengketa yang diinvetarisir bersumber dari:
kliping sejumlah media massa nasional, khususnya, yang terbit sejak tahun 1972 dan
beberapa media massa lokal (berdasarkan ketersediaannya di Sekretariat BP-KPA),
laporanlaporan investigasi yang dilakukan sejumlah anggota KPA, kronologi-kronologi
sengketa yang dikirim oleh masyarakat atau anggota KPA ke Sekretariat BP-KPA, serta
laporan-laporan dan hasil studi terhadap sengketa agraria yang telah diterbitkan dalam
bentuk buku,monograf, dan sebagainya yang bisa didapatkan di Resource Center KPA. Adapun
16Iman
48
di satu pihak yang berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau
instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat ke
dalam 3 sektor, seperti yang dikemukakan oleh Alexis Tocqueville (18051859), maka konflik agraria yang struktural sifatnya dapat dinyatakan
sebagai konflik antara kelompok-kelompok masyarakat sipil di satu pihak
yang berhadapan dengan dua kekuatan lainnya yang ada di dalam
kehidupan bermasyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara. Karena
itu, satu faktor yang penting memainkan peran di dalam munculnya
kasus-kasus tersebut adalah adanya kebijakan tertentu yang dikeluarkan
oleh pihak pemerintah untuk berbagai tujuan termasuk tujuan-tujuan
yang dinyatakan sebagai “kepentingan umum” maupun untuk tujuan
“pembangunan” yang mengabaikan kenyataan adanya penguasaan tanah
oleh penduduk setempat. Seluruh kasus-kasus yang terekam tersebut
tersebar di 2.834 desa/kelurahan6 dan 1.355 kecamatan di 286 daerah
Tingkat II.
Mengingat urgenitas arti dan fungsi tanah bagi masyarakat dan bangsa
Indonesia, kasus-kasus sengketa pertanahan tersebut harus menjadi
prioritas bagi pemerintah untuk menyelesaikannya. Beberapa pendekatan
perlu dilakukan baik secara hukum maupun politis. Pendekatan secara
hukum antara lain melalui penataan kembali berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan dan penyelesaian sengketa
melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan. Sedangkan
pendekatan politis dilakukan melalui pengawasan pelaksanaan penegakan
hukum serta pembentukan kebijakan-kebijakan yang mendukung
penyelesaian sengketa pertanahan.
satuan analisis dari data base ini adalah Kasus, yakni adanya sejumlah orang yang
merupakan penduduk setempat yang sedang atau telah terlibat dalam suatu persengketaan
dengan satu pihak atau beberapa pihak tertentu atas sebidang atau beberapa bidang tanah
tertentu karena kedua belah pihak sama-sama mengaku memiliki hak atas bidang tanah
tersebut. Sebagai satu kasus, maka sejumlah orang yang merupakan penduduk setempat
tersebut akan dianggap sebagai satu kesatuan (kolektif tertentu), dan pihak-pihak yang
menjadi kasus-kasus konflik yang terjadi (melibatkan) penduduk setempat di satu pihak yang
berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan
pengelompokan masyarakat ke dalam 3 sektor, seperti yang dikemukakan oleh Alexis
Tocqueville (1805-1859), maka konflik agraria yang struktural sifatnya dapat dinyatakan
sebagai konflik antara kelompok-kelompok masyarakat sipil di satu pihak yang berhadapan
dengan dua kekuatan lainnya yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, yakni: sektor
bisnis dan/atau negara. Karena itu, satu faktor yang penting memainkan peran di dalam
munculnya kasus-kasus tersebut adalah adanya kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh
pihak pemerintah untuk berbagai tujuan termasuk tujuan-tujuan yang dinyatakan sebagai
“kepentingan umum” maupun untuk tujuan “pembangunan” yang mengabaikan kenyataan
adanya penguasaan tanah oleh penduduk setempat lawannya juga sebagai satu kesatuan.
Misalnya, kasus Badega adalah kasus persengketaan tanah yang terjadi antara sekelompok
orang di satu daerah di Kabupaten Garut yang bersengketa dengan satu perusahaan
perkebunan akan diperhitungkan sebagai satu kasus meskipun dalam kasus ini terlibat
sejumlah penduduk di 3 desa dari dua kecamatan yang berbeda. Kasus Badega dianggap
sabagai satu kasus, karena penduduk setempat yang berkonflik tadi menganggap dirinya
sebagai satu kesatuan (kolektif). Tetapi ada juga sejumlah kasus yang terjadi di dalam satu
wilayah operasi satu perusahaan tertentu, seperti yang terjadi pada PT MHP di Sumatera
Selatan yang operasinya telah menimbulkan 44 kasus sengketa agraria. Indikator untuk
menyatakan satu kasus tertentu didasarkan pada anggapan kolektif masyarakat sendiri yang
sedang bersengketa yang merasa mereka sebagai satu kesatuan, atau berdasarkan anggapan
pihak lawan dari masyarakat yang memiliki catatan atas-atas ‘kasus-kasus’ sengketa yang
terjadi di wilayah kerjanya. Dari data-data yang ada ternyata dari kedua sisi pandang ini tidak
ada perbedaan di antara kedua pihak untuk menyatakan kasus sengketa tertentu sebagai
satu kasus.
49
C. Landasan Yuridis
Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia, oleh karena itu
diperlukan pengaturan tentang tanah dalam peraturan perundangundangan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan tersebut. Hak asasi
mengenai tanah telah diakui dan dilindungi oleh negara dalam konstitusi.
Kebijakan pertanahan di Indonesia bersumber pada Konstitusi Negara,
yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
mengamanatkan kepada negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dan mempergunakannya untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Amanat Konstitusi tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan
negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencapai keadilan
sosial.19
Amanat Konstitusi tersebut ditindaklanjuti dengan diundangkannya
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA). UUPA merupakan UU yang bersifat populis yang ketentuan dalam
pasal-pasalnya merupakan perwujudan dari sila-sila dalam Pancasila,
namun terjadi pergeseran kebijakan pertanahan kearah yang cenderung
prokapitalis.20 UUPA melahirkan beberapa UU sektoral lahirnya UU
sektoral tersebut menyebabkan pengaturan mengenai pertanahan terdapat
dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pengaturan kebijakan
pertanahan dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;
3. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
4. UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara;
5. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
6. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
7. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara;
8. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
9. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
10. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
11. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
12. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
13. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
14. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman;
15. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
16. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
17. PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah;
18. Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi
Tanah.
19Alinea
Ke-IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Cet.
2, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009, hal. 4.
20Maria
50
Peraturan perundang-undangan terkait dengan pertanahan bersifat
tumpang tindih, tidak komprehensif, dan saling bertentangan sehingga
diperlukan penataan kembali kebijakan pertanahan secara holistik.
Pengaturan tersebut menimbulkan ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agrarian termasuk
tanah,
menimbulkan
penurunan
kualitas
lingkungan,
serta
mengakibatkan terjadinya berbagai konflik agraria/pertanahan yang
bersifat
multidimensional.21
Dinamika
tersebut
mengakibatkan
terbentuknya Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tap MPR Nomor IX/MPR/2001
dimaksudkan untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agrarian
dan pengelolaan sumber daya alam.
Tumpang tindihnya regulasi di bidang pertanahan tersebut diakui oleh
MK. Menurut Wakil Ketua MK, Achmad Sodiki, aturan-aturan mengenai
pertanahan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan, BPN dan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak sinkron sehingga
perlu dilakukan sinkronisasi regulasi pertanahan agar tercipta kepastian
hukum.22
21Hajriyanto Y. Thohari, “Aksi dan Implementasi Tap MPR No. IX/MPR/2001”, makalah
disampaikan pada Press Gathering Wartawan MPR RI di Mataram, tanggal 9 Maret 2012,
www.mpr.go.id/files/pdf/2012/03/12/aksi-dan-implementasi-tap-mpr-no-ixmpr20011331520876.pdf, diakses tanggal 11 April 2012.
22“MK
Sarankan
Presiden
Sinkronkan
Regulasi
Agraria”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4f543a4ed7182/mk-sarankan-presidensinkronkan-regulasi-agraria, diakses tanggal 7 Juni 2012.
51
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
A.
Ketentuan Umum
Ketentuan umum memuat definisi dari peristilahan yang digunakan
di dalam RUU tentang Pertanahan sehingga menghindari adanya
perbedaan penafsiran, yaitu:
1. Pertanahan
2. Tanah
3. Tanah Negara
4. Tanah Hak
5. Bidang Tanah
6. Hukum Tanah
7. Hukum Tanah Nasional
8. Hukum Adat
9. Masyarakat Hukum Adat
10. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
11. Tanah Ulayat
12. Hak-Hak Atas Tanah
13. Hak Pengelolaan
14. Hak Tanggungan
15. Tanah Wakaf
16. Satuan rumah susun yang selanjutnya disebut Sarusun
17. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
18. Bagian Bersama
19. Benda Bersama
20. Tanah Bersama
21. Ruang Wilayah Negara Republik Indonesia
22. Penataan Ruang
23. Perencanaan Tata Ruang
24. Pendaftaran Tanah
25. Data Fisik
26. Data Yuridis
27. Surat Ukur
28. Buku Tanah
29. Sertipikat Hak Atas Tanah
30. Sertipikat Hak Tanggungan
31. Sertipikat Tanah Wakaf
32. Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
33. Seripikat Hak Pengelolaan
34. Pendaftaran Untuk Pertama Kali
35. Pendaftaran Tanah Secara Sistematik
36. Pemeliharaan Data
37. Sistem Pendaftaran
38. Sistem Publikasi
39. Desentralisasi
40. Tugas Pembantuan
41. Dekonsentrasi
42. Pemerintah
43. Menteri
44. Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat PPAT
45. Pemerintah Daerah
52
B.
Materi Muatan yang Akan Diatur
1. Hukum Tanah Nasional
Hukum tanah nasional mulai berlaku sejak 24 September 1960,
dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Hukum tanah nasional mengambil hukum adat sebagai sumber
utama berarti bahwa hukum tanah nasional menggunakan konsepsi,
asas-asas dan lembaga hukum adat dengan peraturan yang
berbentuk hukum perundang-undangan disusun menurut sistemnya
hukum adat23.
Hukum tanah nasional berupa satu perangkat peraturan
hukum tertulis, yang berlaku nasional sebagai hasil unifikasi hukum
tanah dilengkapi dengan ketentuan hukum adat setempat yang
belum mendapat pengaturan dalam hukum yang tertulis,
sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001,
dengan demikian unifikasi hukum yang diadakan tetap
mengakomodasi
keanekaragaman
ketentuan
hukum
adat
24
setempat .
Dengan disahkannya UUPA mengakhiri berlakunya peraturanperaturan hukum tanah kolonial, dan sekaligus mengakhiri dualisme
atau pluralisme hukum tanah di Indonesia, serta menciptakan
dasar-dasar bagi pembangunan hukum tanah nasional yang tunggal
berdasarkan hukum adat sebagai hukum nasional Indonesia yang
asli.
UUPA juga berfungsi menghapuskan dualisme hukum tanah
yang lama dan menciptakan unifikasi serta kodifikasi Hukum Agraria
(Tanah) Nasional yang didasarkan pada Hukum (Tanah) Adat.
Penghapusan dualisme hukum tanah yang lama tersebut dilakukan
dengan cara sebagaimana yang tertuang di dalam diktum
“Memutuskan” dari UUPA, yakni mencabut:
a. Seluruh pasal 51 Indische Staatsregeling yang didalamnya
termasuk juga ayat-ayat yang merupakan Agrarische Wet (stbl.
1870-55);
b. Semua Domein Veklaring dari pemerintah Hindia Belanda baik
yang umum maupun yang khusus;
c.
Peraturan mengenai Agrarische Eigendom yang dituangkan ke
dalam Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Stbl.
1872- 117 jo. Stbl. 1873-38);
d. Buku Kedua KUH-Perdata sepanjang yang mengenai bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.
e.
Dalam hal ini secara implisit ikut terhapus juga ketentuan
ketentuan tentang larangan pengasingan tanah (Grond
Vervreemding Verbod Stbl. 1875-179).
Selain itu, berdasarkan teori hukum nasional, hak penguasaan
tanah didasarkan kepada UUPA. Dalam hal ini hak penguasaan
tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia tertuang dalam Pasal
2 UUPA, yaitu:
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UndangUndang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
23Boedi
24Ibid.,
Harsono, Op., Cit., hal. 6.
hal. 7.
53
(2)
(3)
(4)
alam yang terkandung didalamnya itu, pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh
rakyat.
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal
ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa.
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari
negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur.
Hak
menguasai
dari
Negara
tersebut
diatas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah
Swastantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan
nasional,
menuntut
ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
Dengan berlakunya UUPA, peraturan-peraturan pertanahan
yang merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda seperti
Agrarische Wet, Agrarische Besluit, dan Buku II Burgerlijk Wetboek
(BW) yang mengatur tentang pertanahan menjadi tidak berlaku lagi,
karena memang UUPA dimaksudkan sebagai pengganti dari
ketentuan-ketentuan pertanahan produk pemerintah Hindia Belanda
tersebut yang terkesan imprealistik, kapitalistik, dan feodalistik.25
Tentang kelahiran UUPA dalam semangat anti imprealistik,
kapitalistik, dan feodalistik ini, Boedi Harsono sebagaimana dikutip
Liliz Nur Faizah mencatat sebagai berikut:26
UUPA sendiri lahir dalam konteks “...perjuangan perombakan
hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan
bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman,
pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan
rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan
sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”
Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang
telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas
manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan
sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap
“meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi
landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA. Selain itu,
salah satu arti penting UUPA lainnya, bahwa hukum agraria
25Agussalam Nasution (Penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara), Makalah Hukum Agraria, Teori Hukum
Pertanahan Yang Pernah Berlaku di Indonesia, 2012.
26Liliz Nur Faizah, Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan Historis-Filosofis, (rangkuman
dari Bab II tentang Hak Menguasai Negara, dalam skripsi ”Perkembangan Konsep Kepentingan
Umum dalam Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia (1960-2006)” di Fakultas
Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 2007). http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/
hmn_filosofis.pdf, diakses tanggal 6 Juni 2012.
54
nasional adalah berdasar hukum adat dan tidak lepas dari
konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan
struktur agraria saat itu.
Menurut Subekti, UUPA dimaksudkan untuk mengadakan
Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan hukum adat tentang
tanah, dengan kelahiran UUPA, tercapailah suatu keseragaman
menganai hukum tanah, sehingga tidak ada lagi hak atas tanah
menurut hukum Barat disamping hak atas tanah menurut hukum
adat.
Hal penting mengenai penguasaan tanah dalam UUPA adalah
ditegaskannya hak pengusaan negara terhadap tanah, akan tetapi
kendati negara diakui sebagai penguasa atas tanah bukanlah berarti
negara dapat bertindak sewenang-wenang atas seluruh tanah yang
ada di negara ini. Penguasaan atas tanah dibatasi oleh adanya hak
individu dan hak persekutuan hukum adat terhadap tanah. Dalam
hal ini Kalo menjelaskan sebagai berikut:27
Kekuasaan negara terhadap tanah yang sudah dipunyai orang
dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa negara memberikan kekuasaan kepada seorang yang
mempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan
kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan
sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas
dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang
sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan
suatu hak menurut peruntukkannya dan keperluannya, misalnya
Hak Milik dan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaan pada suatu
badan penguasa. Dalam pada itu kekuasaan negara atas tanahtanah ini pun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat
dari
kesatuan-kesatuan
masyarakat
hukum
sepanjang
kenyataan hak ulayat itu masih ada.
Berdasarkan ulasan Kalo ini, penguasaan negara atas tanah
dibedakan atas dua penguasaan, yaitu penguasaan langsung dan
tidak langsung. Penguasaan langsung adalah penguasaan negara
terhadap tanah yang belum dihaki perseorangan. Menurut Sunarjati
Hartono tanah seperti ini disebut dengan istilah tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau disebut sebagai tanah negara. Adapun
hak menguasai negara secara tidak langsung adalah hak menguasai
negara terhadap tanah yang telah dihaki perseorangan, atau disebut
dengan tanah yang dikuasai tidak langsung oleh negara atau tanah
negara tidak bebas.28
Menurut Imam Sutiknjo, kewenangan terhadap tanah yang
sudah dihaki perseorangan ini pada dasarnya bersifat pasif, kecuali
jika tanah itu dibiarkan tidak diurus/ditelantarkan. Sehingga negara
dapat mengaturnya supaya produktif. Dengan lahirnya UUPA maka
hak-hak atas tanah di Indonesia dibatasi kepada lima macam hak,
27Syafruddin Kalo, Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya
Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa Kolonial yang Berlanjut pada Masa
Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi, Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
28Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal.
70.
55
yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
dan hak sewa.29
a.
Tujuan Hukum Tanah Nasional
Tujuan Hukum Tanah Nasional adalah:
1. Menciptakan unifikasi Hukum Agraria dengan cara:
a. Menyatakan tidak berlaku lagi (mencabut/menghapus)
produk peraturan peraturan hukum tanah yang lama
b. Menyatakan berlakunya Hukum Tanah Nasional
berdasarkan Hukum Tanah Adat yang tidak tertulis,
sebagai bahan penyusunan hukum tanah nasional.
2. Menciptakan unifikasi hak-hak penguasaan atas tanah (hakhak atas tanah dan hak jaminan atas tanah) melalui
ketentuan konversi:
a. Tanah-tanah hak barat maupun tanah-tanah hak
Indonesia sebagai hubungan konkrit, dikonversi (diubah)
menjadi hak-hak atas tanah menurut UUPA secara
serentak dan demi hukum (rechtswege), terhitung mulai
tanggal 24 September 1960.
b. Hak-hak jaminan atas tanah, yaitu hipotik dan
credietverband (pasal 1162 KUH-Perdata pasal 15 Stbl.
1908- 542) diubah demi hukum terhitung mulai tanggal
24 September 1960, menjadi Hak Tanggungan (pasal 51
UUPA & pasal IV Ketentuan Konversi UUPA jo. UU no. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah).
3. Mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah NKRI sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai Bangsa Indonesia yang disesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat;
4. Hukum tanah nasional juga bertujuan mewujudkan
penguasaan tanah yang mempunyai fungsi sosial untuk
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara
adil dan merata dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
umum dengan semangat kebangsaan, kerakyatan, dan
keadilan.
Tujuan diundangkan UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria
nasional dimuat dalam Penjelasan Umum UUPA, yaitu:30
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria
nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan
rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang
adil dan makmur.
Dasar kenasionalan Hukum Agraria yang telah dirumuskan
dalam UUPA, yaitu:
1. Wilayah Indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari
29Imam
Sutiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1994, hal. 55.
30Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group,
2008, hal. 55.
56
2.
3.
4.
5.
6.
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia
(Pasal 1 UUPA).
Bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional. Untuk itu, kekayaan
tersebut harus dipelihara dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1, Pasal 2, Pasal 14,
dan Pasal 15 UUPA).
Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air,
ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya bersifat abadi, sehingga tidak dapat
diputuskan oleh siapa pun (Pasal 1 UUPA).
Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan
rakyat Indonesia diberi wewenang untuk menguasai
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 2 UUPA).
Hak ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya. Pengakuan tersebut disertai syarat
bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak
bertentangan
dengan
kepentingan
nasional
dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal
3 UUPA).
Subyek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya
dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya adalah warga negara
Indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan
hukum pada prinsipnya tidak mempunyai hubungan
sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 9,
Pasal 21, dan Pasal 49 UUPA).
Tujuan yang pertama diundangkan UUPA ini merupakan
kebalikan dari ciri Hukum Agraria kolonial, yaitu Hukum
Agraria kolonial disusun berdasarkan tujuan dan sendisendi dari Pemerintahan Jajahan (Hindia Belanda) yang
ditujukan untuk kepentingan, keuntungan, kesejahteraan,
dan kemakmuran bagi Pemerintah Hindia Belanda, orangorang Belanda, dan Eropa lainnya.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
Dalam rangka mengadakan kesatuan hukum tersebut sudah
semestinya sistem hukum yang akan diberlakukan harus
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
Oleh karena sebagian besar masyarakat Indonesia tunduk
pada hukum adat maka pembentukan Hukum Agraria
nasional didasarkan pada hukum adat. Hukum adat yang
dijadikan
dasar
adalah
asas-asas/konsepsi-konsepsi,
lembaga-lembaga,
dan
sistem
hukumnya.
Dengan
dijadikannya hukum adat sebagai dasar pembentukan
Hukum Agraria nasional, sekaligus tercapai kesederhanaan
hukum, artinya Hukum Agraria nasional tersebut mudah
dipahami oleh masyarakat dan kemudian dilaksanakan.
57
Hukum adat sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria
nasional disebutkan dalam Pasal 5 UUPA.
Tujuan yang kedua diundangkan UUPA ini merupakan
kebalikan dari ciri Hukum Agraria kolonial, yaitu Hukum
Agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, artinya
pada saat yang sama berlaku dua Hukum Agraria yang
berbeda, di satu pihak berlaku Hukum Agraria barat yang
diatur dalam KUH Perdata dan Agrarische Wet Stb. 1870 No.
55, dan di pihak lain berlaku Hukum Agraria adat yang
diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya.
Upaya untuk mewujudkan tujuan ini adalah dengan
membuat
peraturan
perundang-undangan
yang
diperintahkan oleh UUPA yang sesuai dengan asas dan jiwa
UUPA. Selain itu, dengan melaksanakan pendaftaran tanah
atas bidang-bidang tanah yang ada di seluruh wilayah
Indonesia yang bersifat rechts cadaster, yaitu pendaftaran
tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap hak-hak atas tanah.
Tujuan yang ketiga diundangkan UUPA ini merupakan
kebalikan dari ciri Hukum Agraria kolonial, yaitu Hukum
Agraria kolonial tidak memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah,
dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas, tanah
yang tunduk pada hukum barat yang didaftar oleh
Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan memberikan
jaminan kepastian hukum (rechts cadaster), sedangkan bagi
tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat tidak dilakukan
pendaftaran tanah. Kalau pun didaftar tujuannya bukan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum melainkan
untuk menetapkan siapa yang berkewajiban membayar
pajak atas tanah (fiscaal cadaster).
Landreform di Indonesia memiliki lima tujuan yang
menyatakan bahwa:31
1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber
penghidupan rakyat petani yang berupa tanah, dengan
maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan
merombak struktur pertanahan yang sama sekali baru
secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.
2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, agar
tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan
obyek pemerasan.
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas
tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki
maupun wanita, yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan
dan perlindungan terhadap privat bezit, yaitu hak milik
sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan
turun-menurun, tetapi yang berfungsi sosial.
31Pidato Menteri Agraria, Mr. Sadjarwo pada tanggal 12 September 1960 di depan DPRGR,
menyatakan lima tujuan landreform di Indonesia, dalam makalah Reformasi Agraria Indonesia
(Potret Pasang Surut Sejarah kebangsaan Indonesia), oleh Tri Chandra Aprianto preencechinty
(Min, 02/22/2009-08:39).
58
4. Untuk
mengakhiri
sistem
tuan
tanah
dan
menghapuskan penguasaan tanah secara besar-besaran
dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas
maksismum dan batas minimum untuk tiap keluarga.
Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-laki ataupun
wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem
liberalisme dan kapitalisme atas tanah, dan memberikan
perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.
5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong
terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong
royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong
lainnya, dibarengi suatu sistem perkreditan yang
khususnya ditujukan kepada golongan petani.
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) merupakan
suatu program resmi dari pemerintah yang ingin menata ulang
struktur
penguasaan
sumber-sumber
agraria
demi
kemakmuran rakyat dan keadilan sosial. Terdapat 7 (tujuh)
tujuan PPAN:32 (i) menata kembali ketimpangan struktur
penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; (ii)
mengurangi kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja;
(iv) memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi,
terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik
pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan
hidup; dan (vii) historical explanation, yaitu proses eksplanasi
suatu peristiwa sejarah (bisa jadi) lebih mudah untuk
ditampilkan, ketimbang melakukan analisis mengenainya. Lebih
dalam, analisis suatu proses sejarah seringkali tampak untuk
menuntun dari, ketimbang menuju suatu kompleksitas
pemahaman peristiwa sejarah.33 Eksplanasi sejarah adalah
usaha membuat suatu unit peristiwa masa lampau intelligible
(dimengerti secara cerdas). Artinya, proses eksplanasi itu
berhubungan dengan hermeneutics dan verstehen (menafsirkan
dan mengerti) dalam jangka waktu yang panjang, dan dalam
bentuk peristiwa tunggal.34
b.
Sumber Utama dan Konsepsi Hukum Tanah Nasional
1. Hukum Tanah Nasional akan tetap merupakan hukum
tanah Indonesia yang tunggal, tersusun berdasarkan alam
pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara
masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya35.
Alam pikiran hukum adat tersebut mengandung konsepsi
hukum adat mengenai pertanahan, yang tetap diangkat
menjadi konsepsi hukum tanah nasional yang dirumuskan
sebagai
komunalistik-religius,
yang
memungkinkan
penguasaan bagian-bagian tanah bersama karunia Tuhan
Yang Maha Esa oleh para warganegara secara individual
dengan hak-hak atas tanah yang sifatnya pribadi, sekaligus
mengandung unsur kebersamaan36.
32Ibid.
Donald L. Donham, History, Power, Ideology: Central Issues in Marxism and Anthropology,
(Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1999), hal. 140.
34
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana,
2008, hal. 1 dan 10.
35Sunarjati Hartono, Op., Cit., hal. 30.
36Ibid.
33
59
2. Hubungan hukum yang komunalistik- religious dalam alam
pemikiran hukum adat itu yang dikenal dalam perundangundangan sebagai hak ulayat itu, dikenal dalam perundangundangan sebagai hak ulayat , oleh hukum tanah nasional
diangkat pada tingkat nasional menjadi hubungan hukum
antara bangsa Indonesia dengan semua tanah di seluruh
wilayah negara sebagai tanah bersama, yang disesuaikan
dengan perkembangan keadaaan serta kebutuhan nasional
dan masyarakat. Hubungan hukum itu dalam hukum tanah
nasional disebut hak bangsa.
