370 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 Pencak Silat Sebagai Model Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasiskan Kearifan Budaya Lokal Irwan Satria Abstract; Within the National Education System Law Act states that national education function to develop and form the character and civilization of a dignified nation in the context of the intellectual life of the nation, aimed at developing students' potentials to become a man of faith and bertagwa in god the almighty one, beraklak noble, healthy, knowledgeable, creative, independent and become citizens of a democratic and responsible. Act can be interpreted to promote the establishment of the nation's next generation that has the character and noble. To realize this future generation that has the character of the government of Indonesia through the Ministry of Youth and Sports launched the martial arts as a model for the development of character education based on local wisdom. In general, the martial arts, there are four aspects of development are: sport, martial arts and spiritual mental / spiritual, of the fourth aspect can form intrepid attitude, confidence, responsibility, humility and never give up. Kata Kunci: Pencak Silat, Pendidikan Karakter. A. Pendahuluan Dalam undang Undang Sistim Pendidikan Nasional pasal 3 No. 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertagwa pada tuhan yang maha esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Undang Undang tersebut dapat dimaknai untuk mendorong terwujudnya Generasi penerus bangsa yang memiliki karakter dan berakhlak mulia. Untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang memiliki karakter maka pemerintah Indonesia melalui kementrian pemuda dan olahraga mencanangkan pencak silat sebagai model pengembangan pendidikan karakter yang berdasarkan pada kearifan budaya local. Di dalam kebijakan nasional (2010:4) pembangunan karakter memiliki tiga fungsi utama yaitu : Pertama fungsi pembentukan dan pengembangan potensi agar berfikiran baik, berhati baik dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup. Kedua fungsi perbaikan dan penguatan pembangunan karakter menuju bangsa 370 Irwan Satria, Pencak Silat Sebagai Model Pengembangan 371 yang maju mandiri dan sejahtera. Ketiga fungsi penyaring pembangunan karakter bangsa, berfungsi mempertahankan budaya sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Dalam aspek Sosiologi/ antropologi pencak silat merupakan media untuk mewariskan nilai budaya yang dianggab baik oleh masyarakat kepada generasi berikutnya. Bila pencak silat merupakan proses pembudayaan yang terjadi dalam bentuk pewarisan budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya, maka proses pewarisan budaya harus dilakukan secara hati-hati. B. Manusia Berkarakter Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi 372 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku). Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Dengan demikian menurut Megawangi (2008) ukuran seseorang berkarakter itu adalah dapat dilihat pada bagaimana hubungan manusia dengan tuhannya sebagai pencibta (hablul minanllah) dan hubungan manusia dengan manusia sebagai makluk social (hablul Minannas). Dalam Islam Hubungan manusia dengan tuhannya dapat dikatakan baik apabila manusia itu mampu melaksanakan segala apa yang diperintahkannya dan menjauhi segala apa yang dilarangnya sebagaimana yang termaktup di dalam Alqur’an dan yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Sedangkan hubungan manusia dengan manusia dapat dikatakan baik bila mempunyai sifat jujur, bertanggung jawab, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, santun, demokratis, peduli sosial dan lingkungannya. Apabila manusia mampu dan berbuat seperti konsep di atas maka manusia itu dapat dikatakan berkarakter religius. Menurut Dzubaedi (2009) Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika Irwan Satria, Pencak Silat Sebagai Model Pengembangan 373 moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit). C. Kearifan Budaya Lokal Menurut Alwasilah (2009 ; 50) kearifan budaya local adalah pengetahuan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, diwariskan dan dihidupkan kembali melalui identitas local yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan sebagai warisan masa lalu. Kearifan budaya local yang dimiliki masing-masing suku bangsa di Indonesia (termasuk di dalamnya pencak silat) perlu dilestarikan, karna nilai-nilai dan ajaran yang dimiliki pencak silat mempunyai potensi yang baik dan tak ternilai harganya untuk bisa dijadikan acuan dalam mencibtakan manusia berkarakter Menurut sosiolog Amerika Robert N. Bellah (1992) merumuskan hasil penelitiaannya tentang masyarakat Jepang dalam buku “Religi Tokugawa”. Bahwa masyarakat Jepang memiliki semangat “Bushido”, semangat ini pada awalnya hanya dimiliki oleh kaum Samurai Jepang, tetapi akhirnya disosialisasikan keseluruh lapisan masyarakat, sehingga menjadi semangat bersama bagi seluruh masyarakat Jepang. Semangat Bushido menjadi karakter mereka yang melahirkan perilaku rajin, jujur, hemat, taat pada orang tua atau pemimpin serta berani dan bertanggung jawab. 