KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER, DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN BAB IV KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN A. PENDAHULUAN Sebagaimana telah digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), pelaksanaan pembangunan dalam Repelita III pada prinsipnya berlandaskan kepada Trilogi Pembangunan yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Sebagai kelanjutan daripada dua Repelita sebelumnya, maka pelaksanaan Repelita III telah memberikan hasil-hasil yang positip berupa peningkatan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang berdasarkan asas adil dan merata, yang sekaligus meletakkan landasan yang kuat untuk melanjutkan pembangunan dalam Repelita IV. Seperti halnya pada dua Repelita sebelumnya, maka selama Repelita III, sampai dengan tahun 1983/84, telah diikhtiarkan berbagai sumber pembiayaan pembangunan, yang dalam pengerahan maupun penggunaannya diserasikan dengan tujuan dan sasaran pembangunan yang hendak dicapai. Ikhtiar tersebut menyangkut berbagai langkah-langkah kebijaksanaan di bidang keuangan negara, moneter serta lembaga-lembaga keuangan. Kebijaksanaan di bidang keuangan negara meliputi berbagai usaha yang menyangkut penerimaan dalam negeri, pengeluaran rutin, dana pembangunan serta pengeluaran pembangunan. Sejalan dengan amanat GBHN agar pembangunan nasional lebih berlandaskan kepada kemampuan modal dan potensi dalam negeri, maka penerimaan dalam negeri telah berhasil ditingkatkan dari tahun ke tahun selama Repelita III. Bila pada awal Repelita III jumlah realisasi penerimaan dalam negeri baru sebesar Rp.6.696,8 milyar, maka 2 tahun kemudian telah meningkat menjadi hampir 2 kali lipatnya yaitu menjadi Rp. 12.212,6 milyar dalam tahun 1981/1982. Kemudian pada akhir Repelita III, yakni tahun 1983/84, jumlahnya telah mencapai Rp 14.432,7 milyar, yang bila dibandingkan dengan jumlah penerimaan dalam negeri pada akhir Repelita II sebesar Rp 4.266,1 milyar, berarti telah meningkat lebih dari 300 %. 191 Meskipun penerimaan dalam negeri telah berhasil ditingkatkan terus dengan jumlah yang cukup besar setiap tahunnya, upaya peningkatan taraf hidup rakyat yang menyeluruh serta kenyataan bahwa kegiatan pembangunan semakin luas dimensinya, telah menuntut dana yang semakin besar jumlahnya. Sementara itu, dana yang tersedia dari dalam negeri dirasakan masih belum cukup untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sehingga dana yang berasal dari luar negeri yang berbentuk bantuan luar negeri masih diperlukan setiap tahunnya sebagai pelengkap. Di dalam realisasinya, dana bantuan luar negeri dalam tahun 1979/80 adalah sebesar Rp 1.381,1 milyar. Jumlah tersebut terus meningkat setiap tahunnya dan mencapai jumlah Rp 3.8844 milyar dalam tahun 1983/84. Sementara itu, jumlah pengeluaran rutin yang pada awal Repelita III (1979/80) baru sebesar Rp 4.061,8 milyar maka pada akhir Repelita III (1983/84) telah meningkat dua kali lipat yaitu menjadi Rp 8.411,8 milyar, atau bila dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Repelita II (1978/79) sebesar Rp 2.743,7 milyar, maka jumlah pengeluaran rutin pada akhir Repelita III adalah lebih tiga kali lipatnya. Melalui berbagai upaya u n t u k meningkatkan penerimaan negara serta penghematan di bidang pengeluaran rutin, maka jumlah tabungan Pemerintah senantiasa telah dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun selama periode Repelita III. Bila dalam tahun 1979/80 realisasi tabungan Pemerintah baru sebesar Rp 2.635,0 milyar, maka 2 tahun kemudian dalam tahun 1981/82 meningkat menjadi hampir 2 kali lipatnya yaitu sebesar Rp 5.235,0 milyar, dan dalam tahun terakhir Repelita III jumlah tabungan Pemerintah telah mencapai Rp 6.020,9 milyar. Bila dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita II yang besarnya Rp 1.522,4 milyar, maka jumlah tabungan Pemerintah dalam tahun terakhir Repelita III tersebut adalah hampir empat kali lipatnya. Kenaikan tabungan Pemerintah yang cukup besar selama kurun waktu tersebut mencerminkan usaha agar pengeluaran rutin berkembang dengan laju kenaikan lebih rendah daripada l a j u kenaikan penerimaan dalam negeri. Namun penghematan di dalam pengeluaran rutin tersebut tidak berarti mengabaikan ataupun mengurangi jumlah dan mutu pelayanan Pemerintah kepada masyarakat. Kebijaksanaan Pemerintah di bidang pengeluaran rutin lebih diarahkan kepada upaya peningkatan pendayagunaan dana yang terbatas dan penekanan sekecil mungkin pengeluaran-pengeluaran yang kurang berhasil guna. Tabungan Pemerintah bersama-sama dengan bantuan luar negeri membentuk dana pembangunan, yang pada tahun 1979/80 berjumlah Rp. 4.016,1 milyar dan kemudian pada akhir Repelita III 192 berjumlah Rp 9.903,3 milyar, yang berarti naik hampir 2,5 kali. Bila dibandingkan dengan dana pembangunan yang dapat dikerahkan pada akhir Repelita II yang mencapai Rp 2.557,9 milyar, maka dana pembangunan pada akhir Repelita III tersebut meningkat hampir 4 kali lipatnya. Dana pembangunan yang telah berhasil ditingkatkan terus dalam jumlah yang cukup besar tersebut senantiasa digunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan yang berupa berbagai proyek dan program pembangunan back sektoral maupun regional. Pada tahun 1978/79 jumlah pengeluaran pembangunan mencapai Rp 2.555,6 milyar sedangkan pada tahun 1983/84 jumlah ini telah dapat ditingkatkan menjadi Rp 9.899,2 milyar, suatu kenaikan rata-rata setahun sebesar 31,1% selama Repelita III. Perkembangan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara ringkas periode 1978/79 - 1983/84, dapat dilihat dalam Tabel IV-1 dan Grafik IV-1. Pelaksanaan kebijaksanaan moneter selama Repelita III pada dasarnya dapat diikuti dari perkembangan jumlah uang beredar, meskipun jumlah ini juga banyak dipengaruhi oleh hal-hal lain seperti perkembangan ekonomi dunia yang kurang menentu. Pada akhir tahun 1983/84, jumlah tersebut adalah Rp.8.054,7 milyar, sehingga laju pertumbuhan rata-rata setahun selama Repelita III dari jumlah uang beredar adalah 23,5%. Selain ini, usaha untuk mengerahkan tabungan masyarakat tercermin pada perkembangan dana perbankan yang pada akhir Repelita III telah mencapai Rp. 13.337,1 milyar, dibanding dengan jumlahnya yang baru mencapai Rp. 3.327,8 milyar pada akhir Repelita II. Perubahan kebijaksanaan yang prinsipil dilaksanakan pada tahun 1983/84, dengan dihapuskannya sistem pagu kredit, lebih dibatasinya pemberian kredit likuiditas serta diberikannya ruang gerak yang lebih besar kepada bank-bank pemerintah dalam menetapkan tingkat suku bunga. Sejalan dengan langkahlangkah tersebut juga telah diperluas peralatan kebijaksanaan moneter dengan diterbitkannya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan disediakannya fasilitas diskonto. Semua ini dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna kegiatan pengerahan dan penyaluran sumber-sumber pembiayaan pembangunan untuk menunjang tercapainya sasaran Trilogi Pembangunan, dengan senantiasa memperhatikan perkembangan ekonomi dunia. Untuk tetap mempertahankan daya beli masyarakat, maka 193 TABEL IV - 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) *) Termasuk pinjaman dalam rangka kredit ekspor 194 GRAFIK IV - 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1978/79 – 1983/84 195 terus diusahakan tercapainya kestabilan perkembangan harga kebutuhan masyarakat luas. Jika laju kenaikan harga pada tahun pertama Repelita III adalah 19,13% maka pada tahun 1981/82 dan 1982/83, laju inflasi ini telah dapat ditekan sampai dibawah 10%, meskipun pada tahun 1983/84 sedikit diatasnya. Kenaikan pada tahun terakhir Repelita III ini, antara lain disebabkan oleh usaha untuk tetap memperbaiki tingkat pendapatan petani produsen bahan makanan. Pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan terus-menerus diarahkan pada terciptanya sistem keuangan yang sehat. Penggabungan (merger) bank-bank swasta nasional telah didorong untuk menyehatkan lembaga-lembaga keuangan tersebut. Dalam rangka ini, jumlah bank telah menurun dari 127 pada akhir 1979 menjadi 117 pada akhir Maret 1984, sebagai hasil dari terlaksananya penggabungan 19 bank swasta nasional menjadi 9 bank. B. KEUANGAN NEGARA 1. Penerimaan Dalam Negeri Terlaksananya pembangunan yang terus meningkat dan terarah pada kegiatan yang tidak hanya menjamin tercapainya pemerataan, pertumbuhan dan kestabilan nasional, sesuai dengan penggarisan GBHN, dalam banyak hal tergantung pada tersedianya penerimaan dalam negeri. Pentingnya peranan penerimaan dalam negeri telah terbukti dari pengaruh positif dari kebijaksanaan keuangan negara melalui APBN sebagai rencana operasional tahunan dari pelaksanaan Repelita III yang tetap didasarkan pada prinsip anggaran berimbang. Perkembangan daripada penerimaan dalam negeri, melalui berbagai kebijaksanaan yang telah dirumuskan selama pelaksanaan Repelita III, juga berpengaruh terhadap usaha untuk mengarahkan kegiatan dunia usaha dan pola konsumsi masyarakat, sesuai dengan Trilogi Pembangunan. Selama lima tahun pelaksanaan Repelita III telah diusahakan terciptanya iklim fiskal yang dapat mendorong penanaman modal dan meningkatkan investasi masyarakat pada umumnya. Berbagai fasilitas fiskal telah diberikan antara lain dalam bidang pajak perseroan, pajak penjualan impor, serta bea masuk. Penyesuaian berbagai macam tarip juga dilaksanakan seperti penyesuaian tarip pajak pendapatan dan batas pendapatan bebas pajak (BPBP), penyesuaian tarip MPO, cukai tembakau, dan bir serta pajak ekspor dan pajak penjualan impor yang dimaksudkan untuk mendorong perkembangan dunia usaha dan industri 196 serta mendorong pertumbuhan ekspor di luar minyak. Sedangkan untuk lebih meningkatkan penerimaan dari sumber-sumber di dalam negeri terutama dalam bidang perpajakan, maka dalam tahun 1983/84 i n i telah diberlakukan undang-undang perpajakan baru untuk memberikan landasan lebih kuat bagi kegiatan pembangunan selanjutnya. Atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut di atas, penerimaan dalam negeri rata-rata menunjukkan peningkatan yang cukup besar setiap tahunnya, kecuali pada tahun 1982/83 yang memperlihatkan peningkatan yang menurun akibat resesi yang berkepanjangan. Kecenderungan menurunnya penerimaan dalam negeri untuk tahun 1982/83 tersebut disebabkan oleh menurunnya kegiatan dunia usaha pada umumnya serta menurunnya harga maupun volume permintaan minyak mentah dunia. Jika pada tahun 1979/80 penerimaan dalam negeri baru berjumlah Rp. 6.696,8 milyar maka dalam tahun 1983/84 jumlah tersebut telah mencapai Rp. 14.432,7 milyar. Bila realisasi penerimaan dalam negeri tahun 1983/84 sebesar Rp. 14.432,7 milyar tersebut dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Repelita II (1978/79), sebesar Rp. 4.266,1 milyar, maka selama Repelita III terdapat peningkatan rata-rata setiap tahunnya sebesar 27,6%. Dalam pada itu penerimaan dalam negeri di luar minyak menunjukkan peningkatan yang cukup besar. Kalau pada tahun 1979/80 penerimaan dalam negeri di luar minyak berjumlah Rp. 2.437,2 milyar sedangkan pada tahun 1980/81 mencapai Rp. 3.207,4 milyar, maka pada tahun 1983/84 penerimaan tersebut telah mencapai Rp. 4.912,5 milyar. Bila realisasi penerimaan dalam negeri di luar minyak tahun 1983/84 tersebut dibandingkan dengan jumlah pada akhir Repelita II yang besarnya Rp. 1.957,4 milyar, maka jumlah penerimaan dalam negeri di luar minyak selama Repelita III meningkat dengan rata-rata 20,2% setiap tahunnya. Perkembangan penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan pajak langsung, pajak tidak langsung dan penerimaan bukan pajak sejak tahun 1978/79 sampai dengan tahun 1983/84 dapat dilihat pada Tabel IV - 2 dan Grafik IV-2. Dalam lima tahun pelaksanaan Repelita III penerimaan pajak langsung secara rata-rata menunjukkan suatu peningkatan yang cukup berarti meskipun dalam tahun 1982/83 penerimaan pajak langsung tersebut menunjukkan suatu penurunan sebesar 0,9%, Pada tahun 1979/80 penerimaan pajak langsung baru mencapai Rp. 5.129,3 milyar, kemudian meningkat menjadi Rp.8.230,3 milyar pada tahun 1980/81, suatu peningkatan sebesar Rp. 3.101,0 milyar atau 60,5 %. Pada tahun 1981/82 penerimaan pajak langsung mencapai Rp. 10.100,3 milyar, suatu 197 TABEL IV - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 198 GRAFIK IV - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1978/79 - 1983/84 199 peningkatan sebesar Rp. 1.870,0 milyar atau 22,7% terhadap tahun sebelumnya. Selanjutnya penerimaan pajak langsung tersebut dalam tahun 1982/83 menjadi Rp. 10.009,9 milyar atau terdapat penurunan sebesar 0,9%, dan dalam tahun 1983/84 penerimaan pajak langsung mencapai Rp.11.605,1 milyar, suatu peningkatan sebesar 15,9 % masing-masing terhadap tahun sebelumnya. Bila realisasi penerimaan pajak langsung dalam tahun 1983/84 tersebut dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Repelita II sebesar Rp. 2.996,3 milyar, maka jumlah penerimaan pajak langsung selama Repelita III telah meningkat dengan rata-rata 31,1% setiap tahunnya. Perkembangan pajak langsung yang terdiri dari pajak pendapatan, pajak perseroan, pajak perseroan minyak, MPO, Ipeda dan lain-lain pajak langsung selama lima tahun pelaksanaan Repelita III dapat diikuti melalui Tabel IV - 3 dan Grafik IV - 3. Dalam pelaksanaan kebijaksanaan pajak langsung selama lima tahun Repelita III, penerimaan pajak pendapatan dalam periode tersebut senantiasa telah dapat ditingkatkan. Hal tersebut secara umum menunjukkan adanya lapangan kerja yang semakin meluas di samping juga semakin intensif dan teraturnya administrasi pemungutan pajak, serta adanya kesadaran yang semakin besar daripada wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya. Dalam pada itu usaha-usaha pemungutan pajak pendapatan tersebut bukan saja ditujukan untuk meningkatkan penerimaannya semata, melainkan juga bertujuan untuk membantu meratakan pendapatan serta beban pembangunan yang harus dipikul oleh masyarakat luas. Dalam hubungan ini batas pendapatan bebas pajak (BPBP) untuk satu keluarga yang terdiri dari suami isteri dan tiga orang anak yang pada tahun 1979 ditetapkan sebesar Rp.582.000 telah dinaikkan menjadi Rp. 842.000 pada tahun 1980, dan selanjutnya sejak awal 1982 dinaikkan lagi menjadi Rp. 1.050.000 yang berlaku sampai dengan 31 Desember 1983, sedangkan pada triwulan terakhir tahun anggaran 1983/84 sesuai dengan perundang-undangan yang baru, batas pendapatan bebas pajak yang menurut istilah barunya menjadi pendapatan tidak kena pajak (PTKP) telah dinaikkan menjadi Rp. 2.880.000,-. Sementara itu dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi pajak pendapatan maka sejak 15 Nopember 1982 telah diberlakukan peraturan mengenai penetapan jumlah pembayaran di muka bagi pajak pendapatan untuk memperoleh surat keterangan fiskal luar negeri, yaitu sebesar Rp.150.000 sedangkan sebelumnya sebesar Rp.25.000,-. Pembayaran di muka pajak pendapatan tersebut berlaku untuk setiap orang dalam setiap kali melakukan perjalanan ke luar negeri. 200 TABEL IV - 3 PENERIMAAN PAJAK LANGSUNG, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar r u p i a h ) 201 GRAFIK IV - 3 PENERIMAAN PAJAK LANGSUNG, 1978/79 - 1983/84 202 Sementara itu tarip pajak pendapatan yang dikenakan atas lapisan pendapatan sisa kena pajak (PSKP) terus disempurnakan mengikuti perkembangan BPBP. Sejak tahun 1980 tarip terendah pajak pendapatan telah diturunkan dari 10 % menjadi 5 % yang dikenakan pada tingkat pendapatan sampai dengan Rp.240.000,sedangkan tarip tertinggi adalah 50 % yang dikenakan atas pendapatan sisa kena pajak di atas Rp. 18.000.000,- yang berlaku sampai akhir tahun 1983. Sejak Januari 1984 lapisan tarip tersebut adalah 15%, 25% dan 35%. Penerimaan pajak pendapatan selama Repelita III senantiasa menunjukkan peningkatan. Bila pada tahun 1979/80 penerimaan pajak pendapatan adalah sebesar Rp. 148,1 milyar maka pada tahun 1980/81 telah meningkat menjadi Rp. 164,2 milyar atau peningkatan sebesar 10,9 %. Pada tahun 1982/83 meningkat lagi menjadi Rp. 288,8 milyar atau merupakan peningkatan sebesar 39,4 % dan pada tahun 1983/84 penerimaan pajak pendapatan tersebut menjadi Rp. 398,9 milyar atau peningkatan sebesar 38,1% dari tahun sebelumnya. Sejalan dengan meningkatnya penerimaan pajak pendapatan, realisasi pajak perseroan juga menunjukkan rata-rata kenaikan yang cukup menggembirakan selama lima tahun pelaksanaan Repelita III. Pada tahun 1979/80 penerimaan pajak perseroan berjumlah Rp. 297,1 milyar kemudian berturut-turut menjadi Rp. 559,1 milyar dan Rp. 757,4 milyar masing-masing untuk tahun 1981/82 dan 1983/84 atau masing-masing meningkat sebesar 24,9 dan 12,3 % dari tahun sebelumnya. Kebijaksanaan di bidang pajak perseroan diarahkan untuk mendorong para pengusaha agar lebih bersifat terbuka. Sejak tahun 1979 bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan jasa akuntan publik telah diberikan keringanan perpajakan. Demikian pula untuk tahun buku 1980 dan 1981 bagi pengungkapan fakta baru dan benar serta penggunaan jasa akuntan publik akan dijadikan dasar bagi penerbitan ketetapan tagihan kemudian dan tagihan tambahan dengan keringanan masing-masing 90% dan 50% dari jumlah pokok pajak yang masih terhutang. Dalam pada itu di bidang pentaripan untuk lapisan laba kena pajak (LKP) sampai dengan Rp. 25 juta ditetapkan tarip sebesar 20%, sedang untuk LKP berikutnya sampai jumlah Rp. 50 juta dikenakan tarip sebesar 30 % dan selebihnya dikenakan pajak perseroan sebesar 45%. Tarip i n i berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983. Sejak tanggal 1 Januari 1984 sesuai dengan undang-undang pajak penghasilan yang baru taripnya di sederhanakan menjadi 3 (tiga) lapisan yakni 15%, 25% dan 35%. 