3. Hal ulayat masyarakat hukum adat, pada tingkat nasional
dimungkinkan penguasaan bagian tanah bersama tersebut
oleh para warganegara secara individual, dengan hak atas
tanah yang sifatnya pribadi, tetapi sekaligus mengandung
unsur kebersamaan, karena yang dikuasai itu adalah suatu
bagian dari tanah bersama.
1. Bentuk-Bentuk Norma Hukum Tanah Nasional
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah Nasional terdiri atas: 37
a) norma-norma hukum tertulis, yang dituangkan dalam
peraturan-peraturan perundang-undangan; dan
b) norma-norma hukum tidak tertulis, berupa Hukum Adat
dan Hukum Kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat.
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas mengenai ketentuan
Pasal 5 dan tujuan pernyataan tentang tidak berlakunya lagi
Pasal tertentu dalam KUUHPdt serta pernyataan-pernyataan
dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, dapat disusun
sumber-sumber hukum formal Hukum Tanah Nasional,
berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan
tidak tertulis, dalam jenjang tata susunan atau hierarkhi,
sebagai berikut:
a) Sumber-sumber hukum yang tertulis:
1) UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3);
2) UUPA (UU No. 5 Tahun 1960);
3) Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA;
4) Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA,
yang dikeluarkan sesudah tanggal 24 September
1960 karena sesuatu masalah perlu diatur (misalnya:
UU No. 5l/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, LN
1960-158, TLN 2160);
5) Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara
masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal-pasal
peralihan. (ini merupakan bagian hukum tanah
positif, bukan bagian hukum tanah nasional).
b) Sumber-sumber hukum yang tidak tertulis:
1) Norma-norma hukum adat yang sudah di “saneer”
menurut ketentuan Pasal 5, Pasal 56, dan Pasal 58;
2) Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan
praktik Administrasi.
37Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UU Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaanya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, Edisi revisi, 2003,
hal. 267.
60
2. Perjanjian Sebagai Sumber Hukum
Selain peraturan-peraturan dan hukum adat, serta hukum
kebiasaan baru yang disebut dalam uraian di atas, dalam
menghadapi dan menyelesaikan kasus-kasus konkrit,
perjanjian yang diadakan oleh para pihak merupakan
hukum bagi hubungan konkrit yang bersangkutan.
(KUUHPer Pasal 1338). Tetapi ada pembatasannya, yaitu,
khusus di bidang Hukum Tanah, sepanjang perjanjian yang
diadakan itu tidak mela nggar atau bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan UUPA.
Misalnya tidak boleh diadakan perjanjian yang mengandung
unsur
pemerasan,
karena
akan
melanggar
atau
bertentangan dengan jiwa ketentuan Pasal 10 dan Pasal 11.
Hal itu ditegaskan, misalnya dalam Pasal 43 ayat (3):
Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini
tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur
pemerasan. Atau seorang pemilik tanah yang memberikan
Hak Guna Bangunan kepada pihak lain dengan jangka
waktu melampaui 30 (tiga puluh) tahun, akan melanggar
ketentuan Pasal 35. 38
3. Sifat Hukum Tanah Nasional
a) Hukum adat sebagai dasar
Bahwa hukum adat dipakai sebagai dasar hukum tanah
nasional, sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia,
karena hukum adat adalah hukum asli Indonesia. Hukum
adat tersebut masih harus dibersihkan dari cacatnya yang
tidak asli dan kemudian disempurnakan sehingga sesuai
dengan tuntutan zaman.
b) Hukum yang sederhana
Kesederhanaan,
sesuai
dengan
sifat
dan
tingkat
pengetahuan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu hukumnya
harus sederhana pula. Dengan menghapuskan dualisme dan
memilih Hukum Adat sebagai dasar hukum yang baru,
akan diperoleh kesederhanaan itu.
c) Jaminan kepastian hukum
Dengan bertambah majunya perekonomian rakyat dan
perekonomian nasional, bertambah pula keperluan akan
kepastian mengenai permasalahan yang bersangkutan
dengan kegiatan ekonomi. Tanah rakyat tambah lama
tambah banyak tersangkut dalam kegiatan-kegiatan
tersebut,
misalnya
dalam
jual-beli,
sewa-menyewa,
pemberian kredit, dan lain-lain. Berhubung dengan itulah
makin lama makin terasa perlunya ada jaminan kepastian
hukum dan kepastian di bidang pertanahan.
d) Unsur-unsur hukum agama
Bahwa Hukum Tanah Nasional tidak boleh mengabaikan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama, sesuai
dengan Pancasila, khususnya Sila pertama. Hukum Tanah
harus mewujudkan pula penjelmaan dari Pancasila.
38Ibid.,
hal. 268.
61
Hubungan antara masyarakat dan orang-seorang anggota
masyarakat dengan tanah dan bumi menurut Hukum Adat
dan kepercayaan rakyat merupakan hubungan yang sifatnya
bukan hanya sosial-ekonomis atau yuridis saja, tetapi juga
apa yang dikatakan religio magis, suatu hubungi gaib. Ini
dapat disaksikan dalam berbagai upacara adat: upacara
tedak siti, upacara panen, upacara jual-beli tanah, dan
sebagainya.
e) Fungsi bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan
alam
yang
terkandung
di
dalamnya
dalam
pembangunan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila
Betapa pentingnya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam
pembangunan masyarakat adil dan makmur, yang
merupakan tujuan perjuangan Bangsa Indonesia, kiranya
tidak memerlukan penjelasan lagi. Untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur perlu dilakukan kegiatan
pembangunan. Bagi penyelenggaraan pembangunan fisik
selalu diperlukan tanah. Bahkan bagi pembangunan dalam
bidang tertentu yang memerlukan tanah yang luas (seperti
perusahaan kebun besar, kawasan industri, perusahaan
pembangunan perumahan) tersedianya tanah; merupakan
unsur yang menentukan apakah usaha yang direncanakan
akan dapat dilaksanakan atau tidak. Dengan meningkatnya
kegiatan pembangunan seperti dialami mulai pelaksanaan
Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Pertama (1969-1974)
meningkat pula kebutuhan akan tanah. Hal ini tampak
sekali di daerah-daerah, di mana kegiatan pembangunan
meningkat dengan cepat, seperti yang terjadi di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dan sekitarnya. Untuk dapat
memenuhi kebutuhan akan tanah bagi keperluan
pembangunan itu secara memuaskan, dengan mengingat
pula penyediaannya untuk keperluan-keperluan lain, hingga
tanah yang tersedia itu dapat dipergunakan secara efisien,
diperlukan pengaturan, pengendalian, dan pembinaan oleh
Pemerintah, di samping jaminan kepastian hukum dan
kepastian hak bagi pihak yang berkepentingan. Hal-hal
tersebut memerlukan landasan hukum yang harus
dituangkan dalam Hukum Tanah yang efisien dan efektif.
f) Masyarakat Sosialis
Sosialisme Indonesia
Indonesia
dan
unsur-unsur
Pada waktu terbentuknya UUPA, lazim dipergunakan katakata “Renovasi”, “Sosialisme Indonesia” dan “Masyarakat
Sosialis Indonesia”. Sebagai suatu undang-undang yang
merupakan produk dari zamannya, di dalam UUPA terdapat
juga kata-kata tersebut. Dalam perkembangannya sebutan
“Sosialisme Indonesia” mengalami perubahan mengenai
pengertian dan isinya. Maka dalam memahami UUPA, apa
yang disebut “Sosialisme Indonesia” dalam konsiderans dan
berbagai pasalnya, harus diartikan menurut pengertiannya
pada tahun 1959 dan 1960, yaitu tahun disusunnya kembali
Rancangan UUPA menjadi “Rancangan Sadjarwo” dan mulai
berlakunya UUPA sendiri.
62
Dalam konsiderans Ketetapan Majelis Permuasyawaratan
Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, terdapat penjelasan
otentik mengenai pengertian “Sosialisme Indonesia”.
Dinyatakan bahwa “Masyarakat Sosialis Indonesia” adalah
sama dengan “masyarakat-adil-dan-makmur-berdasarkan
Pancasila”.39 Dalam buku “ringkasan” tersebut dimuat
penjelasan mengenai pengertian “Sosialisme Indonesia”,
antara lain sebagai berikut “Sosialisme Indonesia adalah
suatu ajaran dan gerakan tentang tata masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Tata masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila adalah tuntutan Amanat
Penderitaan Rakyat Indonesia. Masyarakat-adil-dan-makmur
berdasarkan Pancasila sebagai perwujudan Sosialisme
Indonesia bersendi pokok pada Keadilan, Kerakyatan dan
Kesejahteraan”. “Tujuan dari Pembangunan Nasional
Semesta Berencana adalah Sosialisme Indonesia, yaitu: Tata
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila”.
Sosialisme Indonesia bukanlah sosialisme seperti diartikan
oleh negara-negara Barat atau seperti diartikan oleh negaranegara sosialis asing, tetapi sosialisme Indonesia berisi
perpaduan yang laras dari unsur-unsur Sosialisme, yaitu:
keadilan sosial dan kesejahteraan, dan unsur-unsur
Indonesia, seperti tergambar dalam asas: gotong-royong dan
kekeluargaan yang merupakan ciri-ciri pokok dari
kepribadian Indonesia.
Dalam melaksanakan keadilan sosial dan kesejahteraan
dengan berlandaskan gotong-royong dan kekeluargaan,
tujuan yang dikejar dan akan dilaksanakan adalah
kesejahteraan bersama, di mana terdapat kemakmuran
materiil dan spirituil dalam bentuk kekayaan umum
bendaniah
dan
rokhaniah
yang
melimpah
serta
pembagiannya yang merata sesuai dengan sifat perbedaan
masing-masing warga dalam keluarga bangsa. Dalam bidang
ekonomi, sosialisme Indonesia mengejar terwujudnya suatu
tata perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan kekeluargaan, di mana Pemerintah dan rakyat
atau negara dan swasta bekerja bersama saling mengisi
untuk menjalankan produksi dan distribusi mewujudkan
kekayaan umum yang berlimpah serta pembagiannya yang
adil-merata. Dengan berpedoman, bahwa kemakmuran
masyarakatlah yang harus senantiasa diutamakan dan
bukan
kemakmuran
orang
seorang.
Dalam
tataperekonomian kekeluargaan, sosalisme Indonesia hak milik
perseorangan tetap diakui, tetapi ditundukkan kepada batasbatas yang ditentukan oleh fungsi sosialnya dalam usaha
bersama di bawah pimpinan Pemerintah Nasional.
“perekonomian Sosialis Indonesia berpedoman-dasar, bahwa
tujuan segala usaha dalam lapangan ekonomi dan keuangan
adalah untuk mewujudkan keadilan dan melenyapkan
penjajahan dalam bentuk apa pun serta pemberantasan
perbudakan yang memandang manusia hanya sebagai alat
untuk kepentingan sendiri atau golongan sendiri”.
Demikianlah antara lain penjelasan mengenai pengertian
39Ringkasan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
No. I dan II/MPRS/1960 terbitan Departemen Penerangan tahun 1962, hal. 51.
63
sosialisme Indonesia dan masyarakat sosialis Indonesia pada
waktu terbentuknya UUPA, sebagai sinonim dari pengertian
“tata-masyarakat-adil-dan makmur berdasarkan Pancasila”.
Kata-kata sosialisme Indonesia dijumpai di dalam UUPA
Pasal 5 dan Pasal 14.
g) Harus sesuai dengan kepentingan rakyat
Hukum Tanah Nasional sudah tentu harus sesuai dengan
kepentingan rakyat, artinya rakyat banyak, rakyat
Indonesia. Bukan hanya rakyat orang-seorang atau
golongan-segolongan, apalagi rakyat asing. Hukum Tanah
Nasional
tidak
diadakan
hanya
untuk
menjamin
kepentingan orang-orang asing atau modal asing, seperti
Agrarische Wet dahulu.
h) Harus memenuhi
zaman
keperluan
menurut
permintaan
Hukum Tanah Nasional bukan saja memenuhi kebutuhan
sekarang ini, tetapi harus memberi kemungkinan untuk
menampung dan menyelesaikan persoalan di masa depan.
i) Harus mewujudkan penjelmaan dari Pancasila
Bahwa Hukum Tanah Nasional harus mewujudkan
penjelmaan dari Pancasila, kiranya tidak memerlukan
penjelasan. Bukan hanya Hukum Tanah, bukan saja Hukum
Indonesia seluruhnya, tetapi seluruh Kehidupan dan
penghidupan Bangsa harus mewujudkan Pancasila.
Yang menarik dalam hubungan ini, bahwa dalam bagian
“Berpendapat” huruf c tidak dipakai sebutan “Pancasila”,
melainkan disebutkan seluruh perinciannya. Dalam
Rancangan UUPA yang diajukan kepada DPR GR dengan
Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 no. 2584/IIK/60
dipakai sebutan “Pancasila” itu. Dalam bagian “Menimbang”
huruf g dinyatakan: “bahwa hukum agraria nasional itu
harus mewujudkan penjelmaan daripada Pancasila sebagai
asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa, sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.” Dalam
naskah baru yang diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo
kepada sidang pleno DPR GR tanggal 12 September 1960
tidak terdapat lagi sebutan “Pancasila” tetapi rinciannya,
yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusian,
Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Rincian itu
tidak disertai keterangan “sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar”. Keterangan ini
ditambahkan lagi pada sidang pleno tanggal 14 September
1960 sebagai yang ternyata dari Jawaban Pemerintah yang
diucapkan oleh Menteri Agraria Sadjarwo, “Di dalam
Konsiderans ayat c, maka di belakang perkataan “cita-cita
bangsa ditambahkan perkataan “seperti yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar”. Selanjutnya:
“Dengan pengertian yang baik maka tambahan ini telah
disetujui oleh golongan-golongan yang kami hubungi itu”.
(Lampiran 5).
j) Dekrit Presiden, Manipol, Jarek
64
Bahwa Hukum Tanah Nasional dalam Konsiderans UUPA
sebagai produk dari zamannya, dinyatakan harus
merupakan pelaksanaan dari Dekrit 5 Juli, Manifesto Politik
(Manipol) dan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960
disingkat Jarek, Jalannya Renovasi Kita dapat dimengerti.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan berlakunya kembali
UUD 1945 yang berarti mengembalikan Bangsa Indonesia ke
atas rel Revolusi Nasional, yaitu keseluruhan Pidato
Presiden yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1959
adalah penjelasan resmi dari Dekrit 5 Juli tersebut,
demikian Dewan Pertimbangan Agung. Manipol bahkan
telah ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
dengan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960, (LN 1960-10).
Penetapan Manipol sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
kemudian telah dikuatkan pula oleh MPRS dengan
Ketetapannya No.1/MPRS/1960. Bahwa Jarek pun disebut
sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan juga dapat
dimengerti, karena Jarek dianggap sebagai penegasan
Manipol dan penegasan pelaksanaannya.
Manipol memuat ketentuan khusus mengenai agraria
sebagai berikut: “Demikian pula persoalan tanah. Kita
mewarisi dari zaman Belanda beberapa hal yang harus kita
brantas. Antara lain apa yang dinamakan “hak eigendom “di
atas sesuatu bidang tanah. Mulai sekarang kita coret sama
sekali “hak eigendom “tanah dari hukum pertanahan
Indonesia. Tak dapat kita benarkan, di Indonesia merdeka
ada sesuatu bidang tanah yang dieigendomi oleh orang asing
in casu orang Belanda! Kita hanya kenal hak-milik tanah bagi
orang Indonesia; sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945”. Selanjutnya dalam Manipol kita jumpai pula
dasar-dasar kebijaksanaan dalam mengikut-sertakan segala
modal dan tenaga dalam usaha menyelesaikan revolusi, yang
akan dikutip karena nanti penting untuk pembicaraan
selanjutnya.
Adapun di dalam Jarek terdapat lebih banyak bagian
khusus mengenai pertanahan. Mengenai dasar-dasar
Hukum Tanah Nasional, Jarek mengatakan:
“Bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi
penghisapan dari modal-asing terhadap Rakyat Indonesia,
terutama kaum tani. Karena itu harus dihapuskan “hak
eigendon”,
wet-wet
agraris”
bikinan
Belanda,
“Domeinverklaring” dan lain sebagainya”.
“Tanah untuk tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul
menggarap tanah. Tanah tidak untuk mereka yang dengan
duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk-gendut karena
menghisap keringat orang-orang yang disuruh menggarap
tanah itu!”
“Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh
mempunyai tanah turun-temurun! Hanya luasnya milik itu
diatur baik maksimumnya maupun minimumnya. Dan hak
milik atas tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial. Negara
dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum mempunyai
kekuasaan yang lebih tinggi daripada hak milik
perseorangan”.
65
k) Pasal 33 UUD 1945
Bahwa Hukum Tanah Nasional sudah semestinya
merupakan pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945, karena
terutama ayat (3) merupakan dasar hukum utama dari
Hukum Tanah/Agraria. Bunyi Pasal 33 UUD 1945 itu, yang
terdapat pula dalam Undang-Undang Dasar Sementara
(Pasal 38) sebagai berikut:
Pasal 33
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran Rakyat.
Penjelasan Resminya:
“Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi.
Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran
masyarakat
yang
diutamakan,
bukan
kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi, kemakmuran bagi
segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus
dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke
tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang
banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak
menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orangseorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam
bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu
harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat” (LN 1959-75).
Teranglah dari Penjelasan itu bahwa kekuasaan yang
diberikan kepada negara atas bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya itu meletakkan kewajiban
kepada negara untuk sebagai yang dikatakan UUPA,
“mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, hingga
semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
c.
40Ibid.,
Unsur-unsur dan hak-hak Penguasaan Atas Tanah dalam
Hukum Tanah Nasional
1. Tiga unsur Hukum Tanah Nasional
Hukum tanah nasional merupakan40:
a) perangkat peraturan perundang-undangan dengan
hukum adat sebagai sumber utamanya
b) ketentuan hukum adat setempat mengenai hal-hal yang
belum mendapat pengaturan dala hukum yang tertulis;
dan
hal. 37.
66
c) lembaga-lembaga hukum lain diluar hukum adat, dalam
memenuhi perkembangan kebutuhan nasional masa kini
dan mendatang.
2. Hukum adat merupakan bagian hukum tanah nasional yang
tidak tertulis
Hukum adat bukan hanya merupakan sumber utama
hukum tanah nasional, melainkan ketentuan-ketentuan
yang pada kenyataannya masih berlaku, tidak berada diluar,
melainkan merupakan bagian hukum tanah nasional,
sepanjang belum mendapat pengaturan dan tidak
bertentangan dengan hukum nasional yang tertulis (Pasal 5
UPPA)41
3. Lembaga bukan lembaga hukum adat
Sebagai sumber utama hukum adat menyediakan lembaga
hukumnya menjadi lembaga hukum tanah nasional. Tetapi
karena hukum adat merupakan hukum masyarakat yang
masih sangat sederhana, ada kebutuhan masyarakat
modern masa kinimemerlukan tersedianya lembaga hukum
yang belum terdapat dalam hukum adat.
Misalnya lembaga hak atas tanah yang dalam hukum adat
umumnya hanya berupa hak pakai yang terbatas jangka
waktu berlakunya sebagai pendahuluan daripada hak milik
yang
sifatnya
turun-temurun
tanpa
batas
waktu
berlakunya.42
1. Pengertian43
a) Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian
wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang
haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang
dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib dan/atau dilarang
untuk diperbuat itulah yang merupakan tolok pembeda
antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur
dalam Hukum Tanah negara yang bersangkutan. Kita
juga mengetahui, bahwa hak-hak penguasaan atas tanah
itu dapat diartikan sebagai lembaga hukum, jika belum
dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu. Hakhak penguasaan atas tanah dapat juga merupakan
hubungan hukum konkrit. (“subjek tief recht”), jika
sudah dihubungkan dengan tanah tertentu dan subyek
tertentu sebagai pemegang haknya.
b) Tanah
Tanah
adalah
permukaan
bumi,
yang
dalam
penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang
ada di bawahnya dan sebagian dari ruang yang ada di
atasnya, dengan pembatasan dalam Pasal 4, yaitu:
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan
dengan
penggunaan
tanah
yang
bersangkutan, dalam batas-batas, menurut UUPA dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedalam
berapa tubuh bumi dan setinggi berapa ruang yang
bersangkutan boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan
41Ibid.
42Ibid.,
43
hal. 38.
Boedi Harsono, Op.,Cit., hal. 268.
67
penggunaannya,
dalam
batas-batas
kewajaran,
perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri,
kemampuan
pemegang
haknya
serta
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Pengertian “tanah” meliputi juga permukaan bumi yang
berada di bawah air, termasuk air laut.
c) Bangunan dan Tanaman
Mengenai pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di
atas tanah yang dihaki, bahwa Hukum Indonesia
menggunakan asas Hukum Adat, yaitu asas pemisahan
horizontal. Menurut asas ini, bangunan dan tanaman
bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan.
Maka hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi
pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
Perbuatan hukum mengenai tanah, tidak dengan
sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di
atasnya. Tetapi biar pun demikian, dalam praktik
dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah
meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada di
atasnya, asal:
a. bangunan dan tanaman tersebut secara fisik
merupakan satu kesatuan dengan tanah yang
bersangkutan, artinya bangunan yang berfondasi dan
tanaman merupakan tanaman keras;
b. bangunan dan tanaman tersebut milik yang empunya
tanah; dan
c. maksud demikian secara tegas disebutkan dalam
akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan
hukum yang bersangkutan.44
Dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
(UU Hak Tanggungan) kemungkinan dibebankan Hak
Tanggungan, tanah berikut bangunan dan/atau
tanaman yang ada di atasnya diperluas hingga meliputi
juga bangunan dan tanaman milik pihak lain, Pasal 4
ayat (5). Kiranya secara analogi perluasan tersebut dapat
diterapkan juga pada perbuatan hukum pemindahan
hak atas tanah yang dilakukan berikut bangunan
dan/atau tanaman yang ada di atasnya. Asal pemilik
bangunan dan/atau tanaman tersebut ikut hadir di
hadapan PPAT dan memindahkan haknya kepada
penerima hak. Dengan demikian tidak perlu pemindahan
hak atas bangunan dan/atau tanaman tersebut
dilakukan secara terpisah dengan akta tersendiri.
Dibukanya kemungkinan tersebut tidak berarti bahwa
Hukum Tanah Nasional kita meninggalkan asas pemisahan
horizontal dan menggantinya dengan asas accessie.
Bangunan dan tanaman tersebut tetap bukan merupakan
bagian dari tanah. Maka untuk dapat ikut dipindahkan
haknya atau dibebani hak tanggungan, hal itu wajib secara
tegas dinyatakan dalam akta yang bersangkutan.
44Demikian
dinyatakan juga dalam Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum
Nasional, Yogyakarta, 1975.
68
2. Macam-macam hak penguasaan atas tanah dalam Hukum
Tanah Nasional45
Dalam Hukum Tanah Nasional ada bermacam-macam hak
penguasaan atas tanah, yang dapat disusun dalam jenjang
tata susunan atau hierarkhi sebagai berikut:
1. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1);
2. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2);
3. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3);
4. Hak-hak individual:
a. Hak-hak atas tanah (Pasal 4);
- Primer: hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, yang
diberikan oleh negara, dan
hak pakai, yang diberikan oleh negara (Pasal 16);
- Sekunder:
hak guna bangunan dan hak pakai,
yang diberikan oleh pemilik tanah, hak gadai, hak
usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa dan
lain-lainnya (Pasal 37, Pasal 41 dan Pasal 53).
b. Wakaf (Pasal 49);
c. Hak jaminan atas tanah: hak tanggungan (Pasal 23,
Pasal 33, Pasal 39, Pasal 51, dan UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah).
Hak milik atas satuan rumah susun bukan hak penguasaan
atas tanah, melainkan hak atas satuan rumah susun
tertentu, yang menurut UU No. 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun meliputi juga satu bagian tertentu sebesar
nilai perbandingan proporsionalnya dari hak atas tanahbersama di atas mana rumah susun yang bersangkutan
berdiri.
d.
45Boedi
Asas-Asas Dasar Hukum Tanah Nasional
Dalam UUPA dimuat 8 (delapan) asas dari Hukum Agraria
nasional. Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan sendirinya
harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan
pelaksanaannya. Delapan asas tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Asas Kenasionalan
Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
Bangsa Indonesia dan seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan kekayaan nasional.
Bumi, air, dan ruang angkasa dalam wilayah Republik
Indonesia menjadi hak dari Bangsa Indonesia, jadi tidak
semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.
Demikian pula, tanah-tanah di daerah-daerah dan
pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat
asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja.
Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air,
dan ruang angkasa Indonesia adalah hubungan yang
bersifat abadi. Ini berarti bahwa selama rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih
ada dan selama bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia
Harsono, Op., Cit., hal. 267.
69
itu masih ada pula, maka dalam keadaan yang
bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan
dapat memutuskan atau meniadakan hubungan
tersebut. Asas ini dimuat dalam Pasal 1 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) UUPA.
2. Asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara.
Perkataan “dikuasai” di sini bukan berarti “dimiliki”
akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada
negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
untuk pada tingkatan tertinggi:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan
ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
Hak menguasai dari negara tersebut di atas ditujukan
untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kekuasaan negara tersebut mengenai semua bumi, air,
dan ruang angkasa, baik yang sudah dihaki maupun
yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang
sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh
isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara
memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk
menggunakan haknya, sampai di situlah batas
kekuasaan negara tersebut. Kekuasaan negara atas
tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh
seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan
penuh.
Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut, negara
dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan
hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai, atau
memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu
badan penguasa (departemen, jawatan, atau daerah
swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan
tugasnya masing-masing.
Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari negara
tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah. Asas ini dimuat dalam Pasal 2
UUPA.
70
3. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara
yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada
kepentingan perseorangan atau golongan.
Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya
dalam sistem Hukum Agraria nasional akan tetapi
dalam pelaksanaannya berdasarkan asas ini, maka
untuk kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika
masyarakat hukum adat berdasarkan hak ulayatnya
menolak dibukanya hutan secara besar-besaran dan
teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar,
misalnya
pembukaan
areal
pertanian
baru,
transmigrasi, resettlement dan sebagainya. Pengalaman
menunjukkan bahwa pembangunan daerah-daerah itu
sendiri sering kali terhambat karena mendapat
kesukaran mengenai hak ulayat.
Kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk
pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas
dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai
dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat
dibenarkan jika di dalam alam bernegara ini suatu
masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan
pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakanakan terlepas hubungannya dengan masyarakatmasyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya dalam
lingkungan negara sebagai kesatuan. Ini tidak berarti
bahwa
kepentingan
masyarakat
hukum
yang
bersangkutan tidak diperhatikan sama sekali. Asas ini
dimuat dalam Pasal 3 UUPA.
4. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata
untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu
merugikan masyarakat. Penggunaan tanah itu harus
disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga
bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan
yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan
negara.
Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidaklah
berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak
sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).
UUPA memerhatikan pula kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan
haruslah saling mengimbangi, hingga tercapai tujuan
pokok, yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan
bagi rakyat seluruhnya.
Tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambah
kesuburan serta dicegah kerusakannya. Kewajiban
memelihara ini tidak saja dibebankan kepada pemegang
haknya, melainkan menjadi beban pula bagi setiap
orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai
suatu hubungan hukum dengan tanah itu. Asas ini
dimuat dalam Pasal 6 UUPA.
71
5. Asas hanya warga negara Indonesia yang mempunyai
hak milik atas tanah.
Hak milik tidak dapat dimiliki oleh orang asing dan
pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang
dengan ancaman batal demi hukum. Orang-orang asing
hanya dapat mempunyai hak atas tanah dengan Hak
Pakai yang luas dan jangka waktunya terbatas.
Demikian pula, badan-badan hukum pada prinsipnya
tidak dapat mempunyai hak milik.
Adapun pertimbangan untuk melarang badan-badan
hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena
badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik
tetapi cukup hak-hak lain, asal saja jaminan-jaminan
yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus
(Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
dan hak-hak lainnya).
Kecuali badan-badan hukum yang bergerak dalam
lapangan sosial dan keagamaan dapat mempunyai hak
milik atas tanah, sepanjang tanahnya diusahakan
untuk usahanya dalam lapangan sosial dan keagamaan
itu. Dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan
bidang itu badan-badan hukum ini dianggap sebagai
badan hukum biasa.
Dengan demikian, akan dapat dicegah usaha-usaha
penyelundupan hukum yang bermaksud menghindari
ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas
tanah yang dipunyai dengan hak milik. Asas ini dimuat
dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 UUPA.
6. Asas persamaan bagi setiap warga negara Indonesia.
Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun
perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya. Dalam pada itu perlu diadakan
perlindungan bagi golongan warga negara yang lemah
terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan
ekonominya.
Ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan
lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik
serta pengawasannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Ketentuan ini merupakan alat
untuk melindungi golongan-golongan yang lemah.
Dalam
hubungan
itu
dibuat
ketentuan
yang
dimaksudkan mencegah terjadinya penguasaan atas
kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui
batas dalam bidang-bidang usaha agraria. Hal ini
bertentangan dengan asas keadilan sosial yang
berperikemanusiaan. Segala usaha bersama dalam
lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan
bersama dalam rangka kepentingan nasional dan
pemerintah berkewajiban mencegah adanya organisasi
dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria
yang bersifat monopoli swasta.
72
Bukan saja usaha swasta, tetapi juga usaha-usaha
pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah
jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karena
itu, usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli
hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
Asas ini dimuat dalam Pasal 9 ayat (2) jo. Pasal 11 jo.
Pasal 13 UUPA.
7. Asas
tanah
pertanian
harus
dikerjakan
atau
diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri dan
mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan.
Pelaksanaan asas tersebut, dewasa ini menjadi dasar
hampir di seluruh dunia yang menyelenggarakan
Landreform
atau
Agrarianreform
and
Rural
Development, yaitu tanah pertanian harus dikerjakan
atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri.
Untuk mewujudkan asas ini diadakan ketentuanketentuan tentang batas maksimum atau minimum
penguasaan/pemilikan tanah agar tidak terjadi
penumpukan penguasaan/pemilikan tanah di satu
tangan golongan mampu. Pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak di-perkenankan
karena hal yang demikian itu merugikan kepentingan
umum. Ketentuan tentang batas maksimum luas tanah
yang dapat dimiliki seseorang dimaksudkan supaya ia
mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak
bagi diri sendiri dan keluarganya.
Asas ini dimuat dalam Pasal 10 jo. Pasal 7 jo. Pasal 17
UUPA. Asas tata guna tanah/penggunaan tanah secara
berencana. Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita
bangsa dan negara dalam bidang agraria, perlu adanya
suatu rencana (planning) mengenai peruntukan,
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang
angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan
negara. Rencana umum (National Planning) yang
meliputi seluruh wilayah Indonesia, kemudian diperinci
menjadi rencana-rencana khusus (Regional Planning)
dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu,
maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara
terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat
yang sebesar-besamya bagi negara dan rakyat.
Asas ini merupakan hal yang baru dengan tujuan setiap
jengkal tanah dipergunakan seefisien mungkin dengan
memperhatikan asas Lestari, Optimal, Serasi, dan
Seimbang (LOSS) untuk penggunaan tanah di
pedesaan, sedangkan asas Aman, Tertib, Lancar, dan
Sehat (ATLAS) untuk penggunaan tanah di perkotaan.
Menurut Soeprapto, asas-asas dalam UUPA karena
menjadi dasar, dengan sendirinya harus menjiwai
pelaksanaan
UUPA
dan
segenap
peraturan
pelaksanaannya.46 Dengan demikian, dalam pembuatan
peraturan pelaksanaan UUPA harus menjiwai asas-asas
yang dimuat dalam UUPA.
46Soeprapto,
Undang-undag Agraria dalam Praktek, Universitas Indonesia, Pres: Jakarta,
1986, hal.17.
73
Ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam UUPA
hanyalah asas-asas dan soal-soal agraria dalam garis
besarnya saja, dan oleh karena itu disebut Undangundang
Pokok.
Maksud
pembentuk
UUPA
menempatkan UUPA sebagai peraturan inti yang hanya
berfungsi mengatur hal-hal yang pokok tentang agraria.
UUPA sebagai undang-undang induk yang harus
dijadikan acuan bagi undang-undang lain yang
berkaitan dengan agraria. UUPA juga sebagai undangundang
yang
meletakkan
dasar-dasar
bagi
pembentukan undang-undang lain yang berkaitan
dengan agraria. UUPA masih membutuhkan peraturan
pelaksanaan baik yang berbentuk undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun
Peraturan
Daerah.
Peraturan
tersebut
bersifat
melaksanakan, menjabarkan, melengkapi kehendak
pasal-pasal dalamUUPA.47
Dalam upaya menyusun peraturan perundangundangan yang diperintahkan oleh UUPA harus
memerhatikan sinkronisasi baik secara vertikal
maupun horizontal sesuai dengan Ketetapan MPR RI
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, yang mencabut Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966
tentang
Memorandum
DPRGR
mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan RI. Tata urutan peraturan
perundang-undangan RI menurut Ketetapan MPR RI
No. Ill/MPR/2002 adalah Undang-undang Dasar,
Ketetapan MPR RI, Undang-undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan
Daerah.
2.
Hak Bangsa
Terkait mengenai hak bangsa Indonesia, arah dan tujuannya
berhubungan erat dengan konsep bangsa dalam arti yang sangat
luas. Dalam artian bahwa konsep bangsa merupakan artikulasi dari
mengangkat kepentingan bangsa di atas kepentingan perorangan
atau golongan. Hal ini berarti bahwa hak bangsa Indonesia atas
tanah mempunyai makna bahwa kepentingan bangsa Indonesia di
atas kepentingan peroroangan atau golongan.48
Dalam Pasal 1 ayat (1), (2), (3) UUPA, dinyatakan bahwa:
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional.
47Muchsin, Konflik Sumber Daya Agraria dan Upaya Penegakan Hukumnya, Makalah
Seminar Pembaharuan Agraria, 2002, Sekoah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta, 16 Juli
2002, hal. 6.
48Supriadi, SH., MH, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Cetakan keempat, 2010 hal. 56-58.
74
(3)
Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta
ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah
hubungan yang bersifat abadi.
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1), (2), (3) tersebut sejalan
dengan Penjelasan Umum UUPA bahwa bumi, air, dan ruang
angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya
diperjuangkan oleh Bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula
dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para
pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan
pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari
daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian
demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan
ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat
yang diangkat pada tingkatan paling atas yaitu pada tingkatan yang
mengenai selurnh wilayah negara.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2), (3) UUPA
tersebut, Boedi Harsono mengatakan bahwa49:
Hak bangsa adalah semacam hak ulayat, berarti dalam konsepsi
hukum tanah nasional, hak tersebut merupakan hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan
atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak
perseorangan atas tanah yang dimaksud oleh penjelasan umum
diatas, secara langsung maupun secara tidak langsung,
semuanya bersumber pada hak bangsa. Maka dalam hubungan
ini, percatan “pula” dalam kalimat ”menjadi hak pula dari bangsa
Indonesia”, seharusnya tidak perlu ada. Karena bisa
menimbulkan kesan, seakan-akan hak bangsa adalah sejajar
dengan hak ulayat dan hak-hak perorangan.
Selain pendapat yang dikemukakan oleh Boedi Harsono
mengenai pengertian hak bangsa Indonesia atas tanah di atas,
Sudargo Gautama menyatakan bahwa50:
Selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia
masih ada, dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia
itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagimana pun tidak
ada suatu kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan
hubungan tersebut.
Berdasarkan uraian diatas Boedi Harsono memberikan uraian
mengenai ketentuan-ketentuan pokok yang terkandung dalm hak
menguasai bangsa Indonesia atas tanah sebagai berikut:
a. Satuan dan Isinya
Hak bangsa adalah sebutan yang diberikan oleh para
ilmuwan hukum tanah pada lembaga hukum dan hubungan
hukum konkret dengan bumi, air, dan ruang angkasa
Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1), (2), (3)
UUPA. UUPA tidak memberikan nama yang khusus
mengenai hak bangsa atas tanah. Hak ini merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tinggi dalam hukum tanah
nasional. Oleh karena itu, semua hak atas yang lain, secara
49Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, 1994, hal 193.
Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan Peraturan
Pelaksanaanya (1996) Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 205.
50Sudargo
75
b.
c.
d.
e.
3.
langsung maupun tidak langsung bersumber padanya. Hak
bangsa memiliki dua unsur, yakni unsur kepunyaan dan
unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin
penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang
dipunyainya.
Pemegang Hak
Subyek hak bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia
sepanjang masa, yaitu generasi terdahulu, sekarang dan
yang akan datang.
Tanah yang dihaki
Hak bangsa meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah
negara Republik Indonesia,maka tidak ada tanah yang
merupakan res nullius.
Terciptanya Hak Bangsa
Tanah bersama tersebut adalah Karunia tuhan yang Maha
Esa kepada rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia. Hak bangsa sebagai lembaga hukum dan sebagai
hubungan hukum konkrit merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan. Hak bangsa sebagai lembaga hukum
tercipta pada saat diciptakannya hubungan hukum konkret
dengan tanah sebagai karunia Tuhan YME kepada rakyat
Indonesia.
Hubungan yang bersifat Abadi
Hubungan yang bersifat abadi mempunyai makna bahwa
hubungan yang akan berlangsung tidak akan putus untuk
selama-lamanya.
Penatagunaan Tanah dan Landreform
Tanah merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia,
berbangsa, dan bernegara. Negara diberikan hak oleh konstitusi
untuk mengusai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya termasuk tanah, dan berwenang untuk menggunakannya
bagi kemakmuran rakyat. Hak dan wewenang tersebut dijabarkan
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Dasar-Dasar
Agraria (UUPA). Pengaturan mengenai tanah di Indonesia masih
berdasarkan pada UUPA. Pertanahan mempunyai ruang lingkup,51
yaitu:
a. politik pertanahan (land politics), berkaitan dengan kewenangan
perolehan/penguasaan tanah, pendistribusian tanah termasuk
landreform di dalamnya, serta law enforcement;
b. ekonomi pertanahan (land economics), berkaitan dengan
pemanfaatan tanah secara efisien yang meliputi penatagunaan
tanah sebagai subsistem penataan ruang;
c.
hukum pertanahan (land laws), berkaitan dengan pemberian
landasan hukum bagi politik pertanahan dan kepastian hukum
tentang kepemilikan hak atas tanah perorangan atau badan
hukum; dan
d. pendaftaran tanah (land registration/land record management),
berkaitan dengan pendaftaran hak atas tanah.
Keempat hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kebijakan
makro pertanahan bagi pemenuhan kebutuhan penduduk atas
51Tubagus Haedar Ali, “Makna Penggunaan Tanah menurut UU Nomor 5 Tahun 1960:
Kaitannya
dengan
Perkembangan
Penataan
Ruang”,
http://www.jkpp.org/download/kamus%20tata%20ruang%20Bab5.3.pdf, diakses tanggal 25
April 2012.
76
tanah. Ada 9 kebijakan makro berdasarkan UUPA terdiri dari (1)
keberadaan hukum adat, (2) hak atas tanah, (3) kewajiban pemilik
hak atas tanah, (4) hak atas tanah berfungsi sosial, (5) anti monopoli,
(6)
pemanfaatan
dan
pembangunan
sumber
daya
alam
berkelanjutan, (7) desentralisasi pelaksanaan hak menguasai negara,
(8) penatagunaan tanah, dan (9) kemitraan pemerintah dan swasta.
a.
Penatagunaan Tanah
Konstitusi menyebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya
negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum.
Berdasarkan tujuan pembentukan negara tersebut, pemerintah
melaksanakan pembangunan untuk mencapai kemakmuran rakyat
yang meliputi kesejahteraan dan kemerdekaan bagi masyarakat dan
negara. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
Indonesia diberikan hak untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk digunakan
bagi kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara melahirkan
kewenangan bagi negara untuk:52
a. mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
dan
c.
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pelaksanaan hak menguasai negara tersebut dapat dikuasakan
kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat apabila
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Hak dan wewenang negara tersebut salah satunya dilaksanakan
dalam bentuk penatagunaan tanah. Penatagunaan tanah ini
dilakukan dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional di
bidang pertanahan. Berdasarkan Tap MPR. Nomor IV/MPR/1978,
pembangunan di pertanahan diarahkan untuk menata kembali
penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah.
Penatagunaan tanah berasal dari kata tata guna tanah (land use
planning). Tata guna tanah berobyek pada tanah sebagai salah satu
bagian dari obyek hukum agraria. Tata guna tanah (land use
planning) mempunyai pengertian sebagai berikut:
a.
Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk
mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah
secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat
yang lestari, optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dan negara.53
b.
Tata guna tanah adalah rangkaian usaha kegiatan
penataan, penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah
secara
berencana
dalam
rangka
melaksanakan
pembangunan nasional, untuk menata proyek-proyek
pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun
yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat
52Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Peraturan
Dasar Agraria.
53“Pengertian
Tata
Guna
Tanah”,
http://tatagunatanah.blogspot.com/2008/08/pengertian-tata-guna-tanah.html,
diakses
tanggal 1 Mei 2012.
77
sesuai dengan daftar sekala prioritas, sehingga di satu
pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah, sedangkan
di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang
berlaku.54
c.
Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan
dengan penataan tanah secara maksimal untuk mengatur
persediaan, penggunaan terhadap bumi, air, dan ruang
angkasa, serta terhadap tanggung jawab pemeliharaan
tanah termasuk di dalamnya menjaga kesuburan tanah
dan kerusakannya.55
Penatagunaan tanah menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (PP Tata Guna
Tanah), yaitu disamakan dengan pola pengelolaan tata guna tanah
yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan
kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu
kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Penatagunaan tanah merupakan bentuk pelaksanaan wewenang
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa,
khususnya yang berkaitan dengan tanah. Pasal 13 UU Tata Ruang
menyebutkan bahwa rencana tata ruang dilaksanakan dengan
penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya, oleh karena itu
penatagunaan tanah harus memperhatikan kelestarian, pemuliaan
kualitas tanah, dan pemenuhan kepentingan non-ekonomis yang
diperlukan bagi kehidupan masyarakat. Selain mengacu pada aspekaspek tujuan penataan ruang, penatagunaan tanah harus mengacu
pada kebijakan dasar mengenai pertanahan yang terkandung dalam
UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan dengan penggunaan
tanah.56 Ini berarti bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Tata Ruang),
penatagunaan tanah merupakan subsistem dari penataan ruang
atau bagian tidak terpisahkan dari penataan ruang yang dituangkan
dalam rencana tata ruang wilayah berdasarkan aspek administratif
dan/atau aspek fungsional yang ditetapkan. Hal ini sesuai dengan
Penjelasan Umum angka II poin 8 UUPA yang menyatakan bahwa
perlu adanya suatu rencana (planning)berupa rencana umum
(national planning) yang diperinci menjadi rencana-rencana khusus
(regional planning) mengenai peruntukkan, penggunaan, dan
persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk pelbagai
kepentingan hidup rakyat dan negara.
Penatagunaan tanah bertujuan sesuai dengan prinsip ekonomi
yaitu memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari penggunaan
tanah. Adapun tujuan penatagunaan tanah berdasarkan PP Tata
Guna Tanah yaitu:57
a. mengatur penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan
yang
sesuai
dengan
rencana
tata
ruang
54“Pengertian
Tata
Guna
Tanah”,
http://tatagunatanah.blogspot.com/2008/08/pengertian-tata-guna-tanah.html,
diakses
tanggal 1 Mei 2012
55Supriadi, Op., Cit. hal. 261.
56Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, Bandung: Mandar
Maju, 1994, hal. 118.
57Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
78
wilayah;mewujudkan
penguasaan,
penggunaan,
dan
pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi
kawasan dalam rencana tata ruang wilayah; dan
b. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan,
penggunaan,
dan
pemanfaatan
tanah
termasuk
pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan
tanah;
c.
menjamin
kepastian
hukum
untuk
menguasai,
menggunakan, dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat
yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan.
Adapun dasar-dasar penatagunaan tanah, yaitu:58
a. Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan,
dan penggunaan tanah, serta pemeliharaannya ada pada
negara;
b. Hak atas tanah memberi wewenang pada pemegang hak
untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah untuk
kepentingan
yang
langsung
berhubungan
dengan
penggunaan tanah itu sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah, dengan memelihara tanah dan mencegah
kerusakan tanah;
c.
Kewenangan
pemegang
hak
atas
tanah
untuk
menggunakan tanah tersebut dibatasi oleh ketentuan
bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;
d. Perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah
dalam proses penatagunaan tanah;
e.
Penatagunaan
tanah
tidak
dapatdipisahkan
dari
pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;
f.
Penggunaan tanah, di samping sebagai subsistem penataan
ruang
juga
merupakan
subsistem
dari
sistema
pembangunan;
g.
Penatagunaan tanah bersifat multidimensi (dimensi fisik,
ekonomi, sosial, politik, dan hankam) serta multisektor
maka penatagunaan tanah dalam praktiknya harus
diselnggarakan secara koordinatif;
h. Penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah
bagi semua kegiatan pembangunan yang bersifat dinamis,
karena itu penatagunaan tanah bersifat dinamis dan
sibernetik; dan
i.
Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas
pemerintah pusat yang pelaksanaannya di daerah
berdasarkan dekonsentrasi atau medebewind.
Kebijakan penatagunaan tanah ini diselenggarakan terhadap
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah
terdaftar maupun yang belum terdaftar, tanah negara, dan tanah
ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.59 Penggunaan dan pemanfaatan
tanah-tanah tersebut harus sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah, yang ditentukan berdasarkan pedoman, standar, dan
kriteria teknis yang ditetapkan oleh pemerintah,sesuai dengan
kondisi wilayah masing-masing.60
58Mieke
Komar Kantaatmadja, Op., Cit., hal. 118.
6 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
60Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
59Pasal
79
Penatagunaan tanah ini meliputi kegiatan persediaan,
peruntukkan, dan penggunaan tanah.Untuk penatagunaan tanah ini
mengacu pada Pasal 14 UUPA. Berdasarkan Pasal 14 UUPA,
pemerintah membuat rencana umum persediaan, peruntukkan, dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya untuk:
a. keperluan negara;
b. keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c.
keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial,
kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. keperluan
memperkembangkan
produksi
pertanian,
peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; dan
e.
keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
Penatagunaan tanah dilaksanakan di daerah berdasarkan
rencana umum pemerintah tersebut yang disesuaikan dengan
keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing.Pelaksanaaan
penatagunaan tanah di daerah didasarkan pada peraturan daerah
yang berlaku setelah mendapat pengesahan dari Presiden untuk
daerah Provinsi, pengesahan dari Gubernur untuk daerah
kota/kabupaten, dan untuk wilayah kecamatan pengesahan
dilakukan oleh Walikota/Bupati.Ini berarti bahwa penatagunaan
tanah merupakan kewajiban pemerintah untuk memenuhi secara
seimbang kebutuhan masyarakat atas tanah, yang pelaksanaannya
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, dengan menghormati
hak-hak atas tanah yang berfungsi sosial sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.Tugas, wewenang, dan tanggung jawab bidang
penatagunaan tanah diberikan kepada Badan Pertanahan Nasional
meskipun penatagunaan tanah dilaksanakan oleh pemerintah
daerah. Badan Pertanahan Nasional sebagai organisasi pengemban
penatagunaan tanah bekerja sama dan berkoordinasi dengan
pemerintah
daerah
dalam
mengimplementasikan
kebijakan
penatagunaan tanah.
Rencana umum untuk penatagunaan tanah tersebut harus
didasarkan pada tiga prinsip yaitu prinsip penatagunaan aneka
(principle of multiple use), prinsip penggunaan maksimum (principle of
maximum production), dan prinsip penggunaan optimum (principle of
optimum use). Ketiga prinsip tersebut dimaksudkan agar:
a. rencana tata guna tanah dapat memenuhi beberapa
kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah;
b. penggunaan suatu bidang tanah diarahkan untuk
memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk
memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak; dan
c.
penggunaan suatu bidang tanah dapat memberikan
keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang
yang menggunakan/mengusahakannya tanpa merusak
alam dan lingkungan.
Titik berat penatagunaan tanah dibedakan penggunaan tanah di
wilayah pedesaan untuk usaha-usaha pertanian dan penggunaan
tanah di wilayah perkotaan untuk kegiatan non pertanian.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 13 PP Tata Guna Tanah, penggunaan
dan pemanfaatan tanah melalui pedoman teknis pentagunaan tanah
yang bertujuan untuk menciptakan penggunaan dan pemanfaatan
tanah yang lestari, optimal, serasi, dan seimbang (LOSS) di wilayah
pedesaan serta aman, tertib, lancer, dan sehat (ATLAS) di wilayah
80
perkotaan.61 Ini berarti bahwa penatagunaan tanah di wilayah
pedesaan (rural land use planning) menggunakan asasLOSS,
sedangkan penatagunaan tanah di wilayah perkotaan (urban land
use planning) menggunakan asas ATLAS. Ini berbeda dengan asas
penatagunaan tanah berdasarkan Pasal 2 PP Tata Guna Tanah, yaitu
penatagunaan tanah berasaskan keterpaduan, berdaya guna dan
berhasil
guna,
serasi,
selaras,
seimbang,
berkelanjutan,
keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Ada beberapa model penatagunaan tanah, yaitu:62
a. Model Zoning, yaitu tanah di suatu wilayah/daerah tertentu
dibagi dalam beberapa zone penggunaan atau kepentingankepentingan/kegiatan-kegiatan/usaha-usaha
yang
dilakukan. Model ini dikembangkan oleh Ernest W.
Borgess, wilayah kota dibagi menjadi:
1. Wilayah “the loop”, untuk wilayah perdagangan
(downtown)
2. The zone in transitions, wilayah yang dipersiapkan bagi
perkembangan industri dan perdagangan.
3. The zone of working men’s home, wilayah pemukiman
bagi pekerja kelas bawah.
4. The residential zone, wilayah pemukiman bagi orang
kaya.
5. The commuters zone, wilayah di luar batas kota.
Model ini mempunyai tugas perencanaan penggunaan
tanah cukup sederhana da nada jaminan kepastian hukum
terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat,
namuntidak ruang atas tanah yang dapat menampung
kegiatan-kegiatan yang dipandang merugikan atau
mengganggu apabila diletakkan pada zone-zone tertentu
dan mengakibatkan perkembangan wilayah yang tidak
merata.
b. Model terbuka, yaitu suatu ruang atas tanah dalam satu
wilayah tertentu tidak terbagi-bagi dalam zona-zona
penggunaan, namun menitikberatkan pada usaha-usaha
untuk mencari lokasi yang sesuai bagi suatu kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau
swasta, dengan memperhatikan:
1. Data kemampuan fisik tanah;
2. Keadaan sosial ekonomi masyarakat;
3. Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah
tersebut.
Model terbuka ini menggunakan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Bahwa
perencanaan
penggunaan
tanah
tidak
menggariskan kegiatan yang harus diletakkan, tetapi
meletakkan kegiatan yang telah digariskan.
2. Tersedianya
peta
penggunaan
tanah
bukan
merupakan tujuan tetapi berfungsi sebagai alat atau
sarana untuk mecapai tujuan pembangunan.
3. Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat memberikan
suatu bagi manusia, tetapi kegiatan yang ada di
61“Asas-Asas Tata Guna Tanah”, http://tatagunatanah.blogspot.com/search/label/Asasasas%20Tata%20Guna%20Tanah, diakses tanggal 1 Mei 2012.
62“Model
Perencanaan
Penatagunaan
Tanah”,
http://tatagunatanah.blogspot.com/search/label/Model%20Perencanaan%20TGT,
diakses
tanggal 1 Mei 2012.
