keuangan negara, perkembangan moneter, dan

advertisement
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER, DAN
LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
BAB IV
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER
DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana telah digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), pelaksanaan pembangunan dalam Repelita III
pada prinsipnya berlandaskan kepada Trilogi Pembangunan
yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju
pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang
sehat dan dinamis. Sebagai kelanjutan daripada dua Repelita
sebelumnya, maka pelaksanaan Repelita III telah memberikan
hasil-hasil yang positip berupa peningkatan taraf hidup,
kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang berdasarkan
asas adil dan merata, yang sekaligus meletakkan landasan yang
kuat untuk melanjutkan pembangunan dalam Repelita IV.
Seperti halnya pada dua Repelita sebelumnya, maka selama
Repelita III, sampai dengan tahun 1983/84, telah diikhtiarkan
berbagai sumber pembiayaan pembangunan, yang dalam pengerahan
maupun penggunaannya diserasikan dengan tujuan dan sasaran
pembangunan yang hendak dicapai. Ikhtiar tersebut menyangkut
berbagai langkah-langkah kebijaksanaan di bidang keuangan negara, moneter serta lembaga-lembaga keuangan.
Kebijaksanaan di bidang keuangan negara meliputi berbagai
usaha yang menyangkut penerimaan dalam negeri, pengeluaran
rutin, dana pembangunan serta pengeluaran pembangunan. Sejalan dengan amanat GBHN agar pembangunan nasional lebih berlandaskan kepada kemampuan modal dan potensi dalam negeri,
maka penerimaan dalam negeri telah berhasil ditingkatkan dari
tahun ke tahun selama Repelita III. Bila pada awal Repelita
III jumlah realisasi penerimaan dalam negeri baru sebesar
Rp.6.696,8 milyar, maka 2 tahun kemudian telah meningkat menjadi hampir 2 kali lipatnya yaitu menjadi Rp. 12.212,6 milyar
dalam tahun 1981/1982. Kemudian pada akhir Repelita III, yakni tahun 1983/84, jumlahnya telah mencapai Rp 14.432,7 milyar, yang bila dibandingkan dengan jumlah penerimaan dalam
negeri pada akhir Repelita II sebesar Rp 4.266,1 milyar, berarti telah meningkat lebih dari 300 %.
191
Meskipun penerimaan dalam negeri
telah
berhasil ditingkatkan terus dengan jumlah yang cukup besar setiap tahunnya,
upaya peningkatan taraf hidup rakyat yang menyeluruh serta
kenyataan bahwa kegiatan pembangunan semakin luas dimensinya,
telah menuntut dana yang semakin besar jumlahnya.
Sementara
itu, dana yang tersedia
dari
dalam
negeri dirasakan masih
belum
cukup
untuk
mendorong
laju pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, sehingga dana yang berasal dari luar negeri yang
berbentuk bantuan luar negeri masih diperlukan setiap tahunnya
sebagai pelengkap. Di dalam realisasinya, dana bantuan luar
negeri dalam tahun 1979/80 adalah sebesar Rp 1.381,1 milyar.
Jumlah tersebut terus meningkat setiap tahunnya dan mencapai
jumlah Rp 3.8844 milyar dalam tahun 1983/84.
Sementara itu, jumlah pengeluaran rutin yang pada awal
Repelita III (1979/80) baru sebesar Rp 4.061,8 milyar maka
pada akhir Repelita III (1983/84) telah meningkat dua kali
lipat yaitu menjadi Rp 8.411,8 milyar, atau bila dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Repelita II (1978/79) sebesar
Rp 2.743,7 milyar, maka jumlah pengeluaran rutin pada akhir
Repelita III adalah lebih tiga kali lipatnya. Melalui berbagai upaya u n t u k meningkatkan penerimaan negara serta penghematan di bidang pengeluaran rutin, maka jumlah tabungan Pemerintah senantiasa telah dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun
selama periode Repelita III. Bila dalam tahun 1979/80 realisasi tabungan Pemerintah baru sebesar Rp 2.635,0 milyar, maka 2
tahun kemudian dalam tahun 1981/82 meningkat menjadi hampir 2
kali lipatnya yaitu sebesar Rp 5.235,0 milyar, dan dalam tahun
terakhir Repelita III jumlah tabungan Pemerintah telah mencapai Rp 6.020,9 milyar. Bila dibandingkan dengan tahun terakhir
Repelita II yang besarnya Rp 1.522,4 milyar, maka jumlah tabungan Pemerintah dalam tahun terakhir Repelita III tersebut
adalah hampir empat kali lipatnya. Kenaikan tabungan Pemerintah yang cukup besar selama kurun waktu tersebut mencerminkan
usaha agar pengeluaran rutin berkembang dengan laju kenaikan
lebih rendah daripada l a j u kenaikan penerimaan dalam negeri.
Namun penghematan di dalam pengeluaran rutin tersebut tidak
berarti mengabaikan ataupun mengurangi jumlah dan mutu pelayanan Pemerintah kepada masyarakat. Kebijaksanaan Pemerintah
di bidang pengeluaran rutin lebih diarahkan kepada upaya peningkatan pendayagunaan dana yang terbatas dan penekanan sekecil mungkin pengeluaran-pengeluaran yang kurang berhasil
guna.
Tabungan Pemerintah bersama-sama dengan bantuan luar negeri membentuk dana pembangunan,
yang pada tahun 1979/80 berjumlah Rp. 4.016,1 milyar dan kemudian pada akhir Repelita III
192
berjumlah Rp 9.903,3 milyar, yang berarti naik hampir 2,5
kali. Bila dibandingkan dengan dana pembangunan yang dapat
dikerahkan pada akhir Repelita II yang mencapai Rp 2.557,9
milyar, maka dana pembangunan pada akhir Repelita III tersebut meningkat hampir 4 kali lipatnya.
Dana pembangunan yang telah berhasil ditingkatkan terus
dalam jumlah yang cukup besar tersebut senantiasa digunakan
untuk membiayai pengeluaran pembangunan yang berupa berbagai
proyek dan program pembangunan back sektoral maupun regional.
Pada tahun 1978/79 jumlah pengeluaran pembangunan mencapai Rp
2.555,6 milyar sedangkan pada tahun 1983/84 jumlah ini telah
dapat ditingkatkan menjadi Rp 9.899,2 milyar, suatu kenaikan
rata-rata setahun sebesar 31,1% selama Repelita III.
Perkembangan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara secara ringkas periode 1978/79 - 1983/84, dapat dilihat dalam Tabel IV-1 dan Grafik IV-1.
Pelaksanaan kebijaksanaan moneter selama Repelita III
pada dasarnya dapat diikuti dari perkembangan jumlah uang
beredar, meskipun jumlah ini juga banyak dipengaruhi oleh
hal-hal lain seperti perkembangan ekonomi dunia yang kurang
menentu. Pada akhir tahun 1983/84, jumlah tersebut adalah
Rp.8.054,7 milyar, sehingga laju pertumbuhan rata-rata setahun
selama Repelita III dari jumlah uang beredar adalah 23,5%.
Selain ini, usaha untuk mengerahkan tabungan masyarakat
tercermin pada perkembangan dana perbankan yang pada akhir
Repelita III telah mencapai Rp. 13.337,1 milyar, dibanding
dengan jumlahnya yang baru mencapai Rp. 3.327,8 milyar pada
akhir Repelita II.
Perubahan kebijaksanaan yang prinsipil dilaksanakan pada
tahun 1983/84, dengan dihapuskannya sistem pagu kredit, lebih
dibatasinya pemberian kredit likuiditas serta diberikannya
ruang gerak yang lebih besar kepada bank-bank pemerintah
dalam menetapkan tingkat suku bunga. Sejalan dengan langkahlangkah tersebut juga telah diperluas peralatan kebijaksanaan
moneter dengan diterbitkannya Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dan disediakannya fasilitas diskonto. Semua ini dilaksanakan
sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna kegiatan pengerahan
dan penyaluran sumber-sumber pembiayaan pembangunan untuk menunjang tercapainya sasaran Trilogi Pembangunan, dengan senantiasa memperhatikan perkembangan ekonomi dunia.
Untuk tetap mempertahankan daya beli masyarakat, maka
193
TABEL IV - 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
*) Termasuk pinjaman dalam rangka kredit ekspor
194
GRAFIK IV - 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA,
1978/79 – 1983/84
195
terus diusahakan tercapainya kestabilan perkembangan harga
kebutuhan masyarakat luas. Jika laju kenaikan harga pada tahun pertama Repelita III adalah 19,13% maka pada tahun 1981/82
dan 1982/83, laju inflasi ini telah dapat ditekan sampai dibawah 10%, meskipun pada tahun 1983/84 sedikit diatasnya. Kenaikan pada tahun terakhir Repelita III ini, antara lain disebabkan oleh usaha untuk tetap memperbaiki tingkat pendapatan
petani produsen bahan makanan.
Pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan terus-menerus diarahkan pada terciptanya sistem keuangan yang sehat. Penggabungan
(merger) bank-bank swasta nasional telah didorong untuk menyehatkan lembaga-lembaga keuangan tersebut. Dalam rangka ini,
jumlah bank telah menurun dari 127 pada akhir 1979 menjadi
117 pada akhir Maret 1984, sebagai hasil dari terlaksananya
penggabungan 19 bank swasta nasional menjadi 9 bank.
B. KEUANGAN NEGARA
1. Penerimaan Dalam Negeri
Terlaksananya pembangunan yang terus meningkat dan terarah pada kegiatan yang tidak hanya menjamin tercapainya pemerataan, pertumbuhan dan kestabilan nasional, sesuai dengan
penggarisan GBHN, dalam banyak hal tergantung pada tersedianya penerimaan dalam negeri. Pentingnya peranan penerimaan
dalam negeri telah terbukti dari pengaruh positif dari kebijaksanaan keuangan negara melalui APBN sebagai rencana operasional tahunan dari pelaksanaan Repelita III yang tetap didasarkan pada prinsip anggaran berimbang. Perkembangan daripada penerimaan dalam negeri, melalui berbagai kebijaksanaan
yang telah dirumuskan selama pelaksanaan Repelita III, juga
berpengaruh terhadap usaha untuk mengarahkan kegiatan dunia
usaha dan pola konsumsi masyarakat, sesuai dengan Trilogi
Pembangunan.
Selama lima tahun pelaksanaan Repelita III telah diusahakan terciptanya iklim fiskal yang dapat mendorong penanaman
modal dan meningkatkan investasi masyarakat pada umumnya.
Berbagai fasilitas fiskal telah diberikan antara lain dalam
bidang pajak perseroan, pajak penjualan impor, serta bea masuk. Penyesuaian berbagai macam tarip juga dilaksanakan seperti penyesuaian tarip pajak pendapatan dan batas pendapatan
bebas pajak (BPBP), penyesuaian tarip MPO, cukai tembakau, dan
bir serta pajak ekspor dan pajak penjualan impor yang dimaksudkan untuk mendorong perkembangan dunia usaha dan industri
196
serta mendorong pertumbuhan ekspor di luar minyak. Sedangkan
untuk lebih meningkatkan penerimaan dari sumber-sumber di dalam negeri terutama dalam bidang perpajakan, maka dalam tahun
1983/84 i n i telah diberlakukan undang-undang perpajakan baru
untuk memberikan landasan lebih kuat bagi kegiatan pembangunan selanjutnya.
Atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut di atas,
penerimaan dalam negeri rata-rata menunjukkan peningkatan
yang cukup besar setiap tahunnya, kecuali pada tahun 1982/83
yang memperlihatkan peningkatan yang menurun akibat resesi
yang berkepanjangan. Kecenderungan menurunnya penerimaan dalam negeri untuk tahun 1982/83 tersebut disebabkan oleh menurunnya kegiatan dunia usaha pada umumnya serta menurunnya
harga maupun volume permintaan minyak mentah dunia. Jika
pada tahun 1979/80 penerimaan dalam negeri baru berjumlah
Rp. 6.696,8 milyar maka dalam tahun 1983/84 jumlah tersebut
telah mencapai Rp. 14.432,7 milyar. Bila realisasi penerimaan
dalam negeri tahun 1983/84 sebesar Rp. 14.432,7 milyar tersebut dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Repelita II
(1978/79), sebesar Rp. 4.266,1 milyar, maka selama Repelita
III terdapat peningkatan rata-rata setiap tahunnya sebesar
27,6%.
Dalam pada itu penerimaan dalam negeri di luar minyak menunjukkan peningkatan yang cukup besar. Kalau pada tahun
1979/80 penerimaan dalam negeri di luar minyak berjumlah
Rp. 2.437,2 milyar sedangkan pada
tahun 1980/81
mencapai
Rp. 3.207,4 milyar, maka pada tahun 1983/84 penerimaan tersebut telah mencapai Rp. 4.912,5 milyar. Bila realisasi penerimaan dalam negeri di luar minyak tahun 1983/84 tersebut dibandingkan dengan jumlah pada akhir Repelita II yang besarnya
Rp. 1.957,4 milyar, maka jumlah penerimaan dalam negeri di
luar minyak selama Repelita III meningkat dengan rata-rata
20,2% setiap tahunnya. Perkembangan penerimaan dalam negeri
yang terdiri dari penerimaan pajak langsung, pajak tidak
langsung dan penerimaan bukan pajak sejak tahun 1978/79 sampai dengan tahun 1983/84 dapat dilihat pada Tabel IV - 2 dan
Grafik IV-2.
Dalam lima tahun pelaksanaan Repelita III penerimaan
pajak langsung secara rata-rata menunjukkan suatu peningkatan
yang cukup berarti meskipun dalam tahun 1982/83 penerimaan
pajak langsung tersebut menunjukkan suatu penurunan sebesar
0,9%, Pada tahun 1979/80 penerimaan pajak langsung baru mencapai Rp. 5.129,3
milyar, kemudian meningkat menjadi
Rp.8.230,3 milyar pada tahun 1980/81, suatu peningkatan sebesar Rp. 3.101,0 milyar atau 60,5 %. Pada tahun 1981/82 penerimaan pajak langsung mencapai Rp. 10.100,3 milyar, suatu
197
TABEL IV - 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
198
GRAFIK IV - 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI,
1978/79 - 1983/84
199
peningkatan sebesar Rp. 1.870,0 milyar atau 22,7% terhadap
tahun sebelumnya. Selanjutnya penerimaan pajak langsung tersebut dalam tahun 1982/83 menjadi Rp. 10.009,9 milyar atau
terdapat penurunan sebesar 0,9%, dan dalam tahun 1983/84 penerimaan pajak langsung mencapai Rp.11.605,1 milyar, suatu
peningkatan sebesar 15,9 % masing-masing terhadap tahun sebelumnya. Bila realisasi penerimaan pajak langsung dalam tahun
1983/84 tersebut dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Repelita II sebesar Rp. 2.996,3 milyar, maka jumlah penerimaan
pajak langsung selama Repelita III telah meningkat dengan
rata-rata 31,1% setiap tahunnya. Perkembangan pajak langsung
yang terdiri dari pajak pendapatan, pajak perseroan, pajak
perseroan minyak, MPO, Ipeda dan lain-lain pajak langsung selama lima tahun pelaksanaan Repelita III dapat diikuti melalui Tabel IV - 3 dan Grafik IV - 3.
Dalam pelaksanaan kebijaksanaan pajak langsung selama
lima tahun Repelita III, penerimaan pajak pendapatan dalam
periode tersebut senantiasa telah dapat ditingkatkan. Hal
tersebut secara umum menunjukkan adanya lapangan kerja yang
semakin meluas di samping juga semakin intensif dan teraturnya administrasi pemungutan pajak, serta adanya kesadaran
yang semakin besar daripada wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya.
Dalam pada itu usaha-usaha pemungutan pajak pendapatan
tersebut bukan saja ditujukan untuk meningkatkan penerimaannya semata, melainkan juga bertujuan untuk membantu meratakan
pendapatan serta beban pembangunan yang harus dipikul oleh
masyarakat luas. Dalam hubungan ini batas pendapatan bebas
pajak (BPBP) untuk satu keluarga yang terdiri dari suami isteri dan tiga orang anak yang pada tahun 1979 ditetapkan sebesar Rp.582.000 telah dinaikkan menjadi Rp. 842.000 pada tahun 1980, dan selanjutnya sejak awal 1982 dinaikkan lagi menjadi Rp. 1.050.000 yang berlaku sampai dengan 31 Desember
1983, sedangkan pada triwulan terakhir tahun anggaran 1983/84
sesuai dengan perundang-undangan yang baru, batas pendapatan
bebas pajak yang menurut istilah barunya menjadi pendapatan
tidak kena pajak (PTKP) telah dinaikkan menjadi Rp.
2.880.000,-. Sementara itu dalam rangka intensifikasi dan
ekstensifikasi pajak pendapatan maka sejak 15 Nopember 1982
telah diberlakukan peraturan mengenai penetapan jumlah pembayaran di muka bagi pajak pendapatan untuk memperoleh surat
keterangan fiskal luar negeri, yaitu sebesar Rp.150.000 sedangkan sebelumnya sebesar Rp.25.000,-. Pembayaran di muka
pajak pendapatan tersebut berlaku untuk setiap orang dalam
setiap kali melakukan perjalanan ke luar negeri.
200
TABEL IV - 3
PENERIMAAN PAJAK LANGSUNG,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar r u p i a h )
201
GRAFIK IV - 3
PENERIMAAN PAJAK LANGSUNG,
1978/79 - 1983/84
202
Sementara itu tarip pajak pendapatan yang dikenakan atas
lapisan pendapatan sisa kena pajak (PSKP) terus disempurnakan
mengikuti perkembangan BPBP. Sejak tahun 1980 tarip terendah
pajak pendapatan telah diturunkan dari 10 % menjadi 5 % yang
dikenakan pada tingkat pendapatan sampai dengan Rp.240.000,sedangkan tarip tertinggi adalah 50 % yang dikenakan atas
pendapatan sisa kena pajak di atas Rp. 18.000.000,- yang berlaku sampai akhir
tahun 1983.
Sejak Januari 1984 lapisan
tarip tersebut adalah 15%, 25% dan 35%.
Penerimaan pajak pendapatan selama Repelita III senantiasa menunjukkan peningkatan. Bila pada tahun 1979/80 penerimaan pajak pendapatan adalah sebesar Rp. 148,1 milyar maka pada
tahun 1980/81 telah meningkat menjadi Rp. 164,2 milyar atau
peningkatan sebesar 10,9 %. Pada tahun 1982/83 meningkat lagi
menjadi Rp. 288,8 milyar atau merupakan peningkatan sebesar
39,4 % dan pada tahun 1983/84 penerimaan pajak pendapatan
tersebut menjadi Rp. 398,9 milyar
atau peningkatan sebesar
38,1% dari tahun sebelumnya.
Sejalan dengan meningkatnya penerimaan pajak pendapatan,
realisasi pajak perseroan juga menunjukkan rata-rata kenaikan
yang cukup menggembirakan selama lima tahun pelaksanaan Repelita III. Pada tahun 1979/80 penerimaan pajak
perseroan berjumlah Rp. 297,1 milyar kemudian berturut-turut
menjadi
Rp. 559,1 milyar dan Rp. 757,4 milyar masing-masing untuk tahun 1981/82 dan 1983/84 atau masing-masing meningkat sebesar
24,9 dan 12,3 % dari tahun sebelumnya. Kebijaksanaan di bidang pajak perseroan diarahkan untuk mendorong para pengusaha
agar lebih bersifat terbuka. Sejak tahun 1979 bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan jasa akuntan publik telah diberikan keringanan perpajakan. Demikian pula untuk tahun buku
1980 dan 1981 bagi pengungkapan fakta baru dan benar serta
penggunaan jasa akuntan publik akan dijadikan dasar bagi penerbitan ketetapan tagihan kemudian dan tagihan tambahan dengan keringanan masing-masing 90% dan 50% dari jumlah pokok
pajak yang masih terhutang.
Dalam pada itu di bidang pentaripan
untuk lapisan laba
kena pajak (LKP) sampai dengan Rp. 25 juta ditetapkan tarip
sebesar 20%, sedang untuk LKP berikutnya sampai jumlah Rp. 50
juta dikenakan tarip sebesar 30 % dan
selebihnya dikenakan
pajak perseroan sebesar 45%. Tarip i n i
berlaku sampai dengan
tanggal 31 Desember 1983. Sejak tanggal 1 Januari 1984 sesuai
dengan undang-undang pajak penghasilan yang baru taripnya di
sederhanakan menjadi 3 (tiga) lapisan yakni 15%, 25% dan 35%.
203
Di samping itu dalam penilaian persediaan barang dan perhitungan harga pokok penjualan sebagai dasar
pengenaan
pajak
perseroan telah
diberi
kesempatan
pada
perusahaan-perusahaan
untuk menggunakan sistem “Last in first out” (LIFO).
Penerimaan pajak perseroan minyak masih merupakan bagian
terbesar dari penerimaan negara. Dalam tahun 1979 perkembangan harga minyak dunia menunjukkan peningkatan dan perkembang an yang pesat dimana dalam tahun tersebut terjadi 7 kali pe nyesuaian harga. Pada tahun 1980 juga terdapat 3 kali penyesuaian harga sampai pada puncaknya tahun 1981 dimana mulai
bulan Januari harga pokok minyak ekspor Indonesia ditetapkan
sebesar US$ 35,00 untuk setiap barrelnya. Akan tetapi resesi
yang melanda dunia pada umumnya dan negara-negara industri
khususnya mengakibatkan merosotnya permintaan minyak dan
lebih lanjut menumpuknya produksi minyak dunia. Akibatnya
harga tidak dapat bertahan dan pada tanggal 11 Nopember 1982
Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan penurunan harga dife rensial minyak mentah untuk Indonesia (MINAS) dari US$ 35,00
per barrel menjadi US$ 34,53 per barrel. Selanjutnya sesuai
dengan keputusan negara-negara pengekspor minyak (OPEC) di
London tanggal 14 Maret 1983, harga patokan minyak d u n i a d i turunkan lagi dengan US$ 5 per barrel dari US$ 34 menjadi US$
29 per barrel. Dengan demikian harga diferensial minyak mentah yang diekspor Indonesia (MINAS) menjadi US$ 29,53 per
barrel dan berlaku surut sejak tanggal 23 Pebruari 1983.