203 Di samping itu dalam penilaian persediaan barang dan perhitungan harga pokok penjualan sebagai dasar pengenaan pajak perseroan telah diberi kesempatan pada perusahaan-perusahaan untuk menggunakan sistem “Last in first out” (LIFO). Penerimaan pajak perseroan minyak masih merupakan bagian terbesar dari penerimaan negara. Dalam tahun 1979 perkembangan harga minyak dunia menunjukkan peningkatan dan perkembang an yang pesat dimana dalam tahun tersebut terjadi 7 kali pe nyesuaian harga. Pada tahun 1980 juga terdapat 3 kali penyesuaian harga sampai pada puncaknya tahun 1981 dimana mulai bulan Januari harga pokok minyak ekspor Indonesia ditetapkan sebesar US$ 35,00 untuk setiap barrelnya. Akan tetapi resesi yang melanda dunia pada umumnya dan negara-negara industri khususnya mengakibatkan merosotnya permintaan minyak dan lebih lanjut menumpuknya produksi minyak dunia. Akibatnya harga tidak dapat bertahan dan pada tanggal 11 Nopember 1982 Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan penurunan harga dife rensial minyak mentah untuk Indonesia (MINAS) dari US$ 35,00 per barrel menjadi US$ 34,53 per barrel. Selanjutnya sesuai dengan keputusan negara-negara pengekspor minyak (OPEC) di London tanggal 14 Maret 1983, harga patokan minyak d u n i a d i turunkan lagi dengan US$ 5 per barrel dari US$ 34 menjadi US$ 29 per barrel. Dengan demikian harga diferensial minyak mentah yang diekspor Indonesia (MINAS) menjadi US$ 29,53 per barrel dan berlaku surut sejak tanggal 23 Pebruari 1983. Dalam pelaksanaan Repelita III realisasi penerimaan pajak perseroan minyak dalam tahun 1979/1980 adalah Rp. 4.259,6 milyar kemudian meningkat menjadi Rp. 7.019,6 milyar dan Rp. 8.627,8 milyar untuk tahun 1980/81 dan tahun 1981/82 atau masing-masing naik 64,8 % dan 22,9 % dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 penerimaan pajak perseroan minyak adalah sebesar Rp. 8.170,4 milyar dan Rp. 9.520,2 milyar atau suatu penurunan sebesar 5,3 % dan kenaikan sebesar 16,5 % dari tahun sebelumnya. Sementara itu penerimaan pajak melalui sistem MPO yang pada dasarnya merupakan suatu pungutan di muka dari pajak pendapatan dan pajak perseroan selama periode tahun 1979/80 sampai dengan 1983/84 juga mengalami peningkatan. Kalau pada tahun 1979/80 penerimaannya baru mencapai Rp. 291,3 milyar maka untuk tahun 1980/81 naik menjadi Rp. 433,5 milyar yang berarti suatu kenaikan sebesar 48,8%. Dalam tahun 1983/84 realisasi penerimaan MPO adalah Rp. 628,1 milyar, yang lebih kecil dari realisasi tahun sebelumnya. Menurunnya penerimaan MPO pada tahun anggaran 1983/84 ini berkaitan erat dengan di - 204 hapuskannya beberapa jenis pungutan MPO sejak Januari 1984, sesuai dengan undang-undang perpajakan yang baru. Selama lima tahun pelaksanaan Repelita III telah banyak kebijaksanaan yang dikeluarkan dalam bidang MPO, khususnya yang menyangkut masalah pentaripan untuk kayu log (gelondongan). Pada bulan Januari 1980, tarip ekspornya ditetapkan sebesar Rp. 40 per US$ 1, sedangkan sebelumnya sebesar Rp.25,-. Demikian pula pada bulan Januari 1980 tarip umum perdagangan ekspor ditetapkan sebesar Rp. 15,- untuk tiap US$ 1 yang sebelumnya adalah sebesar Rp. 10,-. Lebih lanjut dalam bulan Juni 1983 telah dilakukan perubahan kebijaksanaan tarip MPO impor. Dalam kebijaksanaan tersebut ditetapkan bahwa tarip MPO bagi para importir yang memegang angka pengenal importir {API), angka pengenal importir sementara (APIS) atau angka pengenal importir terbatas (APIT), dinaikkan dari Rp. 50,menjadi Rp. 70,- per US$ 1. Di samping itu bagi para pengusaha/pedagang yang tidak memiliki API, APIS atau APIT dikenakan tarip sebesar Rp. 200,- per US$ 1, yang terdiri dari MPO waba dan MPO wapu masing-masing Rp. 100,- per US$ 1. Untuk tahun sebelumnya MPO waba dan MPO wapu tersebut dikenakan tarip masing-masing sebesar Rp. 120,- dan Rp. 80,- per US$ 1. Dalam bidang MPO juga terdapat perubahan yang cukup besar sejak diberlakukannya undang-undang pajak yang baru. Dalam undang-undang pajak penghasilan yang baru terdapat ketentuan bahwa selain MPO yang dipungut dari kegiatan yang memperoleh pembayaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta kegiatan di bidang usaha impor sejak Januari 1984 jenis MPO lainnya telah dihapuskan, seperti antara lain MPO wapu impor, MPO wapu umum, MPO sektor industri serta MPO ekspor. Realisasi iuran pembangunan daerah (Ipeda), menunjukkan penerimaan yang selalu meningkat. Kalau pada tahun pertama Repelita III yaitu pada tahun 1979/80 penerimaannya baru mencapai Rp. 71,4 milyar maka selanjutnya menjadi sebesar Rp. 87,2 milyar pada tahun 1980/81 atau suatu kenaikan sebesar 22,1%. Selanjutnya dalam tiga tahun terakhir pelaksanaan Repelita III penerimaan itu menjadi Rp. 94,5 milyar, Rp. 105,2 milyar dan Rp. 132,4 milyar yang berarti masing-masing meningkat sebesar 8,4 %, 11,3 % dan 25,9 %. Kebijaksanaan perluasan pemungutan Ipeda tetap diarahkan pada tujuan pembebanan yang adil dan merata, sedangkan dalam pengelolaannya terus menerus diadakan penyempurnaan baik di bidang administrasi maupun tata laksana pembukuannya. Untuk mendukung peningkatan penerimaan Ipeda yang dikaitkan dengan pembangunan daerah, maka dalam pelaksanaan pemungut- 205 annya telah diambil kebijaksanaan untuk menyederhanakan klasifikasi tanah dan sistem pentaripannya, sehingga memudahkan pemungutannya serta menghasilkan pembebanan yang lebih adil dan merata. Untuk Ipeda sektor pedesaan selain diterapkan cara pemungutan yang lebih praktis dan seragam, juga diadakan pembedaan tarip antara tanah sawah dan tanah darat yang kondisinya sama tetapi berbeda dalam luas yang dimiliki atau dikuasai wajib pajak. Khusus untuk Ipeda sektor perkotaan telah diadakan penyesuaian tarip yang mulai berlaku dalam tahun takwim 1983. Penyesuaian tarip tersebut dilaksanakan sesuai dengan perkembangan nilai sewa/nilai jual tanah dan bangunan. Selanjutnya realisasi lain-lain pajak langsung yang terdiri dari pajak kekayaan, pajak atas bunga, dividen dan royalty (PBDR) serta penerimaan lain-lain pajak langsung terus menunjukkan peningkatan dalam lima tahun pelaksanaan Repelita III. Jika dalam tahun 1979/80 penerimaan lain-lain pajak langsung adalah Rp. 61,8 milyar maka dalam tahun 1980/81 mencapai Rp. 78,2 milyar atau suatu peningkatan sebesar 26,5 %, kemudian dalam tahun 1981/82 meningkat lagi menjadi Rp. 98,7 milyar, suatu peningkatan sebesar 26,2 %. Dalam tahun 1983/ 84 penerimaan lain-lain pajak langsung adalah Rp. 168,1 milyar dengan demikian dibanding dengan tahun sebelumnya terdapat peningkatan sebesar 30,2 %. Dalam pada itu selama lima tahun pelaksanaan Repelita III, telah pula dikeluarkan kebijaksanaan yang menyangkut penerimaan lain-lain pajak langsung. Dalam rangka menunjang kegairahan masyarakat untuk memperbesar tabungan masyarakat dan investasi yang produktif, telah diberikan berbagai kelonggaran fiskal antara lain sejak tahun 1971 tidak dipungut PBDR maupun pajak kekayaan atas simpanan deposito, Tabanas dan Taska. Untuk lebih meningkatkan peranan dan partisipasi modal nasional dalam usaha patungan, maka sejak tahun 1980 kepada para pengusaha nasional Indonesia yang memperbesar penyertaannya, diberikan pajak atas perolehan dividen. Di samping itu untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan maka pada bulan Januari 1981 telah dikeluarkan ketentuan tentang keringanan perpajakan atas pembelian obligasi oleh masyarakat melalui pasar modal. Dalam pada itu melalui kebijaksanaan pemungutan pajak kekayaan sebagai pelengkap dari pajak pendapatan telah dikeluarkan kebijaksanaan tarip baru. Tarip pajak kekayaan yang semula lima permil telah dinaikkan menjadi satu persen yang mulai berlaku untuk perhitungan pajak kekayaan tahun 1983. Dalam rangka menunjang pembiayaan pembangunan yang sema- 206 kin meningkat, maka bersamaan dengan usaha peningkatan penerimaan pajak langsung, juga senantiasa diusahakan agar sumber-sumber penerimaan negara dari pajak tidak langsung dapat ditingkatkan. Namun demikian, kebijaksanaan tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, melainkan juga ditujukan untuk lebih dapat menciptakan iklim dan gairah usaha yang dapat mendorong peningkatan penggunaan sumber-sumber produksi dan industri dalam negeri, melancarkan perdagangan dalam negeri, mendorong diversifikasi ekspor non migas, serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam hubungan ini, berbagai kebijaksanaan telah dilaksanakan, antara lain berupa peninjauan kembali penggolongan barang-barang dan jasa hasil dalam negeri, penyesuaian tarip, peningkatan intensifikasi dan verifikasi pemungutan pajak, serta penertiban dan penyempurnaan di dalam pemungutannya, di mana semua kebijaksanaan tersebut senantiasa diarahkan untuk menciptakan iklim yang mendorong perkembangan produksi di dalam negeri, memperluas kesempatan kerja, menekan pola konsumsi mewah serta lebih memantapkan stabilitas harga. Dengan berbagai kebijaksanaan yang telah dilaksanakan tersebut maka realisasi penerimaan pajak tidak langsung selalu meningkat dari tahun ke tahun. Bila dalam tahun 1979/80 realisasi penerimaan pajak tidak langsung baru mencapai Rp. 1.380,2 milyar, maka penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp. 1681,0 milyar Rp. 1.775,9 milyar dan Rp.1.972,8 milyar masing-masing untuk tahun 1980/81, 1981/82 dan 1982/83. Dalam tahun 1983/84 penerimaan pajak tidak langsung meningkat lagi menjadi sebesar Rp. 2.308,6 milyar atau naik 17,0 % dari tahun sebelumnya. Bila realisasi penerimaan pajak tidak langsung yang dalam tahun 1983/84 besarnya Rp. 2.308,6 milyar dibandingkan dengan realisasi tahun 1978/79 yang besarnya Rp. 1.078,4 milyar maka terdapat peningkatan rata-rata sebesar 16,4% setiap tahunnya. Perkembangan realisasi pajak tidak langsung yang terdiri dari pajak penjualan, pajak penjualan impor, cukai, bea masuk, pajak ekspor dan lain-lain pajak tidak langsung, secara terperinci dapat dilihat pada Tabel IV 4 dan Grafik IV - 4. Di dalam perkembangannya realisasi penerimaan pajak penjualan selalu meningkat setiap tahunnya. Bila dalam tahun 1979/80 realisasinya sebesar Rp.22,1 milyar, maka dalam tahun 1982/83 meningkat menjadi Rp.476,6 milyar. Dalam tahun 1983/84 realisasinya meningkat lagi menjadi Rp 575,2 milyar atau naik sebesar 20,7 % dari tahun sebelumnya. Bila realisasi penerimaan pajak penjualan tahun terakhir Repelita III tersebut dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak pen- 207 TABEL IV - 4 PENERIMAAN PAJAK TIDAK LANGSUNG, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) * ) Termasuk Pajak Ekspor Tambahan (PET) yang dikenakan terhadap komoditi ekspor yang mengalami kenaikan harga dengan cukup tinggi di pasaran internasional 208 GRAFIK IV - 4 PENERIMAAN PAJAK TIDAK LANGSUNG 1978/79 - 1983/84 209 jualan tahun terakhir Repelita II yaitu tahun 1 9 7 8 / 7 9 , maka dalam tahun 1983/84 terjadi peningkatan penerimaan pajak penjualan sebesar 1 6 0 , 2 % . Peningkatan penerimaan pajak penjualan tersebut terutama dipengaruhi oleh peningkatan serta kelancaran perdagangan dalam negeri, peningkatan intensifikasi pemungutan melalui verifikasi yang lebih ketat atas penyerahan barang-barang dan jasa-jasa, penyesuaian tarip pajak penjualan pada tingkat yang lebih wajar serta penertiban dan penyempurnaan di dalam administrasi pemungutannya. Kebijaksanaan di bidang pajak penjualan yang dijalankan selama ini terus dilanjutkan yaitu di samping untuk meningkatkan penerimaan negara juga diarahkan agar pembebanan pajak penjualan lebih sesuai dengan kemampuan dan tingkat pendapatan golongan pemakai barang dan jasa lagipula agar kemampuan pengusaha golongan ekonomi lemah tetap diperkuat. Sehubungan dengan hal tersebut sejak bulan April 1979 telah diadakan penyesuaian tarip dan sistem pengenaannya terhadap lebih dari seribu macam jenis barang. Bagi jenis barang-barang tertentu yang semula dikenakan pajak penjualan dengan tarip 5 % diturunkan menjadi 2 , 5 % , 1 %, dan 0 %, begitu pula yang semula dikenakan pajak penjualan dengan tarip 10 % diturunkan menjadi 5% dan sebagainya. Selain dimaksudkan untuk memberi keringanan beban baik bagi para konsumen maupun pengusaha, kebijaksanaan ini juga diharapkan dapat mengurangi beban kumulatif dalam pemungutan pajak penjualan. Di samping itu sejak 25 Oktober 1 9 8 2 , telah dinaikkan tarip pajak penjualan atas penyerahan beberapa jenis kendaraan bermotor. Untuk kendaraan bermotor yang memakai bahan bakar solar (diesel), kendaraan bermotor jenis sedan/station wagon dan kendaraan serba guna (jeep), dikenakan pajak penjualan sebesar 4 0 % , sedangkan untuk jenis kendaraan niaga seperti pick-up, delivery van, combs dan truck kecil dikenakan tarip pajak penjualan sebesar 20 %. Kebijaksanaan ini diambil agar pemberian subsidi atas solar benar-benar sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu bahwa penggunaan bahan bakar tersebut memenuhi sasaran untuk kepentingan umum dan kepentingan produktif lainnya. Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, maka penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor terus diusahakan peningkatannya. Kebijaksanaan di bidang bea masuk dan pajak penjualan impor ini diarahkan untuk mendorong dan melindungi perkembangan industri dan sektor-sektor tertentu di dalam negeri yang mendapat prioritas untuk dibangun. Berdasarkan hal tersebut maka tarip bea masuk dan pajak penjualan impor untuk 210 barang-barang mewah serta barang yang sudah dapat dan cukup diproduksi di dalam negeri dikenakan tarip yang lebih tinggi, sedangkan terhadap impor bahan baku dan barang modal dikenakan tarip yang lebih rendah. Sedangkan dalam rangka menunjang kestabilan harga serta menjamin pengadaan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat, telah diberlakukan tarip bea masuk dan pajak penjualan impor yang sangat ringan. Dalam hubungan ini pada bulan April 1980 telah diberikan keringanan berupa pembebasan sebagian bea masuk dan pajak penjualan impor atas pemasukan bahan baku, sub komponen setengah jadi dan sub komponen jadi untuk pembuatan komponen kendaraan bermotor, dan perakitan busi di dalam negeri. Dalam rangka menunjang Peraturan Pemerintah No. 1 tanggal 16 Januari 1982 maka pada bulan Januari 1982 telah dikeluarkan ketentuan tentang penyempurnaan ketatalaksanaan pabean di bidang impor, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kelancaran arus dokumen dan barang. Sejak bulan Pebruari 1982 telah berlaku ketentuan tentang nilai dasar perhitungan bea masuk yaitu penyesuaian nilai dasar perhitungan bea masuk dengan berpedoman atas dasar rata-rata kurs yang terjadi pada bursa valuta asing dalam jangka waktu satu bulan atau satu triwulan. Di dalam realisasinya penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor selama pelaksanaan Repelita III selalu menunjukkan peningkatan, kecuali penerimaan bea masuk untuk tahun 1982/83 sedikit menurun dari tahun sebelumnya. Penurunan penerimaan bea masuk ini disebabkan karena diberlakukannya kebijaksanaan keringanan tarip serta pembebasan sebagian bea masuk dan pajak penjualan impor atas bahan baku dan sejumlah barang-barang tertentu. Hal ini antara lain untuk menciptakan iklim yang dapat membina dan mendorong perkembangan industri dalam negeri dan sektor-sektor produksi tertentu dalam perekonomian. Apabila realisasi penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor dalam tahun 1979/80 baru mencapai Rp 316,7 milyar dan Rp 137,2 milyar, maka penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp 521,9 milyar dan Rp 231,0 milyar dalam tahun 1982/83. Penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor tersebut meningkat lagi masing-masing mencapai Rp 557,0 milyar dan Rp 255,4 milyar dalam tahun 1983/84. Apabila realisasi penerimaan bea masuk dan pajak penjualan impor dalam tahun 1983/84 dibandingkan dengan penerimaan tahun terakhir Repelita II (1978/79), maka pada tahun terakhir Repelita III penerimaan bea masuk meningkat dengan 88,6 % dan penerimaan pajak penjualan impor meningkat dengan 103,5 %. Sementara itu perkembangan realisasi penerimaan cukai juga 211 cukup menggembirakan. Bila dalam tahun 1979/80 realisasinya baru mencapai Rp 326,4 milyar, maka dalam tahun 1982/83 penerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp 620,1 milyar. Selanjutnya dalam tahun 1983/84, realisasi penerimaan cukai meningkat lagi menjadi Rp 773,2 milyar atau naik sebesar 24,7 % dari tahun sebelumnya. Sedangkan bila penerimaan cukai dalam tahun 1983/84 tersebut dibandingkan dengan penerimaan cukai tahun 1978/79, yang besarnya Rp 252,9 milyar, maka selama kurun waktu lima tahun penerimaan ini meningkat dengan 305 %. Penerimaan cukai ini terdiri dari penerimaan cukai tembakau, cukai gula, cukai bir dan cukai alkohol sulingan. Di dalam perkembangannya penerimaan cukai ini dipengaruhi oleh perkembangan produksi, penyesuaian harga untuk pengenaan cukai gula, bir, alkohol sulingan dan pita cukai tembakau, peningkatan daya beli masyarakat, serta intensifikasi pemungutannya. Dalam kenyataannya penerimaan cukai tembakau merupakan bagian terbesar dari seluruh penerimaan cukai ini. Di bidang cukai tembakau, telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan yang bertujuan mendorong dan menunjang peningkatan penerimaan jenis ini, antara lain mengenai pelunasan hutang cukai, serta kebijaksanaan lain yang berupa peningkatan pegawasan dan penertiban baik fisik maupun Administratip. Meskipun jenis penerimaan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara, namun kebijaksanaan di bidang cukai tembakau juga diarahkan untuk membantu perkembangan industri rokok dan hasil tembakau dalam negeri, terutama bagi produsen yang tergolong lemah dan banyak menyerap tenaga kerja. Dalam hubungan ini sejak tanggal 1 Nopember 1983 terhadap perusahaan sigaret kretek tangan (SKT) yang produksinya lebih dari 4 milyar batang setahun dikenakan tarip 25 % dari harga pita cukai, yang produksinya antara 750 juta batang sampai dengan 4 milyar batang setahun dikenakan tarif 22,5 % dari harga pita cukai, sedang untuk produksi antara 100 juta sampai dengan 750 juta batang setahun dikenakan tarip 20 % dan bagi yang produksinya 100 juta batang atau kurang setahun dikenakan tarip 15 % dari harga pita cukai. Sebelumnya terhadap SKT yang produksinya lebih dari 750 juta batang setahun dikenakan tarip cukai 25 %, yang produksinya antara 100 juta dan 750 juta dan 750 juta batang setahun dikenakan tarip cukai 20 % dan bagi perusahaan yang produksinya 100 juta batang setahun atau kurang dikenakan tarip cukai 15 % dari harga pita cukai. Di samping kebijaksanaan di bidang cukai tembakau, juga telah dilakukan penyesuaian harga dasar dalam pemungutan cukai bir, yakni sejak 1 Oktober 1983 telah disesuaikan kembali harga dasar untuk memungut cukai bir dari Rp. 400,- per liter menjadi Rp. 500,- 212 per liter. Dalam pada itu harga dasar cukai gula juga disesuaikan, yaitu untuk jenis SHS-I, SHS-II, HS-I dan HS-II yang semula masing-masing sebesar Rp. 22.553,7 per kuintal, Rp. 22.403,7 per kuintal, Rp. 22.253,7 per kuintal dan Rp. 22.103,7 per kuintal, sejak bulan April 1981 disesuaikan menjadi masing-masing Rp. 35.000,- per kuintal, Rp. 34.850,per kuintal, Rp. 34.700,- per kuintal dan Rp. 34.550,- per kuintal. Penerimaan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari kegiatan ekspor dan tidak terlepas dari perkembangan ekspor serta kebijaksanaan di bidang ekspor, oleh karena itu kebijaksanaan di bidang ekspor bukan hanya sekedar untuk meningkatkan penerimaan negara tetapi juga memperhatikan segi peningkatan ekspor dan peranan kesempatan kerja di sektor produksi barang ekspor. Dalam Repelita III realisasi penerimaan pajak ekspor umumnya mengalami penurunan yaitu dari Rp. 389,1 milyar dalam tahun 1979/80 turun menjadi Rp. 305,0 milyar, Rp. 128,5 milyar dan Rp. 82,5 milyar, masing-masing untuk tahun 1980/81, 1981/82 dan 1982/83. Menurunnya penerimaan pajak ekspor dalam periode tersebut disebabkan oleh pengaruh resesi ekonomi yang melanda dunia selama beberapa tahun belakang ini yang turut mempengaruhi perkembangan ekspor Indonesia khususnya terhadap ekspor komoditi non migas. Sebaliknya dalam tahun 1983/84 realisasi penerimaan pajak ekspor sedikit meningkat dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yaitu dari Rp. 82,5 milyar menjadi Rp. 104,0 milyar, atau meningkat sebesar 26,1 %, antara lain disebabkan oleh meningkatnya volume maupun nilai ekspor bukan minyak. Dalam beberapa waktu ini, telah ditingkatkan usaha untuk menanggulangi berbagai