81
atasnyalah
yang
memberikan
manfaat
dan
kemakmuran.
Penatagunaan tanah dengan model ini makasemua kegiatan
pembangunan baik pemerintah maupun swasta dilaksanakan dan
tertampung, tanpa ada kekawatiran akan terjadi konflik dalam
penggunaan tanah dan tanah dapat digunakan sesuai dengan asasasas penggunaan tanah.Namun, Kelemahan model terbuka adalah
kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah
warga masyarakat.Hak atas tanah warga masyarakat kurang
mendapatkan jaminan hukum. Untuk mengatasi ini maka
hendaknya proses pembebasan tanah dilakukan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
c.
Land consolidation, yaitu teknik penataan kembali lokasi
dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana
(pelurusan jalan, sungai, saluran pembagian/pembuangan
air) sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat
panjang dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh
penggarap atau saluran air.
b.
Landreform
Dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan dan
kesejahteraan, politik, arah, dan kebijakan pertanahan didasarkan
pada empat prinsip: (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumbersumber baru kemakmuran rakyat, (2) pertanahan harus
berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan
bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya
dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
(P4T), (3) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam
menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya
pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber
kesejahteraan masyarakat, (4) pertanahan harus berkontribusi
secara nyata dalam mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang
harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara
pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan
sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa,
konflik dan perkara di kemudian hari. Prinsip-prinsip tersebut
kemudian dijabarkan dalam kebijakan Reforma Agraria. Reforma
Agraria, secara operasional, didefinisikan sebagai (1) menata kembali
sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan pancasila, UUD
1945 dan UUPA, dan di dalam implementasinya merupakan (2)
proses penyelenggaraan landreform atau asset reform secara
bersama.
Pengertian dan Tujuan Landreform
Landreform merupakan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah berdasarkan
hukum dan peraturan perundangan pertanahan, dan access reform
merupakan proses penyediaan akses bagi penerima manfaat
terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik, seperti partisipasi
ekonomi-politik,
modal,
pasar,
teknologi,
pendampingan,
peningkatan kapasitas dan kemampuan, yang memungkinkan
mereka untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber
kehidupan.
Tujuan landreform dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu:
a. Sosial ekonomi
82
b.
c.
Dari sisi sosial ekonomi, landreform dapat memeperbaiki
keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memeperkuat hak
milik dan memperbaiki produksi nasional khususnya
sector pertanian guna memepertinggi penghasilan dan taraf
hidup rakyat.
Sosial politis
Dari sisi sosial politis, landreform dapat menghilangkan
sistem tuan tanah dan pemilikan tanah dalam skala besar
dapat dibatasi sehingga tanah dapat dibagikan secara adil
agar menjadi sumber-sumber penghidupan rakyat tani.
Mental psikologis
Landreform dapat meningkatkan kegairahan kerja bagi para
petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak
mengenai pemilikan tanah serta dapat memperbaiki
hubungan
kerja
antara
pemilik
tanah
dengan
penggarapnya.
Dasar Hukum Landreform
Beberapa landasan hukum mengenai landreform, yaitu:
1. Ketetapan MPR RI No.IX/MPR RI/ 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
2. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA).
3. UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah
Pertanian.
4. UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
5. PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (jo. PP No.41 Tahun
1964 dan PP No. 4 Tahun 1977).
Kegiatan Pokok Landreform
Tahapan kegiatan landreform adalah sebagai berikut:
1. Inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah (IP4T).
Hasil kegiatan IP4T adalah data dan informasi mengenai
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
setiap bidang tanah. Hasil analisis berupa informasi P4T
yang mencakup: tingkat ketimpangan P4T, kesesuaian
penggunaan tanah dengan tata ruang, neraca penggunaan
tanah detail, potensi tanah-tanah obyek landreform, potensi
masalah landreform, sengketa, dan konflik tanah terlantar.
2. Redistribusi tanah obyek landreform.
Kegiatan redistribusi tanah obyek landreform terdiri dari
serangkaian
subkegiatan
yang
meliputi
kegiatan
penyuluhan, inventarisasi, dan identifikasi penerima
manfaat dan tanah yang dialokasikan (subyek dan obyek),
pengukuran dan pemetaan, penerbitan Surat Keputusan
pemberian hak atas tanah dalam rangka redistribusi dan
pendaftaran hak atas tanah (penerbitan sertifikat hak atas
tanah), yang di dalam pelaksanaannya memerlukan
koordinasi dan sinkronisasi berbagai bidang yang terkait.
Salah satu tujuan pelaksanaan kegiatan redistribusi tanah
objek landreform adalah memberikan kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah bagi para petani miskin.
83
Sejarah Landreform di Indonesia
a. Orde Lama
Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai
redistribusi tanah telah diawali dengan UU No. 56 Prp Tahun
1960 tentang redistribusi tanah pertanian. Secara historis, orde
lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan
revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat
pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara
lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada
umumnya dari pengaruhkolonialisme, imperialisme, feodalisme,
dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut
ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasardasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri
berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS
RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga
landasan filosofis pembangunan pada masa ini, yaitu anti
penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ exploitation de Iâ
homme per Iâ homme), kemandirian ekonomi, dan anti
kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme dengan
landreform sebagai agenda pokoknya. Demikian juga dari jumlah
Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan
Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah
tentang landreform dan pengurusan
hak
atas
tanah63.
Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu
agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan.
Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi
Indonesia
adalah
basis
pembangunan
semesta
yang
berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi
tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan. Menurut
Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang
dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan,
terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan
kepentingan para tuan tanah64. Kepentingan dari dua golongan
ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, di mana terbentuk
tiga golongan, yaitu golongan radikal yang mengusulkan
pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang
benar-benar menggarapnya”. Sedangkan mereka yang memiliki
tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap
manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI, dan Partai
Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang
terdiri dari partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat
golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas
luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai
penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang
kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima
63Perinciannya adalah sebagai berikut: Landreform terdiri dari 4 Undang-Undang, 2
Peraturan Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan Menteri, 12 Keputusan Menteri, 9
Surat Edaran Menteri (4 peraturan); dan tentang Pengurusan Hak Tanah terdiri dari 1
Undang-Undang, 3 Peraturan Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, 1 Instruksi Presiden, 4
Peraturan Menteri, 10 Keputusan Menteri, 7 Surat Edaran Menteri (28 peraturan),dari
keseluruhan yang berjumlah 92 peraturan. Lihat dalam Nurhasan Ismail, 2006,
Perkembangan HukumPertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi
pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 185.
64Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia,
Yogyakarta: Kerjasama Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar, 1999, hal. 141.
84
pendapat golongan radikal, tetapi dengan penerapan yang
bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo
(Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan
UUPA menjadi anggotanya65.
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program
pendaftaran tanah berdasar PP No. 10 Tahun 1961, untuk
mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan
dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah berlebih
(melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagibagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah.
Termasuk juga pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil. Tetapi ketiga program tersebut mengalami
hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa
kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan
redistribusi tanah dan kurangnya dukungan baik itu dari
rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh, dan
panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabkan
terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah
maupun tuan tanah66. Akibat banyaknya aksi sepihak ini,
dikeluarkanlah UU No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan
Landreform. Sehingga dapat dikatakan bahwa program
landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada
penerapannya mengalami kegagalan67. Hal tersebut karena68:
1. Kelambanan
praktik-praktik
pemerintah
dalam
pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin
meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian
timbul aksi sepihak;
3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai
mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan
untuk menggagalkan landreform;
4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak, yaitu
yang pro dan kontra landreform.
Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik
yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung
pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim
orde lama. Akan halnya hasil dari program landreform masa ini,
menurut Utrecht, adalah diredistribusikannya tanah sekitar
450.000 hektar69, yaitu sejak program ini dicanangkan pertama
kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I
sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar
karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru
dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara.
Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah
337.445 hektar.
65Ibid.
66Noer
Fauzi, Op., Cit., hal. 143-144.
aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di
bawah naungan BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak
memperhatikan prosedur normal landreform.
68Noer Fauzi, Op., Cit., hal. 124.
69Ibid., hal. 147.
67Terjadinya
85
b.
Orde Baru
Pemerintahan Soeharto era orde baru memfokuskan
pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai
kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan UU
No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya
alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing
pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh
pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan
alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai
peninggalan orde lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi
penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus
mengajukan pinjaman-pinjaman baru70.
Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orangorang atau organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim
ini sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakan tanah yang
selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah
yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir
keberadaan tanah ulayat. Hasil redistribusi tanah yang didapat
pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi
obyek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931
hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah
tangga tani71.
c.
Orde Reformasi
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam
demokrasi yang semakin menguat dan dilaksanakannya sistem
desentralisasi, semangat pembaruan agraria juga menggema
dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun
2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau
revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundangundangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria)
dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di
tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah
maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi
peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform kembali masuk dalam program penting
pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam Pasal 5 TAP MPR RI
No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan
agraria adalah:
a. melaksanakan
penataan
kembali
penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah oleh rakyat;
b. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui
inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan
dan
pemanfaatan
tanah
secara
komprehensif
dan
sistematis
dalam
rangka
pelaksanaan landreform.
70Rikardo
Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP
Regional Center in Bangkok, 2006, hal. 64 dan 65.
71Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi
revisi, Kompas, Jakarta, 2001, hal. 51.
86
Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, redistribusi tanahpun kembali diagendakan.
Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar
lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014.
Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada
masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada
pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani
perkebunan. Tanah tersebut tersebar di Indonesia, dengan
prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah
itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah
telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis,
maupun tanah bekas swapraja72.
c.
Konsolidasi Tanah
Konsolidasi tanah (land consolidation) merupakan salah satu
model dari penatagunaan tanah. Penatagunaan tanah meliputi aspek
pemeliharaan yaitu tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambah
subur dan dicegah kerusakannya. Berdasarkan konsideran
menimbang huruf a Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 tentang
Konsilidasi Tanah, tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk
pemanfaatan tanah tersebut selain melalui penatagunaan tanah
perlu dilakukan konsolidasi tanah.
Konsolidasi tanah merupakan bagian dari penatagunaan tanah.
Ada beberapa pengertian mengenai konsolidasi tanah, yaitu:
a.
Konsolidasi tanah merupakan salah satu kebijaksanaan
pengaturan penguasaan, penyesuaian penggunaan tanah
dengan rencana tata guna tanah/tata ruang dan
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan serta
kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya
alam.73
b.
Konsolidasi tanah (land consolidation) adalah pengaturan
kembali tata letak bidang tanah sehingga sebagian setiap
bidang tanah mempunyai lokasi yang tetap dan setiap
bidang tanah mempunyai akses terhadap prasarana dan
sarana lingkungan permukiman, serta utilitas umum,
sehingga luas bidang tanah tersebut berkurang secara
proporsional untuk digunakan bagi prasarana dan sarana
lingkungan permukiman, serta utilitas umum.74Konsolidasi
tanah ini tidak dapat menghindari ada bagian tanah dari
satu bidang tanah diserahkan pada pihak lain da nada
sebagian bidang tanah diterima oleh satu bidang tanah dari
pihak lain.
c.
Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai
penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta
usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan,
meningkatkan kualitas lingkungan, dan pemeliharaan
72Pembagian
Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari
2007.
73Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks UUPA-UUPRUUPLH, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 299.
74Tubagus Haedar Ali, “Makna Penggunaan Tanah menurut UU Nomor 5 Tahun 1960:
Kaitannya
dengan
Perkembangan
Penataan
Ruang”,
http://www.jkpp.org/download/kamus%20tata%20ruang%20Bab5.3.pdf, diakses tanggal 25
April 2012, hal IV 7-14.
87
sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat.75
Berdasarkan definisi tersebut, unsur-unsur dari konsolidasi
tanah, yaitu:
a. Konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;
b. Konsolidasi tanah berisikan penataan kembali penguasaan,
penggunaan, dan usaha pengadaan tanah;
c.
Konsolidasi
tanah
bertujuan
untuk
kepentingan
pembangunan,
meningkatkan
kualitas
lingkungan,
pemeliharaan sumber daya lam;
d. Konsolidasi tanah harus dilakukan dengan melibatkan
partisipasi aktif masyarakat;
e.
Konsolidasi tanah harus disesuaikan dengan rencana tata
guna tanah, rencana tata ruang dan pengadaan tanah.
Prinsip-prinsip konsolidasi tanah, yaitu:76
a. Kegiatan konsolidasi tanah membiayai dirinya sendiri;
b. Land polling merupakanciri khas konsolidasi tanah;
c.
Hak atas tanah sebelum dan sesudah konsolidasi tidak
berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah;
d. Konsolidasi tanah melibatkan peran serta secara aktif para
pemilik tanah;
e.
Tanah yang diberikan kembali kepada pemilik mempunyai
nilai lebih tinggi daripada sebelum konsolidasi tanah.
Konsolidasi tanah bertujuan untuk mencapai pemanfaatan
tanah secara optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas
penggunaan tanah.77Adapun sasaran konsolidasi tanah yaitu
mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah
yang tertib dan teratur.78Berdasarkan Surat Edaran Kepala BPN RI
No. 410-4145 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Konsolidasi Tanah, sasaran konsolidasi tanah dibedakan wilayah
perkotaan dan wilayah perdesaan. Sasaran konsolidasi tanah untuk
wilayah perkotaan ditujukan pada wilayah:
a. Wilayah pemukiman kumuh;
b. Wilayah yang tumbuh pesat secara alami;
c.
Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh;
d. Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman baru; dan
e.
Wilayah yang relatif kosong di bagian pinggir kota yang
diperkirakan
akan
berkembang
sebagai
daerah
pemukiman.
Sedangkan sasaran konsolidasi tanah untuk wilayah pedesaan
ditujukan pada wilayah:
a. Wilayah yang potensial dapat memperoleh pengairan tetapi
belum tersedia jaringan irigasi;
b. Wilayah yang jaringan irigasinya telah tersedia tetapi
pemanfaatannya belum merata; dan
c.
Wilayah yang berpengairan cukup baik maupun masih
perlu ditunjang oleh pangadaan jaringan jalan yang
memadai.
75Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991
tentang Konsolidasi Tanah.
76Hasni, Op., Cit., hal. 300.
77Pasal 2 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah.
78Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah.
88
Konsolidasi tanah perkotaan dilakukan dengan menata persilpersil yang bentuknya tidak beraturan dalam lingkungan
pemukiman atau yang direncanakan untuk pemukiman sehingga
menjadi persil-persil teratur dan tertib yang semuanya menghadap
jalan/rencana jalan yang dilengkapi dengan penyelesaian tanah
untuk sarana umum yang diperlukan sesuai dengan rencana umum
tata ruang kota/rencana teknik tata ruang kota yang
bersangkutan.79Konsolidasi untuk wilayah pedesaan berbeda dengan
konsolidasi wilayah perkotaan tersebut. Konsolidasi wilayah
pedesaan dititikberatkan pada konsolidasi tanah pertanian.
Konsolidasi tanah pertanian dilakukan dengan menata kembali
bentuk-bentuk pemilikan tanah pertanian menjadi teratur sehingga
dapat meningkatkan efisiensi dalam penguasaan dan penggunaan
tanah, dilengkapi dengan penyediaan tanah untuk prasarana jalan,
saluran irigasi, dan fasilitas umum lainnya, sesuai dengan rencana
umum tata ruang daerah yang bersangkutan.80
4.
Pendaftaran Tanah
Dengan ketentuan Pasal 19 UUPA, sistem pendaftaran tanah di
Indonesia berubah dari sistem pendaftaran akte menjadi sistem
pendaftaran hak. Untuk itu diterbitkanlah PP No. 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian diperbarui dengan PP
No. 24 Tahun 1997. Sistem pendaftaran tanah setelah UUPA
mewajibkan Departemen Agraria waktu itu untuk menerbitkan buku
tanah sesuai dengan sistem Torrens yang dianut sistem pendaftaran
tanah Indonesia. Buku tanah adalah tempat dilakukannya
pendaftaran hak atas tanah, peralihan hak, dan pembebanan hak
maupun lahirnya hak atau hapusnya hak atas tanah yang
sebelumnya kegiatan pendaftaran tanah tidak pernah melakukan hal
tersebut. Sebagai tuntutan sistem pendaftaran hak sesuai UUPA, di
mana buku tanah tempat mendaftarkan hak yang dialihkan atau
dibebankan berdasarkan akte PPAT maka akte yang dibuat para
PPAT
haruslah
dipastikan
kebenaran
formalnya
sehingga
Departemen Agraria/BPN perlu untuk menerbitkan blangko akte
yang dapat dikontrol kebenarannya dengan kode dan nomor tertentu
untuk menjamin kebenaran formal akte tersebut.
Berdasarkan konstruksi Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA,
menyatakan bahwa Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kata “kuat” dalam
pengertian Pasal 19 ayat (2) huruf c ini berarti bahwa sertifikat tanah
yang diberikan ini adalah “tidak mutlak” dan membawa akibat
hukum segala apa yang tercantum di dalamnya dianggap benar,
sepanjang tidak ada orang yang dapat membuktikan keadaan yang
menyatakan bahwa sertifikat itu tidak benar.81 Pelaksanaan
pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali (intial registration) maksudnya kegiatan pendaftaran
yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum
didaftar. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan
melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah
secara
sporadik.13
Pemeliharaan
data
pendaftaran
tanah
(maintenance) maksudnya kegiatan pendaftaran tanah untuk
79Hasni,
Op., Cit., hal. 301.
80Ibid.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 1999, hal. 460.
81
89
menyelesaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran,
daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat
dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.82
Berkenaan dengan pendaftaran tanah, ditentukan:
(1) Pendafataran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui
pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah
secara sporadik.
(2) Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu
rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang
ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(3) Dalam suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai
wilayah pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana
dimaksudkan pada ayat (2), pendaftaranya dilaksanakan
melalui pendaftaran tanah secara sporadik.
(4) Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas
permintaaan pihak yang berkepentingan.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran
tanah yang belum didaftar. Kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali adalah:
a. pengumpulan dan pengolahan data fisik, yang meliputi
pengukuran dan pemetaaan; pembuatan peta dasar
pendaftaran; penetapan batas bidang-bidang tanah;
pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan
pembuatan peta pendaftaran; pembuatan daftar tanah, dan
pembuatan surat ukur.
b. pembuktian hak dan pembukuannya, yang meliputi
pembuktian hak baru; pembuktian hak lama; pembukuan
hak.
c.
penerbitan sertifikat
d. penyajian data fisik dan yuridis.
e.
penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Kepastian hukum terhadap pemilik atau yang menguasai tanah
untuk melakukan pendaftaran tanah berdasarkan PP No. 24 Tahun
1997, hal ini terlihat dengan adanya sistem pendaftaran tanah
secara sporadis dan sistem sistematik, di mana dalam pendaftaran
tanah yang dilakukan dengan cara sporadis pemilik tanah yang aktif
untuk melakukan pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah secara sistematik merupakan pendaftaran
tanah yang melibatkan pemerintah (Badan Pertanahan Nasional),
sebagai pelaksana dibantu oleh sebuah panitia independen. Hal ini
sesuai ketentuan dalam Pasal 8 PP No. 24 Tahun 1997 yang
menyatakan bahwa: (1) dalam melaksanakan pendaftaran secara
sistematik Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh sebuah Panitia
Ajudikasi, yang dibentuk oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk; (2)
susunan Panitia Ajudikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
1. Seorang ketua panitia merangkap anggota yang dijabat oleh
seorang pegawai BPN.
2. Beberapa orang anggota yang terdiri dari seorang pegawai
BPN yang mempunyai kemampuan di bidang pendaftaran
tanah,
seseorang
pegawai
BPN
yang
mempunyai
kemampuan
di
bidang
hak
atas
tanah,
kepala
82Ibid.
90
desa/kelurahan yang bersangkutan dan atau seorang
pamong desa/kelurahan yang ditunjuknya.
3. Keanggotaan panitia ajudikasi dapat ditambah dengan
seorang anggota yang sangat diperlukan dalam penilaian
kepastian data yuridis mengenai bidang-bidang tanah yang
wilayah desa/kelurahan yang bersangkutan.
4. Dalam melaksanakan tugasnya panitia ajudikasi dibantu
oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan satuan tugas
pengumpul data yuridis dan satuan administrasi yang tugas
dan susunannya diatur oleh menteri.
Proses pendaftaran tanah pertama kali merupakan kegiatan fisik
untuk memperoleh data mengenai letaknya, batas-batasnya, luasnya
dan bangunan yang terdapat di atasnya, penetapan batas dan
pemberian tanda-tanda batas yang jelas, berdasarkan penunjukan
oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan pemilik tanah
berbatasan. Selanjutnya diadakan pengukuran diikuti dengan
perhitungan luas dan pembuatan peta bidang tanahnya yang
kemudian diterbitkan menjad surat ukur. Kegiatan bidang yuridis
bertujuan untuk memperoleh data mengenai status tanah dan
pemiliknya serta ada atau tidaknya hak pihak lain, yang
membebaninya yang diperlukan guna penetapan surat keputusan
haknya baik melalui penetapan konversi pengakuan hak atau
pemberian hak. Kegiatan berikutnya adalah pendaftaran tanah,
berdasarkan surat keputusan haknya dengan mencatatnya dalam
buku tanah selanjutnya diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai
salinan dari buku tanah yang berlaku, sebagai tanda bukti hak yang
kuat sertifikat tanah memuat data pemegang hak, jenis hak serta
dilengkapi surat ukur memuat letak batas-batas bidang tanah yang
bersangkutan. Ketentuan mengenai prosedurnya, pengumpulan,
penyimpanan, dan penyajian data fisik dan data yuridis serta
penerbitan sertifikat dalam PP No. 24 tahun 1997.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pendaftaran tanah untuk
pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran secara sistematik
dan sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik dilaksanakan
atas prakarsa BPN yang didasarkan atas suatu rencana kerja jangka
panjang
dan
rencana
tahunan,
yang
berkesinambungan.
Pelaksanaan dilangsungkan di wilayah yang ditentukan oleh menteri
serta di wilayah yang belum ditunjuk oleh menteri.
Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas pihak yang
berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek atas
pendaftaran tanah, yang bersangkutan yang akan diutamakan dalam
pendaftaran tanah secara sistematik tetapi pendaftaran tanah secara
sporadik juga akan ditingkatkan. Untuk keperluan pengumpulan
dan pengolahan data fisik pertama-tama dilakukan kegiatan
pengukuran dan pemetaan kegiatan ini meliputi:
1. Pembuatan peta dasar pendaftaran
Kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik disuatu
wilayah yang di tunjuk dimulai dengan pembuatan peta dasar
pendaftaran. Peta dasar pendaftaran tersebut menjadi dasar
pembuatan peta pendaftaran sebagaimana yang dimaksud
dalam uraian di atas, selain untuk pembuatan peta
pendaftaran dalam pelaksanaan pendaftaran tanah secara
sistematik peta dasar pendaftaran juga digunakan untuk
memeta bidang tanah yang sebelumnya sudah didaftar.
Penyiapan peta dasar pendaftaran diperlukan agar setiap
bidang tanah yang didaftar dijamin letaknya, secara pasti
91
karena dapat direkonstruksi dilapangan setiap saat untuk
maksud tertentu diperlukan adanya titik-titik dasar teknik
nasional. Titik-titik dasar teknik adalah titik yang tetap yang
mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran
dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi
sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan
pengukuran dan rekonstruksi batas.
Di wilayah lain untuk keperluan pendaftaran tanah secara
sporadik
diusahakan
juga
tersedianya
peta
dasar
pendaftaran, yang dimaksud dengan adanya peta dasar
pendaftaran tersebut di bidang tanah yang didaftar dapat
diketahui letaknya dalam kaitannya dengan bidang tanah
yang lain dalam suatu wilayah sehingga dapat dihindarkan
terjadinya sertipikat ganda atas suatu bidang tanah.
2. Penetapan batas-batas bidang tanah
Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bidang tanah
yang akan ditetapkan diukur, setelah ditetapkan letaknya
batas-batasnya dan menurut keperluan ditetapkan tandatanda batas disetiap sudut bidang tanah yang bersangkutan,
dalam penetapan batas tersebut diupayakan penataan batas
berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentinagan,
untuk memperoleh bentuk yang tertatat dengan baik bagi
bidang-bidang tanah yang semula kurang baik bentuknya.
Penetapan batas bidang tanah yang sudah di punyai suatu
hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar, tetapi
belum ada surat ukur atau gambar situasinya atau surat
ukur atau gambar situasinya tidak sesuai lagi dengan
keadaan
yang
sebenarnya,
dilakukan
berdasarkan
penunjukan batas oleh pemegang hak yang bersangkuatan
dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas
tanah yang berbetasan penetapan batas bidang tanah yang
akan diberikan dengan hak baru oleh negara (BPN) dilakukan
sesuai ketentuan tersebut diatas atau penunjukkan instansi
yang berwenang.
Penetapan batas bidang-bidang di tanah tersebut jika tidak
diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang
bersngkutan, dengan pemegang hak atas tanah yang
berbatasan atau pemegang hak atas tanah yang berbatasan
tidak hadir, biarpun sudah ada pemanggilan. Merupakan
suatu kewajiban bagi pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dengan para pemegang hak atas tanah yang
berbatasan atau pemegang hak atas tanah yang berbatasan
tidak hadir biarpun sudah dilakukan pemanggilan menurut
Pasal 19 PP No. 24 Tahun 1997.
3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan
pembuatan peta pendaftaran
Bidang-bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya
di ukur dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar
pendaftaran, untuk bidang tanah yang luas pemetaannya
dilakukan dengan cara membuat peta sendiri, dengan
menggunakan data yang diambil dari peta dasar pendaftaran
dan hasil ukur batas tanah yang akan dipetakan.