Dalam pelaksanaan Repelita III realisasi penerimaan pajak
perseroan minyak dalam tahun 1979/1980 adalah Rp. 4.259,6
milyar kemudian meningkat menjadi Rp. 7.019,6 milyar
dan
Rp. 8.627,8 milyar untuk tahun 1980/81 dan tahun 1981/82 atau
masing-masing naik 64,8 % dan 22,9 % dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 penerimaan pajak perseroan minyak adalah sebesar Rp. 8.170,4 milyar dan
Rp. 9.520,2 milyar atau suatu penurunan sebesar 5,3 % dan kenaikan sebesar 16,5 % dari tahun sebelumnya.
Sementara itu penerimaan pajak melalui sistem MPO yang
pada dasarnya merupakan suatu pungutan di muka dari pajak
pendapatan dan pajak perseroan selama periode tahun 1979/80
sampai dengan 1983/84 juga mengalami peningkatan. Kalau pada
tahun 1979/80 penerimaannya baru mencapai Rp. 291,3 milyar
maka untuk tahun 1980/81 naik menjadi Rp. 433,5 milyar yang
berarti suatu kenaikan sebesar 48,8%. Dalam tahun 1983/84
realisasi penerimaan MPO adalah Rp. 628,1 milyar, yang lebih
kecil dari realisasi tahun sebelumnya. Menurunnya penerimaan
MPO pada tahun anggaran 1983/84 ini berkaitan erat dengan di -
204
hapuskannya beberapa jenis pungutan MPO sejak Januari 1984,
sesuai dengan undang-undang perpajakan yang baru.
Selama lima tahun pelaksanaan Repelita III telah banyak
kebijaksanaan yang dikeluarkan dalam bidang MPO, khususnya
yang menyangkut masalah pentaripan untuk kayu log (gelondongan). Pada bulan Januari 1980, tarip ekspornya ditetapkan sebesar Rp. 40 per US$ 1, sedangkan sebelumnya sebesar Rp.25,-.
Demikian pula pada bulan Januari 1980 tarip umum perdagangan
ekspor ditetapkan sebesar Rp. 15,- untuk tiap US$ 1 yang
sebelumnya adalah sebesar Rp. 10,-. Lebih lanjut dalam bulan
Juni 1983 telah dilakukan perubahan kebijaksanaan tarip MPO
impor. Dalam kebijaksanaan tersebut ditetapkan
bahwa tarip
MPO bagi para importir yang memegang angka pengenal importir
{API), angka pengenal importir sementara (APIS) atau angka
pengenal importir terbatas (APIT), dinaikkan dari Rp. 50,menjadi Rp. 70,- per US$ 1. Di samping itu bagi para pengusaha/pedagang yang tidak memiliki API, APIS atau APIT dikenakan
tarip sebesar Rp. 200,- per US$ 1, yang terdiri dari MPO waba
dan MPO wapu masing-masing Rp. 100,- per US$ 1. Untuk tahun
sebelumnya MPO waba dan MPO wapu tersebut dikenakan tarip
masing-masing sebesar Rp. 120,- dan Rp. 80,- per US$ 1. Dalam
bidang MPO juga terdapat perubahan yang cukup besar sejak diberlakukannya undang-undang pajak yang baru. Dalam undang-undang pajak penghasilan yang baru terdapat ketentuan bahwa selain MPO yang dipungut dari kegiatan yang memperoleh pembayaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta kegiatan di bidang usaha impor sejak Januari 1984 jenis MPO lainnya telah dihapuskan, seperti antara lain MPO wapu impor,
MPO wapu umum, MPO sektor industri serta MPO ekspor.
Realisasi iuran pembangunan daerah (Ipeda), menunjukkan
penerimaan yang selalu meningkat. Kalau pada tahun pertama
Repelita III yaitu pada tahun 1979/80 penerimaannya baru mencapai Rp. 71,4 milyar maka selanjutnya menjadi sebesar Rp.
87,2 milyar pada tahun 1980/81 atau suatu kenaikan sebesar
22,1%. Selanjutnya dalam tiga tahun terakhir pelaksanaan Repelita III penerimaan itu menjadi Rp. 94,5 milyar, Rp. 105,2
milyar dan
Rp. 132,4 milyar yang berarti masing-masing meningkat sebesar 8,4 %, 11,3 % dan 25,9 %.
Kebijaksanaan perluasan pemungutan Ipeda tetap diarahkan pada tujuan pembebanan yang adil dan merata, sedangkan
dalam pengelolaannya terus menerus
diadakan penyempurnaan
baik di bidang administrasi maupun tata laksana pembukuannya.
Untuk mendukung peningkatan penerimaan Ipeda yang dikaitkan
dengan pembangunan daerah, maka dalam pelaksanaan pemungut-
205
annya telah diambil kebijaksanaan untuk menyederhanakan klasifikasi tanah dan sistem pentaripannya, sehingga memudahkan
pemungutannya serta menghasilkan pembebanan yang
lebih adil
dan merata. Untuk Ipeda sektor pedesaan selain diterapkan cara pemungutan yang lebih praktis dan seragam, juga diadakan
pembedaan tarip antara tanah sawah dan tanah darat yang kondisinya sama tetapi berbeda dalam luas yang dimiliki atau dikuasai wajib pajak. Khusus untuk Ipeda sektor perkotaan telah
diadakan penyesuaian tarip yang mulai berlaku dalam tahun
takwim 1983. Penyesuaian tarip tersebut dilaksanakan sesuai
dengan perkembangan nilai sewa/nilai jual tanah dan bangunan.
Selanjutnya
realisasi lain-lain pajak langsung yang terdiri dari pajak kekayaan, pajak atas bunga, dividen dan royalty (PBDR) serta penerimaan lain-lain pajak langsung terus
menunjukkan peningkatan dalam lima tahun pelaksanaan Repelita
III. Jika dalam tahun 1979/80 penerimaan lain-lain pajak
langsung adalah Rp. 61,8 milyar maka dalam tahun 1980/81 mencapai Rp. 78,2 milyar atau suatu peningkatan sebesar 26,5 %,
kemudian dalam tahun 1981/82 meningkat lagi menjadi Rp. 98,7
milyar, suatu peningkatan sebesar 26,2 %. Dalam tahun 1983/
84 penerimaan lain-lain pajak langsung adalah
Rp. 168,1
milyar dengan demikian dibanding dengan tahun sebelumnya terdapat peningkatan sebesar 30,2 %.
Dalam pada itu selama lima tahun pelaksanaan Repelita
III, telah pula dikeluarkan kebijaksanaan yang menyangkut
penerimaan lain-lain pajak langsung. Dalam rangka menunjang
kegairahan masyarakat untuk memperbesar tabungan masyarakat
dan investasi yang produktif, telah diberikan berbagai kelonggaran fiskal antara lain sejak tahun 1971 tidak dipungut
PBDR maupun pajak kekayaan atas simpanan deposito, Tabanas
dan Taska. Untuk lebih meningkatkan peranan dan partisipasi
modal nasional dalam usaha patungan, maka sejak tahun 1980
kepada para pengusaha nasional Indonesia yang memperbesar penyertaannya, diberikan pajak atas perolehan dividen. Di samping itu untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan maka pada bulan Januari 1981 telah dikeluarkan ketentuan tentang keringanan perpajakan atas pembelian obligasi
oleh masyarakat melalui pasar modal. Dalam pada itu melalui
kebijaksanaan pemungutan pajak kekayaan sebagai pelengkap dari pajak pendapatan telah dikeluarkan kebijaksanaan tarip baru. Tarip pajak kekayaan yang semula lima permil telah dinaikkan menjadi satu persen yang mulai berlaku untuk perhitungan pajak kekayaan tahun 1983.
Dalam rangka menunjang pembiayaan pembangunan yang sema-
206
kin meningkat, maka bersamaan dengan usaha peningkatan penerimaan pajak langsung, juga senantiasa diusahakan agar sumber-sumber penerimaan negara dari pajak tidak langsung dapat
ditingkatkan. Namun demikian, kebijaksanaan tersebut tidak
hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, melainkan juga ditujukan untuk lebih dapat menciptakan iklim dan
gairah usaha yang dapat mendorong peningkatan penggunaan
sumber-sumber produksi dan industri dalam negeri, melancarkan
perdagangan dalam negeri, mendorong diversifikasi ekspor non
migas, serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam hubungan ini, berbagai kebijaksanaan telah dilaksanakan, antara
lain berupa peninjauan kembali penggolongan barang-barang dan
jasa hasil dalam negeri, penyesuaian tarip, peningkatan intensifikasi dan verifikasi pemungutan pajak, serta penertiban
dan penyempurnaan di dalam pemungutannya, di mana semua kebijaksanaan tersebut senantiasa diarahkan untuk menciptakan
iklim yang mendorong perkembangan produksi di dalam negeri,
memperluas kesempatan kerja, menekan pola konsumsi mewah serta lebih memantapkan stabilitas harga.
Dengan berbagai kebijaksanaan yang telah dilaksanakan
tersebut maka realisasi penerimaan pajak tidak langsung selalu meningkat dari tahun ke tahun. Bila dalam tahun 1979/80
realisasi penerimaan pajak tidak langsung baru mencapai Rp.
1.380,2 milyar, maka penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 1681,0 milyar Rp. 1.775,9 milyar dan Rp.1.972,8 milyar masing-masing untuk tahun 1980/81, 1981/82 dan 1982/83.
Dalam tahun 1983/84 penerimaan pajak tidak langsung meningkat
lagi menjadi sebesar Rp. 2.308,6 milyar atau naik 17,0 % dari
tahun sebelumnya. Bila realisasi penerimaan pajak tidak langsung yang dalam tahun 1983/84 besarnya Rp. 2.308,6 milyar dibandingkan dengan realisasi tahun 1978/79 yang besarnya Rp.
1.078,4 milyar maka terdapat peningkatan rata-rata sebesar
16,4% setiap tahunnya. Perkembangan realisasi pajak tidak
langsung yang terdiri dari pajak penjualan, pajak penjualan
impor, cukai, bea masuk, pajak ekspor dan lain-lain pajak tidak langsung, secara terperinci dapat dilihat pada Tabel IV 4 dan Grafik IV - 4.
Di dalam perkembangannya realisasi penerimaan pajak penjualan selalu meningkat setiap tahunnya. Bila dalam tahun
1979/80 realisasinya sebesar Rp.22,1 milyar, maka dalam tahun
1982/83 meningkat menjadi Rp.476,6 milyar. Dalam tahun
1983/84 realisasinya meningkat lagi menjadi Rp 575,2 milyar
atau naik sebesar 20,7 % dari tahun sebelumnya. Bila realisasi penerimaan pajak penjualan tahun terakhir Repelita III
tersebut dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak pen-
207
TABEL IV - 4
PENERIMAAN PAJAK TIDAK LANGSUNG,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
* ) Termasuk Pajak Ekspor Tambahan (PET) yang dikenakan
terhadap komoditi ekspor yang mengalami kenaikan harga
dengan cukup tinggi di pasaran internasional
208
GRAFIK IV - 4
PENERIMAAN PAJAK TIDAK LANGSUNG
1978/79 - 1983/84
209
jualan tahun terakhir Repelita II yaitu tahun 1 9 7 8 / 7 9 , maka
dalam tahun 1983/84 terjadi peningkatan penerimaan pajak penjualan sebesar 1 6 0 , 2 % .
Peningkatan penerimaan pajak penjualan tersebut terutama dipengaruhi oleh peningkatan serta kelancaran perdagangan dalam negeri, peningkatan intensifikasi
pemungutan melalui verifikasi yang lebih ketat atas penyerahan barang-barang dan jasa-jasa, penyesuaian tarip pajak penjualan pada tingkat yang lebih wajar serta penertiban dan
penyempurnaan di dalam administrasi pemungutannya.
Kebijaksanaan di bidang pajak penjualan yang dijalankan
selama ini terus dilanjutkan yaitu di samping untuk meningkatkan penerimaan negara juga diarahkan agar pembebanan pajak
penjualan lebih sesuai dengan kemampuan dan tingkat pendapatan golongan pemakai barang dan jasa lagipula agar kemampuan
pengusaha golongan ekonomi lemah tetap diperkuat. Sehubungan
dengan hal tersebut sejak bulan April 1979 telah diadakan
penyesuaian tarip dan sistem pengenaannya terhadap lebih dari
seribu macam jenis barang. Bagi jenis barang-barang tertentu
yang
semula
dikenakan pajak penjualan dengan tarip 5 % diturunkan menjadi 2 , 5 % , 1 %, dan 0 %, begitu pula yang semula
dikenakan
pajak
penjualan
dengan tarip 10 % diturunkan menjadi 5% dan sebagainya. Selain dimaksudkan untuk memberi
keringanan beban baik bagi para konsumen maupun pengusaha,
kebijaksanaan ini juga
diharapkan dapat mengurangi beban kumulatif dalam pemungutan pajak penjualan.
Di samping itu sejak 25 Oktober 1 9 8 2 , telah dinaikkan tarip pajak penjualan atas penyerahan beberapa jenis kendaraan
bermotor. Untuk kendaraan bermotor yang memakai bahan bakar
solar (diesel), kendaraan bermotor
jenis
sedan/station wagon
dan kendaraan serba guna (jeep), dikenakan pajak penjualan
sebesar 4 0 % , sedangkan untuk jenis kendaraan niaga seperti
pick-up, delivery van, combs dan truck kecil dikenakan tarip
pajak penjualan sebesar 20 %. Kebijaksanaan ini diambil agar
pemberian
subsidi
atas
solar benar-benar sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu bahwa penggunaan bahan bakar tersebut memenuhi sasaran untuk kepentingan umum dan kepentingan
produktif lainnya.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, maka penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor terus diusahakan peningkatannya. Kebijaksanaan di bidang bea masuk dan pajak
penjualan impor ini diarahkan untuk mendorong dan melindungi
perkembangan industri dan sektor-sektor tertentu di dalam negeri yang mendapat prioritas untuk dibangun. Berdasarkan hal
tersebut maka tarip bea masuk dan pajak penjualan impor untuk
210
barang-barang mewah serta barang yang sudah dapat dan cukup
diproduksi di dalam negeri dikenakan tarip yang lebih tinggi,
sedangkan terhadap impor bahan baku dan barang modal dikenakan tarip yang lebih rendah. Sedangkan dalam rangka menunjang
kestabilan harga serta menjamin
pengadaan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat,
telah
diberlakukan tarip bea masuk
dan pajak penjualan impor yang sangat ringan.
Dalam hubungan ini pada bulan April 1980 telah diberikan
keringanan berupa pembebasan sebagian bea masuk dan pajak
penjualan impor atas pemasukan bahan baku, sub komponen setengah jadi dan sub komponen jadi untuk pembuatan komponen kendaraan bermotor, dan perakitan busi di dalam negeri. Dalam rangka
menunjang
Peraturan Pemerintah No. 1 tanggal 16 Januari 1982 maka pada bulan Januari 1982 telah dikeluarkan ketentuan tentang penyempurnaan ketatalaksanaan pabean di bidang
impor, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kelancaran arus
dokumen dan barang. Sejak bulan Pebruari 1982 telah berlaku
ketentuan tentang nilai dasar perhitungan bea masuk yaitu penyesuaian nilai dasar perhitungan bea masuk dengan berpedoman
atas dasar rata-rata kurs yang terjadi
pada
bursa
valuta
asing dalam jangka waktu satu bulan atau satu triwulan.
Di dalam realisasinya penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor selama pelaksanaan Repelita III selalu menunjukkan peningkatan, kecuali penerimaan bea masuk untuk tahun
1982/83 sedikit menurun dari tahun sebelumnya. Penurunan penerimaan bea masuk ini disebabkan karena diberlakukannya kebijaksanaan keringanan tarip serta pembebasan sebagian bea
masuk dan pajak penjualan impor atas bahan baku dan sejumlah
barang-barang tertentu. Hal ini antara lain untuk menciptakan
iklim yang dapat membina dan mendorong perkembangan industri
dalam negeri dan sektor-sektor produksi tertentu dalam perekonomian. Apabila realisasi penerimaan bea masuk dan pajak
penjualan impor dalam tahun 1979/80 baru mencapai Rp 316,7
milyar dan Rp 137,2 milyar, maka penerimaan tersebut telah
meningkat menjadi Rp 521,9 milyar dan Rp 231,0 milyar dalam
tahun 1982/83. Penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor
tersebut meningkat lagi masing-masing mencapai Rp 557,0 milyar dan Rp 255,4 milyar dalam tahun 1983/84. Apabila realisasi penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor dalam tahun
1983/84 dibandingkan dengan penerimaan tahun terakhir Repelita II (1978/79), maka pada tahun terakhir Repelita III penerimaan bea masuk meningkat dengan 88,6 % dan penerimaan pajak
penjualan impor meningkat dengan 103,5 %.
Sementara itu perkembangan realisasi penerimaan cukai juga
211
cukup menggembirakan. Bila dalam tahun 1979/80 realisasinya
baru mencapai Rp 326,4 milyar, maka dalam tahun 1982/83
penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp 620,1 milyar.
Selanjutnya dalam tahun 1983/84, realisasi penerimaan cukai
meningkat lagi menjadi Rp 773,2 milyar atau naik sebesar 24,7
% dari tahun sebelumnya. Sedangkan bila penerimaan cukai dalam tahun 1983/84
tersebut dibandingkan dengan penerimaan cukai tahun 1978/79, yang besarnya Rp 252,9 milyar, maka selama
kurun waktu lima tahun penerimaan ini meningkat dengan 305 %.
Penerimaan cukai ini terdiri dari penerimaan cukai tembakau, cukai gula, cukai bir dan cukai alkohol sulingan. Di dalam perkembangannya penerimaan cukai ini dipengaruhi oleh
perkembangan produksi, penyesuaian harga untuk pengenaan cukai gula, bir, alkohol sulingan dan pita cukai tembakau, peningkatan daya beli masyarakat, serta intensifikasi pemungutannya. Dalam kenyataannya penerimaan cukai tembakau merupakan bagian terbesar dari seluruh penerimaan cukai ini.
Di bidang cukai tembakau, telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan yang bertujuan mendorong dan menunjang peningkatan
penerimaan jenis ini, antara lain mengenai pelunasan hutang
cukai, serta kebijaksanaan lain yang berupa peningkatan pegawasan dan penertiban baik fisik maupun Administratip. Meskipun
jenis penerimaan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
negara, namun kebijaksanaan di bidang cukai tembakau
juga
diarahkan untuk membantu perkembangan industri rokok dan hasil
tembakau dalam negeri, terutama bagi produsen yang tergolong lemah
dan banyak menyerap tenaga kerja. Dalam hubungan
ini sejak
tanggal 1 Nopember 1983 terhadap perusahaan sigaret kretek
tangan
(SKT) yang produksinya lebih dari 4 milyar batang
setahun dikenakan tarip 25 % dari harga pita cukai, yang
produksinya antara 750 juta batang sampai dengan 4 milyar batang setahun dikenakan tarif 22,5 % dari harga pita cukai,
sedang untuk produksi antara 100 juta sampai dengan 750 juta
batang setahun dikenakan tarip 20 % dan bagi yang produksinya
100 juta batang atau kurang setahun dikenakan tarip 15 % dari harga pita cukai. Sebelumnya terhadap SKT yang produksinya
lebih dari 750 juta batang setahun dikenakan tarip cukai 25
%, yang produksinya antara 100 juta dan 750 juta dan 750 juta
batang setahun dikenakan tarip cukai 20 % dan bagi perusahaan
yang produksinya 100 juta batang setahun atau
kurang dikenakan tarip cukai 15 % dari harga pita cukai. Di samping kebijaksanaan di bidang cukai tembakau, juga telah dilakukan penyesuaian harga dasar dalam pemungutan cukai bir, yakni sejak
1 Oktober 1983 telah disesuaikan kembali harga dasar untuk
memungut cukai bir dari Rp. 400,- per liter menjadi Rp. 500,-
212
per liter. Dalam pada itu harga
dasar cukai gula juga disesuaikan, yaitu untuk jenis SHS-I, SHS-II, HS-I dan HS-II yang
semula masing-masing sebesar Rp. 22.553,7
per
kuintal,
Rp. 22.403,7
per
kuintal, Rp. 22.253,7 per kuintal dan
Rp. 22.103,7 per kuintal, sejak bulan April 1981 disesuaikan
menjadi masing-masing Rp. 35.000,- per kuintal, Rp. 34.850,per kuintal, Rp. 34.700,- per kuintal dan Rp. 34.550,- per
kuintal.
Penerimaan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari kegiatan ekspor dan tidak terlepas dari
perkembangan
ekspor
serta kebijaksanaan di bidang ekspor, oleh karena itu kebijaksanaan di bidang ekspor bukan hanya
sekedar untuk meningkatkan penerimaan negara tetapi juga memperhatikan segi peningkatan ekspor dan peranan kesempatan kerja di sektor produksi barang ekspor. Dalam Repelita III realisasi penerimaan
pajak ekspor umumnya mengalami penurunan yaitu dari Rp. 389,1
milyar dalam tahun 1979/80 turun menjadi
Rp. 305,0 milyar,
Rp. 128,5 milyar dan Rp. 82,5 milyar,
masing-masing
untuk
tahun 1980/81, 1981/82 dan 1982/83.
Menurunnya
penerimaan
pajak ekspor dalam periode tersebut disebabkan oleh pengaruh
resesi ekonomi yang melanda dunia selama beberapa tahun belakang ini yang turut mempengaruhi perkembangan ekspor Indonesia khususnya terhadap ekspor komoditi non migas. Sebaliknya
dalam tahun 1983/84 realisasi penerimaan pajak ekspor sedikit
meningkat
dibandingkan
dengan
realisasi
tahun sebelumnya
yaitu dari Rp. 82,5 milyar menjadi Rp. 104,0 milyar, atau meningkat sebesar 26,1 %, antara lain disebabkan
oleh
meningkatnya volume maupun nilai ekspor bukan minyak.