hambatan, agar ekspor Indonesia memperoleh rangsangan yang cukup bagi peningkatan daya saingnya. Untuk itu telah diambil kebijaksanaan berupa pemberian fasil i t a s yang diharapkan dapat merangsang dunia usaha untuk mengembangkan ekspor. Kebijaksanaan tersebut antara lain berupa penyediaan fasilitas kredit dan pemberian kemudahan prosedur ekspor untuk kelancaran ekspor. Dalam hubungan ini untuk mendorong ekspor maka pada tahun 1982 telah dilakukan perubahan kebijaksanaan tentang pelaksanaan ekspor, impor dan lalu lintas devisa. Oleh karenanya telah dikeluarkan berbagai keputusan yang merupakan peraturan pelaksanaannya. Lain dari pada itu juga telah dijalankan kebijaksanaan penyesuaian : tarip pajak ekspor, yaitu untuk minyak kelapa sawit (crude palm oil), crude stearin dan refined bleached deodorized stearin masingmasing dikenakan pajak ekspor sebesar 5 % dan untuk biji nikel 213 serta bauksit telah diturunkan tarip pajak ekspornya masingmasing dari 10 % menjadi 0 %. Sementara itu penerimaan lain-lain pajak tidak langsung senantiasa meningkat setiap tahunnya. Bila dalam tahun 1979/80 realisasi penerimaan lain-lain pajak tidak langsung baru mencapai sebesar Rp 18,6 milyar., kemudian dalam tahun 1982/83 telah meningkat menjadi Rp 40,7 milyar. Dalam tahun 1983/84 penerimaan lain-lain pajak tidak langsung ini meningkat lagi menjadi sebesar Rp 43,8 milyar atau naik 7,6 % .dari tahun sebelumnya. Penerimaan lain-lain pajak tidak langsung terdiri dari penerimaan bea meterai, bea lelang dan penerimaan pajak tidak langsung lainnya. Sebagaimana kebijaksanaan di bidang pajak tidak langsung pada umumnya, maka kebijaksanaan di bidang jenis pajak tidak langsung lainnya juga diarahkan untuk menunjang sektor-sektor yang perlu mendapat prioritas dan perlindungan, terutama pengusaha golongan ekonomi lemah serta koperasi. Kebijaksanaan ini telah dilaksanakan secara bertahap yaitu antara lain berupa penyesuaian tarip bea meterai yang lebih wajar. Sehubungan dengan ini dalam rangka pembinaan Koperasi Unit Desa dan demi kelancaran pelaksanaan tata niaga cengkeh produksi dalam negeri, maka pada bulan Maret 1980 telah diberikan keringanan berupa penurunan bea meterai. Atas tanda bukti pemberian kredit dalam rangka pelaksanaan tata niaga cengkeh tidak dikenakan bea meterai kredit sebesar satu per mil melainkan cukup dikenakan bea meterai umum Rp 25,- tiap lembarnya. Penerimaan bukan pajak merupakan jenis penerimaan negara yang terdiri dari penerimaan departemen/lembaga negara non departemen. Di dalam perkembangannya penerimaan bukan pajak senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Bila pada tahun 1979/80 penerimaan bukan pajak baru mencapai Rp 187,3 milyar, penerimaan ini kemudian meningkat menjadi Rp 336,4 milyar, dan Rp 435,6 milyar masing-masing dalam tahun 1981/82 dan tahun 1982/83. Dalam tahun 1983/84 penerimaan bukan pajak meningkat lagi menjadi Rp 519,0 milyar yang berarti naik sebesar Rp 83,4 milyar atau 19,1 % dari tahun sebelumnya. Realisasi penerimaan bukan pajak tahun kelima Repelita III ini bila dibandingkan dengan tahun kelima Repelita II yang besarnya Rp 191,4 milyar, maka terdapat kenaikan sebesar 171%. Dalam rangka meningkatkan penerimaan bukan pajak maka terus dilakukan usaha intensifikasi dan ekstensifikasi, peningkatan pengawasan penyetorannya yang dilaksanakan oleh departemen/ 214 lembaga negara non departemen dan juga diusahakan untuk mencari sumber-sumber penerimaan baru. 2. Pengeluaran Rutin Makin meningkatnya pengeluaran rutin selama Repelita III, sampai dengan tahun 1983/84, adalah selaras dengan meningkatnya hasil-hasil pembangunan yang memerlukan dana pengelolaan dan pemeliharaan yang lebih besar. Selain itu kebijaksanaan pokok pengeluaran rutin selalu diarahkan pada tercapainya sasaran peningkatan tabungan Pemerintah, peningkatan mutu dan jumlah pelayanan Pemerintah serta pengamanan kekayaan negara yang semuanya itu tidak lepas dari strategi kebijaksanaan Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Peningkatan tabungan Pemerintah ini dicapai dengan usaha peningkatan penerimaan dalam negeri disatu pihak serta dilain pihak dengan usaha penghematan pengeluaran rutin tanpa mengurangi tercapainya sasaran. Ini berarti bahwa pengeluaran rutin tersebut harus dilaksanakan seefisien dan sehemat mungkin. Hal tersebut dapat dicapai melalui pengendalian sistem pengadaan dan pembelian barang kebutuhan Pemerintah serta pengarahan pengeluaran yang lebih selektif. Usaha peningkatan mutu dan jumlah pelayanan Pemerintah serta pengamanan kekayaan negara tercermin dalam kenaikan belanja pegawai, belanja barang dan subsidi daerah otonom. Pengeluaran rutin secara keseluruhan pada tahun 1983/84 mengalami kenaikan sebesar 20,2% dibanding dengan tahun sebelumnya. Selama Repelita III, pengeluaran rutin telah mencapai kenaikan rata-rata setahun sebesar 25,1%. Perkembangan realisasi pengeluaran rutin sejak tahun 1978/79 sampai dengan tahun 1983/84 dapat dilihat pada Tabel IV - 5 dan Grafik IV - 5. Belanja pegawai, belanja barang dan subsidi daerah otonom merupakan komponen yang terbesar dari seluruh pengeluaran rutin selama ini. Pada tahun akhir Repelita III ketiga jenis pengeluaran tersebut merupakan 63,7% dari seluruh pengeluaran rutin yang mencapai 4.8.411,8 milyar. Dalam tahun 1983/84 telah diberikan pemberian gaji bulan ke-13 pada bulan Juli 1983 dan pembayaran tambahan gaji tahun 1984/85 yang mulai berlaku sejak bulan Pebruari 1984. Atas dasar kebijaksanaan tersebut maka jumlah realisasi belanja pegawai selama ini 215 TABEL IV - 5 PENGELUARAN RUTIN, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 1) Termasuk subsidi pangan, bantuan kepada Pertamina dan subsidi BBM 2) Termasuk subsidi pangan, subsidi BBM dan pemilihan umum 216 GRAFIK IV - 5 KOMPOSISI PENGELUARAN RUTIN, 1978/79 - 1983/84 217 menunjukkan peningkatan. Pada akhir Repelita II realisasi belanja pegawai tersebut mencapai Rp.1.001,6 milyar yang kemudian menjadi Rp. 1.419,9 milyar pada awal Repelita III. Pada akhir Repelita III, realisasi belanja pegawai telah mencapai Rp 2.757,0 milyar. Perkembangan belanja pegawai tersebut dapat diikuti pada Tabel IV - 6. Realisasi belanja barang juga terus menunjukkan peningkatan. Dalam tahun terakhir Repelita II realisasi belanja barang mencapai jumlah Rp.419,5 milyar, yang kemudian meningkat pada awal Repelita III menjadi Rp. 569,0 milyar. Sedangkan pada tahun 1983/84 realisasinya mencapai jumlah Rp.1.057,1 milyar, yaitu Rp. 488,1 milyar atau 85,8% lebih besar jika dibandingkan dengan awal Repelita III. Hal ini sejalan dengan peningkatan kegiatan pembangunan yang membutuhkan peningkatan biaya pemeliharaan dan pengawasan, disamping juga dibutuhkan peningkatan dana untuk biaya peralatan kantor dalam rangka peningkatan mutu serta jumlah pelayanan Pemerintah. Sementara itu subsidi daerah otonom sebagai suatu bantuan kepada daerah dalam mengatasi belanja pegawai setiap tahun terus pula meningkat. Peningkatan tersebut sejalan dengan perkembangan realisasi belanja pegawai untuk pegawai negeri pusat. Pada akhir Repelita II realisasi subsidi daerah otonom ini mencapai Rp. 522,3 milyar, sedangkan pada awal Repelita III realisasinya telah mencapai Rp. 669,9 milyar, Selanjutnya pada tahun 1983/84 subsidi daerah otonom telah mencapai Rp.1.547,0 milyar yang berarti 130,9% lebih besar dari realisasi awal Repelita III. Dalam realisasi subsidi daerah otonom tahun 1983/84 tersebut sudah termasuk pembayaran gaji lurah dan perangkatnya serta tunjangan pamong desa di daerah-daerah yang kurang pendapatannya. Pembayaran bunga dan cicilan hutang merupakan kewajiban dari Pemerintah untuk membayar kembali angsuran dan bunga hutangnya kepada negara lain maupun kepada pihak ketiga di dalam negeri. Dalam perkembangannya jumlah pengeluaran pembayaran bunga dan cicilan hutang tersebut meningkat, terutama pembayaran untuk hutang luar negeri. Namun demikian jumlah pembayaran tersebut diusahakan agar tidak mengganggu pembiayaan bagi peningkatan pembangunan. Sehubungan dengan itu pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam tahun akhir Repelita II mencapai Rp. 534,5 milyar, kemudian pada awal Repelita III realisasinya berjumlah Rp. 684,1 milyar. Selanjutnya pada tahun 1983/84, realisasi pembayaran 218 TABEL IV - 6 BELANJA PEGAWAI 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 219 bunga dan cicilan hutang ini mencapai Rp. 2.102,6 milyar, suatu kenaikan sebesar Rp.1.418,5 milyar bila dibandingkan dengan awal Repelita III. Peningkatan tersebut terutama disebabkan adanya kebijaksanaan penyesuaian nilai tukar rupiah pada tanggal 20 Maret 1983, yaitu dari Rp. 625,- menjadi Rp.970,- per US $ 1,-. Pengeluaran rutin lain-lain dalam tahun 1983/84 berjumlah Rp.948,1 milyar, suatu penurunan sebesar Rp.49,0 milyar bila dibanding dengan realisasi tahun sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan lebih rendahnya subsidi BBM dibanding dengan tahun yang lalu disamping dihapuskannya jenis pengeluaran yang tercantum pada tahun sebelumnya, misalnya pengeluaran untuk Pemilu. 3. Dana Pembangunan Kegiatan pembangunan yang semakin meluas membutuhkan dana-dana yang semakin besar pula. Dana-dana yang dipergunakan untuk membiayai pembangunan tersebut terdiri dari Tabungan Pemerintah dan dana bantuan luar negeri. Tabungan Pemerintah merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin, sedangkan nilai lawan bantuan program dan bantuan proyek merupakan dana bantuan luar negeri. Sebagai sumber utama untuk membiayai pembangunan, telah diusahakan untuk terus menerus meningkatkan jumlah tabungan pemerintah. Hal ini sesuai dengan tekad untuk melaksanakan pembangunan berdasarkan kepada kekuatan sendiri, sedangkan bantuan luar negeri hanya merupakan pelengkap dalam seluruh sumber pembiayaan pembangunan. Dalam tahun 1983/84 jumlah dana pembangunan mencapai Rp.9.903,3 milyar atau meningkat sebesar 34,5% dari tahun sebelumnya. Jumlah tersebut terdiri dari tabungan Pemerintah sebesar Rp. 6.020,9 milyar dan dana bantuan luar negeri sebesar Rp. 3.882,4 milyar. Tabungan Pemerintah sebesar Rp. 6.020,9 milyar tersebut sudah mengalami peningkatan sebesar 11,0% dibanding dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 5.422,0 milyar. Dalam penerimaan bantuan luar negeri selalu dipertahankan bahwa persyaratan pemberian bantuan tersebut diberikan tanpa ikatan politik. Di samping itu penggunaan bantuan luar negeri tersebut selalu diarahkan untuk proyek-proyek yang bersifat produktif serta mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kemampuan industri dalam negeri. Sedangkan di dalam jumlah dan persyaratannya selalu diusahakan 220 agar sesuai dengan kemampuan perekonomian nasional untuk membayar kembali. Realisasi dana bantuan luar negeri mencapai Rp.3.882,4 milyar pada tahun 1983/84 sedang pada tahun awal Repelita III baru mencapai 4.1.381,1 milyar. Realisasi dana pembangunan dan komponennya dari tahun 1978/79 sampai dengan tahun 1983/84 dapat diikuti pada Tabel IV - 7 dan Grafik IV - 6. 4. Pengeluaran Pembangunan Realisasi APBN tahun 1983/84 yang merupakan tahun terakhir Repelita III ditandai dengan berbagai perkembangan baik berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di dalam negeri maupun perkembangan perekonomian dunia yang belum sepenuhnya pulih dari resesi. Kebijaksanaan ekonomi yang sangat penting dan mendasar yang dilaksanakan pada akhir tahun 1982/83 menyangkut penurunan nilai Rupiah dari US $ 1 Rp. 625 menjadi US $ 1 = Rp. 970,-. Kebijaksanaan tersebut merupakan kebijaksanaan pengamanan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan Repelita III untuk meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang makin merata dan adil serta meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya. Agar pelaksanaan APBN yang merupakan rencana operasional tahunan, berjalan lebih berdaya guna dan berhasil guna maka Keppres No. 14A tahun 1980 yang disempurnakan dengan Keppres No. 18 tahun 1981 tetap diberlakukan. Tujuan lain yang hendak dicapai dengan diberlakukannya kedua Keppres tersebut adalah untuk memberi kesempatan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di samping meningkatkan pemakaian produksi dalam negeri terutama dalam pembelian/pemborongan yang dilakukan oleh rekanan baik Pemerintah Pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha milik negara. Dengan demikian pelaksanaan APBN diarahkan kepada perluasan kesempatan kerja dan pemerataan kegiatan pembangunan diberbagai bidang, sehingga kesejahteraan rakyat dapat makin ditingkatkan dan pembagian pendapatan dapat lebih merata pula. Realisasi pengeluaran pembangunan dalam tahun 1983/84 dapat mencapai Rp. 9.899,2 milyar. Jumlah tersebut telah me- 221 TABEL IV - 7 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) *) 222 Realisasi sesudah 30 Maret 1983 dinilai berdasarkan kurs US 1 Rp. 970,-, sedangkan untuk realisasi sebelum 30 Maret 1983 dinilai berdasarkan kurs US $ 1 = Rp. 625,- sampai dengan Rp. 700,- untuk realisasi sebelum 15 Nopember 1978 digunakan kurs US $ 1 = Rp. 415,- GRAFIK IV - 6 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1978/79 - 1983/84 (dalam persen) 223 ningkat sebesar 34,5 % dibanding dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp. 7.359,6 milyar. Perkembangan realisasi pengeluaran pembangunan termasuk bantuan proyek menurut sektor dan sub sektor dalam Repelita III dapat dilihat pada Tabel IV - 8 dan perkembangan jumlahnya digambarkan pada Grafik IV - 7. Perkembangan pengeluaran pembangunan ini menunjukkan bahwa selama Repelita III telah direalisasikan pembiayaan pembangunan sebesar Rp 34.129,2 milyar, dan bila dibandingkan dengan rencananya terdapat kenaikan sebesar 56,2 persen. Pengeluaran terbesar terlihat pada sektor pertambangan dan energi yaitu Rp 5.175,0 milyar yang berarti 75,8 % melampaui rencananya; sektor perhubungan dan pariwisata sebesar Rp 4.457,0 milyar ,yang berarti 3 1 ,7 % diatas rencananya; sektor pertanian dan pengairan sebesar Rp 4.235 milyar, yang berarti 38,9% lebih tinggi dari yang direncanakan dalam Repelita III dan sektor pendidikan sebesar Rp 3 . 3 9 7 , 1 milyar yang berarti 49,2% diatas rencananya. Di samping itu dilihat dari persentase kenaikannya terdapat beberapa sektor pembangunan yang realisasinya mengalami kenaikan yang sangat besar dibandingkan dengan yang direncanakan dalam Repelita III. Sektor Pengembangan Dunia Usaha realisasinya selama Repelita III mencapai Rp 1 . 7 5 8 , 5 milyar yang berarti 374,9% diatas rencananya, sektor Perdagangan dan Koperasi mencapai Rp 521,9 milyar yang berarti 171,9% di atas rencananya dan sektor industri mencapai Rp 2.320,1 milyar yang berarti 97,6% melampaui rencananya. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan dalam Repelita III bahwa prioritas diletakkan pada pembangunan sektor pertanian menuju swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku dan barang jadi, dalam rangka menseimbangkan struktur ekonomi Indonesia. Perincian berdasarkan Jenis pembiayaan selama Repelita III dapat dilihat pada Tabel IV - 9 dan perincian berdasarkan sektor pembangunan di luar bantuan proyek disajikan pada Tabel IV - 10 dan Grafik IV - 8. Dalam tahun 1983/84 pembiayaan pembangunan melalui Departemen/Lembaga mencapai jumlah sebesar Rp. 3. 21 9, 6 milyar atau meningkat sebesar 3,8 kali dibanding dengan tahun akhir Repelita II. Peningkatan ini menunjukkan kemampuan Pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan yang dikelola oleh Departemen/Lembaga, walaupun pelaksanaan pembangunan dalam Repelita III dipengaruhi oleh resesi dunia. 224 TABEL IV - 8 PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 225 (Lanjutan Tabel IV - 8) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 226 Tidak termasuk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Merupakan jumlah Sub Sektor Keluarga Berencana Tidak termasuk Peranan Wanita Merupakan jumlah Sub Sektor Kesejahteraan Sosial saja Merupakan Jumlah Sub Sektor Keluarga Berencana saja Jumlah untuk Sektor/Sub Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup dimasukkan di dalam Sub Sektor Pertanian, Sub Sektor Pengairan dan Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi GRAFIK IV - 7 PENGELUARAN PEMBANGUNAN, 1978/79 - 1983/84 227 TABEL IV - 9 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 228 TABEL IV - 10 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 229 (Lanjutan Tabel IV - 10) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 230 Tidak termasuk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Merupakan Jumlah sub-sektor Keluarga Berencana Tidak termasuk Peranan Wanita Merupakan Jumlah sub-sektor Kesejahteraan Sosial saja Merupakan Jumlah sub-sektor Keluarga Berencana saja Jumlah untuk sektor/sub-sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup dimasukkan di dalam sub-sektor Pertanian, sub-sektor Pengairan dan Sub-Sektor Pos dan Telekomunikasi GRAFIK IV - 8 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1978/79 - 1983/84 231 Selanjutnya pembiayaan pembangunan bagi daerah dalam tahun 1983/84 telah mencapai jumlah Rp 1.447,5 milyar. Pembiayaan pembangunan bagi daerah adalah dalam rangka lebih memeratakan pembangunan ke seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan pembangunan daerah dan pedesaan telah lebih ditingkatkan dan diarahkan kepada usaha perluasan kerja, pembinaan dan pengembangan lingkungan pemukiman pedesaan dan perkotaan yang sehat, serta peningkatan kemampuan penduduk untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dan menanggulangi masalah-masalah yang mendasar. Pembiayaan pembangunan bagi daerah merupakan bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan yang berupa program-program Inpres, Ipeda dan pembiayaan bagi Timor Timur. Bantuan pembangunan daerah ini senantiasa ditingkatkan dari tahun ke tahun. Bantuan Pembangunan Desa bertujuan mendorong dan mengarahkan usaha-usaha swadaya gotong-royong masyarakat dalam membangun desanya. Pada tahun 1978/79 jumlah bantuan yang diberikan baru mencapai jumlah sebesar Rp 24,0 milyar tetapi pada tahun 1983/84 telah mencapai jumlah sebesar Rp 91,6 milyar. Meningkatnya jumlah bantuan yang hampir mencapai 4 kali selama 5 tahun ini disebabkan oleh perkembangan jumlah desa dari 60.645 buah pada tahun 1978/79 menjadi 66.437 buah pada tahun 1983/84, selain ditingkatkannya besarnya bantuan yang diberikan. Bila pada tahun 1978/79 bantuan yang diberikan hanya sebesar Rp 350 ribu untuk tiap desa, maka pada tiga tahun berikutnya jumlah ini dinaikkan menjadi Rp 450 ribu, Rp 750 ribu dan Rp 1,0 juta. Sejak tahun 1982/83 bantuan ini ditingkatkan lagi menjadi Rp 1,25 juta per desa. Bantuan sebesar Rp 1,25 juta per desa itu telah termasuk dana untuk Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebesar Rp 250 ribu. Bantuan Pembangunan Kabupaten/Kotamadya yang besar bantuannya didasarkan atas jumlah penduduk, bertujuan untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja serta meningkatkan partisipasi penduduk dalam pembangunan. Oleh sebab itu selain bantuan berupa uang kepada setiap Dati II juga diberikan bantuan peralatan berupa satu buah mesin gilas jalan. Pemberian bantuan Inpres Kabupaten/Kotamadya pada tahun 1978/78 adalah sebesar Rp 450 per jiwa kemudian ditingkatkan menjadi Rp 550 pada tahun 1979/80; menjadi Rp 750 pada tahun 1980/81 dan menjadi Rp 1.000 per jiwa pada tahun 1981/82. Untuk tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 bantuan ini ditingkatkan lagi sehingga menjadi Rp 1.150 per jiwa. Di samping didasarkan atas jumlah penduduk kepada daerah-daerah yang masih jarang pen- 232 duduknya diberikan jumlah bantuan minimum yang jumlahnya juga ditingkatkan setiap tahunnya. Dalam tahun 1978/79 jumlah bantuan minimum adalah sebesar Rp 50 juta per kabupaten/kotamad y a , kemudian dalam tahun 1979/80, tahun 1980/81 dan tahun 1981/82 ditingkatkan menjadi masing-masing sebesar Rp 65 juta, Rp 100 juta dan Rp 150 juta. Pada tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 bantuan minimum tersebut ditingkatkan lagi menjadi Rp 160 juta. Atas dasar perkembangan besarnya bantuan per jiwa serta perkembangan jumlah penduduk, dalam tahun 1983/84 telah direalisasikan bantuan sebesar Rp 194,1 milyar. Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I adalah program Inpres yang bertujuan untuk meningkatkan keselarasan pembangunan sektoral dan regional, meratakan hasil-hasil pembangunan, meningkatkan keserasian laju pertumbuhan antar daerah dan meningkatkan partisipasi daerah dalam pembangunan. Bantuan ini digunakan untuk penunjang jalan dan jembatan serta penggantian jembatan, perbaikan dan peningkatan irigasi untuk eksploitasi dan pemeliharaan pengairan. Sedangkan bantuan yang diarahkan digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek yang meningkatkan taraf hidup rakyat, proyek yang mengembangkan daerah minus dan daerah kritis serta proyek-proyek lain yang penting dalam rangka pembangunan daerah. Dalam tahun 1978/79 realisasi bantuan pembangunan Dati I ini Baru mencapai jumlah sebesar Rp 86,8 milyar tetapi pada tahun 1983/84 telah mencapai Rp 253,0 milyar. Kenaikan i n i disebabkan terutama karena ditingkatkannya jumlah bantuan minimum tiap propinsi. Apabila dalam tahun 1978/79 jumlah bantuan minimum sebesar Rp 2 milyar maka pada t a h u n 1979/80, tahun 1980/81, dan 1981/82 ditingkatkan masing-masing menjadi Rp 2,5 milyar, Rp 5,0 milyar dan Rp 7,5 milyar. Untuk tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 jumlah bantuan minimum ini ditingkatkan lagi menjadi Rp 9,0 milyar. Bantuan pembiayaan pembangunan daerah lainnya adalah berupa bantuan untuk daerah Timor Timur. Bantuan ini diberikan dalam rangka memberi kesempatan kepada daerah tersebut untuk mengejar ketinggalannya dari daerah-daerah lainnya di Indonesia. Bantuan yang diberikan kepada propinsi termuda ini baru dimulai pada tahun 1977/78 sebesar Rp 3,5 milyar. Pada tahun 1978/79, 1979/80 dan 1980/81 masing-masing sebesar R p 4 , 5 milyar; Rp 6,6 milyar dan Rp 6,4 milyar. Sedangkan dalam tahun 1981/82, 1982/83 dan 1983/84 bantuan yang diberikan kepada daerah Timor Timur adalah sebesar Rp 6,8 milyar, Rp 5,7 milyar dan Rp 5,2 milyar sehingga selama Repelita III saja 233 Timor Timur telah Rp 30,7 milyar. mendapat bantuan pembangunan sebesar Program pembangunan daerah melalui dana IPEDA dalam tahun anggaran 1983/84 mencapai Rp 132,4 milyar, sedangkan dalam tahun 1978/79 dana pembangunan ini baru mencapai jumlah Rp 63,1 milyar. Dana pembangunan yang sebenarnya berasal dari daerah sendiri itu dipungut berdasarkan kerjasama antara Pusat dan Daerah dan dipergunakan sepenuhnya untuk pembangunan daerah. Program bantuan pembangunan sekolah dasar bertujuan untuk memperluas kesempatan belajar guna mempercepat penuntasan keikut sertaan anak usia 7 - 12 tahun pada pendidikan dasar dalam rangka persiapan mewujudkan pelaksanaan wajib belajar. Di samping itu juga untuk memenuhi kebutuhan sekolah dasar di daerah transmigrasi, daerah pemukiman baru dan daerah perkebunan inti serta untuk memenuhi kebutuhan sekolah dasar luar biasa untuk menampung anak-anak yang berkelainan. Pada mulanya Inpres ini hanya meliputi pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung SD, baik gedung SD Negeri maupun Swasta dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta yang ada serta penyediaan buku-buku pelajaran dan bacaan bagi anak-anak SD. Kemudian pada tahun 1978/79 diperluas lagi dengan pembangunan ruang kelas baru dan pada tahun berikutnya diperluas lagi dengan pembangunan rumah kepada sekolah dan guru di daerah terpencil. Dalam tahun 1982/83 bantuan ini lebih ditingkatkan lagi yaitu dengan menambah penyediaan paket peralatan olah raga untuk sekolah Dasar Negeri dan Swasta serta Madrasah Ibtidaiyah. Atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diambil maka pengeluaran bagi bantuan pembangunan sekolah dasar yang dalam tahun 1978/79 hanya mencapai jumlah sebesar Rp 111,8 milyar, dalam tahun 1983/84 telah meningkat hampir 5 kali, mencapai Rp 549,3 milyar. Dalam Repelita III sasaran peningkatan pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi diutamakan kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di desa maupun di kota. Sehubungan dengan itu bantuan yang diberikan melalui Inpres sarana kesehatan lebih ditingkatkan lagi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apabila dalam tahun 1978/79 bantuan yang diberikan baru mencapai Rp 26,9 milyar, pada akhir Repelita III jumlah bantuan tersebut telah meningkat menjadi Rp 87,3 milyar, yang berarti suatu kenaikan rata-rata sebesar 26,5 persen selama Repelita III. Kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup tetap menda- 234 pat perhatian yang besar dalam tahun 1983/84. Oleh karena itu anggaran bagi bantuan penghijauan dan reboisasi yang bertujuan untuk menyelamatkan kelestarian sumber-sumber alam, tanah, hutan dan air lebih ditingkatkan lagi. Sasaran Inpres penghijauan ini terutama daerah-daerah kritis yaitu daerah-daerah yang ditinjau dari segi hidro-orologi dapat membahayakan kelangsungan pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau wilayah lain. Dengan diberikannya Inpres ini berarti menambah perluasan kesempatan kerja di daerah. Pada tahun 1978/79 realisasi bantuan program penghijauan ini sebesar Rp.36,0 milyar sedangkan pada tahun 1983/84 sebesar Rp 59,4 milyar. Dalam rangka melindungi para pedagang kecil golongan ekonomi lemah, kepada pemerintah daerah telah diberikan bantuan kredit pembangunan dan pemugaran pasar untuk menyediakan tempat-tempat berjualan bagi para pedagang khususnya para pedagang kecil golongan ekonomi lemah dengan sewa semurah mungkin. Pada tahun 1978/79 bantuan yang diberikan baru sebesar Rp 1,2 milyar tetapi dalam tahun berikutnya melonjak menjadi Rp 12,4 milyar. Sedangkan pada tahun 1983/84 bantuan yang diberikan mencapai Rp 10,6 milyar. Dengan demikian selama Repelita III telah terjadi kenaikan rata-rata sebesar 54,6 persen setahun. Bantuan pembangunan kepada daerah yang baru diberikan pada awal Repelita III adalah bantuan pemugaran jalan kabupaten daerah Tk. II atau lebih dikenal dengan Inpres prasarana jalan. Program bantuan ini diberikan dalam rangka pemerataan pembangunan, menggairahkan kegiatan ekonomi daerah, memperlancar arus pengangkutan dan distribusi serta menunjang proyek-proyek di daerah. Pada tahun 1979/80 bantuan yang diberikan melalui Inpres ini adalah sebesar Rp 13,0 milyar kemudian ditingkatkan menjadi Rp 25,9 milyar dan Rp 54,8 milyar dalam tahun 1980/81 dan tahun 1981/82. Pada tahun 1982/83 dan tahun 1983/84 jumlah Inpres prasarana jalan yang diberikan adalah sebesar masing-masing Rp 42,4 milyar dan Rp 64,6 milyar, sehingga dalam Repelita III telah direalisasikan bantuan sebesar Rp 200,7 milyar. Pembiayaan pembangunan lainnya terdiri dari subsidi pupuk yang diberikan dalam rangka meningkatkan produksi pangan, penyertaan modal Pemerintah pada badan-badan usaha milik negara dan bantuan kepada badan usaha swasta berupa kredit mini dan kredit candak kulak (KCK) serta untuk pembiayaan koperasi, pembangunan rumah murah (KPR Perumnas), pengembangan statistik, Keluarga Berencana dan lain-lain. Dalam tahun 1983/84 235 realisasi lain-lain pengeluaran pembangunan adalah Rp 1.364,6 milyar yang terdiri dari subsidi pupuk Rp 324,2 milyar; penyertaan modal Pemerintah Rp 591,7 milyar dan lain-lain sebesar Rp 448,7 milyar. Untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan dalam Repelita III masih diperlukan tambahan dana yang berasal dari luar negeri, yang sifatnya hanya sebagai pelengkap. Bantuan luar negeri yang berupa bantuan proyek ini diwujudkan dalam bentuk barang-barang modal yang diinvestasikan pada sektor-sektor prasarana dan sektor-sektor yang produktif dan bermanfaat. Perkembangan realisasi bantuan proyek selama Repelita III dapat dilihat pada Tabel IV - 11 dan Grafik IV - 9. C. PERKEMBANGAN MONETER 1. Kebijaksanaan moneter Kebijaksanaan moneter selama Repelita III, diarahkan kepada usaha untuk mencapai 4 sasaran pokok, yakni : pertama menunjang usaha pemerataan pembangunan dengan jalan meningkatkan kedudukan golongan ekonomi lemah, mendorong perluasan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan serta menunjang produksi bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat; kedua meningkatkan usaha mobilisasi tabungan masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank; ketiga memelihara dan meningkatkan kestabilan ekonomi khususnya kestabilan harga; dan keempat menyempurnakan serta meningkatkan efisiensi dan peranan lembaga-lembaga keuangan dalam rangka pengembangan suatu sistem lembaga keuangan yang lebih sehat dan lengkap. Kebijaksanaan pemerintah dalam menunjang pemerataan pembangunan selama Repelita III adalah melanjutkan, meningkatkan dan menyempurnakan langkah-langkah yang ditempuh dalam dua Repelita sebelumnya, antara lain dengan menyediakan dana murah berupa kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank pelaksana. Penyediaan kredit likuiditas tersebut telah berhasil meningkatkan pemberian kredit untuk golongan ekonomi lemah, seperti kredit dalam bentuk KIK/KMKP, Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak, Kredit atas dasar kelayakan, Kredit Pemilikan Rumah. Selain itu juga telah meningkatkan pemberian kredit untuk ekspor dan produksi barang ekspor non-migas; kredit modal kerja untuk impor bahan baku dan bahan penolong dalam rangka menunjang kelancaran produksi dalam negeri; serta kredit investasi yang telah dimanfaatkan 236 TABEL IV - 11 REALISASI BANTUAN PROYEK, MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 237 (Lanjutan Tabel IV - 11) 1) Tidak termasuk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 2) Merupakan jumlah sub-sektor Keluarga Berencana 238 GRAFIK IV - 9 REALISASI BANTUAN PROYEK, MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1978/79 - 1983/84 239 untuk pembiayaan sektor-sektor perhubungan dan jasa-jasa. pertambangan, perindustrian, Kebijaksanaan yang ditempuh untuk meningkatkan tabungan masyarakat selama Repelita III dilakukan dengan Cara mendorong kebiasaan menabung di kalangan masyarakat dalam bentuk deposito berjangka, Tabanas/Taska, Sertifikat deposito dan saham. Dalam Repelita III, Pemerintah telah melakukan penyempurnaan beberapa ketentuan guna meningkatkan hasrat menabung, melalui antara lain : pembebasan berbagai jenis pajak, seperti pajak kekayaan (PKk)atas pokok simpanan, pajak pendapatan (PPd) atas bunga simpanan, dan pajak atas bunga, dividen dan royalty (PBDR) atas deposito valuta asing; serta menaikkan suku bunga Tabanas. Usaha tersebut telah berhasil meningkatkan jumlah penabung maupun nilai simpanan baik untuk Tabanas/Taska, deposito berjangka, maupun simpanan-simpanan lainnya. Dalam usaha untuk memelihara dan meningkatkan kestabilan harga, Pemerintah mengendalikan perkembangan moneter melalui sistem pagu perkreditan yang telah berhasil mengekang laju kenaikan harga. Walaupun pengaruh resesi ekonomi dunia semakin dirasakan sejak akhir 1981, namun tingkat kenaikan harga. tetap dapat ditekan dari sebesar 19,1% pada tahun 1979/80 menjadi 12,7% pada tahun 1983/84. Usaha untuk meningkatkan efisiensi dan peranan lembagalembaga keuangan dilakukan melalui pembinaan, baik dalam kelembagaan maupun kegiatan usahanya. Dalam sektor perbankan, usaha-usaha tersebut meliputi : mendorong peranan bank-bank pemerintah untuk melakukan penyertaan modal kepada perusahaan-perusahaan pengusaha ekonomi lemah; meningkatkan bantuan teknis dan keuangan kepada bank-bank pembangunan daerah; serta meningkatkan peranan dan memperluas pelayanan bank-bank umum swasta nasional di daerah-daerah. Pembinaan dalam kelembagaan dan kegiatan usaha juga dilakukan kepada lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang mempunyai peranan penting dalam menunjang pengerahan dana dari masyarakat dan menyalurkan dana tersebut bagi kegiatan yang produktif. Untuk jenis LKBB yang kegiatan utamanya berupa penyertaan modal dalam perusahaan dan perdagangan surat-surat berharga di pasar modal, pemerintah telah memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga tersebut untuk menjadi trustee dan atau penanggung atas penerbitan obligasi. Selain itu, Pemerintah juga berusaha meningkatkan jenis LKBB yang bergerak dalam pengembangan usaha golongan ekonomi lemah, seperti PT. Bahana, PT. Askrindo dan LJKK. 240 Sebagaimana telah dikemukakan, tekanan terhadap perkembangan harga selama ini telah dapat diatasi melalui sistem penetapan pagu perkreditan yang dimulai sejak April 1974, akan tetapi, kombinasi sistem penyediaan kredit likuiditas dengan penetapan pagu perkreditan tersebut telah membawa akibat sampingan berupa meningkatnya akses reserve bank-bank yang tidak dapat digunakan secara produktif dan menurunnya gairah bank dalam mengerahkan dana masyarakat. Dalam usaha mengurangi dampak negatif lebih lanjut terhadap neraca pembayaran dan perkembangan harga, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan 1 Juni 1983 yang pada dasarnya meliputi: pertama mendorong bank-bank untuk mengerahkan dana sebanyakbanyaknya dari masyarakat, melalui pemberian kebebasan kepada bank-bank dalam bunga deposito dan suku bunga kredit yang tidak tergolong prioritas tinggi; kedua mengurangi pemberian kredit likuiditas oleh bank sentral kepada bank-bank, kecuali dalam hal kredit untuk sektor-sektor ekonomi berprioritas tinggi; ketiga dihapuskannya ketentuan pagu perkreditan. Dengan dihapuskannya sistem penetapan pagu perkreditan tersebut, maka Bank Indonesia di dalam mengendalikan perkembangan moneter, telah menggunakan peralatan moneter yang tidak langsung, seperti penetapan likuiditas minimum bank-bank, operasi pasar terbuka melalui penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan penyediaan fasilitas diskonto yang dilaksanakan sejak 1 Pebruari 1984. Kedua peralatan terakhir tersebut dimaksudkan untuk menunjang pelaksanaan Kebijaksanaan 1 Juni 1983 yang bertujuan untuk mendorong usaha perbankan dalam mengerahkan dana dan mengurangi ketergantungan bank-bank pada kredit likuiditas. Pengendalian jumlah likwiditas dilaksanakan secara tidak langsung melalui penetapan besarnya “Uang Primer” yang disesuaikan dengan target pertambahan uang beredar yang dikehendaki. Dalam hal diinginkan kebijaksanaan moneter yang ketat, maka Bank Indonesia akan memperbesar penjualan SBI yang pada tahap pertama akan menyerap kelebihan likuiditas bank-bank dan pada waktunya, melalui secondary market, akan menyerap likuiditas di luar sistem moneter. Kebijaksanaan moneter yang ketat juga dapat dilakukan dengan menaikkan suku bunga fasilitas diskonto. Sebaliknya, apabila dikehendaki kebijaksanaan moneter yang ekspansif maka Bank Indonesia akan mengurangi penjualan SBI dan menurunkan suku bunga fasilitas diskonto. 2. Peredaran Uang Jumlah uang beredar (M1) yang terdiri dari uang kartal 241 dan uang giral, selama Repelita III telah naik dengan 187,7% atau rata-rata 23,5% setahun sehingga mencapai Rp.8.054,7 milyar pada akhir tahun 1983/84. Kenaikan pada dua tahun terakhir Repelita III relatif rendah, yakni sebesar 8,9% pada tahun 1982/83 dan 9,2% pada tahun 1983/84. Dilihat dari komposisi uang beredar, peranan uang giral yang sejak permulaan Repelita III terus meningkat menjadi 62% pada akhir tahun 1981/82, dalam 2 tahun terakhir menurun menjadi 59% pada tahun 1982/83 dan 56% pada tahun 1983/84. Menurunnya peranan uang giral tersebut terutama disebabkan oleh terdapatnya penarikan rekening giro perusahaan-perusahaan pemerintah untuk penyetoran hutang pajak. Perkembangan jumlah uang beredar dapat dilihat pada Tabel IV-12 dan Grafik IV-10. Jumlah uang beredar (M1) secara nyata, yaitu setelah diperhitungkan laju kenaikan harga selama Repelita III menunjukkan kenaikan sebesar 50,1% atau rata-rata 8,5% setahun sehingga mencapai Rp. 3.451 milyar pada akhir tahun 1983/84. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 1981/82 sebesar 17,9%, sedangkan pada tahun 1983/84 terdapat penurunan sebesar 3,7%. Penurunan uang beredar secara nyata tersebut menunjukkan bahwa laju kenaikan harga adalah lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan uang beredar, yakni 12,6% dibandingkan dengan 9,2% (lihat Tabel IV-13 dan Grafik IV-11). Sebagaimana terlihat pada sebab-sebab yang mempengaruhi jumlah uang beredar (Tabel IV-14), perkembangan moneter Indonesia selama Repelita III sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian dunia yang antara lain tercermin pada keadaan neraca pembayaran kita. Dalam dua tahun pertama Repelita III, kelebihan yang terjadi pada neraca pembayaran telah menyebabkan sektor luar negeri memberikan pengaruh menambah yang cukup besar, yakni sebesar Rp. 2.497,7 milyar pada tahun 1979/ 80 dan Rp. 2.296,2 milyar pada tahun 1980/81. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan semakin meningkatnya harga barang ekspor Indonesia di pasaran luar negeri, terutama minyak, disamping pengaruh dari tindakan penyesuaian nilai tukar rupiah pada tanggal 15 Nopember 1978. Dalam dua tahun berikutnya, sektor luar negeri telah memberikan pengaruh mengurang, masing-masing sebesar Rp. 67,5 milyar pada tahun 1981/82 dan sebesar Rp. 1.946,1 milyar pada tahun 1982/83. Besarnya pengaruh mengurang pada tahun 1982/83 terutama disebabkan oleh terdapatnya kekurangan dalam neraca pembayaran sebagai akibat pengaruh resesi ekonomi dunia dan memburuknya pasaran minyak internasional. Pada tahun 1983/84, dengan diambilnya kebijaksanaan devaluasi pada bulan Maret 1983, maka 242 TABEL IV - 12 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1979/80 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 243 GRAFIK IV - 10 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1978/79 - 1983/84 (Dalam milyar Rupiah) 244 244 TABEL IV – 13 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR 1978/79 – 1983/84 1) Menggunakan Indeks Harga konsumen (IHK) dengan tahun dasar April 1977 s/d Maret 1978. Untuk masa sebelum Maret 1979 indeks yang semula berdasarkan tingkat kenaikan biaya hidup (IBH) J a k a r t a , indeksnya diadakan penyesuaian menjadi Indeks Harga konsumen (IHK). 