374 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 Lahirnya semangat Bushido yang berimplikasi pada lahirnya karakter positif masyarakat Jepang adalah berangkat dari akar budaya Jepang. Mereka terjemahkan kearifan budaya menjadi karakter dan diimplikasikan dalam kehidupan. Nilai-nilai budaya lokal di Indonesia sesungguhnya banyak sekali yang bisa dijadikan sebagai bahan acuan untuk pembentukan karakter bangsa diantaranya adalah melalui pencak silat. Di Minangkabau umpamanya nilai-nilai, norma yang dapat membangun karakter seseorang dapat diamati pada Sasaran Pencak silat Tradisional Minangkabau. Menurut Jamilus (2010): bahwa kegiatan pencak silat yang diadakan di Surau berfungsi sebagai tempat mendidik generasi muda Minangkabau dalam bidang keterampilan beladiri, pengetahuan agama, adat pergaulan dan sebagai tempat pembentukan moral kepribadian rasa kebersamaan, saling menghormati dan kegotong royongan antara seseorang dengan yang lainnya dalam masyarakat. Pepatah Minang mengatakan “ Nan ketek disayangi, nan samo gadang dibao baiyo, nan tuo dihormati, alum dipanggia nyo la tibo, alum di suruah nyo lah Pai. (yang kecil disayangi, sama besar dibawa bermufakat, yang tua dihormati, belum dipanggil sudah datang belum disuruh sudah dikerjakan). D. Pencak Silat 1. Pengertian Pencak Silat Istilah Pencak Silat diambilkan dari Pencak dan Silat. Keduanya mempunyai pengertian yang sama dan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat pribumi. Kata Pencak biasa digunakan oleh masyarakat pulau Jawa, Madura dan Bali, sedangkan kata Silat biasa digunakan oleh masyarakat di wilayah Indonesia. Penggabungan kata Pencak dan Silat menjadi kata majemuk untuk pertama kalinya dilakukan pada waktu dibentuk suatu organisasi persatuan dari perguruan Pencak dan perguruan Silat di Indonesia yang diberi nama Ikatan Pencak Silat Indonesia, disingkat IPSI pada tahun 1948 di Surakarta. Irwan Satria, Pencak Silat Sebagai Model Pengembangan 375 Sejak saat itu Pencak Silat menjadi istilah resmi di Indonesia. Perguruanperguruan yang mengajarkan Pencak dan Silat asal Indonesia di berbagai negara kemudian juga menggunakan istilah Pencak Silat. 2. Falsafah Pencak Silat Falsafah Pencak Silat diarahkan pada budi pekerti luhur. Hal ini disebabkan karena falsafah ini mengandung ajaran budi pekerti luhur. Falsafah budi pekerti luhur berpandangan bahwa masyarakat "tata-tentrem karta-raharja" (masyarakat yang aman-menentramkan dan sejahtera-membahagiakan) dapat terwujud secara maksimal apabila semua warganya berbudi pekerti luhur. Karena itu, kebijaksanaan hidup yang harus menjadi pegangan manusia adalah membentuk budi pekerti luhur dalam dirinya. Secara umum dalam pencak silat terdapat empat aspek pengembangan yaitu: Olah raga, bela diri, seni dan mental spiritual/ keruhanian, dari keempat aspek tersebut dapat membentuk sikap pemberani, percaya diri, tanggung jawab, rendah hati dan pantang menyerah. Sedangkan menurut Jamilus (2010) selain empat aspek tersebut di atas beliau juga menambahkan sebuah aspek yang dianggap sangat penting yaitu aspek persaudaraan. Hal itu diharapkan mampu mewujudkan rasa kebersamaan, dan kekeluargaan. Jadi, pencak silat memiliki lima aspek yang disebut “panca dasar” yakni 1. persaudaraan, 2. olah raga, 3. bela diri, 4. seni 5.keruhanian. Selain itu nilai-nilai pendidikan akhlak ditanamkan dalam falsafah pencak silat antara lain: Pertama akhlak kepada Sang Pencipta yaitu, (lurusnya hidup, memaknai kehidupan, dan menjemput kematian), Kedua akhlak kepada sesama yaitu bijaksana, rendah hati, berakhlak mulia, teguh pendirian dan berani membela kebenaran. Pencak silat mewajibkan meninggalkan enam larangan dasar yang harus ditinggalkan oleh seluruh anggota, yaitu: 1. Tidak boleh berkelahi antar sesama anggota, 2. tidak menunjukkan kebolehan/ pamer, 3. tidak merusak rumah tangga dan kebahagiaan orang lain, 4. tidak merusak sesuatu yang sedang berkembang, seperti keperawanan dan keperjakaan 5. tidak merampas hak orang lain, 6. tidak menerima segala sesuatu yang tidak sah/bathil. 376 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 E. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter sangat diperlukan pada masa saat sekarang ini, terlebih dengan terlihatnya krisis karakter yang menimpa anak-anak remaja. Dengan demikian pencak silat sebagai model pengembangan pendidikan karakter yang berbasiskan kearifan local, diharabkan kehadirannya sebagai ujung tombak dalam pembentukan karakter bangsa yang mulia. Penulis : Irwan Staria, M.Pd adalah dosen Tarbiyah Sekolah Tonggi agama Islam Negeri (STAIN) Bengkulu Daftar Pustaka Ratna Megawangi. 2004, Pendidikan Karakter. Bandung: Mizan Jamilus. 2010, Kesenian Silat dan Kehidupan Orang Minang: Padang :Pusako Robert. N. Bellah, 1957, Tokugawa Religion : terjemahan : Gramedia Undang Undang RI Nomor 20 tahun 2003, system Pendidikan Nasional.