Dalam beberapa waktu ini, telah ditingkatkan usaha untuk
menanggulangi berbagai hambatan, agar ekspor Indonesia memperoleh rangsangan yang cukup bagi peningkatan daya saingnya.
Untuk itu telah diambil kebijaksanaan berupa pemberian fasil i t a s yang diharapkan dapat merangsang dunia usaha untuk mengembangkan ekspor. Kebijaksanaan tersebut antara lain berupa
penyediaan fasilitas kredit dan pemberian kemudahan prosedur
ekspor untuk kelancaran ekspor. Dalam hubungan ini untuk mendorong ekspor maka pada tahun 1982 telah dilakukan perubahan
kebijaksanaan tentang pelaksanaan ekspor, impor dan lalu lintas devisa. Oleh karenanya telah dikeluarkan berbagai keputusan yang merupakan peraturan pelaksanaannya.
Lain
dari pada
itu juga telah dijalankan kebijaksanaan penyesuaian : tarip pajak ekspor, yaitu untuk minyak kelapa sawit (crude palm oil),
crude stearin dan refined bleached deodorized stearin masingmasing dikenakan pajak ekspor sebesar 5 % dan untuk biji nikel
213
serta bauksit telah diturunkan tarip pajak ekspornya masingmasing dari 10 % menjadi 0 %.
Sementara itu penerimaan lain-lain pajak tidak langsung
senantiasa meningkat setiap tahunnya. Bila dalam tahun 1979/80 realisasi penerimaan lain-lain pajak tidak langsung baru
mencapai sebesar Rp 18,6 milyar., kemudian dalam tahun 1982/83
telah meningkat menjadi Rp 40,7 milyar. Dalam tahun 1983/84
penerimaan lain-lain pajak tidak langsung ini meningkat lagi
menjadi sebesar Rp 43,8 milyar atau naik 7,6 % .dari tahun sebelumnya.
Penerimaan lain-lain pajak tidak langsung terdiri dari
penerimaan bea meterai, bea lelang dan penerimaan pajak tidak
langsung lainnya. Sebagaimana kebijaksanaan di bidang pajak
tidak langsung pada umumnya, maka kebijaksanaan di bidang jenis pajak tidak langsung lainnya juga diarahkan untuk menunjang sektor-sektor yang perlu mendapat prioritas dan perlindungan, terutama pengusaha golongan ekonomi lemah serta koperasi. Kebijaksanaan ini telah dilaksanakan secara bertahap
yaitu antara lain berupa penyesuaian tarip bea meterai yang
lebih wajar. Sehubungan dengan ini dalam rangka pembinaan Koperasi Unit Desa dan demi kelancaran pelaksanaan tata niaga
cengkeh produksi dalam negeri, maka pada bulan Maret 1980
telah diberikan keringanan berupa penurunan bea meterai. Atas
tanda bukti pemberian kredit dalam rangka pelaksanaan tata
niaga cengkeh tidak dikenakan bea meterai kredit sebesar satu
per mil melainkan cukup dikenakan bea meterai umum Rp 25,- tiap lembarnya.
Penerimaan bukan pajak merupakan jenis penerimaan negara
yang terdiri dari penerimaan departemen/lembaga negara non
departemen. Di dalam perkembangannya penerimaan bukan pajak
senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Bila pada
tahun 1979/80 penerimaan bukan pajak baru mencapai Rp 187,3
milyar, penerimaan ini kemudian meningkat menjadi Rp 336,4
milyar, dan Rp 435,6 milyar masing-masing dalam tahun 1981/82
dan tahun 1982/83. Dalam tahun 1983/84 penerimaan bukan pajak
meningkat lagi menjadi Rp 519,0 milyar yang berarti naik sebesar Rp 83,4 milyar atau 19,1 % dari tahun sebelumnya. Realisasi penerimaan bukan pajak tahun kelima Repelita III ini
bila dibandingkan dengan tahun kelima Repelita II yang besarnya Rp 191,4 milyar, maka terdapat kenaikan sebesar 171%. Dalam rangka meningkatkan penerimaan bukan pajak maka terus dilakukan usaha intensifikasi dan ekstensifikasi, peningkatan
pengawasan penyetorannya yang dilaksanakan oleh departemen/
214
lembaga negara non departemen dan juga diusahakan untuk mencari sumber-sumber penerimaan baru.
2. Pengeluaran Rutin
Makin meningkatnya pengeluaran rutin selama Repelita III,
sampai dengan tahun 1983/84, adalah selaras dengan meningkatnya hasil-hasil pembangunan yang memerlukan dana pengelolaan
dan pemeliharaan yang lebih besar. Selain itu kebijaksanaan
pokok pengeluaran rutin selalu diarahkan pada tercapainya sasaran peningkatan tabungan Pemerintah, peningkatan mutu dan
jumlah pelayanan Pemerintah serta pengamanan kekayaan negara
yang semuanya itu tidak lepas dari strategi kebijaksanaan
Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Peningkatan tabungan Pemerintah ini dicapai dengan usaha
peningkatan penerimaan dalam negeri disatu pihak serta dilain
pihak dengan usaha penghematan pengeluaran rutin tanpa mengurangi tercapainya sasaran. Ini berarti bahwa pengeluaran
rutin tersebut harus dilaksanakan seefisien dan sehemat
mungkin. Hal tersebut dapat dicapai melalui pengendalian
sistem pengadaan dan pembelian barang kebutuhan Pemerintah
serta pengarahan pengeluaran yang lebih selektif.
Usaha peningkatan mutu dan jumlah pelayanan Pemerintah
serta pengamanan kekayaan negara tercermin dalam kenaikan
belanja pegawai, belanja barang dan subsidi daerah otonom.
Pengeluaran rutin secara keseluruhan pada tahun 1983/84
mengalami kenaikan sebesar 20,2% dibanding dengan tahun sebelumnya. Selama Repelita III, pengeluaran rutin telah mencapai
kenaikan rata-rata setahun sebesar 25,1%. Perkembangan realisasi pengeluaran rutin sejak tahun 1978/79 sampai dengan tahun 1983/84 dapat dilihat pada Tabel IV - 5 dan Grafik IV - 5.
Belanja pegawai, belanja barang dan subsidi daerah otonom
merupakan komponen yang terbesar dari seluruh pengeluaran rutin selama ini. Pada tahun akhir Repelita III ketiga jenis
pengeluaran tersebut merupakan 63,7% dari seluruh pengeluaran
rutin yang mencapai 4.8.411,8 milyar. Dalam tahun 1983/84
telah diberikan pemberian gaji bulan ke-13 pada bulan Juli
1983 dan pembayaran tambahan gaji tahun 1984/85 yang mulai
berlaku sejak bulan Pebruari 1984. Atas dasar kebijaksanaan
tersebut maka jumlah realisasi belanja pegawai selama ini
215
TABEL IV - 5
PENGELUARAN RUTIN,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
1) Termasuk subsidi pangan, bantuan kepada Pertamina dan subsidi BBM
2) Termasuk subsidi pangan, subsidi BBM dan pemilihan umum
216
GRAFIK IV - 5
KOMPOSISI PENGELUARAN RUTIN,
1978/79 - 1983/84
217
menunjukkan peningkatan. Pada akhir Repelita II realisasi belanja pegawai tersebut mencapai Rp.1.001,6 milyar yang kemudian menjadi Rp. 1.419,9 milyar pada awal Repelita III. Pada
akhir Repelita III,
realisasi belanja pegawai telah
mencapai
Rp 2.757,0 milyar. Perkembangan
belanja pegawai tersebut dapat diikuti pada Tabel IV - 6.
Realisasi belanja barang
juga terus menunjukkan peningkatan. Dalam tahun terakhir Repelita II realisasi belanja barang mencapai jumlah Rp.419,5 milyar, yang kemudian meningkat
pada awal Repelita III menjadi Rp. 569,0 milyar.
Sedangkan
pada tahun 1983/84 realisasinya mencapai jumlah Rp.1.057,1
milyar, yaitu Rp. 488,1 milyar atau 85,8% lebih besar jika
dibandingkan dengan awal Repelita III. Hal ini sejalan dengan
peningkatan kegiatan pembangunan yang membutuhkan peningkatan
biaya pemeliharaan dan pengawasan, disamping juga dibutuhkan
peningkatan dana untuk biaya peralatan kantor dalam rangka
peningkatan mutu serta jumlah pelayanan Pemerintah.
Sementara itu subsidi daerah otonom sebagai suatu bantuan
kepada daerah dalam mengatasi belanja pegawai setiap tahun
terus pula meningkat. Peningkatan tersebut sejalan dengan
perkembangan realisasi belanja pegawai untuk pegawai negeri
pusat. Pada akhir Repelita II realisasi subsidi daerah otonom
ini mencapai Rp. 522,3 milyar, sedangkan pada awal Repelita
III realisasinya telah mencapai Rp. 669,9 milyar, Selanjutnya
pada tahun 1983/84 subsidi daerah otonom telah mencapai
Rp.1.547,0 milyar yang berarti 130,9% lebih besar dari realisasi awal Repelita III. Dalam realisasi subsidi daerah otonom
tahun 1983/84 tersebut sudah termasuk pembayaran gaji lurah
dan perangkatnya serta tunjangan pamong desa di daerah-daerah
yang kurang pendapatannya.
Pembayaran bunga dan cicilan hutang merupakan kewajiban
dari Pemerintah untuk membayar kembali angsuran dan bunga hutangnya kepada negara lain maupun kepada pihak ketiga di dalam negeri. Dalam perkembangannya jumlah pengeluaran pembayaran bunga dan cicilan hutang tersebut meningkat, terutama
pembayaran untuk hutang luar negeri. Namun demikian jumlah
pembayaran tersebut diusahakan agar tidak mengganggu pembiayaan bagi peningkatan pembangunan.
Sehubungan dengan itu pembayaran bunga dan cicilan hutang
dalam tahun akhir Repelita II mencapai Rp. 534,5 milyar, kemudian pada awal Repelita III realisasinya berjumlah Rp. 684,1
milyar. Selanjutnya pada tahun 1983/84, realisasi pembayaran
218
TABEL IV - 6
BELANJA PEGAWAI
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
219
bunga dan cicilan hutang ini mencapai Rp. 2.102,6 milyar,
suatu kenaikan sebesar Rp.1.418,5 milyar bila dibandingkan
dengan awal Repelita III. Peningkatan tersebut terutama disebabkan adanya kebijaksanaan penyesuaian nilai tukar rupiah
pada tanggal 20 Maret 1983, yaitu dari Rp. 625,- menjadi
Rp.970,- per US $ 1,-.
Pengeluaran rutin lain-lain dalam tahun 1983/84 berjumlah
Rp.948,1 milyar, suatu penurunan sebesar Rp.49,0 milyar bila
dibanding dengan realisasi tahun sebelumnya. Hal ini terutama
disebabkan lebih rendahnya subsidi BBM dibanding dengan tahun
yang lalu disamping dihapuskannya jenis pengeluaran yang tercantum pada tahun sebelumnya, misalnya pengeluaran untuk Pemilu.
3. Dana Pembangunan
Kegiatan pembangunan yang semakin meluas membutuhkan
dana-dana yang semakin besar pula. Dana-dana yang dipergunakan untuk membiayai pembangunan tersebut terdiri dari Tabungan Pemerintah dan dana bantuan luar negeri. Tabungan Pemerintah merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dengan
pengeluaran rutin, sedangkan nilai lawan bantuan program dan
bantuan proyek merupakan dana bantuan luar negeri. Sebagai
sumber utama untuk membiayai pembangunan, telah diusahakan
untuk terus menerus meningkatkan jumlah tabungan pemerintah.
Hal ini sesuai dengan tekad untuk melaksanakan pembangunan
berdasarkan kepada kekuatan sendiri, sedangkan bantuan luar
negeri hanya merupakan pelengkap dalam seluruh sumber pembiayaan pembangunan.
Dalam tahun 1983/84 jumlah dana pembangunan mencapai
Rp.9.903,3 milyar atau meningkat sebesar 34,5% dari tahun sebelumnya. Jumlah tersebut terdiri dari tabungan Pemerintah sebesar Rp. 6.020,9 milyar dan dana bantuan luar negeri sebesar
Rp. 3.882,4 milyar. Tabungan Pemerintah sebesar Rp. 6.020,9
milyar tersebut sudah mengalami peningkatan sebesar 11,0% dibanding dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 5.422,0
milyar.
Dalam penerimaan bantuan luar negeri selalu dipertahankan
bahwa persyaratan pemberian bantuan tersebut diberikan tanpa
ikatan politik. Di samping itu penggunaan bantuan luar negeri
tersebut selalu diarahkan untuk proyek-proyek yang bersifat produktif serta mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kemampuan industri dalam negeri. Sedangkan di dalam jumlah dan persyaratannya selalu diusahakan
220
agar sesuai dengan kemampuan perekonomian nasional untuk membayar kembali. Realisasi dana bantuan luar negeri mencapai
Rp.3.882,4 milyar pada tahun 1983/84 sedang pada tahun awal
Repelita III baru mencapai 4.1.381,1 milyar.
Realisasi dana pembangunan dan komponennya dari tahun
1978/79 sampai dengan tahun 1983/84 dapat diikuti pada Tabel
IV - 7 dan Grafik IV - 6.
4. Pengeluaran Pembangunan
Realisasi APBN tahun 1983/84 yang merupakan tahun terakhir Repelita III ditandai dengan berbagai perkembangan baik
berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di dalam negeri
maupun perkembangan perekonomian dunia yang belum sepenuhnya
pulih dari resesi.
Kebijaksanaan ekonomi yang sangat penting dan mendasar
yang dilaksanakan
pada akhir tahun 1982/83 menyangkut penurunan nilai Rupiah dari US $ 1 Rp. 625 menjadi US $ 1 =
Rp. 970,-.
Kebijaksanaan tersebut merupakan kebijaksanaan pengamanan
yang tepat, sesuai dengan kebutuhan Repelita III untuk meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh
rakyat yang makin merata dan adil serta meletakkan landasan
yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya.
Agar pelaksanaan APBN yang merupakan rencana operasional
tahunan, berjalan lebih berdaya guna dan berhasil guna maka
Keppres No. 14A tahun 1980 yang disempurnakan dengan Keppres
No. 18 tahun 1981 tetap diberlakukan.
Tujuan lain yang hendak dicapai dengan diberlakukannya
kedua Keppres tersebut adalah untuk memberi kesempatan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah untuk ikut berpartisipasi
dalam pembangunan di samping meningkatkan pemakaian produksi
dalam
negeri terutama dalam pembelian/pemborongan yang dilakukan oleh rekanan baik Pemerintah Pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha milik negara.
Dengan demikian pelaksanaan
APBN diarahkan kepada perluasan kesempatan kerja dan pemerataan kegiatan pembangunan diberbagai bidang, sehingga kesejahteraan rakyat dapat makin ditingkatkan dan pembagian pendapatan dapat lebih merata pula.
Realisasi pengeluaran pembangunan dalam tahun 1983/84 dapat mencapai Rp. 9.899,2 milyar. Jumlah tersebut telah me-
221
TABEL IV - 7
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
*)
222
Realisasi sesudah 30 Maret 1983 dinilai berdasarkan
kurs US 1 Rp. 970,-, sedangkan untuk realisasi
sebelum 30 Maret 1983 dinilai berdasarkan kurs US $ 1 =
Rp. 625,- sampai dengan Rp. 700,- untuk realisasi sebelum
15 Nopember 1978 digunakan kurs US $ 1 = Rp. 415,-
GRAFIK IV - 6
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,
1978/79 - 1983/84
(dalam persen)
223
ningkat sebesar 34,5 % dibanding dengan tahun sebelumnya yang
hanya sebesar Rp. 7.359,6 milyar. Perkembangan realisasi pengeluaran pembangunan termasuk bantuan proyek menurut sektor
dan sub sektor dalam Repelita III dapat dilihat pada Tabel
IV - 8 dan perkembangan jumlahnya digambarkan pada Grafik IV
- 7. Perkembangan pengeluaran pembangunan ini menunjukkan
bahwa selama Repelita III telah direalisasikan pembiayaan
pembangunan sebesar Rp 34.129,2 milyar, dan bila dibandingkan
dengan rencananya terdapat kenaikan sebesar 56,2 persen. Pengeluaran terbesar terlihat pada sektor pertambangan dan
energi yaitu Rp 5.175,0 milyar yang berarti 75,8 % melampaui rencananya; sektor perhubungan dan pariwisata sebesar
Rp 4.457,0 milyar ,yang berarti 3 1 ,7 % diatas rencananya;
sektor pertanian dan pengairan sebesar Rp 4.235 milyar, yang
berarti 38,9% lebih tinggi dari yang direncanakan dalam
Repelita III dan sektor pendidikan sebesar Rp 3 . 3 9 7 , 1 milyar
yang berarti 49,2% diatas rencananya.
Di samping itu dilihat dari persentase kenaikannya terdapat beberapa sektor pembangunan yang realisasinya mengalami
kenaikan yang sangat besar dibandingkan dengan yang direncanakan dalam Repelita III. Sektor Pengembangan Dunia Usaha realisasinya selama Repelita III mencapai Rp 1 . 7 5 8 , 5 milyar
yang berarti 374,9% diatas rencananya, sektor Perdagangan dan
Koperasi mencapai Rp 521,9 milyar yang berarti 171,9% di atas
rencananya dan sektor industri mencapai Rp 2.320,1 milyar
yang berarti 97,6% melampaui rencananya. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan dalam Repelita III bahwa
prioritas diletakkan pada pembangunan sektor pertanian menuju
swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku dan barang jadi, dalam rangka menseimbangkan struktur ekonomi Indonesia.
Perincian berdasarkan Jenis pembiayaan selama Repelita
III dapat dilihat pada Tabel IV - 9 dan perincian
berdasarkan sektor pembangunan di luar bantuan proyek disajikan
pada Tabel IV - 10 dan Grafik IV - 8.
Dalam tahun 1983/84 pembiayaan pembangunan melalui Departemen/Lembaga mencapai jumlah sebesar Rp. 3. 21 9, 6 milyar atau
meningkat sebesar 3,8 kali dibanding dengan tahun akhir Repelita II. Peningkatan ini menunjukkan kemampuan Pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan yang dikelola oleh Departemen/Lembaga, walaupun pelaksanaan pembangunan dalam Repelita
III dipengaruhi oleh resesi dunia.
224
TABEL IV - 8
PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
225
(Lanjutan Tabel IV - 8)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
226
Tidak termasuk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Merupakan jumlah Sub Sektor Keluarga Berencana
Tidak termasuk Peranan Wanita
Merupakan jumlah Sub Sektor Kesejahteraan Sosial saja
Merupakan Jumlah Sub Sektor Keluarga Berencana saja
Jumlah untuk Sektor/Sub Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup dimasukkan di dalam
Sub Sektor Pertanian, Sub Sektor Pengairan dan Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi
GRAFIK IV - 7
PENGELUARAN PEMBANGUNAN,
1978/79 - 1983/84
227
TABEL IV - 9
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
228
TABEL IV - 10
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK
MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
229
(Lanjutan Tabel IV - 10)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
230
Tidak termasuk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Merupakan Jumlah sub-sektor Keluarga Berencana
Tidak termasuk Peranan Wanita
Merupakan Jumlah sub-sektor Kesejahteraan Sosial saja
Merupakan Jumlah sub-sektor Keluarga Berencana saja
Jumlah untuk sektor/sub-sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup dimasukkan
di dalam sub-sektor Pertanian, sub-sektor Pengairan dan Sub-Sektor Pos dan
Telekomunikasi
GRAFIK IV - 8
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK,
1978/79 - 1983/84
231
Selanjutnya pembiayaan pembangunan bagi daerah dalam tahun 1983/84 telah mencapai jumlah Rp 1.447,5 milyar. Pembiayaan pembangunan bagi daerah adalah dalam rangka lebih memeratakan pembangunan ke seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan
pembangunan daerah dan pedesaan telah lebih ditingkatkan dan
diarahkan kepada usaha perluasan kerja, pembinaan dan pengembangan lingkungan pemukiman pedesaan dan perkotaan yang sehat, serta peningkatan kemampuan penduduk untuk memanfaatkan
sumber-sumber kekayaan alam dan menanggulangi masalah-masalah
yang mendasar.
Pembiayaan pembangunan bagi daerah merupakan bantuan yang
diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
melaksanakan pembangunan yang berupa program-program Inpres,
Ipeda dan pembiayaan bagi Timor Timur. Bantuan pembangunan
daerah ini senantiasa ditingkatkan dari tahun ke tahun.
Bantuan Pembangunan Desa bertujuan mendorong dan mengarahkan usaha-usaha swadaya gotong-royong masyarakat dalam
membangun desanya. Pada tahun 1978/79 jumlah bantuan yang diberikan baru mencapai jumlah sebesar Rp 24,0 milyar tetapi
pada tahun 1983/84 telah mencapai jumlah sebesar Rp 91,6 milyar. Meningkatnya jumlah bantuan yang hampir mencapai 4 kali
selama 5 tahun ini disebabkan oleh perkembangan jumlah desa
dari 60.645 buah pada tahun 1978/79 menjadi 66.437 buah pada
tahun 1983/84, selain ditingkatkannya besarnya bantuan yang
diberikan. Bila pada tahun 1978/79 bantuan yang diberikan
hanya sebesar Rp 350 ribu untuk tiap desa, maka pada tiga
tahun berikutnya jumlah ini dinaikkan menjadi Rp 450 ribu,
Rp 750 ribu dan Rp 1,0 juta. Sejak tahun 1982/83 bantuan ini
ditingkatkan lagi menjadi Rp 1,25 juta per desa. Bantuan
sebesar Rp 1,25 juta per desa itu telah termasuk dana untuk
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebesar Rp 250 ribu.