2) Dihitung dengan cara : Jumlah uang beredar Indeks Harga X 100 3) Maret 1979 = 100 245 GRAFIK IV - 11 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1978/79 - 1983/84 246 TABEL IV - 14 SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 1) 2) 3) Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah dari Rp. 415,menjadi Rp. 625,- per US Dollar pada tanggal 15 Nopember 1978. Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah dari Rp. 702,50 menjadi Rp. 970,- per US Dollar pada 30 Maret 1983, masing-masing sebesar Rp. 1.962,50 pada sektor luar negeri, Rp. 237,3 milyar pada sektor Pemerintah. Rp. 294,3 milyar pada sektor kegiatan perusahaan, Rp 1.399,4 milyar pada sektor lain-lain dan Rp. 620,1 milyar pada deposito berjangka dan tabungan (uang kuasi) Angka sementara 247 sektor luar negeri telah memberikan pengaruh menambah sebesar Rp. 2.684,9 milyar. Sektor pemerintah pada dua tahun pertama Repelita III memberikan pengaruh mengurang yang cukup besar, yakni sebesar Rp. 1.099,6 milyar pada tahun 1979/80 dan Rp. 1.825,5 milyar pada tahun 1980/81. Besarnya pengaruh mengurang tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya penerimaan pajak perseroan (PPs) minyak karena meningkatnya harga minyak di pasar dunia. Selanjutnya, pengaruh mengurang sektor Pemerintah dalam tahun 1981/82 menurun menjadi Rp. 70,4 milyar dan pada tahun 1982/83 memberikan pengaruh menambah sebesar Rp. 697,1 milyar, yang disebabkan oleh menurunnya penerimaan pemerintah yang berasal dari PPs minyak. Dalam tahun 1983/84, sektor tersebut memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp. 1.719,1 milyar, sebagai hasil usaha penghematan yang dilakukan Pemerintah melalui pengurangan beban subsidi BBM dan pupuk, serta penghapusan subsidi pangan. Di samping itu, kebijaksanaan penyesuaian nilai tukar rupiah pada bulan Maret 1983 dan pelaksanaan pemungutan pajak yang lebih intensif telah dapat meningkatkan arus penerimaan pemerintah. Tagihan pada perusahaan negara dan swasta sampai dengan tahun 1982/83 terus menunjukkan peningkatan sesuai dengan perkembangan kegiatan. Sektor tersebut yang pada tahun 1979/ 80 hanya memberikan pengaruh menambah sebesar Rp. 808 milyar, pada tahun 1982/83 meningkat menjadi Rp. 2.741,8 milyar (tidak diperhitungkan hasil penilaian kembali rekening valuta asing sebesar Rp. 294,3 milyar karena devaluasi bulan Maret 1983). Dalam tahun 1983/84, pengaruh menambah dari sektor tersebut berjumlah Rp. 2.633,2 milyar atau lebih rendah dari tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh berhati-hatinya bank dalam pemberian kredit, di samping lesunya dunia usaha karena pengaruh resesi ekonomi dunia. Deposito berjangka dan tabungan yang merupakan unsur uang kuasi, dalam tiga tahun pertama Repelita III memberikan pengaruh mengurang yang relatif sama yakni rata-rata sebesar Rp. 674 milyar setahun. Dalam tahun 1982/83, uang kuasi tersebut memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp. 871,3 milyar. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah simpanan dalam valuta asing sebagai akibat semakin menguatnya dollar Amerika Serikat dan beberapa mata uang asing lainnya terhadap rupiah. Dalam tahun 1983/84, pengaruh mengurang dari deposito berjangka dan tabungan mencapai jumlah Rp. 2.835,5 milyar, terutama disebabkan oleh meningkatnya deposito berjangka dalam rupiah sebagai akibat kebijaksanaan 1 Juni 1983. 248 Faktor lain-lain yang terutama terdiri dari rekening modal, cadangan dan laba, serta jaminan impor, dalam tahun 1983/84 memberikan pengaruh mengurang terhadap jumlah uang beredar sebesar Rp. 88 milyar yang merupakan pengaruh mengurang terkecil dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dalam Repelita III, yakni Rp. 558 milyar (1979/80); Rp. 205 milyar (1980/81); Rp. 222 milyar (1981/82); dan Rp. 254 milyar (1982/83). 3. Dana Perbankan Kebijaksanaan pengerahan dana perbankan selama Repelita III diarahkan pada usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat melalui sektor perbankan guna pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat. Selain daripada usaha peningkatan tabungan pemerintah perlu pula dikerahkan swadaya menabung dari masyarakat. Untuk menunjang keikutsertaan masyarakat di dalam pengerahan dana perbankan, maka Pemerintah pada tanggal 1 Juni 1983 telah mengambil kebijaksanaan moneter yang sifatnya mendorong bank-bank untuk memperbesar usaha pengerahan dana dari masyarakat. Selama empat tahun pertama Repelita III, kebijaksanaan suku bunga deposito berjangka pada bank-bank Pemerintah tidak mengalami perubahan, dengan besarnya bunga berkisar antara 6% - 15% setahun. Namun kemudian dengan kebijaksanaan 1 Juni 1983 bank-bank Pemerintah mempunyai kebebasan untuk menetapkan suku bunga deposito berjangka, kecuali untuk deposito 24 bulan yang suku bunganya ditetapkan 12% setahun. Selain itu kepada penabung diberikan fasilitas perpanjangan secara otomatis terhadap deposito yang telah jatuh waktu serta fasilitas berupa deposito atas nama dan atas unjuk. Kebijaksanaan suku bunga Tabanas juga mengalami perubahan. Menurut ketentuan sebelumnya suku bunga Tabanas untuk saldo sampai dengan Rp. 200.000,- ditetapkan sebesar 15% setahun, dan untuk saldo di atas Rp. 200.000,- 9% setahun. Dengan berlakunya ketentuan baru maka untuk saldo tabungan sampai dengan Rp. 1 juta suku bunganya adalah 15% setahun dan untuk saldo di atas Rp 1 juta, 12% setahun. Kebijaksanaan tersebut diharapkan akan lebih merangsang penabung-penabung kecil seperti pelajar/pramuka, pegawai dan penabung-penabung lainnya untuk menyimpan kelebihan uangnya dalam bentuk Tabanas. Kebijaksanaan lainnya adalah untuk meningkatkan pelayanan bagi para penabung serta memberikan pembebasan berbagai jenis pajak. Adapun jenis pajak yang dibebaskan adalah pajak 249 kekayaan (PKk) bagi pokok tabungan yang ditempatkan lebih dari 1 tahun, dan pajak pendapatan (PPd) serta pajak atas bunga, dividen dan royalti (PBDR) bagi bunga tabungan. Di samping itu Pemerintah masih terus berusaha untuk menambah bank penyelenggara Tabanas dan Taska, baik bank umum swasta nasional maupun bank pembangunan daerah. Untuk Taska (Tabungan Asuransi Berjangka) tingkat bunganya tetap yaitu 9% setahun untuk yang diangsur penuh selama 1 tahun, dan 6% setahun untuk yang ditarik sebelum jatuh waktu. Kebijaksanaan penerbitan sertifikat deposito yang telah dimulai sejak September 1 9 7 1 di samping merupakan sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat juga dimaksudkan untuk mengembangkan pasar uang di Indonesia. Penerbitan surat-surat berharga itu (yang merupakan surat berharga jangka pendek) masih terbatas dilakukan oleh bank-bank umum Pemerintah dan beberapa bank asing. a. Perkembangan dana perbankan Dana perbankan yang terdiri atas giro, deposito berjangka dan tabungan, baik dalam rupiah maupun valuta asing, dalam lima tahun terakhir jumlahnya selalu meningkat. Posisi dana perbankan yang pada tahun 1978/79 berjumlah Rp. 3.328 milyar telah meningkat menjadi Rp 13.337 milyar pada akhir tahun 1983/84. Hal ini berarti bahwa dana yang dapat dikerahkan selama Repelita III telah meningkat rata-rata dengan 32,0% setahun. Kenaikan tersebut terjadi atas giro yang meningkat dengan rata-rata 28,8% setahun sehingga posisinya mencapai Rp 6.350 milyar. Deposito berjangka dan tabungan masing-masing meningkat dengan rata-rata 36,7% dan 25,4% setahun, sehingga jumlahnya Rp 6.349 milyar dan Rp 638 milyar pada akhir Maret 1984. Komposisi dana selama Repelita III sedikit mengalami perubahan. Peranan giro yang dalam empat tahun pertama masih tetap merupakan jumlah yang terbesar dalam seluruh dana perbankan, pada tahun terakhir peranannya sedikit menurun dan hampir sama dengan deposito berjangka. Komposisi dana perbankan yang pada tahun 1978/79 terdiri atas 54% giro, 40% deposito berjangka dan 6% tabungan, pada akhir Maret 1984 telah berubah menjadi 4 8 % giro, 4 7 % deposito berjangka dan 5% tabungan. Gambaran yang lebih jelas mengenai perkembangan dana perbankan dapat dilihat pada Tabel IV 15. 250 TABEL IV - 15 PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING 1) (dalam milyar rupiah) 1) Terdiri dari dana Bank-bank umum, bank pembangunan dan bankbank tabungan; termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk. 2) Termasuk giro valuta asing 3) Terdiri dari deposito berjangka Rupiah dan Valuta Asing, serta termasuk s e r t i f i k a t deposito. 4) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran ONH 251 b. Deposito berjangka, Tabanas dan Taska serta tabungan lainnya Deposito berjangka yang pada tahun 1978/79 berjumlah Rp 1.330 milyar telah meningkat menjadi Rp 6.349 milyar pada akhir Maret 1984. Hal ini berarti bahwa selama Repelita III deposito telah meningkat dengan 377,4 % atau naik dengan rata-rata 36,7% setiap tahun. Peningkatan terbesar terjadi dalam tahun 1983/84 yakni sebesar Rp 2.611,6 milyar atau 69,9%. Peningkatan tersebut terutama terjadi pada deposito rupiah pada kelompok bank pemerintah dan bank swasta nasional. Dilihat dari kelompok bank-bank, deposito berjangka dalam rupiah yang dihimpun bank pemerintah dalam tahun 1983/84 meningkat dengan Rp 2.138,8 milyar menjadi Rp 3.044,0 milyar atau naik 236 % dibandingkan dengan kenaikan rata-rata 31,7% setahun selama Repelita III. Pada kelompok bank swasta nasional, penghimpunan deposito tersebut meningkat dengan Rp 658,8 milyar menjadi Rp 1.277,2 milyar dalam tahun 1983/84 atau naik 106,5% dibandingkan dengan kenaikan rata-rata 67,6% setahun selama Repelita III. Sedangkan deposito yang dihimpun oleh kelompok bank asing mengalami kenaikan yang relatif ke cil yaitu naik dengan Rp 149,7 milyar (33,9%) sehingga berjumlah Rp 591,0 milyar pada akhir Maret 1984 dibandingkan dengan kenaikan rata-rata 64,3% setahun selama Repelita III. Bila dilihat dari jangka waktunya, perkembangan deposito rupiah selama tahun 1983/84 telah mengalami pergeseran-pergeseran. Deposito berjangka waktu 24 bulan yang sampai dengan akhir Desember 1982 masih memegang peranan terbesar dalam seluruh deposito telah mengalami penurunan untuk tahun selanjutnya. Peranan deposito tersebut yang pada akhir Maret 1979 adalah 64,7% turun menjadi 47,0% pada tahun 1981/82 dan hanya sebesar 12,0% pada akhir Maret 1984. Adapun peranan deposito berjangka di luar jangka waktu tersebut di atas makin besar, terutama untuk deposito yang berjangka waktu 12 bulan. Peranan deposito berjangka waktu 12 bulan terhadap seluruh deposito yang pada akhir Maret 1979 hanya sebesar 10,4%, telah naik menjadi 33,0% pada akhir Maret 1984. Hal ini terutama disebabkan oleh naiknya suku bunga yang ditawarkan oleh bank bank pemerintah bagi deposito berjangka waktu 12 bulan tersebut, yaitu naik dari 9% dalam periods 1978/79 - 1982/83 menjadi sekitar 18% pada akhir tahun 1983/84. Perkembangan deposito rupiah perbankan dapat dilihat pada Tabel IV - 16, dan Grafik IV-12. Tabungan yang terdiri dari Tabanas, Taska dan tabungan 252 TABEL IV - 16 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN, MENURUT JANGKA WAKTU 1) 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 1) Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan Penduduk, serta sertifikat deposito 2) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu 253 GRAFIK IV - 12 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN, MENURUT JANGKA WAKTU 1978/79 - 1983/84 354 Ongkos Naik Haji (ONH) serta tabungan lainnya selama Repelita III telah meningkat dengan cukup menggembirakan. Tabungan tersebut yang pada tahun 1978/79 berjumlah Rp 206 milyar meningkat menjadi Rp 438 milyar pada tahun 1981/82 dan menjadi Rp 638 milyar pada akhir tahun 1983/84. Hal ini berarti bahwa telah terjadi peningkatan sebesar 210,0% atau rata-rata 25,4% setiap tahun. Sebagai hasil usaha pengerahan Tabanas, hingga akhir Maret 1984 nilai Tabanas berjumlah Rp 575,7 milyar yang berarti telah meningkat dengan 187,9% selama Repelita III atau naik rata-rata 23,5% setahun. Penabungnya juga mengalami peningkatan sebesar 51% selama Repelita III, sehingga pada akhir Maret 1984 jumlah penabung Tabanas mencapai 11.474.295. Selama Repelita III, bank yang ditunjuk sebagai bank penyelenggara Tabanas/Taska telah bertambah sebanyak 35 bank, sehingga menjadi 59 bank pada akhir Maret 1984. Mengenai Taska, selama 3 tahun terakhir dalam Repelita III mulai menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan dengan jumlah nilai maupun penabung pada akhir Maret 1979. Selama Repelita III jumlah nilai dan penabungnya telah meningkat masing-masing dengan 205,1% dan 174,2% atau rata-rata 25,0% dan 22,4% setahun sehingga mencapai Rp 357 juta dengan 17.263 penabung pada akhir Maret 1984. Perkembangan Tabanas/Taska dapat diikuti pada Tabel IV-17. Di samping Tabanas dan Taska telah pula dilaksanakan kebijaksanaan tabungan melalui pelaksanaan urusan haji yaitu tabungan Ongkos Naik Haji (ONH). Tabungan ONH merupakan angsuran ongkos untuk naik haji yang disetorkan pada bank. Terhadap setoran tersebut, bank memberikan diskonto dengan maksud untuk merangsang calon jemaah haji menyetor ONH seawal mungkin. Jumlah tabungan ONH selama periode Repelita III masing-masing adalah Rp 54 milyar dengan 70 ribu jemaah pada tahun 1978/79, Rp 119 milyar dengan 62 ribu jemaah pada tahun 1981/82, dan Rp 144 milyar dengan 47 ribu jemaah pada tahun 1983/84. c. Sertifikat Deposito Penerbitan sertifikat deposito yang dilakukan oleh bankbank Pemerintah dan bank asing seperti Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Rakyat Indonesia, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Negara Indonesia 1946, dan 8 bank asing yaitu Citibank, American Express International Banking Corp., Algemane Bank Nederland, Bangkok Bank Ltd., The Hongkong and 255 TABEL IV - 17 PERKEMBANGAN TABANAS DAN TASKA,1) 1978/79 - 1983/84 1). Meliputi TABANAS dan TASKA pada Bank-Bank Umum Pemerintah, Bank Tabungan dan Bank Swasta Nasional penyelenggara TABANAS/TASKA 2). Termasuk Tabungan Pelajar dan Pramuka 256 Shanghai Banking Corp., The Chase Manhattan Bank N.A., Bank of Tokyo dan European Asian Bank, terus meningkat setiap tahunnya. Selma 5 tahun Repelita III sertifikat deposito mengalami kenaikan rata-rata 66 % setahun, sehingga telah berjumlah Rp 376 milyar pada akhir tahun 1983/84. Peningkatan tersebut terutama terjadi pada tahun terakhir Repelita III yaitu naik dengan Rp. 274 milyar atau 269% bila dibandingkan dengan posisi akhir tahun 1982/83. Perkembangan sertifikat deposit dapat diikuti pada Tabel IV - 18 4. Suku bunga Kebijaksanaan suku bunga baik suku bunga kredit maupun suku bunga dana sejak 1 Januari 1978 sampai awal tahun terakhir Repelita III hampir tidak mengalami perubahan. Kestabilan suku bunga kredit tersebut dimungkinkan karena ditunjang oleh pemberian kredit likuiditas yang cukup besar dari Bank Indonesia terutama untuk pemberian kredit bank-bank pemerintah dalam usaha membiayai proyek-proyek prioritas. Kebijaksanaan tersebut telah berhasil mendorong pemberian kredit sesuai dengan program Pemerintah tentang kredit ekspor, KIK, KMKP, Kredit Kelayakan dan pinjaman dalam rangka Keppres 14A. Di lain pihak penetapan suku bunga dana tidak cukup mendorong pemupukan dana dari masyarakat. Usaha selanjutnya dalam rangka untuk tetap mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi serta untuk memberi kesempatan bergerak yang lebih baik bagi perbankan dalam memberikan pinjamannya, pada tanggal 1 Juni 1983 Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan baru. Dalam kebijaksanaan tersebut perbankan diberi kebebasan untuk menentukan persyaratan kreditnya, sedangkan suku bunga kredit yang diatur Pemerintah hanya mencakup jenis kredit untuk sektor ekonomi yang berprioritas tinggi. Dalam pada itu perbankan dibebaskan pula untuk menetapkan suku bunga deposito yang diharapkan dapat mendorong pengerahan tabungan masyarakat. Dengan demikian sebelum 1 Juni 1983 besarnya suku bunga kredit yang berlaku bagi bank-bank Pemerintah adalah berkisar antara 9% - 21% setahun. Suku bunga kredit pada bank umum swasta nasional dan bank asing masing-musing berkisar antara 6% 36% setahun, serta 12% - 31% setahun. Setelah periode 1 Juni 1983, suku bunga kredit di sektor ekonomi yang berprioritas tinggi berkisar antara 5% - 12% setahun. Suku bunga kredit ekspor masih lama dengan ketentuan semula sebagai sarana penunjang terhadap peningkatan ekspor di luar minyak, 257 TABEL IV - 18 PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK-BANK, 1) 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) Periode Penjualan 1978/79 1979 174,1 80,6 201,9 29,8 94,9 32,8 1979/80 1980 93,5 253,0 76,5 206,9 46,8 1980/81 295,0 259,3 78,9 82,5 1981 385,4 373,2 383,5 381,7 80,8 74,0 260,0. 