Jika dalam wilayah pendaftaran tanah secara sporadik belum
ada peta dasar pendaftaran, dapat diguanakan peta lain
sepanjang peta tersebut memenuhi persyaratan teknis untuk
pembuatan peta pendaftaran. Misalnya peta dari instansi
92
pekerjaan umum atau instansi pajak, dalam keadaan
terpaksa karena tidak tersedia peta dasar pendaftaran tanah
ataupun peta lain pembuatan peta dasar pendaftaran dapat
dilakukan bersama-sama dengan pengukuran dan pemetaan
bidang tanah yang bersangkutan dan bidang-bidang tanah
sekelilingnya yang berbatasan sehingga letak relatif bidang
tanah itu dapat ditentukan.
Apabila dijumpai keadaan seperti dikemukakan dalam pasal
19 PP No. 24 tahun 1997 pengukuran diupayakan untuk
sementara dilakukan berdasarkan batas-batas yang menurut
kenyataan
merupakan
batas-batas
tanah
yang
bersangkutan,
mengenai
dilakukannya
pengukuran
sementara itu dan belum diperolehnya kesepakatan mengenai
penetapan batas tersebut dibuat suatu berita acara dalam
gambar ukur, sebagai hasil pengukuran yang dilakukan
dibubuhkan catatan atau tanda yang menyatakan bahwa
batas-batas tanahnya masih merupakan batas sementara.
4. Pembuatan daftar tanah
Bidang atau bidang-bidang tanah yang sudah dipetakan atau
dibubuhkan nomor pendaftarannya pada peta pendaftaran, di
bukukan dalam daftar tanah yang bentuk, isi, cara,
pengisian, penyimpanan dan pemeliharaannya akan diatur.
Daftar tanah dimaksudkan sebagai sumber informasi yang
lengkap mengenai nomor bidang, lokasi dan penunjukan
kenomor surat ukur bidang-bidang tanah yang ada wilayah
pendaftaran baik sebagai hasil pendaftaran untuk pertama
kali maupun pemeliharaanya kemudian.
5. Pembuatan surat ukur
Untuk keperluan pendaftaran haknya, bidang-bidang tanah
yang sudah diukur serta dipetakan dalam peta pendaftaran
dibuatkan surat ukur. Surat ukur bukan kutipan dari peta
pendaftaran tanah, surat ukur memuat data fisik yang
diambil dari peta pendaftaran. Untuk wilayah-wilayah
pendaftaran tanah secara sporadik yang belum tersedia peta
pendaftaran surat ukur dibuat dari hasil pengukuran sebagai
mana yang diatur dalam Pasal 20 PP No. 24 Tahun 1997.
6. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan
hak
Dalam kegiatan pengumpulan data yuridis diadakan
perbedaan antara pembuktian hak baru dan hak lama, hakhak baru adalah hak-hak yang baru diberikan atau
diciptakan sejak mulai berlakunya PP No. 24 Tahun1997.
Dalam Pasal 36 PP No. 24 Tahun 2007 ditentukan bahwa:
(1) Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila
terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek
pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
(2) Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan
perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Kantor Pertanahan
Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah ini dilakukan
terhadap tanah-tanah yang sebelumnya sudah terdaftar. Pendaftaran
ini harus dilakukan ketika pihak yang memiliki tanah tesebut ingin
memindahkan haknya melalui jual beli, tukar menukar, hibah, dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan
hak melalui lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Kegiatan pemeliharaan data
93
pendafataran tanah meliputi pendaftaran peralihan dan pembebanan
hak dan pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya
Dalam penjelasan UUPA dikatakan bahwa pendaftaran tanah
akan diselenggarakan secara sederhana dan mudah dimengerti serta
dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan. Ketentuan ini perlu
mendapat perhatian Pemerintah untuk melaksanakan pembenahan
dan perbaikan di bidang pendaftaran tanah terutama hal-hal yang
berkaitan dengan pelayanan tanah-tanah adat dimana pendaftaran
tanah masih menggunakan alat bukti pembayaran pajak masa lalu
seperti girik dan petuk sebagai alas hak sedangkan administrasi girik
dan petuk tersebut secara prinsip sudah tidak ada. Dalam
penjelasan UUPA angka IV dikatakan bahwa usaha yang menuju ke
arah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan pasal-pasal
yang mengatur pendaftaran tanah yaitu Pasal 23, Pasal 32, dan
Pasal 38 yang ditujukan kepada para pemegang hak yang
bersangkutan dengan maksud agar mereka memperoleh kepatian
tentang haknya.
Seperti diketahui bahwa pendaftaran tanah adalah bertujuan
untuk memperoleh suatu bentuk kepastian hukum dan kepastian
hak bagi pemegang hak-hak atas tanah. Dengan adanya pendaftaran
tanah ini diharapkan bahwa seseorang pemegang hak atas tanah
akan merasa aman tidak ada gangguan hak yang dipunyai atas
sebidang tanah. Perbuatan hukum dan pendaftaran tanah ini adalah
merupakan suatu bentuk dari peristiwa hukum yang sangat dimiliki
oleh seseorang. Hak keperdataan ini jika ditinjau secara mendalam
merupakan suatu bentuk pengejawantahan dari substansial Hak
Asasi Manusia (HAM) yang dimilki seseorang yang harus dijunjung
tinggi dan dihormati oleh orang lain. Pada saat dilakukannya
pendaftaran hak atas maka hubungan hukum pribadi antara
seseorang dengan tanah diumumkan kepada pihak ketiga atau
masyarakat. Sejak saat itulah pihak ketiga dianggap mengetahui
adanya hubungan hukum antara orang dengan tanah dimaksud,
sebagaiman ia menjadi terikat dan wajib menghormati hak tersebut
sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.83
Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para
pemegang hak atas tanah dalam undang-undang ini diberikan
penegasan mengenai
kekuatan pembuktian sertipikat, yang
dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu
diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan sebaliknya,
data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus
diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum
sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data
tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan
buku tanah yang bersangkutan,84 dan bahwa orang tidak dapat
menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau
badan hukum lain, jika selama lima tahun sejak dikeluarkannya
sertipikat itu dia tidak mengajukan gugatan pada pengadilan,
sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain
tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya
atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapat
persetujuannya85.
83Bachtiar
84Pasal
Effendi, Pendaftaran Tanah, Bandung: Alumni, 1992, hal. 46.
32 ayat (I), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
85Pasal 32 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
94
a.
Umum
1) Pengertian Pendaftaran Tanah
Istilah pendaftaran tanah berasal dari kata “Cadastre” dalam
bahasa Belanda merupakan istilah teknis untuk suatu yang
menunjukkan pada luas, nilai dan kepemilikan atau lain-lain
alas hak terhadap suatu bidang tanah. Sedangkan kata
“Cadastre” berasal dari bahasa latin “Capitastrum” yang berarti
suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak
tanah romawi (Capotatio Terrens).86
Pengertian pendaftaran tanah terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa “Pendaftaran tanah
adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan
daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun,
termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya
bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik
atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya”. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa ada
berbagai macam kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran
tanah yang berurutan, saling berkaitan satu sama lain dan
merupakan suatu kesatuan untuk memperoleh apa yang
disebut sertipikat. Kegiatan pendaftaran tanah tidak hanya
diadakan sekali tetapi untuk seterusnya apabila terjadi
perubahan terhadap tanah maupun pemegang haknya sehingga
sesuai dengan kenyataan terakhir yang ada berlandaskan
peraturan hukum yang ada.
Pengertian pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan
oleh
pemerintah
secara
terus
menerus
berkesinambungan
dan teratur
meliputi pengumpulan,
pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun
termaksud pemberian sertifikat, sebagai surat tanda bukti
hanya bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun termasuk pemberian sertifikat
sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan” menunjuk kepada adanya
berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah,
yang berkaitan satu dengan yang lain, berturutan menjadi satu
kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang
diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum dibidang pertanahan bagi rakyat. Kata “terus menerus”
menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, yang sekali dimulai
tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dan
tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan
perubahan perubahan yang terjadi kemudian, hingga tetap
sesuai dengan keadaan terakhir. Kata “teratur” menunjukan,
bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan
86A.P.
Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan I, Bandung: Mandar Maju,
1999, hal. 18.
95
perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan
merupakan data bukti menurut hukum, biar pun daya
kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum
negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah.87
Berdasarkan rumusan pengertian dari pendaftaran tanah
diatas, dapat disebutkan bahwa unsur-unsur dari pendaftaran
tanah, yaitu:
a) Rangkaian kegiatan, bahwa kegiatan yang dilakukan
dalam
pendaftaran
tanah
adalah,
kegiatan
mengumpulkan baik data fisik, maupun data yuridis dari
tanah.
b) Oleh pemerintah, bahwa dalam kegiatan pendaftaran
tanah ini terdapat instansi khusus yang mempunyai
wewenang dan berkompeten, yaitu Badan Pertanahan
Nasional (BPN).
c) Teratur dan terus menerus, bahwa proses pendaftaran
tanah merupakan suatu kegiatan yang didasarkan dari
peraturan perundang-undangan, dan kegiatan ini
dilakukan secara terus-menerus, tidak berhenti sampai
dengan seseorang mendapatkan tanda bukti hak.
d) Data tanah, bahwa hasil pertama dari proses
pendaftaran tanah adalah, dihasilkannya data fisik dan
data yuridis. Data fisik memuat data mengenai tanah,
antara lain, lokasi, batas-batas, luas bangunan, serta
tanaman yang ada di atasnya. Sedangkan data yuridis
memuat data mengenai haknya, antara lain, hak apa,
pemegang haknya, dan lain-lain.
e) Wilayah, bisa merupakan wilayah kesatuan administrasi
pendaftaran, yang meliputi seluruh wilayah negara.
f) Tanah-tanah tertentu, berkaitan dengan oyek dari
pendaftaran tanah.
g) Tanda bukti, adanya tanda bukti kepemilikan hak yang
berupa sertifikat.88
2) Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria adalah sebuah undang-undang yang
memuat dasar-dasar pokok dibidang Agraria yang merupakan
landasan bagi usaha pembaharuan hukum Agraria guna dapat
diharapkan memberikan adanya jaminan kepastian hukum bagi
masyarakat dalam memanfaatkan fungsi bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
untuk kesejahteraan bersama secara adil.
Dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1950 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
diatur bahwa:89
(1) untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah dalam ayat 1 pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
87Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1, edisi revisi, Jakarta: Djambatan, 2005.
88Ibid.
89Lihat
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria.
96
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat bukti yang kuat.
Dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, pemerintah
ditugaskan untuk melakukan pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah juga mewajibkan pemegang hak atas tanah
untuk melakukan pendaftaran haknya. Hal ini diatur dalam
beberapa pasal dalam UUPA, yaitu Pasal 23 ayat (1) yang
menentukan bahwa hak milik, demikian pula setiap peralihan,
hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus
didaftarkan menurut ketentuanketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19 UUPA.90 Selanjutnya dalam Pasal 32 ayat (1) UUPA
menentukan bahwa hak guna usaha termasuk syarat-syarat
pemberiannya,
demikian
juga
setiap
peralihan
dan
penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.91
Kemudian Pasal 38 ayat (1) menentukan bahwa hak guna
bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian
juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud
dalam Pasal 19 UUPA.
Sehubungan
dengan
itu
UUPA
memerintahkan
diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin
kepastian hukum sebagaimana yang dimaksud di atas.
Pendaftaran tanah kemudian diatur lebih lanjut dengan PP No.
10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, tetapi karena
peraturan ini dianggap belum dapat memberikan hasil yang
maksimal maka dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan
ini, yaitu dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah. Sebagai peraturan pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 tersebut berlaku pula Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997.
3) Tujuan Pendaftaran Tanah
Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh
Indonesia dibebankan kepada Pemerintah. Menurut penjelasan
UUPA, pelaskanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan
kewajiban dari pemerintah bertujuan menjamin kepastian
hukum yang bersifat rechtscadaster artinya untuk kepentingan
pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya
apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti
perpajakan.92 Pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin
kepastian hukum dengan di selenggarakannya pendaftaran
tanah maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah
dapat mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang
dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang
Lihat Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang
Pokok Agraria.
91
Lihat Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang
Pokok Agraria.
92Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung:
Mandar Maju, 2008, hal. 167.
90
97
empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah
tersebut.
Pada dasarnya tujuan pendaftaran tanah adalah untuk
memberikan suatu kepastian hukum di bidang pertanahan,
seperti yang terdapat dalam Pasal 19 UUPA. Rincian lebih lanjut
tujuan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun
1997 adalah:
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah
satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termaksud pemerintah agar dengan
mudah, dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah
terdaftar.
3. Untuk terselenggarakan tertib administrasi pertanahan.
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik
merupakan dasar dan perwujudan, tertib administrasi di
bidang pertanahan untuk mencapai tertib administrasi
tersebut disetiap bidang tanah dan satuan rumah susun
termaksud peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib
didaftarkan.
Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya data tersebut dikenal
sebagai daftar umum yang terdiri atas peta pendaftar, daftar
tanah, surat, ukur, buku tanah dan daftar nama para pihak
yang berkepentingan terutama calon pembeli dan calon
kreditur.
Dalam melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu
bidang tanah atau satuan rumah susun tertentu perlu
masyarakat mengetahui data yang tersimpan dalam daftardaftar di kantor pertanahan. Data tersebut bersifat terbuka
untuk umum ini sesuai dengan salah satu asas pendaftaran
tanah yaitu terbuka seperti yang dinyatakan dalam Pasal 2 PP
No. 24 Tahun 1997 karena terbuka untuk umum daftar-daftar
dan peta-peta tersebut disebut sebagai daftar umum.
Tujuan pendaftaran tanah adalah:93
b. memberikan
kepastian
hukum,
yaitu
kepastian
mengenai bidang teknis (kepastian mengenai letak, luas
dan batas-batas tanah yang bersangkutan). Hal ini
diperlukan untuk menghindarkan sengketa dikemudian
hari, baik dengan pihak yang menyerahkan maupun
pihak-pihak yang mempunyai tanah.
c. memberikan kepastian hak, yaitu ditinjau dari segi
yuridis mengenai status hukum, siapa yang berhak
atasnya (siapa yang mempunyai) dan ada tidaknya hakhak dan kepentingan pihak lain (pihak ketiga). Kepastian
mengenai status hukum dari tanah yang bersangkutan
diperlukan, karena dikenal tanah-tanah dengan
bermacam-macam status hukum, yang masing-masing
93J.
B. Soesanto, Hukum Agraria I, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945,
Semarang, hal. 90.
98
memberikan wewenang dan meletakan kewajibankewajiban yang berlainan kepada pihak yang mempunyai
hal mana akan terpengaruh pada harga tanah.
d. memberikan kepastian subyek, yaitu kepastian mengenai
siapa yang mempunyai diperlukan untuk mengetahui
dengan siapa kita harus berhubungan untuk dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah
mengenai ada atau tidak adanya hak-hak dan
kepentingan pihak ketiga, diperlukan untuk mengetahui
perlu atau tidaknya diadakan tindakan-tindakan
tertentu untuk menjamin penguasaan dan penggunaan
tanah yang bersangkutan secara efektif dan aman.
Berkaitan dengan tujuan pendaftaran tanah yang diatur dalam
RUU tentang pertanahan dengan mengadopsi substansi yang
diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 yang pada pokoknya untuk
memberikan kepastian hukum. Dalam rangka untuk
memberikan kepastian dan perlindungan hukum, kepada
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diberikan
sertifikat hak atas tanah, sedangkan untuk melaksanakan
fungsi informasi, data yang berkaitan dengan aspek fisik dan
yuridis dari bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar,
dinyatakan terbukti untuk umum (asas publisitas), sementara
dalam hal mencapai tujuan tertib administrasi pertanahan
maka setiap bidang tanah atau satuan rumah susun termasuk
peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas tanah, dan hak
milik satuan rumah susun wajib didaftar.
4) Asas Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana,
aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Adapun yang
dimaksud dengan asas sederhana adalah agar ketentuanketentuan pokoknya mau pun prosedurnya dengan mudah
dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada
pemegang hak atas tanah. Asas aman dimaksudkan untuk
menunjukan bahwa pendaftaran tanah harus diselengarakan
secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu
sendiri. Sementara itu asas terjangkau adalah dapat dijangkau
oleh golongan ekonomi lemah dengan memperlihatkan
kebutuhan dan kemampuannya, artinya pendaftaran tanah
harus dapat terjangkau oleh pihak-pihak yang memerlukan.
Asas mutakhir artinya data-data yang ada didalam atau
diperoleh dari penyelengaraan pendaftaran tanah harus dijaga
eksistensinya, sehingga data terpelihara sesuai dengan
kenyataan yang terjadi di lapangan. Untuk asas terbuka
dimaksudkan bahwa melalui penyelenggaraan pendaftaran
tanah bagi masyarakat mau pun pemerintah yang ingin
memperoleh keterangan data fisik dan data yuridis, akan dapat
memperoleh data yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan.
b.
Penyelenggara Pendaftaran Tanah
Terdapat empat organ yang berperan dalam urusan sebagai
penyelenggara dan pelaksana pendaftaran tanah, yaitu:
1. Badan Pertanahan Nasional (BPN)
99
Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA dan Pasal 5 PP No.
24 Tahun 1997 yakni bertindak sebagai penyelenggara
pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut.
2. Kepala Kantor Pertanahan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 PP No. 24 Tahun 1997,
dalam hal ini bertindak sebagai pelaksana Pendaftaran
Tanah kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang
ditugaskan kepada pejabat lain, yaitu kegiatan-kegiatan
yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi
wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan.
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Kegiatan PPAT adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan
dalam melaksanakan kegiatan dibidang pendaftaran tanah,
khususnya dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran.
4. Panitia Ajudikasi
Tugas dari Panitia Ajudikasi adalah melaksanakan
pendaftaran tanah secara sistematik untuk membantu tugas
Kepala Kantor Pertanahan seperti diatur dalam Pasal 8 PP
24/1997. Pengertian dari Ajudikasi ini sendiri diatur dalam
Pasal 1 Angka 8 PP 24/1997.
c.
Sistem Publikasi
Kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia sejak penjajahan
Belanda telah ada, khususnya untuk mengelola hak-hak barat,
dan pada zaman awal kemerdekaan pendaftaran tanah di
Indonesia berada di Departemen Kehakiman yang bertujuan
untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas
tanah yang meliputi:
1. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan semua tanah
dalam wilayah Republik Indonesia.
2. Pembukuan hak atas tanah dan pencatatan pemindahan
hak atas tanah.
Melihat bentuk kegiatan pendaftaran tanah seperti diuraikan
di atas, dapat dikatakan bahwa sistem pendaftran tanah pada
saat itu adalah sistem pendaftaran akte (regristration of deeds),
di mana Jawatan Pendaftaran Tanah pada saat itu hanya
bertugas dan berkewenangan membukukan hak-hak tanah dan
mencatat akte peralihan atau pemindahan hak, tidak
menerbitkan surat tanda bukti hak yang berupa sertifikat
tanah. Alat bukti kepemilikan tanah pada saat itu berupa akte,
yaitu akte eigendom dan lain-lain.
Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 September 1960
maka sistem pendaftaran tanah berubah menjadi sistem
pendaftaran hak (registration of title), di mana hal tersebut
ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah meliputi:
a. pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hakhak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.
100
Perbedaan kewenangan dalam sistem pendaftaran tanah
seperti diuraikan di atas jelas tertuang dalam ketentuan ayat (2)
huruf b dan huruf c, di mana pendaftaran tanah melakukan
pendaftaran hak termasuk peralihan dan pembebanannya serta
pemberian surat-surat tanda bukti termasuk sertifikat tanah
sebagai alat pembuktian yang kuat. Dalam sistem ini setiap
penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang
menimbulkan perubahan kemudian juga harus dibuktikan
dengan suatu akta atau pendaftaran terus-menerus. Tetapi
dalam penyelenggaraan pendaftarannya, bukan akta tersebut
yang didaftar melainkan haknya tersebutlah yang didaftarkan,
sementara akta hanya merupakan bukti dan sumber datanya.
Selain itu, juga terdapat buku tanah sebagai dokumen yang
memuat data fisik dan data yuridis yang dihimpun dan
disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda
bukti hak yang didaftar.
Beberapa
sistem
pendaftaran
tanah
menurut
AP.
Perlindungan, yaitu:94
1. Pendaftaran Tanah sistem Torrens.
2. Pendaftaran Tanah sistem Negatif.
3. Pendaftaran Tanah sistem Positif.
Dalam pendaftaran hak atas tanah dikenal ada dua sistem
publikasi, yaitu:95
1. Sistem publikasi positif menggunakan sistem pendaftaran
hak.
Dalam sistem publikasi positif orang yang dengan itikat baik
dan dengan pembayaran yang memperoleh hak dari orang
yang namanya terdaftar sebagai pemegang hak dalam
register. Memperoleh apa yang disebut suatu hak yang tidak
dapat diganggu gugat (indefeasible title). Juga jika kemudian
terbukti bahwa yang terdaftar sebagai pemegang hak
tersebut bukan pemegang hak yang sebenarnya. Dalam
sistem publikasi positif biaya pendaftaran hak atas tanah
dibebankan
kepada
pemerintah
maka
untuk
memberlakukan sistem ini diperlukan dana yang tidak
sedikit yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.
Pada
sistem
ini
ada
peningkatan
lembaga
96
recthsverwerking sebagai sarana penyelesaian sengketa
pendaftaran hak atas tanah. Wujud penyelesaiannya
melalui lembaga recthsverwerking dilakukan melalui upaya
keberatan
administratif,
berarti
keberadaan
dan
kedudukkan lembaga dimaksud harus berada dalam tubuh
kantor pertanahan dan bukan selaku atasan. Namun jika
yang
dikehendaki
untuk
menangani
kewenangan
penyelesaian sengketa yang timbul dari padanya adalah
pengadilan tingkat banding selaku pengadilan tingkat
pertama,
wujud
penyelesaiannya
melalui
lembaga
94AP.
Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.
130.
95Makalah Prof. Arie Sukanti Sumantri Hutagulung, SH., MLI yang disampaikan dalam
diskusi pakar sehubungan dengan penyusunan kajian RUU Pendaftaran Tanah, Deputi PUU
Bagian Polhukham, Setjen DPR RI pada 5 Agustus 2009.
96Lembaga Recthsverwerking, yaitu suatu terobosan baru dalam hukum acara perdata di
pengadilan negeri atau PTUN yang dianggap sebagai suatu pengecualian khusus dalam
menangani kasus-kasus di bidang pertanahan yang tidak dapat digeneralisir dengan sistem
pembuktian perdata atas kebendaan yang lain.
101
recthsverwerking dilakukan tegas melalui upaya banding
administratif dan bukan upaya keberatan administratif,
dengan konsekwensi keberadaan dan kedudukkan lembaga
dimaksud harus berada diluar tubuh kantor pertanahan
sebagaimana layaknya kedudukkan badan pertimbangan
kepegawaian baik daerah di masing-masing provinsi
maupun pusat di Jakarta. Pengangkatan dan peningkatan
lembaga rechtsverwerking menjadi suatu norma hukum
positif dalam sistem publikasi sejalan dengan tujuan dari
pendaftaran hak atas tanah itu, yaitu sendiri untuk
mencapai kepastian hukum dan kepastian haknya.
Ciri pokok sistem positif bahwa pendaftaran tanah menjamin
dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku
tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ia ternyata
bukanlah pemilik yang berhak atas tanah tersebut, menurut
sistem politik ini hubungan hukum antara hak dari orang
yang namanya terdaftar dalam buku tanah dengan pemberi
hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut didaftarkan.
Kebaikan dari sistem positif ini adalah97 1) adanya kepastian
dari buku tanah; 2) peranan aktif dari pejabat balik nama
tanah; 3) mekanisme kerja dalam penerbitan sertifikat tanah
mudah dimengerti oleh orang awam.
Sistem positif ini memberikan suatu jaminan yang mutlak
terhadap buku tanah, kendati ternyata bahwa pemegang
buku sertipikat bukanlah pemilik sebenarnya, oleh karena
itu pihak ketiga yang beritikad baik yang bertindak
berdasarkan bukti tersebut mendapatkan jaminan mutlak
walaupun ternyata bahwa segala keterangan yang tercantum
dalam sertipikat tanah tersebut adalah tidak benar.
Sementera itu, kelemahan dalam sistem positif ini adalah98
1) peranan aktif pejabat balik nama tanah akan memakan
waktu yang lama; 2) pemilik yang sebenarnya berhak atas
tanah akan kehilangan haknya oleh karena kepastian dari
buku tanah itu sendiri; 3) wewenang pengadilan diletakkan
dalam wewenang administratif.
2. Sistem publikasi negatif.
Dalam sistem ini bukan pendaftaran tetapi sahnya
perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan
berpindahnya hak kepada pembeli, pendaftaran tidak
membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang
tidak berhak menjadi pemegang hak yang baru. Orang tidak
dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa
yang dia sendiri punyai. Data yang disajikan dalam
pendaftaran dengan sistem publikasi ini tidak boleh begitu
saja dipercaya kebenarannya. Ciri pokok sistem ini, azas
Nemo Plus Juris, yaitu melindungi pemegang hak atas tanah
yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan
haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya.
Ciri pokok lainnya dari sistem negatif ini bahwa pejabat
balik nama walaupun pasif, artinya pejabat yang
bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki
kebenaran dari surat-surat yang diserahkan kepadanya.
97Bachtiar
Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya,
Bandung: Penerbit Alumni, 1993, hal. 32.
98Ibid.
102
Kebaikan dari sistem negatif adalah99 adanya perlindungan
kepada pemegang hak sejati. Kelemahan dari sistem negatif
adalah 1) Peranan pasif pejabat balik nama yang
menyebabkan timpang tindih sertipikat tanah; 2) mekanisme
kerja dalam proses penerbitan sertipikat tanah sedemikan
rupa sehingga kurang dimengerti oleh para orang awam.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa akibat dari sistem
publikasi negatif yang tidak murni yang dianut dalam
sistem pendaftaran hak atas tanah saat ini di Indonesia
yang kemudian hanya memberikan sifat kuat terhadap
sertipikat sebagai alat bukti, belum memberikan
kepastian hukum, sebab pemegang sertipikat masih
menghadapi ancaman gugatan dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Oleh karena itu, jika memang sistem
pendaftaran tanah ini akan diatur dengan UU, perlu ada
penegasan sifat sertipikatnya yang bisa memberikan
kepastian hukum.