Bantuan Pembangunan Kabupaten/Kotamadya yang besar bantuannya didasarkan atas jumlah penduduk, bertujuan untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja serta meningkatkan
partisipasi penduduk dalam pembangunan. Oleh sebab itu selain
bantuan berupa uang kepada setiap Dati II juga diberikan bantuan peralatan berupa satu buah mesin gilas jalan. Pemberian
bantuan Inpres Kabupaten/Kotamadya pada tahun 1978/78 adalah
sebesar Rp 450 per jiwa kemudian ditingkatkan menjadi Rp 550
pada tahun 1979/80; menjadi Rp 750 pada tahun 1980/81 dan menjadi Rp 1.000 per jiwa pada tahun 1981/82. Untuk tahun
1982/83 dan tahun 1983/84 bantuan ini ditingkatkan lagi sehingga menjadi Rp 1.150 per jiwa. Di samping didasarkan atas
jumlah penduduk kepada daerah-daerah yang masih jarang pen-
232
duduknya diberikan jumlah bantuan minimum yang jumlahnya juga
ditingkatkan setiap tahunnya. Dalam tahun 1978/79 jumlah bantuan minimum adalah sebesar Rp 50 juta
per
kabupaten/kotamad y a , kemudian dalam tahun 1979/80, tahun 1980/81 dan tahun
1981/82 ditingkatkan menjadi masing-masing sebesar Rp 65 juta, Rp 100 juta dan Rp 150 juta. Pada tahun 1982/83 dan tahun
1983/84 bantuan minimum
tersebut
ditingkatkan lagi menjadi
Rp 160 juta. Atas dasar perkembangan besarnya bantuan per jiwa
serta perkembangan jumlah penduduk, dalam tahun 1983/84
telah direalisasikan bantuan sebesar Rp 194,1 milyar.
Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I
adalah
program Inpres yang bertujuan untuk meningkatkan keselarasan pembangunan sektoral dan regional, meratakan hasil-hasil pembangunan,
meningkatkan keserasian laju pertumbuhan antar daerah dan
meningkatkan partisipasi
daerah
dalam
pembangunan.
Bantuan
ini digunakan untuk penunjang jalan dan jembatan serta penggantian jembatan, perbaikan dan peningkatan irigasi untuk
eksploitasi dan
pemeliharaan pengairan.
Sedangkan
bantuan
yang diarahkan digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek yang
meningkatkan taraf hidup rakyat,
proyek yang mengembangkan
daerah minus dan daerah kritis serta proyek-proyek lain yang
penting dalam rangka pembangunan daerah.
Dalam tahun 1978/79 realisasi bantuan pembangunan
Dati I
ini Baru mencapai jumlah sebesar Rp 86,8 milyar
tetapi pada
tahun 1983/84 telah mencapai Rp 253,0 milyar.
Kenaikan i n i
disebabkan terutama karena ditingkatkannya
jumlah bantuan minimum tiap propinsi.
Apabila dalam tahun
1978/79 jumlah bantuan minimum sebesar Rp 2 milyar maka pada
t a h u n 1979/80, tahun 1980/81, dan 1981/82 ditingkatkan masing-masing menjadi Rp 2,5 milyar, Rp 5,0 milyar dan Rp 7,5
milyar. Untuk tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 jumlah bantuan
minimum ini ditingkatkan lagi menjadi Rp 9,0 milyar.
Bantuan pembiayaan pembangunan daerah
lainnya
adalah
berupa bantuan untuk daerah Timor Timur. Bantuan ini diberikan dalam rangka memberi kesempatan kepada
daerah
tersebut
untuk mengejar ketinggalannya dari daerah-daerah lainnya di
Indonesia. Bantuan yang diberikan kepada propinsi termuda ini
baru dimulai pada tahun 1977/78 sebesar Rp 3,5 milyar.
Pada
tahun 1978/79,
1979/80
dan
1980/81
masing-masing
sebesar
R p 4 , 5 milyar; Rp 6,6 milyar dan Rp 6,4 milyar. Sedangkan dalam tahun 1981/82, 1982/83 dan 1983/84 bantuan yang diberikan
kepada daerah Timor Timur adalah sebesar Rp 6,8 milyar, Rp 5,7
milyar dan Rp 5,2 milyar sehingga selama Repelita III saja
233
Timor Timur telah
Rp 30,7 milyar.
mendapat
bantuan
pembangunan
sebesar
Program pembangunan daerah melalui dana IPEDA dalam tahun
anggaran 1983/84 mencapai Rp 132,4 milyar, sedangkan dalam
tahun 1978/79 dana pembangunan ini baru mencapai jumlah
Rp 63,1 milyar. Dana pembangunan yang sebenarnya berasal dari
daerah sendiri itu dipungut berdasarkan kerjasama antara Pusat dan Daerah dan dipergunakan sepenuhnya untuk pembangunan
daerah.
Program bantuan pembangunan sekolah dasar bertujuan untuk
memperluas kesempatan belajar guna mempercepat penuntasan
keikut sertaan anak usia 7 - 12 tahun pada pendidikan dasar
dalam rangka persiapan mewujudkan pelaksanaan wajib belajar.
Di samping itu juga untuk memenuhi kebutuhan sekolah dasar di
daerah transmigrasi, daerah pemukiman baru dan daerah perkebunan inti serta untuk memenuhi kebutuhan sekolah dasar luar
biasa untuk menampung anak-anak yang berkelainan. Pada mulanya Inpres ini hanya meliputi pembangunan dan rehabilitasi
gedung-gedung SD, baik gedung SD Negeri maupun Swasta dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta yang ada serta penyediaan buku-buku
pelajaran dan bacaan bagi anak-anak SD. Kemudian pada tahun
1978/79 diperluas lagi dengan pembangunan ruang kelas baru
dan pada tahun berikutnya diperluas lagi dengan pembangunan
rumah kepada sekolah dan guru di daerah terpencil. Dalam tahun 1982/83 bantuan ini lebih ditingkatkan lagi yaitu dengan
menambah penyediaan paket peralatan olah raga untuk sekolah
Dasar Negeri dan Swasta serta Madrasah Ibtidaiyah. Atas dasar
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diambil maka pengeluaran bagi bantuan pembangunan sekolah dasar yang dalam tahun
1978/79 hanya mencapai jumlah sebesar Rp 111,8 milyar, dalam
tahun 1983/84
telah meningkat hampir 5 kali, mencapai
Rp 549,3 milyar.
Dalam Repelita III sasaran peningkatan pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi diutamakan kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di desa maupun di kota.
Sehubungan dengan itu bantuan yang diberikan melalui Inpres
sarana kesehatan lebih ditingkatkan lagi dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Apabila dalam tahun 1978/79 bantuan
yang diberikan baru mencapai Rp 26,9 milyar, pada akhir Repelita III jumlah bantuan tersebut telah meningkat menjadi
Rp 87,3 milyar, yang berarti suatu kenaikan rata-rata sebesar
26,5 persen selama Repelita III.
Kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup tetap menda-
234
pat perhatian yang besar dalam tahun 1983/84. Oleh karena itu
anggaran bagi bantuan penghijauan dan reboisasi yang bertujuan
untuk menyelamatkan kelestarian
sumber-sumber alam, tanah, hutan dan air lebih ditingkatkan lagi. Sasaran Inpres penghijauan ini terutama daerah-daerah kritis yaitu daerah-daerah yang
ditinjau
dari
segi hidro-orologi dapat membahayakan kelangsungan pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau
wilayah lain. Dengan diberikannya Inpres ini berarti menambah
perluasan kesempatan kerja di daerah. Pada tahun 1978/79 realisasi bantuan program penghijauan ini sebesar Rp.36,0 milyar
sedangkan pada tahun 1983/84 sebesar Rp 59,4 milyar.
Dalam rangka melindungi para pedagang kecil golongan ekonomi lemah, kepada pemerintah daerah telah diberikan bantuan
kredit pembangunan dan pemugaran pasar untuk menyediakan tempat-tempat berjualan bagi para pedagang khususnya para pedagang kecil golongan ekonomi lemah dengan sewa semurah mungkin. Pada tahun 1978/79 bantuan
yang diberikan baru sebesar
Rp 1,2 milyar tetapi dalam tahun berikutnya melonjak menjadi
Rp 12,4 milyar. Sedangkan pada tahun 1983/84 bantuan yang diberikan mencapai Rp 10,6 milyar. Dengan demikian selama Repelita III telah terjadi kenaikan rata-rata sebesar 54,6 persen
setahun.
Bantuan pembangunan kepada daerah yang baru diberikan pada awal Repelita III adalah bantuan pemugaran jalan kabupaten
daerah Tk. II atau lebih dikenal dengan Inpres prasarana jalan. Program bantuan ini diberikan dalam rangka pemerataan
pembangunan,
menggairahkan kegiatan ekonomi daerah, memperlancar arus pengangkutan dan distribusi serta
menunjang
proyek-proyek di daerah. Pada tahun 1979/80 bantuan yang diberikan melalui Inpres ini adalah sebesar Rp 13,0 milyar kemudian ditingkatkan menjadi Rp 25,9 milyar dan Rp 54,8 milyar
dalam tahun 1980/81 dan tahun 1981/82. Pada tahun 1982/83 dan
tahun 1983/84 jumlah Inpres prasarana jalan yang diberikan
adalah sebesar masing-masing Rp 42,4 milyar dan Rp 64,6 milyar, sehingga dalam Repelita III telah direalisasikan bantuan
sebesar Rp 200,7 milyar.
Pembiayaan pembangunan lainnya terdiri dari subsidi pupuk
yang diberikan dalam rangka meningkatkan produksi pangan, penyertaan modal Pemerintah pada badan-badan usaha milik negara
dan bantuan kepada badan usaha swasta berupa kredit mini dan
kredit candak kulak (KCK) serta untuk pembiayaan koperasi,
pembangunan rumah murah (KPR Perumnas), pengembangan statistik, Keluarga Berencana dan lain-lain. Dalam tahun 1983/84
235
realisasi lain-lain pengeluaran pembangunan adalah Rp 1.364,6
milyar yang terdiri dari subsidi pupuk Rp 324,2 milyar; penyertaan modal Pemerintah Rp 591,7 milyar dan lain-lain sebesar Rp 448,7 milyar.
Untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan dalam Repelita
III masih diperlukan tambahan dana yang berasal dari luar
negeri, yang sifatnya hanya sebagai pelengkap. Bantuan luar
negeri yang berupa bantuan proyek ini diwujudkan dalam bentuk
barang-barang modal yang diinvestasikan pada sektor-sektor
prasarana dan sektor-sektor yang produktif dan bermanfaat.
Perkembangan realisasi bantuan proyek selama
Repelita III
dapat dilihat pada Tabel IV - 11 dan Grafik IV - 9.
C.
PERKEMBANGAN MONETER
1. Kebijaksanaan moneter
Kebijaksanaan moneter selama Repelita III, diarahkan kepada usaha untuk mencapai 4 sasaran pokok, yakni : pertama
menunjang usaha
pemerataan pembangunan dengan jalan meningkatkan kedudukan golongan ekonomi lemah, mendorong perluasan
kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan serta menunjang
produksi bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat; kedua meningkatkan usaha mobilisasi tabungan masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank; ketiga
memelihara dan meningkatkan kestabilan ekonomi khususnya kestabilan harga; dan keempat menyempurnakan serta meningkatkan
efisiensi dan peranan lembaga-lembaga keuangan dalam rangka
pengembangan suatu sistem
lembaga keuangan yang lebih sehat
dan lengkap.
Kebijaksanaan pemerintah dalam menunjang pemerataan pembangunan selama Repelita III adalah melanjutkan, meningkatkan
dan menyempurnakan langkah-langkah yang ditempuh dalam dua
Repelita sebelumnya, antara lain dengan menyediakan dana murah berupa kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank
pelaksana. Penyediaan kredit likuiditas tersebut telah berhasil meningkatkan pemberian kredit untuk golongan ekonomi lemah, seperti kredit dalam bentuk KIK/KMKP, Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak, Kredit atas dasar kelayakan,
Kredit Pemilikan Rumah. Selain itu juga telah meningkatkan
pemberian kredit untuk ekspor dan produksi barang ekspor
non-migas; kredit modal kerja untuk impor bahan
baku
dan
bahan penolong dalam
rangka menunjang kelancaran produksi
dalam negeri; serta kredit investasi yang telah dimanfaatkan
236
TABEL IV - 11
REALISASI BANTUAN PROYEK, MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
237
(Lanjutan Tabel IV - 11)
1) Tidak termasuk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2) Merupakan jumlah sub-sektor Keluarga Berencana
238
GRAFIK IV - 9
REALISASI BANTUAN PROYEK, MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1978/79 - 1983/84
239
untuk pembiayaan sektor-sektor
perhubungan dan jasa-jasa.
pertambangan,
perindustrian,
Kebijaksanaan yang ditempuh untuk meningkatkan tabungan
masyarakat selama Repelita III dilakukan dengan Cara mendorong
kebiasaan menabung di kalangan masyarakat dalam
bentuk deposito berjangka, Tabanas/Taska, Sertifikat deposito dan saham.
Dalam Repelita III, Pemerintah telah melakukan penyempurnaan
beberapa ketentuan guna meningkatkan hasrat menabung, melalui
antara lain : pembebasan berbagai jenis pajak, seperti pajak
kekayaan (PKk)atas pokok simpanan, pajak pendapatan (PPd)
atas bunga simpanan, dan pajak atas bunga, dividen dan royalty (PBDR) atas deposito valuta asing;
serta menaikkan suku
bunga Tabanas. Usaha tersebut
telah berhasil meningkatkan
jumlah penabung maupun nilai simpanan baik untuk Tabanas/Taska, deposito berjangka, maupun simpanan-simpanan lainnya.
Dalam usaha untuk memelihara dan meningkatkan kestabilan
harga, Pemerintah mengendalikan perkembangan moneter melalui
sistem pagu perkreditan yang telah berhasil mengekang laju
kenaikan harga. Walaupun pengaruh resesi ekonomi dunia semakin dirasakan sejak akhir 1981, namun tingkat kenaikan harga.
tetap dapat ditekan dari sebesar 19,1% pada tahun 1979/80
menjadi 12,7% pada tahun 1983/84.
Usaha untuk meningkatkan efisiensi dan peranan lembagalembaga keuangan dilakukan melalui pembinaan, baik dalam kelembagaan maupun kegiatan usahanya. Dalam sektor perbankan,
usaha-usaha tersebut meliputi : mendorong peranan bank-bank
pemerintah untuk melakukan penyertaan modal kepada perusahaan-perusahaan pengusaha ekonomi lemah; meningkatkan bantuan
teknis dan keuangan kepada bank-bank pembangunan daerah; serta meningkatkan peranan
dan
memperluas pelayanan bank-bank
umum swasta nasional di daerah-daerah. Pembinaan dalam kelembagaan dan kegiatan usaha juga dilakukan kepada lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang mempunyai peranan penting dalam
menunjang pengerahan dana dari masyarakat dan menyalurkan dana tersebut bagi kegiatan yang produktif.
Untuk
jenis LKBB
yang kegiatan utamanya berupa penyertaan modal dalam perusahaan dan perdagangan surat-surat berharga di pasar modal, pemerintah telah
memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga tersebut untuk menjadi trustee dan atau penanggung atas penerbitan obligasi.
Selain itu, Pemerintah juga berusaha meningkatkan jenis LKBB yang
bergerak dalam pengembangan usaha golongan ekonomi lemah, seperti PT. Bahana,
PT. Askrindo dan
LJKK.
240
Sebagaimana telah dikemukakan,
tekanan terhadap perkembangan harga selama ini telah dapat diatasi melalui sistem
penetapan pagu perkreditan yang dimulai
sejak
April
1974,
akan tetapi, kombinasi sistem penyediaan kredit likuiditas
dengan penetapan pagu perkreditan tersebut telah membawa akibat sampingan berupa meningkatnya
akses
reserve
bank-bank
yang tidak dapat digunakan secara produktif dan menurunnya
gairah bank dalam mengerahkan dana masyarakat. Dalam usaha
mengurangi
dampak negatif lebih lanjut terhadap neraca pembayaran dan perkembangan harga, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan 1 Juni 1983 yang pada dasarnya meliputi:
pertama mendorong bank-bank untuk mengerahkan dana sebanyakbanyaknya dari masyarakat, melalui pemberian kebebasan kepada
bank-bank dalam bunga deposito dan suku bunga kredit yang tidak tergolong prioritas tinggi; kedua mengurangi pemberian
kredit likuiditas oleh bank sentral kepada bank-bank, kecuali
dalam hal kredit untuk sektor-sektor ekonomi berprioritas
tinggi; ketiga dihapuskannya ketentuan pagu perkreditan.
Dengan dihapuskannya sistem penetapan pagu perkreditan
tersebut, maka Bank Indonesia di dalam mengendalikan perkembangan moneter, telah menggunakan peralatan moneter yang tidak langsung, seperti penetapan likuiditas minimum bank-bank,
operasi pasar terbuka melalui penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan penyediaan fasilitas diskonto yang dilaksanakan sejak 1 Pebruari 1984.
Kedua peralatan terakhir tersebut dimaksudkan untuk menunjang pelaksanaan Kebijaksanaan 1
Juni 1983 yang bertujuan untuk mendorong usaha perbankan dalam mengerahkan dana dan mengurangi ketergantungan bank-bank
pada kredit likuiditas.
Pengendalian jumlah likwiditas dilaksanakan secara tidak
langsung melalui penetapan besarnya “Uang Primer” yang disesuaikan dengan target pertambahan uang beredar
yang dikehendaki. Dalam hal diinginkan kebijaksanaan moneter yang ketat,
maka Bank Indonesia akan memperbesar penjualan SBI yang pada
tahap pertama akan menyerap
kelebihan
likuiditas bank-bank
dan pada waktunya, melalui secondary market, akan menyerap
likuiditas di luar sistem moneter. Kebijaksanaan moneter yang
ketat juga dapat dilakukan dengan menaikkan suku bunga fasilitas diskonto. Sebaliknya, apabila dikehendaki kebijaksanaan
moneter yang ekspansif maka Bank Indonesia akan mengurangi
penjualan SBI dan menurunkan suku bunga fasilitas diskonto.
2. Peredaran Uang
Jumlah
uang
beredar
(M1)
yang
terdiri
dari uang kartal
241
dan uang giral, selama Repelita III telah naik dengan 187,7%
atau rata-rata 23,5% setahun sehingga mencapai Rp.8.054,7
milyar pada akhir tahun 1983/84. Kenaikan pada dua tahun terakhir Repelita III relatif rendah, yakni sebesar 8,9% pada
tahun 1982/83 dan 9,2% pada tahun 1983/84. Dilihat dari komposisi uang beredar, peranan uang giral yang sejak permulaan
Repelita III terus meningkat menjadi 62% pada akhir tahun
1981/82, dalam 2 tahun terakhir menurun menjadi 59% pada tahun 1982/83 dan
56% pada tahun 1983/84. Menurunnya peranan
uang giral tersebut terutama disebabkan oleh terdapatnya penarikan rekening giro perusahaan-perusahaan pemerintah untuk
penyetoran hutang pajak. Perkembangan jumlah uang beredar dapat dilihat pada Tabel IV-12 dan Grafik IV-10.
Jumlah uang beredar (M1) secara nyata, yaitu setelah
diperhitungkan laju kenaikan harga selama Repelita III menunjukkan kenaikan sebesar 50,1% atau rata-rata 8,5% setahun sehingga mencapai Rp. 3.451 milyar pada akhir tahun 1983/84.
Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 1981/82 sebesar 17,9%,
sedangkan pada tahun 1983/84 terdapat penurunan sebesar 3,7%.
Penurunan uang beredar secara nyata tersebut menunjukkan bahwa laju kenaikan harga adalah lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan uang beredar, yakni 12,6% dibandingkan dengan
9,2% (lihat Tabel IV-13 dan Grafik IV-11).
Sebagaimana terlihat pada sebab-sebab yang mempengaruhi
jumlah uang beredar (Tabel IV-14), perkembangan moneter Indonesia selama Repelita III sangat dipengaruhi oleh perkembangan
perekonomian dunia yang antara lain tercermin pada keadaan
neraca pembayaran kita. Dalam dua tahun pertama Repelita III,
kelebihan yang terjadi pada neraca pembayaran telah menyebabkan sektor luar negeri memberikan pengaruh menambah yang cukup besar, yakni sebesar Rp. 2.497,7 milyar pada tahun 1979/
80 dan Rp. 2.296,2 milyar pada tahun 1980/81. Perkembangan
tersebut erat kaitannya dengan semakin meningkatnya harga barang ekspor Indonesia di pasaran luar negeri, terutama minyak, disamping pengaruh dari tindakan penyesuaian nilai tukar rupiah pada tanggal 15 Nopember 1978. Dalam dua tahun
berikutnya, sektor luar negeri telah memberikan pengaruh
mengurang, masing-masing sebesar Rp. 67,5 milyar pada tahun
1981/82 dan sebesar Rp. 1.946,1 milyar pada tahun 1982/83.
Besarnya pengaruh mengurang pada tahun 1982/83 terutama disebabkan oleh terdapatnya kekurangan dalam neraca pembayaran
sebagai akibat pengaruh resesi ekonomi dunia dan memburuknya
pasaran minyak internasional. Pada tahun 1983/84, dengan diambilnya kebijaksanaan devaluasi pada bulan Maret 1983, maka
242
TABEL IV - 12
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1979/80 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
243
GRAFIK IV - 10
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1978/79 - 1983/84
(Dalam milyar Rupiah)
244
244
TABEL IV – 13
PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA
DAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR
1978/79 – 1983/84
1) Menggunakan Indeks Harga konsumen (IHK) dengan tahun dasar April 1977
s/d Maret 1978. Untuk masa sebelum Maret 1979 indeks yang semula
berdasarkan tingkat kenaikan biaya hidup (IBH) J a k a r t a , indeksnya
diadakan penyesuaian menjadi Indeks Harga konsumen (IHK).