269,2 319,8 - 291,7 71,6 -102,1 1981/82 1982 1982/83 Pelunasan Dalam Peredaran April - Juni 51,1 55,1 70,0 J u l i - September 55,2 88,0 .58,7 82,8 66,5 125,5 - 95,1- 1983 1.291,1 1983/84 1.766,0 989,0 1.491,8 115,4 44,7 376,3 172,8 Mei 72,9 49,2 196,5 Juni Juli 80,9 71,5 32,9 83,5 244,5 232,5 Agustus 90,6 September 77,3 78,8 92,1 244,3 229,5 Oktober 252,3 117,9 Nopember 233,0 181,0 363,9 415,9 Desember 171,6 171,4 213,8 159,4 373,7 Januari Pebruari 224,9 214,1 396,5 Maret 204,2 224,4 376,3 Oktober – Desember J a n u a r i - Maret April 1) Termasuk se r t i f i k a t deposito antar bank 258 71,7 102,1 373,7 385,7 yaitu 9% setahun dengan ketentuan bahwa ekspor tersebut memang dilaksanakan. Suku bunga kredit investasi berkisar sekitar 10,5% - 13,5% setahun. Suku bunga untuk sektor yang tidak tergolong prioritas bebas ditetapkan oleh bank pelaksana dan berkisar antara 15% - 24% setahun. Adapun suku bunga kredit bank umum swasta nasional berkisar antara 9%. - 36% setahun, sedangkan suku bunga kredit bank asing antara 12% - 29% setahun. Perkembangan suku bunga kredit selama 1978/79 - 1983/84 dapat dilihat pada Tabel IV - 19. Suku bunga deposito berjangka Inpres pada bank pemerintah sejak 1 Januari 1978 sampai dengan April 1983 ditentukan 6% setahun untuk deposito berjangka waktu 6 bulan, 9% setahun untuk deposito 12 bulan, 15% setahun untuk deposito 24 bulan dengan jumlah sampai dengan Rp 2,5 juta dan 12% setahun untuk jumlah di atas Rp 2,5 juta. Dalam rangka lebih menggairahkan pengerahan dana dari masyarakat, maka pada 1 Mei 1983 telah ditentukan bahwa suku bunga deposito berjangka waktu 6 bulan ke bawah dapat ditetapkan sendiri oleh bank-bank pemerintah yang bersangkutan. Selanjutnya mulai 1 Juni 1983 Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan di mana bank-bank pelaksana diberikan kebebasan untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito, kecuali untuk deposito yang berjangka waktu 24 bulan, dimana suku bunganya masih ditetapkan sekurang-kurangnya 12% setahun. Berdasarkan ketentuan 1 Juni tersebut suku bunga yang berlaku pada bank-bank pemerintah telah mengalami perubahan. Pada akhir Maret 1984 suku bunga deposito berjangka adalah 15% setahun untuk yang berjangka waktu 1 bulan, 16,5% setahun untuk yang 3 bulan, 17,5% setahun untuk yang 6 bulan dan 18% setahun untuk yang berjangka waktu 12 bulan. Suku bunga Tabanas yang tidak mengalami penyesuaian sejak 1 Januari 1978, mulai 1 Juni 1983 telah berubah menjadi 15% setahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp. 1 juta dan 12% setahun untuk saldo tabungan di atas Rp 1 juta. Sedangkan suku bunga Taska tidak mengalami perubahan selama Repelita III yaitu tetap 9% setahun untuk Taska yang diangsur penuh selama 1 tahun, namun apabila ditarik sebelum jatuh waktu suku bunganya hanya 6% setahun. Perkembangan suku bunga deposito berjangka Inpres, Tabanas dan Taska dapat diikuti pada Tabel IV - 20. Dalam hal sertifikat deposito suku bunganya selalu diadakan penyesuaian oleh bank-bank penyelenggara. Suku bunga deposito pada bank pemerintah dan bank asing masing-masing berkisar antara 2,5% 9% dan 3% - 12% setahun pada tahun 1978/79, kemudian berubah masing-masing menjadi antara 2,5% - 259 TABEL IV - 19 260 TABEL IV - 19 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DAN GOLONGAN SUKU BUNGA PINJAMAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1) 1976 – 1983/84 (Lanjutan Tabel IV - 19) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Dalam suku bunga tersebut sudah termasuk provisi yang diperhitungkan dari plafond pinjaman dan dipungut hanya satu kali pada waktu penandatanganan akad pinjaman dan pada tiap-tiap perpanjangan waktu pinjaman. Besarnya provisi adalah 1%, kecuali untuk pinjaman impor, pangan yang dibiayai dengan PL 480 hanya 0,5% Suku bunga pinjaman likuiditas untuk ekspor dan produksi barang ekspor diturunkan dari 10% setahun menjadi 5% setahun Pinjaman investasi golongan I dan KIK dikenakan suku bungs pinjaman likuiditas BI kepada bank-bank pemerintah sebesar 3% setahun, untuk Golongan II s/d IV dan KMKP dikenakan suku bunga 4% setahun. Untuk pinjaman modal kerja, suku bunga pinjaman likuiditas untuk masing-masing golongan adalah sebagai berikut : Golongan I : 3% setahun Golongan II : 4% setahun (kecuali suku bunga BIMAS/INMAS: 3% setahun) Golongan III a/d IV : 6% setahun Pinjaman modal kerja yang akadnya ditanda tangani sebelum 1 Januari 1978 dikenakan ketentuan suku bunga lama berlaku s/d 31 Maret 1978 S = Suku bunga per tahun. Mulai 1 Juni 1983 suku bunga kredit likuiditas adalah 3% setahun G = Golongan suku bunga pinjaman Sebelum 1 Januari 1978 Jumlah kredit investasi untuk tiap-tiap Golongan adalah sebagai berikut : Golongan I s/d Rp. 25,- juta Golongan II di atas Rp. 25,- juta s/d Rp. 1 0 0 , - juta Golongan III di atas Rp.100,- juta s/d Rp. 300,- juta Golongan IV di atas Rp.300,- juta Sejak 1 Januari 1978 kredit investasi golongan IV di atas Rp.1.500,- juta hanya dapat diberikan oleh BAPINDO Mulai Juni 1980 batas maksimum golongan IV diubah menjadi Rp.2.500,- Juta. Kredit investasi diatas Rp.2.500,- juta hanya diberikan oleh BAPINDO Tidak termasuk Inmas Sepanjang yang telah direalisir Khusus untuk Bimas 261 TABEL IV - 20 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA DEPOSITO BERJANGKA INPRES DAN TABANAS/TASKA, 1972 - 1983/84 (dalam persen per tahun) 1) Besarnya suku bunga ditetapkan oleh masing-masing bank 2) Sejak 13 Januari 1977 deposito berjangka 18 bulan ditiadakan. 3) 15% setahun untuk jumlah sampai dengan Pp. 2,5 juta, jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun 4) 18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun 5) 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 100.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun 6) 18% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 9% per tahun 7) 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp. 200.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 6% per tahun 8) Dalam kebijaksanaan 1 Juni 1983 ditetapkan sekurang-kurangnya 12 % per tahun 9) 15% per tahun untuk jumlah sampai dengan Rp.1.000.000,jumlah selebihnya bunganya adalah 12% per tahun 262 9 % dan 9 % - 15,5% setahun pada tahun 1980/81. Pada tahun, 1983/84 suku bunga sertifikat deposito bank-bank Pemerintah adalah antara 4 % - 1 8 , 7 5 % , sedangkan suku bunga pada Bank Asing berkisar sekitar 9% - 18% setahun. 5. Perkreditan a. Kebijaksanaan Perkreditan Kebijaksanaan perkreditan dalam Repelita III pada dasarnya melanjutkan dan menyempurnakan kebijaksanaan dalam Repelita II yang diarahkan untuk meningkatkan pembangunan tanpa membahayakan kestabilan ekonomi. Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan perkembangan-perkembangan ekonomi yang terjadi terutama mengenai keadaan neraca pembayaran, perkembangan keuangan Negara, perkembangan harga dan usaha mobilisasi dana dalam masyarakat. Usaha-usaha tersebut dilaksanakan dengan cara mengarahkan pemberian kredit untuk menunjang pengembangan dunia usaha terutama usaha golongan ekonomi lemah dan mendorong kegiatan produksi dalam negeri dan investasi terutama d i bidang perindustrian maupun produksi hasil-hasil pertanian. Dalam tahun terakhir Repelita III, Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan baru pads 1 Juni 1983 yang antara lain menetapkan bahwa kebijaksanaan perbankan diarahkan kepada usaha untuk meningkatkan kemampuan bank-bank memberikan kredit yang bersumber dart dana masyarakat dan tidak lagi tergantung kepada kredit likuiditas Bank Indonesia. Dalam kebijaksanaan tersebut, pemberian kredit dikelompokkan ke dalam kredit untuk sektor yang tergolong berprioritas tinggi dan kredit untuk sektor yang tidak berprioritas tinggi. Bagi kredit untuk sektor prioritas tinggi, Bank Indonesia masih menyediakan fasilitas kredit likuiditas dan menetapkan persyaratan kredit kepada nasabahnya, sedangkan dalam hal kredit yang tidak tergolong prioritas tinggi, persyaratan kredit dan suku bunganya ditentukan oleh bank yang bersangkutan dan tidak disediakan kredit likuiditas Bank Indonesia. Sehubungan dengan itu kebijaksanaan penetapan pagu kredit yang telah dilaksanakan sejak 1974 dihapuskan. Selama Repelita III, dalam rangka mendorong usaha golongan ekonomi lemah, di samping melanjutkan fasilitas KIK/KMKP, Kredit Mini dan Kredit Candak Kulak, Pemerintah telah pula menyediakan bermacam-macam jenis kredit seperti fasilitas kre- 263 dit kelayakan, kredit dalam rangka Keppres 14A/1980 dan Kredit Midi. Persyaratan untuk jenis-jenis kredit tersebut dari tahun ketahun selalu disempurnakan. Selanjutnya untuk mengurangi ketergantungan penerimaan devisa dari hasil ekspor migas, pada awal tahun 1982 telah dikeluarkan serangkaian kebijaksanaan kredit yang menyangkut ekspor dan produksi barang ekspor barang-barang bukan migas. Kebijaksanaan tersebut antara lain berupa pemberian keringanan persyaratan kredit ekspor, penyediaan jaminan kredit ekspor dan asuransi ekspor. Dalam usaha membantu kelancaran produksi dalam negeri, di samping kredit modal kerja untuk ekspor dan produksi lainnya, Pemerintah telah menyediakan pula kredit modal kerja untuk impor bahan baku dan penolong, suku cadang dan barang modal tertentu dengan persyaratan yang cukup ringan. Bank-bank devisa diperkenankan untuk memberikan kredit kepada importir baik untuk keperluan pembiayaan jaminan impor maupun pembiayaan sisa L/C yang jumlahnya ditetapkan sendiri oleh masingmasing bank pembuka L/C. Dalam hal impor barang-barang lainnya, bank devisa diperkenankan memberikan pinjaman dengan dananya sendiri setinggi-tingginya 60% dari nilai L/C yang bersangkutan. Sejalan dengan itu dalam usaha mengurangi mengalirnya devisa ke luar negeri serta mendorong usaha kontraktor nasional, pada akhir tahun 1983 bank-bank pemerintah diperkenankan untuk memberikan kredit modal kerja kepada kontraktor nasional yang memenangkan tender internasional dengan persyaratan yang cukup ringan. Kredit tersebut dapat digunakan untuk proyek-proyek di dalam maupun di luar negeri dengan bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia. Dalam rangka usaha meningkatkan hasil perkebunan untuk diekspor maupun bahan baku dalam negeri, Pemerintah telah memperkenankan bank-bank memberikan kredit kepada perkebunanperkebunan besar swasta nasional baik untuk keperluan investasi maupun keperluan modal kerja. Dalam hal kredit investasi, pinjaman hanya digunakan untuk pembangunan pabrik baru atau rehabilitasi pabrik, intensifikasi dan tumpang sari, dengan persyaratan suku bunga dan pembiayaan nasabah yang cukup rendah. Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi ketentuan tentang persyaratan dana sendiri, lembaga keuangan bukan bank dan perbankan dapat melakukan penyertaan dengan bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia. Di samping itu untuk membantu perkebunan rakyat dan meningkatkan produksi barang-barang ekspor khususnya barang-barang ekspor tradisional, Pemerintah telah menyediakan fasilitas kredit Peremajaan, Rehabilitasi 264 dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE) dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dengan persyaratan jangka waktu yang cukup panjang. Dalam rangka menunjang perkembangan koperasi, berbagai keringanan persyaratan atas pinjaman kredit investasi telah diberikan seperti pembiayaan sendiri yang lebih ringan, bagi Koperasi Unit Desa serta Koperasi Unit Desa Model. Guna membantu para guru melaksanakan tugas mengajar sehari-hari, Pemerintah telah menyediakan fasilitas kredit untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua dengan suku bunga yang cukup ringan. Di samping itu untuk lebih meratakan kesempatan memperoleh pendidikan di perguruan tinggi, Pemerintah telah menyediakan pula fasilitas kredit kepada para mahasiswa yang memperoleh kesulitan dalam pembiayaan namun dianggap mampu menyelesaikan kuliahnya, dengan memberikan jangka waktu pengembalian yang cukup panjang. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kredit perbankan dikelompokkan ke dalam kredit yang berprioritas tinggi dan kredit yang tidak berprioritas tinggi. Adapun kredit yang berprioritas tinggi menurut ketentuan l Juni 1983 meliputi Kredit Modal Kerja untuk Kredit Bimas, KMKP, Kredit produksi, impor dan penyaluran pupuk dan obat hama untuk Bimas, Perkebunan Swasta Nasional (PSN), Kredit Koperasi untuk anggotanya dan Kredit Ekspor sepanjang telah betul-betul direalisir. Yang termasuk kredit investasi berprioritas tinggi adalah kredit untuk golongan ekonomi lemah antara lain berupa Kredit Mini, Midi, KIK, Kredit Perkebunan untuk PIR, PRPTE dan PSN, Kredit untuk Pencetakan Sawah, Kredit Investasi sampai dengan Rp. 75 juta, dan kredit kepada Koperasi untuk anggotanya. Dapat ditambahkan bahwa kredit kepada para guru untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua, digolongkan sebagai kredit investasi sampai dengan Rp. 75 juta. Selain dari itu Kredit Mahasiswa Indonesia, Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Asrama Mahasiswa juga dimasukkan ke dalam kredit berprioritas tinggi. b. Jumlah dan arah penggunaan kredit Pemberian kredit selama Repelita III naik rata-rata 23,2% setahun sehingga mencapai Rp 16.135 milyar pada akhir tahun 1983/84. Kenaikan yang tertinggi terjadi pada tahun 1981/82 yakni sebesar 31,6% terutama karena ditetapkannya pagu pertambahan kredit yang lebih longgar pada tahun tersebut. Kenaikan jumlah kredit ini terutama digunakan untuk membiayai sektor perindustrian dan perdagangan berupa kredit kepada 265 Bulog dalam rangka pengadaan pangan. Kenaikan pemberian kredit selama tahun 1983/84, yang merupakan tahun terakhir Repelita III adalah sebesar 17,7%. Kenaikan yang cukup rendah tersebut terutama disebabkan oleh masih terasanya pengaruh resesi ekonomi dunia yang mengakibatkan rendahnya tingkat permintaan kredit didalam negeri. Selain itu dengan dikeluarkannya kebijaksanaan 1 Juni 1983 bank-bank tidak lagi mendapat kredit likuiditas dari Bank Indonesia untuk pinjaman yang tidak berprioritas tinggi. Dalam hal demikian bank-bank lebih berhati-hati dalam pembiayaan pinjamannya mengingat dananya sangat tergantung dari dana masyarakat. Kenaikan jumlah kredit dalam tahun 1983/84 terutama digunakan untuk membiayai sektor perdagangan sebesar Rp. 1.162 milyar dan sektor produksi sebesar Rp. 1.341 milyar. Dilihat dari sektor perbankan pemberian kredit melalui Bank Umum Pemerintah selama Repelita III dari tahun ke tahun semakin meningkat yakni 5 3,2% pada tahun 1978/79 menjadi 59,2% tahun 1981/82, dan 63,7% untuk tahun 1983/84. Pemberian kredit oleh Bank Umum Pemerintah yang pada akhir tahun 1978/ 79 berjumlah Rp. 3.021 milyar, dalam tahun 1979/80 naik dengan 13,9%, kemudian naik dengan 34,3%, 37,5% dan 39,4% masing-masing dalam tahun 1980/81, 1981/82 dan 1982/83. Namun dalam tahun 1983/84 kredit hanya naik dengan 16,1% sehingga mencapai Rp 10.283 milyar pada akhir Maret 1984. Di samping itu peranan Bank-bank Umum Swasta Nasional (BUSN) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) meningkat yakni sebesar 6,8% pada akhir tahun 1978/79 menjadi 10,8% pada akhir tahun 1981/82 dan 16,0% pada akhir tahun 1983/84. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah untuk mendorong peranan kelompok bank tersebut dalam pembiayaan pembangunan. Pemberian kredit BUSN dan BPD selama Repelita III naik rata-rata dengan 46,2% setahun, sehingga mencapai Rp. 2.583 milyar pada akhir Maret 1984. Dalam pada itu peranan Bank Asing dalam pemberian kredit selama Repelita III, hampir tidak mengalami perubahan, yakni 26,9%, sehingga mencapai Rp. 977 milyar pada akhir Maret 1984. Peranan pemberian kredit oleh Bank Indonesia dalam periode yang lama menunjukkan penurunan, yakni dari 34,7% pada tahun 1978/79 menjadi 24,5% tahun 1981/82 dan berturut-turut menurun menjadi 17,4% dan 14,2% masing-masing pada tahun 1982/83 dan 1983/84, sehingga berjumlah Rp. 2.292 milyar pada, akhir Maret 1984. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh adanya pelunasan pinjaman oleh perusahaan dan lembaga pemerintah. Dilihat dari sektor ekonomi, pemberian kredit pada tahun 1978/79 sebagian besar digunakan untuk sektor produksi yang 266 merupakan 38,3% dari seluruh kredit perbankan. Kredit tersebut terutama digunakan untuk membiayai industri tekstil dan logam dasar. Selama Repelita III kredit di sektor produksi rata-rata bertambah dengan 29,7% setahun sehingga mencapai Rp 7.986 milyar pada tahun 1983/84 dengan peranannya yang terus meningkat menjadi 49,5% dari seluruh kredit perbankan. Kenaikan terbesar selama tahun 1982/83 yakni sebesar 46,7% terutama disebabkan oleh pengaruh penyesuaian nilai tukar rupiah dari Rp 702,50 menjadi Rp 970,- per\US$ 1,- Apabila tidak diperhitungkan penyesuaian nilai tukar tersebut, maka kredit naik dengan 42,5%. Dalam tahun terakhir Repelita III kredit di sektor produksi naik dengan 20,2%, yang digunakan untuk membiayai industri pupuk dan obat hama, industri semen serta industri kayu dan rumah sederhana. Dalam hal peranan kredit untuk sektor perdagangan pada akhir Repelita II adalah 20,3% dari seluruh kredit perbankan. Selama Repelita III kredit untuk sektor ini naik hampir 4 kali lipat atau rata-rata naik dengan 35,6% setahun sehingga mencapai Rp 5.297 milyar pada akhir Maret 1984, dengan peranannya yang meningkat menjadi 32,8%. Kenaikan yang terbesar terjadi dalam tahun 1980/81 sebesar 61,8% terutama disebabkan oleh pemberian kredit untuk pengadaan pangan. Selama tahun 1983/84 yang merupakan tahun terakhir Repelita III kredit di sektor perdagangan naik dengan 28,1%, dan digunakan untuk membiayai kegiatan pengumpulan barang-barang dalam negeri (terutama gula), impor pupuk dan obat hama, distribusi barang kebutuhan pokok dan perdagangan eceran dan pembiayaan usaha kecil dalam bentuk KIK dan KMKP, serta pinjaman kepada Bulog dalam rangka pengadaan pangan. Kredit untuk sektor lain-lain pada akhir Repelita II berjumlah Rp. 2.349 milyar atau 41,4% dari seluruh kredit perbankan. Dalam Repelita III posisinya meningkat menjadi Rp 2.852 milyar pada akhir Maret 1984, dengan peranannya yang menurun menjadi 17,7%. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan yang relatif lambat yaitu rata-rata sebesar 4,0% setahun, karena ada pelunasan kredit oleh perusahaan-perusahaan negara. Adapun kenaikan yang tertinggi dari kredit sektor lain-lain terjadi dalam tahun 1980/81 sebesar 9,4%. Perkembangan kredit menurut sektor perbankan dan sektor ekonomi dapat dilihat pada Tabel IV - 21 dan Tabel IV - 22, dan Grafik IV-13. 267 TABEL IV - 21 PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR PERBANKAN, 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 268 Kredit dalam rupiah, maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KKKP tetapi tidak termasuk kredit antar bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat dan bukan penduduk Termasuk kredit yang dibiayai oleh kredit likuiditas Bank Indonesia Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp. 415,- menjadi Rp. 625,- per US $ 1,Sejak akhir Desember 1979 untuk kredit diluar Bank Indonesia, tidak termasuk bunga dalam penyelesaian yang belum diperhitungkan dalam laba/rugi Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp. 702,5 menjadi Rp. 970,- per US $ 1,Angka diperbaiki Angka sementara TABEL IV - 22 PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1978/79 -.1983/84 (dalam milyar rupiah) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit antar bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat dan bukan penduduk Termasuk produksi barang-barang hasil pertanian, pertambangan (kecuali PN. Pertamina) dan Perindustrian Terdiri dari kredit ekspor, kredit impor dan kredit perdagangan dalam negeri Terdiri dari kredit untuk PN. Pertamina, jasa-jasa dan lain-lain Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp 415,(sejak 16 Nopember 1978) menjadi Rp.625,- per US $ 1,Sejak akhir Desember 1979 tidak termasuk bunga dalam penyelesaian yang dibebankan dalam pinjaman Termasuk kenaikan karena perubahan kurs dari Rp. 702,50 per US $ 1,- menjadi Rp. 970,- sejak 30 Maret 1983 Angka diperbaiki Angka sementara 269 GRAFIK IV - 13 PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI 1978/79 - 1983/84 270 c. Kredit Investasi, KIK/KMKP, Kredit Mini/Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), Inpres Pasar dan Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Langkah-langkah kebijaksanaan kredit investasi selama Repelita III merupakan kelanjutan dan peningkatan dari kebijaksanaan tahun-tahun sebelumnya, berupa memberikan kemudahan dan keringanan lebih lanjut atas ketentuan serta persyaratan yang telah dilaksanakan. Kebijaksanaan pemerintah sejak tahun 1978 adalah bahwa Bank-bank Pemerintah diperkenankan untuk memutus sendiri permohonan kredit investasi untuk jumlah pinjaman sampai dengan Rp. 200 juta. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan peranan para mengusaha golongan ekonomi lemah serta mendorong peningkatan produksi dalam negeri; Pemerintah telah pula menyediakan fasilitas kredit investasi atas dasar kelayakan untuk jumlah pinjaman sampai dengan Rp. 75 juta. Penilaian pemberian kredit tersebut ditekankan kepada keberhasilan proyek dan jenis usaha yang dibiayai. Mulai April 1980 terhadap kredit investasi untuk proyek-proyek/kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan APBN telah diberikan keringanan. Keringanan tersebut dikenakan atas pinjaman yang dikenal dengan kredit dalam rangka KEPPRES 14A, berupa pengurangan jumlah pembiayaan sendiri oleh nasabah (self-financing), kelonggaran jaminan kredit dan pembebasan dari kewajiban penyampaian laporan studi kelayakan. Pada bulan Juli 1980 diadakan beberapa penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan kredit investasi antara lain penyesuaian jumlah tertinggi kredit investasi per proyek yang dapat diberikan oleh bank-bank Umum Pemerintah. Jumlah yang tertinggi semula ditetapkan Rp. 1.500 juta dinaikkan menjadi Rp. 2.500 juta, sedangkan untuk jumlah kredit di atas Rp. 2.500 juta hanya dapat diberikan o l e h BAPINDO. Dalam tahun 1981/82 bagi nasabah yang sedang menikmati fasilitas kredit investasi telah diberikan kemudahan lain, yakni dapat memperoleh pinjaman untuk kedua kalinya walaupun pelunasan pinjaman yang pertama belum mencapai 75% seperti yang disyaratkan dalam ketentuan sebelumnya. Dalam usaha menunjang kemajuan di bidang pendidikan telah pula disediakan fasilitas kredit investasi untuk keperluan pembiayaan rehabilitasi gedung serta peralatan akademis perguruan tinggi swasta, dengan ketentuan bagi pinjaman dibawah Rp. 200 juta, pembiayaan sendiri ditetapkan sebesar 10% dari biaya proyek, yang menurut ketentuan umum adalah sekitar 25%-35%. Dalam hal jangka waktu kredit ditetapkan maksimum 15 tahun dibandingkan dengan 10 tahun menurut ketentuan umum. 271 Pemberian kredit investasi selama Repelita III dari tahun ke tahun selalu menunjukkan peningkatan. Realisasi kredit investasi yang pada tahun 1978/79 berjumlah Rp. 343 milyar kemudian meningkat menjadi Rp. 1.345 milyar tahun 1982/83 dan diperkirakan mencapai Rp._1.891 milyar pada akhir Maret 1984. Dengan demikian selama Repelita III realisasi kredit investasi meningkat rata-rata dengan 40,7% setahun. Adapun jumlah kredit investasi yang disetujui selama Repelita III mengalami peningkatan rata-rata dengan 51,3%, sehingga mencapai Rp. 3.551 milyar pada akhir Maret 1984. Sektor-sektor ekonomi utama yang mendapat pembiayaan kredit investasi adalah sektor perhubungan dan pariwisata, serta sektor perindustrian. Pada akhir Maret 1984 kedua sektor tersebut mempunyai peranan masing-masing sebesar 38,2% dan 38,4% dari keseluruhan jumlah realisasi kredit investasi. Perkembangan pemberian kredit pada Tabel IV - 23 dan Grafik IV - 14. investasi dapat dilihat Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) merupakan fasilitas kredit yang disediakan Pemerintah dalam rangka membantu kegiatan pengusaha golongan ekonomi lemah. Pinjaman tersebut diberikan sejak awal tahun 1974 dengan persyaratan yang ringan berupa bunga yang rendah, jangka waktu pengembalian yang lama serta prosedur yang sederhana. Untuk lebih meningkatkan kegiatan pengusaha tersebut, pada awal tahun 1978/79 Pemerintah terus berusaha untuk memberikan keringanan dan kemudahan lebih lanjut. Pada tahun 1979/80 jumlah maksimum KIK dan KMKP telah dinaikkan masing-masing menjadi Rp. 10 juta, yang semula Rp.5 juta. Bagi nasabah yang pinjamannya berjalan lancar dapat dipertimbangkan tambahan kredit (suplesi) sehingga jumlah maksimum untuk KIK dan KMKP masing-masing menjadi Rp. 15 juta. Terhadap jangka waktu pengembalian kredit juga diberikan kelonggaran perpanjangan hingga menjadi 10 tahun dengan masa tenggang maksimum 4 tahun. Selain itu jaminan kredit tidak lagi didasarkan atas tersedianya jaminan fisik namun didasarkan atas kelayakan usaha. Bagi nasabah yang sedang menikmati KIK dan KMKP dimungkinkan pula untuk mempergunakan jenis-jenis pinjaman lainnya seperti kredit atas dasar kelayakan, kredit investasi dan kredit modal kerja biasa dengan maksimum sebesar Rp. 75 juta. Setelah adanya kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 pembinaan terhadap pengusaha ekonomi lemah tetap akan ditingkatkan. 272 TABEL IV - 23 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR EKONOMI 1) 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 2) 1) Termasuk pembiayaan rupiah bantuan proyek tetapi tidak termasuk Kredit Investasi Kecil (KIK) dan nilai lawan valuta asing bantuan proyek 2) Angka dibulatkan 3) Angka perkiraan 273 GRAFIK IV - 14 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1978/79 - 1983/84 274 Dalam hal ini KIK dan KMKP dikelompokkan sebagai pinjaman yang berprioritas tinggi dengan suku bunga masing-masing 12 % setahun, dan dengan jumlah maksimum kredit Rp. 15 juta, sedangkan suplesi kredit ditiadakan. Jangka waktu pengembalian adalah 10 tahun untuk KIK dan 3 tahun untuk KMKP. Dengan dilakukannya berbagai penyempurnaan dan keringanan terhadap program KIK dan KMKP, maka jumlah KIK dan KMKP senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Realisasi KIK yang pada akhir tahun 1978/79 berjumlah Rp. 68 milyar, selama Repelita III naik rata-rata dengan 41,6% sehingga mencapai Rp. 387 milyar pada tahun 1983/84. Kenaikan yang terbesar terjadi pada tahun 1980/81 yakni sebesar 111,0% terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya kegiatan dunia usaha serta prosedur yang lebih mudah dalam pemberian KIK. Pada tahun 1983/84 jumlah KIK menurun sebesar 6,5%. Penurunan tersebut antara lain disebabkan adanya pengaruh resesi ekonomi dunia dan kebijaksanaan 1 Juni 1983 yang menaikkan suku bunga KIK dari 10,5% setahun menjadi 12% setahun. Adapun jumlah KIK yang disetujui yang pada tahun 1978/79 berjumlah Rp. 113 milyar, selama Repelita III naik rata-rata dengan 48,8%, sehingga secara kumulatif mencapai Rp. 825 milyar pada akhir Maret 1984. Selama tahun 1983/84 nilai persetujuan KIK naik hanya dengan 14,1% dibandingkan dengan 26,6% dan 56,0% masing-masing dalam tahun 1982/83 dan tahun 1981/82. Pemberian KMKP, baik posisi maupun nilai yang disetujui juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1978/79 posisi dan nilai KMKP yang disetujui berjumlah Rp. 93 milyar dan Rp. 188 milyar. Selama Repelita III masing-masing meningkat rata-rata 56,3% dan 58,2% sehingga posisi KMKP berjumlah Rp. 867 milyar dan nilai yang disetujui secara kumulatif mencapai Rp. 1.861 milyar pada akhir Maret 1984. Kenaikan baik dalam posisi KMKP maupun jumlah yang disetujui, yang terbesar terjadi pada tahun 1980/81 yaitu masing-masing 111,0% dan 88,0%. Perkembangan pemberian KIK dan KMKP selama periode 1978/79 - 1983/84 dapat dilihat pada Tabel IV - 24 dan Grafik IV - 15. Selain usaha meningkatkan pengusaha golongan ekonomi lemah dalam bentuk KIK/KMKP mulai tahun 1974 Pemerintah juga menyediakan fasilitas kredit kepada masyarakat kecil di pedesaan berupa kredit Mini. Kredit tersebut diberikan dengan jumlah maksimal Rp. 200.000,- dengan bunga 12 % setahun. Dana kredit Mini berasal dari APBN. Selanjutnya bagi nasabah yang 275 TABEL IV - 24. PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN, 1978/79 - 1983/84 276 GRAFIK IV - 15 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL KREDIT MODAL KERJA PERMANEN DAN PERKEMBANGAN KREDIT MINI, 1978/79 - 1983/84 277 usahanya menunjukkan perkembangan yang baik, mulai bulan Juli 1980 disediakan pula fasilitas Kredit Midi. Jumlah Kredit Midi untuk setiap nasabah adalah Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 500.000,- dengan suku bunga 10,5% setahun untuk keperluan investasi dan 12% setahun untuk keperluan modal kerja. Adapun dana kredit Midi seluruhnya berasal dari Bank Indonesia. Dengan adanya ketentuan 1 Juni 1983 maka suku bunga Kredit Mini dan Kredit Midi untuk keperluan investasi adalah 12% setahun sedangkan untuk keperluan modal kerja ditetapkan oleh masingmasing bank. Sejak dimulainya pemberian kredit Mini, hingga tahun 1978/79 jumlah kredit Mini mencapai Rp. 15,7 milyar. Sejalan dengan penyediaan dana yang semakin besar, pemberian Kredit Mini juga menunjukkan peningkatan yang cukup berarti yakni rata-rata 18,4% setahun selama Repelita III, sehingga jumlahnya mencapai Rp. 36,5 milyar pada akhir Maret 1984 dengan jumlah nasabah 491 ribu orang. Jumlah dana yang disediakan telah mencapai Rp.66,7 milyar sampai dengan akhir Maret 1984. Dalam hal pemberian Kredit Midi sampai dengan tahun 1983/84 jumlahnya telah mencapai Rp. 34,1 milyar, dengan nasabah sebanyak 142 ribu orang atau naik rata-rata dengan 92,7% setahun. Perkembangan Kredit Mini dan Kredit Midi selama tahun 1978/79 - 1983/84 dapat dilihat pada Tabel IV - 25 dan Tabel IV - 26. Dalam rangka usaha membantu pedagang kecil dalam penyediaan tempat berdagang, sejak tahun 1976/77 Pemerintah telah melaksanakan program pemberian kredit untuk pembangunan dan pemugaran pasar yang dikenal dengan kredit Inpres Pasar. Pinjaman tersebut diberikan kepada Pemerintah Daerah dengan ketentuan bunganya akan dibayar oleh Pemerintah Pusat. Pada akhir Maret 1979 pinjaman tersebut berjumlah Rp. 24 milyar kemudian berkembang menjadi Rp. 97 milyar pada akhir Maret 1984 atau naik rata-rata dengan 32,2% setahun selama Repelita III. Di samping pemberian berbagai kredit tersebut di atas Pemerintah juga memberikan Kredit Candak Kulak (KCK) melalui KUD terutama ditujukan untuk membantu para pedagang kecil dan bakul di pedesaan. Apabila pada tahun 1978/79 jumlah KCK yang telah diberikan adalah Rp. 19 milyar; maka pada akhir Repelita III mencapai Rp. 151 milyar atau naik rata-rata dengan 51,4% setahun. Peningkatan yang cukup pesat tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya dana pemberian KCK, di samping semakin bertambahnya jumlah KUD yang menyalurkan KCK. Sampai dengan akhir Maret 1984 jumlah KUD yang menyalurkan 278 TABEL IV - 25 PERKEMBANGAN KREDIT MINI, 1978/79 - 1983/84 279 TABEL IV – 26 PERKEMBANGAN KREDIT MIDI 1980/81 - 1983/84 280 KCK telah mencapai 4.286 KUD, dibandingkan dengan 2.196 KUD pada akhir Repelita II. Selanjutnya dalam rangka membantu golongan masyarakat berpenghasilan tetap, pada tahun 1978 telah dilaksanakan pemberian kredit kepada golongan pegawai rendah dan menengah dalam bentuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang penyalurannya dilakukan melalui Bank Tabungan Negara dan PT. Papan Sejahtera. Selama Repelita III pemberian KPR secara keseluruhan senantiasa mengalami peningkatan, yaitu dari Rp. 6 milyar pada tahun 1978/79 sehingga menjadi Rp. 595 milyar tahun 1983/84, atau rata-rata naik 150,8% setahun. Kenaikan yang cukup besar tersebut erat kaitannya dengan perluasan pembangunan perumahan sederhana oleh Perumnas di seluruh Indonesia. Jumlah nasabahnya dalam periode yang sama naik sehingga menjadi 197.370 nasabah pada akhir Maret 1984. Perkembangan pemberian kredit KCK, Inpres Pasar, KPR dan keseluruhan kredit untuk golongan ekonomi lemah, selama periode 1978/79 - 1983/84, dapat diikuti pada Tabel IV - 27. 6. Perkembangan Harga Pemerintah telah berhasil memelihara kestabilan ekonomi melalui pelaksanaan serangkaian kebijaksanaan moneter dan fiskal serta kebijaksanaan pengadaan dan penyaluran bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat. Perkembangan harga-harga yang cukup terkendali selama 5 tahun terakhir ini membuktikan keberhasilan tersebut. Laju inflasi yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) memperlihatkan perkembangan dari 11,8% dalam tahun 1978/79 meningkat menjadi 19,1% tahun 1979/80, kemudian menurun menjadi 15,9% tahun 1980/81, 9,8% tahun 1981/82 dan menjadi 8,4% tahun 1982/83. Setelah itu terjadi peningkatan lagi dan mencapai 12,6% pada tahun 1983/84. Kebijaksanaan 15 Nopember 1978 mengenai devaluasi uang rupiah telah menyebabkan terjadinya peningkatan harga-harga dalam tahun 1978/79, terutama untuk barang-barang impor. Peningkatan harga barang-barang impor tersebut pada gilirannya juga mendorong harga barang-barang dan jasa secara keseluruhan untuk naik. Akan tetapi tindakan-tindakan penunjang di bidang fiskal seperti pengurangan bea masuk, penetapan pedoman harga untuk 207 macam barang yang penting, pengurangan pajak penjualan impor terhadap sejumlah bahan baku/penolong untuk 281 TABEL IV - 27 PERKEMBANGAN KREDIT PERBANKAN UNTUK GOLONGAN EKONOMI LEMAH, 1) 1978/79 - 1983/84 (dalam milyar rupiah) 1) 2) 3) 4) 5) 282 Tidak termasuk kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan valuta asing kredit investasi dalam rangka bantuan program Dihitung dari jumlah seluruh kredit Bank Pemerintah Termasuk kredit kelayakan keppres (s/d jumlah Rp 200 juta) Pemberian kredit dikurangi pelunasan Angka Perkiraan keperluan industri di dalam negeri, dan tindakan pengendalian atas stok dan harga terhadap barang-barang kebutuhan pokok (beras, gula, tepung terigu dan minyak goreng) telah membatasi laju inflasi pada tingkat yang masih terkendalikan. Dengan demikian pengaruh devaluasi terhadap peningkatan harga-harga dapat dibatasi dan inflasi tetap dapat dikendalikan. Kebijaksanaan peningkatan harga penjualan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri yang dimaksudkan untuk mengurangi beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mempengaruhi perkembangan harga-harga barang dan jasa pada umumnya. Akan tetapi kebijaksanaan ini terus dilaksanakan karena Pemerintah memandang perlu mengurangi beban subsidi tersebut karena dirasakan semakin berat, baik terhadap APBN maupun pengaruh distorsinya terhadap alokasi sumbersumber perekonomian pada umumnya. Perkembangan tingkat harga dalam tahun 1979/80 ditandai oleh peningkatan harga penjualan BBM di dalam negeri yang dinaikkan pada tanggal 5 April 1979 dengan kenaikan yang berkisar antara 36,4% dan 55,5%. Kenaikan harga jual BBM ini berpengaruh pada harga-harga barang dan jasa dalam bulan April dan Mei,, yang meningkat masing-masing dengan 3% dan 3,05%. Kenaikan tingkat harga pada bulan April sebesar 3,0% mencerminkan kenaikan yang terjadi di kelompok aneka barang dan jasa sebesar 5,88% terutama disebabkan oleh harga-harga sub kelompok transpor yang naik dengan 12,52%. Kenaikan tingkat harga pada bulan Mei sebesar 3,05% merupakan pencerminan kenaikan yang terjadi di kelompok perumahan naik 5,32% yang disebabkan harga-harga sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air yang naik sebesar 8,58%. Kenaikan tingkat harga pada bulan Mei 1979 juga dipengaruhi oleh keputusan pemerintah pada bulan Oktober 1979 untuk menaikkan harga dasar pembelian jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau (bahan makanan) mulai 1 Nopember 1979. Keputusan tersebut ditujukan untuk mendorong produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Hal ini tercermin pada harga-harga sub kelompok padi-padian, ubi-ubian dan hasil-hasilnya yang naik dengan 4,43% dan sub kelompok kacang-kacangan dengan 1,91% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Perkembangan tingkat harga dalam tahun 1980/81 ditandai dengan harga penjualan BBM di dalam negeri dinaikkan oleh pemerintah mulai tanggal 1 Mei 1980 dengan kenaikan yang ber- 283 kisar antara 50,0% dan 57,1%. Harga-harga dalam bulan ini naik setinggi 3,8% dan sebagai penyebab utama adanya peningkatan harga BBM sehingga mengakibatkan harga-harga sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air naik 17,23% dan harga-harga sub kelompok transpor 13,05%. Kecuali dari itu kenaikan tingkat harga pada bulan Mei 1980 juga dipengaruhi oleh keputusan pemerintah menaikkan harga dasar pembelian jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau pada bulan Oktober 1980. Hal inipun sebagai akibatnya adalah harga-harga sub kelompok padi-padian, ubi-ubian dan hasil-hasilnya naik 2,21%, dan sub kelompok kacang-kacangan naik 2,82% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Perkembangan tingkat harga dalam tahun 1981/82 meningkat sebesar 9,8%, dan laju kenaikan dalam tahun ini jauh lebih rendah bila dibandingkan tahun 1980/81 sebesar 15,9%. Permintaan akan bahan makanan dan sandang meningkat pada bulan Juli yang menyebabkan kenaikan harga 1,20% terhadap bulan sebelumnya. Hal ini disebabkan masyarakat lebih banyak membutuhkan bahan-bahan tersebut dalam masa memasuki bulan puasa dan menghadapi Lebaran pada bulan Juli. Peningkatan harga barang-barang ini terdapat di sub kelompok-kelompok buah-buahan (5,63%), telur, susu dan hasil-hasilnya (3,94%), serta makanan jadi dan makanan (3,60%). Pada umumnya keadaan kenaikan harga dalam tahun 1982/83 naik sebesar 8,4%. Laju kenaikan harga sebesar 8,4% itu ditandai pula dengan peningkatan harga pada bulan Juli 1982 (1,11%) yang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran masyarakat sehubungan dengan hari raya Lebaran. Kebutuhan masyarakat terhadap bahan-bahan makanan dan sandang meningkat dan mengakibatkan harga-harga kelompok makanan dan sandang meningkat masing-masing dengan 1,66% dan 1,04%, terutama yang menyangkut daging dan hasil-hasilnya (3,77%), telur dan susu (4,89%) serta sandang (1,34%). Laju kenaikan harga di atas ditandai lagi dengan peningkatan harga pada bulan Oktober (1,24%), terutama pada hargaharga kelompok makanan yang naik 1,58% dan kelompok perumahan naik 1,48%. Kenaikan harga ini disebabkan antara lain oleh musim kemarau yang cukup panjang yang telah membawa pengaruh pada kenaikan harga-harga padi-padian dan ubi-ubian (3,43%), sayur mayur (2,60%), serta meningkatnya harga eceran semen di pasaran yang pada gilirannya membawa pengaruh kenaikan harga biaya pemeliharaan tempat tinggal (2,34%). 