Sistem publikasi yang digunakan UUPA dan PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah sistem
negatif yang mengandung unsur positif. Sistemnya bukan
negatif murni, karena dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2)
huruf c UUPA, bahwa pendaftaran tanah menghasilkan
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Dalam sistem publikasi negatif yang
murni tidak akan ada pernyataan yang demikian.
Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa pemerintah
sebagai penyelenggara pendaftaran hak atas tanah harus
berusaha, agar sejauh mungkin dapat disajikan data yang
benar dalam buku tanah dan peta pendaftaran. Hingga
selama tidak dapat dibuktikan yang sebaliknya, data yang
disajikan dalam buku tanah, dan peta pendaftaran harus
diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan
hukum sehari-hari maupun dalam perkara di pengadilan.
Dalam Pasal 61 PP No. 24 Tahun 1997, tata cara
pembiayaan pendaftaran tanah diatur oleh menteri,
sementara itu mengenai lembaga recthsverwerking diatur
dalam Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997.
Data fisik dalam pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah
adalah keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang
tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk
keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan yang ada di atasnya. Data yuridis dalam
pendaftaran hak atas tanah adalah keterangan mengenai
status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang
didaftar, pemegang haknya, dan hak pihak lain serta bebanbeban lain yang membebaninya.
d.
99Ibid,
Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pengertian PPAT dimuat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1. Pasal 1 angka 4 UU No. 4 Tahun 1996 menyebutkan
PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk
membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta
hal. 33.
103
pembebanan hak tanggungan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Pasal 1 angka 5 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan
PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta-akta tanah.
3. Pasal 1 angka 24 PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menyebutkan PPAT adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat aktaakta tanah tertentu.
4. Pasal 1 angka 1 PP No. 37 Tahun 1998 menyebutkan
PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk
membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun.
Terdapat persamaan dari keempat peraturan perundangundangan tersebut, yaitu bahwa PPAT sebagai pejabat umum
dan berwenang membuat akta yang berkaitan dengan tanah,
sedangkan perbedaannya adalah:
1. Pada UU No. 4 Tahun1996, akta yang dibuat oleh PPAT
dirinci secara tegas, yaitu akta pemindahan hak atas
tanah, akta pembebanan hak tanggungan, dan akta
pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
2. Pada PP No. 40 Tahun 1996 dan PP No. 24 Tahun 1997,
akta yang dibuat PPAT tidak dirinci secara tegas namun
hanya dirumuskan akta-akta tanah.
3. Pada PP No. 37 Tahun 1998, akta yang dibuat oleh PPAT
adalah akta otentik, akta dibuat untuk perbuatan
hukum tertentu, dan obyek perbuatan hukumnya
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun.
Dari keempat peraturan perundang-undangan di atas
menunjukan bahwa kedudukan PPAT adalah sebagai pejabat
umum. Mengenai istilah pejabat umum baru ada pada UU No. 4
Tahun 1996, namun dalam UU ini maupun UU lain tidak
memberikan definisi apa yang dimaksud dengan pejabat umum.
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan pejabat
umum adalah seseorang yang diangkat oleh Pemerintah dengan
tugas dan kewenangan memberikan pelayanan kepada umum
dibidang tertentu.100 Sementara itu, pengertian pejabat umum
mempunyai karakter yuridis, yaitu selalu dalam kerangka
hukum publik. Sifat publiknya tersebut dapat dilihat dari
pengangkatan, pemberhentian, dan kewenangan PPAT.101
PPAT mempunyai peran yang sangat penting dalam
pendaftaran tanah, yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota
untuk
melaksanakan
kegiatan-kegiatan
tertentu dalam pendaftaran tanah. Kata “dibantu” dalam Pasal 6
ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tidak
berarti bahwa PPAT merupakan bawahan dari BPN yang dapat
diperintah olehnya, akan tetapi PPAT mempunyai kemandirian
100Boedi
Harsono, PPAT sejarah Tugas dan Kewenangannya, Majalah RENVOI, No. 844.
IV, Jakarta, Januari, 2007.
101Sri Winarsi, Pengaturan Notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum, Majalah YURIDIKA,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 17 No.2, Surabaya, Maret, 2002, hal. 186.
104
dan tidak memihak dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya.102
PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta otentik perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun yang terletak di wilayah kerjanya.103 Dengan demikian
ketepatan, kepastian, dan kebenaran informasi yang tertuang
dalam akta yang dibuat oleh PPAT sangat menentukan bagi
proses pendaftaran dan pemberian perlindungan hak atas tanah
warga masyarakat. Konsekuensinya PPAT selain itu, harus
bertanggung jawab terhadap kepastian dan kebenaran isi akta,
juga wajib menyampaikan akta dan warkah-warkah lainnya
kepada Kantor Pertanahan dalam jangka waktu tujuh hari sejak
penandatangan akta104.
Dalam hal pelaksanaan kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran tanah, khususnya apabila terjadi peralihan hak
atas tanah yang telah terdaftar dan hak-hak adat, baik melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan,
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, pemindahan hak
dalam rangka likuidasi dan pembebanan hak, hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
Ketentuan ini merupakan penegasan mengenai kedudukan
PPAT dan kemungkinan bagi pengangkatan PPAT sementara.
Berkenaan dengan kedudukan PPAT, bahwa fungsi PPAT berada
dalam rangkaian pelaksanaan pendaftaran tanah, yaitu
membantu Kepala Kantor Pertanahan sebagai pelaksana
pendaftaran tanah dengan menyediakan alat-alat bukti yang
akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah tertentu. Oleh karena itu, ketepatan,
kepastian, dan kebenaran infrormasi yang tertuang dalam akte
yang dibuatnya sangat menentukan bagi proses pendaftaran
dan pemberian perlindungan hak atas tanah warga masyarakat.
Konsekuensinya PPAT selain harus bertanggungjawab terhadap
kepastian dan kebenaran isi akte dan warkah-warkah lainnya
kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Kewenangan PPAT adalah untuk membuat alat bukti
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
dan hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan
dasar pendaftaran, sehingga dalam melaksanakan kegiatan
pendaftaran tanah, Kantor Pertanahan mutlak memerlukan
data yang harus disajikan dalam bentuk akta yang hanya boleh
dibuat oleh PPAT.
PPAT yang memberikan pelayanan kepada masyarakat
umum merupakan sebuah profesi yang membutuhkan
perangkat peraturan yang tegas dan jelas dalam melaksanakan
tugasnya. Perangkat peraturan yang tegas dan jelas tersebut
tertuang dalam PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam PP No. 37 Tahun
1998 dan Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2006 diatur
mengenai kedudukan PPAT. PPAT adalah pejabat umum yang
102Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
103Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Peraturan Menteri Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 1/2006.
104M. Yamin Lubis, Abd. Rahim, Op., Cit., hal. 155.
105
diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah.
PPAT sebagai pejabat umum dapat diangkat dari pejabat umum
juga yaitu notaris dengan rangkap jabatan.105
Berkenaan dengan tugas PPAT dalam melaksanakan
pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh
PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu. Tugas pokok PPAT dalam membantu
pelaksanaan pendaftaran tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan
ditetapkan dalam Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu:
1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan
data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum.
2. Perbuatan hukum jual beli; tukar menukar; hibah;
memasukan ke dalam perusahaan (inbreng); pembagian
hak bersama; pemberian hak guna bangunan/hak pakai
atas tanah hak milik; pemberian hak tanggungan; dan
pemberian kuasa membebankan hak taggungan.
Tugas ke PPAT-an merupakan sebagian dari tugas
pendaftaran tanah, yang harus dilaksanakan di seluruh wilayah
Indonesia dan keberadaannya harus menjangkau seluruh
wilayah nusantara, baik di daerah yang sudah berkembang
maupun yang terpencil. Dari dua macam kegiatan pendaftaran
tanah, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah kegiatan
yang menjadi tugas utama PPAT, yaitu kegiatan pemeliharaan
data pendaftaran. Dalam kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran tanah terdapat perbuatan hukum mengenai hak
atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, berupa
pemindahan hak, pembagian hak bersama, pembebanan hak
tanggungan, pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas
tanah hak milik, dan pemberian kuasa membebankan hak
tanggungan. Dalam perbuatan hukum mengenai hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun dibutuhkan bantuan
PPAT untuk membuat aktanya.
Sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
pertanahan, sebagaimana diatur secara rinci dalam Pasal 2
sampai dengan Pasal 6 Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006
yang merupakan penjabaran dari PP No. 37 Tahun 1998 dan
tindak lanjut dari ketentuan yang diatur dalam PP No. 24 Tahun
1997, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997,
dijelaskan tugas pokok dan kewenangan PPAT, yakni,
melaksanakan sebagian dari kegiatan pendaftaran hak atas
tanah dengan tugas pembuatan akta (otentik) sebagai bukti
telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang dijadikan
dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu di daerah kerjanya yang
105Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
106
ditentukan oleh pemerintah (kompetensi absolut), yakni
kabupaten atau kota satu wilayah dengan wilayah kerja Kantor
Pertanahan.
PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai
perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam
penunjukannya. Perbuatan hukum mengenai hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun yang dibuktikan
dengan akta PPAT, yaitu:
a. jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan, dibuktikan dengan akta PPAT;
b. peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun karena penggabungan atau peleburan
perseroan atau koperasi yang didahului dengan likuidasi
perseroan atau koperasi yang bergabung atau melebur
dibuktikan dengan akta PPAT;dan
c. pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun, pembebanan hak
guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa untuk
bangunan atas hak milik dibuktikan dengan akta PPAT.
Akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah
dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Terdapat delapan jenis akta PPAT yang menjadi alat bukti
dan dasar perubahan data pendaftaran tanah, yakni:106
1. Akta jual beli;
2. Akta tukar menukar;
3. Akta hibah;
4. Akta pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Akta pembagian bersama;
6. Akta pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas
tanah hak milik;
7. Akta pemberian hak tanggungan; dan
8. Akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
Dalam rangka pembuatan akta tersebut ditentukan pula
bentuk akta yang wajib dipergunakan oleh PPAT, dan cara
pengisiannya, serta formulir yang dipergunakan sebagaimana
tercantum
dalam
lampiran
16
sampai
dengan
23
Permenag/KBPN No. 3 Tahun 1997.
Permasalahan yang
seringkali terjadi berkaitan dengan pembuatan akta, yaitu:
1. Dalam pembuatan akta PPAT tidak mempergunakan
bentuk, isi dan cara pembuatan akta yang telah
ditentukan oleh Permenag/KBPN No. 3 Tahun 1997 dan
tidak dihadiri oleh para pihak atau kuasanya dan saksi
sebagaimana yang ditentukan Pasal 38 PP No. 24 Tahun
1997 jo. Pasal 100 dan 101, Permenag/KBPN No. 3
Tahun 1997;
2. PPAT tidak membacakan akta yang dibuatnya kepada
para pihak dan menjelaskan maksud, dan isi akta serta
prosedur pendaftarannya sesuai ketentuan yang berlaku,
sebagaimana pasal 101 Permenag/KBPN No. 3 Tahun
1997.
3. PPAT melakukan pembuatan akta meskipun persyaratan
yang ditentukan dalam pembuatan akta belum/tidak
106Lihat
Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun
1997 jo. Pasal 2 ayat (2), Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun 2006.
107
terpenuhi, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 PP No. 24
Tahun 1997.
4. PPAT terlambat untuk mendaftarkan akta yang telah
dibuatnya ke kantor pertanahan setempat, sebagaimana
diatur dalam Pasal 40 PP No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal
103 Permenag/KBPN No. 3 Tahun 1997.
Selain pejabat umum notaris yang merangkap jabatan PPAT,
dapat juga diangkat PPAT sementara yaitu pejabat pemerintah,
dalam hal ini camat yang ditunjuk karena jabatannya untuk
melaksanakan tugas PPAT khususnya di daerah yang belum
cukup terdapat PPAT. Pengangkatan camat selaku PPAT tidak
secara otomatis, tetapi camat dapat menjalankan tugas selaku
PPAT apabila camat yang bersangkutan telah dilantik oleh
pejabat BPN, jika tidak menjabat lagi atau di mutasi menjadi
camat di daerah lain, jabatan PPAT juga berakhir.
Dalam RUU tentang Pertanahan ini juga diatur mengenai
pejabat pemerintah yang dapat diangkat sebagai PPAT
sementara dan diatur pula PPAT khusus. Berkaitan dengan
PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan
membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat
PPAT, biasanya yang diangkat adalah camat dan dalam hal
tertentu misalnya camat yang bersangkutan belum diangkat
sebagai PPAT dan letak tanah yang akan dibuatkan aktanya di
daerah terpencil yang jauh dari ibukota kecamatan, dapat
diangkat kepala desa dengan memangku jabatan selama yang
bersangkutan menjabat sebagai camat atau kepala desa di
tempat tugasnya. Dengan memberikan kewenangan kepada
kepala desa sebagai PPAT merupakan penegasan dari ketentuan
hukum adat yang mengatur bahwa setiap peralihan hak atas
tanah harus dilakukan secara terang dan tunai di hadapan
ketua adat atau kepala desa.
Penunjukan PPAT sementara terutama dilakukan di wilayah
terpencil yang tidak mungkin dilayani oleh PPAT sehingga
masyarakat dipermudah untuk melakukan perbuatan hukum
dengan tanah dan memperoleh haknya. Sementara itu, PPAT
khusus adalah pejabat BPN yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
tertentu, khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
pemerintah tertentu. PPAT khusus hanya berwenang membuat
akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus
dalam penunjukannya.
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BPN. PPAT
bertugas membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan
Kabupaten/Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah, dan kewenangannya adalah membuat akta
atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun. PPAT sementara diangkat
dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi
yang mendapat pelimpahan kewenang dari Kepala BPN. Untuk
dapat diangkat menjadi PPAT harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
108
c. berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat
keterangan yang dibuat oleh instansi kepolisian
setempat;
d. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak
pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. lulus Program Pendidikan Spesialis Notariat atau
Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan tinggi; dan
g. lulus ujian yang diselenggarakan oleh BPN.
Berkaitan dengan mekanisme penunjukan PPAT sementara
sebagai berikut:
a. Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah
Kabupaten/Kota yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi
dapat ditunjuk sebagai PPAT sementara;
b. Surat Keputusan Penunjukan Camat sebagai PPAT
sementara ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi atas nama Kepala BPN; dan
c. Untuk keperluan penunjukan sebagai PPAT Sementara,
Camat yang bersangkutan melaporkan pengangkatannya
sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi melalui Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan salinan
atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut.
d. Penunjukan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara oleh
Kepala BPN setelah diadakan penelitian mengenai
keperluannya berdasarkan letak desa yang sangat
terpencil dan banyaknya bidang tanah yang sudah
terdaftar di wilayah desa tersebut.
Adapun mekanisme penunjukan PPAT khusus sebagai
berikut:
a. penunjukan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sebagai PPAT Khusus dilakukan oleh Kepala BPN secara
kasus demi kasus;
b. penunjukan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sebagai PPAT Khusus dapat dilakukan di dalam
keputusan mengenai penetapan program khusus
pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan
akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan
asas resiprositas sesuai dengan pertimbangan dari
Kementerian Luar Negeri, yang memerlukan ditunjuknya
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai PPAT
khusus.
Dalam peraturan jabatan PPAT Pasal 10 PP No. 37 Tahun
1998 jo. PerKBPN No. 1 Tahun 2006 menjelaskan ada dua
klasifikasi pemberhentian dari jabatan PPAT, diberhentikan
dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak dengan hormat.
PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan
kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah
dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang
berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang
ditunjuk;
109
c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau
kewajiban sebagai PPAT;
d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau ABRI.
Sedangkan PPAT diberhentikan dengan dengan tidak hormat
dari jabatannya, karena:
a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau
kewajiban sebagai PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan
kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan
hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5
(lima) tahun atau lebihberat berdasarkan putusan
pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Mengenai pelanggaran dalam menjalakan profesi sebagai
PPAT, berdasarkan ketentuan pertanahan, pelanggaran
dibedakan menjadi dua jenis yang menjadi dasar pemberhentian
PPAT, yaitu:
1) Pelanggaran ringan antara lain:
a. memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti
tidak melaksanakan tugasnya kembali;
c. tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta
yang dibuatnya;
d. merangkap jabatan.
2) Pelanggaran berat antara lain:
a. membantu melakukan permufakatan jahat yang
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
b. melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan
jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik
pertanahan;
c. melakukan pembuatan akta diluar daerah kerjanya;
d. memberikan keterangan yang tidak benar didalam
akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik
pertanahan;
e. membuka kantor cabang atau perwakilan atau
bentuk lainnya yang terletak diluar dan atau di
dalam daerah kerjanya;
f. melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
g. pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan
diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para
pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum
atau kuasanya sesuai peraturan perundangundangan tidak hadir dihadapannya;
h. pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun yang oleh PPAT yang
bersangkutan diketahui masih dalam sengketa
mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak
berhak untuk melakukan perbuatan hukum yang
dibuktikan dengan akta;
i. PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para
pihak maupun pihak yang belum atau tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta
yang dibuatnya;
110
j.
PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang
tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
sesuai akta yang dibuatnya;
k. PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi
pemberhentian sementara atau dalam keadaan
cuti;dan
l. Lain-lain yang ditetapkan oleh kepala badan.
Berkenaan dengan wilayah kerja PPAT, PPAT diangkat untuk
suatu daerah kerja tertentu. Daerah kerja PPAT yaitu satu
wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Untuk
daerah Kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi
wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi
dasar penunjukannya. PPAT dapat merangkap jabatan sebagai
notaris, konsultan atau penasehat hukum, namun PPAT
dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai:
a. pengacara atau advokat; dan
b. PNS atau pegawai BUMN atau BUMD.
Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga dan mencegah
agar PPAT dalam menjalankan jabatannya tersebutPPAT tidak
menimbulkan akibat menggangu keseimbangan kepentingan
para pihak. Ketentuan ini juga dimaksudkan agar PPAT dapat
menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya demi melayani
kepentingan umum agar melaksanakan rasa kemandirian dan
tidak memihak.
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 66 ayat (3)
Peraturan KBPN No. 1 Tahun 2006, berkenaan dengan
pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT oleh kepala kantor
pertanahan sebagai berikut107:
1. Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan
dan peraturan pertanahan serta petunjuk tehnis
pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh
kepala badan dan peraturan perundang-undangan;
2. Memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan
tercara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila
ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk
digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya; dan
3. Melakukan
pemeriksaan
mengenai
pelaksanaan
kewajiban operasional PPAT.
5.
Hak-hak Atas Tanah
a. Hak Atas Tanah Berdasarkan UUPA
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Undang-Undang
Pokok Agraria membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk108:
a. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer
b. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder
Pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat primer adalah hakhak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung
oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan
dapat dipindah tangankan kepada orang lain atau ahli warisnya.
Dalam UUPA terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer,
yaitu:
107Lihat Pasal 66 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 1 Tahun 2107Supriadi, Op., Cit., hal. 64.
006.
108Supriadi, Op., Cit., hal. 64.
111
a. Hak Milik atas tanah (HM)
b. Hak Guna Usaha (HGU)
c. Hak Guna Bangunan (HGB)
d. Hak Pakai (HP)
Selain hak primer atas tanah di atas terdapat pula hak atas
tanah yang bersifat sekunder. Pengertian hak-hak atas tanah yang
bersifat sekunder adalah hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara. Dikatakan bersifat sementara karena hak-hak tersebut
dinikmati dalam waktu terbatas, dan dimiliki oleh orang lain. Hal ini
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur
mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu:
a. Hak gadai
b. Hak usaha bagi hasil
c. Hak menumpang
d. Hak menyewa atas tanah pertanian
Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun, Rumah susun dapat dibangun di atas tanah:
a. hak milik;
b. hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan
c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan.
Selain itu rumah susun umum dan/atau rumah susun khusus
dapat dibangun dengan:
a. pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah; atau
b. pendayagunaan tanah wakaf.
Dalam hal pembangunan rumah susun dilakukan di atas tanah
hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan pelaku
pembangunan wajib menyelesaikan status hak guna bangunan atau
hak pakai di atas hak pengelolaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebelum menjual sarusun yang
bersangkutan.
Salah satu aspek yang penting dalam hukum tanah menurut
UUPA adalah hubungan antara tanah dengan benda yang melekat
padanya. Kepastian akan kedudukan hukum dari benda yang
melekat pada tanah itu sangat penting karena menyangkut pengaruh
yang sangat luas terhadap segala hubungan hukum yang berkenaan
dengan tanah dan benda yang melekat padanya. Sedangkan konsep
kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun tidaklah
sepenuhnya menganut asas pemisahan horizontal karena
kepemilikan atas tanah pada satuan rumah susun merupakan
kepemilikan bersama dari seluruh pemegang hak milik atas satuan
bangunan rumah susun, bukan merupakan kepemilikan perorangan
sebagaimana yang dianut dalam asas pemisahan horizontal dalam
UUPA tersebut.
b. Hak-Hak Atas Tanah Lainnya
1) Hak Milik atas Satuan Bangunan Bertingkat;
Hak milik atas satuan bangunan bertingkat adalah hak
milik atas suatu bangunan tertentu dari suatu bangunan
bertingkat yang tujuan peruntukan utamanya digunakan
secara terpisah untuk keperluan tertentu dan masing-masing
mempunyai sarana penghubung ke jalan umum yang meliputi
antara lain suatu bagian tertentu atas suatu bidang tanah
bersama. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat terdiri
dari hak milik atas satuan rumah susun dan hak milik atas
bangunan bertingkat lainnya.
112
Dalam UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,
Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Rumah
susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun
dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian
yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah
horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Hak milik atas satuan bangunan bertingkat adalah hak
milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah
yang meliputi juga bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Bagian bersama adalah bagian bangunan bertingkat yang
dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama
dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan bangunan
bertingkat. Benda bersama adalah benda yang bukan
merupakan bagian bangunan bertingkat melainkan bagian
yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian
bersama. Tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau
tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak
bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri
bangunan bertingkat dan ditetapkan batasnya dalam
persyaratan izin mendirikan bangunan.
Hak milik atas satuan bangunan bertingkat meliputi 2
(dua) jenis hak, yaitu:
a. hak yang bersifat perseorangan, yaitu hak milik atas
bangunan bertingkat itu sendiri; dan
b. hak yang bersifat kolektif, yaitu hak atas benda
bersama, bagian bersama, dan tanah bersama.
Hubungan antara satuan bangunan bertingkat dengan
benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama tersebut
dapat dilihat pada Nilai Perbandingan Proporsional (NPP).
Yang dimaksud dengan NPP adalah nilai atau angka yang
menunjukkan perbandingan antara satuan bangunan
bertingkat terhadap hak atas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama berdasarkan luas atau nilai
satuan bangunan bertingkat. NPP tidak hanya menunjukkan
hak pemilik satuan bangunan bertingkat terhadap hak atas
tanah, benda, dan bagian bersama tetapi juga menunjukkan
kewajiban pemilik satuan bangunan bertingkat terhadap
tanah, benda, dan bagian bersama tersebut dalam bentuk
biaya pemeliharaan dan perbaikan.
Dikarenakan adanya 2 (dua) hak yang bersifat
perseorangan dan kolektif, terutama berkaitan dengan hak
atas tanah bersama yang sifatnya tidak terpisah, subyek
hukum yang dapat memiliki satuan bangunan bertingkat
sangat tergantung dengan jenis hak atas tanah dari tanah
bersama tempat bangunan bertingkat tersebut. Jenis hak
atas tanah bangunan bertingkat tergantung dari jenis hak
apa yang dimohonkan oleh penyelenggara pembangunan
bangunan bertingkat kepada pemerintah sebelum dimulainya
pembangunan bangunan bertingkat tersebut.
Bangunan bertingkat dapat dibangun di atas tanah hak
milik, hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara,
113
dan hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak
pengelolaan.
Status Kepemilikan Hak Atas Tanah pada Satuan Rumah
Susun Berdasarkan KUH Perdata
Hak kepemilikan atas satuan rumah susun merupakan
hak milik atas satuan rumah susun yang bersifat
perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Dalam UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
pengertian Tanah Bersama adalah sebidang tanah yang
digunakan atas dasar hak bersama secara terpisah, yang di
atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batas-batasnya
dengan persyaratan izin bangunan. Hak atas tanah bersama
ini sangat menentukan dapat tidaknya seseorang/badan
hukum memiliki satuan rumah susun. Benda bersama
adalah benda-benda yang bukan merupakan bagian dari
rumah susun melainkan dimiliki bersama serta tidak
terpisahkan untuk pemakaian bersama. Misalnya taman,
fasilitas olah raga dan rekreasi, alat pemadam kebakaran,
jaringan air bersih, listrik, gas atau telepon, saluran
pembuangan limbah/hujan/sampah, lift/eskalator, dan lainlain. Menurut Imam Kuswahyono, sistem pemilikan atas
suatu gedung bertingkat dapat dibagi 2 (dua), yaitu:
1. Pemilikan tunggal (single ownership);
2. Pemilikan bersama (multi ownership).
Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat
gedung bertingkat itu berdiri sehingga pemegang sertifikat
juga merupakan pemilik gedung. Adapun sistem pemilikan
bersama dibagi dua dengan melihat adanya atau tidaknya
ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik gedung
bertingkat itu, yaitu sebagai berikut.
1. Pemilik bersama yang terikat, dasar utamanya
adanya ikatan hukum lebih dahulu antara pemilik.
2. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para
pemilik tidak ada hubungan hukum lebih dahulu
selain hak bersama menjadi pemilik untuk
dipergunakan bersama. Sistem pemilikan bersama
yang
bebas
inilah
yang
dikenal
sebagai
kondominium.