2) Dihitung dengan cara
: Jumlah uang beredar
Indeks Harga
X 100
3) Maret 1979 = 100
245
GRAFIK IV - 11
PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA
DAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1978/79 - 1983/84
246
TABEL IV - 14
SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
1)
2)
3)
Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing
karena penyesuaian nilai tukar rupiah dari Rp. 415,menjadi Rp. 625,- per US Dollar pada tanggal 15 Nopember
1978.
Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta
asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah dari Rp.
702,50 menjadi Rp. 970,- per US Dollar pada 30 Maret
1983, masing-masing sebesar Rp. 1.962,50 pada sektor
luar negeri, Rp. 237,3 milyar pada sektor Pemerintah.
Rp. 294,3 milyar pada sektor kegiatan perusahaan, Rp
1.399,4 milyar pada sektor lain-lain dan Rp. 620,1
milyar pada deposito berjangka dan tabungan (uang
kuasi)
Angka sementara
247
sektor luar negeri telah memberikan pengaruh menambah sebesar
Rp. 2.684,9 milyar.
Sektor pemerintah pada dua tahun pertama Repelita III
memberikan pengaruh mengurang yang cukup besar, yakni sebesar Rp. 1.099,6 milyar pada tahun 1979/80 dan Rp. 1.825,5
milyar pada tahun 1980/81. Besarnya pengaruh mengurang tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya penerimaan pajak perseroan (PPs) minyak karena meningkatnya harga minyak di pasar
dunia. Selanjutnya, pengaruh mengurang sektor Pemerintah dalam tahun 1981/82 menurun menjadi Rp. 70,4 milyar dan pada
tahun 1982/83 memberikan pengaruh menambah sebesar Rp. 697,1
milyar, yang disebabkan oleh menurunnya penerimaan pemerintah
yang berasal dari PPs minyak. Dalam tahun 1983/84, sektor
tersebut memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp. 1.719,1
milyar, sebagai hasil usaha penghematan yang dilakukan Pemerintah melalui pengurangan beban subsidi BBM dan pupuk, serta
penghapusan subsidi pangan. Di samping itu, kebijaksanaan penyesuaian nilai tukar rupiah pada bulan Maret 1983 dan pelaksanaan pemungutan pajak yang lebih intensif telah dapat meningkatkan arus penerimaan pemerintah.
Tagihan pada perusahaan negara dan swasta sampai dengan
tahun 1982/83 terus menunjukkan peningkatan sesuai dengan
perkembangan kegiatan. Sektor tersebut yang pada tahun 1979/
80 hanya memberikan pengaruh menambah sebesar Rp. 808 milyar,
pada tahun 1982/83 meningkat menjadi Rp. 2.741,8 milyar (tidak diperhitungkan hasil penilaian kembali rekening valuta
asing sebesar Rp. 294,3 milyar karena devaluasi bulan Maret
1983). Dalam tahun 1983/84, pengaruh menambah dari sektor
tersebut berjumlah Rp. 2.633,2 milyar atau lebih rendah dari
tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh berhati-hatinya
bank dalam pemberian kredit, di samping lesunya dunia usaha
karena pengaruh resesi ekonomi dunia.
Deposito berjangka dan tabungan yang merupakan unsur uang
kuasi, dalam tiga tahun pertama Repelita III memberikan pengaruh mengurang yang relatif sama yakni rata-rata sebesar
Rp. 674 milyar setahun. Dalam tahun 1982/83, uang kuasi tersebut memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp. 871,3 milyar.
Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah simpanan dalam valuta asing sebagai akibat semakin menguatnya dollar Amerika Serikat dan beberapa mata uang asing
lainnya terhadap rupiah. Dalam tahun 1983/84, pengaruh mengurang dari deposito berjangka dan tabungan mencapai jumlah
Rp. 2.835,5 milyar, terutama disebabkan oleh meningkatnya deposito berjangka dalam rupiah sebagai akibat kebijaksanaan 1
Juni 1983.
248
Faktor lain-lain yang terutama terdiri dari rekening modal, cadangan dan laba, serta jaminan impor, dalam tahun
1983/84 memberikan pengaruh mengurang terhadap jumlah uang
beredar sebesar Rp. 88 milyar yang merupakan pengaruh mengurang terkecil dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dalam
Repelita III, yakni Rp. 558 milyar (1979/80); Rp. 205 milyar
(1980/81); Rp. 222 milyar (1981/82); dan Rp. 254 milyar
(1982/83).
3. Dana Perbankan
Kebijaksanaan pengerahan dana perbankan selama Repelita
III diarahkan pada usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat melalui sektor perbankan guna pembiayaan pembangunan
yang semakin meningkat. Selain daripada usaha peningkatan
tabungan pemerintah perlu pula dikerahkan swadaya menabung
dari masyarakat. Untuk menunjang keikutsertaan masyarakat di
dalam pengerahan dana perbankan, maka Pemerintah pada tanggal
1 Juni 1983 telah mengambil kebijaksanaan moneter yang sifatnya mendorong bank-bank untuk memperbesar usaha pengerahan
dana dari masyarakat.
Selama empat tahun pertama Repelita III, kebijaksanaan
suku bunga deposito berjangka pada bank-bank Pemerintah tidak
mengalami perubahan, dengan besarnya bunga berkisar antara
6% - 15% setahun. Namun kemudian dengan kebijaksanaan 1 Juni
1983 bank-bank Pemerintah mempunyai kebebasan untuk menetapkan suku bunga deposito berjangka, kecuali untuk deposito 24
bulan yang suku bunganya ditetapkan 12% setahun. Selain itu
kepada penabung diberikan fasilitas perpanjangan secara otomatis terhadap deposito yang telah jatuh waktu serta fasilitas berupa deposito atas nama dan atas unjuk.
Kebijaksanaan suku bunga Tabanas juga mengalami perubahan. Menurut ketentuan sebelumnya suku bunga Tabanas untuk
saldo sampai dengan Rp. 200.000,- ditetapkan sebesar 15% setahun, dan untuk saldo di atas Rp. 200.000,- 9% setahun. Dengan berlakunya ketentuan baru maka untuk saldo tabungan sampai dengan Rp. 1 juta suku bunganya adalah 15% setahun dan
untuk saldo di atas Rp 1 juta, 12% setahun. Kebijaksanaan
tersebut diharapkan akan lebih merangsang penabung-penabung
kecil seperti pelajar/pramuka, pegawai dan penabung-penabung
lainnya untuk menyimpan kelebihan uangnya dalam bentuk Tabanas. Kebijaksanaan lainnya adalah untuk meningkatkan pelayanan bagi para penabung serta memberikan pembebasan berbagai
jenis pajak. Adapun jenis pajak yang dibebaskan adalah pajak
249
kekayaan (PKk) bagi pokok tabungan yang ditempatkan lebih dari 1 tahun, dan pajak pendapatan (PPd) serta pajak atas bunga, dividen dan royalti (PBDR) bagi bunga tabungan. Di samping itu Pemerintah masih terus berusaha untuk menambah bank
penyelenggara Tabanas dan Taska, baik bank umum swasta nasional maupun bank pembangunan daerah.
Untuk Taska (Tabungan Asuransi Berjangka) tingkat bunganya tetap yaitu 9% setahun untuk yang diangsur penuh selama 1
tahun, dan 6% setahun untuk yang ditarik sebelum jatuh waktu.
Kebijaksanaan penerbitan sertifikat deposito yang telah
dimulai sejak September 1 9 7 1 di samping merupakan sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat juga dimaksudkan untuk
mengembangkan pasar uang di Indonesia. Penerbitan surat-surat
berharga itu (yang merupakan surat berharga jangka pendek)
masih terbatas dilakukan oleh bank-bank umum Pemerintah dan
beberapa bank asing.
a. Perkembangan dana perbankan
Dana perbankan yang terdiri atas giro, deposito berjangka
dan tabungan, baik dalam rupiah maupun valuta asing, dalam
lima tahun terakhir jumlahnya selalu meningkat. Posisi dana
perbankan yang pada tahun 1978/79 berjumlah Rp. 3.328 milyar
telah meningkat menjadi Rp 13.337 milyar pada akhir tahun
1983/84. Hal ini berarti bahwa dana yang dapat dikerahkan selama Repelita III telah meningkat rata-rata dengan 32,0% setahun. Kenaikan tersebut terjadi atas giro yang meningkat dengan rata-rata 28,8%
setahun sehingga posisinya mencapai
Rp 6.350 milyar. Deposito berjangka dan tabungan masing-masing meningkat dengan rata-rata 36,7% dan 25,4% setahun, sehingga jumlahnya Rp 6.349 milyar dan Rp 638 milyar pada akhir
Maret 1984.
Komposisi dana selama Repelita III sedikit mengalami perubahan. Peranan giro yang dalam empat tahun pertama masih tetap merupakan jumlah yang terbesar dalam seluruh dana perbankan, pada tahun terakhir peranannya sedikit menurun dan
hampir sama dengan deposito berjangka. Komposisi
dana perbankan yang pada tahun 1978/79 terdiri atas 54% giro, 40% deposito berjangka dan 6% tabungan, pada akhir Maret 1984 telah
berubah menjadi 4 8 % giro, 4 7 % deposito berjangka dan 5% tabungan. Gambaran yang lebih jelas mengenai perkembangan dana
perbankan
dapat
dilihat
pada
Tabel
IV
15.
250
TABEL IV - 15
PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN DALAM
RUPIAH DAN VALUTA ASING 1)
(dalam milyar rupiah)
1) Terdiri dari dana Bank-bank umum, bank pembangunan dan bankbank tabungan; termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan
penduduk.
2) Termasuk giro valuta asing
3) Terdiri dari deposito berjangka Rupiah dan Valuta Asing,
serta termasuk s e r t i f i k a t deposito.
4) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti
setoran ONH
251
b. Deposito berjangka, Tabanas dan Taska serta tabungan
lainnya
Deposito
berjangka
yang
pada tahun 1978/79 berjumlah
Rp 1.330 milyar telah meningkat menjadi Rp 6.349 milyar pada
akhir Maret 1984. Hal ini berarti bahwa selama Repelita III
deposito telah meningkat dengan 377,4 % atau naik dengan
rata-rata 36,7% setiap tahun. Peningkatan terbesar terjadi
dalam tahun 1983/84 yakni sebesar Rp 2.611,6 milyar atau
69,9%. Peningkatan tersebut terutama terjadi pada deposito
rupiah pada kelompok bank pemerintah dan bank swasta nasional.
Dilihat dari kelompok bank-bank, deposito berjangka dalam
rupiah yang dihimpun bank pemerintah dalam tahun 1983/84 meningkat dengan Rp 2.138,8 milyar menjadi Rp 3.044,0 milyar
atau naik 236 % dibandingkan dengan kenaikan rata-rata 31,7%
setahun selama Repelita III. Pada kelompok bank swasta nasional,
penghimpunan
deposito
tersebut
meningkat
dengan
Rp 658,8 milyar menjadi Rp 1.277,2 milyar dalam tahun 1983/84
atau naik 106,5% dibandingkan dengan kenaikan rata-rata 67,6%
setahun selama Repelita III. Sedangkan deposito yang dihimpun
oleh kelompok bank asing mengalami kenaikan yang relatif ke cil yaitu naik dengan Rp 149,7 milyar (33,9%) sehingga berjumlah Rp 591,0 milyar pada akhir Maret 1984 dibandingkan dengan kenaikan rata-rata 64,3% setahun selama Repelita III.
Bila dilihat dari jangka waktunya, perkembangan deposito
rupiah selama tahun 1983/84 telah mengalami pergeseran-pergeseran. Deposito berjangka waktu 24 bulan yang sampai dengan
akhir Desember 1982 masih memegang peranan terbesar dalam seluruh deposito telah mengalami penurunan untuk tahun selanjutnya. Peranan deposito tersebut yang pada akhir Maret 1979
adalah 64,7% turun menjadi 47,0% pada tahun 1981/82 dan hanya
sebesar 12,0% pada akhir Maret 1984. Adapun peranan deposito
berjangka di luar jangka waktu tersebut di atas makin besar,
terutama untuk deposito yang berjangka waktu 12 bulan. Peranan deposito berjangka waktu 12 bulan terhadap seluruh deposito yang pada akhir Maret 1979 hanya sebesar 10,4%, telah
naik menjadi 33,0% pada akhir Maret 1984. Hal ini terutama
disebabkan oleh naiknya suku bunga yang ditawarkan oleh bank bank pemerintah bagi deposito berjangka waktu 12 bulan tersebut, yaitu naik dari 9% dalam periods 1978/79 - 1982/83 menjadi sekitar 18% pada akhir tahun 1983/84. Perkembangan deposito rupiah perbankan dapat dilihat pada Tabel IV - 16, dan
Grafik IV-12.
Tabungan yang terdiri dari Tabanas, Taska dan tabungan
252
TABEL IV - 16
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN,
MENURUT JANGKA WAKTU 1)
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
1) Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan Penduduk, serta sertifikat deposito
2) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu
253
GRAFIK IV - 12
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN,
MENURUT JANGKA WAKTU
1978/79 - 1983/84
354
Ongkos Naik Haji (ONH) serta tabungan lainnya selama Repelita
III telah meningkat dengan cukup menggembirakan. Tabungan
tersebut yang pada tahun 1978/79 berjumlah Rp 206 milyar meningkat menjadi Rp 438 milyar pada tahun 1981/82 dan menjadi
Rp 638 milyar pada akhir tahun 1983/84. Hal ini berarti bahwa
telah terjadi peningkatan sebesar 210,0% atau rata-rata 25,4%
setiap tahun.
Sebagai hasil usaha pengerahan Tabanas, hingga akhir Maret 1984 nilai Tabanas berjumlah Rp 575,7 milyar yang berarti
telah meningkat dengan 187,9% selama Repelita III atau naik
rata-rata 23,5% setahun. Penabungnya juga
mengalami peningkatan sebesar 51% selama Repelita III, sehingga pada akhir
Maret 1984 jumlah penabung Tabanas mencapai 11.474.295. Selama Repelita III, bank yang ditunjuk sebagai bank penyelenggara Tabanas/Taska telah bertambah sebanyak 35 bank, sehingga
menjadi 59 bank pada akhir Maret 1984.
Mengenai Taska, selama 3 tahun terakhir dalam Repelita
III mulai menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan dengan
jumlah nilai maupun penabung pada akhir Maret 1979. Selama
Repelita III jumlah nilai dan penabungnya telah meningkat masing-masing dengan 205,1% dan 174,2% atau rata-rata 25,0% dan
22,4% setahun sehingga mencapai Rp 357 juta dengan 17.263 penabung pada akhir Maret 1984. Perkembangan Tabanas/Taska dapat diikuti pada Tabel IV-17.
Di samping Tabanas dan Taska telah pula dilaksanakan kebijaksanaan tabungan melalui pelaksanaan urusan haji yaitu
tabungan Ongkos Naik Haji (ONH). Tabungan ONH merupakan angsuran ongkos untuk naik haji yang disetorkan pada bank. Terhadap setoran tersebut, bank memberikan diskonto dengan maksud untuk merangsang calon jemaah haji menyetor ONH seawal
mungkin. Jumlah tabungan ONH selama periode Repelita III masing-masing adalah Rp 54 milyar dengan 70 ribu jemaah pada
tahun 1978/79, Rp 119 milyar dengan 62 ribu jemaah pada tahun 1981/82, dan Rp 144 milyar dengan 47 ribu jemaah pada tahun 1983/84.
c. Sertifikat Deposito
Penerbitan sertifikat deposito yang dilakukan oleh bankbank Pemerintah dan bank asing seperti Bank Bumi Daya, Bank
Dagang Negara, Bank Rakyat Indonesia, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Negara Indonesia 1946, dan 8 bank asing yaitu
Citibank, American Express International Banking Corp., Algemane Bank Nederland, Bangkok Bank Ltd., The Hongkong and
255
TABEL IV - 17
PERKEMBANGAN TABANAS DAN TASKA,1)
1978/79 - 1983/84
1). Meliputi TABANAS dan TASKA pada Bank-Bank Umum Pemerintah, Bank Tabungan
dan Bank Swasta Nasional penyelenggara TABANAS/TASKA
2). Termasuk Tabungan Pelajar dan Pramuka
256
Shanghai Banking Corp., The Chase Manhattan Bank N.A., Bank
of Tokyo dan European Asian Bank, terus meningkat setiap tahunnya.
Selma 5 tahun Repelita III sertifikat deposito mengalami
kenaikan rata-rata 66 % setahun,
sehingga telah berjumlah
Rp 376 milyar pada akhir tahun 1983/84. Peningkatan tersebut
terutama terjadi pada tahun terakhir Repelita III yaitu naik
dengan Rp. 274 milyar atau 269% bila dibandingkan dengan posisi akhir tahun 1982/83. Perkembangan sertifikat deposit
dapat diikuti pada Tabel IV - 18
4. Suku bunga
Kebijaksanaan suku bunga baik suku bunga kredit maupun
suku bunga dana sejak 1 Januari 1978 sampai awal tahun terakhir Repelita III hampir tidak mengalami perubahan. Kestabilan suku bunga kredit tersebut dimungkinkan karena ditunjang
oleh pemberian kredit likuiditas yang cukup besar dari Bank
Indonesia terutama untuk pemberian kredit bank-bank pemerintah
dalam usaha membiayai proyek-proyek prioritas. Kebijaksanaan
tersebut telah berhasil mendorong pemberian kredit sesuai dengan program Pemerintah tentang kredit ekspor, KIK, KMKP, Kredit Kelayakan dan pinjaman dalam rangka Keppres 14A. Di lain
pihak penetapan suku bunga dana tidak cukup mendorong pemupukan dana dari masyarakat. Usaha selanjutnya dalam rangka
untuk tetap mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi serta
untuk memberi kesempatan bergerak yang lebih baik bagi perbankan dalam memberikan pinjamannya, pada tanggal 1 Juni 1983
Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan baru. Dalam kebijaksanaan tersebut perbankan diberi kebebasan untuk menentukan persyaratan kreditnya, sedangkan suku bunga kredit yang
diatur Pemerintah hanya mencakup jenis kredit untuk sektor
ekonomi yang berprioritas tinggi. Dalam pada itu perbankan
dibebaskan pula untuk menetapkan suku bunga deposito yang diharapkan dapat mendorong pengerahan tabungan masyarakat.
Dengan demikian sebelum 1 Juni 1983 besarnya suku bunga
kredit yang berlaku bagi bank-bank Pemerintah adalah berkisar
antara 9% - 21% setahun. Suku bunga kredit pada bank umum
swasta nasional dan bank asing masing-musing berkisar antara
6% 36% setahun, serta 12% - 31% setahun. Setelah periode 1
Juni 1983, suku bunga kredit di sektor ekonomi yang berprioritas tinggi berkisar antara 5% - 12% setahun. Suku bunga
kredit ekspor masih lama dengan ketentuan semula sebagai sarana penunjang terhadap peningkatan ekspor di luar minyak,
257
TABEL IV - 18
PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK-BANK, 1)
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
Periode
Penjualan
1978/79
1979
174,1
80,6
201,9
29,8
94,9
32,8
1979/80
1980
93,5
253,0
76,5
206,9
46,8
1980/81
295,0
259,3
78,9
82,5
1981
385,4
373,2
383,5
381,7
80,8
74,0
260,0.
269,2
319,8
- 291,7
71,6
-102,1
1981/82
1982
1982/83
Pelunasan
Dalam
Peredaran
April - Juni
51,1
55,1
70,0
J u l i - September
55,2
88,0
.58,7
82,8
66,5
125,5
- 95,1-
1983
1.291,1
1983/84
1.766,0
989,0
1.491,8
115,4
44,7
376,3
172,8
Mei
72,9
49,2
196,5
Juni
Juli
80,9
71,5
32,9
83,5
244,5
232,5
Agustus
90,6
September
77,3
78,8
92,1
244,3
229,5
Oktober
252,3
117,9
Nopember
233,0
181,0
363,9
415,9
Desember
171,6
171,4
213,8
159,4
373,7
Januari
Pebruari
224,9
214,1
396,5
Maret
204,2
224,4
376,3
Oktober – Desember
J a n u a r i - Maret
April
1) Termasuk se r t i f i k a t deposito antar bank
258
71,7
102,1
373,7
385,7
yaitu 9% setahun dengan ketentuan bahwa ekspor tersebut memang dilaksanakan. Suku bunga kredit investasi berkisar sekitar 10,5% - 13,5% setahun. Suku bunga untuk sektor yang tidak
tergolong prioritas bebas ditetapkan oleh bank pelaksana dan
berkisar antara 15% - 24% setahun. Adapun suku bunga kredit
bank umum swasta nasional berkisar antara 9%. - 36% setahun,
sedangkan suku bunga kredit bank asing antara 12% - 29% setahun. Perkembangan suku bunga kredit selama 1978/79 - 1983/84
dapat dilihat pada Tabel IV - 19.
Suku bunga deposito berjangka Inpres pada bank pemerintah sejak 1 Januari 1978 sampai dengan April 1983 ditentukan
6% setahun untuk deposito berjangka waktu 6 bulan, 9% setahun
untuk deposito 12 bulan, 15% setahun untuk deposito 24 bulan
dengan jumlah sampai dengan Rp 2,5 juta dan 12% setahun untuk
jumlah di atas Rp 2,5 juta. Dalam rangka lebih menggairahkan
pengerahan dana dari masyarakat, maka pada 1 Mei 1983 telah
ditentukan bahwa suku bunga deposito berjangka waktu 6 bulan
ke bawah dapat ditetapkan sendiri oleh bank-bank pemerintah
yang bersangkutan. Selanjutnya mulai 1 Juni 1983 Pemerintah
telah mengeluarkan kebijaksanaan di mana bank-bank pelaksana
diberikan kebebasan untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito, kecuali untuk deposito yang berjangka waktu 24 bulan,
dimana suku bunganya masih ditetapkan sekurang-kurangnya 12%
setahun. Berdasarkan ketentuan 1 Juni tersebut suku bunga
yang berlaku pada bank-bank pemerintah telah mengalami
perubahan. Pada akhir Maret 1984 suku bunga deposito berjangka adalah 15% setahun untuk yang berjangka waktu 1 bulan,
16,5% setahun untuk yang 3 bulan, 17,5% setahun untuk yang 6
bulan dan 18% setahun untuk yang berjangka waktu 12 bulan.