284 Perkembangan harga tersebut juga naik di bulan Januari 1983 dimana pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk menaikkan harga penjualan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri mulai 7 Januari 1983 yang berkisar antara 11,1% dan 70,5% telah membawa akibat meningkatnya laju inflasi dalam bulan tersebut menjadi sebesar 4,6% dan mempengaruhi peningkatan harga kelompok-kelompok makanan dengan 1,50% terutama untuk telur, susu dan hasilnya (3,19%). Kemudian perumahan naik 6,46% dan aneka barang dan jasa lainnya naik 10,62%. Di samping itu, kenaikan harga yang terjadi di bulan Januari 1983 dipengaruhi oleh keputusan pemerintah untuk menaikkan harga dasar pembelian gabah kering giling dan kedelai (bahan makanan) mulai Desember 1982. Kenaikan ini tercermin pada harga padi-padian, ubi-ubian dan hasilnya yang naik dengan 2,29% (bulan Desember 1982 naik 2,40%), serta harga kacang-kacangan naik 2,25%, dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Perkembangan tingkat harga dalam tahun 1983/84 meningkat 12,6% dengan rata-rata kenaikan 1,0% per bulannya, dan laju kenaikan ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 1982/83 (sebesar 8,4%). Peningkatan yang cukup besar itu antara lain disebabkan adanya kebijaksanaan devaluasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap beberapa mata uang asing pada tanggal 30 Maret 1983. Pengaruh kebijaksanaan ini dirasakan oleh masyarakat dengan meningkatnya harga-harga dalam bulan April naik sebesar 2,4% yang umumnya kenaikannya terdapat pada hargaharga bumbu-bumbuan (18,5%), lemak minyak (10,1%), sayur-sayuran (5,8%), serta barang dan jasa kesehatan (4,9%) yang disebabkan beberapa barang ekspor di luar negeri dan impornya mengalami kenaikan harganya. Sebagaimana hal biasanya, harga-harga bahan makanan dan sandang meningkat dalam memenuhi kebutuhan menghadapi Lebaran maka perkembangan harga di bulan Juni turut mengalami peningkatan sebesar 1,6 % terutama peningkatan yang cukup besar bersumber pada harga bumbu-bumbuan (naik 20,7%). Di samping itu, peningkatan harga-harga dalam tahun tersebut relatip cukup tinggi akan tetapi terjadi penurunan harga-harga di bulan Agustus (0,02%) dan Oktober-(0,01%); dimana harga-harga semen dan beras turun pada bulan tersebut. Kenaikan tingkat harga pada bulan Januari 1984 sebesar 3,4% sangat berkaitan erat dengan tindakan pemerintah menaik- 285 kan harga penjualan BBM di dalam negeri mulai tanggal 12 Januari 1984 dengan kenaikannya yang berkisar antara 9,4% dan 60,0%. Peningkatan harga BBM ini mengakibatkan harga-harga lemak dan minyak naik 24,56%, harga-harga sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air naik 15,80%, dan harga-harga sub kelompok transpor naik 5,19%. Kenaikan harga padi-padian, ubi-ubian dan hasilnya sebesar 1,51% pada bulan Pebruari 1984 disebabkan harga beras yang naik berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah menaikkan harga dasar pembelian gabah dan beras yang berlaku mulai bulan tersebut. Dengan demikian perkembangan harga rata-rata selama Repelita III sebesar 13,2% jauh lebih rendah dibandingkan dengan perkembangan harga rata-rata Repelita II setinggi 14,8% dan perkembangannya dalam Repelita I setinggi 17,5%. Hal ini berarti perkembangan harga-harga menunjukkan stabilitas yang cukup baik. Perkembangan Indeks Harga Konsumen di 17 kota yang bersangkutan jika diteliti lebih lanjut menunjukkan kecenderungan yang berbeda, walaupun secara umum IHK dalam tahun 1983/84 lebih tinggi dibanding dengan tahun 1982/83. Dalam hal ini, ternyata kenaikan IHK di Jayapura yang semula 17,70% turun menjadi 7,94%, di Denpasar yang semula 13,99% turun menjadi 9,62%, sebaliknya di Ambon dari 10,59% naik menjadi 19,89% dan di Banjarmasin dari 5,41% naik menjadi 14,62%. Perkembangan harga di Indonesia dari tahun 1978/79 hingga tahun 1983/84, dan perkembangan IHK Indonesia dari tahun 1978 hingga tahun 1983/84, perkembangan IHK di 17 kota serta indeks 9 macam bahan pokok dari tahun 1978/79 hingga tahun 1983/84 dapat diikuti pada Tabel IV - 28, dan Grafik IV - 16, Tabel IV - 29 dan Grafik IV - 17, Tabel IV - 30 dan Tabel IV - 31. Perkembangan indeks umum dari indeks harga 9 macam bahan pokok selama 5 tahun yang terakhir i n i , terutama sejak tahun 1979/80 hingga tahun 1983/84 menunjukkan harga umum bahan pokok tersebut naik tidak terlampau tinggi. Peningkatan harga yang besar umumnya terjadi berkaitan dengan pelaksanaan bulan puasa dan kegiatan masyarakat mempersiapkan hari raya Lebaran, dan berhubungan dengan kenaikan harga jual BBM seperti yang telah disebutkan di atas. Kegiatan masyarakat untuk merayakan hari raya tersebut, umumnya berkaitan dengan peningkatan harga, dan hal ini dapat ditunjukkan dengan peningkatan indeks umum pada bulan-bulan tertentu. Pada bulan Agustus tahun 1979, harga-harga di kotakota seperti Medan naik 6,71%, Mataram naik 5,82%, Kupang 286 TABEL IV - 28 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA, 1) 1978 – 1983/84 1) Penggunaan Indeks biaya Hidup (IBH) di Jakarta sebagai pengukur perkembangan harga di Indonesia berakhir pada bulan Maret 1979 2) Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia digunakan bulan April 1979 sebagai pengukur perkembangan yang baru 3) sejak harga persentase perkembangan harga pada tahun 1979 dalam bulan Januari s/d Maret berdasarkan IBH di Jakarta, dan bulan April a/d Desember berdasarkan IHK di Indonesia 287 GRAFIK IV - 1 6 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA 1979 288 – 1983/84 TABEL IV - 29 INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA 1), DAN INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI)2), DESEMBER 1978 - 1983/84 1) Dengan tahun dasar : September 1966 = 100 dan digunakan hingga bulan Maret 1979 2) Dengan tahun dasar : April 1977 – Maret 1919 = 100 dan mulai digunakan April 1979 289 GRAFIK IV - 17 INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA, DAN INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI) DESEMBER 1978 - 1983/84 290 TABEL IV - 30 PERKEMBANGAN INDEKS BIAYA HIDUP 1) DI BEBERAPA KOTA TERPILIH DAN PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN 2) DI SETIAP 17 KOTA DAN DI PROPINSI 1978/79 – 1982/83 1) 2) 3) dengan tahun dasar : September 1966 = 100 dan digunakan hingga akhir tahun 1978/79 dengan tahun dasar : April 1977 – Maret 1978 = 100 dan mulai digunakan bulan April 1979 dengan tahun dasar : Januari 1967 = 100 dan digunakan hingga akhir tahun 1978/79 291 TABEL IV - 31 PERKEMBANGAN INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DI 17 IBUKOTA PROPINSI DESEMBER 1978 – 1983/84 1) 2) 292 dengan tahun dasar : Oktober 1966 = 100 digunakan hingga 1979 dengan tahun dasar : April 1977 – Maret 1978 = 100 mulai digunakan bulan Mei 1979 naik 4,71%, Denpasar naik 3,78%, Surabaya naik 3,21% dan Manado naik 3,15%. Pada bulan Agustus tahun 1981, peningkatan harga di kotakota Ambon, Padang dan Ujung Pandang berturut-turut sebesar 3,55%, 2,69% dan 1,66%. Sedangkan pada bulan Juli 1982, kota-kota yang mengalami peningkatan harga adalah Ambon, Jayapura, Kupang dan Semarang dengan urutan kenaikan harganya sebesar 1,83%, 1,56%, 1,05% dan 1,04%. Demikian halnya, pada bulan Juni 1983 terjadi peningkatan harga di kota-kota Mataram (3,79%), Bandung (2,28%) dan Kupang (1,32%). Khusus pada bulan April 1983, peningkatan harga bahan pokok yang cukup tinggi terdapat di kota-kota Jayapura (5,34%), Banjarmasin (4,86%) dan Medan (3,22%) sebagai akibat dilaksanakannya kebijaksanaan devaluasi uang rupiah terhadap beberapa mata uang asing. D. PERKEMBANGAN LEMBAGA PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA Kebijaksanaan Pemerintah untuk mengembangkan dan membina sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya selama Repelita III diarahkan pada usaha penciptaan sistem keuangan yang sehat dan efisien serta mampu bertindak sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Kebijaksanaan untuk mendorong penggabungan usaha (merger) dikalangan bank-bank swasta nasional tetap dilanjutkan dengan cara memberikan berbagai fasilitas, seperti keringanan pajak dan kesempatan yang lebih banyak untuk membuka kantor cabang/cabang pembantu bank umum swasta nasional, serta fasilitas untuk meningkatkan kantor cabang menjadi cabang devisa. Terhadap bank-bank pembangunan daerah selama Repelita III telah dilakukan pembinaan melalui pemberian bantuan teknis den pendidikan serta bantuan untuk memperkuat permodalan bank-bank tersebut. Selain itu, mengingat bahwa usaha pembangunan semakin menyebar keseluruh pelosok tanah air, usaha pengembangan dan perluasan pelayanan perbankan terus digalakkan agar dapat menjangkau seluruh daerah kabupaten dan kecamatan serta pedesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah telah memberikan keringanan persyaratan pembukaan kantor cabang dan kantor cabang pembantu, baik pada bank swasta nasional maupun bank pembangunan daerah, terutama yang berkaitan dengan persyaratan tingkat kesehatan, pemenuhan modal disetor dan penyediaan pimpinan dan pegawai. 293 Dalam pada itu untuk lebih memperlancar transaksi perdagangan luar negeri, persyaratan penambahan bank-bank devisa di daerah-daerah semakin diperlonggar terutama yang menyangkut syarat-syarat tingkat kesehatan, jumlah modal disetor dan pelaksanaan merger. Dalam rangka memperluas dan memperlancar lalu-lintas pembayaran giral, ketentuan mengenai kliring terus disempurnakan. Penyelenggaraan kliring lokal dimungkinkan dipimpin oleh bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia di tempat-tempat yang tidak ada kantor Bank Indonesia. Sehubungan dengan ini telah ditunjuk beberapa bank umum Pemerintah sebagai penyelenggara kliring lokal di 24 tempat. Dalam pada itu untuk membina dan menunjang perkembangan bank umum koperasi, Pemerintah telah mengeluarkan peraturan penyempurnaan ketentuan umum tentang tata kerja bank umum koperasi. Ketentuan tersebut pada pokoknya mengatur bahwa bank umum koperasi harus berbentuk badan hukum koperasi dan mempunyai anggota sekurang-kurangnya lima badan hukum koperasi. Dalam rangka pengaturan di sektor perbankan telah disusun RUU tentang perbankan yang akan mengatur tata Cara, pengawasan dan pembinaan kegiatan perbankan secara nasional. Perkembangan jumlah bank yang terdiri dari bank umum, bank pembangunan dan bank tabungan selama Repelita III menurun dari 127 pada akhir 1979 menjadi 117 bank pada akhir Maret 1984. Penurunan tersebut terjadi karena dilakukannya merger oleh 19 bank menjadi 9 bank. Jumlah kantornya yang terdiri dari kantor pusat, kantor cabang dan kantor cabang pembantu telah meningkat dengan 196 sehingga menjadi 1.345 kantor pada akhir Maret 1984. Jumlah bank perkreditan rakyat yang terdiri dari bank desa, lumbung desa, bank pasar dan bank pegawai menurun dari 5.870 menjadi 5.823 bank pada akhir Maret 1984. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh dicabutnya ijin usaha beberapa lumbung desa. Di samping itu kantor perwakilan bank asing selama Repelita III bertambah dengan 20 sehingga menjadi 68 kantor. Mengingat pentingnya peranan lembaga-lembaga keuangan bukan bank bagi pengembangan kegiatan pasar modal, pembinaan terhadap lembaga-lembaga tersebut terus dilanjutkan. Dalam pada itu agar kegiatan lembaga keuangan bukan bank dapat diikuti oleh masyarakat luas, kepada lembaga keuangan tersebut telah diwajibkan untuk mengumumkan neraca perhitungan laba ruginya setiap triwulan di surat-surat kabar harian setempat 294 yang banyak pembacanya. Selama Repelita III telah didirikan PT Papan Sejahtera dan PT Sarana Bersama Pembiayaan Indonesia. PT Papan Sejahtera didirikan dengan tujuan sebagai p e laksana usaha di bidang pembangunan pemilikan perumahan, khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah. Adapun PT Sarana Bersama Pembiayaan Indonesia didirikan dengan tujuan sebagai wadah bagi pemegang saham di Indonesia pada Asean Finace Corporation Ltd. (AFC). Wadah ini merupakan sarana kerjasama bank-bank milik nasional di Indonesia dengan perbankan dari segenap anggota Asean yang mempunyai tujuan mengerahkan dana/atau memanfaatkan penyediaan pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan regional Asean, termasuk proyekproyek pembangunan di Indonesia. Dengan berdirinya PT tersebut, maka lembaga keuangan bukan bank sampai dengan akhir Maret 1984 berjumlah 14 yang terdiri dari 3 lembaga pembiayaan pembangunan, 9 lembaga investasi dan 2 lembaga Jenis lainnya. Dalam pada itu peranan lembaga keuangan lainnya yang khusus membantu pengusaha golongan ekonomi lemah seperti Askrindo dan Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK) semakin penting dalam rangka menunjang kebijaksanaan Pemerintah. Perum PKK yang didirikan bulan Desember 1981 merupakan penyempurnaan LJKK (Lembaga Jaminan Kredit Koperasi) yang dibentuk tahun 1970. Adapun tugas pokok Perum PKK tersebut adal a h menjamin pinjaman yang diberikan oleh bank dan badan-badan lainnya kepada koperasi. Dalam tahun 1982 jumlah kredit bank yang diterima oleh 974 koperasi adalah Rp. 126,3 milyar dan pada tahun 1983 telah berjumlah Rp 138,4 milyar yang diterima oleh 682 koperasi. Mengingat tidak seluruh kredit dari bank untuk koperasi-koperasi tersebut dipertanggungkan, maka Perum PKK hanya menutup perjanjian pertanggungan masing-masing sebesar Rp 101,6 milyar pada tahun 1982 dan Rp 126,7 milyar pada tahun 1983. PT Askrindo yang selama ini terutama berfungsi menyediakan sarana jaminan atas resiko kemacetan KIK/KMKP, sejak bulan Januari 1982 telah pula menyediakan sarana jaminan atas resiko kemacetan kredit ekspor. Premi yang dihimpun dari tahun 1979 sampai dengan akhir tahun 1983 telah mencapai Rp 78,2 milyar dengan jumlah pertanggungan Rp 3.610,8 milyar. Perlu dikemukakan bahwa dalam tahun 1983 jumlah premi yang dapat dihimpun mencapai Rp 19,8 milyar yang meliputi premi KIK Rp 4,2 milyar, KMKP Rp 9,9 milyar, kredit ekspor Rp 5,2 milyar dan kredit modal kerja lainnya Rp. 0,5 milyar. Adapun nilai pertanggungan yang diberikan berjumlah Rp 1.211,7 milyar, yang terdiri atas pertanggungan untuk KIK Rp 126,3 mil- 295 yar, KMKP Rp 312,7 milyar, pertanggungan kredit ekspor Rp 722,5 milyar dan pinjaman modal kerja lainnya Rp 50,2 milyar. Pasar modal sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilikan saham atau obligasi yang diterbitkan perusahaan-perusahaan atau badan-badan usaha seperti bank, LKBB dan badan usaha lainnya peranannya dari tahun ke tahun semakin penting. Dalam rangka menyempurnakan organisasi dan tata kerja pasar modal, dalam Repelita III Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan mengenai tata cara penawaran obligasi oleh badan-badan usaha, penawaran saham oleh bank-bank, kewajiban perantara efek serta lembaga-lembaga yang dapat membeli saham di pasar modal. Di samping itu Pemerintah telah menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai pembentukan trustee dan penanggung (guarantor) dengan maksud untuk memperlancar emisi dan perdagangan surat-surat berharga jangka menengah dan panjang. Untuk lebih meningkatkan perkembangan pasar modal, Pemerintah telah memberikan keringanan perpajakan dalam jual beli obligasi dan saham, serta menyempurnakan tata cara perdagangan obligasi dan perdagangan efek. Perkembangan kegiatan pasar modal tercermin pada jumlah perusahaan yang memasarkan saham dan obligasi melalui pasar modal. Dalam Repelita III telah disetujui 23 perusahaan untuk memasarkan saham dan 3 perusahaan untuk memasarkan obligasi. Sementara itu jumlah saham dan obligasi yang dikeluarkan melalui pasar modal hingga akhir Maret 1984 masing-masing telah mencapai 57.237 ribu lembar dan 263 ribu lembar dengan nilai Rp 130,7 milyar dan Rp 154,7 milyar. Di samping saham perusahaan yang telah diperjual belikan di pasar modal, PT Danareksa juga memasarkan sertifikat yang terdiri atas sertifikat saham dan sertifikat dana. Sertifikat saham adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh PT Danareksa sebagai pengganti saham suatu perusahaan yang telah terlebih dahulu dibeli oleh PT Danareksa. Sertifikat dana PT Danareksa adalah surat berharga yang dikeluarkan atas dasar sejumlah aktiva PT Danareksa yang disisihkan, termasuk pula saham beberapa perusahaan yang telah dibeli oleh PT Danareksa. Selama Repelita III PT Danareksa telah mengeluarkan 3 sertifikat saham yaitu sertifikat saham perusahaan industri semen, rokok dan barang konsumsi sehari-hari serta menerbitkan sertifikat dana PT Danareksa unit umum sari A, B, C dan D, yang keseluruhannya berjumlah 7.420 ribu lembar dengan nilai Rp 72,8 milyar. Fungsi sektor perasuransian dalam pembangunan adalah 296 untuk menjamin risiko di bidang dunia usaha, kesejahteraan masyarakat serta peranannya dalam pemupukan dana bagi pembiayaan pembangunan. Sektor asuransi di Indonesia meliputi asuransi jiwa, asuransi sosial dan asuransi kerugian. Selama Repelita III jumlah perusahaan asuransi jiwa ada 14 perusahaan. Kebijaksanaan Pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan asuransi jiwa senantiasa ditingkatkan selama periode tersebut. Kebijaksanaan tersebut meliputi pengaturan tentang kewajiban perusahaan untuk menempatkan deposito wajib, ketentuan tentang persyaratan modal, serta penanaman dana dalam jenis-jenis investasi sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya dalam tahun 1982 berlaku ketentuan tentang dibolehkannya perusahaan asuransi jiwa mengadakan kerjasama dalam permodalan dengan perusahaan asing dalam bentuk perusahaan asuransi jiwa patungan. Dengan berbagai kebijaksanaan tersebut di atas maka perkembangan usaha asuransi jiwa selama Repelita III mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan. Jumlah polis yang dalam tahun 1978 mencapai 1.817 ribu telah meningkat menjadi 2.667 ribu dalam tahun 1982. Jumlah uang pertanggungan yang pada tahun 1978 sebesar Rp 892 milyar, pada tahun 1982 meningkat menjadi Rp. 1.935 milyar. Sedangkan dana investasi yang ditanam dalam deposito/deposito wajib, pinjaman polis dan investasi lainnya terus berkembang, yaitu dari Rp 29 milyar untuk tahun 1978 menjadi Rp. 111 milyar tahun 1982. Bidang asuransi sosial menangani masalah kesejahteraan sosial pegawai negeri, kecelakaan lalu lintas, tenaga kerja perusahaan dan lain-lain. Di Indonesia pada saat ini ada beberapa Jenis asuransi sosial yaitu Asuransi Sosial Pegawai Negeri dikelola oleh PT TASPEN, Asuransi Sosial bagi anggota ABRI dikelola oleh Perum ASABRI, Asuransi sosial kecelakaan lalu lintas dikelola oleh PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja, Asuransi Sosial Tenaga Kerja dikelola oleh Perum ASTEK, dan Dana Kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun serta anggota keluarganya yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan Pusat. Kebijaksanaan di bidang asuransi sosial, selain kebijaksanaan mengenai deposito dan penanaman dana, juga meliputi program surety bond oleh PT A.K. Jasa Raharja kepada perusahaan swasta yang mengerjakan proyek Pemerintah agar terhindar dari kemacetan dalam pelaksanaannya. Perkembangan asuransi sosial dapat dilihat dari perkembangan jumlah peserta, jumlah uang pertanggungan, premi dan dana investasi. Jumlah peserta 297 yang pada tahun 1978 meliputi 2.307.599 peserta meningkat menjadi 4.241.018 peserta pada tahun 1982. Dalam periode yang sama jumlah uang pertanggungan dan dana investasi berkembang masing-masing dari Rp 50 milyar dan Rp 92 milyar menjadi Rp. 814 milyar dan Rp. 412 milyar. Usaha di bidang asuransi kerugian meliputi perusahaan asuransi kerugian berikut kantor-kantor cabangnya, perusahaan reasuransi, perusahaan adjuster, perusahaan broker, perusahaan agen, kantor perwakilan dan kantor konsultan. Hingga akhir Maret 1984 jumlah perusahaan asuransi kerugian adalah 62 perusahaan dan 3 perusahaan reasuransi. Adapun kebijaksanaan yang telah dilaksanakan di sektor asuransi kerugian selama Repelita III adalah kebijaksanaan peningkatan modal setor dan deposito wajib serta ketentuan persyaratan perijinan usaha. Selain itu telah dilakukan kegiatan penelitian yang menyangkut bidang administrasi, produksi, pemasaran dan investasi. Kemudian dalam usaha mengatasi persaingan yang kurang sehat dalam pemasaran asuransi kerugian telah diberlakukan kebijaksanaan tarip asuransi kebakaran di Indonesia. Selanjutnya dalam usaha pengembangan sistem pengawasan selain pengawasan tidak langsung telah diperluas tindakan pengawasan/pemeriksaan secara langsung pada perusahaan-perusahaan asuransi kerugian. Kebijaksanaan lain adalah turut serta menangani masalah-masalah di bidang jaminan kredit ekspor dan asuransi ekspor, serta komputerisasi dalam pengolahan data asuransi kerugian. Sebagai hasil dari perkembangan kegiatan usaha di bidang asuransi kerugian maka telah terjadi peningkatan yang cukup menggembirakan baik dalam jumlah premi ataupun dana investasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama Repelita III jumlah dana investasi perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi berkembang dari Rp 39,5 milyar pada tahun 1978 menjadi Rp. 151,6 milyar tahun 1982. Dalam rangka pengaturan di bidang perasuransian sedang disusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perasuransian yang mengatur tata-cara, pengawasan dan pembinaan kegiatan usaha perasuransian. 298