Dengan demikian, kepemilikan hak atas tanah pada
satuan rumah susun di dalam kerangka hukum benda
mengacu kepada sistem kondominium sebagaimana yang
diatur dalam buku II KUHPerdata, di mana terdapat
pemilikan individual atas satuan rumah susun yang
merupakan hak penghuni. Di samping itu terdapat hak
kepemilikan bersama atas tanah dimana bangunan tersebut
terletak (common areas) dan hak milik bersama atas saranasarana bangunan (common elements).
Status sertifikat dapat diberikan kepada setiap orang
sebagai sertifikat kepemilikan unit. Corporation akan
memberikan sertifikat dalam tempo 10 hari setelah
pembayaran kepada perusahaan. Apabila dibandingkan
dengan negara-negara lain di luar negeri, menurut Arie S.
Hutagalung, istilah strata title. lebih memungkinkan adanya
kepemilikan bersama secara horizontal di samping pemilikan
114
secara vertikal. Hal senada juga disampaikan Maria S.W.
Sumardjono, bahwa strata title adalah suatu sistem yang
memungkinkan pembagian tanah dan bangunan dalam unitunit yang disebut satuan (parcels), yang masing-masing
merupakan hak yang terpisah. Namun, di samping pemilikan
secara individual, dikenal pula adanya tanah, benda, dan
bagian yangmerupakan milik bersama (common property).
Jenis-jenis Hak Menurut Djuhaendah Hasan pada
beberapa negara termasuk Australia, Selandia Baru,
Singapura, Malaysia, dan Hongkong, problem penyediaan
pemilikan tanah bagi pembangunan rumah secara horizontal
dipecahkan dengan pembangunan perumahan secara vertikal
dengan menggunakan sistem strata title, yaitu sistem yang
mengatur tentang bagian tanah yang terdiri dari lapisanlapisan (strata), yaitu: lapisan bawah dan atas, dengan strata.
Strata adalah bentuk plural dari stratum diartikan sebagai
berikut. Stratum means any part of land consisting of a space
of any shape below on or above the surface of the land, the
dimensions of which are delineated.
Untuk menjamin kepastian hukum dan keteraturan
hukum dalam hal kepemilikan seseorang akan SRS di dalam
kerangka hukum benda, pemilikanseseorang atas SRS
haruslah mempunyai suatu tanda bukti hak atas benda
tanah. Menurut Arie S. Hutagalung, sebagai tanda bukti
adanya hak milik atas SRS maka disediakan alat pembuktian
yang kuat berupa sertipikat hak milik atas satuan rumah
susun.
Adapun mengenai hak atas tanah kepunyaan bersama
atau beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu
sertipikat yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak
bersama atas dasar penunjukan tertulis para pemegang hak
bersama yang lain. Mengenai hak atas tanah atau hak milisk
satuan rumah susun kepunyaan bersama tersebut dapat
diterbitkan sertipikat sebanyak jumlah pemegang hak
bersama untuk diberikan kepada setiap pemegang hak
bersama yang bersangkutan yang memuat nama serta
besarnya bagian masing-masing dari hak bersama.
Adapun mengenai hak atas tanah atau HMSRS
kepunyaan bersama atau beberapa orang atau badan hukum
diterbitkan satu sertipikat yang diterimakan lepada salah
satu pemegang hak bersama atas dasar penunjukan tertulis
para pemegang hak bersama yang lain. Mengenai hak atas
tanah atau HMSRS kepunyaan bersama tersebut dapat
diterbitkan sertifikat sebanyak jumlah pemegang hak
bersama untuk diberikan kepada setiap pemegang hak
bersama yang bersangkutan yang memuat nama serta
besarnya bagian masing-masing dari hak bersama. Bentuk,
isi, cara pengisian, dan penandatanganan sertipikat tersebut
ditetapkan oleh Menteri (Pasal 31 PP No. 24 Tahun 1997)
tentang Pendaftaran Tanah, yaitu berdasarkan Ka. BPN No. 2
sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam sura tukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan. Dalam hal atas suatu bidang tanah tersebut,
sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau
badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad
baik dan secara nyata menguasainya.
115
Jadi, pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah
itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
apabila dalam waktu lima tahun sejak diterbitkannya
sertipikat itu tidak ada yang mengajukan keberadaan secara
tertulis (Pasal 32 ayat (1) dan (2) PP No. 24 Tahun 1997).
Dalam bahasa Inggris sertipikat hak atas tanah disebut
dengan titel deed, penguasaan hak atas tanah biasa disebut
land tenure, dan pemilikan hak atas tanah disebut land
ownership, serta bidang tanah disebut dengan parcel atau lot.
2) Hak Guna Ruang Atas Tanah
Hak Guna Ruang Atas Tanah (HGRAT) merupakan hak
untuk menggunakan permukaan bumi, hak untuk
menggunakan ruang di atas permukaan bumi dan hak
mempunyai bangunan di atas permukaan bumi.
HGRAT perlu dilandasi dengan hak atas tanah karena
HGRAT tidak dapat dilepaskan dari hak untuk menggunakan
permukaan bumi (tanah) sebagai tempat pondasi bangunan.
Tanah adalah permukaan bumi, termasuk tanah yang berada
di bawah air, tubuh bumi dan ruang di atasnya sepanjang
yang diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan
dengan
penggunaannya.
Hak
untuk
menggunakan ruang di atas permukaan bumi meliputi hak
untuk menguasai ruang udara seluas bangunan tersebut.
Hak mempunyai bangunan di atas permukaan bumi
merupakan hak kepemilikan bangunan.
Hak Guna Ruang Atas Tanah meliputi hak atas
permukaan bumi tempat pondasi bangunan dan hak untuk
menguasai ruang udara seluas bangunan tersebut serta hak
kepemilikan bangunan.
HGAT tidak terlepas dari hak untuk memiliki atau
mepergunakan tanah, perlu dilandasi dengan sesuatu hak
atas tanah, misalnya; hak untuk memiliki tanah atau hak
guna bangunan, dan hak pakai untuk menggunakan tanah
atau memanfaatkan hasil tanah.
Diperlukan hak untuk menggunakan ruang udara di
atas permukaan bumi yang dihakinya, ataupun di atas hak
orang lain. Diperlukan hak untuk memiliki bangunan guna
kepastian hukum, dari bangunan itu sendiri yang mungkin
nilai ekonominya lebih tinggi dari tanah tempat pondasi
bangunan.
3) Hak Guna Ruang Bawah Tanah
Hak guna ruang bawah tanah (HGRBT) merupakan hak
untuk menggunakan permukaan bumi, hak untuk
menggunakan ruang di bawah permukaan bumi dan hak
untuk mempunyai bangunan di bawah permukaan bumi.
HGRBT perlu dilandasi dengan hak atas tanah karena
HGRBT tidak dapat dilepaskan dari hak untuk menggunakan
permukaan bumi (tanah). HGRBT meliputi hak atas
permukaan bumi yang merupakan pintu masuk/keluar
tubuh bumi, hak untuk memakai ruang dalam tubuh bumi,
dan hak atas bangunan dalam tubuh bumi.
Hak Guna Ruang Bawah Tanah meliputi hak atas
permukaan bumi yang merupakan pintu masuk/keluar
tubuh bumi dan hak membangun dan memakai ruang dalam
116
tubuh bumi, serta hak milik atas bangunan yang berbentuk
ruang dalam tubuh bumi. HGBT tidak terlepas dari hak atas
tanah. Untuk memiliki/menggunakan tanah sebagai pintu
masuk/keluar tubuh bumi harus dilandasi dengan suatu hak
atas
tanah.
Sebagai
landasan
hak
untuk
menggunakan/memiliki ruangan di dalam tubuh bumi, di
bawah tanah yang menjadi hak orang lain. HGBT diperlukan
untuk kepastian hukum dalam kepemilikan bangunan dalam
ruang di dalam tubuh bumi.
Hak Guna Ruang Perairan
Hak Guna Ruang Perairan, Dalam Perspektif hukum agraria
Indonesia harus dapat dibedakan antara ruang (lahan)
perairan pantai dan ruang laut, karena adanya perbedaan
substansial di antara keduanya yang berada dalam satu
wilayah yang tidak terpisahkan. Dengan demikian, untuk
merumuskan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya laut
dalam kerangka Marine Cadastre, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
ï‚·
Ruang perairan pantai merupakan wilayah yang sangat
rentan (fragile), baik ditinjau dari aspek fisik dan
ekosistem maupun ditinjau dari aspek hukum dan sosialekonomi, yaitu sangat berhubungan erat dengan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah (land tenureships) daratan (pantai);
ï‚·
Ruang perairan pantai merupakan wilayah perairan
dangkal, termasuk wilayah yang pada saat air laut surut
nampak sebagai ruang daratan, dan oleh karena itu
kepemilikan lahan ini dapat dicirikan oleh tipologi atau
karakteristik kepemilikan daratan (land-based tenure)
maupun runag laut (sea based tenure secara seimbang);
ï‚·
Mengingat karakteristik laut dan konsepsi marine
cadastre dalam konstelasi UUPA, maka pemberian hak
atas pemanfaatan ruang laut dapat dikategorikan ke
dalam jenis hak yaitu hak pakai, hak guna bangunan dan
hak guna air.
Sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pemanfaatan ruang atas tanah, ruang
bawah tanah dan perairan masih belum ada kepastian
yang jelas. Padahal UUPA dan beberapa ketentuan
peraturan perundangan lainnya mengisyaratkan perlunya
pengaturan lebih lanjut mengenai hak guna ruang atas
tanah, hak guna bawah tanah dan hak guna ruang
perairan.
8.
Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Pada saat ini semangat demokratisasi dan transparansi di
segala bidang kehidupan bernegara dan berbangsa membangkitkan
keberanian masyarakat untuk menuntut penyelesaian atas apa yang
dirasakannya sebagai suatu ketidakadilan, dan hal itu menyangkut
masalah pertanahan. Masalah ini juga ditunjang dengan semakin
pentingnya arti tanah bagi penduduk. Pertumbuhan penduduk yang
amat cepat baik melalui migrasi maupun urbanisasi, sementara
jumlah lahan yang tetap menjadikan tanah sebagai komoditas
ekonomi yang nilainya sangat tinggi.
117
Perkembangan sengketa dan konflik pertanahan, baik secara
kualitas maupun kuantitas selalu mengalami kenaikan, hal ini dapat
disebabkan berbagai faktor diantaranya: luas tanah yang ada tidak
seimbang dengan jumlah penduduk yang memerlukan tanah, adanya
konflik kepentingan antara pemilik tanah (perorangan, masyarakat
adat, badan hukum swasta, pemerintah) dengan perseorangan atau
badan hukum swasta lainnya. Di Indonesia, dari tahun ke tahun
jumlah kasus tanah terus meningkat,. Dalam kurun waktu dua
tahun jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan Pertanahan
Nasional meningkat lima ribu kasus. Menurut Kasubdit Konflik
Pertanahan BPN RI, pada tahun 2007 jumlah laporan konflik yang
masuk sebanyak 2625 kasus, namun pada tahun 2009 jumlahnya
melonjak hingga 300 persen menjadi lebih dari tujuh ribu kasus di
seluruh Indonesia. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
pun mencatat bahwa konflik pertanahan meningkat dari tahun ke
tahun. Menurut KPA setidaknya konflik lahan terjadi di atas area
seluas 472.084,44 Hektar dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga
sepanjang 2011. Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas kasus
adalah perkebunan (97 kasus), kehutanan (36 kasus), infrastruktur
(21) kasus, pertambangan (8 kasus), pertambakan (satu kasus).
Jumlah total mencapai 163 kasus sengkea/konflik tanah dengan
korban jiwa sebanyak 22 orang yang tersebar di 25 provinsi. Adapun
wilayah yang tercatat paling sering berkonflik di tahun ini adalah
Jawa TImur (36 kasus), Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi
Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah (12 kasus), Jambi (11 kasus),
Riau (10 kasus), Sumatera Selatan (9 kasus), dan sisanya tersebar di
provinsi lainnya.109
Permasalahan tanah sekarang merambah kepada persoalan
sosial yang kompleks dan memerlukan pemecahan dengan
pendekatan secara komprehensif. Perkembangan sifat dan substansi
kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi
pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi
pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi,
tetapi kompleksitas tanah tersebut sudah merambah kepada ranah
politik, sosial, budaya, dan hak asasi manusia. Persoalan tanah juga
masuk ke ranah hukum pidana yaitu persengketaan tanah yang
disertai dengan pelanggaran hukum pidana. Tidak jarang persoalan
pertanahan secara umum juga disertai dengan pelanggaran hak
asasi manusia bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.
Selama ini di Indonesia untuk menyelesaikan sengketa perdata
berkenaan dengan tanah memperoleh tempat penyelesaian melalui
peradilan umum dalam hal pihak yang bersengketa adalah orang
atau badan hukum, atau antara orang atau badan hukum dengan
pemerintah. Khusus untuk sengketa mengenai pertanahan antara
orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha
Negara maka diselesaikan dalam lingkup peradilan tata usaha
Negara. Melihat sejarah dan maraknya konflik yang ditimbulkan oleh
persoalan tanah, Negara harusnya melaksanakan langkah-langkah
reforma agraria. Untuk menangani dan menyelesaikan sebuah
konflik pertanahan di dalam rangka reforma agraria ini diperlukan
kerangka kerja dan yang tepat dan efektif.
109Lihat,
Konflik Pertanahan, Bernhard Limbong, Margaretha Pustaka, Jakarta, Februari
2012, hal. 60-62.
118
Penanganan
konflik
pertanahan
ini
bertujuan
untuk
memberikan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, dan
penggunaan, dan pemanfaatan tanah termasuk untuk mencegah
terjadinya tumpang tindih pengaturan di bidang pertanahan. Namun
demikian penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan harus
didukung oleh kelembagaan pertanahan yang kuat dan berwibawa,
koordinasi antar instansi pemerintah yang efektif, administrasi
pertanahan, dan manajemen konflik yang efektif dan efisien, serta
strategi penanganan dan penyelesaian yang cepat, tepat dan efektif,
didukung oleh sumber daya manusia yang handal dengan
kemampuan yang terlatih baik di pusat maupun di daerah. Tingginya
masalah pertanahan tidak hanya meresahkan masyarakat tetapi juga
sangat mempengaruhi kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN)
sebagai institusi yang mempunyai tugas pokok melaksanakan
administrasi pertanahan. Untuk mengatasi hal tersebut, upaya
penanganan masalah pertanahan dapat dilaksanakan melalui dua
cara, yaitu:
1. Musyawarah untuk mufakat yang di mediasi oleh BPN.
2. Di depan pengadilan, dengan membentuk pengadilan
khusus pertanahan.
Konflik dan sengketa tanah merupakan masalah krusial, yang
saat ini menjadi persoalan besar bagi bagi bangsa dan negara.
Masalah ini sudah bereskalasi terlalu jauh sehingga tidak mudah
lagi untuk menyelesaikannya. Berdasarkan laporan BPN kepada
Komisi II DPR RI, saat ini tidak kurang lima belas ribu kasus tanah
di seluruh Indonesia yang ditangani BPN. Mulai dari kasus yang
berskala kecil hingga kasus tanah skala besar yaitu kasus tanah
yang menimbulkan gejolak sosial di masyarakat seperti yang
menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan.
Tidak mudah menyelesaiakan konflik dan sengketa tanah, hal
ini bisa kita lihat dari proses penyelesaian kasus yang dilakukan
BPN selalu tidak mencapai target yang ditetapkan BPN. Seringkali
upaya penyelesaian kasus tanah tidak mengurangi jumlah kasus
yang ada tetapi justru menambah jumlah kasus tanah dari tahun ke
tahun. Dampak sosial politik dan stabilitas keamanan akibat kasus
tanah ini juga semakin meningkat hal ini bisa kita lihat dari semakin
banyaknya jumlah korban yang bertambah akibat terjadinya konflik
sosial yang dilatarbelakangi kasus tanah.
Maraknya kasus tanah di tengah-tengah masyarakat menjadi
suatu keniscayaan, ketika kebutuhan tanah untuk kepentingan
hidup semakin meningkat sementara luas tanah relatif tidak
berubah. Manakala dalam kondisi demikian juga tidak disertai
dengan suatu sistem atau aturan yang jelas mengenai pengelolaan
tanah maka konflik dan sengketa tanah itu semakin lama akan
semakin kompleks dan tidak kurang memicu konflik sosial yang
lebih besar, yang menganggu stabilitas politik dan keamanan
sehingga dapat menghambat proses pembangunan nasional.
Bila kita mencermati kasus-kasus tanah yang terjadi selama ini,
konflik dan sengketa tanah ini memiliki tipe-tipe yang hampir sama.
Maka Tipologi kasus tanah dapat di identifikasi sebagai berikut:
1. Tipologi Sengketa Hak Atas tanah
Sengketa ini adalah perselisihan pihak-pihak yang saling
mengklaim haknya masing-masing pada obyek tanah yang sama.
Sengketa tanah seperti ini timbul karena:
a. Institusi pertanahan (BPN) tidak akurat dalam memberikan
legalitas tanah kepada pihak yang sesungguhnya pemilik
119
hak. Tidak akuratnya legalitas tanah yang diberikan BPN
kepada pemilik hak yang sebenarnya timbul karena
perubahan hukum dan aturan nasional tentang pertanahan.
Perubahan hukum ini tidak disertai dengan sosialisasi yang
baik kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak
memahami tentang hukum tanah nasional.
Dalam proses pendaftaran tanah, BPN selalu berpatokan
kepada alas hak yang ada dan bisa dibuktikan secara
hukum, padahal sangat banyak tanah terutama tanah-tanah
ulayat yang tidak disertai oleh alas hak yang kuat secara
hukum. Terkait dengan alas hak, karena menyangkut
dengan hukum materi, pihak yang memiliki kemampuan
akses informasi dan keuangan yang memadai menjadi lebih
diuntungkan dengan pembuktian alas hak karena mereka
mampu menyediakan bukti-bukti itu
meskipun bukti
tersebut juga sangat mungkin dimanipulasi.
b. Pengadilan tidak mampu memberikan kepastian hukum
kepada pihak-pihak yang berperkara sengketa tanah.
Seringkali hakim di pengadilan yang memutus perkara
tanah tidak memahami sepenuhnya tentang kasus tanah
yang sedang diperkarakan, karena pembuktian alas hak
tanah ini
harus memiliki kemampuan khusus tentang
sejarah tanah dan proses terjadinya hak atas tanah itu
kepada seseorang atau badan hukum. Pembuktian alas hak
atas tanah tidak bisa semata berdasarkan alat bukti yang
ada, namun harus mengetahui hukum adat dan sejarah
hukum tanah sejak masa kolonial Belanda hingga masa
sekarang.
c.
Pihak BPN memberikan hak penguasaan tanah seperti HGU
dan HGB melampaui batas lahan yang ditentukan
sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA 5/1960 yang
menyebutkan bahwa tidak diperkenankan memberikan hak
penguasaan tanah secara berlebihan.
Banyak kasus tanah dalam tipologi ini tidak dapat diselesaikan
karena:
1. Legalitas kepemilikan (sertifikat) tidak bisa diberikan BPN
bila obyek tanah yang bersangkutan belum clear dan clean.
Artinya masih ada pihak-pihak yang kebaratan.
2. Bila kasus tanah itu dalam sengketa dan kasusnya
diselesaikan
melalui
peradilan,
BPN
seharusnya
melaksanakan putusan pengadilan, namun demikian BPN
sering tidak melakukan eksekusi terhadap keputusan
pengadilan. Tanah tersebut tetap dibiarkan menjadi status
quo yang kemudian menyimpan potensi timbulnya konflik
pertanahan.
3. PTUN lebih sering tidak mengabulkan gugatan masyarakat
terkait dengan penyerobotan pihak perusahaan terhadap
tanah rakyat atau tanah hukum adat (tanah ulayat)
meskipun sudah sangat jelas, perusahaan sering melakukan
penyerobotan terhadap tanah masyarakat.
4. Pengadilan Indonesia sering tidak mengedepankan keadilan
dalam memutuskan perkara pertanahan, sehingga orang
cenderung tidak percaya kepada peradilan, dan bagi
sebagian besar rakyat menilai bahwa sengketa tanah hanya
akan memenangkan pihak yang mampu membayar
120
pengacara.
Dengan
demikian
masyarakat
mengadukan perkaranya kepada pengadilan.
enggan
2.
Tipologi Sengketa Perbatasan
Sengketa ini adalah perselisihan antara pihak-pihak pemilik hak
tanah yang obyek tanahnya berbatasan langsung antara yang
satu dengan yang lain tanpa ada kepastian tapal batas yang
dijamin oleh hukum.
Kasus seperti ini timbul karena:
a. Terjadi kesalahan BPN dalam melakukan pemetaan dan
pengukuran tanah.
b. BPN tidak akurat dalam menetapkan luas tanah dan batasbatas pada sertifikat hak tanah.
c. Tidak ada informasi dan data yang valid dan akurat tentang
luas tanah dan peta yang diketahui masyarakat menyangkut
tanah-tanahnya di wilayah perbatasan, sehingga tidak ada
kesepahaman tentang luas dan batas antara masyarakat
dengan pihak BPN.
d. BPN tidak bisa membuat batas tanah yang benar karena
tumpang tindih dengan tanah yang dikuasai instansi lain
seperti tanah yang dikuasai oleh Kementerian Kehutanan,
BUMN, dll.
e. Terjadi sengketa perbatasan antar daerah provinsi dan antar
kabupaten/kota sehingga BPN kesulitan dalam menetapkan
batas-batas.
Tipologi Kasus seperti ini sebenarnya tidak sulit diselesaikan
BPN sepanjang itu tidak menyangkut sengketa perbatasan
antardaerah atau yang terkait dengan penguasaan lahan yang
tumpang tindih dengan lembaga atau kementerian lain atau di
luar kewenangan BPN.
3.
Tipologi Sengketa Penyerobotan
Sengketa ini adalah sengketa tanah karena ada pihak yang
memasuki atau menguasai tanah diatas hak pihak lain tanpa
suatu proses hukum yang telah disepakati masing-masing
pihak. Kasus ini terjadi karena:
Pertama, pemerintah daerah kurang cermat dalam memberikan
izin lokasi. Pada saat proses pengukuran dan pembebasan
lahan, tidak terjalin komunikasi yang baik antara masyarakat,
pemerintah daerah dan pemohon izin lokasi. Sehingga
masyarakat cenderung tidak mengetahui substansi pemberian
izin lokasi yang diberikan oleh pemerintah daerah. Dalam
perjalanannya, ketika izin lokasi sudah diberikan dan HGU
sudah dikantongi oleh perusahaan pemohon timbul masalah.
Tanah yang menjadi obyek HGU atau HGB berada di tanahtanah masyarakat sehingga muncul konflik antara masyarakat
dengan pihak perusahaan pemegang HGU atau HGB. Kasus
seperti ini sangat banyak terjadi sekarang dan kasus seperti
inilah yang kerap menimbulkan letupan-letupan sosial yang
mengguncang stablitas sosial keamanan di suatu daerah.
Kedua, BPN tidak melindungi tanah-tanah
yang dikuasai
negara dengan baik. Informasi tentang peta dan luas tanahtanah yang dikuasai oleh negara tidak disosialisasikan kepada
masyarakat dengan baik. Masyarakat yang tidak mengetahui
tentang peta dan batas-batas negara mencoba menguasai dan
memanfaatkan tanah tersebut. Ketika masyarakat menguasai
121
tanah tersebut, BPN membiarkan dan tidak menjelaskan
tentang status tanah tersebut, baru setelah tanah itu ada yang
membutuhkan, BPN mencoba mengusir masyarakat dari tanah
tersebut. Merasa sudah menguasai dan memanfaatkan tanah
tersebut, masyarakat tidak mau begitu saja digusur dari tanah
tersebut dan mencoba bertahan di tempat itu atau setidaknya
meminta kompensasi atas kerugian yang akan ditanggung bila
dia harus digusur. Kasus semacam ini kemudian kerap
menimbulkan konflik antara masyarakat penggarap dengan
negara.
ketiga, sistem birokrasi pertanahan yang sangat kompleks dan
harus melibatkan banyak pihak. Contoh: sengketa tanah-tanah
PTPN. Pada mulanya ketika izin HGU diberikan kepada PTPN,
jumlah anggota masyarakat belum terlalu banyak, namun
seiring dengan waktu jumlah masyarakat semakin bertambah,
akibatnya kebutuhan tanah semakin meningkat sehingga
keterdesakan untuk persediaan lahan semakin tinggi. Disatu
sisi, masa berlaku HGU sudah berakhir dan seharusnya bila
sudah berakhir, sebagian lahan tersebut harus didistribusikan
kepada masyarakat, tetapi tidak bisa di distribusikan karena
aturan yang harus dilalui. Seperti yang terjadi di PTPN II, III di
Sumatera Utara. Pada prinsipnya pihak PTPN II sudah bersedia
mendistribusikan tanah tersebut, tetapi hal itu tidak bisa
dilakukan karena harus atas persetujuan Kementerian BUMN,
Kementerian BUMN juga tidak otomatis bisa memberikan
pelepasan hak karena harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Kekayaan Negara kementerian keuangan
negara. Kementerian Keuangan juga tidak bisa otomatis
melepaskan hak karena harus terlebih dahulu berkordinasi
dengan Koordinator Kementerian Perekonomian. Birokrasi
seperti inilah yang kemudian membuat tanah-tanah eks HGU
PTPN tidak bisa didistribusikan kepada masyarakat, meskipun
tanah tersebut secara faktual sudah dikuasai dan dimanfaatkan
oleh masyarakat.
4.
Tipologi Sengketa Ganti Rugi
Sengketa ini adalah perselisihan antara pihak yang akan
membebaskan tanah para pemilik hak tanah, di mana antara
para pihak belum bersepakat tentang nilai ganti rugi.
Sengketa ini timbul karena:
1. Tidak adanya perundang-undangan dan mekanisme yang
mengatur masalah ganti rugi terhadap tanah masyarakat
yang dibebaskan baik itu untuk kepentingan umum
maupun untuk kepentingan swasta (sebelum disahkan UU
tentang pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan,
UU No. 2 Tahun 2012 ) yang menjamin hak-hak masyarakat
pemilik tanah.