Suku bunga Tabanas yang tidak mengalami penyesuaian sejak 1 Januari 1978, mulai 1 Juni 1983 telah berubah menjadi
15% setahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp. 1 juta dan
12% setahun untuk saldo tabungan di atas Rp 1 juta. Sedangkan
suku bunga Taska tidak mengalami perubahan selama Repelita
III yaitu tetap 9% setahun untuk Taska yang diangsur penuh
selama 1 tahun, namun apabila ditarik sebelum jatuh waktu suku bunganya hanya 6% setahun. Perkembangan suku bunga deposito berjangka Inpres, Tabanas dan Taska dapat diikuti pada Tabel IV - 20.
Dalam hal sertifikat deposito suku bunganya selalu diadakan penyesuaian oleh bank-bank penyelenggara. Suku bunga
deposito pada bank pemerintah dan bank asing masing-masing
berkisar antara 2,5% 9% dan 3% - 12% setahun pada tahun
1978/79, kemudian berubah masing-masing menjadi antara 2,5% -
259
TABEL IV - 19
260
TABEL IV - 19
PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DAN GOLONGAN SUKU BUNGA PINJAMAN
MENURUT SEKTOR EKONOMI 1)
1976 – 1983/84
(Lanjutan Tabel IV - 19)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Dalam suku bunga tersebut sudah termasuk provisi yang diperhitungkan dari plafond pinjaman dan
dipungut hanya satu kali pada waktu penandatanganan akad pinjaman dan pada tiap-tiap perpanjangan
waktu pinjaman. Besarnya provisi adalah 1%, kecuali untuk pinjaman impor, pangan yang dibiayai dengan
PL 480 hanya 0,5%
Suku bunga pinjaman likuiditas untuk ekspor dan produksi barang ekspor diturunkan dari 10% setahun
menjadi 5% setahun
Pinjaman investasi golongan I dan KIK dikenakan suku bungs pinjaman likuiditas BI kepada bank-bank
pemerintah sebesar 3% setahun, untuk Golongan II s/d IV dan KMKP dikenakan suku bunga 4% setahun.
Untuk pinjaman modal kerja, suku bunga pinjaman likuiditas untuk masing-masing golongan adalah
sebagai berikut :
Golongan I
: 3% setahun
Golongan II
: 4% setahun (kecuali suku bunga BIMAS/INMAS: 3% setahun)
Golongan III a/d IV
: 6% setahun
Pinjaman modal kerja yang akadnya ditanda tangani sebelum 1 Januari 1978 dikenakan ketentuan suku
bunga lama berlaku s/d 31 Maret 1978
S = Suku bunga per tahun. Mulai 1 Juni 1983 suku bunga kredit likuiditas adalah 3% setahun
G = Golongan suku bunga pinjaman
Sebelum 1 Januari 1978 Jumlah kredit investasi untuk tiap-tiap Golongan adalah sebagai berikut :
Golongan I
s/d Rp. 25,- juta
Golongan II
di atas Rp. 25,- juta s/d Rp. 1 0 0 , - juta
Golongan III
di atas Rp.100,- juta s/d Rp. 300,- juta
Golongan IV
di atas Rp.300,- juta
Sejak 1 Januari 1978 kredit investasi golongan IV di atas Rp.1.500,- juta hanya dapat diberikan
oleh BAPINDO
Mulai Juni 1980 batas maksimum golongan IV diubah menjadi Rp.2.500,- Juta. Kredit investasi diatas
Rp.2.500,- juta hanya diberikan oleh BAPINDO
Tidak termasuk Inmas
Sepanjang yang telah direalisir
Khusus untuk Bimas
261
TABEL IV - 20
PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DEPOSITO BERJANGKA
INPRES DAN TABANAS/TASKA,
1972 - 1983/84
(dalam persen per tahun)
1) Besarnya suku bunga ditetapkan oleh masing-masing bank
2) Sejak 13 Januari 1977 deposito berjangka 18 bulan ditiadakan.
3) 15% setahun untuk jumlah sampai dengan Pp. 2,5 juta,
jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun
4) 18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun
5) 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun
6) 18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun
7) 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 6% per tahun
8) Dalam kebijaksanaan 1 Juni 1983 ditetapkan
sekurang-kurangnya 12 % per tahun
9) 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp.1.000.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun
262
9 % dan 9 % - 15,5% setahun pada tahun 1980/81. Pada tahun,
1983/84 suku bunga sertifikat deposito bank-bank Pemerintah
adalah antara 4 % - 1 8 , 7 5 % , sedangkan suku bunga pada Bank
Asing berkisar sekitar 9% - 18% setahun.
5.
Perkreditan
a. Kebijaksanaan Perkreditan
Kebijaksanaan perkreditan dalam Repelita III pada dasarnya melanjutkan dan menyempurnakan kebijaksanaan dalam Repelita II yang diarahkan untuk meningkatkan pembangunan tanpa
membahayakan kestabilan ekonomi. Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan
dengan
memperhatikan
perkembangan-perkembangan
ekonomi yang terjadi terutama mengenai keadaan neraca pembayaran, perkembangan keuangan Negara, perkembangan harga dan
usaha mobilisasi dana dalam masyarakat. Usaha-usaha tersebut
dilaksanakan dengan cara mengarahkan pemberian kredit untuk
menunjang pengembangan dunia usaha terutama usaha golongan
ekonomi lemah dan mendorong kegiatan produksi
dalam negeri
dan investasi terutama d i bidang perindustrian maupun produksi hasil-hasil pertanian.
Dalam tahun terakhir Repelita III, Pemerintah telah
mengeluarkan kebijaksanaan baru pads 1 Juni 1983 yang antara
lain menetapkan bahwa kebijaksanaan perbankan diarahkan kepada usaha untuk meningkatkan kemampuan bank-bank memberikan
kredit yang bersumber dart dana masyarakat dan tidak lagi tergantung kepada kredit likuiditas Bank Indonesia.
Dalam kebijaksanaan tersebut, pemberian kredit dikelompokkan ke dalam kredit untuk sektor yang tergolong berprioritas tinggi dan kredit untuk sektor yang tidak berprioritas
tinggi. Bagi kredit untuk sektor prioritas tinggi, Bank Indonesia masih menyediakan fasilitas kredit likuiditas dan menetapkan persyaratan kredit kepada nasabahnya, sedangkan dalam
hal kredit yang tidak tergolong prioritas tinggi, persyaratan
kredit dan suku bunganya ditentukan oleh bank yang bersangkutan dan tidak disediakan kredit likuiditas Bank Indonesia.
Sehubungan dengan itu kebijaksanaan
penetapan pagu kredit
yang telah dilaksanakan sejak 1974 dihapuskan.
Selama Repelita III, dalam rangka mendorong usaha golongan ekonomi lemah, di samping melanjutkan fasilitas KIK/KMKP,
Kredit Mini dan Kredit Candak Kulak, Pemerintah telah pula
menyediakan bermacam-macam jenis kredit seperti fasilitas kre-
263
dit kelayakan, kredit dalam rangka Keppres 14A/1980 dan Kredit
Midi. Persyaratan untuk jenis-jenis kredit tersebut dari tahun
ketahun selalu disempurnakan.
Selanjutnya untuk mengurangi ketergantungan penerimaan
devisa dari hasil ekspor migas, pada awal tahun 1982 telah
dikeluarkan serangkaian kebijaksanaan kredit yang menyangkut
ekspor dan produksi barang ekspor barang-barang bukan migas.
Kebijaksanaan tersebut antara lain berupa pemberian keringanan persyaratan kredit ekspor, penyediaan jaminan kredit ekspor dan asuransi ekspor.
Dalam usaha membantu kelancaran produksi dalam negeri, di
samping kredit modal kerja untuk ekspor dan produksi lainnya, Pemerintah telah menyediakan pula kredit modal kerja untuk impor bahan baku dan penolong, suku cadang dan barang modal tertentu dengan persyaratan yang cukup ringan. Bank-bank
devisa diperkenankan untuk memberikan kredit kepada importir
baik untuk keperluan pembiayaan jaminan impor maupun pembiayaan sisa L/C yang jumlahnya ditetapkan sendiri oleh masingmasing bank pembuka L/C. Dalam hal impor barang-barang lainnya, bank devisa diperkenankan memberikan pinjaman dengan
dananya sendiri setinggi-tingginya 60% dari nilai L/C yang
bersangkutan. Sejalan dengan itu dalam usaha mengurangi mengalirnya
devisa
ke luar negeri serta mendorong usaha kontraktor nasional, pada akhir tahun 1983 bank-bank pemerintah
diperkenankan untuk memberikan kredit modal kerja kepada kontraktor nasional yang memenangkan tender internasional dengan
persyaratan yang cukup ringan. Kredit tersebut dapat digunakan untuk proyek-proyek di dalam maupun di luar negeri dengan
bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia.
Dalam rangka usaha meningkatkan hasil perkebunan untuk
diekspor maupun bahan baku dalam negeri, Pemerintah telah
memperkenankan bank-bank memberikan kredit kepada perkebunanperkebunan besar swasta nasional baik untuk keperluan investasi maupun keperluan modal kerja. Dalam hal kredit investasi, pinjaman hanya digunakan
untuk
pembangunan pabrik baru
atau rehabilitasi pabrik, intensifikasi dan tumpang sari, dengan persyaratan suku bunga dan pembiayaan nasabah yang cukup
rendah. Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi ketentuan tentang persyaratan dana sendiri,
lembaga
keuangan bukan bank
dan perbankan dapat melakukan penyertaan dengan bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia. Di samping itu untuk membantu
perkebunan rakyat dan meningkatkan produksi
barang-barang
ekspor khususnya barang-barang ekspor tradisional, Pemerintah
telah menyediakan fasilitas kredit Peremajaan, Rehabilitasi
264
dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE) dan Perkebunan Inti
Rakyat (PIR) dengan persyaratan jangka waktu yang cukup panjang.
Dalam rangka menunjang perkembangan koperasi, berbagai
keringanan persyaratan atas pinjaman kredit investasi telah
diberikan seperti pembiayaan sendiri yang lebih ringan, bagi
Koperasi Unit Desa serta Koperasi Unit Desa Model.
Guna membantu para guru melaksanakan
tugas mengajar sehari-hari, Pemerintah telah menyediakan fasilitas kredit untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua dengan suku bunga
yang cukup ringan. Di samping itu untuk lebih meratakan kesempatan memperoleh pendidikan di perguruan tinggi, Pemerintah telah menyediakan pula fasilitas kredit kepada para mahasiswa yang memperoleh kesulitan dalam pembiayaan namun dianggap mampu menyelesaikan kuliahnya, dengan memberikan jangka
waktu pengembalian yang cukup panjang.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kredit perbankan dikelompokkan ke dalam kredit yang berprioritas tinggi dan kredit yang tidak berprioritas tinggi. Adapun kredit yang berprioritas tinggi menurut ketentuan l Juni 1983 meliputi Kredit Modal Kerja untuk Kredit Bimas, KMKP, Kredit produksi,
impor dan penyaluran pupuk dan obat hama untuk Bimas, Perkebunan Swasta Nasional (PSN), Kredit Koperasi untuk anggotanya
dan Kredit Ekspor
sepanjang
telah betul-betul direalisir.
Yang termasuk kredit investasi berprioritas tinggi adalah
kredit untuk golongan ekonomi lemah antara lain berupa Kredit
Mini, Midi, KIK, Kredit Perkebunan untuk PIR, PRPTE dan PSN,
Kredit untuk Pencetakan Sawah, Kredit Investasi sampai dengan
Rp. 75 juta, dan kredit kepada Koperasi untuk anggotanya. Dapat ditambahkan bahwa kredit kepada para guru untuk pembelian
kendaraan bermotor roda dua, digolongkan sebagai kredit investasi sampai dengan Rp. 75 juta. Selain dari itu Kredit Mahasiswa Indonesia, Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Asrama
Mahasiswa juga dimasukkan ke dalam kredit berprioritas tinggi.
b. Jumlah dan arah penggunaan kredit
Pemberian kredit selama Repelita III naik rata-rata 23,2%
setahun sehingga mencapai Rp 16.135 milyar pada akhir tahun
1983/84. Kenaikan yang tertinggi terjadi pada tahun 1981/82
yakni sebesar 31,6% terutama karena ditetapkannya pagu pertambahan kredit yang lebih longgar pada tahun tersebut. Kenaikan jumlah kredit ini terutama digunakan untuk membiayai
sektor perindustrian dan perdagangan berupa kredit kepada
265
Bulog dalam rangka pengadaan pangan. Kenaikan pemberian kredit selama tahun 1983/84, yang merupakan tahun terakhir Repelita III adalah sebesar 17,7%. Kenaikan yang cukup rendah tersebut terutama disebabkan oleh masih terasanya pengaruh resesi ekonomi dunia yang mengakibatkan rendahnya tingkat permintaan kredit didalam negeri. Selain itu dengan dikeluarkannya
kebijaksanaan 1 Juni 1983 bank-bank tidak lagi mendapat kredit likuiditas dari Bank Indonesia untuk pinjaman yang tidak
berprioritas tinggi. Dalam hal demikian bank-bank lebih berhati-hati dalam pembiayaan pinjamannya mengingat dananya
sangat tergantung dari dana masyarakat. Kenaikan jumlah kredit dalam tahun 1983/84 terutama digunakan untuk membiayai
sektor perdagangan sebesar Rp. 1.162 milyar dan sektor produksi sebesar Rp. 1.341 milyar.
Dilihat dari sektor perbankan pemberian kredit melalui
Bank Umum Pemerintah selama Repelita III dari tahun ke tahun
semakin meningkat yakni 5 3,2% pada tahun 1978/79 menjadi
59,2% tahun 1981/82, dan 63,7% untuk tahun 1983/84. Pemberian
kredit oleh Bank Umum Pemerintah yang pada akhir tahun 1978/
79 berjumlah Rp. 3.021 milyar, dalam tahun 1979/80 naik dengan 13,9%, kemudian naik dengan 34,3%, 37,5% dan 39,4% masing-masing dalam tahun 1980/81, 1981/82 dan 1982/83. Namun
dalam tahun 1983/84 kredit hanya naik dengan 16,1% sehingga
mencapai Rp 10.283 milyar pada akhir Maret 1984. Di samping
itu peranan Bank-bank Umum Swasta Nasional (BUSN) dan Bank
Pembangunan Daerah (BPD) meningkat yakni sebesar 6,8% pada
akhir tahun 1978/79 menjadi 10,8% pada akhir tahun 1981/82
dan 16,0% pada akhir tahun 1983/84. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah untuk mendorong peranan kelompok bank
tersebut dalam pembiayaan pembangunan. Pemberian kredit BUSN
dan BPD selama Repelita III naik rata-rata dengan 46,2% setahun, sehingga mencapai Rp. 2.583 milyar pada akhir Maret
1984. Dalam pada itu peranan Bank Asing dalam pemberian kredit selama Repelita III, hampir tidak mengalami perubahan,
yakni 26,9%, sehingga mencapai Rp. 977 milyar pada akhir Maret 1984. Peranan pemberian kredit oleh Bank Indonesia dalam
periode yang lama menunjukkan penurunan, yakni dari 34,7% pada tahun 1978/79 menjadi 24,5% tahun 1981/82 dan berturut-turut menurun menjadi 17,4% dan 14,2% masing-masing pada tahun
1982/83 dan 1983/84, sehingga berjumlah Rp. 2.292 milyar pada,
akhir Maret 1984. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh
adanya pelunasan pinjaman oleh perusahaan dan lembaga pemerintah.
Dilihat dari sektor ekonomi, pemberian kredit pada tahun
1978/79 sebagian besar digunakan untuk sektor produksi yang
266
merupakan 38,3% dari seluruh kredit perbankan. Kredit tersebut terutama digunakan untuk membiayai industri tekstil dan
logam dasar. Selama Repelita III kredit di sektor produksi
rata-rata bertambah dengan 29,7% setahun sehingga mencapai Rp
7.986 milyar pada tahun 1983/84 dengan peranannya yang terus
meningkat menjadi 49,5% dari seluruh kredit perbankan. Kenaikan terbesar selama tahun 1982/83 yakni sebesar 46,7% terutama disebabkan oleh pengaruh penyesuaian nilai tukar rupiah
dari Rp 702,50 menjadi Rp 970,- per\US$ 1,- Apabila tidak diperhitungkan penyesuaian nilai tukar tersebut, maka kredit
naik dengan 42,5%. Dalam tahun terakhir Repelita III kredit
di sektor produksi naik dengan 20,2%, yang digunakan untuk
membiayai industri pupuk dan obat hama, industri semen serta
industri kayu dan rumah sederhana.
Dalam hal peranan kredit untuk sektor perdagangan pada
akhir Repelita II adalah 20,3% dari seluruh kredit perbankan.
Selama Repelita III kredit untuk sektor ini naik hampir 4 kali
lipat atau rata-rata naik dengan 35,6% setahun sehingga mencapai Rp 5.297 milyar pada akhir Maret 1984, dengan peranannya yang meningkat menjadi 32,8%. Kenaikan yang terbesar terjadi dalam tahun 1980/81 sebesar 61,8% terutama disebabkan
oleh pemberian kredit untuk pengadaan pangan. Selama tahun
1983/84 yang merupakan tahun terakhir Repelita III kredit di
sektor perdagangan naik dengan 28,1%, dan digunakan untuk
membiayai kegiatan pengumpulan barang-barang dalam negeri
(terutama gula), impor pupuk dan obat hama, distribusi barang
kebutuhan pokok dan perdagangan eceran dan pembiayaan usaha
kecil dalam bentuk KIK dan KMKP, serta pinjaman kepada Bulog
dalam rangka pengadaan pangan.
Kredit untuk sektor lain-lain pada akhir Repelita II berjumlah Rp. 2.349 milyar atau 41,4% dari seluruh kredit perbankan. Dalam Repelita III posisinya meningkat menjadi
Rp 2.852 milyar pada akhir Maret 1984, dengan peranannya yang
menurun menjadi 17,7%. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan
yang relatif lambat yaitu rata-rata sebesar 4,0% setahun, karena ada pelunasan kredit oleh perusahaan-perusahaan negara.
Adapun kenaikan yang tertinggi dari kredit sektor lain-lain
terjadi dalam tahun 1980/81 sebesar 9,4%.
Perkembangan kredit menurut sektor perbankan dan sektor
ekonomi dapat dilihat pada Tabel IV - 21 dan Tabel IV - 22,
dan Grafik IV-13.
267
TABEL IV - 21
PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR PERBANKAN,
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
268
Kredit dalam rupiah, maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi,
KIK dan KKKP tetapi tidak termasuk kredit antar bank serta kredit
kepada Pemerintah Pusat dan bukan penduduk
Termasuk kredit yang dibiayai oleh kredit likuiditas Bank Indonesia
Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- per US $ 1,Sejak akhir Desember 1979 untuk kredit diluar Bank Indonesia, tidak termasuk bunga dalam
penyelesaian yang belum diperhitungkan dalam laba/rugi
Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp. 702,5 menjadi Rp. 970,- per US $ 1,Angka diperbaiki
Angka sementara
TABEL IV - 22
PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1978/79 -.1983/84
(dalam milyar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit
Investasi, KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit antar
bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat dan bukan penduduk
Termasuk produksi barang-barang hasil pertanian,
pertambangan (kecuali PN. Pertamina) dan Perindustrian
Terdiri dari kredit ekspor, kredit impor dan kredit
perdagangan dalam negeri
Terdiri dari kredit untuk PN. Pertamina, jasa-jasa dan
lain-lain
Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp 415,(sejak 16 Nopember 1978) menjadi Rp.625,- per US $ 1,Sejak akhir Desember 1979 tidak termasuk bunga dalam
penyelesaian yang dibebankan dalam pinjaman
Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp. 702,50 per
US $ 1,- menjadi Rp. 970,- sejak 30 Maret 1983
Angka diperbaiki
Angka sementara
269
GRAFIK IV - 13
PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI
1978/79 - 1983/84
270
c.
Kredit Investasi, KIK/KMKP, Kredit Mini/Midi, Kredit
Candak Kulak (KCK), Inpres Pasar dan Kredit Perumahan
Rakyat (KPR).
Langkah-langkah kebijaksanaan kredit investasi selama Repelita III
merupakan kelanjutan dan peningkatan dari kebijaksanaan tahun-tahun
sebelumnya,
berupa
memberikan
kemudahan
dan keringanan lebih lanjut atas ketentuan serta
persyaratan
yang telah dilaksanakan.
Kebijaksanaan pemerintah sejak tahun
1978 adalah bahwa
Bank-bank Pemerintah diperkenankan untuk memutus sendiri permohonan kredit investasi untuk
jumlah
pinjaman sampai dengan
Rp. 200 juta. Selanjutnya dalam
rangka
meningkatkan peranan
para mengusaha golongan ekonomi
lemah
serta mendorong peningkatan produksi dalam negeri; Pemerintah telah pula menyediakan fasilitas kredit investasi atas
dasar kelayakan untuk
jumlah pinjaman sampai dengan Rp. 75 juta.
Penilaian
pemberian kredit tersebut
ditekankan
kepada
keberhasilan
proyek
dan jenis usaha yang dibiayai. Mulai April 1980 terhadap kredit investasi
untuk
proyek-proyek/kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan APBN telah diberikan keringanan. Keringanan
tersebut dikenakan atas pinjaman yang dikenal dengan
kredit
dalam rangka KEPPRES 14A, berupa pengurangan jumlah pembiayaan sendiri oleh nasabah (self-financing), kelonggaran jaminan
kredit dan pembebasan dari kewajiban penyampaian laporan studi kelayakan. Pada bulan Juli 1980 diadakan beberapa
penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan kredit
investasi
antara
lain penyesuaian jumlah tertinggi kredit investasi per proyek
yang dapat diberikan oleh bank-bank
Umum Pemerintah.
Jumlah
yang tertinggi semula ditetapkan Rp. 1.500 juta dinaikkan menjadi Rp. 2.500 juta, sedangkan untuk jumlah kredit di atas
Rp. 2.500 juta hanya dapat diberikan o l e h BAPINDO. Dalam tahun 1981/82 bagi nasabah yang sedang menikmati fasilitas kredit investasi telah diberikan kemudahan lain, yakni dapat
memperoleh pinjaman untuk kedua kalinya walaupun pelunasan
pinjaman yang pertama belum mencapai 75% seperti
yang
disyaratkan dalam ketentuan sebelumnya.
Dalam usaha menunjang kemajuan di bidang pendidikan telah
pula disediakan fasilitas kredit investasi untuk keperluan
pembiayaan rehabilitasi gedung serta peralatan
akademis
perguruan tinggi swasta, dengan ketentuan bagi pinjaman dibawah Rp.
200 juta, pembiayaan sendiri ditetapkan sebesar 10% dari biaya
proyek, yang menurut ketentuan umum adalah sekitar 25%-35%.
Dalam hal jangka waktu kredit ditetapkan maksimum 15 tahun
dibandingkan dengan 10 tahun menurut ketentuan umum.
271
Pemberian kredit investasi selama Repelita III dari
tahun
ke tahun selalu menunjukkan peningkatan. Realisasi kredit investasi yang pada tahun 1978/79 berjumlah Rp. 343 milyar
kemudian meningkat menjadi Rp. 1.345 milyar tahun 1982/83 dan
diperkirakan mencapai Rp._1.891 milyar pada akhir Maret 1984.
Dengan demikian selama Repelita III realisasi
kredit
investasi meningkat rata-rata dengan 40,7% setahun. Adapun jumlah
kredit investasi yang disetujui selama Repelita III mengalami
peningkatan rata-rata dengan 51,3%, sehingga mencapai Rp. 3.551
milyar pada akhir Maret 1984.
Sektor-sektor ekonomi utama yang mendapat pembiayaan kredit investasi adalah sektor perhubungan dan pariwisata, serta
sektor perindustrian. Pada akhir Maret 1984 kedua sektor tersebut mempunyai peranan masing-masing sebesar 38,2% dan 38,4%
dari keseluruhan jumlah realisasi kredit investasi.
Perkembangan pemberian
kredit
pada Tabel IV - 23 dan Grafik IV - 14.
investasi
dapat
dilihat
Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) merupakan fasilitas kredit yang disediakan Pemerintah dalam rangka membantu kegiatan pengusaha golongan ekonomi lemah. Pinjaman tersebut diberikan sejak awal tahun 1974
dengan persyaratan yang ringan berupa bunga yang rendah,
jangka waktu pengembalian yang lama serta prosedur yang sederhana. Untuk lebih meningkatkan kegiatan pengusaha tersebut, pada awal tahun 1978/79 Pemerintah terus berusaha untuk
memberikan keringanan dan kemudahan lebih lanjut.
Pada tahun 1979/80 jumlah maksimum KIK dan KMKP telah
dinaikkan masing-masing menjadi Rp. 10 juta, yang semula Rp.5
juta. Bagi nasabah yang pinjamannya berjalan lancar dapat
dipertimbangkan tambahan kredit (suplesi) sehingga jumlah
maksimum untuk KIK dan KMKP
masing-masing
menjadi
Rp. 15
juta. Terhadap jangka waktu pengembalian kredit juga diberikan kelonggaran perpanjangan hingga menjadi 10
tahun dengan
masa tenggang maksimum 4 tahun. Selain itu jaminan kredit tidak lagi didasarkan atas tersedianya jaminan fisik namun didasarkan atas kelayakan usaha.
Bagi nasabah yang sedang menikmati KIK dan KMKP dimungkinkan pula untuk mempergunakan
jenis-jenis
pinjaman lainnya seperti kredit atas dasar kelayakan, kredit investasi dan kredit modal kerja biasa dengan
maksimum sebesar Rp. 75 juta.
Setelah adanya kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 pembinaan terhadap pengusaha ekonomi lemah tetap akan ditingkatkan.
272
TABEL IV - 23
PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR EKONOMI 1)
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah) 2)
1) Termasuk pembiayaan rupiah bantuan proyek tetapi tidak termasuk Kredit
Investasi Kecil (KIK) dan nilai lawan valuta asing bantuan proyek
2) Angka dibulatkan
3) Angka perkiraan
273
GRAFIK IV - 14
PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1978/79 - 1983/84
274
Dalam hal ini KIK dan KMKP dikelompokkan
sebagai pinjaman
yang berprioritas tinggi dengan suku bunga masing-masing 12 %
setahun, dan dengan jumlah maksimum kredit Rp. 15 juta, sedangkan suplesi kredit ditiadakan. Jangka waktu pengembalian
adalah 10 tahun untuk KIK dan 3 tahun untuk KMKP. Dengan dilakukannya berbagai penyempurnaan dan keringanan terhadap
program KIK dan KMKP, maka jumlah KIK dan KMKP senantiasa
mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Realisasi KIK yang pada akhir tahun 1978/79
berjumlah
Rp. 68 milyar,
selama
Repelita III naik rata-rata dengan
41,6% sehingga mencapai Rp. 387 milyar pada tahun 1983/84.
Kenaikan yang terbesar terjadi pada tahun 1980/81 yakni sebesar 111,0% terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya kegiatan dunia usaha serta prosedur yang lebih mudah dalam pemberian KIK. Pada tahun 1983/84 jumlah KIK menurun sebesar
6,5%. Penurunan tersebut antara lain disebabkan adanya pengaruh resesi ekonomi dunia dan kebijaksanaan 1 Juni 1983 yang
menaikkan suku bunga KIK dari 10,5% setahun menjadi 12% setahun. Adapun jumlah KIK yang disetujui yang pada tahun 1978/79
berjumlah Rp. 113 milyar, selama Repelita III naik rata-rata
dengan 48,8%, sehingga secara kumulatif mencapai Rp. 825 milyar pada akhir Maret 1984. Selama tahun 1983/84 nilai persetujuan KIK naik hanya dengan 14,1% dibandingkan dengan 26,6%
dan 56,0% masing-masing dalam tahun 1982/83 dan tahun 1981/82.
Pemberian KMKP, baik posisi maupun nilai yang disetujui
juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun
1978/79 posisi dan nilai KMKP yang disetujui berjumlah Rp. 93
milyar dan Rp. 188 milyar. Selama Repelita III masing-masing
meningkat rata-rata 56,3% dan 58,2% sehingga posisi KMKP berjumlah Rp. 867 milyar dan nilai yang disetujui secara kumulatif mencapai Rp. 1.861 milyar pada akhir Maret 1984. Kenaikan
baik dalam posisi KMKP maupun jumlah yang disetujui, yang
terbesar terjadi pada tahun 1980/81 yaitu masing-masing
111,0% dan 88,0%.
Perkembangan
pemberian KIK dan KMKP selama periode
1978/79 - 1983/84 dapat dilihat pada Tabel IV - 24 dan Grafik
IV - 15.
Selain usaha meningkatkan pengusaha golongan ekonomi lemah dalam bentuk KIK/KMKP mulai tahun 1974 Pemerintah juga
menyediakan fasilitas kredit kepada masyarakat kecil di pedesaan berupa kredit Mini. Kredit tersebut diberikan dengan
jumlah maksimal Rp. 200.000,- dengan bunga 12 % setahun. Dana
kredit Mini berasal dari APBN. Selanjutnya bagi nasabah yang
275
TABEL IV - 24.
PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN,
1978/79 - 1983/84
276
GRAFIK IV - 15
PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL KREDIT MODAL KERJA PERMANEN DAN
PERKEMBANGAN KREDIT MINI,
1978/79 - 1983/84
277
usahanya menunjukkan perkembangan yang baik, mulai bulan Juli
1980 disediakan pula fasilitas Kredit Midi. Jumlah Kredit Midi untuk setiap nasabah adalah Rp. 200.000,- sampai
dengan
Rp. 500.000,- dengan suku bunga 10,5% setahun untuk keperluan
investasi dan 12% setahun untuk keperluan modal kerja. Adapun
dana kredit Midi seluruhnya berasal dari Bank Indonesia. Dengan adanya ketentuan 1 Juni 1983 maka suku bunga Kredit Mini
dan Kredit Midi untuk keperluan investasi adalah 12% setahun
sedangkan untuk keperluan modal kerja ditetapkan oleh masingmasing bank.
Sejak dimulainya pemberian kredit Mini, hingga tahun
1978/79 jumlah kredit Mini mencapai Rp. 15,7 milyar. Sejalan
dengan penyediaan dana yang semakin besar, pemberian Kredit
Mini juga menunjukkan peningkatan yang cukup berarti yakni
rata-rata 18,4% setahun selama Repelita III, sehingga jumlahnya mencapai Rp. 36,5 milyar pada akhir Maret 1984 dengan
jumlah nasabah 491 ribu orang. Jumlah dana yang disediakan
telah mencapai Rp.66,7 milyar sampai dengan akhir Maret 1984.
Dalam hal pemberian Kredit Midi sampai dengan tahun 1983/84
jumlahnya telah mencapai Rp. 34,1 milyar, dengan nasabah sebanyak 142 ribu orang atau naik rata-rata dengan 92,7% setahun. Perkembangan Kredit Mini dan Kredit Midi selama tahun
1978/79 - 1983/84 dapat dilihat pada Tabel IV - 25 dan Tabel
IV - 26.
Dalam rangka usaha membantu pedagang kecil dalam penyediaan tempat berdagang, sejak tahun 1976/77 Pemerintah telah
melaksanakan program pemberian kredit untuk pembangunan dan
pemugaran pasar yang dikenal dengan kredit Inpres Pasar. Pinjaman tersebut diberikan kepada Pemerintah Daerah dengan ketentuan bunganya akan dibayar oleh Pemerintah Pusat. Pada
akhir Maret 1979 pinjaman tersebut berjumlah Rp. 24 milyar
kemudian berkembang menjadi Rp. 97 milyar pada akhir Maret
1984 atau naik rata-rata dengan 32,2% setahun selama Repelita
III.
Di samping pemberian berbagai kredit tersebut di atas Pemerintah juga memberikan Kredit Candak Kulak (KCK) melalui
KUD terutama ditujukan untuk membantu para pedagang kecil dan
bakul di pedesaan. Apabila pada tahun 1978/79 jumlah KCK yang
telah diberikan adalah Rp. 19 milyar; maka pada akhir Repelita III mencapai Rp. 151 milyar atau naik rata-rata dengan
51,4% setahun. Peningkatan yang cukup pesat tersebut antara
lain disebabkan oleh meningkatnya dana pemberian KCK, di samping semakin bertambahnya jumlah KUD yang menyalurkan KCK.
Sampai dengan akhir Maret 1984 jumlah KUD yang menyalurkan
278
TABEL IV - 25
PERKEMBANGAN KREDIT MINI,
1978/79 - 1983/84
279
TABEL IV – 26
PERKEMBANGAN KREDIT MIDI
1980/81 - 1983/84
280
KCK telah mencapai 4.286 KUD, dibandingkan dengan 2.196 KUD
pada akhir Repelita II.
Selanjutnya dalam rangka membantu golongan masyarakat
berpenghasilan tetap, pada tahun 1978 telah dilaksanakan pemberian kredit kepada golongan pegawai rendah dan menengah dalam bentuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang penyalurannya
dilakukan melalui Bank Tabungan Negara dan PT. Papan Sejahtera.
Selama Repelita III pemberian KPR secara keseluruhan senantiasa mengalami peningkatan, yaitu dari Rp. 6 milyar pada
tahun 1978/79 sehingga menjadi Rp. 595 milyar tahun 1983/84,
atau rata-rata naik 150,8% setahun. Kenaikan yang cukup besar
tersebut erat kaitannya dengan perluasan pembangunan perumahan sederhana oleh Perumnas di seluruh Indonesia. Jumlah nasabahnya dalam periode yang sama naik sehingga menjadi 197.370
nasabah pada akhir Maret 1984.
Perkembangan pemberian kredit KCK, Inpres Pasar, KPR dan
keseluruhan kredit untuk golongan ekonomi lemah, selama periode 1978/79 - 1983/84, dapat diikuti pada Tabel IV - 27.
6. Perkembangan Harga
Pemerintah telah berhasil memelihara kestabilan ekonomi
melalui pelaksanaan serangkaian kebijaksanaan moneter dan
fiskal serta kebijaksanaan pengadaan dan penyaluran bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat. Perkembangan harga-harga
yang cukup terkendali selama 5 tahun terakhir ini membuktikan keberhasilan tersebut. Laju inflasi yang diukur dengan
Indeks Harga Konsumen (IHK) memperlihatkan perkembangan dari
11,8% dalam tahun 1978/79 meningkat menjadi 19,1% tahun
1979/80, kemudian menurun menjadi 15,9% tahun 1980/81, 9,8%
tahun 1981/82 dan menjadi 8,4% tahun 1982/83. Setelah itu
terjadi peningkatan lagi dan mencapai 12,6% pada tahun
1983/84.
Kebijaksanaan 15 Nopember 1978 mengenai devaluasi uang
rupiah telah menyebabkan terjadinya peningkatan harga-harga
dalam tahun 1978/79, terutama untuk barang-barang impor. Peningkatan harga barang-barang impor tersebut pada gilirannya
juga mendorong harga barang-barang dan jasa secara keseluruhan untuk naik. Akan tetapi tindakan-tindakan penunjang di bidang fiskal seperti pengurangan bea masuk, penetapan pedoman
harga untuk 207 macam barang yang penting, pengurangan pajak
penjualan impor terhadap sejumlah bahan baku/penolong untuk
281
TABEL IV - 27
PERKEMBANGAN KREDIT PERBANKAN UNTUK GOLONGAN EKONOMI LEMAH, 1)
1978/79 - 1983/84
(dalam milyar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
282
Tidak termasuk kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan valuta asing kredit investasi
dalam rangka bantuan program
Dihitung dari jumlah seluruh kredit Bank Pemerintah
Termasuk kredit kelayakan keppres (s/d jumlah Rp 200 juta)
Pemberian kredit dikurangi pelunasan
Angka Perkiraan
keperluan industri di dalam negeri, dan tindakan pengendalian
atas stok dan harga terhadap barang-barang kebutuhan pokok
(beras, gula, tepung terigu dan minyak goreng) telah membatasi laju inflasi pada tingkat yang masih terkendalikan. Dengan
demikian pengaruh devaluasi terhadap peningkatan harga-harga
dapat dibatasi dan inflasi tetap dapat dikendalikan.
Kebijaksanaan peningkatan harga penjualan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri yang dimaksudkan untuk mengurangi
beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) telah mempengaruhi perkembangan harga-harga barang dan
jasa pada umumnya. Akan tetapi kebijaksanaan ini terus dilaksanakan karena Pemerintah memandang perlu mengurangi beban
subsidi tersebut karena dirasakan semakin berat, baik terhadap APBN maupun pengaruh distorsinya terhadap alokasi sumbersumber perekonomian pada umumnya.
Perkembangan tingkat harga dalam tahun 1979/80 ditandai
oleh peningkatan harga penjualan BBM di dalam negeri yang
dinaikkan pada tanggal 5 April 1979 dengan kenaikan yang berkisar antara 36,4% dan 55,5%. Kenaikan harga jual BBM ini
berpengaruh pada harga-harga barang dan jasa dalam bulan
April dan Mei,, yang meningkat masing-masing dengan 3% dan
3,05%.
Kenaikan tingkat harga pada bulan April sebesar 3,0%
mencerminkan kenaikan yang terjadi di
kelompok aneka barang
dan jasa sebesar 5,88% terutama disebabkan oleh
harga-harga
sub kelompok transpor yang naik dengan 12,52%. Kenaikan tingkat harga pada bulan Mei sebesar 3,05% merupakan pencerminan
kenaikan yang terjadi di kelompok perumahan naik 5,32% yang
disebabkan harga-harga sub
kelompok bahan bakar,
penerangan
dan air yang naik sebesar 8,58%.
Kenaikan tingkat harga pada bulan Mei 1979 juga dipengaruhi oleh keputusan pemerintah pada bulan Oktober 1979 untuk
menaikkan harga dasar pembelian jagung, kedelai, kacang tanah
dan kacang hijau (bahan makanan) mulai 1 Nopember 1979. Keputusan tersebut ditujukan untuk mendorong produksi dan meningkatkan pendapatan petani.
Hal ini tercermin pada harga-harga
sub kelompok padi-padian, ubi-ubian dan hasil-hasilnya
yang
naik dengan 4,43% dan sub kelompok kacang-kacangan
dengan
1,91% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Perkembangan tingkat harga dalam tahun 1980/81 ditandai
dengan harga penjualan BBM di dalam negeri dinaikkan oleh pemerintah mulai tanggal 1 Mei 1980 dengan kenaikan yang ber-
283
kisar antara 50,0% dan 57,1%. Harga-harga dalam bulan ini naik setinggi 3,8% dan sebagai penyebab utama adanya peningkatan harga BBM sehingga mengakibatkan harga-harga sub kelompok
bahan bakar, penerangan dan air naik 17,23% dan harga-harga
sub kelompok transpor 13,05%.
Kecuali dari itu kenaikan tingkat harga pada bulan Mei
1980 juga dipengaruhi oleh keputusan pemerintah menaikkan
harga dasar pembelian jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau pada bulan Oktober 1980. Hal inipun sebagai akibatnya adalah harga-harga sub kelompok padi-padian, ubi-ubian
dan hasil-hasilnya naik 2,21%, dan sub kelompok kacang-kacangan naik 2,82% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Perkembangan tingkat harga dalam tahun 1981/82 meningkat
sebesar 9,8%, dan laju kenaikan dalam tahun ini jauh lebih
rendah bila dibandingkan tahun 1980/81 sebesar 15,9%. Permintaan akan bahan makanan dan sandang meningkat pada bulan Juli
yang menyebabkan kenaikan harga 1,20% terhadap bulan sebelumnya. Hal ini disebabkan masyarakat lebih banyak membutuhkan
bahan-bahan tersebut dalam masa memasuki bulan puasa dan
menghadapi Lebaran pada bulan Juli.
Peningkatan
harga barang-barang ini terdapat di sub kelompok-kelompok buah-buahan
(5,63%), telur, susu dan hasil-hasilnya (3,94%), serta makanan jadi dan makanan (3,60%).
Pada umumnya keadaan kenaikan harga dalam tahun 1982/83
naik sebesar 8,4%. Laju kenaikan harga sebesar 8,4% itu ditandai pula dengan peningkatan harga pada bulan Juli 1982
(1,11%) yang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran masyarakat sehubungan dengan hari raya Lebaran. Kebutuhan masyarakat
terhadap bahan-bahan makanan dan sandang meningkat dan mengakibatkan harga-harga kelompok makanan dan sandang meningkat
masing-masing dengan 1,66% dan 1,04%, terutama yang menyangkut daging dan hasil-hasilnya (3,77%), telur dan susu (4,89%)
serta sandang (1,34%).
Laju kenaikan harga di atas ditandai lagi dengan peningkatan harga pada bulan Oktober (1,24%), terutama pada hargaharga kelompok makanan yang naik 1,58% dan kelompok perumahan
naik 1,48%. Kenaikan harga ini disebabkan antara lain oleh
musim kemarau yang cukup panjang yang telah membawa pengaruh
pada kenaikan harga-harga padi-padian dan ubi-ubian (3,43%),
sayur mayur (2,60%), serta meningkatnya harga eceran semen di
pasaran yang pada gilirannya membawa pengaruh kenaikan harga
biaya pemeliharaan tempat tinggal (2,34%).
284
Perkembangan harga tersebut juga naik di bulan Januari
1983 dimana pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk menaikkan harga penjualan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri mulai 7 Januari 1983 yang berkisar antara 11,1% dan
70,5% telah membawa akibat meningkatnya laju inflasi dalam
bulan tersebut menjadi sebesar 4,6% dan mempengaruhi peningkatan harga kelompok-kelompok makanan dengan 1,50% terutama
untuk telur, susu dan hasilnya (3,19%). Kemudian perumahan
naik 6,46% dan aneka barang dan jasa lainnya naik 10,62%.
Di samping itu, kenaikan harga yang terjadi di bulan Januari 1983 dipengaruhi oleh keputusan pemerintah untuk menaikkan harga dasar pembelian gabah kering giling dan kedelai
(bahan makanan) mulai Desember 1982. Kenaikan ini tercermin
pada harga padi-padian, ubi-ubian dan hasilnya yang naik dengan 2,29% (bulan Desember 1982 naik 2,40%), serta harga kacang-kacangan naik 2,25%, dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Perkembangan tingkat harga dalam tahun 1983/84 meningkat
12,6% dengan rata-rata kenaikan 1,0% per bulannya, dan laju
kenaikan ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 1982/83
(sebesar 8,4%). Peningkatan yang cukup besar itu antara lain
disebabkan adanya kebijaksanaan devaluasi yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap beberapa mata uang asing pada tanggal 30
Maret 1983. Pengaruh kebijaksanaan ini dirasakan oleh masyarakat dengan meningkatnya harga-harga dalam bulan April naik
sebesar 2,4% yang umumnya kenaikannya terdapat pada hargaharga bumbu-bumbuan (18,5%), lemak minyak (10,1%), sayur-sayuran (5,8%), serta barang dan jasa kesehatan (4,9%) yang disebabkan beberapa barang ekspor di luar negeri dan impornya
mengalami kenaikan harganya.