2. Pemerintah tidak mampu menertibkan para calo tanah.
3. Kurangnya informasi yang dimiliki masyarakat pemilik
tanah tentang proses pembebasan tanah dan ganti rugi.
Tipologi Kasus ini dapat diselesaikan apabila:
1. Terdapat sebuah aturan dan mekanisme yang detail tentang
proses ganti rugi yang mengedepankan keadilan dan
kesetaraan.
122
2. Terdapat lembaga
yang profesional, independen, tidak
memiliki kepentingan sepihak (conflic of interest) dalam
penyelesaian ganti rugi lahan.
3. BPN sebagai lembaga yang memiliki kewenangan di bidang
pertanahan melakukan fasilitasi terhadap pihak-pihak yang
bersengketa dalam proses pengadaan tanah.
4.
Tipologi Sengketa pembatalan Hak
Sengketa ini adalah kasus tanah, di mana hak-hak tanah
subjek hokum (perorangan maupun badan hukum) dibatalkan
oleh BPN karena yang bersangkutan tidak memiliki legalitas
tanah karena perbuatan hukum. Sengeketa ini timbul karena:
1. Ada pihak lain yang menggugat ke pengadilan tentang status
tanahnya, kemudian pihak pengadilan mengabulkan
permohonannya sehingga pemilik hak tanah terdahulu
gugur demi hukum dan status hak tanahnya dibatalkan oleh
BPN, namun karena pemilik tanah yang pertama tidak
berterima dengan keputusan pengadilan sehingga dia
berusaha mempertahankan haknya, kemudian timbul
sengketa dan konflik tanah.
2. Terdapat kekeliruan penetapan hak oleh pihak BPN,
kemudian oleh BPN mencabut hak terdahulu dan
membetulkan pemilik hak yang sesungguhnya.
Kasus ini dapat diselesaikan dengan:
1. Gelar perkara yang dilakukan oleh BPN.
2. Megajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
a.
Mediasi
Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai
tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di sisi
lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap
hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak
karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan
Negara. Dalam kenyataan sehari-hari permasalahan tanah
muncul dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Sengketa
pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu
aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya
penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin
meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah
sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Dapat
dikatakan sengketa di bidang pertanahan tidak pernah surut,
bahkan mempunyai kecenderungan untuk meningkat di dalam
kompleksitas permasalahan maupun kuantitasnya seiring
dinamika di bidang ekonomi, sosial dan politik.
Walaupun saat ini telah disediakan lembaga peradilan untuk
menyelesaikan sengketa pertanahan, namun masyarakat dapat
juga menggunakan cara penyelesaian di luar pengadilan sebagai
alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini dilatarbelakangi dari
kebutuhan akan penyelesaian yang lebih cepat, ringan, dan
sesuai dengan karakter masyarakat yang bersifat kekeluargaan.
Penyelesaian di luar pengadilan juga identik dengan sifat
masyarakat adat yang heterogen yang saling menjaga hubungan
satu terhadap yang lainnya tanpa pamrih dan rasa
kesukarelaan yang tinggi. Berbeda halnya dengan penyelesaian
sengketa melalui pengadilan dimana memerlukan biaya yang
besar dan waktu yanglama dalam proses beracaranya. Selain
123
alasan tersebut dalam masyarakat juga telah tertanam konsep
bahwa
penyelesaian
melalui
pengadilan
hanya
akan
mewujudkan keadilan bagi para pihak yang mempunyai
kekuasaan dan materi yang berlebih.
Sebagai alternatif penyelesaian sengketa, kiranya proses
Mediasi dapat di berdayakan dalam menyelesaian sengketa
pertanahan.
Ada beberapa pengertian mediasi yang dapat
disebutkan disini, antara lain:
1. “Mediasi” adalah proses negosiasi penyelesaian masalah
(sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak,
netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa,
membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu
kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.110
2. “Mediation is a process in which two or more people
involved in a dispute come together, to try to work out a
solution to their problem with the help of a neutral third
person, called the “Mediator”.111
3. Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga
dalam suatu penyelesaian suatu perselisihan sebagai
penasehat.112
Dari perumusan pengertian-pengertian tentang Mediasi
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
1. Seorang mediator tidak dalam posisi untuk memutus
sengketa para pihak.
2. Tugas dan kewenangan mediator hanya membantu dan
memfasilitasi pihak-pihak yang bersengketa dapat
mencapai suatu keadaan untuk dapat mengadakan
kesepakatan tentang hal-hal yang disengketakan.
3. Tidak ada suatu sengketa yang dapat diselesaikan
kecuali hal tersebut disepakati/disetuji bersama oleh
pihak-pihak yang bersengketa.
Beberapa keuntungan penyelesaian sengketa atau perkara
melalui mediasi, antara lain:
1. Penyelesaian dapat dilakukan lebih cepat
2. Biaya yang dikeluarkan lebih hemat
3. Hubungan antara para pihak dapat terus terjalin.
Namun, mediasi dalam kasus sengketa pertanahan juga
memiliki kelemahan, antara lain:
1. Mekanisme eksekusi yang sulit. Jika salah satu pihak
tidak
bersedia
melaksanakan
isi
perdamaian/
kesepakatan yang telah terjadi dalam mediasi, maka
pihak lain tidak dapat memaksa agar pihak lawan
melaksanakannya. Karena itu, cara yang dapat ditempuh
adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan,
sehingga pada akhirnya perkara tersebut memerlukan
waktu penyelesaian yang cukup lama;
2. Proses mediasi sangat bergantung kepada itikad baik
para pihak untuk menyelesaikan masalahnya. Hal itu
berarti, bahwa para pihak yang bersengketa harus
benar-benar bersedia menerima dan melaksanakan
kesepakatan yang terjadi melalui mediasi;
110Goodpaster,
Garry, Panduan Negosiasi dan Mediasi 9, Elips Jakarta, 1999, hal. 241.
Peter, How To Mediate Your Dispute, Nolo Press, Berkeley, 1996, hal. 13.
112 Kamus Besar Bahasa Indonesia.
111 Lovenheim
124
3. Jika di dalam mediasi tidak dilibatkan pihak yang
mengetahui atau mendalami masalah hukum tanah,
maka sangat mungkin fakta hukum atau peraturan
yang ada tidak dipahami oleh para pihak sehingga dapat
mengakibatkan kesepakatan menjadi bias. Dalam
alternatif penyelesaian sengketa tersebut, kiranya
keberadaan juru penengah (mediator) memegang
peranan yang penting. Juru penengah biasanya adalah
orang atau lembaga masyarakat adat yang diyakini dan
dipercaya masyarakat mampu untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi sehingga diharapkan kesepakatan
yang akan dihasilkan dapat memberikan keadilan bagi
para pihak yang bersengketa. Idealnya seorang juru
penengah harus mengerti tentang hukum pertanahan,
mengerti tentang eksistensi tanah serta sejarah tanah
yang diperkarakan, mempunyai data-data mengenai
tanah yang disengketakan. Pengetahuan yang cukup
luas dari juru penengah akan membuat juru penengah
dapat menjalankan tugas secara efektif.
Secara garis besar, kasus-kasus pertanahan dapat
dikategorikan menjadi aspek perdata, pidana dan tata usaha
Negara, namun apabila dibagi berdasarkan tipologinya maka
dapat dipilah menjadi lima kelompok, yaitu113:
a. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas
tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain.
b. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan
landreform,
c. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan
tanah untuk pembangunan.
d. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah;
e. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.
Mengingat bahwa bangsa Indonesia terkenal dengan
penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mencapai
mufakat, kiranya pemanfaatan lembaga mediasi dapat
merupakan
alternatif
yang
berdampak
positif
untuk
penyelesaian sengketa pertanahan. Saat ini penyelesaian
sengketa melalui ADR secara implisit dimuat dalam Peraturan
Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional (“BPN”). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk 1
(satu) kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Tugas dari
Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Konflik
pertanahan menurut ketentuan Pasal 23 Perpres tersebut yaitu:
1. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan
penanganan sengketa dan konflik pertanahan.
2. Pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai
masalah, sengketa dan konflik pertanahan.
3. Penanganan masalah, sengketa, dan konflik pertanahan
secara hukum dan non hukum.
4. Penanganan perkara pertanahan
113
Farhan,
Cara-cara
Penyelesaian
Sengekta
Melalui
Mediasi,
https://fahran77.wordpress.com/2011/03/31/cara-cara-penyelesaian-sengketamenurut-mediasi/, diakses pada tanggal 8 Juni 2012.
125
5. Pelaksanaan
alternative
penyelesaian
masalah,
sengketam dan konflik pertanahan melalui bentuk
mediasi, fasilitasi dan lainnya.
6. Pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang
berkaitan dengan pertanahan.
7. Penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan
hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BPN telah pula menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan
dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan
Kepala BPN RI Nomor 34 tahun 2007 dan Peraturan kepala BPN
RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan. Dalam menjalankan tugasnya
menangani sengketa pertanahan, BPN melakukan upaya melalui
mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif.
Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu
pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa
pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak
sehingga
diupayakan
membentuk
kedeputian
untuk
penanganannya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua
sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan. Peran BPN
sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa sangat
diperlukan agar para pihak dapat mengetahui kelemahan dari
alat bukti yang dimiliki dan kesulitan yang akan diperoleh. Cara
ini cukup efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa
perdata pertanahan. Berikut beberapa contoh mediasi yang
telah dilakukan oleh BPN dalam penyelesaian sengketa di
wilayah Kabupaten Klaten:
Tim Penanganan dan Penyelesaian sengketa pertanahan
telah menyelesaikan sebanyak 8 (delapan) kasus sengketa
pertanahan, dengan penyelesaian melalui mediasi, ternyata
penanganan penyelesaian sengketa pertanahan dengan mediasi
lebih cepat dan lebih terukur jangka waktunya sebagaimana
yang dapat disampaikan dari 8 kasus tersebut adalah114:
1. Kasus Desa Jurangjero SHM No.316 dengan mediasi
tertuang
dalam
Berita
Acara
Mediasi
No.BAM/02/IV/2008/SKP tanggal 1 April 2008.
2. Kasus Desa Tirtomarto asal leter C No.34, 402 dan 661
dengan mediasi tertuang dalam Berita Acara Mediasi
No.BAM/03/IV/2008/SKP tanggal 1 April 2008.
3. Kasus Desa Ngalas SHM No.8 dengan mediasi tertuang
dalam Berita Acara Mediasi No.BAM/01/VII/2008/SKP
tanggal 11 Agustus 2008
4. Kasus Desa Towangsan asal leter C No.472 dengan
mediasi
tertuang
dalam
Berita
Acara
Mediasi
No.BAM/01/XI/2008/SKP tanggal 11 Nopember 2008.
5. Kasus Desa Bulurejo SHM No.402 dan 403 dengan
mediasi
tertuang
dalam
Berita
Acara
Mediasi
No.BAM/02/XI/2008/SKP tanggal 10 Nopember 2008.
114
Herry Fathurachman (Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara), Mediasi Sebagai
Alternatif
Sengketa
Pertanahan,
http://portaldaerah.bpn.go.id/Propinsi/JawaTengah/Kabupaten-Klaten/Artikel/MEDIASI--sebagai-alternatif-penyelesaian-sengket.aspx,
diakses pada tanggal 8 Juni 2012.
126
6. Kasus Desa Sabrang Lor asal leter C No.273 dengan
mediasi
tertuang
dalam
Berita
Acara
Mediasi
No.BAM/02/V/2009/SKP tanggal 5 Mei 2009.
7. Kasus Desa Ngawen asal leter C No.443 dan 448 dengan
mediasi
tertuang
dalam
Berita
Acara
Mediasi
No.BAM/01/V/2009/SKP tanggal 5 Mei 2009.
8. Kasus Desa Nglinggi asal leter C No.351 dengan mediasi
tertuang
dalam
Berita
Acara
Mediasi
No.BAM/01/VIII/2009/SKP tanggal 20 Agustus 2009.
Berdasarkan praktik-praktik mediasi yang telah dijalankan
BPN dalam masyarakat, maka dapat disimpulkan bahwa praktik
mediasi tersebut adalah best practice mengenai alternatif
penyelesian sengketa yang dapat dilaksanakan sehingga perlu
untuk ditingkatkan pengaturannya dalam UU ini. Peranan
negara atau pemerintah dalam hal ini diwakili oleh BPN yang
tidak memihak kepada salah satu pihak yang berkonflik akan
dapat menjamin keadilan sehingga dapat mewujudkan
pelaksanaan tugas utama Negara. Berikut dapat dijelaksan garis
besar dari proses Mediasi:
1. Hal pertama yang harus dikerjakan oleh pihak BPN
adalah menerima pengaduan. Pengaduan adalah
pemberitahuan dan atau keterangan yang disampaikan
oleh pengadu kepada petugas BPN tentang terjadinya
suatu peristiwa atau perbuatan yang menimbulkan
akibat hukum atas suatu bidang tanah. Pihak yang
mengadukan dalam melakukan pengaduan juga harus
melampirkan segala bukti-bukti yang diperlukan serta
permohonan untuk penyelesaian. Kepada aparat BPN
yang menerima pengaduan harus mempelajari apa yang
diajukan oleh pengadu.
2. Kemudian mekanisme berikutnya adalah penelitian
berupa pengumpulan data atau administrasi maupun
hasil
penelitian
fisik
di
lapangan
mengenai
penguasaannya. Di dalamnya termasuk mengenali
pihak-pihak yang berkonflik, obyek konflik, menemukan
dan mengetahui kemauan para pihak, mencari aturan
hukum atau peraturan perundang-undangan terkait
untuk mengkaji penerapan hukumnya. Bila ditemukan
cacat administratif karena kekeliruan data awal, maka
koreksi adminsitratif dilakukan oleh BPN. Di dalam
dalam proses ini ditelaah secara hukum terhadap konflik
pertanahan yang berdasar data yuridis, data fisik
dan/atau data pendukung lainnya. Hasil dari penelitian
oleh BPN tersebut dapat disimpulkan sementara apakah
pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses
lebih lanjut.
3. Pencegahan
mutasi,
yaitu
merupakan
langkah
pengamanan berupa pencegahan sementara terhadap
segala bentuk perubahan atau mutasi. Tuuannya
dilakukan
pencegahan
atau
mutasi
adalah
mengehentikan untuk sementara waktu segala bentuk
perubahan terhadap tanah yang disengketakan atau
tanah konflik.
4. Langkah selanjutnya yaitu musyawarah dengan di
mediatori oleh pihak BPN. Musyawarah adalah kegiatan
127
mempertemukan
kedua
belah
pihak
untuk
mengklarifikasi data yang ada pada masing-masing
pihak dalam rangka mengupayakan perdamaian atau
kesepakatan para pihak. Para pihak juga diperkenankan
untuk
membawa
bukti-bukti
tambahan
dan
menghadirkan saksi-saksi yang diperlukan atau yang
mengetahui riwayat tanah yang disengketakan, dalam
hal ini bisa ketua adat atau kepala desa setempat.
5. Dalam hal tertentu diperlukan koordinasi antar instansi
misalnya dalam sengketa antar masyarakat dengan
melibatkan instansi kehutanan, ABRI, Kementerian
Perhubungan, dan lain-lain. Dalam rangka koordinasi
tersebut perlu dibentuk Tim ad hoc bersama yang dapat
dikoordinatori oleh BPN.
6. Dari pihak BPN kemudian mempelajari hasil-hasil
keterangan yang didapat dari proses musyawarah
tersebut
kemudian
mengeluarkan
rekomendasirekomendasi penyelesaian.
7. Tahap terakhir adalah mempertemukan kedua belah
pihak
kembali
untuk
membuat
kesepakatankesepakatan penyelesaian dengan mempertimbangkan
rekomendasi-rekomendasi yang telah dibuat oleh BPN.
a. Apabila para pihak setuju untuk membuat
kesepakatan
penyelesaian
maka
hasil
dari
kesepakatan ini adalah dituangkan dalam bentuk
perjanjian tertulis yang bersifat final dan binding
yang ditandatangani oleh pihak BPN. Apabila dari
kesepakatan tersebut salah pihak tidak mau untuk
melaksanakannya, maka pihak yang lain dapat
menggunakan perjanjian tersebut untuk langsung
dapat dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri.
b. Apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan
dalam tahap ini, maka BPN tetap mencatat berita
laporannya untuk menjadi data awal sebagai rekam
jejak yang membuktikan bahwa perkara tersebut
pernah diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi
apabila para pihak kemudian berniat untuk
menyelesaikannya di tingkat pengadilan.
Peraturan Kepala BPN menetapkan batas waktu penanganan
perkara paling lama 3 bulan sejak diterimanya pengaduan atau
informasi
sengketa.
Batas
waktu
penyelesaian
dapat
diperpanjang dengan persetujuan Kakan, Kakanwil, atau Deputi
BPN.
b.
Pengadilan Agraria
Sengketa agraria merupakan suatu bentuk sengketa yang
multi dimensi dan kompleks, karena di dalamnya terkandung
bukan hanya kepentingan hukum saja, melainkan kepentingan
ekonomi, politik, sosial budaya, dan bahkan pertahanan
keamanan. Ketika terjadi sengketa hak atas tanah antara
seseorang dengan orang lain, misalnya, maka mereka pada
hakikatnya juga memperjuangkan kepentingan–kepentingan
ekonomi yang melekat pada tanah yang disengketakan tersebut.
Pada perspektif lain sengketa agraria dapat terjadi antara
sekelompok anggota masyarakat dengan negara, karena
masyarakat tersebut mempertahankan nilai-nilai budaya yang
128
melekat pada tanah tersebut. Sebaliknya, karena pertimbangan
pertahanan keamanan, negara dapat mengalahkan kepentingan
orang perorangan atas suatu bidang tanah, sehingga hal
itersebut dapat juga menimbulkan sengketa.
Saat ini sengketa agraria secara umum disatukan melalui
mekanisme peradilan umum. Pada kenyataannya pengadilan
yang ada tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat. Menurut data yang diperoleh dari Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), sampai saat ini ada sekitar 1700
kasus agraria yang tidak terselesaikan. Untuk itu, dibutuhkan
suatu mekanisme penyelesaian sengketa agraria yang efektif
dan efisien. Untuk menyelesaikan konflik dan sengketa tanah
yang terjadi, ada baiknya melihat kembali ide pembentukan
pengadilan khusus landreform yang muncul dalam UndangUndang Pengadilan Landreform tahun 1964 yang sudah dicabut
pada tahun 1970. Aspek penting dari Pengadilan Landreform
adalah ditegakkannya sebuah lembaga yang khusus menangani
kasus sengketa yang muncul akibat pelaksanaan suatu program
yang berhubungan dengan tanah. Sejak dihapuskannya
Pengadilan Landreform dengan dikeluarkannya UU No. 7 Tahun
1970,
maka
persoalan
sengketa/konflik
pertanahan
dikembalikan kepada Pengadilan Negeri jika tidak bisa
diselesaikan di luar jalur pengadilan. Sebagai sebuah
pengadilan yang berwatak khusus, Pengadilan Pertanahan
merupakan langkah efektif dalam proses [encapaian keadilan
dan kepastian hukum
Berdasarkan hal tersebut, pemikiran ke arah pembentukan
pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus di
lingkungan peradilan umum merupakan suatu pemikiran yang
perlu direalisasikan kembali karena hal itu akan berpihak pada
efektivitas dan efisiensi penanganan kasus atau sengketa
pertanahan. Jika hal itu terjadi, maka kepentingan masyarakat
juga mendapat perlindungan hukum secara optimal. Untuk
kepentingan pembentukan Pengadilan khusus pertanahan
tersebut maka pertama-tama harus dikaji dari berbagai
peraturan perundang-undangan yang telah ada agar tidak
terjadi disharmonisasi peraturan dengan landasan hukum bagi
pembentukan Pengadilan Agraria.
129
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Donald L. Donham, History, Power, Ideology: Central Issues in Marxism and
Anthropology, (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1999).
Effendi, Bachtiar. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan
Pelaksanaannya. Bandung: Penerbit Alumni, 1993.
Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di
Indonesia. Yogjakarta: Kerjasama Insist Press, KPA, dan Pustaka
Pelajar, 1999.
Gautama, Sudargo. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan
Peraturan Pelaksanaanya (1996). Citra Aditya Bakti, 1997.
Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Jakarta:
Universitas Trisaksti, 2007.
________. Hukum Agraria Indonesia. Jilid 1. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit
Djambatan, 2005.
________. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UU Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. Jilid I Hukum Tanah Nasional.
Jakarta: Djambatan, Edisi revisi, 2003.
Hartono, Sunarjati. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Bandung:
Alumni, 1986.
Hasni. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks
UUPA-UUPR-UUPLH. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Kantaatmadja, Mieke Komar. Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang.
Bandung: Mandar Maju, 1994.
Kuntowijoyo. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008.
Parlindungan, A. P. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Cetakan I. Bandung:
Mandar Maju, 1999.
Santoso, Urip. Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah. Jakarta: Prenada
Media Group, 2008.
Sihombing, B. F dalam Supriadi. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Simarmata, Rikardo. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di
Indonesia. UNDP Regional Center in Bangkok, 2006.
Soeprapto. Undang-Undang Agraria dalam Praktek. Jakarta: Universitas
Indonesia Pres, 1986.
Soesanto, J. B. Hukum Agraria I. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945, Semarang.
Sudiyat, Iman. Hukum Adat Sketsa Adat. Cetakan Ketujuh, Yogyakarta:
Liberty, 2012.
Sumardjono, Maria S.W. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya. Cet. 2. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009.
Supriadi. Hukum Agraria. Ed. 1, Cet. 4. Jakarta: Sinar Grafika.
Sumardjono, Maria S.W. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya. Cet. 2. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009.
Sutiknjo, Imam. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1994.
Yamin Lubis, Muhammad dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran
Tanah. Bandung: Mandar Maju, 2008.
B.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Pokok-Pokok Peraturan Dasar Agraria, UU No. 5 Tahun 1960,
LN RI No. 104 Tahun 1960 TLN RI No. 2043.
130
_________, Rumah Susun, UU No. 20 Tahun 2011, LN RI No. 108 Tahun
2011 TLN RI No. 5252.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 3696).
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4385).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara RI Tahun 1998 Nomor
52, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3746).
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2006 Tanggal 16-5-2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991
tentang Konsolidasi Tanah.
C.
Internet
Asas-Asas
Tata
Guna
Tanah”,
http://tatagunatanah.blogspot.com/search/label/Asasasas%20Tata%20Guna%20Tanah.
Faizah, Liliz Nur. Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan HistorisFilosofis (rangkuman dari Bab II tentang Hak Menguasai Negara,
dalam skripsi ”Perkembangan Konsep Kepentingan Umum dalam
Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia, 1960-2006” di
Fakultas
Hukum
UGM
Yogyakarta
pada
tahun
2007).
http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/ hmn_filosofis.pdf.
Hajriyanto Y. Thohari, “Aksi dan Implementasi Tap MPR No.
IX/MPR/2001”,
makalah disampaikan pada Press Gathering
Wartawan MPR RI di Mataram, tanggal 9 Maret 2012,
www.mpr.go.id/files/pdf/2012/03/12/aksi-dan-implementasi-tapmpr-no-ixmpr2001-1331520876.pdf.
“MK
Sarankan
Presiden
Sinkronkan
Regulasi
Agraria”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4f543a4ed7182/mksarankan-presiden-sinkronkan-regulasi-agraria.
“Model
Perencanaan
Penatagunaan
Tanah”,
http://tatagunatanah.blogspot.com/search/label/Model%20Perencan
aan%20TGT.
“Pengertian
Tata
Guna
Tanah”,
http://tatagunatanah.blogspot.com/2008/08/pengertian-tata-gunatanah.html.
Tubagus Haedar Ali, “Makna Penggunaan Tanah menurut UU Nomor 5
Tahun 1960: Kaitannya dengan Perkembangan Penataan Ruang”,
http://www.jkpp.org/download/kamus%20tata%20ruang%20Bab5.3.
pdf.
D.
Makalah
Makalah Prof. Arie Sukanti Sumantri Hutagulung, SH., MLI yang
disampaikan dalam diskusi pakar sehubungan dengan penyusunan
kajian RUU Pendaftaran Tanah, Deputi PUU Bagian Polhukham,
Setjen DPR RI pada 5 Agustus 2009.
131
Muchsin. Konflik Sumber Daya Agraria dan Upaya Penegakan Hukumnya.
Makalah Seminar Pembaharuan Agraria. Sekoah Tinggi Pertanahan
Nasional, Yogyakarta, 16 Juli 2002.
Nasution, Agussalam (Penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara). “Makalah
Hukum Agraria, Teori Hukum Pertanahan Yang Pernah Berlaku di
Indonesia”, 2012.
Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta,
1975.
E.
Lain-Lain
Harsono, Boedi. PPAT sejarah Tugas dan Kewenangannya, Majalah
RENVOI, No. 844. IV. Jakarta, Januari, 2007.
Ismail, Nurhasan. Perkembangan HukumPertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi-Politik. Disertasi pada Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 2006.
Kalo, Syafruddin. Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan
Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa
Kolonial yang Berlanjut pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan
Reformasi. Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
“Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan”.
Kompas 30 Januari 2007.
Pidato Menteri Agraria, Mr. Sadjarwo pada tanggal 12 September 1960 di
depan DPRGR, menyatakan lima tujuan landreform di Indonesia,
dalam makalah Reformasi Agraria Indonesia (Potret Pasang Surut
Sejarah kebangsaan Indonesia), oleh Tri Chandra Aprianto
preencechinty (Min, 02/22/2009-08:39).
Ringkasan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960 terbitan Departemen
Penerangan, 1962.
Sumardjono, Maria SW. “Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan
Implementasi”. Edisi Revisi, Kompas, Jakarta, 2001.
Terbitan Badan usaha Penerbit YKK Departemen Penerangan RI, No. 973.
Winarsi, Sri. Pengaturan Notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum. Majalah
YURIDIKA. Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Volume 17 No. 2,
Surabaya, Maret, 2002.
LAMPIRAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG
132
Download