Sebagaimana hal biasanya, harga-harga bahan makanan dan
sandang meningkat dalam memenuhi kebutuhan menghadapi Lebaran
maka perkembangan harga di bulan Juni turut mengalami peningkatan sebesar 1,6 % terutama peningkatan yang cukup besar
bersumber pada harga bumbu-bumbuan (naik 20,7%).
Di samping itu, peningkatan harga-harga dalam tahun tersebut relatip cukup tinggi akan tetapi terjadi penurunan harga-harga di bulan Agustus (0,02%) dan Oktober-(0,01%); dimana
harga-harga semen dan beras turun pada bulan tersebut.
Kenaikan tingkat harga pada bulan Januari 1984 sebesar
3,4% sangat berkaitan erat dengan tindakan pemerintah menaik-
285
kan harga penjualan BBM di dalam negeri mulai tanggal 12 Januari 1984 dengan kenaikannya yang berkisar antara 9,4% dan
60,0%. Peningkatan harga BBM ini mengakibatkan harga-harga
lemak dan minyak naik 24,56%, harga-harga sub kelompok bahan
bakar, penerangan dan air naik 15,80%, dan harga-harga sub
kelompok transpor naik 5,19%. Kenaikan harga padi-padian,
ubi-ubian dan hasilnya sebesar 1,51% pada bulan Pebruari 1984
disebabkan harga beras yang naik berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah menaikkan harga dasar pembelian gabah dan beras yang berlaku mulai bulan tersebut.
Dengan demikian perkembangan harga rata-rata selama Repelita III sebesar 13,2% jauh lebih rendah dibandingkan dengan
perkembangan harga rata-rata Repelita II setinggi 14,8% dan
perkembangannya dalam Repelita I setinggi 17,5%. Hal ini berarti perkembangan harga-harga menunjukkan stabilitas yang cukup baik.
Perkembangan Indeks Harga Konsumen di 17 kota yang bersangkutan jika diteliti lebih lanjut menunjukkan kecenderungan yang berbeda, walaupun secara umum IHK dalam tahun 1983/84
lebih tinggi dibanding dengan tahun 1982/83. Dalam hal ini,
ternyata kenaikan IHK di Jayapura yang semula 17,70% turun
menjadi 7,94%, di Denpasar yang semula 13,99% turun menjadi
9,62%, sebaliknya di Ambon dari 10,59% naik menjadi 19,89%
dan di Banjarmasin dari 5,41% naik menjadi 14,62%. Perkembangan harga di Indonesia dari tahun 1978/79 hingga tahun
1983/84, dan perkembangan IHK Indonesia dari tahun 1978 hingga tahun 1983/84, perkembangan IHK di 17 kota serta indeks 9
macam bahan pokok dari tahun 1978/79 hingga tahun 1983/84
dapat diikuti pada Tabel IV - 28, dan Grafik IV - 16, Tabel
IV - 29 dan Grafik IV - 17, Tabel IV - 30 dan Tabel IV - 31.
Perkembangan indeks umum dari indeks harga 9 macam bahan
pokok selama 5 tahun yang terakhir i n i , terutama sejak tahun
1979/80 hingga tahun 1983/84 menunjukkan harga umum bahan pokok tersebut naik tidak terlampau tinggi. Peningkatan harga
yang besar umumnya terjadi berkaitan dengan pelaksanaan bulan
puasa dan kegiatan masyarakat mempersiapkan hari raya Lebaran, dan berhubungan dengan kenaikan harga jual BBM seperti
yang telah disebutkan di atas.
Kegiatan masyarakat untuk merayakan hari raya tersebut,
umumnya berkaitan dengan peningkatan harga, dan hal ini dapat
ditunjukkan dengan peningkatan indeks umum pada bulan-bulan
tertentu. Pada bulan Agustus tahun 1979, harga-harga di kotakota seperti Medan naik 6,71%, Mataram naik 5,82%, Kupang
286
TABEL IV - 28
PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA, 1)
1978 – 1983/84
1) Penggunaan Indeks biaya Hidup (IBH) di Jakarta sebagai
pengukur perkembangan harga di Indonesia berakhir pada
bulan Maret 1979
2) Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia digunakan
bulan April 1979 sebagai pengukur perkembangan
yang baru
3)
sejak
harga
persentase perkembangan harga pada tahun 1979 dalam
bulan Januari s/d Maret berdasarkan IBH di Jakarta, dan
bulan April a/d Desember berdasarkan IHK di Indonesia
287
GRAFIK IV -
1 6
PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA
1979
288
–
1983/84
TABEL IV - 29
INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA 1), DAN
INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI)2),
DESEMBER 1978 - 1983/84
1) Dengan tahun dasar : September 1966 = 100 dan digunakan
hingga bulan Maret 1979
2) Dengan tahun dasar : April 1977 – Maret 1919 = 100 dan mulai
digunakan April 1979
289
GRAFIK IV - 17
INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA, DAN
INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI)
DESEMBER 1978 - 1983/84
290
TABEL IV - 30
PERKEMBANGAN INDEKS BIAYA HIDUP 1) DI BEBERAPA KOTA TERPILIH
DAN PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN 2) DI SETIAP 17 KOTA DAN DI PROPINSI
1978/79 – 1982/83
1)
2)
3)
dengan tahun dasar : September 1966 = 100 dan digunakan hingga akhir tahun 1978/79
dengan tahun dasar : April 1977 – Maret 1978 = 100 dan mulai digunakan bulan April 1979
dengan tahun dasar : Januari 1967 = 100 dan digunakan hingga akhir tahun 1978/79
291
TABEL IV - 31
PERKEMBANGAN INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DI 17 IBUKOTA PROPINSI
DESEMBER 1978 – 1983/84
1)
2)
292
dengan tahun dasar : Oktober 1966 = 100 digunakan hingga 1979
dengan tahun dasar : April 1977 – Maret 1978 = 100 mulai digunakan bulan Mei 1979
naik 4,71%, Denpasar naik 3,78%, Surabaya naik 3,21% dan Manado naik 3,15%.
Pada bulan Agustus tahun 1981, peningkatan harga di kotakota Ambon, Padang dan Ujung Pandang berturut-turut sebesar
3,55%, 2,69% dan 1,66%. Sedangkan pada bulan Juli 1982, kota-kota yang mengalami peningkatan harga adalah Ambon, Jayapura, Kupang dan Semarang dengan urutan kenaikan harganya sebesar 1,83%, 1,56%, 1,05% dan 1,04%. Demikian halnya, pada
bulan Juni 1983 terjadi peningkatan harga di kota-kota Mataram (3,79%), Bandung (2,28%) dan Kupang (1,32%).
Khusus pada bulan April 1983, peningkatan harga bahan pokok yang cukup tinggi terdapat di kota-kota Jayapura (5,34%),
Banjarmasin (4,86%) dan Medan (3,22%) sebagai akibat dilaksanakannya kebijaksanaan devaluasi uang rupiah terhadap beberapa mata uang asing.
D.
PERKEMBANGAN LEMBAGA PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA
Kebijaksanaan Pemerintah untuk mengembangkan dan membina
sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya selama Repelita
III diarahkan pada usaha penciptaan sistem keuangan yang sehat dan efisien serta mampu bertindak sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Kebijaksanaan untuk mendorong penggabungan
usaha (merger) dikalangan bank-bank swasta nasional tetap dilanjutkan dengan cara memberikan berbagai fasilitas, seperti
keringanan pajak dan kesempatan yang lebih banyak untuk membuka kantor cabang/cabang pembantu bank umum swasta nasional,
serta fasilitas untuk meningkatkan kantor cabang menjadi cabang devisa. Terhadap bank-bank pembangunan daerah selama Repelita III telah dilakukan pembinaan melalui pemberian bantuan teknis den pendidikan serta bantuan untuk memperkuat permodalan bank-bank tersebut.
Selain itu, mengingat bahwa usaha pembangunan semakin menyebar keseluruh pelosok tanah air, usaha pengembangan dan
perluasan pelayanan perbankan terus digalakkan agar dapat
menjangkau seluruh daerah kabupaten dan kecamatan serta pedesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah telah memberikan keringanan persyaratan pembukaan kantor cabang dan kantor cabang pembantu, baik pada bank swasta nasional maupun
bank pembangunan daerah, terutama yang berkaitan dengan persyaratan tingkat kesehatan, pemenuhan modal disetor dan penyediaan pimpinan dan pegawai.
293
Dalam pada itu untuk lebih memperlancar transaksi perdagangan luar negeri, persyaratan penambahan bank-bank devisa
di daerah-daerah semakin diperlonggar terutama yang menyangkut syarat-syarat tingkat kesehatan, jumlah modal disetor dan
pelaksanaan merger.
Dalam rangka memperluas dan memperlancar lalu-lintas
pembayaran giral, ketentuan mengenai kliring terus disempurnakan. Penyelenggaraan kliring lokal dimungkinkan dipimpin
oleh bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia di tempat-tempat
yang tidak ada kantor Bank Indonesia. Sehubungan dengan ini
telah ditunjuk beberapa bank umum Pemerintah sebagai penyelenggara kliring lokal di 24 tempat.
Dalam pada itu untuk membina dan menunjang perkembangan
bank umum koperasi, Pemerintah telah mengeluarkan peraturan
penyempurnaan ketentuan umum tentang tata kerja bank umum koperasi. Ketentuan tersebut pada pokoknya mengatur bahwa bank
umum koperasi harus berbentuk badan hukum koperasi dan mempunyai anggota sekurang-kurangnya lima badan hukum koperasi.
Dalam rangka pengaturan di sektor perbankan telah disusun RUU tentang perbankan yang akan mengatur tata Cara, pengawasan dan pembinaan kegiatan perbankan secara nasional.
Perkembangan jumlah bank yang terdiri dari bank umum,
bank pembangunan dan bank tabungan selama Repelita III menurun dari 127 pada akhir 1979 menjadi 117 bank pada akhir Maret 1984. Penurunan tersebut terjadi karena dilakukannya merger oleh 19 bank menjadi 9 bank. Jumlah kantornya yang terdiri dari kantor pusat, kantor cabang dan kantor cabang pembantu telah meningkat dengan 196 sehingga menjadi 1.345 kantor
pada akhir Maret 1984. Jumlah bank perkreditan rakyat yang
terdiri dari bank desa, lumbung desa, bank pasar dan bank pegawai menurun dari 5.870 menjadi 5.823 bank pada akhir Maret
1984. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh dicabutnya
ijin usaha beberapa lumbung desa. Di samping itu kantor
perwakilan bank asing selama Repelita III bertambah dengan 20
sehingga menjadi 68 kantor.
Mengingat pentingnya peranan lembaga-lembaga keuangan
bukan bank bagi pengembangan kegiatan pasar modal, pembinaan
terhadap lembaga-lembaga tersebut terus dilanjutkan. Dalam
pada itu agar kegiatan lembaga keuangan bukan bank dapat diikuti oleh masyarakat luas, kepada lembaga keuangan tersebut
telah diwajibkan untuk mengumumkan neraca perhitungan laba
ruginya setiap triwulan di surat-surat kabar harian setempat
294
yang banyak pembacanya. Selama Repelita III telah didirikan
PT Papan Sejahtera dan PT Sarana Bersama Pembiayaan Indonesia. PT Papan Sejahtera didirikan dengan tujuan sebagai p e laksana usaha di bidang pembangunan pemilikan perumahan, khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah. Adapun
PT Sarana Bersama Pembiayaan Indonesia didirikan dengan tujuan sebagai wadah bagi pemegang saham di Indonesia pada Asean
Finace Corporation Ltd. (AFC). Wadah ini merupakan sarana
kerjasama bank-bank milik nasional di Indonesia dengan perbankan dari segenap anggota Asean yang mempunyai tujuan mengerahkan dana/atau memanfaatkan penyediaan pembiayaan bagi
proyek-proyek pembangunan regional Asean, termasuk proyekproyek pembangunan di Indonesia. Dengan berdirinya PT tersebut, maka lembaga keuangan bukan bank sampai dengan akhir Maret 1984 berjumlah 14 yang terdiri dari 3 lembaga pembiayaan
pembangunan, 9 lembaga investasi dan 2 lembaga Jenis lainnya.
Dalam pada itu peranan lembaga keuangan lainnya yang
khusus membantu pengusaha golongan ekonomi lemah seperti Askrindo dan Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK)
semakin penting dalam rangka menunjang kebijaksanaan Pemerintah. Perum PKK yang didirikan bulan Desember 1981 merupakan
penyempurnaan LJKK (Lembaga Jaminan Kredit Koperasi) yang dibentuk tahun 1970. Adapun tugas pokok Perum PKK tersebut adal a h menjamin pinjaman yang diberikan oleh bank dan badan-badan lainnya kepada koperasi. Dalam tahun 1982 jumlah kredit
bank yang diterima oleh 974 koperasi adalah Rp. 126,3 milyar
dan pada tahun 1983 telah berjumlah Rp 138,4 milyar yang diterima oleh 682 koperasi. Mengingat tidak seluruh kredit dari
bank untuk koperasi-koperasi tersebut dipertanggungkan, maka
Perum PKK hanya menutup perjanjian pertanggungan masing-masing sebesar Rp 101,6 milyar pada tahun 1982 dan Rp 126,7
milyar pada tahun 1983.
PT Askrindo yang selama ini terutama berfungsi menyediakan sarana jaminan atas resiko kemacetan KIK/KMKP, sejak bulan Januari 1982 telah pula menyediakan sarana jaminan atas
resiko kemacetan kredit ekspor. Premi yang dihimpun dari tahun 1979 sampai dengan akhir tahun 1983 telah mencapai Rp
78,2 milyar dengan jumlah pertanggungan Rp 3.610,8 milyar.
Perlu dikemukakan bahwa dalam tahun 1983 jumlah premi yang
dapat dihimpun mencapai Rp 19,8 milyar yang meliputi premi
KIK Rp 4,2 milyar, KMKP Rp 9,9 milyar, kredit ekspor Rp 5,2
milyar dan kredit modal kerja lainnya Rp. 0,5 milyar. Adapun
nilai pertanggungan yang diberikan berjumlah Rp 1.211,7 milyar, yang terdiri atas pertanggungan untuk KIK Rp 126,3 mil-
295
yar, KMKP Rp 312,7 milyar,
pertanggungan kredit ekspor
Rp 722,5 milyar dan pinjaman modal kerja lainnya Rp 50,2
milyar.
Pasar modal sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pemilikan saham atau obligasi
yang diterbitkan perusahaan-perusahaan atau badan-badan usaha
seperti bank, LKBB dan badan usaha lainnya peranannya dari
tahun ke tahun semakin penting. Dalam rangka menyempurnakan
organisasi dan tata kerja pasar modal, dalam Repelita III Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan mengenai tata cara penawaran obligasi oleh badan-badan usaha, penawaran saham oleh
bank-bank, kewajiban perantara efek serta lembaga-lembaga
yang dapat membeli saham di pasar modal.
Di samping itu Pemerintah telah menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai pembentukan trustee dan penanggung (guarantor) dengan maksud untuk memperlancar emisi dan perdagangan
surat-surat berharga jangka menengah dan panjang. Untuk lebih
meningkatkan perkembangan pasar modal, Pemerintah telah memberikan keringanan perpajakan dalam jual beli obligasi dan
saham, serta menyempurnakan tata cara perdagangan obligasi
dan perdagangan efek.
Perkembangan kegiatan pasar modal tercermin pada jumlah
perusahaan yang memasarkan saham dan obligasi melalui pasar
modal. Dalam Repelita III telah disetujui 23 perusahaan untuk
memasarkan saham dan 3 perusahaan untuk memasarkan obligasi.
Sementara itu jumlah saham dan obligasi yang dikeluarkan melalui pasar modal hingga akhir Maret 1984 masing-masing telah
mencapai 57.237 ribu lembar dan 263 ribu lembar dengan nilai
Rp 130,7 milyar dan Rp 154,7 milyar. Di samping saham perusahaan yang telah diperjual belikan di pasar modal, PT Danareksa juga memasarkan sertifikat yang terdiri atas sertifikat
saham dan sertifikat dana. Sertifikat saham adalah sertifikat
yang dikeluarkan oleh PT Danareksa sebagai pengganti saham
suatu perusahaan yang telah terlebih dahulu dibeli oleh PT
Danareksa. Sertifikat dana PT Danareksa adalah surat berharga
yang dikeluarkan atas dasar sejumlah aktiva PT Danareksa yang
disisihkan, termasuk pula saham beberapa perusahaan yang telah dibeli oleh PT Danareksa. Selama Repelita III PT Danareksa telah mengeluarkan 3 sertifikat saham yaitu sertifikat saham perusahaan industri semen, rokok dan barang konsumsi sehari-hari serta menerbitkan sertifikat dana PT Danareksa unit
umum sari A, B, C dan D, yang keseluruhannya berjumlah 7.420
ribu lembar dengan nilai Rp 72,8 milyar.
Fungsi sektor perasuransian dalam pembangunan adalah
296
untuk menjamin risiko di bidang dunia usaha, kesejahteraan
masyarakat serta peranannya dalam pemupukan dana bagi pembiayaan pembangunan. Sektor asuransi di Indonesia meliputi
asuransi jiwa, asuransi sosial dan asuransi kerugian.
Selama Repelita III jumlah perusahaan asuransi jiwa ada
14 perusahaan. Kebijaksanaan Pemerintah dalam pembinaan dan
pengawasan terhadap perusahaan asuransi jiwa senantiasa ditingkatkan selama periode tersebut. Kebijaksanaan tersebut
meliputi pengaturan tentang kewajiban perusahaan untuk menempatkan deposito wajib, ketentuan tentang persyaratan modal,
serta penanaman dana dalam jenis-jenis investasi sebagaimana
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya dalam tahun 1982
berlaku ketentuan tentang dibolehkannya perusahaan asuransi jiwa mengadakan kerjasama dalam permodalan dengan perusahaan asing dalam bentuk perusahaan asuransi jiwa patungan.
Dengan berbagai kebijaksanaan tersebut di atas maka perkembangan usaha asuransi jiwa selama Repelita III mengalami
peningkatan yang cukup menggembirakan. Jumlah polis yang dalam tahun 1978 mencapai 1.817 ribu telah meningkat menjadi
2.667 ribu dalam tahun 1982. Jumlah uang pertanggungan yang
pada tahun 1978 sebesar Rp 892 milyar, pada tahun 1982 meningkat menjadi Rp. 1.935 milyar. Sedangkan dana investasi
yang ditanam dalam deposito/deposito wajib, pinjaman polis
dan investasi lainnya terus berkembang, yaitu dari Rp 29 milyar untuk tahun 1978 menjadi Rp. 111 milyar tahun 1982.
Bidang asuransi sosial menangani masalah kesejahteraan
sosial pegawai negeri, kecelakaan lalu lintas, tenaga kerja
perusahaan dan lain-lain. Di Indonesia pada saat ini ada beberapa Jenis asuransi sosial yaitu Asuransi Sosial Pegawai
Negeri dikelola oleh PT TASPEN, Asuransi Sosial bagi anggota
ABRI dikelola oleh Perum ASABRI, Asuransi sosial kecelakaan
lalu lintas dikelola oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja,
Asuransi Sosial Tenaga Kerja dikelola oleh Perum ASTEK, dan
Dana Kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun serta anggota keluarganya yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Dana
Pemeliharaan Kesehatan Pusat.
Kebijaksanaan di bidang asuransi sosial, selain kebijaksanaan mengenai deposito dan penanaman dana, juga meliputi
program surety bond oleh PT A.K. Jasa Raharja kepada perusahaan swasta yang mengerjakan proyek Pemerintah agar terhindar
dari kemacetan dalam pelaksanaannya. Perkembangan asuransi
sosial dapat dilihat dari perkembangan jumlah peserta, jumlah
uang pertanggungan, premi dan dana investasi. Jumlah peserta
297
yang pada tahun 1978 meliputi 2.307.599 peserta meningkat
menjadi 4.241.018 peserta pada tahun 1982. Dalam periode yang
sama jumlah uang pertanggungan dan dana investasi berkembang
masing-masing dari Rp 50 milyar
dan
Rp 92 milyar menjadi
Rp. 814 milyar dan Rp. 412 milyar.
Usaha di bidang asuransi kerugian meliputi perusahaan
asuransi kerugian berikut kantor-kantor cabangnya, perusahaan
reasuransi, perusahaan adjuster, perusahaan broker, perusahaan agen, kantor perwakilan dan kantor konsultan. Hingga akhir
Maret 1984 jumlah perusahaan asuransi kerugian adalah 62 perusahaan dan 3 perusahaan reasuransi. Adapun kebijaksanaan
yang telah dilaksanakan di sektor asuransi kerugian selama
Repelita III adalah kebijaksanaan peningkatan modal setor dan
deposito wajib serta ketentuan persyaratan perijinan usaha.
Selain itu telah dilakukan kegiatan penelitian yang menyangkut bidang administrasi, produksi, pemasaran dan investasi.
Kemudian dalam usaha mengatasi persaingan yang kurang sehat
dalam pemasaran asuransi kerugian telah diberlakukan kebijaksanaan tarip asuransi kebakaran di Indonesia. Selanjutnya
dalam usaha pengembangan sistem pengawasan selain pengawasan
tidak langsung telah diperluas tindakan pengawasan/pemeriksaan secara langsung pada perusahaan-perusahaan asuransi kerugian. Kebijaksanaan lain adalah turut serta menangani masalah-masalah di bidang jaminan kredit ekspor dan asuransi ekspor, serta komputerisasi dalam pengolahan data asuransi kerugian. Sebagai hasil dari perkembangan kegiatan usaha di bidang asuransi kerugian maka telah terjadi peningkatan yang
cukup menggembirakan baik dalam jumlah premi ataupun dana investasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama Repelita III jumlah dana investasi perusahaan asuransi kerugian
dan reasuransi berkembang dari Rp 39,5 milyar pada tahun 1978
menjadi Rp. 151,6 milyar tahun 1982.
Dalam rangka pengaturan di bidang perasuransian sedang
disusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perasuransian
yang mengatur tata-cara, pengawasan dan pembinaan kegiatan
usaha perasuransian.
298
Download